perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RUU KUHP) INDONESIA
Penulisan Hukum (SKRIPSI) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Erwan Adi Priyono NIM. E0008335 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN Nama
: Erwan Adi Priyono
NIM
: E0008335
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : PERBANDINGAN
PENGATURAN
EUTHANASIA
DALAM
KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RUU KUHP) INDONESIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini. Surakarta, Yang membuat pernyataan
Erwan Adi Priyono NIM. E0008335
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO “Man Jadda Wajada” (Siapa Yang Bersungguh-sungguh Maka Ia Akan Berhasil) Pengorbananku adalah cita-citaku “Untuk mencintai kehidupan engkau harus mengingat-ingat kematian. Sebab hanya mereka yang ingat kematian sajalah yang mempersiapkan diri dengan menebarkan kebaikan-kebaikan kepada alam dan sesama manusia”
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
I would like to dedicated all my love and my appreciation to my Mother and Father, thanks for being a good parents for me. Especially for my Mom Hj. Sumiyati I pround of you. For my Familly and my lovely brothers, thanks for your support and pray. I always remember about our love For The H. Suprayitno’s family And INDONESIA
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Erwan Adi Priyono, E 0008335. 2012. PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANGUNDANG HUKUM PIDANA (RUU KUHP) INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban dokter atas tindakan euthanasia ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia serta kaitannya dalam pertanggung jawaban secara pidana serta untuk membandingkan pengaturan euthanasia dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia mendatang terkait pertanggung jawaban pidana yang dilakukan oleh dokter. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif sosiologis untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subyek dan obyek penelitian yang berkaitan dengan pengaturan euthanasia dalam KUHP dan RUU KUHP. Sumber data yang diperoleh dari data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan wawancara terstruktur di Pengadilan Negeri Surakarta. Penganalisisan data secara kualitatif, penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti untuk kemudian mengkaitkan atau menghubungkan bahan–bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan. Kesatu, Selama ini ketentuan hukum yang mengatur mengenai masalah euthanasia yaitu ketentuan dalam Pasal 344 KUHP pada dasarnya rumusannya sulit untuk digunakan sebagai dasar dalam melakukan tuntutan terhadap masalah euthanasia. Kedua, Munculnya Konsep Rancangan Pasal 574 RUU KUHP tahun 2005 yang mempunyai unsur-unsur menyangkut euthanasia, belum memberikan pengaturan secara jelas mengenai euthanasia itu sendiri. Kata kunci : euthanasia, KUHP, RUU KUHP
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Erwan Adi Priyono, E0008335. 2012. COMPARATIVE ON EUTHANASIA ROLE IN KUHP WITH RUU KUHP OF INDONESIA. Faculty Of Law Sebelas Maret University Of Surakarta. This research aims to know about the doctor responsibility in euthanasia act viewing from KUHP of Indonesia and the relation on the privat law responsibilty and also to compare in the management of euthanasia on the next RUU KUHP of Indonesia in relation to the responsibilty of privat law which done by the doctor. In this research, the writer uses normative-sociologis law research to give the discription or explanation on research subject and object which in relation to the role of euthanasia on KUHP and RUU KUHP. The data source which have gotten from primer data and secunder data. The tehnicque of data collecting which use is librarian study and structured interview which has done in Surakarta Court. The data analysis is kualitatif this law research trying to know or understand the syndrom which researched and then involved it with the law material which relevan and become point in the librarian law research. Based on the research result and the discussion there is a conclusion. First, so far the law regulation which manage about euthanasia problem which is the regulation on article 344 KUHP basicly the pattern is difficult tobe done as the basic concept in doing the about euthanasia problem. Secondly, there is concept of the design of article 574 RUU KUHP on year 2005 which has the content about euthanasia, has given the clear management yet about euthanasia. Keywords : euthanasia, KUHP, RUU KUHP
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, segala nikmat, dan kekuatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi/penulisan hukum yang berjudul “PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANGUNDANG HUKUM PIDANA (RUU KUHP) INDONESIA”. Penulisan hukum ini sebagai tugas akhir guna memenuhi syarat-syarat dalam mencapai derajat Sarjana (S1) dalam Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dorongan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, penulis dengan ini mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Prof.Dr.Hartiwiningsih,S.H.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Rehnalemken Ginting, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Dr. M. Hudi Asrori. S, S.H.,M.Hum. selaku Pembimbing Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bimbingan kepada penulis. 4. Bapak Rehnalemken Ginting, S.H., M.H dan Ibu Siti Warsini, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, perhatian, dan pengarahan yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak dan ibu dosen, serta karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, terimakasih-ku ucapkan atas semua ilmu dan kenangan yang telah dibagi. commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Bapak H. Budhy Hertantiyo, S.H., M.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, telah memberikan bimbingan selama penelitian, serta Bapak dan Ibu Pegawai Pengadilan Negeri Surakarta. 7. Bapak dan Ibuku H. Suprayitno dan Hj. Sumiyati, yang selalu memberikan dukungan, kepercayaan, dan doa-doa yang selalu terpanjatkan di setiap malam. Inilah salah satu bentuk baktiku. 8. Kakakku Saiful Dwi Priyatno yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dan motivasinya. 9. Sahabat-sahabatku SMA (Angga, Tabah, Hengky, Fredy, Mu‟arif, Widy Jebol, Jack, Karyo) Terimakasih telah memberikan banyak hal di lewati bersama kalian. Jaga kebersamaan kita. 10. Sahabat-sahabatku kelompok diskusi hukum (Yusuf, Immas, Putut, Pras Adut). Walaupun hanya beberapa orang, tetapi ilmu yang kalian berikan sangat berharga. Semoga di kemudian hari ilmu itu dapat kita terapkan. Tetap berjuang dan jangan pernah berhenti untuk belajar. 11. Teman-teman “Kost Putra Dewo” (Akil, Aji, Aryo, Bayu cebong) tetep kompak ya, yang telah memberikan
arti sebuah kebersamaan,
dari
semester 3 hingga sekarang. 12. Anak-anak Hukum angkatan 2008, terutama (Septa, Gangga, Eric, Pradha, Ndaru, Hengki R, Nico E, Ryan, Farid, Adhi, Purbo, Angger, Lindu, Titis, Indah, Nanda, dll) terima kasih sudah berjuang bersama, saling mengisi ketika kuliah. Sukses buat kita semua. Tetep komunikasi ya. 13. Teman-teman FOSMI, terutama (Perry, Rohmadi, Yoga, Lutfal, Ismail, Rintis, Asri, Mas Muhson, Mas Suryo, Mas Pras, Mas Ryan, Johan, Ukie, Radit, dll) yang telah banyak memberikan pengalaman berorganisasi. 14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, penulis harapkan demi perbaikan yang berkelanjutan. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan di kemudian hari. Terima kasih. Surakarta, 7 Juni 2012 Penulis Erwan Adi Priyono
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………………
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..……………………….
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI..................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………..
iv
ABSTRAK……………………………………………………………....
v
HALAMAN MOTTO...............................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN...............................................................
viii
KATA PENGANTAR………………………………………..................
ix
DAFTAR ISI……………………………………………………………
xii
DAFTAR TABEL.....................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
xvi
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………
1
A. Latar Belakang………..……………………………………..
1
B. Rumusan Masalah…………………………………………...
6
C. Tujuan Penelitian……………………………………………
6
D. Manfaat Penelitian…………………………………………..
7
E. Metode Penelitian…………………………………………...
8
F. Sistematika Penulisan Hukum………………………………
12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………….
14
A. Kerangka Teori………..…………………………………….
14
1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana..........................
14
a. Pengertian Tindak Pidana.............................................
14
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana……………….................
15
c. Jenis-Jenis Tindak Pidana…………………………….
19
2. Tinjauan Umum Tentang Kriteria Kematian..…………..
23
3. Tinjauan Umum Tentang Euthanasia................................
24
a. Pengertian Euthanasia..................................................
24
b. Unsur-Unsur Euthanasia.............................................. commit to user c. Bentuk-bentuk Euthanasia........................................... d. Bentuk-bentuk Semuxii Euthanasia................................
27
e. Euthanasia Ditinjau Dari Segi Kedokteran..................
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Bentuk-bentuk semu euthanasia...................................
31
e. Euthanasia Ditinjau Dari Segi Kedokteran...................
36
f. Euthanasia Ditinjau Dari Segi Agama..........................
37
g. Perkembangan HAM Tentang Euthanasia....................
40
4. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Terhadap Nyawa...............................................................................
41
a. Pengertian Tindak Pidana Terhadap Nyawa................
41
b. Pembagian Tindak Pidana Terhadap Nyawa................
41
c. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Terhadap Nyawa..........
42
B. Kerangka Pemikiran…….....………………………………...
43
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………….
46
A. Pengaturan
Euthanasia
di
dalam
Hukum
Pidana
Indonesia…………..............................................................
46
1. Pengaturan Euthanasia di Mancanegara……....………
46
2. Penanganan Kasus Euthanasia di Indonesia……......…
49
3. Pengaturan Euthanasia di dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia……...……
52
B. Perbedaan Pengaturan Euthanasia Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia……….........................………..... 1.
72
Pengaturan Euthanasia Dalam Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia Tahun 1999/2000............................
2.
75
Pengaturan Euthanasia Dalam Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia Tahun 2005.....................................
77
BAB IV. PENUTUP…………………………………………………….
83
A. Kesimpulan……………………………………………….....
83
B. Saran…………………………………………………………
85
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………... commit to user LAMPIRAN…………………………………………………………….. xiii
87 90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Perbedaan pengaturan euthanasia dalam KUHP dengan RUU KUHP..........................................................................................
commit to user xiv
82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Kerangka Berpikir...................................................................
43
Gambar 2: Bagan Pengaturan Euthanasia Dalam KUHP…………….....
71
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Ijin Penelitian dan Surat Keterangan Penelitian Dari Pengadilan Negeri Surakarta ............................................
commit to user xvi
89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menghindari adanya kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran khususnya dan bidang teknologi pada umumnya. Akibat kemajuan teknologi yang tak terbayangkan dalam menyongsong milenium baru ini, menjadi penyebab terjadinya perubahanperubahan di berbagai bidang dan struktur masyarakat baik secara cepat atau lambat. Demikian pula semakin banyak penemuan-penemuan di berbagai bidang khususnya dalam hal ini di bidang medis. Dengan perkembangan diagnosa, suatu penyakit dapat lebih sempurna dilakukan dan pengobatan penyakitpun dapat berlangsung dengan cepat. Dengan peralatan, rasa sakit si pasien diharapkan dapat diperingan agar kehidupan seseorang dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu dengan respirator. Perkembangan teknologi dibidang medis ini dengan harapan agar dokter diberi kesempatan untuk mengobati si pasien sebagai upaya bagi si pasien untuk sembuh menjadi lebih besar, namun ada kalanya menimbulkan kesulitan di kalangan dokter sendiri. Seperti penggunaan alat respirator yang dipasang untuk menolong pasien, di mana jantung pasien berdenyut namun otaknya tidak berfungsi dengan baik. Selain kasus tersebut di atas banyak lagi masalah yang dihadapi dokter dalam mengobati pasien, seperti halnya pasien yang tidak mungkin lagi diharapkan sembuh atau hidup sehat karena belum ditemukan obatnya, sehingga pasien merasakan sakit yang terus menerus, dalam hal ini apakah dokter harus menghilangkan nyawa pasien atau euthanasia dengan teknik yang ada atau membiarkan pasien begitu saja atau menyuruh pulang kembali ketengah keluarganya. Menyadari hal itu kewajiban dokter adalah menghormati dan melindungi setiap insan dengan menjalankan tugasnya semata-mata hanya untuk commit to user 1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyembuhkan dan mengurangi penderitaan pasien dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan berdasarkan sumpah jabatan dan kode etik kedokteran. Perlu diketahui bahwa perkembangan euthanasia dalam pengaturan hukum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Uruguay telah melangkah begitu jauh yang di antaranya disebutkan sebagai berikut, “Hukum dapat menganggap seseorang tidak bersalah, bila ia melakukan perbuatan membunuh yang bermotifkan perasaan kasihan sebagai kelanjutan dari permintaan si korban kepadanya berulang-ulang”. Di Amerika Serikat yang menganut aliran hukum Anglo Saxon, “melakukan euthanasia bukan suatu yang perlu dipermasalahkan karena dalam sistem hukum yang demikian memungkinkan seseorang untuk meminta putusan pengadilan untuk mengesahkan suatu tindakan”. California menjadi negara bagian yang membuat undang-undang dan telah mengeluarkan suatu produk legislatif perihal “Hak untuk mati” dalam bentuk undang-undangnya yang
diberi
nama
“The
Natural
Death
Act”
1976
(http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view). Uruguay dan Amerika merupakan contoh dari negara yang setuju dengan euthanasia, tetapi ada juga negara yang sampai dengan saat ini tidak setuju atau belum memenuhi aturan hukumnya tentang euthanasia ini, seperti halnya Indonesia dan Belanda. Di negara Belanda kasus euthanasia yang pertama terjadi pada tahun 1952, ketika pengadilan di Utrech dalam keputusannya pada tanggal 11 Maret 1952 menjatuhkan hukuman bersyarat kepada seorang dokter, yang atas permintaan dengan jalan suntikan mengakhiri hidup kakaknya yang sangat menderita karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Demikian juga terhadap kasus Leeuwarder Euthanasia proses 1973. Pengadilan Leeuwarder dalam keputusannya tanggal 21 Januari 1973 menjatuhkan hukuman bersyarat selama satu minggu kepada Nyonya Posman yang telah sengaja memberikan suntikan kepada ibunya yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Dua putusan pengadilan tersebut membuktikan bahwa di Belanda, euthanasia belum dapat dilakukan (http://typecat.com/pdf/skripsi-tentang-euthanasia.html#). Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai commit toatau usermenghilangkan nyawa orang atas euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia. Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. Masalah euthanasia ini memang menyangkut nyawa manusia. Bila dilihat dari kacamata hukum, khususnya hukum pidana Indonesia, maka euthanasia dapat dikategorikan ke dalam kejahatan terhadap nyawa orang, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 334 KUHP. Secara historis, pasal ini belum pernah menjaring pelaku euthanasia, sehingga tidak efektif. Oleh karena itu dalam rangka pembangunan hukum, terutama pembaharuan hukum pidana, maka Pasal 334 KUHP tersebut perlu ditinjau kembali, agar dapat berdaya guna, berhasil guna dan sesuai dengan perkembangan sosial (Rehnalemken Ginting, 2009 : 2). Dewasa ini hampir tidak ada bidang kehidupan masyarakat yang tidak terjamah oleh hukum, baik sebagai kaidah maupun sikap tindak manusia yang teratur dan unik. Hal ini terutama disebabkan karena pada dasarnya manusia mempunyai hasrat untuk hidup teratur. Akan tetapi keteraturan bagi seseorang belum tentu sama dengan keteraturan bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan kaidah-kaidah
yang
mengatur
kehidupan
manusia
agar
kepentingan-
kepentingannya tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan sesama warga masyarakat. Salah satu kaidah yang diperlukan manusia adalah kaidah hukum yang mengatur hubungan antara manusia untuk mencapai kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dengan ketentraman (Soerjono Soekanto, commit to user 1987 : 1).
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
Kehadiran hukum hampir pada setiap jengkal kehidupan manusia merupakan salah satu ciri dari masyarakat kita dewasa ini (Sajipto Raharjo, 1986 : 83). Namun dalam realitanya, hukum itu sering ketinggalan bila dibandingkan dengan perkembangan masyarakat yang senantiasa berubah sesuai dengan tuntutan kemajuan zaman. Hukum yang tadinya diharapkan mengatur, kini harus ditata lebih dahulu agar dapat sesuai dengan perkembangan masyarakat yang begitu dinamis. Dengan demikian tujuan hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat yang dinamis itu dapat tercapai. Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia berusaha membenahi hukum-hukumnya agar sesuai dengan tuntutan kehidupan masyarakat di abad modern ini. Aktivitas seperti itu dapat dicapai melalui pembangunan hukum dalam kerangka pembangunan nasional. Pembaharuan hukum merupakan bagian dari pembangunan hukum yang dilakukan secara terarah dan terpadu meliputi bidang-bidang hukum tertentu, termasuk didalamnya hukum pidana. Menurut Soedarto yang dikutip oleh Rehnalemken Ginting dalam bukunya, pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi hukum pidana material (hukum pidana substantif), hukum pidana formal (hukum acara pidana), dan hukum pelaksanaan pidana (strafvollstreckungsgesetz). Mengingat luasnya bidang pembaharuan hukum pidana itu, maka pada kesempatan ini yang disoroti hanyalah hukum pidana material, khususnya yang menyangkut masalah euthanasia dalam Kitab Undang– Undang Hukum Pidana (KUHP) (Rehnalemken Ginting, 2009 : 3). Substansi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang di dalamnya mengandung sistem hukum pidana materiil, beserta asas-asas hukum pidana yang mendasarinya, disusun dan diformulasikan, dengan berorientasi pada berbagai pokok pemikiran dan ide dasar keseimbangan, yang antara lain mencakup. Pertama, keseimbangan antara moralitas yang berkaitan dengan kepentingan negara, kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu/perorangan. Kedua, keseimbangan antara perlindungan commit topelaku user tindak pidana, dan kepentingan terhadap kepentingan publik, kepentingan
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
korban tindak pidana. Ketiga, keseimbangan antar unsur, faktor objektif, dan subjektif. Keempat, keseimbangan antara kriteria formal dan materiil. Kelima, keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan elastisitas atau fleksibilitas dan keadilan. Keenam, keseimbangan antara kearifan lokal/kearifan fartikularistik, nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global (Syaiful Bakhri, 2011 : 98). Mengingat begitu pentingnya permasalahan euthanasia dalam hal ini ilmu medis bersatu dengan ilmu hukum dimana permasalahan euthanasia di Negara Indonesia juga tidak menyetujuinya akan hal tersebut. Tetapi sebenarnya yang harus kita pikirkan adalah dengan adanya kematian tersebut karena pada prinsipnya sebuah kematian dialami oleh setiap makhluk Tuhan yaitu manusia tapi dalam hal euthanasia sendiri apakah kematian merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). Adanya teknologi medis semakin maju dengan alat respirator sehingga dapat menghambat sebuah kematian yang bersifat sementara dengan hal tersebut apakah bisa menghargai adanya kematian padahal euthanasia sendiri belum mempunyai sistem yang jelas dalam sistem hukum Indonesia baik dalam KUHP atau UndangUndang Kesehatan. Munculnya Rancangan Undang-Undang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (RUU KUHP) diharapkan dapat menjelaskan mengenai pengaturan euthanasia tersebut secara jelas. Mengingat pentingnya pendapat mengenai euthanasia yang kontroversi sehingga dibutuhkan peranan dari para tokoh masyarakat baik dari sarjana hukum ataupun dokter untuk mengungkapkan pendapatnya bagaimana mengantisipasi permasalahan mengenai euthanasia sendiri. Berdasarkan pemaparan diatas, maka hal-hal tersebut mendasari dan melatarbelakangi penulis untuk menyajikan penulisan hukum dengan judul PERBANDINGAN
PENGATURAN
EUTHANASIA
DALAM
KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RUU KUHP) INDONESIA. commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Rumusan Masalah Berdasar latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis merumuskan masalah untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti sehingga dapat memudahkan penulis dalam mengumpulkan, menyusun, menganalisa, dan mengkaji data secara lebih rinci. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pengaturan euthanasia di mancanegara dan hukum positif Indonesia ? 2. Bagaimana pengaturan euthanasia dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia ? C. Tujuan Penelitian Suatu kegiatan penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai dengan jelas. Tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam melangkah dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Objektif a. Untuk
mengetahui
pertanggungjawaban
dokter
atas
tindakan
euthanasia ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia serta kaitannya dalam pertanggung jawaban secara pidana. b. Untuk menganalisis dan mengetahui perbedaan pengaturan euthanasia dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) mendatang terkait pertanggung jawaban pidana yang dilakukan oleh dokter. 2. Tujuan Subjektif a. Untuk menambah pengetahuan penulis di bidang Hukum Pidana dalam hal mengenai perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab commit to user(KUHP) dengan perkembangan Undang-Undang Hukum Pidana
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengaturannya dalam Rancangan Undang-Undang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia. b. Untuk melatih kemampuan penulis dalam menerapkan teori ilmu hukum, mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran serta pengetahuan yang didapat selama masa perkuliahan guna menganalisis mengenai perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia. c. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar akademik sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Salah satu pemilihan masalah dalam penelitian ini adalah hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat. Karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari adanya penelitian tersebut. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini antara lain : 1. Manfaat Teoretis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya, dan hukum pidana pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur kepustakaan tentang perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian
ini
diharapkan
dapat
mengembangkan
penalaran,
membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengembangkan commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh selama dibangku kuliah. b. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman, memberikan tambahan masukan dan pengetahuan kepada pihak-pihak terkait dengan masalah yang sedang diteliti, dan juga kepada berbagai pihak yang berminat pada permasalahan yang sama. E. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki. 2005 : 35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam
kerangka know-know di dalam
hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki. 2005 : 41). Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori maupun konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian ini adalah penelitian hukum normatif sosiologis. Penelitian hukum normatif sosiologis adalah penelitian hukum ini merupakan penggabungan dari penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan dengan penelitian hukum empiris atau sosiologis. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji commit to user dan ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yaitu dalam hal analisis perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang berfokus pada usaha untuk mengetahui perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab Undang-Undang
Hukum
Pidana
(KUHP)
dengan
perkembangan
pengaturannya dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia. Sedangkan penelitian hukum empiris atau sosiologis adalah penelitian yang mengkaji hukum dalam realitas atau kenyataan di dalam masyarakat (law in action). Penelitian hukum empiris mengungkapkan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat melalui perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat. 2. Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat prespektif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat prespektif, ilmu yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai, keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum, sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, ramburambu dalam melaksanakan aktivitas hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 22). Penelitian
ini
bersifat
preskriptif,
yaitu
dimaksudkan
untuk
memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan. Argumentasi disini dilakukan untuk memberikan perspektif atau penelitian mengenai benar atau salah menurut hukum terhadap fakta-fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. 3. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, maka peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. commit to user dalam penelitian hukum adalah Pendekatan-pendekatan yang digunakan
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan komparatif
historis
(comparative
(historical
approach),
dan
approach), pendekatan pendekatan
konseptual
(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 93). Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
Undang-Undang
(statute
approach)
dan
pendekatan
komparatif (comparative approach). Pendekatan undang-undang ini dengan menelaah undang-undang yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, dengan maksud untuk mencari dasar yuridis pertanggungjawaban dokter terhadap tindakan euthanasia. Sedangkan, pendekatan komparatif ini dengan berusaha membandingkan dasar hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan perkembangan pengaturan/dasar hukum dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terhadap masalah euthanasia tersebut. 4. Jenis dan Sumber Data Penelitian Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini bahan hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data hukum sekunder. a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusanputusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. 2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 commit to user Tentang Kesehatan
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. 4) Kode Etik Dokter Kesehatan Kerja Indonesia. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah : 1) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia Tahun 1999/2000 dan 2005. 5. Teknik Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan (Library Research) dan wawancara kepada narasumber. Yang dimaksud dengan studi kepustakaan yaitu suatu bentuk pengumpulan bahan hukum melalui membaca, mengkaji, dan mempelajari literatur, hasil penelitian terdahulu, dan membaca dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas kemudian dikategorisasi menurut jenisnya. Sedangkan yang dimaksud dengan wawancara adalah mencari sumber bahan hukum dari narasumber secara langsung dengan teknik wawancara terstruktur (tanya jawab). Dalam hal ini wawancara yang dilakukan penulis di Pengadilan Negeri Surakarta dengan salah satu hakim, yaitu Bapak H. Budhy Hertantiyo, S.H.,M.H. Untuk mengumpulkan bahan hukum berkaitan dengan masalah yang dikaji. 6. Teknik Analisis Data Analisis bahan hukum merupakan tahap paling penting dalam suatu commit to userini, bahan yang diperoleh akan penelitian. Karena didalam penelitian
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik analisis dalam penelitian hukum ini adalah teknik kualitatif. Mengkualitatifkan bahan hukum adalah fokus utama dari penelitian hukum ini, dimana penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti untuk kemudian mengkaitkan atau menghubungkan bahan–bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan. F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika penulisan dalam penelitian hukum ini terdiri dari empat (4) bab yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup. Selain itu ditambah dengan daftar pustaka. Adapun sistematika yang terperinci adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis memaparkan sejumlah landasan teori dari para pakar dan doktrin hukum berdasarkan literaturliteratur
yang
berhubungan
dengan
permasalahan
penelitian yang diangkat. Tinjauan pustaka dibagi menjadi dua (2) yaitu : 1. Kerangka teori, yang berisikan tinjauan mengenai tindak pidana, kriteria kematian, euthanasia, tindak pidana terhadap nyawa. commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Kerangka pemikiran, yang berisikan gambaran alur berpikir dari penulis berupa konsep yang akan dijabarkan dalam penelitian ini. BAB III
: PEMBAHASAN Pada bab ini penulis hendak menguraikan pembahasan dan hasil perolehan dari penelitian yang dilakukan. Berpijak dari rumusan masalah yang ada, maka dalam bab ini penulis akan membahas dua pokok permasalahan yaitu pengaturan euthanasia di mancanegara dan hukum positif Indonesia serta perbedaan pengaturan euthanasia dalam Rancangan
Undang-Undang
Kitab
Undang-Undang
Hukum Pidana (RUU KUHP) di masa yang akan datang. BAB IV
: PENUTUP Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari hasil penelitian serta memberikan saran yang relevan dengan penelitian terhadap pihak–pihak yang terkait dengan penelitian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1.
Tinjauan Tentang Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana Dalam KUH-Pidana (WvS) dikenal istilah strafbaarfeit atau yang dalam ilmu pengetahuan hukum disebut delik. Sedangkan pembuat undang-undang dalam merumuskan undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana atau tindak pidana. Strafbaarfeit sendiri berarti suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang–undangan, jadi disini yang diancam pidana adalah manusia. Sehingga banyak ahli hukum yang mengartikan strafbaarfeit sebagai tindak pidana. Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan (Lamintang, 1997 : 181). Istilah strafbaarfeit sendiri diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dan pakar / ahli hukum dari negara lain dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang melawan hukum atau bertentangan dengan tata hukum dan diancam pidana apabila perbuatan yang dilarang itu dilakukan oleh commit to user orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendapat tersebut misalnya : 14
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Menurut Pompe yang dikutip oleh Lamintang dalam bukunya, Perkataan “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum” atau sebagai “de normovertreding
(verstoring
der
rechtsorde),
waaraan
de
overtreder schuld heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde en de behartiging van het algemeen welzjin” (Lamintang, 1997 : 182). 2) Menurut Moeljatno yang dikutip oleh Adami Chazawi dalam bukunya, menyatakan : Bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang bilamana larangan tersebut tidak dipatuhi maka dapat dikenai sanksi berupa sanksi pidana. Dengan kata lain, kata straafbaarfeit diartikan sebagai bentuk perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang tidak dibenarkan secara hukum dan dikenakan sanksi bagi para pelanggarnya (Adami Chazawi, 2002: 71). b. Unsur-Unsur Dalam Tindak Pidana Suatu perbuatan untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana atau tindak pidana, maka perbuatan tersebut juga harus memenuhi unsur tindak pidana, yaitu : 1) Subyek Tindak Pidana Siapa yang menjadi subyek tindak pidana sebagaimana tercantum dalam KUHP yaitu seorang manusia sebagai pelaku, hal ini terdapat dalam perumusan tindak pidana KUHP, sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno yang dikutip oleh Senja Puspita Dewi dalam skripsinya yaitu : commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Yang dapat menjadi subyek tindak pidana sebagaimana tercantum dalam KUHP yaitu seorang manusia sebagai pelaku, hal ini terdapat di dalam perumusan tindak pidana KUHP. Daya pikir merupakan syarat bagi subyek tindak pidana, juga pada wujud hukumnya yang tercantum dalam Pasal KUHP yaitu hukuman penjara dan hukuman denda”. KUHP dalam perumusannya menggunakan kata “Barang siapa“, hal itu menunjukkan yang menjadi subyek tindak pidana
adalah
manusia.
Namun
dalam
perkembangan
selanjutnya, dalam pergaulan hidup kemasyarakatan bukan hanya manusia saja yang terlibat, seperti contohnya badan hukum, sehingga yang dapat memungkinkan melakukan tindak pidana bukan hanya manusia akan tetapi badan hukum juga bisa melakukan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh manusia sehingga bisa termasuk dalam perumusan tindak pidana. Kemungkinan badan hukum dikenai hukuman pidana apabila melanggar hukum atau perundang–undangan yang berlaku, hukuman yang dikenakan dapat berupa denda yang harus dibayar oleh badan hukum yang bersangkutan (Senja Puspita Dewi, 2007 : 10). 2) Harus Ada Perbuatan Dengan perkembangan didalam masyarakat maka untuk menguraikan perbuatan manusia dalam perkembangannya dapat dilihat dari aktifitasnya. Biasanya perbuatan yang dilakukan bersifat positif atau aktif tetapi ada pula perbuatan yang negatif atau pasif yang dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana, yaitu : a) Mengetahui adanya permufakatan jahat tetapi tidak dilaporkan walaupun ada kesempatan untuk melapor pada yang berwajib. b) Tidak bersedia menjadi saksi dimuka pengadilan. c) Bersifat melawan commithukum to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mengenai sifat melawan hukum, merupakan sesuatu hal yang sangat penting, karena dalam tindak pidana hal–hal yang bersifat tidak melawan hukum sudah tidak lagi menjadi persoalan hukum pidana. Pengertian melawan hukum itu sendiri ada dua yaitu melawan hukum formil dan melawan hukum materiil, seperti yang dikemukakan oleh Moeljanto yang dikutip oleh Senja Puspita Dewi dalam skripsinya, yaitu : (1) Melawan hukum formil, yaitu : Apabila perbuatan telah sesuai dengan larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan letak melawan hukumnya perbuatan sudah nyata, dan sifatnya melanggar ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang. (2) Melawan hukum materiil, yaitu : Ada yang berpendapat, bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang sesuai dengan larangan undang-undang itu bersifat melawan hukum. Bagi mereka yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja tetapi disamping undang-undang (hukum tertulis) ada juga hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat (Senja Puspita Dewi, 2007 : 11). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan melawan hukum formil adalah telah memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam rumusan dari dalam undang-undang dan sifat melawan hukumnya harus berdasar undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum materiil adalah suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak dilihat dari undangundang dan juga aturan-aturan hukum yang tertulis. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan “een doen” atau “een niet doen” atau dapat merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak melakukan sesuatu”, yang terakhir ini di dalam doktrin juga sering disebut sebagai commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“een nalaten” yang juga berarti “hal mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh undang-undang). Sungguh pun demikian setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsurunsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah: 1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa) 2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP 3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain 4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte read seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP 5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid 2) Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 commit tosebagai user pengurus atau komisaris dari KUHP atau “keadaan
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP 3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan
sesuatu
kenyataan
sebagai
akibat
(Lamintang, 1997 : 193-194). c. Jenis-jenis Tindak Pidana Perbuatan / tindak pidana yang diatur dalam KUHP buku II KUHP terdiri dari XXXII bab dan buku ke-II terbagi menjadi IX bab. Secara umum tindak pidana dapat dibedakan ke dalam beberapa pembagian: a) Tindak pidana yang dimaksud dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran: (1) Kejahatan Secara doktrin kejahatan adalah rechtdelicht, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undangundang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan
oleh
masyarakat
sebagai
perbuatan
yang
bertentangan dengan keadilan. Jenis tindak pidana ini juga sering disebut sebagai mala per se. Perbuatan-perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai rechtdelicht dapat disebut antara lain pembunuhan, pencurian dan sebagainya. (2) Pelanggaran Jenis tindak pidana ini disebut wetsdelicht, yaitu perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini baru disadari sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi pidana. Tindakan pidana ini disebut juga mala qui commit to user prohibita. Perbuatan-perbuatan yang dapat dikualifikasikan
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagai wetsdelicht dapat disebut misalnya memarkir mobil disebelah kanan jalan, berjalan di jalan raya disebelah kanan dan sebagainya. Dalam perkembangan pembagian tindak pidana secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran seperti tersebut diatas tidak diterima. Penolakan terhadap pembagian tindak pidana secara kualitatif tersebut bertolak dari kenyataan, bahwa ada kejahatan yang baru disadari sebagai tindak pidana oleh masyarakat setelah dirumuskan dalam undang-undang pidana. Dengan demikian tidak semua kejahatan merupakan perbuatan yang benar-benar telah dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terdapat juga pelanggaran yang memang benar-benar telah dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, sekalipun perbuatan itu belum dirumuskan sebagai tindak pidana dalam Undangundang. pembagian tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut : a) Delik Materiil (materieel delict) dan delik formil (formeel delict), (1) Delik Materiil Adalah
delik
yang
dianggap
telah
selesai
dengan
ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman undang-undang. Tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai
tindak pidana
materiil
dapat
disebut
misalnya
pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP dan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP dan sebagainya. (2) Delik Formil Adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil dapat disebut misalnya pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP, penghasutan commit to user sebagaimana diatur dalam Pasal 160 KUHP.
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Delicta commissionis, delicta omissionis dan delicta commissionis per omissionem commissa Suatu tindak pidana itu dapat terdiri dari suatu pelanggaran terhadap suatu larangan atau dapat terdiri dari suatu pelanggaran terhadap suatu keharusan. (1) Delicta commissionis Adalah delik-delik berupa pelanggaran terhadap laranganlarangan di dalam undang-undang. Misalnya, melakukan pencurian, penipuan, pembunuhan, dan sebagainya. (2) Delicta omissionis Adalah delik-delik berupa pelanggaran terhadap keharusankeharusan menurut undang-undang. Misalnya, tidak menghadap sebagai saksi dimuka persidangan Pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 522 KUHP. (3) Delicta comisionis per omnisionis commissa Adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, akan tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat. c) Opzettelijke delicten dan culpooze delicten Berkenaan dengan disyaratkannya suatu “kesengajaan” (opzet) atau “ketidaksengajaan” (culpa) di dalam berbagai rumusan delik, kita dapat membedakan antara : (1) Opzettelijke delicten Adalah delik-delik yang oleh pembentuk undang-undang telah disyaratkan bahwa delik-delik tersebut harus dilakukan “dengan sengaja” dengan, (2) Culpooze delicten Adalah delik-delik yang oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan bahwa delik-delik tersebut cukup terjadi “dengan tidak sengaja” agar pelakunya dihukum. d) Zelfstandige delicten dan voortgezette delicten commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Yang dimaksud dengan zelfstandige delicten adalah delik-delik yang berdiri sendiri, sedang yang dimaksud dengan voortgezette delicten adalah delik-delik yang pada hakikatnya merupakan suatu kumpulan dari beberapa delik yang berdiri sendiri, yang karena sifatnya dianggap sebagai satu delik. e) Enkelvoudige delicten dan samengestelde delicten (1) Enkelvoudige delicten Adalah delik-delik yang pelakunya telah dapat dihukum dengan satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang oleh undangundang. (2) Samengestelde delicten Adalah delik-delik yang pelakuya hanya dapat dihukum menurut sesuatu ketentuan pidana tertentu apabila pelaku tersebut telah berulangkali melakukan tindakan yang sama yang dilarang oleh undang-undang. f) Aflopende delicten dan voortdurende delicten (1) Aflopende delicten Adalah delik-delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan untuk menyelesaikan suatu kejahatan. (2) Voortdurende delicten Adalah delik-delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan untuk menimbulkan suatu keadaan yang bertentangan dengan sesuatu norma. g) Klacht delicten dan gewone delicten (1) Klacht delicten Adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. (2) Gewone delicten Adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan. commit to user h) Gemene delicten dan politieke delicten
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gemene delicten merupakan suatu delik-delik umum, sedangkan yang disebut politieke delicten yaitu merupakan suatu delik-delik politik. i) Delicten communia dan delicta propria Yang dimaksud dengan delicten communia itu adalah delik-delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang, sedang yang dimaksud delicta propria adalah delik-delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sifat-sifat tertentu, misalnya sifatsifat sebagai pegawai negeri, sebagai nakoda ataupun sebagai anggota militer. j) Eenvoudige delicten, gequalificeerde delicten dan gepriviligieerde delicten (1) Eenvoudige delicten Adalah delik-delik yang sederhana adalah delik-delik dalam bentuk yang pokok seperti yang telah dirumuskan oleh pembentuk undang-undang. (2) Gequalificeerde delicten Adalah delik-delik dengan pemberatan adalah delik-delik dalam bentuk yang pokok, yang karena di dalamnya terdapat keadaankeadaan yang memberatkan maka hukuman yang diancam menjadi diperberat. (3) Gepriviligieerde delicten Adalah delik-delik dengan keadaan yang meringankan adalah delik-delik dalam bentuk yang pokok, yang karena di dalamnya terdapat keadaan-keadaan yang meringankan, maka hukuman yang diancam menjadi diperingan (Lamintang, 1997 : 212-224). 2.
Tinjauan Tentang Kriteria Kematian Tubuh manusia adalah suatu kesatuan psychosomatik dengan faal integrative dari otak. Kalau faal integrative otak sama sekali hilang, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
24 digilib.uns.ac.id
manusia dikatakan mati. Oleh karena itu ditetapkan diagnosa mati dengan 3 hal : a. Berhentinya pernafasan otonom b. Berhentinya denyut jantung otonom c. Electro Encephhalograam (E.E.G) menjadi datar (menentukan otak tidak memprodusir listrik). Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kriteria kematian berkembang, mulai dari penghembusan nafas terakhir, kemudian berhentinya detak jantung, sampai pada kematian otak (brain death). Menurut Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Anatomis serta Transparansi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia, bahwa mati atau meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang menyatakan fungsi otak, pernafasan dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Sadar bahwa tentang kematian ini akan mempunyai implikasi hukum dan implikasi teknis lapangan, maka Ikatan Dokter Indonesia pada Tahun 1985 telah mengajukan usul perubahan dan penambahan terhadap Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1981 terutama yang berkenaan dengan definisi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 butir 9 dari Peraturan Pemerintah tersebut, dengan definisi mati sebagai berikut : Seseorang yang dinyatakan mati bila : a. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau b. Bila terbukti telah terjadi kematian batang otak (Rehnalemken Ginting, 2009 : 11). 3.
Tinjauan Tentang Euthanasia a. Pengertian Euthanasia Perkataan Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara kematian commit to user 1989 : 94). yang tenang dan mudah (Ahmad Ramli,
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Definisi lain menyebutkan bahwa euthanasia yang dalam bahasa Yunani (euthanasia, eu = baik, thanatos = kematian) berarti mengakhiri dengan sengaja kehidupan pasien dengan cara kematian yang tenang dan mudah (Soemarmo Markam. Cs, 1984 : 40). Euthanasia dapat diartikan sebagai perbuatan yang dengan sengaja memperpendek hidup ataupun dengan sengaja tidak berbuat untuk memperpanjang hidup demi kepentingan si pasien oleh seorang dokter atau bawahannya yang bertanggung jawab padanya (Suwarto, 2009 : 171). Sejak
abad
ke-19,
terminologi
euthanasia
dipakai
untuk
menyatakan penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. Pemakaian terminologi euthanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu : 1) Pemakaian secara sempit Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian. Dalam hal ini berarti perawatan dokter yang bertujuan untuk menghilangkan penderitaan
yang dapat
dicegah sejauh
perawatan itu tidak bertentangan dengan kaidah–kaidah hukum, etika, atau adat yang berlaku. 2) Pemakaian secara lebih luas Secara lebih luas, terminologi euthanasia dipakai untuk perawatan yang menghindarkan rasa sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup diperpendek. 3) Pemakaian paling luas Dalam pemakaian yang paling luas ini, euthanasia berarti memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side effect,melainkan
sebagai
tindakan
untuk
menghilangkan
penderitaan pasien. Dalam
buku
Kodeki (Kode Etik commitberikut to user: “euthanasia“ diartikan sebagai
Kedokteran
Indonesia)
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir. 2) Waktu hidup akan terakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat penenang. 3) Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya (Kode Etik Kedokteran, 1969 : 30). Ada pula yang mengatakan bahwa euthanasia sebagai pertolongan waktu meninggal, artinya : 1) Yang dihadapi selalu orang yang menjelang meninggal. 2) Yang dihadapi ialah orang yang akan meninggal, yang dalam keadaannya itu sedang menderita. 3) Membawa pertolongan dan peringatan dalam penderitaan menjelang meninggal (M.A. Ihromi, 1979 : 24–25). Dalam definisinya Aliansi Pro–Life mendefinisikan euthanasia sebagai “setiap tindakan atau kelalaian yang dimaksudkan untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas dasar bahwa hidupnya tidak layak dijalani“. Lebih lanjut dalam definisi modern, euthanasia dikatakan sebagai sebuah kematian yang baik dibawa oleh seorang dokter memberikan obat atau injeksi untuk membawa damai akhir sekarat (BBC News, 1999 : 1). Pengertian lain mengenai euthanasia dikatakan sebagai tindakan mempercepat kematian pada penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan medis, dengan maksud untuk membantu korban menghindarkan diri dari penderitaan dalam menghadapi kematiannya (Petrus Yoyo Karyadi, 2001 : 28). Sedangkan perumusan–perumusan yang dibuat oleh “ Euhanasia Studie Gruap “ dari KNMG Holland (semacam IDI di negara kita) yang dikutip oleh Rehnalemken Ginting dalam bukunya menyebutkan sebagai commit to user berikut :
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri“ (Rehnalemken Ginting, 2009 : 9). b. Unsur-unsur euthanasia Menurut Petrus Yoyo Karyadi, unsur–unsur euthanasia adalah sebagai berikut : 1) Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. 2) Mengakhiri
hidup,
mempercepat
kematian,
atau
tidak
memperpanjang hidup pasien. 3) Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali. 4) Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya. 5) Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya (Petrus Yoyo Karyadi, 2001 : 29). c. Bentuk-bentuk euthanasia Dr. Franz Magnis Suseno S.J (1984 : 4) yang dikutip Petrus Yoyo Karyadi dalam bukunya membedakan empat arti euthanasia, yaitu sebagai berikut: 1) Euthanasia Murni Adalah usaha untuk meringankan kematian seseorang tanpa memperpendek hidupnya. Di situ termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan “baik”. 2) Euthanasia Pasif Adalah kalau tidak dipergunakan semua kemungkinan tehnik
kedokteran
yang
sebetulnya
tersedia
untuk
memperpanjang kehidupan. 3) Euthanasia Tidak Langsung Adalah usaha untuk memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien barangkali meninggal dalam waktu commit to user lebih cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
narkotik, hipnotika, dan anelgetika yang barangkali secara de facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu disengaja. 4) Euthanasia Aktif (Mercy Killing) Adalah
proses
kematian
diringankan
dengan
memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam euthanasia aktif ini masih perlu dibedakan, apakah pasien menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan dimana keinginannya dapat diketahui (Petrus Yoyo Karyadi, 2001 : 29-30). Dalam makalahnya yang disampaikan pada seminar Pengkajian Hak Mati untuk mati bagi masyarakat Indonesia, Ketut Gede Widjaya, S.H. (1989 : 4-5) yang dikutip Petrus Yoyo Karyadi dalam bukunya membagi euthanasia ke dalam 4 kategori dasar, yaitu : 1) Euthanasia Aktif atas kehendak yang bersangkutan (active voluntary euthanasia) Adalah bila orang yang bersangkutan meminta agar hidupnya diakhiri dengan segera dan dokter atau orang lain mengambil tindakan-tindakan untuk mempercepat kematian orang tersebut. Orang tersebut menghendaki kematiannya karena
sudah
tidak
sanggup
menderita
sakit
yang
berkepanjangan, sudah tidak mempunyai harapan sembuh, sedang
dokter
atau
orang
lain
merasa
kasihan
atas
penderitaannya dan berusaha mengakhiri hidupnya dengan cepat tanpa rasa sakit. Fenglin Guo mengemukakan active voluntary euthanasia is usually the administration of a lethal drug or other methods to terminate the life of patient who is in a state of constant suffering. Dalam terjemahannya, euthanasia aktif atas kehendak yang bersangkutan biasanya dilakukan dengan pemberian obat mematikan atau metode lain untuk mengakhiri hidup pasien yang dalam keadaan penderitaan berkepanjangan (Fenglin Guo, 2006 : 167). commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Euthanasia Pasif atas kehendak yang bersangkutan (passive voluntary euthanasia) Adalah bila orang yang bersangkutan menghendaki segala usaha pertolongan untuk memperpanjang hidupnya dihentikan, sehingga maut bisa segera menjemputnya berhubung ia sudah tidak tahan lagi akan penderitaan yang berkepanjangan. 3) Euthanasia Pasif tidak atas kehendak orang yang bersangkutan (passive non-voluntary euthanasia) Adalah bila orang yang bersangkutan sudah tidak mampu lagi menyatakan kehendaknya dan dokter atau orang lain memutuskan untuk menghentikan usaha-usaha pertolongan yang dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwanya karena penyakitnya sudah tidak tertolong lagi. 4) Euthanasia Aktif tanpa kehendak dari orang yang bersangkutan (active non–voluntary euthanasia) Adalah bila orang yang bersangkutan sudah dalam keadaan parah,
sehingga
tak
mampu
lagi
untuk
menyatakan
kehendaknya dan dokter atau orang lain kasihan, mengakhiri hidup orang tersebut dengan cara yang tidak menimbulkan sakit sehingga orang tersebut bebas dari penderitaannya (Petrus Yoyo Karyadi, 2001 : 31-33). Active non–voluntary euthanasia mengacu pada pasien yang tidak dalam posisi untuk memiliki, atau mengungkapkan, memandang mengenai kelanjutan hidupnya (Fenglin Guo, 2006 :167). J.E. Sahetapy yang dikutip oleh Rehnalemken Ginting dalam bukunya membedakan euthanasia dalam 3 jenis, yaitu: 1) Action to permit death to occur Biasanya disebut dengan euthanasia dalam arti yang pasif (permission), dimana kematian dapat terjadi karena pasien commit to user dengan sungguh–sungguh dan secara cepat menginginkan mati.
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kematian pasien dalam hal ini terjadi seolah-olah merupakan kerjasama antara pasien dan dokter yang merawatnya. Karena pasien sadar dan tahu bahwa penyakit yang dideritanya sudah tidak
mungkin
dapat
disembuhkan
walaupun
dengan
pengobatan dan perawatan bagaimanapun juga. Oleh sebab itu, untuk
mengurangi/menghilangkan
penderitaannya,
pasien
kemudian meminta kepada dokter agar : a) Tidak
memberikan
pengobatan
untuk
penyembuhan
terhadap penyakitnya. b) Tidak diadakan perawatan di rumah sakit lagi, tetapi agar dibiarkan saja di rumahnya sendiri. Dengan demikian pasien berharap akan dapat hidup dengan tenang dan damai. 2) Failure to take action to prevent death Dalam hal ini kematian terjadi karena kelalaian atau kegagalan dari dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian. Ini terjadi apabila dokter akan mengambil suatu tindakan guna mencegah kematian, tetapi ia tidak mengerjakan apa–apa, karena ia tahu bahwa tindakan / pengobatan yang hendak dilakukan / diberikan kepada pasien itu hanya akan sia–sia saja. Pengobatan / tindakan dokter yang diberikan dokter kepada pasien dipandang sebagai perbuatan yang tidak berarti, sehingga sudah tidak ada cara–cara penyembuhan yang normal. Akhirnya dokter yang bersangkutan membiarkan saja terhadap pasiennya sampai ajalnya datang. Jadi tindakan membiarkan tidak memberikan pengobatan pada pasien itu datang dari inisiatif dokter, tidak atas permintaan yang datang dari pasiennya. 3) Positive action to cause death commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Biasanya disebut dengan euthanasia dalam arti aktif (causation). Atas dasar permintaan atau desakan dari pasien atau keluarganya meminta pada dokter untuk bertindak secara positif guna mempercepat kematian pasien tersebut. Dokter dalam hal ini bertindak aktif untuk mempercepat kematian
pasiennya
dengan
tenang,
misalnya
dengan
memberikan obat-obatan penghilang rasa kesadaran, morfin dalam dosis tinggi dan lain sebagainya (Rehnalemken Ginting, 2009 : 12-13). d. Bentuk–bentuk semu euthanasia Disebut bentuk semu dari euthanasia karena mirip dengan euthanasia karena mirip dengan euthanasia, tetapi sebetulnya bukan euthanasia. Bentuk–bentuk pengakhiran hidup yang mirip dengan euthanasia ini disebut oleh H.J.J. Leenen adalah sebagai schijngestaten van euthanasie (Fred Ameln, 1986 b : 8). Adapun yang termasuk ke dalam bentuk semu dari euthanasia adalah sebagai berikut : 1) Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah tidak ada gunanya (zinloos) Untuk
menentukan
apakah
suatu
pengobatan
atau
perawatan adalah tidak ada gunanya lagi, maka harus melihat kriteria–kriteria medik tertentu. Adapun kriteria tersebut adalah apakah tindakan medik terhadap pasien akan mencapai efek yang dituju, dan apakah hal ini dapat diharapkan secara reasonable (Fred Ameln, 1984 : 5). Dengan perkataan lain berarti harus ada suatu perbandingan yang reasonable antara tindakan medik dengan efeknya (hasil). Jika tidak terdapat perbandingan yang reasonable, berarti dapat dinilai bahwa tindakan medik tersebut adalah sama sekali sudah tidak ada gunanya (zinloos), sehingga dokter pun tidak lagi berwenang untuk melakukan tindakan medik. commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Walaupun akhirnya pasien tersebut meninggal dunia, dokter tetap tidak dapat dianggap telah melakukan euthanasia (pasif), karena sudah tidak berwenang melakukan pengobatan. Justru bila dokter tetap melakukan pengobatan, maka ia telah melakukan penganiayaan terhadap pasien. Dalam bukunya yang berjudul Rechten van Mensen In de Gezondheissorg, 1978 halaman 239, Leenen mengatakan bahwa : De arts is slecht bevoegd tot handelen indien dat zinning is en waar zijn handelen zinloos wordt, eindigt zijn bevoegdheid tot dat handelen en gaat dit over in mishandelen. Immers de arts maakt zich bij zijn werk niet aan juridisch mishandelen schuldig, voor zover hij handelt conform het beoogde doel en indien hij beschikt over de toesteming van de patient. Terjemahannya adalah : Seorang dokter hanya ada wewenang untuk bertindak jika tindakan tersebut adalah berguna, dimana tindakannya adalah tidak ada gunanya lagi, maka terjadilah penganiayaan. Seorang dokter tidak melakukan penganiayaan yuridis selama ia bertindak sesuai dengan tujuan yang ia sebagai dokter ingin mencapai dan selama ia sudah mendapatkan izin atau persetujuan dari pasien (Fred Ameln, 1986 b : 10). Berdasarkan pendapat Leenen di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang dokter seharusnya tidak memulai suatu terapi ataupun tidak meneruskan terapi, apabila memang secara yuridis tidak dapat lagi diharapkan suatu hasil, walaupun hal ini mengakibatkan meninggalnya pasien. Dalam hal demikian, berarti tidak terdapat euthanasia (pasif), tidak ada perbuatan yang dapat dihukum, karena dokter sendiri sudah tidak kompeten melakukan tindakan medik. Justru bila dokter tetap melakukan medikasi, maka ia terancam telah melakukan penganiayaan. 2) Penolakan perawatan medik oleh pasien (keluarganya) commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penolakan perawatan medik ini ada yang mengakibatkan matinya pasien, dan ada juga yang tidak mengakibatkan matinya pasien. Pada umumnya bila tidak ada izin dari pasien, dokter tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan medik untuknya, walaupun akhirnya akan mengakibatkan meninggalnya pasien tersebut. Penolakan perawatan medik erat kaitannya dengan hak–hak pasien. Pasien mempunyai hak untuk menolak seluruh terapi ataupun sebagian terapi. Adapun yang melandasi hak-hak pasien ini adalah karena adanya the right of self determination atas badannya sendiri. Jadi, apabila pasien telah menolak perawatan medik dan kemudian pasien tersebut meninggal, maka dokter tidak dapat disalahkan telah melakukan tindakan euthanasia (pasif). Meninggalnya pasien tersebut hanya sebagai bentuk semu dari euthanasia (Petrus Yoyo Karyadi, 2001 : 37). 3) Memberhentikan pengobatan (perawatan) medik karena mati otak (braindeath) Kriteria mati otak benar-benar mulai diperhatikan sejak tahun 1970-an. Ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi biomedis yang begitu pesat, sehingga mendesak dunia medis untuk merubah dan merumuskan kembali pengertian matinya seseorang. Dahulu, pengertian matinya seseorang ditentukan oleh denyut jantung. Apabila jantung seseorang sudah tidak berdenyut lagi (tidak bernafas) maka orang tersebut sudah dianggap meninggal dunia. Akan tetapi, sekarang dengan adanya teknologi canggih di bidang medis, orang dapat bernafas kembali walaupun secara artifisial. Denyut jantung commit to userdipacu dengan alat pacu jantung, yang tersendat-sendat dapat
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sehingga sekarang kita sudah dapat berbicara tentang “mayat hidup“. Pada tahun 1974 Dewan Kesehatan Belanda telah memberikan kriteria kapan seseorang dapat dinyatakan mati otak, yaitu jika : a) Otak mutlak tidak lagi berfungsi b) Fungsi otak mutlak tidak lagi dapat dipulihkan kembali (Fred Ameln, 1984 : 13). Jadi misalnya ada seorang pasien (korban) kecelakaan lalu lintas dan korban tersebut dibawa ke rumah sakit, kemudian ia segera dirawat dan dipasang sebuah respirator. Tetapi ternyata pasien tersebut bagian belakang kepalanya sudah hancur, yang berarti ia sudah mati batang otaknya. Pasien tersebut hanya dapat hidup secara vegetatif dengan pernafasan artifisial. Kemudian dokter mencabut respirator yang dipasang pada pasien tersebut sehingga pernafasan artifisialnya berhenti maka seorang itupun segera meninggal. Pelepasan respirator tersebut tidak termasuk dalam tindakan euthanasia, melainkan hanya merupakan pengakhiran hidup yang mirip dengan euthanasia, karena pasien tersebut batang otaknya sudah mati, yang berarti ia sudah meninggal dunia. Dalam hal ini dokter tidak dapat dipersalahkan telah melakukan tindakan euthanasia, ia bebas dari segala tuntutan hukum. 4) Pengakhiran hidup pasien akibat persediaan peralatan medis yang terbatas (emergency) Bentuk euthanasia semu ini dapat terjadi apabila di suatu rumah sakit kekurangan alat medis. Misalnya adanya suatu tabrakan bus dan banyak korban yang harus ditolong. Kemudian para korban tersebut dibawa ke ruang darurat commit tobanyak user korban yang harus dipasangi (emergency). Ternyata
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
respirator, sedangkan alat tersebut sangat terbatas. Respirator tidak mungkin dipasang secara bergantian dan pasien yang satu ke pasien yang lainnya sehingga ada beberapa pasien yang tidak terpasangi respirator dan kemudian mereka pun meninggal dunia. Maka dalam hal ini tidak terjadi kasus euthanasia, dokter atau tenaga medis lainnya yang sedang bertugas di ruang darurat tersebut tidak dapat disalahkan telah melakukan euthanasia. 5) Euthanasia “akibat situasi dan kondisi (sikon)“ Euthanasia akibat sikon adalah suatu situasi apabila pasien masih ingin atau besar harapannya untuk hidup dan dokter masih mampu mengupayakan pengobatan, tetapi berhubung kondisi ekonomi pasien yang tidak mampu membiayai pengobatannya, maka upaya pengobatan terpaksa dihentikan dan pasien meninggal. Euthanasia akibat sikon tidak termasuk dalam pengertian euthanasia. Ia hanya bentuk semu dengan euthanasia. Dalam euthanasia akibat sikon tidak terdapat tindakan euthanasia. Dokter tidak dapat disalahkan telah lalai atau membiarkan meninggal terhadap orang yang perlu ditolong, tetapi karena kondisi ekonomi dari pasien yang memang sudah tidak mampu lagi untuk membayar biaya perawatan. Euthanasia akibat sikon pada hakikatnya hampir sama dengan bentuk semu euthanasia yakni penolakan perawatan medis oleh pasien. Dokter atau rumah sakit mungkin sebelumnya telah menawarkan terlebih dahulu kepada pasien mengenai pengobatan yang akan dilakukan dokter terhadapnya. Pengobatan itu dimaksudkan untuk memperpanjang hidup pasien atau bahkan untuk menyembuhkan penyakitnya (Petrus Yoyo Karyadi, 2001 : 35-37). commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. Euthanasia Ditinjau Dari Segi Kedokteran
dan Kode Etik
Kedokteran Indonesia Pesatnya perkembangan teknologi kedokteran, memungkinkan dokter memprediksi kematian seorang pasien dengan lebih tepat. Hal ini dapat menimbulkan masalah yang pelik dan rumit bagi perkembangan dunia medis. Seperti halnya yang terjadi di negara-negara Barat, yang bersistem liberalis dan berpaham sekuler, dengan beranggapan bahwa manusia mempunyai hak untuk menentukan kematiannya sendiri (euthanasia), bilamana dokter memutuskan bahwa seorang pasien sudah tidak ada harapan untuk hidup. Akibat dari kemajuan teknologi kedokteran, euthanasia telah dilegalkan secara khusus dan tertulis oleh sebagian negara-negara maju, seperti yang terjadi di Belanda, walaupun disertai dengan syarat-syarat tertentu. Pelegalan euthanasia ini, menjadi perdebatan pro dan kontra, baik dari sudut pandang dunia medis, yuridis atau religi. Dengan informasi teknologi global yang berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya, memungkinkan kasus ini merambah ke Indonesia. Akan tetapi, apakah hukum kita mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya kasus ini. Salah satu pasal dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yang relevan dengan
masalah
euthanasia,
adalah
Pasal
9
(Panitia
Redaksi
Musyawarah Kerja Susila Kedokteran, 1969 : 3) yang berbunyi : “Seorang dokter harus senantiasa mengingatkan akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani”. Dalam penjelasan Pasal 9 tersebut di atas, diuraikan bahwa segala perbuatan terhadap si sakit bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya dokter harus mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia, meskipun hal itu kadang-kadang akan terpaksa melakukan tindakan medik lain misalnya operasi yang membahayakan. Tindakan ini diambil setelah diperhitungkan masakmasak bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa si sakit to user selain pembedahan yang commit selalu mengandung resiko.
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Naluri terkuat dari makhluk hidup termasuk manusia adalah mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berfikir
dan
mengumpulkan
pengalamannya.
Dengan
demikian,
membangun dan mengembangkan ilmu untuk menghindarkan diri dari bahaya maut adalah merupakan tugas dokter. Ia harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Hal ini, berarti dokter dilarang mengakhiri hidup pasien (euthanasia), walaupun menurut ilmu kedokteran dan pengalamannya pasien tersebut tidak mungkin sembuh. Jadi, jelas bahwa Kode Etik Kedokteran Indonesia melarang tindakan euthanasia aktif. Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan (don’t play God). Medical ethnic must be pro life, not pro death. Dokter adalah orang yang menyelamatkan atau memelihara kehidupan, bukan orang yang menentukan kehidupan itu sendiri (life savers, not life judgers). Sebetulnya Kode Etik Kedokteran
Indonesia sudah lama
berorientasi pada pandangan-pandangan Hipocrates yang telah menerima euthanasia pasif. Begitu juga dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, berarti ia juga menerima euthanasia dalam bentuk pasif. Adalah tugas ilmu kedokteran untuk membantu meringankan penderitaan pasien, atau bahkan berusaha menyembuhkan penyakit selama masih dimungkinkan. Pasien yang benar-benar menderita atas penyakitnya, sudah menjadi tugas dokter untuk ikut membantu meringankan penderitaannya, walaupun kadang-kadang dari tindakan peringanan tersebut dapat mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara perlahan-perlahan (euthanasia tidak langsung) (Petrus Yoyo Karyadi, 2001 : 85-87). f. Euthanasia Ditinjau dari Segi Agama Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang commit to userPernyataan ini menurut ahli agama atau memperpendek umurnya sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id
38 digilib.uns.ac.id
secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan coma dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Apabila seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis pun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal seperti ini manusia sering menggunakan standart ganda. Hal-hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil yang bisa mendukung pendapatnya. Dalam Islam euthanasia secara tegas dan jelas dilarang oleh Islam, pelarangan ini terdapat dalam tafsir Al-Maut, Al-Faal dan sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisaa‟ : 29 dan Surat Al-Isra : 33. Tindakan euthanasia aktif ini, disamakan dengan pembunuhan dengan kesengajaan, yang mana pelakunya dapat dihukum qishash, sebagaimana hadist Nabi yang berbunyi : “Barangsiapa membunuh dengan sengaja, maka ia harus dihukum qishash” (HR. Ibnu Majjah)”. Sedang pada euthanasia pasif atau negatif (tafsir Al-Maut, AlMunfa‟il) yang merupakan tindakan penghentian perawatan atau pengobatan dalam Islam tidak dilarang, akan tetapi tindakan penghentian ini haruslah tidak berdasarkan keinginan untuk mempercepat kematian, karena hal itu dapatlah disamakan dengan bunuh diri. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
Dalam agama Katolik yang diatur dalam Kitab Suci Perjanjian Baru (Injil) sebagian besar tidak memuat secara langsung tentang aturanaturan kehidupan secara konkret. Injil hanya memberikan prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang oleh orang Katolik dalam bertingkah laku. Pada intinya Injil menghendaki agar umat Katolik bersedia menghormati martabat setiap manusia sebagai konsentrasi ciptaan menurut citra (gambaran) Allah. Prinsip-prinsip tadi harus dicari oleh umat sendiri dengan bimbingan Roh Kudus. Pandangan ajaran agama Katolik terhadap euthanasia aktif pada hakikatnya sama dengan membunuh (menghilangkan nyawa) pasien, sekalipun dengan dalih yang argumentatif. Membunuh adalah melanggar perintah ke-6 (enam) dari sesepuh perintah Allah, yaitu “jangan membunuh” dan lagi “marah dan membunuh berakar dari kebencian” (Matius 5 : 21-22). Menurut agama Katolik kehidupan dan kematian adalah anugerah Allah dari surga. Hidup matinya seseorang adalah hak Allah semata. Manusia tidak mempunyai wewenang untuk menentukan secara definitif hidup matinya orang lain atau dirinya sendiri. Alasan seperti rasa kasihan melihat penderitaan pasien, alas an ekonomi atau kerepotan mengurus pasien tersebut adalah tidak bisa mengesampingkan hak eksklusif dari Allah Bapak, yaitu hak untuk menentukan kehidupan dan kematian atas setiap manusia. Segala pengorbanan melalui jalan euthanasia adalah pengorbanan yang sia-sia belaka. Dalam hal euthanasia tidak akan pernah dicapai kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Namun, hal ini tentu tidak berarti bahwa kita berhenti berupaya mencari pedoman etika, moral maupun hukum terhadap masalah euthanasia yang tampaknya akan sering dihadapi para dokter. Kemajuan ilmu dan teknologi masa kini sudah saatnya diantisipasi secara dini dengan rumusan-rumusan etika dan hokum secra tegas dan bermoral. Dengan demikian, maksud dan tujuan menolong pasien benar-benar dapat diwujudkan, sebagai commit to user dan bukan malah menjadikan cerminan keluhuran profesi kedokteran
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
profesi dokter sebagai “monster” pencabut nyawa (Chrisdiono M. Achadiat, 2002). g. Perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) Terhadap Euthanasia Dalam perkembangan dalam bidang teknologi dengan munculnya “revolusi biomedis”, dewasa ini di negara-negara barat mulai membicarakan tentang “the right to die”. Bahkan hak asasi manusia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak lepas dari sasaran amandemen. Pada tahun 1950 suatu petisi yang ditandatangani oleh 2513 orang terkemuka Inggris dan Amerika Serikat menginginkan agar dalam deklarasi tersebut ditambah dengan “hak bagi penderita yang tidak bisa lagi diobati akan euthanasia sukarela” (Petrus Yoyo Karyadi, 2001 : 25). Di lain pihak juga terdapat gugatan ditujukan terhadap konstitusi negara Amerika Serikat yang terkenal sebagai “Bill of Right” tentang kampanye ”The Right to Die” di atas, sebagaimana diketahui bahwa hakhak dasar manusia yang meliputi hak untuk hidup, kemerdekaan dan untuk mengejar kebahagiaan, perlu juga dilakukan amandemen untuk memasukkan pula didalamnya tentang “kematian dengan penuh martabat”. “The Right to Die” ini berkaitan dengan munculnya revolusi biomedis dan tentunya berkaitan dengan masalah euthanasia. Hak untuk mati ini diperjuangkan secara keras oleh mereka yang mendukung euthanasia. Bagi mereka yang mendukung euthanasia berpendapat bahwa euthanasia adalah layak untuk memberikan hak mati kepada seorang pasien yang menderita suatu penyakit pada stadium terminal dan sudah lama menderita karena penyakitnya itu. Jadi dari uraian diatas di negara Indonesia pada dasarnya belum bisa mengakui adanya hak untuk mati. Berbeda dengan di negara barat yang sudah mulai bisa menerima adanya hak untuk mati sebagai hak asasi, yang dibuktikan dengan adanya kampanye tentang “The Right to Die” terhadap Deklaration of Human Right and Bill of Right sehingga commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perlu adanya amandemen terhadap deklarasi tersebut (Senja Puspita Dewi, 2007 : 19). 4.
Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Terhadap Nyawa a.
Pengertian Tindak Pidana Terhadap Nyawa Kejahatan terhadap nyawa adalah penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia. Hal ini termuat dalam KUHP bab XIX dengan judul “kejahatan terhadap nyawa” yang diatur dalam pasal 338-350 KUHP. Dalam KUHP kejahatan terhadap “orang” mencakup hal-hal sebagai berikut :
1) Kehormatan (penganiaan) 2) Membuka rahasia 3) Kebebasan kemerdekaan pribadi 4) Nyawa 5) Badan/tubuh 6) Harta benda/kekayaan (Leden Marpuang, 2000 : 2) b. Pembagian Tindak Pidana Terhadap Nyawa Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu : 1) Atas dasar unsur kesalahannya Berkenaan dengan tindak pidana terhadap nyawa tersebut pada hakikatnya dapat dibedakan sebagai berikut : a) Dilakukan dengan sengaja yang diatur dalam pasal bab XIX KUHP b) Dilakukan karena kelalaian atau kealpaan yang diatur bab XIX KUHP c) Karena tindak pidana lain yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam pasal 170, 351 ayat 3 KUHP, dan lain-lain. 2) Atas dasar obyeknya (nyawa) Atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 commit to user macam, yaitu :
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam pasal 338, 339, 340, 344, 345 KUHP b) Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat dalam pasal 341, 342, dan 343 KUHP c) Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu (janin), dimuat dalam pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. c.
Bentuk-bentuk Tindak Pidana Terhadap Nyawa 1) Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (pasal 388 KUHP) 2) Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain (pasal 339 KUHP) 3) Pembunuhan berencana (moord) Pembunuhan dengan rencana lebih dulu atau disingkat dengan pembunuhan berencana, adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, hal ini diatur dalam pasal 340 KUHP 4) Pembunuhan bayi oleh ibunya (pasal 341 KUHP) 5) Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana Pembunuhan bayi berencana yang dimaksudkan di atas, adalah pembunuhan bayi sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 342 KUHP 6) Pembunuhan atas permintaan korban Hal ini dimuat dalam pasal 344 KUHP 7) Penganjuran agar bunuh diri Hal ini diatur oleh pasal 345 KUHP dengan sanksi hukuman pidana penjara selama-lamanya empat tahun 8) Pengguguran kandungan Kata pengguguran kandungan adalah terjemahan dari kata abortus provocateur yang dalam kamus kedokteran diterjemahkan dengan membuat keguguran, pengguguran kandungan diatur dalam KUHP to KUHP user (Moeljatno, 2001 : 122-125) . pasal 346, 347, 348,commit dan 349
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran EUTHANASIA Perumusan Masalah : 1. Pengaturan euthanasia di mancanegara dan Indonesia khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia 2. Perbedaan pengaturan euthanasia dalam Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia
KUHP
RUU KUHP Tahun 2005
Pasal 344 KUHP
Pasal 574 RUU KUHP
Perbedaan
Solusi Terhadap Penanganan Euthanasia
Gambar 1 : Bagan Kerangka Pemikran commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan : Kerangka pemikiran dalam bentuk skema di atas mencoba memberikan gambaran yang disusun secara sistematis terkait alur berfikir dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Kerangka pemikiran yang merupakan jawaban atas permasalahan yaitu dalam hal perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia. Persoalan menjelang akhir kehidupan manusia juga semakin problematik dan dilematis, setelah teknologi medis dapat merekayasa teknik perpenjangan hidup secara mekanik atau teknologi respirator kematian seseorang. Melalui teknik respirator kematian pasien dapat ditunda untuk jangka waktu tertentu. Euthanasia atau hak mati bagi pasien sudah ratusan tahun dipertanyakan, tetapi belum semua bangsa dan negara bersedia membenarkannya termasuk Indonesia. Masalah euthanasia senantiasa menjadi masalah aktual dimana sejumlah pakar dari disiplin ilmu telah mencoba membahas euthanasia dari berbagai sudut pandang. Namun demikian pandangan medis, sosial, agama, dan yuridis masih mengandung berbagai ketidak puasan, sulit dijawab secara tepat dan objektif. Pada waktu sekarang dengan adanya teknologi medis semakin maju dengan alat respirator sehingga dapat menghambat sebuah kematian yang bersifat sementara dengan hal tersebut apakah bisa menghargai adanya kematian padahal euthanasia sendiri belum mempunyai sistem yang jelas dalam sistem hukum Indonesia baik dalam KUHP atau Undang-Undang Kesehatan. Munculnya Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga dirasakan belum menjelaskan mengenai pengaturan euthanasia tersebut secara jelas. Mengingat pentingnya pendapat mengenai euthanasia yang kontroversi sehingga dibutuhkan peranan dari para tokoh masyarakat baik dari sarjana hukum ataupun dokter
untuk
mengungkapkan
pendapatnya
bagaimana
mengantisipasi
permasalahan mengenai euthanasia sendiri. Penulis mencoba melihat mengenai perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan commitHukum to user Pidana (RUU KUHP) Indonesia. Undang-Undang Kitab Undang-Undang
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Seperti diketahui bahwa pengaturan euthanasia dalam KUHP dan UndangUndang Kesehatan belum memberikan kejelasan berkaitan dengan pengaturan terhadap tindakan euthanasia tersebut. Berdasarkan hal tersebut nantinya pengaturan euthanasia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat lebih jelas dan dapat memberikan solusi terhadap tindakan euthanasia tersebut. Agar di kemudian
hari
nantinya
pengaturan
euthanasia
ini
dapat
memberikan
perlindungan dan manfaat baik dari dokter, pasien dan seluruh warga negara Indonesia umumnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III PEMBAHASAN A. Pengaturan Euthanasia Di Manca Negara dan Hukum Positif Indonesia 1.
Pengaturan Euthanasia Di Manca Negara Pada dasarnya terhadap tindakan euthanasia di negara-negara barat seperti negara Amerika Serikat mereka telah melegalkan adanya tindakan euthanasia dengan syarat-syarat tertentu. Di negara-negara barat yang bersistem liberalis dan berpaham sekuler, dalam penanganan terhadap euthanasia, mereka beranggapan bahwa manusia mempunyai hak untuk menentukan kematiannya sendiri bilamana dokter memutuskan bahwa seorang pasien sudah tidak ada harapan untuk hidup. Sebagai contoh yang pertama adalah pengaturan euthanasia di negara Belanda. Dalam jurisprudensi di Negara Belanda kasus euthanasia yang pertama adalah dari tahun 1952 ketika Pengadilan di Utrecht dalam keputusannya pada tanggal 11 Maret menjatuhkan hukuman bersyarat (voorwaardelijke) kepada seorang dokter, dimana atas permintaan kakaknya yang sangat menderita karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan, mengakhiri hidup kakaknya tersebut dengan suntikan. Kasus lain yang sangat terkenal ialah Leeuwarden euthanasia process tahun 1973. Dalam kasus ini Nyonya Postma Van Boven, dokter di Oosterwoldwe, mengakhiri hidup ibunya dengan suntikan morfin atas permintaan yang bersangkutan sendiri karena ia menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ibunya tersebut sudah tidak mau makan lagi dan pernah menjatuhkan diri dengan sengaja dari tempat tidurnya dengan membenturkan kepalanya di atas ubin dengan harapan akan dapat mengakhiri hidupnya. Nyonya Postma dan suaminya, yang juga jadi dokter, keduanya memberitahukan kepada ibunya bahwa permintaannya itu tidak dapat dikabulkan, akibatnya ibunya memberontak dan tidak mau lagi berbicara commit to user dengan anak-anaknya. Akhirnya nyonya Postma tidak dapat menolak desakan 46
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ibunya lagi dan memberikan suntikan. Oleh Pengadilan Leeuwarden dalam keputusannya pada tanggal 21 Februari 1973 ia dijatuhi hukuman bersyarat selama satu minggu. Hal yang menarik dalam Leeuwarden euthanasia process ini ialah kenyataan
bahwa
pengadilan
menerima
dan
menyetujui
beberapa
pertimbangan yang dikemukakan oleh seorang Inspektur Kesehatan Rakyat yang diajukan sebagai saksi ahli. Dikemukakannya bahwa: a. Persoalan disini menyangkut orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan b. Penderitaannya sedemikian hebatnya, sehingga perasaan sakit tak tertahan lagi c. Pasien sendiri telah mengajukan permintaan dengan sangat untuk mengakhiri hidupnya d. Pasien sudah di dalam periode akhir hidupnya (stervens periode), dan e. Pelakunya adalah dokter yang mengobatinya Dengan beberapa pertimbangan yang dikemukakan oleh seorang Inspektur Kesehatan Rakyat tersebut yang dapat diterima dan disetujui oleh pengadilan, dapat dijadikan alasan untuk meringankan hukuman. Hal ini penting dan perlu mendapat perhatian dalam menanggulangi masalah euthanasia dengan hukum pidana (Rehnalemken Ginting, 2009 : 46-47). Belanda merupakan negara yang mengijinkan praktek euthanasia untuk mengakhiri penderitaan pasien-pasien yang menderita sakit dengan harapan hidup yang tipis. Meski dokter yang melakukan praktek pembunuhan halus ini harus mengikuti peraturan yang ketat, dimana negara Belanda telah melegalisasikan euthanasia. Belanda pada tanggal 10 April 2001 menerbitkan Undang-undang yang mengijinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif dan berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktek euthanasia (Sheldon, Tony, 1999). Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun (kronis)
dan
tidak
tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri commit berjudul to user The Slippery Slope of Dutch penderitaannya. Sebuah karangan
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Euthanasia dan majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 (tiga) melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan dengan syarat mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. Sebagai contoh yang kedua pada tanggal 21 April 1975 di Amerika Serikat kasus seorang wanita di New Jersey, seorang perempuan berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan (respirator) karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan. Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orang tuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orang tua
pasien ditolak, namun pada pengadilan tingkat
banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu tersebut dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Setelah penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan vegetatif. Dan baru sembilan bulan kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia). Euthanasia agresif dinyatakan legal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal (pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya euthanasia dengan memberlakukan undang-undang tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Syarat-sayarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun (delapan belas tahun) ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam commit user sampai tiga kali, dimana dua enam bulan dan keinginan ini harustodiajukan
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 (lima belas) hari diantaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis (harapan sembuh) serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental. Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga polis simpanan hari tuanya. Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Amerika Serikat juga ada usaha untuk meniadakan undang-undang negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan Undang-Undang Northern Territory di Australia. Sebuah lembaga survei terkenal yaitu survey Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% (enam puluh prosen) orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia. Kemajuan teknologi kedokteran di negara-negara maju menjadikan euthanasia telah dilegalkan secara khusus dan tertulis. Seperti halnya di Belanda, walaupun pelegalan euthanasia telah disertai dengan syarat-syarat tertentu namun penanganan terhadap masalah euthanasia masih juga terdapat perdebatan pro dan kontra. Permasalahan ini juga terdapat di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, meskipun di negara-negara tersebut pengaturan terhadap euthanasia telah dilegalkan, tetapi selalu terdapat pro dan kontra mengingat
institusi
kehakiman
yang
ada
selama
ini
tidak
bisa
menyeimbangkan kemajuan pengetahuan dalam bidang kedokteran. 2.
Penanganan Kasus Euthanasia di Indonesia Sejauh ini penanganan terhadap euthanasia di Indonesia belum dapat dilakukan secara spesifik. Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini di negara Indonesia masih menjadi kontroversi user masyarakat Indonesia terdapat diantara beberapa kalangan,commit karenatodalam
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
pihak yang menyetujui terhadap adanya euthanasia dan ada juga pihak yang tidak setuju dengan euthanasia. Pihak yang menyetujui terhadap euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusiaan. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan euthanasia untuk segera mengakhiri hidupnya. Sementara pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak dapat diganggu gugat oleh manusia. Pada dasarnya perbedaan pendapat ini mempunyai sudut pandang yang berbeda terhadap masalah euthanasia, sehingga sulit untuk mencarikan jalan keluar dari perbedaan tersebut. Namun, di negara Indonesia mempunyai ketentuan hukum dalam mengatur masalah euthanasia ini, yaitu melalui Pasal 344 KUHP. Di mana di negara Indonesia penanganan masalah euthanasia berdasarkan Pasal 344 KUHP yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa. Euthanasia di Indonesia secara hukum merupakan pembunuhan atas permintaan korban, yaitu permintaan pasien pada dokter. Penanganan masalah euthanasia di Indonesia berkaitan dengan pasal-pasal KUHP diantaranya yaitu Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, Pasal 344 KUHP tentang unsur-unsur euthanasia, dan Pasal 345 KUHP tentang dorongan atau bantuan melakukan pembunuhan. Terhadap penanganan kasus euthanasia di Indonesia, dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP, memungkinkan dokter sebagai pelaku dijerat dengan Pasal 344 KUHP, yang didalamnya terpenuhi unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Bilamana unsur ini mendatangkan kesulitan bagi jaksa, maka alternatif hukum dengan menggunakan Pasal 338 KUHP sebagai pasal umum yang mengatur commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
pembunuhan, yang unsurnya hanyalah terjadi kematian seseorang akibat perbuatannya. Sebagai contoh, pada tahun 2006 dimana terdapat seorang wanita yang berusia 50 (lima puluh) tahun yang menderita penyakit kanker payudara stadium akhir dengan metastase (penyebaran tumor) yang telah resisten (kebal) terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi. Wanita tersebut mengalami nyeri tulang yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan pemberian dosis morphin intravena. Hal ini ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika istirahat dan nyeri bertambah hebat saat wanita tersebut mengubah posisinya. Walaupun tampak bisa tidur namun ia sering meminta diberi analgesik, dan keluarganya pun meminta untuk dilakukan penambahan dosis pemberian obat analgesik. Saat dilakukan diskusi antara dokter dan keluarga wanita tersebut, dokter memberitahu bahwa penambahan obat analgesik dapat mempercepat kematian klien. Pada kondisi ini pasien selalu merasakan nyeri, dan keluarganya merasa cemas, pasien dan keluarganya meminta untuk menambahkan dosis morphin untuk mengurangi rasa nyeri pasien tersebut. Namun dokter tidak bisa memberikan tindakan tersebut karena dengan pemberian tambahan dosis morphin terhadap pasien akan dapat mengurangi rasa nyeri pasien tetapi konsekuensinya akan dapat membahayakan dan mempercepat kematian pasien. Tetapi apabila tindakan tersebut tidak dilakukan, maka pasien dan keluarganya menyalahkan dokter dan apabila keluarga pasien kecewa terhadap pelayanan di rumah sakit bisa menuntut ke pengadilan. Penderitaan pasien dengan kanker payudara yang sudah mengalami metastase mengeluh nyeri yang tidak berkurang dengan dosis morphin yang telah ditetapkan. Pasien meminta penambahan dosis pemberian morphin untuk mengurangi keluhan nyerinya. Keluarganya mendukung keinginan pasien agar terbebas dari keluhan nyeri. Konflik yang terjadi : a. Penambahan dosis pemberian morphin dapat mempercepat kematian pasien. user dengan pelanggaran hak pasien b. Tidak memenuhi keinginancommit pasientoterkait
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
Terhadap penanganan kasus seperti ini dokter di Indonesia hanya mampu untuk memberikan tindakan alternatif terhadap pasiennya. Di mana tindakan alternatif yang diberikan yaitu menuruti keinginan pasien untuk menambah dosis morphin tidak dilakukan sesering mungkin dan apabila diperlukan. Artinya penambahan diberikan kadang-kadang pada saat tertentu misalnya pada malam hari agar klien bisa tidur cukup. Padahal tindakan yang dilakukan oleh dokter ini merupakan tindakan euthanasia pasif. Karena apabila dokter menuruti keinginan pasiennya dengan memberikan tambahan dosis morphin, maka akan dapat mempercepat kematian pasien, dan hal ini merupakan tindakan euthanasia aktif. Untuk itu dalam hal ini dokter hanya bisa melakukan tindakan alternatif saja, yang juga mempertimbangkan hak pasiennya. Berdasarkan uraian contoh di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penanganan terhadap kasus euthanasia (euthanasia aktif) di negara Indonesia pada dasarnya belum dapat dilakukan atau dilarang, dan di Indonesia pada dasarnya baru bisa menerima tindakan euthanasia dan bersifat pasif (Senja Puspita Sari, 2007 : 41-44). 3.
Analisis Pengaturan Euthanasia Dalam Hukum Positif Indonesia Sejarah pembentukan KUHP dapat kita ketahui, bahwa pembentuk undang-undang ini pada saat itu (zaman Hindia Belanda), juga menganggap bahwa jiwa manusia sebagai miliknya yang paling berharga, dibandingkan dengan miliknya yang paling berharga, dibandingkan dengan milik manusia yang lainnya. Oleh sebab itu, setiap perbuatan apapun motif dan coraknya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan jiwa manusia, hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara. Jadi masalah keselamatan jiwa daripada warga negara, selalu dilindungi negara. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan adanya dua kepentingan yakni kepentingan masyarakat dan kepentingan individu yang dituntut. “Kepentingan masyarakat, bahwa seorang yang telah melanggar suatu peraturan hukum pidana,commit harus to mendapatkan hukuman yang setimpal user dengan kesalahannya, guna keamanan masyarakat, dan kepentingan orang
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman, atau kalau memang ia berdosa, jangan sampai ia mendapat hukuman yang terlalu berat, tidak seimbang dengan kesalahannya (Wirjono Prodjodikoro, 1977 : 16). Pandangan dari pembentuk undang-undang Hindia Belanda itu rupanya masih tetap dianut oleh pemerintah sekarang. Ini terbukti bahwa dalam KUHP sendiri, perihal keselamatan dan keamanan jiwa manusia masih dijamin dengan tanpa perubahan sedikitpun. Memang merupakan kenyataan sampai sekarang, bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan idiologi, tentang keselamatan dan keamanan jiwa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang. Hal ini juga merupakan pencerminan daripada prinsip equality before the law yang tentunya harus juga diterapkan terhadap keamanan dan keselamatan jiwa manusia (Djoko Prakoso & Djaman Andhi Nirwanto, 1984 : 70-71). Undang-undang yang tertulis dalam KUHP Indonesia hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan coma atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal–pasal dalam Undang–Undang yang terdapat dalam KUHP. Jika dilihat dari tiap jenis euthanasia ada aspek moral dan etika yang harus menjadi pertimbangan yang mendalam, mengingat penentuan hidup dan mati tidak ditangan manusia semata. Apabila melihat lebih jauh mengenai hak-hak pasien untuk menentukan nasib sendiri, euthanasia nampak sebagai pilihan commit to user cerdas untuk mengakhiri penderitaan karena pasien tidak berkeberatan
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
hidupnya berakhir jika dilihat dari jenis euthanasia sukarela. Namun penghargaan atas nilai insani ini tidak begitu saja dapat dapat diabaikan meskipun oleh si pemilik jiwa itu sendiri yaitu pasien. Karena bagaimanapun akan membuka peluang bagi yang lain untuk begitu mudah mengakhiri hidup yang tidak lagi mampu menahan penderitaan. Hal ini bertentangan dengan fitrah manusia untuk berjuang dan bertahan hidup meskipun harus menghadapi tantangan dan penderitaan (Alexandra Indriyanti Dewi, 2008 : 81). Suatu intervensi medis yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan pasien namun dapat mengakibatkan kematian pasien atau membantu pasien bunuh diri disebut euthanasia aktif. Di Indonesia hal ini tidak dapat dibenarkan menurut Undang-undang, karena tujuan dari euthanasia aktif adalah mempermudah kematian pasien. Sedangkan euthanasia pasif bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan pasien namun membiarkannya dapat berdampak pada kondisi pasien yang lebih berat bahkan memiliki konsekuensi untuk mempercepat kematian pasien. Misalnya rasa nyeri pada pasien dengan penyakit kanker dapat ditatalaksanakan oleh petugas kesehatan profesional yang telah dilatih dengan manajemen nyeri, namun hal tersebut tidak dapat membantu sepenuhnya pada penderitaan pasien. Upaya untuk mengurangi penderitaan nyeri pasien mungkin akan mempercepat kematiannya, namun tujuan utama dari tindakan adalah untuk mengurangi rasa nyeri dan penderitaan pada pasien-pasien dengan penyakit kanker (Petrus Yoyo Karyadi,2001 : 45-46). Di dalam hukum pidana ada tiga permasalahan pokok yaitu, pertama adalah perumusan perbuatan yang dapat dipidana atau perbuatan yang dikriminalisasikan, yang kedua adalah pertanggungjawaban pidana dan yang terakhir adalah sanksi, baik yang berupa pidana (straf) maupun yang berupa tindakan (maatregel) (Muladi, 1990 : 2). Pasal 344 KUHP harus memenuhi tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana tersebut, yaitu merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu commitdengan to user kesungguhan hati merupakan sendiri yang jelas dinyatakan
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
perumusan perbuatan yang dapat dipidana, kemudian barang siapa yang berarti orang yang melakukan perbuatan yang dilarang serta harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut, dan yang belakangan ini adalah sanksi berupa pidana penjara paling lama dua belas tahun. Seperti telah diketahui bahwa unsur-unsur dalam euthanasia memenuhi rumusan Pasal 344 KUHP, dengan demikian memenuhi pula tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana. Secara teoritis pasal ini dapat dioperasionalkan untuk menjaring perbuatan euthanasia yang merupakan kejahatan terhadap nyawa itu. Tetapi dalam prakteknya belum pernah ada kasus euthanasia di Indonesia, sebagaimana diatur dan diancam pidana berdasarkan pasal 344 KUHP yang sampai ke Pengadilan. Euthanasia dalam KUHP dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa. Euthanasia secara hukum merupakan pembunuhan atas permintaan korban, yakni permintaan pasien pada dokter. Pasal-pasal yang dapat diterapkan berkaitan dengan euthanasia adalah Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan murni, Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, Pasal 344 KUHP tentang unsur-unsur yang memuat kriteria euthanasia dan Pasal 345 KUHP tentang bantuan dan dorongan pembunuhan dalam KUHP. Dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP, memungkinkan dokter sebagai pelaku euthanasia dijerat dengan Pasal 344 KUHP, yang didalamnya harus terpenuhi unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Bilamana unsur ini mendatangkan kesulitan bagi jaksa, maka alternatif hukum dengan menggunakan Pasal 338 KUHP sebagai pasal umum yang mengatur tentang pembunuhan, dimana unsurnya hanya terjadinya kematian seorang yang diakibatkan perbuatan orang lain. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak pernah mencantumkan secara eksplisit istilah euthanasia dalam pasal-pasalnya, namun bila dikaji lebih mendalam ternyata terdapat unsur-unsur dalam pasal tersebut dan mencakup pengertian itu. Pasal 344 yang dikenal sebagai pasal yang dapat dimasukkan dalam kategori euthanasia, yang menyebutkan commit to user kalimat dengan unsur :
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP juga dapat dikatakan bersangkutan dengan masalah euthanasia (anonim, 2002). Dalam Pasal 338 KUHP dikatakan bahwa : “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun (lima belas tahun)”. Dalam Pasal 340 KUHP berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun (dua puluh tahun)”. Dalam Pasal 345 KUHP berbunyi : “Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan ini atau memberi sarana padanya untuk itu, dancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun (empat tahun) kalau orang itu jadi bunuh diri”. Dalam Pasal 359 KUHP berbunyi : “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun (lima tahun) atau pidana kurungan paling lama 1 tahun (satu tahun)” (Anonim,2006 : 107-111). Apabila kita perhatikan, pasal-pasal tersebut diatas, yaitu Pasal 338, 340 dan 344 KUHP, ketiga-tiganya adalah mengandung makna larangan untuk membunuh. Selanjutnya pasal 338 KUHP merupakan aturan umum daripada perampasan nyawa orang lain. Pasal 340 KUHP aturan khususnya, karena dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dulu”. Oleh sebab itu, Pasal 340 KUHP ini biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan berencana. commit user bahwa Pasal 344 KUHP pun Begitu pula jika diperhatikan lebihtolanjut,
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
merupakan aturan khusus daripada Pasal 338 KUHP. Hal ini, karena disamping Pasal 344 KUHP tersebut mengandung makna perampasan nyawa atau pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP, pada Pasal 344 KUHP ditambahkan pula unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Jadi masalah euthanasia ini dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni Pasal 338 KUHP dan Pasal 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concurcus idealis, yang merupakan sistem pemberian pidana juga terjadi satu perbuatan pidana yang masuk dalam beberapa peraturan hukum. Concursus idealis ini diatur dalam Pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa : 1.
Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. 2. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan (Moeljatno, 1971 : 42). Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas Lex specialis de rogat legi generali, yaitu bahwa peraturan-peraturan yang khusus akan mendesak atau mengalahkan peraturan-peraturan yang sifatnya umum. Yang dimaksud sebagai peraturan khusus disini adalah : “Peraturan pidana yang mempunyai atau memuat unsur-unsur yang termuat dalam peraturan pidana yang umum, akan tetapi juga memuat peraturan-peraturan pidana yang tak termuat dalam peraturan pidana umum” (Muladi, 1977). Sehubungan dengan adanya concursus idealis ini, maka Hazewinkel Suringa yang dikutip oleh Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto dalam bukunya, mengatakan sebagai berikut : “Ada concurcus idealis, apabila pernyataan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik, mau tidak mau (noodzakelijk-co ipso) juga masuk dalam peraturan pidana lain, baik karena banyaknya peraturan-peraturan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, maupun karena diaktifkannya aturan-aturan lain berhubungan dengan cara dan tempat perbuatan itu dilakukan, orang yang melakukan dan obyek terhadap apa perbuatan itu dilakukan” (Djoko Prakosocommit dan Djaman to userAndhi Nirwanto, 1984 : 77).
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dengan adanya hal-hal seperti tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah euthanasia yang menyangkut dua aturan hukum, yaitu Pasal 338 KUHP dan 344 KUHP, maka yang dapat diterapkan adalah Pasal 344 KUHP. Apabila tidak terdapat asas Lex specialis derogat legi generali yang disebutkan dalam Pasal 63 (2) KUHP itu, maka aturan pemidanaan yang dipakai adalah Pasal 338 KUHP. Hal ini disebabkan karena ancaman pidana penjara pada Pasal 338 KUHP (yaitu 15 tahun), lebih berat daripada ancaman pidana yang terdapat pada Pasal 344 KUHP (yang hanya 12 tahun). Hal ini dapat dimengerti karena dalam concursus idealis akan diterapkan sistem absorbsi, sebagaimana disebutkan pada Pasal 63 (1) KUHP, yang memilih ancaman pidananya yang terberat. Oleh sebab itu, di dalam KUHP kita, hanya ada satu pasal saja yang mengatur tentang masalah euthanasia, yaitu Pasal 344 KUHP. Ditinjau dari sudut pandang hukum dalam KUHP, euthanasia dapat diuraikan sebagai berikut : a. Euthanasia Aktif Pada dasarnya euthanasia aktif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan
lainnya
secara
sengaja
melakukan
tindakan
untuk
memperpendek (mengakhiri) hidup pasien. Menurut Daniel Gorman, euthanasia aktif didefinisikan sebagai mengambil tindakan secara langsung yang menyebabkan kematian pasien (Daniel Gorman, 1998 : 857). Euthanasia aktif dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu : 1) Euthanasia Aktif Atas permintaan Pasien Terhadap tindakan euthanasia aktif atas permintaan pasien yang diatur secara eksplisit oleh pasal 344 KUHP. Dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang telah melakukan euthanasia aktif ini dapat dituntut berdasarkan Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP berbunyi : commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari orang lain itu sendiri dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Berdasarkan Pasal 344 KUHP tersebut di atas dapat diketahui bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam pasal tersebut itu sama sekali tidak mempunyai unsur subyektif, melainkan hanya mempunyai unsur-unsur obyektif, yaitu masing-masing : a) Beroven atau menghilangkan b) Leven atau nyawa c) Een ander atau orang lain d) Op verlangen atau atas permintaan e) Uitdrukkelijk an ernstig atau secara tegas-tegas dan sungguhsungguh. Dalam hal permintaan yang sifatnya tegas dan sungguh-sungguh yang disampaikan kepada pelaku (dokter) oleh seorang anak kecil (belum dewasa) atau orang yang berpenyakit jiwa, mengenai tindak pidana pembunuhan sesuai dengan Pasal 344 KUHP menerangkan bahwa pelaku (dokter) dapat dipersalahkan karena telah melakukan suatu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu atau moord, jika dokter kemudian ternyata benar-benar telah memenuhi permintaan yang yang dikemukakan oleh seorang anak kecil atau oleh seorang yang berpenyakit jiwa. Jadi berdasarkan uraian diatas dalam masalah euthanasia aktif atas permintaan
pasien
terhadap
pelaku
(dokter)
dapat
dimintai
pertanggungjawaban pidana dan dapat dituntut dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. 2) Euthanasia Aktif Tanpa Permintaan Pasien Berdasarkan Pasal 388 KUHP yang berbunyi : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena salah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”. Pada Pasal 340 KUHP, berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, karena salah telah melakukan pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan hukuman mati atau dengan hukuman penjara seumur hidup atau dengan hukuman penjara sementara selamalamanya dua puluh tahun”. Berdasarkan pasal tersebut di atas, secara alternatif dapat dijadikan dasar penuntutan terhadap pelaku (dokter) yang telah melakukan euthanasia aktif tanpa permintaan pasien. Apabila pelaku (dokter) tersebut terbukti telah melakukan perencanaan atas tindakannya itu, berarti dokter dapat dituntut berdasarkan Pasal 340 KUHP. Sedangkan apabila tidak terbukti adanya perencanaan terlebih dahulu pada diri dokter, maka Pasal 338 KUHP dapat diberikan terhadapnya. Dalam kasus euthanasia aktif tanpa permintaan pasien ini, dokter mendapat kesulitan untuk membuktikan bahwa ketika ia melakukan euthanasia memang benar-benar tanpa perencanaan terlebih dahulu, karena dokter tidak mungkin secara tiba-tiba (tanpa perencanaan) melakukan euthanasia terhadap pasien. Dapat dipisahkan bahwa sebelum dokter melakukan euthanasia terlebih dahulu memikirkan pertimbangan-pertimbangan ini. Misalnya rasa belas kasihan melihat pasien yang menderita terus menerus, melihat penyakitnya yang tidak ada harapan untuk sembuh kembali, atau kondisi ekonomi dari keluarga pasien yang semakin kesulitan. Justru karena dokter telah memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dokter telah dianggap merencanakan terlebih dahulu atas tindakan euthanasia yang dilakukan terhadap pasiennya. Maka dari itu dalam kasus euthanasia tanpa permintaan pasien sebagai bahan dasar untuk melakukan penuntutan adalah Pasal 340 KUHP. commit user 3) Euthanasia Aktif Tanpa Sikapto Dari Pasien
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Euthanasia
tanpa
sikap
adalah
apabila
pada
saat
akan
dilangsungkan euthanasia, pasien yang bersangkutan sudah dalam keadaan coma (tidak sadar), yang berarti tidak dapat diketahui keinginannya yang sebenarnya. Apakah pasien meminta euthanasia atau tidak memintanya. Dalam menghadapi kasus euthanasia tanpa sikap, minimal ada dua masalah yang akan muncul. Pertama, misalnya semula pasien memang (pada saat masih sadar) telah meminta kepada dokter secara tegas dan sungguh-sungguh agar dilakukan euthanasia atas dirinya. Akan tetapi, pada saat akan dilakukan euthanasia, pasien tersebut dalam keadaan coma, tanpa adanya komunikasi lagi. Untuk lebih jelasnya dapat kita beri contoh, misalnya pada tanggal 1 Januari 2012 keadaan pasien masih sadar. Pada saat itu ia membuat surat perjanjian secara tegas dan sungguh-sungguh dengan dokter agar nanti tanggal 10 Januari 2012 dilakukan euthanasia terhadap dirinya. Akan tetapi, pada tanggal 5 Januari 2012 pasien tersebut sudah tidak sadar diri. Dalam hal ini apakah permintaan pasien tersebut tetap berlaku dan dokter akan tetap melakukan euthanasia pada tanggal 10 Januari 2012, atau mungkin bila pasien sadar ia akan menarik kembali permintaan euthanasianya itu. Maka dalam hal ini dokter dan keluarga yang menentukan sikap apakah tetap dilakukan euthanasia atau tidak. Berdasarkan aksi coma bahwa naluri terkuat dari setiap mahkluk hidup selalu ingin mempertahankan hidupnya, maka walaupun pasien sudah (sedang) dalam keadaan coma, tetap diasumsikan bahwa pasien tersebut tidak menginginkan hidupnya diakhiri. Dengan demikian, dokter yang melakukan euthanasia aktif tanpa sikap dari pasien dapat dituntut berdasarkan Pasal 388 KUHP atau 340 KUHP (Lamintang dan Samosir, 1993 : 141-143). Apabila terbukti bahwa dokter dalam melakukan euthanasia aktif tersebut dengan disertai perencanaan terlebih dahulu, maka dokter commitPasal to user dapat dituntut berdasarkan 340 KUHP. Sedangkan bila tidak
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terbukti adanya perencanaan terlebih dahulu pada diri dokter, maka ia terancam oleh Pasal 338 KUHP. Masalah yang kedua, apabila seorang pasien dalam keadaan coma sehingga tidak diketahui apa kehendaknya, kemudian keluarga pasien mendesak dokter yang merawatnya untuk melakukan euthanasia aktif, karena keluarganya sudah tidak tahan lagi melihat penderitaan pasien tersebut. Dalam kasus seperti ini keluarga pasien tersebut yang telah mendesak dokter untuk melakukan euthanasia dapat dituntut melakukan euthanasia, dalam kasus seperti ini keluarga pasien tersebut dapat dituntut berdasarkan uitloking (pembujukan) Pasal 55 KUHP, yang berbunyi : a) Dihukum seperti pelaku dari suatu perbuatan yang dapat dihukum : (1) Barang siapa yang melakukan, menyuruh, melakukan, atau ikut melakukan perbuatan itu, (2) Barang siapa dengan pemberian janji, penyalahgunaan kekuasaan atau kepandangan, kekerasan, ancaman atau kebohongan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana atau keterangan, dengan sengaja telah menggerakkan orang lain untuk melakukan perbuatan itu b) Mengenai perbuatan-perbuatan yang terakhir itu hanyalah menyangkut perbuatan yag disengaja telah digerakkannya untuk dilakukan oleh orang lain, beserta akibat-akibatnya. Untuk itu adanya uitlokking (pembujukan), harus memenuhi dua syarat, yaitu sebagai berikut : a) Bahwa perbuatan yang telah digerakkan untuk dilakukan oleh orang lain itu harus menghasilkan suatu voltooid delict atau suatu delik yang selesai, atau menghasilkan suatu strafbaarpoging atau percobaan yang dapat di hukum. b) Bahwa tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang itu disebabkan karena orang tersebut telah bergerak oleh suatu uitlokking yang dilakukan oleh orang lain dengan menggunakan salah satu cara yang telah disebutkan di dalam Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP. commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dapat diasumsikan bahwa keluarga pasien dalam keadaan mendesak kepada dokter untuk melakukan euthanasia tersebut disertai dengan keterangan-keterangan. Misalnya, keterangan keadaan pasien yang tidak mungkin sembuh kembali, alasan ekonomis, atau merasa kasihan melihat penderitaannya pasien yang berkepanjangan. Maka dengan segala pemberian keterangan tersebut, keluarga pasien dapat dianggap sebagai uitlokker yang telah menggerakkan (uitlokking) dokter sebagai uitgelokte untuk menghilangkan nyawa orang lain (pasien). Jadi berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa terhadap
keluarga
pasien
yang
bersangkutan
dapat
dituntut
berdasarkan Pasal 55 KUHP. Kedua syarat untuk adanya uitlokking tersebut di atas telah terpenuhi. Sedangkan
dokter
(pelakunya)
sendiri
dapat
dituntut
menghilangkan nyawa orang lain (pasien). Dalam hal ini berarti tidak terdapat unsur “perencanaan” terlebih dahulu pada diri dokter karena dokter sendiri dalam melakukan tindakan euthanasianya atas dasar desakan dari keluarga pasien. Jadi, keluarga pasien dapat diancam penjara selama-lamanya lima belas tahun, sama seperti pelakunya sendiri (dokter) (Gerson W. Bawengan, 1995 : 10). Berdasarkan masalah euthanasia tanpa sikap pasien tersebut di atas lebih merupakan masalah teoritis belaka. Kecil kemungkinan untuk terjadi dalam praktek, karena dokter (keluarga pasien) sendiri takut akan ancaman hukuman penjara. Akan tetapi dalam praktek dapat saja terjadi, misalnya keluarga pasien yang terus mendesak dokter untuk melakukan euthanasia terhadap pasien yang bersangkutan, karena keluarga pasien ingin segera mendapatkan harta warisan, yaitu dengan cara mendesak dokter untuk mengakhiri hidup pasien tersebut. b. Euthanasia Tidak Langsung Euthanasia tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya tanpa maksud mengakhiri hidup pasien melakukan suatu tindakan commit to user medis untuk meringankan penderitaan pasien, walaupun dengan
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengetahui adanya resiko bahwa dari tindakan medis tersebut dapat mengakibatkan hidup pasien diperpendek. Seperti halnya euthanasia aktif, euthanasia tidak langsung dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu : 1) Euthanasia Tidak Langsung Atas Permintaan Pasien Dalam kasus euthanasia tidak langsung atas permintaan pasien, maka terhadap pelakunya (dokter) dapat dituntut berdasarkan Pasal 344 atau Pasal 359 KUHP. Pasal 359 KUHP, berbunyi : “Barang
siapa
yang
karena
salahnya
telah
menyebabkan
meninggalnya orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun”. Apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan medik yang dilakukannya itu hanya dimaksudkan untuk meringankan penderitaan pasien, maka terhadapnya paling berat hanya dapat tuntutan Pasal 359 KUHP. Sedangkan apabila dokter tidak dapat membuktikan bahwa tindakan medik yang dilakukannya itu hanya dimaksudkan untuk meringankan penderitaan pasien, maka dokter dapat dituntut berdasarkan Pasal 344 KUHP. 2) Euthanasia Tidak Langsung Tanpa Permintaan Pasien Dokter yang tidak dapat membuktikan bahwa tujuan dari tindakan medis yang dilakukannya itu adalah untuk meringankan penderitaan pasien, maka dokter dianggap telah melakukan pembunuhan yang telah direncanakan terlebih dahulu. Terhadapnya dapat dituntut berdasarkan Pasal 340 KUHP. Sebaliknya apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan medis yang dilakukannya itu bertujuan untuk meringankan penderitaan pasien, maka dokter dapat dituntut berdasarkan Pasal 359 KUHP, atas kesalahannya yang telah mengakibatkan meninggalnya pasien. commitTanpa to user 3) Euthanasia Tidak Langsung Sikap Pasien
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Euthanasia dalam kategori ini didasarkan oleh asumsi bahwa naluri terkuat dari setiap makhluk hidup termasuk manusia adalah selalu berusaha mempertahankan hidupnya. Naluri tersebut seharusnya diberlakukan juga terhadap pasien yang sudah dalam keadaan coma. Terhadap pasien yang masih dalam keadaan coma tetap harus dianggap bahwa dia ingin mempertahankan hidupnya dan tidak ada keinginan untuk dieuthanasia (diakhiri hidupnya). Dokter yang melakukan suatu tindakan medis terhadap pasien, dan dokter tidak dapat membuktikan bahwa tindakan medis tersebut dimaksudkan untuk meringankan penderitaan pasien maka dokter tersebut dianggap telah melawan hak pasien. Oleh karena itu baginya dapat dituntut berdasarkan Pasal 340 KUHP. Dan ia dianggap telah merencanakan pembunuhan (euthanasia) terhadap pasien tersebut. Apabila dokter tersebut dapat membuktikan bahwa tindakan medis yang dilakukannya itu bertujuan meringankan penderitaan pasien, maka dokter tersebut paling berat hanya dapat dituntut berdasarkan Pasal 359 KUHP. Dalam menghadapi masalah euthanasia tidak langsung ini, baik atas permintaan atau tanpa permintaan maupun tanpa sikap dari pasien ternyata dokter telah diberi beban untuk membuktikan terhadap “tindakan medisnya”. Apabila jaksa yang harus membuktikan “tindakan medis” dokter yang bersangkutan, maka jaksa akan mendapat kesulitan karena jaksa sendiri tidak kompeten dalam hal tindakan medis. Jadi menurut pendapat penulis adalah tepatnya apabila dokter sendiri yang harus membuktikan “tindakan medisnya”, karena ia sendiri yang kompeten dengan hal tersebut. Sedangkan dokter yang membuktikan hal tersebut (sebagai tersangka) atau dapat juga dokter ahli lainnya yang telah ditunjuk oleh pengadilan (jaksa yang menuntutnya). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
Dari uraian pembahasan di atas maka dapat diketahui bahwa dalam memberikan medikasi kepada pasien harus selalu sesuai dengan standar profesi medisnya. c. Euthanasia Pasif Euthanasia pasif dapat terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis kepada pasien yang dapat memperpanjang hidupnya. Menurut Daniel Gorman, euthanasia pasif didefinisikan sebagai memungkinkan pasien untuk mati oleh perlakuan (Daniel Gorman, 1998 : 857). Dalam hal ini euthanasia pasif dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu : 1) Euthanasia Pasif Atas Permintaan Pasien Euthanasia pasif atas permintaan pasien ini, berkaitan erat dengan hak-hak pasien, antara lain yaitu : a) Hak atas informasi b) Hak memberikan persetujuan c) Hak memilih dokter d) Hak memilih rumah sakit e) Hak atas rahasia kedokteran f) Hak menolak pengobatan g) Hak menolak suatu tindakan medis tertentu h) Hak untuk menghentikan pengobatan Jadi dalam hal ini apabila pasien sudah meminta kepada dokter untuk menghentikan pengobatan atau menghentikan terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter, hal ini berarti adalah hak pasien. Dengan demikian pasien tersebut sudah tidak lagi peduli dengan resiko kematiannya. Dalam hal ini dokter tidak kompeten untuk melakukan pengobatan terhadap pasien tersebut. Walaupun pasien tersebut akan segera meninggal dunia setelah dilakukan euthanasia pasif, dokter tetap tidak dikenakan tuntutan hukuman. Justru apabila dokter tetap memberikan pengobatan atau tindakan medis terhadap pasien, maka commit to melakukan user dokter akan dapat diancam telah penganiayaan.
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
2) Euthanasia pasif Tanpa Permintaan Pasien Euthanasia pasif tanpa permintaan pasien berarti dokter sendirilah yang berinisiatif untuk berbuat pasif, tanpa melakukan pengobatan. Hal ini biasa dilakukan oleh dokter karena adanya anggapan bahwa tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien sudah tidak ada gunanya. Dalam hal ini apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan medis yang dilakukannya terhadap pasien benar-benar memang sudah tidak ada gunanya lagi, maka dokter akan terbebas dari tuntutan hukum, walaupun pasien tersebut meninggal dunia. Dalam hal ini meninggalnya pasien tersebut dapat disebut sebagai bentuk semu euthanasia. Sedangkan apabila dokter tidak dapat membuktikan bahwa tindakan medis yang dilakukan tersebut sudah tidak ada gunanya lagi, maka dokter dapat diancam berdasarkan Pasal 304 jo Pasal 306 (2) KUHP. Pasal 304 KUHP, berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan seseorang yang ia wajib memeliharanya, atau yang berdasarkan hukum yang berlaku baginya atau yang berdasarkan perjanjian ia wajib merawatnya atau mengurusnya, dalam keadaan sengsara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun dan delapan bulan atau dengan hukuman denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah”. Pasal 306 KUHP, berbunyi : “Apabila salah satu perbuatan tersebut menyebabkan meninggalnya anak itu, maka ia dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya sembilan tahun”. Menurut pendapat penulis bahwa apabila dokter tidak dapat membuktikan bahwa tindakan medis yang akan dilakukannya itu sudah tidak ada gunanya lagi, maka dokter dapat dituntut berdasarkan Pasal 304 jo Pasal 306 (2) KUHP. Alasannya, karena bila dokter tidak dapat commit to user membuktikan hal tersebut, berarti dokter masih mempunyai kewajiban
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk melakukan tindakan medis (pengobatan). Tindakan medis atau pengobatan berarti masih mempunyai arti dan ada gunanya, namun dokter telah melakukan tindakan euthanasia pasif tanpa permintaan. 3) Euthanasia Pasif Tanpa Sikap Pasien Euthanasia pasif tanpa sikap pasien dilakukan dokter biasanya berdasarkan pertimbangan bahwa pengobatan sudah tidak ada gunanya lagi. Tetapi untuk keadaan “tanpa sikap” atau pasien dalam keadaan tidak sadar atau coma, hal ini tidak dapat diketahui kehendak dari pasien yang sebenarnya. Pada euthanasia tanpa permintaan pasien adalah kondisi dimana pasien masih sadar tetapi pasien sudah tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat,
apakah
harus
menolak
euthanasia
atau
menerima
euthanasia. Pada prinsipnya disini pasien “tanpa permintaan”, dalam keadaan ini pasien dianggap melakukan euthanasia, sedangkan dalam hal “tanpa sikap” pasien berarti seperti telah dijelaskan di atas. Dengan demikian akibat hukum yang ditimbulkan antara keduanya tidak ada perbedaan. Jadi apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan medis yang akan dilakukan tersebut sudah tidak ada gunanya lagi, maka dokter tidak akan mendapatkan tuntutan hukum. Tetapi apabila dokter tidak dapat membuktikan bahwa tindakan yang akan dilakukan tersebut sudah tidak ada gunanya lagi, maka baginya (dokter) akan dikenakan tuntutan Pasal 304 jo Pasal 306 (2) KUHP (Petrus Yoyo Karyadi, 2001:54-71). Secara formal hukum berlaku di negara kita memang tidak mengijinkan tindakan euthanasia oleh siapapun (termasuk para tenaga medis dan dokter), sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal KUHP tersebut. Tersirat pada pasal 344 KUHP di atas, yang jelas-jelas dilarang oleh KUHP adalah euthanasia aktif, dengan atau tanpa permintaan pasien/keluarganya. Akan tetapi penerapan dari Pasal 344 KUHP tersebut sulit diterapkan pada kasus commit to beberapa user penanganan euthanasia karena adanya faktor. Menurut Ahmad Ube
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
yang dikutip oleh Haryadi dalam jurnalnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan susahnya penanganan euthanasia dengan hukum pidana (Pasal 344 KUHP). Faktor itu meliputi : faktor yang berada diluar hukum pidana dan faktor yang terdapat didalam hukum pidana (Ahmad Ube, 2000 : 58), adalah sebagai berikut : a. Faktor yang berada diluar Hukum Pidana 1) Didalam perbuatan euthanasia biasanya ada kerjasama antara pelaku dan korban (misalnya dokter dengan keluarganya), sehingga perbuatan tersebut tidak pernah dilaporkan kepada aparat penegak hukum untuk diproses sebagai khasus pidana. 2) Keluarga korban atau masyarakat kurang atau tidak tahu bahwa telah terjadi kematian yang disebut sebagai euthanasia, dengan perkataan lain masyarakat kita masih awam terhadap hukum, apalagi menyangkut masalah euthanasia yang jarang terjadi. 3) Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semoderen negara-negara maju, seperti adanya respirator, hertlung machines, organ transplants dan sebagainya yang dapat mencegah kematian seseorang secara teknis untuk beberapa hari, minggu atau beberapa bulan. 4) Kebanyakan keadaan sosial ekonomi masyarakat Indonesia berada dibawah standart kehidupan yang layak, sehingga biaya untuk perawatan kesehatan maupun pengobatan cukup memprihatinkan. Keadaan ini membawa pengaruh pula terhadap perbuatan euthanasia, terutama euthanasia pasif. b. Faktor yang berada didalam Hukum Pidana 1) Rumusan (formula) pasal terlalu universal, sehingga sulit untuk menentukan perbuatan mana yang termasuk euthanasia aktif, dan mana yang termasuk euthanasia pasif. Kemudian tidak dapat diketahui mana euthanasia yang dilakukan orang pada umumnya / dan mana euthanasia yang dilakukan dokter pada khususnya. Hal ini penting karena masalah euthanasia tidak sesederhana seperti rumusan Pasal 344 KUHP. 2) Dalam rumusan Pasal 344 KUHP terdapat kalimat “atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati” yang merupakan unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan apakah orang yang melakukannya dapat dipidana berdasarkan pasal ini atau tidak, apabila tidak dipenuhi akan merupakan pembunuhan yang dapat dikenakan pasal 338, 340 KUHP (Haryadi, 2007 : 87-88). Adanya beberapa faktor tersebut menunjukkan bahwa hukum pidana Indonesia khususnya yang terdapat dalam KUHP belum mengakomodir secara penuh pengaturan masalah euthanasia itu sendiri. Menariknya, to user Kesehatan (yang dikenal sebagai Undang-Undang No. 23 tahuncommit 1992 tentang
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang-Undang Kesehatan) ternyata belum mengakomodasi mengenai euthanasia ini dalam pasal-pasalnya, sedangkan di lain pihak beberapa Pasal KUHP tadi masih belum memberikan batasan serta penjelasan yang tegas dalam hal euthanasia.
commit to user
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Skema Euthanasia Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia Atas Permintaan (Pasal 344 KUHP) AKTIF
Tanpa Permintaan (Pasal 340 KUHP) Tanpa Sikap (Pasal 340, 338, 55 KUHP) Atas Permintaan (Pasal 344, 359 KUHP)
EUTHANASIA
TIDAK LANGSUNG
Tanpa Permintaan (Pasal 340,359 KUHP) Tanpa Sikap (Pasal 340, 359 KUHP) Atas Permintaan (Tidak dihukum)
PASIF
Tanpa Permintaan (Pasal 304 jo 306 (2) KUHP) Tanpa Sikap (Pasal 304 jo 306 (2) KUHP)
user Karyadi, 2001 : 71 Gambar 2. Sumbercommit : PetrustoYoyo
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
B. Pengaturan Euthanasia Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia Keinginan melakukan pembaharuan hukum pidana, khususnya Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) sudah dimulai sejak tahun 1946 mengingat undang-undang pidana ini merupakan warisan kolonial Belanda, yang tidak sesuai lagi dengan situasi Indonesia merdeka. Kebutuhan pembaharuan hukum pidana menjadi penting dengan memperhatikan karakteristik hukum pidana berwawasan ke-Indonesiaan. Pembentukan KUHP baru ini ditujukan dengan semangat pada perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan reformasi hukum demi rakyat. Pembaharuan hukum pidana adalah jalan terbaik dengan terbentuk RUU KUHP menjadi KUHP nasional sebagai kebutuhan primer bangsa dan negara dalam reformasi hukum pada abad ke-21 ini. Dalam perkembangannya, pemikiran tentang latar belakang dan proses pembaharuan KUHP tidak hanya didasari keinginan untuk menggantikan karakteristik kolonial dari KUHP yang merupakan “copy” dari KUHP Belanda 1886, namun dilandasi pula dengan semangat demokratisasi hukum dalam arti luas yang ingin mempertimbangkan baik aspirasi-aspirasi infrastruktural, suprastruktural, kepakaran dan aspirasi internasional. Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa, pengaruh kolonial dalam hukum pidana terjadi secara sistematis melalui asas konkordansi, doktrin, text book dan jurisprudensi pengadilan Belanda. Sepanjang berkaitan dengan aspirasi internasional, dalam hal ini bisa berbentuk standard, asas maupun nilai-nilai dan norma, baik yang masih bersifat “soft law” pada tahap-tahap “enunctiative, declarative and prescriptive” maupun dalam bentuk “hard law” pada tahap-tahap “enforcement and criminalization” (Muladi, 2006 : 1). Dalam sejarah KUHP, terbukti bahwa Bagian Khusus KUHP yang terdiri atas Kejahatan (Misdrijeven or Crimes) dan Pelanggaran (Overtredingen or Infraction) ternyata lebih tua daripada Bagian Umumnya (Alegemene Bepalingen or General Part). Kriminalisasi dan hukum acaranya terbentuk terlebih dahulu untuk commit user sendiri. Baru kemudian disadari menghindarkan terjadinya perbuatan maintohakim
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
perlunya ketentuan umum untuk mengatur penggunaan aturan-aturan pidana yang bermacam-macam seperti ruang lingkup berlakunya hukum pidana, sanksi pidana dan tindakan, alasan penghapus pidana, percobaan, penyertaan sebagai perluasan pertanggungjawaban pidana, concursus atau pembarengan tindak pidana yang merupakan peringanan pidana, daluwarsa, nebis in idem dan sebagainya. Bahkan dikatakan oleh van Bemmelen (1979) bahwa dalam buku „Praktijke Criminele‟ yang ditulis oleh Philips Wieland pada tahun 1506 dan 1516, diuraikan terlebih dahulu hukum acara pidana pada bagian pertama, dan dalam bagian kedua diuraikan satu per satu delik-delik khusus. Di antara kedua bagian tersebut ditambahkan beberapa ketentuan umum seperti pidana pada umunya dan dasardasar penghapusan pidana. Keinginan mempunyai sebuah hukum pidana nasional telah lama menjadi obsesi bangsa ini. Namun demikian, keinginan yang obsesif itu, hendaknya tidak diletakkan dalam kesadaran sekadar menggantikan Wetboek van Strafrecht, produk hukum pidana pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tetapi lebih jauh dari itu, hendaknya dilandasi oleh suatu semangat atau keinginan memiliki sebuah hukum pidana yang dapat difungsikan dalam tatanan negara demokratis. Semangat ini menjadi relevan dalam konteks politik kita saat ini yang berada dalam transisi, yakni transisi dari meninggalkan rezim politik otoriter Orde Baru menuju sistem politik baru yang belum sepenuhnya terbentuk (demokratis atau bukan). Konteks atau “semangat zaman” inilah yang harusnya dijawab dalam penyusunan hukum pidana baru (RUU KUHP). Lebih tegas lagi, artinya, penyusunan RUU KUHP harus diletakkan sebagai bagian dari proyek Reformasi saat ini. Pembaharuan hukum pidana merupakan perubahan mendasar pada ancaman sanksi pidana dari ketentuan undang-undang pidana lama yang dimuat di dalam KUHP dengan terbentuknya KUHP baru untuk lebih memerhatikan pada aspek perlindungan HAM, keadilan dan kebenaran (Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011 : 1-2). Selanjutnya saat kodifikasi akhir abad kedelapan belas dan pada permulaan abad kesembilan belas, diadakan pemisahan yang jelas dari Bagian to usertindak pidana berupa kejahatan Umum dalam RUU KUHP ini,commit pembagian
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
(misdrijven, crimes) dan pelanggaran (overtredingen, infractions) tidak dilakukan lagi. Dalam RUU KUHP ini, pembagian tindak pidana berupa kejahatan (misdrijven, crimes) dan pelanggaran (overtredingen, infractions) tidak dilakukan lagi. Hal ini dilakukan mengingat dalam sejarah tidak ada defenisi yang jelas dan kriteria konklusi kualitatif sebagaimana yang terjadi dalam hukum Anglo Saxon yang merumuskannya sebagai mala in se dan mala prohibita. Mala in se adalah “acts wrong in themselves”, sedangkan mala prohibita merupakan “acts wrong because they are prohibited”. RUU KUHP, telah masuk dalam program prioritas pembahasan tahun 2010, yang kemudian menjadi program luncuran prioritas tahun 2011, yang tertuang dalam keputusan DPR. No. 02 B/DPR RI/II/2010-2011. RUU KUHP, sudah disampaikan Menteri Hukum dan HAM kepada Presiden terakhir dengan surat No. M.HH.PP.02.03-34 tanggal 10 November 2010. Kajian dan analisis akhir terhadap RUU KUHP, diarahkan pada pertempuran dan penyesuaian dengan perkembangan hukum pidana, dengan pertimbangan rumusan tindak pidana, adanya kriminalisasi, dalam perundang-undangan, sebelum disyahkan KUHPidana. Dalam perkembangannya, makna pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasonal yang semula semata-mata diarahkan kepada misi tunggal yang mengandung makna “dekolonisasi” Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam bentuk “rekodifikasi”, dalam perjalanan sejarah bangsa pada akhirnya juga mengandung berbagai misi yang lebih yang lebih luas sehubungan dengan perkembangan baik nasional maupun internasional. Adapun misi kedua adalah misi “deokratisasi hukum pidana” yang antara lain ditandai dengan masuknya Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia dan hapusnya tindak pidana penaburan permusuhan atau kebencian (haatzaai artikelen) yang merupakan tindak pidana formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana penghinaan yang merupakan tindak pidana materiil. Misi ketiga adalah misi “konsolidasi hukum pidana” karena sejak kemerdekaan perundang-undangan hukum pidana mengalami pertumbuhan yang user pesat baik didalam maupun diluarcommit Kitab to Undang-Undang Hukum Pidana dengan
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berbagai kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka asas-asas hukum pidana yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Disamping itu penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru dilakukan atas dasar misi keempat yaitu misi “adaptasi dan harmonisasi” terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standart serta norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia Internasional. Berbagai misi tersebut diletakkan dalam kerangka politik hukum yang tetap memandang perlu penyusunan hukum pidana dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi yang dimaksud untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum dengan memperhatikan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu dalam Negara Republik Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Harus diakui bahwa di era kemerdekaan telah banyak dilakukan usaha untuk menyesuaikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan kolonial dengan kedudukan
Republik
Indonesia
sebagai
negara
merdeka
dan
dengan
perkembangan kehidupan sosial lainnya, baik nasional maupun internasional. Dalam hal ini disamping berbagai perubahan yang dilakukan melalui UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah beberapa kali mengalami pembaharuan dan atau perubahan. 1. Pengaturan masalah euthanasia dalam RUU KUHP tahun 1999/2000 Dalam Rancangan KUHP Tahun 1999/2000 dapat ditemukan pengaturan masalah euthanasia dalam Pasal 477 yang berbunyi sebagai berikut : “Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun”. commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam penjelasan dikatakan bahwa ketentuan dalam pasal ini mengatur tindak pidana yang dikenal dengan euthanasia aktif. Bentuk euthanasia pasif tidak diatur dalam ketentuan ini karena masyarakat maupun dunia kedokteran tidak menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan anti. Meskipun
euthanasia
aktif
dilakukan
atas
permintaan
orang
yang
bersangkutan yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, namun perbuatan tersebut tetap diancam dengan pidana. Hal ini berdasarkan suatu pertimbangan karena perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan moral agama. Di samping itu juga untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya oleh pembuat justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan. Ancaman pidana disini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, meskipun dalam kondisi orang tersebut sangat menderita, baik jasmani maupun rohani. Jadi motif pembunuhan tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam tindak pidana. Pengertian “tidak sadar” dalam ketentuan pasal ini harus diartikan sesuai dengan perkembangan dalam dunia kedokteran. Pasal ini dirancang dan direncanakan untuk menggantikan Pasal 344 KUHP, jika diteliti lebih lanjut dapat diketahui bahwa redaksi Pasal 477 KUHP Konsep Rancangan Buku II KUHP sama bunyinya dengan Pasal 344 KUHP. Perbedaannya hanya terletak pada ancaman pidananya, pada Pasal 344 KUHP ancaman pidananya lebih berat yakni pidana penjara paling lama dua belas tahun, sedangkan Pasal 477 Konsep Rancangan Buku II KUHP lebih ringan yakni pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Pasal 477 Konsep Rancangan Buku II KUHP tersebut perlu diformulasikan kembali. Sebab kalau tidak, pasal ini akan mengalami nasib yang sama seperti Pasal 344 KUHP. Belum pernah diterapkan dalam kasus euthanasia. Padahal teknologi kedokteran semakin canggih, warga masyarakat semakin sadar akan hak dan kewajibannya dalam mengarungi kehidupan, sehingga dapat diramalkan kasus euthanasia akan terus meningkat. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
77 digilib.uns.ac.id
2. Perkembangan pengaturan masalah euthanasia dalam RUU KUHP tahun 2005 Dalam perkembangannya, ada beberapa perubahan-perubahan berkaitan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana setelah Konsep RUU KUHP Tahun 1999/2000. Hal ini bertujuan agar nantinya RUU KUHP ini dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan yang terkait dengan ketentuan hukum pidana di masa yang akan datang. Adanya perubahan RUU KUHP tersebut berimplikasi pada perubahan pengaturan euthanasia dalam RUU KUHP. Pengaturan euthanasia dalam Rancangan Undang-Undang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (RUU KUHP) terdapat dalam Pasal 574 RUU KUHP dan Pasal 575 RUU KUHP, antara lain : Pasal 574 RUU KUHP berbunyi : “Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun”. Pasal 575 RUU KUHP berbunyi : “Dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 574 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun”. Menurut penjelasan RUU KUHP pengaturan Pasal 574 RUU KUHP diatas ditujukan untuk menjerat perbuatan euthanasia aktif. Bentuk "euthanasia pasif'" tidak diatur dalam ketentuan tersebut karena masyarakat maupun dunia kedokteran tidak menganggap pembuatan tersebut
sebagai perbuatan anti.
Meskipun "euthanasia aktif" dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, namun perbuatan tersebut tetap diancam dengan pidana. Hal ini berdasarkan suatu pertimbangan karena perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan moral agama. Di samping itu juga untuk commit to user misalnya oleh pembuat tindak mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki,
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pidana justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan. Ancaman pidana di sini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang, melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, meskipun dalam kondisi orang tersebut sangat menderita, baik jasmani maupun rohani. Jadi motif pembuat tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam tindak pidana. Pengertian "tidak sadar" dalam ketentuan Pasal ini harus diartikan sesuai dengan perkembangan dalam dunia kedokteran. Mengenai perumusan euthanasia yang tercantum dalam Rancangan UndangUndang Kitab Undang Hukum Pidana Tahun 2005 tersebut, ancaman perbuatan ini dapat dikatakan relatif lebih ringan bila dibandingkan dengan KUHP yang berlaku sekarang. Hal ini disebabkan dalam rumusan Pasal 574 RUU KUHP tersebut dalam keadaan coma atau tidak sadar, sedangkan dalam Pasal 344 KUHP yang berlaku saat ini tidak ada disebutkan mengenai hal tersebut, sehingga ancaman hukumannya pada saat 12 tahun penjara. Mengenai unsur permintaan harus ditegaskan, apakah cukup dengan lisan atau harus tertulis. Sebaiknya permintaan tersebut dibuat dalam bentuk tertulis dan diatas kertas bermaterai, agar dapat dipergunakan sebagai bukti adanya permintaan yang nyata dan sungguh-sungguh. Demikian juga halnya dengan unsur tidak sadar harus dipertegas, sehingga ada kriteria yang dapat dipergunakan untuk menilainya. Ancaman pidana yang relatif ringan menunjukkan bahwa tindak pidana euthanasia ini dilakukan atas permintaan si pasien atau keluarganya dan dokter yang melakukan perbuatan tersebut, karena alasan kemanusiaan untuk menghilangkan penderitaan yang berat karena penyakit pasien tidak lagi dapat disembuhkan, serta pasien tersebut mungkin sudah berada dalam akhir hidupnya. Dokter yang melakukan perbuatan itu sudah berada dalam situasi yang harus menentukan pilihan dalam konflik kepentingan, yaitu mempertahankan hidup untuk
memperpanjang
penderitaan
atau
mempercepat
menghilangkan penderitaan (Suwarto, 2009 : 175). commit to user
kematian
untuk
perpustakaan.uns.ac.id
79 digilib.uns.ac.id
Mengenai ancaman pidana yang relatif ringan, menurut pendapat Budhy Hertantiyo (salah satu Hakim di Pengadilan Negeri Surakarta) : Bahwa rumusan RUU KUHP Nasional berkaitan dengan tindakan euthanasia ini sudah baik. Dalam ancaman pidananya sudah mengandung asas minimum maksimum. Asas minimum maksimum yang dimaksud disini adalah adanya ancaman pidana minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 9 (sembilan) tahun. Jadi hakim berhak memutus perkara sesuai dengan kadar perbuatannya dan nantinya dapat menjatuhkan sesuai dengan batas minimal ataupun batas maksimal ancaman pidana tersebut. Ini berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHP yang berlaku saat ini dimana tidak adanya asas minimum maksimum, dimana hakim hanya memutus berdasarkan hukuman yang paling berat (maksimal) yang tercantum dalam KUHP tersebut. Oleh karenanya diharapkan nantinya hakim dapat menentukan ancaman pidana dari tindakan euthanasia itu sendiri dengan bijak. Perkembangan lain yang terdapat RUU KUHP adalah, bahwa dalam RUU KUHP tersebut menyebutkan profesi “dokter” (Pasal 575 RUU KUHP) yang dalam KUHP yang berlaku sekarang tidak diatur. Menurut penulis, adanya pengaturan berkaitan dengan dengan profesi dokter terhadap Pasal 574 RUU KUHP menegaskan bahwa tindakan euthanasia di Indonesia itu dilarang atau tidak diperbolehkan dilakukan oleh siapapun sekalipun itu seorang dokter yang atas permintaan dari pasien. Selain itu, alasan pemidanan nantinya juga harus diperhatikan faktor dari pelaku, apakah pelaku tersebut mengetahui akibat dari euthanasia itu dan juga akibat hukum dilakukannya perbuatan euthanasia itu sendiri. Di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sudah dirasakan sekali perlunya mengubah atau membuat baru undang-undang yang ada kaitannya dengan euthanasia. Untuk negara kita hal itu barangkali belum dirasakan begitu perlu, tetapi di masa mendatang masalah ini semakin menantang untuk ditanggulangi dengan hukum pidana. Dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional, khususnya hukum pidana material (substantif), masalah prospek pengaturan euthanasia dalam KUHP Indonesia di masa mendatang perlu mendapat perhatian dari pembentuk undang-undang. Prof. Olga Lelacic dari fakultas hukum SPLIT mengemukakan bahwa seorang pasien yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya sebetulnya tidak ingin commit to userNamun demikian di negara kita mati tetapi ingin mengakhiri penderitaanya.
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
belum ada hukum yang jelas mengenai euthanasia ini. Dasar dari penentuan tindakan boleh dilakukan euthanasia atau tidak boleh dilakukan euthanasia adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia, yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia. Untuk mempertimbangkan perlu tidaknya suatu perubahan atau pembaharuan undang-undang ada tiga faktor yang harus diperhatikan oleh pembuat undangundang sebagai berikut : a. Pembuat harus memperhatikan semua argumen-argumen yang pro dan kontra terhadap euthanasia. b. Pembuat undang-undang harus menanyakan pada diri sendiri, apakah mungkin untuk membuat peraturan undang-undang yang jelas dan yang memberi kepastian hukum dan yang tidak menimbulkan kesulitan interpretasi. c. Pembuat undang-undang harus dapat memperhitungkan pula akibat dari perubahan atau pembaharuan undang-undang tersebut. Ketiga faktor tersebut diatas perlu diperhatikan pembentuk undang-undang, agar peraturan perundang-undangan yang dihasilkan dapat berdayaguna dan berhasilguna. Atas dasar ini menurut hemat penulis, rumusan pasal 574 RUU KUHP yang direncanakan menggantikan pasal 344 KUHP perlu diformulasikan kembali agar bisa mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi serta perkembangan. Di Indonesia data yang pasti tentang euthanasia, belum ada namun perdebatan tentang masalah euthanasia sudah dimulai, karena euthanasia telah menjadi masalah etika yang penting, dan ilmu kedokteran mampu untuk memperpanjang hidup seseorang. Alat bantu kehidupan seperti respirator, ginjal bantuan, dan suplai makanan melalui infus, telah memungkinkan seseorang untuk bertahan hidup walaupun secara alamiah seseorang telah kehilangan kemampuan untuk bertahan hidup. Menurut John Lorber dari American Medicine Assosiation yang dikutip oleh Suwarto dalam jurnalnya, mengungkapkan : “Antara membunuh dengan membiarkan mati dapat dibedakan dengan tegas. Perbedaan pembunuhan adalah kematian, sedangkan commit tomenyebabkan user membiarkan mati adalah membolehkan kematian terjadi. Yang kedua adalah
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
sebab terjadinya kematian oleh penyakit yang dideritanya atau oleh tidak adanya pengobatan” (Suwarto, 2009 : 172). Dari pendapat diatas dapatlah kita bedakan nantinya antara pembunuhan dengan euthanasia. Harapannya prospek perkembangan hukum pidana khususnya dalam RUU KUHP dapat mengakomodir benar bilamana nantinya terjadi kasus euthanasia di Indonesia. Apabila dilihat dari RUU KUHP yang tertuang dalam Pasal 574 RUU KUHP, dirasakan bahwa pasal tersebut masih banyak kekurangan terkait dengan pengaturan tentang euthanasia pada khususnya. Tidak adanya ketentuan yang pasti berkaitan dengan pengaturan euthanasia pasif, dengan kata lain membuat seolah-olah pemerintah secara tidak langsung melegalkan tindakan euthanasia pasif tersebut. Adanya ketidak jelasan tersebut dapat berimplikasi pada lahirnya hak untuk mati bagi pasien. Apabila ini sampai terjadi, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip “menghormati kehidupan”, dimana prinsip ini merupakan prinsip yang penting dalam etika medis. Kita tidak saja harus mempertahankan kehidupan sedapat mungkin, tetapi kita juga harus bertanya kehidupan yang bagaimana yang masih dianggap manusia dan layak dipertahankan. Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa euthanasia di Indonesia ini tetap dilarang. Larangan ini terdapat dalam Pasal 344 KUHP yang sampai sekarang masih berlaku. Akan tetapi dalam perumusan Pasal 344 KUHP yang sekarang ini, dapat menimbulkan kesulitan bagi jaksa untuk menerapkan atau mengadakan penuntutan. Di sisi lain, hadirnya Rumusan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) belum memberikan gambaran yang jelas tentang pengaturan euthanasia itu sendiri. Pasal 574 RUU KUHP yang berkaitan dengan masalah euthanasia yang mengatur atau berlaku bagi euthanasia aktif sedangkan euthanasia pasif tidak ada pengaturan yang jelas dan pasti dikarenakan bahwa euthanasia pasif dianggap sebagai perbuatan anti. Adanya RUU KUHP ini, sebaiknya dikaji lebih mendalam lagi agar nantinya apabila RUU KUHP ini disahkan akan dapat berguna, bermanfaat dan dapat memberikan pengaturan yang jelas terkait tindakan euthanasia itu sendiri. Baik euthanasia aktif ataupun euthanasia pasif. commit to user
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perbedaan pengaturan euthanasia dalam KUHP dengan RUU KUHP KUHP Pengaturan
Pasal 344 KUHP
Ancaman Pidana
12 (dua belas) tahun penjara
Penjelasan
Pasal ini melarang adanya euthanasia yang aktif, yaitu suatu tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat terjadinya kematian . Pasal 344 KUHP, merupakan pengkhususan dari Pasal 338 KUHP, yang mengatur tentang perampasan nyawa orang lain secara umum. Tetapi dengan adanya asas Lex specialis de rogat legi generali dalam concursus idealis, yang diatur pada Pasal 63 ayat (2) KUHP, maka terhadap masalah euthanasia hanya dapat diterapkan Pasal 344 KUHP saja.
RUU KUHP 1999/2000 Pasal 477 RUU KUHP 9 (sembilan) tahun penjara
Ketentuan dalam pasal ini mengatur tindak pidana yang dikenal dengan euthanasia aktif. Bentuk euthanasia pasif tidak diatur dalam ketentuan ini karena masyarakat maupun dunia kedokteran tidak menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan anti.
RUU KUHP 2005 Pasal 574 RUU KUHP Minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 9 (sembilan) tahun penjara Pengaturan Pasal 574 RUU KUHP diatas ditujukan untuk menjerat perbuatan euthanasia aktif. Bentuk "euthanasia pasif'" tidak diatur dalam ketentuan tersebut karena masyarakat maupun dunia kedokteran tidak menganggap pembuatan tersebut sebagai perbuatan anti.
BELANDA Dilegalkan --
Penerapan pelegalan terhadap tindakan euthanasia dalam negara Belanda dilandasi oleh beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain : pasien harus mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Tabel. 1 : Perbedaan pengaturan euthanasia commit to user dalam KUHP dan RUU KUHP
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan : Dari uraian pembahasan masalah diatas, maka dalam kesempatan ini, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan apapun untuk euthanasia pasti memerlukan jawaban yang tidak mudah, apalagi bagi setiap orang yang memiliki agama tertentu dan menyakini keajaiban Tuhan. Namun, secara manusiawi, setiap orang pasti dihadapkan pada pilihan yang dianggap terbaik bagi semua pihak meskipun tidak selalu memuaskan. Hal ini juga yang akhirnya melandasi hukum Indonesia untuk melarang euthanasia dengan segala bentuknya. Namun harus pula dipikirkan jalan terbaik untuk menekan biaya perawatan dan rumah sakit bagi mereka yang tanpa harapan hidup tetapi harus mempertahankan hidup. Atau setidaknya jalan keluar agar orang – orang yang ada di sekitar pasien tetap bisa hidup dan bertahan. Pengaturan masalah euthanasia di Indonesia, satu-satunya hanya terdapat di dalam Pasal 344 KUHP. Pasal ini melarang adanya euthanasia yang aktif, yaitu suatu tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat terjadinya kematian. Pasal 344 KUHP, merupakan pengkhususan dari Pasal 338 KUHP, yang mengatur tentang perampasan nyawa orang lain secara umum. Tetapi dengan adanya asas Lex specialis de rogat legi generali dalam concursus idealis, yang diatur pada Pasal 63 ayat (2) KUHP, maka terhadap masalah euthanasia hanya dapat diterapkan Pasal 344 KUHP saja. Walaupun telah diadakan pengaturan secara khusus, tetapi penerapan Pasal 344 KUHP ini, dirasakan sangat sulit. Hal ini disebabkan karena pasal ini menyebutkan adanya unsur “atas permintaan sendiri, yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Bagaimana seandainya si pasien tersebut in persistent vegetative state, sehingga dia tidak dapat commit tosemua user unsur yang terdapat di dalam berkomunikasi. Untuk memenuhi
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 344 KUHP ini memang sulit. Oleh karenanya masalah euthanasia tidak pernah terjadi di Indonesia yang sampai diajukan ke Pengadilan. Meskipun demikian, eksistensi ketentuan dalam Pasal 344 KUH-Pidana perlu untuk tetap dipertahankan. 2. Munculnya Konsep Rancangan KUHP Pasal 477 tahun 1999/2000 dan Pasal 574 RUU KUHP tahun 2005 yang mempunyai unsur-unsur menyangkut euthanasia, belum memberikan pengaturan secara jelas mengenai euthanasia itu sendiri. Pasal 574 RUU KUHP hanya ditujukan untuk menejerat perbuatan euthanasia aktif. Bentuk "euthanasia pasif'" tidak diatur dalam ketentuan tersebut karena masyarakat maupun dunia kedokteran tidak menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan anti. Ini berimplikasi pada ketidak jelasan pengaturan euthanasia dimasa yang akan datang.
commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Saran : Dari uraian kesimpulan diatas maka dalam penelitian ini penulis ingin memberikan sedikit saran yaitu sebagai berikut : 1. Pasal 344 KUHP merupakan pasal yang mengatur dan mengancam dengan pidana perbuatan euthanasia, dalam kenyataannya pasal ini belum menjaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana. Oleh karena eksistensi pasal ini perlu dipertahankan maka sebaiknya harus dirubah redaksinya atau rumusannya. Dalam rumusan baru nanti sebaiknya dibedakan antara euthanasia umum dengan euthanasia khusus. Terhadap euthanasia khusus tidak dikenakan pidana atau dihilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan, sebab perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan kriteria tertentu seperti standart profesi kedokteran yang menilai bahwa penyakit seseorang sudah tidak mungkin untuk disembuhkan, adalah suatu putusan tentang hal tersebut dari tim dokter setelah konsultasi dengan dokter ahli lainnya, serta adanya permintaan dari pasien atau keluarganya agar hidup pasien diakhiri karena tidak tahan lagi mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Dengan demikian rumusan baru harus memudahkan aparat penegak hukum menjaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana, karena rumusannya dapat dioperasionalkan dan diinterpretasikan sesuai dengan dinamika masyarakat serta perkembangan ilmu dan teknologi. Untuk menunjang hal tersebut perlu digarap materi standart penanganan euthanasia dengan hukum pidana, sehingga
penanggulangan
tersebut
nantinya
dapat
berdayaguna
dan
berhasilguna. 2. Perlu adanya kajian lebih mendalam lagi terkait dengan Pasal 574 RUU KUHP yang diprediksikan sebagai pengganti dari Pasal 344 KUHP yang mengatur atau unsur-unsur dari pasal tersebut berkaitan dengan tindakan atas euthanasia. Kajian lebih mendalam diperlukan terkait dengan penjelasan dari Pasal 574 RUU KUHP yang hanya mengatur berkaitan euthanasia aktif. Sedangkan euthanasia pasif hanya dikatakan sebagai tindakan anti. Substansi commit todisesuaikan user dari klausul pasal tersebut sebaiknya agar nantinya tidak terjadi
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ketidakjelasan dalam pengaturannya, baik itu euthanasia aktif ataupun euthanasia pasif. Agar nantinya menghasilkan suatu pasal yang jelas dan tegas yang nantinya berimplikasi apabila terjadi tindakan tersebut maka akan ada suatu landasan hukum bagi pengadilan ataupun aparat penegak hukum dalam menyelesaikan masalah ini. Terhadap perumusan pasal 574 RUU KUHP tersebut penulis berharap akan nantinya pasal tersebut dapat mengalami perubahan dan dilengkapi seperti tambahan berikut : a. Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun. b. Apabila perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat pertama, dilakukan terhadap seorang penderita yang tidak menentu nasibnya, dan sudah tidak dapat diharapkan lagi penyembuhannya yang dinyatakan oleh lebih dari seorang dokter, perbuatan ini tidak dipidana. c. Ketentuan dalam ayat kedua harus disertai pula permohonan secara tertulis dari penderita dan atau keluarganya, dengan ditandatangani oleh saksisaksi. Dengan perumusan pasal 574 RUU KUHP yang diperbaharui diatas, akan terjadi dua kemungkinan, yaitu dilarangnya euthanasia sebagaimana disebutkan dalam ayat (1), dan diperbolehkannya euthanasia dalam keadaan tertentu, sebagaimana disebutkan dalam ayat (2) dan (3). Dengan demikian nantinya pasal 574 RUU KUHP dapat mudah untuk diterapkan atau dipenuhi unsur-unsurnya, sehingga bersifat aktif tidak seperti perumusan yang saat ini yang bersifat pasif.
commit to user