perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM) DALAM JAJANAN ANAK (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Konsumen)
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : VITRIYANI TRI UTAMI NIM.E. 0008255
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Vitriyani Tri Utami
NIM
: E0008255
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN
PELAKU
USAHA
TERHADAP
PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM) DALAM JAJANAN ANAK (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Konsumen)” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juni 2012 yang membuat pernyataan
Vitriyani Tri Utami NIM. E0008255
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Vitriyani Tri Utami. E0008255. 2012. PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM) DALAM JAJANAN ANAK (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Konsumen). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui apakah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mampu memberikan perlindungan hukum bagi anak terhadap penggunaan BTM dalam jajanan anak. Penulisan hukum ini termasuk penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dengan menggunakan sumber bahan hukum, meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Selanjutnya dimintakan klarifikasi terhadap konsumen anak, pelaku usaha di bidang jajanan anak, dan instansi pengawas produk pangan jajanan anak di Kota Surakarta (Dinas Kesehatan Kota Surakarta dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta). Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara studi kepustakaan dan cyber media. Dalam penulisan hukum ini, penulis menggunakan analisis dengan metode deduksi yang berpangkal dari premis mayor yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan berbagai peraturan perundang-undangan yang relevan terkait penggunaan BTM dalam produk pangan. Selanjutnya peneliti mengajukan premis minor yaitu mengenai perlindungan hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bagi anak terhadap penggunaan BTM dalam jajanan anak dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan BTM dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh anak. Dari hal tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. Berdasarkan penelitian ini diperoleh simpulan. Kesatu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen belum mampu memberikan perlindungan hukum bagi anak sebagai konsumen terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam jajanan anak. Substansi perlindungan dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen masih bersifat umum dan belum ada pasal-pasal yang secara eksplisit memberikan perlindungan khusus bagi anak sebagai golongan konsumen yang tidak terinformasi. Kedua, pelaku usaha bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksi dan memberikan informasi yang benar jelas, dan jujur dalam penggunaan BTM. Tanggung jawab pelaku usaha untuk menjamin keamanan pangan yang diproduksi dan pemberian informasi yang jelas dalam penggunaan BTM belum sepenuhnya terpenuhi, khususnya oleh golongan pelaku usaha kecil menengah. Hal ini mengakibatkan hak konsumen anak atas keamanan, keselamatan dan kenyamanan serta hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dalam mengkonsumsi jajanan anak belum sepenuhnya terpenuhi. Kata kunci : perlindungan konsumen, konsumen anak, bahan tambahan makanan. commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Vitriyani Tri Utami. E0008255. BUSINESS LIABILITY FOR THE USE OF FOOD ADDITIVES IN CHIDREN FOOD (A Study of the Protection of Children as Consumers). Faculty of Law Sebelas Maret University. The writing of this law aims to determine whether the Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection have been able to provide legal protection for children toward the use of food additives in children food. Including of this law is a normative legal research prescriptive using sources of law, include primary and secondary legal materials. Further, requested the clarification of the child consumer, entrepreneurs in the field of child snacks and child snack food product regulatory agency in Surakarta (Health Department of Surakarta and Industry and Trade Department of Surakarta). Techniques of collecting legal material in this study are by study literature and cyber media. In the writing of this law, the authors use the deduction method of analysis stemming from the major premise that is the Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection and other relevant laws and regulations related to the use of food additives in food products. Further researcher proposes that the minor premise of the legal protection of the Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection for children against the use of food additives in food products consumed by children. Of this is then drawn a conclusion. Based on the conclusion of this study. First, the Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection has not been able to provide legal protection for children as a consumer against the use of food additives in children food. Substance in the protection of the Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection is stiil common and there are no provisions that explicitly provide special protection for children as a group of consumers who are not informed. Second, businesses responsible for the safety of food produced and provide the correct information is clear, and honest in the use of food additives. Responsibility of businesses to ensure the safety of food produced and the provision of clear information in the use of food additives has not been completely fulfilled, especially by small and medium business group. This resulted in the consumer rights of the child to the security, the safety and comfort as well as the right to correct information, clearly and honestly in a child consume snacks have not been completely fulfilled. Key words : consumer protection, child consumer, food additives
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Orang yang berbahagia adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari orang lain. (Ibnu Mas`ud radhiyallahu`anhu)
Saya bisa melakukan dan saya akan melakukan apa yang saya takutkan. (Elanor Roosevelt)
Usaha disertai doa adalah kunci keberhasilan. (Vitriyani Tri Utami)
Perubahan tanpa visi melahirkan kekacauan Perubahan tanpa skill melahirkan kecemasan Perubahan tanpa insentif melahirkan penolakan Perubahan tanpa resource melahirkan frustasi Perubahan tanpa action plan melahirkan kegagalan (Rhenald Kasali,Ph.D.)
Motivasi yang paling kuat dan dasyat itu justru dari dalam diri (niat). (Vitriyani Tri Utami)
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini didedikasikan kepada: 1. Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Penelitian Hukum ini . 2. Ibu dan ayahku tercinta, ibu Sri Hartini dan bapak Widodo yang selama ini telah memberi kasih sayang dan doa serta dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum ini. 3. Kakak-kakakku tersayang Widiastuti, Amd., Wahyu Widiatmoko, M.Adi W.,Amd., Enny yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum ini. 4. Keponakanku tersayang Althaf Al Adn dan Rubismo Gibran Saverio. 5. Sahabat-sahabatku , Rizha Putri Riadhini, Al-Drie Agni S.I., Rani Permata F., Yuni Lastantri D.,Intan Kusuma M., yang senantiasa memberikan dukungan dan menjadi partner diskusi yang baik dalam proses penyelesaian Penulisan Hukum ini. 6. Teman-temanu selama magang di Boyolali, Fauzhia W., Ardhani N., Twinike S.,Nungki L., Warih adi S., Uce Ade W. 7. Semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya penulisan hukum ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan Bapak, Ibu, rekan-rekan menjadi amalan dan mendapat balasan kebaikan dari Allah SWT. 8. Almamater tercinta Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan
Penulisan
“PERTANGGUNGJAWABAN
Hukum PELAKU
(skripsi) USAHA
yang
berjudul TERHADAP
PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BTM) DALAM JAJANAN ANAK (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Konsumen)”. Penulisan hukum ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan hukum ini membahas tentang perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bagi anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam jajanan anak serta tanggung jawab pelaku usaha dalam penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk jajanan anak. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu penulis dengan besar hati akan menerima segala masukan yang dapat memperkaya pengetahuan penulis di kemudian hari. Dengan selesainya penulisan hukum ini maka dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penulisan hukum ini : 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 2. Bapak Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penyusunan penulisan hukum ini. 3. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara dan Dosen Pembimbing yang telah memberikan commit to usermemberikan bantuan, bimbingan, kelancaran dan dengan penuh kesabaran
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan pengarahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini. 4. Bapak Prof.Dr.Supanto,S.H.,M.Hum selaku pembimbing akademik yang telah memberikan nasihat dan bimbingan selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum UNS. 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang dengan keikhlasan dan kemuliaan hati telah meberikan bekal ilmu kepada penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 6. Bapak dan Ibu di Bagian Akademik, Bagian Kemahasiswaan, Bagian Tata Usaha dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 7. PPH FH UNS, yang telah memberikan kesempatan bagi penyusun untuk membuat serta menyelesaikan penulisan hukum ini. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu semoga segala bantuan Bapak, Ibu, Saudara, dan Saudari yang diberikan kepada penyusun akan mendapat balasan dari Allah SWT. Akhirnya penyusun berharap penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan, Amin
Surakarta, Juni 2012 Penulis
Vitriyani Tri Utami
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI
iii
PERNYATAAN
iv
ABSTRAK
v
HALAMAN MOTTO
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
viii
KATA PENGANTAR
ix
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR SKEMA
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Perumusan Masalah
8
C. Tujuan Penelitian
9
D. Manfaat Penelitian
9
E. Metode Penelitian
10
F. Sistematika Penulisan Hukum
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................
17
A. Kerangka Teori............................................................... ........
17
1. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen ........................................................................
17
a. Pengertian Perlindungan Konsumen ...........................
17
b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen .................
18
2. Tinjauan Umum tentang Konsumen dan Pelaku Usaha.....................................................................
19
a. Istilah dan Pengertian Konsumen...............................
19
b. Hak dan Kewajiban Konsumen................................... commit to .......................................... user c. Pengertian Pelaku Usaha ...
21
xi
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ..............................
28
e. Tanggung Jawab Pelaku Usaha. .................................
29
3. Tinjauan Umum tentang Bahan Tambahan Makanan (BTM)................................................................
31
a. Pengertian BTM.......................................................
31
b. Penggunaan BTM.....................................................
33
c. Jenis dan Pengelompokan BTM...............................
36
4. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Anak....................
38
a. Pengertian Anak.......................................................
38
b. Perlindungan Anak....................................................
39
B. Kerangka Pemikiran................................................................
43
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHAN...............................
46
A. Perlindungan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Bagi Anak Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM) Dalam Jajanan Anak................................................................
46
1. Gambaran Umum Peredaran Jajanan Anak.......................
46
2. Perlindungan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Bagi Anak Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM) dalam Jajanan Anak...............................................
52
B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM) dalam Produk Pangan yang Dikonsumsi oleh Anak................................ ......
72
1. Standar Norma Penggunaan BTM di Indonesia................
72
2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Penggunaan BTM dalam Produk Pangan yang Dikonsumsi oleh Anak...................................................................................
82
3. Tanggung Jawab Pengawasan dan Pembinaan dan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen Produk commit to user Pangan................................................................................. 103
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP ..................................................................................
115
A. Kesimpulan ..........................................................................
115
B. Saran..................................................................... ...............
116
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR SKEMA
Halaman
Skema 1.
Skema Kerangka Pemikiran .................................................
commit to user
xiv
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Realita yang demikian pada satu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbukanya kebebasan untuk memilih beraneka macam jenis dan kualitas barang dan/atau jasa. Di sisi lain, kondisi dan fenomena yang demikian dapat pula mengakibatkan kedudukan konsumen dan pelaku usaha tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Pelaku usaha menjadikan konsumen sebagai obyek aktivitas bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Salah satu produk yang dimanfaatkan konsumen adalah produk pangan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, disebutkan bahwa “Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman”. Produk pangan bagi setiap manusia merupakan kebutuhan pokok, sehingga setiap orang senantiasa dihadapkan pada keadaan untuk menentukan atau memilih produk pangan di pasaran. Derasnya peredaran produk-produk pangan sebagai akibat terbukanya pasar melahirkan iklim persaingan yang ketat dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Tidak jarang dalam transaksi ekonomi yang terjadi terdapat permasalahan-permasalahan yang menyangkut persoalan sengketa commit user dan ketidakpuasan konsumen akibatto produk yang di konsumsinya tidak
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
memenuhi kualitas standar bahkan tidak jarang produk pangan tersebut juga membahayakan bagi konsumen. Akibatnya masyarakat sebagai konsumen sangat dirugikan bahkan dapat mengancam kesehatan dalam jangka panjang, oleh karena itu adanya jaminan kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan produk pangan yang diperolehnya di pasar menjadi urgen. Fakta tersebut membuat pelaku usaha mempunyai posisi yang kuat dibandingkan konsumen. Pelaku usaha menjadi pihak yang mengetahui bahan dasar, pengolahan, pengemasan, serta pendistribusian produk pangan. Hal ini memberikan konsekuensi bagi pelaku usaha untuk dapat memastikan bahwa kualitas dari produknya aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Pelaku usaha wajib menjamin mutu pangan yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu yang berlaku untuk menjamin keamanan dan kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa sebagai pemakai akhir. Dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung resiko terhadap keamanan konsumen wajib disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Informasi yang diberikan harus benar, jelas dan jujur. Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak mempunyai gambaran yang keliru atas suatu produk. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti secara lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan (barang) (Shidarta,2004:23-24). Menurut Chandra Dewi Puspitasari yang mengutip tulisan dalam majalah TRUST yang berjudul Canggih Tapi Membahayakan Telinga disebutkan bahwa dalam praktik sering ditemukan pelaku usaha yang sengaja memanipulasi informasi atau memberikan informasi secara tidak lengkap sehingga membahayakan dan merugikan konsumen. Selanjutnya Chandra Dewi Puspitasari yang mengutip pendapat Professor David Harland dalam pendapatnya mensinyalir bahwa kapasitas barang dan jasa dapat merugikan commit to user hanya karena adanya informasi atau membunuh konsumen yang disebabkan
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang kurang lengkap untuk membantu mereka mengenal, apakah barang dan jasa itu telah memenuhi syarat keamanan. Kombinasi kemajuan metode komunikasi massa dan teknik pemasaran yang semakin rumit mengakibatkan konsumen menjadi lebih bertanggung jawab atas klaim yang menyesatkan, yang mungkin dibuat oleh pelaku usaha (Chandra Dewi Puspitasari. Peningkatan Kesadaran
Hak - Hak Konsumen Produk Pangan Sebagai
Upaya Mewujudkan Kemandirian Konsumen Di Kabupaten Bantul. http://eprints.uny.ac.id/4054/1/PERLINDUNGAN_KONSUMEN-DIPA.pdf). Konsumen, khususnya konsumen produk pangan, seringkali menderita kerugian akibat mengkonsumsi produk pangan tertentu. Konsumen seringkali berada pada posisi yang kurang menguntungkan dan lemah daya tawarnya. Salah satunya disebabkan karena mereka belum memahami hak-hak mereka sebagai konsumen yang sebetulnya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Disamping itu, dari sisi pelaku usaha pemahaman mengenai kewajiban terhadap konsumen juga belum mencukupi. Ketika terjadi permasalahan atau kerugian dari penggunaan suatu produk pangan tertentu, umumnya konsumen dihadapkan pada kesulitan untuk mendapatkan penyelesaian dari pelaku usaha, karena konsumen berada dalam posisi tawar yang tidak seimbang (inequality of bargaining power). Terkadang jika konsumen mengadukan permasalahannya kepada pelaku usaha juga tidak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan, hal tersebut membuat konsumen sangat tidak berdaya. Konsumen hanya bisa pasrah terhadap kondisi yang dialaminya, karena tidak mungkin dengan kekuatan konsumen seorang diri bisa mengubah perilaku bisnis dari pelaku usaha. Sebagai gambaran dapat diperhatikan jajanan anak sekolah, contohnya pada pangan olahan tahu, bakso, mie basah, dan ikan. Sungguh menarik untuk dikonsumsi berbagai aneka macam bentuk dan warna pangan yang dikemas secara sederhana. Bermula dari upaya menekan biaya produksi, pelaku usaha kecil menengah tidak jarang menggunakan alternatif bahan baku dari bahan commitmurah. to user Bahkan dengan memanfaatkan berbahaya dengan harga relatif
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keterbatasan informasi pada label dan rendahnya daya beli konsumen, terdapat oknum pelaku usaha yang masih memperjualbelikan pangan substandar. Tentu hal ini sangat meresahkan karena apabila dikonsumsi, pangan ini akan mempunyai efek samping, baik secara langsung maupun dalam jangka panjang, yang merugikan konsumen dari aspek keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan (K3L) (BPKN. Konsumen Waspadailah Pangan Berbahaya
dan
Substandar.
http://www.bpkn.go.id/adm/uploads/kajian/2429Kajian%20pangan.pdf). Makanan jajanan anak merupakan sumber potensial yang mempunyai nilai komoditas dan menunjang perekonomian dalam jalur informal karena banyak jajanan anak yang dibuat dalam skala kecil sebagai industri rumahan (home industry). Jajanan anak telah menjadi bagian dari keseharian anak. Anak yang membeli dan/atau mengkonsumsi makanan jajanan merupakan konsumen. Dalam kepustakaan ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan/pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menginginkan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan
Konsumen
(UUPK)
merupakan
konsumen
akhir
(Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen). Konsumen harus mendapatkan perlindungan hukum sebagai konsumen. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
Kesibukan orang tua zaman sekarang membawa dampak pada pola konsumsi anak. Dahulu orang tua masih mempunyai waktu memberikan bekal makanan dan minuman untuk anak-anak mereka, namun saat ini orang tua cenderung lebih suka memberikan uang saku untuk jajan anak-anaknya karena dianggap lebih praktis. Pada commit lain sisitosebagian user besar anak sebenarnya belum
perpustakaan.uns.ac.id
5 digilib.uns.ac.id
mampu memilih jajanan yang sehat, bahkan anak-anak mudah terpengaruh oleh iklan produk jajanan.
Anak adalah generasi penerus bangsa yang harus senantiasa dilindungi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Anak-anak Indonesia kini tengah menghadapi bahaya serius yang seringkali tidak disadari oleh orang tua mereka. Tidak jarang ketidaktahuan atau ketidakmampuan orang tua yang mendekatkan anak pada bahaya peredaran makanan yang mengandung bahan tambahan makanan berbahaya. Banyaknya persaingan pasar yang memproduksi bahan pangan menjadikan para pelaku usaha kurang memperhatikan mutu, keamanan, dan kualitas barang yang diproduksi dan dipasarkan. Banyak produsen jajanan anak yang tidak memperhatikan keamanan produknya. Mereka lebih memikirkan keuntungan yang dihasilkan, yaitu dengan modal sekecil-kecilnya tetapi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan aspek keamanan dan keselamatan konsumen. Begitu juga dengan para konsumen yang tidak terlalu memperhatikan mutu serta kualitas, para konsumen cenderung hanya memperhatikan harga yang murah sehingga banyak konsumen yang tidak memperoleh manfaat dari bahan pangan tersebut secara maksimal. Bahan kimia berbahaya yang tidak ditujukan untuk makanan justru ditambahkan ke dalam makanan. Tidak jarang pelaku usaha juga menggunakan bahan tambahan makanan yang dibatasi penggunaannya oleh pemerintah secara berlebihan yang tentunya sangat membahayakan konsumen. Hal ini terjadi karena banyak hal yang ingin dicapai, diantaranya pedagang ingin makanannya menjadi awet, sementara ia tidak mempunyai pengetahuan mengenai cara pengawetan makanan yang benar. Terkadang mungkin saja pelaku usaha mengetahui bahwa suatu pengawet (misalnya formalin) berbahaya untuk ditambahkan ke dalam makanan, tetapi tetap saja dilakukan mengingat harganya sangat murah. Di samping itu juga disebabkan ketidaktahuan konsumen terhadap berbagai jenis makanan berbahaya yang commit user ada. Terlebih lagi konsumen sulit tomembedakan ciri-ciri makanan yang
perpustakaan.uns.ac.id
6 digilib.uns.ac.id
mengandung bahan berbahaya sehingga bahan-bahan tersebut semakin sering ditambahkan ke dalam makanan. Hal lain yang menyebabkan produsen menambahkan bahan berbahaya adalah tingkah laku konsumen itu sendiri. Sejumlah konsumen, khususnya konsumen anak menginginkan makanan dengan warna yang mencolok sehingga produsen terdorong menambahkan pewarna tekstil untuk mendapatkan warna yang diinginkan (Nurheti Yuliarti,2007:8-9). Penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama, baik produsen maupun konsumen. Dampak penggunaannya dapat berakibat positif maupun negatif untuk masyarakat. Penyimpangan dalam pemakaiannya akan membahayakan kita bersama, khususnya generasi muda sebagai penerus bangsa (Wisnu Cahyadi,2006:250). Jajanan-jajanan berbahaya ini sangat mudah didapatkan oleh anakanak, karena biasanya dijajakan di sekolah-sekolah, baik sekolah dasar (SD) maupun sekolah menengah pertama (SMP), terutama di sekolah-sekolah yang mayoritas siswanya berasal dari kalangan menengah ke bawah. Harga jajanan anak berbahaya pun relatif jauh lebih murah dibandingkan dengan makanan sejenis yang hanya menggunakan bahan-bahan yang aman. Banyaknya pangan jajanan anak sekolah (PJAS) mengadung bahan berbahaya tercermin dari hasil pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sampai Oktober 2010. Dari 1.845 sampel yang diuji, 563 makanan yang dijajakan di lingkungan sekolah di sejumlah kota besar di Indonesia terbukti tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Rinciannya, 48 sampel (13,15%) ditemukan masih mengandung zat formalin, 130 sampel (35,62%) mengandung boraks, 49 (13,42%) bercampur dengan rhodamin b, lima sampel mengandung methanil yellow, 11 sampel terdapat unsur benzoat berlebih, 15 sampel mengandung sakarin berlebih, 107 sampel mengandung siklamat. Selain itu, 191 sampel juga tidak memenuhi paramaeter uji cemaran mikroba, seperti terdapat bakteri ecoli (Media Indonesia. Bahan Berbahaya Ancam
Tunas Bangsa. commit to user http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=27
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
836:bahan-berbahaya-ancam-tunas-bangsa&catid=16:cakrawala
indonesia&
Itemid= 59). Ketidakjelasan perlindungan terhadap konsumen anak ditunjukkan dengan tingkat keracunan pangan di Indonesia yang cukup tinggi. Dari seluruh kasus, sebagian besar menimpa kelompok usia anak-anak, baik saat di rumah maupun di sekolah. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia mencatat, pada tahun 2008, jumlah korban keracunan pangan Indonesia mencapai 25.268 orang, dengan 8.943 kasus. Sementara tahun 2009, jumlah korban berkurang menjadi 7.815 orang dengan 3.239 kasus. Pada rentang waktu 2010 sampai dengan 2011, jumlah itu kembali meningkat dengan korban didominasi kalangan anak-anak. Dari semua kasus tersebut, 56,52% terjadi di tempat tinggal atau rumah, dan sekitar 26% terjadi di sekolah. Kasus keracunan umumnya disebabkan produsen makanan mencampurkan bahan kimia berbahaya seperti formalin, boraks, pewarna tekstil kedalam makanan yang
diproduksi,
dan
diperdagangkan
(Harian
Umum
Tabengan.
Palangkaraya.http://media.hariantabengan.com/index/detailkesehatanberitaph oto/id/12510). Pada tahun 2011 juga terjadi rentetan kasus keracunan makanan yang menimpa anak-anak. Bulan Juni 2011 ada dua kasus keracunan makanan yang menimpa masyarakat Sragen, beberapa korban diantaranya kemungkinan besar adalah anak-anak. Pada tanggal 4 Juli 2011 sebanyak 13 anak keracunan sosis goreng. Selanjutnya tanggal 17 Juli 2011 sebanyak tujuh siswa keracunan tempura dan empat diantaranya kritis (Shoim Sahriyati. Siapa Melindungi
Konsumen
Anak?.
http://harianjoglosemar.com/berita/siapa-
melindungi-konsumen-anak49291.html). Beberapa bulan terakhir juga ramai diberitakan mengenai kasus keracunan es krim yang menimpa 47 siswa Sekolah Dasar Lego Wetan, Kecamatan Bringin, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Es krim tersebut dibeli dari pedagang makanan dan minuman di luar sekolah (Siwi Tri Puji. Jajan Es Krim Usai Upacara, 47 Siswa SD Keracunan. http://www.republika.co.id). commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kasus keracunan lain yang cukup mengkhawatirkan juga terjadi di Medan, Sumatera Utara. Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen (LAPK) Sumatera Utara menyatakan, dugaan keracunan jajanan di Kota Medan dan sekitarnya yang tidak kunjung reda menerpa anak-anak mapun siswa/siswi sekolah dasar (SD). Kasus keracunan jajanan tersebut sudah sangat meresahkan para orang tua. Hal tersebut mengindikasikan keamanan jajanan anak sudah mengkhawatirkan. Sampai saat ini tidak ada satupun kasus keracunan menemui titik terang penyelesaian (Prawira Setiabudi. LAPK : Jajanan
Anak
Memprihatinkan.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 183172:lapk-jajanan-anak- memprihatinkan&catid=14:medan&Itemid=27). Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang tertuang dalam bentuk penulisan hukum dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN
PELAKU
USAHA
TERHADAP
PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN (BMT) DALAM JAJANAN ANAK (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Konsumen)”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
yang
telah
dipaparkan
sebelumnya, serta agar permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas dan penulisan penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan, maka permasalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah mampu memberikan perlindungan hukum bagi anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam jajanan anak? 2. Bagaimanakah tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh anak? commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian “Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan isu hukum yang timbul” (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 41), berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini mempunyai tujuan obyektif dan tujuan subyektif sehingga mampu mencari pemecahan isu hukum terkait. Adapun tujuan yang hendak dicapai peneliti adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk memahami dan menganalisa perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) bagi anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam jajanan anak. b. Untuk memahami dan menganalisa tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh anak. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah wawasan penulis dalam bidang Hukum Administrasi Negara terutama yang berhubungan dengan perlindungan hukum bagi anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam jajanan anak dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) pada produk makanan yang dikonsumsi anak. b. Untuk melatih kemampuan penulis dalam menerapkan konsep-konsep ataupun teori-teori hukum yang diperoleh penulis selama masa perkuliahan dalam mendukung penulisan hukum ini. D. Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian hukum ini akan dapat bermanfaat baik bagi penulis, orang lain dan juga bagi bidang ilmu yang diteliti. Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
dibidang
hukum
pada
umumnya
dan
Hukum
Administrasi Negara pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan Hukum Administrasi Negara (HAN) mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam jajanan anak (Suatu Telaah Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Konsumen). c. Hasil penelitian hukum ini dapat dipakai sebagai bahan untuk mengadakan penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan referensi bagi peneliti selanjutnya dalam rangka pengembangan ilmu hukum terutama Hukum Administrasi Negara. b. Penelitian hukum ini diharapkan dapat menjadi wahana bagi penulis mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. E. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006 :35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itulah, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya atas isu yang diajukan (Peter Mahmud Marzuki, 2006 :41). commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasar uraian diatas maka untuk memperoleh hasil yang diharapkan dalam penulisan hukum ini, metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum secara umum dapat dikategorikan menjadi penelitian doktrinal dan penelitian non doktrinal. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian hukum doktrinal atau disebut juga penelitian hukum yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian doktrinal adalah suatu penelitian hukum yang bersifat preskriptif bukan deskriptif sebagaimana ilmu sosial dan ilmu alam (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 33). 2. Sifat Penelitian Penelitian hukum ini bersifat preskriptif dan teknis atau terapan. Sifat preskriptif disini dapat diartikan bahwa penelitian ini mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sedangkan sifat teknis atau terapan menggambarkan bahwa penelitian ini menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22). Sifat preskriptif dalam penelitian ini tercermin ketika penulis mempelajari aturan-aturan hukum yang berlaku terkait dengan perlindungan hukum bagi anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh anak. 3. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan
approach),
pendekatan
(comparative approach), dan pendekatan commit to user (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006 :93).
konseptual
komparatif
historis
(historical
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach). Pendekatan perundang-undangan (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peratuan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. 4. Jenis Bahan Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141). 5. Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan untuk menyusun penulisan hukum ini dapat digolongkan sebagai berikut : a. Bahan Hukum Primer 1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). 3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 5) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. 7) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan. 8) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239/Men.Kes/Per/V/85 Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya. 9) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan Juncto Peraturan Menteri Kesehatan
RI
Perubahan
atas
Nomor
1168/MENKES/PER/X/1999
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
tentang Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. 10) Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI Nomor 00386/C/SK/II/90 tentang Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor
239/Men.Kes/Per/V/85 Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya. 11) Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI Nomor HK.00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku referensi, jurnaljurnal hukum yang terkait, dan media massa yang mengulas tentang perlindungan anak sebagai konsumen jajanan anak serta tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh anak. 6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian ini teknik yang digunakan untuk mengumpulkan bahan hukum yaitu: a. Studi Kepustakaan (Library Research) Studi kepustakaan sangat penting sebagai dasar teori maupun commitDalam to user studi kepustakaan ini peneliti sebagai data pendukung.
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengkaji dan mempelajari buku-buku, arsip-arsip, dan dokumen maupun peraturan-peraturan yang ada hubungannya dengan masalah penelitian. b. Cyber media Pengumpulan data melalui internet dengan cara melalui e-mail dan download berbagai artikel yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi anak sebagai konsumen terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam jajanan anak dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh anak. 7. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis sumber hukum dengan logika deduktif. Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogime yang diajarkan oleh Aristoteles, bahwa penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor (aturan hukum) kemudian diajukan premis minor (fakta hukum). Dari kedua hal tersebut kemudian ditarik
suatu
kesimpulan
atau
conclusion.
(Peter
Mahmud
Marzuki,2006:47). Jadi dapat disimpulkan bahwa logika deduktif atau pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus. Mengingat penelitian ini adalah penelitian doktrinal maka pengumpulan data utama yang ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Menginventarisasi dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penulisan hukum ini. b. Menginventarisasi dan mengkaji serta memilih secara selektif bahanbahan bacaan lainnya seperti buku-buku referensi, jurnal-jurnal hukum commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terkait, surat kabar, bulletin yang menunjang dan memperkaya penulisan hukum ini. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber hukum yang diolah, sehingga dapat menjawab pertanyaan tentang perlindungan hukum UUPK bagi anak sebagai konsumen terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam jajanan anak dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk pangan yang dikonsumsi anak.
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk
lebih
mempermudah
dalam
melakukan
pembahasan,
penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis akan menguraikan tinjauan umum. Sedangkan dalam kerangka pemikiran disajikan dalam bentuk bagan, kemudian diikuti dengan deskripsi atas bagan kerangka pemikiran.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan
yang
telah
dirumuskan
sebelumnya
yaitu
perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) bagi anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam commit to user jawab pelaku usaha terhadap jajanan anak dan tanggung
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh anak. BAB IV
: PENUTUP Penutup adalah bagian akhir dari penulisan hukum ini yang menguraikan secara singkat tentang kesimpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen a. Pengertian Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yaitu “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,2004:1). Piranti hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui
penyediaan
barang
dan/atau
jasa
yang
berkualitas.
Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibatakibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut. Perlindungan hukum kepada konsumen merupakan hal yang semakin penting disebabkan antara lain faktor-faktor (Erman Rajagukguk, dkk,2000:93) : 1) kedudukan konsumen yang relatif lemah dibandingkan produsen; 2) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor penggerak produktivitas dan efisiensi produsen dalam menghasilkan barang jasa; to dan commit user
17
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) perubahan konsep pemasaran yang mengarah pada pelanggan dalam konteks lingkungan eksternal yang lebih luas pada situasi ekonomi global. Perspektif hukum perlindungan konsumen dikembangkan tidak saja atas dasar hak-hak konsumen, tetapi juga dasar tanggung jawab produsen terhadap produk yang dihasilkan (product liability) yang keduanya bermuara pada penerapan etika bisnis yang universal (Erman Rajagukguk, dkk,2000:93-94). Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan (Erman Rajagukguk,dkk,2000:7) : 1) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastian hukum; 2) melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha; 3) meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa; 4) memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan; dan 5) memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain. b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen Ketentuan Pasal 2 UUPK menyebutkan ada lima asas perlindungan konsumen : 1) Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan pelaku usaha, namun untuk mendorong iklim usaha yang sehat, tangguh, dan produk berkualitas. 2) Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya commit to secara user adil.
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Asas
keseimbangan,
dimaksudkan
untuk
memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Konsumsi terhadap suatu produk tidak menyebabkan gangguan bagi kesehatan (fisik dan mental). 5) Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Melalui kelima asas perlindungan konsumen tersebut di atas, terdapat komitmen UUPK untuk mewujudkan tujuan perlindungan konsumen sebagaimana termuat dalam Pasal 3 UUPK sebagai berikut: 1) 2)
3) 4)
5)
6)
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, menuntut hak-haknya sebagai konsumen; menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; dan meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
2. Tinjauan Umum tentang Konsumen dan Pelaku Usaha a. Istilah dan Pengertian Konsumen Menurut Celina Tri Siwi K. yang mengutip pendapat commit to user AZ.Nasution, istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Begitu pula kamus besar inggris-indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen (Celina Tri Siwi K, 2008 : 22). Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah konsumen sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada UUPK. Pengertian konsumen menurut UUPK dalam Pasal 1 ayat (2) yakni ”Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang
lain,
maupun
makhluk
hidup
lain
dan
tidak
untuk
diperdagangkan”. Unsur-unsur definisi konsumen (Shidarta, 2004 : 5-9) : 1). Setiap Orang; 2). Pemakai; 3). Barang dan/atau jasa; 4). Yang tersedia dalam masyarakat; 5). Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain; dan 6). Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan. Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Penjelasan Pasal 2 UUPK menyebutkan bahwa: Dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Pengertian
konsumen
dalam
penjelasan
UUPK
adalah
konsumen akhir bukan konsumen commit to userantara (intermediate consumers)
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagaimana terdapat dalam kepustakaan ekonomi. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir barang dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi lain. Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai terakhir dari benda dan jasa (Uiteindelijke gebruiker van goerderen en diensten) (Badan Pembinaan Hukum Nasional,1986:57). Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti Undang-Undang
tentang
Perlindungan
Konsumen.
Hukum
perlindungan konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada setiap bidang dan cabang hukum senantiasa terdapat pihak yang berpredikat konsumen. Sidharta yang mengutip tulisan Edmond Cahn dalam Law in the Consumer Perspective menjelaskan bahwa disadari atau tidak, setiap manusia adalah konsumen. Dalam perspektif yang lebih luas, bahkan ada anggapan bahwa kita adalah konsumen dari produk politik yang disebut hukum (Sidharta, 2004:1). Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga korban bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,2004:7). b. Hak dan Kewajiban Konsumen Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Dalam perlindungan hukum mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan termasuk hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen commit to user (Celina Tri Siwi K,2008:30). Langkah untuk meningkatkan martabat
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan kesadaran konsumen harus diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak konsumen, yaitu dapat dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo yang mengutip pendapat Meriam Darus Badrulzaman disebutkan bahwa Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) menyepakati lima hak dasar konsumen, sebagai berikut (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,2004: 39-40) : 1) hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid); 2) hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economiche belangen); 3) hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding); 4) hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming); 5) hak untuk didengar (recht om te worden gehord). Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas (Shidarta,2004:19-20) : 1) hak untuk mendapat keamanan (the right to safety); 2) hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); 3) hak untuk memilih (the right to choose); 4) hak untuk didengar (the right to be heard). Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Empat hak ini mengacu kepada President Kennedy`s 1962 Consumer`s Bill of Right. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumers Union (UOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hakhak tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. commit to user Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), misalnya,
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memutuskan untuk menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca hak konsumen. Dalam UUPK, empat hak dasar yang dikemukakan oleh John F.Kennedy tersebut juga diakomodasikan. Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UUPK adalah sebagai berikut : 1) hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5) hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7) hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur secara tidak diskriminatif; 8) hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan 9) hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Di samping hak-hak dalam Pasal 4, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan anatomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen. Memperhatikan hak-hak yang disebut di sebutkan di atas, maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak konsumen, yaitu sebagai berikut (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004,40-47): to user 1) Hak atas keamanancommit dan keselamatan
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin
keamanan
dan
keselamatan
konsumen
dalam
penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk. 2) Hak untuk memperoleh informasi Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Informasi dapat disampaikan baik secara lisan, maupun secara tertulis, baik yang dilakukan dengan mencantumkan label yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media cetak maupun media elektronik. 3) Hak untuk memilih Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai kebutuhannya tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya. 4) Hak untuk didengar Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang dialami akibat penggunaan to user suatu produk, atau commit yang berupa pertanyaan /pendapat tentang suatu
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kebijakan
pemerintah
yang
berkaitan
dengan
kepentingan
konsumen.Hak ini dapat disampaikan baik secara perseorangan, maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun yang diwakili oleh suatu lembaga tertentu. 5) Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut hak untuk hidup. Setiap orang (konsumen) berhak untuk memperoleh
kebutuhan
dasar
(barang
dan
jasa)
untuk
mempertahankan hidupnya (secara layak). 6) Hak untuk memperoleh ganti kerugian Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen baik berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. 7) Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhidar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan. 8) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap konsumen dan lingkungan. 9) Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian commit to user akibat permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya. 10) Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut Hak ini dimaksudkan untuk memilihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum. Disamping memperoleh hak-hak tersebut di atas, UUPK juga mencantukan kewajiban yang dibebankan kepada konsumen
pada
Pasal 5, yaitu berupa kewajiban untuk : 1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/ atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa; 3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; dan 4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban konsumen dalam UUPK dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh hasil yang optimal dan jaminan kepastian hukum. c. Pengertian Pelaku Usaha Pengertian pelaku usaha secara eksplisit dijelaskan dalam UUPK. Pasal 1 angka 3 UUPK menyebutkan bahwa : Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 1 angka 3 UUPK disebutkan bahwa yang termasuk pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, importer, commit to user pedagang, distributor, dan lain-lain.
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo yang mengutip pendapat
Johannes
Gunawan,
pengertian
pelaku
usaha
yang
dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 3 UUPK memiliki cakupan yang cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah
pembuat
produk jadi (finished product); penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu; importer suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importer tidak dapat ditemukan (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,2004:8-9). Menurut Celina Tri Siwi Kristiyanti yang mengutip makalah Agus Brotosusilo yang berjudul “Aspek-aspek Perlindungan Terhadap Konsumen Dalam Sistem Hukum di Indonesia” menjelaskan bahwa berdasarkan Directive, pengertian produsen meliputi (Celina Tri Siwi K,2008:41-42) : 1)
2) 3)
4)
Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya; Produsen bahan mentah; Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek ataupun tanda-tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari suatu barang; Setiap orang yang mengimpor suatu produk ke dalam lingkungan Economic Community, apakah untuk dijual, disewakan, dikontrakkan, atau bentuk distribusi lain di dalam commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perdagangan bisnisnya dianggap sebagai produsen dan harus bertanggung jawab sebagai produsen. Dari kedua peraturan tersebut dapat dilihat perbedaan batasanbatasan tentang produsen. Dalam Directive, sudah jelas diatur siapa saja yang dikategorikan sebagai produsen. Sementara dalam UUPK definisi pelaku usaha didefinisikan secara luas. d. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada faktorfaktor yang membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk, yaitu apabila (Celina Tri Siwi K,2008:42) : 1) 2) 3) 4)
produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan; cacat timbul dikemudian hari; cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen; barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi; 5) cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa. Dalam Pasal 6 UUPK, produsen disebut sebagai pelaku usaha yang mempunyai hak sebagai berikut : 1) hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 2) hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; 3) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; 4) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 5) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Adapun dalam Pasal 7 UUPK diatur kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut : 1)
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha, yang meliputi semua tahapancommit dalam to melakukan kegiatan usahanya; user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2)
3) 4)
5)
6)
7)
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
e. Tanggung jawab pelaku usaha Tanggung jawab terdiri dari kata tanggung dan jawab, yang kemudian
terbentuk
beberapa
kata
seperti
bertanggungjawab,
mempertanggung jawabkan, penanggung jawab dan pertanggung jawaban. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata tanggung jawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1988:899). Selanjutnya dari kata tanggung jawab tersebut diturunkan kata-kata sebagai berikut (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1988:901) : 1) Bertanggung jawab berarti kewajiban memegang, memikul tanggung jawab; 2) Mempertanggung
jawabkan
berarti
memberi
jawab
dan
menanggung segala akibatnya kalau ada kesalahan. Tanggung jawab pelaku usaha meliputi tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab professional (professional liability). commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Tanggung jawab produk (Product Liability) Istilah product liability diterjemahkan secara bervariasi ke dalam bahasa Indonesia seperti tanggung gugat produk atau juga tanggung jawab produk. Pengertian product liability menurut Henry Cambell dalam Black Law Dictionary mendefinisikan product liability sebagai berikut (Celina Tri Siwi K,2008,100-101): “Refers to legal liability of manufactures and sellers to compensate buyer, users, and even bystanders, for damages or injuries sufferd because of defect in good purchase”. Selanjutnya, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut (Erman Rajagukguk,dkk,2000:46). Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya (Shidarta,2004:81) : a) pelanggaran jaminan (breach of warranty); b) kelalaian (negligence); c) tanggung jawab mutlak (strict liability). 2) Tanggung jawab professional (Professional Lliability) Tanggung jawab professional berhubungan dengan jasa. Menurut Komar Kantaatmadja, tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa professional yang diberikan kepada klien (Shidarta,2004:82). Sumber persoalan dalam tanggung jawab professional ini dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa professional) tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan commit to user terjadinya perbuatan melawan hukum. Jenis jasa yang diberikan
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ada dua, yaitu jasa yang diperjanjikan menghasilkan sesuatu (resultaat verbintenis) dan jasa yang diperjanjikan mengupayakan sesuatu (inspanningsverbintenis)(Shidarta,2004:82-83). Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran
hak
konsumen,
diperlukan
kehati-hatian
dalam
menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundangundangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh pelanggar hak konsumen(Siharta,2004 : 72). Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut (Shidarta,2004: 73-84) : 1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault). 2) Praduga selalu bertanggung jawab (presumption liability). 3) Praduga
tidak
selalu
bertanggungjawab
(presumption
of
nonliability). 4) Tanggung jawab mutlak (strict liability). 3. Tinjauan Umum Tentang Bahan Tambahan Makanan (BTM) a. Pengertian Bahan Tambahan Makanan (BTM) Menurut Indra Chahaya S. yang mengutip pendapat Puspita menyebutkan bahwa bahan tambahan makanan (BTM) atau food additives adalah senyawa (atau campuran berbagai senyawa) yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan bahan (ingredient) utama (Indra Chahaya S,2003: 39). FAO dan WHO dalam kongresnya di Roma pada tahun 1956 menetapkan
definisi
food additive adalah bahan-bahan yang commit ke to user ditambahkan dengan sengaja dalam makanan dalam jumlah sedikit
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yaitu untuk memperbaiki warna, bentuk, cita rasa, tekstur, atau memperpanjang masa simpan. Food additive yang digunakan harus mempunyai sifat-sifat antara lain dapat mempertahankan nilai gizi makanan tersebut, tidak mengurangi zat-zat esensial di dalam makanan, dapat mempertahankan atau memperbaiki mutu makanan, dan menarik bagi konsumen tetapi tidak merupakan suatu penipuan (F.G.Winarno,dkk,1980:66). Menurut Lia Daniaty yang mengutip pendapat Khomsan menjelaskan bahwa keberadaan bahan tambahan makanan adalah untuk membuat makanan tampak lebih berkualitas, lebih menarik, serta rasa dan teksturnya lebih sempurna. Zat-zat itu ditambahkan dalam jumlah sedikit, namun hasilnya sungguh menakjubkan (Lia Daniaty,2009:9). Undang-Undang
Nomor
7
Tahun
1996
tentang
Pangan
menggunakan istilah bahan tambahan pangan (BTP) untuk menjelaskan pengertian bahan tambahan makanan (BTM). Menurut penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat, dan pengental”. Pengertian mengenai bahan tambahan pangan juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Dalam Pasal 1 angka 18 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan disebutkan bahwa “bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan”. Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, yang dimaksud dengan bahan tambahan makanan adalah : Bahan tambahan makanan adalah bahan yang biasanya tidak commit to user digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ingredien khas makanan, rnempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut. b. Pengggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM) Sejak pertengahan abad ke-20 ini, peranan bahan tambahan pangan (BTP) khususnya pengawet menjadi semakin penting sejalan dengan kemajuan teknologi produksi bahan tambahan pangan sintetis. Food additives and preservatives have been used for thousands of years. In industrialized nations, the last 50 years have seen a significant increase in the number of preservatives and additives introduced to foods before they go to market. The growth in the use of food additives has increased enormously in the past 30 years, totaling now over 200,000 tonnes per year. Food additives are substances added to food in order to preserve its flavour or improve its taste and appearance. Some of them have been used for centuries, e.g. in preserving food by pickling with vinegar, salting meat or fish, adding sugar, or using sulphur dioxide in wines. Lately many new additives of both natural and artificial origin have been introduced to food (Barbara Wróblewska, 2009:287). Dalam
proses
produksi
pangan,
seringkali
pengusaha
menggunakan bahan tambahan pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk makanan. Penggunaan bahan tambahan makanan diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004, yakni setiap orang yang memproduksi makanan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang, dan wajib menggunakan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Bahan yang digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib diperiksa keamanannya terlebih dahulu, dan dapat digunakan dalam kegiatan atau proses produksi makanan untuk diedarkan, setelah memperoleh commit to user persetujuan Badan Pengawas
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Obat
dan
Makanan
(BPOM)
(Cahyo
Saparinto
dan
Diana
Hidayati,2006:58). Bahan tambahan makanan ditambahkan untuk memperbaiki karakter pangan agar kualitasnya meningkat. Bahan tambahan makanan
(BTM) yang ditambahkan adalah untuk membantu teknologi pengolahan pangan. Penggunaan bahan tambahan makanan sebetulnya sudah digunakan sejak lama oleh nenek moyang kita. Pada awalnya bahan tambahan makanan yang digunakan oleh masyarakat merupakan bahan tambahan makanan alami yaitu diekstrak langsung dari bahan hasil pertanian, seperti bahan pewarna hijau yang berasal dari daun suji atau daun pandan, bahan pewarna kuning dari kunyit, bahan pengawet menggunakan garam dan asap, dan lain sebagainya. Food additives are used in or on food (at any stage) to affect the keeping quality, texture, consistency, taste, odour, alkalinity or acidity, or to serve any other technological function in relation to food (Labelling in Food Regulations, 1984). In other words, they make a food look, taste or smell better or improve its texture or keeping qualities. Some of these miscellaneous substances prevent the deterioration of food or its contamination with bacteria or fungi. Others, such as colouring agents, could be omitted without difficulty. The claim that all additives are harmful and unnecessary is not, however, tenable (M H Lessof, 1992:518). Tujuan penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) secara umum adalah untuk (Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati,2006 :10) : 1) meningkatkan nilai gizi makanan, 2) memperbaiki nilai sensori makanan, 3) memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan. 4) selain tujuan-tujuan tersebut, bahan tambahan makanan sering digunakan
untuk
memproduksi
makanan
untuk
kelompok
konsumen khusus, seperti penderita diabetes, pasien yang baru mengalami operasi, orang-orang yang menjalankan diet rendah kalori atau rendah lemak, dan sebagainya. Pengggunaan bahan tambahan makanan dibenarkan apabila commit to user (Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati,2006 :10) :
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan; 2) tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi persyaratan; 3) tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk makanan, dan; 4) tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan makanan. Menurut Barbara Wróblewska dalam tulisannya yang berjudul Influence of food additives and contaminants (nickel and chromium) on
hypersensitivity
and
other
adverse
health
reactions,
mengungkapkan bahwa : The application of some of the additives to food is open to debates and disagreements whether they should be allowed at all. Moreover, many claim that certain substances may be the cause of different health disturbances such as allergies, migraines, hyperactivity in children, and several other adverse reactions. The exact mechanism of the influence of food additives on health has not been fully recognized yet (Barbara Wróblewska, 2009:287). Penggunaan bahan tambahan makanan harus dapat menjaga produk tersebut dari hal-hal yang merugikan konsumen. Oleh karena itu penggunaan bahan tambahan makanan tidak diperkenankan apabila: 1) menutupi adanya teknik pengolahan dan penanganan yang salah; 2) menipu konsumen; 3) menyebabkan penurunan nilai gizi; 4) pengaruh yang dikehendaki bisa diperoleh dengan pengolahan secara lebih baik dan ekonomis. c. Jenis dan Pengelompokan Bahan Tambahan Makanan (BTM) Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut (Wisnu Cahyadi,2006:1-2) : 1) Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetaui komposisi bahan tersebut dan commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu pengolahan. 2) Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup jumlah
banyak
akibat
proses
produksi,
pengolahan,
dan
pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penggunaannya yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang akan dikonsumsi. Apabila dilihat dari asalnya, bahan tambahan pangan dapat berasal dari sumber alamiah seperti letisin, asam sitrat, dan lain sebagainya. Bahan ini juga dapat disintetis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah sejenis, baik susunan kimia maupun sifat metabolismenya, misalnya beta-karoten dan asam askornat. Pada umumnya bahan sintetis mempunyai kelebihan, yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah, tetapi ada pula kelemahannya yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat berbahaya bagi kesehatan, kadang-kadang bersifat karsinogenetik yang dapat merangsang terjadinya kanker pada hewan atau manusia. Penggunaan bahan tambahan pangan sebaiknya dengan dosis di bawah ambang batas yang ditentukan. Jenis bahan tambahan pangan (BTP) ada 2 (dua) yaitu GRAS (Generally Recognized as Safe), zat ini aman dan tidak berefek toksik misalnya gula (glukosa). Sedangkan jenis lainnya ADI (Acceptable Daily Intake), jenis ini selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) demi menjaga/melindungi kesehatan konsumen(Wisnu Cahyadi, 2006:2). Bahan tambahan makanan dikelompokkan berdasarkan tujuan penggunaannya di dalam makanan. Menurut ketentuan yang ditetapkan, ada beberapa kategori bahan tambahan makanan. Pertama, commit user aman, dengan dosis yang tidak bahan tambahan makanan yangtobersifat
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dibatasi. Kedua, bahan tambahan makanan yang digunakan dengan dosis tertentu, dan dengan demikian dosis maksimum penggunaanya juga telah ditetapkan. Ketiga, bahan tambahan makanan yang aman dalam dosis yang yang tepat, serta telah mendapatkan izin beredar dari instansi yang berwenang( Nurheti Yuliarti,2007:7). Pengelompokan bahan tambahan makanan yang diizinkan digunakan pada makanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan antara lain adalah : 1) Antioksidan (Antioxidant), 2) Antikempal (Anticaking Agent), 3) Pengatur Keasaman (Acidity Regulator), 4) Pemanis Buatan (Artificial Sweetener), 5) Pemutih dan Pematang Tepung (Flafour Treatment Agent), 6) Pengemulsi, Pemantap, Pengental (Emulsifier, Stabilizer, Thickener), 7) Pengawet (Preservative), 8) Pengeras (Firming Agent), 9) Pewarna (Colour), 10) Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa (Flavour, Flavour Enhancer), 11) Sekuestran (Sequestrant). Bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan, menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
:
1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/ Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, antara lain : 1) Asam Borat (Boric Acid) dan senyawanya, 2) Asam Salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt), 3) Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate DEPC), commit to user 4) Dulsin (Dulcin),
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5) Kalium Klorat (Potassium Chlorate), 6) Kloramfenikol (Chloramphenicol), 7) Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils), 8) Nitrofurazon (Nitrofurazone), 9) Formalin (Formaldehyde), 10) Kalium Bromat (Potassium Bromate). 4. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Anak a. Pengertian Anak Ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memberikan batas pengertian anak dalam Pasal 1 angka 1 adalah sebagai berikut : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak secara umum agar anak menjadi penerus bangsa yang berkualitas, sehingga harus dijamin agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Untuk menjamin kesejahteraan anak maka perlu adanya perlindungan terhadap anak secara hukum. b. Perlindungan Anak Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Hak asasi anak dilindungi di dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dari sisi kehidupan commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi anak sesuai dengan kewajiban yang dibebankan
oleh
penyelenggaraan
hukum.
Demikian
perlindungan
anak,
pula negara
dalam dan
rangka
pemerintah
bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah (Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Tujuan
diadakannya
pengaturan
mengenai
perlindungan
terhadap anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak yang meliputi non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk
hidup,
kelangsungan
hidup,
dan
perkembangan,
serta
penghargaan terhadap pendapat anak. Hal yang mengatur tentang anak termasuk juga tentang hak-hak yang dimiliki oleh anak telah di atur oleh Undang-Undang commit Nomorto23user Tahun 2002 tentang Perlindungan
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Anak. Pasal 1 angka 12 yang menyebutkan bahwa “hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara”. Hak-hak anak diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa ” Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Tanggung jawab penyelenggaraan perlindungan anak berada pada negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak. Salah satu kewajiban orang tua yang diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah memelihara, mendidik dan melindungi anak. Selanjutnya masyarakat juga diberi kesempatan untuk berperan dalam perlindungan anak yang dapat dilakukan baik oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan, badan usaha maupun media massa. Ditinjau secara garis besar maka dapat disebutkan bahwa perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian yaitu (Irma Setyowati S,1990 :13) : 1) Perlindungan yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan dalam : a) bidang hukum publik; b) bidang hukum keperdataan. 2) Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputi : commit to user a) bidang sosial;
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) bidang kesehatan; c) bidang pendidikan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perlindungan anak yang efektif, rasional positif, bertanggungjawab dan bermanfaat adalah sebagai berikut (Shanty Dellyana,1988:1920): 1) para partisipan harus mempunyai pengertian-pengertian yang tepat; 2) harus dilakukan bersama; 3) kerjasama dan koordinasi; 4) perlu diteliti masalah yang dapat merupakan faktor kriminogen atau faktor victimogen; 5) mengutamakan perspektif yang dilindungi dan bukan perspektif yang melindungi; 6) perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan /dinyatakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat; 7) pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta melindungi diri sendiri; 8) harus mempunyai dasar-dasar filosofis, etis dan yuridis; 9) tidan boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi; 10) harus didasarkan atas pengembangan hak dan kewajiban asasinya. Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, adalah membangun manusia seutuhnya. Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya. Anak berhak memperoleh perlindungan, yang berarti bahwa semua anak harus dijamin dan dilindungi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pengertian di atas dapat diartikan bahwa dalam segala situasi anak-anak harus dipastikan memperoleh hak-haknya agar bisa tumbuh dan berkembang secara optimal. Termasuk dalam kaitannya dengan commit to user posisi anak sebagai konsumen.
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Anak-anak memiliki hak-hak yang harus dilindungi untuk bisa mencapai kualitas hidup yang optimal. Merujuk dari pengertian konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diartikan bahwa setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Menurut pengertian ini, anak juga bisa diartikan sebagai konsumen karena anak juga banyak menggunakan barang dan jasa.
commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 239/Men.Kes/Per/V/85 9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 juncto Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/MENKES/PER/X/1998 10. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor 00386/C/SK/II/90 11. Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.5.1.4547
1. Perlindungan Bagi Anak Sebagai Konsumen Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM) dalam Jajanan Anak. 2.
Perlindungan yang diberikan oleh UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bagi anak terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam jajanan anak. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk makanan yang dikonsumsi oleh anak.
1. Mampu atau tidaknya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan perlindungan hukum bagi anak terhadap penggunaan BTM dalam jajanan ana. 2. Terpenuhi atau tidaknya tanggung jawab pelaku usaha dalam menjamin keamanan pangan dan pemberian informasi yang jelas dalam penggunaan BTM dalam produk pangan yang dikonsumsi anak.
Skema. 1 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
44 digilib.uns.ac.id
Keterangan : Kerangka pemikiran diatas merupakan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yang penulis angkat dalam penelitian hukum ini yaitu perlindungan bagi anak sebagai konsumen terhadap penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) dalam jajanan anak. Dalam penulisan hukum ini anak ditempatkan sebagai konsumen yang berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi produk makanan jajanan. Pada dasarnya undang-undang perlindungan anak telah memberikan perlindungan bagi anak dengan baik, namun ada salah satu aspek mengenai anak yang juga harus terlindungi namun tidak terdapat dalam undang-undang perlindungan anak. Aspek tersebut adalah anak sebagai konsumen. Ketidaktahuan anak mengenai apa yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai konsumen ternyata dimanfaatkan oleh pelaku usaha makanan untuk menciptakan makanan yang sekiranya disukai anak dengan menambahkan BTM dalam makanan yang dijualnya. Penggunaan BTM pada makanan sebenarnya diperbolehkan apabila sesuai dengan ketentuan, namun pada kenyataannya banyak produsen makanan menambahkan BTM melebihi dosis yang diperbolehkan, bahkan menambahkan bahan tambahan yang telah dilarang penggunaannya bagi makanan. Hal ini dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada konsumen anak pada khususnya, mengingat anak dengan segala keterbatasannya belum mampu memilih jajanan yang aman. Padahal produk makanan jajanan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari anak. Dalam mengkaji dan menganalisis isu hukum yang penulis angkat dalam penelitian ini, penulis menggunakan peraturan perundang-undangan yang terkait yaitu UUPK yang merupakan payung hukum dari peraturan-peraturan lain yang menyangkut perlindungan konsumen dan peraturan-peraturan lain yang terkait dengan topik penulisan hukum ini, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan commit to user Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Peraturan
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
239/Men.Kes/Per/V/85 Zat Warna Tertentu yang
Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan Juncto Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor 00386/C/SK/II/90 tentang Perubahan
Lampiran Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor
239/Men.Kes/Per/V/85 Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya, Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. Dalam penulisan hukum ini, premis minor atau fakta hukum yang penulis angkat adalah mengenai masalah perlindungan hukum UUPK bagi anak terhadap penggunaan BTM dalam jajanan anak dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap penggunaan BTM dalam produk pangan yang dikonsumsi anak. Berdasarkan analisis kesesuaian antara premis mayor (peraturan perundang-undangan) tersebut di atas dan isu hukum (premis minor) yang penulis angkat dalam penulisan hukum ini, penulis menarik kesimpulan apakah UUPK sudah mampu atau belum dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak terkait penggunaan BTM dalam produk jajanan anak dan terpenuhi atau tidaknya tanggung jawab pelaku usaha yang memproduksi produk jajanan anak atas keamanan pangan dan pemberian informasi yang benar, jujur dan jelas dalam penggunaan BTM.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Bagi Anak Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM) dalam Jajanan Anak 1. Gambaran Umum Peredaran Jajanan Anak Di Indonesia banyak terjadi permasalahan konsumen khususnya pada
bidang pangan,
diantaranya
yang paling mengkhawatirkan
masyarakat adalah kasus-kasus tentang masalah penyalahgunaan bahan berbahaya pada produk pangan ataupun bahan yang diperbolehkan tetapi melebihi batas yang telah ditentukan. Berdasarkan informasi dan data yang tersedia mengenai mengenai keamanan pangan, dapat diidentifikasi empat masalah utama keamanan pangan di Indonesia. Pertama, masih banyaknya produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan yang beredar di masyarakat, kedua kasus penyakit dan keracunan melalui makanan sebagian besar belum dilaporkan dan diidentifikasi penyebabnya, ketiga banyak ditemukan sarana produksi dan distribusi pangan yang tidak memenuhi persyaratan, terutama industri rumah tangga, industri jasa boga, dan penjual makanan jajanan dan yang keempat rendahnya pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan (Sri Anggrahini, 1997:2). Salah satu bentuk penyalahgunaan zat pewarna untuk sembarang bahan pangan adalah penggunaan zat pewarna kulit atau tekstil sebagai bahan tambahan makanan. Hal tersebut dapat terjadi karena ketidaktahuan, keterbatasan informasi, kesengajaan, dan atau faktor yang lain. Residu logam berat dari zat pewarna tersebut, sangat berbahaya bagi pengguna makanan (Setijo Pitojo dan Zumiati,2009:1). Wiwit Rahayu dan Emi Widiyanti yang mengutip pendapat Kusharto menjelaskan bahwa jajanan adalah makanan yang dibeli dalam commit to user keadaan siap dikonsumsi. Jajanan merupakan makanan yang sangat
46
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
populer dan sangat beranekaragam jenisnya. Pada kenyataannya orang, terutama anak-anak sekolah lebih senang jajan daripada makan hidangan yang disediakan dirumah. Kesukaan untuk jajan ditemukan pada semua lapisan masyarakat (Wiwit Rahayu dan Emi Widiyanti,2003:99). Menurut Wied Harry yang mengutip tulisan Emmy L.S. Noegroho, Ketua Pelaksana Yayasan Kepedulian untuk Konsumen Anak (Kakak) di Surakarta, dalam buku Rahasia Kecerdasan Anak Memaksimalkan Perkembangan Otak menjelaskan bahwa jajanan ringan dalam kemasan yang populer dengan sebutan "chiki" atau "chitos" saat ini dijual di banyak tempat. Meskipun kini merek makanan seperti itu sudah sangat banyak, tetapi konsumen lebih mengenal istilah "chiki" atau "chitos" untuk menyebut makanan jajanan ringan dalam kemasan. Iklan-iklan yang menggiurkan juga mempengaruhi pola konsumsi. Hal ini terungkap dalam penelitian LP2K, yang memperlihatkan hasil bahwa anak lebih senang membelanjakan uangnya untuk membeli makanan seperti yang diiklankan di televisi daripada menabung atau mengkonsumsi makanan yang dibuat orangtuanya sendiri. Hasil penelitian Yayasan Kepedulian untuk Konsumen Anak (Yayasan Kakak) agustus
tahun 1997 menunjukkan
tidak kurang dari 73 merek makanan jajanan dalam kemasan beredar dengan berbagai bentuk dan rasa. Bahan dasar makanan jajanan ini pun beragam, mulai dari kentang, tepung terigu, tepung jagung, tepung tapioka, tepung beras, hingga buah nangka. Makanan ini mempunyai rasa dan warna yang beranekaragam, dan diharapkan akan tahan lama, oleh karena itu makanan ini tidak terlepas dari BTM. Makanan jajanan ringan dalam kemasan tidak bergizi juga banyak mengandung zat-zat kimia tambahan yang dapat merugikan kesehatan dan proses tumbuh kembang anak. Hasil analisis label yang dilakukan yayasan kakak, dari 73 merek makanan jajanan ringan terdapat 11 produk yang memakai pewarna tartrazine, tujuh produk menggunakan pewarna sunset yellow, satu produk memakai pewarna erythrosine, dua produk menggunakan pewarna FD & to user Blue1, dan satu produk commit memakai pewarna carmoisine. Sejumlah ahli
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sudah meneliti bahaya beberapa jenis BTM, termasuk yang digunakan dalam makanan jajanan ringan. Pewarna erytrhrosine dapat menimbulkan alergi saluran pernapasan, membuat anak menjadi hiperaktif, dan menimbulkan efek kurang baik pada otak dan perilaku. Pewarna tartrazine bisa menimbulkan efek reaksi alergi khususnya pada orang yang sensitif pada asam asetil-siklik
dan
asam
benzoat, selain dapat
menimbulkan asma dan membuat anak hiperaktif. Sunset yellow memberikan dampak negatif yang sama (Wied Harry. Anak dan Bahaya
Bahan
Tambahan
Makanan.
http://javaleste.multiply.com/journal/item/434/ANAK_BAHAYA_BAHA N_TAMBAHAN_PANGAN_?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fi tem). Indra Chahaya S. yang mengutip tulisan Winarno dalam buku Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen menjelaskan bahwa berdasarkan survei oleh steetfood project (1998) di Jakarta, Bogor, Rangkasbitung, dan di kota kecil seperti Cikampek, Rengasdengklok, Pacet dan Cikampek ternyata banyak pedagang makanan jajanan yang menggunakan bahan pewarna buatan ke dalam dagangannya khususnya minuman. Beberapa pedagang karena ketidaktahuannya telah menggunakan beberapa bahan pewarna yang dilarang digunakan untuk makanan seperti rhodhamin b, methanil yellow, dan amarant. Dari 251 jenis minuman yang diambil contoh, ternyata 8% jenis minuman yang berwarna merah di daerah Jakarta mengandung rhodamin b, di Bogor sebanyak 14,5%, dan Rangkabitung 17%,
sedangkan di kota kecil dan di desa-desa 24%
minuman yang benwarna merah temyata juga mengandung rhodamin b (Indra Chahaya S, 2003:38). Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Jawa Barat merilis hasil pengkajiannya terhadap sejumlah makanan anak-anak yang dijual di beberapa wilayah di Bandung, Jawa Barat. Hasilnya sebanyak 80% dari jajanan yang diobservasi mengandung bahan-bahan yang membahayakan commit to user kesehatan, seperti formalin, boraks, natrium siklamat, rhodamin, dan
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
sakarin. Pengkajian itu dilakukan sejak Mei 2003 hingga akhir September 2003. Berbagai zat berbahaya terdapat pada jajanan anak-anak buatan rumah tangga, bukan makanan kemasan yang dijual di supermarket. Jajanan yang mengandung bahan tambahan berbahaya ditemukan pada aneka jajanan yang dijual di sekolah dasar ataupun sekolah menengah pertama. Jajanan yang disukai anak-anak dan produksi rumahan ini mudah ditemui di sekolah-sekolah, misalnya yang dijual di halaman sekolah dasar (SD) negeri Cibiru di kawasan Bandung Timur. Para pedagang di daerah itu
menjual makanan seperti bakso goreng, cakwe, dan cireng (aci
goreng). Makanan tersebut dilengkapi dengan saus tanpa merek yang berwarna merah. Saus tersebut dibeli di pasar dengan harga yang relatif jauh lebih murah dibandingkan dengan saus bermerek. Pedagangpedagang tersebut tidak mengetahui apabila saus itu mengandung zat pewarna dan bahan pengawet (Riza Sofyat. Menyala Padahal Berbahaya. http://www.majalahtrust.com/danlainlain/kesehatan/403.php). Selain itu, pedagang di halaman SD Cibiru yang menjual minuman sejenis sirup, sirupnya bukan sirup dari kemasan bermerek yang dijual di supermarket atau di toko. Bahan-bahan sirupnya berasal dari jeruk dan sakarin (pemanis buatan) yang dibeli di pasar. Ramuan sirup dibuat sendiri dengan menambahkan sedikit gula pasir ke dalam delapan liter campuran sirup. Pedagang es sirup ini tidak mengetahui bahaya memakai pemanis buatan untuk makanan yang dijajakannya. Sepengetahuannya, pemanis buatan juga sudah biasa dipakai banyak pedagang. Pengakuan pedagang es sirup di depan SD Cibiru, sebagaimana banyak pedagang kelas bawah, kurang memperhatikan aspek keamanan pangan dan cenderung tidak perduli. Menurut hasil pengkajian BPOM, jajanan anakanak seperti itulah yang berbahaya. Sebab makanan tersebut dibuat dengan mencampurkan zat berbahaya, misalnya formalin atau
boraks
untuk
pengenyal bakso, lantas rhodamin untuk bahan pewarna sirup dan saus, kemudian sakarin untuk pemanis sirup (Riza Sofyat. Menyala Padahal commit to user Berbahaya. http://www.majalahtrust.com/danlainlain/kesehatan/403.php).
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ) pada tahun 2005 menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 47 produk makanan anak -anak yang mengandung pemanis dan pewarna berbahaya. Survei lainnya, seperti yang dilaporkan harian Pos Kota tertanggal 13 Januari 2010 yang mengutip pernyataan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) DKI Jakarta menyebutkan bahwa ada 40% makanan jajanan anak-anak yang menggunakan zat berbahaya, terutama zat pewarna
(Haafizhah
Kurniasih.
Mengatasi
Problema
Peredaran
Makanan Berbahaya.http://coretanfifi.wordpress.com/2010/11/29/mengata si-problema-peredaran makanan-berbahaya/). Menurut Purtiantini yang mengutip tulisan Suci menyebutkan survei oleh BPOM tahun 2004 di sekolah dasar (seluruh Indonesia) dan sekitar 550 jenis makanan yang diambil untuk sampel pengujian menunjukkan bahwa 60% jajanan anak sekolah tidak memenuhi standar mutu dan keamanan. Disebutkan bahwa 56% sampel mengandung rhodamin dan 33% mengandung boraks. Survei BPOM tahun 2007, sebanyak 4.500 sekolah di Indonesia, membuktikan bahwa 45% jajanan anak sekolah berbahaya (Purtiantini,2010 :17). Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan fakta baru. Sekitar 60% jajanan anak sekolah seperti minuman ringan, es cendol, dan kue ringan lainnya tidak layak konsumsi karena mengandung zat pewarna tekstil serta 50% di antaranya mengandung unsur mikroba. Kedua unsur ini membahayakan kesehatan manusia sebab zat pewarna tekstil dan mikroba pada anak-anak akan menyebabkan reaksi alergi, asma, dan hiperaktif pada anak serta efek kurang baik terhadap otak dan perilaku anak. Survei yang dilakukan BPOM Pusat tahun 2005 dan dilakukan di 18 propinsi berpenduduk padat di Indonesia di mana 816 sampel yang diambil terindikasi zat tersebut (Juli Prasetio Utomo. 60% Jajanan
Anak
Berbahaya.
http://www.indomedia.com/bpost/012006/4/nusantara/nusa1.htm). commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Wirasto yang mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Eddy Setyo Mudjajanto dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menemukan banyak penggunaan zat pewarna rhodamin b dan metanil yellow pada produk makanan industri rumah tangga. Rhodamin b dan metanil yellow sering dipakai untuk mewarnai kerupuk, makanan ringan, terasi, kembang gula, sirup, biskuit, sosis, makaroni goreng, minuman ringan, cendol, manisan, gipang, dan ikan asap. Makanan yang diberi zat pewarna ini biasanya berwarna lebih terang. Selain itu menurut Wirasto yang mengutip tulisan Trestiati menjelaskan bahwa zat warna nonpangan tersebut juga ditemukan pada makanan dan minuman jajanan anak SD di SD Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung dalam kadar yang cukup besar antara 7,841-3226,55 ppm. Rhodamin b dan metanil yellow merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai pewarna tekstil. Walaupun memiliki toksisitas yang rendah, namun pengkonsumsian rhodamin b dalam jumlah yang besar maupun berulang-ulang menyebabkan sifat kumulatif yaitu iritasi saluran pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran pencernaan, keracunan, dan gangguan hati/liver (Wirasto, 2008:2-3). Meskipun dosis penggunaan setiap BTM ditetapkan pada kadar aman bagi manusia, namun kelebihan dosis dapat terjadi karena konsumsi makanan hasil olahan pabrik setiap harinya sangat beragam. Kelebihan dosis dan perbedaan daya tahan tubuh menentukan tingkat dampak negatif BTM bagi kesehatan. Yang paling banyak terkena dampaknya adalah anak-anak, karena pada jaman sekarang banyak sekali jajanan yang mengandung BTM, terlebih lagi organ detoks anak-anak belum seefektif organ detoks orang dewasa. Sangat disayangkan, di banyak keluarga, anak-anak justru yang lebih banyak mengkonsumsi makanan kemasan (contohnya snack, biskuit, cereal, chips, dan lain-lain) sehingga BTM ini mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap mereka (Purwanti. Bahan Tambahan
Makanan
(Zat
Aditif).
http://studifarmasi.blogspot.com/2011/04/bahan-tambahan-makanan-zatcommit to user aditif.html).
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan peraturan yang diatur dalam UUPK. Seharusnya konsumen mendapatkan jaminan terhadap makanan yang dikonsumsinya, dalam hal kesehatan dan kelayakan makanan. Karena akan memberi dampak terhadap asupan gizi konsumen, khususnya konsumen anak. Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa konsumen, khususnya konsumen anak menjadi pihak yang sering dirugikan. Konsumen harus menanggung resiko besar yang membahayakan kesehatan dan jiwanya karena itikad tidak baik pelaku usaha dan tidak diberikan informasi yang benar dan jujur. Masih banyak pelaku usaha di bidang pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dalam menggunakan BTM. Bahan tambahan makanan yang paling sering digunakan adalah pewarna yang dilarang untuk makanan (rhodhamin b dan methanil yellow) dan pemanis buatan (sakarin, siklamat, aspartam) yang digunakan melebihi dosis yang ditentukan. Selain itu boraks dan formalin juga sering digunakan untuk mengawetkan produk makanan yang diperdagangkan. Jajanan anak yang mengandung BTM berbahaya lebih banyak ditemukan pada produk makanan hasil industri rumah tangga dibandingkan yang dijual di supermarket. Entah hal ini karena kurangnya pendidikan konsumen atau memang kurangnya pengawasan dari pemerintah terkait kebijakan peredaran barang dan/atau jasa bagi masyarakat. 2. Perlindungan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Bagi Anak Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM) dalam Jajanan Anak Anak-anak mempunyai hak untuk meperoleh perlindungan khusus, kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat yang sama. Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi di mana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun to user perlindungan anak ini jugacommit merupakan perwujudan adanya keadilan dalam
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
suatu
masyarakat
(Shanty
Dellyana,1988:5-6).
Dengan
demikian
perlindungan anak sedapat mungkin harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat, termasuk dalam kedudukan anak sebagai konsumen. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada dasarnya telah memberikan perlindungan hukum secara formal bagi anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah memberikan perlindungan yang baik terhadap anak, tetapi ada satu aspek dari anak yang juga perlu mendapat perlindungan namun belum diatur
dalam
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak. Aspek perlindungan anak yang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu anak dalam kedudukannya sebagai konsumen. Aktivitas anak sebagai konsumen sangatlah beranekaragam. Hampir setiap anak melakukan aktivitas jual beli jajanan anak untuk dikonsumsi setiap harinya. Ketidakmampuan dan ketidaktahuan anak untuk memilih jajanan yang sehat dimanfaatkan oleh pelaku usaha di bidang jajanan anak untuk menciptakan pangan yang disukai anak-anak, baik dari segi rasa maupun warna yang menarik, tanpa memperhatikan kualitas dan aspek kemanan pangan. Keadaan yang demikianlah yang membuat anak layak dan dapat dikategorikan sebagai konsumen dalam UUPK. Sebagai konsumen yang mempunyai keterbatasan dalam menentukan produk yang aman, maka anak sebagai konsumen perlu mendapat perlindungan, dan khususnya menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan. Pengertian konsumen dalam UUPK menekankan bahwa konsumen diartikan sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Unsur-unsur definisi konsumen (Shidarta, 2004 : 5 – 9) : a. Setiap Orang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
Subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/ atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechtperson). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam pasal 1 angka (3), yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di atas, dengan menyebut kata-kata : “orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu pada sebatas pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum. b. Pemakai Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang, untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contrac). Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper), tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi barang dan/ atau jasa. Jadi, yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya. c. Barang dan/atau jasa Berkaitan dengan istilah barang dan/ atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah commit berkonotasi barang atau jasa.to user UUPK mengartikan barang sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “ dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. d. Yang tersedia dalam masyarakat Barang atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang semakin komplek dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi ini mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan Memperhatikan pengertian konsumen yang dimaksud dalam UUPK, anak termasuk subyek yang dilindungi oleh undang-undang ini. Pengertian konsumen dalam UUPK tidak membedakan konsumen berdasarkan usia. Dalam kehidupan sehari-hari anak tidak terlepas dari kegiatan mengkonsumsi suatu produk yang menempatkannya pada kedudukannya sebagai konsumen. Anak banyak menggunakan barang dan jasa yang tersedia di masyarakat. Anak-anak sebagai konsumen memiliki hak-hak yang harus dilindungi untuk bisa mencapai kualitas hidup yang to user optimal. Dalam rangka commit mencapai kualitas hidup yang optimal dan
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membangun manusia indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945, maka konsumen anak sudah seharusnya mendapatkan perlindungan oleh UUPK. Dalam perlindungan konsumen, secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan keselamatan). Konsumen
tidak
komplementer
cukup
dilindungi
(memberikan
hanya
informasi)
berdasarkan
saja,
tetapi
kebijakan
juga
harus
menindaklanjuti dengan kebijakan kompensatoris guna meminimalisasi resiko yang ditanggung konsumen. Misalnya dengan mencegah produk berbahaya untuk tidak mencapai pasar sebelum lulus pengujian. Pada dasarnya setiap konsumen harus selalu waspada terhadap keamanan, keselamatan dan kesehatan dalam mengkonsumsi suatu produk, akan tetapi karena anak belum mampu menentukan produk khususnya jajanan anak yang aman untuk dikonsumsi, maka anak menjadi bagian dari konsumen yang masih membutuhkan arahan dari orang dewasa di sekitarnya dalam menentukan pilihan. Menentukan barang yang aman dan menjamin keselamatan serta kesehatan, menjadi suatu hal yang cukup sulit bagi anak. Keterbatasan mereka untuk menentukan pilihan tanpa diberikan bekal pengetahuan yang memadai, menjadikan anak sulit untuk
menentukan
keputusan
yang
terbaik
bagi
diri
mereka.
Memperhatikan keadaan anak yang demikian maka seharusnya anak mendapatkan
perlindungan
khusus
dalam
kedudukannya
sebagai
konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan commitnasional to user termasuk pembangunan hukum nasional bahwa pembangunan
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia indonesia seutuhnya yang berlandaskan falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945. Dengan
adanya
peraturan
perlindungan
konsumen,
maka
diharapkan disatu pihak dapat menghindarkan hal-hal yang merugikan konsumen, dilain pihak dapat mendukung kegiatan produsen, dalam hal ini dapat (Badan Pembinaan Hukum Nasional,1986:106) : a. Mencegah beredarnya barang dan jasa yang tidak memenuhi syarat; b. Mencegah
terjadinya
persaingan
yang
tidak
wajar
diantara
produsen;dan c. Memberikan jaminan kepada konsumen sehingga kepercayaan masyarakat akan menguntungkan produsen dalam pemanfaatan modal. Tanpa adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi konsumen, maka akan semakin banyak peredaran produk-produk yang tidak bermutu. Yang lebih mengkhawatirkan yaitu bahwa, kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan menjadi lebih sulit terwujud (Sudaryatmo,1999:84). Substansi UUPK memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk di dalamnya konsumen anak berupa hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 4. Mengingat kewajiban dan hak adalah anatomi dalam hukum, maka hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 tersebut menimbulkan konsekuensi berupa kewajiban bagi pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UUPK. Dalam rangka melindungi hakhak konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka UUPK menetapkan larangan-larangan bagi pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Selanjutnya untuk menjamin dipenuhinya hak-hak konsumen dan dilaksanakannya kewajiban pelaku usaha maka diatur pula ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan Pasal 30 dan sanksi administratif maupun sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 60 sampai dengan 63 UUPK. Perlindungan konsumen adalah perlindungan hukum
yang
diberikan kepada konsumen, termasuk konsumen anak dalam kegiatannya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. UUPK menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut UUPK memberikan jaminan hak kepada konsumen termasuk konsumen anak yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 huruf a UUPK. Barang dan/atau jasa yang dalam penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi tidak aman dan membahayakan keselamatan konsumen tidak layak untuk diedarkan di masyarakat. Dengan adanya hak tersebut maka menimbulkan kewajiban bagi pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, pelaku usaha harus berhati-hati mulai dari tahap produksi sampai dengan produk sampai pada kosumen, termasuk dalam menggunakan BTM dalam jajanan anak. Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 7 huruf d, pelaku usaha wajib menjamin mutu barang
dan/atau
jasa
yang
diproduksi
dan/atau
diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Dalam penggunaan BTM dalam produk pangan, wajib didasarkan pada ketentuan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan sebagaimana telah
diubah
dengan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Dalam UUPK, itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha karena meliputi semua tahapan dalam melakukan setiap kegiatan to bahwa user kewajiban pelaku usaha untuk usahanya, sehingga dapat commit diartikan
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
beritikad baik dimulai sejak barang barang dirancang atau diproduksi sampai pada tahap purna penjualan. Hal ini disebabkan karena kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi oleh produsen, sedangkan bagi konsumen kemungkinan untuk dapat merugikan pelaku usaha mulai pada saat melakukan transaksi dengan pelaku usaha. Kedudukan konsumen khususnya konsumen anak yang sangat awam terhadap barang-barang yang dikonsumsinya dan adanya kesulitan untuk meneliti sebelumnya mengenai keamanan dan keselamatan di dalam mengkonsumsi barang tersebut. Kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen selalu berada pada posisi yang lemah. Untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen maka perlu ditingkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Maka kewajiban untuk menjamin keamanan suatu produk agar tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen dibebankan kepada pelaku usaha, karena pihak pelaku usahalah yang mengetahui komposisi dan masalah-masalah yang menyangkut keamanan suatu produk tertentu dan keselamatan di dalam mengkonsumsi produk tersebut. Kerugian-kerugian yang diderita oleh konsumen merupakan akibat kurangnya tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen. Pasal 8 ayat (1) huruf a UUPK, melarang pelaku usaha untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam
hal
ini
pelaku
usaha
dilarang
memperdagangkan produk jajanan anak yang menggunakan bahan tambahan yang dilarang untuk makanan dan/atau menggunakan BTM yang diizinkan melebihi dosis yang ditentukan. Pasal 8 ayat (3) UUPK juga melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang yang rusak, commit to tanpa user memberikan informasi secara cacat atau bekas, dan tercemar
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lengkap dan benar atas barang yang dimaksud. Ketentuan tersebut dengan jelas melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang yang tercemar, termasuk tercemar zat kimia yang dilarang ditambahkan pada produk pangan, seperti boraks, formalin dan rhodhamin b. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo yang mengutip pendapat Nurmadjito dalam Husni Syawali dan Heni Imaniyati, pada intinya substansi Pasal 8 UUPK tertuju pada dua hal, yaitu larangan memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang
dan/atau
dimaksudkan
ini,
jasa
yang
hakikatnya
dimaksud. menurut
Larangan-larangan Nurmadjito
yaitu
yang untuk
mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,2004:65). Larangan-larangan yang tertuju pada “produk” sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UUPK adalah untuk memberikan perlidungan terhadap kesehatan/ harta konsumen dari penggunaan barang dengan kualitas yang di bawah standar atau kualitas yang lebih rendah daripada nilai harga yang dibayar. Dengan adanya perlindungan yang demikian, maka konsumen tidak akan diberikan dengan kualitas yang lebih rendah daripada harga yang dibayarkan, atau yang tidak sesuai dengan informasi yang diperolehnya (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,2004 :66). Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi produk pangan yang dijamin oleh UUPK telah sesuai dengan hak anak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak tumbuh dan berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Untuk mencapai standar hidup yang layak bagi commit to user perkembangan anak, maka pelaku usaha wajib menjamin mutu barang
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan. Produk jajanan anak yang diproduksi dan/atau diperdagangkan harus berdasarkan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku, sehingga tidak membahayakan keamanan dan keselamatan anak selaku konsumen. Dengan terpenuhinya jajanan anak yang aman bagi kesehatan, maka anak akan dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Selain hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/jasa, Pasal 4 huruf c UUPK juga menjamin hak konsumen termasuk konsumen anak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi suatu produk. Menurut Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, informasi merupakan hal yang penting bagi konsumen,
karena
melalui
informasi
tersebut
konsumen
dapat
mempergunakan hak pilihnya secara benar. Hak memilih tersebut merupakan hak dasar yang tidak dapat dihapuskan oleh siapapun juga. Dengan mempergunakan hak pilihnya tersebut, konsumen dapat menentukan
cocok
tidaknya
barang
dan/atau
jasa
yang
ditawarkan/diperdagangkan tersebut dengan kebutuhan dari diri masingmasing konsumen (Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani,2003 : 6). Dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung resiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai informasi. Sidharta yang mengutip artikel dalam Warta Konsumen tahun XXIV No. 12 Desember 1998 menjelaskan Prof. Hans W.Micklitz, seorang ahli hukum konsumen dari jerman, dalam ceramah di Jakarta, 26 sampai dengan 30 Oktober 1998 membedakan konsumen berdasarkan hak ini. Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu konsumen yang terinformasi (well informed) dan konsumen tidak terinformasi. Tipe konsumen yang terinformasi memiliki ciri-ciri antara lain memiliki tingkat pendidikan tertentu; mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar; dan commit totipe userini cenderung tidak memerlukan lancar berkomunikasi. Konsumen
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perlindungan, sedangkan tipe konsumen yang tidak terinformasi memiliki ciri-ciri kurang berpendidikan; termasuk kategori kelas menengah ke bawah; dan tidak lancar berkomunikasi sehingga perlu dilindungi, dan khususnya
menjadi
tangggung jawab
negara
untuk
memberikan
perlindungan. Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasikan, karena hal-hal khusus dapat juga dimasukkan kelompok anak-anak, orang tua, dan orang asing (yang tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh negara ( Sidharta,2004:24-25). Hak atas informasi ini menimbulkan konsekuensi bagi pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi suatu produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b UUPK. Kewajiban pelaku usaha atas informasi, disebabkan karena informasi disamping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang memadai dari pelaku usaha merupakan cacat produk (cacat informasi), yang sangat akan merugikan konsumen. Ketentuan Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf b UUPK ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan”. Informasi yang diberikan kepada anak tentunya haruslah disesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan usia anak sehingga dapat diterima dan dipahami oleh anak. Terkait dengan penggunaan BTM pada jajanan anak, maka konsumen berhak mendapatkan informasi mengenai kandungan BTM yang terdapat dalam makanan tersebut. Kewajiban pelaku usaha di bidang pangan untuk memberikan informasi kandungan BTM telah diatur dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Pasal 15 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor commit to user 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan dan
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 6 Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan Pemanis Buatan Dalam Produk Pangan. Pasal 4 huruf h memberikan hak kepada konsumen yang mengalami
kerugian
akibat
mengkonsumsi
suatu
produk
untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila produk yang diterima tidak sebagaimana mestinya. Konsumen juga mempunyai hak untuk menuntut ganti kerugian dari pelaku usaha yang dijamin oleh undang-undang, yang dalam UUPK dikenal dengan istilah “product liability”. Dengan adanya hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf h, menuntut konsekuensi bagi pelaku usaha untuk memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, termasuk dalam penggunaan BTM dalam jajanan anak yang tidak sesuai ketentuan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen. Pasal 4 huruf i menjamin hak konsumen yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait, dalam hal ini ketentuan Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pangan memberikan hak kepada orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli waris dari orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan ganti rugi terhadap pelaku usaha. Untuk konsumen anak yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi suatu produk, maka hak menuntut ganti kerugian dapat diwakilkan kepada orang tua atau walinya. Pasal 19 ayat (1) UUPK mewajibkan pelaku usaha untuk bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi : a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan; b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan userkerugian konsumen. c. Tanggung jawab ganti commit kerugiantoatas
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan hasil kajian peredaran pangan jajanan anak yang telah dipaparkan sebelumnya, anak-anak dan makanan jajanan merupakan dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Anak-anak memiliki kegemaran untuk mengkonsumsi jenis makanan jajanan secara berlebihan, khususnya anakanak usia sekolah dasar (6-12 tahun). Dalam keseharian banyak dijumpai anak-anak yang selalu dikelilingi penjual makanan jajanan, baik yang ada di rumah, di lingkungan tempat tinggal hingga di sekolah. Makanan jajanan tersedia dan disajikan dalam kemasan plastik maupun makanan cepat saji atau fast food. Padahal masih banyak jajanan yang beredar yang mengandung bahan tambahan tidak sesuai dengan ketentuan yang tentunya dapat membahayakan keamanan dan keselamatan jiwa konsumen. Maka sudah seharusnya, apabila pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut di atas mengenai tanggung jawab dan kewajibannya dan menimbulkan kerugian terhadap konsumen maka pelaku usaha harus bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 19 UUPK. Dalam hal ini peranan pemerintah sebagai pengawas dan pembimbing ke arah terciptanya keserasian antara kepentingan konsumen dan kewajiban pelaku usaha sangat diperlukan. Untuk memenuhi tujuan dari UUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen secara memadai. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, menurut pembentuk undang-undang, akan dilakukan melalui dua strategi dasar, yaitu di satu sisi melalui upaya memberdayakan konsumen, yang akan ditempuh dengan
cara
meningkatkan
pengetahuan, kesadaran, kepedulian,
kemampuan dan kemandirian konsumen, untuk melindungi dirinya sendiri. Sedangkan disisi lain ditempuh melalui upaya untuk menciptakan dan mendorong iklim usaha yang sehat dan tangguh serta mendorong tumbuhnya sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 30 UUPK secara tidak langsung juga telah memberikan perlindungan yang sesuai kepada konsumen anak sebagaimana dilindungi dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur bahwa tanggung jawab penyelenggaraan perlindungan anak berada pada negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua. Namun demikian, dalam UUPK belum menjelaskan tentang adanya tanggung jawab orang tua dalam rangka pengawasan perlindungan konsumen anak sebagai golongan konsumen yang terinformasi. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak, termasuk hak anak untuk tumbuh kembang. Pemerintah dalam upaya perlindungan konsumen mempunyai peranan yang sangat penting selaku penengah di antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan konsumen, agar masing-masing pihak dapat berjalan seiring tanpa saling merugikan satu sama lain. Pemerintah harus bertanggungjawab atas pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen, untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Peran pemerintah sebagai pengawas merupakan fungsi yang penting untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen dan dalam hal ini konsumen anak pada khususnya dari bahaya makanan yang mengaandung bahan tambahan berbahaya. Tanpa adanya pengawasan yang baik, dikhawatirkan konsumen tidak akan terlindungi dari bahaya tersebut. Oleh karena itu, peraturan yang dikeluarkan akan menjadi suatu jaminan yang dapat menekan pelaku usaha untuk dapat mengedarkan makanan yang mengandung BTM yang diizinkan sesuai dengan ketentuan. Pada akhirnya pemerintah sebagai penengah dalam upaya mencari pemecahan masalah user usaha dan konsumen yang apabila terjadi sengketacommit antarato pelaku
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disebabkan pelanggaran terhadap berbagai peraturan yang telah ditetapkan yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumen. Sebagai upaya agar berbagai norma tersebut dapat dipatuhi, UUPK mencantumkan ketentuan mengenai sanksi yang dapat ditetapkan kepada konsumen dan pelaku usaha yang melanggar norma-norma yang telah ditetapakan, baik sanksisanksi keperdataan, sanksi-sanksi administratif, maupun sanksi-sanksi pidana. UUPK merupakan peraturan payung (umbrella act) dari peraturan perundang-undangan lain yang juga memberikan perlindungan kepada konsumen. UUPK hanya berisi ketentuan-ketentuan yang sifatnya umum, sedangkan ketentuan khusus ada pada berbagai peraturan perundangundangan yang lebih bersifat sektoral. Terkait dengan perlindungan terhadap konsumen dari penggunaan BTM, maka peraturan perundangundangan lain yang bersifat sektoral terkait penggunaan BTM meliputi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklam Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan
atas
Peraturan
722/MENKES/PER/IX/1988
Menteri tentang
Kesehatan
Bahan
RI
Tambahan
Nomor Makanan,
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239/Men.Kes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya, Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor 00386/C/SK/II/90, Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
Pengaturan UUPK dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen terkait dengan penggunaan BTM pada produk pangan telah sejalan dengan prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur bahwa anak berhak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak. Secara implisit ketentuan tersebut sesuai dengan hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a UUPK. Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa UUPK belum secara eksplisit memberikan perlindungan bagi anak, UUPK belum mampu memberikan perlindungan hukum bagi anak terhadap penggunaan BTM dalam jajanan anak. Belum ada pasal-pasal dalam UUPK yang secara eksplisit memberikan perlindungan hukum secara khusus bagi anak. Memang UUPK secara implisit juga telah memberikan perlindungan terhadap anak, mengingat pengertian konsumen dalam UUPK tidak dibedakan berdasarkan usia, namun pengaturan dalam UUPK masih bersifat umum sehingga UUPK belum dapat secara efektif memberikan perlindungan terhadap konsumen anak. Belum ada kecocokan antara pengaturan dalam UUPK dengan pelaksanaan sehari-hari. Memperhatikan gambaran umum peredaran jajanan anak yang telah dipaparkan sebelumnya diketahui bahwa dari tahun ke tahun masih saja ditemukan makanan yang mengandung BTM yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Pelaku usaha di bidang jajanan anak belum memenuhi kewajibannya untuk menjamin mutu barang yang diproduksi dan/atau diperdagangkan sesuai dengan standar mutu yang berlaku. Hal ini mengakibatkan hak-hak konsumen anak terkait penggunaan BTM dalam jajanan anak sebagaimana telah dilindungi dalam UUPK dan peraturan-peraturan yang bersifat sektoral terkait penggunaan BTM ternyata belum sepenuhnya ditaati dan dilaksanakan oleh pelaku usaha di bidang pangan jajanan anak. Berdasarkan klarifikasi yang telah penulis lakukan terhadap commitdasar to userdan sekolah menengah pertama, konsumen anak usia sekolah
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diperoleh
fakta
bahwa
pada
umumnya
setiap
harinya
mereka
mengkonsumsi makanan jajanan baik ketika disekolah maupun dirumah. Jajanan anak sudah menjadi keseharian dari anak, terutama ketika berada di sekolah. Hal ini disebabkan karena pada umumnya anak tidak sempat sarapan dirumah, sehingga makanan jajanan menjadi asupan energi bagi anak. Jajanan yang dikonsumsi sangat beranekaragam jenisnya, tidak hanya produk jajanan yang dibungkus dalam kemasan yang dikenal dengan sebutan chiki yang diproduksi oleh pabrikan, namun juga makanan yang dijajakan secara keliling baik di depan sekolah maupun di sekitar rumah, seperi tempura, cimol, bakso ojek, arum manis, es cincau, cireng, es dawet, siomay dan berbagai makanan jajanan lain. Dalam memilih jajanan, konsumen anak cenderung memilih makanan dengan kemasan yang menarik dan warna yang mencolok, rasanya gurih, memberikan hadiah di dalamnya, serta harga yang relatif murah namun membuat mereka kenyang. Dalam mengkonsumsi jajanan jenis minuman, anak lebih suka es yang warnanya mencolok, rasanya manis dan menyegarkan. Hal ini jugalah yang menyebabkan pelaku usaha menambahkan BTM ke dalam jajanan anak. Konsumen anak tidak memperhatikan keterangan yang tercantum di luar kemasan makanan yang mereka konsumsi, dikarenakan mereka tidak mengetahui adanya kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang bahwa konsumen memiliki kewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi sebelum mengkonsumsi suatu barang sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUPK. Konsumen anak tidak mengetahui jika yang tertulis pada label kemasan adalah informasi mengenai produk yang bersangkutan. Hal tersebut terjadi dikarenakan anak termasuk kategori golongan konsumen yang tidak terinformasi dikarenakan kondisi khusus yang ada padanya (ketidaktahuan dan ketidakmampuan). Konsumen mengumpulkan
memiliki kemampuan yang terbatas dalam commit to informasi user dan mengolah tentang makanan yang
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikonsumsinya sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam menilai makanan dan menghindari resiko dari produk-produk makanan yang tidak bermutu dan tidak aman bagi kesehatannya. Konsumen anak juga tidak mengetahui kandungan apa yang ada dalam produk jajanan yang mereka konsumsi. Konsumen memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengumpulkan
dan
mengolah
informasi
tentang
makanan
yang
dikonsumsinya, sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam menilai makanan dan sulit untuk menghindari resiko dari produk-produk makanan yang tidak bermutu dan tidak aman bagi kesehatan. Anak tidak memiliki kemampuan seleksi rasional atas pilihan makanan yang sehat dan layak konsumsi. Secara umum dan sederhana, yang mereka ketahui dan percayai makanan yang dijual dan beredar pasti dijamin keamanannya. Akhirnya konsumen anak dengan senang dan tanpa sadar mengkonsumsi produkproduk makanan tersebut karena penampilan yang menarik dengan harga yang lebih murah. Saat ini situasi anak-anak sangat jauh dari perlindungan, dengan tidak amannya konsumsi pangan anak-anak akan membawa dampak besar pada tidak sehatnya jiwa dan raga anak-anak bangsa ini. Peredaran jajanan anak yang mengandung BTM berbahaya mengancam keberlangsungan hidup anak. Dengan demikian ada pengabaian bagi pemenuhan hak-hak dasar anak, terutama hak untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang. Dengan dikonsumsinya informasi yang tidak tepat bagi anak-anak akan berdampak pada banyak hal negatif pada anak. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak konsumen anak sebagaimana tertuang dalam undangundang belum terjamin pemenuhannya. Apabila hal demikian dibiarkan terus terjadi maka akan berdampak besar pada perkembangan anak sebagai generasi penerus bangsa. Pengaturan perlindungan konsumen dalam UUPK masih bersifat global, belum menyentuh ketentuan perlindungan dan perlakuan pada situasi khusus terhadap kelompok-kelompok rentan seperti anak-anak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
Keberadaan anak sebagai salah satu unsur dari masyarakat kelak mempunyai peran yang cukup penting dalam berinteraksi dan perlu dalam menata kehidupannya. Dalam kehidupan manusia sebagai makhluk bermasyarakat, eksistensi anak merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai posisi yang sangat rentan dari berbagai kondisi yang tidak berdaya dan masih tergantung pada orang lain disekitarnya. Dalam ketidakberdayaan ini menyebabkan anak sering diperlakukan salah oleh orang dewasa, baik yang dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja. Akibat perlakuan salah tersebut pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi terganggu. Apabila kondisi seperti tersebut tercipta dimasyarakat maka keberadaan suatu bangsa akan memprihatinkan. Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu ketertiban, kemanan, dan pembangunan nasional. Maka ini berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan. Dari konsep diatas pelaksanaan pembangunan nasional yang baik sebagai sarana terciptanya suatu negara yang maju, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan handal. Berdasar dari keinginan untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang berkualitas dan handal, oleh karenanya keberadaan anak dalam kehidupan perlu diberikan perlindungan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan kehidupan masa kanak-kanak pada umumnya adalah masa mencari ilmu dan pengetahuan. Perlindungan khusus melalui upaya perhatian khusus itu sudah merupakan suatu kewajiban yang harus diberikan oleh negara. Persoalan perlindungan konsumen bukan hanya pada pencarian siapa yang bersalah dan apa hukumannya, melainkan juga mengenai pendidikan terhadap konsumen dan penyadaran kepada semua pihak tentang perlunya keselamatan dan keamanan di dalam berkonsumsi. user Dengan demikian, orangcommit akan to terhindar dari kemungkinan kerugian,
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
seperti cacat, terkena penyakit, bahkan meninggal atau dari kerugian yang menimpa harta bendanya. Anak merupakan golongan konsumen yang tidak terinformasi karena kondisi khusus yang melekat padanya, padahal setiap konsumen termasuk anak memilliki hak atas informasi (terinformasi/ well informed) sehingga kebutuhan akan pendidikan konsumen menjadi sangat urgen. Hal ini diarenakan anak sebagai konsumen tidak mengetahui secara jelas kandungan apa saja yang ada pada makanan yang ia makan selama ini. Karena itu konsumen memerlukan bimbingan dan perlindungan dari semua fihak yang terlibat dalam proses penyediaan makanan, terutama dari pemerintah dan pihak legislatif. Dengan banyaknya fakta terkait kurang optimalnya perlindungan konsumen anak, terlebih pendidikan terhadap konsumen, maka perlu dilakukan sosialisasi (pendidikan informal) yang lebih intensif kepada konsumen anak oleh orang tua dan orang dewasa yang berada di sekitar konsumen anak (pendamping). Pada saat anak berada di rumah maka yang bertanggungjawab melakukan pendampingan dalam memilih suatu produk adalah orang tua, namun ketika anak sedang berada di sekolah maka pihak yang bertanggung jawab melakukan pendampingan bagi konsumen anak adalah para guru. Oleh karena, baik orang tua maupun guru sebagai pendamping konsumen anak hendaknya juga dibekali pengetahuan dan pemahaman yang cukup mengenai hak-hak sebagai seorang konsumen dan cara memilih produk pangan yang aman, sehingga dapat berperan secara optimal dalam mendampingi konsumen anak. Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang tentunya bekerjasama dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dapat membuat suatu kebijakan menjadikan pendidikan konsumen sebagai kurikulum pendidikan formal di sekolah. Integrasi commit to user perlindungan konsumen akan dalam pendidikan formal mengenai
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
menjamin pendidikan yang sifatnya terus menerus sehingga anak mampu lebih selektif dan berhati-hati dalam memilih produk serta menjadi konsumen yang cerdas. Kecerdasan anak dalam posisi mereka sebagai konsumen harus diasah dan dipertajam terus menerus. B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM) Dalam Produk Pangan yang Dikonsumsi oleh Anak 1. Standar Norma Penggunaan BTM di Indonesia Pengelompokan Bahan Tambahan Makanan (BTM) yang diizinkan digunakan pada makanan dalam batas tertentu menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 antara lain adalah : 1) Antioksidan (Antioxidant) Antioksidan berfungsi untuk menghambat oksidasi lemak atau melindungi komponen-komponen makanan yang bersifat tidak jenuh, terutama lemak dan minyak. Tujuan utamanya ditambahkan ke dalam produk pangan adalah untuk memperpanjang daya simpan dan meningkatkan stabilitas makanan dan banyak mengandung lemak. Jenis antioksidan yang diizinkan dalam makanan antara lain asam askorbat serta garam kalium, garam kalium dan garam natrium; asam eritorbat serta garam natrium, askorbil palmitat; askorbil stearat (Ascorbil Stearate); butil hidroksianisol (BHA); butil hidrogsianisol tersier (BHT). 2) Antikempal (Anticaking Agent) Fungsi zat antikempal adalah untuk mencegah atau mengurangi kecepatan pengempalan makanan yang mempunyai sifat hidroskopis atau mudah menyerap air. Senyawa antikempal umumnya bersifat tidak toksik dan ikut terserap oleh metabolisme tubuh, penggunaannya to user perlu memperhatikancommit ambang batas pemakaian yang dianjurkan
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati,2006 :31-32). Jenis bahan antikempal yang diizinkan ditambahkan dalam makanan antara lain alumunium silikat, kalsium alumunium silikat, kalsium silikat, magnesium karbonat, magnesium oksida serta magnesium silikat, miristat, palmitat dan stearat dalam bentuk garam dengan Al, Ca, Na, Mg, K, NH4, natrium alumino silikat. 3) Pengatur Keasaman (Acidity Regulator) Pengatur asam adalah senyawa kimia yang bersifat kimia yang bersifat asam
dan
berfungsi
untuk
mengasamkan,
menetralkan,
dan
mempertahankan derajat keasaman dalam proses pengolahan bahan makanan. Dengan penambahan bahan pengasam diharapkan makanan yang dihasilkan memiliki cita rasa khas, warna stabil, dan lebih tahan lama (Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati, 2006 :33-34). Jenis bahan pengasam antara lain alumunium ammonium sulfat, alumunium kalium sulfat, alumunium natrium sulfat, amonium bikarbonat, amonium hidroksida, ammonium karbonat, asam adipat. 4) Pemanis Buatan (Artificial Sweetener) Pemanis buatan adalah bahan tambahan yang dapat menyebabkan rasa manis pada pangan tetapi tidak memiliki nilai gizi. Pengertian pemanis buatan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : Hk.00.05.5.1.4547 Tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan Dalam Produk Pangan adalah “Pemanis buatan adalah bahan tambahan pangan yang dapat menyebabkan rasa manis pada produk pangan yang tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori, hanya boleh ditambahkan ke dalam produk pangan dalam jumlah tertentu”. Beberapa pemanis sintetis yang telah dikenal dan banyak digunakan adalah sakarin, siklamat, aspartam, sorbitol (Wisnu Cahyadi, 2006:68) 5) Pemutih dan Pematang Tepung (Flafour Treatment Agent). Pemutih dan pematang tepung adalah bahan tambahan makanan yang commit pemutihan to user dapat mempercepat proses dan atau pematang tepung
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
sehigga dapat memperbaiki mutu pemanggangan. Jenis pemutih dan pematang tepung yang diizinkan dalam makanan antara lain asam askorbat, aseton peroksida, azodikarbonamida, kalsium stearoil zlaktilat, natrium stearil fumarat, natrium stearoil-z-laktilat, l-sisteina. 6) Pengemulsi, Pemantap, Pengental (Emulsifier, Stabilizer, Thickener) Pengemulsi, pemantap dan pengental adalah bahan tambahan makanan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan system disperse yang homogen pada makanan. Jenis pengemulsi, pemantap, pengental yang diizinkan dalam makanan terdapat 88 jenis diantaranya adalah agar; amonium alginate; amonium postatidat; asam alginat; aseptil dipati adipat; asetil dipati fosfat; asetil dipati gliserol; dekstrin, pati gosong,putih dan kuning; dikalium fosfat; dikalsium fosfat; dinatrium difosfat; dinatrium fosfat. 7) Pengawet (Preservative) Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Jenis pengawet antara lain asam benzoate (benzoad acid), asam propionat, asam sorbat, belerang dioksida, etil p-hidrok-sibenzoat, kalium benzoate, kalium bisulfit, kalium metabisulfit, kalium nitrat, kalium nitrit, kalium propionat, kalium sorbat, kalium sulfit, kalsium benzoat, kalsium propionat, kalsium sorbat, metal p-hidroksibenzoat, natrium benzoat, natrium bisulfit, natrium metabisulfit, natrium nitrat, natrium nitrit, natrium propionat, natrium sulfit, nisin, propel-p hidroksibenzoat. 8) Pengeras (Firming Agent) Pengeras adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperkeras atau mencegah melunaknya makanan. Jenis pengeras antara lain alumunium amonium sulfat, alumunium kalium sulfat, alumunium natrium sulfat, alumunium sulfat (anhidrat), kalsium glukonat, kalsium karbonat, kalsium klorida, kalsium laktat, kalsium sitrat, kalsium commit to user sulfat, monoalsium fosfat.
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
9) Pewarna (Colour) Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Pewarna terdiri atas pewarna alami dan pewarna sintetis. Pewarna sintetis mempunyai kelebihan, yaitu warnanya homogen dan penggunaannya sangat efisien karena hanya memerlukan jumlah yang sedikit, akan tetapi, kekurangannya adalah jika pada saat proses terkontaminasi logam berat, pewarna ini akan berbahaya bagi kesehatan kita (Nurchasanah,2008:128). Selanjutnya menurut Indra Chahaya S yang mengutip pendapat Winarno dan Sulistyowati, hal-hal yang memberikan dampak negatif tersebut bila bahan pewarna sintetik ini dimakan dalam jumlah kecil namun berulang; bahan pewarna sintetik dimakan dalam waktu lama; kelompok masayarakat luas dengan daya tahan yang berbeda-beda, yaitu tergantung pada umur, jenis kelamin, berae badan, mutu makanan sehari-hari dan keadaan fisik; berbagai masayarakat yang mungkin menggunakan bahan pewarna sintetik secara berlebihan; penyimpangan bahan pewarna sintetik oleh pedagang bahan kimia yang tidak memenuhi persyaratan (Indra Chahaya S,2003:43). Jenis pewarna yang diizinkan dalam makanan antara lain : (1) Pewarna alami, terdiri atas anato (CI No.75120), beta-Apo-8 karotenal (CI No. 80820), acid Beta-Apo-8 karotenoat (CI No. 40825), kantasantin (CI No. 40850), karamel ammonia sulfit proses, karamel, karmin (CI.No.75470), beta karoten (CI.75130), klorofil (CI.No. 75810), klorofil tembaga komplek (CI. No.75810), kurkumin (CI.No.75300), ribovlavin, titanium dioksida (CI No. 77891). (2) Pewarna sintetis, yang terdiri atas biru berlian (CI.No.42090), coklat HT (CI No.20285), eritrosin (CI No.45430), hijau FCF (CI No.42053), hijau S (CI No.44090), indigotin (CI No.73015), karmoisin (CI No. 14720), kuning FCF (CI No.73015), kuning commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kuinolin (CI No.47005), merah allura (CI No.16035), ponceau 4R (CI No.16255), tartrazin (CI No.19140). 10) Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa (Flavour, Flavour Enhancer) Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa adalah bahan tambahan makanan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. 1) Penyedap Rasa dan Aroma, jenis yang diizinkan ditambahkan dalam makanan terdapat 75 jenis diantaranya adalah alil isotiosianat,alil kaproat,alil sikloheksil propionat, alpha-amyl sinamaldehida, anisaldehida, asam butirat, asam kaproat, asam sinamat,benzaldehida, benzil alkohol, benzil asesat, benzil propionat, d-borneol, butil asesat, butil butirat, desil aldehida, desil alkohol, etil butirat. 2) Penguat Rasa (Flafour Enchancer), dengan batas maksimum penggunaan secukupnya antara lain jenis asam guanilat, asam lglutamat, asam inosinat, kalium dan natrium 5 ribonucleotida. 11) Sekuestran (Sequestrant) Sukestran adalah bahan tambahan makanan yang dapat mengikat ion logam yang ada dalam makanan. Jenis sukestran yang diizinkan dalam makanan antara lain asam fosfat, asam sitrat, dikalium fosfat, dinatrium difosfat, dinatrium edetat, dinatrium fosfat, isopropil sitrat, kalium pirofosfat, kalium tripirofosfat, kalsium dinatrium edetat, kalsium sitrat,monogliserida sitrtat, monokalium fosfat, mononatrium fosfat, natrium pirofosfat, natrium polifosfat, natrium sitrat, natrium tri polifosfat, oksistearin, stearil sitrat, trikalium fosfat, trinatrium fosfat. Bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan, menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/ Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan commit to user Makanan, antara lain :
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Asam Borat (Boric Acid) dan senyawanya Meskipun bukan pengawet makanan, asam borat yang lebih dikenal dengan istilah boraks sering pula digunakan sebagai pengawet makanan. Boraks juga dikenal dengan sebutan garam bleng, bleng, atau pijer. Boraks yang disebut juga asam borat, natrium tetra borax atau sodium borat bersifat toksik atau meracun untuk manusia. Dalam kondisi toksis yang kronis (karena mengalami kontak dalam jumlah sedikit demi sedikit namun dalam jangka waktu panjang) akan mengakibatkan tanda-tanda merah pada kulit, seizure, dan gagal ginjal. Boraks juga dapat mengakibatkan iritasi pada kulit, mata atau saluran respirasi, mengganggu kesuburan dan janin. Dosis letal (dosis yang dapat mengakibatkan kematian) pada dewasa 20 gram, sedangkan pada anak-anak dan binatang kesayangan kurang dari 5 gram
(Nurheti
Yuliarti,2007:49-50). 2) Asam Salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt) Asam salisilat seringkali ditemukan pada buah dan sayur. Zat ini sebenarnya merupakan suatu antiseptic yang memperpanjang masa keawetan. Asam salisilat bersifat sangat iritatif sehingga sebenarnya asam salisilat hanya baik digunakan sebagai obat luar (lotion) .Sampai saat ini asam salisilat memang masih digunakan sebagai obat yang diberikan secara oral (lewat mulut). Namun demikian, obat ini akan menimbulkan efek samping berupa gangguan lambung, pusing, berkeringat, mual dan muntah. Asam salisilat apabila digunakan secara terus menerus dapat pula mengakibatkan kekurangan zat besi, sedangknan apabila asam salisilat diberikan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan pendarahan lambung (Nurheti Yuliarti, 2007:33-34). 3) Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate DEPC) Bahan berbahaya ini sering digunakan oleh produsen makanan dan minuman untuk pengawet. DEPC berfungsi sebagai anti mikroba untuk jamur, ragi, dan bakteri pada produk-produk minuman ringan commit user dan minuman hasil fermentasi. (nonkarbonasi), minuman sarito buah
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Saat ini DEPC sudah dilarang penggunaannya mengingat bahayanya terhadap kesehatan (Nurheti Yuliarti,2007 :52). 4) Dulsin (Dulcin) Dulsin adalah jenis pemanis yang dilarang penggunaannya telah dilarang di Indonesia. Dulsin dikenal dengan nama sucrol dalam perdagangan. Dulsin dalam bahan pangan digunakan sebagai pengganti sukrosa bagi orang yang perlu berdiet. Konsumsi dulsin yang berlebihan akan menimbulkan dampak yang membahayakan bagi kesehatan (Nurheti Yuliarti,2007:30). 5) Kalium Klorat (Potassium Chlorate) Kalium klorat telah dinyatakan dilarang untuk bahan tambahan makanan. Bahan ini seringkali digunakan oleh sejumlah pedagang makanan untuk mengawetkan makanan. Akibat penggunaan bahan ini untuk konsumsi akan muncul berbagai gangguan kesehatan seperti iritasi saluran pernapasan, gangguan fungsi ginjal, hemolisis sel darah merah dan methemoglobinemia akan terjadi pada orang yang mengkonsumsinya dalam jumlah besar (Nurheti Yuliarti,2007:51). 6) Kloramfenikol (Chloramphenicol) Kloramfenikol Antibiotika
ini
sebenarnya
sering
merupakan
disalahgunakan
suatu
untuk
antibiotika.
pengawet
susu.
Kloramfenikol berbahaya jika dikonsumsi setiap waktu karena merupakan
suatu
antibiotika
yang
tidak
sembarangan
dapat
dikonsumsi (Nurheti Yuliarti, 2007 :52). 7) Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils) Minyak nabati yang dibrominasi dapat menstabilkan peneyedap rasa dan aroma dalam minuman ringan. 8) Nitrofurazon (Nitrofurazone) Nitrofurazon
merupakan
bahan
bakterisida pada hewan. 9) Formalin (Formaldehyde) commit to user
sintetik
yang
bersifat
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Formalin merupakan gas formaldehid yang tersedia dalam bentuk larutan 40%. Bahan ini bisa diperoleh dengan mudah di tokotoko kimia. Formalin sebenarnya adalah bahan pengawet yang digunakan dalam dunia kedokteran, misalnya sebagai bahan pengawet mayat (Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati, 2006:62-63). Kesalahan fatal yang dilakukan oleh para produsen makanan adalah menggunakan formalin sebagai bahan pengawet makanan . Hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi tentang formalin dan bahanya, tingkat kesadaran kesehatan masyarakat yang masih rendah, harga formalin yang sangat murah dan kemudahan memperoleh formalin. Selain itu, formalin efektif digunkan sebagai pengawet. Penggunannya hanya dalam jumlah sedikit. Sebaliknya, konsumen mau menerima bahan makanan yang mengandung formalin karena ketidaktahuan mereka dan kecenderungan untuk mendapatkan makanan yang murah dan awet. Selain itu konsumen belum bisa membedakan produk yang diawetkan dengan pengawet pangan dan produk yang diawetkan dengan formalin (Cahyo Saparinto dan Diana Hidayati, 2006:63). Penggunaan
formalin
sebagai
pengawet
makanan
bisa
menimbulkan gangguan kesehatan. Formalin tidak dapat hilang dengan pemanasan. Efek samping penggunaan formalin tidak secara langsung akan terlihat. Efek ini hanya terlibat secara kumulatif, kecuali jika seseorang mengalami keracunan formalin dengan dosis tinggi. Oleh karena itu penggunaan formalin dalam makanan tidak dapat ditoleransi dalam jumlah sekecil apapun.Keracunan formalin dapat menyebabkan iritasi lambung dan alergi. Formalin juga bersifat karsinogen (menyebabkan kanker) dan mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel). Dalam kadar yang sangat tinggi formalin bisa menyebabkan kegagalan peredaran darah yang bermuara pada kematian. 10) Kalium Bromat (Potassium Bromate) commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kalium bromat tidak boleh digunakan sebagai bahan tambahan makanan karena merupakan bahn kimia yang dalam dosis berlebih dalam
tubuh
dapat
mengakibatkan
muntah-muntah,
diare,
methemoglobinea dan reinjury (Nurheti Yuliarti, 2007:53). Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
239/Men.Kes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 00386/C/SK/90 tentang Perubahan
Lampiran
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
:
239/Menkes/Per/V/85 Tentang Zat warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya ada beberapa jenis zat pewarna yang dinyatakan berbahaya dan dilarang penggunaannya bagi obat dan makanan, kecuali mendapat izin Kepala BPOM antara lain: 1) Auramine (C.I Basic Yellow 2), nomor indeks warna 41000. 2) Alkanet, nomor indeks warna 75520. 3) Butter Yellow (C.I. Solvent Yellow 2), nomor indeks warna 11020. 4) Black 7984 (Food Vlack 2), nomor indeks warna 27755. 5) Burn Unber (Pigment Brown 7), nomor indeks warna 77491. 6) Chrysoidine (C.I. Basic Orange 2), nomor indeks warna 11270. 7) Chrysoine S (C.I Food Yellow 8), nomor indeks warna 14270. 8) Citrus Red No. 2, nomor indeks warna 12156. 9) Chocolate Brown FB (Food Brown 2). 10) Fast Red E (C. I Food Red 4), nomor indeks warna 16045. 11) Fast Yellow AB (C. I Food Yellow 2), nomor indeks warna 13015. 12) Guinea Green B (C. I Acid Green No. 3), nomor indeks warna 42085. 13) Indanthrene Blue RS (C. I Food Blue 4), dengan indeks warna 69800. 14) Magenta ( C. I Basic Violet 14), dengan nomor indeks warna 42510. 15) Metanil Yellow (Ext. D&C Yellow No. 1), dengan indeks warna 13065. 16) Oil Orange SS (C. I Solvent Orange 2), nomor indeks warna 12100. 17) Oil Orange XO (C. I Solvent Orange 7), nomor indeks warna 12140. commitYellow to user5), nomor indeks warna 11380. 18) Oil Orange AB (C. I Solvent
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
19) Oil Yellow AB (C. I Solvent Yellow 6), nomor indeks warna 11390 . 20) Orange G (C. I Food Orange 4), nomor indeks warna 16230. 21) Orange GGN (C. I Food Orange 2), nomor indeks warna 15980. 22) Orange RN (Food Orange 1), nomor indeks warna 15970. 23) Orchid and Orcein. 24) Ponceau 3R (Acid Red 1), nomor indeks warna 16155. 25) Ponceau SX (C. I Food Red 1), nomor indeks warna 14700. 26) Ponceau 6R (C. I Food Red 8), nomor indeks warna 16290. 27) Sudan I (C. I Solvent Yellow 14), nomor indeks warna 12055. 28) Scarlet GN (Food Red 2), nomor indeks warna 14815. 29) Violet 6 B, nomor indeks warna 42640. Selain itu, ada beberapa jenis zat pewarna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan, dan kosmetika antara lain : 1) Jingga K1 (C.I. Pigment Orange 5,D&C Orange No. 17),dengan nomor indeks warna C.I Nomor 12075. 2) Merah K3 (C. I Pigment Red 53,D&C Red No. 8), dengan nomor indeks warna C.I Nomor 15585. 3) Merah K4 (C. I. Pigment Red 53 : 1,D&C Red No. 9),dengan nomor indeks warna C.I Nomor 15585: 1. 4) Merah K10 (Rhodamine B, D&C Red No. 9,C.I. Food Red 15),dengan nomor indeks warna C.I Nomor 45170. 5) Merah K11, dengan nomor indeks warna C.I Nomor 45170:1. Dari berbagai jenis pewarna tekstil yang disalahgunakan sebagai pewarna makanan, yang paling banyak digunakan adalah rhodamin b dan metanyl yellow. Padahal keduanya dapat mengakibatkan gangguan kesehatan yang mungkin baru muncul bertahun-tahun setelah kita mengonsumsinya (Nurheti Yuliarti, 2007 :91). Penggunaan rhodamin b pada makanan pada jangka waktu lama (kronis) akan mengakibatkan gangguan fungsi hati maupun kanker, namun apabila terpapar rhodamin b dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi keracunan commit to user rhodamin b. Bila rhodamin b tersebut masuk melalui makanan maka akan
perpustakaan.uns.ac.id
82 digilib.uns.ac.id
mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan dengan air kencing yang berwarna merah ataupun merah muda. Methanyl yellow adalah senyawa kimia azo aromatic amin yang dapat menimbulkan tumor dalam jaringan hati, kandung kemih, saluran pencernaan atau jaringan kulit (Nurheti Yuliarti, 2007:92-93). 2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penggunaan BTM Dalam Produk Pangan yang Dikonsumsi oleh Anak Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus menerus meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara adil dan merata dalam segala aspek kehidupan serta diselenggarakan secara terpadu, terarah, dan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, baik material maupun spiritual, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Sagung Seto yang mengutip pendapat dari Prof.Dr.Ir. M.Aman Wirakartakusumah, pangan merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting baik bagi setiap insan baik secara fisiologis, psikologis, sosial maupun antropologis. Pangan selalu terkait dengan upaya manusia untuk mempertahankan hidupnya (Sagung Seto, 2001:1). Sumber daya manusia yang berkualitas selain merupakan unsur terpenting yang perlu memperoleh prioritas dalam pembangunan, juga sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan, antara lain, oleh kualitas pangan yang dikonsumsinya. Kebutuhan akan pangan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Kebutuhan ini berkaitan erat dengan kesehatan dan keselamatan manusia yang mengkonsumsinya, oleh karena itu tanggung jawab pelaku usaha di bidang pangan dan pengolahan pangan merupakan tanggung jawab besar dan berat, sehingga pelaku usaha harus bisa menjamin keamanan produknya. Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang commit to user Pangan menyebutkan bahwa ”badan usaha yang memproduksi pangan
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsinya”. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pelaku usaha dalam menjaga keamanan pangan terkait dengan penggunaan BTM dalam produk makanan, khususnya dalam hal ini adalah makanan yang dikonsumsi anakanak, maka Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan ketentuan Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, melarang setiap orang yang memproduksi pangan yang diedarkan menggunakan BTM yang dilarang penggunaannya untuk makanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan Juncto
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239/MEN.KES/PER/V/85 Tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya. Selain daripada itu, pelaku usaha juga dilarang menggunakan BTM yang diizinkan penggunaannya dalam dosis tertentu melampaui ambang batas maskimal yang ditetapkan sebagaimana diatur dalam
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan Juncto Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Penggunaan BTM dalam produk pangan yang tidak mempunyai resiko terhadap kesehatan manusia dapat dibenarkan, namun penggunaan bahan yang yang dilarang sebagai BTM atau penggunaan BTM secara commitambang to user batas maksimal tidak dibenarkan berlebihan sehingga melampaui
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
karena dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Selanjutnya untuk bahan yang akan digunakan sebagai BTM tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor RI 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya. Penggunaan BTM tersebut dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan
dilakukan
setelah
memperoleh
persetujuan
pemerintah.
Berdasaran Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor : 02592/B/SK/VIII/91
tentang
Penggunaan Bahan Tambahan
Makanan yang menindaklanjuti ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan
Tambahan Makanan, pada Pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa menggunakan bahan tambahan lain dalam makanan atau menggunakan dengan tujuan lain, selain yang diizinkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan hanya dapat diizinkan setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pengawas Obat dan Makanan yang saat ini diubah namanya menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Memperhatikan ketentuan tersebut maka dalam penggunaan BTM ke dalam makanan, khususnya makanan yang dikonsumsi oleh anak-anak wajib menggunakan BTM yang diizinkan oleh pemerintah, yaitu bahan tambahan makanan yang diziinkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan. Tentang keamanan pangan yang menggunakan BTM apabila commit to user Pasal 10 Undang-Undang Nomor dikaitkan dengan Pasal 4 huruf a UUPK,
perpustakaan.uns.ac.id
85 digilib.uns.ac.id
7 Tahun 1996 tentang Pangan yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan ketentuan Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, maka dapat dikatakan bahwa konsumen dalam penggunaan produk pangan olahan yang mengandung BTM telah dilindungi hak-haknya dalam hal kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Bagi konsumen, mereka memerlukan produk yang aman bagi kesehatan tubuh atau keamanan jiwa, serta pada umumnya untuk kesejahteraan keluarga atau rumah tangganya. Dengan demikian yang diperlukan adalah kaidah-kaidah hukum yang menjamin syarat-syarat aman setiap produk bagi konsumsi manusia, dilengkapi dengan informasi benar, jujur dan bertanggungjawab (Celina Tri Siwi K,2008:26). Tanggung jawab erat kaitannya dengan kewajiban. Menurut Pasal 7 UUPK, kewajiban pelaku usaha antara lain: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Sesuai dengan ketentuan di atas, apabila dikaitkan dengan tanggung jawab pelaku usaha untuk menjamin keamanan pangan yang diproduksi, maka pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, commit to user jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pelaku
perpustakaan.uns.ac.id
86 digilib.uns.ac.id
usaha yang memproduksi pangan dalam kemasan, dalam memproduksi dan mengedarkan pangan sudah seharusnya memenuhi kewajiban tersebut dalam hal penggunaan BTM dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh anak. Sudah seharusnya anak sebagai konsumen menerima informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan atas keamanan pangan terkait penggunaan BTM. Perdagangan pangan yang menggunakan bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi pangan atau perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan atau melalui iklan. Label dan iklan pangan yang tidak jujur dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia. Dalam hubungannya dengan masalah label dan iklan pangan maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas dan lengkap baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai pangan yang beredar di pasaran. Informasi pada label pangan atau melalui iklan sangat diperlukan bagi masyarakat agar supaya masing-masing individu secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi. Salah satu tujuan dari perlindungan konsumen seperti tertuang dalam Pasal 3 UUPK, yaitu “menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi”. Informasi merupakan hal yang penting bagi konsumen. Dalam suatu kemasan pangan, informasi biasanya dalam bentuk label. Tujuan pemberian label pada pangan yang dikemas sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah agar masyarakat yang membeli dan atau mengkonsumsi pangan memperoleh informasi commit to user yang benar dan jelas tentang setiap produk pangan yang dikemas, baik
perpustakaan.uns.ac.id
87 digilib.uns.ac.id
menyangkut asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, maupun keterangan lain yang diperlukan sebelum memutuskan akan membeli dan atau mengkonsumsi pangan tersebut. Dengan membaca informasi yang tertera pada label maka konsumen dapat menentukan produk pangan yang cocok untuk dikonsumsi. Penyampaian informasi kepada konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun instruksi. Peringatan dan instruksi mempunyai fungsi yang berbeda. Instruksi terutama telah diperhitungkan untuk menjamin efisiensi penggunaan produk, sedangkan peringatan dirancang untuk menjamin keamanan penggunaan produk. Peringatan yang merupakan bagian pemberian informasi kepada konsumen ini merupakan pelengkap dari proses produksi. Peringatan yang diberikan kepada konsumen memegang peranan penting dalam kaitan dengan keamanan suatu produk (Celina Tri Siwi K,2008:44-45). Ketentuan mengenai pemasangan label berlaku bagi pangan yang telah melalui proses pengemasan akhir dan siap untuk diperdagangkan (pre-packaged), tetapi tidak berlaku bagi perdagangan pangan yang dibungkus di hadapan pembeli. Orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Menurut Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pangan juncto Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, label sekurang-kurangnya memberikan keterangan tentang : a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan commit to user ke dalam wilayah Indonesia;
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. keterangan tentang halal; dan f. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa. Penggunaan bahan tambahan makanan pada makanan, termasuk makanan yang dikonsumsi oleh anak wajib mencantumkan keterangan atasnya dan pencantuman ini ditempatkan dalam daftar bahan pangan yang digunakan. Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan menyebutkan bahwa : (1) Untuk pangan yang mengandung Bahan Tambahan Pangan, pada label wajib dicantumkan golongan Bahan Tambahan Pangan. (2) Dalam hal Bahan Tambahan Pangan yang digunakan memiliki nama Bahan Tambahan Pangan dan atau kode internasional, pada label dapat dicantumkan nama Bahan Tambahan dan kode internasional dimaksud, kecuali Bahan Tambahan Pangan berupa pewarna. (3) Dalam hal Bahan Tambahan Pangan berupa pewarna, selain pencantuman golongan dan nama Bahan Tambahan pangan, pada Label wajib dicantumkan indeks pewarna yang bersangkutan. Pencantuman nama golongan bahan tambahan pangan diperlukan agar setiap orang yang mengkonsumsi pangan secara jelas dapat mengetahui jenis-jenis bahan tambahan pangan yang dipergunakan. Kewajiban untuk mencantumkan nomor kode internasional memudahkan bagi setiap orang yang memproduksi ataupun mengkonsumsi pangan tertentu sekaligus memudahkan pengawasannya. Pasal
15
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
722/
MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan megatur bahwa pada makanan yang mengandung BTM, maka pada labelnya harus dicantumkan nama golongan BTM. Makanan yang mengandung BTM golongan antioksidan, pemanis buatan, pengawet, pewarna dan penguat rasa pada label tidak hanya mencantumkan golongan BTM, tetapi harus mencantumkan pula nama BTM dan indeks khusus untuk pewarna. Ditegaskan dalam Pasal 25 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/ MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan yang menyebutkan bahwa “dilarang mengedarkan makanan dan bahan commit to user tambahan makanan yang tidak berlabel“. Ketentuan tersebut dengan jelas
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melarang setiap orang untuk mengedarkan makanan kemasan yang tidak mencantumkan label. Selanjutnya Pasal 6 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor Hk .00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan diatur bahwa “Produk pangan yang menggunakan pemanis buatan harus mencantumkan jenis dan jumlah pemanis buatan dalam komposisi bahan atau daftar bahan pada label”. Keputusan
Kepala
BPOM
RI
Nomor
Hk.00.05.5.1.4547
mensyaratkan bahwa produk pangan yang menggunakan pemanis buatan harus mencantumkan jenis dan jumlah pemanis buatan dalam komposisi bahan atau daftar bahan pada label. Selain itu orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menambahkan pemanis buatan pada pangan wajib mencantumkan peringatan Fenilketonuria: mengandung fenilalanin, yang ditulis dan terlihat jelas pada label jika makanan atau minuman atau sediaan menggunakan pemanis buatan aspartam. Selanjutnya
wajib
mencantumkan
peringatan:
konsumsi
berlebihan dapat mengakibatkan efek laksatif, yang ditulis dan terlihat jelas pada label makanan atau minuman atau sediaan yang menggunakan pemanis buatan laktitol atau manitol atau sorbitol, yang apabila diyakini dikonsumsi lebih dari 20 gram laktitol perhari atau 20 gram manitol perhari atau 50 gram sorbitol perhari. Peraturan Kepala BPOM RI Nomor : HK.00.06.1.52.6635 tentang Larangan Pencantuman Informasi Bebas Bahan Tambahan Pangan Pada Label dan Iklan Pangan melarang pencantuman informasi bebas BTP pada label dan iklan pangan. Informasi bebas bahan tambahan pangan tersebut meliputi pernyataan dan atau tulisan dengan menggunakan kata “bebas”, “tanpa”, “tidak mengandung” atau kata semakna lainnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
Sebagai contoh beberapa jajanan anak dalam kemasan yang menambahkan bahan tambahan makanan, antara lain : a. Permen Marbels Colors yang diproduksi oleh PT.Perfetti Van Melle Indonesia-Bogor dengan lisensi Perfetti Van Melle Benelux B.V Netherlands dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di dalammya antara lain : gula ; sirup glukosa; minyak nabati; pengatur keasaman : asam sitrat, tepung beras; pengental : GOM Arab, GOM Gellan; perisa : nanas, stroberi, jeruk, blackurrant, apel; ekstrak : nanas, stroberi, jeruk, blackurrant, apel; pengemulsi : ester sukrosa, asam lemak; pewarna : tartrazin C I 19140, kuning FCF CI 15985, indigotin CI 73015, biru berlian CI 42090, karmoisin CI 14720, merah allura CI 16035; pelapis : karnauba wax. b. Simba Chocho Rillas yang diproduksi oleh PT. Simba Indosnack Makmur dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di dalammya antara lain : tepung gandum; coklat bubuk; pasta coklat; susu bubuk; gula; ekstrak malt; garam beryodium; pengemulsi letisin kedelai; perisa coklat; kalsium karbonat; pewarna alami karamel (E150 C). c. Garuda Kacang Atom yang diproduksi oleh PT. Garudafood Putra Putri Jaya dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di dalammya antara lain : tepung tapioka; kacang tanah; minyak nabati; bawang putih; garam; gula; penguat rasa mononatrium glutamate, pemanis buatan (Aceculfam-K5,63 mg/saji) ADI :15 mg/kg berat badan, aspartam 0,92 mg/saji : ADI 50 mg/kg berat badan. Selain itu pada kemasan juga tertulis “mengandung gula dan pemanis buatan” dan “mengandung Fenilalanin, tidak cocok untuk penderita Fenilketonuria”. Peringatan tersebut wajib dicantumkan karena dalam garuda kacang atom mengandung pemanis buatan jenis aspartam. d. Mie Gemez Enaak yang diproduksi oleh PT.Siantar Top Sidoarjo Indonesia dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di user tepung tapioka; minyak sayur; dalammya antara lain commit :tepungtoterigu;
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bawang merah; bawang putih; perisa ayam; kecap; gula; penguat rasa : mononatrium glutamat, garam, natrium karbonat, natrium polifosfat, guar gum; pemanis sukralosa, pewarna makanan coklat HT CI 20285, pewarna tartrazin CI 19140, pewarna makanan kuning FCF CI 15985. e. Alpenliebe Lollipop Bluez yang diproduksi oleh PT. Perfetti Van Melle Indonesia-Bogor lisensi Perfetti Fan Melle S.p.A.,Lainate (MI) Italy dalam label mencantumkan komposisi yang terkandung di dalammya antara lain : gula; sirup maltosa; minyak nabati; krim susu; pengatur keasaman : asam laktat, natrium laktat; pewarna : titanium dioksida CI 77891, biru berlian CI 42090, perisa : stroberi, vanilla, garam; pengemulsi : letisin kedelai, ekstrak stroberi. f. Pop Ice yang diproduksi oleh PT.Forisa Nusapersada dalam label mencantumkan komposisi antara lain : gula; coklat bubuk; krim nabati; susu bubuk; krim nabati; susu bubuk; perisa coklat; pemanis buatan aspartam ≤ 0,04 g/sachet (ADI 50 mg/kg berat badan/hari); natrium siklamat ≤ 0,02 g/sachet (ADI 11 mg/kg berat badan /hari); acesulfame-K ≤ 0,059 / sachet (ADI 15 mg/kg berat badan /hari). Fenilketonuria
:
Mengandung
Fenilalanin,
peringatan
ini
dicantumkan karena pop ice mengandung pemanis buatan jenis aspartam. Mengandung gula dan pemanis buatan. g. Milkuat susu caramel yang diproduksi oleh PT.Danone Dairy Indonesia dalam label mencantumkan komposisi antara lain : air; susu segar; gula pasir; susu bubuk full cream; pemantap nabati; trikalsium fosfat; garam; perisa caramel; dinatrium fosfat; perisa krim; premiks vitamin; pemanis buatan (aspartam 12,5 mg /saji dan asesulfam K 12,3 mg/saji); pewarna karamel. Megandung
Fenilalanin:
tidak
cocok
untuk
penderita
feniketonurik. Mengandung gula dan pemanis buatan. Tidak cocok untuk bayi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
92 digilib.uns.ac.id
Berdasarkan contoh jajanan anak dalam kemasan yang diproduksi oleh pabrikan di atas terlihat bahwa pelaku usaha yang menambahkan BTM kedalam jajanan anak yang diproduksi dalam bentuk kemasan sudah melaksanakan tanggung jawabnya untuk menjamin keamanan pangan yang diproduksi dengan menggunakan BTM yang diizinkan dalam batas penggunaan yang sesuai. Pelaku usaha jajanan anak pabrikan juga melaksanakan tanggung jawabnya untuk memberikan informasi yang jelas dalam penggunaan BTM. Informasi diberikan dengan mencantumkan golongan BTM yang digunakan pada label kemasan. Selain itu makanan jajanan anak yang menggunakan penguat rasa juga telah mecantumkan nama BTM golongan penguat rasa (garuda kacang atom, mie gemez enak). Pelaku usaha yang menambahan pewarna sintetis dalam jajanan anak yang diproduksi selain telah mencantumkan golongan dan nama pewarna (BTM), pada label juga telah mencantukan indeks pewarna yang bersangkutan. Selanjutnya pelaku usaha yang menambahkan pemanis buatan juga telah melaksanakan tanggung jawabnya dengan mencantukan jenis dan jumlah pemanis buatan. Pelaku usaha yang menambahkan pemanis buatan jenis aspartam dalam jajanan anak yang diproduksinya (garuda kacang atom, pop ice, milkuat susu caramel) juga telah melaksanakan tanggung jawabnya dengan mencantumkan peringatan Fenilketonuria: mengandung fenilalanin, yang ditulis dan terlihat jelas pada label sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 Keputusan Kepala BPOM RI Nomor HK.00.05.5.1.4547. Kewajiban mencantumakan keterangan tentang penggunaan BTM tidak berarti menunjukkan bahwa produk yang memakai BTM tersebut tidak aman, akan tetapi pencantuman tersebut lebih bersifat informasi, sebab pada dasarnya produk pangan yang beredar di pasaran merupakan produk pangan yang aman untuk dikonsumsi artinya produk pangan tersebut bebas dari bahan-bahan yang berbahaya bagi manusia serta cara pengolahannya harus menjamin keamanan produk tersebut. Oleh karena commit to user itu, informasi berupa pencantuman keterangan mengenai BTM yang
perpustakaan.uns.ac.id
93 digilib.uns.ac.id
digunakan lebih ditujukan untuk memenuhi hak konsumen berupa hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya. Konsumen dalam hal ini diberi kebebasan untuk memilih apakah konsumen akan mengkonsumsi produk pangan yang menggunakan BTM atau produk pangan yang tidak menggunakan BTM. Dengan pencantuman label penggunaan BTM pada kemasan pangan, maka konsumen produk pangan telah diberikan dan dilindungi haknya dalam memilih dan menentukan produk yang mengandung BTM atau yang tidak mengandung BTM. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, diketahui bahwa pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan BTM justru banyak ditemukan pada pelaku usaha kecil atau pelaku usaha rumahan, termasuk pelaku usaha jajanan yang menjajakan dagangannya di sekitar sekolah. Untuk memperkuat fakta hukum tersebut, sebagai contoh penulis melakukan klarifikasi terhadap instansi pengawas produk pangan yang beredar di Kota Surakarta yaitu Dinas Kesehatan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta. Berdasarkan pengawasan yang dilakukan terhadap pelaku usaha yang bergerak dalam bidang pangan yang dalam hal ini adalah makanan yang dikonsumsi anak, diperoleh fakta bahwa penyimpangan yang masih banyak ditemukan adalah makanan kemasan hasil industri rumah tangga, makanan yang dihasilkan oleh pelaku usaha kecil menengah serta makanan yang dijajakan secara keliling yang dikemas dihadapan pembeli. Berdasarkan hasil pengambilan sampel makanan yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota (DKK) tahun 2009 lalu, dari 43 sampel makanan yang diperiksa diketahui 9,3% mengandung bahan berbahaya seperti boraks, formalin, dan pewarna untuk tekstil, misalnya rodhamin. Pada tahun 2010, dari 413 sampel, sekitar 9,2% di antaranya mengandung bahan berbahaya. Untuk tahun 2011 diambil 318 sampel meliputi di swalayan, sekolah dan pasar, hasilnya 58 (18%) sampel tidak memenuhi syarat, yaitu masih commit to user terdapat kandungan borak, formalin, methanil yellow, rhodamin b dan
perpustakaan.uns.ac.id
94 digilib.uns.ac.id
penggunaan bahan tambahan makan yang tidak sesuai dengan dosis yang ditentukan. Dari pengambilan sampel tersebut 10 sampel dari 150 sampel yang diambil di sekolah-sekolah di Kota Surakarta mengandung bahan tambahan tidak sesuai ketentuan. Penyimpangan yang ditemukan paling banyak adalah di pasar. Penyimpangan yang dilakukan umumnya dilakukan oleh pelaku usaha kecil yang menjual pangan dikemas dihadapan pembeli yang tidak mempunyai kewajiban mendaftarkan dagangannya dan dibebaskan dari ketentuan pelabelan serta pangan kemasan hasil industri rumahan. Sebagai contoh penulis juga melihat produk makanan anak berupa jelly yang dihasilkan oleh industri rumah tangga pangan yang menggunakan BTM. Produk jelly ini melaksanakan tanggung jawab dalam menjamin keamanan pangan dengan menggunakan BTM yang diizinkan, namun belum melaksanakan tanggung jawabnya dalam hal pencantuman label, produk jelly jus doremi yang dihasilkan oleh industri rumah tangga pangan indo rasa jaya nomor sertifikasi P-IRT No. 208337201158 dalam label tertulis komposisi pewarna makanan dan pemanis, namun tidak disebutkan nama dan nomor indeks bahan pewarna makanan yang digunakan. Selain itu untuk pemanis juga tidak memenuhi persyaratan pelabelan penggunaan pemanis buatan dalam produk pangan sebagaimana diatur pada Pasal 6 Keputusan Kepala BPOM Nomor HK. 00.05.5.1.4547. Contoh lain adalah camilan sejenis kerupuk dengan merek rindu mas yang dihasilkan oleh industri rumah tangga pangan angkasa dengan nomor sertifikasi P-IRT No.206331301224 yang dalam komposisi menyebutkan tepung tapioka, bawang, gula, garam, penyedap rasa, natrium siklamat, natrium sakarin, egg yellow dan sunset yellow. Makanan tersebut mengandung pemanis buatan berupa siklamat dan sakarin, seharusnya mencantumkan jumlah pemanis buatan yang digunakan dalam label kemasan. Selanjutnya karena makanan tersebut menggunakan pewarna maka seharusnya tidak hanya mencantumkan nama pewarna commit to user
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
makanan yang digunakan namun juga indeks pewarna yang bersangkutan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan prinsip kejelasan bagi konsumen. Berdasarkan
hasil
tersebut
selanjutnya
penulis
melakukan
klarifikasi terhadap pelaku usaha usaha yang memproduksi dan mengedarkan makanan yang dikonsumsi oleh anak. Menurut pelaku usaha yang menproduksi dan memperdagangkan makanan dan minuman jajanan anak di sekitar sekolah, diperoleh fakta bahwa pelaku usaha tersebut umumnya menggunakan BTM dalam jajanan yang dijual. Bahan tambahan pangan yang biasa ditambahkan adalah vitsin (msg), pengawet, pewarna sintetis dan pemanis buatan. Pelaku usaha kecil yang menjajakan jajanan anak ini tidak mengetahui mengenai standar-standar dalam penggunaan BTM, mereka belum pernah mendapat sosialisasi mengenai cara produksi pangan yang baik. Pelaku usaha ini merasa bahwa makanan yang mereka jajakan memang sudah aman dikonsumsi. Pelaku usaha di bidang jajanan anak ini mengaku menggunakan bahan tambahan karena pembeli jajanan mereka (anak-anak) lebih suka makanan yang gurih, berwarna cerah, untuk bakso ojek dilengkapi dengan saus, selain itu juga disebabkan oleh faktor kurangnya pengetahuan mengenai peraturan. Peraturan mengenai penggunaan BTM diberlakukan secara sama bagi setiap orang yang menggunakannya dalam rangka pengolahan pangan, tidak dibedakan antara pelaku usaha yang memproduksi dan mengedarkan makanan untuk dikonsumsi orang dewasa dan makanan untuk dikonsumsi anak, selain itu tidak dibedakan pula antara untuk pelaku usaha besar dan pelaku usaha rumahan. Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa perlindungan terhadap konsumen anak belum berjalan secara baik. Pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha untuk menyediakan pangan yang aman dan bermutu dalam rangka pemenuhan hak-hak konsumen anak atas keamanan dalam mengkonsumsi produk makanan terkendala pada pelaku usaha pangan jajanan anak golongan commit to user kecil dengan modal dan pengetahuan yang terbatas.
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Memperhatikan kondisi yang demikian maka diperlukan adanya regulasi yang secara khusus mengatur mengenai pangan anak. Regulasi tentang pangan anak ini ditujukan bagi pelaku usaha yang memproduksi pangan yang pemasarannya ditujukan untuk usia anak. Mengatur pula mengenai BTM tertentu yang diizinkan dan aman untuk makanan anak, misalnya dapat menggunaan bahan tambahan alami atau menggunakan bahan tambahan makanan sintetis namun batasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang digunakan bagi pangan yang ditujukan bagi orang dewasa dikarenakan detoks orang pada anak berbeda dengan detoks orang dewasa. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) diharapkan akan membawa pengaruh baik bagi kondisi perekonomian Indonesia. Artinya, perilaku pelaku usaha yang tidak etis dan cenderung memanfaatkan ketidaktahuan dan ketidakberdayaan konsumen untuk memperoleh keuntungan yang besar bagi usahanya dapat dihentikan. Hal ini dapat dijamin oleh UndangUndang Perlindungan Konsumen melalui hak gugat bagi konsumen yang merasa dirugikan kepentingannya oleh karena mengkonsumsi produk tertentu (Endang Sri Wahyuni, 2003:174-175). Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
telah
mengatur
hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha, dan telah melahirkan 2 (dua) bentuk tanggung jawab, yaitu: tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab profesional (professional liability) (Shidarta, 2004:80). Secara umum, tanggung jawab pelaku usaha termuat dalam Pasal 19 hingga Pasal 28 UUPK. Prinsip mengenai tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Secara umum, prinsipprinsip tanggung jawab dapat dibedakan sebagai berikut: a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability) commit to user adalah prinsip yang cukup umum namun berlaku dalam hukum pidana
perpustakaan.uns.ac.id
97 digilib.uns.ac.id
dan perdata. Harus dipenuhi 4 (empat) unsur pokok, yaitu adanya perbuatan, ada unsur kesalahan, ada kerugian yang diderita dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian. b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan , ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada tergugat. Prinsip ini mengadopsi beban pembuktian terbalik, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22 dan 23 (dapat dilihat pada ketentuan Pasal 28 UUPK). Dasar dari beban pembuktian terbalik adalah seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. c. prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab Prinsip ini diterapkan pada hukum pengangkutan, yakni kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan, yang biasanya dibawa atau diawasi penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari konsumen sendiri. Pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya. d. Prinsip tanggung jawab mutlak Konsepsi tanggung jawab dalam pengaturan UUPK secara mendasar mempunyai perbedaan dengan pengaturan tanggung jawab dalam KUH Perdata. Menurut KUH Perdata bahwa tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti kerugian didapat setelah konsumen yang menderita kerugian dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul merupakan kesalahan dari pelaku usaha. Sedangkan dalam UUPK mengatur kewajiban sebaliknya, dimana pelaku usaha berkewajiban membuktikan bahwa kerugian yang diderita konsumen bukan merupakan dari akibat kesalahan/kelalaian pelaku usaha, sekalipun dalam hal ini pihak konsumen yang pertama mengajukan dalil kerugian tersebut (Pasal 19 s/d 28 UUPK), dan inilah yang dikenal dengan tanggung jawab mutlak (strict liability). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
98 digilib.uns.ac.id
Dalam prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) memberikan pengertian bahwa tergugat selalu bertanggungjawab tanpa melihat ada atau tidaknya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah, tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai sesuatu tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada hakekatnya ada atau tidak ada. Namun demikian, hal ini tidak selamanya diterapkan secara mutlak, karena dalam tanggung jawab mutlak sekalipun masih tetap ada pengecualian yang membebaskan tergugat dari tanggung jawabnya. Pengecualian yang dimaksud antara lain adalah keadaan force majeure, atau suatu kondisi terpaksa yang terjadi karena keadaan alam dan tidak mungkin dihindari. e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan Prinsip ini dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuat pelaku usaha. Semestinya merujuk pada UUPK, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi minimal tanggung jawabnya karena harus ada peraturan perundang-undangan yang jelas (Shidarta, 2004:73-80) Pelaku usaha di bidang pangan wajib bertanggung jawab apabila produk yang dihasilkan, termasuk dalam hal penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk pangan menimbulkan kerugian (product liability). Mengenai tanggung jawab pelaku usaha secara umum, diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) UUPK. UUPK telah menggunakan prinsip semi-strict liability sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 Bab IV tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha, sebagai berikut (Celina Tri Siwi K,2008:106-107): (1) Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/ jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang, atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
99 digilib.uns.ac.id
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih jelas mengenai adanya unsur kesalahan. (5) Kesalahan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini, sejalan dengan ketentuan Pasal 41 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pasal 41 yang menyebutkan bahwa : (1) Badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut. (2) Orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli waris dari orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan ganti rugi terhadap badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang, maka badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengganti segala kerugian yang secara nyata ditimbulkan. (4) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha dapat membuktikan bahwa hal tersebut bukan diakibatkan kesalahan atau kelalaiannya, maka badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha tidak wajib mengganti kerugian. Pelaku usaha yang menggunakan BTM pada produk pangan pada umumnya dan pelaku usaha di bidang pengolahan pangan jajanan anak pada khususnya wajib bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi atau kompensasi sesuai dengancommit tingkattokerugian user yang diderita oleh konsumen,
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
apabila dalam penggunaan BTM tersebut menimbulkan kerugian bagi konsumen. Tanggung jawab ini dapat diartikan sebagai tanggung jawab para pelaku usaha untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Kata produk diartikannya sebagai barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak (tetap). Tanggung jawab itu dapat bersifat
kontraktual
(perjanjian)
atau
berdasarkan
undang-undang
(gugatannya atas perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir (tortuous liability). Pelaku usaha bertanggungjawab secara langsung atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan oleh pelaku usaha yang menggunakan bahan tambahan berbahaya tersebut. Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada perbuatan melawan hukum (tortuous liability). Unsur-unsur dalam tortuous liability antara lain adalah unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian dan hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul. Unsur kesalahan merupakan salah satu syarat untuk meminta pertanggungjawaban. Dengan demikian eksistensi unsur kesalahan masih terkandung di dalamnya, namun dilakukan pengalihan beban pembuktian unsur kesalahan tersebut dari penggugat (konsumen) kepada tergugat (produsen) (shifting the burden of proof). Pasal 41 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan membebankan tanggung jawab kepada badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut. Tanggung jawab ini tidak hanya berlaku bagi badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak, tetapi juga bagi orang perseorangan yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut, khususnya commit to user
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mereka yang bertanggung jawab di bidang pengawasan keamanan pangan pada badan usaha yang bersangkutan. Pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi apabila orang perseorangan yang terganggu kesehatannya atau ahli waris orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan mengajukan gugatan ganti rugi, dan terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang. Ganti rugi yang dimaksud setinggi-tingginya 500.000.000
juta
rupiah
untuk
setiap
orang
yang
dirugikan
kesehatan/kematian yang ditimbulkan. Apabila pelaku usaha yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pangan tidak diketahui / tidak berdomisili di Indonesia, pihak yang bertanggung jawab membayar ganti rugi adalah orang yang mengedarkan dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia. Ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Pangan, hanya mewajibkan pelaku usaha memberikan ganti rugi apabila orang perseorangan yang terganggu kesehatannya atau ahli waris orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan. Dalam pasal ini tidak dijelaskan apabila dampak pangan yang mengandung BTM yang mengancam manusia dalam jangka panjang. Misalnya, kerusakan organ tubuh setelah dalam jangka panjang mengkonsumsi makanan tertentu. Secara hukum, belum tegas dinyatakan untuk memberikan sanksi pada efek jangka panjang karena sulit dibuktikan. Pasal 41 sampai dengan Pasal 44 Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang membebankan tanggung jawab industri pangan untuk menjamin keamanan pangan yang diproduksinya, sejalan dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menetapkan kewajiban para pelaku usaha commitdan to user untuk menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi dan atau
102 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku. Sehingga tanggung jawab industri pangan merupakan aspek penting dalam mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak konsumen sebagai pemakai produk-produk pangan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 4 UUPK. Menurut Erman Rajagukguk,dkk. yang mengutip pendapat Nahattands V.Lambock menjelaskan bahwa tanggunggugat produk merupakan terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia yang secara populer sering disebut dengan “product liability” adalah suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan memberikan perlindungan kepada konsumen yaitu
dengan
jalan
membebaskan
konsumen
dari
beban
untuk
membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab produsen untuk memberikan ganti rugi (Erman Rajagukguk, dkk, 2000:22). Pelaku usaha bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkannya. Tanggung jawab pelaku usaha berupa sanksi keperdataan, sanksi administratif dan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UUPK. Dalam hal ini, bukan hanya pelaku usaha yang bertanggung jawab, akan tetapi pemerintah juga ikut bertanggung jawab berkaitan dengan fungsinya memberikan pengawasan atas produk pangan yang beredar di pasaran. 3. Tanggung Jawab Pengawasan dan Pembinaan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Produk Pangan Untuk menjamin dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha serta tanggung jawab pelaku usaha maka dilakukan pembinaan dan pengawasan dalam rangka penyelenggaraan perlindungan konsumen. Ketentuan mengenai pembinaan dan pengawasan diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 30 UUPK. Pasal 29 UUPK menyebutkan bahwa : (1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban commit to user konsumen dan pelaku usaha.
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. (3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. Pasal 112 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Kesehatan menjelaskan bahwa Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan mengawasi produksi, pengolahan, pendistribusian, makanan dan minuman. Lebih jelasnya bentuk pengawasan tersebut diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa : (1) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa. (3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat. (4) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Berdasar ketentuan Pasal 29 UUPK tersebut, tanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen berada di tangan pemerintah.
Dalam
melaksanakan
perlindungan
konsumen
terkait
pembinaan
produk
pangan,
penyelenggaraan pelaksanaannya
diserahkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang berkoordinasi dengan menteri dan/atau menteri teknis terkait. Terkait dengan penggunaan bahan tambahan makanan pada produk makanan yang dikonsumsi oleh anak, maka menteri yang melakukan pembinaan meliputi: a. Menteri Perindustrian dan Perdagangan; dan b. Menteri Kesehatan.
commit to user
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 30 UUPK mengatur ketentuan mengenai pengawasan. Dalam ketentuan
tersebut
dijelaskan
bahwa
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya dilaksanakan oleh : a. Pemerintah; b. Masyarakat; dan c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Pasal 30 ayat (2) menyatakan bahwa pengawasan oleh pemerintah dilakukan oleh menteri dan/ atau menteri teknis terkait. Pengawasan terhadap keamanan pangan yang mengandung BTM oleh pemerintah telah dilakukan
oleh
Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan
(BPOM)
berkoordinasi dengan menteri kesehatan serta menteri perindustrian dan perdagangan. Makanan berlabel diawasi dan dikendalikan BPOM-RI, sedangkan makanan tidak berlabel oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Sebagai bentuk konsekuensi dari otonomi daerah, maka instansi teknis pembinaan dan pengawasan berada di tangan pemerintah daerah. Beberapa instansi yang terkait dengan pengawasan keamanan pangan dalam penggunaan BTM adalah balai besar pengawasan obat dan makanan (BBPOM), dinas kesehatan, dan dinas perindustrian dan perdagangan. Pembinaan dan pengawasan yang dimaksud dalam praktiknya dilakukan oleh Dinas Kesehatan yang berkoordinasi dengan BPOM terkait dengan pemberian izin edar. Dalam rangka pengawasan kemanan, mutu dan gizi pangan olahan baik yang diproduksi di dalam negeri atau yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebelum diedarkan wajib memiliki surat persetujuan pendaftaran yang diterbitkan oleh Kepala BPOM. Pangan olahan yang akan didaftarkan harus memenuhi kriteria keamanan dan mutu pangan. Parameter keamanan, yaitu batas maskimum cemaran mikroba, cemaran fisik, dan cemaran kimia, termasuk kadar penggunaan BTM yang ditambahkan
dalam
pangan. Parameter mutu, yaitu pemenuhan commitstandar to userdan persyaratan yang berlaku serta persyaratan mutu sesuai dengan
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cara produksi pangan yang baik untuk pangan olahan yang diproduksi di dalam negeri atau cara distribusi pangan yang baik untuk pangan olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. Pengawasan
dan
pembinaan
salah
satunya
dilaksanakan
berdasarkan kewenangan dalam pemberian izin edar bagi produk makanan olahan. Badan Pengawasan Obat dan Makanan melaksanakan pengawasan dengan mengeluarkan kode MD untuk makanan produksi dalam negeri dan kode ML untuk makanan produksi luar negeri. Pengawasan terhadap produk makanan olahan yang beredar tidak hanya berhenti dengan penerbitan izin MD dan ML, namun ditindaklanjuti dengan melakukan pengambilan sampel pangan yang beredar di pasaran untuk diuji di laboratorium. Pengawasan terhadap barang yang telah beredar di pasaran dilakukan oleh BPOM yang berkoordinasi dengan dinas kesehatan serta dinas perindustrian dan perdagangan melakukan pengawasan terhadap produk pangan, dalam hal ini produk makanan yang dikonsumsi anak yang beredar di pasaran. Untuk pengawasan yang berada dibawah kewenangan dari Dinas Kesehatan (Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota c.q Dinas Kesehatan) adalah khusus untuk kategori pemberian izin khusus bagi makanan hasil industri rumah tangga. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor : HK.00.05.5.1640, tanggal 30 April 2003 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga ( SPP-IRT ), industri rumah tangga yang memproduksi pangan olahan wajib memiliki sertifikasi produksi pangan industri rumah tangga yang dikeluarkan oleh dinas kesehatan setempat (kabupaten/kota) dimana industri makanan rumah tangga tersebut berada. Berdasarkan klarifikasi yang telah penulis lakukan dengan pihak dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta, diperoleh fakta bahwa di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta terdapat commit to user bidang pengawasan dan perlindungan konsumen yang mempunyai tugas
106 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pokok
dan
fungsi
terkait
dengan
pembinaan
dan
pengawasan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yaitu melaksanakan pengawasan barang dan/jasa yang beredar di wilayah Kota Surakarta, meliputi barang yang beredar di toko-toko, mall, swalayan, distributor, termasuk yang ada di pasar. Pelaksanaan fungsi pengawasan ini dilaksanakan berdasarkan amanat UUPK yang tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Pengawasan yang dilakukan terhadap barang yang beredar oleh Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta dilaksanakan oleh tim rutin yang beranggotakan pihak-pihak interen dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta. Tim rutin ini melaksanakan pengawasan sebanyak 10 (sepuluh) kali dalam satu tahun anggaran dengan seratus obyek. Selain tim rutin, dibentuk pula tim terpadu yang melibatkan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, yang dalam pengawasan pangan yang dikonsumsi anak yang beredar terkait penggunaan BTM, adalah dinas perindustrian dan perdagangan serta dinas kesehatan. Pengawasan yang dilakukan oleh tim terpadu ini biasanya dilakukan menjelang momen-momen tertentu misalnya natal, hari raya idul fitri, tahun baru,dan lain-lain. Pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta dilakukan dengan mengadakan sidak ke toko, mall, distributor, swalayan untuk melakukan pengecekan terhadap kesesuaian label, kandungan bahan tambahan berbahaya, tanggal kadaluwarsa dan ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengan keamanan pangan. Dalam rangka pencegahan terhadap peredaran pangan yang tidak sesuai ketentuan, maka Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta juga melakukan sidak ke grosir-grosir. Selain itu apabila diduga suatu produk mengandung BTM yang tidak sesuai dengan ketentuan (misal karena warnanya mencolok) atau makanan-makanan yang diperiksa ditemukan indikasi mengandung bahan pengawet yang akan menimbulkan commit to user dampak untuk kesehatan konsumen maka makanan tersebut akan diambil
perpustakaan.uns.ac.id
107 digilib.uns.ac.id
untuk selanjutnya diperiksa di laboratorium oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta. Jika ternyata hasil laboratorium menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan positif mengandung BTM tidak sesuai dengan ketentuan maka pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta akan melarang pelaku usaha yang bersangkutan untuk menjual produk tersebut dan mengembalikan kepada pihak produsen agar barang tersebut tidak beredar lagi di pasaran dengan dibuat dalam berita acara yang ditandatangani piha pelaku usaha disertai komitmen dari pelaku usaha (grosir/distributor) untuk tidak lagi mengedarkan produk yang bersangkutan. Selain melalui pengawasan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta juga melakukan upaya pembinaan terhadap pelaku usaha di bidang pangan mengenai penggunan bahan tambahan makanan dan bahaya bahan yang timbul bila tidak sesuai ketentuan. Penyuluhan dilakukan terhadap pelaku usaha yang terdaftar di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta. Selanjutnya penulis memperhatikan pengawasan produk pangan yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta sebagai institusi yang berwenang melakukan pengawasan terhadap industri rumah tangga pangan dan makanan jajanan yang tidak berlabel di Kota Surakarta. Dinas Kesehatan Kota Surakarta melakukan pengawasan baik terhadap makanan berlabel maupun tidak berlabel. Dinas Kesehatan Kota Surakarta memiliki kewenangan untuk memberikan izin bagi/sertifikasi bagi pelaku usaha yang tergolong Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP). Pelaku usaha industri rumah tangga pangan dalam rangka pengurusan izin harus melalui tahapan kursus singkat/penyuluhan tentang keamanan pangan yang dilakukan oleh Tim dari Dinas Kesehatan Kota Surakarta. Penyuluhan meliputi pula sosialisasi peraturan perundangan tentang keamanan pangan, penggunaan BTM, label dan iklan pangan. Penyuluhan ini dimaksudkan agar pelaku usaha makanan industri rumah commit to user tangga mempunyai pengetahuan mengenai cara produksi makanan yang
perpustakaan.uns.ac.id
108 digilib.uns.ac.id
bermutu dan aman, sehingga diharapkan pelaku usaha memproduksi makanan yang aman untuk dikonsumsi, termasuk dalam penambahan bahan tamahan makanan dalam produk makanan yang dikonsumsi anak. Pengawasan yang dilakukan tidak hanya sebatas penerbitan izin produk makanan hasil industri rumah tangga, melainkan juga setelah produk tersebut beredar diikuti dengan kewajiban untuk melaksanakan pemantauan dan penyuluhan keamanan pangan. Kegiatan pemantauan dilakukan dengan pengambilan sampel terhadap produk pangan yang telah dipasarkan untuk dilakukan pengujian di laboratorium. Sertifikasi pemberian izin oleh dinas kesehatan kepada pelaku usaha produk pangan industri rumah tangga mempunyai jangka waktu 3 (tiga) tahun. Setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun berakhir, maka harus dilakukan registrasi ulang dan dilakukan pemeriksaan kembali mengenai terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditetapkan dalam proses produksi, termasuk mengenai penggunaan bahan tambahan dalam produk pangan tersebut. Jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut dimaksudkan sebagai sarana pemantauan survailan kemanan pangan. Selain pengawasan terhadap makanan hasil industri rumah tangga, pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta juga menjangkau pangan tidak berlabel jajanan, meliputi jajanan yang dijajakan di tempat (sentra pedagang) maupun yang dijajakan secara keliling. Untuk jenis makanan jajanan siap saji yang biasanya mempunyai masa simpan kurang dari 7 (tujuh) hari pada suhu kamar tidak ada kewajiban secara hukum untuk mendaftarkan makanan yang dijajakannya baik kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) maupun dinas kesehatan. Pengawasan untuk makanan jajanan baik yang dijajakan di tempat (sentra pedagang) makanan yang dijajakan secara keliling dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta dengan melakukan pemantauan atas hygiene dan sanitasi pangan. Untuk jajanan anak yang dijajakan secara keliling di sekolah-sekolah aspek pengawasan meliputi mutu dan committerhadap to user mutu pangan dilakukan dengan keamanan pangan. Pengawasan
perpustakaan.uns.ac.id
109 digilib.uns.ac.id
melakukan pengujian terhadap kandungan gizi, sedangkan aspek keamanan yaitu terkait dengan bahan tambahan yang terkandung di dalam pangan apakah terjadi penyimpangan atau tidak. Pengawasan dilakukan dalam rangka agar jajanan anak yang beredar di pasaran tidak mengandung bahan berbahaya yang dapat mengganggu kesehatan konsumen. Apabila hasil pengujian di laboratorium terbukti menunjukkan bahwa produk makanan anak yang dijajakan keliling mengandung bahan tambahan yang dilarang bagi makanan dan /atau mengandung BTM yang melebihi batas penggunaan sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MENKES/PER/IX/1998 tentang Bahan Tambahan Makanan Juncto Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, maka terhadap pelaku usaha dan konsumen produk makanan yang bersangkutan mula-mula akan dilakukan tindakan represif. Tindakan represif yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Surakarta dapat berupa pendekatan kepada para pelaku usaha yang besangkutan, penyuluhan mengenai bahaya penggunaan bahan tambahan yang dilarang, memberian informasi baik kepada pelaku usaha maupun kepada konsumen terkait penggunaan bahan tambahan terhadap produk makanan. Informasi diberikan secara langsung di lapangan. Apabila setelah pembinaan dilakukan dan pelaku usaha masih melakukan pelanggaran maka akan dilakukan teguran baik secara lisan maupun secara tertulis. Dalam melakukan pengawasan pelaku usaha keliling ini, Dinas Kesehatan Kota Surakarta menemui kendala yaitu tempat pelaku usaha yang berdagang secara berpindah-pindah menyulitkan petugas Dinas Kesehatan Kota Surakarta dalam memberikan pembinaan jika ternyata setelah hasil laboratorium keluar dan terbukti pelaku usaha yang bersangkutan to user menggunakan BTM tidak commit sesuai ketentuan.
perpustakaan.uns.ac.id
110 digilib.uns.ac.id
Selain itu, upaya lain yang ditempuh adalah dengan melakukan pendekatan kepada konsumen, dalam hal jajanan anak maka konsumen yang dimaksud dalam hal ini adalah konsumen anak. Dalam kaitannya dengan konsumen anak, dinas kesehatan menginformasikan kepada pihak sekolah mengenai hasil pengkajian terhadap jajanan yang beredar di lingkungan sekolahnya mengandung bahan yang berbahaya, agar selanjutnya pihak sekolah menginformasikan kepada siswa-siswanya. Selanjutnya terhadap pelaku usaha yang terbukti menggunakan bahan berbahaya dalam makanan jajanan anak yang telah dilakukan pembinaan dan terguran namun masih saja tidak mengindahkan peraturan mengenai penggunaan BTM terhadap produknya, maka Dinas Kesehatan Kota Surakarta dapat melaporkannya kepada aparat penegak hukum yang berwenang, namun sampai saat ini belum ada kasus yang sampai dilaporkan ke pejabat yang berwenang mengingat pelaku usaha yang melakukan pelanggaran adalah pelaku usaha kecil dengan modal terbatas yang apabila diambil tindakan tegas akan mematikan usahanya. Selain itu jumlah industri pangan rumahan yang terlalu banyak mengakibatkan sulitnya pengawasan kandungan dalam produk makanan yang dihasilkan. Disinyalir banyak campuran bahan makanan berbahaya yang terkandung dalam industri makanan rumahan beredar luas di masyarakat, khususnya di masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Yang paling dominan dari produk-produk makanan yang mengandung zat berbahaya ini banyak ditujukan untuk konsumen anak sekolah. Pada dasarnya pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta dan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, namun terbatasnya sumber daya manusia dan anggaran yang ada di Dinas Kesehatan Kota Surakarta dan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta menjadi hambatan untuk menjangkau seluruh obyek pengawasan. Pembinaan yang dilakukan terhadap pelaku usaha yang biasa menjajakan makanan secara keliling pun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
111 digilib.uns.ac.id
belum ada program rutin yang dijalankan. Hal inilah yang menyebabkan pengawasan yang dilakukan menjadi kurang berjalan efektif. Indonesia menganut multiple agency system (sistem berbagai lembaga) dalam pengorganisasian pengawasan mutu pangan. Kewenangan pengawasan tersebar terlalu luas ke banyak kementerian dan lembaga. Pengawasan dilakukan secara sektoral dan terpecah-pecah oleh lembagalembaga nasional, provinsi, dan daerah/lokal. Pelaksanaan pengawasan di lapangan dirasakan masih sangat lemah, padahal perangkat peraturan perundang-undangan dalam perlindungan konsumen sudah cukup memadai. Karena itu, perlu dilakukan harmonisasi ketentuan-ketentuan yang ada agar terjalin koordinasi yang efektif antar instansi terkait. Akibat belum adanya harmonisasi selama ini, pelaksanaan kontrol di lapangan belum sepenuhnya berjalan efektif. Pembagian tugas tiap lembaga dalam pengawasan pangan telah tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004. Namun, deskripsi spesifik tugas tiap lembaga belum jelas, sehingga tampak saling tumpang tindih satu sama lain. Penerapan multiple agency system membutuhkan sebuah lembaga khusus yang dapat menaungi peranan lembaga-lembaga lain, sehingga wewenang pengawasan mutu dapat terpadu dan terpusat. Selain itu, lemahnya kewenangan dan daya rentang kendali BPOM sebenarnya dapat diperkuat dengan segera membuat Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan. Selain pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui dinasdinas terkait, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) juga memiliki peranan penting dalam rangka memberikan perlindungan kepada konsumen agar hak-hak konsumen dipenuhi. Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pengawasan dan Pembinaan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar yang diduga tidak memenuhi unsur commit to user keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen dengan
perpustakaan.uns.ac.id
112 digilib.uns.ac.id
cara penelitian, pengujian dan atau survei. Hasil pengawasan dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang resiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dalam dunia usaha. Berdasarkan klarifikasi yang telah penulis lakukan terhadap pihak yayasan kepedulian untuk konsumen anak (Yayasan Kakak), sebagai lembaga yang telah terdaftar di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surakarta sebagai LPKSM diketahui bahwa Yayasan Kakak bergerak di bidang perlindungan konsumen dengan segmen khusus bagi konsumen anak. Dalam rangka melaksanakan perlindungan terhadap konsumen anak Yayasan Kakak telah melakukan kegiatan monitoring jajanan anak yang beredar masyarakat. Lingkup pengawasan yang dilakukan adalah terhadap produk yang beredar di supermarket, toko-toko dan pasar tradisional yang menjual makanan kering yang dibungkus dalam kemasan dan belum menjangkau jajanan anak yang diperjual belikan secara keliling oleh pelaku usaha rumahan ke sekolah-sekolah. Pada tahun 1997 Yayasan Kakak melakukan melakukan analisis label terhadap 73 merk makanan kemasan, selanjutnya pada tahuan 2007 dilakukan penelitian terhadap pola konsumsi anak terhadap makanan jajanan yang dilakukan di Kalurahan Sangkrah Kota Surakarta. Menjelang hari raya Idul Fitri tahun 2008 Yayasan Kakak juga melakukan monitoring terhadap barang yang beredar di pasar. Hasil dari monitoring ini akan diinformasikan kepada publik dalam bentuk tulisan dan melalui siaran radio. Selain disampaikan kepada masyarakat Yayasan Kakak juga melakukan hearing terhadap hasil pengawasan yang dilakukan dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta. Pengawasan yang dilaksanakan oleh Yayasan Kakak terhadap peredaran produk yang beredar di pasar belum dapat dilakukan commit to user
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara berkala/rutin, hal ini dikarenakan terbatsnya sumber daya manusia dan anggaran yang dimiliki Yayasan Kakak. Selain itu, dalam rangka memberikan perlindungan bagi konsumen anak Yayasan Kakak juga pernah melaksanakan road show ke beberapa sekolah dasar di kota Surakarta untuk memberikan pendidikan konsumen kepada
anak-anak,
misalnya
mengenai
bahaya
BTM,
bagaimana memilih makanan yang aman, ciri makanan yang mengandung borak, pewarna, agar anak menjadi konsumen yang kritis dan mampu melindungi dirinya sendiri. Yayasan Kakak juga menerima pengaduan dari konsumen yang merasa dirugikan hak-haknya untuk memberikan bantuan hukum, namun sampai saat ini Yayasan Kakak belum pernah menerima pengaduan terkait konsumen anak yang dirugikan hak-haknya akibat mengkonsumsi jajanan anak yang mengandung BTM. Jarangnya konsumen anak yang melaporkan kerugian yang dialami akibat mengkonsumsi jajanan anak yang mengandung bahan tambahan makanan dikarenakan nilai kerugian yang diderita tidak terlalu besar. Dampak jangka pendek akibat mengonsumsi makanan yang mengandung BTM biasanya hanya muntah, pusing, mual, alergi sehingga konsumen tidak terlalu memperhatikan. Masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan tercermin dari sedikitnya konsumen yang menuntut produsen untuk menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu serta klaim konsumen jika produk pangan yang dibeli tidak sesuai informasi yang tercantum pada label maupun iklan. Pengetahuan dan kepedulian konsumen yang tinggi akan sangat mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen pangan. Sampai saat ini memang peran Yayasan Kakak lebih condong kepada upaya preventif atau pencegahan untuk melindungi konsumen anak. Dengan adanya pembinaan dan pengawasan diharakan pemenuhan hak-hak konsumen dapat terjamin dan sebaliknya pelaksanaan tanggung jawab terjamin dan sebaliknya kewajiban pelaku usaha sebagai produsen to user terhadap konsumen, khususnya dapat dipastikan. Upaya commit perlindungan
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konsumen anak tidak akan bisa berjalan tanpa adanya pengawasan baik oleh pemerintah, masyarakat maupun lembaga perlindungan konsumen.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di dalam bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen belum mampu memberikan perlindungan hukum bagi anak terhadap penggunaan BTM dalam jajanan anak. Belum ada pasal-pasal dalam UUPK yang secara eksplisit memberikan perlindungan khusus bagi anak sebagai golongan konsumen yang tidak terinformasi. Memang pengertian konsumen dalam UUPK tidak membedakan konsumen berdasarkan usia, sehingga anak juga termasuk subyek yang dilindungi dalam UUPK, namun dikarenakan pengaturan dalam UUPK dan peraturan-peraturan lain yang bersifat sektoral mengenai penggunaan bahan tambahan makanan dalam produk pangan masih bersifat umum sehingga belum mampu secara efektif dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen anak. 2. Dalam penggunaan BTM dalam produk pangan yang dikonsumsi anak, pelaku usaha bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsinya (Pasal 41 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan). Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung resiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai informasi yang benar, jelas dan jujur, karena tanggung jawab erat kaitannya dengaan kewajiban. Mencermati konsepsi tanggung jawab pelaku usaha tersebut apabila dikaitan dengan penggunaan BTM dalam produk jajanan anak, dari sisi pelaku usaha tanggung jawab untuk menjamin keamanan pangan dan memberikan informasi belum sepenuhnya terpenuhi. Memang pelaku usaha pabrikan (industri besar) yang memproduksi jajanan anak umumnya telah memenuhi tanggung jawabnya dalam menjamin keamanan pangan dengan menggunaan BTM yang diizinkan commitNomor to user 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang dalam Peraturan Menteri Kesehatan
115
116 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Bahan Tambahan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 dan memberikan informasi yang jelas dalam label tentang kandungan BTM yang digunakan, namun pelaku usaha kecil menengah belum sepenuhnya memenuhi tanggung jawab tersebut. Pelaku usaha kecil menengah umumnya belum mengetahui mengenai peraturan penggunaan BTM dalam produk pangan, sehingga dalam penggunaan BTM dalam jajanan anak pelaku usaha tersebut belum menjamin keamanan produk pangan yang dihasilkan. Selain itu tangggung jawab untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai penggunaan BTM juga belum dilaksanakan dengan baik oleh industri rumah tangga pangan. Hal ini mengakibatkan pemenuhan hak-hak konsumen anak atas keamanan dalam mengkonsumsi produk makanan belum terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa Law in Action dari UUPK belum sesuai dengan Law in The Book (ketentuan yang tertuang dalam teori). Pelaku usaha harus memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk memberikan apa yang menjadi hak konsumen diantaranya adalah memberikan informasi dan menjamin keamanan pangan yang diproduksi dan diedarkan sesuai dengan UUPK dalam penggunaan BTM dalam produk jajanan anak, hal tersebut terkait dengan keamanan dan keselamatan konsumen anak sebagai generasi penerus bangsa.
B. Saran
1. Bagi pemerintah : hendaknya memperketat pengawasan peredaran zat-zat berbahaya yang dilarang untuk ditambahkan ke dalam makanan sehingga tidak membuka peluang bagi pelaku usaha yang bergerak di bidang jajanan anak untuk melakukan penyimpangan dalam penggunaan bahan tambahan makanan dan pemerintah seharusnya mengambil tindakan tegas bagi pelaku usaha yang terbukti melakukan penyimpangan dalam penggunaan bahan commit to user diharapkan lebih proaktif dalam tambahan makanan. Selain itu pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melaksanakan tanggung jawab pembinaan terhadap konsumen dan pelaku usaha. 2. Bagi pelaku usaha: diharapkan dapat beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha dan lebih menyadari tanggug jawabnya dalam menjaga keamanan pangan. 3. Bagi konsumen : perlu dilakukan sosialisasi mengenai hak-hak konsumen sebagaimana telah dilindungi oleh UUPK untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan pemahaman konsumen.
commit to user