PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERNAK KAMBING BERBASIS KONTROL PARASIT MENGGUNAKAN ALTERNATIF PAKAN TERSELEKSI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada
Oleh: Prof. Dr. Ir. Kustantinah Imam Suhadi Adiwimarta, DEA
2
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERNAK KAMBING BERBASIS KONTROL PARASIT MENGGUNAKAN ALTERNATIF PAKAN TERSELEKSI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada
Disampaikan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada tanggal 2 Agustus 2010 di Yogyakarta
Oleh: Prof. Dr. Ir. Kustantinah Imam Suhadi Adiwimarta, DEA
3 PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERNAK KAMBING BERBASIS KONTROL PARASIT MENGGUNAKAN ALTERNATIF PAKAN TERSELEKSI Ilmu nutrisi dan makanan ternak adalah suatu ilmu yang mempelajari nutrisi yang dikandung di dalam bahan pakan sampai penggunaannya untuk proses metabolisme didalam tubuh, sehingga dapat digunakan hewan untuk memenuhi kebutuhan dalam pemeliharaan fungsi tubuhnya, berproduksi (daging, susu, telur dsb) ataupun untuk kebuntingan. Penggolongan hewan berdasarkan fungsi saluran pencernaannya dapat dibagi menjadi ruminansia dan non ruminansia. Ruminansia adalah hewan yang memamah biak dan dengan adanya mikroorganisme di dalam rumennya, ruminansia mampu mengubah pakan kualitas rendah (kandungan seratnya tinggi; jerami padi, jerami jagung atau hasil samping pertanian) menjadi pangan manusia dengan kualitas tinggi (misalnya susu, daging), yang termasuk ternak ruminansia antara lain sapi, kerbau, domba atau kambing. Non ruminansia adalah hewan yang berlambung tunggal (ayam, itik, burung dsb.) dikarenakan berlambung tunggal, non ruminansia membutuhkan pakan dengan kualitas yang lebih baik (kandungan seratnya rendah) di bandingkan ruminansia, pada umumnya berupa bijian ataupun hasil ikutan pengolahan pertanian yang kualitasnya tinggi (jagung, bungkil kedelai dsb.). Di Indonesia, pengembangan ternak ruminansia kecil (kambing dan domba), terutama dilakukan di pedesaan, dimana pemeliharaannya dalam skala kecil (4-6 ekor per keluarga). Ternak kambing merupakan salah satu basis ekonomi yang sangat menjanjikan, hampir setiap keluarga petani, selain mempunyai sapi juga memelihara kambing atau domba. Penghasilan dari ternak, mencapai 30% dari total pendapatan keluarga, dan akan semakin dominan apabila lahan pertanian yang dimiliki petani semakin kecil. Penanganan ternak kambing relatif mudah, dapat dipelihara di semua kondisi daerah, bahkan pertumbuhan akan bagus apabila dipelihara di daerah perbukitan yang kering, dimana sumber pakan di dominasi asal dedaunan (rambanan). Kebutuhan pakan sekitar 10-15% dari berat
4 badan (Kustantinah, 2007), sehingga kebutuhan pakan kambing dengan berat 30 kg, memerlukan sekitar 5 kg pakan per hari (campuran dedaunan dan rumput, hasil samping pertanian). Kambing pada umur 8-12 bulan sudah dapat dikawinkan, dan lebih cepat beranak, apabila dibandingkan dengan sapi, karena lama kebuntingan sekitar 5 bulan, sedangkan sapi, sekitar 9 bulan. Kambing mempunyai sifat prolifik (beranak lebih dari satu), biasanya 2 ekor per kelahiran, sehingga dalam jangka waktu pendek peningkatan jumlah ternak akan lebih cepat dibandingkan ternak ruminansia besar (sapi atau kerbau). Ternak kambing dapat digunakan sebagai tabungan, artinya apabila petani memerlukan dana sekitar Rp.300.000-Rp.500.000,maka dapat menjual kambingnya. Pengembangan ternak kambing sangat menjanjikan, karena risiko pemeliharaan yang rendah. Satu ekor sapi dewasa harganya 6-7 juta, dengan harga ini sudah bisa dibelikan 10-15 ekor kambing yang cukup bagus, demikian pula pemeliharaan kambing dapat mengurangi resiko ekonomi, karena apabila petani mempunyai 1 ekor sapi dan terjadi kecelakaan (kematian akibat keracunan, penyakit dsb), maka ternaknya akan habis, akan tetapi apabila memelihara kambing, sebagai contoh, memelihara 8 ekor, dan terjadi kematian 2 ekor, maka petani masih dapat memelihara 6 ekor. Kambing juga merupakan sumber protein hewani yang efisien untuk keluarga pedesaan, apabila dibandingkan dengan sapi, hal ini dikarenakan petani biasanya menjual sapi, artinya orang lain (bukan pemelihara) yang akan menikmati dagingnya, agak berbeda dengan kambing. Kambing dapat dimanfa’atkan petani pada sa’at seremoni (khitanan dan perkawinan), oleh karenanya daging kambing secara langsung dapat digunakan sebagai sumber protein hewani, dengan adanya tinjauan sesuai yang telah disebutkan diatas, ternak kambing dapat dijadikan suatu alternatif yang cukup handal untuk memantapkan ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan keluarga pedesaan. Kondisi ternak kambing dunia dan Indonesia pada umumnya Pada tahun 2007 total populasi kambing di dunia adalah 851 juta, terdiri dari 1156 bangsa, dari populasi tersebut jumlah kambing di negara berkembang sekitar 98% dengan jenis bangsa sekitar 76%.
5 Populasi paling banyak didapatkan di Asia (480 juta) dan Afrika (169 juta). Kambing terdistribusi hampir di semua area, dan semua ekosistem, akan tetapi membutuhkan daerah yang kering. Selama periode 1986 – 2007, laju pertumbuhan tahunan adalah 2,6% (Devendra 2010). Selanjutnya dinyatakan bahwa berbeda dengan di Asia, populasi kambing di negara Eropa tidak begitu berkembang, di Eropa populasinya hanya 35% dari total populasi dunia. Laju pertumbuhan kambing lebih besar dan lebih cepat apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan manusia yang sekitar 2,4% per tahun. Di Indonesia, populasi ternak kambing pada tahun 2000 adalah 12,6 juta ekor menjadi 15,8 juta ekor pada tahun 2008 (BPS, 2009). Ternak kambing, tersebar diseluruh wilayah Indonesia, meskipun penyebaran antar daerah belum merata. Populasi terbesar terdapat di pulau Jawa, sedangkan dipulau lain, seperti Kalimantan, Sumatera dan Papua dimana luas area relatif lebih besar dan ketersediaan pakan hijauan sangat banyak, populasi kambing masih rendah. Kambing yang ada di Indonesia dan dinyatakan sebagai kambing asli Indonesia adalah: (1) Kambing Kacang, (2) Kambing Peranakan Ettawa (PE), merupakan tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu; (3) Kambing Marica, terdapat di propinsi Sulawesi Selatan, merupakan kambing asli Indonesia dan tipe pedaging, menurut laporan FAO kambing ini sudah termasuk kategori langka dan hampir punah (endangered); (4) Kambing Samosir, kambing ini dipelihara di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, propinsi Sumatera Utara; (5) Kambing Muara, merupakan tipe pedaging dijumpai di daerah Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara propinsi Sumatera Utara; (6) Kambing Kosta, lokasi penyebaran di sekitar Jakarta dan propinsi Banten. (7) Kambing Gembrong, berasal dari daerah kawasan Timur Pulau Bali terutama di Kabupaten Karangasem; dan (8) Kambing Benggala (Pamungkas dkk, 2008). Sistem pemeliharaan ternak kambing beragam sesuai kondisi Negara, dan lingkungan setempat (Devendra 2007 a dan b). a. Sistem peternakan tanpa membutuhkan lahan. Sistem peternakan tanpa lahan berhubungan dengan perpindahaan, trans human. Sistem ini biasa dilakukan di daerah Arid dan Semi arid, sebagai contoh di : Kenya (Afrika), Pakistan, India dan South Asia.
6 Ada 2 hal penting yang diakibatkan sistem ini yaitu: overgrassing dan degradasi lingkungan disebabkan penebangan dan pembakaran untuk lahan pertanian. b. Sistem Ekstensif. Merupakan sistem pemeliharaan yang paling sering dilakukan di negara berkembang. Pada sistem ini ternak di gembalakan pada siang hari dan kemudian di masukkan ke kandang pada malam hari. Sistem ini banyak dipengaruhi oleh ketersediaan pakan dan air. Di Indonesia, sebagian besar petani memelihara ternak sesuai sistem ini. c. Sistem dengan dasar tanaman pangan terutama mixed farming. Sistem ini merupakan tulang punggung dari sistem pertanian di Asia dan penting karena dipengaruhi kepemilikan tanah, pengentasan kemiskinan, integrasi sumber daya alam, food security dan potensial opportunities untuk meningkatkan produksi pakan, dan diversifikasi. Mixed farming merupakan usaha tani campuran, terdiri dari crop-animal system, pada umumnya ternak ruminansia dan non ruminansia dipelihara secara bersama pada suatu lahan pertanian. di Asia, mixed farming menyumbang 90% produksi susu, 77% produksi daging, 47% produksi daging babi-ayam, dan 31% produksi telur (Devendra., 2010). Kesempatan untuk mengembangkan pertanianpeternakan yang sustainable dengan cara mixed farming harus menjadi perhatian Indonesia. Sistem mixed farming ini, sebetulnya sudah diterapkan oleh para petani, di pedesaan pemeliharaan ternak pada umumnya dilakukan terintegrasi dengan tanaman pangan, maupun dengan tanaman keras (industri). Demikian pula system complementary multicropping and livestock (CMCL) yaitu pemanfaatan lahan untuk tanaman pangan (ketela, kacang tanah dsb) dan hijauan pakan ternak (lamtoro, rumput, gliricidia), serta pemeliharaan kambing, telah di terapkan sebagai model pemeliharaan ternak di kebun pendidikan penelitian dan pengembangan pertanian (KP4) UGM. Model ini disesuaikan dengan kondisi petani, sehingga dapat diterapkan di pedesaan di Indonesia. Sistem integrasi antara ternak dan tanaman harus berdasarkan pendekatan ekonomi, sosial dan perspektif ekologi. Proses integrasi adalah: holistic interactive dan multi disciplinary (Devendra 2010, Orskov et al, 2010). Kondisi ini menuntut upaya pengembangan
7 ternak secara maksimal, memanfaatkan potensi lahan yang luas, serta daya dukung pakan. Di Indonesia, alternatif yang dapat dikembangkan adalah pemanfaatan lahan perkebunan, antara lain perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2009, luas areal kebun kelapa sawit yang ada di Indonesia mencapai 7,2 juta ha (Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2009). Sistem integrasi usaha ternak kambing dengan perkebunan kelapa sawit merupakan sistem pertanian yang perlu dikembangkan. Sistem integrasi ini terdiri dari beberapa komponen yaitu: tanaman kelapa sawit (daun dan pelepah), vegetasi hijauan di bawah tanaman kelapa sawit (rumput, leguminosa dan hijauan lain), pabrik pengolah tandan buah segar (TBS) hasil sampingnya bungkil inti sawit dan lumpur minyak sawit dan ternak kambing (Ginting 2006). Ternak kambing selain dapat memanfaatkan produk perkebunan, berperan juga dalam pemupukan menggunakan kotorannya, kondisi ini akan meningkatkan water holding capacity dari tanah, karena peningkatan bahan organik dan kandungan karbon di dalam tanah. Selain alternatif pemeliharaan di perkebunan, dengan memanfaatkan produk perkebunan sebagai pakannya (vegetasi dibawah tanaman utama, limbah pengolahan dll), pakan ternak kambing, sangat beragam, pada umumnya dedaunan (daun nangka, gliricidia, papaya, mangga dsb), rumput, dan juga hasil samping pertanian (jerami jagung, jerami kacang tanah, jerami kedelai). Potensi pakan ternak yang berasal dari hasil samping pertanian terutama didapatkan di Pulau Jawa (BPS, 2010) sehingga dapat dimengerti, bahwa populasi ternak ruminansia yang tertinggi didapatkan di Pulau Jawa. Oleh karenanya, dapat dijadikan pemikiran untuk pengembang ternak di pulau Jawa berdasarkan hasil pertanian, sedangkan pengembangan di Sumatera, Kalimantan, Papua dsb, berdasarkan rumput dan hijauan dan pemanfaatan lahan perkebunan sehingga produk perkebunan digunakan sebagai alternatif sumber pakan. Pengembangan ternak kambing di pedesaan Di Indonesia, jumlah perguruan tinggi yang mempunyai fakultas peternakan cukup banyak. Sumber daya manusia, terutama para
8 ilmuwan di perguruan tinggi, selayaknya mendukung pengembangan peternakan. Peran serta secara aktif perguruan tinggi dalam pengembangan, akan memberi arti pada percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui bidang peternakan. Kegiatan pengembangan ternak kambing telah dilakukan Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan UGM, sejak Tahun 2001 berkolaborasi dengan International Feed Resources Unit (IFRU) Macaulay Institute dan Aberdeen University, Inggris, dalam program Higher Education Link, dari Department for International Development-British Council, Inggris. Pengembangan peternakan kambing tersebut dikelola oleh kelompok wanita tani (KWT), dimana masing-masing kelompok beranggotakan sekitar 30 orang (30 keluarga). Dasar pemilihan kelompok wanita tani, antara lain adalah, wanita berperan dalam penyediaan lebih dari setengah kebutuhan pangan dunia (FAO 2002). Bahkan di beberapa negara berkembang, 60-80% pangan diproduksi karena peran serta wanita. Meskipun perannya sangat tinggi dalam penyediaan pangan, akan tetapi, wanita kurang mendapatkan kesempatan mendapatkan sumber daya, pendidikan atau informasi formal (Wahyuni et al., 1992). Kegiatan pengembangan ternak kambing ini ditujukan untuk memberikan ibu-ibu pedesaan, akses terhadap informasi dan sumber daya, sehingga mereka mampu untuk meningkatkan produktivitasnya (Kustantinah, et al., 2002). Evaluasi yang telah dilakukan dengan kriteria pertumbuhan perkembangan kambing, kenaikan pendapatan keluarga, analisa keuangan dari sisi petani dan juga programnya, menunjukkan bahwa, pertumbuhan populasi kambing meningkat sebesar 81%/tahun. Nilai ini cukup tinggi apabila dibandingkan dengan petani yang tidak mengikuti program. Analisa finansial, didapatkan nilai positif terhadap net present value (NPV) dengan benefit cost ratio (BCR) 1,002. Hal ini berarti, skema program pemeliharaan ternak kambing ini sangat menolong petani peternak. Pendapatan petani meningkat secara linear dengan jumlah kambing yang dipelihara, meskipun demikian analisa finansial dari program ini, dengan menggunakan bunga bank, memberikan NPV yang negatif dan BCR< 1. Hal ini menunjukkan bahwa program ini tidak feasible apabila digunakan sebagai mana lending institution (Santosa et al.,
9 2005), akan tetapi pengembangan ternak melalui kelompok tersebut mempunyai dua keuntungan yang ditinjau dari community development dan akademi. Aktivitas akademik yang dilakukan antara lain adalah: penelitian, pembelajaran lapangan dan pendampingan. Pengembangan perkambingan tersebut merupakan suatu contoh bagi mahasiswa mengenai wira usaha dibidang peternakan. Selain dari pada itu, penelitian yang dilakukan, berupa pemecahan masalah dibidang nutrisi ternak, penanganan terpadu parasit menggunakan kontrol biologi pakan terseleksi, penanganan reproduksi, model pengembangan kambing terintegrasi dengan lahan tanaman pangan dan tanaman pakan ternak (Complementary Multicropping and Livestock System/CMCL), sosial ekonomi dsb. Data penelitian ini telah digunakan oleh mahasiswa S1, S2 dan S3 untuk menyelesaikan studinya. Di kelompok wanita di Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta, kambing yang dipelihara berupa kambing Bligon, yang merupakan kambing pedaging, sedangkan kambing perah dipelihara di kelompok tani di daerah Sukorejo, Turi, Kabupaten Sleman sejak tahun 2008 (Suranindyah et al, 2010). Sampai saat ini kelompok tersebut masih berjalan dengan baik, pada awal dari 1 kelompok saat ini sudah dilakukan pendampingan di 11 kelompok, dan secara keseluruhan total ternak yang pernah dipelihara oleh kelompok tani tersebut, adalah sekitar 3000 ekor, dimana ternak yang sudah dijual 882 ekor, digulirkan 410 ekor, kematian 329 ekor, dan untuk lain-lain (selamatan, korban) 48 ekor (data terolah, Kustantinah., 2010 unpublished). Community development dapat dijelaskan dari perkembangan ternak dan perkembangan kelompok serta dinamika kelompok, dan yang penting adalah terciptanya suatu interaksi antara masyarakat peternak dengan perguruan tinggi sebagai pendamping melalui berbagai kegiatan. Keuntungan yang didapatkan petani, berupa penjualan ternak kambing (untuk kelompok pedaging) dan penjualan anak serta produksi susu (untuk kelompok kambing perah), juga kotoran kambing yang digunakan sebagai pupuk organik. Jumlah kambing yang pernah dipelihara di semua kelompok lebih dari 3000 ekor kambing, pada setiap 1000 ekor, produksi kotoran mencapai 0,5 ton per hari, atau sekitar 15 ton/bulan/1000 ekor. Kotoran kambing ini
10 digunakan sebagai pupuk. Pengembangan kambing model seperti ini secara langsung berperan dalam penyuburan lahan, sehingga merupakan pengembangan ternak yang sustainable, karena mempunyai dampak positif terhadap lingkungan. Pengembangan ternak melalui pendampingan perguruan tinggi pada kelompok wanita tani, selain mempunyai keuntungan bagi petani dan keluarganya, keuntungan secara akademik, dan sekaligus berperan cukup signifikan dalam pemeliharaan lingkungan. Model ini mendapat suatu apresiasi sebagai program DFID-British Council yang sukses, dan telah di presentasikan pada ulang tahun British Council yang ke 25 di Hanoi, Vietnam (Kustantinah et al., 2005a, Kustantinah et al., 2005b). Sistem pengembangan kambing kolaborasi perguruan tinggi dan masyarakat, telah di terapkan di kelompok tani di Kabupaten Klaten, Karanganyar, Kuningan dan Majalengka pada tahun 2007. Apabila memperhatikan sumber daya alam sesuai dengan yang telah dibahas sebelumnya, seharusnya kenaikan populasi kambing dari 3,2%/tahun dapat ditingkatkan. Caranya, antara lain: pemerataan pengembangan kambing di seluruh Indonesia, pada lingkungan yang sesuai dan memberdayakan perguruan tinggi, hal ini dikarenakan Fakultas Peternakan di Indonesia ada 59, baik yang sudah berdiri sebagai Fakultas Peternakan, maupun yang masih menjadi suatu program studi di Fakultas Pertanian, dan terdapat dari Sabang sampai Merauke, serta perlu dibentuk suatu forum komunikasi Perguruan Tinggi, bersama dengan pemerintah pusat-daerah dan dinas-dinas terkait. Program harus dilakukan dalam jangka panjang, kemungkinan harus dibuat REPPPELITA (Rencana Pembangunan Peternakan Perguruan Tinggi setiap Lima Tahun). Pengembangan ini untuk mencapai beberapa tujuan. Untuk peningkatan produksi daging, maka kambing tipe pedaging harus dikembangkan, antara lain kambing Bligon, Kacang, Marica. Kebutuhan tipe pedaging cukup tinggi, terutama pada saat hari raya qurban (Idhul Adha), bahkan untuk tujuan eksport, peluang sangat terbuka. Demikian pula, pada peternakan kambing perah, di Indonesia populasinya masih rendah, sedangkan permintaan susu kambing cukup tinggi, harga susu kambing ditingkat petani mencapai Rp.20.000,-/liter, dibandingkan susu sapi Rp.3000,-/liter.
11 Seleksi ternak berdasarkan kapasitas mengkonsumsi hijauan. Salah satu permasalahan yang menentukan keberhasilan program pengembangan ternak kambing, adalah seleksi ternak. Seleksi yang dilakukan saat ini lebih kearah performan dan produktivitas (susu, daging dsb), akan tetapi perkembangan pengetahuan menunjukkan bahwa, seleksi ternak ruminansia juga harus memperhitungkan kemampuannya mengkonsumsi hijauan, atau kemampuan mengkonsumsi pakan berserat, sesuai kondisi Indonesia. Beberapa bangsa ternak ruminansia mampu memanfaatkan tanaman lebih efisien dibandingkan dengan bangsa yang lain. Terdapat suatu perbedaan yang sangat besar antara bangsa sapi di Bangladesh (Bos Indicus) dan bangsa sapi di Inggris (Bos Taurus). Bangsa sapi Bos Indicus mempunyai kemampuan lebih baik dalam mencerna serat, artinya volume rumennya besar (Mould et al., 1983). Hewan yang mempunyai kemampuan untuk mencerna pakan lebih efisien, secara umum mempunyai volume saluran pencernaan yang lebih besar, dan laju aliran digesta yang lambat, artinya waktu tinggal bahan pakan di dalam saluran pencernaan (mean retention time/MRT) yang lebih lama dibandingkan dengan hewan yang lainnya. Oleh karenanya, pengetahuan mengenai laju aliran digesta di dalam saluran pencernaan di dalam genotype yang berbeda akan sangat bermanfaat untuk membantu menjawab pertanyaan perbedaan behaviour ternak dalam penggunaan hijauan pada sapi, domba maupun kambing. Apabila ditemukan suatu metode yang mudah untuk determinasi laju aliran pakan, akan sangat potensial digunakan sebagai alat untuk seleksi. Pengukuran laju aliran digesta dapat dibagi menjadi laju aliran digesta keluar dari rumen, dan pasca rumen, selanjutnya waktu tinggal pakan di dalam saluran pencernaan secara keseluruhan. Pengukuran laju aliran digesta dan MRT biasanya menggunakan marker eksternal, artinya suatu marker yang di introduksikan ke dalam rumen atau langsung di makan ternak, sehingga dapat diamati kecepatan lewatnya di dalam saluran pencernaan, marker tersebut akan dikeluarkan bersama dengan feses. Kecepatan bergeraknya marker, dapat menjadi suatu estimasi kecepatan aliran digesta di dalam saluran pencernaan, hal ini dapat terjadi apabila marker tersebut bercampur dengan digesta secara homogen. Marker yang digunakan ada 2 macam: marker untuk
12 digesta yang berbentuk cairan (poly ethylene glycol/PEG, Yterbium dsb) dan marker untuk digesta yang berbentuk solid (antara lain. chrome mordanted, alkana). Waktu tinggal digesta (MRT) di dalam saluran pencernaan, yang diukur pada 20 ekor sapi, dapat dikategorikan dalam MRT yang tinggi dan MRT yang rendah. Pada ternak dimana waktu tinggal digesta di dalam saluran pencernaan lama (MRT tinggi), maka nutrien pakannya akan lebih banyak tercerna, apabila dibandingkan dengan ternak dimana waktu tinggal pakan di dalam saluran pencernaannya sebentar (MRT rendah) (Ørskov et al., 1988). Laju aliran digesta ke dalam intestinum, menentukan kecepatan nutrien atau substrat yang benar-benar akan dimanfaatkan oleh ruminansia. Pada sapi perah yang di fistulasi di bagian duodenum telah diamati bahwa, pemberian pakan tunggal rumput raja, menghasilkan nilai laju aliran digesta ke dalam intestinum sebesar 104,3 liter per hari, dan apabila ditambahkan bungkil kelapa, maka laju aliran akan meningkat menjadi 123,3 liter per hari, sedangkan penggunaan leguminosa (jerami kacang tanah) yang di berikan secara tunggal, akan memberikan laju aliran menuju intestinum sekitar 158,4 liter per hari. Dari hasil ini menunjukkan, bahkan di dalam satu bangsa ternakpun, laju aliran digesta ke dalam intestinum, sangat berbeda, dan laju aliran ini sangat mempengaruhi kecernaan nutrien dan tentu saja akan mempengaruhi produktivitas ternak (Kustantinah et al., 2005c). Saat ini tehnik baru untuk pengukuran laju aliran digesta, menggunakan marker alkana. Alkana merupakan suatu lilin yang secara alamiah terdapat di dalam tanaman. Lilin selalu dikandung tanaman, dan komposisinya berbeda untuk setiap spesies tanaman, serta berbeda disetiap bagian tanaman (batang, daun, akar dsb). Bagian utama dari lilin tersebut adalah alkana. N-alkana adalah suatu rantai hidro karbon yang lurus (tidak ada ikatan ganda) dan jenuh (Mayes dan Dove., 2006). Waktu tinggal digesta di dalam saluran pencernaan, telah diukur dengan menggunakan alkana sebagai marker. Marker alkana artifisial yang digunakan terdiri dari 4 (empat) pasangan yaitu: alkana C30/C32, alkana C28/C34, alkana C26/C36 dan alkana C24/C38. Pakan yang diamati adalah rumput rye dalam
13 bentuk hay (kering) dan segar. Pengamatan waktu tinggal pakan (MRT) pada domba, menunjukkan bahwa nilai MRT dari kedua macam pakan untuk semua pasangan marker, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, yaitu sekitar 40 jam untuk pakan hay dan sekitar 39 jam untuk pakan rumput segar. Ada beberapa domba yang memberikan nilai MRT sangat tinggi, yaitu 60 jam. Hal ini menunjukkan suatu variasi individu mengenai waktu tinggal pakan di dalam saluran pencernaan (Kustantinah 2010, unpublished data). Metode ini perlu dikembangkan pada ternak kambing, yang menyukai pakan dedaunan, yang mana kandungan alkana masing-masing spesies dedaunan berbeda, sehingga didapatkan suatu cara sederhana untuk seleksi ternak. Kontrol parasit pada kambing berbasis pakan terseleksi Ternak kambing lebih menyukai dedaunan dibandingkan domba dan sapi, akan tetapi dapat juga diberikan rerumputan, dan hasil samping pertanian (jerami kacang tanah, jerami jagung, jerami kedelai, daun ketela dsb). Pada musim penghujan, jenis tanaman yang diberikan sebagai pakan sekitar 3–5 spesies tanaman, akan tetapi selama musim kemarau, spesies tanaman yang diberikan dapat mencapai 35 jenis (Kustantinah., 2007; Kustantinah et al., 2008). Usaha untuk meningkatkan produktivitas ternak di negara berkembang, biasanya dibatasi oleh 2 hal, yaitu: nutrisi dan kesehatan. Problem kekurangan nutrisi (undernutrition), pada umumnya terjadi pada akhir musim kemarau atau awal musim hujan, dimana tanaman belum tumbuh dengan baik dan produk hasil samping pertanian belum banyak. Sekitar 10-20% populasi small ruminant dunia, berada di Asia tenggara, dimana salah satu permasalahan pemeliharaannya adalah parasit, terutama endoparasit (parasit internal), produktivitas yang rendah di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, dipengaruhi oleh rendahnya efisiensi pakan dan manajemen, penggunaan sumber genetika indigenous, dan keterbatasan karena penyakit terutama parasit. Kontrol atau pencegahan parasit pada saat ini menjadi suatu perhatian yang sangat serius, khususnya pada ruminansia kecil (kambing, domba). Hal ini disebabkan karena terjadinya suatu
14 resistensi secara kimiawi. Obat-obatan (anthelmintika modern) yang digunakan sebagai kontrol parasit nematoda (cacing), memberikan suatu resistensi pada kambing dan domba. Ditemukannya residu obatobatan di dalam produk peternakan (susu dan daging), dan adanya peningkatan produk pertanian organik, menyebabkan terjadinya peningkatan kehati-hatian akan penggunaan obat hewan, sehingga mulai banyak diinvestigasi penggunaan tanaman sebagai kontrol/pencegahan parasit. Salah satu cara untuk mengatasi parasit, adalah melakukan pengaturan padang penggembalaan serta kontrol biologi (Waller, 2006). Parasit haemonchiasis yaitu suatu infeksi disebabkan cacing Haemoncus dalam lambung, yang menghisap darah. Cacing ini merupakan suatu endoparasit yang sangat berpengaruh terhadap penurunan produktivitas ternak. Di Indonesia infeksi endoparasit ini menyebabkan kerugian bagi petani peternak karena kehilangan keuntungan dan produktivitas ternak tidak optimal (Kustantinah et al., 2008). Sumber daya alam yang beragam di Indonesia, memberikan peluang sangat tinggi untuk menggali jenis tanaman yang mempunyai sifat anti parasit, sehingga pemakaian obat cacing seperti anthelmintika/antihelmintic komersial dapat dikurangi. Evaluasi kontrol parasit a. Penetasan telur cacing. Lima belas spesies tanaman, antara lain. daun akasia, daun nangka (Artocarpus heterophyllus), daun ketela (Manihot utilissima), daun pepaya (Carica papaya), daun beringin (Ficus benyamina), mahoni (Mahagony), Gliricidia maculata, dsb yang biasa digunakan petani di sekitar Yogyakarta sebagai pakan kambing, telah di amati untuk mengetahui aktivitas anthelmintikanya. Tanaman (leguminosa dan dedaunan) dipilih berdasarkan kandungan tanin atau komponen phenolic. Screening dari kepemilikan (kandungan) anthelmintika dilakukan secara in vitro menggunakan infusa tanaman, untuk menghambat menetasnya telur Haemonchus contortus. Ditunjukkan bahwa, kelima belas spesies tanaman yang digunakan untuk pakan kambing, ternyata mempunyai kemampuan anthelmintika, artinya infusa yang dibuat dari ekstrak tanaman, dapat mencegah penetasan telur cacing (Daryatmo et al., 2010).
15 b. Mortalitas cacing. Pengamatan selanjutnya adalah untuk mengetahui kematian atau mortalitas cacing dewasa Haemonchus contortus menggunakan infusa tanaman. Infusa dibuat dari tanaman seperti yang telah disebutkan diatas. Secara umum ditunjukkan bahwa, mortalitas cacing yang paling besar didapatkan pada konsentrasi infusa 80%, dan infusa daun ketela (manihot utilissima) dan daun turi (sesbania grandiflora) memberikan efek mortalitas cacing yang tertinggi. Pada infusa 20% dari daun turi dan daun ketela pohon, sudah memberikan kematian cacing haemonchus contortus lebih dari 50% (Daryatmo, et al., 2008). Penelitian lanjutan dilakukan pada ekstrak 42 jenis tanaman pakan kambing antara lain: rondho bolot, produk ketela pohon, daun asam jawa (Tamarindus indica), daun turi bunga merah (Sesbania grandiflora), daun murbey. Mortalitas cacing Haemonchus contortus diamati setelah pemberian infusa tanaman dalam konsentrasi 20, 40 dan 80%, selama 6 jam. Hasil menunjukkan bahwa produk ketela pohon (daun, umbi, kulit batang, dan kulit umbi) pada varietas bayam (tangkai daun merah), dan daun ketela pohon karet okulasi, mempunyai sifat anthelmintika yang paling tinggi, karena dapat mematikan cacing Haemonchus contortus pada konsentrasi 40%, diikuti dengan daun turi bunga merah, daun nangka, dan daun papaya (Daryatmo et al., 2008., Kustantinah et al., 2010 un published data). Hasil penelitian yang dilakukan memberikan gambaran, bahwa di seluruh Indonesia, didapatkan ratusan spesies tanaman yang dapat digunakan sebagai pakan kambing, dan sekaligus dapat digunakan sebagai obat cacing (anthelmintika). Ini merupakan suatu area penelitian di bidang nutrisi ruminansia yang bermanfaat langsung terhadap peternak. c. Kontrol parasit secara in vivo. Selain kontrol parasit secara in vitro, telah dilakukan uji menggunakan ternak kambing. Bahan pakan yang digunakan adalah daun ketela dan daun papaya, dimana merupakan bahan pakan yang telah diseleksi berdasarkan kecernaannya maupun berdasarkan produksi gas hasil fermentasi. Ketela pohon (Manihot utilissima) merupakan produk pertanian yang penting di Indonesia, biasanya dipanen pada saat musim kemarau. Produksi ketela pohon secara nasional adalah 19,9 ton /ha pada Tahun 2007 dan meningkat menjadi 22 ton/ha pada 2009 (BPS, 2009).
16 Produk utama ketela pohon adalah umbi, yang digunakan sebagai konsumsi manusia, sedangkan bagian ketela pohon yang digunakan untuk pakan ternak adalah daun, kulit umbi ataupun kulit batang. Penggunaan daun ketela pohon kering pada kambing, sebanyak 200 gram per hari, sudah dapat menurunkan sekitar 31% infeksi coccidia dan penggunaan sebanyak 500 gram per hari, dapat menurunkan jumlah oosista coccidia sebanyak 80%. Coccidia merupakan endoparasit selain nematode (cacing) yang banyak berjangkit pada peternakan rakyat di Indonesia, dan sering menimbulkan diare, biasanya didapatkan pada peternakan yang tidak bersih. Penggunaan daun ketela kering sebanyak 200 gram, yang ditambahkan pada pakan basal rumput raja selama 15 hari, dapat menurunkan jumlah telur cacing sebesar 50%, dan pada pemberian selama 45 hari, akan menurunkan jumlah telur cacing sebesar 76%, hasil ini menunjukkan bahwa, daun ketela dapat digunakan sebagai suplemen pakan kambing karena kandungan protein cukup tinggi (20%) dan sekaligus sebagai anti parasit (Kustantinah et al., 2007 dan 2008). Daun ketela yang digunakan dalam keadaan kering, pengeringan daun ketela pohon dilakukan langsung di bawah sinar matahari, selama 2 hari. Evaluasi berdasarkan produksi gas pada saat fermentasi di dalam rumen menunjukkan bahwa, pengeringan secara langsung dibawah sinar matahari, tidak mempengaruhi kecernaannya. (Kustantinah et al., 2004). Selain dapat menurunkan jumlah oosista coccidia, penggunaan daun ketela pohon juga berefek positif sebagai obat cacing, demikian juga penggunaan daun papaya. Daun papaya muda, pada umumnya dimanfaatkan sebagai pangan, sedangkan daun tua, digunakan sebagai pakan hewan. Produksi daun papaya jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan daun ketela, akan tetapi, mempunyai kualitas bagus dimana kandungan proteinnya 20%. Secara in vitro bahan ini telah teruji dapat bersifat sebagai antiparasit (anthelmintika). Penambahan daun papaya tua, yang telah dikeringkan, pada pakan kambing sebanyak 200g selama 15 hari, menurunkan jumlah telur cacing sebesar 28% dan pemberian selama 45 hari, menurunkan jumlah cacing sebesar 76%. Penurunan jumlah oosista coccidia juga diamati pada pemberian selama 15 hari sebesar 47%, sedangkan pemberian selama 45 hari, menurunkan oosista
17 coccidia sebesar 97% (Kustantinah et al., 2010). Penggunaan daun ketela pohon dan dedaunan yang biasa digunakan sebagai pakan kambing, juga telah dilakukan di Vietnam (Mui et al., 2005). Daun ketela pohon, daun nangka, lamtoro dapat menurunkan jumlah telur cacing di feses (Egg per gram faeces, EPG). Demikian juga penggunaan bioaktif tanaman atau hijauan yang mengandung metabolit sekunder, khususnya leguminosa dengan kandungan yang tinggi akan proanthocyanidins (condensed tannin) e.g Hedysarum coronarium dan Lotus pedumuculatus dapat menurunkan sampai 50% cacing (Niezel.,1995). Efek anthelmintika daun ketela pohon, daun papaya dan dedaunan lainnya, disebabkan kandungan komponen phenolic antara lain tanin. Tanin adalah suatu zat yang pahit (polyphenol) terdapat dalam tanaman tertentu (antara lain. daun teh, daun ketela, daun papaya). Tanin dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu: tanin yang terhidrolisa (hydrolizable tannin), dan tanin yang terkondensasi (condensed tannin), atau proanthocyanidins yang tersusun atas oligomers dari 2 atau lebih akan flavan-3-ols, seperti: catechin, epicatechin (Makar., 2003). Pada daun ketela pohon, kandungan tanin daun muda lebih rendah dibandingkan dengan daun tua, yaitu berturut-turut 1,7% dan 2,4% (Kustantinah et al., 2008). Sedangkan daun papaya, mempunyai kandungan tanin sebesar 1,5% (Daryatmo et al., 2010). Pemberian daun akasia pada hari ke 23-48 pemeliharaan, menurunkan secara signifikan jumlah telur cacing di feses. Hal ini menunjukkan bahwa condensed tannin (CT) yang dikandung akasia berperan dalam aktivitas antiparasit (Akkari et al., 2008). Saat ini, penelitian sudah mulai banyak dilakukan, di Asia, Afrika maupun Eropa penggunaan herbal-wormers, yaitu eliminasi cacing menggunakan tanaman atau kontrol biologi, karena subyek ini mempunyai keunggulan, fokus pada pemanfatan sumber daya alam lokal, dan bersifat sustainable, serta tidak memberikan suatu efek negatif terhadap performan ternak.
18 Diakhir pidato ini saya menyarankan, 1. Evaluasi bahan pakan ternak ruminansia di Indonesia harus berdasarkan dua pendekatan, yaitu berdasarkan ketersediaannya atau kecernaannya di dalam saluran pencernaan (rumen maupun intestinum) dan juga berdasarkan peran terhadap kesehatan ternak atau sifat antihelmintikanya/anti parasit. Diperlukan suatu investigasi pakan ruminansia berdasarkan kriteria tersebut, sehingga akan dapat lebih bermanfaat untuk pengembangan ternak di Indonesia dan sumber daya alam kita dapat terdokumentasikan dengan lebih komprehensif. 2. Perlu dikembangkan seleksi ternak (breeding) berdasarkan kapasitas mencerna pakan berserat, khususnya untuk ruminansia, hal ini mengingat Indonesia memproduksi hasil samping pertanian yang berlimpah, dimana kandungan seratnya sangat tinggi, sehingga ternak-ternak yang di kembangkan di Indonesia semestinya disesuaikani dengan potensi pakan yang ada. 3. Pengembangan ternak di Indonesia, harus lebih melibatkan perguruan tinggi, diharapkan setiap Perguruan Tinggi mendapatkan suatu konsesi area pendampingan pengembangan peternakan, dan untuk evaluasi dibentuk forum komunikasi antar fakultas peternakan dan dinas terkait. Fakultas Peternakan di Indonesia berada dari Sabang sampai Merauke, sehingga dengan adanya kegiatan tersebut terjadi pemberdayaan Perguruan Tinggi di Indonesia. Kegiatan ini harus dalam bentuk long term, 5 atau 10 tahunan, apabila dikerjakan dengan sungguh-sungguh diharapkan populasi ternak akan meningkat secara signifikan. Fakultas Peternakan UGM bersedia untuk membagi pengalamannya, dan membuat blue print pengembangan peternakan secara komprehensif melalui kolaborasi perguruan tinggi di Indonesia.
19 Pustaka Akkari, H., M. Ben-salem, S. Gharbi, M.A. Abidi, D. Darghouth. 2008. Feeding Acacia cyanophylla Lindl Foliage to Barbarine Lambs with or without PEG: Effect on the excretion of gastro-intestinal nematode eggs. J.of Anim. Feed Sc and Tech. 147. Badan Pusat Statistik. 2009 dan 2010. http://www.BPS.go.id diambil 4/4/2010. Daryatmo, J., Kustantinah, E.R. Orskov, H. Hartadi and W. Nurcahyo. 2008. Nutrition Potential of Various Forages and Their Effectiveness as Anti Parasite. Proc. 13th Animal Sci. Congress of the AAAP, Vietnam. Daryatmo, J., H. Hartadi, E.R. Orskov, A. Kustantinah, W. Nurcahyo. 2010. In vitro screening of various forages for anthelmintics activity on Haemonchus contortus eggs. In: Advances in Animal Biosciences: Food, Feed, Energy and Fibre from Land-A Vision for 2020. Proc.of the BSAS and the ARF Forum. Cambridge Univ. Press, Belfast UK. Devendra C. 2007a. Goats: Biology, Production and Development in Asia. Ac. of Sciences Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia. Devendra C. 2007b. Perspective on animal production systems in Asia. Livestock science.106. Devendra C. 2010. Concluding synthesis and the future for sustainable goat production, C. Small Ruminant Research. 89. FAO 2002. FAOSTAT. Food an Agriculture Organisation, Rome, Italy. Ginting Simon P. 2006. Pengembangan Sistem Integrasi Usaha Ternak Kambing dengan Perkebunan Kelapa Sawit: Kajian Berdasarkan ketersediaan Pakan dan Kebutuhan Nutrisi. WARTAZOA Vol. 16 (2). Penelitian Kambing Potong, PO Box 1, Galang, Sumatera Utara Kustantinah., M.A. Lomax, B. Suhartanto, A. Agus, E.R. Ørskov, H. Hartadi, R. Utomo, L.M. Yusiati. 2002. A livestock development approach contribute to poverty alleviation: a special case at kwarasan, Nglipar, Gunungkidul as an example. Proc. the 3rd ISTAP, UGM. Kustantinah., E.R. Orskov, H. Hartadi, A. Agus, B. Suhartanto, N. Danardono, E. Indarto, S. Nurtini, K.A. Santosa and M.A. Lomax. 2005a. Animal Production through a women’s group-goat-sharing scheme. Proc. International Workshop on Small Ruminant Production and Development in South East Asia, Vietnam. Kustantinah., E.R. Orskov, M.A. Lomax, H. Hartadi, B. Suhartanto, L.M. Yusiati, R. Utomo, P.W. Soemitro, N. Danardono, E. Indarto, A. Agus
20 and S. Nurtini. 2005b. Community group established as a result of Higher Education Link activities between Gadjah Mada University, Indonesia, Macaulay Institute Aberdeen UK and Aberdeen University, Scotland UK. 25th British Council HEL Celebrations, Vietnam. Kustantinah., B. Suhartanto, S. Padmowijoto and M. Frederizk. 2005c. Duodenal flows rate in Friesien Holstein grade cow fed forage and supplement. Proceedings Integrating Livestock–Crop System to Meet the Challenges of Globalisation. Volume 2 AHAT/BSAS International Conference, Khon Kaen, Thailand. Kustantinah. 2007. Beternak Kambing, Cetakan I, Penerbit PT Citra Aji Pratama, Yogyakarta. Kustantinah., H. Hartadi dan R.S. Irwansyah. 2007. Pengaruh suplementasi pada pakan basal rumput raja terhadap kinerja kambing Bligon yang dipelihara KWT Lestari, Dusun Kwarasan, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunungkidul. Proc.Seminar Nasional AINI VI. Bag. Nutrisi dan Makanan Ternak Fak. Peternakan UGM, Yogyakarta. Kustantinah-Adiwimarta., J. Daryatmo, H. Hartadi, E.R. Ørskov. 2008. Comparison of various feed samples preparation method for in vitro gas production. Procceeding the 13th Animal Science congress of the Asian-Australasian Association of Animal Prod. Societies, Vietnam Kustantinah-Adiwimarta., J. Daryatmo, E.R. Ørskov, R.W. Mayes, H. Hartadi. 2010. Utilisation of cassava leaf and carica papaya leaf as feeds and athelmintics for goats. In: Advances in Animal Biosciences Food Feed Energy and Fibre from Land-A VisionFor 2020. Proc.of the BSAS and the ARF.Cambridge University Press, Belfast UK. Mayes, R.W and H. Dove. 2006. The use of n-alkanes andother plant-wax compounds as markers for studying the feeding and nutrition of large mammalian herbivores. In: Herbivores: the assessment of intake, digestibility and the roles of secondary compounds, Sandoval-Castro, C.A., Hovell, F.D. de B., Torres Acosta, F. and Ayala-Burgos, A. [Eds.] BSAS Public. Nottingham University Press. Makkar, H.P.S. 2003. Effects and fate of tannins in ruminant animals, adaptation to tannins, and strategies to overcome detrimental effects of feeding tannin-rich feed. Small Rum.Res, 49. Mould, F.L., M. Saadullah, M. Haque, C. Davis, F. Dolberg and E.R. Ørskov. 1984. Manipulation of Rumen Fluid Ph and its influence on cellulolysis in sacco, dry matter degradation and the rumen micro flora of sheep offered either hay or concentrate, Anim. Feed Sci, Tech.10.
21 Mui, N.T., D.V. Bind, E.R. Ørskov. 2005. Effects of foliages containing condensed tannins and on gastrointestinalis parasites. Anim Fd Sci Tech. Niezel, J.H., T.S. Waghorn, W.A.G. Charleston, G.C. Waghorn. 1995. Growth and gastro intestinal nematode parasitism in lambs grazing either Lucerne (medicago sativa) or Sulla (Hedysarum coronarium) which contains Condensed Tanninns. J.Agric.Sci.Camb. Ørskov, E.R., I. Ojwang and G.W. Reid. 1988. A study on consistency of differences between cows in rumen outflow rate of Fibrous particles and other substrates and consequences for digestibility and intake of roughages. Anim. Prod.47. Ørskov, E.R., Kustantinah, G. Davidson. 2010. Challenge to animal nutrition work to support sustainable animal production in 21 st Century. In: International Seminar on Prospects and Challenges of Animal Production in the 21st Century. University of Brawijaya, Malang. Pamungkas, F.A., A. Batubara, M. Doloksaribu dan Erwin Sihite. 2008. Petunjuk Teknis Beberapa Plasma Nutfah Kambing Indonesia, Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih, Sumatera Utara. Santosa, K.A., S. Untari, Kustantinah and S. Nurtini. 2005. Evaluation of women’s group-goat-sharing scheme in Java, Indonesia. BSAS Conference, Thailand. Suranindyah, Y., Kustantinah., E.R.Orskov. 2009. Improvement of milk production with half day milking a case study of communal goat housing in Sukorejo Yogyakarta Indonesia. World Academie Svience and Technology. Wahyuni-Gatenby, R.M and M.F. Nolan. 1992. Women and small ruminant production in Indonesia: A case study in West Java. Anim. Prod and Rural Dev. Proc. of the 6th AAAP Congress. Vol.I., Thailand. Waller PJ. 2006. Sustainable nematode parasite control strategies for ruminant livestock by grazing management and biological control. Animal Feed Science and Technology.126.
