Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan Taryono Darusman1, Asep Mulyana2 dan Rachmat Budiono3
Pendahuluan Lahan gambut merupakan ekosistem lahan basah yang jenuh air yang tersusun dari berbagai bahan organik, yaitu sisa-sisa tumbuhan dan jaringan tumbuhan yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Bahan organik dalam lahan gambut ini mengalami laju dekomposisi yang rendah, sehingga tetap bertahan sampai ratusan tahun. Dalam sistem klasifikasi baru, tanah gambut disebut Histosols (Wahyunto, 2005). Menurut Soil Survey Staff (1998) batasan mengenai tanah gambut sebagai berikut : • Mengandung 18% atau lebih C-organik (atau > 31 % bahan organik), bila bagian mineralnya mengandung fraksi liat 60% atau lebih, atau • Mengandung 12% atau lebih C-Organik (atau >21% bahan organik), apabila bagian mineralnya tidak mengandung fraksi liat, atau • Jika kandungan liatnya antara 0 – 60%, maka kandungan C-organiknya terdapat antara 12-18%. Dengan adanya kandungan C-Organik tersebut, menjadikan lahan gambut sebagai sistem lahan yang memiliki cadangan karbon terestris yang penting. Jika mendapat perlindungan dan dibiarkan dalam kondisi alami, lahan gambut dapat, meningkatkan kemampuanya dalam menyerap karbon. Secara global lahan gambut menyimpan sekitar 329 – 525 Gt C atau 15 – 35% dari total karbon terestris, di daerah tropis terdapat sekitar 70 Gt, dimana Indonesia berkontribusi terhadap cadangan karbon tropis ini sekitar 46 Gt4 (Murdiyaso, 2004). Dalam hutan gambut, kandungan karbon secara umum terdapat dalam dua bagian, yaitu 1) kandungan karbon di atas permukaan, 2) kandungan karbon di bawah permukaan. Kandungan karbon atas permukaan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan alometrik berdasarkan kepada diameter batang pohon, mengukur nekromasa, tumbuhan bawah dan serasah (Hairiah, K 2007, Murdiyaso, 2004). Kandungan karbon di bawah permukaan dapat diukur dengan mengukur ketebalan gambut, luas lahan gambut, bobot isi gambut, tingkat kematangan gambut dan kandungan C-organik (Murdiyaso, 2004). Kegiatan penghitungan biomassa pohon dan nekromassa di hutan gambut DAS Katingan dan DAS Mentaya ini ditujukan untuk melengkapi data-data mengenai lahan gambut di Kalimatan Tengah, DAS Katingan dan DAS Mentaya khususnya, dan kajian-kajian mengenai gambut secara umum yang sampai saat ini masih sangat terbatas. Selain itu, penghitungan biomassa ini dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan karbon di kawasan tersebut.
1
[email protected] [email protected] 3
[email protected] 4 1 Gt = 1 Gigaton = 1 x 109 ton 2
1
Materi dan Metode 1. Keadaan umum daerah penelitian Penelitian dilakukan di kawasan hutan gambut Kab. Kota Waringin Timur (DAS Mentaya) dan Kab. Katingan (DAS Katingan), Kalimantan tengah. Kawasan ini terletak di antara Sungai Mentaya, yang berada di sisi Barat dan Sungai Katingan, yang berada sisi Timur. Hutan Gambut di kawasan ini adalah sisa bekas konsesi HPH yang melakukan tebang pilih dari sejak tahun 1980-an dan diakhiri secara resmi 2000an setelah ada morotarium pembalakan kayu. Beberapa bagian dari kawasan ini telah dibuka melalui tebang habis, terutama di bagian selatan kawasan yang kemudian sisanya dibakar oleh penduduk untuk dijadikan ladang. Saat ini pembalakan secara sembunyi-sembunyi terutama di wilayah DAS Mentaya masih tetap terjadi dengan diameter pohon yang dibalak relatif kecil antara 15 cm sampai 20 cm saja. Seluruh penelitian ini dilakukan dari Agustus 2008 sampai Oktober 2008. 2. Cara Kerja a. Penentuan Petak Ukur Setelah melakukan analisa citra landsat tahun 2008 atas hutan gambut di kawasan DAS Mentaya dan DAS Katingan kemudian ditetapkan bahwa penempatan petak penelitian akan dilakukan dengan metode jalur rintisan berpetak atau metode garis berpetak (Indriyanto, 2006) mulai dari Barat, DAS Mentaya menuju arah Timur, DAS Katingan sepanjang 28 Km dengan jarak antar petak adalah 1 km sehingga dalam rintisan ini direncanakan ada 28 petak penelitian. Koordinat petak pertama adalah 02° 35' 20" LS ; 113° 2' 28" BT dan petak terakhir adalah 02° 35’ 7” LS ; 113°.16’ 41” BT, selengkapnya ada pada lampiran 1. Ukuran dari setiap petak adalah 5 x 40 m (0.02 ha) dan petak 20 x 100 m (0.2 ha) untuk perluasan jika dalam petak 5 x 40 m ditemukan diameter batang pohon setinggi dada lebih dari 30 cm (Hairiah, K 2007). Metode ini berbeda dengan yang diusulkan oleh Murdiyaso (2004) yaitu dengan meletakan petak ukur 20 x 50 m disetiap zona lahan atau tipe penggunaan lahan dengan diameter pohon yang diukur adalah ≥ 10 cm. Pada prinsipnya penentuan petak ukur harus berdasarkan kepada setiap jenis penggunaan lahan/tutupan hutan yang ada agar kandungan biomassa dari setiap jenis penggunaan lahan/tutupan hutan dapat terwakili, sehingga memudahkan dalam menghitung kandungan biomassa permukaan untuk suatu kawasan. b. Pengukuran Biomassa Permukaan Metode pengukuran biomassa permukaan yang digunakan adalah mengacu kepada metode standar Alternatives to Slash and Burn (Hairiah, K 2007). Pengukuran biomassa permukaan akan meliputi pengukuran seperti berikut : 1. Biomasa pohon 1. Biomasa pohon ini dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan alometrik yang didasarkan kepada pengukuran diameter batang > 30 cm. Pengukuran dilakukan dalam areal plot 20m x 100 m 2. Biomasa pohon 2. Biomasa pohon ini dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan alometrik yang didasarkan kepada pengukuran diameter batang ≥ 5 cm sampai ≥ 30 cm. Pengukuran dilakukan dalam areal plot 5m x 40m. 3. Nekromasa. Pengukuran batang pohon mati baik yang masih tegak maupun yang telah tumbang dan tergeletak di atas permukaan tanah. Pengukuran dilakukan terhadap batang-batang mati atau tunggul yang memiliki panjang lebih dari 50 cm
2
dengan diameter 5 cm. Pengukuran batang mati dilakukan dalam plot 5m x 40m dan 20 x 100 m. Pada penelitian yang dilakukan, pengukuran untuk tumbuhan bawah, serasah kasar dan serasah halus tidak dilakukan karena diasumsikan dapat digantikan dengan pengukuran ketebalan gambut atau diasumsikan memiliki nilai sebesar 1% dari nilai total biomassa pohon5. c. Pengukuran ketebalan dan topograpi gambut Pengukuran ketebalan gambut menggunakan bor model Eijkelkamp yang telah dimodifikasi pada setiap titik bor. Lokasi titik bor dalam penelitian ini adalah mengikuti garis transek dengan interval 500 m. Jadi setiap 500 m atau ½ Km dilakukan pengeboran untuk mengukur ketebalan gambut. Prosedur pengukuran adalah dengan cara pertama memasukan mata bor gambut ke dalam tanah gambut kemudian diangkat apabila belum ada tanah mineral yang terangkat, maka mata bor dimasukan kembali dengan penambahan batang bor dan angkat lagi, apabila tanah mineral belum ada maka mata bor dimasukan lagi dengan penambahan batang bor, hal ini dilakukan terus-menerus secara bertahap sampai mata bor menyentuh tanah mineral setelah itu baru di catat ketebalan gambutnya. Selain ketebalan diamati juga warna dan tekstur dari gambut tersebut. Titik bor ketebalan gambut berjumlah total 42 titik. Untuk mengetahui topograpi permukaan gambut dilakukan juga pengukuran tinggi permukaan tanah atau levelling menggunakan water pass sepanjang jalur transek. d. Pengukuran paras air tanah Pengukuran paras air tanah dilakukan sama pada titik pengukuran ketebalan gambut. Pengukuran dilakukan dengan tongkat berskala. Sebelumnya dimasukan dahulu pipa PVC ke dalam tanah gambut tunggu beberapa saat sampai paras air stabil baru kemudian ukur. Pipa PVC ditempatkan sebanyak titik pengukuran ketebalan gambut, yaitu 42 titik pengukuran. Hasil dan Pembahasan 1. Kandungan Biomassa Permukaan Penyajian hasil pengukuran biomassa permukaan akan dilakukan dalam dua pendekatan analisa, yaitu : a. Hasil pengukuran biomassa dikelompokan berdasarkan kepada hutan gambut terganggu dan hutan gambut tidak terganggu. Pengelompokan dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Kelompok tipe penutupan hutan No Kelompok Hutan 1 Hutan gambut terganggu DAS Mentaya 2. Hutan gambut tidak terganggu 3. Hutan gambut terganggu DAS Katingan
No Petak 2 sampai 9 10 sampai 19 20 sampai 25
Jumlah Petak 8 10 6
b. Hasil pengukuran biomassa dikelompokan berdasarkan kepada jenis tipe hutan gambut tanpa mempertimbangkan apakah di hutan tersebut bekas tebangan 5
Hasil diskusi dengan Ibu Subekti Rahayu, Staff ICRAF-Bogor.
3
atau bukan bekas tebangan tabel 2. Pengelompokan jenis hutan ini berdasarkan pengamatan tim di lapangan, perlu konfirmasi lagi oleh para peneliti lain: Tabel 2. Kelompok tipe hutan gambut No Kelompok Hutan 1 Hutan gambut campuran DAS Mentaya 2. Hutan gambut primer kerapatan tinggi 3. 4.
Hutan gambut primer kerapatan rendah Hutan gambut campuran DAS Katingan
No Petak 2 sampai 10 11,12,15,16 dan 17 13 dan 14 18 sampai 25
Jumlah Petak 9 5 2 8
A. Hasil berdasarkan Pendekatan Analisa a Berdasarkan kepada pengelompokan hutan analisa a, hasil dari pengukuran biomassa pohon dan nekromassa diperlihatkan dalam tabel 3. Nilai biomassa pohon pada hutan tidak terganggu lebih tinggi daripada biomassa pohon pada kedua hutan terganggu. Hal ini mungkin terjadi karena pada hutan tidak terganggu memiliki kerapatan pohon yang lebih tinggi dibanding pada hutan terganggu. Sebaliknya nilai nekromassa pada hutan tidak terganggu jauh lebih kecil dibandingkan dengan hutan tidak terganggu. Pada hutan terganggu banyak terdapat gelondongan kayu sisa-sisa pembalakan sedangkan pada hutan tidak terganggu tidak ada sisa-sisa pembalakan dan pohon-pohon besar yang tumbang. Tabel 3 . Rata-rata Kandungan Biomassa dan Nekromassa pada kelompok hutan gambut. Biomassa (ton/ha) Kelompok Hutan Pohon* Nekromassa** Hutan terganggu DAS Mentaya 250,19 1463,51 Hutan tidak terganggu 391,73 124,96 Hutan terganggu DAS Katingan 328,39 1214,35 * ukuran diameter ≥ 5 cm tinggi ≥ 1,3m ** ukuran diameter ≥ 5 cm panjang/tinggi ≥ 50cm
Hasil penghitungan nilai biomassa pohon pada hutan terganggu dan tidak terganggu pada tabel 3 relatif lebih besar dari yang dilakukan oleh Istomo dkk pada bulan Juni 2000 di hutan gambut Eks-PLG, Blok A Mentangai Kalteng (2007). Dimana hasil penghitungan mereka adalah 111,39 ton/ha untuk hutan gambut tidak terganggu dan 64,99 untuk hutan gambut terganggu. Perbedaan nilai ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan pengukuran pohon, dimana Istomo dkk mengukur diameter pohon hanya ≥ 10 cm sedangkan dalam penelitian ini diameter pohon yang diukur adalah ≥ 5 cm dalam setiap petak ukurnya.
B. Hasil Berdasarkan Pendekatan Analisa b Berdasarkan kepada pengelompokan hutan analisa b, hasil penghitungan biomassa disajikan pada tabel 4. Kandungan biomassa terendah berada di kelompok jenis hutan gambut kerapatan rendah, 263,64 ton/ha dan nilai terbesar pada kelompok hutan 4
gambut kerapatan tinggi 365,88 ton/ha. Secara umum nilai kandungan biomassa pada hutan gambut campuran relatif lebih kecil, dimana jika merujuk pada analisa a, hutan gambut campuran merupakan hutan gambut terganggu dan hutan gambut kerapatan tinggi merupakan hutan gambut primer yang tidak ada bekas gangguan seperti bekas pembalakan, jalur kuda-kuda (saradan kayu), dan parit. Tabel 4 . Rata-rata kandungan Biomassa dan Nekromassa pada kelompok jenis hutan gambut Biomassa (ton/ha) Kelompok Hutan Pohon* Nekromassa** Hutan gambut campuran DAS Mentaya 289.53 1328.04 Hutan gambut kerapatan tinggi 365.88 122.39 Hutan gambut kerapatan rendah 263.64 48.53 Hutan gambut campuran DAS Katingan 347.46 1099.09 * ukuran diameter ≥ 5 cm tinggi ≥ 1,3 m ** ukuran diameter ≥ 5 cm panjang/tinggi ≥ 50 cm
Menurut Istomo dkk (2007), hutan gambut primer yang tidak terganggu pada citra landsat komposit 542 memperlihatkan warna hijau tua dengan tekstur agak kasar, berlokasi jauh dari pemukiman, jalan, maupun sungai serta tidak ada tanda-tanda bekas pembalakan, sedangkan hutan gambut terganggu (bekas tebangan), memperlihatkan warna hijau dengan tesktur kasar, terlihat dengan jelas pada citra landsat bekas jaringan jalan dan parit. Untuk memperkirakan kandungan karbon, hasil perhitungan biomassa pada tabel 3 dan tabel 4 dapat langsung dikalikan dengan faktor 0,5 (Murdiyaso, 2004) atau 0,46 (Hairah,K. 2007) menggunakan persamaan : Kandungan karbon (C) = faktor pengali (0,5 atau 0,46) x Biomassa ( W ) (ton/ha) Karbon yang berasal dari perhitungan biomassa pohon dapat dimaknai sebagai nilai jumlah karbon yang dapat diserap dari udara sehingga berpotensi mengurangi CO2 yang telah ada di udara. Karbon yang berasal dari nekromasa dapat dimaknai sebagai nilai jumlah karbon yang ditahan untuk tidak terlepas ke udara sehingga berpotensi untuk mencegah penambahan emisi CO2 yang terlepas ke udara. Oleh karena alasan tersebut, kami tidak menggabungkan nilai total biomassanya. 2. Ketebalan, topograpi gambut dan paras air tanah Hasil untuk ketebalan dan topograpi gambut dapat dilihat pada gambar 1 dibawah. Ketebalan gambut terendah adalah 1,32 m di km 1 dan yang terdalam adalah 12,50 m di km 22. Ketebalan gambut cenderung semakin dangkal menuju ke arah sungai, baik Mentaya maupun Katingan. Perubahan elevasi dalam gambar 1 memperlihatkan tiga tahap perubahan elevasi, tabel 5. Menarik untuk dicermati bahwa pembagian perubahan elevasi ini agak konsisten dengan pembagian kelompok hutan terganggu dan tidak terganggu, tabel 4. Pengkajian lebih lanjut mungkin perlu dilakukan untuk melihat hubungan-hubungan ini. Perubahan elevasi pada 10 km pertama relatif tinggi yaitu sebesar 13,44 m,
5
kemudian transek menjadi lebih datar dimana perubahan kemiringan hanya 3,01 m dan kemudian relatif menurun saat memasukin DAS Katingan. Rata-rata ketebalan gambut secara keseluruhan adalah 7,86 m. Tabel 5. Perubahan ketebalan gambut, elevasi permukaan gambut dan kemiringan permukaan gambut dari DAS Mentaya menuju DAS Katingan Jarak rata-rata ketebalan Perubahan elevasi Kelompok hutan (km) gambut (m) permukaan kumulatif (m) 0 - 10 10 - 18,5 18,5 - 24
6.86 9.16 7.14
13.44 16.45 14.03
Hutan terganggu DAS Mentaya Hutan tidak terganggu Hutan terganggu DAS Katingan
Hasil pengukuran paras air tanah memperlihatkan kecenderungan berimpit dengan permukaan tanah. Hal ini terjadi karena pada saat pengukuran antara bulan Agustus – September 2008 hujan terus-menerus terjadi di lapangan, bahkan pada saat sedang melakukan pengeboran gambut pun hujan sedang terjadi. Beberapa pengukuran yang dilakukan oleh peneliti lain dilakukan pada saat musim kemarau dan biasanya dilakukan berulang.
Gambar 1 . Profil permukaan gambut dan tinggi muka air.
Penutup Penelitian ini masih bersifat pendahuluan, masih perlu ditindaklanjuti dengan penelitian-penelitian yang lebih mendalam terutama pengkajian mengenai hubungan kedalaman gambut, unsur hara dan vegetasi yang tumbuh di atasnya. Mudah-mudahan laporan ini dapat bermanfaat untuk penelitian-penelitian berikutnya. Untuk hasil yang maksimal mengenai paras air tanah perlu dilakukan pengukuran pada saat musim kemarau/kering. Sedangkan pengambilan sampel tanah gambut menggunakan pipa plastik pvc sebagai tempat sampel.
6
Daftar Pustaka Wahyunto, S. Ritung, Suparto, H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumetara dan Kalimantan. Proyek climate change, forest and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Murdiyaso, D., Upik Rosalina, Kurniatun Hairiah, Lili Muslihat, I N.N. Suryadiputra dan Adi Jaya. 2004. Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. Hairiah, K., dan Rahayu, S. 2007. Pengukuran ‘Karbon Tersimpan’ di berbagai macam penggunaan lahan. Bogor. World Agroforestry Centre – ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Unibraw, Indonesia. 77 p. Istomo, dkk., 2007. Kajian Perolehan Karbon Sebagai Dampak Intervensi Pada Lokasi Kegiatan Proyek CCFPI di Eks-PLG Blok A Mentangai, Kalimantan Tengah dan Sekitar TN. Berbak, Jambi. Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB – Wetlands International Indonesia Programme, Bogor.
7
Lampiran 1. Koordinat Geografis Petak Penelitian Km Petak LS BT 0 1 02° 35' 20" 113° 2' 28" 1 2 02° 35' 20" 113° 3' 00" 2 3 02° 35' 21" 113° 3' 35" 3 4 02° 35' 21" 113° 4' 10" 4 5 02° 35' 22" 113° 4' 44" 5 6 02° 35' 21" 113° 5' 19" 6 7 02° 35' 21" 113° 5' 55" 7 8 02° 35' 19" 113° 6' 32" 8 9 02° 35' 18" 113° 7' 7" 9 10 02° 35' 17" 113° 7' 43" 10 11 02° 35' 16" 113° 8' 20" 11 12 02° 35' 14" 113° 8' 56" 12 13 02° 35' 13" 113° 9' 32" 13 14 02° 35' 12" 113° 10' 7" 14 15 02° 35' 11" 113° 10' 44" 15 16 02° 35' 9" 113° 11' 20" 16 17 02° 35' 9" 113° 11' 56" 17 18 02° 35' 9" 113° 12' 33" 18 19 02° 35' 8" 113° 13' 8" 19 20 02° 35' 9" 113° 13' 43" 20 21 02° 35' 9" 113° 14' 18" 21 22 02° 35' 8" 113° 14' 54" 22 23 02° 35' 8" 113° 15' 30" 23 24 02° 35' 8" 113° 15' 60" 24 25 02° 35' 7" 113° 16' 41"
8
Lampiran 2. Hasil Perhitungan biomassa Petak
Biomassa Pohon (ton/ha)
Nekromasa (ton/ha)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
0.00 202.70 349.77 207.93 240.01 184.26 242.10 149.98 424.78 604.26 496.30 452.42 221.81 305.46 257.28 238.37 531.99 396.77 412.60 478.51 304.42 322.42 197.62 461.92 205.44
4376.47 595.77 1879.23 0.00 1778.60 1117.56 1192.61 1830.70 3313.63 244.26 10.77 0.00 22.03 75.03 9.22 473.63 43.29 292.22 79.12 267.34 418.37 5485.97 838.74 1219.49 191.45
Total Biomassa (ton/ha) 798.47 2229.00 207.93 2018.61 1301.82 1434.71 1980.68 3738.41 848.52 507.07 452.42 243.84 380.49 266.50 712.00 575.28 688.99 491.72 745.85 722.79 5808.39 1036.36 1681.41 396.89
9
Lampiran 3. Ketebalan gambut dan water table Titik Bor Jarak (m) Elevasi (m) Tebal Gambut (m) Water table (cm) 0 Km 0 11 1.77 4 Km 1 1007.01 12.405 1.32 17.5 Km 2 2091.29 14.233 4.27 7 Km 3 3161.24 15.255 4.17 4 Km 4 4191.5 15.865 4.77 30 Km 4,5 4726.24 16.604 5.6 0 Km 5 5266.34 17.2 6.03 37 Km 5,5 5784.66 17.675 9.79 30 Km 6 6424.29 18.213 5.9 10 Km 6,5 6987.01 19.568 8.62 0 Km 7 7560.88 20.055 9.64 20 Km 7,5 8155.58 20.917 8.62 20 Km 8 8615.34 21.06 8.5 37 Km 8,5 9109.42 21.999 12.32 17 Km 9 9689.72 22.825 9.1 14 Km 9,5 10256.62 23.235 9.32 30 Km 10 10825.32 24.44 9.7 45 Km 10,5 11367.82 24.605 11.32 46 Km 11 11901.42 24.903 10.7 0 Km 11,5 12410.32 24.755 9.42 0 Km 12 13052.92 24.626 8.4 21 Km 12,5 13559.72 25.177 8.3 7 Km 13 14163.08 25.12 9.14 20 Km 13,5 14730.91 25.308 9.03 0 Km 14 15261.21 25.748 9.34 0 Km 14,5 15836.01 25.778 8.72 0 Km 15 16385.21 26.034 9.5 -2.5 Km 15,5 16947.91 25.597 8.34 5 Km 16 17493.56 26.03 8.2 2 Km 16,5 18055.06 26.384 9.2 0 Km 17 18605.82 26.289 8.9 0 Km 17,5 19155.42 26.973 8 0 Km 18 19726.62 26.779 9.5 5 Km 18,5 20260.42 27.447 9.73 0 Km 19 20758.62 27.041 7.87 0 Km 19,5 21307.62 27.047 11.2 0 Km 20 21830.22 26.752 9.9 1 Km 20,5 22411.62 26.54 8.39 8 Km 21 22972.62 26.159 4.98 12 Km 21,5 23521.82 25.543 2.35 5 Km 22 24062.62 25.544 12.5 0 Km 22,5 24615.62 25.622 8.02 0 Km 23 25175.82 25.528 7 9.5 Km 23,5 25729.22 25.217 3.82 -5 Km 24 26268.42 25.03 2.5 5
10
11