RESPIRASI AUTOTROFIK DAN HETEROTROFIK HUTAN RAWA GAMBUT (Studi Kasus: Hutan Rawa Gambut PT Rimba Makmur Utama Katingan Kalimantan Tengah)
LUCY PERTIWI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respirasi Autotrofik dan Heterotrofik Hutan Rawa Gambut (Studi Kasus: Hutan Rawa Gambut PT Rimba Makmur Utama Katingan Kalimantan Tengah) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2015 Lucy Pertiwi NIM G24110008
ABSTRAK LUCY PERTIWI. Respirasi Autotrofik dan Heterotrofik Hutan Rawa Gambut (Studi Kasus: Hutan Rawa Gambut PT Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah). Dibimbing oleh DANIEL MURDIYARSO. Pengukuran emisi CO2 dari hutan rawa gambut perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar dampak dari kerusakan hutan rawa gambut. Emisi CO2 dari hutan rawa gambut berasal dari respirasi perakaran tumbuhan (respirasi autotrofik) dan dekomposisi bahan organik (respirasi heterotrofik). Untuk mengetahui emisi CO2 dari dampak kerusakan gambut adalah dengan mengukur CO2 yang hanya berasal dari respirasi heterotrofik, karena CO2 dari respirasi autotrofik sebagian besar akan diserap kembali oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Pengukuran emisi CO2, tinggi muka air tanah, dan suhu gambut dilakukan di hutan rawa gambut Katingan Kalimantan Tengah. Pengukuran ini menggunakan metode trenching untuk memisahkan respirasi heterotrofik dan respirasi autotrofik dari emisi CO2 total. Fluks CO2 dari area non-trenching sebagai emisi total dan dari area trenching sebagai respirasi heterotrofik. Selisih antara emisi total dan respirasi heterotrofik adalah respirasi autotrofik. Pengukuran emisi total, respirasi heterotrofik, dan suhu gambut dilakukan di 9 subplot pada bulan Juni dan Agustus. Rata-rata emisi CO2 total pada bulan Agustus (504.63 ± 36.93 mgm-2jam-1) dan ini lebih tinggi dibandingkan bulan Juni (486.83± 30.84 mgm-2jam-1). Dari hasil akumulasi bulan Juni dan Agustus, respirasi autotrofik berkontribusi lebih banyak terhadap emisi CO2 total dengan kontribusi sebesar 52 % dibandingkan respirasi heterotrofik yang berkontrbusi sebesar 48%. Mikrotofograpi, tinggi muka air tanah, dan suhu gambut memiliki pengaruh terhadap emisi CO2 total. Emisi total dan respirasi heterotrofik yang terukur pada mikrotopografi hummock selalu lebih tinggi dibandingkan hollow. Tinggi muka air tanah menunjukan korelasi yang signifikan terhadap emisi total, namun tidak signifikan terhadap respirasi heterotrofik. Tinggi muka air tanah berkorelasi negatif dengan emisi CO2 total. Penurunan 1 cm tinggi muka air tanah dari permukaan menyebabkan peningkatan emisi CO2 total sebesar 0.342 mg m-2 jam-1. Suhu gambut berkorelasi positif dengan emisi total dan respirasi heterotrofik. Kenaikan 1°C suhu gambut menyebabkan emisi total meningkat sebesar 102.52 mgm-2jam-1 dan respirasi heterotrofik meningkat sebesar 14.44 mgm-2jam-1. Kata kunci :
fluks CO2, hollow, hummock, metode trenching, tinggi muka air tanah
ABSTRAK LUCY PERTIWI. Autotrophic and Heterotrophic Respiration of Peat Swamp Forest (Case Study: Peat Swamp Forest in PT Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah). Supervised by DANIEL MURDIYARSO. Measurements of CO2 (Carbon dioxide) flux from peat swamp forest needs to be done in order to find out how big the impact of peat swamp forest‟s damage is. CO2 emissions from peat swamp forest are originated from vegetation‟s root respiration (autotrophic respiration) and organic matter„s decomposition (heterotrophic respiration). To find out the CO2 emissions from the destruction of peat swamp forest are measured by the CO2 emission from heterotrophic respiration only, because CO2 from autotrophic respiration is mostly reabsorbed by plants for photosynthesis purpose. Measurement of peat CO2 emission, ground water level, and peat temperature were conducted in Katingan peat swamp forest, Central Borneo. The measurements were done by using trenching method to separate heterotrophic and autotrophic respiration from total CO2 emissions. The CO2 flux from non-trenching area is classified as the total emission and CO2 flux from trenching area is classified as heterotrophic respiration. The difference between total emission and heterotrophic respiration is defined as autotrophic respiration. Total emission, heterotrophic respiration, and peat temperature were measured at 9 different subplot at June and August. Mean total CO2 emission in August (504.63 ± 36.93 mgm-2h-1) was higher than mean total CO2 emission in June (486.83± 30.84 mgm-2h-1). From the analysis of mean total CO2 of June and August, it was concluded that autotrophic respiration contributes 52% to total emissions, whereas heterotrophic respiration contributes the other 48% . Microtopography, ground water level, and peat temperature contribute some influences to total CO2 emission. Total emission and heterotrophic respiration measured from hummock is always higher than the ones measured from hollow. Ground water table depth has significant correlation with total CO2 emission, but it‟s not significant towards heterotrophic respiration. There is a negative correlation between water table depth and total emission. Lower 1 cm ground water table from surface caused an increase in total CO2 emissions of 0.342 mgm-2h-1. Peat temperature is positively correlated with total emission and heterotrophic respiration. Peat temperature‟s increase of 1°C caused total emission to increase by 102.52 mgm-2h-1 and heterotrophic respiration increase by 14.44 mgm-2h-1. Keywords : CO2 flux, ground water level, hollow, hummock, trenching methode
RESPIRASI AUTOTROFIK DAN HETEROTROFIK HUTAN RAWA GAMBUT (Studi Kasus: Hutan Rawa Gambut PT Rimba Makmur Utama Katingan Kalimantan Tengah)
LUCY PERTIWI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga karya ilmiah yang berjudul “Respirasi Autotrofik dan Heterotrofik Hutan Rawa Gambut (Studi Kasus: Hutan Rawa Gambut PT Rimba Makmur Utama, Katingan Kalimantan Tengah)” ini dapat diselesaikan. Dalam penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan luar biasa memberikan bimbingan, pembelajaran, dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian lapang serta kesempatan magang di Center for International Forestry Research (CIFOR). 2. Bapak Sigit Deni Sasmito Adi S.Si, Ibu Meli Fitriani S.Si yang telah banyak membantu dan memberikan saran dalam proses pengambilan data di lapang dan penyusunan laporan. 3. Kak Anggi Rustini S.Si selaku pendamping lapang yang telah dengan setia menjadi partner berbagi suka dan duka serta telah setia menemani penelitian lapang dan mengambil data di hutan. 4. Segenap direksi dan operasional PT Rimba Makmur Utama, Bapak Bapak Taryono, Bapak Opo, Bapak Rudi Kurdul, Mas Sanjaya, Bapak Desi, Bapak Rudi Ces, Bapak Iking, dan Bapak Maryanto atas kerjasama dan bantuan teknis pada saat pengambilan data lapang di Katingan, Kalimantan Tengah. 5. Seluruh masyarakat Kampung Mendawai dan Kampung Melayu khususnya Pak Aya, Pak Tukat, Pak Alpiansyah, Pak Ijul, Pak Sarbani, Pak Ilyas, Pak Supri, dan Ibu Diah di Katingan Kalimantan Tengah atas perizinan dan bantuan yang diberikan selama proses pengambilan data di Katingan. 6. Segenap jajaran dosen dan Karyawan Departemen Geofisika dan Meteorologi atas ilmu dan bantuannya selama penulis menempuh jenjang S1. 7. Segenap keluarga GFM 48 terutama Gesti Prabandini dan Fauzan Aulia F yang menjadi partner seperjuangan penelitian, Kelurga Pajamas (Ita, Afni, Lina, Lutha, Irma, Isnaeni, Ayuvira, Reffi, Diah), Barandot (Adit, Udin, Mpik, Iyok, Pacul, Pradit, Okta, Dion, Yudi, Heide, Gojali), Jejaka (Gandrung, Taufik, Erwin, Agan, Yoyo) serta teman seperjuangan dari Pangandaran (Ridwan, Siti, Dina, Ratih, Abu, Icy) atas segala dorongan, persahabatan yang terjalin, dan perjuangan bersama dalam menyelesaikan studi S1. Juga rekan-rekan satu organisasi di UKM PRAMUKA IPB, sahabat Internal dan BEM FMIPA, serta teman seperantauan OMDA PMGC. Karya tulis ini penulis dedikasikan untuk Mamah Nunung Mamnu‟ah dan Bapak Sapri (orang tua penulis) serta Gilang Anggara, Galih Firmansyah, Lidya Maulida (adik penulis) dan Keluarga Besar yang telah setia memberikan kasih sayang, perhatian, doa, dukungan, dan menjadi sumber semangat setiap saat. Selanjutnya, penulis menghargai segala bentuk kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2015 Lucy Pertiwi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Gambut Respirasi Autotrofik dan Heterotrofik METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Karakteristik Wilayah Penelitian Alat Bahan Prosedur Percobaan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu Udara dan Suhu Gambut Fluks CO2 Pengaruh Mikrotofograpi Gambut terhadap Fluks CO2 Hubungan Tinggi Muka Air Tanah, Emisi Total, Respirasi Heterotrofik Hubungan Suhu Gambut dengan Emisi Total dan Respirasi Heterotrofik KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
vi vi vi 1 1 2 2 2 3 5 5 5 6 6 6 8 9 9 10 12 15 16 17 17 17 18 20 24
DAFTAR TABEL 1 Suhu gambut pada berbagai tutupan lahan 10 2 Rata-rata emisi total, respirasi heterotrofik dan autotrofik di hutan rawa gambut PT RMU, Katingan 12 3 Lokasi penempatan sungkup di setiap subplot 13 4 Respirasi heterotrofik dan tinggi muka air tanah di hutan rawa Gambut pada bulan Juni dan Agustus 15 5 Hasil uji ANOVA tinggi muka air tanah dengan emisi total dan respirasi heterotrofik 15 6 Hasil uji ANOVA suhu gambut dengan emisi total dan respirasi heterotrofik 16
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Skema produksi CO2dari dalam tanah (Luo dan Zhuo 2006) 4 Lokasi penelitian 7 Lokasi penempatan plot pengamatan 7 (a) perlakuan trenching, (b) perlakuan non-trenching 8 Pengukuran emisi CO2 dengan EGM-4 8 Suhu udara, suhu gambut pada area trenching, dan suhu gambut pada area nontrenching hasil pengukuran langsung di lokasi penelitian 9 7 Rata-rata fluks CO2 (mean±SE) hasil pengukuran dari respirasi heterotrofik dan respirasi autotrofik 11 8 Rata-rata emisi total, respirasi heterotrofik, dan respirasi autotrofik pada bulan Juni dan Agustus berdasarkan perbedaan mikrotofograpi 13 9 Rata-rata fluks CO2 berdasarkan variasi tinggi muka air tanah pada (a) hummock dan (b) hollow 14
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Data hasil pengukuran fluks CO2 periode satu Data hasil pengukuran fluks CO2 periode dua Data hasil pengukuran fluks CO2 periode tiga Foto lokasi penelitian di Hutan Rawa Gambut Katingan Kalimantan Tengah
20 21 22 23
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan lahan gambut di Asia Tenggara meliputi 24.8 juta hektar (Hooijer et al. 2009) dengan 21 juta hektar (84%) berada di Indonesia (Murdiyarso et al. 2010). Lahan gambut di Indonesia tersebar di tiga pulau utama yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kalimantan mempunyai lahan gambut seluas 6,3 juta hektar yang meliputi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, dengan 3 juta ha berada pada wilayah Kalimantan Tengah (Daryono 2005). Namun, sebagian besar kawasan gambut di Indonesia telah mengalami kerusakan yang disebabkan oleh pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan drainase (Hooijer et al. 2009; Hirano et al. 2013). Kabupaten Katingan merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah yang memiliki kawasan hutan gambut sekitar 643.800 ha. Keberadaan hutan rawa gambut di wilayah ini juga tidak luput dari kerusakan seperti kebakaran hutan dan pembukaan lahan untuk kawasan perkebunan. Lahan gambut dalam kondisi alami memiliki peran sebagai penyimpan karbon dalam jumlah besar, akan tetapi alih fungsi lahan mampu menjadikan lahan gambut sebagai sumber emisi CO2 dalam jumlah besar pula. Emisi karbon dioksida (CO2) dalam suatu ekosistem merupakan akumulasi dari respirasi tanaman dan respirasi tanah (Nusantara et al. 2014). Terganggunya kondisi alami lahan gambut banyak disebabkan oleh pengeringan lahan gambut (drainase) untuk lahan pertanian dan perkebunan. Kerusakan lahan gambut yang disebabkan oleh drainase secara langsung berdampak pada menurunnya tinggi muka air tanah (ground water level) dan meningkatnya suhu tanah serta mempengaruhi emisi CO2 tanah karena peningkatan aerasi tanah dan dekomposisi aerob bahan organik tanah (Hooijer et al. 2012; Hirano et al. 2013). Dalam penelitiannya, Hirano et al. (2013) menemukan bahwa penurunan tinggi muka air tanah di hutan gambut Palangkaraya telah menyebabkan peningkatan fluks CO2 (respiration peat) secara logaritmik. Fluks CO2 tahunan meningkat 89 g m-2 y-1 setiap penurunan tinggi muka air tanah 0.1 m pada hutan gambut telah terbakar (Hirano et al. 2013) dan 188 g m-2 y-1 pada lahan gambut yang telah dikonversi menjadi perkebunan Acacia (Jauhiainen et al. 2012). Selain tinggi muka air tanah yang menjadi faktor yang mempengaruhi laju emisi CO2, faktor lainnya adalah suhu gambut. Menurut Hirano et al. (2009) peningkatan suhu gambut memiliki pengaruh terhadap emisi CO2 walaupun tidak sebesar pengaruh dari tinggi muka air tanah. Peningkatan suhu gambut di hutan gambut Palangkaraya telah menyebabkan fluks CO2 meningkat 4% (Hirano et al. 2013) namun, Jauhiaineun et al. (2012) dalam penelitiannya yang dilakukan di hutan gambut yang telah dikonversi menjadi perkebunan Acacia tidak menemukan hubungan antara suhu gambut dan emisi CO2. Menurut Hirano et al. (2013) untuk mengetahui besar emisi CO2 sebagai dampak dari kerusakan hutan gambut dilakukan dengan mengukur emisi CO2 akibat dari dekomposisi oksidatif gambut. Namun penilaian terhadap besarnya jumlah emisi CO2 dari lahan gambut masih banyak dilakukan dengan cara mengukur emisi secara total, tanpa memisahkan antara emisi yang disebabkan
2 oleh respirasi akar tumbuhan (respirasi autotrofik) dan emisi yang benar-benar disebabkan oleh dekomposisi oksidatif gambut (respirasi heterotrofik) (Hooijer et al. 2010; Jauhiainen et al. 2012). Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran emisi CO2 dengan memisahkan antara emisi CO2 dari hasil respirasi autotrofik dan emisi CO2 dari hasil respirasi heterotrofik melalui pendekatan metode trenching (pembatasan zona perakaran). Selain itu, akan dilakukan juga pengamatan untuk mengetahui pengaruh tinggi muka air tanah dan suhu gambut terhadap respirasi heterotrofik di hutan rawa gambut Katingan Kalimantan Tengah. Tujuan Penelitian 1. Mengukur dan menganalisis perbedaan antara emisi CO2 dari hasil respirasi autotrofik dan respirasi heterotrofik pada hutan rawa gambut Katingan Kalimantan Tengah. 2. Mengetahui korelasi antara laju emisi CO2 dengan tinggi muka air tanah dan suhu gambut pada hutan rawa gambut Katingan Kalimantan Tengah
TINJAUAN PUSTAKA Gambut Gambut diartikan sebagai material atau bahan organic yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan hanya mengalami sedikit perombakan (Noor 2001). Gambut adalah tanah organik, namun tidak semua tanah organik adalah gambut. Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari timbunan bahan organik tanaman yang telah melapuk dan terbentuk dari lingkungan khas yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral (Agus dan Subiksa 2008). Menurut Noor (2001) gambut di wilayah tropis, seperti Indonesia umumnya terbentuk pada ekosistem hutan rawa marin atau payau. Gambut rawa ini umumnya tersebar di tiga pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Sebagian gambut lainnya terbentuk di wilayah rawa lebak, yaitu wilayah rendah (cekungan) yang paling sedikit selama tiga bulan dalam setahun tergenang air dengan tinggi genangan 25 cm atau lebih (Noor 2001). Secara mikrotopografi gambut dibedakan menjadi hummock (gundukan) dan hollow (cekungan). Gundukan (hummock) di gambut pembentukan utamanya dari akar pohon yang hidup dan mati serta puing-puing yang membusuk (Jauhiainen et al. 2005). Sedangkan hollow adalah bagian cekungan yang sebagian besar terbentuk dari serasah pohon seperti daun-daun dan ranting-ranting saja sehingga tidak membentuk gundukan yang cukup tinggi yang menyebabkan daerah tersebut selalu tergenang oleh air tidak seperti hummock. Tanah gambut dapat menyimpan karbon dalam jumlah besar. Kemampuan menyimpan karbon ini dapat membatasi emisi gas rumah kaca seperti karbondioksia (CO2) ke atmosfer (Noor 2001). Karbon di tanah gambut tersimpan
3 di atas dan di bawah permukaan. Karbon yang tersimpan di atas permukaan terdiri dari biomassa dan nekromas, sedangkan karbon di bawah permukaan tanah (di dalam tanah) tersimpan dalam bentuk gambut, akar tanaman, dan mikrobia (Dariah et al. 2011). Karbon yang tersimpan di dalam tanah gambut berkisar 1860% dari bobotnya (Agus et al. 2009 dalam Dariah et al. 2011). Variabilitas simpanan karbon pada lahan gambut di Indonesia berdasarkan penelitian Wahyunto et al. (2004) dalam Dariah et al. (2011) menunjukan simpanan karbon di Sumatera dan Kalimantan berkisar antara 2,000-3,000 ton/ha dan menurut Agus et al. (2009) sebesar 1,100-3000 ton/ha di Kalimantan Barat. Kemampuan lahan gambut sebagai penyimpan karbon dalam jumlah besar dapat berpotensi sebagai sumber emisi karbon apabila lahan gambut tersebut mengalami kerusakan dan alih guna lahan. Respirasi Autotrofik dan Heterotrofik Respirasi berasal dari bahasa Latin re- (kembali) dan spirate (bernapas), secara harfiah diartikan sebagai bernapas terus-menerus. Secara fisiologi respirasi merupakan proses metabolisme yang mengakibatkan terjadinya penguraian atau katabolisme molekul organik menjadi energi, air, dan CO2 (Luo dan Zhou 2006). Semua organisme hidup (tumbuhan, hewan, mikroba dan sejenisnya) melakukan respirasi untuk memperoleh energi dan mengeluarkan CO2 sebagai residual. Secara sederhana respirasi dapat dikatakan sebagai proses pengeluaran CO2 dari organisme ke lingkungan. Siklus karbon pada ekosistem dimulai ketika tumbuhan mengambil CO2 dari udara dan merubahnya menjadi senyawa organik karbon melalui fotosintesis. Sebagian dari senyawa karbon tersebut digunakan untuk pertumbuhan (batang, daun, akar) dan sebagian digunakan untuk mensuplai energi pada tumbuhan, dan selama proses tersebut berlangsung, CO2 dikeluarkan kembali ke udara melalui respirasi tumbuhan. Bahan organik dari tumbuhan yang telah mati didekomposisi oleh mikroorganisme untuk menghasilkan energi yang digunakan untuk pertumbuhan biomassa mikroba dan aktivitas lainnya. Pada saat yang sama, CO2 dikeluarkan kembali ke udara melalui respirasi mikroba. Respirasi dari sebuah ekosistem (Re) merupakan akumulasi dari hasil respirasi tumbuhan dan respirasi mikroba selama proses dekomposisi bahan organik gambut. Menurut Luo dan Zhou (2006) respirasi tanah (Rs) meliputi produksi CO2 oleh mikroba atau respirasi mikroba (Rm), fauna, dan bagian dari tanaman yang berada di dalam tanah, sedangkan respirasi tumbuhan (Rp) meliputi aboveground respiration (Ra) dan belowground respiration (Rb). Respirasi mikroba (Rm) selama proses dekomposisi bahan organic disebut respirasi heterotrofik dan belowground respiration (Rb) sama dengan respirasi akar (RR) disebut sebagai respirasi autotrofik. Menurut Luo dan Zhuo (2006) fluks CO2 dari respirasi tanah (Rs) merupakan jumlah dari respirasi autotrofik (respirasi akar) dan respirasi heterotrofik (respirasi mikroba): Rs = R R + Rm
(2.1)
Fluks CO2 dari respirasi ekosistem (Re) merupakan jumlah dari respirasi tumbuhan (aboveground dan belowground ) dan respirasi mikroba di dalam tanah:
4 Rb = R R Re = Ra + R b + Rm Re = Ra + R R + Rm Re = R a + Rs
(2.2)
Proses respirasi tanah (termasuk respirasi akar) di bawah permukaan memainkan peranan penting dalam siklus C biosfer (Nusantara et al. 2014). Respirasi tanah merupakan oksidasi biologi dari senyawa organik pada mikroorganisme, akar, organ atau bagian lain dari tumbuhan serta organisme yang hidup pada tanah dengan energi untuk pemeliharaan, pertumbuhan dan pengambilan bahan nutrien aktif (Raichi dan Tufekcioglu 2000). Produksi CO2 dari dalam tanah (respirasi tanah) dapat dikaitkan dengan respirasi akar, respirasi mikroba pada rizosfer, dekomposisi serasah dan oksidasi bahan organic tanah (Luo dan Zhuo 2006).
Gambar 1 Skema produksi CO2 dari dalam tanah (Luo dan Zhuo 2006) Kelembaban tanah dan suhu tanah merupakan dua faktor penentu yang penting pada proses respirasi tanah (Raich dan Tufekciogul 2000). Hasil pengamatan Rochette et al. (1997) dalam Nusantara et al. (2014) menunjukkan respirasi tanah yang lembab dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan tanah yang kering. Berdasarkan data penelitian respirasi tanah, perbedaan respirasi tanah antara tanaman, lahan terbuka, padang rumput dan hutan tidak berbeda nyata (pvalue < 0.05). Akan tetapi, rata-rata respirasi tanah pada padang rumput lebih tinggi dibandingkan respirasi tanah pada hutan (Raich dan Tufekciogul 2000). Hilangnya karbon dari lahan gambut ke atmosfer terjadi melalui respirasi autotrofik tanaman, dan dekomposisi bahan organik gambut sebagai respirasi heterotrofik (Jauhiainen et al. 2005; 2012). Respirasi heterotrofik dikendalikan oleh mikroba dan respirasi autotrofik merupakan respirasi akar. Respirasi heterotrofik berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, sedangkan respirasi autotrofik sebagian besar dinetralisir melalui proses fotosintesis yang menyerap CO2 dari atmosfer. Kontribusi respirasi akar (respirasi autotrofik) dari berbagai jenis tanaman dibutuhkan untuk digunakan sebagai faktor koreksi, sehingga akan didapatkan hasil pengukuran fluks emisi yang akurat yang hanya dihasilkan dari dekomposisi bahan organik sebagai respirasi heterotrofik.
5
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian mengenai emisi CO2 dan tinggi muka air tanah dilaksanakan di kawasan restorasi dan konservasi hutan rawa gambut PT. Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah, Center for International Forestry Research (CIFOR), dan Laboratorium Hidrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Waktu penelitian berlangsung sejak bulan April sampai September 2015. Kegiatan pengukuran langsung di lapang dilakukan dalam 3 periode. Periode pertama dilakukan pada 29 April sampai 1 Mei 2015, periode ke dua dilakukan pada 12 Juni sampai 18 Juni 2015 dan periode ketiga dilakukan pada 31 Juli sampai 5 Agustus 2015. Karakteristik Wilayah Penelitian Kabupaten Katingan terletak di Daerah Aliran Sungai Katingan, memiliki luas 1.750.000 ha atau 11,4% dari total luas Provinsi Kalimantan Tengah. Sekitar 643.800 ha atau 38% dari kabupaten merupakan lahan gambut (ICCC 2013). Dari 643.800 ha lahan gambut, 108.255 ha atau sekitar 16.8% lahan gambut Katingan merupakan wilayah proyek restorasi ekosistem hutan rawa gambut PT. Rimba Makmur Utama (PT RMU). Total luas area proyek restorasi ekosistem lahan gambut PT. RMU adalah 217.755 ha yang berlokasi di Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kotawaringin Timur. Proyek ini dikembangkan berdasarkan konsesi IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) terkait dengan restorasi ekosistem. Status hutan di area ini terbagi menjadi dua, yaitu Hutan Produksi (HP) seluas 186.955 hektar atau sekitar 88% dan Hutan Produksi Konversi seluas 30.800 hektar atau sekitar 12% dari luas hutan (Hartono 2012). Lokasi penelitian berada pada wilayah PSF 6 area restorasi lahan gambut PT RMU di Kabupaten Katingan, tepatnya berada pada jarak ±1.75 km dari pinggir kanal. Tutupan lahan di wilayah PSF 6 adalah hutan rawa gambut sekunder. Hutan rawa gambut sekunder menurut klasifikasi Land Use and Land Cover dalam ICCC (2012) merupakan hutan rawa gambut dengan sejarah penebangan, jalur penebangan dan/atau jaringan drainase air dan parit. Vegetasi hutan telah terganggu dengan hanya beberapa pohon yang mencapai diameter 50 cm dan spesies pohon campuran dalam tipe hutan ini. Jenis pohon yang ditemui di sekitar wilayah penelitian diantaranya Terantang (Campnospernum sp.), Gelam (Melaleuca sp.), Punak (Tetramerista glabra), Jelutung (Dyera costulata) dan Meranti (Shore asp.). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Turyono (2014) ketebalan gambut terendah di hutan rawa gambut Katingan adalah 1.32 m pada jarak 1 km dari sungai dan yang terdalam adalah 12.5 m pada jarak 22 km dari sungai. Ketebalan gambut pada jarak ± 2 km adalah 4.27 m. Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut di wilayah Katingan termasuk gambut transisi. Gambut transisi adalah gambut yang dipengaruhi oleh air hujan dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh pasang surut (Agus dan Subiksa 2008). Pasang surut air laut yang terjadi mempengaruhi pasang surut air sungai Katingan dan Mentaya yang kemudian mempengaruhi kawasan gambut Katingan. Menurut Subagyo (2006) kawasan rawa gambut yang dipengaruhi oleh pasang surut sungai
6 biasanya memiliki substratum (lapisan tanah dibawahnya) berupa tanah aluvial. Berdasarkan analisis data curah hujan tahun 2003-2013 dari stasiun cuaca terdekat (stasiun Bandara H Asan Sampi), puncak musim hujan di wilayah Katingan terjadi dua kali yaitu pada bulan Desember dan bulan April. Menurut Tukidi (2010) pola hujan dengan dua puncak musim hujan seperti ini termasuk tipe hujan ekuatorial. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Penanda dan GPS untuk menentukan lokasi penelitian 2. Gas Monitor tipe EGM-4, pipa PVC diameter 4 inch sebanyak 18 buah, dan kipas untuk mengukur emisi CO2 dan kelembaban tanah gambut 3. Kawat jaring rangkap alumunium ukuran 3 m x 1 m sebanyak 18 buah, meteran, dan perkakas (gergaji kayu, golok, dan parang) untuk membuat area trenching 4. Digital temperature untuk mengukur suhu udara dan suhu gambut. 5. Mistar untuk mengukur genangan dalam pipa ketika pengukuran fluks CO2. 6. Water logger tipe HOBO U20 digunakan untuk mengukur tinggi muka air tanah gambut. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data fluks CO2 hasil pengukuran langsung pada plot penelitian di hutan rawa gambut PT RMU Katingan Kalimantan Tengah 2. Data suhu udara dan suhu gambut hasil pengukuran langsung pada plot penelitian di hutan rawa gambut PT RMU Katingan Kalimantan Tengah 3. Data tinggi muka air tanah (data yang terekam pada water logger HOBO) lokasi penelitian hutan rawa gambut PT RMU Katingan Kalimantan Tengah Prosedur Percobaan Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan antara lain pembuatan plot pengamatan dan pengumpulan data primer fluks CO2 dan suhu gambut, serta pengolahan data hingga selesai. 1. Pembuatan plot penelitian Pembuatan plot pengelitian dilakukan di PSF 6 (2°55.038‟LU, 113°08.683‟BT sampai 2°54.987‟LU, 113°08.734‟BT) hutan rawa gambut Katingan yang wilayahnya merupakan hutan sekunder. Satu plot memiliki ukuran 100 m x 100 m yang didalamnya dibagi menjadi 25 subplot dengan ukuran masing-masing subplot 20 m x 20 m. Dari 25 subplot, 9 subplot menjadi lokasi pengamatan fluks CO2. Pada 9 subplot tersebut dilakukan pemasangan dua pipa PVC (sungkup) dengan dua perlakukan yang berbeda yaitu perlakuan “trenching” dan perlakukan “non-trenching”. Berikut adalah lokasi dan skema plot penelitian.
7
Gambar 2 Lokasi penelitian
Gambar 3 Lokasi penempatan plot pengamatan 2. Pengukuran fluks CO2 Kegiatan pengukuran fluks CO2 di lakukan pada 9 subplot yang telah ditentukan. Pada subplot tersebut dipasang dua buah PVC (sungkup) yang berukuran diameter 10 cm dan tinggi 10 cm. Pada setiap subplot pemantauan diberi perlakuan “trenching” dan “non-trenching”. Perlakukan trenching dilakukan dengan mengisolasi tanah gambut yang akan diukur emisinya dari zona perakaran pohon. Pengisolasian tersebut dilakukan dengan memotong perakaran dan memasang kawat jaring rangkap mengelilingi sungkup tempat emisi CO2 akan diukur. Hal ini bertujuan agar emisi CO2 yang terukur hanya berasal dari dekomposisi gambut. Perlakuan non-trenching dilakukan dengan hanya memasang sungkup di atas permukaan gambut. Emisi CO2 yang terukur pada area trenching didefinisikan sebagai respirasi heterotrofik dan yang terukur dari area non-trenching sebagai emisi total. Contoh pemasangan sungkup pada perlakuan trenching dan non-trenching ditunjukan oleh Gambar 3.
8
(a) (b) Gambar 4 (a) perlakuan trenching, (b) perlakuan non-trenching Pengukuran emisi CO2 dilakukan dengan gas monitor EGM-4. Parameter yang diukur meliputi konsentrasi (C dalam ppm), fluks CO2 (g/m2/jam), dan kelembaban tanah gambut (%). Semua nilai dari masing-masing parameter diperoleh secara langsung sebagai keluaran dari EGM-4 yang dapat dilihat pada layar EGM-4. Ilustrasi pengukuran emisi CO2 disajikan dalam Gambar 4.
Gambar 5 Pengukuran emisi CO2 dengan EGM-4 3. Pengukuran parameter lingkungan Parameter lingkungan yang diukur meliputi suhu udara, suhu gambut, dan tinggi muka air tanah. Pengukuran parameter-parameter tersebut dilakukan pada saat pengukuran fluks CO2 di 9 subplot pengamatan. Pengukuran suhu udara dan suhu gambut dilakukan menggunakan thermometer digital, sedangkan untuk pengukuran tinggi muka air tanah dilakukan dengan pemasangan water logger HOBO U20 pada sumur pantau yang terletak di tengah-tengah plot. Analisis Data Data fluks CO2 yang terukur dari area trenching didefinisikan sebagai respirasi heterotrofik dan dari area non-trenching didefinisikan sebagai emisi total. Kedua data tersebut digunakan untuk mengetahui data respirasi autotrofik. Respirasi autotrofik diperoleh dari: Respirasi autotrofik = emisi total – respirasi heterotrofik Analysis statistic of variance (ANOVA) dengan taraf nyata 0.05 digunakan untuk menguji fluks CO2 berdasarkan perbedaan perlakuan trenching dan nontrenching, tinggi muka air tanah, dan suhu gambut. Analisis regresi digunakan untuk mengetahui korelasi (r) antara fluks CO2 dengan tinggi muka air tanah dan suhu gambut. Koefisien determinasi (R2) hasil analisis dilakukan untuk melihat seberapa pentingnya pengaruh tinggi muka air tanah dan suhu gambut terhadap laju emisi CO2.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu Udara dan Suhu Gambut
Suhu gambut kedalaman 10 cm (ºC)
Pengukuran suhu udara dan suhu gambut menggunakan termometer digital dilakukan secara langsung bersamaan dengan pengukuran fluks CO2 di setiap subplotnya. Suhu gambut di ukur pada kedalaman 10 cm pada perlakuan trenching dan non-trenching. Data hasil pengukuran suhu udara dan suhu gambut ditunjukan pada Gambar 1. Suhu udara rata-rata pada pengukuran April, Juni, dan Agustus tahun 2015 berturut-turut adalah 29.5°C, 26.5°C, dan 26.7°C. Suhu gambut rata-rata di area penelitian pada bulan April, Juni, dan Agustus adalah 25.1°C, 25.2°C, dan 25.4°C. Suhu gambut dan suhu udara hasil pengukuran pada penelitian ini relatif sama dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Jauhiainen et al. (2008) pada kedalaman 10 cm di hutan rawa gambut Kalimantan Tengah yaitu 25.5°C untuk suhu gambut dan suhu udara 26.4°C. 34 32
Suhu Udara Suhu Tanah
30 28 26 24 22 20
Gambar 6 Suhu udara dan suhu gambut hasil pengukuran langsung di lokasi penelitian. Suhu gambut yang terukur pada area penelitian relatif konstan setiap bulannya. Nilai suhu gambut yang relatif konstan disebabkan oleh lokasi penelitian yang berada di kawasan hutan rawa gambut sekunder. Jaya (2007) dalam Jauhiainen et al. (2012) menjelaskan bahwa suhu gambutdi hutan rawa gambut yang masih utuh cenderung lebih rendah dan lebih konstan dari pada hutan gambut yang telah dikonversi. Suhu gambut yang terukur di hutan rawa gambut ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan suhu gambut pada area hutan gambut yang telah dikonversi menjadi perkebunan Acacia, kelapa sawit, dan sagu.
10 Tabel 1 Suhu gambut pada kedalaman 10 cm pada berbagai tutupan lahan Jenis Tutupan Lahan
Lokasi
Altitude
Suhu Gambut (°C) 25.3
Hutan rawa Katingan, gambut Kalteng
2°55'LU, 113°08'BT
Perkebunan Acacia
0°26'LU, 101°53'BT
31
2°49'LU, 111°56'BT
27.8
2°47'LU, 111°50'BT
27.8
Perkebunan Sawit Perkebunan Sagu
Kampar Peninsula, Riau Sarawak, Malaysia Sarawak, Malaysia
Sumber Hasil pengukuran Jauhiainen et al. (2012) Melling et al. (2005 Melling et al. (2005)
Fluks CO2 Hilangnya karbon dari hutan rawa gambut ke atmosfer sebagai emisi CO2 tidak hanya terjadi akibat dekomposisi gambut, tetapi juga terdapat kontribusi dari respirasi tanaman. Jauhiainen et al. (2012) mengemukakan bahwa untuk mengetahui skala kerugian hilangnya karbon dari lahan gambut secara akurat perlu dilakukan pemisahan antara emisi CO2 dari respirasi akar (respirasi autotrofik) dan emisi CO2 dari dekomposisi bahan organik gambut (respirasi heterotrofik). Perlakuan trenching dan non-trenching dalam pengukuran emisi CO2 ini dilakukan sebagai upaya memisahkan antara respirasi autotrofik dan heterotrofik. Uji ragam atau ANOVA digunakan untuk melihat pengaruh dari perlakuan trenching. Hasil uji ANOVA menunjukan terdapat perbedaan signifikan antara fluks CO2 dari hasil pengukuran pada area trenching dan area nontrenching (p-value 0.00 < 0.05). Dari hasil uji ANOVA tersebut diketahui bahwa pengaruh trenching sangat signifikan dalam memisahkan antara respirasi heterotrofik dari emisi total. Maka metode trenching cukup efektif digunakan untuk memisahkan respirasi heterotrofik dari emisi total. Hal ini dikarenakan penyekatan yang dilakukan (trenching) menjadikan area terisolasi dari perakaran sehingga emisi CO2 yang terukur dari area trenching bisa diasumsikan sebagai respirasi heterotrofik (dekomposisi bahan organic gambut) saja. yang menyumbangkan emisi CO2 sebagai respirasi heterotrofik. Respirasi heterotrofik diperoleh dari pengukuran fluks CO2 pada area trenching, dan emisi total diperoleh dari pengukuran pada area non-trenching. Hasil pengurangan nilai fluks dari emisi total dan respirasi heterotrofik merupakan respirasi autotrofik. Hal ini mengacu pada Luo dan Zhuo (2006) dan Jauhiainen et al. (2012) dimana fluks CO2 dari respirasi tanah (Rs) merupakan jumlah dari respirasi autotrofik (respirasi akar) dan respirasi heterotrofik (respirasi mikroba). Dalam penelitian ini respirasi tanah didefinisikan sebagai emisi total. Fluks CO2 hasil pengukuran disajikan pada Gambar 7 dan Tabel 2. Nilai yang tersaji merupakan perhitungan berdasarkan rata-rata fluks CO2 dari 9 subplot pengukuran. Pengukuran bulan April menunjukan hasil yang kurang baik, terlihat
11 dari besarnya nilai galat error yang mencapai 378 dan nilai fluks CO2 dari respirasi heterotrofik bernilai negatif. Nilai fluks CO2 dari respirasi heterotrofik yang bernilai negatif membuat perhitungan respirasi autotrofik pada bulan April tidak akurat. Berbeda dengan hasil pengukuran bulan April, hasil pengukuran bulan Juni dan Agustus menunjukan hasil yang cukup baik sehingga dapat dilakukan analisis lebih lanjut. 1400 1200
Fluks CO2 (mg/m2/h)
1000
Emisi Total Respirasi Heterotrofik Respirasi Autotrofik
800 600 400 200 0 -200 -400
Gambar 7 Rata-rata fluks CO2 (mean±SE) hasil pengukuran dari respirasi heterotrofik dan respirasi autotrofik Pada bulan Juni, rata-rata fluks CO2 yang terukur menunjukan kecenderungan fluks CO2 dari hasil respirasi heterotrofik lebih tinggi dibandingkan respirasi autotrofik. Respirasi heterotrofik berkontribusi sebesar 52% dan respirasi autotrofik 48% terhadap emisi CO2 total. Hal sebaliknya terjadi pada bulan Agustus, respirasi autotrofik lebih tinggi dibandingkan respirasi heterotrofik. Respirasi autotrofik pada bulan Agustus berkontribusi sebesar 57%, ini lebih besar dibandingkan kontribusi respirasi heterotrofik yang hanya sebesar 43%. Dari hasil akumulasi fluks CO2 yang terukur pada bulan Mei dan Agustus diketahui bahwa respirasi autotrofik menyumbang emisi lebih banyak (52%) dibandingkan dengan respirasi heterotrofik (48%) terhadap emisi total. Luo dan Zhou (2006) menyatakan bahwa kontribusi dari respirasi akar tanaman mencapai 50% dari respirasi tanah (Luo dan Zhou 2006). Untuk respirasi heterotrofik, kontribusi respirasi heterotrofik dari hasil penelitian ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan kontribusi respirasi heterotrofik terhadap emisi total di hutan rawa gambut yang telah dikonversi menjadi perkebunan Acacia 79% (Jauhiainen et al. 2012) dan perkebunan kelapa sawit 64% (Murdiyarso et al. 2010). Dari data ini dapat diketahui bahwa hutan rawa gambut pada penelitian ini masih lebih baik kondisinya dibandingkan dengan hutan gambut yang telah dikonversi menjadi lahan perkebunan, dibuktikan dengan respirasi heterotrofik
12 (dekomposisi gambut) yang lebih rendah. Menurut Hirano et al. (2013) untuk mengetahui besar emisi CO2 sebagai dampak dari kerusakan hutan gambut dilakukan dengan mengukur emisi CO2 akibat dari dekomposisi oksidatif gambut. Rata-rata emisi total bulan Agustus lebih tinggi dibandingkan bulan Juni. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi tinggi muka air tanah bulan Agustus yang berada jauh dibawah permukaan gambut. Ketika tinggi muka air tanah berada jauh dibawah permukaan gambut, emisi CO2 gambut akan semakin meningkat akibat meningkatnya lapisan aerobik pada gambut (Hirano et al. (2013). Tabel 2 Rata-rata emisi total, respirasi heterotrofik dan autotrofik di hutan rawa gambut PT RMU, Katingan Bulan April (n=42) Juni (n=63) Agustus (n=54)
Respirasi Total Fluks CO2
Respirasi Heterotrofik Fluks CO2 -2 -1 (mg m jam ) Mean SE SD
Respirasi Autotrofik Fluks CO2 -2 -1 (mg m jam ) Mean SE SD
(mg Mean
m-2 jam-1) SE
SD
686.43
267.46
1000.7
11.43
47.80
178.84
675.00
269.81
1009.5
486.83
30.84
244.81
255.40
23.78
188.74
231.43
19.86
157.67
506.48
36.93
271.36
216.48
16.02
117.73
290.00
27.51
202.15
Pengaruh Mikrotopografi Gambut terhadap Fluks CO2 Mikrotopografi tanah gambut dibedakan menjadi dua, yaitu hummock (gundukan) dan hollow (cekungan). Hummock utamanya terbentuk dari akar tanaman yang masih hidup dan akar tanaman mati yang mengalami pelapukan, sedangkan hollow adalah tutupan yang berdekatan dengan vegetasi (Jauhiainen et al. 2005). Daerah hollow biasanya terletak diantara hummock dan selalu tergenang selama musim penghujan. Mikrotopografi hummock dan hollow mempengaruhi emisi CO2 dalam kaitannya dengan perubahan tinggi muka air tanah di lantai hutan (Jauihiainen et al. 2005). Tinggi muka air tanah sebagian besar mempengaruhi kedalaman oxic gambut, menciptakan kondisi untuk proses dekomposisi aerob dan anaerob, dan menentukan ketersediaan bahan organik untuk proses dekomposisi. Menurut Jauhiainen et al. (2008) hummock lebih banyak menyumbangkan emisi dari pada hollow di tutupan yang terdrainase. Tingginya emisi CO2 dari respirasi autotrofik dibandingkan respirasi heterotrofik diduga disebabkan oleh penempatan sungkup pengukuran. Sungkup pengukuran emisi total (non-trenching) sebagian besar berada di daerah hummock sedangkan sungkup pengukuran respirasi heterotrofik (trenching) sebagian besar diletakan di daerah hollow. Oleh karena itu, nilai emisi total yang diperoleh dari pengukuran fluks lebih tinggi dan respirasi heterotrofik bernilai lebih rendah. Ketika diselisihkan antara emisi total dan respirasi heterotrofik untuk menemukan nilai respirasi autotrofik, nilai fluks masih tetap tinggi, sehingga respirasi autotrofik lebih tinggi dari heterotrofik. Lokasi penempatan sungkup di setiap subplot disajikan pada Tabel 3.
13 Tabel 3 Lokasi penempatan sungkup di setiap subplot Subplot Non-trenching Trenching 1 hummock hollow 9 hummock hollow 13 hummock hummock 17 hummock hollow 25 hollow hollow 21 hummock hollow 19 hummock hollow 7 hummock hollow 5 hummock hollow Lokasi penempatan plot trenching dan non-trenching pada penelitian ini tidak berimbang antara lokasi hummock dan hollow. Jumlah data hasil pengukuran untuk emisi total pada hummock sebanyak 104 data (n=104) sedangkan pada hollow sebanyak 13 data (n=13) dan untuk respirasi heterotrofik yang terukur pada hummock sebanyak 13 data dan pada hollow sebanyak 104 data. Hasil pengukuran fluks CO2 pada bulan Juni (kondisi tergenang) dan Agustus (kondisi tidak tergenang) berdasarkan perbedaan mikrotopografi disajikan pada Gambar 8 dan Gambar 9. Hasil analisis menunjukan bahwa emisi total pada hummock lebih tinggi dibandingkan pada hollow baik pada kondisi muka air tanah dekat permukaan (Juni) maupun saat tinggi muka air tanah dibawah permukaan gambut (Agustus). Pola dari hasil analisis menunjukan emisi total di hummock relatif konstan pada kondisi muka air yang berbeda tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Jauhiainen et al. (2005) bahwa hummock lebih kuat dalam menghasilkan emisi CO2 dibandingkan hollow, karena di hummock variasi laju fluks akibat perbedaan tinggi muka air tanah sangatlah rendah.
fluks CO2 (mgm-2jam-1)
600 500 400
Hummock Juni
300
Hummock Agustus Hollow Juni
200
Hollow Agustus
100 0
Emisi Total
Heterotrofik
Autotrofik
Gambar 8 Rata-rata emisi total, respirasi heterotrofik, dan respirasi autotrofik pada bulan Juni dan Agustus berdasarkan perbedaan mikrotofograpi Pada hummock, kontribusi respirasi heterotrofik lebih banyak ketika tinggi muka air tanah diatas permukaan, dan sebaliknya ketika tinggi muka air tanah dibawah permukaan gambut respirasi autotrofik yang berkontribusi lebih banyak (Gambar 8a). Saat tinggi muka air tanah diatas permukaan, daerah hummock
14 biasanya tidak tergenang yang menyebabkan terbentuknya kawasan aerob pada gambut. Hal ini meningkatkan aktifitas dekomposisi bahan organik gambut oleh mikroba dan respirasi perakaran, sehingga ketika muka air tanah berada diatas permukaan, respirasi heterotrofik dan respirasi autotrofik masih menyumbang banyak emisi. Namun ketika tinggi muka air tanah jauh di bawah permukaan, sistem perakaran besar yang menyusun kawasan hummock banyak yang tidak tergenang. Hal ini menyebabkan proses respirasi perakaran meningkat sehingga ketika muka air tanah di bawah permukaan respirasi autotrofik berkontribusi lebih banyak terhadap emisi total. Berbeda dengan emisi total di hummock, emisi total yang terukur di hollow berfluktuasi mengikuti perubahan tinggi muka air tanah (Gambar 8b). Emisi total pada hollow meningkat saat tinggi muka air tanah berada jauh di bawah permukaan tanah. Emisi total mencapai nilai tertinggi di hollow saat tinggi muka air tanah 37.47 cm dibawah permukaan gambut. Hasil penelitian Jauhiainen et al. (2005) menyatakan bahwa tingkat emisi CO2 pada hollow tinggi saat muka air tanah jauh dari permukaan dan lebih rendah saat muka air tanah dekat permukaan. Respirasi heterotrofik pada hollow relatif lebih stabil baik saat muka air tanah di atas permukaan maupun di bawah permukaan. Hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas mikroba dalam mendekomposisi bahan organik yang terpengaruh oleh kondisi tinggi muka air tanah. Menurut Jauhiainen et al. (2008) saat tinggi muka air tanah < 40 cm dari permukaan tinggi muka air tanah masih dianggap dangkal sehingga jumlah dan variasi mikroorganisme dekomposer yang aktif jauh lebih rendah akibat tanah yang masih dalam kondisi jenuh. Jauhiainen et al. (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa emisi CO2 dari dekomposisi bahan organik gambut maksimum terjadi saat kedalaman air tanah sekitar 60 cm dibawah permukaan gambut. 700
600
600
Fluks CO2 (mgm-2jam-1 )
700
Fluks CO2 (mgm-2jam-1 )
500 400 300 200 100
500 400 300 200 100
9.95
8.53
7.31
7.02
5.58
4.18
0.85
-37.47
-38.52
-39.64
-40.61
-41.82
9.95
8.53
7.31
7.02
5.58
4.18
0.85
-37.47
-38.52
-39.64
-40.61
-41.82
-42.84
Tinggi Muka Air Tanah (cm) Emisi Total Respirasi Heterotrofik Respirasi Autotrofik
-100
-42.84
0
0
Tinggi Muka Air Tanah (cm) Emisi Total Respirasi Heterotrofik Respirasi Autotrofik
(b) (a) Gambar 9 Rata-rata fluks CO2 berdasarkan variasi tinggi muka air tanah pada (a) hummock dan (b) hollow. Tinggi muka air tanah bernilai positif saat bulan Juni dan bernilai negatif saat bulan Agustus.
15 Hubungan Tinggi Muka Air Tanah, Emisi Total dan Respirasi Heterotrofik Data tinggi muka air tanah diperoleh dari pengukuran sumur pantau yang terletak di tengah plot. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata tinggi muka air tanah pada periode pengukuran bulan Juni dan Agustus. Rata-rata tinggi muka air tanah saat pengukuran pada bulan Juni adalah 0.06 m, sedangkan ratarata pada pengukuran bulan Agustus adalah -0.4 m. Tanda positif dan negatif pada nilai tinggi muka air tanah menunjukan posisi tinggi muka air tanah dari permukaan gambut. Tinggi muka air tanah merupakan faktor yang penting dalam respirasi dan dekomposisi bahan organik pada permukaan gambut selain dari suhu gambut (Comeau et al. 2013). Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa emisi total dan respirasi hetrotrofik berbeda berdasarkan perubahan tinggi muka air tanah namun perbedaan tersebut tidak terlalu signifikan. Jauhiainen et al. (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa emisi tertinggi terjadi saat kedalaman air tanah sekitar 60 cm dibawah permukaan dan Makiranta et al. (2009) juga menyebutkan bahwa kedalaman air tanah yang optimum untuk dekomposisi bahan organic oleh mikroba adalah pada kedalaman 61 cm. Pada penelitian ini, tinggi muka air tanah paling dalam tercatat mencapai 42.9 cm di bawah permukaan, sehingga diduga belum cukup optimal dalam proses dekomposisi bahan organik gambut. Ketika tinggi muka air tanah pada kedalaman 40 cm atau kurang, tanah gambut masih dalam kondisi lembab yang menyebabkan mikroba stress lembab sehingga respirasi heterotrofik rendah. Tabel 4 Emisi total, respirasi heterotrofik dan tinggi muka air tanah di hutan rawa gambut pada bulan Juni dan Agustus Emisi Total Respirasi Heterotrofik Tinggi Muka Air -2 -1 -2 -1 Bulan (mgm jam ) (mgm jam ) Tanah (cm) 486.83± 30.84 255.40 ± 23.78 Juni 6.24 ± 0.35 506.48 ± 36.93 216.48 ± 16.02 Agustus - 40.16 ± 0.25 Hasil uji ANOVA menunjukan terdapat perbedaan nyata (signifikan) pada rata-rata emisi total yang disebabkan oleh perubahan tinggi muka air tanah (pvalue 0.036 < 0.05). Tinggi muka air tanah berkontribusi sebesar 65% terhadap emisi total. Tinggi muka air tanah berkorelasi negatif dengan emisi total dimana penurunan 1 cm tinggi muka air tanah menyebabkan emisi total meningkat 0.342 mg m-2jam-1. Peningkatan emisi total akibat perubahan tinggi muka air tanah hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Furukawa et al. (2005) di hutan gambut terdrainase. Furukawa et al. (2005) dalam penelitiannya di hutan gambut yang didrainase menemukan bahwa penurunan 10 cm tinggi muka air tanah menyebabkan peningkatan emisi CO2 sebesar 51.0 mg m-2jam-1. Tabel 5 Hasil uji ANOVA tinggi muka air tanah dengan emisi total dan respirasi heterotrofik b* r R2 p-value** Emisi Total -0.342 0.036 -0.31 Respirasi Heterotrofik 0.847 0.941 0.123 Keterangan : * nilai dugaan perubahan (slope) yang diperoleh dari regresi linear ** nilai yang menunjukan signifikansi
0.65 0.43
16 Berbeda dengan emisi total, hasil uji ANOVA menunjukan bahwa tinggi muka air tanah tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap respirasi heterotrofik (p-value 0.941>0.05). Walaupun tidak signifikan, tinggi muka air tanah berkontribusi sebesar 43% terhadap respirasi heterotrofik. Tinggi muka air tanah diduga berkorelasi positif dengan respirasi heterotrofik dengan nilai dugaan perubahan rata-rata respirasi heterotrofik berkurang sebesar 0.847 mg m-2 jam-1 setiap penurunan 1 cm tinggi muka air tanah. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jauhiainen et al. (2005; 2008) dimana hasil penelitiannya menunjukan bahwa emisi heterotrofik berkorelasi negative dengan tinggi muka air tanah. Hubungan Suhu Gambut dengan Emisi Total dan Respirasi Heterotrofik Laju dekomposisi bahan organik di lahan gambut meningkat secara positif seiring dengan meningkatnya suhu (Ma¨kiranta et al. 2009). Hirano et al. (2010) juga menemukan bahwa peningkatan suhu memiliki dampak lebih besar terhadap laju emisi CO2 dibandingkan dengan kelembaban tanah. Untuk mengetahui besar pengaruh suhu gambut terhadap emisi total dan respirasi heterotrofik, dilakukan uji ANOVA. Hasil uji ANOVA (Tabel 6) menunjukan bahwa suhu gambut berpengaruh secara signifikan terhadap emisi total (p-value 0.001 < 0.05) namun tidak berpengaruh secara signifikan pada respirasi heterotrofik (p-value 0.191 > 0.05). Dilihat dari koefisien determinasi, suhu gambut berkontribusi sebesar 35% terhadap perubahan emisi total, dan 21% kontribusinya terhadap perubahan respirasi heterotrofik. Tabel 6 Hasil uji ANOVA suhu gambut dengan emisi total dan respirasi heterotrofik b* r R2 p-value** 0.192 Emisi Total 102.52 0.001 0.35 Respirasi Heterotrofik
14.44
0.191
0.043
0.215
Keterangan : * nilai dugaan perubahan (slope) yang diperoleh dari regresi linear ** nilai yang menunjukan signifikansi
Suhu gambut menunjukan korelasi positif baik terhadap emisi total maupun respirasi heterotrofik. Nilai dugaan emisi total adalah meningkat sebesar 102.52 mg m-2 jam-1 sedangkan respirasi heterotrofik meningkat sebesar 14.44 mg m-2 jam-1 setiap peningkatan suhu gambut 1°C. Menurut Comeau et al. (2013) besarnya emisi CO2 dipengaruhi oleh suhu udara ataupun suhu gambut, karena meningkatnya suhu akan merangsang aktivitas mikroorganisme, mempercepat laju dekomposisi dan memperbesar energi kinetik dan gas. Handayani et al. (2009) juga menjelaskan bahwa perubahan suhu akan menentukan metabolisme organisme dimana saat terjadi peningkatan suhu akan terjadi proses metabolisme dan respirasi yang akan melepaskan gas CO2. Alexander (1997) dalam Handayani et al. (2009) menyebutkan bahwa suhu optimum pelapukan senyawa karbon terjadi pada kisaran 30 – 40°C. Suhu gambut yang terukur pada penelitian ini berkisar antara 24 – 26 °C, dan masih dibawah suhu optimum sehingga respirasi
17 heterotrofik rendah. Rendahnya suhu gambut ini dapat dipengaruhi oleh tutupan kanopi di hutan rawa gambut Katingan yang masih cukup lebat sehingga menghalangi radiasi matahari yang masuk ke lantai hutan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Emisi CO2 total pada bulan Juni (486.83± 30.84 mg m-2 jam-1) lebih rendah dibanding bulan Agustus (504.63 ± 36.93 mg m-2 jam-1) yang lebih kering. Pada bulan Juni kontribusi respirasi heterotrofik lebih tinggi dibandingkan kontribusi respirasi autotrofik, namun pada bulan Agustus terjadi hal sebaliknya. Secara akumulatif, respirasi autotrofik berkontribusi relatif lebih besar terhadap emisi CO2 total dengan kontribusi sebesar 52% dibandingkan respirasi heterotrofik sebesar 48%. Respirasi heterotrofik dan autotrofik di hutan rawa gambut dipengaruhi oleh mikrotopografi (hummock dan hollow), tinggi muka air tanah, dan suhu gambut. Emisi total, respirasi heterotrofik dan autotrofik yang terukur pada hummock selalu lebih tinggi dibandingkan pada hollow. Tinggi muka air tanah menunjukan pengaruh yang signifikan terhadap emisi total, namun tidak signifikan terhadap respirasi heterotrofik. Penurunan 1 cm tinggi muka air tanah dari permukaan menyebabkan peningkatan emisi total sebesar 0.342 mg m-2 jam-1 dan penurunan respirasi heterotrofik sebesar 0.847 mg m-2 jam-1. Suhu gambut perpengaruh secara signifikan terhadap emisi total namun tidak signifikan terhadap respirasi heterotrofik. Kenaikan 1°C pada suhu gambut menyebabkan peningkatan emisi total sebesar 102.52 mg m-2 jam-1 dan peningkatan respirais heterotrofik sebesar 14.44 mg m-2 jam-1. Saran Dalam pembuatan sekat (trenching) di hutan rawa gambut sebaiknya dilakukan pada musim kering saat permukaan gambut tidak tergenang, sehingga kedalaman di setiap sekat sama. Mikrotopografi lokasi penempatan chamber pengukuran juga perlu diperhatikan agar proporsi data untuk analisis mikrotopografi lebih akurat. Kemudian pengukuran emisi CO2 ini sebaiknya dilakukan kontinyu setiap bulan agar dapat diketahui fluktuasi setiap bulannya.
18
DAFTAR PUSTAKA Agus F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Comeau LP, Hergoualc‟h, K. Smith JU, Verchot L. 2013. Conversion of Intact Peat Swamp Forest to Oil Palm Plantation: Effects on Soil CO2 Fluxes in Jambi, Sumatera. BOGOR: Center for International Forestry Research. Crow S.E, dan Wieder R.K. 2005. Sources of CO2 Emissions from a Northern Peatland: Root Respiration, Exudation and Decomposition. Ecology, 86(7):1825-1834. Dariah A, Susanti E, Agus F. 2011. Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan: Simpanan Karbon dan Emisi CO2 Lahan Gambut. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Daryono H. 2005. Pemanfaatan Lahan Secara Bijaksana dan Vegetasi Dengan Jenis Pohon Tepat Guna di Lahan Rawa Gambut Terdegradasi. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 1-18. Furukawa Y, Kazuyuki Inubushi, Mochamad Ali, A.M Itang, Haruo Tsuruta. 2005. Effect of changing groundwater levels caused by land-use changes on greenhouse gas fluxes from tropical peat lands. Nutrient Cycling in Agroecosystems 71: 81-91. Handayani E P, Komaruddin I, Supiandi S, Sri Djuniwati, Meine van Noordwijk. 2009. Emisi CO2 pada kebun kelapa sawit di lahan gambut: evaluasi fluks CO2 di daerah rizosfr dan non rizosfer. Jurnal Tanah dan Lingkungan 11(1): 8-13. Hartono D. 2012. Proyek Restorasi dan Konservasi Hutan Gambut di Katingan dan Kotawaringin Timur. FGD Series: REDD+ 101. Hirano T, Jauhiainen J, Inoue T, Takahashi H. 2009. Controls on the carbon balance of tropical peatland. Ecosystem 12: 873-887. Hirano Takashi, Kitso Kusin, Suwido Limin, Mitsuru Osaki. 2013. Carbon dioxide emissions through oxidative peat decomposition on a burnt tropical peatland. Global Change Biology 20: 555-565. Hooijer A, S. Page, J.G Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wosten, J. Jauhiainen. 2009. Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences Discuss 6: 7207-7230. Hooijer A, S.Page, J Jauhiainen, W A Lee, X X Lu, A Idris, G Anshari. 2012. Subsidence and carbon loss in drained tropical peatland. Biogeosciences 9: 1053-1071. Indonesia Climate Change Center [ICCC]. 2013. Kajian definisi lahan gambut dan metodologi pemetaan lahan gambut. Jakarta, Indonesia. Jauhiainen J, Hidenori T, Heikkinen JE, Martikainen PJ and Vasander H. 2005. Carbon fluxes from a tropical peat swamp forest floor. J Global Change Biology. Vol 11(10):1778-1797.
19 Jauhiainen J, Limin S, Silvennoinen H and Vasander H. 2008. Carbon dioxide and methan fluxes in drained tropical peat before and after hydrological restoration.J Ecology. Vol 89:3603-3614. Jauhiainen J, A Hooijer, S. E. Page. 2012. Carbon dioxide emissions from an Acacia plantation on peatland in Sumatera, Indonesia. Biogeoscience 9: 617. Luo, Y. dan Zhuo, X., 2006. Soil Respiration and The Environment. Academic Press, Amsterdam. M¨akiranta P, Laiho R, Fritze H, Hyt¨onen J, Laine J, and Minkkinen K. 2009. Indirect regulation of heterotrophic peat soil respiration by water level via microbial community structure and temperature sensitivity. Soil Biology and Biochem. 41 (695–703). Marthews TR, Riutta T, Oliveras Menor, Urrutia R, Moore S, Metcalfe D, Malhi Y, Philips O, Huaraca Huasco W, Ruiz Jaén M, Girardin C, Butt N, Cain R, and colleagues from the RAINFOR and GEM networks. 2014. Measuring Tropical Forest Carbon Allocation and Cycling: A RAINFORGEM Field Manual for Intensive Census Plots (v3.0). Manual, Global Ecosystems Monitoring network, http://gem.tropicalforests.ox.ac.uk/. Melling L, R Hatano, K A H Joo Goh. 2005. Soil CO2 flux from three ecosystems in tropical peatland of Sarawak, Malaysia. Tellus 57B: 1-11. Murdiyarso D, K. Hergoulac‟h, L.V Verchot. 2010. Opportunities for reducing greenhouse gas emissions in tropical peatlands. PNAS 107 (46): 1965519660. Noor Muhammad. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Kanisius (ID): Yogyakarta. Nusantara R W, Sudarmadji, Tjut Sugandawaty Djohan, Eko Haryono. 2014. Emisi CO2 tanah akibat alih fungsi lahan hutan rawa gambut di Kalimantan Barat. J. Manusia dan Lingkungan 21 (3): 268-276. Raich James W and Tufekcioglu. 2000. Vegetation and soil respiration: correlation and controls. Biogeochemistry 48: 71-90. Subagyo H. 2006. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Tukidi. 2010. Karakter curah hujan Indonesia. Jurnal Geografi 7 (20): 136-145.
20 Lampiran 1 Data hasil pengukuran fluks CO2 (mg m-2 jam-1) periode satu Subplot 1
9
13
17
25
21
19
7
5
Emisi
29-04-15
30-04-15
1-05-15
2-05-15
Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik
150 0 150 3750 70 3680 100 -70 170 130 120 10 1500 60 1440
150 70 150 3750 70 3680 100 -70 170 130 120 10 1500 60 1440 980 270 710 370 0 370 200 -130 330 -110 130 -240
270 -22680 290 200 -22680 22880 900 -4220 5120 -120 -16840 16720 4780 100 4680 440 110 330 240 10 230 330 -40 370 -3420 420 -3840
500 -14300 300 780 -14300 15080 -6080 -10 -6070 -30 120 -150 590 90 500 -5970 140 -6110 -1000 30 -1030 10550 140 10410 150 220 -70
-
21 Lampiran 2 Data hasil pengukuran fluks CO2 (mg m-2 jam-1) periode dua Subplot
1
9
13
17
Emisi
19
7
15-6-15
16-6-15
17-6-15
18-6-15
780
780
950
970
960
Heterotrofik
400
750
510
610
880
660
580
Autotrofik
410
130
270
170
70
310
380
Total
870
750
860
920
920
590
730
Heterotrofik
400
600
530
360
420
440
220
Autotrofik
470
150
330
560
500
150
510
Total
530
530
440
530
400
540
350
Heterotrofik
400
250
300
380
240
330
110
Autotrofik
130
280
140
150
160
210
240
Total
440
410
290
230
280
370
320
Heterotrofik
390
200
180
200
150
240
240
50
210
110
30
130
130
80
Total
240
420
490
240
350
370
460
Heterotrofik
200
140
200
150
130
270
130
40
280
290
90
220
100
330
Total
280
960
290
380
700
410
140
Heterotrofik
140
440
260
140
80
20
100
Autotrofik
140
520
30
240
620
390
40
Total
310
700
440
510
210
140
310
Heterotrofik
110
380
190
110
150
40
130
Autotrofik
200
320
250
400
60
100
180
Total
250
440
230
250
740
340
630
Heterotrofik
210
70
20
170
120
160
140
40
370
210
80
620
180
490
Total
200
230
360
160
440
290
330
Heterotrofik
120
30
20
120
70
200
160
80
200
340
40
370
90
170
Autotrofik 5
14-6-15
880
Autotrofik 21
13-6-15
810
Autotrofik 25
12-6-15
Total
Autotrofik
22 Lampiran 3 Data hasil pengukuran fluks CO2 (mg m-2 jam-1) periode tiga Subplot 1
Emisi
31-7-15
1-8-15
2-8-15
3-8-15
4-8-15
5-8-15
Total
590
820
630
610
820
810
Heterotrofik
440
460
320
340
480
340
Autotrofik
150
360
310
270
340
470
1870
960
520
580
940
760
650
370
360
340
300
340
1220
590
160
240
640
420
Total
510
360
380
320
420
360
Heterotrofik
250
170
200
100
210
180
Autotrofik
260
190
180
220
210
180
Total
250
260
270
260
340
200
Heterotrofik
170
240
180
220
330
120
80
20
90
40
10
80
630
420
260
330
600
490
70
130
130
100
170
130
Autotrofik
560
290
130
230
430
360
Total
240
330
740
400
360
330
70
110
160
160
140
80
Autotrofik
170
220
580
240
220
250
Total
460
390
370
170
400
450
Heterotrofik
140
160
150
100
220
150
Autotrofik
320
230
220
70
180
300
Total
420
600
280
390
750
840
Heterotrofik
160
150
180
150
230
180
Autotrofik
260
450
100
240
520
660
Total
470
350
590
490
480
480
Heterotrofik
130
140
210
120
280
280
Autotrofik
340
210
380
370
200
200
Total 9
Heterotrofik Autotrofik
13
17
Autotrofik Total 25
21
19
7
5
Heterotrofik
Heterotrofik
23 Lampiran 4 Dokumentasi kegiatan
Lokasi penelitian di Hutan Rawa Gambut Katingan Kalimantan Tengah (Diambil pada 16 Juni 2015)
Pembuatan sekat trenching (Diambil pada 24 April 2015)
Foto saat pengukuran fluks CO2 (Diambil pada 3 Agustus 2015)
24
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Lucy Pertiwi, lahir di Ciamis pada tanggal 17 Juni 1993. Penulis merupakan anak pertama dari 4 bersaudara yang lahir dari pasangan ayah Sapri dan Ibu Nunung Mamnu‟ah. Pada tahun 2011, penulis lulus dari SMAN 1 Pangandaran, kemudian diterima sebagai mahasiswa Departemen Geofisika dan Meteorologi melalui jalur SNMPTN Undangan. Pada masa perkuliahan, penulis mendapatkan Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik selama periode 2012-2014 dan mendapatkan pendanaan untuk penelitian tugas akhir dari Center for International Forestry Research (CIFOR). Selama masa perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Hidrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi pada tahun ajaran 2015/2016. Penulis juga aktif dalam beberapa organisasi baik di dalam kampus maupun diluar kampus, diantaranya sebagai staf Biro Sekret BEM TPB IPB (2011/2012), Sekertaris Umum BEM FMIPA IPB (2012/2013), staf Internal BEM FMIPA IPB (2013/2014), Sekretaris Umum UKM PRAMUKA IPB (2013/2014), dan anggota Forum Kabupaten Bogor Sehat (FKBS). Selama mengikuti kegiatan organisasi, penulis juga ikut berkontribusi dalam beberapa kepanitiaan antara lain TPB CUP 48, MPKMB 49, MPF 49, MPD 49, Exploscience 2013, PSN 2013 dan 2014, Lomba Lintas Alam Lembaga Kemahasiswaan (LLALK), Kemah Riset Nasional 2013 dan 2015, Meteorology Day, ATMOSFAIR 2014, dan Temu Nasional Forum Mahasiswa Peduli Bencana 2015. Selain itu, penulis pernah melaksanakan kegiatan magang di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Jakarta dan Center for International Forestry Research (CIFOR). Beberapa prestasi yang pernah diraih oleh penulis antara lain menjadi Delegasi IPB untuk kegiatan Latihan Gabungan Nasional ke-4 di Universitas Brawijaya Malang (2012) dan Latihan Gabungan Nasional ke-5 di Universitas Bengkulu (2013), Delegasi Departemen Geofisika dan Meteorologi untuk kegiatan EXPLORACE 2014 di Putrajaya Malaysia, serta terpilih menjadi 5 karya terbaik pada kompetisi Pekan Kreativitas Mahasiswa Peduli Bencana 2015.