SINTESIS HASIL LITBANG 2010-2014
RPI 5 Pengelolaan Hutan Rawa Gambut
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email :
[email protected] web : www.puskonser.or.id
EXECUTIVE SUMMARY RPI 5 Pengelolaan Hutan Rawa Gambut memiliki lima komponen riset yaitu: (5.1.) Klasifikasi Tipologi dan Sebaran HRG; (5.2.) Teknologi Rehabilitasi HRG Terdegradasi; (5.3.) Informasi Adaptasi Fenologi Jenis Pohon HRG; (5.4.) Alternatif Pengelolaan HRG Dengan Pola Partisipatif; dan (5.5.) Dampak Deforestasi HRG Terhadap Emisi GRK. Kegiatan RPI 5 dilakukan di HRG Aceh Selatan, Aceh Singkil, HLG Londerang, Jambi, HRG Sumsel, HRG Sebangau, Kalteng, KHDTH Tumbang Nusa, Kalteng, dan HRG Papua. RPI 5 dilaksanakan oleh lima unit kerja Badan Litbang Kehutanan yaitu: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Banjarbaru, Balai Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (BPTKSDA) Samboja, dan BPK Manokwari. Dari serangkaian riset selama 5 tahun (2010 – 2014), RPI 5 telah menghasilkan beberapa capaian berupa data, informasi dan rancangan IPTEK. Terkait dengan Luaran 5.1. Tim riset RPI 5, telah memperoleh data sebaran dan tipologi HRG di Sumatera dan Kalimantan. Data dari Papua belum dapat ditampilkan karena masih memerlukan klarifikasi di lapangan. Klasifikasi tipologi HRG difokuskan pada penyusunan kriteria dan indikator untuk HRG terdegradasi, serta kriteria dan indikator untuk menentukan kawasan konservasi flora dan fauna. Kriteria dan indikator hutan gambut terdegradasi yang diusulkan disajikan berikut ini : Ekosistem gambut yang masih baik dengan indikator: a. kubah gambut masih berfungsi sebagai resapan air dengan luasan > 30% masih tertutup tanaman keras alami; b. kedalaman muka air tanah di musim kemarau dibawah 100 cm; c. bersifat hidrofilik dengan pH ≥ 4; d. serta nilai redoks potensial < 200 (mV). Ekosistem gambut terdegradasi dengan indikator : a. tidak berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30%; b. kedalaman muka air tanah ≥ 100 cm; c. bersifat hidrofobik dengan pH < 4; d. serta nilai redoks potensial ≥ 200 (mV). Atas dasar tutupan vegetasinya, ekosistem gambut terdegradasi selanjutnya dikelompokkan menjadi : a. terdegradasi ringan, dimana masih terdapat jenis pohon pioneer dan jenis pohon klimax; b. terdegradasi sedang, masih tersisa jenis pohon pioneer; c. terdegradasi berat, tidak tersisa jenis pioneer maupun jenis klimax. Dari ex PLG Kalteng diusulkan kriteria dan indikator untuk menentukan kawasan konservasi flora dan fauna. Rancangan kriteria dan indikator yang diusulkan mencakup empat komponen yaitu: 1. Biologi (Bobot 50 %) dengan tiga Kriteria (Penutupan Lahan, Flora, dan Fauna) dan 17 Indikator, 2. Fisik-Kimia (Bobot 20 %) dengan dua Kriteria (Fisik dan Kimia) dan tiga Indikator, 3. Sosial-Ekonomi-Budaya (Bobot 17,5%) dengan empat Kriteria (Pemanfaatan Lahan, Mata Pencaharian, Pendapatan dan Penduduk) dan empat indikator,
i
4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah melakukan penelitian tiga topik riset terkait rehabilitasi yaitu: (1) uji jenis pohon potensial; (2) uji implementasi pola rehabilitasi; dan (3) uji penambatan kanal. Riset rehabilitasi dilakukan di HRG Jambi, Sumsel dan Kalteng. Sebanyak 52 jenis pohon potensial yang dikelompokan sebagai berikut: 15 jenis pohon lokal HRG, 25 jenis keluarga dipterokarpa, 7 jenis pohon cepat tumbuh non gambut, dan 3 jenis pohon penghasil bio-diesel telah diuji di lahan gambut terdegradasi. Pola rehabilitasi yang diuji adalah: (a) Percepatan suksesi alam (plot uji di HLG Sei Buluh, Jambi). (b) Rehabilitasi dengan minimum input manajemen lahan (plot uji di CKPP Taruna Jaya Kalteng). (c) Rehabilitasi dengan optimum input manajemen lahan (plot uji di area PT WKS Jambi). Hasil sementara uji rehabilitasi di Jambi dan Sumsel mengindikasikan bahwa penanaman pada lahan gambut tanpa pengaturan tata air dan pembebasan gulma yang intensif akan menekan tingkat survival dan pertumbuhan tanaman. Di sisi lain, pengelolaan HRG dengan sistim drainase, meningkatkan survival dan pertumbuhan pohon, namun diindikasikan terjadi penurunan permukaan lahan (subsiden). Penurunan permukaan lahan di HRG dengan drainase di Sumsel sebesar 17 cm/tahun. Upaya penambatan kanal dinilai belum efektif dalam mempertahankan muka air tanah pada kondisi ideal. Pada tahun 2013 dan 2014 plot uji di HLG Londerang, Jambi dan KHDTK Tumbang Nusa, Kalteng terbakar. Plot uji penanaman yang masih utuh ada di PT. WKS Jambi dan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel. Terkait luaran 5.3., dari pengamatan selama dua tahun (2010 dan 2011) telah diperoleh data fenologi dari 28 jenis pohon HRG di dua lokasi yaitu HRG Senepis, Riau dan HRG Tumbang Nusa, Kalteng. Data ini baru dapat dimanfaatkan untuk memprediksi musim berbunga dan berbuah jenis HRG. Sedangkan untuk mempelajari pengaruh perubahan iklim, pengamatan harus dilakukan pada jangka panjang (minimum 10 tahun). Terkait luaran 5.4., konsep pengelolaan HRG dengan pola partisipatif dikaji di KHDTK Tumbang Nusa dan TN Sebangau, Kalteng. Di KHDTK Tumbang Nusa, masyarakat yang bermukim di sekitar hutan dilibatkan dalam pengelolaan HRG bekas terbakar, terutama dalam pemilihan jenis pohon dan pola penanamannya. Pohon yang akan dikembangkan dalam kegiatan rehabilitasi didasarkan pada preferensi dengan memperhatikan kaidah-kaidah dan peraturan yang berlaku untuk merehabilitasi kawasan konservasi. Namun demikian pola kolaborasi ini amat ditentukan oleh sosial budaya masyarakat setempat. Oleh sebab itu riset serupa masih perlu dilakukan pada berbagai kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif di TN Sebangau merupakan tipe partisipasi konsultasi dengan pendekatan pengambilan keputusan secara top down. Program kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat di TN Sebangau, berupa pembentukan Forum Masyarakat (Formas), Regu Pemadam Kebakaran (RPK) dan Pam Swakarsa. Ketiga kelembagaan sudah cukup berkembang dengan baik, namun tingkat partisipasi masyarakat masih rendah. Jika kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian hutan tetap rendah, ada kecenderungan tingkat partisipasi berubah menjadi tingkat partisipasi manipulatif. Terkait luaran 5.5., riset deforestasi HRG dan kaitannya dengan emisi GRK yang dilakukan di Kabupaten Katingan Kalteng, telah memformulasikan persamaan allometrik pendugaan cadangan biomas. Berdasarkan persamaan allometrik lokal tersebut maka dapat diduga perubahan cadangan biomassa yang selanjutnya dikonversi menjadi serapan CO2. ii
Hasil perhitungan menunjukan bahwa serapan karbon di HRG terdegradasi ke hutan primer sebesar 19 ton CO2 e/ha/thn. Serapan karbon tersebut masih jauh lebih tinggi dari emisi gambut sebesar 9 ton CO2 e/ha/thn dari penurunan ketebalan gambut (subsiden), atau ada surplus serapan karbon sebesar 10 ton CO2e/ha/thn. Hasil serupa juga ditunjukan pada riset lanjutan yang dilakukan di lahan gambut Kabupaten Katingan pada HRG dengan sistim drainase (kanal). Serapan CO2 pada tutupan hutan yang terdegradasi karena adanya drainase adalah sebesar 41,74 ton CO2e/ha/th. Dilihat dari emisinya, tutupan hutan ini mengemisikan CO2 sebesar 30,79 ton/ha/th, atau lebih tinggi sebesar sekitar 20 ton CO2e/ha/th dibanding HRG tanpa drainase. Di sisi lain tingginya emisi karbon masih diimbangi dengan surplus resapan sebesar 11 ton CO2e/ha/th. Target penurunan emisi di Kabupaten Katingan akan dapat ditempuh melalui penambatan kanal, penanggulangan kebakaran gambut, percepatan rehabilitasi, dan pemanfaatan gambut terdegradasi dengan memperhatikan aspek ekologi gambut. Strategi rehabilitasi HRG terdegradasi didasarkan pada tingkat kerusakan dan status kawasannya. Adapun pola rehabilitasi dan jenis lokal HRG yang direkomendasikan adalah sebagai berikut : 1. Pada HRG dengan tingkat kerusakan ringan, rehabilitasi dapat dilakukan dengan pola percepatan suksesi alam, 2. Pada HRG dengan tingkat kerusakan sedang, rehabilitasi dapat dilakukan dengan pola minimum input manajemen lahan, 3. Pada HRG dengan tingkat kerusakan berat dan status hutannya adalah Hutan Produksi, rehabilitasi harus dilakukan dengan pola optimum input manajemen lahan. Penanaman dapat menggunakan jenis asli HRG ataupun jenis pohon cepat tumbuh non gambut, 4. Pada HRG dengan tingkat kerusakan berat dan status hutannya adalah Hutan Konservasi dan Hutan Lindung, rehabilitasi harus dilakukan dengan pola optimum input manajemen lahan, panambatan kanal dan penanaman menggunakan jenis pioneer dan klimaks asli HRG. 5. Jenis lokal HRG yang direkomendasikan untuk upaya rehabilitasi adalah: untuk kelompok jenis pioneer: Dyera lowii, Crotoxylon arborescens, Combretocarpus rotundatus dan Melaleuca leucadendron; untuk jenis klimaks yang direkomendasikan adalah: Shorea balangeran, Vatica rassak, Alseodaphne sp. dan Gonystylus bancanus. Kata Kunci : Hutan Rawa Gambut (HRG), tipologi HRG, rehabilitasi, fenologi, pola partisipatif, degradasi hutan, emisi gas rumah kaca (GRK) dan serapan karbon.
iii
KATA PENGANTAR Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK.23/VIII-SET/2009 tentang Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun 2010-2014, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) mengemban tanggung jawab pelaksanaan 7 (tujuh) Rencana Penelitian Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI sebagai komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI komponen dari Program Litbang Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang Pengelolaan DAS. Setiap RPI dielaborasi ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk menjawab tujuan (ultimate objectives), sasaran (specific objectives) dan luaran (outputs) RPI yang telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya untuk menghasilkan informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh. Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun 20102014 (Revisi) adalah Pengelolaan Hutan Rawa Gambut. Sampai akhir 2014, RPI tersebut akan menyelesaikan 35 kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan memperoleh IPTEK pengelolaan hutan rawa gambut secara bijaksana dengan mempertimbangkan fungsi ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Sampai dengan akhir 2014, ke 35 kegiatan penelitian tersebut telah dilaksanakan oleh Puskonser, BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Banjarbaru, BPK Manokwari, dan Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber daya Alam Samboja. Output ke 35 kegiatan penelitian tersebut kemudian disintesis untuk melihat kemajuan/capaian kinerja RPI, dan menilai apakah kegiatan penelitian dan pelaksanaannya sudah selaras (in line) dengan pencapaian tujuan dan sasaran RPI pada akhir tahun 2014. Dalam Buku Sintesis RPI Tahun 2010-2014 ini, kita dapat melihat berbagai output dalam bentuk informasi ilmiah dan teknologi diantaranya, produk purangpos untuk rehabilitasi lahan gambut bekas terbakar, informasi tipologi dan sebaran HRG, paket teknologi rehabilitasi HRG terdegradasi, pola pembungaan dan pembuahan 28 jenis pohon HRG, bentuk kelembagaan dengan pola partisipatif, serta dampak-dampak deforestasi terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Koordinator RPI beserta tim penelitinya juga memperkaya sintesis ini dengan pool of knowledge yang ada. Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut beserta tim penelitinya yang telah menunaikan tugasnya dengan baik menyusun sintesis akhir RPI 2010-2014 ini. Semoga sintesis ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan menjadi baseline data dalam kegiatan-kegiatan litbang yang akan datang di bidang HRG.
Kepala Pusat,
Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP. 19571221 198203 1 002
v
TIM PELAKSANA PENELITIAN RPI 5 KOORDINATOR : Dr. Ir. Herman Daryono Sub Koordinator : Ir. Atok Subiakto, M.App.Sc PELAKSANA Puskonser
: : Dr. Taulana Sukandi, M.Sc Dr. I Wayan Susi Darmawan, M.Si Ir. Atok Subiakto, M.App Ir. Sukaesih Pradjadinata, M.Sc Dr. Made Hesti Lestari Tata, S.Si., M.Si Mawazin, SSi Budi Narendra, S.Hut, MS
BPK Aek Nauli
: Cut Rizlani Kholibrina, S.Hut
BPK Banjarbaru : Triwira Yuwati, S.Hut., M.Sc Ir. Sudin Panjaitan BPK Manokwari : Ir. David Seran (Alm) Dr. Pudja Mardi Utomo, MP BPK Palembang
: Ir. Bastoni, M.Sc Adi Kunarso, S.hut., M.Sc
Balitek KSDA Samboja :
Ardianto Wahyu Nugroho, S.Hut
vii
DAFTAR ISI Hal. EXECUTIF SUMMARY ........................................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................................ TIM PELAKSANA PENELITIAN RPI 5 ................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................................................... DAFTAR TABEL ...................................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. I. PENDAHULUAN ................................................................................................ A. Latar Belakang .............................................................................................. B. Rumusan Masalah ......................................................................................... C. Metode Sintesis Antara ................................................................................. D. Luaran ........................................................................................................... E. Pelaksana ....................................................................................................... II. KLASIFIKASI TIPOLOGI DAN SEBARAN HUTAN RAWA GAMBUT (RPI 5.1.) ............................................................................................................. A. Pendahuluan .................................................................................................. B. Kegiatan Litbang ........................................................................................... C. Hasil Penelitian Tahun 2010-2014 ................................................................. III. TEKNOLOGI REHABILITASI HRG TERDEGRADASI (RPI 5.2.) ............... A. Pendahuluan .................................................................................................. B. Kegiatan Litbang ........................................................................................... C. Hasil Penelitian ............................................................................................. IV. INFORMASI ADAPTASI FENOLOGI JENIS-JENIS HRG (RPI 5.3.) ............ A. Pendahuluan ................................................................................................... B. Kegiatan Litbang .............................................................................................. C. Hasil Penelitian ............................................................................................... V. ALTERNATIF PENGELOLAAN HRG DENGAN POLA PARTISIPATIF (RPI 5.4.) ............................................................................................................. A. Pendahuluan ................................................................................................... B. Kegiatan Litbang .............................................................................................. C. Hasil Penelitian ............................................................................................... VI. DAMPAK DEFORESTASI HRG TERHADAP EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) (RPI 5.5.) ................................................................................................. A. Pendahuluan ................................................................................................... B. Kegiatan Litbang .............................................................................................. C. Hasil Penelitian ............................................................................................... VII. SINTESIS ............................................................................................................ A. Klasisfikasi Tipologi dan Sebaran HRG (RPI 5.1.) ....................................... B. Teknologi Rehabilitasi HRG (RPI 5.2.) .......................................................... C. Adaptasi Fenologi Jenis-jenis HRG (RPI 5.3.) ............................................... D. Alternatif Pengelolaan HRG dengan Pola Partisipatif (RPI 5.4) ................... E. Dampak Deforestasi HRG terhadap Penurunan Emisi 26% (RPI 5.5.) .........
i v vii ix xi xiii 1 1 1 3 3 3 3 3 4 6 9 9 10 11 18 18 18 18 21 21 21 22 26 26 26 27 33 34 26 27 35 36 ix
DAFTAR ISI (lanjutan) Hal. VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .......................................................... A. Kesimpulan ................................................................................................... B. Rekomendasi ............................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................
x
38 38 38 40
DAFTAR TABEL Hal.
Tabel 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Lokasi pengambilan contoh pada setiap kelompok hutan rawa gambut ....... Kondisi HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua ...................................... Kimia tanah HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua ............................... Pertumbuhan pada plot uji rehabilitasi di Aceh ............................................. Pertumbuhan jenis pohon cepat tumbuh non gambut di HLG Londerang ... Pertumbuhan jenis pohon cepat tumbuh non gambut di PT WKS ............... Pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di HLG Londerang ........................... Pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di PT WKS ....................................... Pertumbuhan jenis pohon penghasil bio-diesel di HLG Londerang ............ Pertumbuhan jenis lokal HRG umur 12 bulan di HLG Londerang, Jambi ... Pertumbuhan jenis lokal HRG di CKPP Kalteng umur 12 bulan ................. Pertumbuhan jenis lokal HRG di PT WKS ................................................... Fenologi jenis pohon potensial HRG di Sei Senepis, Riau ........................... Fenologi jenis pohon potensial HRG di Tumbang Nusa, Kalteng ................ Sifat kimia gambut lapisan atas (0-50 cm) di berbagai tipe penggunaan lahan di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah ............................................... Kerapatan individu dan jumlah jenis tinglat pohon di berbagai tipe hutan dan agroforest di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah ................................ Target penurunan emisi setiap bidang (Perpres No. 61 tahun 2011) ............ Emisi gas CO2 pada HRG terdegradasi dan di konversi dengan sistim drainase ......................................................................................................... Serapan karbon pada tiga kondisi HRG terdegradasi ...................................
4 6 7 12 14 14 15 15 16 17 61 63 19 19 23 24 29 30 31
xi
DAFTAR GAMBAR Hal. 1. 2.
S leprosula (kiri) dan S selanica (kanan) di lahan gambut Perawang, Riau ... Lahan penanaman dengan penyiapan lahan intensif (bersih total dan terbuka) di kawasan PT WKS, Jambi ............................................................................ 3a. Penyebaran petak pengamatan studi biofisik di KHDTK Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah (tanda bintang = lokasi petak pengamatan) .................... 3b. Taman Nasional Sebangau. Tanda = desa lokasi penelitian: Kelurahan Kereng Bangkirai, Desa Baun Bango dan Desa Tumbang Hiran (sumber: BTN Sebangau, 2013) ..................................................................................... 4. Penyebaran kelas diameter di tiga tipe hutan di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah. (HS = hutan sekunder; HT97 = hutan terbakar ringan tahun 1997; HT04 = hutan terbakar sedang tahun 2004) .................................................... 5. Saluran drainase di kawasan hutan terdegradasi .............................................
16 16 22
22
23 30
xiii
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hutan rawa gambut (HRG) Indonesia merupakan kawasan hutan dengan ekosistem unik yang luasnya 20,2 juta Ha atau sekitar 15% dari luas kawasan hutan Indonesia yang saat ini tersisa sekitar 133,7 Ha. HRG tersebar di beberapa kepulauan yaitu Sumatera (6,4 juta Ha), Kalimantan (4,8 juta Ha) dan Papua (3,7 juta Ha). HRG merupakan kawasan hutan lahan basah (wetland) dengan lantai hutan berupa timbunan bahan organik yang merupakan stok karbon yang tinggi. HRG merupakan sumberdaya lahan dan hutan dengan potensi ekonomi yang tinggi baik dari potensi hasil hutan, stok karbon dan kandungan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Di samping potensi ekonomi, HRG juga merupakan kawasan yang yang memiliki kemampuan penyerapan karbon tinggi. Potensi serapan karbon pada HRG ditaksir sebesar 200 tC/ha (Agus, 2007). HRG juga merupakan habitat dari banyak satwa dilindungi seperti harimau, gajah, bekantan, dll. Walaupun potensi ekonomi HRG yang tinggi, di sisi lain ekosistem HRG sangat rentan terhadap perubahan lingkungan akibat proses pemanfaatan lahan.Karakteristik umum lahan gambut dicirikan dengan kandungan bahan organik yang tinggi, pH yang rendah, Nilai KTK (Kapasitas Tukar Kation) yang tinggi dan nilai KB (Kejenuhan Basa) yang rendah, sehingga tingkat kesuburannya rendah. Kondisi ini yang belum banyak dipahami baik oleh penentu kebijakan maupun masyarakat yang ingin memanfaatkan kawasan HRG. Akibat kekeliruan dalam pemanfaatan HRG, banyak terjadi kerusakan pada kawasan HRG. Oleh sebab itu, HRG merupakan ekosistem yang unik namun rentan, sehingga pemanfaatannya harus dilakukan secara bijaksana. Akibat kebijakan dalam pemanfaatan HRG yang tidak mempertimbangkan faktor ekologi HRG, hampir 50% HRG telah terdegradasi sehingga potensi ekonomi dan fungsi lingkungannya menghadapi masalah dan tantangan yang harus ditangani pemerintah dengan bijak pula. Salah satu upaya untuk mengurangi kerusakan HRG, pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian ijin baru dan tata kelola hutan dan lahan gambut yang lebih dikenal dengan Moratorium Gambut. Badan Litbang Kehutanan juga telah menetapkan aspek HRG menjadi salah satu RPI dari tahun 2010 sampai dengan 2014.
B. Rumusan Masalah Kondisi ekonomi yang stabil dengan pertumbuhan ekonomi pertahunnya sebesar 4-6% mendorong berkembangnya investasi di berbagai sektor, termasuk sektor yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya lahan. Di sisi lain, perkembangan jumlah penduduk sebesar 3% pertahun juga menyebabkan meningkatnya kebutuhan lahan sebagai sumber kehidupan. Salah satu tipe lahan yang banyak mendapat tekanan untuk dikonversi adalah HRG. Tekanan terhadap HRG yang puncaknya terjadi pada tahun 1995 dengan diluncurkannya proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektar untuk lahan pertanian. Dewasa ini sekitar 50% kawasan HRG atau sekitar 300.000 Ha telah mengalami kerusakan, dan tekanan terhadap HRG masih terus berlangsung. Pengelolaan HRG Sintesis 2010-2014
|1
memerlukan informasi terkini tentang tipologi dan sebaran HRG yang terletak mulai dari Indonesia Bagian Barat (Aceh) sampai Indonesia Bagian Timur (Papua). Minimnya informasi terkait informasi kondisi tipologi dan sebaran HRG dijadikan komponen litbang pertama pada RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut. Secara tradisional masyarakat memanfaatkan HRG sebagai lahan untuk produksi berbagai komoditas pertanian. Pemanfaatan HRG oleh masyarakat sekitar hutan diawali dengan pembukaan lahan yang umumnya dengan tebas bakar. Masalah kebakaran hutan merupakan masalah tahunan yang yang sudah menjadi isu internasional. Kawasan HRG yang terbakar dikelompokan dalam tiga kategori kerusakan yaitu sedang, berat dan parah. Seperti diketahui bahwa hutan gambut sangat sensitif terhadap gangguan seperti kebakaran hutan dan mudah mengalami kerusakan lingkungan seperti peningkatan keasaman, defisiensi unsur hara, subsidence dan peningkatan emisi karbon (Agus dan Subiksa, 2008; Barchia, 2006; Wibisono et al., 2005; Najiyati et al., 2005; Limin, 2004). Berbeda dengan hutan alam lahan kering, tingkat kesulitan untuk pemulihan dan dampak yang diakibatkan oleh kerusakan HRG lebih tinggi dan komplek. Dari aspek sosial, ada keengganan sebagian masyarakat untuk berpartisipasi penanaman dengan menggunakan jenis pohon asli setempat. Masyarakat menilai bahwa jenis pohon lokal seperti tumih dan gerunggang tidak perlu ditanam karena alam telah menyediakan dengan cukup. Mereka mengharap dapat mengusahakan lahan gambut dengan jenis kelapa sawit atau karet. Sedangkan dari jenis pohon hutan mereka lebih memilih jelutung, jabon dan bahkan jati (masyarakat transmigran). Pemilihan jenis menjadi isu penting dalam rehabilitasi lahan gambut. Jenis terpilih harus memiliki kesesuaian dangan lahan gambut dan diterima oleh masyarakat. Aspek rehabilitasi HRG bekas terbakar menjadi komponen kedua dalam RPI 5. Dewasa ini dikenal lebih dari 50 jenis-jenis pohon HRG yang tergolong sebagai jenis pohon komersial baik untuk hasil kayunya maupun hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti resin, kulit kayu, buah dan minyak atsiri (Wibisono et al., 2005; Daryono, 2000; Soerianegara dan Lemmens, 1994). Pada tahap awal rehabilitasi lahan gambut terdegradasi diperlukan jenis pionir yang benih atau bibitnya mudah diperoleh. Namun benih dan bibit jenis andalan HRG mulai sulit diperoleh. Kelangkaan benih dan bibit diindikasikan akibat adanya perubahan iklim. Masalah kelangkaan benih dan bibit, menjadi salah satu komponen dalam RPI 5 yang berjudul adaptasi fenologi jenis-jenis pohon HRG. Salah satu komponen stakeholder HRG adalah masyarakat sekitar hutan. Komunitas ini hidupnya bergantung dari lahan HRG, sehingga masyarakat sekitar hutan seringkali menjadi penyebab kerusakan HRG karena kegiatan pembukaan lahan yang seringkali diperparah dengan menggunakan api. Agar HRG dapat dikelola secara lestari, maka masyarakat disekitarnya harus ikut dilibatkan dan dapat memanfaatkan HRG secara bijaksana. Komponen ke empat dalam RPI 5 adalah litbang pengelolaann HRG dengan pola partisipatif. Dinamika cadangan karbon vegetasi pada hutan gambut bekas kebakaran memberikan dukungan data yang reliable dan valid untuk menentukan nilai faktor serapan pada hutan gambut bekas terbakar. Dukungan data ini dapat digunakan untuk menghitung target penurunan emisi dari hutan gambut melalui upaya konservasi cadangan karbon sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Komponen 5 Sintesis 2010-2014
|2
pada RPI 5 adalah litbang dampak deforestasi HRG dalam upaya realisasi target penurunan emisi 26%.
C. Tujuan dan Sasaran Tujuan RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut (RPI 5) adalah mendapatkan IPTEK pengelolaan HRG secara bijaksana dengan mempertimbangkan fungsi ekologi, sosial budaya dan ekonomi. Sasaran penelitian integratif ini adalah agar tersedia informasi dan data, serta paket teknologi yang diperlukan dalam pengelolan HRG meliputi: 1. Data dan informasi mengenai tipe dan sebaran HRG terdegradasi; 2. Data dan informasi mengenai klasifikasi tipologi dan sebaran HRG atas dasar kondisi biofisik hutan; 3. Tersedia data dan informasi serta paket teknologi rehabilitasi HRG; 4. Tersedia data dan informasi pencegahan dan pengendalian kebakaran HRG; 5. Tersedia data dan informasi pola pembungaan dan pembuahaan jenis-jenis HRG; 6. Tersedia data dan informasi kelembagaan pengelolaan HRG dengan pola partisipatif; 7. Tersedia data dan informasi dampak deforesasi terhadap emisi GRK;
D. Luaran RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut mencakup lima luaran, yang menjadi komponen peneltian pada RPI 5 untuk meyediakan : 1. Data dan informasi mengenai klasifikasi tipologi dan sebaran HRG atas dasar kondisi biofisik hutan; 2. Data dan informasi serta paket teknologi rehabilitasi HRG terdegradasi; 3. Data dan informasi pola pembungaan dan pembuahan jenis-jenis HRG; 4. Data dan informasi kelembagaan pengelolaan HRG dengan pola partisipatif; 5. Data dan informasi dampak deforesasi terhadap emisi GRK;
E. Pelaksana Pelaksanaan komponen penelitian RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dilakukan oleh peneliti-peneliti dari Puskonser dan lima Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kehutanan yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Balai Penelitiaan Kehutanan Aek Nauli Balai penelitian Kehutanan Palembang Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Samboja Balai Penelitian Kehutanan Manokwari.
Sintesis 2010-2014
|3
II. KLASIFIKASI TIPOLOGI DAN SEBARAN HUTAN RAWA GAMBUT (RPI 5.1.) A. PENDAHULUAN Degradasi Hutan Rawa Gambut (HRG) disebabkan oleh beragam faktor, antara lain penebangan ilegal, penjarahan, kebakaran hutan, perambahan liar, banjir, tsunami dan lainnya. Perbedaan faktor penyebab tersebut mempengaruhi karakteristik dan tipologi lahan dan vegetasi hutan rawa gambut yang terdegradasi. Tipe dan karakteristik rawa gambut dataran rendah tentu juga akan berbeda dibandingkan lahan gambut dataran tinggi. Oleh karenanya untuk mendukung keberhasilan rehabilitasi rawa gambut diperlukan informasi yang tepat dan spesifik mengenai karakteristik biofisik dan tipologi rawa gambut yang telah terdegradasi. Informasi ini akan menjadi landasan ilmiah dalam penyusunan beragam kriteria dan indikator hutan rawa gambut yang tedegradasi untuk diaplikasikan pada penetapan kebijakan pada suatu kawasan sesuai dengan fungsinya. Sampai saat ini kondisi penutupan lahan gambut belum seluruhnya diketahui, bahkan informasi luas HRG di Indonesia beragam. Agar luas dan kondisi penutupan HRG dapat diperoleh secara akurat, maka perlu dilakukan kegiatan invetarisasi HRG pada masingmasing kawasan di Indonesia. Mengingat karakteristik HRG yang berbeda dengan hutan lahan kering, inventarisasi dengan sistim sensus tidak mudah dilakukan. Cara yang lebih praktis dalam inventarisasi adalah dengan penafsiran citra satelit, namun harus diikuti ground check dengan jumlah sampling yang memadai. Pada kawasan yang dibebani hak pengelolaan (IUPHHK), kegiatan ini dapat dilakukan dengan kegiatan IHMB.
B. KEGIATAN LITBANG 1. Review Kondisi Biofisik HRG di Sumatera Bagian Utara Karakteristik biofisik dan lingkungan Hutan Rawa Gambut yang diukur adalah: (a) Ketebalan Gambut; (b) Aras Air Tanah; (c) Penurunan Tanah dan (d) Pengukuran tambahan lainnya. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada tiga kelompok hutan rawa gambut yakni : (1) Kelompok rawa gambut Bakongan dan (2) Trumon di Kabupaten Aceh Selatan dan (3) Kelompok hutan rawa gambut Singkil di Aceh Singkil. Tabel 1. Lokasi pengambilan contoh pada setiap kelompok hutan rawa gambut No. 1.
2.
Lokasi Desa Ujung Padang Kecamatan Kluet Selatan
Titik Ikat N 030 01’ 58,9” 0
E 097 20’ 34,6”
Desa Ujung Mangki N 020 55” 42,8’ Kec. Bakongan E 0900 26”37,8’
Sintesis 2010-2014
|4
Deskripsi Singkat Lokasi - Ditemui gambut dengan kedalaman 4,60 m; - Suhu di lokasi 38,220C dengan kelembaban 65,69 %; - Hasil diskusi dengan masyarakat setempat mengatakan bahwa pada tahun 1974 lokasi ini masih berupa hutan lebat, lalu HPH masuk tahun 1975 dan membuka hutan rawa gambut, kini yang tersisa adalah lahan yang terbuka dan alang-alang serta pakis. - Ketebalan gambut tidak terlalu tebal yaitu 90 cm; - Suhu 35,500C dan kelembaban 61,20%. - Beberapa asosiasi yang ditemukan adalah pakis, melastoma dan perdu-perduan.
No. 3.
4. 5. 6.
Lokasi Desa Ujung Padang Kecamatan Bakongan
Titik Ikat N 020 56” 08,9’
Desa Ujong Tano Kec. Trumon
N 02o 50’15”
Desa Pinto Rimba Kec. Trumon
N 02o 50’45”
Desa Kuala Baru
N 02o18’45”
0
E 097 29”25,0’
o
E 97 38’ 50” o
E 97 44’ 12” E 97o45’5”
7.
Desa Caritas
N 02o18’5” E 97o48’10”
8.
Desa Batang
N 02o18’30” E 97o49’40”
9.
10.
Desa Pulo SarokKec. Singkil
N 02o16’05”
Desa Ujung Bawang Kec. Singkil
N 02o15’55”
o
E 97 50’10”
E 98o02’15”
Deskripsi Singkat Lokasi -
Kedalaman gambut 2,70 m; Suhu di lokasi 36,440C, dengan kelembaban 64,21%; Asosiasi yang ditemukan: beberapa perdu. Lokasi ini sebelumnya hutan lebat, sejak 3 tahun yang lalu dibuka. Saat ini tidak ada pohon yang tersisa.
- Ketebalan gambut 100 – 150 cm; - Vegetasi didominasi akar-akaran, perdu dan pakis. - Ketebalan gambut 100 – 150 cm; - Vegetasi didominasi akar-akaran dan pakis. - Ketebalan gambut 100 – 300 cm; - Sebagian besar pohon dan vegetasi lainnya mati akibat limpasan air laut pada saat tsunami. - Ketebalan gambut 100 – 400 cm. - Vegetasi di atas rawa gambut umumnya pakis-pakisan dan alang-alang. - Ketebalan gambut 100 – 600 cm; - Vegetasi di atas rawa gambut umumnya pakis-pakisan dan alang-alang. - Pembuatan kanal untuk drainase akan membuat subsiden yang cukup besar. - Pertumbuhan kelapa sawit cenderung miring.
- Ketebalan gambut 100 – 700 cm; - Vegetasi di atas rawa gambut umumnya tersisa pakispakisan; - Terjadi subsiden (penurunan permukaan tanah hingga 150 cm akibat gempa bumi).; - Perubahan salinitas mengakibatkan banyak vegetasi pohon pada hutan rawa gambut dan mangrove mati. - Vegetasi di atas rawa gambut umumnya pakis-pakisan dan alang-alang. - Pembuatan kanal untuk drainase akan menyebabkan subsidensi yang cukup besar. - Pertumbuhan kelapa sawit cenderung miring.
2. Review Tipe dan Sebaran HRG di Sumatera Bagian Utara Kegiatan ini dilakukan dengan memadukan pendekatan analisis citra satelit dan survey pengukuran lapangan pada berbagai tipe dan kondisi hutan rawa gambut. Hasil analisa citra satelit Landsat MSS-5 (Multi Spectral Scanner) rekaman tahun 1990 (Wahjunto et al., 2005) digunakan untuk mengetahui kondisi penggunaan lahan dan penutupan vegetasi di wilayah lahan gambut Pulau Sumatera pada masa lalu. Citra satelit Landsat Thematic Mapper-7 (TM-7) di daerah Sumatera hasil rekaman tahun 2010 dianalisis untuk identifikasi informasi penyebaran dan ketebalan gambut melalui analisis penggunaan lahan pada saat ini (existing land-use) sebagai pedoman dalam menentukan sebaran dan luasan total lahan gambut Sumatera, tetap mengacu pada data/informasi tipe, sebaran dan ketebalan gambut hasil kajian tahun 1990. Citra satelit Landsat Thematic Mapper-7 (TM-7) hasil rekaman tahun 2000-2010 juga digunakan untuk identifikasi dan inventarisasi penyebaran lahan gambut. Sintesis 2010-2014
|5
3. Rancangan Penetapan Kriteria dan Indikator Kawasan Konservasi di HRG ex PLG Kalteng Penelitian ini bertujuan untuk menyusun Rancangan Penetapan Kriteria dan Indikator (RPKI) kawasan konservasi flora dan fauna pada HRG di areal eks PLG Kalteng. Sasaran penelitian untuk Tahun 2012 adalah tersedianya data dan informasi hasil penentuan Nilai Total K&I (NTKI) dan hasil pengujiannya. Penelitian dilakukan di sekitar Camp Release dan sekitar Camp Bagantung. Kedua lokasi tersebut berada di Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Metode survey digunakan untuk pengumpulan data primer dengan rincian sebagai berikut: 1. Pembuatan jalur transek dan/atau penentuan titik secara purposive berdasarkan keterwakilannya dilakukan untuk pengumpulan data vegetasi dan satwa. 2. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data sosial-ekonomi-budaya dan kelembagaan. Responden dan nara sumber ditentukan secara purposive berdasarkan keterwakilannya.
4. Klasifikasi Tipologi dan Sebaran Hutan Rawa Gambut Berdasarkan Kondisi Biofisik Hutan di Papua Provinsi Papua sendiri memiliki lebih dari 10 juta ha lahan gambut, namun informasi terkait tipologi, sebaran dan kondisi biofisiknya masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi hutan rawa gambut seperti tipologi, karakteristik dan sebaran hutan rawa gambut di tanah Papua. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2012 s/d November 2012 di Kabupaten Sarmi dan dilakukan kembali pada bulan November 2013. Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan cara survey areal yang berpotensi memiliki gambut. Selanjutnya dilakukan pencatatan jenis dan tipe vegetasi yang ada dan dilakukan pengambilan contoh tanah untuk dianalisa.
C. HASIL PENELITIAN TAHUN 2010 – 2012 1. Sebaran dan Kondisi Biofisik HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua Sebaran utama hutan rawa gambut (HRG) ada di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Di pulau lain seperti Sulawesi juga ada HRG namun jumlahnya kurang dari 2% dari total luas HRG di Indonesia. Luas dan sebaran HRG untuk masing-masing pulau utama disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua Parameter Luas Sebaran
Sumatera 7,2 juta Ha Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan
Kondisi
HRG sekunder terdegradasi
Sintesis 2010-2014
|6
Kalimantan 6,5 juta Ha Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan HRG sekunder terdegradasi
Papua 10,9 juta Ha Papua Barat, Papua Bagian Tengah dan Papua Bagian Selatan HRG perawan, HRG
Parameter Kedalaman Jenis pohon klimaks Periode genangan
Sumatera ringan dan berat 30 – 450 cm Jelutung, ramin, meranti, punak, perepat, gelam, beriang 9 – 12 bulan
Kalimantan ringan dan berat 60 – 750 cm Jelutung, ramin, meranti, balangeran, perupuk, gerunggang 3 – 12 bulan
Papua sekunder terdegradasi 50 – 350 cm Pulai, terentang, nyatoh, merbau, gempol, akasia, sagu 4 – 12 bulan
Papua merupakan pulau yang memiliki kawasan HRG terluas di Indonesia. Kondisi hutannya pun relatif lebih baik dibandingkan HRG yang ada di Sumatera dan Kalimantan. Pemanfaatan HRG di papua relatif masih lebih rendah dibandingkan di Sumatera dan Kalimantan. Komposisi jenis pohon klimaks HRG di Papua berbeda dengan yang ada di Sumatera dan Papua. Perbedaan vegetasi di Indonesia bagian Barat (Sumatera dan kalimantan) dan Indonesia bagian Timur (Papua) akibat sejarah evolusi dan geologi lempeng bumi yang secara imaginer dipisahkan oleh garis Wallace. Berdasarkan ketebalannya, gambut dalam (> 2 meter) mendominasi lahan rawa gambut di Sumatera (46%) dan Kalimantan (49%). Sedangkan di Papua, gambut dangkal dan sedang (< 2 meter) adalah yang terluas (88%).
2. Kondisi Kimia Tanah HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua Tingkat kesuburan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan relatif rendah dengan keasaman yang tinggi. Data lahan gambut di Papua belum dapat disajikan karena masih memerlukan klarifikasi lapangan. Kandungan bahan organik lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan cukup tinggi (> 18%), namun kandungan mineralnya sangat rendah sampai sedang, seperti ditunjukan dari pada Tabel 3. Konsekuensi dari kondisi ini, perubahan fungsi HRG menjadi perkebunan akan memerlukan biaya tinggi untuk pengolahannya. Tabel 3. Kimia tanah HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua
Parameter
Sumatera
Kalimantan
Papua
pH (H2O) C-org (%) N-total (%) P-total (ppm) Pyrite (ppm) Ca (me/100g) Mg (me/100g) K (me/100g) Na (me/100g) KTK (me/100g) KB (%)
3,3 – 3,5 18,3 – 61,9 0,5 – 0,7 11,6 – 13,5 n.a. 3,3 – 6,2 2,0 – 2,7 0,2 – 0,7 0,4 – 0,7 58,8 – 73,8 7,5 – 28,0
3,3 – 4,2 23,0 – 57,3 0,6 – 1,2 18,0 – 38,8 103,0 – 237,1 1,3 – 29,2 1,4 – 3,5 0,1 – 0,3 0,1 – 0,9 96,4 – 153,9 4,0 – 29,0
n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a.
Tanah HRG di Sumatera dan Kalimantan bersifat masam. Tingginya keasaman lahan selalu diikuti dengan tingginya nilai tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB). Demikian pula tanah HRG ini mengandung pirit. Kadar C-organik umumnya > 20%. Hasil analisis menunjukkan terjadinya peningkatan nilai sifat kimia tanah gambut pada lahanlahan pertanian yang dikelola intensif. Peningkatan tersebut terutama pada lapisan permukaan, kecuali kadar C-organik, kemudian menurun dengan kedalaman tanah. Sintesis 2010-2014
|7
Dinamika unsur hara umumnya beragam hanya pada lapisan atas (0-40 cm) yang berhubungan dengan intensitas pengelolaan dan fluktuasi air tanah.
3. Tingkat Degradasi HRG Atas dasar fungsi tata airnya, tingkat degradasi HRG dibagi menjadi: (a) ekosistem gambut yang masih baik, dan (b) ekosistem gambut terdegradasi. Adapun indikator untuk masing-masing kategori adalah : Ekosistem gambut yang masih baik: (a) kubah gambut masih berfungsi sebagai resapan air dengan luasan > 30% masih tertutup tanaman keras alami; (b) kedalaman muka air tanah di musim kemarau maksimum 40 cm; (c) bersifat hidrofilik dengan pH ≥ 4; (d) serta nilai redoks potensial < 200 (mV). Sedangkan ekosistem gambut terdegradasi bila : (a) tidak berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30%; (b) kedalaman muka air tanah di musim kemarau diatas 40 cm; (c) bersifat hidrofobik dengan pH < 4; (d) serta nilai redoks potensial ≥ 200 (mV). Kriteria ekosistem gambut yang masih baik (lestari) antara lain adalah (a) kubah gambut masih berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30% dan masih tertutup tanaman jenis pohon lokal; (b) Kedalaman muka air tanah di musim kemarau maksimum 40 cm; (c) bersifat hidrofilik dengan pH ≥ 4; (d) serta nilai Redoks potensial < 200 (mV). Sedangkan ekosistem gambut dinilai telah rusak (terdegradasi) apabila (a) Tidak berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30%; (b) Kedalaman muka air tanah di musim kemarau diatas 450 cm; (c) bersifat hidrofobik dengan pH < 4; (d) serta nilai Redoks potensial ≥ 200 (mV). Berdasarkan kriteria ini hampir sebagian besar ekosistem hutan rawa gambut di pesisir pantai Barat Aceh termasuk kategori terdegradasi. Berdasarkan penutupan vegetasinya sebagian besar ekosistem hutan rawa gambut telah berubah menjadi ekosistem hutan sekunder. Sebagian hutan gambut sekunder yang berada di pinggir jalan telah dikonversi menjadi areal perkebunan (umumnya kelapa sawit). Sebagian besar hutan sekunder tersebut kemudian menjadi lahan terlantar dan terdegradasi. Atas dasar tutupan vegetasinya tingkat degradasi HRG dibagi dalam tiga kondisi yaitu: 1. HRG terdegradasi ringan masih ada jenis klimaks dan pioneer dengan potensi pohon dengan diameter diatas 40 cm kurang dari 30 m3/ha 2. HRG terdegradasi sedang, tersisa hanya jenis pioneer dan tidak ada jenis pohon klimaks. 3. HRG terdegradasi berat, tidak ada vegetasi pohon baik pioneer maupun klimaks Tingkat degradasi HRG akan menentukan pola rehabilitasinya. Semakin berat degradasinya, semakin intensif pola rehabilitasinya. Pola rehabilitasi akan dijelaskan pada Bab III buku sintesa ini. Sintesis 2010-2014
|8
4. Rancangan Penetapan Kriteria dan Indikator Kawasan Konservasi di HRG ex PLG Kalteng Penelitian “Rancangan Penetapan Kriteria dan Indikator kawasan konservasi di HRG ex PLG Kalteng” diarahkan pada K&I untuk Kawasan Konservasi Flora dan Fauna sehingga hanya mengambil K&I yang erat berhubungan dengan aspek tumbuhan dan satwa. Pada penelitian ini telah ditentukan sebanyak empat prinsip: (1) Biologi (Bobot 50 %) dengan tiga Kriteria (Penutupan Lahan, Flora, dan Fauna) dan 17 Indikator, (2) Fisik-Kimia (Bobot 20 %) dengan dua Kriteria (Fisik dan Kimia) dan tiga Indikator, (3) Sosial-Ekonomi-Budaya (Bobot 17,5 %) dengan empat Kriteria (Pemanfaatan Lahan, Mata Pencaharian, Pendapatan, dan Penduduk) dan 9amper9o Indikator, (4) Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Setelah dilakukan simulasi untuk berbagai kondisi, maka dapat ditentukan tingkat Nilai Konservasi sebagai berikut: 1. Nilai Konservasi Sangat Tinggi (NKST) dengan NTKI > 2.000 2. Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dengan NTKI > 1.500 – 2.000 3. Nilai Konservasi Sedang (NKS) dengan NTKI = 1000 – 1.500 Hasil pengujian di lokasi sekitar Camp Release dan sekitar Camp Bagantung menunjukan NTKI masing-masing 2.352,12 dan 2.370,12.Hal ini menunjukan bahwa ke dua lokasi termasuk dalam kategori NKST. Kesimpulan pertama dari penelitian ini adalah bahwa, kriteria flora dan fauna pada prinsip Biologi merupakan kriteria kunci sehingga mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kriteria lainnya dalam Prinsip Biologi. Oleh karena itu Kriteria Flora dan Kriteria Fauna, terutama untuk 9amper9or Status Konservasi, mempunyai pengaruh besar dalam menentukan nilai Prinsip Biologi. Indikator Pendapatan yang Berasal dari Hutan pada kriteria Pendapatan serta 9amper9or Kepadatan Penduduk pada kriteria Penduduk, menunjukkan tingkat rendah. Namun demikian, hal ini perlu diwaspadai mengingat kecenderungen kebutuhan hidup dan kepadatan penduduk yang terus meningkat sehingga berpotensi untuk memanfaatkan hutan secara illegal. Sebagai kesimpulan kedua, lokasi tempat pengujian nilai K&I yaitu sekitar Camp Release dan sekitar camp Bagantung mempunyai NTKI yang tidak jauh berbeda yaitu masing-masing 1.352,12 dan 1370,12. Nilai-nilai ini masuk dalam kategori Nilai Konservasi Sangat Tinggi (NKST).
Sintesis 2010-2014
|9
III.
TEKNOLOGI REHABILITASI HRG TERDEGRADASI (RPI 5.2.)
A. PENDAHULUAN Hutan sekunder dan terdegradasi merupakan gambaran umum tentang sumber daya hutan di Indonesia. Mengingat tingkat kerusakan HRG yang telah mencapai 50% dari luas total HRG, maka rehabilitasi merupakan kegiatan wajib dalam pengelolaan HRG. Oleh karena itu, komponen rehabilitasi bagian sangat penting dalam RPI 5. Seperti dijelaskan pada sub bab sebelumnya awasan HRG yang terbakar terbagi dalam tiga kategori kerusakan yaitu sedang, berat dan parah. Seperti diketahui bahwa hutan gambut sangat sensitif terhadap gangguan seperti kebakaran hutan dan mudah mengalami kerusakan lingkungan seperti peningkatan keasaman, defisiensi unsur hara, subsidence dan peningkatan emisi karbon (Agus dan Subiksa, 2008; Barchia 2006; Wibisono et al. 2005; Najiyati et al. 2005; Limin 2004). Berbeda dengan hutan alam lahan kering, tingkat kesulitan untuk pemulihan dan dampak yang diakibatkan oleh kerusakan HRG lebih tinggi dan komplek. Dari aspek sosial, ada keengganan sebagian masyarakat untuk berpartisipasi penanaman dengan menggunakan jenis pohon asli setempat. Masyarakat menilai bahwa jenis pohon lokal seperti tumih dan gerunggang tidak perlu ditanam karena alam telah menyediakan dengan cukup. Mereka mengharap dapat mengusahakan lahan gambut dengan jenis kelapa sawit atau karet. Sedangkan dari jenis pohon hutan mereka lebih memilih jelutung, jabon dan bahkan jati (masyarakat transmigran). Pemilihan jenis pohon menjadi isue penting dalam rehabilitasi lahan gambut. Jenis pohon terpilih harus memiliki kesesuaian dangan lahan gambut dan diterima oleh masyarakat. Dewasa ini dikenal lebih dari 50 jenis-jenis pohon HRG yang tergolong sebagai jenis pohon komersial baik untuk hasil kayunya maupun hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti resin, kulit kayu, buah dan minyak atsiri (Wibisono et al. 2005; Daryono. 2000; Soerianegara dan Lemmens. 1994). Pada tahap awal rehabilitasi lahan gambut terdegradasi diperlukan jenis pionir yang benih atau bibitnya mudah diperoleh. Seleksi diperlukan untuk menentukan jenis mana digunakan pada tahap awal rehabilitasi dan jenis mana untuk tahap lanjut atau tahap pengkayaan.
B. KEGIATAN LITBANG TAHUN 2010 – 2014 Kegiatan litbang rehabilitasi hutan rawa gambut (HRG) telah dilakukan oleh banyak pihak, namun banyak paket teknologi yang dihasilkan masih spesifik lokal sehingga aplikasinya terbatas pada kawasan lokasi uji. Kegiatan litbang rehabilitasi HRG terdegradasi yang dilakukan di HRG Aceh Selatan, Aceh, HLG. Londerang, Jambi, Sumsel, dan KHDTK Tumbang Nusa Kalteng, dirancang untuk menghasilkan paket teknologi yang lengkap dan dapat diaplikasikan pada beragam tipologi HRG di Indonesia.
1. Uji Phytoremediasi HRG Bersalinitas Tinggi Akibat Tsunami Hutan rawa gambut di pantai barat Aceh telah rusak sebelum tsunami. Di Kecamatan Bakongan dan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan serta Desa Pulo Sarok, Desa Ujung Sintesis 2010-2014
| 10
Bawang, Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, puluhan hektar hutan rawa gambut ditebang dan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Setelah tsunami, sebagian besar hutan ini menjadi lebih rusak. Penilaian ekologi terhadap daerah ini menunjukkan bahwa air laut yang terperangkap pada saat tsunami telah meningkatkan salinitas lahan gambut. Hal ini mengakibatkan pengaruh yang mematikan bagi vegetasi yang tumbuh diatasnya
2. Pengamatan Karakteristik Lahan dan Hutan Rawa Gambut Terdrainase Kegiatan ini dilaksanakan melalui kegiatan survey pada bentang lahan gambut sepanjang 29 km di daerah Kayuagung – Sepucuk dan Kebun Konservasi Plasma Nutfah Ramin dan Tanaman Kehutanan di Kabupaten OKI. Ke dua lokasi adalah hutan dan lahan rawa gambut yang telah didrainase dan dikelilingi oleh areal perkebunan kelapa sawit. Karakteristik lahan dan hutan rawa gambut yang diukur adalah: a) kondisi hidrologi (curah hujan, tinggi, fluktuasi dan durasi genangan air dan air tanah), b) karakteristik tanah (kedalaman dan subsidensi gambut, sifat-sifat kimia dan fisik gambut), c) jenis-jenis vegetasi.
3. Pengamatan Pertumbuhan Jenis-Jenis Pohon Lokal Pada Berbagai Kondisi Hidrologi Kegiatan ini akan dilaksanakan di Kebun Konservasi Plasma Nutfah Ramin dan Tanaman Kehutanan pada areal seluas 20 hektar di daerah Kedaton, Kabupaten OKI. Kebun percobaan yang telah dikelilingi oleh kanal perkebunan kelapa sawit dibagi menjadi dua bagian, yaitu: areal dengan parit yang dibendung/ditabat dan areal yang tidak dibendung. Pada setiap areal dibuat embung atau sumur kecil untuk memantau permukaan air tanah. Embung dibuat pada setiap jarak 100 meter membentuk rangkaian grid. Areal telah ditanami dengan beberapa jenis pohon lokal (jelutung, punak, meranti rawa, gemor). Variabel yang diukur adalah tinggi dan diameter tanaman, tinggi dan fluktuasi permukaan air tanah. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan 2 kali per tahun, pengukuran permukaan air tanah dilakukan setiap bulan.
4. Kajian Rehabilitasi Lahan Gambut Bekas Terbakar Di Jambi dan Kalimantan Tengah Kegiatan penelitian dengan judul “Kajian rehabilitasi lahan gambut bekas terbakar di Jambi dan Kalteng” difokuskan pada pengukuran dan perawatan berkala pada plot uji di HLG Londerang, Jambi; pengembangan plot uji dengan menerapkan input manajemen intensif di kawasan HTI PT Wira Karya Sakti; serta pengembangan plot percepatan suksesi alam di HLG Sei Buluh, Jambi.
C. HASIL PENELITIAN Hasil capaian kegiatan litbang rehabilitasi HRG yang dilakukan oleh 5 Unit Pelaksana Teknis Badan Litbang Kehutanan yaitu Puskonser, Bogor, BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Banjarbaru, BPTKSDA Samboja dan BPK Manokwari, dapat Sintesis 2010-2014
| 11
memberikan gambaran bagi strategi rehabilitasi HRG terdegradasi yang amat tergantung dari tingkat kerusakannya. Hasil-hasil sampai dengan akhir tahun 2012 masih harus diklarifikasi dengan data pengukuran selanjutnya. Beberapa kesimpulan dan rekomendasi sementara telah dapat diformulasikan pada sintesa antara ini seperti disajikan pada paragraf berikut.
1. Uji Phytoremediasi HRG Bersalinitas Tinggi Akibat Tsunami Pengukuran pertumbuhan awal dilakukan pada umur 3 bulan setelah tanam. Parameter yang diukur adalah tinggi tanaman dan persen hidup. Rata-rata tinggi tanaman dan persen hidup 3 bulan setelah tanaman pada ke dua plot ujicoba disajikan pada Tabel 4 berikut : Tabel 4. Pertumbuhan pada plot uji rehabilitasi di Aceh No. 1. 2. 3. 4.
Parameter Alstonia scholaris Gluta renghas Anthocephalus cadamba Terminalia catappa
Lokasi Plot Ujicoba Trumon Aceh Selatan Singkil Aceh Singkil Tinggi Rata-rata % Hidup Tinggi Rata-rata % Hidup 41 76 42 79 43 45 43 47 42 70 42 78 45 86 47 80
Dari sampel di atas terlihat bahwa persentase hidup masing-masing jenis di setiap plot sampel seragam, persentase hidup tertinggi pada masing-masing plot ada pada jenis ketapang (Terminalia catappa) yaitu 86% di Trumon, dan 80% di Singkil. Ini menunjukkan bahwa ketapang selain mampu tumbuh di daerah pantai juga tumbuh sangat baik di daerah rawa gambut.
2. Karakteristik Lahan dan HRG dengan Manajemen Drainase Kedalaman gambut awal diukur pada tahun 2007 sebelum lahan dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Pengukuran kedua dilakukan pada tahun 2012 setelah lahan didrainase dan dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pada tahun 2007 kedalaman gambut rata-rata 487,3 cm dan tahun 2012 menjadi 412,6 cm atau telah mengalami penurunan kedalaman gambut (subsidensi) rata-rata 74,73 cm selama 5 tahun atau 14,9 cm/tahun. Pada periode Mei – Desember 2012 jumlah curah hujan yang jatuh pada Kebun Konservasi Plasma Nutfah (plot percobaan) sebesar 1.169 mm dan jumlah hari hujan 88 hari dengan estimasi volume air 11.690 m3/ha. Curah hujan terendah terjadi pada bulan September sebesar 20 mm dan jumlah hari hujan 2. Cura hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember sebesar 389 mm dan jumlah hari hujan 22. Kedalaman air tanah terendah 117 cm terjadi pada bulan September dan tertinggi 13 cm pada bulan Desember. Sebelum aktivitas pembukaan kanal untuk mendrainase air, lahan gambut pada lokasi ini masih tergenang setinggi 25 cm pada bulan Mei 2010 dan 2 tahun setelah pembuatan kanal permukaan air tanah menurun sedalam 70 cm menjadi 45 cm di bawah permukaan gambut di bulan yang sama. Kedalaman gambut awal tahun 2007 adalah 600 cm dan
Sintesis 2010-2014
| 12
menurun menjadi 550 cm pada tahun 2012 atau gambut telah mengalami subsidensi sedalam 50 cm (rata-rata 10 cm/tahun).
3. Pertumbuhan Tanaman Uji Rehabilitasi Sumatera Selatan Pertumbuhan tanaman rehabilitasi jenis jelutung (Dyera lowii), punak (Tetramerista glabra), meranti (Shorea belangeran) dan gemor (Alseodaphne sp.) dipengaruhi oleh kedalaman air tanah. Semakin dalam penurunan air tanah, daya hidup tanaman rehabilitasi menurun. Pola yang sama terjadi pada riap tinggi dan riap diameter tanaman rehabilitasi. Rehabilitasi hutan rawa gambut bersulfat masam dapat dilakukan dengan memanfaatkan permudaan alam gelam (M. leucadendron) yang tumbuh melimpah pada areal hutan bekas kebakaran. Kerapatan kecambah gelam satu bulan setelah kebakaran berkisar antara 8 sampai 2.625 kecambah/m2 tergantung jarak dari tegakan pohon induk. Pertumbuhan permudaan alam gelam yang tumbuh pada lahan gambut sangat dalam dapat ditingkatkan melalui pemeliharaan tegakan. Permudaan buatan gelam diprioritaskan pada lahan rawa gambut bersulfat masam yang tidak ada atau sangat rendah tingkat permudaan alamnya
4. Uji Kesesuaian Jenis untuk Rehabilitasi Lahan Gambut Bekas Terbakar Pengembangan IPTEK rehabilitasi HRG bekas terbakar diarahkan pada teknik manajemen lahan (minimum input manajemen lahan di HRG Londerang serta optimum input manajemen lahan di kawasan PT WKS) serta kelompok komoditi pohon. Plot uji yang dibangun akan dapat menghasilkan paket teknologi rehabilitasi menyangkut manajemen lahan dan jenis pohon yang direkomendasikan. Pertumbuhan pohon pada plot uji di Jambi dan Kalteng, disajikan pada Tabel 5 s/d 10. Salah satu model rehabilitasi lahan gambut terdegradasi berat adalah melakukan penanaman dengan jenis pohon penghasil bio-diesel. Uji penanaman jenis penghasil biodiesel dilakukan di HLG Londerang yang merupakan lahan terdegradasi bekas terbakar dengan tingkat degradasi berat (tidak ada vegetasi tingkat pohon). Kawasan HRG ini juga rawan ekspansi tanaman sawit oleh masyarakat. Pada lahan HRG dengan kondisi ini penanaman harus dilakukan dengan segera dan menggunakan jenis cepat tumbuh. Pada umumnya masyarakat tidak akan menjarah lahan yang telah ditanami oleh pemerintah. Pada lahan gambut dengan tingkat kerusakan berat, sasaran rehabilitasi adalah menghindarkan penjarahan lahan dan meningkatkan produktivitas lahan. Informasi terkait kesesuaian jenis pohon untuk rehabilitasi sangat diperlukan dalam penyusunan rencana rehabilitasi lahan. Informasi kesesuain lahan yang akurat diperoleh dari plot uji jenis yang dibangun pada lahan gambut. Telah dibangun plot seleksi jenis tanaman pada lahan gambut terdegradasi. Jenis pohon yang diuji mencakup jenis pohon cepat tumbuh non gambut, jenis pohon keluarga dipterokarpa, jenis pohon penghasil bio-diesel an jenis pohon lokal HRG. Hasil pengujian disajikan pada tabel-tabel berikut.
Sintesis 2010-2014
| 13
Tabel 5. Pertumbuhan jenis pohon cepat tumbuh non gambut di HLG Londerang No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Jumlah yang Ditanam 54 61 54 57 121 58 40 4
Jenis Ficus variegata D.moluccana A.cadamba A.macrophylla Dyera lowii Ficus calosa N.orientalis O.sumatrana
Persen Tumbuh (%) 6 bln 12 bln 97,50 60,00 73,96 53,70 88,89 40,74 84,48 39,66 60,78 29,41 57,41 24,07 50,00 25,00 0 0
Tinggi (cm) 6 bln 12 bln 110,10 128,8 70,23 80,6 80,65 62,6 56,28 95,00 67,38 82,0 58,35 74,4 52,72 56,9 0 0
Tabel 5, menyajikan data pertumbuhan plot uji penanaman jenis pohon cepat tumbuh non gambut dengan pola minimum input manajemen lahan di HLG Londerang. Tabel 6, menyajikan data pertumbuhan plot uji penanaman jenis pohon cepat tumbuh non gambut dengan pola optimum input manajemen lahan di kawasan HTI PT WKS, Jambi. Tabel 6. Pertumbuhan jenis pohon cepat tumbuh non gambut di PT WKS No.
Jenis
1 2 3 4 5 6 7
A.macrophylla P.pinnata F.variegata A.cadamba N.orientalis F.callosa D.moluccana
0 bln 100 100 100 100 100 100 100
Persen tumbuh 6 bln 12 bln 75,56 13,7 100 100 73,34 33,3 72,22 27,8 91,11 91,1 97,78 75,6 56,67 5,1
24 bln 13,9 84,4 15,6 22,2 73,3 28,9 11,1
0 bln 66,0 78,9 63,1 61,4 53,7 34,9 47,4
Tinggi (cm) 6 bln 12 bln 65,5 96,4 73,0 117,6 70,0 99,2 57,4 73,2 62,2 90,1 56,7 86,8 61,6 47,4
24 bln 216,4 175,2 169,9 162,6 154,6 148,0 60,0
Jenis pohon cepat tumbuh non gambut yang berpotensi untuk dikembangkan adalah Pengamia pinnata, Ficus variegata dan Anthocephalus macrophylus. Namun demikian mengingat ketiganya bukan jenis asli lahan gambut, maka evaluasi harus dilakukan minimal sampai dengan umur tebang jenis cepat tumbuh yang berkisar antara 6 – 8 tahun. Jenis-jenis dipterokarpa juga diuji kemampuan tumbuhnya di lahan gambut di HLG Londerang (25 jenis) dan di kawasan PT WKS, Jambi (3 jenis). Keluarga dipterokarpa merupakan jenis dominan hutan hujan tropis di Sumatera dan Kalimantan. Pengujian jenis dipterokarpa sebelumnya telah dilakukan di kawasan HTI PT Indah Kiat, Riau. Dua jenis dipterokarka yaitu Shorea leprosula dan S. selanica. Sampai dengan umur 15 tahun (setengah daur tebang), kedua jenis tersebut tumbuh baik di lahan gambut Perawang, Riau (Gambar 1) dan telah menghasilkan bunga dan buah. Bila jenis yang diuji tumbuh baik dan mancapai masa reproduksi (berbunga dan berbuah), maka dapat disimpulkan bahwa jenis tersebut dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan yang baru tempat jenis tersebut diuji. RPI 5 kembali menguji jenis-jenis dari keluarga dipterokarpa di dua lokasi lahan gambut Jambi. Data pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di HLG Londerang, Jambi dan kawasan PT WKS, Jambi disajikan pada Tablel 5 dan 6. Namun sangat disayangkan plot uji di HLG Londerang, Jambi terbakar pada tahun 2013 dan 2014. Sedngkan plot di kawaan PT WKS masih tetap terjaga.
Sintesis 2010-2014
| 14
Tabel 7. Pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di HLG Londerang No.
Jenis
Ditanam
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Shorea leprosula S.selanica S.parvifolia S.seminis S.smithiana S.stenoptera S.javanica S.pinanga S.fallax S.ovalis S.guiso S.uliginosa S.multiflora S.balangeran S.macrophylla S.mecisopteryx S.johorensis S.virescens Hopea odorata H.dryobalanoides H.gregaria H.cernua Dryobalanops lanceolata Anisoptera marginata Parashorea spp
58 83 13 30 36 3 104 8 24 31 19 34 7 18 5 6 21 36 45 16 57 36 26 40 6
Persen tumbuh 6 Bln 12 Bln 63,8 43,1 72,3 39,7 69,2 23,1 81,1 46,7 83,3 36,1 66,7 66,7 73,1 47,1 75,0 25,0 87,5 50,0 58,1 19,3 63,2 47,4 82,4 50,0 71,4 28,6 66,7 33,3 60,0 60,0 50,0 16,7 57,2 14,3 0,0 0,0 73,3 33,3 93,8 37,5 71,9 40,3 47,2 19,4 65,4 19,2 72,5 42,5 83,3 66,7
Tinggi (cm) 6 Bln 12 Bln 66,5 80,7 59,6 64,2 62,0 110,0 62,1 73,1 62,1 75,4 47,5 67,5 61,9 76,8 68,7 90,0 47,1 69,3 48,2 57,3 56,9 82,4 57,5 64,0 39,2 86,0 57,5 66,2 56,5 119,3 26,7 30,0 57,5 76,7 0,0 0,0 54 68,5 51,6 60,2 48,8 67,4 49,4 54,0 49 59,4 66 84,6 29 29,5
Keterangan : Plot terbakar tahun Maret 2013 dan April 2014
Tabel 8. Pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di PT WKS No 1 2 3
Jenis S.belangeran S.selanica S.leprosula
0 Bln 100 100 100
Persen tumbuh 6 Bln 12 Bln 57,8 35,6 35,6 22,2 31,1 13,9
24 Bln 27,8 11,1 0
0 Bln 67,6 48,8 34,2
Tinggi (cm) 6 Bln 12 Bln 84,5 127,9 58,9 63,6 55,7 65,1
24 Bln 366,5 184,5 0
Berbeda dengan pengujian sebelumnya Shorea leprosula tidak dapat bertahan hidup di lahan gambut PT WKS. Namun jenis lain yang diuji yaitu S.balangeran dan S. selanica masih dapat bertahan tumbuh. Perbedaan kemampuan tumbuh kemungkinan diakibatkan dengan sistim pengolahan lahan di PT WKS yang dibersihkan dengan total. Sehingga bibit ter-ekspose cahaya matahari penuh (Gambar 2).
Sintesis 2010-2014
| 15
Gambar 1. S leprosula (kiri) dan S selanica (kanan) di lahan gambut Perawang, Riau
Gambar 2. Lahan penanaman dengan penyiapan lahan intensif (bersih total dan terbuka) di kawasan PT WKS, Jambi
Kelompok jenis pohon yang diuji selanjutnya adalah jenis pohon penghasil bio-diesel yaitu Schleiera oleosa, Pongamia pinnata dan Callophylum inophyllum. Pengujian dilakukan di HLG Londerang. Pongamia pinnata (malapari) menunjukan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan kedua jenis lainnya. Tabel 9. Pertumbuhan jenis pohon penghasil bio-diesel di HLG Londerang No
Jenis
Ditanam
1 2 3
Schleiera oleosa Pongamia pinnata Callophylum inophyllum
61 56 38
Persen tumbuh (%) 6 Bln 12 Bln 64,29 18,03 62,29 26,8 64,26 52,6
Tinggi (cm) 6 Bln 12 Bln 96,63 46,7 50,11 81,5 30,45 56,36
Keterangan : Plot terbakar tahun Maret 2013 dan April 2014
Kelompok jenis pohon terakhir yang diuji adalah jenis lokal HRG yang diuji di tiga lokasi yaitu HLG Londerang, Jambi (8 jenis), di CKPP Kalteng (7 jenis) dan di PT WKS, Jambi (7 jenis). Salah satu tujuan pengujian jenis lokal HRG adalah untuk mengetahui kemampuan jenis pohon lokal untuk tumbuh pada habitat yang telah mengalami kerusakan
Sintesis 2010-2014
| 16
berat. Pertumbuhan jenis-jenis pohon lokal HRG di ketiga lokasi uji disajikan pada Tabel 10, 11 dan 12. Tabel 10. Pertumbuhan jenis lokal HRG umur 12 bulan di HLG Londerang, Jambi No.
Jenis
Ditanam
1 2 3 4 5 6 7 8
Gonystylus bancanus Uranda scorpiodes Diospyros malam Callophyllum soulatri Callophyllum macrospermum Quercus bennetii Momalium caryophyllaceum Dillenia excelsa
37 66 50 42 43 20 43 14
Persen Tumbuh 6 Bln 12 Bln 45,9 27,0 68,2 37,9 56,0 52,0 66,7 69,0 81,6 48,8 60,7 50,0 90,7 48,8 64,3 21,4
Tinggi (cm) 6 Bln 12 Bln 60,2 72,1 43,9 54,1 28,9 40,2 40,3 54,3 39,9 56,8 57,5 56,8 29,3 37,8 46,2 59,3
Keterangan : Plot terbakar tahun Maret 2013 dan April 2014
Tabel 11. Pertumbuhan jenis lokal HRG di CKPP Kalteng umur 12 bulan No. 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Dyera lowii Crotoxylon arborescens Shorea uliginosa S. balangeran Callophyllum macrospermum Uranda scorpiodes Combretocarpus rotundatus
Ditanam 96 96 96 96 96 96 96
Tumbuh 65 67 48 54 25 23 78
Persen jadi 68 70 15 56 26 24 81
Tinggi (cm) 25,0 82,9 47,9 51,0 18,1 16,1 31,0
Tabel 12. Pertumbuhan jenis lokal HRG di PT WKS No
Jenis
1 2 3 4 5 6 7
Xylopia fusca C.inophyllum Quercus sp U.scorpiodes M.caryophyllaceum C.macrospermum A.umbrelifolia
0 Bln 100 100 100 100 100 100 100
Persen tumbuh 6 Bln 12 Bln 88,9 43,8 38,9 33,3 58,5 31,1 53,3 12,3 66,7 33,3 66,7 22,2 52,1 0
24 Bln 33,3 22,2 21,1 16,7 13,9 11,1 0
0 Bln 42,9 42,3 61,4 66,5 32,2 29,5 11,5
Tinggi (cm) 6 Bln 12 Bln 62,9 86,1 61,1 34,67 60,5 61,2 55,7 68,6 44,6 53,17 43,8 53,3 16,9 0
24 Bln 192,0 30,5 168,7 195,0 139,4 350,0 0
Tabel 10, 11 dan 12 menunjukan bahwa jenis lokal HRG dapat tumbuh di semua lokasi uji, namun demikian pertumbuhan awalnya (sampai dengan umur 2 tahun) relatif lebih lambat dibandingkan dengan jenis cepat tumbuh non gambut. Salah satu faktor utama penyebab kegagalan tumbuh jenis yang ditanaman di lahan gambut adalah kebakaran lahan, seperti yang terjadi di HLG Londerang, Jambi. Walaupun jenis lokal HRG khususnya kelompok jenis pioneer dapat tumbuh di berbagai tingkat degradasi lahan, namun kebakaran lahan akan menggagalkan setiap usaha rehabilitasi. Oleh sebab itu upaya penanganan kebakaran lahan gambut yang efektif harus diupayakan dengan berbagai aspek pendekatan seperti sosial, budaya, ekonomi dan teknis.
Sintesis 2010-2014
| 17
IV. INFORMASI ADAPTASI FENOLOGI JENIS-JENIS HRG (RPI 5.3.) A. PENDAHULUAN Perubahan iklim merupakan fenomena alam yang berlangsung saat ini akibat meningkatnya suhu bumi. Peningkatan suhu bumi diyakini akibat meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer. Aktivitas manusia modern yang banyak terkait dengan penggunaan bahan bakar dan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak bijaksana diyakini sebagai sumber emisi GRK. Perubahan iklim mempengaruhi proses biologi pada ekosistem bumi. Salah satu efek dari perubahan iklim adalah berubahnya pola reproduksi beragam jenis tanaman termasuk jenis-jenis pohon HRG. Berubahnya pola reproduksi pohon mengakibatkan tidak tersedianya benih dan bibit untuk berbagai tujuan penanaman seperti rehabilitasi hutan. Keberhasilan upaya rehabilitasi HRG khususnya dengan jenis potensial lokal amat tergantung dari ketersediaan anakan alamnya. Dewasa ini semakin sulit untuk memperoleh anakan dari jenis potensial HRG. Data fenologi jenis pohon HRG sangat diperlukan dalam upaya penyelamatan sumberdaya genetik untuk pemanfaatan jangka panjangnya.
B. KEGIATAN LITBANG 1. Kajian Fenologi Studi fenologi jenis potensial hutan rawa gambut dilakukan di dua lokasi yaitu : (1) Sei Senepis, Riau. Pengamatan dilakukan pada 15 jenis potensial HRG; dan (2) Tumbang Nusa, Kalteng. Pengamatan dilakukan pada 19 jenis potensial HRG. Pengamatan dilakukan secara periodik (sekali dalam dua minggu) oleh pengamat lokal pada pohon-pohon yang telah ditandai. Pada pengamatan dilakukan pencatatan fase fenologi pohon yang diamati yaitu: (1) berbunga/BG; (2) buah muda/BM; (3) buah tua/BT; dan (4) gugur bunga/GB. Data pengamatan selanjutnya disusun dalam bentuk matriks tahap fenologi bulanan pada jenis yang diamati.
C. HASIL PENELITIAN 1. Fenologi Jenis Potensial HRG Hasil pengamatan selama satu tahun anggaran di dua lokasi pengamatan telah menghasilkan informasi awal tentang fenologi yang disajikan pada Tabel 13. dan 14. Walaupun informasi rangkaian pembungaan sampai buah masak disajikan secara utuh, namun karena bulan pengamatan yang hanya 10 bulan maka perkembangan selanjutnya dilakukan prediksi atas dasar pengetahuan masyarakat petani hutan lokal. Agar dapat mengkaji pengaruh perubahan iklim terhadap fenologi jenis HRG, pengamatan fenologi perlu dilakukan secara berkelanjutan minimal dengan periode pengamatan 5 tahun.
Sintesis 2010-2014
| 18
Tabel 13. Fenologi jenis pohon potensial HRG di Sei Senepis, Riau JENIS
Jan
Balam
Feb
Mar
Apr
May
Jun
-
-
-
-
-
BG
BG
BM
BM
BT
BT
-
-
-
-
-
BG
BG
BM
BM
-
Bintangor
BM* BT*
BT*
Darah-darah
BG* BM*
B M * B T*
Durian
BM* BT*
Mempisang Gemor
-
-
BG* BM*
B T*
-
Jul
Aug
Sep
Okt
Nov
Dec
BG
-
-
-
-
-
-
BG
BG
BM
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
BG
B M * B T*
B T*
BM
Meranti batu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Meranti bunga
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
BT*
-
-
-
-
-
-
BG
BG
BM
Suntai/Nyatoh
BM* BT*
Pasak linggo
-
-
-
-
-
-
BG
BG
BM
BM
BT
BT
Punak
-
-
-
-
-
-
BG
BG
BM
BM
BT
BT
Ramin
-
-
-
-
-
-
BG
BG
BM
BM
BT
BT
Serapat
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Simpur
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
BT*
-
-
-
-
-
-
BG
BG
BM
BT
Oct
Nov
Dec
BG
BG
BM*
BG
BG
BM*
Terentang
BM
Keterangan : * = Prediksi tahapan fenologi; BG = Berbunga; BM = Buah muda; BT = Buah tua.
Tabel 14. Fenologi jenis pohon potensial HRG di Tumbang Nusa, Kalteng JENIS
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Geronggang
-
-
BG*
BG
BM
BM
BT
BT
BT
Pempaning
BT*
BG*
BG*
BM
BM
BT
BT
Darah-darah
BM*
BT*
BG*
BG*
BM
BM
BT
BG*
BG
BM
BM
BT
BG*
BM
BM
BM
BT
Punak Maharuang
BG*
Malam-malam
-
Merapat
-
Nyatoh
BG*
BG*
BM
Balangeran
BM
BM
BT
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
BM
BM
BT
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
BM
BM
BT
BT
BT
BG
BG
BM*
Ramin Meranti bunga
BG*
BG*
Pisang-pisang
BG
Pasir-pasir Terentang
BG*
BG
BM
BM
Kapurnaga
BM*
BT*
BT*
-
-
-
Lilin-lilin
-
-
-
-
-
-
Kompas
-
-
-
BG*
BG
BM
BM
?
?
-
-
-
BG*
BM
BM
BM
BM
BT
BT
BT
-
-
BG
BG
GB
Merapat
-
-
BG*
Pantung
-
-
-
Keterangan : * = Prediksi tahapan fenologi; BG = Berbunga; BM = Buah muda; BT = Buah tua; GB = Gugur bunga.
Sintesis 2010-2014
| 19
Pada pengamatan bulan Desember 2010, medang lendir (gemor) sedang berbunga, diprediksikan buah akan masak/tua (BT) pada bulan April dan Mei 2011. Kesempatan memperoleh benih jenis potensial HRG merupakan kesempatan yang langka. Oleh sebab itu bagi para pihak yang berkepentingan khususnya dalam penyelamatan jenis-jenis gemor dapat memanfaatkan masa berbuah yang diprediksi pada bulan April dan Mei 2011 untuk mendapatkan materi genetiknya.
Sintesis 2010-2014
| 20
V.
ALTERNATIF PENGELOLAAN HRG DENGAN POLA PARTISIPATIF (RPI 5.5.)
A. PENDAHULUAN Hutan rawa gambut (HRG) merupakan ekosistem yang unik karena memiliki biodiversitas flora dan fauna yang khas, seperti Gonystylus bancanus, Dyera polyphylla, Alseodaphne sp., Cratoxylum sp., Shorea teysmaniana dan Diospyros sp., yang memiliki nilai ekonomi, serta mampu menyimpan bahan organik dalam bentuk karbon di bawah permukaan tanah dalam bentuk biomassa vegetasi. Kalimantan merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki HRG terluas, selain Sumatera dan Papua (Wahyunto et al., 2004; Ritung et al., 2011). Hutan rawa gambut memiliki arti penting bagi fungsi-fungsi ekologis, hidrologis, biokimia dan nilai-nilai sosial. Pentingnya ekosistem HRG telah mendapat perhatian pemerintah. Secara nasional telah disusun dan dicanangkan ‘Strategi dan Rencana Tindak Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan” yang bertujuan untuk : (1) meningkatan kesadartahuan dan pengetahuan mengenai lahan gambut secara bijaksana dan berkelanjutan, dan (2) meningkatkan dan mendorong kerjasama antar Kabupaten/Kota/ Provinsi secara kolektif dengan pengelolaan lahan gambut, dan disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing (Departemen Dalam Negeri, 2006). Pengelolaan partisipatif merupakan salah bentuk model perhutanan sosial. Saat ini perhutanan sosial merupakan wujud perubahan paradigma pembangunan kehutanan, dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pembangunan berkelanjutan yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk, mengikutsertakan dalam pengambilan keputusan dan dapat mengubah penghidupan. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan HRG penting dalam keberhasilan pengelolaan hutan. Diperlukan pendekatan partisipatif dalam pengelolaan hutan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan serta monitoring, serta adanya skema insentif bagi masyarakat yang telah menjaga hutan dan sumber daya lahan (Dipokusumo, 2011). Pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat merupakan salah satu kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang mengakomodir kegiatan pengelolaan kawasan hutan dengan pola partisipatif yaitu: (1) program pembangunan hutan kemasyarakatan (HKm) berdasarkan Permenhut nomor P.52/Menhut-II/2011, (2) hutan desa berdasarkan Permenhut P.53/Menhut-II/2011, dan (3) hutan tanaman rakyat (HTR) berdasarkan Permenhut P.31/Menhut-II/2013. Melalui pelibatan masyarakat diharapkan pengelolaan hutan dapat berpihak bagi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
B. KEGIATAN LITBANG 1. Studi Biofisik HRG Kondisi hutan gambut dipelajari melalui beberapa pendekatan yaitu pendekatan vegetasi, kedalaman gambut dan muka air tanah. Data biofisik yang diamati berupa sifat kimia dan biologi tanah lokasi penelitian di hutan rawa gambut bekas terbakar dan Sintesis 2010-2014
| 21
dibandingkan dengan kondisi alaminya. Kedalaman gambut diukur dengan bor gambut, sekaligus untuk mengambil sampel gambut di berbagai kedalaman dan mengukur muka air tanah. Sampel gambut dibawa ke laboratorium untuk dilakukan analisa bulk density, kadar bahan organik gambut, dan kadar abu dengan menggunakan metode loss on ignition (LOI) (Agus et al., 2011). Analisa vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling menggunakan petak bersarang berukuran 20m x 100m dan petak kecil di dalamnya berukuran 5m x 40m (Hairiah et al., 2011).
2. Studi Sosial Ekonomi dan Partisipasi Masyarakat Masyarakat yang bermukim di sekitar hutan akan dilibatkan dalam pengelolaan HRG bekas terbakar, terutama dalam pemilihan jenis pohon dan penanaman, dengan menerapkan pola-pola partisipatif. Untuk mengetahui jenis-jenis penting bagi masyarakat, dilakukan pengumpulan data dengan cara wawancara semi terstruktur. Jenis tanaman akan dipilih berdasarkan hasil wawancara dengan memperhatikan kaidah-kaidah dan peraturan yang berlaku untuk merehabilitasi kawasan konservasi.
C. HASIL PENELITIAN TAHUN 2010 - 2012 1. Studi Biofisik Lokasi kegiatan di hutan rawa gambut KHDTK Tumbang Nusa dan di Sekitar Taman Nasional Sebangau. Peta petak pengamatan disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3.a. Penyebaran petak pengamatan studi biofisik di KHDTK Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah (tanda bintang = lokasi petak pengamatan)
Gambar 3.b. Taman Nasional Sebangau. Tanda = desa lokasi penelitian: Kelurahan Kereng Bangkirai, Desa Baun Bango dan Desa Tumbang Hiran (sumber: BTN Sebangau, 2013)
Analisa sifat kimia tanah gambut di berbagai tipe lahan menunjukkan adanya variasi parameter kimia tanah (Tabel 15).
Sintesis 2010-2014
| 22
Tabel 15.
Tipe HS1 HS2 HT97 HT04 AF_JH AF_JR AF_JK
Sifat kimia gambut lapisan atas (0-50 cm) di berbagai tipe penggunaan lahan di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah pH KCl
Ntotal (%)
P Bray (ppm)
KTK (me/100g)
Pirit (ppm)
4.2 4 3.9 4 3.9 3.7 3.7
1.86 0.44 2.02 0.85 1.02 0.91 1.8
30.4 18.3 23.9 18 38.6 21.4 38.8
153.88 128.26 131.73 96.4 136.34 152.42 143.57
112.81 115.02 115.78 102.99 237.14 103.36 113.09
Kadar Abu (%) 1.33 1.51 1.96 2.32 3.33 1.67 1.01
Kedalaman gambut (cm) 450 420 360 350 300 250 200
Keterangan: HS1= hutan rawa gambut sekunder plot 1; HS2 = hutan rawa gambut sekunder plot 2; HT97 = hutan rawa gambut terbakar tahun 97; HT04 = hutan rawa gambut terbakar tahun 2004; AF_JH = agroforest jelutung dan pohon hutan; AF_JR = agroforestri jelutung dan rambutan; AF_JK = agroforest jelutung dan karet.
Lahan gambut di Tumbang Nusa memiliki kedalaman bervariasi, mulai dari kedalaman 200 - 450 cm. Tidak tertutup kemungkinan, adanya kubah gambut dengan kedalaman lebih dari 5 m. Gambut bersifat masam, dengan kisaran pH 3,7 - 4,2, dan kapasitas tukar kation tertinggi di hutan sekunder dan terendah di hutan bekas terbakar tahun 2004 (tingkat kerusakan sedang). Tipe agroforest jelutung dan tanaman hutan (tumih dan gerunggang) memiliki kadar pirit tertinggi, hal ini diduga karena terbongkarnya gambut akibat aktivitas usaha tani setelah gambut mengalami kebakaran. Pada Gambar 4. terlihat distribusi kelas diameter hutan rawa gambut sekunder menyebar dengan normal mengikuti pola kurva J, dimana jumlah permudaan paling banyak, dan masih dapat dijumpai kelas diameter hingga lebih dari 50 cm. Sedangkan pada tipe hutan terbakar ringan, sebaran diameter hanya mencapai kisaran 20-30 cm, dan tidak terdapat pohon-pohon dewasa berdiameter besar. Pada hutan terbakar dengan tingkat kerusakan sedang (kebakaran berulang dan terakhir pada tahun 2004), kelas diameter pohonnya tidak lebih dari 20 cm. Di ketiga tipe hutan, kurva distribusi menyebar normal, dengan jumlah permudaan lebih tinggi daripada pohon dewasa.
Individu
HS
Gambar 4. Penyebaran kelas diameter di tiga tipe hutan di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah. (HS = hutan sekunder; HT97 = hutan terbakar ringan tahun 1997; HT04 = hutan terbakar sedang tahun 2004). Kelas Diameter (cm) Sintesis 2010-2014
| 23
Kerapatan jenis pohon di ke tiga tipe hutan menurun sesuai dengan tingkat kerusakan hutan. Hutan sekunder memiliki kerapatan pohon paling tinggi, kemudian hutan dengan tingkat kerusakan ringan dan hutan dengan tingkat kerusakan sedang memiliki kerapatan jenis pohon yang rendah. Pada lahan milik, di mana masyarakat mengelola lahan dengan berkebun dengan sistem agroforestri, terlihat bahwa agroforest karet+jelutung memiliki tingkat kerapatan pohon yang lebih tinggi daripada agroforest jelutung+rambutan. Rambutan hasil okulasi memiliki tajuk melebar, sehingga kerapatan pohon per luasan area lebih rendah dibandingkan dengan agroforest jelutung+pohon hutan dan jelutung +karet. Tabel 16.
Kerapatan individu dan jumlah jenis tinglat pohon di berbagai tipe hutan dan agroforest di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah Luas Kerapatan Jumlah plot (ha) (Individu/ha) jenis
Tipe HS HT97 HT04 AF_Jelutung+pepohonan AF_Jelutung+Rambutan AF_Jelutung+Karet
0,4 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2
1670 1360 655 425 325 445
40 40 9 4 3 4
Jenis dominan Calophyllum inophylum (Bintangur) Cratoxylon arborenscens (Gerunggang) Cratoxylon arborenscens (Gerunggang) Cratoxylon arborenscens (Gerunggang) Nephelium lappaceum (Rambutan) Hevea brassiliensis (Karet)
2. Studi Sosial Ekonomi dan Partisipasi Masyarakat Survey persepsi masyarakat dilakukan di Kecamatan Jabiren yang terdiri dari delapan desa dengan luas area 132.300 ha dengan jumlah populasi 8300 orang dari 2110 kepala keluarga (household). Pemilihan desa dilakukan berdasarkan dari variasi tipologi ke tiga desa, yaitu luas lahan rawa atau rawa gambut, yang dapat menentukan pengelolaan lahan dan usaha tani masyarakat. Menurut BPP Jabiren (2010), luas lahan rawa/rawa gambut di Tumbang Nusa, Pilang dan Jabiren berturut-turut sebesar 17.590, 14.550 dan 1.250 ha, dengan luas lahan kering berturut-turut 2.255, 2.800 dan 9.000 ha. Terlihat bahwa desa Tumbang Nusa memiliki area rawa dan rawa gambut yang paling luas di antara desa yang lain. Hal ini menyebabkan masyarakat desa Tumbang Nusa tidak dapat mengandalkan hidupnya dari bertani atau berkebun, karena hambatan faktor alam. Dari 35 orang responden, kepemilikan lahan sawah berkisar antara 0-7 ha dan lahan kebun berkisar antara 0->45 ha. Tidak ada satu pun responden dari Desa Tumbang Nusa yang memiliki lahan sawah. Komoditas pertanian dan perkebunan utama di ketiga desa karet dengan jumlah produksi karet 0.81 ton/ha/tahun (stdv: 0.72). Komoditas lain yang dapat dikembangkan di lahan gambut dangkal dan bernilai ekonomi adalah tanaman buah rambutan, cempedak dan paken (Durio kutejensis). Persepsi masyarakat petani terhadap kondisi gambut saat ini adalah lebih baik dibandingkan dengan kondisi gambut 5-10 tahun yang lalu. Ini diakibatkan karena gambut yang telah diolah menjadi semakin terdekomposisi sehingga sesuai untuk usaha pertanian. Kelembagaan dalam pengelolaan usaha tani dan kebun, mencakup adanya kelompok tani, koperasi dan pertemuan kerohanian (baik untuk nasrani maupun muslim). Kelompok tani di Kecamatan Jabiren mendapatkan bimbingan dan penyuluhan dari BPP, di mana satu orang penyuluh bertugas untuk satu desa. Menurut BPP (2010) tercatat 45 kelompok tani Sintesis 2010-2014
| 24
di seluruh desa di Kecamatan Jabiren, dengan delapan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani). Metode penyuluhan dilakukan dengan cara bimbingan teknis, ceramah dan diskusi, yang dilakukan dengan frekuensi 5-8 kali setahun (tergantung keperluan). Dalam pengelolaan lahan gambut, petani tentu memiliki berbagai kendala. Kendala utama dalam usaha perkebunan adalah kebakaran hutan (42.9% responden). Modal dan drainase menjadi kendala tetapi tidak terlalu berarti, karena masih dapat diatasi. Sedangkan hama dan penyakit kurang menjadi masalah dalam pengelolaan kebun di lahan gambut. Masalah di bidang kehutanan, sebagian besar petani (70%) yang menanam jelutung (Dyera polyphylla) dan Shorea balangeran tidak melakukan pemeliharaan dan pencegahan kebakaran di musim kemarau. Pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif di TN. Sebangau merupakan tipe partisipasi konsultasi dengan pendekatan pengambilan keputusan secara top down. Program kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat di TN. Sebangau, berupa pembentukan Forum Masyarakat (Formas), Regu Pemadam Kebakaran (RPK) dan Pam Swakarsa. Ketiga kelembagaan sudah cukup berkembang dengan baik, namun tingkat partisipasi masyarakat masih rendah. Jika kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian hutan tetap rendah, ada kecenderungan tingkat partisipasi berubah menjadi tingkat partisipasi manipulatif. Pengelolaan HD Kalawa, merupakan tipe partisipasi fungsional, dengan pendekatan bottom up. Secara umum, tingkat pemahaman masyarakat terhadap hutan desa dan pengelolaan partisipatif di hutan desa masih rendah, dan beranggapan HD tidak memberikan keuntungan (baik ekonomi, ekologi dan social) bagi masyarakat dan lingkungan, akan tetapi sebagian besar responden memiliki motivasi yang tinggi untuk menjaga hutan. Analisis kekuatan-kelemahan-peluang-ancaman (‘kekepan’) menunjukkan ada 4 faktor internal dan eksternal yang menjadi karakteristik pengelolaan TNS secara partisipatif, sedangkan pengelolaan HD Kalawa memiliki 5 faktor internal dan eksternal.
Sintesis 2010-2014
| 25
VI. DAMPAK DEFORESTASI HRG TERHADAP EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) (RPI 5.5.) A. PENDAHULUAN Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% pada tahun 2020. Emisi karbon nasional tergolong tinggi yaitu setara dengan 638,975 giga ton CO2 untuk total emisi, dan untuk emisi akibat alih fungsi hutan sebesar 36%. Salah satu tipe hutan di Indonesia adalah hutan rawa gambut (HRG) yang lahannya mengandung stok karbon terbesar pada ekosistem hutan. Potensi serapan karbon pada HRG tergolong tinggi yaitu sebesar 200 ton/ha (Agus, 2007). Di lain pihak diyakini emisi karbon dari HRG tergolong tinggi, oleh sebab itu upaya penurunan emisi dari HRG akan berpengaruh nyata terhadap emisi karbon nasional. Pengurangan emisi karbon dari HRG bersifat kompleks karena adanya variasi alami kedalaman gambut dan variasi vegetasi alaminya. Selain itu, adanya kenyataan bahwa lahan gambut telah dimanfaatkan secara luas baik untuk hutan tanaman, perkebunan maupun pertanian. Pengurangan emisi harus didukung oleh peningkatan serapan karbon yang didominasi oleh tumbuhan HRG. Biosekuestrasi adalah penyerapan dan penyimpanan gas karbondioksida dari atmosfer melalui proses-proses biologi. Proses biologi ini terjadi melalui peningkatan fotosintesis untuk menyerap emisi gas karbondioksida dari atmosfer melalui praktek-praktek seperti reforestasi, pencegahan deforestasi dan rekayasa genetik maupun melalui peningkatan karbon organik tanah di kawasan hutan. Data karbon stok, karbon organik tanah pada lanskap HRG sangatlah bervariasi dan kondisi ini tentunya akan mempengaruhi kualitas data yang tersedia. Adanya variasi data yang tinggi ini menghasilkan tingkat ketidakpastian data yang tinggi pula (high uncertainty) dan hal ini menjadi masalah yang selalu ditemui dalam kegiatan inventarisasi karbon stok, karbon organik tanah dan emisi metana pada lanskap HRG. Contoh tingginya uncertainty pada inventarisasi emisi HRG adalah data emisi kebakaran gambut memiliki variasi yang sangat tinggi dari beberapa hasil studi yang dibandingkan. Hal ini disebabkan oleh HRG memiliki tipologi yang sangat spesifik baik itu dari tingkat kematangan gambutnya maupun variasi jenis yang hidup di hutan lahan gambut. Penyediaan data karbon stok (melalui biosekuestrasi) dan data karbon organik tanah merupakan data penting yang diperlukan dalam upaya perhitungan tingkat serapan karbon di HRG.
B. KEGIATAN LITBANG Emisi GRK seperti CO2, CH4, N2O, dll., diyakini merupakan penyebab terjadinya pemanasan global yang selanjutnya menyebabkan terjadinya perubahan iklim global. Beberapa kesepakatan internasional seperti Kyoto Protokol dan REDD telah diratifikasi oleh banyak negara termasuk Indonesia. Negara-negara maju sepakat untuk menurunkan tingkat emisi GRK, dan Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% pada tahun 2020. Untuk memonitor progres penurunan emisi diperlukan data baik Sintesis 2010-2014
| 26
berupa biomas maupun emisi GRK. Penelitian Dampak Deforestasi HRG terhadap Emisi GRK bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi dampak deforestasi dan degradasi hutan terhadap aspek lingkungan, serta upaya target penurunan emisi 26% di sektor kehutanan. Kegiatan yang telah dilakukan adalah pengukuran biomas tegakan HRG dan pengukuran emisi gas CO2 di HRG bekas kebakaran, HRG bekas tebangan dan HRG terdegradasi dengan sistim drainase.
1. Pengukuran Biomasa Tegakan HRG Pengukuran biomasa tegakan dilakukan di HRG bekas tebangan tahun 1990 dan 1995 di Kalteng. Pengukuran biomasa dilakukan untuk menaksir cadangan karbon tegakan, nekromas, seresah dan tumbuhan bawah. Pengukuran biomasa tegakan meliputi tingkat pancang (DBH 2,5 cm – 9,9 cm) dan tingkat tiang (DBH 10 cm – 19,9 cm) dilakukan dengan mengukur DBH pada subplot dengan radius 7,32 m. Sedangkan pengukuran biomasa tegakan tingkat pohon (DBH > 20 cm) dilakukan dengan mengukur DBH pada annular plot dengan radius 17,95 m. Setelah mendapatkan data DBH semua tegakan, kemudian memasukkan data DBH tersebut kedalam persamaan allometrik yag telah diperoleh pada tahun sebelumnya.
2. Pengukuran Emisi Gas CO2 Pengukuran emisi gas CO2 dilakukan dengan metode chamber pada HRG primer, HRG bekas tebangan tahun 1990 dan tahun 1995; dan HRG terdegradasi dengan sistim drainase serta yang sudah dikonversi menjadi kebun sawit dan karet. Pengambilan sampel gas dilakukan pagi, siang dan sore hari.
C. HASIL PENELITIAN 1. Hutan Gambut Bekas Kebakaran Persamaan allometrik yang diperoleh dari hasil penelitian pada masing-masing lokasi adalah sebagai berikut: (a) di lokasi hutan rawa gambut bekas kebakaran berulang tiap tahun, Berat kering total = 0,098 (DBH)2,350 (R2 = 0,977); (b) di lokasi hutan rawa gambut bekas kebakaran setelah tiga tahun, Berat kering total = 0,069 (DBH) 2,602 (R2 = 0,951); (c) di lokasi hutan rawa gambut bekas kebakaran setelah delapan tahun, Berat kering total = 0,091 (DBH)2,501 (R2 = 0,943); dan (d) di lokasi hutan rawa gambut primer, Berat kering total = 0,102 (DBH)2,559 (R2 = 0,982). Berdasarkan persamaan allometrik lokal tersebut maka dapat diduga perubahan cadangan biomassa tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang dan pohon pada setiap lokasi sebagai berikut: di lokasi hutan rawa gambut bekas kebakaran berulang tiap tahun sebesar 11,6 ton/ha, di lokasi hutan rawa gambut bekas kebakaran setelah tiga tahun sebesar 32,3 ton/ha, di lokasi hutan rawa gambut bekas kebakaran setelah delapan tahun sebesar 60,6 ton/ha dan di lokasi hutan rawa gambut primer sebesar 169,9 ton/ha. Dari data tersebut terindikasi bahwa removal factor (faktor serapan) dari hutan rawa gambut kebakaran berulang tiap tahun yang pulih setelah tiga tahun dan delapan tahun memiliki rerata sebesar 3,7 ton C/ha/tahun atau setara 13,57 ton CO2 eq/ha/tahun. Kedalaman gambut di hutan rawa gambut kebakaran berulang tiap tahun, setelah tiga tahun, setelah delapan tahun dan hutan rawa gambut primer masing-masing Sintesis 2010-2014
| 27
adalah sebesar 4,3 m; 1,9 m; 2,0 m dan 4,3 m. Nilai pH di lokasi penelitian berkisar antara 3,5 sampai dengan 4,1. Suhu lingkungan di lokasi penelitian berkisar antara 240C sampai dengan 400C. Untuk water level berkisar antara 15 cm sampai dengan 128 cm. Sementara itu, tingkat persentase penutupan tajuk berkisar antara 1 % sampai dengan 99 %.
2. Hutan Gambut Bekas Tebangan Berdasarkan persamaan allometrik lokal biomassa total Y = 0,061 (DBH x kerapatan jenis kayu x tinggi total)1,464 maka dapat diduga perubahan cadangan biomassa pancang, tiang dan pohon pada setiap lokasi sebagai berikut:
Di lokasi hutan rawa gambut bekas tebangan tahun 1990 sebesar 34,79 ton/ha (pancang dan tiang), 56,21 ton/ha (pohon);
Di lokasi hutan rawa gambut bekas tebangan tahun 1995 sebesar 47,56 ton/ha (pancang dan tiang), 15,35 ton/ha (pancang, tiang dan pohon); dan di lokasi hutan rawa gambut primer sebesar 164,25 ton/ha.
Dari data tersebut terindikasi bahwa removal factor (faktor serapan) C (karbon) dari hutan rawa gambut bekas tebangan yang telah pulih setelah 17 tahun dan 22 tahun memiliki rerata masing-masing sebesar 1,68 tonC/ha/tahun dan 1,88 ton C/ha/tahun atau setara 6,53 ton CO2 eq/ha/tahun. Kedalaman gambut di hutan rawa gambut bekas tebangan tahun 1990, bekas tebangan tahun 1995 dan hutan rawa gambut primer masing-masing adalah sebesar 2,5 m; 2,0 m dan 4,3 m dengan potensi simpanan C masing-masing sebesar 1.642,69 tonC/ha; 1.461,72 tonC/ha dan 3.209,19 tonC/ha. Emisi gas CO 2 pada hutan rawa gambut bekas tebangan tahun 1990, bekas tebangan tahun 1995 dan hutan rawa gambut primer masing-masing sebesar 34,68 ton CO2/ha/tahun; 21,90 ton CO2/ha/tahun dan 14,60 ton CO2/ha/tahun. Berdasarkan analisis tren dinamika pemulihan biomassa karbon, maka diperlukan waktu perkiraan 41,79 tahun pada hutan rawa gambut bekas tebangan untuk mendekati jumlah biomassa karbon pada hutan rawa gambut primer. Nilai pH di lokasi penelitian berkisar antara 3,4 sampai dengan 4,0. Suhu lingkungan di lokasi penelitian berkisar antara 240 C sampai dengan 280C. Untuk water level di lokasi hutan gambut bekas tebangan berkisar antara 3 cm sampai dengan 120 cm. Sementara itu, tingkat persentase penutupan tajuk berkisar antara 90% sampai dengan 95%. Hutan gambut pada dasarnya memiliki keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah yang tinggi. Selain itu, hutan gambut juga memiliki fungsi jasa lingkungan yang tinggi juga seperti fungsi hidrologi dan fungsi simpanan karbon.Pendekatan konservasi dengan upaya perlindungan hutan gambut merupakan pilihan yang tepat dalam pengelolaan hutan gambut yang terganggu akibat kebakaran. Jika suatu hutan gambut telah terganggu akibat kebakaran dan kemudian terjadi kebakaran lagi maka kemungkinan besar hutan gambut tersebut akan sulit pulih kembali dan bisa terjadi disklimaks atau sulitnya pencapaian kembali ekosistem klimaks pada hutan gambut. Spesies-spesies tanaman yang memiliki potensi serapan biomassa maupun cadangan karbon yang tinggi serta memiliki tingkat keberadaan yang tinggi pada semua klaster penelitian dapat dijadikan pilihan bagi upaya rehabilitasi di hutan gambut yang terdegradasi akibat kebakaran hutan.
Sintesis 2010-2014
| 28
Hasil penelitian ini memberikan data dan informasi untuk mendukung upaya moratorium sebagaimana Instruksi Presiden No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Dalam Inpres tersebut, salah satu isinya menyebutkan bahwa salah satu tugas Menteri Kehutanan adalah meningkatkan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan memperhatikan kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik, antara lain melalui restorasi ekosistem. Hasil penelitian ini dapat mendukung upaya-upaya restorasi ekosistem dengan melakukan pemilihan spesies seperti jenis Ilex cymosa Blume., Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser. dan Cratoxylon arborescens Bl. yang memiliki resiliensi tinggi untuk hidup dan tumbuh pada semua lokasi hutan gambut bekas kebakaran sehingga upaya restorasi yang dilakukan akan semakin tinggi keberhasilannya. Dinamika cadangan karbon vegetasi pada hutan gambut bekas kebakaran memberikan dukungan data yang reliable dan valid untuk menentukan nilai faktor serapan pada hutan gambut bekas terbakar. Dukungan data ini dapat digunakan untuk menghitung target penurunan emisi dari hutan gambut melalui upaya konservasi cadangan karbon sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang di dalamnya menyebutkan target penurunan emisi setiap bidang (Tabel 17). Tabel 17. Target penurunan emisi setiap bidang (Perpres No. 61 tahun 2011) Target penurunan (Gt CO2e) Bidang 26%
41%
Kehutanan dan lahan gambut
0,672 (87,6%)
1,039 (87,4%)
Pertanian
0,008 (1,0%)
0,011 (0,9%)
Energi dan Transportasi
0,036 (4,7%)
0,056 (4,7%)
Industri
0,001 (0,1%)
0,005 (0,4%)
Limbah
0,048 (6,3%)
0,078 (6,6%)
0,767 (100%)
1,189 (100%)
Total
Nilai serapan karbon sebesar 13,57 ton CO2 eq/ha/tahun dapat digunakan sebagai removal factor untuk penghitungan emisi dengan pendekatan nett emission khususnya di Kalimantan Tengah pada areal hutan gambut bekas terbakar. Hasil penelitian ini juga memberikan acuan pihak lain untuk pendugaan cadangan biomassa karbon berdasarkan persamaan allometrik yang diperoleh.
3. Hutan gambut terdegradasi dengan sistim drainase Hasil pengukuran emisi CO2 pada lahan gambut terdegradasi dengan sistim drainase, dan HRG yang telah dikonversi menjadi kebun karet dan sawit disajikan pada Tabel 18 berikut.
Sintesis 2010-2014
| 29
Tabel 18. Emisi gas CO2 pada HRG terdegradasi dan di konversi dengan sistim drainase Lokasi pengukuran HRG terdegradasi Kebun karet Kebun sawit
CO2 (mg/m2/jam) 351,50 269,14 337,87
CO2 (ton/ha/th) 30,79 23,58 29,60
Analisis statistik terhadap hasil pengukuran emisi CO2 menunjukkan adanya pengaruh nyata dari perbedaan penutupan lahan (hutan terdegradasi, kebun karet dan kebun sawit) terhadap emisi CO2. Emisi karbon pada hutan terdegradasi lebih tinggi dibandingkan emisi pada kebun (sawit dan karet). Tingginya emisi pada hutan terdegradasi disebabkan oleh adanya saluran drainase yang dibuat secara intensif di sekitar hutan. Akses pada hutan tersebut dibuka dengan membuat jalan masuk. Saluran drainase dibuat membelah hutan dengan kedalaman saluran bervariasi mencapai 2 meter dan lebarnya mencapai 3 meter (Gambar 5)
Gambar 5. Saluran drainase di kawasan hutan terdegradasi Pada kebun karet dan sawit, meskipun gambutnya didrainase namun sistim drainasenya tidak seintensif yang ada di kawasan hutan terdegradasi. Kondisi lapangan lainnya yang memungkinkan terjadinya perbedaan angka emisi antara lain perbedaan ketebalan gambut. Tutupan hutan memiliki rerata ketebalan gambut 2,20 m, sedangkan karet dan sawit ketebalan gambutnya masing-masing 1,82 dan 1,68 m. Ketebalan gambut ini juga berpengaruh terhadap dinamika nilai fluks CO2 yang dihasilkan, baik pada proses keluarnya gas CO2 maupun proses dekomposisi yang menghasikan gas CO2 (Sylvia et al., 1998). Hasil pengukuran serapan karbon yang dilakukan dengan metode chamber dari ketiga kondisi tutupan lahan gambut (HRG terdegradasi, HRG konversi kekebun karet dan kebun sawit) disajikan pada Tabel 19 berikut. Sintesis 2010-2014
| 30
Tabel 19. Serapan karbon pada tiga kondisi HRG terdegradasi Tutupan lahan Hutan terdegradasi Kebun karet Kebun Sawit
Serapan CO2 (ton/ha/th) 41,74a 4,17b 1,77 b
Tingkat penyerapan karbon pada tutupan lahan berupa hutan terdegradasi cukup tinggi yaitu 41,74 ton CO2 eq/Ha/th, berbeda sangat nyata dengan serapan pada HRG yang dikonversi menjadi kebun karet dan kebun sawit. Emisi karbon erat kaitannya dengan jenis dan komposisi tanaman, sehingga sangat penting menghubungkan antara komposisi jenis tanaman dengan fungsi ekosistem gambut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan ekosistem jenis tanaman mempengaruhi proses-proses penting yang berkaitan dengan emisi gas rumah kaca (Handayani, 2009). Bila luasan konversi hutan gambut menjadi kebun tidak dikendalikan, bisa jadi emisi yang dihasilkan dari lahan kebun akan lebih tinggi dibandingkan dari lahan hutan. Pemulihan lahan terdegradasi kembali menjadi hutan akan mendukung komitmen dalam penurunan emisi GRK sebesar 26 % pada tahun 2020 dari tingkat emisi BAU (Bussiness as Usual/Tanpa Rencana Aksi). Besaran angka penurunan emisi GRK ini juga masih akan diperhitungkan kembali secara lebih akurat dengan menggunakan metodologi, data dan informasi yang lebih baik (Manurung, 2010). Berdasarkan kondisi tutupan lahan gambut dan emisi CO2 aktual, beberapa prioritas yang dapat ditempuh Kabupaten Katingan dalam upaya penurunan emisi CO 2: - Melakukan penabatan kanal untuk memulihkan hidrologis lahan dan mengurangi laju subsidensi lahan - Mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan gambut. Adanya kebakaran akan mengemisikan CO2 dalam jumlah besar. Selain itu akan mengakibatkan terbukanya lahan gambut sehingga dekomposisi gambut berlangsung lebih cepat. - Mempercepat rehabilitasi hutan dan lahan gambut terdegradasi melalui pengaturan tata air dan penanaman dengan tanaman lokal penambat karbon tinggi, - Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya hanya dilakukan dengan memperhatikan sistem drainase terkendali pada lahan terdegradasi yang stok karbonnya rendah, ketebalan < 3 meter dan substratumnya bukan pasir kwarsa. Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan karbon pada ekosistem gambut. Pembuatan drainase kerapkali dilakukan untuk mengatasi kandungan air gambut yang dapat mencapai 90% volume. Drainase ini diperlukan untuk pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit atau karet, namun harus terkendali karena sejak dimulainya drainase, wilayah gambut telah menjadi emiter CO2 akibat meningkatnya proses dekomposisi (Hendriks et al., 2007). Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi jenuh air berjalan sangat lambat, namun dengan adanya drainase, proses dekomposisi berjalan cepat (Rinnan et al., 2003; Kamela, 2012). Perkembangan jumlah penduduk akan diikuti oleh peningkatan kebutuhan lahan untuk kepentingan pembangunan seperti pengembangan perkebunan dan pertanian, pemekaran wilayah, pertambangan dan pemukiman. Untuk kepentingan ini hendaknya pemenuhan
Sintesis 2010-2014
| 31
kebutuhan lahan harus dikendalikan seminimal mungkin dari koversi tegakan hutan. Deforestasi dan degradasi yang tidak terkendali seperti penebangan liar; penambangan liar, kebakaran hutan, serta perambahan juga harus dicegah. Meminimalisir deforestasi dan degradasi akan menurunkan emisi secara signifikan, yang akan mendukung target penurunan emisi 26%.
Sintesis 2010-2014
| 32
VII.
SINTESIS
RPI dirancang untuk menyediakan data, informasi dan IPTEK yang diperlukan dalam pengelolaan hutan termasuk HRG. Sudah barang tentu akibat berbagai keterbatasan seperti kesediaan dana dan kemampuan SDM, tidak semua data, informasi dan IPTEK dapat dipenuhi selama periode 2010 - 2014. Sintesis ini akan mencoba menguraikan capaian RPI 5 yang sejalan dengan permasalahan pengelolaan HRG di Indonesia. Dalam lima tahun pelaksanaan RPI 5, Badan Litbang Kehutanan telah melaksanakan serangkaian riset pengelolaan lahan gambut terdegradasi yang dilakukan oleh enam SATKER yaitu BPK Aek Nauli, BPK Palembang, Puskonser Bogor, BPK Banjarbaru, BPTKSDA Samboja dan BPK Manokwari. Tingkat kesiapan aplikasi IPTEK dari data yang terkumpul sampai dengan akhir tahun 2014 sangat bervariasi dari topik-topik riset RPI 5. Berikut diuraikan sintesis untuk masing-masing topik risetnya.
A. Klasifikasi Tipologi dan Sebaran HRG (RPI 5.1.) Riset tentang klasifikasi tipologi dan sebaran HRG baru dilaksanakan di HRG Aceh, Jambi, Kalteng dan Papua. Data dari Papua belum dapat diikutkan dalam sintesa ini karena asih memerlukan klarifikasi. Kondisi biofisik dan tingkat degradasi ekosistem di kawasan tersebut telah dapat formulasikan. Untuk menilai tingkat degradasi ekosistem HRG telah diusulkan dua kriteria yaitu: (a) ekosistem gambut yang masih baik, dan (b) ekosistem gambut terdegradasi. Adapun indikator untuk masing-masing kategori adalah : Ekosistem gambut yang masih baik: (a) kubah gambut masih berfungsi sebagai resapan air dengan luasan > 30% masih tertutup tanaman keras alami; (b) kedalaman muka air tanah di musim kemarau > 40 cm; (c) bersifat hidrofilik dengan pH ≥ 4; (d) serta nilai redoks potensial < 200 (mV). Sedangkan ekosistem gambut terdegradasi bila : (a) tidak berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30%; (b) kedalaman muka air tanah ≥ 100 cm; (c) bersifat hidrofobik dengan pH < 4; (d) serta nilai redoks potensial ≥ 200 (mV). Atas dasar tutupan vegetasinya, ekosistem gambut terdegradasi selanjutnya dikelompokkan menjadi : (a) terdegradasi ringan, dimana masih terdapat jenis pohon pioneer dan jenis pohon klimax (b) terdegradasi sedang, masih tersisa jenis pohon pioneer (c) terdegradasi berat, tidak tersisa jenis pioneer maupun jenis klimax Khusus di kawasan ex PLG Kalteng telah disusun rancangan kriteria dan indikator untuk penilaian dalam menentukan kawasan konservasi. Adapun fungsi hutan lainnya Sintesis 2010-2014
| 33
seperti kawasan produksi, wisata dan bahkan kawasan yang layak untuk dikonversi, kajian untuk kriteria dan indikatornya belum dimasukkan dalam kegiatan RPI 5.1. Sampai dengan berakhirnya RPI di tahun 2014, informasi tipologi dan sebaran HRG daerah lainnya seperti di Riau, Jambi, Kalbar juga belum tersedia. Namun demikian metodologi dalam menilai klasifikasi tipologi HRG dan rancangan kriteria dan indikator untuk penilaian dalam menentukan kawasan konservasi dapat dijadikan acuan oleh Eselon I terkait seperti Ditjen Planologi dan Ditjen PHKA untuk kegiatan inventarisasi pada kawasan HRG lainnya seperti di Riau, Jambi, Kalbar, dll. Tipologi HRG yang telah dikaji merupakan HRG dataran rendah dengan kedalaman gambut berkisar 2 sampai 3 meter. Direkomendasikan agar riset sejenis juga dilakukan pada kawasan HRG dalam dan sangat dalam (Pantai Timur Riau) serta gambut pegunungan (Humbang Hasundutan).
B. Teknologi Rehabilitasi HRG (RPI 5.2) Uji coba phytoremediasi kawasan HRG terdegradasi telah dilakukan di Aceh Selatan dan Aceh Singkil untuk mengatasi masalah salinitas lahan gambut akibat tsunami; dan di Sumsel dan Kalteng untuk mengatasi tingkat keasaman lahan. Jenis pohon yang diuji di Aceh adalah Terminalia catappa, Alstonia scholaris, Anthocephalus cadamba, dan Gluta renghas. Pengujian di Sumsel dan Kalteng menggunakan jenis Dyera lowii), Tetramerista glabra, Shorea belangeran, dan Alseodaphne sp. Sampai dengan akhir 2014, data dinilai masih terlalu dini (baru merumur 3 - 12 bulan) untuk dapat menyimpulkan jenis unggulan untuk mengatasi masalah salinitas maupun keasaman lahan. Oleh sebab itu, rekomendasi jenis unggulan untuk rehabilitasi lahan gambut masih akan terus dievaluasi, minimal sampai jenis yang direkomendasikan dapat tumbuh hingga menunjukan kemampuan reproduktifnya. Pengembangan IPTEK rehabilitasi pada HRG bekas terbakar diarahkan pada aspek IPTEK pengaturan sistim drainase (dilakukan BPK Palembang); IPTEK percepatan suksesi alam (dilakukan Puskonser di HLG Sei Buluh, Jambi); IPTEK rehabilitasi dengan minimum input manajeman lahan (dilakukan Puskonser di HLG Londerang dan CKPP Kalteng), dan IPTEK rehabilitasi dengan optimum input manajeman lahan (dilakukan Puskonser di kawasan PT. WKS). Kajian pengembangan IPTEK pengaturan sistim drainase mengindikasikan terjadinya penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) sebesar 15 cm pertahunnya. Namun data ini masih perlu diklarifikasi dengan level subsiden alami dalam proses pematangan lahan gambut. Faktor lain penyebab subsiden seperti variasi pola usaha penanaman masih belum dikaji, diharapkan info ini dapat diperoleh pada tahun 2013. Kajian IPTEK rehabilitasi mengindikasikan pertumbuhan pada plot dengan input manajeman lahan intensif lebih prospektif, namun untuk merekomendasikan IPTEK tersebut harus menunggu sampai diperoleh data pertumbuhan umur diatas 2 tahun. Komoditi jenis-jenis pohon yang diuji pada RPI 5.2. dapat dikelompokan menjadi : (a) jenis lokal HRG seperti ramin, jelutung, tumih dan gerunggang sebanyak tujuh jenis; (b) jenis-jenis keluarga dipterokarpa sebanyak 25 jenis; (c) jenis cepat tumbuh non gambut delapan jenis; dan (d) jenis pohon penghasil bio diesel tiga jenis. Pengujian empat
Sintesis 2010-2014
| 34
kelompok komoditi jenis pohon tersebut ditujukan untuk menentukan jenis-jenis potensial untuk masing-masing kelompoknya. Bila telah dapat teridentifikasi maka jenis tersebut akan digunakan dalam strategi percepatan rehabilitasi kawasan HLG terdegradasi akibat kebakaran hutan. Sasaran ideal dalam rehabilitasi hutan adalah mengembalikan ekosistem hutan sampai tingkat klimaks. Namun, pada lahan gambut yang mengalami kerusakan berat akibat kebakaran, dimana vegetasi yang tumbuh hanya belukar, proses suksesi buatan akan memerlukan waktu panjang. Di lain pihak tekanan untuk membuka lahan gambut oleh masyarakat sangat tinggi, terutama pada lahan gambut yang sudah terbuka. Sehingga diperlukan percepatan suksesi dengan penanaman intensif jenis cepat tumbuh baik lokal maupun non-gambut. Strategi rehabilitasi akan berbeda pada masing-masing tingkat kondisi kerusakan lahan. Pada lahan gambut dengan tingkat kerusakan berat, dimana sudah tidak dijumpai vegetasi tingkat pancang, tiang dan pohon, rehabilitasi akan diarahkan pada teknik peningkatan produktivitas lahan dengan penanaman intensif (revegetasi) jenis pohon cepat tumbuh ataupun pohon penghasil bio-diesel. Sedangkan pada tingkat kerusakan sedang, di mana masih tersisa vegetasi pohon asli, rehabilitasi akan diarahkan pada teknik percepatan suksesi alam.
C. Adaptasi Fenologi Jenis-Jenis Pohon HRG (RPI 5.3) Walaupun riset pada RPI 5.3. ditujukan untuk mempelajari pengaruh perubahan iklim terhadap fenologi jenis pohon HRG, riset topik ini hanya dilakukan pada tahun 2010 (Puskonser) dan 2011 (BPK Samboja). Oleh sebab itu data yang diperoleh hanya dapat digunakan untuk prediksi musim berbunga dan berbuah. Sedangkan untuk mempelajari pengaruh perubahan iklim diperlukan pengamatan fenologi dan data iklim jangka panjang. Riset untuk mempelajari pengaruh perubahan iklim terhadap fenologi jenis pohon HRG dinilai sebagai riset dasar yang merupakan tupoksi LIPI. Sedangkan riset di Litbang Kementerian diarahkan ke riset terapan.
D. Alternatif Pengelolaan HRG dengan Pola Partisipatif (RPI 5.4) Kebakaran HRG menjadi isu nasional dan regional yang memerlukan solusi tepat untuk mengatasinya. Pada saat penyusunan RPI 5 belum diamanatkan secara khusus untuk mencari solusi terhadap masalah kebakaran gambut. Penanggulangan kebakaran gambut memerlukan pendekatan multi disiplin ilmu seperti aspek teknis, sosial budaya, ekonomi dan kelembagaan. Kegiatan RPI 5.4. telah melakukan pendekatan salah satu aspek sosial yaitu pola partisipatif dalam pengelolaan HRG. Hasil riset komponen RPI 5.4. mencakup informasi kondisi biofosik lokasi penelitian, kondisi sosial masyarakat dan model pengelolaan HRG partisipatif yaitu dengan pola penanaman campuran jelutung, karet, rambutan, cempedak, dll., di KHDTK Tumbang Nusa. Kegiatan lanjutan dilakukan di hutan dengan fungsi lindung, yaitu Taman Nasional Sebangau dan Hutan Lindung – Hutan Desa Kalawa, Kalimantan Tengah. Kondisi biofisik di hutan rawa gambut KHDTK Tumbang Nusa memiliki kondisi sifat tanah gambut yang relati fcukup baik, kecuali pada hutan bekas terbakar tahun 2004, Sintesis 2010-2014
| 35
memiliki KTK yang paling rendah (96.4 me/100g) dan P tersedia yang paling rendah (18 ppm) dibandingkan dengan lokasi lainnya. Kadar pirit di hutan sekunder dan bekas terbakar relatif aman, dengan kisaran 102-115 ppm, sedangkan lahan agroforest Jelutung+pepohonan memiliki kadar pirit yang paling tinggi (237.14 ppm). Tidak terlihat adanya hubungan peningkatan pirit dengan kedalaman gambut. Kedalaman gambut di petak pengamatan di Tumbang Nusa berkisar dari 200-460 cm Masyarakat di Kecamatan Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Komoditas utama yang dikembangkan oleh masyarakat adalah karet, dan jenis penghasil buah-buahan berupa rambutan, cempedak dan paken.Masyarakat di desa Tumbang Nusa tidak menjadikan pertanian sebagai sumber penghidupan utama seperti dua desa lainnya, Jabiren dan Pilang, karena kondisi alam dengan gambut dalam. Pertanian intensif maupun jenis-jenis eksotik, seperti karet, tidak cocok untuk dikembangkan di daerah ini. Beberapa model pengelolaan rawa gambut yang telah dilakukan oleh masyarakat setempat yaitu dengan memilih jenis-jenis lokal, seperti jelutung (Dyera polyphylla) dan balangeran (Shorea balangeran). Lahan yang tidak dapat digunakan sebagai areal pertanian semusim, digunakan sebagai areal pembibitan dan berkebun dengan pola agroforestri, atau menanam berbagai komoditas pada lahan yang sama. Kondisi biofisik HRG variasinya dinilai tidak begitu tinggi, dilain pihak kondisi sosial budaya sangat bervariasi terutama antar suku dan adatnya. Sehingga respon masyarakat terhadap pengelolaan hutan pola partisipatif dinilai akan berbeda antara suku dan adat masyarakatnya. Pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif di TN Sebangau merupakan tipe partisipasi konsultasi dengan pendekatan pengambilan keputusan secara top down. Program kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat di TN Sebangau, berupa pembentukan Forum Masyarakat (Formas), Regu Pemadam Kebakaran (RPK) dan Pam Swakarsa. Ketiga kelembagaan sudah cukup berkembang dengan baik, namun tingkat partisipasi masyarakat masih rendah. Jika kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian hutan tetap rendah, ada kecenderungan tingkat partisipasi berubah menjadi tingkat partisipasi manipulatif. Pengelolaan HD Kalawa, merupakan tipe partisipasi fungsional, dengan pendekatan bottom up. Secara umum, tingkat pemahaman masyarakat terhadap hutan desa dan pengelolaan partisipatif di hutan desa masih rendah, dan beranggapan HD tidak memberikan keuntungan (baik ekonomi, ekologi dan social) bagi masyarakat dan lingkungan, akan tetapi sebagian besar responden memiliki motivasi yang tinggi untuk menjaga hutan. Analisis kekuatan-kelemahan-peluang-ancaman (‘kekepan’) menunjukkan ada 4 faktor internal dan eksternal yang menjadi karakteristik pengelolaan TN Sebangau secara partisipatif, sedangkan pengelolaan HD Kalawa memiliki 5 faktor internal dan eksternal.
E. Dampak Deforestasi HRG terhadap Penurunan Emisi 26% (RPI 5.5.) Kehutanan menjadi salah satu sektor yang menyumbang emisi gas rumah kaca melalui tata guna lahan, perubahan tata guna lahan dan kehutanan (land use, land use change and
Sintesis 2010-2014
| 36
forestry-LULUCF) khususnya deforestasi hutan tropis. Salah satu upaya untuk mitigasi dampak perubahan iklim adalah melalui aksi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation/REDD) di negara berkembang. Dalam fase persiapan implementasi REDD, Indonesia perlu menyiapkan perangkat yang dibutuhkan untuk implementasi REDD/REDD-plus, baik metodologi (penetapan Reference Emission Level (REL), penghitungan karbon), system MRV. Propinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu propinsi yang menghadapi tekanan terhadap kawasan hutan yang cukup tinggi khususnya areal hutan gambutnya. Tingkat serapan dan emisi pada hutan gambut yang telah rusak dan terkonservasi penting juga untuk diketahui karena turut berkontribusi dalam pencapaian target penurunan emisi sektor kehutanan sebesar 0,672 G ton CO2e (26%) sampai dengan tahun 2020. Salah satu upaya penting untuk menekan emisi adalah dengan pemulihan HRG terdegradasi. Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa pemulihan hutan rawa gambut bekas tebangan dan hutan gambut bekas kebakaran memerlukan kurun waktu perkiraan masing-masing 41,8 tahun dan 25 tahun untuk pulih kembali mendekati jumlah biomassa karbon hutan rawa gambut primer. Riset deforestasi HRG dan kaitannya dengan emisi GRK yang dilakukan di Kabupaten katingan, Kalteng, telah memformulasikan persamaan allometrik pendugaan cadangan biomas. Berdasarkan persamaan allometrik lokal tersebut maka dapat diduga perubahan cadangan biomassa yang selanjutnya di konversi menjadi serapan CO2. Hasil perhitungan menunjukan bahwa selisih serapan karbon di HRG terdegradasi ke hutan primer sebesar 19 ton CO2 e/ha/thn. Serapan karbon tersebut masih jauh lebih tinggi dari emisi gambut sebesar 9 ton CO2 e/ha/thn dari penurunan ketebalan gambut (subsiden), atau ada surplus serapan karbon sebesar 10 ton CO2 e/ha/thn. Hasil serupa juga ditunjukan pada riset lanjutan yang dilakukan di lahan gambut Kabupaten Katingan pada HRG dengan sistim drainase (kanal). Total serapan CO2 pada tutupan hutan yang terdegradasi karena adanya drainase adalah sebesar 41,74 ton CO2 e/ha/th. Dilihat dari emisinya, tutupan hutan ini mengemisikan CO2 sebesar 30,79 ton/ha/th, atau lebih tinggi sebesar sekitar 20 ton CO2 e/ha/th dibanding HRG tanpa drainase. Disisi lain tingginya emisi karbon masih diimbangi dengan surplus resapan sebesar 11 ton CO 2 e/ha/th. Target penurunan emisi di Kabupaten Katingan akan dapat ditempuh melalui penabatan kanal, penanggulangan kebakaran gambut, percepatan rehabilitasi, dan pemanfaatan gambut terdegradasi dengan memperhatikan aspek ekologi gambut. Riset RPI 5.5. dinilai telah dapat memberi data yang dibutuhkan dalam mendukung kebijakan pemerintah terkait penurunan emisi sebesar 26%, namun riset masih perlu dikembangkan untuk mendukung inventarisasi GRK pada ekosistem gambut secara berkesinambungan dan mewakili beragam tipologi HRG di Indonesia. Riset resapan dan emisi GRK juga terkait erat dengan program REDD, namun riset RPI 5.5. belum diamanatkan untuk mendukung implementasi REDD. Pada RPI pasca 2014, RPI ini dapat dikembangkan untuk mendukung implementasi REDD.
Sintesis 2010-2014
| 37
VIII.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. KESIMPULAN 1.
Sebaran HRG di Sumatera (7,2 jt Ha), Kalimantan (6,5 jt Ha) dan Papua (10,9 jt Ha) diidentifikasi menggunakan citra satelit. Tipologi ekosistem HRG dikelompokan menjadi: (a) HRG dengan ekosistem yang masih baik; dan (b) HRG dengan ekosistem yang terdegradasi. Pengelompokan kondisi ekosistem HRG tesebut diformulasikan atas dasar parameter fungsi kubah gambut, kedalaman muka air tanah, keasaman serta nilai redoks potensial.
2.
HRG dengan ekosistem terdegradasi selanjutnya dikelompokan menjadi: (a) HRG terdegradasi dengan tingkat kerusakan ringan, masih tersisa jenis klimax dan pioneer; (b) HRG terdegradasi dengan tingkat kerusakan sedang, hanya tersisa jenis pioneer; dan (c) HRG terdegradasi dengan tingkat kerusakan berat, dimana tidak ada lagi vegetasi pohon.
3.
Strategi rehabilitasi dan restorasi HRG terdegradasi disesuaikan dengan tingkat degradasi HRG. IPTEK pola rehabilitasi yang sedang dikembangkan adalah: (a) “minimum input manajemen lahan”; (b) “optimum input manajemen lahan”; dan (c) “percepatan suksesi alam”.
4.
Tipologi HRG yang sesuai untuk ditetapkan sebagai kawasan konservasi flora dan fauna menggunakan kriteria dan indikator yang didasarkan pada komponen: (a) biologi dengan bobot 50%; (b) fisik-Kimia dengan bobot 20 %; (c) sosial-EkonomiBudaya dengan bobot 17,5 %; dan (d) kelembagaan dengan bobot 12,5 %.
5.
Model pengelolaan HRG dgn pola partisipatif yang melibatkan masyarakat hutan yang membentuk berbagai bentuk kelembagaan seperti Forum Masyarakat dan Regu Pemadam Kebakaran merupakan alternatif yang potensial untuk terus dikembangkan dalam upaya penyelamatan kawasan konservasi dan mitigasi kebakaran hutan..
6.
Serapan karbon di HRG terdegradasi ke hutan primer sebesar 19 ton CO2 e/Ha/th. Serapan karbon tersebut masih jauh lebih tinggi dari emisi gambut sebesar 9 ton CO 2 e/Ha/thn dari penurunan ketebalan gambut (subsiden). Pada HRG dengan sistim irigasi emisi karbon total tercatat sebesar 30,79 ton CO2 e/Ha/th, sedangkan penyerapan karbon lebih tinggi sebesar 41,74 ton CO2 e/Ha/th.
B. REKOMENDASI 1.
Pada HRG terdegradasi dengan tingkat kerusakan ringan, rehabilitasi dapat dilakukan dengan pola percepatan suksesi alam.
2.
Pada HRG terdegradasi dengan tingkat kerusakan sedang, rehabilitasi dapat dilakukan dengan pola minimum input manajemen lahan.
3.
Pada HRG terdegradasi dengan tingkat kerusakan berat dan status hutannya adalah Hutan Produksi, rehabilitasi harus dilakukan dengan pola optimum input manajemen lahan. Penanaman dapat menggunakan jenis asli HRG ataupun jenis pohon cepat tumbuh non gambut.
Sintesis 2010-2014
| 38
DAFTAR PUSTAKA Agus, F. 2007. Potensi dan emisi karbon di lahan gambut. Dalam Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air, Seminar MKTI-2 Tahun 2007. MKTI. Bogor. Agus, F., dan Subiksa, IGM. 2008. Lahan Gambut: Potensi Untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Agus, F, K. Hairiah, A. Mulyani. 2011. Pengukuran cadangan karbon tanah gambut. Petunjuk Praktis. World Agroforestry Centre dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor, Indonesia. Anonim. 2011. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Anonim. 2011. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Barchia, MF. 2006. Gambut Agroekosistem dan Tranformasi Karbon. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. BPP [Balai Penyuluh Pertanian]. 2010. Program Penyuluhan Pertanian Balai Penyuluh Pertanian Jabiren Raya. Kecamatan Jabiren Raya. Kabupaten Pulang Pisau. Provinsi Kalimantan Tengah. BPS [Biro Pusat Statistika]. 2011. Pulang Pisau Dalam Angka 2010. Biro Pusat Statistika Kabupaten Pulang Pisau. Pulang Pisau. Chapin, C.T., Bridgham, S.D. and Pastor, J. 2004. pH and nutrient effects on aboveground net primary productivity in aMinnesota, USA bog and fen. Wetlands 24, 186–201. Daryono, H. 2000. Kondisi Hutan Setelah Penebangan dan Pemilihan Jenis Pohon Yang Sesuai Untuk Rehabilitasi dan Pengembangan Hutan Tanaman di Lahan Rawa Gambut. Prosiding Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Litbang di Hutan Lahan Basah. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Departemen Dalam Negeri. 2006. Strategi dan Rencana Tindak Nasional: Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Kelompok Kerja Pengelolaan Lahan Gambut Nasional. Departemen dalam Negeri. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan P.70/Menhut-ll/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Jakarta. Hairiah, K, A. Ekadinata, R .R.Sari, S. Rayahu. 2011. Pengukuran cadangan karbon dari tingkat lahan ke bentang lahan. Edisi 2. World Agroforestry Centre, ICRAF South East Asia. Bogor. Hartatik, W., I.G.M. Subiksa, A. Dariah. 2011. Sifat kimia dan fisik tanah gambut. Dalam: Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Pp:45-56. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/lainnya/wiwik%20 hartatik.pdf.
Sintesis 2010-2014
| 40
Hooijer, A., S. Page, J.G. Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wosten, J. Jauhianen. 2009. Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences Discuss. 6:7207-7230. Hoscilo, A., S.E. Page, K. Tansey. 2007. The role of fire in the degradation of tropical peatlands: a case study from Central Kalimantan. In: Rieley, J.O., Banks, C.J. and Radjagukguk, B. (eds). Carbon-climate-human interaction on tropical peatland. Proceedings of The International Symposium and Workshop on Tropical Peatland, Yogyakarta, 27-29 August 2007, EU CARBOPEAT and RESTORPEAT Partnership, Gadjah Mada University, Indonesia and University of Leicester, United Kingdom. IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance). 2008. Reducing Emission from Deforestation and Degradation in Indonesia. Consolidation Report. Inubushi, K., Y. Furakawa, A. Hadi, E. Purnomo, and H. Tsuruta. 2003. Seasonal change of CO2, CH4 and N2O fluxes in relation to land-use change in tropical peatlands located in coastal area of South Kalimantan, Chemosphere. 52:603-608. IPCC. 2001. IPCC Third Assessment Report. IPCC Guideline. 2006. Land Use, Land Use Change and Forestry. UNFCCC. Kementerian Kehutanan. 2010. Peraturan Menteri Kehutanan P.26/Menhut-ll/2010 tentang Perubahan terhadap Peraturan Menteri Kehutanan P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Kettering, Q.M., R. Coe, M. van Noordwijk, Y. Ambagau, C.A. Palm. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above ground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management 146:201-211. Koh, L.P., J. Miettinen, S.C. Liew, and J. Ghazoul. 2011. Remotely sensed evidence of tropical peatland conversion to oil palm. PNAS Early Edition. 2011. www. pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas. 1018776108. Lamb, D. and D. Gilmour. 2003. Rehabilitation and Restoration of Degraded Forests. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK and WWF, Gland, Switzerland. x +110 pp. Limin, SH. 2004. Kondisi Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah dan Strategi Pemulihanya. Dalam: Prosiding Kesiapan Teknologi Untuk Mendukung Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah (Eds. Tampubolon, AP., Hadi, TS., Wardani, W., dan Norliani). Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Banjarbaru. Ma’as, A. 2003. Peluang dan konsekuensi pemanfaatan lahan rawa pada masa mendatang. 2003. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Cambridge University Press. UK. Maswar, O. Haridjaja, S. Sabiham, M. van Noordwijk. 2011. Kehilangan karbon pada berbagai tipe penggunaan lahan gambut tropika. Jurnal Tanah dan Iklim. 34:13-25.
Sintesis 2010-2014
| 41
Miettine, J., C. Shi, and S.C. Liew. 2011. Two decades of destruction in Southeast Asia's peat swamp forests. Frontiers in Ecology and the Environment. 2011; doi: 10.1890/100236. Najiyati, S., Asmana, A., dan Suryadiputra, INN. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Lahan Gambut. Wetlands International. Canadian International Development Agency. Odum, 1969. The strategy of ecosystem development. Science 164:262-270. Rudel, T.K. Succession theory: reassessing a neglected meta-narrative about environment and development. 2009. Human Ecology Review. 16(1):84-92. Soerianegara, I., and Lemmens, RHMJ. 1994. Plant Resources of South-East Asia. Timber Trees: Major Commercial Timbers. PROSEA, Bogor, Indonesia. Wahyunto, S. Ritung, Suparto, and H. Subagjo. 2004. Map of peatland distribution area and carbon content in Kalimantan, Wetland International-Indonesia program and Wildlife Habitat Canada (WHC). Bogor. Wibisono, ITC., Siboro, L., and Suryadiputra, INN. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Wetlands International. Canadian International Development Agency.
Sintesis 2010-2014
| 42