49
HASIL DAN PEMBAHASAN Penutupan/Penggunaan Lahan Aktual Informasi penutupan/penggunaan lahan diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah
(Bappeda)
Kabupaten
Pasaman
Barat.
Peta
penutupan/penggunaan lahan dilihat dengan interpretasi citra satelit Landsat tahun 2008 yang diverifikasi dengan pengecekan lapangan (ground check) secara kontinyu dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Hasil analisis menunjukkan bahwa struktur penutupan/penggunaan lahan pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: penutupan/penggunaan lahan berupa perkebunan kelapa sawit menempati luas terbesar yaitu 100.642 ha (28,46%), disusul oleh pertanian lahan kering seluas 87.595 ha (24,77%), hutan 74.304 ha (22,06%), pertanian campuran 45.557 ha (12,88 %), sawah seluas 27.231 ha (7,70 %) yang terdiri dari sawah beririgasi 20.550 ha dan sawah tadah hujan sebesar 6.681 ha, semak belukar sebesar 10.300 ha (2,91 %), pemukiman sebesar 3.699 ha (1,05%), semak belukar rawa sebesar 2.826 ha (0,8 %), tanah terbuka sebesar 1.329 ha (0,38%) dan rawa sebesar 106 ha (0,03%). Kelas penutupan dan penggunaan lahan Kabupaten Pasaman Barat Tahun 2012 disajikan pada Gambar 7 dan Tabel 19. Tabel 19. Penutupan/Penggunaan Lahan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Penutupan / Penggunaaan Lahan Hutan Primer Hutan Mangrove Sekunder Hutan Rawa Primer Hutan Rawa Sekunder Hutan Sekunder Hutan Tanaman Pemukiman Pertanian Campuran Perkebunan Pertanian Lahan Kering Rawa Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Semak Belukar Semak belukar rawa Tanah Terbuka Jumlah
Luas (ha)
Persentase (%)
9.494 1.530 187 12.581 49.332 1.180 3.699 45.557 100.642 87.595 106 20.550 6.681 10.300 2.826 1.329 353.588
2,69 0,43 0,05 3,56 13,95 0,33 1,05 12,88 28,46 24,77 0,03 5,81 1,89 2,91 0,80 0,38 100,00
50
Sawah Semak Tadah Belukar Hujan 3% 2% Sawah Irigasi 6%
Rawa 0%
PENGGUNAAN LAHAN
Hutan Semak belukar Hutan Primer Rawa Primer rawa 3% 0% 1% Tanah Terbuka 0%
Pertanian Lahan Kering 25%
Hutan Rawa Skunder 4% Hutan Skunder 14% Pemukiman Hutan Mangrove 1% Skunder Hutan Tanaman 0% 0%
Perkebunan 28% Pertanian Campuran 13%
Gambar 7. Diagram Persentase (%) Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Pasaman Barat Tahun 2012 Perkebunan kelapa sawit mendominasi tutupan lahan di Kabupaten Pasaman Barat, yaitu sebesar 100.642 ha (28,46%) dari total luasan penutupan lahan, sedangkan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian pangan berupa sawah irigasi dan sawah tadah hujan hanya memiliki luasan sebesar 27.231 ha (7,70 %) dari total luasan penutupan lahan. Data ini menunjukkan bahwa bahwa luas lahan pertanian pangan khususnya padi sawah lebih kecil dibandingkan dengan penutupan/penggunaan lahan berupa perkebunan bahkan setiap tahunnya lahan sawah terus mengecil beralih fungsi ke perkebunan kelapa sawit (pengecekan ke lapangan pada tahun
202). Pengecekan langsung di lapangan tahun 2012 ini sudah 2 (dua) kecamatan di Kabupaten Pasaman Barat lahan sawahnya 100 % beralih fungsi ke perkebunan kelapa sawit yakni Kecamatan Sasak Ranah Pasisie dan Kecamatan Sungai Aur. Penutupan/penggunaan lahan lahan berupa sawah irigasi dan sawah tadah hujan berada menyebar merata di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Sebaran kelas penutupan/penggunaan lahan secara spasial dapat dilihat pada
Gambar 8.
51
Gambar 8. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2012 Kabupaten Pasaman Barat Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Padi Sawah Lahan aktual adalah lahan sawah yang telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan yang terdiri dari sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Lahan potensial adalah lahan yang memiliki potensi teknis dan kesesuaian lahan yang sangat sesuai, sesuai, dan agak sesuai untuk areal persawahan ataupun untuk pertanian pangan. Yang masuk dalam kategori lahan potensial adalah rawa, semak belukar dan semak belukar rawa. Identifikasi potensi lahan pertanian pangan khususnya untuk tanaman padi sawah merupakan penilaian tingkat kesesuaian lahan berdasarkan karakteristik fisik dan alamiah dari komponen-komponen lahan. Proses penilaian kelas kesesuaian lahan atau evaluasi lahan menggunakan peta kesesuaian lahan untuk menentukan wilayah mana saja yang sesuai secara fisik dan alamiah untuk pengembangan tanaman
padi
sawah.
Pada
prinsipnya
penilaian
kelas
kesesuaian
lahan
dilaksanakan dengan cara mencocokkan data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel kriteria kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan
lahan
yang
mencakup
pertaniannya, pengelolaan dan konservasi.
persyaratan
tumbuh/hidup
komoditas
52
Penentuan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah menggunakan beberapa kriteria yang dianggap mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Kriteria penentuan areal untuk tanaman padi sawah mengacu pada kriteria-kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah (LREP II, 1994) dalam Hardjowigeno, Widiatmaka (2007). Kriteria yang digunakan antara lain adalah: banjir dan genangan musiman, kedalaman solum, ketinggian tempat, lereng dan keadaan permukaan, zone agroklimat, pH/Reaksi tanah lapisan atas, kesuburan tanah, kelas drainase, serta tekstur tanah Paralel dengan proses pembuatan peta penggunaan lahan, proses analisis kelas kesesuaian lahan juga dilakukan secara spasial dengan proses tumpang tindih antara peta banjir dan genangan musiman, peta drainase, peta ketinggian, peta tekstur tanah, peta kedalaman tanah, peta lereng dan keadaan permukaan, peta zone agroklimat, peta pH, serta peta tekstur tanah sehingga diperoleh peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah. Kelas kesesuaian lahan disusun sampai tingkat kelas yakni kelas sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) dan Tidak Sesuai (N). Peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Peta Kelas Kesesuaian Lahan Tahun 2012 Kab. Pasaman Barat.
53
Berdasarkan hasil pengolahan data spasial diperoleh informasi bahwa Kabupaten Pasaman Barat memiliki kelas kesesuaian lahan S1, S2, S3 (Sesuai) dan N (Tidak Sesuai) yang tersebar hampir di semua wilayah. Kelas kesesuaian lahan S1 seluas 153.600 ha, S2 seluas 2.100 ha, S3 seluas 68.600 ha dan N seluas 156.300 ha. Hasil analisis kelas kesesuaian lahan menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Pasaman Barat atau sekitar 60% berada pada kelas kesesuaian lahan S yang secara teknis sangat subur untuk pengembangan tanaman padi sawah, sedangkan kelas kesesuaian lahan yang tidak sesuai N sekitar 40%. Kelas kesesuaian lahan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Padi Sawah di Kab. Pasaman Barat Kelas Kesesuaian Lahan
Luasan (ha)
S1 S2 S3 N Jumlah
153.600 2.100 68.600 156.300 380.600
Persentase (%) 40 2 18 40 100
Informasi mengenai kesesuaian lahan aktual dan potensial, disajikan pada Tabel 21 dan Gambar 10. Tabel 21. Kesesuaian Lahan Aktual dan Potensial Kabupaten Pasaman Barat No. 11 12 13 14 15
Penutupan / Penggunaaan Lahan Rawa Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Semak Belukar Semak belukar rawa Jumlah
S1 106 15.811 3.925 1.093 986 21.921
Kelas Kesesuaian Lahan Sesuai S2 S3 287 204 491
4.732 2.038 85 6.855
N
7 2.756 6.881 281 9.925
Luas (ha) 106 20.550 6.681 10.299 1.556 39.192
Dari hasil análisis diketahui bahwa, penggunaan lahan yang mendominasi tutupan lahan pada lahan sawah berupa sawah irigasi seluas 20.550 ha atau 76%, selanjutnya sawah tadah hujan seluas 6.681 ha atau 24%. Hasil analisis terlihat bahwa penggunaan lahan pertanian berupa sawah irigasi mendominasi penggunaan lahan pada lahan sawah. Ditinjau dari aspek peruntukan kawasan, penggunaan lahan di Kabupaten Pasaman Barat telah sesuai dengan arahan penggunaan lahan
54
karena sawah irigasi merupakan kawasan budidaya yang berdasarkan kondisi dan potensi sumberdaya yang ada dapat dilakukan kegiatan/aktifitas budidaya diatasnya (Gambar 11, 12 dan 13).
Gambar 10. Peta Kesesuaian Lahan (2012)
Gambar 11. Peta Lahan Sawah Irigasi dan Tadah Hujan (2012) Kab. Pasaman Barat
55
Analisis dan Identifikasi Luas Lahan Aktual dan Potensial Identifikasi luas lahan aktual dan lahan potensial untuk padi sawah yang dapat diusulkan sebagai LP2B dan LCP2B dilakukan dengan melakukan proses tumpang tindih antara peta lahan aktual (sawah irigasi dan tadah hujan) dan lahan potensial (rawa, semak belukar dan semak belukar rawa) dengan peta kesesuaian lahan yang telah dianalisis pada tahap ke 2. Lahan Aktual Secara aktual kelas kesesuaian lahan yang berada pada areal persawahan di Kabupaten Pasaman Barat adalah untuk sawah irigasi, kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1) seluas 15.811 ha, sesuai marginal (S3) 4.732 ha dan tidak sesuai (N) 7 ha. Untuk sawah tadah hujan, kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1) seluas 3.925 ha dan tidak sesuai (N) 2756 ha dari total luasan sawah aktual yang tersebar di 9 kecamatan yaitu: Kecamatan Kinali, Luhak Nan Duo, Talamau, Pasaman, Gunung Tuleh, Lembah Melintang, Koto Balingka, Ranah Batahan dan Sungai Beremas.
Gambar 12. Sawah Irigasi yang Dikategorikan Sebagai Lahan Sawah Aktual
56
Gambar 13. Sawah Tadah Hujan yang Dikategorikan Sebagai Lahan Sawah Aktual Identifikasi lahan aktual diharapkan nantinya dapat diusulkan sebagai LP2B. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) pasal 22, Lahan yang dapat ditetapkan menjadi LP2B harus memenuhi kriteria : a. Berada pada kesatuan hamparan lahan yang mendukung produktivitas dan efisiensi produksi; b. Memiliki potensi teknis dan kesesuaian lahan yang sangat sesuai, sesuai, atau agak sesuai untuk peruntukan pertanian pangan; c. Didukung infrastruktur dasar; dan/atau d. Telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan. Persyaratan tersebut menjadi acuan dalam penentuan lahan aktual yang diusulkan LP2B, diantaranya: (a) Lahan tersebut telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan, (b) Lahan yang memiliki kelas kesesuaian lahan S. Dari hasil analisis berdasarkan kriteria tersebut, diketahui bahwa potensi lahan aktual terluas terletak di Kecamatan Kinali dengan luas 8.002 ha atau 29% dari total luas lahan aktual, sedangkan luasan lahan aktual terkecil berada di Kecamatan Koto Balingka dengan luas sebesar 273 ha atau 1% dari total luas lahan aktual. Selengkapnya disajikan pada Tabel 22 dan Gambar 14.
57
Tabel 22. Luas Lahan Aktual sebagai LP2B berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Pasaman Barat
No.
Kecamatan
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
2 G.Tuleh Kinali Pasaman Talamau Luhak ND Sasak RP S.Aur L. Melintang K.Balingka R.Batahan S. Beremas Jumlah
S1 279 7.538 936
Irigasi S2 S3 3 462 464 3.806
Sawah (ha) Jml (ha) N
858
741 8.002 4.742 7 858
5.927 273
5.927 273
7
15.811
-
4.732
20.550
Tadah Hujan S2 S3 4
S1
N
Jml (ha)
37
2.719
2.608 1.317 3.925
-
2.756
2.719
2.608 1.317 6.681
Jml (ha) (3+4) 5 778 8.002 4.742 2.726 858
6 3 29 17 10 3
5.927 273 2.608 1.317 27.231
22 1 10 5 100
LAHAN AKTUAL K. BALINGKAS.BEREMAS 5% 1% R BATAHAN G.TULEH 10% 3% L.MELINTANG 22% LND 3%
TALAMAU 10%
KINALI 29%
PASAMAN 17%
Gambar 14. Diagram Persentase (%) lahan aktual di Kabupaten Pasaman Barat Lahan Potensial Kondisi penutupan/penggunaan lahan berupa rawa, semak belukar dan semak belukar rawa pada penelitian ini dikategorikan sebagai lahan potensial untuk tanaman padi sawah, dengan pertimbangan jika dimasa akan datang lahan pertanian pangan mengalami degradasi akibat alih fungsi lahan atau penyebab lainnya, maka
lahan-lahan tersebut dapat dialihfungsikan menjadi areal pertanian pangan (sawah). Meskipun untuk menciptakan kondisi lahan yang layak untuk diusahakan kegiatan pertanian pangan memerlukan biaya yang besar (Gambar 15).
%
58
Identifikasi lahan potensial diharapkan nantinya dapat diusulkan sebagai LCP2B. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pasal 30, Lahan yang dapat ditetapkan menjadi Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan harus memenuhi kriteria : a. Berada pada kesatuan hamparan lahan yang mendukung produktivitas dan efisiensi produksi; b. Memiliki potensi teknis dan kesesuaian lahan yang sangat sesuai, cukup sesuai, dan sesuai marginal untuk peruntukan pertanian pangan; dan/atau c. Didukung infrastruktur dasar
Gambar 15. Semak Belukar yang Dikategorikan Sebagai Lahan Potensial. Persyaratan tersebut menjadi acuan dalam penentuan lahan potensial yang dapat diusulkan sebagai LCP2B, diantaranya: (a) Lahan tersebut memiliki kondisi penutupan/penggunaan lahan berupa rawa, semak/belukar dan semak belukar rawa yang penggunaannya saat ini berupa non hutan, (b) Lahan dengan kelas kesesuaian lahan S serta (c) Lahan-lahan tersebut merupakan kawasan budidaya. Sementara lahan yang berada di hutan lindung, hutan produksi terbatas dan tanah terbuka dianggap tidak memenuhi syarat karena merupakan kawasan lindung, kawasan penyangga dan kawasan fasilitas umum.
59
Dari hasil pengolahan data, dapat diketahui bahwa ketersediaan lahan potensial di Kabupaten Pasaman Barat masih besar yakni seluas 11.961 ha. Potensi lahan potensial terbesar berada di Kecamatan Talamau dengan luas sebesar 2.905 ha atau 28% dari total luasan lahan potensial. Luasan lahan potensial terkecil berada di Kecamatan Luhak Nan Duo dengan luas sebesar 43 ha atau 0,4% dari total luasan lahan potensial (Tabel 23 dan Gambar 16). Tabel 23.
No. 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Luas Lahan Potensial sebagai LCP2B berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Pasaman Barat
Kecamatan 2 G.Tuleh Kinali Pasaman Talamau Luhak ND Sasak RP S.Aur L. Melintang K.Balingka R.Batahan S. Beremas Jumlah
Rawa (ha) S1 S2 S3 3
106
jml (ha)
106
Semak Belukar (ha) S2 S3 N 4 75 325 1.155 229 111 126 37 2.905 S1
383 242 158
638 325
1.120 1.281
106
106
278 1.093
287 287
624 2.038
6.881
jml (ha) 1.555 229 274 2.905 383 242 1.916 325 1.281 1.189 10.299
Tabel 23. (Lanjutan) No.
Kecamatan
Semak Belukar Rawa (ha) S1
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
2 G.Tuleh Kinali Pasaman Talamau Luhak ND Sasak RP S.Aur L. Melintang K.Balingka R.Batahan S. Beremas Jumlah
S2
S3
N
80
85
54
jml (ha)
Luas (ha) (3+4+5)
Jumlah (ha)
(%)
1.555 535 380 2.905 43 495 471 1.997 537 1.385 1.658 11.961
2.333 8.537 5.122 5.631 901 495 471 7.924 810 3.993 2.975 39.192
6 22 13 14 2 1 1 20 2 10 8 100
5 87
43 88 108
24 121 81
130 104 469 986
82
204
85
281
306
43 112 229 81 212 104 469 1.556
60
LAHAN POTENSIAL GTULEH 13%
SEI.BEREMAS 14%
KINALI 5%
RANAH BATAHAN 12% KOTO BALINGKA 5% LBH.MELINTAN G 16%
PASAMAN 3% TALAMAU 24%
SASAK RANAH PASISIE 4% S.AUR 4%
LND 0%
Gambar 16. Diagram Persentase (%) Lahan Potensial Kabupaten Pasaman Barat Penggunaan lahan berupa rawa, semak belukar, dan semak belukar rawa dapat dikonversi menjadi sawah melalui pencetakan sawah baru, walau dalam pelaksanaannya memerlukan kajian lebih jauh untuk mengetahui faktor pembatas
utama. Pencetakan sawah baru pada lahan berupa rawa, semak/belukar semak belukar rawa memerlukan kajian yang lebih dalam dan komprehensif baik dari kondisi fisik lahan maupun secara finansial. Perlu dilakukan survei lapang untuk mengetahui secara detail sifat fisik dan kimia tanah pada tiap unit lahan. Hasil survey tersebut akan memberikan informasi
tentang faktor-faktor pembatas pada setiap unit lahan, sehingga dapat diketahui besaran biaya yang dibutuhkan. Hal ini diperlukan karena jangan sampai biaya yang
dikeluarkan untuk biaya produksi tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Informasi-informasi
tersebut
akan
menjadi
pertimbangan
dalam
melakukan
perencanaan terhadap lahan-lahan yang akan diusulkan sebagai LCP2B. Setelah dilakukan proses analisis tumpang tindih antara beberapa peta diantaranya: peta penutupan dan penggunaan lahan, peta kesesuaian lahan dan peta administrasi potensi lahan aktual dan lahan potensial di Kabupaten Pasaman
Barat. Dari hasil pengolahan data spasial terlihat bahwa dari 11 wilayah kecamatan di Kabupaten Pasaman Barat, 2 wilayah kecamatan tidak memiliki lahan aktual tetapi memiliki lahan potensial yang dimungkinkan untuk diusulkan sebagai LCP2B yaitu Kecamatan Sasak Ranah Pasisie dan Kecamatan Sungai Aur, secara spasial dapat
dilihat pada Gambar 17.
61
Untuk Kecamatan Sasak Ranah Pasisie dan Sungai Aur, perlu pertimbangan yang lebih mendalam karena tidak memiliki luas lahan aktual. Penggunaan lahan di 2 wilayah Kecamatan tersebut telah diusahakan untuk tanaman padi sawah akan tetapi ditengah lahan persawahan ditanami kelapa sawit (Gambar 18).
Gambar 17. Peta Lahan Aktual dan Potensial
Gambar 18. Kondisi Lahan dengan Areal Sawah ditengah Areal berupa Perumahan dan Kelapa Sawit
62
Identifikasi Luas Lahan Sawah Aktual yang Mempunyai Jaringan Infrastruktur Pendukung Pertanian Identifikasi lahan aktual dan lahan potensial yang akan diusulkan sebagai KP2B berdasarkan infrastruktur pendukung pertanian, membutuhkan data dan informasi berupa jaringan infrastruktur jalan dan irigasi. Tahapan ini akan menghasilkan peta lahan aktual untuk LP2B yang mempunyai jaringan infrastruktur jalan dan irigasi. Hasil analisis secara spasial disajikan pada Gambar 19, dimana sebagian besar atau hampir secara keseluruhan lahan sawah aktual di Kabupaten Pasaman Barat sudah ada jaringan jalan dan irigasinya.. Jalan usahatani merupakan salah satu faktor pendukung peningkatan pertanian. Jalan tersebut diperlukan untuk pengangkutan (transportasi) sarana produksi pertanian seperti benih, pupuk, pertisida serta mesin dan peralatan pertanian. Hasil produksi pertanian juga seringkali harus diangkut untuk proses lebih lanjut agar kerusakan ataupun kehilangan hasil dapat ditekan. Jalan usaha tani juga digunakan untuk melaksanakan operasi dan pemeliharaan fasilitas irigasi dan drainase.
Gambar 19. Peta Lahan Aktual dan Lahan Potensial yang mempunyai Jaringan Infrastruktur Pendukung Pertanian Pangan Berupa Jalan sebaran Irigasi
63
Jalan usahatani dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: (1) Jalan utama (main farm road), yaitu jalan yang menghubungkan antara pemukiman atau pusat fasilitas pertanian dengan lahan pertanian, blok lahan dengan blok lahan lainnya ataupun jalan raya dengan blok lahan, (2) jalan cabang (branch farm road), yaitu yang menghubungkan antara petak lahan dengan jalan utama, (3) jalan kecil (small farm road), yaitu jalan kecil di batas petakan untuk kepentingan khusus seperti pemberantasan hama, pemupukan dan sebagainya (Sapei, 2009). Informasi jaringan jalan dibutuhkan untuk melihat tingkat aksesibilitas lahan aktual dan lahan potensial terhadap pemukiman, industri pengolahan hasil pertanian, sarana produksi pertanian dan sarana dan prasarana lainnya. Dengan adanya jaringan jalan diharapkan dapat meminimalkan jarak dan waktu tempuh sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Lahan yang memiliki akses jalan akan menjadi areal-areal prioritas utama untuk diusulkan sebagai LP2B dan LCP2B. Kondisi riil di lapangan terkait dengan ketersediaan jaringan infrastruktur pendukung pertanian disajikan pada Gambar 20 dan 21. Sebagian besar area yang akan diusulkan sebagai LP2B dan LCP2B memiliki jaringan jalan. Lahan aktual dan lahan potensial yang akan dijadikan sebagai LP2B dan LCP2B tersebut menjadi sebuah kesatuan wilayah yang dihubungkan oleh adanya jaringan jalan.
Gambar 20. Kondisi Jaringan Jalan di Kecamatan Talamau
64
Gambar 21. Kondisi Jaringan Irigasi di Kecamatan Luhak Nan Duo Jaringan irigasi adalah saluran dan bangunan yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian, dan penggunaannya. Jaringan irigasi terdiri dari 2 tingkat yaitu: (a) jaringan irigasi utama meliputi waduk atau bendungan, saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier sampai 50 meter dari pintu sadap tersier atau boks bagi tersier, (b) jaringan irigasi usahatani, yaitu jaringan setelah 50 meter dari pintu sadap tersier atau boks bagi tersier (Sapei, 2009). Jaringan irigasi merupakan salah satu infrastruktur penunjang utama kegiatan pertanian pangan. Jaringan irigasi berfungsi sebagai prasarana untuk meningkatkan produktivitas lahan baik untuk meningkatkan produktivitas per hektar maupun untuk meningkatkan intensitas panen. Data dan informasi jaringan irigasi sangat dibutuhkan untuk mengetahui tingkat ketersediaan sumberdaya air terhadap lahan aktual dan lahan potensial yang akan diusulkan sebagai LP2B dan LCP2B.
65
Analisis Proyeksi Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Tahapan pertama dalam perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah penyusunan usulan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Usulan perencanaan meliputi usulan perencanaan terhadap luas lahan baku sawah, luas kesatuan hamparan, lokasi, produksi, produktivitas dan lain-lain. Dasar yang digunakan dalam usulan perencanaan ini adalah pertumbuhan penduduk, kebutuhan konsumsi pangan (beras), produktivitas lahan, kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil usulan perencanaan ini adalah proyeksi kebutuhan lahan sawah pada jangka waktu tertentu. Jangka waktu yang digunakan untuk perencanaan adalah tahunan, jangka menengah, dan jangka panjang. Untuk jangka menengah dan jangka panjang, rentang waktu yang digunakan didasarkan pada rentang waktu penyusunan dan revisi RTRW yaitu 5 tahun dan 20 tahun. Untuk skala nasional diketahui ketersediaan lahan baku sawah selama 20 tahun ke depan mengkhawatirkan. Berdasarkan skenario pesimis terlihat adanya kenaikan kebutuhan lahan sawah yang cukup tinggi. Slope tersebut masih berada di bawah slope ketersediaan lahan sawah. Kecenderungan slope kebutuhan lahan sawah yang terus menaik sehingga defisit lahan sangat mungkin terjadi dimasa yang akan datang seperti disajikan pada Gambar 22.
9.000.000,00 8.000.000,00
Luas Lahan (Ha)
7.000.000,00 6.000.000,00 5.000.000,00 4.000.000,00 3.000.000,00
Indonesia Pesimis
Indonesia Optimis Ketersediaan Lahan
2.000.000,00 1.000.000,00 -
Gambar 22. Proyeksi Kebutuhan Lahan Sawah Nasional (Christina, 2011)
66
Konversi lahan sawah ke peruntukan dan atau komoditas lain tidak bisa dihindari sehingga untuk menanggulangi kemungkinan adanya defisit lahan perlu dilakukan proteksi terhadap lahan-lahan produktif. Dalam pembangunan, beras merupakan komoditas strategis bahkan bisa disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Ketidakstabilan ketersediaan pangan khususnya beras telah memicu kerusuhan akibat kerisauan masyarakat akan kekurangan stok pangan nasional. Untuk itu perlu campur tangan pemerintah dalam menjaga ketersediaan beras sepanjang tahun, distribusi yang merata dan harga yang stabil. Salah satu upaya yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan proteksi terhadap lahan sawah produktif dari kemungkinan alih fungsi lahan. Perlindungan atau proteksi ini tidak akan bisa meniadakan terjadinya konversi, tetapi diharapkan dapat menghambat laju alih fungsi lahan (Christina, 2011). Untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan beras, produksi beras nasional harus meningkat secara memadai dalam rangka mempertahankan kecukupan pangan. Peningkatan produktivitas beras tersebut merupakan faktor utama bagi peningkatan produksi beras nasional. Pertumbuhan produksi bersumber dari dua faktor, yakni : (a) pertambahan areal panen dan (b) peningkatan produktivitas. Kabupaten Pasaman Barat sebelum tahun 1990 merupakan kawasan sentra produksi pangan terutama beras dan kedelai di Propinsi Sumatera Barat. Akan tetapi sejak tahun 1990 permasalahan utama yang dihadapi oleh kabupaten ini adalah alih fungsi lahan pertanian pangan ke perkebunan kelapa sawit. Ketersediaan lahan sawah diwilayah ini akan berpengaruh terhadap ketersediaan pangan propinsi (Bappeda Kabupaten Pasaman Barat, 2011). Analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah di Kabupaten Pasaman Barat menunjukkan hasil yang berbeda pada dua skenario pesimis dan optimis sebagaimana disajikan pada Tabel 24.
67
Skenario Optimis Skenario optimis dibagi 2 yaitu sufficient optimis dan kontribusi optimis. Sufficient optimis merupakan kebutuhan pangan masyarakat Kab. Pasaman Barat itu sendiri dengan memakai skenario optimis, sedangkan kontribusi optimis merupakan kebutuhan pangan Propinsi Sumatera Barat yang diperoleh dari hasil produksi pangan Kabupaten Pasaman Barat, juga dengan memakai skenario optimis. Dari skenario optimis terlihat bahwa kebutuhan lahan sawah untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri maupun berkontribusi secara propinsi sampai tahun 2031 belum melampaui ketersediaan lahan sawah yang ada bahkan cendrung terus menurun. Penurunan kebutuhan lahan sawah untuk skenario optimis terjadi karena perluasan areal tanam dan kenaikan produktivitas. Ini menandakan bahwa dengan perbaikan prasana pendukung pertanian seperti jaringan irigasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu mengatasi kebutuhan pangan. Namun perlu diperhatikan juga bahwa pada penelitian ini diasumsikan tidak terjadi degradasi lahan dan konversi lahan. Jika kedua faktor tersebut dimasukkan dalam analisis ini hasilnya akan berbeda (Christina, 2011). Hasil analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah dengan skenario optimis ini, memperlihatkan bahwa perluasan areal luas tanam tidak selalu dengan menambah baku lahan sawah tetapi bisa dengan membangun dan atau memperbaiki/rehabilitasi jaringan irigasi sehingga sawah tersebut mampu ditanami 2 kali setahun. Kab. Pasaman Barat saat ini memiliki IP 1,09. Pada skenario ini, tahun 2031 proyeksi IP di kabupaten ini masih belum mampu mencapai IP 2. Permasalahan lain yang dihadapi oleh petani sekarang adalah manajemen pengelolaan irigasi yang tidak berjalan dengan baik (dapat dilihat pada Lampiran 22). Dengan melakukan pemeliharaan jaringan irigasi maka akan menghemat biaya dibanding harus membangun jaringan irigasi baru, sehingga masih bisa mempertahankan lahan sawah yang masih ada. Proyeksi kebutuhan lahan sawah Kab. Pasaman Barat tertera pada Tabel 24. Tabel 24. Proyeksi Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Pasaman Barat Tahun 2011 2012 2013 2014 2015
Sufficient Optimis (ha) 11.461 11.417 11.369 11.317 11.262
Kontribusi Optimis (ha) 11.189 11.149 11.110 11.070 11.031
Ketersediaan Lahan (ha) 27.231 27.231 27.231 27.231 27.231
Sufficient Pesimis (ha) 15.392 15.695 15.999 16.303 16.606
Kontribusi Pesimis (ha) 15.013 15.314 15.620 15.932 16.251
68
Tabel 24. (Lanjutan) Tahun 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031
Sufficient Optimis (ha) 11.203 11.141 11.076 11.008 10.937 10.863 10.787 10.709 10.629 10.546 10.462 10.376 10.288 10.199 10.109 10.017
Kontribusi Optimis (ha) 10.992 10.953 10.914 16.910 16.576 10.794 10.755 10.713 10.675 10.637 10.599 10.558 10.520 10.483 10.446 10.409
Ketersediaan Lahan (ha) 27.231 27.231 27.231 27.231 27.231 27.231 27.231 27.231 27.231 27.231 27.231 27.231 27.231 27.231 27.231 27.231
Sufficient Pesimis (ha) 16.910 17.214 17.517 16.910 16.576 18.428 18.732 19.036 19.340 19.643 19.947 20.251 20.554 20.858 21.162 21.465
Kontribusi Pesimis (ha) 16.576 16.907 17.246 16.910 16.576 18.301 18.667 19.041 19.421 19.810 20.206 20.610 21.022 21.443 21.872 22.309
Faktor produksi yang mempengaruhi produktivitas adalah air, pupuk, bibit, pestisida, dan tenaga kerja/kelembagaan. Pada skenario optimis ini, diasumsikan produktivitas selalu naik 1,35% per tahun. Pada tahun terakhir (2031) produktivitas mencapai 6,626 ton/ha. Hal tersebut dapat tercapai apabila seluruh faktor produksi dapat bekerja secara optimal. Kenaikan produktivitas dapat terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baik tentang benih, organisme pengganggu tanaman (OPT) maupun pengelolaannya misalnya penemuan benih padi yang mampu berproduksi tinggi, pengelolaan usahatani ramah lingkungan seperti System of Rice Intensification (SRI). Khusus benih, pada saat ini di Pulau Jawa sedang dikembangkan dan disosialisasikan benih padi baru yang mempunyai produktivitas 8-9 ton/ha. Benih yang sekarang banyak digunakan yaitu varietas Ciherang telah mencapai tahap pelandaian pada level produktivitas 5,37 ton/ha. Varietas ini akan dikembangkan di luar Jawa, untuk menggenjot produktivitas lahan yang masih dibawah 5 ton/ha. Skenario Pesimis Skenario pesimis dibagi 2 yaitu sufficient pesimis dan kontribusi optimis. Sufficient pesimis merupakan kebutuhan pangan masyarakat Kab. Pasaman Barat itu sendiri dengan memakai skenario pesimis, sedangkan kontribusi pesimis merupakan kebutuhan pangan propinsi Sumatera barat yang diperoleh dari hasil produksi pangan Kabupaten Pasaman Barat, juga dengan memakai skenario
69
pesimis. Hal berbeda terjadi pada skenario pesimis. Kebutuhan lahan sawah setiap tahunnya cenderung naik, baik untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri maupun berkontribusi terhadap propinsi sebagaimana Gambar 23. 30.000
Luas Lahan (ha)
25.000 20.000 Sufficient Optimis
15.000 Kontribusi Optimis
10.000
Ketersediaan Lahan Sufficient Pesimis
5.000
Kontribusi Pesimis
-
Tahun
Gambar 23. Proyeksi Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Pasaman Barat Penyebab kecendrungan naik adalah konsumsi pangan sebesar 140 kg/kapita/tahun, produktivitas dan intensitas pertanaman tetap. Kondisi ini mungkin sekali terjadi karena berdasarkan data yang selama ini ada produktivitas dan luas tanam naik turun dari waktu ke waktu sehingga secara akumulatif bisa dianggap tetap atau tidak berubah. Angka konsumsi pangan yang besar tersebut berdasarkan pada konsumsi energi yang sesuai Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional. Konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun adalah setara 1.400 kkal/kapita/hari atau 64% dari konsumsi yang ditetapkan oleh PPH Nasional. Sesuai dengan standar PPH Nasional, konsumsi karbohidrat dari padi-padian adalah 50% atau setara dengan 1.100 kkal/kapita/hari. Dengan tingkat konsumsi tersebut, maka kebutuhan lahan sawah juga sangat tinggi sehingga apabila diterapkan maka dapat memberatkan Kabupaten Pasaman Barat. Dengan menggunakan asumsi terjadi konversi lahan sawah seperti yang terjadi selama tahun 2005 - 2010 yaitu seluas 2.287 ha atau 458 ha/tahun maka pada tahun-tahun mendatang kabupaten ini sudah tidak bisa berkontribusi pada level propinsi dan nasional dan akhirnya Kabupaten Pasaman Barat harus mengimpor
70
beras dari luar daerah atau bahkan dari luar negeri karena sudah tidak bisa memenuhi
kebutuhan
pangannya
sendiri.
Apabila
terus
berlanjut
akan
mengakibatkan kelangkaan pangan. Hal ini sangat merugikan baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Untuk itulah, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya kelangkaan pangan sedini mungkin. Upaya yang dapat dilakukan diantaranya adalah melakukan zonasi untuk melindungi lahan sawah agar tidak terkonversi menjadi peruntukan atau komoditas lain, upaya diversifikasi pangan, dan menekan laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Pasaman Barat termasuk tinggi yaitu 2,2 % dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk nasional yaitu 1,49%. Kedua upaya tersebut pelaksanaannya memerlukan waktu yang lama. Upaya yang harus dilakukan secepatnya adalah mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah tersebut dengan melaksanakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dari Gambar 23, terlihat bahwa ketersediaan lahan sawah di kabupaten Pasaman Barat untuk 20 tahun mendatang masih aman. Namun perlu diwaspadai adanya kecenderungan kenaikan kebutuhan lahan sawah setelah 20 tahun. Kemungkinan terjadinya defisit lahan sangat mungkin terjadi apabila dilihat dari slope sufficient pesimis yang mengalami kenaikan yang cukup tajam. Ada kecenderungan menurun pada kedua kondisi tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan produktivitas dan penambahan luas tanam (intensitas pertanaman). Produktivitas lahan di kabupaten ini yaitu 4,5 ton/ha dan IP wilayah 1,09. Kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah setempat bagi lahan sawahnya adalah melindungi dan menjaga lahan sawahnya baik dari konversi ke komoditas atau peruntukan lain maupun dari degradasi lahan. Tingginya angka konsumsi beras yang disebabkan oleh laju pertumbuhan penduduk yang tinggi yaitu 2,2 % selama 8 tahun terakhir. Pada tahun 2012, kabupaten ini memerlukan lahan sawah mínimum seluas 11.149 ha dan maksimum 15.695 ha. Pilihan ini digunakan untuk mempermudah pengambilan keputusan. Luasan lahan yang dipilih akan menentukan kebijakan yang akan diambil selanjutnya oleh pemerintah daerah kabupaten dalam memenuhi kebutuhan pangan daerahnya.
71
Analisis Proyeksi Kebutuhan Lahan Sawah Kecamatan Paralel dengan analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah kabupaten, dimana proyeksi kebutuhan lahan sawah kecamatan juga memakai 2 skenario yaitu skenario optimis dan skenario pesimis. Setiap skenario juga dibagi 2 yaitu sufficient dan kontribusi. Hasil analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah tingkat kecamatan di Kabupaten Pasaman Barat, disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Proyeksi Kebutuhan Lahan Sawah Kecamatan Kecamatan S. Beremas R. Batahan K. Balingka S. Aur L. Melintang G.Tuleh Talamau Pasaman Luhak ND Sasak RP Kinali
Tahun 2012 2031 2012 2031 2012 2031 2012 2031 2012 2031 2012 2031 2012 2031 2012 2031 2012 2031 2012 2031 2012 2031
Suff Opt (ha) 752 688 823 722 893 784 1 058 928 1 438 1 262 697 611 887 779 2 156 1 892 1 283 1 126 454 398 2 085 1 829
Kont Opt (ha) 1 252 1 141 1 252 1 114 1 252 1 099 1 252 1 099 1 252 1 099 1 252 1 099 1 252 1 099 1 252 1 099 1 252 1 099 1 252 1 099 1 252 1 099
Ket Lahan(ha) 1 317 1 317 2 608 2 608 273 273
5 927 5 927 778 778 2 726 2 726 4 742 4 742 858 858
8 002 8 002
Suf Pes (ha) 1 012 1 391 1108 1 515 1 203 1 645 1 425 1 948 1 936 2 648 938 1 283 1 195 1 634 2 903 3 971 1 728 2 363 611 836 2 808 3 840
Kont Pes. (ha) 1 282 1 753 1 282 1 753 1 282 1 753 1 282 1 753 1 282 1 753 1 282 1 753 1 282 1 753 1 282 1 753 1 282 1 753 1 282 1 753 1 282 1 753
Keterangan Surplus Defisit Surplus Surplus Defisit Defisit Defisit Defisit Surplus Surplus Defisit Defisit Surplus Surplus Surplus Surplus Defisit Defisit Defisit Defisit Surplus Surplus
Hasil analisis, diketahui bahwa pada tahun 2012, kecamatan yang mengalami surplus lahan sawah adalah Kecamatan Sungai Beremas, Ranah Batahan, Lembah Melintang, Talamau, Pasaman dan Kinali. Kecamatan yang mengalami defisit lahan sawah adalah Kecamatan Koto Balingka, Sungai Aur, Gunung Tuleh, Luhak Nan Duo dan Sasak Ranah Pasisie.
72
Analisis secara spasial, disajikan pada Gambar 24.
Gambar 24. Peta Surplus-Defisit Lahan Berdasarkan hasil pengolahan data spasial diperoleh informasi bahwa kecamatan-kecamatan yang mengalami defisit lahan bersebelahan secara kontinyu sehingga secara agregat menjadi suatu kesatuan yang kontigus atau saling mempengaruhi.
Dalam proses
pewilayahan,
kesatuan
atau kesinambungan
hamparan adalah sangat dikehendaki. Wilayah-wilayah yang berkesinambungan secara spasial akan mempermudah pengelolaan. Kecamatan-kecamatan yang surplus lahan sawah terletak pada lokasi yang berbatasan dengan kabupaten tetangga Kabupaten Pasaman Barat. Kebijakan yang diambil Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat adalah dengan membedakan dan mengelompokkan daerah-daerah yang mengalami defisit lahan dan surplus lahan. Daerah yang mengalami defisit sebaiknya megambil kebijakan dengan menambah areal persawahan, sedangkan daerah yang surlpus lahan dengan cara meningkatkan produksi, indeks pertanaman, perbaikan jaringan irigasi, jalan dan lain sebagainya.
73
Analisis Pendapat Masyarakat terhadap Penentuan LP2B dan LCP2B Pengkajian tentang pendapat masyarakat terhadap LP2B dan LCP2B perlu dilakukan untuk penetapannya di Kabupaten Pasaman Barat. Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi perkapita akibat peningkatan pendapatan, namun di lain pihak upaya peningkatan produksi beras saat ini terganjal oleh berbagai kendala, seperti konversi lahan sawah subur yang masih terus berjalan, penyimpangan iklim, gejala kelelahan teknologi, penurunan kualitas sumberdaya lahan yang berdampak terhadap penurunan atau pelandaian produktivitas. Berbagai upaya untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah telah banyak dilakukan. Beragam studi yang ditujukan untuk memahami proses terjadinya alih fungsi, faktor penyebab, tipologi alih fungsi, maupun estimasi dampak negatifnya telah banyak pula dilakukan (Bappenas, 2006). Untuk dapat melaksanakan intervensi yang terkait dengan ketahanan pangan dan gizi, Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat masih terus meningkatkan sarana untuk penentuan target intervensi sasaran secara geografis. Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasawarsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan. Selama ini berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah banyak dibuat. Namun demikian, implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang
memadai.
Tiga
kendala
mendasar
yang
menjadi
alasan
peraturan
pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan yaitu: (i) Kebijakan yang kontradiktif; (ii) Cakupan kebijakan yang terbatas; (iii) Kendala konsistensi perencanaan. Dalam penelitian ini untuk mempelajari pendekatan dalam penentuan bobot dan skor oleh 7 (tujuh) orang expert dari birokrasi, Akademisi dan LSM menggunakan nilai eigenvektor utama yang merupakan kepentingan relatif tertentu, maka matriks perbandingan berpasangan serta nilai eigenvektor utama dari setiap faktor dan kriteria penentuan persepsi masyarakat terhadap keberadaan LP2B dan LCP2B di Kabupaten Pasaman Barat yaitu (1) fisik, (2) infrastruktur, dan (3) sosial ekonomi.
74
Faktor fisik merupakan salah satu faktor penting dalam perencanaan LP2B dan LCP2B,
disebabkan oleh keterkaitan antara karakteristik wilayah yang satu
dengan yang lainnya. Perencanaan LP2B dan LCP2B harus berada di kawasan budidaya menurut peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pasaman Barat. Skala penilaian setiap kriteria dan nilai eigenvektor utamanya (E) disajikan pada Tabel 26 dan Tabel 27. Tabel 26. Matriks perbandingan berpasangan setiap kriteria pada faktor fisik Kriteria Ketersediaan Lahan Aktual dan Potensial Kesesuaian fungsi dalam RTRW Jumlah
Ketersediaan Lahan Aktual dan Potensial 1
Kesesuaian fungsi dalam RTRW 1,3655
0,7323
1
1,7323
1,3655
Tabel 26 menunjukkan skala penilaian setiap kriteria pada faktor fisik dengan menggunakan matriks perbandingan berpasangan, penilaian kriteria ketersediaan lahan aktual dan potensial terhadap kesesuaian fungsi dalam RTRW mendapat skala tertinggi dengan nilai 1,3655 (kedua elemen relatif sama penting). Hal itu berarti bahwa nilai berkebalikannya 0,7323 merupakan penilaian kesesuaian fungsi dalam RTRW terhadap ketersediaan lahan aktual dan potensial padi sawah. Tabel 27. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor fisik Kriteria Ketersediaan Lahan Aktual dan Potensial Kesesuaian fungsi dalam RTRW Jumlah
Ketersediaan Lahan Aktual dan Potensial 0,577
Kesesuaian fungsi dalam RTRW 0,577
0,577
0,423
0,423
0,423
1,000
1,000
1,000
E
Tabel 27 menunjukkan nilai eigenvektor utama dari setiap kriteria pada faktor fisik, bahwa ketersediaan lahan aktual dan potensial merupakan prioritas utama persepsi masyarakat dalam perencanaan LP2B dan LCP2B di Kabupaten Pasaman Barat dengan nilai eigenvektor utama tertinggi 0,577 kemudian kesesuaian fungsi dalam RTRW dengan nilai eigenvektor utama 0,423. Dari jumlah yang dihasilkan yaitu bernilai 1 pada kolom 4, dapat disimpulkan bahwa nilai tersebut merupakan nilai persentasenya terhadap 1.
75
Faktor selanjutnya dalam analisis pendapat masyarakat untuk perencanaan LP2B dan LCP2B di Kab. Pasaman Barat adalah faktor infrastruktur dengan kriteria jaringan jalan, jaringan irigasi dan jarak dari ibu kota kabupaten yaitu Simpang Empat. Skala penilaian setiap kriteria dan nilai eigenvektor utamanya (E) disajikan pada Tabel 28 dan Tabel 29. Tabel 28. Matriks perbandingan berpasangan setiap kriteria pada faktor infrastruktur Kriteria Ketersediaan Jaringan Jalan Ketersediaan Jaringan Irigasi Jarak dari Ibu Kota Kabupaten (IKK) Jumlah
Ketersediaan Jaringan Jalan 1
Ketersediaan Jaringan Irigasi 0,856
Jarak dari Ibu Kota Kabupaten 1,385
1,169
1
1,827
0,609
0,547
1
2,778
2,403
4,212
Tabel 28 menunjukkan penilaian kriteria ketersediaan jaringan irigasi terhadap jarak dari IKK mendapat skala tertinggi dengan nilai 1,827 (sangat sedikit lebih penting). Hal itu berarti bahwa nilai berkebalikannya 0,547 merupakan penilaian jarak dari IKK terhadap ketersediaan jaringan irigasi. Nilai 1,385 menunjukkan skala penilaian kriteria ketersediaan jaringan jalan terhadap jarak dari IKK. Untuk ketersediaan jaringan jalan terhadap jaringan irigasi mendapat nilai 0,856 (relatif sama penting), dimana nilai berkebalikannya yaitu 1,169 adalah penilaian ketersediaan jaringan irigasi terhadap jaringan jalan. Tabel 29. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor infrastruktur Kriteria Ketersediaan Jaringan Jalan Ketersediaan Jaringan Irigasi Jarak dari IKK Jumlah
Ketersediaan Jaringan Jalan 0,359
Ketersediaan Jaringan Irigasi 0,359
Jarak dari IKK 0,359
0,359
0,421
0,421
0,421
0,421
0,220 1,000
0,220 1,000
0,220
0,220 1,000
E
Dari Tabel 29 dapat dilihat bahwa kriteria ketersediaan jaringan irigasi menjadi prioritas utama dalam perencanaan LP2B dan LCP2B di Kabupaten Pasaman Barat dengan nilai eigenvektor utama tertinggi 0,421, sedangkan kriteria jarak dari IKK mendapat nilai eigenvektor utama terendah 0,220.
76
Faktor yang ketiga dalam perencanaan LP2B dan LCP2B di Kabupaten Pasaman Barat adalah faktor sosial ekonomi. Faktor sosial ekonomi ditetapkan berdasarkan 3 (tiga) kriteria yaitu jumlah produksi, indeks pertanaman, subsidi dan pemasaran. Matriks perbandingan berpasangan serta nilai eigenvektor utamanya disajikan pada Tabel 30 dan 31. Tabel 30. Matriks perbandingan berpasangan setiap kriteria pada faktor sosial ekonomi Kriteria Produktifitas Indeks Pertanaman Subsidi dan Pasar Jumlah
Produktifitas
Indeks Pertanaman
1 0,741 0,589 2,330
1,350 1 0,795 3,145
Subsidi dan Pasar 1,699 1,259 1 3,958
Tabel 30 menunjukkan penilaian kriteria produktifitas terhadap subsidi dan pemasaran mendapat skala tertinggi dengan nilai 1,699 (sangat sedikit lebih penting). Hal ini berarti bahwa nilai berkebalikannya 0,589 merupakan subsidi dan pemasaran terhadap produktifitas, sedangkan nilai 1,259 merupakan skala penilaian kriteria indeks pertanaman terhadap subsidi dan pemasaran. Untuk kriteria subsidi dan pemasaran terhadap indeks pertanaman mendapat nilai 1,350 (relatif sama penting), dimana nilai berkebalikannya yaitu 0.741 adalah penilaian indeks pertanaman terhadap subsidi dan pemasaran. Tabel 31. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor sosial ekonomi Kriteria
Subsidi dan Pemasaran
Jumlah Produksi
Produktifitas Indeks Pertanaman Subsidi dan Pasar Jumlah
0,429 0,318 0,253 1,000
0,429 0,318 0,253 1,000
Ketersediaan Tenaga Kerja 0,429 0,318 0,253
E 0,429 0,318 0,253 1,000
Dari Tabel 31, dapat dilihat bahwa kriteria produktifitas menjadi prioritas utama dalam perencanaan LP2B dan LCP2B Kabupaten Pasaman Barat dengan nilai eigenvektor utama tertinggi 0,429, sedangkan kriteria subsidi dan pemasaran mendapatkan nilai eigenvektor utama terendah 0,253. Setelah pada setiap kriteria ditetapkan nilai eigenvektor utamanya tahapan selanjutnya adalah perbandingan berpasangan dari setiap faktor yang telah ditentukan. Sumber penilaian dari perbandingan berpasangan terdiri dari expert. Skala penilaian melalui matriks perbandingan berpasangan pada Tabel 32.
77
Tabel 32. Matriks perbandingan berpasangan setiap faktor Faktor Fisik Sosek Infrastruktur Jumlah
Fisik 1 0,815 0,806 2,621
Sosek 1,228 1 0,989 3,252
Infrastruktur 1,241 1,011 1 3,217
Pada Tabel 32, gabungan penilaian expert menetapkan skala penilaian faktor fisik terhadap infrastruktur dengan nilai 1,241 (relatif sama penting) sebagai yang tertinggi, sedangkan kebalikannya faktor infrastruktur terhadap faktor fisik 0,806. Faktor fisik terhadap faktor sosial ekonomi dengan nilai 1,228 dan yang terendah adalah penilaian faktor infrastruktur terhadap faktor sosial ekonomi yaitu 0,989. Selanjutnya ditentukan nilai eigenvektor utama dari setiap faktor, yaitu faktor fisik, infrastruktur dan sosial ekonomi berdasarkan gabungan penilaian 7 (tujuh) expert yang disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. Nilai eigenvektor utama setiap faktor Faktor Fisik Sosek Infrastruktur
Fisik 0,382 0,311 0,307
Sosek 0,382 0,311 0,307
Infrastruktur 0,382 0,311 0,307
E 0,382 0,311 0,307
Jumlah
1,000
1,000
1,000
1,000
Pada Tabel 33, terlihat bahwa faktor fisik menjadi prioritas utama perencanaan LP2B dan LCP2B di Kabupaten Pasaman Barat dengan nilai eigenvektor utama 0,382 dan yang paling rendah adalah faktor infrastruktur dengan nilai eigenvektor utama 0,307. Prioritas tersebut berturut-turut adalah faktor fisik, sosial ekonomi dan infrastruktur. Bobot serta skor untuk setiap faktor maupun kriteria secara keseluruhan disajikan pada Tabel 34 dan Gambar 25.
78
Tabel 34. Bobot dan skor untuk setiap faktor dan kriteria hasil perbandingan berpasangan Faktor Fisik
Nilai Bobot 0,382
Sosek
0,311
Infrastruktur
0,307
Jumlah
1,000
Skor
Kriteria Ketersediaan Lahan aktual dan Potensial Kesesuaian Fungsi dengan RTRW Produktifitas Indeks Pertanaman (IP) Subsidi dan Pemasaran Ketersediaan Jaringan Irigasi Ketersediaan Jaringan Jalan Jarak dari IKK
0,577 0,423 0,429 0,318 0,253 0,421 0,359 0,220
Nilai Akhir (Bbt*Skor) 0.220 0.162 0.133 0.099 0.079 0.129 0.110 0.068
Tabel 35. Nilai Akhir AHP sebagai salah satu Kelompok pada kategori lahan LP2B dan LCP2B Kecamatan S. Beremas R. Batahan K. Balingka S. Aur L. Melintang G.Tuleh Talamau Pasaman Luhak ND Sasak RP Kinali
LA (ha)
LP (ha)
1.317 2.697 273
1.658 1.384 536 550 1.916 349 3.047 380 43 554 560
5.927 777 2.726 4.742 858 8.001
AHP Fisik LALP 0,220 0,220 0,220 0,220 0,220 0,220 0,220 0,220 0,220 0,220 0,220
FR 0,162 0,162 0,162 0,162 0,162 0,162 0,162 0,162 0,162 0,162 0,162
AHP Sosial Ekonomi P IP 0,133 0,099 0,133 0,099 0,133 0,099
AHP Infrastruktur Irigasi JJ 0,110 0,110 0,129 0,110
0,133 0,133 0,133 0,133 0,133
0,099 0,099 0,099 0,099 0,099
0,129 0,129 0,129 0,129
0,110 0,110 0,110 0,110 0,110
0,133
0,099
0,129
0,110
Jml Nilai AHP 0,724 0,724 0,853 0,382 0,853 0,853 0,724 0,853 0,853 0,382 0,853
*
P
K
Defisit Surplus Defisit Defisit Surplus Defisit Surplus Surplus Defisit Defisit Surplus
III III II IV I II III I II IV I
Keterangan Tabel: LA = Lahan Aktual LP = Lahan Potensial
FR = Fungsi RTRW P = Produktifitas
LALP=Lahan Aktual dan Potensial
IP = Indeks Pertanaman
JJ = Jaringan Jalan * P = Proyeksi, dimana sawah tadah hujan tidak memerlukan hasilnya K = Kategori Lahan
Dari Tabel 34 dan 35, terlihat bahwa pada faktor fisik yang paling mempengaruhi penetapan LP2B dan LCP2B adalah hamparan ketersediaan lahan aktual dan potensial. Faktor sosial ekonomi yang paling mempengaruhi adalah produktifitas lahan dan faktor infrastruktur adalah jaringan irigasi dan jalan sawah.
79
PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG LP2B DAN LCP2B
FISIK (0,382)
LAHAN AKTUAL DAN POTEN SIAL (0,577)
KESE SUAIAN FUNGSI DG RTRW (0,423)
SOSIAL EKONOMI (0,311)
INFRASTRUKTUR (0,307)
JARI NGAN JALAN
JARI NGAN IRIGASI
(0,359)
(0,421)
JARAK DARI KOTA KABU PATEN (0,220)
PRO DUKTI FITAS
INDEKS PERTA NAMAN
SUBSIDI DAN PEMAS ARAN
(0,429)
(0,318)
(0,253)
Gambar 25. Hasil AHP Pendapat Masyarakat tentang Perencanaan LP2B dan LCP2B Menurut pendapat expert yang terdiri dari Bappeda, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura Peternakan, Dinas PU, Dinas Koperindag UKM, Dinas Perkebunan, Akademisi (Lembaga Penelitian Universitas Andalas Padang), dan LSM menilai bahwa faktor fisik lebih diutamakan dalam perencanaan LP2B dan LCP2B di Kabupaten Pasaman Barat dibandingkan dengan faktor sosial ekonomi dan infrastruktur. Asumsi yang digunakan adalah faktor fisik tidak bisa dirubah dan jika dilakukan perbaikan akan sangat sulit dan membutuhkan waktu, biaya dan energi karena terkait dengan kesesuaian lahan serta kesesuaian fungsi dalam RTRW Kabupaten Pasaman Barat yang terus dalam revisi. Penelitian ini selain menanyakan pendapat para pakar, juga ingin mendapatkan masukan-masukan dari
para petani
padi
sawah
dalam
hal
perencanaan penetapan LP2B dan LCP2B ini. Pada Umumnya masyarakat petani menyerahkan saja kepada pemerintah daerah Kabupaten Pasaman Barat. Ini mengartikan bahwa pemerintah daerah Kabupaten Pasaman Barat harus serius dalam melindungi lahan sawah mereka dan agar memberikan ruang bagi penetapan LP2B dan LCP2B tersebut dalam RTRW, RRTRWK dan Perda Kabupaten Pasaman Barat.
80
Pengelompokan Lahan Pertanian Pangan untuk Kelompok Kategori Lahan pada LP2B dan LCP2B Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009, LP2B adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. LCP2B adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa Kabupaten Pasaman Barat memiliki potensi lahan aktual dan lahan potensial baik dari ketersediaan maupun kesesuaiannya. Ketersediaan lahan aktual seluas 27.231 ha dengan penutupan lahan berupa sawah irigasi dan sawah tadah hujan, sedangkan ketersediaan lahan potensial seluas 11.961 ha terdiri dari penutupan lahan berupa rawa, semak/belukar dan semak belukar rawa. Matriks ketersediaan lahan aktual dan lahan potensial berdasarkan penutupan/penggunaan lahan pada masing-masing kecamatan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36 menunjukkan bahwa pengusulan rencana LP2B dan LCP2B di Kabupaten Pasaman Barat masih memiliki peluang yang sangat besar. Dari segi letak dan sebaran, lahan aktual dan lahan potensial sebagian besar berada dalam kesatuan hamparan yang luas kompak, serta bersifat bersebelahan secara kontinyu dan sebagai suatu kesatuan. Kontiguitas spasial dari lahan-lahan tersebut terbentang di sepanjang wilayah kabupaten baik di wilayah pesisir maupun di daerah dataran tinggi ataupun wilayah utara dan selatan. Lahan-lahan yang berada dalam kesatuan hamparan yang luas tersebut, nantinya merupakan lahan-lahan yang akan disaring secara visual berdasarkan kelompok-kelompok yang telah ditetapkan untuk menjadi LP2B dan LCP2B. Selain bentang lahan yang berkesinambungan secara spasial, terdapat pula lahan-lahan yang tersebar dalam kelompok-kelompok yang kecil dan terfragmentasi.
81
Tabel 36. Matriks Ketersediaan Lahan Aktual dan Lahan Potensial untuk LP2B dan LCP2B Berdasarkan Penutupan/Penggunaan Lahan Uraian KEC. G. TULEH Sawah Rawa Semak Belukar Semak Belukar Rawa KEC. KINALI Sawah Rawa Semak Belukar Semak Belukar Rawa KEC. PASAMAN Sawah Rawa Semak Belukar Semak Belukar Rawa KEC. TALAMAU Sawah Rawa Semak Belukar Semak Belukar Rawa KEC. LUHAK ND Sawah Rawa Semak Belukar Semak Belukar Rawa KEC. SASAK RP Sawah Rawa Semak Belukar Semak Belukar Rawa KEC. SUNGAI AUR Sawah Rawa Semak Belukar Semak Belukar Rawa KEC. L. MELINTANG Sawah Rawa Semak Belukar Semak Belukar Rawa
Lahan Aktual (ha) 778 778
8.002 8.002
4.742 4742
Lahan Potensial (ha)
Jumlah (ha)
1.555
2.333 778
1.555
1.555
535
8537 8.002
229 306 380
229 306 5.122 4742 106 274
106 274 2.726 2.726
858 858
5.927 5.927
2.905
5.122 2.726
2.905
2.905
43
901 858
43 495
43 495
383 112 471
383 112 471
242 229 1.997
242 229 7.924 5.927
1.916 81
1.916 81
82
Tabel 36. (Lanjutan) KEC. KOTO BALINGKA Sawah Rawa Semak Belukar Semak Belukar Rawa KEC. RANAH BATAHAN Sawah Rawa Semak Belukar Semak Belukar Rawa KEC. SEI. BEREMAS Sawah Rawa Semak Belukar Semak Belukar Rawa JUMLAH
273 273
2.608 2.608
1.317 1.317
27.231
537
810 273
325 212 1.385
325 212 3.993 2.608
1281 104 1.658
1281 104 2.975 1.317
1.189 469 11.961
1.189 469 39.192
Menurut Peraturan Pemerintah RI No.1 tahun 2011 tentang penetapan dan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan pasal 4, menyatakan bahwa Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan meliputi: a. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan; b. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan c. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Berdasarkan kriteria tersebut maka sebelum pengelompokkan usulan LP2B dan LCP2B berdasarkan tiga kelompok yang telah ditetapkan, terlebih dahulu dilakukan penapisan terhadap lahan aktual dan potensial yang tidak sesuai untuk tanaman padi sawah tidak dimasukkan. Lahan aktual dan potensial yang tersedia di Kabupaten Pasaman Barat yaitu 39.192 ha. Setelah penapisan mengalami pengurangan seluas 9.918 ha, menjadi 29.274 ha. Lahan aktual yang semula seluas 27.231 ha dikurangi 2.756 ha menjadi seluas 24.475 ha. Lahan potensial yang semula 11.961 ha dikurangi 7.162 ha menjadi seluas 4.799 ha. Metode pengelompokkan terhadap LP2B dan LCP2B pada penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi secara visual dengan kelompok sebagai berikut: a. Kelompok 1 : Hasil AHP, Proyeksi dan Kesesuaian Lahan untuk Sawah b. Kelompok 2 : Berdasarkan Administrasi Wilayah Kecamatan c. Kelompok 3 : Berdasarkan Pertimbangan Etnis Ketiga kelompok yang digunakan memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik tersebut menjadi kelebihan dan kekurangan dari masing-masing
83
kelompok, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan lahan yang akan ditetapkan sebagai LP2B dan LCP2B. Karakteristik dari masing-masing kelompok, disajikan pada Tabel 37. Salah satu perbedaan mendasar dari klasifikasi spasial dengan klasifikasi pada umumnya adalah aspek kontiguitas spasial. Sifat kontiguitas spasial memiliki pengertian bahwa tiap-tiap wilayah yang didefinisikan satu sama lainnya cenderung bersifat bersebelahan secara kontinyu sehingga secara agregat menjadi suatu kesatuan yang kontigus atau saling mempengaruhi. Kontiguitas merupakan karakter yang melekat dari wilayah karena pada dasarnya tidak ada wilayah yang bersifat bebas atau independen, terbebas dari pengaruh wilayah lainnya. Dalam proses pewilayahan, kesatuan atau kesinambungan hamparan adalah sangat dikehendaki. Wilayah-wilayah yang berkesinambungan secara spasial akan mempermudah pengelolaan, sebaliknya wilayah-wilayah yang terfragmentasi akan menciptakan berbagai bentuk inefisiensi (Rustiadi et al., 2009). Kelompok 1: Berdasarkan Hasil AHP/Proyeksi/Kesesuaian Lahan Pengelompokkan usulan LP2B dan LCP2B berdasarkan kelompok ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa lahan-lahan yang bersifat bersebelahan secara kontinyu akan mengefektifkan pengelolaan karena satuan-satuan lahan akan saling
mempengaruhi
satu
dengan
yang
lainnya.
Lahan-lahan
yang
berkesinambungan secara spasial juga cenderung bersifat kompak. Penentuan usulan LP2B dan LCP2B berdasarkan kelompok ini dilakukan secara visual dengan melihat hamparan lahan aktual yang bersifat kontigus dan memungkinkan untuk berada dalam satuan pengelolaan dengan melihat akses jalan dan irigasi pada kawasan tersebut. Salah satu penciri dari skenario ini adalah karakteristik wilayah dari masing-masing kawasan. Kategori I dan II adalah sawah beririgasi dan lahan potensial, kategori III adalah sawah tadah hujan dan lahan potensial, sedangkan kategori IV adalah hanya lahan potensial saja. Pengelompokkan lahan berdasarkan kelompok ini, memunculkan 4 usulan kategori lahan. Kategori I Kec. Pasaman, Kinali dan L. Melintang seluas 20.372 ha. Kategori II Kec. K. Balingka, Luhak ND dan G. Tuleh 2.889 ha. Kategori III Kec.Talamau, R. Batahan dan S. Beremas 5.595 ha. Kategori IV Kec. Sasak RP dan S. Aur 438 ha total seluas 29.274 ha.
84
Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat pada kelompok ini adalah menyesuaikan karakteristik setiap lahan, dimana lahan-lahan yang teridiri dari 4 kategori tersebut telah diketahui sifat-sifatnya, sehingga memudahkan untuk mengambil kebijakan tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Walaupun kategori lahan yang diusulkan sebagai LP2B dan LCP2B pada prioritas ini tidak berada dalam 1 administrasi kecamatan, tetapi usulan kategori lahan ini memungkinkan untuk diaplikasikan karena memiliki luasan sedang (lebih besar dibandingkan kawasan pada kelompok 2 dan lebih kecil dibandingkan luas kawasan pada kelompok 3). Hasil analisis secara spasial disajikan pada Gambar 26.
Gambar 26. Peta Usulan LP2B dan LCP2B berdasarkan Kelompok I
85
Kelompok 2: Berdasarkan Administrasi Wilayah Kecamatan Pengelompokkan usulan LP2B dan LCP2B berdasarkan batas administrasi wilayah kecamatan dilakukan dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan administrasi pemerintahan dan pelayanan masyarakat di Indonesia sebagian besar berada di kecamatan. Hal lain yang menjadi pertimbangan dalam pengusulan kawasan berdasarkan batas administrasi kecamatan adalah untuk memudahkan koordinasi pengelolaan LP2B dan LCP2B. Penentuan usulan LP2B dan LCP2B berdasarkan kelompok ini, lebih mudah dibandingkan dengan kelompok ke 1. Ini dikarenakan batas setiap kategori lebih jelas, karena dikelompokkan berdasarkan batas administrasi sehingga memudahkan proses pengelompokkan kategori. Pengelompokkan usulan LP2B dan LCP2B berdasarkan kelompok 2, memunculkan 11 usulan kecamatan: yaitu Kinali 8.483 ha, L. Melintang 6.804 ha, Talamau 2.726 ha, R. Batahan 2.712 ha, S. Beremas 2.975 ha, G. Tuleh 1.178 ha, Pasaman 5.085 ha, Luhak ND 901 ha, K. Balingka 728 ha, S. Aur 350 ha dan Sasak RP 88 ha, total seluas 29.274 ha. Sebaran usulan kategori lahan berada hampir di semua wilayah kecamatan. Usulan LP2B dan LCP2B terbesar adalah di Kecamatan Kinali dan yang terkecil di Kecamatan Koto Balingka. Usulan kategori lahan berdasarkan kelompok ini akan mempermudah pengelolaan LP2B dan LCP2B. Ini dikarenakan kategori lahan berada
dalam
satu
administrasi
kecamatan,
sehingga
pengelolaan
dapat
didelegasikan dan menjadi tanggung jawab masing-masing camat, dibawah koordinasi instansi yang berwenang terhadap LP2B dan LCP2B. Kebijakan yang diambil Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat adalah dengan membedakan dan mengelompokkan daerah-daerah yang mengalami defisit lahan dan surplus lahan. Daerah yang mengalami defisit sebaiknya megambil kebijakan dengan menambah areal persawahan, sedangkan daerah yang surlpus lahan dengan cara meningkatkan produksi, indeks pertanaman, perbaikan jaringan irigasi, jalan dan lain sebagainya. Usulan kategori lahan lebih mudah diaplikasikan di lapangan karena berada dalam 1 wilayah kecamatan. Perencanaan terhadap kategori lahan dapat lebih detail dan terfokus karena luasan hamparan yang lebih kecil dibandingkan dengan kelompok ke 1 dan 3. Masalah dan kendala yang muncul, akan lebih mudah untuk diselesaikan karena tidak terlalu melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Hasil analisis secara spasial disajikan pada Gambar 27.
86
Gambar 27. Peta Usulan LP2B dan LCP2B berdasarkan Kelompok II Kelompok 3: Berdasarkan Pertimbangan Etnis Pengelompokkan usulan LP2B dan LCP2B berdasarkan pertimbangan etnis dilakukan dengan tujuan untuk mengelompokkan secara umum, lahan-lahan yang homogen berdasarkan karakteristik etnis dan berkesinambungan secara spasial. Lahan yang diusulkan sebagai KP2B terbagi dalam 2 kelompok besar yaitu: kategori lahan yang berada di belahan utara
dihuni oleh etnis Mandahiling dan belahan
selatan Kabupaten Pasaman Barat dihuni oleh etnis Minang. Pengelompokkan usulan LP2B dan LCP2B berdasarkan pertimbangan etnis, memunculkan 2 usulan kategori lahan. Kategori I dibelahan utara Kab. Pasaman Barat, berada dalam wilayah administrasi Kec. S. Aur, L. Melintang, K. Balingka, R. Batahan dan S. Beremas seluas 13.519 ha. Kategori II dibelahan selatan Kab. Pasbar wilayah administrasi Kec. Kinali, Pasaman, Talamau, Luhak ND, G. Tuleh dan Sasak RP seluas 15.755 ha, total seluas 29.274 ha.
87
Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat pada kelompok ini adalah menyesuaikan karakteristik setiap etnis, etnis yang satu berbeda dengan etnis yang lainnya dalam hal menilai pengolahan dan perspektif mereka tentang lahan sawah. Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat harus arif dan bijaksana dalam memandang perbedaan etnis ini, selanjutnya bisa mengambil suatu kebijakan tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Pasaman Barat. Usulan kawasan berdasarkan kelompok ini akan sulit untuk dilaksanakan di lapangan karena luasan hamparan kategori lahan yang sangat luas. Hasil analisis secara spasial disajikan pada Gambar 28.
Gambar 28. Peta Usulan LP2B dan LCP2B berdasarkan Kelompok III
88
Tabel 37. Matriks Karakteristik Kategori lahan Kelompok LP2B dan LCP2B Karakteristik
Kelompok 1 (Hasil AHP/Proyeksi)
Jumlah dan Luas Kategori Lahan
• Ada 4 LP2B dan LCP2B • I = 20.372 ha II = 2.889 ha III = 5.595 ha IV = 438 ha Jumlah = 29.274 ha
Pengelolaan
• Pengelolaan lahan tidak begitu sulit karena berada dalam 2-3 wilayah administrasi kecamatan,
Kelompok 2 (batas Kelompok 3 administrasi (pertimbangan etnis) kecamatan) • Ada 9 LP2B dan • Ada 2 LP2B dan LCP2B LCP2B I = 13.519 ha • I = 8.483 ha II = 15.755 ha II = 6.804 ha Jumlah = 29.274 ha III = 2.726 ha IV = 2.712 ha V = 2.975 ha VI = 1.178 ha VII = 5.085 ha VIII = 901 ha IX = 728 ha X = 88 ha XI = 350 ha Jumlah = 29.274 ha • Pengelolaan • Pengelolaan sulit lahan dapat lebih karena berada maksimal dan dalam 4 dan 5 terfokus karena wilayah berada dalam 1 administrasi wilayah kecamatan, administrasi kecamatan • Luasan • Luasan hamparan lahan hamparan lahan dalam skala kecil. paling luas
Kondisi Luasan • Luasan hamparan Hamparan lahan lebih besar dibanding prioritas 2 Implementasi • Memungkinkan • untuk diaplikasikan karena hamparan lahan tidak terlalu luas.
Ciri-ciri lahan
• Lahan-lahan • mudah diidentifikasi apakah sawah irigasi, sawah tadah hujan ataupun lahan potensial saja
Lebih mudah • diaplikasikan karena lahan berada dalam 1 wilayah administrasi kecamatan Lahan mudah • diidentifikasi apakah kecamatan tertentu mengalami surplus lahan atau defisit lahan
Sulit untuk diaplikasikan karena hamparan lahan sangat luas sehingga melibatkan berbagai pihak dan kepentingan Lahan-lahan mudah diidentifikasi melalui kepemilikannya apakah warga pribumi atau warga pendatang
89
Arahan Penetapan LP2B dan LCP2B serta Pola Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Pasaman Barat Aset penting petani di pedesaan adalah lahan pertanian tempat mereka berusahatani. Pilihan komoditas yang dibudidayakan oleh petani didasarkan pada pilihan rasional dengan berbagai pertimbangan. Oleh karena itu, tidak jarang petani melakukan alih fungsi dari satu jenis tanaman ke jenis tanaman lainnya pada lahan pertaniannya. Masalah yang diajukan yaitu alih fungsi tersebut menghilangkan lokasi-lokasi pertanian tanaman pangan seperti padi yang dapat mengancam ketahanan pangan baik secara lokal, regional, maupun nasional. Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Pemerintah telah melakukan pengaturan tentang alih fungsi lahan, yaitu perubahan fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi bukan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara akan dikenakan hukuman pidana dan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun hal tersebut belum dapat diimplementasikan dengan baik di lapangan. Di Kabupaten Pasaman Barat, penurunan luas lahan sawah selama kurun waktu 2005-2010 secara kumulatif sebesar 2.287 ha atau 450-500 ha/tahun. Salah satu alih fungsi lahan sawah yang nyata terlihat adalah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit (Dinas Pertanian Kab. Pasaman Barat, 2010). Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan terluas di Kab. Pasaman Barat. Berdasarkan data tahun 2012 luas lahan perkebunan kelapa sawit di Kab. Pasaman Barat mencapai 100.642 ha atau 28,46% dari luas penggunaan lahan. Hal ini mengindikasikan bahwa petani di Kab. Pasaman Barat memiliki minat yang tinggi untuk menanam kelapa sawit. Terjadinya alih fungsi lahan sawah ke tanaman kelapa sawit menurut Kurdianto (2011) disebabkan oleh berbagai hal yaitu pendapatan usahatani kelapa sawit lebih tinggi dengan resiko lebih rendah, nilai jual/agunan kebun lebih tinggi, biaya produksi usahatani kelapa sawit lebih rendah, dan terbatasnya ketersediaan air. Lahan sawah irigasi dan sawah tadah hujan di Kabupaten Pasaman Barat, petani mengusahakan padi umumnya kurang dari dua kali setahun. Selain intensitas penanaman yang masih rendah, penerapan teknologi budidaya juga belum dilakukan sepenuhnya oleh petani di kabupaten Pasaman Barat, seperti pemupukan yang belum berimbang, kebanyakan petani hanya menggunakan pupuk urea saja.
90
Kebijakan Pemerintah Kab. Pasaman Barat yang perlu dilakukan untuk melindungi lahan sawahnya adalah meningkatkan intensitas pertanaman sampai 3 kali dalam setahun dan peningkatan faktor-faktor produksi lahan sawah seperti dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Selama ini dari intensitas pertanaman padi sawah rata-rata 1,09 setahun dengan hasil analisis usahatani yang dilakukan rata-rata penerimaan petani sawah adalah 1,5 juta/ha/bulan.
Apabila
peningkatan intensitas pertanaman sampai dengan 3 kali setahun dilakukan maka rata-rata penerimaan petani meningkat menjadi 4,5 juta/ha/bulan, sehingga bisa melebihi pendapatan petani kelapa sawit yang rata-rata 2 juta/ha/bulan. Pendekatan PTT merupakan salah satu pemecahan dalam peningkatan pendapatan usahatani padi dan peningkatan produktivitas padi secara berkelanjutan di Kabupaten Pasaman Barat. PTT dipercaya akan mampu menyediakan produksi padi dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat selanjutnya akan meningkatkan pendapatan petani (Widodo dan Mudjisihono, 2005). Model PTT terdiri dari beberapa komponen teknologi budidaya yang sinergis, yang dapat diterapkan sesuai kondisi agroekosistem, antara lain adalah; (a) perlakuan benih; (b) pemilihan varietas; (c) penanaman tunggal bibit muda; (c) jarak tanam lebih rapat; (d) sistem pengairan; (e) penggunaan bahan organik; (f) penggunaan bagan warna daun dan uji tanah dalam pemupukan; (g) pengendalian gulma dengan gosrok. Implementasi model ini dilaporkan dapat meningkatkan hasil padi dari sekitar 5,6 menjadi 7,3 – 9,6 ton/ha, dan pendapatan petani meningkat dari Rp, 1,6 juta menjadi Rp. 4,1 juta/ha (Puslitbangtan, 2000). Disamping permasalahan belum optimalnya pemanfaatan teknologi, intensitas pertanaman rendah dalam meningkatkan ketahanan pangan, kompetisi pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor semakin ketat, dan rencana alih fungsi lahan sawah yang sangat dahsyat berdasarkan RTRW Kabupaten/Kota seluas 3,09 juta ha dari 7,8 juta ha lahan sawah. Dari tren neraca lahan sawah cukup mengkhawatirkan, walaupun dari tahun 1981-1999 menunjukan tren peningkatan seluas 1.593.649 ha, namun penurunan tajam terlihat pada kurun 1999 – 2002 yang menunjukkan penurunan 422.857 ha. Pola alih fungsi (konversi) di Pulau Jawa adalah sawah menjadi perumahan 58,7%, menjadi lahan pertanian lainnya 21,8% dan menjadi non perumahan 19,5%. Di luar Pulau Jawa sawah menjadi perumahan 16,1%, menjadi lahan pertanian lainnya 48,6% dan menjadi non perumahan 35,3% (BPS, 2004).
91
Semakin meningkatnya pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi dan industri, mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kedaulatan pangan. Sesuai dengan pembaruan agraria yang berkenaan dengan penataan
kembali
penguasaan,
pemilikan,
penggunaan
dan
pemanfaatan sumberdaya agraria, perlu perlindungan lahan pertanian pangan secara
berkelanjutan
sesuai
TAP
MPR
No.
IX/MPR/2001.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sesuai dengan amanat UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-Undang No. 41 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) sebagai acuan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk melindungi lahan pertanian pangan dalam rangka ketahanan dan kedaulatan pangan nasional serta sekaligus merencanakannya sebagai bagian dari penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota. Tarik menarik kepentingan dalam kebijakan pola ruang cendrung memprioritaskan kepentingan investasi ketimbang bagaimana memastikan masyarakat dapat hidup dan mengelola lahan tanpa potensi ancaman kriminalisasi serta memastikan keberlanjutan daya dukung lingkungan yang harusnya dibatasi untuk dieksploitasi. Padahal untuk perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, pasal 23 ayat (2) UU 41 Tahun 2009 dengan tegas mengamanahkan bahwa: “Penetapan LP2B, LCP2B dan KP2B kabupaten diatur dalam Peraturan Daerah mengenai rencana tata ruang wilayah kabupaten.” Untuk itu, sebagai implementasi amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang PPLB maka Pemerintah Kab. Pasaman Barat yang digagas oleh Dinas Pertanian dengan persetujuan bersama dengan DPRD harus menetapkan Peraturan Daerah tentang PLP2B. Peraturan Daerah tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terdiri dari substansi pengaturan yakni : perencanaan, penetapan, pengembangan, pemanfaatan, pembinaan, pengendalian, pengawasan, perlindungan dan pemberdayaan petani, pembiayaan, peran serta masyarakat, penyidikan, serta ketentuan pidana. Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah di Kabupaten Pasaman Barat tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, maka ada kewajiban substansi materi pengaturan sebaran di setiap kecamatan, desa, atau dusun.