PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KAKAO Theobroma cacao L. RAKYAT BERKELANJUTAN DI KABUPATEN KOLAKA PROVINSI SULAWESI TENGGARA : PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae)
MAZHFIA UMAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Sistem Perkebunan Kakao Theobroma cacao L. Rakyat Berkelanjutan di Kabupaten Kolaka: Pengelolaan Hama Penggerek Buah Kakao Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae) adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2010
Mazhfia Umar NIM P062050281
ABSTRACT
MAZHFIA UMAR. Development of sustainable of Smallholders Cocoa Plantations in Kolaka District South East Sulawesi: Management of Cocoa Pod Borer (CPB) Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae). Under direction of SYAFRIDA MANUWOTO, SUPIANDI SABIHAM, LALA M. KOLOPAKING. Development of plantations in Kolaka Regency becomes a complex problem, which has the implications in the incidence of pest and disease problems, especially cocoa pod borers (CPB). To overcome these problems, a research was conducted in the cocoa-producing center in Lambandia Sub-district using an exploratory method and experts’ opinions. Description of the current plantation conditions shows that the famers were choice the pesticides on management of Cacao Pod Borer (CPB) in Lambandia Sub District. The famers consider pesticides as a means of the controller in overcoming CPB problems and it has an impact on the sustainability of cocoa plantations. An assessment of the sustainability of the PBK resource management using MDS (Multi Dimensional Scaling) method showed that the social dimension was sufficiently sustainable with a value 58.39%; on the other hand, the dimensions of institution/policy, ecology, economy, and technology/ infrastructure were not sustainable with values of 37.32%, 44.62%, 45.27%, and 46.59% respectively. Thus, CPB management in the sub-district should be improved. CPB management was determined by using a descriptive analysis and SWOT (Strengths Weaknesses Opportunities and Threaths). The strategy priority based on SWOT analysis is to increase knowledge and skills of farmers (1.101) and related officers which is the main priority, followed by the development of adaptive IPM CPB (0.538), empowerment of PHT institution (0.310), quality improvement (0.180), and supply chain efficiency (0.207). The descriptive analysis showed that the CPB management system were the farmers, supplies of production facilities, the market system, and supporting institutional. The organization structure of famers group include the function of production facilities, production, control of CPB, post harvest, marketing, and cooperative. In implementing the PBK management, farmers group is complemented by supporting institutional. Institutional design was made using ISM analysis (Interpretative Structural Modelling). ISM analysis is to identify obstacles faced which include the limited utilization of mutual cooperation values in promoting farmers’ participation, so that the institutional farmers can not run optimally, ineffective role of supporting institution, including the control of policy marker. For that purpose, the activities which can be implemented is the program related to improving of IPM CPB and increasing multiplication and certification of cocoa seeds and the resistant clones of PBK, monitoring the distribution and use of pesticides and fertilizers. The successful implementation of PBK management is measured by the improve of IPM CPB, increase income of farmer, quality life of farmer. The roles of supporting institutional are under the Department of Agriculture, the Government of Regency and Sub-district, and Extention Centre. Keywords: Cocoa plantation, strategy , institution, CPB management
RINGKASAN MAZHFIA UMAR. Pengembangan Perkebunan Kakao Theobroma cacao L. Rakyat Berkelanjutan di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara : Pengelolaan Hama Penggerek Buah Kakao Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae). Dibimbing oleh SYAFRIDA MANUWOTO, SUPIANDI SABIHAM, dan LALA M. KOLOPAKING. Pengembangan perkebunan kakao di Kabupaten Kolaka menghadapi permasalahan yang kompleks sehingga mengancam keberlanjutan perkebunan. Salah satu permasalahan adalah kendala organisme pengganggu. Berdasarkan kondisi tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengelolaan organisme pengganggu utama yaitu penggerek buah kakao (PBK) (Conopomorpha cramerella Snellen) (Lepidoptera: Gracillariidae). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk pengelolaan PBK, kelembagaan yang ada, pengembangannya kedepan didasari prinsip-prinsip pengendalian hama terpadu (PHT) dan pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi dan pendapat pakar. Penilaian kondisi terkini pengelolaan PBK menggunakan pendekatan eksploratif dengan teknik pengamatan langsung, wawancara, observasi, dan interpretasi data sekunder. Penilaian status keberlanjutan dilakukan dengan teknik interpretasi data sekunder didukung oleh wawancara pakar. Data dianalisis dengan menggunakan Multi Dimensional Scaling (MDS) dalam bentuk Rap-Lambandia. Hasil penilaian status keberlanjutan dilanjutkan dengan perumusan strategi pengelolaan PBK dengan teknik wawancara dan data dianalisis dengan alat analisis Strenghtness, Weakness, Opportunities, Threatness (SWOT). Desain kelembagaan dilakukan dengan cara teknik wawancara pakar. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan Interpretative Structural Modeling (ISM). Hasil analisis menunjukan bahwa pada saat ini pekebun menempatkan pestisida sebagai bentuk utama pengelolaan PBK. Salah pandang berimplikasi pada keberlanjutan perkebunan kakao ditunjukan oleh nilai status keberlanjutan aspek ekologi, ekonomi, sosial termasuk di dalamnya sub aspek kelembagaan/kebijakan dan teknologi/infrastruktur berturut-turut sebesar 44.62%, 45.27%, 58.39%, 37.32%, dan 46.58%. Artinya pengelolaan PBK yang dilakukan saat ini mengancam keberlanjutan perkebunan. Dengan demikian pengelolaan PBK perlu diperbaiki agar tidak bergantung pada pestisida saja tetapi juga memanfaatkan sumber daya lainnya. Sumber daya pengelolaan PBK yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai perkebunan berkelanjutan adalah limbah kakao, musuh alami, pemanfaatan potensi nilai-nilai sosial dan kepemilikan lahan, serta mengoptimalkan peran kelembagaan pekebun dan kelembagaan penunjang. Pengelolaan PBK dilakukan dengan membuat perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan dilakukan dengan menganalisis kondisi lingkungan internal dan eksternal yang memperngaruhi pengelolaan PBK. Faktor internal dan eksternal , kemudian diplotkan dalam matriks alternatif strategi. Analisis SWOT menunjukan bahwa di dalam strategi pengelolaan PBK yang perlu dilakukan adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun (1.101), pengembangan PHT PBK (0.538), dan peningkatan kapasitas kelembagaan PHT (0.310), peningkatan mutu pasca panen (0.180), dan efisiensi rantai pemasaran (0.207). Penerapan pengelolaan dilakukan dengan merumuskan struktur organisasi pengelolaan PBK, yaitu terdiri dari fungsi penyediaan sarana prasarana produksi, produksi, pengendalian PBK, pascapanen,
pemasaran, dan koperasi. Sistem pengelolaan PBK terdiri dari kelompok pekebun, penyedia sarana produksi, pelaku pasar, serta lembaga penunjang. Dalam memperbaiki pengelolaan PBK masih ditemukan kendala utama yaitu belum dimanfaatkannya nilai-nilai sosial gotong royong dan belum optimalnya pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida. Untuk itu diperlukan kegiatan pengembangan dan pengerapan PHT PBK yang ditandai dengan terbentuknya PHT PBK yang mampu menurunkan serangan PBK, meningkatnya pendapatan pekebun, dan meningkatnya kualitas hidup pekebun. Berdasarkan strategi dan kendala yang dihadapi kendala maka visi pengelolaan PBK adalah terciptanya perkebunan kakao rakyat yang produktif, mampu meningkatkan pendapatan, dan aman bagi lingkungan. Misi pengelolaan PBK adalah produksi biji kakao bermutu dengan proses produksi minim dampak negatif terhadap lingkungan. memerlukan visi. Strategi pengelolaan PBK adalah penguatan PHT PBK melalui peningkatan kapasitas kelembagaan dengan cara peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun sehingga pekebun mampu meningkatkan mutu produk kakao yang dapat memenuhi kebutuhan pasar lokal dan global. Untuk mencapai visi, misi, dan strategi pengelolaan PBK maka lembaga yang menjadi penggerak utama pengelolaan PBK adalah Dinas Perkebunan yang merupakan lembaga pengontrol, Pemerintah daerah, dan Badan Penyuluhan Pertanian. Balai Penyuluhan Pertanian menjembatani Balai Penelitian/Pengkajian Teknologi/Perguruan Tinggi dengan kelompok pekebun. Pengembangan PHT PBK meliputi penyediaan sarana produksi, pasca panen, dan pemasaran, sehingga kelompok pekebun juga perlu bermitra dengan dinas Koperasi, Dinas perindustrian/Perdagangan berperan dalam pembinaan koperasi dan standar mutu biji kakao. Dengan demikian maka harapan implikasi kebijakan PHT PBK pembentukan forum pengembangan dan pengendalian kakao rakyat yang berperan dalam percepatan pelaksanaan koordinasi, pemantauan dan evaluasi, pengelolaan insentif, pemberdayaan alumni SLPHT, dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun. Kata Kunci: Perkebunan kakao, strategi pengelolaan PBK, kelembagaan pengelolaan PBK
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KAKAO Theobroma cacao L. RAKYAT BERKELANJUTAN DI KABUPATEN KOLAKA PROVINSI SULAWESI TENGGARA : PENGELOLAAN HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae)
MAZHFIA UMAR
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumber daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Sabarman Damanik, M.S. Dr. Ir. Ade Wachjar, M.S.
Judul Disertasi
Nama NIM
: Pengembangan Perkebunan Kakao Theobroma cacao L. Rakyat Berkelanjutan di Kabupaten Kolaka: Pengelolaan Hama Penggerek Buah Kakao Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae) : Mazhfia Umar : P062050281
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Anggota
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S. Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Tanggal Ujian : ………………….
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Lulus : ……………………….
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2008 ini adalah perkebunan berkelanjutan dengan judul Pengembangan Perkebunan Kakao Theobroma cacao L. Rakyat Berkelanjutan di Kabupaten Kolaka : Pengelolaan Hama Penggerek Buah Kakao Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae). Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr, dan Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S. selaku komisi Pembimbing. Bapak Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si. dan Bapak Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. selaku Penguji Luar Ujian Tertutup serta Bapak Dr. Sabarman Damanik M.S. dan Bapak Dr. Ir. Ade Wachjar, M.S. selaku Penguji Luar Sidang Terbuka. Disamping itu, penulis sampaikan penghargaan kepada Bapak Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara atas izin dan kesempatan yang diberikan untuk menempuh pendidikan di IPB ini, nara sumber, dan PT Antam (tbk) melalui Divisi Corporate Social Responsibility atas perhatian bantuan dalam penulisan disertasi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan program studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan tahun 2005 atas dorongan dan kekompakannya, kedua orang tua dan adik-adik serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2010. Mazhfia Umar
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pomalaa (Sulawesi Tenggara) pada tanggal 9 Desember 1966 sebagai anak sulung dari pasangan La Pia Umar dan Mauzu. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus tahun 1991. Pada tahun 2002, penulis diterima di Magister Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2004. Setahun kemudian tepatnya tahun 2005 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Pengelolaan Sumber daya Alam dan Lingkungan. Penulis bekerja sebagai Staf Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian yang saya lakukan diharapkan dapat menambah pemahaman dan wawasan berfikir saya dalam menjalankan tugas sehari-hari, diharapkan dapat berkontribusi dalam pencapaian perkebunan kakao berkelanjutan di Sulawesi Tenggara dan pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan pekebun kakao rakyat.
xi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
xvi
Latar Belakang ........................................................................................
1
Perumusan Masalah ................................................................................
6
Tujuan Penelitian ....................................................................................
8
Manfaat ..................................................................................................
9
Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................
13
JUDUL 1 KONDISI TERKINI PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT .............
32
Abstrak ....................................................................................................
32
Abstract ...................................................................................................
32
Pendahuluan.............................................................................................
32
Metodologi Penelitian ..............................................................................
36
Hasil ........................................................................................................
41
Pembahasan ............................................................................................
67
Kesimpulan..............................................................................................
72
Daftar Pustaka .........................................................................................
72
JUDUL 2 STATUS PENGELOLAAN PENGGEREK BUAH KAKAO (PBK) MENUJU PERKEBUNAN BERKELANJUTAN .............................................
75
Abstrak ....................................................................................................
75
Abstract ...................................................................................................
75
Pendahuluan ............................................................................................
76
Metodologi Penelitian ..............................................................................
80
Hasil ........................................................................................................
81
Pembahasan .............................................................................................
92
Kesimpulan..............................................................................................
95
Daftar Pustaka .........................................................................................
95
JUDUL 3 STRATEGI PENGELOLAAN PBK ................................................
98
Abstrak ....................................................................................................
98
Abstract....................................................................................................
98
xii
Pendahuluan ............................................................................................
99
Metodologi Penelitian ..............................................................................
102
Hasil ........................................................................................................
104
Pembahasan .............................................................................................
115
Kesimpulan..............................................................................................
123
Daftar Pustaka........................................................................................... ..
124
JUDUL 4 DESAIN KELEMBAGAAN PENUNJANG PENGELOLAAN PBK ..................................................................................................................
126
Abstrak ....................................................................................................
126
Abstract....................................................................................................
126
Pendahuluan ............................................................................................
126
Metodologi Penelitian ..............................................................................
131
Hasil ........................................................................................................
133
Pembahasan .............................................................................................
143
Kesimpulan..............................................................................................
145
Daftar Pustaka .........................................................................................
146
PEMBAHASAN UMUM .................................................................................
148
Visi, Misi, dan Strategi Pengelolaan PBK ...............................................
148
Bentuk Kebijakan Pengelolaan PBK ........................................................
150
Kelembagaan Pengelolaan PBK ..............................................................
155
KESIMPULAN UMUM DAN SARAN ............................................................
159
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
161
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................
161
xiii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Perkebunan berkelanjutan terkait aspek ekologi, ekonomi, dan sosial ...
17
2. Lama Hidup pada setiap fase perkembangan PBK ................................
23
3. SOP Pengendalian Hama Terpadu (PHT) PBK ......................................
27
4. Perkembangan penelitian terkait pengelolaan PBK ...............................
28
5. Karakteristik sumberdaya perkebunan kakao ........................................
34
6. Kondisi tanah di Kecamatan Lambandia ................................................
45
7. Jenis musuh alami PBK yang terjaring di Kecamatan Lambandia .........
48
8. Jenis kebijakan terkait perlindungan tanaman ........................................
51
9. Penerapan teknologi pengendalian PBK ................................................
57
10. Rata-rata produksi kakao di Kecamatan Lambandia pada puncak produksi bulan Juli 2008........................................................................
62
11. Pendapatan pekebun responden pada berbagai tindakan pengendalian PBK ......................................................................................................
63
12. Konsep PHT PBK berdasarkan sumberdaya dan tujuan perkebunan berkelanjutan ........................................................................................ 13. Hasil
penilaian
keberlanjutan
setiap
79
dimensi keberlanjutan
pengelolaan PBK di Kecamatan Lambandia .........................................
92
14. Matriks alternatif strategi pengelolaan PBK menuju perkebunan kakao rakyat berkelanjutan di Kecamatan Lambandia ......................................
110
15. Perumusan sasaran dan kebijakan pengelolaan PBK .............................
118
16. Jenis lembaga pengelolaan PBK menurut legalitas dan ukuran ..............
130
17. Matriks kebijakan Pengelolaan PBK setiap stakeholder pada berbagai strata adminstrasi ...................................................................................
151
xiv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Luas tanam kakao (ha) tahun 2009 pada sentra produksi kakao di Kabupaten Kolaka ....................................................................................
3
2. Kerangka pemikiran penelitian .................................................................
11
3. Proses penerapan konsep PHT mencapai perkebunan berkelanjutan .........
21
4. Penggerek Buah Kakao (PBK) .................................................................
24
5. Gejala Serangan PBK ...............................................................................
24
6. Peta Lokasi Penelitian ..............................................................................
37
7. Petak Pengambilan sampel .......................................................................
39
8. Jenis
semut
ranggang
Oecophylla
smaragdina
(Formicidae:
Hymenoptera) yang dominan ditemukan di lokasi pengamatan .................
49
9. Kondisi jalan desa masih labil dan belum memadai ..................................
53
10. Penanganan pascapanen pemisahan biji dari daging buah (kiri) dan pengeringan biji kakao (kanan) yang dilakukan masih tradisional .............
54
11. Luas serangan PBK setiap tahun di Kecamatan Lambandia ......................
56
12. Kondisi kebun setelah panen tanpa sanitasi (kiri) dan sanitasi (kanan) .....
58
13. Kondisi Terkini Pengelolaan PBK dan implikasi terhadap perkebunan berkelanjutan ...........................................................................................
68
14. Atribut aspek ekologi pengelolaan PBK yang menjadi penentu keberlanjutan perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia ....................
82
15. Atribut aspek ekonomi pengelolaan PBK yang menjadi penentu keberlanjutan perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia .................... 16. Atribut
aspek sosial pengelolaan PBK yang
84
menjadi penentu
keberlanjutan perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia ....................
85
17. Atribut aspek infrastruktur/teknologi pengelolaan PBK yang menjadi penentu keberlanjutan perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia .......
86
18. Atribut aspek kelembagaan/kebijakan pengelolaan PBK yang menjadi penentu keberlanjutan perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia .......
88
19. Indeks keberlanjutan pengelolaan PBK menggunakan rap-Lambandia ......
89
20. Atribut pengelolaan PBK yang memelukan intervensi untuk mencapai perkebunan kakao berkelanjutan di Kecamatan Lambandia ......................
93
xv
21. Matriks SWOT ......................................................................................... 104 22. Prioritas faktor internal yang menjadi kekuatan dalam pengelolaan PBK .. 105 23. Prioritas faktor internal yang menjadi kelemahan dalam pengelolaan PBK ........................................................................................................ 106 24. Prioritas faktor eksternal yang menjadi peluang dalam pengelolaan PBK . 107 25. Prioritas faktor ekternal yang menjadi ancaman dalam pengelolaan PBK . 109 26. Prioritas Strategi pengelolaan PBK ........................................................... 112 27. Struktur Organisasi Kelembagaan Pengelolaan PBK ............................... 120 28. Sistem Kelembagaan Pengelolaan PBK .................................................... 123 29. Matriks Hubungan DP-D Elemen ............................................................. 132 30. Struktur ISM VAXO keterkaitan tolok ukur kendala yang dihadapi ......... 133 31. Matriks Hubungan DP-D elemen tolok ukur kendala yang dihadapi ......... 134 32. Struktur ISM VAXO keterkaitan tolok ukur kebutuhan kegiatan .............. 135 33. Matriks Hubungan P-D elemen tolok ukur kebutuhan kegiatan ................. 136 34. Struktur ISM VAXO keterkaitan tolok ukur untuk menilai keberhasilan . 138 35. Matriks hubungan DP-D elemen tolok ukur keberhasilan program ........... 139 36. Struktur ISM VAXO tolok ukur keterkaitan antara lembaga ..................... 140 37. Matriks hubungan DP-D elemen tolok ukur lembaga terkait ..................... 141 38. Keterkaitan antar lembaga-lembaga penunjang pengelolaan PBK berdasarkan sub elemen kunci setiap elemen ............................................ 144
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Rapfish Ordination dan Rapfish Ordination Monte Carlo aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi/infrastruktur, dan kelembagaan/kebijakan pengelolaan PBK ..................................................................................... 169 2. Penilaian responden berdasarkan bobot dan urut kepentingan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pengelolaan PBK Kerangka pemikiran penelitian.................................................................................................. 174 3. Hasil pengolahan ISM VAXO pengelolaan PBK ..................................... 178
PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao Theobroma cacao L. merupakan salah satu komoditas perkebunan yang strategis bagi Indonesia. Pada saat ini 93% perkebunan kakao merupakan perkebunan rakyat, melibatkan 1 395 824 Kepala Keluarga dan menyerap 82 197 HOK tenaga kerja. Luas lahan kakao mencapai 1 425 216 ha dan 857 757 ha (60.18%) diantaranya berada di Pulau Sulawesi. Produksi kakao Indonesia pada tahun 2008 mencapai 803 590 ton (Deptan 2009) sehingga menjadi penyumbang kedua pasar kakao dunia setelah Pantai Gading (Côte d'Ivoire) (ICCO 2008). Perkebunan kakao juga merupakan penyumbang devisa negara dengan nilai ekspor mencapai 1 268 914 000.00 US$ pada tahun 2008 (Deptan 2009). Produk kakao Indonesia di pasar global umumnya dijual dalam bentuk biji kakao kering (BKK), sementara potensi produk olahan yang dapat memberi nilai tambah seperti kakao butter, kakao pasta, tepung kakao, atau makanan mengandung coklat lebih banyak dihasilkan oleh negara-negara importir biji kakao. Kebijakan pemerintah Indonesia turut mendorong kondisi di atas seperti tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi ekspor biji kakao dan PPN 10% bagi biji kakao yang akan digunakan sebagai bahan baku pabrik pengolahan biji kakao.
Bagi kakao olahan dikenakan PPN 30% dan tarif impor 5%.
Sebaliknya di negara-negara pengimpor seperti Malaysia, Amerika, dan NegaraNegara Eropa tidak mengenakan pajak impor terhadap biji kakao kering dan ekspor biji kakao olahan. Masalah lain yang dihadapi biji kakao Indonesia adalah mutu yang rendah sehingga dikenakan penahanan (detention) oleh lembaga Pengawas Makanan dan Obat Amerika (USFDA).
Akibatnya produk kakao
Indonesia terkena pemotongan harga sebesar 10-15% dari harga pasar untuk biaya penanganan kembali (reconditioning). Kebijakan-kebijakan tersebut di atas berdampak pada harga di tingkat pekebun dan selanjutnya berdampak pada pendapatan pekebun. Pada sisi lain peluang pasar kakao dalam kondisi terbuka luas terlihat dari peningkatan konsumsi kakao di negara-negara Eropa sebesar 21%, Amerika 14%, Asia 41% dan Afrika 48% pada tahun 1996/1997 sampai 2004/2005 (ICCO 2008).
2
Kakao Indonesia sekitar 60% di pasarkan ke Malaysia, Amerika, Singapura, dan Brazil, sementara potensi pasar lainnya seperti Eropa, Rusia, Slovenia, dan Cina belum terjamah. Potensi konsumsi kakao di pasar global pada tahun 2004/2005 ádalah Eropa 50%, Amerika 34%, Asia 13% dan Afrika 3% (ICCO 2008). Dalam pengelolaan perkebunan kakao masih ditemukan berbagai kendala yaitu: degradasi lingkungan (Vadapalli 1999), sosial ekonomi pekebun, pola budidaya tanaman, dan serangan hama dan penyakit (Deptan 2006). Penerapan teknologi budidaya belum sepenuhnya mempertimbangkan daya dukung lingkungan sehingga rentan terhadap penurunan kesuburan dan keanekaragaman hayati (Rice dan Greenberg 2000), yang bermuara pada serangan hama penyakit, penurunan produksi, dan penurunan pendapatan (Siebert 2002).
Kakao yang
ditanam dengan pola monokultur tanpa naungan dan tanpa diimbangi dengan perlakuan budidaya lainnya dapat menimbulkan berbagai implikasi ekologis. Ukuran daun kakao yang relatif besar mempunyai jumlah stomata per unit area lebih banyak, menyebabkan penguapan lebih tinggi dan menurunkan ketahanan fisiologi tanaman (De-Almeida dan Valle 2007; Belsky dan Siebert 2003). Kehilangan hara dan kandungan bahan organik potensial menyebabkan tanaman lebih rentan terhadap hama dan penyakit (Belsky dan Siebert 2003; Bos et al. 2007). Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu pemasok kakao Sulawesi dengan luas lahan 194 268 ha (22.90%). Salah satu sentra produksi kakao di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah Kabupaten Kolaka.
Perkebunan
kakao di Kabupaten Kolaka seluruhnya merupakan perkebunan rakyat dengan luas 79 117 ha dan melibatkan sekitar 30 378 rumah tangga pekebun (Deptan 2009). Perkebunan rakyat dicirikan dengan kepemilikan atau pengelolaan petak kebun sekitar 3-5 ha (ICCO 2003), pada beberapa negara luas perkebunan rakyat 1-2 ha (D’Haese et al 2003). Daerah penghasil utama kakao di Kabupaten Kolaka adalah Kecamatan Wolo, Lambandia, Ladongi, Samaturu, Tirawuta, dan Watubangga. Kecamatan Lambandia mempunyai kebun kakao terluas sekitar 24.09% dari luas tanam kakao di Kabupaten Kolaka.
Beberapa kecamatan
penghasil kakao dan luas tanam dapat dilihat pada Gambar 1.
3
31 852.50 Luas tanam (Ha) 14 831.40 5 035.50
Lambandia
Ladongi
Poli-polia
6 861.99
Samaturu
8 218.50 3 855.50
Wolo
Latambaga
Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Kolaka (2010)
Gambar 1 Luas tanam kakao (ha) tahun 2009 pada sentra produksi kakao Kabupaten Kolaka. Kakao merupakan komoditas perkebunan utama di Kabupaten Kolaka. Dilihat dari perdagangan antar pulau, subsektor perkebunan memberikan kontribusi senilai Rp235 256 400.00 yaitu 92.1% dari total nilai perdagangan (BPS Kabupaten Kolaka 2006a). Kakao menjadi tumpuan rumah tangga pekebun, karena sifat agronomis tanaman yaitu berbuah sepanjang tahun.
Kakao
merupakan komoditas perdagangan global, selain itu karena ketersediaan lahan kering memungkinkan perluasan. Bagi pembangunan daerah, kakao merupakan komoditas strategis terlihat dari sumbangannya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kolaka atas harga berlaku dari perkebunan mencapai 18.50% (BPS Kabupaten Kolaka 2006b). Potensi pengembangan kakao belum diimbangi dengan pengelolaan sistem produksi yang memadai. Selama lima tahun terakhir (tahun 2002 sampai 2007) rata-rata produksi kakao Kolaka mengalami penurunan sebesar 51% atau sekitar 10% setiap tahun diantaranya akibat serangan hama dan penyakit (Dinas Perkebunan 2007). Hasil survei terhadap perkebunan kakao rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara menunjukan bahwa 63 - 80% tanaman kakao terserang OPT, 5-40% adalah hama penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella Snellen (Gracillariidae: Lepidoptera), 19.2% adalah penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora) dan selebihnya adalah penyakit VSD (Vascularstreak dieback) (Mc.Mahon et al. 2006). Serangan PBK menyebabkan biji kakao
4
menyatu satu dengan lainnya dan plasenta biji mengeras serta aroma biji kakao tidak dapat terbentuk secara baik terutama pada biji kakao yang difermentasi, sehingga menyebabkan penurunan mutu. Luas serangan hama PBK di Provinsi Sulawesi Tenggara meliputi areal 3 735.4 ha dengan kerugian sekitar Rp22.312 milyar (Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi Tenggara 2007). Kehilangan hasil akibat serangan hama PBK di daerah endemis mencapai 24% (Jamaluddin dan Sjafaruddin, 2005), bahkan pada beberapa daerah mencapai 80-90%.
Kehilangan hasil akibat
serangan PBK khususnya di Kabupaten Kolaka diperkirakan mencapai Rp25 milyar per tahun.
Pada sentra produksi kakao di Kabupaten Kolaka,
serangan hama PBK juga menjadi kendala utama. Luas serangan hama PBK tertinggi dijumpai pada tahun 2007 di Kecamatan Lambandia yaitu 662 ha, diikuti Kecamatan Ladongi 508 ha, Kecamatan Samaturu 483 ha, dan Wolo 446 ha (Disbunhorti 2008). Permasalahan PBK diperkirakan semakin meluas mengingat bentang alam perkebunan yang cukup luas dan pengendalian PBK belum dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Peran strategis perkebunan kakao dan permasalahan yang cukup kompleks di Indonesia, khususnya di Kabupaten Kolaka membutuhkan penanganan yang komprehensif terutama penanganan hulu dalam bentuk pengawalan kebijakan. Pengawalan kebijakan membutuhkan pemahaman pelaku pengambil kebijakan untuk mengetahui akar permasalahan, merumuskan alternatif pemecahan dan mampu mengembangkan desain pengelolaannya (Robert 2004). Kebijakan yang dihasilkan selain dapat diterapkan juga dapat mencapai tujuan. Untuk itu pengambil
kebijakan
perlu
merumuskan
strategi,
merumuskan
dan
mendistribusikan program, menyelaraskan dan memadukan berbagai fungsi dalam bentuk koordinasi program, dan melakukan evaluasi (Peter 1996).
Kebijakan
pembangunan yang diharapkan mampu mengatasi atau menjadi jalan tengah bagi permasalah perkebunan adalah penerapan ‘konsep perkebunan berkelanjutan’. Perkebunan berkelanjutan merupakan penjabaran lebih lanjut dari konsep pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam Agenda 21 Indonesia tahun 1978 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Kebijakan perkebunan berkelanjutan telah diakomodir dalam berbagai
5
kebijakan termasuk dalam kebijakan perlindungan tanaman untuk mengatasi permasalahan
organisme
pengganggu
tanaman
termasuk
hama
PBK.
Implementasi kebijakan perlindungan tanaman yang sejalan dengan tujuan perkebunan berkelanjutan adalah penerapan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) (Heinrichs 2005). Konsep PHT mengintegrasikan pengelolaan tanaman dalam skala hamparan yang melibatkan pekebun, kelompok pekebun (Bianchi et al. 2006; Campbell dan Godoy 1986), dan pengambil kebijakan yang berperan sebagai pengontrol (Campbell dan Godoy 1986). Pengendalian hama terpadu merupakan pengambilan keputusan secara holistik dan partisipatif untuk menghasilkan teknologi, anjuran, strategi pengendalian yang aman bagi lingkungan dan masyarakat serta memiliki manfaat sosial ekonomi (Norris et al. 2003; Dhaliwal et al. 2004). Pengambilan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan pengelolaan, masalah yang dihadapi, kondisi sumber daya, dan alternatif teknologi PHT yang tersedia (Dhaliwal et al. 2004). Sumber daya perkebunan meliputi sumber daya ekologi, fisik (teknologi, sarana produksi, dan infrastruktur), ekonomi, manusia, dan sosial (Campbell et al. 2001; Hassanshahi et al. 2008). Penerapan PHT tidak hanya pada level pekebun, tetapi juga pada level kelompok pekebun, dan pengambil kebijakan (Heong 1985).
Pekebun adalah
inidividu pengambil keputusan tingkat agroekosistem kakao oleh karena itu dibutuhkan kemampuan pekebun untuk menganalisis kondisi ekosistem dan mempertimbangkan teknik pengendalian yang kompatibel. Kelompok pekebun diharapkan dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait, dan pengambil kebijakan melaksanakan peran kontrol secara terus menerus. Secara keseluruhan dibutuhkan pembelajaran secara terus menerus pada setiap level untuk mendukung pengambilan keputusan di tingkat pekebun. Setiap level pengambilan keputusan diharapkan saling mendukung, pengambilan keputusan pada level pekebun didasari oleh pengambilan keputusan pada level diatasnya, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian maka terlihat bahwa konsep PHT merupakan suatu pendekatan yang holistik dengan mempertimbangkan kondisi sumber daya perkebunan dalam mendapatkan suatu teknologi dan strategi pengendalian PBK
6
yang dapat diterapkan dan dikontrol secara optimal. Untuk itu dalam pengelolaan PBK diperlukan suatu keterpaduan antara pekebun, kelompok pekebun, dan pengambil kebijakan. Pekebun diharapkan mampu mengidentifikasi permasalahan dan merumuskan strategi pengendalian, serta mampu melaksanakan pengendalian dengan dukungan kelembagaan pekebun yang efektif, dan pengawalan kebijakan yang mendorong terlaksananya strategi pengendalian PBK.
Perumusan Masalah Kebijakan perkebunan berkelanjutan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, dan penjabarannya pada berbagai perundang-undangan terkait. Kebijakan perkebunan berkelanjutan sejalan dengan prinsip-prinsip PHT yaitu pengelolaan yang dapat mendorong pelestarian lahan dan keanekaragaman hayati, mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan pekebun untuk menerapkan dan mengembangkan PHT secara terus menerus. Peraturan perundang-undangan telah menetapkan tujuan perkebunan berkelanjutan yaitu proses produksi yang menciptakan kelestarian lahan dan keseimbangan ekosistem (Undang Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Perkebunan, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup), mendorong iklim usaha perkebunan yang kondusif bagi peningkatan pendapatan (Undang Undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil), serta upaya pemenuhan hak pekebun dalam mengakses lahan, menjalankan usaha perkebunan secara adil, merata dan aman bagi kesehatan (Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang Undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok – Pokok Kesehatan. Untuk itu diperlukan dukungan teknologi yang berorientasi lingkungan hidup (Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman) dan kelembagaan (Undang Undang Nomor 32 tahun 2004
7
tentang Pemerintahan Daerah).
Berdasarkan ketentuan di atas, maka
pembangunan perkebunan kakao seyogyanya mampu menciptakan kelestarian lahan dan keseimbangan ekosistem, bersifat adil, aman bagi kesehatan pekebun, dan dapat mendorong iklim usaha yang kondusif serta mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga pekebun. Pembangunan perkebunan kakao di Provinsi Sulawesi Tenggara masih belum sepenuhnya mengimplementasikan ketentuan yang ada. Penggunaan lahan untuk perkebunan belum mempertimbangkan peruntukan lahan, bahkan sampai ke hutan lindung dan mengancam kehidupan satwa endemik seperti Anoa (Balbadus sp.) dan babi rusa (Babyrousa babyrussa) sehingga mengancam keseimbangan ekosistem setempat. Pola budidaya yang belum sepenuhnya berpedoman pada standar budidaya seperti penggunaan pupuk yang belum mengacu kebutuhan hara lahan, penebangan naungan, dan pengendalian OPT yang masih terpaku pada penggunaan pestisida. Akibatnya serangan OPT dalam hal ini serangan PBK meningkat dan produktivitas kakao semakin menurun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa serangan PBK merupakan kendala penting mengingat timbulnya serangan OPT merupakan akumulasi dari kendala-kendala lainnya yang belum ditangani dengan baik. Sementara orientasi pengelolaan PBK oleh masing-masing pekebun di Kecamatan Lambandia belum dilakukan secara berkelanjutan, misalnya belum dipertimbangkan keterpaduan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial. Pengambilan keputusan pengendalian dilakukan oleh inividu pekebun yang pada umumnya memilih teknik pengendalian pestisida yang dianggap paling praktis. kelompok pekebun masih belum optimal, pengambilan keputusan pengendalian PBK.
Peran
terutama dalam mendukung Akibatnya masih terus terjadi
peningkatan luas serangan PBK dan penurunan produksi kakao. Pengenalan pengendalian PBK melalui sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT) telah dilakukan di berbagai desa, tetapi belum diterapkan secara konsisten. Kendala yang dihadapi seperti pengetahuan belum merata diantara pekebun, belum dikembangkannya PHT , kebijakan subsidi sarana produksi hanya untuk pupuk anorganik, pendapatan rendah, dan nilai-nilai gotong royong yang memudar. PHT yang dihasilkan diharapkan adalah teknologi/informasi/anjuran
8
pengendalian OPT yang diyakini mampu menurunkan tingkat serangan OPT, murah, mudah, dan menggunakan tenaga kerja yang lebih sedikit (Orr dan Ritchie 2004). Kendala-kendala yang dihadapi meliputi semua komponen sumber daya (1) kendala sumber daya manusia seperti pengetahuan dan keterampilan, (2) sumber daya fisik seperti pemenuhan sarana produksi, (3) sumber daya keuangan yang menyangkut pendapatan pekebun, (4) sumber daya sosial yang terkait dengan kelembagaan pekebun. Dengan demikian berdasarkan kendala sumber daya yang dihadapi, maka permasalahan PBK memerlukan suatu bentuk pengelolaan sumber daya berkelanjutan. Pengelolaan yang berkelanjutan merupakan suatu bentuk pengelolaan yang aman bagi lingkungan, dan memberi manfaat sosial ekonomi bagi pekebun dan masyarakat. Berdasarkan
kendala
dan
kebutuhan
partisipasi
pekebun
dalam
pengelolaan PBK maka perlu dirancang suatu desain pengelolaan PBK yang terintegrasi dan komprehensif.
Oleh karena itu permasalahan penelitian
dirumuskan sebagai berikut : 1. Terbatasnya informasi status pengelolaan PBK dalam upaya mencapai perkebunan berkelanjutan 2. Pengelolaan PBK yang dilakukan masih belum terintegrasi antar sub sektor 3. Kelembagaan pengelolaan PBK belum menjadi sarana untuk memudahkan pemanfaatan sumber daya. Pertanyaan penelitian adalah apakah pengelolaan hama PBK berkontribusi sebagai kendala besar dalam mewujudkan perkebunan kakao rakyat berkelanjutan di Kabupaten Kolaka?
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengobservasi kondisi terkini perkebunan kakao rakyat 2. Menganalisis status pengelolaan PBK dalam rangka mencapai perkebunan berkelanjutan 3. Menganalisis strategi pengelolaan PBK 4. Menganalisis dan merancang kelembagaan penunjang pengelolaan PBK
9
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran yaitu : 1. Pengembangan ilmu pengetahuan dengan aplikasi sistematika berfikir yang holistik dalam mengeksplorasi potensi dan perumusan kegiatan berdasarkan akar permasalahan dalam konsep pembangunan berkelanjutan. 2. Para pihak terkait dapat memahami visi bersama dan saling kerjasama untuk mencapai tujuan pengembangan perkebunan kakao rakyat berkelanjutan di Kecamatan Lambandia. 3. Pemerintah daerah, khususnya Kecamatan Lambandia dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perkebunan kakao rakyat berkelanjutan.
Ruang Lingkup Penelitian Paradigma pembangunan berkelanjutan merupakan arah bagi pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor yang mampu menciptakan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial baik bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Perkebunan berkelanjutan ditunjukan dengan tetap terjaganya kualitas lahan dan keseimbangan ekosistem, bersifat adil, aman bagi kesehatan pekebun, dan dapat mendorong iklim usaha yang kondusif serta mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga pekebun. Beberapa kebijakan terkait perkebunan berkelanjutan sebagaimana disebutkan pada perumusan masalah telah memuat tujuan pembangunan perkebunan dalam aspek ekologi, ekonomi, atau sosial. Dalam mencapai tujuan tersebut, maka pembangunan perkebunan masih menghadapi berbagai permasalahan seperti pembukaan lahan kebun belum sepenuhnya mengindahkan peruntukan lahan, produktivitas kakao rendah, dan kelembagaan pekebun yang belum berperan optimal, dan lingkaran kemiskinan rumah tangga pekebun. Kompleksitas permasalahan perkebunan bermuara pada permasalahan hama dan penyakit atau bencana alam (Power 1999), misalnya pada perkebunan kakao rakyat yang didera permasalahan OPT, khususnya penggerek buah kakao (PBK). Permasalahan PBK merupakan salah satu kendala utama perkebunan kakao. Untuk mengetahui akar permasalahannya maka perlu dilakukan
10
identifikasi masalah secara tepat.
Hasil identifikasi masalah dijadikan dasar
dalam menerapkan kebijakan perlindungan tanaman menggunakan konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Konsep PHT sejalan dengan paradigma keberlanjutan karena PHT mempertimbangkan keberlanjutan ekologi, mampu meningkatkan pendapatan dan dapat diterapkan secara terus menerus. Penerapan PHT meliputi tindakan preventif dan tindakan pengendalian. Tindakan preventif dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sumber daya,
melakukan
monitoring dan analisis data, serta evaluasi tindakan pengendalian yang dilakukan. Keputusan pengendalian mempertimbangkan pula tujuan perkebunan dan teknologi yang tersedia seperti pengendalian biologi, fisik, mekanik, dan kimiawi. Dalam mempertimbangkan kondisi sumber daya dilihat permasalahan dan kendala yang dihadapi, dan tujuan pembangunan perkebunan (Dhaliwal et al. 2004) dalam hal ini tujuan perkebunan berkelanjutan.
Sumber daya meliputi
sumber daya ekologi, ekonomi, fisik, manusia, dan sosial (Campbell et al. 2001; Hassanshahi et al. 2008). Keterpaduan paradigma pembangunan, sumber daya, dan kendala yang dihadapi dapat dijadikan pertimbangan pengambilan keputusan pengelolaan PBK. Keputusan pengelolaan perlu dirumuskan dalam bentuk strategi pengelolaan PBK. Strategi pengelolaan PBK memberi arahan prioritas kepada aktor pengelola, pada tujuan yang akan dicapai, dan arahan prioritas dalam menghadapi tantangan dari dalam dan luar pekebun (Agrawal 2003; Campbell et al. 2001; Ostrom et al. 1994). Keterkaitan kondisi sumber daya dan rancangan pengelolaan PBK disajikan pada kerangka pikir sebagai berikut.
11
Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan - UU No. 9 Tahun 1960 - UU No. 5 Tahun 1990 - UU No.12 Tahun 1992 - UU No. 9 Tahun 1995 - UU No. 8 Tahun 1999 - UU No.32 Tahun 2004 - UU No.18 Tahun 2004 - UU No.26 Tahun 2007 - UU No.32 Tahun 2009
Perkebunan Kakao Rakyat
Kondisi terkini Perkebunan Kakao Rakyat
Pembukaan hutan
Tanaman tidak produktif
Gangguan OPT-PBK
Akumulasi degradasi
Lingkaran kemiskinan
Pengelolaan PBK
Pengendalian hama terpadu (PHT)
Sumberdaya perkebunan
Identifikasi masalah dan kebutuhan
Tujuan perkebunan berkelanjutan
Teknologi yang tersedia
Strategi Pengelolaan PBK
Kelembagaan Pengelolaan PBK
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian. Penggunaan sumber daya dalam pengelolaan PBK memerlukan peran kontrol dari pihak-pihak terkait (Ostorm et al. 1994). Peran kontrol bertujuan untuk menjamin ketersediaan sumber daya dalam jangka panjang bahkan antar generasi dan menekan konflik antar pengguna sumber daya.
Dalam melakukan
kontrol penggunaan sumber daya berbagai stakeholder berpartisipasi, sehingga diperlukan suatu desain kelembagaan. Untuk itu dibutuhkan desain pengelolaan yang meliputi strategi dan kelembagaan terkait sehingga dapat diterapkan dan dievaluasi.
Strategi pengelolaan bersifat jangka panjang, sehingga bersifat
dinamis sesuai dengan perkembangan internal dan eksternal sistem perkebunan kakao.
Untuk itu peranan kelembagaan yang menjadi bagian integral dalam
pengelolaan PBK, perlu ditumbuhkembangkan.
12
Berdasarkan kerangka pemikiran maka penelitian yang dilakukan terdiri atas 4 bagian masing-masing bagian dituangkan dalam bab tersendiri. Observasi terhadap kondisi perkebunan kakao yang dikemukakan pada Judul 1. Kondisi terkini perkebunan perlu diukur status keberlanjutannya sehingga diperoleh informasi ilmiah yang dapat digunakan dalam mengevaluasi pengelolaan PBK dalam mencapai pembangunan perkebunan kakao. Penilaian status keberlanjutan perkebunan disajikan pada Judul 2. Berdasarkan kondisi terkini dan penilaian status keberlanjutan perkebunan, maka dapat ditentukan faktor-faktot internal eksternal perkebunan yang selanjutnya digunakan untuk merumuskan strategi pengelolaan PBK. Perumusan strategi pengelolaan PBK dapat ditemukan pada Judul 3.
Penerapan strategi perlu dikontrol sehingga tetap terlaksana dan
mencapai tujuan.
Peran kontrol dilakukan oleh pengambil kebijakan yang
dikemukakan pada Judul 4. Hasil penilaian dan perumusan strategi dan desain kelembagaan pengambil kebijakan dianalisis pada Pembasahan Umum serta Kesimpulan dan Saran.
13
Pawar CS. 2002. IPM and Plant Science Industries in India. Agrolinks. Juni 2002. Peshin R, Bandral RS, Zang WJ, Wilson L, Dhawan AK. 2009. Integrated Pest Management: A Global Overview of History, Progress and Adoption. Di dalam Dhawan AK, Peshin R, editor. Integrated Pest Management: Innovation-Develop-ment Process. Springer Netherlands: Netherlands. 689pp.
Contents PENDAHULUAN ..............................................................................1 Latarbelakang ......................................................................................................1 Perumusan Masalah .............................................................................................6 Tujuan Penelitian .................................................................................................8 Manfaat Penelitian ...............................................................................................9 Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................................9 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 12
I.
PENDAHULUAN ........................................................................................1
Latarbelakang ......................................................................................................1 Perumusan Masalah .............................................................................................6 Tujuan Penelitian .................................................................................................8 Manfaat Penelitian ...............................................................................................9 Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................................9 Daftar Pustaka....................................................................................................12
erutama dalam era perdagangan global yang semakin kompleks yang ditandai oleh diratifikasikannya beberapa kesepakatan internasional (seperti GATT dan WTO) serta kesepakatan regional (seperti APEC, AFTA, MEE, NAFTA), maka produk hortikultura dituntut untuk memiliki daya saing yaitu aman, murah, berkualitas, dan proses produksi yang berbasis lingkungan. Pawar CS. 2002. IPM and Plant Science Industries in India. Agrolinks. Juni 2002.
14
Peshin R, Bandral RS, Zang WJ, Wilson L, Dhawan AK. 2009. Integrated Pest Management: A Global Overview of History, Progress and Adoption. Di dalam Dhawan AK, Peshin R, editor. Integrated Pest Management: Innovation-Develop-ment Process. Springer Netherlands: Netherlands. 689pp. - UU No. 9 Tahun 1960 - UU No. 5 Tahun 1990 - UU No 9 tahun 1995 - UU No. 8 Tahun 1999 - UU No. 32 tahun 2004 - UU No. 26 Tahun 2007 - UU No. 32 tahun 2009 -
Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Perkebunan Kakao Rakyat
Kondisi terkini Perkebunan Kakao Rakyat
Pembukaan hutan
Tanaman tidak produktif
Gangguan OPTPBK
Akumulasi degradasi lingkungan
Lingkaran kemiskinan
Pengelolaan PBK
Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Sumber daya perkebunan
Identifikasi masalah dan kebutuhan
Tujuan Perkebunan berkelanjutan
Teknologi yang tersedia
Strategi Pengelolaan PBK Kelembagaan Pengelolaan PBK
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian.
TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan merupakan kebijakan global yang dicetuskan sebagai akibat akumulasi keprihatinan terhadap ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dengan kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan, ketidakmeratan kesejahteraan umat manusia, dan kecenderungan timbulnya dampak lingkungan. Keprihatinan terhadap pertumbuhan penduduk dikemukan oleh Thomas Robert Malthus (1766-1834) dalam tulisan
An Essay on the
Principle of Population pada tahun 1797. Dalam tulisan Malthus disebutkan “populasi manusia akan tumbuh secara eksponensial dan ketersediaan pangan tumbuhan secara aritmetika”.
Meadows tahun 1972 dalam laporannya berjudul
The Limits to Growth mengoreksi pendapat Malthus dan mengusulkan suatu desain pembangunan yang berorientasi keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan potensi sumberdaya yang dimiliki. Ketimpangan kesejahteraan masyarakat dan keterbatasan daya dukung lingkungan semakin meluas sehingga dilangsungkan pertemuan „Club of Rome‟ tahun 1972. Pada pertemuan dihasilkan kesepahaman bahwa ketersediaan sumberdaya alami berada pada batas yang memprihatinkan sehingga mengancam keberlanjutan (sustainability) pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Dalam tahun yang sama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan konferensi mengenai Lingkungan di Stockholm. Dalam konferensi tersebut disepakati bahwa permasalahan lingkungan merupakan masalah global. Negara-negara maju belum dapat memperbaiki pola konsumsi yang tidak ramah
lingkungan,
dan
negara
berkembang
dikatakan
mengeksploitasi
sumberdaya alam untuk tujuan pembangunan. Oleh karena itu pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1983 dibentuk World Commision on Environment and Development (WCED).
Komisi diketuai oleh Ny. Gro
Brundland dan bertugas merumuskan agenda pembangunan global. WCED menyelesaikan agenda pembangunan global dengan mengeluarkan dokumen Our Common Future pada tahun 1987. Dalam dokumen dikemukakan bahwa tata ekonomi dunia menjadi pemicu kerusakan lingkungan dan
14
mengusulkan
pembangunan berkelanjutan.
„Pembangunan Berkelanjutan”
menjadi jalan tengah untuk mewadahi pembangunan berorientasi ekonomi dan kelestarian lingkungan. Pembangunan berkelanjutan adalah “Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generation to meet their own needs” (WCED 1987). Pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan nilai lingkungan, ekonomi, dan sosial dalam perencanaan sehingga tercipta pemerataan distribusi manfaat antar strata sosioekonomi dan jender, dan tersedia peluang pembangunan bagi generasi
mendatang.
Berdasarkan definisi
di atas
maka
pembangunan
berkelanjutan ditopang oleh tiga pilar, yaitu 1) pembangunan lingkungan hidup, 2) pembangunan ekonomi dan 3) pembangunan sosial.
Ketiga pilar saling terkait
dan memperkuat satu sama lain (Eppel 1999; Harris 2000), bersifat dinamis dengan mendorong penggunaan sumberdaya yang didukung oleh pengembangan teknologi, dan kelembagaan yang dapat mengawal pemenuhan kebutuhan generasi saat ini dan akan datang (WCED 1987). Sumberdaya perlu digunakan secara efisien untuk mencapai produksi optimal secara berkelanjutan dengan memelihara kestabilan dan menghindari eksploitasi sumberdaya yang berlebihan. Untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan maka perlu dicapai suatu keseimbangan antara konsumsi dan ketersediaan sumberdaya. Pada sumberdaya tak terbarukan efisiensi ditempuh melalui konversi atau investasi kembali menjadi sumberdaya terbarukan. Kestabilan sumberdaya dilakukan melalui pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas atmosfer, dan fungsi ekosistem lainnya. Keberlanjutan sunberdaya juga ditandai oleh kemampuan pulih lingkungan terhadap gangguan dan kerusakan lingkungan. Pembangunan ekonomi berkelanjutan harus mampu memproduksi barang dan jasa secara berkelanjutan dan berkeadilan antar sektor terkait untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Peningkatan kesejahteraan dapat dicapai dengan dipenuhinya kebutuhan pangan, pakaian, perumahan, transportasi, kesehatan, dan pendidikan melalui penggunaan sumberdaya yang efisien. Pembangunan sosial berkelanjutan dicapai dengan tercapainya keadilan, pemerataan pemenuhan kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, persamaan
15
jender, peranan politik dan partisipasi (Harris 2000). Pembangunan berkelanjutan menempatkan manusia sebagai pelaku pembangunan yang bersinergi satu sama lain dalam menggunakan sumberdaya secara efisien
bagi peningkatan
kesejahteraannya (people oriented) dan minim dampak lingkungan. Dalam hal ini diperlukan sinergi secara terus menerus antara pekebun maupun pihak-pihak terkait dalam penggunaan sumberdaya perkebunan. Untuk mengimplementasikan ketiga pilar pembangunan dibutuhkan keserasian antar bebagai sektor sehingga diperlukan suatu pengawalan kebijakan. Dalam pembangunan perkebunan kebijakan perkebunan berkelanjutan tertuang dalam strategi pembangunan perkebunan yaitu (1) revitalisasi perkebunan, (2) pengembangan komoditas unggulan perkebunan terpadu, (3) revitalisasi perbenihan,
dan
(4)
integrasi
ternak
dan
kebun
(www.deptan.go.id).
Pengembangan perkebunan berkelanjutan di Kecamatan Lambandia merupakan salah satu upaya implementasi strategi pembangunan perkebunan Indonesia.
Sistem Perkebunan Berkelanjutan Sub sektor Perkebunan merupakan bagian dari pembangunan Sektor Pertanian dalam arti luas. Oleh karena itu pertanian berkelanjutan memayungi perkebunan berkelanjutan.
Sistem perkebunan berkaitan dengan pemanfaatan
lahan sebagai basis sistem produksi tanaman, sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan sarana produksi, dan pengelolaan pemasaran yang melibatkan berbagai stakeholder1.
Berkaitan dengan
Pengembangan
agribisnis,
maka
sistem
perkebunan meliputi empat subsistem (Saragih 2000), yaitu : 1. Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan yang menghasilkan sarana produksi seperti bibit, pupuk, dan bahan pengendali 2. Subsistem agribisnis tanaman perkebunan (on-farm agribusiness), yaitu proses budidaya. 3. Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil tanaman. 1
Dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan (Pasal 15) disebutkan usaha perkebunan terdiri atas usaha budi daya tanaman perkebunan dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan yang merupakan serangkaian kegiatan pratanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan, dan sortasi.
16
4. Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis tanaman perkebunan seperti lembaga penelitian, lembaga pendidikan, kebijakan pemerintah, penyuluh pertanian, koperasi, asuransi , ataupun jasa perbankan. Berdasarkan pelaku usaha perkebunan, maka sistem perkebunan di Indonesia, meliputi perkebunan yang diusahakan oleh perusahan perkebunan yang dikelola oleh Swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perkebunan rakyat yang dikelola oleh masyarakat. Perusahaan perkebunan dicirikan dengan kepemilikan lahan yang relatif besar dan mendapat hak pengusahaan lahan pada suatu waktu tertentu. Perkebunan rakyat umumnya memiliki luas lahan dibawah 5 ha dan diusahakan oleh masyarakat (ICCO 2003).
Perkebunan rakyat khususnya
perkebunan kakao meliputi sebagian besar potensi perkebunan kakao di Indonesia, bahkan di Provinsi Sulawesi Tenggara seluruhnya merupakan perkebunan rakyat. Sangat diharapkan pengembangan tanaman perkebunan merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan. Menurut persepsi yang ada penerapan perkebunan berkelanjutan lebih menekankan pada sub sistem produksi (on farm). Perkebunan berkelanjutan belum dilaksanakan secara utuh yang juga meliputi sub sistem terkait lainnya seperti penyedia sarana produksi, pengolahan hasil/pemasaran, dan kelembagaan penunjang. Subsistem yang terkait secara langsung dengan perkebunan kakao perlu bersinergi untuk mencapai suatu perkebunan yang berkelanjutan. Ketidakpaduan penerapan berbagai subsistem perkebunan dapat menghambat tercapainya tujuan perkebunan berkelanjutan. Perkebunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai ‟konservasi dan penggunaan sumberdaya secara efisien dan aman untuk mencapai produksi dengan mutu tinggi yang akhirnya meningkatkan kualitas hidup pelaku perkebunan‟.
Konservasi bertujuan untuk
keseimbangan ekosistem, dan minim dampak lingkungan. pembangunan berkelanjutan dalam perkebunan disajikan pada tabel berikut (Tabel 1).
mampu
Keterkaitan
kakao rakyat berkelanjutan
17
Tabel 1
Perkebunan berkelanjutan terkait aspek ekologi, ekonomi, dan sosial
Aspek
Sasaran
Tujuan
1. Ekologi
Konservasi dan kualitas lingkungan
Sinergi sumberdaya (CGIAR 2003), Efisiensi penggunaan sumberdaya alam (Power 1999; Kada 1999; Shepherd 1998), keseimbangan agroekosistem dan minimal dampak lingkungan (Power 1999).
2. Ekonomi
Pendapatan positif
Mampu memenuhi kebutuhan hidup (Minami 1999; FAO 1991), Produktivitas tinggi (Kada 1999; Shepherd 1999)
3. Sosial
Peningkatan kualitas hidup dirasakan secara adil oleh pelaku perkebunan.
Kompatibel dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kebijakan yang berlaku; partisipasi, pemberdayaan (Power 1999; Shepherd 1998); kelembagaan pekebun dan penunjang (Minami 1991).
Efisiensi penggunaan sumberdaya bertujuan untuk meningkatkan hasil dan memelihara sumberdaya lingkungan agar dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan pekebun khususnya dan masyarakat luas pada umumnya baik masa kini maupun generasi mendatang.
Merijn et al. (2007) mengatakan efisiensi penggunaan
sumberdaya terkait dengan efisiensi produksi dan efisiensi teknik.
Efisiensi
produksi merupakan efisiensi biaya penggunan sumberdaya terhadap pendapatan dan efisiensi teknik merupakan penggunaan sumberdaya minimal untuk mendapatkan hasil maksimal.
Pelibatan anggota keluarga dalam aktivitas
produksi dapat menekan biaya produksi (Kolawole dan Alademimokun 2006; Amos 2007) dan pada luas kebun sekitar 1.2 ha mampu mengadopsi teknik budidaya dengan baik sehingga efisiensi sumberdaya yang dapat dicapai sekitar 51%-80% (Amos 2007). Penggunaan sumberdaya secara efisien juga mampu meningkatkan kualitas lingkungan seperti penggunaan pupuk kompos dapat meningkatkan struktur tanah, kandungan bahan organik, kapasitas ketersediaan air tanah, dan mengurangi pencucian tanah (Lai 2003). Penggunaan sumberdaya secara efisien mendorong konservasi lahan, keanekaragaman
hayati,
dan
keseimbangan
agroekosistem
perkebunan.
Dikemukakan bahwa keanekaragaman hayati dalam suatu sistem memiliki
18
peranan yang sama dalam membentuk kestabilan agroekosistem. Kestabilan agroekosistem ditunjukkan oleh keeratan hubungan antara hama dan musuh alami (Thompson dan Starzomski 2007), serta kestabilan produksi (Power 1999). Rasul dan Thapa (2004) mengatakan bahwa produksi tanaman dalam sistem pertanian monokultur dan dalam sistem pertanian ekologi yang bersifat polikultur relatif sama, tetapi pertanian polikultur memiliki nilai kestabilan yang lebih tinggi.
Dalam jangka panjang pertanian monokultur rentan terhadap
penurunan kesuburan lahan akibat penggunaan input kimiawi yang intensif. Dampak yang ditimbulkan antara lain struktur tanah semakin padat, penetrasi akar dan infiltrasi air menurun, dan aliran permukaan meningkat. Keanekaragaman tanaman dan kestabilan agroekosistem dalam pertanian polikultur lebih mampu mengkompensasi gangguan iklim seperti kekeringan (Rasul dan Thapa 2004). Efisiensi penggunaan sarana produksi juga mampu meningkatkan pendapatan (Rasul dan Thapa 2004) untuk memenuhi kebutuhan pengguna sumberdaya. Menurut hierarki kebutuhan Maslow, kebutuhan manusia dimulai dari (1) kebutuhan fisiologi seperti sandang, pangan, papan, udara bersih, (2) kebutuhan keamanan seperti keamanan dan kenyamanan lingkungan kebun dan perumahan, keamanan sumberdaya alam, (3) kebutuhan sosial seperti interaksi antar tetangga/keluarga, (4) kebutuhan penghargaan seperti pujian, dan (5) kebutuhan aktualisasi diri yaitu kemampuan untuk bertindak sesuai kemampuan yang dimiliki. Berdasarkan hierarki di atas maka kebutuhan pelaku perkebunan meliputi pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial. Kebutuhan ekonomi terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup seperti kebutuhan sandang, pangan, papan, dan tabungan masa depan. Pemenuhan kebutuhan sosial terkait dengan terciptanya sumberdaya lahan dan tanaman kakao serta proses produksi yang aman dari pencemaran dan konflik, interaksi yang seimbang dan harmonis antara pekebun dan pihak yang berkepentingan seperti pelaku transfer teknologi, penyedia sarana produksi, pengambil kebijakan, dan pelaku pasar. Mekanisme kontrol dan sanksi dalam penggunaan sumberdaya, dan akhirnya kemampuan dan kemandirian untuk mengambil keputusan penggunaan sumberdaya perkebunan. Untuk mencapai
19
tujuan sosial maka stakeholder perlu menggali nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat melalui pemberdayaan dan kelembagaan yang dinamis. Pemberdayaan merupakan suatu proses alamiah yang mengarahkan individu/kelompok memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengimplementasiannya dengan mempertimbangkan kemampuan sumberdaya, bersifat partisipatif, demokratis, dan melalui pembelajaran sosial (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto 2007). Proses pemberdayaan seringkali membutuhkan dukungan pihak lain untuk menumbuhkan kepercayaan, dan kemampuan diri dalam mengambil inisiatif serta menumbuhkan tanggung jawab terhadap kehidupan di masa mendatang.
Oleh karena itu dalam meningkatkan manfaat sosial suatu
pembangunan perkebunan diperlukan pemberdayaan dan partisipasi pelaku perkebunan secara terus menerus agar manfaat pembangunan perkebunan dapat dirasakan secara adil.
Untuk itu peran kelembagaan menjadi penting dalam
mengakomodasikan dan meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan lembaga dalam pengelolaan sumberdaya (Ostermeier 1999).
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan kebijakan perlindungan tanaman yang sejalan dengan prinsipprinsip perkebunan
berkelanjutan.
PHT
ditetapkan sebagai
kebijakan
perlindungan tanaman dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1995 tentang Perlindungan
Tanaman
390/Kpts/TP.600/5/
1994
dan
Keputusan
tentang
Menteri
Penyelenggaraan
Pertanian Program
Nomor Nasional
Pengendalian Hama Terpadu. Definisi PHT juga telah mengalami perkembangan sejalan dengan kesadaran manusia terhadap produk pertanian yang aman bagi kesehatan dan lingkungan. Pada awalnya pendekatan dalam menghadapi permasalahan organisme pengganggu tanaman (OPT) sangat tergantung penggunaan insektisida secara intensif sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dengan PHT penggunaan pestisida secara berjadual berubah menjadi penggunaan pestisida secara bijaksana, aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Selain pestisida kemudian digunakan cara lain misalnya pengggunaan musuh alami.
20
Definisi PHT kemudian berkaitan dengan penggunaan berbagai teknik pengendalian berdasarkan pengamatan populasi dengan tujuan menekan perkembangan populasi OPT sehingga dicapai tingkat populasi OPT yang tidak merugikan secara ekonomi dan pengendalian yang dilakukan berdampak minimal terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. PHT bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan dampak kerusakan minimal terhadap agroekosistem serta mendorong terjadinya pengendalian oleh musuh alami (http://www.fao.org/ agriculture/crops/core-themes/theme/pests/ipm/ en/ akses 17 Februari 2010). PHT juga merupakan pengelolaan aktivitas secara holistik meliputi identifikasi OPT, melakukan pengamatan efektif, dan mengambil keputusan teknik pengendalian secara tepat. Biasanya diperlukan suatu strategi pengelolaan OPT dalam jangka panjang (Elsey dan Sirichoti 2001). PHT menekankan pada pengamatan OPT dan penggunaan teknik-teknik preventif (FAO 1991; Boller et al. 2004), yaitu : (1) Tindakan preventif, (2) identifikasi dan melakukan pengamatan, dan (3) teknik pengendalian. Tindakan preventif, merupakan aktivitas pencegahan dengan menciptakan kondisi yang tidak kondusif bagi perkembangan OPT. Misalnya penggunaan klon tahan OPT, rotasi tanaman, penggunaan tanaman naungan, kultur teknis, konservasi dan pelepasan musuh alami, pengelolaan ekologi di sekitar area kebun untuk konservasi biologi dan antagonis. Identifikasi dan pengamatan OPT dilakukan dengan maksud mengembangkan sistem peringatan dini, peramalan, dan sistem diagnosis yang selanjutnya digunakan dalam pengambilan keputusan tentang teknik pengendalian yang digunakan. Untuk itu perlu didukung oleh keberadaan petugas Pengamat Hama Penyakit (PHP) guna menyediakan data, menganalisis, dan mengembangkan ambang kendali yang tepat untuk pengambilan keputusan. Pengamatan OPT perlu dilengkapi dengan evaluasi, sehingga dapat diperoleh umpan balik pengendalian OPT yang telah dilakukan. Oleh karena itu pekebun membutuhkan bantuan transfer teknologi. Penerapan pengendalian dengan menggunakan teknik-teknik pengendalian yang berorientasi lingkungan dan penggunaan pestisida minimal, membuat PHT tidak hanya berorientasi ekologi, tetapi juga berorientasi ekonomi, dan sosial (Norris et al. 2003; Dhaliwal et al. 2004).
Kondisi sosial masyarakat bersifat
21
dinamis sehingga diperlukan proses pembelajaran secara terus menerus dengan melakukan penelitian-penelitian untuk memecahkan masalah OPT di lahan usaha taninya (Soon 1996). SLPHT memfasilitasi proses pembelajaran seperti tersebut di atas antara lain penelitian terapan yang dilakukan pekebun. Proses pengembangan dan penerapan PHT disajikan pada Gambar 3
Tindakan preventif
Sumberdaya ekologi, ekonomi, sosial, manusia, fisik , dan kelembagaan
Pengamatan OPT dan analisis data
Sistem Pengelolaan OPT
Kualitas lingkungan, produksi dan pendapatan, produktivitas pekebun
Keputusan pengendalian biologi, fisik, mekanik, dan kimiawi
Gambar 3 Proses penerapan PHT untuk mencapai perkebunan berkelanjutan (adaptasi dari Bird 2003).
Pada Gambar 3 dikemukakan proses penerapan PHT diawali dengan tindakan preventif yaitu upaya untuk menciptakan keseimbangan ekosistem dengan mempertimbangan keberadaan sumberdaya ekologi, sumberdaya sosial dan sumberdaya fisik. Sumberdaya ekologi adalah kondisi tanaman, identifikasi OPT, bioekologi OPT, kondisi iklim; sumberdaya ekonomi seperti sumber-sumber pendapatan pekebun, sumberdaya sosial seperti kelembagaan pekebun, kondisi sumberdaya manusia seperti pengetahuan dan keterampilan pekebun, serta sumberdaya fisik seperti ketersediaan sarana produksi, teknologi pengendalian, dan infrastruktur.
Ketersediaan sumberdaya diharapkan dapat mendukung
kegiatan pengamatan dan analisis data untuk mendukung pengambilan keputusan pengendalian oleh pekebun.
Pengamatan dan analisis meliputi pengamatan
populasi, luas serangan, dan musuh alami. Analisis data yaitu interpretasi datadata untuk peramalan serangan OPT sehingga dapat memberi informasi dalam pengambilan keputusan pengendalian.
Ketersediaan sumberdaya dan hasil
analisis data digunakan untuk memutuskan bentuk pengendalian yang digunakan.
22
Hasil pengendalian kemudian di analisis untuk mengetahui efektivitas pengendalian, dampak terhadap lingkungan, produksi, dan pendapatan pekebun. Tindakan preventif dan kuratif diikuti dengan evaluasi hasil pengendalian merupakan suatu sistem pengelolaan OPT. Menurut Dhawan dan Peshin (2009) penerapan PHT sangat ditentukan oleh sistem pengambilan keputusan dan penggunaan teknik pengendalian yang kompatibel, diikuti dengan evaluasi penerapannya.
Pengambilan keputusan
dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sumberdaya, teknologi yang tersedia, permasalahan yang dihadapi, dan tujuan yang akan dicapai (Dhaliwal et al. 2004).
Pengambilan keputusan PHT dilakukan pada tingkat pekebun,
kelompok pekebun, dan pengambil kebijakan (Heong 1995). Dengan demikian maka PHT merupakan suatu sistem pengambilan keputusan yang holistik yang dilakukan
melalui
proses
pembelajaran
yang
terus
menerus
dengan
mempertimbangkan jenis OPT, kondisi sumberdaya, teknik pengendalian yang tersedia, dan data hasil pemantauan, diikuti dengan evaluasi penerapannya. Dalam penerapan PHT diperlukan suatu desain kelembagaan (Maumbe et al. 2003), sehingga proses pengawalan dan pengontrolan dapat berlangsung dalam jangka panjang.
Proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik bila diikuti
dengan transfer teknologi dan dengan melibatkan lembaga penelitian dan lembaga penyuluhan. Demikian pula evaluasi penerapan memerlukan dukungan pengambil kebijakan seperti Dinas Perkebunan atau Pemerintah Daerah.
Untuk itu
penerapan PHT memerlukan partisipasi kelompok pekebun, karena perpindahan OPT tidak mengenal batas antar kebun, dan lembaga terkait diperlukan untuk mengawal penerapan PHT. Oleh karena itu fungsi kelembagaan pekebun dan kelembagaan penunjang dalam penerapan PHT berperan penting (Maumbe et al. 2003).
Dengan demikian pengembangan PHT tidak hanya membutuhkan
pengetahuan biologi, tetapi juga sosial kelembagaan, sehingga pekebun dan stakeholder lainnya perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Kelembagaan merupakan kaidah atau aturan yang disepakati bersama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Individu yang memiliki latar belakang dan kepentingan yang beragam dipersatukan dan saling berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama (Chikozho 2005). Kelembagaan PHT ditujukan untuk mencapai
23
keseimbangan ekosistem, kualitas lahan, produksi tanaman optimal, peningkatan pendapatan, dan produktivitas pekebun dalam jangka panjang.
PHT mampu
memelihara kualitas lingkungan sehingga lahan dapat terus digunakan untuk proses produksi tanaman. Produk pertanian mampu memenuhi kebutuhan pasar dan meningkatkan penerimaan pekebun. Produktivitas terkait dengan kemampuan pekebun untuk mengembangkan teknologi yang ramah lingkungan dan terintegrasi dengan kelangsungan ekosistem dalam jangka panjang, serta keadilan antar dan intra stakeholder maupun generasi (Bird 2003).
Dengan demikian
penerapan PHT beserta kelembagaan yang terkait di dalamnya merupakan suatu bentuk pengelolaan PBK.
Karakteristik Penggerek Buah Kakao Penggerek Buah Kakao (PBK) Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae) mengalami 4 fase perkembangan yaitu telur, larva, pupa, dan serangga dewasa dengan total lama perkembangan dari stadia telur hingga serangga dewasa sekitar 28.6 hari (Lim et al. 1982). Telur diletakkan oleh imago betina pada bagian tengah dan atas di antara alur/celah kulit buah. Jumlah telur yang ditemukan per satu buah kakao maksimum 35 butir. Larva terdiri dari empat instar. Telur diletakkan satu persatu atau berkelompok dengan dua atau tiga butir telur setiap kelompok
Setelah menetas larva langsung menembus
lapisan epidermis kulit kakao dan membuat lubang gerekan melalui penampang buah kakao dengan cara memakan plasenta biji kakao (Lim et al. 1982). Lama hidup pada setiap fase perkembangan PBK disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Lama hidup pada setiap fase perkembangan PBK No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Fase perkembangan Telur (hari) Larva (hari) Pupa (hari) Imago (hari) Pre-oviposisi dan Oviposisi (hari) Rata-rata telur per imago (butir) Persentase telur menetas di lapang (%)
Sumber : Lim et al. (1982) ; Toana (1997)
Hari 3.3 17.6 6.7 4.5 5–6 54 – 68 93 - 97%
24
Larva dapat menyerang buah dari ukuran 4-5 cm hingga buah masak (Lim et al. 1982). Gangguan fisiologis akibat aktivitas makan larva adalah terhambatnya perkembangan dan proses pembentukan biji. Serangan larva pada buah muda dapat menyebabkan buah matang sebelum waktunya serta biji kakao menyatu dan membatu. Tingkat kerusakan tergantung pada umur buah waktu diserang, total jumlah larva dan periode makan larva (Lim 1992).
Gambar 4 Penggerek buah kakao. Stadium larva (kiri), pupa (tengah), dan imago (kanan) (Foto : Mazhfia dkk, Lokasi : Kecamatan Lambandia, Juli 2008).
Gambar 5 Gejala serangan PBK. Gejala pada kulit kakao (kiri) dan gejala serangan biji kakao (kanan) (Foto: Mazhfia dkk, lokasi : Kecamatan Lambandia Juli 2008)
25
Larva instar terakhir membuat lubang keluar dan turun ke permukaan tanah untuk membentuk pupa. Pupa mempunyai kokon dari benang sutera yang digunakan sebagai pelindung selama berkepompong pada daun atau buah kakao yang terdapat di permukaan tanah. Serangga dewasa memiliki bentang sayap 5-7 mm (Lim 1992) dan pada sayap terdapat bercak berbentuk „zig-zag‟. Antena panjang dan selalu digerak-gerakan.
Serangga penggerek buah kakao dapat
dilihat pada Gambar 4. Perkembangan PBK membutuhkan waktu yang relatif singkat untuk menyelesaikan siklus hidupnya yaitu sekitar 28.6 hari (Liem et al. 1982), peningkatan rata-rata populasi yang cukup tinggi, dan memiliki tempat hidup dan berkembang biak yang spesifik (Tscharntke dan Brandl 2004). Pola budidaya monokultur menyebabkan berkurangnya keanekaragaman tanaman bagi serangga herbivora dan musuh alami, disamping itu terjadi konsentrasi tanaman sehingga menyediakan inang dalam jumlah yang berlimpah bagi OPT.
Keterbatasan
keanekaragaman tanaman mengurangi ketersediaan inang yang menguntungkan serangga seperti parasitoid, serangga penyerbuk, atau predator. Tekanan terhadap serangga yang bermanfaat memberi keleluasaan bagi perkembangan OPT (Nair 2001; Nicholls dan Altieri 2004). Sistem tanaman perkebunan yang cenderung menyeragamkan jenis tanaman membuat tanaman menjadi lebih peka terhadap OPT.
Musuh Alami PBK Musuh alami yang menyerang hama PBK adalah jenis parasitoid, predator dan patogen.
Parasitoid adalah serangga yang menghabiskan hidupnya pada
serangga lain sebagai inang tempat tinggal atau sebagai sumber makanan, dan akhirnya mematikan inangnya.
Predator adalah organisme (dalam hal ini
serangga atau laba-laba) yang memangsa serangga lain.
Patogen adalah
mikroorganisme yang menginfeksi dan mengganggu proses fisiologis normal, serta menimbulkan penyakit pada inangnya. Organisme umumnya dari golongan virus, cendawan, dan bakteri (Deptan 2004). Lim et al. (1982) mengidentifikasi parasitoid dan predator PBK di Sabah-Malaysia. Parasitoid pupa yang ditemukan adalah Ceraphron sp. 1, Ceraphron sp. 2 (Hymenoptera : Ceraphonidae),
26
Goryphus
sp.
Paraphylax
sp.
dan
Paraphylax
sp.
1
(Hymenoptera;
Ichneumonidae). Pada beberapa lokasi ditemukan juga parasitoid pupa Megaselia sp. (Diptera : Phoridae) dan Phaenocarpa sp. (Hymenoptera : Branonidae). Parasitoid telur yang ditemukan adalah Trichogrammatoide bacirae-fumata (Hymenoptera: Trichogrammatidae) dan bersama Paraphylax sp. berpotensi sebagai agen pengendali PBK, serta parasitoid larva lalat tachinid (Tachinidae: Diptera) (Lim 1992; Deptan 2004) Predator larva dan pupa PBK yang cukup penting adalah semut dan labalaba. Spesies semut yang teridentifikasi diantaranya adalah Camponotus cramatogaster, Iridomyremex anceps Roger, Melanoplus bellii Fonel, Myrmicaria brunnea Saund, Oecophylla smaragdina Fabr., Odontoponea transversa Sm, Lebopelta processionalis Terb. Semut hitam Dilichoderus bituberculatus mengganggu imago PBK meletakan telur saat berjalan diantara buah kakao. Labalaba Menemenus bitittans Dufour, Myrarechine melanocephala Macleay, Thene sp. (Araneae: Tetragnathidae). Argiope versicolor (Doleschall), Araneus sp. (Argiopidae) memangsa larva dan imago PBK (Lim 1992). Jenis laba-laba lain yang memangsa PBK adalah laba-laba lompat (Araneae: Salticidae), laba-laba serigala dan laba-laba tutul (Araneae: Lycosidae), laba-laba kepiting (Araneae: Thomisidae), Laba-laba bermata tajam (Araneae: Oxyopidae), laba-laba pembuat jaring (Araneae: Araneidae) (Deptan 2004). Peranan semut dalam menekan populasi PBK mulai dikembangkan. Predator lain yang tercatat adalah kepik 5 spesies, 11 spesies mantidae, 4 spesies lacewing, 13 spesies dragonfly, 5 spesies kumbang karabid dan 1 spesies kumbang staphylinid (Lim 1992).
Jenis patogen yang dapat menyerang PBK
adalah Beauveria bassiana (Hyphomycetes). Cendawan ini menyerang berbagai jenis serangga termasuk imago PBK (Deptan 2004). Peranan musuh alami dalam pengendalian PBK masih dalam taraf pengenalan pada pekebun. Pengenalan konservasi musuh alami dan perbanyakan agens hayati Beauveria bassiana melalui materi SLPHT.
Konservasi musuh
alami dan perbanyakan agens hayati menghadapi kendala dengan semakin tingginya penggunaan pestisida dalam pengendalian PBK, serta kelembagaan perbanyakan agens hayati belum terbentuk hingga tingkat pekebun.
27
Standard Operating Procedured (SOP) Teknologi Pengelolaan PBK Teknologi pengelolaan PBK mengacu pada Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT PBK mengintegrasikan teknik pengendalian yang kompatibel, perlu dikembangkan dan diimplementasikan ke tingkat lapang sesuai dengan kondisi sumberdaya dan penerimaan masyarakat. Teknologi pengelolaan PBK yang berorientasi pada keseimbangan agroekosistem dalam bentuk SOP PHT PBK diantaranya kultur teknis seperti pemangkasan tanaman kakao dan naungan, frekwensi panen, sanitasi, penyarungan buah, (ICCRI 2005), dan penggunaan klon-klon lokal tahan PBK.
SOP Pengendalian Hama Terpadu PBK disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3 SOP Pengendalian Hama Terpadu (PHT) PBK No 1.
2.
3.
4. 5. 6.
7.
Jenis Pengendalian Klon tahan PBK (Klon ARDACIAR 25 dan ARDACIAR 10) Kultur Teknis Pemangkasan kakao Pemangkasan naungan Pemupukan Penyarungan buah (pada buah ukuran 8-10 cm atau buah umur 3 bulan. Panen sering (interval Panen 5-7 hari Sanitasi (pembenaman (kulit buah dan plasenta) Pengendalian biologi (Paecilomyces fumosoroseu atau Beauveria bassiana dengan volume semprot 250 ml/pohon atau 250 l/ha). Aplikasi Pestisida (bila tingkat serangan > 30%)
Tujuan Menghindari peletakan telur Imago PBK
Sumber PPKKI 2005; Lim 1992
Memanipulasi kondisi agroekosistem kakao
PPKKI 2005
Menghindari peletakan telur imago PBK, memutus siklus hidup PBK Memutus siklus hidup PBK
PPKKI 2005 ;
Memutus siklus hidup PBK
PPKKI 2005 ;
Mematikan serangga
PPKKI 2005; Sulistyowati et al. 2006
Mematikan serangga
PPKKI 2005; Lim 1992
PPKKI 2005 ;
Tabel 3 dikemukakan pemangkasan kakao bertujuan meningkatkan pembungaan dan pembuahan, memperbaiki aerasi kebun dan mempermudah manajemen
tanaman.
Berdasarkan
tujuannya,
pemangkasan
terdiri
dari
pemangkasan bentuk, pemangkasan pemeliharaan, dan pemangkasan produksi. Pemangkasan bentuk dilakukan pada saat tanaman muda telah membentuk jorget dan cabang primer sampai memasuki fase produktif.
Pemangkasan bentuk
28
dilakukan dengan memotong cabang primer, sekunder, dan cabang yang tumbuh ke atas sedemikian sehingga tinggi tanaman mencapai 4-5 meter. Pemangkasan pemeliharaan dilakukan dengan cara mengurangi daun yang rimbun, memotong cabang yang menyentuh tanaman di dekatnya dan diameter kurang dari 2.5 cm. Pemangkasan pemeliharaan dilakukan pada sela-sela pemangkasan produksi dengan frekuensi 2-3 bulan. Cara pemangkasan adalah memotong cabang sehingga tinggi tajuk pada kisaran 3-4 m, memangkas ranting dan daun hingga 25-50%. Pemangksan dilakukan pada akhir musim kemarau sampai awal musim hujan (PPKKI, 2005). Tanaman kakao membutuhkan naungan menyamai habitat asli hutan tropis yang memiliki kelembaban dan suhu udara relatif tinggi, dan penyinaran teduh yang
berfungsi sebagai penyangga (buffer). Naungan yang
berlebihan
menurunkan produksi buah dan memicu perkembangan penyakit, sebaliknya tanaman kakao tanpa naungan membutuhkan input pupuk yang lebih tinggi (DeAlmeida dan Valle 2007).
Penelitian Terkait Penelitian pengelolaan hama PBK telah banyak dilakukan terutama terkait dengan pengembangan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam mendukung keberlanjutan pertanian. Beberapa penelitian penerapan PHT dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Perkembangan penelitian terkait pengelolaan PBK No
Topik Penelitian
Pustaka
1.
Strategi PHT dan PHT berkelanjutan
Dhaliwal et al. 2004, Elsey dan Sirichoti 2001
2.
Aspek Ekologi PHT PBK - Komponen PHT PBK
Depparaba 2002, Sulistyowati et al. 2003
3.
Aspek Ekonomi PHT PBK - PHT PBK meningkatkan produksi dan pendapatan Sjafaruddin et al. 2006 - Pengolahan hasil dan pemasaran meningkatkan pendapatan Mwakalobo 2000
4.
Aspek Sosial PHT PBK - Analisis kebutuhan PHT yang sistematis - Keragaan penerapan PHT PBK - Kolaborasi kelompok tani, lembaga penelitian dan swasta dalam transfer teknologi PHT - Kemitraan kelompok tani, penyuluh dan lembaga penelitian
Samiee et al. 2009, Darwis 2004 Heinrich 2005, Movahedi et al. 2007
29
Tabel 4 dikemukakan penelitian terkait pengembangan strategi PHT (Dhaliwal et al. 2004;
Elsey dan Sirichoti 2001) yaitu
PHT yang
mempertimbangkan keseimbangan ekologi, manfaat ekonomi, dan partisipasi untuk
meningkatkan
kualitas
hidup
masyarakat.
Strategi
merupakan
pengorganisasian atau perumusan aktivitas perencanaan secara komprehensif untuk mencapai tujuan pengelolaan (Heizer dan Render 2004; Hunger dan Wheelen 2003). Tujuan pengelolaan PBK untuk mencapai perkebunan kakao rakyat berkelanjutan sebagaimana dikemukakan sebelumnya adalah terciptanya keseimbangan ekosistem, kelestarian lahan, peningkatan pendapatan, dan peningkatan kualitas hidup pekebun.
Strategi pengelolaan PBK merupakan
pengorganisasian atau perumusan aktivitas-aktivitas pada level agroekosistem sampai pemasaran kakao, sehingga diperlukan peran kelembagaan untuk mengawal pencapaian tujuan pengelolaan PBK. Pengelolaan PBK dilandasi oleh penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang memerlukan kolaborasi dengan kelembagaan terkait sehingga dilakukan penelitian kolaborasi antara petani, perguruan tinggi, lembaga penelitian (Heinrich 2005) dan penyuluh (Movahedi et al. 2007). Pengembangan PHT dengan mengevaluasi kemitraan Lembaga Penelitian (Integrated Pest Management Collaborative Research Support Program- IPM CRSP) dengan kelompok tani pada tahun 1992-2004 (Heinrich 2005). IPM CRSP merupakan model kemitraan antar lembaga dalam pengembangan dan transfer teknologi. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlu dilakukan kemitraan dengan perguruan tinggi untuk mengembangkan PHT tingkat regional yang berperan dalam memonitor dan menganalisis penyebaran OPT.
Diperlukan peran
laboratorium pengamatan tingkat regional, teknologi informasi dan data base, dan perlu aktivitas penilaian dampak lingkungan (Henrichs 2005). Penelitian yang menganalisis keterkaitan penyuluh, lembaga penelitian, dan kelompok tani telah dilakukan di Lorestan and Kermanshah Provinces, Iran (Movahedi et al. 2007). Penelitian menunjukkan bahwa kelompok tani perlu melakukan kemitraan dengan lembaga penelitian yang dijembatani oleh petugas penyuluh. Penelitian terhadap Petani Gandum di Varamin Iran menunjukkan bahwa pekebun membutuhkan suatu format sistematis dalam melakukan analisis
30
kebutuhan dalam mengembangkan PHT (Samiee et al. 2009). Peranan aktivitas pengolahan hasil dan pemasaran telah mampu meningkatkan pendapatan petani (Mwakalobo 2000). Sub sistem pengolahan hasil dan pemasaran merupakan salah satu subsistem perkebunan yang perlu ditingkatkan untuk meningkatkan nilai tambah dan mendorong penerapan PHT. Penelitian terkait penerapan PHT PBK diantaranya adalah penerapan teknologi PHT (Depparaba 2002, Sulistyowati et al. 2003) telah mampu mewujudkan peningkatan produksi dan pendapatan (Sjafaruddin et al. 2006). Hasil serupa dijumpai pada penerapan PHT PBK di Kabupaten Kolaka (Darwis 2004). Penerapan PHT PBK pada 19 orang pekebun di Desa Kurma, Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat menunjukkan bahwa PHT PBK dapat menekan intensitas serangan PBK dan meningkatkan produksi 25.50% dan meningkatkan pendapatan 23.2%. Adopsi PHT PBK memerlukan dukungan modal kelompok untuk sarana dan prasarana pengendalian (Darwis 2004). Pada penelitian lainnya diketahui bahwa peningkatan mutu biji kakao dan efisiensi pasar mampu meningkatkan pendapatan, melalui peningkatan nilai tambah dan penekanan biaya-biaya jasa selama perjalanan (Mwakalobo 2000). Penilaian keragaan penerapan teknologi pengendalian OPT yang dilakukan di Kabupaten Kolaka adalah : panen sering, pemangkasan, sanitasi, pemupukan. Petani mulai mengurangi pemakaian pestisida baik dari jenis, volume maupun frekuensinya. Kendala dalam mengikuti program ini adalah kekurangan tenaga kerja dan susahnya mendapat ramuan dalam membuat pestisida nabati (Darwis 2004). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka penelitian pengelolaan PBK masih berorientasi pada pengembangan teknologi pengendalian dan sinergi dengan lembaga penyuluhan, lembaga penelitian/perguruan tinggi, dan LSM yang berperan dalam transfer teknologi PHT.
Peran pelaku pengambil
kebijakan dalam kontrol penggunaan sumberdaya belum ditemukan penelitian terkait. Pelaku perlindungan tanaman sebagaimana disebutkan dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Pasal 20) disebutkan perlindungan tanaman menjadi tanggung jawab pekebun dan pemerintah.
Pemerintah menjalankan peran koordinasi antar stakeholder,
31
menentukan tujuan, mendorong iklim usaha yang kondusif, melakukan kontrol dengan mengembangkan standar, evaluasi, monitoring, memberi sanksi dan mencegah konflik. Lembaga penyedia jasa lainya seperti penyedia teknologi atau jasa keuangan (Kemp et al. 2005).
Untuk itu maka pengelolaan PBK
menggunakan prinsip PHT hendaknya selaras dengan berbagai lembaga terkait dengan penyedia teknologi dan kontrol penggunaan sumberdaya. Pengembangan prinsip PHT juga sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu menciptakan keseimbangan ekosistem, kelestarian lahan, mampu meningkatkan pendapatan, dan produktivitas pekebun dalam jangka panjang bahkan antar generasi. Untuk itu maka desain pengelolaan PBK perlu didukung oleh lembaga terkait dan didukung oleh implementasi kebijakan yang kondusif. Kebijakan merupakan formula umum yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan dan mengawal penerapan strategi dalam jangka panjang (Robert 2004).
JUDUL 1 KONDISI TERKINI PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT DI KECAMATAN LAMBANDIA KABUPATEN KOLAKA
Abstrak Perkebunan kakao rakyat berkelanjutan menghadapi permasalahan yang kompleks yang bermuara pada timbulnya kendala organisme pengganggu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan pemotretan kondisi perkebunan kakao. Penelitian dilakukan dengan metode survei lapangan terhadap 108 pekebun yang ditentukan secara purpossive random di tiga desa. Hasil observasi menunjukkan pekebun menempatkan pestisida sebagai bentuk pengelolaan PBK di Kecamatan Lambandia. Kata kunci : Pengelolaan Penggerek buah kakao (PBK), Lambandia Abstract The sustainable of people’s cocoa plantation is characterized by the efficiency of resource utilization, stability of agroecosystem, minimal environmental impacts, and famers productivity. The identification of the sustainable plantation attributes was carried out by using a field survey method involving 108 farmers purpossive randomly from three villages, conducting an observation on the intensity of PBK attack, the existence of natural enemies, and the harvest loss in five plots of land spreading in five villages. The result of research indicated that the pesticides on management of Cacao Pod Borer (CPB) was the main choice by the farmers in Lambandia Sub District. Key Words : Management Cacao Pod Borer (CPB), Lambandia
Pendahuluan Mengacu pada kebijakan pembangunan perkebunan berkelanjutan maka perkebunan kakao masih menghadapi tantangan dan kendala terkait sumberdaya perkebunan. Sumberdaya dapat didefinisikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan tujuan penggunaannya. Menurut Campbell (2001) Sumberdaya merupakan modal (asset) yang dapat digunakan untuk menghasilkan barang (tangibel) dan jasa ekosistem (intangibel) untuk kesejahteraan manusia pada masa kini dan masa mendatang. Berdasarkan siklus dan ketersediaan sumberdaya maka sumberdaya dikelompokan ke dalam sumberdaya terbarukan (renewable) dan sumberdaya tak
33
terbarukan (non-renewable).
Sumberdaya terbarukan merupakan sumberdaya
yang rata-rata siklus produksi alamiahnya sama atau lebih cepat dari rata-rata penggunaan, sehingga modal lingkungan dapat terus tersedia. Sumberdaya tak terbarukan memiliki rata-rata siklus produksi lebih rendah daripada rata-rata penggunaan, sehingga modal lingkungan akhirnya menjadi habis (Robert 2004). Menurut
Ostrom (1994)
berdasarkan hak
penggunaannya,
maka
sumberdaya terdiri dari empat kelompok yaitu : 1) Barang bebas (public goods), 2) sumberdaya milik bersama (common pool resources), 3) barang yang dimiliki oleh kelompok tertentu (toll goods), dan barang yang dimiliki secara pribadi (private good).
Barang bebas mempunyai sifat-sifat bahwa setiap orang dapat
memasuki area bebas tanpa mengurangi hak orang lain untuk memasuki area tersebut. Sumberdaya milik bersama (common-pool resources) merupakan area yang dapat digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa. Sumberdaya milik bersama bersifat difficult exclusion yaitu sulit untuk membatasi orang lain masuk ke dalam area sumberdaya dan high subtractability yaitu memiliki kemampuan yang tinggi untuk memberi manfaat dalam bentuk barang dan jasa bagi pengguna sumberdaya. Berdasarkan bentuk penggunaannya, maka sumberdaya terdiri dari sumberdaya alam, manusia, fisik, ekonomi, dan sosial (Campbell et al. 2001; Mwakalobo 2000).
Sistem perkebunan terdiri dari sub sistem penyedia sarana
produksi, produksi, pengolahan/pemasaran hasil, dan jasa penunjang (Saragih 2000), sumberdaya digunakan pada semua lini. Oleh karena itu kondisi perkebunan dapat dikatakan sebagai cerminan pengelolaan sumberdaya untuk memproduksi,
mengolah
dan
memasarkan
produk
kakao.
Pengelolaan
sumberdaya membutuhkan keterpaduan antara pekebun dan pengontrol. Bentuk pengelolaan sumberdaya sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan kemampuan stakeholders dalam melestarikan dan mengembangkan sumberdaya. Untuk itu sumberdaya perkebunan perlu diidentifikasi sebagaimana dipaparkan pada Tabel 5. Pada Tabel 5 dikemukakan berbagai sumberdaya perkebunan sebagai komponen perkebunan berkelanjutan.
Sumberdaya alam, manusia, dan sosial
menjadi modal dasar dalam subsistem produksi (on farm) dan pengolahan
34
hasil/pemasaran (off farm), sedangkan sumberdaya keuangan dan fisik menjadi modal dasar dari subsistem lembaga penunjang perkebunan. Sumberdaya keuangan dapat pula dimiliki oleh pekebun berupa ternak atau lahan yang dapat dikonversi dalam bentuk dana tunai. Untuk mendapatkan dana tunai pekebun lebih sering mengalihkan kepemilikan lahan dengan menggadai atau menyewakan ke pihak lain.
Tabel 5 Karakteristik sumberdaya perkebunan kakao Jenis Sumberdaya Sumberdaya Alam
Sumberdaya Kebun
Potensi Manfaat
Keanekaragaman hayati yang Kesimbangan agroekosistem, meliputi kakao dan pelindung, aset sumberdaya untuk musuh alami, ternak, mikroflora generasi mendatang (Keyzer et al. 2006). Lahan, air, udara Lingkungan aman untuk produksi kakao Sumberdaya Pendapatan, kredit dan tabungan Kesejahteraan pekebun dan Ekonomi masyarakat sekitar Asset dalam bentuk lahan Sumberdaya Peralatan, teknik budidaya/ standar Proses produksi maksimal fisik PHT, standar sarana produksi dan dalam jangka panjang (infrastruktur) infrastruktur fisik untuk mendukung proses produksi Sumberdaya Pengetahuan dan keterampilan Peningkatan partisipasi dan manusia pekebun pemberdayaan pekebun Kesehatan pekebun dan tenaga Peningkatan produktivitas kerja dalam menggunakan sarana pekebun dan tenaga kerja produksi Sumberdaya Kebijakan perlindungan tanaman Efisiensi penggunaan Sosial dan kewenangan pemerintah daerah sumberdaya bidang pertanian Nilai-nilai gotong royong , meng Peningkatan kualitas hidup gunakan sumberdaya secara adil. Hak terhadap akses peningkatan pengetahuan dan keterampilan, sarana produksi. Sumber : Adopsi dari Campbell et al. (2001); Hassanshahi et al. (2008)
Sumberdaya fisik mencakup bentuk teknik budidaya/prosedur PHT atau pengadaan sarana produksi yang dapat dihasilkan oleh pekebun melalui penggalian potensi lokal untuk mengembangkan teknologi yang ramah lingkungan. Beberapa teknologi yang berpotensi untuk diimplementasikan adalah pemangkasan naungan pada kebun kakao, konservasi musuh alami, atau
35
pengolahan limbah perkebunan menjadi kompos.
Sumberdaya fisik lainnya
seperti jalan kebun atau jalan kecamatan/kabupaten untuk distribusi produksi kebun memerlukan peranan pemerintah. Penggunaan sumberdaya perkebunan memerlukan sinergi pekebun dengan pekebun dan pekebun dengan stakeholder lainnya dalam suatu subsistem on farm perkebunan. Kemampuan menggunakan dan mengelola sumberdaya baik di tingkat pekebun/kelompok pekebun dan di tingkat kecamatan berimplikasi pada pencapaian
tujuan
perkebunan
berkelanjutan
yaitu
terciptanya
efisiensi
pemanfaatan sumberdaya, keseimbangan ekosistem, dampak lingkungan yang minimal, peningkatan pendapatan dan adanya partisipasi masyarakat (Harris 2000; Power 1999). Sebaliknya ketidakmampuan menggunakan dan mengelola sumberdaya dapat bermuara pada peningkatan populasi dan serangan OPT, penurunan produksi dan pendapatan pekebun (Power 1999).
Kondisi ini
tampaknya telah dan masih berlangsung. Ketidakadilan penggunaan sumberdaya sangat rentan terhadap munculnya ‘free rider” yaitu individu/kelompok yang mengambil manfaat dari ketidakseimbangan penggunaan sumberdaya. Oleh karena itu pendistribusian penggunaan dan manfaat sumberdaya perlu dilakukan secara adil bagi peningkatan kesejahteraan stakeholder (Carpenter 2001). Pengembangan perkebunan memerlukan pembagian peran yang tegas dan jelas seperti pengguna sumberdaya, pengambil kebijakan (Roberts 2004), penyedia infrastruktur (Campbell et al. 2001) dan monitoring/pembinaan (Chicozhi 2005). Kebijakan pemerintah, penyediaan infrastruktur, dan monitoring sangat diperlukan untuk mendorong pembangunan perkebunan mulai dari penyediaan benih, proses budidaya dan perlindungan tanaman, peningkatan mutu kakao, dan pemasaran hasil.
Ketersediaan SOP Pengendalian Hama Terpadu
(PHT), sarana produksi, maupun sarana pengolahan hasil diperlukan untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan pekebun yang pada umumnya masih terbatas. Selain itu diperlukan pembinaan terutama untuk meningkatkan kepercayaan diri dan tanggungjawab pekebun dalam penggunaan sumberdaya secara efisien dan minim dampak lingkungan. Penyediaan jasa keuangan dan pembinaan koperasi juga masih belum dirasakan oleh pekebun. Oleh karena itu
36
diperlukan sinergi antar subsistem perkebunan guna menunjang pengembangan perkebunan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan perkebunan berkelanjutan maka perlu diketahui karakteristik permasalahan
perkebunan yang
melalui
dihadapi.
pemotretan
Kemampuan
kondisi
sumberdaya
mendeskripsikan
dan
sumberdaya
perkebunan dapat menjadi salah satu pertimbangan pengambilan keputusan pengelolaan OPT (Dhaliwal et al. 2004) dan menjadi informasi dasar penilaian keberlanjutan perkebunan. Pemahaman kondisi sumberdaya dapat memberi informasi ilmiah untuk mengelola sumberdaya alam yang merupakan bagian pembangunan berkelanjutan (Hassanshahi et al. 2008).
Pemotretan kondisi
terkini pengelolaan PBK dengan mendeskripsikan sumberdaya perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia perlu dilakukan.
Metodologi Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada sentra produksi tanaman kakao di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara pada bulan September 2007 sampai Mei 2008. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain : 1) Kecamatan Lambandia merupakan penghasil utama kakao di Kabupaten Kolaka,
2) Luas serangan PBK cukup tinggi (35.6%), 3) masih ditemukan
kendala pengelolaan OPT, dan 4) tersedia data untuk mendukung analisis biogeofisik.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Lambandia memiliki luas 387.86 km2, terletak sekitar 90 km ibu kota Provinsi. Kecamatan Lambandia dibatasi oleh empat kecamatan yaitu : Sebelah Utara berbatasan
dengan
Kecamatan
Ladongi,
Sebelah
Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Rumbia, Kabupaten Buton, Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamaan Tanggetada dan Watubangga, serta Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Lambuya, Kabupaten Kendari. Kecamatan Lambandia terletak melintang dari selatan tenggara ke barat yaitu antara 2 oLS – 5o
37
LS dan membujur dari barat ke tenggara antara 9o45BT – 160oBT.
Luas
kecamatan Lambandia 378.53 km2 merupakan kecamatan terluas (BPS Kabupaten Kolaka 2007). Kecamatan Lambandia merupakan salah satu sentra utama kakao di Kabupaten Kolaka. Luas tanam kakao mencapai 26.769 ha membuat Kakao Lambandia menjadi barometer perkebunan kakao di Kabupaten Kolaka. Perkebunan kakao menempati area dataran dengan kemiringan 0-15% dan pegunungan dengan kemiringan > 45%. Penanaman kakao pada pegunungan meliputi kawasan hutan produksi, hutan konversi, dan hutan suaka alam (Dinas Kehutanan 2007).
Gambar 6 Peta lokasi penelitian.
38
Metode Pengumpulan Data Penelitian dilakukan berdasarkan pengamatan lapangan dan pengumpulan data sekunder. Pengamatan lapangan menggunakan teknik observasi dan wawancara. Observasi Observasi langsung dilakukan untuk mengetahui kondisi perkebunan kakao dan gambaran umum pengelolaan PBK di Kecamatan Lambandia.
Survei Lapangan Teknik wawancara digunakan dalam pengumpulan data karakteristik pengelolaan PBK dalam rangka menganalisis status keberlanjutan pengelolaan PBK.
Pengumpulan data karakteristik pengelolaan PBK dilakukan dengan
mewawancarai 108 orang pekebun. Pekebun dipilih secara purposive (sengaja) random sampling berdasarkan karakteristik pengelolaan kebun yang ditemukan di Kecamatan Lambandia. Ukuran sampel ditentukan berdasarkan jumlah kepala keluarga pekebun yaitu 10% dari jumlah kepala keluarga di suatu Desa. Menurut Gay ukuran sampel yang relatif kecil dapat ditentukan 10% dari populasi (Hasan 2002).
Data Sekunder Data sekunder dikumpulkan dari laporan-laporan, jurnal, buku-buku, dan peraturan perundang-undangan terkait sistem perkebunan. Sumber-sumber studi literatur adalah hasil-hasil penelitian terdahulu dan informasi lain berasal dari instansi terkait yaitu Kantor Kecamatan Lambandia, Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Kolaka, Biro Pusat Statistik, Balai Penelitian Tanah Bogor, Bagian Organisasi dan Kelembagaan Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Kolaka, BPP Kecamatan Ladongi. Jenis data yang diperlukan terkait potensi sumberdaya lahan, manusia, sosial, teknologi, kelembagaan/kebijakan, infrastruktur untuk pengelolaan PBK.
39
Pengamatan Langsung Pengamatan langsung untuk menentukan intensitas serangan PBK dan keanekaragaman musuh alami PBK dilakukan dengan mengabaikan batas administrasi desa. Pengamatan intensitas serangan di wilayah kecamatan dilakukan dengan membagi menjadi 10 blok. Setiap blok terdiri dari beberapa kebun yang dapat mencerminkan kondisi umum, luas minimal 1 ha. Setiap blok pengamatan dibagi menjadi 5 petak dan dari masing-masing sub petak diambil secara acak 20 buah kakao (Gambar 7). Total sampel yang diamati pada setiap petak pengamatan adalah 100 buah kakao. Setiap sampel buah kakao dibelah dan diamati tingkat serangan PBK.
Luas dan batas petak batasan luas petak
pengamatan dibatasi batas alami seperti parit, jalan, pemukiman penduduk, atau sungai.
Sub Petak Petak
Batas alami
Gambar 7 Petak pengambilan sampel.
Pengambilan sampel serangga dilakukan dengan cara meletakkan perangkap di bawah tajuk pada empat arah mata angin (utara, selatan, timur, dan barat). Perangkap terbuat dari kain kasa berukuran diameter 50 cm dan panjang 1 meter. Perangkap diletakan pada lima titik secara diagonal dengan jarak 10 m2 (Teodorescu dan Cogalniceanu 2005).
Serangga yang terperangkap disimpan
dalam alkohol 70%. Identifikasi serangga dilakukan sampai tingkat famili.
Analisis Data Analisis data dilakukan untuk mendapatkan data intensitas serangan, keanekaragaman musuh alami, dan pendapatan pekebun.
40
Intensitas Serangan Penentuan intentasitas serangan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Mustafa (2006) dan Sulistyowati et al. (2005) sebagai berikut : I = (A / B) x 100% Dimana : I = intensitas serangan (%) A = Jumlah buah terserang B = Jumlah total buah Kategori buah terserang terdiri dari : A1 = Bebas serangan PBK
; A2 = Tingkat kerusakan biji < 10%
A3 = Tingkat kerusakan biji 10-50% ; A4 = Tingkat kerusakan biji > 50%
Kehilangan Hasil Penentuan kehilangan hasil ditentukan dengan persamaan regresi Y =0.51X, dimana Y = Kehilangan hasil dan X = Intensitas serangan (Mustafa 2006).
Pendapatan Pekebun dan Kebutuhan Hidup Layak Pendapatan pekebun ditentukan dari selisih nilai penjualan dengan biaya produksi. Penentuan besaran kebutuhan hidup layak (KHL) didasarkan pada nilai ambang kecukupan pangan (beras) untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di perkotaan dan pedesaan yang dikemukakan oleh Sajogyo dan Sajogyo (1990) yaitu
masing-masing
sebesar
240-320
kg/orang/tahun
dan
360-480
kg/orang/tahun. Sinukaban (2007) selanjutnya mengemukakan bahwa kebutuhan hidup layak ditentukan kebutuhan fisik minimum (KFM) dan kebutuhan hidup tambahan (KHT). KFM = Kebutuhan eqivalen beras satu rumah tangga x 100% x jumlah anggota keluarga x harga beras. KHT = kebutuhan pendidikan dan kegiatan sosial + kesehatan dan rekreasi + asuransi dan tabungan. Nilai KHT merupakan kelipatan tiga dari KFM, atau masing-masing kebutuhan pendidikan dan kegiatan sosial, kesehatan dan rekreasi, serta asuransi dan tabungan sebesar 50% KFM. Dengan demikian maka : KHL = KFM + KHT
41
= KFM + 150%(KFM) atau KFM*250% Berdasarkan responden yang diwawancarai diperoleh rata-rata setiap rumah tangga terdiri dari 5 orang dengan harga beras Rp. 6 000/kg (harga bulan Juli 2008), maka diperoleh nilai KHL sebagai berikut : KFM = 320 kg/orang/tahun x 100% x 5 orang/KK x Rp6 000/kg = Rp9 600 000/tahun. KHL = (Rp9 600 000/KK/tahun) * 250% = Rp24 000 000/KK/tahun Hasil wawancara dibandingkan dengan nilai Kebutuhan hidup layak (KHL) ini.
Hasil
Latar Belakang Historis Perkebunan kakao di kabupaten Kolaka berkembang dari usaha kebun yang diusahakan kelompok-kelompok masyarakat dan perusahan perkebunan swasta dan badan usaha milik negara. Kakao mulai dibudidayakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah Utara di Kabupaten Kolaka pada awal tahun 1970-an. Kabupaten Kolaka Bagian Utara yang sekarang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Kolaka Utara, berbatasan langsung dengan Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga menjadi jalur masuknya bibit kakao ke Kabupaten Kolaka. Perkembangan kebun kakao semakin meningkat dengan adanya dukungan kebijakan pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 1986 tentang Pengembangan Desa Terpadu. Penjabaran kebijakan desa terpadu dilakukan melalui program Gerakan Desa Makmur Merata (Gersamata) oleh Gubernur Sulawesi Tenggara pada waktu itu. Kakao ditetapkan sebagai salah satu komoditas unggulan untuk kabupaten Kolaka.
Untuk mendukung
program
GERSAMATA, maka pemerintah daerah melalui proyek Dinas Perkebunan mendatangkan bibit unggul dari kebun Bibit Sumatera Utara guna melengkapi bibit kakao yang telah berkembang dalam masyarakat.
Pemerintah daerah
memahami bahwa langkah awal dalam pengembangan kakao adalah ketersediaan bibit berkualitas. Komitmen
pemerintah
daerah
dalam
program
GERSAMATA,
menyebabkan pembangunan perkebunan kakao rakyat berkembang dengan baik.
42
Pemerintah daerah juga mendorong perusahan-perusahan baik swasta maupun negara untuk melakukan usaha perkebunan kakao khususnya di Kabupaten Kolaka. Perusahaan swasta yang membuka lahan kebun kakao di Kabupaten Kolaka adalah PTP XX, PT. S, PT. HN yang memiliki kebun di Kecamatan Ladongi pada tahun 1980-an (sekitar tahun 1986). PT. HN memiliki areal kebun 6.070 ha, berdasakan SK Menteri Pertanian Nomor : 366/Kpts/KB.350/7/92 ditunjuk sebagai sumber dan produsen benih kakao Lindak hibrida. PTP XIII (Persero) membuka perkebunan kakao dengan areal Hak Guna Usaha (HGU) seluas 650 ha di Kecamatan Watubangga pada tahun 1988 sampai 1996 (http://www.lpp.ac.id akses Maret 2009). Areal kebun di Kecamatan Lambandia merupakan perkembangan lebih lanjut perkebunan kakao yang ada di Kecamatan Ladongi. Kecamatan Lambandia merupakan pemekaran wilayah kecamatan Ladongi sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Kolaka Nomor 18 tahun 2001 tentang Pembentukan 9 (Sembilan) Kecamatan di Kabupaten Kolaka.
Kebun kakao mulai dibuka di Kecamatan
Lambandia oleh pekebun asal Kabupaten Wajo (Provinsi Sulawesi Selatan) yang bernama HC pada awal tahun 1980. Pembukaan areal kebun semakin meluas, dan pembukaan areal kebun kakao oleh kelompok pekebun asal Kabupaten Soppeng Provinsi Sulawesi Selatan bernama HC pada tahun 1987 merupakan cikal bakal perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia. Kelompok HW kemudian menyusul membuat perkebunanan kakao, dengan membeli lahan yang telah digarap oleh HC. Jadi perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia dimulai oleh beberapa tokoh asal Sulawesi Selatan. Hasil tanaman kakao yang dianggap memadai pada awal-awal produksi dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga membuat pekebun belum melakukan pemelihara tanaman secara optimal. Kondisi umur tanaman semakin bertambah tanpa diimbangi dengan peningkatan pemeliharaan tanaman, menyebabkan ketahanan tanaman menurun dan rentan terhadap serangan OPT khususnya hama PBK. Biaya pemeliharaan tanaman semakin meningkat , serangan PBK semakin meningkat. Sebagai dampak perkembangan perdagangan global diikuti oleh krisis ekonomi pada tahun 1998 dan reformasi Otonomi Daerah, perubahan orientasi
43
pelaksanaan
program
pembangunan
pedesaan
menyebabkan
perusahaan
perkebunan negara dan swasta tidak dapat bertahan. Dilain pihak karena nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika melemah dan harga komoditas pertanian di pasar global termasuk komoditas kakao meningkat tajam memacu minat masyarakat untuk berusaha tani kakao. Peningkatan biaya pemeliharaan tanaman pada perkebunan rakyat dan perusahaan perkebunan tanpa dimbangi dengan orientasi kebijakan pemerintah daerah menyebabkan pekebun berupaya meningkatkan luas kebun kakao. Kebutuhan lahan untuk usaha tani kakao meningkat dan kepemilikan lahan yang tumpangtindih memunculkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan. Pengawalan kebun oleh petugas keamanan terus menerus ditingkatkan sehingga biaya untuk keamanan berpengaruh signifikan terhadap biaya produksi.
Perusahaan perkebunan akhirnya melimpahkan kebun seluas
6 020 ha kepada masyarakat sekitar dengan sistem angsur. PT. HN berkonsentrasi sebagai penyedia benih kakao lindak. Luas lahan yang masih tersisa adalah adalah 50 ha dan yang efektif digunakan untuk pembibitan adalah 27 ha. Area pembibitan PT. HN berada terletak di Desa Pomburea (pemekaran Desa Wonuambuteo) Kecamatan Lambandia. Pada saat ini kebun kakao Kabupaten Kolaka seluruhnya merupakan perkebunan rakyat dan telah mencapai luasan 79 117 ha, 26 769 ha diantaranya berada di Kecamatan Lambandia (Deptan 2009). Berdasarkan luas perkebunan Kecamatan Lambandia merupakan salah satu sentra produksi kakao, dan termuat dalam Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2004 tentang Perencanaan Tata Ruang Provinsi Sulawesi Tenggara 2004-2019. Dukungan kebijakan pusat untuk mendorong pembangunan perkebunan adalah Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan Peraturan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.31/menhut-ii/2005 tentang Pelepasan
Kawasan hutan dalam Rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan serta Peraturan Menteri Nomor 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan. Program revitalisasi belum dapat dipahami secara efektif oleh pekebun karena berbagai kendala sosial seperti sertifikat lahan pekebun dan kelembagaan pekebun yang masih terbatas.
44
Dukungan kebijakan pemerintah pusat dan daerah belum cukup ampuh untuk dapat mendorong perkebunan kakao rakyat di Kecamatan Lambandia secara berkelanjutan.
Program-program
yang
berkaitan
dengan
pengembangan
perkebunan kakao rakyat belum sepenuhnya sejalan dengan tujuan PHT, misalnya pemberian bantuan pupuk dan pestisida tanpa diikuti dengan pengawasan peredaran dan penggunaannya.
Hal ini menarik untuk dicermati dan dalam
penelitian dilakukan analisis kebijakan yang dipaparkan pada Judul 1 ini. Permasalahan organisme pengganggu masih menjadi ancaman keberlanjutan perkebunan kakao. Pekebun kakao mulai melirik untuk beralih ke komoditas lain seperti kelapa sawit (www.walhi.or.id. akses Maret 2009) yang diharapkan mampu memberi manfaat ekonomi bagi rumah tangga pekebun.
Kondisi Perkebunan Kakao Rakyat
Klon Asalan Klon yang digunakan merupakan klon asalan yang berasal dari Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, atau Sulawesi Selatan. Di Kecamatan Lambandia tepatnya di Desa Pomburea terdapat kebun benih kakao milik PT HN dengan klon AML, NA33 asal Jember tetapi belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pekebun sekitar, karena pekebun belum menyadari pentingnya benih bermutu dalam budidaya tanaman. Produksi benih kakao ditemukan dalam bentuk biji tanpa kulit dan pekebun di sekitar lebih memilih benih yang lebih murah untuk disemaikan sendiri. Dengan demikian pekebun perlu dibekali dengan pengetahuan pembibitan biji kakao. Klon tahan PBK sedang tahap uji multilokasi di Kebun entris kakao di Kecamatan Tirawuta.
Klon lokal yang diidentifikasi tahan PBK ditemukan di
Kecamatan Ladongi oleh peneliti Balai Penelitian Kopi dan Kakao Jember. Hasil seleksi klon lokal tahan PBK adalah ARDACIAR 25 dan ARDACIAR 10 (PPKKI, 2005). Beberapa pekebun yang dijumpai telah dapat mengidentifikasi secara visual klon kakao yang tahan PBK, yaitu berdasarkan bentuk tekstur dan warna buah yang tidak disukai oleh imago dalam peletakan telur.
Kemampuan pekebun dalam
45
mengenali klon tahan PBK dapat digunakan untuk mengembangkan klon-klon yang tahan terhadap serangan PBK.
Penggunaan Bibit Tahan PBK Bibit lokal tahan PBK seperti klon Ladongi 1 dan Ladongi 2 belum dimanfaatkan secara optimal oleh pekebun, karena masih terkendala proses uji multilokasi sehingga belum dilepas dan belum diperdagangkan secara komersil. Pengetahuan dan keterampilan agar mampu mengenali dan memperbanyak klonklon lokal yang terdapat di kebun perlu disuluhkan kepada pekebun
Pemupukan Hasil analisis tanah di Kecamatan Lambandia menunjukkan bahwa tingkat kesuburan lahan, termasuk kategori rendah sampai sedang sehingga memerlukan input teknologi. Kandungan bahan organik sangat rendah dan tingkat pH tanah rendah. Dengan kondisi tersebut maka perkebunan kakao memerlukan pemupukan yang sesuai kebutuhan untuk dapat memperbaiki kesuburan lahan. Berdasarkan kekurangan kandungan dan kondisi ideal kandungan C dan N bahan organik maka dapat ditentukan kebutuhan bahan organik. Kondisi tanah dan kondisi ideal tanah untuk tanaman kakao di Kecamatan Lambandia disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kondisi tanah di Kecamatan Lambandia No 1 2 3 4 5 6
7.
Unsur Tanah Ordo tanah
Kondisi sekarang *) Inceptisols, Ultisols, dan Oxisols
Kondisi biofisik Tingkat kesuburan pH Bahan organik Kebutuhan hara
Cukup Baik Rendah - Sedang 5.26 (H20) dan 4.07 (KCl) C = 0.68%; N=0.05%; C/N =12.44 P2O5 = 24.02 mg/100g ; K2O = 28.34 mg/100 g ; Ca =3.15 cmol(+0/kg ; Mg = 2.12 cmol(+)/kg; K2O (0.21 cmol(+)/kg; Na = 0,1 cmol(+)/kg; 8.62 cmol(+)/kg
Kapasitas tukar kation (KTK)
Kondisi ideal**) Lempung liat berpasir
6.0 – 7.5 C : 1-2% dan N : 0.5-1%
5 – 12 cmol(+)/kg
Sumber : *) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2006); **) Abdullah dan Soenaryo (1988)
46
Tabel 6 menjelaskan bahwa apabila kandungan C-organik 0.68% dan kebutuhan ideal C-organik 1-2% maka C-organik adalah 0.3-1.3%. Pengambilan sampel tanah pada kedalaman 20cm, dengan berat jenis tanah 1 g/cm3 maka berat tanah adalah 2x106 ton/ha. Kekurangan C-organik 0.3% dan asumsi C dalam bahan organik setara dengan 50% maka dibutuhkan 12 ton bahan organik/ha. Kekurangan C-organik 1.3% dibutuhkan kandungan bahan organik 42 ton/ha. Dengan cara yang sama kekurangan kandungan N 0.45-0.95% dibutuhkan bahan organik 18-19 ton/ha. Kebutuhan bahan organik dapat dipenuhi dari pengelolaan limbah kakao atau serasah tanaman naungan. Penggunaan pupuk di Kecamatan Lambandia bergantung pada pupuk anorganik, sedangkan penggunaan pupuk organik masih sangat terbatas. Pekebun belum melakukan pengolahan limbah guna memenuhi kebutuhan pupuk organik, sehingga terjadi kekurangan hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Penggunaan pupuk NPK sedapat mungkin diaplikasikan secara tepat sehingga dapat diserap tanaman secara optimal dan meminimal dampak lingkungan. Pertumbuhan yang kurang optimal dapat menurunkan ketahanan tanaman terhadap serangan PBK.
Kondisi Tanaman Kakao Pola usaha tani kakao yang dijumpai selama penelitian adalah: monokultur kakao, kebun campuran (kakao, pisang, kopi, kelapa), dan kakao, kelapa, serta hutan campuran. Kebun kakao monokultur mendominasi pola usahatani kakao di Kecamatan Lambandia yaitu sekitar 78.2% diikuti lahan pekarangan 8.9% dan hutan campuran 7.6% (BBPPSLP 2006). Pola monokultur yang diadopsi oleh pekebun kakao terdapat di lahan datar dan landai (kemiringan < 15%) dan kebun campuran pada area perbukitan dengan kemiringan > 15.
Hutan campuran
merupakan hutan yang dikonversi menjadi tanaman perkebunan seperti kakao, kelapa, cengkeh, dan kemiri. Hasil survei lapang terhadap pekebun kakao menunjukkan bahwa rata-rata tanaman kakao milik responden berumur 15-20 tahun dengan distribusi tanaman terdiri dari tanaman kakao berumur kurang dari 5 tahun sebanyak 5%, 5-10 tahun 16%, umur 11-15 tahun 18%, dan berumur > 15 tahun sebanyak 61%. Rata-rata umur tanaman kakao melampaui batas puncak produksi. Menurut
Dias dan
47
Kageyama dalam De-Almeida dan Valle (2007) Tanaman kakao mulai berproduksi pada umur 4 tahun dan mencapai produktivitas potensial pada umur 8 sampai 10 tahun. Tanaman kakao dapat mencapai umur 30-80 tahun, walaupun pada kisaran umur tersebut produktivitas akan menurun. Oleh karena itu diperlukan teknologi untuk meningkatkan kesuburan terutama kandungan bahan organik dan unsur hara agar produktivitas dapat dipertahankan, antara lain dengan mendorong pekebun untuk memanfaatkan dan mengolah limbah kakao.
Tanaman Naungan Pekebun cenderung menebang tanaman naungan dengan harapan memperoleh hasil buah kakao yang lebih besar. Beberapa kebun yang dijumpai masih menyisakan tanaman naungan seperti kelapa, jambu, mete, pisang, dan jeruk. Selain itu beberapa tanaman merica ditanam pada sisi area kebun. Orientasi petani adalah untuk mendapatkan produksi tinggi dan sumber uang kontan tanpa pemahaman bahwa kakao membutuhkan naungan. Pertumbuhan kakao tanpa naungan memerlukan input (pupuk dan bahan pengendali organisme pengganggu) yang lebih banyak untuk mengkompensasi penguapan yang tinggi.
Tanaman
kakao tanpa naungan dan tidak diimbangi dengan pemupukan, menjadi lebih rentan terhadap terhadap hama penyakit (de-Almeida dan Alle 2007) Menurut pengalaman pekebun, kakao tanpa naungan menghasilkan buah kakao berukuran lebih besar pada tahun-tahun pertama sampai ke tiga. Pada tahun berikutnya tanaman kakao rentan terhadap stress karena kekeringan. Selain itu kebutuhan hara menjadi lebih banyak, serta rentan terhadap infestasi organisme pengganggu tanaman (OPT). Sebagai akibatnya pendapatan pekebun menurun dan memberikan dampak langsung terhadap keberlanjutan perkebunan kakao (Belsky dan Siebert, 2003).
Oleh karena itu informasi mengenai fungsi
tanaman naungan perlu disosialisasikan kepada pekebun agar tanaman naungan dapat dikelola dengan baik sehingga keseimbangan agroekosistem dapat dipertahankan dan produktivitas tanaman kakao dapat dioptimalkan.
48
Musuh Alami Pada sepuluh titik kebun dalam petak aplikasi pestisida dan non pestisida masing-masing ditemukan 6 dan 11 famili musuh alami PBK. Jenis musuh alami yang ditemukan adalah Ordo Hymenoptera (Famili Formicidae, Staphylinidae, Trichogrammatidae, Phoridae, Ichneumonidae), Diptera (Asilidae), dan golongan laba-laba Araneae (Salticidae, Araneidae, Oxyopidae), Coleoptera (Carabidae, Coccinellidae). Menurut Duelli dalam Thompson dan Starzomski (2007) jenis serangga famili Carabidae, Staphilinidae dan Salticidae, Araneidae, dan Oxyopidae merupakan indikator yang baik untuk keanekaragaman hayati. Beberapa jenis musuh alami ditemukan di Kecamatan Lambandia sehingga perlu dilestarikan guna mendorong keseimbangan agroekosistem kakao. Spesies semut rangrang Oecophylla smaragdina (Formicidae: Hymenoptera) dan semut hitam Dolichoderus thoracicus (Formicidae: Hymenoptera) berperan penting dalam menekan populasi PBK Conopomorpha cramerella Snellen (Gracillariidae: Lepidoptera). Untuk itu perlu didukung dengan metode pengendalian yang berorientasi lingkungan dan penggunaan pestisida secara bijaksana sehingga berbagai musuh alami jenis semut di atas dapat berkembang dengan baik. Jenis musuh alami PBK yang terjaring pada lokasi survei disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Jenis musuh alami PBK yang terjaring pada lokasi survei No
1 3 4 5 6 7 2 10 8 9 10 11
Ordo
Hymenoptera Hymenoptera Hymenoptera Hymenoptera Araneae Coleoptera Coleoptera Coleoptera Araneae Araneae Coleoptera Diptera
Famili
Individu (ekor) Jumlah Petak Non Pestisida Pestisida Formicidae 26 30 56 Trichogrammatidae 1 17 18 Phoridae 6 6 Ichneumonidae 2 2 4 Salticidae 2 5 7 Coccinelidae 2 2 Staphylinidae 4 4 Carabidae 1 1 1 Araneidae 3 2 5 Oxyopidae 2 2 Carabidae 1 1 1 Asilidae 5 5 Kompleks musuh alami 110
49
Pada petak non pestisida ditemukan lebih banyak populasi musuh alami. Keberadaan komplek musuh alami pada petak pestisida dan non pestisida menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati musuh alami di perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia memiliki potensi untuk dikonservasi. Penggunaan pestisida dapat mematikan musuh alami sehingga dapat mengancam kestabilan agroekosistem kakao, dan meningkatkan populasi serangga hama seperti PBK. Konservasi dapat dilakukan dengan keberadaan tanaman naungan (Rice dan Greenberg perangkap
2000). daun
Penggunaan metode perbanyakan musuh alami seperti kakao
(Hosang
2004),
diharapkan
dapat
mengurangi
ketergantungan pada pestisida. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa kondisi biofisik kebun menunjukkan bahwa kebun kakao di kecamatan Lambandia meliputi lahan datar dan perbukitan, pola usahatani yang digunakan adalah monokultur dengan tanaman naungan yang terbatas, di perbukitan dijumpai tumpang sari dengan tanaman jagung. Pola tanam yang digunakan rentan terhadap dampak lingkungan seperti penurunan kualitas lahan, kekeringan, produksi, pendapatan dan keberlanjutan perkebunan kakao (Siebert dan Belsky 2003).
Gambar 8 Jenis semut ranggang Oecophylla smaragdina (Formicidae: Hymenoptera) yang dominan ditemukan di lokasi pengamatan. Untuk itu kondisi lahan perlu didukung dengan teknologi seperti penanaman/pemeliharaan naungan, pemanfaatan limbah, konservasi musuh alami dalam hal ini spesies semut rangrang Oecophylla smaragdina (Formicidae:
50
Hymenoptera)
dan
semut
hitam
Dolichoderus
thoracicus
(Formicidae:
Hymenoptera). Pestisida digunakan bila diperlukan diikuti dengan pengawasan peredaran dan penggunaannya.
Latar Belakang Pengendalian PBK
Kebijakan Terkait Perlindungan Tanaman Kebijakan terkait meliputi kebijakan mengatur teknis perlindungan tanaman dan mekanisme kontrolnya.
Kebijakan memuat pengembangan
perkebunan secara berkelanjutan dan perlindungan tanaman dengan berpedoman pada Pengendalian Hama Terpadu. Kebijakan turunannya mengemukakan teknis perlindungan tanaman dan antisipasi dampak penggunaan pestisida terhadap pengguna dan lingkungan. Kebijakan perlindungan tanaman cukup memadai bagi pengembangan PHT yang berkontribusi untuk menciptakan suatu perkebunan berkelanjutan, bahkan secara tegas disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman kemudian penerapannya dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 390/Kpts/TP.600/5/1994 tentang Penyelenggaraan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu.
Kebijakan turunan lainnya
mengatur tentang PHT dan prosedur menekan dampak penggunaan pestisida terhadap lingkungan dan pekebun dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan Keputusan Menteri. Mekanisme kontrol yang dilakukan oleh pemerintah daerah termuat dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 2004 dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Dukungan kelembagaan diatur dalam Undang Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah 2004 yang menyebutkan aktor penggunaan sumberdaya perkebunan adalah pekebun dan pemerintah. Pekebun sebagai pengguna sumberdaya dan pengambil keputusan pengelolaan perkebunan (Hazergedon et al. 2001) dan Pemerintah berperan dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan, pengaturan tata ruang serta pengendalian lingkungan hidup.
51
Pemerintah daerah telah menjabarkan kewenangan umum terkait perencanaan perkebunan kakao dalam bentuk : (1) penetapan ruang kawasan sentra produksi kakao di Kabupaten Kolaka (Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2004 tentang Penataan Ruang Prov Sultra Tahun 2004-2019), (2) pengelolaan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Peraturan Daerah
Nomor 5 tahun 2005
tentang Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan berbasis Masyarakat), dan (3) Penataan izin usaha usaha perkebunan dan pungutan hasil perkebunan lintas kabupaten yaitu Peraturan Daerah hortikultura
Nomor 6 tahun 2003 tentang Izin Usaha perkebunan dan
lintas
kabupaten.Kebijakan-kebijakan
perlindungan
tanaman
dikemukakan pada Tabel 8.
Tabel 8 Jenis kebijakan terkait perlindungan tanaman No 1.
Ruang Lingkup Undang-Undang
2.
Peraturan Pemerintah
3.
Peraturan Menteri
4.
Keputusan Menteri
5.
Peraturan Daerah
Jenis Kebijakan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman PP No.74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, PP No 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan PP No 7 tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida Permen No.7/Permen SR.140/2/2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida Kepmentan No. 949 Tahun 1998 tentang Pestisida Terbatas, Keputusan Menteri Pertanian No. 887/kpts/OT.210/9/97 tentang Pedoman Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan, Kepmenkes dan Kepmentan No . 881 / MENKES / SKB / VIII / 1996 tentang Batas Maksimum 711 / Kpts / tp.270 / 8 / 96 Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian, Kepmentan No. 390/Kpts/TP.600/5/1994 tentang Penyelenggaraan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2005 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan berbasis Masyarakat, Peraturan Daerah No. 3 tahun 2004 tentang Penataan Ruang Prov Sultra Tahun 2004-2019) , Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2003 tentang Izin Usaha perkebunan dan hortikultura lintas kabupaten
Peraturan daerah terkait penataan ruang masih berorientasi pada penetapan sentra-sentra produksi kakao sebagai potensi penerimaan pendapatan daerah. Perkebunan kakao di Kabupaten Kolaka merupakan perkebunan rakyat sehingga keselarasan pembangunan perkebunan dengan ekosistem/masyarakat
52
sekitar dan dampak lingkungannya sangat perlu mendapat perhatian.
Dalam
perencanaan daerah, Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang belum dijabarkan dalam rencana rinci tata ruang yang memiliki kekuatan legal formal untuk diterapkan. Kebijakan perlindungan tanaman telah memadai tetapi belum dijabarkan lebih rinci untuk dapat digunakan sebagai pedoman implementasi terutama dalam beberapa aspek seperti pengawasan penggunaan lahan dan dampak pengendalian terhadap lahan, air, dan organisme non sasaran. Pengawasan dilakukan dengan melakukan pengambilan sampel dan analisis kandungan bahan aktif pestisida pada lahan, air, serta organism non sasaran. Penjabaran kebijakan dalam bentuk program-program belum sepenuhnya mengacu pada PHT dan tujuan perkebunan berkelanjutan, diantaranya Program Gerakan Nasional Kakao yang meliputi kegiatan intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan.
Program intensifikasi kakao diselenggarakan dengan pemberian
pestisida 1.5 liter/ha, fungisida 1 kg/ha, pupuk NPK 20 kw/ha. Rehabilitasi dan peremajaan dilakukan dengan menggunakan teknik sambung samping yaitu 1 ha/pekebun.
Program lainnya adalah Primatani dari Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian yang berlangsung selama 3 tahun. Dalam program ini kegiatan meliputi kegiatan transfer teknologi dalam bentuk SLPHT, klinik tanaman, dan pembinaan kelembagaan pekebun.
Peredaran Pestisida dan Pupuk Pestisida tersedia melalui pedagang keliling pada saat hari pasar, atau tersedia di kios-kios saprodi yang ada di Kecamatan Lambandia dan Kecamatan Ladongi yaitu kecamatan terdekat, atau di Kolaka/Kendari. Kedekatan penyediaan pestisida dengan pekebun dan kemudahan cara aplikasi menyebabkan 63% responden menggunakan pestisida dalam pengendalian OPT. Jenis pestisida yang digunakan sangat beragam antara lain bahan aktif deltametrin, alfa sipermetrin, sipermetrin, clorpirifos yang bersifat racun kontak sementara fase perkembangan PBK yang merusak adalah fase larva yang sebagian besar hidup di dalam buah kakao. Jadi pestisida yang beredar dan digunakan pekebun bukan pestisida yang tepat untuk PBK. Pekebun perlu mempunyai pengetahuan tentang jenis, waktu, dan dosis yang tepat untuk diaplikasikan dalam pengendalian PBK. Pengawasan
53
peredaran dan penggunaan pestisida, serta pengembangan koperasi untuk menyediakan sarana produksi diperlukan. Di Desa Lambandia mulai dibentuk koperasi yang difasilitasi oleh Kegiatan Prima Tani (Dari Departemen Pertanian) dalam rangka menjawab kebutuhan pekebun terhadap sarana produksi, tetapi terbatas pada kelompok pekebun tertentu. Sarana Jalan Ketersediaan sarana fisik belum mendapat prioritas dalam mendukung penyaluran sarana produksi ke kebun dan produksi kakao ke konsumen. Sarana fisik seperti sarana jalan kabupaten menunju kecamatan Lambandia belum memadai, jalan masih sebagian yang diaspal dengan kondisi rusak dan selebihnya berada dalam kategori pengerasan. Jalan usaha tani yang menghubungkan antar desa belum memadai sehingga pada musim hujan jalan sulit dilalui. Kondisi jalan antar desa yang belum memadai, menjadi kendala dalam transportasi sarana produksi maupun pemasaran biji kakao (Gambar 9).
Gambar 9 Kondisi jalan usaha tani masih labil dan belum memadai.
Sarana Kerja Sarana kerja yang umum dimiliki pekebun adalah alat semprot, alat-alat pertanian penunjang lainnya. Alat semprot digunakan untuk menyemprot OPT dan gulma. Sarana pengolahan hasil meliputi alat pemisah daging buah dari biji kakao. Alat pemisah berupa wadah yang diberi kaki menyerupai meja, dengan dasar yang terbuat dari bambu/ kayu yang di susun renggang sehingga daging buah terpisah dan jatuh ke bawah meja.
54
Alat pengering disebut ’para-para’ yaitu semacam meja tempat menjemur biji kakao di bawah sinar matahari. Alat pengering masih sangat sederhana, tanpa penutup sehingga biji kakao yang dijemur rentan terhadap kontaminasi kotoran selama proses penjemuran. Beberapa pekebun telah mendapat bantuan alat jemur yang dilengkapi terpal penutup sehingga biji kakao yang dijemur relatif lebih aman dari kotaminasi. Alat pemisah dan alat penjemur yang digunakan pekebun menunjukkan, bahwa penanganan pascapanen masih bersifat tradisional. Alat pemisah daging dari biji kakao dan meja pengeringan biji kakao yang digunakan pekebun tampak pada Gambar 10.
Gambar 10 Penanganan pascapanen pemisahan biji dari daging buah (kiri) dan pengeringan biji kakao (kanan) yang dilakukan secara tradisional.
Jaringan Pemasaran Jaringan pemasaran kakao di Kecamatan Lambandia terdiri dari pelaku sebagai berikut: pekebun menjual biji kakao kering ke pedagang pengumpul yang tersebar di setiap desa. Pedagang pengumpul tingkat desa menjual ke pedagang pengumpul tingkat kecamatan yang akhirnya menjual ke pedagang pengumpul tingkat kabupaten atau ke eksportir di Kabupaten Kolaka dan Makassar. Biji kakao yang belum memenuhi kriteria mutu diolah kembali oleh pedagang pengumpul sehingga keuntungan yang diterima seringkali lebih besar dari pekebun.
Negara tujuan ekspor adalah Malaysia dan Amerika. Perusahaan
55
eksportir antara lain PT. HMP, PT. CM, dan PT. OI. Pengiriman dilakukan melalui pelabuhan Kolaka dan Pelabuhan Makassar. Pedagang pengumpul cukup berperan dalam peningkatan mutu biji kakao, sementara pekebun belum termotivasi untuk meningkatkan mutu. Diharapkan terjadi peningkatan peran kelembagaan pekebun yang mampu berinteraksi secara langsung dengan pasar. Informasi harga dan kriteria mutu yang diterima secara langsung dari eksportir atau pabrik kakao, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang kriteria mutu oleh pekebun dan eksporti/pabrik kakao, dan pekebun dapat menikmati peningkatan pendapatan dari peningkatan mutu.
Status Penggunaan Lahan Status penguasaan lahan responden umumnya (81%) adalah pemilik penggarap (16%) dan penyewa lahan (3%).
Pemilik kebun kakao umumnya
belum memiliki sertifikat tanah dan hanya memiliki kuitansi pembelian lahan. Luas kebun umumnya kurang dari 3 ha (59%), dan cukup banyak juga pekebun yang memiliki lahan 3-5 ha (33%). Kepemilikan lahan merupakan sumberdaya sosial
yang
dapat
dimanfaatkan dalam
proses pengambilan keputusan
pengendalian. Pekebun sebagai pemilik lahan mempunyai kewenangan penuh dalam menentukan jenis pengendalian yang tepat di lahan usaha taninya. Dikaitkan dengan luas kebun yang dimiliki setiap pekebun yang rata-rata 4.37 Ha/KK, maka pekebun dapat meningkatkan kemampuan menggunakan sumberdaya secara efisien termasuk menggunakan teknologi PHT.
Pekebun
dengan luasan lahan sekitar 1.27 ha (atau 1.78-4.214 ha) masih mampu menggunakan sumberdaya secara efisien (Kolowale Aledejimokum 2006). Dengan demikian maka luas kebun kakao masih cukup mampu dikelola oleh pekebun.
Serangan dan Pengendalian PBK
Serangan PBK Rata-rata luas serangan PBK di Kecamatan Lambandia mengalami peningkatan dalam periode 2002 sampai 2009. Timbulnya serangan PBK
56
mengindikasikan telah terjadi ketidakseimbangan agroekosistem kakao akibat dari perlakuan budidaya yang belum mengacu pada SOP. Diamati hamparan kebun kakao semakin meluas, namun sebagian besar umur tanaman yang melewati usia puncak produksi. Perlakuan budidaya yang belum mengacu pada SOP misalnya: bibit unggul tahan PBK belum dimanfaatkan, waktu dan cara aplikasi pupuk, penanaman naungan, dan pemangkasan bentuk, serta pengendalian PBK yang menumpu pada penggunaan pestisida.
Luas serangan PBK di Kecamatan
Lambandia dapat dilihat pada Gambar 9 berikut. 3 765 Luas serangan PBK …
1 578 566
558
2002
2003
917
971
2004
2005
Sumber : Pengamat Hama Penyakit Tirawuta (2010)
Gambar 11
Luas serangan PBK Lambandia.
1 008
2006
1 242
2007
2008
2009
(PHP) Kecamatan Lambandia, Ladongi, dan
tahun 2002 sampai 2009 di Kecamatan
Pengamatan intensitas serangan PBK pada petak pengambilan sampel tahun 2008 mencapai 39.39% untuk kategori ringan dengan kehilangan hasil 21.62%, intensitas 15.80% kategori sedang dengan kehilangan hasil 8.69%, dan intensitas 15.34% untuk kategori berat dengan kehilangan hasil 8.44%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa akibat serangan PBK telah mengakibatkan penurunan produksi kakao yang berdampak pada penurunan pendapatan pekebun.
Teknologi Pengendalian Pengendalian PBK yang diterapkan pekebun masih belum sepenuhnya mengacu teknologi pengendalian PBK secara terpadu (PHT). Hasil wawancara dan observasi di kebun kakao, menunjukkan bahwa teknologi pengendalian PBK
57
yang diterapkan petani terdiri dari tiga kelompok yaitu : (1) Panen sering + Sanitasi + Pemangkasan kakao + Pemupukan buatan + Pestisida,
(2)
Pemangkasan + Pemupukan+Pestisida, dan (3) Panen sering + pemangkasan. Penerapan Teknologi pengendalian PBK di Kecamatan Lambandia disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Penerapan teknologi pengendalian PBK No.
Jenis Teknologi Pengendalian
Pekebun
(%)
1
Panen sering + Sanitasi + Pemangkasan kakao + Pemupukan buatan + Pestisida + peremajaan
8
7.41
2
Pemangkasan kakao + Pemangkasan naungan + Pemupukan + Pestisida
79
80.56
3
Pemangkasan kakao (tidak ada pengendalian OPT)
13
12.04
Anjuran Teknologi oleh Dinas/BPTP : Sanitasi : Pembenaman kulit buah dan plasenta dengan kedalaman sekitar 20 cm, Panen sering : Interval panen 5 – 7 hari Pangkas : Pangkas produksi, pangkas bentuk, pangkas tunas air Pemupukan : N 105 kg/ha, P2O5 290 kg/ha, dan K2O 215 kg/ha
Pemupukan dilakukan secara berjadwal oleh 7.4% responden dan 80.56% dilakukan dengan tidak terjadwal, terutama pada saat ditemukan banyak serangan. Mengacu pada rekomendasi pupuk tanaman kakao di Kecamatan Lambandia, yaitu Urea 150g/pohon, SP-36 berkisar 0-125 g/pohon, KCl 0-150 g/pohon, dan dolomit 1 000 g/pohon pada musim tanam I atau semester I (BBPPSLP 2006), maka diperlukan pemupukan tanaman kakao yang sesuai anjuran agar tanaman sehat dan lebih lebih tahan terhadap serangan OPT dan pengaruh lingkungan lainnya.
Umumnya pekebun melakukan pemupukan dengan cara meletakan
pupuk di atas permukaan tanah melingkari pangkal batang kakao dengan diameter sekitar 2 meter, kemudian ditutup dengan daun-daun kakao. Pemupukan dengan cara demikian rentan terhadap pencucian dan penguapan. Oleh karena itu perlu penyuluhan dan pengawasan penggunaan pupuk dan pestisida. Penggunaan kompos juga belum sesuai anjuran.
Kendala yang sering
dikemukakan pekebun adalah keterbatasan tenaga kerja, dan ketersediaan kompos. Program subsidi pupuk dan bantuan pupuk dalam program nasional dapat
58
mendorong penggunaan pupuk an-organik dan meninggalkan penggunaan kompos. Beberapa pekebun yang telah mengikuti SL-PHT dan membeli kebun eks area PT. HN telah membuat lubang pengumpulan kulit kakao untuk dijadikan kompos, tetapi hal ini masih dilakukan secara insidentil. Aplikasi pestisida belum menunjukkan keberhasilan dalam menekan tingkat serangan PBK yang diindikasikan antara lain dengan produksi kakao yang tetap rendah. Walaupun demikian banyak kasus yang menunjukkan bahwa pada petak yang diaplikasi dengan pestisida secara berjadwal, hasil kakao relatif lebih tinggi. Dalam jangka pendek aplikasi pestisida secara berjadwal terlihat dapat menekan serangan PBK. Penggunaan pestisida secara intensif dapat menekan perkembangan musuh alami, sehingga terjadi peluang ledakan populasi PBK, disamping itu biaya produksi semakin meningkat dan berimplikasi pada peningkatan polusi lingkungan. Kondisi kebun yang belum memanfaatkan limbah dan sanitasi yang belum dilakukan secara baik disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Kondisi kebun setelah panen tanpa sanitasi (kiri) dan sanitasi (kanan). Panen sering dengan interval 5-7 hari masih menghadapi kendala cuaca dan tenaga kerja. Pada saat survei, panen dilakukan pekebun satu sampai dua kali setiap bulan. Pemangkasan kakao yaitu pemangkasan cabang-cabang air umumnya dilakukan setelah panen. Pemangkasan bentuk tidak sepenuhnya dilakukan, sehingga tanaman kakao dibiarkan tumbuh tinggi. Tanaman kakao yang relatif tinggi (lebih dari 4 meter) menyulitkan pemeliharaan, karena sulit untuk dijangkau.
59
Sanitasi dilakukan dengan cara memindahkan ranting-ranting sisa pemangkasan, untuk memutuskan siklus hidup PBK. Lubang-lubang yang terdapat pada area kebun relatif tidak dimanfaatkan, bahkan tertutup oleh daundaun kering kakao. Penyiangan gulma dilakukan apabila terdapat gulma di kebun atau pada batas-batas antara kebun, banyak pekebun menggunakan herbisida.
Jenis
herbisida yang digunakan adalah dengan bahan aktif parakuat diklorida yaitu herbisida bersifat kontak dan purna tumbuh, untuk gulma berdaun lebar dan sempit. Ditemukan dua jenis pestisida dari golongan tersebut yang merupakan pestisida ’terbatas pakai’, yaitu hanya boleh digunakan oleh pengguna yang telah mengikuti pelatihan pestisida terbatas yang diselenggarakan oleh pemerintah bekerjasama dengan pemegang pendaftaran pestisida terbatas (Deptan 2008). Sementara pestisida tersebut dengan bebas digunakan oleh pekebun yang umumnya belum mengikuti pelatihan pestisida terbatas. Pilihan teknik pengendalian PBK menggunakan pestisida dan penggunaan pupuk anorganik semakin mempersulit kemampuan pekebun untuk menerapkan PHT.
Sementara itu harga pestisida cenderung meningkat karena fasilitas
transportasi yang belum memadai. Penggunaan pestisida perlu diikuti dengan pengawasan peredaran dan penggunaannya sehingga pestisida dan herbisida dapat digunakan tepat sasaran dan aman bagi lingkungan dan pengguna.
Hal ini
seyogyanya mendorong kreativitas pekebun untuk memanfaatkan limbah menjadi kompos dan mengembangkan pestisida nabati.
Kelembagaan Pekebun dan Kelembagaan Penunjang Kelembagaan pekebun merupakan kelembagaan yang mengorganisasikan proses penggunaan sumberdaya (Gatzweiler dan Hagerdorn 2002). Kelembagaan penunjang adalah kelembagaan yang mendukung dan mengevaluasi peran kelembagaan pekebun (Saragih 2000). Kelembagaan pekebun dalam lokasi survei menunjukkan 97 pekebun (90%) bergabung dalam kelompok pekebun dengan kondisi belum aktif dan 11 pekebun (10%) bergabung dalam kelompok pekebun dengan kondisi pernah aktif. Pekebun memaknai kelembagaan pekebun sebagai tempat pertemuan untuk mendapat ilmu dari penyuluh lapangan dan lebih
60
berperan sebagai persyaratan administrasi untuk mendapatkan bantuan sarana produksi, peralatan, atau kredit dari berbagai proyek pembangunan perkebunan. Sementara pekebun di Kecamatan Lambandia memiliki nilai-nilai sosial cukup memadai
bagi
pengembangan
kelompok
pekebun,
seperti
nilai-nilai
kegotongroyongan. Kelembagaan penunjang merupakan penyedia jasa bagi kelangsungan proses produksi kakao yang meliputi lembaga pemerintah dan swasta. Lembaga pemerintah menyediakan jasa penelitian, pelatihan, komunikasi, dan kebijakan. Lembaga swasta menyediakan jasa keuangan, dan koperasi. Lembaga pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 2004 dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan terdiri dari Lembaga Penunjang meliputi lembaga Pengontrol, Pendamping, dan Lembaga Penunjang. Lembaga Pengontrol meliputi dinas-dinas terkait yang berfungsi dalam (1) Pemasukan dan pengeluaran benih/bibit kakao, (2) Pengaturan dan pengawasan produksi, peredaran, dan penggunaan pestisida dan bahan kimia pertanian lainnya, (3) Standar pelepasan dan penarikan klon kakao, (4) Penetapan standar dan prosedur pengujian mutu biji kakao, dan standar teknis pengendalian OPT kakao, (5) Penataan petak kebun, (6) Pemantau Dampak lingkungan, (7) Pendanaan, (8) Persaingan usaha, (9) dan Pemberdayaan.
Lembaga Pendamping merupakan
lembaga yang berperan dalam menjaga kelangsungan proses produksi seperti penyedia sarana produksi, teknologi, dan infrastruktur. Pendampingan oleh petugas penyuluh belum dirasakan secara merata oleh pekebun. Petugas penyuluh hanya berjumlah 5 orang sehingga belum memadai untuk melayani 15 desa di Kecamatan Lambandia. Demikian pula peran Lembaga Penelitian/Pengkajian Teknologi/Perguruan Tinggi dan LSM belum menjangkau luas pekebun. Peran LSM cenderung semakin menurun di Kecamatan Lambandia karena kendala internal organisasi. Peran pemerintah daerah dalam pemeliharaan jalan usaha tani masih terkendala pendanaan yang terbatas dibandingkan panjang jalan yang perlu dikelola. Lembaga penunjang lainnya adalah lembaga keuangan seperti bank. Pekebun belum terbiasa melakukan proses administrasi dan belum memiliki
61
sertifikat lahan sehingga pihak bank kesulitan dalam menentukan agunan atas dana yang akan dipinjamkan.
Pekebun cenderung menjaminkan lahan kebun
dengan cara lain misalnya dengan sistem sewa atau gadai. Besaran sewa atau gadai kebun sekitar Rp20 juta per ha atau sesuai kesepakatan.
Hubungan
penggarap kebun dan mitra adalah sistem bagi hasil antara pemilik dengan penggarap dengan komposisi pembagian hasil 30:70 yaitu 30% untuk penggarap dan 70% untuk pemilik kebun. Sarana produksi biasanya ditanggung oleh pemilik kebun. Sumber daya ekonomi perkebunan lainnya adalah ketersediaan informasi harga. Pekebun menjual biji kakao pada pedagang pengumpul, sehingga informai harga umumnya diperoleh dari pedagang pengumpul. Pekebun dapat memperoleh informasi harga melalui short message system (SMS) atau radio tetapi dirasa belum cukup efektif bagi pekebun karena informasi harga seringkali terlambat dan informasi harga masih pada harga tingkat eksportir, sehingga pekebun melepas harga pada tingkat pengumpul. Dengan demikian maka kelembagaan pekebun dan penunjang di Lambandia belum berjalan sebagaimana mestinya. Kelembagaan belum berperan sebagai
sarana
penggunaan
sumberdaya,
sehingga
pekebun
cenderung
menggunakan sumberdaya yang dianggap praktis dan mudah diperoleh. Penggunaan pestisida dan pemanfaatan jasa pedagang pengumpul untuk pengadaan pupuk, penentuan mutu biji kakao, dan informasi harga. Untuk itu perlu dilakukan pengembangan kelembagaan pekebun dan penunjang, dan percepatan proses sertifikasi lahan guna memberi kemudahan bagi pekebun untuk melakukan transaksi keuangan dengan pihak bank, serta mengaktifkan koperasi.
Pengetahuan PHT Peningkatan pengetahuan yang telah dilakukan adalah Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). SL-PHT telah dilaksanakan di setiap desa di Kecamatan Lambandia melalui Lembaga Swadaya Masyarakat dan Dinas Perkebunan kabupaten/provinsi. Responden yang telah mengikuti pelatihan SLPHT adalah 29% dan yang belum memperoleh pelatihan adalah 71%. Keberadaan
62
alumni SLPHT diharapkan dapat meningkatkan mendorong partisipasi pekebun namun hal ini belum terjadi. Tingkat pendidikan responden sebagian besar tidak tamat SD – SD sampai tamat, jumlahnya sekitar 44%, SLTP 28%, SLTA 27%, dan perguruan tinggi 1%. Tingkat pendidikan yang rendah memerlukan metode transfer teknologi tertentu dalam meningkatkan pengetahuan PHT pekebun.
Metode SLPHT dengan
menerapkan pendidikan orang dewasa dan bersifat partisipatif merupakan salah satu pendekatan yang dianggap mampu dan dapat diterima oleh tingkat pendidikan pekebun. Kegiatan SLPHT yang membutuhkan waktu pertemuan dua mingguan selama periode 4-6 bulan dapat dilakukan. Keberadaan alumni SLPHT yang merupakan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan guna mendukung transfer teknologi melalui SLPHT. Untuk itu peningkatan dan pemerataan pengetahuan dan keterampilan pekebun perlu dilakukan melalui SLPHT.
Produksi Produksi kakao dapat digunakan sebagai salah satu indikator kestabilan agroekosistem kakao. Di Kecamatan Lambandia produksi kakao dengan perlakukan budidaya yang optimal dapat mencapai 2.500 kg/ha/tahun di Kecamatan Lambandia (Tabel 10). Produksi yang cukup tinggi dapat dicapai karena penggunaan bibit/klon unggul yang dapat dipanen sepanjang tahun. Panen sepanjang tahun memerlukan input yang tinggi, sehingga diperlukan kombinasi penggunaan sarana produksi organik untuk mempertahankan dan meningkatkan kesuburan lahan. Tabel 10 Rata-rata produksi kakao di Kecamantan Lambandia pada puncak produksi bulan Juli 2008 No.
Jenis Pengendalian
Ukuran sampel (n)
Produksi (kg/ha/tahun)
1
Panen sering + Sanitasi + Pemangkasan kakao + Pemupukan (Anorganik) + Pestisida + peremajaan
n=8
2 500.00
2
Pemangkasan kakao + Pemangkasan naungan + Pemupukan + Pestisida
n =87
641.64
3
Pemangkasan kakao (tidak dikendalikan)
n =13
337.50
63
Tabel 10 menjelaskan perbedaan produksi antara jenis pengendalian PBK menunjukkan pengaruhnya terhadap produksi. Jenis pengendalian nomor 1 yang mendekati PHT
menunjukkan produksi
lebih tinggi,
mendekati 800%
dibandingkan tanpa pengendalian.
Pendapatan Pekebun Harga jual biji kakao berdampak langsung terhadap pendapatan rumah tangga pekebun. Berdasarkan wawancara terhadap responden diperoleh angka untuk Kebutuhan Hidup Layak (KHL) rata-rata setiap rumah tangga terdiri dari 5 orang dengan harga beras Rp6 000/kg (harga bulan Juli 2008), di Kecamatan Lambandia adalah Rp24 000 000/KK/tahun. Pendapatan pekebun yang menggunakan metode pengendalian pemangkasan kakao+pemupukan+ pestisida belum dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (Tabel 11).
Tabel 11 Pendapatan pekebun responden pada berbagai tindakan pengendalian PBK No.
Jenis Pengendalian
Ukuran sampel (n)
Pendapatan (Rp/ha/tahun)
1
Panen sering + Sanitasi + Pemangkasan kakao + Pemupukan (Anorganik) + Pestisida + peremajaan
n=8
2
Pemangkasan kakao + Pemangkasan naungan + Pemupukan + Pestisida
n = 87
7 322 717.00
3
Pemangkasan kakao (tidak dikendalikan)
n = 13
3 787 917.00
32 168 346.00
Pada tabel di atas dikemukakan pekebun yang melakukan pengendalian Nomor 1 telah mampu memenuhi kebutuhan hidup layak, sementara pengendalian Nomor 2 dan 3 belum memenuhi kebutuhan hidup layak. Perbedaan pendapatan menunjukkan adanya ketidakefisienan penggunaan sumberdaya.
Efisiensi
penggunaan sumberdaya meliputi efisiensi penggunaan sarana produksi dan efisiensi biaya produksi terhadap pendapatan (Kolawole dan Alademimokun 2006).
Pendapatan pekebun yang lebih rendah pada luasan yang sama
menunjukkan ketidakefisienan penggunaan sumberdaya.
Pendapatan pekebun
64
terkait dengan berbagai aspek antara lain produksi dan mutu biji kakao dan harga sarana produksi dan tenaga kerja, dan harga biji kakao yang diterima oleh pekebun.
Oleh karena itu untuk peningkatan pendapatan pekebun diperlukan
input teknologi mulai dari teknologi budidaya dan pengendalian organisme pengganggu, penanganan pasca panen, harga sarana produksi dan tenaga kerja yang terjangkau, serta harga biji kakao yang kompetitif. Untuk dapat menerapkan teknik budidaya dan pengelolaan PBK yang mengacu prosedur yang direkomendasikan, maka perlu dilakukan penggalian potensi sumberdaya, desain ulang pola tanam, peremajaan, penggunaan sarana produksi organik mengimbangi penggunaan sarana produksi anorganik untuk memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan, semua aspek tersebut disampaikan antara lain melalui transfer teknologi.
Status Keberlanjutan Perkebunan Pembukaan lahan kebun yang tidak mengindahkan peruntukan lahan disertai penerapan teknologi yang belum bijaksana menimbulkan berbagai implikasi terhadap lingkungan, pendapatan, dan kehidupan sosial pekebun. Pembukaan hutan untuk kebun kakao dalam rangka meningkatkan pendapatan pekebun mencerminkan ketidakefisienan penggunaan sumberdaya. Strategi yang dapat dipilih untuk peningkatan pendapatan adalah ekstensifikasi.
Strategi
ekstensifikasi diwujudkan dengan melakukan konversi hutan. Konversi hutan untuk digunakan sebagai lahan perkebunan kakao yang diusahakan secara monokultur atau campuran akan mempengaruhi kestabilan ekosistem setempat. Hutan
berperan
dalam
pelestarian
fungsi
hidrologi,
penyedia
karbon,
keanekaragaman hayati, dan penyangga hutan lindung. Akibat konversi hutan menjadi kebun kakao, maka terjadi berbagai implikasi terhadap keberlanjutan perkebunan kakao itu sendiri.
Pembukaan Hutan Perkebunan kakao berbatasan langsung dengan lahan hutan sehingga pembukaan hutan untuk membuka kebun kakao baru merupakan ancaman terhadap hutan. Transaksi jual beli dengan bukti kuitansi jual beli dan lemahnya
65
kontrol terhadap pelepasan kawasan hutan untuk penggunaan lain-lain memberi kemudahan bagi pekebun untuk membeli area hutan untuk perluasan perkebunan kakao. Lahan kebun umumnya belum disertifikasi sehingga belum sepenuhnya memenuhi kaidah tata letak kebun. Ditambah lagi Rencana Rinci Tata Ruang Kabupaten Kolaka belum diundangkan dalam Peraturan Daerah sebagaimana disebutkan dalam Undang Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sehingga pemerintah daerah belum memiliki kekuatan legal formal mengawal penggunaan lahan untuk perkebunan kakao. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara (2007) sampai tahun 2006 konversi hutan untuk perkebunan kakao dan peruntukan lain telah terjadi pada lahan seluas 8 963.26 ha (42.03%). Konversi hutan tersebut terjadi pada hutan suaka alam, hutan lindung, hutan produksi konversi, hutan produksi terbatas, dan area penggunaan lain, berturut-turut 5 413.37 ha, 81.54 ha, 958.96 ha, 2 444.79 ha, 58.54 ha dan 3.09 ha. Areal kebun kakao yang berbatasan langsung dengan area hutan membutuhkan input teknologi yang dapat menciptakan keseimbangan ekosistem dengan area hutan. Teknologi juga diharapkan dapat menekan pembukaan hutan, dengan mendorong penggunaan sumberdaya secara efisien terutama pada lahan datar. Ketidakefisienan penggunaan sumberdaya mendorong pembukaan hutan dengan tujuan untuk mencapai target produksi dan pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah tangga pekebun. Akibatnya pada lahan datar rentan terhadap kejadian banjir dan kekeringan akibat pembukaan hutan untuk perkebunan tanpa diimbangi dengan penggunaan anjuran teknologi budidaya kakao di Kecamatan Lambandia.
Banjir/kekeringan Dampak lingkungan yang terjadi adalah banjir/kekeringan dan serangan OPT yang sangat terkait dengan topografi lahan perkebunan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, lokasi perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia terletak pada kemiringan lahan datar sampai sangat curam, sehingga saat terjadi hujan lahan datar rentan terhadap banjir.
66
Area kebun kakao juga dilewati oleh Sungai Lambandia dengan lebar 10 m, dalam 2 m dan Sungai Andowenga lebar < 5 m, dalam 1 m. Rata-rata muka air tanah 1-1.5 m di bawah permukaan tanah (BBPPSLP 2006). Pada musim hujan sungai dapat meluap sehingga menyebabkan banjir pada beberapa petak kebun.
Kejadian banjir belum menjadi kendala yang berarti di Kecamatan
Lambandia karena luapan air tetap mengalir dan genangan pada kebun kakao tidak berlangsung lama. Disamping itu tanaman kakao berusia produktif sehingga terlihat tanaman dapat mengkompensasi genangan air. Kebun dengan drainase yang tidak terpelihara menimbulkan genangan pada kebun sehingga dapat menimbulkan banjir pada saat hujan. Kejadian kekeringan terlihat dari ranting-ranting tanaman kakao yang meranggas tidak ditumbuhi daun terutama pada musim kemarau. Tanaman kakao dalam perkembangannya memiliki hubungan sinergi dengan tegakan naungan yang berkontribusi dalam menyimpan dan menyediakan air untuk perkembangan kakao.
Penguapan kakao yang tidak diimbangi dengan keberadaan tegakan
naungan berpotensi menyebabkan kekeringan pada musim kemarau.
Gejala
kekeringan dapat dikompensasi dengan membentuk tunas (flushing) pada saat terjadi hujan, sehingga belum terasa menjadi masalah bagi pekebun.
Degradasi Lahan Degaradasi lahan merupakan penurunan kemampuan lahan dalam memproduksi bahan tanaman akibat dari campur tangan manusia dalam memanfaatkannya (Wiebe 2003). Ancaman degradasi lahan dapat terjadi bila keputusan budidaya hanya mengandalkan pada pestisida dan pupuk anorganik. Pada sisi lain keterbatasan pelindung dan siklus pelapukan serasah kurang mampu mengkompensasi kebutuhan hara tanaman kakao, kandungan bahan organik semakin menipis sehingga tingkat kesuburan lahan menjadi semakin berkurang. Dikebun terlihat daun-daun berguguran, ranting-ranting meranggas dan banyak serangan PBK. Dalam jangka panjang keterbatasan kandungan bahan organik mengurangi daya ikat tanah terhadap hara dan air tersedia, sehingga struktur tanah menjadi semakin padat, penetrasi akar menurun dan infiltrasi air semakin
67
menurun. Akibatnya tanaman semakin merana dan rentan terhadap serangan OPT termasuk PBK (Nair 2001).
Pembahasan Kondisi
terkini
perkebunan
kakao
di
Kecamatan
Lambandia
dideskripsikan dengan memaparkan sumberdaya perkebunan kakao yang mempengaruhi pengelolaan PBK. Penggunaan sumberdaya masih belum optimal, pengendalian PBK masih tertumpu pada penggunaan pestisida.
Pestisida Sebagai Alternatif Pengendalian Utama Pestisida merupakan alternatif utama yang mudah diperoleh pekebun dalam pengendalian PBK. Pada Gambar 13 dipaparkan status pengelolaan PBK yang dilakukan pekebun pada saat ini di Kecamatan Lambandia. Terlihat bahwa keputusan pengendalian PBK masih tertumpu pada penggunaan pestisida. Kecenderungan pengelolaan PBK seperti gambaran ini dilatarbelakangi oleh kondisi sumberdaya sosial, ekologi, ekonomi, sosial, dan fisik. Status kepemiliki lahan dan luas rata-rata kebun dalam keadaan memadai. Pekebun pada umumnya menangani pemeliharaan kebun kakao.
Penggunaan tenaga kerja terdiri dari
kepala keluarga, istri, dan anak merupakan kendala tersendiri bagi pekebun untuk memelihara tanaman kakao karena kebun yang dimiliki cukup luas. Pekebun cenderung memilih teknik budidaya yang praktis dan hemat tenaga kerja karena itu cenderung memilih penggunaan bahan kimiawi baik dalam pemeliharaan kebun maupun pengendalian PBK. Status kepemilikan lahan yang belum dilengkapi dengan sertifikat tanah juga menjadi kendala bagi pekebun untuk memperoleh dana kredit dari lembaga-lembaga keuangan. Pekebun mencari alternatif pendanaan yang lebih mudah seperti menggadaikan lahan atau berhutang pada pedagang pengumpul terutama terkait dengan pengadaan sarana produksi.
Kondisi tersebut menyebabkan pekebun cenderung memilih
penggunaan pestisida yang mudah diperoleh di pasar-pasar desa dan pupuk kimiawi yang dapat disediakan oleh pedagang pengumpul. Penggunaan pestisida dan pupuk kimiawi juga belum diikuti dengan pengasawan peredaran dan penggunaannya sehingga aplikasi pestisida dan pupuk
68
belum tepat sasaran.
Ketidaktepatan penggunaan pestisida dan pupuk, selain
belum menjamin keberhasilan aplikasi, penggunaan pestisida dan pupuk meningkatkan biaya produksi.
Selain itu juga berpotensi meracuni pekebun,
menimbulkan pencemaran lingkungan, meninggalkan residu pada biji kakao.
Klon asalan
Pemupukan belum berimbang
Naungan terbatas
Tanaman kurang terpelihara dan tua
Benih sehat dan klon tahan PBK Kultur teknis belum memadai Ancaman kelestarian lahan dan keanekaragaman
Penyarungan buah tidak optimal Konservasi musuh alami belum dilakukan
Tekanan terhadap musuh alami
Agen hayati belum dilakukan
Penggerek Buah Kakao
Pestisida Alternatif Utama
Lahan belum bersertifikat
Infrastruktur jalan belum memadai
Pestisida dan pupuk minim kendali
Sarana kerja tradisional
Ancaman pembukaan hutan Manajemen Kelembagaan
Produksi rendah
Kelembagaan PHT belum berperan
Mutu Biji Kakao Rendah
SDM Pekebun rendah
Pendapatan rendah
Rantai pemasaran belum efisien
Program belum sepenuhnya mengacu pada Kebijakan Perlintan
Gambar 13
Kondisi terkini pengelolaan PBK dan implikasinya terhadap perkebunan berkelanjutan
Penanganan pascapanen masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat pemisah dan pengering tanpa penutup sehingga penanganan pasca panen memerlukan kehati-hatian guna meminimalkan kontaminasi bendabenda asing selama proses pengeringan. Biji kakao yang telah diolah dijual ke pedagang pengumpul yang terdapat pada tingkat desa dan kecamatan. Keterkaitan pengolahan biji kakao dengan pemasaran kakao kepada pedagang pengumpul menggambarkan bahwa pedagang pengumpul sangat berperan dalam peningkatan
69
mutu biji kakao.
Pedagang pengumpul membeli semua biji kakao tanpa
diversifikasi harga, sehingga pekebun tidak termotivasi untuk meningkatkan mutu biji kakao. Keberadaan program-program yang belum sejalan dengan tujuan perkebunan berkelanjutan juga berkontribusi dalam pemilihan keputusan pengelolaan PBK.
Pemberian bantuan pestisida dan pupuk tanpa diikuti
pengawasan peredaran dan penggunaan cenderung semakin meningkatkan ketergantungan pekebun terhadap penggunaan bahan kimia, dan akhirnya PHT semakin sulit diterapkan. Dari latar belakang di atas maka terlihat bahwa kondisi perkebunan kakao pada saat ini menyebabkan pekebun belum memandang penting penggunaan bibit bermutu. Disamping itu keterbatasan tenaga kerja dan adanya anggapan bahwa produksi kakao lebih tinggi pada kebun yang tanpa naungan menyebabkan pekebun mengurangi tanaman naungan.
Akibatnya tanaman kakao terlihat
mengering pada musin kemarau dan membutuhkan sarana produksi lebih tinggi. Kondisi ini diperparah dengan metode kultur teknis yang belum optimal seperti tidak dilakukan sanitasi setelah panen termasuk minimnya pemanfaatan limbah sebagai sumber hara bagi kakao, belum dilakukan pemangkasan kakao, pemupukan belum berimbang dan belum optimal. Keterbatasan tanaman naungan juga dapat mempengaruhi keberadaan musuh alami dan serangga penyerbuk (Bos et el. 2007). Penggunaan pestisida juga dapat menekan keberadaan musuh alami yang ditunjukkan oleh perbedaan jenis musuh alami yang ditemukan di petak pestisida dan non pestisida. Sementara pada petak non pestisida ditemukan beberapa jenis musuh alami yang dapat dimanfaatkan seperti golongan semut rangrang Oecophylla
smaragdina
(Formicidae:
Hymenoptera)
dan
semut
hitam
Dolichoderus thoracicus (Formicidae: Hymenoptera). Pilihan teknik pengendalian PBK dengan menggunakan pestisida dan pupuk organik yang dilakukan pekebun dianggap sebagai alternatif pengendalian yang paling memungkinkan dilakukan pada saat ini.
Penggunaan pestisida
memiliki berbagai keterbatasan seperti harga yang cenderung meningkat, memiliki efek residu yang menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan biji
70
kakao, lingkungan dan kesehatan pekebun. Penggunaan pestisida memerlukan pengetahuan dan kehati-hatian. Hal ini seyogyanya mendorong upaya pekebun untuk menggunakan bibit tahan PBK, memanfaatkan limbah menjadi kompos, atau menggunakan musuh alami. Penanganan limbah dengan sanitasi kebun saat panen disamping bertujuan untuk memutus siklus hidup PBK, juga dapat dimanfaatkan menjadi sumber hara organik bagi tanaman. Bibit lokal tahan PBK belum dimanfaatkan secara optimal oleh pekebun. Di Kecamatan Ladongi ditemukan klon lokal tahan PBK yaitu Ladongi 1 dan Ladongi 2. Pemuliaan klon tahan PBK masih dalam tahap uji multilokasi. Pekebun perlu diberi pengetahuan dan keterampilan untuk mampu mengidentifikasi klon-klon lokal yang terdapat di kebun. Penggunaan musuh alami perlu diikuti dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun.
Peranan Kelompok Pekebun Kelompok pekebun belum berperan dalam pengembangan PHT PBK dan belum terjalin sinergi dengan lembaga terkait secara berkelanjutan. Sinergi dapat dibangun dengan lembaga penyuluhan, lembaga penelitian/perguruan tinggi, lembaga keuangan, dan lainnya. Peranan lembaga penyuluhan dalam hal fungsi pendampingan yang dilakukan oleh PPL masih terbatas dilakukan karena kendala wilayah kerja yang sangat luas. Pekebun merasa nyaman dengan pendampingan yang dilakukan oleh LSM, namun demikian akhir-akhir ini peran LSM semakin berkurang dan digantikan oleh Dinas Perkebunan. Pendampingan oleh LSM yang dilakukan selama ini adalah dengan menjalin kemitraan dengan eksportir dan pemerintah daerah yang dilakukan dengan sistem kontrak dan bersifat keproyekan. Selain itu peran lembanga pendamping seperti lembaga penelitian telah berperan tetapi manfaatnya belum dirasakan merata di setiap desa. Oleh karena itu diperlukan kemitraan yang berkelanjutan antara lembaga-lembaga penunjang untuk penyediaan jasa pengembangan PHT PBK. Keberadaan perusahan pembibitan kakao PT HN yang terletak di Desa Pomburea Kecamatan Lambandia dapat dimanfaatkan oleh pekebun untuk memperoleh bibit unggul kakao. Bibit tahan PBK sedang dalam tahap adaptasi
71
dan pengembangan di Kebun Bibit Kecamatan Tirawuta yang berdekatan dengan Kecamatan Lambandia.
Hal ini perlu terus disosialisasikan kepada pekebun
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dan tambahan sumber bibit tahan PBK bagi pekebun. Kelompok pekebun perlu pula bersinergi dengan lembaga penelitian atau perguruan tinggi untuk
meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya. Kelompok pekebun juga perlu bersinergi dengan pasar sehingga pekebun dapat berinteraksi secara adil dengan pasar.
Sinergi yang terbangun antara
kelompok pekebun dan pasar diharapkan dapat menciptakan negosiasi yang adil bagi pekebun dan konsumen. Sinergi juga dapat menekan biaya jasa selama penyampaian biji kakao ke pasar, sehingga dapat meningkatkan insentif bagi pekebun (Mwakalobo 2000). Dengan
demikian
maka
sumberdaya
yang
hendaknya
menjadi
pertimbangan bagi kelompok pekebun adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun melalui kelembagaan pekebun dan membangun kemitraan dengan lembaga penelitian/perguruan tinggi atau LSM. Kelompok pekebun hendaknya dapat meningkatkan peranan dan sinergi lembaga terkait seperti penyedia sarana produksi, lembaga penyuluhan, lembaga penelitian/perguruan tinggi, LSM, lembaga keuangan, dan mempersingkat mata rantai pasar sehingga pekebun memperoleh kesamaan standar mutu biji kakao dan harga yang adil.
Kesimpulan Pada saat ini pekebun menempatkan pestisida sebagai bentuk utama pengelolaan PBK.
Pengelolaan PBK yang bertumpu pada pestisida belum
sepenuhnya mampu mengatasi permasalahan PBK. meningkat
Serangan PBK terus
mempengaruhi kualitas dan kuantitas produksi kakao
mempengaruhi pendapatan pekebun.
serta
Pengelolaan PBK yang demikian dapat
berimplikasi pada keberlanjutan perkebunan kakao. Meningkatnya pembukaan hutan untuk perkebunan kakao tanpa mengacu pada teknik budidaya kakao yang direkomendasikan dan adanya upaya konversi tanaman kakao dengan tanaman kelapa sawit mengisyaratkan ketidakberlanjutan perkebunan kakao.
Dengan
demikian status keberlanjutan perkebunan kakao perlu dinilai sehingga dapat
72
diketahui sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan keberlanjutan perkebunan.
Daftar Pustaka Abdoellah S, Soenaryo. 1988. Tanah Untuk Kakao. Lokakarya Pemanfaatan Hasil Pemetaan Tanah untuk Perencanaan Pengembangan Wilayah Menunjang Gerakan Desa Makmur Merata di Sulawesi Tenggara. Kendari Juli 1986: 59-66 [BBPPSLP-BPPP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Identifikasi dan Evaluasi Potensi Lahan untuk Mendukung Primatani di Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi TenggaraSkala 1: 50.000. Bogor: BBPPSLP BPPP. Belsky JM, Siebert SF. 2003. Cultivating Cocoa: Implications of Sun-Grown Cocoa on Local Food Security and Environmental Sustainability. Agriculture and Human Values 20:277–285. Boss MM, Steffan-Dewenter I,Tscharntke T. 2007. Shade Tree Management Affect Abortion, Insect Pest and Pathogens of Cocoa. Agriculture, Ecosystem and Environment 120: 201-205. Campbell et al. 2001. Assessing The Performance of Natural Resource System. Conservation Ecology 5(2):22. URL:http//www/consecol. org/vol5/iss2/ art22 [3 Februari 2009] Carpenter SR. 1998. Sustainability and Common-Pool Resources: Alternatives to Tragedy. Phil & Tech 3:4. Chikozho C. 2005. Policy and Institutional Dimensions of Small-holder Farmer Innovations in the Thukela River Basin of South Africa and the Pangani River Basin of Tanzania: A Comparative Perspective. Physics and Chemistry of the Earth Parts A/B/C Issue 11-16, 30(11-16):913-924. http://www.ihe.nl/ SSI/ [5 Oktober 2008] De-Almeida AF, Valle RR. 2007. Ecophysiology of the Cocoa Tree. Braz J Plant Physiol 19(4):425-448. [Deptan] Departemen Pertanian. 2008. Pestisida Pertanian dan Kehutanan. Jakarta: Pusat Perizinan dan Investasi Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian. Dhaliwal GS, Koul O, Arora R. 2004. Integrated Pest Management : Retrospect and Prospect. Di dalam Integrated Pest Management : Potential, Constraints and Challenge. Koul O, Dhaliwal GS, Cuperus GW, Editor. United Kingdom: CABI Publishing. Gatzweiler, F.W. dan K. Hagedorn. 2002. Evolution of Institution in Transition. Int. J. Agricultural Resources, Governance and Ecology 2(1):37 – 58.
73
Harris JM. 2000. Basic Principles of Sustainable Development. Working Paper 00-04.USA: Global Development and Environment Institute Tufts University Medford MA 02155. http://ase.tufts.edu/gdae [5 Oktober 2009]. Hasan MI. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia. Hassanshahi H, Irvani H, Kalantari K. 2008. Analysis of Capital Assets of Natural Resources Management System in the Agricultural Production Cooperatives (APCs) in Fars Province, Iran. Australian Journal of Basic and Applied Sciences 2(4): 864-871. Hosang MLS. 2004. Interctions Between Natural Enemis, Herbivores and Cocoa in Palolo Valley, Central Sulawesi Disertasi. Bogor: Graduate School Bogor Agricultural University. Kecamatan Lambandia. 2007. Peta Neraca Sumberdaya Hutan Tahun Neraca 2006. Kendari: Dinas Kehutanan. Berwarna, skala 1: 250.000. Keyzer, M.A., B.G.J.S. Sonneveld dan W. van Veen. 2006. Valuation of Natural Resources: Efficiency and Equity. Centre for World Food Studies of the Vrije Universiteit Amsterdam, The Netherlands Kolawole O, Aladejinokum OA. 2006. Resource-Use and Technical Efficiency of Small Holder Cocoa Producers in Ondo State, Nigeria : A Stochastic Frontier Analysis. Agricultural Journal 1(4): 211-215 Mustafa B. 2006. Pendugaan Kehilangan Hasil pada Komoditi Kakao Akibat Serangan OPT. Pertemuan Pembahasan tentang Kehilangan Hasil Akibat Serangan OPT pada Komoditi Kakao dan Sistem Pengamatannya. Jakarta: Direktorat Perlindungan Perkebunan. Mwakalobo ABS. 2000. Resource Productivity and Allocation Efficiency In Smallholder Coffee Farmers In Rugwe District, Tanzania. The AGREST Conference Proceeding Series, Vol. 4. Tanzania. Nair KSS. 2001. Pest Outbreak in Tropical Forest Plantations : Is There a Greater Risk for Exotic Tree Species? Indonesia: CIFOR. Oerke EC. 2006. Crop Losses to Pests. Journal of Agricultural Science 144:31– 43. United Kingdom: Cambridge University Press doi:10.1017/S002185 9605005708 [11 Juni 2008] Ostrom, E., R. Gardner, dan J. Walker. 1994. Rules, Games, and Common-Pool Resources. University of Michigan Press. USA. [PTP] PT Perkebunan Kakao. PT Perkebunan Kakao Sulawesi Tenggara. http://www.lpp.ac.id [2 Maret 2009]. Power AG. 1999. Linking Ecological Sustainability and World Food Needs. Environment, Development and Sustainability 1:185–196. Rice, R.A. dan R. Greenberg. 2000. Cacao Cultivation and the Conservation of Biological Diversity. Ambio 29:3.
74
Roberts J. 2004. Environmental Policy. London-New York: Routledge-Taylor & Francis Group. Sajogyo, Sajogyo P. 1990. Sosiologi Pedesaan Jilid 2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. Saragih. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Bogor: USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Sinukaban N. 2007. Membangun Pertanian Menjadi Industri yang Lestari dengan Pertanian Konservasi dalam Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Direktorat Jenderal RLPS, Departemen Kehutanan. Sulistyowati E, Wardani S, Mufrihati E. 2005. Pengembangan Teknik Pemantauan Penggerek Buah Kakao (PBK) Conopomorpha cramerella Snell. Development of Monitoring Technique for Cocoa Pod Borer (Conopomorpha cramerella Snell.). Pelita Perkebunan 21(3):159—168. Teodorescu I, Cogălniceanu D. 2005. Rapid Assessment Of Species Diversity Changes After Pesticide Application In Agricultural Landscapes. Applied Ecology and Environmental Research 4(1):55-62. Http://Www.Ecology.Kee. Hu [3 maret 2008] Thompson R, Starzomski BM. 2007. What Does Biodiversity Actually Do? A Review for Managers and Policy Makers. Biodiversity and Conservation 16:1359–1378 Wiebe K. 2003. Land Quality, Agricultural, Productivity, and Food Security. United Kingdom-USA: Edward Elgar. [WALHI] Wahana Lingkungan Hidup. Hama PBK mengancam keberlanjutan Perkebunan Kakao di Provinsi Sulawesi Tenggara. www.walhi.or.id. [2 Maret 2009]
75
JUDUL 2 STATUS PENGELOLAAN PENGGEREK BUAH KAKAO (PBK) MENUJU PERKEBUNAN BERKELANJUTAN Abstrak Pengelolaan PBK hendaknya sejalan dengan tujuan perkebunan berkelanjutan. Informasi ilmiah tentang status keberlanjutan dapat digunakan sebagai dasar perencanaan dan evaluasi penerapan pengelolaan PBK dalam mendorong perkebunan berkelanjutan. Penilaian status keberlanjutan dilakukan dengan meminta pendapat pakar didukung dengan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan status aspek sosial (58.39%) berkelanjutan didukung oleh keberadaan alumni sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT). Status aspek kelembagaan/kebijakan (37.32%), ekologi (44.72%), ekonomi (45.27%), dan teknologi/infrastruktur (46.59%) belum mencapai keberlanjutan. Sumberdaya pengelolaan PBK yang dapat dimanfaatkan adalah naungan kakao, limbah kakao, musuh alami, alumni SLPHT, basis data PBK, pasca panen, mata rantai pemasaran dan kelembagaan pekebun serta lembaga penunjang. Kata Kunci: Status keberlanjutan, Pengelolaan Penggerek Buah Kakao (PBK). . Abstract Cocoa Pod Borer (CPB) Integrated Pest Management is in line with the objective of sustainable plantation. Scientific information on sustainability status can serve as a basis of planning and evaluation of the implementation of the PBK management in supporting sustainable plantation. The assessment of sustainability status was conducted through the opinions of experts and literature study. The result of the research showed that the social aspect (58.39%) had indicated the sustainability supported by alumni of the Integrated Pest Management Famers Schools. The institutional/policy aspect (37.32%), ecology (44.62%), economy (45.27%), and technology/ infrastructure (46.59%) had not reached the sustainability status. The resources that can be used: cocoa shelter, cocoa waste, natural enemy, field school of integrated Pest management alumnus, data base of PBK, cost of post harvest, cost of supply chain, farmer institutional, and supporting institutional.
Key Words: Sustainability Status, Cocoa Pod Borer (CPB) Management
76
Pendahuluan Adanya serangan Penggerek buah kakao (PBK) mulai diketahui di Kabupaten kolaka di Desa Ranomentaa Kecamatan Watubangga pada tahun 1995. Dalam kurun waktu empat tahun serangan hama PBK dilaporkan telah menyerang 10 kecamatan di kabupaten Kolaka (Sjafaruddin et al. 2000). Pada saat ini PBK telah menjadi hama utama perkebunan kakao di Kabupaten Kolaka termasuk di Kecamatan Lambandia. Untuk menekan penyebaran dan tingkat serangan PBK telah dilakukan berbagai tindakan pengendalian. Pendekatan pengelolaan yang telah dilakukan pada saat ini hanya bertumpu pada aspek pengendalian, sementara aspek ekologi, sosial ekonomi, infrastruktur, kelembagaan belum menjadi pertimbangan. Teknologi pengendalian terus dikembangkan, tetapi teknologi yang dapat diterima secara ekonomi, sosial, dan memiliki manfaat lingkungan masih terbatas dimiliki pekebun kakao dan stakeholders kakao. Teknologi pengendalian adalah teknologi yang mudah diperoleh dan diterapkan, menggunakan bahan yang tepat, tenaga kerja efisien dan diyakini mampu menekan tingkat serangan OPT (Orr dan Ritchie 2004, Elsey dan Sirichoti 2004). Untuk itu perlu dikembangkan suatu teknik pengendalian yang mendorong peningkatan produktivitas tanaman dan mampu meningkatkan pendapatan pekebun (Orr dan Ritchie
2004) sehingga
mencapai suatu kondisi perkebunan yang berkelanjutan. Penanganan Organisme Penggangu Tumbuhan (OPT) yang sejalan dan menjadi komponen pembangunan berkelanjutan adalah Pengendalian Hama Terpadu (PHT)1 (Heinrichs 2005).
PHT merupakan sistem pengambilan
keputusan dan proses pembelajaran secara terus menerus untuk mengembangkan suatu teknologi (Pesin et al. 2009), anjuran teknologi, informasi (Pawar 2002) atau strategi pengendalian OPT (Dhaliwal et al. 2004). Pengambilan keputusan pengendalian meliputi pengendalian preventif yang didahului dengan pengamatan
1
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1995 tentang Perlindungan tanaman (Pasal 3) disebutkan Perlindungan tanaman dilaksanakan melakui sistem pengendalian hama terpadu. Penjelasan lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 390/Kpts/Tp.600/5/1994 tentang Penyelenggaraan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu. Keputusan Menteri tersebut mengatur Usaha Pokok, Tujuan, Pedoman dan Tata Kerja, Organisasi, Prinsip-Prinsip penyelenggaraan Program Nasional PHT.
77
dan analisis hasil pengamatan, penentuan teknik pengendalian, dan evaluasi teknik pengendalian yang diterapkan (Boller et al.
2004).
Dalam pengambilan
keputusan sedapat mungkin dipertimbangkan kondisi sumberdaya, kendala yang dihadapi, tujuan pengelolaan dan teknologi yang tersedia (Dhaliwal et al. 2004). Sumberdaya meliputi sumberdaya ekologi, ekonomi, fisik (teknologi dan infrastruktur), sosial, dan manusia (Campbell et al. 2001). Tujuan PHT pada saat ini tidak cukup bila hanya tertumpu pada penurunan populasi hama, tetapi lebih ditekankan pada peningkatan produktivitas tanaman sehingga mampu mengkompensasi serangan hama atau penyakit (Orr dan Ritchie 2004). Tujuan PHT yang sejalan dengan tujuan perkebunan berkelanjutan adalah dapat mempertahankan kualitas lahan dan keseimbangan agroekosistem, meningkatkan pendapatan dan produktivitas pekebun, serta memelihara keamanan lingkungan dan tidak berbahaya bagi pekebun (Norris et al. 2003; Dhaliwal et al. 2004). Berdasarkan ruang lingkup pengelolaan, maka pengambilan keputusan PHT berada pada beberapa tingkat pelaku yaitu pekebun, kelompok pekebun, dan pengambil kebijakan (Heong 1995).
Pengambilan keputusan pada tingkat
pekebun berkaitan dengan pengambilan keputusan pada tingkat yang lebih tinggi demikian pula sebaliknya (Vreysen et al. 2007).
Pada tingkat pekebun,
pengambilan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi biofisik (seperti kondisi lahan, naungan, musuh alami, biologi OPT, iklim), pendapatan pekebun, dan aspek sosial (seperti nilai-nilai lingkungan yang dipahami oleh pekebun) (Norris et al. 2003). Pada tingkat kelompok pekebun pengambilan keputusan dipengaruhi oleh peranan kelembagaan pekebun, ketersediaan tenaga kerja, dan sinergi antar lembaga (seperti lembaga keuangan/koperasi, penelitian, penyedia sarana produksi, pascapanen, dan sistem pasar). Pada tingkat pengambil kebijakan sangat dipengaruhi oleh peraturan-peraturan terkait (Heong 1995), seperti peraturan daerah, perundang-undangan perlindungan tanaman, dan prinsipprinsip perkebunan berkelanjutan. Dengan demikian suatu kondisi perkebunan berkelanjutan dapat tercapai apabila terjadi keselarasan penerapan PHT pada tingkat pekebun, kelompok pekebun, dan pengambil kebijakan. Pekebun/kelompok pekebun selaku pengguna
78
sumberdaya diharapkan mampu menggali masalah yang dihadapi, kebutuhan, dan potensi sumberdaya untuk dapat mengembangkan suatu strategi pengendalian PBK yang aman bagi lingkungan dan pekebun, adil, dan mampu meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup masyarakat. Pengambil kebijakan diharapkan pula dapat mengawal penggunaan sumberdaya sehingga mampu mempertahankan kelestarian lahan dan keanekaragaman hayati, serta dapat meningkatkan kesejahteraan pekebun. Sumberdaya pengelolaan PBK terdiri dari sumberdaya alam, ekonomi, fisik, manusia, dan sosial yang dipadukan dengan nilai-nilai atau aturan-aturan yang disepakati bersama. Sumberdaya terkait PHT PBK yang dapat dimanfaatkan antara lain tanaman kakao, naungan, limbah tanaman kakao, musuh alami (B.bassiana, P. fumosoroseu, spesies semut), pendapatan pekebun, koperasi, sarana produksi, SOP sarana produksi dan distribusinya, SOP PHT PBK, SOP peningkatan mutu dan pemasaran, pengetahuan dan keterampilan pekebun dan petugas terkait, kebijakan dan nilai-nilai kebersamaan yang dianut. Pengetahuan dan keterampilan pekebun terkait dengan pengamatan ekosistem OPT dan penggunaan sumberdaya. Kompetensi petugas terkait dengan pengetahuan dan keterampilan memonitor, melakukan pembinaan, dan evaluasi. Partisipasi merupakan sinergi antar pekebun atau pekebun dengan stakeholder lainnya dalam bentuk aktivitas dalam mengidentifikasi masalah, kebutuhan, dan kendala serta perumusan alternatif kegiatan penggunaan sumberdaya. Sinergi juga dapat terjadi antara pekebun sebagai pengguna sumberdaya dengan stakeholder lain dalam upaya mengontrol penggunaan sumberdaya. Melalui partisipasi diharapkan tercapai suatu kesepakatan bersama dalam bentuk PHT PBK yang dapat diterima dan dilaksanakan secara terus menerus oleh pekebun. Dalam rangka menuju tercapainya mencapai perkebunan berkelanjutan maka diperlukan suatu informasi ilmiah terkait status keberlanjutan suatu aktivitas pembangunan.
Penentuan status keberlanjutan perkebunan kakao rekyat
dilakukan melalui penilaian keberlanjutan pengelolaan PBK. Pengelolaan PBK berdasarkan sumberdaya dan tujuan perkebunan berkelanjutan disajikan pada Tabel 12.
79
Tabel 12
Pengelolaan PBK berdasarkan sumberdaya dan tujuan perkebunan berkelanjutan
Sumberdaya Kebun 1. Sumberdaya Alam Keanekaragaman hayati yang meliputi kakao dan pelindung, PBK, musuh alami, ternak, mikroflora Lahan, air, dan udara
Lingkungan
Penanaman naungan Low external input (De-Almeida dan (Shepherd 1999) Valle 2008), lahan dan air aman (Kada 1999)
2. Sumberdaya Ekonomi Pendapatan pekebun, kredit Pendapatan, kredit, dan tenaga kerja, dan tabungan untuk menunjang Tenaga kerja kebun penggunaan SDA 3. Sumberdaya fisik Peralatan, lahan, teknik budidaya/ standar PHT, sarana produksi dan infrastruktur fisik untuk mendukung PHT PBK
4. Sumberdaya Manusia Pengetahuan dan keterampilan pekebun dan tenaga kerja Kesehatan pekebun dan tenaga kerja
5. Sumberdaya Sosial Aturan-aturan lokal yang disepakati oleh stakeholder Kepercayaan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat setempat (Heinrich 2005)
Ekonomi
Sosial Partisipasi pengembangan pupuk organik, musuh alami, agens hayati (Kuffer et al. 2006); Dhaliwal et al. (2004)
Analisis biaya tenaga kerja dan pendapatan pekebun (Norris et al. 2003; Thapa dan Rasul 2004)
Partisipasi pengembangan koperasi dan nilai tambah
Saprodi (Kompos, B. bassiana, P. fumosoroseu, spesies semut, klon tahan PBK,SOP PHTPBK, mutu biji kakao, infrastruktur distribusi saprodi & pemasaran
Analisis biaya penggunaan sarana produksi, prosedur PHT, peningkatan mutu dan efisiensi pemasaran (Norris et al. 2003; Thapa dan Rasul 2004)
Partisipasi pengembangan PHT (Orr dan Ritchie 2004) dan monitoring/pembinaan penerapannya.
Pengetahuan Identifikasi PBK Analisis agroekosistem, pemanfaatan limbah, peredaran dan penggunaan pestisida/ pupuk (Dhaliwal et al. 2004).
Pengetahuan mutu dan pengolahan hasil, dan informasi harga
Partisipasi dan produktivitas pekebun dan petugas terkait
Undang-Undang, Kepmen, Permen, PP, Perda terkait perkebunan, budidaya dan perlindungan tanaman,. Nilai-nilai gotong royong, musyawarah mufakat, adil, dan mendorong persatuan dan kesatuan.
Penilaian keberlanjutan memiliki beberapa tujuan yaitu dalam upaya untuk (1) mencapai efisiensi penggunaan sumberdaya, (2) mendorong pencapaian tujuan berkelanjutan, dan (3) mengembangkan landasan ilmiah/mempunyai dasar ilmiah dalam menilai keberlanjutan suatu aktivitas pembangunan. Efisensi penggunaan sumberdaya dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya dalam jangka panjang dan lintas generasi (Campbell et al. 2001), menekan terjadinya konflik (Hassanshahi et al. 2008), mengoptimalkan jasa lingkungan dan pencapaian tujuan keberlanjutan pembangunan (Rammel et al. 2007). Adanya
80
penilaian keberlanjutan memudahkan proses evaluasi. Landasan ilmiah penilaian keberlanjutan perlu dikembangkan karena memerlukan pemahaman ilmu lintas disiplin yaitu ilmu sosial, ekonomi, dan lingkungan (Hassanshahi et al. 2008). Penilaian keberlanjutan juga dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan seperti pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat, atau lembaga penelitian. Penilaian keberlanjutan juga sebaiknya dilaksanakan secara terus menerus, sehingga diperoleh informasi ilmiah terkait
perkembangan pemanfaatan
sumberdaya dan pola penggunaannya. Penelitian ini mencoba menilai pengelolaan PBK dalam rangka mencapai perkebunan berkelanjutan di Kecamatan Lambandia. Informasi keberlanjutan diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam merancang desain pengelolaan PBK bagi pengambil kebijakan dan dalam implementasinya. Penelitian dilakukan untuk menilai keberlanjutan pelaksanaan pengelolaan PBK di Kecamatan Lambandia.
Metodologi Penelitian
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder dilengkapi dengan pendapat pakar.
Pakar ditentukan sebanyak 9 orang yang
dianggap memahami kondisi pengelolaan PBK di Kecamatan Lambandia atau Kabupaten Kolaka umumnya. Pakar ditentukan secara purpossive yaitu memilih pelaku yang memahami berbagai aspek pengambilan keputusan pengendalian PBK pada tingkat pekebun, kelompok pekebun, dan pengambil kebijakan.
Analisis Data Pengolahan data menggunakan alat analisis Rap-fish yang merupakan teknik penilaian kinerja berbagai aspek yang mempengaruhi keberlanjutan suatu aktivitas (Pither dan Preischot 2001). Rap-fish diadaptasikan menjadi RapLambandia untuk menilai keberlanjutan perkebunan kakao di Kecamatan Lambandia. Pinter et al. (2005) mengatakan aspek keberlanjutan yang dinilai meliputi ekologi, sosial budaya, ekonomi, dan kelembagaan. Mengacu pada sumberdaya dan permasalahan yang dihadapi maka aspek yang diobservasi adalah
81
ekologi, ekonomi, sosial, teknologi/infrastruktur, dan aspek kelembagaan/ kebijakan.
Setiap aspek keberlanjutan terdiri atas beberapa atribut yang
merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi ketersediaan sumberdaya. Atribut ditentukan berdasarkan hasil observasi kondisi perkebunan kakao, studi literatur dan brainstorming dengan para pakar. Penilaian kinerja menggunakan pendapat pakar dan data sekunder dalam bentuk skala 0 sampai 2 atau 3 yang menunjukan kategori buruk sampai baik. Perubahan kinerja atribut ditunjukkan dengan akar nilai tengah kuadrat Root Mean Square (RMS) pada sumbu x. Nilai RMS merupakan standar error yang bertujuan mengetahui nilai perubahan atribut saat terjadi perubahan kinerja dari suatu aspek keberlanjutan. Untuk mengevaluasi hasil penilaian atribut terhadap status perkebunan berkelanjutan, maka dilakukan simulasi Montecarlo. Simulasi Montecarlo dapat menunjukan perkiraan tingkat kesalahan skor setiap atribut, sehingga pengaruh kesalahan acak terhadap suatu proses dapat dievaluasi dan keakuratan ordinat dapat diprediksi. Status keberlanjutan yang ditunjukkan dengan perpaduan setiap aspek dengan nilai 0% sampai 100% ditampilkan dengan diagram layang. Apabila nilai indeks > 50% menunjukan sistem ‘berkelanjutan’ dan sebaliknya jika nilai indeks < 50%.
Hasil Pengembangan sistem perkebunan berkelanjutan melalui Pengelolaan PBK di Kecamatan Lambandia ditinjau dari aspek ekologi yang ditimbulkan, manfaat ekonomi, manfaat sosial, teknologi/infrastruktur yang tersedia serta dukungan kelembagaan/kebijakan.
Aspek Ekologi Penilaian aspek ekologi pengelolaan PBK merupakan penilaian terhadap keanekaragaman hayati, serta kuantitas dan kualitas lahan. Untuk menciptakan keseimbangan keanekaragaman hayati maka atribut yang dinilai adalah keberadaan tanaman naungan dan musuh alami. Kualitas dan kuantitas lahan
82
dipertahankan dengan menilai dampak pestisida pada air, dampak pestisida pada lahan, kandungan bahan organik tanah, status hara, kekeringan, dan banjir. Gambar 14 menunjukkan keberadaan tanaman naungan, limbah kakao, pencemaran pestisida pada lahan, dan pencemaran pestisida pada air merupakan atribut yang sangat sensitif terhadap perubahan kinerja aspek ekologi dengan nilai standar error atau nilai akar kuadrat nilai tengah (AKNT) masing-masing sebesar 4.40, 3.95, 2.75, 2.09%. Hal ini menunjukan bahwa keempat atribut tersebut merupakan faktor penentu aspek ekologi pengelolaan PBK untuk mencapai perkebunan berkelanjutan. Pengelolaan naungan meliputi penanaman dan pemeliharaan naungan. Tanaman naungan yang ditanam diantaranya adalah jambu mete, kelapa, dan lamtoro. Tanaman naungan berkaitan dengan kondisi iklim mikro tanaman kakao dan keberadaan musuh alami. Keberadaan naungan menciptakan kondisi teduh yang dibutuhkan oleh tanaman kakao dan menjadi tempat hidup dan sumber makanan bagi musuh alami. Serasah tanaman naungan juga menjadi sumber hara organik bagi tanaman kakao. Bahan nabati
Atribut Aspek Ekologi
Musuh alami
0.30 0.50
Pestisida pada air
2.09
Pestisida pada lahan
2.75
Tanaman naungan pH
4.40 0.95
Limbah kakao Status hara kekeringan Banjir
3.95 1.04 0.97 0.72
Akar nilai tengah kuadrat(%) (AKNT) (skala 0 sampai 100)
Gambar 14 Atribut Aspek Ekologi Pengelolaan PBK yang menjadi penentu keberlanjutan perkebunan kakao rakyat di Kecamatan Lambandia Di Kecamatan Lambandia sistem tanam kakao bersifat monokultur pada lahan datar dengan naungan yang sangat terbatas, serta penggunaan pupuk anorganik sebagai satu-satunya sarana produksi di Kecamatan Lambandia,
83
tampaknya menghambat peningkatan bahan organik tanah. Serasah daun kakao dapat digunakan sebagai sumber bahan organik, tetapi kurang mampu memenuhi kebutuhan bahan organik terutama pada lahan dengan naungan yang terbatas. Kandungan bahan organik di Kecamatan Lambandia sangat rendah (BBPPSLP 2006).
Oleh karena itu keberadaan tanaman naungan perlu dipertimbangkan
untuk mendorong bekerjanya aspek ekologi. Dampak pestisida pada air dan lahan masih rendah (BBPPSLP 2006), kemungkinan karena serasah daun kakao menutupi kebun sehingga pestisida tidak langsung mengenai tanah dan sempat terurai. Untuk mempertahankan kualitas lahan dan air maka pestisida digunakan hanya apabila diperlukan dan dengan pengawasan peredaran dan penggunaannya.
Aspek Ekonomi Aspek ekonomi perkebunan terkait dengan pendapatan pekebun dalam melakukan pengelolaan PBK. Pendapatan pekebun dapat diperoleh dari tanaman kakao dan non kakao. Pendapatan dari tanaman kakao ditentukan dari besaran kehilangan hasil yang berpengaruh pada produksi, mutu biji kakao, pengolahan biji kakao seperti fermentasi, efisiensi rantai pemasaran, harga yang diterima pekebun, dan insentif pengendalian yang diterima. Penerimaan dari kegiatan nonkakao adalah lahan kakao yang digadai atau disewakan, penanaman tanaman sela seperti palawija, jeruk, kelapa, dan jambu mete, serta usaha tani non-kakao yaitu padi sawah, kolam ikan, dan ternak. Pada Gambar 15 dijelaskan berbagai atribut yang diukur. Atribut mutu biji kakao (4.50%) diikuti atribut insentif pengendalian (3.02%) dan mata rantai pasar (2.05%) memiliki nilai ANTK lebih tinggi. Ketiga atribut merupakan faktor kunci aspek ekonomi mencapai perkebunan berkelanjutan di Kecamatan Lambandia. Insentif yang diterima pekebun terkait dengan peningkatan mutu biji kakao. Pekebun belum terpacu untuk meningkatkan mutu biji kakao karena biji kakao dapat terjual dalam berbagai kriteria mutu. Pemasaran biji kakao memanfaatkan pedagang pengumpul di tingkat desa atau kecamatan, dan kabupaten. Pekebun belum menerima harga yang optimal karena mutu yang masih rendah dan pekebun tidak memiliki kekuatan dalam negosiasi harga.
84
Tenaga kerja
0.17
Atribut Aspek Ekonomi
Pengolahan biji kakao Kehilangan hasil
0.96 0.50
Harga yang diterima
1.52
Lahan yang dimiliki
1.47
Usaha tani non-kakao
1.12
Mutu biji kakao
4.50
Insentif pengendalian Rantai pemasaran
3.02 2.05
Tanaman sela
0.44 Ordinat akar nilai tengah kuadrat (ANTK) (%) (skala 0 sampai 100)
Gambar 15 Atribut aspek ekonomi pengelolaan PBK yang menjadi penentu keberlanjutan perkebunan kakao rakyat di Kecamatan Lambandia. Insentif pengendalian berkaitan dengan kegairahan pekebun untuk melakukan pengendalian PBK dan penanganan pasca panen. peningkatan mutu masih belum memadai bagi pekebun.
Insentif dari
Perbedaan harga
Rp1 000.00 per kg bagi biji kakao untuk kakao fermentasi belum memadai bagi pekebun.
Secara ekonomi selisih harga Rp1 000.00 menguntungkan bagi
pekebun, tetapi proses pengolahan biji kakao yang biasa dilakukan masih sederhana sehingga membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih banyak. Pengolahan biji kakao yang biasa dilakukan pekebun adalah pemeraman 1-3 malam, pengeringan 1-2 hari, sortasi seadanya, sehingga kadar air masih tinggi (10-15%), serta kadar kotoran dan jamur juga cukup tinggi (Nurasa dan Muslim 2005). Dengan demikian untuk memacu kinerja aspek ekonomi melalui peningkatan pendapatan dengan cara peningkatan mutu melalui pengolahan biji kakao masih terasa beban bagi pekebun. Peningkatkan mutu biji kakao diikuti dengan mendekatkan mata rantai pemasaran dari pekebun ke pasar merupakan peluang yang lebih baik. Upaya perbaikan komunikasi kelompok pekebun dengan pelaku sistem pasar diharapkan dapat meningkatkan kesamaan pemahaman kriteria mutu dan sepakatan harga yang lebih adil.
85
Aspek Sosial Aspek sosial terkait dengan pemenuhan hak-hak pekebun dan pemanfaatan nilai sosial dalam pengendalian PBK. Pemenuhan hak-hak pekebun yang dapat mempengaruhi pengendalian PBK adalah akses terhadap teknologi, aman bagi kesehatan pekebun, memanfaatkan limbah, dan pendapatan yang adil,serta pemberdayaan melalui alumni SLPHT. Atribut-atribut yang dapat berpengaruh terhadap aktualisasi nilai-nilai sosial adalah umur pekebun, lama domisili, pendidikan, pemanfaatan nilai-nilai kegotongroyongan, dan partisipasi dalam pengendalian. Gambar 16 menunjukan nilai berbagai atribut aspek sosial mencapai Atribut alumni SLPHT (5.46%), partisipasi
keberlanjutan perkebunan kakao.
dalam pengendalian (5.19%), dan nilai kegotongroyongan (4.94 %) memiliki nilai ANTK lebih tinggi sehingga sangat sensitif terhadap perubahan kinerja aspek sosial. Ketiga atribut merupakan faktor kunci aspek sosial pengelolaan PBK untuk mencapai perkebunan berkelanjutan. Dampak pestisida pada pekebun
0.45
Atribut Aspek Sosial
Pemanfaatan limbah
1.34
Nilai kegotongroyongan
4.94
Alumni SLPHT Transfer teknologi
5.46 0.30
Partisipasi dalam pengendalian
5.19
Pengetahuan PHT
2.32
Lama domisili
4.13
Usia Pendidikan
2.14 0.33
Koordinat akar nilai tengah kuadrat (%) (ANTK) (skala 0 sampai 100)
Gambar 16
Atribut aspek sosial pengelolaan PBK yang menjadi penentu keberlanjutan perkebunan kakao rakyat di Kecamatan Lambandia
Nilai-nilai kegotongroyongan belum mampu mendorong partisipasi pekebun membentuk kelompok dalam pengelolaan PBK.
Keberadaan alumni
SLPHT merupakan atribut yang sangat sensitif, namun belum belum sepenuhnya dimanfaatkan dalam meningkatkan partisipasi pekebun.
Keberadaan alumni
86
SLPHT juga belum dimanfaatkan dalam tindak lanjut SLPHT terkait dengan transfer teknologi PHT.
Aspek Teknologi/Infrastruktur Aspek
teknologi/infrastruktur
pengelolaan
PBK
yang
berhasil
diidentifikasi terdiri dari lima atribut infrastruktur dan sepuluh atribut Standard Operating Procedure (SOP) teknologi pengendalian PBK (Balai Penelitian Kopi dan Kakao 2007). Atribut konservasi musuh alami (5.28%), aplikasi agens hayati (4.18%), dan basis data PBK (4.02%) miliki nilai ANTK relatif tinggi sehingga sangat sensitif terhadap perubahan kinerja aspek teknologi/infrastruktur (Gambar 17). Ketiga atribut merupakan faktor kunci aspek teknologi/infrastruktur pengelolaan PBK untuk mencapai perkebunan berkelanjutan di Kecamatan
Atribut Aspek Teknologi/Infrastruktur
Lambandia. Klon tahan PBK Pemangkasan pelindung Pemangkasan kakao Eksplorasi agens hayati Konservasi musuh alami Pestisida Penyarungan buah Pemupukan Sanitasi Panen sering Basis data PBK Sarana pasca panen Sarana jalan Ketersediaan saprodi
0.68 0.88 1.41 4.18 5.28 2.88 3.19 3.29 3.11 2.78
4.02 1.77 0.34 1.13
Ordinat akar nilai tengah kuadrat (ANTK) (%) (skala 0 sampai 100)
Gambar 17 Atribut aspek teknologi/infrastruktur pengelolaan PBK yang menjadi penentu keberlanjutan perkebunan kakao rakyat di Kecamatan Lambandia Potensi musuh alami yang cukup tersedia dan efektif mengendalikan populasi PBK seperti Semut (Formicidae:
Hymenoptera)
(Hosang
2004),
dalam
hitam (Dolichoderus sp.) Paecilomyces
fumosoroseus
(Hyphomycetes: Deuteromycotina) (Sulistyowati et al. 2006), dan agensi hayati Beauveria bassiana (Cordycipitaceae: Hypocreales) (Sulistyowati 2003) telah dikembangkan dalam skala laboratorium dan diterapkan melalui percontohan pada
87
tingkat lapang. Kendala penerapan di tingkat lapang adalah karena agens hayati belum tersedia dalam kondisi siap aplikasi. Metode eksplorasi dan perbanyakan di tingkat pekebun membutuhkan keterampilan dan ketekunan pekebun. Keberhasilan aplikasi juga membutuhkan kondisi kebun yang relatif stabil. Karena berbagai kendala masih ditemukan dalam penerapan teknologi PHT, maka teknologi yang dapat diterapkan pada saat ini adalah memadukan teknik pengendalian kultur teknis dan konservasi musuh alami. Analisis berbagai informasi hasil pengamatan PBK dan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti peramalan curah hujan, klon kakao, atau keberadaan musuh alami dapat digunakan dalam mengambil keputusan PHT.
Basis data yang tersedia seperti
data curah hujan dan jumlah hari-hujan, luas serangan, dan luas pengendaliannya masih belum cukup dimanfaatkan untuk mengembangkan PHT PBK . Selain itu metode pengendalian penyarungan buah untuk menghindari serangan PBK dianggap efektif mengendalikan PBK tetapi pekebun enggan menerapkannya, karena buah terbungkus plastik banyak yang membusuk.
Aspek Kelembagaan/Kebijakan Aspek kelembagaan menghimpun kinerja kelompok pekebun dan interaksinya dengan lembaga penunjang. Lembaga penunjang meliputi Lembaga pendamping dan penunjang.
Lembaga pendamping
meliputi LSM, lembaga
penelitian/perguruan tinggi, badan penyuluhan, dan lembaga penunjang meliputi penyedia benih, penyedia pupuk/pestisida, penyedia infrastruktur, dan sistem pasar. Atribut kelembagaan/kebijakan yang paling sensitif adalah dalam pengelolaan PBK antara lain peranan kelompok pekebun, peran lembaga pendamping, mekanisme koordinasi antar lembaga terkait, peran lembaga pengontrol.
Lembaga pengontrol dilengkapi dengan kebijakan terkait yang
meliputi peraturan daerah, perundang-undangan beserta peraturan turunannya, dan perangkat adat/agama. Pada Gambar 18 ditampilkan hasil analisis interaksi antar atribut yang menunjukan bahwa atribut ketersediaan program yang sejalan dengan kebijakan perlindungan tanaman, koordinasi antar lembaga, kontrol lembaga terkait, dan peran Lembaga Penyuluhan atribut memiliki nilai ANTK relatif tinggi, sehingga
88
sangat sentitif terhadap perubahan kinerja dimensi kelembagaan/kebijakan. Keempat atribut tersebut di atas merupakan faktor kunci peningkatakan kinerja dimensi kelembagaan/kebijakan pengelolaan PBK untuk mencapai perkebunan
Atribut aspek kelembagaan/kebijakan
berkelanjutan. LSM
2.35
Lembaga Penelitian/BPTP/PT
2.64
Kelompok pekebun
3.47
Kontrol lembaga terkait
4.20
Koordinasi
4.36
Program pengendalian
4.66
Balai Penyuluhan
4.29
Pemerintah daerah
3.07
Perundangan terkait Peraturan daerah
2.24 1.33
Ordinat akar nilai tengah kuadrat (ANTK) (%) skala 0 sampai 100)
Gambar 18 Atribut aspek kelembagaan/kebijakan pengelolaan PBK yang menjadi penentu keberlanjutan perkebunan kakao rakyat di Kecamatan Lambandia.
Penekanan intervensi terhadap program,
koordinasi, monitoring serta
evaluasi menunjukan pentingnya peran kontrol dan pendampingan dalam pengelolaan PBK.
Peran lembaga penunjang belum sepenuhnya berperan
optimal. Pengambil kebijakan umumnya berperan dalam mengucurkan programprogram dan belum sepenuhnya diikuti dengan kontrol yang memadai.
Di
Kecamatan Lambandia, beberapa lembaga terkait memiliki program yang sama dan dilaksanakan pada waktu yang sama. Balai Pengkajian, Dinas Perkebunan Provinsi dan Kabupaten masing-masing melaksanakan program SLPHT. Koordinasi terlihat masih lemah ditunjukkan dengan pelaksanaan program belum padu antar lembaga terkait.
Status Keberlanjutan Perkebunan Kakao Status keberlanjutan perkebunan kakao merupakan keterpaduan penilaian aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi/infrastruktur, dan kelembagaan/
89
kebijakan. Kelima aspek penentu tercapainya suatu perkebunan berkelanjutan saling terkait dan mempengaruhi sebagaimana ditunjukkan oleh diagram layang (Gambar 19). Gambar 19 menunjukkan bahwa kondisi aspek sosial pengelolaan PBK dapat dimanfaatkan untuk mencapai perkebunan berkelanjutan. keempat aspek lainnya masih perlu ditingkatkan.
Kondisi
Keberlanjutan aspek sosial
merupakan modal utama dalam melakukan intervensi pada keempat aspek lainnya, yaitu aspek kelembagaan-kebijakan, teknologi/infrastruktur, aspek ekologi dan ekonomi. Indeks keberlanjutan setiap aspek berada pada kisaran 37.32% sampai 58.39%, menunjukan bahwa kondisi terkini pengelolaan PBK yang dilakukan pekebun di Kecamatan Lambandia telah berada pada tahap perkembangan dan perlu dilakukan peningkatan kinerja setiap aspek dilakukan secara simultan. Hasil analisis MDS menunjukan bahwa ordinat rap-Lambandia yaitu dimensi ekologi, ekonomi, infrstruktur/teknologi, dan kelembagaan/kebijakan berada di bawah 50% atau termasuk kategori belum berkelanjutan. Nilai setiap dimensi memerlukan intervensi untuk mencapai keberlanjutan pengelolaan PBK seperti disajikan pada Gambar 19. Ekonomi (45,27%) 100
80 60 Ekologi (45,12%)
40
Sosial (58,34%)
20 0
Kelembagaan/kebijakan (37,32%)
Teknologi/Infrastruktur (42,06%)
Gambar 19 Indeks keberlanjutan pengelolaan PBK menggunakan rap-Lambandia. Pengelolaan aspek ekologi yang dilakukan pada saat ini masih belum berkelanjutan yaitu bernilai 44.62%. Ketidakberlanjutan dipengaruhi oleh kondisi kualitas lahan, keseimbangan keanekaragaman hayati dalam hal ini musuh alami
90
dan hama PBK. Kualitas lahan yang semakin menurun menyebabkan penurunan ketahanan tanaman kakao terhadap serangan PBK. Serangan PBK juga dipicu oleh adanya tekanan terhadap musuh alami akibat berkurangnya tempat hidup dan berkembangnya
musuh
alami
akibat
penebangan
tanaman
naungan.
Sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan aspek ekologi adalah limbah kakao dan tanaman naungan. Teknologi PHT PBK maupun anjuran teknologi pengendalian PBK yang telah disosialisikan belum sepenuhnya diadopsi oleh pekebun. pengendalian PBK yang merupakan implementasi dari
Komponen
PHT masih belum
sepenuhnya menjadi bagian dari pola pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh pekebun. Pekebun menempatkan pestisida sebagai alternatif pengendalian utama. Penggunaan pestisida diikuti dengan penggunaan pupuk anorganik yang berasal dari luar kebun, menyebabkan pekebun sangat bergantung pada distribusi dan ketersediaan pupuk dan pestisida. Distribusi dan ketersediaan pestisida dan pupuk belum didukung oleh sarana jalan yang memadai dan pemahaman terhadap penggunaan pestisida dan pupuk yang tepat. Bantuan pupuk dan pestisida dapat mendorong pekebun untuk melakukan pemupukan dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang bantuan pupuk dan pestisida dapat berpengaruh negatif pada adopsi penggunaan pupuk sarana produksi organik misalnya kompos. Hal ini menyebabkan status aspek teknologi/infrastruktur belum berkelanjutan, nilainya 46.58%. Penggunaan sumberdaya aspek ekologi dan aspek teknologi masih terbatas serta kondisi infrastruktur yang belum memadai mempengaruhi kegairahan pekebun untuk memelihara tanaman kakao secara baik. Kondisi tanaman merana berpengaruh pada ketahanan tanaman terhadap serangan PBK. Serangan PBK menyebabkan penurunan mutu biji kakao ditandai oleh daging buah berwarna hitam, biji kakao melekat satu sama lain berwarna hitam, keriput, dan ringan. Penurunan mutu akibat serangan PBK dan penanganan pasca panen yang masih tradisional seperti penjemuran yang dilakukan secara terbuka. Penjemuran secara terbuka menyebabkan biji kakao mudah terkontaminasi benda-benda asing, sehingga menurunkan mutu biji kakao. Karena mutu biji kakao rendah dan rantai pemasaran yang belum efisien menyebabkan pekebun tidak memiliki kekuatan
91
untuk melakukan negosiasi harga. Dengan demikian pekebun belum memperoleh nilai tambah dalam bentuk insentif yang memadai. Kondisi ini menyebabkan status aspek ekonomi belum berkelanjutan yaitu mempunyai nilai ANTK 45.27%. Status atribut sosial pekebun cukup berkelanjutan dengan nilai 58.39% karena adanya atribut alumni SLPHT.
Keberadaan alumni
SLPHT belum
dimanfaatkan secara optimal terlihat dari masih rendahnya partisipasi pekebun dalam mengembangkan teknologi PHT, serta belum diaktualisasikannya nilai-nilai gotong royong.
Dengan demikian atribut sosial perlu ditingkatkan dengan
mengoptimalkan peran alumni SLPHT untuk mengembangkan kelembagaan pekebun. Pekebun belum mampu menjadikan kelompok pekebun sebagai organ pengelolaan perkebunan, khususnya dalam perlindungan tanaman. Keterlibatan petugas pendamping dan kegiatan evaluasi oleh petugas terkait juga belum dirasakan oleh pekebun.
Pekebun melihat koordinasi antara petugas belum
berjalan dengan baik, terlihat dari program-program pengelolaan PBK yang belum padu. Hal ini terlihat dari status aspek kelembagaan/kebijakan di Kecamatan Lambandia paling rendah dibandingkan aspek keberlanjutan lainnya yaitu 37.32%. Dengan demikian maka status pengelolaan PBK di Kecamatan Lambandia belum berkelanjutan dan beberapa atribut kunci dari setiap dimensi perlu ditingkatkan. Atribut kunci yang dapat dikembangkan adalah naungan, limbah kakao, musuh alami, basis data, nilai-nilai sosial, mutu biji kakao, rantai pemasaran, insentif pengendalian, peran lembaga kontrol dan pendamping kelompok pekebun. Atribut alumni SLPHT dapat dimanfaatkan dan perlu terus diberdayakan untuk mendukung pengembangan PHT PBK. Untuk mengetahuan tingkat akurasi nilai status keberlanjutan perkebunan yang dihasilkan, maka dilakukan validasi dengan membandingkan nilai status keberlanjutan hasil analisis Rap-Lambandia dengan Simulasi Montecarlo yang disajikan pada Tabel 13. Pada tabel dapat dilihat bahwa nilai status keberlanjutan hasil perhitungan rap-Lambandia dan Montecarlo tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Selisih penilaian berada di bawah 2.50 sehingga dapat dikatakan atribut yang terdapat pada setiap aspek valid pada tingkat kepercayaan 95%.
92
Tabel 13 Hasil penilaian keberlanjutan setiap dimensi keberlanjutan pengelolaan PBK di Kecamatan Lambandia Indeks Status RAP-Lambandia (%) Monte Carlo (%) Ekologi 44.62 44.57 Ekonomi 45.27 45.66 Sosial 58.39 57.50 Teknologi/Infrastruktur 46.58 47.40 Kelembagaan/kebijakan 37.32 37.88
Selisih 0.05 0.39 1.80 0.82 0.56
Pembahasan Pengelolaan PBK yang dilakukan di Kecamatan Lambandia belum dapat menciptakan keberlanjutan perkebunan.
Untuk meningkatkan keberlanjutan
perkebunan, maka perlu dilakukan intervensi pada setiap aspek keberlanjutan. Pada aspek ekologi perlu diprioritaskan pengelolaan naungan untuk meningkatkan keanekaragaman hayati dan memanfaatkan limbah menjadi pupuk kompos guna meningkatkan kandungan bahan organik tanah yang berasal dari daun naungan. Pemeliharaan naungan kakao dapat memberi suasana teduh dan menjadi tempat
berkembangnya
musuh
alami
keseimbangan agroekosistem kakao.
sehingga
mendorong
terciptanya
Penimbunan limbah kakao seperti kulit
kakao ke dalam lubang yang disediakan dapat memutus siklus hidup hama sehingga mengurangi/meniadakan sumber infeksi. Selain itu penimbunan kulit kakao menjadi pupuk kompos dapat meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman. Kondisi tanaman yang optimal dan agroekosistem yang seimbang diikuti dengan penerapan teknik pengendalian yang berorientasi lingkungan yaitu konservasi musuh alami, eksplorasi agens hayati, dan penguatan basis data dalam mengembangkan teknik pengendalian yang tepat dapat meningkatkan aspek teknologi/infrastruktur. Untuk memacu kinerja aspek ekonomi dapat dilakukan dengan meningkatkan mutu biji kakao dan mendekatkan mata rantai pemasaran dari pekebun ke pasar. Upaya perbaikan komunikasi antara kelompok pekebun dan pelaku pasar diharapkan dapat meningkatkan kesamaan pemahaman kriteria mutu dan sepakatan harga yang lebih berkeadilan. Peningkatan mutu dan efisiensi
93
pemasaran biji kakao meningkatkan insentif dalam bentuk peningkatan pendapatan bagi pekebun perlu didukung kelembagaan pekebun yang kuat. Kelembagaan pekebun ditunjang oleh teraktualisasi nilai-nilai gotongroyong dan pekebun secara sadar dan bersama-sama berkelompok membentuk kelompok pekebun. Atribut sosial alumni SLPHT dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan kinerja aspek ekologi, ekonomi, dan teknologi/infrastruktur yaitu pengembangan teknologi PHT PBK, peningkatan mutu biji kakao, dan peningkatan pendapatan pekebun. Peningkatan kinerja aspek di atas perlu didukung oleh peran lembaga penunjang dalam bentuk program, koordinasi, dan kontrol.
Program-program
berkaitan dengan transfer teknologi pemanfaatan naungan dan limbah kakao, konservasi musuh alami, penguatan basis data PBK, eksplorasi musuh alami, peningkatan mutu biji kakao, pengembangan kelembagaan pekebun, dan kemitraan kelompok pekebun dan pasar. Program-program dilaksanakan dengan melibatkan lembaga pengontrol dan pendamping kelompok pekebun (Gambar 20).
SOP PHT PBK • Pemupukan • Pemangkasan kakao • Pemangkasan naungan • Sanitasi • Pengendalian gulma • Konservasi musuh alami • Aplikasi agens hayati • Penyarungan buah • Pestisida bila diperlukan
Gambar 20
Pekebun • Pengelolaan naungan • Sanitasi,pemanfaatan limbah • Konservasi musuh alami • Nilai gotong royong • Peningkatan mutu biji kakao
Kelompok Pekebun • Penguatan basis data PBK • Penguatan partisipasi pekebun • Pemanfaatan alumni SLPHT • Efisiensi rantai pemasaran • Peningkatan insentif pengendalian
Lembaga Penunjang • Kontrol dampak pengendalian pada lahan, air, dan pekebun. • Kotrol peredaran dan penggunaan pestisida dan pupuk • Program PHT • Koordinasi • Pendampingan Lembaga Penyuluhan
Atribut pengelolaan PBK yang menjadi penentu tercapainya perkebunan kakao berkelanjutan di Kecamatan Lambandia.
Gambar 20 dikemukakan peningkatan kinerja setiap aspek keberlanjutan dapat dilakukan oleh pengambil keputusan pengendalian yaitu pekebun, kelompok pekebun, dan lembaga penunjang.
Bagi pekebun melakukan pemeliharaan
tanaman dengan memelihara naungan, melakukan sanitasi dengan membenamkan
94
limbah kakao sampai menjadi kompos.
Pekebun juga dapat melakukan
konservasi musuh alami dan eksplorasi agens hayati dengan teknik-teknik sederhana.
Pekebun dapat mengembangkan nilai-nilai gotong royong yang
dimiliki. Pekebun kakao yang sebagian besar adalah etnis Bugis yang seringkali berasal dari satu keluarga dan tinggal berdekatan, atau dalam satu dusun. Aktualisasi nilai-nilai gotongroyong diharapkan dapat
mendorong
partisipasi pekebun secara bersama-sama melakukan analisis data PBK sehingga basis data dapat dimanfaatkan dalam menentukan teknik pengendalian yang tepat. Partisipasi dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan peran alumni SLPHT. Partisipasi pekebun dalam bentuk kelembagaan pekebun memberi kekuatan bagi kelompok pekebun untuk melakukan komunikasi dengan pelaku pasar, sehingga dapat memperpendek mata rantai pemasaran.
Komunikasi yang efektif
diharapkan dapat menekan biaya-biaya jasa dalam perjalanan penyampaian produk kakao ke pasar.
Pekebun dapat menerima harga yang adil dan
meningkatkan pendapatn. Pada lembaga penunjang tingkat pengambil kebijakan diperlukan intervensi aspek kelembagaan/kebijakan yaitu dalam bentuk perumusan programprogram untuk mendorong keberlanjutan perkebunan, penguatan peran dan sinergi lembaga terkait, monitoring serta pembinaan penggunaan sumberdaya. Kebijakan terkait pengelolaan PBK telah cukup tersedia, sehingga peningkatan kinerja yang diperlukan antara lain adalah pada atribut penajaman program-program yang sesuai kebutuhan sumberdaya pengelolaan PBK. Untuk mendorong pencapaian tujuan program, maka implementasi program perlu didukung oleh lembaga terkait diikuti
dengan
monitoring/evaluasi
secara
terukur.
Peningkatan
kinerja
kelembagaan diharapkan dapat menjadi pendorong partisipasi pekebun sehingga secara perlahan dan alamiah dapat mendorong kemandirian pekebun untuk terus meningkatkan produktivitasnya menuju kehidupan pekebun yang semakin berkualitas. Secara keseluruhan peningkatan keberlanjutan dilakukan pada setiap aspek yaitu aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi/infrastruktur, dan kelembagaan/ kebijakan. Peningkatan kinerja dilakukan dengan mengoptimalkan peran atribut kunci yaitu naungan, limbah kakao, musuh alami, agens hayati, basis data, alumni
95
SLPHT, kelembagaan pekebun (nilai-nilai gotong royong, partisipasi dalam pengendalian), mutu biji kakao, mata rantai pemasaran, insentif pengendalian, dan peran lembaga penunjang (program, koordinasi, kontrol, dan pendampingan penyuluh).
Kesimpulan Praktek usaha tani kakao berimplikasi pada keberlanjutan perkebunan kakao yang ditunjukkan oleh nilai status keberlanjutan aspek ekologi, ekonomi, sosial termasuk di dalamnya sub aspek kelembagaan/kebijakan dan teknologi/ infrastruktur berturut-turut sebesar 44.62%, 45.27%, 58.39%, 37.32%, dan 46.58%. Pengelolaan PBK perlu diperbaiki untuk tidak bergantung pada pestisida dan memanfaatkan sumberdaya pengelolaan PBK. Sumberdaya pengelolaan PBK yang dapat dimanfaatkan adalah naungan kakao, limbah kakao, musuh alami, alumni SLPHT, basis data PBK, pasca panen, mata rantai pemasaran dan kelembagaan pekebun serta lembaga penunjang.
Daftar Pustaka [BBPPSLP-BPPP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Identifikasi dan Evaluasi Potensi Lahan untuk Mendukung Primatani di Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi TenggaraSkala 1: 50.000. Bogor: BBPPSLP BPPP. Boller EF et al. 2004. Integrated Production Principles and Technical Guidelines 3rd Edition, 2004. The IOBC/WPRS Bulletin Vol. 27 (2). http://www. iobc-wprs.org [Akses 17 Februari 2010]. Campbell et al. 2001. Assessing the Performance of Natural Resource System. Conservation Ecology 5(2):22. URL:http//www/consecol.org/vol5/ iss2/ art22 [3 Februari 2009]. De-Almeida AF. dan Valle RR. 2007. Ecophysiology of the Cocoa Tree. Braz J Plant Physiol 19(4):425-448. Dhaliwal GS, Koul O, Arora R. 2004. Integrated Pest Management : Retrospect and Prospect. Di dalam: Koul O, Dhaliwal GS, Cuperus GW, editor. Integrated Pest Management : Potential, Constraints and Challenge. United Kingdom: CABI Publishing. Elsey, B dan K. Sirichoti. 2004. Integrated Pest Management as Sustainable Agricultural Practice: The Process of Innovation Adoption by Durian
96
Growers in Thailand and The Role of Agricultural Extension Workers as Change Management agents. Hassanshahi H, Irvani H, Kalantari K. 2008. Analysis of Capital Assets of Natural Resources Management System in the Agricultural Production Cooperatives (APCs) in Fars Province, Iran. Australian Journal of Basic and Applied Sciences 2(4):864-871. Heinrichs EA. 2005. A New Paradigm for Implementing Ecologically – Based Participatory IPM in a Global Context: The IPM CRSP Model. Neotropical Entomology 34(2):143-15. Heong KL. 1985. System Analysis in Solving Pest Management Problems. Proceeding of The Seminar on Integrated Pest Management in Malaysia. The Malaysian Plant Protection Society (MAPPS). Kuala Lumpur. Hosang MLS. 2004. Interactions Between Natural Enemies, Herbivores and Cacao in Palolo Valley, Central Sulawesi Disertasi. Bogor: Graduate School Bogor Agricultural University. Kada R. 2003. Conceptual and Policy Issue of Sustainable Agriculture in Asia, Di dalam: Appropriate use of Input for Sustainable Agriculture. Asian Productivity Organization. Tokyo. Kufer J, Grube N, Heinrich M. 2007. Cocoa in Eastern Guatemala––A Sacred Tree with Ecological Significance. Environ. Dev. Sustain. 8:597–608 Nurasa T, Muslim C. 2005. Perkembangan Kakao Indonesia dan Dampak Penerapan Kebijakan Ekskalasi Tarif di Pasar Dunia: Kasus Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam Strategi Dan Kebijakan Perdagangan Pertanian Pasca AoA-WTO. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Norris RF, Caswell-Chen EP, Kogan M. 2003. Concept in Integrated Pest Management. NJ: Prentice-Hall Upper Saddle. Orr A dan Ritchie JM. 2004. Learning from Failure: Smallholder Farming Systems and IPM in Malawi. Agricultural Systems 79: 31–54. Pawar CS. 2002. IPM and Plant Science Industries in India. Agrolinks. Juni 2002. Peshin R, Bandral RS, Zang WJ, Wilson L, Dhawan AK. 2009. Integrated Pest Management: A Global Overview of History, Progress and Adoption. Di dalam Dhawan AK, Peshin R, editor. Integrated Pest Management: Innovation-Develop-ment Process. Springer Netherlands: Netherlands. 689pp. Pitcher TJ, Preikshot D. 2001. RAPFISH: A Rapid Appraisal Technique to Evaluate Sustaibability Status of Fisheries. Fisheries Research 49: 255270. Pinter L, Hardi P, Bartelmus P. 2005. Indicators of Sustainable Development: Proposals for a Way Forward. Expert Group Meeting on Indicators of
97
Sustainable Development, 13-15 December. New York: United Nations Division for Sustainable Development. Rasul G, Thapa GB. 2004. Sustainability of Ecological and Conventional Agricultural Systems in Bangladesh: An Assessment Based on Environmental, Economic and Social Perspectives. Agricultural Systems 79 : 327–351 Rammel C, Stagl S, Wilfing H. 2007. Managing Complex Adaptive Systems - A Coevolutionary Perspective on Natural Resource Management. Ecological Economics 63: 9-21. Shepherd A. 1998. Sustainable Rural Development. London: MacMillan Press Ltd. Sulistyowati E, Mufrihati E, Andayani B. 2006. Pengaruh Samping Aplikasi Paecilomyces fumosoroseus Terhadap Semut Hitam, Dolichoderus thoracicus, Predator Helopeltis antonii dan Penggerek Buah Kakao. Pelita Perkebunan, 22(2): 91—100 Syafaruddin M et al. 2000. Hasil Kajian Penggerek Buah Kakao dan Status Hara Areal Pertanaman Kakao di Kabupaten Kolaka. Kendari: Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Vreysen MJB, Robinson AS, Hendrichs J, Kenmore P. 2007. Area-Wide Integrated Pest Management (AW-IPM): Principles, Practice and Prospects. Di dalam, Vreysen MJB, Robinso AS, Hendrichs J, editor. Area-Wide Control of Insect Pests . Springer Netherlands: Netherlands. 804pp.
98
Contents 5. STATUS KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA PENGELOLAAN PENGGEREK BUAH KAKAO (PBK) (Conopomorpha cramerella Snellen) DI KECAMATAN LAMBANDIA ......................................................................... 75 ABSTRAK ........................................................................................................75 PENDAHULUAN ............................................................................................. 76 METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................... 80 Metode Pengumpulan Data ................................................................................ 80 Analisis Data ..................................................................................................... 80 HASIL ............................................................................................................... 81 Dimensi Ekologi ................................................................................................ 81 Dimensi Ekonomi .............................................................................................. 82 Dimensi Sosial ................................................................................................... 85 Dimensi Infrastruktur/Teknologi ........................................................................85 Dimensi Kelembagaan/Kebijakan ...................................................................... 87 Penilaian Keberlanjutan ..................................................................................... 88 PEMBAHASAN ................................................................................................ 92 KESIMPULAN.................................................................................................. 95 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 95
JUDUL 3 STRATEGI PENGELOLAAN PBK Abstrak Strategi pengelolaan PBK terdiri dari formulasi strategi, penerapan strategi yang dilakukan dengan merancang struktur organisasi dan sistem kelembagaan pengelolaan PBK. Prioritas strategi dapat digunakan untuk menentukan aktor yang bertanggung jawab dan strategi dapat diterapkan dan dievaluasi. Data dikumpulkan dengan meminta pendapat pakar yang ditentukan secara semi terstruktur. Hasil analisis menunjukan bahwa prioritas strategi adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun (1.101), diikuti dengan pengembangan PHT PBK (0.538), pengembangan kelembagaan pekebun (0.310), peningkatan pasca panen (0.180), dan efisiensi pasar (0.207). Analisis deskriptif menunjukan bahwa sistem kelembagaan pengelolaan PBK terdiri dari kelompok pekebun dan lembaga penunjangnya. Struktur organisasi kelompok pekebun terdiri dari penyedia sarana produksi, produksi, pengendalian PBK, pasca panen, pemasaran, dan koperasi. Kata kunci: Pengelolaan PBK, strategi, struktur organisasi, aktor.
Abstract Strategy of cocoa pod borer (CPB) management is dividing of formulation of strategi, implementation by design of organisation structure, and indentification of actor. One form of utilization is indicated by the existence of an actor responsible and with a clear objective which is formulated in an applicable strategy which can be evaluated. The data collection was conducted through an literature study and a semi-structured interview. The analysis result showed that The priority of CPB management strategy is to increase knowledge and skills of farmers (1.101) which is the main priority, followed by the development of adaptive IPM CPB (0.538), empowerment of PHT institution (0.310), quality improvement (0.180), and supply chain efficiency (0.207). The descriptive analysis showed that Institutional of CPB management system were the farmers group and supporting institutional. The organization structure of famers group include the function of production facilities, production, control of CPB, post harvest, marketing, and cooperative. Key words : CPB Management, Strategy, Organization Structure.
99
Pendahuluan Pengelolaan merupakan ilmu dan seni perencanaan, penenerapan, dan pengontrolan individu-individu dan sumberdaya lainnya guna mencapai tujuan suatu aktivitas (Ricketts dan Ricketts 2009; Erickson et al. 2002). Perencanaan merupakan serangkaian pemikiran berdasarkan pemahaman terhadap berbagai faktor yang kemudian dirumuskan dalam bentuk keputusan untuk mencapai tujuan dan sasaran suatu aktivitas. Keputusan perencanaan dijabarkan dalam bentuk 1) sasaran/tujuan, 2) strategi, 3) kebijakan, 4) prosedur, 5) aturan dan 6) program (Erickson et al. 2002). Sasaran/tujuan menggambarkan landasan pengalokasian sumberdaya, menyusun mekanisme untuk mengevaluasi ketua/manajer dan merupakan alat untuk memonitor proses pencapaian tujuan jangka panjang, serta menetapkan prioritas pengalokasian alokasi sumberdaya (David 2002).
Untuk mencapai
sasaran/tujuan suatu aktivitas, maka kegiatan perencanaan perlu memiliki strategi pengelolaan. Strategi merupakan pengorganisasian perencanaan atau perumusan suatu aktivitas yang dilakukan secara komprehensif untuk mencapai tujuan pengelolaan (Heizer dan Render 2004; Hunger dan Wheelen 2003). Perumusan strategi dilakukan berdasarkan misi, lingkungan internal dan eksternal. Misi merupakan tujuan jangka panjang dalam bentuk nilai-nilai dan prioritas yang akan dicapai oleh suatu bentuk pengelolaan. Nilai-nilai berupa sifat dan karakteristik produk yang akan dihasilkan dengan mempertimbangkan potensi dan peluang pasar bagi pengembangan di masa mendatang. Perumusan strategi perlu diikuti penetapan kebijakan, dilengkapi dengan prosedur, aturan dan program alokasi sumberdaya. Kebijakan adalah pedoman untuk membuat keputusan dalam menghadapi kondisi yang terjadi secara terus menerus dan berulang serta dijadikan pedoman penerapan strategi. Kebijakan dapat berupa pengembangan nilai-nilai, perancangan struktur organisasi yang efektif, pengembangan produk, penyiapan anggaran, pengembangan sistem informasi, dan pemberian insentif bagi karyawan, dalam hal ini bagi pekebun. Kebijakan dibuat dengan mengacu pada aturan perundang-undangan, pedoman, metode, prosedur kerja yang mendorong aktivitas kearah tujuan dan sasaran yang akan dicapai (David 2002).
100
Penerapan pengelolaan meliputi pengorganisasian dan pengarahan pengelolaan.
Pengorganisasian merupakan proses pengalokasian sumberdaya
dalam bentuk pembagian tugas, fungsi, tanggung jawab dan hubungan antar fungsi untuk mencapai tujuan suatu aktivitas. Pengorganisasian disusun dalam bentuk struktur organisasi. Struktur organisasi meliputi struktur fungsional atau struktur divisional. Struktur fungsional dilakukan dengan mengelompokan tugas dan aktivitas mengacu pada fungsi pengelolaan seperti produksi, pemasaran, keuangan, penelitian dan pengembangan, dan sistem informasi. Struktur divisional adalah penyusunan struktur menurut wilayah geografi, produk atau jasa yang dihasilkan, pelanggan, atau menurut proses.
Sumberdaya yang dialokasikan
biasanya berupa sumberdaya ekonomi, sumberdaya fisik, sumberdaya manusia, dan sumberdaya teknologi (David 2002). Individu-individu dan sumberdaya lainnya yang terlibat seringkali memiliki tujuan yang berbeda-beda sehingga diperlukan peran pengarahan agar dapat mencapai tujuan dan sasaran bersama.
Pengarahan merupakan proses
peningkatan peran inividu untuk beraktivitas dan berinteraksi satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan suatu akivitas. Kontrol meliputi kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan dengan cara mengukur kinerja dan membandingkan dengan standar-standar dan harapan. Monitoring dilakukan dengan menggunakan sistem informasi untuk memantau perencanaan dan penerapan pengelolaan sehingga dapat mencapai tujuan. Evaluasi
strategi
meliputi evaluasi
terhadap
:
(1)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi aktivitas, (2) mengukur prestasi kerja, dan (3) melakukan tindakan korektif untuk memastikan pencapaian tujuan. Evaluasi faktor-faktor dilakukan dengan menilai kembali dan membenahi kembali faktor-faktor internal eksternal yang mempengaruhi suatu aktivitas.
Pengukuran prestasi dilakukan dengan
membandingkan hasil yang telah dicapai dengan tujuan dan sasaran jangka panjang, mengevaluasi prestasi individu, dan mengevaluasi kemajuan yang telah dihasilkan dalam mencapai tujuan dan sasaran. Dalam melaksanakan pengelolaan diperlukan peran aktor sebagai pengelola dan penanggung jawab utama aktivitas pengelolaan.
Aktor adalah
individu atau kelompok berasal dari dalam sistem untuk menerapkan suatu
101
rencana yang dibuat dalam skala yang lebih luas. Aktor diharapkan mampu memanfaatkan sumberdaya secara optimal, mengakomodir kebutuhan stakeholder, dan tujuan pengelolaan (Agrawal 2003; Hunger dan Wheeler 2003; Wollenberg et al. 2001) dan meningkatkan nilai manfaat sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Ostermeier 1999) secara optimal dan adil. Aktor perlu pula mengenal kondisi sumberdaya baik yang berada di dalam maupun di luar lingkungannya yang dikenal sebagai kekuatan internal dan eksternal.
Kekuatan internal merupakan aktivitas yang berada dalam kendali
suatu bentuk pengelolaan yang dapat terjadi dalam lini manajemen, pemasaran, keuangan, produksi, penelitian dan pengembangan, serta sistem informasi (David 2002). Kekuatan internal dapat dijabarkan dalam bentuk latarbelakang seperti umur, pengalaman usahatani, ketersediaan tenaga kerja dan sarana produksi (Kolawole dan Alademimokun 2006), serta pengetahuan dan keterampilan (Mowo et al. 2006). Kekuatan eksternal merupakan peluang dan ancaman yang terjadi di luar kendali suatu bentuk pengelolaan seperti kondisi ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, hukum, pemerintahan, teknologi, kecenderungan persaingan, atau peristiwa yang menguntungkan atau merugikan bentuk pengelolaan (David 2002; Mowo et al. 2006). Oleh karena itu setiap aktor perlu memiliki tujuan dan strategi yang jelas (Agrawal 2003). Berdasarkan uraian di atas dan sejalan dengan pengendalian hama terpadu (PHT) yang melandasi pengambilan keputusan pengendalian PBK, maka dalam pengelolaan PBK diperlukan suatu bentuk pengelolaan PBK yang terdiri atas perumusan strategi dan kelembagaan pekebun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi pengelolaan PBK dengan mempertimbangkan kondisi internal dan eksternal pekebun dan kelembagaan pekebun kakao rakyat.
Metodologi Penelitian Metode yang digunakan adalah studi literatur dan penentuan prioritas faktor dan strategi dengan meminta pendapat pakar.
Untuk mengidentifikasi
faktor internal (Internal Factors Analysis Summary = IFAS) dan eksternal (External Strategic Factors Analysis Summary = EFAS).
Studi literatur
digunakan untuk menentukan aktor dan prioritas faktor untuk menentukan fungsi-
102
fungsi yang diperlukan dalam rangka penyusunan mekanisme kerja. Faktor-faktor internal eksternal disusun dalam matriks untuk menentukan alternatif strategi pengelolaan PBK. Prioritas strategi ditentukan dengan analisis prioritas SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats).
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan meminta pendapat pakar yaitu orang yang memiliki kepedulian dan wawasan terhadap perkembangan perkebunan kakan dan pengelolaan PBK di Kabupaten Kolaka. Pakar merupakan individu yang dianggap memiliki wawasan dan memiliki pendapat mengenai suatu aktivitas (Mikkelsen 2003).
Jumlah Pakar Pakar ditentukan secara purpossive sampling, yaitu 9 orang yang mewakili individu yang berperan dalam pengelolaan PBK pada tingkat pekebun, kelompok pekebun, dan pengambil kebijakan.
Analisis Data Prioritas pengelolaan PBK dimulai dari identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan PBK dengan menggunakan analisis Internal Strategic Factors Analysis Summary = IFAS) dan faktor strategi eksternal (External Strategic Factors Analysis Summary = EFAS).
Hasil identifikasi faktor internal
dan eksternal berupa variabel-variabel kekuatan dan kelemahan faktor internal serta peluang dan ancaman faktor eksternal yang dipadukan dengan variabelvariabel hasil analisis stakeholder. Faktor internal merupakan variabel yang dapat dikendalikan oleh suatu bentuk pengelolaan seperti struktur organisasi, budaya, dan sumberdaya organisasi.
Struktur organisasi seperti kewenangan, aliran
komunikasi, dan bagan organisasi. Budaya adalah pola keyakinan, norma, nilainilai yang dianut oleh anggota organisasi (Hunger dan Wheelen 2003). Sumberdaya organisasi meliputi sumberdaya sosial, manusia, pendapatan, alam, dan fisik (infrastruktur, sarana produksi) (Campbell 2001).
103
Faktor eksternal terdiri dari variabel lingkungan kerja seperti aktivitas lembaga-lembaga terkait, perkembangan teknologi, dan kondisi hukum politik (aturan-aturan, perlindungan hukum), dan kekuatan sosial budaya (nilai-nilai, adat, dan kebiasaan lingkungan) (Hunger dan Wheelen 2003). Dengan demikian maka faktor internal pengelolaan PBK meliputi sumberdaya perkebunan kakao termasuk kelembagaan pekebun dan nilai-nilai yang dianut, sedangkan faktor eksternal pengelolaan PBK meliputi kelembagaan penunjang, teknologi, kebijakan perlindungan, dan kebijakan perdagangan global.
Cara Penentuan Faktor Strategi Ekternal (EFAS)/Internal (IFAS) Penentuan faktor EFAS dan IFAS sebagai berikut : 1. Peluang disusun dalam kolom 1 2. Setiap faktor dalam kolom2 diberi bobot yaitu 1.0 (sangat penting) sampai 0.0 (tidak penting). Jumlah bobot faktor EFAS atau IFAS adalah satu. 3. Rating dalam kolom 3 ditentukan dengan memberi skala dari 4 (baik) sampai 1 (buruk) berdasarkan faktor yang mempengaruhi pengelolaan PBK. Pemberian rating untuk faktor peluang/kekuatan bersifat positif diberi rating 4 dan peluang kecil diberi rating 1. Pemberian rating untuk faktor ancaman/kelemahan diberi rating sebaliknya. 4. Bobot pada kolom 4 merupakan hasil kali rating pada kolom 2 dikalikan dengan rating pada kolom 3 5. Total skor pembobotan pada kolom 4 yang menunjukkan perbandingan pengelolaan PBK pada wilayah lain.
Prioritas Strategi Pengelolaan PBK Prioritas strategi ditentukan dari matriks EFAS dan IFAS yang menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dalam pengelolaan PBK disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki kelompok pekebun. Matriks yang digunakan adalah matriks SWOT yang disajikan pada Gambar 21. Strategi SO dibuat berdasarkan pemahaman pekebun dalam memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. Strategi ST merupakan strategi dalam menggunakan kekuatan
104
pekebun untuk mengatasi ancaman. Strategi WO dibuat dengan memanfaatkan peluang dan meminimalkan kelemahan pekebun. Strategi WT pekebun meminimalkan kelemahan serta menghindari ancaman.
IFAS
STRENGTHS (S)
WEAKNESSES (W)
OPPORTUNITIES (O)
STRATEGI SO Strategi menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
STRATEGI WO Strategi meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
THREATS (T)
STRATEGI ST Strategi menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
STRATEGI WT Strategi meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
EFAS
Gambar 21 Matriks SWOT.
Hasil Prioritas faktor disusun berdasarkan penilaian lingkungan internal yang dapat dikendalikan dan lingkungan eksternal yang merupakan kondisi diluar kendali pengelolaan PBK.
Faktor internal meliputi kekuatan dan kelemahan
pekebun/kelompok pekebun dan faktor ekstenal meliputi peluang dan tantangan.
Prioritas Faktor Internal Kekuatan (Strengths) Hasil pengolahan faktor kekuatan internal menunjukan bahwa kekuatan yang paling berpengaruh terhadap pengambilan keputusan pengelolaan PBK berturut-turut adalah insentif pengendalian (0.355), Alumni SLPHT (0.335), ketersediaan lahan (0.230), nilai-nilai kegotongroyongan (0.228), dan keberadaan musuh alami (0.213) (Gambar 22).
105
Atribut kekuatan
Kepemilikan lahan
0.230
Alumni SLPHT
0.335
Musuh alami
0.213
Nilai-nilai kegotongroyongan
0.228
Insentif pengendalian
0.355 Bobot
Gambar 22 Prioritas faktor internal yang menjadi kekuatan dalam pengelolaan PBK. Gambar 22 menunjukkan insentif pengendalain berkaitan dengan keterikatan pekebun untuk melakukan pengendalian PBK. Insentif pengendalian dapat ditingkatkan dengan penerapan PHT PBK, terutama bagi pekebun alumni SLPHT. Alumni SLPHT dapat menerapkan sendiri pengetahuan yang dimiliki atau menyebarkan ke pekebun lain dengan mendorong partisipasi pekebun. Partisipasi didukung oleh nilai-nilai gotongroyong yang dimiliki pekebun. Pekebun umumnya memiliki hubungan kekerabatan dengan pekebun lainnya, sehingga nilai-nilai gotongroyong cukup mendasari hubungan sosial pekebun. Kekuatan lainnya adalah lahan yang merupakan milik sendiri dan keberadaan musuh alami yang ditemukan dalam lokasi pengamatan. Insentif pengendalian merupakan atribut kekuatan internal yang dimiliki pekebun yang terkait dengan pendapatan rumah tangga pekebun. Pendapatan rumah tangga merupakan tujuan utama perkebunan rakyat. Insentif yang diterima pekebun pada saat ini dalam bentuk bantuan sarana produksi pada berbagai program pemerintah seperti subsidi pupuk atau Gernas kakao. Insentif dalam bentuk pengendalian efisiensi penggunaan sumberdaya dalam pengendalian masih dirasakan minim oleh pekebun. Penerimaan selisih harga dari pengolahan biji kakao Rp1000.00,- per kg yang diterima pekebun meskipun memadai, tetapi belum dirasakan cukup oleh pekebun. Penanganan pasca panen yang masih tradisional sehingga proses pengolahan biji kakao masih dianggap merepotkan dan tidak sepadan dengan waktu yang dikeluarkan.
Dengan demikian, maka peningkatan insentif dapat
106
dilakukan dengan meningkatkan efisiensi penggunaan sarana produksi melalui peningkatan partisipasi pekebun. Kelemahan (Weakness) Prioritas kelemahan pengelolaan PBK adalah SDM pekebun (0.183), kelembagaan pekebun (0.190), penanganan pasca panen (0.174), pengelolaan naungan (0.167), dan penanganan limbah (0.178). Pada Gambar 23 dapat dilihat bahwa kelembagaan pekebun merupakan kelemahan utama dalam pengelolaan PBK.
Pengetahuan dan keterampilan pekebun mempengaruhi kemampuan
pekebun untuk membentuk kelompok pekebun. Pekebun umumnya bekerja secara individu sehingga cenderung memilih teknik pengendalian yang bersifat praktis, dapat dilakukan sendiri dan belum mempertimbangkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Keberadaan alumni SLPHT dan pengalaman pekebun, perlu terus
Atribut Kelemahan
dikembangkan dalam pengelolaan PBK. 0.183
SDM pekebun (SP)
0.190
Kelembagaan pekebun (KP) 0.174
Penanganan pascapanen (PP)
0.178
Limbah kakao(LK) Tanaman naungan (TN)
0.167 Bobot
Gambar 23 Prioritas faktor internal yang menjadi kelemahan dalam pengelolaan PBK. Keterbatasan pengetahuan pekebun terhadap peranan tanaman naungan dan pemanfaatan limbah, serta orientasi produksi tinggi dalam jangka pendek menyebabkan pekebun menebang tanaman naungan. Pengolahan limbah dapat dimanfaatkan sebagai sumber hara organik bagi tanaman dan memutus siklus hidup PBK.
Pemanfaatan sumberdaya limbah dan naungan yang belum optimal
berkaitan dengan kondisi hara tanah yang semakin menurun akibat kurangnya pengembalian hara ke dalam tanah. Kondisi tanaman semakin rentan terhadap
107
organisme pengganggu, dalam hal ini PBK, akhirnya berpengaruh pada mutu biji kakao.
Prioritas Faktor Eksternal Peluang (Opportunities) Prioritas peluang yang dapat diraih dari lingkungan eksternal pengelolaan PBK adalah potensi pasar kakao (0.502), Kebijakan Perlindungan/Program PHT (0.397), keberadaan perusahan produksi benih kakao (0.282), keberadaan Lembaga Penelitian/Perguruan Tinggi (0.151), dan keberadaan LSM (0.137) (Gambar 24). Tujuan pasar kakao dari Kabupaten Kolaka adalah Amerika melalui pelabuhan Makassar dan Malaysia.
Pengembangan pasar ke Eropa untuk cocoa
liquior yang memerlukan fermentasi dan kualitas biji kakao diharapkan akan menggerakan proses pengolahan hasil dan budidaya termasuk pengelolaan OPT sesuai dengan stándar-stándar PHT.
Atribut Peluang
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Penelitian/Pengkajian/Perguruan Tinggi (LP/PT)
0.137
0.151
Kebijakan perlindungan/program PHT (KP)
Penyedia bibit(PB)
0.397
0.282
Potensi pasar (PP)
0.502 Bobot
Gambar 24 Prioritas faktor eksternal yang menjadi peluang dalam pengelolaan PBK. Gambar 24 dijelaskan potensi pasar dalam negeri juga cukup besar, tetapi belum didukung oleh kebijakan pemerintah yang menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% bagi biji kakao yang dibeli oleh pabrik dalam negeri. Sebaliknya pajak PPN tidak dikenakan di negara Malaysia dan Amerika, sehingga pemasaran biji kakao lebih banyak di ekspor di ke dua negara tersebut. Pemasaran biji kakao untuk pengolahan biji dalam negeri perlu diikuti dengan kebijakan penghapusan pajak pertambahan nilai biji kakao atau menaikan pajak impor kakao
108
olahan, sebagai mana diterapkan oleh negara-negara Eropa maupun Amerika. Untuk itu kebijakan perlindungan tanaman perlu didukung oleh kebijakan perdagangan biji kakao ke pasar global. Ketersediaan perusahan benih di Kecamatan Lambandia dan kemampuan beberapa pekebun di Desa Aere dalam memproduksi bibit kakao dapat menghasilkan benih bermutu dan dapat dimanfaatkan oleh pekebun sekitarnya. Peranan Lembaga Penelitian dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam transfer teknologi telah menyentuh pekebun, tetapi belum dirasakan secara merata oleh pekebun. Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi memiliki program agribisnis kakao di Desa Lambandia pada tahun 2005 sampai 2008 dan perlu ditindaklanjuti dengan program evaluasi dampak terhadap keberlanjutan perkebunan kakao. Dukungan lembaga swadaya masyarakat untuk meningkatkan sumberdaya petani diberikan dalam bentuk pelatihan sekolah lapang (SLPHT).
Lembaga
swadaya masyarakat yang terlibat dalam SLPHT adalah AV dan A yang mulai terlibat secara aktif sejak tahun 2000, tetapi peranannya pada saat ini mulai berkurang. Penurunan peran kedua LSM tersebut karena berakhirnya kemitraan dengan eksportir kakao PT H. Kemitraan LSM dengan eksportir dalam bentuk pemberian insentif atas peningkatan mutu kakao. Untuk itu potensi pasar menjadi prioritas pengelolaan untuk menghasilkan biji kakao bermutu dan menentukan bentuk transfer teknologi ke pekebun.
Ancaman (Threats) Prioritas ancaman yang dapat mempengaruhi pengelolaan PBK adalah Subsidi Pupuk/Pestisida (0.282), peredaran pestisida ilegal (0.187), fluktuasi harga (0.161), suku bunga (0.158), dan pembukaan hutan (0.147) (Gambar 25). Subsidi pupuk/pestisida menjadi ancaman terutama bila tidak diikuti dengan pengawasan peredaran dan penggunaannya dapat meningkatkan penggunaan pestisida/pupuk buatan.
Peningkatan penggunaan pestisida/pupuk memberi peluang bagi
penyediaan pestisida/pupuk di tingkat pekebun, sehingga rentan terhadap peredaran pestisida/pupuk palsu.
109
Biji kakao merupakan komoditas ekspor, sehingga harga yang diterima pekebun dipengaruhi oleh fluktuasi harga di pasar global.
Namun demikian,
harga yang diterima pekebun melibatkan mata rantai pemasaran yang cukup panjang, karena penjualan biji kakao melalui pedagang pengumpul kemudian eksportir.
Keterikatan pekebun dan pedagang pengumpul berperan sebagai
pembeli dan penyedia sarana produksi. Peningkatan suku bunga berkaitan dengan permodalan dari lembaga perkreditan. Peningkatan suku bunga mempengaruhi biaya produksi pekebun, yang akhirnya berpengaruh pada kemampuan dalam melakukan pengelolaan PBK.
Ancaman pembukaan hutan berkaitan dengan
gangguan keseimbangan ekosistem seperti terjadinya tekanan terhadap flora fauna atau musuh alami atau gangguan kerusakan lingkungan seperti banjir dan kekeringan yang berdampak pada kelangsungan perkebunan kakao.
Atribut Ancaman
Suku bunga Pembukaan hutan
0.158 0.147
Fluktuasi harga
0.161
Pestisida ilegal
0.187
Subsidi pupuk
0.282 Bobot
Gambar 25 Prioritas faktor eksternal yang menjadi ancaman dalam pengelolaan PBK. Gambar 25 dapat dilihat bahwa dijumpai adanya kebijakan subsidi pestisida pupuk dan kebijakan sistem kuota dalam distribusi pupuk. Subsidi pupuk buatan menyebabkan pekebun cenderung hanya menggunakan pupuk buatan untuk memenuhi kebutuhan hara. Penerapan sistem kuota dalam pendistribusian pupuk sering menimbulkan kelangkaan pupuk, sementara pekebun semakin tergantung pada pupuk anorganik seperti Urea, TSP, dan KCl. Pada sisi lain pemasaran pestisida dan pupuk yang menjangkau hingga ke kios/kios pengecer yang terdapat di kecamatan rentan terhadap peredaran pestisida dan pupuk palsu. Penggunaan pestisida dan pupuk memerlukan kehati-hatian,
110
sehingga perlu didukung oleh pengawasan peredaran dan penggunaan yang memadai. Demikian pula keterbatasan peran lembaga keuangan dalam memberi bantuan kredit bagi pekebun, menyebabkan pekebun semakin tergantung pada pedagang pengumpul sebagai penyedia pupuk dan pestisida atau membeli pestisida dari pedagang keliling di pasar-pasar desa.
Peranan pedagang
pengumpul selain menyediakan sarana produksi juga menentukan mutu dan harga biji kakao. Produksi kakao dalam bentuk biji kering memerlukan pengeringan yang lebih singkat sehingga pekebun dapat langsung menjual hasil panen kakao. Pekebun menerima harga jual biji kakao sesuai dengan kondisi harga berlaku, sehingga dapat dipengaruhi oleh fluktuasi harga.
Alternatif Strategi Alternatif strategi diperoleh dengan membuat matriks faktor internal faktor eksternal, masing-masing diuraikan atas kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman. Prioritas faktor internal eksternal menjadi pertimbangan dalam menentukan alternatif strategi.
Matriks alternatif strategi pengelolaan PBK
disajikan pada tabel 14. Tabel 14
Matriks alternatif strategi pengelolaan PBK menuju perkebunan berkelanjutan di Kecamatan Lambandia Faktor Internal
Faktor Eksternal Peluang 1.Potensi Pasar 2.Perusahan benih 3.Kebijakan Perlintan 4.PT/LP 5.Peranan LSM Ancaman 6.Subsidi pupuk 7.Pestisida ilegal 8.Fluktuasi harga 9.Suku bunga 10.Pembukaan hutan
Kekuatan a.Insentif pengendalian b.Alumni SLPHT c.Kepemilikan lahan d.Nilai-nilai gotongroyong e. Musuh alami
Kelemahan f.SDM terbatas g.Kelembagaan pekebun h.Pasca panen i.Tanaman naungan j.Limbah kakao
Peningkatan mutu biji kakao
Peningkatan SDM
Efisiensi rantai pemasaran Transfer teknologi
Kelembagaan pekebun Transfer teknologi Peningkatan mutu biji kakao
Peningkatan SDM Pengembangan teknologi PHT Kelembagaan pekebun
Efisiensi rantai pemasaran Pengembangan Teknologi PHT
111
Tabel 14 memaparkan alternatif strategi pengelolaan PBK yang terdiri dari: (1) peningkatan SDM, (2) transfer dan pengembangan teknologi PHT, (3) peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun, (4) peningkatan mutu biji kakao dan pengolahan hasil, serta (5) Efisiensi pasar. Peningkatan SDM diharapkan dapat dilakukan dalam hal peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam pengumpulan data dan pengolahan data PBK serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Selain itu penyuluhan tentang perbanyakan bibit kakao,
pengolahan limbah, pengelolaan naungan, konservasi musuh alami perlu dilakukan. Peningkatan pengetahuan dapat dilakukan dengan menjalin kemitraan dengan lembaga penunjang seperti lembaga penelitian/perguruan tinggi atau lembaga swadaya masyarakat yang dijembatani oleh petugas pendamping yaitu Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Perkebunan (PPL).
Kemitraan kelompok
pekebun dengan lembaga penunjang diharapkan dapat mendorong peran kelompok pekebun. Kelompok pekebun diharapkan tidak hanya berperan di lahan tetapi juga berperan dalam meningkatkan mutu biji kakao dan menjalin kemitraan dengan pasar sehingga dapat memberi nilai tambah bagi pendapatan pekebun. Priortias strategi pengelolaan PBK adalah pelatihan pekebun/petugas (0.261), PHT PBK (0.240), peningkatan kapasitas kelembagaan PHT (0.206), peningkatan mutu Biji kakao (0.201), dan pembenahan mata rantai pemasaran (0.107). Pelatihan petugas ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pekebun dalam penggunaan sumberdaya dan pengembangan PHT PBK.
Pelatihan pekebun untuk meningkatkan pengetahuan terutama dalam
menentukan ambang kendali, perbanyakan benih bermutu, pemanfaatan limbah, konservasi musuh alami, dan peramalam PBK. Pengembangan PHT PBK bersifat dinamis karena kondisi sumberdaya dan permasalahan yang dihadapi terus berkembang sejalan dengan dinamika masyarakat dan dinamika pembangunan. PHT perlu didukung oleh basis data seperti data iklim, jenis dan dinamika populasi OPT,
musuh alami, data lainnya untuk mendukung peramalan dan
penentuan ambang kendali PBK. Kelembagaan yang diperlukan adalah kelembagaan yang berkaitan dengan kelembagaan sarana produksi dan pemasaran sehingga dapat mempersingkat mata
112
rantai pemasaran biji kakao.
Komunikasi yang berjalan antara pekebun dan
konsumen dalam hal ini perusahan pengolah biji kakao dan eksportir dapat menyamakan persepsi tentang mutu sehingg pekebun dapat memiliki kekuatan untuk menentukan harga biji kakao.
Gambaran prioritas secara lebih jelas
dikemukakan pada Gambar 26.
Alternatif Strategi
Rantai pemasaran Mutu biji kakao Kelembagaan pekebun PHT PBK
0.207 0.180 0.310
0.538
SDM pekebun
1.101 Bobot
Gambar 26 Prioritas strategi pengelolaan PBK.
Peningkatan sumberdaya manusia (SDM) pekebun merupakan strategi prioritas dalam pengelolaan PBK. Peningkatan SDM dilakukan melalui pelatihan, demontrasi, kaji tindak on farm serta diseminasi dengan menggunakan alat-alat komunikasi seperti brosur, radio, atau internet. Peningkatan SDM yang telah dilakukan adalah dalam bentuk pelatihan pekebun dan demonstrasi plot pengendalian PBK. Pelatihan pekebun merupakan metode yang sering digunakan karena :
Pekebun sebagai Pengambil Keputusan Pengendalian PBK Pekebun merupakan pengambil keputusan pengelolaan PBK di lahan usaha kebunnya. Pelatihan bagi pekebun bertujuan untuk meningkatkan distribusi pengetahuan dan keterampilan sehingga pekebun memiliki tingkat pengetahuan yang setara. Pelatihan juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pekebun dalam memanfaatkan potensi sumberdaya dan secara mandiri dapat melakukan pengambilan keputusan pengelolaan PBK yang berkelanjutan.
113
Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki pekebun merupakan modal dasar untuk mengembangkan teknologi
pengelolaan PBK. Pengetahuan dan
keterampilan yang telah dimiliki oleh pekebun diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan
sumberdaya,
sehingga
mendorong
keberlanjutan
sumberdaya. Dalam melakukan pengambilan keputusan pengelolaan PBK, pekebun dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, sehingga pekebun memerlukan pemahaman yang komprehensif.
Pelatihan yang terkait seperti
pemahaman lingkungan, budidaya, perlindungan tanaman, panen dan pengolahan hasil, pemasaran, dan manajemen kebun. Pekebun memerlukan motivasi untuk mengembangkan kebun, termasuk pemahaman kelestarian lingkungan melalui efisiensi pemanfaatan sumberdaya.
Sekolah Lapang Pelatihan pekebun yang berdasarkan pengalaman mampu meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan pekebun adalah metode sekolah lapang. Dalam perlindungan tanaman, telah dikembangkan dan dilaksanakan Sekolah Lapang pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT). SLPHT telah dilaksanakan di setiap desa sejak tahun 2000 yang dilaksanakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerintah Daerah.
Metode yang digunakan dalam SLPHT adalah metode
partisipatif dan pemberdayaan pekebun sejalan tujuan pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan pemberdayaan masyarakat. Beberapa program lembaga penelitian jugs menggunakan metode SLPHT untuk menyampaikan inovasi teknologi. Pemerintah daerah Kabupaten Kolaka telah memiliki tenaga pemandu lapang sebanyak 28 orang yang memiliki pengetahuan dasar pengendalian PBK. SLPHT membentuk kelembagaan pekebun dan juga memberi peluang bagi alumni SLPHT untuk menyebarluaskan pengetahuan yang dimiliki kepada pekebun lainnya. Proses pembelajaran sesama pekebun diharapkan dapat berjalan lebih efektif. Tingkat pendidikan responden berada di bawah rata-rata nasional yaitu tingkat sekolah dasar dan umur pekebun rata-rata umur produktif, memerlukan pelatihan dengan metode belajar sambil praktek sehingga memudahkan prose penyerapan teknologi.
Teknologi pengendalian PBK bersifat spesifik lokasi,
114
sehingga memerlukan uji lapang paket teknologi sebelum diaplikasikan. Pembelajaran melalui praktek lapang, sekaligus menjadi wadah uji adaptasi teknologi pengendalian PBK. Sekolah lapang juga dilengkapi dengan fase tindak lanjut SLPHT yang memberi peluang bagi penyebaran pengetahuan PHT oleh petani pemandu sehingga memudahkan distribusi pengetahuan ke petani lainnya. Penerapan strategi lainnya merupakan alternatif berikutnya yang perlu diikuti dalam penerapan prioritas mekanisme lainnya (PHT PBK, kelembagaan PHT, peningkatan mutu biji kakao, dan informasi harga). PHT PBK mengacu pada SOP pengendalian PBK yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Kopi dan Kakao dengan
mengedepankan teknik kultur teknis
yaitu pemupukan,
pemangkasan, sanitasi, pengendalian gulma, konservasi musuh alami, serta penggunaan pestisida secara efisien dan bijaksana.
Pemupukan untuk
meningkatkan kesuburan tanaman dengan memanfaatkan serasah tanaman kakao dan naungan, serta keberadaan naungan. Beberapa pekebun yang membeli kebun dari lahan kebun milik PT HMS atau mengikuti bimbingan teknis pemandu LSM dianjurkan membuat lubang berukuran 50x50x50 meter untuk mengumpulkan kulit buah kakao. Aktivitas bertujuan untuk memutus siklus hidup PBK dan kompos yang terbentuk dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Pengembangan PHT PBK
perlu didukung oleh kelembagaan PHT.
Kelembagaan PHT berperan dalam eksplorasi dan pengambilan keputusan penerapan PHT PBK. Kelembagaan PHT diharapkan bersinergi dengan Kelembagaan Penunjang Perkebunan antara lain kelembagaan yang berperan dalam kontrol atau transfer teknologi, atau penyediaan sumberdaya keuangan. Kegiatan monitoring dan pembinaan bertujuan untuk menjamin penerapan PHT, dapat menciptakan keseimbangan agroekosistem kakao, meminimalkan dampak lingkungan, menggunakan sumberdaya secara efisien, serta dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pekebun. Sesuai prinsip-prinsip perkebunan berkelanjutan maka kelembagaan PHT tidak hanya mengeksplorasi dan menerapkan teknologi PHT PBK tetapi juga meningkatkan nilai tambah sebagai upaya meningkatkan pendapatan pekebun. Mwakolobo (2000) mengatakan kelembagaan sarana produksi dan kelembagaan pemasaran dapat memberi nilai tambah bagi kelompok pekebun dengan menekan
115
biaya-biaya jasa dan transportasi sarana produksi dan jaringan yang semakin singkat antara pekebun dengan pasar. Strategi peningkatan mutu dan informasi harga bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan insentif bagi pekebun. Peningkatan pendapatan diharapkan dapat mendorong penerapan pengendalian PBK. Pembahasan Pengelolaan PBK di Kecamatan Lambandia merupakan suatu bentuk perencanaan yang terdiri dari perumusan strategi, diikuti dengan penyusunan struktur
organisasi
dan
evaluasi
pelaksanaannya.
Bentuk
pengelolaan
membutuhkan suatu strategi untuk mencapai tujuan, sehingga juga merupakan wujud pengelolaan strategi. Pengelolaan strategi dilakukan dengan merumuskan visi dan misi, menganalisis strategi dengan menilai faktor internal ekstenal yang mempengaruhi suatu bentuk pengelolaan, menetapkan sasaran dan kebijakan, dan Struktur Organisasi, dan aktor (David 2002).
Visi dan Misi Perkebunan Pengelolaan PBK adalah untuk mencapai visi perkebunan kakao rakyat berkelanjutan.
Sebagaimana dikemukakan pada
Bab Tinjauan Pustaka,
Perkebunan kakao rakyat berkelanjutan dicapai apabila : (1) tercapai efisiensi penggunaan sumberdaya, terciptanya keseimbangan agroekosistem, dan minim dampak lingkungan/pekebun, (2) pendapatan pekebun meningkat, dan (3) mampu meningkatkan pengetahuan/keterampilan pekebun dan produktivitas pekebun untuk terus mengembangkan teknologi PHT PBK . Visi merupakan sasaran jangka panjang tentang perkebunan yang akan dicapai. Visi perkebunan kemudian dijabarkan ke dalam Misi perkebunan kakao rakyat untuk mencapai keunggulan kompetitif yaitu peningkatan produksi dengan mutu tinggi, dan pengembangan produk berdasarkan kebutuhan pasar (Heizer dan Render 2004). Produk biji kakao rakyat diperdagangkan di pasar global sehingga misi perkebunan kakao rakyat perlu mengacu pada kebutuhan pasar global. Perdagangan global menetapkan penerapan Good Agricultural Practices (GAP) pada komoditas pertanian.
GAP mensyaratkan proses produksi pertanian
dilakukan dengan (1) minim dampak lingkungan, (2) mempertahankan
116
keseimbangan ekosistem, (3) efisien dalam penggunaan sumberdaya, (4) Produk pertanian aman, murah, jaringan distribusi dan produksi yang sehat, dan (5) terbukanya interaksi yang terus menerus antara pihak pengelola dan konsumen. Berdasarkan tujuan strategi di atas, maka keunggulan kompetitif pengelolaan PBK adalah apabila: (1) Biji kakao bermutu tinggi, aman, dan murah, (2) proses produksi minim dampak lingkungan, mendorong keseimbangan agroekosistem kakao, dan efisien dalam penggunaan sumberdaya, (3) mendorong peningkatan mutu biji kakao dan pengolahan biji kakao seperti fermentasi dan pengolahan biji kakao menjadi coklat, dan (4) memiliki kelembagaan pekebun yang efektif sehingga mampu meningkatkan pendapatan dengan memanfaatkan nilai-nilai sosial masyarakat. Untuk menjalankan perannya maka berbagai aktor dalam mata rantai penyediaan kakao perlu memiliki misi dan tujuan pengelolaan. Misi pengelolaan PBK adalah terciptanya suatu perkebunan kakao rakyat berkelanjutan yaitu perkebunan yang mampu meningkatkan pendapatan pekebun, berorientasi lingkungan, dan kualitas hidup. Untuk mencapai misi tersebut maka dirumuskan tujuan pengelolaan PBK adalah : (1) Meningkatnya pendapatan pekebun, (2) tercapainya
efisiensi
penggunaan
sumberdaya,
terciptanya
keseimbangan
agroekosistem, dan minim dampak lingkungan/ pekebun, dan (3) mampu meningkatkan pengetahuan/keterampilan pekebun dan produktivitas pekebun untuk terus mengembangkan teknologi PHT PBK. Hal ini dapat dicapai apabila para pelaku tersebut dapat dihimpun dalam suatu sistem kelembagaan.
Strategi Tujuan pengelolaan PBK akan dapat dicapai secara efektif dan efisien apabila aktor mampu merumuskan suatu strategi yang dapat diterapkan dan dapat dievaluasi.
Prioritas strategi adalah Pengelolaan PBK menggunakan prinsip-
prinsip PHT melalui peningkatan kapasitas kelembagaan dengan cara peningkatan pengetahuan/keterampilan sehingga dapat menghasilkan kakao yang bermutu dan mampu memenuhi kebutuhan pasar lokal dan global. Peningkatan pengetahuan/ keterampilan
pekebun
dan
petugas
merupakan
modal
dasar
dalam
mengembangkan PHT PBK dan mendorong partisipasi aktor dalam suatu wadah
117
kelembagaan.
Untuk mencapai misi perkebunan kakao rakyat, maka strategi
pengelolaan PBK adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pekebun sehinga dapat memproduksi biji kakao secara optimal dan berorientasi lingkungan, biji kakao yang mengacu pada standar mutu, dan mata rantai pemasaran yang efisien, sehingga dapat meningkatkan pendapatan pekebun dan kualitas hidup pekebun. Peningkatan pengetahuan/keterampilan pekebun tidak hanya dalam bentuk pengetahuan teknis pengendalian PBK tetapi juga pengetahuan agribisnis seperti manajemen kebun, pengolahan hasil dan pemasaran. Dengan demikian diharapkan pekebun dapat beradaptasi dengan perkembangan lingkungan eksternal sehingga dapat
meningkatkan
motivasi
pekebun
untuk
secara
bersama-sama
mengembangkan PHT PBK. Terbentuknya PHT PBK merupakan suatu bentuk teknologi yang diharapkan dapat diterapkan secara terus-menerus.
Dalam
mendukung penerapan PHT PBK maka partisipasi pekebun dalam suatu wadah kelembagaan diharapkan dapat mendorong penerapan PHT PBK secara berkelanjutan.
Sasaran dan Kebijakan Sasaran dan kebijakan merupakan bentuk penerapan strategi pengelolaan PBK.
Sasaran merupakan dasar untuk merancang struktur organisasi, sarana
untuk mencapai tujuan, dan alat untuk melakukan evaluasi. Dukungan kebijakan diharapkan menjadi pedoman umum dan memberi kondisi yang kondusif dalam penerapan strategi (Hunger dan Wheelen 2003), yaitu kebijakan yang mendorong peningkatan
SDM,
pengembangan
PHT,
pengembangan
kelembagaan,
peningkatan mutu, dan efisiensi pemasaran. Pada Tabel 15 disajikan tujuan, sasaran, dan kebijakan yang dirumuskan berdasarkan alternatif strategi pengelolaan PBK. Tujuan pengelolaan PBK meliputi pengadaan benih/bibit kakao sehat, penyediaan pupuk kompos, eksplorasi dan penyediaan agens hayati, pengamatan PBK dan analisis data untuk pengembangan teknik pengendalian yang tepat, penanganan pascapanen, dan penyampaian produk biji kakao secara efisien sampai ke pasar.
118
Sasaran tahunan diharapkan dapat tercapai melalui aktivitas pelatihan SLPHT sebanyak 1 unit yang diikuti oleh 25 pekebun, tersedia sarana kerja 1 paket setiap kelompok, 1 orang pekebun mengikuti pelatihan koperasi. Hal ini berdasarkan realisasi proyek dinas perkebunan kabupaten kabupaten dan provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2007 sampai 2008.
Tabel 15 Perumusan sasaran dan kebijakan pengelolaan PBK Tujuan 1. Peningkatan pengetahuan tentang : agens hayati, konservasi musuh alami, pengolahan limbah, perbanyakan benih/bibit sehat, kultur teknis, penanganan pascapanen, kemitraan dan pemasaran kakao, pengumpulan data dan pengolahan data, teknik pengendalian PBK, evaluasi pengendalian PBK.
Sasaran Tahunan 1. 25 pekebun memahami perbanyakan benih bermutu/tahan PBK, eksplorasi agens hayati, konservasi musuh alami, teknis pembuatan dan aplikasi pupuk organik, penanganan pascapanen, peramalan dan pengendalian PBK. 2. Terjalin kemitraan kelompok pekebun dengan lembaga terkait
2. Tersedia bahan Agens hayati, pupuk organik dan anorganik, benih/bibit sehat, sarana kerja dan penanganan pascapanen, data PBK
1. Tersedia 1 paket sarana kerja produksi dan pascapanen bagi setiap kelompok pekebun 2. Tersedia data pengamatan PBK
3. Tersedia teknologi PHT PBK, tersedia informasi evaluasi teknik pengendalian PBK,
1. Tersedia satu paket teknologi PHT bagi setiap kelompok pekebun 2. Tersedia metode evaluasi teknik pengendalian PBK
4. Tersedia lembaga pembiayaan pekebun
1. 1 orang pekebun memahami pengelolaan koperasi 2. Terbentuknya 1 unit koperasi setiap kelompok pekebun*)
Kebijakan 1. Peningkatan kemitraan dengan lembaga terkait dalam perbanyakan benih bermutu/tahan PBK, agens hayati, konservasi musuh alami, pupuk organik, pasca panen, peramalan dan pengendalian PBK. 2. Pemberdayaan alumni SLPHT untuk pendampingan pekebun 3. Pengelolaan insentif bagi anggota pengurus dan anggota kelompok 4. Kontrol dari anggota kelompok dan pengambil kebijakan
Keterangan : *) tahun ke-2
Kebijakan yang diperlukan untuk mendukung tercapainya tujuan dan sasaran pengelolaan PBK adalah membina hubungan yang terus menerus dan seimbang dengan petugas pendamping serta menjalin kemitraan dengan lembaga terkait. Kemitraan yang terus menerus memungkinkan terjadinya proses transfer
119
teknologi dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan kepada pekebun sehingga mampu meningkatkan pendapatan dan produktivitas pekebun untuk terus menerus mengembangkan teknologi PHT. Pemberian insentif bagi pengelola kelompok dan anggota kelompok yang dikelola oleh koperasi perlu dilakukan.
Kontrol terhadap penerapan strategi
dilakukan oleh anggota kelompok pekebun dan pengambil kebijakan. Anggota kelompok
mengontrol
pencapaian
sasaran
dan
pengambilan
kebijakan,
mengevaluasi kelangsungan beberapa kelompok pekebun untuk mencapai perkebunan kakao berkelanjutan.
Stuktur Organisasi Berdasarkan altrnatif strategi pengelolaan PBK dapat dirumuskan struktur organisasi fungsional. Alternatif strategi pengelolaan terdiri dari : (1) peningkatan sumberdaya manusia, (2) pengembangan PHT PBK, (3) peningkatan mutu, (4) peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun, (5) dan efisiensi pasar. Peningkatan kompetensi/kualitas SDM dilakukan dengan meningkatkan proses transfer teknologi PHT yang berkaitan dengan pengolahan limbah, kultur teknis, konservasi musuh alami, agens hayati, pengumpulan dan analisis data PBK, peningkatan mutu biji kakao, kelembagaan pekebun, serta kemitraan dan analisis pasar. Peningkatan kapasitas kelembagaan dengan meningkatkan nilai-nilai gotong
royong
dan
penerimaan
insentif
diharapkan
dapat
mendorong
terlaksananya alokasi sumberdaya. Pascapanen dilakukan dengan mendorong penerapan standar mutu biji kakao diikuti dengan penggunaan sarana pascapanen yang memadai. Penyampaian produksi kakao ke pasar perlu dilakukan secara efisien dengan menekan pengeluaran jasa-jasa tak terduga selama penyampaian ke pasar. Alokasi sumberdaya berbentuk struktur organisasi pengelolaan fungsional disusun berdasarkan fungsi aktivitas seperti produksi, pemasaran, keuangan, penelitian dan pengembangan, dan sistem informasi (David 2002).
Alokasi
sumberdaya yang berkaitan dengan alternatif strategi dan bentuk struktur fungsional dapat dirumuskan menjadi fungsi-fungsi (1) sarana/prasarana produksi, (2) produksi, (3) pengendalian PBK, (4) Pasca Panen, (5) Pemasaran. Fungsi
120
pengelolaan PBK menjadi bagian dari fungsi-fungsi dalam struktur organisasi kelompok pekebun dalam bisnis kakao. Struktur organisasi kelompok pekebun dan peranan setiap fungsi-fungsi dijelaskan pada Gambar 27.
Ketua Kelompok Koperasi
Sarana/prasarana produksi
Pengendalian PBK
Produksi
Pasca Panen
Pemasaran
Analisis pasar
Kemitraan pasar
Pengolahan biji kakao
Mutu biji kakao
Evaluasi pengendalian
Keputusan pengendalian
Pengamatan dan analisis data
Konservasi musuh alami
Kultur teknis
Perbanyakan benih
Sarana prasarana kerja
Agens Hayati
Pengolahan limbah
Gambar 27 Struktur organisasi kelembagaan pekebun pengelolaan PBK. Pada Gambar 27 dikemukakan struktur organisasi terdiri dari Fungsi Sarana/prasarana produksi yaitu sub fungsi untuk menyediakan sarana kerja seperti alat perbanyakan agens hayati, alat panen, alat pangkas, alat semprot, parang, arit, sarana pengolahan biji kakao, dan gudang pengumpulan biji kakao, sarana pengolahan limbah, pupuk, pestisida bila diperlukan, gudang penyimpanan alat dan sarana produksi. Sub fungsi pengolahan limbah dan penyediaan agens hayati. Fungsi
Produksi
untuk
menyelenggarakan
proses
produksi
dan
pemeliharaan tanaman terdiri dari kegiatan pengadaan benih dan perbanyakan tanaman, kultur teknis seperti pemeliharaan tanaman kakao, pemeliharaan naungan, pemupukan, dan pengendalian gulma, dan konservasi musuh alami dengan mengembangkan dan menyediakan media untuk pertumbuhan dan perkembangan musuh alami di tanaman kakao.
121
Fungsi Pengendalian PBK terdiri dari sub fungsi pengumpulan dan analisis data, pengambilan keputusan pengendalian, dan evaluasi teknik pengendalian yang telah dilakukan. Pengumpulan dan analisis data merupakan salah satu tindakah preventif dalam PHT PBK, dan tindakan pengendalian diikuti dengan evaluasi penerapan teknik pengendalian untuk mengetahun efektifitas dan alternatif pengendalian yang tepat dengan minim dampak lingkungan. Fungsi pascapanen berperan untuk meningkatkan mutu biji kakao dan meningkatkan nilai tambah pekebun dengan cara melakukan pengolahan biji kakao. Peningkatan mutu yang dilakukan pekebun mengacu pada SNI 01-23232002 kakao antara lain tidak terdapat serangga hidup, biji berbau asap maksimum 7.5%, tidak berbau asing, biji pecah maksimum 2%, kotoran maksimum 2.5%, benda asing maksimum 0.2%, dan kotongan mamalia maksimum 0.1%. Pengolahan biji kakao dalam bentuk fermentasi belum menjadi kebiasaan pekebun kakao rakyat. Fermentasi dapat menjadi alternatif dalam meningkatkan nilai tambah bagi pekebun. Fungsi pemasaran terdiri dari menjalin kemitraan dengan pasar untuk mempersingkat mata rantai penyampaian produksi ke pasar. Untuk itu perlu dilakukan analisis pasar guna mengevaluasi dan meningkatkan pemasaran biji kakao. Aktivitas pemasaran bersama dapat meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya. Pemasaran bersama mendorong pemasaran produksi pertanian langsung ke konsumen sehingga pekebun memperoleh transparansi harga, pekebun memiliki posisi tawar yang tinggi dalam melakukan negosiasi harga. Pembelian sarana produksi secara bersama-sama dapat menekan biaya transportasi ke kebun (Mwakalobo 2000; D’Haese 2003). Dengan demikian kelembagaan sarana produksi dan pemasaran dapat meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya, menekan dampak, meningkatkan pendapatan, dan partisipasi pekebun dalam mendapatkan informasi harga dan menentukan mutu biji kakao pekebun. Sistem Kelembagaan Pengelolaan PBK Berdasarkan fungsi-fungsi yang perlu dilaksanakan dalam struktur organisasi pengelolaan PBK maka kelompok pekebun selaku pengguna
122
sumberdaya dan pengambil keputusan pengendalian, memerlukan kemitraan dan kontrol dengan lembaga terkait.
Lembaga Pengontrol Lembaga Penunjang lainnya
Lembaga Pendamping
Penyedia Sarana Produksi
Keterangan:
Aktor
Kelompok Pekebun
Pelaku Pasar
Pasca panen
Penunjang Produk kakao
Gambar 28 Sistem kelembagaan pengelolaan PBK.
Pada Gambar 28 dapat dilihat bahwa penanggung jawab utama pengelolaan PBK adalah kelompok Pekebun, penyedia sarana produksi, dan sistem pasar. Kelompok pekebun melakukan fungsi penyediaan sarana produksi, proses produksi dan pengendalian PBK, penanganan pasca panen, pemasaran, dan pengelolaan koperasi. Pelaku pasar adalah penyampaian biji kakao ke pasar yang terdiri dari pedagang pengumpul, eksportir, dan perusahan pengolahan biji kakao. Dengan demikian aktor pengelolaan PBK merupakan sistem kelembagaan perkebunan kakao yang terdiri dari kelompok pekebun dan swasta. Kelompok pekebun memproduksi sebagian sarana produksi dan melakukan proses produksi dan pengendalian PBK. Swasta melengkapi penyediaan sarana produksi dan penyaluran biji kakao ke pasar. Lembaga pekebun umumnya mengutamakan peningkatan pendapatan rumah tangga dan swasta mengutamakan keuntungan, sehingga perlu mengoptimalkan lembaga penunjang. Lembaga penunjang terdiri dari lembaga pendamping, pengontrol, dan penunjang lainnya (Lembaga pendanaan). Lembaga pendamping berperan dalam kelangsungan proses produksi kakao yaitu penyediaan teknologi dan infrastruktur.
123
Dengan demikian lembaga penunjang meliputi lembaga penyuluhan, lembaga penelitian/pengkajian
teknologi/perguruan
tinggi,
LSM,
dan
pemerintah
kecamatan. Lembaga penyuluhan berperan sebagai jembatan antara kelompok pekebun dengan Lembaga pengkajian/penelitian/Perguruan Tinggi dalam bentuk kemitraan transfer teknologi (Movahedi et al. 2007). Transfer teknologi meliputi teknologi sarana produksi, pengolahan limbah, eksplorasi agens hayati, konservasi musuh alami, produksi kakao, PHT PBK, pascapanen, dan pemasaran. Transfer teknologi juga diharapkan berlangsung terus
menerus,
sehingga dapat
memperbaharui ilmu dan pengetahuan pekebun. Lembaga pengontrol meliputi pengambil kebijakan seperti dinas-dinas yang berperan dalam memonitor dan mengevaluasi pengembangan dan penerapan PHT. Lembaga penunjang lainnya meliputi lembaga-lembaga pendanaan, bank, dan lembaga perkreditan. Koperasi diharapkan dapat berperan sebagai sumber pendanaan untuk pengelolaan insentif dan pembelian sarana produksi. Pemberian insentif bagi pengelolan kelompok pekebun, merupakan salah pengikat individu dalam kelompok pekebun. Peran kontrol dilakukan oleh ketua kelompok bersama-sama dengan anggota kelompok pekebun dan pengambil kebijakan.
Pengambil kebijakan
melakukan kontrol dalam skala luas dan beberapa kelompok pekebun. Peran pengambil kebijakan adalah untuk menciptakan keselarasan antar kelompok pekebun, serta mendorong tercapainya visi dan misi perkebunan kakao secara keseluruhan.
Kesimpulan Bentuk pengelolaan PBK untuk mencapai visi perkebunan kakao rakyat berkelanjutan dalam menghasilkan produk biji kakao yang memiliki keunggulan kompetitif di pasar global, melingkupi pengelolaan perkebunan dari penyediaan sarana produksi, penanganan pasca panen, pemasaran, serta bermitra dengan lembaga-lembaga terkait. Strategi utama pengelolaan PBK adalah peningkatan SDM pekebun untuk mampu melakukan pengelolaan perkebunan sebagai suatu kegiatan bisnis dengan mengintegrasikan lembaga-lembaga penyedia sarana
124
produksi dan pemasaran.
Kelembagaan pengelolaan PBK bermitra dengan
lembaga penunjang yaitu lembaga pendamping, pengontrol, dan penunjang lainnya pengelolaan PBK. Lembaga yang terkait cukup kompleks dan memiliki fungsinya sendiri, sehingga perlu diketahui bentuk keterkaitan kelembagaan pekebun dengan lembaga-lembaga penunjang.
Daftar Pustaka Agrawal A. 2003. Sustainable Governance of Common-Pool Resources: Context, Methods, and Politics. Annu Rev Anthropol 32:243–62 Campbell B, Godoy RA. 1986. Commonfield Agriculture :The Andes and Medieval England. Proceeding of the Conference Common on Property Resource Management. Washington DC: National Academy Press. David FR. 2002. Manajemen Strategi: Konsep. Sindoro A, penerjemah. Jakarta: PT. Prenhallindo. Terjemahan dari: Concepts of Strategic Management. D’Haese M, Verbeke W, Van-Huylenbroeck G. Kirsten J, D’Haese L. 2003. Institutional Innovation to Increase Farmers’ Revenue: A Case Study of Small Scale Farming in Sheep Transkei Region, South Africa. Proceedings of the 25th International Conference of Agricultural Economists (IAAE), 16 – 22 August. Durban, South Africa. Erickson SP, Akridge JT, Barnard FL, Downey WD. 2002. Agribusiness Management 3th ed. Erickson KM, editor. New York: McGraw Hill. Heizer J, Render, B. 2004. Operation Management, 7th ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Hunger JD, Wheelen TL. 2003. Managemen Strategis. Agung J, penerjemah. Yogyakarta: Penerbit Andi. Terjemahan dari: Strategic Management. Kolawole O, Aladejinokum OA. 2006. Resource-Use and Technical Efficiency of Small Holder Cocoa Producers in Ondo State, Nigeria : A Stochastic Frontier Analysis. Agricultural Journal 1(4): 211-215. Mikkelsen B. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Matheos Nalle, penerjemah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Methods for Development Work and Research- A Guide for Practitioners. Movahedi R, Chizari M, Breazeale D. 2007. Perceptions of Extension Agents and Researchers Concerning the Effectiveness of Joint Extension-Research Plans in Lorestan and Kermanshah Provinces, Iran. Journal of Agricultural Education and Extension 13 (4):301-310. Mowo et al. 2006. Soil Fertility Evaluation and Management By Smallholder. Agriculture, Ecosystems & Environment 116 (1-2): 47-59
125
Mwakalobo ABS. 2000. Resource Productivity and Allocation Efficiency In Smallholder Coffee Farmers In Rugwe District, Tanzania. The AGREST Conference Proceeding Series, Vol. 4. Tanzania. Ostermeier DM. 1999. The Role Institution in Ecosystem Management. Di dalam: Ecosystem Management for Sustainability. Paine JD, editor. New York: Lewis Publisher. Wollenberg E, Anderson J, Edmunds D. 2001. Pluralism and the Less Powerful : Accomodating Multiple Interests in Local Forest Management. Int J Agricultural Resources, Governance, and Ecology 1(3/4).
126
Contents 6. BENTUK PENGELOLAAN PENGGEREK BUAH KAKAO Conophomorpha cramerella Snellen (PBK) DI KABUPATEN KOLAKA ....................................... 98 ABSTRAK ............................................................................................................ 98 PENDAHULUAN ................................................................................................. 99 METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................... 101 Metode Pengumpulan Data .................................................................................. 102 Jumlah Pakar ....................................................................................................... 102 HASIL 104 Prioritas Faktor Internal ...................................................................................... 104 Prioritas Faktor Eksternal .................................................................................... 107 Alternatif Strategi ................................................................................................ 110 PEMBAHASAN 115 Pengambil Kebijakan ............................................... Error! Bookmark not defined. KESIMPULAN 123 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 124 Sayre S. 2001. Qualitative Methode for Marketplace Research. London-New Lembaga pengontrol Lembaga pendamping Delhi: Sage Publications. ......................................... Error! Bookmark not defined.
Penyedia sarana produksi: - Perusahan benih kakao - Kios pengecer pestisida dan pupuk
Kelompok Pekebun
Sistem Pasar
Ketua Kelompok Koperasi
JUDUL 4 KELEMBAGAAN PENUNJANG PENGELOLAAN PBK Abstrak Kelembagaan penunjang berperan penting dalam meningkatkan peran kelembagaan pekebun pengelolaan PBK. Analisis kelembagaan menggunakan ISM (Interpretative Structural Modelling). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara terhadap 10 orang pakar dan pemanfaatan data sekunder. Pakar ditentukan secara semi terstruktur. Hasil analisis menunjukan bahwa kendala utama pengelolaan PBK adalah belum teraktualisasikannya nilai-nilai sosial dan belum terbentuknya pengawas pestisida dan pupuk. Kegiatan yang diterlukan adalah pengembangan PHT PBK dan pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida dan pupuk. Indikator yang digunakan adalah terbentuknya PHT PBK, serangan PBK menurun, dan kualitas hidup pekebun meningkat. Lembaga yang berperan penting dalam pengelolaan PBK adalah Dinas Perkebunan, Pemerintah Kecamatan, dan Balai Penyuluhan Pertanian. Kata kunci: Kelembagaan, pengelolaan PBK, ISM (Interpretative Structural Modeling) Abstrak The supporting institutional management of CPB was important to improve the instituonal famers. The supporting institutional analysis used ISM (Interpretative Structural Modeling). The data collection was conducted with a technique of interview involving 10 experts. The experts were determined in a semi-structured way. The analysis result showed that The main constraint faced was the limited experience of sub-elements in togetherness values and control of related institution. The main need of the program was the search for the technological program of CPB control and development and supervision of circulation/usage of production facilities. In this case, the availability of PHT CPB, the improvement of the knowledge and skill of plantation workers, and the decrease of the attack level of CPB were the key sub-elements in assessing the success of the program. The key sub-elements on the elements of related supporting institutions were Plantation Agency, Subdistrict Goverment, and Agricultural Extention Service. Key Words: Institution, Management CPB, ISM (Interpretative Structural Modeling) Pendahuluan Sebagaimana
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan
dan
pengendalian hama terpadu, maka penerapan strategi pengelolaan PBK
127
memerlukan partisipasi pekebun dan pengawalan pihak-pihak terkait secara terus menerus.
Untuk itu diperlukan suatu wadah yang bersifat permanen dan dapat
berperan secara alamiah dalam memfasilitasi para individu yang berkepentingan. Individu-individu yang ada di dalamnya memerlukan suatu keterikatan yang disepakati bersama dan bermanfaat secara adil. Keterikatan individu dapat dalam bentuk
kesamaan
tujuan,
latarbelakang,
maupun
sharing
keuntungan.
Individu/kelompok yang dipersatukan suatu kaidah atau aturan yang disepakati bersama untuk mencapai suatu tujuan tertentu diwujudkan dalam bentuk kelembagaan (Chikozho 2005). Kelembagaan terdiri dari kelembagaan formal dan informal yang mengantar individu-individu yang terlibat di dalamnya untuk mampu menggali permasalahan yang dihadapi
dan mengorganisasikannya ke
dalam struktur organisasi guna merespon masalah yang dihadapi (Stankey et al. 2005). Kelembagaan diperlukan untuk meningkatkan posisi tawar pekebun dalam menentukan harga produk pertanian dan memperoleh pendapatan yang berkeadilan, meningkatkan efisiensi matarantai pemasaran sehingga dapat menekan biaya lain-lain selama proses penyampaian, serta meningkatkan efektifitas penyampaian produk (D‟Haese et al. 2003). Leach dan Farhead (2001) mengatakan bahwa berdasarkan legalitas aturan dan ukurannya, kelembagaan dapat dibedakan atas kelembagaan formal dan kelembagaan informal dan atas ukuran: mikro, meso, dan makro. Aturan formal berkaitan dengan hukum formal seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, kebijakan atau aturan formal lainnya. Aturan informal berkaitan dengan nilai-nilai, norma-norma perilaku masyarakat, budaya, agama, dan tradisi. Aturan formal dan informal mendasari struktur interaksi antar inidividu. Berdasarkan ukuran atau hierarki kelembagaan maka ukuran mikro dapat berbentuk kelompok/gabungan kelompok pekebun, lembaga tingkat kecamatan. Kelembagaan meso dapat berupa lembaga tingkat kabupaten dan provinsi. Kelembagaan makro akhirnya dapat berbentuk lembaga tingkat nasional. Untuk mengefektifkan peranannya, maka kelembagaan dilandasi oleh adanya 1) aturan formal dan informal yang disepakati bersama (Chicozho 2005; (Leach dan Fairhead 2001), 2) tujuan yang didasari oleh komitmen yang sama, saling percaya dan memahami kemampuan masing-masing (Chicozho 2005), 3)
128
struktur organisasi dan prosedur kerja penggunaan sumberdaya (Leach dan Fairhead 2001), dan 4) dukungan kelembagaan penunjang yang berperan sebagai pengontrol, pemberi sanksi (Chicozho 2005; Ostorm 1999) dan penyedia jasa (Saragih 2000). Aturan-aturan yang disepakati menjadi instrumen bagi anggota untuk mencapai tujuan.
Umumnya anggota yang terlibat memiliki tujuan untuk
memenuhi kebutuhan dan meminimalkan ketidakpastian yang dihadapi dengan membentuk struktur organisasi atau prosedur kerja.
Suatu kelembagaan juga
memerlukan kontrol dan dukungan lembaga terkait sehingga dapat berjalan secara efektif. Dengan demikian maka kelembagaan pengelolaan PBK merupakan aturan-aturan dalam bentuk kebijakan perlindungan dan nilai-nilai yang dimiliki pekebun
yang
mendasari
pengembangan
prosedur-prosedur,
teknologi
pengendalian, strategi pengelolaan PBK yang disepakati oleh pekebun dan lembaga penunjang untuk mencapai perkebunan kakao berkelanjutan. Untuk itu perlu dirancang suatu bentuk sinergi antara kelembagaan pekebun dan penunjang agar kelembagaan pekebun dapat berjalan secara efektif. Kelembagaan yang efektif dapat mendorong penggunaan sumberdaya secara berkelanjutan (Chicozho 2005), yaitu mendorong (1) efisiensi penggunaan sumberdaya, (2) transfer teknologi, (3) peningkatan nilai tambah, dan (4) pemerataan dan keadilan (Mwakalobo 2000). Pembelian sarana produksi secara bersama-sama
meningkatkan
efisiensi
penggunaan
sumberdaya
karena
mempersingkat mata rantai yang menghubungkan pekebun dengan kios sarana produksi sehingga menekan biaya-biaya jasa dan meningkatkan keunggulan kompetitif (Mwakalobo 2000). Proses transfer teknologi dapat berjalan efektif apabila dilakukan secara bersama-sama dalam suatu kelompok (D‟Haese et al. 2003). Kebersamaan dalam bentuk lembaga dapat mendorong masyarakat untuk menggali
dan
mengembangkan
teknologi
PHT.
Kelembagaan
pekebun
memudahkan pelaksanaan program atau kebijakan pemerintah atau berinteraksi dengan lembaga-lembaga keuangan (Chikozho 2005). Proses transfer yang efektif dapat mendorong adopsi teknologi sehingga dapat meningkatkan nilai tambah produk kakao. Demikian pula dengan terbentuknya kelembagaan yang efektif dapat memperkecil ruang gerak free rider
129
yang cenderung mengambil keuntungan dari proses distribusi dan pemasaran produksi. Kelembagaan mendorong pemberdayaan masyarakat setempat dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam (Chikozho 2005; Ostermeier 1999) sehingga dapat menciptakan keadilan dan pemerataan bagi stakeholder. Kelembagaan pengelolaan PBK jika dikaitkan dengan ukuran dan legalitas kelembagaan meliputi kelembagaan pekebun dan penunjang.
Kelembagaan
pekebun meliputi kelompok pekebun dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang bersifat informal. Pembentukan pengurus didasari oleh kesepakatan antar anggota
dan
setiap
anggota
memiliki
kontribusi
yang
sama
untuk
mengembangkan kelompok. Biasanya setiap individu anggota mempunyai latar belakang yang sama seperti letak lahan yang berdekatan, adanya hubungan kekerabatan, atau tempat tinggal yang berdekatan Kelembagaan penunjang (supporting institution) meliputi lembaga penyedia jasa bagi penggunaan sumberdaya yang meliputi jasa teknologi, kontrol penggunaan sumberdaya, penyuluhan pertanian, koperasi, asuransi, atau jasa perbankan (Saragih 2000; Ricketts dan Ricketts 2009).
Lembaga penunjang
memiliki aturan dan tugas/fungsi dan pembentukannnya berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang seperti bupati, gubernur dan menteri. Lembaga penunjang meliputi lembaga swasta dan pemerintahan.
Lembaga
penunjang memiliki tanggung jawab terhadap kelestarian ekologi, pembangunan ekonomi, dan kestabilan sosial mayarakat dengan menyediakan jasa teknologi, infrastruktur dan kontrol penggunaan sumberdaya berdasarkan kewenangan yang dimiliki (Stoker 1998). Pada tingkat kecamatan lembaga penunjang meliputi Pemerintah Daerah Kecamatan, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pemerintah Daerah Kecamatan berperan dalam kebijakan dan kontrol penggunaan sumberdaya, BPP berperan dalam pendampingan kelompok pekebun. BPP dilengkapi dengan petugas penyuluh pertanian yang berperan serbagai jembatan antara kelompok pekebun dengan lembaga penelitian (D‟Haese et al. 2003) (Tabel 16).
130
Tabel 16 Jenis lembaga pengelolaan PBK menurut legalitas dan ukuran No 1.
Ukuran Mikro
2.
Meso
3.
Makro
Legalitas formal Informal - Petugas pendamping di - Kelompok pekebun tingkat desa dan kecamatan - Gabungan kelompok tani - Lembaga penunjang di (Gapoktan) Kecamatan - Lembaga-lembaga penunjang tingkat kabupaten dan provinsi - Lembaga-Lembaga penunjang tingkat nasional
Sumber : Adopsi dari Leach dan Farhead (2001)
Pada tingkat kabupaten antara lain adalah Pemerintah Kabupaten, Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, Dinas perindustrian/Perdagangan/Koperasi/UKM, Penyedia sarana produksi, eksportir kakao. Pemerintah
Provinsi,
Dinas
Perindustrian/Perdagangan,
Dinas
Perkebunan,
Pada tingkat provinsi terdapat Dinas
Koperasi/UKM,
Kehutanan,
Balai
Pengkajian
Dinas dan
Penerapan Teknologi Pertanian (BPTP)/Perguruan Tinggi yang berperan dalam transfer teknologi, dan Asosiasi Kakao. Peran kelembagaan penunjang belum dirasakan secara optimal oleh pekebun. Peranan setiap lembaga masih bersifat sektoral terlihat dari programprogram yang dilaksanakan belum terintegrasi antar lembaga. Program-program memerlukan kontrol dan evaluasi/kontrol sehingga dapat dirasakan tepat sasaran dan tujuan. Evaluasi juga diharapkan dapat memacu kesinambungan program. Berdasarkan uraian di atas maka diperlukan suatu desain kelembagaan penunjang pengelolaan PBK untuk dapat mencapai penggunaan sumberdaya efisien dan aman bagi lingkungan, memberi nilai tambah bagi pekebun, dan adil bagi pekebun dan pihak-pihak terkait. Desain kelembagaan penunjang diharapkan dapat menjadi acuan bagi pekebun dan lembaga terkait dalam penyediaan dan penggunaan sumberdaya serta peningkatan peran kontrol pengelolaan PBK. Untuk itu perlu dirancang desain kelembagaan penunjang pengelolaan PBK sesuai prinsip-prinsip PHT dan tujuan perkebunan berkelanjutan.
131
Metodologi Penelitian
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka, interview dan wawancara pada stakeholder yang berperan dalam pengelolaan PBK. Interview dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam (Sayre 2001) dan untuk merumuskan atribut-atribut yang dijadikan sebagai elemen dan sub elemen kelembagaan dalam pengelolaan PBK.
Teknik wawancara dilengkapi dengan
kuisioner dengan pertanyaan tertutup guna mendapatkan informasi tingkat kepentingan setiap sub elemen.
Jumlah Pakar Pakar ditentukan berdasarkan wawasan, fungsi, dan kepedulian (Mikkelsen 2003) termasuk terhadap pengelolaan PBK. Jumlah responden adalah 10 orang yang ditentukan secara semi terstruktur yaitu mewakili pakar pengelolaan PBK di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan.
Analisis Data Analisis desain kelembagaan menggunakan metode Interpretatif Structural Modelling (ISM).
Metode ISM adalah proses pengkajian kelompok (group
learning process) untuk menghasilkan model struktural guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem melalui pola yang dirancang menggunakan grafis atau kalimat. Kegiatan dapat dibagi menjadi sembilan elemen yaitu (1) masyarakat yang terkena rencana kegiatan, (2) kebutuhan kegiatan, (3) kendala utama, (4) perubahan yang dimungkinkan, (5) tujuan kegiatan, (6) tolok ukur untuk menilai setiap kegiatan, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran aktivitas, dan (9) lembaga yang terkait (Saxena 1992). Elemen utama dan sub elemen yang akan dianalisis berdasarkan hasil brainstorming dan analisis kondisi eksisting perkebunan kakao di lokasi penelitian.
Keterkaitan sub elemen ditentukan structural self-interction matrix
(SSIM) menggunakan simbol V, A, X, dan O yaitu : V adalah eij = 1 dan eji = 0; A adalah eij = 0 dan eji = 1. X adalah eij = 1 dan eji = 1; O adalah eij = 0 dan eji = 0
132
Simbol 1 terdapat hubungan kontekstual antara elemen “i” dan “j” dan simbol O tidak terdapat hubungan kontekstual antara elemen “i” dan “j” dan sebaliknya. Hasil identifikasi hubungan dibuat reachability matrix (RM) dengan mengganti V, A, X, dan O dengan bilangan 1 dan 0, kemudian dilakukan perhitungan menurut aturan transivity untuk dianalisis lebih lanjut.
D R I V E R P O W E R
11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
INDEPENDENT
LINKAGE
AUTONOMOUS
1
2
3 4 5 DEPENDENCE
DEPENDENT
6
7
8
9
10
11
Gambar 29 Matriks hubungan DP-D elemen.
Sub elemen dapat diplotkan ke dalam empat sektor yaitu elemen kunci diagram struktur dan matriks dalam bentuk Driver Power (DP) dan Dependence (D) yang menggambarkan klasifikasi subelemen ke dalam empat sektor. Sektor 1
:
Weakdriver-weak dependent variables (autonomous) menunjukan seluruh peubah tidak atau sedikit berkaitan dengan sistem.
Sektor 2
:
Weak driver-strongly dependent menunjukan peubah tidak bebas
Sektor 3
:
Strong driver-strongly dependent variables (linkage) menunjukan hubungan antar peubah tidak stabil
Sektor 4
:
Strong driver-weak dependent variables (independent) merupakan peubah bebas.
variables
(dependent)
133
Hasil
Kendala yang Dihadapi Berdasarkan hasil analisis internal eksternal maka kendala yang dihadapi meliputi keterbatasan : (1) Infrastruktur, (2) peran lembaga perkreditan, (3) SDM pekebun, budaya
(4) Ketersediaan saprodi, (5) benih bermutu/tahan PBK, (6) Sosial (nilai-nilai
kegotongroyongan),
(7)
Pengawasan
peredaran
dan
penggunaan pupuk dan pestisida (8) Informasi/fluktuasi harga kakao, (9) kelembagaan petani, (10) PHT PBK, (11) kondisi biofisik, dan (12) Partisipasi/sinergi antar lembaga terkait. Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya kondisi sumberdaya pekebun dan belum teraktualisasikannya nilai-nilai gotongroyong dalam menunjang partisipasi pekebun dalam kelembagaan pekebun. Kelembagaan pekebun belum berperan optimal dalam menghambat pengembangan PHT PBK. Demikian pula kendala sarana produksi seperti ketersediaan pupuk/pestisida serta benih bermutu/tahan PBK, dan infrastruktur.
Pekebun cenderung mengharapkan
bantuan sarana produksi dan pekebun belum mampu secara mengembangkan PHT PBK.
mandiri
Lembaga penunjang seperti lembaga keuangan,
partisipasi lembaga terkait lainnya dan akses informasi harga turut memberi andil dalam rendahnya pendapatan pekebun.
Infrastruktur
Koperasi
SDM pekebun
Ketersediaan Saprodi
Fluktuasi harga
Kondisi biofisik
Benih bermutu/ tahan PBK
Sosial budaya pekebun
Pengawasan pestisida/ pupuk
Kelembagaan pekebun
Ketersediaan PHT PBK
Koordinasi
Gambar 30 Struktur ISM VAXO keterkaitan tolok ukur kendala yang dihadapi.
Pada Gambar 30 dijelaskan hasil analisis ISM VAXO terhadap tolok ukur kendala yang dihadapi menunjukan sub elemen benih sehat/tahan PBK, sosial budaya berupa nilai-nilai kegotongroyongan, pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida dan pupuk, kelembagaan petani, serta pengembangan PHT
134
PBK merupakan kendala utama. Nilai-nilai kegotongroyongan belum melandasi partisipasi pekebun dalam kelembagaan pekebun.
Kendala sosial dan
kelembagaan pekebun menyebabkan terhambatnya pengembangan PHT PBK. Diikuti pula oleh belum optimalnya peran kontrol lembaga terkait sehingga sumberdaya yang tersedia belum dimanfaatkan secara baik. Berdasarkan matriks hubungan DP-D Elemen tolok ukur kendala yang dihadapi, maka kendala yang sangat kuat mempengaruhi kinerja pengelolaan PBK adalah aspek sosial budaya seperti aktualisasi nilai-nilai kegotongroyongan dan belum optimalnya pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida. Sub elemen nilai-nilai sosial budaya dimiliki oleh pekebun yang mendasari pengembangan partisipasi dan pembentukan kelembagaan pekebun (Gambar 31). Pengawasan peredaran pestisida/pupuk meliputi pengawasan terhadap mutu pestisida/pupuk, kesehatan pekebun dan organisme non sasaran, keamanan produk dan lingkungan.
5
Independen
0
1
6
4
7
3
5, 9, 10
2
2
Linkage
3
Autonomous 3
4
5
Dependent 1, 2, 1 4, 11, 12
8
0
Gambar 31 Matriks hubungan DP-D elemen tolok ukur kendala yang dihadapi. Hasil analisis Struktur
ISM VAXO dan Matriks Hubungan DP-D
menunjukan bahwa kendala utama yang dihadapi adalah masih terhambatnya aktualisasi nilai-nilai sosial seperti kegotongroyongan dalam melakukan gerakan pengendalian PBK dan belum optimalnya peran pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida. Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan peningkatan kapasitas kelompok pekebun dan perlunya koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait untuk membentuk komisi pengawasan dan peredaran pestisida.
135
Kebutuhan Kegiatan Berdasarkan identifikasi kegiatan dan kebutuhan kegiatan terkait pengelolaan PBK, maka disusun desain kebutuhan kegiatan sehingga dapat memudahkan penentuan prioritas dan pengembangan kegiatan.
Kebutuhan
kegiatan meliputi : 1) Pengadaan infrastruktur, 2) pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida/pupuk, 3) kontrol mutu pascapanen, 4) sertifikasi bernih bermutu/tahan PBK, 5) pelatihan peningkatan SDM pekebun, 6) pembinaan pemanfaatan limbah, 7) pembinaan koperasi, 8) standarisasi teknologi PHT, 9) pemantauan dampak lingkungan, 10) efisiensi rantai pemasaran, 11) peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun, 12) koordinasi antar lembaga, dan 13) kerjasama antar negara. Struktur ISM VAXO menunjukan sub elemen kunci kebutuhan kegiatan pengelolaan PBK adalah pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida/pupuk, dan transfer teknologi PHT PBK. Sarana produksi meliputi pupuk dan pestisida organik dan anorganik, dan benih bermutu.
Transfer teknologi PHT PBK
memiliki keterkaitan dengan sub elemen kegiatan pembinaan mutu pascapanen dan pemasaran, sertifikasi bibit tahan PBK, dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun.
Infrastruktur
Pemanfaatan limbah
Koperasi
Pemantauan Dampak lingkungan
Penataan ruang
Rantai pemasaran
Kelembagaan pekebun
Koordinasi
Level 3
Level 2
Level 1
Benih bermutu/ tahan PBK
Standarisasi mutu
Pengawasan pestisida/ pupuk
Peningkatan SDM
PHT PBK
Gambar 32 Struktur ISM VAXO keterkaitan tolok ukur kebutuhan kegiatan.
Ketersediaan PHT PBK sangat didukung oleh ketersediaan sarana produksi termasuk bibit tahan PBK,
peningkatan nilai tambah dalam bentuk
peningkatan mutu dan sistem pemasaran kakao yang efisien.
Ketersediaan
136
teknologi juga perlu didukung oleh kemampuan dan pengetahuan pekebun untuk menggali potensi lokal sehingga mampu memformulasi suatu bentuk teknologi yang dapat diterima secara ekologi, sosial dan ekonomi (Gambar 33). Pada Matriks Hubungan P-D Elemen Kebutuhan Kegiatan terlihat bahwa sub elemen pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida/pupuk, penggunaan bibit bermutu/tahan PBK,dan transfer teknologi PHT PBK memiliki sifat bebas dan memiliki kekuatan yang cukup untuk mendorong kinerja pengelolaan PBK.
9 2
8
Independent
Linkage
7 6
4 0
1 8
Autonomous 12, 13
5 2
3
4
5
3
3
2
1, 6
7,1 9
4
5
6
7
Dependent 11
10
0
Gambar 33 Matriks hubungan P-D elemen tolok ukur kebutuhan kegiatan.
Sub elemen penyediaan informasi pasar berada pada sektor dependent. Kedua sub elemen itu memerlukan dukungan sub elemen lain agar berkontribusi pada kinerja pengelolaan PBK. Sub elemen pengadaan infrastruktur, pembinaan peningkatan mutu pascapanen dan pemasaran, pelatihan peningkatan SDM terampil, pembinaan pemanfaatan limbah, koperasi, penyediaan teknologi, Informasi dampak lingkungan, peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun, kerjasama lintas sektoral, dan kerjasama antar negara berada pada sektor autonomous. Sub elemen pada sektor autonomous belum cukup kuat mendorong kinerja pengelolaan PBK, walaupun setiap sub elemen memiliki ketergantungan yang rendah terhadap sub elemen lainnya. Sub elemen pada sektor autonomous diharapkan dapat mendorong sub elemen pengawasan peredaran dan penggunaan sarana produksi dan bibit tahan PBK yang berada pada sektor independent dan
137
Sub elemen partisipasi penataan ruang dan akses informasi pasar yang berada pada sektor dependent. Berdasarkan Struktur ISM VAXO dan Matriks Hubungan P-D Elemen maka sub elemen kunci adalah sertifikasi bernih bermutu/tahan PBK, pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida/pupuk, dan transfer teknologi.
Transfer
teknologi berkaitan dengan monitoring dan evaluasi PHT PBK serta peningkatan SDM pekebun dan peningkatan mutu biji kakao. Ketersediaan sarana produksi dalam waktu yang tepat, jumlah yang cukup, mutu baik dan terjangkau menjadi pendorong utama dalam penerapan PHT PBK antara lain karena rata-rata umur tanaman kakao melewati masa produksi maksimal dan penggunaan naungan yang sangat yang terbatas.
Tanaman banyak terlihat merana, sehingga kebutuhan
saprodi menjadi pilihan untuk memulihkan kondisi tanaman. Sarana produksi yang dibutuhkan antara lain bibit sehat/tahan PBK, pupuk, dan pestisida bila diperlukan serta pengawasan standarisasi biji kakao.
Kegiatan-kegiatan yang
diperlukan mulai dari penyediaan sarana produksi sampai penanganan pasca panen, sehingga pelatihan yang dibutuhkan seyogyanya dikaitkan dengan hal tersebut.
Tolok Ukur Untuk Menilai Keberhasilan Berdasarkan kebutuhan kegiatan pengelolaan PBK maka tolok ukur untuk menilai keberhasilan program pengelolaan PBK adalah : 1) peran kontrol optimal, 2) ekosistem stabil (keanekaragaman musuh alami dan naungan tinggi, 3) pemasaran efisien, 4)
benih bermutu/tahan PBK tersedia, 5) kapasitas
kelembagaan pekebun meningkat, 6) pendapatan pekebun meningkat, 7) kualitas hidup pekebun dan petugas meningkat, 8) Tingkat serangan PBK menurun, 9) standarisasi PHT PBK, 10) biji kakao mengacu standar mutu, 11) dampak pengendalian PBK terhadap lingkungan menurun, 12) infrastruktur tersedia. Gambar 34 hasil analisis ISM VAXO menunjukan bahwa sub elemen kunci tolok ukur keberhasilan program adalah terbentuknya PHT PBK yang dapat dilaksanakan oleh
pekebun.
PHT
PBK
berkaitan dengan kemampuan
mengembangkan benih sehat/tahan PBK yang terdapat di kebun, tingkat serangan
138
PBK menurun, serta peningkatan pendapatan dan kualitas hidup pekebun, dan peningkatan kualitas hidup pekebun.
Peran kontrol optimal
Level 3
Level 2
Peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun
Benih bermutu/ tahan PBK
Biji kakao bermutu
Pendapatan meningkat
Rantai pemasaran efisien
Dampak lingkungan terkendali
Infrastruktur tersedia
Kualitas hidup pekebun
Serangan PBK menurun
Standarisasi PHT PBK
Level 1
Gambar 34
Ekosistem stabil
Struktur ISM VAXO keterkaitan tolok ukur untuk menilai keberhasilan.
Sub-elemen tertatanya perkebunan kakao dan peran kontrol lembaga terkait, ekosistem stabil, pemasaran efisien, peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun, meningkatnya mutu biji kakao yang dihasilkan pekebun, berkurangnya dampak pengendalian PBK terhadap lingkungan, dan tersedianya infrastruktur dan sistem budidaya yang berorientasi lingkungan memiliki keterkaitan dengan sub elemen Level 2. Analisis matriks hubungan DP-D menunjukan sub-elemen kualitas hidup pekebun, penurunan tingkat serangan PBK, dan kemampuan pengembangan PHT PBK terletak pada sektor independent. Ketiga sub elemen memiliki kekuatan pendorong yang cukup kuat untuk meningkatkan kinerja pengelolaan PBK. Setiap sub elemen bersifat bebas sehingga dapat terlaksana tanpa bergantung pada sub elemen lainnya. seringkali
dimanfaatkan untuk
pengembangan PHT.
Peningkatan pendapatan pekebun
kebutuhan rumah tangga,
bukan untuk
Oleh karena itu peningkatan pendapatan perlu diikuti
dengan peningkatan kualitas hidup pekebun.
139
8 10
7
Independent 9
5 8
0
1
2
4 3
4
5
3
Autonomous 5
Linkage
6
7
1, 3, 11, 12, 14
6
7
Dependent
2 21
6, 13
4
0
Gambar 35 Matriks hubungan DP-D elemen tolok ukur keberhasilan program. Sub elemen standarisasi sistem pasar, pemberdayaan kelembagaan pekebun, dan penyediaan infrastruktur berada pada sektor dependent, yaitu memiliki ketergantungan dengan sub elemen lain untuk mendorong kinerja pengelolaan PBK. Terlaksananya efisiensi penyampaian produk kakao ke pasar, peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun, dan penyediaan infrastruktur fisik perlu diintegrasikan dengan tolok ukur lainnya untuk menilai kinerja pengelolaan PBK. Peran partisipasi pekebun memerlukan peran pemantauan dan evaluasi. Transparansi informasi pasar juga perlu didukung oleh standarisasi mutu biji kakao sehingga dapat memberi peningkatan pendapatan bagi pekebun. Berdasarkan analisis Struktur ISM VAXO dan Matriks Hubungan DP-D maka sub elemen kunci adalah tersedianya standar PHT PBK. Adanya PHT PBK dapat menurunkan tingkat serangan PBK, meningkatkan pendapatan, dan kualitas hidup
pekebun.
Peningkatan
pengetahuan/keterampilan,
kualitas
kesehatan,
hidup
dan
pekebun
produktivitas
mengembangkan PHT PBK secara terus menerus.
terkait
dengan
pekebun
dalam
Menurut Orr dan Ritchie
(2004) PHT yang layak berbiaya murah, efisien menggunakan tenaga kerja, mudah dilaksanakan, pekebun meyakini keberhasilan PHT PBK.
Lembaga Terkait Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, kebutuhan kegiatan, dan tolok ukur penilaian kegiatan, maka kelembagaan penunjang pengelolaan PBK yang terlibat adalah lembaga yang berperan dalam sertifikasi benih bermutu/tahan PBK,
140
monitoring tingkat serangan PBK, pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida dan pupuk, perumusan standar PHT PBK, dan peningkatan kualitas hidup pekebun. Mengacu pada kewenangan yang dimiliki dan permasalahan yang dihadapi maka Lembaga terkait adalah : 1) Badan Pertanahan, 2)Lembaga Perkreditan, 3) Pemerintah Daerah, 4) Dinas Perkebunan Kabupaten, 5) Dinas Pekerjaan Umum, 6) Perusahaan Produksi Benih, 7) Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan 8) Lembaga Penelitian/Balai Pengkajian/ Perguruan Tinggi dan Penerapan Teknologi Pertanian, 9) Kelompok Pekebun, 10) Lembaga Swadaya Masyarakat, 11) Asosiasi kakao, 12) Balai Penyuluh Pertanian (Gambar 36).
Badan Pertanahan
Dinas Pekerjaan Umum
Lembaga Perkreditan
Lembaga Swadaya Masyarakat
Asosiasi Kakao
Level 4
Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan
Level 3
Perusahan/ pelaku produksi benih
Level 2
Level 1
LP/BPTP/PT
Balai Penyuluhan
Kelompok Pekebun
Pemerintah Daerah
Dinas Perkebunan
Gambar 36 Struktur ISM VAXO tolok ukur keterkaitan antara lembaga
Berdasarkan struktur keterkaitan antar lembaga sub elemen kunci dalam pengelolaan PBK adalah Dinas Perkebunan Kecamatan yang berperan dalam perumusan standar teknis dan monitoring/evaluasi PHT PBK. Dinas Perkebunan memiliki keterkaitan dengan Balai Penyuluhan dan Pemerintah Daerah. Dinas Perkebunan Kecamatan, bernaung petugas Pengamat Hama Penyakit (PHP) yang berfungsi dalam pemantauan dan analisis OPT, kemudian disampaikan sebagai informasi ilmiah bagi PPL dan pemerintah desa/kecamatan untuk mendorong partisipasi pekebun dalam mengembangkan dan menerapkan PHT PBK.
141
9 5
8
Independent
Linkage
7 6
0
13
4
1 10
2 9
5 3
4
4
5
6
3
Autonomous
7
Dependent
32 1, 11
2
1
12
7
6, 8
0
Gambar 37 Matriks hubungan DP-D elemen tolok ukur lembaga terkait.
Gambar 37 disajikan Matriks Hubungan DP-D Elemen lembaga terkait yaitu Dinas perkebunan Dinas Perkebunan, pemerintah daerah, Balai Penyuluhan, Kelompok Pekebun, dan Lembaga Penelitian/Pekebun berada pada sektor independent. Sub elemen yang berada pada sektor ini memiliki kekuatan pendorong yang cukup kuat terhadap kinerja pengelolaan PBK.
Sinergi
Keterkaitan lembaga tersebut terhadap kelompok pekebun untuk mendorong transfer
teknologi,
pengembangan
dan
penerapan
PHT
PBK,
dan
monitoring/evaluasi penerapan PHT PBK. Sub elemen Dinas Pekerjaan Umum, Perusahaan Produksi Benih, Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan, serta Asosiasi Pedagang Kakao berada pada sektor dependent.
Sub elemen yang berada pada sektor dependent
merupakan variabel yang tidak bebas dan kontribusinya sangat tergantung pada peranan sub elemen lain.
Dengan kata lain, pengembangkan PHT PBK,
penyediaan infrastruktur, benih sehat, pengembangan koperasi, dan informasi pasar sangat tergantung pada peran kelembagaan pekebun dan lembaga-lembaga terkait dalam mendorong pengembangan PHT PBK. Sub elemen Dinas Pekerjaan Umum, Perusahaan Produksi Benih, Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan, serta Asosiasi Pedagang Kakao berada pada sektor autonomous. Sub elemen yang berada pada sektor ini bersifat tidak terikat secara langsung terhadap kinerja pengelolaan PBK, tetapi diharapkan mampu meningkatkan kinerja sub elemen pada sektor dependent dan independent.
142
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten berperan
dalam
koordinasi, penyiapan standar, pemantauan dan evaluasi, serta penyediaan infrastruktur seperti jalan dan jembatan kecamatan dan penggunaan lahan perkebunan, untuk mendukung pengembangan dan penerapan PHT PBK. Dinas Perkebun berperan dalam pemantauan/evaluasi dan merumuskan standar PHT PBK, penyediaan saprodi, pascapanen, dan pemasaran biji kakao, serta analisis dampak lingkungan perkebunan. Balai penyuluhan berperan dalam mendorong partisipasi pekebun, dan Pemerintah Daerah Kecamatan berperan dalam menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan penerapan PHT PBK serta pemeliharaan infrastruktur seperti jalan desa dan ketentraman masyarakat. Kelembagaan terkait lainnya memiliki ketergantungan dan secara sendirisendiri kurang mampu mendorong pengelolaan PBK karena tergantung pada kebijakan pemerintah terkait pengadaan sarana produksi dan ketersediaan PHT PBK. Kebijakan pemerintah daerah untuk mendorong penggunaan dan standarisasi pupuk organik, pestisida hayati dan penggunaan benih bermutu/tahan PBK dapat meningkatkan peran Laboratorium Perkebunan, Perusahan Produksi Benih Ladongi yang terletak di Kecamatan Lambandia, Dinas Koperasi, dan LSM. Kelembagaan lainnya yang diharapkan dapat mendukung kelembagaan penunjang adalah Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Hortikultura, dan Peternakan serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan yang memiliki keterkaitan dengan pemantauan terhadap kesehatan pekebun dan organism non sasaran seperti hewan ternak, dan hewan air lainnya. Berdasarkan matriks ISM VAXO dan Hubungan DP-D Elemen lembaga terkait maka kelembagaan kunci adalah Dinas Perkebunan. Dinas Perkebunan berkaitan dengan Lembaga Penyuluhan dan Pemerintah Daerah yang berada di setiap strata administrasi. Ketiga lembaga diharapkan dapat menjadi penggerak utama sekaligus menjembatani lembaga-lembaga terkait penerapan PHT dengan kelompok pekebun. Untuk mengefektifkan peranannya, maka ketiga lembaga tersebut perlu bersinergi dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan transfer teknologi PHT
143
PBK,
monitoring
dinamika
populasi
PBK
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya, sertifikasi benih sehat/tahan PBK, pengawasan peredaran dan penggunaan peredaran pupuk dan pestisida, dan peningkatan mutu dan efisiensi pemasaran biji kakao.
Lembaga Penelitian/Balai Pengkajian Teknologi/
Perguruan Tinggi dan Dinas Perkebunan Provinsi masing-masing adalah berfungsinya penyediaan jasa transfer teknologi, dan monitoring dan evaluasi sertifikasi benih bermutu/tahan PBK dan pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida.
Pembahasan Kelembagaan pengelolaan PBK terdiri dari kelembagaan pekebun dan kelembagaan
penunjang.
Kelembagaan
pekebun
merupakan
pengguna
sumberdaya dan kelembagaan penunjang berperan dalam fungsi koordinasi antar stakeholder, menentukan tujuan, mendorong iklim usaha yang kondusif, melakukan kontrol dengan mengembangkan standar, melakukan evaluasi, memonitor, memberi sanksi dan mencegah konflik, serta berperan sebagai penyedia jasa kontrol dan lembaga penyedia jasa lainya seperti penyedia teknologi atau jasa keuangan (Kemp et al. 2005). Untuk menjalankan peran di atas maka pengambil kebijakan perlu merumuskan kendala yang dihadapi, mengidentifikasi kebutuhan program, kendala yang dihadapi, menentukan tolok ukur menilai program, dan menentukan kelembagaan yang terlibat. Keterkaitan kelembagaan pekebun sebagai pengguna sumberdaya dengan lembaga pengontrol penggunaan sumberdaya disajikan pada Gambar 39. Kendala yang dihadapi adalah nilai-nilai kegotongroyongan pekebun belum sepenuhnya mendasari aktivitas kelembagaan pengelolaan PBK, dan pengembangan teknologi PHT PBK. Kelembagaan pekebun masih berorietasi pada pelaksanaan kegiatan-kegiatan keproyekan, belum memiliki aktivitas yang mampu mengikat individu untuk mengembangkan kelompok pekebun. Dengan demikian maka dirumuskan visi kelembagaan penunjang dalam pengelolaan PBK adalah terlaksananya kelembagaan penunjang kelembagaan pekebun kakao rakyat yang mampu mengawal pengembangan dan penerapan PHT PBK.
144
Belum optimalnya peran kelembagaan pekebun berimplikasi pada keterbatasan pengembangan PHT PBK.
Kegiatan yang diperlukan dalam
pengembangan dan penerapan PHT PBK antara lain adalah sertifikasi benih sehat/tahan PBK, pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida dan pupuk, serta transfer terknologi dan standarisasi PHT PBK. Pestisida dan pupuk meliputi agens hayati dan kompos, serta pestisida dan pupuk anorganik. Kegiatan transfer teknologi dilakukan dengan mengadakan pelatihan pekebun sehingga dicapai tingkat pemahaman yang merata diantara pekebun.
Pemerataan pengetahuan
dapat mendorong partisipasi pekebun dan saling memahami antar pekebun dalam kelembagaan pekebun (Chikozho 2005).
Dengan demikian maka misi
kelembagaan penunjang kelompok pengelolaan PBK adalah terlaksananya pengembangan PHT PBK melalui pemberdayaan pekebun sehingga secara mandiri mampu meningkatkan kapasitas kelembagaannya dalam menghasilkan kakao yang bermutu dan aman dikonsumsi. Dalam mencapai visi dan misi kelembagaan penunjang pengelolaan PBK maka kelembagaan penunjang merumuskan tolok ukur kinerja fungsi-fungsi kelembagaan penunjang. Tolok ukur penilaian keberhasilkan pencapaian visi dan misi kelembagaan penunjang adalah tersedianya PHT PBK, pendapatan pekebun meningkatan, dan kualitas hidup pekebun meningkat.
Guna menunjang
tersedianya PHT PBK maka diperlukan transfer teknologi PHT untuk memperbaharui pengetahuan pekebun serta pemantauan dan evaluasi penerapan PHT PBK. Peningkatan pendapatan dan kualitas hidup pekebun berkaitan dengan fungsi-fungsi pemberdayaan kelompok pekebun selain dalam proses produksi, juga dalam melakukan penyediaan sarana produksi, peningkatan mutu, dan peningkatan efisiensi rantai pemasaran. Untuk itu diperlukan peran lembagalembaga terkait yang memiliki fungsi-fungsi dalam pemberdayaan pekebun dan kelompok pekebun, pemantauan dan evaluasi dalam hal perbanyakan benih dan penggunaan pestisida dan pupuk, perkembangan PBK dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, penanganan pasca panen, dan pemasaran kakao. Dengan demikian maka lembaga penunjang utama adalah adalah Dinas Perkebunan yang berkoordinasi dengan dinas-dinas terkait. Dalam melaksanakan peran kontrol, lembaga pengontrol mengacu pada tolok ukur terbentuknya PHT
145
PBK, stabilitas agroekosistem yang ditunjukkan dengan penurunan tingkat serangan PBK, dan peningkatan kualitas hidup pekebun. Dinas Perkebunan juga bermitra dengan lembaga pendamping yaitu Balai Penyuluhan Pertanian Perkebunan, dan Pemerintah Kecamatan. Keterkaitan Dinas Perkebunan dengan lembaga-lembaga pengontrol disajikan pada Gambar 38.
Asosiasi Pedagang Kakao
Badan Pertanahan
Lembaga Perkreditan
Lembaga Swadaya Masyarakat
Dinas Pekerjaan Umum
Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan
Balai Penelitian/Pengkajian Teknologi/Perguruan Tinggi
Pemerintah Daerah
Dinas Perkebunan
Balai Penyuluhan
Perusahan Benih
Kelompok Pekebun
Pelaku Pasar
Keterangan :
Gambar 38.
Pengontrol Pendamping Penunjang Lainnya
Keterkaitan lembaga-lembaga penunjang pengelolaan PBK dan Evaluasinya dalam bentuk tolok ukur kontrol.
Dinas Perkebunan dilengkapi dengan Petugas Petugas Pengamat Hama Penyakit untuk melakukan monitoring tingkat serangan PBK, standarisasi PHT PBK, pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida dan pupuk. Informasi yang dihimpun oleh petugas PHP dapat dimanfaatkan oleh kelompok pekebun dalam mengembangkan PHT PBK.
Petugas PPL, Dinas Perkebunan, dan
Pemerintah Kecamatan diharapkan dapat memberi kondisi yang kondusif bagi pengembangan PHT PBK, termasuk berperan sebagai „jembatan‟ bagi transfer teknologi dari lembaga penelitian/pengkajian teknologi/perguruan tinggi ke kelompok pekebun. Dinas Perkebunan Kecamatan melakukan monitoring dan
146
evaluasi peningkatan partisipasi dalam kelembagaan pekebun serta pengembangan PHT PBK. Pemerintah Kecamatan berperan dalam pemeliharaan sarana prasarana PHT PBK, infrastruktur fisik seperti jalan desa, keamanan, serta mendorong aktualisasi nilai-nilai sosial seperti kegotongroyongan guna meningkatkan partisipasi dalam kelembagaan pekebun. Balai Penyuluhan meningkatkan pemberdayaan pekebun melalui transfer teknologi dengan bermitra dengan Balai Penelitian/Pengkajian Teknologi/ Perguruan Tinggi serta LSM. Balai Penyuluhan dapat berperan sebagai jembatan bagi transfer teknologi PBK.
Dinas Perkebunan berkoordinasi dengan Dinas
Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan, serta LSM mitra dan berkoordinasi dalam melakukan kontrol pengelolaan PBK. Pemerintah kecamatan berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan umum dan Dinas Tata Ruang untuk memelihara infrastruktur dan menyediakan prasarana produksi kakao, dan pengembangan perkebunan kakao.
Kelompok pekebun juga dapat bermitra dengan Asosiasi
Kakao untuk mendorong perdagangan yang adil. Lembaga Penunjang Lainnya adalah peran lembaga keuangan.
Peran
lembaga keuangan belum sepenuhnya dimanfaakan oleh pekebun, karena kendala jaminan perkreditan. Lembaga keuangan memerlukan jaminan pemberian kredit seperti sertifikat lahan. Pekebun umumnya belum memiliki sertifikat lahan kebun, sehingga menyulitkan proses perkreditan. Sertifikasi lahan perlu dipertimbangkan di masa mendatang. Selain itu perlu diupayakan kemitraan koperasi lembaga pekebun dan lembaga perkreditan.
Kesimpulan Berdasarkan visi dan misi kelembagaan penunjang dalam pengelolaan PBK maka perlu dilakukan peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun sehingga mampu menghasilkan dan menerapkan PHT PBK. Lembaga yang berperan kunci dalam pengelolaan PBK adalah Dinas Perkebunan yang berfungsi sebagai pengontrol serta Pemerintah Daerah, Balai Penyuluhan Perkebunan, dan Balai Penelitian/Pengkajian Teknologi/Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendamping. Sejalan dengan fungsi-fungsi yang terdapat di kelompok pekebun, maka lembaga pengontrol
perlu
ditingkatkan
dengan
melibatkan
Dinas
Perindustrian/
147
Perdagangan dan Koperasi. Peran kontrol dilaksanakan secara terintegrasi pada tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi.
Oleh karena itu diperlukan
koordinasi antar lembaga terkait dan antar strata administrasi pemerintahan.
Daftar Pustaka Chikozho C. 2005. Policy and Institutional Dimensions of Small-holder Farmer Innovations in the Thukela River Basin of South Africa and the Pangani River Basin of Tanzania: A Comparative Perspective. Physics and Chemistry of the Earth Parts A/B/C Issue11-16,30(11-16):913-924. http://www.ihe.nl/ SSI/ [5 Oktober 2008] D‟Haese M, Verbeke W, Van-Huylenbroeck G. Kirsten J, D‟Haese L. 2003. Institutional Innovation to Increase Farmers‟ Revenue: A Case Study of Small Scale Farming in Sheep Transkei Region, South Africa. Proceedings of the 25th International Conference of Agricultural Economists (IAAE), 16 – 22 August. Durban, South Africa. Kemp R, Parto S, Gibson RB. 2005. Governance for Sustainable Development: Moving from Theory to Practice. Int. J. Sustainable Development, Vol. 8, Nos. ½. pp.12–30. Leach M, Fairhead J. 2001. Plural Perspective and Institutional Dynamics : Challenge for Local Forest Management. Int J Agricultural Resources, Governance and Ecology 1(3/4). Mikkelsen, B. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Nalle M, penerjemah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Methods for Development Work and Research : A Guide for Practitioners. Mwakalobo ABS. 2000. Resource Productivity and Allocation Efficiency In Smallholder Coffee Farmers In Rugwe District, Tanzania. The AGREST Conference Proceeding Series, Vol. 4. Tanzania. Ostermeier, D.M. 1999. The Role Institution in Ecosystem Management. Di dalam: Ecosystem Management for Sustainability. J.D. Paine, Editor. New York: Lewis Publisher. Ostrom E. 1999. Self-Governance and Forest Resources. Cifor Occasional Paper No.20. Bogor: Cifor. Ricketts C, Ricketts K. 2009. Agribusiness Fundamentals and Applications 2nd ed. USA: Delmar. Saragih. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Bogor : USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Sayre S. 2001. Qualitative Methode for Marketplace Research. London-New Delhi: Sage Publications. Saxena JPP. 1992. Hierarch and Clasification of Program Plan Element Using Interpretatif Structural Modelling. System Practice 5(6):651-670.
148
Stankey GH, Clark RN, Bormann BT. 2005. Adaptive Management of Natural Resources: Theory, Concepts, and Management Institutions. Gen. Tech. Rep. PNW-GTR-654. Portland, OR: U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Pacific Northwest Research Station. 73p. Stoker G. 1998. Governance as Theory: Five Propositions. UNESCO. United Kingdom: Blackwell Publishers.
149
Contents 7. DESAIN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PBK ..................................... 126 ABSTRAK ..........................................................................................................126 PENDAHULUAN ............................................................................................... 126 METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................... 131 Metode Pengumpulan Data .................................................................................. 131 Jumlah Pakar ....................................................................................................... 131 Analisis Data ....................................................................................................... 131 HASIL ................................................................................................................. 133 Kendala yang Dihadapi ........................................................................................ 133 Tolok Ukur Untuk Menilai Keberhasilan.............................................................. 137 Lembaga Terkait .................................................................................................. 139 PEMBAHASAN .................................................................................................. 143 KESIMPULAN.................................................................................................... 146 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 147
150
Direktorat Perdagangan Hasil Pertanian
Direktorat Perbenihan & Saprodi
Direktorat Perlinbun BPTP P
Dinas Perindustrian &Perdagangan
Badan Karantina Pertanian
Badan Litbang/ Perguruan Tinggi
BPPT/PT
Provinsi
BP2MB Dinas Perkebunan Prov. Balai/Stasiun Karantina Tumbuhan
Laboratorium Perkebunan Dinas Perindag Kab
Dinas Perkebunan Kab.
Dinas Perindag Kec.
Dinas Perkebunan Kec.
Instalasi PPT
Koordinator POPT
POPTK
POPT
Kabupaten
Kecamatan
PPL Pekebun kakao
LSM Lingkungan
Desa
Pedagang Pengumpul
Pelaku industri pengolahan kakao
Asosiasi Eksportir biji Kakao/olahan Konsumen Keterangan :
= Koordinasi;
= Pembinaan/Kontrol;
= Aliran finansial;
= Unsur teknis
BPPT = Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi; PT = Perguruan Tinggi; BPTP= Balai Proteksi Tanaman Perkebunan; POPT/K= Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan/Karantina
Gambar 3. Diagram Keterkaitan Stakeholder Pengelolaan OPT Kakao Rakyat
Bagi pengguna standar-standar yang disepakati terkait dengan kondisi sumberdaya seperti kondisi lahan, tanaman kakao, naungan, infrastruktur yang tersedia, ketersediaan sarana produksi, tingkat pengetahuan pekebun, kemampuan finansial pekebun, peran kelembagaan pekebun. Untuk itu maka standar-standar pengelolaan PBK meliputi standar penataan lahan, pengembangan/peredaran/ penggunaan sarana produksi, penerapan teknologi pengendalian PBK yang berkelanjutan, pengendalian mutu, dan sistem pasar.
PEMBAHASAN UMUM Temuan yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya memperlihatkan bahwa dalam menghadapi permasalahan PBK di Kabupaten Kolaka, pengendalian yang dilakukan masih menumpu pada pestisida sebagai bentuk utama pengelolaan PBK. Pengelolaan PBK yang belum mengacu pada kebijakan perlindungan tanaman, prinsip-prinsip PHT dapat mengancam keberlanjutan perkebunan kakao rakyat. Oleh karena itu ketidakberlanjutan perkebunan memerlukan perancangan kembali bentuk pengelolaan PBK. Sebagaimana disebutkan baik dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman maupun Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman bahwa budidaya tanaman secara sehat dapat dilakukan secara berkelanjutan dengan penanganan perlindungan menggunakan konsep PHT. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 390/Kpts/TP.600/5/1994 tentang Penyelenggaraan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu menyebutkan bahwa PHT menciptakan landasan bagi pembangunan perkebunan berkelanjutan. Dengan cara ini pengelolaan PBK berpotensi meningkatkan keberlanjutan perkebunan.
Berdasarkan ketersediaan sumberdaya maka kegiatan-kegiatan PHT
yang dapat dilakukan antara lain memanfaatkan limbah kakao, menggunakan musuh alami, analisis data-data OPT, penguatan nilai-nilai sosial pekebun, serta penguatan kapasitas kelembagaan pekebun dan penunjang.
Visi, Misi, dan Strategi Pengelolaan PBK Bentuk manajemen pengelolaan sebuah kebijakan pada umumnya meliputi perumusan visi, misi, strategi, kebijakan, dan lembaga terkait (David 2002). Visi adalah pandangan ke depan terhadap suatu kebijakan dan upaya mewujudkannya. Visi diperlukan untuk meningkatkan motivasi, memberi nilai tambah, meramalkan masa depan, dan menciptakan kreativitas para pengambil kebijakan (Ilyas 2006). Misi merupakan karakteristik nilai-nilai, prioritas bentuk produk dan tujuan pasar suatu kebijakan yang membedakan dari kebijakan lainnya. Strategi merupakan cara
150
untuk mencapai sasaran jangka panjang sedangkan untuk mencapai sasaran tahunan dirumuskan dalam bentuk kebijakan. Kebijakan dapat berupa pedoman, peraturan, dan kegiatan guna mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam kaitannya dengan pengelolaan PBK, visi dengan
menggunakan
prinsip-prinsip PHT dituangkan dalam suatu kebijakan yang perlu dikelola sepenuhnya sejalan dengan perumusan kebijakan tersebut. Visinya adalah terciptanya perkebunan kakao berkelanjutan.
rakyat
yang
produktif,
meningkatkan pendapatan,
dan
Misi pengelolaan PBK terkait dengan visi tersebut adalah
menghasilkan biji kakao yang bermutu dan proses produksi kakao dengan minim dampak negatif terhadap lingkungan.
Dalam standar mutu biji kakao (SNI 01-2323-
2002), mutu biji kakao memiliki bentuk produksi tinggi yang ditandai oleh ukuran biji atau jumlah biji per 100gr, bebas residu pestisida, serta pengolahan biji kakao dan penanganan pasca panen secara tepat. Dalam upaya mewujudkan visi dan misi pengelolaan PBK yang bersifat jangka panjang maka perlu mengatasi kendala-kedala yang ditemukan.
Kendala
pengelolaan PBK adalah belum teraktualisasi nilai-nilai sosial dalam melakukan pengelolaan PBK serta belum optimalnya peran pengawasan peredaran dan penggunaan pestisida dan pupuk. Untuk itu maka dirumuskan strategi pengelolaan PBK yang menerapkan prinsip-prinsip PHT. Strategi pengelolaan PBK adalah menguatkan PHT PBK melalui peningkatan kapasitas kelembagaan dengan cara peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun sehingga pekebun mampu meningkatkan mutu produk kakao yang dapat memenuhi kebutuhan pasar lokal maupun global.
Pengetahuan yang diperlukan
adalah terkait penyediaan sarana produksi, peningkatan produksi, penanganan pasca panen, pengembangan pasar yang didukung oleh analisis pasar, serta manajemen kelompok pekebun beserta lembaga penunjangnya.
Dengan demikian kelompok
pekebun diharapkan mampu melakukan pengelolaan PBK secara mandiri dengan prinsip-prinsip PHT yaitu penanganan budidaya kakao secara sehat yang dikuatkan dengan kegiatan-kegiatan penyediaan benih bermutu/tahan PBK, pemanfaatan limbah kakao, pemanfaatan musuh alami, pengembangan ambang kendali PBK, peramalan
151
PBK, peningkatan mutu dan efektivitas mata rantai pemasaran, peningkatan nilainilai sosial, peningkatan kapasitas kelembagaan pekebun beserta lembaga penunjangnya. Bentuk Kebijakan Pengelolaan PBK Penerapan kebijakan guna menjamin terlaksananya strategi pengelolaan PBK dengan
menerapkan
PHT
atau
sebagai
suatu
kebijakan
meliputi:
(1) pelaksanaan koordinasi, (2) pengelolaan insentif, (3) pemberdayaan alumni SLPHT, (4) peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun, (5) penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur/sarana prasarana, (6) peningkatan kemitraan, serta (7) pelaksanaan pemantauan dan evaluasi.
Koordinasi adalah kebijakan untuk
menyatukan visi dan misi serta menyelaraskan strategi dan kegiatan sehingga dapat mencapai sasaran dan tujuan pengelolaan PBK yang telah ditentukan. Kebijakan pengelolaan insentif dalam bentuk pengelolaan pendapatan dari nilai tambah, pengelolaan bantuan sarana produksi, serta kompensasi dari pengelolaan PBK dengan menerapkan prinsip-prinsip PHT.
Kebijakan peningkatan pengetahuan dan
keterampilan dilakukan dalam bentuk pelatihan, sekolah lapang, dan demonstrasi plot. Infrastruktur/sarana prasarana berbentuk pembangunan jalan dan jembatan, penyediaan sarana pengeringan biji kakao dan gudang penyimpanan.
Kemitraan
berbentuk kerjasama kelompok pekebun dengan lembaga terkait untuk memenuhi kebutuhan pembaharuan pengetahuan dan keterampilan pekebun, pengembangan PHT PBK, peningkatan kapasitas kelembagaan, penanganan pasca panen, dan pengembangan pasar. Kebijakan pemantauan dan evaluasi dilakukan dengan cara mengembangan standar, memantau, dan melakukan kontrol terhadap penerapan PHT dan dampaknya terhadap lingkungan. Pelaku pengelolaan PBK dengan penerapan prinsip-prinsip PHT adalah kelompok pekebun yang didukung oleh stakeholder yang terdapat di setiap strata administrasi. Kebijakan pengelolaan PBK pada setiap strata administrasi disajikan pada Tabel 17.
152
Tabel 17
Matriks kebijakan Pengelolaan PBK setiap stakeholder pada berbagai strata adminstrasi
No. Strata administrasi/ Koor- Pengelo- PemberdaStakeholder dinasi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 8. 9.
10.
11. 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7. 1. 2. 3.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
laan insentif
yaan alumni SLPHT
Kebijakan*) Peningkatan Sarana Kemi- Pemantauan pengetahuan& prasarana/ traan dan keterampilan Infrastruktur Evaluasi pekebun
A. Provinsi Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Badan Koordinasi Penyuluhan Dinas Perdagangan Dinas Pekerjaan Umum Badan Pertanahan Asosiasi Kakao Dinas Koperasi UKM dan Penanaman Modal Daerah Lembaga Penelitian/Pengkajian/ Perguruan Tinggi LSM B. Kabupaten Dinas Perkebunan Pemerintah Kabupaten Badan Pelaksana Penyuluhan Dinas Koperasi/ Perindustrian/ Perdagangan Asosiasi Kakao Dinas Pekerjaan Umum Badan Pertanahan C. Kecamatan Dinas Perkebunan Pemerintah Kecamatan Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan D. Kelompok Pekebun Fungsi Sarana Prasarana Fungsi Produksi Fungsi Pengendalian PBK Fungsi Pasca Panen Fungsi Pemasaran Fungsi Koperasi
Keterangan: *) mengacu pada kebijakan kelempok pekebun dan tugas dan fungsi masing-masing lembaga penunjang
153
Tabel 17 menjelaskan bahwa kebijakan pada tingkat provinsi diutamakan pada pelaksanaan koordinasi, penyediaan infrastruktur, pelaksanaan kemitraan serta pemantauan dan evaluasi.
Pada tingkat kabupaten selain menerapkan kebijakan
pelaksanaan koordinasi, penyediaan infrastruktur serta pemantauan dan evaluasi, juga kebijakan pengelolaan insentif, pemberdayaan alumni SLPHT, serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun.
Pada tingkat kecamatan diutamakan
kebijakan pelaksanaan koordinasi, pemeliharaan infrastruktur/sarana prasarana, serta pemantauan dan evaluasi. Pada kelompok pekebun diutamakan adalah kebijakan peningkatan
pengetahuan
dan
keterampilan
pekebun,
pengelolaan
insentif,
pemberdayaan alumni SLPHT, dan peningkatan kemitraan. Rincian kebijakan pada setiap strata administrasi dan kelompok pekebun sebagai berikut.
Tingkat Provinsi Pada tingkat provinsi kebijakan diutamakan adalah pelaksanaan koordinasi, penyediaan infrastruktur serta pelaksanaan pemantauan dan evaluasi. Pelaksanaan koordinasi dilakukan dengan menyatukan visi dan misi para stakeholder, serta menyelaraskan penerapan strategi dan kegiatan pengelolaan PBK antar kabupaten. Penyelarasan strategi dan kegiatan antar kabupaten dapat berbentuk kegiatan yang saling melengkapi satu sama lain, menunjang kegiatan di sentra-sentra produksi, maupun mendorong tercapainya tujuan dan sasaran pengelolaan PBK di setiap kecamatan. Kegiatan pengelolaan PBK yang bersifat saling melengkapi antar kabupaten adalah : 1) penyediaan tenaga alumni SLPHT dari satu kabupaten untuk mendukung kegiatan peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun di kabupaten lainnya. 2)
penyediaan bibit bermutu/tahan PBK, penyediaan pupuk dan pestisida bagi
kabupaten yang membutuhkan. Kegiatan yang bersifat menunjang sentra produksi kakao adalah pemasaran bersama kakao. Kegiatan yang bertujuan untuk mendorong tercapainya sasaran dan tujuan pengelolaan PBK adalah pemerataan kegiatan peningkatan pengetahuan dan keterampilan bagi pekebun.
Peningkatan kapasitas
154
kelembagaan pekebun di setiap kabupaten, pengembangan PHT PBK di setiap kabupaten, penanganan pascapanen dan pemasaran kakao. Kebijakan penyediaan infrastruktur dilakukan dengan membangun dan memelihara infrastruktur jalan provinsi dan jembatan yang menghubungkan satu kabupaten dengan kabupaten lainnya.
Jalan provinsi merupakan fasilitas bagi
kelompok pekebun untuk distribusi sarana produksi dan pemasaran biji kakao. Pada tingkat provinsi dapat pula dilakukan kemitraan dengan kelompok pekebun dalam hal transfer teknologi untuk memperbaharui pengetahuan dan keterampilan pekebun. Kebijakan pemantauan dan evaluasi dilakukan dengan perumusan standar, norma, dan prosedur melalui penerapan strategi pengelolaan PBK sehingga dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Sasaran pengelolaan PBK yang penggunakan prinsip-prinsip PHT adalah terciptanya PHT PBK yang dapat menurunkan serangan PBK dengan dampak negatif terhadap pekebun dan lingkungan minimal, serta pendapatan dan kualitas hidup pekebun meningkat di setiap kabupaten. Peningkatan pendapatan dicapai apabila pendapatan pekebun mampu memenuhi kebutuhan hidup layak rumah tangganya. Kualitas hidup pekebun tercapai apabila pekebun mampu mengembangkan PHT PBK secara terus menerus, produksi kakao bermutu, serta melakukan proses produksi yang aman bagi pekebun dan lingkungannya.
Tingkat Kabupaten Pada tingkat kabupaten kebijakan yang diutamakan selain melakukan koordinasi, menyediakan infrastruktur/sarana prasarana, melakukan pemantauan dan evaluasi, juga melakukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun, pengelolaan insentif, kemitraan, dan pemberdayaan SLPHT. Koordinasi dilakukan dengan menyatukan visi dan misi, serta menyelaraskan strategi dan kegiatan-kegiatan pada tingkat provinsi dan kecamatan sehingga dapat mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Kebijakan penyediaan infrastruktur adalah penyediaan sarana jalan dan jembatan yang menghubungkan satu kecamatan dengan kecamatan lainnya, sarana
155
pengeringan biji kakao, dan penyediaan gudang penyimpanan kakao.
Kebijakan
pemantauan dan evaluasi pengelolaan PBK dilakukan dengan merumuskan standarstandar kegiatan pengelolaan PBK. Tolok ukur kebijakan pemantauan dan evaluasi adalah tercapainya sasaran pengelolaan PBK di setiap kecamatan. Pengelolaan
insentif
diberikan
kepada
kecamatan
yang
mampu
mengembangkan PHT PBK agar pengembangan perkebunan kakao rakyat minimal dampak negatif terhadap pekebun dan lingkungan. Insentif dapat diberikan dalam bentuk pemberian dana atau peningkatan kegiatan bagi kecamatan yang mampu menerapkan strategi pengelolaan PBK. Kebijakan pemberdayaan alumni SLPHT
melalui kegiatan tindak lanjut
SLPHT guna meningkatkan penyebaran pengetahuan dan keterampilan pekebun serta mendorong penerapan strategi pengelolaan PBK. Kebijakan kemitraan pada tingkat kabupaten adalah penyampaian informasi pemasaran kakao, sehingga kelompok pekebun dapat melakukan analisis pemasaran dan memahami peluang-peluang pemasaran kakao di tingkat kecamatan.
Tingkat Kecamatan Pada tingkat kecamatan
kebijakan yang diutamakan adalah melakukan
koordinasi, penyediaan sarana prasarana, dan pemeliharaan infrastruktur, serta melakukan pemantauan dan evaluasi. Koordinasi dilakukan dengan cara menyatukan visi dan misi stakeholder, serta strategi dan kegiatan pengelolaan PBK yang berada di tingkat kabupaten dan kelompok pekebun. Penyatuan strategi diwujudkan dalam bentuk penyelarasan kebijakan dalam bentuk kegiatan-kegiatan antar kelompok pekebun agar dapat mencapai sasaran dan tujuan pengelolaan PBK di setiap kelompok pekebun. Pemeliharaan infrastruktur jalan kecamatan dan jembatan, penyediaan dan pemeliharaan sarana lahan percobaan, pembuatan dan pemeliharaan jalan desa, pemeliharaan gudang penyimpanan dan pasca panen. Kebijakan pemantauan dan evaluasi dilakukan terhadap pelaksanaan kegiatan-kegiatan di tingkat kelompok pekebun.
Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dilakukan melalui perumusan
156
standar, norma, dan prosedur dalam pelaksanaan kegiatan di setiap kelompok pekebun.
Keberhasilan penerapan kebijakan pemantauan dan evaluasi ditentukan
dari tercapainya sasaran pengelolaan PBK di setiap kelompok pekebun.
Tingkat Kelompok Pekebun Pada tingkat kelompok pekebun kebijakan yang diutamakan adalah melakukan pengelolaan insentif, pemberdayaan alumni SLPHT, peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun, penyediaan sarana kerja, dan pelaksanaan kemitraan dengan stakeholder terkait. Pengelolaan insentif dilakukan oleh fungsi koperasi dari peningkatan nilai tambah pengelolaan PBK dengan prinsip-prinsip PHT. Kebijakan pemberdayaan alumni SLPHT adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pekebun dengan kegiatan tindak lanjut SLPHT guna mendukung pengelolaan PBK. Kelompok pekebun dapat pula menyisihkan pendapatan dari nilai tambah penerapan PHT untuk mendanai pelaksanaan tindak lanjut SLPHT serta pengadaan dan pemeliharaan sarana produksi. Sarana produksi adalah sarana kerja produksi dan pengendalian PBK, sarana pengeringan kakao, dan gudang penyimpanan. Kebijakan peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun juga dapat dilakukan
dengan
melaksanakan
kebijakan
kemitraan
dengan
lembaga
pengkajian/perguruan tinggi, dan LSM. Kemitraan juga dapat dilaksanakan dengan menggunakan dana dari insentif nilai tambah yang dikelola oleh fungsi koperasi. Pengawasan dan evaluasi terhadap efektivitas fungsi-fungsi kelompok pekebun dalam menerapkan strategi pengelolaan PBK, yang dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan kelompok pekebun.
Kelembagaan Pengelolaan PBK Sebagaimana kebijakan pengelolaan PBK yang telah diuraikan sebelumnya, maka pelaksanaan kebijakannya juga melibatkan stakeholder yang berada di setiap strata administrasi. sebagai berikut.
Kelembagaan pengelolaan PBK dengan prinsip-prinsip PHT
157
Tingkat Provinsi Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa, pada tingkat provinsi kebijakan yang
diutamakan
adalah
1)
pelaksanaan
koordinasi,
2)
penyediaan
infrastruktur/sarana prasarana, dan 3) pelaksanaan evaluasi dan pemantauan terhadap penerapan strategi dan kegiatan pengelolaan PBK serta dampaknya terhadap pekebun dan lingkungan. Pelaksanaan koordinasi dilakukan oleh semua stakeholder guna menyatukan visi dan misi, serta menyelaraskan strategi dan kegiatan-kegiatan antar kabupaten. Dalam penerapan strategi dan kegiatan-kegiatan di atas dikaitkan dengan tugas dan kewenangan lembaga terkait, maka diperlukan keterlibatan berbagai lembaga.
Lembaga yang memiliki tugas dan kewenangan yang sejalan dengan
kebijakan kemitraan adalah adalah Balai Penyuluhan, Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi/Perguruan Tinggi,
LSM, dan Asosiasi Kakao.
Balai
Penyuluhan berperan dalam peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun sehingga mampu meningkatkan kapasitas kelembagaannya. Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi/Perguruan Tinggi dan LSM berperan dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pekebun dalam mengembangkan PHT PBK. Asosiasi Kakao berperan dalam menyediakan informasi bagi pengembangan pemasaran kakao rakyat. Lembaga yang memiliki tugas dan kewenangan dalam kebijakan penyediaan infrastruktur/sarana prasarana adalah Pemerintah daerah yang terdapat di setiap strata administrasi.
Kebijakan koordinasi dilakukan oleh setiap stakeholder agar tercipta
kesepahaman dan keselarasan kegiatan.
Kebijakan pemantauan dan evaluasi
pengembangan PHT PBK, peningkatan kapasitas kelembagaan, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, penanganan pasca panen dan penanganan efektivitas mata rantai pemasaran adalah tugas dan kewenangan Dinas Perkebunan dan Hortikultura, Dinas Perindustrian,
dan Dinas Perdagangan.
Untuk mendukung
penerapan strategi dan kegiatan pengelolaan PBK, maka kebijakan pemantauan dan evaluasi perlu didukung oleh Dinas Koperasi dan Dinas Pekerjaan Umum. Dinas Koperasi memiliki tugas dan kewenangan dalam pelaksanaan pemantauan dan
158
evaluasi terhadap strategi pengelolaan insentif yang dilakukan oleh koperasi kelompok pekebun. Dinas Pekerjaan umum memiliki tugas dan kewenangan dalam pemeliharaan infrastruktur jalan. Dengan demikian lembaga yang terlibat dalam pengelolaan PBK di tingkat provinsi adalah Pemerintah Provinsi, Badan Penyuluhan, Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi/Perguruan Tinggi, LSM, dan Asosiasi Kakao yang merupakan lembaga pendamping kelompok pekebun. Dinas Perkebunan dan Hortikultura, Dinas Perdagangan, Dinas Perindustrian, dan Dinas Pekerjaan Umum yang merupakan lembaga pengontrol kelompok pekebun. Untuk menyatukan visi, dan misi, serta menyelaraskan strategi dan kegiatan-kegiatan pengelolaan PBK diperlukan kebijakan koordinasi yang dilaksanakan oleh semua stakeholder yang berada di tingkat provinsi dan kabupaten.
Tingkat Kabupaten Pada tingkat kabupaten kebijakan yang diterapkan adalah 1) pelaksanaan koordinasi, 2) pengelolaan insentif, 3) peningkatan kapasitas alumni SLPHT, 4) peningkatan pengetahuan dan keterampilan, 5) penyediaan infrastruktur/sarana prasarana, 6) pelaksanaan kemitraan, serta 7) pelaksanaan pemantauan dan evaluasi. Pengelolaan insentif dalam bentuk peningkatan nilai tambah maupun pemberian insentif dari penerapan strategi pengelolaan PBK bagi kelompok pekebun. Pengelolaan
insentif
merupakan
kewenangan
pemerintah
kabupaten
untuk
mendorong pengelolaan PBK dengan prinsip-prinsip PHT di setiap kecamatan. Kebijakan peningkatan kapasitas alumni dalam kegiatan tindak lanjut SLPHT dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun merupakan kewenangan Balai Penyuluhan pada setiap kecamatan. Kebijakan penyediaan infrastruktur/sarana prasarana merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten. Pelaksanaan kemitraan dilakukan oleh Asosiasi Kakao yang memiliki kewenangan dalam memberi informasi perkembangan pemasaran kakao di pasar lokal maupun global.
Kebijakan
pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan strategi dan kegiatan pengelolaan
159
PBK adalah tugas dan kewenangan Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi/UKM, Dinas Perindustrian/Perdagangan, dan Dinas Pekerjaan Umum. Dengan demikian maka stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan PBK pada tingkat kabupaten adalah
Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Peternakan, Pemerintah Kabupaten, Asosiasi Kakao Kabupaten Kolaka, Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi, Dinas Perindustrian, dan Perdagangan, serta Dinas Pekerjaan Umum. Untuk mengefektifkan penyamaan visi dan misi serta menyelaraskan penerapan strategi dan kegiatan pengelolaan PBK maka stakeholder yang berada di tingkat kabupaten perlu melakukan koordinasi dengan stakeholder di tingkat kabupaten, provinsi dan kecamatan.
Kebijakan koordinasi pada tingkat
kabupaten cukup kompleks sehingga membutuhkan pengelolaan stakeholder secara terintegrasi.
Tingkat Kecamatan Pada tingkat kecamatan kebijakan yang diutamamakan adalah 1) peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun, 2) pemeliharaan infrastruktur, 3) pemantauan dan evaluasi, dan 5) pelaksanaan koordinasi.
Pada tingkat kecamatan kebijakan
peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun adalah tugas dan kewenangan Balai Penyuluhan Pertanian. Kebijakan pemeliharaan infrastruktur/sarana prasarana adalah tugas dan kewenangan pemerintah kecamatan.
Demikian pula kebijakan
pemantauan dan evaluasi adalah tugas dan kewenangan Dinas Perkebunan. Dengan demikian maka lembaga yang terlibat dalam pengelolaan PBK di tingkat kecamatan adalah Balai Penyuluhan Pertanian, Dinas Perkebunan, dan Pemerintah Kecamatan. Ketiga stakeholder perlu melakukan koordinasi dengan guna menyatukan visi dan misi serta menyelaraskan strategi dan kegiatan-kegiatan pengelolaan PBK. Koordinasi dilakukan oleh stakeholder yang berada di tingkat kecamatan maupun kelompok pekebun sesuai tugas dan kewenangan yang dimiliki. Berdasarkan uraian di atas maka dalam pelaksanaan strategi dan kegiatan pengelolaan PBK, kelompok pekebun memerlukan dukungan lembaga penunjang yang meliputi lembaga pendamping dan pengontrol. Lembaga pendamping adalah
160
lembaga yang berperan dalam penyediaan jasa transfer teknologi, penyediaan informasi pasar lokal dan global, pemberdayaan pekebun, dan penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur. Lembaga pengontrol berperan dalam pemantauan dan evaluasi sehingga dapat tercapai sasaran pengelolaan PBK dengan prinsip-prinsip PHT. Oleh karena itu maka lembaga pendamping terdiri atas Balai Penyuluhan, Pemerintah Kecamatan, Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi/Perguruan Tinggi, LSM, dan Asosiasi Kakao. Lembaga pengontrol terdiri atas adalah Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan, dan Dinas Pekerjaan Umum.
Penguatan kapasitas lembaga penunjang dilakukan dengan mengefektifkan
dan mengintegrasikan kebijakan dan kegiatan yang berada di setiap strata administrasi dan kelompok pekebun.
KESIMPULAN UMUM DAN SARAN Penelitian ini menemukan bahwa untuk menciptakan perkebunan kakao rakyat berkelanjutan, maka pengelolaan PBK perlu menerapkan prinsip-prinsip PHT. Dalam perkebunan kakao rakyat berkelanjutan, pengelolaan PBK dengan menerapkan prinsip-prinsip PHT adalah memiliki: 1.
Visi yang menciptakan perkebunan kakao rakyat yang produktif, meningkatkan pendapatan, dan berkelanjutan. Misi yang mampu menghasilkan biji kakao yang bermutu dan proses produksi kakao dengan minim dampak negatif terhadap lingkungan
2.
Strategi pengelolaan PBK yang dapat menguatkan PHT PBK melalui peningkatan kapasitas kelembagaan dengan cara peningkatan pengetahuan dan keterampilan pekebun sehingga pekebun mampu meningkatkan mutu produk kakao yang dapat memenuhi kebutuhan pasar lokal maupun global.
3.
Kebijakan pengelolaan PBK pada setiap strata administrasi.
Kebijakan
dititikberatkan di tingkat kabupaten karena kewenangan dan alokasi pendanaan
161
yang dimiliki. Kebijakan di tingkat provinsi dan kecamatan diutamakan dalam pelaksanaan koordinasi dan kontrol terhadap kebijakan dan kegiatan pengelolaan PBK yang berada di tingkat kabupaten. 4.
Kelompok pekebun yang mandiri dalam pengelolaan PBK yang didukung oleh lembaga penunjang yang efektif.
5.
Lembaga penunjang yang terdiri dari lembaga pendamping dan pengontrol. Lembaga Lembaga pendamping adalah Balai Penyuluhan, Pemerintah daerah, Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian/Perguruan Tinggi, LSM, dan Asosiasi Kakao.
Lembaga pengontrol adalah Dinas Perkebunan, Dinas
Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan, serta Dinas Pekerjaan Umum yang berperan sebagai pengontrol pengelolaan PBK.
Saran Guna mendukung penerapan pengelolaan PBK mencapai perkebunan berkelanjutan di Kabupaten Kolaka, maka di tingkat kabupaten diperlukan kebijakan pembentukan suatu ‘forum pengembangan dan pengendalian kakao rakyat’ yang berperan dalam pelaksanaan koordinasi, pemantauan dan evaluasi, pemberian insentif,
pemberdayaan alumni SLPHT,
serta peningkatan pengetahuan dan
keterampilan pekebun. Untuk mendukung kebijakan tersebut maka 1) pada tingkat provinsi diperlukan penguatan kebijakan pelaksanaan koordinasi, pemantauan dan evaluasi, dan penyediaan infrastruktur.
3) pada tingkat kecamatan diperlukan
penguatan kebijakan pelaksanaan koordinasi, serta pelaksanaan pemantauan dan evaluasi pengelolaan PBK. 4) pada tingkat kelompok pekebun diperlukan penguatan kebijakan peningkatan kemandirian pekebun dalam bentuk peningkatan kemitraan dan pengelolaan insentif.
Dengan demikian diharapkan pemerintah pusat dapat
mempercepat desentralisasi kebijakan terkait perkebunan berkelanjutan untuk menguatkan peran kelompok pekebun dan lembaga penunjangnya pada setiap strata administrasi.
162
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal A. 2003. Sustainable Governance of Common-Pool Resources: Context, Methods, and Politics. Annu Rev Anthropol 32:243–62 Amos TT. 2007. An Analysis of Productivity and Technical Efficiency of Smallholder Cocoa Farmer in Nigeria. J.Soc.Sci. 15(2):127-133. [BBPPSLP-BPPP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Identifikasi dan Evaluasi Potensi Lahan untuk Mendukung Primatani di Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara-Skala 1: 50.000. Bogor: BBPPSLP BPPP. Bird GW. 2003. Role of Integrated Pest Management and Sustainable Development. Di dalam Maredia KM, DakouoD, Mota-Sancez D, editor. Integrated Pest Management in the Global Arena. USA: CABI Publishing Boller EF et al. 2004. Integrated Production Principles and Technical Guidelines 3rd Edition, 2004. The IOBC/WPRS Bulletin Vol. 27 (2). http://www. iobcwprs.org [Akses 17 Februari 2010]. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Kolaka dalam Angka. Kolaka: Biro Pusat Statistik kabupaten Kolaka [BPS] Biro Pusat Statistik. 2006a. Kabupaten Kolaka dalam Angka. Kolaka: Biro Pusat Statistik kabupaten Kolaka. [BPS]
Biro Pusat Statistik. 2006b. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kolaka Kolaka: Biro Pusat Statistik kabupaten Kolaka.
Boss MM, Steffan-Dewenter I,Tscharntke T. 2007. Shade Tree Management Affect Abortion, Insect Pest and Pathogens of Cocoa. Agriculture, Ecosystem and Environment 120: 201-205. Belsky JM, Siebert SF. 2003. Cultivating Cocoa: Implications of Sun-Grown Cocoa on Local Food Security and Environmental Sustainability. Agriculture and Human Values 20: 277–285. Bianchi FJJA, Booij CJH, Tscharntke T. 2006. Sustainable Pest Regulation In Agricultural Landscapes: A Review on Landscape Composition, Biodiversity and Natural Pest Control. Proceedings of The Royal Society B 273:1715– 1727. Campbell B et al. 2001. Assessing the Performance of Natural Resource System. Conservation Ecology 5(2):22. URL: http//www/consecol.org/ vol5/iss2/art22 [3 Februari 2009]
163
Campbell B, Godoy RA. 1986. Commonfield Agriculture :The Andes and Medieval England. Proceeding of the Conference Common on Property Resource Management. Washington DC: National Academy Press. [CGIAR] Consultative Group on International Agricultural Research. 2003. Research Toward Integrated Natural Resources Management. Roma: FAO. Chikozho C. 2005. Policy and Institutional Dimensions of Small-holder Farmer Innovations in the Thukela River Basin of South Africa and the Pangani River Basin of Tanzania: A Comparative Perspective. Physics and Chemistry of the Earth Parts A/B/C Issue11-16,30(11-16):913-924. http://www.ihe.nl/ SSI/ [5 Oktober 2008] Darwis V. 2004. Keragaan, Kendala dan Manfaat Penerapan Teknologi PHT Kakao Rakyat di Kolaka, Sulawesi Tenggara. ICASERD Working Paper No.55. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. De-Almeida AF. dan Valle RR. 2007. Ecophysiology of the Cocoa Tree. Braz J Plant Physiol 19(4):425-448. Depparaba F. 2002. Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snellen) dan Penanggulangannya. Jurnal Litbang Pertanian 21(2). [Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Statistik Perkebunan 2008-2010 : Kakao. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. Dhaliwal GS, Koul O, Arora R. 2004. Integrated Pest Management : Retrospect and Prospect. Di dalam: Integrated Pest Management : Potential, Constraints and Challenge. Koul O, Dhaliwal GS, Cuperus GW, Editor. United Kingdom: CABI Publishing. Dhawan AK, Peshin R. 2009. Integrated Pest Management: Concept, Opportunities and Challenges. Springer Netherlands: Netherland. 51-58p D’Haese M, Verbeke W, Van-Huylenbroeck G. Kirsten J, D’Haese L. 2003. Institutional Innovation to Increase Farmers’ Revenue: A Case Study of Small Scale Farming in Sheep Transkei Region, South Africa. Proceedings of the 25th International Conference of Agricultural Economists (IAAE), 16 – 22 August. Durban, South Africa. Dinas Kehutanan. 2007. Peta Neraca Sumberdaya Hutan Tahun Neraca 2006. Kendari: Dinas Kehutanan. [Disbun] Dinas Perkebunan. 2007. Data Luas Tanam dan Produksi Kakao Kabupaten Kolaka. Kolaka: Pemerintah Daerah Kabupaten Kolaka. [Disbunhort] Dinas Perkebunan dan Hortikultura. 2008. Data Luas Serangan OPT Kabupaten Kolaka. Kendari: Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara.
164
Djamaluddin R, Sjafaruddin M. 2006. Kehilangan Hasil Akibat Serangan Hama Penggerek Buah Kakao. Prosiding Seminar Nasional dan Ekspose Hasil Penelitian. Kendari: Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Elsey B, Sirichoti K. 2001. Integrated Pest Management (IPM): A Case Study of Change Management in Thailand. The Management Case Study Journal 1(2):35-43. Eppel J. 1999. Sustainable Development and Environment : A Renewed Efford in the OECD. Environment, Development and Sustainability 1:41-53 FAO. 1991. The den Bosch Declaration and Agenda for Action on Sustainable Agriculture and Rural Development. Proceedings of FAO/Netherlands Conference of Agriculture and The Environment. S-Hertogenbosch, the Netherlands, 15-19 April 1991. Netherlands: FAO. Harris JM. 2000. Basic Principles of Sustainable Development. Working Paper 0004.USA: Global Development and Environment Institute Tufts University Medford MA 02155. http://ase.tufts.edu/gdae [5 Oktober 2009]. Hassanshahi H, Irvani H, Kalantari K, Rezaei A. 2008. Analysis of Capital Assets of Natural Resources Management System in the Agricultural Production Cooperatives (APCs) in Fars Province, Iran. American-Eurasian Journal of Sustainable Agriculture 2(2): 150-157. Heinrichs, E.A. 2005. A New Paradigm for Implementing Ecologically – Based Participatory IPM in a Global Context: The IPM CRSP Model. Neotropical Entomology 34(2):143-15. Heizer J, Render, B. 2004. Operation Management, 7th ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall Heong K.L. 1985. System Analysis in Solving Pest Management Problems. Proceeding of The Seminar on Integrated Pest Management in Malaysia. Lee BS, Loke WH, Heong KL, editor. Kuala Lumpur: The Malaysian Plant Protection Society (MAPPS). Hunger JD, Wheelen TL. 2003. Managemen Strategis. Agung J, penerjemah. Yogyakarta: Penerbit Andi. Terjemahan dari: Strategic Management. Hassanshahi H, Irvani H, Kalantari K. 2008. Analysis of Capital Assets of Natural Resources Management System in the Agricultural Production Cooperatives (APCs) in Fars Province, Iran. Australian Journal of Basic and Applied Sciences 2(4): 864-871. ICCO International Cocoa Organization. 2008. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics, Vol.XXXIV, No.3, Cocoa year 2007/2008 [12 September 2008] ICCO International Cocoa Organization. September 2006].
2003. Small Holders Cocoa.
[6
165
Ilyas Y. 2006. Kiat Sukses Manajemen Tim Kerja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kada R. 1999. Cenceptual and Policy Issue of Sustainable Agriculture in Asia. Di dalam: Appropriate Use of Input for Sustainable Agriculture. Tokyo: Asian Productivity Organization. Kemp R, Parto S, Gibson RB. 2005. Governance for Sustainable Development: Moving from Theory to Practice. Int. J. Sustainable Development, Vol. 8, Nos. ½. pp.12–30. Kolawole O. dan Alademimokun OA. 2006. Resource-Use and Technical Efficiency of Small Holder Cocoa Producers in Ondo State, Nigeria : A Stochastic Frontier Analysis. Agricultural Journal 1(4): 211-215. Lai R.
2003. Soil Degradation and Global Food Security : a Soil Science Perspective, dalam Land Quality, Agricultural Productivity, and Food Security. Keith Wiebe editor. Edward Elgar. UK dan USA
Lim GT, Tay EB, dan Pang TC. 1982. The Biology of Cocoa Pod Borer Acrocercops cramerella Snellen and Its Control in Sabah, Malaysia [Cocoa]. International Conferencee on Plant Protection in the Tropics, 1-4 Maret 1982. Kuala Lumpur. Lim GT. 1992. Biology, Ecology and Control of Cocoa Pod Borer Conopomorpha cramerella (Snellen). Di dalam: Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australia. Keane PJ dan Putter CAJ, Editor. Rome: Plant Production dan Protection Paper 112 FAO. Maumbe B, Bernsten R, Norton G. 2003. Sosial and Economic Conciderations in the Design and Implementation of Integrated Pest Management in Developing Countries. Di dalam Maredia KM, DakouoD, Mota-Sancez D, editor. Integrated Pest Management in the Global Arena. USA: CABI Publishing McMohan P et al. 2006. Lesson for Participatory Research. GRO-Cocoa. Global Research on Cocoa Working with and for Farmer. Merijn M. Bos MM, Steffan-Dewenter I, Tscharntke T. 2007. Shade Tree Management Affects Fruit Abortion, Insect Pests and Pathogens of Cocoa. Agriculture, Ecosystems and Environment 120:201–205. Minami K. 1999. How to Achieve Sustainable Agriculture. Di dalam: Appropriate Use of Input for Sustainable Agriculture. Tokyo: Asian Productivity Organization. Movahedi R, Chizari M, Breazeale D. 2007. Perceptions of Extension Agents and Researchers Concerning the Effectiveness of Joint Extension-Research Plans in Lorestan and Kermanshah Provinces, Iran. Journal of Agricultural Education and Extension 13 (4):301-310.
166
Mwakalobo, A. B. S. 2000. Resource Productivity and Allocation Efficiency In Smallholder Coffee Farmers In Rugwe District, Tanzania. The AGREST Conference Proceeding Series, Vol. 4. Tanzania. Nair KSS. 2001. Pest Outbreak in Tropical Forest Plantations : Is There a Greater Risk for Exotic Tree Species? Indonesia: CIFOR. Nicholls CI, Altieri MA. 2004. Agroecological Bases of Ecological Engineering for Pest Management. Di dalam: Ecological Engineering for Pest Management. G.M. Gurr, S.D. Wratten, dan M.A. Altieri, Editor. Australia: CSIRO Publishing. Norris RF, Caswell-Chen EP, Kogan M. 2003. Concept in Integrated Pest Management. NJ: Prentice-Hall Upper Saddle. Orr, A. dan J. M. Ritchie. 2004. Learning from Failure: Smallholder Farming Systems and IPM in Malawi. Agricultural Systems 79:31–54. Ostermeier DM. 1999. The Role Institution in Ecosystem Management. Di dalam: Paine JD, editor. Ecosystem Management for Sustainability. New York: Lewis Publisher. Ostrom E, Gardner R, Walker J. 1994. Rules, Games, and Common-Pool Resources. USA: University of Michigan Press. Peters BG. 1996. The Policy Capacity of Government. Research Paper No. 18. Canadian Centre for Management Development. Minister of Supply and Services Canada: Canada. Power AG. 1999. Linking Ecological Sustainability and World Food Needs. Environment, Development and Sustainability 1:185–196. PPKKI Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2005a. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Jakarta: Agromedia Pustaka. PPKKI Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2005b. Standard Operational Procedures for Controlling Cocoa Pod Borer in Indonesia. www.iccri.co.id. [10 September 2008]. Rasul G, Thapa GB. 2004. Sustainability of Ecological and Conventional Agricultural Systems in Bangladesh: An Assessment Based on Environmental, Economic and Social Perspectives. Agricultural Systems 79: 327–351. Roberts, J. 2004. Environmental Policy. London-New York.
Routledge-Taylor & Francis Group.
Rice RA dan Greenberg R. 2000. Cocoa Cultivation and the Conservation of Biological Diversity. Ambio 29:3. Robert J. 2004. London.
Environmental Policy.
Routledge Taylor and Francis Group:
167
Saragih. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Bogor : USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Samiee A, Rezvanfar A, Faham E. 2009. Factor Influencing the Adoption of Integrated Pest Management (IPM) by Wheat Grower in Varamin Country Iran. African Journal of Agricultural Research 4(5):491-497. Siebert S. 2002. From Shade to Sun-Grown Parennial Crops in Sulawesi, Indonesia : Implication for Biodiversity Conservation and Soil Fertility. Biodiversity and Conservation 11:1889-1920. Sjafaruddin M, Ramlan, Baco D, Kanro MZ dan Armiati. 2006. Pengkajian Aplikasi Teknologi PHT dalam Rangka Meningkatkan Produksi dan Pendapatan Petani Kakao di Sulawesi Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 9(2):118-128. Shepherd A. 1998. Sustainable Rural Development. London: MacMillan Press Ltd. Sulistyowati et al. 2003. Analisis Status Penelitian dan Pengembangan PHT pada Pertanaman Kakao. Bogor: Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat 17-18 September.Vadapalli A. 1999. India. Didalam: Appropriate Use of Input for Sustainable Agriculture. Tokyo: Asian Productivity Organization. Thompson R, Starzomski BM. 2007. What Does Biodiversity Actually Do? A Review for Managers and Policy Makers. Biodiversity and Conservation 16:1359–1378. Toana MH. 1999. Bionomi Hama Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snellen) (Lepidoptera : Lithocolletidae) pada Kultivar Trinitario dan Amelonado, disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tscharntke T, Brandl R. 2004. Plant-Insect Interaction in Fragmented Landscapes. Annual Review of Entomology 49: 405. [WCED] World Commision on Environment and Development. 1987. Our Common Future. New York: Oxford University Press. Wrihatnolo RR dan Dwidjowijoto RN. 2007. Manajemen Pemberdayaan : Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Gramedia. www.deptan.go.id. Strategi Pembangunan Perkebunan. [akses 17 Februari 2010]. www.fao.org/agriculture/crops/core-themes/theme/pests/ ipm/ en/. Definisi PHT [akses 17 Februari 2010].
169 Lampiran 1 Rapfish Ordination dan Rapfish Ordination Monte Carlo aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi/infrastruktur, dan kelembagaan/kebijakan pengelolaan PBK
a. Aspek Ekologi RAPFISH Ordination 60
Up
Other Distingishing Features
40 20 44.62%
Bad
Good Real Fisheries
0 0
20
40
60
80
100
120
-20 -40
Down Fisheries Status
-60
Rapfish Ordination Monte Carlo (Median with 95%Confidence Interval Error Bars) 60
Other Distingishing Features
40
20 44.57% 0 0
20
40
60
80
-20
-40
-60 Fisheries Status
100
120
170 b. Aspek Ekonomi RAPFISH Ordination 60
Up
Other Distingishing Features
40 20
45.27% Good
Bad
Real Fisheries
0 0
20
40
60
80
100
120
-20 -40
-60
Down Fisheries Status
Rapfish Ordination Monte Carlo (Median with 95%Confidence Interval Error Bars) 60
Other Distingishing Features
40 20 45.66% 0 0
20
40
60
80
-20 -40
-60 Fisheries Status
100
120
171 c. Aspek Sosial RAPFISH Ordination 60
Up
Other Distingishing Features
40
20 58.39%
Bad
Good Real Fisheries
0 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40 Down
-60
Fisheries Status
Rapfish Ordination Monte Carlo (Median with 95%Confidence Interval Error Bars) 60
Other Distingishing Features
40 20 57.63% 0 0
20
40
60
-20 -40 -60 Fisheries Status
80
100
120
172 d. Teknologi/Infrastruktur
RAPFISH Ordination 60
Up
Other Distingishing Features
40 20
46.58% Good
Bad
Real Fisheries
0 0
20
40
60
80
100
120
-20 -40 Down Fisheries Status
-60
Rapfish Ordination Monte Carlo (Median with 95%Confidence Interval Error Bars) 60
Other Distingishing Features
40
20 47.40% 0 0
20
40
60
80
-20
-40
-60 Fisheries Status
100
120
173
e. Kelembagaan Kebijakan
RAPFISH Ordination 60
Up
Other Distingishing Features
40
20 Bad
Good
37.32%
Real Fisheries
0 0
20
40
60
80
100
120
100
120
-20
-40 Down
-60
Fisheries Status
Rapfish Ordination Monte Carlo (Median with 95%Confidence Interval Error Bars) 60
Other Distingishing Features
40
20 37.88% 0 0
20
40
60
80
-20
-40
-60 Fisheries Status
174
Lampiran 2 Penilaian responden berdasarkan bobot dan urut kepentingan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pengelolaan PBK a. Kekuatan Responden Faktor Internal
1
bobot Kekuatan Insentif pengendalian 0.15 Nilai-nilai kegotongroyongan 0.1 Musuh alami Alumni SLPHT Kepemilikan lahan
2 urut bobot
3
4
5
6
urut bobot urut bobot urut bobot urut bobot
7
8
9
10
urut bobot urut bobot urut bobot urut bobot urut
4
0.1
4
0.08
3
0.12
4
0.1
4
0.12
4
0.07
4
0.1
4
0.09
3
0.05
4
4
0.05
3
0.07
4
0.08
3
0.07
4
0.07
3
0.06
3
0.07
3
0.06
3
0.08
3
0.05
3
0.08
3
0.05
4
0.05
3
0.15
3
0.05
3
0.05
3
0.08
3
0.08
3
0.1
3
0.1
3
0.12
3
0.15
4
0.1
3
0.08
3
0.1
3
0.1
3
0.13
3
0.1
3
0.12
3
0.08
4
0.08
4
0.05
4
0.1
4
0.05
4
0.04
4
0.05
4
0.05
4
0.05
4
0.05
4
Pembulatan
1/IRG
Kekuatan Insentif pengendalian Nilai-nilai kegotongroyongan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Ratarata
Pembu- Jumlah latan kali
0.32
0.32
0.20
0.40
0.20
0.16
0.20
0.20
0.20
0.20
0.240
0
0
0.2302852
0
4.3424418
4
0.40
0.15
0.28
0.24
0.28
0.21
0.18
0.21
0.18
0.24
0.237
0
0
0.228448
0
4.377364
4
Musuh alami
0.15
0.24
0.20
0.15
0.45
0.15
0.15
0.24
0.24
0.30
0.227
0
0
0.2126357
0
4.7028784
5
Alumni SLPHT Kepemilikan Lahan (KL)
0.30
0.36
0.60
0.30
0.24
0.30
0.30
0.39
0.30
0.36
0.345
0
0
0.3347833
0
2.9870065
3
0.60
0.40
0.24
0.48
0.40
0.48
0.28
0.40
0.27
0.20
0.375
0
0
0.3553511
0
2.8141181
3
Rata- rata
Pembulatan
175
b. Kelemahan Responden Faktor Internal Kelemahan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Bobot Urut Bobot Urut Bobot Urut Bobot Urut Bobot Urut Bobot Urut Bobot Urut Bobot Urut Bobot Urut Bobot Urut
Tanaman naungan
0.06
2
0.13
1
0.05
3
0.1
2
0.1
3
0.1
1
0.17
2
0.1
2
0.07
2
0.08
2
Limbah kakao
0.08
2
0.06
2
0.1
3
0.05
2
0.09
2
0.08
2
0.1
2
0.1
2
0.1
3
0.08
2
0.1
2
0.08
2
0.1
2
0.05
2
0.08
2
0.08
2
0.1
2
0.07
2
0.1
3
0.09
2
Partisipasi pekebun
0.13
1
0.1
1
0.15
1
0.15
1
0.08
2
0.16
2
0.2
2
0.15
1
0.2
1
0.15
2
SDM pekebun
0.15
1
0.2
1
0.2
1
0.2
1
0.2
1
0.2
1
0.1
1
0.15
2
0.15
1
0.2
1
Kelemahan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Umur tanaman tua Limbah belum termanfaatkan Penanganan pascapanen tradisional Kelembagaan belum berperan optimal
0.12
0.13
0.15
0.16
0.30
0.10
0.34
0.20
0.14
0.16
0.12
0.30
0.10
0.18
0.16
0.20
0.20
0.20
0.16
0.20
0.10
0.16
0.16
0.20
0.13
0.10
0.15
0.17
0.16
0.32
SDM pekebun rendah
0.15
0.20
0.20
0.20
0.20
0.20
Mutu biji kakao
Rata- Pembu- Jumlah rata latan kali
Rata-rata
Pembulatan
0.16
0.180
0
0
0.1672328
0
5.979689
6
0.30
0.16
0.188
0
0
0.1779556
0
5.6193797
6
0.14
0.30
0.18
0.180
0
0
0.173539
0
5.7623924
6
0.40
0.15
0.20
0.30
0.208
0
0
0.1899353
0
5.2649518
5
0.10
0.30
0.15
0.20
0.190
0
0
0.183463
0
5.4506918
5
1/IRG
Pembulatan
176
c. Peluang Responden Faktor Eksternal Peluang Potensi pasar Keberadaan perusahan bibit kakao Kebijakan perlindungan/program PHT Peran Lembaga Penelitian/Perguruan Tinggi Lembaga Swadaya Masyarakat
Peluang Potensi pasar Keberadaan perusahan bibit kakao Kebijakan perlindungan/program PHT Peran Lembaga Penelitian/Perguruan Tinggi Lembaga Swadaya Masyarakat
1
2
3
4
5
bobot urut bobot urut bobot urut bobot urut bobot
6
7
urut bobot urut bobot
8
9
10
urut bobot urut bobot urut bobot
urut
0.15
4
0.15
4
0.15
4
0.1
4
0.15
4
0.05
4
0.15
3
0.15
4
0.15
4
0.15
4
0.1
4
0.08
3
0.15
3
0.08
3
0.1
3
0.05
3
0.1
3
0.08
4
0.1
3
0.08
3
0.08
4
0.1
3
0.1
3
0.1
4
0.15
3
0.13
3
0.15
4
0.1
4
0.15
3
0.15
3
0.05
2
0.05
3
0.03
2
0.08
3
0.05
2
0.1
2
0.08
3
0.05
2
0.08
3
0.08
3
0.03
2
0.03
2
0.05
4
0.08
3
0.03
2
0.1
3
0.05
2
0.08
3
0.04
2
0.1
4
Rata- Pembu- Jumlah rata latan kali
Rata-rata
0.60
0.525
1
0
0.5015753
1
1.9937187
2
0.30
0.24
0.294
0
0
0.2823912
0
3.5411871
4
0.40
0.45
0.45
0.406
0
0
0.397408
0
2.5163058
3
0.24
0.10
0.24
0.24
0.167
0
0
0.1505261
0
6.6433671
7
0.10
0.24
0.08
0.40
0.174
0
0
0.1373465
0
7.2808528
7
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0.60
0.60
0.60
0.40
0.60
0.20
0.45
0.60
0.60
0.40
0.24
0.45
0.24
0.30
0.15
0.30
0.32
0.32
0.30
0.30
0.40
0.45
0.39
0.60
0.10
0.15
0.06
0.24
0.10
0.20
0.06
0.06
0.20
0.24
0.06
0.30
Pembulatan
1/IRG
Pembulatan
177
d. Ancaman Responden Faktor Eksternal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Ancaman
bobot urut bobot urut bobot urut bobot urut bobot urut bobot urut bobot urut bobot urut bobot urut bobot urut
Subsidi pupuk
0.18
3
0.2
3
0.2
2
0.15
1
0.15
3
0.1
2
0.15
2
0.1
2
0.1
2
0.15
1
Pestisida ilegal
0.15
3
0.06
3
0.05
2
0.05
2
0.07
3
0.1
2
0.08
3
0.1
2
0.1
2
0.08
2
Fluktuasi harga Pembukaan hutan
0.08
2
0.15
2
0.1
1
0.2
1
0.1
2
0.2
1
0.1
1
0.2
1
0.15
1
0.1
1
0.08
2
0.08
1
0.05
2
0.08
2
0.1
2
0.1
2
0.08
2
0.1
2
0.05
3
0.06
2
0.1
3
0.1
2
0.12
2
0.08
2
0.1
2
0.07
2
0.06
2
0.04
2
0.08
2
0.05
2
Suku bunga
Ancaman
Rata- Pembu- Jumlah rata latan kali
Rata-rata
Pembulatan
0.15
0.319
0
0
0.2817222
0
3.5495956
4
0.20
0.16
0.204
0
0
0.1869875
0
5.3479513
5
0.20
0.15
0.10
0.171
0
0
0.1607479
0
6.2209219
6
0.16
0.20
0.15
0.12
0.153
0
0
0.1470216
0
6.8017201
7
0.12
0.08
0.16
0.10
0.170
0
0
0.1583446
0
6.3153413
6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Subsidi pupuk
0.54
0.60
0.40
0.15
0.45
0.20
0.30
0.20
0.20
Pestisida ilegal
0.45
0.18
0.10
0.10
0.21
0.20
0.24
0.20
Fluktuasi harga Pembukaan hutan
0.16
0.30
0.10
0.20
0.20
0.20
0.10
0.16
0.08
0.10
0.16
0.20
0.20
Suku bunga
0.30
0.20
0.24
0.16
0.20
0.14
1/IRG
Pembulatan
178 Lampiran 3 Hasil pengolahan ISM VAXO pengelolaan PBK a.
Sub Elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Dep
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kendala yang dihadapi
1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2
2 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 2
3 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
4 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 2
5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1
Sub Elemen 6 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
Drv 8 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 4
9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
Sub Elemen Infrastruktur Peran lembaga perkreditan SDM pekebun Ketersediaan sarana produksi Ketersediaan benih bermutu/tahan PBK Sosial budaya (nilai-nilai kegotongroyongan) Pengawasan peredaran dan penggunaan pupuk dan pestisida Informasi/fluktuasi harga kakao kelembagaan petani PHT PBK Kondisi biofisik Partisipasi/sinergi lembaga terkait
11 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 2
12 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 2
1 1 1 1 2 4 3 1 2 2 1 1
179
b. Kebutuhan kegiatan Sub Elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Dep
1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
3 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
4 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
5 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 2
6 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 2
Sub Elemen 7 8 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1
Drv 9 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 3
10 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 6
No.Sub Elemen 1 Pengadaan infrastruktur 2 Pengawasan peredaran dan penggunaan pupuk dan pestisida 3 Kontrol mutu pasca panen 4 Sertifikasi benih bermutu/tahan PBK 5 Pelatihan peningkatan SDM pekebun 6 Pembinaan pemanfaatan limbah 7 Pembinaan koperasi 8 Standarisasi teknologi PHT PBK 9 Pemantauan dampak lingkungan 10 Efisiensi mata rantai pemasaran 11 Peningkatan kapasitan kelembagaan pekebun 12 kerjasama lintas sektoral 13 kerjasama antar Negara
11 0 1 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 5
12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1
13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
1 8 2 5 3 1 1 4 1 1 1 1 1
180
c. Tolok Ukur Sub Elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Dep
1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2
2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
3 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0 0 0 6
4 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1
5 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 4
Sub Elemen 6 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 2 2
Drv 8 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
Keterangan: No. 1 2 3. 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sub Elemen Peran kontrol dan pendampingan Ekosistem stabil Rantai pemasaran efisien Tersedia benih bermutu/tahan PBK Kelompok pekebun Kualitas hidup pekebun meningkat Kualitas hidup pekebun meningkat Tingkat serangan PBK menurun Standarisasi PHT PBK Biji kakao mengacu stándar mutu Dampak pengendalian PBK terhadap lingkungan menurun Infrastrukur tersedia
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1
12 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 4
1 1 1 2 1 2 4 4 6 1 1 1
181 d. Lembaga yang terkait Sub Elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Dep
1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
2 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2
3 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 3
4 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2
5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1
6 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 6
Sub Elemen 7 8 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 5 6
Drv 9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 2
10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
Keterangan: No. Sub Elemen 1 Badan Pertanahan Lembaga Perkreditan 2 3 Pemerintah Daerah 4 Dinas Perkebunan 5 Dinas Pekerjaan Umum 6 Perusahan/pelaku produksi Benih Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan 7 8 Lembaga Pengkajian Penerapan Teknologi/Perguruan Tinggi 9 Kelompok Pekebun 10 Lembaga Swadaya Masyarakat 12 Asosiasi Kakao 13 Balai Penyuluhan Pertanian
12 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 1 0 4
13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
1 1 2 5 8 1 1 1 4 4 1 1 5
182 Sub Elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Dep
1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2
2 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 2
3 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
4 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 2
5 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1
Sub Elemen 6 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
Keterangan: No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sub Elemen Infrastruktur Partisipasi lembaga perkreditan SDM pengendalian OPT Harga saprodi Bibit tahan PBK Sosial budaya petugas pendamping fluktuasi harga kakao kelembagaan petani Informasi teknologi pengendalian OPT kondisi biofisik pemantauan dan evaluasi instansi terkait
Drv 8 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 4
9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
10 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1
11 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 2
12 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 2
1 1 1 1 2 4 3 1 2 2 1 1
183
Lampiran 5 Tugas Pokok dan Fungsi lembaga-lembaga terkait pengelolaan PBK Lembaga 1. Dinas Perkebunan
Kecamatan
Kabupaten Bidang Produksi :
Provinsi Subdin Produksi
Pembinaan teknis tentang benih kakao tahan PBK Pembinaan, bimbingan, dan pengawasan teknik budidaya Pengawasan penggunaan dan peredaran Pembinaan, bimbingan, dan pengawasan kondisi tanaman kakao perbenihan dan sarana produksi kakao tahan PBK Bidang Perlindungan Tanaman
Subdin Perlindungan
Pembinaan dan pencegahan OPT
Pengamatan peramalan dan penentuan tingkat serangan dan perkembangan OPT Pengendalian OPT
Tindakan eradikasi OPT
Pembinaan penggunaan sarana perlintan.
Menyusun dan menyiapkan data-data dan laporan pelaksanaan perlindungan tanaman Bidang pengolahan dan pemasaran hasil
b. Penyebaran informasi pasar
Analisis pemasaran
Pembinaan dan bimbingan kegiatan pengamatan OPT Pembinaan dan bimbingan kegiatan pengendalian OPT Pembinaan dan bimbingan kegiatan peramalan Pembinaan dan bimbingan penggunaan pupuk dan pestisida Rekomendasi penggunaan pupuk dan pestisida Pembuatan pedoman petunjuk operasional
Perlindungan tanaman terkait pelestarian tanah dan air Pembinaan teknis, penanganan pascapanen dan Subdin Pengolahan dan Pemasaran Hasil pengolahan hasil Pembinaan penerapan standarisasi mutu hasil Pembinaan penerapan stadarisasi pengawasan mutu pengolahan hasil perkebunan a. Pembinaan pemasaran dan promosi Promosi tingkat Internasional
184
2. Balai Laboratorium Perkebunan
Penyusun dan menyiapkan data-data laporan pengolahan dan pemasaran Bidang pengelolaan lahan dan air
Penyebaran informasi pasar kakao
Identifikasi kesesuaian lahan untuk pengembangan perkebunan Pembinaan teknis cara pengolahan dan konservasi tanah dan reklamasi lahan AMDAL untuk pengelolaan lahan perkebunan Pembinaan tentang hak-hak atas tanah
Penyiapan informai tentang benih yang baik
Penyelenggaraan sistem pengairan dan konservasi sumberdaya air Penyusunan dan penyiapan data-data dan laporan pengelolaan lahan dan air.
Subdin Perbenihan
Seksi Pengembangan dan Analisa Teknologi Pengendalian OPT
Pengembangan dan analisis metode penetapan status OPT Pengembangan dan analisis pengamatan OPT
Pengembangan dan analisis sarana pengendalian OPT Pengembangan agens hayati
Pengembangan pestisida botani
Analisis kimia dan biologi terhadap kandungan aktif pestisida Seksi Dokumentasi dan Penyebaran Informasi teknologi pengendalian OPT
185
Dokumentasi dan penggandaan serta penyebarluasan hasil pengembangan Analisis teknologi pengendalian OPT kepada petani/masyarakat Analisis teknologi pengendalian OPT kepada petugas
3. Pemerintah Kabupaten Badan Perencanaan
Bidang penanaman modal
Pembangunan Daerah
Penyusunan perencanaan pengembangan potensi sumberdaya alam di daerah
.
Badan Koordinasi Penyuluhan
Bidang Ekonomi, Sosial dan budaya Inventarisasi permasalahan di bidang ekonomi serta merumuskan langkah kebijakan pemecahannya Inventarisasi permasalahan di bidang prasarana wilayah dan lingkungan hidup serta merumuskan langkah-langkah kebijakan pemecahannya 4. Balai Penyuluhan
Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
Badan Pelaksana Penyuluhan
Bid. Kelembagaan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia.
Penyusunan kebijakan dan program penyuluhan kabupaten
Koordinasi, integrasi, sinkronisasi lintas sektor
- Perancangan sistem informasi SDM dan peran kelembagaan penyuluh dalam menunjang pembangunan pertanian
Penyuluhan dan pengembangan mekanisme, tata kerja, dan metode penyuluhan
Optimalisasi partisipasi
186
- Perancangan sistem informasi dan pemberdayaan penyuluhan dan petani
Pengumpulan, pengolahan, pengemasan, dan penyebaran materi penyuluhan
Bid. Pengembangan, Pembinaan, Monitoring dan Evaluasi
Pembinaan pengembangan kerjasama, kemitraan, Penyusunan kebijakan dan program penyuluhan pengelolaan kelembagaan, ketenagaan, sarana dan provinsi prasarana, pembiayaan penyuluhan
Perumusan kebijakan dan penyusunan program penyluhan tk kabupaten
Penumbuhkembangan dan fasilitasi kelembagaan Fasilitasi pengembangan kelembagaan dan forum dan forum kegiatan bagi pelaku utama dan pelaku masyarakat usaha
Bimbingan penyusunan program pertanian tk kecamatan dan desa
Peningkatan kapasitas penyuluh PNS, swadaya, dan swasta
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyuluhan pertanian di tk kecamatan dan desa Bid. Pengembangan, Informasi, dan Teknologi Penyebarluasan Informasi Teknologi a. Pengkajian teknologi dan metodologi penyuluhan Peyusunan program tk kabupaten, bimbingan serta penyusunan laporan evaluasi penyusunan program tk kecamatan dan desa b. Pembinaan, monitoring dan evaluasi penyusunan program c. Pembinaan dan penyelenggaraan penyuluhan
Advokasi masyarakat dg melibatkan unsur pakar, dunia usaha, institusi terkait, perguruan tinggi, dan sasaran penyuluhan
Peningkatan kapasitas penyuluh PNS, swadaya, dan swasta.
187
5. Balai pengkajian teknologi/perguruan tinggi
Inventarisasi dan identifikasi kebutuhan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi.
(Permentan No.16/ Permentan/ OT.140/3/ 2006 tanggal 1 Maret
Penelitian, pengkajian, dan perakitan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi.
2006
Pengembangan teknologi dan diseminasi hasil pengkajian serta perakitan materi penyuluhan
6. Dinas Perdagangan/ Koperasi/UKM
Dinas Koperasi, Perindustrian, dan perdagangan
Dinas Perindustrian Perdagangan
Bidang Perdagangan
Subdin Perdagangan Luar Negeri
Seksi Distribusi dan Pengembangan Pasar
-
Analisa dan penyusunan data ekspor kakao
Penyiapan pemantauan dan monitoring perkembangan harga pasar komoditi manufaktur dan produk unggulan daerah Seksi Ekspor dan Impor
-
Pengembangan kegiatan ekspor kakao
Penyiapan bahan bimbingan teknis pembangunan dan pengembangan ekspor impor Pemantauan laporan di bidang ekspor impor
- Perencanaan, perumusan dan urusan kegiatan promosi kakao di luar negeri Penyebaran informasi kakao
188
Bidang Koperasi dan UKM
Dinas Koperasi, usaha kecil Menengah dan Penanaman Modal Daerah
Seksi Kelembagaan
Subdin Koperasi
Penyiapan rencana dan program perumusan kebijakan teknis usaha kelembagaan koperasi Seksi Bina Usaha Koperasi
b. Pembinaan prosedur organisasi dan tatalaksana koperasi c. Pendaftaran pendirian dan perubahan koperasi d. Pembinaan kedudukan hukum dan penyelesaian masalah hukum Pembinaan kopeasi di bidang perkebunan kakao Subdin Usaha Kecil dan Menengah
Penyiapan rencana dan program perumusan kebijakan teknis usaha Penyiapan rencana dan program permodalan Seksi Bina Usaha UKM
Penyiapan rencana program perumusan kebijakan teknis usaha dan permodalan UKM Bidang Pembiayaan dan Pengawasan Simpan Pinjam
Seksi Fasilitasi Pembiayaan Simpan Pinjam
1. Penerimaan dan evaluasi permohonan KSP/USP yang bersumber dari dana pemerintah, perbankan, BUMN dan lain-lain 2. Pengawasan dan pengendalian terhadap koperasi/KUD, KSP/USP yang bergerak di bidang simpan pinjam baik eksternal maupun internal Seksi Akuntasi dan Penilaian Simpan Pinjam
3. Bimbingan akuntasi bagi KSP/USP dalam rangka peningkatan SDM pengurus
Penyebarluasan informasi bisnis
Penyiapan bahan pembinaan dan pengembangan kewirausahaan bagi usaha kecil dan menengah Penyiapan bahan penelitian, pendidikan, penyuluhan dan pemberdayaan masy. Penyebaran informasi kakao
Subdin Fasilitasi Pembiayaan dan Simpan Pinjam
Fasilitasi pengembangan usaha simpan pinjam dan lembaga keuangan masyarakat di bidang koperasi Penyiapan petunjuk teknis, pembinaan, dan
189
upaya fasilitasi permodalan 4. Pengadaan penilaian kesehatan bagi KSP/USP berprestasi. 5.
6. 7.
Petunjuk teknis, pembinaan, dan upaya fasilitasi permodalan Penyiapan petunjuk teknis usaha dan kemitraan antar lembaga keuangan, bank/non bank dengan lembaga usaha simpan pinjam Fasilitasi pengembangan usaha simpan pinjam dan lembaga keuangan masyarakat di bidang usaha menengah Penilaian dan analisis kesehatan kegiatan usaha simpan pinjam Subdin Perencanaan dan Promosi
Pengkajian informasi pasar
Penyusunan dan penyediaan bahan promosi berdasarkan potensi di daerah Temu usaha dan kontak bisnis di tingkat regional, nasional, dan internasional Penerangan dan komunikasi
190
Lampiran 1 Blanko analisis keberlanjutan pengelolaan PBK a. Aspek : Agroekosistem No 1. 2.
Dimensi dan variabel Status kepemilikan lahan usahatani Kejadian kekeringan
3.
Frekuensi kejadian banjir
4. 5.
Kemiringan lahan Populasi PBK
6. 7. 8. 9.
Keragaman musuh alami Keragaman Tanaman sela Produktivitas usahatani Pola sebaran kebun kakao
10.
Curah hujan
11.
Temperatur
12.
Penggunaan pupuk
13.
Kelas kesesuaian lahan
14.
Varietas tahan PBK
15
Sumber bibit
b. Aspek : Ekonomi
Kriteria (1) menyewa lahan, (2) menggarap, (3) milik sendiri (1) sering , (2) kadang-kadang, (3) tidak pernah terjadi kekeringan (1) sering, (2) kadang-kadang, (3) tidak pernah banjir (1) terjal, (2) agak miring, (3) rata (1) puso, (2) tinggi, (3) sedang, (4) rendah (1) rendah, (2) sedang, (3) tinggi (1) rendah, (2) sedang, (3) tinggi (1) rendah, (2) sedang, (3) tinggi (1) terpusat dalam satu hamparan, (2) tersebar merata (1) tidak merata, (2) merata sepanjang tahun (1) Tidak sesuai, (2) sedang, (3) sesuai (4) sangat sesuai (1) tidak pernah, (2) kadangkadang, (3) sering) (1) tidak tersedia, (2) tersedian pada komoditas tertentu, (3) tersedia untuk beberapa komoditas (1) tidak digunakan, (2) pada beberapa luasan, (3) semua menggunakan (1)lokal, (2) lokal dan bibit unggul, (3) bibit unggul
Skor saat ini
191
No 1.
Dimensi dan variabel Penjualan kakao
2.
Pasar produk pertanian
3. 4.
Harga kakao Jumlah tenaga kerja pertanian
5.
Kelayakan usahatani
6. 7.
Kehilangan hasil akiat PBK Kontribusi kakao terhadap PDRB Kab. Kolaka Kelayakan usaha pekebunan kakao Biaya pengendalian PBK Keuntungan usahatani
8. 9. 10.
Kriteria (1) melalui pengumpul kecil, (2) melalui pengumpul besar, (3) jual langsung ke pasar (0) lokal, (1) nasional, (2) internasional (1) rendah, (2) sedang, (3) tinggi (0) sedikit, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi (0) tidak layak, (1) agak layak, (2) layak (1)Tinggi, (2) sedang, (3) rendah (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi
Skor saat ini
(0) tidak layak, (1) layak (1)Tinggi, (2)sedang, (3) rendah (0) tidak untung, (1) agak untuk, (2) untung
c. Aspek : Sosial budaya No 1.
Dimensi dan variabel Tingkat pendidikan formal masyarakat Usia pekebun
2. 3. 4.
Tingkat penyerapan tenaga kerja pertanian Pengetahuan dan pene-rapan pengendalian PBK Kendala pengendalian PBK
Kriteria (1) dibawah rata-rata nasioanl, (2) sama dengan rata-rata nasioanal, (3) diatas rata-rata nasioanal (1) di bawah usia produktif, (2) sama dengan usia produktif, (3) di atas usia produktif (1) rendah, (2) sedang, (3) tinggi (1) rendah, (2) sedang, (3) tinggi (1) ada, (2) kadang-kadang (3) tidak ada
Skor saat ini
192
5.
Luas kebun yang diusahakan
6.
Sumber pendapatan selain kakao
7. 8.
Jarak lahan dari pemukiman Lama domisili
9.
Kendalai penerapan pengendalian
(1) kurang dari 3 ha (2) 3-5 ha (3) lebih dari 5 ha (1) tidak ada, (2) kadang-kadang, (3) ada (1) jauh, (2) sedang, (3) jauh (1) kurang dari 1 tahun (2) 1-5 tahun (3) lebih dari 5 tahun (1) rendah, (2) sedang, (3) tinggi
d. Dimensi Infrastruktur dan Teknologi
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9.
Dimensi dan variabel Tingkat penguasaan tekno-logi pengendalian PBK Ketersediaan teknologi informasi pasar kakao Ketersdiaan industri pengolahan hasil biji kakao Ketersediaan kios sarana produksi Ketersediaan lembaga keuangan Dukungan sarana dan prasarana jalan Dukungan sarana dan prasarana umum (kesehatan, pendidikan, dll) Ketersediaan data luas serangan OPT, iklim, dan musuh alami Penerapan sertifikasi mutu produk kakao
Kriteria (1) rendah, (2) sedang, (3) tinggi (1) tidak tersedia, (2) tersedia tapi tidak optimal, (3) tersedia optimal (1) belum ada, (2) ada (1) belum ada, (2) ada (1) tidak tersedia, (2) tersedia (1)Tidak memadai, (2) cukup memadai, (3)sangat memadai (1) tidak lengkap, (2) cukup lengkap, (3) lengkap (1) tidak tersedia, (2) tersedia (1) belum diterapkan, (2) diterapkan tidak konsisten, (3) konsisten diterapkan .
Skor saat ini
193
E. Dimensi Kelembagaan dan kebijakan No 1.
Dimensi dan variabel Peraturan daerah pengelolaan OPT tingkat kabupaten
2.
Peraturan daerah pengelolaan OPT tingkat provinsi
3.
7.
Ketersediaan perangkat hukum adat/agama Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah Peranan petugas penyuluh Pertanian Peranan petugas pengamat hama penyakit Peranan lembaga penelitian
No 8.
Dimensi dan variabel Ketersediaan kelompok tani
9.
Keberadaan lembaga keuangan mikro Peranan lembaga kemasyarakatan
4. 5. 6.
10
Kriteria (1) belum ada, (2) ada tapi tidak berjalan optimal, (3) ada dan berjalan optimal (1) belum ada, (2) ada tapi tidak berjalan optimal, (3) ada dan berjalan optimal (1) tidak ada, (2) cukup tersedia, (3) sangat lengkap (1) tidak sinkron, (2) kurang sinkron, (3) sinkron (1) tidak ada, (2) ada tapi tidak berperan, (3) ada dan berperan (1) tidak ada, (2) ada tapi tidak berperan, (3) ada dan berperan (1) tidak ada, (2) ada tapi tidak berperan, (3) ada dan berperan
Skor saat ini
Kriteria (1) tidak ada, (2) ada tapi tidak aktif, (3) ada dan tersedia (1) tidak ada, (2) ada tapi tidak berperan, (3) ada dan berperan (1) tidak ada, (2) ada tapi tidak berperan, (3) ada dan berperan
Skor saat ini