DAMPAK PESATNYA PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KAKAO TERHADAP SERANGAN HAMA PBK, LINGKUNGAN DAN PEREKONOMIAN REGIONAL SULAWESI SELATAN
HERMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: ”Dampak Pesatnya Pengembangan
Perkebunan
Kakao
Terhadap
Serangan
Hama
PBK,
Lingkungan dan Perekonomian Regional Sulawesi Selatan” adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing, dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini. Bogor, 21 Mei 2007
Herman Nrp: P 062030161
ABSTRAK Herman. Dampak Pesatnya Pengembangan Perkebunan Kakao Tehadap Serangan Hama PBK, Lingkungan dan Perekonomian Regional Sulawesi Selatan dibawah bimbingan M. Parulian Hutagaol sebagai ketua komisi pembimbing dan Aunu Rauf serta D.S. Priyarsono sebagai anggota komisi pembimbing. Kakao memegang peranan penting bagi perekonomian, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Namun dalam pengembangannya muncul berbagai permasalahan khususnya kerusakan lingkungan dan serangan hama PBK, sehingga keberlanjutan peran kakao terancam. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Oktober 2006 dengan menggunakan metode survei. Analisis data dilakukan dengan analisis Tabel Input Output, Regresi berganda dan Analisis Prospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran perkebunan kakao mengalami perkembangan pesat dan pada tahun 2003, output sektor ekonomi kakao sebesar Rp 2,586 triliun (3,7% total output), PDRB sebesar Rp 2,334 triliun (5,21% PDRB) dan menyerap 183.948 orang pekerja (6,02% pekerja) serta menghasilkan devisa sebesar Rp 2,5 triliun (22,74% dari total ekspor). Nilai pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja masing-masing sebesar 1,4938, 1,2666, 1,2495 dan berada pada peringkat 19, 25 dan 21 dari 25 sektor yang dianalisis. Indeks koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran masing-masing sebesar 0,8457 dan 0,7403. Total biaya eksternalitas perekonomian Sulawesi Selatan relatif kecil yaitu Rp 1,764 triliun (2,53 % dari total output). Internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan penurunan nilai output dan PDRB serta perubahan nilai pengganda output, pendapatan, dan tenaga kerja serta indeks keterkaitan antar sektor ekonomi. Arah perubahan sangat tergantung pada kondisi sektor ekonomi yang bersangkutan dan keterkaitannya dengan sektor ekonomi lainnya. Hama PBK sudah menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Serangannya menyebabkan penurunan produksi rata-rata sebesar 50% dengan kisaran 10% hingga 90%. Dalam konteks regional, serangan hama PBK yang berat dapat menyebabkan penurunan produksi kakao hingga 75% dan perkebunan kakao akan kehilangan perannya. Oleh karena itu perlu dikembangkan program pengendalian hama PBK secara terpadu dan menyeluruh. Program tersebut dapat terlaksana dengan menerapkan strategi pembangunan perkebunan kakao yang lebih progresif sehingga tercipta kondisi dimana: Teknologi mutakhir selalu tersedia di dekat petani; Petani mampu dan cepat mengadopsi teknologi baru; Dukungan kebijakan pemerintah yang optimal; Luas perkebunan kakao petani bertambah; Produktivitas kebun cukup tinggi paling tidak 60% dari potensinya (1.500 kg/ha); Kegiatan pelatihan dan penyuluhan berkesinambungan; Kredit perbankan tersedia dengan sistem administrasi sederhana dan tingkat bunga yang rendah. Kata kunci: peran kakao, hama PBK, kerusakan lingkungan, pembangunan berkelanjutan, Sulawesi Selatan
ABSTRACT Herman. The Impact of Cacao Plantation Establishment Acceleration on Cacao Pod Borer Attack, Environmental and Regional Economy in South Sulawesi Province, Supervised by M. Parulian Hutagaol as Head of Commision and Aunu Rauf and D. S. Priyarsono as Members of Commission. Cacao has an important role on Economy condition in South Sulawesi especially in provision of job opportunity, income source and devisa. However, in its development, there are several problems come out such as environmental disaster and cacao pod borer attack which threatens sustainability of cacao role in the province. The objective of the research was to analyze role development of cacao plantation on South Sulawesi regional economy. The research was carried out during January - October 2006 by using survey method. Data analysis was done by using Input Output Table analysis, Regression and Prospective analysis. The results shows that role of cacao plantation increases rapidly and in 2003, economic sector output of cacao is Rp. 2.586 trillion (3.7 % of total output), PDRB is Rp. 2.334 trillion (5.21% of PDRB) and absorb 183,948 labour force (6.02% of total labour force) and contribute Rp. 2.5 trillion of devisa (22.74% of total export). Output multiple value, income and labour force is 1.4938, 1.2666, 1.2495 and its level is on 19th, 25th and 21st among 25 sectors analyzed. Backward and forward power dispersion index are 0.8457 and 0.7403 respectively. Total externality cost of South Sulawesi economy is relatively low i.e Rp. 1.764 trillion (2.53% of total output). Internalisation of externality cost has caused some decrease of output value, PDRB value, change of multiplier value, income, labour force and linkage index among economic sector. Direction of change strongly depends on condition of related economic sector and its correlation with other economic sector. Cacao pod borer has become serious threat on sustainability of cacao plantation in South Sulawesi. In average its attack has caused 50% reduction of cacao production ranging from 10% until 90%. At regional level, severe cacao pod borer attack could generate a decrease of cacao production until 75% and eventually cacao plantation would be vanished. Consequently an integrated and comprehensive program to control its attack is extremely needed. The program could be implemented if strategy for progressive cacao plantation establishment is adapted hence new condition is produced in which sophisticated technology is provided; farmers have capability to adopt new technology promptly; provision of optimal government policy support; area of farmer’s cacao plantation increases; productivity of cacao plantation is relatively high, at least it attains 60% of its potency (1,500 kg/ha); continue training and extension is provided; credit with uncomplicated administration with low interest is available. Key words: role of cacao, cacao pod borer, environmental damage, sustainable development, South Sulawesi
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm dan sebagainya.
DAMPAK PESATNYA PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KAKAO TERHADAP SERANGAN HAMA PBK, LINGKUNGAN DAN PEREKONOMIAN REGIONAL SULAWESI SELATAN
Herman
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Disertasi : Dampak Pesatnya Pengembangan Perkebunan Kakao Terhadap Serangan Hama PBK, Lingkungan dan Perekonomian Regional Sulawesi Selatan. Nama
: Herman
Nrp
: P 062030161
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MSc. Ketua
Dr. Ir. D. S. Priyarsono, MS. Anggota
Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, MSc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS.
Tanggal Ujian Terbuka: 20 Maret 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus:
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan Disertasi dengan judul: Dampak Pesatnya Pengembangan Perkebunan Kakao Terhadap Serangan Hama PBK, Lingkungan dan Perekonomian Regional Sulawesi Selatan. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu pengetahuan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Lembaga Riset Perkebunan Indonesia yang telah memberikan bantuan pendanaan dan memberikan izin untuk mengikuti tugas belajar di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga juga disampaikan kepada komisi pembimbing yaitu: Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MSc. sebagai ketua, Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, MSc. dan Dr. Ir. D. S. Priyarsono, MS. sebagai anggota atas bimbingan yang diberikan sejak perencanaan penelitian sampai penyelesaian penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga juga disampaikan kepada ketua program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS., baik secara institusi maupun secara pribadi yang memberikan bimbingan dan nasehat yang sangat berguna bagi penulis. Terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada
Dr. Ir. Arief
Daryanto, MEc., Dr. Ir. Harianto, MS. dan Dr. Ir. Herdradjat Natawidjaja, MSc. sebagai penguji luar komisi atas saran, kritik dan masukannya dalam ujian disertasi. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Dr. Adi Prawoto, Ir. Aries Wibawa, SU., dan Dr. Misnawi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di
Jember serta Dr. Agus Purwantara dari Balai Bioteknologi Perkebunan Bogor dan Ir. Undang Fadjar, MSi atas kesediaannya berdiskusi tetang berbagai permasalahan dan prospek pengembangan kakao Indonesia. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman khusunya Dr. Ir. Gufran Darma Dirawan MSc., Ir. Marganof, MS., Dr. Drh. Ratna Katharina, MSi., Ir. Marini Susanti, MS., Ir. Frida Purwanti, MSc., Dr. Ir. Sabarman Damanik, MS. yang telah banyak membantu dan berdiskusi selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan Kepada Bapak Sunaryo, SP. Kepala Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polman, Bapak Abd. Muin petugas Dinas Perkebunan Kecamatan Kalukku dan Bapak Kharisman petugas Dinas Perkebunan Kecamatan Sampaga, Kabupaten Mamuju yang telah membantu sebagai enumerator dalam pengumpulan data dari petani kakao. Kepada yang paling penulis hormati dan cintai ayahnda H. M. Hanafiah dan bunda Hj. Maserah (Almh), penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala doa restu, bantuan, pendidikan dan motivasi yang telah diberikan selama ini. Kepada adik-adik Dra. Hj. Hardiah Asni, H. Alfian Yusuf, SKM., S.Pd., M.Kes., dan Nurhilaliah Rahmi, SP., juga penulis sampaikan terima kasih atas segala doa, bantuan dan dorongan motivasi. Terakhir kepada istriku tercinta Ir. Hj. Sri Suharti, MSc. dan anak-anakku Muhammad Ilyas dan Zulkifli Muhammad Hanif penulis sampaikan terima kasih atas segala cinta, pengertian, dorongan dan bantuan moril, semoga pengorban yang telah kita lewati menjadi pemicu untuk meraih masa depan yang lebih baik bagi kita semua. Akhir kata penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan semua pihak yang memerlukannya. Amin.
Bogor, 21 Mei 2007
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan pada tanggal 30 Oktober 1959, sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak H. M. Hanafiah dan Ibu Hj. Maserah (Almh). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar, pendidikan menegah pertama dan pendidikan menengah atas di kota kelahiran Kandangan, Kalimantan Selatan. Pada tahun 1979, penulis mendapat kesempatan belajar di Institut Pertanian Bogor dan penulis menyelesaikan pendidikan sarjana S1 pada Jurusan Agribisnis Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB pada tahun 1983. Pada tahun 1984, penulis mulai bekerja di Balai Penelitian Perkebunan Bogor. Kemudian pada tahun 1990 dialih tugaskan ke Pusat Pengkajian dan Pengembangan Agribisnis Perkebunan, Asosiasi Penelitian Pekebunan Indonesia. Selanjutnya sejak tahun 1996 ditugaskan di Unit Pengkajian Kebijakan, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia hingga sekarang. Pada tahun 1991, penulis kembali mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 1994. Kemudian pada tahun 2003, penulis kembali mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah dengan Ir. Hj. Sri Suharti, MSc. pada tahun 1986 dan dikaruniai dua orang anak, Muhammad Ilyas (19 tahun) dan Zulkifli Muhammad Hanif (10 tahun).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xvii
I.
PENDAHULUAN................................................................................. 1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1.2. Kerangka Pemikiran .................................................................... 1.3. Perumusan Masalah .................................................................... 1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................ 1.5. Kegunaan Penelitian .................................................................... 1.6. Kebaharuan (Novelty) ..................................................................
1 1 4 15 16 17 17
II.
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1. Tinjauan Teori Pembangunan ...................................................... 2.1.1. Teori Pertumbuhan Linear ................................................. 2.1.2. Teori Perubahan Struktural ................................................ 2.1.3. Teori Revolusi Ketergantungan Internasional .................... 2.1.4. Teori Neo-Klasik................................................................. 2.1.5. Teori Teori Baru ................................................................. 2.1.6. Perlu Pengembangan Teori Pembangunan Berkelanjutan 2.2. Pembangunan Berkelanjutan ........................................................ 2.2.1. Sejarah Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan ................ 2.2.2. Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan .............................. 2.3. Model Input Output ...........................................…...................... 2.3.1. Model Input Output Konvensional .................................... 2.3.2. Model Input Output Berwawasan Lingkungan .................. 2.3.3. Pengertian dan Pengukuran Eksternalitas ....... .................. 2.4. Prospek dan Permasalahan Perkebunan Kakao ............................ 2.4.1. Kerusakan Lingkungan Akibat Pangembangan Kakao ...... 2.4.2. Ancaman Hama PBK dan Upaya Pengendaliannya .......... 2.4.3. Teknologi Budidaya PsPSP Sebagai Suatu Inovasi ...........
19 19 20 22 23 24 24 25 27 28 30 33 35 37 39 44 46 49 53
III. METODE PENELITIAN ................................................................... 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 3.2. Jenis dan Sumber Data serta Tehnik Pengambilan Contoh .......... 3.3. Metode Analisis Data ................................................................... 3.3.1. Analisis Biaya Lingkungan .............................................. 3.3.2. Analisis Tabel Input Output .............................................. 3.3.3. Analisis Dampak Serangan Hama PBK ........................... 3.3.4. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi ........................................................................... 3.3.5. Analisi Prospektif .............................................................. 3.4. Definisi Operasional .....................................................................
55 55 55 57 57 58 62 63 65 67
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN .................................. 4.1. Letak Geografis, Kondisi Tanah dan Keadaan Iklim ..................... 4.2. Penduduk dan Mata Pencaharian ................................................... 4.3. Pembangunan Regional Sulawesi Selatan ...................................... 4.3.1. Kondisi Perekonomian Regional Sulawesi Selatan .......... 4.3.2. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan ............................................................................... 4.3.3. Program dan Kegiatan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan ................................................................................ 4.3.4. Kinerja Kebijakan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan 2003 ....................................................................... 4.4. Kondisi Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan .................. 4.4.1. Kondisi Sumberdaya Alam ................................................ 4.4.2. Kondisi Lingkungan Buatan............................................... 4.4.3. Penurunan Kualitas Lingkungan ........................................ 4.5. Perkembangan Perkebunan Kakao di Sulawesi Selatan ................. 4.5.1. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Serangan Hama PBK ......................................................... 4.5.2. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Lingkungan ........................................................................ 4.5.3. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Perekonomian Regional .....................................................
70 70 75 77 77 80 81 83 85 86 91 94 98 100 101 102
BIAYA LINGKUNGAN HIDUP DAN EKSTERNALITAS ............ 5.1. Biaya Lingkungan Hidup Berbagai Sektor Ekonomi ...................... 5.1.1. Sektor Pertanian ................................................................. 5.1.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian ............................... 5.1.3. Sektor Industri .................................................................... 5.1.4. Sektor Listrik, Gas dan Air Mimum ................................... 5.1.5. Sektor Bangunan ................................................................ 5.1.6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran ........................... 5.1.7. Sektor Angkutan dan Komunikasi ...................................... 5.1.8. Sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya .................. 5.1.9. Sektor Jasa .......................................................................... 5.2. Biaya Lingkungan Sebagai Eksternalitas ........................................
103 104 105 117 119 122 123 123 124 124 125 126
VI. PERAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL ............. 6.1. Peran Kakao dalam Struktur Perekonomian Regional .................... 6.1.1. Peran Kakao dalam Pembentukan Output ......................... 6.1.2. Peran Kakao dalam Menghasilkan PDRB ........................ 6.1.3. Kontribusi Kakao bagi Penerimaan Ekspor ...................... 6.1.4. Peran Kakao dalam Penyerapan Tenaga Kerja .................. 6.2.Peran Kakao Bagi Pertumbuhan Ekonomi Regional ....................... 6.2.1. Peran Kakao dalam Pengganda Output ............................. 6.2.2. Peran Kakao dalam Pengganda Pendapatan ....................... 6.2.3. Peran Kakao dalam Pengganda Tenaga Kerja ................... 6.2.4. Keterkaitan dengan Sektor Ekonomi Lainnya ................... 6.2.5. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Biaya Eksternalitas .......................................................................
130 131 132 134 135 137 138 138 139 140 140
V.
142
VII. PROSPEK PERAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL ........................................................................................... 7.1. Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas ..................................... 7.1.1 Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap Output ................................................................................ 7.1.2. Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap PDRB ................................................................................. 7.1.3. Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap Tenaga Kerja Dan Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi .... 7.2. Dampak Serangan Hama PBK ....................................................... 7.2.1. Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Pendapatan Petani .................................................................................. 7.2.2. Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Penekonomian Regional ............................................................................. 7.2.3. Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Biaya Eksternalitas ....................................................................... VIII. ADOPSI TEKNOLOGI UNTUK KEBERLANJUTAN PERAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL ............................ 8.1. Keragaan Usahatani Kakao ............................................................ 8.1.1. Karakteristik Petani Kakao .................................................. 8.1.2. Pendapatan Petani Kakao ..................................................... 8.1.3. Pengendalian Hama PBK ..................................................... 8.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi .................. 8.2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Petani ...... 8.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani ................. 8.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tindakan Petani ..........
144 145 145 147 150 153 153 154 156 158 158 159 160 162 163 163 166 167
IX. STRATEGI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KAKAO BERKELANJUTAN ............................................................................ 9.1. Identifikasi Faktor-faktor yang Berpengaruh ................................. 9.2. Kondisi Faktor-faktor yang Berpengaruh ...................................... 9.3. Arahan Strategi Pembangunan Perkebunan Kakao Berkelanjutan ................................................................................ 9.3.1. Peningkatan Produktivitas Perkebun Kakao ........................ 9.3.2. Penyediaan Teknologi Mutakhir Secara Lokal ................... 9.3.3. Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Petani ............ 9.3.4. Dukungan Kebijakan Pemerintah ........................................
180 181 181 182 183
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 10.1. Kesimpulan ................................................................................... 10.2. Saran ..............................................................................................
185 185 187
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
189
LAMPIRAN ...................................................................................................
198
X.
170 170 175
DAFTAR TABEL Halaman 1. Ilustrasi tabel input-output .........................................................................
36
2. Model umum tabel input output (nxn) .......................................................
60
3. Rumus pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja ...........................
61
4. Pengaruh langsung antar faktor yang mempengaruhi sistem agribisnis kakao .........................................................................................
65
5. Kondisi topografi wilayah Provinsi Sulawesi Selatan ...............................
72
6. Erosi tanah pada beberapa daerah aliran sungai (DAS)/sub DAS .............
73
7. Tipe iklim, bulan kering dan penyebarannya .............................................
74
8. Perkembangan penduduk kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan, 1999-2003 ...................................................................................
75
9. Distribusi pekerja pada berbagai lapangan pekerjaan, 2003 .....................
77
10. Perkembangan kontribusi berbagai sektor ekonomi terhadap PDRB atas harga berlaku ......................................................................................
78
11. Pertumbuhan PDRB Provinsi Sulawesi Selatan 1993-2003 .....................
80
12. Pencemaran udara yang dihasilkan oleh rumah tangga dan industri dari pembakaran BBM dan limbah padat di Sulawesi Selatan tahun 2003 ...........................................................................................................
96
13. Beban pencemaran air di Sulawesi Selatan ...............................................
97
14. Perkembangan areal perkebunan di Provinsi Sulawesi Selatan 19902003 ...........................................................................................................
99
15. Biaya eksternalitas sektor ekonomi tanaman bahan makanan non padi .....................................................................................................
109
16. Sebaran areal perkebunan kopi dan perkiraan erosi tanah tahun 2003 ...........................................................................................................
110
17. Sebaran areal perkebunan kakao dan perkiraan erosi tanah tahun 2003 ..........................................................................................................
111
18. Sebaran areal perkebunan lainnya dan perkiraan erosi tanah tahun 2003 ...........................................................................................................
113
19. Biaya ekternalitas berbagai sektor ekonomi, 2003 ....................................
126
20. Posisi nilai output berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan, tahun 2000 dan 2003 ......................................
133
xiv
21. Posisi berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan berdasarkan PDRB, tahun 2000 dan 2003.......................
135
22. Perkembangan nilai ekspor dan perdagangan antar provinsi berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan ...............
137
23. Nilai pengganda beban biaya eksternalitas perekonomian regional Sulawesi Selatan .........................................................................................
143
24. Posisi nilai output berbagai sektor ekonomi pada tabel IO konvensional dan tabel IO dikoreksi biaya eksternalitas Sulawesi Selatan, tahun 2003 ..
147
25. Posisi nilai PDRB berbagai sektor ekonomi pada tabel IO konvensional dan tabel IO dikoreksi biaya eksternalitas Sulawesi Selatan, tahun 2003 ..
148
26. Karakteristik petani kakao dan kondisi usahataninya, 2005 .......................
160
27. Pendapatan dan pengeluaran keluarga petani kakao, 2005 .........................
161
28. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan petani .............................
164
29. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan petani dalam model persamaan yang disederhanakan .................................................................
166
30. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani .........................................
166
31. Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan petani ....................................
167
32. Skor hasil penilaian para pakar terhadap pengaruh langsung antar faktor yang mempengaruhi sistem agribisnis kakao ...................................
173
33. Beberapa kemungkinan kondisi dari faktor-faktor yang berpengaruh .......
176
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan kerangka pemikiran pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan..............................................................................................
7
2. Proses adopsi teknologi .............................................................................
11
3. Tahapan kegiatan penelitian .....................................................................
14
4. Tngkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor yang berpengaruh dalam sistem agribisnis kakao ..................................................................
66
5. Peta provinsi Sulawesi Selatan .................................................................
71
6. Peta penutupan lahan hutan, 1997 ............................................................
88
7. Peta kawasan yang mempengaruhi dan dipengaruhi Danau Tempe .........
89
8. Hasil analisis keterkaitan antar faktor yang mempengaruhi agribisnis kakao di Sulawesi Selatan .......................................................
174
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Klasifikasi sektor tabel I-O Sulawesi Selatan tahun 2000 yang disederhanakan dari 112 sektor menjadi 25 sektor ................................
198
2. Tabel IO Sulawesi Selatan tahun 2000 yang disederhanakan, atas dasar harga produsen (jutaan rupiah)......................................................
202
3. Variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap adopsi teknologi pengendalian hama PBK (PsPSP), 2006 ...............................
206
4. Kandungan Unsur Hara Utama N, P, dan K Tanah di Sulawesi Selatan
212
5. Tabel IO Sulawesi Selatan Tahun 2003, atas dasar harga produsen (jutaan rupiah).........................................................................................
213
6. Tabel IO Sulawesi Selatan Tahun 2003 dikoreksi biaya eksternalitas, atas dasar harga produsen (jutaan rupiah) ..............................................
217
7. Pengganda output berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan, 2003 ............................................................
221
8. Pengganda pendapatan berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan, 2003 ....................................
223
9. Pengganda tenaga kerja berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan, 2003 ....................................
225
10. Daya Penyebaran dan daya kepekaan pada IO-konvensional dan IO- dikoreksi biaya eksternalitas ..........................................................
227
11. Peringkat sektor ekonomi berdasarkan nilai indeks keterkaitannya dengan sektor lain ..................................................................................
228
xvii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Pada tahun 2004, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar satu juta kepala keluarga petani serta memberikan sumbangan devisa sebesar US $ 546 juta. Nilai devisa ekspor kakao tersebut sedikit lebih rendah dari nilai ekspor kakao tahun 2002 dan 2003 yang masing-masing sebesar US $ 701 juta dan US $ 621 juta (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006). Sulawesi Selatan sebagai sentra utama produksi kakao Indonesia telah menikmati peran kakao sejak awal krisis ekonomi melanda Indonesia. Kakao tampil sebagai penyelamat ekonomi rumah tangga petani, bahkan telah menghantarkan banyak petani kakao menjadi “orang kaya baru” karena harga kakao melambung tinggi dari Rp 3.325/kg pada tahun 1997 menjadi Rp 10.740/kg tahun 1998. Sejak saat itu, komoditas kakao memberikan kontribusi yang cukup nyata bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Pada tahun 1998, kakao memberikan kontribusi output sebesar Rp 2,19 triliun atau 50,65% total nilai output perkebunan Sulawesi Selatan dan kakao tampil sebagai komoditas andalan ekspor Sulawesi Selatan dengan pangsa sebesar 38,28% dari total nilai ekspor Sulawesi Selatan (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan 1999 dan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1999ª). Di samping itu, perkebunan kakao telah memacu perkembangan wilayah dan pertumbuhan sektor ekonomi lainnya, terutama yang berkaitan langsung dengan perkebunan kakao seperti: pengadaan sarana produksi, perdagangan produksi biji kakao, dan industri pengolahan biji kakao. Perkebunan kakao masih prospektif untuk terus dikembangkan karena situasi kakao dunia mengalami defisit produksi sejak tahun 2001, sehingga harga kakao dunia cukup tinggi. Harga kakao dunia relatif stabil diatas US $ 1.300/ton sejak akhir tahun 2001, bahkan rata-rata di atas US $ 1.500/ton pada tahun 2005 (International
2
Cocoa Organization 2006). Kondisi ini terus memicu perluasan areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Areal perkebunan kakao di daerah ini berkembang hampir dua kali lipat dalam waktu 6 tahun terakhir yaitu dari 157.649 ha pada tahun 1997 menjadi 296.039 ha tahun 2003 atau rata-rata tumbuh 14,63% per tahun. Perkebunan kakao di Sulawesi Selatan hampir seluruhnya (99,26%) diusahakan oleh petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas, Pinrang, Bone, dan Luwu Utara (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1998, 2004, dan 2004a). Perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat tersebut cenderung tidak terkendali karena pengembangannya dilakukan oleh petani dengan sasaran pengembangan di lereng-lereng bukit dan pegunungan serta sebagian memasukan kawasan hutan (non budidaya). Pengembangan areal perkebunan kakao tersebut dilakukan petani tanpa dilandasi oleh studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Hal ini telah mengundang kritikan tajam karena beberapa fakta menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan kakao di daerah ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan berupa peningkatan erosi, kerusakan daerah tangkapan air dan penyusutan keanekaragaman hayati dengan berbagai dampak turunannya seperti peningkatan lahan kritis, banjir dan kekeringan. Menurut Akiyama dan Nishio (1997), pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat di Sulawesi Selatan di satu sisi memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, tetapi di sisi lain menimbulkan dampak negatif berupa peningkatan erosi dan menurunkan areal tangkapan air serta penyusutan keanekaragaman hayati. Kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan tersebut merupakan suatu biaya lingkungan yang biasanya tidak diperhitungkan dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi maupun peran suatu sektor ekonomi dalam perekonomian regional. Akibatnya pertumbuhan ekonomi maupun peran suatu sektor ekonomi dalam perekonomian regional masih bersifat “semu” dan masyarakat masih harus menanggung biaya eksternalitas dari suatu proses produksi atau kegiatan ekonomi. Lebih lanjut, karena perencanaan pembangunan ekonomi umumnya disusun berdasarkan hasil-hasil pembangunan sebelumnya sehingga ada kemungkinan
3
pembangunan yang direncanakan akan lebih memperparah kerusakan lingkungan dan memperbesar beban biaya ekternalitas yang harus ditanggung masyarakat. Lebih lanjut, pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat telah menghasilkan hamparan perkebunan kakao yang sambung-menyambung, sehingga setiap adanya serangan hama penyakit tanaman kakao akan cepat menyebar dan sulit dikendalikan. Pada saat ini, petani kakao Sulawesi Selatan sedang menghadapi persoalan yang sangat serius yaitu adanya serangan hama penggerek buah kakao (PBK), Conopomorpha cramerella Snell. (Lepidoptera; Gracillariidae). Hama PBK teridentifikasi mulai menyerang perkebunan kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 1995 dan menyebar dengan pesat ke berbagai penjuru. Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan (2004 dalam Mustafa 2005), hama PBK sudah menyerang hampir seluruh perkebunan kakao di Sulawesi Selatan dan diperkirakan menimbulkan kerugian mencapai Rp 810 milyar per tahun. Kerugian yang terus menerus menyebabkan kemampuan petani untuk memelihara perkebunan kakaonya menurun, sehingga perkebunan kakao menjadi terlantar, rusak dan lahannya akan terdegradasi. Di sisi lain, sebagian petani tetap berupaya untuk memenuhi permintaan kakao dunia yang terus meningkat dengan mengembangkan perkebunan kakao baru di daerah yang terpencil dan biasanya memasuki kawasan hutan dengan harapan terhindar dari serangan hama PBK. Pengembangan perkebunan kakao yang dilakukan petani tersebut dapat selamat dari serangan hama PBK dalam beberapa musim panen, tetapi kemudian hama PBK juga menyerang perkebunan kakao tersebut dan menimbulkan kerugian sama seperti perkebunan kakao lainnya. Sampai tahun 2005, kerugian dan kerusakan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan akibat serangan hama PBK belum separah kerusakan perkebunan kakao di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Serangan hama PBK sejak awal tahun 2003 menyebabkan sekitar 90% dari 20.000 ha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Sikka mengalami kerusakan dan puluhan ribu kepala keluarga petani pemiliknya
4
terancam kelaparan1. Meskipun demikian, tidak mustahil serangan hama PBK akan menimbulkan kerusakan perkebunan kakao dan dampak sosial ekonomi yang lebih parah bagi petani kakao di Sulawesi Selatan karena serangan hama PBK sudah beberapa kali menghancurkan perkebunan kakao di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan gambaran tersebut tampak bahwa serangan hama PBK tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, kemiskinan dan kelaparan, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan, baik lingkungan perkebunan kakao yang sudah ada maupun lingkungan hutan akibat percepatan proses alih fungsi hutan menjadi perkebunan kakao. Oleh karena itu, upaya untuk mengendalikan serangan hama PBK mempunyai arti yang sangat strategis untuk mengurangi kerugian ekonomi dan dampak sosial ekonomi lainnya serta mempertahankan keberlanjutan perkebunan kakao sekaligus mengurangi kerusakan lingkungan dan biaya eksternalitas. Sebenarnya teknologi pengendalian hama PBK telah tersedia dan sudah disosialisasikan secara intensif melalui kegiatan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SL-PHT) sejak tahun 2000. Namun proses adopsi teknologi tersebut sangat lambat karena berbagai kendala yang dihadapi petani. Oleh karena itu mempelajari permasalahan adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan biaya eksternalitas merupakan hal yang sangat krusial dalam upaya mempertahankan peran strategis perkebunan kakao bagi perekonomian regional dan menjaga keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan.
1.2. Kerangka Pemikiran Pengembangan perkebunan kakao dan kelestarian fungsi lingkungan merupakan dua agenda yang diharapkan dapat berjalan harmonis dalam pembangunan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Pembangunan perkebunan di satu sisi akan memberikan dampak positif bagi perekonomian regional khususnya sebagai penyedia kesempatan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara, serta 1
Kompas, 14 Juni 2006. Penanganan Kakao di Sikka 3 Tahun.
5
pendorong pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Namun di sisi lain pengembangan perkebunan kakao memaksa terjadinya alih fungsi lahan dan proses alih fungsi lahan ini dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif tergantung pada kondisi lahan yang dialih fungsikan dan teknologi budidaya kakao yang digunakan. Teknologi budidaya kakao yang diterapkan petani sangat menentukan dampak dari proses alih fungsi lahan dan tingkat produksi perkebunan kakao petani. Alih fungsi lahan akan menimbulkan dampak positif apabila lahan yang dialih fungsikan merupakan lahan kritis yang diubah menjadi perkebunan kakao dengan menggunakan teknologi budidaya ramah lingkungan. Sebaliknya alih fungsi lahan akan berdampak negatif apabila lahan yang dialih fungsikan merupakan hutan lindung pendukung kehidupan menjadi perkebunan kakao yang kurang mampu menggantikan fungsi ekologis hutan lindung. Dampak negatif alih fungsi lahan cukup nyata terjadi pada saat awal proses alih fungsi lahan dan akan berkurang pada saat perkebunan kakao berhasil dibangun serta kembali meningkat ketika perkebunan kakao mengalami kerusakan. Pada awal proses alih fungsi lahan muncul dampak negatif berupa: peningkatan erosi dan sedimentasi, penyusutan keanekaragaman hayati, kerusakan tata air dan peningkatan emisi gas rumah kaca CO2. Selanjutnya dampak negatif mulai berkurang pada saat tanaman kakao mulai menutupi lahan yang terbuka karena erosi lahan mulai berkurang. Namun erosi lahan dapat kembali meningkat jika perkebunan kakao tidak terpelihara dan mengalami kerusakan. Berbagai dampak negatif tersebut merupakan biaya lingkungan yang hingga saat ini masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas, akibatnya hasil perhitungan pertumbuhan ekonomi atau peran suatu sektor ekonomi dalam perekonomian regional masih bersifat ”semu”. Dalam perekonomian regional sektor ekonomi kakao mempunyai keterkaitan dengan sektor ekonomi lainnya. Perkebunan kakao dalam proses produksinya memerlukan sejumlah input dan bersamaan dengan itu dihasilkan sejumlah output yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan permintaan akhir berupa konsumsi rumah tangga, ekspor dan lain-lain maupun sebagai input produksi sektor
6
ekonomi lainnya. Kondisi yang sama juga terjadi pada sektor perekonomian lainnya dan apabila arus input-output tersebut disederhanakan maka akan dapat dibentuk tabel input-output. Selanjutnya melalui pendekatan matematika akan dapat diperoleh berbagai informasi yang sangat berguna dalam perencanaan pembangunan perekonomian regional. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkebunan kakao Sulawesi Selatan saat ini sedang menghadapi serangan hama PBK dan petani belum mampu mengendalikannya. Di sisi lain, teknologi pengendalian hama PBK yang cukup efektif untuk mengendalikan serangan hama PBK telah tersedia, tetapi belum diadopsi secara masal oleh petani. Oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK guna menunjang keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi perekonomian Regional Sulawesi Selatan. Berbagai permasalahan tersebut akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan Input Output dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK. Kemudian hasil analisis tersebut dilengkapi dengan analisis prospektif guna merumuskan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan. Secara sederhana kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
7
Pengembangan Perkebunan Kakao Serangan Hama PBK
Teknologi Budidaya Kakao
Produksi Kakao
Output, PDRB, Lapangan Kerja
Pengembangan Sektor Ekonomi Lainnya
Pendapatan Petani
Kebun Terlantar
Alih Fungsi Lahan
Kerusakan Lingkungan
Limbah
Perbaikan Lingkungan
Valuasi Ekonomi
IO-Konvensional: Peran “Semu” kakao
Adopsi Teknologi: Faktor Berpengaruh
IO-Lingkungan: Peran Riil kakao
Analisis Prospektif Keterangan: Saling Berpengaruh Berpengaruh
Strategi Pembangunan Perkebunan Kakao Berkelanjutan
Di Analisis Rekomendasi Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Pembangunan Perkebunan Kakao Berkelanjutan.
8
Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan peran perkebunan kakao secara berkelanjutan membutuhkan biaya yang cukup besar. Dalam situasi ketersediaan dana pemerintah yang relatif terbatas, maka keputusan alokasi dana pada suatu sektor perekonomian sangat tergantung pada perannya dalam menggerakkan perekonomian daerah. Melalui pendekatan input output, akan diperoleh gambaran yang lebih rinci bagaimana peran perkebunan kakao dalam menggerakkan perekonomian regional melalui penelaahan pengganda output, pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerja serta keterkaitan antar sektor perekonomian. Melalui pendekatan input output juga dapat ditelaah dampak negatif dari serangan hama PBK. Apabila serangan hama PBK tidak terkendali, maka peran sektor perkebunan kakao akan mengalami kontraksi dan melalui pendekatan input output akan diperoleh gambaran berapa besar dampak serangan hama PBK bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Dengan memahami dampak serangan hama PBK tersebut akan diketahui bagaimana pentingnya upaya pengendalian hama PBK di daerah ini. Namun karena adanya externalitas dalam proses produksi, maka berbagai informasi tersebut masih bersifat “semu”. Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi dengan melakukan internalisasi biaya eksternalitas ke dalam tabel input-output konvensional, sehingga menjadi tabel input output berwawasan lingkungan. Koreksi terhadap tabel input output konvensional tersebut idealnya dilakukan dengan cara mengembangkan model tabel input output umum atau model ekonomi ekologi maupun model komoditi industri. Namun karena keterbatasan ketersediaan data, maka pengembangan model input output berwawasan lingkungan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengoreksi atau menginternalisasikan biaya eksternalitas ke nilai output tabel input output konvensional, sehingga menjadi tabel input output terkoreksi biaya eksternalitas. Koreksi biaya eksternalitas tersebut dilakukan terhadap sektor-sektor ekonomi yang menghasilkan biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas karena secara teoritis sektor ekonomi tersebut bertanggungjawab atas pencemaran atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Koreksi output
9
dilakukan mengikuti asumsi dasar tabel input-output yaitu secara proposional terhadap nilai outputnya. Secara matematis, koreksi output masing-masing sektor ekonomi dengan biaya eksternalitas tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: Xi = Xi1 + Xi2 + ........ + Xij + ......... + Xin + Yi ....................................... (1) Xi yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas (BE) adalah Xi-BE = X*i, maka Xi* = ai1* Xi1 + ai2*Xi2 + ........ + aij*Xij + .......... + ain*Xin + ai*Yi ............ (2) dimana: Xi = Xij = Yi = BE = Xi* = aij = aij* =
Total output sektor ke-i, Jumlah output sektor ke-i yang dijual ke sektor j, Jumlah permintaan akhir untuk sektor ke-i, Total biaya eksternalitas sektor ke-i. Total output sektor ke-i yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas, (Xij/Xi) = koefisien input output, aij - (Xij/Xi)BE dan ai* = (Yi/Xi) - (Yi/Xi)BE.
Selanjutnya sebagaimana telah dikemukakan bahwa hama PBK merupakan ancaman yang serius bagi keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Serangan hama PBK dapat menurunkan produksi lebih dari 80%, sehingga sangat merugikan petani. Kerugian yang terus menerus menyebabkan kebun ditelantarkan dan menjadi rusak, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah lingkungan. Oleh karena itu diperlukan upaya yang lebih intensif untuk mengendalikan serangan hama PBK secara menyeluruh guna menyelamatkan keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Upaya pengendalian hama PBK sebenarnya sudah dilakukan sejak hama PBK teridentifikasi menyerang perkebunan kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 1995. Upaya pengendalian hama PBK pada awalnya dilakukan dengan menggunakan pestisida, tetapi tidak memberikan hasil yang memuaskan. Selanjutnya pengendalian hama PBK dilakukan dengan menerapkan paket teknologi PsPSP yaitu: Panen sering, Pemangkasan, Sanitasi, dan Pemupukan. Namun upaya tersebut juga belum memberikan hasil yang optimal karena sosialisasi dan adopsi teknologi pengendalian hama PBK tersebut sangat lambat. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mempercepat sosialisasi dan adopsi teknologi pengendalian hama PBK.
10
Menurut Rogers (1995), adopsi teknologi merupakan suatu proses yang dimulai dari pengetahuan tentang inovasi (teknologi baru), diikuti dengan pembentukan sikap terhadap inovasi dan diakhiri dengan keputusan (tindakan) untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Pengetahuan tentang inovasi merupakan proses pengenalan dimana seseorang menerima atau mengetahui informasi tentang teknologi baru. Pembentukan sikap merupakan suatu proses mental seseorang untuk mengevaluasi terhadap teknologi baru. Sementara itu, keputusan atau tindakan merupakan suatu tahapan dimana seorang petani mulai mengambil keputusan untuk menerapkan atau tidak menerapkan teknologi baru pada usahataninya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa adopsi teknologi dipengaruhi oleh karakteristik teknologi, karakteristik pengambil keputusan, karakteristik lingkungan, saluran komunikasi dan usaha promosi. Karakteristik teknologi meliputi keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, trialabilitas, dan observabilitas. Sementara karakteristik petani sebagai pengambil keputusan dipengaruhi oleh individu petani, kelompok tani dan penguasa. Sedangkan karakteristik lingkungan sosial, saluran komunikasi dan usaha promosi dipengaruhi antara lain: toleransi terhadap perubahan, keberadaan sumber informasi, keberadaan pembina dan intensitas kerjasama antar petani (Rogers, 1995). Secara sederhana proses adopsi teknologi dapat dilihat pada Gambar 2.
11
Kemampuan Petani 1. Tenaga kerja terampil 2. Modal 3. Bahan dan alat
Sifat-sifat Individu Petani: 1. Karakteristik Petani 2. Kebutuhan Petani Terhadap Perubahan/Inovasi
Terus mengadopsi ADOPSI
PENGETAHUAN
1. 2. 3. 4. 5.
Lingkungan Sosial: Keberadaan Sumber Informasi Keberadaan Pembinaan Intensitas Kerjasama Toleransi Terhadap Perbedaan/Perubahan Pola Pengambilan Keputusan
SIKAP
TINDAKAN
MENOLAK Karakteristik Teknologi 1. Keuntungan ekonomi 2. Keuntungan sosial 3. Kompatibilitas 4. Kompleksitas 5. Observabilitas
Karakteristik Kebun 1. Luas kebun kakao 2. Umur tanaman 3. Kemiringan lahan.
PERJALANAN WAKTU
Gambar 2. Proses Adopsi Teknologi
Diskontinu 1. Ganti yang baru 2. Kecewa Pengadopsian terlambat Tetap menolak
Berdasarkan penjelasan tersebut tampak bahwa adopsi teknologi merupakan suatu variabel tidak bebas kualitatif dengan dua kategori yaitu 0 (nol) untuk menolak inovasi teknologi dan 1 (satu) untuk menerima atau mengadopsi teknologi. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1998), untuk menduga regresi peubah tidak bebas kualitatif dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu: Model Probabilistik Linier (Linear Probability Model), Model Probit (Probit Model), dan Model Logit (Logit Model). Model Probabilistik Linier mempunyai kelemahan karena ada kemungkinan peluang bersyaratnya berada diluar kisaran 0-1, sehingga sulit dilakukan pendugaan dengan menggunakan model OLS (Ordinary Least Square). Sementara itu, Model Probit dan Model Logit selalu memenuhi peluang bersyarat pada kisaran 0-1. Namun Model Probit lebih rumit perhitungannya dari pada Model Logit, maka dalam penelitian terapan lebih sering digunakan Model Logit. Pada penelitian ini pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK dilakukan dengan menggunakan Model Logit yang dirumuskan sebagai berikut (Pindyck dan Rubinfeld 1998): 1 ⎞ ⎛ 1 ⎞ ⎛ ….………….................…(3) Pi = F ( Z i ) = (α + βX i ) = ⎜ =⎜ − zi ⎟ α + βXi ⎟ ⎠ ⎝1 + e ⎠ ⎝1 + e
Apabila ruas kiri dan kanan persamaan (1) di kalikan dengan (1+e-zi), maka akan diperoleh:
(1 + e − z i )Pi = 1 ........................................................................................... (4) Kemudian jika kedua ruas kiri dan kanan persamaan (2) dibagi dengan Pi dan dikurangi 1 maka diperoleh: ⎛ 1 ⎞ ⎛ 1 − Pi e − z i = ⎜⎜ − 1 ⎟⎟ = ⎜⎜ ⎝ Pi ⎠ ⎝ Pi
⎞ ⎟⎟ .......................................................................... (5) ⎠
Dengan mendefinisikan e − z i = 1 / e z i maka ⎛ Pi e − z i = ⎜⎜ ⎝ 1 − Pi
⎞ ⎟⎟ .............................................................................................. (6) ⎠
13
Jika kedua ruas kiri dan kanan di Ln-kan maka diperoleh : ⎛ Pi Z i = Ln ⎜⎜ ⎝ 1 − Pi
⎞ ⎟⎟ = α + β X i + e i ................................................................ (7) ⎠
dimana: Pi = Peluang petani mengadopsi teknologi pengendalian hama PBK (Pi =1 jika petani mengadopsi dan Pi=0 jika petani tidak mengadopsi), Xi = Variabel bebas ( i = 1, 2, 3, ...... n) α = intersep, βi = Parameter peubah Xi ei = galat acak. Berdasarkan latar belakang masalah dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan diatas, maka kegiatan penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut: Tahap pertama adalah perumusan masalah dan tujuan penelitian. Tahap kedua adalah survei pendahuluan untuk mengumpulkan data dasar dan penentuan lokasi sampel serta penentuan pendekatan pemecahan masalah. Selanjutnya, tahap ketiga adalah survei utama untuk mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan dilakukan analisis data dan simulasi guna merumuskan strategi dan kebijakan pembangunan perkebunan kakao yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan (Gambar 3).
14
Persiapan Penelitian -
Perumusan masalah, Perumusan tujuan penelitian
Survei Pendahuluan - Identifikasi data, lokasi, dan pendekatan, - Pengumpulan data dasar, - Pengolahan dan analisis data dasar.
Survei Utama - Identifikasi dan pengumpulan data sekunder, - Pengumpulan data dan informasi primer. Pengolahan dan Analisis Data -
Biaya Lingkungan, Tabel IO konvensional dan IO yang dikoreksi biaya eksternalitas, Simulasi dampak serangan hama PBK, Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK-PsPSP. Analisis Prospektif untuk merumuskan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan.
Gambar 3. Tahapan Kegiatan Penelitian.
15
1.3. Perumusan Masalah Perkebunan kakao mempunyai arti yang cukup strategis bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Namun dalam pengembangannya terdapat beberapa permasalahan khususnya permasalahan lingkungan dan serangan hama PBK yang mengancam keberlanjutan perkebunan kakao di daerah ini. Permasalahan tersebut perlu mendapat perhatian yang lebih serius karena Sulawesi Selatan merupakan sentra utama produksi kakao nasional dan kakao merupakan salah satu andalan ekspor komoditas perkebun Indonesia. Kesadaran akan pentingnya peran perkebunan dalam perekonomian nasional telah mendorong pemerintah pusat untuk mencanangkan program revitalisasi terhadap tiga komoditas utama perkebunan yaitu kelapa sawit, karet dan kakao mulai pertengahan tahun 2005. Pencanangan program revitalisasi tersebut disambut baik oleh dunia usaha khususnya perusahaan perkebunan besar yang mengusahakan komoditas kelapa sawit. Program revitalisasi perkebunan juga mendapat dukungan dari perbankan nasional khususnya BRI dan Bank Mandiri. Namun kenyataannya perhatian dan respon yang diterima oleh komoditas kakao sangat berbeda dengan kelapa sawit, padahal kakao sedang menghadapi berbagai permasalahan yang cukup berat dan memerlukan perhatian yang lebih serius. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkebunan kakao telah memberikan sumbangan yang cukup nyata bagi penyediaan lapangan kerja, pendapatan petani, pangsa PDRB dan ekspor Sulawesi Selatan, meskipun peran tersebut masih bersifat semu karena berbagai kerusakan lingkungan dan dampak turunannya belum diperhitungkan. Di sisi lain, serangan hama PBK tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi berpotensi untuk melahirkan kantong-kantong kemiskinan di sentra produksi kakao dan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana sesungguhnya peran perkebunan kakao, dampak serangan hama PBK dan keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk memberikan gambaran dan informasi khususnya kepada para pengambil kebijakan dan pelaku agribisnis perkebunan kakao tentang:
16
a. Berapa besar peranan perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan, khususnya dalam menghasilkan output, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), ekspor, penyediaan lapangan kerja dan sumber pendapatan, serta perannya dalam menggerakkan perekonomian regional. b. Berapa besar biaya lingkungan (eksternalitas) yang harus diperhitungkan agar penilaian peran kakao tidak bersifat ”semu” dan bagaimana pengaruh internalisasi biaya eksternalitas terhadap peran kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. c. Bagaimana dampak serangan hama PBK terhadap pendapatan petani dan perekonomian Regional Sulawesi Selatan serta peningkatan biaya eksternalitas karena peningkatan areal perkebunan kakao petani yang rusak dan upaya perluasan areal perkebunan kakao untuk mengantisipasi permintaan kakao dunia yang terus meningkat. d. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan bagaimana mempercepat laju adopsi teknologi pengendalian hama PBK tersebut untuk mengamankan pendapatan petani dan pangsa kakao dalam menghasilkan PDRB, serta menjaga keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan.
1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang, kerangka pemikiran, dan permasalahan yang telah diuraikan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Sehubungan dengan itu dilakukan beberapa kegiatan sebagai berikut: a. Mengidentifikasi
dan
menganalisis
biaya
eksternalitas
pengembangan
perkebunan kakao dan biaya eksternalitas karena kerusakan perkebunan kakao akibat serangan hama PBK serta menganalisis biaya eksternalitas sektor perekonomian lainnya. b. Menganalisis peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan, khususnya dalam menghasilkan output, PDRB, ekspor, penyediaan
17
lapangan kerja dan sumber pendapatan, serta perannya dalam menggerakkan perekonomian regional. c. Menganalisis dampak internalisasi biaya eksternalitas berbagai sektor ekonomi terhadap output, PDRB dan nilai indikator pengganda serta nilai indikator keterkaitan berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan. d. Mengidentifikasi dan menganalisis dampak serangan hama PBK terhadap pendapatan petani kakao dan perekonomian Regional Sulawesi Selatan serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi dalam rangka mempercepat adopsi teknologi pengendalian hama PBK. 1.5. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: a. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan pembangunan regional, khususnya pembangunan perkebunan kakao yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan. b. Menambah khasanah Ilmu Pengetahuan khususnya Ilmu-Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, terutama pengelolaan sumberdaya alam untuk pengembangan perkebunan kakao berkelanjutan melalui pendekatan perencanaan yang terintegrasi antara pertumbuhan ekonomi pengembangan wilayah dan kualitas lingkungan.
1.6. Kebaharuan (Novelty) Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan serangkaian pendekatan atau metode yang meliputi: berbagai metode valuasi ekonomi untuk menghitung biaya lingkungan (eksternalitas) dari berbagai sektor ekonomi, analisis Tabel Input Output konvensional dan Tabel Input Output yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas, pendekatan dengan Model Logit untuk menemukan faktor-faktor kunci yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan analisis prospektif untuk memberikan arahan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan.
18
Metode/pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metodemetode yang sudah baku yang dikemas dalam suatu rangkaian yang baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Jadi kebaharuan dari penelitian ini adalah rangkaian metode penelitian dan hasil penelitiannya
terutama
peran
riil
perkebunan
kakao,
faktor-faktor
yang
mempengaruhi adopsi teknologi dan arahan kebijakan untuk mempercepat adopsi teknologi pengendalian hama PBK serta arahan strategi pembangunan perkebunan kakao yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori Pembangunan Pembangunan pada awalnya identik dengan upaya untuk meningkatkan pendapatan per kapita dan indikator keberhasilannya adalah peningkatan pendapatan nasional (GNP) per kapita. Hal ini sangat jelas terlihat dari pemikiran-pemikiran awal mengenai pembangunan seperti teori Harrod Domar, Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman dan Leibenstein. Namun sekitar tahun 1960, ketika data makro yang dapat diperbandingkan secara internasional telah tersedia, para ahli ekonomi menemukan bahwa pembangunan tidak hanya berdimensi ekonomi, tetapi multidimensi (Kuncoro 2003). Kenyataan di negara yang sedang berkembang menunjukkan bahwa pertumbuhan tidak identik dengan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahap awal pembangunan di negara berkembang dapat dicapai, setidaknya melebihi negara-negara maju. Namun pertumbuhan tersebut dibarengi oleh munculnya
permasalahan-permasalahan
pembangunan
seperti
pengangguran,
kemiskinan di pedesaan, ketimpangan distribusi pendapatan dan ketidak seimbangan struktural (Sjahrir 1986). Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan berdimensi luas tidak hanya sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi, sehingga para ahli merasa perlu untuk melakukan pengkajian ulang tentang arti pembangunan. Pembangunan ekonomi tidak lagi memuja pertumbuhan GNP sebagai sasaran pembangunan, tetapi perlu lebih memusatkan perhatian pada kualitas dan proses pembangunan. Menurut
Kuncoro
(2003),
selama
dasawarsa
1970-an,
redefinisi
pembangunan ekonomi diwujudkan dalam upaya meniadakan atau setidaknya mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Untuk mewujudkan sasaran tersebut munculah konsep dan strategi pembangunan yang baru seperti: pertumbuhan dengan distribusi, pembangunan dengan strategi kebutuhan pokok, pembangunan mandiri, pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis, dan pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam/lingkungan.
20
Begitu kompleksnya pembangunan menyebabkan muncul banyak teori dan tidak ada satu teori pembangunan yang tepat untuk diterapkan di semua negara di dunia. Teori-teori pembangunan yang ada pada tahap awal sangat didominasi oleh hasil pemikiran ekonom barat, sehingga tidak selalu cocok untuk diterapkan di negara-negara yang sedang berkembang. Kondisi ini memacu munculnya teori-teori baru tentang pembangunan. Karena begitu banyaknya teori pembangunan yang diformulasikan oleh para ahli ekonomi, maka agak sulit untuk mengelompokkannya dalam suatu aliran tertentu. Meskipun demikian, menurut Kuncoro (2003), paling tidak ada 5 kelompok teori pembangunan yaitu: a. Teori pertumbuhan linear; b. Teori perubahan struktural; c. Teori revolusi ketergantungan internasional; d. Teori neo-klasik; dan e. Teori-teori baru.
2.1.1. Teori Pertumbuhan Linear Teori pertumbuhan linear mendominasi perkembangan teori pembangunan sejak pertama kali dikemukakan oleh Adam Smith, diikuti oleh Karl Marx dan mencapai
puncak
kejayaannya
dengan
lahirnya
teori
pertumbuhan
yang
dikemukakan oleh Rostow. Dasar pemikiran dari teori ini adalah evolusi proses pembangunan yang dialami oleh suatu negara selalu melalui tahapan tertentu. Masing-masing tahapan pembangunan mutlak dilalui satu per satu secara berurutan menuju tingkat yang semakin tinggi. Adam Smith membagi tahapan pertumbuhan ekonomi dalam 5 tahapan secara berurutan mulai dari tahap perburuan, tahap berternak, tahap bercocok tanam, tahap perdagangan dan terakhir tahap perindustrian. Menurut teori ini, masyarakat akan bergerak dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang kapitalis. Teori ini menempatkan buruh sebagai input dalam proses produksi sehingga tidak mempunyai posisi tawar dan menempatkan modal sebagai faktor penentu bagi cepat atau lambatnya pertumbuhan. Adam Smith mengasumsikan hanya tuan tanah dan pengusaha yang mampu menabung dan mengakumulasikan modal, sehingga mereka memiliki posisi tawar yang kuat dan menimbulkan konsekwesi terjadi eksploitasi
21
terhadap kaum buruh. Asumsi tersebut menunjukkan kekejaman teori Adam Smith dengan sistem ekonomi kapitalis. Sementara Karl Marx membagi evolusi perkembangan masyarakat menjadi tiga yaitu dimulai dari feodalisme, kapitalisme dan terakhir adalah sosialisme. Evolusi perkembangan masyarakat tersebut sejalan dengan proses pembangunan yang dilaksanakan. Menurut teori ini, masyarakat feodalisme mencerminkan kondisi dimana perekonomian yang ada masih bersifat tradisional dan tuan tanah menjadi pelaku ekonomi yang mempunyai posisi tawar yang tinggi. Perkembangan teknologi menimbulkan penggeseran dari masyarakat agraris-feodal menjadi masyarakat industri yang kapitalis dan para pengusaha memiliki posisi tawar yang tinggi. Eksploitasi terhadap kaum buruh dan penggunaan input yang padat kapital pada akhirnya akan menimbulkan revolusi sosial yang dilakukan kaum buruh sehingga terbentuk tatanan masyarakat sosialis. Teori Marx ini tampaknya sangat diwarnai subjektivitas dan kebencian Marx terhadap sistem kapitalis, sehingga ia mendeskripsikan kehancuran kapitalis yang akan digantikan oleh sosialis harus melalui revolusi. Meskipun demikian, teori ini justru banyak menyumbang untuk kelanggengan kehidupan ekonomi kapitalis, karena perkiraan dampak negatif revolusi sosial tersebut menjadikan masukan untuk menyempurnakan sistem yang ada. Selanjutnya sebagai garda depan teori pertumbuhan linear dikemukakan oleh Walt Whitman Rostow pada dekade 1950-1960. Rostow membagi proses pembangunan ekonomi suatu negara dalam lima tahapan yaitu: tahap perekonomian tradisional, tahap prakondisi tinggal landas, tahap tinggal landas, tahap menuju kedewasaan, dan tahap konsumsi massa tinggi.
Proses pembangunan ekonomi
dimulai dari tahapan perekonomian tradisional yang dicirikan oleh dominannya sektor pertanian dengan pemanfaatan teknologi yang rendah. Kemudian proses pembangunan masuk ke tahap dua yang merupakan proses transisi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Pada tahap ini sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian, tetapi sektor industri mulai berkembang dan perekonomian mulai bergerak dinamis. Selanjutnya tahap tinggal landas yaitu suatu
22
tahapan yang paling menentukan dalam keseluruhan proses pembangunan bagi kehidupan masyarakat. Ada tiga persyaratan yang saling berkaitan yang harus dipenuhi untuk proses tinggal landas yaitu kenaikan investasi produktif 5-10% dari pendapatan nasional, perkembangan salah satu atau beberapa sektor manufaktur penting dengan pertumbuhan yang tinggi dan terciptanya kerangka politik, sosial dan institusional yang menimbulkan hasrat ekspansi di sektor modern yang berdampak mendorong pertumbuhan ekonomi. Proses selanjutnya adalah tahap menuju kedewasaan ditandai dengan penerapan teknologi modern terhadap sumberdaya yang dimiliki dan produksi dilakukan secara swadaya. Dan yang terakhir adalah tahap konsumsi massa tinggi yang ditandai oleh adanya migrasi besar-besaran dari masyarakat pusat kota ke pinggiran perkotaan. Pada tahap ini terjadi perubahan orientasi dari pendekatan penawaran ke pendekatan permintaan dan terjadi perubahan pandangan bahwa kesejahteraan bukanlah permasalahan individu, tetapi mencakup kesejahteraan masyarakat secara bersama-sama. Teori Rostow tidak terlepas dari berbagai kritikan, bahkan dapat dikatakan bahwa kritikan terhadap teori ini lebih panjang dari pada teorinya. Meskipun demikian, teori tersebut banyak mempengaruhi pandangan dan persepsi para ahli ekonomi mengenai strategi pembangunan yang harus dilakukan, terutama di negara-negara yang sedang berkembang.
2.1.2. Teori Perubahan Struktural Teori perubahan struktural menitik beratkan pembahasan pada mekanisme tranformasi ekonomi yang dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang. Ada dua teori yang sangat berpengaruh yaitu: Teori pembangunan Arthur Lewis dan Teori transformasi struktural Hollis Chenery. Dalam model Lewis, perekonomian dianggap terdiri dari dua sektor yaitu sektor tradisional dan sektor industri. Sektor tradisional yakni sektor pedesaan, masyarakatnya berada pada kondisi subsisten yang kelebihan tenaga kerja, sehingga produktivitas marjinalnya sama dengan nol. Di sisi lain, sektor industri yang berada di perkotaan mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi dan mengisyaratkan
23
bahwa nilai produk marjinal tenaga kerja positif, sehingga dapat menampung tenaga kerja dari pedesaan. Teori yang kedua yang dikembangkan oleh Chenery memfokuskan pada proses
perubahan struktur ekonomi secara bertahap. Hasil penelitian Chenery
menunjukkan bahwa perekonomian suatu negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri. Kondisi tersebut ditandai oleh perubahan pangsa sektor industri dalam GNP yang meningkat dan pangsa sektor pertanian dalam GNP yang menurun. Selanjutnya Chenery membuat pengelompokan negara sesuai dengan proses perubahan struktural yang dialami berdasarkan tingkat pendapatan per kapita. Negara yang pendapatan per kapitanya kurang dari $ 600 dikelompokkan ke dalam negara yang baru melakukan pembangunan. Sementara negara yang pendapatan per kapitanya anrata $ 600 hingga $ 3.000 digolongkan ke dalam kelompok negara dalam fase transisi pembangunan.
2.1.3. Teori Revolusi Ketergantungan Internasional Teori ini lahir dari hasil diskusi para ekonom negara-negara Amerika Latin yang dicetuskan oleh Paul Baran. Teori ketergantungan internasional berusaha menjelaskan penyebab keterbelakangan ekonomi yang dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini memandang bahwa negara-negara yang sedang berkembang menjadi korban berbagai macam perilaku kelembagaan, politik dan ekonomi domestik maupun internasional, sehingga terjebak dalam hubungan ketergantungan dan dominansi negara kaya. Ekonom penganut teori ini menuduh badan-badan dunia internasional seperti Bank Dunia dan IMF sebagai lembaga yang menyebabkan meningkatnya ketergantungan yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Teori ketergantungan merupakan varian dari teori yang dikembangkan oleh Karl Marx, sehingga tampak adanya pertentangan kelas dalam masyarakat tetapi dalam konteks internasional yaitu antara negara miskin dengan negara kaya yang lebih maju. Teori ini mendapat kritikan karena hanya mampu mengumpulkan sebabsebab terjadinya keterbelakangan dan ketergantungan tanpa mampu mencarikan
24
solusi jalan keluarnya. Solusi yang ditawarkan hanyalah melakukan isolasi terhadap pengaruh luar dan hal ini sulit dilakukan karena globalisasi. Meskipun demikian, teori ini paling tidak telah memberikan peringatan kepada para penguasa negaranegara yang sedang berkembang agar tidak terjebak dalam ketergantungan dari negara maju.
2.1.4. Teori Neo-Klasik Teori Neo-Klasik lahir pada dekade 1980-an sebagai sanggahan terhadap teori ketergantungan dimana negara maju mengeksploitasi negara yang sedang berkembang. Teori ini merekomendasikan swastanisasi BUMN dan menciptakan iklim kondusif bagi peningkatan peran swasta. Teori Neo-Klasik berpendapat bahwa keterbelakangan bukan disebabkan oleh pengaruh eksternal, tetapi lebih dipengaruhi oleh internal dalam negara berkembang itu sendiri. Alokasi sumberdaya yang salah, merebaknya korupsi, dan terlalu besar campurtangan pemerintah merupakan penyebab utama ketidak efisienan mesin perekonomian. Menurut teori Neo-Klasik, pasar bebas dan bersaing sempurna merupakan kata kunci bagi keberhasilan pembangunan. Teori ini tampaknya hanya tepat diterapkan di negara maju karena perdagangan bebas dan pasar bersaing sempurna hanya dapat dipenuhi oleh negara maju. Perbedaan struktur masyarakat dan kelembagaan negara maju dan negara berkembang menyebabkan teori ini gagal untuk diterapkan di negara-negara yang sedang berkembang.
2.1.5. Teori Teori Baru Dalam perkembangan literatur terakhir, beberapa ahli mengklaim paling tidak ada tiga teori baru yang muncul yaitu: teori pertumbuhan baru, teori geografi ekonomi baru dan teori perdagangan baru. Teori pertumbuhan baru dilontarkan oleh para ekonom yang prihatin dan gencar mengkritik keandalan teori neo-klasik dalam menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Teori pertumbuhan baru berpendapat bahwa pertumbuhan GNP lebih ditentukan oleh
25
sistem proses produksi dan bukan berasal dari luar sistem. Motivasi dasar teori ini adalah menjelaskan perbedaan tingkat pertumbuhan antar negara dan menjelaskan faktor-faktor yang menentukan ukuran dan tingkat pertumbuhan GDP yang belum dijelaskan dan dianggap ditentukan secara eksogen oleh persamaan pertumbuhan Neo-klasik versi Solow. Sementara teori geografi baru dan teori perdagangan baru muncul karena lebih dari seratus tahun, para pakar geografi, pakar ekonomi, perencana kota, para ahli strategi bisnis, ilmuwan regional dan ilmuwan sosial lainnya masih belum mampu memberikan penjelasan tentang mengapa dan di mana aktivitas ekonomi berlokasi.
Teori geografi baru telah berhasil memberikan penjelasan mengenai
perdagangan dan ketimpangan distribusi kegiatan ekonomi, tetapi mendapat kritikan karena pendekatan yang mereka gunakan bukanlah hal yang baru melainkan penemuan kembali teori lokasi tradisional dan ilmu regional. Sedangkan teori perdagangan baru menawarkan perspektif yang berbeda dengan teori geografi ekonomi baru dan neo-klasik. Para pendukung teori perdagangan baru berpendapat bahwa ukuran pasar ditentukan secara fundamental oleh besar kecilnya angkatan kerja pada suatu negara dan tenaga kerja tidak mudah untuk berpindah lintas negara. Mereka percaya bahwa penentu utama lokasi adalah derajat tingkat pendapatan yang meningkat dari suatu pabrik, tingkat substitusi antar produk yang berbeda dan ukuran pasar domestik.
2.1.6. Perlunya Pengembangan Teori Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa teori pembangunan ekonomi yang dikembangkan hingga saat ini umumnya lebih menekankan pada pertumbuhan dan efesiensi, serta kurang memperhatikan aspek sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut Capra (2002), aspek sumberdaya alam dan lingkungan sebenarnya merupakan salah satu unsur yang ada dalam model ekonomi klasik. Namun karena pada saat awal pengembangan teori tersebut sumberdaya alam masih berlimpah dan jumlah penduduk masih sedikit, maka isu pentingnya untuk memperhatikan sumberdaya alam bukan merupakan isu sentral pada saat itu.
26
Anggapan bahwa sumberdaya alam yang berlimpah tersebut terus digunakan dalam pengembangan model ekonomi selanjutnya, bahkan mazhab Neo-klasik telah menghilangkan faktor sumberdaya alam dari model ekonomi yang mereka kembangkan. Model ekonomi mazhab Neo-klasik hanya berkonsentrasi pada dua variabel yaitu sumberdaya manusia dan modal atau kapital. Sementara variabel sosial dan lingkungan mereka keluarkan dari model ekonomi, sehingga memungkinkan pengembangan model ekonomi analog dengan percobaan ilmu fisik yang terkendali. Namun model ekonomi tersebut menjadi tidak realistis dan keberhasilan pembangunan bersifat ”semu”, karena kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekonomi yang diekternalitaskan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat khususnya disekitar sumberdaya alam yang diekploitasi. Kondisi sistem perekonomian yang dibangun berdasarkan model ekonomi tersebut secara lebih tegas dikemukakan oleh Brown (1995) yang menyatakan bahwa sistem perekonomian dunia saat ini secara perlahan-lahan mulai menghancurkan diri sendiri karena aktivitas ekonomi umumnya menimbulkan kerusakan dan degradasi lingkungan hidup. Apabila kerusakan sistem penunjang perekonomian terus berlanjut maka pertumbuhan ekonomi akan merosot di bawah pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu perlu segera disusun strategi pembangunan bagi masyarakat dunia secara keseluruhan sehingga pembangunan ekonomi dunia dapat berkelanjutan. Menurut Capra (2002), untuk menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi dunia diperlukan revisi konsep dan teori ekonomi khususnya pendefinisian kembali ”efesiensi dan produktivitas serta konsep keuntungan. Efesiensi tidak bisa lagi dinilai berdasarkan tingkat individu atau perusahaan, tetapi dinilai berdasarkan tingkat ekosistem. Demikian pula halnya dengan produktivitas tidak lagi didefinisikan sebagai output per jam kerja karyawan yang berdampak pada otomatisasi dan mekanisasi sehingga memperbanyak pengangguran dimana produktivitas mereka menjadi nol. Sementara konsep keuntungan perlu direvisi agar tidak lagi dipandang sebagai keuntungan pribadi yang mengabaikan (ekternalitas) biaya sosial dan lingkungan. Selanjutnya disusun perangkat model baru yang
27
mengintegrasikan berbagai cabang ilmu pengetahuan dalam suatu kerangka ekologis yang luas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa garis besar dari kerangka tersebut dibentuk oleh sekelompok orang yang menolak untuk disebut sebagai ahli ekonomi atau dikaitkan dengan disiplin akademik konvensional tunggal yang didefinisikan secara sempit. Pendekatan yang digunakan tetap ilmiah, tetapi jauh melampaui gambaran ilmu ala Descartes-Newton. Dasar empirisnya tidak hanya meliputi data ekonomi, fakta sosial dan politik, serta fenomena psikologis, tetapi juga suatu referensi yang jelas terhadap nilai-nilai budaya. Dari dasar inilah, para ilmuwan tersebut akan mampu membangun model-model fenomena ekonomi yang realistik dan dapat dipercaya (Capra 2002).
2.2. Pembangunan Berkelanjutan Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu paradigma, konsep atau strategi pembangunan yang lahir sebagai upaya untuk merubah pandangan para ekonom dan perencana pembangunan yang
terlalu
memuja
peretumbuhan
GNP
sebagai
tujuan
pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan membawa pesan utama agar pembangunan ekonomi tidak melupakan sistem biologi alam atau lingkungan yang menopang ekonomi dunia. Pada saat ini banyak bukti-bukti impiris yang menunjukkan bahwa pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah menimbulkan berbagai kemerosotan dan kerusakan lingkungan hidup, baik pada skala lokal, regional maupun skala global. Polusi oleh limbah, kerusakan hutan dan terumbu karang, hujan asam, menipisnya lapisan ozon dan perubahan iklim global merupakan contohcontoh kemerosotan lingkungan hidup yang mengancam masa depan bumi. Menurut Djajadiningrat (2001), pada abad keduapuluh kita menyaksikan pertumbuhan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat dan tidak pernah terjadi pada abad sebelumnya. Penduduk dunia bertambah lebih dari tiga kali lipat, sementara pendapatan dunia meningkat sekitar dua puluh kali lipat dan penggunaan minyak bumi meningkat menjadi lebih dari sepuluh kali lipat.
28
Perubahan besar tersebut menimbulkan peningkatan pembuangan limbah beracun ke lingkungan. Pada awalnya pencemaran masih bersifat lokal, tetapi kini pencemaran sudah mengglobal, sehingga menimbulkan gangguan pada keseimbangan lingkungan hidup. Masalah lingkungan berkembang sedemikian cepat, baik di tingkat nasional maupun
internasional,
sehingga
tidak
ada
satupun
negara
yang
dapat
menghindarinya. Dengan memperhatikan berbagai bukti impiris tersebut munculah kesadaran masyarakat dunia untuk merubah paradigma pembangunan yang selama ini hanya mengutamakan aspek ekonomi dan melupakan dampak buruknya terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, kearah pembangunan yang bersahabat dengan lingkungan. Kesadaran tersebut datangnya agak terlambat dan sebagian negara maju masih enggan untuk melakukan perubahan. Hal ini dapat dilihat bagaimana alotnya proses ratifikasi Protokol Kyoto sebagai komitmen tertulis dalam upaya menghambat perubahan iklim. Untuk lebih memahami bagaimana perkembangan paradigma pembangunan berkelanjutan, berikut ini akan diuraikan secara singkat sejarah perkembangan konsepsi pembangunan berkelanjutan dan konsepsi pembangunan berkelanjutan.
2.2.1. Sejarah Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan Kesadaran dan desakan akan pentingnya memperhatikan lingkungan dalam pembangunan ekonomi mulai mendapat perhatian serius sejak terbitnya buku Rachel Carson yang berjudul The Silent Spring tahun 1962. Sejak itu muncullah gerakan lingkungan hidup hingga terselenggaranya Konperensi PBB tentang lingkungan hidup pada bulan Juni 1972 di Stokholm. Selanjutnya upaya untuk menyelamatkan lingkungan hidup dipertegas lagi dengan terbitnya suatu laporan yang disiapkan oleh World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan) pada tahun 1987. Inti konsep komisi tersebut adalah pembangunan berkelanjutan yaitu: pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan mereka (Soemarwoto 2001).
29
Hasil Konperensi PBB di Stockholm dan Laporan Komisi Dunia tersebut selanjutnya dijadikan sebagai landasan bagi terlaksananya Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992. Konperensi tersebut merupakan tonggak sejarah kebangkitan dunia tentang kepedulian terhadap lingkungan. KTT Bumi yang dihadiri oleh 179 kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara di dunia tersebut telah menghasilkan lima dokumen penting yaitu: Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan, Pernyataan tentang Prinsip Kehutanan, Konvensi tentang Perubahan Iklim, Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, dan Agenda 21 Global (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup 1997). Pemimpin masyarakat dunia telah sepakat untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan dengan meletakkan aspek lingkungan sebagai parameter yang harus diperhitungkan dalam setiap gerak pembangunan, di samping aspek lainnya seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya. Perubahan paradigma pembangunan global tersebut sekaligus merubah arah semua elemen dan perangkat pembangunan kearah yang lebih bersahabat dengan lingkungan. Hasil KTT Bumi tersebut selanjutnya dijadikan sebagai dasar bagi seluruh bangsa-bangsa di dunia untuk melakukan kegiatan pembangunan berkelanjutan. Namun upaya untuk segera melakukan perubahan masih harus melewati jalan yang panjang. Konvensi perubahan iklim baru mempunyai kekuatan hukum setelah diratifikasi oleh 50 negara pada tanggal 21 Maret 1994 dan untuk penerapannyapun masih harus melewati perundingan yang sangat alot. Pada bulan Desember 1997, berhasil dirumuskan sebuah kesepakatan upaya untuk menghambat perubahan iklim. Kesepakatan tersebut dikenal dengan Protokol Kyoto. Namun kesepakatan inipun baru mempunyai kekuatan hukum setelah di ratifikasi oleh 55 negara dengan jumlah emisi 55% dari total emisi negara Annex I pada tahun 1990. Setelah melalui perundingan dan negosiasi akhirnya Protokol Kyoto berkekuatan hukum sejak 16 Februari 2005.
30
Sementara itu, dokumen lainnya yang cukup penting untuk memberikan arahan agar setiap negara melaksanakan pembangunan berkelanjutan adalah Agenda 21 Global. Dokumen setebal 700 halaman tersebut berisikan program aksi pembangunan berkelanjutan yang dapat digunakan oleh pemerintah, organisasi internasional, kalangan industri maupun masyarakat lainnya untuk mendukung upaya pengintegrasian lingkungan ke dalam seluruh aspek kegiatan sosial ekonomi. Tujuan dari setiap kegiatan yang tercantum dalam Agenda 21, pada dasarnya adalah untuk mengentaskan kemiskinan, kelaparan, penyakit dan buta huruf di seluruh dunia, di samping untuk menghentikan kerusakan ekosistem yang penting bagi kehidupan manusia (Djajadiningrat 2001). Pemerintah Indonesia menindaklanjuti hasil KTT Bumi dengan meratifikasi konvensi perubahan iklim dan konvensi keanekaragaman hayati pada tahun 1994 dan meratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 2004, serta menerbitkan Agenda 21 Indonesia pada tahun 1997. Agenda 21 Indonesia terdiri dari 18 bab yang isinya merupakan suatu pedoman program pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di abad ke 21. Dokumen Agenda 21 Indonesia tersebut merupakan terjemahan, interpretasi dan penyesuaian kondisi dan perkembangan Indonesia dengan Agenda 21 Global.
2.2.2. Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan cukup sederhana namun mengandung pengertian yang kompleks, multidimensi dan multi-interpretasi. Oleh karena itu para ahli sepakat untuk sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka”.
Konsep
pembangunan berkelanjutan tersebut masih sangat normatif sehingga operasionalnya menghadapi banyak kendala (Fauzi 2004).
31
Jadi walaupun arah pembangunan negara-negara di dunia telah disepakati, tetapi perdebatan di kalangan politisi, akademisi maupun LSM masih terus berlangsung. Perdebatan berkembang bukanlah tentang konsepnya, tetapi bagaimana konsep itu dapat dilaksanakan karena syarat terlaksananya konsep tersebut tidak mudah dipenuhi. Sampai saat ini belum dapat dibuat pedoman umum kebijakan atau kegiatan pembangunan berkelanjutan karena sistem sosial, ekonomi dan kondisi ekologi tiap negara sangat beragam. Hal ini telah disadari oleh semua pihak, karena itu setiap negara harus menyusun sendiri model pembangunan berkelanjutan yang disesuaikan dengan konteks, kebutuhan, kondisi dan peluang yang ada. Munasinghe (1993), mencoba mengelaborasi lebih lanjut konseptual pembangunan berkelanjutan dengan mengajukan tiga pilar keberlanjutan yaitu pilar ekonomi, sosial dan ekologi. Pilar ekonomi menekankan bahwa pembangunan atau peningkatan pendapatan dilakukan dengan penggunaan sumberdaya yang efisien. Pilar sosial menekankan agar pembangunan tidak menimbulkan konflik dan kesenjangan
sosial.
Pilar
ekologi
menekankan
pentingnya
perlindungan
keanekaragaman hayati untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Pembangunan dapat dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan pembangunan tersebut layak secara ekonomi, tidak terjadi kesenjangan sosial budaya dan tidak menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Salim (2005), yang menyatakan bahwa keberlanjutan pembangunan pada hakekatnya mencakup: keberlanjutan ekonomi yang ditopang oleh modal buatan manusia, keberlanjutan sosial yang ditopang oleh modal manusia dan modal sosial, dan keberlanjutan ekologi yang ditopang oleh modal ekosistem alami. Pembangunan akan berkelanjutan apabila: penyusutan modal buatan manusia disubstitusi oleh modal sosial dan ekologi; modal manusia mampu menambah nilai sumberdaya alam dan modal sosial menambah nilai kualitas jejaring sosial; modal ekologi melestarikan ekosistem alami penunjang kehidupan manusia. Menurut Mitchell et al. (2003), ada beberapa prinsip pembangunan berkelanjutan yang cukup penting antara lain: melindungi sistem penunjang
32
kehidupan, melindungi dan meningkatkan keanekaragaman hayati, mempertahankan kegiatan manusia dibawah daya dukung biosfer, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan manusia dan merehabilitasi ekosistem yang rusak. Prinsip-prinsip tersebut masih memerlukan pengembangan berbagai indikator, sehingga lebih operasional dan praktikal. Pandangan
lain
disampaikan
oleh
Djajadiningrat
(2001),
bahwa
pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses perubahan dalam eksploitasi sumberdaya, pengembangan teknologi, dan pengembangan kelembagaan yang semuanya selaras untuk meningkatkan potensi masa kini dan masa depan bagi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia. Jadi dalam pembangunan berkelanjutan terkandung paling tidak empat prinsip dasar yaitu: pemerataan, keanekaragaman, integrasi, dan perspektif jangka panjang. Pembangunan berkelanjutan menjamin pemerataan dan keadilan sosial untuk generasi masa kini dan generasi mendatang. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa pembangunan
berkelanjutan
menuntut
pencapaian
pemerataan
distribusi
kesejahteraan antar negara dan antar generasi. Meskipun pemerataan bukanlah hal yang secara langsung dapat dicapai dan konsepnya relatif, tetapi etika pembangunan berkelanjutan mengarahkan upaya untuk memperkecil kesenjangan pendapatan antar negara maupun antar individu secara global. Selain itu pembangunan generasi masa kini harus selalu mengindahkan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan menghargai keanekaragaman dan hal ini merupakan prasyarat untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa datang. Keanekaragaman hayati merupakan dasar bagi keseimbangan tatanan lingkungan atau ekosistem. Disamping itu keanekaragaman budaya akan mendorong perlakuan yang merata terhadap setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti oleh masyarakat. Pembangunan berkelanjutan menggunakan pendekatan integratif yaitu mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan harus lebih integratif dan
33
memanfaatkan pengertian tentang kompleksnya keterkaitan antara sistem alam dan sistem sosial pada setiap langkah pembangunan. Pembangunan berkelanjutan menuntut perspektif jangka panjang, sehingga perlu perubahan pemikiran para pengambil keputusan ekonomi maupun masyarakat yang cenderung menilai masa kini lebih tinggi dari masa depan. Prospektif jangka panjang lebih dikedepankan dari pada kerangka jangka pendek yang hingga kini masih mendominasi keputusan ekonomi. Dengan memperhatikan berbagai konsep dan prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut maka paling tidak ada beberapa prinsip dasar yang perlu mendapat perhatian dalam melaksanakan pembangunan yaitu: a. Pertumbuhan ekonomi dan efesiensi penggunaan sumberdaya alam; b. Menjaga kelestarian fungsi ekologis penunjang kehidupan; c. Pemerataan antar waktu dan antar wilayah. Untuk mengetahui atau mengukur apakah kegiatan pembangunan telah memenuhi prinsip dasar pembangunan berkelanjutan diperlukan berbagai alat analisis. Salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dan keterkaitannya dengan aspek lingkungan adalah Analisis Tabel Input Output.
2.3. Model Input Output Model Analisis Tabel Input Output pertama kali dikembangkan oleh seorang ekonom berkebangsaan Perancis yaitu Francois Quesnai pada tahun 1758 dalam artikel yang berjudul: Tableau Economique. Dalam tersebut F. Quesnai menguraikan bagaimana tuan tanah menerima uang sewa lahan dan menggunakannya untuk membeli hasil pertanian dan hasil kerajinan. Lebih lanjut, petani dan pengrajin membelanjakan uangnya untuk bahan makanan dan bahan baku dan seterusnya (Miller dan Blair 1985). Lebih dari satu abad kemudian yaitu pada tahun 1874, Leon Walras mengembangkan pendekatan F. Quesnai dengan menerapkan model Newtonian dalam bidang ekonomi. L. Walras mengembangkan teori keseimbangan umum di
34
bidang ekonomi dan model matematik hubungan faktor produksi (input) dengan produk
yang
dihasilkannya
(output).
Selanjutnya
model
Walras
tersebut
disederhanakan oleh Wassily Leontief. Model input-output Leontief tersebut digunakan untuk menganalisis struktur ekonomi Amerika yang dipublikasikan tahun 1941 (Miller dan Blair 1985). Berdasarkan hasil karya tersebut dan upaya pengembangannya untuk berbagai keperluan analisis, W. Leontief mendapat hadiah Nobel di bidang Ilmu Ekonomi pada tahun 1973. Model analisis input-output atau lebih dikenal dengan Model Leontief ini diakui secara luas sangat bermanfaat untuk menganalisis kondisi perekonomian regional maupun nasional, dalam kaitannya dengan perencanaan pembangunan ekonomi suatu wilayah. Lebih lanjut dikemukakan bahwa keuntungan menggunakan analisis input-output adalah sebagai berikut (Tarigan 2004): 1. Analisis Input Output dapat memberikan gambaran keterkaitan antar sektor perekonomian, sehingga memperluas wawasan terhadap perekonomian wilayah. Perekonomian wilayah bukan lagi sebagai kumpulan sektor-sektor, melainkan merupakan suatu sistem yang saling berhubungan. Perubahan pada salah satu sektor akan mempengaruhi keseluruhan sektor walaupun perubahan itu akan terjadi secara bertahap. 2. Dengan Analisis Input Output dapat diketahui keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage) dari setiap sektor, sehingga mudah untuk menetapkan sektor mana yang dijadikan sebagai sektor strategis dalam perencanaan pembangunan perekonomian wilayah. 3. Analisis Input Output dapat meramalkan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan tingkat kemakmuran, seandainya terjadi kenaikan permintaan akhir dari berbagai sektor. Hal ini dapat dianalisis melalui peningkatan input antara dan kenaikan input primer yang merupakan nilai tambah (kemakmuran). 4. Analisis Input Output dapat menelaah permasalahan secara konprehensif, sehingga sangat berguna sebagai salah satu alat analisis dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah.
35
5. Analisis Input Output dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan tenaga kerja dan modal dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah.
2.3.1. Model Input Output Konvensional Kerangka dasar dari analisis input-output adalah suatu bentuk analisis hubungan ketergantungan antar sektor ekonomi dalam suatu sistem perekonomian regional pada periode tertentu (satu tahun) dan perekonomian dalam kondisi stabil. Informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antar sektor ekonomi dalam satu wilayah tersebut disajikan dalam bentuk matriks dengan empat kuadran (Miller dan Blair 1985 dan Badan Pusat statistik 1999). Kuadran pertama menunjukkan arus barang dan jasa yang dihasilkan dan digunakan oleh sektor-sektor dalam suatu perekonomian. Kuadran ini menunjukkan distribusi penggunaan barang dan jasa untuk proses produksi. Penggunaan atau konsumsi barang dan jasa yang dimaksud di sini adalah sebagai bahan baku atau bahan penolong, sehingga transaksi pada kuadran pertama ini disebut juga sebagai transaksi antara. Kuadran kedua menunjukkan permintaan akhir yaitu penggunaan barang dan jasa untuk konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi dan ekspor. Kuadran ketiga memperlihatkan input primer sektor produsi yaitu input yang bukan merupakan bagian output dari suatu sektor produksi seperti pada kuadran pertama dan kedua. Input primer adalah semua balas jasa faktor produksi yang meliputi upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak langsung netto. Sementara kuadran keempat menggambarkan input primer yang langsung didistribusikan ke sektor-sektor permintaan akhir. Informasi pada kuadran keempat ini bukan merupakan informasi penting, sehingga sering diabaikan. Ilustrasi Tabel Input Output dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan ilustrasi tersebut tampak bahwa dengan menggunakan Tabel Input Output dapat dilihat bagaimana output dari suatu sektor ekonomi didistribusikan ke sektor ekonomi lainnya dan bagaimana pula suatu sektor ekonomi memperoleh input yang diperlukan dari sektor ekonomi lainnya. Besarnya ketergantungan suatu sektor ekonomi ditentukan oleh besarnya input yang digunakan
36
dalam proses produksi sektor ekonomi tersebut dan sebaliknya besarnya dukungan suatu sektor ekonomi terhadap sektor ekonomi lainnya ditentukan oleh besarnya output sektor ekonomi tersebut yang digunakan dalam proses produksi sektor ekonomi lainnya. Oleh karena itu perencanaan pengembangan suatu sektor ekonomi harus memperhatikan prospek pengembangan sektor ekonomi lainnya. Tabel 1. Ilustrasi tabel input-output Alokasi Output
Permintaan Antara
Permintaan
Total
Struktur Input
Akhir
Output
Input Primer
Sektor Produksi 1 ......... j ........ n Kuadran I X11 X1j X1n : : : : : : Xi1 Xij Xin : : : : : : Xn1 Xnj Xnn Kuadran III V1 Vj Vn
Jumlah Input
X1
Sektor 1 : : Sektor i : : Sektor n
Xj
Kuadran II F1 : : Fi : : Fn
X1 : : Xi : : Xn Kuadran IV
Xn
Sumber: Badan Pusat Statistik. 1999. Dalam penyusunan model Tabel Input Output digunakan tiga asumsi dasar yaitu (Badan Pusat Statistik 1999): a. Homogenitas: tiap sektor memproduksi suatu output tunggal dengan struktur input tunggal dan tidak ada substitusi otomatis antara berbagai sektor; b. Proporsionalitas: dalam proses produksi, hubungan antar input dengan output merupakan fungsi linier yaitu tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding dengan kenaikan atau penurunan output sektor tersebut; c. Additivitas; efek total pelaksanaan produksi di berbagai sektor dihasilkan oleh masing-masing sektor secara terpisah. Hal ini berarti bahwa semua pengaruh dari luar sitem input output diabaikan.
37
Dengan adanya asumsi tersebut, Tabel Input Output mempunyai keterbatasan antara lain; karena rasio input output tetap konstan sepanjang periode analisis, produsen tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses produksi. Walaupun demikian, model input output mempunyai keunggulan sebagai alat analisis ekonomi yang lengkap dan komprehensif, sehingga sangat relevan untuk digunakan sebagai alat analisis dalam penelitian ini khususnya untuk mengetahui keterkaitan perkebunan kakao dengan sektor perekonomian lainnya dan peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan, serta dampak perubahan permintaan akhir terhadap perluasan areal perkebunan kakao. Selanjutnya dengan melakukan modifikasi menjadi model Tabel Input Output berwawasan lingkungan dapat diketahui peran sesungguhnya dari perkebunan kakao maupun sektor ekonomi lainnya bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan.
2.3.2. Model Input Output Berwawasan Lingkungan Karena kemampuannya untuk menunjukkan keterkaitan berbagai sektor dalam suatu sistem perekonomian regional, maka analisis Tabel Input Output dikembangkan untuk pemanfaatan yang lebih khusus seperti menganalisis dampak produksi dan konsumsi energi, dan menganalisis interaksi antara kegiatan ekonomi dan lingkungan. Menurut Miller dan Blair (1985) Tabel Input Output berwawasan lingkungan dapat disusun dengan cara menginternalitaskan beban lingkungan sebagai kolom dan baris pengurang dari matriks koefisien input-output. Lebih lanjut dikemukakan oleh Miller dan Blair (1985), ada tiga metode yang dapat digunakan untuk menyusun Tabel Input-Output berwawasan lingkungan yaitu: Model Tabel Input-Output Umum, Model Ekonomi-Ekologi dan Model Komoditi Industri. Model Tabel InputOutput Umum dibentuk dengan menambahkan pencemaran yang dihasilkan pada matriks koefisien teknik Tabel Input-Output. Model Ekonomi-Ekologi dihasilkan dengan memperluas kerangka dasar keterkaitan suatu sektor dengan sektor ekosistem. Sementara Model Komoditi Industri memperlakukan faktor lingkungan
38
sebagai suatu komoditi seperti komoditi lainnya dalam Tabel Input-Output konvensional. Analisis interaksi kegiatan ekonomi dan lingkungan dengan menggunakan model Input-Output telah banyak dilakukan untuk berbagai keperluan, terutama untuk memperoleh informasi yang dapat dijadikan sebagai dasar perumusan kebijakan publik yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan lingkungan. Model analisis Input Output berkembang pesat untuk berbagai keperluan karena ditunjang oleh kemajuan di bidang teknologi komputasi yang mampu menghitung data cukup besar dengan kecepatan tinggi. Najmulmunir (2001), menggunakan model Input Output untuk menganalisis dampak pembangunan ekonomi terhadap perkembangan wilayah dan kualitas lingkungan di Lampung. Pengembangan model analisis kebutuhan ruang/lahan dan model analisis dampak beban pencemaran lingkungan diturunkan dari model Input Output. Model analisis kebutuhan lahan diturunkan dari prediksi output yang ditransformasikan ke dalam produktivitas lahan yang selanjutnya akan berimplikasi pada perubahan struktur penggunaan lahan. Sedangkan model analisis dampak beban pencemaran lingkungan diturunkan dari proyeksi produksi. Hinterberger and Giljum (2003), mengembangkan model analisis Input Output lingkungan untuk menganalisis aliran bahan dan penggunaan lahan dari suatu sektor ekonomi. Dengan berbagai skenario yang meliputi dimensi ekonomi, lingkungan dan sosial, model tersebut dapat memberikan gambaran penggunaan lahan akibat perubahan permintaan terhadap komoditas yang menggunakan lahan tersebut. Berdasarkan hasil kajian tersebut dapat dirumuskan alternatif kebijakan terbaik untuk melaksanakan strategi pembangunan berkelanjutan. Hayami et al. (1997), menggunakan model input output untuk menganalisis isu kebijakan publik berkaitan dengan pilihan teknologi produksi dengan pemanasan global. Pokok pembahasannya adalah aplikasi manajemen lingkungan di Jepang terkait dengan produksi semen, penggunaan kertas daur ulang, dan bahan penyekat rumah. Pada masing-masing sektor tersebut berhasil ditunjukkan bahwa pilihan teknologi produksi menentukan tingkat emisi CO2 dan gas lainnya yang sensitif
39
terhadap lingkungan, sehingga dapat ditentukan pilihan kebijakan untuk menurunkan tingkat emisi CO2 maupun gas lainnya. Silva (2001), menggunakan model analisis Input Output Lingkungan untuk menganalisis emisi gas rumah kaca di Portugal. Penelitian berhasil menunjukkan bahwa tanpa adanya suatu kebijakan tertentu, emisi gas rumah kaca di Portugal pada tahun 2010 akan jauh melebihi target peningkatan emisi sebesar 27% dibandingkan tingkat emisi tahun 1990 yang disepakati dalam Kyoto Protokol. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa model analisis Input Output Lingkungan merupakan suatu alat analisis yang ampuh untuk memperhitungkan emisi gas rumah kaca dikaitkan dengan produk akhir dari berbagai sektor perekonomian suatu wilayah atau negara. Namun kebermanfaatannya sangat tergantung pada ketersediaan dan kualitas data yang bisa digunakan untuk analisis tersebut. Lebih lanjut, model analisis Input output yang akan dibangun dalam penelitian ini juga memiliki keterbatas sama seperti model analisis input output konvensional terutama karena keterbatasan ketersediaan data dan penggunaan asumsi yang juga menyebabkan kertebatasan. Meskipun demikian, penelitian ini berupaya untuk mengungkapkan seberapa besar pengaruh biaya eksternalitas berbagai sektor ekonomi terhadap nilai output dan PDRB serta besaran nilai pengganda output, pendapatan, tenaga kerja dan nilai indeks keterkaitan antar sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan.
2.3.3. Pengertian dan Pengukuran Eksternalitas Sumberdaya alam atau lingkungan hidup mempunyai tiga fungsi utama yaitu: sebagai sumber bahan mentah, sebagai asimilator atau pengolah limbah dan sebagai sumber hiburan atau kesenangan. Lingkungan menyediakan berbagai kebutuhan manusia mulai dari sumberdaya tanah, air, hutan, tambang dan sebagainya yang dapat digunakan sebagai sumber bahan mentah untuk diolah menjadi barang jadi atau langsung dikonsumsi. Lingkungan juga berperan sebagai asimilator yang dapat mengolah limbah secara alami dan lingkungan alami dengan berbagai keindahannya
40
juga berperan memberikan jasa hiburan atau kesenangan bagi manusia (Suparmoko dan Suparmoko, 2000). Lebih lanjut dikemukan oleh Suparmoko dan Suparmoko (2000), bahwa semakin meningkatnya pembangunan demi meningkatkan kesejahteraan manusia, ternyata berdampak terhadap fungsi atau peranan lingkungan. Jumlah bahan mentah yang disediakan lingkungan semakin berkurang dan menjadi langka, kemampuan alam untuk mengolah limbah semakin berkurang karena melebihi kapasitas daya tampung lingkungan, dan kemampuan lingkungan untuk menyediakan kesenangan juga berkurang karena banyak sumberdaya alam dan lingkungan yang diubah fungsinya atau karena meningkatnya pencemaran. Penurunan peran atau fungsi lingkungan yang terjadi akibat aktivitas ekonomi tersebut perlu diperhitungkan dalam perhitungan pendapatan nasional (GNP), sehingga indikator keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut benar-benar mencerminkan ukuran yang sesungguhnya mengenai standar kehidupan masyarakat. Demikian pula halnya terkait dengan evaluasi peran sektor ekonomi tertentu terhadap perekonomian regional atau nasional, perlu dikoreksi dengan cara memperhitungkan
biaya
maupun
manfaat
eksternalitasnya,
sehingga
tidak
menimbulkan bias dalam penilaian dan perencanaan pembangunan ekonomi selanjutnya. Menurut Suparmoko dan Suparmoko (2000), eksternalitas terjadi apabila seseorang melakukan suatu kegiatan dan kegiatan tersebut menimbulkan dampak kepada orang lain baik berupa manfaat eksternal maupun biaya eksternal yang tidak memerlukan kewajiban untuk menerima atau melakukan pembayaran. Adanya eksternalitas yang sering tidak diperhitungkan tersebut menyebabkan keputusan dari pengambil kebijakan atau manajer tidak tepat dan kegiatan yang dilakukan berdasarkan keputusan tersebut tidak efisien. Oleh karena itu, biaya dan manfaat eksternalitas dari tiap-tiap sektor ekonomi perlu diinternalisasikan. Internalisasi biaya dan manfaat lingkungan dapat dilakukan dengan memperhitungkan dampak dari suatu aktivitas terhadap sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang masih diperlakukan sebagai eksternalitas. Menurut
41
Suparmoko (2002), ada beberapa langkah operasional dan metode penilaian terhadap dampak lingkungan yang umum digunakan di berbagai negara. Langkah penilaian diawali dengan identifikasi dampak peting dari suatu kegiatan. Kemudian mengkuantifikasi besarnya dampak tersebut dan dilanjutkan dengan melakukan penilaian berdasarkan nilai uang dan analisis ekonomi dari dampak penting yang telah diidentifikasi. Adapun metode yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian ekonomi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: a. Metode yang secara langsung menggunakan harga pasar;
b. Metode yang menggunakan nilai pasar
barang pengganti atau barang pelengkap; dan c. Metode yang didasarkan pada hasil survei. Pada penelitian ini, pengukuran eksternalitas dilakukan mengikuti langkahlangkah operasional dan metode penilaian yang umum digunakan. Namun penilaian terhadap dampak penting yang telah teridentifikasi lebih banyak dilakukan berdasarkan hasil penelitian terdahulu dari berbagai belahan dunia, karena sangat terbatasnya hasil penelitian di lokasi penelitian ini dan masih rendahnya pemahaman serta penilaian masyarakat terhadap lingkungan hidup. Eksternalitas dari suatu sektor ekonomi muncul karena adanya alih fungsi lahan atau karena adanya limbah yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi. Alih fungsi lahan yang umum terjadi adalah pengalihan lahan kehutanan ke sektor pertanian ataupun sektor perekonomian lainnya. Proses pengalihan fungsi lahan tersebut menyebabkan terganggunya atau rusaknya beberapa fungsi hutan sebagai penunjang kehidupan dan kerusakan tersebut tidak diperhitungkan sebagai biaya tetapi diperlakukan sebagai eksternalitas. Sedangkan limbah yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi yang tidak memenuhi baku mutu lingkungan merupakan suatu eksternalitas yang membebani pihak lain. Limbah yang dihasilkan berbagai aktivitas ekonomi cukup beragam, baik berupa padatan, cairan maupun gas dan beban eksternalitas dari limbah tersebut dapat bersifat lokal, regional maupun global. Untuk mengetahui besarnya eksternalitas dari alih fungsi lahan kehutanan menjadi lahan usaha pertanian maupun kegiatan ekonomi lainnya terlebih dahulu perlu diketahui nilai total dari sumberdaya hutan. Kemudian mengidentifikasi
42
dampak dari alih fungsi lahan dan menilai dampak tersebut kedalam bentuk nilai uang. Menurut Krieger (2001), ekosistem hutan mempunyai nilai yang cukup besar bagi suatu kawasan, baik sebagai penghasil barang maupun jasa lingkungan. Sebagai penghasil barang, hutan merupakan penghasil kayu dan non-kayu. Sementara sebagai pemberi jasa lingkungan, hutan berfungsi mempengaruhi iklim, tata air khususnya pencegah banjir dan penyedia air, pengendali erosi dan pencegah sedimentasi, pembentukan tanah, siklus hara, asimilasi limbah, sumber plasma nutfah dan tempat rekreasi serta kebudayaan. Secara umum nilai dari suatu kawasan hutan tropis dapat mencapai lebih dari US $ 2 juta/ha. Alih fungsi lahan kehutanan menjadi lahan pertanian akan menimbulkan berbagai dampak negatif karena hilangnya berbagai fungsi hutan antara lain: rusaknya tata air khususnya fungsi pengendali banjir dan penyediaan air, peningkatan erosi tanah, terganggunya siklus hara dan asimilasi karbon, serta penyusutan keanekaragaman hayati. Menurut Pearce and Pearce (2001), dampak negatif tersebut semakin besar lagi nilainya jika diperhitungkan berbagai fungsi hutan lainnya yang ikut hilang serta dampak turunan lainnya seperti sedimentasi dari tanah yang tererosi yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem di bagian hilir sungai. Berbagai hasil penelitian yang berhasil dirangkum oleh Pearce (2001), menunjukkan bahwa nilai jasa dari suatu kawasan hutan tropis sangat bervariasi tergantung pada kondisi hutan dan fungsi dari kawasan hutan tersebut serta pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya hutan sebagai penunjang kehidupan. Alih fungsi lahan hutan menyebabkan rusaknya fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan penyedia air dengan nilai bervariasi antara US $ 024/ha di Kameron (Yaron 2001 dalam Pearce 2001), sedangkan di Malaysia bervariasi antara US $ 0-15/ha (Kumari 1996 dalam Pearce 2001) dan US $ 12/ha di Guatemala (Ammour et al. 2000 dalam Pearce 2001). Alih fungsi lahan juga menyebabkan menyusutnya keanekaragaman hayati hutan hujan tropis dengan nilai bervariasi US 0,01-21/ha (Pearce and Moran 1994), sedangkan menurut Balick dan Mendelsohn (1992 dalam Bann 1997), nilai
43
keanekaragaman hayati hutan tropis berkisar antara US $ 9-61/ha. Tingginya nilai keanekaragaman hayati tersebut karena banyaknya tanaman yang dapat dijadikan sebagai bahan baku obat-obatan dan sumber plasma nutfah berbagai jenis tanaman pertanian. Alih fungsi lahan hutan umumnya dilakukan dengan cara tebang, tebas dan bakar, sehingga menimbulkan emisi gas CO2 dan hilangnya kemampuan untuk mengabsorsi CO2 serta hilangnya kemampuan untuk memproduksi O2. Nilai eksternalitas dari emisi CO2 sangat bervariasi tergantung dari kondisi hutan dan kandungan masa karbon yang terbakar. Kandungan karbon, suatu kawasan hutan primer dapat mencapai 200 ton/ha, sementara kandungan karbon hutan yang terbuka diperkirakan 100 ton/ha (Bann 1997). Dengan harga transaksi karbon yang berlaku saat ini yaitu US $ 5/ton, maka alih fungsi lahan hutan dapat menimbulkan emisi karbon sebesar US $ 500-1.000/ha. Alih fungsi lahan juga menyebabkan hilangnya fungsi hutan dalam menyediakan unsur hara dan pengendali erosi. Alih fungsi lahan menyebabkan terjadi peningkatan erosi tanah karena lahan menjadi terbuka pada saat dialihfungsikan. Kerugian akibat erosi dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan biaya pengganti unsur hara yang hilang karena erosi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan dapat mencegah kerugian akibat erosi tanah di Turki mencapai US $ 46/ha (Bann 1998 dalam Pearce 2001). Sementara itu, Manurung (2001), dalam menganalisis biaya lingkungan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, memberikan penilaian fungsi hutan untuk mengendalikan erosi tanah sebesar US $ 53/ha. Pada penelitian ini, kerugian akibat erosi dianalisis dengan menggunakan pendekatan pendugaan erosi tanah berdasarkan Universal Soil Loss Equation (USLE) dan pendekatan biaya pengganti unsur hara yang hilang karena erosi. Selanjutnya valuasi ekonomi terhadap eksternalitas limbah yang dihasilkan berbagai sektor ekonomi dilakukan melalui identifikasi jumlah limbah yang dihasilkan dan dampaknya terhadap lingkungan.
Kemudian hasil identifikasi
tersebut dinilai kedalam bentuk nilai uang. Penilaian dampak limbah terhadap
44
lingkungan kedalam bentuk nilai uang dilakukan berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dihimpun oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan dijadikan sebagai acuan dalam penilaian/valuasi ekonomi dampak lingkungan (Intergovernmental Panel on Climate Change 2003).
2.4. Prospek dan Permasalahan Perkebunan Kakao Tanaman kakao bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman tersebut diperkirakan berasal dari lembah hulu sungai Amazon, Amerika Selatan yang dibawa masuk ke Indonesia melalui Sulawesi Utara oleh Bangsa Spanyol sekitar tahun 1560. Namun sejak kapan mulai dibudidayakan masih belum begitu jelas, ada yang berpendapat pembudidayaannya bersamaan dengan pembudidayaan kopi tahun 1820, tetapi pendapat lain mengatakan lebih awal lagi yaitu tahun 1780 di Minahasa. Pembudidayaan kakao di daerah Minahasa tersebut tidak berlangsung lama karena sejak tahun 1845 terjadi serangan hama penggerek buah kakao (PBK). Akibatnya kebun tidak terpelihara dan menjadi rusak (Roesmanto 1991). Pada waktu budidaya kakao di Minahasa mengalami kehancuran, tanaman kakao mulai menarik perhatian petani di Jawa. Perkebunan kakao telah dikembangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur meliputi daerah Ungaran, Salatiga, Surakarta, Kediri, Malang dan Jember. Namun sebelum mencapai kejayaannya, perkebunan kakao di Jawa juga mengalami kehancuran akibat serangan hama PBK sejak tahun 1886 dan setelah tahun 1900 praktis tidak ada lagi perkebunan kakao di Jawa (Roesmanto 1991). Meskipun hama PBK terus mengancam, tetapi budidaya kakao tetap menarik perhatian petani. Membaiknya harga kakao dunia sejak awal tahun 1970-an telah membangkitkan kembali semangat petani untuk mengembangkan perkebunan kakao secara besar-besaran. Hanya dalam waktu sekitar 20 tahun, perkebunan kakao Indonesia berkembang pesat lebih dari 26 kali lipat dari 37 ribu ha tahun 1980 menjadi 964 ribu ha tahun 2003, dan produksi meningkat hampir 70 kali lipat dari 10 ribu ton tahun 1980 menjadi 698 ribu ton tahun 2003. Perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat umumnya dilakukan petani, sehingga perkebunan rakyat
45
telah mendominasi perkebunan kakao Indonesia. Tanaman kakao ditanam hampir di seluruh pelosok tanah air dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara dan Kalimantan Timur (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006). Keberhasilan perluasan areal dan peningkatan produksi tersebut telah memberikan hasil nyata bagi peningkatan pendapatan petani, peningkatan PDRB dan peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan dunia. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote d’Ivoire) pada tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003 (International Cocoa Organization 2003). Perkebunan kakao masih cukup prospektif untuk terus dikembangkan karena beberapa tahun terakhir konsumsi kakao dunia lebih tinggi dari produksi, sehingga terjadi defisit produksi dan harga kakao dunia relatif stabil pada tingkat yang cukup tinggi yaitu sekitar US $ 1.500/ton. Lebih lanjut, analisis kelayakan usaha yang dilakukan oleh Asian Development Bank (1994), menunjukkan bahwa pengusahaan kakao cukup prospektif dan layak dilaksanakan. Pengusahaan perkebunan kakao dengan input rendah mampu menghasilkan nilai IRR = 21,7%. Meskipun demikian, petani maupun para investor perkebunan kakao perlu mewaspadai adanya permasalahan lingkungan dan serangan hama serta penyakit tanaman terutama serangan hama PBK. Permasalahan lingkungan khususnya yang terkait dengan alih fungsi lahan di Sulawesi Selatan tidak semata-mata disebabkan oleh pesatnya pengembangan perkebunan kakao, tetapi pengusahaan tanaman pangan dan sayuran serta tanaman perkebunan lainnya terutama yang dilakukan di lereng-lereng bukit dan pegunungan juga menimbulkan dampak yang cukup nyata bagi peningkatan erosi lahan dan kerusakan tata air (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2003). Permasalahan lingkungan tersebut akan berdampak pada penurunan produktivitas jika kehilangan unsur hara akibat erosi tidak diimbangi dengan pemberian pupuk yang memadai. Lebih lanjut, makin mengganasnya serangan hama PBK perlu diwaspadai karena dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar. Pada tahun 2003, kerugian
46
akibat serangan hama PBK secara nasional diperkirakan lebih dari Rp 1,1 triliun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2004). Sementara itu, kerugian akibat serangan hama PBK di Sulawesi Selatan diperkirakan sebesar Rp 810 milyar per tahun (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004 dalam Mustafa 2005).
2.4.1. Kerusakan Lingkungan Akibat Pangembangan Kakao Pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat tersebut, di satu sisi memberikan peran yang cukup besar bagi perekonomian regional, tetapi di sisi lain berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi stabilitas ekosistem/lingkungan. Perkebunan kakao umumnya diusahakan petani di lereng-lereng bukit dan pegunungan, karena lahan di Sulawesi Selatan sebagian besar (>75%) merupakan bukit dan pegunungan. Alih fungsi lahan pada kondisi lahan yang demikian berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan berupa peningkatan erosi dan penurunan kesuburan lahan. Di samping itu apabila lahan yang dialihfungsikan adalah kawasan hutan maka beban kerusakan lingkungan bertambah dengan menurunnya keanekaragaman hayati dan menurunnya fungsi ekologis sebagai pendukung kehidupan. Menurut Wati (2002), dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (1991-2001) konversi kawasan hutan menjadi areal perkebunan di kawasan DAS Saddang yang wilayahnya mencakup beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Tana Toraja, PolewaliMamasa, Enrekan, Pinrang, Mamuju dan Luwu cukup besar. Areal hutan menyusut dari 358.676 ha (55,6% dari total areal DAS Saddang) menjadi 296.101 ha (45,9%) pada tahun 2002, sedangkan areal perkebunan mengalami peningkatan dari 29.675 ha (4,6%) tahun 1991 menjadi 234.171 ha (36,3%) pada tahun 2002. Komoditas perkebunan yang banyak diusahakan di daerah ini adalah kopi, kakao, vanili, cengkeh, kelapa, kayu manis, pala, kemiri dan jambu mete. Lebih lanjut dikemukakan bahwa tingkat erosi di lahan-lahan perkebunan di kawasan DAS Saddang cukup tinggi yaitu rata-rata mencapai 547,09 ton/ha/tahun. Tingkat erosi tersebut tergolong berat, meskipun tidak seberat erosi di lahan tanaman pangan perladangan berpindah (Wati, 2002). Kerusakan lingkungan akibat pesatnya
47
perluasan perkebunan kakao juga dikemukakan Akiyama dan Nishio (1997), yang menyatakan bahwa pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat di Sulawesi Selatan di satu sisi memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, tetapi disisi lain menimbulkan dampak negatif berupa peningkatan erosi dan menurunkan areal tangkapan air serta penyusutan keanekaragaman hayati. Kerusakan lingkungan akibat konversi hutan menjadi lahan perkebunan kakao juga terjadi di Ghana. Menurut Barbier (2000), perluasan areal perkebunan kakao di Ghana menyebabkan penyusutan areal hutan dan dengan adanya kenaikan pendapatan dari hasil kakao membuat laju perluasan areal kakao dan penyusutan areal hutan makin cepat. Karena teknologi budidaya yang dikembangkan tidak lestari, maka pemanfaatan hutan menjadi lahan perkebunan kakao berdampak pada peningkatan degradasi lahan. Peningkatan degradasi lahan hutan tersebut makin pesat lagi karena pengembangan perkebunan kakao banyak dilakukan oleh masyarakat tani yang tidak memiliki lahan dan modal usaha, sehingga yang menjadi sasaran pengembangan perkebunan adalah kawasan hutan. Sebenarnya dampak kerusakan lingkungan akibat pesatnya pengembangan perkebunan kakao dapat dikurangi jika petani mengikuti arahan pemerintah yang termuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan menerapkan teknologi budidaya konservasi. Pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan difasilitasi pemerintah daerah melalui berbagai progam yang diawali dengan program Pewilayahan Komoditas, dilanjutkan dengan program Grateks-2 dan yang sekarang sedang berlangsung adalah program Gerbang Emas (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1998, 2004, dan 2006). Pewilayahan komoditas merupakan salah satu konsepsi dari tri konsepsi pembangunan daerah yang meliputi; perubahan pola pikir, pewilayahan komoditas, dan petik olah dan jual. Sasaran program tersebut adalah terbentuknya sentra-sentra pengembangan komoditas unggulan seperti kakao di wilayah Mandar dan Luwu (Mandalu), kopi arabika di wilayah Mamasa, Duri dan Tana Toraja (Madutora) (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004).
48
Selanjutnya pengembangan perkebunan kakao difasilitasi dengan program Gerakan peningkatan produksi dua kali lipat (Grateks-2). Program ini pada hakekatnya adalah pembangunan agribisnis perkebunan dengan sasaran utama peningkatan produksi. Melalui program Grateks-2 tersebut telah berhasil memacu peningkatan produksi perkebunan rata-rata di atas 15%/tahun pada periode 19982002. Khusus komoditas kakao terjadi peningkatan produksi rata-rata 67,41%/tahun (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2003). Pada era otonomi daerah, pembangunan di Sulawesi Selatan dilanjutkan melalui program Gerakan pembangunan ekonomi masyarakat (Gerbang Emas). Program tersebut di sub sektor perkebunan diprioritaskan pada tiga komoditas yaitu kelapa, kakao dan kopi. Sasaran yang ingin dicapai adalah terbentuknya kawasan sentra produksi komoditas unggulan yang prospektif, kompak, ekonomis dan ramah lingkungan, sehingga mampu memberikan sumbangan pendapatan kepada pekebun di atas Rp 6,5 juta/KK/tahun (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004b). Kesadaran akan perlunya memasukkan sasaran pengembangan perkebunan ramah lingkungan agak terlambat, karena sebagian kawasan hutan yang berfungsi sebagai penyangga/pendukung kehidupan telah terusik dan dampaknya mulai dirasakan masyarakat seperti banjir dan kekeringan dikawasan Danau Tempe, serta menyusutnya potensi ekonomi dari Danau Tempe. Oleh karena itu, perkebunan yang berhasil dibangun perlu dikelola dengan baik, sehingga dapat menggantikan sebagian fungsi hutan yang terlanjur berubah. Mengingat pentingnya peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan dan adanya dampak negatif karena pengembangan areal perkebunan kakao yang kurang terarah, maka untuk menjamin keberlanjutan pembangunan perkebunan kakao di daerah ini perlu disusun suatu strategi pembangunan perkebunan kakao yang memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa pembangunan perkebunan kakao diupayakan agar tetap memberikan keuntungan secara ekonomi, tidak menimbulkan kesenjangan sosial dan tidak menimbulkan penurunan kualitas lingkungan biofisik.
49
2.4.2. Ancaman Hama PBK dan Upaya Pengendaliannya Sebagaimana telah diuraikan bahwa serangan hama PBK menghantui perkebunan kakao di Indonesia sejak awal pengembangannya. Menurut Roesmanto (1991), hama PBK teridentifikasi menyerang dan menghancurkan perkebunan kakao rakyat di daerah Minahasa pada tahun 1845 dan perkebunan kakao di sepanjang pantai Utara Jawa Tengah hingga Malang, Kediri dan Jember pada tahun 1886. Lebih lanjut menurut Wiryadiputra (1993), kasus serupa kembali terulang di kebun Pasir Muncang, Jawa Barat pada tahun 1966 dan di kebun Marijke, Sumatera Utara pada tahun 1978. Meskipun hama PBK terus mengancam, tetapi tidak membuat jera petani. Perbaikan harga kakao dunia tahun 1977 hingga tahun 1985, telah mendorong petani untuk menanam kakao secara besar-besaran, khususnya petani di Sulawesi. Namun, hama PBK kembali muncul sejak awal tahun 1990-an dan menyebar dengan cepat, sehingga pada saat ini hampir seluruh perkebunan kakao Indonesia terserang hama tersebut. Menurut Sulistyowati dan Prawoto (1993), sebenarnya penyebaran hama PBK lebih banyak terjadi secara pasif melalui benih kakao dalam bentuk buah, bahan tanam, kendaraan dan manusia yang berpindah dari daerah serangan hama PBK ke daerah yang belum terserang. Hama PBK yang menyerang perkebunan kakao di Sulawesi Tangah diduga berasal dari Tawao (Malaysia) yang masuk terbawa kapal yang intensif membawa hasil bumi antar pelabuhan kecil di Sulawesi Tengah dan Tawao. Hama PBK dilaporkan mulai menyerang perkebunan kakao di Kabupaten Buol Tolitoli tahun 1991 dan menyebar dengan cepat ke arah selatan. Hal ini terjadi karena pertanaman kakao di Sulawesi sudah hampir sambung menyambung membentu semacam cocoa belt. Menurut Wiryadiputra (1993), hama PBK ini termasuk ngengat yang memiliki ukuran paling kecil diantara anggota ordo Lepidoptera. Serangga dewasa betina meletakkan telur pada permukaan buah kakao berukuran panjang lebih dari 5 cm. Setelah berumur 2-7 hari, telur menetas dan larvanya yang berwarna kuning
50
kemerahan transparan langsung menggerek kulit telur yang berbatasan dengan kulit buah kakao, selanjutnya menggerek kedalam buah. Larva menggerek dan makan permukaan dalam kulit buah, daging buah dan plasenta, bahkan sampai kotiledon, sehingga menimbulkan kerusakan pada biji kakao. Stadium larva berkisar antara 1418 hari. Menjelang menjadi kepompong, larva membuat lubang pada kulit buah untuk jalan keluar dan setelah berada diluar larva akan merayap atau menjatuhkan diri dengan pertolongan benang sutera dan mencari tempat berlindung. Selanjutnya larva memintal benang sutera membentuk kokon guna melindungi diri saat menjadi pupa. Stadium pupa berlangsung 6-8 hari. Kemudian pupa menjadi imago (ngengat) dengan masa hidup kurang lebih 7 hari. Imago aktif dimalam hari dan seekor ngengat betina dapat bertelur 100-200 butir (Wiryadiputra, 1993 dan Wood, 1987). Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa hama PBK selama masa hidupnya berada pada tempat-tempat yang terlindung. Hama PBK berada pada tempat terbuka hanya pada stadium telur, pada saat mau menjadi pupa dan pada saat menjadi ngengat. Menurut Day et al. (1994), hama PBK pada stadium telur berada dipermukaan buah kakao muda selama 2-4 hari. Kemudian setelah menjadi larva, hama PBK akan masuk dalam buah kakao selama 12-24 hari. Selanjutnya menjelang menjadi pupa, larva hama PBK keluar dari buah kakao untuk mencari tempat yang aman selama menjalani stadium pupa. Larva hama PBK berada diluar buah kakao untuk mencari tempat yang aman tersebut kurang dari satu hari. Setelah memperoleh tempat yang aman, larva hama PBK segera membentuk kokon sebagai tempat perlindungannya selama menjalani stadium pupa salama 6-9 hari. Selanjutnya, memasuki stadium dewasa (menjadi ngengat), hama PBK keluar dari kokon dan beraktivitas di malam hari. Masa hidupnya pada stadium dewasa ini kira-kira 7 hari. Dengan siklus dan pola hidup yang unik tersebut, hama PBK sangat sulit dikendalikan karena sulit terjangkau oleh pestisida maupun musuh alami. Menurut Depparaba (2002), berdasarkan rangkuman dari berbagai pendapat para ahli menyimpulkan bahwa hama PBK mempunyai kemampuan berkembang biak dengan pesat dan menyebar dengan cepat baik secara aktif maupun secara pasif terbawa oleh
51
aliran barang atau kendaraan, sehingga dalam waktu singkat hama PBK dapat menjadi wabah di suatu daerah. Sebagai gambaran satu ekor ngengat betina yang telah dibuahi dalam waktu empat bulan (empat generasi) dapat menurunkan sebanyak 20.000 ekor PBK pada generasi keempat. Lebih lanjut menurut Toana (1997), hama PBK (C. cramerella) dapat berkembang biak sebanyak 12 sampai 13 generasi dalam setahun. Kecepatan berkembang biak hama PBK sangat ditunjang oleh kondisi tanaman kakao yang berbuah sepanjang tahun, sehingga tersedia makanan yang berlimpah bagi hama PBK sepanjang tahun. Akibatnya siklus hidup hama PBK sangat sulit untuk diputuskan dan selalu merugian petani sepanjang tahun. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian petani kakao mulai enggan mengelola kebun kakaonya. Beberapa kasus, serangan hama PBK yang cukup berat menyebabkan perkebunan kakao tidak terawat dan mengalami kerusakan. Pada areal perkebunan kakao yang rusak akan terjadi peningkatan erosi tanah yang dapat menyebabkan makin meluasnya lahan kritis di Sulawesi Selatan. Kehancuran perkebunan kakao akibat mengganasnya serangan hama PBK sudah dialami oleh Malaysia. Malaysia sebelum tahun 1992 merupakan produsen kakao terbesar keempat setelah Pantai Gading, Brazil, dan Ghana dengan total produksi tertinggi sebesar 243 ribu ton pada tahun 1989/90. Namun setelah mendapat serangan hama PBK sejak tahun 1980 dan makin mengganas sejak tahun 1995 menyebabkan produksi kakao Malaysia terus menurun hingga tinggal 25 ribu ton pada tahun 2001/02 (International Cocoa Organization, 2003). Perkebunan kakao Malaysia banyak yang rusak dan diganti dengan tanaman lain. Penggantian tanaman terpaksa dilakukan karena petani tidak mampu lagi mengendalikan serangan hama PBK dan biaya pengendaliannya semakin mahal. Belajar dari pengalaman di berbagai daerah di Indonesia pada masa lalu dan pengalaman Malaysia beberapa tahun terakhir, maka diperlukan kerja keras untuk menyelamatkan perkebunan kakao Sulawesi Selatan dari kehancuran. Sebenarnya teknologi untuk pengendalian hama PBK hasil penelitian telah tersedia yaitu dengan perbaikan sistem budidaya melalui penerapan teknologi Panen sering, Pemangkasan,
52
Sanitasi dan Pemupukan berimbang yang dikenal dengan istilah PsPSP. Panen sering dimaksudkan agar hama PBK yang ada di dalam buah ikut terpanen sehingga dapat dimusnakan. Sementara itu, pemangkasan tanaman bertujuan untuk menciptakan lingkungan perkebunan kakao menjadi tidak disenangi oleh hama PBK. Sedangkan sanitasi bertujuan untuk membersihkan tempat berlindung hama PBK saat menjadi kepompong dan kegiatan pemupukan bertujuan untuk meningkatkan jumlah buah yang dihasilkan dengan harapan masih banyak buah yang selamat dari serangan hama PBK, sehingga produktivitas kebun cukup tinggi. Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan (2000), pengendalian hama PBK dengan penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) yang kegiatannya meliputi: panen sering, pemangkasan, sanitasi, pemupukan dan konservasi musuh alami, berhasil menekan serangan hama PBK dari 59,67% menjadi 31,5% dan menekan kehilangan produksi dari 17,7% menjadi 2,8%. Sedangkan di petak nonPHT, serangan hama PBK meningkat menjadi 79,5% dengan kehilangan hasil 24,98%. Penelitian Iswanto dan Purwantara (2005), menunjukkan bahwa penerapan teknologi budidaya PsPSP di perkebunan kakao Swasta di Jawa Barat mampu menurunkan kerusakan biji kakao akibat serangan hama PBK dan busuk buah dari 40,64% menjadi 6,53%. Pangalaman dan hasil penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa teknologi PsPSP cukup efektif untuk mengendalikan serangan hama PBK. Namun yang menjadi permasalahan adalah proses adopsi teknologi pengendalian hama PBK sangat lambat. Berbagai upaya untuk mempercepat adopsi teknologi PsPSP telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM), termasuk LSM dari Amerika Serikat yaitu ACDI-VOCA. LSM ACDI-VOCA bekerjasama dengan Pemerintah Daerah melakukan berbagai kegiatan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SL-PHT) dengan nama Success Project sejak tahun 2001. Kegiatan tersebut mulai intensif dilakukan sejak tahun 2000 dan sampai dengan tahun 2003 telah dilatih sebanyak 39.750 orang petani kakao di Sulawesi dan Papua (Jaax 2003 dalam Mustafa 2005).
53
Ke depan, upaya untuk mempercepat adopsi teknologi pengendalian hama PBK menjadi semakin berat, karena LSM ACDI-VOCA yang beberapa tahun lalu aktif membantu mempercepat sosialisasi teknologi pengendalian hama PBK melalui Success Project mulai menghentikan kegiatannya pada tahun 2006. Sementara itu, dukungan kebijakan pemerintah untuk mengatasi serangan hama PBK masih sangat kurang. 2.4.3. Teknologi Budidaya PsPSP Sebagai Suatu Inovasi Teknologi budidaya PsPSP merupakan suatu inovasi karena teknologi tersebut dirasakan baru oleh petani kakao. Pengertian baru disini tidak hanya sekedar baru diketahui, tetapi juga karena belum diterima dan diterapkan secara luas oleh masyarakat. Dengan pengertian tersebut maka teknologi PsPSP dapat dipandang sebagai suatu inovasi di perkebunan kakao dan sebagai suatu inovasi memerlukan suatu proses sampai diadopsi oleh petani. Menurut Rogers (1985), adopsi suatu inovasi merupakan proses mental sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolak dan kemudian mengukuhkannya. Secara lebih rinci, proses adopsi dapat dibagi dalam lima tahapan yaitu pengenalan, persuasi, keputusan, implementasi dan konfirmasi. Tetapi tiga tahapan yang terakhir dapat dipandang sebagai satu tahapan implimentasi atau adopsi inovasi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kecepatan adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh banyak faktor terutama karakteristik inovasi, lingkungan sosial budaya, karakteristik individu petani, dan kondisi usahataninya. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Soekartawi (1988) yang menyatakan bahwa kecepatan adopsi teknologi dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor eksternal maupun faktor internal dari adopter. Beberapa faktor eksternal yang berpengaruh antara lain: (1) macam inovasi, (2) sifat dan ciri inovasi yang meliputi
keuntungan
relatif,
kompatibilitas,
kompleksitas,
triabilitas
dan
obsevabilitas, (3) saluran komunikasi, (4) ciri sistem sosial, dan (5) kegiatan promosi. Sedangkan faktor internal yang berpengaruh antara lain: (1) latar belakang
54
sosial ekonomi, budaya dan politik,
(2) umur dan pendidikan, (3) keberanian
mengambil resiko, (4) sikap terhadap perubahan, (5) aspirasi dan sistem kepercayaan. Beberapa hasil penelitian antara lain yang dilakukan oleh Yusnadi (1992) dan Latif (1995) mengungkapkan bahwa pendidikan formal dan informal serta tingkat kekosmopolitan petani berhubungan nyata dengan tingkat adopsi. Sementara hasil penelitian Sadono (1999) mengatakan bahwa faktor internal petani yang berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) adalah tingkat pendidikan dan persepsi petani terhadap PHT. Penelitian lain yang dilakukan Setyanto (1993) menyimpulkan bahwa pendidikan, penghasilan, luas lahan garapan dan status lahan berpengaruh positif terhadap adopsi teknologi Supra Insus. Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan bahwa kecepatan adopsi teknologi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang meliputi: karakteristik teknologi yang meliputi: keuntungan ekonomis dan sosial, kompatibilitas/kesesuaian, kompleksitas/tingkat kesulitan, dan observabilitas; karakteristik lingkungan sosial yang meliputi: pola pengambilan keputusan, keberadaan sumber informasi, toleransi terhadap perubahan; karakteristik pribadi petani seperti: umur, pendidikan, status sosial, pekerjaan utama, kemampuan finansial dan tingkat pengetahuan petani; dan karakteristik kebun seperti: luas kebun, umur tanaman, klon dan kemiringan lahan.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Sulawesi Selatan pada bulan Januari sampai Oktober 2006 dengan menggunakan metode survei. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan bahwa Sulawesi Selatan merupakan sentra produksi utama kakao Indonesia. Untuk kebutuhan analisis makro, lokasi survei ditentukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan untuk klarifikasi data yang bersumber dari Badan Pusat Statistik dan Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi sampel untuk perkebunan kakao, kopi dan perkebunan lainnya adalah Kabupaten Mamuju, Polman, dan Bone; industri semen di Kabupaten Pangkep, dan aneka industri di Kawasan Industri Makassar. Sementara itu, untuk kebutuhan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK, lokasi penelitian ditentukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan luas kebun, kondisi lahan, dan sistem pengelolaan usahatani dilakukan oleh petani. Penelitian dilakukan di dua Kabupaten yaitu Kabupaten Polman dan Kabupaten Mamuju, Sulawesi Selatan. Pada masing-masing kabupaten dipilih dua kecamatan sentra produksi kakao dan pada setiap kecamatan dipilih dua desa, sehingga seluruhnya berjumlah 8 desa sampel.
3.2. Jenis dan Sumber Data serta Tehnik Pengambilan Contoh Jenis dan Sumber Data serta Tehnik Pengambilan Contoh disesuaikan dengan kebutuhan analisis data guna mencapai tujuan penelitian. Untuk kebutuhan analisis makro (Tabel Input Output) digunakan data sekunder yang bersumber dari Kantor Statistik, Bapedalda, dan instansi terkait lainnya serta pengamatan langsung pada beberapa lokasi dimana sektor ekonomi menimbulkan dampak lingkungan cukup nyata. Data yang dikumpulkan untuk analisis Tabel Input Output meliputi: Tabel Input Output Sulawesi Selatan tahun 2000 (Lampiran 1 dan 2), dan data untuk up
56
dating Tabel Input Output tahun 2000 menjadi tahun 2003 yang meliputi: jumlah output berbagai sektor ekonomi, jumlah input antara, jumlah permintaan antara, nilai tambah bruto, jumlah permintaan akhir dan jumlah tenaga kerja masing-masing sektor ekonomi. Di samping itu, juga dikumpulkan data kerusakan lingkungan biofisik berupa: erosi lahan, penurunan keanekaragaman hayati dan kerusakan tata air serta data kerusakan lingkungan karena bahan pencemar dari berbagai sektor ekonomi. Sedangkan data untuk kebutuhan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK dikumpulkan melalui wawancara dengan petani responden dari 8 desa sampel yang telah ditentukan. Pada setiap desa sampel ditentukan responden secara acak masing-masing 10 orang petani, sehingga responden yang diwawancara berjumlah 80 orang petani. Disamping itu juga dilakukan wawancara dengan beberapa informan yang meliputi; pedagang biji kakao, pedagang sarana produksi, tokoh masyarakat, pemerintah daerah, pengurus organisasi petani, petugas penyuluh, pengurus asosiasi kakao Indonesia, petugas dinas dan instansi terkait. Data yang dikumpulkan di tingkat petani meliputi data: kondisi perkebunan kakao petani, karakteristik petani kakao, kondisi sosial ekonomi, tingkat adopsi teknologi dan karakteristik teknologi pengendalian hama PBK yang disosialisasikan untuk diterapkan oleh petani, serta informasi rangkaian kebijakan yang terkait dengan pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Data kondisi kebun meliputi luas kebun, umur tanaman, potensi produksi, produksi riil dan pendapatan petani. Data karakteristik petani meliputi antara lain: Umur, pendidikan, pengalaman berusahatani, pekerjaan utama, ketersediaan dan ketrampilan tenaga kerja, ketersediaan modal, bahan dan peralatan. Data kondisi sosial ekonomi meliputi kependudukan, kelembagaan dan organisasi petani, sumber informasi, pembina, intensitas kerjasama petani, pendapatan dan pengeluaran petani serta toleransi terhadap perubahan. Data karakteristik teknologi terkait dengan persepsi petani tentang keunggulan teknologi, kesesuaian, kesederhanaan dan kemudahan dalam penerapannya. Secara ringkasan variabel dan data yang dikumpulkan untuk analisis
57
faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK disajikan Lampiran 3.
3.3. Metode Analisis Data 3.3.1. Analisis Biaya Lingkungan Identifikasi dan analisis biaya lingkungan dilakukan untuk memberikan gambaran besarnya beban biaya eksternalitas yang selama ini tidak diperhitungkan dalam perekonomian dan menjadi beban masyarakat. Hal ini menyebabkan informasi pertumbuhan ekonomi masih bersifat semu dan dapat merugikan masyarakat banyak. Oleh karena itu dalam rangka memberikan gambaran riil peran suatu sektor ekonomi maupun pertumbuhan ekonomi regional, maka biaya eksternalitas berbagai sektor ekonomi perlu diperhitungkan. Perhitungan biaya lingkungan karena aktivitas ekonomi dilakukan dengan menghitung nilai kerusakan lingkungan atau biaya yang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan tersebut. Pada kasus pengembangan perkebunan kakao dan perkebunan lainnya, biaya lingkungan yang perlu diperhitungkan adalah biaya-biaya berupa peningkatan erosi tanah, penurunan keanekaragaman hayati, penurunan kawasan yang berfungsi untuk melindungi tanah dan air (tata air). Perhitungan biaya lingkungan akibat langsung dari erosi lahan dilakukan dengan menggunakan model matematika yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1965 dalam Morgan 1986, Rahim 2000, dan Suripin 2002,) yang dikenal dengan persamaan Universal Soil Loss Equation. Besarnya erosi yang terjadi dihitung dengan menggunakan rumus berikut: A = R x K x L x S x C x P ........……………………………………........ (8) dimana: A R K L S C P
= = = = = = =
Jumlah tanah tererosi (ton/ha/tahun) faktor curah hujan dan aliran permukaan, faktor erodibilitas tanah, faktor panjang lereng, faktor kecuraman lereng, faktor vegetasi penutup tanah, faktor tindakan khusus konservasi tanah.
58
Selanjutnya dihitung nilai kerugian sebagai biaya pengganti karena kehilangan unsur hara. Penilaian biaya pengganti unsur hara yang hilang dilakukan berdasarkan bersarnya tanah yang tererosi dan nilai kandungan unsur hara N, P dan K dari tanah yang tererosi. Nilai kandungan unsur hara N, P dan K dihitung berdasarkan hasil penelitian kandungan unsur hara tanah dari berbagai lokasi yang dinilai berdasarkan harga pasar pupuk urea, SP-36 dan KCl. Sedangkan
biaya
lingkungan
untuk
sektor
ekonomi
lainnya
yang
diperhitungkan adalah biaya lingkungan yang ditimbulkan oleh limbah yang dihasilkan dari proses produksi baik berupa padatan, cair maupun gas. Biaya lingkungan dari limbah tersebut diperhitungkan berdasarkan biaya pengolahan/ penanganan limbah yang seharusnya dilakukan oleh sektor perekonomian yang bersangkutan. Biaya pencemaran air dihitung berdasarkan biaya pengolahan limbah bahan pencemar yang masuk keperairan. Demikian pula halnya dengan biaya pencemaran udara dan tanah diperhitungkan berdasarkan biaya yang harus dikeluarkan untuk menangani limbah yang mencemari udara dan tanah. Untuk limbah gas-gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O), biaya eksternalitas dinilai berdasarkan harga transaksi CO2 dan kesetaraan dengan emisi CO2. Emisi CH4 setara dengan 21 CO2 dan Emisi N2O/NOx setara dengan 310 CO2 (Hassall & Associates Pty Ltd. 1999;
Meiviana, Sulistiowati dan Soejachmoen 2004).
Sementara itu, harga transaksi CO2 pada kegiatan penurunan emisi Mekanisme Produksi Bersih (Clean Development Mechanism =CDM) sangat bervariasi mulai dari $ 1,75/ton CO2 sampai US $10/ton CO2, tetapi pada umumnya berada pada kisaran US $ 5-8/ton CO2 (Jotzo 2001).
3.3.2. Analisis Tabel Input Output Analisis Tabel Input Output bertujuan untuk memperoleh gambaran besarnya peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Analisis Tabel Input Output ini dilakukan dua tahap yaitu: Analisis Tabel Input Output konvensional dan Analisis Tabel Input Output berwawasan lingkungan.
59
Pengolahan dan analisis data dimulai dengan penyusunan Tabel Input Output. Kemudian dilanjutkan dengan perhitungan koefisien Tabel Input Output dan inverse matriks Leontief. Selanjutnya dilakukan analisis pengganda output, pengganda pendapatan, pengganda tenaga kerja, dan keterkaitan antar sektor ke depan dan ke belakang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tabel Input Output untuk keperluan penelitian ini disusun dengan menyederhanakan Tabel Input Output Sulawesi Selatan tahun 2000. Penyederhanaan dilakukan dengan mengagregasi Tabel Input Output 112 sektor menjadi 25 sektor. Kemudian meng-update datanya dengan menggunakan data hasil SUSENAS tahun 2003 dan laporan dari berbagai sumber. Sementara untuk analisis Input Output berwawasan lingkungan, dilakukan lagi up dating data dengan cara memasukkan data biaya eksternalitas sebagai output negatif dari berbagai sektor ekonomi. Metode yang digunakan untuk meng-update data Input Output adalah dengan mengestimasi koefisien Input Output pada dua periode yang berbeda. Estimasi koefisien Input Output pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode RAS. Metode RAS diperkenalkan pertama kali oleh R. Stone dari Universitas Cambridge pada tahun 1961 yang dirumuskan sebagai berikut (Arsyad, L. 1999 dan Badan Pusat Statistik, 2000): t
0
A = R. A . S
............................................................................................ (9)
t
dimana: A = matriks koefisien teknis tabel Input Output pada periode t, R = matriks diagonal berukuran nxn yang menunjukkan jumlah permintaan antara tiap output sektor perekonomian periode t, S = matriks diagonal berukuran nxn menunjukkan jumlah input pada tiap sektor ekonomi periode t. A = matriks koefisien teknis tabel Input Output pada periode t=0. Model umum Tabel Input Output (n x n) adalah sebagai berikut:
60
Tabel 2. Model umum tabel input output (nxn) Alokasi Output Susunan Input
Sektor
Sektor Produksi (Permintaan Antara) 1………….. j …………… n
Permintaan Akhir
Total Output
1
X11
X1j
X1n
Y1
X1
:
:
:
:
:
:
Xi1
Xij
Xin
Yi
Xi
:
:
:
:
:
:
n
Xn1
Xnj
Xnn
Yn
Xn
L1 X1
Lj Xj
Ln Xn
Produksi i
Input Primer Total Input
X
Sumber: Badan Pusat Statistik, 1999. Keterangan : Xij = Volume input yang diserap sektor produksi ke-j dari output yang dihasilkan sektor produksi ke-i. Xi = Total output yang dihasilkan sektor produksi ke-i. Xj = Total input yang dibutuhkan sektor produksi ke-j. Yi = Total output permintaan akhir yang dihasilkan sektor produksi ke-i. Lj = Total input primer sektor produksi ke-j atau total nilai tambah bruto yang dihasilkan sektor produksi ke-j. X = Total Output seluruh sektor perekonomian.
Dalam bentuk matriks, model Input-Output tersebut dapat ditulis sebagai berikut : A X + Y = X X = (I - A ) dimana: A X Y -1 (I - A )
-1
dan jika dijabarkan lebih lanjut akan diperoleh : Y ................................................................................. (10)
= matriks koefisien input teknis, = vektor kolom output total. = vektor kolom permintaan akhir, = inverse (kebalikan) matriks Leontief.
Inverse matriks Leontief berfungsi untuk memprediksi setiap perubahan variabel eksogen seperti permintaan akhir terhadap sistem perekonomian secara simultan. Dengan menggunakan inverse matriks Leontief dapat dihitung pengganda output, pengganda pendapatan, pengganda tenaga kerja dan keterkaitan antar sektor perekonomian.
61
Perhitungan pengganda output, pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerja dirumuskan sebagai berikut: Tabel 3. Rumus pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja Nilai Pengganda Output (Rp) Pendapatan (Rp) Tenaga Kerja (Orang) Efek Awal
1
hj
ej
Efek Putaran pertama
∑i aij
∑i aij hi
∑i aij ei
Efek Dukungan industri
∑i αij -1-∑i aij ∑i αij hi-hj -∑i aijhi
∑i αij ei-ej-∑i aijei
Efek Induksi Konsumsi
∑i α*ij -∑i αij
∑i α*ij hi - ∑i αij hi
∑i α*ij ei-∑i αij ei
Efek Total
∑i α*ij
∑i α*ij hi
∑i α*ij ei
Efek Lanjutan
∑i α*ij-1
∑i α*ij hi-hj
∑i α*ij ei-ej
Sumber: Daryanto 1990 dalam Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB 2005.
Keterangan: aij hj ei αij α*ij
= Koefisien output = Koefisien pendapatan rumah tangga = Koefisien tenaga kerja = Matriks kebalikan Leontif model terbuka = Matriks kebalikan Leontif model tertutup
Untuk mengetahui hubungan efek awal dan efek lanjutan perunit pengukuran dari sisi output, pendapatan dan tenaga kerja dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus pengganda Tipe I dan Tipe II sebagai berikut: Tipe I = Efek Awal + Efek Putaran pertama + Efek Dukungan industri Efek Awal
Tipe II = Efek Awal + Efek Putaran pertama + Efek Dukungan industri + Efek Induksi Konsumsi Efek Awal
Kemudian, untuk mengetahui besarnya pertumbuhan suatu sektor ekonomi yang dapat menstimulir pertumbuhan sektor ekonomi lainnya melalui mekanisme induksi digunakan konsep keterkaitan antar sektor ekonomi. Konsep keterkaitan tersebut meliputi : keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan kedepan
(forward
linkage).
Keterkaitan
ke
belakang
(backward
linkage)
menunjukkan hubungan keterkaitan antar industri/sektor dalam pembelian terhadap
62
total pembelian input yang digunakan untuk proses produksi. Sedangkan keterkaitan ke depan (forward linkage) menunjukkan hubungan keterkaitan antar industri/sektor dalam penjualan terhadap total pejualan output yang dihasilkannya. Indikator yang digunakan untuk menentukan sektor kunci adalah koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran yaitu normalisasi dari indikator keterkaitan ke belakan dan keterkaitan ke depan. Koefisien penyebaran menunjukkan kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan pertumbuhan industri hulunya, Sedangkan kepekaan penyebaran adalah kemampuan suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor-sektor lainnya yang menggunakan input produksi dari sektor ini. Koefisien penyebaran atau daya menarik (backward power dispersion) dan kepekaan penyebaran atau daya mendorong (forward power dispersion) dirumuskan sebagai berikut: n
n
Pdj =
n∑α .ij n
i =1 n
∑ ∑α .
.................. (11)
Sdi =
ij
i =1
j =1
n∑α .ij n
j =1 n
∑ ∑α .
.......................... (12)
ij
i =1
j =1
dimana: Pdj = Koefisien penyebaran sektor j, Sdi = Kepekaan penyebaran sektor i, αij = Unsur matriks kebalikan Leontif.
3.3.3. Analisis Dampak Serangan Hama PBK
Analisis dampak serangan hama PBK dilakukan untuk memperoleh gambaran besarnya ancaman hama PBK terhadap keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan dan pengaruhnya pada struktur perekonomian regional Sulawesi Selatan. Analisis dampak serangan hama PBK dilakukan dengan menggunakan data primer dari petani. Kemudian berdasarkan data tersebut dilakukan simulasi pada Tabel Input-Output berwawasan lingkungan yang telah disusun sebelumnya. Melalui simulasi akan diperoleh gambaran/informasi dampak serangan hama PBK bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan.
63
3.3.4. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK bertujuan untuk memperoleh gambaran berbagai faktor yang pengaruhnya dominan terhadap proses adopsi teknologi sehingga dapat dirumuskan kebijakan untuk mempercepat penyebarluasan upaya pengendalian hama PBK. Paket teknologi pengendalian hama PBK yang disebar luaskan saat ini adalah suatu tehnik budidaya yang meliputi: kegiatan Panen sering, Pemangkasan, Sanitasi, dan Pemupukan atau disingkat dengan istilah PsPSP. Analisis ini dilakukan untuk melengkapi informasi yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan pembangunan perkebunan kakao yang berkelanjutan. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK-PsPSP tersebut dilakukan dengan menggunakan Model Logit yang dirumuskan sebagai berikut: ⎛ P Ln⎜⎜ i ⎝ 1 − Pi
⎞ ⎟⎟ = α + β1 X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3 + β 4 X 4 + β 5 X 5 + β 6 X 6 + β 7 X 7 + β 8 X 8 + β 9 X 9 + ⎠
β 10 X 10 + β 11 X 11 + β 12 X 12 + β 13 X 13 + β 14 X 14 + β 15 X 15 + β 16 X 16 …. (13) dimana: Pi β0 βi X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16
= Peluang petani mengadopsi teknologi pengendalian hama PBK (Pi =1 jika petani mengadopsi dan Pi=0 jika petani tidak mengadopsi), = Intersep, = Koefisien regresi peubah Xi, = Umur petani (tahun), = Pendidikan petani (tidak tamat SD = 0; tamat SD=1; tamat SMP=2; tamat SMA=3), = Pengalaman berusahatani (tahun), = Jumlah anggota keluarga (orang), = Tingkat Pendapatan (Rp juta/th), = Luas kebun kakao (ha), = Toleransi masyarakat (Dummy; toleran=1, tidak toleran = 0), = Keberadaan organisasi petani (Dummy; ada=1, tidak ada=0), = Keberadaan petugas pembina (Dummy; ada=1, tidak ada=0), = Keefektifan teknologi (Dummy; efektif=1, tidak efektif=0), = Kesederhanaan teknologi (Dummy; sederhana=1, tdk sederhana=0), = Kesesuaian teknologi (Dummy; sesuai=1, tidak sesui=0), = Sekolah Lapang PHT (Dummy; ikut=1, tidak ikut=0), = Jumlah angkatan kerja keluarga(orang), = Pendapatan dari kebun kakao (Rp juta/tahun), = Umur tanaman kakao (tahun).
64
Mengingat proses adopsi teknologi berlangsung melewati tiga tahapan maka analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pada penelitian ini dilakukan pada masing-masing tahapan yaitu: Analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi proses mendapatkan pengetahuan tentang inovasi, analisis faktorfaktor yang mempengaruhi proses pembentukan sikap (persepsi) pada inovasi, dan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan keputusan atau tindakan penerapan (adopsi) inovasi. Pada tahap perubahan pengetahuan, Pi =1 jika petani mengetahui dan memehami dengan baik tentang teknologi PsPSP dan Pi=0 jika petani sama sekali tidak mengetahui teknologi PsPSP. Pada tahap pembentukan sikap, Pi = 1 jika petani bersikap sangat positif terhadap teknologi PsPSP dan Pi = 0 jika petani bersikap negatif terhadap teknologi PsPSP. Demikian juga halnya pada tahap penerapan atau adopsi teknologi, Pi = 1 jika petani menerapkan secara penuh dan sesuai dengan anjuran ke empat komponen teknologi PsPSP dan Pi = 0 jika petani sama sekali tidak menerapkan komponen teknologi PsPSP. Secara teknis perhitungan peluang penerapan teknologi skala 0-1 tersebut dilakukan melalui dua tahapan yaitu pemberian skor terhadap pengetahuan, sikap maupun penerapan teknologi PsPSP dan konversi skor masing masing responden ke skala peluang 0-1. Pemberian skor dilakukan pada saat wawancara dan konversi skor dilakukan pada saat tabulasi data. Selanjutnya data diolah dan dianalisis melalui pendekatan Model Logit dengan menggunakan program SPSS.
65
3.3.5. Analisi Prospektif
Analisis prospektif bertujuan untuk merumuskan strategi dan alternatif kebijakan guna mencapai sasaran pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan. Analisis prospektif dilakukan melalui diskusi dan wawancara dengan para pakar dengan beberapa tahap kegiatan sebagai berikut (Hardjoamidjojo 2002): a. Menentukan faktor-faktor kunci untuk masa depan sistem yang dikaji, b. Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama, c. Mendefinisikan/mendeskripsikan hasil evaluasi kemungkinan masa depan. Pakar yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah para peneliti senior dan petugas dinas perkebunan yang berpengalaman dalam bidang agribisnis kakao. Para pakar dilibatkan terutama untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan agribisnis kakao dan melakukan penilaian pengaruh langsung antar faktor yang berpengaruh. Penilaian pengaruh langsung antar faktor dilakukan dengan menggunakan matriks seperti yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Pengaruh langsung antar faktor yang mempengaruhi sistem agribisnis kakao A Dari ↓ Terhadap→
B
C
D
E
F
G
H
I
J
A B C D E F G H I J K L Keterangan: A-L = Faktor-faktor penting dalam sistem agribisnis kakao.
K
L
66
Pedoman penilaian atau pengisian kolom matriks adalah sebagai berikut: a. Dilihat dulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika tidak maka diberi nilai 0. b. Jika ada pengaruhnya, apakah sangat kuat, jika ya diberi nilai 3. c. Jika ada pengaruhnya, tetapi kecil diberi nilai 1 dan jika sedang diberi nilai 2. Selanjutnya hasil penilaian pengaruh antar faktor tersebut diolah dengan menggunakan software analisis prospektif yang akan menghasilkan tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor seperti pada Gambar 4.
P e n g a r u h
Kuadran I: Faktor Penentu (INPUT)
Kuadran II: Faktor Penghubung (STAKES)
Kuadran IV: Faktor Bebas (UNUSED)
Kuadran III: Faktor Terikat (OUTPUT)
Ketergantungan Gambar 4. Tngkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor yang berpengaruh dalam sistem agribisnis kakao.
67
3.4. Definisi Operasional
Dalam melakukan pengolahan dan analisis data digunakan beberapa istilah, konsepsi dan asumsi sebagai berikut: a. Biaya eksternalitas adalah biaya kerusakan lingkungan atau biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk melindungi kerusakan lingkungan, tetapi tidak dimasukkan sebagai biaya dalam sektor ekonomi yang dalam proses produksinya menimbulkan
kerusakan
lingkungan
atau
menghasilkan
limbah
yang
menurunkan kualitas lingkungan. Sedangkan biaya lingkungan yang telah dikeluarkan untuk mencegah pencemaran atau kerusakan lingkungan dalam penelitian ini tidak diperhitungkan sebagai biaya eksternalitas karena sudah diinternalisasikan oleh produsen dalam perhitungan rugi-laba perusahaan. b. Dalam pendugaan erosi tanah digunakan nilai penutupan tanaman (C) disesuaikan dengan jenis dan kondisi tanaman dengan kisaran 0,1-0,5. Untuk tanaman kakao dan kopi, nilai C= 0,3 untuk tanaman baru ditanam (TBM-0); nilai C = 0,2 untuk tanaman belum menghasilkan berumur 1-3 tahun dan tanaman rusak (TBM 1-3 dan TR); dan nilai C = 0,1 untuk tanaman menghasilkan (TM). Sementara itu, nilai konservasi (P) = 1 karena tidak ada tindakan konservasi lahan, dan erodibilitas rata-rata (K) = 0,205 (Morgan 1986; Rahim 2000 dan Suripin 2002). Sedangkan curah hujan digunakan curah hujan rata-rata dari berbagai lokasi yaitu 2.000 mm/tahun. Panjang lereng (L) bervariasi dengan asumsi rata-rata: 40m untuk lahan berkemiringan 5%; 35m untuk lahan berkemiringan 10%; 30m untuk lahan berkemiringan 15%; 25m untuk lahan berkemiringan 20%; dan 20 m untuk lahan berkemiringan 30% (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004 dan 2004a; Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan 2004; dan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004). c. Kandungan unsur hara utama (N, P, dan K) dari beberapa lokasi di Sulawesi Selatan yaitu di Kabupaten Polmas (Balai Penelitian Teknologi Pertanian, 2004),
68
di Kabupaten Luwu (Hendrisman et al. 2005) menunjukkan bahwa kandungan rata-rata unsur hara N sebesar 1,2344 kg/ton tanah atau setara dengan 2,7432 kg pupuk urea, unsur hara P sebesar 0,6868 kg/ton tanah atau setara dengan 1,9077 kg pupuk SP-36 dan unsur hara K sebesar 1,5691 kg/ton tanah atau setara dengan 2,6152 kg KCl. Dengan menggunakan harga pupuk masing-masing Rp 1.500/kg untuk pupuk urea, Rp 2.000/kg untuk pupuk SP-36 dan Rp 2.500/kg untuk pupuk KCl, maka nilai total kandungan unsur hara utama tanah tersebut setara dengan Rp 14.468/ton tanah (Lampiran 3). d. Harga transaksi CO2 diasumsikan sebesar US $ 5/ton merupakan nilai tengah dari harga CO2 pada proyek mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism-CDM) yang nilainya berkisar antara US $ 1,75-10/ton CO2 (Jotzo 2001). e. Nilai emisi CH4 setara dengan 21 kali CO2 dan N2O setara dengan 310 kali CO2 sesuai dengan nilai yang ditetapkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (Hassall & Associates Pty Ltd. 1999; Meiviana et al. 2004). f. Nilai keanekaragaman hayati diasumsikan sebesar US $ 10/ha. Penetapan asumsi tersebut berdasarkan pada kondisi hutan yang dikonversi dan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa hutan tropis mengandung keanekaragaman hayati yang nilainya berkisar antara US $ 0,01-61/ha. (Pearce dan Moran, 1994; dan Balick dan Mendelsohn 1992 dalam Bann 1997) dan US $ 0,3-30/ha (Tacconi 2003) g. Nilai hutan untuk pengendali banjir dan penyedia air diasumsikan sebesar US $ 12/ha/tahun. Asumsi tersebut ditetapkan berdasarkan pada kondisi hutan yang dikonversi dan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa hutan tropis memiliki nilai guna untuk mencegah banjir dan penyedia air berkisar antara US $ 0-24/ha (Pearce 2001).
69
h. Emisi CO2 dari pembakaran batang, ranting dan daun semak belukar saat pembersihan lahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian diasumsikan sebesar 5 ton/ha, sehingga nilainya US $ 25/ha. i. Emisi CO2 dari industri semen diasumsikan sebesar 0,87 kg/kg semen. Asumsi tersebut merupakan besaran emisi rata-rata industri semen di Asia (Humphreys dan Mahasenan 2002; dan Hendriks et al. 2004). j. Nilai tukar rupiah diasumsikan sebesar Rp 9.000/dolar Amerika Serikat. k. Tingkat adopsi teknologi dianalisis berdasarkan tahapan adopsi teknologi yaitu: tahap perubahan pengetahuan, tahap pembentukan sikap, dan tahap penerapan teknologi. Masing-masing tahapan diberi nilai atau skor maksimum 400 yaitu merupakan penjumlahan dari skor maksimum setiap komponen PsPSP. Setiap komponen PsPSP masing-masing tahapan diberi skor 0-100. Sebagai contoh, seorang responden memperoleh nilai maksimum 400 untuk tahap perubahan pengetahuan apabila petani tersebut mengetahui dengan benar istilah, prosedur atau cara melakukan, dan tujuan atau manfaat dari perlakuan: panen sering, pemangkasan, sanitasi dan pemupukan. Sebaliknya akan diberi nilai atau skor 0 apabila petani benar-benar tidak mengetahui istilah PsPSP. Selanjutnya nilai total skor masing-masing tahapan adopsi teknologi dikonversi ke nilai peluang skala 0-1 dengan cara membagi nilai skor masing-masing responden dengan nilai skor maksimum yaitu 400.
IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
Sebelum Indonesia merdeka, Provinsi Sulawesi Selatan, terbagi dalam beberapa wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan didiami oleh empat etnis yaitu; suku Bugis, Makassar, Mandar, dan suku Toraja. Pada ke XVI dan XVII ada tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas dan mencapai kejayaannya yaitu Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Masing-masing kerajaan telah melakukan hubungan dagang dan persahabatan dengan bangsa-bangsa lain terutama bangsa Eropa, India, Cina, Melayu dan Arab. Setelah kemerdekaan, Sulawesi Selatan menjadi Provinsi Administratif Sulawesi berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 1950. Status tersebut bertahan hingga akhir tahun 1959. Kemudian pada tahun 1960, Provinsi Administratif Sulawesi berubah menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960.
Selanjutnya terjadi lagi perubahan yaitu pemisahan
Sulawesi Selatan dari daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara yang ditetapkan dengan UU Nomor 13 Tahun 1964, sehingga menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan. Kemudian, terjadi lagi pemekaran wilayah sejak dikeluarkan UU No. 11 Tahun 2004, Sulawesi Selatan dimekarkan menjadi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Secara administratif Sulawesi Selatan terdiri dari 20 Kabupaten dan 3 Kota, sedangkan Sulawesi Barat terdiri dari 5 Kabupaten. Pada saat penelitian ini dilakukan, Provinsi Sulawesi Barat masih dalam proses pembentukan, dan data serta informasi yang tersedia umumnya masih merupakan data dan informasi gabungan dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan “Sulawesi Selatan” sebagai satu kesatuan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. 4.1. Letak Geografis, Kondisi Tanah dan Keadaan Iklim
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat terletak di Jazirah Selatan Pulau Sulawesi diantara 0º 12′ LU dan 8º LS dan antara 116º 48′ BT - 122º 36′ BT. Luas wilayah ± 62.361,71 km² atau sekitar 33% dari luas Pulau Sulawesi, dengan batasbatas sebagai berikut (Gambar 5).
71
Sebelah Utara
: dengan wilayah Sulawesi Tengah,
Sebelah Timur : dengan Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara, Sebelah Selatan : dengan Laut Flores, Sebelah Barat
: dengan Selat Makasar.
Gambar 5. Peta Provinsi Sulawesi Selatan.
72
Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat terletak di posisi yang strategis berada ditengah-tengah Kepulauan Nusantara antara Kawasan Barat dan di Kawasan Timur Indonesia, sehingga memungkinkan Sulawesi Selatan berfungsi sebagai Pintu Gerbang ke dan dari Kawasan Timur Indonesia sekaligus sebagai pusat pelayanan, baik bagi Kawasan Timur Indonesia maupun untuk skala internasional. Pelayanan tersebut mencakup perdagangan, transportasi darat – laut – udara, pendidikan, pendayagunaan tenaga kerja, pelayanan dan pengembangan kesehatan, penelitian pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan laut, air payau tambak, kepariwisataan bahkan potensial untuk pengembangan lembaga keuangan dan perbankan. Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat mempunyai topografi dari datar, landai, berbukit dan bergunung-gunung. Daerah datar ditemui di wilayah pesisir pantai, sedangkan daerah berbukit dan pegunungan umumnya pada bagian tengah jazirah dan merupakan hulu-hulu sungai. Daerah yang datar dengan kemiringan 0-8 % relatif sempit yaitu sekitar 10% dari total wilayah dan umumnya digunakan untuk lahan persawahan dan tambak. Demikian pula halnya dengan daerah landai dengan kemiringan 8-15% hanya meliputi sekitar 8% dari total wilayah dan umumnya digunakan untuk usaha perkebunan, tanaman hortikultura dan tanaman pangan lainnya. Sementara wilayah yang dominan adalah daerah berbukit dan bergunung dengan kemiringan di atas 15% yaitu lebih dari 80% dari total wilayah (Tabel 5). Tabel 5. Kondisi topografi wilayah Provinsi Sulawesi Selatan Kemiringan (%) 0-8 8-15 15-25 25-40 40-60 >60 Total
Luas wilayah (km²) 6.093,93 5.070,78 9.170,29 10.362,62 22.918,25 8.745,84 62.361,71
Sumber: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004°.
(%) 9,77 8,13 14,71 16,62 36,75 14,02 100
73
Dengan kondisi topografi yang didominasi oleh wilayah dengan kemiringan di atas 15 %, menyebabkan sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sangat rawan erosi atau mempunyai tingkat bahaya erosi yang tergolong tinggi. Erosi tanah di sembilan belas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Sub DAS tahun 2003 tercatat rata-rata cukup tinggi yaitu berkisar antara 45 ribu ton pada DAS Sanrego sampai 1,67 juta ton pada DAS Saddang (Tabel 6). Tabel 6. Erosi tanah pada beberapa daerah aliran sungai (DAS)/sub DAS DAS/Sub DAS Saddang Mamasa Bila Jeneberang Tangka Rongkong Maros Karama Balease Kelara Mata Allo Paremang Lariang Mandar Mapili Minraleng Sanrego Selayar Calendu
Nilai Erosi (ton/thn) 1.672.850 543.789 81.408 734.689 54.766 389.765 436.322 677.237 264.768 178.600 68.655 473.467 55.487 95.400 154.878 56.889 45.673 75.389 67.809
Sumber: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004a
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat memiliki beberapa jenis tanah antara lain: Aluvial, Gley, Latosol, Regosol, Podsolik, Grumosol, Mediteran, Renzina, Lateritik dan Andosol. Sementara jenis batuannya meliputi: batuan Sedimen, Vulkan, Plasonik Masam dan Plasonik Basa (Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan, 2004). Menurut Natsir (2004), pengembangan komoditas di Sulawesi Selatan umumnya menyesuaikan dengan jenis dan kesuburan lahan. Jenis lahan Alluvial umumnya digunakan untuk pengembangan tanaman pangan dan sebagian
74
palawija serta hortikultura dan perikanan. Sedangkan jenis tanah Latosol, Mediterani dan Grumosol digunakan untuk pengembangan komoditas perkebunan, peternakan dan konservasi. Jenis tanah Latosol, Mediterani dan Grumosol umumnya berada pada kawasan pengembangan tanaman perkebunan. Ke tiga jenis tanah tersebut mempunyai tingkat kepekaan terhadap erosi (erodibilitas = K) bervariasi mulai dari K=0,12-0,26 untuk jenis tanah Latoso, K= 0,13-0,22 untuk jenis tanah Mediteran dan K=0,25 untuk jenis tanah Grumosol (Rahim, 2000 dan Suripin, 2002). Menurut klasifikasi Sehmidt dan Fergusson, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat memiliki lima tipe iklim meliputi: Tipe A, B, C, D, dan E dengan penyebaran seperti tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Tipe iklim, bulan kering dan penyebarannya Tipe Iklim
Bulan Kering
Penyebaran Iklim
A
1-5 bulan
Kabupaten Mamuju, sebagian Polmas, Luwu dan Enrekang.
B
1,5-3 bulan
Kabupaten Tana Toraja, Wajo, Bone, sebagian Majene, Polmas, Enrekang, Luwu, Pinrang, Gowa, Soppeng dan Bantaeng.
C
3-4,5 bulan
Kabupaten Sidrap, Barru, Pangkep, Selayar, sebagian Majene, Polmas, Pinrang, Maros,Sinjai, Gowa, Soppeng, Bantaeng dan Bulukumba, serta Kota Pare-Pare.
D
5-6 bulan
Kota Makassar, Kabupaten Takalar, Maros, Gowa, Jeneponto, Bulukumba dan Bantaeng.
E
9 bulan
Sebagian Kabupaten Jeneponto, Bulukumba dan Bantaeng.
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.
75
4.2. Penduduk dan Matapencaharian
Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dihuni oleh hampir semua etnis yang ada di Indonesia, tetapi yang dominan adalah penduduk asli yang terdiri dari empat etnis yaitu; suku Bugis, Makassar, Mandar, dan suku Toraja. Pada tahun 2003, jumlah penduduk Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat tercatat sebanyak 8.213.864 jiwa, terdiri dari 4.038.155 jiwa laki-laki dan 4.175.709 jiwa perempuan. Penduduk tersebut tersebar di 28 Kabupaten dan Kota dengan perincian seperti pada Tabel 8. Tabel 8.
Kode Area 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 71 72
Perkembangan penduduk kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan, 1999-2003
Kabupaten/
Jumlah Penduduk (jiwa)
Prtbhn (%/thn) Kota 1999 2000 2001 2002 2003 Selayar 103 102 103 596 104 079 104 205 109 415 1,44 Bulukumba 350 830 352 419 353 970 354 796 371 453 1,39 Bantaeng 157 185 158 632 160 072 160 840 164 841 1,16 Jeneponto 314 735 317 588 320 426 321 754 323 245 0,66 Takalar 227 255 229 718 232 178 232 681 240 578 1,38 Gowa 503 746 512 876 522 105 528 313 552 293 2,20 Sinjai 203 326 204 385 205 423 207 416 216 589 1,53 Maros 268 692 272 116 275 548 278 833 286 260 1,53 Pangkep 261 818 263 565 265 290 268 008 275 151 1,21 Barru 150 688 151 085 151 464 152 412 156 661 0,95 Bone 644 371 648 089 651 746 654 213 679 904 1,31 Soppeng 220 169 219 505 218 943 218 859 224 121 0,44 Wajo 357 698 357 720 357 742 358 677 362 683 0,34 Sidrap 237 882 238 419 238 926 239 795 246 259 0,85 Pinrang 309 508 310 833 312 124 313 801 331 592 1,66 Enrekang 164 280 166 307 168 337 169 812 175 962 1,66 Luwu 392 365 398 131 403 931 407 277 425 834 1,96 Tator 389 682 392 726 395 744 398 796 416 610 1,62 Polmas 441 929 446 765 451 596 455 572 469 867 1,49 Majene 119 673 120 621 121 561 121 958 128 783 1,77 Mamuju 281 458 296 625 312 569 323 692 334 863 3,99 Luwu Utara 421 293 431 680 442 267 449 836 462 437 2,22 Makassar 1 083 319 1 100 019 1 116 834 1 127 785 1 145 406 1,36 Parepare 107 590 108 258 108 917 111 660 113 057 1,21 Total 7 712 593 7 801 678 7 891 792 7 960 991 8 213 864 1,53 Catatan: Penduduk Kabupaten Mamuju Utara, Mamasa, Luwu Timur dan Kota Palopo masih bergabung dengan kabupaten induk sebelum pemekaran. Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.
Kepadatan penduduk rata-rata 131 jiwa/km² dengan penyebaran yang tidak merata. Pada umumnya penduduk Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat
76
terkonsentrasi pada daerah perkotaan, sementara di pedesaan penduduknya relatif jarang. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kota Makassar dengan kepadatan rata-rata 6.516 jiwa/km², sedangkan yang terendah di Mamuju dengan kepadatan rata-rata 30 jiwa/km² (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Selama empat tahun terakhir (1999-2003), pertumbuhan penduduk Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat rata-rata 1,53 %/tahun. Laju pertumbuhan penduduk yang paling pesat terjadi di Kabupaten Mamuju dengan pertumbuhan ratarata 3,99 %/tahun, sedangkan laju pertumbuhan penduduk yang paling rendah terjadi di Kabupaten Wajo dengan pertumbuhan rata-rata 0,34 %/tahun. Pada tahun 2003, dari 8.213.864 jiwa penduduk Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang tergolong angkatan kerja tercatat sebanyak 6.525.108 jiwa. Dari jumlah tersebut yang termasuk angkatan kerja aktif secara ekonomi tercatat sebanyak 3.279.832 jiwa yang terdiri dari 3.054.774 jiwa pekerja dan 225.058 jiwa pencari kerja. Sementara itu, angkatan kerja yang tidak aktif berjumlah 3.245.276 jiwa dengan kegiatan bersekolah, menjadi ibu rumah tangga dan lain-lain. Jadi rasio pekerja penduduk Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat relatif rendah yaitu 46,82 % dari angkatan kerja atau hanya 37,19 % dari total penduduk. Para pekerja tersebut berkerja pada berbagai lapangan pekerjaan dan yang paling dominan bekerja pada sektor pertanian dalam arti luas, disusul sektor perdagangan, jasa, angkutan dan komunikasi, serta industri (Tabel 9).
77
Tabel 9. Distribusi pekerja pada berbagai lapangan pekerjaan, 2003 Lapangan Pekerjaan Pertanian Pertambangan & galian Industri Listrik, gas dan air Konstruksi Perdagangan Angkutan & komunikasi Keuangan Jasa Lainnya Total
Pekerja (jiwa) Jumlah Laki-laki Perempuan (jiwa) (%) 1.418.833 406.612 1.825.445 59,76 14.328 2.425 16.753 0,55 91.162 71.446 162.608 5,32 8.474 1.785 10.259 0,34 77.779 1.296 79.075 2,59 239.278 206.052 445.33 14,58 158.548 6.944 165.492 5,42 9.742 2.059 11.801 0,39 205.679 131.639 337.318 11,04 407 286 693 0,02 2.224.230 830.544 3.054.774 100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.
4.3. Pembangunan Regional Sulawesi Selatan
Pembangunan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tolok ukur keberhasilannya umumnya masih bertumpu pada bidang ekonomi. Hal ini sangat wajar karena tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang mantap, pertumbuhan bidang lainnya seperti politik, sosial dan kebudayaan tidak memadai. Pada bagian ini akan diuraikan secara singkat tentang rencara strategis dan kebijakan pembangunan, program dan kegiatan pembangunan, serta kinerja kebijakan pembangunan regional Sulawesi Selatan tahun 2003.
4.3.1. Kondisi Perekonomian Regional
Selama 15 tahun terakhir, struktur perekonomian regional Sulawesi Selatan tidak mengalami perubahan yang berarti. Sektor pertanian masih sangat mendominasi perekonomian Sulawesi Selatan dan menjadi sumber kehidupan sebagian besar penduduknya. Peranan sektor pertaniaan mengalami sedikit fluktuasi karena goncangan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Kontribusi sektor pertanian pada awalnya mengalami penurunan secara perlahan-lahan dari 42 % Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas harga yang berlaku pada tahun 1990,
78
menjadi 38,9 % pada tahun 1995 serta mencapai titik terendah sebesar 38,6% pada tahun 1996. Namun karena goncangan krisis ekonomi yang melanda Indonesia, maka berimbas juga pada struktur perekonomian regional Sulawesi Selatan dimana kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDRB kembali meningkat pada tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998. Pada
tahun
1998,
sektor
pertanian
memberikan
kontribusi
dalam
pembentukan PDRB Provinsi Sulawesi Selatan atas harga berlaku sebesar 45,78 %, sementara sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi sebesar 13,24%, sektor perindustrian 11,23 %, sektor jasa 8,64% dan sektor pertambangan dan galian sebesar 6,04 %. Selanjutnya kontribusi sektor pertanian berangsur-angsur kembali berkurang dengan mulai pulihnya sektor perekonomian lainnya (Tabel 10). Tabel 10. Perkembangan kontribusi berbagai sektor ekonomi terhadap PDRB atas harga berlaku Kode 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sektor Perekonomian
2002
2003
39,10 45,78 41,93 39,03 37,85 37,50 3,57 6,04 8,10 8,70 7,96 7,73 11,89 11,23 10,91 11,54 11,78 11,46 0,96 0,92 0,97 0,97 1,11 1,21 6,44 4,40 4,19 4,23 4,17 4,03 14,63 13,24 14,77 14,62 16,19 16,54 5,99 5,84 5,92 6,44 7,05 6,98 6,06 3,91 3,65 3,46 3,14 3,64 11,36 8,64 9,56 11,01 10,75 10,91 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Total Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 1999a, 2003 dan 2004a.
35,82 7,67 11,46 1,19 4,16 16,91 7,16 4,83 10,80 100,00
Pertanian Pertambangan & galian Industri Listrik, gas dan air Konstruksi Perdagangan Angkutan & komunikasi Keuangan Jasa-jasa
1997
1998
1999
2000
2001
Pada tahun 2003, sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB yaitu sebesar 35,82% PDRB atas harga berlaku, kemudian disusul sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 16,91%, sektor industri pengolahan dengan kontribusi 11,46% dan sektor jasa 10,79%. Nilai sumbangan sektor pertanian dalam PDRB Sulawesi Selatan pada tahun 2003, berdasarkan PDRB harga berlaku, tercatat sebesar Rp 14,36 trilyun atau meningkat sebesar 42,32% dibanding tahun 2000 yang nilainya sebesar Rp. 10,84 trilyun. Sub sektor utama pertanian yang memberikan kontribusi terbesar bagi PDRB adalah
79
tanaman bahan makanan dengan pangsa 14,40% dari PDRB, disusul tanaman perkebunan, perikanan dan peternakan dengan pangsa masing-masing 12,25%, 7,88%, dan 1,04% (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004a). Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan berfluktuasi cukup tajam, terutama karena adanya krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Pada periode pra krisis (1993-1996), perekonomian Sulawesi Selatan tumbuh cukup tinggi yaitu rata-rata 7,96%/tahun, dengan tingkat pertumbuhan terendah 7,67% pada tahun 1994 dan tertinggi 8,31% pada tahun 1996. Pada saat krisis ekonomi mulai menerpa Indonesia pertengahan tahun 1997, pertumbuhan ekonomi regional Sulawesi Selatan turun menjadi 4,30 %, bahkan mengalami kontraksi sebesar -5,33 % pada tahun 1998 sebagai puncak krisis ekonomi nasional. Kontraksi pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan tersebut tidak terlalu besar dibandingkan dengan kontraksi pertumbuhan secara nasional yang besarnya mencapai -13,13%. Kondisi ini terjadi karena struktur perekonomian regional Sulawesi Selatan pada tahun 1997 masih sangat didominasi sektor pertanian dengan kontribusi 34,66%. Sementara kontribusi sektor pertanian secara nasional relatif lebih kecil yaitu sebesar 16,01% (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 1999 dan Badan Pusat Statistik, 1998). Dengan kondisi yang demikian, maka dalam situasi perekonomian yang cukup sulit pada tahun 1998, beberapa sektor ekonomi Sulawesi Selatan masih dapat tumbuh, terutama sektor pertanian yang memang menjadi basis kekuatan ekonomi Sulawesi Selatan. Sektor pertanian di Sulawesi Selatan masih dapat tumbuh positif sebesar 0,06 persen dengan sub sektor yang mempunyai pertumbuhan cukup tinggi yaitu perkebunan dan kehutanan yang masing-masing tumbuh sebesar 15,07 persen dan 2,69 persen. Sementara sektor-sektor lainnya mengalami kontraksi pertumbuhan. Sektor yang mengalami kontraksi pertumbuhan terbesar tercatat pada sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan yakni sebesar 32,31 persen terutama pada sub sektor Bank dengan kontraksi pertumbuhan sebesar 96,20 persen. Terjadinya kontraksi yang besar pada sektor ini merupakan kondisi umum yang terjadi selama
80
krisis ekonomi di Indonesia yang memang pada awalnya merupakan dampak dari mismanajemen perbankan yang berdampak besar pada sektor-sektor lainnya. Meskipun mengalami kontraksi yang cukup besar pada tahun 1998, kondisi perekonomian daerah ini dapat segera pulih dan pada tahun 1999 perekonomian Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 2,83 persen. Nilai pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya mencapai 0,85 persen pada periode yang sama.
Selanjutnya
perekonomian
Regional
Sulawesi
Selatan
mengalami
pertumbuhan yang lebih pesat lagi yaitu rata-rata 4,96% pada periode 2000-2003 (Tabel 11). Tabel 11. Pertumbuhan PDRB Provinsi Sulawesi Selatan 1993-2003 Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Atas harga berlaku (Rp milyar) (%) 7.512 12,02 8.738 16,32 10.372 18,70 11.833 13,97 13.538 14,41 21.951 62,14 24.065 9,63 27.772 15,41 34.771 25,20 38.523 10,79 42.855 11,25
Atas harga konstan 1993 (Rp milyar) (%) 7.512 7,72 8.088 7,67 8.745 8,12 9.486 8,31 9.893 4,30 9.366 -5,33 9.631 2,83 10.102 4,89 10.604 4,97 11.093 4,61 11.691 5,39
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan 1997, 2003, 2004a dan 2005.
4.3.2. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan
Dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan daerah, maka disusunlah sebuah dokumen ”Rencana Strategis Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2003-2008” yang isinya antara lain meliputi: visi, misi, strategi, dan kebijakan, serta program dan kegiatan pembangunan yang sedang dan akan terus dilaksanakan. Dalam dokumen Rencana Strategis tersebut tercantum empat kebijakan dasar pembangunan regional Sulawesi Selatan yaitu:
81
Pertama : Peningkatan Kualitas Hidup Manusia, Kedua
: Peningkatan Ketahanan Ekonomi Wilayah,
Ketiga
: Peningkatan Kualitas Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa dan Bernegara,
Keempat : Pemberdayaan Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat.
Keempat kebijakan tersebut selanjutnya dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan prioritas serta program dan kegiatan penunjang. Rencana Strategis Pemerintah Provinsi tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Sulawesi Selatan No. 3 Tahun 2003, dan ditindak lanjuti dengan Rencana Strategis dari masing-masing unit kerja Lingkup Pemerintah Provinsi dengan tetap memperhatikan kewenangan yang ada. Selanjutnya dirumuskan kerangka operasionalnya berupa Rencana Pembangunan Tahunan. Penyusunan program prioritas dan penunjang perlu disesuaikan setiap tahun berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya. Pada tahap awal, penyusunan program prioritas didasarkan pada hasil identifikasi simpul-simpul pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah dalam program seratus hari kerja Gubernur dan Wakil Gubernur. Rencana Strategis Pemerintah Provinsi
tersebut selanjutnya diharapkan
menjadi acuan bagi pemerintah kabupaten maupun kota dalam menyusun rencana pembangunan daerah masing-masing kabupaten maupun kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.
4.3.3. Program dan Kegiatan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa strategi dan kebijakan dasar pembangunan regional Sulawesi Selatan dalam Rencana Strategis dirinci lagi dalam bentuk program dan kegiatan prioritas serta program dan kegiatan penunjang. Secara singkat kebijakan dasar pembangunan regional Sulawesi Selatan dirinci dalam program dan kegiatan sebagai berikut (Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2003):
82
2. Kebijakan dasar pembangunan ”Peningkatan Kualitas Hidup Manusia” dilaksanakan melalui lima program prioritas meliputi: a. Program peningkatan kualitas, relevansi dan pemerataan pendidikan, b. Program peningkatan penghayatan agama, c. Program peningkatan derajat kesehatan dan gizi, d. Program pengembangan budaya dan kesenian, e. Program pengembangan ketenagakerjaan. Masing-masing program prioritas tersebut dijabarkan dalam lima sampai enam kegiatan pembangunan. Di samping itu masih terdapat lima program penunjang yang meliputi program; pengendalian penduduk, peningkatan kesejahteraan sosial, pembinaan olah raga, pemberdayaan perempuan dan program kepemudaan. Setiap program penunjang tersebut dijabarkan dalam dua sampai empat kegiatan pembangunan. 3. Kebijakan dasar pembangunan ”Peningkatan Ketahanan Ekonomi Wilayah” dilaksanakan melalui enam program prioritas meliputi: a. Program peningkatan daya saing produk unggulan, b. Program pemantapan ekonomi kerakyatan, c. Program pemantapan ketahanan pangan, d. Program pemantapan struktur ekonomi daerah, e. Program penguatan integrasi ekonomi Pulau Sulawesi, f. Program penataan dan pengelolaan sumberdaya alam dan kelautan yang berkelanjutan. Masing masing program prioritas tersebut dijabarkan dalam tiga sampai sembilan kegiatan prioritas. Di samping itu terdapat dua program penunjang yaitu Program pengembangan
prasarana
dan
sarana
wilayah
dengan
enam
kegiatan
pembangunan dan program pengembangan tata ruang dengan empat kegiatan pembangunan. 4. Kebijakan dasar pembangunan ”Peningkatan Kualitas Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa dan Bernegara” dilaksanakan melalui dua program prioritas meliputi: a. Program penataan sistem legislasi daerah, dan
83
b. Program peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat. Program penataan sistem legislasi daerah dijabarkan dalam tiga kegiatan prioritas pembangunan, sementara program peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat dijabarkan dalam lima kegiatan prioritas pembangunan. Di samping itu, terdapat satu program penunjang yaitu program peningkatan kualitas materi dan penyebaran informasi dengan lima kegiatan penunjang pembangunan. 5. Kebijakan dasar pembangunan: “Pemberdayaan Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat” dilaksanakan melalui dua program prioritas yaitu: a. Program pemberdayaan kelembagaan pemerintah, dan b. Program pemberdayaan kelembagaan masyarakat. Program pemberdayaan kelembagaan pemerintah dijabarkan dalam delapan kegiatan prioritas pembangunan, sementara Program pemberdayaan kelembagaan masyarakat dijabarkan dalam lima kegiatan prioritas pembanguan. Di samping itu, terdapat dua program penunjang yaitu: program penelitian, pengkajian dan pengenbangan
dengan
empat
kegiatan
pembangunan
serta
program
pengembangan dan perencanaan dengan tiga kegiatan pembangunan.
4.3.4. Kinerja Kebijakan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan 2003
Tahun 2003 merupakan tahun pertama penerapan kebijakan pembangunan regional Sulawesi Selatan berdasarkan Renstra 2003-2008. Sebagai langkah awal, Pemerintah Provinsi telah melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan Pemerintah Kabupaten dan Kota untuk mensosialisasikan visi dan misi provinsi yang diharapkan dapat menjadi arahan bagi daerah dalam menetapkan kebijakan pembangunan daerah mereka. Di samping itu, dalam program seratus hari kerja Gubernur dan Wakil Gubernur
dilakukan
identifikasi
simpul-simpul
pembangunan
yang
dapat
memberikan dorongan terhadap pengembangan sektor-sektor ekonomi secara simultan. Beberapa isu strategis yang berhasil diidentifikasi dan dijadikan sebagai rencana aksi pembangunan regional Sulawesi Selatan tahun 2003 meliputi: Prasarana
84
wilayah, perhubungan, pendidikan, kesehatan, pertanian, lingkungan hidup, pertambangan dan energi, serta koperasi dan UKM. Disini tampak bahwa lingkungan hidup menjadi salah satu isu strategis yang mendapat prioritas pada awal pelaksanaan pembangunan berdasarkan Renstra 2003-2008, meskipun aspek lingkungan hidup tidak tercantum secara khusus dalam Renstra 2003-2008. Aspek lingkungan hidup hanya merupakan sub bagian dari “Program penataan dan pengelolaan sumberdaya alam dan kelautan yang berkelanjutan” pada kebijakan dasar pembangunan ”Peningkatan Ketahanan Ekonomi Wilayah”. Penempatan aspek lingkungan hidup sebagai salah satu kegiatan yang menjadi prioritas menunjukan adanya kemauan politik dari pemerintah daerah Sulawesi
Selatan
untuk
ikut
serta
melaksanakan
kegiatan
pembangunan
berkelanjutan selaras dengan Agenda 21 Nasional maupun Agenda 21 Global. Meskipun anggaran belanja yang dialokasikan pada kegiatan pembangunan aspek lingkungan hidup ini relatif masih kecil, namun perhatian yang diberikan pada tahap awal ini cukup memberikan harapan yang baik bagi pembangunan selanjutnya. Secara umum kinerja pembangunan daerah pada tahun 2003 cukup baik apabila diukur berdasarkan capaian fisik dan realisasi anggaran. Evaluasi kinerja terhadap empat pokok kebijakan menunjukkan realisasi capaian fisik berkisar antara 90,16% sampai 99,50%. Realisasi capaian fisik terendah terjadi pada kebijakan ”Peningkatan Kualitas Hidup Manusia”, sementara realisasi capaian fisik tertinggi terjadi pada kebijakan ”Peningkatan Kualitas Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara” (Gubernur Sulawesi Selatan, 2004). Meskipun demikian, ada beberapa hal perlu mendapat perhatian yang lebih serius pada pelaksanaan pembangunan selanjutnya khususnya terkait dengan aspek lingkungan hidup. Dalam Renstra 2003-2008, aspek lingkungan hidup tidak dicantumkan sebagai salah satu program tersendiri, tetapi hanya merupakan sub bagian dari program penataan dan pengelolaan sumberdaya alam dan kelautan yang berkelanjutan. Akibatnya alokasi anggaran relatif kecil sesuai dengan posisinya dalam Renstra. Sementara kondisi sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan sebagai penunjang kehidupan sebagian sudah rusak dan menjadi lahan kritis.
85
Masih minimnya anggaran untuk memperbaiki kondisi sumberdaya hutan Sulawesi Selatan menyebabkan laju upaya perbaikan sumberdaya hutan tidak mampu mengimbangi laju degradasi hutan. Akibatnya kerusakan hutan terus bertambah dan areal lahan kritis makin meluas. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas kondisi lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Selatan.
4.4. Kondisi Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan
Kondisi lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun ke tahun cenderung menurun. Hal ini dapat diidentifikasi dari makin meningkatnya berbagai permasalahan lingkungan hidup seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, kebakaran hutan, kerusakan mangrove, pendangkalan danau, kerusakan terumbu karang, pencemaran perairan dan polusi udara. Berbagai permasalahan tersebut muncul terutama karena kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan dan belum memihaknya perencanaan pembangunan pada kepentingan pelestarian lingkungan hidup. Kurang
berpihaknya
perencanaan
pembangunan
pada
kepentingan
lingkungan hidup dapat dilihat pada rendahnya alokasi anggaran untuk program pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pada tahun 2003, anggaran belanja yang dialokasikan untuk program pelestarian fungsi lingkungan hidup provinsi Sulawesi Selatan hanya sebesar 0,68% dari total anggaran belanja daerah Sulawesi Selatan. Akibatnya upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Selatan masih belum memenuhi harapan. Berikut ini akan diuraikan secara singkat kondisi lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat berdasarkan hasil studi dan pengamatan lapang Tim Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004).
86
4.4.1. Kondisi Sumberdaya Alam
Sumberdaya alam merupakan sumberdaya dasar pendukung berbagai fungsi kehidupan. Sumberdaya alam ini meliputi: sumberdaya lahan, sumberdaya hutan, sumberdaya air, sumberdaya pesisir dan laut dan sumberdaya iklim. Secara umum kondisi sumberdaya alami tersebut sebagian mengalami degradasi atau penurunan kualitas maupun kuantitasnya dibandingkan tahun sebelumnya dan sebagian lagi tidak mengalami perubahan. Namun rangkuman dari berbagai hasil kajian jangka panjang dapat disimpulkan bahwa kondisi sumberdaya alam Provinsi Sulawesi Selatan telah mengalami perubahan dengan kecenderungan terus menurun baik kualitas maupun kuantitasnya. Kondisi Sumberdaya lahan teridentifikasi mengalami penurunan kualitas terutama ditunjukkan oleh penurunan produktivitas dan peningkatan luas lahan kritis. Hal ini terjadi karena kebijakan tata ruang, kebijakan penggunaan lahan dan pilihan teknologi yang tidak tepat. Kebijakan tata ruang pada setiap kabupaten dan kota umumnya lebih berorientasi kepada kepentingan ekonomi jangka pendek dan kurang berpihak pada kepentingan kelestarian lingkungan hidup. Penataan ruang kurang memperhatikan kepentingan perlindungan tata air, keanekaragaman hayati dan kemantapan ekosistem sebagai sarana penyangga kehidupan. Penetapan fungsi kawasan, khususnya kawasan lindung dan konservasi tidak didasarkan pada kriteriakriteria yang tepat. Luas kawasan hutan Provinsi Sulawesi Selatan tercatat seluas 3,88 juta ha terdiri dari hutan lindung 1,93 juta ha, hutan produksi terbatas 0,81 juta ha, hutan produksi 0,2 juta ha, hutan suaka alam dan margasatwa 0,21 juta ha, hutan yang dapat dikonversi 0,1 juta ha, kawasan perairan 0,58 juta ha dan kawasan lindung perairan 45,11 ribu ha. Dari segi luas hutan, khususnya hutan lindung dan konservasi wilayah daratan dengan luas lebih dari 2,1 juta ha atau 34,26% dari total wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, seharusnya lebih dari cukup untuk penyangga lingkungan hidup. Namun pada kenyataannya kawasan hutan tersebut tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai penyangga fungsi kehidupan khususnya mencegah banjir,
87
mengendalikan erosi, menjaga kesuburan tanah, menanggulangi intrusi air laut, menjaga kelestarian plasma nutfah dan keanekaragaman hayati serta faktor lingkungan lainnya. Di samping itu kerusakan hutan berdampak pada peningkatan kemiskinan dan kesengsaraan rakyat disekitar hutan. Hal ini terjadi karena berbagai faktor antara lain; letak, luas dan posisi hutan lindung dan hutan konservasi tidak tepat, kondisinya umumnya sudah rusak dan lemahnya pengawasan serta penegakan hukum (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Hasil pemetaan Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa kondisi penutupan lahan hutan tahun 1997 hanya seluas 2,026 juta ha dengan areal regenarasi potensial 146.848 ha. Kehilangan areal tutupan hutan selama periode 1985-1997 mencapai 833.197 ha yang terdiri dari hutan dataran rendah 390.169 ha, hutan sub pegunungan 268.115 ha dan hutan pegunungan 174.913 ha (Gambar 6). Lebih lanjut, kondisi sumberdaya air di Sulawesi Selatan pada tahun 2003 relatif sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki 72 buah sungai utama. Debit aliran air sungai tersebut secara kuantitas tidak mengalami perubahan, tetapi fluktuasi dan kualitasnya semakin menurun. Demikian juga dengan air danau, air waduk, air kolam, air genangan, air tanah pada umumnya mengalami penurunan kualitas dan waktu ketersediaannya. Beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan telah dibendung, sehingga dapat menyimpan jutaan m³ air dalam waduk buatan tersebut. Namun proses pendangkalan waduk karena sedimentasi akhir-akhir ini makin cepat dan akan mengurangi umur pakai waduk lebih cepat dari yang diperkirakan. Hal lain yang menunjukkan adanya penurunan kualitas waduk adalah adanya kerusakan lingkungan yang dikeluhkan masyarakat yang tinggal di sekitar waduk. Sedimentasi memang tidak bisa dihindari karena adanya erosi, tetapi perlu upaya untuk mengendalikannya sehingga dapat memperpanjang umur ekonomis bendungan.
88
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2003. Gambar 6. Peta penutupan lahan hutan, 1997. Pendangkalan tempat penampungan air tawar akibat sedimentasi sudah sangat nyata terjadi di tiga danau dari enam buah danau di Sulawesi Selatan yaitu Danau Sidenreng di kabupaten Sidrap dan Danau Buaya serta Danau Tempe di Kabupaten Wajo. Ketiga danau tersebut tidak lagi dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan air tawar karena pendangkalan akibat sedimentasi. Pada musim hujan air meluap dan menyebabkan banjir pada kawasan sekitar danau dan Sungai Wanae hilir. Sementara itu, dibeberapa kawasan hulu DAS Walanae terdapat lahan-lahan kritis (Gambar 7).
89
Sumber: Amin et al. (2005) Gambar 7. Peta Kawasan yang mempengaruhi dan dipengaruhi Danau Tempe. Sedangkan tiga danau lainnya terdapat di Kabupaten Luwu Timur yaitu: Danau Towuti, Mahalona dan Matano. Ketiga danau ini relatif belum terganggu dan mempunyai kapasitas penampunan air tawar yang sangat besar bahkan termasuk terbesar di Indonesia dan terkenal sebagai danau paling dalam di dunia setelah danau di Kanada. Danau Matano mempunyai kedalaman sekitar 589 m dan termasuk danau yang sangat potensial untuk mendukung pembangunan di Sulawesi Selatan. Pada saat ini kekayaan sumberdaya air danau tersebut baru dimanfaatkan oleh perusahaan tambang nikel PT International Nickel Indonesia (PT Inco) yang telah membangun dua lokasi pembangkit listrik di Sungai Larona. Di samping bendungan dan danau, masih ada tempat penampungan air tawar berupa kolam/embung, tambak dan persawahan walaupun sifatnya sementara karena pada musim kemarau mengalami kekeringan. Ada beberapa kolam yang pada musim
90
kemarau masih berisi air dan dapat dikonsumsi masyarakat yaitu kolam-kolam yang terdapat di kabupaten Sidrap, Bone, dan Tana Toraja. Sebagaimana telah diketahui bahwa sumberdaya air dan lahan merupakan sumber kehidupan utama selain udara dan sinar matahari. Tanah dan air merupakan bagian dari ekosistem lingkungan, sehingga kerusakan sumberdaya air dan tanah merupakan kerusakan ekosistem. Kemajuan pembangunan menuntut kebutuhan lahan semakin besar dan tuntutan kebutuhan tersebut mendorong terjadinya alih fungsi lahan dari kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan pelindung fungsi kehidupan berubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan, sehingga tanpa disadari terjadi kerusakan lingkungan terutama tata air. Akibatnya pada musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi kekeringan. Di Sulawesi Selatan, alih fungsi lahan tidak hanya terjadi di dataran tinggi atau daerah hulu DAS, tetapi juga terjadi di daerah hilir dan muara DAS seperti konversi hutan sagu, nipah dan mangrove. Hutan mangrove di Sulawesi Selatan
tercatat hanya seluas 26.911 ha.
Kondisi ini tergolong sangat memprihatinkan karena panjang pantai Sulawesi Selatan mencapai sekitar 2.500 km. Kerusakan hutan mangrove tersebut berdampak buruk pada ekosistem pesisir dan laut yang pada gilirannya menurunkan produksi ikan, nener alam dan minat wisatawan untuk mengunjungi pantai. Di samping itu kerusakan hutan mangrove juga berakibat masuknya air laut (intrusi) ke wilayah daratan. Sebenarnya kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir telah dituangkan dalam berbagai peraturan perundangan, tetapi perangkat kebijakan tersebut tidak didukung oleh perangkat kelembagaan, program dan pendanaan yang memadai, sehingga kawasan pesisir tersebut seolah-olah tidak bertuan. Di sisi lain masyarakat mendapat tekanan kebutuhan hidup dan pelaku bisnis melihat peluang usaha pertambakan cukup prospektif, sehingga mereka berlomba-lomba memanfaatkan dan merambah kawasan tersebut. Akibatnya kerusakan dan penyusutan kawasan hutan mangrove tidak bisa dielakkan.
91
Kerusakan hutan mangrove ternyata juga berimbas pada kerusakan terumbu karang, dan hal ini juga tidak terlepas dari tuntutan kebutuhan hidup. Penyusutan potensi ikan dan nener alam mendorong masyarakat untuk melakukan berbagai cara untuk menangkap ikan termasuk dengan cara melakukan pengeboman dan memanfaatkan karang untuk keperluan bahan bangunan. Berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat tersebut makin menambah dan mempercepat kerusakan wilayah pesisir dan laut Sulawesi Selatan. Sementara itu, sumberdaya alam yang relatif tidak berubah adalah iklim. Kondisi iklim Sulawesi Selatan tahun 2003 tidak berubah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Curah hujan, dan unsur iklim lainnya seperti suhu, kelembaban, angin dan lain-lain sepanjang tahun 2003 berada dalam kondisi normal. Secara umum wilayah Sulawesi Selatan memiliki 3 wilayah iklim yaitu Wilayah Timur, Wilayah Barat dan Daerah Peralihan. Curah hujan yang jatuh pada ketiga wilayah tersebut tidak sama, sehingga berpengaruh pada pola tanam dan produksi. Produksi buahbuahan, padi dan palawija terjadi sepanjang tahun secara bergiliran sesuai dengan pergiliran musim di ketiga wilayah iklim. Perubahan yang terjadi yang terkait dengan unsur iklim adalah tingkat konsentrasi ambien, debu, timbal, SO2, CO2, NO2 dan CO di udara di kota-kota besar seperti Makasar, Pare-Pare, Palopo, Bone dan beberapa ibukota kabupaten lainnya. Pada tahun 2003, konsentrasi unsur-unsur tersebut umumnya meningkat dibanding tahun 2001, terutama CO, Pb, debu dan Ambien. Peningkatan konsentrasi tersebut terkait dengan semakin meningkatnya kepadatan lalu lintas, masih banyaknya industri-industri yang tidak menggunakan penangkap polutan dan berbagai aktivitas masyarakat lainnya.
4.4.2. Kondisi Lingkungan Buatan
Lingkungan buatan merupakan sumberdaya yang dibuat dan dikelola oleh manusia. Lingkungan buatan tersebut meliputi: pertanian dan perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, pertambangan dan perindustrian. Secara umum
92
kondisi lingkungan buatan di Sulawesi Selatan tahun 2003 dapat digambarkan sebagai berikut: Pertanian dan perkebunan merupakan sektor yang paling dominan dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan. Sektor ini memberikan kontribusi sebesar 35,8% PDRB tahun 2003. Sumbangan terbesar bersumber dari tanaman bahan makanan yang meliputi padi dan palawija. Permasalahan lingkungan yang muncul dari kegiatan pertanian adalah karena tingginya penggunaan pupuk kimia dan pestisida, erosi tanah dan pembukaan areal hutan serta emisi gas metan (CH4) dari lahan persawahan. Namun berbagai permasalahan tersebut belum mendapat perhatian serius dari masyarakat maupun pengambil kebijakan karena dampaknya belum dirasakan secara langsung merugikan masyarakat. Sebagai contoh tanaman palawija banyak ditanam di lahan kering yang miring di areal hutan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah konservasi lahan dan air, sehingga menimbulkan erosi yang cukup tinggi dan hilangnya vegetasi hutan. Demikian pula kegiatan penanaman perkebunan maupun sayur-sayuran yang umumnya dilakukan di dataran tinggi dan menggunakan pupuk buatan serta pestisida yang tinggi, sangat potensial menimbulkan erosi dan degradasi lahan serta pencemaran lingkungan. Namun kegiatan pertanian yang menimbulkan kerusakan lingkungan tersebut tetap berjalan apa adanya, tanpa pengaturan konservasi dan perlindungan untuk kelestarian lingkungan. Kehutanan sebagai lingkungan buatan adalah kawasan hutan produksi yang luasnya mencapai 1.014.921 ha yang terdiri dari hutan 811,10 ribu ha hutan produksi terbatas dan 203,82 ha hutan produksi biasa. Kawasan hutan tersebut sebagian besar berada di Kabupaten Luwu dan Mamuju. Pada tahun 2003, produksi hutan baik berupa kayu maupun non kayu mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Kondisi ini terjadi karena berkurangnya stok kayu akibat lambatnya kegiatan penanaman kembali dan lambatnya pertumbuhan tanaman. Dikhawatirkan produksi kayu maupun non kayu akan terus menurun dan perambahan areal hutan akan meningkat khususnya di daerah bekas tebangan kayu yang umumnya berupa semak belukar.
93
Kegiatan perikanan di Sulawesi Selatan didominasi oleh kegiatan perikanan tangkap (laut) dan budidaya pada tambak-tambak di sepanjang pesisir pantai. Sementara kegiatan perikanan air tawar terutama dilakukan penduduk di sekitar danau Tempe, Kabupaten Wajo. Kegiatan perikanan tangkap menghasilkan jenisjenis ikan kerapu, cakalang dan sejenisnya, sedangkan perikanan tambak menghasilkan udang dan ikan bandeng. Produksi perikanan tahun 2003 mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Namun kegiatan perikanan tersebut memberikan tekanan terhadap kelestarian lingkungan karena cara penangkapan yang dilakukan sebagian tidak bersahabat dengan lingkungan, sementara kegiatan budidaya menimbulkan pencemaran yang berasal dari pupuk dan pestisida, serta sisa pakan yang membusuk. Di samping itu tambak-tambak yang dibuka petani umumnya adalah lahan-lahan mangrove di sepanjang pantai, sehingga makin memperparah kerusakan hutan mangrove di sepanjang pantai Sulawesi Selatan. Peternakan sebagai lingkungan buatan meliputi berbagai jenis ternak, baik ternak besar maupun ternak unggas. Pada tahun 2003, jenis ternak besar yang paling banyak dipelihara adalah sapi, disusul kambing, babi, kerbau, kuda dan domba. Jumlah peliharaan ternak besar mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya kecuali ternak babi dan kerbau yang mengalami sedikit penuruan. Dari segi lingkungan, kegiatan peternakan hampir tidak mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan. Limbah atau kotoran ternak umumnya digunakan petani untuk pelengkap atau pengganti pupuk buatan. Pertambangan di Sulawesi Selatan di dominasi oleh kegiatan pertambangan galian C yang menghasilkan pasir, kerikil dan batu kali. Di samping itu juga terdapat kegiatan tambang oleh perusahaan besar yaitu pertambangan nikel oleh PT. Inco di Kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur, serta penambangan batu kapur dan tanah liat oleh PT. Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep dan PT. Bosowa di kabupaten Maros. Selain itu masih terdapat beberapa perusahan tambang yang memproduksi marmer. Dampak lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan penambangan adalah berubahnya bentang alam, hilangnya vegetasi dan flora yang ada di atasnya serta berubahnya alur sungai dan dasar sungai.
94
Perindustrian di Sulawesi Selatan dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu: industri kimia, agro dan hasil hutan, dan industri logam, mesin dan aneka. Pada tahun 2003, industri kimia, agro dan hasil hutan tercatat sebanyak 45,382 buah dan menyerap sebanyak 135.433 orang tenaga kerja. Sedangkan industri logam, mesin dan aneka tercatat sebanyak 33.246 buah dengan melibatkan 101.840 orang tenaga kerja. Secara individual masing-masing industri tidak memberikan dampak lingkungan yang signifikan, tetapi secara bersama-sama kegiatan industri tersebut telah menimbulkan pencemaran, baik pencemaran perairan maupun udara. 4.4.3. Penurunan Kualitas Lingkungan
Kondisi sumberdaya alam dan lingkungan buatan yang digambarkan diatas merupakan hasil dan dampak pembangunan yang telah dilakukan selama ini. Disadari bahwa kegiatan pembangunan tidak hanya menghasilkan manfaat, tetapi juga membawa risiko. Oleh karena itu dalam upaya untuk menghasilkan manfaat yang optimal, maka penurunan kualitas lingkungan yang telah terjadi perlu dikelola dengan baik. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa pembangunan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat tidak bebas dari adanya bahan sisa atau limbah, baik berupa gas, cair maupun padat. Apabila limbah tersebut tidak dikelola dengan baik dan melampaui ambang batas mutu serta masuk ke lingkungan, maka akan menimbulkan tekanan terhadap daya dukung lingkungan. Berdasarkan kegiatan sektor perekonomian di Sulawesi Selatan, maka sumber limbah dapat berasal dari kegiatan pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, pertambangan dan energi, industri, perhubungan, perumahan, kesehatan dan perdagangan. Menurut Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan (2004), yang menjadi sumber utama pencemaran di Sulawesi Selatan adalah sektor transportasi, pemukiman, industri dan pertambangan. Berikut ini akan diuraikan secara singkat risiko penurunan kualitas lingkungan sebagai dampak negatif dari berbagai aktivitas pembangunan ekonomi yang terjadi di Sulawesi Selatan pada tahun 2003.
95
4.4.3.1. Pencemaran Udara
Pencemaran udara dari aktivitas manusia di Sulawesi Selatan bersumber dari sumber bergerak dan sumber tidak bergerak. Pencemaran udara dari sumber bergerak terutama adalah dari kendaraan bermotor yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2003, jumlah kendaraan bermotor tercatat sebanyak 687.464 unit dari berbagai jenis mobil dan sepeda motor. Jumlah tersebut meningkat 13,12% dibanding tahun sebelumnya. Jumlah kendaraan terbanyak terdapat di kota Makassar yaitu sebanyak 350 ribu unit (51%) dan selebihnya tersebar di 23 daerah kabupaten/kota. Pada tahun 2002, beban pencemaran dari kegiatan transportasi karena konsumsi bahan bakar minyak masing-masing sebesar 85,1 ribu ton Karbon Monoksida (CO), 4,7 ribu ton Nitrogen Oksida (NO2), 4,7 ribu ton Sulfor Dioksida (SO2), 3,5 ribu ton Hidro Karbon (HC) dan 396 ton debu. Beban pencemaran dari kegiatan transportasi ini diperkirakan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya selaras dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Sulawesi selatan (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2003 dan 2004) Sementara pencemaran dari sumber tidak bergerak terutama adalah dari konsumsi BBM oleh rumah tangga, pembakaran limbah padat oleh masyarakat, kebakaran hutan dan kegiatan industri. Pada tahun 2003, konsumsi BBM (minyak tanah) oleh rumah tangga mencapai 298.567 kilo liter dan Elpiji 48.813 MTM. Sedangkan pembakaran limbah padat tidak ada data volumenya, tetapi dapat diperhitungkan limbah atau sisa pembakarannya. Pencemaran udara dari kegiatan industri dapat berupa partikel-partikel yang menyebar ke udara maupun unsur-unsur dari limbah pembakaran BBM. Unsur pencemar terbesar yang bersumber dari industri adalah debu yaitu sebesar 52.026 ton (59,88%) dari total beban pencemar industri pengolahan. Sumber pencemar partikel terbesar adalah industri semen (32,02%), disusul industri penggilingan biji-bijian dan industri gula (31,49%), industri logam besi dan baja (19,80%), serta industri marmer (8,59%).
96
Pencemaran lain yang dihasilkan industri adalah karena pembakaran BBM. Pada tahun 2003 sektor industri telah mengkonsumsi BBM sebanyak 444,08 juta liter Premium, 599,38 juta liter Solar, 81,48 juta Avtur, 12,76 Pelumas, 52,35 juta liter LPG dan 327,41 juta liter minyak tanah. Di samping itu pencemaran karena konsumsi BBM juga terjadi pada pembangkit tenaga listrik yang telah mengkonsumsi sebanyak 530,38 juta liter Solar dan 13,25 juta liter minyak Diesel. Beban pencemaran udara oleh rumah tangga dan industri tersebut dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Pencemaran udara yang dihasilkan oleh rumah tangga dan industri dari pembakaran BBM dan limbah padat di Sulawesi Selatan Tahun 2003 Parameter
Rumah Tangga BBM L padat
Industri BBM
Listrik BBM
……………………… (ribu ton) ……………………
Karbon Monoksida (CO) Nitrogen Oksida (NO) Sulfur Oksida (SO2) Hidro Karbon (HC) Debu
29,90 122,75 7,04 11,71 29,47
59,48 21,24 4,25 0,71 11,33
0,54 0,82 2,04 0,36 5,43
0,30 6,03 9,08 0,06 0,48
Sumber: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.
Hasil analisis kualitas udara dari pemantauan yang dilakukan di lingkungan industri seperti industri semen di Kabupaten Pangkep, industri pertambangan nikel di Soroako Kabupaten Luwu Utara, Kawasan Industri Makassar (KIMA) dan pada beberapa titik lainnya di Kota Makassar tahun 2003 menunjukkan ada beberapa parameter (unsur) pencemar udara yang melampaui baku mutu kualitas lingkungan udara (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Di lingkungan industri semen dan nikel, parameter debu sedikit melampaui baku mutu udara ambien. Sementara itu, kualitas udara ambien di Kota Makassar menunjukkan bahwa parameter Pb, H2S, dan debu yang terpantau di beberapa lokasi termasuk di Kawasan industri, baik pagi, sore maupun malam hari telah melampaui baku mutu udara ambien.
97
4.4.3.2. Pencemaran Air
Pada tahun 2003, volume limbah cair yang bersumber dari kegiatan agro industri dan rumah tangga pada berbagai kota dan kabupaten di Sulawesi Selatan tercatat sebesar 245,99 juta m³. Limbah tersebut berasal dari kotoran hewan/ternak, sisa-sisa makanan ternak yang membusuk dan bercampur air, limbah cair maupun tinja yang dihasilkan oleh 1,83 juta rumah tangga, pemakaian pupuk dan pestisida, dan eksploitasi tambang golongan C. Bahan pencemaran air tersebut akan memberikan tekanan terhadap lingkungan dalam berbagai bentuk seperti sedimentasi di sungai dan danau, berkurangnya debit air, tercemarnya air oleh mikro organisme/pupuk/pestisida/ limbah industri pengolahan sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif. Secara ekologis, dampak pencemaran air ini akan dirasakan terutama oleh masyarakat yang berada di bagian bawah (hilir) suatu ekosistem DAS. Berbagai limbah cair tersebut memberikan beban pencemaran air dengan parameter pencemar seperti tercantum pada Tabel 13. Tabel 13. Beban pencemaran air di Sulawesi Selatan Parameter Pencemar Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD) Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Zat Padat Tersuspensi (TSS) Zat Padat Terlarut (TDS) Nitrogen (N) Fosfor (P)
Jumlah (ribu ton) 342,82 199,85 1.946,16 290,46 106,42 3,18
Sumber: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.
Hasil pemantauan dan analisis kualitas air pada beberapa lokasi ekosistem Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang Kabupaten Gowa dan Kota Makassar pada tahun 2003 menunjukkan bahwa nilai parameter pencemarnya masih dibawah ambang batas baku mutu golongan C. Kualitas air tersebut mengalami penurunan dibandingkan kondisi tahun 2001 yang nilai parameter pencemarnya masih dibawah ambang batas baku mutu golongan B. Hal ini terjadi karena masih banyaknya industri (>55%) yang membuang limbahnya tidak memenuhi persyaratan baku mutu
98
limbah cair. Jika kondisi ini terus berlanjut maka kualitas air sungai akan terus menurun dan akan menimbulkan berbagai dampak negatif seperti menurunnya produksi tambak dan perikanan dan timbulnya penyakit. 4.4.3.3. Pencemaran Limbah Padat
Limbah padat sebagai pencemar di Sulawesi Selatan berasal dari berbagai sumber yaitu: pertanian, kehutanan, peternakan, industri pengolahan, perdagangan, rumah sakit dan rumah tangga. Penghasil limbah padat terbesar adalah Kota Makassar yaitu sebanyak 176,96 juta ton sampah disusul Kabupaten Bone, dan Gowa masing-masing 94,70 juta ton dan 80,43 juta ton sampah. Sumber utama sampah Kota Makassar adalah pemukiman yaitu sebesar 48,31%, disusul pasar, dan fasilitas umum masing-masing 16,68% dan 10,60%. Sampah Kota Makassar tersebut dari berbagai jenis dan yang paling dominan adalah sampah organik dengan volume mencapai 85,47%, disusul sampah plastik 6,0% dan kertas/karton 4,5%. Di Kota Makassar, tidak semua sampah yang dihasilkan dapat tertangani dengan baik karena terbatasnya kemampuan petugas dan sarana penanggulangan sampah. Sampah yang tertangani hanya sekitar 68 %, sehingga masih menyisakan sampah di lapangan dan dibiarkan di tempat-tempat penampungan sementara atau ditanggulangi sendiri oleh masyarakat. Kondisi tersebut memberikan tekanan terhadap lingkungan, sehingga lambat laun kualitas lingkungan udara, air dan tanah menjadi menurun.
4.5. Perkembangan Perkebunan Kakao di Sulawesi Selatan
Sulawesi Selatan menjadi sentra utama produksi kakao Indonesia, meskipun masyarakatnya belum lama mengenal komoditas kakao. Perkebunan kakao mulai berkembang di daerah ini pada awal tahun 1970-an dan pada saat itu pamornya masih jauh dibawah cengkeh yang telah banyak menghasilkan orang kaya baru di pedalaman. Namun memasuki tahun 1980-an, tanaman kakao berhasil menggeser posisi cengkeh yang harganya terus merosot. Petani cengkeh banyak yang mengganti kebun cengkehnya dengan kakao.
99
Perluasan areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan berlangsung sangat pesat dan hanya dalam waktu sekitar 20 tahun, areal perkebunan kakao mencapai lebih dari 72 ribu ha atau menempati posisi kedua setelah kelapa dalam yang arealnya mencapai 136,7 ribu ha pada tahun 1990. Sentra utama pengembangan kakao adalah Kabupaten Luwu, Mamuju, Pinrang dan Polmas. Dengan total areal lebih dari 72 ribu ha tersebut, perkebunan kakao mampu menyediakan kesempatan kerja dan pendapatan kepada sekitar 90 ribu kepala keluarga petani, serta memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar Rp 215,83 milyar atau 2,07% PDRB Sulawesi Selatan (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 1991 dan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 1998). Pengembangan areal perkebunan kakao terus berlanjut terutama di sentra utama pengembangan, sehingga pada tahun 1997 areal perkebunan kakao menjadi yang terluas di antara komoditas perkebunan di Sulawesi Selatan dengan total areal 157,6 ribu ha. Pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia, harga kakao di tingkat petani mengalami kenaikan yang sangat tajam. Kondisi ini makin mempercepat perluasan areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Areal perkebunan kakao berkembang menjadi 237.948 ha pada tahun 2000 dan menjadi 296.039 ha pada tahun 2003 (Tabel 14). Tabel 14. Perkembangan areal perkebunan di Provinsi Sulawesi Selatan 1990-2003 Jenis Tanaman Kakao Kelapa dalam Kelapa sawit Jambu mete Kopi robusta Kemiri Kopi arabika Cengkeh Kelapa hybrida Tebu Lainnya Total
Tahun 1990 1995 2000 2003 ……………….... (ha) ……………………. 72.176 131.194 237.948 296.039 136.701 142.936 149.363 164.809 4.937 4.788 26.738 80.928 44.029 65.246 72.708 79.596 43.842 46.969 44.059 60.201 34.415 43.931 52.722 56.863 12.135 24.326 42.338 52.341 53.256 52.401 48.850 50.605 15.347 24.832 28.077 42.321 887 1.120 12.604 27.527 32.896 70.716 74.517 97.415 450.621 608.459 789.924 1.008.645
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 1991, 1996, 2001 dan 2004.
100
Perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat ternyata menimbulkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Dampak positif yang dirasakan masyarakat adalah terciptanya lapangan kerja yang lebih banyak dan peningkatan pendapatan bagi petani kakao. Sedangkan dampak negatif yang dirasakan masyarakat antara lain: kerusakan lingkungan dengan berbagai dampak turunannya dan serangan hama PBK yang makin mengganas serta sulit dikendalikan. Berikut ini akan diuraikan secara singkat dampak pesatnya pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini. 4.5.1. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Serangan Hama PBK
Sebagaimana telah dikemukakan, pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat telah menghasilkan hamparan perkebunan kakao yang begitu luas dan saling sambung-menyambung. Kondisi tersebut menciptakan lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya berbagai organisme pengganggu tanaman kakao. Di samping itu, terbentuknya hamparan kebun yang saling sambung menyambung akan mempermudah dan mempercepat penyebaran berbagai organisme pengganggu tanaman kakao serta mempersulit upaya pengendaliannya. Pada saat penelitian ini dilakukan, petani kakao Sulawesi Selatan sedang menghadapi persoalan yang sangat serius yaitu adanya serangan hama penggerek buah kakao (PBK). Hama PBK diduga berasal dari Tawau, Malaysia, yang terbawa oleh kapal dagang ke Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Dari Kabupaten ToliToli Sulawesi Tengah inilah hama PBK menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru Pulau Sulawesi, tidak terkecuali ke Sulawesi Selatan. Hama PBK teridentifikasi mulai menyerang perkebunan kakao di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan pada tahun 1995 dan menyebar dengan pesat ke seluruh areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Pesatnya penyebaran hama PBK tersebut selain disebabkan oleh kondisi perkebunan kakao petani yang saling sambung menyambung, juga karena terbatasnya kemampuan petani untuk melakukan pengendalian hama PBK.
101
Akibatnya serangan hama PBK makin mengganas dan petani kakao Sulawesi Selatan mengalami kerugian yang tidak sedikit. 4.5.2. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Lingkungan
Pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan hampir seluruhnya dilakukan oleh petani. Wilayah pengembangan perkebunan kakao umumnya di lereng-lereng bukit dan pegunungan, karena kondisi sumber daya lahan Sulawesi Selatan didominasi oleh bukit dan pegunungan. Lahan yang digunakan untuk pengembangan kakao umumnya lahan hutan dan sebagian menggunakan lahan sawah, ladang, dan bekas lahan tanaman perkebunan lainnya. Dengan kondisi sumber daya lahan berbukit dan bergunung serta sebagian berupa hutan menyebabkan kegiatan pengembangan perkebunan kakao, khususnya pada saat pembukaan lahan akan menimbulkan masalah lingkungan. Pembukaan hutan atau konversi tanaman perkebunan lainnya di lahan perbukitan menyebabkan peningkatan erosi tanah, kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati. Lebih lanjut, perkebunan kakao yang berhasil dibangun menghadapi ancaman yang serius dari serangan hama PBK. Hama PBK bukanlah hama yang baru, tetapi hama yang sudah beberapa kali menyerang dan menghancurkan perkebunan kakao di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa tahun terakhir, hama PBK telah menunjukkan keganasannya dengan menyerang sebagian besar perkebunan kakao di Malaysia, sehingga menyebabkan perkebunan kakao Malaysia saat ini diambang kepunahan. Apabila serangan hama PBK tidak segera dikendalikan, maka selain menimbulkan dampak negatif terhadap
perekonomian regional juga akan
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh serangan hama PBK terhadap lingkungan tidak bersifat langsung. Serangan hama PBK yang berat akan merugikan petani dan kerugian yang terus menerus menyebabkan perkebunan kakao terlantar dan menjadi rusak, sehingga lahannya mudah terdegradasi.
102
Kerusakan lingkungan akibat pesatnya perluasan areal perkebunan kakao maupun kerusakan lingkungan perkebunan kakao akibat serangan hama PBK merupakan biaya lingkungan yang perlu diperhitungkan, agar peran perkebunan kakao dalam perekonomian regional tidak bersifat semu. 4.5.3. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Perekonomian Regional
Pesatnya pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan telah memberikan kontribusi yang nyata bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan, khususnya pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia. Kakao tampil sebagai penyelamat ekonomi petani sekaligus menjadi sumber utama devisa Sulawesi Selatan. Pada tahun 1998, kakao memberikan kontribusi output sebesar Rp 2,19 triliun dan menghasilkan devisa sebesar US $ 228,9 juta atau 38,28 % nilai ekspor Sulawesi Selatan (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 1999 dan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 1999). Selanjutnya, peranan perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2003, perkebunan kakao Sulawesi Selatan menghasilkan output senilai Rp 2,586 triliun dengan nilai ekspor sebesar US $ 246,9 juta atau 26,20% dari total Ekspor Sulawesi Selatan serta menyediakan kesempatan kerja bagi sekitar 300 ribu kepala keluarga petani (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004a dan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004 ). Namun peran kakao yang cukup besar bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan tersebut perlu dikaji lebih lanjut karena berbagai masalah. Pertama, peran tersebut masih bersifat semu karena belum memperhitungkan biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eskternalitas. Kedua, perkebunan kakao sedang menghadapi ancaman yang serius dari hama PBK. Oleh karena itu, permasalahan biaya lingkungan, peran perkebunan kakao, dan ancaman hama PBK terhadap keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi selatan akan dibahas pada bab berikut ini.
V. BIAYA LINGKUNGAN HIDUP DAN EKSTERNALITAS
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi suatu wilayah akan memberikan dampak positif berupa peningkatan produksi barang dan jasa, namun bersamaan dengan itu juga muncul dampak negatif berupa kerusakan atau penurunan kualitas lingkungan hidup akibat pengurasan cadangan sumberdaya alam dan peningkatan limbah yang membebani lingkungan hidup. Laju peningkatan produksi dan laju penurunan kualitas lingkungan hidup sangat tergantung pada jenis teknologi yang digunakan dan perlakuan terhadap limbah yang dihasilkan. Penurunan kualitas lingkungan dapat diminimalisasi apabila perencanaan dan pelaksanaan strategi dan kebijakan pembangunan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi jangka pendek, tetapi aspek lingkungan sebagai tempat sekaligus pendukung keberlanjutan pembangunan ekonomi juga mendapat perhatian yang seimbang. Hal ini berarti bahwa kelayakan pembangunan tidak hanya didasarkan pada perhitungan kelayakan ekonomi semata, tetapi juga mempertimbangkan kelayakan lingkungan. Selama ini keberhasilan pembangunan umumnya hanya diukur berdasarkan perhitungan ekonomi dan mengabaikan aspek lingkungan, sehingga hasil perhitungan tingkat kesejahteraan masyarakat masih bersifat semu. Oleh karena itu agar hasil pembangunan tidak bersifat semu dan berkelanjutan maka perlu adanya koreksi dalam perhitungan/penilaiannya. Koreksi yang perlu dilakukan adalah dengan memperhitungkan manfaat dan biaya lingkungan yang biasanya diperlakukan
sebagai
eksternalitas,
kemudian
menginternalisasikannya
kedalam
perhitungan manfaat dan biaya produksi. Secara teknis manfaat dan biaya eksternalitas dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok input produksi dan kelompok output. Manfaat dan biaya eksternalitas yang masuk kelompok input produksi adalah peningkatan dan penyusutan atau degradasi sumberdaya alam karena aktivitas ekonomi yang tidak diperhitungkan sebagai manfaat dan biaya produksi. Sedangkan manfaat dan biaya eksternalitas yang masuk kelompok output adalah nilai dari berbagai limbah atau keluaran dari aktivitas ekonomi yang menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap lingkungan hidup. Penelitian ini diarahkan untuk melakukan koreksi terhadap perhitungan tingkat perkembangan ekonomi maupun tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi
104 Selatan dengan menginternalisasikan biaya dan manfaat eksternalitas dari berbagai sektor ekonomi perekonomian Regional Sulawesi Selatan. Perhitungan biaya dan manfaat eksternalitas tersebut dilakukan melalui valuasi ekonomi terhadap dampak negatif maupun positif dari suatu sektor ekonomi yang masih merupakan eksternalitas dari sektor ekonomi yang bersangkutan. Kemudian hasil valuasi ekonomi tersebut digunakan untuk mengkoreksi Tabel Input-Output Konvensional menjadi Tabel Input Output yang dikoreksi biaya dan manfaat eksternalitas. Koreksi dilakukan terhadap nilai input maupun nilai output dari setiap sektor ekonomi Regional Sulawesi Selatan. Berikut ini akan diuraikan secara singkat hasil valuasi ekonomi terhadap biaya dan manfaat lingkungan dari berbagai sektor ekonomi yang masih diperlakukan sebagai eksternalitas dari sektor ekonomi yang bersangkutan. 5.1. Biaya Lingkungan Hidup Berbagai Sektor Ekonomi
Untuk keperluan analisis Input-Output berwawasan lingkungan, struktur perekonomian Regional Provinsi Sulawesi Selatan dibagi ke dalam 25 sektor ekonomi. Pembagian sektor ekonomi tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan analisis terutama untuk mengetahui peran sektor ekonomi kakao, keterkaitannya dengan sektor ekonomi lainnya dan ketersediaan data pendukung analisis input output berwawasan lingkungan. Pembagian sektor ekonomi dilakukan dengan menggunakan data dasar 9 sektor ekonomi yang umum dipublikasikan atau disajikan dalam buku Statistik Provinsi Dalam Angka maupun buku Produk Domestik Regional Bruto Sulawesi Selatan dan data dasar dari Tabel Input-Output Sulawesi Selatan Tahun 2000. Hasil pembagian struktur perekonomian Regional Provinsi Sulawesi Selatan kedalam 25 sektor tersebut adalah sebagai berikut: sektor pertanian dibagi menjadi 10 sektor ekonomi, sektor pertambangan dan galian dibagi menjadi 2 sektor ekonomi, sektor industri dibagi menjadi 6 sektor ekonomi, dan sektor jasa dibagi menjadi 2 sektor ekonomi serta sektor listrik, air dan gas, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi serta sektor keuangan masing-masing tetap sebagai satu sektor ekonomi. Mengingat adanya keterbatasan ketersediaan data maka nilai manfaat atau jasa lingkungan dalam mengasimilasi limbah, khususnya limbah yang
bersumber dari
industri kecil ataupun kegiatan ekonomi berskala rumah tangga diasumsikan sama
105 dengan limbah yang dihasilkan oleh industri atau kegiatan ekonomi berskala kecil, sehingga biaya dan manfaat lingkungan dapat diabaikan. Hasil analisis biaya dan manfaat lingkungan dari masing-masing sektor perekonomian tersebut adalah sebagai berikut: 5.1.1. Sektor Pertanian
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa sektor pertanian dibagi dalam 10 sektor ekonomi yaitu: sektor ekonomi padi, tanaman bahan makanan lainnya, kopi, kakao, perkebunan lainnya, peternakan, kehutanan, perikanan laut, budidaya udang, dan sektor ekonomi budidaya bandeng, ikan dan lainnya. Dari 10 sektor ekonomi yang tergabung dalam sektor pertanian tersebut telah teridentifikasi 6 sektor ekonomi yang memiliki biaya lingkungan cukup besar dan masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas yaitu: sektor ekonomi padi, tanaman bahan makanan lainnya, kopi, kakao, perkebunan lainnya, dan peternakan. 5.1.1.1. Sektor Ekonomi Padi
Padi merupakan salah satu sektor ekonomi utama dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan. Di daerah ini padi terutama diusahakan di sawah dan sebagian kecil di lahan kering. Pada tahun 2003, areal persawahan yang ditanami padi tercatat seluas 626.414 ha dengan luas panen mencapai 840.080 ha. Sedangkan lahan kering berupa ladang yang ditanami padi tercatat seluas 7.225 ha (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan. 2004b). Pengusahaan padi di sawah berpotensi menimbulkan berbagai dampak negatif bagi lingkungan karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida serta emisi gas rumah kaca berupa gas metana (CH4) dan gas Nitrous Oksida (N2O). Namun berdasarkan data dan informasi yang tersedia, penggunaan pupuk kimia dan pestisida pada usahatani padi sawah tidak teridentifikasi telah menimbulkan dampak negatif yang nyata. Oleh karena itu biaya eksternalitas dari sektor ekonomi padi yang perlu diperhitungkan hanya berasal dari emisi gas rumah kaca CH4 dan N2O. Menurut beberapa hasil penelitian, besarnya emisi gas CH4 dan N2O dari lahan persawahan sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografis, musim tanam, teknologi pengolahan tanah dan genangan irigasi serta tingkat/dosis penggunaan pupuk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wassmann et al. (2000), di beberapa negara di Asia
106 menunjukkan bahwa emisi gas CH4 dari lahan persawahan bervariasi mulai dari 20 kg/ha/musim di New Delhi India sampai 300 kg/ha/musim di Maligaya-Filipina, Beijing dan Hangzhou-Cina. Penelitian lain yang dilakukan oleh Lu et al. (2000), di HangzhouCina menunjukkan bahwa emisi gas CH4
dari lahan persawahan rata-rata 182
kg/ha/musim dengan variasi antara 53 sampai 557 kg/ha/musim. Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Naharia (2004), menunjukkan bahwa emisi gas CH4 tertinggi terjadi pada lahan sawah yang diolah sempurna dengan irigasi tergenang yaitu 422,66 kg/ha pada musim hujan dan 285,27 kg/ha pada musim kemarau. Sedangkan emisi gas CH4 terendah dihasilkan dari lahan sawah tanpa olah tanah menggunakan parakuat dengan berpengairan berselang pada musim kemarau yaitu 23,69 kg/ha. Sementara itu hasil-hasil penelitian emisi N2O masih terbatas. Hasil penelitian di lahan Sawah Percobaan IPB di Darmaga-Bogor yang dilakukan oleh Suratno (1997) menunjukkan bahwa emisi gas N2O bervariasi dari negatif 17,56 sampai 131,56 µg /m²/jam. Adanya emisi negatif memberi pengertian bahwa lahan persawahan pada waktu tertentu juga berperan sebagai rosot (sink) gas N2O. Penelitian lain yang dilakukan oleh Partohardjono (1999), menunjukkan bahwa emisi gas N2O bervariasi mulai dari 50-150 µg /m²/hari pada lahan sawah tanpa pupuk sampai 250-500 µg /m²/hari pada lahan sawah yang diberi pupuk N. Variasi emisi gas N2O dipengaruhi oleh takaran dan jenis pupuk urea yang diberikan, cara penanaman dan varietas padi yang digunakan. Secara umum emisi gas N2O bervariasi mulai dari 254 g/ha/musim pada lahan sawah tanpa pupuk sampai 418 g/ha/musim pada lahan sawah yang dipupuk dengan urea pril 115 kg N/ha. Di Sulawesi Selatan, pengusahaan padi sawah umumnya dilakukan dengan pengolahan tanah sempurna dan irigasi tergenang, baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau, sehingga perhitungan emisi gas CH4 dapat dilakukan dengan mengacu pada hasil penelitian Naharia (2004). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka besarnya emisi gas CH4 dari usahatani padi sawah di Sulawesi Selatan tahun 2003 mencapai 325.712,5 ton, terdiri dari 264.760 ton pada musim hujan dan 60.952,5 ton pada musim kemarau. Total emisi gas CH4 tersebut setara dengan 6.839.962,5 ton gas CO2, sehingga nilai biaya lingkungan (eksternalitas) sektor ekonomi padi sawah akibat dari emisi CH4 tahun 2003 adalah sebesar Rp 307,8 milyar.
107 Di samping itu pengusahaan padi sawah di Sulawesi Selatan dilakukan secara intensif dengan pemberian pupuk urea yang cukup tinggi. Mengacu pada hasil penelitian Partohardjono (1999), maka lahan persawahan Sulawesi Selatan akan menghasilkan emisi gas N2O sebesar 351,15 ton atau setara dengan 108.865,5 ton CO2. Dengan demikian nilai biaya lingkungan dari emisi N2O adalah Rp 4,90 milyar. Sementara itu, kegiatan penanaman padi di lahan kering di Sulawesi Selatan tersebar di beberapa kabupaten antara lain Kabupaten Mamuju, Majene, Janeponto dan Takalar. Pada tahun 2003 areal tanam padi lahan kering tercatat seluas 7.225 ha dan dengan asumsi bahwa kondisi lahan padi gogo rata-rata berkemiringan 2%, panjang lereng 25 m, erodibilitas (K)=0,205 dan penutupan tanah padi gogo (C)= 0,56, serta curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun, maka besarnya erosi tanah yang terjadi rata-rata 24,22 ton/ha/tahun. Dengan menggunakan hasil analisis tanah dari beberapa lokasi lahan pertanian di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang menunjukkan bahwa rata-rata kandungan unsur hara utamanya sebesar Rp 14.468/ton tanah yang tererosi maka untuk mengganti kehilangan unsur hara tersebut paling tidak diperlukan biaya sebesar Rp 350.363 /ha/tahun. Jadi total biaya pengganti unsur hara yang hilang akibat erosi pada lahan usaha padi gogo mencapai Rp 2,53 milyar. Dengan demikian total biaya eksternalitas dari sektor ekonomi padi yang perlu diperhitungkan adalah sebesar Rp 315,23 milyar. 5.1.1.2. Sektor Ekonomi Tanaman Bahan Makanan lainnya
Sektor ekonomi tanaman bahan makanan selain padi meliputi: jagung, ketela pohon, umbi-umbian, kacang tanah, kedelai, kacang-kacangan lainnya, buah-buahan, serealia (padi-padian) dan bahan makanan lainnya, serta hasil pertanian lainnya. Jenis tanaman bahan makanan ini umumnya ditanam di lahan sawah pada saat musim kemarau dan sebagian kecil di lahan kering. Pengusahaan tanaman bahan makanan berpotensi menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida serta alih fungsi lahan. Namun hasil identifikasi menunjukkan bahwa penggunaan pupuk dan pestisida pada sektor ekonomi ini relatif kecil dan tidak menimbulkan dampak negatif secara nyata, sehingga dapat diabaikan. Dampak negatif yang perlu diperhitungkan sebagai biaya eksternalitas adalah pengusahaan tanaman bahan makanan yang dilakukan di lahan
108 kering yang miring atau areal hutan. Kegiatan usaha di lahan kering sebagian dilakukan dengan cara perladangan berpindah dan umumnya tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi lahan dan air, sehingga menimbulkan erosi lahan cukup tinggi. Pada tahun 2003, areal tanaman bahan makan non padi ini yang cukup luas adalah jagung yang tercatat seluas 213.818 ha jagung, kacang tanah 43.385 ha, ubi kayu 40.808 ha, kacang hijau 33.180 ha, kedelai 16.992 ha dan ubi jalar 5.748 ha. Sebagian besar penanaman tanaman bahan makanan non padi ini dilakukan di lahan persawahan khususnya jagung dan kacang-kacangan. Sedangkan tamanan lainnya seperti ubi kayu, ubi jalar dan sayuran umumnya ditanam di lahan kering. Penanaman tanaman bahan makanan non padi di areal persawahan tidak teridentifikasi menimbulkan dampak negatif. Sedangkan penanaman tanaman bahan makanan non padi di lahan kering menimbulkan beberapa dampak negatif khususnya yang memasuki kawasan hutan. Luas lahan kering yang digunakan untuk tanaman bahan makanan dengan pola perladangan pada tahun 2003 tercatat seluas 90.990 ha, masing-masing 26.501 ha di kawasan hutan dan 64.479 ha di luar kawasan hutan. Apabila di asumsikan bahwa rotasi atau efektivitas pemanfaatan lahan rata-rata hanya tiga tahun, maka setiap tahunnya akan terjadi alih fungsi lahan hutan atau semak belukar menjadi lahan perladangan seluas 30.330 ha. Adanya alih fungsi lahan yang pembukaan lahannya umumnya dilakukan dengan cara tebang, tebas dan bakar akan menimbulkan dampak negatif berupa emisi karbon dioksida, penyusutan keanekaragaman hayati, dan kerusakan tata air serta peningkatan erosi tanah. Kegiatan usaha tanaman bahan makanan non-padi di lahan kering dengan pola perladangan berpindah dengan rotasi penggunaan lahan rata-rata 3 tahun memaksa petani untuk membuka ladang baru dari hutan rata-rata 8.834 ha per tahun dan 21.496 ha dari semak belukar yang telah diberakan. Dengan demikian akan terjadi emisi gas CO2 akibat pembakaran kayu, ranting dan daun-daunan saat penyiapan lahan seluas 30.330 ha sebesar 151.650 ton atau senilai Rp 6,824 milyar, penyusutan keanekaragaman hayati dari lahan hutan seluas 8.834 ha senilai Rp 795,06 juta, hilangnya jasa hutan untuk pengendalian banjir dan penyedia air Rp 954,07 juta. Di samping itu, dengan asumsi bahwa kondisi perladangan berpindah rata-rata berkemiringan 3%, panjang lereng 25 m, erodibilitas (K)=0,205, penutupan tanah
109 pertanian campuran (C)=0,43 dan curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun, maka besarnya erosi tanah yang terjadi rata-rata sebesar 32,93 ton/ha. Mengacu pada hasil analisis tanah di beberapa lokasi pertanian, maka adanya erosi tersebut menyebabkan hilangnya unsur hara Nitrogen, Posfat dan Kalium senilai Rp 14.468/ton tanah yang tererosi. Dengan demikian nilai kerugian yang perlu diperhitungkan untuk penggantian unsur hara yang hilang tersebut adalah sebesar Rp 474.598/ha, sehingga total biaya ekaternalitas yang perlu diperhitungkan akibat erosi dari sektor ekonomi tanaman bahan makan non padi adalah sebesar Rp 14,395 milyar. Total biaya eksternalitas yang perlu diperhitungkan dari sektor ekonomi tanaman makan non padi adalah sebesar Rp 22,968 milyar (Tabel 15). Tabel 15. Biaya eksternalitas sektor ekonomi tanaman bahan makanan non padi No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Biaya Eksternalitas Emisi CO2 Penyusutan KR hayati Pengendalian banjir dan penyedia air Erosi lahan Total
Areal lahan (ha) 30.330 8.834 8.834 30.330
Biaya (Rp/ha) 225.000 90.000 108.000 474.598
Total biaya (Rp milyar) 6,824 0,795 0,954 14,395 22,968
5.1.1.3. Sektor Ekonomi Kopi
Di Sulawesi Selatan ditanam dua jenis kopi yaitu kopi arabika dan kopi robusta. Kopi arabika ditanam di daerah pegunungan dengan ketinggian tempat diatas 400 m dpl, sementara kopi robusta ditanam di daerah dataran rendah hingga ketinggian 400 m dpl. Hasil identifikasi di lapangan menunjukkan bahwa kedua jenis kopi ini sebagian besar dikembangkan di kawasan DAS Saddang terutama di Kabupaten Polmas dan Tana Toraja. Dampak negatif terhadap lingkungan terutama berupa erosi lahan, kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati. Pada tahun 2003, total areal perkebunan kopi tercatat seluas 112.542 ha terdiri dari areal belum menghasilkan (TBM) seluas 20.092 ha, areal tanaman menghasilkan (TM) seluas 73.428 ha dan tanaman tua/rusak (TT) seluas 19.022 ha. Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan, areal perkebunan kopi tersebut tersebar di berbagai kawasan dengan kemiringan lahan rata-rata berkisar antara 0% sampai 30%. Sebaran areal perkebunan kopi berdasarkan kondisi tanaman dan kemiringan lahan serta perkiraan erosi yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 16.
110 Tabel 16. Sebaran areal perkebunan kopi dan perkiraan erosi tanah tahun 2003 No. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5.
Kemiringan (%) 0 5 10 20 30 Total
TBM1 539,2 1.078,5 1.348,1 1.348,1 1.078,5 5.392,4
0 5 10 20 30 Total
0 63.831 196.964 439.304 554.533 1.254.632
Areal Kebun (ha) TBM>1 & TT TM 3.372,2 7.342,8 6.744,3 14.685,6 8.430,4 18.357,0 8.430,4 18.357,0 6.744,3 14.685,6 33.722,6 73.428,0 Erosi Tanah (ton) 0 0 266.113 289.727 821.149 894.016 1.831.470 2.184.308 2.311.865 2.517.016 5.230.596 5.885.067
Total 11.254,2 22.508,4 28.135,5 28.135,5 22.508,4 112.542,0 0 619.671 1.912.129 4.455.081 5.383.415 12.370.295
Pata Tabel 16 tersebut tampak bahwa erosi tanah yang terjadi di perkebunan kopi tahun 2003 mencapai 12.370.295 ton tanah. Dengan menggunakan hasil analisis tanah dari beberapa lokasi yang menunjukkan bahwa rata-rata tiap ton tanah yang tererosi tersebut mengandung unsur hara Nitrogen, Posfor dan Kalium senilai Rp 14.468, sehingga total biaya eksternalitas yang perlu diperhitungkan untuk mengganti kehilangan unsur hara tersebut adalah sebesar Rp 178,973 milyar. Sementara itu, kegiatan pengembangan perkebunan kopi selama tiga tahun terakhir rata-rata 5.392,4 ha/tahun. Dengan asumsi bahwa 75% areal pengembangannya mengkonversi hutan atau semak belukar maka biaya eksternalitas akibat emisi gas CO2 diperkirakan mencapai Rp 181,99 juta. Sementara kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati masing-masing sebesar Rp 436,78 juta dan Rp 363,99 juta. Dengan demikian total biaya ekaternalitas yang perlu diperhitungkan dari sektor ekonomi kopi adalah sebesar Rp 179,955 milyar 5.1.1.4. Sektor Ekonomi Kakao
Tanaman kakao dikembangkan mulai dari dataran rendah sampai pada daerah pegunungan hingga ketinggian 600 m dpl. Areal pengembangan umumnya pada areal bekas kebun campuran, areal perladangan dan areal bekas hutan dan semak belukar. Sentra utama perkebunan kakao adalah di Kabupaten Mamuju, Luwu Utara, Polmas, Bone dan Pinrang.
111 Biaya lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh pengusahaan kakao adalah karena pencemaran oleh pupuk kimia dan pestisida, erosi lahan, rusaknya tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati. Namun hasil wawancara dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia dan pestisida tidak teridentifikasi menimbulkan pencemaran/kerusakan lingkungan hidup. Demikian pula halnya dengan kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati tidak teridentifikasi secara nyata. Pengembangan kakao yang dilakukan petani umumnya tidak bersifat monokultur, tetapi diselang selingi dengan tanaman buah-buahan, kemiri, kelapa dan tanaman pelindung lainnya. Pada beberapa kasus seperti yang terjadi di Kabupaten Pinrang yang areal pengembangannya relatif datar dan lahannya sebagian berupa lahan kritis, maka pengembangan perkebunan kakao ikut andil dalam memperbaiki dan menyelamatkan lingkungan hidup. Pada tahun 2003, dari total areal 296.039 ha terdiri dari 54.522 ha areal belum menghasilkan (TBM), 213.489 ha areal tanaman menghasilkan (TM) dan 28.028 ha tanaman tua (TT). Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan, areal perkebunan kakao tersebut diperkirakan tersebar di berbagai kawasan dengan kemiringan lahan rata-rata berkisar antara 0% sampai 20%. Sebaran areal perkebunan kakao berdasarkan kondisi tanaman dan kemiringan lahan serta perkiraan erosi yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Sebaran areal perkebunan kakao dan perkiraan erosi tanah tahun 2003 No. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5.
Kemiringan (%) 0 5 10 15 20 Total
TBM1 3.636,1 3.636,1 4.545,2 3.636,1 2.727,1 18.180,6
0 5 10 15 20 Total
0 215.207 664.069 867.676 888.674 2.635.625
Areal Kebun (ha) TBM>1 & TT TM 12.873,9 42.697,8 12.873,9 42.697,8 16.092,4 53.372,3 12.873,9 42.697,8 9.655,4 32.023,4 64.369,4 213.489,0 Erosi Tanah (ton) 0 0 507.969 842.370 1.567.448 2.599.316 2.048.035 3.396.280 2.097.598 3.478.470 6.221.050 10.316.436
Total 59.207,8 59.207,8 74.009,8 59.207,8 44.405,9 296.039,0 0 1.565.546 4.830.832 6.311.990 6.464.742 19.173.111
112 Pata Tabel 17 tersebut tampak bahwa erosi tanah yang terjadi di perkebunan kakao tahun 2003 mencapai 19.173.111 ton tanah. Dengan menggunakan hasil analisis tanah dari beberapa lokasi yang menunjukkan bahwa rata-rata tiap ton tanah yang tererosi tersebut mengandung unsur hara Nitrogen, Posfor dan Kalium senilai Rp 14.468, maka total biaya eksternalitas untuk mengganti kehilangan unsur hara tersebut adalah sebesar Rp 277,397 milyar. Sementara itu, kegiatan pengembangan perkebunan kakao selama tiga tahun terakhir rata-rata 18.181 ha/tahun. Dengan asumsi bahwa 75% areal pengembangannya mengkonversi hutan atau semak belukar maka biaya eksternalitas akibat emisi gas CO2 diperkirakan mencapai Rp 3,068 milyar. Sementara kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati masing-masing sebesar Rp 1,474 milyar dan Rp 1,227 milyar. Dengan demikian total biaya ekaternalitas yang perlu diperhitungkan dari sektor ekonomi kakao adalah sebesar Rp 283,166 milyar 5.1.1.5. Sektor Ekonomi Perkebunan Lainnya
Sektor ekonomi perkebunan lainnya meliputi berbagai jenis tanaman perkebunan selain kopi dan kakao. Jenis tanaman yang paling dominan adalah kelapa disusul jambu mete, kelapa sawit, cengkeh, tebu dan lain-lain. Berbagai jenis tanaman ini umumnya ditanam dalam bentuk kebun campuran kecuali kelapa sawit dan tebu yang monokultur. Berbagai jenis tanaman perkebunan tersebut sebagian besar ditanam di daerah yang datar dan hanya sebagian kecil yang ditanam di kawasan bukit dan pegunungan, sehingga tingkat bahaya erosinya relatif rendah. Pada tahun 2003, total areal berbagai jenis tanaman perkebunan selain kopi dan kakao ini tercatat seluas 600.064 ha, terdiri dari 79.950 ha areal tanaman belum menghasilkan (TBM), 447.304 ha areal tanaman menghasilkan (TM), dan 72.810 ha areal tanaman tua/rusak (TT). Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan, areal perkebunan selain kopi dan kakao tersebut diperkirakan tersebar di berbagai kawasan dengan kemiringan lahan rata-rata berkisar antara 0% sampai 20%. Sebaran areal perkebunan kakao berdasarkan kondisi tanaman dan kemiringan lahan serta perkiraan erosi yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 18.
113 Tabel 18. Sebaran areal perkebunan lainnya dan perkiraan erosi tanah tahun 2003 No. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5.
Kemiringan (%) 0 5 10 15 20 Total 0 5 10 15 20 Total
Areal Kebun (ha) TBM1 TBM>1 & TT TM 4.846,2 40.981,8 134.191,2 4.038,5 34.151,5 111.826,0 3.230,8 27.321,2 89.460,8 2.423,1 20.490,9 67.095,6 1.615,4 13.660,6 44.730,4 16.154,0 136.606,0 447.304,0 Erosi Tanah (ton) 0 0 0 398.371 2.021.290 4.412.354 786.726 3.991.762 8.713.775 963.694 4.889.678 10.673.872 877.347 4.451.564 9.717.495 3.026.139 15.354.293 33.517.496
Total 180.019,2 150.016,0 120.012,8 90.009,6 60.006,4 600.064,0 0 6.832.015 13.492.263 16.527.243 15.046.406 51.897.927
Pata Tabel 18 tersebut tampak bahwa erosi tanah yang terjadi di perkebunan selain kopi dan kakao tahun 2003 mencapai 51.897.927 ton tanah. Dengan menggunakan hasil analisis tanah dari beberapa lokasi sentra perkebunan yang menunjukkan bahwa rata-rata tiap ton tanah yang tererosi tersebut mengandung unsur hara Nitrogen, Posfor dan Kalium senilai Rp 14.468, maka total biaya eksternalitas untuk mengganti kehilangan unsur hara tersebut adalah sebesar Rp 750,859 milyar. Sementara itu, kegiatan pengembangan perkebunan selain kopi dan kakao selama lima tahun terakhir rata-rata 16.154 ha/tahun. Dengan asumsi bahwa 50% areal pengembangannya mengkonversi hutan atau semak belukar maka biaya eksternalitas akibat emisi gas CO2 diperkirakan mencapai Rp 1,817 milyar. Sedangkan biaya kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati masing-masing sebesar Rp 872,32 juta dan Rp 726,93 juta. Dengan demikian total biaya ekaternalitas yang perlu diperhitungkan dari sektor ekonomi kakao adalah sebesar Rp 754,275 milyar 5.1.1.6. Sektor Ekonomi Peternakan
Masyarakat Sulawesi Selatan memelihara hampir semua jenis ternak, baik ternak besar maupun unggas. Jenis ternak besar yang dipelihara meliputi sapi, kerbau, kuda, kambing, domba dan babi. Sedangkan ternak unggas meliputi ayam ras, ayam bukan ras dan itik. Pada tahun 2003, jenis ternak besar yang paling banyak dipelihara adalah sapi
114 yaitu sebanyak 737.538 ekor, diikuti kambing, babi, kerbau, kuda dan domba masingmasing 555.927 ekor, 448.869 ekor, 175.617 ekor, 118.101 ekor dan 1.393 ekor. Sementara unggas yang paling banyak dipelihara adalah ayam bukan ras yaitu sebanyak 18,75 juta ekor, diikuti itik dan ayam ras yaitu masing-masing 4,12 juta ekor dan 3,92 juta ekor. Berdasarkan hasil kajian Bapedalda (2004), sektor ekonomi peternakan tidak menimbulkan pencemaran yang berarti. Namun menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (2001), ternak merupakan sumber emisi gas rumah kaca, baik dari proses fermentasi bahan makannya di lambung maupun dari limbah kotorannya. Oleh karena itu eksternalitas dari sektor ekonomi peternakan perlu diperhitungkan. Untuk kawasan Asia, setiap ekor ternak akan mengeluarkan gas CH4 dari proses fermentasi di lambungnya masing-masing sebesar 55 kg/tahun/ekor kerbau, 44 kg/tahun/ekor sapi potong, 18 kg/tahun/ekor kuda, 5 kg/tahun/ekor kambing atau domba, dan 1 kg/tahun/ekor babi. Di samping itu emisi CH4 juga dihasilkan dari limbah/kotoran ternak masing-masing sebesar 3 kg/tahun/ekor kerbau, 2 kg/tahun/ekor sapi potong, 0,22 kg/tahun/ekor kambing, 0,21kg/tahun/ekor domba dan 7 kg/tahun/ekor babi, serta 0,023 kg/tahun/ekor unggas. Menurut Kulshreshtha et al. (1999), setiap ekor ternak mengeluarkan emisi CH4 dari proses fermentasi makan di lambung bervariasi mulai dari yang paling kecil yaitu ternak unggas dengan emisi 0,0045 kg/tahun, disusul babi 1,5 kg/tahun, kambing 5 kg/tahun, domba 5-8 kg/tahun, kuda 18 kg/tahun dan yang terbesar adalah ternak sapi dengan tingkat emisi 55 kg/tahun. Sementara Gibbs et al. (tanpa tahun) menyatakan bahwa emisi CH4 dari proses fermentasi makanan di lambung ternak bervariasi masingmasing 5 kg/ekor/tahun untuk kambing dan domba, 18 kg/ekor/tahun untuk kuda, 44 kg/ekor/tahun untuk sapi potong dan 55 kg/ekor/tahun untuk kerbau. Mengacu pada berbagai pendapat dan hasil penelitian tersebut, maka sektor ekonomi peternakan Sulawesi Selatan pada tahun 2003 telah mengemisi gas CH4 sebesar 53.711 ton, masing-masing sebesar 47.592 ton dari proses fermentasi makanan di lambung dan 6.119 ton dari limbah kotorannya. Emisi gas CH4 tersebut setara dengan 1.127.931 ton CO2, sehingga nilai biaya lingkungan sektor ekonomi peternakan adalah sebesar Rp 50,76 milyar.
115 5.1.1.7. Sektor Ekonomi Kehutanan
Provinsi Sulawesi Selatan memiliki areal hutan yang cukup luas yaitu lebih dari 3,52 juta ha dengan 1,01 juta ha hutan produksi. Namun sebagian besar kawasan hutan tersebut sudah tidak produktif lagi, sehingga hasil hutan cenderung terus menurun. Kondisi tersebut diperparah lagi oleh suatu kenyataan makin maraknya perambahan hutan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian, baik untuk perkebunan maupun perladangan berpindah. Sasaran perambahan hutan tidak terbatas hanya pada hutan produksi, tetapi sebagian sudah memasuki kawasan lindung dan konservasi. Akibatnya kerusakan lingkungan tidak bisa dihindari, terutama karena erosi dan menyusutnya keanekaragaman hayati, serta rusaknya tata air dan makin luasnya lahan kritis. Erosi lahan pada beberapa DAS di Sulawesi Selatan cukup tinggi yaitu lebih dari 6,12 juta ton tanah tererosi setiap tahunnya. Tingkat erosi yang paling tinggi terjadi pada kawasan DAS Saddang yang mencapai 1,67 juta ton/tahun, disusul DAS Jeneberang, DAS Karama dan DAS Mamasa yang masing-masing 735 ribu ton, 677 ribu ton dan 544 ribu ton per tahun. Tingginya tingkat erosi lahan tersebut terjadi karena makin luasnya areal hutan yang terbuka akibat penebangan kayu dan alih fungsi lahan. Sebagai contoh di kawasan DAS Saddang terjadi penyusutan areal hutan dari 358.676 ha tahun 1991 menjadi 296.101 ha pada tahun 2002 dan perluasan areal kebun campuran dari 29.675 ha pada tahun 1991 menjadi 234.172 ha pada tahun 2002. Sementara itu, luas lahan kritis terus bertambah dengan laju 1-2% per tahun (Bapedalda, 2004 dan Wati, 2002). Biaya eksternalitas penyusutan areal hutan akibat alih fungsi lahan telah dibebankan pada sektor yang menggunakan lahan hutan tersebut. Sedangkan biaya eksternalitas karena eksploitasi hasil hutan sangat sulit untuk diperhitungkan karena terbatasnya ketersediaan data. Pada tahun 2003, hutan Provinsi Sulawesi Selatan memproduksi sebesar 63 ribu m³ kayu dan 203,1 ribu ton non kayu. Produksi kayu tersebut didominasi oleh produksi kayu non HPH yaitu sebesar 66,9%, sementara perusahaan HPH hanya memproduksi kayu sekitar 33,1%. Mengingat aktivitas eksplorasi hasil hutan beberapa tahun terakhir cenderung terus menurun dan aktivitas pada tahun 2003 relatif rendah serta kerusakan hutan karena aktivitas ekonomi lainnya sudah dibebankan pada sektor ekonomi pengguna lahan hutan, maka biaya eksternalitas sektor kehutanan karena eksploitasi hasil hutan diduga relatif kecil dan dapat diabaikan.
116 5.1.1.8. Sektor Ekonomi Perikanan Laut
Perikanan laut Sulawesi Selatan merupakan kegiatan perikanan tangkap dengan wilayah utamanya adalah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP-4) yaitu Laut Flores dan Selat Makasar dengan posisi geografis 2-7ºLS dan 115-123ºBT. Berdasarkan hasil pengkajian Badan Riset Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 2001 menunjukkan bahwa kawasan WPP-4 memiliki potensi sumberdaya ikan sebesar 929,72 ribu ton/tahun dengan produksi mencapai 655,45 ribu ton/tahun. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa WPP-4 masih memiliki peluang untuk peningkatan pemanfaatan sumberdaya ikan karena baru dimanfaatkan sekitar 70%. Meskipun demikian, ada beberapa jenis komoditas yang mengalami tangkapan berlebih seperti cumi-cumi, udang penaid dan ikan demersal (Barani, 2005). Pada tahun 2003, produksi perikanan laut tercatat sebesar 354,43 ribu ton. Produksi tersebut dihasilkan dari berbagai jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh para nelayan dari beberapa kabupaten, terutama Kabupaten Jeneponto, Takalar, Bulukumba dan Sinjai. Peralatan tangkap yang digunakan cukup beragam dan yang dominan digunakan adalah payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring lingkar, jaring klintik, jaring insang tetap, bagan perahu, bagan tancap, rawai tetap, pancing tonda, sero dan bubu (Barani, 2005). Biaya lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan perikanan laut relatif kecil yaitu yang bersumber dari penggunaan bahan bakar minyak untuk menggerakkan kapal/perahu nelayan. Di sisi lain, daya asimilasi limbah oleh ekosistem laut cukup besar, sehingga biaya lingkungan (eksternalitas) sektor ekonomi perikanan laut ini dapat diabaikan. 5.1.1.9. Sektor Ekonomi Budidaya Udang
Budidaya udang umumnya dilakukan petani di sepanjang pesisir pantai barat yang menghadap Selat Makassar dan pesisir pantai timur yang menghadap Teluk Bone. Pada tahun 2003, areal tambak udang tercatat seluas 109.675 ha dengan sentra utamanya di Kabupaten Pinrang, Wajo, Luwu Utara, Bone dan Pangkep. Budidaya udang berpotensi menimbulkan biaya lingkungan terutama karena limbah pakan yang tersisa dan membusuk. Namun hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa dalam proses produksi tidak teridentifikasi adanya dampak negatif dari limbah
117 pakan udang. Dengan demikian biaya lingkungan (eksternalitas) sektor ekonomi ini juga dapat diabaikan. 5.1.1.10. Sektor Ekonomi Budidaya Bandeng, Ikan & lainnya
Budidaya bandeng umumnya dilakukan berdampingan dengan budidaya udang yaitu di kawasan pesisir pantai barat dan timur Sulawesi Selatan. Sementara budidaya ikan lainnya dilakukan petani di kolam, sawah, danau dan rawa. Kondisinya tidak berbeda dengan budidaya udang. Oleh karena itu beban biaya lingkungan (eksternalitas) sektor ekonomi ini juga dapat diabaikan.
5.1.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa untuk keperluan analisis input output sektor pertambangan dan penggalian dibagi menjadi dua sektor ekonomi yaitu sektor pertambangan nikel dan sektor pertambangan serta penggalian lainnya. Pembagian tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa sektor pertambangan nikel merupakan sektor pertambangan yang padat modal dan hasilnya diekspor dalam bentuk bijih nikel (nikel matte). Sementara pertambangan dan penggalian lainnya umumnya bersifat padat karya dan hasil tambang atau galian umumnya digunakan atau diproses lebih lanjut menjadi barang jadi. 5.1.2.1. Sektor Ekonomi Tambang Nikel
Tambang nikel di Sulawesi Selatan dikelola oleh PT International Nickel Indonesia Tbk (PT Inco), yaitu suatu perusahaan pertambangan yang per 31 Desember 2003 sebanyak 58,7% sahamnya dimiliki oleh Inco Limited dari Kanada, dan 20,1% saham dimiliki oleh Sumitomo Metal Mining Co., Ltd dari Jepang serta selebihnya dimiliki oleh publik. Lokasi pertambangan dipusatkan di Sorowako Kabupaten Luwu Timur dengan lokasi tambang di tiga kecamatan yaitu: Kecamatan Nuha, Malili dan Towuti. Di samping itu, PT Inco juga mulai mengembangkan lokasi penambangan ke Sulawesi Tenggara dengan konsentrasi kegiatan di Kabupaten Kolaka, Kendari dan Buton, serta Sulawesi Tengah dengan konsentrasi kegiatan di Kabupaten Morowali dan Palu.
118 Pada tahun 2003, PT Inco memecahkan rekor produksi tertinggi yaitu sebesar 155 juta pon nikel dalam matte, meningkat dari 131 juta pon pada tahun 2002. Untuk mengimbangi kenaikan produksi, PT Inco meningkatkan kegiatan eksplorasi untuk menemukan areal penambangan baru. Kegiatan eksplorasi tahun 2003, berhasil meningkatkan cadang bijih menjadi 62 juta ton cadangan terbukti berkadar 1,81 persen nikel dan 45 juta ton cadangan terduga berkadar 1,80% nikel atau meningkat sebesar 11 juta ton cadangan terbukti dan 5 juta ton cadangan terduga dibanding dengan kondisi akhir tahun 2002. Penambangan nikel dilakukan dengan sistem terbuka berjenjang, dimana kegiatan penambangan nikel dimulai pembebasan lokasi tambang dari pohon dan semak belukar. Kemudian dilanjutkan dengan pengupasan lapisan tanah penutup sampai kedalaman tertentu yang biasanya dilakukan dengan alat dorong (bulldozer). Selanjutnya dilakukan penambangan bijih nikel dan pengangkutan hasil tambang ke pabrik pengolahannya. Kemudian hasil tambang bijih nikel tersebut diproses menjadi nikel matte dan siap untuk diekspor. Mengingat areal pertambangan nikel tersebut mencapai ribuan hektar dengan kegiatan seperti yang telah diuraikan diatas maka dapat dipastikan bahwa dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan penambangan nikel cukup besar dan penting. Namun karena penambangan nikel oleh PT Inco dilakukan secara profesional dan mengikuti standar internasional, maka segala permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan telah ditangani sesuai dengan standar internasional. Dengan demikian, biaya lingkungan yang meliputi biaya penanganan limbah cair, penghijauan kawasan purna tambang dan menekan emisi limbah debu dan gas sudah dijadikan sebagai biaya internal, sehingga biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas relatif kecil. Pada tahun 2003, biaya operasional yang dikeluarkan untuk lingkungan hidup adalah sebesar US $ 2,8 juta atau sekitar 0,55% dari nilai penjualan nikel tahun yang bersangkutan. Di samping itu juga dikeluarkan biaya investasi untuk penanganan limbah yang besarnya bervariasi setiap tahunnya. Berbagai peningkatan dalam rehabilitasi lahan purna tambang telah diselesaikan oleh PT Inco di tahun 2003. PT Inco telah melaksanakan penanaman kembali lebih dari 132 hektar lahan purna tambang,
119 keseluruhannya menggunakan standar paling mutakhir dalam rehabilitasi kawasan. Hingga tahun 2003, PT Inco telah melaksanakan program penanaman kembali yang keseluruhannya mencakup lebih dari 2.047 hektar lahan purna tambang. Biaya lingkungan tersebut merupakan biaya internal yang dibebankan ke rugi laba perusahaan (PT International Nickel Indonesia, 2004 dan 2005). Karena keterbatasan data dan berbagai informasi resmi yang dikeluarkan Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2003 tidak menyebutkan adanya permasalahan lingkungan yang serius di pertambangan nikel di Sulawesi Selatan, maka dalam penelitian ini biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas diasumsikan tidak ada atau diabaikan. 5.1.2.2. Sektor Ekonomi Tambang dan Galian Lainnya
Sektor pertambangan dan galian lainnya selain nikel di Sulawesi Selatan di domonasi oleh galian C terutama untuk bahan baku industri semen, bahan baku marmer, dan bahan bangunan. Kegiatan pertambangan dan galian ini menyebabkan berubahnya bentang alam, hilangnya vegetasi dan flora yang ada diatasnya, serta berubahnya alur dan dasar sungai. Pada tahun 2003, kegiatan pertambangan memproduksi sebanyak 3,25 juta m³ batu gamping dan 656,9 ribu m³ tanah liat sebagai bahan baku industri semen dan 17,55 ribu m³ marmer sebagai bahan baku industri marmer serta 2.643 m³ pasir, krikil, dan batu kali sebagai bahan bangunan (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Lokasi pertambangan untuk bahan baku semen berada di Kabupaten Pangkep dan Maros Berdasarkan hasil kajian Bapedalda (2004), kegiatan pertambangan galian C untuk bahan baku semen, marmer dan bahan bangunan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif yang nyata bagi lingkungan hidup. Oleh karena itu biaya eksternalitas sektor ekonomi tambang dan galian C dapat diabaikan. 5.1.3. Sektor Industri
Pembagian sektor industri untuk keperluan penelitian ini dilakukan atas dasar sumber bahan baku dan keterkaitannya dengan sektor pertanian. Secara umum sektor industri dikelompokkan menjadi 6 sektor yaitu yang terkait dengan pengolahan hasil kakao dan biji-bijian, hasil kopi, hasil pangan, pendukung pertanian, industri semen, dan
120 industri lainnya. Dari keenam sektor industri tersebut ternyata hanya sektor industri semen yang teridentifikasi menghasilkan biaya eksternalkitas yang cukup nyata bagi lingkungan. Sementara biaya dan manfaat eksternalitas lima sektor industri lainnya relatif kecil dan masih dapat diabaikan. 5.1.3.1. Sektor Ekonomi Industri Biji-bijan, Cokelat dan Kembang Gula
Sektor ekonomi industri biji-bijan, cokelat dan kembang gula merupakan sektor yang kegiatan utamanya adalah mengolah hasil berbagai jenis tanaman perkebunan dan hanya sebagian kecil mengolah hasil kakao. Industri ini umumnya berskala kecil/rumah tangga dengan penyebaran yang cukup luas di sentra-sentra produksi tanaman perkebunan, kecuali industri pengolahan biji kakao yang berada di Kawasan Industri Makassar (KIMA). Berdasarkan hasil kajian Bapedalda (2004), sektor ini tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti terhadap lingkungan hidup, sehingga biaya eksternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.3.2. Sektor Ekonomi Industri Kopi Giling dan Kupasan
Sektor ekonomi industri kopi giling dan kupasan merupakan sektor industri yang kegiatan utamanya adalah mengolah biji kopi menjadi kopi bubuk yang siap dikonsumsi. Industri ini umumnya berskala kecil/industri rumah tangga dan menyebar di sentra produksi kopi seperti Tana Toraja, Enrekang dan Mamasa. Pada tahun 2003, sektor ini tidak teridentifikasi menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup, sehingga biaya eksternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.3.3. Sektor Ekonomi Industri Makanan dan Minuman
Sektor ekonomi industri makanan dan minuman mencakup berbagai kegiatan pembuatan, penyiapan bahan makanan dan minuman. Kegiatan yang mempunyai nilai tambah dan output cukup besar antara lain; penggilingan padi, pengolahan dan pengawetan ikan, pembuatan mie, makaroni dan sejenisnya, pembuatan gula pasir dan tepung terigu. Sektor ini sebagian besar terkonsentrasi di KIMA, kecuali penggilingan padi dan pengolahan hasil pangan lainnya yang menyebar luas di sentra produksi padi dan sentra produksi pangan lainnya. Kondisi ini memberikan kelonggaran bagi lingkungan untuk mengasimilasi limbah yang dihasilkan, sehingga tidak menimbulkan
121 dampak negatif yang nyata. Hal ini diperkuat oleh hasil kajian Bapedalda (2004), yang menyatakan bahwa sektor industri makanan dan minuman secara sendiri-sendiri sampai saat ini tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti terhadap lingkungan hidup. Oleh karena itu biaya eksternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.3.4. Sektor Ekonomi Industri Pupuk dan Pestisida
Provinsi Sulawesi Selatan tidak memiliki industri pupuk dan pestisida, sehingga kebutuhan pupuk dan pestisida daerah ini dipenuhi dari luar daerah. Dengan demikian sektor ini tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga biaya eksternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.3.5. Sektor Ekonomi Industri Semen
Sulawesi Selatan memiliki dua buah industri semen yaitu PT Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep dan PT Bosowa di Kabupaten Maros dengan kapasitas masingmasing 3,48 juta ton/tahun dan 1,8 juta ton/tahun. Pada tahun 2003, kedua perusahaan tersebut masing-masing memproduksi semen sebanyak 2.261.082 ton dan 1.251.541 juta ton, sehingga total produksi semen Sulawesi Selatan sebesar 3.512.623 ton (Indonesia Cement Association, 2004). Menurut Humphreys dan Mahasenan (2002), setiap kg semen yang dihasilkan akan dikeluarkan emisi gas CO2 rata-rata 0,87 kg dengan variasi mulai 0,73 kg sampai 0,99 kg. Emisi gas CO2 tersebut sebagian besar (50%) bersumber dari proses bahan baku batu gamping (CaCO3) menjadi CaO, 40% bersumber dari pemakaian bahan bakar fosil untuk proses produksi, 5% bersumber dari aktivitas transportasi dan 5% bersumber dari penggunaan bahan bakar bagi pembangkit listrik industri semen. Di samping itu, industri semen juga menimbulkan pencemaran berupa debu dan gas-gas lainnya seperti SO2 dan NOx. Pada tahun 2003, industri semen merupakan pencemar debu terbesar yaitu sebesar 27,82 ribu ton atau 32,02% dari total pencemaran seluruh industri pengolahan yang ada di Sulawesi Selatan. Namun karena letak industri semen relatif jauh dari pemukiman padat dan kondisi alamnya yang masih memiliki kemampuan asimilasi limbah cukup baik, maka dampak negatif pencemaran debu diasumsikan masih dapat dinetralisir. Sementara itu, limbah gas-gas lainnya tidak terdeteksi dengan baik, sehingga biaya
122 eksternalitas dari limbah debu dan gas-gas lainnya pada penelitian ini juga diasumsikan masih dapat diasimilasi oleh lingkungan sekitarnya dengan baik sehingga biaya eksternalitasnya juga dapat diabaikan. Dengan demikian biaya eksternalitas sektor ekonomi industri semen yang diperhitungkan hanya berasal dari emisi gas CO2. Berdasarkan asumsi bahwa industri semen di Sulawesi Selatan berproduksi dengan emisi CO2 sebesar 0,87 kg/kg semen, maka total emisi CO2 yang dihasilkan sebesar 3.512.623 ton atau senilai Rp. 158,07 milyar. 5.1.3.6. Sektor Ekonomi Industri Lainnya
Sektor ekonomi ini mencakup berbagai industri selain yang telah diuraikan secara khusus. Industri yang menghasilkan nilai tambah dan output yang cukup besar antara lain: industri kayu lapis, perabotan rumah tangga, industri barang-barang dari bahan bukan logam, industri kertas dan barang-barang dari kertas dan karton, industri kayu gergajian dan industri peralatan angkutan laut. Berdasarkan hasil kajian Bapedalda (2004), sektor ini tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti terhadap lingkungan hidup, sehingga biaya eksternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.4. Sektor Listrik, Gas dan Air Minum
Sektor ekonomi listrik, gas dan air minum merupakan sektor ekonomi yang kegiatannya meliputi: kegiatan pembangkitan dan distribusi tenaga listrik, baik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN), maupun non-PLN, kegiatan produksi, penyediaan dan penyaluran gas, dan kegiatan pembersihan, pemurnian dan penyaluran air ke konsumen rumah tangga ataupun ke sektor ekonomi lainnya. Produksi sub sektor listrik PLN terutama bersumber dari 228 unit generator masing-masing 7 unit PLTA, 3 unit PLTU, 7 unit PLTG dan 211 unit PLTD dengan total daya terpasang 628.671 KW dan daya mampu 561.044 KW. Unit-unit generator tersebut tersebar di 10 unit pembangkit listrik PLN. Sedangkan produksi dan penyediaan gas bersumber dari daerah lain, karena pada tahun 2003 Sulawesi Selatan tidak memproduksi gas. Sementara itu, produksi air minum oleh Perusahaan Air Minum bersumber dari beberapa sungai besar seperti Sungai Jeneberang dan Sungai Tallo. Pada tahun 2003, produksi air yang disalurkan tercatat sebesar 32,1 juta m³ dengan nilai Rp 67,89 milyar (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004).
123 Kegiatan produksi sub sektor listrik berpotensi menimbulkan limbah berupa gas sisa pembakaran BBM bagi pembangkit listrik tenaga diesel, tenaga uap dan tenaga gas, sementara produksi air minum berpotensi menghasilkan limbah dari pemurnian air. Namun pada tahun 2003, dampak negatif sektor ekonomi listrik, gas dan air minum ini relatif kecil. Limbah yang dihasilkan sub sektor listrik yang berhasil diidentifikasi Bapedalda meliputi 300 ton CO2, 6.030 ton NO, 9.080 ton SO2, 60 ton HC dan 480 ton debu, sementara limbah sub sektor gas dan air minum tidak teridentifikasi. Karena limbah yang dihasilkan sektor ini relatif kecil dan masih dapat terasimilasi oleh lingkungan dengan baik, maka biaya eksternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.5. Sektor Bangunan
Sektor ekonomi bangunan merupakan kegiatan konstruksi yang mencakup kegiatan pembuatan, pembangunan, pemasangan dan perbaikan dari semua jenis konstruksi/bangunan. Berbagai jenis konstruksi tersebut meliputi: bangunan tempat tinggal dan bangunan bukan tempat tinggal, pekerjaan umum untuk pertanian, perikanan, peternakan, jalan, jembatan, pelabuhan, bangunan dan instalasi listrik, gas, air minum dan komunikasi, serta bangunan lainnya. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa selama tahun 2003, sektor ini tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti terhadap lingkungan hidup, sehingga biaya eksternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
Sektor ekonomi perdagangan, hotel dan restoran merupakan salah satu sektor yang mengalami pertumbuhan relatif tinggi dibanding sektor lainnya. Sektor ini meliputi: kegiatan perdagangan yaitu kegiatan pengumpulan barang dari produsen maupun pelabuhan impor dan mendistribusikannya kepada konsumen tanpa merubah barang tersebut; kegiatan restoran yaitu kegiatan penyediaan makanan dan minuman jadi yang dapat dinikmati di tempat penjualannya; dan kegiatan perhotelan yaitu kegiatan penyediaan akomodasi untuk umum berupa tempat penginapan untuk jangka waktu relatif singkat. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa selama tahun 2003, sektor ini tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti terhadap lingkungan hidup, sehingga biaya eksternalitasnya dapat diabaikan.
124 5.1.7. Sektor Angkutan dan Komunikasi
Sektor angkutan dan komunikasi meliputi angkutan darat, laut dan udara serta aktivitas komunikasi. Kegiatan angkutan menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan terutama karena limbah dari penggunaan BBM dan kebisingan di sekitar bandara. Namun dampak negatif tersebut tidak begitu berarti karena jumlah kendaraan relatif sedikit dan posisi bandara berada di luar kota. Pencemaran udara karena penggunaan BBM memang dirasakan oleh penduduk kota Makassar yang menampung lebih dari 50% kendaraan bermotor Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil pemantauan di kota Makasar menunjukkan adanya penurunan kualitas udara di beberapa lokasi seperti di Lapangan Karebosi, Simpang tiga Jl Sultan Alaudin dan Jl A.P. Pettarani, dan pasar Panampu. Pada beberapa lokasi tersebut, kualitas udara sedikit berada diatas baku mutu udara Ambien khususnya untuk parameter Pb, H2S dan debu. Tetapi penurunan kualitas udara tersebut tidak sepenuhnya disebabkan oleh kegiatan transportasi, karena pembusukan bahan organik dan kondisi jalan tidak seluruhnya ditutupi aspal juga berkontribusi dalam penurunan kualitas udara di kota Makasar (Bapedalda, 2004). Meskipun demikian, penurunan kualitas udara di kota Makasar tersebut belum menimbulkan gangguan yang nyata bagi penduduk kota Makasar. Sementara itu, kegiatan komunikasi tidak teridentifikasi telah menimbulkan dampak negatif, sehingga biaya ekternalitas dari sektor angkutan dan komunikasi dapat diabaikan. 5.1.8. Sektor Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya
Sektor ekonomi bank dan lembaga ekonomi lainnya mencakup usaha jasa perbankan dan moneter, koperasi simpan pinjam, pedagang valuta asing dan jasa pasar modal, usaha jasa asuransi, persewaan bangunan dan tanah, serta usaha jasa perusahaan seperti pengacara, notaris, akuntan, dan konsultan. Output sektor ekonomi ini meliputi penerimaan provisi dan komisi, penerimaan netto transaksi devisa, selisih penerimaan premi dan klaim, serta jasa-jasa yang diberikan. Proses untuk menghasilkan output tersebut tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti bagi lingkungan hidup, sehingga biaya ekternalitasnya dapat diabaikan.
125 5.1.9. Sektor Jasa
Untuk keperluan penelitian ini, sektor jasa dibedakan antara jasa pemerintah dengan jasa lainnya. Kedua sektor ekonomi jasa tersebut ternyata tidak teridentifikasi menghasilkan biaya atau manfaat eksternalitas dalam proses produksinya. 5.1.9.1. Sektor Ekonomi Jasa Pemerintahan
Sektor ekonomi jasa pemerintahan merupakan sektor penghasil jasa pemerintahan umum dan pertahanan, baik pemerintah pusat provinsi maupun pemerintah daerah. Outputnya dinilai berdasarkan anggaran belanja pemerintah. Dalam proses produksinya, sektor ini tidak menimbulkan dampak negatif yang berarti bagi lingkungan hidup, sehingga biaya ekternalitasnya dapat diabaikan. 5.1.9.2. Sektor Ekonomi Jasa Lainnya
Sektor ekonomi jasa lainnya mencakup berbagai kegiatan penghasil jasa yang meliputi: jasa kemasyarakatan seperti jasa pendidikan, kesehatan, panti asuhan dan lainlain, jasa hiburan dan rekreasi, jasa perbengkelan, jasa perorangan dan rumah tangga seperti tukang cukur, tukang jahit, salon kecantikan, pembantu rumah tangga dan lainlain. Sektor ini dalam proses produksinya tidak menimbulkan dampak negatif yang nyata bagi lingkungan hidup, sehingga biaya eksternalitasnya dapat diabaikan.
126
5.2. Biaya Lingkungan Sebagai Eksternalitas
Hasil analisi dari berbagai sektor perekonomian regional Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa pada tahun 2003 biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas dari berbagai kegiatan perekonomian di Sulawesi Selatan mencapai Rp 1,76 triliun atau 2,53% dari nilai total output. Nilai biaya eksternalitas yang berhasil diidentifikasi dan dianalisis tersebut relatif lebih kecil dari yang seharusnya karena keterbatasan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan. Pada kondisi saat ini, rendahnya biaya lingkungan tersebut masih dapat diterima karena daya dukung lingkungan Sulawesi Selatan untuk mengasimilasi berbagai limbah, baik padatan, cairan maupun gas relatif masih cukup baik. Kemampuan lingkungan memberikan jasa untuk asimilasi limbah tersebut dalam penelitian ini tidak diperhitungkan karena dapat dianggap sebagai penyeimbang dari biaya-biaya lingkungan yang tidak bisa diperhitungkan. Beban biaya eksternalitas yang terbesar dihasilkan oleh sektor perkebunan selain kopi dan kakao yaitu sebesar Rp 754,28 milyar. Biaya eksternalitas terbesar berikutnya adalah dari sektor ekonomi padi, kakao, kopi dan industri semen yaitu masing-masing Rp 315,23 milyar, Rp. 283,17 milyar, Rp. 179,95 milyar dan Rp. 158,07 milyar (Tabel 19). Tabel 19. Biaya ekternalitas berbagai sektor ekonomi, 2003 Sektor Ekonomi
Padi Tabama lainnya Kopi Kakao Perkeb. Lainnya Peternakan Industri semen Lainnya Total
Erosi
KR Tata CO2 CH4 N2O Total (Persen hayati air dari Output) ……………………….. (Rp milyar ) ……………… 2,53 0 0 0 307,80 4,90 315,23 6,47 14,40 0,80 0,95 6,83 0 0 22,97 0,73 178,97 0,36 0,44 0,18 0 0 179,95 63,58 277,40 1,23 1,47 3,07 0 0 283,17 10,95 750,86 0,73 0,87 1,82 0 0 754,28 31,62 0 0 0 0 50,76 0 50,76 7,21 0 0 0 158,07 0 0 158,07 6,00 0 0 0 0 0 0 0,00 0,00 1.224,16 3,12 3,73 169,97 358,56 4,90 1.764,43 2,53
Pada Tabel 19. tersebut tampak bahwa biaya eksternalitas persatuan output terbesar adalah dari sektor ekonomi kopi dengan pangsa 63,58%. Hal ini berarti bahwa setiap peningkatan satu satuan nilai output menimbulkan biaya eksternalitas sebesar
127 0,6358 satuan. Sementara sektor ekonomi kakao menibulkan biaya eksternalitas sebesar 0,1095 satuan untuk setiap peningkatan satu satuan nilai output. Secara keseluruhan beban biaya eksternalitas berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regioanl Sulawesi Selatan relatif kecil yaitu sebesar 2,53% dari nilai output total perekonomian regional. Hal ini disebabkan oleh berbagai keterbatasan terutama terbatasnya ketersediaan data dan informasi. Oleh karena itu perlu kajian yang lebih mendalam mengenai biaya eksternalitas khususnya terhadap sektor-sektor ekonomi yang secara teoritis menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan seperti pertambangan nikel dan industri semen. Melalui kajian tersebut diharapkan dapat diperoleh informasi/gambaran peran yang sesungguhnya dan biaya eksternalitas masingmasing sektor ekonomi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Disadari bahwa penelitian ini belum sepenuhnya dapat mengungkap besarnya biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas, tetapi sebagai langkah awal keberhasilan mengungkapkan adanya beban biaya eksternalitas tersebut diharapkan dapat menjadi informasi yang berharga sebagai peringatan dini untuk ditindak lanjuti. Adanya biaya eksternalitas meskipun nilainya relatif kecil, perlu diperhitungkan dan diwaspadai karena pada umumnya biaya eksternalitas bersifat kumulatif dan menjadi beban yang makin besar bagi generasi berikutnya. Beban biaya eksternalitas yang teridentifikasi dalam penelitian ini sebagian besar (69,38%) merupakan biaya pengganti unsur hara yang hilang akibat erosi. Kehilangan unsur hara secara terus menerus akan menyebabkan lahan terdegradasi dan akan memperluas lahan kritis di Sulawesi Selatan. Meluasnya lahan kritis berpotensi menimbulkan berbagai dampak negatif bagi lingkungan dan akan menjadi beban bagi masyarakat sekitarnya karena rawan terhadap bencana alam berupa banjir, tanah longsor dan kekeringan. Pada akhir Pelita VI, di Sulawesi Selatan terdapat lebih dari sejuta ha lahan kritis masing-masing 581.297 ha di dalam kawasan hutan dan 451.505 ha di luar kawasan hutan dan diperkirakan terus meluas dengan laju 1-2% per tahun. Di sisi lain kegiatan untuk merehabilitasi lahan kritis berjalan lambat dan biayanya cukup mahal. Kegiatan rehabilitasi lahan kritis sejak tahun 1999 sampai tahun 2002 hanya seluas 74.241 ha dari 580.279 ha yang direncanakan atau rata-rata hanya 18.560 ha/tahun dan sebagian besar (77,7%) berada diluar kawasan hutan.
128 Lebih lanjut, besarnya tanah yang tererosi akan menimbulkan dampak turunan berupa pendangkalan sungai, danau dan perairan pantai, sehingga merugikan masyarakat. Kasus pendangkalan danau yang dampak negatifnya sudah sangat dirasakan masyarakat adalah pendangkalan Danau Sidenreng di Kabupaten Sidrap dan Danau Buaya serta Danau Tempe di Kabupaten Wajo. Ketiga danau tersebut tidak lagi dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan air tawar karena pada musim kemarau mengalami kekeringan dan meluap atau menimbulkan banjir pada musim hujan. Di samping itu berbagai potensi ekonomi khususnya perikanan air tawar ketiga danau tersebut terus menurun. Oleh karena perlu adanya kebijakan terutama yang menyangkut penataan ruang wilayah dan penegakan hukum bagi setiap pelanggaran. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi terkini, sehingga perlu direvisi. Menurut hasil kajian Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan (2004), kebijakan tata ruang di setiap kabupaten pada umumnya lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi jangka pendek dan kurang berpihak pada kepentingan kelestarian lingkungan. Penetapan fungsi kawasan, khususnya kawasan non budidaya/kawasan lindung dan kawasan konservasi serta pelestarian alam tidak didasarkan pada kriteria-kriteria yang tepat. Faktor lereng, sifat dan ciri tanah, intensitas curah hujan, kondisi sosial budaya, struktur pemilikan lahan adat dan lain-lain tidak digunakan secara tepat dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kecamatan. Kondisi ini menuntut perlunya dilakukan revisi terhadap rencana tata ruang wilayah, baik pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten/kota. Revisi terhadap rencana tata ruang wilayah Provinsi Sulawesi Selatan hendaknya dilakukan berdasarkan pendekatan ekosistem yaitu ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk daerah daratan dan pegunungan (terrestrial) dan ekosistem wilayah pesisir dan pantai (WPP) untuk wilayah bawah. Sementara itu kebijakan tata ruang kabupaten/kota disusun mengacu pada tata ruang provinsi yang didasarkan pada pendekatan
ekosistem-ekosistem
utama/lintas
kabupaten.
Dengan
menggunakan
pendekatan ini, RTRW yang dihasilkan diharapkan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan khususnya kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup.
129 Dengan kondisi yang ada saat ini, revisi terhadap rencana tata ruang wilayah (RTRW) dapat menimbulkan permasalahan baru terutama apabila sebagian ruang telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang kurang sesuai dengan prinsip dasar revisi RTRW. Sebagai contoh, pada beberapa kawasan non budidaya pertanian telah dimanfaatkan untuk budidaya kakao. Apabila secara teknis dan ekologis pemanfaatan ruang tersebut masih layak dipertahankan maka perlu adanya perbaikan sistem budidaya kearah budidaya konservasi yang berwawasan lingkungan. Perbaikan sistem budidaya ini merupakan salah satu alternatif aplikasi atau penerapan internalisasi biaya eksternalitas, sehingga dapat memperkecil atau menghilangkan biaya lingkungan yang diperlakukan sebagai biaya eksternalitas. Namun apabila secara teknis dan ekologis pemanfaatan ruang kawasan nonbudidaya pertanian tersebut tidak layak untuk dipertahankan, maka perlu upaya untuk mengembalikan pemanfaatan ruang sesuai dengan RTRW hasil revisi agar tidak melanggar peraturan. Sebagai contoh, adanya perkebunan kakao di kawasan DAS yang seharusnya menjadi kawasan lindung, maka perlu dilakukan penyesuaian atau perbaikan dengan mengembalikannya menjadi kawasan hutan lindung. Mekanisme pengembalian kawasan tersebut dapat dilakukan secara bertahap dengan cara penyisipan tanaman kehutanan dan mengurangi tanaman kakao hingga pada akhirnya terbentuk kawasan hutan lindung sesuai dengan RTRW. Langkah ini perlu ditempuh untuk menjaga keberlanjutan pembangunan dan menghindari dampak kerusakan lingkungan, sehingga sasaran pembangunan untuk mensejahterakan seluruh masyarakat dapat terwujud.
VI. PERAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL
Pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan biofisik, terutama pada tahap awal pengembangannya dan pada saat kondisi kebun kakao rusak karena tidak terawat. Nilai kerusakan lingkungan yang teridentifikasi dan masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas relatif besar yaitu lebih dari 10% nilai output sektor ekonomi kakao. Oleh karena itu dalam rangka melaksanakan pembangunan perkebunan kakao yang berkelanjutan, berbagai biaya eksternalitas tersebut perlu diinternalisasikan dalam proses produksi sehingga peran sektor ekonomi kakao yang diperhitungkan tidak bersifat semu dan dampak negatif pengembangan areal perkebunan kakao dapat diminimalisir. Internalisasi biaya eksternalitas dapat dilakukan dengan penerapan teknologi budidaya konservasi seperti pembuatan teras sehingga dapat memperbaiki tata air, mengurangi laju erosi dan kehilangan unsur hara. Penerapan teknologi konservasi memang membutuhkan biaya yang lebih besar dari pada sistem budidaya tradisional, tetapi teknologi konservasi akan memberikan manfaat yang cukup besar terutama dalam mendukung terlaksananya siklus hara secara baik dan penyediaan/resapan air yang lebih baik, sehingga kesuburan tanah tetap terpelihara dan produktif dalam jangka panjang. Petani kakao di Sulawesi Selatan umumnya tidak menerapkan teknologi budidaya konservasi dan hanya memberikan masukan/input pupuk yang relatif rendah,
sehingga
produktivitas
perkebunan
kakao
hanya
sekitar
40-50%
produktivitas potensialnya (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004). Meskipun demikian, usahatani kakao di daerah ini masih tetap menguntungkan dan peran sektor ekonomi kakao semakin nyata. Berikut ini akan diuraikan secara singkat perkembangan peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan.
131
6.1. Peran Kakao dalam Struktur Perekonomian Regional
Kakao merupakan salah satu sektor ekonomi yang mengalami perkembangan paling pesat diantara berbagai sektor yang tergabung dalam sektor pertanian dalam arti luas. Perkembangan sektor ekonomi kakao dapat diamati sejak sektor ekonomi kakao menjadi salah satu sektor ekonomi tersendiri yang diperhitungkan dalam analisis Tabel Input-Output Regional Sulawesi Selatan tahun 1995. Kakao muncul sebagai salah satu sektor ekonomi dengan perkembangan kontribusi yang cukup nyata bagi peningkatan nilai output, nilai tambah bruto dan ekspor regional Sulawesi Selatan serta penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 1995, sektor ekonomi kakao telah memberikan kontribusi output sebesar Rp 229,83 milyar atau 1,38 % dari total output regional Sulawesi Selatan. Output sektor ekonomi kakao mengalami peningkatan cukup tajam menjadi Rp 1,21 triliun pada tahun 2000 atau meningkat lebih dari lima kali lipat dari output tahun 1995. Dengan nilai output sebesar Rp 1,21 triliun tersebut, kakao memberikan kontribusi sebesar 2,76% dari total output regional Sulawesi Selatan. Selanjutnya kontribusi sektor kakao terus meningkat dan pada tahun 2003, kakao memberikan kontribusi output sebesar 3,70%. Selaras
dengan
perkembangan
kontribusi
kakao
terhadap
output,
kontribusinya terhadap PDRB juga terus meningkat. Pada tahun 1995, sektor ekonomi kakao memberikan kontribusi sebesar Rp 215,63 milyar atau 2,07% dari total PDRB. Kontribusi sektor ekonomi kakao tersebut meningkat menjadi Rp 1,06 triliun atau 3,81% dari total PDRB Sulawesi Selatan pada tahun 2000 dan meningkat lagi menjadi Rp 2,23 triliun atau 5,21% total PDRB Sulawesi Selatan pada tahun 2003. Lebih lanjut, sektor ekonomi kakao makin memantapkan diri sebagai salah satu sektor ekonomi penghasil ekspor dan perdagangan antar provinsi yang diunggulkan selain nikel. Pada tahun 2003, nilai ekspor kakao tercatat sebesar Rp 2,502 triliun atau 22,74% dari total ekspor dan perdagangan antar provinsi. Pangsa nilai ekspor dan perdagangan antar provinsi sektor kakao tersebut sedikit dibawah pangsa nilai ekspor nikel yang besarnya mencapai Rp 2,771 triliun atau 25,18%. Di
132
samping itu, sektor ekonomi kakao memberikan kontribusi yang cukup nyata bagi penyerapan tenaga kerja di pedesaan, khususnya di sentra-sentra produksi kakao. Pada tahun 1995, perkebunan kakao telah menyerap sebanyak 86.394 orang tenaga kerja. Jumlah penyerapan tenaga kerja tersebut terus meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2003. 6.1.1. Peran Kakao dalam Pembentukan Output
Struktur output perekonomian regional Sulawesi Selatan tahun 2003 mengalami sedikit pergeseran, dimana sektor pertanian yang selama ini mendominasi pangsa output tergeser oleh sektor industri. Pada tahun 2003, sektor industri memberikan kontribusi output sebesar Rp 18,94 triliun atau 27,1% dari total output regional Sulawesi Selatan. Sementara itu, sektor pertanian dalam arti luas yang selama ini memberikan kontribusi output terbesar mengalami penurunan pangsa dari 28,63% pada tahun 2000 menjadi 25,54% pada tahun 2003. Pada sektor pertanian, penyumbang output tertinggi diduduki sektor padi dengan nilai Rp 4,876 triliun atau 6,98% dari total output dan berada pada posisi ke4 terbesar penghasil ouput dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis. Posisi padi tersebut naik tiga tingkat dibanding posisi tahun 2000 dengan menggeser sektor angkutan dan telekomunikasi, sektor tanaman bahan makanan lainnya dan sektor bangunan. Sementara itu sektor kakao memberikan kontribusi output sebesar Rp 2,586 triliun atau 3,70% dari total output dan berada pada posisi ke-12 penghasil output terbesar dari 25 sektor ekonomi. Posisi tersebut naik 2 tingkat dibanding posisi pada tahun 2000 dan berada di atas sektor perkebunan lainnya (Tabel 20).
133
Tabel 20. Posisi nilai output berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan, tahun 2000 dan 2003 Pering kat. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama Sektor Ekonomi Indust Makanan & minuman Perdag-Hotel-Rst Jasa Pemerintahn Bangunan Tabama lainnya Angkutan-Kmnks Padi Industri lainnya Tambang nekel Perkeb. Lainnya Budidaya udang Bank-Lkeuangan Perikan laut Kakao Industri semen Kopi Budidaya bandeng, & ikan Jasa Lainnya Listrik, Gas, Air Ind kopi giling dan kupasan Tambang & Gln lainnya Peternakan Ind biji-n, cokelat & k. gula Kehutanan Industri pupuk pestisida Jumlah
Output 2000 (Rp juta) (%) 7.086.738 16,14 5.372.336 12,23 3.945.438 8,98 3.186.012 7,25 2.922.395 6,65 2.805.181 6,39 2.346.455 5,34 2.275.523 5,18 2.257.551 5,14 1.703.523 3,88 1.336.291 3,04 1.317.273 3,00 1.302.922 2,97 2,76 1.212.875 933.056 2,12 697.640 1,59 641.683 1,46 516.864 1,18 508.293 1,16 461.350 1,05 459.316 1,05 335.210 0,76 218.206 0,50 73.294 0,17 412 0,00 43.915.838 100,00
Nama Sektor Ekonomi Indust Makanan & minuman Perdag-Hotel-Rst Jasa Pemerintahn Padi Bangunan Angkutan-Kmnks Industri lainnya Tabama lainnya Tambang nekel Bank-Lkeuangan Industri semen Kakao Perkeb. Lainnya Budidaya udang Perikan laut Listrik, Gas, Air Ind. kopi giling & kupasan Budidaya bandeng, & ikan Peternakan Ind bijian, cokelat & k. gula Jasa Lainnya Tambang & Gln lainnya Kopi Kehutanan Industri pupuk pestisida Jumlah
Output 2003 (Rp juta) 11.294.326 9.100.364 6.628.179 4.875.512 4.768.562 4.652.510 3.566.140 3.147.259 3.075.889 2.986.037 2.634.467 2.585.784 2.385.799 1.560.485 1.450.536 935.053 811.002 734.337 704.187 581.711 507.158 440.360 287.532 115.358 50.265 69.878.813
(%) 16,16 13,02 9,49 6,98 6,82 6,66 5,10 4,50 4,40 4,27 3,77 3,70 3,41 2,23 2,08 1,34 1,16 1,05 1,01 0,83 0,73 0,63 0,41 0,17 0,07 100,00
Pada Tabel 20 tampak adanya pergeseran posisi dari berbagai sektor ekonomi, beberapa mengalami kenaikan dan beberapa sektor ekonomi mengalami penurunan posisi. Sektor ekonomi yang mengalami peningkatan posisi selain padi dan kakao adalah sektor ekonomi industri semen, sektor industri lainnya, bank dan lembaga keuangan lainnya, listrik-gas dan air, industri kopi giling dan kupasan, peternakan dan sektor industri biji-bijian, cokelat dan kembang gula. Sementara itu, ada beberapa sektor ekonomi yang mengalami penurunan posisi antara lain; sektor kopi, sektor tanaman bahan makanan lainnya, perkebunan selain kopi dan kakao, perikanan laut dan sektor jasa lainnya.
134
6.1.2. Peran Kakao dalam Menghasilkan PDRB
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Selatan mengalami peningkatan cukup tajam dari Rp 27,75 triliun pada tahun 2000 menjadi Rp 42,87 triliun pada tahun 2003 atau meningkat Rp 15,12 triliun (54,47 %). Persentase peningkatan PDRB yang terbesar dialami oleh sektor industri semen yang nilainya meningkat hampir 3 kali lipat yaitu dari Rp 598,3 milyar menjadi Rp 1.765,9 milyar atau naik 195,2%. Persentase peningkatan nilai PDRB terbesar berikutnya adalah sektor kakao yang mengalami peningkatan dari Rp 1.058,1 milyar menjadi Rp 2.233,8 milyar atau meningkat 111,11%. Sementara itu, sektor lainnya mengalami peningkatan nilai PDRB yang bervariasi, bahkan ada beberapa sektor ekonomi yang mengalami kemerosotan nilai PDRB seperti: sektor ekonomi kopi, sektor tambang dan galian, serta sektor jasa lainnya. Adanya perbedaan besarnya perubahan nilai PDRB yang dialami masingmasing sektor ekonomi tersebut menyebabkan terjadinya pergesaran posisi dalam memberikan kontribusi nilai PDRB perekonomian regional Sulawesi Selatan. Dalam struktur perekonomian yang disederhanakan menjadi 25 sektor, sektor industri semen yang pada tahun 2000 berada pada posisi 15 naik ke posisi 11 pada tahun 2003. Sementara sektor kakao yang pada tahun 2000 berada pada posisi 12, naik ke posisi 7 pada tahun 2003. Sektor-sektor yang mengalami peningkatan posisi adalah sektor padi, angkutan dan komunikasi, bank dan lembaga ekonomi lainnya, peternakan, listrik-gas dan air, industri biji-bijian, cokelat dan kembang gula, serta sektor industri kopi giling dan kupasan. Sedangkan sektor-sektor yang mengalami penurunan posisi adalah sektor tanaman bahan makanan lainnya, tambang nikel, industri makanan dan minuman, perkebunan lainnya, bangunan, perikanan laut, industri lainnya, budidaya udang, budidaya bandeng dan ikan, kopi, tambang dan galian lainnya, serta sektor kehutanan (Tabel 21).
135
Tabel 21. Posisi berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan berdasarkan PDRB, tahun 2000 dan 2003 Pering kat. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama Sektor Ekonomi Perdag-Hotel-Rst Jasa Pemerintahn Tabama lainnya Padi Tambang nekel Angkutan-Kmnks Ind Makanan & minuman Perkeb. Lainnya Bangunan Perikan laut Industri lainnya Kakao Budidaya udang Bank-Lkeuangan Industri semen Budidaya bandeng, & ikan Kopi Tambang & Gln lainnya Jasa Lainnya Peternakan Listrik, Gas, Air Kehutanan Ind bijian, cokelat & k gula Ind kopi giling dan kupasan Industri pupuk pestisida Jumlah
PDRB 2000 (Rp juta) 4.027.136 2.868.876 2.599.135 2.050.743 2.021.247 1.789.023 1.511.015 1.378.825 1.174.807 1.066.951 1.058.399 1.058.088 1.039.655 1.036.544 598.322 541.021 521.471 394.032 363.061 279.247 268.935 63.837 29.536 8.389 146 27.748.441
(%) 14,51 10,34 9,37 7,39 7,28 6,45 5,45 4,97 4,23 3,85 3,81 3,81 3,75 3,74 2,16 1,95 1,88 1,42 1,31 1,01 0,97 0,23 0,11 0,03 0,00 100,00
Nama Sektor Ekonomi Perdag-Hotel-Rst Jasa Pemerintahn Padi Angkutan-Kmnks Tabama lainnya Tambang nekel Kakao Bank-Lkeuangan Perkeb. Lainnya Bangunan Industri semen Industri lainnya Ind Makanan & minuman Budidaya udang Perikan laut Peternakan Budidaya bandeng & ikan Listrik, Gas, Air Ind kopi giling & kupasan Tambang & Gln lainnya Jasa Lainnya Ind bijian, cokelat & k gula Kopi Kehutanan Industri pupuk pestisida Jumlah
PDRB 2003 (Rp juta) (%) 6.353.926 14,82 4.599.964 10,73 4.256.270 9,93 2.855.224 6,66 2.855.086 6,66 2.759.380 6,44 2.233.829 5,21 2.109.337 4,92 2.020.151 4,71 1.870.277 4,36 1.765.854 4,12 1.631.152 3,81 1.615.354 3,77 1.270.541 2,96 1.243.689 2,90 603.770 1,41 602.511 1,41 474.726 1,11 417.871 0,97 373.161 0,87 333.609 0,78 270.628 0,63 232.240 0,54 102.599 0,24 16.975 0,04 42.868.122 100,00,
6.1.3. Kontribusi Kakao bagi Penerimaan Ekspor
Sebagaimana dikemukakan bahwa kakao telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi output dan PDRB perekonomian regional Sulawesi Selatan. Di samping itu kakao mempunyai peran yang sangat penting dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan khususnya dalam menciptakan surplus perdagangan, melalui ekspor dan perdagangan antar provinsi. Sektor ekonomi kakao mengalami perkembangan pangsa ekspor dan perdagangan antar provinsi yang sangat pesat dibanding sektor lainnya.
136
Pada tahun 1995, sektor ekonomi kakao memberikan sumbangan ekspor dan perdagangan antar provinsi sebesar Rp 245 milyar atau 8,13% dari total ekspor dan perdagangan antar provinsi Sulawesi Selatan. Dengan pangsa ekspor sebesar 8,13% tersebut, kakao berada pada posisi ke lima penghasil ekspor terbesar setelah sektor beras (industri makanan dan minuman), tambang nikel, industri lainnya dan jasa perdagangan, hotel dan restoran. Memasuki tahun 2000, nilai ekspor dan perdagangan antar provinsi sektor ekonomi kakao meningkat menjadi Rp 1,2574 triliun atau 12,44% dari total ekspor dan perdagangan antar provinsi Sulawesi Selatan. Dengan pangsa sebesar 12,44% tersebut, sektor ekonomi kakao menempati posisi ketiga terbesar penghasil ekspor dan perdagangan antar provinsi setelah nikel dan industri makanan dan minuman. Pada tahun 2003,
pangsa ekspor kakao
meningkat menjadi Rp 2,5028 triliun atau 22,74% dari total ekspor dan perdagangan antar provinsi Sulawesi Selatan dan hanya sedikit berada dibawah nikel yang pangsa ekspornya sebesar 25,18% (Tabel 22). Pada Tabel 22 tersebut tampak bahwa sektor ekonomi kakao mengalami perkembangan yang sangat pesat dan menjadi salah satu penghasil ekspor utama Sulawesi Selatan. Sementara sektor ekonomi lainnya mengalami perkembangan ekspor dan perdagangan antar provinsi yang relatif lambat, kecuali sektor industri semen.
Sektor industri semen mengalami perkembangan pesat beberapa tahun
terakhir. Pangsa ekspor dan perdagagan antar provinsi sektor industri semen pada tahun 1995 hanya sebesar 2,07%, kemudian meningkat menjadi 3,55% pada tahun 2000 dan meningkat tajam menjadi 9,31% pada tahun 2003. Dengan perkembangan yang begitu pesat, sektor industri semen yang pada tahun 2000 berada pada posisi ke-10 penghasil ekspor dan perdagangan antar provinsi, naik ke posisi 5.
137
Tabel 22. Perkembangan nilai ekspor dan perdagangan antar provinsi berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan Nama Sektor Tambang nekel Kakao Indust Makanan & minuman Perdag-Hotel-Rst Industri semen Perkebunan lainnya Peternakan Budidaya udang Industri biji-bijan, cokelat & k gula Padi Angkutan-Kmnks Industri kopi giling dan kupasan Kopi Industri lainnya Budidaya bandeng, ikan & lainnya Kehutanan Tambang & Gln lainnya Tabama lainnya Bank-Lkeuangan Perikan laut Jasa Lainnya Industri pupuk pestisida Listrik, Gas, Air Bangunan Jasa Pemerintahn Total ekspor & perdagangan antar Propinsi
1995 (Rp juta) 626.906,71 244.996,15 949.780,35 337.188,04 6.2283,1 40.478,07 13.668,75 212.170,98 15.000,22 0,00 35.935,62 12451 75.681,18 337.490,73 527,23 4.091,87 1.302,38 41.810,71 0,00 527,23 0,00 1.151,19 0,00 0,00 0,00 3.013.441,50
2000 (Rp juta) 2.248.834,55 1.257.409,23 2.110.603,90 1.167.452,49 359.420,57 468.220,28 70.960,02 477.635,36 434.871,43 0,00 266.258,09 311,23 273.133,34 454.521,12 15.416,43 6.921,49 6.174,85 491.278,32 0,00 1.385,55 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 10.110.808,26
2003 (Rp juta) 2.771.053,73 2.502.803,18 1.889.525,09 1.380.766,77 1.024.251,70 428.868,24 267.442,25 240.973,56 181.542,74 117.715,80 75.716,22 37.305,68 29.081,10 22.983,36 17.094,08 7.674,70 6.846,82 1.854,99 1.836,61 1.536,33 210,85 0,00 0,00 0,00 0,00 11.007.083,79
6.1.4. Peran Kakao dalam Penyerapan Tengga Kerja
Pesatnya perkembangan areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan berdampak nyata terhadap penyerapan tenaga kerja. Peningkatan luas areal yang diikuti dengan peningkatan produksi kakao memberikan kesempat kerja yang luas bagi masyarakat, baik secara langsung di perkebunan kakao, maupun pada sektorsektor yang terkait seperti perdagangan hasil kakao, industri pengolahan hasil kakao maupun pada sektor penyediaan input produksi perkebunan kakao. Pada tahun 1995, kesempatan kerja yang disediakan langsung oleh sektor ekonomi kakao mencapai 86.294 orang atau 3,31% pekerja Sulawesi Selatan.
138
Selanjutnya kesempatan kerja yang disediakan langsung oleh sektor ekonomi kakao meningkat lebih dari dua kali lipat yaitu sebesar 183.948 orang atau 6,02% dari total agkatan kerja yang bekerja pada tahun 2003. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa sektor ekonomi kakao ikut berperan nyata dalam menyediakan kesempatan kerja bagi masyarakat Sulawesi Selatan. 6.2. Peran Kakao Bagi Pertumbuhan Ekonomi Regional
Sektor ekonomi kakao merupakan salah satu sektor perekonomian yang mengalami perkembangan cukup pesat dan secara langsung ikut memacu perkembangan ekonomi regional Sulawesi Selatan. Perkembangan ekonomi regional (PDRB) Sulawesi Selatan selama tiga tahun terakhir atas dasar harga berlaku ratarata 18,16% per tahun, sementara laju perkembangan sektor kakao mencapai 37,04% atau lebih dari dua kali lipat laju perkembangan ekonomi regional Sulawesi Selatan. Meskipun demikian sebagai suatu sektor ekonomi yang reatif baru berkembang, sektor ekonomi kakao mempunyai efek pengganda terhadap output, pendapatan, dan tenaga kerja, serta keterkaitan dengan sektor ekonomi lainnya relatif masih rendah. 6.2.1. Peran Kakao dalam Pengganda Output
Sektor ekonomi kakao mempunyai nilai pengganda ouput relatif kecil dibandingkan sektor ekonomi lainnya. Nilai pengganda output total sektor kakao adalah sebesar 1,4938 yang terdiri dari pengganda awal sebesar 1,0000 diikuti dengan pengganda tahap pertama sebesar 0,1361 dan pengganda industri sebesar 0,0144, serta pengganda konsumsi rumahtangga sebesar 0,3433. Hal ini berarti bahwa setiap peningkatan satu satuan permintaan akhir kakao akan menyebabkan terjadinya peningkatan output total perekonomian regional Sulawesi Selatan sebesar 1,4938 satuan. Peningkatan output tersebut masing-masing sebesar satu satuan sebagai dampak awal dan akan berdampak langsung ke sektor penyedia input sebesar 0,1361 satuan (efek putaran pertama). Kemudian diikuti oleh peningkatan output sebagai efek dukungan industri sebesar 0,0144 satuan dan efek induksi konsumsi rumahtangga sebesar 0,3433 satuan.
139
Dengan nilai pengganda output sebesar 1,4938 tersebut sektor ekonomi kakao berada pada peringkat ke 19 dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis. Posisi tersebut sedikit lebih baik dari sektor industri pupuk dan pestisida, kehutanan, tambang dan galian lainnya, industri lainnya, tanaman bahan makanan lainnya dan sektor padi. Posisi teratas dalam pengganda output perekonomian regional Sulawesi Selatan ditempati oleh sektor ekonomi jasa pemerintahan dengan nilai pengganda 2,8396. Sektor berikutnya yang nilai pengganda outputnya relatif besar adalah sektor industri makanan minuman, sektor bangunan, sektor industri kopi giling dan kupasan, serta sektor industri biji-bijian, cokelat dan kembang gula (Lampiran 7). 6.2.2. Peran Kakao dalam Pengganda Pendapatan
Sektor ekonomi kakao mempunyai nilai pengganda pendapatan total sebesar 0,2180 dan berada pada posisi 15 dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan permintaan akhir sektor ekonomi kakao sebesar satu satuan akan meningkatkan pendapatan sektor perekonomian sebesar 0,2180 satuan. Sektor ekonomi kakao berada pada posisi pertengahan dalam hal pengganda pendapatan. Sektor ekonomi yang memiliki nilai pengganda pendapatan total tertinggi adalah sektor jasa pemerintahan yaitu sebesar 0,8798, disusul sektor jasa lainnya, sektor industri kopi giling dan kupasan, serta sektor industri biji-bijian, cokelat dan kembang gula, serta sektor bangunan (Lampiran 8). Lebih lanjut, pada Lampiran 8 tampak bahwa pengganda pendapatan tipe II sektor kakao adalah sebesar 1,2666 yang berarti bahwa setiap peningkatan satu satuan pendapatan sektor ekonomi kakao akan meningkatkan pendapatan seluruh sektor ekonomi sebesar 1,2666 satuan. Nilai pengganda pendapatan tipe II sektor kakao tersebut terendah dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis. Sedangkan nilai pengganda pendapatan tertinggi ditempati oleh sektor industri makanan dan minuman dengan nilai pengganda tipe II sebesar 4,9633. Sektor ekonomi berikutnya yang mempunyai nilai pengganda tipe II cukup besar adalah sektor perbankan dan lembaga ekonomi lainnya dengan nilai pengganda sebesar 2,1821, sektor industri biji-bijian, cokelat dan kembang gula dengan nilai pengganda sebesar 1,9675 serta sektor industri kopi giling dan kupasan dengan nilai pengganda sebesar 1,9119.
140
6.2.3. Peran Kakao dalam Pengganda Tenaga Kerja
Sektor ekonomi kakao mempunyai nilai pengganda total tenaga kerja sebesar 0,0889 yang berarti bahwa setiap peningkatan permintaan akhir sebesar satu satuan (juta rupiah) akan menciptakan kesempatan kerja sebesar 0,0889 orang. Nilai pengganda tenaga kerja tersebut berada pada posisi 14 dari 25 sektor yang dianalisis. Posisi teratas ditempati sektor jasa lainnya dengan nilai pengganda total tenaga kerja sebesar 0,3912. Sektor ekonomi yang memiliki nilai pengganda tertinggi berikutnya adalah sektor kopi, sektor budidaya bandeng, ikan dan lainnya, sektor tanaman bahan makanan lainnya dan sektor padi (Lampiran 9). Lebih lanjut, pada Lampiran 9 tampak bahwa nilai pengganda tenega kerja tipe II sektor kakao adalah sebesar 1,2495 yang berarti bahwa setiap peningkatan satu orang pekerja di sektor kakao akan menciptakan kesempatan kerja dalam perekonomian secara keseluruhan sebesar 1,2495 orang termasuk dari sektor ekonomi kakao. Dengan nilai pengganda tipe II sebesar 1,2495 tersebut, sektor ekonomi kakao berada pada peringkat ke 21 dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis. Nilai pengganda tenaga kerja tertinggi ditempati oleh sektor ekonomi nikel yaitu sebesar 28,3661 disusul sektor industri semen, industri makanan dan minuman, industri kopi giling dan kupasan, serta sektor industri biji-bijian, cokelat dan kembang gula.
6.2.4. Keterkaitan dengan Sektor Ekonomi Lainnya
Sektor ekonomi kakao mempunyai nilai koefisien penyebaran (daya menarik) dan kepekaan penyebaran (daya mendorong) yang relatif rendah yaitu masing masing sebesar 0,8457 dan 0,7403 (Lampiran 10). Hal ini berarti bahwa setiap peningkatan atau pertumbuhan ekonomi regional satu persen, maka akan menarik pertumbuhan sektor ekonomi kakao sebesar 0,8457% dan setiap peningkatan atau pertumbuhan sektor ekonomi kakao satu persen, hanya mampu menggerakkan atau mendorong pertumbuhan ekonomi regional sebesar 0,7403%. Sektor ekonomi yang mempunyai daya tarik paling tinggi adalah sektor industri makanan dan minuman dengan koefisien penyebaran 1,5541, disusul sektor
141
bangunan, sektor industri kopi giling dan kupasan serta sektor industri biji-bijian, cokelat dan kembang gula. Sedangkan sektor ekonomi yang mempunyai daya dorong paling tinggi adalah sektor industri lainnya dengan kepekaan penyebaran 2,1923, disusul sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor padi dan sektor angkutan dan komunikasi. Rendahnya nilai keterkaitan sektor ekonomi kakao tersebut disebabkan oleh belum berkembangnya sektor ekonomi yang mendukung pengembangan sektor ekonomi kakao maupun sektor ekonomi yang memanfaatkan produksi kakao. Dalam menghasilkan output, sektor ekonomi kakao menggunakan lebih dari 77% input antara bersumber dari impor atau luar Provinsi Sulawesi Selatan. Di sisi lain output sektor ekonomi kakao yang digunakan sebagai input antara sektor ekonomi lainnya sangat kecil yaitu 0,35% dari total output kakao. Sebagian besar (lebih dari 96%) output kakao diekspor dan sekitar 2,9% dari total output kakao dijadikan sebagai stok, yang pada akhirnya juga akan diekspor. Kondisi ini kurang menguntungkan bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan, karena sektor ekonomi kakao yang mempunyai peran yang cukup besar dalam pembentukan output, nilai PDRB dan penyerapan tenaga kerja belum mampu menarik sektor hulu maupun mendorong sektor hilirnya untuk berkembang lebih pesat, sehingga dampak pengembangan sektor ekonomi kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan belum optimal. Pengembangan industri pengolahan kakao, industri makanan dan minuman maupun industri lainnya yang berbasis pertanian merupakan langkah yang strategis untuk memacu perkembangan ekonomi regional Sulawesi Selatan. Industri pengolahan kakao, industri makanan dan minuman serta industri yang berbasis pertanian lainnya merupakan sektor-sektor ekonomi yang potensial untuk dikembangkan karena mempunyai keterkaitan kebelakang (daya tarik) yang cukup kuat dan mempunyai nilai pengganda output, pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerja yang relatif besar. Dengan berkembangnya sektor industri pengolahan kakao (cokelat) maka nilai tambah yang dapat diraih akan meningkat, harga biji kakao relatif stabil dan petani akan lebih bergairah mengelola kebun kakaonya,
142
sehingga akan lebih menjamin keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. 6.2.5. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Biaya Eksternalitas
Pertumbuhan ekonomi secara langsung akan mempengaruhi beban biaya eksternalitas suatu sektor ekonomi selaras dengan pengganda output sektor ekonomi yang bersangkutan. Dalam suatu sistem perekonomian regional, beban biaya eksternalitas suatu sektor ekonomi akan ditransmisikan atau disebarkan ke sektor ekonomi lainnya yang terkait, sehingga masing-masing sektor yang terkait mempunyai andil dalam menggandakan efek dari eksternalitas suatu sektor ekonomi. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai pengganda biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao adalah sebesar 0,1182 yang terdiri dari pengganda awal sebesar 0,1095, kemudian pengganda putaran pertama sebesar 0,0006 dan pengganda industri sebesar 0,0001 serta pengganda konsumsi rumah tangga sebesar 0,0080. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu satuan permintaan akhir kakao akan meningkatkan beban biaya eksternalitas perekonomian regional Sulawesi Selatan sebesar 0,1182 satuan. Nilai pengganda biaya eksternalitas tersebut berada pada peringkat ke 5 dari 7 sektor ekonomi yang menghasilkan biaya eksternalitas cukup besar. Sektor ekonomi yang mempunyai nilai pengganda biaya eksternalitas terbesar adalah sektor ekonomi kopi yaitu sebesar 0,6558, disusul sektor ekonomi perkebunan lainnya, sektor industri kopi giling dan kupasan, serta sektor ekonomi industri biji-bijian, cokelat dan kembang gula (Tabel 23). Penempatan biaya eksternalitas di luar sistem perekonomian seperti yang telah dilakukan tersebut belum dapat menggambarkan kondisi perekonomian yang sesungguhnya karena nilai outputnya masih bersifat “semu” dan belum dikoreksi dengan biaya eksternalitasnya. Akibatnya nilai PDRB, pengganda output, pengganda pendapatan, dan pengganda tenaga kerja serta indeks keterkaitan antar sektor ekonomi juga masih bersifat “semu”. Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi terhadap cara perhitungan dan analisis data dengan membangunan Tabel IO berwawasan lingkungan. Namun karena keterbatasan ketersediaan data, maka
143
koreksi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan cara menginternalisasikan biaya eksternalitas dari berbagai sektor perekonomian regional Sulawesi Selatan ke dalam Tabel IO konvensional yang telah disederhanakan. Hasil analisis Tabel IO dengan koreksi biaya lingkungan atau biaya eksternalitas tersebut di sajikan pada Bab berikut ini. Tabel 23. Nilai pengganda beban biaya eksternalitas perekonomian Sulawesi Selatan Kode 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama Sektor Padi Tabama lainnya Kopi Kakao Perkeb. Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Budidaya bandeng & ikan Tambang nekel Tambang & Gln lainnya Ind biji-an, cokelat k gula Ind kopi giling & kupasan Ind Mkn-mnm lainnya Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya
Awal 0,0647 0,0073 0,6258 0,1095 0,3161 0,0692 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,0595 0 0 0 0 0 0 0 0
Pertama Industri 0,0017 0,0001 0,0005 0,0001 0,0191 0,0012 0,0006 0,0001 0,0069 0,0004 0,0048 0,0016 0 0,0001 0 0,0005 0 0,0023 0 0,0055 0 0,0004 0 0,0003 0,1097 0,0078 0,1923 0,0080 0,0448 0,0064 0 0,0001 0,0005 0,0009 0,0023 0,0005 0 0,0009 0,0185 0,0013 0,0006 0,0068 0 0,0013 0 0,0026 0,0001 0,0015 0,0005 0,0019
Konsumsi 0,0077 0,0066 0,0097 0,0080 0,0106 0,0082 0,0021 0,0077 0,0119 0,0102 0,0120 0,0058 0,0130 0,0133 0,0096 0,0003 0,0080 0,0032 0,0075 0,0124 0,0100 0,0099 0,0059 0,0324 0,0139
Total 0,0743 0,0146 0,6558 0,1182 0,3341 0,0838 0,0021 0,0082 0,0142 0,0157 0,0124 0,0061 0,1304 0,2137 0,0609 0,0004 0,0689 0,0060 0,0084 0,0321 0,0174 0,0113 0,0086 0,0340 0,0163
Tipe I 1,0292 1,0943 1,0323 1,0061 1,0233 1,0929 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,0236 0 0 0 0 0 0 0 0
Tipe II 1,1486 2,0034 1,0479 1,0794 1,0568 1,2109 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,1583 0 0 0 0 0 0 0 0
VII. PROSPEK PERANAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL
“Sektor ekonomi kakao” yang sebenarnya merupakan bagian dari sub sektor perkebunan dan bagian dari sektor pertanian dalam arti luas mempunyai pangsa PDRB lebih dari 5% dan melebihi pangsa beberapa sektor ekonomi dalam struktur perekonomian regional 9 sektor yang mengacu pada Sistem National Accounts 1968 (SNA68). Kondisi ini menggambarkan bahwa kakao sebagai sub dari sub sektor perkebunan mempunyai peran yang lebih besar dalam menghasilkan PDRB dari pada suatu sektor ekonomi seperti sektor Bank dan Lembaga Keuangan, sektor Bangunan dan sektor Listrik, gas dan air. Demikian pula halnya dalam menghasilkan devisa dan penyerapan tenaga kerja (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan 2004a). Namun peran tersebut masih belum menggambarkan kondisi yang sesungguhnya karena biaya dan manfaat eksternalitas berbagai sektor ekonomi belum diperhitungkan. Biaya dan manfaat eksternalitas berbagai sektor ekonomi yang berhasil diidentifikasi sebagai biaya eksternalitas adalah sebesar Rp 1,764 triliun. Nilai biaya eksternalitas tersebut secara regional relatif kecil karena hanya sebesar 2,53% dari total output perekonomian regional Sulawesi Selatan. Namun jika diperhatikan pada setiap sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas maka akan tampak bahwa biaya eksternalitas yang dihasilkan oleh masing-masing sektor relatif besar yaitu lebih dari 5% nilai outputnya. Sektor ekonomi kakao dalam proses produksinya menghasilkan biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas sebesar 10,95%. Jika biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao tersebut diperhitungkan dan digunakan untuk mengkoreksi nilai outputnya maka akan berpengaruh cukup nyata terhadap pangsa PDRB kakao dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan. Di samping itu, karena sebagian besar biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao tersebut adalah kehilangan unsur hara akibat erosi, maka dalam jangka panjang akan berpengaruh negatif terhadap produktivitas perkebunan kakao jika petani tidak memberikan masukan input pupuk yang memadai sebagai pengganti unsur hara yang hilang.
145
Pada saat penelitian ini dilakukan, produktivitas perkebunan kakao rakyat di Sulawesi Selatan hanya sekitar 40-50% dari produktivitas potensialnya. Hal ini terjadi karena pengelolaan perkebunan kakao yang dilakukan oleh petani belum sesuai dengan standar teknis budidaya yang dianjurkan, terutama dalam hal pemupukan dan pemeliharaan kebun. Perkebunankan kakao rakyat umumnya tidak dipupuk dan tidak dipelihara dengan baik, sehingga sebagian besar perkebunan kakao di Sulawesi Selatan tidak ubahnya seperti hutan kakao. Dengan kondisi perkebunan kakao yang demikian menyebabkan berbagai gangguan hama penyakit tanaman kakao sulit dikendalikan. Permasalahan hama penyakit tanaman kakao yang paling berat dihadapi petani adalah serangan hama PBK. Pada saat ini hampir seluruh perkebunan kakao di Sulawesi Selatan terserang hama PBK dan telah menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi petani. Kerugian yang terus menerus akibat serangan hama PBK tersebut menyebabkan perkebunan kakao petani makin tidak terpelihara dan menjadi rusak. Berikut ini akan diuraikan lebih lanjut dampak internalisasi biaya ekstrnalitas dan dampak serangan hama PBK terhadap perekonomian regional Sulawesi Selatan.
7.1. Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas 7.1.1. Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap Output
Internalisasi biaya eksternalitas dari berbagai sektor ekonomi menimbulkan perubahan terhadap nilai output dan PDRB serta nilai pengganda output, pengganda pendapatan, dan pengganda tenaga kerja serta nilai indeks keterkaitan antar sektor perekonomian regional Sulawesi Selatan. Arah perubahannya sangat tergantung pada besarnya beban biaya eksternalitas dan lemah-kuatnya keterkaitan antar sektor ekonomi dengan sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas. Internalisasi biaya Eksternalitas menyebabkan penurunan nilai output dari beberapa sektor ekonomi yang menanggung beban biaya eksternalitas lingkungan. Total biaya eksternalitas yang teridentifikasi mencapai Rp 1,76 triliun atau 2,53% dari total output perekonomian regional Sulawesi Selatan. Biaya eksternalitas tertinggi dihasilkan sektor ekonomi perkebunan selain kopi dan kakao, tetapi karena
146
perbedaan nilai outputnya dengan output sektor ekonomi yang berada di bawahnya cukup besar, maka penurunan nilai output perkebunan selain kopi dan kakao tersebut tidak menyebabkan terjadinya pergeseran posisi dalam memberikan sumbangan output bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Demikian juga sektor-sektor lain seperti sektor ekonomi kakao, peternakan, tanaman bahan makanan lainnya dan sektor industri semen tidak mengalami perubahan posisi dalam memberikan sumbangan output bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Penggeseran posisi/peringkat dalam menghasilkan output terjadi pada sektor padi dan kopi. Sektor padi yang mempunyai biaya eksternalitas relatif besar tergeser dari posisi ke-4 ke posisi ke-6 dan sektor kopi tergeser dari posisi 23 ke posisi 24 (Tabel 24). Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi yang mempunyai beban biaya eksternalitas mengalami peningkatan nilai pengganda output, kecuali sektor tanaman bahan makanan lainnya yang beban biaya eksternalitasnya relatif kecil. Sebaliknya sektor-sektor ekonomi yang tidak memiliki beban biaya eksternalitas mengalami penurunan nilai pengganda output dan penurunan pengganda output yang cukup besar dialami sektor-sektor ekonomi pengguna output sektor penghasil eksternalitas sebagai input produksinya. Penurunan nilai pengganda output yang cukup besar dialami oleh sektor industri kopi giling dan kupasan diikuti sektor industri biji-bijian, cokelat dan kembang gula, sektor industri makanan dan minuman serta sektor bangunan (Lampiran 7). Hal ini memberikan indikasi bahwa analisis input-output konvensional menghasilkan nilai pengganda output yang lebih besar dari yang seharusnya untuk sektor ekonomi yang menggunakan output sektor penghasil eksternalitas sebagai bahan bakunya dan sebaliknya nilai pengganda output yang lebih kecil dari yang seharusnya bagi sektor sektor ekonomi yang menghasilkan biaya eksternalitas. Apabila indikator pengganda output yang dijadikan penentu kebijakan dan sektor ekonomi pengguna output dari sektor penghasil eksternalitas yang menjadi sektor unggulan, maka upaya memacu pertumbuhan sektor unggulan dapat menarik
147
pertumbuhan
sektor
penghasil
eksternalitas,
sehingga
biaya
eksternalitas
perekonomian regional makin besar. Tabel 24. Posisi nilai output berbagai sektor ekonomi pada tabel IO konvensional dan tabel IO dikoreksi biaya eksternalitas Sulawesi Selatan, tahun 2003 Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama Sektor Ekonomi Ind. Makanan & minuman Perdag-Hotel-Rst Jasa Pemerintahn Padi Bangunan Angkutan-Kmnks Industri lainnya Tabama lainnya Tambang nekel Bank-Lkeuangan Industri semen Kakao Perkeb. Lainnya Budidaya udang Perikan laut Listrik, Gas, Air Ind kopi giling dan kupasan Budidaya bandeng & ikan Peternakan Ind biji-an, cokelat&k gula Jasa Lainnya Tambang & Gln lainnya Kopi Kehutanan Industri pupuk pestisida Jumlah
Output IO-K (Rp juta) (%) 11.294.326 16,16 9.100.364 13,02 6.628.179 9,49 4.875.512 6,98 4.768.562 6,82 4.652.510 6,66 3.566.140 5,10 3.147.259 4,50 3.075.889 4,40 2.986.037 4,27 2.634.467 3,77 2.585.784 3,70 2.385.799 3,41 1.560.485 2,23 1.450.536 2,08 935.053 1,34 811.002 1,16 734.337 1,05 704.187 1,01 581.711 0,83 507.158 0,73 440.360 0,63 287.532 0,41 115.358 0,17 50.265 0,07 69.878.813 100,00
Nama Sektor Ekonomi Ind Makanan & minuman Perdag-Hotel-Rst Jasa Pemerintahn Bangunan Angkutan-Kmnks Padi Industri lainnya Tabama lainnya Tambang nekel Bank-Lkeuangan Industri semen Kakao Perkeb. Lainnya Budidaya udang Perikan laut Listrik, Gas, Air Ind kopi giling & kupasan Budidaya bandeng & ikan Peternakan Ind biji-an, cokelat&k gula Jasa Lainnya Tambang & Gln lainnya Kehutanan Kopi Industri pupuk pestisida Jumlah
Output IO-E (Rp juta) (%) 11.294.326 16,58 9.100.364 13,36 6.628.179 9,73 4.768.562 7,00 4.652.510 6,83 4.560.282 6,70 3.566.140 5,24 3.124.289 4,59 3.075.889 4,52 2.986.037 4,38 2.476.397 3,64 2.302.614 3,38 1.631.519 2,40 1.560.485 2,29 1.450.536 2,13 935.053 1,37 811.002 1,19 734.337 1,08 653.427 0,96 581.711 0,85 507.158 0,74 440.360 0,65 115.358 0,17 107.582 0,16 50.265 0,07 68.114.383 100,00
Keterangan: IO-K = IO konvensional; IO-E= IO dikoreksi biaya eksternalitas.
7.1.2. Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap PDRB
Internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan penurunan nilai PDRB Sulawesi Selatan tahun 2003 dari Rp 42,868 triliun menjadi Rp 41,997 triliun atau turun sebesar Rp 871 milyar (2,03%). Penurunan nilai PDRB tersebut merupakan akumulasi dari penurunan dan peningkatan nilai PDRB berbagai sektor ekonomi. Suatu sektor ekonomi mengalami penurunan nilai PDRB akibat pembebanan biaya
148
eksternalitas dari sektor yang bersangkutan. Namun pembebanan eksternalitas pada sektor tersebut akan meningkatkan nilai PDRB sektor lainnya yang menggunakan output sektor yang menghasilkan biaya eksternalitas tersebut sebagai input produksinya. Hal ini terjadi karena sebelum ada koreksi biaya eksternalitas, sektor pengguna output dari sektor yang menghasilkan biaya eksternalitas telah membayar harga input yang lebih tinggi dibandingkan dengan setelah adanya koreksi biaya eksternalitas (Tabel 25). Tabel 25. Posisi PDRB berbagai sektor ekonomi pada tabel IO konvensional dan tabel IO dikoreksi biaya eksternalitas Sulawesi Selatan, tahun 2003 Pering kat Nama Sektor Ekonomi
PDRB-K (Rp juta)
(%)
Nama Sektor Ekonomi
PDRB-E (Rp juta)
1
Perdag-Hotel-Rst
6.353.926 14,82
Perdag-Hotel-Rst
6,359,631
2
Jasa Pemerintahn
4.599.964 10,73
Jasa Pemerintahn
4,600,754
3
Padi
4.256.270
9,93
Padi
3,949,595
4
Angkutan-Kmnks
2.855.224
6,66
Angkutan-Kmnks
2,855,283
5
Tabama lainnya
2.855.086
6,66
Tabama lainnya
2,833,889
6
Tambang nekel
2.759.380
6,44
Tambang nekel
2,759,380
7
Kakao
2.233.829
5,21
Indust Makanan & minuman
2,122,358
8
Bank-Lkeuangan
2.109.337
4,92
Bank-Lkeuangan
2,109,337
9
Perkeb. Lainnya
2.020.151
4,71
Bangunan
1,959,237
10
Bangunan
1.870.277
4,36
Kakao
1,952,128
11
Industri semen
1.765.854
4,12
Industri lainnya
1,654,321
12
Industri lainnya
1.631.152
3,81
Industri semen
1,609,231
13
Indust Makanan & minuman
1.615.354
3,77
Perkeb. Lainnya
1,282,426
14
Budidaya udang
1.270.541
2,96
Budidaya udang
1,270,579
15
Perikan laut
1.243.689
2,90
Perikan laut
1,243,691
16
Peternakan
603.770
1,41
Budidaya bandeng, & ikan
602,517
17
Budidaya bandeng, & ikan
602.511
1,41
Indkopi giling & kupasan
573,872
18
Listrik, Gas, Air
474.726
1,11
Peternakan
556,584
19
Ind kopi giling dan kupasan
417.871
0,97
Listrik, Gas, Air
474,726
20
Tambang & Gln lainnya
373.161
0,87
Tambang & Gln lainnya
373,161
21
Jasa Lainnya
333.609
0,78
Ind. biji-an, cokelat & k.gula
343,339
22
Ind. biji-an, cokelat&k gula
270.628
0,63
Jasa Lainnya
333,889
23
Kopi
232.240
0,54
Kehutanan
102,599
24
Kehutanan
102.599
0,24
Kopi
25
Industri pupuk pestisida
16.975
0,04
Industri pupuk pestisida
Jumlah
Keterangan:
42.868.122 100,00
57,770
Jumlah
16,985 41,997,281
PDRB-K = Produk Domestik Regional Bruto IO-konvensional; PDRB-E= Produk Domestik Regional Bruto IO- dikoreksi biaya eksternalitas.
(%)
15.14 10.95 9.40 6.80 6.75 6.57 5.05 5.02 4.67 4.65 3.94 3.83 3.05 3.03 2.96 1.43 1.37 1.33 1.13 0.89 0.82 0.80 0.24 0.14 0.04 100.0
149
Pada Tabel 25 tersebut tampak bahwa internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan
struktur
perekonomian
Sulawesi
Selatan
mengalami
sedikit
perubahan. Sektor ekonomi kakao mengalami penurunan kontribusi sebesar Rp 281,70 milyar atau 12,61%, sehingga peringkatnya dalam menghasilkan nilai PDRB tergeser dari posisi 7 ke posisi 10. Namun pergeseran posisi sektor ekonomi kakao tersebut tidak setajam penurunan sektor ekonomi perkebunan lainnya yang merosot dari posisi 9 ke posisi 13. Tajamnya penurunan posisi sektor ekonomi perkebunan lainnya tersebut terutama disebabkan oleh besarnya biaya eksternalitas sektor yang bersangkutan dan relatif kecilnya selisih nilai PDRBnya dengan sektor ekonomi peringkat dibawahnya. Sektor ekonomi perkebunan lainnya menimbulkan biaya eksternalitas terbesar diantara berbagai sektor ekonomi regional Sulawesi Selatan. Sementara itu, sektor-sektor yang mengalami peningkatan PDRB antara lain sektor industri makanan dan minuman, sektor industri kopi giling dan kupasan, sektor bangunan, dan sektor industri biji-bijian, cokelat & kembang gula. Sektor ekonomi yang mengalami peningkatan nilai PDRB yang paling besar adalah sektor industri makanan dan minuman yaitu sebesar Rp 507,01 milyar. Sektor berikutnya yang memperoleh kenaikan nilai PDRB yang cukup besar adalah sektor industri kopi giling dan kupasan, sektor bangunan, dan sektor industri biji-bijian, cokelat & kembang gula dengan peningkatan nilai PDRB masing-masing sebesar Rp 156,00 milyar, Rp 88,96 milyar dan Rp 72,71 milyar. Namun dilihat dari nisbah peningkatannya, maka sektor yang paling tinggi peningkatannya adalah sektor industri kopi giling dan kupasan yang meningkat 37,33%, disusul industri makanan dan minuman yang meningkat 31,39%, sektor sektor industri biji-bijan, cokelat & kembang gula 26,87% dan sektor bangunan 4,76%. Lebih lanjut, internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan nilai pengganda pendapatan sektor ekonomi yang mempunyai beban biaya eksternalitas mengalami penurunan, kecuali sektor tanaman bahan makanan lainnya yang beban biaya eksternalitasnya relatif kecil. Sebaliknya sektor-sektor ekonomi yang tidak memiliki beban biaya eksternalitas mengalami peningkatan nilai pengganda pendapatan. Hal ini memberikan indikasi bahwa analisis input-output konvensional menghasilkan
150
nilai pengganda pendapatan yang lebih besar dari yang seharusnya untuk sektor ekonomi yang memiliki beban biaya eksternalitas dan sebaliknya nilai pengganda pendapatan yang lebih kecil dari seharusnya bagi sektor sektor ekonomi yang tidak menghasilkan biaya eksternalitas (Lampiran 8). Data IO Sulawesi Selatan yang digunakan dalam penelitian ini tidak memberikan perbedaan hasil yang nyata antara IO konvensional dengan IO yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas karena nilai pengganda pendapatan sektorsektor ekonomi yang mempunyai beban eksternalitas berada pada posisi pertengahan dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis, sehingga koreksi biaya eksternalitas tidak menimbulkan perubahan yang nyata. Meskipun demikian adanya perbedaan hasil analisis yang mengindikasikan bahwa nilai pengganda pendapatan sektor ekonomi penghasil eksternalitas yang lebih tinggi (over estimate) pada IO konvensiaonal dibanding IO dikoreksi biaya eksternalitas.
7.1.3. Dampak Internalisasi Biaya Eksternalitas Terhadap Tenaga Kerja Dan Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi
Internalisasi biaya eksternalitas tidak mempengaruhi penyerapan tenaga kerja, tetapi berpengaruh pada nilai pengganda tenaga kerja. Internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan nilai pengganda tenaga kerja semua sektor ekonomi mengalami peningkatan kecuali sektor kehutanan dan sektor industri pupuk dan pestisida yang nilai pengganda tenaga kerjanya tetap. Jika diperhatikan lebih lanjut tampak bahwa besarnya peningkatan nilai pengganda tenaga kerja akibat internalisasi biaya eksternalitas sangat erat kaitannya dengan besarnya beban biaya eksternalitas sektor yang bersangkutan dan keterkaitan suatu sektor ekonomi dengan sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas. Sektor kopi, perkebunan lainnya, kakao, padi dan sekto peternakan merupakan sektor-sektor ekonomi yang mengalami peningkatan nilai pengganda tenaga kerja yang cukup besar karena memiliki biaya eksternalitas, sementara sektor industri kopi giling dan kupasan, industri biji-bijian, cokelat dan kembang gula dan sektor industri makanan minuman mengalami peningkatan nilai pengganda tenaga kerja yang relatif besar
151
karena mempunyai keterkaitan yang kuat dengan sektor penghasil biaya eksternalitas (Lampiran 9). Selanjutnya jika diperhatikan nilai indeks keterkaitan antar sektor yang dinormalisasi (koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran), maka akan tampak bahwa sektor-sektor yang mempunyai beban biaya eksternalitas akan mengalami peningkatan nilai koefisien penyebaran (indeks keterkaitan ke belakang), kecuali sektor tabama lainnya. Sebaliknya sektor-sektor yang tidak mempunyai beban eksternalitas mengalami penurunan nilai koefisien penyebarannya. Sementara itu, nilai kepekaan penyebaran (indeks keterkaitan ke depan) sektor-sektor yang mempunyai eksternalitas cenderung mengalami penurunan kecuali sektor tabama lainnya yang mengalami peningkatan. Sektor ekonomi lainnya, kecuali perikanan laut, budidaya udang, budidaya bandeng dan ikan lainnya, tambang nikel, industri biji-bijian dan cokelat serta jasa pemerintahan cenderung mengalami peningkatan nilai kepekaan penyebarannya (Lampiran 10 dan 11). Sektor ekonomi yang nilai kepekaan penyebarannya meningkat cukup besar terjadi pada sektor industri pupuk dan pestisida diikuti oleh sektor industri lainnya. Sedangkan sektor ekonomi yang nilai kepekaan penyebarannya menurun cukup besar adalah sektor ekonomi kopi dan perkebunan lainnya. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan secara ringkas bahwa internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan terjadinya berbagai perubahan pada besaran output, PDRB dan nilai pengganda output, pendapatan, dan tenaga kerja, serta nilai koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran. Perubahan-perubahan tersebut meliputi: Penurunan output dan PDRB sektor yang menghasilkan biaya ekternalitas serta peningkatan PDRB sektor pengguna output sektor penghasil eksternalitas; Peningkatan nilai pengganda output sektor yang menghasilkan biaya ekternalitas dan penurunan nilai pengganda output sektor lainnya terutama sektor pengguna output sektor penghasil eksternalitas; Penurunan nilai pengganda pendapatan sektor yang menghasilkan biaya ekternalitas dan peningkatan nilai pengganda pendapatan sektor lainnya khususnya sektor pengguna output sektor penghasil eksternalitas; Peningkatan nilai pengganda seluruh sektor ekonomi
152
terutama sektor penghasil eksternalitas; Dan peningkatan nilai koefisien penyebaran sektor penghasil eksternalitas dan penurunan nilai koefisien penyebaran sektor ekonomi lainnya. Dengan memperhatikan berbagai perubahan tersebut maka perlu berhati-hati dalam menggunakan hasil analisis IO konvensional karena hasilnya dapat menyesatkan. Analisis IO-konvensional akan menghasilkan nilai pengganda output sektor ekonomi pengguna output sektor ekonomi yang menghasilkan biaya eksternalitas dan pengganda pendapatan sektor ekonomi yang menghasilkan biaya eksternalitas, lebih besar dari hasil analisis IO yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas. Dengan kata lain analisis IO konvensional menghasilkan nilai pengganda output sektor ekonomi pengguna output sektor penghasil biaya eksternalitas dan nilai pengganda pendapatan sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas yang terlalu tinggi (over estimate) dari yang seharusnya. Akibatnya jika nilai pengganda output dijadikan sebagai indikator dan sektor ekonomi pengguna output sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas yang menjadi pilihan, maka memacu pertumbuhan sektor ekonomi tersebut akan mempercepat pertumbuhan sektor penghasil biaya eksternalitas yang pada gilirannya akan memperbesar biaya eksternalitas perekonomian regional. Demikian pula halnya jika nilai pengganda pendapatan yang dijadikan sebagai acuan dan sektor penghasil biaya eksternalitas yang menjadi pilihan, maka memacu pertumbuhan sektor ekonomi
tersebut
secara langsung akan memperbesar biaya eksternalitas
perekonomian regional. Oleh karena itu perlu berhati-hati dalam menggunaka nilai pengganda output sektor ekonomi pengguna output sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas dan nilai pengganda pendapatan sektor ekonomi penghasil biaya eksternalitas.
153
7.2. Dampak Serangan Hama PBK
Pada saat penelitian ini dilakukan, hama PBK sudah menyerang hampir seluruh perkebunan kakao di Sulawesi Selatan dan sudah sangat merugikan petani kakao serta perekonomian Regional Sulawesi Selatan. Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan (dalam Mustafa 2005), serangan hama PBK telah menimbulkan kerugian yang sangat besar dan diperkirakan mencapai Rp 810 milyar per tahun. Nilai kerugian tersebut lebih dari 36,3% nilai PDRB kakao Sulawesi Selatan tahun 2003. Apabila serangan hama PBK tidak bisa dikendalikan maka produksi perkebunan kakao petani akan terus menurun dan perkebunan kakao akan ditelantarkan oleh petani yang pada gilirannya berbagai hama penyakit tanaman kakao lainnya akan menyerang dan mempercepat kerusakan perkebunan kakao petani. 7.2.1. Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Pendapatan Petani
Hasil survei menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan kakao petani di Kabupaten Mamuju dan Polman sebelum terserang hama PBK rata-rata 1.269 kg/ha/tahun dengan kisaran antara 500 sampai 2.500 kg/ha/tahun. Setelah terserang hama PBK, produktivitas perkebunan kakao petani mengalami penurunan rata-rata 50,11% dengan kisaran antara 10% sampai 90% dari produktivitas kebun sebelum terserang hama PBK. Penurunan produktivitas perkebunan kakao petani tersebut berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani karena perkebunan kakao merupakan sumber utama pendapatan petani. Pada tahun 2005, tingkat pendapatan petani kakao rata-rata Rp 8,27 juta/KK/tahun, dimana 70,35% bersumber dari kebun kakao dan selebihnya bersumber dari luar usahatani sebesar 14,43%, usahatani padi sebesar 6,67%, ternak sebesar 4,38% dan usaha perkebunan lainnya sebesar 4,17%. Tingkat pendapatan petani tersebut relatif rendah karena sekitar 50% produksi kakao hilang akibat serangan hama PBK. Serangan hama PBK menyebabkan produksi kebun kakao petani hilang rata-rata sebesar 613,26 kg atau senilai Rp 7,51 juta/KK/tahun. Seandainya kehilangan produksi tersebut dapat
154
diselamatkan dan pendapatan dari sumber pendapatan lainnya tetap, maka pendapatan petani rata-rata mencapai Rp 15,78 juta/KK/tahun. 7.2.2. Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Perekonomian Regional
Serangan hama PBK teridentifikasi mulai menyerang perkebunan kakao Sulawesi Selatan pada tahun 1995. Serangan hama PBK tersebut menyebar dengan cepat, sehingga dalam waktu singkat hampir seluruh perkebunan kakao Sulawesi Selatan terserang hama PBK dan produktivitas perkebunan kakao petani terus menurun. Penurunan produktivitas perkebunan kakao akibat serangan hama PBK akhir-akhir ini semakin tajam. Pada periode 2003-2005 produktivitas rata-rata perkebunan kakao Sulawesi Selatan mengalami penurunan sebesar 29,61% (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004a dan 2006). Berdasarkan hasil wawancara dengan petani kakao dan data statistik dari Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan dapat disusun suatu skenario dampak serangan hama PBK terhadap pangsa kakao dalam menghasilkan output maupun PDRB. Pada kondisi serangan hama PBK kurang terkendali, produksi kakao Sulawesi Selatan diskenariokan turun 25%, sedangkan untuk serangan hama PBK tidak terkendali diskenariokan produksi kakao turun 50% dan 75%. Berdasarkan skenario tersebut dengan menggunakan Tabel Input Output yang telah dikoreksi dengan biaya eksternalitas diperoleh hasil simulasi sebagai berikut. 1. Pada kondisi serangan hama PBK yang kurang terkendali akan terjadi penurunan produksi dan nilai output kakao sebesar 25% dari Rp 2,303 triliun menjadi Rp 1,727 triliun. Penurunan output tersebut berdampak langsung pada penurunan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor ekonomi kakao dari Rp 1,952 triliun menjadi Rp 1,377 triliun atau turun 29,44%. Penurunan output dan PDRB sektor ekonomi kakao tersebut menyebabkan terjadinya penurunan output total perekonomian regional Sulawesi Selatan sebesar 0,85% dan PDRB turun sebesar 1,37%. Peringkat kakao dalam menghasilkan output tidak mengalami perubahan pada posisi 12, sedangkan peringkat kakao dalam menghasilkan PDRB turun dari posisi 10 ke posisi 12.
155
2. Apabila serangan hama PBK lebih ganas lagi dan tidak bisa dikendalikan, maka penurunan produksi kakao akan lebih tajam lagi yaitu antara 50% sampai dengan 75%. Pada kondisi penurunan produksi 50%, menyebabkan nilai ouput kakao turun dari Rp 2,303 triliun menjadi Rp 1,1515 triliun dan PDRB kakao turun dari Rp 1,952 triliun menjadi Rp 802,79 milyar atau
turun 58,88%. Penurunan
produksi perkebunan kakao sebesar 50% tersebut menyebabkan nilai output perekonomian regional Sulawesi Selatan turun sebesar 1,69% dan PDRB turun sebesar 2,74%. Peringkat kakao dalam menghasilkan output turun dari posisi 12 ke posisi 15 dan peringkat kakao dalam menghasilkan PDRB turun dari posisi 10 ke posisi 15. 3. Lebih lanjut jika serangan hama PBK berdampak pada penurunan produksi hingga 75%, maka nilai ouput kakao turun dari Rp 2,303 triliun menjadi Rp 575,65 milyar. Penurunan nilai output tersebut akan berdampak langsung pada penurunan PDRB dari Rp 1,952 triliun menjadi Rp 228,1 milyar atau turun 88,31%. Penurunan produksi perkebunan kakao sebesar 75% tersebut menyebabkan nilai output perekonomian regional Sulawesi Selatan turun sebesar 2,54% dan PDRB turun sebesar 4,11%. Peran kakao dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan akan merosot tajam dari peringkat 12 penghasil output menjadi peringkat 20 dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis. Demikian juga perannya dalam menghasilkan PDRB, peringkat sektor ekonomi kakao turun dari posisi 10 ke posisi 22 dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis dan peran kakao terhadap PDRB Sulawesi Selatan tinggal hanya sebesar 0,54%. Hasil simulasi tersebut di atas menunjukkan bahwa serangan hama PBK yang sangat berat dan menimbulkan penurunan produksi kakao hingga 75% akan menyebabkan sektor ekonomi kakao kehilangan perannya dalam menghasilkan PDRB Sulawesi Selatan. Sektor ekonomi kakao hanya memberikan sumbangan sebesar 0,54% PDRB dan berada pada posisi 22 dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis.
156
7.2.3. Dampak Serangan Hama PBK Terhadap Biaya Eksternalitas
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hama PBK telah menimbulkan kerugian bagi petani dan kerugian yang terus menerus menyebabkan kemampuan petani untuk memelihara kebun kakaonya menurun. Akibatnya perkebunan kakao petani menjadi terlantar dan rusak. Kerusakan perkebunan kakao petani tersebut dapat menyebabkan peningkatan erosi lahan, sehingga menimbulkan peningkatan biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao. Peningkatan biaya eksternalitas akibat peningkatan erosi lahan bisa mencapai Rp 699.138/ha/tahun. Nilai peningkatan biaya eksternalitas tersebut relatif kecil dibandingkan dengan nilai kerugian akibat langsung dari serangan hama PBK yang besarnya rata-rata mencapai Rp 5,3 juta/ha/tahun. Namun peningkatan biaya eksternalitas tersebut perlu diwaspadai karena biaya eksternalitas akibat erosi lahan bersifat akumulatif dengan berbagai dampak turunannya seperti makin meluasnya lahan kritis dan meningkatnya bahaya banjir. Permasalahan lain yang terkait dengan serangan hama PBK adalah adanya upaya petani untuk memenuhi permintaan kakao dunia yang terus meningkat dengan mengembangkan perkebunan kakao ke daerah yang terpencil atau kawasan hutan guna menghindari serangan hama PBK. Upaya petani tersebut mempercepat alih fungsi lahan hutan dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Sementara itu, hasilnya hanya dapat dinikmati oleh petani dalam beberapa musim panen, kemudian hama PBK juga menyerang perkebunan kakao tersebut dan menimbulkan kerugian sama seperti perkebunan kakao lainnya. Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa serangan hama PBK tidak hanya menimbulan kerugian ekonomi bagi petani maupun perekonomian regional, tetapi juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga memperbesar biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao. Kerusakan lingkungan yang terjadi tidak terbatas hanya pada kerusakan kebun yang telah ada, tetapi juga menimbulkan kerusakan pada kawasan hutan akibat adanya alih fungsi lahan hutan ke perkebunan kakao.
157
Mengingat biaya investasi yang telah ditanamkan oleh petani untuk membangun perkebunan kakao cukup besar dan kakao merupakan sumber utama pendapatan petani, maka upaya pengendalian serangan hama PBK merupakan langkah yang sangat strategis. Pengendalian hama PBK akan menyelamatkan perkebunan kakao dari kehancuran yang berarti akan menyelamatkan investasi yang sudah ditanamkan oleh petani sekaligus meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan menjaga kelestarian sumberdaya alam khususnya kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan. Oleh karena itu berbagai keterbatasan dan kendala yang dihadapi oleh petani perlu segera diatasi dan uluran tangan pemerintah daerah sangat dibutuhkan oleh petani, terutama membantu petani dalam pengendalian hama PBK dan pendanaan untuk merehabilitasi perkebunan kakao petani yang rusak. Sehubungan dengan itu, pemerintah daerah diharapkan dapat menggerakkan program pengendalian hama PBK secara terpadu dan menyeluruh serta memfasilitasi agar program revitalisasi perkebunan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat dapat terlaksana di daerah ini. Sebagai bahan masukan, berikut ini akan disajikan hasil kajian untuk mempercepat adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan analisis prospektif untuk memberikan arahan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan di Sulawesi Selatan.
VIII. ADOPSI TEKNOLOGI UNTUK KEBERLANJUTAN PERAN KAKAO BAGI PEREKONOMIAN REGIONAL
Sebagaimana telah diuraikan bahwa serangan hama PBK sudah sangat merugikan petani dan mengancam keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Berbagai upaya pengendalian hama PBK yang dilakukan oleh petani seolaholah menghadapi jalan buntu dan serangan hama PBK makin mengganas, sehingga produktivitas perkebunan kakao petani terus menurun. Oleh karena itu perlu adanya suatu gerakan atau program pengendalian hama PBK secara menyeluruh dengan menggunakan teknologi mutakhir yang telah ditemukan para peneliti dan terbukti mampu mengendalikan serangan hama PBK. Program tersebut membutuhkan keterlibatan semua pihak khususnya pengambil kebijakan, peneliti dan pelaku agribisnis perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Para petani kakao, pembina di lapangan dan peneliti hama penyakit kakao seyogyanya mampu menyusun suatu program pengendalian hama PBK secara terpadu dan menyeluruh. Teknologi pengendalian hama PBK yang telah ditawarkan kepada petani perlu disempurnakan dan disesuaikan dengan kondisi kebun dan sosial ekonomi petani. Sebagai bahan masukan untuk penyusunan dan penyempurnaan program pengendalian hama PBK, berikut ini disajikan hasil kajian tentang keragaan usahatani kakao dan karakteristik petani kakao serta faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK oleh petani kakao di Sulawesi Selatan.
8.1. Keragaan Usahatani Kakao
Perkebunan kakao mulai berkembang di Sulawesi Selatan pada awal tahun 1970 dan mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun 1980-an. Pengembangan areal perkebunan kakao berlangsung terutama di sentra-sentra produksi kakao seperti Luwu, Mamuju, Polmas, Pinrang dan Bone. Tanaman kakao umumnya diusahakan secara monokultur di lereng atau punggung gunung dan sebagian di daerah dataran seperti yang dikembangkan di Kabupaten Pinrang dan Bone.
159
Pada tahun 2003, areal perkebunan kakao Sulawesi Selatan tercatat seluas lebih dari 296 ribu ha dan sebagian besar (lebih dari 99,2%) diusahakan oleh petani dan hanya sekitar 0,8% yang dikelola oleh perkebunan besar (Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan 2004a). Pada saat ini areal perkebunan kakao petani umumnya sudah saling sambungmenyambung, sehingga membentuk suatu hamparan perkebunan kakao. Kondisi tersebut kurang menguntungkan bagi petani karena penyebaran hama dan penyakit tanaman kakao dapat berlangsung cepat dan sulit untuk dikendalikan.
8.1.1. Karakteristik Petani kakao
Petani kakao Sulawesi Selatan rata-rata berumur 41,59 tahun dengan kisaran 24-65 tahun. Sebagian besar (80%) petani responden berada pada usia produktif yaitu usia 24-50 tahun dan selebihnya berumur di atas 50 tahun. Petani kakao umumnya cukup berpendidikan karena sebagian besar telah menamatkan sekolah dasar (32,50%), tamat SLP 18,75%, tamat SLA 23,75% dan hanya sekitar 25% yang tidak tamat sekolah dasar. Petani kakao sudah cukup berpengalaman menjadi petani khususnya sebagai petani tanaman pangan dengan pengalaman rata-rata selama 21,48 tahun dengan kisarasn 5 tahun hingga 50 tahun. Sementara itu, pengalaman berusahatani kakao rata-rata selama 14,24 tahun dengan kisaran 2 tahun hingga 26 tahun. Namun pengalaman yang cukup lama tersebut belum mampu untuk menjadi petani kakao yang baik, bahkan seolah-olah menghadapi jalan buntu untuk mengatasi serangan hama PBK yang makin mengganas. Petani kakao memiliki jumlah anggota keluarga tergolong sedang meskipun ada beberapa petani yang memiliki jumlah anggota keluarga sampai 10 orang. Jumlah anggota keluarga petani kakao rata-rata 4,54 jiwa, dengan kisaran 1-10 jiwa. Sementara itu, jumlah angkatan kerja tiap keluarga rata-rata sebanyak dua orang dengan kisaran 1 sampai 7 orang. Petani kakao pada umumnya memiliki lahan cukup luas yaitu berkisar antara 0,5 ha sampai 7 ha, tetapi rata-ratanya 1,96 ha, terdiri dari 1,32 ha kebun kakao
160
produktif; 0,24 ha kebun kakao belum menghasilkan; 0,25 ha kebun pekarangan dan campuran/ladang serta 0,15 ha sawah (Tabel 26). Tabel 26. Karakteristik petani kakao dan kondisi usahataninya, 2005 Keterangan Karakteristik Petani: Umur petani (tahun) Pendidikan petani: - Tidak tamat SD (%) - Tamat SD (%) - Tamat SMP (%) - Tamat SMA (%) Jumlah anggota keluarga (jiwa) Jumlah angkatan kerja (orang) Pengalaman berusahatani (th) Pengalaman berkebun kakao (th) Kondisi Usahatani: Lahan yang dimiliki (ha) - Kakao (ha) - Ladang dan pekarangan (ha) - Sawah (ha) Kebun kakao menghasilkan (ha) Umur tanaman kakao (th) Produksi (kg) Produktivitas (kg/ha) Produtivitas sebelum terserang hama PBK (kg/ha)
Rata-rata Tertinggi Terendah 41,59
65
24
25,00 32,50 18,75 23,75 4,54 1,95 21,48 14,24
10 7 50 26
1 1 5 2
1,96 1,56 0,25 0,15 1,32 15,24 792,25 610,49
7 5 3 2 4,5 31 3400 2267
0,5 0,5 0 0 0,25 4 270 172
1268,75
2500
500
8.1.2. Pendapatan Petani Kakao
Pada tahun 2005, tingkat pendapatan petani kakao rata-rata Rp 8,27 juta/KK/tahun, dimana 70,35% bersumber dari kebun kakao dan selebihnya bersumber dari luar usahatani sebesar 14,43%, usahatani padi sebesar 6,67%, ternak sebesar 4,38% dan usaha perkebunan lainnya sebesar 4,17%. Tingkat pendapatan petani tersebut relatif rendah karena sekitar 50% produksi kakao hilang akibat serangan hama PBK. Serangan hama PBK menyebabkan produksi kebun kakao petani hilang rata-rata sebesar 854,25 kg atau senilai Rp 7,51 juta/KK/tahun. Seandainya kehilangan produksi tersebut dapat diselamatkan, maka pendapatan petani rata-rata mencapai Rp 15,78 juta/KK/tahun (Tabel 27).
161
Tabel 27. Pendapatan dan pengeluaran keluarga petani kakao, 2005 Uraian Pendapatan dari perkebunan kakao Pendapatan dari usaha padi sawah Pendapatan dari usaha ternak Pendapatan usahatani lainnya Pendapatan non-usahatani Total pendapatan keluarga petani Pengeluaran konsumsi keluarga Pengeluaran lainnya Total pengeluaran keluarga petani Tabungan Kerugian akibat serangan hama PBK Pendapatan petani seharusnya
Pendapatan dan Pengeluaran (Rp) (%) 5.817.250 70,35 551.500 6,67 362.500 4,38 344.700 4,17 1.193.125 14,43 8.269.075 100,00 4.736.875 77,06 1.410.438 32,94 6.147.313 100,00 2.121.763 7.507.455 15.776.530
Sementara itu, kebutuhan hidup keluarga petani kakao rata-rata sebesar Rp 6,15 juta, terdiri dari kebutuhan untuk konsumsi keluarga Rp 4,74 juta dan kebutuhan lainnya Rp 1,41 juta. Secara umum dengan pendapatan rata-rata sebesar Rp 8,27 juta, petani kakao masih bisa menyisakan pendapatan untuk menabung sebesar Rp 2,12 juta. Namun apabila dikaji lebih lanjut, ternyata hanya sebagian kecil petani kakao yang bisa menyisakan pendapatannya untuk ditabung dan sebagian besar (57,5%) petani kakao hidup dalam kondisi paspasan, bahkan 17,5% diantaranya telah terjerat hutang. Akibatnya sebagian besar petani tidak bisa melakukan pengelolaan kebun sesuai dengan anjuran terutama untuk pemupukan dan pemeliharaan tanaman kakao dengan baik. Kondisi tersebut diperparah lagi oleh makin mengganasnya serangan hama PBK, sehingga produksi kebun kakao yang bisa diselamatkan petani makin rendah. Apabila serangan hama PBK tidak segera dapat dikendalikan, maka akan terbentuk kantong-kantong kemiskinan di sentra produksi kakao Sulawesi Selatan. 8.1.3. Pengendalian Hama PBK
Pengendalian hama PBK sudah dilakukan petani sejak hama PBK teridentifikasi menyerang perkebunan kakao Sulawesi Selatan tahun 1995. Namun karena karakteristik hama PBK yang aktif dimalam hari dan sebagian besar masa
162
hidupnya berada dalam buah kakao maka berbagai upaya pengendalian yang dilakukan petani kurang efektif. Sebenarnya telah tersedia teknologi pengendalian hama PBK yang telah teruji mampu mengurangi serangan hama PBK, tetapi teknologi tersebut harus diterapkan secara bersama-sama dan menyeluruh, sehingga siklus hidup hama PBK dapat diputuskan. Teknologi pengendalian hama yang dimaksud cukup sederhana yaitu dengan memperbaiki sistem budidaya yang dikenal dengan istilah PsPSP (panen sering, pemangkasan, sanitasi dan pemupukan). Panen sering dianjurkan secara terus menerus dengan interval 5-7 hari. Tujuannya agar buah yang menjelang matang dan mengandung larva hama PBK ikut terpanen. Kemudian buah yang mengandung larva tersebut dipisahkan dari buah yang sehat dan selanjutnya dikubur dalam tanah atau dibakar. Sedangkan pemangkasan
dilakukan
untuk
mengurangi
naungan
sehingga
lingkungan
perkebunan kakao tidak disenangi oleh ngengat PBK. Sementara itu, sanitasi dilakukan dengan cara membersihkan ranting-ranting atau daun kering di pohon maupun di permukaan tanah kemudian dikubur atau dibakar. Tujuannya adalah untuk mematikan kepompong hama PBK yang berada di serasah atau ranting dan daun kering. Sedangkan pemupukan dilakukan dengan memberikan pupuk yang berimbang dengan tujuan untuk meningkatkan produksi. Dengan tingkat produksi yang tinggi akan lebih banyak buah kakao yang dihasilkan dan lebih banyak pula buah kakao yang tidak terserang hama PBK. Teknologi pengendalian hama PBK PsPSP tersebut sudah disosialisasikan oleh pemerintah kepada petani, tetapi kurang mendapat respon dari petani karena berbagai kendala. Keterbatasan modal usaha dan tenaga kerja serta kondisi kebun yang sudah seperti hutan kakao dan saling sambung-menyambung merupakan beberapa kendala yang dihadapi petani. Di samping itu, belum adanya kebersamaan langkah untuk mengendalikan hama PBK menjadi penyebab tidak efektifnya teknologi PsPSP untuk memotong siklus hidup hama PBK. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dibahas berbagai faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK.
163
8.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tingkat adopsi teknologi pengendalian hama PBK secara teoritis akan melewati beberapa tahapan yang secara garis besar dapat dibagi tiga yaitu: perubahan pengetahuan, pembentukan sikap dan tindakan penerapan. Proses adopsi teknologi merupakan proses perubahan mental petani yang dimulai dengan proses perubahan pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu tentang adanya teknologi. Selanjutnya perubahan pengetahuan tersebut diikuti dengan perubahan sikap dan diakhiri dengan suatu tindakan penerapan teknologi. Dengan menggunakan pendekatan fungsi logit dan metoda pendugaan Maximum Likelihood Estimation (MLE) berhasil diidentifikasi berbagai faktor yang berpengaruh nyata terhadap adopsi atau penerapan teknologi pengendalian hama PBK PsPSP. Secara umum, nilai R² yang dihasilkan dari masing-masing persamaan adalah pengetahuan R²=55,1%, persamaan sikap R²=48,2% dan persamaan tidakan R²=72,8%. Nilai R² yang ditunjukkan oleh masing-masing persamaan relatif rendah yang berarti bahwa keeratan hubungan variasi peubah endogen yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan variabel eksogennya tidak begitu kuat. Meskipun demikian, karena tujuan pendugaan model/persamaan tersebut bukan untuk tujuan peramalan, maka kelemahan hasil pendugaan model/persamaan tersebut tidak bersifat mendasar dan masih dapat digunakan untuk menentukan arah perubahan dari variabel endogen. Berikut ini akan diuraikan hasil analisis faktorfaktor yang mempengaruhi proses adopsi teknologi tersebut. 8.2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Petani
Sebagai titik awal proses adopsi teknologi adalah perubahan pengetahuan petani dari tidak tahu menjadi tahu dan memahami tentang adanya teknologi yang dibutuhkan untuk membantu mengatasi masalah yang dihadapi. Secara teoritis banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan petani untuk mengetahui dan memahami suatu teknologi maju, baik dari karakteristik petaninya, karakteristik teknologinya maupun kondisi lingkungan sosialnya.
164
Hasil analisis menunjukkan bahwa karakteristik petani seperti umur, pendidikan, pengalaman berusahatani, jumlah anggota keluarga dan jumlah angkatan kerja keluarga tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan pengetahuan petani tentang teknologi pengendalian hama PBK. Demikian juga lingkungan sosial seperti respon masyarakat terhadap perubahan, keberadaan kelompok tani dan keberadaan pembina/penyuluh, serta karakteristik teknologi seperti kesederhanaan, kesesuaian dan efektivitas teknologi tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan pengetahuan petani tentang teknologi PsPSP untuk pengendalian hama PBK. Perubahan pengetahuan petani kakao terhadap teknologi pengendalian hama PBK dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu: adanya kegiatan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SL-PHT), dan pendapatan petani (Tabel 28). Tabel 28. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan petani Variabel Bebas Konstanta Sekolah lapang PHT Tingkat pendapatan Jumlah anggota keluarga Respon masyarakat Keberadaan pembina Pengalaman berusahatani Angkatan kerja keluarga Pendidikan Efektivitas teknologi Luas kebun kakao Kesederhanaan teknologi Kesesuaian teknologi Kelompok tani Umur petani Pendapatan dari kebun kakao R²= 59,3%
Parameter Dugaan -5,725 25,106 0,580 1,956 4,788 -3,086 -0,196 -1,255 0,762 1,476 -0,759 -1,145 -1,066 -0,441 -0,019 5,063 R²adj=49,8%
t-hitung -0,618 6,670 2,049 1,566 1,177 -0,838 -0,776 -0,763 0,562 0,371 -0,303 -0,249 -0,242 -0,117 -0,116 0,080 F-hit=6,22
Taraf Nyata 0,539 0,000 0,045 0,122 0,243 0,405 0,441 0,448 0,576 0,712 0,763 0,804 0,810 0,908 0,908 0,937 0,000
Pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa kehadiran sekolah lapang pengendalian hama
terpadu
(SL-PHT)
berpengaruh
nyata
positif
terhadap
perubahan
pengetahuan/pemahaman petani tentang teknologi pengendalian hama PBK. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Siregar et al. (2003) yang menunjukkan bahwa program SL-PHT mempercepat proses perubahan pengetahuan dan
165
pemahaman petani terhadap cara pengendalian hama PBK dengan PsPSP, bahkan pengetahuan tersebut segera menyebar kepada petani non peserta SL-PHT. Sementara kehadiran atau keberadaan pembina/penyuluh dan keberadaan kelompok tani tidak berpengaruh nyata bagi perubahan pengetahuan petani. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran pembina dan kelompok tani belum memberikan arti yang signifikan bagi perubahan pengetahuan petani. Petani belum menjadikan penyuluh dan kelompok tani sebagai sumber informasi untuk menambah pengetahuan mereka. Meskipun demikian, kehadiran SL-PHT yang sebenarnya merupakan salah satu metode penyuluhan, tempat petani belajar sekaligus mempraktekkan materi yang disampaikan oleh penyuluh berpengaruh nyata positif dengan selang kepercayaan di atas 99%. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa program penyuluhan yang jelas seperti kegiatan SL-PHT lebih dominan perannya daripada keberadaan penyuluh maupun kelompok tani. Lebih lanjut, karakteristik petani yang berpengaruh nyata terhadap perubahan pengetahuan petani adalah tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan petani berpengaruh nyata positif terhadap perubahan pengetahuan petani tentang teknologi pengendalian hama PBK. Hal ini dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi para pembina agar lebih memperhatikan petani yang berpenghasilan rendah dalam mensosialisasikan program pengendalian hama PBK, karena kelompok petani inilah yang dapat menjadi penghalang bagi program pengendalian hama PBK secara luas dan menyeluruh. Selanjutnya, dilakukan penyederhanaan persamaan melalui proses iterasi terhadap persamaan yang telah dihasilkan dengan mengeluarkan variabel yang tidak layak atau tidak berpengaruh nyata. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa pengetahuan petani tentang pengendalian hama PBK dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: adanya kegiatan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SL-PHT), pendapatan petani, dan respon masyarakat terhadap perubahan. Ketiga faktor tersebut secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap perubahan pengetahuan petani dengan selang kepercayaan di atas 92,5% dan nilai R²=55,1% (Tabel 29).
166
Tabel 29. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan petani dalam model/ persamaan yang disederhanakan Variabel Konstanta Sekolah lapang Tingkat pendapatan Respon masyarakat R²= 55,1%
Parameter Dugaan -6,974 24,628 0,454 6,133 R²adj=53,3%
t-hitung -1,684 8,892 2,253 1,802 F-hit= 20,50
Taraf Nyata 0,096 0,000 0,027 0,075 0,000
8.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani
Sikap petani menggambarkan respon atau minat sekaligus penilaian petani terhadap paket teknologi pengendalian hama PBK yang telah disosialisasikan. Secara teoritis, sikap petani sangat ditentukan oleh pengetahuan, karakteristik petani dan karakteristik teknologi yang disosialisasikan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pembentukan sikap petani dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu: pengetahuan petani terhadap teknologi, tingkat pendapatan, kesesuaian teknologi dan jumlah anggota keluarga petani. Faktor-faktor tersebut secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap sikap petani dengan selang kepercayaan di atas 95,8% dan nilai R²=48,2% (Tabel 30). Tabel 30.Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani Variabel Konstanta Pengetahuan petani Tingkat pendapatan Kesesuaian teknologi Jumlah anggota keluarga R²=48,2%
Parameter Dugaan T-hitung -0,025 -0,105 0,280 5,409 0,031 2,454 0,361 2,128 -0,090 -2,069 R²adj=45,4% F-hit=17,45
Taraf Nyata 0,917 0,000 0,016 0,037 0,042 0,000
Pada Tabel 30 dapat dilihat bahwa pengetahuan dan pemahaman petani tentang teknologi pengendalian hama PBK yang telah disosialisasikan berpengaruh nyata positif terhadap sikap petani. Hal ini memberikan indikasi bahwa pengenalan atau sosialisasi secara baik suatu teknologi kepada petani memegang peranan penting dalam pembentukan sikap positif petani terhadap teknologi yang diperkenalkan. Demikian pula halnya dengan tingkat pendapatan dan kesesuaian teknologi.
167
Tingkat pendapatan selain berpengaruh terhadap perubahan pengetahuan, juga berpengaruh positif bagi pembentukan sikap petani. Sementara itu, kesesuaian teknologi merupakan salah satu karakteristik teknologi yang berpengaruh nyata terhadap pembentukan sikap petani. Hal ini memberikan petunjuk agar sosialisasi teknologi
pengendalian
hama
PBK
kepada
petani
perlu
diikuti
dengan
pengembangan demplot untuk menunjukkan bukti bahwa teknologi yang disosialisasikan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan ekologi setempat. Lebih lanjut, yang juga perlu mendapat perhatian adalah anggota keluarga petani karena jumlah anggota keluarga berpengaruh nyata negatif bagi pembentukan sikap sikap petani. Hal ini tampaknya berhubungan erat dengan cara pengambilan keputusan dimana makin besar jumlah anggota keluarga, makin banyak yang terlibat dalam penentuan sikap. Oleh karena itu sosialisasi teknologi tidak hanya terbatas pada petani, tetapi juga perlu melibatkan anggota keluarga petani. 8.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tindakan Petani
Tindakan petani dalam mengadopsi teknologi pengendalian hama PBK ditunjukkan oleh tingkat penerimaan petani atau tingkat penerapan teknologi PsPSP di kebun kakao petani. Hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan teknologi pengendalian hama PBK dipengaruhi oleh empat faktor yaitu: sikap petani, keberadaan penyuluh/pembina, umur tanaman kakao dan tingkat pendapatan. Keempat faktor tersebut secara bersama-sama berpengaruh nyata
pada selang
kepercayaan di atas 95,4% dengan nilai R²= 72,8%. Hal ini berarti bahwa 72,8% keragaan tindakan petani mengadopsi teknologi pengendalian hama PBK dapat dijelaskan dengan baik oleh keempat variabel tersebut (Tabel 31). Tabel 31. Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan petani mengadopsi teknologi Variabel Konstanta Sikap petani Keberadaan pembina Umur tanaman kakao Tingkat pendapatan R²=72,8%
Parameter Dugaan -1,205 0.786 0,344 -0.019 0.021 R²adj=72,3%
T-hitung -3.365 10.800 2,458 -2.056 2.032 F-hit= 50.09
Taraf Nyata 0.001 0.000 0,016 0.043 0.046 0.000
168
Pada Tabel 31 dapat dilihat bahwa sikap petani berpengaruh nyata positif terhadap tindakan petani dalam mengadopsi teknologi pengendalian hama PBK. Hal ini selaras dengan temuan Yusnadi (1992), yang menunjukkan adanya hubungan yang erat antara persepsi seorang petani dengan tingkat adopsi teknologi perkebunan kopi. Petani yang mempunyai persepsi positif terhadap inovasi cenderung lebih cepat mengadopsi teknologi dibanding petani yang mempunyai persepsi negatif. Oleh karena itu, pembentukan sikap sebagai suatu tahap dalam adopsi teknologi perlu mendapat perhatian yang serius bagi para pembina karena sangat menentukan kecepatan petani dalam melakukan tindakan adopsi teknologi. Lebih lanjut, hasil analisis menunjukkan bahwa keberadaan pembina berpengaruh nyata pada tahap penerapan teknologi pengendalian hama PBK dan pengaruhnya belum nyata pada tahap perubahan pengetahuan maupun tahap pembentukan sikap. Hal ini bukan berarti bahwa kehadiran pembina pada dua tahap awal tidak penting, tetapi justru sebaliknya, kehadiran pembina sangat diperlukan untuk menciptakan program pembinaan petani yang sesuai dengan kebutuhan seperti SL-PHT pada tahap perubahan pengetahuan dan mengembangkan demplot untuk menunjukkan kesesuaian teknologi pada tahap pembentukan sikap. Kedua variabel tersebut yaitu SL-PHT dan demontrasi kesesuaian teknologi merupakan sarana yang dapat digunakan oleh pembina untuk menunjukkan keberadaan dan perannya dalam mempercepat proses adopsi teknologi. Dalam penyusunan program pengendalian hama PBK secara terpadu dan menyeluruh perlu keterlibatan semua pihak khususnya pengambil kebijakan, peneliti dan pelaku agribisnis perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Para petani kakao, pembina di lapangan dan peneliti dituntut untuk menyempurnakan program pengendalian hama PBK sesuai dengan kondisi kebun dan sosial ekonomi petani. Kondisi kebun yang sebagian sudah tua dan tidak ubahnya seperti hutan kakao perlu direhabilitasi melalui sambung samping maupun peremajaan kebun. Upaya peremajaan maupun rehabilitasi kebun kakao petani akan berdampak positip bagi penerapan teknologi pengendalian hama PBK, karena secara tidak langsung akan mengurangi areal tanaman tua yang berpengaruh negatif bagi penerapan teknologi pengendalian hama PBK.
169
Lebih lanjut, tampak bahwa pendapatan petani berpengaruh nyata positif terhadap penerapan teknologi pengendalian hama PBK. Hal ini dapat berarti bahwa keterbatasan pendapatan petani akan menjadi kendala bagi penerapan teknologi pengendalian hama PBK secara terpadu dan menyeluruh. Mengingat kondisi petani saat penelitian ini dilakukan umumnya berpenghasilan rendah, maka perlu upaya untuk mengatasinya dengan penyediaan insentif berupa kredit berbunga rendah dan mudah untuk diakses petani dan hal ini selaras dengan program revitalisasi perkebunan yang telah dicanangkan pemerintah pusat. Penyediaan kredit untuk membantu petani berpenghasilan rendah tersebut sangat penting dalam upaya untuk mencapai kebersamaan petani dalam melaksanakan program pengendalian hama PBK secara terpadu dan menyeluruh. Tanpa bantuan kredit, petani berpenghasilan rendah tidak akan mampu untuk membeli pupuk dan merawat kebunnya sesuai dengan anjuran. Hal ini sejalan dengan temuan Raharjo (1984), yang menunjukkan bahwa petani yang responsif terhadap modernisasi hanya sekitar 33 % dan umumnya mereka yang tergolong dalam kelompok petani menengah dan kaya. Berdasarkan hasil dari serangkaian analisis tersebut, dapat disarikankan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap adopsi teknologi pengendalian hama PBK adalah: SL-PHT, keberadaan pembina, tingkat pendapatan petani, respon masyarakat terhadap perubahan, kesesuaian teknologi, jumlah anggota keluarga dan umur tanaman kakao kebun petani. Hampir seluruh faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK tersebut berada diluar jangkauan petani atau kemampuan petani untuk mengelolanya. Di samping itu, efektivitas dan efisiensi pengendalian hama PBK menuntut adanya kerjasama dan kesatuan gerak langkah dari para pelaku bisnis kakao. Oleh karena itu sangat dibutuhkan peran dan dukungan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk melaksanakan gerakan pengendalian hama PBK secara terpadu dan menyeluruh. Berbagai peran dan dukungan kebijakan yang diperlukan petani kakao akan dibahas lebih lanjut pada bab berikut ini.
IX. STRATEGI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KAKAO BERKELANJUTAN
Untuk melengkapi hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, berikut ini akan disajikan pendapat para pakar perkebunan kakao yang dikombinasikan dengan sintesa hasil penelitian ini dalam rangka memberikan arahan alternatif strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan. Pembahasan diawali dengan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan agribisnis perkebunan kakao, kondisi agribisnis perkebunan kakao saat ini dan kondisi yang diharapkan dapat dicapai di masa yang akan datang, serta beberapa arahan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan di Sulawesi Selatan. 9.1. Identifikasi Faktor-faktor yang Berpengaruh
Berdasarkan studi literatur, temuan di lapangan yang diperkuat dengan hasil wawancara dengan para petani, diskusi dengan pembina dan tokoh masyarakat serta diskusi dengan para pakar perkebunan kakao telah teridentifikasi 17 faktor penting yang dapat mempengaruhi keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Ke-17 faktor yang berpengaruh tersebut terdiri dari 5 faktor yang berpengaruh nyata terhadap adopsi teknologi pengendalian hama PBK yaitu: SL-PHT, keberadaan pembina, tingkat pendapatan petani, kesesuaian teknologi, dan jumlah anggota keluarga serta 12 faktor lain yang berpengaruh terhadap keberlanjutan perkebunan kakao. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Luas kebun kakao petani, yaitu luasan areal perkebunan kakao yang dimiliki individu petani yang dipergunakan dalam menjalankan kegiatan agribisnis kakao. 2. Keterampilan petani, yaitu kemampuan petani secara internal untuk dapat melakukan pengelolaan kebun kakao mulai dari penanaman hingga pasca panen, sehingga dapat menghasilkan biji kakao dengan kualitas sesuai permintaan pasar. 3. Ketersediaan
teknologi,
yaitu
tersedianya
teknologi
mutakhir
budidaya
perkebunan kakao dan teknologi untuk mengendalikan serangan hama PBK yang efektif dan efisien secara lokal.
171 4. Pelatihan, merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah maupun swasta dalam rangka alih teknologi dan penyuluhan kepada petani guna meningkatkan keterampilan petani. 5. Produksi dan produkktivitas; Produksi adalah kemampuan perkebunan kakao petani menghasilkan biji kakao, sedangkan produktivitas adalah kemampuan perkebunan kakao petani menghasilkan biji kakao per hektar kebun kakao. 6. Serangan hama PBK, yaitu intensitas serangan hama PBK terhadap perkebunan kakao petani yang menyebabkan menurunnya produksi maupun produktivitas perkebunan kakao petani. 7. Pendapatan petani adalah hasil perkalian produksi biji kakao dengan harga biji kakao yang diterima petani dan pendapatan merupakan motor penggerak bagi keberlanjutan usaha perkebunan kakao petani. 8. Ketersediaan saprodi, yaitu suatu kondisi dimana berbagai kebutuhan untuk menunjang produksi kebun petani baik berupa bibit, pupuk, obat-obatan dan peralatan pertanian tersedia secara lokal. 9. Ketersediaan kredit, yaitu tersedianya kredit berbunga eendah dan sistem administrasi yang sederhana sehingga dapat membantu petani maupun pengusaha perkebunan kakao dalam mengembangkan usahanya. 10. Biaya tenaga kerja, yaitu biaya yang dibutuhkan untuk mengupah tenaga kerja tambahan yang diperlukan oleh petani untuk membantu menyelesaikan berbagai pekerjaan di perkebunan kakao petani. 11. Kondisi infrastruktur, yaitu kondisi prasarana jalan, jembatan, pelabuhan dan lainlain yang mempengaruhi kelancaran aliran produksi kakao maupun sarana produksi yang dibutuhkan petani. 12. Kelembagaan petani, yaitu organisasi dan kelengkapannya yang menjadi tempat para petani melakukan kerjasama, meningkatkan keterampilan dan berbagai kegiatan lainnya, sehingga perkebunan kakao berjalan lancar dan memberikan pendapatan yang optimal. 13. Harga kakao, yaitu harga biji kakao di tingkat petani atau yang diterima petani kakao.
172 14. Dukungan kebijakan adalah dukungan kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang melandasi pembangunan perkebunan kakao. Kebijakan ini dapat berupa pemberian insentif kepada petani maupun pengusaha agribisnis kakao, kebijakan pewilayahan komoditas, kebijakan pembentukan lembaga yang dapat menjamin mutu dan harga kakao yang akan diperdagangkan. 15. Tenaga pembina, yaitu petugas dinas perkebunan dan penyuluh lapang yang membantu petani mengatasi berbagai persoalan terkait dengan pengelolaan kebun kakao petani. 16. Pengendalian hama PBK, yaitu tingkat keberhasilan program pengendalian hama PBK yang dijalankan oleh petani atas dukungan berbagai pihak yang terkait dan berkepentingan dengan keberlanjutan perkebunan kakao petani. 17. Jumlah anggota keluarga petani, yaitu jumlah orang yang menjadi tanggungan petani sebagai kepala keluarga. Hasil identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan perkebunan kakao tersebut selanjutnya dievaluasi dan diberikan nilai/skor hubungan antar faktor oleh para pakar di bidang agribisnis kakao untuk memperoleh atau menemukan faktor strategis yang berpengaruh. Hasil penilaian para pakar disajikan pada Tabel 32.
173 Tabel 32. Skor hasil penilaian para pakar terhadap pengaruh langsung antar faktor yang mempengaruhi sistem agribisnis kakao Dari ↓ Terhadap→ Luas Kebun Kakao Keterampilan Petani Ketersediaan Teknologi
Luas Kbn Kakao
Ketera mpilan Petani
1 2
Ketersedia Pelati Produksi Seranga an Tekhan & Produk- n Hama nologi Petani tivitas PBK
Pendap atan Petani
Keterse dian Saprodi
Keterse diaan Kredit
Biaya Tenaga Kerja
Kondisi Kelemb Harga Kebija Tenaga Infrastruk agaan Kakao kan Pembi-na tur Petani Pemda
Pengen dalian hama PBK
Jlh Anggota Kel.
-
1
3
2
3
1
3
2
2
1
2
1
2
3
2
-
2
3
-
3
-
2
2
1
-
3
1
-
3
-
2
3
-
3
1
2
2
1
2
3
2
2
3
-
2
1
2
-
-
2
1
2
2
-
3
3
-
2
3
1
3
1
2
-
3
3
2
3
1
3
1
1
2
2
-
3
2
1
3
-
1
3
1
2
1
2
2
1
3
2
3
-
-
2
2
2
2
2
-
3
3
2
3
3
2
3
-
1
2
2
1
-
3
1
-
3
1
2
-
-
2
2
1
3
-
2
1
2
-
3
3
1
2
-
3
3
Pelatihan Petani Produksi & Produktivitas Serangan Hama PBK
2
3
-
1
1
1
1
3
1
-
2
3
Pendapatan Petani Ketersedian Saprodi Ketersediaan Kredit Biaya Tenaga Kerja Kondisi Infrastruktur Kelembagaan Petani
3
2
-
1
2
2
2
1
-
2
3
2
3
3
3
3
2
3
2
3
3
2
1
-
2
2
1
3
-
-
2
2
2
2
1
2
3
3
1
-
-
2
3
3
2
1
1
2
2
-
1
Harga Kakao
2
-
1
2
3
2
3
1
3
2
2
-
Kebijakan Pemda
3
3
3
3
3
1
3
3
2
2
3
2
3
Tenaga Pembina Pengendalian hama PBK
-
2
3
3
2
-
2
1
-
1
2
2
1
-
2
-
-
1
3
3
3
-
-
1
1
2
3
1
1
Jlh Anggota Kel.
1
1
-
-
1
-
3
-
-
1
-
1
-
-
-
1
174 Berdasarkan hasil penilaian para pakar terhadap hubungan antar faktor tersebut diperoleh hasil analisis tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem agribisnis kakao petani di Sulawesi Selatan sebagai berikut (Gambar 8).
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem Agribisnis Kakao 2.00
Ketersediaan Teknologi
1.80
Luas Kebun Kakao
Produksi dan Prodktvs
Keterampilan Petani
1.60 Pelatihan Petani
Pengaruh
1.40 1.20
Ketersediaan Kredit Dukungan Kebijakan
1.00 0.80
Serangan Ketersedian SaprodiHama PBK Kelembagaan Petani Kondisi Infrastruktur Tenaga Pembina Biaya Tenaga Kerja
0.60
Pendapatan Petani Harga Kakao Pengendalian hama PBK
0.40 Jlh anggota keluarga
0.20 -
-
-
0.20
0.40
0.60
0.80 1.00 Ketergantungan
1.20
1.40
1.60
Gambar 8. Hasil analisis keterkaitan antar faktor yang mempengaruhi agribisnis kakao di Sulawesi Selatan. Pada Gambar 8 tampak ada tujuh faktor strategis yang mempengaruhi pengembangan perkebunan kakao berkelanjutan di Sulawesi Selatan yaitu: ketersediaan teknologi, keterampilan petani, dukungan kebijakan, luas kebun kakao petani, produksi dan produktivitas, pelatihan petani, dan ketersediaan kredit. Tiga faktor strategis yaitu ketersediaan teknologi, keterampilan petani dan dukungan kebijakan dikategorikan sebagai faktor penentu (input) dalam sistem agribisnis kakao karena faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang kuat terhadap faktor lainnya, tetapi ketergantungannya kepada faktor lain relatif lemah. Sementara itu faktor-faktor luas kebun kakao petani, produksi dan produktivitas, pelatihan petani, dan ketersediaan kredit merupakan faktor
175 penghubung dalam sistem agribisni kakao karena mempunyai pengaruh yang kuat kepada faktor lainnya dan juga mempunyai ketergantungan yang kuat terhadap faktor lainnya. Di samping itu terdapat tiga faktor terikat (output) yaitu; harga kakao, pengendalian hama PBK dan pendapatan petani yang akan menjadi sasaran akhir atau produk dari strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan. Ketiga faktor tersebut mempunyai karakteristik ketergantungan yang cukup kuat pada faktor lainnya, tetapi mempunyai pengaruh yang relatif lemah terhadap faktor lainnya. Sebagai faktor yang menjadi output atau sasaran dari pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan, ketiga faktor tersebut dapat dideskripsikan mulai dari kondisi yang paling pesimis, moderat sampai pada kondisi yang paling optimis. Kondisi pesimistik dari output yang diharapkan dapat terjadi apabila faktor input dan faktor penghubung berada pada kondisi dukungan yang sangat minimal, bahkan dapat dikatakan tidak memberikan dukungan bagi keberlanjutan perkebunan kakao. Sebaliknya kondisi output optimistik dapat dicapai apabila berbagai faktor input dan faktor penghubung berada dalam kondisi optimal guna memberikan dukungan penuh bagi pencapaian sasaran pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Sementara itu, kondisi moderat dari sasaran yang diinginkan dapat dicapai apabila kondisi faktor input dan faktor penghubung berada pada kombinasi kondisi dukungan minimal hingga kondisi dukungan optimal.
9.2. Kondisi Faktor-faktor yang Berpengaruh
Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor strategis dapat disusun berberapa kemungkinan keadaan atau kondisi dari masing-masing faktor strategis saat ini maupun kondisi di masa yang akan datang. Secara ringkas kondisi berbagai faktor strategis tersebut dapat dilihat pada Tabel 33. Pada Tabel 33 tampak adanya variasi berbagai kondisi faktor-faktor strategis yang secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Ketersediaan teknologi mutakhir, paling tidak berada dalam tiga kondisi yang dapat terjadi yaitu: a. Teknologi mutakhir terus berkembang dan tersedia secara lokal di dekat petani serta mudah diadopsi oleh petani. Kondisi ini tercipta apabila lembaga penelitian
176 khususnya Pusat Penelitian Kopi dan Kakao yang mendapat mandat dan bertanggungjawab atas kemajuan agribisnis kakao selalu siap menghasilkan teknologi baru dan lembaga penyaluran hasil penelitian tersedia dan terkoordinasi dengan baik, sehingga hasil-hasil penelitian tersedia secara lokal dekat petani. Tabel 33. Beberapa kemungkinan kondisi dari faktor-faktor yang berpengaruh No Faktor 1
2
Ketersediaan
1A
1B
1C
teknologi
Teknologi mutakhir terus berkembang dan tersedia secara lokal. 2A Kemampuan petani tinggi dan cepat mengadopsi teknologi baru yang tersedia dan pengalaman petani terus bertambah. 3A
Teknologi tersedia tetapi lambat sampai ke petani 2B Keterampilan petani cukup memadai, tetapi lambat menerima teknologi baru. 3B
Teknologi tidak tersedia secara lokal.
Adanya dukungan kebijakan pemerintah dengan sasaran program yang jelas dan dapat diimplementasikan karena didukung oleh institusi yang kuat. 4A Bertambah luas
Adanya dukungan kebijakan tetapi belum memiliki program yang jelas serta kurang didukung oleh institusi yang kuat 4B Tetap
5A
5B
Ketrampilan petani
3
Keadaan (Kondisi)
Kebijakan pemerintah
4
Luas kebun kakao
5
Produksi dan produktivitas
6
Pelatihan
7
Ketersediaan kredit
Tinggi (60% potensinya Sedang (50% dari = 1.500 kg/ha/tahun) potensinya = 1.250 kg/ha/tahun ) 6A 6B Pelatihan dan penyuluh Pelatihan dan terprogram dengan jelas penyuluh terprogram dan lerlaksana dengan tetapi dukungan baik. pembiayaan kecil.
2C Kemampuan dan keterampilan petani rendah serta sulit menerima teknologi baru 3C Tidak ada dukungan kebijakan dan program tidak jelas.
4C Berkurang (mengecil) 5C Rendah (kurang dari 1.000 kg/ha/tahun). 6C Tidak ada penyuluh dan pelatihan, petani melakukan kegiatan berdasarkan pengalaman sendiri. 7C
7A
7B
Adanya ketersediaan kredit perbankan dengan sistem administasi dan bunga yang rendah.
Ada kredit perbankan Tidak ada kredit dengan syarat perbankan tertentu dan sulit dipenuhi petani.
177
b. Teknologi mutakhir terus berkembang, tetapi lembaga penyaluran hasil penelitian tidak berfungsi atau berfungsi kurang optimal. Kondisi inilah yang terjadi di lokasi penelitian. c. Teknologi yang dihasilkan penelitian sangat minimal karena anggaran penelitian dan fasilitas penelitian tidak mendukung kegiatan penelitian. 2. Kondisi ketrampilan petani, paling tidak ada tiga kemungkinan yang terjadi yaitu: a. Kemampuan petani tinggi dan cepat mengadopsi teknologi baru yang tersedia dan pengalaman petani terus bertambah. Kondisi ini dapat tercipta apabila kegiatan penyuluhan, sekolah lapang dan pembinaan petani terprogram dengan baik dan berjalan lancar. b. Kemampuan, keterampilan petani memadai, tetapi agak lambat menerima teknologi baru dan kondisi ini merupakan hal yang umum terjadi di Indonesia karena petani pada umumnya memiliki berbagai keterbatasan. Kondisi ini yang saat ini dijumpai di Sulawesi Selatan. c. Kemampuan dan keterampilan petani rendah serta sulit menerima teknologi baru. Kondisi ini diperburuk lagi oleh tidak adanya tenaga penyuluh lapang yang dapat membantu memperbaiki keadaan. 3. Dukungan kebijakan pemerintah, paling tidak ada tiga kemungkinan yang terjadi yaitu: a. Pemerintah memberikan dukungan kebijakan secara penuh dengan memberikan bantuan fasilitas pendukung pengembangan agribisnis kakao mulai dari infrastruktur, tenaga pembina maupun penyediaan kredit kepada petani. Disamping itu dukungan
kebijakan pemerintah diwujudkan dengan adanya
program yang jelas dan dapat diimplementasikan karena didukung oleh institusi yang kuat. b. Dukungan kebijakan cukup memadai tetapi belum optimal, sehingga masih dijumpai berbagai kendala seperti yang terjadi pada saat penelitian ini dilakukan. c. Tidak ada dukungan kebijakan dan program pembangunan tidak jelas serta minimnya dukungan dana pembangunan.
178 4. Luas kepemilikan kebun kakao petani, paling tidak ada tiga kemungkinan yaitu: a. Kebun kakao petani bertambah luas karena adanya dukungan kebijakan, tersedianya fasilitas kredit dan serangan hama PBK terkendali. b. Luas kebun petani tetap karena kurangnya dukungan kebijakan dan hama PBK belum terkendali dengan baik. c. Luas kebun kakao petani berkurang karena serangan hama PBK tidak terkendali dan kebun kakao banyak yang rusak. 5. Produksi dan produktivitas kebun kakao juga memiliki tiga kemungkinan yang dapat terjadi yaitu: a. Produksi dan produktivitas meningkat paling tidak menyamai kondisi sebelum terserang hama PBK atau lebih tinggi lagi. Kondisi ini dapat terjadi apabila petani menggunakan teknologi maju yang tersedia dan memperoleh dukungan yang optimal dan serangan hama PBK dapat terkendali. b. Produktivitas tetap seperti saat penelitian ini dilakukan karena dukungan kebijakan belum optimal dan serangan hama PBK belum terkendali dengan baik. c. Produktivitas kebun kakao petani menurun karena pengendalian hama PBK tidak berhasil dan dukungan kebijakan tidak memadai serta hasil penelitian tidak sampai ke petani. 6. Pelatihan dan penyuluhan petani, yang mungkin terjadi adalah: a. Pelatihan dan penyuluhan kepada petani kakao terprogram dengan baik, sesuai kebutuhan dan memberikan hasil yang optimal b. Pelatihan dan penyuluhan kurang terprogram dan kegiatannya kurang lancar karena minimnya anggaran. c. Pelatihan dan penyuluhan kepada petani kakao tidak ada atau sangat kurang. 7. Ketersediaan kredit paling tidak ada tiga kondisi yang mungkin terjadi yaitu: a. Kredit tersedia dengan sistem administrasi sederhana dan bunga murah. b. Kredit tersedia tetapi sistem administrasinya rumit dengan tingkat bunga tinggi. c. Kredit untuk perkebunan tidak tersedia. Berdasarkan berbagai kondisi dari faktor-faktor strategis tersebut dapat disusun berbagai skenario yang diharapkan menjadi arahan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Kondisi yang ada saat penelitian dilakukan
179 menunjukkan bahwa faktor-faktor strategis tersebut umumnya berada pada kondisi moderat bahkan cenderung mengarah ke kondisi pesimis yaitu suatu kondisi kombinasi: 1B-2B-3B-4B-5C-6B/C-7B/C. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa teknologi mutakhir terus berkembang, tetapi lembaga penyaluran hasil penelitian tidak berfungsi atau kurang berfungsi optimal; Kemampuan dan keterampilan petani cukup memadai, tetapi agak lambat menerima teknologi baru; Dukungan kebijakan cukup memadai tetapi belum optimal, sehingga masih dijumpai berbagai kendala yang dihadapi petani; Luas kebun kakao petani relatif tetap; Produktivitas perkebunan kakao petani cenderung terus menurun karena serangan hama PBK belum terkendali; Pelatihan dan penyuluhan kurang terprogram dan kegiatannya kurang lancar karena minimnya anggaran; Kredit tersedia tetapi sistem administrasinya rumit dengan tingkat bunga cukup tinggi. Apabila kondisi ini tidak diperbaiki maka peran perkebunan kakao akan menurun dan keberlanjutannya terancam. Oleh karena itu perlu dikembangkan strategi pembangunan kearah yang lebih progresif dengan target utama serangan hama PBK dapat terkendali dan produktivitas dapat ditingkatkan. Skenario optimis dapat dicapai apabila kondisi faktor-faktor strategis merupakan kombinasi: 1A-2A-3A-4A-5A-6A-7A yaitu suatu kondisi dimana semua faktor strategis berada pada kondisi optimal untuk memberikan dukungan penuh bagi terlaksananya pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan. Kodisi berbagai faktor strategis tersebut menggambarkan keadaan sebagai berikut: a. Teknologi mutakhir selalu tersedia di dekat petani. b. Petani mempunyai kemampuan yang tinggi dan cepat dalam mengadopsi teknologi baru dan pengalaman terus bertambah. c. Adanya dukungan kebijakan pemerintah yang menjadikan sektor kakao sebagai sektor unggulan benar-benar terlaksana dengan baik. d. Luas kepemilikan kebun kakao petani bertambah berkat dukungan kebijakan pemerintah dan ketersediaan dana. e. Produktivitas kebun cukup tinggi paling tidak 60% dari potensinya (1.500 kg/ha).
180 f. Kegiatan pelatihan dan penyuluhan terprogram dan terlaksana dengan baik sesuai dengan kebutuhan petani. g. Kredit perbankan tersedia dengan sistem administrasi sederhana dan tingkat bunga yang rendah. Kondisi optimal dari berbagai faktor strategis tersebut dapat dicapai dengan melakukan berbagai perbaikan dan melakukan kegiatan pembangunan perkebunan kakao yang dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
9.3. Arahan Strategi Pembangunan Perkebunan Kakao Berkelanjutan
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa output yang ingin dicapai dalam pembangunan perkebunan kakao yang berkelanjutan adalah: serangan hama PBK dapat terkendali, harga kakao stabil pada tingkat yang menguntungkan petani dan sasaran pendapatan petani kakao minimal sebesar US $ 1.500/KK/tahun tercapai. Sementara itu kondisi berbagai faktor strategis saat ini umumnya berada pada kondisi moderat, bahkan beberapa berada pada kondisi minim dalam memberikan dukungan bagi terlaksananya pembangunan perkebunan kakao yang berkelanjutan. Oleh karena itu diperlukan kerja keras dan perubahan yang cukup mendasar dalam perencanaan maupun pelaksanaan program pembangunan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Salah satu kendala utama bagi keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan adalah serangan hama PBK. Pada saat penelitian dilakukan, serangan hama PBK sudah sangat merugikan petani kakao dan sangat berpotensi melahirkan kantong-kantong kemiskinan di sentra produksi kakao serta menjadi ancaman yang serius bagi keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Hama PBK tidak bisa lagi disamakan dengan organisme pengganggu tanaman lainnya, karena itu program pengendalian hama PBK tidak cukup hanya dimasukkan dalam dokumen “Rencana Strategis Pembangunan Sektor Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2005-2010”, tetapi perlu ditindak lanjuti dengan suatu program yang jelas dan terarah. Berbagai arahan kebijakan dan langkah operasional yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dan pelaku agribisnis perkebunan kakao di Sulawesi Selatan secara ringkas adalah sebagai berikut.
181 9.3.1. Peningkatan Produktivitas Perkebun Kakao
Produktivitas perkebunan kakao Sulawesi Selatan beberapa tahun terakhir mengalami penurunan karena adanya serangan hama PBK dan kurang intensifnya pengelolaan kebun. Pada tahun 2005, produktivitas perkebunan kakao Sulawesi Selatan rata-rata hanya 931,7 kg/ha/tahun atau turun 29,6% dari produktivitas rata-rata tahun 2003 yang besarnya mencapai 1.324 kg/ha/tahun (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004a dan 2006). Upaya untuk meningkatkan produktivitas perkebunan kakao Sulawesi Selatan paling tidak menyamai produktivitas rata-rata tahun 2003 membutuhkan kerja keras dan program yang jelas serta terarah. Para pengambil kebijakan, peneliti dan pelaku bisnis kakao perlu memusatkan perhatiannya pada permasalahan utama yang dihadapi yaitu belum terkendalinya serangan hama PBK dan makin meluasnya perkebunan kakao yang perlu direhabilitasi/diremajakan karena umur tanamannya sudah tua. Pengendalian hama PBK tidak akan efektif dan efisien jika hanya dilakukan secara individu atau kelompok petani yang terbatas. Pengendalian hama PBK memerlukan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dengan peningkatan produksi kakao secara komprehensif. Langkah operasional utama yang perlu dilakukan adalah merumuskan dan melaksanakan program pengendalian hama PBK secara terpadu dan menyeluruh. Program pengendalian hama PBK dilakukan melalui perbaikan sistem budidaya dengan menerapkan teknologi PsPSP. Jika memungkinkan perbaikan sistem budidaya tersebut diikuti dengan upaya peremajaan atau rehabilitasi perkebunan kakao yang rusak atau kurang produktif dengan menggunakan klon unggul.
9.3.2. Penyediaan Teknologi Mutakhir Secara Lokal
Penyediaan teknologi mutakhir spesifik lokasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi terlaksananya pembangunan pertanian yang progresif (Mosher 1971). Pada saat ini kinerja berbagai lembaga yang terkait dengan penyediaan teknologi umumnya masih rendah karena berbagai kendala terutama keterbatasan dana dan tenaga profesional, serta ketidakjelasan tugas dan fungsi masing-masing lembaga/instansi terkait. Dukungan kebijakan dan ketersediaan dana sangat dibutuhan untuk membenahi kondisi faktor strategis ini.
182 Lembaga penelitian kakao nasional yaitu Pusat Penelitian Kopi dan Kakao yang berada di Jember, Jawa Timur sebagai pemegang mandat dan bertanggungjawab bagi kemajuan perkebunan kakao nasional selalu menghasilkan teknologi budidaya kakao yang dibutuhkan secara berkesinambungan. Namun kerberhasilan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao menemukan berbagai teknologi mutakhir ternyata belum ditunjang oleh kesiapan Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPPT) Sulawesi Selatan untuk melakukan uji lokasi dan kesiapan lembaga penyuluhan serta dinas terkait untuk segera menyebarluaskan hasil-hasil penelitian yang tersedia. Oleh karena itu penyediaan teknologi mutakhir secara lokal dan bisa diterima oleh petani perlu terus ditingkatkan, khususnya untuk mengatasi permasalahan hama PBK yang menjadi permasalahan utama perkebunan kakao di Sulawesi Selatan saat ini.
9.3.3. Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Petani
Pengetahuan dan pengalaman petani melakukan budidaya kakao sebenarnya cukup memadai. Namun dengan adanya serangan hama PBK yang sulit dikendalikan oleh petani menyebakan sebagian petani mulai pasrah dan membiarkan kebun kakaonya terlantar. Situasi ini perlu diubah dengan memberikan semangat baru dan mengupayakan terciptanya kebersamaan di antara petani. Upaya untuk membangkitkan kembali semangat petani dalam mengelola perkebunan kakaonya dapat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan serta dukungan permodalan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan perlu dilakukan melalui kegiatan pelatihan dan penyuluhan secara terprogram dan terarah dengan metode sekolah lapang. Melalui sekolah lapang diharapkan akan lahir kebersamaan petani untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi. Pembenahan faktor strategis ini menuntut dukungan kebijakan dan pendanaan terutama untuk membenahi atau merevitalisasi lembaga dan program penyuluhan. Salah satu program kerja yang sangat mendesak dibenahi adalah program pengendalian hama PBK secara terpadu dan menyeluruh. Pelaksanaan program pengendalian hama PBK sangat membutuhkan dukungan penelitian, kemantapan lembaga penyuluhan, profesionalisme tenaga penyuluh serta dukungan fasilitas dan pendanaan yang memadai. Oleh karena itu peran dan dukungan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sangat dibutuhkan.
183
9.3.4. Dukungan Kebijakan Pemerintah
Dukungan kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah merupakan faktor strategis yang sangat dibutuhkan perannya dalam menciptakan kondisi faktor strategis lain ke posisi yang dapat memberikan dukungan secara optimal bagi terlaksananya pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Dukungan kebijakan yang sangat diperlukan antara lain: mempersiapkan tenaga pembina agar menjadi tenaga yang profesional, penyediaan teknologi mutakhir yang sesuai dan efektif secara lokal, penyusunan program pengendalian hama PBK yang jelas dan terarah, penyediaan dana untuk penyuluhan dan pembinaan petani, penyediaan kredit bunga bersubsidi untuk modal petani serta memperbaiki berbagai infrastruktur dan prasana penunjang lainnya seperti jalan, terminal dan pelabuhan. Adanya program revitalisasi perkebunan kakao yang baru-baru ini dicanangkan oleh pemerintah pusat diharapkan dapat dijadikan sebagai momentum untuk membantu petani kakao mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi. Pemerintah daerah seyogyanya mengambil inisiatif memfasilitasi petani untuk memanfaatkan dana kredit bersubsidi yang disediakan pemerintah pusat melalui bank nasional seperti BRI dan Bank Mandiri. Berbagai langkah yang perlu dilakukan pemerintah daerah untuk memanfaatkan fasilitas kredit bersubsidi tersebut antara lain: a. Mempersiapkan dan memantapkan kelembagaan ekonomi petani (kelompok tani) dalam suatu hamparan kebun di suatu wilayah administratif tertentu. b. Mempersiapkan/menyusun program kerja gerakan pengendalian hama PBK secara terpadu dan menyeluruh yang kegiatannya meliputi: rehabilitasi/ peremajaan kebun, pemangkasan bentuk tanaman kakao, panen sering, sanitasi dan pemupukan berimbang, serta melakukan penyemprotan pestisida jika benarbenar dibutuhkan. c. Memfasilitasi proses pengajuan dan pencairan kredit revitalisasi perkebunan kakao, sekaligus memberikan jaminan dan pengawasan dalam pemanfaatan dan pengembalian kredit petani sesuai dengan yang diprogramkan.
184 d. Memberikan bantuan pembinaan, baik terhadap petani secara individu maupun petani dalam kelompok taninya serta pembinaan kelembagaan ekonomi petani. Dengan berbagai dukungan kebijakan tersebut diharapkan kegiatan pembangunan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan terus berlanjut, berbagai permasalahan yang dihadapi petani dapat teratasi dan sasaran pembangunan untuk mensejahterakan masyarakat secara keseluruhan dapat segera terwujud.
X. KESIMPULAN DAN SARAN 10.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Sektor ekonomi kakao telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan memberikan peran yang cukup besar bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan khususnya dalam menghasilkan output, PDRB, ekspor dan penyerapan tenaga kerja. Namun sebagai sektor ekonomi yang baru berkembang, sektor ekonomi kakao belum memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor perekonomian lainnya, sehingga dukungannya terhadap pertumbuhan ekonomi regional relatif rendah. 2. Pesatnya pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan telah membentuk hamparan perkebunan kakao yang saling sambung menyambung, sehingga menjadi lingkungan yang kondusif bagi perkembangan dan penyebaran organisme pengganggu tanaman khususnya hama PBK. Di samping itu, pengembangan perkebunan kakao hampir seluruhnya dilakukan oleh petani tanpa memperhatikan
kaidah-kaidah
konservasi,
sehingga
menimbulkan
biaya
eksternalitas yang relatif besar dan berpotensi terus meningkat dengan makin mengganasnya serangan hama PBK. Sementara itu, total biaya eksternalitas perekonomian regional Sulawesi Selatan yang teridentifikasi relatif rendah (2,53% nilai output).
Meskipun demikian, perlu diwaspadai karena biaya
eksternalitas umumnya bersifat akumulatif dan akan membebani generasi kini dan generasi mendatang. 3. Internalisasi biaya eksternalitas menyebabkan penurunan nilai output dan PDRB serta perubahan nilai pengganda output, pendapatan, tenaga kerja dan indeks keterkaitan antar sektor ekonomi. Arah perubahan nilai pengganda tergantung pada besarnya biaya eksternalitas masing-masing sektor ekonomi dan keterkaitan antar sektor ekonomi. Namun ada kecenderungan analisis IO konvensional menghasilkan nilai pengganda output sektor ekonomi pengguna output sektor penghasil biaya eksternalitas dan nilai pengganda pendapatan sektor ekonomi
186
penghasil biaya eksternalitas yang terlalu tinggi (over estimate) dari yang seharusnya. 4. Serangan hama PBK menyebabkan penurunan produksi kakao rata-rata mencapai 50% dengan kisaran 10% hingga 90% dan sudah sangat merugikan petani serta menjadi ancaman yang serius bagi keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Apabila serangan hama PBK tidak segera dikendalikan akan berdampak nyata bagi perekonomian regional dan pada gilirannya akan meningkatkan biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao. Serangan hama PBK yang cukup berat dapat menurunkan produksi kakao hingga 75%, sehingga pangsa PDRB kakao turun dari 4,65 % menjadi hanya 0,54%. Peringkat kakao dalam menghasilkan PDRB turun dari posisi 10 ke posisi 22 dari 25 sektor ekonomi yang dianalisis. 5. Program pengendalian hama PBK berjalan lambat karena banyak faktor yang berpengaruh. Pada tahap awal proses adopsi teknologi yaitu proses perubahan pengetahuan petani dipengaruhi oleh keberadaan sekolah lapang (SL-PHT), pendapatan petani dan respon masyarakat terhadap perubahan. Pada tahap pembentukan sikap, faktor yang berpengaruh adalah tingkat pengetahuan petani, pendapatan, kesesuaian teknologi dan jumlah anggota keluarga petani. Sedangkan faktor yang mempengaruhi tindakan petani untuk mengadopsi teknologi PsPSP adalah sikap petani, keberadaan pembinan, umur tanaman kakao dan tingkat pendapatan petani. 6. Pembangunan sistem agribisnis kakao di Sulawesi Selatan dipengaruhi oleh beberapa faktor strategis yang meliputi: ketersediaan teknologi, keterampilan petani, dukungan kebijakan, luas perkebunan kakao petani, produksi dan produktivitas, pelatihan petani, dan ketersediaan kredit. Faktor-faktor strategis tersebut umumnya berada pada kondisi moderat dan cenderung mengarah ke kondisi pesimis. Apabila kondisi ini tidak diperbaiki maka peran perkebunan kakao akan terus menurun dan keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan terancam. Oleh karena itu perlu dikembangkan strategi pembangunan perkebunan kakao yang progresif dan berkelanjutan dengan memperbaiki dan membenahi faktor-faktor strategis tersebut secara terus menerus.
187
10.1. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1. Peran kakao dalam struktur perekonomian regional Sulawesi Selatan cukup besar, tetapi dukungannya dalam memacu pertumbuhan ekonomi regional masih lemah. Oleh karena itu perlu upaya pengembangan industri pengolahan kakao guna meningkatkan nilai tambah sekaligus meningkatkan peran kakao dalam memacu pertumbuhan ekonomi regional. 2. Penelitian ini belum berhasil sepenuhnya mengidentifikasi biaya eksternalitas perekonomian regional Sulawesi Selatan. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut guna memperoleh data dan informasi yang lebih lengkap mengenai biaya ekternalitas perekonomian regional terutama dari sektor ekonomi yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan seperti pertambangan nikel dan industri semen. 3. Mengingat adanya perbedaan hasil analisis IO konvensional dan IO yang dikoreksi biaya eksternalitas, maka perlu berhati-hati dalam menggunakan hasil analisis IO konvensional terutama apabila terdapat sektor ekonomi yang menghasilkan biaya eksternalitas relatif besar dan berpengaruh nyata terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya. 4. Untuk mengurangi biaya eksternalitas sektor ekonomi kakao sekaligus menjaga keberlanjutan perkebunan kakao Sulawesi Selatan, maka perlu adanya perbaikan sistem budidaya kakao ke arah yang lebih ramah lingkungan, melaksanakan program pengendalian hama PBK secara terpadu dan menyeluruh, serta melakukan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan penegakan hukum atas pelanggaran RTRW. 5. Perbaikan sistem budidaya dengan menerapkan teknologi pengendalian hama PBK PsPSP tidak memberikan hasil yang optimal, jika hanya dilakukan oleh sebagian petani kakao. Di samping itu terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi yang berada diluar jangkauan petani kakao. Oleh karena itu, diperlukan dukungan kebijakan pemerintah untuk melakukan
188
gerakan pengendalian hama PBK secara massal dan menyeluruh. Dukungan kebijakan yang diperlukan petani kakao antara lain: penyediaan tenaga pembina/penyuluh yang profesional dengan fasilitas yang memadai, penyediaan teknologi mutakhir yang sesuai dan penyediaan kredit dengan bunga yang rendah. 6. Mengingat beragamnya kondisi perkebunan kakao rakyat dan beragamnya kondisi sosial ekonomi petani, maka perlu penelitian lebih lanjut guna merumuskan program dan kegiatan pembangunan perkebunan kakao yang lebih operasional dan spesifik lokasi.
189
DAFTAR PUSTAKA
Akiyama, T. dan A. Nishio. 1997. Sulawesi’s cocoa boom: lessons of smallholder dynamism and a hands-off policy. Bulletin of Indonesian Economic Studies 33 (2): 97-121. Amin, M.T, E.T. Primiantoro, N. Tahir, D.W. Kawer, Kartina dan A. Samr. 2005. Ekosistem Danau Tempe 2005; Mengenali Kompleksitas Permasalahan, Menata Masa Depan yang Lebih baik. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi Maluku dan Papua. Makassar. Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE, Yogyakarta. Asian Developmant Bank. 1994. Study on Monitoring the Impact of Policy Changes and Investment on the Tree Crop Sector-Indonesia. Asian Developmant Bank – T.A. No. 1836-INO. Badan Pusat Statistik. 1998. Statistik Indonesia Tahun 1997. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------------------------. 1999. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input Output. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------------------------. 2000. Teknik Penyusunan Tabel Input-Output. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan. 1997. Produk Domestik Regional Bruto Sulawesi Selatan Tahun 1996. BPS Provinsi Sulawesi Selatan, Ujung Pandang. ------------------------------------------------------------. 1998. Tabel Input-Output Sulawesi Selatan 1995. Kantor Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, Ujung Pandang. ------------------------------------------------------------. 1999. Sulawesi Selatan Dalam Angka 1998. BPS Provinsi Sulawesi Selatan, Ujung Pandang. ------------------------------------------------------------. 1999a. Produk Domestik Regional Bruto Sulawesi Selatan Tahun 1999. BPS Provinsi Sulawesi Selatan, Ujung Pandang. ------------------------------------------------------------. 2003. Produk Domestik Regional Bruto Sulawesi Selatan Tahun 2002. BPS Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. ------------------------------------------------------------. 2004. Sulawesi Selatan dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar.
190
------------------------------------------------------------. 2004a. Produk Domestik Regional Bruto Sulawesi Selatan Tahun 2003. BPS Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. ------------------------------------------------------------. 2004b. Statistik Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulawesi Selatan 2003. BPS Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. ------------------------------------------------------------. 2005. Produk Domestik Regional Bruto Sulawesi Selatan Tahun 2004. BPS Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Balai Penelitian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. 2004. Pewilayahan Komoditas Pertanian Melalui Pendekatan Zona Agroekologi di kabupaten Polewali Mamasa, Sulawesi Barat. Balai Penelitian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Makassar. Bann, C. 1997. The Economic Valuation of Tropical Forest Land Use Options: A Manual for Researchers. Economy and Environment Program for Southeast Asia. http://www.idrc.ca/uploads/user-S/10916232241spcbann1.pdf Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan. 2003. Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2003. Buku I: Laporan Utama. Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. ------------------------------------------------. 2004. Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2004. Buku I: Laporan Utama. Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. ------------------------------------------------. 2004a. Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2004. Buku II: Basis Data. Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Barani, H.M. 2005. Model Pengelolaan Perikanan di Wilayah Padat Tangkap: Kasus Perairan Laut Sulawesi Selatan Bagian Selatan. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Barbier, E.B. 2000. Links between economic liberalization and rural resource degradation in the developing regions. Agricultural Economics (23): 299310. Brown, L.R. 1995. Masa Depan Bumi. Terjemahan Hermoyo. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Capra, F. 2002. Titik Balik Peradaban. Terjemahan M. Thoyibi. Bintang Budaya, Yogyakarta.
191
Day, R.K., J.D. Mumford dan H.S. Hing. 1994. Adult resting sites as a target for chemical control of the cocoa pod borer, Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae), in Malaysia. Bulletin of Entimological Research 85:45-52. Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB. 2005. Teori Input-Output. Bahan Pelatihan teknik perencanaan wilayah dan ekonometrika, paket A. Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB, Bogor. Depparaba, F. 2002. Penggerek Buah kakao (Conopomorpha cramerella Snellen) dan Penanggulangannya. Jurnal Litbang Pertanian, 21(2):69-74. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2003. Peta Kehilangan Hutan Dataran Rendah, Hutan Sub Pegunungan, dan Hutan Pegunungan 1985-1997. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan. 1991. Laporan Tahunan 1990. Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, Ujung Pandang. -------------------------------------------------------. 1996. Laporan Tahunan 1995. Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, Ujung Pandang. -------------------------------------------------------. 1997. Laporan Tahunan 1996. Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, Ujung Pandang. ------------------------------------------------------. 1998. Laporan Tahunan 1997. Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, Ujung Pandang. ------------------------------------------------------. 1999. Laporan Tahunan 1998. Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, Ujung Pandang. -------------------------------------------------------. 1999ª. Statistik Perkebunan Sulawesi Selatan Tahun 1998. Dinas Perkebunan Provinsi Dati I Sulawesi Selatan, Ujung Pandang. -------------------------------------------------------. 2000. Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu Pemandu Lapang PL II Kakao di Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada International Workshop on Suatainable Cocoa Production in Indonesia, pada tanggal 13-14 Juni 2000 di Makassar. -------------------------------------------------------. 2003. Rencana Strategis Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2003-2007. Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. -------------------------------------------------------. 2004. Laporan Tahunan Dinas Perkebunan Tahun 2003. Dinas Perkebunan Provinsi Dati I Sulawesi Selatan, Makassar.
192
-------------------------------------------------------. 2004a. Statistik Perkebunan Sulawesi Selatan Tahun 2003. Dinas Perkebunan Provinsi Dati I Sulawesi Selatan, Makassar. -------------------------------------------------------. 2004b. Rencana Strategis Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2005-2010. Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. -------------------------------------------------------. 2006. Statistik Perkebunan Sulawesi Selatan Tahun 2005 (Revisi). Dinas Perkebunan Provinsi Dati I Sulawesi Selatan, Makassar. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2004. Kebijakan Pola Pengembangan Perkebunan Kakao Indonesia. Makalah disampaikan pada Simposium kakao 2004, pada tanggal 4-5 Oktober 2004 di Yogyakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia 2003-2005, Kakao. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Djajadiningrat, S.T. 2001. Untuk generasi masa depan: Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi ITB, Bandung. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan; Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Gibbs, M.J., D. Conneely, D. Johnson, K.R. Lasse, and M. J. Ulyatt. (Tanpa Tahun). CH4 EMISSIONS FROM ENTERIC FERMENTATION. http://www.ipccnggip.iges.or.jp/public/gp/bgp/4_1_CH4_Enteric_Fermentation.pdf Gubernur Sulawesi Selatan, 2004. Laporan Pertanggungjawaban Akhir Tahun Anggaran 2003 Gubernur Sulawesi Selatan. Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Hardjoamidjojo, H. 2002. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hassall & Associates Pty Ltd. 1999. Greenhouse, Carbon Trading and Land Management. Land and Water Resources Research and Development Corporation. http://www.lwa.gov.au/downloads/publications_pdf/PR990302.pdf Hayami, H., M. Nakamura, M. Suga, and K. Yoshioka. 1997. Environmental Management in Japan: Applications of Input-Output Analysis to the Emission of Global Warming Gases. Managerial and Decision Economic. Vol. 18: 195208. Hendriks, C.A., E. Worrell, D. de Jager, K. Blok, and P. Riemer. 2004. Emission Reduction of Greenhouse Gases from the Cement Industry. IEA Greenhouse Gas R&D Programme, Cheltenham, UK. http://www.ieagreen.org.uk/prghgt 42.htm
193
Hendrisman, Suhendra, Iskandar dan Dachlan. 2005.Identifikasi dan Evaluasi Potensi Lahan Untuk Mendukung Primatani di Kamanre-Belopa, Luwu, Sulawesi Selatan. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Hinterberger, F. and S. Giljum. 2003. Modelling global resource use: MFA, land use and input-output models. Paper prepared for presentation at the workshop “Quo vadis, MFA?” Wuppertal Institute, 9-10 October 2003. Humphreys, K. and M. Mahasenan. 2002. Toward a Sustainable Cement Industry Substudy 8: Climate Change. World Business Council for Sustainable Development. http://www.wbcsdcement.org. Indonesia Cement Association, 2004. Indonesia Cement Statistic 2004. Indonesia Cement Association. Jakarta. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2001. Revised 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories (IPCC,1996). http://www.ipcc-nggip.iges.or.jp/public/gl/ invs5.htm (1996). Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2003. Good Practice Guidance for Land Use, Land-Use Change and Forestry. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme - Technical Support Unit, C/o Institute for Global Environmental Strategies. 2108 -11, Kamiyamaguchi. Hayama, Kanagawa. http://www.ipcc-nggip.iges.or.jp International Cocoa Organization. 2003. Quarterly bulletin of cocoa statistics: Cocoa Year 2002/03. International Cocoa Organization XXIX (2): 1-71 International Cocoa Organization, 2006. Quarterly bulletin of cocoa statistics: Cocoa Year 2005/06. International Cocoa Organization XXXII (1): 1-101 Iswanto, A. Dan A. Purwantara (2005). Sambung Samping Untuk Rehabilitasi Tanaman Kakao Non Produktif dan Pengalaman Pengelolaan Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) dan Penyakit Busuk Buah dengan Panen Sering. Makalah pada Seminar Nasional Akselarasi Inovasi Teknologi Spesifik Lokasi Menuju Pertanian Berkelanjutan, Kendari, 18-19 Juli 2005. Jotzo, F. 2001. Indonesia’s Position In Global Carbon Market dalam National Strategy Study On Clean Development Mechanism In Indonesia. Ministry of Environment Republic of Indonesia, Jakarta. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997. Agenda 21 Indonesia; Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
194
Krieger, D.J. 2001. The economic value of forest ecosystem services a review. The Wilderness Society, Washington D.C. http://www.wilderness.org/Library/ Documents/upload/Economic-Value-of-Forest-Ecosystem-Services-AReview.pdf Kulshreshtha, S.N., M. Bonneau, M. Boehm,J.C. Giraldez. 1999. Canadian Economic And Emissions Model For Agriculture. Agriculture and Agri-Food Canada, Ottawa. http://www.agr.gc.ca/spb/rad-dra/publications/greenhsgs/ ceema/rport1_e.pdf Kuncoro, M. 2003. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. UPP AMP YKPM, Yogyakarta. Latif, A. 1995. Tingkat Adopsi Teknologi Usahatani Menetap pada Petani Bekas Peladang Berpindah: Studi kasus di Kecamatan Rungan, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Tesis Magister Sains Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lu, W.F., W. Chen, B.W. Duan, W.M. Guo, Y. Lu, R.S. Latin, R Wassmann dan H.U. Neue. 2000. Methane emissions and mitigation options in irrigated rice fields in Southeast China. Nutrient Cycling in Agroecosystems 58 (1-3):6573. Manurung, E.G.T. 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Natural Resources Management Program, Jakarta. http://nrm.bappenas.go.id/Doc/Rpt_Tech/%2360%20Palm%20Oil%20Study. pdf Meiviana, A., D.R. Sulistiowati dan M.H. Soejachmoen. 2004. Bumi Makin Panas; Ancaman Perubahan Iklim Di Indonesia. Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan Yayasan Pelangi Indonesia, Jakarta. Miller, R.E. dan P.D. Blair. 1985. Input-Output Analysis: Foundations and Extentions. Prentice-Hal, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Mitchell, B., B. Setiawan, D.H. Rahmi, 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Morgan, RPC. 1986. Soil Erosionin and Conservation. Longman Scientific & Technical. John Wiley & Sons, Inc. New York. Mosher A.T. 1971. Menggerakkan dan Membangun Prtanian. Disadur oleh Ir. S. Krisnandhi dan Bahrin Samad. Penerbit CV Jasaguna, Jakarta. Munasinghe, M. 1993. Environmental Economic and Sustainable Development. The World Bank, Washington, D.C.
195
Mustafa, B. 2005. Pengkajian Tentang Efektivitas dan Efisiensi Beberapa Metode Pengendalian Penggerek Buah Kakao; Conopomorpha cramerella Snellen (Lepidoptera: Gracillariidae). Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Naharia, O. 2004. Teknologi Pengairan dan Pengolahan Tanah pada Budidaya Padi Sawah untuk Mitigasi Gas Metana (CH4). Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Najmulmunir, N. 2001. Dampak Pembangunan Ekonomi Terhadap Perkembangan Wilayah dan Kualitas Lingkungan Suatu Pendekatan Input Output Kasus di Provinsi Lampung. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Natsir, H.A. 2004. Sulawesi Selatan Mencanangkan Program Peningkatan Daya Saing Komoditas Unggulan Pertanian. Media Penelitian dan Pengembangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Partohardjono, S. 1999. Upaya Peningkatan Efisienai Penggunaan Pupuk Nitrogen untuk Menekan Emisi Gas N2O dari Lahan Sawah. Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah, Tanggal 24 April 1999 di Bogor. Pearce, D.W. 2001. The Economic Value of Forest Ecosystems. Ecosystems Health 7 (4): 284-296. Pearce, D.W. and C.G.T. Pearce. 2001. The value of forest Ecosystems. (CBD Technical Series no. 4). Secretariat Convention on Biological Diversity. Montreal, Quebec, Kanada. http://www.biodiv.org/doc/publications/cbd-ts04.pdf Pearce, D.W. and D. Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. IUCN-The World Conservation Union. Earthscan Publications Ltd, London. Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, 2003. Rencana Strategis Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan 2003-2008. Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Pindyck, R.S. dan D. L. Rubinfeld. 1998. Econometric Model and Economic Forecasts. Fourth Edition. Irwin/Mc Graw-Hill. New York. PT International Nickel Indonesia, 2004. Laporan Tahunan 2003. PT International Nickel Indonesia Tbk (PT Inco), Jakarta. ------------------------------------------, 2005. Laporan Tahunan 2004. PT International Nickel Indonesia Tbk (PT Inco), Jakarta.
196
Raharjo, M.D. 1984. Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja. Penerbit Unversitas Indonesia, Jakarta. Rahim, S.E. 2000. Pengendalian Erosi Tanah, dalam Rangka Pelestarian Lingkungan hidup. Bumi Aksara, Jakarta. Roesmanto, J. 1991. Kakao: Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta. Rogers, E.M. 1995. Diffusion of Innovations. The Free Press, New York. Sadono, D. 1999. Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani. Tesis Magister Sains Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Salim, E. 2005. Pembangunan Berkelanjutan ke Arah Nyata dengan CDM. Makalah disampaikan dalam diskusi panel “Peresmian Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih” di Jakarta, tanggal 27 Oktober 2005. Setyanto, E. 1993. Hubungan Karakteristik Petani dan Keterlibatannya dalam Jejaring Komunikasi dengan Adopsi Paket Teknologi Supra Insus di Desa Pandeyan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa tengah. Tesis Magister Sains Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Silva, M.A.S. 2001. Environmental Input-Output Analysis:Application to Portugal. Thesis Master pada UNIVERSIDADE TÉCNICA DE LISBOA, INSTITUTO SUPERIOR TÉCNICO. http://in3.dem.ist.utl.pt/master/thesis/99files/thesis01pdf Siregar, M., V. Darwis, C. Muslim dan D. Hidayat. 2003. Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan PHT dalam Rangka Mendorong Pengembangan Agribisnis Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembanmgan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Sjahrir, 1986. Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok: Sebuah tinjauan prospektif. LP3ES, Jakarta. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Unversitas Indonesia, Jakarta. Soemarwoto, O. 2001. Atur Diri Sendiri; Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sulistyowati, E. dan A.A. Prawoto. 1993. Hama penggerek buah kakao (PBK) di Sulawesi Tengah dan uji coba sistem pangkasan eradikasi (SPE) untuk penanggulangannya. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (15): 20-28.
197
Suparmoko, M. 2002. Buku Pedoman Penilaian Ekonomi: Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Konsep dan Metode Penghitungan). BPFE , Yogyakarta. Suparmoko, M. dan M. R. Suparmoko. 2000. Ekonomika Lingkungan. BPFE, Yogyakarta. Suratno,W. 1997. Fluks Nitrous Oksida (N2O) dari Tanah Sawah: Pengaruh Teknik Irigasi, Pupuk Urea dan Varietas Padi. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi, Yogyakarta. Tacconi, L. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. Center for International Forestry Research. http://www.cifor.cgiar.org Tarigan, R. 2004. Ekonomi Regional; Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta. Toana, M. H. 1997. Bionomi Hama Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snellen) (Lepidoptera: Lithocolletidae) pada Kultivar Trinitario dan Amekonado. Tesis Magister Sains Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wassmann, R., H.U. Neue, R.S.Latin, L.V. Buendia dan H. Rennenberg. 2000. Characterization of methane emissions from rice fields in Asia: I. Comparison among field sites in five countries. Nutrient Cycling in Agroecosystems 58(1-3):1-12. Wati, E. E. 2002. Kajian Biofisik, Sosial Ekonomi dan Budaya DAS Saddang. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Wilayah Indonesia Bagian Timur, Badan Litbang Kehutanan, Makassar. Wiryadiputra, S. 1993. Kajian Aspek Biologi dan Metoda Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao (PBK). Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (15): 4-12. Wood, B.J. 1987. Prospect for The Management of The Cocoa Pod Borer in Malaysia. Proceeding Symposium on Management of Tthe Cocoa Pod Borer. Malaysian Plant Protection Society, Kuala Lumpur, Malaysia, p:139-165. Yusnadi. 1992. Adopsi Petani Kopi dalam Pengembangan Kebun Kopi Rakyat: Kasus petani kopi di Kecamatan Bandar, Kabupaten Aceh Tengah, D.I. Aceh. Tesis Magister Sains Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
198 Lampiran 1. Klasifikasi Sektor Tabel I-O Sulawesi Selatan Tahun 2000 yang Disederhanakan dari 112 Sektor Menjadi 25 Sektor Kode 01 02
Klasifikasi 25 Sektor Nama Sektor/Komoditas Padi Bahan makanan lainnya (Tabama lainnya)
03 04 05
Kopi Kakao Perkebunan lainnya
06
Peternakan
07
Kehutanan
08 09 10
Perikanan laut Budidaya udang Budidaya bandeng, ikan & lainnya Pertambangan nikel Pertambangan dan galian lainnya
11 12
13 14 15
Industri biji-bijian kupasan, coklat & k gula Industri kopi giling dan kupasan Industri makanan & minuman
Klasifikasi 112 Sektor Kode Nama Sektor/Komoditas 001 Padi 002 Jagung 003 Ketela Pohon 004 Umbi-Umbian Lainnya 005 Kacang Tanah 006 Kedelai 007 Kacang-Kacangan Lainnya 008 Sayur-sayuran 009 Buah-Buahan 010 Padi-Padian dan Bahan Makanan Lainnya 020 Hasil Pertanian Lainnya 015 Kopi 017 Kakao 011 Karet 012 Tebu 013 Kelapa 014 Kelapa Sawit 016 Cengkeh 018 Jambu Mete 019 Hasil Perkebunan Lainnya 021 Sapi 022 Ternak Lainnya & Hasil-Hasilnya (termasuk susu segar) 023 Unggas dan Hasil-Hasilnya 024 Ulat Sutera 025 Hasil Pemeliharaan Hewan Lainnya 026 Kayu 027 Hasil Hutan Lainnya 028 Ikan Laut dan Hasil Lainnya 029 Budidaya Udang 030 Budidaya Bandeng 031 Ikan Darat dan Hasil Perairan Darat Lainnya 034 Bijih Nikel 033 Gas Alam 035 Barang Tambang Lainnya 036 Garam Kasar 037 Barang Galian Segala Jenis 049 Biji-Bijian Kupasan, Coklat Bubuk, & Kembang gula 050 038 039 040 041
Kopi Giling dan Kupasan Daging Jeroan dan Sejenisnya Daging Olahan dan Awetan Buah-Buahan dan Sayur-Sayuran Olahan dan Awetan Ikan Olahan dan Awetan
199 Lampiran 1. lanjutan Kode 15
Klasifikasi 25 Sektor Nama Sektor/Komoditas Industri Makanan-minuman
16 17 18
Industri pupuk & pestisida Industri semen Industri lainnya (Aneka industri)
Klasifikasi 112 Sektor Kode Nama Sektor/Komoditas 042 Kopra dan Minyak Hewani dan Nabati 043 Beras 044 Tepung Terigu 045 Tepung Lainnya 046 Roti, Biskuit, dan Sejenisnya 047 Mie, Makaroni, dan Sejenisnya 048 Gula 051 Makanan Lainnya 052 Pakan Ternak 053 Minuman (termasuk Minuman Beralkohol) 054 Tembakau Olahan dan Rokok 068 Pupuk dan Pestisida 074 Semen 055 Kapuk Bersih 056 Benang Sutera 057 Benang 058 Tekstil Sutera 059 Tekstil 060 Tekstil Jadi dan Pakaian Jadi 061 Permadani,Tali, dan Tekstil Lainnya 062 Kulit Samakan dan Olahan, serta Barang-Barang dari Kulit dan Alas Kaki 063 Kayu Gergajian dan Awetan 064 Kayu Lapis dan Sejenisnya 065 Bahan Bangunan dari Kayu 066 Perabot Rumah Tangga dari Kayu, Bambu dan Rotan 067 Kertas dan Barang-Barang dari Kertas dan Karton, termasuk Barang-Barang Cetakan 069 Barang-Barang Kimia Lainnya 070 Barang-Barang Hasil Kilang Minyak 071 Karet dan Barang-Barang dari Karet 072 Barang-Barang Plastik 073 Bahan Bangunan dari Keramik dan Tanah Liat 075 Barang-Barang Lainnya dari Bahan Bukan Logam 076 Besi dan Baja Dasar 077 Barang-Barang dari Besi dan Baja Dasar 078 Seng 079 Barang-barang dr logam kecuali mesin & peralatannya 080 Mesin dan Peralatan dan Perlengkapannya termasuk alat listrik dan bahan-bahan keperluan listrik 081 Alat Angkutan Laut 082 Alat Angkutan Darat 083 Alat Pengangkutan Lainnya 084 Barang-Barang Industri Lainnya
200 Lampiran 1. lanjutan Kode 19
Klasifikasi 25 Sektor Nama Sektor/Komoditas Listrik, gas dan air bersih
20
Bangunan
Kode 085 086 087 088 089 090
21
Perdagangan, hotel & restoran
22
Angkutan & komunikasi
23
Bank & lembaga keuangan lainnya
24 25
Jasa pemerintahan umum Jasa-jasa lainnya
180 190 201 202 203 204 209 210 301 302 303 304 305
Jumlah Permintaan Antara Jumlah Input Antara Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak Tak Langsung Nilai Tambah Bruto Jumlah Input Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Perubahan Stok Ekspor Barang
306
Ekspor Jasa
091 092 094 095 096 097 098 099 100 101 102 103 104 105 106 032 093 107 108 109 110 111 112 180 190 201 202 203 204 209 210 301 302 303 304 3051 3052 306
Klasifikasi 112 Sektor Nama Sektor/Komoditas Listrik dan Gas Air Bersih Bangunan Tempat Tinggal & Bukan Tempat Tinggal Prasarana Pertanian Jalan Jembatan dan Pelabuhan Bangunan dan Instalasi Listrik, Gas, Air Minum, & Komunikasi Bangunan Lainnya Jasa Perdagangan Jasa Restoran Jasa Perhotelan Jasa Angkutan Jalan Raya Jasa Angkutan Laut Jasa Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan Jasa Komunikasi Bank Lembaga Keuangan Lainnya Asuransi dan Dana Pensiun Sewa Bangunan dan Sewa Tanah Jasa Perusahaan Jasa Pemerintahan Umum Jasa Pertanian Jasa Perbengkelan Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan Jasa Kemasyarakatan Lainnya Jasa Hiburan, Rekreasi, dan Kebudayaan Jasa Perorangan dan Rumah Tangga Barang dan Jasa yang Tidak Masuk Dimanapun Jumlah Permintaan Antara Jumlah Input Antara Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak Tak Langsung Nilai Tambah Bruto Jumlah Input Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Perubahan Stok Ekspor Barang Luar Negeri Ekspor Barang Antar Pulau Ekspor Jasa
201 Lampiran 1. lanjutan Kode 309 310 401
Klasifikasi 25 Sektor Nama Sektor/Komoditas Jumlah Permintaan Akhir Jumlah Permintaan Impor Barang
402 403 404 409 501 502
Pajak Penjualan Bea Masuk Impor Jasa Jumlah Impor Marjin Perdagangan Biaya Pengangkutan Barang
509
Jumlah Marjin
509
600 700
Jumlah Output Jumlah Penyediaan
600 700
Kode 309 310 4011 4012 402 403 404 409 501 502
Klasifikasi 112 Sektor Nama Sektor/Komoditas Jumlah Permintaan Akhir Jumlah Permintaan Impor Barang Luar Negeri Impor Barang Antar Pulau Pajak Penjualan Bea Masuk Impor Jasa Jumlah Impor Marjin Perdagangan Biaya Pengangkutan Barang Jumlah Marjin Perdagangan dan Biaya Angkutan Barang Jumlah Output Jumlah Penyediaan
202 Lampiran 2. Tabel IO Sulawesi Selatan Tahun 2000 yang disederhanakan, atas dasar harga produsen (jutaan rupiah) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 190 201 202 203 204 209 210
Nama Sektor Padi Bhn makanan lainnya Kopi Kakao Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Bdaya bandeng & ikan Tambang nekel Tambang & galian lainnya Ind biji-an, cokelat & k gula Ind kopi giling & kupasan Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya Jumlah input antara Upah & Gaj Surplus Usaha Penyustan Pajak tak langsung Nilai Tambah Bruto Jumlah input=output
01 57350 0 0 0 0 4343 113 0 0 0 0 0 0 0 0 162305 0 5336 0 128 3549 1427 2099 0 59063 295712 362085 1635567 35928 17162 2050743 2346455
02
03
04
05
0 73121 0 0 25 17691 11513 0 0 0 0 0 0 0 0 158406 0 17714 20 262 18593 9620 5716 0 10579 323260 383271 2183656 12031 20177 2599135 2922395
0 0 25641 0 0 426 1831 0 0 0 0 0 0 1616 0 114318 0 12397 670 485 8480 4126 3490 0 2688 176169 129402 341998 34561 15510 521471 697640
0 0 0 2126 1151 1508 1322 0 0 0 0 0 0 0 0 121400 0 16257 168 850 1925 4767 2154 0 1160 154787 196786 855657 2735 2909 1058088 1212875
0 146 0 0 57415 2208 2530 0 0 0 0 26 0 0 2371 155547 0 48634 392 7165 10097 10487 9158 0 18522 324698 356953 978878 35081 7913 1378825 1703523
06 4295 13225 0 0 3539 3946 465 0 0 0 0 3 0 0 8471 1 0 10475 182 19 4654 1567 659 0 4462 55963 52789 217881 5534 3044 279247 335210
07
08
09
10
11
0 0 0 0 0 0 1324 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3783 46 375 813 842 1091 0 1183 9457 12324 46640 3893 980 63837 73294
0 0 0 0 0 28 1104 36 74 0 0 0 0 0 1835 0 0 190293 185 47 14973 2486 2746 0 22164 235972 190822 824652 44591 6886 1066951 1302922
0 0 0 0 0 499 639 0 124807 0 0 0 0 0 46809 1379 0 12947 481 140 40554 10745 4947 0 52688 296636 277262 699686 62707 0 1039655 1336291
0 560 0 0 0 10 242 0 0 7738 0 0 0 0 56613 4077 0 14134 0 87 8966 2815 4905 0 515 100661 124907 399485 11586 5044 541021 641683
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 34291 0 0 0 0 0 144396 233 20890 1673 29046 5461 0 313 236304 567494 1106195 253674 93883 2021247 2257551
203 Lampiran 2. Lanjutan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 190 201 202 203 204 209 210
Nama Sektor Padi Bhn makanan lainnya Kopi Kakao Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Bdaya bandeng & ikan Tambang nekel Tambang & galian lainnya Ind biji-an, cokelat & k gula Ind kopi giling & kupasan Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya Jumlah input antara Upah & Gaj Surplus Usaha Penyustan Pajak tak langsung Nilai Tambah Bruto Jumlah input=output
12
13
14
0 0 0 0 0 0 357 0 0 0 0 2079 0 0 0 0 0 31003 131 3618 4676 8940 13768 0 712 65284 106320 252651 27282 7779 394032 459316
0 1046 0 2050 138750 1 0 0 0 0 0 0 7331 0 22308 0 0 2747 135 0 11109 2694 405 0 94 188670 8353 18726 1398 1059 29536 218206
0 5354 355653 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 1813 15 0 0 543 20 0 83018 6365 164 0 12 452961 3178 4583 324 304 8389 461350
15 2193850 607074 0 269 390379 80406 321 372312 282525 155229 0 7249 1729 535 563737 6 0 129082 9004 117 583761 175995 19940 0 2200 5575723 345934 913466 135960 115655 1511015 7086738
16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 243 2 0 5 6 7 0 1 266 48 86 11 2 146 412
17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 69101 0 0 0 15 8010 167353 3921 2918 32501 37759 10971 0 2185 334734 130974 304891 62175 100282 598322 933056
18 154 18 0 1 40303 8334 218983 3 0 0 0 24676 2 0 1553 213 20341 689773 14819 4476 97916 62863 30506 0 2190 1217124 334515 513630 159523 50730 1058399 2275523
19
20
21
22
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 136975 0 0 0 0 0 83055 4338 6991 406 2330 4547 0 715 239357 57946 105065 102637 3287 268935 508293
0 0 0 0 0 0 63512 0 0 0 0 255469 0 0 0 0 572465 829799 749 2971 187368 70272 26136 0 2464 2011205 639093 392202 81599 61913 1174807 3186012
25 56922 108 421 4748 11301 887 8104 1366 72714 0 14 3621 12420 456912 264 0 205774 9373 14051 164098 160997 157692 0 3389 1345200 955868 2559404 235262 276602 4027136 5372336
0 89 0 0 23 334 0 67 9 33 0 0 61 423 9901 57 0 331235 259029 35387 50452 207587 52157 0 69314 1016158 454565 848478 451992 33988 1789023 2805181
204 Lampiran 2. Lanjutan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 190 201 202 203 204 209 210
Nama Sektor Padi Bhn makanan lainnya Kopi Kakao Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Bdaya bandeng & ikan Tambang nekel Tambang & galian lainnya Ind biji-an, cokelat & k gula Ind kopi giling & kupasan Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya Jumlah input antara Upah & Gaj Surplus Usaha Penyustan Pajak tak langsung Nilai Tambah Bruto Jumlah input=output
23
24
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 297 230 0 32813 4129 103485 17466 24291 88217 1422 8377 280729 110387 690012 179018 57127 1036544 1317273
29 8743 0 0 394 2693 78 321 170 336 0 0 103 64 20351 740 0 375515 17390 54944 152561 415252 20851 0 6026 1076562 2730878 0 137998 0 2868876 3945438
25 211 2769 0 8 54 3155 181 63 59 11 0 0 16 9 6021 178 0 84007 4447 4912 15204 11925 16804 0 3769 153803 145309 182683 29732 5337 363061 516864
180 2255913 769067 381402 4876 636787 136884 305402 380907 409010 236060 0 529883 12863 16880 1197196 719137 600816 3439307 329862 264319 1514821 1265205 484592 1422 274785 16167396 8677464 16076172 2107231 887575 27748441 43915838
301
302
303
0 1625260 0 0 575656 139799 3756 918324 449983 378627 0 6146 152369 444263 3842599 28322 0 2050507 178431 0 2673040 1317452 878243 0 241991 15904767
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3944015 0 3944015
0 0 0 0 0 10638 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1248337 0 2921693 32929 3869 0 0 0 4217465
304 90542 71670 43150 -26883 22923 -909 -942 4169 0 11579 8716 -24634 602 -35 158994 -682 -9033 -70054 0 0 0 0 0 0 0 279174
305 0 491278 273133 1257409 468220 70960 6921 1386 477635 15416 2248835 6175 434871 311 2110604 0 359421 454521 0 0 1167452 266258 0 0 0 10110808
306 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1797 1786 1656 0 274 5513
205 Lampiran 2. Lanjutan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 190
Nama Sektor Padi Bhn makanan lainnya Kopi Kakao Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Bdaya bandeng & ikan Tambang nekel Tambang & galian lainnya Ind biji-an, cokelat & k gula Ind kopi giling & kupasan Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya Jumlah
309 90542 2188208 316284 1230526 1066799 220488 9735 923878 927618 405623 2257551 -12313 587843 444539 6112198 27640 350387 3683310 178431 2921693 3875218 1589364 879899 3944015 242265 34461742
310 2346455 2957275 697685 1235402 1703586 357372 315138 1304785 1336628 641683 2257551 517570 600705 461419 7309394 746777 951204 7122618 508293 3186012 5390039 2854569 1364491 3945437 517050 50629139
401 0 27113 14 22527 63 22162 241844 1863 337 0 0 57959 382499 59 222415 746365 16321 4398155 0 0 0 0 0 0 0 6139695
402 0 1034 13 0 0 0 0 0 0 0 0 262 0 9 108 0 1662 435580 0 0 0 0 0 0 0 438668
403 0 6732 18 0 0 0 0 0 0 0 0 33 0 1 133 0 165 13360 0 0 0 0 0 0 0 20443
404 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 17703 49389 47218 0 186 114495
409 0 34880 45 22527 63 22162 241844 1863 337 0 0 58254 382499 69 222656 746365 18148 4847095 0 0 17703 49389 47218 0 186 6713301
600 2346455 2922395 697640 1212875 1703523 335210 73294 1302922 1336291 641683 2257551 459316 218206 461350 7086738 412 933056 2275523 508293 3186012 5372336 2805181 1317273 3945438 516864 43915838
700 2346455 2957275 697685 1235402 1703586 357372 315138 1304785 1336628 641683 2257551 517570 600705 461419 7309394 746777 951204 7122618 508293 3186012 5390039 2854569 1364491 3945437 517050 50629139
206 Lampiran 3. Variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap adopsi teknologi pengendalian hama PBK (PsPSP), 2005 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Nama Petani M Sahid Alimuddin Jalal Ahmad Baharuddin Mariul Abd Rajab Muhlis Masan Sappe S Mardi Simar M Arsyad Baharuddin Lias Abd Latif Sanusi Djihad Maya Idris H Muslimin Jahamuddin Abd Rahim Nasaruddin Sahabudin Selaing Mahyudin Sanusi
Umur (th) 30 52 31 24 46 60 44 33 60 44 36 42 49 39 31 55 63 40 39 45 37 36 30 32 32 41 50
Pddkn (D) 3 2 2 0 2 3 3 3 0 1 1 0 2 2 1 2 1 3 3 1 2 3 1 0 1 3 2
Aggt Kel Usht Angkt (org) Kko (th) Krj (org) 20 1 3 21 5 6 13 1 3 5 0 1 23 3 6 13 1 3 15 1 4 10 1 2 23 1 4 20 1 5 20 2 5 20 4 6 20 4 5 4 1 5 12 1 3 6 5 6 20 2 4 20 4 8 12 1 6 18 3 4 20 2 4 15 1 4 15 1 4 10 1 4 10 1 5 19 3 5 25 3 5
TM (ha) 0.5 0.5 2 1 0.75 1.5 0.75 0.75 1 0.75 1.5 1 1 0.5 0.5 0.6 0.25 2 1.15 1 0.5 1.25 0.75 0.5 0.55 1.25 1.25
Umur Tahutan (th) PsPSP 5 0.8000 20 0.8250 31 1.0000 10 0.9000 25 1.0000 25 0.9500 15 1.0000 9 1.0000 21 0.8500 20 1.0000 20 0.9000 13 0.8750 18 0.8250 5 0.5500 15 0.6750 6 1.0000 23 0.8500 20 1.0000 12 1.0000 18 0.8500 18 0.8750 23 0.6750 15 0.7750 10 0.7750 8 0.4250 24 1.0000 24 1.0000
Sikap PsPSP 0.4500 0.4000 0.9000 0.5000 0.3500 0.5000 0.9000 0.9000 0.7500 0.4000 0.7000 0.7500 0.4000 0.4500 0.4750 0.9000 0.2750 0.7000 0.6000 0.4500 0.7500 0.5000 0.5500 0.4750 0.2500 0.6500 0.7500
Terap PsPSP 0.2500 0.2000 0.5000 0.2500 0.1250 0.2500 0.5000 0.5250 0.2500 0.2000 0.3500 0.3500 0.3250 0.3000 0.3250 0.3750 0.1250 0.4500 0.3750 0.2500 0.5250 0.3250 0.4000 0.3000 0.0250 0.0500 0.5000
SL PHT Pembina (D) (D) 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1
207 Lampiran 3. lanjutan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Nama Petani M Sahid Alimuddin Jalal Ahmad Baharuddin Mariul Abd Rajab Muhlis Masan Sappe S Mardi Simar M Arsyad Baharuddin Lias Abd Latif Sanusi Djihad Maya Idris H Muslimin Jahamuddin Abd Rahim Nasaruddin Sahabudin Selaing Mahyudin Sanusi
Keberadaan Kesederhanaan Kel-tan (D) Teknologi (D) 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1
Kesesuaian Teknologi (D) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 0 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0
Keefektivan Teknologi (D) 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0
Respon Pdptn dr Pdptn Total Msykt (D) Kakao (Rp rb) Lain (Rp rb) Pdptn (Rp rb) 1 3673 1750 5423 1 2992 3280 6272 0 7017 0 7017 0 5608 0 5608 1 1550 2570 4120 0 5950 600 6550 1 3219 3650 6869 0 4524 0 4524 1 3140 2670 5810 0 1706 4304 6010 1 4775 4170 8945 1 2380 1740 4120 0 2425 1700 4125 1 2870 1250 4120 1 3200 500 3700 0 1225 6000 7225 1 450 2550 3000 1 3775 13200 16975 1 2360 3500 5860 1 1350 14400 15750 1 3848 1000 4848 1 7210 2280 9490 1 3435 0 3435 1 1725 2300 4025 0 1000 2625 3625 1 5375 600 5975 1 2645 3200 5845
208 Lampiran 3. lanjutan No. 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
Nama Petani Kahar Naharuddin Juma Rahim Tayeg Sigaga Muh Sail Muslimin Talep Bp Supriadi Kadir D Samaruddin Nasir Abd Manaf Tato Umar Acu Bahar Abidin Najamuddin Sueng Hamsi Lukman Masauda Idris Kahar Tanda Abd Razak
Umur (th) 31 40 50 37 35 50 28 22 40 56 35 32 40 36 49 59 24 52 32 35 42 37 65 25 34 46 31
Pddkn (D) 2 1 0 0 3 1 2 0 1 1 1 3 0 3 3 0 1 1 3 0 3 1 0 1 3 1 4
Aggt Kel Usht Angkt (org) Kko (th) Krj (org) 10 1 4 20 1 5 24 3 6 10 1 5 21 1 5 26 3 4 10 1 2 8 2 3 25 4 5 19 2 3 20 1 4 20 1 4 26 2 6 18 1 4 4 1 5 18 3 4 5 2 4 15 2 4 6 0 1 12 1 4 7 1 4 12 1 3 10 1 2 7 1 4 5 1 5 15 6 9 2 1 4
TM (ha) 1.25 1 0.5 1 3 4 1.5 2 1.5 2 2 1.5 2 0.75 1.75 2.5 0.5 2 0.5 0.5 1 1 0.75 0.4 1 1.5 1
Umur Tahutan (th) PsPSP 24 1.0000 24 1.0000 24 0.3250 7 0.4375 15 0.7750 24 0.6250 10 0.6250 23 0.7000 20 0.7500 18 0.8750 19 0.4500 20 0.7000 20 0.6500 12 1.0000 9 1.0000 16 1.0000 10 1.0000 11 1.0000 8 1.0000 12 0.6000 8 0.7750 4 0.5000 10 0.7750 7 0.7750 8 1.0000 17 1.0000 25 1.0000
Sikap PsPSP 0.4250 0.5250 0.1250 0.3125 0.5500 0.4500 0.5250 0.5750 0.6000 0.5500 0.3500 0.4000 0.4750 0.7750 0.5750 0.9250 0.8250 0.9500 0.8500 0.4500 0.6500 0.2750 0.7250 0.5750 0.6000 0.6250 0.8875
Terap PsPSP 0.1250 0.2500 0.0250 0.1250 0.4000 0.1750 0.1500 0.3000 0.4250 0.2500 0.1250 0.1750 0.1000 0.4750 0.3500 0.7500 0.6750 0.9000 0.7750 0.2250 0.4000 0.1750 0.3750 0.4250 0.4750 0.3000 0.5000
SL PHT Pembina (D) (D) 1 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
209 Lampiran 3. lanjutan No. 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
Nama Petani Kahar Naharuddin Juma Rahim Tayeg Sigaga Muh Sail Muslimin Talep Bp Supriadi Kadir D Samaruddin Nasir Abd Manaf Tato Umar Acu Bahar Abidin Najamuddin Sueng Hamsi Lukman Masauda Idris Kahar Tanda Abd Razak
Keberadaan Kesederhanaan Kel-tan (D) Teknologi (D) 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1
Kesesuaian Teknologi (D) 1 1 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1
Keefektivan Teknologi (D) 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 0 0 1
Respon Pdptn dr Pdptn Total Msykt (D) Kakao (Rp rb) Lain (Rp rb) Pdptn (Rp rb) 1 3255 2950 6205 1 2750 750 3500 1 1000 2500 3500 1 4055 400 4455 0 9400 2880 12280 1 12025 400 12425 1 4125 1000 5125 1 5755 1500 7255 1 5515 1600 7115 1 3950 500 4450 1 4330 275 4605 1 4450 900 5350 1 3050 1250 4300 1 2035 952 2987 0 2540 15600 18140 1 9806 13500 23306 1 7452 4350 11802 1 32500 2500 35000 1 4970 1000 5970 1 3575 800 4375 1 4305 6500 10805 1 1945 0 1945 0 3480 0 3480 1 1237 2000 3237 1 4760 0 4760 1 15650 1500 17150 1 4065 2700 6765
210 Lampiran 3. lanjutan No. 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80
Nama Petani Abd Hakim Usman N Najamuddin M Saleh Supardi Haniza Paidi B Sellimin Syahruddin Hasanuddin Warno Tukiman Laman Sukarji Ruhin H Sunan Sainuddin Sumail Mustafa Hasanuddin Bolong Hesaskar Tandi Mudakhir Warmin Tukimin
Umur (th) 52 45 47 37 25 32 52 36 60 39 35 45 45 55 25 46 50 31 57 49 46 35 33 47 59 60
Pddkn (D) 1 1 1 1 1 1 0 3 2 0 2 0 0 0 2 1 2 1 2 0 0 3 3 1 0 0
Aggt Kel Usht Angkt (org) Kko (th) Krj (org) 10 6 9 10 2 8 18 5 10 7 1 6 10 1 2 15 1 5 23 1 2 7 1 3 25 1 2 20 2 5 6 1 4 10 4 6 8 4 7 22 2 3 5 1 4 8 1 3 16 1 3 11 1 4 14 1 3 8 4 8 17 5 9 9 1 4 14 1 5 16 3 5 16 3 5 10 3 5
TM (ha) 2 2 1.5 0.75 1 1.5 1.5 1.25 1.5 0.75 1 2 2 1 0.5 1.5 1.25 2 2.25 1.5 3 1 2.25 4.5 1.25 0.75
Umur Tahutan (th) PsPSP 17 0.8500 8 1.0000 12 1.0000 6 1.0000 8 0.6875 14 0.6250 23 1.0000 20 1.0000 25 1.0000 5 1.0000 23 1.0000 10 1.0000 15 1.0000 22 1.0000 4 1.0000 8 0.8500 13 1.0000 13 1.0000 19 1.0000 6 1.0000 13 1.0000 13 0.7500 19 1.0000 15 1.0000 20 1.0000 10 1.0000
Sikap PsPSP 0.7500 0.5000 0.7250 0.7750 0.5125 0.4500 0.6875 0.8375 0.8250 0.7000 0.6750 0.6250 0.7250 0.7250 0.6750 0.5500 0.7000 0.6750 0.7750 0.8000 0.6250 0.5750 0.8500 0.8500 0.7500 0.6750
Terap PsPSP 0.5750 0.3500 0.6250 0.4500 0.2125 0.1250 0.6250 0.6500 0.6500 0.4500 0.5000 0.4750 0.5250 0.4500 0.5625 0.3250 0.3500 0.5500 0.4750 0.6000 0.3500 0.2750 0.6000 0.5500 0.3750 0.4750
SL PHT Pembina (D) (D) 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1
211 Lampiran 3. lanjutan No. 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80
Nama Petani Abd Hakim Usman N Najamuddin M Saleh Supardi Haniza Paidi B Sellimin Syahruddin Hasanuddin Warno Tukiman Laman Sukarji Ruhin H Sunan Sainuddin Sumail Mustafa Hasanuddin Bolong Hesaskar Tandi Mudakhir Warmin Tukimin
Keberadaan Kesederhanaan Kel-tan (D) Teknologi (D) 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Kesesuaian Teknologi (D) 1 0 1 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1
Keefektivan Respon Pdptn dr Pdptn Total Teknologi (D) Msykt (D) Kakao (Rp rb) Lain (Rp rb) Pdptn (Rp rb) 0 1 8515 0 8515 0 1 4125 1000 5125 1 1 5248 5160 10408 0 1 1950 3000 4950 0 1 3480 2500 5980 0 1 3995 0 3995 1 0 24660 0 24660 1 0 8985 6000 14985 0 0 1008 2250 3258 0 1 1560 3240 4800 1 1 6610 1350 7960 1 1 7540 3600 11140 1 1 9540 0 9540 1 1 5064 3150 8214 0 1 965 3000 3965 1 1 20480 6500 26980 1 1 4405 0 4405 1 1 12100 0 12100 1 1 13200 0 13200 0 1 13355 0 13355 0 1 16590 0 16590 0 1 2600 1500 4100 1 1 6542 0 6542 1 1 22260 4500 26760 1 1 1988 1250 3238 1 1 7210 0 7210
212 Lampiran 4. Kandungan Unsur Hara Utama (N, P, dan K) Tanah di Sulawesi Selatan Tabel 4.1. Rata-rata kandungan unsur hara utama N, P, K di Kab Polman Nopember 2004 No. 1 2 3
Unsur hara Nitrogen P2O5 K2O
Besaran Satuan 0.1489 % 97.2128 mg/100gr 281.8191 mg/100gr
Kg/ton 1.4894 0.9721 2.8182
Setara Urea Sp-36 KCl
Kg Pupuk 3.3097 2.7004 4.6970
Sumber: Balai Penelitian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, 2004. Tabel 4.2. Rata-rata kandungan unsur hara utama N, P, K di Kab Luwu, Juli 2005 No. Unsur hara 1 Nitrogen 2 P2O5 3 K2O
Besaran Satuan 0.0979 % 40.1410 mg/100gr 32.0000 mg/100gr
Kg/ton 0.9795 0.4014 0.3200
Setara Urea Sp-36 KCl
Kg Pupuk 2.1766 1.1150 0.5333
Sumber: Hendrisman, Suhendra, Iskandar, dan Dachlan, 2005. Tabel 4.3. Rata-rata kandungan unsur hara utama (N, P, dan K) di SuLawesi Salatan No. 1 2 3
Kg/ton Unsur hara Nitrogen P2O5 K2O
Besaran 0.1234 68.6769 156.9096
Satuan % mg/100gr mg/100gr
1.2344 0.6868 1.5691
Setara Urea Sp-36 KCl
Kg Pupuk 2.7432 1.9077 2.6152
Tabel 4.4. Rata-rata nilai kandungan unsur hara utama (N, P, dan K) tiap ton Tanah No. Jenis pupuk 1 Urea 2 Sp-36 3 KCl Total
Volume (Kg) 2.7432 1.9077 2.6152
Harga 1500 2000 2500
Nilai (Rp) 4114.75 3815.38 6537.90 14468.03
213 Lampiran 5. Tabel IO Sulawesi Selatan Tahun 2003, atas dasar harga produsen (jutaan rupiah) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 190 201 202 203 204 209 210
Nama Sektor 01 Padi 123117 Bhn makanan lainnya 0 Kopi 0 Kakao 0 Perkebunan Lainnya 0 Peternakan 8243 Kehutanan 214 Perikan laut 0 Budidaya udang 0 Bdaya bandeng & ikan 0 Tambang nekel 0 Tambang & galian lainnya 0 Ind biji-an,cokelat &k gula 0 Ind kopi giling & kupasan 0 Indust Makanan-minuman 0 Industri pupuk pestisida 357762 Industri semen 0 Industri lainnya 10130 Listrik, Gas, Air 0 Bangunan 243 Perdag-Hotel-Rst 6737 Angkutan-Kmnks 2708 Bank-Lkeuangan 3985 Jasa Pemerintahn 0 Jasa Lainnya 106103 Jumlah input antara 619242 Upah & Gaj 769155 Surplus Usaha 3374338 Penyustan 76321 Pajak tak langsung 36456 Nilai Tambah Bruto 4256270 Jumlah input=output 4875512
02
03
04
05
0 46158 0 0 28 19798 13166 0 0 0 0 0 0 0 0 142643 0 19741 22 293 20871 10851 6527 0 12076 292173 435793 2382637 13692 22965 2855086 3147259
0 0 8740 0 0 145 624 0 0 0 0 0 0 551 0 34210 0 4226 228 165 2891 1407 1190 0 916 55292 57630 152310 15392 6907 232240 287532
0 0 0 4425 2396 3139 2752 0 0 0 0 0 0 0 0 272457 0 38840 349 1770 4007 14922 4483 0 2414 351955 445030 1771034 9186 8579 2233829 2585784
0 187 0 0 51713 2828 3239 0 0 0 0 33 0 0 3036 199201 0 33922 502 9176 12931 13430 11728 0 23720 365647 522981 1434178 51398 11594 2020151 2385799
06 8756 20127 0 0 7215 8043 947 0 0 0 0 7 0 0 17269 2 0 14520 371 39 9487 3195 1344 0 9095 100417 114136 471087 11965 6582 603770 704187
07
08
09
10
11
0 0 0 0 0 0 1969 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4318 69 557 1210 1252 1623 0 1760 12759 19806 74960 6257 1575 102599 115358
0 0 0 0 0 29 1123 37 75 0 0 0 0 0 1866 0 0 160393 188 48 15227 2528 2792 0 22539 206846 222432 961254 51977 8026 1243689 1450536
0 0 0 0 0 527 675 0 117652 0 0 0 0 0 54416 1456 0 13668 508 148 42813 11344 5222 0 41516 289945 340170 853437 76935 0 1270541 1560485
0 724 0 0 0 13 313 0 0 10002 0 0 0 0 74887 5270 0 18271 0 112 11590 3638 6340 0 665 131827 141412 442272 13116 5710 602511 734337
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 50782 0 0 0 0 0 180402 344 30936 2478 43015 8087 0 464 316509 774736 1510163 346312 128169 2759380 3075889
214 Lampiran 5. Lanjutan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 190 201 202 203 204 209 210
Nama Sektor Padi Bhn makanan lainnya Kopi Kakao Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Bdaya bandeng & ikan Tambang nekel Tambang & galian lainnya Ind biji-an, cokelat &k gula Ind kopi giling & kupasan Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya Jumlah Upah & Gaj Surplus Usaha Penyustan input antara Pajak tak langsung Nilai Tambah Bruto Jumlah input=output
12
13
14
0 0 0 0 0 0 368 0 0 0 0 2140 0 0 0 0 0 31913 134 3725 4813 9202 14172 0 733 67199 100688 239269 25837 7367 373161 440360
0 1724 0 3380 228774 1 0 0 0 0 0 0 12088 0 36782 0 0 4530 223 0 18317 4442 668 0 154 311083 118843 142242 5153 4390 270628 581711
0 7920 249169 0 7 0 0 0 0 0 0 0 0 2682 22 0 0 803 29 0 122821 9416 243 0 18 393131 153363 253966 5433 5109 417871 811002
15 4605965 660011 0 426 617336 127152 508 588765 446779 245475 0 11464 2735 847 916480 10 0 204127 14238 185 923145 278314 31533 0 3479 9678973 595125 631115 223647 165468 1615354 11294326
16
17
18
19
0 1 0 0 34 0 0 0 0 0 0 18 0 0 0 168 0 30431 201 6 652 809 875 0 96 33291 5547 9959 1231 237 16975 50265
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 208075 0 0 0 46 24120 364597 11807 8788 97866 113700 33035 0 6579 868613 356048 968170 169021 272614 1765854 2634467
244 29 0 2 64074 13249 348140 4 0 0 0 39230 3 0 2469 338 32339 1096603 23559 7117 155667 99940 48499 0 3481 1934987 515539 791582 245849 78182 1631152 3566140
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 263427 0 0 0 0 0 159730 8342 13445 781 4481 8745 0 1376 460326 102287 185461 181176 5803 474726 935053
20 0 0 0 0 0 0 86938 0 0 0 0 274965 0 0 0 0 1482651 656822 1026 4067 256476 96191 35776 0 3373 2898285 867654 780840 126103 95680 1870277 4768562
21 50 114100 216 844 9517 22653 1779 16245 2738 145754 0 27 7258 24896 965875 530 0 412472 18788 28164 328932 322717 316091 0 6792 2746438 1520016 4019948 374112 439850 6353926 9100364
22 0 166 0 0 43 623 0 124 16 61 0 0 113 788 21459 0 0 517512 482901 65971 94057 386998 97235 0 129221 1797287 726234 1352567 722122 54300 2855224 4652510
215 Lampiran 5. Lanjutan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 190 201 202 203 204 209 210
Nama Sektor Padi Bhn makanan lainnya Kopi Kakao Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Bdaya bandeng & ikan Tambang nekel Tambang & galian lainnya Ind biji-an, cokelat & k gula Ind kopi giling & kupasan Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya Jumlah input antara Upah & Gaj Surplus Usaha Penyustan Pajak tak langsung Nilai Tambah Bruto Jumlah input=output
23 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 929 719 0 102472 12894 323178 54547 75859 275497 4442 26162 876701 224635 1404154 364296 116251 2109337 2986037
24 0 18055 0 0 813 5562 160 664 351 694 0 0 213 133 47029 1528 0 575500 35914 113468 315063 857563 43061 0 12445 2028215 4378457 0 221507 0 4599964 6628179
25 0 3130 0 0 0 3566 204 71 66 13 0 0 18 10 6806 201 0 94961 5027 5552 17187 13480 18995 0 4261 173549 133521 167864 27320 4904 333609 507158
180 4738132 872333 258125 9078 981950 215574 463120 605911 567678 401998 0 850167 22427 29906 2149326 1016541 1539110 4750901 617665 617154 2520566 2381402 977747 4442 419439 27010690 13641238 24374806 3365357 1486722 42868122 69878813
301 0 2274332 0 0 962380 233715 6279 843901 752279 309473 0 10275 458730 743901 7220043 47349 0 3428029 317388 0 4568777 2202511 2064343 0 87754 26531458
302 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6623737 0 6623737
303 0 0 0 0 0 17320 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2032424 0 4151409 653611 6299 0 0 0 6861063
304 19665 9758 326 73903 12715 -504 -522 1646 0 5772 304835 -14568 334 -20 38199 -378 95049 -138861 0 0 0 0 0 0 0 407349
305 117716 1855 29081 2502803 428868 267442 7675 1536 240974 17094 2771054 6847 181543 37306 1889525 0 1024252 22983 0 0 1380767 75716 1837 0 211 11007084
216 Lampiran 5. Lanjutan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 190
Nama Sektor Padi Bhn makanan lainnya Kopi Kakao Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Bdaya bandeng & ikan Tambang nekel Tambang & galian lainnya Ind biji-an, cokelat & k gula Ind kopi giling & kupasan Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya Jumlah
309 137380 2285945 29407 2576706 1403964 517973 13431 847083 993253 332339 3075889 2554 640607 781188 9147767 46970 1119301 5344575 317388 4151409 6603155 2284526 2066180 6623737 87965 51430691
310 4875512 3158278 287532 2585784 2385913 733547 476551 1452993 1560931 734337 3075889 852721 663034 811093 11297094 1063511 2658411 10095476 935053 4768562 9123721 4665928 3043927 6628179 507404 78441381
409 0 11018 0 0 114 29360 361193 2458 445 0 0 412361 81323 91 2768 1013246 23944 6529336 0 0 23357 13418 57890 0 246 8562568
600 4875512 3147259 287532 2585784 2385799 704187 115358 1450536 1560485 734337 3075889 440360 581711 811002 11294326 50265 2634467 3566140 935053 4768562 9100364 4652510 2986037 6628179 507158 69878813
700 4875512 3158278 287532 2585784 2385913 733547 476551 1452993 1560931 734337 3075889 852721 663034 811093 11297094 1063511 2658411 10095476 935053 4768562 9123721 4665928 3043927 6628179 507404 78441381
217 Lampiran 6. Tabel IO Sulawesi Selatan Tahun 2003 dikoreksi biaya eksternalitas, atas dasar harga produsen (jutaan rupiah) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 190 201 202 203 204 209 210
Nama Sektor Padi Bhn makanan lainnya Kopi Kakao Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Bdaya bandeng & ikan Tambang nekel Tambang & galian lainnya Ind biji-an, cokelat & k gula Ind kopi giling & kupasan Indust Makanan-minuman
Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya Jumlah input antara Upah & Gaj Surplus Usaha Penyustan Pajak tak langsung Nilai Tambah Bruto Jumlah input=output
01 115157 0 0 0 0 7649 214 0 0 0 0 0 0 0 0 357762 0 10130 0 243 6737 2708 3985 0 106103 610688
02 0 45821 0 0 19 18371 13166 0 0 0 0 0 0 0 0 142643 0 19741 22 293 20871 10851 6527 0 12076 290400
03 0 0 3270 0 0 135 624 0 0 0 0 0 0 551 0 34210 0 4226 228 165 2891 1407 1190 0 916 49812
04 0 0 0 3941 1639 2912 2752 0 0 0 0 0 0 0 0 272457 0 38840 349 1770 4007 14922 4483 0 2414 350486
05 0 186 0 0 35364 2624 3239 0 0 0 0 33 0 0 3036 199201 0 33922 502 9176 12931 13430 11728 0 23720 349093
06 8190 19980 0 0 4934 7464 947 0 0 0 0 7 0 0 17269 2 0 14520 371 39 9487 3195 1344 0 9095 96843
07 0 0 0 0 0 0 1969 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4318 69 557 1210 1252 1623 0 1760 12759
08 0 0 0 0 0 27 1123 37 75 0 0 0 0 0 1866 0 0 160393 188 48 15227 2528 2792 0 22539 206844
09 0 0 0 0 0 489 675 0 117652 0 0 0 0 0 54416 1456 0 13668 508 148 42813 11344 5222 0 41516 289907
10 0 718 0 0 0 12 313 0 0 10002 0 0 0 0 74887 5270 0 18271 0 112 11590 3638 6340 0 665 131820
11 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 50782 0 0 0 0 0 180402 344 30936 2478 43015 8087 0 464 316509
713736 3131208 70822 33830 3949595
432557 2364947 13590 22794 2833889
14336 37887 3829 1718 57770
388908 1547695 8027 7497 1952128
331997 910440 32628 7360 1282426
105216 434270 11029 6068 556584
19806 74960 6257 1575 102599
222432 961256 51977 8026 1243691
340180 853462 76937 0 1270579
141413 442277 13117 5711 602517
774736 1510163 346312 128169 2759380
4560282
3124289
107582
2302614
1631519
653427
115358
1450536
1560485
734337
3075889
218 Lampiran 6. Lanjutan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 190 201 202 203 204 209 210
Nama Sektor Padi Bhn makanan lainnya Kopi Kakao Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Bdaya bandeng & ikan Tambang nekel Tambang & galian lainnya Ind biji-an, cokelat & k gula Ind kopi giling & kupasan
Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya Jumlah input antara Upah & Gaj Surplus Usaha Penyustan Pajak tak langsung Nilai Tambah Bruto Jumlah input=output
12 0 0 0 0 0 0 368 0 0 0 0 2140 0 0 0 0 0 31913 134 3725 4813 9202 14172 0 733 67199
13 0 1712 0 3009 156446 1 0 0 0 0 0 0 12088 0 36782 0 0 4530 223 0 18317 4442 668 0 154 238372
14 0 7863 93228 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 2682 22 0 0 803 29 0 122821 9416 243 0 18 237130
15 4308163 655194 0 379 422162 117986 508 588765 446779 245475 0 11464 2735 847 916480 10 0 204127 14238 185 923145 278314 31533 0 3479 9171968
100688 239269 25837 7367 373161
150773 180459 6538 5569 343339
210617 348778 7461 7017 573872
440360
581711
811002
16 0 1 0 0 23 0 0 0 0 0 0 18 0 0 0 168 0 30431 201 6 652 809 875 0 96 33280
17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 208075 0 0 0 46 22673 364597 11807 8788 97866 113700 33035 0 6579 867166
18 228 29 0 2 43816 12294 348140 4 0 0 0 39230 3 0 2469 338 30398 1096603 23559 7117 155667 99940 48499 0 3481 1911819
19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 263427 0 0 0 0 0 159730 8342 13445 781 4481 8745 0 1376 460326
20 0 0 0 0 0 0 86938 0 0 0 0 274965 0 0 0 0 1393691 656822 1026 4067 256476 96191 35776 0 3373 2809325
21 46 113267 81 752 6508 21020 1779 16245 2738 145754 0 27 7258 24896 965875 530 0 412472 18788 28164 328932 322717 316091 0 6792 2740733
22 0 165 0 0 29 578 0 124 16 61 0 0 113 788 21459 0 0 517512 482901 65971 94057 386998 97235 0 129221 1797227
781914 829200 293842 217402 2122358
5550 9965 1232 238 16985
324469 882298 154030 248435 1609231
522861 802825 249341 79293 1654321
102287 185461 181176 5803 474726
908924 817981 132101 100231 1959237
1521381 4023558 374448 440245 6359631
726249 1352595 722137 54301 2855283
11294326
50265
2476397
3566140
935053
4768562
9100364
4652510
219 Lampiran 6. Lanjutan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 190 201 202 203 204 209 210
Nama Sektor Padi Bhn makanan lainnya Kopi Kakao Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Bdaya bandeng & ikan Tambang nekel Tambang & galian lainnya Ind biji-an, cokelat & k gula Ind kopi giling & kupasan Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya Jumlah Upah & Gaj Surplus Usaha Penyustan Pajak tak langsung Nilai Tambah Bruto Jumlah input=output
23 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 929 719 0 102472 12894 323178 54547 75859 275497 4442 26162 876701 224635 1404154 364296 116251 2109337 2986037
24 0 17924 0 0 556 5161 160 664 351 694 0 0 213 133 47029 1528 0 575500 35914 113468 315063 857563 43061 0 12445 2027425 4379209 0 221545 0 4600754 6628179
25 0 3107 0 0 0 3309 204 71 66 13 0 0 18 10 6806 201 0 94961 5027 5552 17187 13480 18995 0 4261 173269 133633 168005 27343 4908 333889 507158
180 4431784 865966 96579 8083 671502 200035 463120 605911 567678 401998 0 850167 22427 29906 2149326 1016541 1446762 4750901 617665 617154 2520566 2381402 977747 4442 419439 26117102 13578508 23513113 3395851 1509809 41997281 68114383
301 0 2257813 0 0 658144 217823 6279 843901 752279 309473 0 10275 458730 743901 7220043 47349 0 3428029 317388 0 4568777 2202511 2064343 0 87754 26194812
302 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6623737 0 6623737
303 0 0 0 0 0 16143 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2032424 0 4151409 653611 6299 0 0 0 6859885
304 18393 9687 122 65810 8696 -470 -522 1646 0 5772 304835 -14568 334 -20 38199 -378 89468 -138861 0 0 0 0 0 0 0 388143
305 110105 1842 10881 2228720 293291 249257 7675 1536 240974 17094 2771054 6847 181543 37306 1889525 0 964110 22983 0 0 1380767 75716 1837 0 211 10493272
220 Lampiran 6. Lanjutan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 190
Nama Sektor Padi Bhn makanan lainnya Kopi Kakao Perkebunan Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Bdaya bandeng & ikan Tambang nekel Tambang & galian lainnya Ind biji-an, cokelat & k gula Ind kopi giling & kupasan Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya Jumlah
309 128498 2269341 11003 2294530 960131 482752 13431 847083 993253 332339 3075889 2554 640607 781188 9147767 46970 1053579 5344575 317388 4151409 6603155 2284526 2066180 6623737 87965 50559849
310 4560282 3135308 107582 2302614 1631633 682787 476551 1452993 1560931 734337 3075889 852721 663034 811093 11297094 1063511 2500341 10095476 935053 4768562 9123721 4665928 3043927 6628179 507404 76676951
409 0 11018 0 0 114 29360 361193 2458 445 0 0 412361 81323 91 2768 1013246 23944 6529336 0 0 23357 13418 57890 0 246 8562568
600 4560282 3124289 107582 2302614 1631519 653427 115358 1450536 1560485 734337 3075889 440360 581711 811002 11294326 50265 2476397 3566140 935053 4768562 9100364 4652510 2986037 6628179 507158 68114383
700 4560282 3135308 107582 2302614 1631633 682787 476551 1452993 1560931 734337 3075889 852721 663034 811093 11297094 1063511 2500341 10095476 935053 4768562 9123721 4665928 3043927 6628179 507404 76676951
221 Lampiran 7. Pengganda output berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan, 2003
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Sektor Padi Tabama lainnya Kopi Kakao Perkeb. Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Budidaya bandeng, & ikan Tambang nekel Tambang & Gln lainnya Ind biji-an, cokelat & k gula Ind kopi giling dan kupasan
Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya
Awal 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000
Pertama 0.1270 0.0925 0.1923 0.1361 0.1533 0.1369 0.0268 0.1424 0.1858 0.1795 0.1029 0.0788 0.4692 0.4847 0.8568 0.0313 0.3267 0.1917 0.4923 0.6078 0.3010 0.3852 0.2880 0.3060 0.3420
IO-Konvensional Industri Konsms 0.0191 0.3302 0.0143 0.2829 0.0284 0.4164 0.0144 0.3433 0.0285 0.4531 0.0555 0.3496 0.0094 0.0881 0.0425 0.3274 0.0943 0.5083 0.1395 0.4368 0.0339 0.5128 0.0299 0.2488 0.1569 0.5555 0.1534 0.5694 0.2575 0.4118 0.0082 0.0149 0.1002 0.3427 0.0484 0.1357 0.0968 0.3215 0.2156 0.5285 0.1966 0.4294 0.1844 0.4253 0.1674 0.2536 0.1478 1.3857 0.1299 0.5948
Total 1.4763 1.3897 1.6371 1.4938 1.6349 1.5420 1.1243 1.5123 1.7884 1.7558 1.6496 1.3575 2.1816 2.2075 2.5261 1.0544 1.7696 1.3758 1.9106 2.3519 1.9270 1.9949 1.7090 2.8395 2.0667
Tipe I 1.1461 1.1068 1.2207 1.1505 1.1817 1.1924 1.0362 1.1848 1.2801 1.3190 1.1368 1.1087 1.6261 1.6381 2.1142 1.0395 1.4269 1.2401 1.5891 1.8233 1.4976 1.5696 1.4554 1.4538 1.4719
Tipe II 1.4763 1.3897 1.6371 1.4939 1.6348 1.5420 1.1243 1.5123 1.7883 1.7559 1.6496 1.3575 2.1816 2.2074 2.5260 1.0544 1.7696 1.3758 1.9106 2.3518 1.9270 1.9949 1.7090 2.8396 2.0667
Awal
Pertama
IO- dikoreksi biaya eksternalitas Industri Konsms Total Tipe I
Tipe II
1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000
0.1339 0.0926 0.4630 0.1522 0.2140 0.1418 0.0268 0.1424 0.1857 0.1795 0.1029 0.0788 0.3595 0.2924 0.8119 0.0313 0.3468 0.1894 0.4923 0.5891 0.3004 0.3852 0.2880 0.3059 0.3415
0.0203 0.0142 0.0729 0.0160 0.0410 0.0580 0.0093 0.0420 0.0920 0.1340 0.0335 0.0296 0.1492 0.1453 0.2510 0.0081 0.1056 0.0479 0.0959 0.2142 0.1898 0.1830 0.1647 0.1463 0.1279
1.4805 1.3875 1.8421 1.5038 1.6823 1.5455 1.1236 1.5094 1.7828 1.7486 1.6454 1.3554 2.0997 2.0473 2.4867 1.0542 1.7896 1.3723 1.9075 2.3375 1.9183 1.9907 1.7057 2.8281 2.0605
0.3263 0.2807 0.3062 0.3355 0.4274 0.3457 0.0875 0.3251 0.5051 0.4351 0.5091 0.2470 0.5910 0.6096 0.4238 0.0148 0.3373 0.1350 0.3193 0.5342 0.4282 0.4225 0.2529 1.3759 0.5911
1.4805 1.3875 1.8421 1.5038 1.6823 1.5455 1.1236 1.5094 1.7828 1.7486 1.6454 1.3554 2.0997 2.0473 2.4867 1.0542 1.7896 1.3723 1.9075 2.3375 1.9183 1.9907 1.7057 2.8281 2.0605
1.1542 1.1069 1.5359 1.1683 1.2549 1.1998 1.0361 1.1843 1.2777 1.3135 1.1364 1.1084 1.5087 1.4377 2.0629 1.0394 1.4524 1.2372 1.5882 1.8033 1.4902 1.5682 1.4527 1.4522 1.4694
222 Lampiran 7. lanjutan Posisi nilai pengganda total No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama Sektor Padi Tabama lainnya Kopi Kakao Perkeb. Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Budidaya bandeng, ikan & lainnya Tambang nekel Tambang & Gln lainnya Ind biji-bijan, cokelat & k gula Industri kopi giling dan kupasan
Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya
IO-Konv 20 21 15 19 16 17 24 18 10 12 14 23 5 4 2 25 11 22 9 3 8 7 13 1 6
IO-B lingk 20 21 10 19 15 17 24 18 12 13 16 23 4 6 2 25 11 22 9 3 8 7 14 1 5
Selisih IO-Konvensional dengan IO-dikoreksi biaya eksternalitas Awal Pertama Industri Konsms Total Tipe I Tipe II 0.0000 -0.0069 -0.0012 0.0039 -0.0042 -0.0081 -0.0042 0.0000 -0.0001 0.0001 0.0022 0.0022 -0.0001 0.0022 0.0000 -0.2707 -0.0445 0.1102 -0.2050 -0.3152 -0.2050 0.0000 -0.0161 -0.0016 0.0078 -0.0100 -0.0178 -0.0099 0.0000 -0.0607 -0.0125 0.0257 -0.0474 -0.0732 -0.0475 0.0000 -0.0049 -0.0025 0.0039 -0.0035 -0.0074 -0.0035 0.0000 0.0000 0.0001 0.0006 0.0007 0.0001 0.0007 0.0000 0.0000 0.0005 0.0023 0.0029 0.0005 0.0029 0.0000 0.0001 0.0023 0.0032 0.0056 0.0024 0.0055 0.0000 0.0000 0.0055 0.0017 0.0072 0.0055 0.0073 0.0000 0.0000 0.0004 0.0037 0.0042 0.0004 0.0042 0.0000 0.0000 0.0003 0.0018 0.0021 0.0003 0.0021 0.0000 0.1097 0.0077 -0.0355 0.1174 0.0819 0.0819 0.0000 0.1923 0.0081 -0.0402 0.2004 0.1601 0.1602 0.0000 0.0449 0.0065 -0.0120 0.0513 0.0393 0.0394 0.0000 0.0000 0.0001 0.0001 0.0002 0.0001 0.0002 0.0000 -0.0201 -0.0054 0.0054 -0.0200 -0.0255 -0.0200 0.0000 0.0023 0.0005 0.0007 0.0035 0.0029 0.0035 0.0000 0.0000 0.0009 0.0022 0.0031 0.0009 0.0031 0.0000 0.0187 0.0014 -0.0057 0.0144 0.0200 0.0143 0.0000 0.0006 0.0068 0.0012 0.0087 0.0074 0.0087 0.0000 0.0000 0.0014 0.0028 0.0042 0.0014 0.0042 0.0000 0.0000 0.0027 0.0007 0.0033 0.0027 0.0033 0.0000 0.0001 0.0015 0.0098 0.0114 0.0016 0.0115 0.0000 0.0005 0.0020 0.0037 0.0062 0.0025 0.0062
223 Lampiran 8. Pengganda pendapatan berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan, 2003
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Sektor Padi Tabama lainnya Kopi Kakao Perkeb. Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Budidaya bandeng & ikan Tambang nekel Tambang & Gln lainnya Ind biji-an, cokelat & k gula Ind kopi giling dan kupasan
Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya
Awal 0.1578 0.1380 0.2004 0.1721 0.2192 0.1556 0.0416 0.1531 0.2179 0.1926 0.2519 0.1181 0.1792 0.1891 0.0527 0.0052 0.1339 0.0511 0.1094 0.1820 0.1666 0.1556 0.0738 0.6606 0.2631
Pertama 0.0109 0.0065 0.0118 0.0037 0.0117 0.0181 0.0029 0.0120 0.0318 0.0138 0.0093 0.0071 0.0892 0.0907 0.1302 0.0018 0.0329 0.0144 0.0475 0.0693 0.0294 0.0450 0.0383 0.0381 0.0301
IO-Konvensional Industri Konsms 0.0017 0.0393 0.0014 0.0337 0.0026 0.0496 0.0013 0.0409 0.0028 0.0540 0.0066 0.0416 0.0010 0.0105 0.0038 0.0390 0.0124 0.0605 0.0190 0.0520 0.0033 0.0611 0.0031 0.0296 0.0180 0.0662 0.0139 0.0678 0.0296 0.0491 0.0007 0.0018 0.0099 0.0408 0.0045 0.0162 0.0089 0.0383 0.0214 0.0630 0.0255 0.0512 0.0188 0.0507 0.0187 0.0302 0.0160 0.1651 0.0135 0.0709
Total 0.2097 0.1796 0.2644 0.2180 0.2877 0.2219 0.0560 0.2079 0.3226 0.2774 0.3256 0.1579 0.3526 0.3615 0.2616 0.0095 0.2175 0.0862 0.2041 0.3357 0.2727 0.2701 0.1610 0.8798 0.3776
Tipe I 1.0795 1.0574 1.0715 1.0289 1.0660 1.1589 1.0934 1.1032 1.2029 1.1699 1.0501 1.0867 1.5983 1.5531 4.0320 1.4763 1.3196 1.3703 1.5157 1.4980 1.3295 1.4095 1.7727 1.0820 1.1659
Tipe II 1.3288 1.3017 1.3190 1.2666 1.3123 1.4265 1.3460 1.3580 1.4807 1.4402 1.2927 1.3377 1.9675 1.9119 4.9633 1.8173 1.6244 1.6868 1.8658 1.8441 1.6366 1.7350 2.1821 1.3319 1.4351
Awal
Pertama
IO- dikoreksi biaya eksternalitas Industri Konsms Total Tipe I
Tipe II
0.1565 0.1380 0.1333 0.1689 0.2035 0.1541 0.0416 0.1531 0.2179 0.1926 0.2519 0.1181 0.2274 0.2597 0.0692 0.0052 0.1298 0.0518 0.1094 0.1906 0.1668 0.1556 0.0738 0.6607 0.2634
0.0113 0.0065 0.0196 0.0041 0.0147 0.0187 0.0029 0.0121 0.0324 0.0155 0.0095 0.0072 0.0633 0.0447 0.1223 0.0018 0.0350 0.0139 0.0478 0.0657 0.0313 0.0453 0.0392 0.0385 0.0305
0.0018 0.0014 0.0062 0.0014 0.0039 0.0068 0.0010 0.0037 0.0122 0.0181 0.0032 0.0031 0.0165 0.0125 0.0287 0.0007 0.0105 0.0044 0.0087 0.0213 0.0245 0.0187 0.0184 0.0159 0.0133
1.3383 1.3057 1.4747 1.2750 1.3480 1.4400 1.3508 1.3629 1.4875 1.4503 1.2973 1.3426 1.6682 1.5067 3.9304 1.8240 1.6681 1.6734 1.8734 1.7987 1.6481 1.7424 2.1998 1.3367 1.4405
0.0399 0.0343 0.0374 0.0410 0.0522 0.0422 0.0107 0.0397 0.0617 0.0532 0.0622 0.0302 0.0722 0.0745 0.0518 0.0018 0.0412 0.0165 0.0390 0.0653 0.0523 0.0516 0.0309 0.1681 0.0722
0.2095 0.1801 0.1965 0.2153 0.2743 0.2219 0.0561 0.2086 0.3242 0.2793 0.3267 0.1585 0.3793 0.3913 0.2720 0.0095 0.2165 0.0867 0.2049 0.3429 0.2748 0.2712 0.1623 0.8831 0.3794
1.0836 1.0572 1.1940 1.0323 1.0915 1.1660 1.0937 1.1035 1.2044 1.1743 1.0504 1.0871 1.3507 1.2200 3.1824 1.4768 1.3506 1.3549 1.5169 1.4564 1.3345 1.4108 1.7812 1.0823 1.1663
224 Lampiran 8. lanjutan Posisi nilai pengganda total No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Sektor Padi Tabama lainnya Kopi Kakao Perkeb. Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Budidaya bandeng, ikan & lainnya Tambang nekel Tambang & Gln lainnya Ind biji-bijan, cokelat & k gula Industri kopi giling dan kupasan
Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya
IO-Konv 17 20 12 15 8 14 24 18 7 9 6 22 4 3 13 25 16 23 19 5 10 11 21 1 2
IO-B lingk 16 20 19 15 10 13 24 17 7 8 6 22 4 2 11 25 14 23 18 5 9 12 21 1 3
Awal 0.0013 0.0000 0.0671 0.0032 0.0157 0.0015 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0482 -0.0706 -0.0165 0.0000 0.0041 -0.0007 0.0000 -0.0086 -0.0002 0.0000 0.0000 -0.0001 -0.0003
Selisih IO-Konvensional dengan IO-dikoreksi biaya eksternalitas Pertama Industri Konsms Total Tipe I -0.0004 -0.0001 -0.0006 0.0002 -0.0041 0.0000 0.0000 -0.0006 -0.0005 0.0002 -0.0078 -0.0036 0.0122 -0.1225 0.0679 -0.0004 -0.0001 -0.0001 0.0027 -0.0034 -0.0030 -0.0011 0.0018 -0.0255 0.0134 -0.0006 -0.0002 -0.0006 0.0000 -0.0071 0.0000 0.0000 -0.0002 -0.0001 -0.0003 -0.0001 0.0001 -0.0007 -0.0007 -0.0003 -0.0006 0.0002 -0.0012 -0.0016 -0.0015 -0.0017 0.0009 -0.0012 -0.0019 -0.0044 -0.0002 0.0001 -0.0011 -0.0011 -0.0003 -0.0001 0.0000 -0.0006 -0.0006 -0.0004 0.0259 0.0015 -0.0060 -0.0267 0.2476 0.0460 0.0014 -0.0067 -0.0298 0.3331 0.0079 0.0009 -0.0027 -0.0104 0.8496 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0005 -0.0021 -0.0006 -0.0004 0.0010 -0.0310 0.0005 0.0001 -0.0003 -0.0005 0.0154 -0.0003 0.0002 -0.0007 -0.0008 -0.0012 0.0036 0.0001 -0.0023 -0.0072 0.0416 -0.0019 0.0010 -0.0011 -0.0021 -0.0050 -0.0003 0.0001 -0.0009 -0.0011 -0.0013 -0.0009 0.0003 -0.0007 -0.0013 -0.0085 -0.0004 0.0001 -0.0030 -0.0033 -0.0003 -0.0004 0.0002 -0.0013 -0.0018 -0.0004
Tipe II -0.0095 -0.0040 -0.1557 -0.0084 -0.0357 -0.0135 -0.0048 -0.0049 -0.0068 -0.0101 -0.0046 -0.0049 0.2993 0.4052 1.0329 -0.0067 -0.0437 0.0134 -0.0076 0.0454 -0.0115 -0.0074 -0.0177 -0.0048 -0.0054
225 Lampiran 9. Pengganda tenaga kerja berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan, 2003 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Sektor Padi Tabama lainnya Kopi Kakao Perkeb. Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Budidaya bandeng, & ikan Tambang nekel Tambang & Gln lainnya Ind biji-an, cokelat & k gula Ind kopi giling dan kupasan Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya
Awal Pertama 0.1067 0.0106 0.1429 0.0046 0.2583 0.0100 0.0711 0.0011 0.0977 0.0064 0.0926 0.0126 0.0247 0.0017 0.0661 0.0068 0.0562 0.0155 0.1348 0.0041 0.0010 0.0015 0.0161 0.0014 0.0110 0.0367 0.0108 0.0886 0.0062 0.0725 0.0005 0.0003 0.0011 0.0066 0.0072 0.0037 0.0110 0.0069 0.0166 0.0063 0.0488 0.0089 0.0355 0.0159 0.0039 0.0072 0.0242 0.0091 0.3497 0.0090
IO-Konvensional Industri Konsms 0.0007 0.0156 0.0005 0.0134 0.0011 0.0197 0.0004 0.0163 0.0009 0.0215 0.0033 0.0166 0.0003 0.0042 0.0012 0.0155 0.0059 0.0241 0.0100 0.0207 0.0008 0.0243 0.0008 0.0118 0.0091 0.0263 0.0072 0.0270 0.0167 0.0195 0.0002 0.0007 0.0029 0.0162 0.0014 0.0064 0.0020 0.0152 0.0055 0.0250 0.0123 0.0203 0.0048 0.0201 0.0035 0.0120 0.0051 0.0656 0.0043 0.0282
Total Tipe I 0.1336 1.1059 0.1614 1.0361 0.2891 1.0427 0.0889 1.0209 0.1265 1.0749 0.1251 1.1718 0.0309 1.0798 0.0896 1.1210 0.1017 1.3801 0.1696 1.1044 0.0276 3.3182 0.0301 1.1363 0.0831 5.1641 0.1336 9.8772 0.1149 15.3049 0.0017 2.0079 0.0268 9.7478 0.0187 1.7072 0.0351 1.8070 0.0534 1.7122 0.0903 1.4342 0.0763 1.5844 0.0266 3.7577 0.1040 1.5883 0.3912 1.0379
Tipe II 1.2524 1.1298 1.1190 1.2495 1.2945 1.3507 1.2486 1.3555 1.8081 1.2579 28.3660 1.8657 7.5543 12.3750 18.4330 3.4620 24.7520 2.5990 3.1944 3.2213 1.8508 2.1523 6.8557 4.2971 1.1185
Awal 0.1141 0.1439 0.6905 0.0799 0.1429 0.0994 0.0247 0.0661 0.0562 0.1348 0.0010 0.0161 0.0110 0.0108 0.0062 0.0005 0.0011 0.0072 0.0110 0.0166 0.0488 0.0355 0.0039 0.0242 0.3497
Pertama 0.0113 0.0047 0.0266 0.0013 0.0094 0.0136 0.0017 0.0068 0.0155 0.0041 0.0015 0.0014 0.0367 0.0886 0.0725 0.0003 0.0070 0.0037 0.0069 0.0063 0.0089 0.0159 0.0072 0.0091 0.0090
IO- dikoreksi biaya eksternalitas Industri Konsms Total Tipe I 0.0007 0.0158 0.1420 1.1059 0.0005 0.0136 0.1627 1.0361 0.0029 0.0148 0.7348 1.0427 0.0004 0.0163 0.0978 1.0209 0.0013 0.0207 0.1743 1.0749 0.0035 0.0168 0.1333 1.1718 0.0003 0.0042 0.0309 1.0798 0.0012 0.0158 0.0899 1.1210 0.0059 0.0245 0.1021 1.3801 0.0100 0.0211 0.1700 1.1044 0.0008 0.0247 0.0279 3.3181 0.0008 0.0120 0.0303 1.1363 0.0091 0.0287 0.0855 5.1640 0.0072 0.0296 0.1362 9.8772 0.0167 0.0206 0.1160 15.3041 0.0002 0.0007 0.0017 2.0079 0.0030 0.0164 0.0276 9.7476 0.0014 0.0065 0.0188 1.7071 0.0020 0.0155 0.0353 1.8070 0.0055 0.0259 0.0543 1.7120 0.0123 0.0208 0.0908 1.4341 0.0048 0.0205 0.0767 1.5844 0.0035 0.0123 0.0268 3.7576 0.0051 0.0667 0.1052 1.5883 0.0043 0.0287 0.3916 1.0379
Tipe II 1.2446 1.1306 1.0642 1.2245 1.2200 1.3404 1.2513 1.3593 1.8156 1.2609 28.7781 1.8778 7.7681 12.6150 18.6001 3.4870 23.9691 2.6159 3.2180 3.2739 1.8595 2.1620 6.9208 4.3422 1.1199
226 Lampiran 9. lanjutan Posisi nilai pengganda total No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Sektor Padi Tabama lainnya Kopi Kakao Perkeb. Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Budidaya bandeng, ikan & lainnya Tambang nekel Tambang & Gln lainnya Ind biji-bijan, cokelat & k gula Industri kopi giling dan kupasan
Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya
IO-Konv 5 4 2 14 7 8 19 13 11 3 21 20 15 6 9 25 22 24 18 17 12 16 23 10 1
IO-B lingk 6 5 1 12 3 8 19 14 11 4 21 20 15 7 9 25 22 24 18 17 13 16 23 10 2
Selisih IO-Konvensional dengan IO-dikoreksi biaya eksternalitas Awal Pertama Industri Konsms Total Tipe I -0.0074 -0.0007 0.0000 -0.0002 -0.0084 0.0000 -0.0010 -0.0001 0.0000 -0.0002 -0.0013 0.0000 -0.4322 -0.0166 -0.0018 0.0049 -0.4457 0.0000 -0.0088 -0.0002 0.0000 0.0000 -0.0089 0.0000 -0.0452 -0.0030 -0.0004 0.0008 -0.0478 0.0000 -0.0068 -0.0010 -0.0002 -0.0002 -0.0082 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0003 -0.0003 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0004 -0.0004 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0004 -0.0004 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0004 -0.0003 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0002 -0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0024 -0.0024 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0026 -0.0026 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0011 -0.0011 0.0008 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0004 -0.0001 -0.0002 -0.0008 0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0001 -0.0001 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0003 -0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0009 -0.0009 0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0005 -0.0005 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0004 -0.0004 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0003 -0.0002 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0011 -0.0012 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0005 -0.0004 0.0000
Tipe II 0.0078 -0.0008 0.0548 0.0250 0.0745 0.0103 -0.0027 -0.0038 -0.0075 -0.0030 -0.4120 -0.0121 -0.2138 -0.2402 -0.1674 -0.0250 0.7825 -0.0169 -0.0236 -0.0526 -0.0087 -0.0097 -0.0651 -0.0451 -0.0014
227 Lampiran 10. Keterkaitan ke belakang dan ke depan pada IO-konvensional dan IO- dikoreksi biaya eksternalitas No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama Sektor Padi Tabama lainnya Kopi Kakao Perkeb. Lainnya Peternakan Kehutanan Perikan laut Budidaya udang Budidaya bandeng & ikan lainnya Tambang nekel Tambang & Gln lainnya Ind biji-an, cokelat & k gula Ind kopi giling dan kupasan Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Industri semen Industri lainnya Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag-Hotel-Rst Angkutan-Kmnks Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Jasa Lainnya
Keterrangan:
KF IO-K = KF IO-L = KP IO-K = KP IO-L =
KF IO-K 0.842492 0.813585 0.897359 0.845724 0.868675 0.876548 0.761699 0.870969 0.940954 0.969607 0.835618 0.814991 1.195348 1.204118 1.554144 0.764095 1.048895 0.911574 1.168152 1.340324 1.100857 1.153762 1.069854 1.068679 1.081978
KF IO-L 0.847695 0.812933 1.128069 0.858029 0.921697 0.881196 0.760975 0.869847 0.938449 0.964700 0.834599 0.814069 1.108059 1.055921 1.515108 0.763362 1.066707 0.908702 1.166478 1.324444 1.094453 1.151764 1.066965 1.066547 1.079230
Selisih -0.005203 0.000652 -0.230710 -0.012305 -0.053022 -0.004648 0.000723 0.001123 0.002505 0.004907 0.001019 0.000922 0.087288 0.148197 0.039036 0.000732 -0.017812 0.002872 0.001674 0.015880 0.006404 0.001999 0.002889 0.002131 0.002748
Koefisien penyebaran pada IO konvensional. Koefisien penyebaran pada IO dikoreksi biaya eksternalitas. Kepekaan penyebaran pada IO konvensional. Kepekaan penyebaran pada IO dikoreksi biaya eksternalitas.
KP IO-K 1.251907 0.871696 0.993702 0.740348 1.105492 0.780601 0.842706 0.798535 0.845578 0.792628 0.735089 1.149153 0.750193 0.743409 1.167063 1.162457 1.039552 2.192289 0.903426 0.926301 1.331298 1.219208 1.032331 0.736596 0.888441
KP IO-L 1.251907 0.871696 0.993702 0.740348 1.105492 0.780601 0.842706 0.798535 0.845578 0.792628 0.735089 1.149153 0.750193 0.743409 1.167063 1.162457 1.039552 2.192289 0.903426 0.926301 1.331298 1.219208 1.032331 0.736596 0.888441
Selisih 0.030771 -0.000550 0.147863 0.001074 0.111942 0.001939 -0.004535 0.000408 0.000523 0.000242 0.000634 -0.004126 0.000628 -0.001855 -0.003634 -0.192861 0.017435 -0.048231 -0.002436 -0.003147 -0.019766 -0.013436 -0.009963 0.000620 -0.009536
228 Lampiran 11. Peringkat sektor ekonomi berdasarkan nilai indeks keterkaitannya dengan sektor lain Posisi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama Sektor Indust Makanan-minuman Bangunan Indi kopi giling & kupasan Ind biji-an,cokelat & k gula Listrik, Gas, Air Angkutan-Kmnks Perdag-Hotel-Rst Jasa Lainnya Bank-Lkeuangan Jasa Pemerintahn Industri semen Budidaya bandeng & ikan Budidaya udang Industri lainnya Kopi Peternakan Perikan laut Perkeb. Lainnya Kakao Padi Tambang nekel Tambang & Gln lainnya Tabama lainnya Industri pupuk pestisida Kehutanan
KF IO-K 1.554144 1.340324 1.204118 1.195348 1.168152 1.153762 1.100857 1.081978 1.069854 1.068679 1.048895 0.969607 0.940954 0.911574 0.897359 0.876548 0.870969 0.868675 0.845724 0.842492 0.835618 0.814991 0.813585 0.764095 0.761699
Nama Sektor Indust Makanan-minuman Bangunan Listrik, Gas, Air Angkutan-Kmnks Kopi Ind biji-an,cokelat & k gula Perdag-Hotel-Rst Jasa Lainnya Bank-Lkeuangan Industri semen Jasa Pemerintahn Indi kopi giling & kupasan Budidaya bandeng & ikan Budidaya udang Perkeb. Lainnya Industri lainnya Peternakan Perikan laut Kakao Padi Tambang nekel Tambang & Gln lainnya Tabama lainnya Industri pupuk pestisida Kehutanan
KF IO-L 1.515108 1.324444 1.166478 1.151764 1.128069 1.108059 1.094453 1.079230 1.066965 1.066707 1.066547 1.055921 0.964700 0.938449 0.921697 0.908702 0.881196 0.869847 0.858029 0.847695 0.834599 0.814069 0.812933 0.763362 0.760975
Nama Sektor Industri lainnya Perdag-Hotel-Rst Padi Angkutan-Kmnks Indust Makanan-minuman Industri pupuk pestisida Tambang & Gln lainnya Perkeb. Lainnya Industri semen Bank-Lkeuangan Kopi Bangunan Listrik, Gas, Air Jasa Lainnya Tabama lainnya Budidaya udang Kehutanan Perikan laut Budidaya bandeng & ikan Peternakan Ind biji-an,cokelat & k gula Indi kopi giling & kupasan Kakao Jasa Pemerintahn Tambang nekel
Keterangan: KF IO-K = Koefisien penyebaran pada IO konvensional. KF IO-L = Koefisien penyebaran pada IO dikoreksi biaya eksternalitas. KP IO-K = Kepekaan penyebaran pada IO konvensional. KP IO-L = Kepekaan penyebaran pada IO dikoreksi biaya eksternalitas.
KP IO-K 2.192289 1.331298 1.251907 1.219208 1.167063 1.162457 1.149153 1.105492 1.039552 1.032331 0.993702 0.926301 0.903426 0.888441 0.871696 0.845578 0.842706 0.798535 0.792628 0.780601 0.750193 0.743409 0.740348 0.736596 0.735089
Nama Sektor
KP IO-L
Industri lainnya
2.240519
Industri pupuk pestisida
1.355318
Perdag-Hotel-Rst
1.351064
Angkutan-Kmnks
1.232643
Padi
1.221136
Indust Makanan-minuman
1.170698
Tambang & Gln lainnya
1.153280
Bank-Lkeuangan
1.042294
Industri semen
1.022117
Perkeb. Lainnya
0.993551
Bangunan
0.929448
Listrik, Gas, Air
0.905862
Jasa Lainnya
0.897977
Tabama lainnya
0.872246
Kehutanan
0.847241
Kopi
0.845839
Budidaya udang
0.845056
Perikan laut
0.798128
Budidaya bandeng & ikan
0.792386
Peternakan
0.778662
Ind biji-an,cokelat & k gula
0.749565
Indi kopi giling & kupasan
0.745264
Kakao
0.739274
Jasa Pemerintahn
0.735976
Tambang nekel
0.734455