PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS OPTIMASI SUMBERDAYA IKAN PELAGIS DI KABUPATEN BANYUASIN PROPINSI SUMATERA SELATAN
DWI ROSALINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASINYA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Optimasi Sumberdaya Ikan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Mei 2008
Dwi Rosalina C451060111
RINGKASAN DWI ROSALINA. Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Optimasi Sumberdaya Ikan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN dan SUGENG HARI WISUDO. Kabupaten Banyuasin memiliki potensi perikanan pelagis yang cukup besar yaitu 29,6 ton/tahun. Usaha perikanan tangkap ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin umumnya menggunakan rawai hanyut, jaring insang hanyut dan bagan tancap. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Menentukan teknologi penangkapan ikan pelagis yang efektif, efisien dan berkelanjutan berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan; 2) Mengalokasikan jumlah unit penangkapan ikan pelagis yang optimum; dan 3) Menentukan strategi pengembangan alat tangkap ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin. Manfaat penelitian ini diharapkan sebagai bahan pertimbangan bagi kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan pelagis secara berkelanjutan di Kabupaten Banyuasin dan sebagai bahan informasi untuk pengembangan perikanan tangkap yang ramah lingkungan dan berkelanjutan khususnya perikanan pelagis di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, yaitu dengan wawancara dan observasi langsung di lapangan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) metode skoring untuk menetapkan unit penangkapan ikan pelagis berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan; (2) analisis kelayakan usaha bertujuan untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha dari alat tangkap yang terpilih; (3) analisis linear goal programming untuk mengalokasikan unit penangkapan ikan pelagis; dan (4) analisis SWOT, bertujuan untuk menentukan strategi pengembangan alat tangkap yang terpilih. Jenis teknologi yang terpilih sesuai dengan kriteria biologi, teknis, sosial, ekonomi adalah alat tangkap rawai hanyut. Sedangkan dari segi keramahan lingkungan alat tangkap rawai hanyut termasuk alat tangkap yang ramah lingkungan sedangkan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan tancap adalah alat tangkap kurang ramah lingkungan. Gabungan keseluruhan aspek menempatkan alat tangkap rawai hanyut pada urutan pertama sebesar 17,33, jaring insang hanyut sebesar 11,86 dan bagan tancap 3,3. Hasil analisis kelayakan usaha alat tangkap rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin menunjukkan keuntungan sebesar Rp. 18.767.666, nilai R/C sebesar 1,31, nilai NPV sebesar Rp. 55.855.075, Net B/C sebesar 2,22, dan nilai BEP untuk nilai produksi per tahun sebesar Rp. 39.055.258 dan volume produksi per tahun sebesar 23.669 kg, nilai ROI sebesar 41 %, nilai IRR sebesar 48 % sedangkan nilai sensitivitas harga solar dan minyak tanah sebesar 72,15 % dan penurunan harga ikan sebesar 14,15 % Keseluruhan analisis ini menunjukkan alat tangkap rawai hanyut layak untuk dikembangkan, alat tangkap jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin menunjukkan keuntungan sebesar Rp. 17.320.000 nilai R/C sebesar 1,37, nilai NPV sebesar Rp. 46.437.216, Net B/C sebesar 2,08, dan nilai BEP untuk nilai produksi per tahun sebesar Rp. 26.951.872 dan volume produksi per tahun sebesar 16.171 kg, nilai ROI sebesar 40 %, nilai IRR sebesar 48 % sedangkan nilai sensitivitas harga solar dan minyak tanah sebesar 41 % dan
penurunan harga ikan sebesar 15 %, alat tangkap bagan tancap di Kabupaten Banyuasin menunjukkan keuntungan sebesar Rp. 23.610.000, nilai R/C sebesar 1,48, nilai NPV sebesar Rp. 214.477.312, Net B/C sebesar 3,94, dan nilai BEP untuk nilai produksi per tahun sebesar Rp. 31.292.924 dan volume produksi per tahun sebesar 16.506 kg, nilai ROI sebesar 32 %, nilai IRR sebesar 83 % sedangkan nilai sensitivitas harga solar dan minyak tanah sebesar 93 % dan penurunan harga ikan sebesar 18,5 %. Alokasi unit penangkapan rawai hanyut sebagai alat tangkap yang terpilih berdasarkan analisis program Lindo yang direkomendasikan sebanyak 51 unit sehingga terjadi penambahan sebesar 31 unit dari jumlah alat tangkap yang ada saat ini beroperasi di Kabupaten Banyuasin. Adapun strategi pengembangan alat tangkap pelagis kecil di Kabupaten Banyuasin adalah (1) Optimalisasi usaha perikanan pelagis; (2) Pengembangan usaha perikanan pelagis di jalur 2; (3) Peningkatan manajemen usaha perikanan pelagis; (4) Peningkatan skala usaha armada penangkapan ikan pelagis; dan (5) Pembenahan fasilitas sarana dan prasarana perikanan. Kata kunci : rawai hanyut, jaring insang hanyut, bagan tancap, skoring, strategi pengembangan, Kabupaten Banyuasin
ABSTRACT DWI ROSALINA. Capture Fishery Development Based on Optimization of Pelagic Fish Resources in District of Banyuasin South Sumatera Province. Under Supervision of BUDY WIRYAWAN and SUGENG HARI WISUDO. The pelagic fish is one of potential fishery resources in Banyuasin District. The production of pelagic fish fishery landed in Banyuasin District was 29,6 ton in year 2006. The objectives of the research were 1) to determine fishing technology for pelagic fish which more effective, efficient and sustainable based on biological, technical, social, economic and environment aspect; 2) to allocate optimum of pelagic fish catching unit in Banyuasin District; and 3) to determine development strategy of pelagic fisheries. The result of this research indicated that drift longline fishing technology is more effective, efficient and sustainable than drift gillnet and liftnet. The number of optimum allocation of fishing unit has been calculated which consist of drift longline 51 unit, drift gillnet 45 unit and liftnet with 55 unit. The output of feasibility analysis of drift longline fishery is the study area, indicated profit of Rp. 18,767,666, its NPV value was Rp. 55,855,075, Net B/C was 2.22, the BEP value was Rp. 39,055,258 that equal to production 23,669 kg, the ROI and IRR value were 41 % and 48. The output of feasibility analysis of drift gillnet fishery is the study area, indicated profit of Rp. 17,320,000, its NPV value was Rp. 46,437,216, Net B/C was 2.08, the BEP value was Rp. 26,951,872 that equal to production 16,171 kg, the ROI and IRR value were 40 % and 48 %. The output of feasibility analysis of liftnet fishery is the study area, indicated profit of Rp. 23,610,000, its NPV value was Rp. 214,477,312, Net B/C was 3.94, the BEP value was Rp. 31,292,924 that equal to production 16,506 kg, the ROI and IRR value were 32 % and 83 %. The development strategy of pelagic fisheries in Banyuasin District are: (1) optimization pelagic fish fishery with drift longline; (2) development pelagic fish fishery focusing in 6-12 mile zone; (3) Increase management effort of fisheries business; (4) revitalization of fisheries infrastructure and facility; and (5) Empowering scale of fishing fleet and its technology. Keywords: drift longline, drift gillnet, liftnet, scoring, development strategy, Banyuasin District
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS OPTIMASI SUMBERDAYA IKAN PELAGIS DI KABUPATEN BANYUASIN PROPINSI SUMATERA SELATAN
DWI ROSALINA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis
: Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Optimasi Sumberdaya Ikan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan
Nama
: Dwi Rosalina
NRP
: C451060111
Program Studi
: Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si Anggota
Diketahui, Program Studi Teknologi Kelautan Ketua,
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Prof.Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 21 April 2008
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis. Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada : Keluargaku tercinta terima kasih yang tak terhingga kepada orangtuaku Ayahanda H. Ir. Mohd. Rozim dan Ibunda Hj. Dra. Ernalian Ciknang, serta saudara-saudaraku tersayang Meilinda, Ratri Anggraeni, Rakmat S.S, dan Dedi Nurrahman, atas segala dukungan, pengorbanan, doa dan dengan penuh kesabaran dan kasih sayang selama penulis menempuh pendidikan. Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor beserta para staf pengajar yang telah membekali ilmu pengetahuan. Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan, M. Sc dan Dr. Ir. Sugeng H. Wisudo, M.Si sebagai komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis hingga selesainya tesis ini. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc, Prof. Dr. Ir John Haluan, M.Sc, Ir. Ronny I Wahyu, M.Phil, Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si, dan Dr. Ir. Azbas, M.Si dan dosen-dosen pasca sarjana teknologi kelautan yang tidak bisa disebutkan satu-persatu atas bantuan dan dukungan yang di berikan selama penulis menempuh pendidikan. Finriyani Arifin atas segala persahabatan, bantuan, dukungan dan kebersamaannya baik dalam suka dan duka selama ini. Ton Probolaksana atas dukungan, bantuan, doa, kesabaran dan kasih sayangnya selama ini. Teman-teman Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Teknologi Kelautan angkatan 2006 Mahasiswa Pascasarjana PS TKL 2006 : Muhd. Tahsim Hajattudin, S.Pi, Takril, S.Pi, Rudiansyah Latif, S.Pi, Adnan, ST, Hufiadi, S.Pi, Muklis, S.Pi, Arif Febrianto, S.Pi, Moh. Riyanto, S.Pi, Benediktus Jeujanan, S.Pi, Amirul Karman, S.Pi, Adi Heriawan, S.Kom, Yeyen Kurniawan, S.Pi, Finriyani Arifin, S.Pi, Isnaini, S.Si, Dina Mayasari, S.Pi, Ririn Irnawati, S.Pi, Stany R. Siahaenenia, S.Pi, Isnaniah, S.Pi atas segala kerjasama dan kebersamaannya selama ini.
Yang terakhir anak-anak kosan Nabila ”Bougenville” Ela Elawati, Nailus Saadah, Istifah dan Imelda atas bantuan, doa dan motivasinya kepada penulis dan Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu per satu namanya. Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga rencana tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Mei 2008
Dwi Rosalina
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 18 Oktober 1983 dari ayah H. Ir. Mohd. Rozim dan ibu Hj. Dra. Ernalian Ciknang. Penulis merupakan putri kedua dari lima bersaudara. Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 6 Palembang dan di terima di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya (UNSRI) Inderalaya. Tahun 2006 penulis menyelesaikan studi S1 dan tahun yang sama pula penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan program magister pada Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Teknologi Kelautan dan penulis aktif dalam pengurus Forum Wacana IPB sebagai sekretaris Departemen Pengabdian Masyarakat.
DAFTAR ISTILAH Biodiversity
Keanekaragam hayati yang ada di dalam suatu habitat yang menunjukkan produktivitas suatu perairan.
By-catch
Hasil tangkapan sampingan; merupakan bagian dari hasil tangkapan yang didapatkan pada saat operasi penangkapan sebagai tambahan dari tujuan utama penangkapan (target spesies).
Gross Tonnage (GT)
Ukuran besarnya kapal secara keseluruhan yang merupakan jumlah isi semua ruang-ruang tertutup (volume)
Nelayan
Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air.
Net Benefit Cost (Net B/C)
Perbandingan antara total penerimaan bersih dan total biaya produksi.
Net Present Value (NPV)
Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu.
Pengembangan
Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada sesuatu yang lebih baik; proses yang menuju pada suatu kemajuan.
Perikanan
Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDI dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Perikanan Tangkap
Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang mengunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
Unit Penangkapan Ikan
Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap, dan nelayan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI............................................................................................
i
DAFTAR TABEL..................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR.............................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................
viii
1
PENDAHULUAN............................................................................ 1.1 Latar Belakang........................................................................... 1.2 Perumusan Masalah.................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian........................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian...................................................................... 1.5 Kerangka Pemikiran...................................................................
1 1 2 4 4 4
2
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 2.1 Usaha Perikanan Tangkap.......................................................... 2.2 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.......................................... 2.3 Karakteristik Alat Tangkap........................................................ 2.3.1 Jaring insang hanyut......................................................... 2.3.2 Bagan tancap.................................................................... 2.3.3 Pancing............................................................................. 2.4 Sumberdaya Ikan Pelagis .......................................................... 2.4.1 Kembung (Rastrelliger sp)............................................... 2.4.2 Selar (Selaroides sp)........................................................ 2.4.3 Tembang (Sardinella sp)................................................. 2.4.4 Tongkol (Auxis sp)........................................................... 2.5 Teori Optimasi............................................................................ 2.6 Program Optimisasi.................................................................... 2.6.1 Linear programming (LP)................................................ 2.6.2 Linear goal programming (LGP).....................................
6 6 7 16 16 17 18 19 20 22 23 25 26 26 26 28
3
METODOLOGI PENELITIAN.................................................... 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian.................................................... 3.2 Alat dan Bahan........................................................................... 3.3 Tahapan Penelitian..................................................................... 3.4 Metode Pengumpulan Data........................................................ 3.5 Analisis Data.............................................................................. 3.5.1 Metode skoring................................................................ 3.5.2 Analisis finansial.............................................................. 3.5.2.1 Analisis usaha..................................................... 3.5.2.2 Analisis kriteria investasi................................... 3.5.2.3 Analisis sensitivitas ........................................... 3.5.3 Optimasi alokasi unit penangkapan................................. 3.5.4 Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats).....................................................................
30 30 30 30 31 36 36 38 38 40 41 41
i
44
4
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN.............................. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis..................................................... 4.2 Wilayah Administratif................................................................ 4.3 Karakteristik Iklim, Musim dan Daerah Penangkapan.............. 4.4 Karakteristik Oseanografi.......................................................... 4.4.1 Kedalaman....................................................................... 4.4.2 Arus.................................................................................. 4.4.3 Suhu................................................................................. 4.4.4 Salinitas............................................................................ 4.5 Sumberdaya Perikanan............................................................... 4.6 Potensi Sumberdaya Perikanan.................................................. 4.7 Unit Penangkapan...................................................................... 4.7.1 Alat tangkap..................................................................... 4.7.2 Armada perikanan tangkap............................................... 4.7.3 Nelayan............................................................................. 4.8 Produksi dan Nilai Produksi.......................................................
47 47 47 48 50 50 50 51 51 52 53 53 53 54 55 55
5
KERAGAAN UNIT PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI KABUPATEN BANYUASIN.................................................... 5.1 Jaring Insang Hanyut.................................................................. 5.1.1 Unit penangkapan jaring insang hanyut........................... 5.1.2 Teknik pengoperasian jaring insang hanyut..................... 5.2 Bagan Tancap............................................................................. 5.2.1 Unit penangkapan bagan tancap....................................... 5.2.2 Teknik pengoperasian bagan tancap................................ 5.3 Rawai Hanyut............................................................................. 5.3.1 Unit penangkapan rawai hanyut....................................... 5.3.2 Teknik pengoperasian rawai hanyut.................................
57 57 57 58 60 60 62 64 64 66
6
HASIL PENELITIAN..................................................................... 6.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Tangkap di Kabupaten Banyuasin................................................................................... 6.1.1 Analisis aspek biologi...................................................... 6.1.2 Analisis aspek teknis........................................................ 6.1.3 Analisis aspek sosial........................................................ 6.1.4 Analisis aspek ekonomi................................................... 6.1.5 Analisis aspek keramahan lingkungan............................. 6.1.6 Analisis aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan.............................................. 6.2 Analisis Finansial ...................................................................... 6.2.1 Analisis finansial rawai hanyut........................................ 6.2.2 Analisis finansial jaring insang hanyut............................ 6.2.3 Analisis finansial bagan tancap........................................ 6.3 Analisis Optimasi ...................................................................... 6.4 Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Sumberdaya Ikan Pelagis...........................................................
i
69 69 69 70 70 71 72 73 74 74 78 82 86 91
7
PEMBAHASAN.............................................................................. 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin................................................................................... 7.1.1 Analisis aspek biologi...................................................... 7.1.2 Analisis aspek teknis........................................................ 7.1.3 Analisis aspek sosial........................................................ 7.1.4 Analisis aspek ekonomi................................................... 7.1.5 Analisis aspek keramahan lingkungan............................. 7.1.6 Analisis aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan..................................................... 7.2 Tinjauan Aspek Finansial .......................................................... 7.3 Optimasi Alokasi Armada Penangkapan Ikan Pelagis............... 7.4 Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap..............................
97 98 102 103
KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................
110
DAFTAR PUSTAKA............................................................................
111
LAMPIRAN...........................................................................................
116
8
i
94 94 94 95 96 96 97
DAFTAR TABEL Halaman 1
Jumlah sampel menurut unit penangkapan ikan pelagis yang ada di Kabupaten Banyuasin........................................................................
32
Pengukuran parameter biologi terhadap sumberdaya ikan pelagis .............................................................................................
32
Pengukuran parameter teknis pada perahu dan alat penangkapan ikan pelagis........................................................................................
33
Pengukuran parameter sosial pada nelayan yang menggunakan unit penangkapan ikan pelagis..........................................................
34
Pengukuran parameter ekonomi terhadap unit penangkapan ikan pelagis........................................................................................
35
Pengukuran parameter lingkungan terhadap unit penangkapan ikan pelagis........................................................................................
35
7
Pembobotan tiap unsur SWOT..........................................................
45
8
Matriks hasil analisis SWOT.............................................................
45
9
Rangking alternatif strategi...............................................................
46
10 Nama-nama Kecamatan menurut status dan Ibu Kota Kecamatan dalam Kabupaten Banyuasin.............................................................
48
11 Potensi sumberdaya ikan di Kabupaten Banyuasin...........................
52
12 Alat penangkapan ikan di Kabupaten Banyuasin..............................
54
13 Jumlah armada penangkap ikan laut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006.........................................................................................
54
14 Perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Banyuasin tahun 2006
55
15 Perkembangan produksi dan nilai produksi perikanan laut selama periode tahun 2001 – 2005 di Kabupaten Banyuasin........................
56
16 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek biologi unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin...............................................
69
2 3 4 5 6
i
17 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek teknis unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin..............................................
70
18 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek sosial unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin..............................................
71
19 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek ekonomi unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin...............................................
71
20 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek keramahan lingkungan unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin..................
72
21 Total standarisasi aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin.
73
22 Analisis usaha pengembangan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006.......................................................................
75
23 Hasil perhitungan cash flow pada unit penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin....................................................................
76
24 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 72,15 % pada rawai hanyut tahun 2006..
78
25 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat penurunan harga ikan sebesar 14,15 % pada rawai hanyut pada tahun 2006.......................
78
26 Analisis usaha pengembangan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006.......................................................................
80
27 Hasil perhitungan cash flow pada unit penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin........................................................
80
28 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 41 % pada jaring insang hanyut tahun 2006.........................................................................................
82
29 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat penurunan harga ikan sebesar 15 % pada jaring insang hanyut pada tahun 2006................
82
30 Analisis usaha pengembangan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin tahun 2006.......................................................................
84
31 Hasil perhitungan cash flow pada unit penangkapan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin....................................................................
84
32 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 93 % pada bagan tancap tahun 2006.......
86
v
33 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat penurunan harga ikan sebesar 18,5 % pada bagan tancap pada tahun 2006.........................
86
34 Total produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin...............................................
87
35 Alokasi unit penangkapan ikan pelagis.............................................
91
36 Identifikasi, skoring dan arahan pengembangan perikanan pelagis..
92
37 Analisis keterkaitan antar unsur SWOT............................................
93
v
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran .........................................................................
5
2
Ikan kembung (Rastrelliger sp).........................................................
21
3
Ikan selar (Selaroides sp).................................................................
22
4
Ikan tembang (Sardinella sp)............................................................
24
5
Ikan tongkol (Auxis sp).....................................................................
25
6
Bagan alir tahapan penelitian............................................................
31
7
Kapal jaring insang hanyut yang dioperasikan di Kabupaten Banyuasin..........................................................................................
57
Konstruksi jaring insang hanyut yang dioperasikan di Kabupaten Banyuasin..........................................................................................
58
Teknik pengoperasian jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin..........................................................................................
60
10 Konstruksi bagan tancap yang dioperasikan di Kabupaten Banyuasin..........................................................................................
61
11 Kapal bagan tancap yang dioperasikan di Kabupaten Banyuasin.....
62
12 Teknik pengoperasian bagan tancap di Kabupaten Banyuasin.........
64
13 Kapal rawai hanyut yang dioperasikan di Kabupaten Banyuasin.....
65
14 Konstruksi rawai hanyut yang dioperasikan di Kabupaten Banyuasin..........................................................................................
66
15 Teknik pengoperasian rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin.........
68
16 Perkembangan produksi ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin periode tahun 2001 - 2005.................................................................
88
17 Hubungan antara hasil lestari ikan pelagis dengan upaya penangkapan model Schaefer dan keseimbangan bioekonomi penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin.........................
89
8 9
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta penelitian ..................................................................................
116
2
Daerah penangkapan.........................................................................
117
3
Analisis usaha unit penangkapan rawai hanyut.................................
118
4
Biaya operasional unit penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006.......................................................................
119
Perkiraan cash flow unit penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin..........................................................................................
120
Sensitivitas kenaikan solar dan minyak tanah (72,15%) terhadap biaya operasional unit penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006.......................................................................
121
Sensitivitas kenaikan harga solar dan minyak tanah (72,15%) terhadap perkiraan cash flow unit penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin........................................................................
122
Sensitivitas penurunan harga ikan (14,15%) terhadap perkiraan cash flow unit penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin
123
Analisis usaha unit penangkapan jaring insang hanyut.....................
124
10 Biaya operasional unit penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006.....................................................
125
11 Perkiraan cash flow unit penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin........................................................................
126
12 Sensitivitas kenaikan solar dan minyak tanah (41%) terhadap biaya operasional unit penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006.....................................................
127
13 Sensitivitas kenaikan harga solar dan minyak tanah (41%) terhadap perkiraan cash flow unit penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin....................................................................
128
14 Sensitivitas penurunan harga ikan (15%) terhadap perkiraan cash flow unit penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin..........................................................................................
129
5 6
7
8 9
v
15 Analisis usaha unit penangkapan bagan tancap................................
130
16 Biaya operasional unit penangkapan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin tahun 2006.......................................................................
131
17 Perkiraan cash flow unit penangkapan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin..........................................................................................
132
18 Sensitivitas kenaikan solar dan minyak tanah (93%) terhadap biaya operasional unit penangkapan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin tahun 2006.......................................................................
133
19 Sensitivitas kenaikan harga solar dan minyak tanah (93%) terhadap perkiraan cash flow unit penangkapan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin........................................................................
134
20 Sensitivitas penurunan harga ikan (15%) terhadap perkiraan cash flow unit penangkapan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin............ 135 21 Data produksi (kg) dan upaya penangkapan (trip)............................
136
22 Hasil analisis program Maple VIII terhadap fungsi produksi ikan pelagis................................................................................................
137
23 Hasil olahan Lindo untuk alokasi unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin....................................................................
142
i
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan penangkapan ikan pada hakekatnya berarah pada pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan rasional bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan nelayan khususnya, tanpa menimbulkan kerusakan
sumberdaya
ikan
itu
sendiri
maupun
lingkungannya.
UU No. 31/2004 tentang perikanan juga mengamanatkan bahwa pengelolaan perikanan, termasuk kegiatan perikanan tangkap, harus dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Banyuasin merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Selatan dengan kondisi geografis yang terletak pada posisi 10013’00” LS - 40000’00” LS dan 104000’00” BT - 10503’00” BT , sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Muara Jambi, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sirah Pulau Padang OKI, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Air Sugihan dan Kecamatan Pampangan OKI, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Lais. Kondisi laut yang cukup luas menjadikan wilayah ini sangat potensial untuk kegiatan perikanan (DPK 2006). Kabupaten Banyuasin dengan luas wilayah 11.832,99 km2 dan panjang garis pantai 275 km, selain potensi lahan yang cukup besar (luas laut 1.765,4 km2). Produksi ikan pelagis yang
tercatat pada tahun 2006 sebesar
29,62 ton/tahun, sementara potensi ikan pelagis Kabupaten Banyuasin memiliki potensi ikan demersal 32.800 ton/tahun dan ikan pelagis 60.000 ton/tahun. Hal ini didukung oleh kegiatan perikanan yang berkembang di Kabupaten Banyuasin adalah kegiatan perikanan tangkap (DPK 2006). Usaha perikanan yang berkembang di Kabupaten Banyuasin masih tergolong perikanan pantai, di mana kegiatan penangkapan ikannya hanya dilakukan di sekitar perairan pantai. Alat tangkap yang umumnya digunakan nelayan untuk menangkap ikan pelagis di daerah ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut dan bagan tancap. Tingkat pemanfaatan yang belum optimal ini diduga disebabkan masih rendahnya produktivitas usaha penangkapan seperti:
2
keterbatasan modal, alat tangkap yang relatif sederhana, armada penangkapan yang digunakan relatif kecil dan keterampilan nelayan yang terbatas. Penelitian yang berkenaan dengan daerah di Kabupaten Banyuasin adalah kajian potensi kawasan pesisir untuk pengembangan kegiatan perikanan yang dilakukan oleh Eddrisea (2004), namun kajian yang terkait dengan teknologi penangkapan ikan pelagis berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan, jumlah unit penangkapan ikan pelagis yang optimum dan kajian mengenai strategi pengembangan alat tangkap ikan pelagis belum pernah dilakukan, maka sangat perlu untuk dilakukan penelitian tentang pengembangan perikanan tangkap berbasis optimasi sumberdaya ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan, sehingga dengan penelitian ini diharapkan usaha perikanan di wilayah Kabupaten Banyuasin dapat dilakukan secara optimal tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya yang ada. 1.2 Perumusan Masalah Kegiatan penangkapan yang dilakukan di Kabupaten Banyuasin baik dari segi kelimpahan sumberdaya diharapkan tidak merusak kelestarian sumberdaya yang ada di perairan ini, maupun segi penampilan alat tangkap yang meliputi aspek teknis dan sosial finansial. Dari segi teknis hendaknya alat tangkap yang digunakan sesuai dengan kondisi daerah penangkapan sehingga efektif dikembangkan. Sementara dari aspek sosial dan finansial dapat diterima oleh masyarakat dan menguntungkan hingga memberikan tingkat pendapatan yang memadai bagi nelayan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan dalam upaya pengembangan kegiatan penangkapan yang ada di Kabupaten Banyuasin. Kabupaten Banyuasin diduga memiliki potensi sumberdaya perikanan khususnya ikan pelagis yang masih potensial untuk dikembangkan. Sebagian besar usaha perikanan tangkap yang berkembang di daerah ini masih tergolong perikanan pantai dimana kegiatan penangkapan masih dilakukan oleh perikanan rakyat dengan menggunakan teknologi penangkapan yang relatif sederhana. Alat tangkap yang umumnya digunakan nelayan untuk menangkap ikan pelagis di daerah ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut, dan bagan tancap.
3
Usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya ikan pelagis di daerah Banyuasin telah dihadapkan pada masalah besarnya potensi yang belum banyak dimanfaatkan, di antaranya yang disebabkan oleh faktor masih sedikitnya jumlah nelayan, sarana dan prasarana usaha perikanan tangkap yang masih kurang dan belum berfungsi secara optimal, keterbatasan modal usaha, kualitas sumberdaya manusia yang relatif rendah dan kemampuan manajemen yang lemah serta kondisi ekonomi yang kurang baik yang berkaitan dengan rendahnya tingkat pendapatan. Berdasarkan uraian di atas, untuk mengembangkan perikanan tangkap di perairan Kabupaten Banyuasin khususnya di Sungsang, tentu akan menghadapi beberapa kendala atau permasalahan utama yang perlu dianalisis dan dijawab. Secara spesifik, permasalahan pokok dalam mengembangkan perikanan tangkap di perairan Kabupaten Banyuasin dapat didekati melalui pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut : (1) Apa jenis atau komoditi sumberdaya ikan unggulan yang ada di perairan Kabupaten Banyuasin ? (2) Apa jenis teknologi penangkapan ikan pelagis yang tepat digunakan untuk memanfaatkan komoditi ikan unggulan tersebut ? (3) Berapa jumlah unit penangkapan ikan pelagis yang optimum ? (4) Bagaimana tahapan pengembangan perikanan tangkap yang optimal dan komprehensif ? Pada prinsipnya, untuk mengembangkan sub-sektor perikanan tangkap di Kabupaten Banyuasin, diperlukan suatu pola atau acuan yang komprehensif. Dengan demikian diharapkan usaha perikanan tangkap dapat dilakukan seoptimal mungkin, sehingga sumberdaya perikanan laut yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan nelayan dengan tanpa mengganggu keberlangsungan sumberdaya yang ada.
4
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1) Menentukan teknologi penangkapan ikan pelagis yang efektif, efisien dan berkelanjutan berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. 2) Mengalokasikan jumlah unit penangkapan ikan pelagis yang optimum. 3) Merekomendasikan strategi pengembangan teknologi penangkapan perikanan pelagis di Kabupaten Banyuasin. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai bahan pertimbangan bagi kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan pelagis secara berkelanjutan di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. 2. Sebagai bahan informasi bagi dinas perikanan dan pengusaha untuk pengembangan perikanan tangkap yang ramah lingkungan dan berkelanjutan khususnya perikanan pelagis di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. 1.5 Kerangka Pemikiran Pengembangan perikanan tangkap berbasis optimasi sumberdaya ikan pelagis yang ada di Sungsang Kabupaten Banyuasin yaitu besarnya potensi yang belum banyak dimanfaatkan, karena faktor masih sedikitnya jumlah nelayan, sarana dan prasarana usaha perikanan tangkap yang masih kurang dan sederhana serta belum berfungsi secara optimal. Unit penangkapan yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis di Sungsang yaitu jaring insang hanyut, bagan tancap dan rawai hanyut. Sampai saat ini belum pernah ada penelitian mengenai aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan dari ketiga alat tangkap yang biasa digunakan untuk menangkap ikan pelagis (jaring insang hanyut, bagan tancap, dan rawai hanyut) itu sendiri yang dapat berpengaruh terhadap pengembangan perikanan pelagis. Upaya peningkatan produksi pelagis di Sungsang guna mendapatkan teknologi penangkapan yang efektif, efisien dan berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian alat penangkapan ikan pelagis (jaring insang hanyut, bagan
5
tancap, dan rawai hanyut) berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan. Setelah diketahui teknologi yang terbaik maka perlu dilihat kelayakan alat tangkap yang terpilih sebagai syarat pengembangan usaha perikanan pelagis. Bila syarat kelayakan telah dipenuhi maka disusun strategi yang tepat agar usaha perikanan pelagis dapat berkembang lebih baik lagi (Gambar 1). Kegiatan Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin
Biologi
Teknis
Rawai Hanyut
Bagan Tancap
Jaring Insang Hanyut
Sosial
Ekonomi
Keramahan Lingkungan
Alat Tangkap Pelagis Terpilih
Karakteristik Alat Penangkapan Ikan
Analisis Optimasi
Analisis SWOT
Strategi Pengembangan
Gambar 1 Kerangka pemikiran
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang menangkap meliputi pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Definisi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa kegiatan menangkap ikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial, maupun untuk memperoleh nilai tambah lainnya, seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap protein hewan, devisa serta pendapatan negara (Monintja 1994). Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan
ikan termasuk kegiatan menyimpan,
mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersil atau mendapatkan laba dari kegiatan yang dilakukan. Perikanan laut sebagai salah satu sub sektor dari usaha perikanan, yang terbagi menjadi dua aspek yaitu : (1) menangkap ikan di laut, adalah semua kegiatan menangkap yang dilakukan di laut dan muara sungai, laguna dan sebagainya yang dipengaruhi oleh pasang surut. Dalam hal demikian semua kegiatan menangkap yang dilakukan oleh nelayan dari perikanan laut dinyatakan sebagai menangkap di laut, (2) budidaya di laut, adalah semua kegiatan memelihara yang dilakukan di laut atau di perairan antara lain yang terletak di muara sungai dan laguna (Syafrin 1993). Syafrin (1993) mengatakan bahwa pengembangan usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya perikanan di suatu perairan dan fluktuasi kegiatan usaha perikanan usaha pada akhirnya mempengaruhi nelayan yang beroperasi di sekitar perairan tersebut. Menurut UU No. 9 tahun 1985 butir 5 tentang perikanan menjelaskan bahwa usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap, membudidayakan ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan dan memasarkan hasilnya untuk tujuan komersil.
7
2.2 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari suatu yang nilai kurang kepada sesuatu yang dinilai baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Menurut Bahari (1989), pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan menyebutkan bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, dan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya. Hasil tangkapan nelayan akan sangat tergantung pada tingkat upaya penangkapan dan besarnya populasi atau sediaan ikan. Dalam hal ini ada dua pengertian upaya penangkapan, yaitu (1) upaya penangkapan nominal, (2) upaya penangkapan efektif. Upaya penangkapan nominal diukur berdasarkan jumlah nominalnya, antara lain dengan satuan jumlah kapal, alat tangkap maupun trip penangkapan yang distandarisasikan dengan satuan baku. Sementara itu upaya penangkapan efektif diukur berdasarkan besarnya dampak yang ditimbulkan terhadap kelimpahan sediaan ikan atau laju kematian karena kegiatan penangkapan (Purwanto 1990). Faktor manusia merupakan kunci sukses pengelolaan sumber daya perikanan, karena manusia yang memanfaatkan sumberdaya ikan memiliki emosi, strategi, visi, tujuan, keinginan, dan perasaan. Dalam pemilihan altematif pengelolaan perikanan sangat bergantung pada keunikan, situasi dan kondisi perikanan yang dikelola, serta tujuan pengelolaan. Setiap pilihan sebaiknya berdasarkan kriteria-kriteria berikut: (1) diterima nelayan; (2) diimplementasi secara gradual; (3) fleksibilitas; (4) implementasinya didorong efisiensi dan inovasi; (5) dengan perhitungan yang matang; dan (6) ada keterkaitan terhadap tenaga, biaya kerja, pengangguran dan keadilan. Pentingnya pengelolaan sumberdaya perikanan menurut FAO (1997) karena beberapa hal, yaitu : pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan adalah pemerintah, nelayan, dan stakeholders lain yang terkait. Adapun manfaat pengelolaan adalah untuk menjamin agar sektor perikanan dapat memberikan
8
manfaat yang optimal bagi para stakeholders baik generasi sekarang maupun yang akan datang, serta terciptanya perikanan yang bertanggung jawab. Gulland (1977) mengajukan enam pendekatan dalam pengelolaan perikanan: (1) pembatasan alat tangkap; (2) penutupan daerah penangkapan ikan; (3) penutupan musim penangkapan: (4) pemberlakuan kuota penangkapan; (5) pembatasan ukuran ikan yang boleh ditangkap; dan (6) penetapan jumlah kapal serta jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan untuk setiap kapal. Panayotou (1986) mengajukan beberapa pendekatan yang bersifat sosial ekonomi yaitu: (1) penetapan pajak; (2) subsidi; (3) pembatasan import dan (4) promosi ekspor. Pengelolaan sumberdaya perikanan pada dasarnya bertujuan untuk memanfaatkan sumberdaya bagi pencapaian sasaran-sasaran pembangunan perikanan yang berlanjut, secara sistematis dan berencana, berupaya mencegah terjadinya eksploitasi sumberdaya secara berlebihan serta sekaligus berupaya menghambat menurunnya mutu dan rusaknya habitat / ekosistem penting akibat ulah manusia. Eksploitasi lebih dan rusaknya habitat penting pada gilirannya dapat menurunkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, yang dapat menjurus pada kemiskinan (Cholik dan Budihardjo 1993). Pengelolaan sumberdaya perikanan didasari atas pemahaman yang luas dan mendalam akan semua proses dan interaksi yang berlangsung di alam, potensi yang dikandung di dalamnya, serta kemungkinan kerusakan yang akan dialaminya. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya mencakup penetapan
langkah-langkah
dan
kegiatan
yang
harus
dilakukan
guna
mengantisipasi dan mengatasi masalah maupun menangani isu-isu yang berkembang, dalam wujud program pengelolaan (FAO 1997). Pengelolaan sumberdaya perikanan mengandung pengertian suatu kumpulan tindakan (aksi yang terorganisir untuk mencapai tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan. Berbagai langkah yang ditempuh diarahkan agar pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan semaksimal mungkin dapat memecahkan persoalan yang terkait dengan: kelebihan kapasitas penangkapan ikan, ketidakseimbangan antara berbagai kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya, kerusakan habitat dan menurunnya keanekaragaman hayati, serta kerusakan dan kemunduran mutu lingkungan.
9
Muthalib
(1992),
mengatakan
bahwa
untuk
mencapai
sasaran
pembangunan perikanan yakni meningkatkan produksi pendapatan serta memperluas kesempatan kerja maka pengembangan usaha penangkapan perlu diupayakan secara optimal melalui penentuan dan pengelolaan jenis usaha yang sesuai untuk dikembangkan dan mengetahui berbagai faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan produksi dan pendapatan. Pengelolaan perikanan secara operasional ditujukan untuk mencapai hasil tangkapan maksimal yang berimbang lestari (MSY), hasil produksi yang secara ekonomi memberikan keuntungan maksimum yang lestari (MEY), dan kondisi sosial yang optimal misalnya memaksimumkan tenaga kerja dan mengurangi pertentangan yang terjadi diantara nelayan (Gulland 1997). Pada umumnya pengelolaan sumberdaya perikanan tidak langsung ditujukan pada organisme ikannya, tetapi cenderung pada usaha pengaturan aktivitas penangkapan ikan dan perikanan merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan upaya perbaikan kondisi lingkungan (Najamuddin 2004). Indeks kelimpahan stok suatu sumberdaya dapat dicerminkan dari angka laju tangkap (catch rate). Adanya fluktuasi indeks kelimpahan stok merupakan indikasi dari adanya pengaruh penangkapan terhadap stok, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Pada perikanan yang sudah tereksploitasi pengaruh yang paling besar adalah kegiatan penangkapan (Badrudin dan Sumiono 2002) Pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilakukan apabila potensi sumberdaya diketahui. Pendekatan dalam pendugaan potensi sumberdaya perikanan yang banyak digunakan selama ini meliputi pendekatan biologi dan ekonomis. Pada pendekatan biologi, tingkat eksploitasi cenderung berada di bawah titik maksimum karena adanya indeks kehati-hatian terhadap stok sumberdaya ikan (Najamuddin 2004). Sejalan dengan berbagai pendapat di atas maka diperlukan suatu usaha pengelolaan yang tetap memperhatikan beberapa aspek dalam usaha pengembangan perikanan tangkap khususnya di mana fenomena perbedaan antara persediaan ikan yang bisa habis dan usaha penangkapan yang terus menerus, sehingga dibutuhkan suatu tindakan pengaturan agar dapat memperkecil percepatan kehabisan stok ikan.
10
Usaha pengelolaan dan pengembangan perikanan laut dimasa datang memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi dengan pemanfaatan iptek, akan mampu mengatasi keterbatasan sumberdaya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat
yang
optimal
dan
berkelanjutan.
Langkah
pengelolaan
dan
pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial budaya, dan ekonomi. 1) Aspek Biologi Ikan sebagai sumberdaya hayati dilihat dari aspek biologi dengan menekankan pada jumlah stok atau biomassa ikan dimana dalam menganalisis sumberdaya ikan, penentuan ukuran stok merupakan langkah penting dalam mempelajari berbagai stok terutama yang telah diusahakan. Hasil analisis akan sangat berguna bagi perencanaan pemanfaatan, pengembangan, dan perumusan strategi pengelolaan. Ukuran dari suatu stok ikan dalam perairan dapat dinyatakan dalam jumlah atau berat total individu (Widodo et al. 1998). Dalam menduga ukuran stok ikan seringkali digunakan jumlah atau berat relatif yang dinyatakan sebagai kelimpahan sedangkan satuan yang sering digunakan adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) dari suatu alat tangkap. Perubahan ukuran stok dapat disebabkan oleh adanya berbagai perubahan lingkungan, proses rekruitmen, pertumbuhan, kegiatan penangkapan, populasi organisme mangsa, pemangsa atau pesaing. Perubahan ukuran stok atau beberapa bagian dari stok dalam waktu tertentu dapat digunakan untuk mengestimasi laju kematian atau kelangsungan hidup dari stok yang bersangkutan (Widodo et al. 1998). Mengestimasi besarnya kelimpahan (biomasa) dan estimasi potensi dari suatu jenis atau kelompok jenis sumberdaya ikan dapat digunakan metode Surplus Produksi. Model produksi surplus banyak digunakan dalam pengelolaan perikanan dalam lingkup yang besar karena model ini didasarkan pada data tangkapan dan data upaya penangkapan yang relatif mudah diperoleh. Metode produksi surplus berdasarkan pada asumsi bahwa tingkat pertumbuhan bersih dari suatu stok berhubungan dengan biomasanya. Pertumbuhan biomasa pada carrying capacity lingkungan, oleh karena itu produksi surplus dimaksimalkan pada
11
beberapa nilai biomassa yang lebih rendah. Kerugian utama dari model ini adalah karena mengabaikan proses biologis (pertumbuhan, pertambahan, dan mortalitas) yang mempengaruhi biomassa stok. Jika jumlah tangkapan yang dikeluarkan dari stok lebih kecil dari produksi surplus maka biomassa stok akan bertambah tetapi bila jumlah tangkapan lebih besar dari produksi surplus maka biomassa stok akan menurun (King 1995). Maunder (2002) menyatakan bahwa yang terpenting dalam analisis CPUE adalah CPUE dari semua tipe alat tangkap yang dioperasikan pada areal yang sama harus dibandingkan terhadap tipe alat tangkap standar. 2) Aspek Teknis Aspek teknis suatu penangkapan ikan merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan rancang bangun alat tangkap, pelaksanaan operasi penangkapan, kesesuaian alat tangkap dengan daerah penangkapan, jenis ikan yang menjadi target penangkapan, penggunaan peralatan pendukung, dan sebagainya. Indikator dari efisiensi secara teknis adalah jumlah hasil tangkapan persatuan waktu, dan tenaga. Fridman (1986) menyatakan bahwa alat tangkap harus dianggap sebagai bagian dari suatu sistem yang juga mencakup penanganan alat, kapal perikanan, alat pengumpul ikan, dan lingkungan daerah penangkapan. Ayodhyoa
(1981)
menyatakan
bahwa
penentuan
suatu
metode
penangkapan ikan harus dilandasi pengetahuan mendalam tentang tingkah laku ikan baik sebagai individu maupun kelompok, dalam suatu saat tertentu atau periode musim, dalam keadaan alami atau diberi perlakuan dalam penangkapan dan ini menjadi kunci untuk melakukan perbaikan dan menemukan metode baru. Metode
penangkapan
yang
efisien
adalah
metode
penangkapan
yang
memperhatikan tingkah laku dari spesies target yang diharapkan, terutama pergerakan organisme dan respon terhadap rangsangan, dalam hal ini alat tangkap (King 1995). Dalam suatu pengoperasian alat tangkap dan tingkat teknologi maka jenis teknik penangkapan ikan bervariasi mulai dari yang sederhana dan mudah dioperasikan sampai yang kompleks dan rumit digunakan. Ada jenis alat tangkap yang pasif seperti jenis perangkap dan jaring insang yang mengharapkan pergerakan ikan menuju alat tangkap sampai yang aktif seperti trawl dan seine net
12
yang dirancang untuk mengeruk dan menyaring dalam menangkap ikan. Perbedaan kedua tipe ini penting dalam mempertimbangkan biaya penangkapan dan kesesuaian ekologis. Alat tangkap pasif relatif mudah dioperasikan dan kecil kemungkinannya merusak ekosistem perairan, tetapi alat tangkap aktif khususnya trawl dan seine net lebih efisien dalam hasil tangkapan dan berperan pada sebagian besar hasil tangkapan (King 1995). Perikanan pantai Indonesia tergolong perikanan skala kecil sampai menengah dengan investasi dan input teknologi yang kecil. Namun demikian jika ditinjau dari segi prinsip metode penangkapan yang digunakan oleh nelayan di tanah air akan terlihat bahwa telah banyak pemanfaatan tingkah laku ikan (behaviour) untuk tujuan penangkapan ikan yang digunakan. Penggunaan penaju pada perikanan sero, penggunaan cahaya pada perikanan bagan dan penggunaan rumpon pada perikanan payang, menunjukkan bahwa nelayan telah menerapkan teknologi dalam menangkap ikan dengan memanfaatkan tingkah laku ikan, yang belum dimiliki nelayan adalah kemampuan mendeteksi permasalahan untuk melakukan perbaikan (Ayodhyoa 1981). 3) Aspek Sosial Pengertian masyarakat perikanan adalah suatu kelompok masyarakat yang berdiam dan menggantungkan sumber hidupnya dari ketersediaan sumberdaya perikanan dengan pilihan sumber perolehan alternatif yang minim dan asupan teknologi yang digunakan relatif sederhana. Konteks dasar demikian ini terasa sulit mendapatkan pengakuan akibat makin dinamisnya masyarakat itu sendiri dan makin terbukanya berbagai akses dan pilihan sumber hidup, demikian juga makin meningkatnya
fungsi
dan
nilai
ekonomi
sumberdaya
perikanan
yang
menyebabkan makin majemuknya masyarakat perikanan itu sendiri. Bahkan pengertiannya lebih meluas lagi dengan istilah stakeholders atau pemangku kepentingan
yang
tidak
lagi
mengenal
batasan
domisili
dan
tingkat
ketergantungan hidupnya terhadap sumberdaya perikanan, walaupun masih tetap didominasi oleh kelompok nelayan kecil. Dalam usaha pengembangan suatu perikanan tangkap harus selalu memperhatikan dampak sosialnya terhadap perkembangan masyarakat.
13
Analisis aspek sosial perikanan tangkap meliputi penyerapan tenaga kerja per unit penangkapan atau jumlah tenaga kerja per unit penangkapan, penerimaan per unit penangkapan atau penerimaan nelayan yang diperoleh dari hasil per unit yaitu hasil bagi antara sistem bagi hasil dengan jumlah nelayan personil penangkapan, dan kemungkinan kepemilikan unit tangkap ikan untuk nelayan yang diperoleh dari penerimaan nelayan per tahun dibagi investasi dari setiap unit penangkapan. Pengembangan perikanan berkaitan erat dengan proses pemanfaatan sumberdaya manusia, dan sumberdana yang tersedia. Berdasarkan alamnya, pengembangan usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya perikanan di suatu perairan. Fluktuasi kegiatan usaha perikanan pada akhirnya mempengaruhi nelayan yang beroperasi di sekitar perairan tersebut. Sementara itu Monintja et al. (1986) mengemukakan bahwa aspek sosial yang penting diperhatikan dalam pemilihan teknologi penangkapan ikan adalah penerimaan oleh nelayan (pengoperasian alat tangkap tidak menimbulkan friksi atau keresahan nelayan yang telah ada), ketersedian tenaga kerja (pendidikan dan pengalaman), dan memberikan pendapatan yang sesuai. Permasalahan utama usaha perikanan adalah sifat common property sumberdaya ikan, sehingga upaya seorang nelayan menimbulkan suatu biaya yang tidak diperhitungkan terhadap seluruh nelayan. Hal ini berpotensi menimbulkan friksi sosial antara nelayan dalam pemilihan teknologi penangkapan ikan. Oleh karena itu evaluasi terhadap perikanan tangkap yang akan dikembangkan hendaknya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Tingkat partisipasi angkatan kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor demografi, sosial, dan ekonomi. Faktor ini antara lain adalah umur, status perkawinan, tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal (desa/kota), dan jumlah pendapatan. Solahudin (1998), menyatakan masalah pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan erat kaitannya dengan tingkat produktivitas dan pendapatan yang dicapai oleh nelayan. Rendahnya tingkat pendidikan nelayan telah menyebabkan tingkat produktivitas mereka telah mengalami peningkatan yang berarti. Menurut Muthalib (1992) dalam usaha untuk mencapai tingkat pendapatan yang tertinggi, nelayan
mempunyai
pilihan
dalam
mengkombinasikan
banyak
faktor.
14
Kemampuan nelayan dalam mengkombinasikan berbagai faktor ditentukan oleh : 1) Penguasaan sumberdaya; 2) Kemudahan untuk mendapatkan tenaga kerja manusia dan tenaga kerja mekanik; 3) Kemampuan memperoleh modal usaha; dan 4) Kemudahan memasarkan hasil produksi dengan harga yang wajar. 4) Aspek Finansial Salah satu dasar pertimbangan dalam pengendalian pembangunan sektor perikanan adalah pertimbangan ekonomi. Pertimbangan ini meliputi pendapatan nelayan yang layak, penggunaan sumberdaya yang optimal, dan retribusi pendapatan antar nelayan, serta memperoleh sewa ekonomi yang besar (Lawson 1984). Barani (2003) sektor perikanan tangkap dengan potensi dan peluang yang dimiliki akan dijadikan andalan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, terutama dalam kaitannya dengan upaya peningkatan penerimaan devisa, mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan kesejahteraan petani ikan dan nelayan, penyediaan lapangan kerja produktif, peningkatan penerimaan negara dan pendapatan asli daerah. Maka pelaksanaan pembangunan perikanan tangkap didasarkan pada sistem ekonomi kerakyatan yang mengarah pada mekanisme pasar dan persaingan pasar. Pembangunan ini didukung oleh pengembangan industri berbasis keunggulan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dalam mencapai daya saing tinggi. Sainsbury (1999), pertimbangan ekonomis adalah faktor utama dalam pemilihan metode dan alat tangkap ikan. Suatu metode harus mampu menangkap dan memberikan jumlah ikan yang cukup bagi pasar untuk memberikan keberlanjutan usaha. Selain kesesuaian teknis, hasil estimasi yang menunjukkan pengembalian ekonomis terbesar biasanya menjadi pilihan suatu metode penangkapan ikan yang berarti mampu menangkap ikan dalam jumlah besar (Kg), tetapi juga bisa berarti nilai hasil tangkapan yang tinggi (Rp) meskipun jumlah hasil tangkapan tidak besar (Ayodhyoa 1981). Aspek ekonomi yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan teknologi penangkapan ikan adalah besarnya modal investasi, besarnya modal kerja, proyeksi hasil tangkapan / pengembalian modal (Monintja et al. 1986). Dalam mengevaluasi suatu usaha perlu memperhatikan beberapa aspek, antara lain adalah analisis terhadap aspek ekonomi dan aspek finansial. Aspek finansial
15
dievaluasi menyangkut perbandingan antara pengeluaran dan pengembalian. Sedangkan aspek ekonomi diperhatikan dalam rangka menentukan apakah usaha akan memberikan sumbangan atau peran yang positif dalam pembangunan alat tangkap, bahan bakar dan lain-lain (King 1995). Pada tingkat pengoperasian unit penangkapan ikan maka identifikasi biaya diklasifikasikan menurut variabilitas hingga dikenal biaya variabel dan biaya tetap, meskipun tidak semua usaha penangkapan menggunakan standar klasifikasi biaya yang sama karena perbedaan jenis obyek yang dikelola dan manajemen yang dipakai, dimana biaya tetap meliputi pembayaran pinjaman, penyusutan dan asuransi atau biaya yang dikeluarkan meskipun usaha penangkapan tidak beroperasi. Sedangkan biaya variabel berhubungan dengan operasi penangkapan, termasuk upah, biaya perbaikan alat tangkap, bahan bakar, perbekalan, umpan dan es (King 1995). Pendapatan didefinisikan sebagai penghasilan yang berupa upah/gaji, bunga, keuntungan dan suatu arus uang yang diukur dalam waktu tertentu (Kadariah et al.
1981). Sedangkan menurut Soekartawi (2002), pendapatan
merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya yang dikeluarkan selama melakukan usahanya. Menurut Soekartawi (2002) bahwa kriteria investasi dalam suatu investasi adalah analisa R/C yaitu singkatan dari return cost ratio, atau lebih dikenal dengan sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Jika R/C = 1, maka proyek bersifat tidak untung dan tidak rugi hanya sekedar menutupi biaya saja. Jika R/C lebih besar dari 1 maka hasil yang diperoleh lebih besar daripada biaya total sehingga proyek dapat dilaksanakan. Jika R/C lebih kecil dari 1, maka hasil yang diperoleh lebih kecil daripada biaya total usaha maka proyek tidak dapat dilaksanakan. Semakin tinggi R/C ratio, maka semakin tinggi prioritas yang dapat diberikan pada proyek tersebut. Menurut Monintja (2000), perlu adanya pertimbangan dalam pemilihan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan perikanan. Pertimbangan-pertimbangan yang akan digunakan dalam pemilihan teknologi dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, teknologi penangkapan ikan secara teknis, ekonomis, rute dan pemasaran menguntungkan serta kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan.
16
Suatu kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan memiliki ciriciri sebagai berikut : (1) Selektivitas tinggi artinya, teknologi yang digunakan mampu meminimalkan hasil tangkapan yang bukan merupakan target. (2) Tidak destruktif terhadap habitat yang akan membahayakan kelestarian produksi ikan. (3) Tidak membahayakan nelayan yang mengoperasikan /menggunakan teknologi tersebut. (4) Menghasilkan ikan bermutu baik dan tidak membahayakan kesehatan konsumen. (5) Hasil tangkapan yang terbuang (discards) sangat minim. (6) Berdampak minimum terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati, tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah. (7) Dapat diterima, secara sosial, artinya di masyarakat nelayan tidak menimbulkan konflik. Kriteria untuk kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan adalah (1) Menerapkan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan (2) Jumlah hasil tangkapan yang tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (3) Menguntungkan (4) Investasi rendah (5) Penggunaan bahan bakar minyak rendah (6) Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku 2.3 Karakteristik Alat Tangkap 2.3.1 Jaring insang hanyut Sering juga disebut dengan drift net, atau ada juga yang memberi nama lebih jelas misalnya ”salmon drift gillnet, atau ”salmon drift trammel net”, ada pula yang menerjemahkannya dengan ”jaring hanyut”. Posisi jaring ini tidak ditentukan oleh adanya jangkar, tetapi bergerak hanyut bebas mengikuti arah gerakan arus. Pada satu pihak dari ujung jaring diletakkan tali, dan tali ini dihubungkan dengan kapal, gerakan hanyut dari kapal sedikit banyak juga dapat
17
mempengaruhi posisi jaring. Selain dari gaya-gaya arus, gelombang, maka kekuatan angin juga akan mempengaruhi keadaaan hanyut dari jaring. Dengan perkataan lain gaya dari angin akan bekerja pada bagian dari float yang tersembul pada permukaan air. Berbeda dengan set gillnet, maka drift gillnet ini dapat pula digunakan untuk mengejar gerombolan ikan dan merupakan suatu alat penangkap yang penting untuk perikanan laut bebas. Karena posisinya tidak ditentukan oleh jangkar, maka pengaruh dari kecepatan arus terhadap kekuatan tubuh jaring dapat diabaikan. Dengan perkataan lain, gerakan jaring bersamaan dengan gerakan arus, sehingga besarnya tahanan dari jaring terhadap arus dapat diabaikan. Ikan-ikan menjadi tujuan penangkapan, antara lain ialah saury, sardine, mackarel, flying fish, skipjack, tuna salmon, dan herring. 2.3.2 Bagan tancap Bagan tancap merupakan rangkaian atau susunan bambu berbentuk persegi empat yang ditancapkan sehingga berdiri kokoh di atas perairan, dimana pada tengah dari bangunan tersebut dipasang jaring. Dengan kata lain, alat tangkap ini sifatnya immobile. Hal ini karena alat tersebut ditancapkan ke dasar perairan, yang berarti kedalaman laut tempat beroperasinya alat ini menjadi sangat terbatas yaitu pada perairan dangkal. Pada dasarnya alat ini terdiri dari bangunan bagan yang terbuat dari bambu, jaring yang berbentuk segi empat yang diikatkan pada bingkai yang terbuat dari bambu. Pada keempat sisinya terdapat bambu-bambu menyilang dan melintang yang dimaksudkan untuk memperkuat berdirinya bagan. Di atas bangunan bagan di bagian tengah terdapat bangunan rumah yang berfungsi sebagai tempat istirahat, pelindung lampu dari hujan dan tempat untuk melihat ikan. Di atas bangunan ini terdapat roler yang terbuat dari bambu yang berfungsi untuk menarik jaring. Umumnya alat tangkap ini berukuran 9 x 9 m sedangkan tinggi dari dasar perairan rata-rata 12 m. Dengan demikian, kedalaman perairan untuk tempat pemasangan alat tangkap ini rata-rata pada kedalaman 8 m, namun pada daerah tertentu ada yang memasang pada kedalaman 15 m, karena ditancapkan ke dasar perairan maka substrat yang baik untuk pemasangan adalah lumpur campur pasir.
18
Jaring yang biasa digunakan pada alat tangkap ini adalah jaring yang terbuat dari waring dengan mesh size 0,4 cm. Posisi jaring dari bagan ini terletak di bagian bawah dari bangunan bagan yang diikatkan pada bingkai bambu yang berbentuk segi empat. Bingkai bambu tersebut dihubungkan dengan tali pada keempat sisinya yang berfungsi untuk menarik jaring. Pada keempat sisi jaring ini diberi pemberat yang berfungsi untuk memberikan posisi jaring yang baik selama dalam air. Ukuran jaring biasanya satu meter lebih kecil dari ukuran bangunan bagan. Selama ini untuk menarik perhatian ikan berkumpul di bawah bagan, umumnya nelayan masih menggunakan lampu petromaks yang jumlahnya bervariasi dari 2 - 5 buah. 2.3.3 Pancing Jenis-jenis teknik penangkapan ikan yang menggunakan pancing biasa disebut dengan line fishing. Istilah lain biasa juga disebut dengan hook and line atau angling yaitu alat penangkapan ikan yang terdiri dari tali dan mata pancing. Semua alat tangkap tersebut dalam teknik penangkapannya menggunakan pancing. Umumnya pada mata pancingnya dipasang umpan, baik umpan asli maupun umpan buatan yang berfungsi untuk menarik perhatian ikan. Umpan asli dapat berupa ikan, udang atau organisme lainnya yang hidup atau mati, sedang umpan buatan dapat terbuat dari kayu, plastik dan yang menyerupai ikan, udang. Dibandingkan dengan alat-alat penangkapan ikan lainnya, alat pancing inilah yang prinsipnya tidak banyak mengalami kemajuan. Karena hanya melekatkan umpan pada mata pancing, lalu pancing diberi tali. Setelah umpan dimakan ikan maka mata pancing juga akan termakan oleh ikan dan dengan tali manusia menarik ikan ke kapal atau ke darat. Dalam teknisnya banyak mengalami kemajuan, misalnya benang yang dipakai berwarna sedemikian rupa sehingga tidak tampak dalam air, umpan diberi bau-bauan sehingga dapat memberikan rangsangan untuk dimakan, bentuknya diolah sedemikian rupa sehingga menyerupai umpan yang umum disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan secara alamiah (Ayodhyoa 1981). Sebagai alat penangkap ikan, alat pancing terdiri dari mata pancing, tali pancing, umpan dan berbagai perlengkapan lainnya seperti joran, pelampung, pemberat, dan lain-lain. Dibandingkan dengan alat penangkapan ikan lainnya, menurut Ayodhyoa (1981) alat tangkap pancing
19
ini mempunyai segi-segi positif yaitu : 1. Alat-alat pancing tidak susah dalam strukturnya dan operasinya dapat dilakukan dengan mudah. 2. Organisasi usahanya kecil, sehingga dengan modal sedikit usaha sudah dapat berjalan (bergantung jenis usaha pancingnya), manusia sedikit usaha sudah dapat dijalankan 3. Syarat-syarat fishing ground relatif sedikit dan dapat dengan bebas memilih. 4. Pengaruh cuaca, suasana laut dan sebagainya relatif kecil. 5. Ikan-ikan yang tertangkap seekor demi seekor sehingga kesegarannya dapat dijamin. Namun ada pula beberapa kelemahan alat tangkap pancing yaitu : 1. Dibandingkan dengan perikanan jaring, maka untuk mendapatkan hasil tangkapan yang banyak jumlahnya dalam waktu yang singkat tidak mungkin dilakukan. 2. Memerlukan umpan, sehingga ada tidaknya umpan akan berpengaruh terhadap jumlah kali operasi yang dapat dilakukan. 3. Keahlian perseorangan sangat menonjol, pada tempat, waktu dan syarat-syarat lainnya sama, hasil tangkapan yang diperoleh belum tentu sama dengan orang lain. 4. Pancing terhadap ikan adalah pasif, dengan demikian tertangkapnya ikan tersebut sangat ditentukan oleh tertariknya ikan untuk memakan ikan. 2.4 Sumberdaya Ikan Pelagis Kawasan pelagis terbagi secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dibagi atas dua zona, yaitu : zona neritik, mencakup massa air yang terletak di atas paparan benua dan zona oseanik, yang meliputi seluruh perairan terbuka lainnya. Secara vertikal terdiri atas zona epipelagik yang mempunyai kedalaman 100 - 150 m atau lebih umum disebut zona tembus cahaya. Zona ini merupakan kawasan terjadinya produktivitas primer yang penting bagi kelangsungan kehidupan dalam laut. Kemudian, zona di sebelah bawah epipelagik sampai pada kedalaman sekitar 700 m disebut zona mesopelagik. Pada kawasan zona ini penetrasi cahaya kurang atau bahkan berada dalam keadaan gelap (Nybakken 1989).
20
Organisme pelagis adalah organisme yang hidup di kolom air jauh dari dasar perairan. Organisme pelagis adalah organisme yang hidup di laut terbuka lepas dari dasar laut dan menghuni seluruh daerah di perairan lepas yang dikenal dengan kawanan pelagis (Nybakken 1989). Direktorat Jenderal Perikanan (1999) mengelompokkan ikan pelagis berdasarkan ukurannya menjadi dua jenis, yaitu : (1) Jenis-jenis ikan pelagis besar yaitu jenis ikan pelagis yang mempunyai ukuran panjang 100 – 250 cm (ukuran dewasa) antara lain adalah tuna (Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp), tongkol (Euthynnus spp), setuhuk (Xiphias spp) dan lemadang (Coryphaena spp). Jenis ikan pelagis besar, kecuali jenis-jenis tongkol biasanya berada di perairan dengan salinitas yang lebih tinggi dan lebih dalam. (2) Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang mempunyai ukuran panjang 5 – 50 cm (ukuran dewasa), terdiri dari 16 kelompok dimana produksinya didominasi oleh 6 kelompok besar yang masing-masing mencapai lebih dari 100.000 ton. Kelompok ikan tersebut adalah kembung (Rastrelliger spp), layang (Decapterus spp), jenis-jenis selar (Selaroides spp dan Atale spp), lemuru bali (Sardinella spp) dan teri (Stelophorus spp). Ikan pelagis kecil adalah ikan yang hidup di lapisan permukaan sampai kedalaman 0 – 60 m, tergantung pada kedalaman laut yang bersangkutan. Kelompok ikan pelagis kecil biasanya hidup bergerombol (schooling), hidup di perairan
neritik
(dekat
pantai).
Bila
hidup
di
perairan
yang
secara
berkala/musiman mengalami upwelling (pengadukan) ikan pelagis kecil dapat membentuk biomasa yang besar (Mukhsin 2003). Sumberdaya ikan pelagis kecil yang dominan dalam kegiatan penangkapan oleh nelayan Kabupaten Banyuasin berdasarkan nilai ekonomi termasuk dalam jenis-jenis ikan ekonomis penting yang disukai oleh masyarakat. Jenis-jenis ikan ini antara lain : 2.4.1 Kembung (Rastrelliger sp) Secara umum ikan kembung (Rastrelliger sp) berbentuk cerutu, tubuh dan pipinya ditutupi oleh sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih besar dari bagian yang lain (Gambar 2). Mata mempunyai kelopak yang berlemak. Gigi yang kecil terletak di tulang rahang. Tulang insang dan banyak sekali terlihat seperti bulu jika mulut terbuka. Mempunyai dua buah sirip punggung (dorsal), sirip punggung pertama terdiri atas jari-jari lemah dan sama dengan sirip dubur (anal) tidak
21
mempunyai jari-jari keras. Lima sampai enam sirip tambahan (finlet) terdapat dibelakang sirip dubur (anal) dan sirip punggung (dorsal) kedua. Bentuk sirip ekor (caudal) bercagak dalam. Sirip dada (pectoral) dengan dasar agak melebar dan sirip perut terdiri atas satu jari-jari keras dan jari-jari lemah (Saanin 1994), dan selanjutnya mengklasifikasikan ikan kembung sebagai berikut : Phyllum : Chordate; Sub Phyllum : Vertebrate Class : Pisces Sub Class : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub Ordo : Scombridae Famili : Scomridae Genus : Rastrelliger Species :
Rastrelliger brachysoma, (Bleeker) Rastrelliger kanagurta, (Cuvier) Nama Indonesia : kembung
Sumber : Balai Penelitian Perikanan Laut (1992)
Gambar 2 Ikan kembung (Rastrelliger sp) Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) biasanya ditemukan di perairan jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 32 ‰, sedangkan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dijumpai di perairan dekat pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji 1993). Penyebaran utama ikan kembung (Rastrelliger sp) adalah Kalimantan barat, Kalimantan timur, Kalimantan selatan dan Malaka, sedangkan daerah penyebarannya mulai dari Pulau Sumatera bagian barat dan timur, Pulau Jawa bagian utara dan selatan, Nusa
22
Tenggara, Sulawesi bagian utara dan selatan, Maluku, dan Irian Jaya (Direktorat Jenderal Perikanan 1997). Jenis ikan ini biasanya ditangkap menggunakan sero, jala lompa dan sejenisnya, kadang-kadang masuk trawl, jaring insang lingkar, mini purse seine dan dipasarkan dalam bentuk segar, asin setengah kering (peda). 2.4.2 Selar (Selaroides sp) Jenis-jenis ikan selar (Selaroides sp) yang tertangkap di perairan Indonesia dan tercatat di dalam data statistik perikanan Indonesia, yaitu selar bentong (Selar crumenopthalmus) dan selar kuning (Selaroides leptolepsis) (Nontji 1993). Klasifikasi selar menurut Saanin (1994) adalah sebagai berikut : Phyllum : Chordate Sub Phyllum : Vertebrate Class : Pisces Sub Class : Teleostei Ordo : Percomorphi Famili : Caranoridae Sub Famili : Caranginae Genus : Caranx Sub Genus : Selar Species : Selar crumenophthalmus Nama Indonesia : Selar
Sumber : Balai Penelitian Perikanan Laut (1992)
Gambar 3 Ikan selar (Selaroides sp) Selar kuning (Selaroides leptolepsis) memiliki bentuk badan lonjong, pipih dengan sirip punggung (dorsal) pertama berjari-jari keras satu buah dengan jari-jari lemah 15 buah (Gambar 3). Sirip duburnya (anal) terdiri atas dua jari-jari keras yang terpisah dan satu jari-jari keras yang bersambung dengan 20 jari-jari
23
lemah. Tapis insang pada busur insang pertama bagian bawah berjumlah 26 buah. Garis rusuk membusur, memiliki 25 – 34 sisik dun (scute). Selar bentong (Selar erumenophthalmus) memiliki bentuk yang hampir sama tetapi dapat dibedakan dari matanya yang berukuran lebih besar (Ditjen Perikanan (1997) dalam Wiyono (2001)). Perbedaan mendasar lainnya terletak pada jumlah jari jari pada sirip dubur (anal) dan sirip punggung (dorsal), jumlah tapis insang, jumlah sisik duri. Jari jari keras sirip punggung (dorsal) pertama ada sembilan buah (satu yang terdepan mengarah ke bagian muka), sedangkan yang kedua berjari- jari keras satu dan jarijari lemah 24 – 26 buah. Sirip dubur (anal) terdiri atas dua jari-jari keras yang terpisah dan satu jari –jari keras yang tersambung dengan 21 – 23 buah jari jari lemah. Garis rusuk bagian depan sedikit membusur kemudian lurus pada bagian belakangnya dengan sisik dun (scule) berjumlah 32 – 38 buah. Kedua jenis ikan ini memakan ikan-ikan kecil dan udang kecil. Hidup secara bergerombol disekitar pantai dangkal, sedangkan Selar crumnophthahnus hidup sampai kedalaman 80 meter (Ditjen Perikanan (1997) dalam Wiyono (2001)). Penangkapan ikan selar ini digunakan alat tangkap pancing, pukat banting, pukat selar, payang, mini purse seine, sero dan jaring insang. Dipasarkan dalam bentuk segar, asin kering dan asin rebus dan harganya sedang. 2.4.3 Tembang (Sardinella sp) Klasifikasi ikan tembang (Sardinella sp) menurut Saanin (1994) adalah sebagai berikut: Phyllum : Chordata Sub Phyllum : Vertebrata Klas
: Pisces
Sub Klas
: Teleostei
Ordo
: Malacopterygii
Sub ordo
: Clupeoidei
Famili
: Clupeidae
Sub famili : Clupeinae Genus Species
: Sardinella : Sardinella fimbriata Val.
24
Sumber : Balai Penelitian Perikanan Laut (1992)
Gambar 4 Ikan tembang (Sardinella sp) Ikan tembang (Sardinella fimbriata Val) atau Fringescale Sardinella mempunyai bentuk badan memanjang dan pipih (compressed). Sisik-sisik terdapat di bagian bawah badan (17-19) + (12-15). Awal sirip punggung agak ke depan dari pertengahan badan, berjari-jari lemah 17 - 20, sirip dubur pendek dengan jarijari lemah 16 - 19. Tapis insang halus, jumlahnya 60-80 pada busur insang pertama bagian bawah. Warna kulit biru kehijauan dan tembus cahaya. Di Indonesia panjang totalnya dapat mencapai 16 cm, umumnya 12 cm dan di Indo Pasifik Barat panjang bakunya dapat mencapai 13 cm (Whitehead 1985). Ciri-ciri morfologis ikan tembang adalah bentuk tubuh fusiform compressed, awal sirip dorsal terletak sebelum mid point tubuh, sirip anal kecil dan terletak jauh di bagian belakang sirip dorsal, sirip dada terletak di bagian bawah sirip dorsal, jumlah gill raker bagian bawah antara 60 - 81, bagian dorsal berwarna biru kehijauan, dan bagian ventral berwarna keperakan. Bagian perut ikan tembang berwarna tajam keperakan, sirip ekor homocerkal, jumlah total scutes antara 30 - 33, sirip anal terletak jauh di belakang sirip punggung, jumlah tulang rawan pada sirip perut adalah tujuh buah, sirip perut terletak di bagian bawah (anterior) dari sirip punggung (dorsal fin), dan tipe sisiknya cycloid. Perbandingan panjang badan standar dengan tinggi badan berkisar 3,4:1. Dibandingkan dengan lemuru, ukuran tinggi badan ikan tembang adalah lebih besar (Lelono 1997). Beberapa nama latin dari ikan tembang adalah Spratella fimbriata, Clupea fimbriata, dan Harengula fimbriata (Whitehead (1985) dalam Lelono (1997)). Famili Clupeidae mempunyai enam genus, yaitu Sardinella, Harengula, Clupea, Sardina, Sprattus, dan Opistonema. Bentuk umum badan ikan famili Clupeidae
25
ada dua, yaitu gilik (cylindrical) seperti Sardinella lemuru dan Amblygaster sirm, dan pipih (compressed) seperti Sardinella fimbriata, Sardinella gibbosa, Sardinella melanura, dan Sardinella albella. Nama lain ikan tembang di pantai utara Jawa adalah tanjan, juwi, sesek, mursiah, dan ciro (Lelono 1997). 2.4.4 Tongkol (Auxis sp) Ikan tongkol (Auxis thazard) termasuk jenis tuna kecil (kate). Ciri-ciri morfologinya adalah badan memanjang, kaku, dan bulat seperti cerutu. Badan tongkol tanpa bersisik kecuali pada bagian korselet yang tumbuh sempurna dan mengecil pada bagian belakang, warnanya kebiru-biruan serta putih dan perak di bagian perut. Ciri-ciri lain, di bagian perut terdapat ban-ban serong berwarna hitam di atas garis rusuk serta noktah-noktah hitam terdapat di antara sirip dada dan perut. Ukuran ini dapat mencapai panjang 50 cm, tetapi umumnya berukuran panjang 25 – 40 cm (Saanin 1994). Tongkol termasuk ikan jenis buas, predator, hidup dekat pantai, lepas pantai dan bergerombol besar. Tongkol tergolong ikan epipelagik dengan kisaran temperatur yang disenangi antara 18 – 29 °C (Nontji 1993). Penyebarannya tongkol cenderung membentuk kumpulan multi spesies menurut ukurannya. Penyebaran tongkol sangat luas meliputi perairan tropis dan subtropis, termasuk Samudera Pasifik, Samudera Hindia, dan Samudera Atlantik (FAO 1986). Penangkapan ikan ini dilakukan dengan pancing tonda, mini purse seine, pole and line. Dipasarkan dalam bentuk segar, asin kering, asapan kering (fufu), asin rebus (pindang), dan harga sedang.
Sumber : Balai Penelitian Perikanan Laut (1992)
Gambar 5 Ikan tongkol (Auxis sp)
26
2.5 Teori Optimasi Optimasi adalah suatu kata kerja yang berarti menghitung atau mencari titik optimum. Kata benda optimisasi merupakan peristiwa atau kejadian proses optimasi. Jadi teori optimisasi adalah mencakup studi kuantitatif tentang titik optimum dan cara-cara untuk mencarinya (Haluan 1985). Ilmu dalam teori ini mempelajari bagaimana mendapatkan dan menjelaskan sesuatu yang terbaik, terjadi setelah orang dapat mengenali dan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk. Proses ini dalam analisis sistem diterapkan terhadap alternatif yang dipertimbangkan, kemudian dari hasil itu dipilih alternatif yang menghasilkan keadaan terbaik (Gaspersz 1992). Secara normal orang akan mengharapkan “baik” sebanyak-banyaknya, paling banyak atau maksimum, dan “buruk” sedikitdikitnya paling sedikit atau minimum. Jadi optimum itu sinonim dengan maksimum untuk hal yang baik, dan minimum untuk hal yang buruk. Kata optimum telah menjadi istilah teknis yang berkaitan dengan pengukuran kuantitatif dan analisa matematis. Kata “terbaik” yang sama artinya dengan optimum, lebih banyak dipergunakan dan lebih sesuai dengan kehidupan seharihari. Karena optimasi mencakup usaha untuk menemukan cara terbaik di dalam melakukan suatu pekerjaan, cara terbaik di dalam melakukan suatu pekerjaan, cara terbaik di dalam memecahkan suatu persoalan, maka aplikasinya, meluas pada hal-hal praktis dalam dunia produksi, industri, perdagangan dan politik (Haluan 1985). Dalam melakukan proses optimasi maka orang harus lebih dahulu melakukan pemilihan ukuran kuantitatif dan efektifitas dari suatu persoalan. Untuk itu orang harus mengetahui dan menguasai sistem yang berlaku di dalam persoalan tersebut baik dalam persoalan fisika maupun ekonomi atau untuk mendesign, membangun, mengatur atau mengoperasikan suatu sistem fisik atau ekonomi yang baru, maka dilakukan langkah yang sama. 2.6 Program Optimisasi 2.6.1 Linear programming (LP) Linear programming ialah salah satu teknik dari riset operasi untuk memecahkan persoalan optimisasi (maksimisasi atau minimisasi) dengan
27
menggunakan persamaan dan ketidaksamaan linear dalam rangka untuk mencari pembatasan-pembatasan yang ada (Supranto 1987). Menurut Soekartawi (1995) linear programming (LP) adalah suatu metode programasi yang variabelnya disusun dengan persamaan linear. Persoalan programming pada dasarnya berkaitan dengan penentuan alokasi yang optimal dari sumber-sumber yang langka untuk memenuhi suatu tujuan. Persoalan linear programming adalah suatu persoalan untuk menentukan besarnya masing-masing nilai variabel sedemikian rupa sehingga nilai fungsi tujuan (objective function) yang linear menjadi optimum (maksimum atau minimum) dengan memperlihatkan batasan-batasan yang ada (Supranto 1987). Menurut Supranto (1987), agar suatu persoalan dapat dipecahkan dengan teknik linear programming harus memenuhi syarat berikut : (1) harus dapat dirumuskan secara matematis; (2) harus jelas fungsi objektif yang linear yang harus dibuat optimum; dan 3) pembatasan-pembatasan harus dinyatakan dalam ketidaksamaan yang linear. Kelebihan dari cara linear programming ini antara lain sebagai berikut (Soekartawi 1995) : 1. Mudah dilaksanakan, apalagi bila menggunakan alat bantu komputer. 2. Dapat menggunakan banyak variabel, sehingga berbagai kemungkinan untuk memperoleh pemanfaatan sumberdaya yang optimum dapat dicapai. 3. Fungsi tujuan (objective function) dapat difleksibelkan sesuai dengan tujuan penelitian atau berdasarkan data yang tersedia. Misalnya bila ingin meminimumkan biaya atau memaksimumkan keuntungan dengan data yang terbatas. Sedangkan kelemahan penggunaan linear programming adalah bila alat bantu komputer tidak tersedia, maka cara linear programming yang menggunakan banyak variabel akan menyulitkan analisisnya dan bahkan tidak mungkin dikerjakan dengan cara manual saja. Kelemahan lainnya adalah pada penggunaan asumsi linearitas, karena di dalam kenyataan yang sebenarnya kadang-kadang asumsi ini tidak sesuai.
28
Faktor-faktor
pembatas
(kendala),
kendala
dalam
model
linear
programming meliputi sumberdaya ikan, tenaga kerja, modal, fasilitas pengolahan. Kendala sumberdaya ikan dimaksud sebagai jumlah tangkapan maksimum yang tidak melebihi dari nilai MSY, selain ketersediaan sumberdaya juga dibatasi dengan adanya musim. Kendala tenaga kerja dimaksudkan sebagai jumlah penawaran tenaga kerja yang tersedia di daerah penelitian. Jumlah hari kerja pada usaha penangkapan ikan sangat tergantung dari banyaknya trip operasi penangkapannya, dengan jumlah jam kerja per hari tidak menentu sesuai dengan musim penangkapan. Dengan demikian unit analisa kerja lebih sesuai dinyatakan dalam hari operasi penangkapan per tahun, khusus untuk kegiatan tertentu seperti pengolahan akan diperinci lebih mendetail. Kendala modal usaha dimaksudkan sebagai kemampuan nelayan dalam melaksanakan usaha penangkapannya dalam bentuk uang. Kemampuan ini dihitung berdasarkan jumlah sarana produksi yang telah dikeluarkan. Mengingat usaha penangkapan sangat dipengaruhi oleh musim maka kendala ini akan diperinci untuk masing-masing musim yang berlaku di daerah penelitian, kemudian disatukan dalam satu tahun. Nilai kendala ini dihitung berdasarkan nilai tengahnya, dengan unit analisis dalam bentuk rupiah. Kendala fasilitas pengolahan dimaksudkan sebagai jumlah fasilitas pengolahan ikan pelagis yang tersedia di wilayah tersebut. 2.6.2 Linear goal programming (LGP) LGP merupakan pengembangan metode linear programming (LP) yang diperkenalkan oleh Charnel dan Cooper pada awal tahun enam puluhan. Perbedaan utama antara LGP dan LP terletak pada struktur dan penggunaan fungsi tujuan. Pada LP fungsi tujuannya hanya mengandung satu tujuan, sementara dalam LGP semua tujuan baik satu atau beberapa digabungkan dalam sebuah fungsi tujuan. Ini dapat dilakukan dengan mengekspresikan tujuan itu dalam bentuk sebuah kendala (goal constraint), memasukkan suatu variabel
simpangan
(deviational
variable)
dalam
kendala
itu
untuk
mencerminkan seberapa jauh tujuan itu dicapai, dan menggabungkan variabel simpangan dalam fungsi tujuan. Pada LP tujuannya bisa maksimisasi atau minimisasi,
sementara
dalam
LGP
tujuannya
adalah
meminimumkan
29
penyimpangan-penyimpangan dari tujuan-tujuan tertentu. Ini berarti semua masalah LGP adalah masalah minimisasi (Mulyono 1991). Analisis optimalisasi manajemen sistem perikanan dinamik daerah tropis yang paling tepat adalah yang meliputi pemrograman dan dinamika kontrol yang optimal. Namun demikian, karena sistem perikanan di daerah tropis sangat komplek, maka teknik ini sangat sulit dilaksanakan. Salah satu teknik optimasi yang dapat digunakan untuk alokasi sumberdaya yang terbatas terhadap banyak tujuan adalah linear goal programming (Wiyono 2001). Setiap model LGP paling sedikit terdiri dari tiga komponen, yaitu : sebuah fungsi tujuan, kendala-kendala tujuan dan kendala non negatif. Fungsi tujuan pertama digunakan jika variabel simpangan dalam suatu masalah tidak dibedakan menurut prioritas atau bobot. Fungsi tujuan kedua digunakan dalam suatu masalah dimana urutan tujuan-tujuan diperlukan, tetapi variabel simpangan di dalam setiap tingkat prioritas memiliki kepentingan yang sama. Pada fungsi tujuan ketiga, tujuan-tujuan diurutkan dan variabel simpangan pada setiap tingkat prioritas dibedakan dengan menggunakan bobot yang berlainan.
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Bulan Juli 2007 sampai dengan Februari 2008. Penelitian dilakukan di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan yang berlokasi di daerah Sungsang (Lampiran 1). Kegiatan penelitian meliputi : 1. Pelaksanaan penelitian di lapangan selama 3 bulan (Juli – September 2007) yaitu pengambilan data primer dan data sekunder di lapangan. 2. Pelaksanaan tabulasi data dan penyusunan tesis selama 5 bulan (September 2007 - Februari 2008). 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku identifikasi ikan, kuisioner, kamera, alat-alat tulis, satu unit PC, software yang digunakan adalah Microsoft Word, Excel, Maple VIII, Lindo, dan CMap. Buku identifikasi digunakan untuk melakukan identifikasi setiap spesies yang tertangkap oleh masing-masing alat tangkap selama penelitian berlangsung. Kuisioner dengan nelayan dan pedagang pengumpul mencakup hasil tangkapan, alat tangkap, wilayah penangkapan, pemasaran dan lain-lain. Untuk melakukan pengolahan data digunakan satu unit Personal Computer (PC). Peralatan lain seperti kamera dan alat-alat tulis digunakan untuk dokumentasi dan pencatatan data lapangan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan pelagis. 3.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini akan difokuskan pada analisis skoring, analisis finansial, optimasi alat penangkapan ikan dan strategi pengembangan perikanan pelagis di Kabupaten Banyuasin. Rincian tahapan penelitian tampak pada Gambar 6.
31
Identifikasi
1. 2. 3. 4. 5.
METODE SKORING BERBASIS CCRF
Pendapatan Usaha,R/C,ROI, BEP, Net B/C,IRR,NPV dan Sensitivitas
KONDISI PERIKANAN PELAGIS Ketersediaan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan Keragaan kebijakan pengelolaan SDI Pelagis Keragaan armada dan alat tangkap perikanan pelagis Keragaan teknis dan ekonomis usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap Perkembangan alat tangkap
TEKNOLOGI PENANGKAPAN BERKELANJUTAN UNTUK IKAN PELAGIS
ANALISIS FINANSIAL
ALOKASI UNIT PERIKANAN TANGKAP PELAGIS
LINEAR GOAL PROGRAMMING PENENTUAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP ANALISIS SWOT REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN PELAGIS TERKAIT DENGAN PENGOPERASIAN ALAT TANGKAP
Gambar 6 Bagan alir tahapan penelitian 3.4 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei dan observasi lapangan. Data yang di kumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengukuran dan pengamatan langsung terhadap unit penangkapan ikan pelagis serta wawancara menggunakan daftar pertanyaan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Wawancara dilakukan terhadap nelayan pemilik alat penangkapan ikan pelagis, nelayan sebagai pekerja dan para stakeholder perikanan tangkap di Kabupaten Banyuasin. Jenis ikan pelagis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tiga jenis ikan yang dominan yang terdapat di Sungsang yaitu ikan tongkol (Auxis sp), ikan tembang (Sardinella sp), dan ikan kembung (Rastrelliger sp) dengan alat tangkap jaring insang hanyut, bagan tancap dan rawai hanyut.
32
Data sekunder diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Selatan, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuasin, dan berbagai tulisan melalui penelusuran pustaka (studi pustaka). Mengingat keterbatasan sumberdaya penelitian (tenaga, waktu dan dana) jumlah sampel yang dikumpulkan dibatasi sekurang-kurangnya 10 % dari unit populasi untuk setiap unit penangkapan ikan pelagis. Perbandingan antara jumlah dengan populasi jenis alat tangkap ikan pelagis yang menjadi sampel penelitian (Tabel 1). Responden dikumpulkan secara purposive sampling, yaitu dengan cara memastikan diperolehnya sejumlah sampel yang mewakili populasi yang akan diteliti (Mangkusubroto dan Trisnadi, 1985). Tabel 1 Jumlah sampel menurut unit penangkapan ikan pelagis yang ada di Kabupaten Banyuasin No
Jenis Alat Tangkap Ikan Pelagis
Populasi (unit)
Jumlah Sampel (unit)
1.
Rawai Hanyut
20
4
2.
Jaring Insang Hanyut
90
9
3.
Bagan Tancap
110
11
220
24
Jumlah
Data yang dikumpulkan untuk masing-masing aspek kajian (aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan) adalah sebagai berikut : 1. Aspek biologi Pengukuran parameter biologi pada penelitian ini dilakukan terhadap, sumberdaya ikan pelagis sebagai salah satu sampel penelitian. Beberapa parameter biologi yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini dapat disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Pengukuran parameter biologi terhadap sumberdaya ikan pelagis No
Parameter
Uraian
1.
Komposisi target spesies
Komposisi hasil tangkapan utama yaitu ikan pelagis.
2.
Ukuran hasil tangkapan
Rata-rata ukuran panjang ikan pelagis hasil tangkapan.
3.
Musim penangkapan
Lama waktu nelayan melakukan operasi penangkapan ikan pelagis.
33
2. Aspek teknis Pengukuran
parameter
teknis
dilakukan
pada
perahu
dan
alat
penangkapan. Parameter teknis penting untuk diketahui karena menyangkut masalah produksi unit penangkapan ikan pelagis yang dioperasikan. Beberapa parameter teknis yang akan dikumpulkan pada penelitian ini dapat disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Pengukuran parameter teknis pada perahu dan alat penangkapan ikan pelagis No
Parameter
Uraian
1.
Ukuran perahu
Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui panjang, lebar dan tinggi perahu yang digunakan oleh nelayan, tentunya berkaitan dengan GT, jangkauan daerah penangkapan serta kapasitas produksi.
2.
Jenis mesin
Perbedaan mesin yang digunakan oleh nelayan sebagai tenaga penggerak perahu, jenis mesin ini berkaitan dengan kemudahan pengadaan materialnya, harganya terjangkau, fasilitas pelayanannya seperti bengkel serta daya tahan operasional penangkapan dilakukan.
3.
Jenis bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan
Perbedaan bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan sangat tergantung dari jenis mesin yang dipakai oleh nelayan, namun diharapkan BBM yang digunakan tersedia setiap waktu, harganya terjangkau dan membuat mesin menjadi tahan lama.
4.
Ukuran alat penangkapan Pengukuran alat penangkapan ikan pelagis seperti ikan pelagis dimensi (panjang dan lebar) dan pengukuran mata jaring (mesh size) dari tiga alat penangkapan ikan pelagis.
5.
Material alat penangkapan Tiga jenis alat penangkapan ikan pelagis terbuat ikan pelagis dari bermacam-macam material, yang diharapkan dari bahan ini adalah tahan lama, harganya terjangkau serta mudah didapatkan oleh nelayan.
6.
Produksi per tahun
Jumlah hasil tangkapan yang dihasilkan setiap unit penangkapan ikan pelagis selama lima tahun terakhir.
7.
Produksi per trip
Jumlah hasil tangkapan setiap unit penangkapan ikan pelagis pertrip, satu kali trip yaitu satu kali armada penangkapan ikan pelagis terhitung sejak armada penangkapan ikan pelagis meninggalkan fishing base menuju daerah penangkapan dan kembali ke fishing base semula atau fishing base lainnya untuk mendaratkan hasil tangkapannya.
34
3. Aspek sosial Pengukuran parameter sosial dalam penelitian ini diarahkan kepada nelayan sebagai pelaku utama dalam kegiatan penangkapan ikan pelagis. Pentingnya mengetahui parameter sosial masyarakat nelayan karena didorong oleh perubahan faktor produksi yang dimiliki seperti alat penangkapan ikan pelagis yang setiap kurun waktu tertentu mengalami perubahan dari unit penangkapan yang berteknologi tradisional ke unit penangkapan ikan pelagis yang berteknologi tradisional ke unit penangkapan ikan pelagis yang berteknologi lebih baik. Apakah alat tangkap dengan teknologi yang lebih baik dapat diterima oleh nelayan. Parameter sosial yang penting untuk diketahui karena menyangkut masalah sumberdaya manusia yang mengoperasikan unit penangkapan ikan pelagis. Beberapa parameter sosial yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Pengukuran parameter sosial pada nelayan yang menggunakan unit penangkapan ikan pelagis No
Parameter
Uraian
1.
Jumlah nelayan yang terserap setiap unit penangkapan ikan pelagis
Banyaknya nelayan yang bekerja atau digunakan oleh setiap unit penangkapan ikan pelagis dalam setiap kegiatan operasi penangkapan ikan pelagis dengan pendapatan yang sesuai.
2.
Pendapatan nelayan per tahun
Pendapatan nelayan dari bagi hasil antara pemilik kapal dengan ABK tanpa memperhitungkan kelebihan satu sama lainnya.
3.
Tingkat penguasaan teknologi
Bagaimana pengusaan nelayan terhadap teknologi alat tangkap yang digunakan, (1) mudah; (2) sedang; (3) sedikit sukar; dan (4) sukar.
4. Aspek ekonomi Pengukuran parameter ekonomi dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui manfaat ekonomi dari suatu usaha penangkapan ikan pelagis. Parameter ekonomi yang dikumpulkan dalam penelitian ini seperti biaya investasi, biaya operasional, biaya perawatan, dan nilai produksi. Beberapa parameter ekonomi yang dikumpulkan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5.
35
Tabel 5 Pengukuran parameter ekonomi terhadap unit penangkapan ikan pelagis No
Parameter
Uraian
1.
Biaya investasi
Biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan kapal/perahu, alat penangkapan ikan pelagis, mesin dan perlengkapan lainnya.
2.
Biaya operasional
Biaya yang dikeluarkan saat kegiatan operasional penangkapan dilaksanakan seperti bahan bakar minyak (BBM), perbekalan dan es.
3.
Biaya perawatan
Biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan perahu, alat penangkapan ikan pelagis, mesin dan perlengkapan lainnya.
4.
Nilai produksi
Berat produksi dikalikan harga persatuan berat pada tingkat harga produsen, dinyatakan dalam rupiah.
5. Aspek lingkungan Pengukuran parameter lingkungan dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui manfaat lingkungan dari usaha penangkapan ikan pelagis. Beberapa parameter lingkungan yang dikumpulkan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Pengukuran parameter lingkungan terhadap unit penangkapan ikan pelagis No
Parameter
Uraian
1.
By catch rendah
Ikan non target yang tertangkap dalam proses penangkapan karena tidak mempunyai pasar yang baik di lokasi penelitian.
2.
Selektivitas yang tinggi
Hanya menangkap target spesies, menangkap ikan dengan ukuran tertentu, dan menghindari tertangkapnya biota yang dilindungi.
3.
Dampak ke biodiversity kecil
Keanekaragaman hayati yang ada di perairan harus tetap dijaga keberadaannya untuk keseimbangan ekologi.
4.
Tidak merusak habitat perairan
Proses penangkapan tidak berdampak negatif terhadap ekosistem perairan.
5.
Menghasilkan ikan berkualitas Kualitas ikan hasil tangkapan sangat tinggi ditentukan oleh jenis alat tangkap yang digunakan, metode penangkapan dan penanganannya.
36
6.
Tidak membahayakan nelayan
7.
Produksi tidak membahayakan Tingkat bahaya yang diterima oleh konsumen terhadap produksi yang konsumen dimanfaatkan tergantung dari ikan yang diperoleh dari proses penangkapan.
8.
Tidak membahayakan ikan yang dilindungi
9.
Dapat diterima secara sosial
Tingkat bahaya atau resiko yang diterima oleh nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap tergantung pada jenis alat tangkap dan keterampilan yang dimiliki nelayan.
ikan- Alat tangkap tersebut mempunyai peluang yang cukup besar untuk tertangkapnya spesies yang dilindungi. Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap yang digunakan tergantung pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat.
3.5 Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skoring yang tujuannya adalah menetapkan prioritas unit penangkapan ikan pelagis terpilih. Selanjutnya, analisis finansial bertujuan untuk menentukan kelayakan usaha alat tangkap yang ada. Kemudian dilakukan pengalokasian unit penangkapan ikan pelagis dengan menggunakan model linear goal programming untuk mengetahui jumlah alokasi dari alat tangkap dan untuk melihat strategi pengembangan perikanan tangkap menggunakan analisis SWOT. 3.5.1 Metode skoring Metode skoring dapat digunakan untuk penilaian kriteria yang mempunyai satuan berbeda. Skoring diberikan dengan nilai terendah sampai nilai tertinggi. Untuk nilai tertinggi diberikan urutan prioritas 1 begitupun seterusnya. Dalam menilai semua kriteria atau aspek yang digunakan nilai tukar, sehingga semua nilai mempunyai standar yang sama. Jenis alat tangkap yang memperoleh nilai tertinggi berarti lebih baik daripada yang lainnya, demikian juga sebaliknya. Standarisasi dengan fungsi nilai dapat dilakukan dengan menggunakan rumus dari Mangkusubroto dan Trisnadi (1985) sebagai berikut : V (X ) = V ( A) =
X − X0 Xa − X0 n
∑
i= a
Vi ( Xi)
37
i = a, b, c, d........n dimana : V(X)
= Fungsi nilai dari variabel X
X
= Nilai variabel X
Xa
= Nilai tertinggi pada kriteria X
Xo
= Nilai terendah pada kriteria X
V(A)
= Fungsi nilai dari alternatif A
V1(Xi) = Fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i Penentuan unit penangkapan ikan pelagis menggunakan metode skoring, sebagai berikut : Analisis aspek biologi : komposisi target spesies (X1), ukuran panjang tubuh ikan hasil tangkapan (X2), musim penangkapan ikan pelagis (X3) yang diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan. Analisis aspek teknis (perahu, alat penangkapan ikan pelagis dan hasil tangkapan). Sedangkan penilaian kriteria teknis dari unit penangkapan pelagis yaitu mencakup produksi per tahun (X1), produksi per trip (X2), produksi per tenaga kerja (X3). Analisis aspek sosial yakni berkaitan dengan tenaga kerja yang diserap setiap unit penangkapan pelagis antara lain, jumlah tenaga kerja per unit penangkapan ikan pelagis (X1), pendapatan nelayan pertahun (X2), dan tingkat penguasaan teknologi (X3). Analisis aspek ekonomi dapat dijabarkan menjadi aspek ekonomi kriteria efisiensi usaha. Aspek ekonomi kriteria efisiensi usaha meliputi: penerimaan kotor per tahun (X1), penerimaan kotor per trip (X2), penerimaan kotor per tenaga kerja (X3). Analisis aspek ramah lingkungan dilakukan untuk mengetahui manfaat lingkungan dari usaha penangkapan ikan pelagis. Aspek ramah lingkungan meliputi : mempunyai selektivitas yang tinggi (X1), tidak merusak habitat (X2), menghasilkan ikan berkualitas tinggi (X3), tidak membahayakan nelayan (X4), produksi tidak membahayakan konsumen (X5), by-catch rendah (X6), dampak ke biodiversity (X7), tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi (X8), dan dapat diterima secara sosial (X9).
38
3.5.2 Analisis finansial Analisis finansial adalah suatu analisis proyek dimana proyek dilihat dari sudut badan-badan atau orang-orang yang menanam modalnya dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek (Kadariah et al. 1978). Analisis finansial yang digunakan adalah analisis usaha dan analisis kriteria investasi. 3.5.2.1 Analisis usaha Analisis usaha merupakan analisis jangka pendek yaitu analisis yang dilakukan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha dalam waktu satu tahun. Analisis usaha terdiri atas analisis pendapatan usaha, analisis R/C, analisis BEP (break even point) dan ROI (return on investment) 1) Analisis pendapatan usaha Pendapatan usaha dalam pengembangan perikanan tangkap dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
π = TR − TC Keterangan : TR
= Total revenue (penerimaan total)
TC
= Total cost (biaya total)
Dengan kriteria usaha : TR > TC
: Usaha menguntungkan
TR = TC
: Usaha pada titik keseimbangan (titik impas)
TR < TC
: Usaha mengalami kerugian
2) Analisis revenue-cost ratio (R/C) Analisis ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana manfaat yang diperoleh dari kegiatan usaha selama periode tertentu (1 tahun) cukup menguntungkan. Rumus yang digunakan : R/C =
TR TC
Dengan kriteria : R/C > 1, maka usaha menguntungkan R/C = 1, maka usaha impas R/C < 1, maka usaha rugi
39
3) Analisis break even point (BEP) Break even point menunjukkan produksi minimum setiap tahun pada tingkat tidak untung dan tidak rugi. Break even point atau analisis titik impas adalah suatu alat analisis yang digunakan untuk mengetahui sampai pada batas mana kegiatan usaha yang dijalankan masih mendatangkan keuntungan. Keadaan titik impas merupakan keadaan dimana penerimaan perusahaan (TR) sama dengan biaya yang ditanggungnya (TC), TR=TC. Break even point dapat dirumuskan sebagai berikut : BEP( Kg ) =
BiayaTetapx Pr oduksi HasilPenjualan − BiayaVariabel
BEP( Rp ) =
BiayaTetap BiayaVariabel 1− HasilPenjualan
4) Rentabilitas Peluang pengembangan usaha tidak terlepas dari pertimbangan ekonomi diantaranya besar keuntungan dan lama waktu pengembalian investasi. Return on investment adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan keuntungan. Perhitungan terhadap ROI dilakukan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh
dibandingkan
dengan
besar
investasi
yang
ditanamkan
(Rangkuti, 2001). Rumus yang digunakan adalah : ROI =
Keuntungan x100% Investasi
Dengan kriteria : > 25 %
: Baik
> 15 - 25%
: Cukup baik
5 – 15 %
: Cukup buruk
<5%
: Buruk
3.5.2.2 Analisis kriteria investasi 1) Net present value (NPV) Net present value
digunakan untuk menilai manfaat investasi, yaitu
berapa nilai kini (present value) dari manfaat bersih proyek yang dinyatakan dalam rupiah. Proyek dinyatakan layak untuk dilanjutkan apabila NPV>0,
40
sedangkan apabila NPV<0, maka investasi dinyatakan tidak menguntungkan yang berarti proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Pada keadaan ini nilai NPV=0 maka berarti pada proyek tersebut hanya kembali modal atau tidak untung dan juga tidak rugi. Rumus yang digunakan untuk menghitung NPV adalah : n
∑
NPV =
t=1
Bt − C t (1 + i )
dimana : B = benefit; C = cost; i = discount rate dan t = periode. 2) Net benefit-cost ratio (Net B/C) Menurut Kadariah et al. (1978) adalah perbandingan antara jumlah kini (present value total) dari keuntungan bersih pada tahun-tahun dimana keuntungan bersih bernilai positif dengan keuntungan bersih yang bernilai negatif. Rumus yang digunakan adalah : n
NetB / CRatio =
∑
t= 1 n
∑
t= 1
Bt − Ct ( Bt − Ct ) 〉 0 (1 + i ) t Bt − Ct ( Bt − Ct ) 〈 0 (1 + i ) t
Dengan kriteria kelayakan : B/C ≥ 1, berarti usaha layak dijalankan B/C < 1, berarti usaha tidak layak dijalankan 3) Internal rate of return (IRR) Internal rate of return adalah nilai tingkat suku bunga i yang membuat NPV sari proyek sama dengan nol. IRR dapat diartikan sebagai tingkat suku bunga dimana nilai kini dari biaya total sama dengan nilai kini dari penerimaan total. IRR dapat dirumuskan sebagai berikut :
(
NPV ' IRR = i + i" − i' ' " NPV − NPV '
Keterangan
:
i’
= Tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV+
i”
= Tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV-
NPV’
= NPV pada tingkat suku bunga yang i’
NPV”
= NPV pada tingkat suku bunga yang i”
Dengan kriteria kelayakan :
)
41
IRR ≥ tingkat suku bunga yang berlaku : Usaha layak dijalankan IRR ≤ tingkat suku bunga yang berlaku : Usaha tidak layak dijalankan 3.5.2.3 Analisis sensitivitas Analisis sensitivitas adalah sebuah proses analisis yang menunjukkan perubahan-perubahan koefisien perencanaan. Koefisien perencanaan semula dapat berubah karena dapat dipengaruhi oleh beragam pilihan kegiatan yang dilaksanakan. Menurut Kadariah et al. (1978) tujuan analisis sensitivitas adalah untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisis proyek jika ada suatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan atau manfaat. Analisis sensitivitas dalam penelitian pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Banyuasin dilakukan untuk menguji kepekaan perubahan keadaan terhadap kelayakan investasi. Metode yang digunakan adalah switching value. Metode ini digunakan untuk mengetahui berapa besar presentasi perubahan terhadap harga kenaikan minyak tanah dan solar terhadap penurunan harga ikan yang dapat membuat nilai NPV negatif, Net B/C, dan IRR < i. Harga kenaikan minyak tanah dan solar terhadap penurunan harga ikan sangat berpengaruh dalam kegiatan usaha pengembangan perikanan. 3.5.3 Optimasi alokasi unit penangkapan Menurut Soekartawi (1993) prinsip optimasi penggunaan faktor produksi pada dasarnya adalah bagaimana menggunakan faktor produksi tersebut seefisien mungkin. Pengoptimalan alokasi beberapa unit penangkapan ikan secara bersamaan akan dibatasi oleh berbagai kendala maka dapat digunakan model goal programming. Stevenson (1989) mengatakan bahwa goal programming merupakan variasi dari model linear programming yang dapat digunakan untuk menangani masalah yang mempunyai banyak sasaran. Model goal programming terdapat variabel deviasional dalam fungsi kendala. Variabel tersebut berfungsi untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian terhadap sasaran yang hendak dicapai. Dalam proses pengolahan model terebut, jumlah variabel deviasional akan diminimumkan di dalam fungsi tujuan (Siswanto 1993). Model goal programming untuk optimasi jenis armada penangkapan
42
menggunakan model matematik: Fungsi tujuan: Z=
m
∑ ( DBi + i= 1
DAi )
Fungsi kendala-kendala : a11 x1 + a12 x 2 + ... + a1n x n + DB1 − DA1 = b1 a 21 x1 + a 22 x 2 + ... + a 2 n x n + DB 2 − DA2 = b2 . . . a m11 x1 + a m 2 x 2 + ... + a mn x n + DBm − DAm = bm dimana : Z
=
Fungsi tujuan (total deviasi) yang akan diminimumkan
DBi =
Deviasi bawah kendala ke-i
DAi =
Deviasi atas kendala ke-i
Cj
Parameter fungsi tujuan ke-j
=
b1 =
Kapasitas /ketersediaan kendala ke-i
aij =
Parameter fungsi kendala ke-i pada variabel keputusan ke-j kendala
Xj
=
Variabel putusan ke-j (jumlah unit penangkapan)
Xj, DAi dan DBi > 0, untuk I = 1,2,….,m dan j =1,2….,n Sebelum melakukan analisis optimasi terlebih dahulu perhitungan CPUE yang akan digunakan dalam analisis perhitungan fungsi produksi lestari. Standarisasi upaya penangkapan perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan perhitungan catch per unit effort (CPUE), yaitu dengan cara membandingkan hasil tangkapan per upaya penangkapan masing-masing unit penangkapan. Unit penangkapan yang dijadikan standar adalah jenis unit penangkapan yang paling dominan menangkap jenis-jenis ikan tertentu di suatu daerah dan memiliki nilai faktor daya tangkap (fishing power indekx) sama dengan satu. Perhitungan FPI adalah sebagai berikut : CPUE s =
HTs FE s
FPI S =
CPUE s CPUE s
43
CPUEi =
HTi FEi
FPI i =
CPUEi CPUE
Upaya standarisasi diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut yaitu : SE = FPI I × FEi Dimana : CPUE s
= Catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya unit penangkapan standar pada tahun ke-i;
CPUE i
= Catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya jenis penangkapan yang akan distandarisasi;
HTs
= Jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang dijadikan standar pada tahun ke-i;
HTi
= Jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i;
FE s
= Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan ikan yang dijadikan standar pada tahun ke-i;
FEi
= Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan ikan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i;
FPI S
= Fishing power indekx atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan standar pada bulan ke-i;
FPI i
= Fishing power indeks atau daya tangkap jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i;
SE
= Upaya penangkapan (effort) hasil standarisasi pada tahun ke-i Perikanan tangkap yang dikembangkan oleh Gordon Schaefer, Model bio-
ekonomi yang digunakan adalah model bio-ekonomi statik dengan harga tetap. Model ini disusun dari model parameter biologi, biaya penangkapan dan harga ikan. Berdasarkan asumsi bahwa harga ikan per kg (p) dan biaya penangkapan per unit upaya tangkap adalah konstan, maka total penerimaan nelayan dari usaha penangkapan (TR) adalah : TR = p.C Dimana :
44
TR = total revenue (penerimaan total) p
= harga rata-rata ikan hasil survei per kg (Rp)
C
= jumlah produksi ikan (kg)
Total biaya penangkapan (TC) dihitung dengan persamaan : TC = c.E
Dimana : TC = total cost (biaya penangkapan total) c
= total pengeluaran rata-rata unit penangkapan ikan (Rp)
E
= jumlah upaya penangkapan untuk menangkap sumberdaya ikan (unit) maka keuntungan bersih usaha penangkapan ikan (π) adalah :
π = TR − TC π = p.Y − c.E
π = p( aE − bE 2 ) − cE
3.5.4 Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats) Sebelum melakukan proses pengambilan keputusan yang layak untuk suatu kasus, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya dalam kondisi yang ada saat ini. Dalam hal ini, analisis situasi yang popular digunakan saat ini adalah analisis SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi (Rangkuti 2001). Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa strategi yang efektif adalah dengan memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), serta meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Analisis ini didahului oleh proses identifikasi faktor eksternal dan internal. Untuk menentukan strategi yang terbaik, dilakukan pembobotan terhadap tiap unsur SWOT berdasarkan tingkat kepentingan (Tabel 7). Bobot/nilai yang diberikan berkisar antara 1- 5. Nilai 1 berarti tidak penting, 2 berarti sedikit penting, 3 berarti cukup penting, 4 berarti penting dan 5 berarti sangat penting.
Tabel 7 Pembobotan tiap unsur SWOT Kekuatan S1
Bobot
Peluang O1
Bobot
Kelemahan W1
Bobot
Ancaman T1
Bobot
45
S2 S3 . . Sn
O2 O3 . . On
W2 W3 . . Wn
T2 T3 . . Tn
Keterangan : Nilai 5 = Sangat Penting, Nilai 4 = Penting, Nilai 3 = Cukup Penting, Nilai 2 = Kurang Penting, Nilai 1= Tidak Penting
Setelah masing-masing unsur SWOT diberi bobot/nilai, unsur-unsur tersebut dihubungkan untuk memperoleh beberapa alternatif strategi yang diprioritaskan untuk dilakukan didasarkan pada rangking dari masing-masing strategi alternatif. Strategi dengan rangking tertinggi merupakan alternatif strategi yang menjadi prioritas. Tabel 8 Matriks hasil analisis SWOT
Kekuatan
Kelemahan
Peluang SO1 SO2 SO3 . . SOn WO1 WO2 WO3 . . WOn
Ancaman ST1 ST2 SO3 . . STn WT1 WT2 WT3 . . WTn
Alternatif strategi pada matriks hasil analisis SWOT (Tabel 9) dihasilkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST), reduksi kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang tersedia (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT). Strategi yang dihasilkan terdiri atas beberapa alternatif strategi. Untuk menentukan prioritas strategi yang harus dilakukan, maka dilakukan penjumlahan bobot yang berasal dari keterkaitan antar unsurunsur SWOT yang terdapat dalam suatu alternatif strategi. Jumlah bobot tadi kemudian akan menentukan rangking prioritas alternatif strategi pengembangan usaha perikanan pelagis dengan alat tangkap yang terpilih.
46
Tabel 9 Rangking alternatif strategi No
Unsur SWOT
Strategi SO 1 SO1 SO2 .......... n SOn Strategi ST 1 ST1 ST2 ......... n STn Strategi WO 1 WO1 WO2 .......... n WOn Strategi WT 1 WT1 WT2 ......... n WTn
Keterkaitan S1,S2,...Sn,O1,O2,...On S1,S2,...Sn,O1,O2,...On ............................. S1,S2,...Sn,O1,O2,...On S1,S2,...,Sn,T1,T2,...Tn S1,S2,...,Sn,T1,T2,...Tn ............................... S1,S2,...,Sn,T1,T2,...Tn W1,W2,...,Wn,O1,O2,...On W1,W2,...,Wn,O1,O2,...On .................................... W1,W2,...,Wn,O1,O2,...On W1,W2,...,Wn,T1,T2,...,Tn W1,W2,...,Wn,T1,T2,...,Tn .................................... W1,W2,...,Wn,T1,T2,...,Tn
Jumlah Bobot
Rangking
4
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak dan Kondisi Geografis Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sumatera Selatan yang terletak antara 10013’00” LS - 40000’00” LS dan 104000’00” BT - 10503’00” BT, yang berbatasan dengan : Sebelah Utara
: Kabupaten Muara Jambi dan Selat Bangka
Sebelah Timur
: Kecamatan Air Sugihan dan Kecamatan Pampangan Kabupaten OKI
Sebelah Selatan
: Kecamatan Talang Ubi Kabupaten Muara Enim
Sebelah Barat
: Kecamatan Lais, Kecamatan Sungai Lilin dan Kecamatan Bayung Lincir Kabupaten Musi Banyuasin
Wilayah Kabupaten Banyuasin hampir 80% adalah dataran berupa pasang surut dan lebak, sedangkan 20% sisanya merupakan penyebaran lahan kering dengan topografi sampai bergelombang. Untuk daerah perairan baik payau maupun laut disepanjang pesisir timur sebagian besar merupakan area penangkapan ikan perairan umum, hanya beberapa lokasi telah dijadikan lokasi budidaya tambak ikan dan udang. Pesisir Banyuasin merupakan kawasan rawa dan hutan mangrove di Sembilang dan Semenanjung Banyuasin yang sekarang dan dahulunya merupakan daerah mangrove terluas. Kawasan ini merupakan contoh ekosistem hutan rawa di Indo-Malaya yang mendukung kehidupan berbagai spesies terancam punah (Iqbal dan Wardoyo 2003). 4.2 Wilayah Administratif Kabupaten Banyuasin dengan luas wilayah 11.832,99 km 2 yang terdiri dari 15 Wilayah Kecamatan. Nama-nama Kecamatan menurut status dan Ibu Kotanya dalam Kabupaten Banyuasin dapat dilihat pada Tabel 10.
48
Tabel 10 Nama-nama Kecamatan menurut status dan Ibu Kota Kecamatan dalam Kabupaten Banyuasin No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Kecamatan Banyuasin I Rambutan Muara Padang Talang Kelapa Banyuasin II Makarti Jaya Muara Telang Banyuasin III Betung Rantau Bayur Pulau Rimau Tunggal Ilir Air Saleh Tanjung Lago Muaro Sugihan
Ibu Kota Kecamatan Mariana Sungai Pinang Sumber Makmur Sukajadi Sungsang Makarti Jaya Muara Telang Pangkalan Balai Betung Rantau Bayur Teluk Betung Sidomulyo Saleh Mukti Tanjung Lago Trita Harjo
Sumber : DKP 2006
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa Kecamatan Banyuasin II merupakan Kecamatan terluas yaitu 2.681,82 atau 22,66% dari luas Kabupaten Banyuasin. 4.3 Karakteristik Iklim, Musim dan Daerah Penangkapan Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Banyuasin tercatat bahwa tidak ada bulan kering yang nyata (<100 mm) selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir (1992 - 2002). Temperatur minimal yang tercatat pada bulan Oktober yaitu 25,4 °C dan temperatur maksimum 27,9 °C pada bulan Januari. Kelembaban nisbi bulanan selalu tinggi yaitu lebih besar dari 82 %. Sistem agroklimat daerah ini termasuk daerah dengan zona agroklimat A1 yaitu dimana terdapat iklim lebih dari sembilan bulan basah berturut-turut dan kurang dari dua bulan kering tiap tahunnya. Curah hujan rata-rata sebesar 229,7 mm per tahun dan dengan rata-rata hari hujannya sebanyak 149 hari per tahun. Besarnya curah hujan adalah tiga kali curah hujan pada musim kemarau dan berdasarkan data dari BMG dari tahun 1986 – 2001 rata-rata kecepatan angin selama bulan Oktober adalah 3,27 km/jam adalah 0,907 m/s dengan arah rata-rata pergerakan angin kearah tenggara. Curah hujan terbesar adalah 13,58 mm – 38,50 mm dengan rata-rata 8,84 mm – 24,25 mm (DPK 2006).
49
Kegiatan
perikanan
di
Kabupaten
Banyuasin
terutama
usaha
penangkapan ikan baik penangkapan di perairan umum maupun penangkapan di laut, faktor iklim sangat mempengaruhi dalam aktivitas masyarakat perikanan dalam melakukan usahanya. Kegiatan penangkapan ikan diperairan umum (sungai, rawa/lebak) efektif mulai bulan Juni sampai dengan September selama periode tahunan dimana saat bulan tersebut musim kemarau. Sedangkan kegiatan penangkapan ikan di laut dipengaruhi oleh adanya Angin Musim Barat, Utara dan Tenggara. Pada saat angin musim barat yang terjadi antara bulan Januari sampai dengan bulan Maret, kegiatan penangkapan di laut terutama bagi nelayan yang berdomisili di Sungsang tidak melaut. Dalam menentukan daerah penangkapan (fishing ground) jaring insang hanyut, bagan tancap dan rawai hanyut yang dilakukan nelayan di Sungsang, umumnya berdasarkan pengalaman nenek moyang mereka terdahulu dan pengalaman-pengalaman nelayan sebelumnya. Apabila hasil tangkapan yang diperoleh pada operasi penangkapan sebelumnya cukup banyak, maka nelayan akan melakukan kegiatan penangkapan di daerah yang sama. Sebaliknya jika diperoleh hasilnya sedikit maka nelayan akan mencari daerah penangkapan yang baru. Daerah penangkapan ikan pelagis oleh nelayan Desa Sungsang umumnya terdapat di perairan Sungai Barong sampai Sungai Sembilang, Sungai Lulu sampai Sungai Manan, Sungai Benu sampai Pulau Jambi, Laut Bangka sampai Tanjung Niur, Laut Palu, Laut Upang, Laut Jermal, Pulau Tujuh, Carad, Legon, Mesuji, Sungai Pinang, Sungai Lumpur, Sungai Batang, Bedawang, Birik, Taboan, Tabuwali, Tanjung Panglima, Tanjung Tuluh dan Pantai Tulung Selapan sampai Pantai Lampung. Kedalaman perairan untuk pemasangan bagan tancap berkisar antara 0 - 10 m, jaring insang hanyut berkisar antara 0 – 8 m sedangkan untuk hanyut berkisar antara 0 - 15 m tergantung jarak yang ditempuh dari fishing base dengan substrat perairan lumpur, berpasir dan lumpur berpasir. Jarak daerah penangkapan di perairan Sungsang dan Laut Palu dari tempat berangkat dan pendaratan hasil tangkapan (fishing base) berkisar antara 2 - 3 jam (DPK 2006).
50
4.4 Karakteristik Oseanografi 4.4.1 Kedalaman Pengaruh sedimentasi dan abrasi secara langsung, maupun tidak menentukan dinamika kedalaman laut (batimetri). Kedalaman laut perairan Kabupaten Banyuasin berkisar antara 0 – 25 m, semakin ke tengah laut dari garis pantai semakin meningkat kedalamannya, sampai sejauh 9 km ke arah laut kedalaman bervariasi dari 0 sampai 5 m. Zona ini merupakan pantai tersedimentasi oleh endapan pasir dan lumpur terutama di Selat Bangka. Semakin ke tengah laut atau kearah 20 m dari pantai kedalaman berkisar antara 0 – 25 m (Lampiran 1). 4.4.2 Arus Perairan Kabupaten Banyuasin berada di Selat Bangka, yaitu perairan yang memisahkan pantai Timur Sumatera dengan Pulau Bangka. Seperti pada perairan di Indonesia lainnya, Selat Bangka sangat dipengaruhi oleh angin musim yang berganti arah setiap setengah tahun. Selama musim Timur dari Mei hingga September arus bergerak ke barat laut. Sedangkan pada musim barat, November hingga Maret arus bergerak ke arah yang berlawanan. Pada bulan-bulan awal dan akhir setiap musim terjadi periode peralihan. Kecepatan arus maksimum pada setiap musim mencapai 25 cm/detik (Wyrtki 1961). Kondisi parameter oseanografi perairan Sungsang tidak jauh berbeda dengan perairan tropis lainnya. Ketinggian rata-rata perairan Banyuasin (Sungsang) berdasarkan data dari Dinas Hidro Oseanografi adalah sekitar 190 cm, sedangkan dari pengamatan selama 15 hari diperoleh bahwa ketinggian rata-rata perairan berkisar 197,19 cm, dengan tunggang pasang sekitar 252,33 cm, dan rata-rata amplitudo pasang sekitar 129,68 cm (4,81 – 177,81 cm). Kondisi pasang surut lokasi pengamatan sekitar Sungsang adalah bertipe pasang surut campuran dominasi tunggal (DPK 2006). Kecepatan arus maksimum adalah kecepatan arus yang disebabkan pergerakan pasang surut terbesar pada saat Neap Tide maupun Spring Tide adalah 0,02 - 0,306 m/s, dengan rata-rata kecepatan arus selama pengamatan adalah 0,164 m/s dan arah arus dominan dari Barat Utara ke Timur bergantian menurut musimnya (DPK 2006).
51
4.4.3 Suhu Suhu merupakan faktor penting dalam lingkungan perairan karena bersama dengan salinitas dapat mengontrol densitas air. Perubahan suhu perairan akan mempengaruhi proses-proses biologis dan ekologis yang terjadi dalam air dan pada akhirnya akan mempengaruhi komunitas biologis didalamnya. Suhu perairan laut Selat Bangka dan termasuk kawasan estuari Kabupaten Banyuasin berkisar antara 24 °C – 30 °C dan suhu perairan di perairan Sungsang berkisar antara 30,40 – 30,60 °C, dengan suhu rata-rata perairan adalah 30,48 °C. Oleh karena itu suhu di sekitar perairan Sungsang masih dalam keadaan normal (DPK 2006). Suhu air permukaan di perairan Nusantara kita umumnya berkisar antara 28 – 31 ºC (Nontji 1993). 4.4.4 Salinitas Salinitas bersama-sama dengan suhu merupakan komponen yang berperan penting dalam mengontrol densitas air laut. Melalui proses difusi dan osmosis. Salinitas juga mempengaruhi kehidupan biota laut. Salinitas di perairan Kabupaten Banyuasin berkisar antara 10 – 30 ‰. Nilai rata-rata salinitas tersebut cukup rendah, hal ini menunjukkan bahwa pengaruh air laut lebih rendah dibandingkan dengan air tawar. Dari hasil pengukuran diperoleh nilai salinitas untuk daerah muara sungai berkisar antara 10 – 15 ‰, dan semakin ke arah laut kadar salinitas makin bertambah dengan kisaran antara 26 – 30 ‰ (DPK 2006). Salinitas di sekitar perairan Sungsang adalah sekitar rata-rata 31,6 ‰. Salinitas terendah sebesar 31,4 ‰ dan salinitas tertinggi sebesar 32,0 ‰. Kondisi ini banyak dipengaruhi oleh masukan aliran sungai dimana lokasi yang pengaruh aliran sungai kecil maka nilai salinitasnya akan semakin tinggi sebaliknya lokasi yang mendapat pengaruh aliran air laut secara langsung sehingga nilai salinitasnya tinggi (DPK 2006). Didukung oleh pernyataan bahwa di perairan Samudera, salinitas biasanya berkisar antara 34 – 35 ‰ (Nontji 1993).
52
4.5 Sumberdaya Perikanan Perikanan di Kabupaten Banyuasin mempunyai sumberdaya yang cukup besar sehingga dapat merupakan modal dasar bagi usaha untuk meningkatkan produksi perikanan dan pendapatan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya ikan Kabupaten Banyuasin berupa perikanan laut, perairan umum dan budidaya. a. Perikanan laut, terdapat di Pantai Timur Sumatera mulai dari Sungai Sugihan (perbatasan dengan Kabupaten OKI) kearah Utara sampai dengan Sungai Benu (perbatasan dengan Propinsi Jambi) seluas lebih kurang 1.765,4 km2. b. Lahan budidaya areal untuk pengembangan budidaya cukup tersedia luas antara lain budidaya ikan dalam keramba, budidaya ikan di kolam, budidaya ikan di sawah lebak, budidaya ikan di tambak dan mina padi. c. Budidaya tambak terdapat di Kecamatan Banyuasin II, Muara Telang, Pulau Rimau, Muara Padang, Makarti Jaya dan Talang Kelapa. Potensi areal pertambakan bandeng dan udang di Kabupaten Banyuasin seluas 21.000 ha. Adapun untuk lebih jelas mengenai sumberdaya perikanan di Kabupaten Banyuasin dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 11 Potensi sumberdaya ikan di Kabupaten Banyuasin No 1.
2
3.
Sub. Sektor Perikanan laut
Potensi (ha) 102.300
Pemanfaatan (ha) 60.775,5
Potensi Peningkatan 41.524,5 ha
92.800
52.444,1
40.355,9 ton
9.000
7.832,2
1.167,8 ton
c. Kerang-kerangan Budidaya air payau
5.000 21.000
283.5 7.245,1
4.716,5 ton 13.754,9 ha
a.
27.000
3.066,3
23.993,7 ha
b. Bandeng Budidaya air tawar
10.500 142.000
2.177,4 8.775
8.322,6 ha 13.322,5 ha
a.
227.200
13.150
214.050 ha
15.130 unit
226 unit
14.904 unit
a.
Ikan
b.
Udang
Udang
Kolam
b. Keramba Sumber : DPK 2006
4.6 Potensi Sumberdaya Perikanan
53
Potensi sumberdaya ikan yang tertangkap terdiri dari berbagai jenis ikan ekonomis penting. Jenis-jenis ikan yang tertangkap di Kabupaten Banyuasin diantaranya ikan kakap (Lates calcalifer), lidah (Cynoglossus bilineatus), manyung (Arius thalassinus), bambangan (Lutjanus sanguineus), pari (Dasyatis sp), alu-alu (Sphyraena sp), julung-julung (Hemirhampus sp), teri (Stolephorus sp), japuh (Dussumiena sp), tembang (Sardinella sp), bawal putih (Pampus argentus), bawal hitam (Formio niger), belanak (Mugil cepalus), kembung (Rastrelliger sp), tenggiri (Scomberonomus commerson), tongkol
(Auxis
thazard),
gulamah
(Seudonia
amoyensis),
senangin
(Eletheronema tetradactylum), parang-parang (Chirosentrus dorab), gerotgerot (Pomadasys macullatus), pepetek (Leiognathus splenden), kuwe (Caranx sexfasciatus), cucut (Hemigaleus argentata), rajungan (Portunus pelagicus), cumi-cumi (Loligo sp), kepiting (Scylla serrata), dan udang putih (Trygon sephen) (DPK 2006). 4.7 Unit Penangkapan 4.7.1 Alat tangkap Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Sungsang bervariasi. Alat tangkap utama yang digunakan nelayan Kabupaten Sungsang terdiri dari pukat tarik ikan, dogol, jaring insang hanyut, trammel net, bagan tancap, pancing lainnya, serok, perangkap kerang, alat penangkap kerang, alat penangkap kepiting dapat dilihat pada Tabel 12. Produksi hasil perikanan Kabupaten Banyuasin dipasarkan keluar daerah antara lain ke Tanjung Balai Karimun, Jakarta, Palembang dan Padang. Produksi perikanan Kabupaten Banyuasin masih memungkinkan untuk ditingkatkan dimasa-masa yang akan datang melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Potensi areal pengembangan budidaya masih tersedia luas dan belum dimanfaatkan secara optimal, terutama pengembangan budidaya air payau (tambak) (DPK 2006).
Tabel 12 Alat penangkapan ikan di Kabupaten Banyuasin
54
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jenis Alat Tangkap Pukat tarik ikan Dogol Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Trammel net Bagan Tancap Rawai Hanyut Rawai dasar Serok Perangkap kerang Alat penangkap kerang Alat penangkap kepiting
Jumlah (Unit) 410 743 90 55 732 110 20 125 335 203 252 402
Sumber : DPK 2006
4.7.2 Armada perikanan tangkap Sumberdaya perikanan laut dieksploitasi dengan berbagai teknologi penangkapan ikan (kapal perikanan dan alat penangkap ikan). Kondisi kapal penangkap ikan yang digunakan dapat memberikan gambaran kemampuan jangkauan daerah penangkapan ikan dan kapasitas produksi ikan. Struktur kapal penangkap ikan dapat dilihat pada Tabel 13 yang sekaligus merupakan indikator terbatasnya jangkauan daerah penangkapan. Tabel 13 Jumlah armada penangkap ikan laut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006 No
Lokasi
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Ds. Sungsang I Ds. Sungsang II Ds. Sungsang III Ds. Sungsang IV Sei. Birik Sei. Benu Sei. Bedawang Sei. Apung Sei. Sembilang Sei. Air Ulu Sei. Belangu Ds. Upang Ds. Upang Makmur Dus IV Kerupuk Kuala Sugihan Kiri Dus Sei Jeruju Dus Sei Taro
Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Makarti Jaya Makarti Jaya Makarti Jaya Ma. Padang Ma. Padang Ma. Padang
4.7.3 Nelayan
Perahu tanpa motor 135 10 75 29 13 10 50 65 6 3 29 6 -
Perahu tempel 17 5 18 4 7 4 4 23 7 3 13 12 59
Kapal motor (GT) <5 166 104 144 413 19 20 16 13 117 11 9 205 83 52 35 54 14
5–10
10-20
> 20
65 36 84 46 -
16 31 -
2 6 -
55
Nelayan merupakan bagian dari unit penangkapan ikan yang memegang peranan penting dalam keberhasilan operasi penangkapan ikan. Peranan tersebut didasarkan pada kemampuan nelayan dalam menggunakan dan mengoperasikan alat tangkap serta pengalaman dalam menentukan fishing ground (daerah penangkapan ikan). Nelayan di Kabupaten Banyuasin tersebar di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Sei Sembilang, Sei Benu, Sei Birik, Sei Bedawang dan lain-lain. Jumlah nelayan Sungsang dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Banyuasin tahun 2006 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Lokasi Ds. Sungsang I Ds. Sungsang II Ds. Sungsang III Ds. Sungsang IV Sei. Birik Sei. Benu Sei. Bedawang Sei. Apung Sei. Sembilang Sei. Air Ulu Sei. Belangu Ds. Upang Ds. Upang Makmur Dus IV Kerupuk Kuala Sugihan Kiri Dus Sei Jeruju Dus Sei Taro
Kecamatan Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Banyuasin II Makarti Jaya Makarti Jaya Makarti Jaya Ma. Padang Ma. Padang Ma. Padang
Jumlah Nelayan RTP RTBP 393 912 99 182 281 379 79 134 84 79 95 128 23 25 54 75 195 259 29 23 33 31 215 371 80 79 31 27 213 683 76 130 59 66
Sumber : DPK 2006
4.8 Produksi dan Nilai Produksi Perkembangan produksi dan nilai produksi perikanan laut selama periode 2001 – 2005 di Kabupaten Banyuasin mengalami penurunan yang cukup baik dengan didukung oleh rendahnya nilai jual ikan. Nilai produksi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir ini terjadi pada tahun 2002 dengan produksi perikanan sebesar 57.370,96 ton/tahun dengan nilai produksi Rp. 360.846.740. Nilai produksi yang terendah dalam lima tahun terakhir ini terjadi pada tahun 2005 dengan produksi perikanan sebesar 23.230,40 ton/tahun dengan nilai produksi Rp. 239.076.250. Perkembangan produksi dan nilai produksi perikanan laut selama periode 2001 – 2005 di Kabupaten
56
Banyuasin Tabel 15. Tabel 15 Perkembangan produksi dan nilai produksi perikanan laut selama periode tahun 2001 – 2005 di Kabupaten Banyuasin Tahun
Produksi Ikan (ton)
2001 2002 2003 2004 2005
38.601.00 57.370.96 41.107.30 55.130.10 23.230.40
Nilai Produksi (Rp. 1000)
Persentase Produksi (%)
204.070.700 360.846.740 205.805.00 329.402.950 239.076.250
Sumber : Diolah dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuasin, 2006
0.00 18,77 -16,26 14,02 -31,89
5
KERAGAAN UNIT PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI KABUPATEN BANYUASIN
5.1 Jaring Insang Hanyut 5.1.1
Unit penangkapan jaring insang hanyut Kapal jaring insang hanyut terbuat dari kayu dengan ukuran panjang
(L) = 15 m, lebar (B) = 2.5 m, dalam (D) = 2 meter, dengan kapasitas muatan 2 – 5 GT. Seperti terlihat pada Gambar 7.
Keterangan : 1. Ruang kemudi 2. Palka hasil tangkapan 3. Palka jangkar Gambar 7 Kapal jaring insang hanyut yang dioperasikan di Kabupaten Banyuasin Konstruksi gillnet terdiri atas : badan jaring (webbing), pelampung, pelampung tanda, pemberat (singker), tali ris atas (head rope) dan tali selambar. Jaring insang (gillnet) di daerah Sungsang yang menjadi objek penelitian lebih dikenal dengan sebutan “jaring tangsi”. Jumlah jaring yang digunakan saat operasi sebanyak 40 – 90 piece. Badan jaring terbuat dari bahan PA dengan ukuran mata jaring 2 – 2,75 inci. Dimensi jaring adalah panjang (L) tiap piece 41 meter dan lebar atau dalam (B) 3,5 - 5 m. Panjang tali ris atas dari 1640 – 3690 m, pelampung terbuat dari bahan plastik, dengan jumlah
58
pelampung tiap satu unit jaring yaitu 130 buah dengan ukuran pelampung 26 cm dan diameter 2,5 cm sedangkan pemberat terbuat dari timah dengan jumlah pemberat tiap satu unit jaring yaitu 780 buah dengan ukuran panjang pemberat 2 cm dan diameter 1 cm dan jaring insang hanyut dioperasikan oleh 4 - 5 orang. Adapun konstruksi jaring insang hanyut yang dioperasikan di Sungsang (Gambar 8).
Gambar 8 Konstruksi jaring insang hanyut yang dioperasikan di Kabupaten Banyuasin 5.1.2
Teknik pengoperasian jaring insang hanyut Metode operasi penangkapan gillnet sama seperti alat tangkap gillnet
lainnya. Teknik operasi terdiri atas : tahap persiapan, menuju daerah penangkapan ikan (fishing ground), penurunan jaring (setting), perendaman jaring (drifting), penarikan jaring (hauling) dan penanganan hasil tangkapan. Tahap persiapan meliputi pemeriksaan kondisi perahu yang dilakukan sendiri oleh nakhoda, pemeriksaan alat tangkap nelayan, penyiapan perbekalan berupa bahan bakar minyak (BBM), es, air tawar dan ransum ABK. Kemudian perahu
59
berangkat dari pelabuhan (fishing base) menuju daerah penangkapan ikan (fishing ground) dengan dipimpin langsung oleh juru mudi sebagai fishing master. Penentuan fishing ground didasarkan pada kebiasaan dan pengalaman nelayan gillnet. Setting atau penawuran jaring dilakukan setelah menemukan fishing ground. Penawuran jaring dilakukan pada dini hari, dalam satu hari dilakukan satu kali setting. Penawuran jaring memerlukan waktu 1 - 2 jam. Penawuran jaring biasanya dilakukan pada pukul 05.00 – 06.00 WIB dimulai dengan penurunan pelampung tanda, lembaran atau badan jaring sampai pada pelampung yang terakhir. Jaring gillnet direntangkan dengan mengikuti arah arus atau angin. Apabila semua lembaran jaring telah turun, lalu mesin kapal dimatikan dan melakukan drifting kurang lebih 1 - 1,5 jam. Hauling atau penarikan jaring dilakukan menjelang siang hari sekitar pukul 09.00 – 10.00 WIB. Penarikan jaring memerlukan kerjasama yang baik, biasanya menghabiskan waktu 2 – 3 jam. Penarikan dilakukan piece demi piece, dimulai dari yang paling dekat dengan kapal sampai piece yang terakhir. Penanganan ikan diawali dengan melepaskan ikan yang terjerat pada mata jaring setelah dilakukan hauling. Hasil tangkapan yang diambil dibersihkan dari sampah atau kotoran yang melekat dan dicuci dengan menggunakan air laut. Hasil tangkapan yang telah disortir menurut jenis dan ukuran ikan kemudian dimasukkan ke dalam palka yang telah diberi es. Penanganan ikan di dalam palka juga harus cermat untuk menjaga mutu ikan hasil tangkapan Gambar 9.
60
Mulai
Persiapan di Fishing Base
Navigasi ke daerah Penangkapan
Daerah Penangkapan
Setting
Drifting
Hauling
Penanganan Hasil Tangkap
tidak
ya Trip Cuku p?
Navigasi ke Fishing base
Selesai
Gambar 9 Teknik pengoperasian jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin 5.2 Bagan Tancap 5.2.1
Unit penangkapan bagan tancap Ukuran dari bagan ini bervariasi, namun yang digunakan selama
penelitian memiliki ukuran : panjang 18 m, lebar 8 m tinggi dari dasar perairan 11 m. Jaring yang dipakai untuk penangkapan ikan pada alat bagan tancap adalah jaring yang terbuat dari waring atau nilon dengan ukuran mata jaring 0,5 mm.
61
Posisi jaring dari bagan tancap terletak dibagian bawah dari bangunan bagan yang diikatkan pada bingkai bambu berbentuk segi empat, bingkai tersebut dihubungkan dengan tali pada keempat sisinya. Tempat pemutaran jaring terletak dibagian atas dari bangunan bagan. Pada keempat sisinya diberi pemberar 5 - 7 kg untuk tiap pemberat, hal ini berfungsi sebagai alat untuk mempercepat proses agar jaring lebih cepat tenggelam kedalam air. Jaring yang digunakan 18 x 8 m yang membentuk segi empat atau bujur sangkar, dan hal ini umum digunakan dilokasi penelitian. Adapun konstruksi bagan tancap yang dioperasikan di Sungsang Gambar 10.
Keterangan : 1. Rumah tunggu 2. Rolan/Penggulung jaring 3. Jaring
4. Pemberat 5. Rangka 6. Lampu
Gambar 10 Konstruksi bagan tancap yang dioperasikan di Kabupaten Banyuasin Lampu yang digunakan pada bagan tancap adalah lampu petromaks. Jumlah lampu yang digunakan umumnya tidaklah sama tergantung dari kemampuan untuk menyediakannya. Umumya di lokasi penelitian para nelayan bagan tancap menggunakan 2 hingga 3 buah lampu. Jika menggunakan 3 buah lampu maka 1 buah lampu diletakkan diatas bangunan bagan yang digunakan untuk menarik ikan yang berada agak jauh bangunan bagan untuk mendekati
62
sumber cahaya. Posisi lampu untuk bagan tancap digantungkan pada bangunan bagan dengan ketinggian 0 - 2 m dari permukaan air laut. Alat penangguk ikan (serok) berfungsi untuk menangguk ikan yang tertangkap di jaring untuk dimasukkan kedalam keranjang. Keranjang yang digunakan sebagai tempat ikan hasil tangkapan kemudian direbus selama 45 menit setelah sudah cukup matang kemudian ikan tersebut dikeringkan selama 12 jam untuk kemudian dibawa kedalam perahu dan selanjutnya dibawa ke darat. Perahu yang digunakan oleh nelayan bagan tancap di lokasi penelitian menggunakan mesin bermerek Changchai 20 PK. Untuk transportasi ke bagan biasanya menggunakan perahu yang hampir sama dengan kapal jaring insang hanyut dengan spesifikasi yaitu kapal bagan tancap terbuat dari kayu dengan ukuran panjang (L) = 12 m, lebar (B) = 2 m, dalam (D) = 1,5 m, dengan kapasitas muatan 2 – 5 GT. Seperti terlihat pada Gambar 11.
Keterangan : 1. Ruang kemudi 2. Palka hasil tangkapan 3. Palka jangkar Gambar 11 Kapal bagan tancap yang dioperasikan di Kabupaten Banyuasin 5.2.2
Teknik pengoperasian bagan tancap Cara pengoperasian alat tangkap ini hampir sama dengan alat tangkap
lainnya, yaitu dimulai dari persiapan di darat. Menjelang senja, para nelayan yang mempunyai alat tangkap bagan tancap sudah mempersiapkan alat-alat
63
perlengkapan seperti lampu, perahu, bekal dan persiapan lainnya. Setelah sekitar pukul 18.00 lampu mulai dinyalakan sebuah lampu dipasang diatas bangunan bagan, sedang lampu lainnya digantungkan kira-kira 20 - 30 cm diatas permukaan air dimana jaring ditenggelamkan. Karena adanya cahaya diatas jaring ini maka ikan akan dapat tertarik untuk berkumpul diatas jaring atau ditengah-tengah jaring yang telah lebih dahulu diturunkan. Setelah kira-kira 3 – 5 jam atau setelah terlihat keadaan ikan sudah banyak berkumpul jaring mulai diangkat perlahan-lahan menggunakan tenaga manusia. Sewaktu penarikan jaring lampu yang berada diatas bangunan bagan diturunkan berdekatan dengan bangunan lainnya dengan maksud untuk lebih mengkonsentrasikan ikan-ikan agar tetap berkumpul pada sumber cahaya. Ikanikan yang tertangkap pada saat jaring diangkat atau dimasukkan kedalam keranjang menggunakan alat penangguk ikan (serok). Setelah hasil tangkapan diambil maka jaring diturunkan kembali secara perlahan-lahan agar dapat dilakukan penangkapan selanjutnya Gambar 12.
64
Mulai
Persiapan di Fishing Base
Daerah Penangkapan Bagan Tancap tidak
Setting
Soaking
Hauling
Cukup Tangkap ? ya
Penanganan Hasil Tangkap
Selesai
Gambar 12 Teknik pengoperasian bagan tancap di Kabupaten Banyuasin 5.3 Rawai Hanyut 5.3.1
Unit penangkapan rawai hanyut Kapal rawai hanyut hampir sama seperti yang digunakan pada jaring
insang hanyut dan bagan tancap dengan spesifikasi yaitu kapal rawai hanyut terbuat dari kayu dengan ukuran panjang (L) = 13 m, lebar (B) = 2.5 m, dalam (D) = 1,5 m, dengan kapasitas muatan 2 – 5 GT. Seperti terlihat pada Gambar 13.
65
Keterangan : 1. Ruang kemudi 2. Palka hasil tangkapan 3. Palka jangkar Gambar 13 Kapal rawai hanyut yang dioperasikan di Kabupaten Banyuasin Rawai merupakan suatu alat penangkapan yang terdiri dari rangkaian tali-temali yang bercabang-cabang dan pada setiap cabangnya diikatkan sebuah mata pancing. Rawai termasuk ke dalam jenis longline, Rawai di daerah Sungsang menggunakan 83 basket. Nelayan di daerah Sungsang menggunakan rawai yang terdiri dari tali utama yang terbuat dari PE diameter 3 mm dan tali cabang menggunakan senar nomor 200 – 300. Tali utama yang digunakan berjumlah satu buah. Pada satu tali utama tersebut terdapat 1000 – 3000 tali cabang. Mata pancing yang digunakan bernomor 7 dengan jumlah 1000 – 3000 mata pancing untuk setiap unit rawai. Pada setiap tali cabang terdapat satu buah mata pancing. Panjang tali cabang sekitar 1 m dengan jarak antar tali cabang sekitar 3 m. Deskripsi alat tangkap rawai di daerah Sungsang Gambar 14.
66
Gambar 14 Konstruksi rawai hanyut yang dioperasikan di Kabupaten Banyuasin 5.3.2
Teknik pengoperasian rawai hanyut Tahapan yang dilakukan untuk mengoperasikan alat tangkap rawai
hanyut hampir sama dengan pengoperasian alat tangkap jaring insang hanyut, yaitu tahap persiapan, pencarian daerah penangkapan (fishing ground), penurunan jaring (setting), perendaman (soaking) dan pengangkatan/penarikan jaring (hauling). 1. Tahap persiapan Persiapan yang dilakukan terdiri dari persiapan perbekalan melaut, persiapan umpan dan memeriksa seluruh peralatan. Perbekalan yang disiapkan antara lain pembelian bahan bakar, oli, es balok, air tawar, garam dan makanan. Pengecekan peralatan yang dilakukan untuk mempelancar jalannya pengoperasian antara lain mempersiapkan dan memeriksa alat tangkap, mesin, kapal, palka ikan, dan lampu petromaks. Persiapan perjalanan ke fishing ground yaitu mencakup pemasangan umpan, penyiapan pelampung, jangkar dan penyusunan tali temali. Penebaran pancing dilakukan setelah arah dan kekuatan arus diketahui. Nelayan biasanya berangkat dari fishing base pada waktu siang hari menjelang sore hari.
67
2. Tahap pencarian daerah penangkapan (fishing ground) Penentuan daerah penangkapan (fishing ground) untuk menangkap ikan dilakukan berdasarkan informasi atau pengalaman nelayan dalam operasi penangkapan sebelumnya. Perairan yang sering dijadikan daerah penangkapan ikan adalah Laut Mentok, Sungai Sembilang, Sungai Barong, Sungai Manan, Sungai Benu, Laut Jambi, Laut Tujuh, Laut Palu dan Laut Jermal. Setelah berada di daerah penangkapan ikan, nelayan akan memeriksa kondisi dasar perairan dan kedalaman perairan. 3. Tahap penurunan alat tangkap rawai hanyut (setting) Penurunan pancing ke perairan dilakukan setelah diketahui kedalaman dan kondisi dasar perairannya serta potensi ikannya. Penaburan rawai diawali dengan penurunan jangkar dan pelampung tanda, setelah itu rangkaian tali cabang yang sudah dipasangi umpan dilepaskan satu persatu. Pada waktu penurunan alat rawai mesin kapal dimatikan. Umpan yang digunakan adalah ikan yang sudah mati seperti belanak, sampah dan ikan talang/simbak. 4. Tahap perendaman alat tangkap rawai hanyut (soaking) Setelah alat tangkap dilepaskan ke perairan, maka rawai didiamkan atau direndam kurang lebih selama 2 – 3 jam. Pada saat perendaman, salah satu ujung tali selambar dikaitkan pada salah satu sisi kapal dan mesin dalam keadaan mati. Perendaman pancing ini dilakukan untuk memberikan waktu pada ikan agar dapat mendeteksi keberadaan umpan dan kemudian memakannya. Nelayan berharap dengan adanya waktu perendaman, maka ikan yang tertangkap lebih banyak. Waktu perendaman tidak boleh terlalu lama, karena dapat dikhawatirkan ikan yang sudah tertangkap dapat terlepas. Walaupun ini sudah diantisipasi dengan menggunakan mata pancing yang memiliki kait, tidak tertutup kemungkinan ikan masih dapat terlepas. 5. Tahap pengangkatan/penarikan alat tangkap rawai hanyut (hauling) Setelah pancing rawai direndam kurang lebih 2 – 3 jam maka nelayan mulai melakukan pengangkatan rawai. Pada saat melakukan hauling, tali utama (main line) berada di sebelah kanan kapal dengan membentuk sudut
68
30° - 45° antara haluan kapal dengan tali utama (main line). Pada waktu penarikan rawai ke atas kapal, letak rawai diatur agar memperlancar pemasangan umpan selanjutnya pada waktu rawai akan diturunkan kembali. Hauling dilaksanakan dalam waktu sekitar 2 – 4 jam. Setelah pelampung dan pemberat semuanya diangkat baru kapal melanjutkan pelayaran ke daerah penangkapan lainnya Gambar 15. Mulai
Persiapan Mencari umpan Pemotongan umpan Pemasangan umpan pada mata pancing Tidak
Pencarian daerah penangkapan ikan Dasar perairan Musim penangkapan Pengalaman nelayan
DPI Cocok ?
ya
Setting
Soaking Tidak
Hauling
HT Cukup ?
ya
Kembali ke fishing base
Selesai
Gambar 15 Teknik pengoperasian rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin
6
HASIL PENELITIAN
6.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Tangkap di Kabupaten Banyuasin Sesuai tujuan penelitian ini yaitu menentukan pilihan teknologi penangkapan ikan pelagis, maka analisis dilakukan terhadap tiga alat tangkap, yaitu jaring insang hanyut, rawai hanyut dan bagan tancap. Ketiga alat tangkap tersebut dianalisis berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan untuk menentukan urutan prioritas alat tangkap terbaik untuk dikembangkan dalam usaha perikanan pelagis di Kabupaten Banyuasin. 6.1.1 Analisis aspek biologi Analisis aspek biologi meliputi : komposisi target spesies, ukuran hasil tangkapan utama dan lama waktu musim penangkapan ikan pelagis. Semua data tersebut diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan. Pemberian nilai terhadap unit penangkapan ikan pelagis dapat dilihat pada Tabel 16. Masing-masing kriteria diberikan urutan prioritas dan urutan prioritas pada masing-masing kriteria tersebut mempunyai nilai yang berbeda. Tabel 16 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek biologi unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin Unit Penangkapan Ikan Pelagis Rawai Hanyut Jaring Insang Hanyut Bagan Tancap
X1 55 50 35
Kriteria Penelitian V1 (X1) X2 V2 (X2) X3 1 21 1 9 0.75 19 0.69 8 0 14.5 0.0 7
V3(X3) 1 0.5 0
V(A)1
UP
3 1.94 0.0
1 2 3
Keterangan : X1 = Komposisi target spesies (%) X2 = Ukuran hasil tangkapan utama (cm) X3 = Lama waktu musim penangkapan ikan pelagis (bulan) V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(X i) UP = Urutan prioritas Penilaian keunggulan unit penangkapan ikan pelagis dilihat dari aspek biologi menempatkan rawai hanyut pada urutan prioritas pertama untuk keseluruhan kriteria komposisi target spesies (X1), ukuran hasil tangkapan utama (X2) dan lama waktu musim penangkapan ikan pelagis (X3). Setelah distandarisasi dengan fungsi nilai didapat bahwa rawai hanyut lebih baik dari jaring insang hanyut dan bagan tancap.
70
6.1.2 Analisis aspek teknis Aspek
teknis
merupakan
aspek
yang
berhubungan
dengan
pengoperasian alat penangkapan ikan pelagis, apakah alat tangkap tersebut efektif atau tidak bila dioperasikan. Kriteria penilaian yang digunakan dalam aspek teknis adalah produksi per tahun, produksi per trip, dan produksi per tenaga kerja. Semua data yang digunakan berdasarkan pada hasil wawancara dengan nelayan. Hasil penilaian aspek teknis dapat dilihat pada Tabel 17 berikut. Tabel 17 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek teknis unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin Unit Penangkapan Ikan Pelagis Rawai Hanyut Jaring Insang Hanyut Bagan Tancap
X1 48000 38400 21600
Kriteria Penelitian V1 (X1) X2 V2 (X2) 1 300 1 0.64 200 0.46 0 115 0
X3 60 55 40
V3 (X3) 1 0.75 0
V(A)2
UP
3 1.85 0
1 2 3
Keterangan : X1 = Produksi per tahun (kg) X2 = Produksi per trip (kg) X3 = Produksi per tenaga kerja (kg) V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(X i) UP = Urutan prioritas Penilaian keunggulan berdasarkan aspek teknis, pada unit penangkapan ikan pelagis menempatkan rawai hanyut pada prioritas pertama untuk kriteria seluruhnya yaitu produksi per tahun (X1), produksi per trip (X2) dan produksi per tenaga kerja (X3) lebih baik dari jaring insang hanyut dan bagan tancap. 6.1.3 Analisis aspek sosial Analisis aspek sosial meliputi penilaian terhadap aspek sosial yaitu penyerapan tenaga kerja tiap alat penangkapan, penerimaan nelayan per unit penangkapan, dan tingkat penguasaan teknologi alat tangkap Tabel 18. Semua data berdasarkan wawancara langsung dengan nelayan. Kriteria penyerapan tenaga kerja dilihat dari jumlah tenaga kerja yang ikut dalam pengoperasian untuk setiap unit alat tangkap. Nilai pada kriteria pendapatan nelayan per tahun diperoleh dari sistem bagi hasil antar nelayan per unit penangkapan tanpa memperhitungkan kelebihan yang diperoleh oleh nelayan tertentu, misalnya juru mudi lebih dari ABK lainnya, tingkat
71
penguasaan teknologi alat tangkap oleh para nelayan berdasarkan wawancara dengan nelayan selama menggunakan alat tangkap tersebut. Tabel 18 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek sosial unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin Unit Penangkapan Ikan Pelagis Rawai Hanyut Jaring Insang Hanyut Bagan Tancap
X1 4 4 3
V1 (X1) 1 1 0
Kriteria Penelitian X2 V2 (X2) 40000000 1 32000000 0.64 18000000 0
X3 1 1 2
V3(X3) 0 0 1
V(A)3
UP
2 1.64 1
1 2 3
Keterangan : X1 = Jumlah tenaga kerja X2 = Pendapatan nelayan per tahun (Rp) X3 = Tingkat penguasaan teknologi (1) mudah; (2) sedang; (3) sedikit sukar; (4) sukar V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(X i) UP = Urutan prioritas Penilaian keunggulan unit penangkapan ikan pelagis berdasarkan aspek sosial menempatkan rawai hanyut pada urutan prioritas pertama sedangkan jaring insang hanyut pada prioritas kedua dan bagan tancap menempati prioritas ketiga. Penilaian terhadap aspek sosial secara keseluruhan setelah dilakukan standarisasi didapatkan rawai hanyut lebih baik daripada jaring insang hanyut dan bagan tancap. 6.1.4 Analisis aspek ekonomi Analisis aspek ekonomi meliputi penilaian terhadap penerimaan kotor per tahun, penerimaan kotor per trip, dan penerimaan kotor per tenaga kerja. Berikut ini pada Tabel 19 dapat dilihat penentuan urutan prioritas terhadap aspek ekonomi berdasarkan kriteria efisiensi usaha. Tabel 19 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek ekonomi unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin Unit Penangkapan Ikan Pelagis Rawai Hanyut Jaring Insang Hanyut Bagan Tancap
X1 120000000
Kriteria Penelitian V1 V2 (X1) X2 (X2) 1 2000000 1
X3 300000
V3 (X3) 1
96000000 60000000
0.6 0
200000 150000
0.33 0
1500000 1000000
0.5 0
Keterangan : X1 = Penerimaan kotor per tahun (Rp) X2 = Penerimaan kotor per trip (Rp) X3 = Penerimaan kotor per tenaga kerja (Rp)
V(A) 4
UP
3
1
1.43 0
2 3
72
V(A) UP
= Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(X i) = Urutan prioritas Penilaian keunggulan unit penangkapan ikan pelagis berdasarkan aspek
ekonomi menempatkan rawai hanyut pada urutan prioritas pertama sedangkan jaring insang hanyut pada prioritas kedua dan bagan tancap menempati prioritas ketiga. Penilaian terhadap aspek sosial secara keseluruhan setelah dilakukan standarisasi didapatkan rawai hanyut lebih baik daripada jaring insang hanyut dan bagan tancap. 6.1.5 Analisis aspek keramahan lingkungan Analisis aspek keramahan lingkungan meliputi penilaian terhadap aspek lingkungan yaitu mempunyai selektivitas yang tinggi, tidak merusak habitat, menghasilkan ikan berkualitas tinggi, tidak membahayakan nelayan, produksi tidak membahayakan konsumen, by catch rendah, dampak ke biodiversity, tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi dan dapat diterima secara sosial Tabel 20. Semua data berdasarkan wawancara langsung dengan nelayan. Tabel 20 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek keramahan lingkungan unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin Unit Penangkapan Ikan Pelagis Rawai Hanyut Jaring Insang Hanyut Bagan Tancap
X1 V1 X1 2 1 2 1 1 0
X2 V2 X2 4 1 4 1 3 0
X3 V3X3 4 1 4 1 3 0
Kriteria Penelitian X4 X5 X6 V4 X4 V5X5 V6X6 4 4 2 0 1 0.33 4 3 4 0 0 1 4 4 1 0 1 0
X7
X8
X9
V7X7 4 1 3 0 3 0
V8X8 4 1 3 0 4 1
V9X9 1 0 4 1 2 0.33
Keterangan : X1 = Selektivitas yang tinggi
X7 = Dampak ke biodiversity
X2 = Tidak merusak habitat
X8 = Tidak membahayakan ikan
X3 = Ikan berkualitas tinggi
-ikan yang dilindungi
X4 = Tidak membahayakan nelayan
X9 = Dapat diterima secara sosial
X5 = Produksi tidak membahayakan
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif
Nelayan X6 = By-catch rendah
yaitu jumlah dari Vi(Xi) UP = Urutan prioritas
VA5
UP
6.33
1
5
2
2.33
3
73
dimana : X<3
: Merusak lingkungan
3≤x≤6
: Kurang ramah lingkungan
X>6
: Ramah lingkungan Berdasarkan hasil skoring maka alat tangkap rawai hanyut termasuk
kategori alat tangkap yang ramah lingkungan sedangkan bagan tancap dan jaring insang hanyut termasuk alat tangkap yang kurang ramah lingkungan. 6.1.6 Analisis aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan Pemilihan unit penangkapan ikan pelagis adalah mendapatkan jenis alat tangkap ikan pelagis yang mempunyai nilai sehingga alat tangkap yang terpilih merupakan alat tangkap yang layak dikembangkan. Hasil skoring yang dilakukan terhadap ketiga jenis alat tangkap yang digunakan dalam perikanan tangkap ikan pelagis di Sungsang, Kabupaten Banyuasin. Kelima aspek di atas adalah sebagai berikut : Tabel 21 Total standarisasi aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin Unit Penangkapan Ikan Pelagis Rawai Hanyut Jaring Insang Hanyut Bagan Tancap
Keterangan : V(A)1 V(A)2 V(A)3 V(A)4 V(A)5 V(A) total UP
V(A)1 3 1.94 0
Kriteria Penilaian V(A)2 V(A)3 V(A)4 3 2 3 1.85 1.64 1.43 0 1 0
V(A)5 6.33 5 2.33
V(A) Total 17.33 11.86 3.33
UP 1 2 3
= Aspek biologi = Aspek teknis = Aspek sosial = Aspek ekonomi = Aspek keramahan lingkungan = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(X i) = Urutan Prioritas
Berdasarkan hasil dari total standarisasi berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin maka yang menjadi prioritas pengembangan adalah alat tangkap rawai hanyut pada urutan pertama, jaring insang hanyut pada urutan kedua dan bagan tancap pada urutan ketiga.
74
6.2 Analisis Finansial Analisis finansial adalah suatu analisis proyek dimana proyek dilihat dari sudut badan-badan atau orang-orang yang menanam modalnya dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek (Kadariah; Karlina; dan Gray 1978). Analisis finansial yang digunakan adalah analisis usaha dan analisis kriteria investasi. 6.2.1
Analisis finansial rawai hanyut
1. Analisis usaha rawai hanyut (1). Analisis pendapatan usaha rawai hanyut Analisis pendapatan usaha digunakan untuk menghitung besarnya total pendapatan yang diperoleh dari suatu usaha. Total pendapatan diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya dalam suatu proses produksi. Total penerimaan diperoleh dari produksi fisik dikaitkan dengan harga produksi. Biaya produksi adalah nilai dari semua faktor produksi yang digunakan, baik dalam bentuk benda maupun jasa selama proses produksi berlangsung (Soekartawi 2005). Total penerimaan usaha yang diperoleh yaitu sebesar Rp. 79.200.000 dan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 60.432.333, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp. 18.767.667. Nilai ini diperoleh dari total penerimaan dikurangi total biaya. (2). Analisis revenue-cost ratio (R/C) Analisis R/C merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya. Semakin besar R/C maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh. Nilai R/C yang diperoleh sebesar 1,31, nilai ini lebih besar dari satu, artinya usaha ini menguntungkan dimana setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 1,31 atau dengan kata lain akan menghasilkan keuntungan Rp. 1,31 (3). Analisis break even point (BEP) Titik impas adalah keadaan dimana jumlah penerimaan sama dengan jumlah pengeluaran. Analisis BEP digunakan untuk mengetahui sampai batas mana usaha pengembangan rawai hanyut masih memperoleh keuntungan. BEP nilai produksi sebesar Rp. 39.055.258, artinya usaha ini akan memberikan keuntungan
apabila
berada
pada
titik
sama
atau
lebih
besar
dari
75
Rp. 39.055.258. BEP volume pada usaha rawai hanyut sebesar 23.669,85 kg, artinya usaha ini akan menghasilkan keuntungan apabila telah memproduksi ikan sebanyak 23.669,85 kg. (4). Rentabilitas (ROI) Return on investment adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan keuntungan. Dalam analisis di dapatkan ROI sebesar 41 %, artinya nilai ini menunjukkan bahwa investasi usaha perikanan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin layak dikembangkan. Hasil analisis usaha rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006 disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Analisis usaha pengembangan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006 Kriteria Usaha R/C ROI BEP Nilai Produksi (Kg) BEP Volume Produksi (Rp) Keuntungan (Rp)
Nilai 1,31 41% 23.669,85 39.055.258 18.767.666
Sumber : Data primer diolah
2. Analisis kriteria investasi rawai hanyut Analisis kriteria investasi (cash flow) terdiri atas arus masuk (inflow) dan arus keluar (outflow). Arus masuk menggambarkan penerimaan yang diperoleh dari suatu usaha, sedangkan arus keluar menerangkan biaya yang digunakan dalam suatu usaha. Arus masuk berasal dari penerimaan penjualan output dan nilai sisa yang diperoleh dari nilai barang yang tidak habis digunakan setelah umur teknisnya habis. Arus keluar yang dihitung yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Untuk memutuskan layak atau tidaknya suatu proyek dilaksanakan dengan menentukan NPV, Net B/C dan IRR dapat dilihat pada Tabel 23. Untuk menghitung dengan kriteria investasi dilakukan dengan menyusun cash flow. Asumsi yang diperlukan dalam menyusun perhitungan cash flow antara lain : 1. Analisis yang dilakukan merupakan usaha baru yang akan dikembangkan. Usaha yang ada dengan umur kegunaan ditentukan 10 tahun, karena nilai investasi yang paling tinggi dan lama adalah kapal. 2. Harga yang digunakan baik untuk biaya maupun penerimaan adalah konstan selama umur proyek.
76
3. Nilai-nilai investasi yang digunakan dalam analisis berdasarkan hasil wawancara berdasarkan tahun 2006. 4. Sumber modal yang menggunakan adalah modal sendiri. 5. Populasi ikan menyebar merata di seluruh daerah penangkapan. 6. Hasil tangkapan yang masuk ke dalam perhitungan hanya ikan pelagis. 7. Kapal/perahu dan mesin yang digunakan untuk operasi penangkapan memiliki ukuran relatif sama 8. Discount factor pada tahun 2006 didasarkan pada tingkat suku bunga pinjaman untuk usaha sebesar 15 % per tahun yang berlaku pada Bank Sumsel Cabang Sungsang. 9. Biaya perawatan kapal, mesin dan alat tangkap meningkat 5 % per tahun proyek. Hal ini dikarenakan kapal, mesin dan alat tangkap merupakan barang yang sudah terpakai. 10. Kebutuhan solar dan minyak tanah meningkat 5 % per tahun proyek. Hal ini disebabkan oleh umur teknis semakin tua sehingga kebutuhan bahan bakar semakin bertambah. 11. Kebutuhan oli meningkat 5 % per tahun proyek. Hal ini disebabkan oleh umur teknis mesin semakin tua sehingga kebutuhan bahan bakar semakin bertambah. Tabel 23 Hasil perhitungan cash flow pada unit penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin No 1. 2. 3.
Keterangan
Jumlah
NPV Net B/C IRR
55.855.075 2,22 48%
Sumber : Data primer diolah
Berdasarkan
Tabel
23,
dapat
diketahui
nilai
NPV
sebesar
Rp. 55.855.075, artinya nilai saat ini dari keuntungan yang akan diperoleh selama umur proyek 10 tahun di masa yang akan datang adalah Rp. 55.855.075. Nilai Net B/C sebesar 2,22, artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar 2 rupiah 22 sen selama umur proyek 10 tahun dengan suku bunga 15 %. IRR sebesar 48 %, artinya usaha proyek tersebut mampu memberikan tingkat pengembalian atau keuntungan sebesar 48 % per tahun dari seluruh investasi yang ditanamkan selama umur proyek 10 tahun. Dari
77
hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha pengembangan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin apabila dijalankan layak untuk dikembangkan. 3. Analisis sensitivitas rawai hanyut Agar akurasi analisis semakin tinggi maka disertakan pula analisis sensitivitas untuk melihat pengaruh apa yang akan terjadi akibat perubahan harga input atau bahan baku yang akan berdampak pada nilai output diakhir perhitungan. Dalam penelitian ini faktor yang akan dianalisis adalah perubahan harga solar dan minyak tanah terhadap penurunan harga ikan sebagai komponen terbesar. Metode yang digunakan adalah switching value. Komponen tersebut merupakan komponen variabel utama yang dianggap peka dalam proses penangkapan rawai hanyut. Berdasarkan
hasil
analisis
sensitivitas
secara
umum
kegiatan
penangkapan ikan pelagis dengan menggunakan alat tangkap rawai hanyut layak dilakukan (Lampiran 6) pada discount factor 15 %. Berdasarkan metode tersebut diperoleh nilai untuk kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 72,15 % dan penurunan harga ikan sebesar 14,15 % pada rawai hanyut. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga solar dan minyak tanah serta harga ikan, maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Nilai kriteria investasi setelah dilakukan analisis sensitivitas pada usaha penangkapan rawai hanyut dapat dilihat pada Tabel 24 dan 25 dan untuk perhitungan lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8. Berdasarkan Tabel 24 dapat dilihat perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 72,15 % dari harga solar Rp. 5.000 menjadi Rp 8.607,5 dan minyak tanah Rp. 3.000 menjadi Rp. 5.164,5 pada unit penangkapan rawai hanyut. Net B/C yang dihasilkan 0,9985 dan nilai IRR yang dihasilkan 14,95 % dibawah tingkat suku bunga yang berlaku. Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga solar dan minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai NPV sebesar Rp. 55.923.365 dari 55.855.075 setelah mengalami kenaikan solar dan minyak tanah menjadi Rp (68.290,79), Net B/C
78
sebesar 1,22 dan nilai IRR menjadi 14,95 %. Tabel 24 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 72,15 % pada rawai hanyut tahun 2006
No
1. 2. 3.
Sebelum kenaikan harga solar (Rp.5.000) dan minyak tanah (Rp.3.000)
Kriteria Investasi NPV (Rp) Net B/C IRR (%)
55.855.075 2,22 48%
Sesudah kenaikan harga solar (Rp.8.607,5) dan minyak tanah (Rp.5.164,5) (68.290,79) 0,9985 14,95%
Perubahan
55.923.365 1,22 33,05%
Sumber : Data primer diolah
Berdasarkan Tabel 25 dapat dilihat perhitungan analisis sensitivitas terhadap penurunan harga ikan sebesar 14,15 % dari harga ikan Rp. 8.000 menjadi Rp 6.607,5 pada unit penangkapan rawai hanyut. Net B/C yang dihasilkan 0,99 dan nilai IRR yang dihasilkan 14,69 % dibawah tingkat suku bunga yang berlaku. Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga solar dan minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai NPV sebesar Rp. 56.244.336 dari 55.855.075 setelah mengalami penurunan harga ikan menjadi Rp (389.261,12), Net B/C sebesar 0,99 dan nilai IRR menjadi 14,69 %. Tabel 25 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat penurunan harga ikan sebesar 14,15 % pada rawai hanyut tahun 2006 No 1. 2. 3.
Kriteria Investasi NPV (Rp) Net B/C IRR (%)
Sebelum penurunan harga ikan (Rp. 8,000) 55.855.075 2,22 48%
Sesudah penurunan harga ikan (Rp.6,607.5) (389.261,12) 0,99 14,69%
Perubahan 56.244.336 1.23 33,31%
Sumber : Data primer diolah
6.2.2
Analisis finansial jaring insang hanyut
1. Analisis usaha jaring insang hanyut (1). Analisis pendapatan usaha jaring insang hanyut Analisis pendapatan usaha digunakan untuk menghitung besarnya total pendapatan yang diperoleh dari suatu usaha. Total pendapatan diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya dalam suatu proses produksi. Total penerimaan diperoleh dari produksi fisik dikaitkan dengan harga produksi. Biaya
79
produksi adalah nilai dari semua faktor produksi yang digunakan, baik dalam bentuk benda maupun jasa selama proses produksi berlangsung (Soekartawi 2005). Total penerimaan usaha yang diperoleh yaitu sebesar Rp. 64.000.000 dan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 46.680.000, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp. 17.320.000. Nilai ini diperoleh dari total penerimaan dikurangi total biaya. (2). Analisis revenue-cost ratio (R/C) Analisis R/C merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya. Semakin besar R/C maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh. Nilai R/C yang diperoleh sebesar 1,37, nilai ini lebih besar dari satu, artinya usaha ini menguntungkan dimana setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 1,37 atau dengan kata lain akan menghasilkan keuntungan Rp. 1,37. (3). Analisis break even point (BEP) Titik impas adalah keadaan dimana jumlah penerimaan sama dengan jumlah pengeluaran. Analisis BEP digunakan untuk mengetahui sampai batas mana usaha pengembangan jaring insang hanyut masih memperoleh keuntungan. BEP nilai produksi sebesar Rp. 26.951.872, artinya usaha ini akan memberikan keuntungan
apabila
berada
pada
titik
sama
atau
lebih
besar
dari
Rp. 26.951.872. BEP volume pada usaha jaring insang hanyut sebesar 16.171,12 kg, artinya usaha ini akan menghasilkan keuntungan apabila telah memproduksi ikan sebanyak 16.171,12 kg. (4). Rentabilitas (ROI) Return on investment adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan keuntungan. Dalam analisis di dapatkan ROI sebesar 40 %, artinya nilai ini menunjukkan bahwa investasi usaha perikanan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin layak dikembangkan. Hasil analisis usaha jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006 disajikan pada Tabel 26.
80
Tabel 26 Analisis usaha pengembangan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006 Kriteria Usaha
Nilai
R/C ROI BEP Nilai Produksi (Kg) BEP Volume Produksi (Rp) Keuntungan (Rp)
1,37 40% 16.171,12 26.951.872 64.000.000
Sumber : Data primer diolah
2. Analisis kriteria investasi jaring insang hanyut Analisis kriteria investasi (cash flow) terdiri atas arus masuk (inflow) dan arus keluar (outflow). Arus masuk menggambarkan penerimaan yang diperoleh dari suatu usaha, sedangkan arus keluar menerangkan biaya yang digunakan dalam suatu usaha. Arus masuk berasal dari penerimaan penjualan output dan nilai sisa yang diperoleh dari nilai barang yang tidak habis digunakan setelah umur teknisnya habis. Arus keluar yang dihitung yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Untuk memutuskan layak atau tidaknya suatu proyek dilaksanakan dengan menentukan NPV, Net B/C dan IRR dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Hasil perhitungan cash flow pada unit penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin No 1. 2. 3.
Keterangan
Jumlah
NPV Net B/C IRR
46.437.216 2,08 48%
Sumber : Data primer diolah
Berdasarkan
Tabel
27,
dapat
diketahui
nilai
NPV
sebesar
Rp. 46.437.216, artinya nilai saat ini dari keuntungan yang akan diperoleh selama umur proyek 10 tahun di masa yang akan datang adalah Rp. 46.437.216. Nilai Net B/C sebesar 2,08, artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar 2 rupiah 08 sen selama umur proyek 10 tahun dengan suku bunga 15 %. IRR sebesar 47 % , artinya usaha proyek tersebut mampu memberikan tingkat pengembalian atau keuntungan sebesar 47 % per tahun dari seluruh investasi yang ditanamkan selama umur proyek 10 tahun. Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha pengembangan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin apabila dijalankan layak untuk dikembangkan.
81
3. Analisis sensitivitas jaring insang hanyut Agar akurasi analisis semakin tinggi maka disertakan pula analisis sensitivitas untuk melihat pengaruh apa yang akan terjadi akibat perubahan harga input atau bahan baku yang akan berdampak pada nilai output diakhir perhitungan. Dalam penelitian ini faktor yang akan dianalisis adalah perubahan harga solar dan minyak tanah terhadap penurunan harga ikan sebagai komponen terbesar. Metode yang digunakan adalah switching value. Komponen tersebut merupakan komponen variabel utama yang dianggap peka dalam proses penangkapan jaring insang hanyut. Berdasarkan
hasil
analisis
sensitivitas
secara
umum
kegiatan
penangkapan ikan pelagis dengan menggunakan alat tangkap jaring insang hanyut layak dilakukan (Lampiran 12) pada discount factor 15 %. Berdasarkan metode tersebut diperoleh nilai untuk kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 41 % dan penurunan harga ikan sebesar Berdasarkan 15 % pada jaring insang hanyut. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga solar dan minyak tanah serta harga ikan, maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Nilai kriteria
investasi
setelah
dilakukan
analisis
sensitivitas
pada
usaha
penangkapan jaring insang hanyut dapat dilihat pada Tabel 28 dan 29 dan untuk perhitungan lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 41 % dari harga solar Rp. 5.000 menjadi Rp 7.050 dan minyak tanah Rp. 3.000 menjadi Rp. 4.230 pada unit penangkapan jaring insang hanyut. Net B/C yang dihasilkan 0,99 dan nilai IRR yang dihasilkan 14,80 % dibawah tingkat suku bunga yang berlaku. Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga solar dan minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai NPV sebesar Rp. 46.654.674 dari Rp. 46.437.216 setelah mengalami kenaikan solar dan minyak tanah menjadi Rp (68.290,79), Net B/C sebesar 1,22 dan nilai IRR menjadi 14,95 %.
82
Tabel 28 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 41 % pada jaring insang hanyut tahun 2006 Kriteria Investasi
No
1. 2. 3.
Sebelum kenaikan harga solar (Rp.5000) dan minyak tanah (Rp.3000)
NPV (Rp) Net B/C IRR (%)
46.437.216 2,08 47%
Sesudah kenaikan harga solar (Rp.7.050) dan minyak tanah (Rp.4.230) (217.458) 0,99 14,80%
Perubahan
46.654.674 1,09 32,2%
Sumber : Data primer diolah
Berdasarkan Tabel 29 dapat dilihat perhitungan analisis sensitivitas terhadap penurunan harga ikan sebesar 15 % dari harga ikan Rp. 8.000 menjadi Rp 6.800 pada unit penangkapan jaring insang hanyut. Net B/C yang dihasilkan 0,96 dan nilai IRR yang dihasilkan 13,36 % dibawah tingkat suku bunga yang berlaku. Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga solar dan minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai NPV sebesar Rp. 48.180.179 dari 46.437.216 setelah mengalami penurunan harga ikan menjadi Rp (1.742.963), Net B/C sebesar 0,99 dan nilai IRR menjadi 13,36 %. Tabel 29 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat penurunan harga ikan sebesar 15 % pada jaring insang hanyut tahun 2006 No 1. 2. 3.
Kriteria Investasi NPV (Rp) Net B/C IRR (%)
Sebelum penurunan harga ikan (Rp.8.000) 46.437.216 2,22 48%
Sesudah penurunan harga ikan (Rp.6.800) (1.742.963) 0,99 13,36%
Perubahan 48.180.179 1,23 34,64%
Sumber : Data primer diolah
6.2.3
Analisis finansial bagan tancap
1. Analisis usaha bagan tancap (1). Analisis pendapatan usaha bagan tancap Analisis pendapatan usaha digunakan untuk menghitung besarnya total pendapatan yang diperoleh dari suatu usaha. Total pendapatan diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya dalam suatu proses produksi. Total penerimaan diperoleh dari produksi fisik dikaitkan dengan harga produksi. Biaya produksi adalah nilai dari semua faktor produksi yang digunakan, baik dalam
83
bentuk benda maupun jasa selama proses produksi berlangsung (Soekartawi 2005). Total penerimaan usaha yang diperoleh yaitu sebesar Rp. 79.800.000 dan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 49.190.000, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp. 23.610.000. Nilai ini diperoleh dari total penerimaan dikurangi total biaya. (2). Analisis revenue-cost ratio (R/C) Analisis R/C merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya. Semakin besar R/C maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh. Nilai R/C yang diperoleh sebesar 1,48, nilai ini lebih besar dari satu, artinya usaha ini menguntungkan dimana setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 1,48 atau dengan kata lain akan menghasilkan keuntungan Rp. 1,48. (3). Analisis break even point (BEP) Titik impas adalah keadaan dimana jumlah penerimaan sama dengan jumlah pengeluaran. Analisis BEP digunakan untuk mengetahui sampai batas mana usaha pengembangan bagan tancap masih memperoleh keuntungan. BEP nilai produksi sebesar Rp. 31.292.924, artinya usaha ini akan memberikan keuntungan
apabila
berada
pada
titik
sama
atau
lebih
besar
dari
Rp. 31.292.924. BEP volume pada usaha bagan tancap sebesar 16.506 kg, artinya usaha ini akan menghasilkan keuntungan apabila telah memproduksi ikan sebanyak 16.506 kg. (4). Rentabilitas (ROI) Return on investment adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan keuntungan. Dalam analisis di dapatkan ROI sebesar 32 %, artinya nilai ini menunjukkan bahwa investasi usaha perikanan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin layak dikembangkan. Hasil analisis usaha bagan tancap di Kabupaten Banyuasin tahun 2006 disajikan pada Tabel 30.
84
Tabel 30 Analisis usaha pengembangan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin tahun 2006 Kriteria Usaha
Nilai
R/C ROI BEP Nilai Produksi (Kg) BEP Volume Produksi (Rp) Keuntungan (Rp)
1,48 32% 16,506 31.292.924 23.610.000
Sumber : Data primer diolah
2. Analisis kriteria investasi bagan tancap Analisis kriteria investasi (cash flow) terdiri atas arus masuk (inflow) dan arus keluar (outflow). Arus masuk menggambarkan penerimaan yang diperoleh dari suatu usaha, sedangkan arus keluar menerangkan biaya yang digunakan dalam suatu usaha. Arus masuk berasal dari penerimaan penjualan output dan nilai sisa yang diperoleh dari nilai barang yang tidak habis digunakan setelah umur teknisnya habis. Arus keluar yang dihitung yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Untuk memutuskan layak atau tidaknya suatu proyek dilaksanakan dengan menentukan NPV, Net B/C dan IRR dapat dilihat pada Tabel 31. Untuk menghitung dengan kriteria investasi dilakukan dengan menyusun cash flow. Tabel 31 Hasil perhitungan cash flow pada unit penangkapan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin No 1. 2. 3.
Keterangan
Jumlah
NPV Net B/C IRR
214.477.312 3,94 83%
Sumber : Data primer diolah
Berdasarkan
Tabel
31,
dapat
diketahui
nilai
NPV
sebesar
Rp. 214.477.312, artinya nilai saat ini dari keuntungan yang akan diperoleh selama umur proyek 10 tahun di masa yang akan datang adalah Rp. 214.477.312. Nilai Net B/C sebesar 3,94, artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar 3 rupiah 94 sen selama umur proyek 10 tahun dengan suku bunga 15 %. IRR sebesar 83 %, artinya usaha proyek tersebut mampu memberikan tingkat pengembalian atau keuntungan sebesar 83 % per tahun dari seluruh investasi yang ditanamkan selama umur proyek 10 tahun. Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha pengembangan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin layak untuk dikembangkan.
85
3. Analisis sensitivitas bagan tancap Agar akurasi analisis semakin tinggi maka disertakan pula analisis sensitivitas untuk melihat pengaruh apa yang akan terjadi akibat perubahan harga input atau bahan baku yang akan berdampak pada nilai output diakhir perhitungan. Dalam penelitian ini faktor yang akan dianalisis adalah perubahan harga solar dan minyak tanah terhadap penurunan harga ikan sebagai komponen terbesar. Metode yang digunakan adalah switching value. Komponen tersebut merupakan komponen variabel utama yang dianggap peka dalam proses penangkapan bagan tancap. Berdasarkan
hasil
analisis
sensitivitas
secara
umum
kegiatan
penangkapan ikan pelagis dengan menggunakan alat tangkap bagan tancap layak dilakukan (Lampiran 18) pada discount factor 15 %. Berdasarkan metode tersebut diperoleh nilai untuk kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 93 % dan penurunan harga ikan sebesar Berdasarkan
18,5
%
pada bagan
tancap.
Hasil analisis
sensitivitas
menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga solar dan minyak tanah serta harga ikan, maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Nilai kriteria
investasi
setelah
dilakukan
analisis
sensitivitas
pada
usaha
penangkapan bagan tancap dapat dilihat pada Tabel 32 dan 33 dan untuk perhitungan lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 19 dan 20. Berdasarkan Tabel 32 dapat dilihat perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 93 % dari harga solar Rp. 5.000 menjadi Rp 9.650 dan minyak tanah Rp. 3.000 menjadi Rp. 5.790 pada unit penangkapan bagan tancap. Net B/C yang dihasilkan 0,995 dan nilai IRR yang dihasilkan 14,83 % dibawah tingkat suku bunga yang berlaku. Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga solar dan minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai NPV sebesar Rp. 214.825.734 dari 214.477.312 setelah mengalami kenaikan solar dan minyak tanah menjadi Rp (348.422), Net B/C sebesar 0,95 dan nilai IRR menjadi 14,83 %.
86
Tabel 32 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 93 % pada bagan tancap tahun 2006
No
1. 2. 3.
Sebelum kenaikan harga solar (Rp.5000) dan minyak tanah (Rp.3000)
Kriteria Investasi NPV (Rp) Net B/C IRR (%)
214.477.312 3,94 83%
Sesudah kenaikan harga solar (Rp.9.650) dan minyak tanah (Rp.5.790) (348.422) 0,995 14,83%
Perubahan
214.825.734 2,95 68,17%
Sumber : Data primer diolah
Berdasarkan Tabel 33 dapat dilihat perhitungan analisis sensitivitas terhadap penurunan harga ikan sebesar 18,5 % dari harga ikan Rp. 8,000 menjadi Rp 6.250 pada unit penangkapan rawai hanyut. Net B/C yang dihasilkan 0,99 dan nilai IRR yang dihasilkan 14,69 % dibawah tingkat suku bunga yang berlaku. Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga solar dan minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai NPV sebesar Rp. 56.244.336 dari 55.855.075 setelah mengalami penurunan harga ikan menjadi Rp (389.261,12), Net B/C sebesar 0,99 dan nilai IRR menjadi 14,69 %. Tabel 33 Perbandingan nilai kriteria investasi akibat penurunan harga ikan sebesar 18,5 % pada bagan tancap tahun 2006 No 1. 2. 3.
Kriteria Investasi NPV (Rp) Net B/C IRR (%)
Sebelum penurunan harga ikan (Rp.8,000) 214.477.312 3,94 83%
Sesudah penurunan harga ikan (Rp.6,520) (87.497) 0,99 14,96%
Perubahan 214.564.809 2,95 68,04%
Sumber : Data primer diolah
6.3 Analisis Optimasi Produksi hasil tangkapan ikan pelagis di perairan Kabupaten Banyuasin dalam lima tahun terakhir (2001-2005) menunjukkan berfluktuasi sebagaimana terlihat pada Tabel 34. Berfluktuasinya produksi ikan pelagis dapat diakibatkan oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi dalam kegiatan perikanan tangkap. Faktor yang saling berinteraksi tersebut adalah upaya penangkapan dan ketersediaan stok ikan pelagis di perairan.
87
Untuk melakukan analisis optimasi dengan menggunakan program linear programming terlebih dahulu dilakukan analisis produksi upaya penangkapan (effort) dan CPUE untuk mengetahui produksi ikan pelagis yang maksimum economic yield yang akan digunakan sebagai faktor tujuan dalam analisis optimasi perikanan pelagis di Kabupaten Banyuasin. Produksi ikan pelagis ini dalam kurun waktu lima tahun terakhir dianalisis terhadap keadaan stok dengan menggunakan pendekatan terhadap indeks CPUE dengan melakukan standarisasi alat tangkap yang menangkap ikan pelagis karena terdapatnya kemampuan menangkap setiap jenis alat tangkap yang berbeda dimana pada penelitian ini menggunakan alat tangkap rawai hanyut sebagai standar, karena alat ini mempunyai nilai CPUE per tahun lebih besar dibandingkan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan tancap (Lampiran 21). Tabel 34 Total produksi, upaya penangkapan dan CPUE unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
Total Hasil Tangkapan (kg) 11305844 17379636 13423232 16489155 11024797
Total Effort (trip) 12229 19036 8862 17321 6775
CPUE 925 913 1514 952 1627
Sumber : Diolah dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuasin, 2006
Produksi ikan pelagis dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun 2001 yaitu 11.305.844 kg mengalami peningkatan pada tahun 2002 yaitu 17.379.636 kg mengalami penurunan pada tahun 2003 yaitu 13.423.232 kg kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2004 yaitu 16.489.155 kg dan mengalami penurunan pada tahun 2005 yaitu 11.024.797 kg. Hal ini secara lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 16.
88
Produksi (kg/tahun)
18000000 16000000 14000000 12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0 2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 16 Perkembangan produksi ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin periode tahun 2001 – 2005 Berdasarkan perhiungan hubungan antara CPUE dan effort standar alat tangkap rawai hanyut dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis mempunyai nilai intersep (a) sebesar 1942.862 dan koefisien independent (b) sebesar -0,0589 (Lampiran 21), sehingga secara matematis hubungan antara CPUE dengan effort usaha penangkapan ikan pelagis dapat dinyatakan sebagai berikut CPUE = 1942.862 E-0.0589 E2. Hubungan antara hasil dengan effort yang lebih dikenal sebagai fungsi produksi lestari dapat dinyatakan sebagai berikut 1942.862 E0.0589 E2. Selanjutnya dengan menggunakan program Maple VIII, maka dapat diketahui effort pada tingkat produksi lestari maksimum (Emsy) pemanfaatan sumberdaya alat ikan pelagis dengan menggunakan alat tangkap rawai hanyut sebagai standar adalah sebesar 16.492 trip per tahun sedangkan effort pada kondisi maximum economic yield (Emey) yaitu 15.484 trip per tahun (Lampiran 22). Perhitungan matematis hasil tangkapan pada kondisi MSY diperoleh sebesar 16.492.886,25 kg/tahun sedangkan pada kondisi MEY sebesar 16.021.700,98 kg/tahun. Nilai hmsy menunjukkan tingkat produksi maksimum lestari yaitu hasil tangkapan ikan pelagis yang dapat ditangkap tanpa mengancam kelestarian sumberdaya perikanan yang terdapat di perairan Kabupaten Banyuasin. Hubungan kuadratik antara upaya penangkapan dengan hasil tangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin dapat dilihat pada Gambar 17.
89
Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa hubungan antara upaya penangkapan dan hasil tangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin berbentuk parabola (fungsi kuadratik), artinya setiap penambahan tingkat upaya penangkapan (E) maka akan meningkatkan hasil tangkapan (h) sampai mencapai titik maksimum, kemudian akan terjadi penurunan hasil tangkapan untuk tiap peningkatan intensitas pengusahaan sumberdaya. Produksi (kg/tahun)
Hmsy = 15.484,847
Hmsy = 16.021,700
2005 11.024.797
MEY
MSY TR=TC
Gambar 17 Hubungan antara hasil lestari ikan pelagis dengan upaya penangkapan model Schaefer dan keseimbangan bioekonomi penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin Berdasarkan kendala-kendala tujuan dalam mengoptimalkan hasil pengalokasian jumlah unit penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan adalah sebagai berikut : 1) Mengoptimumkan hasil tangkapan sumberdaya ikan pelagis dengan pertimbangan MEY Nilai estimasi produksi optimum atau MEY untuk ikan pelagis di perairan Sungsang adalah sebesar 3096964.346 kg/trip/tahun. Hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa produktivitas setiap unit penangkapan
90
ikan yaitu dapat menangkap ikan 36.563 kg/trip/tahun untuk alat tangkap rawai hanyut, 20400 kg/trip/tahun untuk alat tangkap jaring insang hanyut dan 5600 kg/trip/tahun untuk alat tangkap bagan tancap. Sehingga persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk pemanfaatan optimalnya adalah : 36563X1 + 20400X2 + 5600X3 + DB1-DA1 = 3096964.346 2) Mengoptimumkan
jumlah
hari
operasi
sesuai
dengan
upaya
penangkapan pada tingkat MEY Nilai estimasi fMEY untuk ikan pelagis di perairan Sungsang adalah sebesar 15484 trip. Hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa setiap unit penangkapan ikan dapat melakukan trip penangkapan ikan yaitu 198 untuk alat tangkap rawai hanyut, 160 untuk alat tangkap jaring insang hanyut dan 182 untuk alat tangkap bagan tancap. Sehingga persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk jumlah trip penangkapan optimalnya adalah : 198X1 + 160X2 + 182X3 + DB2-DA2 = 15484 3) Mengoptimumkan tingkat penyerapan tenaga kerja Diharapkan dalam pengalokasian ini dapat menyerap tenaga kerja (nelayan) sebanyak mungkin. Berdasarkan catatan statistik perikanan, jumlah nelayan diperairan Sungsang tercatat sebanyak 5622 orang. Hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa setiap unit penangkapan rawai hanyut dapat menyerap rata-rata sebanyak 4 orang/unit, jaring insang hanyut sebanyak 4 orang/unit dan bagan tancap sebanyak 3 orang/unit. Berdasarkan informasi ini, maka persamaan kendala tujuan (goal constrain) untuk penyerapan tenaga kerja optimalnya adalah : 4X1 + 4X2 + 3X3 + DB3 = 5622 Proses penyelesaian untuk model linear goal programming ini menggunakan bantuan program paket komputer Lindo (Linear Interactive Descrete Optimizer). Hasil olahan program komputer Lindo ditunjukkan pada Lampiran 23. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa alokasi unit penangkapan ikan pelagis yang dominan di perairan Sungsang dapat dilihat pada Tabel 35.
91
Tabel 35. Alokasi unit penangkapan ikan pelagis No 1. 2. 3.
6.4.
Alat Tangkap Rawai hanyut Jaring insang hanyut Bagan tancap
Unit Penangkapan yang Ada 20 90 110
Alokasi Alat Tangkap Optimum 51 45 55
Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Sumberdaya Ikan Pelagis Untuk mengarahkan pengembangan usaha perikanan pelagis digunakan
analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman (SWOT= Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats), yaitu analisis alternatif yang digunakan untuk
mengindentifikasi
berbagai
faktor
secara
sistematis
untuk
memformulasikan suatu kebijakan pengembangan. Analisis SWOT merupakan penelitian tentang hubungan atau interaksi unsur-unsur internal, yaitu kekuatan dan kelemahan terhadap unsur-unsur eksternal, yaitu peluang dan ancaman. Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang disusun, hendaknya didasari
atau
mempertimbangkan
empat
aspek/dimensi
pembangunan
berkelanjutan, yaitu aspek biologi, aspek teknis, aspek sosial, aspek ekonomi dan keramahan lingkungan. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini analisis kebijakan yang didasarkan atas faktor-faktor eksternal dan internal dilakukan dengan mempertimbangkan keempat aspek tersebut di atas.
92
Tabel 36. Identifikasi, skoring dan arahan pengembangan perikanan pelagis Kode
Identifikasi SWOT
Skor
Kemungkinan Pengembangan
Kekuatan (Strengths) S1
Potensi sumberdaya perikanan tangkap cukup tersedia
3
S2
Sumberdaya nelayan cukup tersedia
3
S3
Adanya dukungan pemerintah daerah dalam sub sektor perikanan tangkap
2
Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis secara rasional Peningkatan kualitas sumberdaya nelayan secara optimal Inventarisasi kapal perikanan dan proyek pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
Kelemahan (Weaknesses) W1
Masih beroperasi di dekat pantai
5
W2
Mutu hasil tangkapan rendah
3
W3
Terbatasnya modal usaha
4
Sarana dan prasarana perikanan minim Rendahnya tingkat pendidikan W5 nelayan dan manajemen usaha yang lemah Peluang (Opportunities) W4
Penyediaan armada penangkapan dijalur 2 Bimbingan atau pembinaan penanganan dan pengolahan hasil perikanan Membantu pemberian modal usaha
4
Memperbaiki dan melengkapi sarana dan prasarana
3
Peningkatan kualitas nelayan dengan pelatihan /penyuluhan
O1
Akses ke kota Palembang cukup lancar
4
Peningkatan produksi perikanan
O2
Harga ikan pelagis meningkat
3
Peningkatan produksi perikanan ikan pelagis
O3
Peningkatan permintaan pasar
3
Identifikasi permintaan pasar
Ancaman (Threats) T1
Keamanan di laut akibat perampokan
3
Peningkatan keamanan di laut
T2
Nelayan skala sedang-besar masuk perairan pantai (IUU Fishing)
4
Pembatasan jumlah kapal dan hasil tangkapan
T3
Harga BBM tinggi
3
Penggunaan alat tangkap yang hemat bahan bakar
Strategi pengembangan perikanan pelagis yang didasarkan pada potensi yang dimiliki Sungsang (Strategi SO) diarahkan pada optimalisasi usaha perikanan pelagis (Tabel 37). Strategi ST diarahkan pada pengembangan usaha perikanan pelagis di jalur 2 (6 – 12 mil) (Tabel 37). Strategi WO adalah
93
peluang
pengembangan
yang
harus
ada
intervensi
dari
luar
untuk
pelaksanaannya. Strategi tersebut adalah peningkatan manajemen usaha perikanan pelagis dan pembenahan fasilitas sarana dan prasarana perikanan (Tabel 37). Strategi WT adalah pengembangan untuk mengatasi kekurangankekurangan yang dimiliki oleh Sungsang dan ancaman yang dapat ditimbulkannya.
Strateginya
yaitu
peningkatan
skala
usaha
penangkapan ikan pelagis (Tabel 37). Tabel 37. Analisis keterkaitan antar unsur SWOT No
Unsur SWOT
Keterkaitan
Jumlah
Strategi SO 1.
SO3
Optimalisasi usaha perikanan pelagis S1, S2, S3, O1, O2, O3
22
Pengembangan usaha perikanan pelagis di jalur 2 (6 - 12 mil) S1, S2, S3, T1, T2, T3
19
Strategi ST 2.
ST2
Strategi WO 3.
WO3
4.
WO1
Peningkatan manajemen usaha perikanan pelagis W2, W3, W5, O2, O3 Pembenahan fasilitas sarana dan prasarana perikanan W4, O1, O3
16
11
Strategi WT 5.
WT1
Peningkatan skala usaha armada penangkapan ikan pelagis W1, T1, T2, T3
15
armada
7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan Sungsang saat ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut dan bagan tancap. Ketiga alat tangkap ini dianalisis berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan. Sehingga didapat alat tangkap pilihan yang terbaik untuk perikanan pelagis. 7.1.1 Analisis aspek biologi Berdasarkan analisis aspek biologi (Tabel 16) dengan kriteria penilaian lama waktu musim penangkapan ikan pelagis, maka dapat dilihat bahwa jaring insang hanyut, rawai hanyut dan bagan tancap memiliki musim pelagis optimum yang hampir sama lamanya. Pada unit penangkapan ikan kembung, tembang dan tongkol rawai hanyut, jaring insang hanyut dan bagan tancap memiliki musim penangkapan yang hampir sama sepanjang tahun. Oleh karena itu operasional dari ketiga alat tangkap ini melakukan penangkapan pada saat hasil tangkapan maksimal agar keuntungan yang didapat juga maksimal. Berdasarkan komposisi target spesies dan ukuran hasil tangkapan yang dilihat dari ukuran panjang tubuh ikan pelagis, maka rawai hanyut lebih baik dari jaring insang hanyut dan bagan tancap. Hal ini karena alat tangkap rawai hanyut menggunakan umpan yang mengakibatkan ikan pelagis lebih tertarik. Hal ini lebih diperkuat oleh pendapat Sadhori (1985) mengatakan umpan merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam usaha penangkapan baik masalah jenis umpan, sifat umpan maupun cara ikan memakan umpan. Berdasarkan ukuran hasil tangkapan target spesies yang didapat dari hasil wawancara, ukuran dominan yang ditangkap dari ketiga alat tangkap yaitu ikan kembung berukuran 20 - 24 cm, ikan tembang 13 - 19 cm dan ikan tongkol 15 - 22 cm. Menurut Rosa dan Laevastu (1959) ukuran panjang ikan tembang dewasa di perairan India antara 8 - 18 cm, di perairan Philipina antara 7 - 14 cm, dan di perairan Indo Pasifik 11 - 12 cm serta Selat Madura, panjang ikan tembang yang tertangkap berkisar antara 14 - 20,5 cm dengan ukuran
95
panjang pertama matang gonad 16,3 cm (betina) dan 15,5 cm (jantan), kembung ukuran panjang matang gonad sekitar 22 – 24 cm dan tongkol ukuran panjang matang gonadnya sekitar 28 – 30 cm (Yusfiandayani 2004). Secara umum ikan pelagis yang ditangkap telah mengalami dewasa kelamin dan mampu bereproduksi dan pada ukuran tersebut berada pada tingkat kedewasaan secara seksual sehingga memberikan peluang bagi ikan pelagis untuk bereproduksi terlebih dahulu sebelum ditangkap. Secara keseluruhan hasil dari penilaian aspek biologi yang kemudian distandarisasi dengan fungsi nilai, maka diperoleh hasil bahwa alat tangkap rawai hanyut lebih baik dibandingkan jaring hanyut dan bagan tancap. 7.1.2 Analisis aspek teknis Berdasarkan analisis aspek teknis (Tabel 17), rawai hanyut lebih baik dari jaring insang hanyut dan bagan tancap. Setelah dilakukan standarisasi kepada ketiga alat tangkap ini rawai hanyut menempati prioritas pertama untuk kategori produksi per tahun, produksi per trip dan produksi per tenaga kerja. Jika dilihat pada aspek biologi maka dari ukuran hasil tangkapan dan komposisi ikan pelagis yang tertangkap terlihat bahwa rawai hanyut memiliki ukuran panjang ikan dan komposisi ikan pelagis yang lebih baik dari jaring insang hanyut dan bagan tancap. Hal ini menurut hasil wawancara dengan nelayan rawai hanyut dikarenakan daerah penangkapan pelagis yang jauh dari daerah biasa jaring insang hanyut dan bagan tancap beroperasi atau daerah padat tangkap. Operasi rawai hanyut dilakukan selama 3 hari dengan setting sebanyak 6 – 9 kali, dibandingkan dengan jaring insang hanyut yang hanya melakukan penangkapan pada daerah dekat pantai dengan setting 1 kali dalam 1 trip. Penggunaan umpan pada rawai hanyut yang menyebabkan ikan pelagis tertarik untuk memakan umpan pada pancing rawai dan produksi per tahun dari rawai hanyut lebih besar dari jaring insang hanyut dan bagan tancap sebesar 48000 kg per tahunnya sehingga rawai hanyut lebih unggul dari jaring insang hanyut dan bagan tancap dan beroperasi pada saat musim puncak yaitu selama 9 bulan.
96
7.1.3 Analisis aspek sosial Berdasarkan aspek sosial (Tabel 18), semua alat memiliki sistem bagi hasil yang sama, yaitu untuk nelayan pemilik kapal 50 % dan untuk nelayan ABK 50 % dari total pendapatan setelah dikurangi dengan total biaya produksi. Pada umumnya juru mudi dari alat tangkap rawai hanyut, jaring insang hanyut dan bagan tancap ini memiliki kapal sendiri, jadi secara langsung hasil dari 50 % diperoleh oleh juru mudinya. Walaupun rawai hanyut lebih banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan jaring insang hanyut dan bagan tancap, tetapi penghasilan rawai hanyut yang tinggi mampu melebihi penghasilan jaring insang hanyut dan bagan tancap. Seperti yang sudah dibahas pada aspek biologi dan teknis, ternyata rawai hanyut memiliki jumlah produksi yang melebihi dari jaring insang hanyut dan bagan tancap, sehingga pendapatan rawai hanyut mampu melebihi pendapatan dari jaring insang hanyut dan bagan tancap. Sementara itu tingkat penguasaan teknologi dari hasil wawancara didapat nilai yang berimbang atau hampir sama antara rawai hanyut, jaring insang hanyut dan bagan tancap karena nelayan sudah beberapa tahun menggunakan alat tangkap dan tidak ada kesulitan yang berarti. Perawatan pada alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan tancap cukup sulit sehingga dengan adanya rawai hanyut ini mendorong nelayan untuk beralih ke rawai hanyut. Jadi berdasarkan hasil dari standarisasi aspek sosial didapat bahwa rawai hanyut lebih baik daripada jaring insang hanyut dan bagan tancap. 7.1.4 Analisis aspek ekonomi Berdasarkan analisis aspek ekonomi (Tabel 19), maka dapat dilihat bahwa rawai hanyut lebih baik daripada jaring insang hanyut dan bagan tancap. Seperti yang telah dianalisis pada beberapa aspek sebelumnya bahwa produksi rawai hanyut yang lebih besar dari jaring insang hanyut dan bagan tancap menyebabkan penerimaan rawai hanyut juga lebih besar daripada penerimaan jaring insang hanyut dan bagan tancap.
97
7.1.5 Analisis aspek keramahan lingkungan Berdasarkan aspek analisis keramahan lingkungan (Tabel 20), maka dapat dilihat bahwa rawai hanyut memiliki tingkat keramahan lingkungan yang lebih tinggi daripada jaring insang hanyut dan bagan tancap. Menurut Ayodhyoa
(1981)
menyatakan
bahwa
rawai
hanyut
pada
umumnya
dioperasikan pada perairan yang dangkal untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis (seperti tongkol, cakalang, layang, selar, dan baby tuna). Alat tangkap pancing ini termasuk kategori ramah lingkungan karena walaupun dioperasikan dikolom perairan, namun tidak merusak habitat ikan, karena dimensinya hanya mempengaruhi atau mencakup areal yang kecil dan alat tangkap ini juga sangat selektif terhadap jenis dan ukuran ikan, sehingga tidak mengganggu siklus hidup dan pertumbuhan populasi ikan. Najamudin (2006) yang menyatakan alat tangkap bagan termasuk alat tangkap yang tidak selektif dimana menangkap banyak jenis ikan dengan ukuran mulai dari kecil sampai besar. Menurut pendapat Samuel (2003) mengatakan bahwa alat tangkap jaring tergolong alat tangkap yang produktif, tetapi tidak ramah terhadap keseimbangan populasi ikan yang ditangkap. Alat tangkap rawai tergolong dalam kategori tidak ramah terhadap keseimbangan populasi ikan. Namun dari sisi lain, alat tangkap ini tidak menangkap biomassa ikan dalam jumlah besar sehingga tidak ada kekhawatiran alat tersebut merusak keseimbangan populasi ikan yang ditangkap. 7.1.6 Analisis aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan Dilihat dari masing-masing aspek rawai hanyut menempati urutan pertama (Tabel 21). Hal ini dikarenakan rawai hanyut secara aspek biologi lebih baik dari segi komposisi target spesies dan juga ukuran hasil tangkapan utama. Berdasarkan aspek teknis produksi dari rawai hanyut lebih baik daripada jaring insang hanyut dan bagan tancap. Sedangkan berdasarkan aspek sosial pendapatan nelayan rawai hanyut dan kemungkinan kepemilikannya lebih baik daripada jaring insang hanyut dan bagan tancap dan menurut aspek ekonomi berdasarkan kriteria efisiensi usaha penerimaan rawai hanyut lebih baik daripada jaring insang hanyut dan bagan tancap serta yang terakhir,
98
menurut aspek keramahan lingkungan berdasarkan kriteria penilaian rawai hanyut lebih ramah lingkungan daripada bagan tancap dan jaring insang hanyut. 7.2 Tinjauan Aspek Finansial Hasil analisis aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan, ketiga alat tangkap yaitu rawai hanyut, jaring insang hanyut dan bagan tancap, mendapatkan hasil bahwa rawai hanyut lebih baik dari jaring insang hanyut dan bagan tancap. Setelah didapat alat tangkap yang terpilih adalah rawai hanyut tidak serta merta nelayan Sungsang mengganti teknologi penangkapan jaring insang hanyut dan bagan tancap menjadi teknologi penangkapan rawai hanyut. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi nelayan bahwa teknologi penangkapan rawai hanyut merupakan teknologi yang efektif, efisien dan berkelanjutan untuk perikanan pelagis. Diharapkan pula pembuat Kebijakan dapat membantu pengoptimalan usaha perikanan pelagis di Sungsang. Setelah dianalisis menggunakan metode skoring kemudian dianalisis kelayakannya sebagai syarat pengembangan suatu usaha. Oleh karena itu dilakukan analisis finansial untuk menilai kelayakan dari alat tangkap yang terpilih yaitu rawai hanyut. Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansial, maka dapat dilihat bahwa rawai hanyut dikatakan layak untuk dikembangkan karena semua syarat dalam NPV, IRR, BEP, Net B/C, dan ROI sebagai kriteria kelayakan suatu usaha dapat dipenuhi. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diperoleh nilai untuk kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 72,15 % dan penurunan harga ikan sebesar 14,15 % pada rawai hanyut. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga solar dan minyak tanah maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 72,15 % dari harga solar Rp. 5.000 menjadi Rp 8.607 dan minyak tanah Rp. 3.000 menjadi Rp. 5.164,5 pada unit penangkapan rawai hanyut menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan rawai hanyut
di
Kabupaten
Banyuasin
tidak
layak
untuk
dilakukan
dan
99
dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,9985 berarti usaha ini tidak memberikan manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan 14,95 % berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan rawai hanyut tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 72,15 %. Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga solar dan minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai NPV sebesar Rp. 55.923.365 dari 55.855.075 setelah mengalami kenaikan solar dan minyak tanah menjadi Rp (68.290,79), menunjukkan bahwa net benefit yang akan diperoleh pada akhir tahun proyek yang dihitung pada akhir tahun proyek dihitung berdasarkan nilai saat ini mengalami penurunan sebesar Rp. 55.923.365. Net B/C sebesar 1,22 dari biaya yang dikeluarkan oleh nelayan rawai hanyut. Nilai IRR menjadi 14,95 % menyebabkan keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan rawai hanyut tersebut berkurang sebesar 33,05 % dari investasi yang ditanamkan nelayan setelah terjadinya kenaikan harga solar dan minyak tanah. Hasil analisis sensitivitas diperoleh nilai untuk penurunan harga ikan sebesar 14,15 % pada rawai hanyut. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga ikan, maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Perhitungan analisis sensitivitas terhadap penurunan harga ikan sebesar 14,15 % dari harga ikan Rp. 8.000 menjadi Rp 6.607,5 pada unit penangkapan rawai hanyut menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin tidak layak untuk dilakukan dan dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,99 berarti usaha ini tidak memberikan manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan 14,69 % berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan rawai hanyut tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat penurunan harga ikan sebesar 14,15 %.
100
Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diperoleh nilai untuk kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 41 % dan penurunan harga ikan sebesar 15 % pada jaring insang hanyut. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga solar dan minyak tanah maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 41 % dari harga solar Rp. 5.000 menjadi Rp 7.050 dan minyak tanah Rp. 3.000 menjadi Rp. 4.230 pada unit penangkapan jaring insang hanyut menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin tidak layak untuk dilakukan dan dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,99 berarti usaha ini tidak memberikan manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan 14,80 % berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan jaring insang hanyut tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 41 %. Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga solar dan minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai NPV sebesar Rp. 46.654.674 dari 46.437.216 setelah mengalami kenaikan solar dan minyak tanah menjadi Rp (217.458), menunjukkan bahwa net benefit yang akan diperoleh pada akhir tahun proyek yang dihitung pada akhir tahun proyek dihitung berdasarkan nilai saat ini mengalami penurunan sebesar Rp. 46.654.674. Net B/C sebesar 0,99 dari biaya yang dikeluarkan oleh nelayan jaring insang hanyut. Nilai IRR menjadi 14,80 % menyebabkan keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan rawai hanyut tersebut berkurang sebesar 32,2 % dari investasi yang ditanamkan nelayan setelah terjadinya kenaikan harga solar dan minyak tanah. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diperoleh nilai untuk penurunan harga ikan sebesar 15 % pada jaring insang hanyut. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga ikan, maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Perhitungan analisis sensitivitas terhadap penurunan harga ikan sebesar 15 % dari harga ikan Rp. 8.000 menjadi
101
Rp 6.800 pada unit penangkapan jaring insang hanyut menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin tidak layak untuk dilakukan dan dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,99 berarti usaha ini tidak memberikan manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan 14,80 % berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan jaring insang hanyut tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat penurunan harga ikan sebesar 15 %. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diperoleh nilai untuk kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 93 % dan penurunan harga ikan sebesar 18,5 % pada bagan tancap. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga solar dan minyak tanah maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 93 % dari harga solar Rp. 5.000 menjadi Rp 9.650 dan minyak tanah Rp. 3.000 menjadi Rp. 5.790 pada unit penangkapan bagan tancap menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan bagan tancap
di
Kabupaten
Banyuasin
tidak
layak
untuk
dilakukan
dan
dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,995 berarti usaha ini tidak memberikan manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan 14,83 % berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan bagan tancap tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 93 %. Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga solar dan minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai NPV sebesar Rp. 214.825.734 dari 214.477.312 setelah mengalami kenaikan solar dan minyak tanah menjadi Rp (348.422), menunjukkan bahwa net benefit yang akan diperoleh pada akhir tahun proyek yang dihitung pada akhir tahun proyek dihitung berdasarkan nilai saat ini mengalami penurunan sebesar Rp. 214.825.734. Net B/C sebesar 2,95 dari
102
biaya yang dikeluarkan oleh nelayan bagan tancap. Nilai IRR menjadi 14,83 % menyebabkan keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan bagan tancap tersebut berkurang sebesar 68,04 % dari investasi yang ditanamkan nelayan setelah terjadinya kenaikan harga solar dan minyak tanah. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diperoleh nilai untuk penurunan harga ikan sebesar 18,5 % pada bagan tancap. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga ikan, maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Perhitungan analisis sensitivitas terhadap penurunan harga ikan sebesar 18,5 % dari harga ikan Rp. 8.000 menjadi Rp 6.520 pada unit penangkapan bagan tancap menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan bagan tancap
di
Kabupaten
Banyuasin
tidak
layak
untuk
dilakukan
dan
dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,99 berarti usaha ini tidak memberikan manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan 14,96 % berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan bagan tancap tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat penurunan harga ikan sebesar 14,96 %. 7.3 Optimasi Alokasi Armada Penangkapan Ikan Pelagis Untuk mencapai hasil yang optimal baik dari aspek biologi maupun ekonomi maka dilakukan optimasi untuk menentukan alokasi alat tangkap yang optimum digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan pelagis di Sungsang. Tujuan dari alokasi unit penangkapan ikan ini untuk mengatur komposisi masing-masing alat tangkap yang layak untuk dikembangkan di Sungsang. Alokasi jumlah unit penangkapan rawai hanyut yang optimum di Sungsang adalah sebanyak 51 unit. Jumlah tersebut mengalami penambahan sebanyak 31 unit dari jumlah yang ada sekarang yaitu sebanyak 20 unit. Hal ini juga menununjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah unit penangkapan. Sedangkan jumlah alat tangkap jaring insang hanyut yang ada di Kabupaten Sungsang adalah 90 unit maka dilakukan pembatasan sebesar 45 unit dan alat tangkap bagan tancap yang ada dewasa ini sebesar 110 unit dialokasikan menjadi 55 unit hal ini dilakukan untuk mentransfer teknologi secara bertahap
103
alat penangkapan ikan dari alat yang ada ke alat penangkapan ikan yang baik. Selain penambahan jumlah armada, yang seharusnya dilakukan adalah dengan memperluas jangkauan kapal dan memperbaiki struktur usaha melalui peningkatan sumberdaya manusia (SDM) serta dengan jumlah nelayan atau tenaga kerja yang terlalu banyak harus dilakukan reposisi atau beralih profesi seperti budidaya laut, pengolahan ikan dikarenakan jumlah nelayan yang banyak sedangkan areal penangkapan yang kecil dan sumberdaya ikan yang hampir habis (overfishing). Memang dalam usaha yang baru ini akan dibutuhkan selain modal investasi dan kerja adalah keterampilan nelayan. Untuk mengatasi kebutuhan modal, nelayan dapat memperoleh dari hasil penjualan kapal dan alat tangkapnya. Agar mereka lebih kuat dalam permodalan, mereka dapat berkelompok membentuk kelompok usaha bersama. Sebagai konsekuensi kebijakan tersebut, pemerintah juga perlu memberikan kredit usaha kepada nelayan. 7.4 Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap Hasil SWOT (Tabel 37) dapat dipergunakan sebagai arahan dan kebijakan dari program pengembangan perikanan sebagai teknologi baru dalam usaha perikanan pelagis. Urutan kebijakan berdasarkan hasil SWOT sebagai berikut : 1. Optimalisasi usaha perikanan pelagis. Meningkatnya kebutuhan dan harga pasar yang tiap tahun terus meningkat merupakan salah satu alasan nelayan untuk terus mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis yang ada di Kabupaten Banyuasin khususnya oleh nelayan Sungsang. Menurut hasil survei perikanan di kawasan pesisir Kabupaten Banyuasin estimasi potensi perikanan laut di wilayah ini bisa mencapai 102.300 ton/tahun dengan jumlah ikan pelagis 60.000 ton/tahun, ikan demersal 35.300 ton/tahun, untuk meningkatkan produksi perikanan pelagis di Sungsang maka teknologi pilihan rawai hanyut perlu dikembangkan agar kedepannya nelayan Sungsang jauh lebih baik dalam hal penguasaan teknologi maupun tingkat kesejahteraan ekonomi nelayan. Pengoptimalan perikanan yang dimaksud
adalah
peningkatan
produksi
secara
rasional
dengan
memperhatikan sumberdaya pelagis yang ada. Pemanfaatan sumberdaya
104
ikan yang belum optimal di wilayah ini salah satunya disebabkan karena skala usaha yang dikembangkan masih terbatas untuk pemenuhan kebutuhan lokal. Pemikiran untuk mengembangkan skala usaha dan melakukan bisnis dalam arti luas, belum banyak dipikirkan nelayan. Oleh karena itu diperlukan adanya pendampingan oleh pemerintah, LSM, swasta dan perguruan tinggi, baik dalam bentuk bantuan ataupun dalam bentuk kemitraan yang saling menguntungkan. Prinsip dari pengoptimalan dengan memperhatikan sumberdaya adalah tetap
memperhatikan
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
karena
keterpaduan dalam pengelolaan bukan hanya dapat melindungi keberadaan sumberdayanya saja tetapi juga dapat menjamin kelangsungan usaha masyarakat nelayan akhirnya menjamin kesejahteraan masyarakat nelayan. Mencegah terjadinya penurunan stok dan meningkatkan usaha-usaha dalam perbaikan lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengendalikan jumlah dan kemampuan armada yang beroperasi di wilayah perairan yang bersangkutan, karena peningkatan jumlah armada rawai hanyut yang tidak terkendali dapat secara cepat menurunkan catch per unit effort (CPUE), yang dapat berdampak lanjut pada penurunan pendapatan nelayan, analisis ini didukung oleh hasil penelitian di perairan Australia oleh Lynch dan Garvey (2005). Untuk mempertahankan stok ikan dan hasil tangkapan juga diperlukan pembenahan perundangan dan regulasi di samping penerapan, pemantauan, pengawasan dan pengendalian yang benar (Priyono dan Sumiono 1997). Murdiyanto (2004) menyebutkan bahwa dalam perikanan tangkap, tindakan pengelolaan (action) sebagai mekanisme untuk mengatur, mengendalikan dan mempertahankan kondisi sumberdaya ikan berupa biomass dan produktivitas agar tetap pada level yang diinginkan adalah dengan mengatur berapa banyak ikan yang harus ditangkap, ukuran berapa atau umur berapa sebaiknya ikan ditangkap dan kapan harus melakukan penangkapan. Pemanfaatan rawai hanyut dalam operasi penangkapan sumberdaya
ikan
pelagis
akan
sangat
menentukan
pembangunan kelautan di sub sektor perikanan tangkap.
keberlanjutan
105
2. Pengembangan usaha perikanan pelagis di jalur 2. Pengembangan perikanan pelagis di jalur 2 diharapkan nelayan dapat memanfaatkan jalur 2 (6-12 mil) karena keadaan di jalur 1 (3-6 mil) yang padat tangkap. Karena sumberdaya ikan di jalur 1 sudah mengalami degradasi maka disarankan melakukan pengembangan ikan pelagis di jalur 2 yang belum dimanfaatkan secara optimal dengan cara memberikan bantuan modal untuk peningkatan skala usaha. Berdasarkan model pengelolaan in-shore dan off-shore, alokasi potensi biomassa optimal pada perairan pantai (in-shore) adalah 180 ton/tahun sedangkan pada perairan lepas pantai (off-shore) sebesar 771 ton/tahun. Sehingga memungkinkan untuk dikembangkan di jalur 2. Penggunaan trawl sering dipakai oleh nelayan yang berasal dari daerah Jambi dan Pulau Karimun yang sering beroperasi di daerah ini. Pemakaian alat tangkap trawl ini sangat meresahkan para nelayan lokal karena menurunkan produksi ikan nelayan. Jaring trawl ini dioperasikan dengan menggunakan kapal besar dan sering beroperasi sampai ke pinggir pantai bahkan ke muara sungai, akibatnya nelayan lokal yang menggunakan jenis kapal dan perahu yang berukuran kecil dan menangkap ikan di bagian pantai dan muara-muara sungai menjadi terganggu. Oleh karena itu Pemerintah harus melakukan pengaturan, pengendalian, dan penerbitan perijinan di bidang perikanan sesuai dengan UU No. 31/2004 tentang perikanan dan peraturan ketentuan lainnya yang berlaku. Sebagaimana disebutkan oleh Kusumastanto (2002) bahwa pada era reformasi seperti saat ini dalam merumuskan kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan pengamanan perairan laut Indonesia melalui pendekatan hukum yang kuat,
yaitu
pengaturan
penggunaan
alat
tangkap
pukat
harimau,
meningkatkan kemampuan pengawasan dengan sanksi yang keras, mengatur penangkapan ikan sesuai dengan karakteristik dan kelestarian sumberdayanya (daerah operasi penangkapan, musim, ukuran kapal) dan manfaatnya harus untuk rakyat kecil dan masyarakat lokal. 3. Peningkatan manajemen usaha perikanan pelagis. Peningkatan usaha ini mencakup proses pra-proses-pasca penangkapan. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuasin terus mengupayakan meningkatkan
106
kualitas sumberdaya nelayan dengan berbagai program antara lain : bimbingan teknologi pengawetan/pengolahan ikan, bantuan kredit modal usaha untuk pengolahan hasil perikanan, bantuan sarana dan prasarana penunjang kegiatan penanganan dan pengolahan hasil perikanan dan melakukan promosi hasil produksi pengolahan ikan. Karena nelayan sebagai pelaku langsung perikanan di lapangan perlu dikembangkan kemampuan dan keterampilannya, baik dari segi kewirausahaan maupun teknis penangkapan. Rendahnya kapasitas sumberdaya manusia di wilayah pesisir Kabupaten Banyuasin dikarenakan beberapa hal, diantaranya tingkat pendidikan yang rendah, penguasaan IPTEK yang rendah, rendahnya kemampuan manajerial serta keterbatasan teknologi yang digunakan. Kemampuan SDM nelayan yang rendah baik keterampilan, penguasaan teknologi, pola pikir dan lainlain menyebabkan hampir statisnya kegiatan penangkapan yang mereka lakukan. Hasil tangkapan tetap dan cenderung menurun akibat kerusakan lingkungan karena daerah tangkapan yang ada di wilayah ini terus menjadi lahan tangkapan bagi semua orang. Keinginan untuk maju dan berkembang banyak dimiliki, akan tetapi pola pikir dan kemampuan serta pengetahuan mereka belum mampu mencari solusi yang terbaik. Pembinaan pengamanan mutu hasil tangkapan tidak hanya ditentukan oleh satu mata rantai produksi, namun dari kegiatan penangkapan, penampungan hingga pemasaran berpotensi untuk menurunkan kualitas hasil tangkapan. Sejalan dengan perkembangan IPTEK dan pertumbuhan ekonomi, tuntutan konsumen terhadap produk perikanan semakin meningkat. Masalah yang dihadapi oleh nelayan pelagis adalah kurangnya kesadaran bahwa mengolah hasil tangkapan dengan baik adalah hal yang sangat penting untuk meningkatkan nilai jual dari hasil tangkapan. Oleh karena itu diperlukan pembinaan nelayan, pengumpul dan pengolah/ perusahaan perikanan oleh pihak Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuasin dan stakeholder yang terkait. Mekanismenya dapat dilakukan dengan membuat standard kualitas produk serta merancang program-program pembinaan mutu kepada nelayan maupun pengumpul sebagai mitra usaha.
107
Pengembangan usaha perikanan di jalur 2 membutuhkan modal untuk peningkatan kekuatan mesin kapal dan operasional yang tinggi dan masalah ketergantungan pada tengkulak merupakan masalah serius yang selama ini dihadapi oleh para nelayan di Sungsang. Adanya ketergantungan tersebut mengakibatkan pendapatan para nelayan tidak maksimal, karena mereka diharuskan menjual hasil tangkapannya kepada pedagang ikan dengan harga yang ditentukan sepihak. Ketergantungan ini terjadi bukan karena keinginan para nelayan, tetapi akibat keterbatasan modal untuk pengadaan peralatan tangkap maupun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang memaksa mereka harus meminjam kepada para tengkulak. Kondisi ini akan terus berlanjut dan akan menjadi “lingkaran setan” yang akan terusmenerus menelikung para nelayan pada situasi yang tidak berdaya sampai ada alternatif lain yang bisa membantu mereka untuk memberikan pinjaman modal untuk pengadaan alat tangkap dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari mereka ketika musim paceklik. 4. Peningkatan skala usaha armada penangkapan ikan pelagis. Besarnya jumlah armada di jalur 1 (3 - 6 mil) dan rendahnya kekuatan mesin kapal untuk memanfaatkan jalur 2 (6 - 12 mil), maka diharapkan dengan mengembangkan armada penangkapan di jalur 2 (6 - 12 mil) dapat dimanfaatkan. Rawai hanyut merupakan jenis alat tangkap yang statis tetapi fishing ground yang jauh memerlukan peningkatan skala usaha armada penangkapan. Peningkatan skala usaha armada penangkapan disini adalah meningkatkan kekuatan mesin yaitu minimal 30 PK dengan ukuran kapal 30 GT karena selama ini nelayan rawai hanyut masih menggunakan armada dengan kekuatan mesin 24 PK dengan ukuran kapal < 10GT. Peningkatan skala usaha armada diharapkan dapat mengatasi masalah kekurangan produksi yang ada sekarang. Dengan menambah skala armada maka perlu diperhatikan pula perizinan kapal karena kapal diatas 30 GT harus memiliki Surat Izin Berlayar dari pusat. Pengembangan kegiatan perikanan tangkap harus diarahkan pada peningkatan kapasitas armada dan teknologi penangkapan untuk dapat mencapai fishing ground yang lebih jauh dalam rangka mengurangi tekanan stok di perairan fishing ground
108
yang ada sekarang, untuk itu perlu didukung penyediaan sarana dan prasarana tangkap serta peningkatan teknologi penanganan dan pengolahan hasil perikanan (Nikijuluw et al. 2003). Bantuan upaya peningkatan skala armada terus diupayakan baik dari pusat maupun dari provinsi. Seperti program Direktorat Kapal dan Alat Penangkapan Ikan yaitu program optimalisasi perikanan tangkap adalah dengan memberikan bantuan kapal dengan ukuran > 15 GT dan juga alat tangkap. Demikian juga dari Provinsi Sumatera Selatan memiliki program optimalisasi usaha perikanan tangkap yang juga memberikan bantuan berupa armada penangkapan dan alat tangkap. Oleh karena itu peran aktif dari
Dinas
Kelautan
dan
Perikanan
Kabupaten
Banyuasin
untuk
mendapatkan bantuan diatas harus terus ditingkatkan. 5. Pembenahan fasilitas sarana dan prasarana perikanan. Perkembangan aktivitas penangkapan ikan telah menyebabkan makin banyaknya usaha perikanan. Armada yang digunakan oleh nelayan pada umumnya berupa kapal motor dan perahu. Sebagian besar dari armada ini terdapat di Kecamatan Banyuasin II yaitu mencapai 90,9 % dari armada yang ada dan 86,4 % dari armada yang ada berupa perahu. Dari kondisi ini sangat jelas bahwa armada yang ada di wilayah ini masih sangat kurang dan harus ditingkatkan lagi. Disamping keterbatasan armada, di wilayah pesisir Kabupaten Banyuasin ini belum ada galangan kapal, pasar ikan atau TPI yang dapat dimanfaatkan nelayan untuk menjual hasil tangkapannya. Pengembangan
sarana
dan
prasarana
perikanan
diarahkan
untuk
melengkapi dan meningkatkan fasilitas dasar, fungsional dan pengadaan fasilitas penunjang. Pengembangan sarana dan prasarana perikanan dilakukan secara komprehensif dan bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan pemerintah Kabupaten dan sesuai dengan skala kebutuhan masyarakat. Pembangunan sarana dan prasarana akan sangat membantu percepatan perkembangan wilayah Kabupaten Banyuasin. Pemerintah berjanji untuk memenuhi fasilitas-fasilitas yang menunjang kelancaran usaha perikanan melalui proyek pengembangan yang dilaksanakan tahun 2006 dengan sumber dana yang digunakan berasal dari Anggaran
109
pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlah dana yang turun untuk proyek pengembangan tersebut adalah sebesar Rp. 2.744.228.438 atau 84,8 %. Kegiatan pengembangan PPI Sungsang dilakukan pada areal seluas 4 ha dan ditambah areal pendukung kegiatan perikanan tangkap yang ada. Rencana pengembangan PPI di Sungsang dengan melengkapi fasilitasfasilitas guna menunjang kelancaran usaha perikanan, industri perikanan dan kegiatan atau usaha lain yang berkaitan dengan perikanan. Fasilitas tersebut dibagi dua yaitu fasilitas dasar yang merupakan fasilitas pokok yang harus ada dan berfungsi untuk melindungi pelabuhan dari gangguan alam. Fasilitas dasar ini meliputi : dermaga bongkar, dermaga muat, dermaga tambat, areal daratan pangkalan pendaratan, jaringan jalan, jaringan drainase induk dan sekunder. Fasilitas fungsional yang berfungsi memberikan pelayanan dan manfaat langsung yang diperlukan untuk kegiatan operasional suatu PPI, fasilitas fungsional ini terdiri dari : fasilitas produksi yaitu tempat pelelangan ikan beserta fasilitas penunjangnya seperti kantor, ruang penimbangan, gudang dan tempat perbekalan dan toilet umum, fasilitas perbekalan terdiri dari : pabrik es (rencana jangka panjang), tangki BBM, instalasi air bersih, gudang untuk penyimpanan es dan kios KUD dan fasilitas pemeliharaan/perbaikan (rencana jangka panjang) terdiri dari : gudang peralatan, bengkel, pelataran perbaikan mesin dan alat tangkap dan dok/galangan kapal. Sampai saat ini fasilitas-fasilitas jangka pendek baru sebagian kecil terealisasi dan fasilitas jangka panjang belum terealisasi pengadaannya. Guna menunjang pengembangan usaha perikanan pelagis, fasilitas yang paling penting untuk segera direalisasikan penggunaannya adalah kios BBM, air bersih dan derma bongkar muat.
8
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah : (1) Teknologi penangkapan ikan pelagis yang efektif, efisien dan berkelanjutan berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan adalah rawai hanyut. (2) Alokasi jumlah unit penangkapan optimum untuk memanfaatkan potensi sumberdaya ikan pelagis di Sungsang adalah rawai hanyut sebesar 51 unit dan jaring insang hanyut sebanyak 45 unit dan bagan tancap sebanyak 55 unit. (3) Strategi pengembangan alat tangkap ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin adalah : 1) Optimalisasi usaha perikanan pelagis dengan rawai hanyut: 2) Pengembangan usaha perikanan pelagis di jalur 2; 3) Peningkatan manajemen usaha perikanan pelagis dan Pembenahan fasilitas sarana dan prasarana perikanan; dan 4) Peningkatan skala usaha armada penangkapan rawai hanyut. 8.2 Saran (1) Evaluasi lanjutan tentang potensi sumberdaya ikan pelagis yang ada di perairan Kabupaten Banyuasin secara lebih detail dan komprehensif. (2) Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pola musim penangkapan setiap spesies ikan di perairan Sungsang. (3) Perlu pengembangan yang lebih spesifik terhadap alat tangkap pilihan sehingga menjadi unit penangkapan ikan yang berdayaguna dan berhasil guna. (4) Perlu segera menyusun Rencana Pengelolaan Perikanan di perairan Kabupaten Banyuasin.
DAFTAR PUSTAKA Ayodhyoa, A.U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Hlm 81. Badrudin, Sumiono, B. 2002. Indeks Kelimpahan Stok dan Proporsi Udang dalam Komunitas Sumberdaya Demersal di Perairan Kepulauan Aru, Laut Arafura. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Volume 8:95 – 100. Bahari, R. 1989. Peran Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Tangkap. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Rakyat: Jakarta 18-19 Desember 1991. Pusat Penelitian Perikanan dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Hlm 165 – 180. Balai Penelitian Perikanan Laut. 1992. Ikan-ikan Laut Ekonomis Penting Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.. Hlm 170. Barani, H.M. 2003. Kebijakan Perikanan Tangkap Dalam Pemanfaaatan Sumberdaya Perikanan (Makalah Seminar Nasional Perikanan ”Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Bertanggung Jawab dan Berbasis Masyarakat”, ( September 2003, Universitas Hasanuddin). Makassar. Hlm 10. Cholik dan Budihardjo, 1993. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I, Bidang Sumberdaya Perikanan dan Penangkapan. Puslitbang Perikanan-ISPIKANI. Jakarta. Hlm 120. Dinas Perikanan dan Kelautan. 2006. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuasin. Kabupaten Banyuasin. Propinsi Sumatera Selatan. Hlm 164. Direktorat Jenderal Perikanan. 1997. Buku Pedoman Pengenalan Sumberdaya Perikanan Laut. Bagian I. Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting. Departemen Pertanian. Jakarta. Hlm 64. Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan (PROTEKAN). Dirjen Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta. Eddrisea, F. 2004. Kajian Potensi Kawasan Pesisir Untuk Pengembangan Kegiatan Perikanan di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Thesis (tidak dipublikasikan). Hlm 168. FAO. 1986. Distribution and Important Biological Features of The Coastal Fish
112
Resources in South Asia. FAO. Fisheries Technical Paper. FAO-UN: Vol 2:1-42 FAO. 1997. Fisheries Management. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 4. Rome. 45 p. Fridman, A.L. 1986. Calculation for Fishing Gear Design. P.J.G. Carrothers and Eng, P. (eds). Published by FAO. Fishing News Books. Ltd. Pg 183-203. Gaspersz, V. 1996. Analisis Sistem Terapan Berdasarkan Pendekatan Teknik Industri. Bandung: Tarsito. Hlm 669. Gordon, H.S. 1954. The Economic Theory of a Common Property Resources: the Fishery. Journal of Political Economy 62:124-142. Gulland, J.A. 1997. Fish Population Dynamic The Implication Management A Willey-Interscience Organization of The United Nation. Rome. 82 p. Haluan, J. 1985. Proses Optimasi dalam Operasi Penangkapan Ikan. Pedoman Kuliah Metode Penangkapan Ikan II. Bagian Pertama. Sistem Pendidikan Jarak Jauh Melalui Satelit Sisdiksat Intim. Hlm 55. Iqbal, M dan Wardoyo, S.A. 2003. Jenis-jenis Ikan di Perairan Estuaria Taman Nasional Sembilang. Jurnal Ilmu-ilmu Perikanan dan Budidaya Perairan. Volume 1:29 – 38. Kadariah. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm 104. Kadariah, L. Karlina, dan Grey, C. 1981. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta. Hlm 181. Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek. Analisis Ekonomi, Edisi Kedua. Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm 181. King, M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Fishing News Book Ltd., Farnham. Kusumastanto, T. 2002. Reposisi “Ocean Policy” dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Makalah Orasi Ilmiah Guru Besar Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hlm 134. Lawson, R. M. 1984. Economic of Fisheries Development. Praeger Publication, New York. Lelono, T.J. 1997. Dinamika Populasi Ikan Tembang (Sardinella fimbriata Val, 1847). dan Alternatif Pengelolaan pada Alat Tangkap Purse Seine di Perairan Selat Madura. Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.
113
Jogyakarta. 1997. Thesis (tidak dipublikasikan). Hlm 91. Lynch, A.W. dan Garvey, J.R. 2005. North West Slope Trawl Fishery-Scampi Stock Assessment 2004. Data Group. Canberra. Australia Fisheries Management Authority. 43 p. Mangkusubroto, K. Dan Trisnadi, C. L. 1985. Analisa Keputusan Pendekatan Sistem dalam Manajemen Usaha dan Proyek. Ganeca Exact. Bandung. Hlm 271. Maunder, M.N. 2002. The Relationship Between Fishing Methods, Fisheries Management and The Estimation of Maximum Suistainable Yield. Fish and Fisheries Vol. 3:251 - 260. Monintja, D.R., Pasaribu, B.P. dan Jaya, I. 1986. Manajemen Penangkapan Ikan. SISDIKSAT BKS INTIM-IPB-AUSAID/AED, Bogor. Monintja D.R. 1994. Pengembangan Perikanan Tangkap Berwawasan Lingkungan. Makalah Disampaikan pada Seminar Pengembangan Agribisnis Perikanan Berwawasan Lingkungan pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Agustus 1994. Jakarta. Hlm 12. Monintja, D.R. 2000. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 156 hal. Mukhsin, I. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Hayati Pesisir dan Laut. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hlm 80. Mulyono, S. 1991. Operations Research. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Hlm 247. Murdiyanto, B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Jakarta. COFISH Project. Hlm 200. Muthalib, A.A. 1992. Studi Usaha Penangkapan pada Perikanan Rakyat di Sub Wilayah Pembangunan III, Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara. Thesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana UNHAS, Makassar. Najamuddin. 2004. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus spp) Berkelanjutan di Perairan Selat Makassar. Disertasi (tidak dipublikasikan).. Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar. Hlm 263. Najamuddin. 2006. Analisis Ukuran Mata Jaring Minimum Alat Penangkap Ikan
114
Layang Deles (Decapterus macrosoma Bleeker) di Perairan Selat Makassar, Sulawesi Selatan. Jurnal Kopertis. Vol 1:13. Nikijuluw, V.P.H. Bengen, D.G. dan Rifqi, M. 2003. Guidelines and Strategy for The Development of Coastal Fisheries in The District of Padang Pariaman. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. 9:75 – 103. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Hlm 386. Nybakken, J.W. 1989. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta. Hlm 488. Panayotou, T. 1986. Small Scale Fisheries in Asia. Sosio Economic Analysis Policy: Hlm 283. Priyono, B.E. dan Sumiono. 1997. The Marine Fisheries of Indonesia, with Emphasis on The Coastal Demersal Stocks of The Sunda Shelf, p 38 – 46. In G. Silvestre and D Pauly (eds.) Status and Management of Tropical Coastal Fisheries in Asia. ICLARM Conf. Proc. 53, 208 p. Purwanto. 1990. Bioekonomi Perubahan Teknologi Penangkapan Ikan. Oseana Vol. XV: 115 – 126. Rangkuti, F. 2001. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis-Reorentasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hlm 18-35. Rosa, H and T. Laevastu. 1959. Comparison of Biological and Ecological Characteristics of Sardins and Related Species – A Preliminary Study. Proceding of The World Scientific Meeting on The Biology of Sardins and Related Species II (1): 523-552. Saanin, H. 1994. Taksanomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Penerbit Bina Cipta. Bandung. Hlm 85. Sadhori, N. 1985. Tehnik Penangkapan Ikan. Penerbit Angkasa. Bandung. Hlm 13-23. Sainsbury, J.C, 1999. Commercial Fishing Methods, An Introduction to Vessels and Gears. Third Edition England : Fishing News Book. Ltd.p.235-255. Samuel. 2003. Composition of Species Caught by Some Fishing Gears in The Middle Part of Musi River Basins. Jurnal Ilmu-ilmu Perikanan dan Budidaya Perairan Indonesia, Volume 1:89-100. Schaefer, M.B. 1954. Some Aspects of The Dynamics of Populations Important to the Management of Commercial Marine Fisheries. Bulletin of the InterAmerican Tropical Tuna Commission: 25-56. Siswanto, 1993. Goal Programming dengan menggunakan LINDO. PT Elex
115
Media Komputindo Kelompok Gramedia Jakarta. Hlm 242. Soekartawi, 1995. Programasi Tujuan Ganda Teori dan Aplikasinya. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. 1995. Hlm 234. Soekartawi, 2002. Analisa Usaha Tani. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Hlm 110. Solahudin, S. 1998. Kebijaksanaan dan Strategi Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri sebagai Pemacu Pertumbuhan Ekonomi Nasional. Makalah Seminar dan Dialog Kebangkitan Agribisnis Indonesia. Badan Promosi dan Pengembangan Agribisnis Indonesia, Jakarta. Stevenson, W.J. 1989. Introduction to Management Science. Homewood. Boston. Supranto, 1987. Riset Operasi Untuk Pengambilan Keputusan. Jakarta: UI Press. Hlm 199. Syafrin N. 1993. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan (tidak dipublikasikan). Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Hlm 79. Whitehead, P.J.P. 1985. FAO Species Catalogue. Vol. 7. Clupeoid Fishes of The World (Suborder Clupeoidae). An Annotated and Illustrated Catalogue of The Herrings, Sardines, Pilchards, Sprats, Shads, Anchovies and WolfHerrings. Part I. Chirocentridae, Clupeidae and Pristigasteridae. FAO Fish. Synop., (125) Vol.7. Pt.1:303 pp. Widodo, J. Naamin, N. dan Azis, K.A. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan laut di Perairan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI. Jakarta. Wiyono, E.S. 2001. Optimasi Manajemen Perikanan Skala Kecil di Teluk Pelabuhanratu, Jawa Barat. Buletin PSP. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Vol. X:33 - 47. Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of The Sotheast Asian Waters, Naga Report Vol. 2. The University of California, Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, California. Yusfiandayani, R. 2004. Studi Tentang Mekanisme Berkumpulnya Ikan Pelagis Kecil di Sekitar Rumpon dan Pengembangan Perikanan di Perairan Pasauran Propinsi Banten. Disertasi (tidak dipublikasikan) Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hlm 231.
118
Lampiran 3 Analisis usaha unit penangkapan rawai hanyut No
Uraian
A.
Investasi
1
Kapal
2
Mesin Kapal
3
Alat Tangkap (tali utam a)
4
Mata pancing No.7
Biaya
20,000,000.00 5,000,000.00
Total Investasi
1 2,000,000.00 8,925,000.00 45,925,000.00
B.
Biaya
I.
Biaya Tetap (fixed cos t )
1
Penyusutan kapal
2
Penyusutan m esin
3
Penyusutan alat tangkap
2,400,000.00
4
Mata pancing no.7
8,925,000.00
5
Perawatan kapal
1 ,500,000.00
6
Perawatan m esin
2,000,000.00
7
Perawatan alat tangkap Total Biaya Tetap (fixed cost)
2,000,000.00 833,333.33
600,000.00 1 8,258,333.33
II.
BiayaTidak Tetap (variable cost)
1
Solar
2
Minyak tanah
3
O li
2,970,000.00
4
Es
3,960,000.00
5
Konsum si
3,960,000.00
6
Upah ABK
1 5,840,000.00
1 4,850,000.00
Total Biaya Tidak Tetap (variable cos t ) Total Biaya C.
42,1 74,000.00 60,432,333.33
Penerim aan (revenue) Hasil tangkapan Total Penerim aan (revenue)
D.
594,000.00
79,200,000.00 79,200,000.00
Analisis Pendapatan Usaha (Rawai Hanyut) Total Penerim aan (TR)
79,200,000.00
Total Biaya (TC)
60,432,333.33
Investasi
45,925,000.00
Keuntungan (TR-TC)
1 8,767,666.67
R/C (TR/TC)
1 .31
ROI (keuntungan/investasi x 1 00% )
41 %
BEP (Kg)
23,669.85
BEP (Rp)
39,055,258.47
119
Lampiran 4 Biaya operasional unit penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006 No
Jenis Biaya
Tahun Proyek 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Perawatan kapal
0
1 ,500,000
1 ,575,000
1 ,653,750
1 ,736,438
1 ,823,259
1 ,91 4,422
2,01 0,1 43
2,1 1 0,651
2,21 6,1 83
2,326,992
2
Perawatan m esin
0
2,000,000
2,1 00,000
2,205,000
2,31 5,250
2,431 ,01 3
2,552,563
2,680,1 91
2,81 4,201
2,954,91 1
3,1 02,656
3
Perawatan alat tangkap
0
600,000
630,000
661 ,500
694,575
729,304
765,769
804,057
844,260
886,473
930,797
4
Solar
0
1 4,850,000
1 5,592,500
1 6,335,000
1 7,077,500
1 7,820,000
1 8,562,500
1 9,305,000
20,047,500
20,790,000
21 ,532,500
5
Minyak tanah
0
594,000
623,700
653,400
683,1 00
71 2,800
742,500
772,200
801 ,900
831 ,600
861 ,300
6
Oli
0
2,970,000
3,1 1 8,500
3,267,000
3,41 5,500
3,564,000
3,71 2,500
3,861 ,000
4,009,500
4,1 58,000
4,306,500
7
Es
0
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
8
Konsum si
0
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
9
Upah ABK
0
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
46,274,000
47,399,700
48,535,650
49,682,363
50,840,376
52,01 0,254
53,1 92,592
54,388,01 2
55,597,1 67
56,820,746
Total
Keterangan: a) kebutuhan solar dan minyak tanah diperkirakan meningkat sebesar 5% per tahun b) kebutuhan oli diperkirakan meningkat sebesar 5% per tahun c) biaya perawatan kapal, mesin dan alat tangkap diperkirakan meningkat sebesar 5% per tahun
120
Lampiran 5 Perkiraan cash flow unit penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin No
Tahun Proyek
Uraian 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
A
Arus m asuk
1
Nilai penerim aan
0
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
2
Nilai Sisa
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 ,666,667
0
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
80,866,667
Total Arus m asuk B
Arus keluar
1
Investasi
2
Kapal
20,000,000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mesin
5,000,000
-
-
-
-
-
-
5,000,000
-
-
-
Alat tangkap
1 2,000,000
-
-
-
-
-
1 2,000,000
-
-
-
-
Mata pancing
8,925,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
-
46,274,000
47,399,700
48,535,650
49,682,363
50,840,376
52,01 0,254
53,1 92,592
54,388,01 2
55,597,1 67
56,820,746
45,925,000
53,699,000
54,824,700
55,960,650
57,1 07,363
58,265,376
71 ,435,254
65,61 7,592
61 ,81 3,01 2
63,022,1 67
64,245,746
(45,925,000)
25,501 ,000
24,375,300
23,239,350
22,092,638
20,934,624
7,764,746
1 3,582,408
1 7,386,988
1 6,1 77,833
1 6,620,921
0.87
0.76
0.66
0.57
0.50
0.43
0.38
0.33
0.28
0.25
22,1 74,783
1 8,431 ,229
1 5,280,250
1 2,631 ,537
1 0,408,208
3,356,91 4
5,1 06,1 30
5,683,837
4,598,750
4,1 08,437
Biaya operasional Total Arus Keluar
Analisis Kriteria Investasi Net Benefit DF saat I=1 5% PV NPV
1 (45,925,000) 55,855,075
Net B/C
2.22
IRR
48%
121
Lampiran 6 Sensitivitas kenaikan solar dan minyak tanah (72,15%) terhadap biaya operasional unit penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006 No
Jenis Biaya
Tahun Proyek 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Perawatan kapal
0
1 ,500,000
1 ,575,000
1 ,653,750
1 ,736,438
1 ,823,259
1 ,91 4,422
2,01 0,1 43
2,1 1 0,651
2,21 6,1 83
2,326,992
2
Perawatan m esin
0
2,000,000
2,1 00,000
2,205,000
2,31 5,250
2,431 ,01 3
2,552,563
2,680,1 91
2,81 4,201
2,954,91 1
3,1 02,656
3
Perawatan alat tangkap
0
600,000
630,000
661 ,500
694,575
729,304
765,769
804,057
844,260
886,473
930,797
4
Solar
0
25,564,275
26,306,775
27,049,275
27,791 ,775
28,534,275
29,276,775
30,01 9,275
30,761 ,775
31 ,504,275
32,246,775
5
Minyak tanah
0
1 ,022,571
1 ,052,271
1 ,081 ,971
1 ,1 1 1 ,671
1 ,1 41 ,371
1 ,1 71 ,071
1 ,200,771
1 ,230,471
1 ,260,1 71
1 ,289,871
6
Oli
0
2,970,000
3,1 1 8,500
3,267,000
3,41 5,500
3,564,000
3,71 2,500
3,861 ,000
4,009,500
4,1 58,000
4,306,500
7
Es
0
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
8
Konsumsi
0
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
3,960,000
9
Upah ABK
0
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
1 5,840,000
57,41 6,846
58,542,546
59,678,496
60,825,209
61 ,983,222
63,1 53,1 00
64,335,438
65,530,858
66,740,01 3
67,963,592
Total
122
Lampiran 7 Sensitivitas kenaikan harga solar dan minyak tanah (72,15%) terhadap perkiraan cash flow unit penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin No
Uraian
Tahun Proyek 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
A
Arus m asuk
1
Nilai penerim aan
0
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
2
Nilai Sisa
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 ,666,667
0
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
79,200,000
80,866,667
Total Arus m asuk B
Arus keluar
1
Investasi Kapal
20,000,000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mesin
5,000,000
-
-
-
-
-
-
5,000,000
-
-
-
Alat tangkap Mata pancing 2
Biaya operasional Total Arus Keluar
1 2,000,000
-
-
-
-
-
1 2,000,000
-
-
-
-
8,925,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
-
57,41 6,846
58,542,546
59,678,496
60,825,209
61 ,983,222
63,1 53,1 00
64,335,438
65,530,858
66,740,01 3
67,963,592
45,925,000
64,841 ,846
65,967,546
67,1 03,496
68,250,209
69,408,222
82,578,1 00
76,760,438
72,955,858
74,1 65,01 3
75,388,592
(45,925,000)
1 4,358,1 54
1 3,232,454
1 2,096,504
1 0,949,792
9,791 ,778
(3,378,1 00)
2,439,562
6,244,1 42
5,034,987
5,478,075
0.87
0.76
0.66
0.57
0.50
0.38
0.33
0.28
0.25
1 2,485,351
1 0,005,636
7,953,648
6,260,579
4,868,244
91 7,1 22
2,041 ,221
1 ,431 ,257
1 ,354,096
Analisis Kriteria Investasi Net Benefit DF saat I=1 5% PV NPV Net B/C IRR
1 .00 (45,925,000) (68,291 ) 0.9985 1 4.95%
0.43 (1 ,460,446)
123
Lampiran 8 Sensitivitas penurunan harga ikan (14,15%) terhadap perkiraan cash flow unit penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin No
Uraian
0
1
2
3
Tahun Proyek 5
4
6
7
8
9
10
A
Arus m asuk
1
Nilai penerim aan
0
67,993,200
67,993,200
67,993,200
67,993,200
67,993,200
67,993,200
67,993,200
67,993,200
67,993,200
67,993,200
2
Nilai Sisa
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 ,666,667
0
67,993,200
67,993,200
67,993,200
67,993,200
67,993,200
67,993,200
67,993,200
67,993,200
67,993,200
69,659,867
Total Arus m asuk B
Arus keluar
1
Investasi
2
. Kapal
20,000,000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
. Mesin
5,000,000
-
-
-
-
-
-
5,000,000
-
-
-
. Alat tangkap
1 2,000,000
-
-
-
-
-
1 2,000,000
-
-
-
-
. Mata pancing
8,925,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
7,425,000
Biaya operasional Total Arus Keluar
-
46,274,000
47,399,700
48,535,650
49,682,363
50,840,376
52,01 0,254
53,1 92,592
54,388,01 2
55,597,1 67
56,820,746
45,925,000
53,699,000
54,824,700
55,960,650
57,1 07,363
58,265,376
71 ,435,254
65,61 7,592
61 ,81 3,01 2
63,022,1 67
64,245,746
(45,925,000)
1 4,294,200
1 3,1 68,500
1 2,032,550
1 0,885,838
9,727,824
(3,442,054)
2,375,608
6,1 80,1 88
4,971 ,033
5,41 4,1 21
0.87
0.76
0.66
0.57
0.50
0.38
0.33
0.28
0.25
1 2,429,739
9,957,278
7,91 1 ,597
6,224,01 3
4,836,448
893,079
2,020,31 5
1 ,41 3,078
1 ,338,288
Analisis Kriteria Investasi Net Benefit DF saat I=1 5%
1
PV
(45,925,000)
NPV
(389,261 .1 2)
Net B/C IRR
0.99 1 4.69%
0.43 (1 ,488,095)
124
Lampiran 9 Analisis usaha unit penangkapan jaring insang hanyut No
Uraian
A.
Investasi
1
Kapal
2
Mesin Kapal
3
Alat Tangkap (tali utam a) Total Investasi
Biaya
20,000,000 5,000,000 1 8,000,000 43,000,000
B.
Biaya
I.
Biaya Tetap (fixed cost)
1
Penyusutan kapal
2,000,000
2
Penyusutan m esin
1 ,000,000
3
Penyusutan alat tangkap
3,600,000
4
Perawatan kapal
2,000,000
5
Perawatan m esin
2,500,000
6
Perawatan alat tangkap Total Biaya Tetap (fixed cost)
1 ,500,000 1 2,600,000
II.
BiayaTidak Tetap (variable cost)
1
Solar
2
Minyak tanah
3
Oli
2,400,000
4
Es
3,200,000
5
Konsum si
3,200,000
6
Upah ABK
1 2,800,000
1 2,000,000
Total Biaya Tidak Tetap (variable cost) Total Biaya C.
34,080,000 46,680,000
Penerim aan (revenue) Hasil tangkapan Total Penerim aan (revenue)
D.
480,000
64,000,000 64,000,000
Analisis Pendapatan Usaha (Jaring Insang Hanyut) Total Penerim aan (TR)
64,000,000
Total Biaya (TC)
46,680,000
Investasi
43,000,000
Keuntungan (TR-TC)
1 7,320,000
R/C (TR/TC) RO I (keuntungan/investasi x 1 00% )
1 .37 40%
BEP (Kg)
1 6,1 71 .1 2
BEP (Rp)
26,951 ,872
125
Lampiran 10 Biaya operasional unit penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006 No
Jenis Biaya
Tahun Proyek -
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1 Perawatan kapal
-
2,000,000
2,1 00,000
2,205,000
2,31 5,250
2,431 ,01 3
2,552,563
2,680,1 91
2,81 4,201
2,954,91 1
3,1 02,656
2 Perawatan m esin
-
2,500,000
2,625,000
2,756,250
2,894,063
3,038,766
3,1 90,704
3,350,239
3,51 7,751
3,693,639
3,878,321
3 Perawatan alat tangkap
-
1 ,500,000
1 ,575,000
1 ,653,750
1 ,736,438
1 ,823,259
1 ,91 4,422
2,01 0,1 43
2,1 1 0,651
2,21 6,1 83
2,326,992
4 Solar
-
1 2,000,000
1 2,742,500
1 3,485,000
1 4,227,500
1 4,970,000
1 5,71 2,500
1 6,455,000
1 7,1 97,500
1 7,940,000
1 8,682,500
5 Minyak tanah
-
480,000
509,700
539,400
569,1 00
598,800
628,500
658,200
687,900
71 7,600
747,300
6 Oli
-
2,400,000
2,548,500
2,697,000
2,845,500
2,994,000
3,1 42,500
3,291 ,000
3,439,500
3,588,000
3,736,500
7 Es
-
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
8 Konsum si
-
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
9 Upah ABK
-
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
40,080,000
41 ,300,700
42,536,400
43,787,850
45,055,838
46,341 ,1 89
47,644,774
48,967,503
50,31 0,333
51 ,674,269
Total
Keterangan: a) kebutuhan solar dan minyak tanah diperkirakan meningkat sebesar 5% per tahun b) kebutuhan oli diperkirakan meningkat sebesar 5% per tahun c) biaya perawatan kapal, mesin, dan alat tangkap diperkirakan meningkat sebesar 5% per tahun
126
Lampiran 11 Perkiraan cash flow unit penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin No
Uraian
Tahun Proyek 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
A
Arus m asuk
1
Nilai penerim aan
0
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
2
Nilai Sisa
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 ,666,667
0
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
65,666,667
Total Arus m asuk B
Arus keluar
1
Investasi Kapal
20,000,000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mesin
5,000,000
-
-
-
-
-
-
5,000,000
-
-
-
Alat tangkap 2
Biaya operasional Total Arus Keluar
1 8,000,000
-
-
-
-
-
1 8,000,000
-
-
-
-
-
40,080,000
41 ,300,700
42,536,400
43,787,850
45,055,838
46,341 ,1 89
47,644,774
48,967,503
50,31 0,333
51 ,674,269
43,000,000
40,080,000
41 ,300,700
42,536,400
43,787,850
45,055,838
64,341 ,1 89
52,644,774
48,967,503
50,31 0,333
51 ,674,269
(43,000,000) 23,920,000
22,699,300
21 ,463,600
20,21 2,1 50
1 8,944,1 63
(341 ,1 89) 1 1 ,355,226
1 5,032,497
1 3,689,667
1 3,992,397
Analisis Kriteria Investasi Net Benefit DF saat I=1 5%
0.87
0.76
0.66
0.57
0.50
PV
(43,000,000) 20,800,000
1 7,1 63,932
1 4,1 1 2,665
1 1 ,556,362
9,41 8,597
NPV
46,437,21 6
Net B/C IRR
1 .00
2.08 47%
0.43 (1 47,506)
0.38
0.33
0.28
0.25
4,268,850
4,91 4,1 50
3,891 ,458
3,458,707
127
Lampiran 12 Sensitivitas kenaikan solar dan minyak tanah (41%) terhadap biaya operasional unit penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin tahun 2006 No
Jenis Biaya
Tahun Proyek 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Perawatan kapal
0
2,000,000
2,1 00,000
2,205,000
2,31 5,250
2,431 ,01 3
2,552,563
2,680,1 91
2,81 4,201
2,954,91 1
3,1 02,656
2
Perawatan m esin
0
2,500,000
2,625,000
2,756,250
2,894,063
3,038,766
3,1 90,704
3,350,239
3,51 7,751
3,693,639
3,878,321
3
Perawatan alat tangkap
0
1 ,500,000
1 ,575,000
1 ,653,750
1 ,736,438
1 ,823,259
1 ,91 4,422
2,01 0,1 43
2,1 1 0,651
2,21 6,1 83
2,326,992
4
Solar
0
20,938,500
21 ,681 ,000
22,423,500
23,1 66,000
23,908,500
24,651 ,000
25,393,500
26,1 36,000
26,878,500
27,621 ,000
5
Minyak tanah
0
837,540
867,240
896,940
926,640
956,340
986,040
1 ,01 5,740
1 ,045,440
1 ,075,1 40
1 ,1 04,840
6
Oli
0
2,400,000
2,548,500
2,697,000
2,845,500
2,994,000
3,1 42,500
3,291 ,000
3,439,500
3,588,000
3,736,500
7
Es
0
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
8
Konsum si
0
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
3,200,000
9
Upah ABK
0
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
1 2,800,000
49,376,040
50,596,740
51 ,832,440
53,083,890
54,351 ,878
55,637,229
56,940,81 4
58,263,543
59,606,373
60,970,309
Total
128
Lampiran 13 Sensitivitas kenaikan harga solar dan minyak tanah (41%) terhadap perkiraan cash flow unit penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin No
Uraian
Tahun Proyek 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
A
Arus m asuk
1
Nilai penerim aan
0
Nilai Sisa
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 ,666,667
0
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
64,000,000
65,666,667
2
Total Arus m asuk B
Arus keluar
1
Investasi Kapal Mesin Alat tangkap
2
Biaya operasional Total Arus Keluar
20,000,000
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5,000,000
0
0
0
0
1 8,000,000
0
0
0
0
0
0
5000000
0
0
0
0
1 8000000
0
0
0
0
-
49,376,040
50,596,740
51 ,832,440
53,083,890
54,351 ,878
55,637,229
56,940,81 4
58,263,543
59,606,373
60,970,309
43,000,000
49,376,040
50,596,740
51 ,832,440
53,083,890
54,351 ,878
73,637,229
61 ,940,81 4
58,263,543
59,606,373
60,970,309
(43,000,000) 1 4,623,960
2,059,1 86
5,736,457
4,393,627
4,696,357
0.38
0.33
0.28
0.25
774,1 24
1 ,875,258
1 ,248,943
1 ,1 60,868
Analisis Kriteria Investasi Net Benefit DF saat I=1 5% PV NPV Net B/C IRR
1 3,403,260
1 2,1 67,560
1 0,91 6,1 1 0
9,648,1 23
0.87
0.76
0.66
0.57
0.50
(43,000,000) 1 2,71 6,487
1 0,1 34,790
8,000,368
6,241 ,321
4,796,822
1 .00 (21 7,458) 0.99 1 4.80%
(9,637,229) 0.43 (4,1 66,440)
129
Lampiran 14 Sensitivitas penurunan harga ikan (15%) terhadap perkiraan cash flow unit penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin No
Uraian
Tahun Proyek 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
54,400,000
54,400,000
54,400,000
54,400,000
54,400,000
54,400,000
54,400,000
54,400,000
54,400,000
54,400,000
A
Arus m asuk
1
Nilai penerim aan
0
Nilai Sisa
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 ,666,667
0
54,400,000
54,400,000
54,400,000
54,400,000
54,400,000
54,400,000
54,400,000
54,400,000
54,400,000
56,066,667
2
Total Arus m asuk B
Arus keluar
1
Investasi . Kapal . Mesin . Alat tangkap
2
Biaya operasional Total Arus Keluar
20,000,000
0
0
0
0
0
5,000,000
0
0
0
0
0
-
1 8,000,000
0
0
0
0
0
1 8,000,000
0
0
0
0
0
0
5,000,000
0
0
0
-
0
0
0
40,080,000
41 ,300,700
42,536,400
43,787,850
45,055,838
46,341 ,1 89
47,644,774
48,967,503
50,31 0,333
51 ,674,269
40,080,000
41 ,300,700
42,536,400
43,787,850
45,055,838
64,341 ,1 89
52,644,774
48,967,503
50,31 0,333
51 ,674,269
(43,000,000) 1 4,320,000
1 3,099,300
1 1 ,863,600
1 0,61 2,1 50
9,344,1 63
1 ,755,226
5,432,497
4,089,667
4,392,397
43,000,000
Analisis Kriteria Investasi Net Benefit DF saat I=1 5% PV NPV Net B/C IRR
1
0.87
(43,000,000) 1 2,452,1 74 (1 ,742,963) 0.96 1 3.36%
0.76 9,904,953
0.66 7,800,51 0
0.57 6,067,531
0.50 4,645,700
(9,941 ,1 89) 0.43 (4,297,851 )
0.38 659,855
0.33 1 ,775,893
0.28 1 ,1 62,539
0.25 1 ,085,733
130
Lampiran 15 Analisis usaha unit penangkapan bagan tancap No
Uraian
A.
Investasi
1
Kapal
2
Mesin Kapal
3
Alat Tangkap (jaring dan kayu)
Biaya
1 8,000,000
Total Investasi
5,000,000 50,000,000 73,000,000
B.
Biaya
I.
Biaya Tetap (fixed cost)
1
Penyusutan kapal
2
Penyusutan m esin
3
Penyusutan alat tangkap
4
Perawatan kapal
1 ,500,000
5
Perawatan m esin
2,000,000
6
Perawatan alat tangkap Total Biaya Tetap (fixed cost)
1 ,800,000 1 ,000,000 1 0,000,000
1 ,500,000 1 7,800,000
II.
BiayaTidak Tetap (variable cost)
1
Solar
2
Minyak tanah
3
O li
4
G aram
5
Konsum si
3,640,000
6
Upah ABK
1 0,920,000
1 3,650,000 2,400,000 300,000
Total Biaya Tidak Tetap (variable cost) Total Biaya C.
31 ,390,000 49,1 90,000
Penerim aan (revenue) Hasil tangkapan Total Penerim aan (revenue)
D.
480,000
72,800,000 72,800,000
Analisis Pendapatan Usaha Total Penerim aan (TR)
72,800,000
Total Biaya (TC)
49,1 90,000
Investasi
73,000,000
Keuntungan (TR-TC)
23,61 0,000
R/C (TR/TC) ROI (keuntungan/investasi x 1 00% )
1 .48 32%
BEP (Kg)
1 6,506
BEP (Rp)
31 ,292,924
131
Lampiran 16 Biaya operasional unit penangkapan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin tahun 2006 No
Jenis Biaya
Tahun Proyek 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Perawatan kapal
0
1 ,500,000
1 ,575,000
1 ,653,750
1 ,736,438
1 ,823,259
1 ,91 4,422
2,01 0,1 43
2,1 1 0,651
2,21 6,1 83
2,326,992
2
Perawatan m esin
0
2,000,000
2,1 00,000
2,205,000
2,31 5,250
2,431 ,01 3
2,552,563
2,680,1 91
2,81 4,201
2,954,91 1
3,1 02,656
3
Perawatan alat tangkap
0
1 ,500,000
1 ,575,000
1 ,653,750
1 ,736,438
1 ,823,259
1 ,91 4,422
2,01 0,1 43
2,1 1 0,651
2,21 6,1 83
2,326,992
4
Solar
0
1 3,650,000
1 4,332,500
1 5,01 5,000
1 5,697,500
1 6,380,000
1 7,062,500
1 7,745,000
1 8,427,500
1 9,1 1 0,000
1 9,792,500
5
Minyak tanah
0
480,000
507,300
534,600
561 ,900
589,200
61 6,500
643,800
671 ,1 00
698,400
725,700
6
Oli
0
2,400,000
2,536,500
2,673,000
2,809,500
2,946,000
3,082,500
3,21 9,000
3,355,500
3,492,000
3,628,500
7
Garam
0
300,000
300,000
300,000
300,000
300,000
300,000
300,000
300,000
300,000
300,000
8
Konsum si
0
3,640,000
3,640,000
3,640,000
3,640,000
3,640,000
3,640,000
3,640,000
3,640,000
3,640,000
3,640,000
9
Upah ABK
0
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
36,390,000
37,486,300
38,595,1 00
39,71 7,025
40,852,731
42,002,908
43,1 68,278
44,349,602
45,547,677
46,763,341
Total
Keterangan: a) kebutuhan solar dan minyak tanah diperkirakan meningkat sebesar 5% per tahun b) kebutuhan oli diperkirakan meningkat sebesar 5% per tahun c) biaya perawatan kapal, mesin, dan alat tangkap diperkirakan meningkat sebesar 5% per tahun
132
Lampiran 17 Perkiraan cash flow unit penangkapan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin No
Uraian
Tahun Proyek 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
A
Arus m asuk
1
Nilai penerim aan
0
72,800,000
72,800,000
72,800,000
72,800,000
72,800,000
72,800,000
72,800,000
72,800,000
72,800,000
72,800,000
2
Nilai Sisa
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 ,666,667
Total Arus m asuk
0
72,800,000
72,800,000
72,800,000
72,800,000
72,800,000
72,800,000
72,800,000
72,800,000
72,800,000
74,466,667
1 8,000,000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
B
Arus keluar
1
Investasi Kapal Mesin
5,000,000
-
-
-
-
-
-
5,000,000
-
-
-
50,000,000
-
-
-
-
-
50,000,000
-
-
-
-
Biaya operasional
-
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
Total Arus Keluar
73,000,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
60,920,000
1 5,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
(73,000,000)
61 ,880,000
61 ,880,000
61 ,880,000
61 ,880,000
61 ,880,000
1 1 ,880,000
56,880,000
61 ,880,000
61 ,880,000
63,546,667
Alat tangkap 2
Analisis Kriteria Investasi Net Benefit DF saat I=1 5%
1
PV
(73,000,000)
NPV
21 4,477,31 2
Net B/C
3.94
IRR
83%
0.87 53,808,696
0.76 46,790,1 70
0.66 40,687,1 04
0.57 35,380,091
0.50 30,765,296
0.43 5,1 36,052
0.38 21 ,383,299
0.33 20,228,682
0.28 1 7,590,1 58
0.25 1 5,707,764
133
Lampiran 18 Sensitivitas kenaikan solar dan minyak tanah (93%) terhadap biaya operasional unit penangkapan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin tahun 2006 No
Jenis Biaya
Tahun Proyek 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Perawatan kapal
0
1 ,500,000
1 ,575,000
1 ,653,750
1 ,736,438
1 ,823,259
1 ,91 4,422
2,01 0,1 43
2,1 1 0,651
2,21 6,1 83
2,326,992
2
Perawatan m esin
0
2,000,000
2,1 00,000
2,205,000
2,31 5,250
2,431 ,01 3
2,552,563
2,680,1 91
2,81 4,201
2,954,91 1
3,1 02,656
3
Perawatan alat tangkap
0
1 ,500,000
1 ,575,000
1 ,653,750
1 ,736,438
1 ,823,259
1 ,91 4,422
2,01 0,1 43
2,1 1 0,651
2,21 6,1 83
2,326,992
4
Solar
0
26,344,500
27,087,000
27,829,500
28,572,000
29,31 4,500
30,057,000
30,799,500
31 ,542,000
32,284,500
33,027,000
5
Minyak tanah
0
1 ,053,780
1 ,083,480
1 ,1 1 3,1 80
1 ,1 42,880
1 ,1 72,580
1 ,202,280
1 ,231 ,980
1 ,261 ,680
1 ,291 ,380
1 ,321 ,080
6
Oli
0
2,400,000
2,548,500
2,697,000
2,845,500
2,994,000
3,1 42,500
3,291 ,000
3,439,500
3,588,000
3,736,500
7
Garam
0
300,000
300,000
300,000
300,000
300,000
300,000
300,000
300,000
300,000
300,000
8
Konsumsi
0
3,640,000
3,640,000
3,640,000
3,640,000
3,640,000
3,640,000
3,640,000
3,640,000
3,640,000
3,640,000
9
Upah ABK
0
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
1 0,920,000
49,658,280
50,828,980
52,01 2,1 80
53,208,505
54,41 8,61 1
55,643,1 88
56,882,958
58,1 38,682
59,41 1 ,1 57
60,701 ,221
Total
134
Lampiran 19 Sensitivitas kenaikan harga solar dan minyak tanah (93%) terhadap perkiraan cash flow unit penangkapan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin No
Uraian
Tahun Proyek 0
1
A
Arus m asuk
1
Nilai penerim aan
0
2
Nilai Sisa
0
Total Arus m asuk
0
B
Arus keluar
1
Investasi Kapal Mesin Alat tangkap
2
2
72,800,000 0 72,800,000
3
72,800,000 0 72,800,000
4
72,800,000
5
72,800,000
0 72,800,000
6
72,800,000
0 72,800,000
7
72,800,000
0 72,800,000
8
72,800,000
0 72,800,000
1 8,000,000
0
0
0
0
0
5,000,000
0
0
0
0
0
-
50,000,000
0
0
0
0
0
50,000,000
9
72,800,000
0 72,800,000
0
0 72,800,000
0
10
72,800,000 0 72,800,000
72,800,000 1 ,666,667 74,466,667
0
0
0
5,000,000
0
0
0
-
0
0
0
Biaya operasional
0
49,658,280
50,828,980
52,01 2,1 80
53,208,505
54,41 8,61 1
55,643,1 88
56,882,958
58,1 38,682
59,41 1 ,1 57
60,701 ,221
Total Arus Keluar
73000000
49,658,280
50,828,980
52,01 2,1 80
53,208,505
54,41 8,61 1
1 05,643,1 88
61 ,882,958
58,1 38,682
59,41 1 ,1 57
60,701 ,221
-73000000
23,1 41 ,720
21 ,971 ,020
20,787,820
1 9,591 ,495
1 8,381 ,389
(32,843,1 88)
1 0,91 7,042
1 4,661 ,31 8
1 3,388,843
1 3,765,446
1
0.87
0.76
0.66
0.57
0.50
0.38
0.33
0.28
0.25
20,1 23,235
1 6,61 3,248
1 3,668,329
1 1 ,201 ,501
9,1 38,799
4,1 04,1 20
4,792,81 1
3,805,945
3,402,608
Analisis Kriteria Investasi Net Benefit DF saat I=1 5% PV NPV Net B/C IRR
(73,000,000) (348,422) 0.995 1 4.83%
0.43 (1 4,1 99,01 6)
135
Lampiran 20 Sensitivitas penurunan harga ikan (15%) terhadap perkiraan cash flow unit penangkapan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin No
Uraian
Tahun Proyek 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
A
Arus masuk
1
Nilai penerim aan
0
2
Nilai Sisa
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1 ,666,667
Total Arus m asuk
0
59,332,000
59,332,000
59,332,000
59,332,000
59,332,000
59,332,000
59,332,000
59,332,000
59,332,000
60,998,667
B
Arus keluar
1
Investasi . Kapal . Mesin . Alat tangkap
2
Biaya operasional
Total Arus Keluar
59,332,000
59,332,000
59,332,000
59,332,000
59,332,000
59,332,000
1 8,000,000
0
0
0
0
0
5,000,000
0
0
0
0
0
-
50,000,000
0
0
0
0
0
50,000,000
0
59,332,000
0
0
59,332,000
59,332,000
59,332,000
0
0
0
5,000,000
0
0
0
-
0
0
0
36,390,000
37,486,300
38,595,1 00
39,71 7,025
40,852,731
42,002,908
43,1 68,278
44,349,602
45,547,677
46,763,341
73,000,000
36,390,000
37,486,300
38,595,1 00
39,71 7,025
40,852,731
92,002,908
48,1 68,278
44,349,602
45,547,677
46,763,341
(73,000,000)
22,942,000
21 ,845,700
20,736,900
1 9,61 4,975
1 8,479,269
(32,670,908)
1 1 ,1 63,722
1 4,982,398
1 3,784,323
1 4,235,326
0.87
0.76
0.66
0.57
0.50
0.38
0.33
0.28
0.25
1 9,949,565
1 6,51 8,488
1 3,634,848
1 1 ,21 4,926
9,1 87,463
4,1 96,857
4,897,772
3,91 8,365
3,51 8,755
Analisis Kriteria Investasi Net Benefit DF saat I=1 5% PV NPV Net B/C IRR
1 (73,000,000) (87,497) 0.999 1 4.96%
0.43 (1 4,1 24,535)
131
Lampiran 21 Data produksi (kg) dan upaya penangkapan (trip) A. Data produksi dan upaya penangkapan sebelum standarisasi Rawai Hanyut Produksi Trip 2558138 5190 7108763 4650 5296160 3420 5326273 8018 5507813 2518 25797147 23796
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 Total
Jaring Insang Hanyut Bagan Tancap Produksi Trip Produksi Trip 4890094 50966 3857612 13308 5405649 47778 4865224 43410 4113671 49372 4013401 7420 4181124 89658 6981758 11174 1130140 13537 4386844 13019 19720678 251311 24104839 88331
B. Produktivitas dan FPI (Fishing Power Indeks) Alat Rawai Hanyut Jaring Insang Hanyut Bagan Tancap
Produktivitas 1084.09594 78.47120898 272.8921783
FPI 1 0.072384008 0.251723273
C. Total hasil dan upaya penangkapan baku setelah distandarisasi Tahun
2001 2002 2003 2004 2005
Upaya Penangkapan Baku (trip)
Total Hasil
Total
Tangkapan (kg)
Rawai Hanyut
Jaring Insang Hanyut
Bagan Tancap
effort (trip)
11305844 17379636 13423232 16489155 11024797
5190 4650 3420 8018 2518
3689 3458 3574 6490 980
3350 10927 1868 2813 3277
12229 19036 8862 17321 6775
CPUE
924.5066335 913.0036208 1514.775905 951.9988868 1627.264876
132
Lampiran 22 Hasil analisis program Maple VIII terhadap fungsi produksi ikan pelagis > a:=1942.862;
a := 1942.862
> b:=-0.0589;
b := -0.0589
> c:=950000;
c := 950000
> p:=8000;
p := 8000
> Emsy:=-a/(2*b); > h:=a*E+b*E^2; > TR:=p*h;
Emsy := 16492.88625 h := 1942.862 E − 0.0589 E 2
TR := 0.1554289600 10 8 E − 471.2000 E 2
> plot(TR,E=0..32984);
>hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2; hmsy := 0.1602170098 10 8
133
> TRmsy:=p*hmsy; > TCmsy:=c*Emsy;
TRmsy := 0.1281736078 10 12
TCmsy := 0.1566824194 10 11
> phimsy:=TRmsy-TCmsy; phimsy := 0.1125053659 10 12 > h:=a*E+b*E^2;
h := 1942.862 E − 0.0589 E 2
> plot(h,E=0..32984);
> TR:=p*h;
TR := 0.1554289600 10 8 E − 471.2000 E 2
> plot(TR,E=0..32984,color=black);
134
> TC:=c*E;
TC := 950000 E
> plot(TC,E=0..32984,color=black);
135
plot({TR,(E),TC(E)},E=0..32984,color=black);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 30969.64346
> phi:=p*h-c*E; φ := 0.1459289600 10 8 E − 471.2000 E 2 > fsolve(phi,E); > diff(phi,E);
0., 30969.64346 0.1459289600 10 8 − 942.4000 E
> y:=diff(phi, E); y := 0.1459289600 10 8 − 942.4000 E > fsolve(y=0, E);
15484.82173
> Emey:=15484.82173;
Emey := 15484.82173
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2; hmey := 0.1596184715 10 8 > TRmey:=p*hmey; > TCmey:=c*Emey;
TRmey := 0.1276947772 10 12
TCmey := 0.1471058064 10 11
136
> phimey:=TRmey-TCmey; phimey := 0.1129841966 10 12 > Eoa:=30969.64346;
Eoa := 30969.64346
> hoa:=a*Eoa+b*Eoa^2; hoa := 0.367764517 10 7 > TRoa:=p*hoa; > TCoa:=c*Eoa;
TRoa := 0.2942116136 10 11
TCoa := 0.2942116129 10 11
> phioa:=TRoa-TCoa; phioa := 0.
Lampiran 23. Hasil olahan lindo untuk alokasi unit penangkapan ikan pelagis di
137
Kabupaten Banyuasin MIN DA1+DB1+DA2+DB2+DB3 SUBJECT TO 36563 X1 + 20400 X2 + 5600 X3 + DB1 - DA1 = 3096964.346 198 X1 + 160 X2 + 182 X3 + DB2 - DA2 = 15484 4 X1 + 4 X2 + 3 X3 + DB3 =5622 X2=45 X3=55 END Keterangan : X1
= Rawai Hanyut
X2
= Jaring Insang Hanyut
X3
= Bagan Tancap
LP OPTIMUM FOUND AT STEP
0
OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1)
16930.17
VARIABLE
VALUE
REDUCED COST
DA1
0.000000
1.005306
DB1
0.000000
0.994694
DA2
11857.852539
0.000000
DB2
0.000000
2.000000
DB3
5072.315918
0.000000
X1
51.170971
0.000000
X2
45.000000
0.000000
X3
55.000000
0.000000
138
ROW SLACK OR SURPLUS
DUAL PRICES
2)
0.000000
-0.005306
3)
0.000000
1.000000
4)
0.000000
-1.000000
5)
0.000000
-47.759430
6)
0.000000
-149.286896
NO. ITERATIONS=
0
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES VARIABLE
CURRENT
ALLOWABLE
ALLOWABLE
COEF
INCREASE
DECREASE
DA1
1.000000
INFINITY
1.005306
DB1
1.000000
INFINITY
0.994694
DA2
1.000000
183.681824
0.964298
DB2
1.000000
INFINITY
2.000000
DB3
1.000000
27.009651
1.000000
X1
0.000000
85.599419
X2
0.000000
INFINITY
X3
0.000000
INFINITY
36757.000000 47.759430
149.286896 RIGHTHAND SIDE RANGES ROW
CURRENT
ALLOWABLE
ALLOWABLE
RHS
INCREASE
DECREASE
2
3096964.250000
46364772.000000
1870964.250000
3
15484.000000
11857.852539
INFINITY
4
5622.000000
INFINITY
5072.315918
5
45.000000
91.713936
45.000000
139
6
55.000000
334.100739
55.000000