PENGEMBANGAN MODEL PENYELENGGARAAN MAKANAN DI SEKOLAH DASAR BAGI SISWA KELUARGA MISKIN
TIURMA SINAGA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Model Penyelenggaraan Makanan di Sekolah Dasar bagi Siswa Keluarga Miskin adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012 Tiurma Sinaga NIM I 162070091
ABSTRACT TIURMA SINAGA. The Development Model of School Feeding Management for Student of Poor Families at Elementary School. Under direction of CLARA MELIYANTI KUSHARTO, BUDI SETIAWAN, and AHMAD SULAEMAN. Some schools have implemented school feeding such as lunch or snack program for students who come from affordable economic families, however there is no school feeding for students who come from poor families with complete meal. This study was aimed to develop a model for school feeding management at Elementary School (SD) for students belong to poor families. The study was conducted from January until December 2011 in Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi, Sekolah Marsudirini Parung Bogor, Sekolah Alam Bogor, SD IT Insantama Bogor, SDN 1 Malangsari Cipanas Lebak Banten and SDN Kebon Kopi 2 Bogor. The study used a study literature, an observation, a research & development (R & D), pre-experiment one-group pretest-posttest design, and SWOT analysis. There are six models which can be implemented in school feeding: 1) model on-site meal preparation donated food with conventional or commissary production, 2) model on-site meal preparation local food with conventional or commissary production, 3) model on-site pre-prepared meal/snack-local food vendors with conventional or commissary production, 4) model off-site prepared meal/snack-private sector participation with conventional or commissary production, 5) model off-site prepared meal/snack-community sector participation with conventional or commissary production, and 6) model take-home coupons or cash or food in bulk. The school feeding model that can be implemented for students of poor families was off-site prepared mealcommunity sector participation used conventional production. Manpower that can work as a food handlers are person who have interest in culinary, socially minded, and able to work with others in community. The one dish meal with six days cycles menu used in the study. The study showed that there was a differences (p<0.05) between before and after giving one dish meal breakfast as a school feeding among the elementary school children. It was positively affected to increase the level of dietary intake of energy by 27.0%, protein by 31.3%, vitamin A by 42.3%, and iron by 30.0% of the elementary school children. The implementation model of school feeding for elementary children belong to poor family with one dish meal has been tested with good results, but it is need to improve in some part. SWOT analysis method was used to describe and analyze strategic factors internal and external to be more structured to assist the evaluation of the implementation model of school feeding that have been tested. Key words: one dish meal, dietary intakes, off-site meal preparation, conventional production method, students from poor families, SWOT analysis
RINGKASAN TIURMA SINAGA. Pengembangan Model Penyelenggaraan Makanan di Sekolah Dasar bagi Siswa Keluarga Miskin. Dibimbing oleh : CLARA MELIYANTI KUSHARTO, BUDI SETIAWAN, dan AHMAD SULAEMAN Beberapa sekolah di Indonesia telah melaksanakan penyelenggaraan makanan berupa makan siang ataupun makanan selingan bagi siswa yang berasal dari keluarga mampu, namun belum ada pelayanan makanan lengkap bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin. Berdasarkan analisis data Riskesdas 2010 yang dilakukan terhadap konsumsi pangan pada 35.000 anak usia sekolah dasar, menunjukkan bahwa 26.1% anak hanya sarapan dengan minuman (air, teh, susu) dan sebesar 44.6% anak yang sarapan hanya memperoleh asupan energi kurang dari 15% AKG. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model penyelenggaraan makanan anak di Sekolah Dasar (SD) yang siswanya berasal dari keluarga miskin, sehingga dapat menghasilkan makanan yang dapat diterima siswa dengan baik. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengkaji model-model penyelenggaraan makanan anak sekolah di berbagai negara, 2) mengobservasi model-model penyelenggaraan makanan anak sekolah di Indonesia, 3) merancang model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang berasal dari keluarga miskin, 4) mengujicobakan model yang di rancang untuk menganalisis tingkat kesukaan dan daya terima siswa terhadap makanan yang diproduksi, dan 5) merekomendasikan model yang dapat diaplikasikan di sekolah yang siswanya berasal dari keluarga miskin. Setiap tujuan khusus mempunyai metode yang berbeda. Model-model penyelenggaraan makanan anak sekolah di berbagai negara dikaji dengan studi literatur, sedangkan untuk mengkaji model-model penyelenggaraan makanan anak sekolah di Indonesia dilakukan dengan observasi. Perancangan model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang berasal dari keluarga miskin, dilakukan dengan metode research and development (R & D). Pengujian terhadap model yang dirancang, dilakukan dengan pre-experiment one-group pretest-posttest design, dan untuk menyempurnakan model dilakukan dengan analisis SWOT. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Desember 2011 di Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi, Sekolah Marsudirini Parung Bogor, Sekolah Alam Bogor, SD IT Insantama Bogor, SDN 1 Malangsari Cipanas Lebak Banten dan SDN Kebon Kopi 2 Bogor. Ada enam model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang dilaksanakan di berbagai negara, yaitu : 1) model penyiapan makanan dilakukan di sekolah, menggunakan bahan pangan dari sumbangan, dengan metode produksi konvensional atau terpusat, 2) model penyiapan makanan dilaksanakan di sekolah, menggunakan bahan pangan lokal, dengan metode produksi konvensional atau terpusat, 3) model penyiapan makanan dilakukan di sekolah, menggunakan tenaga penjual makanan sebagai tenaga penjamah makanan, dengan metode produksi konvensional atau terpusat, 4) model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah dengan partisipasi swasta, dengan metode produksi konvensional atau terpusat, 5) model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah dengan partisipasi masyarakat, dan metode produksi konvensional atau terpusat, serta 6) model kupon atau tunai bawa pulang atau makanan dalam jumlah tertentu.
Penyelenggaraan makanan anak sekolah di Indonesia dapat dilaksanakan dengan model penyiapan makanan yang dilakukan di dalam sekolah atau di luar sekolah, dengan metode produksi konvensional ataupun terpusat. Hal ini bergantung pada fasilitas yang ada di sekolah dan sekitar sekolah. Jika ruang makan tidak ada, dapat mempergunakan ruang kelas sebagai ruang makan, dengan memperhatikan ruangan yang harus bersih, jauh dari tempat pembuangan sampah, dan pembuangan limbah. Tenaga penjamah makanan berasal dari ibu PKK, komite sekolah, atau tenaga yang bekerja khusus untuk pelayanan makanan. Perancangan model penyelenggaraan makanan anak sekolah disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah, lingkungan serta sumber daya yang ada. Rancangan model yang dibentuk adalah: penyiapan dan pemasakan bahan pangan menggunakan dapur di luar sekolah, ruang makan di dalam ruang kelas, pengadaan bahan pangan dilakukan dengan cara pembelian langsung ke pasar tradisional yang letaknya tidak jauh dari lokasi pemasakan. Menu sepinggan yang dimasak disesuaikan dengan biaya yang rendah, jenis peralatan yang digunakan sering dipakai untuk mengolah makanan banyak/massal/institusi, tenaga penjamah makanan dapat melakukan pengolahan makanan banyak/massal/institusi, dan waktu pengolahan tidak terlalu lama. Model penyelenggaraan makanan anak yang dirancang dapat diterapkan dengan baik sesuai dengan syarat-syarat penyelenggaraan makanan yang ditentukan. Rata-rata kandungan energi sarapan menu sepinggan contoh 439 KKal, 10 gram protein, 266.8 µg RE vitamin A, dan 1.97 mg Fe dengan biaya Rp 3.000/porsi. Konsumsi energi, protein, vitamin A dan Fe contoh meningkat secara nyata sesudah pemberian sarapan menu sepinggan yaitu energi 27.0%, protein 31.3%, vitamin A 42.3%, dan Fe 30.0%. Tingkat kecukupan contoh terhadap energi, protein, vitamin A dan Fe meningkat sesudah pemberian sarapan menu sepinggan. Keberlangsungan model yang dirancang akan berjalan dengan baik jika ada sumber dana. Sumber dana dapat diperoleh dari pemerintah (pusat ataupun daerah), dapat juga dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), CSR (Corporate Social Responsibility), dan sumbangan-sumbangan dari donatur. Metode SWOT digunakan untuk menyempurnakan model penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan. Penyempurnaan model juga dilengkapi dengan perhitungan biaya dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah, khususnya biaya yang digunakan sebagai investasi untuk membangun dapur dan membeli peralatan yang dibutuhkan. Penyelenggaraan makanan lengkap anak sekolah bagi siswa dari keluarga miskin dapat dilakukan dengan menggunakan model persiapan makanan dilakukan di luar sekolah dengan partisipasi masyarakat, dan metode produksi yang diterapkan adalah konvensional. Kata kunci: menu sepinggan, asupan makanan, dapur di luar sekolah, metode produksi konvensional, siswa dari keluarga miskin, analisis SWOT
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN MODEL PENYELENGGARAAN MAKANAN DI SEKOLAH DASAR BAGI SISWA KELUARGA MISKIN
TIURMA SINAGA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Manusia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 12
Penguji pada Ujian Tertutup
: 1. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS 2. Dr. Minarto
Penguji pada Ujian Terbuka
: 1. Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS 2. Dr. Ir. Taufik Hanafi
Judul Disertasi : Pengembangan Model Penyelenggaraan Makanan Siswa Di Sekolah Dasar Bagi Siswa Keluarga Miskin Nama
:
Tiurma Sinaga
NIM
:
I 162070091
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Clara Meliyanti Kusharto, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS
Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS
Anggota
Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Gizi Manusia
drh. M.Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD
Tanggal Ujian : 24 Juli 2012
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Lulus : 31 Agustus 2012
PRAKATA Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kasih, atas segala berkat dan anugerahNya sehingga dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul “Pengembangan Model Penyelenggaraan Makanan Siswa di Sekolah Dasar bagi Siswa Keluarga Miskin”. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu terwujudnya disertasi ini. 1.
Prof. Dr. Clara Meliyanti Kusharto,M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Budi Setiawan, MS dan Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS selaku anggota pembimbing atas segala arahan, saran, motivasi, kesabaran dan teladan yang diberikan kepada penulis sejak penyusunan proposal hingga pelaksanaan penelitian serta penulisan disertasi. 2. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dan Dr. Minarto sebagai dosen penguji pada ujian tertutup; Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS dan Dr. Taufik Hanafi sebagai dosen penguji pada ujian terbuka atas segala kritik yang membangun dan masukan guna perbaikan disertasi, serta Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS sebagai dosen pembahas kolokium atas segala masukan dan koreksi pada proposal penelitian. 3. Seluruh staf pengajar dan pengelola Program Studi Gizi Manusia (GMA) Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan segala ilmu yang sangat bermanfaat serta staf administrasi atas bantuan dan kemudahan dalam pengurusan administrasi. 4. Teman-teman angkatan 2007 GMA atas semangat, motivasi, kebersamaan dalam suka dan duka serta persaudaraan yang diberikan selama masa kuliah. 5. Kepala Sekolah, Guru-guru, TPG Puskesmas Cipanas Lebak Banten dan Merdeka Bogor, orang tua murid dan murid kelas 5 dan 6 SDN Kebon Kopi 2 Bogor dan SDN 1 Malangsari Cipanas Lebak Banten atas bantuan dan kerja samanya selama penelitian berlangsung. 6. Pengelola makanan anak sekolah di Clinton Elementary School dan Southwest High School Nebraska USA, Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi, Sekolah Marsudirini Parung Bogor, Sekolah Alam Bogor (SAB), SD IT Insantama Bogor serta ibu-ibu PKK di Malangsari Cipanas Lebak Banten atas informasi dan kerja samanya. 7. Para Sarjana gizi alumni Departemen Gizi Masyarakat Fema IPB (Nonly Stevanie, Yuni Munggaranti, dan Pujani Handayani) yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian. 8. Ibu Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, MKes dan mbak Reisi Nurdiani SP, MSi yang telah meluangkan waktu untuk diskusi dan bertukar pikiran serta memberi komentar dan masukan yang berarti untuk penelitian ini. 9. Kakak, adik & keluarga diucapkan terimakasih atas dukungan dan doa yang telah diberikan selama kuliah. 10. Mama di Pematang Siantar dan Inang di Malang terimakasih atas semua doa-doa dan dukungan yang telah diberikan selama kuliah. 11. Kepada suami tercinta David PH Napitupulu dan ketiga anak-anak tercinta Parisabel RH Napitupulu, Johannes Willy H Napitupulu dan Benjamin AM Napitupulu, atas doa, kasih sayang, pengertian, serta dukungan moril dan materil yang tidak pernah berhenti, penulis sampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya.
12. Kepada semua pihak yang belum disebutkan yang telah membantu dengan tulus, penulis sampaikan terimakasih. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna, tetapi penulis berharap disertasi ini bermanfaat bagi pembaca dan pengembangan ilmu gizi manusia khususnya penyelenggaraan makanan anak sekolah. Bogor, Agustus 2012 Tiurma Sinaga
xiii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pematang Siantar pada tanggal 21 Mei 1961 sebagai putri ketiga dari bapak Drs. Alfred Sinaga dan ibu Sinta Sirait. Pendidikan Sarjana Muda (B.Sc) ditempuh di Akademi Gizi Jakarta Departemen Kesehatan RI lulus pada bulan Agustus 1983. Pada bulan Mei tahun 1989, penulis melanjutkan pendidikan program Master of Food Service Administration (MFSA) di University of the Philippines Diliman, Quezon City dengan beasiswa dari Bank Dunia dan lulus tahun 1992. Pada tahun 2007 melanjutkan pendidikan doktor pada program studi Ilmu Gizi Manusia - Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja di Akademi Gizi Malang sejak bulan Desember 1983 sampai Oktober 2006, mulai Nopember 2006 sampai Oktober 2008 bekerja di Unit Produksi Makanan (UPM) RSCM Jakarta, dan sejak Nopember 2008 - sekarang bekerja di Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh program doktor, penulis mengikuti Program Sandwich DIKTI DEPDIKNAS di University of Nebraska Lincoln USA selama 4 bulan mulai Nopember 2008 sampai Februari 2009.
Pada saat mengikuti Sandwich di
Nebraska, penulis melakukan observasi penyelenggaraan makanan di Clinton Elementary
School,
Southwest
High
School,
dan
Nebraska
University
Foodservice. Tulisan “Makan di Sekolah dari APBN/APBD ?” yang diterbitkan koran Kompas di halaman 6 topik Opini pada tanggal 2 Maret 2009 merupakan karya penulis tentang manfaat makan di sekolah dengan biaya dari pemerintah. Karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi yaitu “Dampak Menu Sepinggan terhadap Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Energi, Zat Gizi Lain Siswa SD”, akan diterbitkan pada Jurnal Gizi dan Pangan, dan “Kualitas Sarapan Menu Sepinggan, Daya Terima, Tingkat Kesukaan dan Status Gizi Siswa di Sekolah Dasar” akan diterbitkan di Jurnal Teknologi Industri Boga dan Busana (TIBBS) Jurusan Teknologi Industri Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang.
xiv
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................... xviii DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xx DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xxii PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1 Perumusan Masalah ........................................................................................................ 4 Tujuan Penelitian............................................................................................................. 5 Manfaat Penelitian .......................................................................................................... 5 Kerangka Pemikiran Penelitian ....................................................................................... 6 Definisi Operasional ........................................................................................................ 9
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 11 Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah .................................................................... 11 Manajemen Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah ................................................ 11 Proses Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah......................................................... 13 Perencanaan Menu ................................................................................................... 13 Pembelian Bahan Pangan .......................................................................................... 20 Penerimaan Bahan Pangan ....................................................................................... 21 Penyimpanan dan Pengeluaran Bahan Pangan ........................................................ 21 Penyiapan Bahan Pangan .......................................................................................... 22 Metode Pemasakan Bahan Pangan........................................................................... 22 Metode Penyajian Makanan ..................................................................................... 25 Pendistribusian Makanan .......................................................................................... 25 Pencucian Alat Makan dan Alat Masak ..................................................................... 26 Higiene dan Sanitasi Makanan .................................................................................. 26 Model Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah ......................................................... 27 Model Penyiapan Makanan dilakukan di Sekolah, Bahan Pangan berasal dari Bantuan/Sumbangan................................................................................................. 27 Model Penyiapan Makanan dilakukan di Sekolah, Bahan Pangan berasal dari Lokasi di Sekitar Sekolah ...................................................................................................... 28 Model Penyiapan Makanan dilakukan di Sekolah, Tenaga Penjamah berasal dari Pedagang Makanan ................................................................................................... 28
xv
Model Penyiapan Makanan dilakukan di luar Sekolah, Tenaga Penjamah berasal dari swasta/katering ................................................................................................. 28 Model Penyiapan Makanan dilakukan di luar Sekolah, Tenaga Penjamah dari Masyarakat................................................................................................................ 29 Model Kupon atau Tunai atau Bahan Pangan di Bawa Pulang ................................. 29
PENYELENGGARAAN MAKANAN ANAK SEKOLAH DI BERBAGAI NEGARA ................................................................................................. 32 Amerika Serikat ............................................................................................................. 32 Peru ............................................................................................................................... 33 Jepang ........................................................................................................................... 34 Chili ............................................................................................................................... 34 Jamaika.......................................................................................................................... 34 Banglades ...................................................................................................................... 35 Philipina......................................................................................................................... 36 Indonesia ....................................................................................................................... 38 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 42
STUDI PENYELENGGARAAN MAKANAN ANAK SEKOLAH DASAR DI INDONESIA ............................................................................................. 44 Pendahuluan ................................................................................................................. 45 Metode Penelitian .................................................................................................... 45 Desain.................................................................................................................... 45 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................................. 45 Peralatan ................................................................................................................... 46 Jenis dan Cara Pengumpulan Data........................................................................ 46 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................................... 47 Hasil dan Pembahasan .................................................................................................. 47 Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi ............................................................ 47 Sekolah Marsudirini Parung Bogor ........................................................................... 49 Sekolah Alam Bogor (SAB) ........................................................................................ 50 SD IT Insantama Bogor .............................................................................................. 52 SDN 1 Malangsari, Cipanas, Lebak – Banten ............................................................. 53 Simpulan ....................................................................................................................... 56 Daftar Pustaka............................................................................................................... 57
xvi
MODEL PENYELENGGARAAN SARAPAN MENU SEPINGGAN DAN EFIKASINYA TERHADAP KONSUMSI, TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI LAIN PADA SISWA SD .................................... 58 Pendahuluan ................................................................................................................. 60 Metode Penelitian......................................................................................................... 64 Desain ........................................................................................................................ 64 Tempat dan Waktu Penelitian................................................................................... 65 Cara Penetapan Peserta Efikasi ............................................................................. 66 Bahan dan Alat .......................................................................................................... 66 Mekanisme Efikasi ................................................................................................. 66 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Efikasi ............................................................. 68 Pengolahan dan Analisis Data Efikasi .................................................................... 68 Tahap-tahapan Perancangan Model Penyelenggaraan Makanan ................................ 71 Hasil Perancangan Model Penyelenggaraan Makanan ................................................. 73 Hasil Efikasi Model Sarapan Menu Sepinggan .............................................................. 74 Gambaran Umum Sekolah ........................................................................................ 74 Karakteristik Peserta ................................................................................................. 74 Umur dan Jenis Kelamin ........................................................................................ 74 Besar Uang Jajan ................................................................................................... 75 Pendidikan Orang Tua ........................................................................................... 75 Karakteristik Orang Tua Peserta................................................................................ 76 Pekerjaan dan Pendapatan Orang Tua.................................................................. 76 Besar Keluarga ....................................................................................................... 77 Sumberdaya pada Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan ............................... 78 Tenaga Penjamah Makanan .................................................................................. 78 Peralatan ............................................................................................................... 78 Bahan Pangan ........................................................................................................ 79 Biaya (Dana) .......................................................................................................... 80 Metode .................................................................................................................. 80 Proses Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan untuk Anak Sekolah ................ 80 Perencanaan Menu. .............................................................................................. 80 Pengolahan ............................................................................................................ 81 Higiene dan Sanitasi .............................................................................................. 82
xvii
Pemorsian dan Pendistribusian ............................................................................ 83 Penyajian Makanan ............................................................................................... 83 Monitoring dan Evaluasi ....................................................................................... 84 Output Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah.................................................... 84 Tingkat Kesukaan Anak terhadap Menu Sepinggan ............................................. 84 Daya Terima Makanan Anak Sekolah.................................................................... 85 Konsumsi dan Tingkat Kecukupan ........................................................................ 87 Simpulan ....................................................................................................................... 93 Daftar Pustaka............................................................................................................... 93
ANALISIS SWOT MODEL PENYELENGGARAAN MAKANAN ANAK SEKOLAH DENGAN MENU SEPINGGAN ............................................. 98 Pendahuluan ................................................................................................................. 99 Metode Analisis ............................................................................................................ 99 Kerangka Analisis Strategis SWOT ............................................................................ 99 Formulasi Analisis SWOT......................................................................................... 100 Analisis SWOT ............................................................................................................. 101 Simpulan ..................................................................................................................... 106 Daftar Pustaka............................................................................................................. 106
PEMBAHASAN UMUM ......................................................................... 108 SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 112 Simpulan ..................................................................................................................... 112 Saran ........................................................................................................................... 113
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 115 L A M P I R A N ..................................................................................... 120
xviii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel
1 Variabel, data, metode pengukuran dan responden penelitian ........ 46
Tabel
2 Kandungan energi, protein, vit A dan Fe kudapan PMT-AS SDN 1 Malangsari Cipanas – Lebak – Banten ............................................ 55
Tabel
3 Daya Terima Siswa Terhadap Menu PMT-AS ................................. 56
Tabel
4 Variabel, data, metode pengukuran dan peserta penelitian ............. 69
Tabel
5 Distribusi peserta berdasarkan umur dan jenis kelamin ................... 75
Tabel
6 Distribusi peserta berdasarkan besar uang jajan ............................. 76
Tabel
7 Distribusi orang tua peserta berdasarkan tingkat pendidikan ........... 76
Tabel
8 Distribusi orang tua peserta berdasarkan pekerjaan ........................ 77
Tabel
9 Distribusi peserta berdasarkan jumlah anggota keluarga ................. 78
Tabel 10 Kandungan energi, protein, vit. A dan Fe sarapan menu sepinggan 81 Tabel 11 Daya terima peserta terhadap menu sepinggan .............................. 86 Tabel 12 Distribusi tingkat kecukupan energi dan protein (TKE dan TKP) peserta ............................................................................................ 91 Tabel 13
Tingkat kecukupan vit. A dan Fe peserta sebelum dan sesudah efikasi .............................................................................................. 91
xix
xx
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar
1 Kerangka pemikiran penelitian penyelenggaraan makanan anak sekolah............................................................................................ 8
Gambar
2 Komponen-komponen penyelenggaraan makanan anak sekolah .... 9
Gambar
3 Hubungan sistem dan subsistem dalam penyelenggaraan makanan (Sullivan 1989) .............................................................................. 14
Gambar
4 Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan menu anak sekolah (Sinaga 2007) .......................................................... 15
Gambar
5 Skala Wajah untuk mengukur tingkat kesukaan pada anak sekolah (Gregoire & Spears 2007) ............................................................. 17
Gambar
6 Skala Comstock untuk mengukur sisa makanan siswa (Gregoire & Spears 2007)................................................................................. 18
Gambar
7 Tingkat kesukaan siswa terhadap kudapan PMT-AS..................... 55
Gambar
8 Alur Pelaksanaan penelitian pengembangan (R&D) menurut Borg and Gall (1989) dalam Sugiyono (2011) ........................................ 65
Gambar
9 Tahapan kegiatan perancangan sarapan menu sepinggan di SDN Kebon Kopi 2 Bogor ...................................................................... 72
Gambar 10 Hasil perancangan model penyelenggaraan sarapan menu sepinggan untuk anak sekolah dasar bagi siswa dari keluarga miskin ............................................................................................ 73 Gambar 11 Tingkat kesukaan peserta terhadap menu sepinggan ................... 85 Gambar 12 Diagram proses penyusunan strategi penguatan model penyelenggaraan makanan anak sekolah melalui analisis SWOT .................................................................................................... 100 Gambar 13 Diagram analisis SWOT (Sumber: Supranto, 1997) .................... 101 Gambar 14 Hasil Matrix Analisis SWOT Model Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan Anak Sekolah ............................................................ 104
xxi
xxii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Persetujuan Etik (Ethical Clearance) .................................. .........122 Lampiran 2 Analisis uji beda konsumsi dan tingkat kecukupan contoh selama pemberian makanan sepinggan di SDN Kebon Kopi 2 Bogor (Dependent sampleT-test ) .......................................................... 123 Lampiran 3 Perbedaan Komponen dalam Penyelenggaraan Makanan di Setiap Sekolah ....................................................................................... 124 Lampiran 4 Nilai Higiene & Sanitasi Model off-site prepared meal community sector participation with conventional production ......................... 125 Lampiran 5 (Lanjutan ) Nilai Higiene & Sanitasi Model off-site prepared meal community sector participation with conventional production ....... 126 Lampiran 6 Gambar Penyelenggaraan Makanan di Clinton Elementary School dan Southwest High School Nebraska USA ...................................... 127 Lampiran 7 Gambar Penyelenggaraan Makanan di Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi ........................................................................... 128 Lampiran 8 Gambar Penyiapan, Pemasakan, Penyajian dan Pencucian Alat di Sekolah Marsudirini, Parung Bogor ............................................. 130 Lampiran 9 Gambar Penyimpanan, Pemasakan, Pendistribusian, Penyajian dan Penyimpanan Alat di SAB, Bogor ................................................ 131 Lampiran 10 Gambar Penyimpanan, Pemasakan, Pendistribusian, Penyajian dan Penyimpanan Alat di SD IT Insantama Bogor .............................. 132 Lampiran 11 Gambar Penyiapan, Pemasakan, Penyajian dan Suasana Makan Kudapan PMT-AS di SDN 1 Malangsari Cipanas ........................ 133 Lampiran 12 Gambar Alur Pemilihan Penjamah Makanan ............................... 134 Lampiran 13 Gambar Alur Pembelian Bahan Pangan ...................................... 134 Lampiran 14 Gambar Alur Pendidikan Gizi melalui Makanan di Sekolah ......... 135 Lampiran 15 Gambar Alur Perencanaan Menu ................................................ 136 Lampiran 16 Prosedur Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan di SDN Kebon Kopi 2 Bogor ............................................................................... 137 Lampiran 17 Perhitungan Biaya Pembangunan Dapur Sekolah ....................... 138
xxiii
Lampiran 18 Desain Pembangunan Dapur Sekolah ........................................ 139 Lampiran 19 Perhitungan Biaya Pengadaan Alat Masak dan Alat Saji ............ 140
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan sumberdaya manusia (SDM) adalah kunci utama dari keberhasilan pembangunan nasional. Pembangunan SDM diarahkan untuk membangun manusia berkualitas baik dari aspek fisik maupun rohani secara seimbang (Syarief 1997). Kualitas SDM Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang relatif stagnan di urutan bawah dari tahun ke tahun (Riyadi 2006). Pada tahun 2011 Pembangunan Manusia Indonesia berada di posisi ke-124 di bawah rangking Singapore, Brunai Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina (UNDP 2011). Upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia harus dilakukan sejak dini, secara sistematis dan berkesinambungan. Usia anak sekolah merupakan investasi bangsa karena mereka adalah generasi penerus yang akan menentukan kualitas bangsa di masa yang akan datang. Gizi baik waktu usia sekolah menghantarkan masa depan gemilang (Muhilal & Damayanti 2006). Proses tumbuh kembang anak usia sekolah yang optimal diantaranya ditentukan oleh asupan makanan yang tepat secara kualitas dan kuantitas. Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan SDM di bidang pendidikan adalah masih tingginya angka putus sekolah yang dialami oleh 3% atau sekitar 11,7 juta anak usia sekolah. Meskipun belum ada penelitian khusus, diduga penyebab putus sekolah adalah rendahnya keadaan kesehatan dan gizi anak-anak serta kemiskinan orangtua mereka, sehingga tenaga mereka lebih diperlukan untuk membantu mencari nafkah (KEMENDAGRI 2010). Survei yang dilakukan oleh Studdert & Soekirman pada tahun 1998 menunjukkan bahwa 70% anak di desa miskin mengonsumsi makanan kurang dari 70% kebutuhan energi sehari mereka; 40% anak-anak anemia dan kira-kira 50-80%
anak-anak terkena infeksi cacing. Laporan Judhiastuty (2005)
mengungkapkan bahwa anak sekolah di Indonesia yang menderita gizi kurang kronik sedang (stunting) hanya berkurang 3,7% yaitu dari 39,8% tahun 1994 menjadi 36,1% pada tahun 1999. Hal ini mengindikasikan bahwa hanya sedikit yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalah kekurangan gizi anak sekolah tersebut. Oleh karena itu, harus dilakukan usaha pencegahan
2
secara menyeluruh (komprehensif) yang dapat dilaksanakan sebagai upaya untuk memecahkan masalah tersebut. Berdasarkan Riskesdas Tahun 2010, dinyatakan bahwa status gizi anak sekolah (usia 6-14 tahun) masih rendah. Prevalensi kependekan (pendek dan sangat pendek) secara nasional sebesar 35.6% (Jawa Barat 34.2%), dan prevalensi kekurusan (kurus dan sangat kurus) secara nasional sebesar 12.2% (Jawa Barat 10.2%). Laporan Riskesdas 2007 disebutkan bahwa di wilayah kota Bogor prevalensi kurus pada anak laki-laki sebesar 9,5% dan pada anak perempuan sebanyak 5,3%. Laporan analisis lanjut data Riskesdas 2010 yang dilakukan oleh Salimar (2011) menyatakan bahwa deisit energi pada anak usia sekolah (6-12 tahun) sebesar 294 Kkal/hari, sedangkan defisit untuk keperluan intervensi sebesar 558 Kkal/hari. Dan jika dilihat defisit protein untuk intervensi ditemukan sebesar 12.2 gram/hari. Anak-anak sekolah di negara sedang berkembang umumnya menderita kelaparan jangka pendek, kekurangan energi protein, dan kekurangan Iodium, vitamin A, dan besi. Beberapa studi menemukan bahwa status gizi dan kesehatan berpengaruh penting pada kapasitas belajar anak-anak dan kinerja mereka di sekolah. Anak-anak usia sekolah yang kekurangan gizi, terutama besi dan Iodium, atau yang menderita kekurangan energi-protein, kelaparan, dan/atau infeksi parasit atau penyakit lain, tidak memiliki kapasitas yang sama untuk belajar seperti anak-anak yang sehat dan gizinya baik. Banyak intervensi yang telah dilakukan pada beberapa tahun terakhir ini, yang bertujuan meningkatkan kemampuan siswa, terutama bagi mereka yang kurang gizi. Di antara intervensi tersebut, program pemberian sarapan di sekolah sering dianggap sebagai intervensi yang efektif untuk meningkatkan efisiensi pendidikan di sekolahsekolah miskin di negara berkembang (Cueto & Chinen 2008). Program sarapan di sekolah ditargetkan untuk mengurangi kelaparan dan meningkatkan status gizi anak-anak, terutama mereka yang kurang gizi (Powell et al 1998). Program sarapan ataupun makan siang di sekolah dipersiapkan dan diolah di dapur-dapur sekolah atau di luar gedung sekolah. Hal ini tergantung dari fasilitas yang tersedia di sekolah tersebut. Sekolah dengan jumlah siswa yang banyak di kota-kota sering mempergunakan dapur produksi terpusat dan mengirimkan makanan jadi ke sekolah yang lebih kecil yang berada di sekitarnya (Palacio & Theis 2009).
3
Beberapa model penyelenggaraan makanan anak sekolah sudah diterapkan di berbagai negara. Model tersebut adalah model penyiapan makanan dilakukan di sekolah, model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah, siswa membawa pulang kupon, atau pemberian uang tunai kepada siswa atau pemberian bahan pangan dalam jumlah tertentu. Model penyiapan makanan (berupa makanan lengkap atau makanan kecil/kue) yang dilakukan di sekolah, bahan pangan yang dipergunakan dapat berupa sumbangan dari pemberi bantuan, atau bahan pangan lokal yang ada di sekitar sekolah, tenaga penjamah makanan merupakan tenaga sekolah atau tenaga dari luar sekolah, misalnya dari katering atau dari penjual makanan. Model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah, dengan tenaga penjamah makanan berasal dari swasta seperti tenaga katering. Di dalam model penyiapan makanan yang dilakukan di sekolah dan luar sekolah, makanan yang diproduksi dikonsumsi di dalam sekolah. Model lainnya adalah siswa membawa pulang kupon ke rumah atau uang tunai atau bahan pangan dalam jumlah tertentu. Dalam model ini makanan dikonsumsi di rumah
siswa.
Menurut
Del
Rosso
(1999),
masing-masing
model
penyelenggaraan makanan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada saat ini beberapa sekolah di Indonesia telah menyelenggarakan makanan di sekolah (sebagai makanan kecil dan makanan lengkap siang hari) bagi siswa yang berasal dari keluarga mampu. Hal ini dilaksanakan karena sekolah-sekolah tersebut memberlakukan 5 hari sekolah (full day school). Sekolah tersebut memperoleh dana dari orang tua siswa untuk pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan makanannya. Beberapa contoh sekolah yang melaksanakan
penyelenggaraan
makanan
di
sekolah
untuk
mencukupi
kebutuhan gizi siswanya selama berada di sekolah adalah Sekolah Alam Bogor (SAB), SD IT Insantama Bogor, Yayasan Al-Muslim Tambun di Bekasi, Sekolah Marsudirini Parung Bogor, SD Al-azhaar Tulung Agung Jawa Timur, Yayasan AlHikmah Surabaya dll. Pada hakekatnya di Indonesia telah ada kegiatan Program Makanan Tambahan Anak sekolah (PMT-AS) dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan dan mendukung program
pengentasan kemiskinan. PMT-AS
bertujuan untuk mencegah masalah kekurangan energi protein pada siswa Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidayah (MI) sekaligus mengupayakan mengurangi kecacingan pada anak. PMT-AS dilaksanakan dengan memberikan kudapan dan merupakan program nasional dimulai sejak 1996/1997, serta
4
dilaksanakan secara lintas sektoral. Pada tahun 2010 dilakukan kegiatan Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengolahan makanan berupa kudapan dari bahan pangan lokal melalui pemberdayaan masyarakat setempat (KEMENDAGRI 2010). Dalam rangka penyusunan buku Petunjuk Teknis Pengolahan Kudapan Nusantara dalam PMT-AS (KEMENDIKNAS 2011), telah dilakukan ujicoba pembuatan kudapan PMT-AS pada tanggal 21 Mei dan 5 Juni 2011. Ujicoba tersebut dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Makanan Program Studi Tata Boga jurusan Ilmu Kesejahteraan Keluarga Fakultas Tehnik Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pengalaman dalam ujicoba pembuatan kudapan PMT-AS tersebut adalah cukup susah untuk memenuhi 300 Kkal dan 5 gr protein karena: 1) memerlukan waktu penyiapan yang relatif lama; 2) memerlukan tenaga khusus yang dapat memasak berbagai macam jenis kudapan; 3) menuntut tersedianya berbagai macam dan jumlah peralatan memasak yang memadai; dan 4) beberapa kudapan mempunyai volume yang besar sehingga harus disajikan lebih dari satu buah. Berdasarkan Laporan Pengumpulan Data Dasar Monitoring dan Evaluasi PMTAS (1997), rata-rata lama memasak kudapan PMT-AS berkisar 10.8 jam hingga 21.9 jam, serta data yang diperoleh di SDN 1 Malangsari Cipanas Lebak Banten pada bulan Desember 2011, didapatkan bahwa rata-rata memasak kudapan PMT-AS adalah 7 jam. Berdasarkan masalah tersebut di atas, maka penting melakukan penelitian untuk mengembangkan model sarapan menu sepinggan bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin yang dapat dilaksanakan di sekolah dasar.
Perumusan Masalah Hasil analisis lanjut terhadap data Riskesdas 2010 pada 17.756 anak usia sekolah dasar yang berada pada kuintil 1 dan 2 didapatkan bahwa, sebesar 48.4% siswa yang sarapan hanya memperoleh asupan energi < 15% AKG, dan rata-rata konsumsi sarapan siswa SDN Kebon Kopi 2 Bogor adalah sebesar 196 Kkal (10% AKG), serta sebagian besar (75.8%) pendapatan keluarga murid SD tersebut termasuk kategori miskin. Beberapa sekolah telah melaksanakan penyelenggaraan makanan berupa makan siang ataupun makanan selingan bagi siswa yang berasal dari keluarga ekonomi mampu, tetapi belum ada penyelenggaraan makanan lengkap
5
bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang bagaimana selama ini dapat diterapkan di berbagai negara ? 2. Model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang bagaimana selama ini dapat dilaksanakan di Indonesia ? 3. Bagaimana model penyelenggaraan makanan di sekolah dasar yang sesuai untuk siswa yang berasal dari keluarga miskin ? 4. Bagaimana efikasi dari model penyelenggaraan makanan anak sekolah untuk siswa yang berasal dari keluarga miskin? 5. Model yang bagaimana dapat direkomendasikan untuk diterapkan bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin ?
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model penyelenggaraan makanan anak sekolah di Sekolah Dasar (SD) yang siswanya berasal dari keluarga miskin sehingga dapat menghasilkan makanan yang dapat diterima siswa dengan baik. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji model-model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang telah dilaksanakan di berbagai negara 2. Mengkaji model-model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang telah dilaksanakan di Indonesia 3. Merancang model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang berasal dari keluarga miskin 4. Efikasi model yang dirancang untuk menganalisa tingkat kesukaan dan daya terima siswa terhadap makanan yang diproduksi 5. Merekomendasikan model sarapan menu sepinggan yang dapat diaplikasikan di sekolah yang siswanya berasal dari keluarga miskin
Manfaat Penelitian Penelitian ini merekomendasikan model penyelenggaraan makanan anak sekolah dasar yang siswanya berasal dari keluarga miskin. Model ini dapat digunakan oleh penentu kebijakan (pemerintah) dalam upaya perbaikan konsumsi dan kesehatan anak sekolah melalui pemberian sarapan siswa di sekolah dasar khususnya bagi siswa yang orang tuanya miskin. Dan juga
6
dihasilkannya
publikasi
yang
bermanfaat
dalam
pengembangan
ilmu
pengetahuan khususnya manfaat sarapan menu sepinggan di sekolah dasar.
Kerangka Pemikiran Penelitian Anak sekolah di negara sedang berkembang banyak yang menderita kelaparan jangka pendek, kekurangan energi protein, dan kekurangan Iodium, vitamin A, dan besi. Status gizi dan kesehatan siswa berpengaruh penting pada konsentrasi belajar anak di sekolah. Anak-anak usia sekolah yang kekurangan gizi, terutama besi dan Iodium, atau yang menderita kekurangan energi-protein, kelaparan, dan/atau infeksi parasit atau penyakit lain, tidak memiliki konsentrasi untuk belajar seperti anak yang sehat dan gizinya baik. Untuk mengatasi masalah diatas maka diperlukan makanan anak sekolah yang dilaksanakan selama berada di sekolah. Beberapa model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang sudah dilaksanakan mempunyai keuntungan dan kerugian. Untuk membuat model yang sesuai dan dapat diterapkan pada sekolah yang siswanya berasal dari keluarga miskin, maka diperlukan analisa tentang keuntungan dan kerugian dari model-model penyelenggaraan makanan yang telah diterapkan di berbagai negara dan juga di Indonesia. Penyelenggaraan makanan siswa di sekolah dapat dilaksanakan dengan syarat-syarat yang ditetapkan yaitu memenuhi kontribusi terhadap kecukupan zat gizi siswa, dengan memperhatikan sanitasi yang tinggi sehingga menghasilkan makanan yang aman dan dapat diterima siswa. Manajemen penyelenggaraan makanan anak sekolah merupakan suatu sistem yang terdiri atas beberapa subsistem. Sub-sistem tersebut harus dikoordinasikan dengan baik dalam satu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan dari penelenggaraan makanan tersebut. Sub-sistem yang dimaksud mencakup 3 komponen yaitu sumberdaya, proses dan hasil (Perdigon 1989). Sumberdaya dalam kegiatan penyelenggaraan makanan anak terdiri atas tenaga penjamah makanan, alat yang dipergunakan, biaya yang dibutuhkan, metode produksi yang dipergunakan, dan bahan pangan yang diperlukan. Proses penyelenggaraan makanan anak sekolah dimulai dari perencanaan menu, pembelian bahan pangan, penerimaan bahan pangan, penyimpanan bahan pangan, pengeluaran bahan pangan, penyiapan bahan pangan, pemasakan bahan pangan sehingga menghasilkan makanan yang aman dan seimbang, penyajian atau pemorsian makanan, dan pendistribusian makanan
7
kepada siswa sebagai konsumen, serta pencucian peralatan (alat saji dan alat masak) (Perdigon 1989). Hasil dari sumberdaya dan proses penyelenggaraan makanan adalah menu yang bermutu yang dapat dikonsumsi oleh siswa. Untuk mengetahui mutu makanan yang dihasilkan, maka dilakukan analisa tingkat kesukaan dan daya terima siswa terhadap makanan yang diproduksi. Hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah adanya kenaikan konsumsi, tingkat kecukupan energi dan gizi lainnya, serta status gizi siswa kearah yang lebih baik. Pada Gambar 1 dapat dilihat kerangka pemikiran dalam penelitian ini, dan pada Gambar 2 merupakan komponen-komponen penyelenggaraan makanan anak sekolah yang dibutuhkan. Penyelenggaraan makanan anak sekolah melibatkan berbagai pihak yang memiliki peranan masing-masing, seperti kepala sekolah, guru, siswa, orang tua murid/komite sekolah, masyarakat di sekitar sekolah, dan Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) dari Puskesmas. Dari hasil penelitian ini diharapkan suatu model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang lebih berdaya guna serta pelaksanaannya yang lebih efektif dan efisien. Pada akhir penelitian, model yang dibuat akan dievaluasi dengan menggunakan Analisa SWOT, untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari model yang dikembangkan, sehingga diperoleh langkah-langkah yang strategis dan efektif dalam penerapannya serta untuk pengembangan yang berkelanjutan sesuai dengan kondisi-kondisi yang ada.
8
Ekonomi Terbatas
Status Gizi Siswa Rendah Konsumsi Makanan Siswa Rendah Pengetahuan Gizi Siswa Rendah
Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah
Kepedulian Masyarakat tentang Gizi Rendah
Intervensi Pemerintah masih minimum
Siswa: -Peningkatan Konsumsi Makanan - Peningkatan Status Kesehatan & Gizi - Pendidikan Gizi & Etika - Konsentrasi belajar naik - Tingkat kehadiran naik - Lebih Berprestasi
Gambar 1
Program belum berkelanjutan Program PMT-AS belum mencapai sasaran
Pendidikan Gizi & Etika Masyarakat sekitar sekolah peduli & ikut berpartisipasi
Teknis Pelaksanaan Rumit
Pemilihan Menu yg tepat MODEL Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah
Masyarakat Sekitar Sekolah : - Pengetahuan Gizi naik - Status Kesehatan & Gizi naik - Ada Kepedulian & Kerjasama - Meningkatkan ekonomi
Bahan pangan sesuai, ekonomis & bergizi Proses pengolahan yang praktis & higienis
Pemerintah: - Sumber Daya Manusia yang lebih berkualitas - Program Swadana Masyarakat dapat mendukung keberkelanjutan program
Kerangka pemikiran penelitian penyelenggaraan -makanan anak sekolah
9
Gambar 2
Komponen-komponen penyelenggaraan makanan anak sekolah
Definisi Operasional Siswa adalah anak usia sekolah yang berumur 6–18 tahun yang duduk di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Siswa sekolah dasar adalah anak usia sekolah yang berumur 11–14 tahun yang duduk di kelas 5 dan 6 dan menjadi peserta penelitian. Penyelenggaraan makanan siswa di sekolah dasar adalah pelaksanaan penyediaan makanan bagi siswa di sekolah dasar. Pelaksanaan Penyediaan Makanan Tambahan anak sekolah (PMT-AS) termasuk dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah. Tingkat kesukaan siswa adalah tingkatan dari “sangat suka”, “suka”, “biasa”, “tidak suka”, dan “sangat tidak suka” siswa terhadap menu sepinggan yang diberikan dan diukur dengan menggunakan metode smiley face.
10
Higiene dan sanitasi makanan adalah keadaan yang digambarkan pada tingkat kebersihan pada saat penyiapan, saat pemasakan, peralatan (masak & alat saji), penyajian, lingkungan kerja, air dan tenaga kerja. Daya terima siswa adalah penerimaan (habis tidaknya makanan) siswa terhadap menu sepinggan yang diukur dengan metode self-reported consumption (disebut juga penilaian dengan metode Comstock). Daya terima terhadap sarapan menu sepinggan diukur dengan 6 kategori, yaitu : tidak dimakan, hanya dicicipi, habis ¼ bagian, habis ½ bagian, habis ¾ bagian, dan habis semua. Pengolahan bahan pangan adalah kegiatan yang dilakukan pada saat penyiapan dan pemasakan makanan untuk anak sekolah. Model Penyelenggaraan Makanan adalah model pelaksanaan penyediaan makanan bagi siswa di sekolah dasar yang meliputi input (SDM), peralatan yang dipergunakan (mulai dari kegiatan penyiapan sampai pencucian), bahan pangan dan non-pangan (detergen untuk pencucian, serbet untuk pengering), metode dan biaya, proses (perencanaan menu sampai penyajian makanan) dan output (kesukaan siswa terhadap menu dan daya terima siswa terhadap menu) serta dampaknya adalah konsumsi, dan tingkat kecukupan siswa. Menu adalah makanan (dapat berupa makanan lengkap atau makanan kecil/kue) dan minuman yang disajikan kepada anak sekolah. Menu Sepinggan adalah makanan lengkap yang disajikan dalam satu piring atau mangkuk, yang terdiri dari makanan pokok sebagai sumber karbohidrat, lauk pauk sebagai sumber protein, dan sayuran sebagai sumber vitamin dan mineral. Tenaga Penjamah Makanan adalah tenaga yang melaksanakan kegiatan penyelenggaraan makanan mulai dari pembelian bahan pangan, penerimaan bahan pangan, penyimpanan bahan pangan, pengeluaran bahan pangan, pengolahan bahan pangan, pemorsian makanan, penyajian makanan, dan pendistribusian makanan serta pencucian peralatan.
11
TINJAUAN PUSTAKA Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah Belajar dari perjalanan sejarah peradaban dunia, kita akan menemukan bahwa bangsa-bangsa yang sekarang termasuk dalam gugusan negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Jepang, dan sekarang disusul oleh China, India, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, adalah negaranegara yang sejak memulai pembangunannya mendudukkan pendidikan sebagai prioritas pertama. Negara-negara ini menganut paradigma “To Built Nation Built School”. Penelitian membuktikan bahwa ”Education and learning depend on good nutrition and health” (Sinaga 2009). Pemberian makanan di sekolah (School Feeding Program/SFP) telah dilaksanakan di berbagai negara. Berbagai kesuksesan dapat dicapai melalui pemberian makanan tersebut. Di negara maju seperti Amerika Serikat, program pemberian makanan di sekolah telah dimasukkan ke dalam undang-undang “Makan Siang Anak Sekolah” - P.L. 105-394, November 13, 1998 (Pannell,1999), sehingga wajib dilaksanakan di sekolah-sekolah. Tujuan pemberian makanan di sekolah adalah menyediakan makanan yang berguna untuk mengurangi rasa lapar sehingga siswa dapat berkonsentrasi belajar lebih baik, dan juga cara untuk menarik anak-anak supaya mau pergi ke sekolah serta mereka hadir secara teratur (Ahmed 2004). Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, program pemberian makanan anak di sekolah sering dilakukan dengan kerja sama antara organisasiorganisasi besar dengan pemerintah dan dengan organisasi-organisasi nonpemerintah. Pelaksanaan yang terbesar dilakukan oleh UN World Food Program (WFP), yang mengoperasikan program tersebut di 78 negara pada tahun 2006. Agen lain dan NGOs melaksanakan pemberian makanan di sekolah pada tingkat nasional, regional dan lokal (Village Hope 2008).
Manajemen Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah Keberhasilan penyelenggaraan makanan anak di sekolah bergantung pada pengelolaan dan pelaksanaannya yang harus dilakukan dengan efektif dan efisien. Penyelenggaraan makanan anak di sekolah harus memenuhi syaratsyarat yang telah ditentukan, seperti menu apa yang dihidangkan, memenuhi kecukupan zat gizi siswa, dihidangkan secara menarik dan memenuhi standar
12
sanitasi. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki dan menjaga status gizi anak sekolah, meningkatkan tingkat kehadiran anak di sekolah, memperbaiki prestasi akademik serta mendukung kurikulum pendidikan gizi (Wirakusumah dkk 1989). Di negara maju atau negara industri, penyelenggaraan makanan di sekolah diawasi oleh organisasi makanan sekolah yang bertanggung jawab untuk jasa katering, termasuk kontrol keuangan, perencanaan menu, penasehat dalam pembelian bahan pangan, perencanaan dapur dan administrasi secara umum. Pengawasan dapur makanan di sekolah dilakukan oleh petugas katering atau pengawas juru masak dan pada unit yang lebih kecil dilaksanakan oleh tukang masak. Banyak perempuan dipekerjakan pada bidang ini, karena mereka menemukan bahwa bekerja di penyelenggaraan makanan sekolah cocok dengan tanggung-jawab mereka di rumah. Mereka bekerja dua sampai dua setengah jam setiap hari di pelayanan makanan, karena fasilitas untuk kegiatan sudah tersedia lengkap. Staf di dapur pelayanan makanan anak sekolah pada semua tingkatan manajemen sudah mendapatkan pelatihan sebelum mereka bekerja. Dapurdapur sekolah dilengkapi dengan peralatan yang baik. Standar yang tinggi diterapkan terhadap kesehatan pekerja dan sanitasi dapur dituntut untuk dapat dipenuhi. Staf pelayanan makanan mengawasi siswa pada waktu makan, terutama di sekolah dasar dan menengah. Staf pelayanan makanan mempunyai tanggung jawab atas perilaku dan tata krama yang baik di meja makan dan juga mendorong anak-anak agar mengembangkan perilaku yang benar terhadap makanan sehat (Kinton & Ceserani 1989). Pelayanan makanan siswa di negara maju paling efektif ketika ahli diet atau ahli gizi, pengelola sekolah, manajer penyelenggaraan makanan, dan kelompok pendukung lainnya, seperti persatuan orang tua murid menyadari pentingnya nilai-nilai perkembangan mental dan fisik siswa. Kelompok ini dapat bekerja sama untuk membuat penyelenggaraan makanan tidak hanya sebagai "program pemberian makanan" tetapi lebih dari itu, sebagai program pendidikan gizi untuk semua siswa yang menjadi bagian dari pengalaman belajar anak-anak di sekolah (Palacio & Theis 2009). Jenis organisasi dan manajemen yang ada di dalam pelayanan makanan di sekolah bervariasi bergantung pada jumlah siswa dan lokasi sekolah yang melaksanakan. Sekolah yang siswanya sedikit kemungkinan mempunyai penyiapan makanan yang sederhana dan pelayanan hanya diawasi oleh seorang juru masak atau manajer dengan satu atau dua karyawan dan dibantu oleh siswa
13
yang bekerja part-time. Sekolah dengan jumlah siswa yang banyak di kota-kota besar sering mempergunakan dapur produksi terpusat dan mengirim makanan jadi ke sekolah-sekolah yang lebih kecil yang berada di sekitarnya. Manajemen terpusat dengan pengawas di masing-masing unit sekolah merupakan karakteristik sistem produksi terpusat/commissary (Palacio & Theis 2009). Di negara-negara berkembang, penyediaan makanan di sekolah mempunyai peranan kritis karena berfungsi untuk menjamin anak-anak dapat belajar ketika mereka berada di sekolah. Anak-anak miskin sering pergi ke sekolah dengan perut kosong. Tiga ratus juta anak-anak di dunia dalam keadaan lapar kronis, kira-kira 170 juta dari anak-anak tersebut hadir di sekolah dan belajar dengan kondisi melawan lapar. Program pemberian makanan di sekolah membantu anak-anak miskin bersekolah, menolong mereka saat belajar di sekolah. Anak-anak di pedesaan sering berjalan jauh menuju ke sekolah dengan perut kosong. Banyak anak-anak tidak membawa makanan dari rumah untuk dimakan di sekolah karena faktor kemiskinan. Anak-anak ini mempunyai masalah untuk berkonsentrasi pada pelajaran di kelas. Para guru melaporkan bahwa tidak sarapan dapat menjadikan anak-anak sekolah tertidur di dalam kelas dan tidak mampu memperoleh manfaat pendidikan yang telah disediakan. Sindrom ini, secara umum dikaitkan dengan lapar jangka pendek, dan dapat mempengaruhi fungsi cognitive anak-anak, dan prestasi belajar. Beberapa studi mengemukakan bahwa lapar jangka pendek bertambah buruk pada anak-anak yang mempunyai riwayat kurang gizi (Cueto & Chinen 2008).
Proses Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah Perencanaan Menu Istilah “menu” berasal dari bahasa Perancis yang artinya daftar makanan yang dihubungkan dengan kartu, kertas, atau media lain dimana daftar makanan itu tertulis (Khan 1989). Menu itu sendiri “rangkaian dari beberapa macam hidangan atau masakan yang disajikan atau dihidangkan untuk seseorang atau kelompok orang untuk setiap kali makan, yaitu dapat berupa susunan hidangan pagi, hidangan siang, ataupun hidangan malam” (Mukri dkk 1990). Menu yang terencana baik dalam penyelenggaraan makanan anak di sekolah dapat menjadi suatu alat penyuluhan gizi yang baik untuk siswa, karena melalui menu tersebut dapat diajarkan pola makan yang baik. Pola makan yang baik, secara tidak langsung dapat berperan sebagai alat penyuluhan gizi yang
14
baik bagi siswa. Perencanaan menu merupakan rangkaian kegiatan untuk menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Kegiatan ini sangat penting dalam sistem pengelolaan makanan anak sekolah, karena menu sangat berhubungan dengan kebutuhan dan penggunaan sumberdaya lainnya seperti anggaran belanja. Perencanaan menu harus disesuaikan dengan anggaran yang tersedia dengan mempertimbangkan kebutuhan gizi dan aspek kepadatan makanan dan variasi bahan pangan (Mukri dkk 1990). Perencanaan menu merupakan salah satu tugas yang paling penting dalam sistem penyelenggaraan makanan anak sekolah (Khan 1989). Sistem penyelenggaraan makanan terdiri atas beberapa sub-sistem. Sub-sistem ”menu” merupakan unsur paling utama dalam kegiatan sistem penyelenggaraan makanan anak sekolah (Gambar 3). SUPRA SISTEM
SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN
BIAYA PENYAJIAN MAKANAN MENU PENGOLAHAN BAHAN PANGAN
TENAGA PENJAMAH MAKANAN
ALAT PEMBELIAN BAHAN PANGAN
Gambar 3
Hubungan sistem dan makanan (Sullivan 1989)
subsistem
dalam
penyelenggaraan
Dalam perencanaan menu anak sekolah, beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan agar tujuan penyelenggaraan makanan anak sekolah tercapai adalah jumlah dan keahlian tenaga penjamah makanan, dana yang dibutuhkan, peralatan yang dipergunakan, cara pembelian bahan pangan, cara memproduksi makanan dan jenis pelayanan yang akan diberikan kepada anak sekolah. Gambar 4 menunjukkan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan menu. Faktor-faktor tersebut yaitu: 1) faktor siswa, yang terdiri dari kecukupan gizi siswa, kebiasaan makan & kesukaan siswa terhadap makanan,
15
karakteristik makanan & sifat rangsangannya, macam & jumlah siswa yang dilayani, dan 2) faktor manajemen, yang terdiri dari sasaran & tujuan penyelenggaraan makanan anak sekolah, dana yang tersedia, keahlian & jumlah tenaga penjamah makanan, sarana & prasarana, musim/iklim dan keadaan pasar, macam dan peraturan sekolah, serta metode produksi & sistem pelayanan (Sinaga 2007; Mukri dkk 1990; Khan 1989). Skala Hedonik Wajah (Lampiran )
KEBIASAAN MAKAN & KESUKAAN SISWA TERHADAP MAKANAN
KECUKUPAN GIZI SISWA JUMLAH SISWA
KARAKTERISTIK MAKANAN & SIFAT RANGSANGANNYA
ORANG YG DILAYANI
SISWA MENU MANAJEMEN
SASARAN DAN TUJUAN
PASAR & MUSIM
TIPE PRODUKSI & SISTEM PELAYANAN MAKANAN MACAM & PERATURAN SEKOLAH SARANA & PRASARANA
DANA SDM
Gambar 4
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan menu anak sekolah (Sinaga 2007)
Hal yang paling utama yang harus diperhatikan dalam menyusun menu adalah kecukupan gizi anak sekolah. Menu yang dibuat harus sesuai dengan angka kecukupan gizi berdasarkan pertimbangan umur & jenis kelamin. Untuk sarapan sebaiknya diberikan 20-25% dari kecukupan siswa dan makan siang diberikan 30% dari kecukupan siswa/hari. Menu yang direncanakan sebaiknya disesuaikan dengan kebiasaan makan siswa. Kebiasaan makan siswa ditentukan oleh faktor kejiwaan, faktor sosial-budaya, agama, kepercayaan, latar belakang pendidikan, pengalaman, lingkungan hidup sehari-hari tempat asal dan demografi (Khan 1989). Menurut Khan 1989, makanan kesukaan adalah pilihan makanan dari sekian banyak makanan yang dihidangkan kepada siswa. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesukaan siswa terhadap makanan adalah: 1) faktor intrinsik, yaitu yang berasal dari penampilan makanan seperti warna, aroma, tekstur, rasa, kualitas dan suhu makanan. Siswa cenderung tertarik pada penyajian makanan yang menarik, dan warna yang serasi serta rasa yang enak; 2) faktor ekstrinsik, meliputi lingkungan, situasi, promosi, musim dan suhu lingkungan; 3) faktor
16
Biologi, Fisiologi, dan Psikologi. Jika terjadi gangguan pada fungsi biologi, fisiologi dan psikologi ini, maka kesukaan siswa terhadap makanan akan berubah karena perubahan penilaian, persepsi, dan nafsu makan. Usia dan jenis kelamin juga merupakan faktor biologis yang berpengaruh terhadap kesukaan anak terhadap makanan. Contoh, anak sekolah cenderung senang makan yang mengandung gula-gula seperti permen atau coklat. Faktor ke 4) adalah faktor personal, yang berasal dari siswa itu sendiri, seperti tingkat keinginan dan prioritas; 5) pengaruh dari orang lain, selera, suasana hati, emosi, keluarga; 6) faktor Sosial Ekonomi. Faktor ini sangat berpengaruh sekali terhadap pemilihan makanan. Jika penghasilan orangtua minim, siswa akan cenderung mengurangi pengeluaran untuk makanan & minuman, sedangkan bagi siswa yang orang tuanya berpenghasilan tinggi, dapat memilih berbagai macam makanan; 7) faktor budaya & agama. Dalam ajaran agama, terdapat larangan pada setiap umatnya untuk menjauhi beberapa makanan yang dianggap haram dan mutlak tidak boleh dikonsumsi. Faktor agama & budaya sangat mempengaruhi kesukaan terhadap makanan, seperti, muslim dilarang mengonsumsi daging babi dan hasil produknya (Khan 1989). Faktor-faktor tersebut diatas merupakan faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Kesukaan siswa terhadap makanan yang sifatnya lebih kompleks dapat diketahui dengan melakukan survey pertanyaan atau dengan pengamatan sisa makanan yang tidak dimakan oleh siswa. Kesukaan siswa terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat suka atau ketidaksukaan terhadap makanan dan akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Rasa kesukaan terhadap makanan terbentuk dari keinginan makan untuk memenuhi rasa lapar serta dari hubungan kesukaan pada masa anak-anak. Suatu makanan dianggap memenuhi selera atau tidak, tergantung dari pengaruh sosial, budaya, dan sifat fisik makanannya (Suhardjo 1986). Menurut Gregoire & Spears (2007) untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap makanan, umumnya menggunakan skala hedonik yaitu makanan yang dinilai oleh seseorang memiliki tingkatan “sangat suka” sampai “sangat tidak suka”. Pengukuran tingkat kesukaan makanan untuk anak-anak umumnya menggunakan skala hedonik wajah atau yang biasa disebut dengan skala wajah tersenyum (smiley face). Gambar 5 menunjukkan contoh skala hedonik wajah untuk mengukur tingkat kesukaan anak-anak terhadap menu yang disajikan. Penggunaan metode hedonik wajah lebih mudah digunakan untuk anak-anak
17
sekolah dibandingkan dengan metode tulisan atau angka karena kedua metode tersebut membutuhkan komunikasi dan pemahaman yang baik, kecerdasan, atau kemampuan untuk berkomunikasi dalam bahasa.
Jenis Makanan
Wajah anak
1. Makanan 1 Sangat Suka
Suka
Biasa-biasa Tidak Suka
Sangat Tidak Suka
2. Makanan 2 Sangat Suka Suka
Biasa-biasa Tidak Suka
Sangat Tidak Suka
Gambar 5
Skala Wajah untuk mengukur tingkat kesukaan pada anak sekolah (Gregoire & Spears 2007)
Daya terima seseorang terhadap makanan secara umum dapat dilihat dari jumlah makanan yang habis dikonsumsinya. Sisa makanan atau jumlah makanan yang tersisa (plate waste) merupakan metode yang digunakan untuk mengukur daya terima makanan. Sisa makanan dapat digunakan dengan menimbang berat makanan yang tidak dimakan oleh siswa. Pengamatan sisa makanan di alat saji merupakan salah satu cara memperkirakan makanan yang tidak dapat dihabiskan oleh siswa (Gregoire & Spears 2007). Cara mengukur sisa makanan lainnya adalah dengan cara mengisi konsumsi yang dihabiskan (self-reported consumption). Cara ini dapat dilakukan dengan memperkirakan atau mengestimasi jumlah sisa makanan yang terlihat di alat saji dengan menggunakan skala. Cara ini dikenal dengan metode Comstock yang sering dipergunakan pada program makan siang siswa di sekolah (Gregoire & Spears 2007). Comstock membagi skala dalam 6 kategori yaitu: dimakan habis, dimakan
18
3/4 bagian, dimakan ½ bagian, dimakan ¼ bagian, hanya dicicipi dan tidak dimakan (Gambar 6).
Jenis Makanan
Saya tidak makan
Saya hanya cicipi
Saya makan ¼ bgn
Saya makan ½ bgn
Saya makan ¾ bgn
Saya makan habis
1. Makanan 1
2. Makanan 2
Gambar 6
Skala Comstock untuk mengukur sisa makanan siswa (Gregoire & Spears 2007)
Karakteristik makanan dan sifat rangsangannya meliputi aspek-aspek: 1) warna, kombinasi yang menarik dan saling berkaitan dapat membantu penerimaan terhadap makanan dan secara tidak langsung dapat menambah nafsu makan siswa. Betapapun lezatnya makanan apabila warna penyajian tidak menarik dapat mengakibatkan siswa enggan untuk mencoba memakannya. Hindarilah makanan dengan warna yang sama, karena akan mengurangi keindahan menu yang disajikan. Biasanya orang menghias menu dengan tambahan garnish, seperti: peterselli, cheri, tomat atau dengan daun slada; 2) bentuk makanan, dianjurkan untuk tidak dibuat dengan banyak variasi bentuk, karena dapat menimbulkan ketidakserasian dan dapat mengurangi keindahan menu. Bentuk makanan yang disajikan dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain: sesuai bentuk asli bahan pangan, memotong bahan pangan dengan teknik tertentu, bentuk sajian khusus seperti nasi tumpeng; 3) aroma makanan
mampu
merangsang
indera
penciuman
sehingga
dapat
membangkitkan selera makan siswa. Aroma sate bakar di pinggir jalan membuat orang yang sedang lewat ingin segera mampir untuk mencicipinya; 4) konsistensi makanan, yaitu padat atau kentalnya makanan dapat memberikan rangsangan
19
lebih lambat terhadap manusia. Oleh karena itu, menu yang berkonsistensi padat sebaiknya dicampur dengan yang lunak, seperti lontong sayur dengan kerupuk; 5) rasa makanan dapat berupa asin, asam, pahit, dan manis. Rasa ini dapat dipadukan satu dengan yang lainnya dengan perbandingan yang sesuai dan pas, agar tidak terjadi rasa yang tidak enak dalam masakan; 6) metode penyiapan, perlu diperhatikan, seperti pada anak sekolah sebaiknya potongan bahan pangan lebih kecil dari pada orang dewasa; 7) penyesuaian suhu, pada suhu udara yang dingin biasanya anak lebih suka menu yang dapat menghangatkan tubuh yaitu makanan panas. Pada suhu yang panas lebih disukai makanan dingin, seperti es campur; 8) penyajian, merupakan aspek yang sangat menentukan karena penyajian makanan adalah hal pertama yang dapat mempengaruhi indera penglihatan siswa, maka diperlukan penyajian yang baik dari segi alat saji maupun cara penyajiannya (Khan 1989). Bila konsumen yang akan dilayani homogen seperti anak sekolah, menyusun menu dapat lebih sederhana. Dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah, umumnya yang dilayani adalah para siswa, tetapi beberapa sekolah juga melayani para guru dan pegawainya. Tujuan utama penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah melayani makanan siswa selama berada di sekolah, dan umumnya bersifat pelayanan (service-oriented) bukan mencari keuntungan
(profit-oriented).
Penyelenggaraan
makanan
anak
sekolah
memberikan pelayanan yang sesuai dengan kecukupan gizi siswa dan harganya terjangkau sesuai kemampuan siswa. Menu yang disusun harus sesuai dengan dana yang ditetapkan. Makanan yang baik dan bergizi untuk anak sekolah bukan berarti makanan yang harus mahal, oleh karena itu makanan anak sekolah yang disusun hendaknya beragam dengan harga terjangkau (Sinaga 2007). Dalam perencanaan menu dibutuhkan tenaga yang berkualitas dan memiliki keahlian khusus mulai dari pembelian bahan pangan, penyiapan bahan pangan, pemasakan bahan pangan sampai penyajian makanan. Sebaiknya penyelenggara makanan anak sekolah memiliki tenaga penjamah makanan yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitasnya (Mukri dkk 1990). Ketersediaan peralatan di dapur dapat menentukan jenis menu yang disusun baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Perencanaan menu yang baik & efisien membutuhkan keseimbangan hubungan antara bahan pangan, peralatan, dan tenaga penjamah makanan. Menu yang direncanakan harus dapat dilaksanakan dengan menggunakan alat-alat dan perlengkapan dapur yang tersedia. Jika alat dan
20
perlengkapan yang tersedia baik dan modern tentu menu yang dibuat dapat lebih bervariasi (Khan 1989). Iklim dapat mempengaruhi selera dan kebutuhan tubuh siswa. Pada musim hujan, udara menjadi sejuk, siswa membutuhkan makanan yang sedikit lebih banyak dari biasanya dan makanan yang diinginkan adalah makanan panas. Iklim juga mempengaruhi musim terutama untuk buah-buahan dan sayuran yang sifatnya musiman. Ada beberapa buah yang selalu ada sepanjang hari dalam setahun seperti pisang, pepaya, dan nenas. Jika menyusun menu sesuai dengan keadaan pasar/musim akan lebih menguntungkan karena harganya relatif lebih murah (Mukri 1990). Peraturan sekolah yang menentukan siapa yang bertanggung jawab untuk pengadaan makanan anak sekolah dan siapa yang harus diberi makan (murid, guru dan pegawai). Berapa besar biaya makanan (pembelian bahan pangan, biaya tenaga kerja, dan biaya bahan bakar) yang disediakan untuk penyelenggaraan makanan anak sekolah juga harus ditetapkan dalam peraturan sekolah (Sinaga 2007). Tipe produksi makanan anak sekolah memiliki dampak yang besar terhadap jenis menu dan waktu yang diperlukan untuk produksi dan penyajian makanan. Sistem atau macam pelayanan yang diberikan kepada siswa dapat berbeda-beda. Hal ini bergantung pada kemampuan tenaga penjamah makanan berdasarkan efisiensi dan efektivitas penyelenggara makanan anak sekolah. Macam pelayanan yang diberikan akan mempengaruhi susunan peralatan dan tata alur penyajian makanan siswa. Dengan demikian perlu diperhitungkan jadwal waktu pengolahan dan pelayanan makanan. Beberapa macam pelayanan makanan yang dikenal di penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah: pelayanan cara cafetaria, prasmanan, dengan mesin makanan otomatis, dan lain-lain. Pembelian Bahan Pangan Pembelian bahan pangan merupakan serangkaian proses penyediaan bahan pangan melalui prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya, agar tersedia bahan pangan dengan jumlah dan macam serta kualitas sesuai dengan yang direncanakan. Cara pembelian bahan pangan yang tepat dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan dana yang tersedia. Mutu hidangan yang dimasak tergantung dari keadaan fisik dan kualitas bahan pangan yang dibeli. Cara pembelian bahan pangan untuk makanan anak
21
sekolah dapat dilakukan langsung ke pasar atau melalui pelelangan (Palacio & Theis 2009). Pembelian langsung ke pasar biasanya dilaksanakan oleh sekolah yang jumlah siswanya sedikit. Di negara-negara maju, pada umumnya pembelian bahan pangan dikelola sendiri oleh penyelenggara makanan anak sekolah. Sistem ini dianggap efisien dan ekonomis dan menghemat waktu pengawasan. Penyelenggara makanan anak sekolah langsung mempertanggung jawabkan semua kegiatan yang dilaksanakannya mulai dari perencanaan menu, hingga tersedianya makanan siswa yang memenuhi standar. Penyelenggara makanan anak sekolah jelas lebih menekuni bidangnya, menguasai keadaan pasar dan sumber bahan pangan yang baik dan segar, matang ataupun setengah matang, serta mampu menilai kualitas bahan pangan dengan tepat (Sinaga 2007). Penerimaan Bahan Pangan Penerimaan bahan pangan merupakan kelanjutan dari proses pembelian bahan pangan. Penerimaan bahan pangan adalah kegiatan meneliti, memeriksa, mencatat dan melaporkan bahan pangan yang diperiksa sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan (Mukrie dkk 1990). Dalam penerimaan diperhatikan juga jumlah, jenis, ukuran kualitas bahan dan batas waktu kadaluarsa (Moehyi 1992). Jika penyelenggaraan makanan anak sekolah dalam skala kecil, tidak perlu ada penerimaan bahan pangan, karena petugas pembeli langsung belanja ke pasar dan membawa bahan ke tempat penyiapan untuk diproses (Sinaga 2007). Penyimpanan dan Pengeluaran Bahan Pangan Penyimpanan dan pengeluaran bahan pangan adalah proses kegiatan yang menyangkut penyimpanan dan penyaluran bahan pangan sesuai dengan permintaan untuk kegiatan penyiapan bahan pangan. Fungsi penyimpanan berbeda antara sekolah besar dan kecil. Bagi sekolah besar, penyimpanan dapat bertindak sebagai stok bahan pangan dan sistem penyimpanannya dipusatkan. Dalam sekolah kecil biasanya penyimpanan bahan pangan dilakukan hanya sementara karena fasilitas yang terbatas. Pembelian bahan pangan hari ini diperhitungkan untuk dihabiskan hari itu juga. Penyimpanan bahan pangan dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah dilakukan jika ada fasilitas yang cukup. Tujuan penyimpanan bahan pangan adalah: 1) memelihara dan mempertahankan kondisi dan mutu bahan pangan yang disimpan, 2) melindungi
22
bahan pangan yang disimpan dari kerusakan, kebusukan dan gangguan lingkungan lainnya, 3) melayani kebutuhan macam dan jumlah bahan pangan dengan mutu dan waktu yang tepat, 4) menyediakan stok bahan pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai (Palacio & Theis 2009). Penyiapan Bahan Pangan Penyiapan bahan pangan bertujuan untuk mempersiapkan racikan yang tepat dari berbagai macam bahan pangan untuk berbagai masakan dalam jumlah yang sesuai dengan standar porsi, dan jumlah siswa serta mempersiapkan berbagai bumbu masakan sesuai standar resep (Mukri dkk 1990). Ditjen Pelayanan Kesehatan (1981) menetapkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan penyiapan makanan anak sekolah yaitu: 1) penyiapan bahan pangan berdasarkan tertib kerja dan metode teknik penyiapan bahan pangan dalam standar resep; 2) penyiapan bahan pangan memperhitungkan waktu dan menu yang diproduksi; 3) peralatan, bahan pangan, dan bumbu-bumbu disesuaikan dengan menu yang akan diolah dan diatur secara baik sehingga memudahkan dalam melakukan pekerjaan; 4) pergunakan alat sesuai dengan menu yang dimasak; 5) perlengkapan dan peralatan disusun sedemikian rupa sehingga pekerjaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien; 6) pergunakan peralatan dengan baik dan benar untuk menghindari kecelakaan kerja; 7) perhatikan urutan langkah-langkah kerja sesuai dengan metode teknik penyiapan; 8) meja kerja, perlengkapan dan peralatan segera dibersihkan dan disusun kembali setelah digunakan. Penyiapan sebaiknya dilakukan dengan baik agar penampilan makanan baik dan nilai gizi bahan pangan tidak berkurang. Metode Pemasakan Bahan Pangan Pemasakan bahan pangan merupakan suatu kegiatan mengubah (memasak) bahan pangan mentah menjadi makanan yang siap dimakan, berkualitas, dan aman untuk dikonsumsi oleh siswa (Depkes 2003). Tujuan pemasakan bahan pangan pada penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah mempertahankan nilai gizi pangan, meningkatkan nilai cerna bahan pangan, mempertahankan dan menambah cita rasa, menambah aroma, memperindah rupa, warna & tekstur makanan, dan membunuh kuman yang berbahaya atau menghilangkan racun makanan sehingga aman dikonsumsi oleh siswa (Palacio & Theis 2009). Memasak merupakan suatu pengetahuan dan seni yang sudah dikenal sejak zaman dahulu, untuk menghasilkan makanan yang berkualitas dan dapat memenuhi selera makan siswa. Makanan yang disajikan di
23
sekolah harus dapat merangsang kelenjar ludah, mata, lidah dan perasaan sehingga makanan yang diproduksi sedap dipandang dan mempunyai rasa yang lezat. Kesalahan dalam urutan dan pencampuran bumbu akan menghasilkan makanan yang tidak menarik. Untuk dapat menghasilkan makanan yang berkualitas tinggi di sekolah maka diperlukan pengolahan dengan cara yang tepat, proporsi bahan pangan penyusun seimbang, bervariasi, disajikan dengan menarik serta memenuhi standar sanitasi yang tinggi (Ditjen Pelayanan Kesehatan 1981). Proses pengolahan perlu mendapat perhatian karena kehilangan zat gizi sering terjadi pada saat memasak (Hardinsyah dan Briawan 1994). Dalam pemasakan bahan pangan di sekolah, beberapa peraturan yang harus dilaksanakan adalah menjaga kualitas bumbu, melaksanakan pemasakan yang benar, menetapkan tenggang waktu antara penyiapan dan waktu penyajian, serta memperhatikan kehilangan nilai gizi atau kerusakan akibat pemasakan yang terlalu lama. Ada empat metode pemasakan bahan pangan yang sering dipergunakan dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah, yaitu metode konvensional, produksi yang dipusatkan, makanan matang lalu didinginkan dan makanan matang lalu dibekukan (makanan dimasak hari ini dan dikonsumsi hari berikutnya), serta assembly atau serve atau hanya penyajian makanan (Palacio & Theis 2009; Khan 1989). Metode konvensional berarti penyiapan, dan pemasakan bahan pangan dilakukan dalam satu tempat, serta penyajian makanan dilakukan pada hari yang sama. Metode produksi yang dipusatkan, berarti pembelian, penyiapan, pemasakan bahan pangan dalam jumlah besar dan dilakukan di sebuah dapur besar atau disebut juga dapur terpusat. Setelah makanan matang lalu dibagikan ke tempat pelayanan yang membutuhkan yang lokasinya dekat dengan tempat pemasakan. Metode ready prepared ada 2 jenis yaitu cook-chill (matang didinginan) dan cook-freeze (matang dibekukan). Pada metode ini, prinsipnya adalah makanan yang dimasak hari ini akan dikonsumsi pada hari berikutnya. Penyiapan dan pemasakan bahan pangan dilakukan pada hari yang berbeda dengan penyajian makanan. Metode assembly atau serve berarti tidak melakukan kegiatan pembelian, penyiapan, pemasakan bahan pangan, yang ada hanya kegiatan penyajian makanan. Jadi dalam metode assembly hanya ada tempat penyajian atau ruang makan dan makanan yang sudah matang saja.
24
Di dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah, metode produksi mana yang akan diterapkan sangat bergantung dari fasilitas sekolah, seperti berapa jumlah tenaga penjamah makanan, adakah tempat penyimpanan bahan pangan, adakah tempat penyimpanan makanan matang, dan waktu yang tersedia untuk mengolah bahan pangan (Sinaga 2007). Metode produksi penyelenggaraan makanan anak sekolah dengan dapur terpusat yang dilaksanakan di India dan Chili dapat berjalan dengan baik di daerah yang padat penduduknya, metode ini mungkin tidak berhasil di daerah yang lebih pedesaan seperti di Mali. Keterlibatan masyarakat dan tenaga sukarelawan untuk mempenyiapan makanan di Mali dapat menjadi metode yang baik di negara pertanian, dan mungkin tidak cocok dilaksanakan di negara industri, karena para keluarga tidak memiliki produk pertanian atau jadwal yang kondusif untuk ikut terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah (Winch 2009). Masing-masing negara seperti di Mali, Chili, dan India mempunyai pengalaman yang berbeda dalam tujuan pemberian makanan bagi anak sekolah. Di Mali, tujuan pemberian makanan anak di sekolah adalah memberi anak kesempatan untuk mendapatkan kebutuhan gizi dasar yang terpenuhi dan dapat menyelesaikan sekolah dasar. Pemberian makanan anak sekolah di Chili bertujuan untuk menjamin kesetaraan dalam pendidikan. Di India pemberian makanan anak sekolah merupakan hak dan kesempatan untuk hidup dan berkembang. Jadi tujuan pemberian makanan anak di sekolah tidak harus selalu sama di setiap negara. Pengalaman masing-masing negara menggambarkan bahwa pemberian makanan anak di sekolah lebih dari sekedar memberi makan siswa, tetapi juga akan membantu mereka memiliki sarana yang diperlukan untuk tumbuh, belajar, dan berkembang (Winch 2009). Kondisi pada penyiapan bahan pangan di berbagai negara berkembang berbeda-beda, seperti pemanfaatan tenaga relawan karena jarak yang jauh untuk mengambil air dan bahan bakar, fasilitas memasak yang lambat. Hal tersebut menyebabkan penyiapan dan pemasakan bahan pangan untuk siswa di pagi hari tidaklah mudah. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan mulai dikembangkan dan diuji untuk mengatasi beberapa kendala teknis dan logistik dalam
kegiatan
penyelenggaraan
makanan
anak
di
sekolah.
Hal
ini
memungkinkan setiap sekolah dapat mempertimbangkan kendala untuk pengembangan model yang dapat dilakukan dan dapat dimodifikasi (Winch 2009).
25
Metode Penyajian Makanan Umumnya makanan anak sekolah disajikan dengan tipe (gaya) cafetaria. Ada beberapa tipe pelayanan cafetaria yang sering dipergunakan di sekolah yaitu: 1) cafetaria umum; 2) cafetaria dengan pelayanan; 3) kantin bergilir dan 4) prasmanan. Dalam cafetaria umum, semua hidangan disajikan dalam bentuk porsi dan diatur dalam kelompok hidangan yang siap untuk diambil oleh siswa. Siswa dapat mengambil sendiri hidangan yang diinginkan. Tidak ada pelayan dalam cara cafetaria umum ini. Tipe cafetaria umum banyak di laksanakan di sekolah menengah atas (SMA). Dalam cafetaria dengan pelayanan, sebagian dari hidangan tersedia dalam bentuk porsi yang siap untuk diambil siswa, dan sebagian lagi hidangan disajikan atas permintaan siswa. Untuk jenis ini, harus tersedia tenaga pelayan. Tipe cafetaria dengan pelayanan umumnya di laksanakan di SMA. Dalam tipe kantin bergilir, siswa berbaris mengambil baki makanan atau kotak makanan yang telah diisi dengan makanan dalam bentuk porsi. Tipe kantin bergilir umumnya di laksanakan di sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) dan SMA. Dalam penyajian secara prasmanan, siswa secara bergilir mengambil makanan dengan bebas menurut kemampuan dan kecukupannya, di meja makan yang disediakan. Tipe prasmanan ini dapat di laksanakan di SMP dan SMA (Pannell 1999). Pendistribusian Makanan Dalam proses distribusi makanan anak sekolah, ada dua cara yang sering dilakukan kepada siswa, yaitu cara sentralisasi dan desentralisasi (Palacio & Theis 2009). Cara sentralisasi adalah semua kegiatan pembagian makanan dipusatkan pada suatu tempat. Sebelum memilih cara ini, penanggung jawab penyelenggaraan makanan anak sekolah harus memperhatikan luas tempat pembagian makanan, peralatan yang tersedia, dan tenaga yang ada. Sistem sentralisasi sesuai untuk sekolah yang jumlah siswanya banyak dan tenaga penjamah makanan terbatas. Tenaga penjamah makanan hanya diperlukan di dapur produksi makanan. Cara desentralisasi adalah cara pendistribusian yang diterapkan di sekolah yang memiliki ruang makan yang berada pada lokasi yang berbeda. Dengan cara ini maka fokus kegiatan masih tetap berada di unit pembagian utama, dan selanjutnya penataan makanan dan alat-alat makan siswa disediakan di ruang dapur (pantry). Sistem ini membutuhkan ruang dapur sementara untuk menghangatkan kembali makanan, membuat minuman dan sejenisnya, menyiapkan alat makan yang bersih, menyajikan makanan siswa
26
sesuai dengan porsi yang ditetapkan, meneliti macam dan jumlah makanan, serta membawa hidangan kepada siswa (Palacio & Theis 2009;Mukri dkk 1990). Pencucian Alat Makan dan Alat Masak Peranan alat makan dan alat masak dalam higiene sanitasi makanan siswa sangatlah penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam prinsip-prinsip higiene sanitasi makanan penyelenggaraan makanan anak sekolah. Alat makan dan alat masak perlu dijaga kebersihannya setiap saat akan dipergunakan. Untuk itu peranan pembersihan atau pencucian alat perlu diketahui secara mendasar. Dengan membersihkan alat secara baik, akan menghasilkan alat makan dan alat masak yang bersih dan sehat (Depkes 2006). Alat makan meliputi piring, gelas, mangkuk, cangkir, sendok, pisau, garpu, dan lain-lain. Alat saji dapat berupa peralatan kaca (chinaware), logam (metalware), tembikar (ceramicware), plastik, dan lain lain. Peralatan masak meliputi kuali/wajan, dandang/kukusan, pisau, talenan, oven dan lain-lain. Dengan menjaga kebersihan peralatan makan dan masak, maka telah membantu mencegah terjadinya pencemaran atau kontaminasi makanan yang dapat terjadi karena peralatan yang digunakan (Depkes 2006). Higiene dan Sanitasi Makanan Sanitasi makanan dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah meliputi kegiatan usaha yang ditujukan terhadap semua tingkatan, sejak bahan pangan mulai dibeli, disimpan, diolah dan disajikan untuk melindungi agar anak sekolah
tidak
dirugikan
kesehatannya.
penyelenggaraan makanan
anak
sekolah
Usaha-usaha meliputi
sanitasi
dalam
kegiatan-kegiatan:
1)
keamanan makanan dan minuman yang disediakan; 2) higiene perorangan dan praktek-praktek bersangkutan;
penanganan 3)
keamanan
makanan
oleh
penjamah
terhadap
penyediaan
air;
makanan 4)
yang
pengelolaan
pembuangan air limbah dan kotoran; 5) perlindungan makanan terhadap kontaminasi selama dalam proses pengolahan, penyajian dan penyimpanannya, dan 6) pencucian, kebersihan dan penyimpanan alat-alat/perlengkapan (Depkes 2006). Sanitasi merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi lingkungan hidup yang menyenangkan dan menguntungkan kesehatan masyarakat. Istilah sanitasi dan higiene mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengusahakan cara hidup sehat, sehingga terhindar dari penyakit, walaupun dalam penerapannya mempunyai arti yang sedikit berbeda. Usaha sanitasi lebih menitik beratkan
27
kepada faktor-faktor lingkungan hidup manusia, sedangkan higiene lebih menitik beratkan kepada kebersihan individu (Anwar H dkk 1988). Pengertian higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan individu subyeknya, seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, cuci piring untuk melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan. Higiene sanitasi makanan adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan (Depkes 2006). Di Indonesia penilaian higiene dan sanitasi penyelenggaraan
makanan
anak
sekolah
dapat
dilakukan
berdasarkan
Permenkes RI nomor : 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang higiene sanitasi jasaboga.
Model Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah Model penyelenggaraan makanan mana yang ingin dilaksanakan di sekolah sangatlah bergantung dari fasilitas yang ada di sekolah dan lingkungan di sekitar sekolah. Model-model yang dapat dilaksanakan di sekolah adalah: 1) penyiapan makanan dilakukan di sekolah, bahan pangan berasal dari bantuan/sumbangan; 2) penyiapan makanan dilakukan di sekolah, bahan pangan berasal dari lokasi di sekitar sekolah; 3) penyiapan makanan dilakukan di sekolah, dapat berupa makanan lengkap atau kecil, tenaga penjamah berasal dari pedagang makanan; 4) penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah, tenaga penjamah berasal dari swasta/katering; 5) penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah, tenaga penjamah dari masyarakat dan 6) kupon atau tunai atau bahan pangan di bawa pulang Model Penyiapan Makanan dilakukan di Sekolah, Bahan Pangan berasal dari Bantuan/Sumbangan Model ini dapat dilakukan jika ada badan/organisasi/lembaga yang memberikan sumbangan bahan pangan dan sekolah mempunyai fasilitas dapur untuk mempersiapkan dan mengolah makanan di dapur sekolah. Model ini umumnya menyajikan makanan lengkap, mempunyai tenaga sendiri atau membayar tenaga penjamah makanan dari luar sekolah. Semua bahan pangan yang dibutuhkan merupakan bantuan/sumbangan dari badan/organisasi/lembaga dari luar sekolah (UNESCO 2004; Del Rosso 1999).
28
Model Penyiapan Makanan dilakukan di Sekolah, Bahan Pangan berasal dari Lokasi di Sekitar Sekolah Model ini dapat dilaksanakan di sekolah yang memiliki fasilitas dapur sekolah, dan menyajikan makanan lengkap, mempunyai tenaga sendiri atau membayar tenaga penjamah makanan dari luar sekolah. Tenaga penjamah makanan membeli bahan pangan yang ada di sekitar lingkungan sekolah untuk kegiatan penyelenggaraan makanannya (WFP 2007). Model ini paling banyak (81.5%) dilakukan di sekolah-sekolah negara Amerika Serikat (Pannell 1999). Di Taiwan, sebagian besar (67%) sekolah mempergunakan model ini, yang disebut sebagai “public-owned-public-managed”, yaitu sekolah memiliki dapur sendiri dan menyelenggarakan makan siang bagi siswanya (Yang 2006). Di Indonesia beberapa sekolah menerapkan model ini, khususnya sekolah yang siswanya berasal dari keluarga mampu dan sekolah masih mempunyai lahan untuk membangun dapur. Model Penyiapan Makanan dilakukan di Sekolah, Tenaga Penjamah berasal dari Pedagang Makanan Model ini dapat dilaksanakan di sekolah yang memiliki fasilitas dapur sekolah, dapat menyajikan makanan lengkap atau makanan kecil/selingan, mempekerjakan tenaga penjamah makanan yang berasal dari pedagang makanan yang ada di sekitar sekolah. Sekolah yang mempergunakan model ini biasanya melakukan pelatihan tentang higiene dan sanitasi makanan terlebih dahulu, supaya tenaga pedagang makanan dapat melakukan kegiatan penyelenggaraan makanan dengan baik dan menghasilkan makanan yang aman untuk dikonsumsi oleh siswa (Del Rosso 1999). Kelebihan model penyiapan makanan dilakukan di sekolah adalah tidak adanya tambahan biaya transportasi, lebih mudah mengontrol kualitas makanan karena berada di dalam lingkungan sekolah, makanan dapat disajikan dalam keadaan hangat tanpa menunggu waktu transportasi, tidak membutuhkan peralatan untuk menghangatkan makanan. Kekurangan model ini adalah membutuhkan investasi yang tinggi dalam hal penyediaan fisik dapur dan ruang makan, peralatan dan perlengkapannya. Model Penyiapan Makanan dilakukan di luar Sekolah, Tenaga Penjamah berasal dari swasta/katering Model ini dilaksanakan di sekolah yang belum memiliki fasilitas dapur sekolah,
menyajikan
makanan
lengkap
atau
makanan
selingan/kecil,
29
mempekerjakan tenaga penjamah makanan dari sektor swasta, seperti dari katering, dan membeli sendiri bahan pangan yang dibutuhkan. Dalam model ini penyiapan dan pemasakan bahan pangan dilakukan di luar gedung sekolah, mempergunakan fasilitas dapur swasta, seperti dapur katering. Makanan yang matang kemudian dibawa ke sekolah untuk disajikan kepada siswa (Del Rosso 1999). Model Penyiapan Makanan dilakukan di luar Sekolah, Tenaga Penjamah dari Masyarakat Model ini dilaksanakan di sekolah yang belum memiliki fasilitas dapur sekolah, menyajikan makanan lengkap atau makanan selingan/kecil, membeli sendiri bahan pangan, mempekerjakan tenaga penjamah makanan yang berasal dari partisipasi masyarakat yang mau membantu dan peduli dengan pendidikan. Tenaga penjamah makanan berasal dari masyarakat, seperti dari Komite Sekolah (persatuan orang tua murid), masyarakat sekitar sekolah, ibu-ibu Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Tenaga ini dapat bersifat sukarela atau sosial atau dibayar dengan upah/honor yang rendah. Model ini mempersiapkan dan memasak bahan pangan di dapur yang berada di luar gedung sekolah. Dapur yang dipergunakan adalah dapur masyarakat yang bersedia untuk melaksanakan kegiatan penyiapan dan pengolahan makanan anak sekolah (Muhilal 1998). Kelebihan model ini adalah tidak membutuhkan investasi yang tinggi, karena semua kebutuhan fisik dapur, tenaga, peralatan dan perlengkapan untuk melaksanakan kegiatan penyelenggaraan makanan dilaksanakan oleh pihak lain (katering atau masyarakat). Konsentrasi tenaga pendidik difokuskan untuk urusan akademik, dan tidak ada gangguan saat penyiapan dan pengolahan bahan pangan, seperti bau makanan, dan dentingan suara peralatan (Palacio & Theis 2009). Kekurangan model ini adalah makanan dalam keadaan dingin sampai di sekolah terutama jika jarak antara sekolah dan tempat pengolahan makanan sangat jauh. Dan untuk memanaskan makanan membutuhkan biaya tambahan, seperti menyediakan alat untuk memanaskan makanan, dan ruang pemanas, serta biaya transportasi meningkat. Model Kupon atau Tunai atau Bahan Pangan di Bawa Pulang Dalam model ini makanan tidak dikonsumsi di sekolah, tetapi dibawa pulang ke rumah masing-masing siswa. Siswa mendapatkan bahan pangan dalam jumlah tertentu atau uang tunai atau kupon yang dapat dipergunakan
30
untuk membeli makanan (Del Rosso 1999). Kelebihan model ini sama dengan model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah. Kelemahan model ini adalah tidak mengetahui apakah makanan yang dibawa pulang ke rumah benarbenar di konsumsi oleh siswa sebagai sasaran program. Contoh negara yang melaksanakan model ini adalah Banglades, Laos, Pakistan (PCD 2010).
31
32
PENYELENGGARAAN MAKANAN ANAK SEKOLAH DI BERBAGAI NEGARA Amerika Serikat Negara maju seperti Amerika Serikat sejak tahun 1946 sudah menetapkan program makan siang - National School Lunch Program (NSLP) di sekolah dan masuk ke dalam Undang-undang yang ditanda tangani oleh Presiden Truman. Program sarapan di sekolah dimulai sebagai pilot program pada tahun 1966 dan diberlakukan sebagai program yang permanen oleh Congress tahun 1975. National School Breakfast Program (NSBP) khususnya melayani anak-anak yang sebagian besar berasal dari keluarga dengan pendapatan yang rendah dan bertempat tinggal jauh dari sekolah sehingga tidak sempat sarapan (Pannell 1999). Keluarga yang dikategorikan berada di bawah garis kemiskinan di Amerika Serikat adalah yang berpenghasilan di bawah US $ 10.000 per tahun untuk keluarga dengan jumlah anggota 3 orang dan di bawah US 13.000/tahun untuk keluarga dengan jumlah anggota 4 orang. Kira-kira 84% peserta program NSBP tersebut menerima makanan gratis atau dengan harga yang sudah disubsidi oleh pemerintah (Pannell 1999). Pada tahun 1992, Pemerintah Federal Amerika Serikat mengeluarkan biaya sekitar US $ 5,5 miliar atau setara dengan sekitar Rp. 12,4 trilyun untuk penyelenggaraan makan siang bagi 24,6 juta anak sekolah dari kelas 1 sampai kelas 9 dan sekitar 5 juta anak sekolah yang berpartisipasi dalam NSBP. Salah satu tujuan program NSLP dan NSBP yang dianggap sangat penting adalah membiasakan anak sekolah mengonsumsi makanan sesuai dengan Pedoman Gizi yang ditetapkan secara resmi oleh Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1989. Sudah ada tekad dari Pemerintah Amerika Serikat bahwa pada tahun 2000, sebagian besar rakyat akan mempunyai pola menu yang sesuai dengan Pedoman Gizi bagi orang Amerika. Selain itu NSLP juga bertujuan agar komoditi pertanian setempat dapat terserap untuk dalam kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah (Palacio & Theis 2009; Pannell 1999). Model penyelenggaraan makanan yang dilaksanakan di negara ini adalah penyiapan makanan dilakukan di sekolah dengan bahan pangan lokal dan dapur merupakan dapur terpusat. Hal ini berarti bahan pangan lokal dipersiapkan dan diolah di sekolah. Dapur dan ruang makan berada di dalam gedung sekolah.
33
Tenaga penjamah makanan yang dipergunakan pada model ini adalah tenaga sekolah atau tenaga dari luar sekolah dan dibayar oleh sekolah. Sekolah yang jumlah siswanya banyak di perkotaan sering mempergunakan dapur produksi terpusat, dan mengirimkan makanan jadi ke sekolah yang lebih kecil yang berada di sekitarnya. Manajemen terpusat dengan pengawas dari masing-masing sekolah merupakan karakteristik sistim dapur terpusat (Palacio & Theis 2009). Contoh penyelenggaraan makanan anak sekolah yang diamati adalah Clinton Elementary School, dan Southwest High School, di Nebraska, USA pada Januari 2009. Model yang dipergunakan Southwest High School dan Clinton Elementary School adalah penyiapan makanan dilakukan di sekolah dengan bahan pangan lokal dan dapur terpusat. Hal ini berarti dapur tidak berada di Clinton Elementary School, tetapi lokasi dapur berada di Southwest High School. Penyiapan dan pemasakan bahan pangan dilakukan di dapur Southwest High School yang letaknya tidak jauh dari Clinton Elementary School. Makanan yang sudah matang dimasukkan ke dalam kereta makan dan diangkut dengan menggunakan mobil khusus pengangkut makanan. Clinton Elementary School memiliki ruang makan yang dilengkapi dengan televisi. Cara pelayanan yang dilakukan di Clinton Elementary School adalah dengan cara kantin bergilir yaitu siswa secara bergilir mengambil baki makanan yang telah diisi dalam bentuk 1 porsi. Selama makan, guru mengawasi siswa agar menghabiskan makanannya. Setelah makan, alat saji yang kotor ditempatkan di atas ban berjalan (conveyor) yang terhubung sampai di ruang pencucian alat saji (dishwashing machine). Kegiatan pelayanan makanan Clinton Elementary School dan Southwest High School, di Nebraska, USA dapat dilihat pada Lampiran 9.
Peru Peru merupakan salah satu negara berkembang seperti halnya Indonesia. Pemberian makanan pada anak sekolah di Peru berupa sarapan yang terdiri dari sekitar 80 gr roti dan 200 cc susu. Sejak April 1993, Peru menerapkan program sarapan di sekolah di ibukota dan lima desa di lima provinsi Andean yang miskin. Kriteria seleksi daerah miskin adalah kombinasi tingkat kemiskinan dan prevalensi bayi dan anak penderita gizi kurang di suatu daerah. Tujuannya untuk mempromosikan gizi yang lebih baik, meningkatkan pendidikan, dan meningkatkan jumlah kehadiran anak-anak yang terdaftar di sekolah dasar. Manfaat ini diharapkan dapat menggantikan kerugian biaya sosial dari kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah sejak tahun 1990 (Powell 1998).
34
Model penyelenggaraan makanan yang dilaksanakan di Peru adalah penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah dengan bahan pangan lokal dan dapur terpusat yaitu sekolah memanfaatkan pabrik roti untuk memenuhi kebutuhan sarapan siswa.
Jepang Jepang mulai melaksanakan program makan siang di sekolah sejak 1946. Program ini ditetapkan sebagai Undang-Undang tahun 1954. Pada tahun 1996, lebih dari 90% sekolah dasar di Jepang telah menerapkan program ini (Florencio 2001). Di negara Jepang, disebutkan bahwa penanaman nilai-nilai melalui program makan siang di sekolah berjalan dengan sangat baik. Kecintaan siswa pada menu tradisional, sekaligus cinta produk lokal negerinya, menghargai jerih payah petani, peternak, nelayan dan disiplin mengikuti etika makan terpatri dalam diri anak sekolah tanpa merasa dipaksa untuk melakukan semua kegiatan tersebut (Roosita 2007). Model penyelenggaraan yang dilaksanakan di Jepang adalah model penyiapan makanan dilakukan di sekolah dengan bahan pangan lokal dan dapur terpusat. Tenaga yang dipergunakan pada model ini adalah tenaga sekolah atau tenaga khusus dari luar sekolah dan di bayar oleh sekolah.
Chili Di negara Chili, program pemberian makan di sekolah dimulai tahun 1963. Program ini diperuntukkan bagi anak-anak sekolah yang pendapatan orang tuanya termasuk rendah. Pada tahun 1988, lebih dari setengah juta anakanak sekolah menerima pelayanan makanan sebagai sarapan dan makan siang atau makan siang dan makanan kecil (Florencio 2001). Pada tahun 1988, pemerintah Chili memasukkan program pemberian makanan anak sekolah ke dalam Undang-Undang Pendidikan (Winch R. 2009). Model penyelenggaraan yang dilaksanakan di Chili adalah model penyiapan makanan dilakukan di sekolah dengan bahan pangan lokal dan dapur terpusat. Tenaga yang dipergunakan pada model ini adalah tenaga sekolah atau tenaga khusus dari luar sekolah dan dibayar oleh sekolah.
Jamaika Penyelenggaraan makan siang di sekolah di Jamaika dimulai tahun 1926, yang dibiayai oleh sekelompok dermawan dalam wilayah perusahaanperusahaan. Marcus Garvey Drive merupakan perusahaan yang bertanggung jawab
mempersiapkan
makan
siang
untuk
60.000
siswa
di
daerah
35
perusahaannya. Pendistribusian makanan yang sudah matang dilakukan dengan menggunakan truk milik pemerintah (Simeon 1998). Partisipasi pemerintah dimulai pada 1939, di beberapa sekolah, dan diperluas pada tahun 1955, dengan bantuan komoditas pangan dari Amerika Serikat. Dapur terpusat didirikan di daerah perusahaan untuk memasak makan siang yang panas bagi anak-anak. Pada tahun 1976, USAID melaksanakan Program Perdamaian sebagai hasil kesepakatan antara Pemerintah Jamaika dan Pemerintah Amerika Serikat. Berdasarkan perjanjian ini ada tambahan komoditas pangan yang diterima dari USAID, antara 1975 dan 1988. Makanan juga diterima dari donor lain seperti Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC) dan Lembaga Perkembangan Internasional Kanada (CIDA). Komoditas yang diterima dari EEC adalah: minyak, mentega, susu bubuk, dan tepung jagung, dari USAID berupa tepung terigu, tepung jagung, bulgur, jagung, dan campuran kedelai (soya blend), dari CIDA berupa bubuk susu skim. Pemerintah Jamaika kemudian memperkenalkan program makan siang di sekolah sejak tahun 1973 dengan menyediakan makanan kepada 135 sekolah (Chang 1996). Pada tahun 1976, Departemen Pendidikan Jamaika dengan bantuan dari Program USAID, memperkenalkan program pemberian susu di sekolah. Program susu ini berakhir pada awal tahun 1980. Pada tahun 1984 bantuan dari World Food Programme (WFP), memperkenalkan Program Nutribun sebagai Pilot Project. Percontohan ini melayani 14.500 penerima di St Thomas dan Trelawny. Pada tahun 1985 program Nutribun memberi makan 95.000 siswa di taman kanak-kanak, dan Sekolah Menengah. Program ini diperluas untuk memberi makan 150.000 siswa Dasar, Bayi, SD, semua sekolah umum di paroki-paroki St. Catherine, St. Thomas, Trelawny, St. Ann, St. James, dan St. Andrew. Sebagai tambahannya 45.000 penerima makanan di paroki-paroki di Manchester, Kingston, Portland dan St. Mary (Simeon 1998). Model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang dilaksanakan di Jamaika adalah model penyiapan makanan dilakukan di dapur terpusat sekolah dengan bahan pangannya berasal dari bantuan. Tenaga yang dipergunakan pada model ini adalah tenaga sekolah atau tenaga khusus dari luar sekolah dan dibayar oleh sekolah.
Banglades Pemerintah Banglades meluncurkan program makanan untuk pendidikan (Food for Education/FFE) pada tahun 1993. Program FFE menyediakan ransum makanan bulanan gratis (beras atau gandum) kepada keluarga-keluarga miskin
36
di pedesaan jika anak-anak mereka hadir di sekolah dasar. Pada tahun 2002, Program Primary Education Stipend (PESP), diberlakukan untuk menggantikan program FFE, dengan cara memberikan bantuan uang tunai kepada keluarga miskin jika anak-anak mereka hadir di sekolah dasar. Pemerintah Banglades juga menyediakan bantuan tunai kepada anak-anak perempuan di sekolah menengah melalui program yang disebut ”four secondary school stipends". Program pemindahan tunai ini bertujuan meningkatkan pendaftar dan tingkat bertahannya siswa di sekolah dasar dan menengah di pedesaan Banglades. Studi terbaru mengindikasikan bahwa ada pengaruh positif program ini untuk peningkatan bidang pendidikan (Ahmed 2003). Model penyelenggaraan makanan yang dilaksanakan di Banglades merupakan model membawa pulang uang (bantuan langsung tunai) atau makanan dalam jumlah tertentu. Dalam model ini makanan tidak di konsumsi di sekolah, tetapi di bawa pulang ke rumah masing-masing siswa.
Philipina Pada tahun 1963, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Philipina melaksanakan
Applied
Nutrition
Program
(ANP)
yang
bertujuan
untuk
mengeliminasi kekurangan gizi pada siswa berusia 7 sampai 14 tahun. Pelatihan dalam bidang gizi, cara memproduksi makanan, cara pemberian makanan tambahan dan penyuluhan gizi diselenggarakan untuk mencapai tujuan tersebut. Pemberian makanan tambahan berupa kue/makanan kecil dan sup sayuran dengan metode self-help supplementary feeding, yaitu pemberian makanan tambahan swadaya. Pemberian makanan tambahan dilakukan 2 sampai 3 kali dalam seminggu, dan siswa membayar sebesar US $ 0,02 untuk setiap kali makan. Hasil pemberian makanan menunjukkan bahwa berat badan dan kondisi fisik anak-anak meningkat, lebih responsif dan aktif bermain di dalam kelas. Angka ketidakhadiran di sekolah juga berkurang (Florencio 2001;Muhilal 1998). Pada tahun 1979 CARE (Cooperatives for American Relief Everywhere) memberikan makanan tambahan kepada 3,6 juta anak sekolah di Pilipina. CARE menyediakan roti (pan de sal) yang terbuat dari tepung yang difortifikasi dengan kedelai. Satu buah roti mengandung 250 kilokalori dan 8,4 gr protein. Sup sayuran sebagai tambahannya mengandung 50 kilokalori, dan dipersiapkan di dapur sekolah serta bahan-bahannya berasal dari kebun sekolah, atau bahan makanan lokal, sehingga total energi yang dikonsumsi anak 300 kilokalori. CARE menyediakan dana untuk roti, sedangkan Departemen Pendidikan dan
37
Kebudayaan Pilipina menyediakan dana untuk transportasi, alat, tempat, tenaga dan dana operasional. Roti dipersiapkan dan dimasak oleh pabrik roti lokal yang dikontrak oleh sekolah. Roti diberikan gratis jika siswa tidak dapat membayar sebesar US $ 0,014. Total biaya yang dikeluarkan oleh CARE pada tahun 19791980 adalah sebesar US $ 280.259,17. Hasil pemberian makanan tambahan menyebutkan bahwa 35,6% anak kurang gizi pada awal program, menurun menjadi 29,1% di akhir program. Sekolah dengan persentase tertinggi anak gizi kurang menunjukkan peningkatan tertinggi dalam perbaikan status gizi siswa (Florencio 2001;Muhilal 1998). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pilipina dan The Catholic Relief Services (CRS) melaksanakan Targetted School Feeding Program (TSFP) yaitu memberikan makanan tambahan kepada siswa TK dan SD yang berat badannya kurang serta untuk meningkatkan status gizi dan kesehatan siswa. Pada tahun ajaran 1980/1981, sebanyak 200.000 siswa yang kurang berat badannya ikut dalam program pemberian makanan tambahan tersebut. Pemberian makanan tambahan berupa pan de sal (roti) yang terbuat dari tepung yang difortifikasi dengan kedelai, mengandung 250 kilokalori dan 8,4 gram protein. Sekolah mengolah sup dan jus buah-buahan yang mengandung 50 kilokalori, sehingga total energi makanan tambahan adalah 300 kilokalori/hari. CRS memesan kepada pabrik roti untuk membuat dan mendistribusikan roti ke sekolah-sekolah yang terlibat dalam program. Siswa membayar US $ 0,02 per roti, dan anak-anak dengan status gizi kurang diberi roti pan de sal gratis (Florencio 2001;Muhilal 1998). The World Food Program-Assisted Elementary School Feeding di Mindanao (WFP-ESFP) pada tahun 1979-1981 menyelenggarakan pemberian makanan tambahan kepada 1 juta siswa (kelas 1 sampai 6) di 2.856 SD. Sekolah-sekolah dalam program tersebut sebagian besar berada di daerah terbelakang. WFP menyediakan 2 macam makanan yaitu tepung yang difortifikasi dengan kedelai dan susu jagung-kedelai. Seperti halnya program yang dilaksanakan CARE dan CRS, makanan diberikan dalam bentuk roti pan de sal yang mempunyai kandungan energi 380 kilokalori, 15 gram protein, 6 gram lemak dan 882 IU vitamin A dalam satu pasang roti. Makanan diberikan setiap hari kepada 500.000 siswa. Untuk meningkatkan nilai gizi roti, diberikan jus buahbuahan atau sup sayur 2 kali dalam satu minggu. Siswa membayar US $ 0,0135 sampai US $ 0,04 yang ikut dalam program tersebut. Dana ini dipergunakan
38
untuk membeli bahan pangan lokal dan biaya untuk pengolahan makanan. Susu jagung-kedelai ditambahkan kedalam bubur, sup atau kue-kue kecil. Sayuran dari kebun sekolah atau rumah, dan makanan lokal dimasak menggunakan susu jagung-kedelai, sehingga makanan tersebut mengandung 370 kilokalori, 13 gram protein, 6 gram lemak dan 1.700 IU vitamin A. Makanan diberikan sebanyak 2 sampai 3 kali perhari karena siswa tidak dapat mengonsumsi sekaligus. Roti dibuat di pabrik roti, sedangkan susu jagung-kedelai dibuat di sekolah. Makanan ini diberikan selama 5 hari dalam seminggu pada tahun pertama, selama 4 hari dalam seminggu pada tahun kedua, dan selama 3 hari dalam seminggu pada tahun ketiga. Selama 3 tahun proyek ini diselenggarakan, WFP mengeluarkan dana sebesar US $ 16,2 juta (Florencio 2001;Muhilal 1998). Pengaruh pemberian makanan tambahan terhadap tingkat kesehatan dan status gizi dapat dilihat dengan membandingkan berat dan tinggi badan pada awal dan akhir periode pemberian makanan tambahan tersebut. Setelah satu tahun, WFP dan Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan mengamati adanya peningkatan terhadap jumlah kehadiran siswa di kelas, menurunnya angka siswa putus sekolah, dan meningkatnya jumlah siswa yang berstatus gizi normal. Partisipasi dari ibu-ibu yang anaknya terlibat dalam penelitian cukup baik. Ibu-ibu PKK dalam program ini menunjukkan bahwa pemberian makanan tambahan penting
bagi
kesehatan
anak-anak
mereka
(Muhilal
1998).
Model
penyelenggaraan yang dilaksanakan di Pilipina adalah model penyiapan makanan dilakukan di dapur sekolah dan di luar sekolah. Hal ini berarti bahan pangan lokal untuk pembuatan sup dan jus dilakukan di sekolah, dan roti diserahkan ke pabrik roti. Tenaga yang dipergunakan untuk membuat sup dan jus merupakan tenaga sekolah.
Indonesia Di Indonesia perbaikan gizi anak usia sekolah tertuang dalam pasal 11 Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan. Dalam UU ini tercantum bahwa upaya kesehatan dilaksanakan melalui berbagai kegiatan, salah satunya adalah perbaikan gizi. Dalam rangka perbaikan gizi masyarakat, pemerintah sebenarnya telah menetapkan program, sebagaimana dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional Bidang Pembangunan Sosial dan Budaya. Salah satu kegiatan pokok yang tercakup dalam program ini adalah melaksanakan perbaikan gizi institusi, seperti di sekolah, rumah sakit, perusahaan, panti asuhan, dan lain-lain, akan tetapi program perbaikan gizi di
39
sekolah belum dapat dilaksanakan semestinya (Sinaga 2009). Dalam UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pada pasal 79 ayat 1 tercantum bahwa, kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggi-tingginya menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas, dan ayat 2 menyatakan bahwa, kesehatan sekolah diselenggarakan melalui sekolah formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain. Indonesia pada hakekatnya telah melaksanakan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang dilakukan sebagai pilot tested di beberapa provinsi awal tahun 1990 dan dikenal sebagai kebijakan nasional, dan disetujui oleh presiden, tahun 1996. Pada tahun 1996/1997 Pemerintah Indonesia telah melaksanakan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) di wilayah luar Jawa-Bali. Selanjutnya tahun 1997/1998, program tersebut diperluas ke provinsi di wilayah Jawa-Bali. Tujuan PMT-AS adalah mengurangi angka ketidakhadiran murid di sekolah, menghilangkan kelaparan dalam jangka pendek, meningkatkan asupan energi, pendidikan gizi dan kesehatan bagi anak sekolah, dan mengurangi penyakit kecacingan melalui pemberian obat cacing 2 kali setahun. Pada tahun 1997/98 pengeluaran pemerintah Indonesia untuk PMT-AS lebih dari US$ 100 juta (Studdert & Soekirman 1998). Secara umum, program ini bertujuan untuk meningkatkan status gizi anak-anak sekolah dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Persyaratan makanan yang diberikan kepada anak-anak sekolah adalah: 1) makanan berwujud sebagai makanan kecil, bukan makanan lengkap, 2) makanan menggunakan bahan pangan lokal, dan 3) makanan sebagai makanan kecil yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam penyiapan pembuatan PMT-AS, program ini melibatkan masyarakat, guru sekolah, dan tenaga gizi dari pusat kesehatan masyarakat (KEMENDAGRI 2010). Program ini mencakup anak-anak di sekolah dasar yang berumur 6-12 tahun, baik di kota maupun di desa. Program ini juga menyediakan tablet deworming diberikan dua kali satu tahun. Makanan kecil pada awalnya direncanakan untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak minimal selama 108 hari dalam satu tahun, tetapi karena keterbatasan anggaran, diberlakukan hanya selama 90 hari dalam satu tahun. Makanan kecil ini sebagai pemberian makanan
40
tambahan di sekolah berupa makanan tradisional yang bertujuan dapat memperpendek waktu penyiapan dalam pengolahannya. Biaya yang disediakan untuk program ini sebesar 10-15 sen US$ per anak. Makanan ini merupakan makanan lokal yang diproduksi dengan kandungan 300 kilokalori dan 5 gram protein. Tujuan lain dari program ini adalah untuk menghindari makanan industri yang menghasilkan makanan kecil, karena sasaran lain juga untuk meningkatkan produksi makanan lokal. Bahan pembuat makanan kecil yang digunakan adalah kaya karbohidrat, seperti akar umbi-umbian (singkong, ubi manis, keladi, dan lain-lain), serealia (beras, jagung, dan lain-lain), buah-buahan (pisang, dan lainlain) serta sayur-sayuran. Makanan ini juga bukan sebagai makanan pengganti dalam makanan keluarga, karena tujuan pemberian makanan sekolah ini adalah sebagai tambahan terhadap makanan sehari-hari yang dikonsumsi (Studdert & Soekirman 1998). PMT-AS juga diharapkan dapat meningkatkan ketahanan fisik anak misalnya dengan menurunnya angka ketidakhadiran karena sakit, meningkatnya kegairahan di kelas, menurunnya angka murid yang pingsan ketika upacara bendera, dan dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan status gizi (di Manado dari 8,42% status gizi kurang pada tahun 1996 menjadi 5,06% pada tahun 1997), absensi dan putus sekolah menurun (kasus di kecamatan Cibal Nusa Tenggara Timur, absensi turun dari 18% Tahun Ajaran 95/96 menjadi 12% Tahun Ajaran 96/97), dan meningkatnya prestasi murid, contoh di kecamatan Muarabulian Jambi yang mengungkapkan adanya peningkatan rata-rata nilai Matematika, IPA dan IPS (Riyadi 2006). Pada tahun 2000, pemberian makanan mencakup 9,8 juta anak-anak sekolah di Indonesia, tetapi sejak 2001, hanya 30% distrik/daerah yang melakukan program ini. Hal tersebut karena keterbatasan anggaran ekonomi sehingga masyarakat tidak bisa melanjutkan program. Program pemberian makanan sekolah dari NGO Amerika bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia menyediakan susu untuk Program Kesehatan Sekolah (Program Susu UKS). Pada tahun 2003 susu dan/atau biskuit dibagikan kepada 580,000 anak sekolah, tiga kali dalam satu minggu yang mencakup sekitar 2,900 sekolah dasar (SD negeri dan Islam) di 70 daerah di sembilan provinsi (Judhiastuty 2005). Model yang dipergunakan dalam
41
program tersebut adalah penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah, melibatkan faktor swasta, yaitu pabrik makanan. Pada tahun 2010 sebanyak 1.385.000 siswa Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar serta Raudlatul Atfal dan Madrasah Ibtidaiyah di 27 kabupaten dan kota di 27 provinsi yang termasuk daerah tertinggal menerima makanan tambahan berupa kudapan. Dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan
(APBN-P)
2010,
Kementerian
Pendidikan
Nasional
mendapatkan sebesar Rp 218 miliar dan Kementerian Agama sebanyak Rp 32 miliar. Setiap peserta didik pada setiap kali makan akan mendapatkan kudapan dengan kandungan energi berkisar 300 kilokalori dan 5 gram protein. Biaya per orang program ini (biaya pembelian bahan pangan, ongkos masak dan biaya operasinal lainnya) untuk kawasan Indonesia Barat sebesar Rp 2.250,- dan untuk Kawasan Indonesia Timur sebesar Rp 2.600. Program ini merupakan upaya bersama berbagai kementerian/lembaga. Penetapan sasaran kabupaten berdasarkan pada kriteria kabupaten tertinggal, persentase penduduk miskin yang tinggi, dan prevalensi gizi penduduk (KEMENDAGRI 2010). Menu kudapan ditentukan oleh ibu-ibu PKK yang melaksanakan pengolahan bahan pangan sesuai dengan biaya yang telah ditetapkan dari pemerintahan pusat. Bahan kudapan dianjurkan berasal dari lokasi setempat. Ibu PKK dapat juga mempergunakan buku pedoman pembuatan kudapan dari berbagai provinsi yang disediakan oleh tim pusat PMT-AS (KEMENDAGRI 2010). Pada tahun 2011, PMT-AS dilakukan dengan biaya per orang di kawasan Indonesia Barat ditingkatkan menjadi Rp 2.500 (KEMENDIKNAS 2011). Model penyelenggaraan PMT-AS di Indonesia yang dilakukan sejak tahun 1996 sampai pada tahun 2011 adalah model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah dengan bahan pangan lokal, melibatkan partisipasi masyarakat khususnya ibu PKK. Dapur yang dipergunakan merupakan dapur yang disediakan oleh Tim PKK. Ibu PKK membeli langsung bahan pangan di pasar terdekat atau dari hasil pertanian setempat. Perencanaan menu, pengolahan, pendistribusian PMT-AS sampai di sekolah semua dilakukan oleh ibu PKK (KEMENDAGRI 2010). Berdasarkan beberapa hasil monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan tim PMT-AS pusat di lapangan (penulis merupakan anggota tim PMT-AS pusat), didapatkan bahwa ibu PKK menyatakan bahwa sangat susah membuat kudapan dengan kandungan gizi yang telah ditetapkan, karena umumnya ukuran/porsi
42
kudapan besar dan pada kenyataannya tidak dapat dihabiskan oleh siswa. Kudapan yang ditampilkan dengan baik pun belum tentu dapat dihabiskan oleh siswa. Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 20 desember 2011, di SDN Sogiyan 1 kecamatan Omben kabupaten Sampang Madura, ibu PKK menyerahkan pengolahan kudapan PMT-AS kepada kepala sekolah karena mereka tidak dapat melaksanakan sesuai petunjuk yang ditetapkan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, didapatkan informasi bahwa ibu PKK merasa kesulitan merencanakan dan membuat menu kudapan dengan syarat energi 300 kilokalori dan 5 gram protein.
DAFTAR PUSTAKA Ahmed AU. 2004. Impact of Feeding Children in School: Evidence From Bangladesh. International Food Policy Research Institute/IFPRI, Washington D.C. USA. Chang SM et al. 1996. Effects of Breakfast on Classroom Behavior in Rural Jamaican School-children. Food and Nutrition Bulletin 17:248-257. Chitra U and Reddy CR. 2005. The Role of Breakfast in Nutrient Intake of Urban Schoolchildren. Public Health Nutrition 10(1): 55-58. Cueto S and Chinen M. 2008. Educational Impact of a School Breakfast Programme in Rural Peru. International Journal of Educational Development 28 : 132-148. Del Rosso JM. 1999. School Feeding Programs : Improving effectiveness and increasing the benefit to education. Oxford: University of Oxford. ________. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007. Departemen Kesehatan RI. ________. 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007: Provinsi Jawa Barat. www.depkes.go.id [ 10 Februari 2011]. Florencio CA. 2001. Developments and Variations in School-Based Feeding Programs Around the World. Nutrition Today 36:29-36. Gregoire MB & Spears MC. 2007. Foodservice Organizations: A Managerial and Systems Approach 6th ed. New Jersey: Pearson Education. Hardinsyah. 2012. Breakfast in Indonesia pada symposium healthy breakfast [makalah]. 16 Juni 2012. Jakarta. Khan MA. 1989. Food Service Operation. New York: Van Nostrand Reinhold Company Inc.
43
[Kemendiknas] Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Petunjuk Teknis Pengolahan Kudapan Nusantara dalam PMT-AS. Jakarta. Muhilal H. 1998. Program Makanan Tambahan Anak Sekolah di Negara Lain dan di Indonesia. Gizi Indonesia 23: 1-9. Muhilal H & Damayanti. 2006. Gizi untuk Anak Sekolah Dalam Hidup Sehat Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia, Soekirman dkk. Jakarta: PT Primamedia Pustaka. Pannell-Martin D. 1999. School Foodservice Management for the 21st Century. Fifth Edition. Virginia: InTEAM Associates, Inc. Palacio JP and Theis M. 2009. Introduction to Foodservice. Eleventh Edition. New Jersey: Columbus, Ohio. Pearson, Prentice Hall. [PCD] The Partnership for Child Development. 1999. School Feeding Programs: Improving effectiveness and increasing the benefit to education. A Guide for Program Managers. Oxford, UK. University of Oxford. Perdigon GP. 1989. Foodservice Management in The Philippines. Diliman: U.P. College of Home Economics. Riyadi, DMM. 2006. PMT-AS dan peningkatan kualitas SDM dalam perspektif IPM pada rapat koordinasi teknis program PMT-AS [makalah]. 19 September 2006. Jakarta. Simeon. 1998. School Feeding in Jamaica: A Review of Its Evaluation. Am J Clin Nutr, 67(4): 790S-794S Sullivan C. 1989. Medical Foodservice. New York: Van Nostrand Reinhold Company Inc. Studdert L & Soekirman. 1998. School feeding in Indonesia: A Community based Programme for Child, School and Community Development. SCN News 16 : 15-16. Syarief H. 1997. Membangun Sumber Daya Manusia Berkualitas : Suatu Telaah Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Orasi Ilmiah pada Pengukuhan Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor : Institut Pertanian Bogor. [UNDP] United Nations Development Programme. 2011. Human development index. http://hdrstats.undp.org/en/countries/profiles/IDN.html. [1 Februari 2012]. [UNESCO]. 2004. Guidelines to Develop and Implement School Feeding Programmes that Improve Education. FRESH Tools for Effective School http://toolkit.ineesite.org/toolkit/INEEcms/uploads/1072/Guidelines_to_Develop_a nd_Implement_Feeding.pdf [10 mei 2012]
44
STUDI PENYELENGGARAAN MAKANAN ANAK SEKOLAH DASAR DI INDONESIA (Study of School Feeding Implementation in Elementary Schools in Indonesia) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penyelenggaraan makanan anak sekolah dasar yang telah dilakukan di Indonesia. Penyelenggaraan makanan anak telah dilaksanakan dengan berbagai model di beberapa sekolah di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan metode survei. Penelitian mengobservasi lima penyelenggaraan makanan anak sekolah dasar, yang akan dipergunakan sebagai referensi dasar untuk pengembangan model penyelenggaraan makanan anak sekolah di SD yang siswanya berasal dari keluarga miskin. Berdasarkan observasi yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa model pelaksanaan penyelenggaraan makanan anak sekolah bergantung pada fasilitas yang ada di sekolah dan sekitar sekolah dengan tetap memperhatikan sanitasi makanan, lingkungan, dan higiene penjamah makanannya. Kata kunci : model penyelenggaraan makanan, anak sekolah SD, siswa miskin Abstract This study aimed to know the implementation of school feeding in Indonesia. School feeding has been implemented in some schools with various models. The study was conducted by survey method. This study observed the implementation of school feeding in five schools, which will be used as a reference for the development of models of school meals in elementary school children from poor families. According to observations of school feeding, the results obtained that the implementation of the school feeding depends on the existing facilities at the school and surrounding of the school with due to care to food hygiene, environmental, and food handler. Key words : school feeding models, elementary students, poor students
45
Pendahuluan Anak-anak sekolah di negara sedang berkembang umumnya menderita kelaparan jangka pendek, kekurangan energi protein, dan kekurangan Iodium, vitamin A, dan besi. Beberapa studi menemukan bahwa status gizi dan kesehatan berpengaruh penting pada kapasitas belajar anak-anak dan kinerja mereka di sekolah. Anak-anak usia sekolah yang kekurangan gizi tertentu dalam makanan mereka, terutama besi dan Iodium, atau yang menderita kekurangan energi-protein, kelaparan, dan/atau infeksi parasit atau penyakit lain, tidak memiliki kapasitas yang sama untuk belajar seperti anak-anak yang sehat dan gizinya baik (Cueto & Chinen 2008). Tujuan utama pemberian makan di sekolah adalah untuk memenuhi kebutuhan gizi anak selama berada di sekolah, dapat meningkatkan status gizi anak sekolah, sehingga mampu mengikuti kegiatan belajar mengajar (Sinaga 2007). Kekurangan gizi pada anak di sekolah akan mengakibatkan siswa menjadi lemah, cepat lelah dan sakit-sakitan, sehingga anak menjadi sering tidak masuk di kelas serta mengalami kesulitan untuk mengikuti dan memahami pelajaran dengan baik. Banyak siswa yang terpaksa mengulang di kelas yang sama (tinggal kelas) atau meninggalkan sekolah (drop-out) sebagai dampak kurang gizi (WNPG 1998). Dalam mengelola kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah di Indonesia, ada beberapa model yang dapat diterapkan. Hal ini disesuaikan dengan kemampuan, fasilitas dan situasi yang ada dilingkungan sekolah tersebut. Tujuan observasi yang dilakukan terhadap lima sekolah dasar adalah untuk mengetahui model yang dapat diterapkan dan kendala-kendala apa saja yang mempengaruhi sehingga suatu model dapat dilaksanakan. Metode Penelitian Desain Desain
penelitian
menggunakan
metode
survey
dengan
teknik
pengumpulan data dilakukan dengan observasi atau pengamatan langsung di sekolah yang telah melaksanakan penyelenggaraan makanan anak sekolah. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi, Sekolah Marsudirini Parung Bogor, Sekolah Alam Bogor (SAB), SD IT Insantama Bogor dan di SDN 1 Malangsari Cipanas Lebak Banten sebagai salah
46
satu penerima PMT-AS tahun 2011. Penelitian dilaksanakan bulan Januari 2011 sampai dengan Desember 2011. Peralatan Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kamera, timbangan bahan pangan, dan kuesioner. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Tabel 1
Variabel, data, metode pengukuran dan responden penelitian
No
Variabel
1
Input penyelenggaraan makanan anak sekolah
Sumberdaya manusia Peralatan Bahan pangan Biaya Metode
Proses penyelenggaraan makanan anak sekolah
Perencanaan menu Pembelian bahan pangan Penerimaan bahan pangan Penyimpanan bahan pangan Pengeluaran bahan pangan Penyiapan bahan pangan Pemasakan bahan pangan Pemorsian dan penyajian makanan Pendistribusian makanan Hygiene dan Sanitasi
2
Data
3
Output penyelenggaraan PMT-AS
Tingkat kesukaan dan daya terima siswa terhadap kudapan PMTAS
Metode pengukuran
Responden
Wawancara dan pengamatan langsung
Pihak sekolah dan tenaga penjamah makanan
Wawancara dan pengamatan langsung
Tenaga penjamah makanan
Kuesioner form tingkat kesukaan dan daya terima
Siswa
Data primer meliputi: 1) tenaga penjamah makanan yang diperlukan; 2) sarana dan prasarana fisik dapur; 3) biaya yang dibutuhkan; 4) perencanaan menu; 5) pembelian bahan pangan; 6) penerimaan bahan pangan; 7) penyimpanan bahan pangan; 8) pengeluaran bahan pangan; 9) penyiapan bahan pangan; 10) pemasakan bahan pangan; 11) Pemorsian dan Penyajian makanan; 12) pendistribusian makanan; 13) hygiene & sanitasi. Semua data primer
47
tersebut dilakukan dengan cara wawancara dan pengamatan langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Data sekunder diperoleh dari pihak penyelenggaraan makanan sekolah meliputi jumlah orang yang dilayani, dan menu yang dipergunakan. Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan data meliputi entry, cleaning dan edit data. Setiap komponen dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah diolah dan disajikan secara deskriptif. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan gambar. Data tingkat kesukaan dan daya terima siswa terhadap makanan dilakukan khusus untuk kudapan PMT-AS. Data tingkat kesukaan siswa diperoleh dari uji organoleptik, berupa uji hedonik/kesukaan, dan tingkat kesukaan ini dikategorikan menjadi suka dan tidak suka. Daya terima siswa terhadap kudapan, dikelompokkan menjadi 6 kategori : dimakan habis, dimakan ¾ bagian, dimakan ½ bagian, dimakan ¼ bagian, hanya dicicipi, dan tidak dimakan.
Hasil dan Pembahasan Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi Pelayanan makanan di yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi sudah dilakukan sejak tahun 1996 dengan mempekerjakan seorang tenaga gizi sebagai konsultannya. Sejak tahun 2007, dapur yayasan dipimpin oleh seorang manajer yang berpendidikan D IV gizi FKUI, dengan latar belakang sarjana muda gizi (B.Sc). Struktur organisasi dapur berada di bawah yayasan, yaitu nonkependidikan. Gedung dapur yang dipergunakan merupakan sebuah bangunan yang sebelumnya dipergunakan sebagai guest house yayasan. Pelayanan makanan diberikan untuk makan siang dengan menu lengkap dan makanan selingan berupa kue/roti untuk sore hari sebelum siswa pulang sekolah. Jumlah tenaga penjamah makanan terdiri dari 12 orang yang melayani makan siang siswa TK, SD, SMP, SMA, SMK, guru dan karyawan di lingkungan yayasan dengan jumlah 1642 porsi, dan untuk makanan selingan sebanyak 840 porsi. Dapur penyelenggaraan makanan ada di dalam lingkungan yayasan. Sarana dan prasarana di dalam dapur yayasan cukup untuk mendukung kegiatan penyelenggaraan makanan. Peralatan masak terdiri dari dandang besar (kapasitas 15 kg beras) untuk memasak nasi, wajan, panci. Peralatan penyajian terdiri dari termos nasi, kontainer plastik, dan alat makan berupa piring dan
48
sendok. Biaya yang harus dibayar siswa adalah Rp 5.000,00 untuk TK–SD dan Rp 7.500,00 untuk SMP-SMA, dan biaya makanan selingan/kue sebesar Rp 2.000,00. Biaya yang terkumpul dari murid dikelola oleh yayasan untuk melayani makan siang bagi 1.642 porsi. Biaya untuk membayar upah tenaga penjamah makanan, biaya peralatan dan pembangunan fisik dapur ditanggung oleh yayasan. Perencanaan menu dilakukan bersama-sama oleh tenaga penjamah makanan dan seorang tenaga gizi. Menu yang direncanakan kemudian di informasikan kepada guru, pengawas yayasan dan orang tua murid. Jika ada guru, pengawas yayasan dan orang tua tidak setuju terhadap menu, maka menu dapat berubah. Pembelian bahan pangan dilakukan secara langsung melalui pesanan kepada pedagang yang ada di pasar Cibitung. Bahan pangan yang dipesan diantar langsung oleh pedagang ke dapur yayasan. Di dapur yayasan penjamah makanan menerima bahan pangan yang disesuaikan dengan spesifikasi bahan pangan yang telah disepakati. Penyimpanan dan pengeluaran bahan pangan sudah dilakukan karena fasilitas ada (penyimpanan bahan pangan basah dan kering). Proses penyiapan dan pemasakan untuk makan siang dilakukan mulai pukul 07.00-10.45 WIB dan pemasakan makanan kecil/kue dilakukan pukul 11.00-14.00 WIB. Penyajian makanan dilakukan dengan cara prasmanan, yaitu siswa mengambil makanan yang disajikan diatas meja. Pendistribusian makanan menggunakan sistem desentralisasi, yaitu makanan ditempatkan di dalam wadah besar, seperti nasi ditaruh di dalam termos, lauk pauk, sayuran dan buah di dalam kontainer plastik, lalu dibawa ke ruang makan atau ke ruang kelas (khusus hari jumat) pada pukul 11.30. Higiene tenaga penjamah makanan dan sanitasi dapur cukup baik karena yayasan menyediakan fasilitas-fasilitas untuk mendukung terwujudnya keadaan dapur yang bersih. Setelah selesai makan, siswa diwajibkan mencuci sendiri alat makan di tempat yang sudah disediakan. Setelah alat saji bersih kemudian dibawa ke kelas dan ditaruh diatas rak piring. Ada aturan dari yayasan yaitu siswa tidak diperkenankan jajan di luar lingkungan sekolah. Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi mempunyai ruang makan untuk siswa, dengan kapasitas satu kali pelayanan untuk 150 orang. Siswa makan di ruang makan secara bergantian, yang dimulai dari kelas kecil sampai kelas besar, setiap hari senin sampai kamis. Pada hari jumat, siswa makan di
49
kelas masing-masing, karena siswa laki-laki bersiap-siap untuk melakukan sembahyang jumatan. Monitoring di dapur langsung dilaksanakan setiap hari oleh tenaga gizi yang bekerja sebagai pegawai yayasan dan bertugas sebagai manager penyelenggaraan makanan. Monitoring pada saat makan di ruang makan atau di dalam kelas dilaksanakan oleh guru kelas. Kegiatan penyiapan, pemasakan, pendistribusian, penyajian dan pencucian alat dapat dilihat pada Lampiran 10. Keuntungan model penyelenggaraan makanan ini adalah : tidak membutuhkan tambahan biaya transportasi makanan matang, pengelola yayasan lebih mudah mengontrol penyiapan dan pemasakan bahan pangan, makanan dapat disajikan dalam keadaan hangat. Kelemahan model ini adalah membutuhkan biaya investasi tinggi untuk membangun dapur, ruang makan beserta perlengkapannya serta tenaga yang profesional. Sekolah Marsudirini Parung Bogor Sekolah Marsudirini, Parung, Bogor mengelola penyelenggaraan makanan untuk para siswa, karyawan dan suster setiap hari, yang telah dimulai sejak tahun 2006. Pengolahan makanan dilaksanakan di dalam sekolah. Jumlah tenaga penjamah makanan terdiri dari 15 orang yang merupakan pegawai sekolah dan untuk melayani 863 porsi. Sarana fisik dapur terdiri dari ruangan dengan ukuran 8 m x 15 m, yang dibagi menjadi ruang penyimpanan basah dan kering serta ruang pencucian bahan pangan dan alat masak. Peralatan yang ada di dapur adalah peralatan memasak seperti: kompor, rice cooker 8 liter, wajan, panci, pisau, talenan, ulekan, blender. Perencanaan menu dan makanan selingan/kue ditentukan oleh manager penyelenggaraan makanan yang juga bekerja sebagai kepala SD. Proses perencanaan menu belum melibatkan tenaga gizi dan belum memperhitungkan kecukupan gizi siswa. Setiap tahun diadakan evaluasi terhadap menu yang disajikan, yang berguna untuk menentukan menu yang tidak disukai oleh siswa, atau juga untuk menambah menu baru. Evaluasi menu melibatkan orang tua murid, tenaga penjamah makanan. Pihak sekolah kemudian memberitahukan kepada orang tua hasil evaluasi terhadap menu. Pembelian bahan pangan dilakukan dengan cara langsung melalui rekanan. Penerimaan bahan pangan dilakukan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Penyimpanan bahan pangan dilakukan di tempat penyimpanan yang terletak di dalam dapur. Penyimpanan bahan pangan kering dan basah dilakukan di tempat terpisah yang telah tersedia. Pengeluaran bahan pangan
50
dilakukan karena ada penyimpanan bahan pangan mentah. Jam kerja tenaga penjamah makanan di dapur adalah pukul 07.00-17.00 WIB, dan khusus untuk tenaga pengolah sarapan dimulai pukul 03.30-04.00 WIB karena bertugas menyediakan makanan untuk siswa dan pegawai yang tinggal di asrama. Pemorsian makanan dilakukan oleh petugas pendistribusian. Siswa antri baris untuk mengambil makanan yang telah diporsi di meja pelayanan. Pendistribusian makanan untuk guru dan pegawai menggunakan sistem desentralisasi, yaitu makanan dibawa dari ruang pengolahan ke ruang makan. Higiene tenaga penjamah sudah cukup baik. Sanitasi dapur juga sudah cukup baik, yaitu adanya tempat khusus untuk mencuci peralatan masak dan bahan pangan. Pencucian alat masak menggunakan semprotan air panas agar kotoran dan kuman yang menempel dapat hilang dan mati. Sekolah Marsudirini mempunyai ruang makan ukuran 16 m x 45 m dengan kapasitas 1 kali makan memuat
250
orang,
dilengkapi
sound
system
sebagai
sarana
untuk
memberitahukan pengumuman dan doa bersama sebelum makan. Seluruh siswa, guru dan pegawai berkewajiban mencuci piring, gelas, sendok dan garpu secara mandiri, tetapi untuk alat makan yang digunakan siswa dilakukan pencucian ulang oleh petugas, karena belum seluruh siswa dapat mencuci alat makan dengan benar. Ruang makan di Sekolah Marsudirini dilengkapi dengan wastafel sebanyak 20 buah, yang digunakan untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah makan. Tempat sampah yang tersedia cukup, yang ditempatkan di ruang makan dan di dapur. Pembuangan limbah/sampah akhir jauh dari dapur dan tempat ruang makan. Kegiatan penyiapan, pemasakan, pendistribusian, penyajian dan pencucian alat dapat dilihat pada Lampiran 11. Keuntungan model penyelenggaraan makanan ini adalah : tidak membutuhkan tambahan biaya transportasi makanan matang, pengelola sekolah lebih mudah mengontrol penyiapan dan pemasakan bahan pangan, makanan dapat disajikan dalam keadaan hangat. Kelemahan model ini adalah membutuhkan biaya investasi tinggi untuk membangun dapur, ruang makan beserta perlengkapannya serta tenaga yang profesional. Sekolah Alam Bogor (SAB) SAB mulai menyediakan pelayanan makanan untuk siswa SD sejak tahun 2005 dengan mempergunakan jasa katering. Dapur berada di dalam lokasi SAB. Jumlah tenaga penjamah makanan sebanyak 5 orang. Tenaga ini merupakan pekerja dari luar SAB dan merupakan pegawai jasa katering. Pada umumnya
51
katering SAB melayani untuk makan siang konsumen sebanyak 144 porsi. Ruangan yang tersedia dibagi menjadi dua bagian. Ruangan pertama mempunyai ukuran 5 m x 4 m dan ruang kedua 2 m x 4 m. Peralatan untuk memasak yang dimiliki adalah kukusan untuk menanak nasi, kompor, presto, panci, blender, dan lain-lain. Harga makanan yang dibayar siswa sebesar Rp 5.500,00 untuk anak TK; Rp 6.000,00 untuk SD, dan Rp 6.500,00 untuk pegawai. Perencanaan menu dilaksanakan oleh manajer katering dan melibatkan tenaga penjamah makanan. Siklus menu yang tersedia senin sampai jumat selama adalah satu bulan adalah siklus 20-22 hari. Pembelian bahan pangan dilakukan dengan cara/metode langsung melalui pedagang di pasar tradisional. Penerimaan bahan pangan dilakukan sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati antara pedagang dan pihak katering. Penyimpanan bahan pangan dilakukan di tempat penyimpanan yang terletak di dalam lingkungan SAB. Pengeluaran bahan pangan dilakukan setelah mengisi buku stok bahan pangan. Proses penyiapan dan pemasakan dimulai pukul 07.00-10.45 WIB. Pemorsian untuk kelas 5 dan kelas 6 dilakukan didalam rantang. Penyajian makanan dilakukan dengan cara prasmanan untuk kelas 1-4. Peralatan yang digunakan untuk penyajian makanan adalah kontainer plastik, dan kotak makan plastik. Higiene personal tenaga penjamah dan dan sanitasi dapur sudah baik. Siswa melakukan pencucian alat saji sendiri. Sekolah ikut berpartisipasi untuk menetapkan harga makanan yang harus dibayar siswa. Sekolah juga ikut mengawasi pelaksanaan pada waktu makan, dan juga pengawasan terhadap kebersihan dan kesehatan tenaga penjamah makanan. Orang tua siswa ikut berpartisipasi dalam mengevaluasi menu yang diberikan kepada anak. Pendistribusian yang dilakukan katering SAB adalah desentralisasi yaitu makanan yang di porsi ditempatkan pada satu ruangan, kemudian diambil oleh siswa untuk dibawa ke dalam kelas masing-masing siswa. Alat saji yang digunakan siswa disimpan di dalam kelas dan dimasukkan kedalam kontainer plastik. Pengiriman makanan dilaksanakan pukul 10.30-11.30 karena siswa makan siang pada pukul 12.00–13.00. Kegiatan penyimpanan bahan pangan, pemasakan, pemorsian, pendistribusian, penyajian, penyimpanan alat makan, dapat dilihat pada Lampiran 12. Keuntungan model penyelenggaraan makanan ini adalah : tidak membutuhkan tambahan biaya transportasi makanan matang, pengelola yayasan lebih mudah mengontrol penyiapan dan pemasakan bahan pangan, makanan dapat disajikan dalam keadaan hangat. Kelemahan model ini
52
adalah membutuhkan biaya investasi tinggi untuk membangun dapur beserta perlengkapannya serta tenaga yang profesional. giatan Pen (lampiran 12) SD IT Insantama Bogor Pengolahan makanan di SD ini mempergunakan dapur katering yang berada di luar sekolah. Jumlah tenaga penjamah makanan di SD IT Insantama Bogor sebanyak 5 orang. Jumlah makanan yang dipersiapkan oleh katering sebanyak 242 porsi untuk siswa SD dan SMP. Dapur katering mempunyai ukuran 3 m x 9 m. Peralatan yang tersedia di dapur katering adalah panci, kukusan, presto, blender, kompor, oven, wajan, dan lain-lain. Harga yang harus dibayar siswa adalah Rp 6.000,00 untuk SD kelas 1-3, Rp 6.500,00 untuk SD kelas 4-6, dan Rp 7.000,00 untuk SMP. Perencanaan menu dilaksanakan oleh manajer katering bersama-sama dengan perwakilan orang tua siswa (FOSIS). Siklus menu yang dipergunakan adalah siklus 20-22 hari. Siklus ini bertujuan agar siswa tidak bosan terhadap menu yang disajikan pada saat makan siang. Proses penyiapan dan pemasakan dimulai pukul 05.00-10.30 WIB. Pemorsian dan penyajian makanan dilakukan secara prasmanan. Pendistribusian makanan menggunakan sistem sentralisasi dan desentralisasi. Higiene tenaga penjamah dan sanitasi dapur sudah cukup baik. Pencucian alat makan siswa dilakukan oleh petugas katering di lokasi katering (Nurdiani 2011). Penyimpanan bahan pangan dilakukan di tempat penyimpanan yang terletak di ruang dapur katering. Pengeluaran bahan pangan dilakukan dari tempat penyimpanan. Kegiatan yang dilakukan di dapur katering SD IT Insantama Bogor, yaitu penyiapan bahan pangan dimulai pukul 05.00 sampai 10.30 WIB dan didistribusikan pukul 11.00 WIB. Sekolah dilibatkan mulai dari perencanaan menu sampai dengan evaluasi penyelenggaraan makanan. Perencanaan yang melibatkan sekolah berupa perencanaan menu, harga bahan pangan, kualitas, dan lain-lain. Sekolah dan orang tua yang diwakili FOSIS ikut terlibat dalam memberikan masukan melalui rapat formal ataupun informal. Semua aktivitas dalam proses produksi makanan sebagian besar dilakukan oleh katering, sedangkan pihak sekolah terlibat dalam pengawasan mutu, distribusi, porsi dan lain-lain. Katering yang melayani SD IT Insantama diperoleh melalui penawaran terbuka dan bisa berasal dari orang tua siswa. Pencucian alat makan dilakukan oleh pihak katering, dan berada di luar sekolah (Nurdiani 2011). Kegiatan pemasakan, penyimpanan peralatan pemorsian,
53
pendistribusian, penyajian dan suasana makan di ruang kelas dapat dilihat pada Lampiran 13. Keuntungan model penyelenggaraan makanan ini adalah : tidak membutuhkan investasi yang tinggi untuk menyediakan lahan dan pembangunan dapur sekolah beserta perlengkapannya. Kelemahan model ini adalah : membutuhkan
biaya
tambahan
untuk
transportasi
makanan
matang,
kemungkinan siswa menerima makanan dalam keadaan dingin, pengelola harus menyediakan waktu dan transportasi untuk mengontrol pada saat penyiapan dan pemasakan bahan pangan. SDN 1 Malangsari, Cipanas, Lebak – Banten SDN 1 Malangsari Cipanas merupakan salah satu penerima program PMT-AS tahun 2011. Jumlah tenaga penjamah makanan kudapan PMT-AS di SDN 1 Malangsari sebanyak 4 orang untuk melayani 330 siswa. Dapur yang dipergunakan untuk mengolah kudapan mempunyai ukuran 3 m x 3 m, langitlangit ruangan berwarna putih, lantai dapur terbuat dari ubin semen, dan warna dinding putih. Peralatan memasak yang tersedia di dapur adalah kompor dua tungku, dandang, dan wajan. Biaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan kudapan PMT-AS adalah Rp 2.500,00 per siswa yang ditanggung oleh APBN. Perencanaan menu sesuai dengan buku kumpulan menu kudapan PMTAS tahun 2011. Pembelian bahan pangan dilakukan oleh 2 orang tenaga penjamah makanan setiap harinya secara bergantian. Pembelian dilakukan secara langsung di pasar tradisional. Penerimaan bahan pangan tidak dilakukan karena pembeliannya dilakukan secara langsung. Penyimpanan bahan pangan hanya dilakukan sementara dan tidak ada tempat penyimpanan khusus. Pengeluaran bahan pangan tidak dilakukan karena penyimpanan bahan pangan hanya sementara. Penyiapan kudapan untuk esok hari dimulai pada hari sebelumnya, yaitu pukul 14.00 – 17.30 WIB dan pemasakan dimulai pada keesokan harinya, yaitu pukul 05.00 WIB. Kudapan dibagi menjadi dua porsi, yaitu porsi kecil (kelas 1 dan 2) dan porsi besar (kelas 3 – 6). Pendistribusian kudapan ke ruang kelas dilakukan secara sentralisasi oleh petugas pemasak pada pukul 09.00 WIB untuk siswa kelas 1-2 dan pukul 09.30 WIB untuk siswa kelas 3-6. Penyajian dan pemorsian kudapan dilayani oleh tenaga penjamah makanan. Kudapan ditempatkan pada satu baskom sesuai dengan jumlah siswa pada setiap kelas. Kudapan dibagikan oleh masing-masing wali kelas kepada siswa dan diletakkan di atas meja.
54
Higiene tenaga penjamah makanan sudah cukup baik, yaitu dengan penggunaan celemek, masker dan sarung tangan plastik. Sanitasi dapur masih kurang baik, yaitu tidak adanya tempat pencucian khusus untuk bahan pangan dan alat masak. Tempat pencucian masih dilakukan di tempat yang sama dengan tempat mencuci tangan dan peralatan kebersihan siswa. Sebelum makan, siswa diwajibkan untuk mencuci tangan dengan air dan sabun, kemudian dilakukan doa bersama dan pengenalan nama kudapan oleh wali kelas masingmasing. Setelah selesai makan, siswa diwajibkan membuang sampah sisa kemasan kudapan ke tempat sampah yang tersedia di depan kelas masingmasing. Besar porsi kudapan dibedakan menjadi dua, yaitu porsi kecil dan porsi besar. Porsi kecil diberikan untuk siswa kelas 1-2, dan porsi besar diberikan untuk siswa kelas 3-6. Pada awal pemberian PMT-AS, besar porsi kudapan yang diberikan sama (kelas 1-6), namun sebagian besar siswa kelas 1-2 tidak dapat menghabiskan kudapan yang diberikan sehingga pihak sekolah membedakan besar porsi kudapan antara kelas 1-2 dan kelas 3-6. Rata-rata kandungan energi kudapan PMT-AS yang disediakan dapat dilihat pada Tabel 2, yaitu energi sebesar 224 Kkal (11% dari AKG), dan protein sebesar 3.9 gram (8.6% dari AKG). Angka ini belum sesuai dengan syarat-syarat PMT-AS yaitu sebesar 15% dari AKG. Hal tersebut disebabkan susahnya membuat kudapan yang memenuhi syarat 300 kilokalori dan 5 gr protein, walaupun buku panduan pembuatan kudapan PMT-AS tahun 2011 sudah ada, tetapi bahan pangan yang dibutuhkan untuk pembuatan kudapan belum tentu tersedia di pasar lokal, atau peralatan yang dibutuhkan tidak ada di lingkungan sekolah penerima PMT-AS. Tingkat kesukaan siswa terhadap kudapan PMT-AS di SDN 1 Malangsari Cipanas dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa masih terdapat beberapa siswa yang tidak menyukai kudapan. Salah satu menu PMT-AS yang tidak disukai adalah putri noong, sebesar 61.7% menyatakan tidak suka. Pada saat pengamatan waktu makan kudapan putri noong, dan berdasarkan wawancara terhadap beberapa siswa yang tidak menyukai putri noong, mereka menyebutkan karena bahan baku putri noong adalah singkong dan cara pengolahannya dikukus.
55
Tabel 2
Kandungan energi, protein, vit A dan Fe kudapan PMT-AS SDN 1 Malangsari Cipanas – Lebak – Banten Jenis Kudapan
E (Kkal)
Kandungan Gizi P (g)
Vit A (µg RE)
Fe (mg)
Arem-arem + teh manis
227
4.7
86.29
0.5
Nagasari ayam+ teh manis
202
3.3
86.47
0.4
Combro ayam + teh manis
246
3.3
633.83
0.6
Kumbu kacang hijau
248
5.7
663.06
1.8
Perkedel singkong
242
5.4
1383.17
1.5
Bakwan sayur
285
6.3
1012.57
1.4
Lontong singkong
189
5.6
356.44
1.3
Donat sagu
271
1.5
401.0
1.1
Bakwan jagung manis + teh manis
218
3.0
834.25
0.5
Tahu isi ayam + teh manis
176
4.4
912.57
0.1
Putri noong
157
1.1
27.80
1.1
Cucur wijen
223
2.6
481.00
0.9
224
3.9
573,2
0,9
Rata-rata
Daya terima siswa SDN 1 Malangsari Cipanas terhadap kudapan PMTAS dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa kudapan arem-arem adalah kudapan yang memiliki daya terima tertinggi, yaitu sebesar 97.37%. Hal tersebut dikarenakan arem-arem memiliki rasa yang gurih dan bahan pangan dari beras. Daya terima terendah terdapat pada kudapan putri noong, yaitu sebesar 30%. Kegiatan penyiapan, pemasakan, pendistribusian, penyajian dan suasana makan di ruang kelas dapat dilihat pada Lampiran 14.
Gambar 7 Tingkat kesukaan siswa terhadap kudapan PMT-AS
56
Tabel 3 Daya Terima Siswa Terhadap Menu PMT-AS Hari ke-
Jenis Kudapan
Persentase Daya Terima Dimakan Dimakan Dimakan Hanya ¾ bgn ½ bgn ¼ bgn Dicicipi 0.00 2.63 0.00 0.00 5.26 2.63 2.63 0.00
1 2
Arem-arem Nagasari ayam
Dimakan habis 97.37 89.47
3
Combro ayam
94.74
5.26
0.00
0.00
0.00
0.00
4
Kumbu kc hijau
81.58
10.53
7.89
0.00
0.00
0.00
5
Perkedel singkong
86.84
7.89
5.26
0.00
0.00
0.00
6
Bakwan sayur
78.95
10.53
7.89
2.63
0.00
0.00
7
Lontong singkong
51.40
20.30
20.30
4.10
4.10
0.00
8
79.50
9.60
9.60
1.20
0.00
0.00
89.90
6.30
2.50
0.00
0.00
1.30
10
Donat sagu Bakwan jagung manis Tahu isi ayam
97.30
2.70
0.00
0.00
0.00
0.00
11
Putri noong
30.00
17.50
32.50
11.30
6.30
2.50
12
Cucur wijen
78.50
10.10
8.90
2.50
0.00
0.00
9
Keuntungan
model
penyelenggaraan
makanan
ini
adalah
:
Tidak dimakan 0.00 0.00
tidak
membutuhkan tambahan biaya transportasi makanan matang, pengelola lebih mudah mengontrol penyiapan dan pemasakan bahan pangan, makanan dapat disajikan dalam keadaan hangat. Kelemahan model ini adalah membutuhkan biaya investasi tinggi untuk merenovasi dapur beserta perlengkapannya, dan perlu biaya untuk melatih ibu PKK yang kurang profesional.
Simpulan Dari
observasi
lapangan
yang
dilakukan,
diketahui
bahwa
penyelenggaraan makanan anak sekolah dapat dilaksanakan dengan model dapur di dalam sekolah atau di luar sekolah. Hal tersebut bergantung pada fasilitas yang ada di sekolah dan sekitar sekolah. Ruang makan yang dipergunakan juga sangat bergantung dari fasilitas yang ada di sekolah, jika ruang makan tidak tersedia, maka dapat mempergunakan ruang kelas sebagai ruang makan, dengan tetap memperhatikan ruang kelas harus dalam keadaan bersih, jauh dari tempat pembuangan sampah, dan jauh dari tempat pmbuangan limbah. Tenaga penjamah makanan dapat berasal dari ibu PKK, komite sekolah, atau tenaga swasta/katering yang bekerja khusus untuk pelayanan makanan. Beberapa keuntungan jika mempergunakan model dapur di dalam sekolah adalah : tidak membutuhkan tambahan biaya transportasi makanan matang, pengelola lebih mudah mengontrol penyiapan dan pemasakan bahan pangan, makanan dapat disajikan dalam keadaan hangat, tetapi mempunyai kelemahan
57
yaitu membutuhkan biaya investasi tinggi untuk membangun dapur, ruang makan beserta perlengkapannya. Dan jika mempergunakan model dapur di luar sekolah mempunyai keuntungan yaitu : tidak membutuhkan investasi yang tinggi untuk menyediakan lahan dan pembangunan dapur sekolah beserta perlengkapannya, dan kelemahan model ini adalah: membutuhkan biaya tambahan untuk transportasi makanan matang, kemungkinan siswa menerima makanan dalam keadaan dingin, pengelola harus menyediakan waktu dan transportasi untuk mengontrol pada saat kegiatan penyiapan dan pemasakan bahan pangan.
Daftar Pustaka Cueto, S and Chinen, M. 2008. Educational impact of a school breakfast programme in rural Peru. International Journal of Educational Development 28 : 132-148. Gregoire MB & Spears MC. 2007. Foodservice Organizations: A Managerial and Systems Approach 6th ed. New Jersey: Pearson Education. [Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri RI. 2010. Pedoman Umum Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) Melalui Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta. [Kemendiknas] Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Petunjuk Teknis Pengolahan Kudapan Nusantara dalam PMT-AS. Jakarta. Palacio, JP and Theis, M. 2009. Introduction to Foodservice. Eleventh Edition. New Jersey: Columbus, Ohio. Pearson, Prentice Hall. Sinaga T. 2007. Manfaat Makan di Sekolah. Diktat Pelatihan Gizi untuk Anak Sekolah (11-13 Desember 2007) Jakarta: Yayasan Kuliner Jakarta. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. 1998. Pangan dan Gizi Masa Depan: Meningkatkan Produktifitas dan Daya Saing Bangsa. Prosiding, Jakarta: LIPI.
58
MODEL PENYELENGGARAAN SARAPAN MENU SEPINGGAN DAN EFIKASINYA TERHADAP KONSUMSI, TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI LAIN PADA SISWA SD (Designing Model of One Dish Meal Breakfas and Efficacy on Dietary Intake and Adequacy Level of Energy, Other Nutrients of Elementary School Children) Abstrak Perancangan model untuk pelaksanaan penyelenggaraan makanan anak sekolah yang siswanya berasal dari keluarga miskin, membutuhkan sebuah model yang tepat dan sesuai dengan situasi serta kondisi sekolah. Studi ini merancang model penyelenggaraan makanan berupa sarapan menu sepinggan berdasarkan metode research and development (R&D) untuk menghasilkan model yang sesuai pada satu sekolah dasar negeri yang persentasi siswanya banyak berasal dari keluarga miskin. Model sarapan menu sepinggan diefikasi untuk menganalisis pengaruh pemberian sarapan menu sepinggan terhadap konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya pada siswa. Penelitian ini menggunakan metode pra eksperimental dengan desain one-group pretest-posttest yang dilakukan pada bulan Maret sampai Mei 2011 di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kebon Kopi 2 Kota Bogor. Jumlah siswa yang berpartisipasi dalam penelitian ini sebanyak 62 orang dan sebagian besar dari siswa adalah anak perempuan, berusia 11 tahun. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan Etik (Ethical Approval) dari Komisi Etik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nomor KE.01.05/EC/301/2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian sarapan menu sepinggan di sekolah secara nyata berpengaruh (p<0.05) terhadap peningkatan asupan energi dan zat gizi lainnya pada siswa. Peningkatan asupan terhadap energi sebesar 27.0%, protein 31.3%, vitamin A 42.3%, dan Fe 30.0% pada siswa SDN Kebon Kopi 2 kota Bogor. Dan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemberian sarapan menu sepinggan secara nyata berpengaruh (p<0.05) terhadap tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A dan Fe. Kata kunci : model sarapan menu sepinggan, makanan anak sekolah, metode research and development, asupan makanan, siswa SD Abstract The design for the implementation of the school feeding that students of poor families, is need of a model appropriate to the situation and condition of the school. This study designed a model of one dish meal breakfast based on research and development methods to obtain the corresponding model at a public elementary school whose students come from poor families. The objective of efficacy study was to analyze the effect of one dish meal breakfast on dietary intake and adequacy level of energy, other nutrients of elementary school children. The study used pre-experimental one-group pretest-posttest design and was conducted from March to May 2011 at Sekolah Dasar Negeri Kebon Kopi 2 in Bogor City. The total number of sixty two elementary students were fully participated in this study, where most of them were girls aged 11 years old. The
59
Ethical Approval for this study was handed from Komisi Etik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nomor KE.01.05/EC/301/2011. The study showed that there is a differences (p<0.05) between before and after giving one dish meal breakfast as a school feeding among the elementary school children. It’s positively affected to increase the level of dietary intake of energy by 27.0%, protein by 31.3%, vitamin A by 42.3%, and iron by 30.0% of the elementary school children. The research results also showed that one dish meal breakfast significantly affected on the adequacy of energy, protein, vitamin A and Fe of the elementary school children (p<0.05).
Key words : one dish meal breakfast model, school feeding, research and development method, dietary intakes, elementary school children
60
Pendahuluan Di Indonesia masih banyak penduduk yang tidak sarapan, bahkan sebagian besar dari mereka yang sarapan, memiliki mutu sarapannya masih rendah. Analisis data Riskesdas 2010 yang dilakukan terhadap konsumsi pangan pada 35.000 anak usia sekolah dasar, menunjukkan bahwa 26.1% anak hanya sarapan dengan minuman (air, teh dan susu). Dan sebesar 44.6% anak yang sarapan hanya memperoleh asupan energi kurang dari 15% AKG (Hardinsyah 2012). Kondisi ini memberikan gambaran bahwa konsumsi sarapan anak sekolah di Indonesia masih menjadi masalah. Program PMT-AS menyediakan menu kudapan, dan sarapan dapat disajikan dalam bentuk makanan lengkap berupa menu sepinggan (one dish meal). Makanan lengkap dapat memenuhi 20% dari kecukupan energi dan gizi anak sekolah dalam sehari. Jika dibandingkan dengan PMT-AS yang hanya menyajikan menu kudapan (memenuhi 15% kecukupan siswa/hari), maka menu sepinggan untuk sarapan lebih besar dalam jumlah energi dan zat gizi lainnya, dan lebih dapat diterima oleh siswa. Makanan sepinggan merupakan suatu istilah yang diberikan untuk hidangan dimana seluruh makanan terdapat dalam "satu piring" atau “satu mangkuk”. Hidangan sepinggan dikenal dengan sebutan one-dish meal dalam bahasa Inggris. Walaupun disajikan dalam satu piring/mangkuk, kebutuhan akan sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral dapat terpenuhi dalam hidangan sepinggan. Ciri-ciri makanan sepinggan adalah: mudah dalam pengolahan, ringkas dan cepat dalam penyajiannya/cepat saji (Erwin 2011). Contoh menu sepinggan adalah: nasi goreng, bihun jagung goreng, mi goreng, bubur ayam, bubur manado, berbagai jenis soto, bakmi kethoprak, lontong cap gomeh, nasi rames, lontong sayur dan lain-lain. Beberapa sekolah di Indonesia menyelenggarakan makan siang dan makanan selingan/kecil, karena siswa lebih lama berada di sekolah sebagai akibat dari 5 hari sekolah (fullday school). Penyelenggaraan makanan anak sekolah dapat mempergunakan model dapur di dalam atau di luar sekolah. Model dapur yang berada di dalam sekolah dapat dikelola oleh sekolah, atau sekolah bekerja sama dengan pihak orang tua murid, atau bekerja sama dengan swasta. Jika mempergunakan model dapur di luar sekolah berarti sekolah dapat menyerahkan pengelolaannya kepada swasta, seperti katering, atau kepada ibu PKK, atau kepada masyarakat yang berada di sekitar sekolah. Menu lengkap
61
yang diberikan kepada siswa dapat berupa sarapan ataupun makan siang. Hal tersebut bergantung dari tujuan pemberian, lamanya siswa berada di sekolah, dan fasilitas yang dimiliki sekolah. Penyajian makanan dapat dilakukan dalam satu alat saji atau beberapa alat saji. Jika melewatkan makan pagi atau sarapan, dapat menyebabkan tubuh kekurangan glukosa sehingga tubuh lemah karena tidak adanya suplai energi. Dalam hal ini, tubuh akan membongkar persediaan tenaga yang ada di jaringan lemak tubuh. Tidak sarapan pagi dapat menyebabkan kekosongan lambung selama 10-11 jam karena kemungkinan makanan terakhir yang masuk ke dalam tubuh adalah makan malam yang berkisar antara pukul 18.00-20.00 (Khomsan 2005). Sarapan akan menyumbangkan gizi sekitar 25% dari kebutuhan gizi ideal (Khomsan 2005), dan menurut Depkes (1995), sarapan sebaiknya menyediakan 20-30% dari kebutuhan gizi sehari. Keterlambatan pemasukan zat gula ke dalam darah dapat menurunkan daya konsentrasi/daya tangkap sewaktu belajar dan kemampuan mengerjakan tugas-tugas sekolah. Disamping itu, kadar rendah gula dalam darah dapat menimbulkan rasa malas, mengantuk dan berkeringat dingin. Dari 808 anak SD di Bogor diketahui, terdapat perbedaan nyata antara daya konsentrasi dengan kebiasaan sarapan. Hasil uji ANOVA menunjukkan fakta bahwa sarapan dan status anemia berpengaruh nyata terhadap daya konsentrasi anak sekolah (Saidin, dkk 1980). Ada beberapa manfaat yang didapat jika kita melakukan sarapan pagi. Pertama, sarapan menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Kadar gula darah yang cukup akan membuat gairah dan konsentrasi belajar di sekolah menjadi lebih baik sehingga berdampak positif terhadap prestasi akademik di sekolah. Kedua, sarapan pagi dapat memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin dan mineral. Ketersediaan zat gizi tersebut bermanfaat untuk proses fisiologis dalam tubuh (Khomsan 2005). Sarapan pagi juga
bermanfaat
untuk
memelihara
ketahanan
fisik
dan
meningkatkan
produktivitas kerja (Depkes 1995). Hidangan sarapan sebaiknya terdiri dari makanan sumber zat tenaga, sumber zat pembangun, dan sumber zat pengatur dalam jumlah yang seimbang (Depkes 1995). Makanan seperti pisang goreng, singkong, atau ubi terkadang dikonsumsi sebagai pengganti sarapan. Makanan ringan seperti ini hanya
62
menyumbangkan energi sebesar 5% dari kebutuhan dan proteinnya hanya cukup untuk memenuhi 2% dari kebutuhan sehari (Khomsan 2005). Secara kuantitas, sarapan harus dapat memenuhi kecukupan setiap individu serta memenuhi syarat gizi seimbang. Hal ini karena setiap jenis zat gizi mempunyai
waktu
metabolisme
yang
berbeda-beda.
Pemecahan
atau
pembakaran karbohidrat akan berlangsung terlebih dahulu sampai 4 jam pertama, kemudian protein dan terakhir adalah lemak. Vitamin dan mineral akan membantu proses metabolisme tersebut. Jadi sarapan harus merupakan kombinasi yang baik diantara zat gizi yang ada di dalam makanan (Khomsan 2005). Meyer et al (1989) memperlihatkan bahwa dengan adanya School Breakfast Program di Lawrence, Mass di USA, murid sekolah memperlihatkan peningkatan nilai test dasar ketrampilan, mengurangi kemalasan (tardiness) dan ketidakhadiran (absen) pada siswa kelas tiga sampai kelas enam. Sarapan pagi kadang-kadang merupakan kegiatan yang tidak menggairahkan, karena nafsu makan belum ada, menu di meja makan tidak menarik, dan waktu yang terbatas menyebabkan anak-anak tidak merasa bersalah meninggalkan sarapan pagi. Peranan ibu dalam pembentukan kebiasaan makan pagi anak sekolah sangat berpengaruh, karena ibu terlibat langsung dalam penyediaan makanan rumah tangga. Faktor kesibukan ibu, khususnya yang bekerja, seringkali mengakibatkan ibu tidak sempat menyediakan sarapan pagi. Membiasakan sarapan pagi pada anak-anak sekolah memang tidak mudah (Khomsan 2005). Menurut Sinaga (2009), untuk memecahkan masalah-masalah sarapan pagi yang disebutkan diatas, maka dapat dilakukan sarapan bersama di sekolah. Pada dekade terakhir, semakin banyak anak-anak di negara berkembang yang bersekolah dan tingkat prestasi mereka di sekolah masih mengecewakan. Kesehatan dan gizi yang buruk menjadi faktor yang menghalangi kemampuan mereka untuk belajar. Salah satu contoh adalah kejadian kelaparan di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Powell et al (1988) terhadap anak usia sekolah di Jamaika menunjukkan bahwa, tidak sarapan menghalangi kecerdasan kognitif anak dan cenderung terjadi pada anak-anak kurang gizi. Studi tentang kebiasaan sarapan anak usia 10-15 tahun di Andhra Pradesh India, menunjukkan bahwa sebesar 42,8% anak usia sekolah yang sarapan secara teratur. Lebih dari separuh anak melewatkan sarapan dengan rentang waktu sarapan yaitu satu sampai dua kali dalam seminggu. Komposisi
63
energi dan protein yang didapatkan apabila seorang anak sekolah sarapan adalah ¼ atau 1/3 dari kecukupan energi dan protein mereka dalam sehari. Energi dan protein yang tidak cukup akibat tidak sarapan pagi menyebabkan tingginya persentase kekurangan gizi pada anak sekolah di India yaitu sebesar 40% pada siswa laki-laki dan 32.1% pada siswa perempuan (Chitra & Reddy 2005). Intervensi sarapan selama satu tahun pada siswa sekolah dasar di Jamaika menunjukkan adanya perbaikan kecil yang signifikan terhadap kehadiran dan status gizi anak pada kelompok sarapan dibandingkan dengan kelompok yang tidak sarapan (kontrol). Sarapan dapat mengakibatkan peningkatan tingkat kehadiran anak di sekolah. Anak-anak dalam kelompok sarapan juga mengalami pertambahan berat badan dan peningkatan tinggi badan serta BMI (Body Mass Index) secara signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian ini juga menyatakan terdapat manfaat yang signifikan dari sarapan terhadap prestasi aritmatika terutama pada siswa kelas dua dan tiga, dan pada siswa kelas empat dan lima terjadi peningkatan prestasi membaca dan mengeja (Powell et al 1998). Banyak orang percaya bahwa sarapan dapat menolong anak-anak di sekolah.
Penelitian
menunjukkan
bahwa
sarapan
dapat
meningkatkan
performance (kinerja) pada test cognitive jangka pendek. Literatur menyatakan ada hubungan antara sarapan, peningkatan diet, dan peningkatan performance cognitive (Cueto & Chinen 2008). Rampersaud (2009) menyatakan bahwa sarapan dapat meningkatkan konsumsi anak-anak dengan berkontribusi positif terhadap asupan gizi dalam sehari, menambah asupan gizi seperti serat dan kalsium, dan membantu memenuhi pedoman diet yang dianjurkan untuk orang Amerika. Ada bukti bahwa anak-anak dan remaja yang mengonsumsi sarapan lebih memiliki asupan gizi yang lebih tinggi dan makanan yang lebih sehat dan memadai. Orang yang sarapan cenderung memiliki asupan energi sehari-hari yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak sarapan. Dalam beberapa studi yang mengevaluasi asupan sarapan konsumen dibandingkan yang tidak sarapan, konsumsi sarapan sering dikaitkan dengan konsumsi yang berhubungan dengan asupan yang lebih tinggi dari beberapa unsur gizi, khususnya vitamin A, vitamin C, riboflavin, kalsium, seng, dan besi. Frekuensi sarapan yang banyak juga dikaitkan dengan asupan gizi harian yang lebih tinggi (Rampersaud 2009).
64
Dalam bidang pendidikan, desain produk seperti model penyelenggaraan makanan dapat langsung diefikasi setelah divalidasi dan direvisi. Efikasi tahap awal dilakukan dengan simulasi penggunaan model penyelenggaraan makanan anak sekolah berupa sarapan menu sepinggan. Setelah disimulasikan, maka dapat diefikasi kepada kelompok terbatas selama 3 hari. Pengujian dilakukan untuk mendapatkan informasi apakah model penyelenggaraan sarapan menu sepinggan pada anak sekolah tersebut lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan model penyelenggaraan makanan anak sekolah lainnya. Tahapan selanjutnya adalah melakukan efikasi lebih luas, yakni desain model yang telah diperbaiki dengan melihat kekurangan dan kelemahannya melalui revisi pada efikasi
terbatas,
kemudian
dilakukan
efikasi
secara
luas
dengan
mengimplementasikan melalui pemberian sarapan menu sepinggan di dalam kelas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak pemberian sarapan menu sepinggan terhadap konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin selama 12 hari.
Metode Penelitian Desain Desain penelitian untuk merancang model penyelenggaraan sarapan menu sepinggan menggunakan metode research and development (R&D). Metode research and development (R&D) dalam bidang pendidikan dikemukakan oleh Borg & Gall (1989), yang menyatakan: “ a process used to develop and validate
educational
something”
yaitu
proses
yang
digunakan
untuk
mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan suatu model penyelenggaraan makanan sepinggan bagi anak sekolah yang siswanya berasal dari keluarga miskin. Borg and Gall (1989) menjelaskan empat ciri utama dalam penelitian dan pengembangan (R&D), yaitu: 1) studying research findings pertinent to the product to be develop, artinya, melakukan studi pustaka, observasi lapangan atau penelitian awal untuk mencari temuan-temuan penelitian terkait dengan produk yang akan dikembangkan, 2) developing the product base on this findings, artinya, mengembangkan produk berdasarkan temuan penelitian tersebut, 3) field testing it in the setting where it will be used eventually, artinya, dilakukan efikasi lapangan dalam seting atau situasi senyatanya di mana produk tersebut nantinya digunakan, dan 4) revising it to correct the deficiencies found in
65
the field-testing stage, artinya, melakukan revisi untuk memperbaiki kelemahankelemahan yang ditemukan dalam tahap-tahap efikasi lapangan (Gambar 8). Studi Pendahuluan
Pengembangan
Hasil
Studi li teratur Pustaka
Penyusunan Model
Efikasi Lapangan
Revisi Model
Survei Lapang an
Gambar 8
Alur Pelaksanaan penelitian pengembangan (R&D) menurut Borg and Gall (1989) dalam Sugiyono (2011)
Desain penelitian untuk efikasi model penyelenggaraan yang dirancang menggunakan metode pra-eksperimen (pre-experimental) dengan One Group Pretest Posttest disain. Dalam disain ini tidak ada kelompok pembanding (kontrol), tetapi telah dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan menguji
perubahan-perubahan
yang
terjadi
setelah
adanya
perlakuan
(eksperimen) (Notoatmojo 2010). Persetujuan Etik. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan Ethical Clearance dari Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta dengan nomor : KE.01.05/EC/301/2011. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian perancangan model penyelenggaraan makanan anak sekolah dilakukan di laboratorium penyelenggaraan makanan departemen gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB,
dan di lima sekolah yang mengadakan
penyelenggaraan makanan. Penelitian untuk efikasi dilaksanakan di SDN Kebon Kopi 2 Kotamadya Bogor. Penentuan tempat efikasi dilakukan secara purposive sampling dengan beberapa pertimbangan, yaitu: 1) SDN yang tercatat di Dinas Pendidikan kota Bogor yang siswanya banyak berasal dari keluarga miskin (kriteria BPS tahun 2010), 2) secara teknis mudah transportasi, 3) siswa mau berpartisipasi dalam penelitian, dan menandatangani form informed consent. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: 1) SD yang pernah menerima PMT-AS
66
(IDT/Inpres Daerah Tertinggal), 2) SD yang mempunyai 1 kelas dari masingmasing tingkatan kelas, (3) SD yang berada di wilayah kerja Puskesmas Merdeka
yang
mempunyai
Tenaga
Pelaksana
Gizi
(TPG).
Penelitian
perancangan model penyelenggaraan makanan anak sekolah dan efikasi dilaksanakan bulan Maret sampai Mei 2011. Cara Penetapan Peserta Efikasi Peserta efikasi adalah murid SDN Kebon Kopi 2 Bogor. Penentuan peserta dilakukan secara purposive sampling yaitu sebanyak 62 orang, sesuai dengan jumlah minimum makanan institusi anak sekolah yaitu > 50 porsi (Mukri 1991), yang terdiri dari kelas 5 (34 siswa) dan kelas 6 (28 siswa). Kelas 5 dan kelas 6 SD diambil sebagai peserta karena mereka dianggap sudah lebih paham dalam berkomunikasi untuk menjawab beberapa pertanyaan. Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan untuk efikasi adalah makanan lengkap sebagai sarapan dengan menu sepinggan (one dish meal) dan mempergunakan siklus menu 6 hari. Kandungan rata-rata energi 436 Kkal, protein 10,0 gram, vitamin A 266.8 µg RE dan zat besi (Fe) 1.97 mg. Peralatan yang dipergunakan adalah alat masak seperti kompor, wajan, panci, dandang, kukusan, sutil, timbangan bahan pangan dan alat saji yaitu boks plastik dan sendok stainless-steel. Mekanisme Efikasi Siswa kelas 5 dan kelas 6 SDN Kebon Kopi 2 Bogor diberi sarapan menu sepinggan. Pendekatan kepada guru dan orang tua murid dilakukan agar sebelum berangkat ke sekolah murid disarankan tidak sarapan di rumah. Sarapan disediakan di ruang kelas 5 dan kelas 6. Menu yang disajikan merupakan menu yang disukai oleh siswa. Menu yang disukai (food preference) diketahui dari hasil kuesioner tentang makanan kesukaan siswa. Menu yang disajikan adalah menu sepinggan karena mudah pada saat penyiapan, pemasakan, penyajian dan pencucian peralatannya. Model penyelenggaraan makanan yang diterapkan adalah dapur berada di luar sekolah dengan melibatkan masyarakat di sekitar sekolah sebagai tenaga penjamah makanan. Hal ini berarti bahan pangan dipersiapkan dan diolah di luar gedung sekolah serta melibatkan partisipasi masyarakat yang berada di dekat sekolah.
Dapur
masyarakat
yang
memenuhi
persyaratan
(berdasarkan
Permenkes No. 1096 tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga)
67
dipergunakan dalam pengolahan menu sepinggan. Tenaga penjamah makanan dipilih berdasarkan diskusi dengan kepala sekolah dan guru. Tenaga penjamah makanan yang dipilih mempunyai beberapa kriteria yaitu: 1) mempunyai ketrampilan/hobbi memasak, 2) bersih diri atau bersih penampilan, 3) mempunyai dapur dan lingkungan yang bersih, 4) mempunyai fasilitas untuk menyelenggarakan makanan anak sekolah, seperti: alat masak, sumber air bersih, bahan bakar, dan penerangan, serta 5) dapat bekerja sama dengan masyarakat sekitar sekolah. Tenaga penjamah makanan yang terpilih dapat melakukan penyiapan dan pemasakan dengan masyarakat di sekitar sekolah secara bergantian. Pemorsian makanan dilakukan di ruang tamu penjamah makanan. Makanan matang diporsi ke dalam kotak plastik (kotak plastik mempunyai tanda 5 yang berarti dapat dipergunakan berulang kali), lalu dimasukkan ke dalam kontainer plastik besar, dan siap diangkut oleh siswa dengan berjalan kaki ke ruang kelas 5 dan kelas 6 pada pukul 06.50. Di dalam kelas, makanan dibagikan di kelas 5 dan 6 dengan cara siswa mengambil kotak sendiri di atas meja di depan kelas. Makan bersama dilakukan di dalam kelas pukul 07.00 dengan pengawasan guru kelas. Selama ada sarapan pagi bersama di kelas, proses belajar mengajar dimulai pukul 08.00 dan selesai pukul 13.30. Guru kelas menginstruksikan cuci tangan terlebih dahulu, lalu masuk ke kelas untuk bernyanyi (manfaat makanan bergizi & kegunaan mencuci tangan) dan berdoa bersama. Pada waktu makan, guru kelas memberitahukan agar menghabiskan makanan yang disajikan (makanan berfungsi sebagai media penyuluhan). Setelah selesai makan, siswa mengisi kuesioner tingkat kesukaan dan daya terima makanan. Setiap siswa wajib memilih salah satu pernyataan dengan cara melingkari, dan menyerahkan kembali kepada guru kelas atau enumerator, lalu siswa antri berbaris mencuci alat makan di tempat siswa wudhu. Cara mencuci peralatan makan telah disosialisasikan kepada siswa dengan cara menggosok dengan spon busa dan sabun cair pencuci piring, kemudian dibilas dengan air bersih yang berasal dari PDAM. Setelah alat makan bersih, lalu dibawa ke ruang kelas dan ditiriskan di atas meja siswa yang telah diberi alas koran bersih, dan dilap dengan tissu/serbet bersih, lalu dimasukkan ke dalam kontainer plastik besar yang tertutup. Kontainer yang telah diisi kotak makan kosong
diangkut
siswa kembali ke tempat penjamah makanan untuk
dipergunakan besok harinya (lampiran 15).
68
Efikasi pemberian menu sepinggan dilakukan 3 kali sebelum pelaksanaan pemberian sarapan. Efikasi ini diharapkan dapat membiasakan contoh agar bisa mengikuti prosedur penelitian sehingga proses dapat berjalan seperti yang direncanakan karena contoh belum pernah mendapatkan sarapan di sekolah. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Efikasi Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan alat bantu kuesioner. Data primer yang dikumpulkan meliputi beberapa aspek, yaitu: karakteristik siswa (umur, jenis kelamin); konsumsi pangan siswa; tingkat kesukaan dan daya terima siswa terhadap menu sepinggan. Data primer lainnya, termasuk sumberdaya dan proses pada penyelenggaraan makanan adalah 1) sarana dan prasarana fisik dapur, 2) pembelian bahan pangan, 3) penerimaan bahan pangan, 4) penyimpanan bahan pangan, 5) pengeluaran bahan pangan, 6) penyiapan bahan pangan, 7) pengolahan bahan pangan, 8) sanitasi dan keamanan pangan, 9) distribusi makanan, 10) biaya yang dibutuhkan 11) metode pengolahan yang dipergunakan, 12) bahan pangan dan non-pangan yang dipergunakan serta 13) jumlah SDM yang diperlukan. Data sekunder diperoleh dari sekolah meliputi gambaran umum sekolah, struktur organisasi sekolah, datadata umum siswa. Tabel 4 menyajikan variabel, data, metode pengukuran dan responden dalam penelitian ini. Pengolahan dan Analisis Data Efikasi Proses pengolahan data meliputi entry, cleaning dan edit data. Analisis data yang dilakukan adalah secara deskriptif dan inferensia. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan gambar. Karakteristik siswa meliputi jenis kelamin, umur, kelas, uang jajan. Uang jajan contoh dikelompokan berdasarkan sebaran besaran uang jajan yaitu ≤ Rp. 3.000,00 > Rp. 3.000,00–4.000,00, > Rp. 4000-5.000. Karakteristik orang tua siswa meliputi pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua dan pendapatan orang tua. Pekerjaan ayah atau ibu dikategorikan menjadi
tidak
bekerja,
buruh
(bangunan,
angkut
barang,
pedagang
(keliling,asongan), PNS, swasta, jasa (supir angkot, ojeg). Pendidikan orang tua dikategorikan menjadi : tamat SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Pendapatan orang tua dikategorikan menjadi miskin < Rp. 278.530,00 dan tidak miskin ≥ Rp. 278.530,00.
69
Tabel 4 Variabel, data, metode pengukuran dan peserta penelitian No 1
Variabel Karakteristik Responden
Data
Usia Jenis kelamin BB dan Umur Konsumsi makanan di rumah Sosial ekonomi orang tua
2
Input penyelenggaraan makanan anak sekolah
Sumberdaya manusia Peralatan Bahan pangan Biaya Metode
3
Proses penyelenggaraan makanan anak sekolah
Perencanaan menu Pembelian bahan pangan Penerimaan bahan pangan Penyimpanan bahan Pengeluaran bahan pangan Penyiapan bahan pangan Pemasakan bahan pangan Pemorsian makanan Pendistribusian makanan Penyajian makanan Monitoring dan Evaluasi Hygiene dan Sanitasi
4
Output penyelenggaraan makanan anak sekolah
Tingkat Kesukaan Daya Terima Konsumsi pangan siswa
Metode pengukuran Wawancara, penimbangan, food recall & record
Wawancara dan pengamatan langsung
Peserta Pihak sekolah, Siswa, orang tua siswa
Sekolah, Tenaga Penjamah Makanan
Tenaga Penjamah Makanan Wawancara dan pengamatan langsung
Food Recall & Record, form tk. Kesukaan & daya terima, pengamatan langsung
Siswa
Penyelenggaraan makanan untuk anak sekolah terdiri dari input, proses dan output. Setiap komponen dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah diolah dan dianalisis berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Energi dan zat gizi (protein, vitamin A dan Fe) dalam menu sepinggan selama 6 hari dijumlahkan, kemudian dirata-ratakan per siswa per hari dan dibandingkan dengan angka kecukupan gizi menurut WNPG 2004. Data tingkat kesukaan siswa diperoleh dari uji organoleptik yang berupa uji hedonik/kesukaan penerimaan terhadap menu sepinggan. Tingkat kesukaan siswa dikategorikan: sangat suka, suka, biasa, tidak suka dan sangat tidak suka.
70
Daya terima siswa diperoleh dengan menggunakan form berdasarkan observasi atau gambar makanan sepinggan yang dapat dihabiskan (Gregoire 2007). Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam gram/URT diolah dengan menggunakan analisis konsumsi pangan. Data konsumsi pangan dikonversikan dalam bentuk energi, protein, vitamin A, dan Fe dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Pangan. Untuk menghitung jumlah zat gizi dari setiap bahan pangan yang dikonsumsi digunakan rumus seperti berikut ini (Hardinsyah & Briawan 1994): Kgij = (Bj/100) X Gij X (BDD/100) Kgij
= Kandungan zat gizi bahan pangan yang dikonsumsi
Bj
= Berat bahan pangan yang dikonsumsi
Gij
= Kandungan zat gizi yang dikonsumsi dalam 100 gram BDD
BDD
= Bagian bahan pangan yang dapat dimakan (% BDD) Pengukuran tingkat kecukupan energi dan protein merupakan tahap
lanjutan dari perhitungan konsumsi pangan. Tingkat kecukupan konsumsi merupakan persentase konsumsi aktual siswa dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004. Pengukuran tingkat konsumsi energi dan zat gizi mempergunakan rumus sebagai berikut: TKGi = (Ki/AKGi) X 100 TKGi = Tingkat kecukupan energi atau zat gizi i Ki
= Konsumsi zat gizi i
AKG
= Kecukupan energi dan zat gizi yang dianjurkan
(Sumber: Hardinsyah & Briawan 1994). Departemen Kesehatan (1996) mengklasifikasikan tingkat kecukupan energi dan protein menjadi 5 kelompok yaitu: 1) defisit tingkat berat (< 70% AKG), 2) defisit tingkat sedang ( 70 – 79% AKG), 3) defisit tingkat ringan (80 – 89% AKG), 4) normal (90 – 110% AKG), dan 5) kelebihan > 120% AKG. Tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan menjadi 2 yaitu kurang (tingkat kecukupan < 77%) dan cukup (tingkat kecukupan > 77%) (Gibson 2005). Analisis statistik yang digunakan adalah 1) tabulasi frekuensi dan tabulasi silang untuk menganalisis karakteristik responden, tingkat kesukaan, daya terima, konsumsi, dan tingkat kecukupan, 2) uji beda t untuk menganalisis perbedaan konsumsi dan tingkat kecukupan contoh.
71
Tahap-tahapan Perancangan Model Penyelenggaraan Makanan Model penyelenggaraan makanan yang dilakukan dalam perancangan ini merupakan model sarapan menu sepinggan di sekolah. Hal ini dilakukan karena siswa kelas 5 dan kelas 6 berada di sekolah selama 5.5 jam (pukul 07.00-12.30), dan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan di SDN Kebon Kopi 2 Bogor mengungkapkan bahwa, rata-rata konsumsi sarapan siswa hanya sebesar 10% dari AKG. Tahap-tahapan dalam perancangan model sarapan menu sepinggan adalah sebagai berikut: 1) menentukan lokasi SD yang berasal dari keluarga miskin berdasarkan wawancara dari Kepala Tata Usaha Dinas Pendidikan kota Bogor, 2) melakukan kelompok diskusi terbatas (Focus Group Discussion atau FGD) dengan pihak Puskesmas, 3) melakukan FGD dengan pihak sekolah, 4) melakukan survei di kelas 5 dan kelas 6 tentang menu sepinggan yang disukai siswa, 5) menghitung nilai energi, protein, vitamin A dan zat besi (Fe) menu sepinggan yang direncanakan, 6) melatih penjamah makanan dalam rangka penyiapan & pemasakan menu sepinggan, 7) efikasi pemasakan terhadap 3 menu sepinggan di dapur penjamah makanan, dan efikasi pelaksanaan sarapan menu sepinggan di dalam kelas, serta 8) melaksanakan evaluasi kegiatan penyelenggaraan makanan menu sepinggan dan melakukan beberapa perbaikan yang diperlukan (Gambar 9). Untuk merancang model penyelenggaraan makanan anak sekolah maka diperlukan penjelasan-penjelasan di dalam sumberdaya manusia (input) yang terdiri dari: biaya (dari orang tua siswa dan jumlahnya terbatas, dapat juga berupa bantuan/subsidi dari orang lain), metode produksi, yang dapat dipergunakan adalah konvensional (bahan pangan dipersiapkan dan dimasak pada hari yang sama dengan penyajian makanan), bahan (berupa bahan pangan dan bukan bahan pangan, karena biaya terbatas, maka bahan pangan dan bukan bahan pangan juga menjadi terbatas), peralatan fisik, berupa lokasi dapur yang dipergunakan di luar gedung sekolah (tetapi dekat dengan lokasi sekolah untuk menghindari biaya transportasi), fasilitas ruang makan tidak ada, sehingga dipergunakan ruang kelas, alat penyiapan, alat penyimpanan, alat masak, alat saji dan fasilitas pencucian yang terbatas menyebabkan menu yang dimasak juga terbatas, SDM terdiri dari: kepala sekolah & guru, murid, orang tua murid, masyarakat sekitar sekolah, dan Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) dari Puskesmas.
72
Tenaga-tenaga tersebut dapat bekerja tanpa adanya pelatihan karena biaya yang terbatas. Kegiatan
Tahap 1
Hasil
Wawancara dengan Dinas Pendidikan Kota Bogor
Terpilih lokasi SD Negeri
Tahap 2
Melakukan FGD dengan Tim UKS Puskesmas Merdeka
SDN terpilih merupakan binaan Puskesmas
Tahap 3
Melakukan FGD dengan pihak sekolah (kepala sekolah & guru)
Tahap 4
Melakukan survei makanan kesukaan siswa di kelas
Terpilih 6 menu yang disukai siswa
Tahap 5
Menghitung nilai energi, protein, vit A & Fe dari menu yang dirancang
6 menu dengan nilai gizi 20% AKG
Tahap 6
Melatih penjamah makanan dalam rangka penyiapan & pemasakan menu sepinggan
Penjamah makanan dapat membuat standar porsi & standar resep
Tahap 7
Memasak, memorsi & menyajikan sarapan bersama di kelas
3 menu dimasak & diberikan kepada siswa di kelas
Tahap 8
Melakukan evaluasi & perbaikan-perbaikan yang ditemukan di lapangan
Mengetahui kelemahan-kelemahan saat pelaksanaan
Penjamah makanan terpilih
Gambar 9 Tahapan kegiatan perancangan sarapan menu sepinggan di SDN Kebon Kopi 2 Bogor
Proses dalam Gambar 10, terdiri dari: perencanaan sarapan menu sepinggan,
pembelian
bahan,
penyiapan
bahan,
pemasakan
bahan,
penyajian/pemorsian makanan, pendistribusian makanan, serta pencucian peralatan (alat masak dan alat makan). Semua proses kegiatan yang dilakukan harus memenuhi syarat higiene & sanitasi dari makanan yang diolah, dan
73
melakukan administrasi yang diperlukan walaupun dengan biaya yang terbatas. Alat saji yang dipergunakan adalah boks plastik yang dibelakangnya terdapat angka 5, artinya alat ini aman dipergunakan jika dicuci berulang-ulang untuk dipergunakan sebagai alat saji.
Hasil Perancangan Model Penyelenggaraan Makanan
Gambar 10 Hasil perancangan model penyelenggaraan sarapan menu sepinggan untuk anak sekolah dasar bagi siswa dari keluarga miskin Perencanaan menu sepinggan harus dilakukan dengan biaya yang terbatas, sehingga menu sepinggan yang dihasilkan adalah menu-menu yang berasal dari bahan pangan yang murah. Kegiatan penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran bahan pangan tidak dilakukan dalam model ini karena fasilitas yang terbatas, sehingga bahan yang dibeli langsung dipersiapkan dan dimasak pada hari yang sama. Penyiapan dan pemasakan bahan pangan dilakukan dengan cara pengolahan dan peralatan yang sederhana. Alat saji yang dipergunakan adalah sederhana, semua makanan dimasukkan kedalam boks plastik. Cara pendistribusian dengan sentralisasi dilakukan untuk menghemat waktu pengangkutan. Semua boks plastik yang telah berisi makanan dimasukkan ke dalam kontainer plastik, lalu diangkut ke sekolah oleh siswa. Pencucian alat
74
makan dilakukan oleh siswa sendiri dengan mempergunakan fasilitas yang tersedia yaitu di tempat wudhu. Pencucian alat masak dilakukan di rumah penjamah makanan, yaitu di wastafel yang tersedia. Hasil akhir dari perancangan model ini adalah sarapan menu sepinggan (one dish meal breakfast). Menu sepinggan yang dihidangkan diharapkan disukai oleh siswa dan dapat diterima dengan baik (daya terima tinggi), yang pada akhirnya dapat meningkatkan konsumsi dan berpengaruh terhadap tingkat kecukupan siswa. Tingkat kesukaan dan daya terima siswa terhadap menu sepinggan akan diamati sebagai evaluasi terhadap menu yang diproduksi di dapur penjamah makanan yang berada diluar sekolah.
Hasil Efikasi Model Sarapan Menu Sepinggan Gambaran Umum Sekolah Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kebon Kopi 2 merupakan SDN yang berlokasi di jalan Kebon Kopi RT.04/09 kelurahan Kebon Kelapa di Kecamatan Bogor Tengah Kotamadya
Bogor, provinsi Jawa Barat. Letak sekolah ini
dikelilingi oleh pemukiman penduduk padat dan kuburan umum. SDN ini dipergunakan sejak tahun 1974. Fasilitas yang tersedia di dalam SD adalah: 6 ruang belajar, 1 ruang kepala sekolah, satu ruang guru, 1 ruang Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) berupa kamar yang berisi 1 tempat tidur, 1 mushola, WC 2 buah dan tempat air wudhu (menjadi satu ruangan), air bersih yang dipergunakan bersumber dari PDAM dan listrik dari PLN serta ada halaman tempat untuk diadakannya upacara bendera. SDN ini tidak memiliki kantin, tetapi di sekitar sekolah terdapat beberapa pedagang jajanan keliling dan warung makan. SDN Kebon Kopi 2 saat penelitian dikepalai oleh Hj. Neni Suprani, S.Pd. Sekolah memiliki tenaga 9 guru, 1 orang tata usaha, dan 1 orang penjaga sekolah. Jumlah siswa sebanyak 215 orang. Kegiatan belajar mengajar dilakukan mulai pukul 07.00 sampai dengan 12.30 WIB untuk kelas 3, 4, 5 dan 6, dan kelas 1 dan 2 dimulai pukul 07.00 hingga 10.00 WIB. Karakteristik Peserta Umur dan Jenis Kelamin Peserta dalam penelitian ini merupakan siswa SDN Kebon Kopi 2 Bogor kelas 5 dan 6, dengan jumlah sebanyak 62 orang. Sebaran peserta berdasarkan
75
jenis kelamin dan umur dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa sebesar 56.5% (35 orang) dari siswa berjenis kelamin perempuan. Tabel tersebut juga menggambarkan bahwa distribusi usia kelas 5 dan kelas 6 berada pada rentang 9-13 tahun, dan sebesar 44.5% berjenis kelamin laki-laki, 42.9% adalah perempuan berada pada usia 11 tahun. Anak usia 6 sampai 12 tahun termasuk dalam fase akhir masa anak-anak (late childhood) sampai tiba saatnya anak menjadi matang secara seksual yaitu pada usia 13 tahun bagi anak perempuan dan 14 tahun bagi anak laki-laki (Hurlock 1999). Pada golongan usia anak sekolah dasar yaitu anak belum mencapai dewasa tetapi masih dalam tahap pertumbuhan (usia emas ke-2/golden age). Oleh karena itu, pada usia tersebut perlu diperhatikan konsumsi makanan yang tepat jumlah dan kualitasnya. Tabel 5 Distribusi peserta berdasarkan umur dan jenis kelamin Umur 7-9 10-12 13-15 Total
n 0 26 1 27
Laki-laki % 0.0 96.3 3.7 100.0
Perempuan n % 1 2.9 32 91.4 2 5.7 35 100.0
Total n 1 58 3 62
% 1.6 93.5 4.8 100.0
Besar Uang Jajan Besar uang jajan merupakan sejumlah uang yang diterima anak didik dalam sehari untuk membeli jajan. Uang jajan anak sekolah menjadi suatu kebiasaan, baik yang berasal dari keluarga dengan pendapatan yang rendah maupun tinggi. Napitu (1994) menyatakan bahwa sebaiknya anak diharapkan dapat belajar bertanggung jawab untuk mempergunakan uang jajan yang dimilikinya. Tabel 6 menggambarkan bahwa sebagian besar (54.8%) peserta memiliki uang jajan ≤ Rp3.000. Jumlah uang jajan ini mengindikasikan bahwa sebagian besar siswa tersebut berasal dari golongan miskin, karena besar kecilnya uang jajan dipengaruhi oleh besarnya pendapatan keluarga. Hasil ini berbeda dengan penelitian di 2 lokasi sekolah dasar (orang tua siswa termasuk ekonomi mampu) yang sebagian besar (51.8%) siswanya memiliki uang jajan berkisar antara Rp 5.001-10.000 (Nurdiani 2011). Pendidikan Orang Tua Pendidikan orang tua merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga. Pada Tabel 7, diketahui bahwa sebagian
76
besar (43.1%) pendidikan ayah peserta tamat SMA, sedangkan pendidikan ibu peserta sebagian besar (36.7%) hanya tamat SD. Salimar et al (2010) menyebutkan bahwa sebagian besar tingkat pendidikan ayah di perkotaan minimal SLTP. Hal ini diduga karena jumlah peserta dalam penelitian ini terlalu kecil. Tabel 6 Distribusi peserta berdasarkan besar uang jajan Kategori uang jajan
n
%
≤ Rp3.000,-
34
54.8
>Rp3.000,-s/d Rp4.000,-
18
29.0
>Rp4.000,-
10
16.1
62
100.0
Total
Karakteristik Orang Tua Peserta Dari Tabel 7 tersebut, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan ayah peserta lebih tinggi dibandingkan tingkat pendidikan ibu peserta. Tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap derajat kesehatan keluarga. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memiliki pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Tabel 7 Distribusi orang tua peserta berdasarkan tingkat pendidikan Kategori Pendidikan
Ayah
Ibu
n
%
n
%
Tidak Sekolah
1
1.7
0
0.0
SD
16
27.6
22
36.7
SMP
13
22.4
20
33.3
SMA
25
43.1
18
30.0
Perguruan Tinggi
3
5.2
0
0.0
Total
58
100.0
60
100.0
Pekerjaan dan Pendapatan Orang Tua Pekerjaan atau mata pencaharian berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan terkait dengan faktor-faktor lain seperti kesehatan. Anakanak yang tumbuh dalam keluarga miskin paling rawan terhadap kekurangan gizi diantara seluruh anggota keluarga (Harper et al 1986). Pekerjaan seseorang akan
berpengaruh
dikonsumsinya.
Hal
terhadap tersebut
kuantitas dikarenakan
dan
kualitas
pekerjaan
makanan akan
yang
menentukan
pendapatan yang dihasilkan, yang akan digunakan untuk membeli makanan.
77
Pekerjaan ayah peserta sebesar 53.3% adalah sebagai buruh, yaitu buruh bangunan, angkut barang, ataupun buruh pabrik. Pekerjaan memiliki hubungan dengan tingkat pendidikan yang nantinya akan mempengaruhi kehidupan sosial ekonominya. Pekerjaan orang tua terutama ibu akan mempengaruhi kebiasaan makan dalam keluarga. Hal ini disebabkan karena umumnya ibu terlibat langsung dalam penyediaan makanan keluarga. Tabel 8 Distribusi orang tua peserta berdasarkan pekerjaan Kategori Pekerjaan Tidak Bekerja Buruh (Bangunan , Angkut Barang, Pabrik) Pedagang Keliling, Asongan PNS Jasa (supir angkot, ojeg) Total
Ayah n 3 31 12 2 10 58
% 5.2 53.5 20.7 3.4 17.2 100
Ibu n 50 4 6 0 0 60
% 83.3 6.7 10.0 0 0 100
Ibu yang bekerja tidak lagi memiliki waktu untuk mempersiapkan makanan bagi keluarganya (Suhardjo 1989). Tabel 8 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar (83.3%) adalah sebagai ibu rumah tangga, tetapi terdapat juga ibu yang bekerja sebagai buruh (tukang cuci). Hal ini kemungkinan sebagai penyebab kondisi ekonomi peserta sebagian besar termasuk miskin. Sebagian besar (75.8%) pendapatan orang tua peserta termasuk kategori miskin berdasarkan batas garis kemiskinan untuk kota Bogor sebesar Rp 278.530,00 (BPS 2010). Besar Keluarga Besarnya anggota keluarga merupakan sekelompok orang yang terdiri dari ayah, ibu serta anggota keluarga lainnya yang hidup dari sumberdaya yang sama. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa terdapat hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Menurut Hurlock (1999), besar keluarga dibagi menjadi tiga kategori yaitu kecil (≤ 4 orang), sedang (5-6 orang) dan besar (≥ 7 orang). Hasil penelitian yang ditunjukkan dalam Tabel 9 dapat diketahui bahwa sebagian besar (46.8%) peserta termasuk kedalam golongan keluarga kecil.
78
Tabel 9 Distribusi peserta berdasarkan jumlah anggota keluarga Besar keluarga
n
%
Kecil (≤ 4 orang)
29
46.8
Sedang (5-6 orang)
25
40.3
Besar (≥ 7 orang)
8
12.9
62
100.0
Total
Sumberdaya pada Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan Tenaga Penjamah Makanan Syarat-syarat sumberdaya yang dipekerjakan sebagai tenaga penjamah makanan dalam penyelenggaraan makanan adalah sebagai berikut: 1) bersih diri/penampilan bersih, 2) bersih rumah dan lingkungan, 3) mempunyai peralatan untuk menyelenggarakan makanan banyak/massal/institusi, dan 4) buat SOP (Standart Operating Procedure). Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pemilihan tenaga penjamah makanan yaitu: 1) hubungi pihak kepala sekolah atau guru atau aparatur desa yang lebih mengenal penduduk setempat, 2) setelah tenaga terpilih, amati rumahnya, amati ruang dapur apakah memenuhi syarat kesehatan untuk penyelenggaraan makanan banyak/massal/institusi, 3) komunikasikan dengan Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) puskesmas Merdeka agar dapat bekerja dibawah pengawasan TPG, dan 4) tuliskan tugas-tugas yang harus dapat diselesaikan oleh tenaga penjamah makanan. Jumlah tenaga penjamah makanan yang dibutuhkan dalam efikasi ini adalah 3 orang, yang bertugas sebagai tukang masak dan pembantu tukang masak. Peralatan Peralatan dibagi menjadi dua, yaitu peralatan masak (equipment) dan peralatan makan (utensil). Jenis dan jumlah peralatan yang harus disediakan oleh penyelenggara makanan anak sekolah tergantung dari macam menu yang diolah dan berapa banyak jumlah yang harus di masak. Peralatan yang dipergunakan dalam penyelenggaraan makanan ini adalah pisau, panci, kuali, wajan, kukusan. Umumnya bahan/material dari peralatan yang dipergunakan selama efikasi adalah aluminium dan stainless-steel. Peralatan memasak merupakan salah satu modal yang penting bagi kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah. Jumlah dan mutu peralatan masak harus dipenuhi agar kegiatan penyelenggaraan makanan dapat berjalan sesuai dengan rencana.
79
Ketersediaan dan kelayakan peralatan yang digunakan turut menentukan proses pengolahan bahan pangan (Palacio 2009). Syarat-syarat peralatan masak menurut (Depkes 2006) adalah: 1) bahan peralatan masak tidak boleh melepaskan zat beracun kepada makanan, seperti cadmium, plumbum (timah hitam), zincum (seng), cuprum (tembaga), stibium (antimon) atau arsenicum (arsen). Logam ini beracun yang dapat berakumulasi sebagai penyakit saluran kemih dan kanker, 2) keutuhan peralatan dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah tidak boleh patah, gompel, penyok, tergores atau retak karena akan menjadi sarang kotoran atau bakteri. Peralatan yang tidak utuh tidak mungkin dapat dicuci sempurna sehingga dapat menjadi sumber kontaminasi, dan 3) letak peralatan yang bersih dan siap dipergunakan
sudah
berada
pada
tempatnya
masing-masing
sehingga
memudahkan waktu mencari (mengambilnya). Alat makan yang dipergunakan dalam efikasi adalah boks makanan, yang bahannya dari plastik dan aman untuk dicuci berulang-ulang (tertera angka 5), serta tidak berlekuk-lekuk. Menurut Depkes (2006), syarat-syarat peralatan makan (utensil) adalah: 1) bersih, peralatan harus dalam keadaan bersih karena peralatan dapat mencemari makanan, 2) bentuknya utuh, tidak rusak, cacat, retak atau berlekuk-lekuk tidak rata, 3) peralatan yang sudah bersih dilarang dipegang di bagian tempat makanan, yang menempel di mulut, karena akan terjadi pencemaran mikroba melalui jari tangan, 4) peralatan yang sudah retak, gompel atau pecah selain dapat menimbulkan kecelakaan (melukai tangan) juga menjadi sumber pengumpulan kotoran karena tidak akan dapat dicuci sempurna, dan 5) peralatan makan yang dipakai yang sudah bersih disimpan di dalam kontainer plastik tertutup yang terlindung dari serangga dan tikus dan dikeluarkan apabila akan dipergunakan. Bahan Pangan Prosedur pembelian dan dimana membeli bahan pangan sangat menentukan kualitas bahan pangan yang akan dipergunakan. Kualitas bahan pangan
sangat
menentukan
kualitas
masakan
yang
dihasilkan.
Untuk
memperoleh bahan pangan yang baik harus dilakukan pemilihan bahan pangan pada saat pembelian ataupun selektif dalam menentukan tempat membeli bahan pangan. Penggunaan bahan pangan segar dilakukan setiap hari sehingga pembelian bahan pangan juga dilakukan setiap hari. Tempat pembelian bahan pangan dilakukan secara langsung di pasar terdekat, yaitu pasar kebon kopi
80
(dekat dengan Pusat Grosir Bogor/PGB). Tempat penyimpanan bahan pangan tidak tersedia, oleh karena itu kegiatan penyiapan dan pemasakan langsung dilakukan setelah bahan pangan dibeli (fasilitas yang tersedia tidak memadai). Biaya (Dana) Biaya makanan sebesar Rp3.000/hari/menu untuk sarapan menu sepinggan. Biaya ini mencakup biaya bahan pangan, biaya tenaga kerja dan biaya operasional, seperti bahan bakar, air dan listrik. Setelah dianalisa, maka rata-rata biaya pembelian bahan pangan (food cost) selama 2 minggu adalah 67.21%, biaya operasional (overhead cost) 12.81% dan upah tenaga penjamah makanan (manpower cost) sebesar 19.88%. Profit tidak ada dalam proses penyelenggaraan sarapan menu sepinggan, karena pelayanan makanan anak sekolah umumnya bersifat pelayanan atau service-oriented. Petugas pemasak dalam hal ini harus mempunyai jiwa sosial atau sukarela, artinya bekerja bukan mencari keuntungan, tetapi bertujuan untuk meningkatkan konsumsi makanan anak sekolah. Metode Tempat penyiapan dan pemasakan bahan pangan dilakukan di luar gedung sekolah karena fasilitas dapur sekolah belum ada, dan dilaksanakan oleh masyarakat yang dekat dengan sekolah. Hal ini dilakukan untuk menghindari biaya transportasi. Metode produksi yang dipergunakan dalam efikasi model ini adalah bahan pangan yang dibeli hari ini dimasak hari ini dan dimakan hari ini. Metode tersebut dikenal dengan metode produksi conventional. Hal ini dilakukan karena jumlah produksi tidak terlalu banyak dan fasilitas penyimpanan makanan jadi (ready to eat) belum ada. Standar-standar resep yang dihasilkan pada saat kegiatan pengolahan makanan didokumentasikan dengan baik, agar dapat digunakan sebagai standar baku (standar resep) untuk mempertahankan cita rasa makanan yang baik (rasa makanan sama, walaupun dilakukan oleh tenaga penjamah makanan yang berbeda). Proses Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan untuk Anak Sekolah Perencanaan Menu. Perencanaan menu dilakukan melalui food preference dari siswa. Food preference dilakukan pada saat penelitian pendahuluan. Food preference dapat juga dilakukan oleh TPG dari puskesmas terdekat, dan dilaksanakan di sekolah, lalu hasilnya didiskusikan dengan calon tenaga penjamah makanan. Hal ini
81
sangat penting karena akan mempengaruhi jumlah dan kualitas tenaga penjamah makanan yang akan melaksanakan pemasakan. Menu yang direncanakan juga harus disesuaikan dengan peralatan yang tersedia, dan alat saji yang akan dipergunakan. Perencanaan menu yang dilakukan menitik beratkan kepada ketentuan sarapan untuk anak sekolah.
Siklus menu
mempergunakan 6 hari (senin sampai sabtu). Komposisi menu terdiri dari sumber energi (dapat berupa nasi, bubur, mie), lauk-pauk dan sayur. Resep makanan yang digunakan adalah resep yang pernah dimasak oleh petugas penjamah makanan. Standar resep tersebut di dokumentasikan dengan baik. Pada Tabel 10 dapat dilihat menu sepinggan dan kandungan energi, protein, vitamin A dan Fe yang disajikan selama 6 hari. Tabel 10 Kandungan energi, protein, vit. A dan Fe sarapan menu sepinggan Energi Menu sepinggan
Protein
Vit. A
Fe % AKG Laki- Perem laki -puan 26.2 16.9
Kkal
% AKG
Gr
% AKG
µg RE
% AKG
mg
Mie goreng Nasi uduk kuning Lontong sayur
422
20.6
9.6
19.2
363.6
60.6
3.4
456
22.2
8.7
17.4
152.9
25.5
1.3
9.7
6.3
412
20.1
8.1
16.2
320.4
53.4
1.3
10.0
6.5
Bubur ayam Gado-gado lontong Nasi goreng
433
21.1
9.4
18.8
283.4
47.2
1.0
7.5
4.9
478
23.3
16
32.0
316.3
52.7
3.8
29.4
19.1
435
21.2
8.4
16.8
164.1
27.4
1.3
9.7
6.3
Rata-rata
439
21.4
10
20.1
266.8
44.5
1.97
15.4
10.0
Rata-rata kandungan energi menu sepinggan adalah 439 Kkal dan protein 10 gram. Berdasarkan AKG tahun 2004, angka ini sudah memenuhi 20%, dan dapat dipergunakan sebagai sarapan bagi siswa SD kelas 5 dan 6. Kandungan menu sepinggan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan menu PMT-AS di SDN 1 Malangsari Cipanas Lebak Banten. Pengolahan Berapa lama waktu yang diperlukan untuk penyiapan bahan pangan dan waktu pemasakan perlu diperhitungkan. Siapa yang melakukan penyiapan dan pemasakan bahan pangan juga perlu diperhatikan. Standard Operational Procedure (SOP) pemasakan diperlukan sebagai acuan untuk pengolahan bahan pangan. Langkah-langkah yang harus dilakukan saat penyiapan dan
82
pengolahan bahan pangan, seperti tidak terlalu lama waktu penyiapan ke waktu pemasakan dan waktu penyajian makanan. Pengolahan bahan pangan terdiri atas dua kegiatan yaitu penyiapan dan pemasakan bahan pangan. Tahap ini perlu mendapat perhatian karena kehilangan zat gizi sering terjadi pada saat bahan pangan mengalami proses pengolahan. Pelaksanaan efikasi penyelenggaraan makanan anak sekolah ini melakukan penyiapan bahan dan pemasakan yang rata-rata dimulai pukul 04.30 dan selesai pukul 06.30 (2 jam), dilanjutkan dengan pemorsian dan siap untuk didistribusikan pada pukul 06.45. Proses penyiapan tidak selalu dilakukan pada hari yang sama karena ada penyiapan-penyiapan yang dilakukan 1 hari sebelumnya seperti membuat bumbu gado-gado. Proses pemasakan dilakukan 1 kali dalam 1 hari. Proses penyiapan dan pemasakan yang dilakukan oleh penjamah makanan dalam pembuatan kudapan PMT-AS di SD Negeri 1 Malangsari adalah 7 jam. Jika dibandingkan dengan waktu penyiapan dan pemasakan yang dilakukan oleh penjamah makanan kudapan PMT-AS di SD Negeri 1 Malangsari, maka pembuatan makanan sepinggan lebih cepat, dan jika dibandingkan dengan data pada laporan pengumpulan data dasar dan evaluasi PMT-AS (1997), ratarata lama memasak adalah 10.8 hingga 21.9 jam. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor, yaitu tenaga penjamah makanan yang kurang terampil memasak berbagai jenis kudapan, jumlah dan jenis alat penyiapan dan alat masak yang kurang memadai, dan lain-lain. Higiene dan Sanitasi Higiene dan sanitasi makanan adalah pengendalian terhadap faktor makanan, orang, tempat, dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan lainnya. Upaya untuk mencapai higiene dan sanitasi makanan yang dilakukan adalah memberikan pelatihan kepada tenaga penjamah tentang apa-apa yang harus dilakukan supaya tidak terjadi pencemaran pada saat proses penyiapan, pemasakan dan pemorsian serta penyajian (Depkes 2006). Hasil penilaian terhadap higiene & sanitasi sesuai dengan Permenkes Nomor: 1096 tahun 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga, didapatkan nilai bobot sebesar 66. Nilai ini telah memenuhi syarat untuk jasaboga golongan A1 (jasaboga yang melayani kebutuhan masyarakat umum, dengan pengolahan makanan yang menggunakan dapur rumah tangga
83
dan dikelola oleh keluarga). Nilai minimal yang dipenuhi tempat pengolahan tersebut mencapai 65 dari total nilai 70. Hal ini mengindikasikan bahwa 93% (65/70) nilai yang berhasil dicapai (lampiran 8). Bobot total 70 belum tercapai dalam penilaian karena masih ada kekurangan, yaitu bagian dinding yang kena percikan air sudah dilapisi keramik (bahan kedap air) tetapi hanya setinggi 1,5 meter dari lantai, pintu dapur belum dapat menutup sendiri, dan membuka hanya ke satu arah, tersedia tempat sampah yang cukup, tetapi belum bertutup, serta pada proses pencucian tahapan perendaman belum dilakukan. Pemorsian dan Pendistribusian Cara pembagian makanan untuk siswa adalah dengan memorsi sesuai dengan kecukupan anak SD kelas 5 dan kelas 6. Jumlah nasi/bubur/mie, lauk dan sayur disesuaikan dengan kecukupan siswa, dengan cara ditimbang dalam 1 porsi. Peralatan yang digunakan untuk penyajian adalah kotak plastik dan sendok. Proses distribusi yang dipergunakan adalah dengan cara sentralisasi yaitu makanan diporsi di tempat pengolahan. Peralatan makan yang digunakan oleh siswa merupakan alat yang sederhana sehingga mudah dalam pencucian dan penyimpanannya. Penyajian Makanan Cara penyajian makanan untuk anak di sekolah sangatlah tergantung dari fasilitas yang tersedia di sekolah, seperti adanya ruang makan, alat saji yang cukup, dan jumlah tenaga yang melaksanakannya. Umumnya makanan anak sekolah disajikan dengan tipe/gaya cafetaria. Penyajian makanan anak sekolah, dapat mempergunakan kotak makan yang tidak bersekat, dan terbuat dari plastik. Menu yang disajikan merupakan menu sepinggan, sehingga tidak perlu memisahkan satu masakan dengan masakan lainnya, tetapi penyajiannya cukup dalam satu alat saji, yaitu boks makanan. Pada efikasi model penyelenggaraan sarapan menu sepinggan untuk anak sekolah di SDN Kebon Kopi 2 Bogor didapatkan bahwa, tidak terdapat fasilitas ruang makan, jadi makan bersama dilakukan di kelas masing-masing. Tipe pelayanan makanan yang dipergunakan adalah gaya cafetaria dengan kantin bergilir, yaitu dengan cara siswa antri bergilir mengambil boks makanan dari dalam kontainer plastik.
84
Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan makanan anak sekolah merupakan serangkaian kegiatan mengumpulkan data kegiatan pengelolaan makanan dalam jangka waktu tertentu, untuk menghasilkan bahan bagi penilai kegiatan pelayanan makanan. Monitoring yang dilakukan selama penelitian adalah adalah: jumlah makanan yang diproduksi, penggunaan bahan pangan, lamanya waktu produksi, lamanya waktu pemorsian, lamanya waktu penyajian, monitoring keuangan tentang pembelian bahan pangan, dan pembelian bahan bakar. Monitoring dan evaluasi terhadap menu yang diproduksi dilakukan dengan memberikan kuesioner evaluasi dan dilakukan secara langsung sehingga catatan penting mengenai evaluasi menu dapat segera diketahui, seperti makanan mana yang disukai atau kurang disukai siswa. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh penulis dengan dibantu oleh guru kelas pada saat makan. Jika model ini dipergunakan sebagai program maka tenaga monitoring dan evaluasi dapat dilakukan oleh guru, kepala sekolah, TPG puskesmas yang berkaitan dengan menu, pengolahan bahan pangan, tingkat kesukaan & daya terima makanan, serta tenaga penyuluh pertanian yang ada di kecamatan yang berkaitan dengan pengadaan bahan pangan lokal di sekitar sekolah yang melaksanakannya. Output Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah Tingkat Kesukaan Anak terhadap Menu Sepinggan Menurut Suhardjo (1989), sikap manusia terhadap makanan banyak dipengaruhi
oleh
pengalaman-pengalaman
dan
respon-respon
yang
diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan sejak masa kanak-kanak. Pengalaman yang diperoleh ada yang dirasakan menyenangkan atau sebaliknya tidak menyenangkan, sehingga setiap individu dapat mempunyai sikap suka atau tidak suka (like or dislike) terhadap makanan. Preferensi makanan merupakan suatu tindakan/ukuran suka atau tidak suka terhadap makanan. Preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat suka atau ketidaksukaan terhadap makanan dan akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan (Suhardjo 1989). Uji kesukaan dilakukan dengan menggunakan uji hedonik, dengan 5 skala yaitu, sangat suka, suka, biasa, tidak suka, dan sangat tidak suka. Gambar 11 merupakan pengelompokkan menjadi dua kategori tingkat kesukaan, yaitu suka dan tidak suka. Kategori sangat suka dan suka dimasukkan ke dalam kategori suka, sedangkan kategori biasa saja, tidak suka, dan sangat tidak suka termasuk dalam kategori tidak suka.
85
Berdasarkan Gambar 11 diketahui bahwa sebagian besar contoh menyukai menu sepinggan yang diberikan selama penelitian. Hal ini dapat dilihat dari besarnya persentase suka terhadap setiap menu sepinggan > 90%. Beberapa contoh yang tidak menyukai menu sepinggan karena ada siswa yang tidak suka akan sayuran seperti mentimun, kol dan tomat. Penelitian yang dilakukan Nurdiani (2011) di SD IT Insantama Bogor, menyatakan bahwa sebagian besar siswa menyukai makanan yang diberikan sekolah (katering). Sebanyak 88.6% siswa menyukai makanan pokok (nasi), 91.4% siswa menyukai lauk hewani, 91.4% siswa menyukai lauk nabati, 94.3% menyukai sayuran dan 97.1% menyukai buah. Dalam penelitian ini jenis menu yang diberikan adalah makanan sepinggan, jadi tidak ada pemisahan antara makanan pokok, lauk pauk dan sayuran. Hal tersebut dilakukan mengingat kondisi ekonomi dan jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh peserta. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa sarapan menu sepinggan di sukai oleh siswa.
Gambar 11 Tingkat kesukaan peserta terhadap menu sepinggan Apabila dibandingkan dengan kudapan PMT-AS yang dilakukan di SD Negeri 1 Malangsari, maka tingkat kesukaan siswa terhadap menu sepinggan lebih tinggi persentasenya dibandingkan dengan kudapan PMT-AS yang diberikan. Daya Terima Makanan Anak Sekolah Daya terima makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan seseorang. Daya terima terhadap makanan ditentukan oleh rangsangan dan indera penglihatan, penciuman, pencicip, dan pendengaran. Faktor utama yang dinilai dari cita rasa diantaranya ialah rupa
86
yang meliputi warna, bentuk, ukuran, aroma, tekstur dan rasa (Hardinsyah et al 1989). Gregoire dan Spears (2007) menyatakan bahwa tingkat kesukaan akan mempengaruhi daya terima siswa terhadap menu yang disajikan. Daya terima seseorang terhadap makanan secara umum dapat dilihat dari jumlah makanan yang dikonsumsi. Sisa makan atau jumlah makanan yang tersisa di dalam alat saji merupakan metode yang digunakan untuk mengukur daya terima makanan. Penilaian dapat juga dilakukan dengan memperkirakan atau mengestimasikan jumlah sisa makanan yang terlihat dengan menggunakan skala. Skala yang digunakan dibagi kedalam 6 kategori yaitu: dimakan habis, dimakan ¾ bagian, dimakan ½ bagian, dimakan ¼ bagian, hanya dicicipi, dan tidak dimakan sama sekali. Metode dengan penilaian ini dikenal dengan metode Comstock (Gregoire dan Spears 2007). Tabel 11 Daya terima contoh terhadap menu sepinggan Hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Menu Sepinggan Mie goreng Nasi uduk kuning Lontong sayur Bubur ayam Gado-gado lontong Nasi goreng Mie goreng Nasi uduk kuning Lontong sayur Bubur ayam Gado-gado lontong Nasi goreng
Persentase Daya Terima Dimakan Dimakan Dimakan Dimakan Hanya Tidak habis ¾ bgn ½ bgn ¼ bgn Dicicipi dimakan 88.5 9.8 1.6 0.0 0.0 0.0 95.1 4.9 0.0 0.0 0.0 0.0 93.2 6.8 0.0 0.0 0.0 0.0 91.4 6.9 0.0 0.0 0.0 1.7 76.7 16.7 6.7 0.0 0.0 0.0 72.9 11.9 6.8 1.7 5.1 1.7 89.7 6.9 3.4 0.0 0.0 0.0 78.3 8.3 5.0 5.0 1.7 1.7 81.4 10.2 1.7 3.4 3.4 0.0 89.5 7.0 3.5 0.0 0.0 0.0 90.3 6.5 3.2 0.0 0.0 0.0 37.1 56.5 4.8 0.0 0.0 1.6
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui, bahwa sebagian besar contoh menghabiskan makanan yang disediakan. Hal tersebut dilihat dari besaran persentase pada menu sarapan yaitu mie goreng, nasi uduk kuning, lontong sayur, bubur ayam dan gado-gado lontong adalah ≥ 70%. Namun berbeda halnya dengan menu nasi goreng, terjadi penurunan daya terima pada minggu pertama dan minggu kedua. Hal tersebut dikarenakan nasi goreng pada minggu kedua memiliki tekstur kurang lunak karena beras yang dipergunakan berbeda, walaupun sebagian besar (56.5%) contoh masih dapat menghabiskan ¾ bagiannya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena siswa dalam kondisi benarbenar sangat lapar. Apabila dibandingkan dengan penyelenggaraan PMT-AS
87
yang dilakukan di SD Negeri 1 Malangsari, persentase daya terima siswa pada menu sepinggan lebih baik dibandingkan dengan kudapan PMT-AS. Penyelenggaraan makanan anak sekolah yang siswanya berasal dari keluarga miskin dapat dilakukan dengan baik, yaitu dengan menyediakan makanan lengkap, aman dan membiasakan siswa untuk disiplin menghabiskan makanan yang disajikan. Selain itu, penyelenggaraan makanan anak sekolah juga merupakan media pendidikan gizi yang efektif untuk menanamkan pengetahuan gizi yang baik sejak duduk di tingkat SD, yang akan berdampak pada perilaku makan yang baik dan benar jika siswa sudah menjadi remaja dan dewasa. Dan juga dapat membawa dampak yang positif terhadap perilaku makan keluarga melalui anak sekolah, karena siswa akan menceritakan kepada keluarga tentang makanan yang disajikan di sekolah. Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan secara tunggal maupun beragam yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sediaoetama 1991). Pengukuran konsumsi pangan dilakukan untuk mengetahui status gizi masyarakat secara langsung, sedangkan untuk mengetahui tingkat kecukupan gizi seseorang atau sekelompok orang dapat dilakukan melalui penilaian konsumsi pangan. Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994), penilaian konsumsi pangan adalah perbandingan antara kandungan gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan angka kecukupannya. Konsumsi Energi dan Protein Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah & Tambunan 2004).
88
Rata-rata konsumsi energi perhari contoh sebelum efikasi adalah 1146 ± 291 Kkal dan sesudah efikasi pemberian sarapan menu sepinggan menjadi 1577 Kkal. Data ini memperlihatkan bahwa terjadi kenaikan konsumsi energi sebesar 27.2%, walaupun belum memenuhi standar kecukupan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2004 menetapkan kecukupan energi anak usia 9 tahun sebesar 1800 Kkal, anak usia 10-12 tahun yaitu 2.050 Kkal, dan kecukupan energi anak usia 13-15 tahun adalah sebesar 2.400 Kkal (laki-laki) dan 2.350 Kkal (perempuan). Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata konsumsi energi sebelum dan sesudah pemberian sarapan (p<0.05). Dan hasil penelitian Kustiyah dkk (2006), yang
menunjukkan
bahwa
intervensi
makanan
kudapan
(buras)
yang
mengandung energi 82.3 Kal dan protein 5 gram dapat meningkatkan konsumsi energi secara nyata. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian yang dilakukan Nurdiani (2011), yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan ratarata konsumsi energi dan protein pada SPM (Sekolah dengan Penyelenggaraan Makanan) dan STPM (Sekolah Tanpa Penyelenggaraan Makanan). Rata-rata tingkat kecukupan energi (TKE) contoh sebelum pemberian sarapan adalah 60.21% dan sesudah pemberian meningkat menjadi 87.23%. Sebagian besar (75.8%) tingkat kecukupan energi per hari contoh sebelum pemberian menu sepinggan masih berada di bawah AKE, dan masuk dalam kategori defisit berat. Data ini sesuai dengan hasil Riskesdas 2010 yang menyatakan bahwa rata-rata kecukupan energi secara nasional pada anak usia 7-12 tahun adalah 71.6-89.1%. Pemberian sarapan menu sepinggan berdampak positif terhadap tingkat kecukupan contoh, hal ini dapat dilihat dari menurunnya jumlah contoh yang termasuk dalam kategori defisit berat (dari 75.8% turun menjadi 38.7%), dan yang termasuk kategori normal meningkat dari 9.7% menjadi 24.2% (Tabel 12). Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata tingkat kecukupan energi sebelum dan sesudah pemberian sarapan (p<0.05). Rata-rata konsumsi protein perhari contoh sebelum efikasi adalah 27.8 ± 8.0 gram dan sesudah efikasi pembrian sarapan menu sepinggan menjadi 40,0 gram. Data ini memperlihatkan bahwa terjadi kenaikan konsumsi protein sebesar 31.3%, walaupun belum memenuhi standar kecukupan. Angka kecukupan protein anak usia 9 tahun sebesar 45 gram, anak usia 10–12 tahun sebesar 50
89
gram, dan anak usia 13-15 tahun sebesar 60 gram (laki-laki) dan 57 gram (perempuan) (WNPG 2004). Oleh karena itu, dengan adanya pemberian makanan di sekolah dapat memberikan efek yang positif terhadap konsumsi energi dan protein siswa. Peningkatan konsumsi ini dapat juga terjadi karena dipengaruhi oleh faktor psikologi anak. Anak-anak sekolah cenderung lebih suka makan bersama temanteman sebayanya, dibandingkan dengan makan sendirian di rumah. Konsumsi Vitamin A dan mineral Fe (zat besi) Vitamin merupakan senyawa kimia esensial yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang sangat kecil untuk pemeliharaan kesehatan dan pertumbuhan normal (Suhardjo & Kusharto 1989). Vitamin dibedakan menjadi vitamin larut air dan larut lemak. Vitamin larut air adalah vitamin B dan C, sedangkan vitamin larut lemak adalah vitamin A, D, E dan K. Rata-rata konsumsi vitamin A perhari contoh sebelum efikasi adalah 143 g RE dan sesudah efikasi model penyelenggaraan makanan menjadi 363.8 g RE. Data ini memperlihatkan bahwa terjadi kenaikan konsumsi vitamin A sebesar 42.3%, walaupun belum memenuhi standar kecukupan. Muhilal dan Sulaeman (2004) menetapkan angka kecukupan vitamin A untuk anak usia 9 tahun adalah 500 g RE/hari, anak usia 10-12 tahun adalah 600g RE/hari untuk pria dan wanita. Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, selain itu berperan dalam berbagai tahap metabolisme. Mineral digolongkan kedalam mineral makro dan mikro. Mineral makro dibutuhkan dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari. Fe merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia (Almatsier 2006). Rata-rata konsumsi Fe (zat besi) perhari contoh sebelum efikasi adalah 5.5 mg dan sesudah efikasi model penyelenggaraan makanan menjadi 10.0 ± 3.3 mg, walaupun belum memenuhi standar kecukupan. Data ini memperlihatkan bahwa terjadi kenaikan konsumsi Fe (zat besi) sebesar 4.8 mg atau 30.0%. WNPG (2004), menetapkan angka kecukupan zat besi untuk anak usia 9 tahun sebesar 10 mg, anak (laki-laki) usia 10–12 tahun sebesar 13 mg dan anak (perempuan) sebesar 19 mg. Kecukupan Fe untuk usia 13 tahun (laki-laki) sebesar 19 mg dan (perempuan) sebesar 26 mg.
90
Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Departemen Kesehatan (1996), mengklasifikasikan tingkat kecukupan energi dan protein menjadi lima kelompok, yaitu: 1) defisit tingkat berat (<70% AKG), 2) defisit tingkat sedang (70%-79% AKG), 3) defisit tingkat ringan (80%89% AKG), 4) normal (90%-119% AKG), dan 5) kelebihan (≥ 120% AKG). Distribusi contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi sebelum dan sesudah efikasi model penyelenggaraan makanan anak di sekolah dapat dilihat pada Tabel 12. Kecukupan energi contoh tergolong defisit berat disebabkan konsumsi pangan sumber energi masih di bawah angka kecukupan yang dianjurkan. Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat, dan protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain gajih/lemak dan minyak, buah berlemak (alpukat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar rendah (kacang tanah dan kacang kedelai) dan serealia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang, kurma dan lain-lain). Pangan sumber energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu, dan aneka produk turunannya (Hardinsyah & Tambunan 2004). Rata-rata kecukupan konsumsi energi secara nasional anak umur 7-12 tahun (usia sekolah dasar) adalah antara 71.6%-89.1% dan sebanyak 44.4% anak masih mengonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal (Riskesdas 2010). Tingkat kecukupan energi pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan Riskesdas (2010). Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena jumlah contoh dalam penelitian ini tergolong kecil dan homogen. Kekurangan energi dapat terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif sehingga dapat terjadi penurunan berat badan. Bila hal ini terjadi pada anak-anak sekolah dapat menghambat pertumbuhannya. Gejala yang ditimbulkan pada anak-anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat, dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi (Almatsier 2006). Protein merupakan komponen fungsional dan struktural utama sel-sel dalam tubuh. Semua enzim, zat pembawa (carrier) dalam darah, matriks intraseluler, dan sebagian besar hormon tersusun atas protein. Protein bagi anak usia sekolah memiliki peranan penting terutama untuk membangun jaringan baru dan berperan dalam transpor zat gizi (Nasoetion & Damayanthi 2008).
91
Sebagian besar (75.8%) contoh mengalami defisit protein tingkat berat. Hal ini dikarenakan konsumsi pangan hewani dan nabati sangat rendah sehingga tidak memenuhi kecukupan protein. Hardinsyah dan Tambunan (2004) mengemukakan pada umumnya pangan hewani mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan pangan nabati. Almatsier (2006) menyatakan bahwa kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah. Distribusi contoh berdasarkan kecukupan protein sebelum dan sesudah efikasi model penyelenggaraan makanan anak di sekolah dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 menunjukkan terjadinya kenaikan terhadap tingkat kecukupan energi dan protein contoh dari normal 9.7% menjadi 24.2% untuk energi, dan 6.5% menjadi 22.6% untuk protein. Penurunan persentase tingkat kecukupan contoh yang defisit berat juga terjadi, yaitu dari 75.8% menjadi 38.7% untuk energi dan 72.6% menjadi 35.5% untuk protein. Tabel 12 Distribusi tingkat kecukupan energi dan protein (TKE dan TKP) contoh sebelum dan sesudah efikasi Sebelum Efikasi Energi Protein
Tingkat Kecukupan
Sesudah Efikasi Energi Protein
n
%
n
%
n
%
n
%
Diatas angka kecukupan
0
0.0
2
3.2
7
11.3
9
14.5
Normal
6
9.7
4
6.5
15
24.2
14
22.6
Defisit ringan
4
6.5
5
8.1
9
14.5
9
14.5
Defisit sedang
5
8.1
6
9.7
7
11.3
8
12.9
Defisit berat
47
75.8
45
72.6
24
38.7
22
35.5
62
100.0
62
100.0
62
100.0
62
100.0
Total
Setelah dilakukan uji beda t-test, terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat
kecukupan
energi
dan
protein
sebelum
dan
sesudah
efikasi
penyelenggaraan makanan di sekolah dengan tingkat kepercayaan p<0.05 (p=0.00). Tingkat Kecukupan Vitamin A dan mineral Fe (zat besi) Tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan menjadi 2, yaitu kurang (tingkat kecukupan <77%) dan cukup (tingkat kecukupan ≥77%) (Gibson 2005). Tingkat kecukupan vitamin A dan Fe sebelum dan sesudah efikasi penyelenggaraan makanan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Tingkat kecukupan vit. A dan Fe contoh sebelum dan sesudah efikasi
92
penyelenggaraan makanan anak sekolah Sebelum efikasi Klasifikasi
TK Vit. A
Sesudah Efikasi
TK Fe
TK Vit. A
TK Fe
n
%
n
%
n
%
n
%
Cukup
2
3.2
1
1.6
11
17.7
13
21.0
Kurang
60
96.8
61
98.4
51
82.3
49
79.0
62
100.0
62
100.0
62
100.0
62
100.0
Total
Berdasarkan Tabel 13, menunjukkan terjadinya kenaikan terhadap tingkat kecukupan vitamin A contoh dari klasifikasi cukup sebesar 3,2% menjadi 17,7%. Hasil uji beda t menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat konsumsi vitamin A sebelum dan sesudah efikasi penyelenggaraan makanan anak di sekolah dengan nilai p<0.05 (p=0.00). Vitamin A terdapat dalam pangan hewani, dan karoten di dalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, susu (di dalam lemaknya) dan mentega. Margarin biasanya diperkaya dengan vitamin A. Minyak ikan digunakan sebagai sumber vitamin A yang diberikan untuk keperluan penyembuhan. Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua dan buah-buahan yang berwarna kuning-jingga, seperti daun singkong, daun kacang, kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, pepaya, mangga, nangka masak dan jeruk. Minyak kelapa sawit yang berwarna merah kaya akan karoten (Almatsier 2006). Kekurangan vitamin A banyak terdapat di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, karena makanan kaya vitamin A pada umumnya mahal harganya. Kekurangan vitamin A dapat merupakan kekurangan primer akibat kurang konsumsi, atau kekurangan sekunder karena gangguan penyerapan dan penggunaannya dalam tubuh, kebutuhan yang meningkat, ataupun karena gangguan pada konversi karoten menjadi vitamin A. Kekurangan vitamin A sekunder dapat terjadi pada penderita Kurang Energi Protein (KEP), penyakit hati, beta-lipoproteinemia, atau gangguan absorpsi karena kekurangan asam empedu. Fungsi kekebalan tubuh seseorang akan menurun jika terjadi kekurangan vitamin A, sehingga tubuh mudah terserang infeksi. Kekurangan vitamin A juga menghambat pertumbuhan sel-sel, termasuk sel-sel tulang (Almatsier 2006). Tabel 13 menunjukkan adanya peningkatan Fe (dari kategori kurang sebesar 98.4% menjadi 79.0%) atau dari kategori cukup sebesar 1.6% menjadi
93
21.0%. Hasil uji beda t menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan Fe (zat besi) sebelum dan sesudah efikasi model penyelenggaraan makanan anak di sekolah dengan nilai p<0.05 (p=0.00). Pada saat efikasi model, siswa diberikan menu sepinggan yang bahan pangannya bersumber Fe seperti telur, tahu, tempe, dan sayur-sayuran. Daging dan ikan merupakan sumber makanan yang mengandung tinggi besi heme, tetapi dalam efikasi model ini tidak diberikan karena harganya mahal. Tempe dan tahu termasuk kedalam sumber besi non-heme (nabati) karena terbuat dari kedele dan harganya lebih murah.
Simpulan Perancangan model penyelenggaraan sarapan menu sepinggan anak sekolah disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah, lingkungan serta sumberdaya yang ada. Rancangan model yang dibentuk adalah sebagai berikut: penyiapan dan pengolahan bahan pangan mempergunakan dapur di luar sekolah, ruang makan di dalam ruang kelas, pengadaan bahan pangan dilakukan dengan cara pembelian langsung ke pasar tradisional yang letaknya tidak jauh dari lokasi pemasakan. Menu sepinggan yang dimasak disesuaikan dengan biaya yang rendah, jenis peralatan masak yang sederhana, alat makan sederhana dan memenuhi syarat sanitasi, keahlian tenaga penjamah makanan yang terbatas, dan waktu yang dipergunakan untuk memproduksi makanan tidak terlalu lama. Model penyelenggaraan makanan yang dirancang dapat diterapkan dengan baik sesuai dengan syarat-syarat penyelenggaraan makanan yang ditentukan. Rata-rata kandungan energi sarapan menu sepinggan contoh 436 KKal, 10 gram protein, 136.6 RE vitamin A, dan 1.97 mg Fe dengan biaya Rp 3.000/porsi. Konsumsi energi, protein dan Fe contoh meningkat secara nyata sesudah pemberian sarapan menu sepinggan yaitu energi 21,16%, protein 24.35%, vitamin A 42.51%, dan Fe 30.05%. Tingkat kecukupan contoh terhadap energi, protein, vitamin A dan Fe meningkat sesudah pemberian sarapan menu sepinggan.
Daftar Pustaka Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Garis Kemiskinan Kota Bogor tahun 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
94
Chitra U and Reddy CR. 2005. The role of breakfast in nutrient intake of urban schoolchildren, public Health Nutrition: 10(1), 55-58. Del Rosso, J.M. 1999. School Feeding Programs : Improving effectiveness and increasing the benefit to education. Oxford: University of Oxford [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman Umum Gizi seimbang. http://www.gizi.depkes.co.id/ [10 Februari 2012]. ________. 2006. Kumpulan Modul Kursus Hygiene Sanitasi Makanan & Minuman. Jakarta: Depkes ________. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Jakarta: Depkes. Erwin LT. 2011. Hidangan Sepinggan Istimewa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gibson, R.S. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. Oxford: Oxford Press Gregoire MB & Spears MC. 2007. Foodservice Organizations: A Managerial and Systems Approach 6th ed. New Jersey: Pearson Education. Hardinsyah dan Martianto D. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Bogor: Wirasari Jakarta. __________ dan Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, FAPERTA IPB. ___________ dan Tambunan V. 2004. Angka Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 17-19 Mei. Jakarta: Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI). ___________. 2012. Breakfast in Indonesia pada symposium healthy breakfast [makalah]. 16 Juni 2012. Jakarta. Khomsan A. 2005. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan cetakan ke-2. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Jacoby E, Cueto S and Pollitt E. 1996. Benefits of a school breakfast programme among andean children in huaraz, Peru. Food and Nutrition Bulletin 17 (1): 54-64.
95
Meyers AF, Sampson AE, Weitzman M, Rogers B & Kayne H. 1989. School Breakfast Program and School Performance. The American Journal of Diseases Of Children 143 :1234–1239. Muhilal dan Sulaeman A. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 17-19 Mei. Jakarta: Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI). Nurdiani R. 2011. Analisis penyelenggaraan makan di sekolah dan kualitas menu bagi siswa sekolah dasar di Bogor [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineke Cipta. Palacio, JP and Theis, M. 2009. Introduction to Foodservice. Eleventh Edition. New Jersey: Columbus, Ohio. Pearson, Prentice Hall. Perdigon, GP. 1989. Foodservice Management in The Philippines. Diliman: U.P. College of Home Economics. Powell CA, Walker SP, Chang SM, and Grantham-McGregor SM. 1998. Nutrition and education: A randomized trial of the effects of breakfast in rural primary school children. Am J Clin Nutr 68: 873-9. Rampersaud GC, Pereira MA, Girard BL, Adams J, and Metzl JD. 2005. Breakfast habits, nutritional status, body weight, and academic performance in children and adolescents. J Am Diet Assoc 105 (5): 743-60. Saidin S, Krisdinamurtirin Y, Murdiana A, Moecherdiyantiningsih, Karyadi LD dan Murni Sri. 1991. Hubungan Kebiasaan Makan Pagi dengan Konsentrasi Belajar pada Anak Sekolah Dasar. Penelitian Gizi dan Makanan 14:60-70. Salimar dkk. 2010. Laporan Analisis Lanjut Data Riskesdas 2010: Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Usia Sekolah (6-12 tahun) di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Sinaga T. 2007. Manfaat Makan di Sekolah. Diktat Pelatihan Gizi untuk Anak Sekolah (11-13 Desember 2007) Jakarta: Yayasan Kuliner Jakarta. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
96
_______ dan Kusharto CM. 1989. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut pertanian Bogor (PAU-IPB). [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding. Jakarta: LIPI.
97
98
ANALISIS SWOT MODEL PENYELENGGARAAN MAKANAN ANAK SEKOLAH DENGAN MENU SEPINGGAN (SWOT Analysis Implementation Model of School Feeding with One Dish Meal) Abstrak Model penyelenggaraan makanan anak sekolah di SD dari keluarga miskin dengan menu sepinggan telah diefikasi dengan hasil yang baik, akan tetapi masih memerlukan penguatan dalam beberapa hal. Penguatan model ini meliputi cara penerapan dan dampaknya terhadap konsumsi, kecukupan gizi dan dalam waktu jangka panjang dapat meningkatkan status gizi anak sekolah. Analisis SWOT dipergunakan untuk menggambarkan dan menganalisis faktorfaktor strategik internal dan eksternal dengan lebih terstruktur, sehingga dapat membantu evaluasi model penyelenggaraan makanan yang sudah diefikasi dan keberlanjutannya. Penguatan model juga dilengkapi dengan perhitungan biaya dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah, khususnya biaya yang dipergunakan sebagai investasi untuk membangun dapur dan membeli peralatan dapur yang dibutuhkan. Kata kunci : Penguatan model, analisis SWOT, perhitungan biaya Abstract Implementation model of school feeding for elementary children of poor family with one dish meal has been tested showed with a good results, but it was needs to improve in some part. Completion of this model include its implementation and the impacts on consumption, the adequacy on nutrition and in the long period can be improve the nutritional status of schoolchildren. SWOT analysis was used to describe and analyze strategic factors internal and external to be more structured to assist the evaluation of the implementation model of school feeding that have been tested and it’s sustainability. Completion of the model is also equipped with a cost in school foodservice management, especially the funds that are used to invest to build the kitchen and the cooking tools and utensils are needed. Key words : Improving model, SWOT analysis, calculation of cost
99
Pendahuluan Efikasi yang dilakukan dalam penelitian ini dapat berjalan dengan baik, tetapi masih membutuhkan penguatan agar model dapat diterapkan di berbagai daerah. Suatu strategi penguatan penyelenggaraan makanan anak sekolah, perlu dirumuskan secara sistematis. Hal tersebut dilakukan melalui identifikasi terhadap berbagai faktor yang mempengaruhinya, sehingga diharapkan dapat mencapai tujuan penyelenggaraan makanan yang lebih berdaya guna, efektif, efisien, dan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, maka metode yang digunakan adalah analisis SWOT. Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Analisis SWOT dipergunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan strategis yang berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijaksanaan penyelenggaraan makanan dalam kondisi yang ada pada saat tertentu. Analisis SWOT disebut juga Analisis Situasi. Proses penguatan model tersebut juga melampirkan layout dapur dan ruang makan beserta perhitungan biaya pembangunan dapur serta biaya pengadaan peralatan (masak dan penyajian) yang dibutuhkan dalam kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah (lampiran 16).
Metode Analisis Kerangka Analisis Strategis SWOT Analisis SWOT dapat dilakukan dalam penguatan model apabila pengelola penyelenggaraan makanan anak sekolah mempunyai visi, misi, dan tujuan yang jelas. Visi penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah: “Membangun
Sumberdaya
Manusia
yang
Berkualitas”,
dengan
misi:
“Meningkatkan Konsumsi Pangan Anak Sekolah sehingga Mampu Belajar Lebih Baik”, dan tujuannya: “Untuk Mencegah Masalah Kekurangan Energi dan Zat Gizi Pada Siswa SD”, maka analisis SWOT diarahkan untuk menyusun strategi penguatan model penyelenggaraan makanan anak sekolah secara efektif, effisien dan berkesinambungan. Pada prinsipnya analisis SWOT adalah suatu kegiatan menganalisis faktor-faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan, serta faktor-faktor eksternal berupa peluang dan ancaman. Pada model penyelenggaraan makanan
100
anak sekolah, pemilihan strategi apa yang harus dilakukan agar kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah dapat dikembangkan, dikuatkan, dan dapat berjalan dengan baik serta berkinerja terus secara efektif, efisien, dan berkelanjutan, maka dapat dibuat suatu diagram seperti pada Gambar 12. ANALISIS MODEL PENGUATAN PENYELENGGARAAN MAKANAN SISWA EVALUASI VISI, MISI DAN TUJUAN PENYELENGGARAAN MAKANAN SISWA
FAKTOR INTERNAL
-
FAKTOR-FAKTOR: Kekuatan (strength) Kelemahan (weaknesses)
FAKTOR EKSTERNAL
-
FAKTOR-FAKTOR: Peluang (opportunities) Ancaman (threats)
ANALISIS SWOT
EVALUASI DAN REVISI: VISI, MISI DAN TUJUAN PEMILIHAN STRATEGI ALTERNATIF TERBAIK
Gambar 12 Diagram proses penyusunan strategi penguatan model penyelenggaraan makanan anak sekolah melalui analisis SWOT
Formulasi Analisis SWOT Kinerja penyelenggaraan makanan anak sekolah dapat ditentukan oleh kombinasi
faktor
internal
dan
eksternal.
Kedua
faktor
tersebut
harus
dipertimbangkan dalam analisis SWOT. SWOT adalah singkatan dari lingkungan Internal Strenght dan Weaknesses serta lingkungan External Opportunities dan Threats. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal Peluang (Opportunities) dan Ancaman (Threats) dengan faktor internal Kekuatan (Strenght) dan Kelemahan (Weaknesses). Berdasarkan tahapan-tahapan yaitu dengan cara membandingkan keempat faktor dalam suatu diagram, maka dapat dirumuskan alternatif strategi untuk mengembangkan model penyelenggaraan makanan anak sekolah, seperti yang tertuang dalam Gambar 13. Jika model penyelenggaraan makanan anak sekolah mempunyai kekuatan yang handal, dan berpeluang besar untuk mencapai
tujuan
dengan
kinerja
pengelola
yang
baik,
maka
model
penyelenggaraan makanan tersebut berada pada kondisi puncaknya. Jika model penyelenggaraan makanan anak sekolah dalam kondisi puncak, seharusnya
101
dapat disusun suatu strategi yang agresif untuk selalu terus maju dalam posisi terdepan. 1. Strategi Agresif
Kekuatan Eksternal (Opportunity)
Kekuatan Internal (Weak)
Kekuatan Internal (Strength)
3. Strategi meminimalkan kelemahan untuk merebut peluang
2. Strategi diversifikasi jangka panjang
Kekuatan Eksternal (Threat)
4. Strategi defensif
Gambar 13 Diagram analisis SWOT (Sumber: Supranto, 1997) Jika model penyelenggaraan makanan anak sekolah mempunyai kekuatan yang handal tetapi menghadapi ancaman yang serius dari luar, maka pengelola penyelenggaraan makanan anak sekolah seharusnya membuat diversifikasi jangka panjang. Dalam kondisi ini berarti pengelola harus merumuskan strategi dengan mendayagunakan kekuatannya sambil mencari celah-celah yang aman untuk mencapai tujuan. Jika model penyelenggaraan makanan anak sekolah mempunyai kelemahan di dalam dan ancaman serius dari luar, maka dapat dirumuskan berada pada kondisi yang tidak menguntungkan. Strategi yang dapat dirumuskan adalah memperoleh bimbingan teknis agar kekuatan internal meningkat, dan pada saatnya berupaya untuk menghindari ancaman yang dihadapi.
Analisis SWOT Kekuatan (Strengths) yang dimiliki model penyelenggaraan makanan anak sekolah dalam melakukan kegiatan dan mengembangkan pengelolaannya di bidang sumberdaya manusia adalah: 1) adanya TPG Puskesmas yang dapat dijadikan sebagai pengawas dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah, adanya guru UKS di SD yang sudah dilatih oleh TPG tentang kesehatan sekolah, adanya tenaga penjamah makanan yang sudah berpengalaman memasak untuk makanan banyak/massal/institusi; 2) siswa dapat mengangkut makanan yang telah diporsi dari rumah tenaga penjamah makanan; 3) siswa dapat mencuci alat makan di sekolah dengan fasilitas yang tersedia (sumber air dari PDAM, ada tempat pencucian alat makan berupa wastafel & tempat ambil wudhu; 4) adanya motivasi murid, orang tua dan guru untuk sarapan bersama di sekolah sangat tinggi; 5) ada masyarakat sekitar sekolah yang mempunyai dapur bersih dan
102
mampu memasak makanan untuk anak sekolah dan 6) jarak pasar tradisional bahan pangan dekat dengan tempat produksi makanan. Kelemahan
(Weaknesses)
yang
ada
dalam
mengelola
dan
mengembangkan model penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah: 1) dukungan sumber dana belum jelas; 2) masyarakat di sekitar sekolah tidak banyak yang mempunyai kondisi dapur dan rumah yang memenuhi syarat kesehatan; 3) masyarakat di sekitar sekolah banyak yang berjualan makanan tetapi belum memenuhi persyaratan kesehatan dan 4) siswa suka jajan di sekitar sekolah walaupun makanan kurang memenuhi syarat kesehatan. Peluang (Opportunities) yang dapat dimanfaatkan dalam mengelola dan mengembangkan penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah: 1) adanya kebutuhan yang cukup besar, yaitu murid dan guru sebagai konsumen potensial untuk mengonsumsi sarapan sehat dan 2) belum adanya kantin dan penjual makanan yang memenuhi syarat kesehatan untuk anak sekolah. Ancaman
(Threats)
yang
dihadapi
dalam
mengelola
dan
mengembangkan kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah adalah: 1) masyarakat sekitar sekolah banyak yang miskin dan pemerintah daerah/pusat belum sungguh-sungguh mau memberikan bantuan dana; 2) biaya produksi untuk membuat makanan anak sekolah terus meningkat; 3) kegiatan yang harus dilakukan oleh TPG Puskesmas cukup banyak sehingga pengawasan terhadap penyelenggaraan
makanan
anak
di
sekolah
kurang
maksimal.
Untuk
menanggulangi TPG dari Puskesmas, maka sudah saatnya membutuhkan tenaga gizi sekolah agar dapat mengawasi mutu makanan siswa. Kondisi seperti disebutkan diatas dapat digambarkan dalam diagram matriks (Gambar 14). Keberlangsungan model yang dirancang ini akan berjalan dengan baik jika ada sumber dana yang cukup. Sumber dana dapat diperoleh dari pemerintah (pusat ataupun daerah), LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), CSR (Corporate Social
Responsibility),
dan
sumbangan-sumbangan dari
donatur.
Model
penyelenggaraan makanan anak sekolah ini dapat juga dikembangkan di sekolah lain yang siswanya bukan dari keluarga miskin. Untuk keberlangsungan dalam hal dana, maka dapat dilakukan dengan cara: 1) jika siswa berasal dari keluarga ekonomi mampu, maka dapat membayar seluruh biaya yang dibutuhkan untuk kegiatan penyelenggaraan makanan; 2) jika siswa berasal dari keluarga ekonomi menengah, maka dapat membayar 50% dari biaya yang dibutuhkan dan 50% dibayar oleh pemerintah dan 3) jika siswa berasal dari
103
keluarga ekonomi miskin, maka pemerintah wajib membayar seluruh biaya untuk kegiatan penyelenggaraan makanan anak sekolah. Tenaga penjamah makanan jika tidak ada dari masyarakat yang berada di sekitar sekolah, maka alternatif adalah memilih pedagang yang ada di sekitar sekolah, dan diberi training, terutama mengenai higiene dan sanitasi. Perlu juga dilakukan pemeriksaan kesehatan terhadap pedagang tersebut sebelum dipekerjakan
sebagai
tenaga
penjamah
makanan.
Pedagang
tetap
mempersiapkan dan memasak makanan anak sekolah di dapur yang memenuhi syarat kesehatan. Kegiatan tersebut di bawah pengawasan Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas. Pengembangan menu dapat dilakukan dengan mengganti bahan pangan seperti mi menjadi bihun jagung, bihun beras serta menambah menu lainnya agar siswa tidak bosan dengan menu yang sudah ada. Sebaiknya pembelian bahan pangan mempergunakan spesifikasi bahan pangan, seperti
yang ada
dalam SOP (Standard Operational Procedure). Di dalam SOP terdapat quality control, yang pada pelaksanaannya belum tentu sesuai dengan yang tertulis dalam SOP, seperti yang terjadi pada saat efikasi, yaitu beras mutu B yang digunakan untuk membuat nasi ternyata stoknya kosong, sehingga terpaksa membeli beras mutu C. Beras mutu B dan mutu C memiliki kualitas berbeda, sehingga kualitas nasi yang dihasilkan pun berbeda. Contoh SOP dapat dilihat pada Lampiran 14. Model penyelenggaraan makanan anak sekolah pada penelitian yang dikembangkan memiliki kelemahan dan kelebihan dalam pelaksanaannya. Kelebihan model ini adalah: 1) ada rumah masyarakat sekitar sekolah yang dapat dijadikan sebagai tempat pengolahan makanan; 2) ada masyarakat yang bisa dan mampu memasak dengan sukarela, dan mempunyai komitment untuk membantu penyelenggaraan makanan anak sekolah; 3) tersedia fasilitas air bersih di sekolah untuk mencuci tangan siswa sebelum makan dan mencuci alat saji setelah makan dan 4) ada komunikasi yang baik diantara guru, murid, orang tua murid, masyarakat sekitar sekolah dan TPG Puskesmas. Kelemahan model tersebut adalah: 1) tidak dapat dipergunakan jika lokasi sekolah jauh dari rumah penduduk; 2) tidak dapat dipergunakan jika fasilitas air di sekolah tidak tersedia dan 3) tidak dapat dipergunakan jika masyarakat di sekitar sekolah tidak ada yang mampu memasak dengan sukarela.
104
IFAS
STRENGTHS
WEAKNESSES
1. Penguatan Model yang telah dibandingkan secara komprehensive dan diefikasi dengan hasil yang baik 2. Metode pelaksanaan yang terstruktur dan sederhana tidak membutuhkan organisasi yang rumit 3. Ketersediaan Sumberdaya manusia yang cukup di masyarakat, TPG Puskesmas, Guru UKS, Orang Tua Siswa, Siswa. 4. Biaya pengadaan dan pelaksanaan yang ekonomis dengan hasil konsumsi gizi dan daya terima yang lebih tinggi dari PMT-AS 5. Tingkat dukungan masyarakat yang sangat tinggi.. 6. Tidak memerlukan infrastruktur tambahan yang mahal. 7. Semakin banyaknya tenaga gizi yang menyelenggarakan program gizi serta dapat dipergunakan sebagai pusat-pusat penelitian dan pengembangan di daerah-daerah
1. Model yang dibuat perlu diefikasi lebih lanjut pada daerah yang lebih luas dan bervariasi secara sosial, budaya dan agroekologi 2. Kondisi kesehatan lingkungan disekitar SD keluarga miskin kebanyakan kurang memadai 3. Perlu dikaji sumber-sumber pendanaan yang dapat mendukung pelaksanaan dan pengadaannya. 4. Perlu adanya Sertifikasi dan standarisasi prosedur 5. Belum adanya detail Sistem pengelolaan dari pihak-pihak terkait. 6. Usaha pengembangan dari pemerintah belum maksimal. Belum memiliki arah yang jelas dalam pengembangan (belum ada master plan yang konsisten dan terpadu)
STRATEGI SO
STRATEGI WO
Strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang:
Strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang:
1. Mensosialisasikan slogan PUGS: “Biasakanlah Makan Pagi” 2. Sosialisasi program makan bersama disekolah 3. Melaksanakan proyek-proyek percontohan dengan menu sarapan sepinggan. 4. Pendidikan Gizi melalui “Learning by Doing” dan etika sosial. 5. Mengajak masyarakat dalam pengadaan sarapan bersama di sekolah 6. Memberikan penghargaan kepada pelaksana penyelenggaraan makanan anak sekolah teladan 7. Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai modelmodel untuk daerah dengan kondisi dan situasi yang bervariasi, sehingga diperoleh standar model yang lebih umum dan dapat diimplementasikan secara lebih luas dengan tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan penyelenggaraan makanan anak sekolah.
1. Evaluasi dan Monitoring perlu dilakukan secara intensif dengan melibatkan tim penyelenggaraan makanan anak sekolah yang meliputi Puskesmas, Sekolah, Penyuluh Pertanian, Komite Sekolah dan Ibu PKK 2. Pembuatan dapur sekolah jika dana memungkinkan 3. Koordinasi antara tim penyelenggaraan makanan anak sekolah dan komunikasi yang transparan 4. Jika ada pendanaan dari pemerintah, sebaiknya Monitoring dan Evaluasi penyelenggaraan makanan melibatkan tim penyelenggaraan makanan anak sekolah)
THREATS
STRATEGI ST
STRATEGI WT
1.
Strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman:
Strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman:
1. Model yang dikuatkan harus dituangkan ke dalam suatu Pedoman Umum yang mudah dimengerti oleh penyelenggara pendidikan dan pihak terkait. 2. Perlunya mensosialisasikan program tersebut di atas ke sekolah-sekolah dan instansi terkait 3. Perlunya pelatihan yang intensif tentang program kepada tenaga kesehatan dan pendidikan.
1. Perlunya legalisasi dari pemerintah terhadap Pedoman Umum 2. Membutuhkan komitment pemerintah untuk menyediakan dana yang konsisten untuk program dan penguatan peraturan-peraturan yang terkait dengan pelaksanaan program. 3. Perlu landasan hukum yang lebih detail untuk pelaksanaannya di lapangan, terutama yang melibatkan koordinasi antar lembaga institusi yang terkait, seperti Puskesmas, Sekolah, penyuluh pertanian, ibu PKK, komite sekolah. 4. Memperjelas peranan tenaga pelaksana gizi puskesmas untuk sekolah dan ketersediaan sumberdaya manusia untuk program tersebut. 5. Sebagai alternatif untuk item no. 4, maka perlu pengadaan tenaga gizi sekolah yang bertugas mengawasi mutu makanan anak sekolah.
(Internal Factor Analysis Strategic)
TABEL ANALISA SWOT – SARAPAN MENU SEPINGGAN DI SEKOLAH
(External Factor Analysis Strategic) EFAS
OPPORTUNITIES Adanya regulasi yang mendukung (1-8) 1. UU 23 tahun 1992 Pasal 11: tentang perbaikan gizi institusi. 2. UU 20 tahun 2003 tentang Sis Dik Nas 3. UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 4. UU 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 5. UU 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Pasal 79 ayat: 1- 2 tentang Kesehatan Anak sekolah). 6. PP 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar 7. Keppres 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 8. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 18 tahun 2011 tentang Pedoman Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah 9. Keinginan pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia untuk generasi mendatang. 10. Baru diterapkan untuk sekolah dari keluarga mampu, sedangkan dari keluarga miskin belum 11. Potensi partisipasi masyarakat yang tinggi, memung-kinkan untuk dilakukan dengan swadana dari masyarakat / orang tua murid 12. Paradigma Mempersiapkan SDM yang Berkualitas Dimulai dari Usia Dini 13. Kelembagaan Kesehatan, Pendidikan dan Masyarakat yang semakin tertata 14. Pendidikan gizi dan sanitasi ke pedagang makanan disekitar sekolah dan melakukan kerjasama untuk penyelenggaraan makanan.
2.
3.
4. 5. 6. 7. 8.
Belum adanya model pelaksanaan berupa juklak untuk realisasinya Kurang terarahnya koordinasi lintas departemen (DepDaGri, DepDikBud, DepKes, Bappenas, Deptan) yang mengatur penyelenggaraan makanan tersebut. Komitment Pemerintah dari tingkat Pusat hingga Sekolah untuk melaksanakan dengan benar Kolusi Korupsi Nepotisme Otonomi Daerah dan Perda-nya Peningkatan Jumlah Penduduk Peningkatan angka kemiskinan Kenaikan harga kebutuhan pokok dan BBM
Gambar 14 Hasil Matrix Analisis SWOT Model Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan Anak Sekolah Faktor-faktor internal (kekuatan-kelemahan) serta eksternal (peluangancaman) yang mempengaruhi penyelenggaraan makanan anak sekolah dengan
105
menu sepinggan dipetakan pada diagram SWOT. Hasil pemetaan SWOT pada gambar 15 menunjukan model penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan mempunyai situasi yang kuat untuk dikembangkan dengan membuat strategi-strategi penguatan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Strategi SO dan WO adalah strategi penguatan yang dilakukan dalam jangka pendek dan menengah, yaitu: 1) mensosialisasikan slogan PUGS: “Biasakan Makan Pagi”; 2) mensosialisasikan program sarapan bersama di sekolah;
3) melaksanakan proyek percontohan dengan sarapan menu
sepinggan; 4) melakukan pendidikan gizi melalui “Learning by Doing” dan etika sosial; 5) mengajak masyarakat berpartisipasi dalam pengadaan sarapan bersama menu sepinggan disekolah; 6) memberikan penghargaan kepada pelaksana-pelaksana terbaik dalam penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan; 7) melakukan penelitian lebih lanjut tentang pelaksanaan dan pengadaan sarapan bersama menu sepinggan di daerah lainnya; 8) melakukan koordinasi antara tim penyelenggaraan makanan dan komunikasi yang intensif serta transparan; 9) mengevaluasi dan monitoring bersama dengan melibatkan tim penyelenggaraan makanan anak sekolah yang meliputi sekolah, puskesmas, penyuluh pertanian, komite sekolah dan Ibu PKK; 10) jika ada pendanaan dari pemerintah,
sebaiknya
monitoring
dan
evaluasinya
melibatkan
tim
penyelenggaraan makanan anak sekolah, dan 11) pembuatan dapur sekolah jika dana memungkinkan. Strategi ST dan WT adalah strategi penguatan yang dilakukan dalam jangka panjang, yaitu : 1) model penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan yang dikuatkan, perlu dituangkan ke dalam suatu Pedoman Umum yang mudah dimengerti oleh penyelenggara pendidikan dan pihak terkait lainnya; 2) perlunya mensosialisasikan program penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan ke sekolah-sekolah dan instansi terkait; 3) perlunya pelatihan yang intensif tentang program tersebut kepada tenaga kesehatan dan pendidikan; 4) perlunya legalisasi dari pemerintah terhadap Pedoman Umum untuk penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan; 5) membutuhkan komitment pemerintah untuk menyediakan dana yang konsisten untuk program dan penguatan peraturan-peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan; 6) perlu landasan hukum yang lebih detail untuk pelaksanaannya di lapangan, terutama yang melibatkan koordinasi antar
106
lembaga institusi yang terkait, seperti Puskesmas, Sekolah, Penyuluh pertanian, ibu PKK, Komite sekolah; 7) memperjelas peranan TPG puskesmas untuk sekolah dan ketersediaan sumberdaya manusia untuk program tersebut, dan 8) perlu pengadaan tenaga gizi sekolah yang bertugas mengawasi mutu makanan anak sekolah.
Simpulan Model yang dikuatkan dalam efikasi penelitian ini mempunyai kekuatan situasi dan peluang sangat besar untuk dikembangkan secara terstruktur pada cakupan yang lebih luas, tetapi juga mempunyai kelemahan dalam sumber pendanaan
dan
keberlangsungan
peraturan
pemerintah
penyelenggaraan
yang
makanan
belum
cukup
anak
sekolah.
mendukung Rencana
penanggulangan masalah sumber dana dan kebijakan pemerintah membutuhkan waktu yang lama dan koordinasi yang kompleks. Hal tersebut sangat menarik untuk dipelajari dan diteliti lebih lanjut.
Daftar Pustaka Peraturan Presiden No. 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 18 tahun 2011 tentang Pedoman Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah PP 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar Sinaga T. 1995. Feasibility Study dalam Foodservice Management. Pendidikan Ahli Madya Gizi. Malang. Supranto J. 1997. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan dengan Analisis SWOT. Jakarta: Rineka Cipta. Trifu A and Cîndea M. 2012. Economics of Food And Leisure Services. Journal of Social and Development Sciences 3 (2): 33-38. UU 20 tahun 2003 tentang Sisim Pendidikan Nasional. UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025. UU 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 79 ayat: 1- 2 tentang Kesehatan Anak sekolah).
107
108
PEMBAHASAN UMUM Hasil tinjauan pustaka yang dilakukan, didapatkan bahwa ada 6 model penyelenggaraan makanan anak sekolah yang dilaksanakan. Model penyiapan makanan yang dilakukan di sekolah yang berasal dari sumbangan/bantuan berupa bahan pangan, umumnya diolah sebagai makanan lengkap, tetapi ada juga beberapa sekolah yang memasaknya sebagai makanan selingan atau berupa kue. Hal ini tergantung dari jenis bahan sumbangan yang diperoleh, dan peralatan yang tersedia, serta tenaga yang dapat mengolah jenis makanan (lengkap atau selingan) yang telah dimiliki oleh dapur sekolah. Bahan pangan sumbangan dapat berasal dari satu negara atau organisasi internasional seperti World Food Program (WFP). Bahan pangan yang diberikan sebagai sumbangan akan diolah di dapur sekolah sehingga menjadi makanan yang siap disajikan kepada siswa. Kelemahan model ini adalah fasilitas dapur yang ada termasuk peralatan yang tersedia, dan tenaga penjamah makanan yang ada belum tentu mendukung pengolahan makanan yang akan dilaksanakan. Sumbangan yang diberikan oleh WFP umumnya berupa biskuit yang siap dikonsumsi oleh siswa, bukan berupa bahan pangan (UNESCO 2004). Di beberapa negara ada yang mendapatkan sumbangan berupa bahan pangan untuk diolah di dapur sekolah. Hal ini dimungkinkan karena sekolah sudah mempunyai fasilitas dapur. Pengalaman di negara Jamaika dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah dengan bantuan komoditas pangan dari Amerika Serikat, diolah di dapur terpusat yang didirikan di daerah-daerah perusahaan. Hal ini dilakukan karena perusahaan yang membangun dapur sekolah dan diperuntukkan untuk memasak makan siang bagi siswa yang berada di sekitar perusahaan. Bahan pangan yang diterima oleh Jamaika, yaitu dari Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC) dan Lembaga Perkembangan Internasional Kanada (CIDA). EEC memberikan bantuan berupa minyak, mentega, susu bubuk, dan tepung jagung, dan dari USA berupa tepung terigu, tepung jagung, bulgur, jagung, dan campuran kedelai (soya blend), serta dari CIDA berupa bubuk susu skim. Tenaga partisipasi masyarakat dapat berasal dari Komite Sekolah, atau masyarakat di sekitar sekolah, atau ibu PKK. Tenaga ini dapat bersifat sukarela atau sosial atau dibayar dengan upah/honor yang rendah. Tenaga ini umumnya bekerja part-time, sedangkan tenaga yang bekerja di dapur sekolah adalah full-
109
time. Model ini dapat mempersiapkan dan memasak bahan pangan di sebuah dapur atau beberapa dapur yang berada diluar gedung sekolah. Dapur yang dipergunakan merupakan dapur masyarakat yang bersedia untuk dipergunakan sebagai pengolahan makanan anak sekolah (PCD 2010). Model kupon bawa pulang atau tunai bawa pulang atau bahan pangan bawa pulang dalam jumlah tertentu. Pada model ini makanan tidak dikonsumsi di sekolah, tetapi dibawa pulang ke rumah masing-masing siswa. Dalam hal ini siswa mendapatkan bahan pangan dalam jumlah tertentu atau mendapatkan kupon atau uang tunai yang dapat dipergunakan untuk membeli makanan (UNESCO 2004; Gelli 2010). Negara yang pernah menerapkan model ini adalah Banglades, Laos, Nigeria (PCD 2010). Menurut Perdigon (1989) untuk melayani 1.350 siswa yang tinggal di asrama (boarding school) di Pilipina, jenis menu ditetapkan (fixed menu), jenis pelayanan cafetaria self-service membutuhkan: satu ahli gizi, satu pengawas, satu tenaga penerima bahan makanan, tiga tukang masak, dua pembantu tukang masak, empat pelayan, lima pencuci alat saji, dan empat petugas kebersihan. Model penyelenggaraan makanan yang dilakukan dalam perancangan ini merupakan model sarapan bersama di sekolah. Sarapan dipilih karena umumnya siswa yang berasal dari keluarga miskin mengonsumsi sarapan kurang dari standar yang telah ditentukan dan juga dipilih karena siswa hanya berada di sekolah sampai pukul 13.00. Sarapan yang dipilih dengan menyediakan menu sepinggan karena penyiapan dan pemasakannya lebih mudah, waktunya lebih cepat, penyajiannya lebih sederhana (dapat memakai satu alat saji) serta pencucian alat saji lebih praktis. Pada saat efikasi model, siswa diberikan menu sepinggan yang bahan pangannya bersumber Fe seperti telur, tahu, tempe, dan sayur-sayuran. Daging dan ikan merupakan sumber makanan yang mengandung tinggi besi heme, tetapi dalam efikasi model ini tidak diberikan karena harganya mahal. Tempe dan tahu termasuk kedalam sumber besi non-heme (nabati) karena terbuat dari kedele dan harganya lebih murah. Penyelenggaraan makanan anak sekolah yang siswanya berasal dari keluarga miskin dapat dilakukan dengan baik, yaitu dengan menyediakan makanan lengkap, aman dan membiasakan siswa untuk disiplin menghabiskan makanan yang disajikan. Oleh karena itu, dengan adanya pemberian sarapan menu sepinggan di sekolah dapat memberikan efek yang positif terhadap
110
konsumsi energi dan protein siswa. Peningkatan konsumsi ini dapat juga terjadi karena dipengaruhi oleh faktor psikologi anak. Anak-anak sekolah cenderung lebih suka makan bersama teman-teman sebayanya, dibandingkan dengan makan sendirian di rumahnya. Sekolah dapat melakukan analisis SWOT untuk mengetahui potensi kekuatan dan mengetahui kelemahan yang ada, serta untuk mengetahui ancaman dari dalam dan dari luar, dan untuk mengetahui peluang yang ada bagi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Dari hasil analisis ini sekolah dapat melakukan langkah-langkah untuk mengatasi berbagai kendala, kelemahan, dan ancaman yang timbul sehingga sekolah mampu menjalankan penyelenggaraan pendidikan secara baik dan profesional menurut kemampuan dan kondisi masingmasing (DEPDIKNAS 2007). Analisis SWOT dipergunakan untuk memetakan faktor-faktor internal (kelemahan dan kekurangan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Dari diagram
SWOT
maka
dibuat
strategi-strategi
untuk
penguatan
dan
pengembangan peyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan. Dari strategi jangka pendek dan menengah diperoleh langkah penguatan yang mudah dan dapat segera diterapkan. Langkah tersebut menyangkut sosialisasi, partisipasi, koordinasi, percontohan dan monitoring serta evaluasi yang dapat dilakukan dilingkungan yang terbatas. Pada strategi jangka panjang dibutuhkan intervensi pemerintah dan hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama. Langkah dalam strategi jangka panjang
meliputi
penyelenggaraan
masalah sarapan
legalitas bersama
sebagai menu
payung
sepinggan,
hukum
program
koordinasi
yang
terintegrasi antar departemen, sampai subsidi untuk penyediaan dana sehingga dapat menjamin keberlangsungan (sustainability) program. Dari diagram SWOT dapat juga ditunjukkan dampak positif lainnya dari penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan ini. Disamping Visi, Misi dan Tujuan utama program ini, juga diperoleh pendidikan etika sosial, pendidikan gizi, kebersamaan dan kepedulian sosial, dan lain-lain.
111
112
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Ada 6 model penyiapan penyelenggaraan makanan anak sekolah yang dapat dilaksanakan, yaitu: 1) penyiapan makanan di dalam sekolah dengan asal bahan pangan berupa sumbangan, dengan metode produksi konvensional atau terpusat; 2) penyiapan makanan di dalam sekolah dengan bahan pangan lokal, dengan metode produksi konvensional atau terpusat; 3) penyiapan makanan di dalam sekolah dengan penjual makanan sebagai tenaga penjamah makanan, dengan metode produksi konvensional atau terpusat; 4) penyiapan makanan di luar sekolah dengan partisipasi swasta, dengan metode produksi konvensional atau terpusat; 5) penyiapan makanan di luar sekolah dengan partisipasi masyarakat, dengan metode produksi konvensional atau terpusat dan 6) kupon bawa pulang atau tunai atau makanan dalam jumlah tertentu.
2.
Penyelenggaraan makanan anak sekolah di Indonesia dapat dilaksanakan dengan model penyiapan dilakukan di dalam sekolah atau di luar sekolah, dengan
metode
produksi
konvensional
ataupun
terpusat.
Hal
ini
bergantung pada fasilitas yang ada di sekolah dan sekitar sekolah. Jika ruang makan tidak ada, dapat mempergunakan ruang kelas sebagai ruang makan, dengan memperhatikan ruangan harus bersih, jauh dari tempat pembuangan sampah, dan pembuangan limbah. Tenaga penjamah makanan bisa berasal dari ibu PKK, Komite Sekolah, atau tenaga yang bekerja khusus untuk pelayanan makanan.
3. Perancangan model penyelenggaraan makanan anak sekolah disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah, lingkungan serta sumberdaya yang ada. Rancangan model yang dibentuk adalah sebagai
berikut:
penyiapan
dan
pengolahan
bahan
pangan
mempergunakan dapur di luar sekolah, ruang makan di dalam ruang kelas, pengadaan bahan pangan dilakukan dengan cara pembelian langsung ke pasar tradisional yang letaknya tidak jauh dari lokasi pemasakan. Menu sepinggan yang dimasak disesuaikan dengan biaya yang rendah, jenis peralatan yang dipergunakan sering dipakai untuk mengolah makanan banyak/massal/institusi, tenaga penjamah
113
makanan
biasa
melakukan
pengolahan
makanan
banyak/massal/institusi, dan waktu pengolahan tidak terlalu lama. 4. Model penyelenggaraan makanan anak yang dirancang dapat diterapkan
dengan
baik
sesuai
dengan
syarat-syarat
penyelenggaraan makanan yang ditentukan. Rata-rata kandungan energi sarapan menu sepinggan contoh 439 KKal, 10 gram protein, 266.8 µg RE vitamin A, dan 1.97 mg Fe dengan biaya Rp 3.000/porsi. Konsumsi energi, protein dan Fe contoh meningkat secara nyata sesudah pemberian sarapan menu sepinggan yaitu energi 27.0%, protein 31.3%, vitamin A 42.3%, dan Fe 30.0%. Tingkat kecukupan contoh terhadap energi, protein, vitamin A dan Fe meningkat sesudah pemberian sarapan menu sepinggan. 5. Keberlangsungan model yang dirancang akan berjalan dengan baik jika ada sumber dana. Sumber dana dapat diperoleh dari pemerintah (pusat ataupun daerah), dapat juga dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat),
CSR
(Corporate
Social
Responsibility),
dan
sumbangan-sumbangan dari donatur. Metode SWOT dipergunakan untuk menguatkan model penyelenggaraan sarapan bersama menu sepinggan.
Saran 1. Model pemberian makanan sepinggan sebagai sarapan ini dapat digunakan sebagai pengganti penyediaan makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS) yang pernah dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2. Model ini dapat juga dipergunakan di sekolah yang siswanya berasal dari
keluarga mampu untuk menanggulangi masalah sarapan,
seperti pergi ke sekolah terburu-buru, makan di dalam mobil/bus, tidak lapar, tidak ada yang mempersiapkan makanan, tidak suka dengan makanan yang disediakan di rumah, dan tidak mempunyai nafsu makan. Ada pun untuk keberlangsung-annya dilakukan dengan cara pendanaan sebagai berikut: a) untuk siswa yang berasal dari keluarga sangat mampu dapat membayar lebih dari harga jual
114
makanan; b) jika siswa berasal dari keluarga mampu, maka membayar penuh harga jual makanan; c) untuk siswa yang berasal dari keluarga menengah, maka membayar setengah dari harga jual makanan dan sisanya dibayar oleh pemerintah, dan d) bila siswa berasal dari keluarga miskin, maka pemerintah yang akan membayar secara penuh. 3. Model ini masih perlu dikuatkan dengan mengadakan penelitian tentang keragaman bahan pangan lokal yang dimiliki oleh masingmasing daerah (tipikal agro-ekologi), memperhatikan perbedaan budaya,
perbedaan
kebiasaan
makan,
perbedaan
wilayah
(pesisir/pantai, pegunungan, dan lain-lain). 4. Dalam
Penyelenggaraan
Sarapan
Menu
Sepinggan
selain
memberikan pendidikan tentang gizi juga memberikan pendidikan etika yang dapat membentuk karakter siswa. Untuk itu diperlukan partisipasi dari guru-guru, terutama guru kelas dan guru UKS/PenJas dalam pengawasan kegiatannya. 5. Partisipasi orang tua siswa ataupun masyarakat di sekitar sekolah melalui
Komite
Sekolah
sangat
diharapkan
dalam
kegiatan
Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan ini, mulai dari pembelian bahan pangan dan pengawasan pelaksanaannya, sehingga dapat meningkatkan hubungan antara Orang tua siswa, Guru, Masyarakat sekitar sekolah dan Siswa. 6. Untuk perhitungan biaya dalam penyelenggaraan makanan anak sekolah, khususnya biaya yang dipergunakan sebagai investasi untuk membangun
dapur
dapat
dilihat
pada
lampiran
16;
desain
pembangunan dapur sekolah dapat dilihat pada lampiran 17, dan biaya pembelian peralatan yang dibutuhkan dapat dilihat pada lampiran 18.
115
DAFTAR PUSTAKA Ahmed AU. 2004. Impact of Feeding Children in School: Evidence From Bangladesh. International Food Policy Research Institute/IFPRI, Washington D.C. USA. Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Chang SM et al. 1996. Effects of Breakfast on Classroom Behavior in Rural Jamaican School-children. Food and Nutrition Bulletin 17:248-257. Chitra U and Reddy CR. 2005. The Role of Breakfast in Nutrient Intake of Urban Schoolchildren. Public Health Nutrition 10(1): 55-58. Cueto S and Chinen M. 2008. Educational Impact of a School Breakfast Programme in Rural Peru. International Journal of Educational Development 28 : 132-148. Del Rosso JM. 1999. School Feeding Programs : Improving effectiveness and increasing the benefit to education. Oxford: University of Oxford. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman Umum Gizi seimbang. http://www.gizi.depkes.co.id/ [10 Februari 2012]. ________. 2006. Kumpulan Modul Kursus Hygiene Sanitasi Makanan & Minuman. Jakarta: Depkes. ________. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007. Departemen Kesehatan RI. ________. 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007: Provinsi Jawa Barat. www.depkes.go.id [ 10 Februari 2011]. ________. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Jakarta: Depkes. Dwinanda. 2011. Mengejar Kecukupan Nutrisi http://www.republika.co.id [10 Februari 2011].
Anak
sekolah.
Erwin LT. 2011. Hidangan Sepinggan Istimewa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Florencio CA. 2001. Developments and Variations in School-Based Feeding Programs Around the World. Nutrition Today 36:29-36. Gelli A. 2010. Food Provision in School in Low and Middle Income Countries: Developing an Evidence Based Programme Framework. PCD working paper n 215.
116
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. Oxford: Oxford Press. Gregoire MB & Spears MC. 2007. Foodservice Organizations: A Managerial and Systems Approach 6th ed. New Jersey: Pearson Education. Hardinsyah dan Martianto D. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Bogor: Wirasari Jakarta. ________ dan Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, FAPERTA IPB. ________ dan Tambunan V. 2004. Angka Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 17-19 Mei. Jakarta: Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI). Hardinsyah. 2012. Breakfast in Indonesia pada symposium healthy breakfast [makalah]. 16 Juni 2012. Jakarta. Khan MA. 1989. Food Service Operation. New York: Van Nostrand Reinhold Company Inc. Khomsan A. 2005. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan cetakan ke-2. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. [Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri RI. 2010. Pedoman Umum Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) melalui Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta. [Kemendiknas] Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Petunjuk Teknis Pengolahan Kudapan Nusantara dalam PMT-AS. Jakarta. Departement Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar. 2007. Panduan Penyelenggaraan Sekolah Standard Nasional Untuk Sekolah Dasar. Jakarta. Jacoby and Pollitt. 1996. Benefits of A School Breakfast Programme among Andean Children in Huaraz, Peru. Food and Nutrition Bulletin 17 (1): 54-64. Judhiastuty F. 2005. Nutrition Education: It has Never been An Easy Case for Indonesia. Food Nutrition Bulletin 26;(2 suppl.2):S267-S274. Kinton R and Ceserani V. 1989. The Theory of Catering Sixth Edition. Great Britain: English Language Book Society (ELBS).
117
Kustiyah L. 2004. Kajian pengaruh intervensi makanan kudapan terhadap perubahan kadar glukosa darah dan daya ingat anak sekolah dasar [disertasi]. Bogor: Program Pascasrjana IPB. Meyers AF et al. 1989. School Breakfast Program and School Performance. The American Journal of Diseases Of Children 143 :1234–1239. Moehyi S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta: Bhatara. Muhilal H dan Sulaeman A. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 17-19 Mei. Jakarta: Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI). _________ . 1998. Program Makanan Tambahan Anak Sekolah di Negara Lain dan di Indonesia. Gizi Indonesia 23: 1-9. Mukri NA dkk. 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat Bekerjasama dengan Akademi Gizi Departemen Kesehatan RI. Nurdiani R. 2011. Analisis penyelenggaraan makan di sekolah dan kualitas menu bagi siswa sekolah dasar di Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineke Cipta. Pannell-Martin D. 1999. School Foodservice Management for the 21st Century. Fifth Edition. Virginia: InTEAM Associates, Inc. Palacio JP and Theis M. 2009. Introduction to Foodservice. Eleventh Edition. New Jersey: Columbus, Ohio. Pearson, Prentice Hall. [PCD] The Partnership for Child Development. 1999. School Feeding Programs: Improving effectiveness and increasing the benefit to education. A Guide for Program Managers. Oxford, UK. University of Oxford. Perdigon GP. 1989. Foodservice Management in The Philippines. Diliman: U.P. College of Home Economics. Powell CA et al. 1998. Nutrition and education: A randomized trial of the effects of breakfast in rural primary school children. Am J Clin Nutr 68: 873-9. Rampersaud GC, Pereira MA, Girard BL, Adams J, and Metzl JD. 2005. Breakfast habits, nutritional status, body weight, and academic performance in children and adolescents. J Am Diet Assoc 105 (5): 743-60. Riyadi, DMM. 2006. PMT-AS dan peningkatan kualitas SDM dalam perspektif IPM pada rapat koordinasi teknis program PMT-AS [makalah]. 19 September 2006. Jakarta.
118
Riyadi H. 1995. Prinsip Penilaian Status Gizi. Bogor: Departemen Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor. [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2010. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes Republik Indonesia Roosita E. 11 Okt 2007. Menanamkan Nilai Lewat Makan Siang. Kompas: 12 (kolom 1-4). Salimar dkk. 2010. Laporan Analisis Lanjut Data Riskesdas 2010: Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Usia Sekolah (6-12 tahun) di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Sinaga T . 2 Maret 2009. Makan di Sekolah dari APBN/APBD. Kompas: 6 (kolom 1-4). _______. 2007. Manfaat Makan di Sekolah. Diktat Pelatihan Gizi untuk Anak Sekolah (11-13 Desember 2007) Jakarta: Yayasan Kuliner Jakarta. _______. 1995. Feasibility Study dalam Foodservice Management. Pendidikan Ahli Madya Gizi. Malang. Simeon. 1998. School Feeding in Jamaica: A Review of Its Evaluation. Am J Clin Nutr, 67(4): 790S-794S Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Soekirman dkk. 2006. Hidup Sehat Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Primamedia Pustaka. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. _______ dan Kusharto CM. 1989. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut pertanian Bogor (PAU-IPB). _______. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara. Sullivan C. 1989. Medical Foodservice. New York: Van Nostrand Reinhold Company Inc. Supariasa DN, Bakri B dan Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
119
Supranto J. 1997. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan dengan Analisis SWOT. Jakarta: Rineka Cipta. Studdert L & Soekirman. 1998. School feeding in Indonesia: A Community based Programme for Child, School and Community Development. SCN News 16 : 15-16. Syarief H. 1997. Membangun Sumber Daya Manusia Berkualitas : Suatu Telaah Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Orasi Ilmiah pada Pengukuhan Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor : Institut Pertanian Bogor. [UNDP] United Nations Development Programme. 2011. Human development index. http://hdrstats.undp.org/en/countries/profiles/IDN.html. [1 Februari 2012]. [UNESCO]. 2004. Guidelines to Develop and Implement School Feeding Programmes that Improve Education. FRESH Tools for Effective School http://toolkit.ineesite.org/toolkit/INEEcms/uploads/1072/Guidelines_to_Develop_a nd_Implement_Feeding.pdf [10 mei 2012]
[WFP] Home Grown School Feeding Project. 2007. http://documents.wfp.org/stellent/groups/public/documents/newsroom/wfp207421 .pdf [10 mei 2012] Winch R. 2009. School Feeding: Country Experience from Mali, Chile, and India http://foodaid.org/news/wpcontent/uploads/2011/01/Rachel_Winch_International_Approaches_to_Sc hool_Feeding.pdf [18 Februari 2012]. Wirakusuma ES, H Santoso, D Roedjito, dan Retnaningsih. 1989. Manajemen Gizi Institusi. Diktat. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Faperta IPB. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. 1998. Pangan dan Gizi Masa Depan: Meningkatkan Produktifitas dan Daya Saing Bangsa. Prosiding, Jakarta: LIPI. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding. Jakarta: LIPI. Yang, Yi-Nung. 2006. Declining Rice Consumption and the School Lunch Programs in Taiwan. Taiwan: Chung Yun Christian University.
120
LAMPIRAN
121
122 102
Lampiran 1 Persetujuan Etik (Ethical Clearance)
122
123
Lampiran 2 Analisis uji beda konsumsi dan tingkat kecukupan contoh selama pemberian makanan sepinggan di SDN Kebon Kopi 2 Bogor (Dependent sampleT-test )
Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference
Std. Error Mean
Std. Deviation
Mean
Lower
Upper
t
df
Sig. (2-tailed)
KonsE_sblm - KonsE_stlh
-410.0
358.877
45.577
-501.140
-318.864
-8.996
61
.000
KonsP_sblm - KonsP_stlh
-12.153
9.910
1.259
-14.670
-9.636
-9.656
61
.000
-4.740
3.357
.426
-5.593
-3.888
-11.119
61
.000
KonsVitA_sblm - KonsVitA_stlh
-99.067
111.470
14.157
-127.375
-70.758
-6.998
61
.000
TKE_sblm - TKE_stlh
-27.016
35.310
4.484
-35.983
-18.049
-6.025
61
.000
TKP_sblm - TKP_stlh
-31.265
37.954
4.820
-40.903
-21.626
-6.486
61
.000
TKFe_sblm - TKFe_stlh
-29.974
28.927
3.674
-37.320
-22.628
-8.159
61
.000
42.298
25.729
3.268
-48.832
-35.764
-12.945
61
.000
KonsFe_sblm - KonsFe_stlh
TKVitA_sblm - TKVitA_stlh
123
124
Lampiran 3 Perbedaan Komponen dalam Penyelenggaraan Makanan di Setiap Sekolah Unsur dalam PM
Yayasan Islam Cibitung
Sekolah Marsudirini
SAB
SDIT Insantama
On-site/central production
On-site/central production
On-site/ conventional
Off-site/ conventional
Manager catering & staff
Manager catering & orangtua Rekanan dan pasar tradisional Ada
SDN 1 Malangsari On-site/central production Buku kumpulan menu kudapan PMT-AS tahun 2011
1.
Tempat/sistem produksi
2.
Perencanaan menu
Ahli gizi
Manager penyelenggaraan makanan/Suster
3.
Pembelian melalui
Rekanan
Rekanan
4.
Penerimaan bahan pangan
Ada
Ada
Rekanan dan pasar tradisional Ada
5.
Penyimpanan bahan pangan
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
1.
Pengeluaran bahan pangan
Ada
Ada
Ada tetapi terbatas
Ada tetapi terbatas
Ada
2.
Penyiapan bahan pangan
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
3.
Pemasakan
Ada
Ada
Ada
Ada
4.
Penyajian/pemorsian
Cafetaria/self-service
Cafetaria dilayani
5.
Pendistribusian
Desentralisasi
Desentralisasi
Ada Prasmanan dan rantangan Desentralisasi/ sentralisasi
6.
Pencucian alat makan
Siswa + Petugas
7.
Biaya
Siswa Rp. 5.000,00 (SD) Rp. 7.500,00 (SMP,SMA) Rp. 2.000,00 (snack)
8. 9.
Waktu belanja Waktu Penyiapan dan pengolahan
10. Waktu makan siang/snack 11. Fasilitas ruang makan/di 12. Tempat pencucian alat makan 13. Tempat pencucian alat masak 14. Silkus menu
Tidak dapat informasi secara rinci (rahasia)
Prasmanan
Siswa Rp. 5.500,00 (TK) Rp. 6.000,00 (SD) Rp. 6.500,00 (pegawai)
Petugas catering Rp. 6.000,00 (SD kelas 1-3) Rp. 6.500,00 (SD kelas 4-6) Rp. 7.000,00 (SMP)
Petugas pemasak Biaya dari pemerintah, yaitu Rp 2.500,00/anak/hari Sehari sebelum diolah 14.00-17.30 hari sebelumnya/05.00-09.00 09.00 (kelas 1-2) 09.30 (kelas 3-6)
04.00 – 06.00
02.30 – 05.00
07.00-10.45/11.00-14.00
07.00-11.00/11.00-14.00
07.00-10.45
05.00-10.30
11.00-12.00/14.30-15.00
11.30-12.30/14.30-15.00
12.00-13.00
11.30-12.30/15.00
Di kelas masing-masing
Di kelas masing-masing
20 – 22 hari
20 hari
Dilayani Sentralisasi
Sehari sebelum diolah
Ada dengan kapasitas 250 orang /1 kali pelayanan Cukup Cukup
Tidak ada
Desentralisasi/sentralisasi
Sehari sebelum diolah
Ada dengan kapasitas 150 orang/1 kali pelayanan Cukup Cukup
Pasar tradisional
Di kelas masing-masing
Cukup Cukup
Cukup Cukup
Tidak ada Cukup
20 – 22 hari
20 – 22 hari
12 hari
124 6
125
Lampiran 4 Nilai Higiene & Sanitasi Model off-site prepared meal community sector participation with conventional production UJI KELAIKAN FISIK UNTUK HIGIENE SANITASI MAKANAN di SDN KEBON KOPI 2 BOGOR Nama pengusaha : Bu Sastra. Alamat perusahaan Nama pemeriksa : Tiurma Sinaga Tanggal penilaian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
: Kebon Kopi 2 Bogor. : 2 Mei 2011. URAIAN
LOKASI, BANGUNAN, FASILITAS Halaman bersih, rapi, tidak becek, dan berjarak sedikit-nya 500 meter dari sarang lalat/tempat pembuangan sampah, serta tidak tercium bau busuk atau tidak sedap yang berasal dari sumber pencemaran. Konstruksi bangunan kuat, aman, terpelihara, bersih dan bebas dari barang- barang yang tidak berguna atau barang sisa. Lantai kedap air, rata, tidak licin, tidak retak, terpelihara dan mudah dibersihkan. Dinding dan langit-langit dibuat dengan baik, terpelihara dan bebas dari debu (sarang laba-laba) Bagian dinding yang kena percikan air dilapisi bahan kedap air setinggi 2 (dua) meter dari lantai Pintu dan jendela dibuat dengan baik dan kuat. Pintu dibuat menutup sendiri, membuka kedua arah dan dipasang alat penahan lalat dan bau. Pintu dapur membuka ke arah luar. PENCAHAYAAN Pencahayaan sesuai dengan kebutuhan dan tidak menimbulkan bayangan. Kuat cahaya sedikitnya 10 fc pada bidang kerja. PENGHAWAAN Ruang kerja maupun peralatan dilengkapi ventilasi yang baik sehingga terjadi sirkulasi udara dan tidak pengap. AIR BERSIH Sumber air bersih aman, jumlah cukup dan bertekanan AIR KOTOR Pembuangan air limbah dari dapur, kamar mandi, WC dan saluran air hujan lancar, baik dan tidak menggenang. FASILITAS CUCI TANGAN DAN TOILET Jumlah cukup, tersedia sabun, nyaman dipakai dan mudah dibersihkan. PEMBUANGAN SAMPAH Tersedia tempat sampah yang cukup, bertutup, anti lalat, kecoa, tikus dan dilapisi kantong plastik yang selalu diangkat setiap kali penuh. RUANG PENGOLAHAN MAKANAN Tersedia luas lantai yang cukup untuk pekerja pada bangunan, dan terpisah dengan tempat tidur atau tempat mencuci pakaian Ruangan bersih dari barang yang tidak berguna. (barang tersebut disimpan rapi di gudang)
BOBOT
X
1
1
1 1 1 1
1 1 1 0
1
0
1
1
1
1
5
5
1
1
3
2
2
1
1
1
1
1
125 37
126
Lampiran 5 (Lanjutan ) Nilai Higiene & Sanitasi Model off-site prepared meal community sector participation with conventional production No. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
URAIAN K A R Y A W AN Semua karyawan yang bekerja bebas dari penyakit menular, seperti penyakit kulit, bisul, luka terbuka dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Tangan selalu dicuci bersih,kuku dipotong pendek, bebas kosmetik dan perilaku yang higienis. Pakaian kerja, dalam keadaan bersih, rambut pendek dan tubuh bebas perhiasan. MAKANAN Sumber makanan, keutuhan dan tidak rusak. Bahan makanan terolah dalam kemasan asli, terdaftar, berlabel dan tidak kadaluwarsa. PERLINDUNGAN MAKANAN Penanganan makanan yang potensi berbahaya pada suhu, cara dan waktu yang memadai selama penyimpanan peracikan, penyiapan penyajian dan pengangkutan makanan serta melunakkan makanan beku sebelum dimasak (thawing). Penanganan makanan yang potensial berbahaya karena tidak ditutup atau disajikan ulang. PERALATAN MAKAN DAN MASAK Perlindungan terhadap peralatan makan dan masak dalam cara pembersihan, penyimpanan, penggunaan dan pemeliharaan-nya. Alat makan dan masak yang sekali pakai tidak dipakai ulang. Proses pencucian melalui tahapan mulai dari pembersihan sisa makanan, perendaman, pencucian dan pembilasan. Bahan racun / pestisida disimpan tersendiri di tempat yang aman, terlindung, menggunakan label / tanda yang jelas untuk digunakan. Perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan peliharaan dan hewan pengganggu lainnya. JUMLAH
27. 28.
KHUSUS GOLONGAN A.1 Ruang pengolahan makanan tidak dipakai sebagai ruang tidur. Tersedia 1 (satu) buah lemari es (kulkas) JUMLAH
BOBOT
X
5
5
5 1
5 1
5 1
5 1
5
5
4
4
2
2
2 5
2 4
5
5
4
4
65
60
1 4
1 4
70
65
127
127
Lampiran 6 Gambar Penyelenggaraan Makanan di Clinton Elementary School dan Southwest High School Nebraska USA
Dapur (Finishing kitchen)
126 38
R. Makan Elementary School
Lunch Menu di ES
R. Makan High School
Meja counter
Dishwashing machine di HS
127 39
128
Lampiran 7
Gambar Penyelenggaraan Makanan di Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi
Penyimpanan Bahan Pangan
Penyiapan bahan pangan
Pemasakan
Pemorsian
Pendistribusian
Penyajian
Saat makan di kelas
Ruang makan
Penyediaan air minum
Pencucian alat makan
Pencucian alat makan di ruang makan
Rak piring di dalam kelas
129
Rak piring di ruang makan
Alat saji kotor
Pencucian alat masak
130
Lampiran 8
Gambar Penyiapan, Pemasakan, Penyajian dan Pencucian Alat di Sekolah Marsudirini, Parung Bogor
Ruang Penyiapan
Ruang Pemasakan
Ruang Pemasakan
Pencucian alat masak
Ruang Penyajian
Saat pemorsian
R
128 40
uang Makan
Te Tempat cuci tangan
mpat mencuci alat makan
129 41
131
Lampiran 9
Gambar Penyimpanan, Pemasakan, Pendistribusian, Penyajian dan Penyimpanan Alat di SAB, Bogor
Penyimpanan pangan basah
Penyimpanan pangan kering
Pemasakan
Pemorsian
Penyajian untuk satu porsi
Penyajian untuk beberapa porsi
Ruang makan di kelas Makanan siap didistribusikan
Temp at penyimpanan alat bersih
132
Lampiran 10 Gambar Penyimpanan, Pemasakan, Pendistribusian, Penyajian dan Penyimpanan Alat di SD IT Insantama Bogor
130 42
Tempat pemasakan
Penyimpanan peralatan
Pemorsian dalam jumlah besar
Makanan siap didistribusikan
Pelayanan makanan
Penyajian 1 porsi
Snack yang siap disajikan
Makan di ruang kelas
Makan di ruang kelas
131 43
133
Lampiran 11 Gambar Penyiapan, Pemasakan, Penyajian dan Suasana Makan Kudapan PMT-AS di SDN 1 Malangsari Cipanas
Penyimpanan Bahan Pangan
Pemasakan
Penyiapan Bahan Pangan
Penyiapan Bahan Pangan
Pemasakan
Penyajian
Fasilita s Mencuci Tangan Dapur
Saat makan di Ruang Kelas
134
Lampiran 12 Gambar Alur Pemilihan Penjamah Makanan
Masyarakat Sekitar Sekolah
Bersih Diri
PENYELENGGA RAAN MAKANAN Bersih Lingkungan ANAK SEKOLAHBersih Dapur Lampiran
13
Gambar Alur Pembelian Bahan Pangan
Spesifikasi Bahan Pangan
Pasar Terdekat
Beli Sesuai Spesifikasi
135
Lampiran 14 Gambar Alur Pendidikan Gizi melalui Makanan di Sekolah
Makanan dibagikan
Makanan siap dikonsumsi
Guru memberikan penjelasan manfaat makanan yang dihidangkan
Makanan tidak habis dikonsumsi
Siswa menghabiskan makanan
Bimbingan indiviu oleh guru untuk menghabiskan makanan
Siswa siap mencuci alat saji
136
Lampiran
15
Gambar Alur Perencanaan Menu
Siswa
Preferensi Makan Siswa
Menu Siswa
Konsultasikan Ke TPG
Konsultasikan Ke Penjamah Makanan
Pelaksanaan
146
137
Lampiran 16 Prosedur Penyelenggaraan Sarapan Menu Sepinggan di SDN Kebon Kopi 2 Bogor
Masyarakat sekitar Sekolah/ Penjamah Makanan
Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) Puskesmas
Kepala Sekolah
Guru UKSGuru UKS
Perencanaan Menu “Siklus 6 Hari”Perencanaan Menu “Siklus 6 Hari” Pasar
Guru Wali KelasGuru Wali Kelas
Pembelian Bahan Pangan
Rumah Penjamah
Makanan
Penyiapan Bahan Pangan
Pemasakan Bahan Pangan Pemasakan Bahan Pangan Pemorsian Makanan
Pukul 08.00 box kosong bersih dibawa siswa
Pukul 06.50 box isi menu sepinggan dibawa siswa
Siswa Kelas5Siswa Kelas-5 Siswa Kelas6Siswa Kelas-6
Tempat Ambil Wudhu
Penyiapan Makan Pagi di masing2 kelas: - Siswa mengantri cuci tangan - Siswa mengambil kotak makanan - Siswa diberi Pendidikan Gizi dg menyanyi (“Cuci Tangan Sebelum Makan”, “ Kurang Vitamin-A”) - Siswa berdoa bersama - Siswa makan bersama - Siswa mencuci alat saji dan mengeringkannya - Siswa mengumpulkan alat saji ke kontainer / box plastik besar - Siswa mengisi questioner - Siswa mengembalikan kontainer ke rumah pemasak
135
Penyiapan Pengiriman MakananPenyiapan Pengiriman Makanan
Kelas SekolahKelas Sekolah
138
Lampiran 17 Perhitungan Biaya Pembangunan Dapur Sekolah
137
139
Lampiran 18 Desain Pembangunan Dapur Sekolah
137
140
Lampiran 19 Perhitungan Biaya Pengadaan Alat Masak dan Alat Saji No
Alat Masak dan Alat Saji
Harga Satuan
Jumlah Harga
1.
Wajan besar
Rp 100.000,00 x 2
Rp
200.000,00
2.
Wajan kecil
Rp 25.000,00 x 2
Rp
50.000,00
3.
Panci besar
Rp 100.000,00 x 2
Rp
200.000,00
4.
Panci kecil
Rp 25.000,00 x 2
Rp
50.000,00
5.
Baskom plastik besar
Rp 15.000,00 x 4
Rp
60.000,00
6.
Boks makan plastik
Rp 9.500,00 x 180
Rp 1.710.000,00
7.
Sendok stainless-steel
Rp 1.500,00 x 180
Rp
270.000,00
8.
Dandang + Kukusan
Rp 350.000,00
Rp
350.000, 00
Total Harga
Rp 2.890.000,00