ANALISIS MODEL SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN DAN KUALITAS MENU MAKAN SIANG DI SEKOLAH DASAR
PUTRI RONITAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Model Sistem Penyelenggaraan Makanan dan Kualitas Menu Makan Siang Di Sekolah Dasar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2016 Putri Ronitawati NIM I151120101
RINGKASAN PUTRI RONITAWATI. Analisis Model Sistem Penyelenggaraan Makanan dan Kualitas Menu Makan Siang Di Sekolah Dasar. Dibimbing oleh BUDI SETIAWAN dan TIURMA SINAGA. Progam pemberian makanan di sekolah dilakukan untuk mengatasi kelaparan jangka pendek, serta menjadi salah satu tujuan dari MDGs di tahun 2015 dalam rangka menurunkan kemiskinan menjadi separuhnya (Rosso et al. 2009). Berbagai penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa pemberian makanan di sekolah dapat meningkatkan prestasi akademik, perbaikan status gizi, kehadiran siswa meningkat, serta kualitas konsumsi pangan yang lebih baik (Acham et al. 2012; Nkhoma et al. 2013; Uwameiye 2013; Nurdiani 2011). Progam penyelenggaraan makanan di sekolah diharapkan dapat meningkatkan promosi kesehatan. Anak-anak dapat menerapkan konsumsi makanan yang sehat dan menerapkan kebiasaan makan yang baik di dalam keluarga melalui pemberian makanan di sekolah dan pendidikan gizi yang diberikan. Peran seorang ahli gizi dalam suatu kegiatan penyelenggaraan makanan menjadi penting dalam hal tersedianya makanan di sekolah yang disertai oleh adanya pendidikan gizi (Ishida H 2015; Woo 2015). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis model sistem penyelenggaraan makanan dan kualitas menu makan siang di sekolah dasar. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis perbedaan input, proses dan output dalam penyelenggaraan makanan di sekolah dasar dengan model on-site dan off-site, (2) menganalisis perbedaan kualitas menu makan siang, tingkat kesukaan dan daya terima siswa (output) yang disajikan oleh katering sekolah di sekolah dasar dengan model on-site dan off-site, (3) menganalisis perbedaan tingkat kecukupan dan status gizi siswa di sekolah dasar dengan model on-site dan off-site Desain penelitian ini menggunakan cross sectional study yang dilaksanakan di Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi, yaitu sekolah dengan penyelenggaraan makanan yang tempat produksi dilaksanakan di dalam lingkungan sekolah dan mempekerjakan ahli gizi, dan SDIT Al Hidayah Cibinong Bogor yaitu sekolah dengan penyelenggaraan makanan yang tempat produksi makanan dilaksanakan di luar lingkungan sekolah (disediakan oleh katering dengan sistem outsourcing). Pemilihan sekolah yang menjadi lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan sekolah dengan penyelenggaraan makanan dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2015. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer meliputi karateristik subjek, tingkat kesukaan subjek, daya terima subjek, konsumsi pangan, dan manajemen sistem penyelenggaraan makanan yang diperoleh melalui wawancara secara langsung, kuesioner dan observasi. Data sekunder meliputi karateristik sekolah yang ditelusuri melalui situs resmi SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah. Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS for Windows versi 22.0. Analisis deskriptif menggambarkan sebaran variabel yang diteliti berdasarkan persen dan rataan. Analisis uji t-test digunakan untuk menganalisis perbedaan tingkat kecukupan dan status gizi pada kedua sekolah dasar tersebut.
Berdasarkan fasilitas yang ada di sekolah dan lingkungan yang berada di sekitar sekolah, kantin SDI Al Muslim merupakan model penyiapan makanan yang bahan pangannya diperoleh dari pasar di sekitar sekolah, memiliki lahan dapur, fasilitas dapur sekolah, adanya tenaga penjamah makanan sendiri, dapat menyajikan makanan secara lengkap dan berasal dari keluarga mampu. Katering Dawiyah merupakan model penyelenggaraan makanan yang dilakukan di luar sekolah dan tenaga penjamah makanan yang berasal dari katering. Kantin Al Muslim sudah memenuhi standar/persyaratan yang ditentukan yaitu 1) ketenagaan yang memadai dan adanya ahli gizi dalam membuat perencanaan menu berdasarkan umur, dan jenis kelamin siswa, 2) sudah memadainya fasilitas, 3) baiknya higiene dan sanitasi pengolahan dan karyawan, 4) adanya pengetahuan karyawan mengenai peraturan/ ketentuan usaha jasa boga, 5) cara penyajian yang efisien. Katering Dawiyah belum memenuhi standar/persyaratan yang ditentukan yaitu 1) ketenagaan yang belum memadai dan belum adanya ahli gizi, 2) sudah memadainya fasilitas walaupun fasilitas rumah tangga, 3) higiene dan sanitasi pengolahan dan karyawan yang masih rendah, 4) kurangnya pengetahuan karyawan mengenai peraturan/ ketentuan usaha jasa boga, 5) cara penyajian yang efisien tetapi tidak memperhatikan sanitasi makanan. Input, proses dan output penyelenggaraan makanan di SDI Al Muslim lebih baik dibandingkan dengan di SDIT Al Hidayah. Kualitas menu makan siang di SDI Al Muslim lebih baik dibandingkan dengan SDIT Al Hidayah berdasarkan kandungan zat gizi, keanekaragaman makanan dan standar porsi makanan yang diberikan. Tingkat kesukaan menu makan siang pada gambar 4 di SDI Al Muslim berturut-turut adalah nasi (95.30%), lauk hewani (95.30%), lauk nabati (90.70%), sayuran (86.0%) dan buah (88.40%). SDIT Al Hidayah memiliki tingkat kesukaan yang lebih rendah pada nasi (95.20%), lauk hewani (92.90%), lauk nabati (92.90%), sayuran (80.90%) dan buah (88.30%). Daya terima terhadap menu makan siang di SDI Al Muslim berturut-turut adalah nasi (86.00%), lauk hewani (79.10%), lauk nabati (67.40%), sayuran (58.10%) dan buah (60.50%). SDIT Al Hidayah memiliki daya terima terhadap menu makan siang yang lebih tinggi pada nasi (78.60%), lauk hewani (80.90%), lauk nabati (78.60%), sayuran (66.70%) dan buah (78.60%). Daya terima siswa terhadap sayur dan buah di kedua sekolah masih rendah dan berbanding terbalik terhadap tingkat kesukaan siswa. Adanya perbedaan pada tingkat kecukupan protein, kalsium dan zat besi di kedua sekolah. Tingkat kecukupan protein, kalsium dan zat besi siswa SDIT Al Hidayah lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan SDI Al Muslim. Status gizi di SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah tidak memiliki perbedaan yang signifikan (p>0.05). Status gizi siswa Al Muslim berdasarkan IMT/U (WHO 2007) termasuk dalam kategori gemuk (23.2%) dan kategori obesitas (16.3%). Siswa Al Hidayah yang termasuk dalam kategori gemuk (28.6%) dan kategori obesitas (26.2%). Perlu adanya ahli gizi atau konsultan gizi dalam penentuan standar menu pada saat perencanaan menu yang disertai dengan pendidikan gizi bagi para siswa pada saat makan dan juga di dalam kelas di SDIT Al Hidayah. Peran ahli gizi di SDI Al Muslim terutama dalam hal pendidikan gizi perlu ditingkatkan kembali dalam hal penyuluhan secara rutin baik pada saat makan maupun di dalam kelas. Kata kunci: anak sekolah, kualitas menu, penyelenggaraan makanan
SUMMARY PUTRI RONITAWATI. Model Analysis of Food Service System and Quality of Lunch Menu in Elementary Schools. Supervised by Budi Setiawan and Tiurma Sinaga. School feeding progam is done to address short-term hunger, as well as being one of the goals of the MDGs in 2015 in order to reduce poverty by half (Rosso et al. 2009). Various studies in several countries show that school feeding can increase academic achievement, improvement of nutritional status, school attendance, and the quality of food consumption are better (Acham et al. 2012; Nkhoma et al. 2013; Uwameiye 2013; Nurdiani 2011). The implementation of a school feeding progam is expected to improve health promotion. Children can implement healthy food consumption and implement good eating habits in the family through school feeding and nutrition education provided. The role of a nutritionist in an activity holding food to be important in terms of the availability of food in schools accompanied by their nutritional education (Ishida H 2015; Woo T 2015). The aims of this study was to analyze the model of food service system and quality of menu in primary schools. The specific objectives in this study were to (1) analyze the differences of input, process and output in the food administration at elementary schools with on-site and off-site model, (2) analyze the differences of quality lunch menu, in students at elementary schools with inside and outside model, (3) analyze the differences of adequacy and nutritional status, that is served by the catering school at elementary schools with inside and outside model. This study was using cross-sectional design, which have two areas of study. Firstly, Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi that is one of school which have done implementation of food production sites and has hired nutritionists to manage their food production at school, and secondly, SDIT Al Hidayah Cibinong Bogor, the school which have done implementation of food production in outside of school (provided by catering to the outsourcing system). The selection of schools in this study used purposive sampling with the consideration of school, that was providing food service at school and willing to participate in this study. The study was conducted from May to August 2015. Data was collected include primary and secondary data. Primary data included characteristics of the subject, the level of preference subject, the subject received power, food consumption, and system of food service management obtained through direct interviews, questionnaires and observations. Secondary data include school characteristics traced through the official website of Al Muslim SDI and SDIT Al Hidayah. Statistical analyzes were performed using SPSS for Windows version 22.0. Descriptive analysis was used to describes the distribution of the variables studied by percent and the average. Analysis t-test was used to analyze differences in adequacy and nutritional status at both the elementary school. Based on the existing facilities at the school and the environment around school, SDI Al Muslim canteen is a model of food preparation in school which contained its ingedients from the market around the school. Schools with this model has a kitchen area, kitchen facilities, food handlers, can represent a complete food and comes from a wealthy family. Catering Dawiyah is a model of
organizing the food is done outside of school and force food handlers who came from catering. Al Muslims canteen is already meet the standards / requirements specified namely 1) The complete human resourcest, Nutrisionist can planning the menu in considering the numbers nutritional needs correctly based on the age and sex of the student, 2) has insufficient facilities, 3) good hygiene and sanitary processing and employees, 4) the employee's knowledge of the rules / regulations catering business, 5) presenting an efficient manner. Catering Dawiyah not meet the standards / requirements specified and has the disadvantage that 1) Human Resourches inadequate and lack a nutritionist so that in planning the menu yet the figures nutrient requirements correctly based on the age and sex of the student, 2) has insufficient facilities although facilities household, 3) sanitation and hygiene processing and the employees were still low, 4) lack of knowledge of employees about the rules / regulations catering business, 5) presenting an efficient manner but did not pay attention to food sanitation. Input, process and output on the SDI implementation Al Muslim food is better than in SDIT Al Hidayah. The quality of the lunch menu at SDI Al Muslim is better than SDIT Al Hidayah is based on the content of nutrients, food variety and standard servings of food given. A lunch menu level in figure 4 SDI Al Muslim row are rice (95.30%), meat of animal origin (95.30%), vegetable side dishes (90.70%), vegetables (86.0%) and fruits (88.40%). SDIT Al Hidayah has a lower preference level in rice (95.20%), meat of animal origin (92.90%), vegetable side dishes (92.90%), vegetables (80.90%) and fruits (88.30%). Power received on the lunch menu at Al Muslim SDI row are rice (86.00%), meat of animal origin (79.10%), vegetable side dishes (67.40%), vegetables (58.10%) and fruits (60.50%). SDIT Al Hidayah has power thanks to the lunch menu were higher in rice (78.60%), meat of animal origin (80.90%), vegetable side dishes (78.60%), vegetables (66.70%) and fruits (78.60%). Receptivity of students to vegetables and fruits at both schools is still low and is inversely proportional to the level of the student's favorite. Differences in the level of adequacy of protein, calcium and iron in both schools. Sufficient levels of protein, calcium and iron students SDIT Al Hidayah higher (P <0.05) compared with SDI Al Muslim. The nutritional status in SDI Al Muslim and SDIT Al Hidayah not have a significant difference (p> 0.05). Al Muslim students nutritional status based on BMI / U (WHO 2007) are included in the category of obese (23.2%) and obese (16.3%). Al Hidayah students are included in the category of obese (28.6%) and obese (26.2%). There needs to be a nutritionist or a nutrition consultant in determining the standard menu when planning the menu, along with nutrition education for the students during meal times and also in the classroom in SDIT Al Hidayah. The role of dietitians in SDI Al Muslim, especially in terms of nutrition education need to be scaled back in terms of counseling on a regular basis either at meals or in the classroom. Keywords: food service, quality menu, children in primary school
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS MODEL SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN DAN KUALITAS MENU MAKAN SIANG DI SEKOLAH DASAR
PUTRI RONITAWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Progam Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis yang berjudul ―Analisis Model Sistem Penyelenggaraan Makanan dan Kualitas Menu Makan Siang Di Sekolah Dasar‖ ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Progam Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Budi Setiawan, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Tiurma Sinaga, MFSA selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, saran, dan kritik yang membangun serta motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. 2. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku Dosen penguji dan Dr. Rimbawan selaku moderator dalam sidang tesis yang telah memberikan masukan, saran dan kritik membangun sehingga tesis ini dapat selesai dengan baik. 3. Idrus Jus’at, Ph.D yang telah memberikan saran dan dukungan kepada penulis secara moril serta Dr. Ir. Arief Kusuma, MBA selaku Rektor Universitas Esa Unggul yang telah memberikan izin kepada penulis untuk dapat melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor. 4. Kedua orang tua, Papa H. Sahroni Hamzah, Mama Mujiwati, Papa H. Bambang Suharno Hadisaputro dan Mama Hj. Suharyati atas doa, kasih sayang, serta motivasi yang diberikan kepada penulis. Suamiku tercinta Leo Hendronoto, anakku Muhammad Kenzie Al Ghazi dan Muhammad Aldeirafa Al Fattah serta adikku Putra Wira Akbar atas doa, perhatian, dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis. 5. Kepala sekolah, guru serta murid SDI Al Muslim Cibitung Bekasi, SDIT Al Hidayah Cibinong Bogor, Ibu Evi selaku ahli gizi beserta staf di kantin SDI Al Muslim dan Ibu Fitri selaku koordinator katering di SDIT Al Hidayah dan Katering Berkah yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. 6. Try Nur Ekawati, Gumintang Ratna Ramadhan, Mertien Sa’pang, Putu Ari Agus Pawartha, Linda Dwi Jayanti, Maulana Hasan, Masajeng Puspito Palupi dan seluruh teman kelas GMS 2012 atas persahabatan, motivasi, dan dukungan yang diberikan selama penulis melangsungkan studi dan penelitian di sekolah Pascasarjana IPB. 7. Bapak Mury Kuswari selaku KaProdi Ilmu Gizi, Vitria Melani dan Laras Sito selaku teman di unit Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul yang selalu memberikan dukungan bagi penulis. 8. Erry Yudhya Mulyani, Rachmanida Nuzrina dan Milliyantri Evandari yang selalu membantu dan memberikan dukungan kepada penulis. 9. Febie, Ardianingtyas Ibnu Albar, Izna, Harna dan Sofie selaku enumerator dalam penelitian ini serta seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk pembaca serta kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Bogor, April 2016 Putri Ronitawati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
RINGKASAN
ii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat
1 1 2 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Anak Usia Sekolah Status Gizi Pemberian Makanan di Sekolah Model Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah Sistem Manajemen Penyelenggaraan Makanan Sekolah Peranan Ahli Gizi Ketenagaan Penyelenggaraan Makanan Fasilitas Penyelenggaraan Makanan Kegiatan Penyelenggaraan Makanan Penyusunan Standar Makanan Perencanaan Biaya Perencanaan Menu Perhitungan Kebutuhan Bahan Makanan Perhitungan Harga Makanan Pengadaan Bahan Makanan Pemesanan Bahan Makanan Penerimaan Bahan Makanan Penyimpanan Makanan Jadi dan Distribusi Bahan Makanan Persiapan dan Pengolahan Bahan Makanan Monitoring dan Evaluasi Penyelenggaraan Makanan Higiene dan Sanitasi Kualitas Menu Makan Siang
4 4 5 5 7 9 9 10 11 13 13 13 13 14 14 15 15 15 16 16 18 18 18
3 KERANGKA PEMIKIRAN
21
4 METODE Desain, Tempat dan Waktu Subjek Penelitian Jenis dan Cara Pengumpulan Data Prosedur Pengolahan dan Analisis Data
23 23 23 23 25
Definisi Operasional
28
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sekolah SDI Al Muslim Tambun Cibitung Bekasi SDIT Al Hidayah Cibinong Bogor Karateristik Subjek Status Gizi Analisis Penyelenggaraan Makanan Di Sekolah Profil Kantin Al Muslim Profil Katering Berkah Input Ketenagaan Penyelenggaraan Makanan Fasilitas Penyelenggaraan Makanan Ruang Pengolahan Peralatan Proses Kegiatan Penyelenggaraan Makanan Konsumen Biaya Perencanaan Menu Pengadaan, Pemesanan dan Penerimaan Bahan Makanan Pengolahan Bahan Makanan Penyajian dan Distribusi Pelaporan Output Tingkat Kesukaan Daya Terima Konsumsi Makan Siang Siswa Higiene dan Sanitasi Kualitas Menu Makan Siang Perbedaan Tingkat Kecukupan Gizi pada Dua Model Penyelenggaraan Makanan
29 29 29 30 30 31 31 32 32 33 33 35 35 37 38 38 38 38 38 40 40 41 42 43 43 44 45 46 47
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
53 53 54
DAFTAR PUSTAKA
55
LAMPIRAN
61
RIWAYAT HIDUP
75
51
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
9
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT/U WHO (2007) ............................. 4 Variabel penelitian dan cara pengukurannya ............................................. 23 Pengkategorian variabel penelitian ............................................................ 27 Karateristik subjek berdasarkan model sistem penyelenggaraan makanan...................................................................................................... 30 Status gizi subjek berdasarkan model sistem penyelenggaraan makanan...................................................................................................... 31 Output Makan Siang Siswa SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah .......... 43 Median Skor Dietary Energy Density (DED) dan Nutrient Rich Food (NRF) 9.3 Index Value di SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah ............. 44 Perbandingan kandungan gizi pada menu makan siang di SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah berdasarkan 30 % dari AKG dan Standar Makan Siang di Jepang ................................................................. 51 Perbedaan tingkat kecukupan pada dua model penyelenggaraan makanan...................................................................................................... 48
DAFTAR GAMBAR 1 Alur hipotesa pengaruh pemberian makan di sekolah terhadap prestasi akademik (Gantham dan Mcgegor 2005) 2 Kerangka pemikiran penelitian analisis model sistem penyelenggaraan makanan kualitas menu di sekolah dasar 3 Median skor Nutrient Rich Food Index (NRF 9.3) dan Dietary Energy Density (DED) 4 Tingkat kesukaan menu makan siang Siswa SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah 5 Daya terima menu makan siang Siswa SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah 6 Median skor Nutrient Rich Food Index (NRF 9.3) dan Dietary Energy Density (DED) di SDI Al Muslim 7 Median skor Nutrient Rich Food Index (NRF 9.3) dan Dietary Energy Density (DED) di SDIT Al Hidayah
6 21 27 41 42 45 46
DAFTAR LAMPIRAN 1 Daftar peralatan SDI Al Muslim (Kantin Al Muslim) 2 Daftar peralatan SDIT Al Hidayah (Katering Dawiyah) 3 Input penyelenggaraan makanan di sekolah berdasarkan jenis model penyelenggaraan makanan 4 Proses penyelenggaraan makanan di sekolah berdasarkan jenis model penyelenggaraan makanan 5 Tingkat kesukaan siswa terhadap menu makan siang sekolah 6 Daya terima siswa terhadap menu makan siang sekolah 7 Frekuensi konsumsi siswa SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah 8 Variabel makan siang siswa SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah 9 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan 10 Menu makan siang SDI Al Muslim 11 Menu makan siang SDIT Al Hidayah 12 Dokumentasi penelitian
61 61 61 62 63 63 63 65 67 68 69 70
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Undang-undang nomor 17 Tahun 2007 menyatakan bahwa kesehatan, pendidikan serta peningkatan daya beli keluarga/masyarakat merupakan tiga pilar utama dalam mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing (Depkes 2009). Menurut Trankman, Indonesia telah berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya sehingga tercipta sumber daya manusia yang berkualitas. Hal ini tergambar dalam Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang meningkat sebesar 0.629 pada tahun 2012 sehingga saat ini Indonesia menempati peringkat ke-121 di seluruh dunia (Aulia 2013). Salah satu tujuan dari pencapaian MDGs di tahun 2015 untuk memberantas kemiskinan menjadi separuh dapat dilakukan dengan meningkatkan pendidikan dan pemberian makanan tambahan di sekolah secara spesifik. Hal ini dapat diaplikasikan dalam kesehatan dan gizi sekolah yang terdiri dari berbagai intervensi dan progam yang bertujuan untuk menjamin anak-anak menjadi sehat untuk belajar dan belajar untuk sehat sehingga dapat berkontribusi dalam mengurangi kelaparan jangka pendek (Rosso et al. 2009). Di Indonesia dalam rangka meningkatkan asupan gizi para peserta didik maka pada tahun 2012 pemerintah menindaklanjuti Instruksi Presiden (INPRES) No. 1/2010 yang mengamanatkan penyediaan makanan tambahan kepada peserta didik TK/SD dan RA/MI terutama di daerah tertinggal, terisolir, terpencil, perbatasan, di pulaupulau kecil, dan/atau terluar, serta di daerah pedalaman (Depag 2012). Hal ini sejalan dengan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 mengenai asupan gizi harus sesuai dengan kebutuhan suatu individu untuk mencegah resiko gizi lebih atau gizi kurang. Studi literatur maupun observasi yang dilakukan mengenai model penyelenggaraan anak di sekolah yang dilaksanakan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Peru, Jepang, Chili, Bangladesh, Filipina, dan Indonesia, kesemuanya memberdayakan penggunaan bahan pangan lokal dalam pemberian makan di sekolah. Model tersebut meliputi model penyiapan makanan yang dilakukan di sekolah, model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah, siswa membawa pulang kupon, atau pemberian uang tunai kepada siswa atau pemberian bahan pangan dalam jumlah tertentu. Kegiatan penyelenggaraan makanan di sekolah dapat terlaksana bila ada peran serta dari para pemangku kebijakan, serta pihak sekolah walaupun tidak semua Negara melakukan penyelenggaraan makanan yang terpusat di dapur sekolah (Sinaga 2012). Penelitian oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa PMT-AS berbasis pangan lokal, dapat menjadi model yang efektif, serta ekonomis melalui pemberdayaan masyarakat setempat dalam mengatasi kelaparan jangka pendek (short-term hunger), meningkatkan tingkat kehadiran murid di sekolah serta meningkatkan konsentrasi belajar siswa (Hatta 2013). Menurut Acham et al. (2012), ada hubungan yang signifikan antara pencapaian akademik dengan konsumsi sarapan dan snack terutama bagi anak laki-laki (P<0.05) dengan tingkat sosial ekonomi rendah di Uganda. Nkhoma et al.(2013) di Malawi meneliti bahwa progam pemberian makan di sekolah
2 penting dan bila direncanakan dengan baik dapat memperbaiki status gizi serta indikator kognitif pada anak-anak yang kurang beruntung. Penelitian di Nigeria selama 5 tahun mengenai progam pemberian makanan di sekolah menunjukkan adanya peningkatan kehadiran siswa. Penelitian ini dapat merekomendasikan bahwa Pemerintah Federal Nigeria harus membuat kebijakan yang berfokus pada pemberian makan di sekolah untuk memperbaiki pendidikan serta kegiatan fortifikasi di daerah padat penduduk (Uwameiye 2013). Nurdiani (2011) meneliti mengenai analisis penyelenggaraan makanan di sekolah dan kualitas menu bagi siswa sekolah dasar di Bogor bahwa skor Healthy Eating Index (HEI) pada sekolah penyelenggaraan makanan lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah yang tidak memiliki penyelenggaraan makanan. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas konsumsi pangan pada sekolah penyelenggaraan makanan lebih baik. Sedangkan dari segi pemenuhan standar, kedua katering sekolah masih memiliki fasilitas yang kurang, rendahnya higiene dan sanitasi pada karyawan dan proses pengolahan masih kurang, serta rendahnya pengetahuan karyawan mengenai peraturan usaha jasa boga. Salah satu sekolah dengan pola off-site prepared meal private sector participation(catering) masih mengalami kekurangan dalam hal penyajian dan belum adanya ahli gizi dalam menentukan perencanaan kebutuhan gizi bagi siswanya. Sinaga (2013), dapat merancang model penyelenggaraan makanan di sekolah dasar pada siswa keluarga miskin dengan rata-rata kandungan energi pada menu sepinggan sebesar 439 kkal, 10 g protein, 266.8 μg RE vitamin A, dan 1.97 mg Fe dengan biaya Rp 3000,00/porsi. Pemberian makanan sepinggan ini dapat meningkatkan konsumsi asupan zat gizi secara signifikan setelah diberikan sarapan menu sepinggan (Sinaga et al. 2012). Model ini diharapkan juga dapat diterapkan pada keluarga dengan tingkat sosial ekonomi menengah maupun menengah ke atas dikarenakan prevalensi obesitas secara nasional yang meningkat pada Riskesdas 2013 bagi anak usia 5-12 tahun sebesar 18.8 % (Balitbangkes 2013). Tentunya hal ini tidak terlepas dari adanya peran serta dari pihak sekolah, orang tua siswa, siswa dan masyarakat sekitar. Progam penyelenggaraan makanan di sekolah diharapkan dapat meningkatkan promosi kesehatan. Anak-anak dapat menerapkan konsumsi makanan yang sehat dan menerapkan kebiasaan makan yang baik di dalam keluarga melalui pemberian makanan di sekolah dan pendidikan gizi yang diberikan. Peran seorang ahli gizi dalam suatu kegiatan penyelenggaraan makanan menjadi penting dalam hal tersedianya makanan di sekolah yang disertai oleh adanya pendidikan gizi (Ishida; Woo 2015). Penelitian mengenai pentingnya peran seorang ahli gizi dalam pemberian makanan di sekolah terutama di Indonesia masih belum ada dalam perencanaan kegiatan penyelenggaraan makanan di sekolah. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai analisis model sistem penyelenggaraan makanan dan kualitas menu makan siang di sekolah dasar. Perumusan Masalah Bank Dunia, WFP, dan Kemitraan untuk Perkembangan Anak (PCD) mengidentifikasi bahwa setiap negara memiliki cara masing-masing dalam melakukan kegiatan penyelenggaraan makanan bagi anak-anak sekolah.
3 Namun, makanan di sekolah dapat menjadi salah satu intervensi yang kompleks sehingga dapat diaplikasikan dalam berbagai model. Hal ini didukung oleh pemerintah pusat di berbagai negara terutama bagi negara dengan penghasilan yang rendah dan menengah (Gelli et al. 2013). Beberapa sekolah boarding school maupun full day diharapkan dapat memanfaatkan pemberian makanan di sekolah menjadi salah satu model yang efektif serta ekonomis dalam mengatasi kelaparan jangka pendek, mengurangi absensi siswa, dan meningkatkan konsentrasi siswa ketika belajar. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana perbedaan input, proses dan output dalam penyelenggaraan makanan di sekolah dasar dengan model on-site dan off-site? 2. Bagaimana perbedaan kualitas menu, tingkat kesukaan dan daya terima siswa (output) yang disajikan oleh katering sekolah di sekolah dasar dengan model on-site dan off-site ? 3. Bagaimana perbedaan tingkat kecukupan dan status gizi siswa di sekolah dasar dengan model on-site dan off-site? Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis model sistem penyelenggaraan makanan dan kualitas menu di sekolah dasar. Tujuan Khusus 1. Menganalisis perbedaan input, proses dan output dalam penyelenggaraan makanan di sekolah dasar dengan model on-site dan off-site. 2. Menganalisis perbedaan kualitas menu, tingkat kesukaan dan daya terima siswa (output) yang disajikan oleh katering sekolah di sekolah dasar dengan model on-site dan off-site. 3. Menganalisis perbedaan tingkat kecukupan dan status gizi siswa di sekolah dasar dengan model on-site dan off-site. Manfaat Penelitian ini memperkaya informasi yang berkaitan dengan berbagai model penyelenggaraan makanan di Sekolah Dasar dan memberikan informasi yang diperlukan dalam rangka meningkatkan peranan seorang ahli gizi dalam kegiatan penyelenggaraan makanan institusi khususnya di sekolah.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Anak Usia Sekolah Anak usia sekolah merupakan masa dimana rentang usia anak antara 6-12 tahun, semakin bertambah umur anak maka semakin membutuhkan asupan zat gizi yang baik dikarenakan pada masa ini sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan (Adriani dan Wirjatmadi 2012). Pada masa ini, sebagian besar waktu anak lebih banyak melakukan kegiatan diluar rumah seperti bermain maupun berolahraga sehingga anak membutuhkan energi yang lebih tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi pola makan anak sehari-hari. Apabila asupan energi yang dikonsumsi lebih rendah tetapi aktifitas yang dilakukan oleh anak meningkat maka tubuh anak akan menjadi lebih kurus tetapi sebaliknya bila anak mengkonsumsi makanan secara berlebihan dan aktifitas anak rendah maka anak akan terjadi masalah kesehatan seperti obesitas. Pola makan yang bergizi seimbang dan aman sangat penting untuk diberikan pada anak sesuai dengan umur, kebutuhan serta aktifitas fisiknya (Kurniasih et al. 2010). Sebagian besar anak usia sekolah mengalami defisit energi, lemak, karbohidrat, air, vitamin A, vitamin B1, vitamin B9, vitamin C, kalsium, fosfor, dan zink (Pertiwi et al. 2014). Menurut Agustina et al. (2015), di Pulau Sulawesi pada anak usia 7-12 tahun asupan protein masih rendah (<70% AKG) dan tidak terdapat perbedaan asupan zat gizi makro dan serat terhadap status gizi (IMT/U). Konsumsi sayur anak di kota Bogor (68.5±31.6 g/hari) lebih tinggi dari kabupaten Bogor (45.4±18.7 g/hari) sedangkan konsumsi buah pada anak di kota (166.5±67.7 g/hari) lebih tinggi dari kabupaten (106.9±43.0 g/hari) (Sophia dan Madanijah 2014). Pengetahuan gizi anak dan pendidikan ayah dan ibu berhubungan signifikan positif dengan konsumsi buah dan sayur anak, demikian pula uang saku, ketersediaan buah, dan pendapatan keluarga berhubungan signifikan positif dengan konsumsi buah anak (p<0.05) (Mohammad dan Madanijah 2015). Pada periode anak usia sekolah, pertumbuhan masih terjadi tetapi tidak secepat ketika bayi. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi anak usia sekolah perorang perhari untuk energi 2050 Kkal. Penetapan ini dilakukan berdasarkan usia, aktifitas fisik, dan metabolisme basal (WNPG 2004). Kebutuhan protein total meningkat sejalan dengan bertambahnya umur, tetapi ketika berat badan anak diperhitungkan, kebutuhan protein aktual menurun sedikit. Rekomendasi protein harus mempertimbangkan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan nitrogen, kualitas protein yang dikonsumsi, dan jumlah protein tambahan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan (Whitney & Rolfes 2011). Konsumsi protein yang memadai penting dikarenakan bahan makanan sumber protein yang dikonsumsi harus mengandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah cukup yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan. Angka Kecukupan Protein (AKP) untuk anak-anak 7–9 tahun sebanyak 45 g/hari, sedangkan untuk anak laki–laki dan perempuan untuk usia 10 – 12 tahun 50 g/hari (WNPG 2004). Di beberapa negara yang mengalami transisi gizi, kegemukan serta obesitas merupakan salah satu masalah gizi yang semakin meningkat pada anak
5 usia sekolah. Masalah gizi utama pada anak usia sekolah meliputi stunting, underweight, anemia, defisiensi iodium dan defisiensi vitamin A. Masalah kesehatan lain yang dihadapi oleh anak usia sekolah yaitu malaria, infeksi cacing, penyakit diare, infeksi pernafasan serta pengaruh langsung dan tidak langsung dari HIV/AIDS (Partnership for Development 2002). Status Gizi Status gizi merupakan suatu keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang akibat adanya konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan (Gibson 2005). Pengukuran status gizi pada anak usia 5 hingga 19 tahun menggunakan indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U) (WHO 2007). Kategori status gizi berdasarkan IMT/U dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT/U WHO (2007) Indikator Kriteria Standar IMT/U Obesitas >2 SD Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD Normal -2 SD sampai dengan 1 SD Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD Sangat kurus ≤-3 SD Sumber : WHO (2007) Pemberian Makanan di Sekolah Pemberian makanan di sekolah di definisikan sebagai pemberian makanan untuk anak sekolah. Di beberapa negara pemberian makanan dapat dilakukan dengan pemberian makanan di sekolah, di mana anak-anak makan di sekolah dan ransum/ bekal yang dibawa pulang, di mana keluarga diberi makanan jika anakanak mereka bersekolah. Selain itu, di negara lain pemberian makanan di sekolah dapat dilakukan berupa progam yang menyediakan makanan lengkap, dan progam yang hanya menyediakan biskuit energi tinggi atau makanan ringan. Di beberapa negara, pemberian makanan di sekolah yang dikombinasikan dengan bekal yang dibawa pulang diberikan terutama untuk siswa yang rentan, termasuk anak perempuan dan anak-anak yang terkena dampak HIV. Hal ini dilakukan untuk memberikan dampak yang lebih besar pada meningkatnya pendaftaran di sekolah dan mengurangi kesenjangan jender atau sosial (Spence et al. 2013; Yoon J et al. 2012; WFP 2013). Namun ada beberapa negara yang tidak melaksanakan progam pemberian makanan tambahan tetapi tetap menyediakan susu bagi siswanya (Andersen et al. 2014). Negara lainnya seperti Finlandia, Perancis, Swedia dan UK juga sudah melakukan pemberian makanan di sekolah dengan makan siang yang diberikan setiap hari maupun seminggu sekali. Selain itu, ada sekolah yang menyarankan agar setiap siswanya membawa bekal ke sekolah. Hambatan yang sering ditemui ketika pemberian makanan di sekolah seperti antrian yang terlalu panjang pada saat mengambil makanan maupun suara bising peralatan makan (WHO 2006). Negara dengan penghasilan menengah keatas menyelenggarakan pemberian makanan di sekolah untuk mengatasi salah satu masalah gizi seperti obesitas
6 dengan meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta memperbaiki rantai pasok makanan untuk menghasilkan kualitas makanan yang lebih baik (WFP 2013). Rata-rata investasi global tahunan untuk pemberian makanan sekolah di negara-negara maju yang dianggarkan oleh pemerintah di dunia secara global sebesar US $ 47 milyar dan US $ 75 milyar. Berdasarkan survey WFP Global School Feeding, dari 51 negara di dunia yang melakukan pemberian makanan di sekolah dasar sebesar 49% negara dengan pendapatan rendah. Progam pemberian makan sekolah per anak US $ 371 pada negara dengan penghasilan tinggi maupun menengah kebawah (WFP 2013). Pemberian makanan di sekolah diberikan agar dapat menggantikan makanan yang asupan gizinya kurang di rumah dikarenakan adanya faktor kemiskinan di dalam suatu keluarga (Child Health Unit 1997). Menurut Del Rosso dan Marek (1996) berpendapat bahwa adanya intervensi dalam bentuk pemberian makanan di sekolah dasar masih dapat mengembalikan kehilangan vitalitas anak ketika masa prasekolah mengalami penyakit infeksi maupun kekurangan gizi. Selain itu, tingginya aktifitas anak usia sekolah apabila tidak diseimbangkan dengan asupan gizi yang seimbang dan baik maka berisiko kelaparan dan kekurangan asupan zat gizi. Pemberian makanan di sekolah memiliki dampak yang positif bila dilihat dari segi pendidikan bahwa melalui peningkatan pendaftaran, kehadiran dan ketepatan waktu anak usia sekolah akan dapat meningkatkan waktu anak di sekolah, merubah perilaku dan kemampuan kognitif anak serta meningkatkan status gizi anak, dapat dilihat pada gambar 1. (Gantham dan Mcgegor 2005). Lama di sekolah Peningkatan kehadiran Sarapan pagi
Mengatasi Kelaparan
Pencapaian Akademik
Status gizi Kemampuan perilaku kognitif Gambar 1 Alur hipotesa pengaruh pemberian makan di sekolah terhadap prestasi akademik (Gantham dan Mcgegor 2005) Del Rosso (1999) memaparkan bahwa, seorang anak yang lapar tidak dapat konsentrasi dan melakukan tugas yang kompleks, sehingga untuk dapat meningkatkan evaluasi hasil belajar di sekolah, maka kelaparan harus dapat ditangani dengan pemberian makanan di sekolah. Sedangkan menurut Gantham dan McGegor (2005) serta Chang dan Walker bahwa apabila kelaparan jangka pendek dapat diatasi maka hal ini dapat mempengaruhi fungsi kognitif seorang anak seperti memori dan efisiensi pengolahan informasi secara bersama-sama sehingga perilaku anak meningkat menjadi lebih baik (Beesley 2008). Del Rosso (1999) berpendapat bahwa ada defisiensi pada zat gizi mikro tertentu, terutama besi dan yodium. Kekurangan zat gizi ini dapat mempengaruhi fungsi kognitif pada anak usia sekolah. Bennet (2003) melakukan intervensi dimana biskuit yang
7 diperkaya dengan zat besi, yodium dan β-karoten memiliki dampak positif pada fungsi kognitif anak-anak sekolah. Peran serta masyarakat sekitar, orang tua dan guru dalam pemberian makanan di sekolah dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan kesadaran gizi masyarakat secara luas. Beesley (2008) mengutip dalam Del Rosso (1999) bahwa sekolah yang bergantung pada masyarakat lokal untuk melaksanakan dan menyelenggarakan pemberian makanan di sekolah memiliki spin-off yang menguntungkan dan ekonomi lokal dapat dirangsang melalui kesempatan kerja dan pembelian produk masyarakat akan meningkat dalam Gantham dan McGegor (2005). Model Penyelenggaraan Makanan Anak Sekolah Model penyelenggaraan makanan sekolah bergantung pada fasilitas yang ada di sekolah dan lingkungan yang berada di sekitar sekolah. Menurut Sinaga (2012), model-model yang dapat diselenggarakan di sekolah adalah sebagai berikut : Model penyiapan makanan dilakukan di sekolah, bahan pangan berasal dari bantuan/sumbangan. Model ini menyajikan makanan lengkap, memiliki tenaga sendiri atau membayar tenaga penjamah makanan dari luar sekolah. Semua bahan pangan yang berasal dari sumbangan suatu badan/organisasi/lembaga yang berasal dari luar sekolah. Umumnya sekolah memiliki fasilitas dapur untuk mempersiapkan dan mengolah bahan pangan di dapur sekolah. (UNESCO 2004; Del Rosso 1999). Model penyiapan makanan dilakukan di sekolah, Bahan pangan berasal dari lokasi di sekitar sekolah. Model ini dilaksanakan di sekolah yang memiliki fasilitas dapur sekolah, dapat menyajikan makanan secara lengkap, adanya tenaga penjamah makanan yang berasal dari luar sekolah dan bahan pangan yang dibeli di sekitar lingkungan sekolah untuk kegiatan penyelenggaraan makanannya (WFP 2007). Model ini umumnya (81.5%) dilakukan di negara maju seperti sekolah-sekolah di Amerika Serikat (Pannell 1999). Di Taiwan, sebagian besar (67%) sekolah mempergunakan model ini, yang disebut sebagai ―public-ownedpublic-managed”, yaitu sekolah memiliki dapur sendiri dan menyelenggarakan makan siang bagi siswanya (Yang 2006). Di Indonesia, model ini dapat diterapkan pada sekolah yang siswanya berasal dari keluarga mampu dan sekolah masih memiliki lahan untuk membangun dapur. Model penyiapan makanan dilakukan di sekolah, tenaga penjamah berasal dari pedagang makanan. Model ini dapat dilaksanakan di sekolah yang memiliki fasilitas dapur sekolah, dapat menyajikan makanan lengkap atau makanan kecil/selingan, mempekerjakan tenaga penjamah makanan yang berasal dari pedagang makanan yang ada di sekitar sekolah. Sekolah yang mempergunakan model ini biasanya melakukan pelatihan tentang higiene dan sanitasi makanan kepada pedagang makanan di sekitar sekolah sehingga kegiatan penyelenggaraan makanan dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan makanan yang aman untuk dikonsumsi oleh siswa (Del Rosso 1999). Kelebihan model penyelenggaraan makanan yang dilakukan di sekolah adalah tidak adanya tambahan biaya transportasi, pengontrolan kualitas makanan menjadi lebih mudah karena berada di dalam lingkungan sekolah, makanan dapat disajikan dalam
8 keadaan hangat tanpa menunggu waktu transportasi, dan tidak membutuhkan peralatan untuk menghangatkan makanan. Model ini mempunyai kekurangan seperti investasi yang tinggi dalam hal penyediaan fisik dapur, ruang makan, peralatan dan perlengkapannya. Model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah, tenaga penjamah berasal dari swasta/katering. Model ini dilaksanakan di sekolah yang belum memiliki fasilitas dapur sekolah, menyajikan makanan lengkap atau makanan selingan/kecil, mempekerjakan tenaga penjamah makanan dari sektor swasta, seperti dari katering, dan membeli sendiri bahan pangan yang dibutuhkan. Penyiapan dan pemasakan bahan pangan dilakukan di luar gedung sekolah, mempergunakan fasilitas dapur swasta, seperti dapur katering. Makanan yang matang kemudian dibawa ke sekolah untuk disajikan kepada siswa (Del Rosso 1999). Model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah, tenaga penjamah dari masyarakat. Model ini dilaksanakan di sekolah yang belum memiliki fasilitas dapur sekolah, menyajikan makanan lengkap atau makanan selingan/kecil, membeli sendiri bahan pangan, dan mempekerjakan tenaga penjamah makanan yang berasal dari partisipasi masyarakat yang mau membantu dan peduli dengan pendidikan. Tenaga penjamah makanan berasal dari masyarakat, seperti dari Komite Sekolah (persatuan orang tua murid), masyarakat sekitar sekolah, ibu-ibu Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Tenaga ini dapat bersifat sukarela atau sosial atau dibayar dengan upah/honor yang rendah. Model ini mempersiapkan dan memasak bahan pangan di dapur yang berada di luar gedung sekolah. Dapur yang dipergunakan adalah dapur masyarakat yang bersedia untuk melaksanakan kegiatan penyiapan dan pengolahan makanan anak sekolah (Muhilal 1998). Kelebihan model ini tidak membutuhkan investasi yang tinggi, karena semua kebutuhan fisik dapur, tenaga, peralatan dan perlengkapan untuk melaksanakan kegiatan penyelenggaraan makanan dilaksanakan oleh pihak lain (katering atau masyarakat). Konsentrasi tenaga pendidik difokuskan untuk urusan akademik, dan tidak ada gangguan saat penyiapan dan pengolahan bahan pangan, seperti bau makanan, dan dentingan suara peralatan (Palacio dan Theis 2009). Kekurangan model ini, makanan dalam keadaan dingin sampai di sekolah terutama jika jarak antara sekolah dan tempat pengolahan makanan sangat jauh. Dan untuk memanaskan makanan membutuhkan biaya tambahan, seperti menyediakan alat untuk memanaskan makanan, dan ruang pemanas, serta biaya transportasi meningkat. Model kupon atau tunai atau bahan pangan di bawa pulang. Model ini makanan tidak dikonsumsi di sekolah, tetapi dibawa pulang ke rumah masingmasing siswa. Siswa mendapatkan bahan pangan dalam jumlah tertentu atau uang tunai atau kupon yang dapat dipergunakan untuk membeli makanan (Del Rosso 1999). Kelebihan model ini sama dengan model penyiapan makanan dilakukan di luar sekolah. Kelemahan model ini adalah tidak mengetahui apakah makanan yang dibawa pulang ke rumah benar-benar di konsumsi oleh siswa sebagai sasaran progam. Contoh negara yang melaksanakan model ini adalah Banglades, Laos, Pakistan (PCD 2010). Selain model penyiapan makanan di sekolah bahan pangan berasal dari sumbangan, model penyiapan makanan di sekolah yang bahan pangannya berasal dari lokasi di sekitar sekolah, model penyiapan makanan di sekolah yang tenaga
9 penjamahnya berasal dari pedagang makanan, model penyiapan makanan di luar sekolah yang tenaga penjamahnya berasal dari katering, model penyiapan makanan di sekolah yang tenaga penjamahnya berasal dari masyarakat sekitar dan model kupon maka di masa yang akan datang diharapkan model pemberian makanan di sekolah dapat mempertimbangkan efektifitas biaya seperti biaya tenaga kerja dan waktu memasak (Woodward-Lopez et al. 2014). Sistem Manajemen Penyelenggaraan Makanan Sekolah Secara luas penyelenggaraan makanan di sekolah dapat didefinisikan sebagai salah satu intervensi yang dilakukan dengan menyediakan makanan bagi anak-anak di sekolah. Kurangnya akses terhadap pangan gizi dapat menjadi hambatan yang signifikan terhadap kemampuan belajar seorang anak. Selain itu, adanya penyelenggaraan makan di sekolah juga dapat memberikan keuntungan bagi rumah tangga sehingga dapat menyekolahkan anak mereka ke sekolah. Di negara berkembang, diperkirakan 66 juta anak usia sekolah yang bersekolah mengalami kelaparan, dan 67 juta anak tidak bersekolah sama sekali. Progam pemberian makanan di sekolah dapat ditemukan dibeberapa Negara seperti Amerika Latin, Asia, Afrika, dan Amerika (WFP 2011). Bila dilihat dari sudut pandang kesehatan, pemberian makanan di sekolah dapat meningkatkan keberagaman konsumsi pangan siswa. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian makanan di sekolah dapat meningkatkan konsumsi buah dan sayur (Evans et al. 2012). Fortifikasi pangan dapat diterapkan di dalam pemberian makanan di sekolah dimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Nozue et al. (2013) menunjukkan bahwa dengan pemberian beras yang difortifikasi vitamin B1 dapat menurunkan prevalensi defisiensi vitamin B1 pada anak. Peranan Ahli Gizi Profesi Gizi merupakan suatu pekerjaan di bidang gizi yg dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan serta memiliki kompetensi yg diperoleh melalui pendidikan yg berjenjang, memiliki suatu kode etik dan bersifat melayani masyarakat. Tenaga Gizi dapat didefinisikan sebagai setiap orang yg telah lulus pendidikan di bidang gizi sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan. Pelayanan gizi dilakukan oleh seorang ahli gizi untuk memperbaiki, meningkatkan konsumsi pangan, dietetik suatu masyarakat, kelompok, individu /klien. Pelayanan gizi bila didefinisikan merupakan rangkaian kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, kesimpulan, anjuran implementasi dan evaluasi gizi makanan dietetik dlm rangka mencapai kesehatan yg optimal baik dalam kondisi sehat atau sakit. Kompetensi gizi mencakup gizi klinik, penyelenggaraan makanan banyak dan gizi masyarakat (Depkes 2007). Di Perancis dan Jepang, peranan ahli gizi dalam pemberian makan siang di sekolah bukan hanya dalam hal penentuan menu bagi masing-masing usia dan jenis kelamin, tetapi juga terkait dengan pendidikan gizi (Moffat dan Thrasher 2014). Menu yang disajikan harus berpedoman pada standar gizi berdasarkan umur dan jenis kelamin sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi para siswa (Nozue et al. 2010). Penelitian Woo (2015) di Korea menunjukkan bahwa seorang ahli gizi dalam pemberian makan di sekolah berperan dalam perbaikan
10 gizi siswa, promosi mengenai makanan tradisional dan menerapkan asupan makanan bagi siswa agar lebih baik. Ketenagaan Penyelenggaraan Makanan Ketenagaan dalam suatu penyelenggaraan makanan meliputi kualifikasi dan jumlah. Ketenagaan di suatu penyelenggaraan makanan jumlahnya berbeda tergantung pada besar kecilnya penyelenggaraan makanan. Suatu penyelenggaraan makanan sekurang-kurangnya harus memiliki tenaga dan kualifikasi yang terdiri dari : 1) Penanggung jawab pengelola Umumnya adalah pemilik usaha jasa boga/ rumah makan dengan kualifikasi : memiliki keahlian di bidang penyelenggaraan makanan yang diperoleh dari pendidikan maupun pengalaman; memiliki kemampuan mengarahkan bawahannya dalam penyediaan makanan yang memenuhi selera konsumen serta syarat gizi, dan aman dikonsumsi; berbadan sehat dan bebas dari penyakit menular. 2) Penanggung jawab pelaksana Penanggung jawab pelaksana adalah seorang tenaga ahli yang membantu terlaksananya kegiatan penyelenggaraan makanan secara teknis. Kualifikasinya adalah sebagai berikut : memiliki keahlian, dan kemampuan dalam penyelenggaraan makanan secara teknis mulai dari perencanaan sampai pada evaluasi; memahami dan mengetahui berbagai prosedur dan peraturan yang terkait kegiatan penyelenggaraan makanan; berbadan sehat dan bebas dari penyakit menular. 3) Penyelia (supervisor) Tenaga ahli yang bertanggung jawab dalam pengawasan dan terlibat langsung secara operasional dalam kegiatan penyelenggaraan makanan. Penyelia (supervisor) akan memantau dan mengarahkan pelaksana agar dapat memenuhi standar mutu makanan dan sanitasi. Kualifikasinya adalah sebagai berikut : berpengalaman dalam penyelenggaraan makanan, dan mampu menerapkan pengetahuan mengenai bahan makanan, serta dapat melaksanakan tugas-tugas operasional pengawasan; mampu memimpin dan mengarahkan pelaksana; dan berbadan sehat serta bebas dari penyakit. 4) Pelaksana Tenaga pelaksana sekurang-kurangnya terdiri dari : i) Penjamah makanan adalah seorang tenaga terampil atau tidak terampil yang bertugas mengolah bahan makanan dengan kualifikasi sebagai berikut : berpengalaman dalam pemasakan makanan, mampu membaca dan memasak sesuai dengan resep, memahami gizi, kesehatan, sanitasi dan bahan makanan serta terampil dan cekatan dalam melaksanakan tugas yang ditetapkan; berbadan sehat serta bebas dari penyakit menular. ii) Pembersih peralatan adalah seorang tenaga yang tidak terlatih yang bertugas mencuci, dan membersihkan peralatan, serta perlengkapan pengolahan dengan kualifikasi : telah diberikan pelatihan mengenai sanitasi peralatan dan perlengkapan, memahami prosedur kebersihan
11 dapur dan peralatan penyelenggaraan makanan; berbadan sehat serta bebas dari penyakit menular. iii)Pramusaji seorang tenaga terampil atau tidak terampil yang bertugas menyajikan makanan kepada konsumen dengan kualifikasi : dapat berkomunikasi dengan baik; berpenampilan rapi, bersih dan santun; berbadan sehat serta bebas dari penyakit menular (Depkes 2013). Fasilitas Penyelenggaraan Makanan Faktor penunjang yang sangat penting dalam penyelenggaraan makanan adalah tersedianya fasilitas yang memadai. Bila tidak memadai maka dapat menyebabkan cemaran pada bahan pangan. Fasilitas penyelenggaraan makanan terdiri dari fasilitas penyelenggaraan makanan dan fasilitas sanitasi (Depkes 2013). a) Persyaratan lokasi dan bangunan penyelenggaraan makanan 1) Lokasi penyelenggaraan makanan Lokasi mudah dicapai dari ruang makan sehingga proses pelayanan makanan dapat berjalan lancar; tidak berdekatan dengan sumber pencemaran seperti tempat pembuangan sampah, wc dan sumber cemaran lainnya. 2) Luas area penyelenggaraan makanan Area penyelenggaraan makanan luas sehingga memungkinkan untuk pendistribusian bahan makanan, penyajian, tempat peralatan dan transportasi ke tempat pembagian makanan. Standar yang ditetapkan hendaknya 2 m2 untuk setiap pekerja berdasarkan luas lantai ruang produksi yang bebas dari peralatan. Tata ruang produksi hendaknya mengikuti proses alur kerja yang baik dan efisien, serta mudah dibersihkan sehingga sanitasi ruang produksi dapat lebih ditingkatkan. 3) Bangunan Konstruksi bangunan harus kokoh dan kuat serta bersih secara fisik, dan bebas dari barang-barang bekas yang diletakkan sembarangan. Bangunan terpisah dari tempat tinggal. Pembagian ruang minimal terdiri dari dapur, gudang, ruang makan, toilet, ruang karyawan dan ruang administrasi. Setiap ruangan memiliki batas dinding dan ruangan yang satu dengan yang lain dipisahkan dengan pintu. 5) Lantai Lantai harus kedap air, rata, tidak retak, tidak licin, kemiringan cukup dan mudah untuk dibersihkan. 6) Dinding dan langit-langit Permukaan dinding sebelah dalam rata, tidak lembap, mudah dibersihkan dan berwarna terang. Bila permukaan dinding selalu terkena air, dilapisi bahan kedap air setinggi dua meter dari lantai dengan permukaan halus, tidak menahan debu dan berwarna terang. Sudut antara dinding dengan lantai hendaknya membentuk lengkungan (conus) agar mudah dibersihkan sehingga tidak menyimpan debu dan kotoran. Bidang langit-langit harus menutupi seluruh atap bangunan, terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, permukaannya rata, tidak menyerap air dan mudah dibersihkan. Tinggi langit-langit minimal 2,4 meter diatas lantai.
12 7) Ventilasi dan cahaya Sistem ventilasi harus baik, bila ruang produksi dekat dengan ruang makan maka harus ada aliran udara dari ruang makan ke ruang produksi. Pencahayaan dilengkapi dengan lampu walaupun pencahayaan alam sudah baik. Luas ventilasi 20 persen dari luas lantai untuk menghindari udara yang terlalu panas dan menjaga kenyamanan penjamah makanan; mencegah terjadinya kondensasi/ pendinginan uap airatau lemak dan menetes pada lantai, dinding, dan langit-langit serta membuang bau, asap dan pencemaran lainnya. 8) Pintu dan jendela Pintu ruang tempat mengolah makanan di desain membuka kearah luar dan dapat menutup sendiri (self closing) yang dilengkapi peralatan anti serangga/ lalat seperti kassa, tirai dan pintu rangkap. Pintu harus dibuat dari bahan yang kuat dan mudah dibersihkan. Setiap bagian bawah pintu setinggi 36 cm dilapisi logam. Jarak antara pintu dan lantai tidak lebih dari 1 cm. Pintu dan jendela dilengkapi peralatan anti serangga/ lalat seperti kassa, tirai dan pintu rangkap yang mudah dibuka dan dipasang untuk dibersihkan. 9) Konstruksi ruang produksi Luas tempat pengolahan berdasarkan jumlah karyawan yang bekerja dan peralatan yang ada di ruang pengolahan. luas lantai dapur yang bebas dari peralatan minimal 2 m2 untuk setiap orang pekerja. Ruang pengolahan harus terpisah dari toilet dan kamar mandi. Peralatan di ruang pengolahan minimal memiliki meja kerja, lemari penyimpanan bahan makanan dan makanan siap saji terhindar dari gangguan serangga dan binatang pengerat. Dinding ruang produksi hendaknya terbuat dari keramik berwarna yang mudah dibersihkan, memantulkan cahaya, kuat dan tidak licin. b) Peralatan penyelenggaraan makanan 1) Peralatan masak Peralatan memasak tidak boleh terbuat dari bahan yang mudah melepaskan zat-zat berbahaya seperti tembaga, alumunium, kadmium, seng, timah hitam dan arsen. Peralatan memasak harus utuh dan dipergunakan sesuai dengan fungsinya serta selalu dalam keadaan bersih, dan diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau. 2) Peralatan makan/ minum Peralatan makan dan minum harus bersih. Pencucian peralatan makan dan peralatan dapur harus terpisah, hal ini harus memperhatikan 5 prinsip pencucian, yaitu scraping (mengeluarkan sisa makanan), plashing (merendam), rinsing (menggosok dengan sabun), washing (membilas) dan sanitaizing (membebashamakan dengan panas matahari, semprot uap dan oven panas). Peralatan yang sudah dicuci hendaknya ditiriskan di rak piring. c) Area makan Area makan perlu dirancang untuk menampung sejumlah konsumen. Ruang makan dilengkapi dengan peralatan makan yang cukup, aliran udara yang lancar, tempat mencuci tangan bagi konsumen, dan meja khusus untuk peralatan makan yang kotor (Depkes 2013). Persyaratan higiene sanitasi rumah makan dan restoran dalam Kepmenkes Nomor 1098/ Menkes/ SK/VII/2003
13 mengenai persyaratan rumah makan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : Setiap kursi tersedia ruangan minimal 0.85 m2. Pintu yang berhubungan dengan halaman dibuat rangkap dan pintu bagian luar membuka ke arah luar. Meja, kursi dan taplak meja harus selalu bersih. Tempat untuk menyediakan makanan jadi harus dibuat fasilitas khusus sehingga tidak akan mencemari makanan. Rumah makan dan restoran yang tidak memiliki dinding harus terhindar dari pencemaran. Tidak boleh mengandung gas-gas yang beracun. Tidak boleh mengandung angka kumanlebih dari 5 juta/ gam. Tidak boleh berhubungan langsung dengan jamban, kamar mandi dan tempat tinggal. Harus bebas dari serangga, binatang pengerat dan hewan lainnya. Lantai, dinding dan langit-langit harus selalu bersih dan berwarna terang. Perlengkapan set kursi harus bersih dan tidak boleh mengandung kutu busuk dan binatang serangga lainnya. Kegiatan Penyelenggaraan Makanan Penyusunan Standar Makanan Standar makanan merupakan susunan macam bahan makanan dan berat kotornya (jumlah) yang akan digunakan sebagai standar dalam sistem penyelenggaraan makanan institusi. Standar makanan ini disesuaikan dengan dana yang tersedia dan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Penyusunan standar makanan bertujuan agar tercapainya kecukupan gizi sesuai dengan dana yang tersedia (Depkes 2013). Perencanaan Biaya Perencanaan biaya bahan makanan bertujuan agar tersedianya ususlan anggaran yang mencukupi pengadaan bahan makanan sesuai dengan standar kecukupan gizi sert jumlah konsumen yang dilayani. Sebelum merencanakan menu harus menentukan anggaran biayanya terlebih dahulu. Perencanaan biaya pada jasa makanan komersial disusun berdasarkan besar pendapatan yang ditargetkan mencakup biaya produksi makanan/ minuman, biaya tenaga kerja, biaya overhead dan keuntungan (Depkes 2013). Perencanaan Menu Menu berasal dari bahasa Perancis yang berarti suatu daftar yang tertulis secara rinci. Menurut Palacio dan Theis (2009) menu dibagi menjadi beberapa tipe yakni Selective menu; Semiselective menu; Static menu; Single-use menu; dan Cycle menu. Menu didefinisikan sebagai hidangan makanan yang disajikan dalam suatu acara makan yang dimulai dari makan pagi, makan siang hingga makan malam. Menu dapat disusun lebih dari satu kali acara makan seperti menu
14 makan pagi, makan siang, makan malam, serta makanan selingan bila ada. Dalam kegiatan penyelenggaraan makanan institusi, menu dapat disusun dalam jangka waktu yang cukup lama misalnya untuk tujuh hari atau sepuluh hari. Menu yang disusun seperti itu disebut siklus menu dalam standar suatu penyelenggaraan makanan. Menu yang baik secara kualitas maupun kuantitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu kegiatan penyelenggaraan makanan institusi (Yuliati dan Santoso 1995). Moehyi (1992) berpendapat bahwa penyusunan menu dalam suatu penyelenggaraan makanan institusi dan jasa boga harus memperhatikan aspek kebutuhan gizi penerima makanan atau konsumen, kebiasaan makan penerima, masakan yang bervariasi, ketersediaan biaya, iklim, musim, dan peralatan untuk mengolah bahan makanan dan ketentuan-ketentuan lain yang berlaku dalam institusi tersebut. Perencanaan menu dalam penyelenggaraan makanan institusi merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam menyusun berbagai hidangan dalam variasi yang serasi untuk memenuhi kepuasan konsumen. Perencanaan menu harus mempertimbangkan faktor kepuasan konsumen, faktor demogafi, faktor sosial budaya, standar mutu gizi, angka kecukupan gizi, kebiasaan, tren dan preferensi konsumsi pangan, peraturan pemerintah, biaya, kemampuan produski dan pelayanan, estetika, tenaga kerja dan ketersediaan pangan (Depkes 2013). Pannell (1985) memaparkan bahwa siklus menu merupakan salah satu alat yang digunakan dan membantu proses penyelenggaraan makanan dalam perencanaan menu. Definisi lain mengenai siklus menu adalah perencanaan yang dilakukan secara teliti dari hidangan terpilih yang telah disusun dalam jumlah hari tertentu dan dirotasi atau digilir dalam beberapa minggu. Selama satu putaran/siklus ditetapkan atas dasar pertimbangan beberapa faktor seperti kondisi klien serta kemudahan institusi dalam merencanakan penyusunan menu. Siklus menu yang panjang menguntungkan klien tetapi perlu persiapan tenaga, waktu, dan metode yang lebih akurat bagi suatu institusi. Apabila siklus menu sudah ditetapkan maka tenaga dan waktu untuk penyediaan makanan sudah dapat diperhitungkan. Selain itu, adanya siklus menu dapat mempermudah pembelian bahan makanan secara tepat sehingga ketepatan dalam persiapan dan pemasukan dapat diawasi sehingga lebih efisien dalam hal waktu dan tenaga (Depkes 1991). Perhitungan Kebutuhan Bahan Makanan Perencanaan kebutuhan bahan makanan merupakan kegiatan dalam menetapkan jumlah, macam dan jenis serta kualitas bahan makanan yang dibutuhkan untuk kurun waktu tertentu serta dalam rangka upaya mengendalikan harga makanan. Langkah yang perlu ditempuh dengan mengumpulkan data mengenai jumlah yang diberi makan, jumlah dan macam makanan yang diberikan, menghitung taksiran persediaan bahan makanan, menghitung kebutuhan bahan makanan untuk satu periode tertentu (Depkes 2013). Perhitungan Harga Makanan Penentuan harga jual berhubungan dengan perencanaan biaya dalam menentukan besarnya harga jual. Dalam penentuan harga jual, ada 3 faktor biaya yaitu : 1) faktor pengali (markup factor), yaitu perbandingan antara persentase total penjualan terhadap biaya produksi makanan; 2) biaya langsung terdiri dari
15 biaya tenaga kerja dan biaya produksi makanan; 3) biaya aktual terdiri dari biaya tenaga kerja dan biaya standar resep. Elemen biaya untuk bahan makanan adalah elemen biaya terbesar yang berkisar antara 40 sampai 50 persen dari total biaya dengan maksud agar mutu makanan tetap terjaga (Depkes 2013). Pengadaan Bahan Makanan Pengadaan bahan makanan dilakukan bila perencanaan kebutuhan makanan terlaksana dengan baik. Hal ini disesuaikan dengan jumlah konsumen, dan menu yang telah direncanakan sebelumnya. Perencanaan kebutuhan bahan makanan adalah kegiatan dalam penyelenggaraan makanan yang dilakukan untuk menentukan jumlah, macam/jenis, kualitas bahan makanan yang dibutuhkan dalam kurun waktu tertentu, dan taksiran kebutuhan bahan makanan dalam kurun waktu tertentu untuk konsumen dan pegawai (Depkes 1990). Setelah perencanaan kebutuhan bahan makanan dilaksanakan maka akan dilakukan pembelian bahan. Pembelian bahan makanan adalah suatu rangkaian kegiatan dalam penyediaan macam dan jumlah serta spesifikasi bahan makanan tertentu dalam kurun waktu tertentu yang disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di institusi tersebut. Proses ini dapat dilakukan dengan beberapa prosedur yaitu pembelian langsung ke pasar, pelelangan, pembelian musyawarah, pembelian yang akan datang, serta pembelian tanpa tanda tangan tergantung dari institusi yang bersangkutan. Semua pesanan, penerimaan, dan pengeluaran uang dan bahan makanan harus dicatat dengan cermat dan kontinyu sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus dari pengelola karena bahan makanan merupakan faktor penentu kualitas makanan yang akan dihasilkan (Mukrie et al. 1990; Depkes 2013). Pemesanan Bahan Makanan Pemesanan bahan makanan merupakan penyusunan permintaan bahan makanan berdasarkan menu, dan rata-rata jumlah konsumen yang dilayani dengan mempertimbangkan stok bahan makanan yang ada sesuai dengan standar dan spesifikasi yang ditetapkan. Pemesanan bahan makanan dapat dilakukan jika ada surat perjanjian dengan rekanan, adanya spesifikasi bahan makanan, adanya daftar pesanan bahan makanan, dan tersedianya biaya (Depkes 2013). Penerimaan Bahan Makanan Penerimaan bahan makanan merupakan suatu kegiatan yang meliputi pemeriksaan, meneliti, mencatat, dan melaporkan macam, kualitas serta kuantitas bahan makanan yang diterima harus sesuai dengan pesanan dan spesifikasi yang telah ditetapkan oleh institusi yang bersangkutan (Depkes 2013). Penerimaan bahan makanan dibagi menjadi dua baik secara langsung maupun tidak langsung, penerimaan bahan makanan secara langsung dilakukan oleh petugas khusus untuk menerima bahan makanan kemudian langsung diperiksa sesuai atau tidak dengan spesifikasinya lalu disimpan, sedangkan penerimaan tidak langsung adalah penerimaan bahan yang dilakukan oleh petugas unit selanjutnya disalurkan ke bagian penyimpanan (Mukrie et al. 1990). Petugas unit penerima (receiving) hanya bertugas menerima dan menentukan barang
16 tersebut diterima atau tidak, dengan memeriksa kualitas dan kuantitas (seleksi) barang tersebut (Bartono dan Ruffino 2005). Prinsip penerimaan bahan makanan adalah sebagai berikut : a) jumlah yang diterima harus sesuai dengan yang dipesan, kualitas bahan makanan yang diterima harus sesuai dengan spesifikasi/ standar institusi berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian dan harga bahan makanan yang tercantum dalam faktur pembelian harus sama dengan harga bahan makanan dalam perjannjian jual beli; b) periksa bahan makanan sesuai dengan kualitas dan kuantitasnya; c) simpan bahan makanan ditempat yang sesuai sehingga aman dan tidak mudah rusak (Depkes 2013). Penyimpanan Makanan Jadi dan Distribusi Bahan Makanan Penyimpanan makanan jadi adalah kegiatan untuk menata, menyimpan, memelihara bahan makanan kering dan basah secara baik sehingga terjaga kualitas dan kuantitasnya di gudang penyimpanan khusus serta dilakukan proses pencatatan dan pelaporannya (Depkes 2013). Bahan yang disimpan secara tepat akan lebih tahan dari proses kerusakan (Bartono dan Ruffino 2005). Metode penyimpanan bahan makanan yang baik, harus memperhatikan prinsip First In First Out (FIFO) yang artinya bahan makanan terdahulu diletakkan terdepan/ teratas dan pertama diterima bahan makanan tersebut yang lebih dahulu dipergunakan. Setiap bahan makanan yang diterima diberi tanggal penerimaan untuk mempermudah penerapan FIFO (Yuliati dan Santoso 1995). prinsip dasar dalam penyimpanan bahan makanan adalah tepat tempat, tepat waktu, tepat mutu, tepat jumlah dan tepat nilai (Depkes 2013). Penyaluran bahan makanan merupakan tata cara pendistribusian bahan makanan berdasarkan permintaan harian agar bahan makanan yang tesedia, siap pakai baik dalam hal kuantitas, dan kualitasnya sesuai dengan pesanan (Depkes 2013). Persiapan dan Pengolahan Bahan Makanan Persiapan bahan makanan adalah serangkaian kegiatan dalam penanganan bahan makanan yang terdiri dari berbagai proses, yaitu membersihkan, memotong, mengupas, merendam dan sebagainya (Depkes 2013). Pengolahan bahan makanan merupakan suatu proses mulai dari bahan mentah menjadi bahan jadi yang siap untuk dikonsumsi dan bahan setengah jadi sehingga dapat memperpanjang masa simpan agar bahan pangan tersebut mudah diolah menjadi bahan jadi yang siap dikonsumsi. Pengolahan bahan makanan ini akan menghasilkan makanan yang bergizi, bersih dan berkualitas (Siregar et al. 2016). Pengolahan bahan makanan memiliki dua tahapan pengerjaan, yaitu persiapan dan pemasakan (pematangan). Persiapan meliputi pengerjaan bahan makanan sejak diterima sampai siap untuk dimasak (menyiangi, membersihkan, mencuci, memotong, merendam, mengiris, menggiling, menumbuk, merajang, mengaduk, mengayak, membentuk, dst). Tujuan dari persiapan adalah menyiapkan bahan makanan serta bumbubumbu untuk mempermudah proses pengolahan (Mukrie et al. 1990). Tujuan persiapan dan pengolahan bahan makanan dilakukan agar tersedianya racikan yang tepatdari berbagai macam bahan makanan untuk berbagai hidangan dalam
17 jumlah yang sesuai dengan menu yang berlaku, standar porsi dan jumlah konsumen dan tersedianya racikan bumbu sesuai dengan standar bumbu atau standar resep yang berlaku, menu dan jumlah konsumen (Depkes 2013). Pemasakan bahan makanan merupakan salah satu kegiatan untuk mengubah (memasak) bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap dimakan, berkualitas, dan aman untuk dikonsumsi. Tujuan dari proses pemasakan adalah meningkatkan daya cerna makanan, mempertahankan kandungan gizi, mempertahankan warna, rasa, keempukan bahkan menambah rasa dan membuat makanan tersebut aman untuk dimakan serta bebas dari bahaya potensial dan zat yang berbahaya bagi tubuh (Mukrie et al. 1990; Depkes 2013). Penyimpanan Makanan Jadi (Masakan) Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan makanan jadi adalah sebagai berikut : 1) wadah yang digunakan tidak melunturkan zat berbahaya pada bahan makanan, wadah hanya dipakai pada satu jenis makanan dan selalu ditutup; 2) suhu penyimpanan untuk makanan basah harus diatas 60º Celcius atau dibawah 10º Celcius; 3) makanan yang akan disimpan kurang dari 4 jam dapat disimpan pada suhu ruang dan makanan yang akan disimpan lebih dari 4 jam harus disimpan pada suhu dingin (dibawah 10º Celcius) dan dipanaskan sebelum dimakan atau disimpan pada suhu panas (di atas 60º Celcius) (Depkes 2013). Penyajian Makanan Penyajian makanan merupakan tahap akhir dari pengolahan bahan makanan. Fungsi dan tujuan dari teknik penyajian makanan dilakukan untuk memberi keindahan pada hidangan yang disajikan, menambah selera makan, dan memberi informasi mengenai makanan yang dipesan. Penyajian makanan berdasarkan prinsip higiene sanitasi adalah sebagai berikut : 1) Prinsip wadah. Makanan yang telah siap disajikan dipisahkan dalam wadah terpisah dan tertutup agar tidak terjadi kontaminasi silang, dan memperpanjang masa saji makanan sesuai dengan tingkat kerawanan makanan. 2) Prinsip kadar air. Makanan dengan kadar air yang tinggi seperti susu, sayur lodeh sebaiknya disajikan menjelang makanan disajikan agar tidak cepat rusak. 3) Prinsip edible part. Makanan yang disajikan adalah makanan yang dapat dimakan. 4) Prinsip pemisahan. Makanan yang disajikan didalam satu hidangan menu hendaknya dipisahkanagar tidak saling bercampur sehingga tidak terjadi kontaminasi silang. 5) Prinsip panas. Hidangan tertentu seperti sup, gulai sebaiknya disajikan dalam keadaan panas. Penghidangan makanan dapat menggunakan bain marie (bak penyaji panas). 6) Prinsip alat bersih. Semua peralatan yang digunakan harus bersih sehingga mencegah penularan penyakit dan memberikan penampilan yang indah. 7) Prinsip handling. Setiap penanganan makanan harus menggunakan peralatan khusus seperti hand glove, penjapit makanan, sendok, garpu, dan sendok sayur (Siregar et al. 2016).
18 Distribusi Makanan Pendistribusian makanan merupakan serangkaian kegiatan untuk menyalurkan makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan konsumen yang dilayani baik makanan biasa maupun makanan khusus (Depkes 2003a). Cara pendistribusian dibagi menjadi dua yaitu, sentralisasi dan desentralisasi. Pada sistem sentralisasi makanan langsung dibagikan menggunakan tempat (plato) dan membutuhkan kesiapan peralatan, tenaga, dan tempat yang baik. Cara yang kedua adalah desentralisasi yaitu membagi makanan dalam jumlah besar kemudian dikirim ke unit-unit, setelah sampai di unit-unit, makanan dibagikan menjadi porsi-porsi kecil (Mukrie et al. 1990). Pengangkutan dengan kendaraan khusus tidak boleh bercampur dengan kendaraan lain. Suhu kendaraan harus disesuaikan dengan makanan untuk menghindari kerusakan makanan (Depkes 2013). Monitoring dan Evaluasi Penyelenggaraan Makanan Pengawasan kegiatan pelayanan gizi institusi sangat diperlukan agar semua kegiatan dapat terlaksana sesuai dengan rencana. Salah satu bentuk pengawasan dan pengendalan adalah pencatatan dan pelaporan (Depkes 2003a). Pencatatan dan pelaporan merupakan serangkaian kegiatan mengumpulkan dan mengolah data kegiatan pelayanan gizi institusi dalam jangka waktu tertentu untuk menghasilkan bahan bagi penilaian kegiatan pelayanan gizi institusi maupun untuk pengambilan keputusan (Depkes 2003a). Pengawasan dan pengendalian merupakan tanggung jawab pimpinan pejabat pusat dan lokal meyangkut pengawasan yang terus menerus dalam kurun waktu yang telah ditentukan dan tidak melebihi neraca keuangan. Higiene dan Sanitasi Menurut Dit. Higiene dan Sanitasi Dit. Jen Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular, sanitasi makanan dapat didefinisikan sebagai salah satu usaha pencegahan untuk membebaskan makanan dan minuman dari segala bahaya baik yang dapat mengganggu maupun merusak. Hal ini dapat dimulai dari sebelum makanan diproduksi, selama proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, penjualan, sampai makanan serta minuman siap untuk dikonsumsi masyarakat/konsumen (Depkes 2003b). Menurut Depkes (2011), higiene sanitasi dapat didefinisikan sebagai upaya dalam mengendalikan faktor risiko terjadinya kontaminasi baik yang berasal dari bahan makanan, penjamah makanan, tempat dan peralatan agar aman dikonsumsi. Kualitas Menu Makan Siang Menu yang direncanakan dalam suatu siklus menu harus memperhatikan susunan makanan yang beranekaragam dalam jumlah porsi yang sesuai sehingga menu tersebut seimbang. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan gizi suatu individu guna pemeliharaan, perbaikan sel-sel tubuh, proses kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan. Zat gizi essensial yang ada atau tidak di dalam tubuh dapat mempengaruhi ketersediaan, absorpsi, metabolisme maupun kebutuhan zat gizi lain. Keanekaragaman makanan dalam menu sehari-hari timbul dikarenakan adanya saling keterkaitan antar zat-zat gizi (Almatsier 2002).
19 Perencanaan menu makan siang bagi anak sekolah dalam hal pemenuhan asupan energi dan zat gizi harus memenuhi 30%-35% dari kebutuhan sehari. Angka kecukupan energi dan protein bagi anak usia 10-12 tahun berturut-turut adalah sebesar 2100 kkal dan 56 g/hari (Depkes 2014a). Menurut Soekirman (2008), makanlah makanan yang beraneka ragam sehingga bermanfaat bagi kesehatan. Keanekaragaman makanan dalam suatu hidangan sehari-hari yang dikonsumsi, minimal harus berasal dari makanan yang mengandung sumber zat tenaga, makanan yang mengandung sumber zat pembangun dan makanan yang mengandung sumber zat pengatur. Ini adalah penerapan prinsip penganekaragaman yang minimal. Prinsip penganekaragaman yang ideal adalah bila setiap kali makan pagi, makan siang dan makan malam maka hidangan yang disajikan terdiri dari makanan pokok, lauk-pauk, sayur, dan buah. Kurangnya keragaman makanan yang dikonsumsi sehari-hari dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara asupan makanan dengan kebutuhan zat gizi yang diperlukan agar dapat hidup sehat dan produktif (Depkes 2005). Menurut Drewnowski (2010), densitas energi dan zat gizi pangan dapat digunakan sebagai pedoman dalam pemilihan pangan yang mengandung cukup energi dan zat gizi sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu sehingga dapat dikembangkan menjadi instrumen yang bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi total energi serta komposisi zat gizi dari suatu pangan. Kualitas pangan tinggi apabila skor Dietary Energy Density (DED) semakin rendah dan skor Nutrient Rich Food (NRF) 9.3 semakin tinggi dan sebaliknya (Drewnowski 2009). Densitas energi pangan didefinisikan sebagai jumlah total energi yang terkandung dalam 100 gam suatu makanan yang dikonsumsi (Barclay 2008). Menurut Drewnowski (2009), berdasarkan Progam Gizi dan Kesehatan Nasional (PNNS) di Perancis, densitas zat gizi pangan mengacu pada kandungan zat-zat gizi esensial pada makanan yang dihubungkan dengan nilai energi dari makanan. Pedoman Konsumsi Pangan Amerika tahun 2005 merekomendasikan mengkonsumsi beranekaragam makanan dan minuman yang mengandung densitas zat gizi yang cukupsehingga densitas zat gizi pangan dapat didefinisikan sebagai ukuran untuk menentukan kandungan zat gizi yang tersedia per kalori makanan, atau rasio zat-zat gizi dengan energi yang tersedia pada bahan makanan yang sama (Barclay 2008). Skor densitas zat gizi pangan digunakan untuk mengidentifikasi kepadatan atau keanekaragaman zat gizi dalam pangan yang dikonsumsi oleh individu atau populasi (Miller et al. 2009). Salah satu metode yang digunakan untuk menghitung densitas zat gizi pangan yang paling akurat adalah NRF 9.3 (Drewnowski et al. 2014). NRF 9.3 merupakan 9 jenis zat gizi yang direkomendasikan untuk dipenuhi secara optimal yang meliputi protein, serat, vitamin A, vitamin C, vitamin E, kalsium (Ca), zat besi (Fe), magnesium (Mg), dan potasium (K); serta 3 jenis zat gizi yang harus dibatasi konsumsinya, meliputi gula tambahan, asam lemak jenuh, serta natrium (Drewnowski 2009). Selain itu, metode NRF 9.3 merupakan metode NRF yang memiliki nilai ketepatan (validity) paling tinggi berdasarkan uji validitas yang dilakukan menggunakan pembanding skor Healthy Eating Index (HEI) (Fulgoni et al. 2009). Densitas energi yang rendah dan densitas zat gizi berhubungan dengan biaya diet per kalori yang tinggi. Skor densitas energi dan zat gizi pangan yang
20 dikonsumsi dapat menciptakan hidangan yang berkualitas dengan harga yang terjangkau dan budget yang terbatas dapat memenuhi kebutuhan zat gizi suatu individu. Bila konsep densitas zat gizi pangan dan pendidikan gizi diterapkan maka akan menjadi dasar yang baik dalam pedoman gizi (Drewnowski 2015). Drewnowski (2005) meneliti bahwa beberapa kelompok pangan yang termasuk ke dalam pangan tinggi zat gizi (high nutrient-dense foods) yaitu produk susu, sayur-sayuran, buah-buahan, dan padi-padian/umbi-umbian, sedangkan kelompok pangan yang tergolong ke dalam pangan tinggi kalori dan rendah zat gizi (high-calories, low nutrient-dense foods) adalah snack/jajanan seperti permen, minuman soda, es krim, kue tinggi gula, cookies, dan lain sebagainya.
21
3 KERANGKA PEMIKIRAN Pada konferensi APEC (2012), terdapat 330 juta anak di dunia yang mendapat makanan di sekolah. Adanya investasi sebesar 30 miliar di seluruh dunia bagi pemberian makanan di sekolah dapat diasumsikan bila ada pembelian di pasar lokal maka pemberian makanan di sekolah menjadi potensi pasar yang besar bagi pangan di wilayah tersebut. Selain itu, pemberian makanan di sekolah dapat menjadi coping mekanisme pada saat krisis makanan di tahun 2008 (Mothe 2012). Pada periode 6-12 tahun, anak usia sekolah sangat sensitif dalam membentuk perkembangan kognitifnya. Bila pada periode ini mereka mengalami kelaparan maka kesempatan untuk belajar di sekolah menjadi berkurang. Salah satu cara yang paling efektif dalam meningkatkan ketahanan pangan untuk jangka panjang serta memperkuat strategi coping pada saat krisis adalah dengan meningkatkan pendidikan. Dalam hal ini, adanya penyelenggaraan makanan di sekolah dapat membantu mengurangi kemiskinan serta mendorong untuk memberi harapan kepada generasi mendatang agar lebih cerdas dan produktif (WFP 2006). Penelitian yang dilakukan di Chili pada tahun 2013, ada hubungan yang positif antara kehadiran siswa dan keaktifannya di kelas terhadap adanya progam pemberian makanan di sekolah walaupun hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor lain seperti jenis kelamin, dan aktifitas fisik. Penelitian ini menyarankan agar diterapkan kebijakan dalam hal kandungan zat gizi pada makanan yang diberikan harus seimbang, tidak hanya memperhatikan asupan kalori (Mcewan 2012). Chepkwony et al. (2013), memaparkan bahwa sekolah yang memiliki progam pemberian makanan memiliki prestasi akademik yang lebih tinggi. Secara signifikan ternyata penelitian ini harus didukung oleh semua pihak seperti orang tua, guru, dan para pemangku kebijakan. Ketersediaan pangan serta aksesibilitas dalam mendapat pangan yang sehat perlu disosialisasikan pada orangtua maupun sekolah. Adanya pangan lokal yang beranekaragam juga harus disosialisasikan pada pihak pengelola penyediaan makanan di sekolah, guru maupun orangtua. Bila hal ini, dapat diterapkan maka diharapkan anak akan lebih mengenal pangan lokal dan mengurangi prevalensi obesitas. Penyelenggaraan makanan di sekolah merupakan suatu proses menyediakan makanan bagi siswa yang diselenggarakan di sekolah yang biasanya melibatkan katering. Tetapi dalam pelaksanaannya proses penyelenggaraan makanan ini memerlukan prinsip-prinsip manajemen agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Menurut Yulianti dan Santoso (1995) fungsi manajemen dalam penyelenggaraan makanan dibagi menjadi empat, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Secara garis besar pengelolaan makanan mencakup perencanaan menu, pembelian, penerimaan, dan persiapan pengolahan bahan makanan, pengolahan bahan makanan, pendistribusian/penyajian makanan dan pencatatan serta pelaporan (Nursiah 1990). Perencanaan menu harus disesuaikan dengan anggaran yang ada dengan mempertimbangkan kebutuhan gizi dan aspek kepadatan makanan dan variasi bahan makanan. Menu seimbang perlu untuk kesehatan, namun agar menu yang disediakan dapat dihabiskan, maka perlu disusun variasi
22 menu yang baik, aspek komposisi, warna, rasa, rupa, dan kombinasi masakan yang serasi (Nursiah 1990). Bank Dunia, WFP, dan Kemitraan untuk Perkembangan Anak ( PCD ) mengidentifikasi bahwa setiap negara memiliki cara masing-masing dalam melakukan kegiatan penyelenggaraan makanan bagi anak-anak sekolah. Namun, makanan di sekolah dapat menjadi salah satu intervensi yang kompleks sehingga dapat diaplikasikan dalam berbagai model. Hal ini didukung oleh pemerintah pusat di berbagai negara terutama bagi negara dengan penghasilan yang rendah dan menengah (Gelli et al. 2013). Penyelenggaraan Makanan di Sekolah
Penyelenggaraan makanan di sekolah model out-side dengan catering tanpa ahli gizi
Penyelenggaraan makanan di sekolah model in-side dengan ahli gizi
Input (Perdigon. 1989) meliputi : SDM, peralatan, bahan baku, konsumen dana dan metode
Proses : perencanaan menu, pengolahan, penyajian & distribusi, pelaporan
Output
Kualitas Menu
Tingkat Kesukaan Daya Terima & Konsumsi Siswa
Tingkat Kecukupan Gizi
Status Gizi Gambar
2
Kerangka pemikiran penelitian analisis model sistem penyelenggaraan makanan kualitas menu di sekolah dasar
23
4 METODE Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini menggunakan cross sectional study yang dilaksanakan di Yayasan Al-Muslim Tambun Cibitung Bekasi, dan SDIT Al Hidayah Cibinong Bogor. Lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan (1) sekolah dengan penyelenggaraan makanan, (2) bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian, (3) perizinan yang mudah dilakukan. Berdasarkan pertimbangan tersebut sekolah yang terpilih terdiri dari dua jenis sekolah yaitu sekolah dengan penyelenggaraan makanan yang tempat produksi dilaksanakan di dalam lingkungan sekolah dan mempekerjakan ahli gizi dan sekolah dengan penyelenggaraan makanan yang tempat produksi makanan dilaksanakan di luar lingkungan sekolah (disediakan oleh katering dengan sistem outsourcing). Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2015 sampai dengan Agustus 2015 yang mencakup kegiatan penyelesaian proposal, penyusunan instrumen, pengambilan data, entry data, pengolahan dan analisis data serta penulisan tesis. Subjek Penelitian Penetapan Sampel Cara pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Kriteria inklusi adalah siswa yang mendapatkan pemberian makanan di sekolah. Subjek dialokasikan menjadi 2 (dua) kelompok. Kelompok sekolah yang didampingi ahli gizi kelas 5 (n = 43) yang terdiri dari 22 orang laki-laki dan 21 orang perempuan dan kelompok yang tidak didampingi ahli gizi, yaitu kelas 4 dan 5 yang terdiri dari 24 orang laki-laki dan 18 orang perempuan (n = 42). Penetapan Responden Jumlah responden yang diikutsertakan dalam penelitian disesuaikan dengan pihak pengelola yang ada di masing-masing sekolah sehingga dilakukan secara purposive. Responden adalah ahli gizi, kepala sekolah, tenaga penjamah makanan, pemilik/manajer katering dan pengelola penyelenggaraan makanan di masing-masing sekolah dasar. Responden pada kelompok sekolah yang didampingi ahli gizi sebanyak 4 orang dan kelompok yang tidak didampingi ahli gizi sebanyak 3 orang. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan selama 5 hari di masing-masing sekolah meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara, pengisian kuesioner dan observasi secara langsung di lokasi penelitian. Data berat badan dan tinggi badan dilakukan pada hari pertama pengambilan data. Data konsumsi pangan yang diperoleh berupa data berat dan jenis bahan pangan yang dikonsumsi yang terdiri atas konsumsi 5 hari sekolah (weekday). Data porsi menu diperoleh dengan menimbang menu yang disediakan oleh ahli gizi/ katering sekolah selama 5 hari dalam 1 siklus menu yang terdiri atas nasi, protein
24 hewani/nabati, sayur, dan buah. Adapun data sekunder diperoleh melalui pihak sekolah maupun katering tempat terselenggaranya kegiatan penyelenggaraan makanan. Observasi secara langsung mengenai higiene dan sanitasi dalam kegiatan penyelenggaraan makanan berdasarkan PERMENKES RI No.1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang higiene sanitasi jasa boga. Instrumen penelitian yang dikembangkan berupa kuesioner bagi siswa, kuesioner mengenai menu makan siang siswa, pedoman indept interview bagi responden yang meliputi ahli gizi, kepala sekolah, penjamah makanan, pemilik katering dan pengelola penyelenggaraan makanan di masing-masing sekolah dasar. Adapun jenis data dan cara pengumpulan datanya adalah sebagai berikut : Tabel 2 Variabel penelitian dan cara pengukurannya No 1.
4.
Variabel Input Penyelenggaraan Makanan 2 Sekolah Sumber daya manusia Peralatan Bahan baku Proses Penyelenggaraan Makanan Sekolah Perencanaan menu Pengolahan Penyajian dan distribusi Output Penyelenggaraan Makanan Sekolah Kualitas Menu Konsumsi siswa Recall 2 x 24 jam Food Frequency Daya terima dan tingkat kesukaan siswa Status Gizi
5.
Higiene Sanitasi
2.
3.
Sasaran Pengelola penyelenggaraan makanan, kepala sekolah, ahli gizi, penjamah makanan dan pemilik catering
Metode Pengukuran Wawancara (indepth interview), alat perekam dan observasi secara langsung
Pengelola penyelenggaraan makanan, kepala sekolah, ahli gizi, penjamah makanan dan pemilik katering
Wawancara (indepth interview), alat perekam dan observasi secara langsung
Pengelola penyelenggaraan makanan, ahli gizi dan pemilik katering Siswa Kelas 4 dan 5
Wawancara (indepth interview), alat perekam, observasi secara langsung Kuesioner Kuesioner daya terima siswa dan tingkat kesukaan siswa
Wawancara : umur Pengukuran TB menggunakan alat ukur panjang badan dengan ketelitian 0.1 cm Penimbangan BB menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0.1 kg Kegiatan Penyelenggaraan Observasi secara Makanan langsung Siswa kelas 4 dan 5
25 Prosedur Pengolahan dan Analisis Data Setelah data diperoleh maka dimulai proses pengolahan dan analisis data yang meliputi coding, cleaning, dan analisis. Data yang telah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabel, diagam, atau kurva dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS for Windows versi 22.0. Analisis statistik yang digunakan adalah 1) tabulasi frekuensi untuk melihat umur, jenis kelamin, dan status gizi, 2) uji t-test untuk menganalisis perbedaan tingkat kecukupan dan status gizi di kedua sekolah dasar tersebut. Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam gam/URT dikonversi ke dalam nilai zat gizi dengan menggunakan Nutrisurvey 2007 dengan menggunakan metode recall, yaitu dengan menghitung jumlah dan jenis pangan aktual yang dikonsumsi oleh siswa selama 2 x 24 jam. Data konsumsi pangan yang diperoleh kemudian dikonversikan ke dalam bentuk energi, protein, kalsium (Ca), zat besi (Fe), vitamin A, vitamin C, vitamin E, magnesium (Mg), potassium, dan serat. Perhitungan kecukupan energi dan protein rumah tangga pada penelitian ini didasarkan pada Institute of Medicine (IOM) tahun 2005. Kecukupan energi masing-masing kelompok umur dan jenis kelamin yang berbeda dihitung menggunakan rumus berikut: Laki-laki 10-18 tahun dengan status gizi normal TEE = [88.5 – (61.9xU) + PA x (26.7xBB+ 903xTB)]+ 25 Kal Kecukupan Energi = TEE + 0.1TEE Keterangan : PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.13 (ringan) PA = 1.26 (aktif) PA = 1.42 (sangat aktif) Perempuan 10-18 tahun dengan status gizi normal TEE = [135.3 – (30.8xU) + PA x (10xBB + 934xTB)]+ 25 Kal Kecukupan Energi = TEE + 0.1TEE Keterangan : PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.16 (ringan) PA = 1.31 (aktif) PA = 1.56 (sangat aktif) Kecukupan protein dihitung berdasarkan angka kecukupan protein dalam LIPI (2013) dan IOM (2005). Perhitungan kecukupan protein disesuaikan dengan berat badan masing-masing individu serta dikoreksi dengan faktor koreksi mutu protein, sebagaimana berikut: Kecukupan protein = (AKP x BB) x faktor koreksi mutu protein Keterangan : AKP = Angka kecukupan protein (g/kgBB/hari) BB = Berat badan aktual (kg) Faktor koreksi mutu protein dewasa = 1.3 dan bagi anak dan remaja = 1.5 Faktor koreksi mutu protein perempuan hamil = 1.2 Angka kecukupan vitamin dan mineral meliputi vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi dihitung berdasarkan AKG 2012 (LIPI 2013) menggunakan rumus berikut ini: AKGI = (Ba/Bs) x AKG Keterangan : AKGI = Angka kecukupan zat gizi yang dicari Ba = Berat badan aktual sehat (kg) Bs = Berat badan standar
26 AKG = Angka kecukupan zat gizi berdasarkan AKG 2012 Tingkat kecukupan gizi diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat gizi tersebut dengan kecukupannya sesuai dengan kelompok umur dan jenis kelamin (LIPI 2013). Berikut rumus kecukupan zat gizi yang digunakan: TKG = (Konsumsi zat gizi aktual/AKGI) x 100% Keterangan : TKG = Tingkat kecukupan gizi K = Konsumsi zat gizi AKGI = Angka kecukupan zat gizi yang dicari Menurut Departemen Kesehatan (1996), tingkat kecukupan energi dan protein dibedakan menjadi lima cut off points yaitu defisit tingkat berat (< 70% AKG), defisit tingkat sedang (70-79% AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG), normal (90-119% AKG), serta berlebih (≥ 120% AKG). Adapun klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral dibagi menjadi dua kategori menurut Gibson (2005), yaitu defisit apabila < 77% AKG serta cukup apabila ≥ 77% AKG. Skor densitas energi dan densitas zat gizi pangan ditentukan berdasarkan data asupan konsumsi dari recall konsumsi 2 x 24 jam. Nilai atau skor densitas energi pangan dihitung menggunakan metode dietary energy density (DED) yang membandingkan antara jumlah asupan energi dengan total berat pangan (kkal/g), sebagaimana tercantum berikut ini (Wang et al. 2013).
Keterangan : DED : Dietary energy density (kkal/ g) Adapun metode yang digunakan untuk menentukan densitas zat gizi pangan yaitu Nutrient Rich Food Index (NRF 9.3), yang merekomendasikan untuk mengoptimalkan konsumsi 9 jenis zat gizi esensial serta membatasi konsumsi 3 jenis zat gizi. Sembilan jenis zat gizi yang direkomendasikan untuk dioptimalkan konsumsinya yaitu protein, serat, vitamin A, vitamin C, vitamin E, kalsium (Ca), zat besi (Fe), magnesium (Mg), dan potasium (K); sedangkan tiga jenis zat gizi yang perlu dibatasi yaitu gula tambahan, asam lemak jenuh, serta natrium (Drewnowski 2009). Penentuan densitas zat gizi pangan dengan metode NRF 9.3 dihitung per 100 kkal makanan, sebagaimana berikut ini: NRF 9.3 = Σ 9(%DV/100kkal) - Σ 3(%MRV/100kkal) Keterangan: DV : Daily value (tingkat kecukupan gizi yang dianjurkan per hari) MRV : Maximum Recommended Value Selanjutnya skor dietary energy density (DED) dan Nutrient Rich Food Index (NRF 9.3) diklasifikasikan menjadi beberapa kategori sebagaimana Tabel 3. Skor NRF 9.3 kemudian dibandingkan dengan skor DED untuk mengetahui kualitas zat gizi pangan tersebut (Gambar 3). Bila skor DED semakin rendah sedangkan skor NRF 9.3 semakin tinggi maka kualitas gizi pangan akan semakin baik dan bila skor DED tinggi sedangkan skor NRF rendah maka semakin buruk
27 kualitas gizi suatu pangan. Ukuran lingkaran di dalam gafik menunjukkan jumlah makanan pada setiap kelompok pangan (Drewnowski 2009).
Gambar 3 Median skor Nutrient Rich Food Index (NRF 9.3) dan Dietary Energy Density (DED) Tabel 3 Pengkategorian variabel penelitian No. 1.
Variabel Usia
Kategori Pengukuran 9, 10, 11, 12 tahun
2.
Jenis Kelamin
Laki-laki, Perempuan
3.
Tingkat Kecukupan Energi dan Protein
4.
Tingkat Kecukupan Vitamin dan Mineral Densitas Energi Pangan (DED)
Defisit tingkat berat (<70% AKG) Defisit tingkat sedang (70─79% AKG) Defisit tingkat ringan (80─89% AKG) Normal (90─119% AKG) Kelebihan (≥120% AKG) Defisit (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG) DED Tinggi (4-9 kkal/g pangan) DED Sedang (1.5-4 kkal/g pangan) DED Rendah (0.6-1.5 kkal/g pangan) DED Sangat Rendah (0-0.6 kkal/g pangan) Kuintil 1 (skor < 1) Kuintil 2 (skor 1-10) Kuintil 3 (skor 11-20) Kuintil 4 (skor 21-30) Kuintil 5 (skor > 30) Obese (+2 SD ≤ z-score<+3 SD) Gemuk (+1 SD ≤ z-score <+2 SD) Normal (-2 SD < z-score < +1 SD) Kurus (-2 SD ≤ z-score < -3 SD) Sangat Kurus (≤-3 SD) dimakan habis, dimakan 3/4 bagian, dimakan ½ bagian, dimakan ¼ bagian, hanya dicicipi dan tidak dimakan Sangat suka, suka, biasa-biasa, tidak suka, sangat Tidak Suka
5.
6.
Densitas Zat Gizi (NRF 9.3)
7.
Status Gizi (IMT/U)
8.
Daya Terima
9.
Tingkat Kesukaan
Sumber Sebaran Contoh Sebaran Contoh Depkes 1996
Gibson (2005) Rolls (2009)
Drewnowski (2010)
WHO (2007)
(Gegoire & Spears 2007) Gegoire & Spears 2007)
28 Definisi Operasional Anak usia sekolah adalah anak laki-laki maupun perempuan yang berumur 9-12 tahun yang saat penelitian berlangsung duduk di sekolah dasar. Penyelenggaraan makanan di sekolah adalah kegiatan pelaksanaan dan penyediaan makan siang bagi siswa/siswi sekolah dasar dengan penyelenggaraan makanan yang tempat produksinya dilaksanakan di dalam lingkungan sekolah dan mempekerjakan ahli gizi, sekolah dengan penyelenggaraan makanan yang tempat produksi dilakukan di dalam lingkungan sekolah tanpa didampingi oleh ahli gizi, dan sekolah dengan penyelenggaraan makanan yang tempat produksi makanan dilaksanakan di luar lingkungan sekolah (disediakan oleh katering dengan sistem outsourcing). Input penyelenggaraan makanan di sekolah adalah SDM, peralatan, bahan baku, konsumen, dana dan metode yang diperlukan dalam kegiatan penyelenggaraan makan siang di sekolah dasar. Proses penyelenggaraan makanan di sekolah adalah perencanaan menu, pengolahan, penyajian dan distribusi makanan yang dilakukan dalam kegiatan penyelenggaraan makan siang di sekolah dasar. Output penyelenggaraan makanan di sekolah adalah keragaman dan nilai gizi, konsumsi dan daya terima siswa sekolah dasar kelas 4 dan 5 dalam kegiatan penyelenggaraan makan siang di sekolah dasar. Katering adalah pihak luar yang bekerjasama dengan sekolah dalam pelaksanaan penyelenggaraan makan siang bagi siswa dan siswi di sekolah dasar. Daya terima siswa adalah banyaknya makan siang yang dapat diterima oleh siswa yang dinilai berdasarkan skala Comstock dengan membagi skala dalam 6 kategori yaitu: dimakan habis, dimakan 3/4 bagian, dimakan ½ bagian, dimakan ¼ bagian, hanya dicicipi dan tidak dimakan yang diaplikasikan dalam bentuk ilustrasi gambar (Gegoire MB & Spears MC 2007) Tingkat kesukaan adalah kesesuaian masing-masing karakteristik makanan yang meliputi warna, aroma, tekstur, kesesuaian porsi, rasa, dan suhu makanan terhadap selera siswa terhadap menu makan siang yang dinilai berdasarkan skala hedonik (skala wajah), dimana makanan yang dinilai memiliki kriteria sangat suka, suka, biasa-biasa, tidak suka dan sangat tidak suka (Gegoire MB & Spears MC 2007) Status Gizi Siswa adalah keadaan status gizi anak usia sekolah (5-19 tahun) berdasarkan IMT/U (WHO 2007) dengan menggunakan cut-off yang dikategorikan obesitas bila >+2SD; gemuk bila -2SD - >+1SD; normal -2 SD – 1 SD; kurus -3 SD - <-2SD;dan sangat kurus bila <-3SD. Tingkat kecukupan adalah perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi siswa terhadap angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan untuk anak usia sekolah (7─13 tahun). Densitas energi pangan adalah jumlah asupan energi yang terkandung dalam 100 gam makanan. Densitas zat gizi pangan adalah jumlah asupan zat-zat gizi per unit kalori makanan atau perbandingan antara asupan zat-zat gizi terhadap total energi yang terkandung pada makanan.
29
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sekolah SDI Al Muslim Tambun Cibitung Bekasi Yayasan Al Muslim memiliki visi menjadikan generasi muslim yang siap menjadi khalifatullah fil ardl yang abdillah dan rahmatan lil alamin dan berakhlakul karimah. Misi dari Yayasan Al Muslim adalah membangun dan menyelenggarakan sistem pendidikan yang komprehensif sehingga mencetak lulusan untuk menjadi generasi muslim yang memiliki kemampuan sebagai khalifatullah fil ardl yang rahmatan lil alamin dan berakhlakul karimah. Tujuan Yayasan Al Muslim adalah 1) menumbuhkan lingkungan sekolah yang kondusif bagi terbentuknya anak-anak muslim yang shaleh, cerdas, kreatif dan menyenangi kegiatan belajar; 2) mengembangkan kurikulum, fasilitas, dan model pembelajaran yang tepat untuk membentuk anak-anak muslim yang shaleh, cerdas, kreatif, dan menyenangi kegiatan belajar; 3) menggali dari Al-Qur'an dan sunnah rosul, serta ala (ayat kauniah), mengembangkan dan mencontohkan perilaku anak muslim, mu'min, mutawakil, mutathohir dan muttaqin (akhlakul karimah); 4) mengembangkan model hubungan sekolah dengan orang tua siswa yang tepat sehingga terdapat kontinuitas dan konsistensi antara rumah dan sekolah sebagai lingkungan pembelajaran yang sesuai dengan visi lembaga; 5) membuat dan mengembangkan model sistem seleksi pelatihan dan pengembangan guru sesuai dengan sistem persekolahan yang disebutkan dalam visi dan misi di atas; 6) mengembangkan teknologi informasi secara efektif dan efisien dalam manajemen pendidikan. Yayasan Al Muslim memiliki lingkungan pendidikan seluas 3.7 Ha. Fasilitas yang dimiliki terdiri dari gedung dan ruang belajar representative, tenaga pengajar yang profesional dibidangnya, sarana ibadah, tempat bermain dilengkapi dengan sarana outbond, lahan praktik berkebun sebagai sarana Geen Education, lab IPA, Bahasa, Komputer, perpustakaan sekolah, bimbingan konseling, unit kesehatan sekolah, lapangan olahraga, aula, asuransi, kantin, keamanan, lahan parkir yang luas dan antar jemput siswa. Pola pendidikan dikembangkan satu hari penuh, dengan kurikulum yang terintegasi dengan pendidikan iman, pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan fisik serta pendidikan kepemimpinan. Metode pembelajaran yang digunakan adalah learning by doing dengan pendekatan joyfull learning yaitu belajar dengan melakukan, yang menuntut kreatifitas, imprivasi dan inovasi guru dalam proses belajar mengajar sehingga peserta didik dapat mengembangkan karakter kecintaan belajar. Belajar tidak hanya fokus di dalam kelas tetapi juga di luar kelas dalam areal komplek pendidikan yang luas, aman dan nyaman. Sistem belajar sehari penuh (full day) mulai pukul 07.00 – 16.00 siswa dibina secara intensif supaya mampu mencapai prestasi tinggi baik dibidang akademis maupun nonakademis serta berperilaku yang akhlakul karimah. SD Al Muslim didukung oleh tenaga pendidik dan kependidikan berjumlah 81 orang yang terdiri dari 42 guru bidang studi dengan gelar sarjana, 30 guru bersertifikat professional, 3 guru BK, 25 guru tilawati dan tahfidz
30 (bersyahadah), Staff UKS, humas, keuangan, administrasi, perpustakaan dan 6 OB. SDIT AL Hidayah Cibinong Bogor SDIT Al Hidayah adalah sebuah sekolah tingkat dasar yang merupakan rintisan sekolah berstandar Nasional (SSN) dengan nilai akreditasi A. SDIT Alhidayah berbeda dengan sekolah dasar lainnya, karena kami memiliki progamprogam khusus yang akan menjadikan anak Anda lebih mandiri, kreatif dan menjunjung tinggi nilai keislaman sesuai dengan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah. Visi dan misi dari SDIT Al Hidayah mencerdaskan anak bangsa dan mencetak generasi muslim yang Rabbani. Fasilitasnya adalah sebagi berikut, yaitu gedung sekolah permanen, masjid/aula, kelas ber-AC, Lab. Bahasa, Lab. Komputer, Lab. Sains, perpustakaan, UKS, koperasi, kantin, halaman bermain, lapangan dan area parkir. Karateristik Subjek Anak usia sekolah merupakan masa dimana rentang usia anak antara 6-12 tahun (Adriani & Wirjatmadi 2012). Pada masa ini, sebagian besar waktu anak lebih banyak dilakukan diluar rumah sehingga energi yang dibutuhkan lebih tinggi. Pola makan yang bergizi seimbang dan aman sangat penting untuk diberikan pada anak sesuai dengan umur, kebutuhan serta aktifitas fisiknya (Kurniasih et al. 2010). Subjek dalam penelitian pada SDI Al Muslim adalah siswa sekolah dasar sebesar 43 orang yang terdiri dari 21 orang perempuan (48.8%) dan 22 orang laki-laki (51.2%) serta 42 orang siswa SDIT Al Hidayah yang terdiri dari 24 orang perempuan (57.1%) dan 18 orang laki-laki (42.9%). Umur sampel dikelompokkan menjadi dua kelompok dikedua SD. Adapun subjek siswa yang berumur 9-10 tahun di SDI Al Muslim adalah 19 orang (44.2%) dan yang berumur 11-12 tahun adalah 24 orang (55.8%). Subjek di SDIT Al Hidayah yang berusia 9-10 tahun sebanyak 36 orang (85.7%) dan yang berusia 11-12 tahun sebanyak 6 orang (14.3%). Data karakteristik sampel secara rinci disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Karateristik subjek berdasarkan model sistem penyelenggaraan makanan Variabel Usia 9-10 tahun 11-12 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
SDI Al Muslim n(%)
SDIT Al Hidayah n(%)
19 (44.2) 24 (55.8)
36 (85.7) 6 (14.3)
22 (51.2) 21 (48.8) 43 (100.0)
24 (57.1) 18 (42.9) 42 (100.0)
31 Status Gizi Status gizi siswa Al Muslim berdasarkan IMT/U (WHO 2007) termasuk dalam kategori gemuk (23.2%) terdiri dari 16.3% perempuan dan 6.9% laki-laki sedangkan kategori obesitas (16.3%) terdiri dari 4.7% perempuan dan 11.6% lakilaki. Siswa Al Hidayah yang termasuk dalam kategori gemuk (28.6%) terdiri dari 16.7% perempuan dan 11.9% laki-laki sedangkan kategori obesitas (26.2%) terdiri dari 7.2% perempuan dan 19.0% laki-laki. Status gizi di kedua sekolah ini tidak berbeda secara nyata (p<0.05), hal ini dapat disebabkan karena SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah merupakan sekolah dengan tingkat sosial ekonomi yang sama. Faktor yang berhubungan dengan status gizi pada siswa sekolah dasar adalah tingkat pengetahuan ibu, pendidikan ibu, pendapatan keluarga, penyakit menular, tingkat konsumsi energi, tingkat konsumsi protein (Pahlevi 2012). Obesitas di kedua sekolah tersebut lebih tinggi pada siswa yang berjenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu bahwa prevalensi kegemukan anak usia 6-12 tahun lebih rendah pada anak perempuan (13.4%) dibandingkan dengan anak laki-laki (16.8%) dikarenakan anak perempuan lebih sering membatasi makan untuk alasan penampilan (Sartika 2011). Peran guru dan orangtua sangat penting dalam mengatasi obesitas pada anak sekolah. Anak beranggapan bahwa guru dan orangtua terutama ibu merupakan model yang baik untuk dijadikan panutan bagi seorang anak (Kelishadi et al. 2014). Tabel 5 Status gizi subjek berdasarkan penyelenggaraan makanan Variabel Status Gizi Kurus Normal Gemuk Obesitas Total
jenis kelamin pada model sistem
SDI Al Muslim Laki-laki Perempuan n (%) n (%)
SDIT Al Hidayah Laki-laki Perempuan n (%) n (%)
14 (32.6) 3 (6.9) 5 (11.6) 22 (51.1)
11 (26.2) 5 (11.9) 8 (19.0) 24 (57.1)
1 (2.3) 11 (25.6) 7 (16.3) 2 (4.7) 21 (48.9)
8 (19.0) 7 (16.7) 3 (7.2) 18 (42.9)
Analisis Penyelenggaraan Makanan Di Sekolah Di beberapa negara pemberian makanan dilakukan dengan pemberian makanan di sekolah, di mana anak-anak makan di sekolah, dan ransum/ bekal dibawa pulang untuk keluarganya. Selain itu, di negara lain juga ada pemberian makanan di sekolah yang dilakukan dengan menyediakan makanan lengkap, atau biskuit tinggi energi maupun makanan ringan, dan pemberian makanan yang dikombinasikan dengan bekal yang dibawa pulang diberikan terutama bagi siswa yang rentan seperti anak perempuan dan anak anak yang terkena dampak HIV. Hal ini dilakukan untuk memberikan dampak yang lebih besar bagi peningkatan
32 pendaftaran di sekolah dan mengurangi kesenjangan jender atau sosial (WFP 2013). Di negara berkembang, diperkirakan 66 juta anak usia sekolah yang bersekolah mengalami kelaparan, dan 67 juta anak tidak bersekolah sama sekali. Progam pemberian makanan di sekolah dapat ditemukan dibeberapa negara seperti Amerika Latin, Asia, Afrika, dan Amerika (WFP 2011). KEPMENKES Nomor : 1096/MENKES/PER/VI/2011 mengatur dan mengawasi usaha jasa boga secara keseluruhan berdasarkan luas jangkauan pelayanan katering sekolah, yaitu kantin SDI Al Muslim di SDI Al Muslim dikelompokan sebagai usaha jasaboga golongan A3 yang melayani masyarakat umum, memiliki dapur khusus dan mempekerjakan tenaga kerja sedangkan katering Dawiyah di SDIT Al Hidayah dikelompokkan sebagai usaha jasaboga golongan A1 yang melayani masyarakat umum, pengolahan makanan yang masih menggunakan dapur rumah tangga serta dikelola oleh keluarga. Profil Kantin Al Muslim Kantin Al Muslim merupakan unit yang berada di bawah Yayasan Al Muslim Tambun Cibitung, sehingga kantin ini bukan bagian dari sekolah tetapi berada pada yayasan yang sama. Kantin tersebut berada di dalam komplek Yayasan Al Muslima Tambun Cibitung Bekasi (bagian depan sekolah). Penyelenggaraan makanan di SDI Al Muslim mulai dilaksanakan pada tahun 1996. Profil Katering Dawiyah Katering Dawiyah merupakan katering di SDIT Al Hidayah yang bersifat bisnis jasa boga kelas industri rumah tangga. Katering ini dikelola oleh salah satu orangtua siswa SDIT Al Hidayah yang bermula dari putrinya yang suka membawa bekal makanan. Teman-temannya menyukai bekal yang ia bawa kemudian orang tua siswa lainnya mulai memesan bekal makan siang. Katering Dawiyah resmi menjadi mitra katering sekolah sejak tahun ajaran baru 2014-2015 tetapi bisnis katering ini sudah berjalan selama ± 6 tahun. Model Penyelenggaraan Makanan Di Sekolah Kantin SDI Al Muslim melaksanakan model penyiapan makanan di sekolah yang bahan pangannya diperoleh dari pasar yang berada di sekitar wilayah Tambun maupun supplier yang datang langsung ke sekolah. Sekolah dengan model ini memiliki lahan dapur, fasilitas dapur sekolah, adanya tenaga penjamah makanan sendiri, dapat menyajikan makanan secara lengkap dan berasal dari keluarga mampu. Katering Dawiyah merupakan model penyelenggaraan makanan yang dilakukan di luar sekolah dan tenaga penjamah makanan yang berasal dari katering. SDIT Al Hidayah belum memiliki fasilitas dapur sekolah sehingga dalam pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan makanan membutuhkan bantuan dari pihak luar seperti katering. Menurut Del Rosso (1999), model penyelenggaraan makanan ini membeli bahan baku diluar sekolah, persiapan dan pemasakan dilakukan di dapur katering. Setelah makanan matang kemudian siap untuk didistribusikan kepada para siswa.
33 Sistem Manajemen Penyelenggaraan Makanan Sekolah Input 1. Ketenagaan Penyelenggaraan Makanan Ketenagaan dalam suatu penyelenggaraan makanan meliputi kualifikasi dan jumlah. Ketenagaan di suatu penyelenggaraan makanan jumlahnya berbeda tergantung pada besar kecilnya penyelenggaraan makanan (Depkes 2013). Struktur organisasi dapur kantin SD Al Muslim berada dibawah naungan bidang non pendidikan. Tim dapur terdiri dari 12 orang yang terdiri dari seorang ahli gizi, seorang koordinator dapur besar, seorang yang bertugas untuk pemesanan dan penerimaan bahan makanan, tim dapur besar terdiri dari 6 orang, dan tim dapur snack terdiri dari 3 orang. Penyelenggaraan makanan di kantin Al Muslim memiliki tenaga dan kualifikasi yang terdiri dari : 1) Penanggung jawab pengelola adalah pemilik Yayasan Al Muslim Cibitung Bekasi yang belum memiliki keahlian di bidang penyelenggaraan makanan baik yang diperoleh dari pendidikan maupun pengalaman; memiliki kemampuan dalam mengarahkan bawahannya dalam penyediaan makanan yang memenuhi selera konsumen serta syarat gizi, dan aman dikonsumsi; berbadan sehat dan bebas dari penyakit menular. 2) Penanggung jawab pelaksana merupakan koordinator Kantin Al Muslim sejak tahun 2007 yang berprofesi sebagai ahli gizi. Beliau merupakan mahasiswa lulusan D4 Gizi Klinik UI dan lulusan D3 Akademi Gizi angkatan tahun 1980. Beliau merupakan seorang tenaga ahli yang membantu terlaksananya kegiatan penyelenggaraan makanan secara teknis dalam menentukan perencanaan menu serta perhitungan kandungan zat gizi. Beliau sudah memiliki kualifikasi yang memiliki keahlian, serta kemampuan dalam penyelenggaraan makanan secara teknis mulai dari perencanaan sampai pada evaluasi; memahami dan mengetahui berbagai prosedur dan peraturan yang terkait kegiatan penyelenggaraan makanan; berbadan sehat dan bebas dari penyakit menular. Selain itu, beliau juga telah mengikuti berbagai pelatihan yang dapat menunjang terlaksananya kegiatan penyelenggaraan makanan di sekolah dengan baik. (3) Penyelia (supervisor) di kantin Al Muslim dilakukan oleh seorang yang bertanggung jawab di dapur besar. Beliau bukan merupakan tenaga ahli tetapi bertanggung jawab dalam pengawasan dan terlibat langsung secara operasional dalam kegiatan penyelenggaraan makanan. Beliau selalu memantau dan mengarahkan pelaksana baik di dapur besar maupun di dapur snack agar dapat memenuhi standar mutu makanan dan sanitasi. Beliau sudah memenuhi kualifikasi yaitu berpengalaman dalam penyelenggaraan makanan, serta dapat melaksanakan tugas-tugas operasional pengawasan; mampu memimpin dan mengarahkan pelaksana; dan berbadan sehat serta bebas dari penyakit. Di kantin Al Muslim memiliki tenaga khusus untuk memesan dan menerima bahan makanan. Petugas tersebut memiliki pengetahuan mengenai bahan makanan sehingga bahan makanan yang diterima sesuai dengan standar bahan makanan yang aman, baik dan bersih. (4) Pelaksana di kantin Al Muslim terdiri dari : a) Penjamah makanan yang merupakan tenaga terampil yang bertugas mengolah bahan makanan di dapur besar sebanyak 6 orang dan di dapur snack sebanyak 3 orang. Penjamah makanan
34 di kantin Al Muslim sudah memiliki kualifikasi sebagai berikut : berpengalaman dalam pemasakan makanan, mampu membaca dan memasak sesuai dengan resep, memahami gizi, kesehatan, sanitasi dan bahan makanan serta terampil dan cekatan dalam melaksanakan tugas yang ditetapkan; berbadan sehat serta bebas dari penyakit menular. b) Pembersih peralatan di kantin Al Muslim belum memiliki tenaga khusus yang terlatih untuk mencuci, dan membersihkan peralatan, serta perlengkapan pengolahan. Penjamah makanan di kantin Al Muslim juga ikut membersihkan peralatan pengolahan. Pembagian kerja untuk setiap karyawan di kantin Al Muslim sudah terkordinasi dengan baik mulai dari proses persiapan, pemasakan, pemorsian, penyajian, pendistribusian, dan pencucian peralatan tetapi khusus untuk peralatan makan siswa biasanya setelah makan mereka diharuskan untuk mencuci peralatan makan mereka masingmasing. c) Pramusaji di kantin Al Muslim merupakan seorang office boy yang bertugas mendistribusikan makanan kepada para siswa dan guru. Petugas ini sudah berpenampilan rapi, bersih dan santun; berbadan sehat serta bebas dari penyakit menular. Pemantauan makan siang dilakukan oleh petugas khusus yang merangkap sebagai petugas UKS di SDI Al Muslim. Penanggung jawab pengelola, penanggung jawab pelaksana dan penyelia (supervisor) di Katering Dawiyah adalah pemilik katering yang sudah memiliki keahlian di bidang penyelenggaraan makanan yang diperoleh dari pendidikan dalam penyediaan makanan yang memenuhi selera konsumen dan aman dikonsumsi; berbadan sehat dan bebas dari penyakit menular. Beliau lulusan Sekolah Menengah Industri Pariwisata Bogor (SMIP), Jurusan Perhotelan dan memiliki pengalaman kerja di sebuah hotel di Bogor. Namun pengetahuan pengelola katering terkait peraturan-peraturan pemerintah terkait usaha jasa makanan juga masih sangat kurang. Pelaksana di Katering Dawiyah merupakan a) Penjamah makanan yang terampil dalam mengolah bahan makanan dan sudah memiliki kualifikasi sebagai berikut : berpengalaman dalam pemasakan makanan, mampu membaca dan memasak sesuai dengan resep, belum memahami gizi, kesehatan, sanitasi dan bahan makanan tetapi terampil dan cekatan dalam melaksanakan tugas yang ditetapkan; berbadan sehat serta bebas dari penyakit menular. b) Pembersih peralatan di Katering Dawiyah belum memiliki tenaga khusus yang terlatih untuk mencuci, dan membersihkan peralatan, serta perlengkapan pengolahan tetapi khusus untuk peralatan makan siswa biasanya setelah makan dibersihkan oleh petugas khusus di SDIT Al Hidayah. c) Pramusaji di Katering Dawiyah khusus belum ada tetapi tersedia petugas khusus untuk mendistribusikan makanan siap saji dari lokasi katering ke sekolah. Kantin Al Muslim sudah memiliki kualifikasi ketenagaan penyelenggaraan makanan sesuai dengan pedoman penyelenggaraan makanan di institusi (Depkes 2013). Katering Dawiyah belum memiliki kualifikasi ketenagaan khusus dikarenakan semua kualifikasi termasuk spesifikasi kerja yang spesifik masih secara langsung dikerjakan oleh pemilik katering. Katering ini merupakan katering rumahan yang hanya melibatkan anggota keluarga dalam proses pengolahan mulai dari persiapan, memasak, pemorsian, penyajian, distribusi, dan pencucian peralatan. Proses belanja pada kantin Al Muslim sebelumnya dilakukan pemesanan secara langsung kepada supplier oleh salah
35 satu staf kantin Al Muslim sedangkan katering Dawiyah dilakukan oleh pemilik katering. SDI Al Muslim memiliki seorang ahli gizi yang sudah berperan penting dalam hal penyelenggaraan makanan institusi. Ahli gizi tersebut merancang menu sesuai dengan usia, jenis kelamin dan anggaran yang disediakan oleh yayasan. Ahli gizi juga memberikan informasi mengenai pendidikan gizi kepada guru-guru agar memberikan penyuluhan kepada para siswanya misalnya mengenai pentingnya sayur dan buah. Para guru kemudian menginformasikan penyuluhan tersebut kepada para siswanya. Salah satu kompetensi seorang ahli gizi berupa pengawasan untuk merancang menu sesuai dengan kebutuhan dan status gizi konsumen, menyelia produksi makanan yang memenuhi kecukupan gizi, estimasi biaya daya terima, dan menyusun standar makanan bagi siswa maupun karyawan (Depkes 2015). Selain itu pentingnya keamanan pangan dalam suatu kegiatan penyelenggaraan makanan juga salah satu dari peranan ahli gizi dikarenakan seorang ahli gizi perlu memastikan suatu hidangan yang disajikan aman untuk dikonsumsi oleh para siswa maupun karyawan yang berada di sekolah (Sulaeman A 2010). 2. Fasilitas Penyelenggaraan Makanan a.
Ruangan Pengolahan
Dapur Kantin SD Al Muslim berlokasi di area Yayasan Al Muslim Bekasi. Bangunan terdiri atas satu lantai dengan luas ± 100 m2, ruang depan terdiri dari 2 bagian dan diperuntukan sebagai kantor katering dan kamar istirahat serta ruang sholat. Ruangan produksi terdiri dari 3 bagian, ruang pertama difungsikan untuk ruangan memasak nasi dan sayur, ruang kedua sebagai memasak lauk hewani dan nabati, dan ruang ketiga untuk memasak snack. Pemorsian makanan siap saji dilakukan diruang produksi. Lokasi dapur di SDI Al Muslim mudah dicapai dari ruang makan. Proses pendistribusian mudah dilakukan sehingga proses pelayanan makanan dapat berjalan lancar; tidak berdekatan dengan sumber pencemaran seperti tempat pembuangan sampah, wc dan sumber cemaran lainnya. Luas area penyelenggaraan makanan ± 100 m2 sehingga memungkinkan untuk pendistribusian bahan makanan, penyajian, tempat peralatan dan transportasi ke tempat pembagian makanan. Standar yang ditetapkan sudah sesuai, 2 m2 untuk setiap pekerja berdasarkan luas lantai ruang produksi yang bebas dari peralatan. Tata ruang produksi di kantin Al Muslim telah mengikuti proses alur kerja yang baik dan efisien, serta mudah dibersihkan sehingga sanitasi ruang produksi dapat lebih ditingkatkan. Konstruksi bangunan kokoh dan kuat serta bersih secara fisik, dan bebas dari barang-barang bekas yang diletakkan sembarangan. Bangunan sudah terpisah dari tempat tinggal. Pembagian ruang di kantin Al Muslim terdiri dari dapur, gudang, ruang makan, toilet, ruang karyawan dan ruang administrasi. Setiap ruangan sudah memiliki batas dinding dan ruangan yang satu dengan yang lain dipisahkan dengan pintu. Lantai rata, tidak retak, tidak licin, kemiringan cukup dan mudah untuk dibersihkan. Permukaan dinding sebelah dalam rata, tidak lembap, mudah dibersihkan dan berwarna terang. Bila permukaan dinding selalu terkena air, dilapisi bahan kedap air setinggi dua meter dari lantai dengan permukaan
36 halus, tidak menahan debu dan berwarna terang. Sudut antara dinding dengan lantai sudah membentuk lengkungan (conus) sehingga mudah dibersihkan sehingga tidak menyimpan debu dan kotoran. Bidang langit-langit menutupi seluruh atap bangunan, dan terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, permukaannya rata, tidak menyerap air dan mudah dibersihkan. Tinggi langitlangit minimal 2,4 meter diatas lantai. Sistem ventilasi di kantin SDI Al Muslim sudah baik, ruang produksi dekat dengan ruang makan tetapi letaknya terpisah. Pencahayaan dilengkapi dengan lampu walaupun pencahayaan alam sudah baik. Luas ventilasi 20 persen dari luas lantai untuk menghindari udara yang terlalu panas dan menjaga kenyamanan penjamah makanan; mencegah terjadinya kondensasi/ pendinginan uap airatau lemak dan menetes pada lantai, dinding, dan langitlangit serta membuang bau, asap dan pencemaran lainnya. Pintu ruang tempat mengolah makanan telah di desain membuka kearah luar dan dapat menutup sendiri (self closing), dan dilengkapi peralatan anti serangga/ lalat seperti kassa, tirai dan pintu rangkap. Pintunya dibuat dari bahan yang kuat dan mudah dibersihkan. Jarak antara pintu dan lantai tidak lebih dari 1 cm. Pintu dan jendela dilengkapi peralatan anti serangga/ lalat seperti kassa, tirai dan pintu rangkap yang mudah dibuka dan dipasang untuk dibersihkan. Luas tempat pengolahan berdasarkan jumlah karyawan yang bekerja dan peralatan yang ada di ruang pengolahan sesuai dengan luas lantai dapur yang bebas dari peralatan minimal 2 m2 untuk setiap orang pekerja. Ruang pengolahan sudah terpisah dari toilet dan kamar mandi. Peralatan di ruang pengolahan sudah memiliki meja kerja, lemari penyimpanan bahan makanan dan makanan siap saji terhindar dari gangguan serangga dan binatang pengerat. Dinding ruang produksi sudah terbuat dari keramik berwarna yang mudah dibersihkan, memantulkan cahaya, kuat dan tidak licin. Katering Dawiyah berlokasi di rumah pemilik katering dan ruang produksi dengan luas ± 6 m2 merupakan dapur yang berada di dalam rumah. Area tersebut digunakan untuk ruangan persiapan, memasak, pemorsian, pencucian peralatan, dan penyimpanan peralatan memasak. Ruangan dibagi menjadi 3 bagian yaitu: memasak; pemorsian; dan pencucian. Luas dapur belum mencakup 2 m2 per orang tenaga kerja. Lokasi dapur di luar sekolah SDIT Al Hidayah dan mudah dicapai dari lokasi katering sehingga proses pendistribusian mudah dilakukan dan pelayanan makanan dapat berjalan dengan lancar. Luas area penyelenggaraan makanan kurang dari 2 m2 belum sesuai dari standar yang ditetapkan. Tata ruang produksi di katering Dawiyah telah mengikuti proses alur kerja yang baik dan efisien, serta mudah dibersihkan. Konstruksi bangunan di katering Dawiyah kokoh dan kuat serta bersih secara fisik, dan bebas dari barang-barang bekas yang diletakkan sembarangan. Bangunan belum terpisah dari tempat tinggal. Lantai rata, tidak retak, tidak licin, kemiringan cukup dan mudah untuk dibersihkan. Permukaan dinding sebelah dalam rata, tidak lembap, mudah dibersihkan dan berwarna terang. Bidang langit-langit menutupi seluruh atap bangunan, dan terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, permukaannya rata, tidak menyerap air dan mudah dibersihkan. Sistem ventilasi di katering
37 Dawiyah sudah baik, pencahayaan dilengkapi dengan lampu walaupun pencahayaan alam sudah baik. Pintu ruang tempat mengolah makanan telah di desain membuka kearah luar dan dapat menutup sendiri (self closing), dan tidak dilengkapi peralatan anti serangga/ lalat seperti kassa, tirai dan pintu rangkap. Pintunya dibuat dari bahan yang kuat dan mudah dibersihkan. Jarak antara pintu dan lantai tidak lebih dari 1 cm. Pintu dan jendela belum dilengkapi peralatan anti serangga/ lalat seperti kassa, tirai dan pintu rangkap yang mudah dibuka dan dipasang untuk dibersihkan. Luas tempat pengolahan berdasarkan jumlah karyawan yang bekerja dan peralatan yang ada di ruang pengolahan belum sesuai dengan luas lantai dapur yang bebas dari peralatan dikarenakan kurang dari 2 m2 untuk setiap orang pekerja sementara pekerja di katering Dawiyah terdiri dari 4 orang. Ruang pengolahan sudah terpisah dari toilet dan kamar mandi. Peralatan di ruang pengolahan belum memiliki meja kerja dan hanya memiliki lemari penyimpanan bahan makanan rumah tangga dan makanan siap saji terhindar dari gangguan serangga dan binatang pengerat. Dinding ruang produksi sudah terbuat dari keramik berwarna yang mudah dibersihkan, memantulkan cahaya, kuat dan tidak licin. Ruang pengolahan di kantin Al Muslim sudah baik dan sesuai dengan standar, sedangkan ruang pengolahan katering Dawiyah juga sudah baik walaupun ada beberapa kekurangan dikarenakan katering tersebut masih merupakan katering rumah tangga. b.
Peralatan
Peralatan memasak merupakan salah satu modal terselenggaranya suatu usaha katering. Kuantitas dan kualitas (jenis bahan peralatan dan kebersihan) peralatan yang dimiliki merupakan 2 hal yang harus dipenuhi. Ketersediaan dan kelayakan peralatan yang digunakan ikut menentukan proses pengolahan bahan baku. Peralatan katering terdiri dari 3 kelompok yaitu alat-alat penyimpanan, alat pengolahan, dan alat penyajian. Peralatan masak di kantin SDI Al Muslim tidak terbuat dari bahan yang mudah melepaskan zat-zat berbahaya seperti tembaga, alumunium, kadmium, seng, timah hitam dan arsen. Peralatan memasak masih utuh, dan sudah dipergunakan sesuai dengan fungsinya, serta selalu dalam keadaan bersih, dan diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau. Peralatan makan dan minum sudah bersih. Pencucian peralatan makan dan peralatan dapur sudah diletakkan secara terpisah. Proses pencucian peralatan dapur belum memenuhi 5 prinsip pencucian hanya sampai tahap washing (membilas) belum sampai pada tahap sanitaizing (membebashamakan dengan panas matahari, semprot uap dan oven panas). Peralatan yang sudah dicuci langsung ditiriskan di rak piring. Peralatan masak di katering Dawiyah juga tidak terbuat dari bahan yang mudah melepaskan zat-zat berbahaya seperti tembaga, alumunium, kadmium, seng, timah hitam dan arsen. Peralatan memasak utuh, dan sudah dipergunakan sesuai dengan fungsinya, serta selalu dalam keadaan bersih, dan diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau walaupun termasuk kategori rumah tangga.
38 Peralatan makan dan minum sudah bersih. Pencucian peralatan makan dan peralatan dapur sudah diletakkan secara terpisah. Peralatan makan di cuci oleh petugas khusus yang berada di SDIT Al Hidayah. Setelah dibersihkan, peralatan makan tersebut diambil kembali oleh petugas katering. Proses pencucian peralatan dapur belum memenuhi 5 prinsip pencucian hanya sampai tahap washing (membilas) belum sampai pada tahap sanitaizing (membebashamakan dengan panas matahari, semprot uap dan oven panas). Peralatan yang sudah dicuci langsung ditiriskan di rak piring. Kantin SDI Al Muslim sudah memiliki fasilitas yang cukup baik dari segi peralatan memasak maupun peralatan makan/ minum.. Kelengkapan peralatan sudah terdaftar dalam inventaris peralatan namun masih belum di perbaharui. Tabel peralatan yang dimiliki oleh dapur Kantin SDI Al Muslim (Lampiran 1). Peralatan yang dimiliki Katering Dawiyah merupakan peralatan memasak kategori rumah tangga yang belum memiliki daftar inventaris. Secara umum peralatan yang dimiliki oleh Katering Dawiyah (Lampiran 2). Peralatan makan/ minum sudah baik dikarenakan menggunakan wadah khusus yang aman bagi makanan siap saji. Proses Kegiatan Penyelenggaraan Makanan 1.
Konsumen
Secara keseluruhan konsumen di SDI Al Muslim Bekasi terdiri dari siswa TK-SMA/SMK, guru serta karyawan sekolah, dan pengurus yayasan dengan porsi sebanyak 1900 per hari. Konsumen di SDIT Al Hidayah terdiri dari siswa, guru, karyawan SD Al Hidayah dengan porsi ±200 porsi setiap hari. 2.
Biaya
Harga menu yang ditawarkan oleh dapur Kantin Al Muslim Rp. 8.500,00/porsi. Selama ini mengenai perputaran uang dari tarif tersebut masih cukup aman. Menu yang per porsinya tidak mencapai Rp 8.500,00 sehingga dapat menutupi jika terdapat menu yang harga perporsinya sebenarnya lebih dari Rp 8.500,00. Besar biaya produksi dapur kantin Al Muslim sebesar Rp 10.000.000/ hari. Harga per porsi di katering Dawiyah untuk guru Rp 8.500,00 dan siswa Rp 9.000,00 dengan besar biaya produksi minimal Rp 500.000,00/hari. Untuk harga per porsi Rp 8.500,00 selama ini mengenai perputaran uang dari tarif tersebut masih cukup aman. Menu yang per porsinya tidak mencapai Rp 8.500,00 sehingga dapat menutupi jika terdapat menu yang harga perporsinya sebenarnya lebih dari Rp 8.500,00. 3.
Perencanaan Menu
Perencanaan menu meliputi penetapan kebutuhan energi dan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan konsumen yang meliputi umur dan jenis kelamin, penentuan hidangan menu yang sesuai dengan gizi seimbang, memilih dan membeli bahan makanan yang baik sesuai dengan standar masing-masing katering serta mengolahnya. Menu makan siang yang disajikan harus memenuhi 30% AKG.
39 Perencanaan menu di SDI AL Muslim dilakukan oleh seorang ahli gizi dan koordinator dapur kantin Al Muslim. Ahli gizi bertanggung jawab penuh terhadap pembuatan siklus menu. Pihak yayasan dan sekolah tidak ikut campur. Adapun pelaksanaan dari siklus menu dapat berubah sewaktu-waktu tergantung kondisi operasional, seperti ketersediian bahan makanan di pasar. Siklus menunya adalah 1 bulan (20-22 hari sekolah). Komposisi menu secara umum terdiri dari nasi, lauk (daging/ayam/ikan/ telur), sayuran, buah, dan ekstra menu (kerupuk). Penentuan siklus menu di SDI Al Muslim ditentukan oleh ahli gizi selama 1 bulan (20 hari sekolah) sesuai dengan kelompok umur, jenis kelamin dan anggaran yang disediakan oleh yayasan. Perencanaan menu di SDIT AL Hidayah dilakukan oleh penanggung jawab katering yang berada di sekolah. Koordinator katering bertanggung jawab penuh terhadap pembuatan siklus menu. Pihak katering sekolah seperti katering Dawiyah hanya mengikuti arahan dari pihak sekolah.Siklus menunya adalah 1 bulan (20-22 hari sekolah). Komposisi menu secara umum terdiri dari nasi, lauk (daging/ayam/ikan/ telur), sayuran, buah, dan ekstra menu (kerupuk) tetapi komposisi menu di SDIT Al Hidayah belum disusun secara lengkap. Contoh menu seperti spaghetti dan susu; nasi, empal daging, sayur oyong soun dan jeli. Perencanaan menu dan komposisi menu di SDI Al Muslim sudah direncanakan dengan baik dan beragam serta sesuai dengan angka kecukupan gizi, dan jenis kelamin. Perencanaan menu di SDIT Al Hidayah masih belum beragam dan belum sesuai dengan kebutuhan gizi para siswa. Menu yang disajikan harus berpedoman pada standar gizi berdasarkan umur dan jenis kelamin sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi para siswa (Nozue et al. 2010). Moffat dan Thrasher (2014) meneliti bahwa di Perancis dan Jepang, pemberian makan siang di sekolah melibatkan peranan ahli gizi bukan hanya dalam hal penentuan menu yang disesuaikan standar gizi bagi masing-masing usia maupun jenis kelamin tetapi juga terkait dengan pendidikan gizi. Penelitian Woo (2015) di Korea menunjukkan bahwa pemberian makan di sekolah bertujuan untuk memperbaiki kesehatan siswa, promosi mengenai makanan tradisional dan menerapkan asupan makanan bagi siswa agar lebih baik. Hal ini menggambarkan bahwa adanya seorang ahli gizi di SDI Al Muslim sudah mencerminkan peranan seorang ahli gizi sesuai dengan kompetensinya. Pendidikan gizi hanya disampaikan kepada para guru masing-masing kelas secara rutin hanya diawal semester. Ahli gizi di SDI Al Muslim belum memberikan pendidikan gizi secara langsung kepada para siswa ketika siswa berada di dalam kelas maupun ketika proses makan siang berlangsung. SDIT Al Hidayah sama sekali belum melibatkan peran seorang ahli gizi hanya pemberian informasi yang dilakukan oleh setiap guru di kelasnya masingmasing seperti pentingnya konsumsi ikan. Pemanfaatan pangan lokal pada menu makan siang yang disajikan di SDIT Al Muslim juga sudah cukup baik sehingga diharapkan para siswa mengenal dan menyukainya serta dapat menerapkan menu makan siang tersebut di rumah. Di Jepang sejak tahun 2008, sekolah yang menyelenggarakan makan di sekolah memberlakukan Shokuiku agar para
40 siswa dapat mengenal produk lokal serta dapat mengetahui pentingnya bahan makanan yang dikonsumsi oleh mereka (Takebayashi 2015). 4.
Pengadaan, Pemesanan dan Penerimaan Bahan Makanan
Kantin SDI Al Muslim Bekasi memiliki orang khusus yang bertanggung jawab dalam pemesanan bahan makanan ke supplier. Pendataan kebutuhan belanja selama seminggu dilakukan setiap hari kamis dan pemesanan di hari jumat via telepon. Pada saat pemesanan juga diinformasikan untuk bahan makanan segar (BMS) apa saja yang harus diantar setiap harinya untuk menjaga kesegaran makanan, sedangkan bahan makanan kering (BMK) diantar pada hari senin. Mekanisme pengiriman bahan baku dikirim secara langsung oleh pedagang. Karena lokasi yayasan yang berdekatan dengan pasar tambun dan pasar induk cibitung maka supplier diambil dari para pedagang di kedua pasar tersebut. Adapun pembayaran dengan sistem COD (Cash On Delivery), yaitu bon dari pedagang diserahkan langsung ke bendahara yayasan untuk meminta bayaran. Pedagang yang menitipkan bon tersebut ke pihak dapur agar pihak dapur yang memintanya ke bendahara yayasan dan sorenya pedagang akan mengambilnya. Penerimaan bahan makanan dari pedagang dilakukan oleh kordinator dapur kantin atau anggota tim dapur lainnya. Standar bahan makanan yang diterima tentu saja yang sesuai dengan permintaan dan dalam kondisi baik dan segar. Namun jika terdapat bahan makanan yang kualitasnya tidak terlalu bagus, maka akan dilihat terlebih dahulu ketersediaan dipasar, jika memungkinkan untuk diganti dengan yang baru maka pihak dapur kantin akan meminta untuk dikirim ulang. Jika ketersediaan di pasar tidak cukup atau tidak ada namun kondisi bahan makanan masih cukup bagus dan tidak mengurangi kandungan zat gizi maka bahan makanan tersebut tetap diterima. Ketika hal seperti ini terjadi maka koordintor dapur kantin akan melakukan konfirmasi via telpon dengan pedagang agar lebih memperhatikan lagi kualitas bahan dagangan yang mereka jual ke dapur kantin Al Muslim. Pemilihan buah sendiri lebih diutamakan pada buah-buahan lokal seperti manggis, duku, pisang dan jeruk pontianak. Standar pembelian untuk jeruk 1 kg sebanyak 6 buah, manggis 1 kg sebanyak 5 buah, pisang 1 kg sebanyak 6-7 buah dan duku 1 kg sebanyak ± 20 buah. Pemorsian untuk ayam 1 kg dipotong 10 buah dan 1 kg daging dipotong 25 buah untuk masing-masing siswa 40 gam perorang. Proses pembelian bahan makanan pada katering Dawiyah dilakukan secara 2 tahap: 1) Bahan makanan kering dilakukan seminggu sekali; 2) bahan makanan segar (sayur, daging, ayam, ikan, dan buah) dilakukan setiap hari. Pemorsian untuk ayam 1 kg dipotong 10 dan daging 1 kg dipotong 25. Untuk pembelian daging sudah memiliki pedagang langganan dan pemesanan dilakukan via telpon kemudian ayah dari pemilik katering Dawiyah yang akan mengambilnya ke padagang, sedangkan untuk pembelian BMS (Bahan Makanan Segar) di pasar dilakukan setelah mengantar katering ke sekolah sehingga bahan makanan sudah dipilih langsung oleh pemilik katering. Buah jeruk 1 kg dengan standar 6-7 buah.
41 5.
Pengolahan Bahan Makanan
Kegiatan pengolahan di kantin Al Muslim dimulai pukul 06.30 WIB. Semua anggota tim mulai mempersiapkan bahan makanan sesuai dengan menu yang sudah dijadwalkan pada siklus menu. Ruang untuk memasak dibagi menjadi 3 bagian; 1. Ruang untuk memasak nasi, sayur, lauk hewani, dan menyiapkan buah; 2. Ruang untuk memasak lauk nabati; 3. Ruang untuk memasak snack. Proses memasak nasi: beras dibersihkan di cuci seperti biasa. Kemudian di kukus di dandang yang memiliki diameter 80 cm, tinggi 1.2 meter dengan kapasitas maksimal 60 liter sekali masak. Volume air saat mengukus 2.5 liter. Beras dikukus selama 1 jam sampai mengeras, kemudian dibuat lubang dari permukaan nasi sampai dasar kukusan lalu disiram dengan air panas sampai menutupi nasi yang sudah di lubangi. Lubang-lubang tersebut berfungsi agar air panas meresap sampai ke bagian dalam dan bawah pada nasi. Proses pengukusan memerlukan waktu 45-60 menit sampai nasi benarbenar matang (tergantung besar kecilnya api). Proses memasak nasi seperti ini bisa dilakukan dengan jumlah beras minimal 5 liter (Lampiran 12). Proses memasak keseluruhan menu selesai pada pukul 09.00 WIB kemudian dilanjutkan dengan proses pemorsian. Kemudian pada pukul 11.00 WIB dilakukan pendistribusian makanan oleh office boy menuju kantin sekolah. Proses persiapan tidak selalu dilakukan pada hari yang sama dikarenakan ada persiapan-persiapan yang dilakukan 1 hari sebelumnya seperti membersihkan sayuran. Proses memasak dilakukan 1 kali dalam 1 hari karena hanya menyiapkan 1 kali waktu makan. Persiapan bumbu di katering Dawiyah dilakukan sehari sebelumnya pada malam hari. Kemudian keesokan paginya jam 07.30 WIB mulai dilakukan proses pemasakan sesuai dengan menu yang telah dipersiapkan. Sekitar pukul 09.00 WIB mulai dilakukan pemorsian. Rice cooker yang digunakan berukuran maksimal 10 liter dan biasanya dilakukan 2 kali pemasakan beras masingmasing 7 liter. Waktu pengolahan di dapur SDI Al Muslim sudah sesuai dengan alur kegiatan penyelenggaraan makanan, dikarenakan proses persiapan terkadang dilakukan 1 hari sebelumnya dan selalu tepat waktu proses pendistribusiannya. Waktu pengolahan yang dilakukan di katering Dawiyah juga sudah sesuai dikarenakan pendistribusian makanan selalu diberikan tepat waktu. 6.
Penyajian dan Distribusi
Pendistribusian makanan di SDI Muslim menggunakan sistem desentralisasi. Makanan yang telah siap untuk dihidangkan dibagi dalam jumlah besar di wadah khusus kemudian dikirim ke unit-unit, setelah sampai di unit-unit, makanan dibagikan menjadi porsi-porsi kecil (Mukrie et al. 1990). Proses pendistribusian ini dilakukan oleh OB mulai pukul 10.00 WIB, pengangkutan makanan menggunakan gerobak. Setiap harinya dua orang OB dijadwalkan untuk bertugas dalam pendistribusian makanan ke sekolah dan juga pengembalian box dan termos ke dapur. Di kantin sekolah box dan termos setiap kelasnya akan ditata di meja makan sesuai dengan urutan kelasnya masing- masing. Khusus untuk kelas 1, penyajian makanan sudah diporsikan di wadah khusus. Pukul 12.00 WIB, siswa kelas 1 dan 2 makan siang terlebih dahulu sedangkan siswa kelas 3 dan 4 solat dzuhur berjamaah setelah itu baru
42 kelas berikutnya diberikan waktu untuk makan secara bergantian dikarenakan keterbatasan ruangan kantin. Penyajian makananan untuk masing masing sekolah dan kelas diatur berdasarkan box yang telah disediakan disesuaikan dengan kelas dan jumlah siswanya. Pembagian box: 1. box lauk hewani, box lauk nabati, box buah, box sayur (termos untuk sayur berkuah), termos nasi, box kerupuk. Karena sistem makan untuk para siswa adalah prasmanan. Adapun penyajian makanan untuk guru dan para karyawan adalah dengan kotak makan. Snack sore hanya diberikan untuk siswa TK, siswa SD, karyawan Yayasan Al Muslim, satpam, dan tim dapur. Pendistribusian snack dilakukan pada pukul 14.00 WIB, adapun pendistribusian untuk ke TK dan SD diantarkan oleh OB ke kelas masingmasing. Sistem prasmanan di SDI Al Muslim dilakukan untuk menjaga ketersediaan pangan tidak terbatas sehingga setiap siswa dapat mengakses makanan sesuai keinginan yang diawasi secara langsung oleh masing-masing wali kelas. Bila tidak ada pengawasan yang ketat dapat menyebabkan konsumsi siswa cenderung kurang karena siswa boleh memilih untuk tidak mengonsumsi salah satu menu. Proses distribusi yang digunakan katering Dawiyah adalah cara sentralisasi yaitu makanan dibagi dan disajikan dalam peralatan makan di ruang produksi makanan. Pada pukul 11.30 WIB pendistribusian dilakukan oleh katering Dawiyah menggunakan motor. Dibutuhkan waktu ±10 menit. Sesampainya di sekolah makanan diantar ke ruang UKS dan diterima oleh OB yang bertugas. Kemudian OB mencatat makanan yang sudah diantar. Selanjutnya pembagian makanan diantar ke kelas masing-masing oleh OB. Kotak makan yang sudah kotor akan di kumpulkan dalam wadah sesuai kelasnya masing-masing oleh siswa yang bersangkutan. Siang harinya setelah kegiatan belajar mengajar selesai OB akan mencuci kotak makan tersebut, kemudian sehabis magib pihak katering akan mengambil kotak makan yang sudah bersih. Kendaraan pengangkut makanan yang digunakan dalam proses pendistribusian makanan belum memiliki kontainer khusus sehingga diharapkan pihak sekolah dapat menyarankan pihak katering agar menggunakan kontainer atau box khusus ketika membawa kotak makan sehingga makanan akan terhindar dari cemaran kimia maupun debu. 7.
Pelaporan Kendala yang sering dihadapi oleh kantin SDI Muslim adalah banyaknya murid yang memilih-milih makanan terutama sayur. Selain itu juga terdapat evaluasi dalam bentuk form yang nantinya diserahkan kepada Kepala Sekolah. Kepala sekolah bekerja sama dengan koordinator kantin mengadakan progam penyuluhan kepada murid dan dilaksanakan 1 x 1 semester, serta membuat media interpretasi dengan motivasi dan ajakan untuk konsumsi makanan sehat khususnya sayur dan buah. Anak sekolah sangat sulit untuk makan sayuran. Kordinator dapur yang seorang ahli gizi berharap adanya kerjasama yang baik dengan para guru terutama wali kelas agar lebih proaktif dalam mengajak murid untuk menghabiskan makan siang yang diberikan serta mau memakan sayur.
43 Katering Dawiyah tidak membuat laporan sebagai bahan evaluasi secara tertulis. Evaluasi terhadap menu dilakukan secara lisan (diskusi) dan penyampaian komplain secara langsung namun belum terdokumentasikan dengan baik, sehingga catatan penting mengenai evaluasi menu hanya diingat saja oleh karyawan, misalnya menu yang disukai, sayuran yang tidak disukai dan lain-lain. Namun pada saat proses makan, SDIT Al Hidayah sering mengalami kendala dalam hal lauk hewani yang kurang disukai oleh para siswa seperti ikan dan sayur tertentu. Walaupun dari pihak sekolah, kordinator katering yaitu Ibu Fitri selalu memberikan penyuluhan mengenai pentingnya konsumsi ikan dan sayur tetapi dalam pelaksanaannya para murid masih belum memiliki kesadaran untuk mengkonsumsinya. Siswa yang tidak menyukai menu makan siang yang disajikan di SDI Al Muslim sebagian besar akan membuang makanannya 46.5% serta yang membiarkan makanannya di peralatan makan maupun di wadah penyajian sebesar 23.3%. Siswa di SDIT Al Hidayah bila tidak menyukai makanannya akan memberikan makanan yang disajikan oleh katering dawiyah kepada temannya sebesar 42.9% dan membiarkan makanan di kotak makan sebesar 28.6% (Lampiran 8). Output 1. Tingkat Kesukaan Tingkat kesukaan terhadap makanan dapat didefinisikan sebagai kesesuaian masing-masing karakteristik makanan yang meliputi warna, aroma, tekstur, kesesuaian porsi, rasa, dan suhu makanan terhadap selera konsumen. Tingkat kesukaan umumnya menggunakan skala hedonik, dimana makanan yang dinilai memiliki kriteria sangat suka, suka, biasa-biasa, tidak suka dan sangat tidak suka. Pada anak untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap menu makan siangnya menggunakan skala wajah (Gegoire dan Spears 2007).
Gambar 4 Tingkat kesukaan menu makan siang Siswa SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah
44 Tingkat kesukaan menu makan siang pada gambar 4 di SDI Al Muslim berturut-turut adalah nasi (95.30%), lauk hewani (95.30%), lauk nabati (90.70%), sayuran (86.0%) dan buah (88.40%). SDIT Al Hidayah memiliki tingkat kesukaan yang lebih rendah pada nasi (95.20%), lauk hewani (92.90%), lauk nabati (92.90%), sayuran (80.90%) dan buah (88.30%). Penelitian Rogozenski dan Moskowitz (2006) menunjukkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi tingkat kesukaan terhadap siklus menu secara keseluruhan yaitu tingkat kesukaan hedonik seperti cara penyajian terhadap sayuran maupun makanan penutup serta suhu makanan ketika pertama kali disajikan kepada konsumen. Daya Terima Daya terima suatu individu terhadap makanan dapat terukur dari jumlah makanan yang dikonsumsi. Penilaian sisa makanan dapat digunakan dengan menimbang berat makanan yang tidak dimakan oleh individu atau kelompok. jumlah sisa makanan yang terlihat diperkirakan atau diestimasikan merupakan salah satu penilaian lain dari daya terima yang menggunakan skala. Skala penilaian tersebut dikenal dengan cara Comstock yang dibagi dalam 6 kategori, yaitu: dimakan habis, dimakan 3/4 bagian, dimakan 1/2 bagian, dimakan 1/4 bagian, hanya dicicipi dan tidak dimakan. Skala ini juga dapat disajikan dalam bentuk gambar makanan yang dihabiskan, umumnya diperuntukkan khusus bagi anak-anak agar mereka lebih mudah memahami (Gegoire dan Spears 2007).
2.
Gambar 5 Daya terima menu makan siang Siswa SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah Data daya terima siswa pada gambar 5 diperoleh dari uji organoleptik yang dinilai berdasarkan skala Comstock pada penerimaan keseluruhan menu makan siang yang meliputi nasi, protein hewan, protein nabati, sayur dan buah. Daya terima terhadap menu makan siang di SDI Al Muslim berturut-turut adalah nasi (86.00%), lauk hewani (79.10%), lauk nabati (67.40%), sayuran (58.10%) dan buah (60.50%). SDIT Al Hidayah memiliki daya terima terhadap menu
45 makan siang yang lebih tinggi pada nasi (78.60%), lauk hewani (80.90%), lauk nabati (78.60%), sayuran (66.70%) dan buah (78.60%). Daya terima siswa terhadap sayur dan buah di kedua sekolah masih rendah dan berbanding terbalik terhadap tingkat kesukaan siswa. Hal ini dapat terjadi bila porsi maupun potongan yang diberikan terlalu besar. Potongan bahan pangan dalam metode penyiapan bagi anak sekolah harus lebih kecil dari pada orang dewasa serta diperlukan penyajian yang baik dari segi alat saji maupun cara penyajiannya (Khan 1989). 3.
Konsumsi Makan Siang Masa peralihan seorang anak menjadi remaja muda sampai mencapai usia dewasa terjadi pada kelompok usia 10-19 tahun. Kondisi ini akan mempengaruhi kebutuhan zat gizi anak usia sekolah dikarenakan pada masa ini pertumbuhan menjadi lebih cepat saat memasuki usia pubertas. Selain itu, kebiasaan mengkonsumsi makanan jajanan serta anak perempuan yang sudah menstruasi dan mulai memperhatikan penampilan fisiknya ―Body image‖ juga mempengaruhi kebutuhan gizi anak usia sekolah (Depkes 2014a). Penelitian di Jepang pada tahun 2007-2008 mengenai makan siang di sekolah bahwa jenis kelamin secara signifikan berhubungan dengan berat badan pada laki-laki dan perempuan. Hal ini menggambarkan bahwa menu yang disajikan harus berpedoman pada standar gizi berdasarkan umur dan jenis kelamin sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi individu tersebut (Nozue et al. 2010). Output makan siang pada Tabel 6 yang meliputi energi, protein, zat besi dan kalsium pada siswa SDI Al Muslim berturut-turut adalah 365.4 kkal, 12.9 g protein, 81.9 mg zat besi dan kalsium 1.5 mg. Output makan siang pada siswa SDIT Al Hidayah yang meliputi energi, protein, zat besi dan kalsium berturutturut adalah 424.1 kkal, 14.9 g protein, 140.3 mg zat besi dan kalsium 6 mg. Tabel 6 Output makan siang Siswa SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah Intake Energi Protein Zat besi Kalsium Vitamin A Vitamin C *p<0.05 = berbeda nyata
SDI Al Muslim 365.4 kkal* 12.9 g* 81.9 mg* 1.5 mg* 129.1µg RE 10.2 mg
SDIT Al Hidayah 424.1 kkal* 14.9 g* 140.3 mg* 6 mg* 130.1µg RE 7.7 mg
Asupan zat gizi yang masuk dan keluar harus seimbang sehingga makanan yang dikonsumsi para siswa harus memperhatikan kandungan zat gizi dalam jenis dan jumlah porsi yang sesuai dengan kebutuhannya. Konsumsi makanan seharihari harus memperhatikan prinsip 4 pilar yaitu pangan yang beranekaragam dengan proporsi makanan yang seimbang, cukup, tidak berlebihan serta diberikan secara teratur; melakukan perilaku hidup bersih; melakukan aktivitas fisik dan mempertahankan berat badan normal (Depkes 2014a). Adanya perbedaan pada asupan energi, protein, zat besi dan kalsium dikedua sekolah. Kandungan protein, zat besi dan kalsium di SDIT Al Hidayah lebih tinggi dibandingkan dengan SDI Al Muslim. Ketiga zat gizi tersebut dapat diperoleh dari sumber protein hewani seperti ikan, daging dan susu. Menu makan
46 siang yang diberikan oleh SDI Al Muslim dapat menambahkan susu dalam perencanaan standar menunya sedangkan SDIT Al Hidayah sudah menambahkan susu dalam penyajian menu makan siangnya tetapi tetap harus memperhatikan menu seimbang, melibatkan peranan ahli gizi dan pendidikan gizi pada anak sekolah dasar. Pemberian makanan di sekolah terutama di negara-negara maju selalu menambahkan susu kedalam menu makanan yang disajikan kepada siswanya. Protein diperlukan dalam masa pertumbuhan dikarenakan protein merupakan zat gizi yang berfungsi untuk pertumbuhan, mempertahankan sel atau jaringan yang sudah terbentuk, dan mengganti sel yang rusak. Selain itu juga protein berperan sebagai sumber energi. Konsumsi protein yang baik dapat memenuhi kebutuhan asam amino esensial. Protein hewani memiliki komposisi asam amino yang lebih komplit dan asam amino esensial yang lebih banyak dibandingkan dengan protein nabati sehingga konsumsi protein harus lebih bervariasi. Dianjurkan konsumsi protein hewani sekitar 30% dan nabati 70% (Depkes 2014). Zat besi rendah pada menu makan siang di SDI Al Muslim dikarenakan menggunakan sistem prasmanan. Standar menu yang diberikan pada siswa SDI Al Muslim sudah sesuai dengan prinsip gizi seimbang tetapi penerapan pada saat makan, para siswa tetap memerlukan pengawasan, dan adanya pemberian pendidikan gizi secara rutin baik ketika siswa berada di dalam kelas maupun pada saat makan. Pemilihan menu makan siang di sekolah perlu direncanakan dengan baik dengan memperhatikan gizi seimbang. Pemilihan menu yang kurang sehat dapat menurunkan status kesehatan para siswa (Johnson et al. 2015). Higiene dan Sanitasi Pengelolaan makanan oleh jasaboga harus memenuhi higiene sanitasi dan dilakukan sesuai cara pengolahan makanan yang baik. (Kepmenkes 2011). KEPMENKES Nomor : 1096/MENKES/PER/VI/2011 mengatur bahwa kantin Al Muslim yang termasuk dalam jasaboga golongan A3 diharuskan dapat memenuhi persyaratan teknis jasaboga golongan A3 serta persyaratan khusus sebagai berikut : 1) kantin Al Muslim sudah memiliki tempat khusus untuk pembuangan air kotor yang dilengkapi dengan penangkap lemak (gease trap) sebelum dialirkan ke bak penampungan air kotor (septictank) dan tempat pembuangan sampah. Setiap hari Jum’at selalu dilakukan pembersihan lemak setelah kegiatan di dapur selesai sedangkan pembuangan sampah selalu dilakukan setiap hari di waktu pagi dan sore hari; 2) pertemuan antara lantai dan dinding di kantin Al Muslim belum terdapat sudut mati dan lengkung (conus) tetapi masih mudah dibersihkan; 3) kantin Al Muslim sudah memiliki ruang kantor yang terpisah dari ruang pengolahan makanan; 4) pembuangan asap dari dapur sudah dilengkapi dengan penangkap asap (hood), alat pembuang asap dan cerobong asap sehingga aliran udara sudah cukup baik; 5) fasilitas pencucian dibuat dari bahan yang kuat, permukaan halus dan mudah dibersihkan serta terpisah antara tempat cuci tangan dan ruang pencucian; setiap peralatan belum dibebashamakan dengan larutan kaporit 50 ppm atau air panas 80oC selama 2 menit; tempat cuci tangan. Setiap ruang pengolahan makanan sudah memiliki tempat cuci tangan dengan air mengalir yang diletakkan dekat pintu dan dilengkapi dengan sabun.
47 Ruang pengolahan makanan di kantin Al Muslim menyediakan ruang tempat pengolahan makanan yang terpisah dari ruang tempat penyimpanan bahan makanan dan menyediakan lemari penyimpanan dingin khusus yang mencapai suhu –5oC sampai –10oC dengan kapasitas yang cukup memadai sesuai dengan bahan makanan yang disimpan. Penilaian yang dilakukan pada kantin SDI Al Muslim berdasarkan persyaratan teknis jasaboga golongan A3 sudah cukup baik. Katering Dawiyah termasuk dalam usaha jasaboga golongan A1 yang memiliki persyaratan teknis. Adapun syarat teknis yang dimiliki oleh katering tersebut adalah sebagai berikut : 1) ruang pengolahan makanan tidak digunakan sebagai ruang tidur; 2) katering Dawiyah memiliki ventilasi alam yang masih kurang sehingga harus menyediakan ventilasi buatan untuk sirkulasi udara dan pembuangan udara kotor atau asap tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan tetapi lebih baik bila katering dawiyah memiliki tempat pembuangan asap yang khusus; 3) katering dawiyah memiliki tempat cuci tangan dan tempat cuci peralatan yang terpisah tetapi mudah dibersihkan. Proses pencucian menggunakan tangan dan sabun pembersih biasa cair serta tidak ada proses sterilisasi; 4) Penyimpanan makanan yang dimiliki katering dawiyah untuk menyimpan bahan pangan dan makanan jadi yang cepat membusuk hanya memiliki 1 (satu) buah lemari es (kulkas). Penilaian yang dilakukan pada katering Berkah persyaratan teknis jasaboga golongan A1 sudah cukup baik. Adanya peran para siswa untuk mencuci peralatan makan mereka di SDI Al Muslim diharapkan bukan hanya dalam hal peningkatan higiene dan sanitasi tetapi para siswa di sekolah yang memiliki penyelenggaraan makanan dapat diajarkan untuk menyajikan makan siang bagi teman-temannya secara bergantian. Makan siang di sekolah dan promosi pendidikan gizi di Jepang menerapkan para siswanya untuk bertanggung jawab dalam penyajian makanan dan pembersihan peralatan makan secara bergantian (Tanaka 2015). Kualitas Menu Makan Siang Menurut Drewnowski (2010), densitas energi dan zat gizi pangan dapat digunakan sebagai pedoman dalam pemilihan pangan yang mengandung cukup energi dan zat gizi sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu sehingga dapat dikembangkan menjadi instrumen yang bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi total energi serta komposisi zat gizi dari suatu pangan. Metode NRF 9.3 merupakan metode NRF yang memiliki nilai ketepatan (validity) paling tinggi berdasarkan uji validitas yang dilakukan menggunakan pembanding skor Healthy Eating Index (HEI) (Fulgoni et al. 2009). Pada Tabel 7, berdasarkan skor median Dietary Energy Density (DED) dan Nutrient Rich Food (NRF) 9.3 Index Value pada SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah terdapat keterkaitan antara skor densitas energi dan skor densitas zat gizi pangan. Kualitas pangan semakin baik bila skor densitas energi semakin rendah dan skor densitas zat gizi pangan semakin tinggi dan begitu pula sebaliknya (Drewnowski 2010). Jenis pangan pada menu makan siang yang memiliki kualitas zat gizi tinggi di SDIT Al Hidayah adalah buah-buahan dan susu. Sayuran buah di SDIT Al Hidayah juga memiliki kualitas pangan yang cukup baik sedangkan di SDI AL Muslim, sayuran daun memiliki kualitas pangan cukup baik berdasarkan metode
48 NRF 9.3 mengingat pada jenis pangan tersebut paling rendah total kalorinya dibandingkan kelompok pangan lainnya serta tidak mengandung asam lemak jenuh, natrium, dan gula tambahan. Tabel 7 Median skor Dietary Energy Density (DED) dan Nutrient Rich Food (NRF) 9.3 Index Value SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah Jenis Pangan
Pangan Sumber Karbohidrat Daging, Unggas dan Ikan Telur Susu dan Produk Olahan Pangan Nabati Sayuran Daun Sayuran Buah Buah-buahan Snack/ jajanan Pangan Lainnya
SDI AL Muslim DED NRF 9.3 / (kkal/g) 100 kkal 1.9 2.8 1.9 0 2.7 0.6 0 0.6 1.1 5.5
0.3 0.7 -8.3 0 3.3 1.0 0 0.6 -2.4 -0.4
SDIT Al Hidayah DED NRF 9.3 / (kkal/g) 100 kkal 2.1 2.8 1.9 0.8 0.3 0 0.5 1.4 1.6 5.5
0.3 8.5 -8.3 7.5 1.8 0 1.0 43.2 4.9 -0.4
Drewnowski (2005) meneliti bahwa beberapa kelompok pangan yang termasuk ke dalam pangan tinggi zat gizi (high nutrient-dense foods) yaitu produk susu, sayur-sayuran, buah-buahan, dan padi-padian/umbi-umbian, sedangkan kelompok pangan yang tergolong ke dalam pangan tinggi kalori dan rendah zat gizi (high-calories, low nutrient-dense foods) adalah snack/jajanan seperti permen, minuman soda, es krim, kue tinggi gula, dan cookies tetapi di SDI Al Hidayah snack/ jajanan pada menu makan siang dikategorikan sebagai kualitas pangan yang tinggi zat gizinya dikarenakan snack yang dikonsumsi merupakan jeli atau agar-agar yang mengandung serat yang tinggi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian makanan di sekolah dapat meningkatkan konsumsi buah dan sayur (Evans et al. 2012). WHO merekomendasikan bahwa konsumsi buah dan sayur 5 porsi per hari (400 gam) untuk semua kelompok usia tetapi pada kenyataannya saat ini WHO menemukan bahwa konsumsi buah dan sayur di Asia Tenggara hanya sebesar 182 g/hari pada anak usia 5-14 tahun (WHO 2003). Berdasarkan Gambar 6 dan Gambar 7, dapat diketahui bahwa semakin besar ukuran dalam gambar tersebut menunjukkan jumlah/keragaman jenis pangan yang dikonsumsi oleh para siswa di kedua sekolah. Skor densitas zat gizi pangan dapat digunakan untuk mengidentifikasi kepadatan atau keanekaragaman zat gizi dalam pangan yang dikonsumsi oleh individu atau suatu populasi (Miller et al. 2009). Penelitian Drewnowski (2009) menyatakan bahwa kategori skor densitas zat gizi pangan dan gafik median skor NRF 9.3 pada susu dan produk olahan susu memiliki median skor pada kuintil 4 yaitu skor 21 - 30 yang berarti tergolong kelompok pangan dengan kualitas zat gizi yang baik. Pada penelitian ini, densitas zat gizi susu dan jenis olahannya mencapai skor 43. Konsumsi susu pada anakanak dan remaja dapat meningkatkan kepadatan massa tulang serta mencegah kejadian patah tulang (fracture) (Kalkwarf et al. 2003).
49
Gambar 6 Median skor Nutrient Rich Food Index (NRF 9.3) dan Dietary Energy Density (DED) SDI Al Muslim Kategori kualitas zat gizi pangan menurut Drewnowski (2010), kelompok pangan snack/jajanan termasuk dalam kuintil 1 (skor < 1) sedangkan pangan sumber protein hewani meliputi daging, unggas, dan ikan serta pangan nabati termasuk dalam kategori kuintil 2 (skor 1 - 10). Drewnowski (2009) memaparkan bahwa jenis pangan jajanan khususnya yang mengandung tinggi gula termasuk kategori pangan dengan densitas zat gizi rendah (low-dense nutrient food). Menurut Kral et al. (2004), rendahnya skor densitas energi dan tingginya skor densitas zat gizi pada kelompok pangan serta porsi makan yang tepat dapat memberikan pengaruh secara signifikan terhadap asupan/intake zat gizi baik pada suatu individu.
Gambar 7 Median skor Nutrient Rich Food Index (NRF 9.3) dan Dietary Energy Density (DED) SDIT Al Hidayah
50 Sebagian besar pangan yang dihidangkan di kedua sekolah merupakan pangan yang memiliki kualitas yang baik, tetapi bila dilihat dari kelompok pangan di SDIT Al Hidayah lebih beragam dibandingkan dengan SDI Al Muslim. Penelitian Drewnowski (2015) menunjukkan bahwa skor densitas energi dan zat gizi pangan yang dikonsumsi dapat menciptakan hidangan yang berkualitas dengan harga yang terjangkau, dan budget yang terbatas tetapi dapat memenuhi kebutuhan zat gizi suatu individu. Bila konsep densitas zat gizi pangan dan pendidikan gizi diterapkan maka akan menjadi dasar yang baik dalam pedoman gizi seimbang Selain itu, skor densitas zat gizi pangan dapat juga digunakan sebagai pedoman dalam pemilihan suatu bahan pangan yang sesuai dengan kebutuhan gizi menurut umur dan ada tidaknya suatu pantangan terhadap zat gizi tertentu sehingga dapat meningkatkan status gizi dan status kesehatan masyarakat (Vossenaar dan Solomon 2012). Bila dikaitkan dengan densitas zat gizi pangan, penganekaragaman kelompok pangan sudah baik dikedua sekolah tetapi dalam penentuan kualitas menu harus dapat memenuhi kaidah kandungan gizi yang sesuai dengan AKG, menganut prinsip penganekaragaman yang merupakan salah satu dari prinsip PUGS serta memenuhi standar porsi. Kandungan gizi energi, protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C di SDI Al Muslim telah memenuhi 25-30 % dari kebutuhan sehari makan siang siswa (Tabel 8). Menurut AKG 2014, angka kecukupan energi sehari pada anak usia 7-9 tahun sebesar 1850 kkal dan anak usia 10-12 tahun sebesar 2050 kkal. Protein 49 g untuk anak usia 7-9 tahun dan 58 gam untuk anak usia 10-12 tahun. Kalsium yang terkandung pada menu makan siang di SDI Al Muslim berdasarkan standar AKG 2014 dan di Jepang masih belum terpenuhi. Bahan makanan tinggi kalsium dapat ditambahkan pada menu yang disajikan seperti ikan dan makanan sumber laut, roti, kacang-kacangan, sayuran hijau, susu dan hasil olahnya seperti keju (Depkes 2014b). Tabel 8 Perbandingan kandungan gizi pada menu makan siang di SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah berdasarkan 30 % AKG dan standar makan siang di Jepang Intake Energi Protein Zat besi Kalsium Vitamin A Vitamin C Serat
SDI Al Muslim 537.1 Kkal 15.1 g 17.3 mg 56.9 mg 168.0 µg RE 10.3 mg 4.30 mg
SDIT Al Hidayah 451.9 Kkal 17.2 g 11.8 mg 322.1 mg 371.9 µg RE 20.8 mg 2.76 mg
AKG 2014 595 kkal 16.5 g 4.3 mg 340 mg 170 µg RE 14.5 mg 8.4 mg
Standar di Jepang 736.7 kkal 27.3 g 3.7 mg 400 mg 223.3 µg RE 26.7 mg 5.8 mg
Menurut Nozue M (2015), asupan kalsium yang rendah dapat ditingkatkan dengan adanya konsumsi susu pada makan siang. Kandungan gizi energi, protein, zat besi, kalsium, vitamin A dan vitamin C pada SDIT Al Hidayah sudah memenuhi 25-30% AKG (2014b). Rendahnya konsumsi serat di SDIT Al Hidayah hendaknya dipenuhi melalui peningkatan konsumsi buah dan sayur.
51 Menurut Soekirman (2008), prinsip penganekaragaman berdasarkan salah satu dari pesan PUGS, keanekaragaman makanan dalam suatu hidangan seharihari yang dikonsumsi, minimal harus berasal dari satu jenis makanan sumber zat tenaga, satu jenis makanan sumber zat pembangun dan satu jenis makanan sumber zat pengatur. Menu yang diberikan kepada siswa SDI Al Muslim sudah sesuai dengan prinsip penganekaragaman tetapi SDIT Al Hidayah masih belum menganut prinsip tersebut dikarenakan dalam satu menu belum berasal dari ketiga sumber zat gizi (lampiran 10 dan 11). Standar porsi yang diberikan untuk pangan sumber karbohidrat dikedua sekolah sudah sesuai 100-150 gam/ porsi, pangan sumber hewani sudah sesuai 50 g/ porsi tetapi pangan sumber nabati, sayuran dan buah belum sesuai terutama di SDIT Al Hidayah dikarenakan dalam beberapa menu yang dibuat tidak memberikan pangan tersebut setiap harinya. Standar porsi di SDI Al Muslim secara umum sudah sesuai dengan standar porsi tetapi di SDIT Al Hidayah masih belum sesuai. Berdasarkan kandungan zat gizi, keanekaragaman makanan dan standar porsi makanan yang diberikan dikedua sekolah maka dapat disimpulkan bahwa kualitas menu makan siang di SDI Al Muslim lebih baik dan telah memenuhi kaidah menu seimbang sedangkan SDIT Al Hidayah masih belum memenuhi kaidah menu seimbang sehingga perlu diperbaiki. Menu makan siang sebaiknya terdiri dari menu yang lengkap. Perbedaan Tingkat Kecukupan Gizi pada Dua Model Penyelenggaraan Makanan Tingkat kecukupan gizi energi (Tabel 9), SDI Al Muslim 74.82±21.18 dan SDIT Al Hidayah 87.9±25.8, tingkat kecukupan kalsium SDI Al Muslim 22.2±13.22 dan SDIT Al Hidayah 36.1±20.6 dan tingkat kecukupan zat besi SDI Al Muslim 30.25±12.15 dan SDIT Al Hidayah 55.3±54.7. Tingkat kecukupan dari ketiga zat gizi tersebut berbeda secara nyata pada kedua model penyelenggaraan makanan. Penelitian Pertiwi et al.(2014) pada anak sekolah di Indonesia bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi rata-rata anak usia sekolah 7—12 tahun secara keseluruhan yaitu energi 69.5%, protein 115.5%, vitamin A 48.6%, vitamin C 32.7%, kalsium 45.3%, dan zat besi 103.8%. Sebagian besar anak di SDI Al Muslim memiliki tingkat kecukupan zat gizi makro dalam kategori defisit berat (<70% AKG) sebesar 41.9 % sedangkan kalsium serta zat besi termasuk dalam kategori defisit < 77 % AKG sebesar 100.0 % (Lampiran 9). Tabel 9 Perbedaan tingkat kecukupan pada dua model penyelenggaraan makanan Variabel
SDI Al Muslim (n = 43) Energi 74.8 ± 21.2* Protein 139.5 ± 51.3 Kalsium 22.2 ± 13.2* Zat besi 30.3 ± 12.2* Vitamin A 68.7 ± 36.7 Vitamin C 5.5 ± 9.0 *p<0.05 : Berbeda nyata
SDIT Al Hidayah (n = 42) 87.9 ± 25.8* 153.1 ± 50.5 36.1 ± 20.6* 55.3 ± 54.7* 68.4 ± 46.6 4.2±7.1
52 Tingkat kecukupan protein melebihi 120% AKG di kedua sekolah. Penyusunan menu dapat diperbaiki berdasarkan jenis kelamin, umur siswa, dan prinsip gizi seimbang. Bahan makanan tinggi kalsium dapat ditambahkan pada menu yang disajikan seperti ikan dan makanan sumber laut, roti, kacangkacangan, sayuran hijau, susu dan hasil olahnya seperti keju (Depkes 2014). Asupan kalsium yang rendah dapat ditingkatkan dengan adanya konsumsi susu pada makan siang (Nozue M 2015). Menurut Gibson (2000) dalam Depkes (2014), asupan zat besi heme yng tinggi dapat diperoleh dari daging, jeroan, ikan dan unggas. Sumber zat besi non heme adalah kedelai, kacang-kacangan, sayuran hijau dan rumput laut. Selain itu, perlu adanya informasi kepada para siswa mengenai asam fitat, asam oksalat dan serat yang berpengaruh negatif pada penyerapan zat besi (Depkes 2014b). Tingkat kecukupan siswa berasal dari konsumsi makanan sehari baik yang berasal dari hidangan keluarga maupun makanan yang disajikan di sekolah masing-masing serta makanan jajanan. Kebiasaan jajan siswa sekolah dasar juga dapat memberikan kontribusi terhadap konsumsi sehari dan kecukupan gizi siswa. Kebiasaan jajan meliputi jumlah jenis makanan jajanan dan frekuensi jajanan (Syafitri et al. 2009).
53
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan fasilitas yang ada di sekolah dan lingkungan yang berada di sekitar sekolah, kantin SDI Al Muslim merupakan model penyiapan makanan di sekolah yang bahan pangannya diperoleh dari pasar yang berada di sekitar sekolah. Sekolah dengan model ini memiliki lahan dapur, fasilitas dapur sekolah, adanya tenaga penjamah makanan sendiri, dapat menyajikan makanan secara lengkap dan berasal dari keluarga mampu. Katering Dawiyah merupakan model penyelenggaraan makanan yang dilakukan di luar sekolah dan tenaga penjamah makanan yang berasal dari katering. Kantin Al Muslim sudah memenuhi standar/persyaratan yang ditentukan yaitu 1) ketenagaan yang memadai dan adanya ahli gizi sehingga dalam perencanaan menu sudah mempertimbangkan angka kebutuhan zat gizi secara benar berdasarkan umur, dan jenis kelamin siswa, 2) sudah memadainya fasilitas, 3) baiknya higiene dan sanitasi pengolahan dan karyawan, 4) adanya pengetahuan karyawan mengenai peraturan/ ketentuan usaha jasa boga, 5) cara penyajian yang efisien. Katering Dawiyah belum memenuhi standar/persyaratan yang ditentukan serta memiliki kelemahan yaitu 1) ketenagaan yang belum memadai dan belum adanya ahli gizi sehingga dalam perencanaan menu belum mempertimbangkan angka kebutuhan zat gizi secara benar berdasarkan umur dan jenis kelamin siswa, 2) sudah memadainya fasilitas walaupun fasilitas rumah tangga, 3) higiene dan sanitasi pengolahan dan karyawan yang masih rendah, 4) kurangnya pengetahuan karyawan mengenai peraturan/ ketentuan usaha jasa boga, 5) cara penyajian yang efisien tetapi tidak memperhatikan sanitasi makanan. Input, proses dan output penyelenggaraan makanan di SDI Al Muslim lebih baik dibandingkan dengan di SDIT Al Hidayah. Kualitas menu makan siang di SDI Al Muslim lebih baik dibandingkan dengan SDIT Al Hidayah berdasarkan kandungan zat gizi, keanekaragaman makanan dan standar porsi makanan yang diberikan. Tingkat kesukaan menu makan siang pada gambar 4 di SDI Al Muslim berturut-turut adalah nasi (95.30%), lauk hewani (95.30%), lauk nabati (90.70%), sayuran (86.0%) dan buah (88.40%). SDIT Al Hidayah memiliki tingkat kesukaan yang lebih rendah pada nasi (95.20%), lauk hewani (92.90%), lauk nabati (92.90%), sayuran (80.90%) dan buah (88.30%). Daya terima terhadap menu makan siang di SDI Al Muslim berturut-turut adalah nasi (86.00%), lauk hewani (79.10%), lauk nabati (67.40%), sayuran (58.10%) dan buah (60.50%). SDIT Al Hidayah memiliki daya terima terhadap menu makan siang yang lebih tinggi pada nasi (78.60%), lauk hewani (80.90%), lauk nabati (78.60%), sayuran (66.70%) dan buah (78.60%). Daya terima siswa terhadap sayur dan buah di kedua sekolah masih rendah dan berbanding terbalik terhadap tingkat kesukaan siswa. Adanya perbedaan pada tingkat kecukupan protein, kalsium dan zat besi di kedua sekolah. Tingkat kecukupan protein, kalsium dan zat besi siswa SDIT Al Hidayah lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan SDI Al Muslim. Status gizi di SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah tidak memiliki perbedaan yang signifikan (p>0.05). Status gizi siswa Al Muslim berdasarkan IMT/U (WHO
54 2007) termasuk dalam kategori gemuk (23.2%) dan kategori obesitas (16.3%). Siswa Al Hidayah yang termasuk dalam kategori gemuk (28.6%) dan kategori obesitas (26.2%). Saran Perlu adanya ahli gizi atau konsultan gizi dalam penentuan standar menu pada saat perencanaan menu yang disertai dengan pendidikan gizi bagi para siswa pada saat makan dan juga di dalam kelas di SDIT Al Hidayah. Peran ahli gizi di SDI Al Muslim terutama dalam hal pendidikan gizi perlu untuk lebih ditingkatkan kembali dalam hal penyuluhan secara rutin baik pada saat makan maupun di dalam kelas.
55
DAFTAR PUSTAKA Acham H, Kikafunda JK, Malde MK, Oldewage-Theron WH, Egal AA. 2012. Breakfast, midday meals and academic achievement in rural primary schools in Uganda: implications for education and school health policy. Food and Nutrition Research. 56 11217-DOI: 10.3402/fnr.v56i0.11217. Adriani M, Wirjatmadi B. 2012. Peranan Gizi Dalam Siklus Kehidupan. Jakarta :Kencana Prenada Media Gup. Agustina W, Jus’at I, Mulyani EY, Kuswari M. 2015. Asupan zat gizi makro dan serat menurut status gizi anak usia 6-12 tahun di Pulau Sulawesi. J Gizi Pangan. 10(1): 63-70. Almatsier, Sunita. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gamedia Pustaka Utama. Arisman. 2008. Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi Dalam Daur Kehidupan Edisi 2. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Aulia R. 2013. UNDP : Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Naik. [terhubung berkala] http://www.tempo.co/read/news/2013/03/18/087467718/UNDP-IndeksPembangunan-Manusia-Indonesia-Naik. [23 Juni 2013]. [Balitbangkes] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. _______________. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatn Republik Indonesia. Barclay D. 2008. Food and Nutrition Communication. Nestle: Good Food Good Life. The Corporate Wellness Unit (US): Presses Centrales S.A. Lausanne. Bartono, Ruffino EM. 2005. Food Product Management di Hotel dan Restoran. Andi, Yogyakarta. Bhagwat S, Sankar R, Sachdeva R, Joseph L, Sivaranjani. 2014. Improving the nutrition quality of the school feeding progam (Mid-Day Meal) in India through fortification: a case study. Asia Pac J Clin Nutr. 23(1): S12-S19. Bundy D, Burbano C, Gosh M, Gelli A, Jukes M, Drake L. 2011. Rethinking school feeding: Social safety nets,child development and the education sector. Washington, DC, World Bank. Chepkwony BC, Kariuki BM, Kosgei LJ. 2013. School Feeding Progam and Its Impact on Academic Achievement in ECDE in Roret Division, Bureti District in Kenya. Journal of Emerging Trends in Educational Research and Policy Studies, 4(3): 407-412. Child Health Unit. 1997. An Evaluation of South Africa’s Primary School Nutrition Progamme. University of Cape Town, Rondebosch. Del Rosso JM, Marek T. 1996. Class Action: Improving School Performance in The Developing World through Better Health and Nutrition. Washington, DC, Worldbank. ____________. 1999. School Feeding Progams: Improving effectiveness and increasing the benefit to education. A Guide for Progam Managers. The Partnership for Child Development. Depag. 2012. Pedoman Pelaksanaan Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) Bagi Siswa RA dan MI Tahun 2012. Jakarta :
56 Direktorat Pendidikan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kementrian Agama Republik Indonesia. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1991. Menyusun Menu Makanan Karyawan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2003a. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2003b. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. _____________. 2007. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 374/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Gizi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. _____________. 2009. Rancangan Final Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005 – 2025. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. _____________. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011Tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. _____________. 2013. Pedoman Penyelenggaraan Makanan di Institusi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. _____________. 2014a. Pedoman Gizi Seimbang 2014. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. _____________. 2014b. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Diknas. 2010. Pemerintah Galakkan Kembali PMTAS. Jakarta : Gemari Edisi 117/Tahun XI/Oktober 2010. Drewnowski A. 2005. Concept of a nutritious food: toward a nutrient density score. Am J Clin Nutr. 82(4):721-32. Updated: August 22, 2005. _____________ and Fulgoni V. 2008. Nutrient profiling of foods: creating a nutrient-rich food index. Nutr Rev. 66 (1):23-39. Januari 2008. _____________. 2009. Nutrient Density of Dairy Products: Helping Build Healthier Diets Worldwide. International Dairy Federation (IDF) World Dairy Summit „United Dairy World 2009‖. Conference Nutrition & Health, Tuesday 22 September 2009. ______________. 2010. The Nutrient Rich Foods Index helps to identify healthy, affordable foods. Am J Clin Nutr. 91(4):1095S-1101S. Apr 2010. doi: 10.3945/ajcn.2010.28450D. _____________ and Fulgoni VL. 2014. Nutrient Density: Principles and Evaluation Tools. Am J Clin Nutr. 99(suppl):1223S–8S. _____________. 2015. Nutrition economics: How to eat better for less. J Nutr Sci Vitaminol. 61(suppl):S69-71. Evans CEL, Christian MS, Cleghorn CL, Geenwood DC, Cade JE. 2012. Systematic review and meta-analysis of school-based interventions to improve dailyfruit and vegetable intake in children aged 5 to 12 y. Am J Clin Nutr. 96:889-901. Fulgoni VL III, Keast DR, Drewnowski A. 2009. Development and validation of the nutrient-rich foods index: a tool to measure nutritional quality of foods. J Nutr. 139 (8): 1549-54. Aug 2009. Gelli A, et al. 2012. A comparison of supply chains for school food: Exploring operational trade-offs across implementation models. Working paper.
57 Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford University Press. Gantham S, Mcgegor. 2005. Can the provision of breakfast benefit school performance. Food and Nutrition Bulletin, 26(2) The United Nation University. Hatta. 2013. LIPI : PMT-AS berbasis pangan lokal atasi kelaparan jangka pendek. (artikel). [terhubung berkala] http://wartaekonomi.co.id/berita8012/lipipmtas-berbasis-pangan-lokal-atasi-kelaparan-jangka-pendek.html. 19 Oktober 2013. Hardinsyah, Hadi R, Victor N. 2013. Kecukupan energi, protein, lemak dan karbohidrat. Diakses dari http://www.scribd.com/doc/155584257/AngkaKecukupan-Gizi-2012-Energi-Protein-Karbohidrat-Lemak-Serat (diakses dari10 Oktober 2014). Ishida H. 2015. Role of school meal service in nutrition. J Nutr Sci Vitaminol. 61: S20-S22. Japan. Johnson PH, Gerson D, Porter K, Petrillo J. 2015. A Study of school lunch food choice and consumption among elementary school students. International Journal of Child Health and Nutrition. (4): 141-150. Kalkwarf HJ, Khoury JC, and Lanphear BP. 2003. Milk intake during childhood and adolescence, adult bone density, and osteoporotic fractures in US women. Am J Clin Nutr. 77:257–65. 2003. Kijboonchoo K, Thasanasuwan W, Srichan W. 2013. Gender differences in knowledge, attitude, food choice and body image perception among children aged 9-12 years in Bangkok, Thailand. Journal of Public Health and Development. 11(3): 49-60. Kurniasih D, Hilmansyah H, Astuti MP, dan Imam S. 2010. Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang. Jakarta: Gamedia. Lorca RI. 2013. Penyediaan makanan di sekolah bantu naikkan nilai siswa. http://pedomannews.com/news/21957(artikel).[terhubung berkala] penyediaan-makanan-di-sekolah-bantu-naikkan-nilai-siswa. 19 oktober 2013. Lucas BL. 2004. Nutrition in Childhood. Di dalam: Mahan LK, Escott-Stump S, editor. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy 11th Edition. Pennsylvania: The Curtis Center. Hlm 259-283. Mcewan PJ. 2012. The Impact of Chile’s School Feeding Progam on Education Outcomes. Journal Economic of Education Review. 32 (2013) 122-139. Miller GD, Drewnowski A, Fulgoni V, Heaney RP, King J, and Kennedy E. 2009. It Is Time for a Positive Approach to Dietary Guidance Using Nutrient Density as a Basic Principle. J. Nutr. 139: 1198–1202, 2009. doi:10.3945/jn.108.100842. Moehyi S. 1992. Penyelenggaraan makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta: Bhratara. Moffat T, Thrasher D. 2014. International Comparisons of School Feeding Case Studies From France and Japan. Research. https://www.academia.edu/7926008/International_Comparisons_of_Scho ol_Feeding_Case_Studies_from_France_and_Japan_with_Tina_Moffat_. Diakses 26 Agustus 2015.
58 Mohammad A, Madanijah S. 2015. Konsumsi buah dan sayur anak usia sekolah dasar di Bogor. J Gizi Pangan. 10(1): 71-76. Mothe MRDL. 2012. School Feeding Progams are the Necessary Element in Ensuring Food Security for Vulnerable Populations. Moscow- Rusia : Workshop "School feeding systems in APEC economies" June 28 - 29, 2012. Nkhoma OWW, Duffy ME, Cory-Slechta DA, Davidson PW, McSorley EM, Strain J J & O’Brien GM. 2013. Early-stage primary school children attending a school in the Malawian school feeding progam have better reversal learning and lean muscle mass gowth than those attending a nonsfp school. The Journal of Nutrition. Doi: 10.3945/jn.112.171280. Nozue M, Jun K, Ishihara Y, Taketa Y, Nruse A, Nagai N, Yoshita K, Ishida H. 2013. How does fortification affect the distribution of calcium and vitamin B1 intake at the school lunch for fifth-gade children?. J Nutr Sci Vitaminol. 59:22-28. Nozue M. 2015. Feature of school lunch progam in Japan and comparison with other countries. Symposium in Yokohama, Japan. 12th Asian Congess of Nutrition. May 14-18, 2015. Nurdiani R. 2011. Analisis Penyelenggaraan Makan Di Sekolah Dan Kualitas Menu Bagi Siswa Sekolah Dasar Di Bogor [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nursiah MA. 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat Bekerjasama dengan Akademi Gizi Departemen Kesehatan RI. Pahlevi AE. 2012. Determinan status gizi pada siswa sekolah dasar. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2(1): 122-126. Palacio JP, Theis M. 2009. Introduction to Foodservice (11th ed). Ohio: Pearson Education. Pannell DV. 1985. School Foodservice. Westport: AVI Publishing Company. Partnership for Child Development. 1999. Short stature and the age of enrolment in primary school: studies in two African countries. Soc Sci Med. 48:67582. Pertiwi KI, Hardinsyah, Ekawidyani KR. 2014. Konsumsi pangan dan gizi serta skor pola pangan harapan pada anak usia sekolah 7-12 tahun di Indonesia. J Gizi Pangan. 9(2): 117-124. Rogozenski J & Moskowitz H. 2006. A system for the preference evaluation of cyclic menus. Foodservice Research International, 2, 139—161. doi: 10.1111/j.1745-4506.1983.tb00270. Rosso JMD, Arlianti R. 2009. Investasi untuk Kesehatan dan Gizi Anak Sekolah di Indonesia. Jakarta : Basic Education Capacity-Trust Fund. Sinaga T. 2012. Pengembangan Model Penyelenggaraan Makanan Di Sekolah Dasar Bagi Siswa Keluarga Miskin [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sinaga T, Kusharto CM, Setiawan B, Sulaeman A. 2012. Dampak menu sepinggan terhadap konsumsi dan tingkat kecukupan energi serta zat gizi lain pada siswa SD. J Gizi Pangan. 7(1): 27-34. Siregar R, Nilawati NS, Rotua M, Surata IG. 2016. Gizi Kuliner Dasar. Jakarta : EGC.
59 Soekirman et al. 2008. Pedoman umum gizi seimbang (PUGS). www.gizi.net/pugs/PUGS13pesan.pdf. [Diakses 15 Desember 2013]. Soekirman. 2011. Taking the Indonesian nutrition history to leap into betterment of the future generation: development of the Indonesian Nutrition Guidelines. Asia Pac J Clin Nutr 2011. 20 (3):447-451. Sophia A, Madanijah S. 2014. Pola asuh makan ibu serta preferensi dan konsumsi sayur dan buah anak usia sekolah di Bogor. J Gizi Pangan. 9(3): 151-158. Spence S, Delve J, Stamp E, Matthews JNS, White M, Adamson AJ. 2013. The impact of food and nutrient-based standards on primary school children’s lunch and total dietary intake: A natural experimental evaluation of overnment policy in England. Plos one 8(10): 1-8. Sutyawan dan Setiawan B. 2013. Penyelenggaraan makanan, daya terima makanan, dan tingkat asupan siswa asrama kelas unggulan SMA 1 Pemali Bangka Belitung. Jurnal Gizi Dan Pangan. 8(3): 207—214. Uwameiye BE, Salami LI. 2013. Assesment of the UNICEF supported school feeding progamme on attendance of pupils in federal capital territory. International Journal of Academic Research in Progessive Education and Development. Vol.2, No.1. ISSN : 2226-6348. Vossenaar M and Solomons NW. 2012. The concept of ―critical nutrient density‖ in complementary feeding: the demands on the ―family foods‖ for the nutrient adequacy of young Guatemalan children with continued breastfeeding. Am J Clin Nutr 2012 (95): 859–66. doi: 10.3945/ajcn.111.023689. [WFP] World Food Progamme. 2006. Global school feeding report 2006. Rome, Italy. ______________. 2011. Two minutes to learn about: School Meals. Rome. ______________. 2013. State of school feeding world wide 2013. Rome, Italy. [WHO] World Health Organization. 2006. Food and Nutrition Policy for Schools. Copenhagen, Denmark. ______________. 2007. Gowth reference 5-19 years: http://www.who.int/gowth/who2007 bmi for age/en/index.html [05 Januari 2014]. Whitney E, Rolfes SR. 2011. Understanding Nutrition Twelfth Edition. Belmont CA: Wadsworth Cengage Learning. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Angka Kecukupan Gizi. Jakarta (ID): Lembaga Penelitian Indonesia. Woodward-Lopez G, Kao J, Kiesel K, Miller ML, Boyle M, Drago-Ferguson S, Braff-Guajardo E, Crawford P. 2014. Is scratch-cooking a cost-effective way to prepare healthy school meals with US Department of Agiculture Food?. J Acad Nutri Diet. 114(9): 1349-1358. Wooldridge NH. 2011. Child and preadolescent nutrition. Di dalam: Brown JE, editor. Nutrition Through the Life Cycle Fourth Edition. Belmont CA: Wadsworth, Cengage Learning. Woo T. 2015. The school meal system and school-based nutrition education in Korea. J Nutr Sci Vitaminol. 61: S23-S24. Japan. Yoon J, Kwon S, Shim JE. 2012. Present status and issues of school nutrition progams in Korea. Asia Pac J Clin Nutr. 21: 128-133.
60 Yuliati L, Santoso H. 1995. Manajemen Gizi Institusi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Proyek Peningkatan Pendidikan dan Kejuruan Non Teknik II.
61
LAMPIRAN
62 Lampiran 1 Daftar peralatan SDI Al Muslim (Kantin) Alat Penyimpanan Lemari es/chiller, frozen case, lemari kering, rak piring, tempat sendok, kontainer plastic
Alat Pengolahan Pisau, talenan, pengupas sayuran, baskom, cobek, blender, nampan, saringan, parutan, kompor, oven, wajan, presto, pengukus, panci, sodet, saringan minyak, centong, teflon, cetakan
Alat Penyajian Baskom, tempat nasi, piring, rantangan, sendok dan garpu
Lampiran 2 Daftar peralatan SDIT Al Hidayah (Katering Berkah) Alat Penyimpanan Lemari es, lemari kering, rak piring, tempat sendok, kontainer plastic
Alat Pengolahan Pisau, talenan, pengupas sayuran, baskom, cobek, blender, nampan, saringan, parutan, kompor, oven, wajan, pengukus, panci, sodet, saringan minyak, centong, teflon, cetakan, mixer
Alat Penyajian Kotak makan rantangan
Lampiran 3 Input penyelenggaraan makanan di sekolah berdasarkan jenis model penyelenggaraan makanan Kriteria Pengelola Tenaga Penjamah Makanan Ahli Gizi Peralatan Bentuk alat saji dan alat makan Ruang penyajian makanan Ruang Pengolahan Bahan baku Kapasitas Konsumen Dana
SDI Al Muslim
SDIT Al Hidayah
12 orang Ada (1 orang)
4 orang Tidak
Sesuai Kantin Sesuai dengan standar
Sesuai Sekolah Belum sesuai dengan standar Pasar tradisional 200 porsi Orangtua siswa
Supplier 1900 porsi Orangtua siswa
Lampiran 4 Proses penyelenggaraan makanan di sekolah berdasarkan jenis model penyelenggaraan makanan
63 Kriteria Perencanaan Menu Harga permenu Komposisi Menu Siklus Menu Kandungan Gizi Energi Protein Waktu Pengolahan Waktu distribusi Waktu makan Belanja Unit Produksi Sumber air bersih Bahan bakar Pemeriksaan contoh produk makanan Unit Pencucian Pencuci peralatan makan Pembuangan limbah
Pembuangan sampah
SDI Al Muslim
SDIT Al Hidayah
Rp. 8500,Menu Lengkap 1 bulan (20 hari)
Rp. 9000,Kurang lengkap 1 bulan (20 hari)
537.06 Kalori 15.08 Gam 06.30 - 09.00 11.00 - 11.30 12.00 - 13.00 Setiap hari
466.66 Kalori 18.52 gam 07.30 - 09.00 11.30 - 11.45 12.00 - 13.00 Setiap hari
PAM Gas
PAM Gas
Belum ada
Belum ada
Siswa
OB
Dibuang ketempat pembuangan sampah sendiri Sampah selalu dibuang setiap hari Dilakukan setiap hari
Dibuang ketempat pembuangan sampah sendiri
Frekuensi pembuangan Pembuangan limbah Dilakukan setiap hari cair jumat oleh OB Penyajian dan distribusi Cara penyajian Rantangan dan Prasmanan Cara distribusi Desentralisasi Kendaraan Kendaraan khusus pengangkut makanan (Trolly) Pelaporan Ada dan memiliki form khusus
Sampah selalu dibuang setiap hari Dilakukan setiap hari Belum ada
Rantangan Desentralisasi Motor Belum ada hanya secara lisan dan tidak terdokumentasi
Lampiran 5 Tingkat kesukaan siswa terhadap menu makan siang sekolah Tingkat Kesukaan Siswa
64 Menu 1). SDI Al Muslim a. Nasi b. Lauk Hewani c. Lauk Nabati d. Sayuran e. Buah 2). SDIT Al Hidayah a. Nasi b. Lauk Hewani c. Lauk Nabati d. Sayuran e. Buah 1. n : %
Sangat Suka
Suka
Biasa-biasa
Tidak Suka
Sangat Tidak Suka
5(12.1) 9(20.9) 8(18.10 6(14.0) 13(30.2)
18(42.3) 17(40.0) 14(32.6) 14(32.6) 14(33.0)
18(42.8) 15(34.4) 17(40.0) 17(40.0) 11(26.0)
1(1.4) 2(4.2) 3(6.0) 4(9.3) 2(4.2)
1(1.4) 0(0.5) 1(3.3) 2(4.2) 3(6.0)
16(38.6) 16(36.9) 6(13.1) 7(15.5) 10(23.8)
14(32.9) 16(38.7) 23(54.8) 17(39.3) 16(38.1)
10(24.3) 7(15.5) 10(22.6) 10(23.8) 9(21.4)
1(2.9) 3(6.5) 3(6.0) 4(8.3) 1(2.4)
1(1.4) 1(2.4) 2(3.6) 6(13.1) 6(14.3)
Lampiran 6 Daya terima siswa terhadap menu makan siang sekolah Menu 1). SDI Al Muslim b. Nasi c. Lauk Hewani d. Lauk Nabati e. Sayuran f. Buah 2). SDIT Al Hidayah a. Nasi b. Lauk Hewani c. Lauk Nabati d. Sayuran e. Buah 1. n : %
Tidak Makan
Mencicipi
Daya Terima Siswa Makan Makan ½ Makan ¾ ¼ bgn bgn bgn
Makan Habis
1(3.3)1 4(10.2) 8(19.5) 11(24.7) 14(32.1)
1(1.4) 2(4.2) 2(3.7) 2(5.1) 2(3.7)
1(2.3) 1(3.3) 2(5.1) 3(7.0) 1(2.3)
3(7.9) 1(3.3) 2(4.7) 2(4.2) 1(2.8)
3(6.0) 5(10.7) 4(8.4) 3(7.9) 1(2.8)
34(79.1) 29(68.4) 25(58.6) 22(51.2) 25(57.7)
2(4.8) 2(3.6) 5(10.7) 4(9.5) 4(9.5)
2(4.8) 2(4.2) 1(1.2) 3(7.1) 1(2.4)
1(2.9) 1(2.4) 1(2.4) 2(3.6) 2(4.8)
3(7.1) 4(9.5) 4(9.5) 6(14.3) 2(4.8)
4(10.5) 6(13.7) 7(15.5) 6(13.1) 6(14.3)
29(70.0) 28(66.7) 26(60.7) 22(52.4) 27(64.3)
Lampiran 7 Frekuensi konsumsi siswa SDI Al Muslim dan SDIT Al Hidayah Jenis Pangan Pangan Sumber Karbohidrat : Nasi Pasta Mie Kentang Singkong Havermut Cereal Jagung Roti Putih Pangan Sumber Protein Hewani : Daging sapi Daging ayam Jenis Pangan
SDI Al Muslim Rata-rata±SD
SDIT Al Hidayah Rata-rata±SD
20.7 ± 2.1 2.2 ± 2.3 2.8 ± 2.0 2.2 ± 2.4 1.3 ± 2.0 0.7 ± 1.9 3.4 ± 3.0 2.0 ± 2.3 5.0 ± 2.6
19.0 ± 5.5 2.3 ± 2.7 3.2 ± 2.6 3.4 ± 3.1 2.1 ± 3.1 1.2 ± 2.6 3.9 ± 3.4 3.4 ± 3.2 5.2 ± 3.2
3.0 ± 2.3 4.5 ± 2.2 SDI Al Muslim Rata-rata±SD
4.9 ± 3.1 6.9 ± 1.9 SDIT Al Hidayah Rata-rata±SD
65 Daging kambing Ikan air tawar Ikan air laut Ikan asin Telur Udang Cumi Kerang Sosis daging Sosis ayam Nugget ayam Nugget ikan Kaki naga Nugget udang Pangan Sumber Protein Nabati : Tahu Tempe Kacang hijau Kacang tanah Pangan Sayuran Daun : Bayam Kangkung Sawi hijau Kol Brokoli Kembang kol Kacang panjang Pangan Sayuran Buah : Wortel Timun Jagung manis Pangan Buah-buahan Papaya Pisang Jeruk Apel Pir Semangka Melon Produk olahan susu Yoghurt Keju Es krim Pangan Jajanan (Snack) Coklat Donat Bakso Siomay Pangan Lainnya Burger Jenis Pangan
1.3 ± 1.8 2.6 ± 2.3 2.4 ± 2.0 1.2 ± 2.4 4.7 ± 2.3 2.3 ± 1.9 1.9 ± 1.9 1.0 ± 1.5 3.2 ± 2.4 2.9 ± 2.2 2.9 ± 2.2 1.5 ± 1.9 1.0 ± 1.5 1.0 ± 1.8
3.2 ± 3.3 4.4 ± 3.3 3.3 ± 3.2 3.1 ± 3.4 5.8 ± 2.8 4.2 ± 2.9 3.4 ± 3.1 2.0 ± 2.8 4.0 ± 3.3 4.5 ± 3.2 5.3 ± 3.1 2.6 ± 3.2 1.8 ± 2.9 2.9 ± 3.2
3.4 ± 2.8 3.7 ± 2.7 1.3 ± 1.8 1.3 ± 2.1
5.5 ± 2.7 4.9 ± 3.0 2.7 ± 3.3 1.7 ± 2.7
3,2 ± 2,9 3,1 ± 2,8 1,4 ± 2,2 1,4 ± 2,4 1,3 ± 2,1 1,0 ± 1,9 1,2 ± 1,9
4,7 ± 2,5 4,4 ± 2,8 2,8 ± 3,2 2,6 ± 2,9 3,0 ± 3,3 2,3 ± 3,2 2,5 ± 2,9
3,3 ± 3,0 2,4 ± 2,6 2,7 ± 2,6
5,8 ± 2,7 3,7 ± 3,0 3,7 ± 3,2
2,5 ± 2,7 4,1 ± 2,6 3,9 ± 2,8 2,9 ± 2,3 2,7 ± 2,5 2,7 ± 2,5 2,7 ± 2,5
4,3 ± 3,3 5,2 ± 2,9 6,1 ± 2,8 5,0 ± 3,4 4,2 ± 3,5 4,8 ± 3,3 4,7 ± 3,2
3.0 ± 2.6 2.4 ± 2.0 4.4 ± 2.8
4.2 ± 3.3 4.8 ± 3.1 5.2 ± 3.0
3.8 ± 2.6 2.8 ± 2.5 3.4 ± 2.3 3.0 ± 2.4
4.1 ± 3.1 4.6 ± 2.9 5.5 ± 2.7 4.8 ± 2.9
1.8 ± 2.1 SDI Al Muslim Rata-rata±SD
3.1 ± 2.9 SDIT Al Hidayah Rata-rata±SD
66 Spaghetti Fried Chicken Pizza Hotdog Fried potatoes
2.2 ± 2.5 3.2 ± 2.7 1.9 ± 2.0 1.5 ± 2.1 2.8 ± 2.4
3.5 ± 3.0 5.0 ± 3.0 2.9 ± 2.9 2.5 ± 2.9 3.3 ± 3.0
Lampiran 8 Kuesioner makan siang Variabel Variasi menu makan siang Ya Tidak Kesukaan penyajian menu makan siang Ya Tidak Menu makan siang sesuai kebutuhan siswa Ya Tidak Waktu makan siang diberikan 12.00 WIB Lainnya Makan siang yang disajikan selalu dihabiskan Ya Tidak Kesukaan makanan sumber energi Ya Tidak Kesukaan sayuran Ya Tidak Sayuran yang tdk disukai Brokoli Oyong Sayur asem Kangkung Labu dan tomat Bayam Sayur lodeh Soto Semua sayuran Ubi Buncis Kacang merah Kacang panjang Kembang kol Sop Tumis sayuran Kesukaan makanan sumber nabati Ya Variabel
SDI Al Muslim n %
SDIT Al Hidayah N %
36 7
83.7 16.3
38 4
90.5 9.5
5 38
11.6 88.4
17 25
40.5 59.5
24 19
55.8 44.2
25 17
59.5 40.5
32 11
74.4 25.6
30 12
71.4 28.6
26 17
60.5 39.5
24 18
57.1 42.9
43 0
100 0
42 0
100.0 0
25 18
58.1 41.9
18 24
42.9 57.1
2 2 4 1 1 3 1 1 2 1 0 0 0 0 0 0
4.7 4.7 9.3 2.3 2.3 7.0 2.3 2.3 4.7 2.3 0 0 0 0 0 0
2 10 2 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1
4.7 23.8 4.7 2.3 0 2.3 2.3 0 2.3 0 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3
34 76.7 SDI Al Muslim n %
41 97.6 SDIT Al Hidayah n %
67 Tidak Makanan sumber nabati yang tdk disukai Tahu Tempe Kesukaan makanan sumber hewani Ya Tidak Makanan sumber hewani yang tdk disukai Daging Kesukaan terhadap buah-buahan Ya Tidak Buah-buahan yang tdk disukai Kelengkeng Duku Manggis Pisang Jeruk Melon Pemilihan menu makan siang yang disajikan Ya Tidak Tindakan bila siswa tidak menyukai menu makan siang Diberikan Dibuang Disimpan Dibiarkan Makan siang membuat siswa kenyang Ya Tidak Adanya benda asing pada menu makan siang Ya Tidak Benda asing pada salah satu menu makan siang Batu kecil Binatang Rambut
9
23.3
1
2.4
4 5
9.3 11.6
0 1
0 2.4
41 2
95.3 4.7
41 1
97.6 2.4
2
4.7
1
2.4
30 13
69.8 30.2
39 3
92.9 7.1
1 3 6 1 1 1
2.3 7.0 14.0 2.3 2.3 2.3
0 0 0 1 0 2
0 0 0 2.4 0 4.7
28 15
65.1 34.9
3 39
7.1 92.9
8 20 5 10
18.6 46.5 11.6 23.3
18 1 11 12
42.9 2.4 26.2 28.6
26 17
60.5 39.5
35 7
83.3 16.7
36 7
83.7 16.3
28 14
66.7 33.3
23 3 10
53.5 6.9 23.3
12 3 13
28.6 7.1 31.0
68 Lampiran 9 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan Tingkat kecukupan Energi Defisit tingkat berat (<70% AKG) Defisit tingan sedang (70-79% AKG) Defisit tingkat ringan (80-89% AKG) Cukup (90-119% AKG) Kelebihan (≥120% AKG) Protein Defisit tingkat berat (<70% AKG) Defisit tingan sedang (70-79% AKG) Defisit tingkat ringan (80-89% AKG) Cukup (90-119% AKG) Kelebihan (≥120% AKG) Kalsium Defisit (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG) Zat Besi Defisit (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG) Serat Defisit (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG) Vitamin A Defisit (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG) Vitamin C Defisit (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG) Total
SDI Al Muslim n (%)
SDIT Al Hidayah n (%)
18 (41.9) 10 (23.3) 4 (9.3) 11 (25.6) -
10 (23.8) 7 (16.7) 4 (9.5) 17 (40.5) 4 (9.5)
3 (7.0) 3 (7.0) 1 (2.3) 9 (20.9) 27( 62.8)
3 (7.1) 1 (2.4) 1 (2.4) 6 (14.3) 31 (73.8)
43 (100.0) -
41 (97.6) 1 (2.4)
43 (100.0) -
36 (85.7) 6 (14.3)
43 (100.0) -
40 (95.2) 2 (4.8)
30 (69.8) 13 (30.2)
30 (71.4) 12 (28.6)
43 (100.0) 43 (100.0)
42 (100.0) 42 (100.0)
Daging
Tempe
Bayam
Manggis
Semur daging
Tempe goreng
sayur bayam
Manggis
Tahu
Pecel
Ayam
Duku
Kerupuk
tahu goreng
Pecel
ayam goreng
Duku
Kerupuk
Melon
Kerupuk
Melon
Kerupuk
Telur
Duku
Kerupuk
telur dadar
Duku
Kerupuk
Nasi
soto ayam
Pisang
Kerupuk
Nasi
soto ayam
Pisang
Kerupuk
Jumat
Nasi
Nasi
Kamis
nasi goreng
nasi goreng
Rabu
Nasi
Nasi
Selasa
Nasi
Nasi
Senin
Menu
Bahan Makanan
15
256
100
122
11
73
60
105
11
68
166
13
73
65
100
66
144
85
10
50
40
140
Berat (g)
82.3
235.6
108
158.6
60.4
43.1
112.1
136.5
60.4
26
415
71.4
43.1
215.8
104
136
187.2
50.2
1.2
168
88.4
182
Energi Total
1
2.6
7.4
2.9
0.7
0.1
6.9
2.5
0.7
0.4
5.8
0.8
0.1
17
1.8
3.5
3.5
0.2
0.2
9.5
4.4
3.4
Protein
Lampiran 10 Menu makan siang SDI Al Muslim
0.1
6.1
0.5
0.4
0.1
2
0
0.3
0.1
0.2
0.3
0.1
2
0.6
3.3
0.7
0.4
2.3
0.1
0.7
0.8
0.4
Serat
2.8
20.5
34
0
2.1
3.7
104.4
0
2.1
22.4
16.6
2.5
3.7
24
473
0
0
4.3
41
0.5
83.6
0
Vit. A
0.2
23
0
0
0.1
4.4
0
0
0.1
4.1
0
0.1
4.4
0
3
0
0
5.1
0.5
0
6.4
0
Vit. C
0.2
0
0
0
0.1
0.7
1.2
0
0.1
0.1
1.7
0.1
0.7
0
1
0
0
0.9
0.1
0.5
0.4
0
Vit. E
2
15.4
12
3.7
1.4
5.1
30.6
3.2
1.4
7.5
8.3
1.7
5.1
9.1
23
62.7
4.3
5.9
6.8
46.5
24.4
4.2
Ca
0.2
0.8
75
0.2
0.1
0.1
0.7
0.2
0.1
0.3
0.5
0.2
0.1
1
1.1
3.2
0.3
0.2
0.2
1.1
0.8
0.3
Fe
1.8
74.2
10
15.9
1.3
3.7
6
13.6
1.3
2
18.3
1.6
3.7
16.9
24
61.4
18.7
4.3
4.4
35
26
18.2
Mg
8.6
1013
56
35.4
6.3
83.9
72
30.5
6.3
107.4
71.4
7.4
83.9
127.4
213
71.9
41.8
97.8
23.3
183.5
195.2
40.6
K
8.9
0
75
0
6.5
0
229.2
0
6.5
0
43.2
7.7
0
48.8
0
0
0
0
0
0
0
0
As. Lemak Jenuh
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Gula Tambahan
11.1
2.6
30
0
8.1
0
68.4
0
8.1
0.7
14.9
9.6
0
45.5
28
4
0
0
3.5
3
5.2
0
Natrium
69
53
50
sawi dan tahu
Puding
Puding
sayur sop
Jagung
Jeruk
Sop ayam
bakwan jagung
Jeruk
Oyong
Jelly
Jelly
Telur
Kerupuk
Susu
Fuyunghai
Kerupuk
Susu
Spagetti
Susu
Spagetti
Susu
Jumat
Nasi
Nasi
125
100
115
15
60
150
50
50
Daging
Empal daging sayur oyong soun
Kamis
50
Nasi
150
100
30
100
150
Nasi
Rabu
Nasi
Nasi
Selasa
65
Ayam
50
150
Nasi
Berat (g)
Nasi ayam goreng lengkuas tumis sawi putih tahu
Senin
Menu
Bahan Makanan
100
214
90
82.3
112.1
195
79.5
10
110.5
195
137.9
162
71.9
195
79.5
14
215.8
195
Energi Total]
4
13.1
2
1
6.9
3.6
0.9
0.4
5.6
3.6
11.2
1.6
5.9
3.6
0.9
0.9
17
3.6
Protein
Lampiran 11 Menu makan siang SDIT Al Hidayah
0
1.2
0
0.1
0
0.5
0.6
0.7
0.9
0.5
5.2
0.4
0.7
0.5
0.6
0.8
0.6
0.5
Serat
68.8
66.3
63.3
2.8
104.4
0
6
14.5
104.5
0
1167
0
232
0
6
0
24
0
Vit. A
1.3
2.5
1.2
0.2
0
0
6.5
3
8
0
61
0.3
4
0
6.5
9.5
0
0
Vit. C
0
1.6
0
0.2
1.2
0
0.5
0
0.5
0
1
0.6
0
0
0.5
1
0
0
Vit. E
143.8
14.1
132.3
2
30.6
4.5
84
13.5
300.5
4.5
734
3
14
4.5
84
27.5
9.1
4.5
Ca
0.1
1.2
0.1
0.2
0.7
0.3
1.5
0.2
1
0.3
49
0.2
0.5
0.3
1.5
0.4
1
0.3
Fe
13.8
21.8
12.7
1.8
6
19.5
60.6
12
32.5
19.5
125
3.6
9
19.5
60.6
5.5
16.9
19.5
Mg
200
190
160
8.6
72
43.5
45
96
244
43.5
1903
21
118
43.5
45
74.5
127.4
43.5
K
1.5
38.5
2
8.9
229.2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
48.8
0
As. Lemak Jenuh
8
0
13
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Gula Tambahan
25
464
30
11.1
68.4
0
116.5
0.5
6.5
0
226
0.3
23
0
116.5
6
45.5
0
Natrium
70 54
71
Lampiran 12 Dokumentasi penelitian
Pengambilan data antropometri dan pengisian kuesioner
Suasana Makan Siang
72
Fasilitas dan Ruang Penyimpanan Bahan Makanan
Tempat menyuci beras dan sayuran
memasak nasi
Penyiapan bumbu masak
memasak sayur
Ruang Produksi dan Proses Memasak Bahan Makanan
73
memasak lauk nabati
penyiapan buah
memasak lauk nabati
Memasak puding (snack sore)
Ruang Produksi dan Proses Memasak Bahan Makanan
Ruang Pemorsian Bahan Makanan Siap Saji
74
Proses Penyajian dan Pendistribusian Makanan Siap Saji
Proses Pemasakan Nasi di SDI Al Muslim
75
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 12 Februari 1984 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Sahroni Hamzah dan Ibu Mujiwati Sastroatmodjo. Pendidikan dasar diperoleh pada SDN Kreo II Tangerang periode 1989 – 1994 dan dilanjutkan di MTs Negeri 13 Jakarta periode 1995-1998. Pada tahun 2001, penulis menamatkan pendidikan menengah atasnya di SMUN 29 Jakarta dan langsung melanjutkan ke pendidikan Diploma III di Politeknik Kesehatan Jakarta II, Jurusan Gizi. Setelah progam Diploma selesai tahun 2003, penulis melanjutkan kembali pendidikan sarjana (Strata 1) di Progam Studi Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada tahun 2005. Setelah lulus S1, penulis bekerja sebagai enumerator selama 3 bulan pada penelitian progam Magister Dokter Gizi Medik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tahun 2006 tepatnya bulan Februari, penulis bekerja di Restoran Chopstix Boga Utama di Jakarta sebagai Quality Control (QC) sampai bulan Oktober 2008. Semenjak November 2008 sampai sekarang, penulis bergabung sebagai staf dan asisten dosen untuk Mata Kuliah Dasar-Dasar Kuliner, Kuliner Lanjut, Kimia Anorganik, Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Gizi Masyarakat pada Progam Studi Ilmu Gizi dan Progam Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul Jakarta serta sebagai asisten peneliti dalam kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat di Progam Studi Ilmu Gizi Universitas Esa Unggul. Penulis melanjutkan kuliah di Progam Pascasarjana Progam Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor pada tahun 2012 dan menyelesaikan studinya pada tahun 2015.