208 Pengembangan Inovasi Pertanian 2(3), 2009: 208-228
Kusuma Diwyanto dan Atien Priyanti
PENGEMBANGAN INDUSTRI PETERNAKAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL1) Kusuma Diwyanto dan Atien Priyanti Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16143
PENDAHULUAN Dalam pidato awal tahun, Presiden Yudhoyono (2007) menyatakan bahwa ada enam permasalahan mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, dua di antaranya adalah tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran. Selain enam permasalahan mendasar tersebut, Indonesia juga mengalami goncangan berat, yang merupakan external shocks berupa gempa bumi dan tsunami silih berganti, serta kejadian banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan. Pukulan eksternal lainnya yang secara langsung dirasakan masyarakat luas adalah meroketnya harga minyak dunia, yang dibarengi dengan meningkatnya harga kebutuhan pangan seperti beras, jagung, susu, dan minyak goreng. Dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta jiwa dan masih terus bertambah, sudah selayaknya Indonesia harus mampu mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Tiga dimensi yang secara implisit terkandung di dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan (food availability), stabilitas pa-
1)
Naskah disampaikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional IX LIPI, tanggal 20-22 November 2007 di Jakarta.
ngan (food stability), dan keterjangkauan pangan (food accessibility). Namun, kenyataan yang ada justru cukup mencemaskan karena ketersediaan pangan secara nasional masih sangat kurang dengan indikasi tingginya volume impor komoditas strategis dan penting, seperti beras (sekitar 1,5 juta ton), jagung (lebih dari 500 ribu ton), bungkil kedelai (hampir 100%), gandum (100%), susu (70%), dan daging sapi (30%). Stabilitas pangan juga masih sangat mengkhawatirkan, terutama pada saat musim kering sering terjadi puso namun pada saat panen raya harga jatuh dan berada di bawah biaya produksi. Sementara itu, tingkat kemiskinan yang masih tinggi menyebabkan banyak masyarakat kelaparan karena daya beli yang sangat rendah, walaupun tersedia di pasar. Untuk merespons situasi tersebut, pemerintah mengatasinya dengan tetap fokus pada pembangunan ekonomi, dengan mendorong pertumbuhan yang disertai pemerataan (growth with equity). Perkembangan ekonomi yang dibarengi dengan perbaikan pendidikan dan perubahan gaya hidup secara langsung akan mendorong peningkatan konsumsi makanan yang lebih berkualitas, termasuk produk peternakan, telur, daging, dan susu. Pada tahun 1980-an, industri ayam ras di Indonesia tumbuh sangat pesat. Namun
209
Pengembangan industri peternakan ...
perkembangan industri ayam ras ini sangat bergantung pada teknologi impor, terutama bibit (day old chick, DOC), pakan (bungkil kedelai, jagung, tepung ikan atau meat bone meal/MBM), serta obat dan vaksin. Pada saat krisis tahun 1998, industri ini hampir bangkrut karena seluruh komponen impor menjadi sangat mahal, sementara harga jual telur dan daging sangat rendah. Peternakan ayam kampung yang pada mulanya tidak mampu berkompetisi dengan industri ayam ras, ternyata pada saat itu justru mampu bertahan. Namun sejak tahun 2005, peternakan tradisional ini tergoncang terkena imbas wabah flu burung yang semula menyerang ayam ras. Ke depan, Indonesia harus menjadi negara yang lebih maju dan modern, sehingga mampu memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan bagi seluruh masyarakatnya, sesuai tujuan MDG’s 2015. Bahkan beberapa pakar saat ini telah mencanangkan visi Indonesia 2030 untuk menjadi negara maju yang unggul dalam mengelola kekayaan alam, dan diharapkan Indonesia dengan jumlah penduduk 285 juta jiwa nantinya dapat masuk dalam lima besar kekuatan ekonomi dunia (YIF 2007). Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, sektor peternakan harus mampu bangkit, tumbuh dan berkembang, serta dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Pangan hewani sangat diperlukan untuk mewujudkan SDM yang sehat, cerdas, kuat, dan produktif, karena terdapat korelasi yang sangat nyata antara tingkat konsumsi protein hewani dan kemajuan suatu bangsa. Makalah ini membahas upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan peternakan yang mandiri, tangguh dan handal secara berkelanjutan, serta mampu merebut peluang pasar domestik yang terus tumbuh, dan mendorong ekspor agar
diperoleh devisa. Enam tantangan internal dan adanya ancaman perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global harus direspons dengan memanfaatkan sumber daya domestik secara optimal melalui inovasi ramah lingkungan, dan mewujudkan good governance.
PETERNAKAN DI INDONESIA Berbeda dengan komoditas pertanian lainnya, ternak mempunyai peran dan fungsi yang sangat kompleks dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Sebelum dekade 1970-an, sebagian besar petani memelihara ternak secara sambilan atau hanya sebagai kepper atau user, dan hanya sebagian kecil sebagai producer, serta tidak ada yang sebagai breeder. Namun pada masa itu atau sebelumnya, Indonesia justru berswasembada, bahkan mampu mengekspor sapi dan kerbau ke beberapa negara. Pada masa itu, fungsi dan peran ternak tidak semata sebagai penghasil pangan, tetapi juga berperan penting dalam: (1) mengakumulasi aset, tabungan atau asuransi; (2) meningkatkan status sosial pemiliknya, atau untuk keperluan sosial budaya dan keagamaan; (3) sebagai bagian integral usaha tani untuk tenaga kerja di sawah atau penarik pedati/kereta dan penghasil kompos; serta (4) sebagai hewan piaraan untuk keperluan hobi, olah raga, atau hewan kesayangan. Perkembangan ekonomi dan arus global telah mendorong masyarakat mengonsumsi daging, telur, dan susu lebih banyak. Peluang ini oleh perusahaan multinasional telah direbut dengan memasukkan produk (susu dan daging), inovasi (industri ayam ras, industri pengolahan susu), dan bibit (ayam ras, babi,
210
sapi). Kondisi ini menyebabkan perkembangan industri peternakan sangat bergantung pada impor bibit dan bakalan (ayam 100%, feeder cattle 400.000 ekor/ tahun), pakan (kedelai, jagung, tepung ikan, MBM), maupun teknologi pengolahan dan pemasaran (susu). Hal ini berdampak pada: (1) langsung maupun tidak langsung perkembangan usaha peternakan rakyat secara perlahan tapi pasti terhambat atau tergusur peranannya; (2) usaha peternakan semakin tidak mandiri dan rentan terhadap perubahan global; serta (3) margin per satuan unit usaha ternak semakin kecil. Inovasi impor dan efisiensi menuntut ketersediaan modal dan peningkatan skala usaha, yang ternyata sulit digapai oleh peternak kecil atau petani tradisional yang biasanya miskin. Dalam suatu tulisan Fatal Harvest (Kimbrell 2006), yang dapat diakses melalui internet, dikatakan bahwa saat ini produksi pangan dunia mengalami kenaikan yang cukup pesat, namun jumlah orang kelaparan makin meningkat pula. Negara maju dengan penguasaan iptek mampu meningkatkan produksi pangannya secara sangat fantastis. Dalam kurun waktu 35 tahun, produksi pangan dunia naik 16% lebih cepat dibanding peningkatan populasi. Negara maju juga mengekspor inovasi dan paten ke negara berkembang, yang mengakibatkan usaha pertanian dan peternakan di negara berkembang menjadi bergantung pada negara maju. Oleh karena itu, disinyalir bahwa iptek dan inovasi impor memang mampu meningkatkan produksi, tetapi juga membuat masyarakat atau petani tradisional menjadi lebih miskin. Masyarakat di negara berkembang telah meninggalkan sumber daya yang mereka miliki, bahkan berusaha melupakan teknologi tradisional yang lebih mandiri dan ramah lingkungan. Ayam kampung yang
Kusuma Diwyanto dan Atien Priyanti
menjadi korban wabah flu burung misalnya, berpotensi musnah karena penyakit flu burung yang terbawa ayam ras dari luar negeri. Ternak yang tidak resisten terhadap flu burung mati karena penyakit, sementara ayam yang resisten habis karena “dimusnahkan oleh kebijakan yang pelaksanaannya kurang bijaksana”. Sebagai ilustrasi, industri peternakan di Eropa dan Amerika Utara berkembang dengan sangat pesat seirama kemajuan teknologi dalam menghasilkan biji-bijian terutama kedelai dan jagung. Di Amerika Latin, Australia, dan Selandia Baru, perkembangan industri peternakan lebih mengandalkan pada ketersediaan padang rumput (pasture) yang sangat luas. Keunggulan komparatif ini, yang dibarengi dengan kemajuan iptek serta kebijakan yang menguntungkan petani (subsidi dan tarif) telah membuat produk peternakan mereka mampu memenuhi kebutuhan domestik dan menguasai pasar global (Syafa’at 2006). Sebaliknya di Indonesia, ternyata ketersediaan padang pangonan relatif sangat terbatas, bahkan menurun 6% pada tahun 2001-2002 (Tabel 1). Sementara itu, produksi biji-bijian, terutama padi dan jagung, hanya mengalami pertumbuhan masing-masing 1,04% dan 5,13% pada tahun 2000-2005 (Tabel 2). Kinerja produksi padi menurun sangat signifikan pada tahun 1980-1990-an dan terus menurun pada tahun 2000-an. Pada periode yang sama, produksi jagung juga mengalami penurunan, namun meningkat pada periode tahun 2000-an. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan biji-bijian bagi usaha peternakan menjadi sangat terbatas. Di sisi lain, produksi beberapa komoditas perkebunan, baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat, menunjukkan peningkatan pada periode yang sama (Tabel 3). Ironisnya, kelimpahan biomassa (by pro-
211
Pengembangan industri peternakan ...
Tabel 1. Luas penggunaan lahan di Indonesia, 1997-2002.
Jenis lahan
Sawah Tegalan/ladang Padang rumput Tanaman kayu Perkebunan
Luas lahan (000 ha) 1997
1998
1999
2000
2001
2002
Pertumbuhan (%)
8.490 11.608 2.056 9.134 15.016
8.505 11.816 2.017 9.072 16.461
8.106 12.769 2.424 8.905 16.544
7.487 12.937 2.209 8.803 16.715
7.780 13.177 2.165 10.100 19.910
7.749 13.364 2.042 8.330 16.382
- 9,56 13,14 - 0,68 - 9,65 8,34
Sumber: Departemen Pertanian (2003).
Tabel 2. Produksi padi dan jagung di Indonesia, 1970-2005.
Uraian
Padi Rata-rata pertumbuhan (%) Jagung Rata-rata pertumbuhan (%)
Produksi (t) 1970-1979
1980-1989
1990-1999
2000-2005
24.199.909 1,10
37.468.896 5,32
48.325.540 1,29
52.251.176 1,04
3.062.109 4,53
5.036.011 5,41
8.001.172 3,96
10.552.296 5,13
duct) yang dihasilkan usaha pertanian atau industri perkebunan dan dapat dipergunakan sebagai sumber pakan masih terabaikan, justru dianggap sebagai limbah (waste product), dan menjadi beban petani dan pekebun. Kondisi tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa pembangunan peternakan di Indonesia belum sepenuhnya didasarkan pada potensi dan ketersediaan sumber daya lokal (sumber daya genetik, pakan dan teknologi), tetapi justru mengikuti irama atau keunggulan kompetitif yang dikembangkan negara maju. Hal inilah kemungkinan yang menyebabkan tingkat ketergantungan peternak (ayam ras, penggemukan sapi) pada teknologi
dan bahan-bahan input dari luar negeri terus meningkat, seperti yang disinyalir Kimbrell (2006) dalam Fatal Harvest. Teknologi modern memang mampu meningkatkan produksi, tetapi sebagian besar input (bibit, pakan, obat) secara nyata harus dibeli (diimpor), yang pada gilirannya akan meningkatkan biaya produksi dan memperkecil keuntungan yang akan diperoleh peternak. Kearifan dan teknologi tradisional yang telah berkembang di masyarakat secara perlahan tergusur oleh kemajuan iptek, sistem, dan modal yang berasal dari impor. Hal inilah yang mungkin juga berkontribusi, mengapa impor kita semakin meningkat (Tabel 4), sementara kemiskinan dan kelaparan masih
212
Kusuma Diwyanto dan Atien Priyanti
Tabel 3. Produksi perkebunan menurut jenis tanaman, 2001-2005. Produksi (000 t)
Jenis tanaman
Pertumbuhan (%)
2001
2002
2003
2004
2005
Perkebunan besar Karet Kelapa Minyak kelapa sawit Inti sawit Kopi Kakao Te h
398 94 5.016 1.138 27 58 127
404 88 6.196 1.210 27 48 120
396 88 6.924 1.529 29 57 126
404 89 8.365 1.835 32 56 124
405 89 9.250 2.082 32 56 130
1,73 - 5,62 45,77 45,34 15,63 - 3,57 2,31
Perkebunan rakyat Karet Kelapa Minyak kelapa sawit Kopi Kakao Te h
1.723 3.069 2.800 543 560 40
1.227 3.011 3.427 654 511 42
1.396 3.136 3.517 645 657 47
1.662 3.191 3.745 647 586 47
1.723 3.176 3.874 647 587 48
0,00 3,37 27,72 16,07 4,60 16,67
Pertumbuhan (%)
Sumber: BPS (2006).
Tabel 4. Volume impor barang konsumsi, 2001-2005. Volume impor (000 mt)
Golongan barang
Bahan makanan dan hewan hidup Minuman dan tembakau Lemak serta minyak hewan dan nabati
2001
2002
2003
2004
2005
9.545
11.903
11.658
11.587
11.781
18,98
92
77
73
99
104
11,54
58
90
67
62
82
29,27
Sumber: BPS (2006).
terjadi. Oleh karena itu, perkembangan usaha dan industri peternakan di Indonesia harus dibangun berdasarkan potensi, kekuatan, dan peluang yang tersedia, serta sekaligus memperhatikan tantangan, ancaman, dan kelemahan yang ada. Pengembangan industri peternakan
yang terlalu mengandalkan inovasi dari negara maju, harus dipilah dan dicermati, karena dikhawatirkan peningkatan produksi akan berbanding terbalik dengan kemiskinan dan kelaparan yang akan menimpa peternak kecil. Sinyalemen Kimbrell (2006) tentang kesalahan tujuh
Pengembangan industri peternakan ...
mitos pentingnya industri pertanian modern perlu dicermati, walaupun tidak sepenuhnya tepat. Justru di sinilah pentingnya upaya untuk mensinergikan keunggulan komparatif dan inovasi lokal, serta mengkombinasikan pemikiran, teknologi, dan kekuatan Timur dan Barat, agar peternakan di Indonesia lebih berdaya saing, mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik, dan dapat menyejahterakan para peternak di pedesaan.
REVOLUSI PETERNAKAN: PENGALAMAN PADA AYAM RAS Produk peternakan (daging, telur, dan susu), secara cita rasa dan fungsional amat berbeda dari produk tanaman pangan sumber karbohidrat seperti ubi-ubian, beras, dan jagung. Berbeda dengan permintaan terhadap produk tanaman pangan yang bersifat inferior, yang tingkat konsumsinya akan menurun seirama dengan peningkatan pendapatan konsumen, permintaan terhadap produk peternakan bersifat elastis atau “mewah”, yang meningkat cepat atau bahkan lebih cepat dari laju peningkatan pendapatan konsumen. Dengan demikian dapat diperkirakan konsumsi per kapita produk peternakan di Indonesia akan cenderung terus meningkat seirama dengan visi Indonesia 2030 (YIF 2007), sementara konsumsi per kapita produk tanaman pangan cenderung menurun. Perubahan pola konsumsi ini bukan hanya dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi, tetapi juga didorong oleh arus urbanisasi serta kesadaran akan gizi dan perubahan gaya hidup masyarakat. Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan pertambahan penduduk akan mendorong permintaan terhadap produk peternakan
213
melonjak, meningkat dengan laju yang semakin pesat. Kondisi ini merupakan kekuatan penarik yang cukup besar sebagai landasan terjadinya Revolusi Peternakan (Livestock Revolution) di negaranegara sedang berkembang, sebagaimana dikemukakan oleh Delgado et al. (1999). Di Indonesia, Revolusi Peternakan di perkirakan telah berlangsung sejak dekade 1980-an, sebagai akibat melonjaknya produksi dan konsumsi daging dan telur ayam ras. Subsektor peternakan memberikan kontribusi yang terus meningkat terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian sejak awal Pelita I. Dibandingkan dengan subsektor tanaman pangan dan perkebunan yang memiliki kontribusi cukup besar, subsektor peternakan memberikan sumbangan yang paling rendah. Namun, laju pertumbuhan subsektor peternakan menunjukkan nilai yang positif sampai dengan periode terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, bahkan mampu tumbuh 23% pada periode 1998-2005 (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan struktur ekonomi terhadap penerimaan PDB di sektor pertanian. Pada periode 1998-1999, subsektor peternakan terkena dampak yang paling besar akibat krisis multidimensi, walaupun saat ini sudah pulih ke level sebelum krisis. Pada saat krisis, laju pertumbuhan PDB subsektor peternakan negatif 3,9%. Bila diperhatikan, ternyata akselerasi pertumbuhan PDB subsektor peternakan pada saat sebelum maupun sesudah krisis dihela oleh industri perunggasan, terutama industri ayam ras, yang sarat dengan komponen impor. Karena itu, pada saat rupiah mengalami depresiasi terhadap nilai dolar, PDB subsektor peternakan menurun. Produksi daging ternak lainnya tumbuh lambat, lebih kecil dari laju pertumbuhan
214
Kusuma Diwyanto dan Atien Priyanti
Tabel 5. Sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor terhadap pertanian, 1968-2005. Sumbangan PDB (%)
Subsektor
Tanaman pangan Perkebunan Peternakan
1968-1977
1978-1987
1988-1997
1998-2005
59,4 17,8 6,8
58,9 17,4 8,2
56,6 16,3 10,8
57,8 18,2 13,3
Sumber: Departemen Pertanian (2005).
daging ayam ras dan telur ayam (Tabel 6). Dengan demikian, Revolusi Peternakan yang pernah terjadi di Indonesia pada dekade 1980-an lebih tepat disebut sebagai Revolusi Peternakan Ayam Ras, karena perkembangan yang terjadi hanya terbatas pada industri peternakan ayam ras. Perkembangan industri ayam ras yang bertumpu dan sangat bergantung pada inovasi impor, ke depan harus diupayakan untuk lebih mandiri dan handal. Pada saat wabah flu burung merebak di beberapa negara pemasok bibit (Grand Parent Stock, GPS), Indonesia kesulitan untuk memperoleh replacement. Seandainya dalam jangka panjang hanya ada satu negara yang bebas flu burung, berarti akan terjadi ancaman keberlangsungan industri ayam ras di Indonesia karena kelangkaan pasokan DOC. Demikian halnya dengan pasokan bahan pakan, ketergantungan pada kedelai dan jagung impor juga sangat mengancam pabrik pakan sebagai industri pendukung peternakan ayam ras. Menurut Anton J. Supit dari GPPI (Kompas, 5 Oktober 2007), pasokan jagung dunia akan semakin langka sebagai akibat perkembangan industri bioetanol di Amerika dan negara produsen jagung lainnya. Kondisi ini akan semakin parah di masa yang akan datang, karena diramalkan harga minyak
bumi akan melonjak sampai USD100/barel pada tahun 2008 (Kompas, 7 Oktober 2007). Pada awal tahun 2007, harga jagung di pasar dunia hanya USD135/ton, dan pada bulan Oktober 2007 telah meningkat dua kali lipat menjadi USD270/ton. Harga jagung di dalam negeri juga meningkat dari Rp1.000/kg (2006) menjadi Rp2.400Rp2.600/kg (2007). Kenaikan harga jagung ini oleh B. Soebijanto, Ketua GPMT, diduga karena dua hal, yaitu kegagalan panen sebagai akibat pemanasan global, dan peningkatan permintaan jagung untuk keperluan industri bioetanol (Kompas, 16 Oktober). Kondisi tersebut menyebabkan dampak berantai; harga pakan ternak naik, biaya produksi ayam meningkat, dan pada gilirannya keuntungan peternak merosot. Di sini terlihat jelas, industri ayam ras di Indonesia sangat terpengaruh oleh: (1) pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim dan gagal panen; (2) peningkatan harga minyak dunia dan produksi bioetanol; serta (3) pengaruh cadangan pangan dan perdagangan global bahan baku pakan ternak. Gambaran tersebut di atas secara gamblang mengingatkan bahwa bila Indonesia akan mendorong perkembangan industri ayam atau menyongsong Revolusi Peternakan Ayam Ras kedua, maka diperlu-
215
Pengembangan industri peternakan ...
Tabel 6. Kinerja produksi usaha peternakan di Indonesia, 1969-2006. Periode tahun
Uraian 1969-1978
1979-1988
1989-1996
1997-2000
2001-2006
Sapi potong Populasi Rataan (000 ekor) Pertumbuhan (%)
6.291 -1,8
8.208 34,9
10.991 14,6
11.464 - 8,5
10.813 -2,8
Produksi Rataan (000 t) Pertumbuhan (%)
202 26,7
225 10,1
302 27,1
336 -4,1
373 12,9
Domba Populasi Rataan (000 ekor) Pertumbuhan (%)
3.384 17
4.744 30,1
6.517 23,5
7.374 -3,6
7.965 13,4
Produksi Rataan (000 t) Pertumbuhan (%)
11,4 32,2
24,74 44,8
36,5 17,4
61,4 -5,5
60 13,8
Kambing Populasi Rataan (000 ekor) Pertumbuhan (%)
6.970 6,3
9.244 27,8
12.140 20,5
13.248 -12,7
12.973 12,3
Produksi Rataan (000 t) Pertumbuhan (%)
16,8 54,4
50,3 46,8
61,4 -5,5
50,1 -45,9
55,3 8,1
Ayam pedaging Populasi Rataan (000 ekor) Pertumbuhan (%)
NA NA
95,8 88,8
506,7 65,2
462,7 -20,8
812,9 36,0
Produksi Rataan (000 t) Pertumbuhan (%)
NA NA
99,5 80,7
393 65,2
414,6 -0,1
773,5 43,8
Ayam petelur Populasi Rataan (000 ekor) Pertumbuhan (%)
3,3 88,7
28,7 81,8
56,3 48,6
56,1 -1,8
83,5 26,5
Produksi Rataan (000 t) Pertumbuhan (%)
22,1 90,4
187,8 79,8
366,5 47,7
376,0 4,0
659,7 28,4
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (2006, data diolah).
216
kan upaya khusus untuk lebih mandiri dalam mengembangkan industri hulu. Pengembangan industri bibit harus terus diperkuat dan dibenahi. Bila saat ini diimpor GPS, ke depan mungkin harus diimpor Great-GPS dan kalau memungkinkan impor pure line. Strategi tersebut harus dibarengi dengan upaya untuk mengembangkan ayam kampung menjadi ayam komersial yang produktif. Langkah ini memerlukan visi jauh ke depan yang dibarengi dengan investasi dan kolaborasi semua pihak, mulai kegiatan riset, pengkajian sampai pengembangan dan komersialisasi. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk membangun industri pembibitan di suatu pulau yang terisolir agar ancaman penyakit dapat diminimalkan. Pulau-pulau yang tersebar tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan dan mengkonservasi unggas lokal agar tidak termusnahkan oleh flu burung dan penyakit serupa. Industri pakan juga harus didukung oleh pasokan bahan pakan secara kontinu, berkualitas, serta dengan harga terjangkau dan stabil. Pengembangan jagung harus terus dilakukan, di samping upaya untuk melakukan substitusi bahan pakan pengganti sumber energi dalam ransum. Produksi kedelai dalam negeri juga harus ditingkatkan, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Sumber protein dalam ransum yang berasal dari tepung ikan juga sangat potensial untuk terus dikembangkan (Jiaravanon 2007), mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 80.000 km dengan total luas laut yang sangat besar (5,8 juta km2). Di sini terlihat bahwa untuk mendorong perkembangan usaha ayam diperlukan dukungan pakan yang
Kusuma Diwyanto dan Atien Priyanti
harus disediakan oleh sektor atau subsektor lain.
PELUANG DAN TANTANGAN DALAM REVITALISASI PETERNAKAN Laju pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini masih cukup tinggi, sekitar 1,3%/ tahun. Pertambahan jumlah penduduk yang diiringi dengan peningkatan pendapatan dapat dipastikan akan mendorong permintaan terhadap produk peternakan secara kuantitas maupun kualitas. Bila saat ini rata-rata konsumsi produk peternakan sangat rendah (Tabel 7), dapat dipastikan ke depan akan terjadi lonjakan permintaan secara signifikan. Peluang ini harus dimanfaatkan untuk mendorong usaha dan industri peternakan yang lebih mengandalkan inovasi, potensi, dan kekuatan domestik, sekaligus untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan peternak. Saat ini harga sebutir telur setara dengan harga sebatang rokok, namun ratarata konsumsi telur di Indonesia baru sekitar 60 butir/kapita/tahun. Rendahnya tingkat konsumsi ini bukan semata-mata karena daya beli yang rendah, tetapi karena minimnya sosialisasi sehingga kesadaran masyarakat mengenai manfaat telur bagi kesehatan dan pertumbuhan anak sangat rendah. Masyarakat justru didorong melalui promosi komersial agar menghamburkan uang untuk mengonsumsi rokok (1.000 batang/kapita/tahun) yang justru berpotensi merusak kesehatan. Rata-rata konsumsi daging sapi juga masih sangat rendah (1,7 kg/kapita/tahun), namun itu pun sebagian (30%) harus dipasok dari impor berupa sapi bakalan
217
Pengembangan industri peternakan ...
Tabel 7. Rata-rata konsumsi daging, telur, dan susu di Indonesia, 1969-2006. Konsumsi (kg/kapita/tahun)
Uraian 1969-1978
1979-1988
1989-1996
1997-2000
2001-2006
Daging Rata-rata Pertumbuhan (%)
3,10 19,65
4,55 35,93
6,96 32,34
5,36 - 54,37
6,40 33,33
Telur Rata-rata Pertumbuhan (%)
0,46 73,86
1,73 55,24
2,78 39,26
2,99 0,57
5,24 19,23
Susu Rata-rata Pertumbuhan (%)
2,27 58,64
3,74 11,43
4,71 34,97
4,23 16,99
6,54 10,79
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (2006, data diolah).
maupun dalam bentuk daging dan jeroan beku. Bila pertumbuhan ekonomi semakin baik, diperkirakan pada tahun 2020 ratarata konsumsi daging akan melonjak 2-3 kali lipat (Kasryno 2004). Hal ini oleh peneliti ACIAR (Quirke et al. 2003) diramalkan akan menyebabkan ketergantungan pada daging impor menjadi sangat tinggi (70%), bila tidak ada upaya terobosan yang signifikan. Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan tahun 2007, pasokan daging di dalam negeri dipenuhi dari unggas (56%), sapi (23%), babi (13%), kambing dan domba (5%), dan lain-lain (3%). Unggas dan babi saat ini sudah berswasembada, walaupun komponen input-nya masih sangat bergantung pada impor. Produksi daging sapi (dan kerbau) di dalam negeri hanya mencukupi sekitar 70% permintaan, dan upaya berswasembada pada tahun 2010 masih menghadapi tantangan yang besar. Susu yang merupakan sumber gizi serta sangat penting bagi pertumbuhan balita
dan kesehatan manusia ternyata juga jarang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Saat ini rata-rata konsumsi susu hanya beberapa tetes per hari (5-6 kg/kapita/tahun), dan itu pun sebagian besar sangat bergantung pada impor (70%). Kebiasaan minum susu segar hampir tidak ada. Umumnya konsumsi susu berupa susu olahan yang diproduksi oleh industri pengolahan susu (IPS). Harga susu dunia yang terus melambung akibat kekeringan di Australia telah mendorong IPS melirik produksi lokal, namun hal ini masih sulit dipenuhi secara kuantitas maupun kualitas oleh peternak. Posisi tawar IPS yang lebih kuat menyebabkan harga susu yang diterima peternak relatif rendah, tidak sesuai dengan biaya produksi akibat harga pakan yang meningkat, dan hal ini menjadi salah satu penyebab produksi susu terus merosot (Kompas, 19 dan 20 Oktober 2007). Bila harga susu yang diterima peternak setara dengan harga susu dunia, dapat dipastikan usaha sapi perah rakyat akan bergairah
218
kembali. Dengan demikian, kebijakan tata niaga susu di dalam negeri perlu dibenahi, antara lain melalui sosialisasi minum susu segar sejak dini. Langkah ini diharapkan akan memperbaiki harga susu di tingkat peternak, dan di tingkat konsumen harganya lebih terjangkau. Dengan demikian, peningkatan produksi susu akan seirama dengan perbaikan kesejahteraan peternak sapi perah yang sebagian besar masih hidup miskin. Produksi kambing dan domba (kado) sudah mampu mencukupi permintaan domestik, bahkan sudah diekspor walau dalam jumlah sangat terbatas. Rumah tangga di Indonesia sangat jarang memasak daging kado, kecuali pada hari-hari besar atau pada saat upacara adat dan keagamaan. Bila dalam 10 tahun ke depan ada tambahan 10% keluarga muslim di Indonesia yang melaksanakan qurban pada saat Lebaran Haji, maka hampir seluruh populasi kado yang layak akan habis dipotong dalam satu hari. Kondisi ini menggambarkan adanya peluang domestik yang sangat besar untuk pengembangan peternakan kado, selain permintaan Timur Tengah yang sampai saat ini belum pernah tergarap. Tujuan akhir dari revitalisasi peternakan yang dicanangkan Presiden pada tahun 2005 adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sesuai MDG’s 2015 yang antara lain mengamanatkan pemberantasan kemiskinan ekstrim dan kelaparan. Oleh karena itu, agar tidak terjadi misleading dalam revitalisasi peternakan, pembangunan peternakan tidak hanya terfokus pada upaya untuk mendorong konsumsi protein hewani, meningkatkan produksi, atau mewujudkan swasembada. Revitalisasi peternakan harus lebih ditekankan pada upaya untuk mewujudkan
Kusuma Diwyanto dan Atien Priyanti
kemandirian, ketahanan pangan hewani, kesejahteraan peternak, dan keberlanjutan usaha. Tantangan tersebut tidaklah ringan, mengingat sebagian besar peternak adalah petani miskin dengan tingkat pendidikan yang rendah, serta tidak mempunyai akses terhadap informasi, teknologi, dan modal. Sementara itu, peternak juga sering menjadi pihak yang menjadi korban dari kebijakan yang mengatasnamakan kebutuhan majoritas masyarakat. Pada saat tertentu, harga melambung tinggi karena kenaikan harga input seperti bibit dan pakan. Di sini peternak mendapatkan tekanan untuk tidak menaikkan harga sehingga keuntungannya minimal. Pada saat yang sama, konsumen tetap harus membayar harga yang tinggi, karena terlalu panjangnya rantai pemasaran, dan keuntungan terbesar dinikmati pengecer atau kegiatan di sektor hilir. Bila kondisi ini terus terjadi maka banyak peternak yang akan meninggalkan usahanya, pergi ke kota mencari pekerjaan yang semakin sulit diperoleh (Jiaravanon 2007). Tantangan lain yang harus diperhatikan adalah ketergantungan pada bibit impor yang berasal dari daerah temperate yang berhawa sejuk. Bibit yang bagus di negara asalnya belum tentu mampu berproduksi secara maksimal di lingkungan lembap tropis karena adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan (genotype environment interaction). Kondisi ini diperburuk dengan adanya indikasi akan terjadi peningkatan suhu permukaan global, sejalan dengan kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) dan pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dengan demikian, sudah menjadi keharusan untuk mengembangkan inovasi untuk menghasilkan bibit lokal
Pengembangan industri peternakan ...
yang lebih adaptif dengan lingkungan setempat, serta dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat dan potensi pakan yang tersedia. Faktor lain yang berpotensi menjadi penghambat berkembangnya usaha peternakan di pedesaan adalah minimnya sarana dan prasarana, terutama infrastruktur transportasi seperti pelabuhan dan kapal pengangkut yang tidak memadai, jalan dan jembatan yang rusak, serta adanya pungutan resmi maupun liar yang sangat memberatkan pelaku usaha. Kondisi ini menyebabkan disparitas harga di tingkat produsen dan konsumen sangat lebar, yang berujung pada rendahnya keuntungan yang diperoleh peternak. Infrastruktur lain yang masih menjadi permasalahan dalam pengembangan peternakan adalah penyediaan air pada musim kemarau. Sementara itu, perubahan iklim yang menyebabkan banjir atau kekeringan juga merupakan faktor eksternal yang perlu mendapat perhatian dalam revitalisasi peternakan, khususnya dalam penyediaan pakan murah secara berkelanjutan. Pengamatan di lapang dalam satu tahun terakhir menunjukkan beberapa keberhasilan masyarakat dalam merevitalisasi kegiatan agribisnis peternakan berbasis sumber daya lokal. Pertama, Puskud NTT bekerja sama dengan National Cooperative Bussiness Association/NCBA, USDA) telah berhasil menghimpun lebih dari 7.200 petani miskin untuk melakukan kontrak farming di daerah Kupang dan sekitarnya. Kegiatan yang dimulai sejak tahun 2002 mendapat respons luar biasa dari masyarakat karena mampu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan keluarga secara sangat signifikan. Dalam program ini, Puskud membantu pengadaan sapi (2-8 ekor/KK) dan pendampingan,
219
sementara peternak harus mengikuti semua aturan yang telah disepakati. Dalam lima tahun terakhir telah tersalur lebih dari 18.000 ekor sapi, dan sampai saat ini tidak ada kredit macet. Dalam kelanjutannya, lebih dari 2.000 petani menunggu untuk dapat bergabung dalam program kemitraan yang 100% memanfaatkan sumber daya lokal (bibit, pakan, dan inovasi). Dalam kontrak farming yang dilaksanakan dengan sistem manajemen sederhana dan mudah dipahami ini, petani mendapat bagian 70% dari keuntungan (selisih harga jual dengan harga pembelian) yang diperoleh, dibayar secara tunai pada saat penjualan, dan tanpa potongan sedikit pun. Pendapatan yang diperoleh petani dari setiap ekor sapi berkisar antara Rp1,2-Rp1,5 juta yang nilainya 5-10 kali lipat dibanding kontrak farming dengan pengusaha sebelumnya. Kedua, program revitalisasi peternakan serupa sejak tahun 2006 juga dilaksanakan di Klaten dan sekitarnya, dengan memanfaatkan sapi lokal hasil IB. Kontrak farming ini semula ditujukan untuk membantu para petani korban bencana gempa di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang kehilangan pekerjaan. Dalam hal ini, Koperasi Jasa Usaha Bersama (KJUB)-Puspetasari Klaten bekerja sama dengan NCBA berperan sebagai inti yang menyalurkan kredit dalam pengadaan sapi bakalan, penyediaan pakan konsentrat, dan pendampingan. Sampai Desember 2006, baru beberapa ratus sapi yang disalurkan, namun petani sangat senang karena dalam waktu empat bulan mereka dapat memperoleh “keuntungan” sekitar 100% dari ongkos konsentrat yang harus dibayar. Saat ini ratusan petani telah mengajukan diri untuk bergabung dengan program yang sangat sederhana ini.
220
Ketiga, bisnis pakan dari suatu pabrik pakan mini di Grati Jawa Timur untuk usaha penggemukan sapi di Bali. Pakan yang diproduksi feed mill ini memanfaatkan berbagai limbah yang saat ini masih diabaikan atau terbuang dengan suatu inovasi sederhana, sehingga harga pakan yang dijual relatif murah. Kegiatan bisnis ini mendorong petani dan pengusaha setempat untuk melakukan penggemukan sapi Bali. Ternyata bisnis yang 100% memanfaatkan sapi lokal ini berkembang pesat, dan sebagian besar telah memanfaatkan kredit komersial dari bank. Dari ketiga contoh di atas, ada beberapa persamaan yang membuat kegiatan revitalisasi peternakan tersebut sukses, yaitu: (1) program atau bisnis disusun dengan cara yang sederhana sehingga mudah dipahami masyarakat; (2) program disosialisasikan dengan baik, dan melibatkan masyarakat sejak awalnya; (3) program dilaksanakan secara terbuka kepada siapa saja, konsisten, akurat, transparan dan penuh kejujuran, atau good governance; serta (4) semua kegiatan dilakukan dengan pertimbangan bisnis yang adil dan menegakkan secara penuh reward and punishment atau law enforcement. Untuk menjaga keberlanjutan perkembangan ketiga model kegiatan tersebut diperlukan dukungan usaha cow-calf operation di tingkat masyarakat. Program aksi perbibitan dan pengembangan village breeding center (VBC) dalam suatu kandang kelompok juga harus terus ditingkatkan. Margin kegiatan cow-calf operation yang relatif kecil dapat dikombinasikan dengan kegiatan pembesaran dan penggemukan, serta didukung dengan intensifikasi kawin alam (InKA) dan IB.
Kusuma Diwyanto dan Atien Priyanti
INOVASI TEKNOLOGI BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL Secara tradisional, peternakan di Indonesia sampai dengan dekade 1970-an dilakukan sebagai kegiatan sampingan, dan kurang memperhatikan aspek bisnis. Usaha peternakan selalu diidentikkan dengan memelihara ternak, dan peternak hanya sekedar sebagai keeper dan user. Namun kenyataannya, justru dengan cara inilah mereka merasa tidak pernah dirugikan, walaupun kondisi ekonomi dan kesejahteraannya tidak terlalu menggembirakan. Ternak yang banyak dipelihara secara tradisional ini merupakan hasil domestikasi masyarakat setempat dan sebagian masih memiliki kerabat liar, antara lain ayam kampung dan sapi Bali. Ayam kampung yang dipelihara hampir seluruh masyarakat di pedesaan tidak pernah mengalami perkembangan yang signifikan. Sebagai sumber daya genetik lokal, beberapa kelompok ayam kampung ternyata tahan terhadap berbagai penyakit, seperti flu burung (Maeda 2005). Oleh karena itu, penelitian untuk mengembangkan ayam kampung sebagai galur yang tahan terhadap penyakit flu burung perlu dilakukan. Inovasi seperti inilah yang akan mampu memanfaatkan ayam kampung secara lestari. Dengan demikian, perkembangan industri perunggasan ke depan tidak sepenuhnya hanya bergantung pada inovasi teknologi dan bibit impor. Sejak dasawarsa terakhir, pemanfaatan sumber daya genetik ayam lokal (ayam Pelung) secara komersial sudah mulai tampak, sebagai upaya merespons permintaan pasar yang menyukai resep tradisional atau untuk keperluan lain (misalnya telur
Pengembangan industri peternakan ...
ayam kampung untuk jamu). Komersialisasi ayam kampung ini perlu diatur dengan baik agar tidak berdampak pada persaingan bisnis yang tidak seimbang antara peternak kecil dan peternak besar. Dalam hal ini, peningkatan produksi dan kualitas ayam kampung harus diupayakan juga dapat dinikmati peternak tradisional melalui usaha kemitraan. Sapi Bali sebagai sapi asli Indonesia ternyata merupakan salah satu bangsa (breed) sapi yang paling cocok dikembangkan di Indonesia (ACIAR 2003). Sapi dengan ukuran badan yang relatif kecil ini mempunyai keistimewaan seperti daya reproduksi sangat baik, kualitas karkas dan daging prima, mampu bertahan hidup dalam kondisi lembap tropis dengan kualitas pakan yang kurang baik, serta tahan menghadapi berbagai serangan parasit. Beberapa negara tetangga seperti Malaysia sangat antusias untuk mengimpor bibit sapi Bali, sementara Indonesia justru belum memberi perhatian yang memadai. Saat ini Pemda Bali telah menetapkan Pulau Bali sebagai kawasan konservasi, sehingga persilangan dengan sapi impor tidak diperbolehkan. Dengan makin terbatasnya sumber daya dan tuntutan pasar yang makin besar, sejak tahun 1970-an pemerintah memperkenalkan teknologi kawin suntik (inseminasi buatan, IB). Teknologi ini semula diperkenalkan untuk tujuan persilangan (cross breeding) dengan menggunakan semen beku dari pejantan introduksi dari Eropa (Bos taurus). Sapi hasil silangan ini mempunyai ukuran yang lebih besar, mampu tumbuh cepat bila diberi pakan yang memadai, serta mempunyai harga jual yang tinggi. Saat ini IB menjadi salah satu program andalan nasional untuk meningkatkan produksi daging. Namun, tujuan program ini kurang fokus dan tidak jelas,
221
apakah ke arah pembentukan final stock, rotational crossing, up grading, atau membentuk ternak komposit. Anak hasil IB dengan semen Simmental atau Limousin sangat disukai peternak karena sangat baik dijadikan sapi bakalan. Namun bila yang terlahir anak betina dan kemudian dijadikan replacement, peternak sering mengalami kekecewaan karena harus memberi pakan yang lebih banyak dan mahal. Anak hasil silangan biasanya mempunyai ukuran tubuh besar mirip pejantan (bapaknya). Karena kesulitan pakan pada musim kering, sapi hasil silangan ini tampak kurus, tidak menunjukkan gejala berahi, sehingga sulit dikawinkan dan bunting sehingga selang beranaknya (calving interval) menjadi panjang. Persilangan dengan teknologi IB telah menjadi mode dalam pengembangan beberapa jenis ternak, walaupun hasilnya belum sepenuhnya memuaskan, seperti penurunan fertilitas dan daya adaptasi dengan lingkungan setempat. Beberapa penyebab penurunan fertilitas ternak hasil persilangan dua bangsa (breed) yang berbeda telah dikupas Hardjosubroto (2006, tidak diterbitkan). Kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut adalah: (1) pada perkawinan antara kerbau lokal (kromosom 2n = 48) dengan kerbau Murrah (kromosom 2n = 50), keturunan (F1) hasil persilangan akan mempunyai jumlah kromosom yang tidak seimbang, yaitu (2n + 1 = 49), yang biasanya fertilitasnya terganggu; (2) adanya perbedaan bentuk kromosom pada otosom maupun ukuran kromosom-seks antara kedua tetua (kerbau lokal dan Murah) menghasilkan keturunan (F1) yang tidak subur; (3) infertilitas yang diakibatkan proses spermatogenesis tidak berjalan normal, pada anak jantan hasil persilangan antara sapi Bali dan sapi Eropa, karena
222
kromosom X pada sapi Bali memiliki suatu spindel; (4) terjadi translokasi kromosom (Robertsonian translocation 1/29) pada proses segregasi pada ternak hasil silangan sapi Swedish Red dan White, sehingga sperma tidak fertil; serta (5) kemungkinan adanya perbedaan sekunder lain seperti pada kejadian persilangan sapi Bali dengan Bos taurus, akibat genotipe penyusun hemoglobin yang berbeda, yaitu Hb, HbA, dan HbX. Untuk mengatasi persoalan tersebut, diperlukan suatu inovasi serta strategi pemuliaan dan perkawinan agar diperoleh hasil yang optimal. Inovasi bioteknologi reproduksi yang saat ini sudah sampai pada tataran komersial adalah aplikasi pemanfaatan sperma hasil sexing yang dihasilkan BBIB Singosari. Teknologi sexing sperma sudah diteliti cukup lama, dan di Indonesia mulai diteliti dan dikaji oleh LIPI, Balitnak, Universitas Brawidjaja, dan lainnya sejak dasawarsa yang lalu. Namun, terobosan pengembangan yang dilakukan BBIB Singosari memberi hasil yang sangat baik, terutama untuk sperma X (Diwyanto dan Herliantin 2006). Pemanfaatan spermatozoa X berpeluang untuk dikembangkan secara luas pada sapi perah untuk menambah ternak produktif. Sebaliknya, penggunaan spermatozoa Y hanya cocok untuk menghasilkan final stock (commercial stock) serta perlu suatu perencanaan yang lebih matang agar replacement dapat tetap terjaga. Kajian mendalam untuk meningkatkan akurasi sexing tetap perlu dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan dukungan semua pihak agar teknologi inovatif ini dapat lebih bermanfaat dan berdaya guna, khususnya untuk usaha cowcalf operation guna menghasilkan sapi bakalan yang lebih kompetitif. Inovasi teknologi pakan sudah banyak dihasilkan, terutama terkait dengan pe-
Kusuma Diwyanto dan Atien Priyanti
ngembangan lumbung pakan (feed bank), strategi pemberian pakan yang ekonomis (feeding strategy), pengkayaan pakan (feed enrichment), pengembangan legume tree, atau yang terkait dengan model tiga strata dan food feed system. Namun, pengembangan inovasi ini belum memberi dampak yang memadai, karena impor bahan pakan (unggas) justru makin besar, terutama bungkil kedelai, jagung, tepung ikan, dan MBM. Harga jagung dunia yang terus meningkat sebagai akibat perkembangan industri bioetanol, telah membuat peternak ayam ras kerepotan. Perkembangan usaha peternakan dan industri pakan sangat bergantung pada pasokan bahan baku pakan yang berkualitas (standar), kontinu, dan dengan harga kompetitif. Ironisnya, dengan pertimbangan memperoleh devisa jangka pendek, justru beberapa bahan pakan yang sangat diperlukan usaha peternakan di dalam negeri diekspor, seperti wafer atau pucuk tebu, bungkil inti sawit, onggok atau gaplek, dan tebon jagung atau silase jagung. Bahan pakan sumber serat juga banyak yang terbuang, dibakar dan bahkan menjadi masalah dalam usaha tani dan agroindustri, seperti jerami padi dan limbah sawit. Potensi pakan ini harus dimanfaatkan sebagai basis pengembangan ternak, baik melalui suatu inovasi teknologi, strategi pengembangan, atau kebijakan yang lebih berpihak dalam menguatkan industri peternakan yang tangguh berbasis sumber daya lokal. Pengembangan inovasi teknologi berbasis bibit dan pakan lokal diharapkan mampu meningkatkan daya saing produk peternakan, karena kontribusi pakan dan bibit dalam biaya produksi sekitar 70-80% atau lebih. Pemanfaatan dan pengembangan teknologi inovatif yang telah tersedia hanya
Pengembangan industri peternakan ...
dapat dilakukan apabila didukung kebijakan dan program pemerintah. Dalam hal ini, keterpaduan antara kegiatan penelitian dan penyuluhan, keterkaitan antara kegiatan penelitian dan komersialisasi teknologi, kebijakan impor dan ekspor pakan, serta kerja sama antara peternak, peneliti dan pengambil kebijakan harus benarbenar padu, dengan sasaran peternak lebih sejahtera.
CROP LIVESTOCK SYSTEM Dalam rangka mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan hewani secara berkelanjutan dengan sasaran meningkatkan kesejahteraan peternak dan daya saing produk peternakan, Indonesia harus mampu mengembangkan model yang sesuai dengan kondisi agroekologi dan sosial budaya masyarakat. Setiap konsep yang akan dikembangkan harus didasarkan pada kajian, inovasi, dan pengalaman empiris, serta memperhatikan perkembangan global. Perdagangan komoditas pertanian yang saat ini masih sangat tidak adil dan transparan, penuh dengan rekayasa teknis dan hukum, harus dipergunakan sebagai basis pemikiran bahwa kemandirian dan ketahanan pangan perlu segera diwujudkan secara lestari. Ketergantungan Indonesia pada sistem, inovasi, bibit, dan pakan impor disebabkan sejak awal pendidikan telah ’diarahkan’ untuk berfikir seperti Eropa, Amerika, atau Australia. Inovasi Barat dianggap sebagai model atau standar yang harus dijadikan acuan. Sangat jarang pengembangan industri peternakan didasarkan pada upaya untuk menggali teknologi tradisional dan kearifan lokal, dalam suatu model pertanian terpadu. Konsep pertanian terpadu atau sistem integrasi
223
tanaman-ternak sebenarnya sudah diperkaya dan diterapkan kembali pada tahun 1970-an berdasarkan hasil litbang yang dimulai oleh LP3- Bogor dengan mengacu pada pola di IRRI (Manwan 1989). Sejak saat itu secara bertahap muncul istilahistilah pola tanam (cropping pattern), pola usaha tani (cropping systems), sampai akhirnya muncul istilah sistem usaha tani (farming systems), serta sistem integrasi tanaman-ternak yang merupakan terjemahan dari crop livestock systems atau CLS (Diwyanto et al. 2002). Terdapat delapan keuntungan dari penerapan pola CLS bagi petani dan peternak kecil di pedesaan (Devendra 1993), yaitu: (1) diversifikasi penggunaan sumber daya produksi, (2) mengurangi risiko usaha karena faktor teknis maupun ekonomis, (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi penggunaan input produksi atau mengurangi biaya produksi, (5) mengurangi ketergantungan energi kimia dan biologi serta masukan sumber daya lainnya, (6) sistem ekologi lebih lestari serta tidak menimbulkan polusi sehingga ramah lingkungan, (7) meningkatkan produksi atau pendapatan keluarga, dan (8) mampu mengembangkan rumah tangga petani yang lebih mandiri dalam hal pangan, energi (biogas), dan pendapatan secara berkelanjutan. Kedelapan keuntungan tersebut diperoleh karena adanya sinergi antarkegiatan, yang pada gilirannya hampir tidak ada sumber daya yang terbuang (zero waste). Implikasinya adalah beberapa produk yang dihasilkan dapat diperoleh tanpa biaya yang secara riil harus dikeluarkan petani/peternak (zero cost). Diwyanto dan Haryanto (2002) menyatakan bahwa penerapan CLS yang diinspirasi dari kearifan tradisional ini mampu meningkatkan penghasilan petani
224
hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan pola tanam padi IP-300 tanpa ternak. Sekitar 40% dari hasil tersebut berasal dari pupuk organik yang diperoleh dari ternak sapi. Hasil-hasil penelitian dan pengkajian di berbagai tempat dan agroekologi juga menunjukkan bahwa pada umumnya integrasi ternak dengan tanaman, baik itu tanaman pangan maupun tanaman perkebunan, memberikan nilai tambah yang cukup signifikan (Syam dan Sariubang 2004). Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, kegiatan Prima Tani yang dikoordinasi Badan Litbang Pertanian di 200 lokasi, mengaplikasikan CLS dalam bentuk sistem integrasi padi-ternak (SIPT), sistem integrasi sapi di kebun kelapa sawit Agricinal (SISKA), dan sebagainya, sebagai salah satu model andalan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani/ peternak. Hampir seluruh kawasan pertanian berpotensi sebagai daerah pengembangan ternak. Di lahan irigasi, misalnya, setiap kali panen dapat diperoleh jerami sekitar 5-8 t/ha. Jumlah ini bila dipergunakan untuk usaha cow-calf operation, dapat mencukupi kebutuhan serat untuk 2 ekor induk sepanjang tahun. Bila luas lahan persawahan saat ini mencapai 7,7 juta ha, secara teoritis dapat mengakomodasi jutaan ekor ternak sapi atau kerbau. Namun kenyataannya, beberapa daerah lumbung padi justru masih menyia-nyiakan potensi ini. Biasanya jerami padi dibakar atau dipergunakan untuk keperluan lain dan kegiatan nonpertanian. Praktek seperti ini berpotensi menyumbang terjadinya pemanasan global dan pemiskinan unsur hara di lahan persawahan. Sementara itu, saat ini tersedia jutaan hektar kawasan perkebunan dan lahan pertanian lain di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau lainnya yang relatif
Kusuma Diwyanto dan Atien Priyanti
kosong ternak. Padahal hasil samping berupa biomassa yang dihasilkan setiap hektar jumlahnya sangat besar, yang diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan pakan sedikitnya untuk seekor ternak dewasa sepanjang tahun. Dengan inovasi teknologi, hasil samping dan limbah pertanian ini dapat diolah menjadi pakan murah. Pada tanaman kelapa rakyat, misalnya, dari 3,6 juta ha hanya sekitar 0,7 juta ha yang efektif dimanfaatkan bagi usaha budi daya kelapa. Hal ini menunjukkan bahwa hampir 80% lahan tersebut mempunyai peluang untuk dipergunakan untuk pengembangan tanaman sela, (padi gogo, jagung, ubi, dan palawija lainnya), yang selain menghasilkan produk utama, limbahnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Subagyono 2004), khususnya untuk usaha cow-calf operation. Pengembangan perkebunan kelapa sawit diperkirakan akan terus meningkat. Pada tahun 2007, luas arealnya telah mencapai lebih dari 5 juta ha. Apabila setiap hektar kebun mempunyai 130 pohon, dan jika setiap pohon dapat menghasilkan 22 pelepah/tahun, maka diperoleh 9 ton pelepah segar setiap tahun atau sekitar 0,66 ton bahan kering. Jumlah tersebut dan dikombinasi dengan limbah pabrik minyak sawit akan menghasilkan biomassa yang sangat besar, yang berarti setiap hektar kebun sawit mampu menampung 1-3 ekor sapi induk (Diwyanto et al. 2004). Pengembangan SISKA juga bermanfaat dalam pengangkutan tandan buah sawit, kotorannya diolah sebagai biogas, serta fungsi sosial-ekonomi bagi pekebun. Oleh karena itu, perluasan perkebunan kelapa sawit merupakan peluang yang sangat besar untuk mengembangkan usaha cow-calf operation. Pada gilirannya, usaha ini akan berdampak pada: (1) efisiensi dan daya saing produk, (2) keberlanjutan terkait dengan
225
Pengembangan industri peternakan ...
masalah kesuburan, (3) dampak lingkungan dalam proses pengolahan sawit, serta (4) aspek sosial ekonomi yang berhubungan dengan penyediaan biogas sebagai energi rumah tangga, dan kesejahteraan pekerja maupun masyarakat sekitarnya. Konsep CLS dan pengalaman empiris di beberapa tempat mempunyai benang merah yang dapat ditarik dari hulu sampai ke hilir, yaitu: (1) petani dan pekebun termotivasi untuk tetap mempertahankan kesuburan lahan pertanian dengan cara memperbaiki pola budi daya dan mempertahankan kandungan bahan organik; (2) penggunaan pupuk kimia dilakukan secara benar dan diimbangi dengan penambahan bahan organik seperti kompos dari kotoran ternak yang terbukti mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan menurunkan biaya produksi; (3) penggunaan kompos membuka peluang pasar baru dan mendorong masyarakat pedesaan untuk mengembangkan industri kompos dengan memelihara sapi; (4) teknologi pakan dalam memanfaatkan limbah pertanian lainnya mampu mengurangi biaya usaha cow-calf operation, dengan kompos sebagai produk andalan; (5) pedet merupakan produk utama dari budi daya sapi, namun sebagian biaya pakan dapat diatasi dengan penjualan kompos; serta (6) peternakan dapat dipandang sebagai usaha investasi (tabungan) yang tidak terkena inflasi, mampu menciptakan lapangan kerja yang memang tidak tersedia di pedesaan, dan menjadi bagian integral dari sistem usaha tani dan kehidupan masyarakat di pedesaan. Saat ini secara komersial pengusaha di Solo Jawa Tengah telah mengembangkan bisnis sapi perah dengan prinsip zero waste. Ternak diposisikan sebagai mesin untuk menghasilkan pupuk organik dalam
bentuk cair maupun padat, dengan bahan baku jerami dan limbah pertanian lainnya. Ternyata nilai kompos yang dihasilkan telah mampu menutupi biaya pemeliharaan sapi, sehingga susu dan daging (pedet) yang dihasilkan dapat dipandang sebagai bonus, atau zero cost. Keberhasilan usaha ini dilandasi dengan pengembangan inovasi fermentasi pakan dan pembuatan kompos, yang dilakukan secara sederhana, murah, dan mudah.
PENUTUP Sebagai negara agraris dengan jumlah penduduk yang sangat besar, Indonesia harus mampu mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan selaras dengan tujuan MDG’s 2015. Perkembangan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk akan berpengaruh langsung terhadap kebutuhan pangan berkualitas, antara lain daging, telur, dan susu. Ketergantungan pada impor produk maupun bahan baku industri peternakan yang masih cukup tinggi merupakan tantangan, sekaligus peluang yang sangat baik untuk merevitalisasi peternakan melalui pembangunan industri peternakan berbasis sumber daya lokal. Pembangunan peternakan ke depan bukan hanya sekedar meningkatkan produksi, tetapi juga harus mampu memperbaiki kesejahteraan peternak. Hal ini dapat terwujud bila ada kebijakan yang kondusif dan berpihak pada peternak, serta didukung aplikasi teknologi inovatif tepat guna. Pembangunan peternakan akan berkembang secara berkelanjutan apabila didukung oleh industri hulu yang handal, terutama jaminan ketersediaan bibit dan pakan. Sekitar 70-80% biaya produksi usaha peternakan dipergunakan untuk
226
bibit dan pakan. Dengan demikian, ketergantungan pada bibit dan pakan impor harus dipergunakan sebagai momentum untuk mengembangkan industri di dalam negeri. Industri bibit ayam ras harus didorong ke arah yang lebih up stream, dengan memberi insentif dan suasana kondusif bagi investor untuk mengembangkan Great-GPS atau pure line. Sebagai komplemen, juga perlu didorong pengembangan industri pembibitan ayam kampung dengan melibatkan peternak yang sudah maju. Pemanfaatan ayam kampung ini nantinya harus ditujukan untuk pemberdayaan peternak kecil dengan menerapkan praktek pertanian yang baik. Pengembangan pembibitan sapi dan usaha cow-calf operation harus bertumpu pada sumber daya genetik sapi lokal, namun juga dapat dikombinasikan dengan ternak introduksi secara selektif. Pemanasan global akan berdampak buruk pada sapi subtropis karena adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan. Oleh karena itu, persilangan sapi lokal dengan sapi Eropa harus direncanakan dengan matang untuk setiap lokasi spesifik. Pengembangan bibit ternak lainnya seperti kerbau, kado, dan itik juga harus memperhatikan faktor lingkungan, agroekologi, dan sosial budaya masyarakat. Sementara itu, aplikasi teknologi IB, sexing, dan teknologi lainnya dapat dilakukan secara selektif, dan harus diarahkan secara jelas agar hasilnya secara teknis layak dan secara ekonomis menguntungkan peternak secara berkelanjutan. Kondisi lingkungan, infrastruktur, dan sosial ekonomi harus menjadi pertimbangan dalam pengembangan dan implementasi inovasi bioteknologi reproduksi. Keterbatasan Indonesia dalam menyediakan biji-bijian untuk pakan ternak dan semakin menciutnya areal padang peng-
Kusuma Diwyanto dan Atien Priyanti
gembalaan merupakan tantangan yang harus dijawab dengan pendekatan yang lebih komprehensif. Meningkatnya harga minyak dunia dan berkembangnya industri bioetanol serta perubahan iklim secara langsung akan berdampak pada menyusutnya pasokan jagung di pasar global. Oleh karena itu, kebutuhan bahan pakan sumber protein dan energi untuk industri perunggasan harus diupayakan dengan peningkatan produksi secara intensif maupun ekstensif, serta upaya-upaya lain melalui substitusi. Intensifikasi jagung dan kedelai harus dilakukan dengan menggunakan benih unggul yang dihasilkan di dalam negeri. Ekstensifikasi dapat dilakukan dengan pola tumpang sari di kawasan perkebunan atau kehutanan, terutama pada saat peremajaan atau pembukaan lahan baru. Substitusi sebagian sumber energi dan protein dapat dilakukan degan memanfaatkan ubi-ubian atau hasil samping industri perkebunan, terutama kelapa sawit dan kelapa. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar untuk mengembangkan industri tepung ikan, dengan sasaran meminimalkan impor tepung ikan dan MBM. Untuk pengembangan industri ternak ruminansia seperti sapi potong, sapi perah, kerbau, dan kado, sistem integrasi tanaman-ternak atau crop livestock system menjadi suatu keharusan. Keberhasilan sistem integrasi padi-ternak (SIPT), sapisawit (SISKA), dan model lainnya dapat dipergunakan sebagai pengembangan model usaha cow-calf operation di Jawa bagian Barat, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan kawasan lain yang serupa, dengan memperhatikan: a. Aplikasi teknologi dan inovasi sederhana dalam pemanfaatan hasil samping (limbah) pertanian dan per-
227
Pengembangan industri peternakan ...
kebunan sebagai bahan pakan ternak melalui pengkayaan pakan dan pengembangan lumbung pakan. b. Pengolahan kotoran ternak menjadi bahan organik (padat maupun cair) dan pengembangan biogas untuk keperluan rumah tangga maupun industri, dengan teknologi yang lebih praktis dan efisien. c. Penggunaan kompos untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia lahan pertanian, dengan pendekatan food feed system sehingga akan mengurangi pemanasan global dan pencemaran lingkungan. d. Pemanfaatan ternak besar dalam usaha cow-calf operation sebagai tenaga kerja secara terbatas, tanpa mengurangi daya produktivitasnya. Pola integrasi ini dilatarbelakangi oleh pendekatan low external input sustainable agriculture (LEISA) yang bertujuan untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang dengan memanfaatkan secara maksimal proses-proses alami. Pola CLS secara in situ dengan pendekatan zero waste dan zero cost memungkinkan diperoleh food, feed, fertilizer dan fuel (4F) yang akan menjamin kemandirian petani dalam hal pangan, energi, dan pendapatan. Pengembangan industri peternakan perlu didukung infrastruktur yang memadai, akses informasi dan permodalan, kegiatan off farm, terutama pascapanen dan tata niaga, serta kebijakan yang berpihak kepada peternak. Ekspor bahan pakan yang sangat diperlukan untuk mendukung industri sapi perah maupun sapi potong (seperti pucuk tebu, onggok/ gaplek, bungkil inti sawit) harus diatur dengan baik agar kecukupan pakan di dalam negeri terjamin. Sosialisasi konsumsi susu segar dan telur untuk anak balita dan
anak usia sekolah merupakan langkah strategis dalam membatu pemasaran produk peternakan. Dalam hal ini, kerja sama antarinstansi (Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Koperasi, dan yang terkait) serta antara kelompok peternak, industri hulu, industri hilir, dan konsumen perlu terus dibina serta didukung dengan mewujudkan good governance, seperti yang dilakukan Puskud NTT dan KJUB-Puspetasari Klaten.
DAFTAR PUSTAKA ACIAR. 2003. Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. Proceedings No. 110. ACIAR, Canberra. BPS. 2006. Statistik Indonesia 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Delgado, C., M. Rosegrant, H. Steinfeld, S. Ehui, and C. Courbois. 1999. Livestock to 2020. The Next Food Revolution. International Food Policy Research Institute, Washington. Departemen Pertanian. 2003. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian. 2005. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Devendra, C. 1993. Sustainable animal production from small farm systems in south east Asia. FAO Animal Production and Health Paper. FAO, Rome. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2006. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta. Diwyanto, K. dan B. Haryanto. 2002. Pakan alternatif untuk pembangunan peternakan rakyat. Makalah disampaikan dalam Rapat Koordinasi Pengem-
228
bangan Model Kawasan Agribisnis Jagung TA 2002. Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Jakarta, 29 April 2002. Diwyanto, K., B.R. Prawiradiputra, dan D. Lubis. 2002. Integrasi tanaman-ternak dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkerakyatan. Wartazoa 12(1): 1-8. Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, I W. Mathius, dan Soentoro. 2004. Pengkajian pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit-sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Bengkulu, 9-10 September 2003. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pemerintah Propinsi Bengkulu, dan PT Agricinal, Bogor. Diwyanto, K. dan Herliantin. 2006. Aplikasi teknologi inovatif sexing dalam program inseminasi buatan dan usaha cowcalf operation. Wartazoa 16(4): 171-180. Jiaravanon, S. 2007. Masa Depan Agribisnis Indonesia: Perspektif seorang praktisi. Orasi Ilmiah Doktor Honoris Causa di Institut Pertanian Bogor, 12 September 2007. Kasryno, F. 2004. Strategi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Indonesia yang Memihak Masyarakat Miskin. Agriculture and Rural Development Strategy Study. ADB, CASER-AARDMoA, SEAMEO-SEARCA, CRESENT. Kimbrell, A. 2006. Fatal Harvest: The Tragedy of Industrial Agriculture. Island Press. Maeda. 2005. Polymorphism of Mx gene in Asia indigenous chicken population. Makalah pada Seminar Unggas Lokal III, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang, 25 Agustus 2005.
Kusuma Diwyanto dan Atien Priyanti
Manwan, I. 1989. Farming systems research in Indonesia: Its evolution and future outlook. In Sukmana et al. (eds). Development in Procedures for Farming Systems Research. Proceedings of an International Workshop. AARD, Jakarta. Subagyono. 2004. Prospek pengembangan ternak pola integrasi di kawasan perkebunan. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi TanamanTernak. Denpasar 20-22 Juli 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, dan Crop-Animal System Research Network (CASREN), Bogor. Syafa’at. 2006. Tinjauan Ekonomi: Perdagangan ternak dan bantuan domestik (domestic support) pengembangan pembibitan. Disampaikan pada Pertemuan Direktorat Jenderal Peternakan di Makasar, 5-7 Juni 2006. Syam, A. dan M. Sariubang. 2004. Pengaruh pupuk organik (kompos kotoran sapi) terhadap produktivitas padi di lahan irigasi. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Quirke, D., M. Harding, D. Vincent, and D. Garrett. 2003. Effects of Globalisation and Economic Development, on the Asian Livestock Sector. ACIAR Monograph Series 97e. YIF (Yayasan Indonesia Forum). 2007. Visi Indonesia 2030. Yayasan Indonesia Forum, Jakarta. Yudhoyono, S.B. 2007. Mari, Kita Sukseskan Program Pro-Rakyat. Pidato Awal Tahun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jakarta, 31 Januari 2007.