PENGASUHAN REMAJA PELAKU KRIMINALITAS (Studi Fenomenologi Pada Orangtua Dengan Remaja Pelaku Kriminalitas Di Lapas X Sleman) Septiani Fauzia, Raden Rahmi Diana Prodi Psikologi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Email:
[email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini untuk mengeksplorasi fenomena pengasuhan remaja pelaku kriminalitas di Lapas II B Sleman. Informan dalam penelitian ini adalah dua orangtua (ayah dan ibu) yang mempunyai anak remaja pelaku kriminalitas di Lapas X Sleman. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun jenis penelitian ini adalah studi fenomenologi, yaitu metode penelitian dengan pengetahuan yang nampak dalam kesadaran yang dialami oleh informan. Teknik yang digunakan adalah wawancara sebagai pengumpulan data utama, observasi dan dokumentasi sebagai data pendukung. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dikemukakan bahwa pengasuhan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap munculnya kriminalitas remaja, seperti minum-minuman keras, obat-obatan terlarang, berkelahi, tawuran bahkan hingga berujung kematian. Pengasuhan yang dimaksudkan seperti (1) Membiarkan anak tumbuh dengan kesenangan tanpa merasakan perjuangan, seperti tidak dilibatkan dalam pekerjaan rumah dan menuruti semua keinginannya, (2) Cenderung membiarkan atau menyepelekan perilaku menyimpang anak pada tahap awal, (3) Gagal dalam melakukan pengawasan dan pengontrolan, sehingga tidak mengetahui perilaku ataupun perbuatan anak di luar rumah, (4) Tidak mempunyai sikap yang tegas terhadap anak, (5) Gagal menjadi pendengar yang baik, sehingga anak kurang terbuka dengan orangtunya dan cenderung menyimpan masalahnya sendiri, (6) Kurang menyadari tanggung jawabnya sebagai orangtua dan cenderung menyalahkan orang lain atas perilaku menyimpang anak, (7) Orangtua tidak memberikan keteladanan, (8) Kurang mampu mendampingi anak saat masa transisi. Dari point-point di atas, dapat disimpulkan bahwa orangtua kurang mengerti tahap perkembangan anak dan pengasuhan yang tepat dalam setiap tahapnya. Kata kunci: Pengasuhan, remaja, kriminalitas 1
PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa yang krisis. Dalam masa ini, krisis yang dimaksud adalah munculnya pertanyaan apakah seorang individu mampu menghadapi dan memecahkan masalah yang dihadapi atau tidak. Jika berhasil melewati masa krisis, maka remaja berhasil pula mencapai tugas-tugas perkembangannya sehingga akan berdampak pada kebahagiaan dan kesuksesan dirinya dalam melewati tugas-tugas perkembangan selanjutnya. Namun, ketika individu yang bersangkutan tidak mampu menghadapinya, maka akan mengalami kegagalan dalam pemenuhan tugas perkembangannya, mengalami penolakan lingkungannya dan mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas berikutnya (Panuju & Umami, 2005). Pada masa krisis remaja menjadi sangat rentan terhadap perilaku. Bahkan dalam kondisi tertentu perilaku menyimpang ini dapat menjadi perilaku yang mengganggu. Perilaku menyimpang dapat dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja. Ketika seorang remaja mengetahui aturan dan dia melanggarnya, maka perilaku menyimpang ini mangandung unsur kesengajaan (Santrock, 2003) Fakta kegagalan remaja telah banyak disaksikan melalui media cetak maupun elektronik. Dalam beberapa kasus, seorang remaja bisa menjadi korban namun dalam kasuskasus yang lain justru remaja inilah yang menjadi pelaku dari kriminalitas yang ada di masyarakat, sehingga dikhawatirkan dapat merusak tatanan moral, tatanan nilai-
nilai kesusilaan, tatanan nilai-nilai ajaran agama dan beberapa aspek kehidupan lainnya. Beberapa fakta di bawah ini adalah sebagian kecil dari sekian kasus yang terjadi di tengah masyarakat. Diberitakan dalam sebuah media massa on line, beberapa remaja sering terlibat tawuran sesama remaja khususnya seusia SMA/SMK. Dalam setahun bisa tercatat berapa puluh kasus tawuran sesama pelajar, bahkan tawuran yang melibatkan pelajar SMA/SMK ini tidak jarang pula hingga berujung pada kematian (Oemar, 2013). Kasus lainnya yang terjadi di daerah Sleman DIY, dua remaja menjadi komplotan pencurian sepeda motor bersama satu rekannya yang berusia 25 tahun. Remaja ini masing-masing berusia 15 tahun dan 18 tahun, satu bertindak sebagai penadah dan yang lainnya sebagai pelaku pencurian (Sunartono, 2013). Kasus lainnya terjadi di Pekalongan Jawa Tengah, dua pelajar SMA rela membunuh temannya sendiri yang masih berusia SMP karena ingin mempunyai motor. Mereka membunuh temannya dan mengambil motornya (Suryono, 2013). Kasus-kasus di atas merupakan contoh dari sekian banyak kasus yang melibatkan remaja sebagai pelakunya. Kasus tersebut merupakan bagian dari kriminalitas yang dilakukan oleh remaja (juvenile delinquency). Secara hukum, ketika seseorang terlibat dalam sebuah kasus kriminalitas maka akan mendapatkan tindakan atau perlakuan secara hukum pula meskipun dia masih dalam usia anak. Seseorang yang dikatakan anak secara hukum ketika 2
usianya kurang dari 18 tahun pada saat melakukan tindak kenakalan atau kriminal. Sanksi yang diterimanya juga harus sesuai dengan usia anak, yaitu setengah dari sanksi yang diterima orang dewasa, maksimal 10 tahun kurungan penjara (Hastuti, 2006) Ditinjau secara hukum Santrock (2003) membedakan jenis pelanggaran yaitu pelanggaran indeks dan pelanggaran status. Pelanggaran indeks (index offenses) adalah tindak kriminalitas yang dilakukan oleh seorang remaja atau dewasa berupa pencurian, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan sejenisnya. Sedangkan pelanggaran status (status offenses) biasanya dilakukan oleh anak-anak hingga remaja, meliputi bolos sekolah, tawuran, melarikan diri dari rumah, free sex, minumminuman keras, susah mengontrol emosi, dan sebagainya. Kriminalitas remaja merupakan contoh dari pelanggaran indeks yang dilakukan oleh remaja, karena sudah menganggu kenyamanan dan keselamatan orang lain. Penyebab dan pemicu kriminalitas remaja pun beragam, mulai dari faktor internal maupun eksternal. Menurut Santrock (2003), faktor internal itu meliputi identitas diri negatif, kontrol diri rendah, usia dan jenis kelamin. Sedangkan faktor eksternal berupa adanya pengaruh teman sebaya, pengaruh orangtua, status ekonomi sosial, serta kualitas lingkungan sekitarnya. Kenakalan atau pun kriminalitas yang dilakukan oleh remaja bukanlah keadaan yang berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh beberapa kondisi yang dialami remaja tersebut. Jika dalam
pertumbuhan dan perkembangan remaja kurang bahkan tidak mendapat pengarahan dari orangtuanya maka yang terjadi adalah kenakalan dan kriminalitas remaja tidak dapat dihindari (Basri, 1994). Kasus pembunuhan Ade Sara Angelina, seorang mahasiswi Universitas Budi Mulia yang masih berumur 19 tahun. Ade meninggal di tangan mantan kekasihnya yang bernama Hafitd dan temannya yang tidak lain adalah kekasih baru Hafitd yang bernama Assyifa. Sebelum melakukan aksinya, kedua remaja ini telah menyusun alur proses pembunuhan. Keduanya juga menyiksa Ade seperti menelanjanginya di dalam mobil, menendang kaki dan leher Ade, menyetrum, serta memasukkan koran ke dalam mulut Ade hingga meninggal. Menurut wawancara awal pada tanggal 1 Oktober 2013 yang dilakukan oleh peneliti dengan sipir Lembaga Pemasyarakatan II B Sleman, terdapat 15 anak yang berada dalam rutan maupun lapas. Rata-rata usia remaja awal berkisar antara 15-17 tahun dan remaja akhir dari usia 18-21 tahun. Menurut cipir tersebut, tindakan yang dilakukan tahanan yang masih berusia 18 tahun ke bawah, justru bisa melebihi dari tahanan remaja akhir atau dewasa lainnya. Dari mulai kasus sederhana, kenakalan remaja hingga menyentuh ranah kriminalitas, seperti tawuran, pencurian, pengeroyokan hingga berujung pembunuhan sampai pembunuhan yang direncanakan. Remaja yang mendekam di rutan adalah yang belum mendapatkan kepastian hukum dan masih dalam proses persidangan. 3
Sedangkan yang sudah mendapat kepastian hukum ditempatkan di lapas dengan menyandang status nara pidana. Tjokrosuprihartono seorang psikolog dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa kedua pelaku ditengarai kurang mendapatkan pengetahuan moral, kasih sayang dan diduga kerap melihat kekerasan dalam rumah tangga, sehingga mereka cenderung memiliki kepribadian psikopatik dan agak sadistik (Purnama, 2014). Melihat kenyataan di atas, remaja-remaja ini tidak mendapatkan pendidikan, kebebasan, dan kebutuhan yang sepatutnya didapatkan di luar. Apalagi kasih sayang yang seharusnya didapatkan di usia yang masih membutuhkan perhatian dari orangtuanya. Orangtua memiliki kewajiban untuk turut andil dalam endampingi anaknya, khususnya remaja dalam pemenuhan tugas-tugas perkembangan dan tercapainya kebutuhan-kebutuhan remaja. Remaja dalam masa krisisnya, merasakan gejolak psikologis dalam dua perkembangan kebutuhan, yaitu kebutuhan jasmaniah yang meliputi makan, minum, dan dorongan seksual, serta kebutuhan psikis yang meliputi kasih sayang dalam keluarga, rasa aman, kebebasan, penyesuaian diri, pengendalian diri, penerimaan sosial, kebebasan dan kebutuhan rohani relijius. Kesalahan dalam memahami gejolak ini dapat berakibat fatal dan dapat mengakibatkan disorientasi sosial (Panuju & Umami, 2005). Salah satu kebutuhan remaja adalah kebutuhan akan kasih sayang dan rasa kekeluargaan. Seorang remaja yang kekurangan kasih sayang dari
salah satu orangtuanya, maka akan menderita batinnya. Akibatnya kesehatan, kecerdasan, serta pertumbuhannya akan mengalami hambatan. Selain itu kelakuan remaja tersebut mungkin menjadi keras kepala, bandel, nakal juga bertemperamen tinggi. Akibatnya, mereka akan mencari perhatian atau pun kasih sayang dari orang lain, tidak hanya dengan orangtuanya, cara yang ditempuh pun bisa dengan cara yang positif bisa juga dengan cara yang negatif (Panuju & Umami, 2005). Menurut Alfie Kohn, seorang psikolog, cinta yang tulus dari kedua orangtua akan lebih efektif untuk mengarahkan, mendidik serta membuat anak lebih bertanggung jawab (Adhim, 2012). Jika oangtua yang memberikan ketulusan tanpa syarat pada anaknya, maka anak akan lebih menghormatinya. Sehingga anak akan mempunyai kepercayaan pada orangtuanya, seperti yang diriwayatkan dalam sebuah hadits: “Cintailah anak-anak dan kasihsayangilah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka, tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui, hanya kamulah yang memberi mereka rezeki” (HR. Aththohawi). Dalam sebuah hadits lain juga diriwayatkan: “Tiap-tiap manusia dilahirkan oleh ibunya atas fithroh (bersih dari dosa), kemudian setelah itu kedua orangtuanya yang menjadikan anak itu yahudi, nashroni, atau majusi”. (HR. Bukhari) Penggalan hadits di atas menjelaskan bahwa orangtua mempunyai posisi dan peran yang sangat penting dalam keberlangsungan kehidupan anak. 4
Anak akan menjadi seperti apapun, tergantung orangtuanya dalam mendidik. Selain itu anak cenderung akan meniru ataupun belajar dari orangtuanya. Orangtua berperan aktif dalam menorehkan warna pada kanvas kehidupan anak, terutama dalam usia-usia awal anak. Menurut Freud (Santrock, 2012), kepribadian dasar seseorang dibentuk dalam kurun waktu lima tahun dari kehidupan, sehingga pengalaman masa awal mempunyai peran yang lebih penting dibandingkan dengan masa selanjutnya. Oleh karena itu, sebagai orangtua dan sekaligus sebagai pendidik haruslah mewarnai hidup anak dengan akhlak yang baik, yakni akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah riwayat hadits tertulis: Seorang datang kepada Nabi Saw dan bertanya, “Ya Rasulullah, apa hak anakku ini?” Nabi Saw menjawab: memberinya nama yang baik, mendidik adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatirnu)”. (HR. Aththusi). Orangtua mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak anak, seperti yang tertulis dalam hadits di atas. Dalam mendidik pun orangtua juga harus memberikan contoh akhlak yang baik pada anakanaknya, termasuk memberikan contoh yang baik dan keteladanan pada anaknya, karena seorang anak akan cepat menyerap lalu meniru tindak tanduk orangtua (imitasi) dari apa yang dilihatnya, serta menjadikan orangtuanya panutan dalam hidupnya. Begitulah cara anak mengimitasi perilaku orangtua melalui belajar tiruan (imitation learning) (Sarwono, 2003).
Ali bin Abi Thalib berpesan: “Didiklah anak-anakmu, karena sesungguhnya mereka diciptakan untuk sebuah zaman yang zaman itu berbeda dengan zamanmu.” Penggalan ungkapan mutiara di atas adalah seruan untuk orangtua khususnya dalam mendidik anakanaknya agar siap menghadapi zaman yang berbeda dengan zaman orangtuanya. Zaman yang akan dilalui anaknya kelak akan lebih sulit daripada zaman sebelumnya, sehingga anak perlu disiapkan baik secara moral, akhlaq, kemandirian agar nantinya dapat tangguh berdiri, mempunyai akhlaqul karimah dan mandiri tanpa bantuan orang lain. Dalam kaitannya dengan orangtua, pada masa remaja akan lebih sering muncul konflik-konflik yang bersifat ringan, namun bila tidak terselesaikan maka akan menjadi fatal. Konflik-konflik ini muncul dikarenakan berkembangnya fisik ataupun psikis anak, sehingga terkadang muncul perdebatan. Banyak orangtua melihat anakanaknya berubah sikap, dari patuh menjadi tidak patuh, melawan juga menentang standar-standar dari orangtua. Berbagai pola pengasuhan yang diterapkan oleh orangtua juga mempengaruhi pemenuhan perkembangan kebutuhan remaja, seperti pola asuh otoriter, pola asuh permisif memanjakan, pola asuh permisif tidak peduli serta pola asuh demokratis (Santrock, 2003). Dalam penelitian yang dilakukan Aroma dan Suminar (2012) ditemukan bahwa semakin rendah kontrol diri yang dimiliki oleh seorang remaja maka akan berbanding terbalik dengan kecenderungan perilaku kenakalan 5
remaja, sehingga remaja yang memiliki kontrol diri yang rendah akan memiliki kecenderungan untuk melakukan kenakalan remaja. Namun dalam pembahasan penelitian tersebut menyebutkan bahwa faktor eksternal pun seperti orangtua mempunyai pengaruh dalam pembentukan kontrol diri pada anak. Selain faktor internal, penelitian lain yang dilakukan oleh Ilongo Fritz Ngale (Lestari, 2012), peneliti Lembaga Pendidikan Universitas Nasional Lesotho Afrika Selatan, menemukan hasil yang signifikan terhadap penyebab kenakalan dan kriminalitas remaja dengan sampel 120 remaja yang tinggal di tahanan, yaitu 1) kebanyakan anak nakal berasal dari keluarga dengan strata sosial dan ekonomi yang rendah, 2) pendidikan moral anak-anak nakal dilakukan orang lain selain orangtua biologisnya sehingga tidak konsisten, 3) sekitar dua pertiga anak-anak yang nakal tinggal bersama dalam keluarga besar/banyak, yaitu 7 orang, 4) kenakalan remaja sebagian besar berasal dari keluarga yang berantakan, seperti perceraian, perpisahan, desersi, perselingkuhan dua keluarga dan kematian salah satu dari orangtua, 5) pola asuh permisif mengabaikan, yaitu orangtua mempunyai waktu yang sedikit bersama anaknya karena pekerjaan. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Ardoin dan Bartling (2010) selama dua tahun di penjara anak, penelitian ini menemukan hasil yang signifikan berupa, 1) adanya korelasi antar faktor resiko dengan jumlah kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh remaja di penjara, 2) sejarah kriminalitas yang dilakukan orangtua
dan atau saudaranya terhadap kejahatan yang dilakukan remaja di penjara. Anak cenderung mengimitasi perilaku orangtua yang menggunakan kekerasan padanya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Maryati, Asrori dan Donatianus BSEP (2012) yang meneliti pola asuh orangtua terhadap perilaku sosial anak di desa Arung Limbung Kabupaten Kubu Raya menemukan bahwa pola asuh demokratis lebih efektif untuk menekan perilaku sosial anak remaja daripada pola asuh otoriter ataupun permisif. Selain itu penelitian tentang pola asuh lainnya dilakukan oleh Murtiyani (2011) yang meneliti tentang hubungan pola asuh orangtua terhadap kenakalan remaja di Kelurahan Sidokare Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo. Hasil penelitian yang dilakukan dengan 40 orang sample ditemukan bahwa pola asuh yang diterapkan orangtua di Kelurahan Sidokare menggunakan pola asuh otoriter sebanyak 65% dan semua anaknya tergolong anak yang nakal yaitu 26 anak, orangtua dengan pola asuh permisif sebanyak 5% dan semua anak juga tergolong anak yang nakal yaitu 2 orang, sementara orangtua dengan pola asuh demokratis sebanyak 30% dan 5 anak tergolong anak yang nakal sementara 7 anak tidak nakal. Permasalahan yang dialami oleh remaja dengan pengasuhan yang seperti apakah yang digunakan orangtua, menarik peneliti untuk melakukan penelitian studi fenomenologi mengenai pengasuhan remaja pelaku kriminalitas di Lembaga Pemasyarakatan II B Sleman. Berdasarkan permasalahan dan latar belakang di atas, rumusan 6
masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1). Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kriminalitas remaja pelaku kriminalitas di Lembaga Pemasyarakatan II B Sleman dan 2). Bagaimana pengasuhan remaja pelaku kriminalitas di lapas II B Sleman? METODE PENELITIAN Informan penelitian Informan penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu individu yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang diteliti (Azwar, 2011). Adapun karakteristik informan utama dalam penelitian ini adalah orangtua yang memiliki anak remaja pelaku kriminalitas di Lapas II B Sleman. Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, atau sampel yang memiliki kriteria yang jelas. Sedangkan jumlah informan dalam penelitian ini adalah 2 orang dengan karakteristik, yaitu (a) Orangtua yang memiliki anak remaja pelaku kriminalitas di Lapas II B Sleman dan (b) Orangtua yang masih tinggal bersama remaja pelaku kriminalitas sebelum masuk ke Lapas II B Sleman. Dalam penelitian ini, lokasi yang digunakan adalah Lembaga Pemasyarakatan (lapas) X Sleman Yogyakarta. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode triangulasi. Metode triangulasi didefinisikan sebagai teknik pengumpulan data dengan menggabungkan berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Triangulasi bukan
berarti menguji data yang lebih benar di antara data yang yang diperoleh ketika data yang didapat berbeda, melainkan untuk menunjukkan bukti empirik untuk meningkatkan pemahamn terhadap realitas dan gejala yang ada (Pawito, 2007). Metode triangulasi data yang dilakukan adalah triangulasi sumber, yaitu mengecek dan membandingkan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif, sehingga diperlukan pengecekan kembali antara informan utama dengan informan pendukung sehingga memperoleh informasi yang benar-benar valid. Penelitian ini menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Wawancara adalah percakapan dengan maksud dan tujuan tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara/ interviewer sebagai pengaju/ pemberi pertanyaan dan yang diwawancarai/ interviewee sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan tersebut. Hasil wawancara merupakan pelaporan secara informantif tentang sikap seseorang terhadap orang lain dan terhadap dirinya sendiri (Basrowi & Suwandi, 2008). Observasi merupakan metode pengumpulan data langsung dari lapangan, data yang diperoleh berupa gambaran tentang sikap, kelakuan, perilaku, tindakan, keseluruhan interaksi manusia, juga bisa interaksi dalam suatu organisasi atau pun kelompok (Raco, 2010). Metode dokumentasi merupakan suatu cara pengumpulan data yang menghasilkan catatancatatan penting yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, sehingga akan memperoleh data yang 7
sah bukan dari perkiraan atau pemikiran peneliti. Metode ini hanya mengambil data yang sudah ada seperti indeks prestasi, jumlah anak, pendapatan, luas daerah (Basrowi & Suwandi, 2008) Teknik Analisis Data Penelitian kualitatif tidak memiliki rumus atau aturan absolut untuk mengolah dan menganalisis data (Raco, 2010). Analisis berarti mengolah data, mengorganisir data, memecahkannya dalam unit-unit yang lebih kecil, mencari pola dan tema-tema yang sama. Tahapan dalam menganalisa data menurut Poerwandari (2011) meliputi organisasi data, koding dan analisis, pengujian terhadap dugaan, dan strategi analisis, tahap interpretasi. Uji keabsahan data penelitian dalam penelitian kualitatif menurut Poerwandari (2011) meliputi Kredibilitas, Transferability, Dependability, dan Objektivitas. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam mengenai pengasuhan pada remaja pelaku kriminal. Pembahasan akan diarahkan pada pengalaman informan dalam melakukan pengasuhan terhadap anaknya dari masa prenatal hingga menimbulkan kriminalitas di usia remaja. Kemudian dari seluruh pembahasan tersebut akan disimpulkan mengenai pengasuhan yang digunakan orangtua-orangtua tersebut.
Proses terjadinya kriminalitas Joko dan Tinah (informan I) mengetahui perilaku menyimpang Zaki (remaja, informan I) pada saat Zaki memasuki bangku SMP. Dimulai dari tidak sholat, sering nongkrong-nongkrong dengan teman, suka berkelahi, merokok, minum-minuman keras juga tawuran. Bahkan waktu SMP, Zaki dikeluarkan dari sekolah karena terlibat perkelahian sampai 4 kali (S1/Joko: L153-154 W1). Kriminalitas pribadi merupakan kejahatan yang mencederai tubuh meliputi baku hantam antara dua orang, penganiayaan, pembunuhan, pemerkosaan (Adams, 2007). Perilaku yang dilakukan Zaki merupakan salah satu kriminalitas. Selain terlibat kriminalitas pribadi, Zaki juga terlibat kriminalitas tanpa korban, yaitu kejahatan yang diciptakan oleh masyarakat dalam usaha menata kesusilaan atau pun norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Batasan dalam kejahatan ini adalah moral seperti pecandu narkotika, minumminuman keras, dan pelanggaranpelanggaran yang apabila dikerjakan akan mendapatkan celaan dari masyarakat (Adams, 2007). Kriminalitas tanpa korban yang dilakukan Zaki seperti pada saat SMA, Zaki diketahui menggunakan obat-obatan terlarang. Zaki diciduk polisi pada tanggal 1 Maret 2014, karena terbukti membawa senjata tajam, seperti pisau lipat dan pemukul besi pada saat menonton konser slank. Setelah 3 kali proses persidangan, Zaki ditetapkan menjadi tersangka dengan lama kurungan 5 bulan, karena pada saat itu Zaki masih berusia kurang 8
dari 18 tahun sehingga masa penahanannya berbeda dengan nara pidana dewasa. Sanksi yang diterima seorang remaja di bawah umur 18 tahun juga harus sesuai dengan usia anak, yaitu setengah dari sanksi yang diterima orang dewasa, maksimal 10 tahun kurungan penjara (Hastuti, 2006). Berbeda dengan Zaki, perilaku menyimpang Bagus (remaja, informan II) tidak terlihat sejak dini oleh orangtuanya. Orangtuanya mengaku bahwa perilaku menyimpang Bagus terlihat pada saat kelas 2 SMA, seperti mulai merokok, suka bermain, jarang di rumah dan mulai tidak sholat. Padahal Bagus mengakui telah memulai merokok sewaktu duduk di bangku sekolah dasar, meskipun intensitasnya masih sangat jarang (S2/Bagus: L83-85 W4). Pada saat anak sudah pandai membangun jaringan sosial dengan lingkungan di luar rumah, anak cenderung mencari teman untuk bercengkerama, berbagi sedih dan tawa bersama temannya, sehingga intensitas bertemu dengan orangtua menjadi berkurang (Djamarah, 2004). Hal inilah yang terjadi pada Bagus dan kedua orangtuanya, intensitas bertemu dengan orangtuanya yang sangat jarang menyebabkan orangtua kurang mengetahui keadaan anaknya di luar rumah. Saat memasuki bangku sekolah menengah pertama, Bagus suka membolos, minum-minuman keras, juga beberapa kali terlibat perkelahian dan tawuran. Puncaknya pada tanggal 14 Desember 2012, saat Bagus kelas 2 SMA Bagus diciduk polisi karena diduga melakukan pembunuhan terhadap seorang
pelajar sewaktu tawuran dengan menggunakan mercon. Setelah 9 kali proses persidangan Bagus ditetapkan menjadi tersangka dengan hukuman 4,5 tahun penjara. Sama halnya dengan masa hukuman Zaki, Bagus yang pada saat itu berusia kurang dari 18 tahun mendapat hukuman setengah dari hukuman orang dewasa. Baik Zaki maupun Bagus, keduanya terlibat kriminalitas pribadi dan tanpa korban, seperti minumminuman keras, obat-obatan terlarang, berkelahi dan tawuran hingga menyebabkan kematian. Faktor-faktor yang mempengaruhi kriminalitas remaja Faktor yang mempengaruhi kriminalitas informan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu daktor internal dan faktor internal. Pertama: Kegagalan dari sistem pengontrolan diri terhadap aksi-aksi instinktif, juga menunjukkan ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan emosi-emosi primitif untuk dapat disalurkan ke dalam perbuatan yang bermanfaat (Kartono, 2005). Kedua remaja informan menjelaskan bahwa alasannya berkelahi atau tawuran karena menganggap bahwa anak muda memang mempunyai emosi yang meledak-ledak, sehingga mudah terpancing dan mudah emosi. Selain itu pada remaja informan I, mempunyai tipikal tidak mau diremehkan, tidak mau diatur dan senang apabila lebih dari temantemannya (S1/Joko: L192-195 W4). Kedua remaja memang kurang terlibat dalam kegiatan yang bermanfaat pula, sehingga emosiemosi primitifnya, seperti emosi yang meledak-ledak digunakan tidak sesuai dengan porsinya. 9
Kedua: faktor eksternal. Selain faktor internal, terdapat pula faktor eksternal seperti pengaruh lingkungan di sekeliling remaja yang mempengaruhi kriminalitas remaja. Dalam penelitian ini ditemukan adanya pengaruh teman dalam pemanfaatan waktu luang atau keterlibatan kedua remaja dalam golongan sosial/ gang di sekolah. Seperti yang dikatakan Hurwitz (1986), remaja-remaja yang melakukan tindak kriminalitas kurang bergaul dengan organisasiorganisasi yang membangun dalam artian pemuda yang mampu menggunakan waktu senggangnya dengan baik dan berguna, namun sebaliknya justru terpengaruh dengan kawan-kawan yang berperilaku buruk. Hampir sepanjang hari kedua remaja informan menghabiskan waktu dengan teman-temannya, sedikit sekali yang digunakan untuk orangtuanya. Sehingga secara langsung maupun tidak, pola pikir dan pergaulannya akan terpengaruh oleh teman-temannya. Pengasuhan remaja kriminalitas Pengasuhan merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan yang dimaksud berarti orangtua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat (Aisyah, 2010). Berdasarkan hasil wawancara dan observasi pada penelitian pengasuhan terhadap orangtua yang memiliki remaja pelaku kriminalitas di Lapas II B Sleman, didapatkan
rincian pengasuhan sesuai tahap perkembangannya seperti berikut: Pertama: Pengasuhan masa prenatal. Kehadiran anak dalam sebuah perkawinan, merupakan satu hal yang penting. Menurut Hurlock (1991), beberapa orangtua beranggapan, bahwa perkawinan tidak lengkap tanpa adanya seorang anak, meskipun beberapa orangtua lainnya menganggap anak merupakan hambatan terhadap keberhasilan pekerjaan atau kenaikan status. Sama halnya dengan pernyataan Hurlock, Zaki (remaja, informan I) merupakan anak yang sangat ditunggu kehadirannya setelah 10 tahun pernikahan Joko dan Tinah (informan I), terbukti dengan berbagai cara yang ditempuh untuk bisa mempunyai anak, seperti memeriksakan ke dokter maupun ke pengobatan alternatif (S1/Tinah:L6667 W3). Sedangkan Bagus (remaja, informan II), merupakan anak yang memang sudah direncanakan atau diprogramkan dari awal kelahirannya, dengan jarak 7 tahun dari kelahiran kakaknya (S2/Wati: L131 W2). Sehingga kedua remaja memang merupkan sosok yang sangat dinantikan kehadirannya. Usia kehamilan di atas 30 tahun, adalah usia yang rentan terhadap kelainan kehamilan. Hal ini terjadi karena kekurangmatangan organ reproduksi, gizi buruk, kurangnya perawatan atau akibat kondisi sosial-ekonomi yang rendah (Pratisti, 2008). Pada saat kehamilan Bagus (remaja, informan II), usia Wati (ibu, informan II) 31 tahun dan mengalami KEK atau kekurangan energi kronis yang menyebabkan terganggunya proses penyaluran makanan dan kandungannya ke 10
tubuh, seperti muntah-muntah saat makan dan sering merasa pusing, sehingga makanan yang masuk ke dalam tubuh pun tidak maksimal (S2/Wati: L52-53 W3). Makanan yang dimakan pun masih kurang bergizi, karena kondisi ekonomi Wati yang masih sulit sehingga memilih menabung untuk biaya persalinan. Pada saat proses persalinan kedua informan ibu melakukan persalinan dengan normal, sedangkan ayah mendampingi meskipun hanya menungguinya di luar ruangan. Mengandung bukan saja urusan ibu, tetapi juga ayah, bagaimana pendampingan seorang ayah selama masa kehamilan ibu, bahkan sampai persalinan, sehingga akan menciptakan hubungan positif. Kedua: Pengasuhan anak usia lahir sampai usia dua tahun. Pengasuhan untuk anak usia lahir sampai dua tahun, yang dilakukan orangtua meliputi, pengasuhan pertumbuhan, pengasuhan material, pengasuhan sosial serta pengasuhan didaktis (Brooks, 2011). Secara material sebagai seorang ibu kedua informan memberikan ASI untuk anaknya, karena makanan yang sangat diperlukan untuk seorang bayi adalah asi. Pengasuhan sosial yang diberikan kedua informan adalah mengenalkan anaknya dengan lingkungan sekitar, tidak hanya dengan keluarga juga dengan tetangga, hal inilah yang membuat Zaki dan Bagus cepat bisa berjalan dan berbicara. Namun informan I kurang mengenalkan Zaki dengan lingkungan selain keluarga dikarenakan tidak tega dan tidak senang jika anaknya diasuh oleh
orang lain. Sedangkan informan II membiarkan Bagus untuk berbaur dan diajak tetangga-tetangganya sebelum Bagus berusia 11 bulan, bahkan mengajak Bagus berkampanye. Bagus mengikuti aktivitas orang dewasa yang berkampanye, seperti ikut mengacungkan jari ke atas sambil menyebutkan partai. Dari kecil Bagus sudah banyak yang momong, sehingga anak-anak muda dan tetangganya tidak sungkan untuk mengajak Bagus berpergian (S2/Wati: L119 W3). Interaksi dalam proses pengasuhan tidak terlepas dari pola asuh yang digunakannya. Salah satu pola asuh yang ditemukan dalam penelitian ini adalah pola asuh permisif, lebih tepatnya permisif memanjakan. Orangtua dengan pengasuhan permisif memanjakan akan bersikap terlalu lunak, tidak berdaya terhadap anak-anaknya dan terlalu memberi kebebasan untuk anak-anaknya tanpa ada normanorma yang harus diikuti (Willis, 2012). Pada usia ini pekerjaan Joko (ayah, informan I) adalah seorang bandar togel, sedangkan Arjo (ayah, informan II) adalah guru SD yang kemudian juga menjadi wasit nasional. Hal ini menjadikan perekonomian keluarga kedua informan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sebab ini pulalah yang menjadikan kedua informan kemudian memanjakan anaknya yaitu dengan menuruti semua keinginannya dan cenderung memberikan kebebasan pada anaknya. Kedua informan tidak bisa menolak dan mengatakan tidak terhadap keinginan anak-anaknya. 11
Untuk Joko (ayah, informan I), karena berpikiran bahwa mencari uang memang untuk anak istri, sehingga lebih baik memang diberikan untuk anak istri daripada dihabiskan sendiri (S1/Joko: L215216 W1). Serupa dengan Joko, Arjo (ayah, informan II) berpikiran bahwa sebelumnya tidak mempunyai uang, sehingga pada saat mempunyai uang memang tidak ada salahnya diberikan pada anak-anaknya (S2/Wati: L79-81 W3). Berawal dari itulah kedua informan lantas memberikan semua yang anaknya minta, tanpa ada batasan-batasan. Terlepas dari itu, dalam mendidik pun informan juga harus memberikan contoh akhlak yang baik pada anak-anaknya, termasuk memberikan contoh yang baik dan keteladanan pada anaknya, karena seorang anak akan cepat menyerap lalu meniru tindak tanduk orangtua (imitasi) dari apa yang dilihatnya, serta menjadikan orangtuanya panutan dalam hidupnya. begitulah cara anak mengimitasi perilaku orangtua melalui belajar tiruan (imitation learning) (Sarwono, 2003). Hal ini pula yang terjadi pada informan I, kurang bisa memberikan contoh atau teladan yang baik pada anaknya, bahkan melakukan hal yang kurang baik, seperti merokok, minum-minuman keras, tidak sholat atau tidak melakukan ibadah. Ketiga: Pengasuhan anak usia dua sampai lima tahun. Fase prasekolah atau usia dua sampai lima tahun merupakan fase yang penting bagi anak, karena pada usia ini kepribadian seseorang mulai dibentuk (Brooks, 2011). Baik Zaki maupun Bagus terbentuk dari lingkungan yang terbiasa dengan
senang-senang atau hura-hura. Kedua informan selalu memanjakan dengan menuruti semua yang diminta anaknya, termasuk dengan tidak mengajarkan anaknya untuk melakukan pekerjaan rumah dengan alasan masih kecil (S1/Joko: L494495 W4). Selain itu informan II juga membiarkan Bagus menyusui hingga berumur 4 tahun, karena Bagus anak ragil sehingga Wati berat untuk melepaskan. Informan II juga cenderung membiarkan anaknya ikut dengan siapa pun, bahkan Bagus pada usia dini sudah diajak menonton pertandingan sepak bola sampai Solo (S2/Wati: L91-92 W3). Silalahi dan Meinarno (2010) menambahkan bentuk-bentuk pola asuh orangtua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah dia menjadi dewasa, karena ciri-ciri dan unsur-unsur watak seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benihbenihnya ke dalam jiwa seorang individu sejak sangat awal, yaitu masa kanak-kanak. Kaitannya dengan usia emas anak, Joko dan Tinah (informan I) tidak pernah mengajari langsung Zaki untuk belajar sholat atau pun mengaji, karena Joko dan Tinah hanya menitipkan Zaki ke tetangganya yang rajin ke masjid. Zaki mengenal adzan, sholat, membaca iqro dan pengetahuan terkait agama, semuanya dari TPA (S1/Tinah: L190-196 W3). Sehingga informan I memang tidak terlibat langsung dalam pendidikan keagaaman anak. Lain halnya dengan Arjo dan Wati (informan II), yang mendampingi anaknya dengan 12
belajar ilmu agama. Selain memanggilkan guru mengaji, atau pun memasukkan Bagus ke TPA, Wati juga mengajari Bagus di rumah (S2/Bagus: L146-147 W4). Dalam pengasuhan, ibu mempunyai peran dan tanggung jawab yang lebih besar daripada ayahnya, karena pada usia ini ibu lebih banyak melakukan interaksi dan kontak dengan anak (Syantut, 2009). Tinah (ibu, informan I) jarang melakukan pembiasaan kepada anak terkait norma, akhlaq, dan pendidikan. Sehingga anak justru mendapatkan pembelajaran dari orang lain yang tidak maksimal. Kaitannya dengan pembelajaran, informan I kurang mau tahu terhadap tumbuh kembangnya pendidikan agama anak. Hal ini dibuktikan dengan menyekolahkan Zaki ke TK Bopkri, sebuah TK swaata non-islam dengan alasan praktis karena sekolah itu yang paling dekat (S1/Tinah: L190-196 W3). Secara langsung maupun tidak Zaki akan mendapatkan pemahaman yang berbeda, yaitu yang didapatkannya di lingkungan rumah dengan di sekolahnya, yang tentunya akan mempengaruhi pemikiran dan kepribadian Zaki. Menurut Hariwijaya dan Bertiani (2009) usia dini adalah saat yang paling baik bagi orangtua dan guru untuk meletakkan dasar pendidikan nilai-nilai, moral dan agama kepada anak taman kanak-kanak. Sehingga orangtua dan guru pun harus selaras. Keempat: Pengasuhan anak usia sekolah dasar. Prestasi yang diperoleh anak di sekolah tergantung terutama pada anak itu sendiri, orangtua, guru dan lingkungan masyarakat menjadi faktor yang
membantu tercapainya keberhasilan tersebut (Silalahi & Meinarno, 2010). Zaki dan Bagus bukanlah anak dengan kemampuan akademik yang bagus. Informan I kurang mengajari anak dalam hal kesulitan belajar. Menurut Tinah (ibu, informan I), dirinyalah yang selalu mengajari Zaki sedangkan Joko (ayah, informan I) tidak pernah mengajari. Namun menurut Joko, ibunya memang tidak telaten dalam mengajari anak, sedangkan Joko memang jarang mengajari karena harus bekerja mencari nafkah. Hal ini semakin membuat Zaki menjadi malas dan enggan untuk belajar (S1/Joko: L354-355, 361-362 W4). Berdasarkan informasi di atas tampak adanya perbedaan persepsi antara ayah dan ibu (informan I) tentang siapa yang lebih andil dalam melakukan pengajaran pada anak, keduanya saling merasa mempunyai peran lebih dibandingkan satu sama lain. Komunikasi adalah sarana bagi anggota keluarga untuk membangun, memelihara bahkan menghancurkan hubungan dalam keluarga. Termasuk dalam proses pengasuhan, sangat dibutuhkan adanya pembagian informasi supaya mendapatkan pemahaman yang sama (Silalahi & Meinarno, 2010). Namun, pada awal sekolah yaitu dari kelas 1 sampai kelas 4, Zaki selalu mendapatkan rangking, prestasi Zaki mulai menurun saat kelas 5 (S1/Zaki: L112-113 W5). Pada saat inilah Joko memasukkan Zaki ke tempat les yang agak jauh dari rumahnya, karena sudah merasa kewalahan. Les ini tidak berlangsung lama, hanya satu bulan saja, Joko merasa khawatir dengan keselamatan 13
Zaki sehingga menghentikan lesnya (S1/Joko: L413-415 W4). Sama halnya dengan informan II, karena tahap sebelumnya yaitu usia prasekolah diisi dengan senang-senang dan hurahura saja, sehingga sampai SD kelas 2 Bagus belum bisa membaca. Kemudian Wati (ibu, informan II) memanggil guru les privat untuk mengajari Bagus membaca. Selain itu Wati juga selalu mendampingi Bagus saat belajar, meskipun hanya pada saat mau ujian saja (S2/Bagus: L159-160 W4). Pada usia sekolah dasar, anak menghabiskan banyak waktu di luar rumah, orangtua lebih sedikit memberikan kasih sayang fisik karena terbatasnya waktu dibandingkan dengan usia prasekolah (Brooks, 2011). Berarti disini orangtua bukan sebagai satu-satunya fasilitator bagi anak, karena waktu anak banyak yang dihabiskannya di luar rumah. Namun, bukan berarti orangtua melepas anak sepenuhnya tanpa adanya pendampingan lebih lanjut di rumah atau ketika bersama orangtua. Informan I mengatakan bahwa anaknya tidak mempunyai kemampuan apa-apa, baik akademik maupun non-akademik, yang diketahuinya hanyalah anaknya hobi mendengarkan musik, sehingga kurang bisa memaksimalkan potensi anak. Padahalwaktu Zaki duduk dibangku Sekolah Dasar, Zaki bisa adzan bahkan menjadi yang terbaik di kampungnya (S1/Joko: L147-148 W1). Pada informan II, karena Bagus selalu mendapatkan urutan 3 terendah di kelasnya. Informan melihat kemampuan non-akademik
yang dimiliki Bagus. Pada saat itu Bagus menyukai sepak bola, sehingga memasukkan Bagus ke sekolah sepak bola, point dari kemenangannya dalam pertandinganpertandingan inilah yang membuat Bagus bisa diterima di sekolah negeri selanjutnya (S2/Wati: L420-422 W3). Pada usia sekolah dasar orangtua juga harus mengawasi dan membimbing anak dari kejauhan saat anak beranjak dari kegiatan barunya (Brooks, 2011). Hal ini dimaksudkan agar orangtua mengetahui pula kehidupan anaknya di luar rumah. Namun, tampaknya kedua informan memang tidak sepenuhnya mengetahui kegiatan anaknya di luar rumah, cenderung membiarkan dan percaya pada anak di luar rumah. Terbukti dengan ketidaktahuan kedua informan terhadap perilaku anak di luar rumah. Padahal segala macam pengaruh itu ada, seperti pada saat anak mulai mencoba merokok di usia SD. Meskipun masih sangat kecil sekali rentannya, yaitu seminggu sekali (S2/Bagus: L95-96 W4). Kaitannya dengan kemandirian dalam mengajarkan pekerjaan rumah, terkadang memang ada pengaruh orang-orang terdekat yang dapat menghambat kemandirian anak, seperti saudara, kakek nenek atau pun tetangganya. Wati dan Arjo (informan II) tidak leluasa mengajarkan anak melakukan pekerjaan rumah, karena simbah yang tinggal di samping rumahnya selalu melarang semua cucunya untuk melakukan pekerjaan rumah. Sedangkan Joko dan Tinah memang tidak membiasakan anaknya untuk melakukan pekerjaan rumah, 14
karena merasa anaknya masih kecil, jadi memang bukan waktunya untuk melakukan pekerjaan rumah (S2/Wati: L119-123 W3). Kelima: Pengasuhan pada masa remaja awal. Sikap, perilaku dan kebiasaan orangtua selalu dilihat, dinilai dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya (Silalahi & Meinarno, 2010). Joko (ayah, informan I) mengakui bahwa ada beberapa kebiasaan buruknya yang secara tidak disadari dicontohkan pada anaknya, seperti kebiasaan merokok sampai sekarang dan minum-minuman keras (S1/Joko: L505-507 W4). Pada saat remaja, pertumbuhan sosial dan rasa solidaritas akan semakin tinggi. Menurut Daradjat (1982), pada usia 16-18 tahun remaja sangat memerlukan teman-teman baik sejenis maupun lain jenis. Bahkan terkadang kesetiaan terhadap teman ini membuatnya suka meniru temannya dan merasa malu apabila berbeda dengan teman-temannya. Kedua remaja dalam penelitian ini adalah individu yang mempunyai perasaan sosial yang tinggi terhadap teman, bahkan tidak segan untuk berbagi barang miliknya sepeti rokok, makanan, bahkan pakaian sekali pun” (S1/Joko: L71-74 W1) (S2/Arjo&Wati: L157-160 W3). Kesetiaan yang tinggi terhadap teman-temannya inilah yang membuat kedua remaja ini sulit untuk berpisah dengan temantemannya, bahkan ketika orangtuanya yang melarang. Menurut kedua informan anaknya memiliki
teman-teman yang nakal atau berperilaku tidak baik, seperti merokok, minum-minuman keras, membolos, senang nongkrong, berkelahi dan tawuran (S1/Joko: L183-185 W4) (S2/Bagus: L162-164 W4). Sehingga informan Imenyuruh Zaki untuk menjauhi temannya, meskipun Zaki tetap bergaul dengan diam-diam (S1/Zaki: L175 W2). Sedangkan informan II sama sekali tidak mengetahui teman-teman Bagus ketika berada di luar rumah. Sepengetahuannya adalah Bagus bermain bersama teman satu tetangganya, Bagus mulai keluar jauh semenjak kelas 2 SMA (S2/Wati: L241-242 W2). Pada kondisi ini, kedua informan kurang memberikan sikap tegas kepada anaknya, dan membiarkan lingkunganlah yang mengambil peran penting dalam tumbuh kembang anak. Brooks (2011) menambahkan bahwa orangtua yang memiliki remaja mempunyai kewajiban untuk mengawasi kegiatan dan perilaku anak, baik di dalam atau pun di luar rumah. Dalam melakukan pengawasan dan pengontrolan informan I masih sangat kurang. Terbukti dengan jawaban yang mengatakan ketidaktahuan perilaku Zaki di luar rumah, dimana keberadaannya, serta dengan siapa Zaki pergi. Informan II justru sama sekali tidak mengetahui perilaku anak di luar rumah. Terbukti dengan jawaban yang berbeda antara informan dan anaknya. Wati dan Arjo mengatakan bahwa perilaku anak mulai terlihat menyimpang pada saat kelas 2 SMA, padahal menurut pengakuan Bagus sejak SMP sudah terlibat beberapa 15
kali tawuran, berkelahi dan minumminuman keras, juga merokok sewaktu SD (S2/Wati: L232-233 W3) (S2/Bagus: L38, 83-85 W4). Kedua informan juga mengatakan ketika di rumah anaknya adalah anak yang menurut dan tidak pernah membantah omongan orangtuanya, meskipun pada kenyataannya tidak mengetahui perilaku anak di luar rumah (S1/Tinah: L319-320 W3) (S2/Wati&BT: L147-149 W3). Pada saat anak berada di luar rumah, informan tidak pernah tahu anak keluar sampai mana, patokannya adalah percaya dengan anaknya di luar rumah, namun ketika waktu sudah larut informan hanya mengirim pesan ke anaknya meskipun sering tidak ada jawabannya (S1/Tinah: L321-324 W3). Pada masa remaja ini, kedua informan juga masih menggunakan pola pengasuhan permisif yaitu memberikan anak kebebasan dan ruang penuh, seperti menuruti semua yang anak inginkan tanpa memberikan batasan. Bahkan informan I mengatakan bahwa dalam mendidik anak dirasanya sudah maksimal, padahal maksimal yang dimaksudnya adalah secara materi (S1/Joko: L160-161 W1). Informan I juga sangat permisif terhadap anaknya, mempunyai pemikiran bahwa ketika tidak menuruti keinginan anaknya, maka anak akan mempunyai pandangan yang buruk tentangnya ataupun melakukan hal yang membahayakan (S1/Joko: L288-289 W1). Kebebasan yang diberikan kepada anak ini termasuk juga dalam memilih pacar, bahkan informan II
membiarkan anaknya mempunyai pacar yang tidak seagama pada saat kelas 2 SMA (S2/Wati: L160-162 W2). Menurut Willis (2012), pola asuh di atas lantas membuat anakanak menjadi agresif, suka menipu, bertindak melampiaskan hawa nafsu tanpa kekangan dan nasehat yang dapat merusak dirinya juga masyarakat sekitarnya. Selain itu, sebagaimana disampaikan Santrock (2003), remaja dengan orangtua yang terlalu memanjakan akan mengalami kontrol diri atau pengendalian diri yang lemah. Remaja ini akan beranggapan semua keinginannya akan terturuti sehingga tidak memperhatikan tata tertib atau aturan yang berlaku di masyarakat. Hal ini pula yang terjadi pada kedua informan yang berlebihan di dalam memberikan kebebasan pada anaknya. Informan hanya sebagai pemenuh kebutuhan anak. Ditambah dengan minimnya batasan yang diberikan membuat kedua remaja ini terlibat dalam kenakalan dan kriminalitas. Keberadaan remaja sebagai anak yang masih sekolah, pada umumnya menjadi tanggung jawab kedua orangtuanya. Orangtua merupakan pendidik yang paling utama yang berkewajiban menanamkan moral dan sikap positif dalam perkembangan remaja (Silalahi & Meinarno, 2010). Dalam penelitian ini, informan I cenderung menyalahkan orang lain. Informan tidak menyadari bahwa tanggung jawab utama dalam pengasuhan terletak pada orangtua. Seperti pada saat Zaki dikeluarkan dari sekolah, Joko (ayah, informan I) justru menyalahkan gurunya karena 16
tidak bisa mendidik Zaki ketika berada di sekolah (S1/Joko: L203205 W4). Bahkan antara bapak dan ibu terkadang saling menyalahkan, yaitu dengan menuding satu sama lain tidak bisa mengajari anaknya (S1/Tinah: L418-420 W3) (S1/Joko: L354-355 W4). Djamarah (2004) mengatakan bahwa masalah pendidikan anak bukan merupakan masalah yang ringan karena menyangkut perilaku dan sikap anak kelak juga masa depan anak, sehingga harus dimusyawarahkan dan dibicarakan antara ayah dan ibu. Selain itu kedua informan juga cenderung menyalahkan lingkungannya yaitu teman di SMP yang membawa pengaruh buruk, teman di SMA juga nakal, teman di kampung yang membawa pengaruh negatif juga karena teman-temannya ganti menjadi teman yang nakalnakal (S1/Joko: L183-185 W4) (S2/Wati: L28-29 W2). Kondisi keluarga dengan ayah dan ibu yang sibuk bekerja di luar rumah membuat orangtua mempunyai keterbatasan waktu untuk berinteraksi dengan anak, sehingga harus menyiapkan strategi untuk memanfaatkan waktu yang sedikit menjadi bermakna (Silalahi & Meinarno, 2010). Kedua informan terkadang menyediakan waktu untuk anaknya dengan catatan jika informan berada di rumah. Baik informan I maupun II mempunyai waktu yang sedikit untuk bertemu dengan anaknya. Selain informan harus bekerja, Zaki dan Bagus juga lebih sering menghabiskan waktu untuk bersama teman-temannya. Sehingga memang sedikit sekali waktu untuk bisa
bercerita bahkan bermusyawarah bersama orangtuanya (S2/Wati: L6466 W2). Zaki dan Bagus adalah anak yang selalu menyimpan dan menutup masalahnya untuk keluarga, alasan Zaki karena tidak mau membuat sedih orangtunya jika dibebani dengan masalahnya (S1/Zaki: L130132 W2). Sedangkan Bagus adalah tipe orang yang pendiam, yang sulit untuk membuka diri untuk orang lain (S1-OB3). Apalagi Arjo (ayah, informan II) adalah orang yang kurang berbaur dengan anakanaknya, sehingga Bagus pun enggan terbuka dengan Arjo (S2/Wati: L303305 W2). Namun, pada saat menginginkan sesuatu, seperti HP, uang, power bank, baju dan lainnya kedua remaja ini langsung meminta kepada orangtuanya. Menurut Hidayat (2012), anak remaja adalah usia yang cukup untuk diajak saling berbagi, melatih mandiri, dan tanggung jawab. Usia ini merupakan usia yang sudah memiliki daya nalar, bangkitnya akal dan kesadaran diri. Oleh karena itu pengasuhan pada remaja, yaitu dengan melibatkan remaja untuk masalah pekerjaan rumah, dan orangtua hanya mengarahkan saja. Sehingga informan memang harus aktif berkomunikasi dengan anaknya. Brooks (2011) menambahkan orangtua juga mempunyai tugas untuk mengomunikasikan informasi dan nilai-nilai yang penting tetapi sulit untuk dibahas seperti, seksualitas, penggunaan obat-obatan dan diskriminasi kepada remajanya. Pada Joko dan Tinah (informan I) tidak pernah mengomunikasikan informasi dan 17
nilai-nilai penting. Bahkan saat pendampingan pubertasi, Joko dan Tinah tidak mengarahkan Zaki pada saat pertama kali mimpi basah dan sebagainya. Tinah mengatakan sama sekali tidak mengerti dengan hal-hal demikian (S1/Tinah: L445, 450-452 W3). Pada Wati dan Arjo (informan II), Wati (ibu, informan II) mendampingi anaknya saat pubertasi, termasuk nilai-nilai dalam agama terutama sholat lima waktu, namun tidak membicarakan pembahasan seperti masalah seksual, penggunaan obat-obatan terlarang karena menurut Wati, Bagus sudah mendapatkan itu di tempat organisasi remaja di kampung (S2/Wati: L463, 469-474 W3). Problema yang mungkin terjadi pada kedua remaja informan, secara sederhana, orangtua tidak berkesempatan untuk membaca atau mempelajari masalah remaja dan perkembangan jiwanya, hendaknya orangtua berusaha memahami dan mempelajari langsung sikap dan tindakan anaknya untuk dapat memahami jiwanya (Daradjat, 1982). Temuan-temuan lain dalam penelitian Temuan-temuan tambahan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut. Pertama: Ketidakselarasan komunikasi antara ayah dan ibu. Komunikasi adalah sarana bagi anggota keluarga untuk membangun, memelihara bahkan menghancurkan hubungan dalam keluarga. Termasuk dalam proses pengasuhan, sangat dibutuhkan adanya pembagian informasi supaya mendapatkan pemahaman yang sama (Silalahi & Meinarno, 2010). Joko
dan Tinah (informan 1) terkadang saling menyalahkan, yaitu dengan menuding satusama lain tidak bisa mengajari anaknya (S1/Tinah: L418420 W3) (S1/Joko: L354-355 W4). Kedua: Pengaruh keluarga besar dalam pengasuhan. Hubungan dengan anggota keluarga tidak semata-mata berupa hubungan baik dengan orangtua, tetapi juga dengan saudara, nenek, kakek, yang akan mempengaruhi sikap anak terhadap orang di luar lingkungan rumah. Pengasuhan dengan melibatkan orang ketiga seperti nenek, akan memberikan pengaruh terhadap pembentukan karakter anak (Nanthamongkolchai dkk, 2009). Pada penelitian ini, ditemukan bahwa pada saat informan II mengajari Bagus maupun kakaknya untuk menyapu atau melakukan pekerjaan rumah, nenek cenderung melarang melakukannya dan menyuruh cucunya untuk pergi bermain (S2/Wati: L119-122 W3). Ketiga: Pengaruh masa lalu orangtua dalam pengasuhan. Pengasuhan orangtua di zaman dulu juga mempengaruhi orangtua dalam melakukan pengasuhan pada anaknya, karena memori tentang pengasuhan orangtuanya dulu masih membekas dan itu akan berpengaruh terhadap pengasuhannya sekarang. Selain itu orangtua cenderung meniru pengasuhan orangtuanya dulu (Adams, 2007). Hal ini pula yang terjadi pada informan dalam mengasuh anaknya. Orangtua informan mempunyai perilaku yang kurang baik, seperti berganti-ganti pasangan (S1/Joko: L512-514 W4). Selain itu kehidupan informan sebelumnya juga mempengaruhi pola piker informan, 18
misalnya ketika Zaki tidak mau belajar saat usia remaja, informan cenderung membiarkannya, karena informan menganggap dulu juga tidak senang belajar. Keempat: Hubungan orangtua dan anak pasca kejadian. Bagus (remaja, informan II) mengakui menemukan banyak hikmah setelah kejadian. Bagus berjanji tidak akan menyakiti siapapun dan tidak akan mengulangi perbuatannya. Bahkan menjadi pelajaran yang sangat berharga, karena lantaran kasus tersebut Bagus dapat berubah, menjadi anak yang sholeh (Bagus: L214-215 W4). Di dalam lapas, Bagus rajin sholat bahkan menjalankan sholat sunah seperti sholat tahajud dan sholat dhuha. Selain sholat Bagus kini juga merutinkan puasa senin kamis, bahkan kini Bagus belajar membaca alquran sendiri di dalam lapas (Wati: L43-45 W2). Hal ini terjadi karena pada saat Bagus berada di dalam Lapas, hubungannya dengan informan menjadi lebih baik. Setiap jam kunjung yang disediakan Lapas II B Sleman, informan selalu hadir. Meskipun terkadang gantian antara ayah atau ibu, bersama kakak atau pun sepupu Bagus. Pada saat kunjungan biasanya Bagus dan informan saling berbagi cerita, sehingga komunikasi keduanya dapat terjalin. Kehadiran informan pada saat kunjungan merupakan motivasi bagi Bagus, karena satu-satunya yang rutin mengunjungi hanyalah informan. Keterbatasan Penelitian Peneliti mengakui masih terdapat beberapa keterbatasan dan
kelemahan di dalam melakukan penelitian ini. Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini adalah: Pertama: Kurang mendalamnya proses penggalian data pada saat kedua informan melakukan pengasuhan terhadap anaknya dari masa prenatal sampai sekolah dasar. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan mengingat secara detail proses pengasuhan yang dilakukan informan. Selain itu, adanya persepsi tunggal dari informan tentang proses pengasuhan yang dilakukannya. Karena informan merupakan satusatunya sumber utama yang terlibat secara langsung dalam pengasuhan. Kedua: Kurang mendalamnya proses penggalian data tentang pengasuhan yang dilakukan kedua informan, berhubungan dengan kasus yang dianggap sensitif oleh masyarakat pada umumnya. Karena pada penelitian ini mengangkat pengasuhan yang dilakukan orangtua pada remaja kriminalitas. Seperti pada saat adanya perbedaan jawaban antara informan II dan anaknya. Peneliti hanya melakukan cross check terhadap jawaban keduanya, namun tidak dapat melakukan konfrontasi karena dapat mengganggu psikis informan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengasuhan orangtua memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap munculnya kriminalitas remaja. Orangtua adalah pelaku utama dan paling penting dalam proses pengasuhan. 19
Pertama: proses terjadinya kenakalan. Kriminalitas kedua remaja informan dalam penelitian ini dimulai dari kenakalan-kenakalan yang sudah nampak semenjak duduk di bangku sekolah dasar hingga kriminalitas pada saat penangkapan oleh pihak yang berwenang. Kriminalitas tersebut diawali dengan perilaku minum-minuman keras, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, membolos, berkelahi, tawuran hingga menyebabkan kematian. Kedua: Faktor-faktor yang mempengaruhi kriminalitas remaja berasal dari dirinya sendiri (internal) dan lingkungannya (eksternal). Faktor internal seperti mudah terpancing, mudah emosi, rasa ingin coba-coba, tidak mau diremehkan serta adanya kebutuhan untuk diakui di atas teman-teman sebayanya. Sedangkan faktor eksternal meliputi penggunaan waktu luang yang tidak bermanfaat, pengaruh pergaulan dengan teman sebaya serta adanya pengasuhan orangtua yang tidak tepat . Ketiga: Pengasuhan orangtua. Pengasuhan orangtua yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: (a) Membiarkan anak tumbuh dengan kesenangan tanpa merasakan perjuangan, seperti tidak dilibatkan dalam pekerjaan rumah dan menuruti semua keinginannya. (b) Cenderung membiarkan atau menyepelekan perilaku menyimpang anak pada tahap awal. (c) Gagal dalam melakukan pengawasan dan pengontrolan, sehingga tidak mengetahui perilaku ataupun perbuatan anak di luar rumah. (d) Tidak mempunyai sikap yang tegas terhadap anak (e) Gagal menjadi
pendengar yang baik, sehingga anak kurang terbuka dengan orangtunya dan cenderung menyimpan masalahnya sendiri. (f) Kurang menyadari tanggugjawabnya sebagai orangtua dan cenderung menyalahkan orang lain atas perilaku menyimpang anak (g) Orangtua tidak memberikan keteladanan (h) Kurang mampu mendampingi anak saat masa transisi. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa orangtua kurang mengerti tahap perkembangan anak dan pengasuhan yang tepat dalam setiap tahapnya. Saran Pertama: saran bagi orangtua: (a) Orangtua supaya memberikan pendampingan terhadap anaknya yang masih remaja, meningkatkan pengawasan dan pengontrolan, serta memberikan kehangatan agar tercipta komunikasi dan keterbukaan dengan anak. (b) Orangtua juga harus mampu bersikap tegas, konsisten dalam memberikan rambu-rambu dan aturan dalam keluarga bukan hanya memberikan kebebasan. Saran bagi remaja secara umum. Remaja diharapkan mampu menjadikan orangtuanya sebagai teman untuk bertukar pikiran, berbagi cerita dan berbagi kesenangan maupun kesulitan, bukan hanya menjadikannya pemenuh atas semua kebutuhan. Komunikasi yang baik antara orangtua dan anak akan menciptakan keharmonisan dalam keluarga. Ketiga: saran bagi peneliti selanjutnya. Peneliti menyadari bahwa dalam melakukan penelitian masih terdapat kelemahan, untuk itu kepada peneliti selanjutnya diharapkan mampu melakukan 20
perbaikan terutama dalam: (a) Penggalian data yang berhubungan dengan pengasuhan secara detail yang dilakukan informan dalam usiausia awal perkembangan anak. (b) Peneliti juga harus berhati-hati dalam melakukan penggalian data terkait kasus yang masih dianggap sensitif oleh masyarakat pada umumnya, sehingga penggalian data bisa maksimal.
Azwar, S. (2011). Metode Penelitian. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, Jane. (2011). The Process of Parenting (terjemahan). Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Adams, V. (2007). Kejahatan: Perilaku Manusia. Jakarta: Tira Pustaka Adhim, M.F. (2012). Menghormati Hak Anak. Microsoft Dakwah Info Online Encyclopedia 2012. Diperoleh tanggal 3 Maret 2014, dari http://dakwah.info/keluarga/me nghormati-hak-anak/.html Aisyah, S. (2010). Pengaruh Pola Asuh Orangtua Terhadap Tingkat Agresivitas Anak. Jurnal Psikologi Indigenous. Vol 2. No 1 Ardoin, L & Bartling, C. (2010). Biological, Psychological, and Sociological Effects on Juvenile Delinquency. Journal of Psychological Research. Vol 6. No 1 Aroma I. S, & Suminar D. R. (2012). Hubungan Antara Tingkat Kontrol Diri dengan Kecenderungan Perilaku Kenakalan Remaja. Jurnal Psikologi. Vol 01. No 02
Basri,
H. (1994). Remaja Berkualitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Basrowi & Suwandi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Daradjat, Z.. (1982). Pembinaan Remaja. Jakarta : Bulan Bintang Djamarah, S.B. (2004). Pola Komunikasi: Orangtua dan Anak dalam Keluarga. Rineka Cipta: Jakarta Hastuti, S. (2006). Pintu: Mengenal Masyarakat, Menumbuhkan Kepedulian. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Hariwijaya & Bertiani. (2009). Melejitkan Potensi Anak dengan Pendidikan Sejak Dini. Yogyakarta: Mahadika Publishing Hidayat, D. (2012). Komunikasi Antarpribadi dan Medianya: Fakta Penelitian Fenomenologi Orangtua Karir dan Anak Remaja. Yogyakarta: Graha Ilmu Hurlock,E.B. (1991). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentan 21
Kehidupan. Edisi Jakarta: Erlangga.
Kelima.
Poerwandari, K. (2011). Pendekatan kualitatif. Jakarta: LPSP3 UI
Hurwitz, S. (1986). Kriminologi. Jakarta: Bina Aksara
Pratisti, W.D. (2008). Psikologi Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks
Kartono, K. (2005). Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali Lestari, S. (2012). Psikologi Keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Maryati, I. dkk. (2012). Pola Asuh Orangtua terhadap Perilaku Sosial Anak Remaja di Desa Arang Limbung Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya. Laporan Penelitian. Tidak Diterbitkan. Pontianak: Universitas Tanjung Pura Murtiyani, N. (2011). Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kenakalan Remaja di RW V Kelurahan Sidokare Kecamatan Sidoarjo. Jurnal Psikologi. Vol 01. No 01 Nanthamongkolchai, S. dkk. (2009). Influence of Child Rearing by Grandparent on the Development of Children Aged Six to Twelve Years. 92 (3) : 430-4 Panuju, P & Umami I. (2005). Psikologi remaja. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya Pawito (2007). Komunikasi Yogyakarta: LKIS
Penelitian Kualitatif.
Purnama, R.R. (2014). Selain Psikopat, Hafitd juga Dinilai Sadis. Microsoft Metro Sindonews Online Encyclopedia 2014. Diperoleh tanggal 3 Maret 2014, dari http://metro.sindonews.com/rea d/2014/03/11/31/843254/selain -psikopat- hafitd-juga-dinilaisadis-html Raco. (2010). Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, dan Keunggulanya. Jakarta: Grasindo Santrock, J.W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga Sarwono, S W. (2003). Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers Silalahi, K. & Meinarno, E.A. (2010). Keluarga Indonesia: Aspek dan Dinamika Zaman. Jakarta: Rajawali Sunartono. (2014). Kriminalitas: Remaja Pelajar ini Jadi komplotan Pencuri Motor. Microsoft Harian Jogja Online Encyclopedia 2014. Diperoleh tanggal 3 Maret 2014, dari http://www.harianjogja.com/ba ca/2014/01/06/kriminalitasremajapelajar-ini-jadi22
komplotan-pencuri-motor479802. Suryono. (2013). Ingin Punya Motor, Dua Remaja Bunuh Teman di Lumpur. Microsoft Okezone Jogja Online Encyclopedia 2014. Diperoleh tanggal 3 Maret 2014, dari http://jogja.okezone.com/read/ 2013/06/07/513/818508/inginpunya-motor-dua-remajabunuh-teman-di-lumpur Syantut, K.A. (2009). Melejitkan Potensi Moral dan Spiritual Anak. Bandung: Sygma Publishing Willis, S.S. (2012). Remaja & Masalahnya. Bandung: Alfabeta
23