PENGARUH FAKTOR DEMOGRAFIS, INDIVIDUAL, DAN LINGKUNGAN TERHADAP KEMUNCULAN PERILAKU KRIMINALITAS BERKEKERASAN PADA REMAJA LAKI-LAKI (The Effect of Individual, Environmental, and Demographic Factors on Violence Crime Behavior among Male Adolescents) Maria Armalita Surti Nurachman Pembimbing: Sherly Saragih Turnip Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor demografis (usia, pendidikan terakhir ayah, dan pendidikan terakhir ibu), individual (psychlogical distress, self-esteem, serta time perspective untuk dimensi orientasi masa depan dan masa kini), dan lingkungan (paparan terhadap kekerasan) yang secara signifikan mempengaruhi kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan pada remaja laki-laki. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 274 orang yang terdiri dari 88 remaja laki-laki di lembaga pemasyarakatan yang memiliki status tahanan kriminalitas berkekerasan dan 186 remaja laki-laki di komunitas yang bersekolah di sekolah dengan akreditasi B. Masing-masing variabel diukur secara kuantitatif pada seluruh partisipan dan analisis logistic regression digunakan untuk melihat variabel yang secara signifikan memiliki pengaruh terhadap perilaku kriminalitas berkekerasan pada kedua kelompok tersebut. Dari penelitian ini diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel usia, pendidikan terakhir ayah, dan paparan terhadap kekerasan terhadap kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan pada remaja laki-laki. Kata Kunci: Kekerasan; paparan terhadap kekerasan; pendidikan terakhir ayah; remaja laki-laki; usia. ABSTRACT This study aimed to determine the demographic factors (age, father’s education level, and mother’s education level), individual factors (psychological distress, self-esteem, and time perspective dimension of orientation to the future and the present), and environment factor (exposure to violence) that significantly affect the emergence violent criminal behavior among male adolescents. Participants in this study amounted to 274 people, consist of 88 male adolescents in incarceration that has the status of violent crimes inmates and 186 male adolescent in the community who attend schools with accreditation B. Each variable measured quantitatively on all participants and logistic regression was used to analyze which variables that had a significant influence on violent criminal behavior among both groups. Results from this study is that there is a significant influence of the variables age, father’s education level, and exposure to violence on the emergence violent criminal behavior among male adolescents. Keywords: Age; exposure to violence; father’s education level, male adolescents; violence
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
I. Pendahuluan Setiap tahunnya, lebih dari jutaan orang di dunia menjadi korban kekerasan. Dampak kekerasan bervariasi mulai dari kematian, luka-luka, hingga dampak psikologis. Di Indonesia, kabar mengenai kekerasan banyak muncul di berbagai media. Contohnya adalah pembunuhan, perampokan yang disertai ancaman dengan senjata, perkosaan, kekerasan yang dilakukan oleh geng motor, tawuran, pemukulan antar remaja, penganiayaan anak, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya hingga kasus bunuh diri. Kekerasan terjadi di mana saja, di rumah, sekolah, tempat kerja, dan di masyarakat, dan menyerang siapa saja, keluarga, teman, dan masyarakat. Kekerasan yang dilakukan oleh remaja adalah salah satu bentuk kekerasan yang banyak terlihat di masyarakat (Krug, Dahlberg, Mercy, Zwi, & Lozano, 2002). Tak jarang tindak kekerasan tersebut berujung pada kriminalitas. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) (2010) mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh remaja, kriminalitas yang paling sering dilakukan oleh remaja adalah pencurian, dilanjutkan dengan narkoba,
perkosaan
atau
pencabulan,
kecelakaan
yang
menimbulkan
kematian,
pengeroyokan, penganiayaan, penggelapan, penadah hasil kejahatan, dan pembunuhan. Banyak diantara tindak kriminalitas tersebut yang mengandung kekerasan. Berbagai dampak negatif dapat timbul akibat dari adanya kekerasan. Kekerasan remaja merugikan tidak hanya bagi pelaku, melaikan juga keluarga pelaku, teman, masyarakat (Krug, et al., 2002). Bagi pelaku dan korban, kekerasan dapat berdampak negatif pada aspek fisik, sosial, dan psikologis (Krug, et al., 2002; World Health Organization, 2008). Dampak pada aspek fisik yang dapat muncul berupa kematian, luka, dan kecacatan. Dampak pada aspek sosial yang dapat timbul berupa masalah dalam menjalin hubungan dengan orang lain, performa akademik yang buruk, sulit diterima dalam pekerjaan, dan sering berpindahpindah tempat tinggal. Dari sisi psikologis, kekerasan memiliki hubungan yang kuat dengan gangguan psikologis seperti gangguan kognitif, depresi, kecemasan, phobia, gangguan panik, dan gangguan psikosomatis. Pelaku tindak kekerasan dapat dikenai hukuman secara legal, meskipun masih berusia remaja. Kejahatan kekerasan paling penting yang didefinisikan oleh hukum pidana adalah pembunuhan, penyerangan, perampokan, dan perkosaan (Farrington, 2007). Selain daripada tindakan tersebut, di Indonesia, tindakan pemerasan, pengancaman, dan kelalaian yang menyebabkan luka atau kematian (mis. kecelakaan lalu lintas) juga dianggap sebagai pelanggaran hukum. Berdasarkan Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, remaja pelaku kekerasan yang melanggar hukum pidana dapat dikenai sanksi pidana
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
pokok berupa hukuman penjara, denda, atau pengawasan; dan sanksi pidana tambahan berupa perampasan barang tertentu atau pembayaran ganti rugi. Sayangnya, bentuk tindakan kekerasan yang dilakukan seringkali semakin serius seiring dengan bertambahnya usia. Anak yang memunculkan perilaku yang bermasalah di masa kecil akan cenderung untuk melakukan tindak kekerasan pada saat remaja dan melakukan tindak kekerasan yang lebih serius pada saat dewasa (Krug, et al., 2002). Berdasarkan penelitian di Columbus, US, 59% remaja yang ditahan karena melakukan tindak kekerasan sebelum usia 18 tahun akan kembali ditahan ketika dewasa dan 42% diantaranya ditahan karena melakukan tindak kekerasan serius seperti membunuh, penyerangan yang menimbulkan korban, dan perkosaan (Krug, et al., 2002). Terdapat berbagai faktor yang dapat memengaruhi kemunculan perilaku kekerasan pada remaja. Seifert (2012) membagi faktor-faktor tersebut ke dalam tiga bagian, yaitu faktor demografis, faktor individual, dan faktor lingkungan. Faktor demografis berkaitan dengan distribusi geografis dan karakteristik seperti etnis, usia, jenis kelamin, penanda genetik, dan kerentanan terhadap penyakit (Matsumoto, 2009). Faktor demografis yang dapat berpengaruh terhadap kekerasan adalah usia, jenis kelamin, ras/etnis, dan status sosial ekonomi (Seifert, 2012). Faktor individual berisikan karakteristik individu yang dapat memengaruhi perilaku, seperti fisiologi, kognisi, dan faktor psikologis. Faktor lingkungan adalah faktor dari luar individu yang meliputi keluarga, teman, sekolah, komunitas, dan media. Dari segi faktor demografis usia, diketahui bahwa tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak di bawah usia 10 tahun sangatlah jarang dan prevalensi kekerasan (berlaku untuk hampir semua kekerasan) meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Seifert, 2012). Berdasarkan penelitian di bidang kiriminologi yang dilakukan oleh US Departement of Justice (2008), menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terlibat dalam kriminalitas dan kenakalan remaja dibandingkan dengan perempuan pada hampir setiap kasus kekerasan yang terjadi (Seifert, 2012). Archer (1991) dan Ramirez (2007) menyebutkan bahwa perilaku kekerasan berkaitan dengan jumlah testosteron yang dimiliki, khususnya untuk remaja lakilaki (dalam Farrington, 2007). Remaja laki-laki yang mengalami peningkatan produksi hormon tertosteron memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk melakukan kekerasan dibandingkan dengan perempuan. Selanjutnya, faktor demografis status sosial ekonomi yang rendah dapat menjadi prediktor kemunculan kekerasan (Farrington, 2007). Status sosial ekonomi merujuk kepada pendidikan, pekerjaan, dan juga penghasilan yang dimiliki oleh orang tua (Seifert, 2012). Seseorang yang dibesarkan dalam kemiskinan akan cenderung terlibat dalam tindak
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
kriminalitas dan kekerasan (Seifert, 2012). Bentuk perilaku kekerasan yang umumnya dilakukan oleh seseorang yang berasal dari status sosial ekonomi rendah adalah tindakan kekerasan berupa penyerangan dan perampokan (Farrington, 2007). Selain dari faktor demografis, kekerasan juga dipengaruhi oleh faktor individual. Salah satunya adalah psychological distress, yang merupakan kondisi subjektif tidak menyenangkan yang dikarakteristikkan dengan gejala depresi dan kecemasan (Mirowsky & Ross, 2003). Psychological distress memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku kekerasan. Penelitian yang dilakukan oleh Pillai, Andrews, dan Patel (2009) di India menemukan bahwa psychological distress memiliki pengaruh terhadap perilaku bunuh diri pada remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Weaver & Clum (1995) menemukan bahwa kekerasan interpersonal memiliki hubungan yang signifikan dengan psychological distress. Variabel individual yang selanjutnya adalah self-esteem. Self-esteem adalah penilaian terhadap diri terkait perasaan mengenai keberhargaan dan penerimaan yang terbentuk dari konsekuensi atas kesadaran mengenai kompetensi diri dan tanggapan dari dunia luar (Guindon, 2002). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Greene, et al. (2011), self-esteem memiliki hubungan yang negatif dengan kekerasan. Seseorang yang memiliki self-esteem rendah akan cenderung untuk melakukan kekerasan. Kaplan (1980) berpendapat bahwa remaja yang memiliki self-esteem rendah berteman dengan orang yang melakukan kekerasan akan turut melakukan kekerasan pula untuk meningkatkan self-esteem mereka (Rice & Dolgin, 2008). Dalam hal ini, kekerasan dilakukan oleh remaja untuk mendapatkan perhatian dan rasa hormat dari teman (Office of the Surgeon General, 2001). Time perspective yang juga merupakan faktor individual, adalah sikap pribadi yang sering kali tidak disadari dari masing-masing individu terhadap waktu dan proses dimana aliran kontinyu dari eksistensi terbagi ke dalam kategori waktu yang membantu memberikan perintah, koherensi, dan makna pada hidup kita (Zimbardo & Boyd, 2008). Berdasarkan teori time perspective menurut Zimbardo & Boyd (2008), terdapat tiga bagian kerangka orientasi waktu, yaitu masa kini (present), masa lampau (past), dan masa depan (future). Setiap orang memiliki orientasi yang lebih dominan pada salah satu kurun waktu. Dominasi orientasi yang dimiliki individu ini kemudian mempengaruhi bagaimana individu bertindak sehari-hari. Orang yang memiliki dominasi orientasi masa kini cenderung kurang dapat menolong dirinya sendiri dan lebih mudah terlibat dalam tindakan yang berisiko (Zimbardo & Boyd, 2008). Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa present time perspective dapat menjadi prediktor untuk perilaku mengemudi berisiko (risky driving) (Zimbardo, Keough, & Boyd, 1997) dan substance use (penggunaan alkohol, obat terlarang, dan rokok) (Zimbardo,
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
Keough, & Boyd, 1999). Karakteristik berani atau senang mengambil risiko pada seseorang di usia 8-10 tahun memprediksi munculnya perilaku kekerasan pada usia remaja dan dewasa (Farrington, 2007). Jika dikaitkan dengan tindak kekerasan yang juga merupakan salah satu tindakan yang memiliki risiko tinggi, maka orang dengan orientasi masa kini memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terlibat dan melakukan tindak kekerasan. Paparan terhadap kekerasan yang merupakan salah satu faktor lingkungan, dapat juga menjadi prediktor dari kemunculan perilaku kekerasan seseorang (Hawkins, et al., 2000). Paparan terhadap kekerasan adalah kondisi dimana seseorang menjadi saksi perilaku kekerasan atau menjadi korban kekerasan (Singer, et al., 1995; Singer, et al., 1999 dalam Flannery, Singer, Van Dulmen, Kretscmar, & Belliston, 2007). Paparan terhadap kekerasan dapat terjadi pada berbagai lingkungan. Lingkungan rumah, lingkungan sekolah, dan lingkungan sekitar tempat tinggal adalah konteks yang sesuai dengan tahap penyesuaian yang dialami oleh remaja (Flowers, Hastings, & Kelley, 2000), dimana remaja banyak menghabiskan waktunya di area konteks tersebut. Paparan terhadap kekerasan yang terjadi secara terus-menerus membuat kebanyakan remaja menjadi tidak sensitif terhadap kekerasan yang terjadi di sekeliling mereka, dan mereka akan mulai merasa bahwa kekerasan itu dibutuhkan dan diterima sebagai bagian dari kehidupan (Rice & Dolgin, 2008). Memahami faktor yang dapat meningkatkan risiko remaja untuk menjadi pelaku maupun korban kekerasan adalah hal yang diperlukan dalam mengembangkan kebijakan dan program pencegahan kekerasan (Krug, et al, 2002). Untuk itu, diperlukan penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kekerasan pada remaja. Selain itu, penelitian mengenai faktor-faktor yang menjadi prediktor perilaku kekerasan belum banyak dilakukan di Indonesia. Berbagai penelitian terdahulu umumnya dilakukan di Amerika, dimana pada negara tersebut tindak kekerasan terjadi secara bebas di masyarakat, hingga memiliki senjata untuk alat perlindungan diri dianggap sebagai hal yang lumrah. Di Indonesia, kekerasan masih dianggap sebagai perilaku yang menyalahi norma dan kejadiannya seringkali ditutuptutupi. Dengan adanya perbedaan mendasar mengenai pandangan masyarakat mengenai kekerasan itu sendiri, hasil dari penelitian terdahulu tersebut belum tentu dapat diaplikasikan secara langsung di Indonesia, dan penelitian mengenai prediktor perilaku kekerasan remaja di Indonesia perlu dilakukan. Dalam penelitian ini, akan diteliti mengenai apakah faktor demografis (usia dan status sosial ekonomi) dan faktor individual (psychological distress, self-esteem, time perpective), dan faktor lingkungan (paparan terhadap kekerasan) dapat berkontribusi secara signifikan terhadap kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan pada remaja laki-laki di lembaga
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
pemasyarakatan dan komunitas. Perilaku kriminalitas berkekerasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan kekerasan serius yang melanggar hukum, dianggap sebagai tindak pidana. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatori pada dua kelompok remaja laki-laki. Kelompok yang pertama adalah remaja laki-laki yang berada di lembaga pemasyarakatan, yaitu remaja yang memiliki status tahanan karena melanggar pasal kriminalitas berkekerasan. Kelompok kedua adalah remaja di komunitas, yaitu remaja yang bersekolah di sekolah dengan nilai akreditasi B. Kedua kelompok ini memiliki karakteristik yang mirip. Mereka berada di rentang usia remaja, memiliki lingkungan dengan paparan kekerasan yang cukup tinggi, status sosial ekonomi yang menengah ke bawah, dan prestasi akademik yang kurang baik. Dengan kemiripan karakteristik yang mereka miliki, peneliti ingin meneliti faktor mana saja yang secara signifikan memengaruhi munculnya perilaku kekerasan hingga ada remaja yang melakukan tindakan kekerasan serius, terlibat kriminalitas, dan ditahan karenanya. II. Tinjauan Teoritis II.1. Definisi Kekerasan WHO mendefinisikan kekerasan sebagai “The intentional use of physical force or power, threatened or actual, against oneself, another person, or against a group or community, that either result in injury, death, psychological harm, maldevelopment or deprivation.” (Krug, et al., 2002, hal. 5) Kejahatan berkekerasan paling penting yang didefinisikan oleh hukum pidana adalah pembunuhan, penyerangan, perampokan, dan perkosaan (Farrington, 2007). Di Indonesia, pasal kriminalitas berkekerasan tidak dijelaskan dalam satu bab khusus, melainkan terpisahpisah dalam bab tertentu. Berikut adalah penggolongan pasal kriminalitas berkekerasan yang terdapat di dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). 1.
Kejahatan terhadap nyawa orang lain: Pasal 338-350 KUHP
2.
Penganiayaan: Pasal 351-358 KUHP
3.
Menyebabkan kematian atau luka karena kealpaan: Pasal 359-361 KUHP
4.
Pencurian: Pasal 365 KUHP
5.
Pemerasan dan pengancaman: Pasal 368-371 KUHP
6.
Kejahatan terhadap kesusilaan: Pasal 281, 285, 189, dan 291 KUHP
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
II.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kekerasan Seifert (2012) mengklasifikasikan faktor-faktor yang dapat memengaruhi kekerasan ke dalam tiga kelompok faktor besar, yaitu faktor demografis, individual, dan lingkungan. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing faktor. a. Faktor Demografis Menurut Seifert (2012), terdapat empat faktor demografis yang sangat memengaruhi kemunculan perilaku kekerasan, yaitu usia, jenis kelamin, ras dan etnis, serta status sosial ekonomi. •
Usia Jumlah kekerasan semakin meningkat pada kelompok usia yang lebih tinggi. Kekerasan yang dilakukan oleh anak di bawah usia 10 tahun sangatlah jarang dan prevalensi kekerasan (berlaku untuk hampir semua tindak kekerasan) meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Seifert, 2012). Jumlah tindak kekerasan tertinggi umumnya berada pada kelompok usia remaja di berbagai negara (Farrington, 2007). Pada penelitian di Amerika tahun 2003, jumlah penahanan tertinggi untuk kasus pencurian terjadi pada kelompok usia 18 tahun, 18 tahun untuk kasus perkosaan, 19 tahun untuk pembunuhan, dan 21 tahun untuk penyerangan yang dilakukan oleh kelompok (Federal Bureau of Investigation, 2004 dalam Farrington, 2007). Karena itu, penenelitian ini menjadikan tindak kriminalitas berkekerasan yang dilakukan oleh remaja sebagai fokus utama.
•
Jenis Kelamin Kekerasan lebih banyak dilakukan oleh laki-laki, dan kekerasan yang dilakukan laki-laki umumnya lebih serius dibandingkan perempuan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh US Departement of Justice (2008), laki-laki lebih banyak terlibat dalam kriminalitas dan kenakalan remaja dibandingkan perempuan (dalam Seifert, 2012). Kekerasan yang dilakukan oleh perempuan pun umumnya tidak lebih kronis dan serius dibandingkan laki-laki (Office of Juvenile Justice and Deliquency Prevention, 2009 dalam Seifert, 2012). Penelitian ini lebih menyorot perilaku kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki.
•
Ras dan Etnis Terdapat asosiasi yang kuat antara ras/etnis dengan kekerasan. Remaja selain yang berkulit putih, memiliki risiko yang lebih tinggi secara signifikan untuk menjadi pelaku atau korban kekerasan (Seifert, 2012). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bernat, et al. (2012), dimana ras/etnis Latin lebih banyak melakukan kekerasan
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
dibandingkan non Latin (white). Faktor ras dan etnis untuk selanjutnya tidak dibahas dalam penelitian ini karena kurang sesuai dengan kondisi di Indonesia. •
Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi memiliki pengaruh yang kuat terhadap kekerasan. Status sosial ekonomi merujuk kepada aksesibilitas seseorang terhadap fasilitas rekreasi, pendidikan, kesempatan bekerja, fasilitas kesehatan, dan kondisi hidup (Rice & Dolgin, 2008). Rice dan Dolgin (2008), berpendapat bahwa status sosial ekonomi dapat dilihat dari status sosial dan penghasilan seseorang, sedangkan menurut Seifert (2012), status sosial ekonomi dapat dilihat dari pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan yang dimiliki oleh orang tua (Seifert, 2012). Status sosial ekonomi yang rendah dapat menjadi prediktor kemunculan kekerasan (Farrington, 2007). Seseorang yang dibesarkan dalam kemiskinan akan cenderung terlibat dalam tindak kriminalitas dan kekerasan (Seifert, 2012; Sampson & Lauritsen, 1994 dalam Hawkins, et al., 2000). Bentuk perilaku kekerasan yang umumnya dilakukan oleh seseorang yang berasal dasi status sosial ekonomi rendah berupa penyerangan dan perampokan (Farrington, 2007).
b. Faktor Individual Faktor individual berisikan karakteristik individu dalam memengaruhi perilaku, seperti fisiologis, kognisi, psikologis, dan faktor perkembangan (Seifert, 2012). Faktor fisiologis mencakup pengaruh dari genetik dan neurologi. Faktor kognitif terkait dengan kekuatan berpikir individu. Di dalamnya terdapat time perspective, dimana pola pikir individu terhadap orientasi waktu dapat menentukan perilaku yang muncul. Faktor psikologis meliputi perkembangan individu (sosial dan emosional, fisik, dan moral), awal kemunculan perilaku yang memiliki asosiasi dengan kekerasan, temperamen, dan kesehatan mental. Psychological distress dan self-esteem termasuk ke dalam faktor ini. Faktor perkembangan merupakan interaksi antara individu dengan lingkungan yang muncul dalam urutan yang dapat diprediksi, yang dapat membantu atau mengganggu perkembangan yang seharusnya terjadi. c. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan adalah keadaan di luar individu yang dapat memengaruhi perkembangan individu. Faktor lingkungan yang dapat memengaruhi kekerasan meliputi keluarga, teman, sekolah, komunitas, dan media (Seifert, 2012). Dari faktor lingkungan, peneliti meneliti mengenai paparan terhadap kekerasan yang individu alami di berbagai latar lingkungan kehidupan individu, seperti rumah, sekolah, dan lingkungan tempat tinggal.
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
III. Metode penelitian III.1. Tipe dan Desain Penelitian Berdasarkan tipe aplikasinya, penelitian ini termasuk pada applied research. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk kepada explanatory research. Penelitian ini meneliti mengenai pengaruh berbagai faktor demografis, individual, dan lingkungan terhadap kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan pada remaja laki-laki. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan digunakan sebagai acuan dalam membuat intervensi terkait perilaku kekerasan. Penelitian ini juga merupakan penelitian kuantitatif karena proses dalam pengambilan data telah ditentukan sebelumnya. Selain daripada tipe penelitian, penelitian juga dapat dikelompokkan berdasarkan desainnya. Berdasarkan jumlah kontak dengan partisipan, penelitian ini termasuk pada one shot study design karena jumlah kontak dengan partisipan selama pengambilan data hanya terjadi satu kali. Berdasarkan periode referensinya, penelitian ini termasuk pada retrospective study design. Dalam penelitian ini, partisipan diminta untuk memberikan informasi yang berasal dari pengalaman yang dimiliki. Berdasarkan sifatnya, penelitian ini termasuk pada non-experimental study karena penelitian dilakukan di latar alami partisipan dan peneliti tidak memberikan manipulasi atau perlakuan apapun terhadap partisipan. III.2. Variabel Penelitian 1.
Kekerasan (Perilaku kriminalitas berkekerasan) Kekerasan adalah usaha dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik atau kekuasaan, ancaman atau tindakan nyata, yang dilakukan terhadap diri sendiri, orang lain, atau terhadap kelompok atau komunitas, sehingga mengakibatkan luka, kematian, gangguan psikologis, perkembangan yang menyimpang, atau deprivasi (Krug, et al., 2002). Dalam penelitian ini, kekerasan dilihat dari status yang dimiliki partisipan, apakah memiliki status tahanan kriminalitas berkekerasan atau tidak. Hasil akhir dari pengukuran ini akan didapat jawaban dikotomis dan membagi partisipan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama berisikan orang-orang yang telah melakukan tindak kriminalitas berkekerasan. Mereka berstatus tahanan karena terbukti telah melakukan tindak kekerasan yang melanggar undang-undang. Kelompok kedua berisikan partisipan yang tidak terbukti telah melakukan tindak kriminalitas berkekerasan.
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
2.
Usia Usia adalah jumlah waktu yang berlalu sejak tanggal kelahiran seseorang, biasanya menggunakan satuan hari, bulan, atau tahun (Matsumoto, 2007). Dalam penelitian ini, usia dilihat dari besaran angka yang dituliskan oleh partisipan pada pertanyaan ‘usia’ dalam kuisioner di bagian data partisipan.
3.
Status sosial ekonomi Status sosial ekonomi merujuk kepada pendidikan, pekerjaan, dan juga penghasilan yang dimiliki oleh orang tua (Seifert, 2012). Dalam penelitian ini, status sosial ekonomi dilihat dari pilihan partisipan mengenai pendidikan terakhir ayah dan ibu yang dituliskan partisipan di kuisioner. Terdapat tujuh pilihan jawaban pada isian pendidikan terakhir ayah dan ibu, yaitu SD, SMP, SMA, S1, S2, S3, dan tidak sekolah. Selanjutnya dilakukan koding terhadap pilihan jawaban pastisipan. Kategori pertama dengan koding 0 berisikan data dengan status pendidikan terakhir merupakan lulusan SMA dan tingkat sekolah yang lebih rendah dari SMA. Kategori kedua dengan koding 1 merupakan data dengan status pendidikan yang telah menyelesaikan studi hingga perguruan tinggi.
4.
Psychological distress Psychological
distress
adalah
kondisi
subjektif
tidak
menyenangkan
yang
dikarakteristikkan dengan gejala depresi dan kecemasan (Mirowsky & Ross, 2003). Psychological distress dalam penelitian ini dilihat dari total skor yang diperoleh dari alat ukur Hopkins Symptom Checklist-10 (HSCL-10). Alat ukur ini terdiri dari 10 item, dengan 6 item diantaranya mengukur gejala depresi dan 4 item lainnya mengukur gejala kecemasan, yang dialami individu dalam satu minggu terakhir. Individu yang memiliki skor tinggi pada alat ukur HSCL-10 berarti memiliki tingkat psychological distress yang tinggi, dan berlaku sebaliknya individu yang memiliki skor rendah berarti memiliki tingkat psychological distress yang rendah. 5.
Self-esteem Self-esteem adalah penilaian terhadap diri terkait perasaan mengenai keberhargaan dan penerimaan yang terbentuk dari konsekuensi atas kesadaran mengenai kompetensi diri dan tanggapan dari dunia luar (Guindon, 2002). Dalam penelitian ini, self-esteem dilihat dari total skor yang diperoleh dari alat ukur Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES). Alat ukur ini digunakan untuk mengukur peniliaian individu terhadap keberhargaan dan penerimaan dirinya secara umum yang terdiri dari 10 item. Individu dengan total skor yang tinggi memiliki tingkat self-esteem yang tinggi dan individu dengan total skor yang rendah memiliki tingkat self-esteem yang rendah pula
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
6.
Time perspective Time perspective adalah sikap pribadi yang sering kali tidak disadari dari masing-masing individu terhadap waktu dan proses dimana aliran kontinyu dari eksistensi terbagi ke dalam kategori waktu yang membantu memberikan perintah, koherensi, dan makna pada hidup kita (Zimbardo & Boyd, 2008). Time perspective dalam penelitian ini dilihat dari total skor dimensi orientasi masa kini dan total skor dimensi orientasi masa depan pada Zimbardo Time Perspective Inventory (ZTPI) – Short Form. Semakin besar total skor pada dimensi orientasi masa kini menunjukkan semakin besar pula sikap individu terhadap masa kini. Berlaku juga pada dimensi orientasi masa depan, semakin besar total skor pada dimensi orientasi masa depan menunjukkan semakin besar pula sikap individu terhadap masa depan.
7.
Paparan terhadap kekerasan Paparan terhadap kekerasan adalah kondisi dimana seseorang menjadi saksi perilaku kekerasan atau menjadi korban kekerasan (Singer, et al., 1995; Singer, et al., 1999 dalam Flannery, et al., 2007). Dalam penelitian ini, paparan terhadap kekerasan dilihat dari total skor yang diperoleh dari alat ukur KID-SAVE. KID-SAVE digunakan untuk mengukur frekuensi paparan terhadap yang dialami oleh anak pada satu tahun terakhir. Terdapat 34 item di dalam alat ukur ini yang berisikan peristiwa-peristiwa mengandung kekerasan yang mungkin anak saksikan, dengar, atau dialami secara langsung. Semakin besar total skor yang didapat menunjukkan semakin besar paparan terhadap kekerasan yang dialami oleh individu.
III.3. Partisipan Penelitian Karakteristik individu yang termasuk ke dalam sampel penelitian ini adalah seseorang yang memiliki usia yang termasuk ke dalam rentang usia remaja (11 hingga 20 tahun), memiliki jenis kelamin laki-laki, memiliki status tahanan kriminalitas berkekerasan di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Tanggerang atau merupakan siswa dari sekolah yang memilki nilai akreditasi B. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-random sampling, dimana teknik ini umum digunakan ketika jumlah populasi tidak diketahui (Kumar, 2005). Secara lebih spesifik, teknik accidental sampling digunakan untuk memilih sampel yang akan diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan pendekatan kelembagaan. Dari pengambilan sampel yang dilakukan,
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
didapat 274 sampel total dengan rincian data 88 partisipan dari kelompok lembaga pemasyarakatan dan 186 partisipan dari kelompok komunitas (sekolah akreditasi B). IV. Hasil Penelitian IV.1 Gambaran Umum Subjek Tabel 1. Gambaran Kasus Kriminalitas Remaja Lembaga Pemasyarakatan Jenis Kasus N % Kejahatan terhadap nyawa orang lain 21 21,4 Penganiayaan 25 25,5 Menyebabkan kematian atau luka karena kealpaan 1 1 Pencurian 27 27,6 Pemerasan dan pengancaman 4 4,1 Kejahatan terhadap kesusilaan 20 20,4 Total 98 100 Tabel di atas merupakan data gambaran keterlibatan kasus kriminalitas berkekerasan yang dialami oleh subjek yang berasal dari kelompok lembaga pemasyarakatan. Terlihat bahwa jumlah kasus yang terjadi lebih besar dibandingkan jumlah subjek, hal ini terjadi karena terdapat beberapa subjek yang ditahan karena terlibat dalam lebih dari satu kasus dan terjerat pasal berlapis. Sebagai contoh, salah satu subjek penelitian ini, berinisial LS, ia ditahan karena terlibat kasus pembunuhan, penganiayaan, dan pengeroyokan. Kasus kriminalitas berkekerasan yang paling banyak terjadi pada kelompok subjek lembaga pemasyarakatan adalah kasus pencurian (27,6%), dilanjutkan dengan kasus penganiayaan (25,5%), kejahatan terhadap nyawa orang lain atau pembunuhan (21,4%), dan kejahatan terhadap kesusilaan (20,4%). Kasus berupa pemerasan dan ancaman, serta kasus yang menyebabkan kematian atau luka karena kealpaan sedikit terjadi. Tabel 2. Gambaran Persebaran Skor Partisipan Sebaran Skor Lapas / M (SD) Komunitas / M (SD) Total / M (SD) Psychological 21,55 (6,007) 19,25 (6,028) 19,97 (6,105) distress Self-esteem 27,88 (3,322) 28,66 (2,956) 28,41 (3,091) Time perspective 26,42 (3,408) 26,18 (3,075) 26,26 (3,178) dimensi orientasi masa depan Time perspective 33,82 (4,880) 31,99 (3,507) 32,58 (4,082) dimensi orientasi masa kini Paparan terhadap 18,48 (7,452) 11,24 (5,004) 13,47 (6,742) kekerasan
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
Tabel di atas merupakan gambaran persebaran skor dari masing-masing variabel pada kedua kelompok subjek. Psychological distress memiliki skor rata-rata 19,97 dan standar deviasi sebesar 6,015. Self-esteem memiliki skor rata-rata 28,41 dan standar deviasi sebesar 3,091. Time perspective dimensi orientasi masa depan memiliki skor rata-rata 26,26 dan standar deviasi sebesar 3,178. Time perspective dimensi orientasi masa kini memiliki skor rata-rata 32,58 dan standar deviasi sebesar 4,082. Paparan terhadap kekerasan memiliki skor rata-rata 13,47 dan standar deviasi sebesar 6,742. Jika dilihat per kelompok subjek, rata-rata skor untuk seluruh variabel (kecuali self-esteem) di kelompok lembaga pemasyarakatan lebih besar dibandingkan rata-rata skor variabel di kelompok komunitas. Namun tidak ada berbedaan rata-rata skor yang signifikan pada kedua kelompok subjek. IV.2. Hasil Analisa Bivariate Logistic Reggression Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengatahui apakah faktor demografis, individual, dan lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan pada remaja laki-laki. Untuk mencapai tujuan tersebut, pertamatama peneliti melakukan analisa bivariate logistic regression untuk melihat hubungan dari masing-masing faktor terhadap perilaku kriminalitas berkekerasan sebagai dependent variable. Hal ini juga merupakan proses penyaringan tahap pertama untuk mencari faktorfaktor apa saya yang memiliki hubungan signifikan dan berpotensi memiliki kontribusi yang signifikan ketika semua faktor dianalisis secara bersamaan sebagai satu model. Pada tahap ini peneliti memilih variabel untuk dimasukkan ke dalam model yang akan dianalisa lebih lanjut dengan multivariate logistic regression. Berikut ini akan dipaparkan mengenai hasil analisis bivariate antara masing-masing variabel terhadap perilaku kriminalitas berkekerasan.
Variabel Usia
Tabel 3. Hasil Analisa Bivariate Regression B Exp(B) Sig. 0,844 0.430 0.000*
Pendidikan terakhir ayah Pendidikan terakhir ibu Psychological distress Self-esteem
-1.106
0,331
0,011*
-1,375
0,253
0.028*
0.61
0.941
0.005*
-0,082
1,086
0.056*
Present time perspective
0,115
0,891
0,001*
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
Keterangan Masuk ke dalam model Masuk ke dalam model Masuk ke dalam model Masuk ke dalam model Masuk ke dalam model Masuk ke dalam model
Paparan terhadap kekerasan Future time perspective *p<0,1
0,190
0,827
0,000*
0,024
0,976
0,566
Masuk ke dalam model Tidak masuk ke dalam model
Berdasarkan tabel diatas dapat terlihat bahwa terdapat tujuh variabel yang memiliki hubungan signifikan dengan perilaku kriminalitas berkekerasan (nilai p<0,1). Ketujuh variabel tersebut adalah usia, pendidikan terakhir ayah, pendidikan terakhir ibu, psychological distress, self-esteem, time perspective dimensi orientasi masa kini, dan paparan terhadap kekerasan. Ketujuh variabel ini memiliki potensi untuk menjadi prediktor kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan, sehingga untuk selanjutnya variabel-variabel ini akan dianalisis kembali dengan logistic regression sebagai satu model untuk dilihat pengaruhnya terhadap kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan. 4.2.2
Hasil Analisa Multivariate Logistic Regression Tabel 4. Hasil Analisa Multivariate Logistic Regression Variabel Usia Tingkat pendidikan ayah Paparan terhadap kekerasan Tingkat pendidikan ibu Psychological distress Self-esteem Present time perspective *p<0,05
Wald 30,990 6,169 31,504 0,238 0,292 2,985 0,002
B 1,173 -2,081 0,300 0,613 0,022 -0,140 0,003
Exp(B) 3,231 0,125 1,350 1,847 1,022 0,870 1,003
Sig. 0,000* 0,013* 0,000* 0,626 0,589 0,084 0,966
Model dengan tujuh independen variabel yang terdiri dari usia, pendidikan terakhir ayah, pendidikan terakhir ibu, psychological distress, self-esteem, time perspective dimensi masa kini, dan paparan terhadap kekerasan dapat menjelaskan variasi dari perilaku kekerasan sebesar 48,5% – 70,3%. Dari tujuh faktor yang dimasukkan ke dalam model, terdapat tiga variabel yang berkontribusi secara signifikan dalam memprediksi munculnya perilaku kriminalitas berkekerasan. Ketiga variabel tersebut adalah usia, pendidikan terakhir ayah, dan paparan terhadap kekerasan. Variabel pendidikan terakhir ayah memiliki kontribusi yang signifikan terhadap kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan. Pendidikan terakhir ayah memiliki p=0,013 dan nilai Wald sebesar 6,169. Variabel ini memiliki kontribusi yang paling besar dalam memprediksi kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan. Berdasarkan odd ratio atau
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
rasio probabilitas yang dapat dilihat pada kolom Exp(B), diketahui bahwa subjek yang memiliki ayah dengan pendidikan terakhir SMA atau lebih rendah memiliki kemungkinan memunculkan perilaku kriminalitas berkekerasan lebih besar 8 kali lipat dibandingkan dengan subjek yang memiliki ayah dengan pendidikan terahkir perguruan tinggi. Variabel usia berkontribusi secara signifikan dalam memprediksi perilaku kriminalitas berkekerasan. Usia memiliki p=0,000 dan nilai Wald sebesar 30,990. Variabel ini memiliki kontribusi yang berada di urutan kedua terbesar dalam memprediksi kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan. Berdasarkan odd ratio diketahui bahwa pada setiap pertambahan usia sebesar satu tahun, terdapat peningkatan pada kemungkinan munculnya perilaku kriminalitas berkekerasan sebesar 3 kali lipat dari usia sebelumnya. Variabel yang selanjutnya juga berkontribusi secara signifikan terhadap perilaku kriminalitas berkekerasan adalah paparan terhadap kekerasan. Paparan terhadap kekerasan memiliki p=0,000 dan nilai Wald sebesar 31,504. Berdasarkan nilai odd rasio yang dimiliki, setiap kenaikan satu skor dari paparan terhadap kekerasan, meningkatkan kemungkinain munculnya perilaku keriminalitas berkekerasan sebesar 1,5 kali lipat daripada skor sebelumnya. Di sisi lain, variabel pendidikan terakhir ibu, psychological distress, self-esteem, dan time perspective dimensi masa kini tidak memiliki kontribusi yang signifikan terhadap kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan. Menambahkan variabel-variabel tersebut ke dalam model ini tidak meningkatkan kekuatan set variabel dalam memprediksi kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan. Variabel-variabel tersebut hanya memiliki pengaruh yang signifikan ketika peneliti mengontrol semua variabel lain atau meniadakan pengaruh dari variabel lain selain variabel tersebut. V. Pembahasan Variabel pendidikan terakhir ayah merupakan prediktor yang memiliki kontribusi paling besar terhadap kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan. Subjek yang memiliki ayah dengan pendidikan terakhir SMA atau lebih rendah memiliki kemungkinan memunculkan perilaku kriminalitas berkekerasan lebih besar 8 kali lipat dibandingkan dengan subjek yang memiliki ayah dengan pendidikan terakhir perguruan tinggi. Hal ini mungkin disebabkan oleh besarnya pengaruh dari sosok ayah terhadap subjek yang merupakan remaja laki-laki. Remaja cenderung menghabiskan waktu yang lebih banyak dengan orang tua yang memilki jenis kelamin sama (Hosley & Montemayor, 1997). Dalam hal ini, subjek yang merupakan remaja laki-laki, menghabiskan waktu yang lebih banyak
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
bersama ayah dibandingkan dengan ibu, sehingga pengaruh dari ayah lebih besar terhadap remaja laki-laki. Secara tradisional, ayah memiliki peran sebagai sumber penghasilan bagi keluarga dan penentu kedisiplinan (Fieldman, 1990 dalam Hosley & Montemayor, 1997). Ayah yang memiliki pendidikan yang tinggi, lebih memiliki kesadaran dan lebih terlibat dalam pola asuh dan menerapkan disiplin pada anak. Pada masa remaja, ucapan dari pihak ayah umumnya lebih didengar oleh anak remaja dibandingkan ucapan dari ibu. Dengan adanya ayah yang mengajarkan anaknya untuk melakukan tidak kekerasan, maka akan semakin sedikit anak yang melakukan kekerasan. Prediktor yang memiliki kontribusi kedua terbesar pada kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan adalah usia. Berdasarkan odd ratio, diketahui bahwa setiap pertambahan usia sebesar satu tahun, kemungkinan munculnya perilaku kriminalitas berkekerasan meningkat sebesar 3 kali lipat dari usia sebelumnya. Usia remaja merupakan faktor risiko bagi perilaku kekerasan. Hal ini sejalan Seifert (2012) yang menyatakan bahwa jumlah kekerasan semakin meningkat pada kelompok usia yang lebih tinggi. Usia remaja mengalami perkembangan yang mendasar pada aspek fisik dan sosialnya (Seifert, 2012). Berbagai perkembangan yang dialami remaja dapat mengarahkan remaja menuju perilaku kekerasan. Remaja dapat tertarik untuk melakukan kekerasan sebagai cara untuk menegaskan independensi mereka dari dunia orang dewasa beserta aturan yang dimilikinya, sebagai cara untuk mendapatkan perhatian dan rasa hormat dari teman sebaya, sebagai cara mengkompensasi kompetensi diri yang terbatas, atau sebagai respon terhadap kesempatan terbatas untuk meraih kesuksesan di sekolah atau di masyarakat (Office of the Surgeon General, 2001). Variabel yang selanjutnya juga berkontribusi secara signifikan terhadap perilaku kriminalitas berkekerasan adalah paparan terhadap kekerasan. Berdasarkan nilai odd rasio yang dimiliki, setiap kenaikan satu skor dari paparan terhadap kekerasan, kemungkinan munculnya perilaku kriminalitas berkekerasan meningkat sebesar 1,5 kali lipat daripada skor sebelumnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hawkins, et al. (2000), bahwa paparan terhadap kekerasan merupakan salah satu prediktor bagi kemunculan perilaku kekerasan. Hal ini mungkin disebabkan adanya internalisasi mengenai perilaku kekerasan pada diri subjek. Rice & Dolgin (2008) mengungkapkan bahwa paparan terhadap kekerasan yang terjadi secara terus-menerus membuat kebanyakan remaja menjadi tidak sensitif terhadap kekerasan yang terjadi di sekeliling mereka, dan mereka akan mulai merasa bahwa kekerasan itu dibutuhkan dan diterima sebagai bagian dari kehidupan. Kekerasan yang
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
terjadi di lingkungan dianggap sebagai hal yang sudah biasa terjadi dan umum untuk dilakukan oleh remaja. Variabel pendidikan terakhir ibu, psychological distress, self-esteem, dan time perspective untuk dimensi orientasi masa depan maupun masa kini bukan merupakan faktor yang berpengaruh secara signifikan bagi perilaku kriminalitas berkekerasan. Kelima variabel ini tidak memberikan pengaruh yang besar bagi kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan. Hal ini dapat disebabkan oleh tidak adanya perbedaan yang signifikan di kelima variabel tersebut pada subjek dari kelompok lembaga pemasyarakatan dan komunitas. Remaja laki-laki di kelompok lembaga pemasyarakatan dan komunitas pada dasarnya memiliki karakteristik yang mirip dalam hal perkembangan, lingkungan, status sosial ekonomi, dan pendidikan. Latar belakang mereka yang mirip ini membuat mereka tidak jauh berbeda dalam hal pendidikan terakhir ibu, psychological distress, self-esteem, dan time perspective dimensi orientasi masa depan maupun masa kini yang mereka miliki. VI. Kesimpulan Dari hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi perilaku kekerasan, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil. Pertama, variabel usia, pendidikan terakhir ayah, dan paparan terhadap kekerasan merupakan variabel yang secara signifikan memengaruhi kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan pada remaja laki-laki. Kedua, variabel pendidikan terakhir ibu, psychological distress, self-esteem, dan time perpective dimensi orientasi masa depan maupun dimensi orientasi masa kini bukan merupakan faktor yang secara signifikan memengaruhi kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan pada remaja laki-laki. Ketiga, faktor demografis memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan pada remaja laki-laki, dibandingkan dengan faktor individual dan lingkungan. Keempat, faktor pendidikan terakhir ayah memiliki kontribusi yang paling besar dalam memprediksi kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan pada remaja laki-laki, dilanjutkan dengan variabel usia dan paparan terhadap kekerasan. VII. Saran VII.1. Saran Teoritis 1.
Saat pengambilan data dilakukan, sebaiknya dilengkapi dengan metode observasi dan wawancara untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan menyeluruh dari partisipan penelitian mengenai variabel yang diteliti.
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
2.
Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya perlu dilakukan eksplorasi terhadap faktorfaktor lain yang mungkin dapat berkontribusi terhadap kemunculan perilaku kekerasan seperti, gambaran lingkungan pertemanan individu, dukungan sosial, pola asuh, perilaku merokok, meminum alkohol, dan konsumsi narkoba.
VII.2. Saran Praktis 1.
Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan untuk mengembangkan program pencegahan munculnya perilaku kriminalitas berkekerasan dan menjadi acuan dalam melakukan penelitian pengembangan ke depannya.
2.
Program pencegahan sebaiknya dilakukan pada kelompok remaja di komunitas (remaja yang bersekolah di sekolah dengan nilai akreditasi B) karena mereka memiliki berbagai faktor risiko yang sama dengan remaja di lembaga pemasyarakatan, sehingga terdapat kemungkinan bagi mereka untuk memunculkan perilaku kriminalitas berkekerasan hingga ditahan di lembaga pemasyarakatan karenanya.
3.
Program pencegahan terkait perilaku kriminalitas berkekerasan sebaiknya dilakukan pada usia remaja awal untuk mencagah kemungkinan munculnya tindak kriminal berkekerasan pada usia lebih lanjut.
4.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan berpusat pada program untuk mengurangi dampak negatif dari paparan terhadap kekerasan.
5.
Dengan adanya pengaruh yang kuat dari pendidikan terakhir ayah terhadap kemunculan perilaku kriminalitas berkekerasan pada remaja laki-laki, psikoedukasi terhadap ayah dapat menjadi salah satu alternatif dalam pencegahan munculnya perilaku kriminalitas berkekerasan. Topik psikoedukasi yang dapat diberikan dapat mengenai penerapan disiplin pada anak, pola asuh, komunikasi dengan anak, dan terkait pencegahan kekerasan.
Kepustakaan Badan
Pusat
Statistik.
(2010).
Profil
Kriminalitas
Remaja
2010.
Diambil
dari
http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/flip_2011/4401003/index11.php?pub=Profil%20 Kriminalitas%20Remaja%202010. Bernat, D. H., Oakes, J. M., Pettingell, S. L., & Resnick, M. (2012). Risk and direct protective factors for youth violence: Results from the national longitudinal study of adolescent health. American Journal of Preventive Medicine, 43:2S1, S57–S66.
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
Farrington, D. P. (2007). Origins of violent behavior over the life span. Dalam Flannery, D. J., Fazsonyi, A. T., & Waldman, I. D. (Ed.). The cambridge handbook of violent behaviour and aggression. (hal 19-48). US: Cambridge University Press. Flannery, D. J., Singer, M. I, Van Dulmen, M., Kretscmar, J. M., & Belliston, L. M. (2007). Exposure to violence, mental health, and violent behavior. Dalam Flannery, D. J., Fazsonyi, A. T., & Waldman, I. D. (Ed.). The cambridge handbook of violent behaviour and aggression. (hal 306-321). US: Cambridge University Press. Flowers, A. L., Hastings, T. L. & Kelley, M. L. (2000). Development of a screening instrument for exposure to violence in children: the KID-SAVE. Journal of Psychopathology and Behavioral Assessment, 22:1, 91-104. Greene, P. L., Nurius, P. S., Herting, J. R., Hooven, C. L., Walsh, E. & Thompson, E. A. (2011). Multi-domain risk and protective factor predictors of violent behavior among at-risk
youth.
Journal
of
Youth
Studies,
14:4,
413-429.
DOI:
10.1080/13676261.2010.538044. Guindon, M. (2010). What is self-esteem? Dalam M. Guindon (ed.). Self-esteem across the lifespan: issues and intervention. (hal 3-24). New York: Routledge, Taylor and Francis Group Hawkins, J. D., Herrenkohl, T. I., Farrington, D. P., Brewer, D., Catalano, R. F., Harachi, T. W. & Cothern, L. (2000). Predictors of youth violence. US: US Departement of Justice. Hosley, C. A. & Montemayor, R. (1997). Fathers and adolescents. Dalam Lamb, M. E. (Ed.). The role of the father in child development (ed. 3). AS: John Woley & Sons. http://hukum.unsrat.ac.id/uu/kuhpidana.htm http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/uu3_1997.pdf Krug, E. G., Dahlberg, L. L., Mercy, J. A., Zwi, A. B. & Lozano, R. (2002). World report on violence and health. Geneva, Switzerland: World Health Organization. Diunduh dari http://whqlibdoc.who.int/publications/2002/9241545615_eng.pdf. Matsumoto, D. (ed.). (2009). The cambridge dictionary of psychology. New York: Cambridge University Press. Mirowsky, J & Ross, C. E. (2003). Social causes of psychological distress (ed. 2). USA: Walter de Gruyer. Office of the Surgeon General. (2001). Youth Violence: A Report of the Surgeon General. Rockville
(MD):
Office
of
the
Surgeon
General.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK44294/.
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
Diambil
dari:
Pillai, A., Andrews, T., & Patel, V. (2009). Violence, psychological distress and the risk of suicidal behaviour in young people in india. International Journal of Epidemiology, 38, 459–469. DOI: 10.1093/ije/dyn166 Rice, F. P. & Dolgin, K. G. (2008). The adolescent development, relationship, and culture. Boston: Pearson Education. Seifert, K. (2012). Youth violence: theory prevention, and intervention. New York: Springer Publishing. Weaver, T. L. & Clum, G. A. (1995). Psychological distress associated with interpersonal violence: a meta analysis. Clinical Psychology Review, 15:2, 115-140. World Health Organization. (2008). Preventing violence and reducing its impact: How development agencies can help. Perancis: World Health Organization. Diambil dari whqlibdoc.who.int/publications/2008/9789241596589_eng.pdf. Zimbardo, P. & Boyd, J. (2008). The time paradox: understanding and using the revolutionary new science of time. New York: Free Press, A Division of Simon & Schuster. Zimbardo, P. G., Keough, K. A., & Boyd, J. N. (1997). Present time perspective as a predictor of risky driving. Personality and Individual Differences, 23: 6, 1007-1023. Diambil dari: http://www.timeperspective.com/Articles/PresentTPRiskyDriving.pdf Zimbardo, P. G., Keough, K. A., & Boyd, J. N. (1999). Who’ s smoking, drinking, and using drugs? Time perspective as a predictor of substance use. Basic and Applied Social Psychology,
21:2,
149-164.
Diambil
http://www.timeperspective.com/Articles/1999WhosSmoking.pdf.
Pengaruh faktor..., Maria Armalita Surti Nurachman
dari: