SEMINAR NASIONAL PSIKOLOGI POSITIF UNIKA WIDYA MANDALA 2015 Embracing A New Wy of Life : Promoting Positive Psychology for Better Mental Health
Studi Eksplorasi Rasa Marah Pada Remaja Korban Perceraian Orangtua Pretty Marsella1, Naomi Soetikno2, Samsunuwiyati Marat3*
Pretty Marsella, Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta Naomi Soetikno, Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta Samsunuwiyati Mar`at, Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta
[email protected]
ABSTRAK Setiap anak menampilkan respon yang berbeda-beda dalam menyikapi perceraian orangtua. Rasa marah, takut, cemas akan perpisahan, sedih dan malu merupakan reaksi-reaksi yang muncul pada kebanyakan anak, terutama jika anak tersebut sedang mengalami masa peralihan dalam perkembangan fisik maupun sosial psikologis atau yang lebih dikenal dengan masa remaja. Dalam penelitian ini ingin diketahui gambaran rasa marah dari remaja korban perceraian orangtua. Penelitian ini menggunakan acuan state-trait theory of anger dari Spielberger yang mendalilkan dua tipe emosi marah, yaitu state anger dan trait anger. Metode pendekatan deskriptif digunakan pada 3 orang subyek partisipan yang berada pada tahap usia remaja awal (usia 11-14 tahun) dengan lama perceraian orangtua yakni tidak lebih dari 3 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja korban perceraian orangtua menampilkan emosi marah terhadap perceraian orangtuanya. Faktor trait kepribadian juga turut memengaruhi sehingga individu menjadi lebih sering marah. Kemudian situasi keluarga yang bercerai membuat kemarahan menjadi lebih kuat (state), bertahan lama dan semakin berkembang. Emosi marah yang ditampilkan ketiga subyek beragam, namun mereka cenderung menampilkan emosi marah secara terbuka terhadap orang-orang di sekitarnya. Mereka hanya dapat menekan rasa marah pada pihak otoritas yang lebih dominan darinya, seperti pada sosok ayah dan guru sekolah. Walau demikian dua dari tiga partisipan dapat menampilkan rasa marah pada pihak sosok ibunya. Keyword: Perceraian Orangtua, Rasa Marah, Remaja
PENDAHULUAN Tingkat perceraian di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang diterima dari Kementrian Agama (Kemenag) pada pendataan terakhir yakni 2013, jumlah peristiwa perceraian meningkat menjadi 14,6 persen atau sebanyak 324.527 peristiwa (“Tingkat Perceraian Indonesia Meningkat Setiap Tahun”, 2014). Selain itu menurut data yang dikutip dari Lembaga Bantuan Hukum APIK pada tahun 2012, tingginya angka perceraian setiap tahunnya di Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat angka perceraian tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Bahkan tidak hanya di tingkat Asia Tenggara, tetapi angka perceraian di Indonesia tertinggi di kawasan Asia Pasifik (“Angka Perceraian di Indonesia Tertinggi Se-Asia Pasifik”, 2015). Perceraian memengaruhi anak-anak dengan cara yang berbeda-beda. Perceraian orangtua juga memberikan pengaruh negatif pada anak dalam berbagai aspek dan masalah perilaku yang muncul pada anak, merupakan tanda bahwa anak mengalami masalah dalam menyesuaikan diri (Landucci, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan oleh McDermot (dalam Stevenson & Black, 1995) mengungkapkan bahwa banyak anak yang secara klinis dinyatakan mengalami depresi seiring dengan perceraian orang tua mereka. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Amato (2000 dalam Amato & Cheadle, 2008) menunjukkan bahwa anak dengan orangtua yang bercerai meningkatkan risiko berbagai masalah, seperti conduct disorders, gangguan emosional, kesulitan dalam menjalin hubungan sosial dan kegagalan akademis. Smith (1999 dalam Landucci, 2008) menemukan bahwa anak-anak menampilkan respon yang berbeda-beda terhadap perceraian orangtua, respon tersebut bergantung pada usia anak. Anak-anak di usia sekolah, dari usia 6 hingga 8 tahun mungkin bersedih terhadap perubahan di keluarga mereka dan merindukan kehadiran orangtua yang pergi. Sedangkan anak di usia 9 hingga 12 tahun sudah dapat memahami dan menjaga perasaannya, namun kemarahan merupakan emosi yang paling kuat ditampilkan oleh anak di usia ini (Landucci, 2008). Demikan pula menurut Mclntosh, Burke, Dour, dan Gridley (2009 dalam Banne & Afiatin, 2014) pada anak yang telah memasuki masa remaja, anak telah memahami perceraian yang terjadi pada orangtua. Remaja akan merasakan sakit hati dan menyimpan kemarahan atas perceraian orangtua. Mereka menghadapi dan menyembunyikan perasaan mereka dari orang lain, namun banyak juga dari mereka yang menunjukkan kemarahan secara terbuka. Kemarahan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh perkembangan emosi saat remaja. Sifat emosional remaja yang masih dalam proses menuju stabil memungkinkan remaja untuk mengalami pertentangan pendapat dengan orang lain, sehingga dapat menyebabkan permasalahan yang cukup berarti bagi remaja tersebut (Mappiare, 1992 dalam Sari, 2015). Seperti yang terjadi pada kasus ketiga subyek remaja laki-laki, yaitu KR, JR dan SV. Ketiga remaja tersebut memiliki masalah dalam pengelolaan kemarahan dan hal ini seringkali dikeluhkan oleh guru-guru di sekolahnya. KR dan SV merupakan remaja berusia 12 tahun dan JR berusia 11
tahun. Ketiga subyek merupakan remaja dengan latar belakang orangtua yang bercerai dan mengalami rasa marah yang meledak-ledak sejak perceraian orangtuanya. Emosi KR, SV dan JR yang sulit untuk dikontrol membuat teman-teman di sekolahnya menjadi tidak nyaman bersama dengannya. Mereka sering beradu mulut dan bertengkar dengan teman-temannya. Pertengkaran tersebut akhirnya selalu berakhir dengan teman-temannya yang mengalah atau menangis. Berdasarkan kasus diatas, maka dapat diungkapkan secara simpulan bahwa suatu perceraian memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan kelangsungan hidup pasangan suami istri terlebih lagi anak-anak. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui bagaimanakah gambaran kemarahan remaja yang menjadi korban perceraian orangtuanya.
LANDASAN TEORI Teori Anger Marah (anger) menurut Modi & Thingujam (2007) didefinisikan sebagai suatu emosi yang kuat ditandai dengan perasaan yang tidak menyenangkan, yang dipicu oleh kejadian nyata atau karena membayangkan suatu kejadian yang keliru. Marah juga muncul dalam kegagalan suatu peristiwa, saat tertolak atau diserang, marah dapat membuat kita menjadi agresif dan memberontak (Foumany & Salehi, 2013). State-trait theory of anger dari Spielberger mendalilkan dua tipe emosi marah yaitu, state anger dan trait anger. State anger muncul dari beberapa situasi dan tingkat keparahan yang beragam, bergantung pada tingkat serangan, ketidak-adilan, atau tingkat frustasi yang diterima individu (Arslan, 2010). Rasa marah pada kondisi sementara yang bersifat universal, terdiri dari perasaan subyektif dari rasa marah yang bervariasi dalam intensitas dan durasi, yang kemudian menghasilkan pengaktifan fisiologis yang meningkat sepanjang intensitas rasa marah subyektif. Trait anger didalilkan sebagai tipe kepribadian yang bertahan memengaruhi seorang individu menjadi lebih sering mengalami peristiwa marah daripada individu yang memiliki trait anger yang rendah. Spielberger, Jacobs, Russell, dan Crane (dalam Quinn, Vrana, & Rollock, 2014) juga mengusulkan bahwa individu dengan trait anger yang tinggi cenderung untuk mengalami lingkungan pemicu kemarahan yang sama dengan lebih kuat, bertahan lama, dan membangkitkan state anger dibandingkan dengan individu dengan trait anger yang rendah. Menurut Spielberger et al. (1985 dalam Arslan, 2010) perasaan marah bervariasi berdasarkan cara pengekspresiannya. Individu mengekspresikan kemarahan dengan tiga cara, yaitu anger-in, anger-out, dan anger control. Anger-in adalah tingkat dimana seseorang secara mental merenungkan atau merasa marah tanpa mengekspresikannya secara terbuka. Sedangkan
anger-out
berfokus bagaimana
seseorang secara terbuka dapat mengekspresikan kemarahannya pada orang lain atau terhadap lingkungannya. Beberapa orang mengekspresikan rasa marah dengan mengeluarkannya, baik dengan tindakan secara fisik dengan menggigit dan menyakiti obyek atau secara verbal dengan mengancam
secara verbal, mengritik, atau menghina. Selanjutnya anger control berfokus bagaimana seseorang dapat dan mampu mengontrol kemarahan mereka (Arslan, 2010). Selain itu menurut Faupel, Herrick, dan Sharp (2011), ketika berhadapan dengan rasa marah, maka tiap individu akan mengekspresikannya dengan berbagai cara. Marah merupakan reaksi emosi yang wajar apabila mampu diekspresikan dengan cara yang efektif atau disebut juga dengan normal anger. Ketika rasa marah diekspresikan secara efektif, hal ini memberikan kesempatan bagi individu untuk belajar bagaimana menyelesaikan masalah dengan cara yang adaptif. Terdapat juga pengekspresian rasa marah dengan cara yang tidak efektif, atau disebut juga dengan problem anger. Rasa marah yang diekspresikan secara kurang efektif muncul dari kurangnya kontrol rasional dan dapat mengakibatkan terbentuknya hubungan yang kurang baik antar personal serta efek psikologis negatif lainnya. Emosi yang sangat kuat terutama ketika merasa kebutuhannya tidak terpenuhi, dapat diekspresikan secara destruktif (Faupel, Herrick, dan Sharp, 2011).
Teori Perceraian Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suamiistri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Mereka yang telah bercerai tetapi belum memiliki anak, maka perpisahan tidak menimbulkan dampak traumatis psikologis bagi anak-anak, namun mereka yang telah memiliki keturunan, tentu saja perceraian menimbulkan masalah psiko-emosional bagi anak-anak (Amato, 2000). Beberapa perubahan dapat terlihat pada waktu perceraian, seperti perpindahan tempat, hilangnya hubungan dengan orangtua, terlibatnya konflik antara keluarga, dan kemungkinan kesulitan secara finansial. Perubahan ini dapat memengaruhi seseorang pada waktu dan cara yang berbeda, serta pada proses yang berbeda (Nelson, 2009). Perceraian dapat mengubah pola attachment dan membuat anak memiliki perasaan marah, benci, dan bingung. Ini adalah salah satu pengaruh yang kuat terhadap remaja setelah perceraian orangtuanya. Sulit bagi remaja untuk dapat memahami proses tersebut, ketika mereka juga sedang mencoba untuk mengembangkan siapakah identitas diri mereka. Struktur keluarga memerankan peranan penting dalam membantu remaja untuk mengatur dan memahami perubahan pada hidup dan diri mereka (Nelson, 2009). Dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga yang tidak bercerai, mereka yang orangtuanya bercerai menunjukkan tingkat agresi emosional dan instrumental baik secara fisik maupun verbal, bahkan setelah setahun perpisahan (Berkowitz, 1993 dalam Fatyasari, 2012). Begitupula penelitian yang dilakukan oleh Amato dan Keith pada tahun 1991, hasil dari 93 penelitian yang melibatkan 13.000 anak dari preschool hingga masa dewasa muda menunjukkan bahwa keseluruhan hasil mengindikasikan bahwa keadaan anak dari keluarga bercerai lebih buruk daripada anak yang tinggal di keluarga utuh. Anak-anak ini lebih mengalami kesulitan di sekolah, masalah perilaku, konsep diri
yang buruk, mengalami masalah dengan teman-teman sebaya dan orangtua (Amato, 2001 dalam Hughes, 2005). Selain itu anak yang memiliki orangtua bercerai juga memiliki risiko yang tinggi terhadap berbagai masalah, seperti conduct disorders, gangguan emosional, dan kesulitan dalam hubungan sosial serta kegagalan akademis (Amato & Cheadle, 2008).
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu untuk mendapatkan gambaran mengenai fenomena yang terjadi berupa gambaran rasa marah remaja yang menjadi korban perceraian orangtua. Jika dikaitkan dengan pengambilan arti yang komprehensif, penelitian ini menggunakan strategi penelitian fenomenologis dan fokus penelitian yaitu mengetahui gambaran rasa marah dari remaja korban perceraian orangtua.
Partisipan Penelitian Partisipan dalam penelitian ini adalah 3 orang remaja laki-laki, yang masuk dalam kategori early adolescence yakni berusia 11-14 tahun (Rice & Dolgin, 2008). Ketiga subyek berasal dari latar belakang keluarga dengan orangtua yang bercerai dan mengalami kesulitan dalam pengelolaan rasa marah sebagai akibat perceraian dari kedua orangtuanya. Perceraian orangtua sudah terjadi tidak lebih dari 3 tahun. Kemarahan yang dialami subyek muncul dalam bentuk seperti berteriak, berkatakata kasar pada guru atau teman-teman sebaya dengan frekuensi yang sering/hampir setiap hari. Kemarahan juga muncul pada lebih dari satu tempat, seperti di rumah dan sekolah. Karakteristik lainnya adalah subyek berdomisili di Jakarta. Peneliti tidak membatasi subyek berdasarkan agama dan status sosial ekonomi keluarga.
Teknik Pengambilan Sampel Peneliti menggunakan purposive sampling dalam menentukan subyek penelitian. Sampling ini digunakan karena penulis ingin memahami dengan jelas sampel dan memiliki tujuan yang spesifik. Penulis juga memiliki satu atau lebih standar yang dicari.
Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh informasi yang lengkap dalam penelitian ini, maka teknik utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi secara verbal melalui pendekatan individual termasuk guru sekolah dan keluarga (adik/kakak dan keluarga inti lain yang juga terkena dampak). Disamping itu, data lain yang dianggap perlu sebagai data pendukung dilakukan melalui observasi.
HASIL PENELITIAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa 2 orang subyek, yaitu KR dan JR memiliki trait anger yang tinggi. Trait anger tersebut dipelajari melalui proses modeling dari ayahnya yang juga memiliki trait anger yang tinggi. Ayah dari subyek KR dan JR memiliki trait anger yang tinggi dan seringkali menampilkan kemarahannya pada keluarga dengan berteriak, berkata-kata kasar dan memukul anak serta istrinya. Hal tersebut dipelajari oleh KR dan JR sehingga mereka meniru dan menampilkan rasa marah di sekolah serta di rumah. Sedangkan subyek ketiga, yaitu SV cenderung memiliki trait anger yang rendah. Walau demikian perceraian orangtua memengaruhi state anger ketiga subyek. Sejak perceraian orangtua ketiga subyek, KR, JR, dan SV menampilkan rasa marah yang semakin tinggi. Rasa marah yang dialami oleh ketiga subyek tampil dengan intensitas yang bertambah dan durasi yang panjang, dibandingkan sebelum ketiga orangtua subyek bercerai. Dalam mengekspresikan kemarahannya, ketiga subyek seringkali menggunakan anger-out, yaitu mengekspresikan rasa marahnya secara terbuka. Subyek KR mengakui bahwa dirinya sangat emosional dan seringkali mengekspresikan rasa marah dengan berteriak, mengucapkan kata-kata kasar dan terlibat perkelahian fisik dengan teman-temannya. Anger out yang diekspresikan oleh KR seringkali ditujukan kepada teman-teman sekolah, guru kelas, serta adik kandungnya. Pada subyek JR, ia mengekspresikan rasa marahnya dengan membentak, konfrontasi terhadap guru-guru, dan memprovokasi teman-temannya untuk membantah perintah yang diberikan oleh gurunya. Subyek JR juga menampilkan rasa marahnya terhadap teman sekolahnya dengan menjambak rambut teman yang berselisih dengannya. Selanjutnya pada subyek SV, ia menampilkan rasa marah dengan berteriak, mencekik leher teman yang mengusiknya dan berkelahi dengan temannya. Walau demikian anger out yang ditampilkan oleh SV hanya muncul jika SV merasa terganggu atau diusik oleh temannya. Walau ketiga subyek cenderung mengungkapkan rasa marah dengan anger out, namun ketiga subyek juga menampilkan anger in pada beberapa situasi yang berbeda. Subyek KR menampilkan anger in saat bersama dengan ayah, kepala sekolah dan kakak kandungnya yang paling besar, KR cenderung memendam rasa marahnya karena KR merasa tidak berani melawan sosok yang dianggap lebih superior darinya. Subyek JR menampilkan anger in saat bersama dengan ayah dan gurunya, namun JR memendam amarahnya hanya dengan beberapa guru yang ditakutinya, yaitu kepala sekolah dan wali kelasnya. Kemudian pada subyek SV, ia menampilkan anger in jika ia ditegur oleh guru dan orangtuanya. Anger in yang ditampilkan oleh SV adalah dengan memukul kepala serta menampar pipinya sendiri sambil mengatakan bahwa dirinya adalah anak yang bodoh dan tidak berguna, serta SV merasa bahwa tidak ada orang yang menyayangi dirinya. Ketiga subyek, yaitu KR, JR, dan SV mengalami kesulitan dalam melakukan anger control, yaitu mereka kurang mampu mengontrol rasa marah mereka.
DISKUSI Kebahagiaan keluarga dapat berubah ketika konflik mulai terjadi dalam suatu keluarga. Konflik antar orangtua dapat berujung pada pengambilan keputusan untuk melakukan perceraian. Perceraian akan membawa perubahan dalam kehidupan keluarga, perubahan komposisi keluarga, hubungan antar anggota keluarga, dan terutama akan membawa perubahan dalam kehidupan anak hasil pernikahan tersebut. Anak akan menampilkan reaksi emosi dan perilaku karena salah satu orangtua meninggalkan rumah dan hanya menerima asuhan dari orangtua tunggal. Anak akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda-beda dalam merespon perceraian orangtuanya, seperti merasa malu, sedih, marah, dan takut kehilangan kasih sayang orangtua. Khususnya pada remaja awal, yang dimana anak sedang mengalami masa peralihan dalam perkembangan fisik maupun sosial psikologis. Fluktuasi emosi pada masa remaja awal terkait dengan perubahan hormon selama periode ini, sehingga remaja memiliki emosi yang cenderung ekstrim sesaat dibandingkan dengan orang dewasa (Sari, 2015). Faktor internal (yaitu perubahan fisik dan hormonal) dan faktor eksternal (yaitu konflik pada orangtua hingga mengakibatkan perceraian orangtua) yang saling berhubungan, turut memberi pengaruh yang kuat terhadap emosi remaja dalam menanggapi perceraian orangtua. Oleh karena itu pada kelompok anak di usia ini, mereka cenderung menampilkan kemarahan sebagai emosi yang paling kuat Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa dua dari tiga partisipan penelitian, yaitu KR dan JR dapat menampilkan anger-in pada saat bersama dengan ayah kandungnya, sedangkan mereka berani mengungkapkan rasa marahnya dengan anger-out saat bersama dengan sosok ibu kandungnya. Hal ini dapat disebabkan oleh penilaian subyek penelitian terhadap sosok ayah yang dinilai lebih berkuasa dan memiliki otoritas yang lebih tinggi di dalam keluarga. Sebaliknya sosok ibu dinilai cenderung lebih lemah dan kurang memiliki otoritas di keluarga, sehingga KR dan JR lebih berani menampilkan kemarahannya secara ekspresif.
KESIMPULAN DAN SARAN State-trait theory of anger dari Spielberger mendalilkan dua tipe emosi marah yaitu, state anger dan trait anger (Arslan, 2010). Dari ketiga subyek remaja laki-laki, yaitu KR, JR, dan SV mereka memiliki latar belakang orangtua yang bercerai dan mengalami rasa marah yang meledak-ledak sejak perceraian orangtuanya. Dua subyek KR dan JR memiliki trait anger yang tinggi yang dipelajari melalui proses modeling dari ayahnya. Sedangkan SV merupakan remaja yang memiliki trait anger yang cenderung rendah. Kemudian perceraian orangtua memengaruhi state anger ketiga subyek dan sejak perceraian orangtua ketiga subyek, KR, JR, dan SV menampilkan rasa marah yang semakin tinggi dibandingkan sebelum ketiga orangtua subyek bercerai. Berdasarkan cara pengekspresian perasaan marah, individu mengekspresikan kemarahan dengan tiga cara, yaitu anger-in, anger-out, dan anger control (Arslan, 2010). Ketiga subyek menampilkan
anger-out dengan
mengekspresikan rasa marahnya pada lingkungan di sekitarnya, seperti
membentak, berteriak pada teman-teman, mengkonfrontasi guru, dan melakukan perkelahian secara fisik. Kemudian pada subyek KR dan JR, mereka menampilkan anger in hanya pada beberapa sosok otoritas yang diseganinya, mereka dapat menahan rasa marah mereka hanya pada sosok ayah, kepala sekolah, dan wali kelas yang mereka anggap lebih superior darinya. Pada subyek SV, ia menampilkan anger in dengan cara yang berbeda, rasa marah yang dipendamnya saat ia sedang ditegur oleh guru dan orangtuanya membuat ia melampiaskan rasa marah dengan menyerang dirinya sendiri. Subyek SV menampar dan memukul dirinya sendiri, serta mengatakan bahwa dirinya tidak berguna dan tidak ada orang yang menyayangi dirinya lagi. Pada ketiga subyek, KR, JR, dan SV memiliki kesamaan yaitu mereka mengalami kesulitan dalam mengontrol rasa marah yang dialaminya. Selanjutnya berkaitan dengan penelitian ini, saran yang dapat diberikan adalah : 1. Perlunya diperhatikan latar belakang perceraian yang berbeda-beda termasuk latar belakang konflik yang dialami subyek sebelum proses perceraian orangtua dan gaya pola asuh yang diterapkan oleh orangtua pasca perceraian. 2. Peneliti sebaiknya lebih mampu menggali penghayatan rasa marah subyek terhadap perceraian, penghayatan rasa sakit dan kekecewaan terhadap perceraian orangtua agar dapat lebih memahami bagaimana proses terciptanya rasa marah tersebut. 3. Peneliti lebih lagi meningkatkan kemampuan membina rapport dan wawancara mendalam agar lebih dapat menghayati penghayatan subyek. 4. Intervensi terhadap remaja yang mengalami kemarahan akibat perceraian orangtua nampak cukup menarik untuk diteliti pada penelitian selanjutnya, kemudian disertakan dengan pembuatan rancangan program intervensi agar para remaja dapat diberikan psikoedukasi untuk mengelola rasa marahnya.
DAFTAR PUSTAKA Amato, P. R. (2000). The consequences of divorce for adults and children. Journal of Marriage and the Family, 62(4), 1269-1287. Amato P. R. & Cheadle, J. E. (2008). Parental divorce, marital conflict and children’s behavior problems: A comparison of adopted and biological children. Social Forces, 86(3), 1139-1161. Angka Perceraian di Indonesia Tertinggi Se-Asia Pasifik. (2015). Diakses 19 Juli 2015, dari http://ciricara.com/2015/02/05/angka-perceraian-di-indonesia-tertinggi-se-asia-pasifik/ Arslan, C. (2010). An investigation of anger and anger expression in terms of coping with stress and interpersonal problem-solving. Educational Sciences: Theory & Practice, 10(1), 25-43. Banne, O. & Afiatin, T. (2014). Resiliensi remaja yang memiliki orangtua bercerai. Jurnal tidak diterbitkan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Dariyo, A. (2004). Memahami psikologi perceraian dalam kehidupan keluarga. Jurnal Psikologi, 2(2), 94-100. Fatyasari, Y. (2012). Peran art therapy dalam mengurangi agresi middle childhood pasca perceraian orangtua. Tesis Tidak Diterbitkan. Magister Psikologi, Universitas Tarumanagara, Jakarta. Faupel, A., Herrick, E., & Sharp, P. (2011). Anger management: Apractical guide (2nd ed.). Oxon: Routledge. Foumany, G. H. E. & Salehi, J. (2013). The effects of anger management skills training on aggression, social sdjustment, and mental health of college students. Journal of Education and Management Studies, 3(4), 266-270. Hughes, R. (2005). The effects of divorce on children. Artikel Tidak Diterbitkan, University of Illinois, Urbana. Landucci, N. M. (2008). The impact of divorce on children: What school counselors need to know. Artikel penelitian tidak diterbitkan, Magister of Science in Guidance and Counseling, University of Wisconsin-Stout, Menomonic. Modi, D. & Thingujam, N. S. (2007). Role of anger and irrational thinking on minor physical health problems among married couples. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, 33(1), 119-128. Nelson, L. (2009). A review of literature on the impact of parental divorce on relationships in adolescents. Tesis Tidak Diterbitkan, University of Wisconsin-Stout, Menomonie. Quinn, C. A., Vrana, S. R., & Rolock, D. (2014). A test of spielberger’s state-trait theory of anger with adolescents: Five hypotheses. Emotion, 14(1), 74-84. Sari, H. S. (2015). Studi mengenai penerapan Cognitive Behavior Therapy (CBT) terhadap pengelolaan rasa marah pada anak didik lapas (ANDIKPAS). Jurnal tidak diterbitkan, Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran, Jatinangor. Stevenson, M. R & Black, K. N. (1995). How divorce affect offspring: A research approach. USA: Brown & Benchmark, Inc Tingkat Perceraian Indonesia Meningkat Setiap Tahun. (2014). Diakses 19 Juli 2015, dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-perceraian-indonesiameningkat-setiap-tahun-ini-datanya