Faktor Protektif untuk Mencapai Resiliensi pada Remaja Setelah Perceraian Orangtua Nadia Refilia Dewi Wiwin Hendriani
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Abstract. This study aimed to determine the protective factors to reach resilience in adolescents after parental divorce. The focus of research is how the image of protective factors can help adolescents to reach resilient condition after parental divorce. Protective factors is a factor that may increase the probability of child becoming resilient and positive transition in the adjustment and can reduce maladaptive behaviors and negative behaviors (Chen & George, 2005).Theoretical framework in this study using a protective factor belonging to McCarthy (2009) which refers to the resiliency model of Richardson (2002). Research of McCarthy (2009) result in 3 components of protective factors, namely the factors developmental, family, and community. This study used a qualitative research type intrinsic case study with thematic analysis theory driven.The study involved 4 participants consisting of 2 boys and 2 girls with a background of divorced parents and 4 significant others. Subjects I was a student (19 years), subject II is an art workers (23 years), subject III is an employee (22 years), and subject IV is an employee (21 years). These four subjects were classified as having a very high resilience measurement tool based norms CDRISC 25 and have a different process to be resilient.The result of this study indicate that each subject in this study reached a resilient condition with protective factors that help the subject to reach resilient with different conditions. Components in protective factors interact to help the subject reach resilient condition. Based on the research results, subject II, III, and IV led to the three components of the protective factor in helping him/her become resilient, while on the subject I only bring up two of the three components of protective factors Keywords: Protective factors; Resilience; Adolescents; Parental divorce Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor protektif untuk mencapai resiliensi pada remaja setelah perceraian orangtua. Fokus penelitian adalah bagaimana gambaran faktor protektif yang dapat membantu remaja mencapai kondisi resilien setelah perceraian orangtua. Faktor protektif merupakan faktor yang dapat meningkatkan probabilitas anak mencapai resiliensi dan transisi positif dalam penyesuaian diri serta dapat menurunkan perilaku maladaptif dan perilaku negatif (Chen & George, 2005). Kerangka teori dalam penelitian ini menggunakan faktor protektif milik McCarthy (2009) yang mengacu pada model resiliensi Richardson (2002). Penelitian McCarthy (2009) menghasilkan 3 komponen faktor protektif, yakni faktor perkembangan, keluarga, dan komunitas. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif studi kasus intrinsik dengan analisis tematik theory driven.Penelitian ini melibatkan 4 orang partisipan yang terdiri dari 2 orang remaja laki-laki dan 2 orang remaja perempuan dengan latar belakang orangtua yang Korespondensi: Nadia Refilia Dewi email:
[email protected] Wiwin Hendriani emal:
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Jl Airlangga 4-6 Surabaya 60286 Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vol. 03 No. 03, Desember 2014
37
Faktor Protektif untuk Mencapai Resiliensi pada Remaja Setelah Perceraian Orangtua
bercerai dan 4 orang significant other. Subjek I merupakan seorang mahasiswa (19 tahun), subjek II merupakan pekerja seni (23 tahun), subjek III merupakan karyawati (22 tahun) dan subjek 4 merupakan karyawati (21 tahun). Keempat subjek digolongkan memiliki resiliensi sangat tinggi berdasarkan norma alat ukur CD-RISC 25 dan memiliki proses untuk menjadi resilien yang berbeda-beda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap subjek dalam penelitian ini berhasil mencapai kondisi resilien dengan faktor protektif yang membantu subjek mencapai kondisi resilien yang berbeda pula. Komponen dalam faktor protektif saling berinteraksi untuk membantu subjek mencapai kondisi resilien. Berdasarkan hasil penelitian, Subjek II, III, dan IV memunculkan ketiga komponen faktor protektif dalam membantunya menjadi resilien, sementara pada subjek I hanya memunculkan dua dari tiga komponen faktor protektif. Kata kunci: Faktor protektif; Resiliensi; Remaja; Perceraian orangtua
PENDAHULUAN Membangun hubungan pernikahan yang baik tidaklah selalu berjalan mulus. Setiap keluarga tidak pernah luput dari persoalan, meskipun pada awalnya hanya berupa persoalan yang kecil, namun akhirnya berkembang menjadi persoalan besar yang dapat berakibat terganggunya keseimbangan dan membahayakan kehidupan keluarga (Gunarsa & Gunarsa, 2011). Perbedaan pendapat dan prinsip, permasalahan ekonomi, perselingkuhan, dan persoalan apapun dapat menjadi kerikil tajam yang menguji kesatuan pasangan dalam keluarga. Ada kalanya berbagai persoalan yang muncul di dalam keluarga dapat diselesaikan dengan cara berkomunikasi dengan pasangan, namun seringkali masalah-masalah yang kompleks sulit untuk diselesaikan sehingga dapat menimbulkan konflik berkepanjangan. Tak jarang perselisihan-perselisihan dan pertengkaran-pertengkaran di antara pasangan ini dapat berujung pada perceraian (Gunarsa & Gunarsa, 2011). Perceraian dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami istri dan kesepakatan diantara mereka untuk tidak menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai suami-istri (Dariyo, 2013). Perceraian merupakan suatu keputusan akhir dari pernikahan yang menghantui setiap pasangan yang dilanda problematika rumah tangga. Holmes & Rahe (2005) mengatakan bahwa seringkali, perceraian juga diartikan sebagai kegagalan yang dialami suatu keluarga (Prihatinningsih, 2011). Fenomena perceraian ini juga terjadi di Indonesia. Indonesia telah tercatat sebagai negara dengan tingkat perceraian tertinggi di Asia (Unjianto, 38
2013). Kasus perceraian di Indonesia setiap tahunnya mencapai 200.000 kasus, dimana secara konkritnya telah disebutkan oleh Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama di Mahkamah Agung, yang mencatat pada tahun 2011, angka perceraian di Indonesia mencapai 272.794 kasus (Unjianto, 2013). Perceraian selalu memiliki dampak yang mendalam bagi setiap elemen dalam keluarga, termasuk anak-anak mereka. Ketika anak berusia remaja, maka dinamika psikologis yang dirasakan tentu berbeda dengan usia yang lain. Hal ini disebabkan karena pada usia remaja individu sudah mulai memahami seluk-beluk arti perceraian dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, termasuk permasalahan ekonomi, sosial, dan faktor-faktor lainnya (Dagun, 1990). Pemahaman ini dapat membuat remaja semakin merasakan dampak perceraian pada kehidupan yang ia jalani. Fase remaja juga merupakan fase pertumbuhan yang cukup rentan, sebab ciri khas dari fase ini adalah pencarian identitas. Erikson (Santrock, 2003) mengkategorikan remaja masuk dalam tugas dan krisis perkembangan pada tahap identitas versus kekacauan identitas (identity versus identity confusion). Peran orangtua dibutuhkan dalam tahap perkembangan ini sebagai sandaran remaja selama ia masih mencari jati dirinya. Namun, orangtua yang bercerai menyebabkan remaja mengalami kebingungan dan merasa sendiri, sehingga remaja rentan mengalami kekacauan identitas (identity confusion). Teknik pengasuhan yang sesuai juga dapat mendukung remaja untuk melalui tahap ini dengan baik. Sayangnya, perceraian seringkali diakhiri dengan kepergian ayah untuk hidup secara terpisah dengan anak maupun istrinya (Gunarsa & Gunarsa, 2011). Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 03 No. 01, April 2014
Nadia Refilia Dewi, Wiwin Hendriani
Akibatnya, remaja diasuh secara sepihak (single parents) sehingga hal ini dapat membuat ketimpangan dan kebingungan bagi remaja. Perceraian memang membawa banyak dampak yang mendalam bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk anak-anak mereka. Keterpurukan remaja akibat perceraian orangtua mereka memungkinkan remaja terjerumus dalam perilaku negatif seperti kenakalan remaja sebagai pelampiasan atau pelarian dari kemarahan mereka akan perceraian orangtua. Meski demikian, setiap orang, tidak terkecuali remaja, memiliki kemampuan untuk bangkit dari pengalaman negatif yang mereka alami, bahkan menjadi lebih kuat selama menjalani proses penanggulangannya (Henderson & Milstein, 2003, dalam Nasution, 2011). Kemampuan ini dinamakan resiliensi. Setiap anak yang pernah merasakan perceraian kedua orangtuanya, pasti akan merasakan kondisi yang sangat sulit. Upaya untuk bangkit dari keterpurukan dan mencapai kondisi resilien menjadi perjuangan setiap individu untuk masa depan yang lebih baik. Namun, resiliensi bukanlah suatu kondisi yang mudah dicapai. Karina (2014) mengatakan bahwa kemampuan resiliensi pada setiap remaja berbeda-beda, bahkan ketika remaja dihadapkan pada masalah yang sama, yakni perceraian orangtua mereka. Asumsi ini dapat menimbulkan pertanyaan seperti bagaimana seorang remaja dapat mencapai kondisi resiliennya dan apakah lingkungan terdekat remaja dapat membantu remaja mencapai titik resiliensinya. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan probabilitas anak mencapai resiliensi dan transisi positif dalam penyesuaian diri serta dapat menurunkan perilaku maladaptif dan perilaku negatif dalam menghadapi perceraian orangtua (Chen & George, 2005). Faktor ini disebut dengan faktor protektif. Faktor protektif berperan penting dalam memodifikasi efek negatif dari lingkungan yang merugikan hidup serta membantu menguatkan resiliensi (Nasution, 2011). Tekanan yang dirasakan oleh remaja setelah peristiwa perceraian orangtuanya dapat direduksi dengan faktor protektif, sehingga remaja dapat bangkit dan melihat masa depan mereka secara positif serta memaknai peristiwa perceraian orangtua mereka sebagai sebuah pengalaman berharga agar tidak terulang kembali di masa mendatang. Faktor protektif dapat juga menjadi referensi Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 03 No. 01, April 2014
orang-orang yang berada di lingkungan remaja untuk berkontribusi membantu remaja untuk bangkit dan mencapai resiliensinya. Peran serta orang-orang terdekat remaja dapat memberikan kontribusi tertentu seperti dukungan moral pada remaja untuk dapat bangkit dan resilien. Resiliensi Resiliensi adalah kemampuan individu untuk bangkit kembali pada adaptasi positif secara umum dari transisi perceraian orangtua dan menjadikan individu protektif serta memiliki kemampuan coping meningkat dari sebelumnya. Upaya untuk memahami resiliensi tidak pernah terlepas dari dua faktor, yaitu faktor protektif dan faktor resiko (Barankin & Khanlou, 2009, dalam Karina, 2014). Resiliensi selalu melibatkan adanya adversity (penderitaan) sebagai faktor resiko dan adanya positive adjustment yang mengacu pada faktor protektif sebagai reaksi dalam menghadapi resiko. Faktor Resiko Faktor resiko merupakan faktor-faktor yang secara langsung mampu memperbesar tingginya potensi resiko bagi individu, serta meningkatkan probabilitas individu berperilaku negatif (Karina, 2014). Faktor resiko menurut Grothberg (1999) disebutkan bahwa dapat berasal dari berbagai sumber, baik eksternal seperti dalam keluarga, maupun internal yang berasal dari diri sendiri (Nasution, 2011). Faktor Protektif Faktor yang kedua adalah adanya faktor protektif yang berasal dari adanya positive adjustment dimana faktor ini mengarahkan pada perbaikan atau perlindungan terhadap faktor resiko saat menghadapi adversity atau kemalangan (Nasution, 2011). Faktor protektif memiliki peran penting dalam memodifikasi efek negatif dari lingkungan yang merugikan hidup serta mampu menguatkan resiliensi seseorang (Nasution, 2011). Chen dan George (2005) mendefinisikan faktor protektif sebagai suatu faktor yang dapat meningkatkan resiliensi anak dan transisi positif dalam penyesuaian diri serta dapat menurunkan perilaku maladaptif dan perilaku negatif. Perceraian Orangtua Dariyo (2013) mendefinisikan perceraian 39
Faktor Protektif untuk Mencapai Resiliensi pada Remaja Setelah Perceraian Orangtua
(divorce) sebagai suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami istri dan kesepakatan diantara mereka untuk tidak menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai suami-istri. Ada banyak faktor yang dapat menimbulkan perceraian, seperti yang disebutkan oleh Dagun (1990) antara lain faktor persoalan ekonomi, perbedaan usia yang besar, keinginan memiliki anak putra dan putri, dan persoalan prinsip hidup yang berbeda. Faktor lainnya dapat berupa perbedaan penekanan dan cara mendidik anak, juga pengaruh dukungan sosial dari pihak luar, tetangga, sanak saudara, sahabat, maupun situasi masyarakat yang terkondisi (Dagun, 1990). Komponen Faktor Protektif McCarthy (2009) Faktor protektif menurut McCarthy (2009) dibagi menjadi tiga komponen, yaitu faktor perkembangan, faktor keluarga, dan faktor komunitas. Faktor protektif perkembangan dibagi menjadi 5 indikator, yakni faktor personal, harga diri, kontrol lokus internal, berpikir optimis, dan ketrampilan sosial. Faktor protektif keluarga dibagi menjadi 2 indikator, yakni teknik pengasuhan dan hubungan dengan keluarga, serta hubungan dengan saudara kandung. Faktor protektif komunitas dibagi menjadi 3 indikator, yakni hubungan yang mendukung dengan orang dewasa, lingkungan sekolah yang positif, dan hubungan dengan teman sebaya.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Dalam studi kasus ini, penulis berusaha memahami faktor protektif untuk mencapai resiliensi pada remaja setelah perceraian orangtua. Oleh karena itu, penulis menggunakan tipe studi kasus intrinsik. Studi kasus interinsik merupakan penelitian yang dilakukan untuk memahami secara utuh mengenai suatu kasus tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep, teoriteori, atau tanpa ada upaya untuk menggeneralisasi (Poerwandari, 2007). Unit analisis dalam penelitian ini adalah faktor protektif untuk mencapai resiliensi pada remaja setelah perceraian orangtua berdasarkan tiga komponen faktor protektif menurut 40
McCarthy (2009), yakni faktor perkembangan, faktor keluarga, dan faktor komunitas. Subjek dalam penelitian ini adalah lakilaki atau perempuan yang digolongkan memiliki resiliensi sangat tinggi atau dengan skor di atas 75,5 menggunakan alat ukur resiliensi ConnorDavidson Resilience Scale 25 (CD-RISC 25). CDRISC 25 merupakan alat 65 ukur resiliensi yang dikonstruksikan oleh pembuat alat ukur, yakni Kathryn M. Connor, dkk. Alat ukur ini diberikan kepada subjek sebagai screening awal. Metode pengumpulan data yang digunakan oleh penulis di dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Wawancara dilakukan pada subjek utama dan significant others. Terkait analisis data, penelitian ini menggunakan analisis data tematik berupa theory driven karena dalam menganalisis data, penulis berpedoman pada teori faktor protektif agar dapat menyajikan data secara sistematis sehingga indikator, komponen, dan penemuan yang diperoleh dapat mendukung teori yang digunakan oleh penulis.
HASIL DAN BAHASAN Setiap subjek dalam penelitian ini menunjukkan bahwa mereka telah mencapai kondisi resilien sangat tinggi berdasarkan skor CD-RISC 25. Upaya semua subjek hingga mencapai kondisi resilien dibantu dengan komponenkomponen faktor protektif yang berbeda-beda. Pada subjek II, III, dan IV memunculkan ketiga komponen faktor protektif dalam membantunya menjadi resilien, sementara pada subjek I hanya memunculkan dua dari tiga komponen faktor protektif, yakni faktor protektif perkembangan dan faktor protektif komunitas. Temuan-temuan faktor protektif pada setiap subjek dapat saling berkaitan satu sama lain. Selain itu, faktor protektif yang ditemukan pada semua subjek selalu dipicu oleh suatu penyebab, dan faktor protektif ini juga memunculkan bentuk perilaku sebagai respon dalam menghadapi tekanan emosi. Ketidakmunculan faktor keluarga pada subjek 1 disebabkan karena banyaknya tuntutan dari orangtua dan kakak kandung subjek 1 terhadap subjek agar subjek sukses di masa depan. Orangtua dan kakak subjek Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 03 No. 01, April 2014
Nadia Refilia Dewi, Wiwin Hendriani
1 hanya memberi dorongan pada subjek dari segi akademis subjek, namun mengabaikan sisi psikologi subjek terutama setelah perceraian orangtuanya. Pengabaian secara psikologis subjek ini disebabkan karena minimnya rasa empati yang dimiliki ibu dan kakak kandung subjek. Gunarsa (2004) mengatakan bahwa empati merupakan kemampuan seseorang dalam menghayati pikiran, sikap dan perasaan orang lain, misalnya sensitivitas afektif pada orang lain, membagi pengalaman orang lain, dan emosi yang berkaitan dengan hal tersebut. Data temuan menunjukkan bahwa subjek 1 dan 2 yang berjenis kelamin laki-laki merasakan bahwa pengalihan pikiran terkait perceraian orangtua dengan melakukan aktivitas dengan teman sebayanya berkontribusi dalam membuat mereka menjadi resilien. Brannon (2002) mengatakan bahwa bentuk kedekatan dalam pertemanan antara laki-laki dengan perempuan berbeda. Pada perempuan, kedekatan dalam pertemanan sering diaplikasikan dalam berbagi emosi sedangkan pada laki-laki kedekatan dalam pertemanan ditunjukkan dengan melakukan aktivitas bersama teman. Handayani, dkk. (2008) mengatakan bahwa perbedaan tersebut disebabkan karena adanya peran seks feminin dan maskulin. Perempuan lebih berafiliasi, sehingga membutuhkan komunikasi lebih banyak dibandingkan laki-laki, sementara lakilaki lebih berkompetisi, sehingga mereka lebih cenderung hati-hati dalam berbicara (Handayani, dkk., 2008). Laki-laki tidak nyaman berbicara tentang perasaannya sebab perasaan dapat diartikan sebuah kelemahan, sehingga hal ini dapat menjelaskan perbedaan perilaku laki-laki dan perempuan ketika mereka sedang berkumpul dengan orang lain. Handayani, dkk. (2008) menjelaskan bahwa saat laki-laki berkumpul, mereka akan lebih banyak melakukan sesuatu, sementara apabila perempuan berkumpul, perempuan akan lebih banyak terlibat dalam komunikasi dan menceritakan diri pribadi.
SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa faktor protektif untuk mencapai resiliensi pada remaja setelah perceraian orangtua dalam penelitian ini meliputi faktor perkembangan (developmental factors), faktor keluarga (family Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 03 No. 01, April 2014
factors) dan faktor komunitas (community factors). Faktor protektif membantu remaja untuk mereduksi tekanan yang muncul setelah perceraian orangtua mereka dan mengurangi probabilitias remaja berperilaku menyimpang. Secara spesifik, ketiga komponen faktor protektif pada tiap remaja berbeda-beda. Hal ini bergantung pada pengalaman masing-masing remaja dalam keluarganya yang satu sama lain saling berbeda. Terdapat keterkaitan pada beberapa temuan faktor protektif, meskipun berdasarkan hasil analisis keterkaitan tersebut tidak terjadi di semua faktor. Pada komponen faktor protektif perkembangan, hal-hal menonjol yang dapat membantu remaja menjadi resilien adalah melihat sisi positif dari perceraian orangtua dan fokus untuk masa depan. Pada komponen faktor protektif keluarga, hal-hal menonjol yang dapat membantu remaja menjadi resilien adalah peran keluarga sebagai tempat mencurahkan pikiran dan perasaan remaja dan menunjukkan perasaan sayang pada remaja. Pada komponen faktor protektif komunitas, hal-hal menonjol yang dapat membantu remaja menjadi resilien adalah peran keluarga besar, lingkungan sekolah, dan teman-teman dekat remaja dalam mengalihkan pikiran remaja akan perceraian orangtua, memberikan perhatian pada remaja, serta tempat mencurahkan pikiran dan perasaan remaja. Perbedaan gender dapat mempengaruhi faktor protektif pada remaja setelah perceraian orangtua. Perbedaan gender mempengaruhi faktor protektif pada indikator hubungan dengan teman sebaya. Perempuan memiliki kebutuhan untuk berafiliasi sehingga remaja perempuan cenderung mencurahkan pikiran dan perasaannya. Hal ini membantu mereka untuk bangkit. Sedangkan pada laki-laki, hal-hal yang membantu mereka bangkit adalah aktif menyalurkan dalam bentuk kegiatan. Saran yang dapat diberikan bagi subjek penelitian. Penelitian ini dapat membantu memberikan masukan untuk pihak yang bersangkutan (orangtua, lingkungan sekolah/ kampus dan lingkungan remaja) tentang pentingnya faktor protektif untuk mencapai resiliensi bagi perkembangan remaja dan khususnya jika remaja tersebut menghadapi peristiwa perceraian orangtuanya; sehingga tidak berakibat pada perkembangan remaja yang menyimpang. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi dasar-dasar orangtua yang bercerai untuk 41
Faktor Protektif untuk Mencapai Resiliensi pada Remaja Setelah Perceraian Orangtua
menata kembali dan merancang pola asuh yang sesuai untuk perkembangan remaja, terutama dilihat dari segi psikologis remaja. Bagi masyarakat (remaja yang memiliki orangtua yang telah bercerai). Penelitian ini dapat menjadi sarana edukatif bagi masyarakat sebagai referensi tentang berbagai permasalahan yang muncul setelah perceraian orangtua. diharapkan, pembelajaran tentang fenomena ini menjadi upaya preventif pada orangtua agar lebih memperhatikan anak remajanya sehingga terhindar dari permasalahan maupun sebagai bahan pertimbangan untuk penyikapan
42
yang sehat. Diharapkan, penelitian ini dapat memberikan informasi pada masyarakat luas tentang pengertian faktor protektif serta faktor protektif apa saja yang bermanfaat untuk mencapai resiliensi remaja setelah perceraian orangtua. Bagi penelitian selanjutnya. Peneliti yang memiliki minat kajian tentang faktor protektif untuk mencapai resiliensi pada remaja setelah perceraian orangtua dapat melakukan pendalaman maupun perluasan riset pada beberapa hal.
Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 03 No. 01, April 2014
Nadia Refilia Dewi, Wiwin Hendriani
PUSTAKA ACUAN Brannon, L. (2002). Gender : Psychological perspective. Boston : A Pearson EducationCompany. Chen, J. & George, R. A. (2005). Cultivating Resilience in Children From Divorced Families. The Family Journal 13: 452. Dagun, S. M. (1990). Psikologi Keluarga (Peranan Ayah dalam Keluarga). Jakarta: Rineka Cipta. Dariyo, A. (2013). Memahami Psikologi Perceraian dalam Kehidupan Keluarga. Artikel, tidak diterbitkan. Gunarsa, S. D. (2004). Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta: Gunung Mulia. Gunarsa, S. D., & Gunarsa, Y. S. D. (2011). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (edisi kedua). Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Handayani, M, dkk. (2008). Psikologi Keluarga. Surabaya : Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Karina, C. (2014). Resiliensi Remaja yang Memiliki Orangtua Bercerai. Jurnal Online Psikologi Vol. 02, No. 1. McCarthy, L. (2009). Resilience Factors in Children and the Adlerian Concept of Social Interest. A Research Paper Presented to The Faculty of the Adler Graduate School, tidak diterbitkan. Nasution, S. M. (2011). Resiliensi. Daya Pegas Menghadapi Trauma Kehidupan. Medan: USU Press. Prihatinningsih, S. (2011). Juvenile Deliquency (Kenakalan Remaja) pada Remaja Putra Korban Perceraian Orangtua. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia (cetakan kedua). Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).Santrock, J. W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja, (edisi keenam). Jakarta: Erlangga. Unjianto, B. (2013, 15 Desember). Suaramerdeka [online] diakses pada tanggal 25 April 2014 dari http://m. suaramerdeka.com/index.php/read/news/2013/12/15/183390.
Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 03 No. 01, April 2014
43