PENGARUH PELATIHAN NON TEKNIS TERHADAP KINERJA PENYULUH PERTANIAN BP4K DI KABUPATEN BUNGO PROVINSI JAMBI
IKE WIRDANI PUTRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengaruh Pelatihan Non Teknis terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian BP4K di Kabupaten Bungo Provinsi Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016 Ike Wirdani Putri NIM I35113
RINGKASAN IKE WIRDANI PUTRI. Pengaruh Pelatihan Non Teknis terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian BP4K di Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Dibimbing oleh ANNA FATCHIYA dan SITI AMANAH. Kinerja penyuluh pertanian berkaitan dengan keberhasilan petani sebagai pelaku utama. Membangun pertanian dibutuhkan sumberdaya manusia (SDM) yakni penyuluh yang berkualitas. Untuk membangun SDM dapat dilaksanakan melalui proses pembelajaran dengan mengembangkan sistem pendidikan non formal diluar sekolah secara efektif dan efisien. Dalam hal ini, kinerja penyuluhan yang baik pada penyuluh pertanian dilaksanakan dengan cara mengadakan pelatihan, di mana penyuluh dibekali ilmu pengetahuan, keterampilan, pengenalan paket teknologi dan inovasi di bidang pertanian. Pelatihan-pelatihan yang sesuai dilaksanakan adalah dengan pendekatan pembelajaran orang dewasa. Selain itu dalam kegiatan pelatihan harus digunakan metode yang tepat serta pemberian materi yang dibutuhkan oleh penyuluh pertanian. Kinerja penyuluh akan baik bila penyuluh mampu melaksanakan unsur-unsur kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas menyiapkan kegiatan penyuluhan, kerjasama dengan petani dan pihak yang terkait. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis pelatihan penyuluh pertanian berdasarkan karakteristik peserta pelatihan, kesesuaian kurikulum pelatihan, kompetensi penyuluh pelatih dan dukungan lembaga penyuluhan di BP4K Kabupaten Bungo; (2) Menganalisis kinerja penyuluh pertanian di BP4K Kabupaten Bungo; (3) Menganalisis pengaruh pelatihan non teknis terhadap kinerja penyuluh Kabupaten Bungo. Penelitian dilakukan menggunakan metode survei dengan pendekatan kuantitatif dan didukung oleh informasi kualitatif dilakukan di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Data dikumpulkan secara sensus pada 100 penyuluh pertanian di BP4K Kabupaten Bungo yang dilaksanakan pada Mei-Juli 2015. Analisis statistik terdiri dari distribusi frekuensi, sedangkan analisis statistik inferensial menggunakan analisis regresi linear berganda dengan software SPSS versi 16.00. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) karakteristik penyuluh peserta pelatihan yang mempengaruhi kinerja penyuluh adalah jumlah keikutsertaan pelatihan dan motivasi; 2) tingkat kesesuaian kurikulum pelatihan yang mempengaruhi kinerja penyuluh adalah pelatihan dan sarana prasarana pelatihan; 3) tingkat kompetensi penyuluh pelatih yang mempengaruhi kinerja penyuluh adalah penguasaan penyuluh pelatih terhadap substansi materi dan kemampuan merencanakan pembelajaran; 4) dukungan lembaga penyuluhan yang mempengaruhi kinerja adalah fasilitas dari lembaga penyuluhan dan insentif atau penghargaan. Kata kunci: kinerja penyuluh, pelatihan non teknis, BP4K
SUMMARY IKE WIRDANI PUTRI. Influence of Non Technique Training to the Agricultural Extension Performance in BP4K Bungo. Supervised by ANNA FATCHIYA and SITI AMANAH. Performance of agricultural extension worker relating to the success of the main actors. Agricultural development needs of human resources (HR) the qualified extension worker. To build Human Resources can be implemented through a process of learning and teaching by developing non-formal education systems outside the school effectively and efficiently. In this case, better performance extension on agricultural extension worker carried out by the training, in which counselors equipped with knowledge, skills, the introduction of a package of technology and innovation in agriculture. The trainings were conducted matching is performed with the adult learning approach. Besides the training activities should use appropriate methods and the provision of materials needed by the agricultural extension worker. Performance of agricultural extension worker will be better after agricultural extension workers conducting elements consisting of loyalty and commitment to the task of setting up extension activities, cooperation with farmers and stakeholders. This study aims to: (1) analyze agricultural extension worker's training based on the characteristics of participants, compliance training curriculum, competency extension trainers and institutional support extension in BP4K Bungo; (2) analyze the performance of agricultural extension in BP4K Bungo; (3) analyze the effect of non-technical training to the performance extension Bungo district. The research employed a survey method with quantitative and qualitative approach which it conducted in Bungo District, Jambi Province. Data collected by the census of 100 agricultural extension worker at BP4K Bungo from May to July 2015. Statistical analysis consisted of frequency distribution, whereas the inferential statistical analysis using multiple linear regression analysis with SPSS software version 16.00. The results showed that: 1) the characteristics of agricultural extension workers affecting performance is the amount of training and motivation; 2) degree of conformity of the training curriculum that affect the performance agricultural extension workers are training and training infrastructure; 3) the level of competence that affect the performance of the coach educator instructor is a coach educator mastery of the substance of the material and the ability to plan learning; 4) support education institution is a facility that affect the performance of extension services and incentives or rewards. Keywords: performance of extension workers, non technical training, district agriculture extension worker (BP4K).
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH PELATIHAN NON TEKNIS TERHADAP KINERJA PENYULUH PERTANIAN BP4K DI KABUPATEN BUNGO PROVINSI JAMBI
IKE WIRDANI PUTRI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS
( +0"4 &-#"(4 )(4 %(#,4 .+"*4 #(+$4
00&4,#,4
(30&0"4 +/(#(4 4 #40*.(4 0( )4 +)1#(,#4
'#4 '4
%4#+(#40.+#4
4
#,-0$0#4)&"4 )'#,#4'#'#( 4
+4 +4 ((4
4 4
+4 +4 #-#4
4 #4
(
-04
)-4
#%-"0#4)&"4
-04+) +'4-0#4 &'04(30&0"(4 '( 0((4
+4 +4 "+0&4 3"4 !4
+)4
(
&4$#(4
(
&40&0,4
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 ini ialah pelatihan pada penyuluh pertanian, dengan judul Pengaruh Pelatihan Non Teknis Terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian BP4K di Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan strata dua (S2) Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penyelesaian tesis tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Anna Fatchiya MSi sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Siti Amanah MSc sebagai Anggota Komisi Pembimbing, Dr. Ir Dwi Sadono serta Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS sebagai penguji luar komisi 2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen DIKTI) yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) tahun 2013 dalam menempuh program Magister. 3. Kedua orang tua penulis, Hudarmin dan ibu Wirda serta Suci Dewi Wulandari dan Jumiati Sadiah terimakasih atas segala kasih sayang, semangat, doa, dan nasehatnya. 4. Kepala BP4K Kabupaten Bungo (Bapak Ir. Supriyadi), Kasubbid Bidang Pengembangan Sumberdaya Manusia (Ibu Jusniati S.PKP), Seluruh Kepala BP3K di Wilayah Kabupaten Bungo, serta responden penyuluh pertanian di Kabupaten Bungo yang telah memberikan informasi selama penelitian. 5. Rekan-rekan Program Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) Angkatan 2013 (Helnafri Ankesa, Shinta, Siti Sawerah, Nila Sari, Lucy, Dedeh, mbak Vera, mbak Tintin, mbak Nia, Mbak Minas, Riana, Herry, Nopriyanto, Pak Erik, Bang Dharma, Aira, Tiara). Teman-teman Pondok Shinta Rana (Nurul, Nok Nurjanah, Rita) serta Kak Ami, Angela Fisriza, Gita Vinanda, Ari Bakhtiar, Kak Lina, Rozen, Ade, Mas Mulyadi, Mas Adam dan Ibu Desi atas kerjasama, bantuan dan diskusinya selama ini. 6. Achmad Taufik, SE terima kasih atas doa, kebersamaan, semangat dan diskusinya selama ini. 7. Semua Pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan selanjutnya.
Bogor, Maret 2016 Ike Wirdani Putri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 4 4
2. TINJAUAN PUSTAKA Pelatihan dan Kinerja Penyuluh Pertanian Kebutuhan Pelatihan Perencanaan Pelatihan Materi Pelatihan Metode Pelatihan Sarana dan Prasarana Pelatihan Kinerja Penyuluh Pertanian Karakteristik Penyuluh Kompetensi Penyuluh Fasilitator Dukungan Lembaga Penyuluhan
5 5 6 7 7 7 9 9 11 15 16
3. KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS
20
4. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Data dan Instrumentasi Definisi Operasional Uji Validitas dan Reliabilitas Analisis Data
22 22 22 22 23 23 27 29
5. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
30
6. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Penyuluh Peserta Pelatihan Tingkat Kesesuaian Kurikulum Pelatihan Tingkat Kompetensi Penyuluh Pelatih Dukungan Lembaga Penyuluhan Kinerja Penyuluh Pertanian Pengaruh Karakteristik Penyuluh Peserta Pelatihan terhadap Kinerja Penyuluh Pengaruh Tingkat Kesesuaian Kurikulum Pelatihan terhadap Kinerja Penyuluh Pengaruh Tingkat Kompetensi Penyuluh Pelatih terhadap
33 38 41 44 46 49 51 51
Kinerja Penyuluh Pengaruh Dukungan Lembaga terhadap Kinerja Penyuluh
53
7. SIMPULAN DAN SARAN
54
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
55
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Hasil uji instrumen penelitian Persentase penyuluh peserta pelatihan menurut karakteristik individu di Kabupaten Bungo, tahun 2015 Persentase tingkat kesesuaian kurikulum pelatihan di Kabupaten Bungo, tahun 2015 Persentase tingkat kompetensi penyuluh pelatih di Kabupaten Bungo, tahun 2015 Persentase dukungan lembaga penyuluhan di Kabupaten Bungo, tahun 2015 Persentase kinerja penyuluh pertanian di kabupaten bungo di Kabupaten Bungo, tahun 2015 Koefisien dan P value pengaruh karakteristik penyuluh peserta pelatihan terhadap kinerja penyuluh Koefisien dan P Value pengaruh tingkat kesesuaian kurikulum pelatihan terhadap kinerja penyuluh Koefisien dan P value pengaruh tingkat kompetensi penyuluh pelatih terhadap kinerja penyuluh Koefisien dan P Value pengaruh dukungan lembaga penyuluhan terhadap kinerja penyuluh
28 33 38 43 45 46 49 51 52 53
DAFTAR GAMBAR 1 2
3
Tata hubungan dan mekanisme kerja lembaga penyuluhan dengan dinas/instansi terkait Kerangka berpikir penelitian pengaruh pelatihan non teknis terhadap kinerja penyuluh pertanian BP4K Kabupaten Bungo Provinsi Jambi tahun 2015 Bagan struktur organisasi BP4K Kabupaten Bungo
17 21
32
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Contoh hasil anova pengaruh karakteristik penyuluh peserta pelatihan terhadap kinerja penyuluh Contoh hasil uji multikolineritas pengaruh karakteristik penyuluh peserta pelatihan terhadap kinerja penyuluh Contoh hasil uji autokorelasi pengaruh karakteristik penyuluh peserta pelatihan terhadap kinerja penyuluh Contoh hasil uji kenormalan pengaruh karakteristik penyuluh peserta pelatihan terhadap kinerja penyuluh Wilayah Kabupaten Bungo Dokumentasi Penelitian Bentuk Pelatihan yang dilakukan di BP4K Kabupaten Bungo Tahun 2014
61 61 62 62 63 64 65
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kinerja penyuluh pertanian yang memenuhi standar penugasan sangat diperlukan untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian. Kinerja penyuluh pertanian merupakan hasil kerja yang dicapai sesuai tugas dan tanggung jawab yang dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan kemampuan, pengalaman serta penggunaan waktu (Herbenu 2007). Terkait dengan kinerja penyuluh harus diperhatikan bahwa, penyuluh merupakan individu yang memiliki kualitas berbeda-beda. Masalah yang ada di lapangan adalah fakta bahwa sebagian besar penyuluh pertanian memiliki kualitas individu dan juga kuantitas penyuluhan yang rendah (Marliati et al. 2008). Kinerja penyuluh pertanian diduga menunjukkan penurunan padahal telah dilaksanakan pelatihan-pelatihan guna meningkatkan kinerja penyuluh tersebut. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K) menyebutkan bahwa penyuluh adalah perorangan, WNI bisa Pegawai Negeri Sipil (PNS), penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Penyuluh pertanian yang diharapkan adalah penyuluh yang memiliki kualitas yang baik guna menunjang kegiatan dilapangan. Kualitas penyuluh ditentukan oleh sejauh mana sistem di bidang ini sanggup menunjang dan memuaskan keinginan petani. Peningkatan pengetahuan, keterampilan, perubahan sikap, serta hal-hal yang dapat menjadi perbaikan terhadap peningkatan kinerja dan produktivitas dalam memberdayakan petani dapat dilaksanakan melalui pelatihan-pelatihan. Lippitt et al. (1958) dan Chamala dan Shingi (1997) menyatakan kinerja penyuluh pertanian merupakan peran penyuluh dalam melakukan perubahan berencana dan memberdayakan masyarakat melalui pengorganisasian masyarakat, pengembangan sumberdaya manusia dan memecahkan masalahnya. Kinerja penyuluh akan baik bila penyuluh setelah melaksanakan unsur-unsur yang terdiri dari kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas menyiapkan kegiatan penyuluhan, kerjasama dengan petani dan pihak yang terkait. Kinerja penyuluh pertanian sangat dipengaruhi oleh faktor individu yakni karakteristik dari penyuluh, pelatihan, faktor psikologis dan lingkungan atau organisasi tempat penyuluh bertugas. Sapar et al. (2011) dan Hamzah (2011) menemukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara sejumlah karakteristik penyuluh seperti umur, masa kerja, motivasi kerja serta pelatihan dan kompetensi dengan kinerja penyuluh pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik penyuluh serta pelatihan merupakan unsur penting yang dapat mempengaruhi kinerja dari seorang penyuluh. Sejalan dengan hal tersebut hasil penelitian Siregar dan Saridewi (2010) menyimpulkan bahwa pelaksanaan tugas penyuluh pertanian dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kemampuan (ability) penyuluh pertanian yang terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan pendidikannya, faktor motivasi, yaitu motivasi yang terbentuk dari sikap (attitude) seseorang dalam menghadapi situasi kerja yang dapat menggerakkan pegawai agar terarah untuk mencapai tujuan kerja, sarana dan prasarana, budaya kerja (workplace culture) yang membentuk kebiasaan pegawai di tempat tugas dan menjadi sikap yang tercermin dalam
2 perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. Hal ini dapat dipahami karena masing-masing individu penyuluh mempunyai latar belakang pendidikan, pengalaman, motivasi, kemampuan dasar, dan hal lainnya yang berbeda, sehingga pada akhirnya berpengaruh pada kinerja mereka. Oleh karena itu, kehadiran seseorang pemimpin yang mampu memotivasi, menyamakan persepsi, menyatukan visi dan misi sangat dibutuhkan. Pasca diberlakukannya otonomi daerah telah terjadi perubahan yang mendasar terhadap pembinaan penyuluhan pertanian, yang semula dilaksanakan oleh pusat bergeser ke daerah. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahanperubahan pada penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang menyangkut aspek perencanaan dan kelembagaan penyuluhan yang berdampak juga kepada penyuluh pertanian. Berdasarkan informasi dari Kepala bidang (Kabid) Pengembangan Sumberdaya Manusia BP4K Kabupaten Bungo kinerja penyuluh pertanian semenjak penyelenggaraan kegiatan penyuluhan pertanian dikembalikan ke daerah kinerja penyuluh semakin menurun dan cenderung tidak adanya regenerasi penyuluh yang memiliki kompetensi yang memadai. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya kinerja dari penyuluh tersebut. Salah satu penyebab turunnya kinerja penyuluh adalah adanya ketidaksesuaian antara tingkat kemampuan yang dimiliki oleh para penyuluh dengan perkembangan kebutuhan dan dinamika permasalahan yang dihadapi oleh penyuluh pada masyarakat sasaran di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian Feder et al. (2011) dan Adefila (2012) menunjukkan bahwa rendahnya kinerja dari sistem penyuluhan pertanian di negara-negara berkembang ditimbulkan karena minat dari konsep pluralistik ekstensi yang melibatkan berbagai layanan penyedia serta adanya hambatan seperti kurangnya pelayanan, upah dan tunjangan yang rendah dan tidak tersedianya bahan-bahan utama dan peralatan untuk melaksanakan pekerjaan. Selain hal tersebut faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kemampuan penyuluh adalah kurangnya perhatian instansi dalam memberikan program pendidikan dan pelatihan yang sesuai bagi penyuluh (Turere 2013). BP4K (Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) sebagai lembaga penyuluhan melaksanakan pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bagi penyuluh pertanian. Pelatihan di BP4K Kabupaten Bungo telah dilaksanakan sejak tahun 2011. Pelatihan dilaksanakan secara rutin setiap 2 (dua) bulan sekali dengan tema yang berbeda pada setiap kali pelatihan. Pelatihan yang dilaksanakan meliputi pelatihan di bidang teknis dan non teknis. Dalam kurun waktu 2011-2014 telah dilaksanakan sebanyak 96 kali pelatihan baik teknis maupun non teknis. Jenis serta tema pelatihan yang dilaksanakan telah disepakati pada rapat awal tahun oleh pihak panitia penyelenggara pelatihan bersama pimpinan BP3K yang berada di Kabupaten Bungo terlebih dahulu setiap awal tahun, serta sebulan sebelum diadakan pelatihan jadwal tersebut disebarkan kepada penyuluh pertanian sehingga para peserta mengetahui jadwal mereka untuk mengikuti pelatihan. Pelatihan merupakan upaya untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM), terutama untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian manusia (Notoatmodjo 2003). Pada hakikatnya, program pendidikan dan pelatihan diberikan sebagai tambahan bagi upaya memelihara dan mengembangkan kemampuan serta kesiapan penyuluh dalam melaksanakan segala bentuk tugas
3 maupun tantangan kerja yang dihadapinya. Undang-Undang Nomor 16 tentang SP3K mencantumkan bahwa penyuluh pertanian harus mempunyai kemampuan, keterampilan dan semangat kerja seperti yang tercantum dalam undang undang tersebut. Sejak tahun 1980-an pemerintah telah memperkenalkan dan mencoba mengembangkan pendekatan penyuluhan partisipatif melalui kegiatan proyek seperti proyek pelatihan Pengendalian Hama Terpadu (PHT), Pengembangan Sistem Usahatani, Lahan Kering Kalimantan (KLIF), Proyek desentralisasi peternakan Indonesia bagian Timur (DELIVERI), Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Kecil (P4K), proyek pendekatan partisipatif untuk peningkatan penyelenggaraan penyuluhan pertanian dan kehutanan (DAFEP) dan mulai tahun 2007 dengan nama proyek FEATI. Namun secara operasional sistem kerja penyuluhan pertanian masih menggunakan sistem kerja latihan dan kunjungan (LAKU) (Halil W dan Armiati 2012). Perumusan Masalah Penyuluhan pertanian di Indonesia saat ini memiliki landasan hukum yang lebih kuat dalam pembangunan pertanian sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (UU SP3K), sehingga peran penyuluh pertanian sangat strategis dalam memfasilitasi proses pemberdayaan petani dan keluarganya. Di karenakan adanya UU tersebut perlu ditingkatkannya kapasitas dari penyuluh pertanian seperti peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam mengidentifikasi kebutuhan dan potensi petani dan pelaku agribisnis lain. Namun hal tersebut juga harus dilaksanakan dengan diadakannya evaluasi dan monitoring terhadap penyuluh pertanian tersebut. Salah satu cara yang telah gencar dilaksanakan adalah dengan penerapan kembali sistem LAKU pada instansi penyuluh. Penerapan sistem kerja LAKU diharapkan dapat meningkatkan motivasi penyuluh pertanian dalam melaksanakan fungsinya sebagai pendamping dan pembimbing petani, serta memotivasi petani dalam melaksanakan kegiatan usahatani yang lebih baik, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatannya (Permen No: 273/Kpts/Ot.160/4/2007). Untuk mendukung peraturan menteri yang telah dibuat maka pada BP4K dilaksanakan kegiatan kunjungan serta pelatihan-pelatihan yang dapat mendukung hal tersebut. Pelatihan merupakan salah satu aspek penting yang harus diperhatikan suatu instansi penyuluh, jika ingin penyuluh yang ada dapat bekerja dengan baik. Kegiatan penyuluhan pertanian saat ini tidaklah sesukses pada zaman dahulu seperti Bimas (bimbingan massal) ataupun yang lainnya. Hal ini disebabkan penyuluh-penyuluh saat sekarang ini masih kurang dalam hal pengetahuan dan keterampilan. Pada hakekatnya, program pendidikan dan pelatihan diberikan sebagai tambahan bagi upaya memelihara dan mengembangkan kemampuan serta kesiapan penyuluh dalam melaksanakan segala bentuk tugas maupun tantangan kerja yang dihadapinya. Terdapat 17 Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) di Kabupaten Bungo yang mengadakan pelatihan berdasarkan kebutuhan masing-masing balai untuk meningkatkan kinerja dari penyuluh tersebut.
4 Pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan meliputi pelatihan yang berguna untuk meningkatkan SDM Penyuluh seperti pelatihan terhadap budidaya Tanaman Pangan, Hortikultura serta pelatihan peningkatan keterampilan penyuluh dalam menghadapi masyarakat petani yang menjadi binaan di wilayah kerja penyuluh tersebut. Berdasarkan masalah di atas, dapat dirumuskan bagaimana pelatihan penyuluh pertanian di BP4K Kabupaten Bungo? Bagaimanakah kinerja penyuluh pertanian pada BP4K Kabupaten Bungo? Adakah pengaruh pelatihan terhadap kinerja penyuluh pertanian pada BP4K Kabupaten Bungo? Tujuan Penelitian Pelatihan adalah suatu kegiatan untuk memperbaiki kemampuan kerja seseorang dalam hal ini adalah penyuluh dalam kaitannya dengan aktivitas penyuluhan yang dapat membantu penyuluh dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya guna meningkatkan kinerja pekerjaan (Lodjo 2013). Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu kegiatan dapat disebut latihan: (a) latihan harus membantu pegawai atau penyuluh menambah kemampuannya, (b) latihan harus menimbulkan perubahan dalam kebiasaan, dalam informasi, dan pengetahuan yang ia terapkan dalam pekerjaannya sehari – hari, dan (c) latihan harus berhubungan dengan pekerjaan tertentu yang sedang dilaksanakan ataupun pekerjaan yang akan diberikan pada masa yang akan datang. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis pelatihan penyuluh pertanian berdasarkan karakteristik peserta pelatihan, kesesuaian kurikulum pelatihan, kompetensi penyuluh pelatih dan dukungan lembaga penyuluhan di BP4K Kabupaten Bungo 2. Menganalisis kinerja penyuluh pertanian di BP4K Kabupaten Bungo 3. Menganalisis pengaruh pelatihan non teknis terhadap kinerja penyuluh Kabupaten Bungo Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran yang terkait dengan masalah kinerja penyuluh pada lembaga pertanian dan dapat digunakan sebagai bahan keilmuan di bidang penyuluhan pembangunan. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi bagi pihak yang berkepentingan dalam pengembangan dan peningkatan kinerja penyuluh pertanian.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Pelatihan dan Kinerja Penyuluh Pertanian Menurut Undang-undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan, penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktifitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Menurut Slamet (2003) juga menjelaskan bahwa penyuluhan merupakan suatu pendidikan yang bersifat non formal yang bertujuan untuk membantu masyarakat/petani merubah perilakunya dalam hal pengetahuam, keterampilan dan sikap agar mereka dapat memecahkan kehidupan yang baik. Slamet (2003) menyatakan tujuan utama dari penyuluhan pertanian adalah mempengaruhi para petani dan keluarganya agar berubah perilakunya sesuai dengan yang diinginkan. Seorang penyuluh pertanian diharapkan mampu menggerakkan masyarakat, memberdayakan petani, pengusaha pertanian dan pedagang pertanian, serta pendampingan petani untuk: (a) membantu menganalisis situasi-situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan; (b) membantu menemukan masalah; (c) membantu memperoleh pengetahuan informasi guna memecahkan masalah; (d) membantu menghitung besarnya resiko atas keputusan yang diambil. Agar tercapai hal tersebut maka setiap penyuluh dituntut untuk memiliki kinerja penyuluhan yang baik dengan berbagai cara salah satunya dengan mengikuti kegiatan pelatihan. Hickerson dan Middleton (1975) mendefinisikan pelatihan adalah suatu proses belajar, tujuannya untuk mengubah kompetensi kerja seseorang, sehingga berprestasi lebih baik dalam melaksanakan pekerjaannya. Pelatihan dilaksanakan sebagai usaha untuk memerlancar proses belajar seseorang, sehingga bertambah kompetensinya melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikapnya dalam bidang tertentu guna menunjang pelaksanaan tugasnya. Dessler (2004), mendefinisikan pelatihan sebagai sebuah proses belajar yang digunakan untuk memberikan karyawan baru atau karyawan lama keterampilan yang mereka butuhkan untuk melakukan pekerjaan. Menurut Mangkuprawira (2004) menyatakan bahwa pelatihan merupakan sebuah proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan standar kerja. Pada dasarnya pelatihan merujuk pada pengembangan keterampilan kerja yang dapat digunakan. Jahi dan Newcomb (1981) menjelaskan bahwa, pelatihan dapat dilakukan pada individu, kelompok, organisasi volunteer yang telah mengemban tugas sejak lama, hal ini bertujuan untuk memerbaharui diri individu maupun kelompok. Pelaksanaan pelatihan di maksudkan untuk mendapatkan tenaga kerja memiliki pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan sikap yang baik dalam melaksanakan pekerjaan. Tujuan pelatihan menurut Moekijat (1991) adalah: (1) mengembangkan keterampilan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif, (2) mengembangkan pengetahuan, sehingga
6 pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional, dan (3) mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kemauan kerjasama. Suatu pelatihan memiliki beberapa ciri, yaitu: (1) direncanakan dengan sengaja, (2) adanya tujuan yang hendak dicapai, (3) ada peserta (kelompok sasaran) dan pelatihan, (4) ada kegiatan pembelajaran secara praktis, (5) isi belajar dan berlatih menekankan pada keahlian atau keterampilan suatu pekerjaan tertentu, (6) dilaksanakan dalam waktu relatif singkat, dan (7) ada tempat belajar dan berlatih. Komponen-komponen pelatihan sebagaimana dijelaskan oleh Mangkunegara (2005) terdiri atas: (1) tujuan dan sasaran pelatihan dan pengembangan harus jelas dan dapat diukur; (2) para pelatih (trainer) harus ahlinya yang berkualitas memadai (profesional); (3) materi pelatihan dan pengembangan harus disesuaikan dengan tujuan yang hendak di capai; dan (4) peserta pelatihan harus memenuhi persyaratan yang ditentukan. Berdasarkan uraian tentang pelatihan di atas jelaslah bahwa pelatihan merupakan suatu kegiatan untuk memperbaiki kemampuan kerja seseorang dalam kaitannya dalam kegiatan pelaksanaan penyuluhan yang dapat membantu penyuluh memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kecakapan serta sikap seseorang yang diperlukan organisasi dalam mencapai tujuan yang juga harus disesuaikan dengan tuntutan pekerjaan yang akan diemban oleh seorang penyuluh. Pelatihan perlu dikelola dengan baik agar dapat mencapai tujuan. Pelatihan diciptakan suatu lingkungan dimana para peserta dapat memperoleh atau mempelajari pengetahuan dan keahlian yang berkaitan dengan peserta. Sehingga sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: Kebutuhan Pelatihan Analisis kebutuhan pelatihan merupakan suatu proses pengumpulan dan analisis data dalam rangka mengidentifikasi bidang-bidang atau faktor-faktor apa saja yang ada di dalam instansi yang perlu ditingkatkan atau diperbaiki agar kinerja pegawai dan produktivitas instansi menjadi meningkat. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh data akurat tentang apakah ada kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan. Rivai (2006) mendefinisikan kebutuhan pelatihan adalah untuk memenuhi kekurangan pengetahuan, meningkatkan keterampilan atau sikap dengan masing-masing kadar yang bervariasi. Sumantri (2005) mendefinisikan kebutuhan pelatihan merupakan keadaan dimana terdapat kesenjangan antara keadaan yang diinginkan dengan keadaan nyata. Berdasarkan pendapat para ahli mengenai kebutuhan pelatihan diatas maka dapat disimpulkan kebutuhan pelatihan merupakan suatu kesenjangan keadaan yang sebenarnya dengan keadaan yang diinginkan baik berupa kekurangan pengetahuan, meningkatkan keterampilan ataupun sikap. Dalam penelitian kebutuhan pelatihan dilihat berdasarkan kesesuaian dengan kurikulum pelatihan yakni kebutuhan mengenai perencanaan pelatihan, materi pelatihan, metode pelatihan, serta sarana prasarana pelatihan.
7 Perencanaan Pelatihan Perencanaan pelatihan adalah penyusunan rencana aksi atau tindakan yang akan dilakukan pada saat kegiatan pelatihan. Manfaat dari suatu pelatihan akan dirasakan apabila proses pelatihan tersebut dipersiapkan dan direncanakan dengan baik sesuai dengan kebutuhan organisasi. Menurut Dessler (2004) tahapan dalam mempersiapkan pelatihan meliputi : 1) Tahap 1 : Menetapkan Sasaran Pelatihan yaitu menetapkan sasaran dan tujuan diadakannya pelatihan. 2) Tahap 2 : Membuat Deskripsi Pekerjaan secara detail. Deskripsi pekerjaan yang detail adalah inti dari pelatihan. 3) Tahap 3 : Membuat formulir catatan analisis tugas. Pencatatan disini meliputi daftar tugas dengan standart kinerjanya (berkaitan dengan kuantitas, kualitas, akurasi dll), daftar persyaratan keahlian untuk dapat dilatih (berisikan pengetahuan dan keahlian spesifik yang ingin ditekankan pada penyuluh) 4) Tahap 4 : Membuat lembar instruksi pekerjaan yang berisikan poin-poin tugas yang harus dikerjakan dalam setiap tahapan. 5) Tahap 5 : Mempersiapkan program pelatihan pekerjaan. Paket pelatihan mencakup tahap 1 – 4 . Selain itu juga memuat ringkasan tujuan dari pelatihan, keahlian yang harus dimiliki dan akan didapat melalui pelatihan serta program dan sarana pelatihan. Materi Pelatihan Dalam merancang program pelatihan yang penting untuk diperhatikan adalah isi dari materi pelatihan. Hal ini berarti mengidentifikasi tugas-tugas yang harus diberikan dan pengetahuan konseptual yang harus diajarkan. Menurut Saylor (1996) karakteristik materi pelatihan yang baik harus memenuhi beberapa aspek yaitu relevansi terhadap sasaran kegiatan, materi disesuaikan dengan kegunaan pemakaian, isi materi harus memberikan informasi yang tepat untuk kondisi pelatihan tersebut, materi pelatihan juga harus mempertimbangkan faktor ekonomis. Materi pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan penyuluh akan membantu penyuluh dalam meningkatkan kompetensi dan kinerja. Materi pelatihan yang disusun dan disampaikan kepada peserta pelatihan sebenarnya tidak terlepas dari unsur ide (pengetahuan), cara (metode), dan alat (teknologi) dengan maksud untuk diketahui, dipraktekkan, dan digunakan sebagai upaya mencapai tujuan penyusunan dari pada materi pembelajaran pada pelatihan (Jamil 2012). Agar setiap materi pelatihan dapat diterima, dimanfaatkan, dan diaplikasikan oleh peserta pelatihan maka materi yang disusun haruslah bersifat: dapat dilihat, didengar, dapat dibaca, dan dapat dipraktekkan atau kombinasinya. Metode Pelatihan Metode pelatihan yang tepat tergantung kepada tujuannya. Tujuan dan/atau sasaran pelatihan yang berbeda akan berakibat pemakaian metode yang berbeda pula. Menurut Panggabean (2002) metode yang dapat digunakan dalam pelatihan antara lain:
8 1. On the Job Training (latihan sambil bekerja) mempunyai kelebihan dibandingkan dengan metode yang lain, karena metode ini mampu memberikan motivasi yang lebih tinggi kepada peserta untuk berlatih atau belajar. Ada dua cara dalam latihan ini antara lain: a) Cara Informal Dalam metode ini tidak tersedia pelatih secara khusus. Peserta latihan diperintahkan untuk memperhatikan dan mencontoh pekerja lain yang sedang bekerja untuk kemudian melakukannya sendiri pekerjaan itu. b) Cara Formal Dalam metode ini peserta mempunyai pembimbing khusus, biasanya ditunjuk seorang pekerja senior yang telah ahli. Sehingga peserta pelatihan diinstruksikan untuk mengikuti sebagaimana yang dikerjakan oleh pekerja senior tersebut. 2. Vestibule adalah metode pelatihan yang dilakukan di dalam kelas untuk memperkenalkan pekerjaan kepada karyawan baru dan melatih mereka mengerjakan pekerjaan tersebut. 3. Demonstration and example adalah metode pelatihan yang dilakukan dengan cara peragaan dan penjelasan bagaimana mengerjakan suatu pekerjaan melalui contoh-contoh atau pekerjaan yang didemonstrasikan. 4. Simulation merupakan situasi atau kejadian yang ditampilkan semirip mungkin dengan situasi yang sebenarnya tetapi hanya merupakan tiruannya saja. 5. Classroom method yang terdiri dari: a) Lecture (ceramah atau kuliah) Metode ini diberikan kepada peserta yang banyak didalam kelas, dimana pelatih mengajarkan teori-teori sedangkan yang dilatih mencatat dan mempersiapkannya. b) Conference (rapat) Pelatih memberikan makalah tertentu dan para peserta ikut serta berpartisipasi dalam memecahkan masalah tersebut. c) Programmed instruction Peserta dapat belajar sendiri karena langkah-langkah pekerjaannya sudah diprogram melalui komputer, buku, pedoman. d) Metode studi kasus Peserta ditugaskan untuk mengidentifikasi masalah, menganalisis situasi, dan merumuskan penyelesaiannya. e) Role playing Metode ini digunakan untuk keahlian dalam hal pengembangan keahlian hubungan antar manusia yang berinteraksi. f) Metode diskusi Dilakukan untuk melatih peserta agar berani memberikan pendapat dan merumuskan serta cara-cara bagaimana meyakinkan orang lain percaya pada pendapat itu. g) Metode seminar Peserta dilatih agar dapat mengevaluasi serta memberikan saran menerima atau menolak orang lain. Sejalan dengan hal diatas Sutrisno (2010) mengelompokkan metode pelatihan menjadi tiga bagian, yaitu:
9 1. On the job training (pelatihan di tempat kerja) adalah pelatihan pada karyawan untuk mempelajari bidang pekerjaannya sambil benar-benar mengerjakannya. Contoh pelatihan magang, yang biasa dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan. 2. On-site-training (pelatihan setelah jam kerja) merupakan alternatif bagi on the job training karena on-site-training dilaksanakan setelah jam kerja dengan tetap mempertahankan situasi kerja yang sesungguhnya. 3. Off job training (pelatihan di luar tempat kerja). Dari penjelasan kedua ahli mengenai metode pelatihan diketahui bahwa Panggabean (2002) lebih menekankan metode pelatihan yang dilaksanakan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Sedangkan Sutrisno (2010) selain melihat metode pelatihan yang digunakan dalam proses pembelajaran juga memberikan alternatif bagi on the job training seperti pelatihan setelah jam kerja ataupun diluar tempat kerja. Sarana dan Prasarana Pelatihan Ketersediaan sarana dan prasarana pelatihan merupakan pemenuhan akan kebutuhan penunjang kegiatan pelatihan. Menurut Percy dalam Ritonga (2013) Sarana pelatihan adalah semua peralatan dan perlengkapan yang secara langsung digunakan dalam proses pelaksanaan pelatihan misalnya ruang belajar, bengkel kerja, meja, kursi, papan tulis, alat peraga, buku - buku perpustakaan dan lain lain. Sarana Diklat perlu dikelola dengan baik agar dapat menunjang proses pembelajaran. Sedangkan prasarana pelatihan adalah merupakan seluruh komponen yang secara tidak langsung dapat menunjang jalannya proses pelatihan dan proses belajar mengajar seperti bangunan kantor,asrama, jalan, halaman, tata tertib dan lingkungan dimana lembaga pelatihan tersebut didirikan. Mulyaningrum (2010) menyatakan bahwa semakin efektif perencanaan, materi serta metode pelatihan maka akan semakin baik pencapaian kinerja penyuluh yang diharapakan. Selain hal tersebut juga didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana pelatihan yang memadai. Kinerja Penyuluh Pertanian Penyuluh merupakan mitra sejajar bagi petani yang mempunyai peran strategis dalam pembangunan pertanian. Dalam menjalankan peran tersebut, penyuluh mempunyai tugas pokok dan fungsi yang menjadi acuan dalam melakukan penyuluhan. Secara konvensional peran penyuluh hanya dibatasi pada kewajibannya menyampaikan dan memengaruhi masyarakat sasaran untuk mengadopsi inovasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya peran penyuluh selain menyampaikan inovasi pertanian juga berperan sebagai penghubung antara pemerintah dengan masyarakat sasaran. Lippitt et al. (1958) menjelaskan bahwa, peran penyuluh adalah mengembangkan kebutuhan untuk perubahan berencana, menggerakkan dan memantapkan hubungan dengan masyarakat sasaran melalui kerjasama dengan tokoh masyarakat dalam merencanakan perubahan sesuai tahapan pembangunan pertanian. Chamala dan Shingi (1997) berpendapat bahwa, pemberdayaan dapat menjadi tugas pokok dan fungsi penyuluhan dalam menolong warga masyarakat,
10 antara lain: (1) mampu mengorganisasikan masyarakat desa dan mengelola kelompok tani, (2) mampu mengembangkan sumberdaya manusia dan memberi makna baru pada pengembangan kecakapan teknis dan kecakapan manajemen dan (3) mampu memecahkan masalah dan mendidik petani dengan jalan memadukan pengetahuan asli mereka dan pengetahuan modern. Pengertian kinerja telah dikembangkan oleh banyak ahli dengan berbagai sudut pandang. Hasibuan (2003) menyatakan kinerja atau prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Kinerja seorang penyuluh dapat dilihat dari dua sudut pandang: (a) kinerja merupakan fungsi dari karakteristik individu, karakteristik tersebut merupakan variabel penting yang mempengaruhi perilaku seseorang termasuk penyuluh. (b) kinerja penyuluh pertanian merupakan pengaruh situasional diantaranya terjadi perbedaan pengelolaan dan penyelenggaraan penyuluhan pertanian disetiap Kabupaten yang menyangkut beragamnya aspek kelembagaan, ketenagaan, program penyelenggaraan dan pembiayaan (Laelani dan Jahi 2008). Haryadi et al. (2001), Bryan dan Glenn (2004) berpendapat bahwa, kinerja penyuluh pertanian merupakan eksistensi penyuluh dalam memahami keterkaitan tugas dan kebutuhan dasar program penyuluhan pertanian berkualitas dan relevan dengan kebutuhan petani sebagai bagian dari misi penyuluh untuk memenuhi kepuasaan petani dalam meningkatkan taraf hidupnya. Bansir (2008) memahami kinerja penyuluh pertanian ialah kemampuan dalam mendisain program penyuluhan, mengembangkan program secara partisipatif sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan agroekosistem yang dilaksanakan melalui kerjasama antara penyuluh dan masyarakat berdasarkan status kerja, kondisi kerja dan kebijakan organisasi penyuluhan. North Carolina Cooperative Extension (2006) lebih mengarah pada kemampuan penyuluh mendisain program penyuluhan, mendidik petani dan melakukan kerjasama. Bansir (2008) menekankan pada hasil kerja yang dicapai penyuluh pertanian berdasarkan status kerja, kondisi kerja dan kebijakan organisasi penyuluhan. Kinerja seseorang ditentukan oleh kemampuan ketiga aspek perilaku yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Selama kinerja yang dimiliki oleh penyuluh dengan kinerja yang dituntut oleh jabatannya terdapat kesenjangan, penyuluh tersebut tidak dapat berprestasi dengan baik dalam menyelesaikan tugas pokoknya. Kesenjangan kinerja adalah perbedaan kinerja yang dimiliki penyuluh pada saat ini dengan yang diharapkan oleh organisasi atau tuntutan pekerjaan (Hickerson dan Middleton 1975). Berlo dalam Asmoro (2009) menyatakan ada empat kualifikasi yang harus dimiliki setiap penyuluh pertanian untuk meningkatkan kinerjanya, yaitu: (1) kemampuan untuk berkomunikasi yaitu kemampuan dan keterampilan penyuluh untuk berempati dan berinteraksi dengan masyarakat sasarannya, (2) sikap penyuluh antara lain sikap menghayati dan bangga terhadap profesinya, sikap bahwa inovasi yang disampaikan benar-benar merupakankebutuhan nyata sasarannya, dan sikap menyukai serta sikap mencintai sasarannya dalam artian selalu siap memberi bantuan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan demi adanya perubahan-perubahan pada sasaran, (3) kemampuan pengetahuan penyuluh, yang terdiri dari isi, fungsi, manfaat serta nilai-nilai yang terkandung dalam inovasi
11 yang disampaikan, latar belakang keadaan sasaran dan (4) karakteristik sosial budaya penyuluh. Hasil penelitian Dube (1993) di Iowa, Amerika Serikat menunjukkan, penyuluh memandang penting tujuan program penyuluhan, yaitu menolong petani meningkatkan kualitas produksi, mengajarkan konservasi tanah, dan mendorong petani membuat perencanaan. Prinsip-prinsip program penyuluhan dinilai tinggi, seperti mendorong kerjasama tim para staf penyuluhan, menggunakan metode penyuluhan yang tepat, membangun keterampilan memecahkan masalah, dan menggunakan kebutuhan petani sebagai basis program. Demonstrasi cara, demonstrasi hasil dan kunjungan lapang memperoleh rating tinggi sebagai metode mengajar. Masalah utama yang dihadapi adalah luasnya areal kerja, keterbatasan transportasi dan keengganan petani ikut pertemuan. Berdasarkan Peraturan Menteri no 91 tahun 2013 penilaian kinerja dilakukan berdasarkan 3 (tiga) indikator yakni: (1) persiapan penyuluhan pertanian, (2) pelaksanaan penyuluhan pertanian, serta (3) evaluasi dan pelaporan penyuluhan pertanian. Tugas seorang penyuruh pertanian tercermin dari kegiatan penyuluh yang digariskan pada Peraturan Menteri Pendayagunaan aparatur Nomor 91 tahun 2013. Karakteristik Penyuluh Woolfolk (1993) menjelaskan bahwa karakteristik individu adalah ciri-ciri yang dimiliki individu sepanjang hidupnya, meliputi faktor kognitif dan karakteristik lain yang dimiliki individu, yang menentukan dalam proses belajar. Setiap individu memiliki karakteristik yang spesifik tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti: (1) kematangan karena pertambahan umur (maturity), (2) aktivitas (activity) yang dilakukan seseorang terhadap lingkungannya serta hal-hal yang dipelajarinya, (3) pengaruh lingkungan terhadap dirinya (social transmission). Kinerja seorang individu tergantung dari keadaan individu yang bersangkutan. Karakteristik individu menurut Rogers dan Shoemaker (1971) merupakan bagian dari individu dan melekat pada diri seseorang yang mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi lainnya. Karakteristik penyuluh merupakan bagian dari individu dan melekat pada diri seorang penyuluh yang mendasari tingkah laku sebagai penyuluh. Karakteristik tersebut dibatasi pada karakteristik yang berkaitan dengan kinerja penyuluh yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan formal, jumlah pelatihan yang diikuti, masa kerja, jabatan dan motivasi. Umur Umur seseorang berkaitan erat dengan tingkat perkembangannya. Secara kronologi, umur memberi petunjuk tentang tingkat perkembangan individu (Salkind 1985). Menurut Padmowihardjo (1994), umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis. Ada dua faktor yang mempengaruhi umur dengan kinerja seseorang antara lain, Faktor pertama ialah mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ seksual dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-
12 bentuk proses belajar yang lain. Berkenaan dengan umur, von Senden et al. (Havighurst 1974) mengamati gejala yang menyatakan bahwa terdapat periode kritis dalam tahap perkembangan manusia. Tahap seperti itu hadir dalam perkembangan sensor utama, seperti konsepsi tentang ukuran, bentuk, dan jarak dan juga dalam pengembangan perilaku sosial. Umur merupakan salah satu unsur dari karakteristik pribadi penyuluh pertanian yang ikut memengaruhi fungsi biologis dan psikologis individu penyuluh yang sangat erat hubungannya dengan kinerja, alasan yang memperkuat ungkapan ini adalah seperti yang telah diungkapkan oleh Robbins (1996) yang menyatakan bahwa produktivitas seseorang akan merosot dengan bertambahnya usia seseorang. Kecepatan, kecekatan, kekuatan dan koordinasi merosot dengan perjalanan waktu. Pekerjaan yang membosankan dan kurangnya rangsangan intelektual juga akan mengurangi produktivitas. Umur berpengaruh pada kemampuan penyuluh pertanian dalam memelajari, memahami, menerima dan mengadopsi suatu teknologi serta meningkatkan produktivitas kinerjanya. Dengan demikian umur berpengaruh pada kinerja penyuluh pertanian. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa umur memengaruhi kinerja penyuluh. Penelitian Leilani dan Jahi (2006) serta Sapar et al. (2011) menjelaskan bahwa umur seseorang penyuluh mempengaruhi tingkat kinerja penyuluh tersebut. Pendidikan Formal Pendidikan merupakan usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik. UNESCO menyatakan bahwa ada 4 (empat) pilar pendidikan, antara lain: (a) learning to know: belajar untuk mengetahui; (b) learning to do: belajar untuk berbuat; (c) learning to be: belajar untuk menjadi diri sendiri; (d) learning to live together: belajar untuk hidup bersama dengan orang lain. Pada masyarakat yang sedang berkembang, pendidikan hendaklah ditujukan pada semua tingkatan usia. Dalam masyarakat tradisional, apa yang dipelajari oleh setiap generasi baru adalah sama dengan apa yang telah diketahui dan disetujui oleh generasi sebelumnya, pendidikan merupakan proses pengembangan pengetahuan, keterampilan maupun sikap individu yang dilakukan secara terencana, sehingga diperoleh perubahan-perubahan dalam meningkatkan taraf hidupnya (Mosher 1987, Houle 1975). Menurut Slamet (2003), pendidikan didefinisikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Pendidikan pada hakekatnya usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan seseorang dapat melalui sekolah atau luar sekolah dan dapat dialami selama hidup yang dapat memberikan nilai tertentu pada manusia, terutama dalam membuka pikiran serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara ilmiah. Menurut, tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan kapasitas untuk dapat menikmati hidup yang biasa. Melalui pendidikan, pengetahuan dan keterampilan seseorang akan bertambah. Pendidikan formal adalah satuan atau program pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu badan baik pemerintah atau swasta. (Vaizey 1978, Salam 1997).
13 Pendidikan formal adalah suatu pendidikan yang proses pelaksanaannya telah direncanakan berdasarkan pada tatanan kurikulum dan proses pembelajaran yang terstruktur menurut jenjang pendidikan. Pendidikan formal yang diikuti oleh penyuluh pertanian merupakan gambaran bahwa penyuluh tersebut mempunyai pengetahuan yang lebih baik jika dibandingkan dengan klien. Pendidikan disini adalah pendidikan secara formal, seperti: SD, SLTP, SLTA dan Perguruan tinggi. Gilley dan Eggland (1989) menjelaskan bahwa, konsep behavioristik dari kinerja manusia dan konsep pendidikan menjadi dasar bagi pengembangan sumberdaya manusia. Orientasi ini menekankan pada pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk tujuan meningkatkan produktivitas dan efisiensi organisasi. Masa Kerja Pengalaman kerja ialah karakteristik individu yang menyangkut masa kerja dalam suatu organisasi. Martoyo (2000) berpendapat bahwa masa kerja atau pengalaman kerja adalah mereka yang dipandang lebih mampu dalam melaksanakan tugas-tugasnya yang nantinya akan diberikan disamping kemampuan intelegasinya yang juga menjadi dasar pertimbangan selanjutnya. Nitisemito (2000) menyatakan bahwa pada umumnya karyawan ditetapkan untuk promosi antara lain karena pengalaman kerjanya dan karyawan akan diberikan kedudukan atau jabatan lebih tinggi adalah karena pengalaman, usia atau kemampuan karyawan yang diperoleh dari umur atau lamanya bekerja. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa masa kerja atau pengalaman kerja adalah keahlian atau kemampuan yang dimiliki oleh seseorang pada suatu bidang pekerjaan yang diperoleh dengan belajar dalam suatu kurun waktu tertentu. Gagne (1967) berpendapat bahwa, pengalaman ialah akumulasi proses belajar yang telah dialami seseorang. Menurut Walker (1973), pengalaman adalah akumulasi proses mengalami, memengaruhi dan memutuskan sesuatu yang baru bagi kehidupan seseorang. Hasil penelitian Bryan dan Glenn (2004) menunjukkan bahwa, pengalaman kerja memberikan efek positif pada penyuluh baru, sementara pada penyuluh yang sudah lebih lama bekerja akan menunjukkan tingkat kepuasan klien. Pengalaman kerja seorang penyuluh menunjukkan kecakapan yang bersangkutan dalam melakukan pekerjaan, baik dari segi teknis maupun perencanaan. Seorang Penyuluh yang lama bekerja telah berpengalaman dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan klien, sehingga dapat merencanakan program untuk pengembangan usahatani dengan lebih baik. Jadi pengalaman kerja penyuluh berpengaruh pada kinerja penyuluh pertanian. Jumlah Pelatihan yang diikuti Pelatihan diklasifikasikan sebagai pendidikan non formal. Jayaratne dan Gamon (1998), menekankan pentingnya program pelatihan atau konseling untuk mengatasi “stress’ akibat restrukturisasi dan realokasi penyuluh. Restrukturisasi dalam organisasi penyuluhan mengakibatkan empat perubahan utama yaitu perubahan materi penyuluhan, wilayah kerja, kelompok inti dan sasaran (klien). Perubahan kelompok inti dan klien, berpengaruh negatif terhadap kinerja. Kedua
14 perubahan ini erat kaitannya dengan perubahan lingkungan sosial dan interaksi sosial. Disimpulkan bahwa kinerja penyuluh mengalami penurunan segera setelah penunjukan kembali dalam pekerjaan yang baru dan berpengaruh negatif terhadap kinerja. Menurut Hickerson dan Middleton (1975) pembelajaran yang dilaksanakan atau dialami oleh seseorang mengubah tiga domain yaitu: (1) psychomotoric meliputi fisik dan keterampilan, (2) cognitive yaitu kemampuan untuk me”recal” materi-materi dan perkembangan keterampilan berpikir, dan (3) affective yaitu sikap, “values” dan “interest.” Pelatihan bagi penyuluh pertanian dipersiapkan melalui program pelatihan bersyarat dan program pelatihan tidak bersyarat. Pertama, sifatnya berjenjang selaras dengan jabatan/golongan kepangkatan, misalnya pelatihan dasar I, pelatihan dasar II, sedangkan yang kedua tidak mensyaratkan golongan kepangkatan dan tidak mensyaratkan program pelatihan yang telah diikuti, tujuan dari program tidak bersyarat ini adalah untuk meningkatkan kemampuan penyuluh pertanian di bidang inovasi atau teknologi pertanian, misalnya pelatihan teknologi, komoditi dan budidaya (Ban 1999). Pelatihan yang pernah diikuti dapat dilihat dari jumlah dan jenis pelatihan yang diikuti selama kurun waktu tertentu. Pelatihan akan meningkatkan kompetensi penyuluh melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan,dan sikap dalam bidang tertentu guna menunjang pelaksanaan tugas. Dengan demikian pelatihan yang pernah diikuti oleh penyuluh pertanian memiliki pengaruh pada kinerja mereka. Motivasi Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupannya. Kajian tentang motivasi memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan pencapaian kinerja seseorang. Menurut Robbins dan Coulter (2010), motivasi mengacu pada suatu dorongan, arahan pada seseorang untuk mencapai tujuan. Teori Hierarki kebutuhan Maslow, kebutuhan fisiologis (dapat berupa kebutuhan akan makan, minum, tempat berteduh dan kebutuhan lainnya), kebutuhan keamanan (kebutuhan akan keamanan dan perlindungan fisik), kebutuhan sosial (kebutuhan akan penerimaan dan persahabatan), kebutuhan penghargaan (kebutuhan akan penghargaan internal seperti harga diri, dan penghargaan eksternal seperti status, pengakuan dan perhatian), dan kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan akan pencapaian potensi, dan pemenuhan diri). Penelitian ini membatasi pada motivasi intrinsik untuk kebutuhan fisiologis, kebutuhan sosial dan kebutuhan penghargaan. Teori Motivasi Dua Faktor dari Herzberg (1959) menyatakan bahwa pada setiap melakukan sesuatu akan terdapat dua faktor penting yang memengaruhi suatu pekerjaan dilaksanakan dengan baik atau tidak. Faktor tersebut adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor-faktor motivasi (intrinsik) meliputi motivasi
15 karena kebutuhan fisiologis, kebutuhan sosial dan kebutuhan penghargaan. Sedangkan faktor-faktor ekstrinsik diantaranya adalah insentif yang didapat pada saat mengikuti pelatihan (Suhanda et al. 2009). Suparno (2000) mengemukakan bahwa seseorang akan melakukan sesuatu jika mengharapkan akan melihat hasil, memiliki nilai (value) atau manfaat. Perasaan berhasil (the experience of success) akan menimbulkan motivasi seseorang untuk mempelajari dan melakukan sesuatu. Motivasi dengan demikian merupakan dorongan yang berasal dari dalam maupun luar diri seseorang untuk melakukan tindakan dalam upaya mencapai suatu tujuan. Motivasi dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mendorong penyuluh mengikuti pelatihan. Kompetensi Penyuluh sebagai Fasilitator Pelatihan Boyatzis (1982) menjelaskan bahwa, kompetensi merupakan kemampuan seseorang untuk menunjukkan kegiatan-kegiatan yang bersifat spesifik dalam satu lingkungan kerja yang dilakukan dengan penuh tanggungjawab, sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan peran dan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Menurut Gilley dan Eggland (1989), kompetensi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang, sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan tugasnya. Fasilitator, guru dan dosen sebagaimana dijelaskan dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 merupakan pendidik yaitu tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai fasilitator, guru dan dosen. Perbedaannya adalah fasilitator pelatihan dalam penelitian ini merupakan kualifikasi pendidik pada kegiatan pelatihan, guru merupakan kualifikasi pendidik pada pendidikan formal jenjang pendidikan dasar dan menengah, sedangkan dosen merupakan kualifikasi pendidik pada pendidikan formal jenjang pendidikan tinggi. Selanjutnya pada Pasal 39 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Mengacu pada penjelasan tersebut, terdapat kesamaan peran dan tugas secara umum antara fasilitator, guru dan dosen. Oleh karena itu pada penelitian ini definisi operasional kompetensi fasilitator pelatihan adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh fasilitator dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Tugas keprofesionalan fasilitator adalah mendidik, mengajar dan melatih peserta pelatihan. Penyuluh fasilitator dalam penelitian ini merupakan seseorang (penyuluh) yang memiliki kemampuan dan pengetahuan dasar dalam menyampaikan informasi yang dibutuhkan oleh peserta pelatihan, memiliki keahlian dalam berkomunikasi, memiliki pengalaman dalam menggunakan metode yang diberikan, memiliki kompetensi spesifik dalam pembelajaran yang dilaksanakan, serta memiliki emosi yang stabil dan pengalaman dalam bekerja dengan kelompok. Oepen (2003) mengemukakan bahwa kompetensi dari penyuluh fasilitator terdiri atas: (a) penguasaan substansi materi, meliputi penguasaan keilmuan sesuai dengan materi pelatihan yang diajarkan, menguasai jawaban
16 terhadap kemungkinan tanggapan atau pertanyaan peserta terhadap materi pelatihan. (b) perencanaan pembelajaran meliputi, kemampuan menyusun rencana, tujuan, modul, metode serta evaluasi dari pembelajaran yang dilaksanakan. (c) pelaksanaan pembelajaran meliputi kemampuan menerapkan pembelajaran orang dewasa, kemampuan memotivasi peserta pelatihan dalam melaksanakan pembelajaran. (d) pelaksanaan evaluasi pembelajaran meliputi kemampuan melaksanakan dan menganalisis hasil pre test dan post test. (e) kerjasama meliputi kemampuan membina hubungan kerjasama dengan sesama penyuluh fasilitator, kemampuan melakukan kerjasama dengan panitia pelatihan dan memiliki komitmen dalam melaksanakan tugas. Berdasarkan uraian pernyataan-pernyataan tentang kompetensi penyuluh fasilitator diatas maka kompetensi fasilitator yang di amati adalah : (a) kemampuan penguasaan substansi materi, (b) kemampuan merencanakan pembelajaran, (c) kemampuan melaksanakan pembelajaran, serta (d) kemampuan mengevaluasi pembelajaran. Kelembagaan Penyuluhan Di bentuknya Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan maka satuan administrasi pangkal serta tugas dan pokok penyuluh diatur dalam UU No 16 Tahun 2006 yang melaksanakan penyuluhan dan mengembangkan mekanisme serta tata hubungan kerja dengan menggunakan metode penyuluhan (Wowor 2012). Berdasarkan Undang-Undang No.16 Tahun 2006, Kelembagaan penyuluhan adalah lembaga pemerintah dan/atau masyarakat yang mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan penyuluhan. Winardi (2003) menjelaskan bahwa kelembagaan atau organisasi secara efektif dapat menghasilkan manfaat sebagai berikut: (1) kejelasan tentang ekspektasiekspektasi kinerja individual dan tugas-tugas yang terspesialisasi; (2) pembagian kerja agar terhindar dari timbulnya duplikasi, konflik dan penyalahgunaan sumberdaya, baik sumberdaya material maupun sumberdaya manusia; (3) terbentuknya suatu arus aktivitas kerja yang logikal, yang dapat dilaksanakan dengan baik oleh individu-individu atau sebagian kelompok; (4) saluran komunikasi yang mapan, yang membantu pengambilan keputusan dan pengawasan; (5) mekanisme-mekanisme yang mengkoordinasi, yang memungkinkan tercapainya harmoni antara anggota organisasi yang terlibat dalam berbagai kegiatan; (6) upaya-upaya yang difokuskan berkaitan dengan sasaran logikal dan efisien; (7) struktur-struktur otoriter tepat, yang memungkinkan kelancaran perencanaan dan pengawasan pada seluruh organisasi yang bersangkutan. Penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugasnya perlu mendapatkan dukungan dari lembaga atau institusi tempat penyuluh bernaung. Dukungan tidak hanya dari segi kebijakan, tetapi juga dari segi fasilitas dan operasional dilapangan. Organisasi bersifat teknis fungsional adalah dinas-dinas dan unit pelaksana teknis atau unit pelaksana teknis daerah (UPTD). Kelembagaan Struktural dibentuk karena pelaksanaan tugas pokok dan fungsi lebih banyak mengacu kepada garis komando yang lazim dilakukan pada organisasi militer. Penyuluhan pertanian harus memperhatikan hal-hal seperti penghargaan profesinya, kesejahteraannya serta adanya aturan operasional penyuluhan yang jelas dan
17 trasparan, dengan kata lain harus memperhatikan karier bagi penyuluhnya. Fungsi utama dari kelembagaan penyuluhan pertanian adalah sebagai wadah dan organisasi pengembangan sumberdaya manusia pertanian serta menyelenggarakan penyuluhan. Adanya kelembagaan penyuluhan pertanian berdiri sendiri diharapkan dapat menjamin terselenggaranya : (1) Fungsi perencanaan dan penyusunan program penyuluhan di tingkat Kabupaten Kota dan tersusunnya programa di tingkat BP3K, (2) Fungsi penyediaan dan penyebaran informasi teknologi, model usaha agrobisnis dan pasar bagi petani di pedesaan, (3) Fungsi pengembangan SDM pertanian untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan, (4) Penataan administrasi dan piningkatan kinerja penyuluh pertanian yang berdasarkan kompetensi dan profesionalisme, (5) Kegiatan partisipasi petanipenyuluh dan peneliti, (6) Fungsi supervisi, monitoring, evaluasi serta umpan balik yang positif bagi perencanaan penyuluhan kedepan. Peran kelembagaan di tingkat Kabupaten kota, kecamatan, dan tingkat kelembagaan petani antara lain: 1. Sebagai Sentra pelayanan pendidikan non-formal dan pembelajaran petani dan kelompoknya dalam usaha agrobisnis. 2. Sebagai sentra komunikasi, informasi dan promosi teknologi, sarana produksi, pengolahan hasil peralatan dan model-model agribisnis. 3. Sebagai sentral pengembangan SDM pertanian dan poenyuluhan berbasis kerakyatan, sesuai kebutuhan petani dan profesionalisme penyuluhan pertanian. 4. Sebagai sentral pengembangan kelembagaan social ekonomi petani. 5. Sebagai sentra pengembangan kompetensi dan profesionalisme penyuluh pertanian. 6. Sebagai sentra pengembangan kemitraan dengan dunia usaha agribisnis dan lainnya Kelembagaan penyuluhan pemerintah terdiri atas: a. pada tingkat pusat berbentuk badan yang menagani penyuluhan, b. pada tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan, c. pada tingkat kabupaten/kota berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan, d. pada tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan (UU No.16 tahun 2006) Tata hubungan dan mekanisme kerja lembaga penyuluhan dan Dinas/Badan serta BPTP dapat dilihat pada Gambar 1:
Gambar 1. Tata Hubungan dan Mekanisme Kerja Lembaga Penyuluhan dengan Dinas/Instansi Terkait (Worwor 2012)
18 1. Badan Litbang, BPTP, Peneliti (Pendamping) Bertugas melakukan pengkajian terhadap teknologi yang bisa direkomendasikan kepada penyuluh sampai kepada petani dengan melakukan koordinasi. 2. Badan PSDMP Memfasilitasi untuk pengembangan dan peningkatan sumberdaya manusia baik penyuluh maupun petani dengan melakukan berbagai pelatihan demi mencapai pembangunan pertanian. 3. Ditjen Teknis/Dinas Terkait Melakukan berbagai koordinasi baik menyampaikan program kerja yang berkaitan dengan penyelenggaraan penyuluhan dan berbagai informasi tentang sasaran utama, mendiskusikan teknologi agar bisa menjadi sinkron dan mengupayakan terwujudnya hubungan yang harmonis. 4. Bakorluh Melakukan koordinasi , integrasi, sinkronisasi dengan lintas sektor, optimlisasi partispasi, advokatsi masyrakat dengan melibatkan unsur pakar, dunia usaha, institusi terkait, pergutuan tinggi dan sasaran. Menyusun kebijakan dan programa penyuluhan provinsi yang sejalan dengan kebijakan dan programa penyuluhan nasional Memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan forum masyrakat bagi pelaku utama dan pelaku usaha untuk mengembangkan usahanya dan memberikan umpan balik kepada pemerintah dan daerah Melaksanakan peningkatan kapasitas penyuluh PNS, Swadaya dan Swasta 5. Bapeluh Bapeluh menyusun kebijakan manajemen penyelenggaraan penyuluhan Mengadakan rapat koordinasi dengan dinasi atai instansi terkait maupun kelembagaan-kelembagaan penyuluhan swasta/swadaya dalam rangka menyeleggarakan fungsi manajemen penyuluhan. Mensinergiskan manajemen penyelenggaraan penyuluhan tahunan dengan program-program dinasi dan atau instansi terkait Mempertimbangkan kebijakan penyelenggaraan penyuluhan yang berasal dari Pusat atau Provinsi baik dalam bentuk program maupun programa penyuluhan serta hasil monitoring dan evaluasi. 6. BP3K Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan di Kecamatan bertugas : Menindaklanjuti program penyuluhan yang berasal dari Bapeluh Menjabarkan program penyuluhan dari Bapeluh Menyusun programa penyuluhan Kecamatan berdasarkan programma tingkat Kabupaten. 7. POSLUHDES Pos Penyuluhan Desa merupakan unit kerka nonstruktural yang dibentuk dan dikelola secara partispatif oleh pelaku utama. Posluhdes berfungsi : Menyusun programa penyuluhan Melaksanakan penyuluhan di desa/kelurahan Menginventarisasi permasalahn dan upaya pemecahannya
19
Melaksanakan proses pembelajaran melalui percontohan dan pengembangan model usaha tani bagi pelaku utama dan pelaku usaha Menumbuhkembangkan kepemimpinan, kewirausahaan serta kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha Memfasilitasi layanan informasi, konsultasi, pendidikan serta pelatihan bagi pelaku utama dan pelaku usaha Memfasilitasi forum penyuluhan perdesaan. 8. POKTAN Kelompok Tani (POKTAN) mempunyai fungsi sebagai : Kelas Belajar Kelompoktani merupakan wadah belajar mengajar bagi anggotanya guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta tumbuh dan berkembangnya kemandirian dalam berusaha tani, sehingga produktivitasnya meningkat, pendapatannya bertambah serta kehidupan yang lebih sejahtera. Wahana Kerjasama Kelompok tani merupakan tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama petani dalam kelompoktani dan antar kelompoktani serta dengan pihak lain. Unit Produksi Usahatani yang dilaksanakan oleh masing-masing anggota kelompoktani, secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha yang dapat dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi, baik dipandang dari segi kuantitas, kualitas maupun kontinuitas. Berdasarkan uraian diatas dukungan kelembagaan penyuluhan yang dilihat adalah ketersediaan fasilitas dari lembaga penyuluhan yang diberikan kepada penyuluh guna membantu memudahkan penyuluh dalam melaksanakan tugas di lapangan. Serta pemberian insentif atau penghargaan baik berupa material ataupun nonmaterial sehingga dapat membantu penyuluh dalam bekerja dan meningkatkan kinerja penyuluh pertanian.
20 3 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kinerja penyuluh pertanian berkaitan dengan keberhasilan pelaku utama. Membangun pertanian dibutuhkan sumberdaya manusia (SDM) yakni penyuluh yang berkualitas. Untuk membangun SDM dapat dilaksanakan melalui proses belajar dan mengajar dengan mengembangkan sistem pendidikan non formal diluar sekolah secara efektif dan efisien. Dalam hal ini, kinerja penyuluhan yang baik pada penyuluh pertanian dilaksanakan dengan cara mengadakan pelatihan serta penyuluh dibekali ilmu pengetahuan, keterampilan, pengenalan paket teknologi dan inovasi dibidang pertanian. Pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan yang cocok dilaksanakan adalah dengan pendekatan pembelajaran orang dewasa. Selain itu dalam kegiatan pelatihan harus digunakan metode yang tepat serta pemberian materi yang dibutuhkan oleh penyuluh pertanian. Kompetensi akan terbangun dengan adanya pelatihan yang sesuai dan kompetensi dari penyuluh tersebut dapat meningkat. Kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang yang menentukan terhadap hasil kerja yang terbaik dan efektif sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam suatu pekerjaan atau situasi tertentu (Spencer dan spencer, 1993). Kompetensi diduga menentukan perilaku dan kinerja (hasil kerja) seseorang dalam situasi yang beragam. Kompetensi akan terbangun dengan adanya pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan penyuluhan pertanian. Kinerja penyuluh diduga ditentukan oleh karakteristik penyuluh, tingkat kesesuaian kurikulum pelatihan, tingkat kompetensi penyuluh pelatih, dan tingkat dukungan lembaga penyuluhan. Karakteristik penyuluh yang diduga berpengaruh dengan kinerja adalah umur, pendidikan formal, jenis kelamin, masa kerja, jumlah pelatihan yang diikuti, dan motivasi, Tingkat kesesuaian kurikulum pelaihan yang diduga mempengaruhi kinerja antara lain perencanaan, materi, metode dan sarana prasarana pelatihan. Pada tingkat kompetensi penyuluh pelatih dan tingkat dukungan lembaga penyuluhan diduga yang berpengaruh terhadap kinerja penyuluh adalah penguasaan substansi materi, kemampuan merencanakan pembelajaran, kemampuan melaksanakan pembelajaran, kemampuan dalam mengevaluasi pembelajaran, fasilitas serta insentif atau penghargaan. Pasca diberlakukannya otonomi daerah telah terjadi perubahan yang mendasar terhadap pembinaan penyuluh pertanian, yang semula dilaksanakan oleh pusat bergeser ke daerah. Saat ini, kondisi penyuluh pertanian di Kabupaten Bungo cukup memprihatinkan. Berdasarkan survei di BP4K banyak penyuluh yang tidak memiliki keterampilan serta pengetahuan dalam melaksanakan penyuluhan sehingga kinerja mereka tidaklah begitu baik. Oleh karena itu pihak BP4K melaksanakan kegiatan pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bagi penyuluh tersebut. Selain itu diterapkannya sistem LAKU yang mengharuskan penyuluh untuk melaksanakan pelatihan dan kunjungan agar pengetahuan dan keterampilan penyuluh meningkat serta dapatkan meningkatkan kinerja penyuluh tersebut. Dalam penelitian ini beberapa variabel yang akan diamati meliputi variabel karakteristik penyuluh (X1), tingkat kesesuaian kurikulum dengan pelatihan (X2), tingkat kompetensi penyuluh pelatih (X3) dan dukungan lembaga penyuluhan (X4). Alur pemikiran penelitian dapat di lihat pada Gambar 2:
21 Karakteristik Penyuluh Peserta Pelatihan (X.1) X1.1 Umur X1.2 Tingkat Pendidikan Formal X1.3 Jenis Kelamin X1.4 Masa Kerja X1.5 Jumlah pelatihan yang pernah diikuti X1.6 Motivasi mengikuti pelatihan
Tingkat Kesesuaian Kurikulum Pelatihan (X.2) X2.1 X2.2 X2.3 X2.4
Perencanaan Pelatihan Materi Pelatihan Metode Pelatihan Sarana dan prasarana pelatihan
Tingkat Kinerja Penyuluh (Y) Y1.1 Ketersediaan dokumen tentang persiapan kegiatan penyuluhan pertanian Y1.2 Tingkat pelaksanaan penyuluhan pertanian Y1.3 Kontinuitas evaluasi dan pelaporan
Tingkat Kompetensi Penyuluh Pelatih (X.3) X3.1 Penguasaan substansi materi X3.2 Kemampuan merencanakan pembelajaran X3.3 Kemampuan melaksanakan pembelajaran X3.4 Kemampuan dalam mengevaluasi Pembelajaran Tingkat Dukungan Lembaga Penyuluhan (X4) X4.1 Fasilitas dari lembaga penyuluhan X4.2 Insentif atau penghargaan
Gambar 2. Kerangka berpikir penelitian Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan dan kerangka berpikir yang telah dikemukakan, maka hipotesis penelitian yang diajukan adalah: terdapat pengaruh yang nyata karakteristik penyuluh, tingkat kesesuaian kurikulum pelatihan, tingkat kompetensi penyuluh pelatih serta dukungan lembaga penyuluhan terhadap kinerja penyuluh.
22
4 METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menerangkan kondisi dasar suatu peristiwa dan menjelaskan kaidah hubungan antar peristiwa dengan memaparkan ciri-ciri dari peristiwa itu (Silalahi 2012). Metode penelitian menggunakan metode survei dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian survei sendiri menurut Singarimbun dan Effendi (1995) adalah suatu penelitian yang menggunakan kuesioner untuk memperoleh data dari suatu sampel dalam populasi, di mana tujuan dari penelitian survei adalah untuk menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesis. Penelitian terdiri dari empat variabel bebas yaitu (X1) adalah karakteristik penyuluh, tingkat kesesuaian kurikulum dengan kebutuhan pelatihan (X2), tingkat kompetensi penyuluh (X3) dan dukungan lembaga penyuluhan (X4), sedangkan variabel terikat (Y) adalah Kinerja Penyuluh. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di BP4K Kabupaten Bungo. Pemilihan daerah ini dilakukan secara sengaja (purposive) di Kabupaten Bungo dengan mengambil 17 BP3K yang tersebar di Kabupaten Bungo, pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada (1) Kabupaten Bungo merupakan salah satu kabupaten yang melaksanakan kegiatan pelatihan secara rutin berdasarkan sistem LAKU; (2) perubahan kelembagaan penyuluhan yang sekarang berdasarkan UU SP3K; (3) adanya relevansi masalah yang diteliti di Kabupaten Bungo; (4) Akses ke daerah penelitian yang lebih mudah dijangkau oleh peneliti sehingga lebih efisien (waktu dan biaya) serta dimilikinya pengalaman empirik di wilayah tersebut, karena merupakan tempat domisili peneliti. Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan mulai Mei sampai Juli 2015. Jangka waktu ini dilakukan mulai dari uji coba kuisioner sampai dengan pengumpulan data di lapangan Populasi dan Sampel Populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian yang menurut sifatnya terbagi menjadi populasi homogen dan populasi heterogen, sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti (Riduwan 2013). Penelitian ini menggunakan nonprobability sampling di mana peluang untuk diambilnya sampel tidak sama (Sugiyono 2011). Teknik yang digunakan adalah sampling jenuh. Sampling jenuh atau lebih dikenal dengan metode sensus merupakan suatu teknik pengambilan sampel yang meliputi keseluruhan jumlah anggota populasi (Sugiyono 2011). Metode sensus digunakan karena jumlah populasi yang tidak terlalu banyak, sehingga, jumlah sampel pada penelitian ini adalah seluruh penyuluh pertanian di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi yang pernah mengikuti pelatihan peningkatan SDM Penyuluh di BP4K yang berjumlah 100 penyuluh.
23 Data dan Instrumentasi Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuisioner yang disebarkan kepada responden. Selain itu, dilengkapi dengan wawancara mendalam dengan sejumlah informan yakni Kepala BP4K, Kepala BP3K, serta panitia pelaksana pelatihan. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen yang berhubungan dengan lingkup penelitian. Sumber-sumber tersebut antara lain adalah profil Kabupaten yang menjadi lokasi penelitian, perkembangan materi pelatihan serta laporan pelaksanaan pelatihan yang menunjang penelitian. Instrumentasi merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Instrumentasi yang diperlukan adalah kuisioner berupa daftar pertanyaan yang berhubungan dengan peubah-peubah yang diamati terhadap obyek penelitian. Definisi Operasional Definisi operasional peubah dimaksudkan untuk memberikan batasan yang jelas, sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran. Definisi operasional pada masing-masing peubah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Karakteristik penyuluh adalah sifat atau ciri-ciri spesifik yang melekat pada diri penyuluh yang dapat berpotensi menjadi pendorong atau penghambat dalam meningkatkan kinerja. Aspek-aspek karakteristik penyuluh meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan formal, masa kerja, jumlah pelatihan yang diikuti, jabatan dan motivasi. Penjelasan masingmasing peubah adalah sebagai berikut: a. Umur penyuluh merupakan masa hidup penyuluh dihitung sejak lahir sampai pada waktu penelitian dilaksanakan. Untuk keperluan analisis statistik usia penyuluh diukur dengan menggunakan skala ordinal berdasarkan sebaran umur dari responden penelitian yang dinyatakan dalam tahun serta diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) muda (27-37) (2) dewasa (38-48) (3) tua (>48). b. Jenis kelamin dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu laki-laki dan perempuan yang menjadi sub peubah jenis kelamin. c. Pendidikan formal adalah lamanya responden menempuh jenjang pendidikan tertinggi diukur dengan menggunakan skala rasio yang dinyatakan dalam tahun. Pengukuran dengan menghitung lamanya tahun responden mengikuti pendidikan formal (yang sederajat). Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (SMA) (2) sedang (DIII) (3) tinggi (DIV/S1-S2) d. Masa kerja lamanya penyuluh bekerja, pengukuran dalam tahun sejak penyuluh yang bersangkutan mulai bekerja sampai saat wawancara di lakukan dalam satuan tahun dengan menggunakan skala ordinal. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu:
24 (1) rendah (4-14 tahun) (2) sedang (15-25 tahun) (3) tinggi (> 25 tahun). e. Jumlah pelatihan yang diikuti adalah pendidikan nonformal yang diikuti penyuluh dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir. Pengukuran dilakukan dengan melihat frekuensi penyuluh yang bersangkutan dalam mengikuti pelatihan. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (1-10 kali) (2) sedang (11-20 kali) (3) tinggi (> 20 kali). f. Motivasi mengikuti pelatihan adalah besarnya dorongan responden, baik secara intrinsik maupun ekstrinsik untuk mengikuti pelatihan yang diadakan. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat motivasi responden dalam mengikuti pelatihan baik yang timbul dari dalam dirinya maupun yang berasal dari luar dirinya, dengan menggunakan skala ordinal berdasarkan 4 aspek parameter/parameter pertanyaan. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (skor 4 – 7) (2) sedang (skor 8 - 11) (3) tinggi (skor > 11). 2. Tingkat kesesuaian kurikulum dengan kebutuhan pelatihan adalah salah satu cara untuk mengukur efektifitas program pelatihan meliputi: perencanaan pelatihan, materi pelatihan, metode pelatihan, dan sarana prasarana pelatihan. a) Perencanaan pelatihan adalah hal-hal yang dirumuskan berdasarkan kebutuhan peserta sebelum melaksanakan kegiatan pelatihan. Variabel ini diukur dengan mengajukan 5 butir pertanyaan. Jawaban yang diperoleh dinilai dengan skala ordinal sebagai berikut: (1) rendah (skor 5-9) (2) sedang (skor 10-14) (3) tinggi (skor >14) b) Materi pelatihan merupakan pesan atau bahan ajar yang diberikan selama proses pembelajaran dalam kegiatan pelatihan, diukur dengan menggunakan skala ordinal. Materi pelatihan diukur berdasarkan jawaban responden atas pertanyaan yang terkait dengan materi pelatihan yakni mengenai kesesuaian dengan kebutuhan kerja. Variabel ini diukur dengan mengajukan 8 pertanyaan. Jawaban yang diperoleh dinilai dengan skala ordinal sebagai berikut: (1) rendah (skor 8 – 15) (2) sedang (skor 16 – 23) (3) tinggi (skor > 23) c) Metode pelatihan adalah teknik atau cara yang digunakan oleh penyuluh fasilitator dalam kegiatan pembelajaran untuk menyampaikan informasi kepada peserta pelatihan. Metode yang dilihat berdasarkan yang digunakan dan diterapkan pada saat pembelajaran berlangsung. Variabel ini diukur dengan mengajukan 5
25 (lima) pertanyaan. Jawaban yang diperoleh dinilai dengan skala ordinal sebagai berikut: (1) rendah (skor 5-9) (2) sedang (skor 10-14) (3) tinggi (skor >14) d) Sarana dan prasarana pelatihan merupakan Kualitas dan kuantitas sarana serta prasarana untuk kegiatan pelatihan. Sarana dan prasarana pelatihan diukur berdasarkan jawaban responden atas pertanyaan yang terkait. Pertanyaan yang diajukan sebanyak 6 butir pertanyaan. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu: (1) rendah (skor 6-11) (2) sedang (skor 12-17) (3) tinggi (skor >17) 3. Tingkat kompetensi penyuluh pelatih adalah penilaian terhadap penyuluh pelatih yang meliputi: penguasaan substansi materi, berdasarkan jawaban responden perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, pelaksanaan evaluasi pembelajaran serta kerjasama. a) Penguasaan substansi materi adalah kemampuan penyuluh pelatih dalam menguasai keilmuan dan keterampilan praktek sesuai dengan pelatihan yang diajarkan. Variabel ini diukur dengan mengajukan 4 pertanyaan yang akan dikategorikan menjadi tiga skala ordinal sebagai berikut: (1) rendah (skor 4-7) (2) sedang (skor 8-11) (3) tinggi (skor > 11) b) Perencanaan pembelajaran adalah kemampuan penyuluh pelatih dalam merencanakan pembelajaran pada pelatihan yang dilaksanakan. Variabel ini diukur dengan mengajukan 7 pertanyaan yang akan dikategorikan menjadi tiga skala ordinal sebagai berikut: (1) rendah (skor 7-12) (2) sedang (skor 13-18) (3) tinggi (skor >18) c) Pelaksanaan Pembelajaran adalah kemampuan penyuluh pelatih dalam melaksanakan pembelajaran. Dilihat dari kemampuan penyuluh pelatih dalam menyusun modul pembelajaran. Variabel ini diukur dengan mengajukan 4 pertanyaan yang akan dikategorikan menjadi tiga skala ordinal sebagai berikut: (1) rendah (skor 4-7) (2) sedang (skor 8-11) (3) tinggi (skor > 11) d) Pelaksanaan Evaluasi pembelajaran adalah Kemampuan penyuluh pelatih dalam melaksanakan dan menganalisis hasil evaluasi. Variabel ini diukur dengan mengajukan 6 pertanyaan yang dikategorikan menjadi tiga skala ordinal sebagai berikut: (1) rendah (skor 6-11) (2) sedang (skor 12-17) (3) tinggi (skor > 17)
26 4. Dukungan lembaga penyuluhan merupakan bantuan yang diberikan oleh pihak dinas dalam kegiatan penyuluhan meliputi: Fasilitas dari lembaga penyuluhan dan Insentif atau penghargaan. a) Fasilitas lembaga penyuluhan diukur dengan mengajukan 6 pertanyaan yang dikategorikan menjadi tiga skala ordinal sebagai berikut: (1) rendah (skor 6-11) (2) sedang (skor 12-17) (3) tinggi (skor > 17) b) Insentif atau penghargaan merupakan dukungan dari lembaga berupa materi ataupun non materi yang dapat menunjang kegiatan penyuluh pertanian. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala ordinal berdasarkan 8 aspek parameter/parameter pertanyaan. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) rendah (skor 8-15) (2) sedang (skor 16-23) (3) tinggi ( skor > 23) 5. Kinerja adalah hasil dari suatu pekerjaan yang dapat dilihat atau yang dapat dirasakan secara kognitif, afektif maupun psikomotorik meliputi: persiapan penyuluhan pertanian, pelaksanaan penyuluhan pertanian, evaluasi dan pelaporan. a. Ketersediaan dokumen tentang persiapan kegiatan penyuluhan pertanian. Variabel yang diukur berdasarkan permentan no 91 tahun 2013. Variabel ini diukur berdasarkan total skor dari: (a) membuat data potensi wilayah dan agroekosistem, (b) penyusunan RDKK (c) keterlibatan penyusunan programa penyuluhan pertanian desa dan kecamatan (d) membuat rencana kerja tahunan penyuluh pertanian (RKTPP). Jawaban responden dinilai dengan skala ordinal dengan kategori sebagai berikut: (1) rendah (skor 4-9) (2) sedang (skor 10-15) (3) tinggi (skor > 15) b. Tingkat pelaksanaan penyuluhan pertanian adalah hasil pekerjaan penyuluh dalam melakukan kegiatan. Pengukuran variabel ini dilakukan dengan mengajukan 8 pertanyaan. Jawaban responden dinilai dengan skala ordinal dengan kategori sebagai berikut: (1) rendah (skor 8-20) (2) sedang (skor 21-33) (3) tinggi (skor > 33) c. Evaluasi dan pelaporan penyuluhan pertanian yaitu kegiatan pelaporan yang dilaksanakan oleh penyuluh setelah melaksanakan program. Pengukuran variabel ini dilakukan dengan mengajukan 2 pertanyaan. Jawaban responden dinilai dengan skala ordinal dengan kategori sebagai berikut: (1) rendah (skor 2-4) (2) sedang (skor 5-7) (3) tinggi (skor > 7)
27 d.
Kinerja penyuluh (total) merupakan penilaian atas keseluruhan kegiatan kerja yang telah dilakukan untuk kemudian dibandingkan dengan kesesuaian target yang ingin dicapai melalui indikator-indikator tertentu. Diukur dengan menggunakan standar Nilai Prestasi Kerja (NPK) dengan 15 parameter dinilai dengan skala 1-5. Disimbolkan melalui angka dengan kriteria; (1) rendah (skor < 25) (2) sedang (skor 26-50) (3) tinggi (skor 51-75) Uji Validitas dan Uji Reliabilitas
Uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen yang dipakai harus dilakukan sebelum instrumen diberikan kepada responden, agar data valid dan reliabel. Instrumen yang valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur, dan reliabel bila terdapat kesamaan data dalam waktu yang berbeda. Suatu alat ukur sudah dianggap valid apabila alat ukur tersebut dapat digunakan untuk mengukur secara tepat konsep yang ingin diukur sehingga hasil dari pengukuran tersebut tidak menimbulkan keraguan. Sugiyono (2010) menyatakan bahwa suatu alat ukur yang dapat dipergunakan berkali-kali tetap mempunyai sifat konsisten, stabil, ketepatan dan menunjukkan suatu gejala yang sama walaupun dalam waktu yang berbeda dikatakan memiliki reliabilitas yang tinggi. Kerlinger (2003) menyatakan bahwa validitas instrumen merupakan tingkat kesahihan suatu alat ukur untuk menunjukkan sejauhmana instrumen dapat diukur berdasarkan apa yang sebenarnya ingin diukur. Beberapa cara/langkah langkah untuk menetapkan kesahihan suatu alat ukur yang akan dipakai yakni dengan tiga rancangan: (1) terwakili dengan pertanyaan-pertanyaan jika kita mengukur himpunan objek yang sama berulang kali, (2) ketepercayaan, (3) keteramalan. Selanjutnya titik berat pada uji coba validitas instrumen adalah pada validitas isi, yang dilihat dari (1) apakah instrumen tersebut mampu mengukur apa yang akan diukur, (2) apakah informasi yang dikumpulkan telah sesuai dengan konsep yang telah digunakan. Uji validitas dilakukan berkenaan dengan ketepatan alat ukur terhadap konsep yang diukur sehingga benar-benar mengukur apa yg seharusnya diukur. Untuk menghitung validitas alat ukur digunakan rumus korelasi Product Moment Pearson sebagai berikut: ΣnXY - ΣX ΣY rxy = √ (n ΣX2 - ( ΣX )2) (n ΣY2 –(ΣY)2) Dimana: rxy = koefisien korelasi suatu butir/item N = jumlah responden X = skor suatu butir/item Y = skor total Reliabilitas atau keterandalan merupakan konsistensi suatu alat ukur dalam mengukur hal yang sama. Menurut Singarimbun dan Effendi (1995) reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauhmana suatu hasil
28 pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih. Reliabilitas merupakan pengujian alat pengumpul data yang bertujuan untuk mengetahui konsistensi dari instrumen sebagai alat ukur, sehingga hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Suatu alat ukur harus memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi agar dapat menghasilkan jawaban yang sesuai dengan tujuan penelitian. Jika nilai koefisien cronbach alpha (α) lebih besar dari kisaran 0.5 – 1.0, maka alat ukur dinilai reliabel. Menurut Riduwan (2013) penilaian reliabilitas sebagai berikut: (a). Nilai koefisien alpha 0.00 – 0.199 berarti kurang reliabel (b). Nilai koefisien alpha 0.20 – 0.399 berarti agak reliabel (c). Nilai koefisien alpha 0.40 – 0.599 berarti cukup reliabel (d). Nilai koefisien alpha 0.60 – 0.799 berarti reliabel (e). Nilai koefisien alpha 0.80 – 1.00 berarti sangat reliabel Hasil uji instrumen penelitian yang telah dilakukan ditampilkan dalam Tabel 1. Tabel 1 Hasil uji instrumen penelitian No Variabel 1 Motivasi 2 Perencanaan pelatihan 3 Materi pelatihan 4 Metode pelatihan 5 Sarana dan prasarana pelatihan 6 Penguasaan substansi materi 7 Kemampuan merencanakan pembelajaran 8 Kemampuan melaksanakan pembelajaran 9 Kemampuan dalam mengevaluasi pembelajaran 10 Dukungan lembaga penyuluhan
Uji Realibilitas 0,731 (Reliabel) 0,735 (Reliabel)
Uji Validitas 0,486**- 0,856** 0,508**- 0,770**
Ket Valid Valid
0,720 (Reliabel) 0,808 (Sangat Reliabel) 0,763 (Reliabel)
0,413* - 0,806** 0,763**- 0,894** 0,436*- 0,818**
Valid Valid Valid
0,637 (Reliabel)
0,489**- 0,791**
Valid
0,701 (Reliabel)
0,450*- 0,654**
Valid
0,784 (Reliabel)
0,655**- 0,776**
Valid
0,793 (Reliabel)
0,445*- 0,892**
Valid
0,758 (Reliabel)
0,384*- 0,919**
Valid
Dari hasil uji instrumen yang disajikan pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa semua item dalam instrumen tergolong reliabel dengan nilai antara 0,637 sampai dengan 0,808. Dengan demikian instrumen dapat dikatakan memiliki konsistensi terhadap respon atau pengukuran pada fenomena yang sama. Pada uji validitas, diperoleh hasil bahwa pada umumnya item instrumen valid, hal ini berarti instrumen yang ada dapat mengukur apa yang akan diukur dalam penelitian.
29 Analisis Data Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif dengan analisis statistik deskriptif dan inferensial. Data dianalisis untuk memperoleh hubungan dari berbagai peubah yang ditelti dan memberikan penjelasan secara kualitatif sebagai pendukung. Data yang diperoleh dari kuisioner dikelompokkan berdasarkan peubah yang telah ditentukan, dengan menggunakan skoring dan pengkategorian. Analisis statistik deskriptif dilakukan berdasarkan: a) memberikan skor pada setiap data kemudian ditabulasi, b) menggolongkan, menghitung jawaban berdasarkan frekuensi dan mempresentasekan berdasarkan kategori jawaban. Keseluruhan data diolah dengan menggunakan tabulasi distribusi frekuensi dan nilai tengah pada program Statistical Product and Service Solution (SPSS) yang kemudian dianalisis. Mengukur pengaruh antara peubah X terhadap peubah Y analisis data yang dilakukan adalah analisis statistik inferensial yang kemudian dideskripisikan. Peubah tersebut diukur dengan menggunakan analisis regresi, yakni untuk mengetahui bagaimana independen variable mempengaruhi dependen variable (Nazir 2009). Analisis linear berganda digunakan untuk mengukur pengaruh antara lebih dari satu peubah (peubah bebas) terhadap peubah terikat. Analisis statistik regresi berganda berdasarkan pada rumus berikut ini: Y =b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ... + bnXn Keterangan: Y = variabel terikat Xi = variabel bebas ke i, untuk i = 1,2,3, . . . n bi = koefisien regresi parsial tak baku ke i, untuk i = 1,2,3, . . . n b0 = intersep Syarat data untuk melakukan uji statistik regresi linear berganda adalah data dengan skala rasio atau skala interval. Oleh sebab itu data ordinal yang diperoleh perlu dilakukan transformasi data terlebih dahulu ke dalam bentuk indeks (Sumardjo 1999). Berdasarkan jumlah nilai indeks, maka dilakukan pengklasifikasian, selanjutnya setiap indikator yang ada memiliki nilai 0-100. Jumlah skor terendah merupakan nilai indeks indikator terkecil sedangkan nilai 100 merupakan jumlah indeks maksimum. Rumus yang digunakan dalam transformasi data adalah: Jumlah skor yang diperoleh setiap indikator dikurangi jumlah skor terkecil Indeks Transformasi =
X 100 Jumlah skor maksimum dikurangi jumlah terkecil
30
5. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Bungo adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jambi dengan ibukota Muara Bungo. Secara geografis Kabupaten Bungo terletak antara 101o 27’ sampai 102o 30’ Bujur Timur, dan antara 01o 08’ sampai 01o 55’ Lintang Selatan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 4.659 km2. Kabupaten Bungo berbatasan dengan wilayah-wilayah sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tebo dan Kabupaten Dharmasraya (Provinsi Sumatera Barat) - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tebo - Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Merangin - Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Kerinci. Pertanian di daerah Kabupaten Bungo masih merupakan andalan serta potensi besar untuk dikembangkan. Pertanian di Kabupaten Bungo mencakup tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Luas panen padi tahun 2012 seluas 10.464 hektar luas panen padi sawah mengalami kenaikan sebesar 18,42 persen, namun luas panen padi ladang mengalami penurunan sebesar 14,94 persen. Produksi padi pada tahun 2012 sebesar 47.056,06 ton atau meningkat 18,81 persen dibandingkan dengan tahun 2011. Produksi padi pada lahan sawah juga meningkat sebesar 29,17 persen dari tahun sebelumnya. Pada lahan bukan sawah (ladang), produksi menurun sebesar 10,35 persen. Penurunan produksi ini seiring dengan penurunan luas panen padi. Luas panen jagung pada tahun 2012 adalah sebesar 1.020 hektar. Sebagian besar lahan pertanian digunakan untuk perkebunan yang luasnya mencapai 110.040 hektar. Berdasarkan penjelasan tersebut hal ini merupakan salah satu bukti bahwa pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama pembangunan di Kabupaten Bungo. Secara administratif wilayah Kabupaten Bungo terdiri atas 17 Kecamatan yang terdiri atas 153 Desa/Kelurahan. Kabupaten Bungo memiliki jumlah penduduk sebanyak 320.300 jiwa yang terdiri dari 163.899 jiwa laki-laki dan 156.401 jiwa perempuan. Komposisi penduduk menurut golongan umur di Kabupaten Bungo juga menunjukkan bahwa penduduk usia produktif jumlahnya lebih banyak daripada penduduk golongan umur lainnya. Berdasarkan jenis pekerjaan sebanyak 6.364 jiwa penduduk usia produktif bekerja diberbagai instansi pemerintahan yang terdapat di wilayah kerja Kabupaten Bungo, di mana sebanyak 194 orang diantaranya bekerja sebagai penyuluh serta 100 orang diantaranya adalah penyuluh pertanian pada instansi BP4K Kabupaten Bungo. Wilayah kerja penyuluh pertanian tersebar pada 17 Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bungo. BP4K Kabupaten Bungo Penyuluhan pertanian adalah suatu proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi
31 usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (PERMENTAN Nomor 91 tahun 2013). Organisasi penyelenggaraan penyuluhan di Indonesia berada di bawah Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Perikanan dan Kelautan. UU no 16 Tahun 2006 tentang SP3K mengamanatkan terbentuknya kelembagaan penyuluhan di Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010, Kementerian Pertanian telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61 Tahun 2010 yang mengatur organisasi dan tata kerja Kementerian Pertanian. Mengacu pada Peraturan Menteri tersebut Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) terdiri dari empat Unit Eselon II di tingkat Pusat, yaitu; 1) Pusat Penyuluhan Pertanian; 2) Pusat Pelatihan Pertanian, 3) Pusat Pendidikan, Standardisasi dan Sertifikasi Profesi Pertanian, serta 4) Sekretariat Badan (Kementan 2011). Sampai dengan akhir tahun 2010, BPPSDMP membina; 1 STPP Daerah (STPP Aceh), 71 SPP pemerintah daerah dan swasta, 19 Balai Diklat Pertanian Daerah (BDP), 708 Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S), 14 Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan; 12 Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian tingkat Provinsi; 7 dinas lingkup pertanian tingkat provinsi yang menangani penyuluhan pertanian; 127 Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan; 161 Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan di tingkat Kabupaten/Kota; 203 dinas lingkup pertanian tingkat kabupaten/kota yang menangani penyuluhan pertanian, serta 4.239 Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan di tingkat kecamatan. Tahun 2010 jumlah aparatur BPPSDMP tingkat Pusat dan UPT adalah 2.285 orang, dengan latar belakang pendidikan: sampai dengan SLTA sebanyak 1.122 orang (49,1%), Diploma III sebanyak 112 orang (4,9%), S1/D4 sebanyak 672 orang (29,41%), S2 sebanyak 352 orang (15,4%), dan S3 sebanyak 27 orang (1,18%). Tenaga fungsional di bidang penyuluhan, pelatihan dan pendidikan yang dimiliki dan dibina oleh BPPSDMP terdiri atas: Penyuluh Pertanian. PNS sebanyak 27.922 orang, Penyuluh Pertanian Honorer sebanyak 1.251 orang, Penyuluh Pertanian Swadaya sebanyak 9.628 orang, Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TB PP) sebanyak 24.551 orang, 290 orang widyaiswara, 227 orang dosen, dan 553 orang guru. Selain tenaga fungsional, BPPSDMP juga memiliki tenaga kediklatan sebanyak 790 orang dan tenaga kependidikan sebanyak 427 orang (Kementan 2014). Kelembagaan penyuluhan pada tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh) yang diketuai oleh Gubernur. Bakorluh dalam melaksanakan tugas koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi di bidang penyuluhan melibatkan unsur pakar, dunia usaha, institusi terkait, perguruan tinggi dan sasaran penyuluhan. Untuk menunjang kegiatan Bakorluh dibentuk Sekretariat Bakorluh yang dipimpin oleh pejabat setingkat eselon IIa. Kelembagaan penyuluhan pada tingkat Kabupaten/Kota berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Bapeluh) (Kementan 2014). Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) adalah lembaga penyuluhan yang berada di tingkat kabupaten atau kota. BP4K Kabupaten Bungo dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bungo
32 Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pembentukan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat serta Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. UU No 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa salah satu kelembagaan penyuluhan adalah kelembagaan penyuluhan pemerintah dan bahwa kelembagaan penyuluhan pemerintah pada tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan. Selanjutnya, pada pasal 13 ayat yang sama ayat 2 dinyatakan bahwa badan pelaksana penyuluhan pada tingkat kabupaten dipimpin oleh pejabat setingkat Eselon II yang bertanggung jawab kepada bupati yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati. Tugas pokok BP4K Bungo adalah melaksanakan sebagian urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di bidang penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan. Organisasi BP4K sebagai suatu wadah penyelenggaraan penyuluhan merupakan suatu sistem, disebut sebagai sistem karena BP4K memiliki bagian-bagian tersendiri. Bagian dalam organisasi ini tidak dapat terlepas satu sama lain dan disebut sebagai anatomi organisasi. Terdapat delapan bagian dalam anatomi organisasi, yaitu; 1) tujuan; 2) filosofi dan tata nilai; 3) susunan anggota; 4) struktur organisasi; 5) teknologi; 6) lingkungan fisik; 7) lingkungan sosial-budaya dan 8) ciri temporal. Wilayah kerja BP4K Kabupaten Bungo terdiri 17 BP3K yang berada disetiap Kecamatan. Adapun struktur organisasi dari BP4K Kabupaten Bungo dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Bagan Struktur Organisasi BP4K Kabupaten Bungo (BP4K Kabupaten Bungo, 2015)
33
6. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Penyuluh Peserta Pelatihan Karakteristik individu merupakan perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Menurut ilmu penyuluhan pembangunan, karakteristik individu merupakan bagian dari perilaku yang dapat membawa individu tersebut ke dalam suatu kehidupan kelompok. Responden Penyuluh Peserta Pelatihan di BP4K Bungo berjumlah 100 orang. Responden terdiri dari 72 persen laki-laki dan perempuan sebanyak 28 persen, baik laki-laki maupun perempuan mengikuti pelatihan dengan topik yang sama yang diselenggarakan oleh BP4K. Karakteristik penyuluh peserta pelatihan dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan formal, jenis kelamin, masa kerja, jumlah pelatihan yang pernah diikuti, dan motivasi mengikuti pelatihan. Karakteristik responden tersebut merupakan penciri dari masing-masing responden (Tabel 2). Tabel 2. Persentase penyuluh peserta pelatihan menurut karakteristik individu di Kabupaten Bungo, tahun 2015 Karakteristik Penyuluh Umur (Tahun)
Kategori Muda (27-37) Dewasa (38-48) Tua (>48)
Pendidikan formal
SMA DIII DIV/S1-S2
17 18 65
Jenis kelamin
Laki-laki Perempuan
72 28
Masa kerja (Tahun) ( X = 13,74 Rendah (4-14) Tahun) Sedang (15-25) Tinggi (>25) Jumlah pelatihan yang diikuti (Kali) Rendah (1-10) ( X = 16,43 Kali) Sedang (11-20) Tinggi (>20) Motivasi mengikuti pelatihan ( X = 9,89)
Keterangan: n = 100
Persentase (%) 46 27 27
68 12 20 26 46 28
Rendah (skor 4-7)
8
Sedang (skor 8-11) Tinggi (skor > 11)
64 28
34 Umur Umur merupakan salah satu karakteristik pribadi seseorang yang berpengaruh terhadap kemampuan dalam mempelajari, memahami, menerima dan mengadopsi suatu teknologi serta peningkatan produktivitas kerja. Umur yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah lamanya hidup penyuluh yang dihitung dalam tahun sejak penyuluh dilahirkan sampai dengan saat penelitian. Umur penyuluh peserta pelatihan dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu 27 sampai 37 tahun, penyuluh berusia 38 sampai dengan 48 tahun dan penyuluh berusia lebih dari 48 tahun. Secara umum 100 orang penyuluh peserta pelatihan yang menjadi responden berkisar antara 20 hingga lebih dari 48 tahun. Tabel 2 menunjukkan bahwa umur penyuluh peserta pelatihan secara umum termasuk kategori muda yakni sebanyak 46 persen penyuluh pertanian. Jumlah penyuluh yang berada pada kategori dewasa dan tua memiliki jumlah persentase yang sama yakni 27 persen penyuluh peserta pelatihan. Merujuk pada kategori yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik (2009) umur penyuluh responden ini digolongkan sebagai umur produktif karena rata-rata umur responden berkisar pada 27-37 tahun. Usia yang masih produktif ini memungkinkan responden untuk dapat terlibat secara aktif dalam kegiatan pelatihan yang dilaksanakan oleh pihak BP4K. Penyuluh berusia produktif akan lebih bugar dan tidak memiliki halangan secara fisik yang terkait dengan usia. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bahua et al. (2010) yang menyatakan bahwa usia penyuluh akan sangat berpengaruh pada kinerjanya. Kondisi ini menunjukkan bahwa penyuluh secara fisik sangat kuat dan melaksanakan kegiatan penyuluhan secara baik. Penyuluh muda selalu mempunyai semangat yang lebih tinggi karena keingintahuannya sehingga mereka lebih cepat menerapkan inovasi (Soekartawi 2005). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa berdasarkan umur penyuluh peserta pelatihan sebagian besar dalam periode produktif, yang mana seseorang berada dalam masa puncak produktivitasnya sehingga cenderung bisa menerima pengetahuan serta keterampilan dari pihak luar. Akan tetapi, kekurangan pekerja usia muda adalah cepat bosan, kurang bertanggung jawab, cenderung sering bolos, dan perpindahannya tinggi (Wuriani et al. 2014). Pendidikan Formal dan Jenis Kelamin Kemampuan seorang penyuluh pertanian menyelesaikan suatu pekerjaan seringkali tergantung kepada tingkat pengetahuan, keterampilan, dan keahlian yang dimiliki. Tingkat pendidikan formal penyuluh peserta pelatihan pada penelitian ini di bagi dalam tiga kategori yakni: rendah ialah SMA, kategori sedang jenjang DIII, dan DIV/S1-S2 termasuk dalam kategori tinggi. Pendidikan penyuluh pertanian di Kabupaten Bungo termasuk dalam kategori tinggi terlihat dari jenjang pendidikan penyuluh sebagian besar adalah DIV/S1 sampai S2 sebanyak 65 persen, sedangkan sebanyak 35 persen penyuluh pendidikan formal yang ditempuh adalah SMA dan DIII. Pendidikan formal merupakan hal dibutuhkan penyuluh untuk meningkatkan pengetahuan di bidang ilmu mereka. Kondisi demikian menunjukkan kualitas sumberdaya penyuluh di Kabupaten Bungo tergolong baik dilihat dari jenjang pendidikan. Menurut
35 Soekartawi (2005) secara umum penyuluh yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam menerapkan pengetahuan yang didapat. Hal ini diharapkan dapat menjamin kemampuan penyuluh untuk meningkatkan kualitas kerja dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan, sehingga mendukung keberhasilan program penyuluhan. Slamet (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula pengetahuan, sikap dan keterampilan, dan efisien bekerja serta semakin mengetahui teknik bekerja yang lebih menguntungkan. Oleh karena itu agar kinerja dari penyuluh tersebut meningkat maka perlu tingkat pendidikan yang lebih tinggi untuk mencapai tujuan tersebut. Tingkat pendidikan menunjukkan bahwa individu memiliki kemampuan untuk mencari, menerima, dan menyerap inovasi dalam kegiatan pelatihan guna meningkatkan kinerja penyuluh. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan dengan penyuluh responden, rata-rata penyuluh menyadari bahwa sejalan dengan paradigma penyuluhan baru serta untuk mengimbangi dinamika perkembangan masyarakat sasaran sangat diperlukan peningkatan kemampuan (pengetahuan, sikap, keterampilan) penyuluh baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan. Namun sebagian penyuluh mengaku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi memberatkan bagi penyuluh pertanian dikarenakan beberapa penyuluh sudah dihadapkan oleh kebutuhan keluarga dalam hal membiayai anak sekolah dan sudah berkurangnya kemampuan untuk mengikuti kegiatan belajar. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yakni sebanyak 72 persen dan 28 persen perempuan. Pekerjaan penyuluh ternyata masih didominasi oleh laki-laki, padahal keberadaan penyuluh perempuan di lapangan sangat penting. Hal ini dikarenakan petani dan pelaku usaha tani juga banyak yang berjenis kelamin perempuan, sehingga penyuluhan akan lebih mudah dilakukan oleh penyuluh perempuan. Keberadaan penyuluh perempuan memiliki kontribusi bagi kegiatan penyuluhan (Viantimalaya dan Sumaryo 2012). Hal ini sesuai dengan pendapat Ban dan Hawkins (1999) yang menyatakan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam penyuluhan yang terletak pada kemampuan komunikasi dan pendekatan terhadap petani dan wanita tani. Adanya penyuluh perempuan diharapkan akan lebih mendekatkan penyuluh dan masyarakat sasaran. Berdasarkan wawancara di lokasi penelitian peminat perempuan untuk menjadi penyuluh rendah. Faktor penyebab rendahnya jumlah penyuluh perempuan selain minat perempuan rendah juga kondisi wilayah kerja yang sulit terjangkau. Masa Kerja Masa kerja atau pengalaman kerja menurut Siagian (2000) merupakan keseluruhan pelajaran yang dialami oleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang dilalui dalam perjalanan hidupnya. Bandura (1986) menyatakan bahwa pengalaman seseorang dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang bekerja dalam bidang yang dijalani. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penyuluh pertanian di Kabupaten Bungo telah bekerja ratarata 13,74 tahun. Persentase lama masa kerja terbanyak adalah 4-14 tahun sebanyak 68 persen, 12 persen berpengalaman kerja sedang (15-25 tahun) dan 20 persen berpengalaman kerja tinggi (>25 tahun). Pengalaman kerja terendah adalah
36 4 tahun dan tertinggi 33 tahun. Masa kerja yang tergolong cukup lama diakui penyuluh memiliki banyak manfaat bagi penyuluh dalam melakukan pekerjaannya. Bahua et al. (2010) menyatakan bahwa lama masa kerja memiliki kaitan erat dengan kemampuan penyuluh untuk mengapresiasi keadaan. Pengalaman kerja penyuluh yang cukup lama tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan sebagai penyuluh telah dilalui dengan segala permasalahan dan keberhasilannya. Terdapat dua manfaat penting dalam lama masa kerja yaitu, bertambahnya ilmu serta pengalaman dan juga meningkatnya kepercayaan diri dalam menyuluh. Menurut penyuluh, selama mereka bekerja banyak ilmu dan pengalaman yang mereka peroleh. Ilmu serta pengalaman itu dapat diperoleh dari rekan sesama penyuluh serta masyarakat wilayah binaan dan berbagai sumber ilmu yang terkadang tidak dapat diperoleh dari pendidikan formal. Pertukaran ilmu dan informasi merupakan suatu hal yang harus dilakukan oleh penyuluh untuk meningkatkan pengetahuan serta saling berbagi pengalaman. Pengalaman kerja membuat penyuluh lebih produktif dan bersamaan dengan kemampuan kerja menentukan kinerja kerja. Kibler (1981) menyatakan bahwa seseorang akan memperoleh keuntungan dari pengalaman, karena dengan pengalaman akan mempunyai kesempatan melihat, membandingkan dan memilih sehingga mempermudah untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Pengalaman kerja penyuluh merupakan proses pembelajaran yang sangat berharga untuk memperbaiki kelemahan dan mempertahankan/meningkatkan keberhasilan dalam melaksanakan tugas berikutnya sehingga menjadi lebih baik. Masa kerja cenderung mempengaruhi keputusan dari penyuluh untuk mengikuti pelatihan yang diadakan. Jumlah Pelatihan yang Pernah diikuti Pelatihan merupakan bagian dari pendidikan yang menggambarkan suatu proses dalam mengembangkan potensi individu untuk mencapai tujuan organisasi. Jacius (1968) mengemukakan “istilah pelatihan menunjukkan suatu proses peningkatan sikap, kemampuan dan kecakapan dari para pekerja untuk menyelenggarakan pekerjaan secara khusus.” Ungkapan ini menunjukkan kegiatan pelatihan merupakan proses membantu peserta belajar untuk memperoleh keterampilan, keahlian yang efektif dan efisien dalam melakukan pekerjaan mereka sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pelatihan merupakan proses pengembangan kompetensi atau keterampilan (skill) pegawai dalam bidang keprofesian (technical skill dan managerial skill) serta pengembangan sikap dan perilaku pegawai (attitude dan behavior) agar dapat secara produktif dan profesional melaksanakan tugas atau pekerjaan yang sedang dipangku atau yang akan dipangkunya. Hal ini sejalan dengan pendapat Simanjuntak (2005) mendefinisikan bahwa pelatih an merupakan bagian dari investasi sumber daya manusia (human investment) untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan kerja, dan dengan demikian meningkatkan produktivitas kerja pegawai. Tujuan dari pelatihan adalah untuk mengembangkan kompetensi atau keterampilan (skills) pegawai khususnya yang mendukung tugas dan pekerjaan pegawai pada posisi yang sedang dipangkunya. Oleh karena itu, pelatihan yang dilakukan harus sesuai dengan kebutuhan pegawai dan diberikan
37 dalam waktu yang relatif pendek guna untuk membekali seorang pegawai dengan keterampilan kerja. Berdasarkan Tabel 2, keikutsertaan penyuluh pertanian dalam pelatihan termasuk kategori sedang (11-20 kali) sebesar 46 persen atau sebanyak 46 penyuluh. Sedangkan sebanyak 26 persen penyuluh peserta pelatihan hanya mengikuti 1-10 kali pelatihan, hanya sebanyak 28 persen atau 28 penyuluh yang mengikuti pelatihan lebih dari 20 kali pelatihan. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar penyuluh pertanian menyatakan bahwa pelatihan yang mereka ikuti telah terjadwal yakni 2 kali dalam sebulan. Berdasarkan jadwal tersebut terkadang penyuluh tidak dapat mengikuti disebabkan oleh tugas lainnya. Menurut Kasubbid Sumberdaya Manusia BP4K Kabupaten Bungo, adanya penjadwalan yang dilakukan tersebut agar pelatihan yang dilaksanakan bisa diikuti oleh seluruh penyuluh pertanian. Pemberian pelatihan kepada penyuluh merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh BP4K untuk meningkatkan kinerja penyuluh (Aruan 2013). Menurut Simamora (2004) manfaat pelatihan antara lain: 1) meningkatkan kuantitas dan kualitas produktivitas, 2) menciptakan sikap, loyalitas dan kerjasama yang lebih menguntungkan, 3) mengurangi waktu belajar yang diperlukan karyawan agar mencapai standar-standar kinerja yang dapat diterima, 4) memenuhi kebutuhan-kebutuhan perencanaan sumber daya manusia, dan 5) membantu karyawan dalam peningkatan dan pengembangan pribadi mereka. Berdasarkan manfaat dari pelatihan tersebut dalam meningkatkan kinerja secara efektif dan efisien, sangat disayangkan bahwa frekuensi penyuluh dalam mengikuti pelatihan masih belum begitu optimal. Upaya untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memfasilitasi penyelenggaraan pelatihan yang terkait dengan kompetensi penyuluh. Selain itu, perlu diberikan dorongan secara terus Pelatihan yang diikuti responden penyuluh selama ini seringkali tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan potensi di wilayah binaan penyuluh. Selain itu kurangnya kunjungan lapangan atau studi banding yang dilakukan sehingga hasil pelatihan yang didapat hanya sebatas ilmu yang diberikan dikelas. Berdasarkan hasil temuan dilapangan pelatihan-pelatihan yang selama ini diikuti penyuluh umumnya merupakan program pelatihan yang disusun oleh pihak BP4K sendiri tanpa ada keikutsertaan penyuluh dalam memilih tema pelatihan yang dibutuhkan. Salah satu pelatihan yang dibutuhkan penyuluh pertanian adalah pelatihan tentang multimedia serta teknik penulisan karya tulis semi ilmiah yang baik. Sebagian besar penyuluh-penyuluh tidak terlalu menguasai multimedia seperti pemakaian komputer/laptop, pembuatan media presentasi dan pembuatan karya tulis penyuluhan yang baik. Sehingga perlu adanya perhatian dari pihak-pihak terkait untuk lebih meningkatkan jumlah pelatihan bagi penyuluh terutama yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi wilayah binaan penyuluh pertanian di lapangan. Motivasi Mengikuti Pelatihan Motivasi mengikuti pelatihan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah besarnya dorongan responden, baik secara intrinsik maupun ekstrinsik untuk mengikuti pelatihan yang di selenggarakan. Teori Herzberg menyatakan
38 bahwa dua faktor yang mendorong individu termotivasi yaitu faktor intrinsik yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang terutama dari lingkungan. Sebaliknya mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari lingkungan (Sondang 2002). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi penyuluh berada pada kategori sedang yakni sebanyak 64 persen dan kategori tinggi sebanyak 28 persen penyuluh pertanian. Hal ini mengandung arti bahwa motivasi penyuluh dalam mengikuti pelatihan cenderung tinggi. Hasil pengamatan dan wawancara mendalam di lapangan terhadap responden mengenai motivasi mengikuti pelatihan diketahui bahwa ada beberapa hal atau faktor-faktor yang yang mendorong penyuluh untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan guna meningkatkan kinerja penyuluh. Hal yang mendorong penyuluh untuk mengikuti pelatihan adalah berdasarkan keinginan sendiri untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan penyuluh itu sendiri. Banyak masalah yang dihadapi oleh penyuluh dalam mengikuti pelatihan seperti tidak tersedianya dengan baik sarana dan prasarana pelatihan, penyuluh tidak diberikan modul atau materi pelatihan, sehingga penyuluh hanya mendengarkan apa yang disampaikan oleh penyuluh pelatih tersebut. Tingkat Kesesuaian Kurikulum Pelatihan Proporsi dari responden berdasarkan distribusi tingkat kesesuaian kurikulum pelatihan dalam mempengaruhi kinerja penyuluh pertanian di BP4K Kabupaten Bungo disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Persentase tingkat kesesuaian kurikulum pelatihan di Kabupaten Bungo, tahun 2015 Tingkat Kesesuaian Kurikulum Pelatihan Kategori Perencanaan Pelatihan Rendah (skor 5-9) Sedang (skor 10-14) Tinggi (skor > 14 )
Persentase (%) 36 33 31
Materi Pelatihan
Rendah (skor 8-15) Sedang (skor 16-23) Tinggi (skor > 23)
27 42 31
Metode Pelatihan
Rendah (skor 5-9) Sedang (skor 10-14) Tinggi (skor >14)
11 2 87
Sarana dan Prasarana Pelatihan
Rendah (skor 6-11) Sedang (skor 12-17) Tinggi (skor > 17 )
11 24 65
Keterangan n = 100
39 Perencanaan Pelatihan Perencanaan pelatihan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah persepsi responden terhadap hal-hal yang menunjang kelancaran dan terlaksananya kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh BP4K Kabupaten Bungo. Adapun hal-hal yang direncanakan dan dipersiapkan antara lain: (a) bahan pembelajaran yang mencakup jadwal, bahan/materi ajar dll; (b) narasumber ataupun pelatih yang berasal dari kelompok fungsional (poknal) yang telah memiliki pengalaman dan pengetahuan dalam materi yang akan disampaikan pada kegitan pelatihan; (c) sarana pembelajaran berupa ketersediaan ruang belajar, meja, kursi, papan tulus serta serta prasarana yang mendukung agar pelatihan berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan hasil wawancara terdapat 36 persen responden menyatakan bahwa perencanaan pelatihan masih berada pada kategori rendah, sedangkan 33 dan 31 persen reponden penyuluh menyatakan pada kategori sedang dan tinggi. Rendahnya perencanaan pelatihan dikarenakan pihak penyuluh peserta pelatihan tidak dilibatkan dalam penyusunan perencanaan pelatihan oleh pihak panitia penyelenggara. Bahan pembelajaran pada pelatihan yang dilaksanakan di BP4K Bungo dipersiapkan sendiri oleh pihak penyuluh pelatih yang telah ditunjuk oleh pihak BP4K sehingga penyuluh peserta pelatihan hanya mendapatkan modul yang telah dibuat oleh penyuluh pelatih. Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara penyuluh peserta pelatihan menyatakan bahwa perencanaan pelatihan yang dilaksanakan masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari materi ajar yang sering tidak diperbanyak pada saat pelatihan sehingga para peserta hanya dapat mencatat dan mendengarkan ayang dijelaskan oleh penyuluh pelatih. Pada perencanaan pelatihan hanya kesiapan dan kesesuaian penyuluh pelatih dengan topik pelatihan yang disampaikan yang dianggap sudah sesuai dalam perencanaan pelatihan yang dilakukan oleh pihak BP4K. Oleh sebab itu, perencanaan pelatihan harus ditingkatkan hal ini disebabkan karena proses pelatihan yang dipersiapkan dan direncanakan dengan baik sesuai dengan kebutuhan akan dirasakan manfaat dari pelatihan tersebut. Materi Pelatihan Materi pelatihan adalah pesan atau bahan ajar yang diberikan kepada penyuluh selama proses pembelajaran dalam kegiatan pelatihan. Materi yang sesuai dengan kebutuhan penyuluh dalam kegiatan pelatihan akan mempermudah penyuluh untuk menerapkannya pada kegiatan penyuluhan dimasyarakat. Persepsi dari 42 persen penyuluh menyatakan bahwa materi pelatihan yang diberikan berada pada kategori sedang cenderung tinggi. Materi pelatihan dirasakan oleh penyuluh cukup sesuai dan bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan penyuluh. Adapun materi-materi yang ada meliputi cara pengumpulan data, menyusun rencana usaha tani dan programa penyuluhan, cara menyusun rencana kerja tahunan, menyusun materi penyuluhan sesuai kebutuhan petani, pemilihan penerapan metode serta pemilihan media yang baik, langkahlangkah membentuk kelompok tani, menjalin kemitraan serta menyusun laporan hasil pelaksanaan
40 Selain metode tersebut diajarkan juga mengenai pembuatan bahan presentasi dengan menggunakan power point yang baik serta pembuatan brosur, leaflet dan poster yang berguna bagi penyuluh untuk membantu penyebaran materi ilmu agar lebih mudah, akan tetapi penyuluh kurang tertarik hal ini dikarenakan banyak penyuluh yang hanya bisa mengoperasikan laptop untuk keperluan mengetik saja. Penyuluh menganggap hal-hal yang diberikan tersebut sulit mereka kerjakan. Padahal jika dilihat dari sebaran umur penyuluh masih dikategorikan muda yakni 27 sampai dengan 37 tahun, hal ini bukan merupakan sesuatu yang sulit dilaksanakan. Hal ini seperti pernyataan responden berikut: “Saya menggunakan laptop ataupun komputer hanya sebatas pada Ms Word dan Excel untuk membuat laporan evaluasi. Jika mau membuat bahan-bahan leaflet ataupun brosur masih sulit untuk dimengerti.”(dhz) Berdasarkan hasil penelitian, para penyuluh pelatih mengatakan bahwa materi pelatihan yang diberikan pada pembelajaran lebih banyak kearah pelatihan teknis. Padahal pelatihan non teknis juga diperlukan oleh penyuluh guna mendukung penyuluh dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan sehingga kinerja penyuluh pertanian dapat meningkat. Metode Pelatihan Metode pelatihan adalah suatu cara penyuluh pelatih untuk menyampaikan materi kepada peserta pelatihan. Salah satu aspek penting dalam kegiatan pelatihan adalah penentuan metode pelatihan. Penggunaan metode pelatihan yang tepat pada saat pembelajaran peserta dapat memahami materi yang disampaikan serta antusias untuk mengikuti pembelajaran serta membantu peserta untuk memahami materi yang disampaikan. Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan persepsi dari 87 persen menyatakan bahwa metode pelatihan yang dilakukan pada proses pembelajaran adalah kategori tinggi yang artinya metode yang digunakan dapat mempermudah peserta pelatihan dalam mengikuti proses pembelajaran. Ketepatan dalam memilih dan menggunakan metode pembelajaran akan mempengaruhi minat dan semangat peserta pelatihan untuk mengikuti materi yang disajikan. Pemilihan metode pembelajaran yang tepat akan memudahkan peserta pelatihan menguasai kompetensi yang diajarkan oleh fasilitator. Hasil penelitian dan wawancara di lapangan diketahui bahwa metode yang diterapkan pada kegiatan pelatihan telah menggunakan metode pembelajaran orang dewasa, pada kegiatan pelatihan peserta diberikan kesempatan untuk berdiskusi dan menanyakan hal yang belum dipahami. Pada kegiatan pelatihan metode yang digunakan masih berorientasi pada metode diskusi, ceramah, studi kasus dan rapat. Padahal banyak metode yang dapat digunakan yang sesuai dengan kegiatan pembelajaran tersebut seperti demplot, demonstrasi, role playing dan seminar. Kunjungan lapang pun masih sangat kurang dilakukan karena masih fokus di kelas. Sedangkan Sekolah lapang hambatannya adalah biaya yang cukup mahal serta waktu yang tidak memadai jika menggunakan metode tersebut.
41 Sarana dan Prasarana Pelatihan Sarana dan Prasarana dalam pelatihan pada penelitian ini merupakan kualitas dan kuantitas sarana serta prasarana untuk kegiatan pelatihan. Sarana dan Prasarana pelatihan merupakan modal utama dalam melaksanakan kegiatan pelatihan. Ketersediaan sarana prasarana dalam kegiatan pembelajaran akan mempermudah responden dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dan memahami paparan yang disampaikan penyuluh pelatih. Sarana prasarana pembelajaran yang diamati dalam penelitian ini adalah ketersediaan ruang kelas, ketersediaan peralatan kelas (papan tulis, penghapus, spidol, dll), media pembelajaran (LCD, Proyektor, Laptop), Penerangan dan listrik serta internet. Apabila sarana tersedia dengan baik dan dapat diakses oleh peserta pelatihan untuk digunakan pada kegiatan pembelajaran, maka kegiatan pelatihan yang diselenggarakan akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu sarana dan prasarana harus tersedia cukup memadai untuk hasil yang diharapkan dan sesuai dengan proses yang direncanakan. Persepsi dari 65 persen responden menyatakan bahwa ketersedian sarana prasarana tinggi, 11 persen menyatakan rendah dan 24 persen menyatakan sedang. Hal tersebut menggambarkan bahwa secara umum dalam kegiatan pembelajaran telah tersedia sarana prasarana yang cukup baik untuk menunjang kegiatan pembelajaran pada pelatihan. Berdasarkan hasil penelitian secara kuantitas sarana prasrana dalam menunjang kegiatan pelatihan telah memadai. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan diketahui bahwa peralatan kelas (papan tulis, spidol dan penghapus), LCD, proyektor, laptop dan penerangan listrik telah tersedia dengan baik dan kondisi yang baik untuk digunakan dalam proses pelatihan. Namun, ada satu tempat pelatihan yang ketersediaan sarana prasarana pelatihan masih kurang yakni di BP3K Bathin III Ulu, di BP3K ini tidak tersedia jaringan listrik sehingga pelatihan yang dilaksanakan hanya menggunakan peralatan kelas seadanya seperti papan tulis, spidol dan penghapus serta ruang kelas yang belum memadai untuk dilaksanakan kegiatan pelatihan. Secara keseluruhan untuk ketersediaan sarana prasarana internet yang masih dirasakan kurang adalah ketersediaan ruang kelas AC dan jaringan internet. Ruang kelas yang tersedia belum menggunakan AC namun cukup nyaman digunakan sebagai tempat pelaksanaan pembelajaran. Mengingat internet merupakan sumber belajar yang paling banyak digunakan maka BP4K Kabupaten Bungo perlu memperluas jaringan dan meningkatkan kecepatan internet. Sarana Prasarana pelatihan yang tersedia dalam jumlah dan kualitas yang baik sangat menunjang dalam kegiatan pembelajaran. Van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa sarana prasarana merupakan sumber daya bagi penyuluh yang dapat mengatasi hambatan dalam melaksanakan kegiatan dalam hal ini adalah kegiatan pelatihan. Tingkat Kompetensi Penyuluh Pelatih Penyuluh pelatih pada kegiatan pelatihan menentukan standar tujuan perilaku agar peserta pelatihan mudah mengikuti kegiatan pembelajaran. Menurut Hickerson dan Middleton (1975) pelatih yang baik merupakan pelatih yang terbuka, respon terhadap peserta pelatihan, mendukung kebebasan peserta
42 pelatihan dengan peduli dengan ide dan nilai-nilai peserta, maka pelatihan akan terjadi pelatihan yang baik dan mendukung pengalaman belajar. Lain hal nya, jika pelatih bersikap otoriter, berpikiran tertutup, kritis terhadap ide peserta pelatihan, puas terhadap diri sendiri dengan pengetahuan dan keahlian, menentukan alur jadwal sesuai dengan yang dia rencanakan malah akan membuat pelatihan menjadi penyiksaan bagi yang mengikuti. Pelatih bukanlah tabung kosong sama halnya peserta pelatihan, pelatihan membawa harapan dan nilai ke pengaturan pelatihan. Yang paling penting diingat, pelatih juga orang dewasa dengan kebutuhan personalnya, kebutuhan yang mencoba untuk memenuhi apa yang harus dilakukan didalam pelatihan. Tidak menjamin pelatih dengan kebutuhan untuk mendominasi dan mengontrol akan mencoba untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui perilaku yang tidak mendorong kegiatan belajar. Pelatih bukanlah “Tabung Kosong”. Pelatih mempunyai harapan dan nilai-nilai pada suatu kegitan pelatihan yang telah ditetapkan. pelatih juga orang dewasa dengan kebutuhannya sendiri, kebutuhan yang mungkin dapat diperoleh pelatih melalui kegiatan pelatihan. Pelatih memiliki gaya yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa pelatih mempunyai gaya yang berbeda atau perlakuan yang berbeda didalam sebuah pelatihan. Pada peubah tingkat kompetensi penyuluh pelatih adapun sebaran kompetensi penyuluh pelatih adalah sebagai berikut: penguasaan substansi materi 90 persen berada pada kategori tinggi, kemampuan merencanakan pembelajaran 97 persen berada pada kategori tinggi, kemampuan melaksanakan pembelajaran 86 persen berada pada kategori sedang, dan kemampuan melaksanakan evaluasi pembelajaran 56 persen berada pada kategori rendah. Sebaran kompetensi fasilitator selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Kompetensi penyuluh pelatih dalam penguasaan substansi materi, sebagian besar berada pada kategori tinggi sebanyak 90 persen dan kategori sedang sebanyak 10 persen. Banyaknya penyuluh pelatih berkompetensi tinggi (90%) menunjukkan bahwa sebagian besar penyuluh pelatih telah menguasai substansi materi pelatihan yang disampaikan kepada peserta pelatihan. Berdasarkan hasil penelitian kondisi tersebut terjadi karena sebagian penyuluh pelatih yang memberikan materi pada saat proses pembelajaran adalah orangorang yang telah memiliki pengalaman dibidangnya. Para penyuluh pelatih juga mengikuti pelatihan-pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki. Hal ini bermanfaat untuk membantu mereka menjadi lebih baik dalam memberikan pelatihan pada penyuluh pertanian. Kompetensi penyuluh pelatih dalam merencanakan pembelajaran sebagian besar berada pada kategori tinggi, yaitu sebesar 97 persen, dan kategori sedang sebanyak 3 persen. Kompetensi dibidang perencanaan pembelajaran dimaksud meliputi kemampuan dalam menyusun rencana pembelajaran, modul pembelajaran, evaluasi pembelajaran, dan bahan presentasi penyajian materi. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden dalam menyusun rencana pembelajaran sudah cukup baik namun modul pembelajaran terkadang penyuluh pelatih hanya menyiapkan satu sehingga setelah pelatihan dilaksanakan peserta mendapatkan hasil perbanyakan modul tersebut.
43 Tabel 4. Persentase tingkat kompetensi penyuluh pelatih di Kabupaten Bungo, tahun 2015 Tingkat Kompetensi Penyuluh Pelatih
Kategori
Penguasaaan Substansi Materi
Rendah (skor 4-7) Sedang (skor 8-11) Tinggi (skor > 11)
Persentase (%) 0 10 90
Kemampuan Merencanakan Pembelajaran
Rendah (skor 7-12) Sedang (skor 13-18) Tinggi (skor > 18)
0 3 97
Kemampuan Melaksanakan Pembelajaran
Rendah (skor 4-7) Sedang (skor 8-11) Tinggi (skor >11)
14 86 0
Kemampuan dalam Mengevaluasi Pembelajaran
Rendah (skor 6-11)
56
Sedang (skor 12-17) Tinggi (skor > 17)
44 0
Keterangan n = 100
Kompetensi penyuluh pelatih dalam pelaksanaan pembelajaran sebagian besar berada pada kategori sedang, yaitu sebesar 86 persen, diikuti kategori tinggi dan kategori rendah sebanyak 14 persen. Kompetensi pelaksanaan pembelajaran dimaksud meliputi kemampuan menerapkan pembelajaran orang dewasa, menggunakan metode pembelajaran, melakukan komunikasi yang efektif dengan peserta, dan memotivasi semangat belajar peserta pelatihan. Berdasarkan hasil penelitian penyuluh pelatih sudah menerapkan pembelajaran orang dewasa serta komunikasi yang efektif dengan peserta namun itu hanya dilakukan oleh sebagian penyuluh pelatih. Sebagian dari penyuluh pelatih lebih fokus kepada materi yang mereka sampaikan sehingga tidak terjadi komunikasi yang efektif dan kurangnya semangat dari penyuluh peserta pelatihan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dalam pelatihan. Kompetensi penyuluh pelatih dalam pelaksanaan evaluasi pembelajaran merupakan hal yang harus dimiliki seorang penyuluh pelatih agar pembelajaran yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan. Evaluasi pembelajaran bertujuan untuk memudahkan pelatih memilih dan menyajikan dengan tepat bahan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran, pelatih dapat memastikan bahwa hanya calon peserta yang benar-benar belum dapat melakukan tujuan perilaku yang diikut sertakan pada pelatihan, sehingga dapat menghindari kebosanan dan kemungkinan gangguan belajar dari peserta yang sudah tahu, selain itu untuk mengetahui pengetahuan dasar yang sudah dimiliki peserta sehingga lebih mudah ditetapkan darimana pembelajaran dimulai. Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar kompetensi penyuluh pelatih berada pada kategori rendah, yaitu sebanyak 56 persen dan kategori sedang sebanyak 44 persen. Kompetensi pelaksanaan evaluasi pembelajaran meliputi
44 kemampuan melaksanakan dan menganalisis hasil pre test, post test, dan penilaian hasil praktek. Kompetensi pelaksanaan evaluasi pembelajaran dibutuhkan untuk menilai perkembangan kemampuan peserta pelatihan baik teori maupun praktek sebelum dan setelah mengikuti pelatihan. Hasil dari evaluasi tersebut digunakan untuk mengetahui kemampuan penyuluh peserta pelatihan setelah mengikuti materi yang disajikan oleh penyuluh pelatih. Hasil wawancara dengan beberapa responden menyatakan bahwa pada umumnya tidak ada dilakukan evaluasi tersebut. Evaluasi yang dilaksanakan hanya berupa catatan-catatan pelatihan yang dilaksanakan serta kendala yang dihadapi pada saat pelatihan yang dilaksanakan pada hari tersebut. Padahal menurut Hickerson dan Middleton (1975) evaluasi yang dilakukan oleh penyuluh pelatih mulai dari awal, antara serta akhir akan memudahkan penyuluh pelatih menilai apakah tujuan awal dilaksanakan pelatihan telah tercapai dengan baik, serta melihat peningkatan pengetahuan dan keterampilan dali penyuluh peserta pelatihan. Evaluasi juga perlu dilakukan untuk memutuskan bagaimana meningkatkan kualitas pelatihan yang telah dilaksanakan. Tidak adanya pelaksanaan evaluasi sesuai dengan yang seharusnya karena analisis hasil evaluasi tidak pernah dituntut oleh penyelenggara pelatihan. Penyuluh pelatih cukup menyerahkan tabulasi hasil evaluasi berupa catatan temuan-temuan serta hambatan pada saat pelatihan dilaksanakan. Catatan tersebut diserahkan ke pihak BP4K sebagai evaluasi dan untuk dilaporkan untuk pertanggung jawaban. Hal ini menyebabkan penyuluh pelatih kurang tertantang untuk mengembangkan kompetensinya dalam pelaksanaan evaluasi pembelajaran mencapai kategori tinggi. Dukungan Lembaga Penyuluhan Dukungan lembaga penyuluhan merupakan hal-hal yang diberikan oleh pihak lembaga penyuluhan yang berguna untuk membantu serta memfasilitasi penyuluh agar mempermudah penyuluh untuk melaksanakan tugas di lapangan. Hal ini juga dapat menjadi salah satu hal untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian. Perhatian yang besar terhadap penyelenggaraan penyuluhan pertanian diwujudkan melalui anggaran pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten serta DAK bagi penyuluh pertanian. Namun demikian masih ditemui perbedaan dukungan pemerintah daerah terhadap penyuluhan pertanian. Kelembagaan penyuluhan ditingkat kecamatan belum diberdayakan secara optimal sebagai pusat koordinasi program dan kegiatan pembangunan pertanian. Peran strategis dari BP3K di Kecamatan antara lain: (1) Pusat data base pertanian sampai tingkat desa di wilayah binaannya, (2) Rentang kendali pembinaan terhadap petani lebih optimal karena adanya penyuluh di setiap Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian (WKPP) pada masing-masing BP3K, (3) Sebagai simpul koordinasi dan sinergi berbagai program dan kegiatan baik internal lintas eselon I Kementerian Pertanian maupun lintas Kementerian, (4) Pusat Pengembangan Kawasan/cluster Pertanian, (5) Menjabarkan target produksi nasional pangan strategis secara terukur sampai tingkat kecamatan dan desa untuk menjadi target kinerja penyuluh pertanian, (6) Sebagai tempat pembelajaran bagi penyuluh dan petani, (7) Pusat informasi lapangan dengan memanfaatkan fasilitas cyber extensionII, (8) Pusat konsultasi petani dalam upaya mengatasi berbagai permasalahan dalam pengembangan usahataninya, (9) Tempat koordinasi bagi
45 penyuluh PNS, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya serta petugas teknis pertanian lainnya (Kementan 2014). Berdasarkan hal tersebut pada penelitian ini untuk melihat dukungan lembaga penyuluhan terhadap kegiatan penyuluhan di BP4K Kabupaten Bungo disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah persentase tingkat dukungan lembaga penyuluhan di Kabupaten Bungo, tahun 2015 Tingkat Dukungan Lembaga Penyuluhan Fasilitas dari Lembaga Penyuluhan
Kategori Rendah (skor 6-11) Sedang (skor 12-17) Tinggi (skor >17)
Persentase (%) 0 9 91
Insentif atau Penghargaan
Rendah (skor 8-15) Sedang (skor 16-23) Tinggi (skor > 23)
0 3 97
Keterangan n = 100
Fasilitas dari Lembaga Penyuluhan Salah satu dukungan lembaga penyuluhan adalah dengan memberikan fasilitas kendaraan roda dua kepada seluruh penyuluh, kendaraan roda empat untuk koordinator penyuluh, laptop bagi penyuluh yang berprestasi, serta sarana prasarana lainnya. Sebagian besar (91 persen) responden penyuluh menyatakan fasilitas yang diberikan oleh instansi dalam kategori tinggi atau sangat baik. Adanya pemberian fasilitas tersebut memudahkan kegiatan penyuluh dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan serta mengunjungi wilayah kerja penyuluh tersebut. Hal ini dikarenakan banyak penyuluh yang tidak tinggal diwilayah binaannya. Ketersedian kendaraan bagi penyuluh sangat penting, karena kendaraan adalah alat transportasi yang dapat menunjang mobilitas penyuluh dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Ketersediaan kendaraan baik roda dua maupun roda empat dan laptop hendaknya tersedia memadai untuk mendukung kegiatan penyelenggaraan penyuluhan. Ketersediaan kendaraan sebagai alat transportasi bagi penyuluh dapat membantu dalam hal meringankan penggunaan tenaga dan tidak terlalu melelahkan bagi penyuluh untuk datang sesuai dengan jadwal kegiatan yang direncanakan bersama dengan petani. Insentif atau Penghargaan Sistem penghargaan berkaitan dengan bagaimana organisasi memberikan pengakuan dan imbalan kepada penyuluh dalam rangka menjaga keselarasan antara kebutuhan individu dan tujuan organisasi. Sistem penghargaan dapat mendorong perilaku penyuluh atau memberikan pengakuan atas perilaku penyuluh yang telah dilakukan. Bagi penyuluh sistem penghargaan menurut Sudarmanto (2009) dimaksudkan untuk menumbuhkan motivasi dan semangat kerja serta kepuasan kerja. Kepuasan kerja pegawai akan mencegah terjadinya ketidakhadiran, pemborosan waktu, dapat membangkitkan semangat kerja
46 sehingga pegawai terdorong untuk berprestasi dan berkinerja lebih baik. Tabel 5 menunjukkan bahwa insentif atau penghargaan yang diberikan oleh lembaga penyuluhan dalam hal ini BP4K adalah dalam kategori tinggi (97%). Insentif atau penghargaan yang diberikan bukan saja semata-mata berupa materi tetapi juga berupa pemberian izin serta sarana prasarana guna mendukung kegiatan penyuluh dilapangan. Selain itu hubungan yang baik antara sesama penyuluh serta antusiasme dari petani atau masyarakat diwilayah kerja menjadi penghargaan tersendiri bagi penyuluh sehingga dapat menjadi semangat bagi penyuluh untuk meningkatkan kinerja mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Gibson, et al. (1996) dan Sudarmanto (2009) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja individu diantaranya adalah sistem penghargaan (reward system). Oleh karena itu penataan sistem penghargaan dalam bentuk materi maupun non materi sangat penting menjadi salah satu prioritas BP4K. Namun menurut Warisdiono (2012) Pemberian penghargaan khususnya dalam bentuk honor penting menjadi perhatian karena disamping dibutuhkan oleh penyuluh hal ini juga yang paling mempengaruhi kinerja penyuluh. Kinerja Penyuluh Pertanian Penyuluh merupakan unsur penting yang diakui peranannya dalam memajukan pertanian di Indonesia. Untuk itu perlu adanya peningkatan kinerja penyuluh pertanian guna meningkatkan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki seorang penyuluh untuk menyelesaikan pekerjaannya. Indikator kinerja dalam penelitian ini berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 91 Tahun 2013 tentang penilaian kinerja antara lain: (1) Ketersediaan dokumen tentang persiapan kegiatan penyuluhan pertanian, (2) Tingkat pelaksanaan penyuluhan pertanian, serta (3) Kontinuitas evaluasi dan pelaporan. Kinerja Penyuluh Pertanian Kabupaten Bungo dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Persentase Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Bungo, tahun 2015 Indikator Kinerja Penyuluh Ketersediaan dokumen tentang persiapan kegiatan penyuluhan pertanian
Kategori Rendah (skor 4-9) Sedang (skor 10-15) Tinggi (skor > 15)
Tingkat Pelaksanaan Penyuluhan
Rendah (skor 8-20) Sedang (skor 21-33) Tinggi (skor > 33)
0 93 7
Kontinuitas Evaluasi dan Pelaporan
Rendah (skor 2-4) Sedang (skor 5-7) Tinggi (skor > 7)
0 81 19
Kinerja Penyuluh (kumulatif)
Rendah (skor < 25) Sedang (skor 26-50) Tinggi (skor 51-75)
5 77 18
Keterangan n = 100
Persentase (%) 6 37 57
47 Ketersediaan Dokumen Tentang Persiapan Kegiatan Penyuluhan Pertanian Tersedianya dokumen tentang persiapan kegiatan penyuluhan pertanian adalah hasil pekerjaan penyuluh pertanian dalam mempersiapkan kegiatan penyuluhan pertanian. Pengukuran dilakukan terhadap kinerja yang dicapai penyuluh pertanian dalam membuat data potensi wilayah dan agroekosistem, penyusunan RDKK, membuat programa, membuat rencana kerja tahunan. Kinerja penyuluh pertanian pada tahapan ini dibagi atas tiga kategori yaitu: rendah (4-9), sedang (10-15) dan tinggi (>15). Kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Bungo pada tahap ini termasuk dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Bungo pada tahap ini sudah cukup baik. Hal ini terlihat dari 100 penyuluh pertanian, sebanyak 57 persen termasuk kategori tinggi, 37 persen termasuk kategori sedang, dan sisanya 6 persen kategori rendah. Sebagian besar penyuluh pertanian sudah memahami dan melaksanakan kegiatan-kegiatan dari tahapan ini. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Kepala Sub Bidang Sumber Daya Manusia (Kasubbid SDM) BP4K Kabupaten Bungo menyatakan bahwa semua penyuluh pertanian setiap tahun membuat rencana kerja tahunan, membuat programa penyuluhan, membuat peta monografi dan potensi wilayah binaan penyuluh. Berdasarkan hasil penelitian hal tersebut dapat dilihat dan dibuktikan dari bukti dokumen resmi pengajuan angka kredit kegiatankegiatan persiapan penyuluhan yang telah didokumentasikan dan dinilai serta disahkan oleh atasan atau koordinator wilayah penyuluh. Secara umum kegiatan pada tahapan ini telah dilakukan dengan baik oleh sebagian besar responden penyuluh. Namun demikian, ada kegiatan pada tahapan ini yang kurang baik dilaksanakan sebagian responden penyuluh yaitu memandu penyusunan rencana kerja dan kebutuhan kelompok tani (RDKK). Salah satu alasan hal ini terjadi karena kelompok tani binaan penyuluh masih enggan untuk membuat hal tersebut dan mereka belum memiliki kapasitas menyusun rencana kerja dan kebutuhan kelompok. Kendala dan hambatan terbesar responden penyuluh pertanian dalam melakukan kegiatan ini adalah masalah biaya. Hal ini disebabkan untuk mengunjungi serta mengundang petani binaan guna menghadiri suatu pertemuan baik di kantor BP3K atau dirumah penyuluh sendiri memerlukan biaya agar kegiatan pertemuan tersebut berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Tingkat Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian Tingkat pelaksanaan penyuluhan pertanian dalam penelitian ini adalah hasil pekerjaan penyuluh pertanian dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan. Pengukuran dilakukan terhadap kinerja yang dicapai penyuluh dalam penyusunan materi penyuluhan desiminasi materi penyuluhan, penerapan metode penyuluhan, pengembangan kapasitas, kualitas serta kuantitas kelompok sasaran atau binaan. Kinerja penyuluhan pertanian pada tahap ini termasuk dalam kategori sedang (93%) serta kategori tinggi 7 persen. Berbagai kegiatan responden pada tahapan ini sebagian besar telah dilakukan dengan baik serta ada sebagian yang masih kurang baik. Beberapa kegiatan yang sudah baik dilakukan oleh penyuluh yaitu: rutin melakukan diseminasi materi penyuluhan dengan melaksanakan pertemuan dengan masyarakat sasaran, penerapan metode penyuluhan seperti
48 kunjungan/tatap muka kepada anggota kelompok tani binaan. Sebaliknya kegiatan yang masih kurang pelaksanaannya adalah membuat materi penyuluhan dalam bentuk media cetak seperti leaflet, booklet, serta poster, penggunaan metode sekolah lapang. Secara umum kendala dan hambatan terbesar responden penyuluh untuk membuat materi penyuluhan dalam bentuk media cetak adalah kemampuan. Padahal jika dilihat sebagian besar penyuluh masih berusia muda akan tetapi tingkat penguasaan multimedia seperti laptop atau komputer untuk pembuatan materi dalam bentuk power point, leaflet dan folder masih kurang. Hal ini disebabkan masih kurangnya materi mengenai hal tersebut dan sebagian besar materi pelatihan yang ada masih berupa materi yang bersifat teknis. Terkait kendala tersebut responden penyuluh berharap agar ada peningkatan kuantitas pelatihan tentang multimedia. Selain hal tersebut masih belum maksimalnya penggunaan metode dengan menggunakan sekolah lapang adalah terkait dengan dibutuhkannya biaya yang cukup besar untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Kontinuitas Evaluasi dan Pelaporan Kontinuitas monitoring dan evaluasi kegiatan penyuluhan pertanian dalam penelitian ini adalah hasil pekerjaan penyuluh pertanian dalam melaksanakan pemantauan, penilaian dan pelaporan kegiatan penyuluhan pertanian. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kinerja yang dicapai penyuluh dalam memantau, mengevaluasi dan melaporkan kegiatan penyuluhan pertanian. Tingkat kinerja penyuluh pertanian tahap ini termasuk dalam kategori sedang atau cukup baik (81 persen). Beberapa kegiatan yang dilakukan dengan baik oleh penyuluh yaitu: (1) rutin setiap bulan membuat laporan bulanan pelaksanaan penyuluhan, (2) rutin setiap tiga bulan dan setiap tahun membuat laporan triwulan dan tahunan, (3) rutin setiap tahun membuat laporan evaluasi dan rekomendasi kegiatan penyuluhan pertanian yang telah dilakukan, dan (4) selalu mencatat, memantau dan menilai setiap pelaksanaan dan kemajuan kelompok tani binaan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kinerja responden penyuluh baik pada tahap ini. Pertama, adanya pertemuan rutin setiap awal bulan sekaligus pelatihan di BP3K unit kerja masing-masing penyuluh mengevaluasi pekerjaan penyuluh. Kegiatan tersebut langsung dipimpin oleh kepala BP3K dan Kepala Dinas BP4K atau yang mewakili beserta seluruh penyuluh koordinator wilayah. Kedua, adanya kegiatan pertemuan pemantauan, evaluasi lainnya yang dilakukan pada setiap pertengahan bulan yang hanya dihadiri oleh sesama rekan penyuluh beserta semua kordinator wilayah penyuluhan. Pertemuan tersebut untuk membahas rencana kerja dan evaluasi kegiatan yang sudah dilakukan, transfer informasi dan pengetahuan kebijakan prioritas dari pusat, sekaligus membahas segala permasalahan di lapangan. Sistem kerja yang sudah terbentuk yaitu selalu ada monitoring, evaluasi pekerjaan penyuluh sebanyak dua kali dalam sebulan menyebabkan responden penyuluh harus melaksanakan tupoksi pelaporan dan evaluasi kegiatan. Total Kinerja Penyuluh Pertanian Total kinerja penyuluh pertanian dalam penelitian ini merupakan penilaian atas keseluruhan kegiatan kerja yang telah dilakukan untuk kemudian
49 dibandingkan dengan kesesuaian target yang ingin dicapai melalui indikatorindikator tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja penyuluh pertanian di BP4K Kabupaten Bungo Provinsi Jambi, tahun 2015 memiliki kinerja termasuk dalam kategori sedang cenderung tinggi. Kondisi ini tercermin dari tiga subpeubah dalam peubah kinerja meliputi: (1) ketersediaan dokumen tentang persiapan kegiatan penyuluhan pertanian, (2) tingkat pelaksanaan penyuluhan pertanian, dan (3) kontinuitas evaluasi dan pelaporan. Berdasarkan Tabel 7, 77 persen penyuluh memiliki kinerja sedang, 18 persen penyuluh memiliki kinerja tinggi, dan hanya 5 persen penyuluh yang memiliki tingkat kinerja rendah. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan diketahui bahwa tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Bungo lebih kepada penyediaan dokumen tentang persiapan kegiatan penyuluhan dan masih perlu di perbaiki dalam hal pelaksanaan penyuluhan serta kontinuitas evaluasi dan pelaporan. Pengaruh antara Karakteristik Penyuluh Peserta Pelatihan, Tingkat Kesesuaian Kurikulum Pelatihan, Tingkat Kompetensi Penyuluh Pelatih dan Dukungan Lembaga Penyuluhan terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Pengaruh antara karakteristik penyuluh peserta pelatihan, tingkat kesesuaian kurikulum pelatihan, tingkat kompetensi penyuluh pelatih dan dukungan lembaga penyuluhan terhadap kinerja penyuluh pertanian dianalisis dengan regresi linear berganda. Interpretasi nilai regresi linear berganda dibagi menjadi dua yaitu regresi positif dan negatif. Jika nilai koefisien regresi negatif maka pengaruh antar kedua variabel berbanding terbalik. Namun sebaliknya, jika nilai koefisien regresi positif maka hubungan kedua variabel berbanding lurus. Pengaruh Karakteristik Penyuluh Peserta Pelatihan terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Karakteristik penyuluh peserta pelatihan yang diduga mempengaruhi kinerja dalam penelitian ini adalah: umur, pendidikan formal, jenis kelamin, masa kerja, jumlah pertanian yang pernah diikuti serta motivasi mengikuti pelatihan. Berdasarkan analisis Regresi Linear, nilai koefisien regresi antara karakteristik penyuluh peserta pelatihan dengan kinerja penyuluh pertanian disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Koefisien dan P Value pengaruh karakteristik penyuluh peserta pelatihan terhadap kinerja penyuluh. Peubah/Indikator Umur Pendidikan Formal Masa Kerja Jumlah Pelatihan yang Pernah diikuti Motivasi Mengikuti Pelatihan *Signifikan pada α = 0,05
Koefisien regresi (β) 0, 193 0, 063 0, 296 0, 262* 0, 705*
P value 0, 129 0, 537 0, 337 0, 018 0, 012
50 Tidak semua aspek karakteristik penyuluh peserta pelatihan mempengaruhi kinerja penyuluh pertanian. Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa usia tidak berpengaruh dengan kinerja penyuluh, dalam hal ini penyuluh yang lebih tua tidak berarti kurang produktif daripada penyuluh muda, meskipun penyuluh yang sudah tua lebih banyak tidak menghadiri pelatihan daripada penyuluh yang lebih muda. Selain umur pendidikan formal dari penyuluh juga tidak mempengaruhi peningkatan kinerja penyuluh tersebut hal ini bertentangan dengan pendapat Slamet (1992) bahwa, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula pengetahuan, sikap dan keterampilan, efisien bekerja dan semakin banyak tahu cara-cara dan teknik bekerja yang lebih baik dan lebih menguntungkan yang menyebabkan tingkat pendidikan formal berpengaruh pada kinerja penyuluh pertanian. Namun berdasarkan hasil penelitian dilapangan menunjukkan pendidikan tidak mempengaruhi peningkatan kinerja seorang penyuluh pertanian. Berdasarkan Tabel 7 masa kerja dari seorang penyuluh tidak berpengaruh terhadap peningkatan kinerja. Hal ini disebakan oleh kegiatan-kegiatan penyuluhan uang dilakukan pada saat ini lebih banyak menggunakan teknologi informasi untuk menyampaikan informasi pada masyarakat di wilayah binaan, sedangkan penyuluh yang telah lama bekerja atau memiliki masa kerja yang relatif lama tidak bisa menggunakan kemajuan teknologi informasi yang dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Bahua (2010) yang menyatakan bahwa penyuluh yang lama bekerja telah berpengalaman dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan klien, sehingga dapat merencanakan program untuk pengembangan usahatani dengan lebih baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek yang mempengaruhi karakteristik penyuluh adalah jumlah pelatihan yang diikuti dan motivasi dari penyuluh dalam mengikuti pelatihan. Artinya semakin banyak jumlah pelatihan yang diikuti oleh penyuluh pertanian maka semakin banyak pengetahuan serta keterampilan yang didapatkan oleh penyuluh. Sehingga bermanfaat bagi penyuluh untuk digunakan di wilayah kerja serta dapat meningkatkan kinerja penyuluh pertanian. Hal ini disebabkan semakin banyak pelatihan yang dilaksanakan dan sesuai dengan kebutuhan akan mempengaruhi kinerja dari penyuluh pertaniaan tersebut di lapangan. Motivasi dari penyuluh dalam mengikuti pelatihan berpengaruh nyata terhadap karakteristik penyuluh peserta dan positif terhadap kinerja penyuluh pertanian. Semakin tinggi motivasi penyuluh responden dalam mengikuti pelatihan maka kinerja penyuluh akan semakin tinggi. Motivasi responden dalam mengikuti pelatihan dilatarbelakangi dari kemauan sendiri dan oleh dorongan untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan guna peningkatan kinerja mereka.selain itu adanya kewajiban dan dorongan dari atasan dalam hal mengikuti pelatihan juga menambah motivasi dan membuat penyuluh bersemangat untuk mengikuti kegiatan pelatihan yang diadakan. Hal ini memperkuat hasil penelitian Sapar et al. (2011) dimana pelatihan berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian. Berdasarkan penelitian ini juga dapat diketahui bahwa pelatihan juga mempengaruhi dari kinerja penyuluh. Begitu juga dengan motivasi responden hal ini memperkuat penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Leilani dan Jahi (2006), Marius et al. (2007), Suhanda et al. (2008), Siregar dan Saridewi (2010).
51 Pengaruh Tingkat Kesesuaian Kurikulum Pelatihan terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Tingkat kesesuaian kurikulum pelatihan yang berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh pertanian adalah metode pelatihan serta sarana dan prasarana yang tersedia pada saat kegiatan pelatihan berlangsung. Sedangkan yang tidak berpengaruh nyata adalah perencanaan pelatihan serta materi pelatihan. Tabel 8. Koefisien dan P value tingkat kesesuaian kurikulum pelatihan terhadap kinerja penyuluh Peubah/Indikator Perencanaan Pelatihan Materi Pelatihan Metode Pelatihan Sarana dan Prasarana Pelatihan *Signifikan pada α = 0,05
Koefisien regresi (β) - 0, 001 0, 080 0, 147* 0, 147*
P value 0, 979 0, 415 0, 021 0, 020
Metode pelatihan berpengaruh nyata dan positif terhadap kinerja penyuluh pertanian. Semakin tinggi kesesuaian metode pelatihan yang digunakan dalam proses pembelajaran maka semakin mudah penyuluh dalam mengikuti kegiatan pelatihan tersebut sehingga dapat meningkatkan kinerja penyuluh pertanian. Metode pelatihan yang digunakan pada kegiatan pembelajaran pada penelitian ini lebih berfokus kepada diskusi, ceramah, rapat serta studi kasus. Sarana dan prasarana pelatihan memiliki pengaruh nyata yang positif terhadap kinerja penyuluh pertanian. Semakin tersedia sarana dan prasarana pelatihan maka penyuluh responden akan mengikuti pelatihan dengan baik. Ketersediaan sarana dan prasarana yang cukup akan memudahkan responden untuk mengikuti setiap proses pembelajaran dengan lancar dan nyaman. Pada proses kegiatan pembelajaran sarana dan prasarana yang tersedia seperti ruang kelas, ketersediaan listrik, serta peralatan kelas sudah cukup memadai. Sedangkan LCD, proyektor, laptop, dibawa langsung oleh penyuluh pelatih dari BP4K ketempat pelatihan yang telah ditentukan. Mulyaningrum (2010) menyatakan bahwa semakin efektif perencanaan metode dan kesesuaian metode pelatihan maka akan semakin baik pula pencapaian kinerja penyuluh pertanian yang diharapkan. Selain hal tersebut juga didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana pelatihan. Pengaruh Tingkat Kompetensi Penyuluh Pelatih terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Tingkat kompetensi penyuluh pelatih berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh pertanian adalah penguasaan substansi materi dan kemampuan merencanakan pembelajaran sedangkan yang tidak berpengaruh nyata adalah kemam puan melaksanakan pembelajaran dan kemampuan dalam mengevaluasi pembelajaran. secara keseluruhan tingkat kompetensi penyuluh pelatih memiliki determinan terhadap kinerja kinerja penyuluh sebesar 64,2 persen. Tingkat kompetensi penyuluh pelatih pada penguasaan substansi materi berpengaruh nyata
52 dan positif terhadap kinerja penyuluh pertanian. Semakin tinggi kompetensi penyuluh pelatih dalam kegiatan pembelajaran pelatihan maka semakin bermanfaat untuk peningkatan kinerja penyuluh. Firmansyah (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa agar terjadi peningkatan kinerja penyuluh maka perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitas pelatihan serta skill penyuluh sesuai dengan permasalahan di lapangan. Substansi materi yang baik menurut Saylor (2006) harus memenuhi beberapa aspek yaitu adanya relevansi terhadap sasaran kegiatan, kesesuaian materi materi dengan kegunaan, isi materi harus memberikan informasi yang tepat bagi penyuluh, selain itu materi juga harus mempertimbangkan faktor ekonomis. Materi pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan penyuluh akan membantu penyuluh dalam meningkatkan kompetensi dan kinerja. Tabel 9. Koefisien dan P value tingkat kompetensi penyuluh pelatih terhadap kinerja penyuluh Peubah/Indikator Penguasaan Substansi Materi Kemampuan Merencanakan Pembelajaran Kemampuan Melaksanakan Pembelajaran Kemampuan dalam Mengevaluasi Pembelajaran
Koefisien regresi (β) 0,291* 0,293* 0,150 0,164
P value 0, 016 0, 042 0, 334 0, 072
*Signifikan pada α = 0,05
Kemampuan penyuluh pelatih dalam merencanakan pembelajaran pada saat kegiatan pelatihan berpengaruh nyata dan positif dalam peningkatan kinerja penyuluh pertanian. Semakin baik penyuluh pelatih merencanakan pembelajaran pada kegiatan pelatihan maka semakin mudah penyuluh peserta pelatihan dalam mengikuti pelatihan serta mengambil manfaat dari kegiatan pelatihan tersebut sehingga bermanfaat untuk meningkatkan kinerja peserta penyuluh pertanian. Salah satu penyuluh responden berpendapat bahwa jika penyuluh pelatih memiliki kemampuan merencanakan pembelajaran yang baik seperti mampu menentukan tujuan materi pembelajaran, menentukan skenario kegiatan pembelajaran serta mampu menentukan pokok bahasan dari pembelajaran pada kegiatan pelatihan maka penyuluh peserta pelatihan dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Selain penyyuluh pelatih memiliki kemampuan merencanakan pembelajaran hal ini juga harus diikuti kerjasama yang baik oleh pihak panitia dengan penyuluh pelatih agar aspek-aspek yang telah direncanakan oleh penyuluh pelatih dapat diterapkan pada saat kegitan pelatihan dilaksanakan. Kemampuan penyuluh pelatih dalam melaksanakan pembelajaran pada saat kegiatan pelatihan harus selalu ditingkatkan. Jika di lembaga pelatihan para pelatih diberikan pelatihan khusus namun berdasarkan wawancara dengan penyuluh pelatih mereka hanya meningkatkan kemampuan berdasarkan pengalaman dilapangan. menurut penelitian Warisdiono (2012) kemampuan merencanakan pembelajaran dapat juga ditingkatkan dengan cara saling berbagi pengalaman antar pelatih.
53 Pengaruh Dukungan Lembaga Penyuluhan terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa dukungan lembaga penyuluhan yang meliputi penyediaan fasilitas dan insentif atau penghargaan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja penyuluh pertanian sebesar 67,4 persen, sedangkan 32,6 persen dijelaskan oleh faktor lain diluar model yang dijelaskan. Ini disebabkan oleh masih adanya faktor lain yang dapat menjelaskan pengaruh dukungan lembaga penyuluhan yang tidak termasuk pada faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluhan. Tabel 10 menunjukkan bahwa dukungan lembaga penyuluhan yang berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh pertanian adalah fasilitas dari lembaga penyuluhan dan insentif atau penghargaan. Kedua aspek dukungan lembaga penyuluhan tersebut berpengaruh nyata dan positif terhadap peningkatan kinerja penyuluh pertanian. Fasilitas dari lembaga penyuluhan berpengaruh nyata positif terhadap peningkatan kinerja penyuluhan pertanian artinya, semakin besar dukungan fasilitas seperti tersedianya sarana dan prasarana serta hal-hal yang diperlukan untuk menunjang kegiatan penyuluhan dilapangan maka semakin meningkat kinerja penyuluh pertanian. Firmansyah (2013) menyatakan bahwa salah satu dukungan lembaga penyuluhan yang dapat diberikan kepada penyuluh agar memudahkannya untuk bekerja adalah memberikan fasilitas kendaraan baik roda dua ataupun roda empat, mobil pengangkut bibit, kendaraan operasional pemeliharaan serta sarana prasaran lainnya. Kondisi fasilitas kendaraan di lapangan tergolong baik karena setiap penyuluh di berikan kendaraan roda dua untuk membantu mobilitas penyuluh ke wilayah kerja atau daerah binaan sedangkan kendaraan roda empat diberikan kepada Kepala BP3K masing-masing kecamatan. Mobil pengangkut bibit, kendaraan operasional pemeliharaan diberikan kepada masing-masing BP3K untuk dikelola dan dipergunakan di wilayah kerja BP3K tersebut. Tabel 10. Koefisien pengaruh dan P Value dukungan lembaga penyuluhan terhadap kinerja penyuluh Peubah/Indikator Koefisien regresi (β) P value Fasilitas 0,149* 0, 017 Insentif/ Penghargaan 0,070* 0, 014 *Signifikan pada α = 0,05 Insentif atau penghargaan berpengaruh nyata dan positif terhadap kinerja penyuluh pertanian. Semakin tinggi insentif atau penghargaan yang diberikan oleh lembaga penyuluhan maka semakin tinggi kinerja penyuluh pertanian. Insentif atau penghargaan yang diberikan oleh lembaga penyuluhan bukan hanya berupa imbalan dalam bentuk gaji dan honor saja, namun pemberian izin serta penghargaan jika penyuluh berprestasi. Hal ini memperkuat hasil penelitian Laelani dan Jahi (2006) yang menyatakan bahwa gaji dan honor berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian. Walaupun demikian pemberian insentif atau penghargaan harus tepat sasaran kepada penyuluh yang benar-benar berhak mendapatkannya. Hal ini disebabkan jika tidak sesuai maka peningkatan kinerja yang diharapkan tidak akan terjadi.
54
7. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penyuluh pertanian di BP4K Kabupaten Bungo dicirikan oleh mayoritas penyuluh berusia muda (27-37 tahun), tingkat pendidikan berada dalam kategori tinggi yakni tamat DIV/S1-S2, frekuensi mengikuti pelatihan adalah sebanyak 1120 kali. Masa kerja penyuluh pertanian masih tergolong baru yakni sekitar 4-14 tahun kerja. Mayoritas penyuluh merupakan penyuluh laki-laki. Kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Bungo berada pada kategori sedang. Ditinjau dari berbagai aspek, kinerja penyuluh masih belum optimal dan berfokus pada aspek administratif yakni menyediakan dokumen-dokumen persiapan kegiatan penyuluhan pertanian. Sedangkan pada aspek pelaksanaan masih belum cukup optimal dan cenderung rendah. Rendahnya kinerja penyuluh disebabkan oleh rendahnya kemampuan melaksanakan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Pelaksanaan pelatihan non teknis yang diselenggarakan terbukti mempengaruhi kinerja penyuluh. Adapun aspek-aspek yang mempengaruhi hal tersebut dalam hal kesesuaian kurikulum adalah metode dan ketersediaan sarana serta prasarana pelatihan, kemampuan penyuluh pelatih dalam menguasai substansi materi pembelajaran serta kemampuan dalam merencanakan pembelajaran baik di kelas ataupun saat diadakan praktek, dukungan lembaga BP4K berupa fasilitas, insentif/ penghargaan. Dukungan lembaga penyuluhan pertanian yang berpengaruh terhadap peningkatan kinerja bukan saja berupa gaji dan honor akan tetapi juga peningkatan sarana prasarana yang berguna bagi kegiatan penyuluh di lapangan. Kegiatan pelatihan non teknis yang dilaksanakan masih sedikit serta belum dilaksanakan secara maksimal. Saran Pelatihan yang diselenggarakan oleh BP4K perlu ditingkatkan dalam hal kualitas dan kuantitas pelatihan non teknis dan skill penyuluh pertanian sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan di lapangan melalui penguatan anggaran dan kerjasama dengan pihak terkait untuk bidang penyuluhan pertanian. Pemilihan metode penyampaian yang tepat berguna agar proses kegiatan pelatihan berjalan dengan baik serta menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan pada saat pelatihan. Kompetensi penyuluh pelatih perlu ditingkatkan agar pelatihan yang diharapkan bisa terlaksana dengan baik serta sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dukungan lembaga penyuluhan pertanian hendaknya adil dan merata serta tepat sasaran kepada penyuluh pertanian yang berhak mendapatkannya dapat membantu untuk meningkatkan kinerja penyuluh secara maksimal. Dukungan lembaga penyuluhan pertanian hendaknya adil dan merata serta tepat sasaran kepada penyuluh pertanian yang berhak mendapatkannya. Hal ini disebabkan agar dukungan lembaga penyuluhan itu dapat membantu untuk meningkatkan kinerja penyuluh secara maksimal.
55 DAFTAR PUSTAKA Adefila JO. 2012. Spatial Impact of Extension Worker’s Performance on Sustainable Agricultural Development in Kaduna State of Nigeria. Journal of Sustainable Development. 5(4):141-148[diunduh 2 Januari 2015]. Aruan DA. 2013. Pengaruh Pelatihan dan Motivasi terhadap Kinerja Karyawan PT Sucifindo Persero Surabaya. Jurnal Ilmu Manajemen. 1(2): 565-574. Asmoro H. 2009. Hubungan Motivasi Berprestasi dan Iklim Organisasi dengan Kinerja Penyuluh Kehutanan Terampil (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat). [Tesis]. Bogor(ID): IPB Bahua MI, Jahi A, Asngari PS, Saleh A, Purnaba IGP. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya pada Perilaku Petani Jagung di Provinsi Gorontalo. Jurnal Ilmiah Agropolitan. 3(1): 293303. Bandura A. 1986. The Explanatory and Predictive Scope of Self Efficacy Theory. Journal of Clinical and Social Psychology. 4(1): 359-373. Bansir M. 2008. Analisis Pengaruh Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur [Tesis]. Bogor (ID): IPB. Chamala S, Shingi PM. 1997. Establishing and Strengthening Farmer Organizations. Dalam Improving Agricultural Extension: A Reference Manual. (Penyunting, Burton E. Swanson, Robert PB, dan Andrew JS). Roma: FAO Dessler G. 2004. Manajemen Personalia. Terjemahan Agus Dharma. Edisi Ketiga. Jakarta (ID): Erlangga Dube MMA. 1993. Perceptions of Field-Officers Extension Officers, and Farmers’ Regarding Agricultural Extension Education in Swaziland. [Disertasi]. Bogor (ID): IPB. Feder G, Birner R, Anderson JR. 2011. The Private Sector’s Role in Agricultural Extension System: Potential and Limitations. Journal of Agribussiness in Developing and Emerging Economies. 1(1):31-54[diunduh 2 Januari 2015] Firmansyah. 2013. Motivasi, Kepuasan Kerja, dan Kinerja Penyuluh Kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. JP. 11(1): 11-22. Gagne MR. 1967. The Condition of Learning. New York (US): Holt Rinehart and Winston. Inc Gibson I. 1996. Organisasi dan Manajemen. Jakarta (ID): Erlangga. Gilley JG dan Eggland SA. 1989. Principles of Human Resource Development. Toronto (US): Addison Wesley Pub. Co. Inc. Halil W, Armiati. 2013. Sistem Penyuluh Pertanian di Indonesia. Buletin No 1 Tahun 2012. Sulawesi Selatan (ID): BPTP Sulsel. Hamzah I. 2011. Faktor penentu kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hasibuan MSP. 2003. Organisasi dan Motivasi Dasar Peningkatan Produktivits. Jakarta (ID): Bumi Aksara Havighurst RJ. 1974. Development Task and Education. Third Edition. New York (US): David McKay Company Inc.
56 Herbenu PC. 2007. Pengembangan Sumberdaya Petugas Penyuluh Lapangan PPL Pertanian Guna Menghadapi Persaingan dan Meraih Peluang Kerja. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian. 3(1):1-11[diunduh 2 Januari 2015]. Herzberg F. 2000. Frederick Herzberg’s Motivation and Hygiene Factors. http://businessballs.com/herzberg.htm. Hickerson FJ, Middleton J. 1975. Helping People Learn: A module for Training Trainer. Hawai: East-West Center. Houle OC. 1975. The Nature of Adult Education. Penyuluh Pertanian Edisi Ke-2. Bahan Bacaan dan Diskusi. Diedit oleh Margono Slamet. Bogor (ID): IPB. Jacius JM. 1968. Personal Management. Tokyo (JP): Charles E. Tuhe Company. Jahi A, Newcomb LH. 1981. Orientation: Adjust For Agent Characteristic. Journal of Extension. 23-27. http://www.joe.org/joe/1981july/81-4-a5.pdf. Jamil MH. 2013. Kinerja Balai Penyuluh Pertanian (BPP) dan Dampaknya pada Perilaku Petani Padi di Sulawesi Selatan. JP. 8(2): 132-140. Kerlinger NF. 2003. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta (ID): Gadjahmada University Press. Laelani A dan Jahi A. 2006. Kinerja Penyuluh Pertanian di Beberapa Kabupaten di Provinsi Jawa Barat. JP. 2(2):99-106[diunduh 2 Januari 2015]. Lippit R, Watson J, Wetsley B. 1958. The Dynamic of planned changed Harcourt. New York (US): Brace and World Inc Lodjo FS. 2013. Pengaruh Pelatihan, Pemberdayaan dan Efikasi diri terhadap Kepuasan Kerja. Jurnal EMBA. 1(3): 747-755. Mangkunegara AP. 2005. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung (ID): Refika Aditama. Mangkuprawira S. 2004. Arti dan Beragam Aspek tentang Kompetensi. Lokakarya Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor; Bogor, 28 April 2004. Bogor (ID): IPB. Marliati, Sumardjo, Asngari PS, Tjitropranoto P, Saefuddin A. 2008. Faktor-Faktor Penentu peningkatan kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani (Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau). JP. 4(2): 92-99. Moekijat. 1991. Latihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung (ID): Penerbit Mandar Maju. Mosher AT. 1987. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. (Terjemahan Krisnandhi). Jakarta (ID): Yasaguna. Nazir M. 2009. Metode Penelitian. Jakarta(ID): Ghalia Indonesia. Nitisemito AS. 2000. Manajemen Personalia. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. Notoatmodjo S. 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta (ID): Rineka Cipta. North Carolina Cooperative Extension. 2006. Extension Agent Competencies. http://www.ces.ncsu.edu/pods/agents/knowledge.com.shtml. Oepen M. 2003. Moderation and Visualization For Group Events. Jerman (DE): InWent Padmowihardjo, S. 1994. Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta (ID): Universitas Terbuka. Riduwan. 2013. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung (ID): Alfabeta. Rivai V. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan, Jakarta (ID): PT. Raja Grafindo Persada Robbins SP. 1996. Perilaku Organisasi edisi bahasa Indonesia, Jilid 1. Jakarta (ID): Prenhallindo.
57 Sapar, Jahi A, Asngari PS, Saleh A, Purnaba IGP. 2011. Faktor-faktor yang berpengaruh pada kinerja penyuluh pertanian dan dampaknya pada kompetensi petani kakao di empat wilayah di Sulawesi Selatan. Forum Pascasarjana. 34(4):297-305. Salam HB. 1997. Pengantar Pedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik). Jakarta (ID):Rineka Cipta. Salkind NJ. 1985. Theories of Human Development. Second Edition. New York (US):John Wiley & Sons, Inc. Saylor, J.Gallen, William, Alexander M. 1996. Curriculum Planning for Training. New York (US): Halt Reineheart&Winston, Inc. Siagian SP. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta(ID): Bumi Aksara. Silalahi U. 2012. Metode Penelitian Sosial. Bandung (ID): PT. Refika Aditama. Simamora. 2013. Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta (ID): YKPN. Singarimbun M, Effendi S. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta(ID): LP3S. Siregar AN dan Saridewi TR. 2010. Hubungan Antara Motivasi Dan Budaya Kerja Dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan Pertanian. 5(1)[diunduh 3 Januari 2015] Slamet M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soekartawi. 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta(ID): Universitas Indonesia. Spencer ML, Spencer MS. 1993. Competence at Work. New York (US): John Wiley & Sons. Inc Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung (ID): Alfabeta. Suhanda SN. 2008. Hubungan Karakteristik dan Kinerja Penyuluh Pertanian di Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor (ID): IPB. Sumantri S. 2005. Psikologi Personel. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran. Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani: Kasus di Propinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suparno S. 2001. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta (ID): Depdiknas. Turere VN. 2013. Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan Terhadap Peningkatan Kinerja Karyawan Pada Balai Pelatihan Teknis Pertanian Kalasey. Jurnal EMBA.1(3):10-19[diunduh 2 Januari 2015] UNESCO. 2009. Education For All Global Monitoring Report 2009. http://www.unesco.org/education/gmr2009/press/efagmr2009_chapter1.pdf. Vaizey J. 1978. Pendidikan di Dunia Modern. Terjemahan, Murtini LP. Jakarta (ID): Gunung Agung. Van den Ban AW dan H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta (ID): Kanisius. Viantimala B, Sumaryo GS. 2006. Kinerja Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) perempuan di Kota Metro. Jurnal Sosio Ekonomika. 12(2). Walker El. 1973. Conditioning dan Proses Belajar Instrumental. Jakarta (ID): Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Warisdiono E. 2012. Kompetensi dan Kinerja Fasilitator Pelatihan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
58 Pertanian (P4TK Pertanian), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. JP. 9(2): 111-119. Woolfolk A. 1993. Educational Psychology. USA: Pearson Education, Inc. Wuriani, Zakso A, Suib M. 2014. Kontribusi Karakteristik Individu dan Komitmen Profesional terhadap Kepuasan Kerja Dosen Prodi Keperawatan. Jurnal UNTAN
59
LAMPIRAN
60
61 LAMPIRAN Lampiran Contoh Hasil anova pengaruh karakteristik penyuluh peserta pelatihan terhadap kinerja penyuluh ANOVAb Model 1
Sum of Squares
Regression
Df
Mean Square
564.188
5
112.838
Residual
2575.371
94
27.398
Total
3139.558
99
F 4.119
Sig. 0.002a
a. Predictors: (Constant), motivasi, masa kerja, jumlah pelatihan, pendidikan formal, umur b. Dependent Variable: kinerja penyuluh Lampiran 2 Contoh Hasil uji multikolineritas pengaruh karakteristik penyuluh peserta pelatihan terhadap kinerja penyuluh Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
(Constant)
B
Std. Error
Standardize d Coefficients Beta
Collinearity Statistics T
Tolera Sig. nce VIF
26.013
7.079
3.675 0.000
Umur
0.193
0.126
0.285 1.531 0.129 0.252 3.973
Pendidikan formal
0.063
0.102
0.113 0.620 0.537 0.262 3.822
Masa kerja
0.296
0.307
0.092 0.966 0.337 0.952 1.051
Jumlah pelatihan
0.262
0.109
0.227 2.410 0.018 0.979 1.021
Motivasi 0.705 0.276 0.246 2.557 0.012 0.946 1.057 a. Dependent Variable: Kinerja Penyuluh Uji multikolineritas menunjukkan Nilai Tolerance > 0,10 dan Nilai VIF < 10,00 artinya tidak terjadi multikolineritas.
62
Lampiran 3. Contoh Hasil uji autokorelasi pengaruh karakteristik penyuluh peserta pelatihan terhadap kinerja penyuluh Model Summaryb Model R
R Square
Adjusted R Std. Error of the Square Estimate Durbin-Watson
0.424a .180 .136 5.23427 1.535 a. Predictors: (Constant), Motivasi, Pendidikan, Jumlah Pelatihan yang diikuti, Masa Kerja, Jenis Kelamin, Umur b. Dependent Variable: Kinerja Nilai Durbin Watson 1,923 telah mendekati 2, artinya tidak terjadi autokorelasi 1
Lampiran 4 Contoh Hasil uji kenormalan pengaruh karakteristik penyuluh peserta pelatihan terhadap kinerja penyuluh One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N
100
Normal Parametersa Most Differences
Mean Std. Deviation Extreme
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
.0000000 5.10037695
Absolute
.114
Positive
.114
Negative
-.057 1.141 .148
a. Test distribution is Normal. Hasil uji kolmogrov-smirnov menunjukkan bahwa residual telah menyebar normal dengan p-value 0,524 > 0,05
63
Lampiran 5 Wilayah Kabupaten Bungo
64
Lampiran 6 Dokumentasi Penelitian
Suasana Kegiatan Pelatihan
Suasana Kegiatan Pelatihan
Penyuluh Pelatih dan Narasumber dari BP4K
Penyuluh Peserta Pelatihan Pelaksanaan Pembelajaran
saat
65 Lampiran 7. Bentuk Pelatihan yang dilakukan di BP4K Kabupaten Bungo Tahun 2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Judul Pelatihan / Materi Program Sosialisai Pengembangan Informasi dan Teknologi Sosialisasi Program Sarana Prasarana Dinamika Kelompok Tani Sosialisasi Program SDM Pengenalan Beberapa Klon pada Tanaman Karet Penggemukan Sapi Potong Manfaat Penggunaan Pupuk Organik pada Tanaman Padi Pengendalian Penyakit Ternak Besar Pengenalan Budidaya Tanaman Terung Pengembangan Budidaya Keramba Budidaya Lebah Madu Peningkatan Kompetensi Penyuluh Teknik Penyuluhan dan Etos Kerja Pengaturan Pola Tanam Padi/ SLPTT Cara Pengumpulan Data Potensi Wilayah dan Agroekosistem Menyusun Rencana Usahatani Wilayah Kerja Menyusun Programa dan Rencana Kerja Tahunan Cara Menyusun Materi Penyuluhan dan Penggunaan Media Penyuluhan Pemilihan dan Penerapan Metode Penyuluhan. Langkah-langkah Membentuk Kelompok Tani Cara Menjalin Kemitraan dengan Lembaga ataupun Pihak Terkait Cara Menyusun Laporan Hasil Pelaksanaan Penyuluhan Setelah Kegiatan Berakhir Penyusunan Angka Kredit Pembuatan Pupuk Organik
Penyelenggara BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K BP4K
66 RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Hiang Tinggi Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi pada tanggal 31 Juli 1990. Penulis adalah anak pertama dari 3 bersaudara yang dilahirkan dari orang tua bernama Hudarmin dan Wirda. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Muara Bungo Kabupaten Bungo Jambi. Pada Tahun 2008, melalui jalur PMDK penulis diterima kuliah pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Selama perkuliahan penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEMFP) Universitas Andalas, Komunitas Mahasiswa Ilmiah Pertanian(KMIP). Pada Tahun 2013 penulis melanjutkan Program Magister pada Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB, dengan Pembiayaan Beassiwa BPPDN DIKTI. Selama kuliah, penulis menjadi anggota PAPPI (Perhimpunan Ahli Penyuluhan Pembangunan Indonesia). Penulis saat ini juga aktif di Gita Swara Pascasarjana (GSP) IPB.