PENGAPLIKASIAN SILA KE-2 PANCASILA TERHADAP KASUS PERDAGANGAN ANAK DI KAMPUNG “X”
Disusun Oleh: Nama
: Mukhamad Aziz Hidayat
NIM
: 11.11.5158
Dosen
: Tahajudin Sudibyo, Drs
Kelompok D Kelas 11-S1TI-08
Untuk Memenuhi Syarat Mata Kuliah Pendidikan Pancasila
STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011
ABSTRAK Kasus perdagangan anak kini kian marak terdengar di telinga kita. Bahkan mungkin hal seperti ini ada di sekitar kita dan merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri lagi. Banyak faktor yang membuat sang ibu tega menjual darah dagingnya sendiri. Entah apa yang mereka fikirkan, karena baik dari segi agama dan hukum negara sangat menentang dengan adanya kasus yang seperti ini. Pancasila yang merupakan dasar negara pun sangan menentang dengan kasus perdagangan anak ini. Sila ke-2 yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” telah
menjelaskan
akan
pentingnya HAM, mengatur
bagaimana kita harus
memperlakukan orang terutama anak dengan baik. Sebenarnya banyak langkah yang dapat kita lakukan untuk mencegah kasus semacam ini. Tinggal bagaimana kita mau atau tidak untuk melaksanakannya. Semua kembali kepada hati nurani kita.
ii
KATA PENGANTAR Puji syukur penyusun penjatkan kehadirat Allah SWT, serta kepada semua pihak yang tidak dapat penyusun sebutkan satu per satu yang telah membantu penyusun dalam menyelesaikan makalah ini tanpa halangan suatu apapun. Akhirnya penyusun berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin. Atas rahmat-Nya maka penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “PENGAPLIKASIAN SILA KE-2 PANCASILA TERHADAP KASUS JUAL BELI ANAK DI KAMPUNG “X””. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas untuk memenuhi persyaratan mata kuliah pendidikan pancasila di STMIK Amikom Yogyakarta. Dalam penulisan makalah ini penyusun merasa masih banyak kekurangankekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penyusun. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penyusun harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Yogyakarta, 25 Oktober 2011
Penyusun
iii
DAFRAR ISI ABSTRAK ............................................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................................
iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................................
1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................
2
BAB II KASUS PERDAGANGAN ANAK SERTA HUKUM YANG BERLAKU DI DALAMNYA ............................. 3 A. Pendekatan .....................................................................................................
3
1. Yuridis ........................................................................................................ 3 2. Historis ......................................................................................................
4
B. Kasus Perdagangan Anak .........................................................................
5
1. Pengertian Anak Dari Berbagai Pendapat .................................
5
2. Awal Mula Kejadian .............................................................................
6
3. Penyebab Terjadinya Perdagangan Anak di Desa “X”........
7
4. Pandangan Masyarakat Desa “Y” Tempat Ibu Merawat Janinnya ....................................................................................................
7
5. Hubungan Pancasila Sila ke-2 Dengan Kasus Penjualan Anak ............................................................................................................
8
6. Sikap yang Seharusnya Kita Ambil dalam Kasus Perdagangan Anak ...............................................................................
9
BAB III PENUTUP ...........................................................................................................
10
A. Kesimpulan ...................................................................................................
10
B. Saran ................................................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 11
iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga dengan kata lain seseorang berhak dan wajib diperlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. Sejatinya, anak adalah harta sekaligus karunia terbesar yang Tuhan berikan kepada setiap orang tua. Sayangnya, sebagian orang tua dan oknum tak bertanggung jawab salah dalam menafsirkan makna harta itu sendiri. Banyak dari mereka yang menganggap anak adalah “harta” yang bisa dipindahtangankan dan ditukar dengan seikat uang. Dalam pandangan Islam, misalnya, anak juga dipandang sebagai amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada orangtuanya. Sebagai amanah, anak sudah seharusnya memiliki hak untuk mendapatkan pemeliharaan, perawatan, pembimbingan, dan pendidikan. Bisnis perdagangan orang saat ini banyak menjerat anak. Bisnis seperti ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia. Perdagangan anak sendiri sebenarnya telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sungguh ironis mengetahui bahwa keberadaan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya anak masih belum mampu secara maksimal menjadi payung hukum dan untuk kemudian menjerat para pelaku perdagangan anak.
1
B. Rumusan Masalah 1. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan anak? 2. Bagaimana awal mula kejadian sehingga bisa muncul perdagangan anak di desa “X”? 3. Apa penyebeb terjadinya penjualan anak di desa “X”? 4. Bagaimana pandangan masyarakat desa ”Y” tempat sang penjual bayi menbesarkan janinnya? 5. Apa hubungan Pancasila sila ke-2 dengan kasus penjualan anak? 6. Bagaimana sikap yang seharusnya kita ambil dalam kasus perdagangan anak?
2
BAB II KASUS PERDAGANGAN ANAK SERTA HUKUM YANG BERLAKU DI DALAMNYA C. PENDEKATAN 1. Yuridis Jika ditinjau dari aspek hukum, sindikat seperti ini sudah masuk area tindak pidana, perlakuan mereka orientasinya adalah bisnis, tanpa memikirkan bahwa perempuan dan anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang perlu dilindungi dan mempunyai harga diri sebagai pemangku hak dan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak merupakan peraturan khusus yang mengatur mengenai masalah anak. Tujuan dari perlindungan anak sendiri disebutkan dalam Pasal 3 UU No. 23/ 2003 : “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.” Disebutkan juga dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2003 tentang hak dari anak yang menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dalam UU RI No. 21 th. 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa BAB II Pasal 3 juga disebutkan “Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
3
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
2. Historis
Di masa lalu, perdagangan anak dan perempuan hanya dipandang sebagai pemindahan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. jumlah konvensi terdahulu mengenai perdagangan hanya memfokuskan aspek ini. Namun seiring dengan perkembangan zaman, perdagangan didefinisikan sebagai pemindahan, khususnya perempuan dan anak dengan atau tanpa persetujuan orang yang bersangkutan di dalam suatu negara atau ke luar negeri untuk semua perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi. Dan ternyata sejarah perdagangan manusia pertama kali tercatatkan dalam Qur’an surat Yusuf ayat 20 yang berbunyi:
ٍنا َو َو و ِبا َو ا َو ْو ُه َو ٍنا َو َو اُه وا ِب ِبيا ِب َوياوا َّزلو ِبا ِب َويا
َو َو َو ْو ُها ِب َو َو ٍنيا َو ْو
“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.”
Dari penuturan di atas dapat kita ketahui bahwa ternyata perdagangan manusia terutama anak memang sudah terjadi dari dahulu kala zaman para nabi nabi dan masih berlangsung sampai sekarang di abad 21 yang modern ini.
4
D. KASUS PERDAGANGAN ANAK 1. Pengertian Anak Dari Berbagai Pendapat Terdapat beraneka ragam pendapat mengenai pengertian anak, dan pada umur berapa seorang itu dikategorikan anak-anak. Menurut Convention on the Right of the Child (Konvensi Hak Anak) pada tanggal 20 November 1989 yang telah diratifikasikan oleh Indonesia, disebutkan dalam pasal 1 pengertian anak, adalah: “Semua orang yang di bawah umur 18 tahun. Kecuali undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal.” Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Pasal 1 menyatakan anak adalah “Orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin” Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, LN 1979-32 tentang Kesejahteraan Anak dalam pasal 1, anak adalah: “Seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.” Di Indonesia sendiri dapat kita temui perbedaan pendapat mengenai orang yang dikategorikan sebagai anak seperti di bawah ini. a. Menurut Hukum Adat, anak tersebut sering dikatakan minderjarig heid (bawah umur), yaitu apabila seseorang berada dalam keadaan dikuasai oleh orang lain yaitu jika dikuasai oleh orang tuanya, maka dia dikuasai oleh walinya (voogd) nya. Kriterianya adalah (Datuk Usman 1997: 2): 1. Belum penuh 21 tahun; 2. Belum Kawin. b. Menurut fiqh Islam, seseorang dikatakan dewasa, dengan salah satu tanda yang berikut (Sulaiman Rasyid 1998: 75): 1. Cukup berumur 15 tahun; 2. Keluar mani; 3. Mimpi bersetubuh; 4. Mulai keluar haid bagi perempuan. Pengertian-pengertian tersebut di atas menekankan, bahwa selama seseorang yang masih dikategorikan anak-anak, seharusnya masih dalam tanggung jawab orang tua wali ataupun negara tempat si anak tersebut menjadi warga negara tetap.
5
Pada Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa, mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, keempat, kelima, dan keenam bab ini.” Sedangkan dewasa dan belum dewasa menurut Romli Atmasasmita adalah: “Selama di tubuhnya berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, orang itu masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur, anak-anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 tahun untuk wanita dan 20 tahun untuk laki-laki, seperti halnya di Amerika, Yugoslavia, dan negara-negara barat lainnya” (Romli Atmasasmita 1986: 34).
2. Awal Mula Kejadian
Mengapa seorang ibu tega menjual darah dagingnya sendiri? Mungkin itu uang ada di benak kita saat ini. Sebenarnya banyak faktor seperti ekonomi, anak di luar pernikahan, sang ibu yang belum siap memiliki keturunan, desakan sosial, dan lain lain yang menjadikan sang ibu tega berbuat demikian. Sekarang saatnya kita membahas penyebab terjadinya perdagangan anak pada desa “X”. Awalnya sang ibu adalah seorang pembantu rumah tangga (PRT) yang bekerja di Ibu Kota Jakarta. Didesak dari segi ekonomi keluarga yang kurang mencukupi sang ibu berangkat ke Jakarta dengan bermodalkan ketarampilan mengurus rumah yang dia bawa dari desa. Sang ibu sebenarnya telah memiliki keluarga di desa, akan tetapi suatu hari dia bertemu dengan seorang pemuda yang mungkin juga memiliki pekerjaan yang sederajat dengan dia. Selang waktu berlalu si ibu menjalin hubungan dengan si pemuda yang mengaku masih belum berkeluarga ini. Dengan iming iming akan menikahinya sang pemuda menyuruh si ibu untuk menceraikan suaminya yang ada di desa dan berniat untuk menghamilinya. Sang ibu ini pun menyambut tawaran itu.
6
Majikan yang mengetahui bahwa pembantu rumah tangganya tengah hamil meminta agar ia kembali ke desa. Si pembantu boleh kembali bekerja hanya setelah ia melahirkan bayinya. Si ibu yang telah kembali ke desa akhirnya menceraikan suaminya, tetapi naas, ia mengetahui si pemuda yang telah menghamilinya telah kembali ke Kalimantan tempat asalnya setelah ia hubungi melalui telepon seluler. Sang ibu yang tidak kuat menanggung malu akhirnya pindah untuk ngekos di desa “Y” yang tidak begitu jauh dari desa asalnya.
3. Penyebab Terjadinya Perdagangan Anak di Desa “X”
Banyak faktor yang menyebabkan sang ibu tega menjual darah dagingnya sendiri.
Dari segi sosial dia malu kalau anak yang ada di dalam rahimnya merupakan anak dari hubungan gelapnya dengan pria lain di luar pernikahan. Keluarganya juga mendesak untuk sang ibu menyembunyikan fakta itu dari para tetangga.
Dari segi ekonomi sudah terlihat jelas bahwa ia sampai berangkat ke Jakarta dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga demi memenuhi kebutuhan sehari hari keluarganya. Apalagi dalam keadaan hamil seperti itu, otomatis sang ibu memerlukan biaya lebuh untung memebesarkan sang jabang bayi yang ada di dalam kandungannya.
Oleh karena itu sang ibu menjual darah dagingnya sendiri. Dia menawarkan janin yang ada dalam rahimnya kepada orang yang meang menginginkannya untuk dapat dirawat dan dibesarkan dengan baik. Sang pembeli ini pun membiyayai hidup sang ibu mulai dari masa kehamilannya sampai melahirkan. Setelah sang bayi lahir si ibu kembali mendapatkan uang dan harus menyerahkan bayinya kepada sang pembeli.
4. Pandangan Masyarakat Desa “Y” Tempat Ibu Merawat Janinnya
Penyusun yang berdomisili dari desa “Y” sangat kaget mengetahui hat tersebut. Tidak hanya penyusun, warga sekitar yang mengetahuinya pun ikut merasa syok dengan kejadian itu. Mereka mengetahui kebenarannya setelah sang ibu penjual
7
banyinya telah melahirkan dan pergi dari desa “Y”. Kabar itu menyebar setelah salah satu warga mengetahuinya dari cerita sang ibu sendiri. Tetapi masyarakat tidak langsung berburuk sangka dengan kejadian tersebut. Karena mungkin saja sang ibu yang terdesak dengan berbagai permasalahan yang membuat ai memutuskan untuk menjual bayinya itu. Masyarakatpun dapat mengambil hikmah dari kejadian ini dan mengantisipasi agar tindakan seperti ini tidak terjadi lagi untuk yang kedua kalinya.
5. Hubungan Pancasila Sila ke-2 Dengan Kasus Penjualan Anak
Pancasila sila ke-2 yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” erat kaitanya dengan kasus penjualan anak ini. Jika ditinjau dari aspek hukum, kasus seperti ini sudah masuk area tindak pidana, perlakuan mereka orientasinya adalah bisnis, tanpa memikirkan bahwa anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang perlu dilindungi dan mempunyai harga diri sebagai pemangku hak dan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan mengerti dah memahami sila ke-2 ini mungkin kejadian seperti ini tidak akan terjadi di negara Indonesia kita ini. Oleh karena itu perlu adanya pendidikan yang lebih intensif lagi kepada semua masyarakat Indonesia akan pentingnya kita menegakkan Pancasila di kehidupan kita. Dengan demikian masyarakat Indonesia akan sampai pada titik puncak perwujudan Pancasila, yaitu masyarakat yang adil sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “Salah satu melihat hak adalah memandang hak sebagai kebebasan bertindak atau diperlakukan dengan khusus, dimana hal ini dilindungi dan di junjung tinggi oleh otoritas yang lebih tinggi ( Patricia J. Person, 2004:32)”. Menghargai hak setiap orang adalah hal yang sangat penting. Bagaimana kita akan dihargai hak kita maka kita harus juga ikut menghargai hak orang lain, apa lagi itu merupakan HAM, yang notabene telah diatur dalam UUD 1945. Kasus penjualan anak ini harus diberantas sampai ke akar akarnya, karena hal ini sangat bertentangan dengan Pancasila sila ke-2. Dengan demikian maka akan tercipta kehidupan yang makmur di Indonesia.
8
6. Sikap yang Seharusnya Kita Ambil dalam Kasus Perdagangan Anak
Perdagangan anak sangat bertentangan dengan kehidupan kita bermasyarakat. Oleh karena itu kita harus membrantas tindakan tidak terpuji ini. Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk membrantas dan mengantisipasi munculnya kasus tersebut. Salah satunya yaitu dengan kita melaporkan jika adanya kasus penjualan anak di sekitar kita. Karena dengan demikian akan ada rasa jera pada pihak yang melakukan perdagangan anak, dan nantinya diharapkan agar supaya hal tersebut tidak lagi terjadi di lingkungan kita. Berikutnya adalah dengan menanamkan pentingnya moral kepada generasi muda. Dengan menanamkan nilai moral yang positif akan sangat berdampak besar terhadap pengantisipasian hamil di luar pernikahan. Dengan demikian akan menekan angka penjualan anak di lingkungan kita.
9
BAB III PENUTUP E. KESIMPULAN Perdagangan anak merupakan perbuatan yang sangat keji yang tidak diperbolehkan dalam agama dan negara. Oleh karena itu kita harus memberantas kasus perdagang anak yang ada di lingkungan kita demi terwujudnya masyarakat yang makmur di Indonesia.
F. SARAN Anak merupakan titipan Tuhan untuk kita, maka rawatlah anak dengan baik, jangan malah kita buang atau jual dengan alasan yang tidak masuk akal.
10
DAFTAR PUSTAKA 1. Ahmad Al-Barry, Zakaria. 1998. Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
2. Atmasasmita, Romli. 1986. Problema Kenakalan Anak-Anak dan Remaja. Bandung: Amico 3. Rasjid, Sulaiman. 1998. Fikih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo 4. Setyowati Sumitro, Irma. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara
5. Usman, Datuk. 1997. Diktat Hukum AdatI. Medan: Bina Sarana Balai Permas Sumatera Utara
11