PENGANTAR FIQIH KURBAN (UDHIYYAH) Oleh: Aep Saepulloh Darusmanwiati Pengertian Udhiyyah (hewan kurban) Udhiyyah secara bahasa berarti hewan yang disembelih pada hari raya Idul Adha. Ibnul A’raby sebagaimana dikutip oleh Ibnu Manzhur dalam Lisânul ‘Arab mengatakan, bahwa untuk hewan kurban ada empat istilah, Udhiyyah dan Idhiyyah yang bentuk jamak keduanya adalah adhâhy, juga dhahiyyah yang bentuk jamaknya adalah dhahâyâ, serta terakhir adalah adhâh, yang bentuk jamaknya adalah adhan. Dari penjelasan di atas nampak bahwa penamaan hewan kurban dengan keempat kata di atas, didasarkan kepada waktu di mana hewan kurban tersebut disembelih, yaitu waktu dhuha pada hari raya Idul Adha. Keutamaan bagi yang berkurban Orang yang berkurban pada hari raya Idul Adha, mempunyai banyak keutamaan. Di antaranya, kelak seluruh bulu, darah, tanduk, dan kukunya akan menjadi saksi kebaikan bagi yang berkurban. Rasulullah saw dalam hal ini bersabda:
)) ﻣﺎ
ﻋﻤﻞ
ﺁﺩﻣﻲ
ﻣﻦ
ﻋﻤﻞ
ﻳﻮﻡ
ﺍﻟﻨﺤﺮ
ﺃﺣﺐ
ﺇﻟﻰ:
ﺃﻥ
ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴﻪ
ﻭ
ﺳﻠﻢ
ﻗﺎﻝ،ﻋﻦ
ﻋﺎﺋﺸـﺔ
ﻭﺃﻥ
ﺍﻟﺪﻡ
ﻟﻴﻘـﻊ
ﻣـﻦ
ﺍﷲ،
ﻭﺃﻇﻼﻓﻬـﺎ،
ﻭﺃﺷﻌﺎﺭﻫـﺎ،
ﺇﻧﻬـﺎ
ﻟﺘﺄﺗـﻲ
ﻳﻮﻡ
ﺍﻟﻘﻴﺎﻣـﺔ
ﺑﻘﺮﻭﻧﻬـﺎ،ﺍﷲ
ﻣـﻦ
ﺇﻫﺮﺍﻕ
ﺍﻟﺪﻡ [
ﺣﺪﻳﺚ
ﺣﺴﻦ
ﻏﺮﻳﺐ:
ﻭﻗﺎﻝ،
ﻗﺒﻞ
ﺃﻥ
ﻳﻘﻊ
ﻣﻦ
ﺍﻷﺭﺽ
ﻓﻴﻄﻴﺒﻮﺍ
ﺑﻬﺎ
ﻧﻔﺴﺎ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ،ﲟﻜﺎﻥ Artinya: “Dari Aisyah, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada perbuatan keturunan Adam pada hari raya Idul Adha yang paling dicintai oleh Allah, selain berkurban. Kelak hewan kurban itu akan datang dengan tanduknya, bulu-bulunya, juga kuku-kukunya (sebagai saksi kebaikan bagi yang melakukannya). Serta darah hewan kurban itu, akan jatuh di sebuah tempat terlebih dahulu (maksudnya akan diterima oleh Allah lebih dahulu) sebelum darah itu jatuh ke atas tanah, sehingga hewan kurban itu memberikan banyak kebaikan kepada jiwa-jiwa yang melakukannya” (HR. Turmudzi. Imam Turmudzi berkata: “Hadits ini adalah Hadits Hasan Gharib). Berdasarkan hadit di atas, Syaikh Mubarakfury dalam bukunya Tuhfatul Ahwadzî, dalam bab keutamaan berkurban, mengatakan bahwa kelak pada hari kiamat, hewan kurban tersebut akan datang kepada pemiliknya persis sebagaimana keadaannya di dunia dahulu, dengan tidak berkurang satupun, sebagai saksi kebaikan. Dan setiap anggota tubuh dari hewan tersebut akan berubah menjadi pahala yang besar, serta hewan kurbannya itu kelak akan menjadi tunggangannya melewai jembatan shirât, di hari akhir kelak. Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda:
((
))ﺳـﻨﺔ
ﺃﺑﻴﻜـﻢ
ﺇﺑﺮﺍﻫﻴـﻢ:
ﻳـﺎ
ﺭﺳـﻮﻝ
ﺍﷲ
ﻣـﺎ
ﻫﺬﻩ
ﺍﻷﺿﺎﺣـﻲ؟
ﻗﺎﻝ:
ﻗﻠﺖ
ﺃﻭ
ﻗﺎﻟﻮﺍ:ﻋـﻦ
ﺯﻳـﺪ
ﺑـﻦ
ﺃﺭﻗـﻢ
ﻗﺎﻝ
))ﺑﻜﻞ
ﺷﻌﺮﺓ
ﻣﻦ:
ﻳﺎ
ﺭﺳـﻮﻝ
ﺍﷲ
ﻓﺎﻟﺼﻮﻑ؟
ﻗﺎﻝ:
))ﺑﻜﻞ
ﺷﻌﺮﺓ
ﺣﺴﻨﺔ((
ﻗﺎﻟﻮﺍ:
ﻣﺎ
ﻟﻨﺎ
ﻣﻨﻬﺎ؟
ﻗﺎﻝ:ﻗﺎﻟﻮﺍ [
ﻭﺍﳊﺎﻛﻢ
ﻭﻏﻴﺮﻩ،
ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ،
ﻭﺍﺑﻦ
ﻣﺎﺟﻪ،ﺍﻟﺼﻮﻑ
ﺣﺴﻨﺔ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺃﺣﻤﺪ
Artinya: “Zaid bin Arqam berkata: ‘Aku atau mereka bertanya: “Ya Rasullah, Mengapa berkurban?” Rasulullah saw bersabda: “Mengikuti sunnat nenek moyang kalian, Nabi Ibrahim as”. Mereka bertanya lagi: “Apa keutamaannya bagi kami?” Rasulullah saw bersabda: “Setiap bulu nya ada kebaikan (pahala)”. Mereka bertanya lagi: “Ya Rasulullah, bagaimana dengan bulunya wol (bulu domba)?” Rasulullah saw menjawab: “Setiap bulu wolnya juga ada kebaikan (pahala)” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Baihaki, Hakim dan lainnya).
Makalah ini dipresentasikan pada acara pengajian Majlis Taklim al-Muttaqien, kelompok pengajian ibu-ibu KBRI Kairo. Disampaikan pada hari Selasa, 17 Nopember 2009 di Mesjid Indonesia Cairo, Dokki, Giza.
1
Hukum Udhiyyah (kurban) Seluruh ulama sepakat, bahwa Udhiyyah diperintahkan (masyru’ah). Di antaranya adalah berdasarkan ayat di bawah ini:
[2
:ﻓﺼﻞ
ﻟﺮﺑﻚ
ﻭﺍﻧﺤﺮ
]ﺍﻟﻜﻮﺛﺮ Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena TuhanMu, dan sembelihlah hewan kurban” (QS. Al-Kautsar ayat 2). Juga berdasarkan, di antaranya, dua hadits di bawah ini:
،َ
ﺫَﺑَﺤَﻬُﻤ َﺎ
ﺑِﻴَﺪ ِﻩِ
ﻭ َﺳَﻤﱠﻰ
ﻭَﻛَﺒﱠﺮ،ِْ
ﺿَﺤﱠﻰ
ﺍﻟ ﱠﻨﺒِﻰﱡ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ
ﺑِﻜَﺒْﺸ َﲔِْ
ﺃَ ْﻣﻠَﺤ َﲔِْ
ﺃَﻗْﺮَﻧ َﲔ:َﻋ َﻦْ
ﺃَﻧ َﺲٍ
ﻗَﺎﻝ [ﻭَﻭَﺿَ َﻊ
ﺭِﺟْﻠَﻪُ
ﻋَﻠَﻰ
ﺻِﻔَﺎﺣِﻬِﻤَﺎ
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
ﻭﻣﺴﻠﻢ Artinya: “Anas berkata: “Rasulullah saw berkurban dengan dua ekor domba berwarna putih bersih dan masing-masing mempunyai dua tanduk. Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri, sambil membaca basmallah dan takbir, kemudian meletakkan kaki beliau di samping leher kedua domba tersebut” (HR. Bukhari Muslim).
،
ﺃﻗﺎﻡ
ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴﻪ
ﻭ
ﺳﻠﻢ
ﺑﺎﳌﺪﻳﻨﺔ
ﻋﺸﺮ
ﺳﻨﲔ
ﻳﻀﺤﻲ
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ:ﻋﻦ
ﺍﺑﻦ
ﻋﻤﺮ
ﻗﺎﻝ [ﻭﻗﺎﻝ
ﺍﺑﻮ
ﻋﻴﺴﻰ
ﻫﺬﺍ
ﺣﺪﻳﺚ
ﺣﺴﻦ
ﺻﺤﻴﺢ Artinya: “Ibnu Umar berkata: “Rasulullah saw menetap di Madinah selama sepuluh tahun, dan selama itu beliau melakukan kurban” (HR. Turmudzi, Imam Turmudzi berkata: “Hadits ini Hadits Hasan Shahih). Hanya saja, apakah perintah di atas berarti wajib atau sunnah biasa? Para ulama dalam hal ini terbagi dua pendapat: Pendapat pertama, mengatakan, bahwa kurban hukumnya wajib bagi yang mampu. Pendapat ini merupakan pendapatnya Mujahid, Makhul, Imam Laits bin Sa’ad, Imam Auza’i, Sufyan ats-Tsaury, Rabi’ah, Zufar dan asy-Sya’bi. Imam asy-Sya’bi berkata: “Bagi yang mampu, tidak diberikan keringanan (rukhshah) untuk meninggalkan kurban, kecuali bagi yang sedang melakukan ibadah haji atau yang sedang bepergian (musafir)”. Pendapat pertama ini juga merupakan pendapat Jumhur Hanafiyyah, Malikiyyah dan pendapatnya Ibnu Taimiyyah. Di antara dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut:
[2
:ﻓﺼﻞ
ﻟﺮﺑﻚ
ﻭﺍﻧﺤﺮ
]ﺍﻟﻜﻮﺛﺮ
Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena TuhanMu, dan sembelihlah hewan kurban” (QS. Al-Kautsar ayat 2). Selain itu, berdasarkan di antaranya hadits-hadits di bawah ini:
))ﻣـﻦ
ﺫﺑـﺢ
ﻗﺒـﻞ
ﺃﻥ:
ﺷﻬﺪﺕ
ﺍﻟﻨـﺒﻲ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ
ﻳﻮﻡ
ﺍﻟﻨﺤـﺮ
ﻓﻘﺎﻝ:ﻋـﻦ
ﺟﻨﺪﺏ
ﺑـﻦ
ﺳـﻔﻴﺎﻥ
ﻗﺎﻝ [
ﻭﻣﻦ
ﻟﻢ
ﻳﺬﺑﺢ
ﻓﻠﻴﺬﺑﺢ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ،ﻳﺼﻠﻲ
ﻓﻠﻴﻌﺪ
ﻣﻜﺎﻧﻬﺎ
ﺃﺧﺮﻯ
Artinya: “Jundub bin Sufyan berkata: “Saya pernah menghadiri Rasulullah saw pada hari raya kurban (Idul Adha), Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat ‘Id, maka hendaklah ia mengulangi kurbannya itu dengan hewan lainnya, dan siapa yang belum menyembelihnya, maka sembelihlah sekarang” (HR. Bukhari).
,((
))ﺃَﺑْﺪِﻟْﻬَـﺎ:ﺼﻼَﺓِ
ﻓَﻘَﺎﻝَ
ﺍﻟﻨﱠﺒِﻰﱡ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ
ﺫَﺑَـﺢَ
ﺃَﺑُـﻮ
ﺑُﺮْﺩَ َﺓ
ﻗَﺒْﻞَ
ﺍﻟـ ﱠ:َﻋَـ ِﻦ
ﺍﻟْﺒَﺮَﺍﺀِ
ﺑْـﻦِ
ﻋَﺎﺯِـﺏٍ
ﻗَﺎﻝ
ُ
ﻓَﻘَﺎﻝَ
ﺭَـﺳُﻮﻝ.ٍ
ﻭَﻫِﻰَ
ﺧَﻴْﺮٌ
ﻣِـ ْﻦ
ﻣُـﺴِ ﱠﻨﺔ-
َ
ﻗَﺎﻝَ
ﺷُﻌْﺒَﺔُ
ﻭَﺃَﻇُﻨﱡـﻪُ
ﻗَﺎﻝ-
ٌ
ﻳَـﺎ
ﺭَـﺳُﻮﻝَ
ﺍﻟﻠﱠـﻪِ
ﻟَﻴْـﺲَ
ﻋِﻨْﺪِﻯ
ﺇِﻻﱠ
ﺟَﺬَﻋَﺔ:ََﻓﻘَﺎﻝ .[
))ﺍﺟْﻌَﻠْﻬَﺎ
ﻣَﻜَﺎﻧَﻬَﺎ
ﻭَﻟَ ْﻦ
ﲡَْﺰِﻯَ
ﻋَﻦْ
ﺃَﺣَ ٍﺪ
ﺑَﻌْﺪَﻙَ((
]ﺃﺧﺮﺟﻪ
ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
ﻭﻣﺴﻠﻢ:ﺍﻟﻠﱠﻪِ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ Artinya: “Barâ bin ‘Âzib berkata: “Abu Burdah menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat ‘Id dimulai, Rasulullah saw kemudian bersabda: “Gantilah hewan kurban kamu dengan yang lainnya” Abu Burdah berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak mempunyai hewan lain selain Jadza’ah (yaitu hewan kurban 2
yang apabila domba usianya baru enam bulan, kurang dari satu tahun). Syu’ban berkata: “Saya mengira ia berkata: ‘Jadza’ah lebih baik dari musinnah (yaitu hewan yang apabila domba sudah berusia satu tahun masuk tahun kedua)’. Rasulullah saw bersabda: “Jadikan Jadza’ah ini sebagai pengganti hewan yang telah dipotong sebelum shalat id tersebut, namun hewan Jadza’ah tidak mencukupi dijadikan hewan kurban kepada siapapun setelah kamu” (HR. Bukhari Muslim).
))
ﻣـﻦ
ﻛﺎﻥ
ﻟﻪ
ﺳـﻌﺔ
ﻭﻟﻢ
ﻳﻀـﺢ
ﻓﻼ
ﻳﻘﺮﺑـﻦ:ﻋـﻦ
ﺃﺑـﻲ
ﻫﺮﻳﺮﺓ
ﺃﻥ
ﺭﺳـﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭ
ﺳـﻠﻢ
ﻗﺎﻝ [ﻣﺼﻼﻧﺎ
((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﺑﻦ
ﻣﺎﺟﻪ
Artinya: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang mempunyai kelapangan rizki, namun ia tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami” (HR. Ibnu Majah). Ayat al-Qur’an di atas sangat jelas perintah untuk melakukan kurban, dan pada dasarnya perintah menunjukkan wajib, karena itu kurban juga wajib. Hadits-hadits di atas juga menguatkan kewajiban berkurban bagi yang mampu. Dalam hadits pertama Rasulullah saw juga memerintahkan untuk melakukan kurban. Hadits kedua pun demikian, ketika Abu Burdah tidak tepat waktu menyembelih kurbannya, Rasulullah saw memerintahkannya untuk mengganti dengan hewan kurban lainnya dan agar disembeli setelah shalat ‘id. Apabila kurban merupakan hal yang sunnat, tentu Rasulullah saw tidak akan menyuruh mengulanginya. Hadits ketiga, lebih tegas lagi. Siapa yang mampu untuk berkurban, namun tidak melaksanakannya, maka Rasulullah saw memperingatinya sebagai orang yang tidak mengikuti sunnahnya. Apabila kurban itu hukumnya sunnat, tentu Rasulullah saw tidak akan tegas mengancam seperti di atas. Pendapat kedua, mengatakan, bahwa kurban hukumnya Sunnah Muakkadah bagi yang mampu. Pendapat ini merupakan pendapatnya Abu Bakar, Umar bin Khatab dan putranya, Ibnu Umar, Bilal, Ibnu Mas’ud, juga pendapatnya Sa’id bin al-Musayyib, Alqamah, Atha’, Thawus, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, Imam Malik, dalam satu pendapat, juga merupakan pendapatnya Syafi’iyyah, Hanabilah dan Zhahiriyyah. Di antara dalil yang disodorkan pendapat kedua ini adalah hadits-hadits di bawah ini:
َ
ﻓَﻼ،َﺤﻰ
))
ﺇِﺫَﺍ
ﺩَﺧَﻠَـﺖِ
ﺍﻟْﻌَﺸْﺮُ
ﻭَﺃَﺭَﺍﺩَ
ﺃَﺣَﺪُﻛُـﻢْ
ﺃَـﻥْ
ﻳُﻀَ ﱢ:َﻋَـﻦْ
ﺃُـﻡﱢ
ﺳَﻠَﻤَﺔَ
ﺃَـﻥﱠ
ﺍﻟﻨﱠ ِﺒﻰﱠ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ
ﻗَﺎﻝ [ﳝَﺲﱠ
ﻣِﻦْ
ﺷَﻌَﺮِﻩِ
َﻭﺑَﺸَﺮِﻩِ
ﺷَﻴْﺌًﺎ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﻣﺴﻠﻢ Artinya: “Dari Ummu Salamah, Rasulullah saw bersabda: “Apabila sudah masuk sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah, dan seseorang berniat untuk berkurban, maka janganlah ia memotong rambutnya dan bulu-bulu yang berada di kulitnya” (HR. Muslim).
ْ
))
ِﺇﺫَﺍ
ﺭَﺃَﻳْﺘُــﻢْ
ﻫِﻼَﻝَ
ﺫِﻯ
ﺍﳊِْﺠﱠﺔِ
َﻭﺃَﺭَﺍﺩَ
ﺃَﺣَﺪُﻛُــﻢْ
ﺃَــﻥ:َﻰ
ﺻــﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴــﻪ
ﻭﺳــﻠﻢ
ﻗَﺎﻝ ﻋَــﻦْ
ﺃُـــﻡﱢ
ﺳَﻠَﻤَﺔَ
ﺃَــﻥﱠ
ﺍﻟ ﱠﻨﺒِ ﱠ [
]ﺭﻭﺍﻩ
ﻣﺴﻠﻢ.((ِ
ﻓَﻠْﻴُﻤْﺴِﻚْ
ﻋَﻦْ
ﺷَﻌْﺮِﻩِ
ﻭَﺃَﻇْﻔَﺎﺭِﻩ،َﻳُﻀَﺤﱢﻰ Artinya: “Dari Ummu Salamah, Rasulullah saw bersabda: “Apabila kalian telah melihat hilal bulan Dzulhijjah, dan seseorang berniat untuk berkurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kukukukunya” (HR. Muslim). Kedua hadits di atas sangat jelas bahwasannya berkurban bagi yang mampu tidaklah wajib. Hal ini karena Rasulullah saw dalam kedua hadits di atas mengatakan dengan menggunakan kata-kata: ‘seseorang berniat atau hendak’’. Kalau saja kurban itu wajib, tentu Rasulullah saw tidak akan menggunakan kata-kata tersebut.
ﺍﺷﺘﺮﻯ
ﻛﺒﺸـﲔ
ﺳـﻤﻴﻨﲔ
ﺃﻣﻠﺤـﲔ،
ﺃَـﻥّ
ﺭَـﺳُﻮﻝَ
ﺍﻟﻠﱠـﻪِ
ﺻَﻠﱠﻰ
ﺍﻟ ﱠﻠـﻪُ
ﻋَﻠَﻴْـﻪِ
ﻭَـﺳَﻠﱠﻢَ
ﻛﺎﻥ
ﺇﺫﺍ
ﺿﺤـﻰ،
ٍﻋَـﻦْ
ﺃَﺑِـﻲ
ﺭَﺍﻓِـﻊ
،
))ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﻫﺬﺍ
ﻋـﻦ
ﺃﻣﺘـﻲ
ﺟﻤﻴﻌـﺎ:
ﺛﻢ
ﻳﻘﻮﻝ،
ﻓﺈﺫﺍ
ﺧﻄـﺐ
ﻭ
ﺻﻠﻰ
ﺫﺑـﺢ
ﺃﺣﺪ
ﺍﻟﻜﺒﺸـﲔ
ﺑﻨﻔﺴـﻪ
ﺑﺎﳌﺪﻳـﺔ،ﺃﻗﺮﻧـﲔ
))ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﻫﺬﺍ
ﻋﻦ
ﻣﺤﻤﺪ
ﻭ
ﺁﻝ:
ﻭ
ﺷﻬﺪ
ﻟﻲ
ﺑﺎﻟﺒﻼﻍ((
ﺛﻢ
ﺃﺗﻲ
ﺑﺎﻵﺧﺮ
ﻓﺬﺑﺤﻪ
ﻭ
ﻗﺎﻝ،ﻣﻦ
ﺷﻬﺪ
ﻟﻚ
ﺑﺎﻟﺘﻮﺣﻴﺪ 3
،
ﻓﻤﻜﺜﻨﺎ
ﺳﻨﲔ
ﻗﺪ
ﻛﻔﺎﻧﺎ
ﺍﷲ
ﺍﻟﻐﺮﻡ
ﻭ
ﺍﳌﺌﻮﻧﺔ،
ﻭ
ﻳﺄﻛﻞ
ﻫﻮ
ﻭ
ﺃﻫﻠﻪ
ﻣﻨﻬﻤﺎ،
ﺛﻢ
ﻳﻄﻌﻤﻬﻤﺎ
ﺍﳌﺴﺎﻛﲔ،((ﻣﺤﻤﺪ [ﻟﻴﺲ
ﺃﺣﺪ
ﻣﻦ
ﺑﻨﻲ
ﻫﺎﺷﻢ
ﻳﻀﺤﻲ
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﳊﺎﻛﻢ
ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
ﻭﻏﻴﺮﻩ Artinya: “Dari Abu Rafi’, bahwasannya Rasulullah saw apabila beliau hendak berkurban, beliau membei dua domba gemuk, berwarna putih bersih (indah rupa dan warnanya), dan masing-masing mempunyai dua tanduk. Apabila beliau selesai khutbah dan shalat ‘id, beliau menyembelih kedua hewan kurbannya dengan tangannya sendiri menggunakan pisau, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan ini adalah kurban untuk ummatku seluruhnya, yang meyakini keesaanMu, dan mengakuiku sebagai rasul, utusanMu”. Kemudian Rasulullah saw mengambil hewan kurbannya yang kedua, lalu menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan yang ini adalah kurbannya Muhammad dan keluarga Muhammad”. Rasulullah saw kemudian membagikan daging kedua kurbannya itu kepada orang-orang miskin, dan beliau serta keluarganya pun memakan daging dari kedua hewan kurbannya itu. Kami hidup beberapa tahun setelahnya, dan Allah telah menghindarkan kami dari kerugian dan denda, namun tidak seorang pun dari keturunan Bani Hasyim yang berkurban” (HR. Hakim, Baihaki dan lainnya). Hadits di atas semakin memperjelas ketidakwajibannya berkurban bagi yang mampu. Hal ini nampak dengan tidak berkurbannya Bani Hasyim beberapa tahun, karena mereka memandang cukup dengan kurban yang dilakukan oleh Rasulullah saw untuk mereka. Apabila berkurban itu wajib, tentu mereka akan melakukannya untuk diri mereka sendiri, karena pasti mereka adalah orang-orang yang mampu atau paling tidak ada yang mampu.
))ﺛﻼﺙ
ﻫـﻦ
ﻋﻠﻲ
ﻓﺮﺍﺋﺾ:ﻋـﻦ
ﺍﺑـﻦ
ﻋﺒﺎﺱ
ﺭﺿـﻲ
ﺍﷲ
ﻋﻨﻬﻤـﺎ
ﺃﻥ
ﺭﺳـﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭ
ﺳـﻠﻢ
ﻗﺎﻝ [
ﻭﺭﻛﻌﺘﺎ
ﺍﻟﻀﺤﻰ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
ﻭﺍﻟﻄﺒﺮﺍﻧﻲ
ﻭﻏﻴﺮﻩ،
ﻭﺍﻟﻮﺗﺮ،
ﺍﻟﻨﺤﺮ:ﻭﻟﻜﻢ
ﺗﻄﻮﻉ
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda: “Ada tiga hal yang wajib bagiku, namun sunnat bagi kalian: ‘kurban, shalat Witir dan dua rakaat shalat Dhuha” (HR. Baihaki, Thabrani dan lainnya). Hadits Ibnu Abbas di atas lebih tegas lagi, Rasulullah saw menggunakan kata sunat untuk kurban bagi ummatnya yang mampu, dan tidak mengatakan sebagai sesuatu yang wajib.
ﻓﻠﻤﺎ،ﻋـﻦ
ﺟﺎﺑﺮ
ﺑـﻦ
ﻋﺒـﺪ
ﺍﷲ
ﺭﺿﻲ
ﺍﷲ
ﺃﻥ
ﺭﺳـﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭ
ﺳﻠﻢ
ﺻﻠﻰ
ﻟﻠﻨﺎﺱ
ﻳﻮﻡ
ﺍﻟﻨﺤـﺮ
ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﻋﻨﻲ
ﻭﻋﻤﻦ،
))ﺑﺴﻢ
ﺍﷲ
ﻭﺍﷲ
ﺃﻛﺒﺮ:
ﺩﻋﺎ
ﺑﻜﺒﺶ
ﻓﺬﺑﺤﻪ
ﻫﻮ
ﺑﻨﻔﺴﻪ
ﻭﻗﺎﻝ،ﻓﺮﻍ
ﻣﻦ
ﺧﻄﺒﺘﻪ
ﻭﺻﻼﺗﻪ [ﻟﻢ
ﻳﻀﺢ
ﻣﻦ
ﺃﻣﺘﻲ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
ﻭﺍﳊﺎﻛﻢ
ﻭﺃﺣﻤﺪ
ﻭﻏﻴﺮﻩ Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah, bahwasannya Rasulullah saw shalat Idul Adha bersama orang-orang saat itu. Ketika beliau selesai khutbah dan shalat, beliau mengambil seekor domba, kemudian menyembelihnya dengan tangannya sendiri sambil berdoa (ketika hendak menyembelihnya): ‘Bismillâh wallâhu akbar, (dengan menyebut nama Allah, dan Allah Maha Besar), ya Allah, ini adalah kurban saya, juga kurban ummatku yang tidak mampu melaksanakan kurban” (HR. Baihaki, Hakim, Ahmad dan lainnya). Hadits terakhir ini juga demikian. Rasulullah saw mengetahui bahwa di antara ummatnya kelak ada yang tidak berkurban, dan Rasulullah saw tidak mengecamnya. Apabila kurban itu wajib, tentu Rasulullah saw tidak akan melakukan demikian, dan beliau akan mengingkari mereka yang tidak melakukan kewajiban. Ini menunjukkan bahwa kurban bukanlah sesuatu yang wajib. Adapun mengenai ayat yang disodorkan pendapat pertama, para ulama dalam menakwilkan ayat di atas beragam pendapat. Pendapat yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah ‘ shalat dan berkurbanlah karena Allah’, bukan tentang berkurban pada Idul Adha. Bahkan, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (7/357) mengatakan, bahwa mereka yang menafsirkan kata an-nahr dalam ayat di atas dengan kurban Idul Adha, adalah pendapat yang tidak berdasarkan ilmu. Imam Ali dan Ibnu Abbas, lanjutnya, juga yang lainnya, mengatakan bahwa ayat tersebut maksudnya adalah meletakkan tangan ketika shalat pada hari Idul Adha. Dan tidak ada satu pun ulama sebelum mereka yang berpendapat bahwa an-nahr yang dimaksud adalah Kurban Idul Adha. 4
Sementara berkaitan dengan hadits-hadits yang disodorkan oleh mereka yang mewajibkan kurban bagi yang mampu, para ulama membantahnya. Ibnu Hajar, misalnya, dalam Fathul Bari (10/6,19) mengatakan, bahwa hadits dari Jundub bin Sufyan, bukan dalil wajibnya kurban, akan tetapi menjelaskan syarat berkurban yang sesuai petunjuk syara’. Bahwa, di antara syarat berkurban, adalah hendaknya dilakukan setelah shalat Adha, bukan sebelumnya. Hadits di atas sangat persis dengan hadits tentang shalat Dhuha, di mana Rasulullah saw mengatakan: “Apabila matahari telah terbit, maka lakukanlah shalat dhuha kamu”. Namun, sekalipun menggunakan perintah, seluruh ulama sepakat bahwa Shalat Dhuha itu hukumnya sunnat, bukan wajib. Dan hadits tersebut bukan sebagai perintah akan wajibnya shalat Dhuha, hanya menjelaskan waktu atau syarat shalat Dhuha, yaitu dilakukan setelah matahari terbit. Sedangkan hadits kedua yang disodorkan oleh pendapat pertama, dijawab oleh al-Khatthaby dalam bukunya al-Ma’âlim (2/199). Menurutnya, hadits tersebut juga tidak berarti bahwa berkurban adalah wajib lantaran diperintahkan menggantinya dengan hewan yang lain. Karena, dalam ajaran Islam, segala hal yang salah atau tidak tepat, baik itu wajib ataupun sunnat, selalu ada penggantinya. Sementara hadits terkahir dari Abu Hurairah, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (7/357, 358), mengatakan bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah, karena Dhaif. Di dalamnya terdapat rawi bernama Abdullah bin ‘Iyasy, dan ia bukanlah rawi terpercaya. Seandainya hadits di atas juga shahih, maknanya bukan menjelaskan kewajiban berkurban. Hanya saja, mereka yang sudah mampu namun tidak berkurban, sungguh orang-orang yang merugi, sekalipun tentu tidak berdosa. Dari pemaparan di atas, penulis lebih condong kepada pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa berkurban bagi yang mampu hukumnya Sunnat Muakkadah, bukan wajib. Hal ini karena dalil-dalil dan argument yang disodorkannya lebih kuat dari pada pendapat pertama. Wallahu a’lam bis shawab. Syarat-syarat orang yang berkurban Terdapat beberapa syarat bagi mereka yang hendak melakukan kurban. Syarat-syarat ini ada yang disepakati oleh para ulama, dan ada juga beberapa syarat yang diperselisihkan oleh para ulama. Syarat-syarat yang disepakati oleh para ulama adalah: 1. Islam Syarat pertama mereka yang hendak berkurban adalah seorang muslim. Hal ini karena kurban merupakan salah satu bentuk ibadah, dan selain muslim tidak termasuk di dalamnya. Di samping itu, semua hadits tentang kurban ditujukkan kepada orang muslim. 2. Milik sempurna (al-milk at-tâm) Syarat kedua, hewan yang akan dikurbankan tersebut betul-betul adalah miliknya secara sempurna. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan berkurban dengan domba atau hewan kepunyaan orang lain, atau dengan domba yang menjadi hutang baginya dan tidak mungkin dapat dibayarnya. Karena, belum dipandang milik sempurna. 3. Mampu (istithâ’ah). Syarat ketiga, orang yang bersangkutan adalah orang yang mampu untuk melakukannya. Lalu, apa ukuran mampu dimaksud? Hanafiyyah mensyaratkan dalam keadaan lapang (mûsiran), yaitu sebagaimana kewajiban Zakat Fitrah. Menurut Hanafiyyah, mereka yang dipandang lapang untuk berkurban adalah yang pada saat itu memiliki kekayaan mencapai nishab emas dan perak, yaitu dua ratus dirham perak atau senilai dengan 85 gram emas. Dan nilai tersebut di luar rumah, gaji untuk pembantu, pakaian, dan perlengkapan rumah yang diperlukan. Apabila mempunyai nishab tersebut, maka berkurban baginya wajib. Menurut Malikiyyah, ukuran mampu tersebut adalah apabila telah memiliki persediaan uang atau kekayaan untuk hidup dan keperluan-keperluan primer selama satu tahun. Apabila mempunyai lebih, maka dianjurkan baginya berkurban. 5
Sedangkan menurut Syafi’iyyah, ukuran mampu dimaksud adalah apabila mempunyai kelebihan dari keperluan pokoknya, juga keperluan pokok orang-orang yang menjadi tanggungannya, pada hari raya tersebut ditambah tiga hari berikutnya (Hari Tasyriq). Apabila mempunyai kelebihan dari keperluan tersebut, maka sunnat baginya melakukan kurban. Sedangkan bagi Hanabilah, bagi siapa saja yang mampu menurut ukurannya, sekalipun ia harus berhutang lebih dahulu, dan ia yakin dapat membayarnya, maka baginya sunnat untuk berkurban. Sedangkan syarat-syarat yang diperselisihkan oleh para ulama adalah sebagai berikut: 1. Baligh dan berakal. Sebagian ulama, seperti Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, Zufar, fuqaha Syafi’iyyah, berpendapat bahwa syarat orang yang berkurban adalah telah baligh dan berakal. Oleh karena itu, untuk anak kecil yang belum baligh atau orang gila, maka tidak wajib atau tidak sunnat baginya untuk berkurban. Hal ini di antaranya berdasarkan hadits di bawah ini:
ﻭﻋـﻦ
ﺍﻟﻨﺎﺋﻢ،
ﻋـﻦ
ﺍﳌﺠﻨﻮﻥ
ﺣﺘـﻰ
ﻳـﺒﺮﺃ:
))ﺭﻓـﻊ
ﺍﻟﻘﻠﻢ
ﻋـﻦ
ﺛﻼﺛـﺔ:ﻗﺎﻝ
ﺭﺳـﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ
ﻭﻗﺎﻝ،
ﻭﻏﻴﺮﻩ،
ﻭﺃﺑـــﻮ
ﺩﺍﻭﺩ
ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ،
ﻭﻋـــﻦ
ﺍﻟﺼـــﺒﻲ
ﺣﺘـــﻰ
ﻳﺤﺘﻠﻢ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺃﺣﻤـــﺪ،ﺣﺘـــﻰ
ﻳﺴـــﺘﻴﻘﻆ [
ﺣﺪﻳﺚ
ﺣﺴﻦ
ﺻﺤﻴﺢ:ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Qalam diangkat (maksudnya tidak dicatat sebagai dosa)) bagi tiga golongan: orang gila sampai ia sadar, orang tidur sampai ia bangun, dan anak kecil sampai ia dewasa” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi dan lainnya. Imam Turmudzi berkata: “Hadits ini Hasan Shahih). Sedangkan menurut pendapat masyhur dalam Madzhab Hanafi, balig dan berakal tidak termasuk syarat orang yang berkurban. Artinya, baik anak kecil ataupu orang gila, apabila memiliki harta dengan leluasa (mûsiran), maka wali atau yang mengurusnya hendaknya berkurban untuk keduanya. Pendapat ini juga merupakan pendapatnya Malikiyyah. Demikian juga Hanabilah tidak mensyaratkan baligh untuk berkurban. 2. Berada di tempat, tidak sedang bepergian (al-iqâmah). Menurut Hanafiyyah, bagi yang hendak berkurban disyaratkan berada di tempat. Sedangkan bagi yang sedang bepergian (musafir), maka tidak wajib kurban baginya. Di antara alasannya, karena para sahabat tidak melakukan kurban ketika sedang bepergian. Di samping itu, mereka yang sedang bepergian juga termasuk di antara mustahik zakat (ibnu sabil) apabila sangat memerlukan, sekalipun ia adalah orang kaya di kampungnya. Oleh karena itu, maka tidak wajib berkurban baginya. Sedangkan Jumhur fuqaha berpendapat, bahwa berada di tempat bukan syarat untuk berkurban. Baik sedang bepergian ataupun berada di tempat, apabila mampu untuk berkurban, maka sunnat baginya melakukan kurban. Jumhur berargumen dengan keumuman dalil-dalil yang menganjurkan kurban, yang tidak dibatasi dengan bepergian atau sedang berada di tempat, juga tidak dibatasi apakah sedang melakukan ibadah haji ataupun tidak. Senada dengan pendapat Jumhur, madzhab Maliki juga demikian. Hanya saja, Malikiyyah tidak mensunnahkan kurban bagi yang sedang melaksanakan ibadah haji. Malikiyyan berargumen, di sampang banyak sahabat yang tidak berkurban ketika sedang haji, juga berdalih bahwa mereka yang sedang melakukan ibadah haji punya tanggungan hadyu, oleh karena itu tidak dibebankan lagi dengan udhiyyah (kurban). Kurban untuk yang sudah meninggal dunia Para ulama berbeda pendapat tentang hokum berkurban untuk yang sudah meninggal dunia, dalam dua pendapat: Pendapat pertama, mengatakan bahwa berkurban bagi yang sudah meninggal dunia diperbolehkan. Pendapat ini merupakan pendapat madzhab Hanafi, Hanabilah, dan Syafi’iyyah. Hanya 6
saja, sebagian Syafi’iyyah berpendapat, diperbolehkan apabila mayat tersebut berwasiat terlebih dahulu. Apabila tidak berwasiat untuk berkurban, maka tidak sunnat untuk berkurban untuknya. Di antara dalil yang dikemukakan pendapat pertama ini adalah hadits-hadits di bawah ini:
ﺍﺷﺘﺮﻯ
ﻛﺒﺸـﲔ
ﺳـﻤﻴﻨﲔ
ﺃﻣﻠﺤـﲔ،
ﺃَـﻥّ
ﺭَـﺳُﻮﻝَ
ﺍﻟﻠﱠـﻪِ
ﺻَﻠﱠﻰ
ﺍﻟ ﱠﻠـﻪُ
ﻋَﻠَﻴْـﻪِ
ﻭَـﺳَﻠﱠﻢَ
ﻛﺎﻥ
ﺇﺫﺍ
ﺿﺤـﻰ،
ٍﻋَـﻦْ
ﺃَﺑِـﻲ
ﺭَﺍﻓِـﻊ
،
))ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﻫﺬﺍ
ﻋـﻦ
ﺃﻣﺘـﻲ
ﺟﻤﻴﻌـﺎ:
ﺛﻢ
ﻳﻘﻮﻝ،
ﻓﺈﺫﺍ
ﺧﻄـﺐ
ﻭ
ﺻﻠﻰ
ﺫﺑـﺢ
ﺃﺣﺪ
ﺍﻟﻜﺒﺸـﲔ
ﺑﻨﻔﺴـﻪ
ﺑﺎﳌﺪﻳـﺔ،ﺃﻗﺮﻧـﲔ
))ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﻫﺬﺍ
ﻋﻦ
ﻣﺤﻤﺪ
ﻭ
ﺁﻝ:
ﻭ
ﺷﻬﺪ
ﻟﻲ
ﺑﺎﻟﺒﻼﻍ((
ﺛﻢ
ﺃﺗﻲ
ﺑﺎﻵﺧﺮ
ﻓﺬﺑﺤﻪ
ﻭ
ﻗﺎﻝ،ﻣﻦ
ﺷﻬﺪ
ﻟﻚ
ﺑﺎﻟﺘﻮﺣﻴﺪ
،
ﻓﻤﻜﺜﻨﺎ
ﺳﻨﲔ
ﻗﺪ
ﻛﻔﺎﻧﺎ
ﺍﷲ
ﺍﻟﻐﺮﻡ
ﻭ
ﺍﳌﺌﻮﻧﺔ،
ﻭ
ﻳﺄﻛﻞ
ﻫﻮ
ﻭ
ﺃﻫﻠﻪ
ﻣﻨﻬﻤﺎ،
ﺛﻢ
ﻳﻄﻌﻤﻬﻤﺎ
ﺍﳌﺴﺎﻛﲔ،((ﻣﺤﻤﺪ [ﻟﻴﺲ
ﺃﺣﺪ
ﻣﻦ
ﺑﻨﻲ
ﻫﺎﺷﻢ
ﻳﻀﺤﻲ
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﳊﺎﻛﻢ
ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
ﻭﻏﻴﺮﻩ Artinya: “Dari Abu Rafi’, bahwasannya Rasulullah saw apabila beliau hendak berkurban, beliau membei dua domba gemuk, berwarna putih bersih (indah rupa dan warnanya), dan masing-masing mempunyai dua tanduk. Apabila beliau selesai khutbah dan shalat ‘id, beliau menyembelih kedua hewan kurbannya dengan tangannya sendiri menggunakan pisau, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan ini adalah kurban untuk ummatku seluruhnya, yang meyakini keesaanMu, dan mengakuiku sebagai rasul, utusanMu”. Kemudian Rasulullah saw mengambil hewan kurbannya yang kedua, lalu menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan yang ini adalah kurbannya Muhammad dan keluarga Muhammad”. Rasulullah saw kemudian membagikan daging kedua kurbannya itu kepada orang-orang miskin, dan beliau serta keluarganya pun memakan daging dari kedua hewan kurbannya itu. Kami hidup beberapa tahun setelahnya, dan Allah telah menghindarkan kami dari kerugian dan denda, namun tidak seorang pun dari keturunan Bani Hasyim yang berkurban” (HR. Hakim, Baihaki dan lainnya). Dalam hadits ini, Rasulullah saw melakukan kurban untuk seluruh ummatnya, baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia, yang meyakini keesaan Allah, dan kerasulan Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, hadits ini menjadi dalil bahwa berkurban untuk yang sudah meninggal dunia diperbolehkan. Dalil lainnya adalah hadits di bawah ini:
ﻓﻠﻤﺎ،ﻋـﻦ
ﺟﺎﺑﺮ
ﺑـﻦ
ﻋﺒـﺪ
ﺍﷲ
ﺭﺿﻲ
ﺍﷲ
ﺃﻥ
ﺭﺳـﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭ
ﺳﻠﻢ
ﺻﻠﻰ
ﻟﻠﻨﺎﺱ
ﻳﻮﻡ
ﺍﻟﻨﺤـﺮ
ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﻋﻨﻲ
ﻭﻋﻤﻦ،
))ﺑﺴﻢ
ﺍﷲ
ﻭﺍﷲ
ﺃﻛﺒﺮ:
ﺩﻋﺎ
ﺑﻜﺒﺶ
ﻓﺬﺑﺤﻪ
ﻫﻮ
ﺑﻨﻔﺴﻪ
ﻭﻗﺎﻝ،ﻓﺮﻍ
ﻣﻦ
ﺧﻄﺒﺘﻪ
ﻭﺻﻼﺗﻪ [ﻟﻢ
ﻳﻀﺢ
ﻣﻦ
ﺃﻣﺘﻲ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
ﻭﺍﳊﺎﻛﻢ
ﻭﺃﺣﻤﺪ
ﻭﻏﻴﺮﻩ
Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah, bahwasannya Rasulullah saw shalat Idul Adha bersama orang-orang saat itu. Ketika beliau selesai khutbah dan shalat, beliau mengambil seekor domba, kemudian menyembelihnya dengan tangannya sendiri sambil berdoa (ketika hendak menyembelihnya): ‘Bismillâh wallâhu akbar, (dengan menyebut nama Allah, dan Allah Maha Besar), ya Allah, ini adalah kurban saya, juga kurban ummatku yang tidak mampu melaksanakan kurban” (HR. Baihaki, Hakim, Ahmad dan lainnya). Hadits ini pun senada dengan hadits sebelumnya, bahwa Rasulullah saw berkurban untuk seluruh ummatnya, termasuk yang sudah meninggal dunia yang belum melakukan kurban. Dengan demikian, berkurban kepada yang sudah meninggal dunia hukumnya diperbolehkan. Dalam hadits lain disebutkan
ﻛﺎﻥ
ﻋﻠﻲ
ﺑﻦ
ﺃﺑﻲ
ﻃﺎﻟﺐ
ﺭﺿﻲ
ﺍﷲ
ﻋﻨﻪ
ﻳﻀﺤﻲ
ﺑﻜﺒﺶ
ﻋﻦ
ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻﻠﻰ:ﻋﻦ
ﺣﻨﺶ
ﺑﻦ
ﺍﳊﺎﺭﺙ
ﻗﺎﻝ
ﻋﻠﻴﻪﻭ
ﺗﻀﺤﻲ
ﻋﻦ
ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ،
ﻳﺎ
ﺃﻣﻴﺮ
ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ:
ﻗﻠﻨﺎ،
ﻭﺑﻜﺒﺶ
ﻋﻦ
ﻧﻔﺴﻪ،ﺍﷲ
ﻋﻠﻴﻪ
ﻭ
ﺳﻠﻢ
ﻓﺄﻧـﺎ
ﺃﺿﺤـﻲ
ﻋﻨـﻪ
ﺃﺑﺪﺍ،
ﺇﻥ
ﺭﺳـﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭ
ﺳـﻠﻢ
ﺃﻣﺮﻧـﻲ
ﺃﻥ
ﺃﺿﺤـﻲ
ﻋﻨـﻪ
ﺃﺑﺪﺃ:ﺳـﻠﻢ؟
ﻗﺎﻝ []ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
ﻭﺃﺑﻮ
ﺩﺍﻭﺩ
ﻭﺍﳊﺎﻛﻢ
ﻭﻏﻴﺮﻩ Artinya: “Dari Hansy bin al-Harits berkata: “Adalah Ali bin Abi Thalib berkurban satu ekor domba untuk Rasulullah saw (padahal Rasulullah saw saat itu sudah meninggal dunia), dan satu domba lagi 7
untuk kurbannya. Kami lalu berkata: “Wahai Amiral Mukminin, anda berkurban untuk Rasulullah saw? Ali menjawab: “Sesungguhnya Rasulullah saw telah memerintahkanku agar berkurban untuk beliau selamanya, dan saya akan berkurban untuk beliau selama-lamanya” (HR. Baihaki, Abu Daud, Hakim dan lainnya). Hadits di atas lebih tegas lagi akan bolehnya berkurban untuk yang sudah meninggal dunia. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib terhadap Rasulullah saw yang sudah wafat pada saat itu. Kalau saja, berkurban untuk yang sudah meninggal dunia itu tidak diperbolehkan, tentu Rasulullah saw tidak akan menyuruh Ali berkurban untuk diri Rasulullah saw. Selain itu, pendapat pertama juga berargumen, bahwa kematian bukanlah halangan untuk berbuat kebaikan bagi yang sudah meninggal dunia. Mereka pun masih tetap dapat menikmati pahala dari yang dipersembahkan oleh keluarga atau orang-orang yang masih hidup. Dan para ulama telah sepakat, bolehnya bersedekah bagi yang sudah meninggal dunia, juga bolehnya menghajikan mereka yang telah tiada. Apabila hal ini dibenarkan, maka demikian juga dengan berkurban, karena semuanya itu sama-sama berupa ibadah (taqarrub ilallâh). Pendapat kedua, berpendapat bahwa berkurban untuk yang sudah meninggal dunia makruh (dibenci). Di antara dalil kuatnya adalah, bahwa hal itu tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, juga oleh salah satu ulama salaf dahulu. Dengan demikian, ini berarti bahwa berkurban untuk yang sudah meninggal dunia dibenci. Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat Jumhur ulama yang berpendapat bahwa berkurban untuk yang sudah meninggal dunia diperbolehkan, dan merupakan tambahan pahala bagi yang sudah tiada, baik ia berwasiat sebelumnya ataupun tidak berwasiat. Hal ini, mengingat dalil-dalil pendapat pertama sangat kuat. Demikian juga berdasarkan sebuah hadits shahih di bawah ini:
ٌ
ﺑَﻴْﻨَـﺎ
ﺃَﻧَـﺎ
ﺟَﺎﻟِـﺲٌ
ﻋِﻨْ َﺪ
ﺭَـﺳُﻮﻝِ
ﺍﻟﻠﱠـﻪِ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ
ﺇِﺫْ
ﺃَﺗَﺘْـﻪُ
ﺍﻣْﺮَﺃَﺓ:َﻋَـﻦْ
ﺑُﺮَﻳْ َﺪﺓَ
ﺭﺿـﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻨـﻪ
ﻗَﺎﻝ
َ
))ﻭَﺟَـﺐ:
ﻓَﻘَﺎﻝَ
ﺭﺳـﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ,ْ
ﺇِﻧﱢـﻰ
ﺗَـﺼَﺪﱠﻗْﺖُ
ﻋَﻠَﻰ
ﺃُﻣﱢـﻰ
ﺑِﺠَﺎﺭِﻳَﺔٍ
ﻭَﺇِﻧﱠﻬَـﺎ
ﻣَﺎﺗَـﺖ:َْﻓﻘَﺎﻟَـﺖ
:َ
ﺇِﻧﱠـﻪُ
ﻛَـﺎﻥَ
ﻋَﻠَﻴْﻬَــﺎ
ﺻَﻮْﻡُ
ﺷَﻬْﺮٍ
ﺃَﻓَﺄَـﺻُﻮﻡُ
ﻋَﻨْﻬَـﺎ؟
ﻗَﺎﻝ،ِ
ﻳَـﺎ
ﺭَـﺳُﻮﻝَ
ﺍﻟﻠﱠـﻪ:ْ
ﻗَﺎﻟَـﺖ.((ُﺃَﺟْﺮُـﻙِ
ﻭَﺭَﺩﱠﻫَـﺎ
ﻋَﻠَﻴْـﻚِ
ﺍﳌِْﻴﺮَـﺍﺙ .[
))ﺣُﺠﱢﻰ
ﻋَﻨْﻬَﺎ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﻣﺴﻠﻢ:َ
ﺃَﻓَﺄَﺣُ ﱡﺞ
ﻋَﻨْﻬَﺎ؟
ﻗَﺎﻝ،
ﺇِﻧﱠﻬَﺎ
ﻟَﻢْ
ﲢَُ ﱠﺞ
ﻗَﻂﱡ:ْ
ﻗَﺎﻟَﺖ.((
))
ﺻُﻮﻣِﻰ
ﻋَﻨْﻬَﺎ
Artinya: “Buraidah berkata, ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang perempuan berkata: “Saya bersedekah seorang budah perempuan untuk ibu saya yang sudah meninggal dunia”. Rasulullah saw bersabda: “Kamu berhak mendapatkan pahala, dan itu tidak termasuk dalam bagian harta waritsan kamu”. Ia berkata kembali: “Ya Rasulullah, ibu saya juga mempunyai kewajiban puasa satu bulan, apakah saya boleh berpuasa untuknya?” Rasulullah saw bersabda: “Berpuasalah untuknya”. Ia berkata lagi: “Ibu saya juga belum pernah haji satu kalipun, apakah saya boleh berhaji untuknya?” Rasulullah saw bersabda: “Berhajilah untuknya” (HR. Muslim). Hadits ini menegaskan, bahwa ibadah yang dilakukan oleh mereka yang masih hidup, terutama ahli waritsnya, yang ditujukkan untuk yang sudah meninggal dunia, pahalanya sampai. Untuk itu, hemat penulis, sebaiknya kita tidak mempersempit persoalan seperti ini dengan mengatakan bahwa yang sudah meninggal dunia sudah terputus amalnya kecuali tiga hal sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih, karena diterima tidaknya merupakan hak pereogatif Allah swt. Dan bagi Allah, bukan sesuatu yang tidak mungkin, untuk menerima amal yang dilakukan seseorang baik bagi yang masih hidup ataupun kepada yang sudah meninggal dunia, sebagaimana, di antaranya, disebutkan dalam hadits di atas. Dan juga tidak menutup kemungkinan bagiNya, untuk memberikan pahala bagi yang hidup dan mati sekaligus hanya dengan melakukan satu amal perbuatan, seperti kurban yang ditujukan kepada yang sudah tiada. Wallahu a’lam bis shawab. Syarat-syarat yang berkaitan dengan hewan kurban Ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan hewan yang akan dikurbankan. Syarat-syarat dimaksud adalah sebagai berikut: 8
1. Hendaknya hewan kurban dari binatang ternak (an’âm). Binatang ternak dimaksud adalah Unta, sapi dan sejenisnya seperti kerbau, domba atau kambing, baik yang jantan ataupun yang betina. Demikian pendapat jumhur ulama dari Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Hal ini berdasarkan firman Allah di bawah ini:
[34
:َﻭﻟِﻜُﻞﱢ
ﺃُﻣﱠﺔٍ
ﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ
ﻣَﻨْﺴَﻜًﺎ
ﻟِﻴَﺬْﻛُﺮُﻭﺍ
ﺍﺳْﻢَ
ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ
ﻋَﻠَﻰ
ﻣَﺎ
ﺭَﺯَﻗَﻬُﻢْ
ﻣِﻦْ
ﺑَﻬِﻴﻤَﺔِ
ﺍﻷَْﻧْﻌَﺎﻡِ
]ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ
Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka…” (QS. Al-Hajj: 34). Dan yang disebut dengan binatang ternak dalam ayat di atas adalah unta, sapi (kerbau) dan domba (kambing). Di samping itu, Rasulullah saw dan para sahabatnya tidak berkurban melainkan dengan binatang ternak di atas. Sedangkan menurut Zhahiriyyah, hewan yang boleh dijadikan binatang kurban adalah semua binatang yang boleh dimakan dagingnya, baik berkaki empat seperti baik kuda, unta, sapi liar, kambing, domba, atau jenis burung, seperti ayam, dan seluruh jenis burung. Zhahiriyyah berargumen, bahwa kurban adalah ibadah, dan ibadah dapat dilakukan oleh binatang apa saja, selama tidak ada larangan dari syara’. Dan, syara’ tidak melarang hewan-hewan lain selain binatang ternak. Bahkan, dalam banyak hadits Rasulullah saw juga memperbolehkan kurban dengan ayam, telor dan lainnya yang bukan termasuk binatang ternak, sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
))ﻣﻦ
ﺍﻏﺘﺴﻞ
ﻳﻮﻡ
ﺍﳉﻤﻌﺔ
ﻏﺴﻞ:ﻋﻦ
ﺃﺑﻲ
ﻫﺮﻳﺮﺓ
ﺭﺿﻴﻪ
ﺍﷲ
ﻋﻨﻪ
ﺃﻥ
ﺍﻟﻨﺒﻲ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ
ﻗﺎﻝ
ﻭﻣـﻦ
ﺭﺍﺡ
ﻓـﻲ
ﺍﻟﺴـﺎﻋﺔ
ﺍﻟﺜﺎﻧﻴـﺔ
ﻓﻜﺄﳕـﺎ
ﻗﺮﺏ,ﺍﳉﻨﺎﺑـﺔ
ﺛـﻢ
ﺭﺍﺡ
ﻓـﻲ
ﺍﻟﺴـﺎﻋﺔ
ﺍﻷﻭﻟﻰ
ﻓﻜﺄﳕـﺎ
ﻗﺮﺏ
ﺑﺪﻧـﺔ
ﻭﻣـﻦ
ﺭﺍﺡ
ﻓـﻲ
ﺍﻟﺴـﺎﻋﺔ
ﺍﻟﺮﺍﺑﻌـﺔ
ﻓﻜﺄﳕـﺎ,
ﻭﻣـﻦ
ﺭﺍﺡ
ﻓـﻲ
ﺍﻟﺴـﺎﻋﺔ
ﺍﻟﺜﺎﻟﺜـﺔ
ﻓﻜﺄﳕـﺎ
ﻗﺮﺏ
ﻛﺒﺸـﺎ
ﺃﻗﺮﻥ,ﺑﻘﺮﺓ
ﻓﺈﺫﺍ
ﺧﺮﺝ
ﺍﻹﻣﺎﻡ
ﺣﻀﺮﺕ
ﺍﳌﻼﺋﻜﺔ,
ﻭﻣﻦ
ﺭﺍﺡ
ﻓﻲ
ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ
ﺍﳋﺎﻣﺴﺔ
ﻓﻜﺄﳕﺎ
ﻗﺮﺏ
ﺑﻴﻀﺔ,ﻗﺮﺏ
ﺩﺟﺎﺟﺔ [ﻳﺴﺘﻤﻌﻮﻥ
ﺍﻟﺬﻛﺮ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at sebagaimana mandi junub, lalu ia pergi pada waktu pertama (sangat pagi), maka seolah-olah ia telah berkurban seekor unta. Siapa yang pergi pada waktu kedua, seolah-olah telah berkurban seekor sapi. Siapa yang pergi pada waktu ketiga, seolah-olah ia telah berkurban seekor domba, siapa yang perginya pada waktu keempat, seolah-olah ia telah berkurban seekor ayam, dan barang siapa yang perginya pada waktu kelima, maka seolah-olah ia telah berkurban sebutir telur. Dan apabila khatib telah keluar (untuk khutbah), maka para malaikat hadir mendengarkan khutbah” (HR. Bukhari). Namun, pendapat Zhahiriyyah ini adalah pendapat yang lemah, mengingat ia melihat hanya dari sisi kurban secara umum, dalam pengertian sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah. Dalam kaitan dengan kurban, tentu tidak demikian. Terdapat aturan-aturan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw tentang kurban ini, di antaranya adalah bahwa hewan kurban hendaknya dari binatang ternak yang telah disebutkan di atas sebagaimana pendapatnya Jumhur Ulama. 2. Usia tertentu dari hewan kurban Selain syarat harus binatang ternak, syarat lainnya yang berkaitan dengan binatang kurban adalah setiap hewan kurban harus musinnah, yaitu lebih dari dua tahun. Namun, ukuran musinnah, setiap binatang berbeda satu sama lain. Musinnah untuk jenis domba atau kambing, hendaknya domba atau kambing tersebut berusia satu tahun masuk tahun ke dua, musinnah jenis sapi, telah berusia dua tahun, dan masuk pada tahun ketiga. Musinnah unta, hendaknya telah berusia lima tahun dan masuk usia enam tahun. Dan tidak dipandang cukup berkurban dengan sapi atau unta yang usianya di bawah umur tersebut. Hal ini berdasarkan hadits di bawah ini: 9
ْ
ﺇِﻻﱠ
ﺃَـ ْﻥ
ﻳَﻌْـﺴُﺮَ
ﻋَﻠَﻴْﻜُـﻢ،ً
))ﻻَ
ﺗَﺬْﺑَﺤُﻮﺍ
ﺇِﻻﱠ
ﻣُـﺴِ ﱠﻨﺔ:
ﻗَﺎﻝَ
ﺭَـﺳُﻮﻝُ
ﺍﻟﻠﱠـﻪِ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ:َﻋَـﻦْ
ﺟَﺎﺑِﺮٍ
ﻗَﺎﻝ [ﻀﺄْﻥِ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﻣﺴﻠﻢ َﻓﺘَﺬْﺑَﺤُﻮﺍ
ﺟَﺬَﻋَ ًﺔ
ﻣِﻦَ
ﺍﻟ ﱠ Artinya: “Jabir berkata, Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kalian berkurban kecuali dengan musinnah (hewan yang mempunyai umur tertentu sebagaimana dijelaskan di atas), kecuali apabila memberatkan kalian, maka boleh seekor domba yang masih jadza’ah (yaitu domba yang belum mencapai usia musinnah)” (HR. Muslim). Berdasarkan hadits di atas, untuk jenis domba, apabila domba musinnah susah didapatkan atau tidak ada, namun tetap gemuk dan sehat, maka sekalipun usianya belum mencapai musinnah, masih jadza’ah (enam bulan atau kurang dari satu tahun), diperbolehkan untuk dijadikan hewan kurban. Hanya saja, hal ini apabila domba musinnah betul-betul tidak ada. Apabila ada yang musinnah, tentu tidak diperbolehkan menjadikan domba yang jadza’ah dijadikan hewan kurban. Namun, untuk kambing, hanya diperbolehkan apabila telah mencapai musinnah (usia satu tahun masuk tahun kedua), dan tidak boleh dijadikan hewan kurban manakala masih berusia jadza’ah (kurang dari satu tahun). Demikian kesepakatan para ulama. Hal ini berdasarkan hadits di bawah ini:
,((
))ﺃَﺑْﺪِﻟْﻬ َﺎ:ﺼﻼَﺓِ
ﻓَﻘَﺎﻝَ
ﺍﻟﻨﱠﺒِﻰﱡ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ
ﺫَﺑَﺢَ
ﺃَﺑ ُﻮ
ﺑُﺮْﺩَ َﺓ
ﻗَﺒْﻞَ
ﺍﻟ ﱠ:َﻋ َ ِﻦ
ﺍﻟْﺒَﺮَﺍﺀِ
ﺑْﻦِ
ﻋَﺎﺯِﺏٍ
ﻗَﺎﻝ
َ
ﻓَﻘَﺎﻝ.ٍ
ﻭَﻫِﻰَ
ﺧَﻴْﺮٌ
ﻣِــ ْﻦ
ﻣُــﺴِﻨﱠﺔ-
ﻗَﺎﻝَ
ﺷُﻌْﺒَﺔُ
ﻭَﺃَﻇُ ﱡﻨــﻪُ
ﻗَﺎ َﻝ-
ٌ
ﻳَــﺎ
ﺭَــﺳُﻮﻝَ
ﺍﻟﻠﱠــﻪِ
ﻟَﻴْــﺲَ
ﻋِﻨْﺪِﻯ
ﺇِﻻﱠ
ﺟَﺬَﻋَﺔ:ََﻓﻘَﺎﻝ
ﲡْﺰِﻯَ
ﻋ َﻦْ
ﺃَﺣَﺪٍ
ﺑَﻌْﺪ َﻙَ((
]ﺃﺧﺮﺟـﻪ
ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ َ
ْ
))ﺍﺟْﻌَﻠْﻬَـﺎ
ﻣَﻜَﺎﻧَﻬَـﺎ
ﻭَﻟَـﻦ:ﺭ َﺳُﻮﻝُ
ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳﻠﻢ .[ﻭﻣﺴﻠﻢ
Artinya: “Barâ bin ‘Âzib berkata: “Abu Burdah menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat ‘Id dimulai, Rasulullah saw kemudian bersabda: “Gantilah hewan kurban kamu dengan yang lainnya” Abu Burdah berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak mempunyai hewan lain selain Jadza’ah (yaitu hewan kurban yang apabila domba usianya baru enam bulan, kurang dari satu tahun). Syu’ban berkata: “Saya mengira ia berkata: ‘Jadza’ah lebih baik dari musinnah (yaitu hewan yang apabila domba sudah berusia satu tahun masuk tahun kedua)’. Rasulullah saw bersabda: “Jadikan Jadza’ah ini sebagai pengganti hewan yang telah dipotong sebelum shalat id tersebut, namun hewan Jadza’ah tidak mencukupi dijadikan hewan kurban kepada siapapun setelah kamu” (HR. Bukhari Muslim). 3. Hewan kurban tersebut tidak mempunyai cacat parah. Para ulama membagi cacat dalam hewan kurban, kepada tiga bagian: Pertama, cacat yang menyebabkan hewan kurban tersebut tidak sah. Cacat yang termasuk dalam jenis ini ada empat, yaitu: 1. Hewan tersebut buta sebelah matanya (al-‘aurâ) apalagi buta kedua matanya (al-‘umyâ). 2. Hewan tersebut sakit parah (al-marîdhah al-bayyin maradhuhâ). Apabila sakitnya ringan, tidak mengapa dijadikan hewan kurban. 3. Hewan tersebut pincang kakinya (al-‘arjâ), apalagi kalau kakinya terputus atau bunting. 4. Hewan tersebut tidak mempunyai otak saking lemah dan kurusnya (al-‘ujafâ). Hal ini berdasarkan hadits di bawah ini:
))ﺃﺭﺑــﻊ
ﻻ
ﲡﺰﺉ
ﻓــﻲ
ﺍﻷﺿﺎﺣــﻲ:ﻋــﻦ
ﺍﻟﺒﺮﺍﺀ
ﺑــﻦ
ﻋﺎﺯﺏ
ﺃﻥ
ﺭﺳــﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻــﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴــﻪ
ﻭﺳــﻠﻢ
ﻗﺎﻝ
((
ﻭﺍﻟﻜﺴـﻴﺮﺓ
ﺍﻟﻠﺘـﻲ
ﻻ
ﺗﻨﻘـﻲ،
ﻭﺍﻟﻌﺮﺟﺎﺀ
ﺍﻟﺒـﲔ
ﻇﻠﻌﻬـﺎ،
ﻭﺍﳌﺮﻳﻀـﺔ
ﺍﻟﺒـﲔ
ﻣﺮﺿﻬـﺎ،ﺍﻟﻌﻮﺭﺍﺀ
ﺍﻟﺒـﲔ
ﻋﻮﺭﻫـﺎ
[
ﻭﺃﺣﻤﺪ
ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲ،]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﺑﻦ
ﻣﺎﺟﻪ
Artinya: “Dari al-Barrâ bin ‘Âzib, Rasulullah saw bersabda: “Ada empat hal yang tidak mencukupi apabila dijadikan hewan kurban: binatang yang buta sebelah matanya, binatang yang sakit parah, binatang yang pincang kakinya, dan binatang yang tidak mempunyai otak, saking kurus dan lemahnya’ (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Nasai). 10
Kedua, cacat yang dibenci. Cacat jenis ini apabila ada pada hewan kurban, maka diperbolehkan untuk dijadikan kurban, namun sebaiknya cacat-cacat ini dijauhi dan dihindari. Cacat yang masuk jenis ini ada dua, yaitu: 1. Kedua kupingnya kecil atau salah satunya, atau sebagian telinganya terputus, namun bagian yang terputusnya masih nempel atau sebagian telinganya terputus dan bagian yang terputusnya itu tidak nempel. Untuk cacat-cacat seperti ini, para ulama membolehkan untuk dijadikan hewan kurban, hanya makruh hukumnya. Namun, jumhur ulama sepakat, apabila salah satu atau kedua kuping hewan tersebut tidak ada, maka tidak sah dijadikan sebagai hewan kurban. 2. Tidak bertanduk, baik karena sejak lahir atau karena suatu hal, juga kedua tanduk atau salah satunya pecah, hilang atau sebagian dari tanduknya. Para ulama memandang cukup untuk dijadikan hewan kurban, hanya hukumnya makruh. Ketiga, cacat yang tidak mengapa untuk hewan kurban. Cacat-cacat dimaksud dipandang tidak mengapa dalam berkurban, dan hewan yang dijadikan kurbannya dipandang telah sesuai, namun tetap tidak sempurna pahalanya. Cacat-cacat dimaksud adalah, hewan tersebut tidak mempunyai gigi (al-hatmâ), ekor atau buah kemaluannya terputus (al-batrâ), dan hewan yang hidungnya terputus (al-jad’â’), demikian menurut Zhahiriyyah. Sedangkan menurut Hanafiyyah, hewan yang terputus hidungnya tidak mencukupi dijadikan hewan kurban. Cacat-cacat di atas diperdebatkan oleh para ulama, antara yang membolehkan dan yang mentidakbolehkannya. Namun, dibandingkan cacat sebelumnya, cacat-cacat terakhir termasuk kategori ringan. Para ulama yang memandang mencukupi sebagai hewan kurban sekalipun ada cacat-cacat tersebut, karena tujuan dari kurban adalah dagingnya. Selama hewan tersebut gemuk dan dagingnya banyak, sekalipun hanya putus hidungnya, tidak mengapa. Selain itu, hal yang lebih perlu diperhatikan dalam memilih hewan kurban adalah usianya. Dan hilangnya gigi, biasanya berkaitan dengan usia setiap hewan tersebut. Semakin agak tua, maka semakin sedikit giginya. Oleh karena itu, tidak adanya gigi, bukanlah termasuk cacat yang menyebabkan hewan tersebut tidak mencukupi dijadikan kurban. Namun demikian, tentu sebaiknya ketika memilih hewan kurban, diambil hewan-hewan yang sehat, gemuk, dan tidak ada cacatnya sekalipun cacatnya itu pada cacat jenis ketiga. Karena, semakin sempurna dan bagus, tentu semakin besar pahalanya. Apakah seekor domba atau kambing, hanya mencukupi untuk satu orang atau boleh lebih? Apabila seseorang hendak berkurban dengan seekor domba atau kambing, apakah ia telah dipandang mencukupi kurban untuk dirinya saja atau termasuk juga keluarganya? Para ulama dalam hal ini terbagi dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan, seekor kambing atau domba dipandang mewakili kurbannya satu orang berikut anggota keluarganya yang berada dalam tanggungan nafkahnya. Oleh karena itu, apabila seorang suami berkurban seekor domba dan kambing, maka kurbannya itu dipandang sebagai kurbannya, juga kurban isteri dan anak-anaknya dan atau kurban ibu bapaknya apabila keduanya berada dalam tanggungannya. Pendapat ini merupakan pendapatnya Ibnu Umar, Abu Hurairah, Imam Laits, Imam Auza’i, Ishak, juga pendapatnya Malikiyyah. Sedangkan menurut Syafi’iyyah, bahwa berkurban hukumnya sunant kifayah. Maksudnya, apabila satu keluarga sudah ada yang berkurban, maka yang lain mendapatkan pahala sunnat tersebut. Imam Rifai sebagaimana dikutip oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’ mengatakan bahwa satu kambing atau domba hanya untuk satu orang saja, namun, apabila seseorang berkurban, maka syiar sunnah menyebar ke seluruh anggota keluarganya. Namun demikian, disunnatkan setiap anggota keluarga mempunyai kurban masing-masing Pendapat ini juga merupakan pendapatnya Hanabilah dan Ibnu Hazm azh-Zhahiry. Di antara dalil pendapat pertama ini adalah hadits-hadits di bawah ini: 11
ﺍﺷﺘﺮﻯ
ﻛﺒﺸـﲔ
ﺳـﻤﻴﻨﲔ
ﺃﻣﻠﺤـﲔ،
ﺃَـﻥّ
ﺭَـﺳُﻮﻝَ
ﺍﻟﻠﱠـﻪِ
ﺻَﻠﱠﻰ
ﺍﻟ ﱠﻠـﻪُ
ﻋَﻠَﻴْـﻪِ
ﻭَـﺳَﻠﱠﻢَ
ﻛﺎﻥ
ﺇﺫﺍ
ﺿﺤـﻰ،
ٍﻋَـﻦْ
ﺃَﺑِـﻲ
ﺭَﺍﻓِـﻊ
،
))ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﻫﺬﺍ
ﻋـﻦ
ﺃﻣﺘـﻲ
ﺟﻤﻴﻌـﺎ:
ﺛﻢ
ﻳﻘﻮﻝ،
ﻓﺈﺫﺍ
ﺧﻄـﺐ
ﻭ
ﺻﻠﻰ
ﺫﺑـﺢ
ﺃﺣﺪ
ﺍﻟﻜﺒﺸـﲔ
ﺑﻨﻔﺴـﻪ
ﺑﺎﳌﺪﻳـﺔ،ﺃﻗﺮﻧـﲔ
))ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﻫﺬﺍ
ﻋﻦ
ﻣﺤﻤﺪ
ﻭ
ﺁﻝ:
ﻭ
ﺷﻬﺪ
ﻟﻲ
ﺑﺎﻟﺒﻼﻍ((
ﺛﻢ
ﺃﺗﻲ
ﺑﺎﻵﺧﺮ
ﻓﺬﺑﺤﻪ
ﻭ
ﻗﺎﻝ،ﻣﻦ
ﺷﻬﺪ
ﻟﻚ
ﺑﺎﻟﺘﻮﺣﻴﺪ
،
ﻓﻤﻜﺜﻨﺎ
ﺳﻨﲔ
ﻗﺪ
ﻛﻔﺎﻧﺎ
ﺍﷲ
ﺍﻟﻐﺮﻡ
ﻭ
ﺍﳌﺌﻮﻧﺔ،
ﻭ
ﻳﺄﻛﻞ
ﻫﻮ
ﻭ
ﺃﻫﻠﻪ
ﻣﻨﻬﻤﺎ،
ﺛﻢ
ﻳﻄﻌﻤﻬﻤﺎ
ﺍﳌﺴﺎﻛﲔ،((ﻣﺤﻤﺪ [ﻟﻴﺲ
ﺃﺣﺪ
ﻣﻦ
ﺑﻨﻲ
ﻫﺎﺷﻢ
ﻳﻀﺤﻲ
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﳊﺎﻛﻢ
ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
ﻭﻏﻴﺮﻩ Artinya: “Dari Abu Rafi’, bahwasannya Rasulullah saw apabila beliau hendak berkurban, beliau membei dua domba gemuk, berwarna putih bersih (indah rupa dan warnanya), dan masing-masing mempunyai dua tanduk. Apabila beliau selesai khutbah dan shalat ‘id, beliau menyembelih kedua hewan kurbannya dengan tangannya sendiri menggunakan pisau, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan ini adalah kurban untuk ummatku seluruhnya, yang meyakini keesaanMu, dan mengakuiku sebagai rasul, utusanMu”. Kemudian Rasulullah saw mengambil hewan kurbannya yang kedua, lalu menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan yang ini adalah kurbannya Muhammad dan keluarga Muhammad”. Rasulullah saw kemudian membagikan daging kedua kurbannya itu kepada orang-orang miskin, dan beliau serta keluarganya pun memakan daging dari kedua hewan kurbannya itu. Kami hidup beberapa tahun setelahnya, dan Allah telah menghindarkan kami dari kerugian dan denda, namun tidak seorang pun dari keturunan Bani Hasyim yang berkurban” (HR. Hakim, Baihaki dan lainnya).
ﻭﺫﻫﺒـﺖ
ﺑـﻪ
ﺃﻣـﻪ
ﺯﻳﻨـﺐ
ﺑﻨـﺖ
ﺣﻤﻴـﺪ،
ﻭﻛﺎﻥ
ﻗﺪ
ﺃﺩﺭﻙ
ﺍﻟﻨـﺒﻲ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭ
ﺳـﻠﻢ،ﻋـﻦ
ﻋﺒـﺪ
ﺍﷲ
ﺑـﻦ
ﻫﺸﺎﻡ
:
ﻓﻘﺎﻝ
ﺍﻟﻨﺒﻲ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴﻪ
ﻭ
ﺳﻠﻢ،
ﻳﺎ
ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺑﺎﻳﻌﻪ:ﺇﻟﻰ
ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴﻪ
ﻭ
ﺳﻠﻢ
ﻓﻘﺎﻟﺖ [
ﻭﻛﺎﻥ
ﻳﻀﺤﻲ
ﺑﺎﻟﺸﺎﺓ
ﺍﻟﻮﺍﺣﺪﺓ
ﻋﻦ
ﺟﻤﻴﻊ
ﺃﻫﻠﻪ
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ،
ﻓﻤﺴﺢ
ﺭﺃﺳﻪ
ﻭﺩﻋﺎ
ﻟﻪ،((
))
ﻫﻮ
ﺻﻐﻴﺮ Artinya: “Dari Abdullah bin Hisyam, dan ia termasuk sahabat yang bertemu Rasulullah saw, ibunya yaitu Zainab bint Humaid pernah pergi kepada Rasulullah saw sambil berkata: “Ya Rasulallah, baiatlah dia”. Rasulullah saw bersabda: “Dia masih kecil”. Rasulullah saw lalu mengusap kepalanya serta mendoakannya. Dan Rasulullah saw menyembelih kurban berupa seekor domba untuk seluruh anggota keluarganya” (HR. Bukhari).
))ﺍﻷﻭﻝ
ﻋـﻦ:
ﻓﻘﺎﻝ
ﻋﻨـﺪ
ﺍﻟﺬﺑـﺢ،
ﺃﻥ
ﺍﻟﻨـﺒﻲ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ
ﺿﺤـﻰ
ﺑﻜﺒﺸـﲔ
ﺃﻣﻠﺤـﲔ:ﻋـﻦ
ﺃﺑـﻲ
ﻃﻠﺤـﺔ
))ﺍﻟﺜﺎﻧــﻲ
ﻋﻤــﻦ
ﺁﻣــﻦ
ﺑــﻲ
ﻭﺻــﺪﻕ
ﻣــﻦ
ﺃﻣﺘــﻲ((
ﺭﻭﺍﻩ
ﺃﺑــﻮ
ﻳﻌﻠﻰ:
ﻭﻗﺎﻝ
ﻋﻨــﺪ
ﺍﻟﺬﺑــﺢ،((ﻣﺤﻤــﺪ
ﻭﺁﻝ
ﻣﺤﻤــﺪ [ﻭﺍﻟﻄﺒﺮﺍﻧﻲ
Artinya: “Dari Abu Thalhah, bahwasannya Rasulullah saw berkurban dengan dua ekor domba berwarna putih bersih. Rasul lalu bersabda ketika menyembelih domba pertama: “Domba pertama ini untuk Muhammad dan keluarga Muhammad” dan ketika menyembelih domba kedua, beliau bersabda: “Sedangkan domba kedua untuk ummatku yang beriman dan membenarkanku” (HR. Abu Ya’la, dan Thabrani).
ﻛﻴـﻒ
ﻛﺎﻧـﺖ
ﺍﻟﻀﺤﺎﻳـﺎ
ﻓﻴﻜـﻢ
ﻋﻠﻰ
ﻋﻬـﺪ
ﺭﺳـﻮﻝ
ﺍﷲ:
ﺳـﺄﻟﺖ
ﺃﺑـﺎ
ﺃﻳﻮﺏ
ﺍﻷﻧﺼـﺎﺭﻱ:ﻋـﻦ
ﻋﻄﺎﺀ
ﺑـﻦ
ﻳﺴـﺎﺭ
ﻗﺎﻝ
ﻛﺎﻥ
ﺍﻟﺮﺟـﻞ
ﻓـﻲ
ﻋﻬـﺪ
ﺍﻟﻨـﺒﻲ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭ
ﺳـﻠﻢ
ﻳﻀﺤـﻰ
ﺑﺎﻟﺸﺎﺓ
ﻋﻨـﻪ:ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ
؟
ﻗﺎﻝ
ﺣﺘــﻰ
ﺗﺒﺎﻫــﻰ
ﺍﻟﻨﺎﺱ
ﻓﺼــﺎﺭ
ﻛﻤــﺎ
ﺗﺮﻯ
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﺑــﻦ
ﻣﺎﺟــﻪ
ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ،
ﻓﻴﺄﻛﻠﻮﻥ
ﻭﻳﻄﻌﻤﻮﻥ،ﻭﻋــﻦ
ﺃﻫــﻞ
ﺑﻴﺘــﻪ [
ﺻﺤﻴﺢ:
ﻭﻗﺎﻝ
ﺍﻟﺸﻴﺦ
ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ،ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ Artinya: “Atha bin Yasar berkata: “Saya bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshary: “Bagaimana berkurban pada masa Rasulullah saw?” Abu Ayyub menjawab: “Pada masa Rasulullah saw, seseorang berkurban dengan seekor domba untuk dirinya dan untuk anggota keluarganya. Mereka memakannya dan membagikannya kepada orang lain, sehingga orang-orang berteriak satu sama lain, sebagaimana yang kamu lihat” (HR. Ibnu Majah, Turmudzi, Baihaki, dan Albany berkata: “Hadits ini Shahih”. 12
Selain hadits-hadits di atas, juga masih banyak hadits lainnya yang menegaskan bahwa satu domba atau kambing dapat untuk satu orang atau lebih dari anggota keluarganya. Di samping hadits, juga dikutkan oleh atsar para sahabat. Misalnya, bahwasannya Hisyam bin Abdullah berkurban dengan satu ekor domba untuk seluruh anggota keluarganya. Ketika Abu Hurairah berkurban seekor domba untuknya, tiba-tiba datang putrinya berkata: “Apakah kurban ini untuk saya?” Abu Hurairah menjawab: “Iya, juga untuk kamu”. Demikian juga dalam sebuah riwayat bahwa Imam Ali bin Abi Thalib, beliau berkurban dengan satu domba untuk seluruh anggota keluarganya. Pendapat kedua, mengatakan bahwa satu ekor domba atau kambing, hanya dapat dikurbankan untuk satu orang saja. Pendapat ini adalah pendapatnya Ibnu Sirin, Imam Tsaury, Hammad bin Abi Sulaiman, Hanafiyyah juga Daud ad-Zhahiry. Pendapat kedua ini berdalih bahwa satu ekor kambing atau domba hanya mencukupi untuk satu orang saja, dikiaskan dengan apabila dua orang bukan anggota keluarganya, berkurban, maka tidak boleh keduanya bersekutu dalam satu kambing. Akan tetapi masing-masing harus satu kambing. Dari dua pendapat di atas, hemat penulis, pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama yang mengatakan bahwa satu ekor domba atau kambing cukup dipakai berkurban untuk dirinya dan seluruh anggota keluarganya. Hal ini karena berdasarkan hadits-hadits shahih juga berdasarkan praktek Rasulullah saw dan para sahabatnya. Adapun mengkiaskannya dengan orang asing, sebagaimana dilakukan oleh pendapat kedua, adalah tidak tepat, qiyas ma’al fâriq. Karena, orang asing itu bukan tanggungannya, adapaun anggota keluarga adalah tanggungannya untuk menafkahinya. Lalu bagaimana dengan seekor unta juga seekor sapi? Untuk seekor unta atau sapi, diperbolehkan berserikat (patungan) dalam berkurban untuk tujuh orang, baik yang patungan tersebut kerabat atau orang lain . Hal ini didasarkan kepada, di antaranya, dua hadits di bawah ini:
،ٍ
ﻧَﺤَﺮْﻧ َﺎ
ﻣ َﻊَ
ﺭ َﺳُﻮﻝِ
ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ
ﻋ َﺎﻡَ
ﺍﳊُْﺪَﻳْﺒِﻴَﺔِ
ﺍﻟْﺒَﺪَﻧَﺔَ
ﻋَـﻦْ
ﺳَﺒْﻌَﺔ:َﻋ َﻦْ
ﺟَﺎﺑِﺮِ
ﺑ ْﻦِ
ﻋَﺒْﺪِ
ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ
ﻗَﺎﻝ .[ﻭَﺍﻟْﺒَﻘَﺮَﺓَ
ﻋَﻦْ
ﺳَﺒْﻌَﺔٍ
]ﺭﻭﺍﻩ
ﻣﺴﻠﻢ Artinya: “Jabir bin Abdullah berkata: “Kami berkurban bersama Rasulullah saw pada perang Hudaibiyyah, seekor unta dan seekor sapi masing-masing oleh bertujuh orang” (HR. Muslim).
ْ
ﻓَﻨَﺬْﺑَـﺢُ
ﺍﻟْﺒَﻘَﺮَﺓَ
ﻋَـﻦ،ِ
ُﻛﻨﱠـﺎ
ﻧَﺘَﻤَ ﱠﺘـﻊُ
ﻣَـﻊَ
ﺭَـﺳُﻮﻝِ
ﺍﻟﻠﱠـﻪِ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ
ﺑِﺎﻟْﻌُﻤْﺮَﺓ:َﻋَـﻦْ
ﺟَﺎﺑِﺮِ
ﺑْـﻦِ
ﻋَﺒْﺪِ
ﺍﻟﻠﱠـﻪِ
ﻗَﺎﻝ .[ﺳَﺒْﻌَﺔٍ
ﻧَﺸْﺘَﺮِﻙُ
ﻓِﻴﻬَﺎ
]ﺭﻭﺍﻩ
ﻣﺴﻠﻢ
Artinya: “Jabir bin Abdullah berkata: “Kami melakukan haji tamattu’ bersama Rasulullah saw, lalu kami menyembelih seekor sapi, untuk tujuh orang yang patungan satu sama lain” (HR. Muslim). Waktu kurban Menurut pendapat yang paling kuat, waktu kurban adalah setelah shalat Idul Adha, sampai tiga hari tasyrik (sebelum maghrib tanggal 13 Dzulhijjah). Hal ini di antaranya berdasarkan hadits di bawah ini:
))
ﻣﻦ
ﺫﺑﺢ
ﻗﺒﻞ
ﺍﻟﺼﻼﺓ
ﻓﺈﳕﺎ:
ﻗﺎﻝ
ﺍﻟﻨﺒﻲ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴﻪ
ﻭ
ﺳﻠﻢ:ﻋﻦ
ﺃﻧﺲ
ﺑﻦ
ﻣﺎﻟﻚ
ﺭﺿﻲ
ﺍﷲ
ﻋﻨﻪ
ﻗﺎﻝ [
ﻓﻘﺪ
ﰎ
ﻧﺴﻜﻪ
ﻭﺃﺻﺎﺏ
ﺳﻨﺔ
ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
ﻭﻣﺴﻠﻢ،
ﻭﻣﻦ
ﺫﺑﺢ
ﺑﻌﺪ
ﺍﻟﺼﻼﺓ،ﺫﺑﺢ
ﻟﻨﻔﺴﻪ
Artinya: “Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat Id, maka ia menyembelih biasa untuk dirinya. Dan siapa yang menyembelihnya setelah shalat Id, maka sungguh ia telah menyempurnakan ibadahnya, dan telah sesuai dengan sunnah ummat Islam” (HR. Bukhari Muslim).
13
))ﺃَﻳﱠـﺎﻡُ
ﺍﻟ ﱠﺘﺸْﺮِﻳـﻖِ
ﻛُﻠﱡﻬَـﺎ
ﺫَﺑْـﺢٌ((
]ﺭﻭﺍﻩ:َﻰ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ
ﻗَﺎﻝ ﻋـﻦ
ﺟُﺒَﻴْﺮِ
ﺑْـﻦِ
ﻣُﻄْﻌِـﻢٍ
ﻋَـﻦْ
ﺃَﺑِﻴـﻪِ
ﺃَـﻥﱠ
ﺍﻟ ﱠﻨﺒِ ﱠ [ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
ﻭﺍﻟﻄﺒﺮﺍﻧﻲ Artinya: “Dari Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, Rasulullah saw bersabda: “Hari-hari tasyriq itu semuanya adalah waktu untuk berkurban” (HR. Baihaki dan Thabrani). Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang hendak berkurban: 1. Tidak mencukur atau mencabut rambut dan bulu-buluan yang ada dalam tubuhnya, juga mencabut atau memotong kuku sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai ia memotong hewan kurbannya (tanggal 1013 Dzulhijjah). Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Pendapat pertama, mengatakan, bahwa orang yang hendak berkurban, haram hukumnya mencabut atau menggunting atau memotong rambut, kuku, juga bulu-bulu yang ada dalam tubuhnya, termasuk bulu ketak dan sejenisnya sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai ia memotong hewan kurbannya itu. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Said bin al-Musayyib, Ishak, dan sebagian pendapat Syafi’iyyah, juga pendapatnya Hanabilah. Pendapat kedua, mengatakan, bukan haram tapi makruh saja. Pendapat ini merupakan pendapatnya Malikiyyah, sebagian Hanabilah, dan pendapat masyhur di kalangan Syafi’iyyah. Pendapat ketiga mengatakan, tidak haram, juga tidak makruh, hanya tidak afdhal saja (khilaf alaulâ), dan pendapat ini merupakan pendapatnya Hanafiyyah. Perbedaan tersebut dikarenakan pemahaman yang berbeda tentang larangan yang terdapat dalam hadits riwayat Muslim. Pendapat pertama, memahaminya sebagai haram, pendapat kedua sebagai makruh, pendapat ketiga, hanya sebatas tidak afdhal saja. Hadits dimaksud adalah:
،َﺤﻰ
))
ﺇِﺫَﺍ
ﺩَﺧَﻠَـﺖِ
ﺍﻟْﻌَﺸْﺮُ
ﻭَﺃَﺭَﺍﺩَ
ﺃَﺣَﺪُﻛُـﻢْ
ﺃَـﻥْ
ﻳُﻀَ ﱢ:َﻋَـ ْﻦ
ﺃُـﻡﱢ
ﺳَﻠَﻤَﺔَ
ﺃَـﻥﱠ
ﺍﻟ ﱠﻨﺒِﻰﱠ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ
ﻗَﺎﻝ [ﺲ
ﻣِﻦْ
ﺷَﻌَﺮِﻩِ
ﻭَﺑَﺸَﺮِﻩِ
ﺷَﻴْﺌًﺎ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﻣﺴﻠﻢ ﻓَﻼَ
ﳝَ ﱠ
Artinya: “Dari Ummu Salamah, Rasulullah saw bersabda: “Apabila sudah masuk sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah, dan seseorang berniat untuk berkurban, maka janganlah ia memotong rambutnya dan bulu-bulu yang berada di kulitnya” (HR. Muslim).
ْ
))
ِﺇﺫَﺍ
ﺭَﺃَﻳْﺘُـﻢْ
ﻫِﻼَﻝَ
ﺫِﻯ
ﺍﳊِْﺠﱠﺔِ
َﻭﺃَﺭَﺍﺩَ
ﺃَﺣَﺪُﻛُـﻢْ
ﺃَـﻥ:َﻰ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ
ﻗَﺎﻝ ﻋَـﻦْ
ﺃُـﻡﱢ
ﺳَﻠَﻤَﺔَ
ﺃَـﻥﱠ
ﺍﻟ ﱠﻨﺒِ ﱠ [
]ﺭﻭﺍﻩ
ﻣﺴﻠﻢ.((ِ
ﻓَﻠْﻴُﻤْﺴِﻚْ
ﻋَﻦْ
ﺷَﻌْﺮِﻩِ
ﻭَﺃَﻇْﻔَﺎﺭِﻩ،َﻳُﻀَﺤﱢﻰ
Artinya: “Dari Ummu Salamah, Rasulullah saw bersabda: “Apabila kalian telah melihat hilal bulan Dzulhijjah, dan seseorang berniat untuk berkurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kukukukunya” (HR. Muslim). Hemat penulis, pendapat yang mengatakan hukumnya makruh saja lebih tepat. Larangan memotong kuku dan rambut tersebut, menurut sebagian ulama karena disamakan dengan orang yang sedang melakukan ibadah haji dalam keadaan masih ihram. Sebagian yang lain berpendapat, larangan tersebut bertujuan, agar semua anggota badannya itu kelak menjadi saksi di hari kiamat. Karena itu, semakin banyak anggota badannya yang belum digunting, semakin banyak juga saksi kebaikannya. 2. Bila memungkinkan, sebaiknya yang kurban menyembelih hewan kurbannya sendiri atau menyaksikannya Hal ini berdasarkan hadits di bawah ini:
ﺍﺷﺘﺮﻯ
ﻛﺒﺸـﲔ
ﺳـﻤﻴﻨﲔ،ﺻﻠﱠﻰ
ﺍﻟﻠﱠـﻪُ
ﻋَﻠَﻴْـﻪِ
ﻭَـﺳَﻠﱠﻢَ
ﻛﺎﻥ
ﺇﺫﺍ
ﺿﺤـﻰ َ
ِ
ﺃَـﻥّ
ﺭَـﺳُﻮﻝَ
ﺍﻟﻠﱠــﻪ،
ٍﻋَـﻦْ
ﺃَﺑِـﻲ
ﺭَﺍﻓِـﻊ
))ﺍﻟﻠﻬـﻢ
ﻫﺬﺍ
ﻋـﻦ:
ﺛـﻢ
ﻳﻘﻮﻝ،
ﻓﺈﺫﺍ
ﺧﻄـﺐ
ﻭ
ﺻـﻠﻰ
ﺫﺑـﺢ
ﺃﺣـﺪ
ﺍﻟﻜﺒﺸـﲔ
ﺑﻨﻔﺴـﻪ
ﺑﺎﳌﺪﻳـﺔ،ﺃﻣﻠﺤـﲔ
ﺃﻗﺮﻧـﲔ
))ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﻫﺬﺍ:
ﻭ
ﺷﻬﺪ
ﻟﻲ
ﺑﺎﻟﺒﻼﻍ((
ﺛﻢ
ﺃﺗﻲ
ﺑﺎﻵﺧﺮ
ﻓﺬﺑﺤﻪ
ﻭ
ﻗﺎﻝ،
ﻣﻦ
ﺷﻬﺪ
ﻟﻚ
ﺑﺎﻟﺘﻮﺣﻴﺪ،ﺃﻣﺘﻲ
ﺟﻤﻴﻌﺎ 14
ﻓﻤﻜﺜﻨـﺎ
ﺳﻨﲔ
ﻗﺪ
ﻛﻔﺎﻧـﺎ،
ﻭ
ﻳﺄﻛﻞ
ﻫﻮ
ﻭ
ﺃﻫﻠﻪ
ﻣﻨﻬﻤﺎ،
ﺛﻢ
ﻳﻄﻌﻤﻬﻤﺎ
ﺍﳌﺴﺎﻛﲔ،((ﻋـﻦ
ﻣﺤﻤﺪ
ﻭ
ﺁﻝ
ﻣﺤﻤﺪ [
ﻟﻴﺲ
ﺃﺣﺪ
ﻣﻦ
ﺑﻨﻲ
ﻫﺎﺷﻢ
ﻳﻀﺤﻲ
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﳊﺎﻛﻢ
ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
ﻭﻏﻴﺮﻩ،ﺍﷲ
ﺍﻟﻐﺮﻡ
ﻭ
ﺍﳌﺌﻮﻧﺔ Artinya: “Dari Abu Rafi’, bahwasannya Rasulullah saw apabila beliau hendak berkurban, beliau membei dua domba gemuk, berwarna putih bersih (indah rupa dan warnanya), dan masing-masing mempunyai dua tanduk. Apabila beliau selesai khutbah dan shalat ‘id, beliau menyembelih kedua hewan kurbannya dengan tangannya sendiri menggunakan pisau, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan ini adalah kurban untuk ummatku seluruhnya, yang meyakini keesaanMu, dan mengakuiku sebagai rasul, utusanMu”. Kemudian Rasulullah saw mengambil hewan kurbannya yang kedua, lalu menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan yang ini adalah kurbannya Muhammad dan keluarga Muhammad”. Rasulullah saw kemudian membagikan daging kedua kurbannya itu kepada orang-orang miskin, dan beliau serta keluarganya pun memakan daging dari kedua hewan kurbannya itu. Kami hidup beberapa tahun setelahnya, dan Allah telah menghindarkan kami dari kerugian dan denda, namun tidak seorang pun dari keturunan Bani Hasyim yang berkurban” (HR. Hakim, Baihaki dan lainnya).
،ﻋـﻦ
ﺟﺎﺑﺮ
ﺑـﻦ
ﻋﺒـﺪ
ﺍﷲ
ﺭﺿـﻲ
ﺍﷲ
ﺃﻥ
ﺭﺳـﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭ
ﺳـﻠﻢ
ﺻـﻠﻰ
ﻟﻠﻨﺎﺱ
ﻳﻮﻡ
ﺍﻟﻨﺤـﺮ
ﺍﻟﻠﻬـﻢ،
))ﺑﺴـﻢ
ﺍﷲ
ﻭﺍﷲ
ﺃﻛـﺒﺮ:
ﺩﻋـﺎ
ﺑﻜﺒـﺶ
ﻓﺬﺑﺤـﻪ
ﻫـﻮ
ﺑﻨﻔﺴـﻪ
ﻭﻗﺎﻝ،ﻓﻠﻤـﺎ
ﻓﺮﻍ
ﻣـﻦ
ﺧﻄﺒﺘـﻪ
ﻭﺻـﻼﺗﻪ [ﻋﻨﻲ
ﻭﻋﻤﻦ
ﻟﻢ
ﻳﻀﺢ
ﻣﻦ
ﺃﻣﺘﻲ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
ﻭﺍﳊﺎﻛﻢ
ﻭﺃﺣﻤﺪ
ﻭﻏﻴﺮﻩ Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah, bahwasannya Rasulullah saw shalat Idul Adha bersama orangorang saat itu. Ketika beliau selesai khutbah dan shalat, beliau mengambil seekor domba, kemudian menyembelihnya dengan tangannya sendiri sambil berdoa (ketika hendak menyembelihnya): ‘Bismillâh wallâhu akbar, (dengan menyebut nama Allah, dan Allah Maha Besar), ya Allah, ini adalah kurban saya, juga kurban ummatku yang tidak mampu melaksanakan kurban” (HR. Baihaki, Hakim, Ahmad dan lainnya). Di samping hadits-hadits di atas, kurban adalah sebuah ibadah, oleh karena itu, apabila dilakukan sendiri, tanpa diwakilkan ke orang lain, tentu lebih utama. Namun, apabila tidak memungkinkan, boleh diwakilkan menyembelihnya kepada orang lain, dengan catatan, sebaiknya orang yang berkurban hadir dan menyaksikan pemotongan hewan kurbannya itu. Hal ini di antaranya berdasarkan hadits di bawah ini:
ﻓﻠﻤـﺎ
ﺍﻧﺼـﺮﻑ
ﺇﻟﻰ
ﺍﳌﻨﺤـﺮ
ﻧﺤـﺮ،ﺃﻥ
ﺍﻟﻨـﺒﻲ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ
ﺳـﺎﻕ
ﻣﻌـﻪ
ﻣﺎﺋﺔ
ﺑﺪﻧـﺔ.....ﻋـﻦ
ﺟﺎﺑﺮ [
ﺛﻢ
ﺃﻋﻄﻰ
ﻋﻠﻴﺎ
ﻓﻨﺤﺮ
ﻣﺎ
ﻏﺒﺮ
ﻣﻨﻬﺎ
]ﺭﻭﺍﻩ
ﻣﺴﻠﻢ،ﺛﻼﺛﺎ
ﻭﺳﺘﲔ
ﺑﻴﺪﻩ
Artinya: “Dari Jabir, …bahwasannya Rasulullah saw membawa seratus ekor unta untuk dikurbankan. Ketika beliau sampai di manhar (tempat menyembelih), beliau menyembelih sebanyak enam puluh tiga ekor unta dengan tangan beliau sendiri. Kemudian, beliau berikan kepada Ali, dan Ali menyembelih sisanya” (HR. Muslim). Selain itu, juga berdasarkan hadits di bawah ini:
))ﻳـﺎ
ﻓﺎﻃﻤـﺔ:
ﻗﺎﻝ،
ﺃﻥ
ﺭﺳـﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻـﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ،ﻋـﻦ
ﻋﻤﺮﺍﻥ
ﺑـﻦ
ﺣﺼـﲔ
ﺭﺿـﻲ
ﺍﷲ
ﻋﻨـﻪ
،
ﻓﺈﻧــﻪ
ﻳﻐﻔــﺮ
ﻟﻚ
ﻋﻨــﺪ
ﺃﻭﻝ
ﻗﻄﺮﺓ
ﺗﻘﻄــﺮ
ﻣــﻦ
ﺩﻣﻬــﺎ
ﻛــﻞ
ﺫﻧــﺐ
ﻋﻤﻠﺘﻴــﻪ،ﻗﻮﻣــﻲ
ﺇﻟﻰ
ﺃﺿﺤﻴﺘــﻚ
ﻓﺎﺷﻬﺪﻳﻬــﺎ
ﻭﺃﻧـﺎ
ﻣـﻦ،
ﻻ
ﺷﺮﻳـﻚ
ﻟﻪ
ﻭﺑﺬﻟﻚ
ﺃﻣﺮﺕ،
ﺇﻥ
ﺻـﻼﺗﻲ
ﻭﻧﺴـﻜﻲ
ﻭﻣﺤﻴﺎﻱ
ﻭﳑﺎﺗـﻲ
ﷲ
ﺭﺏ
ﺍﻟﻌﺎﳌـﲔ:ﻭﻗﻮﻟﻲ
ﻫﺬﺍ
ﻟﻚ
ﻭﻷﻫــﻞ
ﺑﻴﺘــﻚ
ﺧﺎﺻــﺔ
ﻓﺄﻫــﻞ
ﺫﺍﻙ
ﺃﻧﺘــﻢ
ﺃﻡ،
ﻳــﺎ
ﺭﺳــﻮﻝ
ﺍﷲ:
ﻗﻠﺖ:ﺍﳌﺴــﻠﻤﲔ((
ﻗﺎﻝ
ﻋﻤﺮﺍﻥ
ﻫﺬﺍ
ﺣﺪﻳﺚ
ﺻﺤﻴﺢ
ﺍﻹﺳﻨﺎﺩ:
ﻭﻗﺎﻝ،
))ﻻ
ﺑﻞ
ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﲔ
ﻋﺎﻣﺔ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﳊﺎﻛﻢ:
ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﲔ
ﻋﺎﻣﺔ
؟
ﻗﺎﻝ .((ﻭﻟﻢ
ﻳﺨﺮﺟﺎﻩ Artinya: “Dari Imran bin Hushain, Rasulullah saw bersabda: “Wahai Fatimah, bangun dan saksikanlah hewan kurbanmu itu, karena seluruh dosa yang pernah kamu perbuat, akan diampuni 15
ketika darah pertama hewan kurbanmu memancar, serta ucapkanlah doa: ‘inna shalâtî, wa nusukî, wa mahyâya, wa mamâtî lillâhi rabbil ‘âlamîn, lâ syarîka lahû wa bidzâlika umirtu wa ana minal muslimîn (sesungguhnya shalat, pengorbanan, hidup juga matiku, semuanya hanya untuk Allah, pemelihara alam semesta ini. Tidak ada sekutu bagiNya, dank arena itulah aku diperintahkan, dan aku termasuk orang muslim)”. Imran berkata: “Ya Rasulullah, apakah hal itu hanya untuk mu dan keluargamu saja, atau untuk seluruh ummat Islam?” Rasulullah saw bersabda: “Untuk seluruh ummat Islam” (HR. Hakim, dan ia berkata: “Hadits tersebut Shahih sanadnya, namun Bukhari Muslim tidak meriwayatkannya). 3. Sambil menyaksikan pemotongan hewan kurbannya, hendaknya berdoa: inna shalâtî, wa nusukî, wa mahyâya, wa mamâtî lillâhi rabbil ‘âlamîn, lâ syarîka lahû wa bidzâlika umirtu wa ana minal muslimîn, sebagaimana disebutkan hadits di atas. 4. Memakan sebagian daging kurbannya. Termasuk amalan sunnah bagi seseorang yang berkurban adalah hendaknya ia memakan sebagian dari daging kurbannya itu, sebagai upaya tabarruk (mencari berkah), di samping membagikannya juga kepada kerabat dan orang-orang miskin. Di antara dalil bolehnya orang berkurban memakan daging kurbannya, adalah hadits di bawah ini:
ﺍﺷﺘﺮﻯ
ﻛﺒﺸـﲔ
ﺳـﻤﻴﻨﲔ،ﺻﻠﱠﻰ
ﺍﻟﻠﱠـﻪُ
ﻋَﻠَﻴْـﻪِ
ﻭَـﺳَﻠﱠﻢَ
ﻛﺎﻥ
ﺇﺫﺍ
ﺿﺤـﻰ َ
ِ
ﺃَـﻥّ
ﺭَـﺳُﻮﻝَ
ﺍﻟﻠﱠــﻪ،
ٍﻋَـﻦْ
ﺃَﺑِـﻲ
ﺭَﺍﻓِـﻊ
))ﺍﻟﻠﻬـﻢ
ﻫﺬﺍ
ﻋـﻦ:
ﺛـﻢ
ﻳﻘﻮﻝ،
ﻓﺈﺫﺍ
ﺧﻄـﺐ
ﻭ
ﺻـﻠﻰ
ﺫﺑـﺢ
ﺃﺣـﺪ
ﺍﻟﻜﺒﺸـﲔ
ﺑﻨﻔﺴـﻪ
ﺑﺎﳌﺪﻳـﺔ،ﺃﻣﻠﺤـﲔ
ﺃﻗﺮﻧـﲔ
))ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﻫﺬﺍ:
ﻭ
ﺷﻬﺪ
ﻟﻲ
ﺑﺎﻟﺒﻼﻍ((
ﺛﻢ
ﺃﺗﻲ
ﺑﺎﻵﺧﺮ
ﻓﺬﺑﺤﻪ
ﻭ
ﻗﺎﻝ،
ﻣﻦ
ﺷﻬﺪ
ﻟﻚ
ﺑﺎﻟﺘﻮﺣﻴﺪ،ﺃﻣﺘﻲ
ﺟﻤﻴﻌﺎ
ﻓﻤﻜﺜﻨـﺎ
ﺳﻨﲔ
ﻗﺪ
ﻛﻔﺎﻧـﺎ،
ﻭ
ﻳﺄﻛﻞ
ﻫﻮ
ﻭ
ﺃﻫﻠﻪ
ﻣﻨﻬﻤﺎ،
ﺛﻢ
ﻳﻄﻌﻤﻬﻤﺎ
ﺍﳌﺴﺎﻛﲔ،((ﻋـﻦ
ﻣﺤﻤﺪ
ﻭ
ﺁﻝ
ﻣﺤﻤﺪ [
ﻟﻴﺲ
ﺃﺣﺪ
ﻣﻦ
ﺑﻨﻲ
ﻫﺎﺷﻢ
ﻳﻀﺤﻲ
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﳊﺎﻛﻢ
ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
ﻭﻏﻴﺮﻩ،ﺍﷲ
ﺍﻟﻐﺮﻡ
ﻭ
ﺍﳌﺌﻮﻧﺔ
Artinya: “Dari Abu Rafi’, bahwasannya Rasulullah saw apabila beliau hendak berkurban, beliau membei dua domba gemuk, berwarna putih bersih (indah rupa dan warnanya), dan masing-masing mempunyai dua tanduk. Apabila beliau selesai khutbah dan shalat ‘id, beliau menyembelih kedua hewan kurbannya dengan tangannya sendiri menggunakan pisau, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan ini adalah kurban untuk ummatku seluruhnya, yang meyakini keesaanMu, dan mengakuiku sebagai rasul, utusanMu”. Kemudian Rasulullah saw mengambil hewan kurbannya yang kedua, lalu menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan yang ini adalah kurbannya Muhammad dan keluarga Muhammad”. Rasulullah saw kemudian membagikan daging kedua kurbannya itu kepada orang-orang miskin, dan beliau serta keluarganya pun memakan daging dari kedua hewan kurbannya itu. Kami hidup beberapa tahun setelahnya, dan Allah telah menghindarkan kami dari kerugian dan denda, namun tidak seorang pun dari keturunan Bani Hasyim yang berkurban” (HR. Hakim, Baihaki dan lainnya). Namun, para ulama berbeda pendapat tentang berapa kadar seseorang diperbolehkan memakan daging kurbannya? Para ulama dalam hal ini terbagi tiga pendapat: Pendapat pertama mengatakan, bahwa orang yang kurban boleh memakan sepertiganya. Apabila ia memakan lebih dari sepertiganya, maka boleh juga. Pendapat ini adalah pendapatnya Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Ishak, Hanafiyyah, Syafi’iyyah, juga Hanabilah. Pendapat kedua, bahwa yang kurban boleh memakan setengah dari hewan kurbannya, dan setengahnya lagi disedekahkan. Pendapat ini merupakan pendapatnya Imam Syafi’I dalam pendapat lamanya. Pendapat ketiga mengatakan, orang yang berkurban boleh memakan berapa saja sekehendaknya. Tidak ada batasan berapa-berapanya, ia boleh memakannya lebih banyak dari pada menyedekahkannya, atau juga sebaliknya. Pendapat ini adalah pendapatnya Zhahiriyyah. Dari ketiga pendapat di atas, pendapat Jumhur ulama yaitu pendapat pertama, merupakan pendapat yang paling kuat. Hal ini di antaranya berdasarkan hadits-hadits di bawah ini: 16
ﻭﻳﻄﻌـﻢ،
ﻭﻳﻄﻌـﻢ
ﺃﻫـﻞ
ﺑﻴﺘـﻪ
ﺍﻟﺜﻠﺚ:ﻋـﻦ
ﺍﺑـﻦ
ﻋﺒﺎﺱ
ﻓـﻲ
ﺻـﻔﺔ
ﺃﺿﺤﻴـﺔ
ﺍﻟﻨـﺒﻲ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭﺳـﻠﻢ
ﻗﺎﻝ
"
ﻭﻳﺘﺼﺪﻕ
ﻋﻠﻰ
ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ
ﺍﻟﺜﻠﺚ،ﻓﻘﺮﺍﺀ
ﺟﻴﺮﺍﻧﻪ
ﺍﻟﺜﻠﺚ Artinya: “Dari Ibnu Abbas, tentang sifat berkurban Rasulullah saw, ia berkata: “Rasulullah saw memberikan makan keluarganya dari daging kurban tersebut sepertiganya, memberikan kepada tetangganya yang fakir, sepertiganya, dan bersedekah kepada peminta-minta juga se pertiganya”.
ﺃﻣﺮﻧﺎ
ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ
ﺃﻥ
ﻧﺄﻛﻞ:ﺭﻭﻱ
ﻋﻄﺎﺀ
ﻋﻦ
ﺍﺑﻦ
ﻣﺴﻌﻮﺩ
ﺃﻧﻪ
ﻗﺎﻝ
ﻓﻲ
ﺍﻷﺿﺤﻴﺔ "
ﻭﻧﻄﻌﻢ
ﺍﳉﻴﺮﺍﻥ
ﺛﻠﺜﻬﺎ،
ﻭﻧﺘﺼﺪﻕ
ﺑﺜﻠﺜﻬﺎ،ﻣﻨﻬﺎ
ﺛﻠﺜﺎ Artinya: “Atha meriwayatkan, bahwasannya Ibnu Mas’ud berkata dalam hal kurban: “Rasulullah saw memerintahkan kami untuk memakan sepertiganya, bersedekah sepertiganya, dan memberikannya kepada tetangga juga sepertiganya”. Apakah ketika hendak memotong hewan kurban perlu disebutkan niat atau nama yang kurbannya? Para ulama sepakat, bahwa niat dalam kurban adalah harus. Karena hal ini untuk memisahkan antara hewan tersebut untuk kurban, atau untuk makan biasa atau untuk dam pelaksanaan haji atau lainnya. Dan para ulama juga sepakat, bahwa tempat niat itu adanya di dalam hati, lisan hanya membantu dan menguatkan saja. Namun para ulama berbeda pendapat apakah niat tersebut perlu diucapkan ketika menyembelihnya atau tidak? Menurut Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagian kecil pendapat Syafi’iyyah, bahwa seseorang yang membeli kambing dengan niat untuk kurban, sudah dipandang cukup sebagai niat kurbannya, dan tidak perlu disebutkan ketika hendak memotong hewannya itu. Sedangkan menurut pendapat masyhur jumhur Syafi’iyyah, bahwa seseorang yang berniat membeli hewan kurban tidak cukup dipandang sebagai niat untuk berkurban. Ia perlu menyertakan niatnya itu ketika menyembelihnya. Sedangkan menurut Hanabilah, niat kurban sebelum dipotong hewan kurbannya sudah dipandang cukup, namun lebih baik lagi apabila ditajdid (diperbaharui) ketika memotongnya. Hemat penulis, pendapat Hanabilah dalam hal ini lebih tepat. Artinya, niat sebelum memotong sudah dipandang cukup, namun apabila dibaca kembali ketika memotong hewan kurban, tentu ini lebih utama dan lebih baik. Hal ini berdasarkan hadits di bawah ini:
ﺍﺷﺘﺮﻯ
ﻛﺒﺸـﲔ
ﺳـﻤﻴﻨﲔ
ﺃﻣﻠﺤـﲔ،
ﺃَـﻥّ
ﺭَـﺳُﻮﻝَ
ﺍﻟﻠﱠـﻪِ
ﺻَﻠﱠﻰ
ﺍﻟ ﱠﻠـﻪُ
ﻋَﻠَﻴْـﻪِ
ﻭَـﺳَﻠﱠﻢَ
ﻛﺎﻥ
ﺇﺫﺍ
ﺿﺤـﻰ،
ٍﻋَـﻦْ
ﺃَﺑِـﻲ
ﺭَﺍﻓِـﻊ
،
))ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﻫﺬﺍ
ﻋـﻦ
ﺃﻣﺘـﻲ
ﺟﻤﻴﻌـﺎ:
ﺛﻢ
ﻳﻘﻮﻝ،
ﻓﺈﺫﺍ
ﺧﻄـﺐ
ﻭ
ﺻﻠﻰ
ﺫﺑـﺢ
ﺃﺣﺪ
ﺍﻟﻜﺒﺸـﲔ
ﺑﻨﻔﺴـﻪ
ﺑﺎﳌﺪﻳـﺔ،ﺃﻗﺮﻧـﲔ
))ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﻫﺬﺍ
ﻋﻦ
ﻣﺤﻤﺪ
ﻭ
ﺁﻝ:
ﻭ
ﺷﻬﺪ
ﻟﻲ
ﺑﺎﻟﺒﻼﻍ((
ﺛﻢ
ﺃﺗﻲ
ﺑﺎﻵﺧﺮ
ﻓﺬﺑﺤﻪ
ﻭ
ﻗﺎﻝ،ﻣﻦ
ﺷﻬﺪ
ﻟﻚ
ﺑﺎﻟﺘﻮﺣﻴﺪ
،
ﻓﻤﻜﺜﻨﺎ
ﺳﻨﲔ
ﻗﺪ
ﻛﻔﺎﻧﺎ
ﺍﷲ
ﺍﻟﻐﺮﻡ
ﻭ
ﺍﳌﺌﻮﻧﺔ،
ﻭ
ﻳﺄﻛﻞ
ﻫﻮ
ﻭ
ﺃﻫﻠﻪ
ﻣﻨﻬﻤﺎ،
ﺛﻢ
ﻳﻄﻌﻤﻬﻤﺎ
ﺍﳌﺴﺎﻛﲔ،((ﻣﺤﻤﺪ [ﻟﻴﺲ
ﺃﺣﺪ
ﻣﻦ
ﺑﻨﻲ
ﻫﺎﺷﻢ
ﻳﻀﺤﻲ
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﳊﺎﻛﻢ
ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
ﻭﻏﻴﺮﻩ Artinya: “Dari Abu Rafi’, bahwasannya Rasulullah saw apabila beliau hendak berkurban, beliau membei dua domba gemuk, berwarna putih bersih (indah rupa dan warnanya), dan masing-masing mempunyai dua tanduk. Apabila beliau selesai khutbah dan shalat ‘id, beliau menyembelih kedua hewan kurbannya dengan tangannya sendiri menggunakan pisau, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan ini adalah kurban untuk ummatku seluruhnya, yang meyakini keesaanMu, dan mengakuiku sebagai rasul, utusanMu”. Kemudian Rasulullah saw mengambil hewan kurbannya yang kedua, lalu menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri, sambil berdoa: “Ya Allah, hewan yang ini adalah kurbannya Muhammad dan keluarga Muhammad”. Rasulullah saw kemudian membagikan daging kedua kurbannya itu kepada orang-orang miskin, dan beliau serta keluarganya pun memakan daging dari kedua hewan kurbannya 17
itu. Kami hidup beberapa tahun setelahnya, dan Allah telah menghindarkan kami dari kerugian dan denda, namun tidak seorang pun dari keturunan Bani Hasyim yang berkurban” (HR. Hakim, Baihaki dan lainnya). Juga berdasarkan hadits di bawah ini:
ﻓﻠﻤﺎ،ﻋـﻦ
ﺟﺎﺑﺮ
ﺑـﻦ
ﻋﺒـﺪ
ﺍﷲ
ﺭﺿﻲ
ﺍﷲ
ﺃﻥ
ﺭﺳـﻮﻝ
ﺍﷲ
ﺻﻠﻰ
ﺍﷲ
ﻋﻠﻴـﻪ
ﻭ
ﺳﻠﻢ
ﺻﻠﻰ
ﻟﻠﻨﺎﺱ
ﻳﻮﻡ
ﺍﻟﻨﺤـﺮ
ﺍﻟﻠﻬﻢ
ﻋﻨﻲ
ﻭﻋﻤﻦ،
))ﺑﺴﻢ
ﺍﷲ
ﻭﺍﷲ
ﺃﻛﺒﺮ:
ﺩﻋﺎ
ﺑﻜﺒﺶ
ﻓﺬﺑﺤﻪ
ﻫﻮ
ﺑﻨﻔﺴﻪ
ﻭﻗﺎﻝ،ﻓﺮﻍ
ﻣﻦ
ﺧﻄﺒﺘﻪ
ﻭﺻﻼﺗﻪ [ﻟﻢ
ﻳﻀﺢ
ﻣﻦ
ﺃﻣﺘﻲ((
]ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
ﻭﺍﳊﺎﻛﻢ
ﻭﺃﺣﻤﺪ
ﻭﻏﻴﺮﻩ
Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah, bahwasannya Rasulullah saw shalat Idul Adha bersama orang-orang saat itu. Ketika beliau selesai khutbah dan shalat, beliau mengambil seekor domba, kemudian menyembelihnya dengan tangannya sendiri sambil berdoa (ketika hendak menyembelihnya): ‘Bismillâh wallâhu akbar, (dengan menyebut nama Allah, dan Allah Maha Besar), ya Allah, ini adalah kurban saya, juga kurban ummatku yang tidak mampu melaksanakan kurban” (HR. Baihaki, Hakim, Ahmad dan lainnya). Wallahu a’lam bis shawab. Penutup Demikian sekelumit bahasan seputar Pengantar Fiqih Kurban, semoga bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca semuanya. Apa yang benar, tentu datangnya dari Allah dan RasulNya, dan apa yang salah, tentu datang dari setan dan juga dari diri saya, serta Allah dan RasulNya lepas dari padanya. Wallâhu a’lam bis shawâb, wa ilaihil ma’âb Katamea, 15 Nopember 2009, pukul 22.00 Email penulis:
[email protected]
18