Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
BAB-4 PENGANTAR FIQIH 1. THAHARAH-1 (WUDU) Dalam hukum Islam bersuci & segala seluk-beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting, seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah:222: £èδθç/tø)s? Ÿωuρ ( ÇÙŠÅsyϑø9$# ’Îû u!$|¡ÏiΨ9$# (#θä9Í”tIôã$$sù “]Œr& uθèδ ö≅è% ( ÇÙŠÅsyϑø9$# Çtã štΡθè=t↔ó¡o„uρ =Ïtä†uρ tÎ/≡§θ−G9$# =Ïtä† ©!$# ¨βÎ) 4 ª!$# ãΝä.ttΒr& ß]ø‹ym ôÏΒ ∅èδθè?ù'sù tβö£γsÜs? #sŒÎ*sù ( tβößγôÜtƒ 4®Lym ∩⊄⊄⊄∪ šÌÎdγsÜtFßϑø9$# Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. Perihal bersuci meliputi beberapa perkara berikut : Alat bersuci (seperti air, tanah, dll); Kaifiat/cara bersuci; macam dan jenis najis yang perlu disucikan; Benda yang wajib disucikan; dan Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci. Bersuci ada dua bagian yaitu bersuci dari hadas. Bagian ini khusus untuk badan, seperti :mandi, wudu dan tayammum. Seperti hadits nabi SAW yang artinya “.....dan jika kamu junub, mandilah”. Di hadits yang lain Nabi SAW bersabda yang artinya “Kebersihan itu sebahagian dari iman” (HR. Muslim dan Ahmad). Bagian kedua adalah bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat. Firman Allah dalam surat Al-Mudatsir ayat 4 yang artinya “Dan pakaianmu bersihkanlah". Thoharoh memiliki beberapa tingkatan dari yang terendah sampai tertinggi, yaitu diawali dari bersih/membersihkan jasad kita dari hadas dan najis, lalu dilanjutkan dengan membersihkan anggota tubuh dari perbuatan dosa, dilanjutkan dengan membersihkan jiwa dari perbuatan hina seperti berzina, selingkuh, dll. Bahkan diwajibkan bagi seorang muslim untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang memancing perzinahan, seperti mempertontonkan auratnya (baik laki maupun perempuan) pada non muhrim, melakukan gerakan-gerakan yang mengarah pada perzinahan, tabarruj dihadapan non muhrim. Seorang muslim juga diperintahkan untuk menghindari/menajuhi perbuatan yang mengarah pada perselingkuhan dengan memperhatikan adab pergaulan dan bertamu. Tingkatan Pengantar Fiqih
93
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
thoharoh yang tertinggi adalah kemampuan dan kesiapan seorang muslim untuk menjaga kebersihan hati dari perbuatan musyrik terhadap Allah. Berwudhu diwajibkan ketika hendak mengerjakan shalat, seperti firman Allah yang artinya : Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu, dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS.Al-Maidah:6). Ayat tersebut menjelaskan kewajiban berwudu ketika hendak melaksanakan shalat. Dalil mengenai wajibnya berwudu ketika hendak melakukan perbuatanperbuatan yang didalamnya disyaratkan berwudu, akan dibahas pada masalah perkara-perkara yang menyebabkan seseorang harus berwudu. A. SYARAT-SYARAT WUDU : Islam; Tidak berhadas besar; Dengan air yang suci dan mensucikan; dan Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit anggota wudu, seperti getah, wig, cat kuku dan sebagainya, yang melekat diatas kulit anggota tubuh. B. FARDU (RUKUN) WUDU 1. Niat, dilanjutkan dengan membasuh muka, batas muka ialah dari tempat tumbuhnya rambut kepala sebelah atas sampai kedua tulang dagu sebelah bawah, lintangnya dari telinga ke telinga. 2. Membasuh dua tangan sampai ke siku. 3. Menyapu sebagian kepala, sebaiknya tidak kurang dari selebar ubun-ubun. 4. Membasuh telapak kaki sampai kedua mata kaki (kedua mata kakipun wajib dibasuh); dan menertibkan rukun-rukun diatas, dilakukan secara bersamasama, dan mendahulukan anggota yang kanan dari pada yang kiri C. SUNAT WUDU 1. Membaca bismillah pada permulaan wudu. 2. Membasuh kedua telapak tangan sampai pada pergelangan, sebelum berkumur-kumur. 3. Berkumu-kumur, dilanjutkan dengan memasukkan air ke hidung. 4. Menyapu seluruh kepala. 5. Menyapu kedua telinga luar dan dalam, dilanjutkan dengan menyilangnyilangi jari kedua tangan, dan jari kedua kaki. 6. Mendahulukan anggota kanan dari pada kiri; dan Membasuh setiap anggota tiga kali 7. Dilakukan berturut-turut antara anggota (sebelum kering anggota pertama anggota kedua sudah dibasuh); dan tidak diseka (dikeringkan setelah berwudu), kecuali sakit, sangat dingin. 8. Menggosok anggota wudu agar menjadi lebih bersih, sambil menjaga supaya percikan air itu jangan kembali ke badan. Dianjurkan jangan bercakap-cakap sewaktu berwudu, kecuali ada hajat. 9. Bersiwak (menggosok gigi) dengan benda yang kesat. 10. Berdoa sesudah wudu (membaca dua kalimat syahadat, HR Ahmad, Muslim, dan Tirmizi) Pengantar Fiqih
94
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
D. YANG MEMBATALKAN WUDU Hal-hal yang membatalkan wudu adalah sebagai berikut : 1. Keluar sesuatu dari dua pintu atau salah satunya. Firman Allah yang artinya : “...Atau salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan.” (QS.An-Nisa’:43). Ayat ini diperkuat dengan sabda nabi SAW yang artinya “Allah tidak akan menerima shalat orang yang berhadas, sampai ia berwudu”. Sehubungan dengan ini para ulama sepakat tentang hal yang membatalkan wudu, yaitu : buang air kecil, buang air besar, keluar angin, keluar mazi, dan wadi. “Rasulullah pernah muntah, lalu berwudu”, selain itu hadis yang diriwayatkan oleh Umar dan Ibnu Umar tentang diwajibkannya mereka berdua untuk wudu karena mimisan, juga hadis yang menyebutkan perintah Rasulullah kepada wanita yang mengalami pendarahan untuk berwudu pada setiap akan melaklukan shalat. 2. Hilang akal (seperti : Pingsan, gila, dan mabuk, serta tidur, karena tidur dapat menimbulkan hadas sehingga wajib berwudu) 3. Bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan Ada ulama yang berpendapat bahwa menyentuh wanita dengan disertai nafsu atau tidak, dan dengan wanita itu tidak ada penghalang, maka dia wajib berwudu pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i (terkadang beliau membedakan antara wanita muhrim dengan istri), namun Abu Hanifah menafikkan kewajiban berwudu bagi orang yang menyentuh wanita, beliau berlandaskan hadis nabi yang dikisahkan oleh ‘Aisyah, artinya “Beliau pernah mencium sebagian istrinya, kemudian keluar untuk shalat dengan tidak berwudu (lagi).” Namun tidak pernah diriwayatkan sedikitpun dalam hadis tentang bersentuhan dengan wanita selain istri dan muhrim”. 4. Menyentuh kemaluan atau pintu dubur dengan telapak tangan; dan Memakan makan yang telah disentuh api. Pendapat ini yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, namun Ahmad Ishak dan kelompok lainnya berpendapat bahwa berwudu hanya diwajibkan bagi orang yang memakan daging unta atau kambing yang disembelih berdasarkan ketetapan Rasulullah. 5. Tertawa ketika shalat; Abu hanifah mewajibkan berwudu karena tertawa ketika shalat, namun sebagian ulama menolak hadis/pendapat ini. 6. Menggotong mayat, ada segolongan ulama yang mewajibkan berwudu, karena menggotong mayat, dan dikuatkan oleh hadis (menurut sebahagian ulama hadis da’if).
Pengantar Fiqih
95
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
2. THAHARAH-2 (TAYAMUM) Tayamum adalah mengusapkan tanah ke muka dan kedua tangan sampai siku dengan beberapa syarat. Tayamum adalah pengganti wudu atau mandi, sebagai rukhsah (keringanan) untuk orang yang tidak dapat memakai air karena beberapa halangan (uzur), yaitu : 1. Uzur karena sakit. Jika ia memakai air akan bertambah sakitnya, atau lambat sembuhnya menurut dokter atau ahli medis yang mengobatinya. 2. Karena dalam perjalanan 3. Karena tidak ada air ’n<Î) öΝä3tƒÏ‰÷ƒr&uρ öΝä3yδθã_ãρ (#θè=Å¡øî$$sù Íο4θn=¢Á9$# ’n<Î) óΟçFôϑè% #sŒÎ) (#þθãΨtΒ#u šÏ%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ $Y6ãΖã_ öΝçGΖä. βÎ)uρ 4 È÷t6÷ès3ø9$# ’n<Î) öΝà6n=ã_ö‘r&uρ öΝä3Å™ρâãÎ/ (#θßs|¡øΒ$#uρ È,Ïù#tyϑø9$# ÷ρr& ÅÝÍ←!$tóø9$# zÏiΒ Νä3ΨÏiΒ Ó‰tnr& u!%y` ÷ρr& @x'y™ 4’n?tã ÷ρr& #yÌó&£∆ ΝçGΨä. βÎ)uρ 4 (#ρã£γ©Û$$sù öΝà6Ïδθã_âθÎ/ (#θßs|¡øΒ$$sù $Y6ÍhŠsÛ #Y‰‹Ïè|¹ (#θßϑ£ϑu‹tFsù [!$tΒ (#ρ߉ÅgrB öΝn=sù u!$|¡ÏiΨ9$# ãΜçGó¡yϑ≈s9 ߉ƒÌムÅ3≈s9uρ 8ltym ôÏiΒ Νà6ø‹n=tæ Ÿ≅yèôfuŠÏ9 ª!$# ߉ƒÌム$tΒ 4 çµ÷ΨÏiΒ Νä3ƒÏ‰÷ƒr&uρ ∩∉∪ šχρãä3ô±n@ öΝà6¯=yès9 öΝä3ø‹n=tæ …çµtGyϑ÷èÏΡ §ΝÏGãŠÏ9uρ öΝä.tÎdγsÜãŠÏ9 Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (QS.Al-Maidah:6) Sakit yang dimaksud ayat tersebut adalah sakit yang tidak boleh kena air, dan yang di maksud dengan menyentuh-menurut jumhur adalah: menyentuh sedang sebagian mufassirin menafsirkan menyetubuhi. Ayat diatas menjelaskan kewajiban bertayamum. A. SYARAT-SYARAT TAYAMUM 1. Sudah masuk waktu shalat. Tayamum disyari’atkan bagi orang yang terpaksa, sebelum masuk waktu shalat ia belum terpaksa, sebab shalat belum wajib atasnya ketika itu. 2. Sudah diusahakan mencari air, tetapi tidak dapat, sedangkan waktu sudah masuk, atau ia yakin tidak ada air disekitar tempat itu. Dalilnya adalah ayat tersebut diatas. Pengantar Fiqih
96
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
3. Dengan tanah yang suci dan berdebu. Menurut imam syafi’i tidak syah tayamum selain dengan tanah. Menurut imam yang lain boleh tayamum dengan tanah, pasir atau batu. Dalil pendapat ini adalah sabda Rasulullah SAW, yang artinya :”Telah dijadikan bagiku bumi yang baik, menyucikan dan tempat sujud”. Perkataan bumi menurut sebagian ulama termasuk juga tanah, pasir, dan batu. 4. Menghilangkan najis. Berarti sebelum melakukan tayamum itu ia hendaklah bersih dari najis. Menurut pendapat sebagian ulama. B. FARDU (RUKUN) TAYAMUM 1. Niat. Orang yang akan bertayamum hendaklah berniat karena akan mengerjakan shalat, bukan semata-mata untuk menghilangkan hadas saja. 2. Mengusap muka dengan tanah, batas muka ialah dari tempat tumbuhnya rambut kepala sebelah atas sampai kedua tulang dagu sebelah bawah, lintangnya dari telinga ke telinga. 3. Membasuh dua tangan sampai ke siku, jumhur ulama Malik, Syafi’i, dan Abu Hanifah berpendapat sikupun wajib dibasuh, karena bagian dari tangan. 4. Sebagian besar ulama fiqih berpendapat bahwa batas tangan yang wajib diusap adalah sampai siku. Iniulah pendapat yang masyhur, walaupun ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa yang diwajibkan hnyalah mengusap telapak tangan saja. 5. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa nabi SAW, pernah bersabda : 6. “ Tayamum itu dua kali pukulan, satu pukulan untuk muka, dan satu pukulan lagi untuk kedua tangan hingga siku”. 7. Menertibkan rukun-rukun diatas, dilakukan secara bersama-sama, dan mendahulukan anggota muka dari pada tangan. C. SUNAT TAYAMUM 1. Membaca bismillah pada permulaan tayamum. 2. Mengembus tanah dari dua tapak tangan agar tanah yang di tapak tangan itu menjadi tipis. Sabda Rasululullah SAW, yang artinya :”Sesungguhnya cukuplah bagimu apabila kau pukulkan kedua tapak tanganmu ke tanah, kemudian engkau hembus kedua tanganmu itu, lalu engkau usapkan kedua tanganmu itu kemuka, dan tapak tanganmu”. 3. Berdoa sesudah wudu (membaca dua kalimat syahadat, HR Ahmad, Muslim, dan Tirmizi) D. YANG MEMBATALKAN TAYAMUM Hal-hal yang membatalkan tayamum adalah sebagai berikut : 1. Tiap-tiap yang membatalkan wudu juga membatalkan tayamum. Hal-hal yang membatalkan wudu dan tayammum adalah sebagai berikut : a. Keluar sesuatu dari dua pintu atau salah satunya. b. Hilang akal (seperti : Pingsan, gila, dan mabuk, serta tidur, karena tidur dapat menimbulkan hadas sehingga wajib berwudu) 1. Bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan Pengantar Fiqih
97
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
Ada ulama yang berpendapat bahwa menyentuh wanita dengan disertai nafsu atau tidak, dan dengan wanita itu tidak ada penghalang, maka dia wajib berwudu pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i (terkadang beliau membedakan antara wanita muhrim dengan istri). 2. Menyentuh kemaluan atau pintu dubur dengan telapak tangan 3. Memakan makan yang telah disentuh api. 2. Ada air. Mendapatkan air sebelum shalat, maka batallah tayamum bagi orang yang bertayamum karena ketiadaan air, bukan karena sakit. Sabda Rasulullah SAW, yang artinya : “Tanah itu cukup bagimu untuk bersuci walau engkau tidak mendapat air sampai sepuluh tahun. Tetapi apabila engkau memperoleh air, hendaklah engkau sentuhkan air itu ke kulitmu”. (HR. Tirmidzi)
Pengantar Fiqih
98
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
3. SHALAT BERJAMAAH (Dikutip dan direvisi dari Republika On-Line, oleh : Teguh Rahardjo, S.Pd) ''Barangsiapa ingin berjumpa dengan Allah kelak dalam keadaan selamat, hendaklah menjaga shalat berjama’ah, ketika dipanggil dengan adzan untuk mendirikannya. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada Nabimu sunnah yang berpetunjuk. Maka sungguh shalat berjam’aah merupakan bagian dari sunnah yang berpetunjuk.. Sesungguhnya shalat di rumahmu sebagaimana orang-orang meninggalkan shalat berjama’ah berarti telah meninggalkan sunnah Nabimu. Jika kalian meninggalkan sunnah Nabimu, pasti kalian akan tersesat. Sesungguhnya kami memperhatikan diri-diri kami, tidaklah pernah meninggalkan shalat berjamaah, kecuali orang-orang munafik yang jelas-jelas kemunafikannya. Sungguh sampai-sampai ada orang yang terpaksa harus dipapah oleh dua orang untuk ditempatkan dalam shaf shalat berjamaah.'' (HR Muslim). Hukum Sholat berjama’ah menurut beberapa ulama adalah Fardhu Ain, Fardhu Kifayah, Sunnah Muakkadah. Imam Syafii, dan Imam Hanafi menyatakan bahwa sholat berjama’ah hukumnya adalah Fardhu Kifayah, Imam Hambali menyatakan bahwa sholat berjama’ah hukumnya adalah Fardhu Ain, sedangkan Imam Maliki menyatakan bahwa sholat berjama’ah hukumnya adalah Sunnah Muakkadah. Berdasarkan pendapat dari beberapa ulama diatas dapat disimpulkan bahwa shalat berjama’ah merupakan suatu ibadah yang wajib atau sunnah yang sangat dianjurkan. Sayyid Quthb di dalam Fii Dzilaalil Qur'an menyebutkan, shalat merupakan jalan pertemuan seorang hamba yang dhaif dengan Allah Yang Mahabesar. Dengan shalat seorang hamba merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta. Hati menjadi tenang dan jiwa terbasuh kesejukan. Shalat ibarat sumber mata air sejuk yang tak pernah kering oleh terik perjalanan dunia. Karenanya, orang yang berakal sehat pasti amat bergembira mencelupkan dirinya ke dalam mata air shalat lima waktu secara berjama’ah. Dengan shalat berjamaah, di samping menambah tabungan keutamaan dua puluh tujuh derajat dibandingkan shalat sendirian. Juga menunjukkan bukti cinta hakiki atas panggilan zat yang tercinta Allah robbul 'izzati. Malaikat pencatat amal kebajikan pun menulis setiap satu langkah menuju masjid dapat mengangkat satu derajat kemuliaan. Mencatat langkah berikutnya sebagai penghapus satu kesalahan. Kalau seorang jamaah berjalan dari rumah menuju masjid atau mushala berjarak 10 meter dengan 20 langkah. Maka 10 meter pula kenaikan satu derajat kemuliaan dan 10 meter berikutnya menghapus kesalahan. Kalau itu dilakukan lima waktu dalam sehari semalam, berarti 50 derajat kemuliaan dan 50 penghapusan dosa. Allah pun dapat berkehendak melebihkan lebih dari itu semua bagi hamba-Nya yang ikhlas memenuhi undangan-Nya.
Pengantar Fiqih
99
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
>óx« ¨≅ä.uρ 4 öΝèδt≈rO#uuρ (#θãΒ£‰s% $tΒ Ü=çGò6tΡuρ 4†tAöθyϑø9$# Ì÷∏çΡ ßøtwΥ $¯ΡÎ) ∩⊇⊄∪ &Î7•Β 5Θ$tΒÎ) þ’Îû çµ≈uΖøŠ|Áômr& Artinya : ”Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (QS:Yaa Siin:12) “…dan kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang telah mereka tinggalkan…”. Maksud dari ayat ini ialah, Allah memerintahkan Malaikat Kiraaman Kaatibin agar menulis perbuatan-perbuatan manusia yang baik dan yang buruk. Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lafal aatsaarahum adalah jejak langkah mereka ke masjid. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. R.a. mengenai sebab ayat ini turun, yaitu, suatu kabilah dari kaum Anshar mengadu pada Nabi SAW mengenai tempat tinggal mereka yang jauh dari masjid, dan mereka ingin membangun rumah-rumah disekitar masjid, lalu Allah menurunkan ayat ini : “Wanaktubu maa qaddamuu waatsaarahum” Dari ayat ini dapat diketahui bahwa barang siapa yang mendatangi masjid dari suatu tempat yang jauh, maka pahalanya lebih besar dari pada orang yang datang dari tempat yang lebih dekat, sebagaimana telah diriwayatkan dari Nabi SAW, yang artinya: ”Bukankah telah kuberitahukan pada kalian tentang sesuatu yang Allah menghapus dosa-dosa dengan sesuatu itu, dan beberapa derajat diangkat dengan sesuatu itu, yakni menyempurnakan wudhu dalam keadaan tidak menyenangkan (sangat dingin); memperbanyak langkah menuju masjid; menunggu shalat setelah melakukan shalat.” (HR. Malik, MuslimTirmidzi, dan Nasa’i) Dan di hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Lebih besar pahala manusia didalam shalat adalah yang paling jauh perjalanannya ke masjid. Orang yang menanti shalat setelah melakukan shalat, sehingga ia shalat bersama imam adalah lebih besar pahalanya daripada orang yang shalat lalu tidur, kemudian shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Syekh Hasan Al-Banna menulis sepucuk wasiat kepada para penggerak muda Muslim yang berbunyi, ''Jika kalian mendengar seruan adzan, segeralah tunaikan shalat berjamaah bagaimanapun kesibukan kalian.'' ETIKA IMAM DALAM SHOLAT BERJAMA’AH Imam dalam sholat berjama’ah sebaiknya memiliki beberapa kriteria/syarat berikut 1. Paling baik bacaan Qur’annya 2. Paling mengetahui Sunnah 3. Paling dahulu hijrahnya 4. Paling tua umurnya, jika masih mampu membaca qur’an dengan fasih/tartil Pengantar Fiqih
100
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
5. Tidak menjadi imam pada suatu daerah/masjid yang sudah ada imamnya, kecuali dengan izin imam yang bertugas pada daerah/masjid tersebut. 6. Tidak menjadi imam di rumah orang lain, kecuali atas izin shohibul baitnya. Seorang imam dalam sholat berjama’ah sebaiknya mempercepat sholat. Hal ini sangat bergantung pada kebiasaan dan kondisi daerah tersebut. Sabaiknya memanjangkan bacaan pada rakaat pertama daripada rakaat kedua. Setelah mengucapkan salam sebaiknya imam menghadap kearah ma’mum sebelum berdzikir. CARA MENYUSUN BARISAN SHOLAT • Jika ma’mum sendirian, maka ia berdiri disebelah kanan imam. (Hadist Jabir bin Abdullah, HR. Muslim no. 3009) • Jika ma’mum berdua atau lebih, maka ia berdiri di belakang imam (Hadist Samrah bin Jundub, HR. Tirmidzi no. 233, Hadist Hasan Gharib) • Jika tempat sempit, maka imam boleh ditengah-tengah ma’mum, seperti yg dilakukan oleh Ibnu Mas’ud dengan Al aswad bin Yazid dan pamannya ‘Alqamah (Hadist marfu, HR. Ahmad 1/459 • Jika ma’mum perempuan, harus berdiri dibelakang shaf laki-laki (Hadist Anas ra, HR. Ahmad, 3/258; Muslim no 660 dan Abu Dawud no 608) • Jika Imam wanita mengimami wanita, maka ia berdiri didalam shaf bersama ma’mum (Atsar Aisyah ra dan Ummu Salamah, Mushannaf ‘Abd ar Razaq no 5086 & 5082, Mushannaf ibni Abi Syaibah 2/88, 89 dan berkata Ibnu Hazm sanadnya seperti emas) • Tidak syah bagi mamum berdiri sendirian dibelakang shaff tanpa uzur (HR. Ahmad, 4/ 23 dan Ibnu Majh, no. 1003)
Pengantar Fiqih
101
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
4. SHALAT-SHALAT SUNNAH Shalat adalah ibadah yang terdiri dari kata-kata dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Rasulullah bersabda :
ََْ ْا آَ َ َرَأُْ ُ ِْْ ُأ Artinya : "Shalatlah sebagaimana kalian melihat saya shalat" (Al Bukhari) Apabila seseorang hendak mengerjakan shalat, maka wajib berwudhu terlebih dahulu jika ia berhadats kecil, atau bertayammum jika ia tidak memperoleh air atau sedang dalam kondisi yang tidak diizinkan memakai air. Selain itu ia juga harus terlebih dahulu membersihkan badan, pakaian dan tempat shalat dari najis. Allah Rabbul ‘Alamin telah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari semalam. Tidak diragukan lagi, bahwa shalat yang lima waktu ini merupakan tiang agama Islam dan salah satu dari rukun-rukunnya. Di samping shalat fardhu, terdapat pula beberapa jenis shalat yang sifatnya tathawwu’ (sukarela), yang bermakna bukan merupakan kewajiban yang mutlak. Seluruh shalat yang disyariatkan di dalam Islam selain yang lima waktu dan sifatnya merupakan tambahan, maka ia disebut sebagai shalat tathawwu’. Diriwayatkan, bahwa suatu ketika ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, dan bertanya tentang Islam, maka dijawab oleh beliau, “Lima shalat dalam sehari semalam”. Berkata laki-laki tersebut, “Adakah kewajiban (shalat) yang lain atasku? Nabi menjawab, “Tidak ada, kecuali atas kemauanmu sendiri (tathawwu’).” (HR. Al-Bukhari) MACAM-MACAM SHALAT TATHAWWU’. 1. SHALAT SUNNAH RAWATIB Shalat sunnah rawatib adalah shalat yang dianjurkan atau dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW yang beriringan dengan shalat lima waktu, baik sebelum atau sesudahnya. Dalil yang mengisyaratkan hal itu adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, Rasulullah SAW bersabda, “Tiadalah seorang hamba melakukan shalat karena Allah setiap harinya dua belas raka’at atas kemauan sendiri dan bukan karena wajib, melainkan Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di Surga.” Rincian dari Sunnah Rawatib ini adalah sebagai berikut: Dua raka’at sebelum fajar (Subuh). Empat raka’at sebelum Zhuhur dan dua atau empat raka’at setelahnya. Empat raka’at sebelum Ashar. Dua Raka’at sebelum Maghrib dan dua rakaat setelahnya. Dua Raka’at sebelum Isya’ dan dua rakaat setelahnya. 2. SHALAT MALAM (QIYAMULLAIL) SERTA SHALAT WITIR Nabi SAW bersabda, “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan-bulan Allah yang haram, dan shalat paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim) Pengantar Fiqih
102
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
Dalam hadits lain dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu beliau juga bersabda, “Jadikanlah akhir shalatmu di waktu malam adalah ganjil (witir).” (Muttafaq ‘alaih) Diriwayatkan dari Aisyah Radhiallaahu anha ia berkata, “Rasulullah biasa melakukan shalat antara selesai Isya’ hingga fajar sebanyak sebelas rakaat, beliau bersalam setiap dua raka’at dan berwitir satu kali.” (HR. Muslim) Temasuk dalam kategori shalat malam adalah shalat tarawih di bulan Ramadhan yang dianjurkan agar dilakukan secara berjama’ah karena keutamaannya sangat besar. 3. SHALAT DHUHA/ISYRAQ Jumlah raka’at yang dianjurkan dalam shalat Dhuha adalah dua, empat, enam, delapan atau dua belas raka’at, kesemuanya memiliki dasar dari hadits Nabi Muhammad SAW. Dari Abu Darda’ Radhiallaahu’anhu ia berkata, bersabda Rasulullah SAW, ”Berpagi-pagi setiap persendian salah seorang dari kalian harus bersedekah, setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar ma’ruf sedekah dan nahi mungkar sedekah. Sepadan dengan itu semua dua raka’at yang dilakukan pada waktu dhuha.” (HR. Muslim) 4. SHALAT SUNNAH WUDHU ‘Imran bekas budak Utsman Radhiallaahu anhu menceritakan, bahwa ia pernah melihat Utsman bin Afan minta air lalu berwudhu dengannya. Selesai wudhu ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, “Barang siapa berwudhu (seperti wudhu-ku ini) lalu shalat dua raka’at dan tidak berbicara terhadap diri sendiri, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”(HR. AlBukhari-Muslim) 5. SHALAT TAHIYATUL MASJID Setiap muslim dianjurkan untuk melakukan shalat dua raka’at ketika masuk masjid dan ingin duduk di dalamnya. Diriwayatkan dari Abu Qatadah as-Sulami Radhiallaahu anhu ia berkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka hendaklah rukuk dua kali rukuk (shalat dua rakaat) sebelum duduk.”(HR. al-Bukhari-Muslim) Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sehingga shalat dua raka’at.” Shalat antara Adzan dan Iqamah. Dari Abdullah bin Mughaffal berkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Di antara dua adzan ada shalat, di antara dua adzan ada shalat, pada kali ke tiga beliau mengatakan, bagi siapa yang menghendaki.” (HR . Syaikhani) 6. SHALAT TAUBAT Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallaahu anhu ia berkata, ”Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Tidaklah seseorang melakukan dosa kemudian ia bersuci (berwudhu) dan shalat lalu minta ampun kepada Allah, melainkan Allah akan mengampuni dosanya itu, beliau lalu membacakan firman Allah pada surat Ali Imran ayat 135. (HR.at-Tirmidzi, Abi Dawud dan dihasankan oleh al-Albani) Pengantar Fiqih
103
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
7. SHALAT SEBELUM JUM’AT Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam beliau bersabda, “Barangsiapa mandi kemudian mendatangi Jum’at, lalu shalat semampu yang ia lakukan, kemudian diam hingga imam selesai dari khutbahnya dan shalat bersamanya, maka diampuni dosa antara Jum’at sebelumnya ditambah lagi tiga hari.” (HR. Muslim) 8. SHALAT BA’DIYAH JUM’AT Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu ia berkata, Rasululllah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, ”Apabila salah seorang di antara kalian telah selesai Shalat Jum’at, maka hendaklah shalat empat rakaat sesudahnya” (HR Muslim) 9. SHALAT DATANG DARI SAFAR Dari Ka’ab bin Malik ia berkata, ”Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam apabila datang dari safar yang pertama dituju adalah masjid, lalu shalat di sana dua rakaat, kemudian duduk bersama orang- orang.” 10. SHALAT ISTIKHARAH Dari Jabir bin Abdullah ia berkata, Rasulullah SAW mengajarkan kepada kami istikharah (minta pilihan) dalam beberapa masalah, sebagaimana mengajarkan satu surat dari al-Qur’an. Beliau bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian ragu-ragu akan suatu urusan, maka shalatlah dua raka’at, bukan wajib lalu mengucapkan, “Allahumma inni astkhiruka…dst. (HR. Al-Bukhari) 11. SHALAT GERHANA Shalat Gerhana hukumnya sunnah muakkadah berdasarkan hadits Aisyah Radhiallaahu anha, dan disebutkan, bahwa shalat yang dilakukan adalah panjang, baik dalam berdiri, rukuk maupun sujud. Nabi dan para shahabat melakukan shalat ini sebanyak dua rakaat, dilakukan di masjid tanpa adzan dan iqamah. 12. SHALAT IDAIN Disebutkan, bahwa Nabi SAW tidak pernah meninggalkannya, dan beliau menyuruh orang-orang untuk ke luar menuju mushalla (tanah lapang). Diriwayatkan dari Ummu Athiyah ia berkata, “Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam memerintahkan kami agar ke luar pada dua hari raya, juga kepada para gadis dan anak-anak yang mendekati usia baligh. Beliau memerintahkan agar wanita yang sedang haid menjauhi tempat shalat-nya kaum muslimin.” (HR. Syaikhani) 13. SHALAT ISTISQA’ Shalat Istisqa’ adalah shalat minta hujan, dan disyariatkan ketika lama tidak turun hujan sehingga mengalami kekeringan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah SAW Salam ke luar dengan berpakaian sederhana, penuh tawadhu’ dan kerendahan. Sehingga tatkala sampai di mushalla, beliau naik ke atas mimbar, namun tidak berkhutbah sebagaimana khutbah kalian ini. Beliau terus menerus berdo’a, merendah kepada Allah, bertakbir kemudian shalat dua raka’at seperti shalat ketika Ied. (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dan di hasankan oleh alAlbani) Pengantar Fiqih
104
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
14. SHALAT JENAZAH Menyalatkan jenazah seorang muslim hukumnya fardhu kifayah, apabila sebagian sudah ada yang melaksanakan, maka yang lain gugur kewajibannya. Shalat jenazah memiliki keutamaan yang amat besar sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam. BEBERAPA MASALAH BERKAITAN DENGAN SHALAT SUNNAH Shalat Sunnah Lebih Utama Dilakukan di Rumah. Terkecuali dalam shalat-shalat yang secara khusus telah dijelaskan dengan dalil yang lebih rinci. Hal ini berdasarkan keumuman hadits dari Zaid bin Tsabit, Rasulullah SAW bersabda, “Shalatlah kalian wahai manusia di dalam rumah kalian, karena sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang di dalam rumahnya, kecuali shalat maktubah.” (HR. Syaikhoni) Rutin Menunaikan Shalat Tathawwu’ lebih Utama Meskipun Sedikit. Diriwayatkan dari Aisyah Radhiallaahu anha, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia hendaknya kalian beramal sesuai dengan kemampuan, karena sesungguhnya Allah itu tidak akan bosan, sehingga kalian sendiri yang bosan. Dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang dikerjakan terus menerus meskipun sedikit.” (Muttafaq ‘alaih). Duduk dalam Shalat Sunnah Dari Imran bin Hushain ia bertanya kepada Rasulullah SAW tentang seseorang yang shalat dalam keadaan duduk, maka beliau menjawab, “Jika ia shalat dengan berdiri, maka itu lebih utama, barang siapa yang shalat dengan duduk, maka ia mendapat separuh pahala orang yang berdiri dan barang siapa yang shalat dengan berbaring, maka ia mendapat pahala separuh orang yang duduk.”(HR. Al-Bukhari) Berkata at-Tirmidzi, “Menurut sebagian ulama yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah shalat sunnah.” Shalat Sunnah di atas Kendaraan Dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu ia berkata, “Rasulullah SAW melakukan shalat di atas kendaraan ke manapun beliau menghadap, beliau juga berwitir di atasnya. Hanya saja ia tidak melakukan hal itu dalam shalat wajib (maktubah).” Shalat Sunnah ketika Safar Tidak ada petunjuk dari Rasulullah SAW tentang shalat sunnah sebelum & sesudah shalat wajib ketika dalam kondisi safar kecuali qabliyah Subuh. Yang biasa beliau lakukan adalah shalat sunnah muthlaq. Dari Amir bin Rubaiah ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW di atas onta melakukan shalat dengan isyarat kepalanya. Beliau menghadap ke arah mana saja (tidak harus mengarah kiblat, red). Tidak pernah Rasulullah SAW melakukan yang demikian di dalam shalat wajib.” (Muttafaq ‘alaih) Shalat yang Utama adalah yang Panjang Bacaannya. Dari Jabirzia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Shalat yang paling utama adalah yang panjang berdirinya (baca-annya, red).” (HR. Muslim) Pengantar Fiqih
105
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
5. SHALAT DAN SHAUM DALAM BEPERGIAN Hukum-hukum yang berkaitan dengan safar (perjalanan) ialah mengqoshor shalat, menjama' shalat, menyapu sepatu saat wadhu' selama tiga hari, berbuka di bulan Ramadhan, boleh tidak shalat jam'at dan sunnat 'ied, shalat di atas kendaraan dan tayammum. Dalam kesempatan ini - insya Allah - akan dikemukakan lebih lanjut tentang ketentuan shalat dan shaum dalam safar, yang sekaligus menegaskan bahwa bahkan dalam keadaan safar (bepergian)pun Islam memberikan panduan agar umat selalu selamat dan sejahtera. Tulisan semacam ini cukup penting bagi kaum muslimin dan muslimat (perantauan) yang akan merayakan hari raya ‘Idul Fitri di kampung halaman mereka masing-masing. Semoga tulisan ini dapat menjadi panduan bagi pembaca sekalian. SHALAT DALAM SAFAR Berkenaan dengan shalat, illah (sebab) adanya perjalanan membolehkan hal-hal berikut : Mengqoshor (memendekkan) shalat: a Pada dasarnya qoshor merupakan keringanan (rukhshoh) bagi orang yang bepergian (musafir), jika bukan untuk tujuan maksiat. Manyoritas ulama' berkesimupulan bahwa qoshor adalah afdhol. Sebagaimana sunnah dan kebiasaan Rasulullah SAW kemudian para shahabat beliau. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar Rasulullah SAW katanya: " Aku sering menyertai Rasulullah SAW dan beliau menunaikan shalat yang asalnya empat rekaat menjadi dua rekaat, demikian pula Abu Bakar, Umar dan Ustman Rasulullah SAW. b. Jarak perjalanan yang membolehkan qoshor adalah yang menurut ukuran urf di zamannya dan dikatagorikan safar atau bepergiaan/ melakukan perjalanan. c. Persyaratan teknis melaksanakan qoshor, dikemukakan fuqoha' sebagai berikut : 1) Bukan safar untuk maksiat, menurut mayoritas ulama'. 2) Mempunyai tujuan tempat tertentu dalam jarak qoshor 3) Telah keluar rumah dan wilayah dimana ia tinggal 4) Tidak berniat untuk tinggal menetap di tempat ia mengqoshor 5) Niat qoshor saat takbirotul ikhrom . 1. Menjama' (mengumpulkan) shalat Menjama' shalat dhuhur dengan ashar atau maghrib dengan isya' dibolehkan dalam safar, baik dengan jama' taqdim (didahulukan) maupun jama' ta'khir (diakhirkan). Asal sudah berniat untuk safar boleh menjama' taqdim menjelang keberangkatan tanpa keluar rumah terlebih dahulu. Sedang untuk jama' ta'khir diharuskan berniat sejak tibanya waktu shalat pertama. Sesudah adzan untuk tiap shalat dilakukan iqomah (qomat) masing-masing. Dan antara kedua shalat yang dijama' tidak diselingi dengan shalat sunnat. Pengantar Fiqih
106
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
2. Menjama' dan mengqoshor shalat Selain kedua hal diatas dan disebabkan oleh alasan-alasan yang sama, syari'at Islam juga membolehkan adanya jama' dan qoshor sekaligus, baik secara taqdim maupun ta'khir, yaitu dengan menjama' qoshor antara shalat dhuhur dengan ashar, masing-masing dua reka'at dan menjama' qoshor antara shalat maghrib (tetap 3 reka'at) dengan isya' dua rakaat. 3. Shalat di atas kendaraan Jika tiba waktu shalat sedang di atas kendaraan dan tidak memungkinkan untuk berhenti dulu, maka boleh menunaikan shalat di atas kendaraan dengan tetap menghadap qiblat, minimal saat takbirotul ikhrom jika untuk sampai selesai shalat tidak memungkinkan. Dan jika sejak awal sudah tidak memungkinkan menghadap qiblat, boleh menunaikannya sesuai dengan arah kendaraan. Dan boleh sambil duduk jika tidak memungkinkan melaksanakannya sambil berdiri. Diriwayatkan dari Maemun bin Mahron dari Ibnu Umar RA.katanya: " Aku bertanya kepada Rasulullah SAW bagaimana caranya shalat di atas kapal laut ? jawab beliau : "Shalatlah berdiri kecuali jika dikhawatirkan akan tenggelam (karena oleng)”. Riwayat ad Daraquthni menurut syarat Bukhori dan Muslim. Asy Syaukani berkomentar: Diqiyaskan atas khawatir tenggelam, adanya udzur atau kesulitan lainnya termasuk kesulitan menghadap ke arah qiblat. SHAUM DALAM SAFAR 1. Safar (bepergian) termasuk kondisi yang membolehkan ifthor atau berbuka, artinya boleh tidak menunaikan shaum meski hukumnya wajib, seperti shaum Ramadhan, shaum nadzar, dan kafarot. Sekalipun tetap ada ketentuan untuk mengganti (mengqodho') di waktu lain. Dalil syar'i yang mengaturnya; Al-Qur'an suarat Allah SWT Baqoroh : 185: "... Maka barangsiapa yang sakit atau dalam safar, (jika berbuka) maka hendaklah menggantinya pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan... ". 2. Ukuran safar yang populer dikalangan ulama' adalah pada jarak perjalanan yang boleh mengqoshor shalat. Dan jika memperhatikan isyarat ayat, bahwa "Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan", dapat difahami bahwa keringan (rukhshoh) dibolehkannya berbuka saat safar agar tidak terjadi kondisi yang menyulitkan (al-usr) atau memberatkan (al-masyaqqoh). Sebagaimana yang difahami oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah. 3. Dengan mempertimbangkan (mura'at) terjadi tidaknya masyaqqoh, maka shaum dalam safar dapat dibedakan sebagai berikut: a. Shaum lebih utama (afdhol) dari pada berbuka: Bagi orang yang kuat menjalaninya tanpa suatu masyaqqoh. Demikian pendapat jumhurul ulama' sesuai dengan ayat : " .... Dan bahwa kamu sekalian melaksanakan shaum adalah lebih baik jika kamu sekalian mengetahui nilai keutamaannya" (QS:2:184) Pengantar Fiqih
107
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
Shaum lebih baik walaupun terasa sedikit berat, jika untuk mengqodho'nya akan terasa berat. Demikian difatwakan oleh Umar bin Abdul Aziz. Shaum lebih utama bagi yang sudah biasa dan rutin bepergian relatif jauh tanpa merasakan adanya rasa berat (masyaqqoh). Dalam soal masyaqqoh, kecuali fisik yang harus dipertimbangkan, tapi kondisi ruhiyah atau kejiwaan lebih menentukan. Adalah para shahabat Rasulullah SAW biasa tetap menjalani shaum walaupun dalam keadaan perang, tanpa merasakan adanya masyaqqoh yang berarti. b. Berbuka lebih baik: Bagi orang yang kuat shaum tapi dikhawatirkan terganggu dengan rasa ujub (bangga) atau riya'. Sebagaimana difatwakan oleh Ibnu Umar RA. Imam Bukhori meriwayatkan hadits dari shahabat Anas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada mereka yang berbuka ketika melayani mereka yang shaum: "Orang-orang yang berbuka hari ini meraih pahala". Demikian pula berbuka lebih baik bagi orang yang belum pernah mengambil rukhshoh (keringanan ini). Sebagaimana kesimpulan AsySyaukani tentang hadits riwayat Muslim dan an Nasa'i bahwa shahabat Hamzah bin Amr as Aslami berkata kepada Rasulullah SAW : “Ya Rasulullah saya kuat menjalankan shaum dalam safar bolehkah saya lakukan ? jawab beliau : "Ini merupakan rukhshoh dari Allah, siapa yang mengambilnya adalah baik dan siapa yang ingin shaum tidak apa-apa". Berbuka adalah afdhol bahkan shaum menjadi makruh, bagi yang memaksakan shaum diperjalanan yang terdapat masyaqqoh. Dalam kontek ini Rasulullah SAW bersabda tentang musafir yang tetap shaum dalam kepayahan sehingga dikerumuni dan diteduhi orang banyak: "Tidak merupakan kebaikan (al birr) as-shaum dalam safar ". Demikian Imam Bukhori menyimpulkan. Berbuka dalam safar lebih baik jika akan lebih kuat untuk mengadapi musuh dalam jihad. Bahkan berbuka menjadi wajib hukumnya apabila panglima jihad memerintahkan untuk berbuka demi kepentingan jihad Dalam kajian fiqhiyah, ulama' menyimpulkan sejumlah persyaratan untuk mengambil rukhshoh ifthor (berbuka) dalam safar. Yaitu : a. Merupakan perjalanan yang halal atau mubah, bukan safar untuk tujuan maksiat b. Perjalanan relatif jauh menurut ukuran zamannya c. Tidak memulai perjalanan dalam keadaan shaum agar tidak sampai membatalkan amal ibadah yang sudah dimulai. Bukan merupakan perjalanan yang biasa dan rutin (seperti perjalanan supir) kecuali jika terjadi masyaqqoh. Para ulama' cenderung bahwa untuk pengamalan sendiri memilih yang afdhol dan yang ahwath (lebih berhati-hati) dari pilihan yang ada. Pengantar Fiqih
108
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
6. TATA CARA SHALAT 'IEDUL FITHRI Diriwayatkan dari Ummu 'Atiyah ra. ia berkata : ”Rasulullah SAW memerintahkan kami keluar pada 'iedul fitri dan 'iedul adha semua gadis-gadis, wanita-wanita yang haidh, wanita-wanita yang tinggal dalam kamarnya. Adapun wanita yang sedang haidh mengasingkan diri dari mushalla tempat shalat 'ied, mereka meyaksikan kebaikan dan mendengarkan da'wah kaum muslimin (mendengarkan khutbah). Saya berkata : ‘Yaa Rasulullah bagaimana dengan kami yang tidak mempunyai jilbab ? Beliau bersabda : “Supaya saudaranya meminjamkan kepadanya dari jilbabnya”’. ( H.R : Jama'ah). Berdasarkan hadits diatas, maka dapat di simpulkan bahwa Shalat 'ied disunnahkan untuk dihadiri oleh orang dewasa baik laki-laki maupun wanita, baik wanita yang suci dari haidh maupun wanita yang sedang haidh dan juga kanakkanak baik laki-laki maupun wanita. Wanita yang sedang haidh tidak ikut shalat, tetapi hadir untuk mendengarkan khutbah 'ied. Pada saat mendirikan shalat ‘Iedul Fithri disunnahkan memakai pakaian yang paling bagus yang dimilikinya. Yang dimaksud paling tidak harus pakaian yang baru di beli dari toko. Sebelum berangkat shalat hari raya fitri disunnahkan makan terlebih dahulu, jika terdapat beberapa butir kurma, jika tidak ada maka makanan apa saja. Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. ia berkata : “Adalah Nabi saw tidak berangkat menuju mushalla kecuali beliau memakan beberapa biji kurma, dan beliau memakannya dalam jumlah bilangan ganjil”. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim ), di hadits yang lain Diriwayatkan dari Buraidah ra. ia berkata : “Adalah Nabi saw keluar untuk shalat 'iedul fitri sehingga makan terlebih dahulu dan tidak makan pada shalat 'iedul adha sehingga beliau kembali dari shalat 'ied”. (H.R :Ibnu Majah, At-Tirmidzi dan Ahmad) JALAN YANG DILALUI Disunnahkan membedakan jalan yang dilalui waktu berangkat shalat hari raya dengan jalan yang dilalui di waktu pulang dari shalat 'ied (yakni waktu berangkat melalui satu jalan, sedang waktu pulang melalui jalan yang lain). Diriwayatkan dari Jaabir ra. ia berkata : “Adalah Nabi saw apabila keluar untuk shalat 'ied ke mushalla, beliau menyelisihkan jalan (yakni waktu berangkat melalui satu jalan dan waktu kembali melalui jalan yang lain”. (H.R : Bukhary) TATA CARA SHALAT 'IED a. Shalat 'ied di lakukan sebanya dua raka'at, tanpa adzan dan iqamah, dan tanpa shalat sunnah sebelumnya dan sesudahnya. Diriwayatkan dari Abu Said, ia berkata Di riwayatkan, telah berkata Jaabir ra: “Saya menyaksikan shalat 'ied bersama Nabi SAW. beliau memulai shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan tanpa iqamah, setelah selesai beliau berdiri bertekan atas Bilal, lalu memerintahkan manusia supaya bertaqwa kepada Allah, mendorong mereka untuk taat, menasihati manusia dan memperingatkan mereka, setelah selesai beliau turun mendatangai shaf wanita dan selanjutnya beliau memperingatkan mereka”. (H.R:Muslim) Pengantar Fiqih
109
Panduan Yaa Siin, Tahlil, Pelaksanaan Janaiz, & Marhaban
Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom
b. Pada raka'at pertama setelah takbiratul ihram sebelum membaca Al-Fatihah, ditambah 7 kali takbir. Sedang pada raka'at yang kedua sebelum membaca AlFatihah dengan takbir lima kali. c. Setelah membaca Fatihah pada raka'at pertama di sunnahkan membaca surat (sabihisma Rabbikal a'la / surat ke 87 ) atau surat iqtarabatissa'ah / surat ke 54 ). Dan setelah membaca alFatihah pada raka'at yang kedua disunnahkan membaca surat ( Hal Ataka Haditsul Ghaasyiyah / surat ke 88 ) atau membaca surat ( Qaaf walqur'anul majid / surat ke 50 ). d. Setelah selesai shalat, imam berdiri menghadap makmum dan berkhutbah memberi nasihat-nasihat dan wasiat-wasiat, atau perintah-perintah penting. e. Khutbah hari raya ini tidak diselingi dengan duduk. WAKTU SHALAT Shalat 'ied diadakan setelah matahari naik, tetapi sebelum masuk waktu shalat dhuha. Bila hari raya jatuh pada hari jum'ah, maka shalat jum'ah menjadi sunnah, boleh diadakan dan boleh tidak, tetapi untuk pemuka umat atau imam masjid jami' sebaiknya tetap mengadakan shalat jum'at. Diriwayatkan dari Zaid bin Arqom ra ia berkata : “Nabi saw. Mendirikan shalat 'ied, kemudian beliau memberikan ruhkshah/kemudahan dalam menunaikan shalat jum'at, kemudian beliau bersabda : Barang siapa yang mau shalat jum'ah, maka kerjakanlah”. (H.R : Imam yang lima kecuali At-Tirmidzi)
Pengantar Fiqih
110