PENERAPAN ANCAMAN SANKSI YANG MAKSIMAL TERHADAP PELAKU KEKERASAN ANAK APPLYING THREAT SANCTION WHICH MAXIMAL TO PERPETRATOR HARDNESS CHILD
Zulmar Adhy Surya,Said Karim,Syukri Akub Bagian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat Korespondensi : Zulmar Adhy Surya,SH. Jln.Paccinang II No.27/33 Komp.Kejaksaan Tello Baru Makassar HP:085345366333 e-mail :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami penerapan ancaman sanksi maksimal terhadap pelaku kekerasan pada anak dan juga untuk menganalisis hakikat penerapan sanksi menurut undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak.Penelitian dilaksanakan di kota Makassar, dengan metode kajian secara normative yang menitik beratkan pada penelitian pustaka yang mana mengkaji teori-teori serta peraturan perundangundangan yang ada kaitannya dengan penerapan sanksi terhadap pelaku kekerasan pada anak, dan juga melakukan wawancara terhadap beberapa jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar.Hasil Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar aparat penegak hukum di Kejaksaan Negeri Makassar menggunakan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak, untuk kasus kekerasan pada anak dan jarang menggunakan KUHP tanpa memperhatikan berat ringannya ancaman sanksi di kedua peraturan perundang-undangan tersebut, yang seharusnya dipakai aturan yang ancaman sanksinya lebih berat,utamanya untuk kasus kekerasan pada anak yang dilakukan secara sadis.
Kata kunci : anak, sanksi maksimal pelaku,
Abstract This
research aims
to
determine and understand
the
application
of the
maximum
sanction against perpetrators of violence against children and also to analyze the nature of the application of sanctions under the law No. 23 of 2002 of Makassar, a method in normative studies that
on the protection of children. Research conducted in the city focused
on
the research literature which examines the
theories and laws that are related to the imposition of sanctions against perpetrators of violence against children, and also interviewed several employees in the District Courts Makassar. Research shows that most law enforcement
agencies in Makassar District Attorney
to use the
Act No.
23 of
2002 on the protection of
children, to cases of child abuseand rarely use the Criminal Code without regard to the seriousness of the threat ofsanctions in the legislation, which should used rule that sanctions are more severethreat, particularly for cases of child abuse committed by sadistic.
Keyword : Child, sanctionmaximal perpetrator
PENDAHULUAN Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Hal ini dapat disimak dalam pendapat Sudarto (1986) yang “menyatakan bahwa pemberian pidana in abstracto adalah menetapkan stelsel sanksi hukum pidana yang menyangkut pembentuk undang-undang”. Sedangkan pemberian pidana in concerto menyangkut berbagai badan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.Menurut Barda Nawawi Arief (1996) strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru harus memperhatikan lebih dekat dengan masalahmasalah dibidang hukum perekonomian dan perdagangan, maka lebih diutamakan penggunaan sanksi tindakan dan / atau pidana denda.Dari pendapat Sudarto (1986) ditegaskan bahwa masalah penetapan sanksi dalam hukum pidana merupakan suatu rangkaian kebijakan yang berada dalam satu sistem. Sebagai suatu sistem, tidaklah dapat dikatakan bahwa masing-masing tahap pemberian pidana dapat berdiri sendiri, akan tetapi saling berkait bahkan tidak dapat dipisahkan sama sekali. Adanya tujuan pemidanaan yang harus dijadikan patokan dalam rangka menunjang bekerjanya sistem peradilan pidana ini, menurut istilah Muladi (1995) untuk menciptakan sinkronisasi yang bersifat fisik, yaitu sinkronisasi structural (structural Synchronization), sinkronisasi subtansial (subtansial Synchronization) dan dapat pula bersifat sinkronisasi kultural (cultural synchronization).Konvensi atau kovenan adalah pakta (treat, traktat) atau perjanjian di antara beberapa Negara. Karena pakta bersifat mengikat (di antara beberapa Negara) secara yuridis, pakta dirujuk juga sebagai hukum internasional. Konvensi hak anak disahkan pada 20 November 1989 oleh Majelis Umum PBB. Pada 2 September 1989 sesuai ketentuan Pasal 49 (ayat 1), KHA diberlakukan sebagai hukum internasional. Surat Keputusan Presiden No.36/1990 tanggal 25 Agustus 1990 meratifikasi KHA sehingga efektif berlaku sebagai instrument hukum perlindungan anak di Indonesia. Kekerasan terhadap anak dalam arti kekerasan dan penelantaran adalah : “semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, pelecehan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain yang mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggungjawab, kepercayaan, atau kekuasaan. Sementara pengertian menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 13 yang
dimaksud kekerasan terhadap anak adalah “Diskriminasi, eksploitasi baik fisik maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.Dari berbagai penjelasan di atas, dapat ditarik benang merahnya antara penetapan sanksi dalam suatu perundang-undangan pidana dan perumusan tujuan pemidanaan, maka tampak jelas adanya keterkaitan yang sangat erat dengan landasan filsafat pemidanaan, teori-teori pemidanaan dan aliran-aliran hukum pidana yang dianut mendominasi pemikiran dalam kebijakan criminal (criminal policy) dan kebijakan penal (penal policy). Pernyataan ini juga terlibat dalam pendapat Romli Atmasasmita (1996) yang menegaskan bahwa perumusan empat tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP Nasional tersimpul pandangan social defence, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana, pandangan hukum adat dan tujuan yang bersifat spiritual berlandasan Pancasila. Menurutnya, keempat tujuan pemidanaan tersebut di pertegas kembali dengan mencantumkan pada Pasal 50 ayat 2 yang menyebutkan : “Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia”. Oleh karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Pada akhirnya proses ini harus bertujuan pada terciptanya keadilan yang baik. Dalam hal ini Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan juga diharapkan peran sertanya dalam hal penuntutan yang sesuai terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pada anak, dan di harapkan tuntutannya dapat maksimal atau tidak boleh rendah
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan penelitian Penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang menitik beratkan pada penelitian pustaka di mana mengkaji teori-teori serta peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan penerapan sanksi terhadap pelaku kekerasan pada anak, dan dilengkapi dengan wawancara dengan beberapa Jaksa di kejaksaan Negeri Makassar. Populasi dan sampel Populasi adalah para jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar. Sampel sebanyak 4 jaksa Metode Pengumpulan data Dalam penelitian normatifini teknik pengumpulan data berupa bahan hukum supaya dapat mempermudah untuk pengelompokkan bahan-bahan hukum yang primer dan bahan-bahan hukum sekunder agar dalam penulisan atau menganalisis data-data tersebut mudah
mengklasifikasinya sehingga jelas dalam uraian dan mudah untuk menarik suatu kesimpulan dan dilengkapi dengan wawancara
HASIL Hakikat dan Penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Dalam Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 memang sudah membatasi mengenai ancaman hukuman minimum yang tidak terdapat pada pasal-pasal tentang kekerasan di KUHP, walaupun antara kedua peraturan tersebut terdapat ancaman sanksi yang ringan dan berat, tetapi hanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang lebih kompleks ancaman sanksinya. Perlindungan korban anak dari kejahatan (kekerasan) dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung). Sistem peradilan pidana, baik hukum pidana positif maupun penerapannya pada dasarnya lebih kepada memberikan perlindungan yang abstrak (tindak langsung). Adanya perumusan (penetapan) perbuatan kekerasan terhadap anak sebagai tindak pidana (dengan sanksi pidana) dalam peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan pemberian perlindungan “in abstracto”, secara tidak langsung, terhadap anak korban kekerasan. Penetapan perbuatan kekerasan pada anak sebagai tindak pidana melalui perundang-undangan pada dasarnya sudah cukup memadahi. Penetapan ini sebenarnya sudah merupakan bentuk pemberian perlindungan secara tidak langsung (abstrak)terhadap anak korban kekerasan. Perlindungan ini tentunya masih memerlukan bentuk perlindungan lain yang lebih bisa dirasakan secara langsung oleh anak korban kekerasan. Di samping itu, penetapan perbuatan kekerasan sebagai tindak pidana juga terkandung upaya pencegahan dengan hukum pidana. Pengkajian terhadap penerapan ancaman sanksi yang maksimal terhadap pelaku kekerasan anak harus diorientasikan pada nilai-nilai sosial filosofis dan sosial kultural.Kebijakan penerapan sanksi bukanlah sekedar masalah teknis perundang-undangan semata, melainkan adalah bagian tak terpisahkan dari substansi atau materi perundang-undangan itu sendiri. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa para pemegang kebijakan jangan hanya memahami dan mempersoalkan substansi atau materi perundang-undangan semata, akan tetapi relevansi kriminalisasi dan penerapan saksinya tidak kalah pentingnya untuk dikaji dan dicermati sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Jika dihubungan dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, kebijakan kriminalisasi tidak dapat mengenyampingkan dekriminalisasi yang mempunyai arti proses penetapan suatu perbuatan tercela yang semula diancam pidana terhadap pelakunya, kemudian tidak lagi dipandang sebagai tidak pidana. Kebijakan dekriminalisasi mengandung makna reevaluasi terhadap perbuatan-perbuatan yang sudah dikriminalisasikan dengan mempertimbangkan rasionalita dan relevansinya dalam perubahan social dan perkembangan cabang hukum yang lain. Begitu pula dengan kebijakan penalisasi yang yang mempunyai arti suatu perbuatan tercela di bidang hukum perdata atau hukum administrasi, kemudian dipandang perlu untuk memberikan ancaman sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan anak.
PEMBAHASAN Penerapan sanksi adalah salah satu tujuan pemindanaan yang secara kongkrit dituangkan kedalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan dengan masalah penerapan sanksi, maka yang dituntut adalah asas keseimbangan artinya bahwa harus mengakomodasi semua kepentingan baik kepentingan masyarakat pelaku dan juga korban. Dengan demikian tidak boleh hanya membedakan pada suatu kepentingan saja, tetapi ketiga kepentingan yaitu masyarakat, pelaku dan korban harus diperhatikan. Jika menekankan kepentingan masyarakat, maka memberi sebuah bayangan ancaman sanksi yang menempatkan pelaku hanya sebagai objek belaka. Kemudian pada sisi lain jika hanya memperhatikan kepentingan pelakunya, akan memperoleh sebuah gambaran penerapan sanksi yang sangat individualistis yang hanya memperhatikan hak pelaku dan mengabaikan kewajibannya. Kemudian apabila terlalu menekankan pada kepentingan korban saja, akan memunculkan sosok ancaman sanksi yang hanya menjangkau kepentingan yang sangat terbatas, tanpa mengakomodasi kepentingan pelaku dan masyarakat secara umum.Dengan demikian ancaman sanksi itu harus diarahkan sedemikian rupa agar si terhukum tidak hanya dilihat sebagai obyek, tetapi harus ditempatkan sebagai subjek hukum yang utuh yang mengemban hak dan kewajiban sebagai individu, sebagai orang yang bersalah, dan sebagai warga Negara, bangsa dan masyarakat sekaligus, tanpa melupakan sisi keadilan bagi si korban Permasalahan disni adalah bahwa terhadap pelaku kekerasan pada anak, lebih lebih dengan cara yang sadis dan apalagi mengakibatkan kematian pada anak harus dihukum berat. Ada 2 (dua) peraturan yang dapat dipakai yaitu KUHP dan UU No.23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak, Sebelum ada Undang- undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak maka aturan yang diterapkan adalah aturan umum (KUHP). Tetapi karena ada asas yang mengatur yaitu “lex specialis derogate lex generalis” yang artinya aturan khusus mengenyampingkan aturan umum, maka yang dipakai adalah aturan khusus, UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak adalah aturan yang bersifat khusus, sedang KUHP adalah aturan yang bersifat umum.Ternyata di sahkannya UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak sebagai “lex specialis” untuk menutup celah yang ada pada KUHP, yang mana di pasal penganiayaan tersebut tidak ada ancaman minimum, jadi hakim bisa saja memutus rendah karena tidak ada batas minimumnya, berbeda dengan UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, selain itu aturan didalam UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak lebih kompleks karena disamping memuat tentang ancaman pidana badan juga memuat tentang denda bagi pelaku Tujuan pemidanaan yang dapat dijadikan penuntut umum sebagai patokan dalam menetapkan suatu sanksi itu, tidak bisa tidak, harus dilandasi ide-ide dasar yang bersumber dari filsafat pemidanaan. Dengan memahami filsafat pemidanaan sebagai soko guru dari teori-teori pemidanaan dan aliran-aliran hukum pidana, maka dengan mudah dapat diketemukan ide-ide dasar suatu sanksi dalam hukum pidana sehingga tujuan pemidanaannya dengan jelas dapat ditetapkan.
KESIMPULAN DAN SARAN Antara Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan KUHP, ancaman sanksi terhadap pelaku kekerasan ada yang lebih berat dan ada yang lebih ringan, tetapi pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 disamping ancaman pisik juga ada ancaman denda dan ancaman sanksi minimum, sedangkan ancaman sanksi dalam KUHP hanya ancaman pisik dan tidak ada ancaman minimum, sehingga menimbulkajn celah jaksa dan pada akhirnya hakim bisa saja dapat seenaknya untuk menentukan ancaman sanksi dan vonis yang rendah jika di pakai pasal pada KUHP, maka dari itu dalam menerapkan aturan dalam dakwaan dan tuntutan jaksa harus memakai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi.(1986). Penetapan Pidana Penjara Dalam Perundang-undangan Dalam Rangka Usaha Penanggulangan Kejahatan (Disertasi). Bandung : Unpad. Muladi.(1995). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Atmasasmita, Romli.(1996). Perbandingan Hukum Pidana. Mandar Maju, Bandung. Sudarto. (1986). Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung. Surat Keputusan Presiden No.36/1990 tanggal 25 Agustus 1990 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.