5
ml (Lampiran 1). Larutan filtrat tersebut diukur absorbansnya dengan spektrofotometer Uv-Vis pada panjang gelombang 636 nm. Konsentrasi larutan standar amonium yang digunakan adalah 0, 0.5, 1, 2, 3, 4, dan 5 ppm (Lampiran 1). Penentuan Kandungan Nitrat Tanah Sebanyak 10 g contoh tanah dimasukan ke dalam botol kocok dan ditambahkan larutan CaCl2 0.01 M sebanyak 50 ml. Setelah itu larutan contoh tanah dikocok dengan menggunakan mesin pengocok selama 60 menit. Setelah 60 menit larutan tersebut disaring. Filtrat yang diperoleh ditampung pada botol film lalu diukur absorbansnya dengan spektrofotometer Uv-Vis pada panjang gelombang 210 nm dan 275 nm. Konsentrasi larutan standar nitrat yang digunakan adalah 0, 0.5, 1, 2, 3, 4, dan 5 ppm (Lampiran 1). Analisis Statistik Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji beda nilai tengah dua populasi pada dua contoh bebas dengan ragam tidak sama. Bentuk hipotesis untuk kedua kondisi sama. Dengan persamaan sebagai berikut: H0 : µ1- µ2 = δ0 H1 : µ1- µ2 ≠ δ0 Hal ini menyatakan bahwa bila H0 diterima maka mineralisasi nitrogen pada pertanian organik dan konvensional dapat dikatakan tidak berbeda. Sebaliknya bila H0 ditolak maka mineralisasi nitrogen pada pertanian organik dan konvensional dapat dikatakan berbeda.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Tanah Awal Analisis tanah awal di Ciwidey (Bandung) dan Cisarua (Bogor) telah dilakukan sebelum analisis lebih lanjut. Tanah awal yang dianalisis, yaitu pada kedalaman 025 cm dapat dilihat pada Tabel 1 yang diperoleh data dari Lampiran 2. Tanah Andisol Permata Hati (PH), Bina Sarana Bakti (BSB) dan Bukit Organik (BO) pada pertanian organik mempunyai kandungan Ntotal berkisar 0.34-0.49%, sedangkan tanah pada pertanian kon- vensional mempunyai kandungan N-total berkisar 0.23-0.31%. Menurut Puslittanah (2005) kriteria penilaian sifat-sifat tanah menunjukkan bahwa tanah tersebut baik untuk pertanian organik
maupun konvensional mempunyai kandungan N-total yang sedang. Kandungan C-organik pada tanah pertanian organik berkisar 3.18-5.06% sedangkan tanah pada pertanian konvensional berkisar 1.95-3.08%, berdasarkan kriteria penilaian sifat-sifat tanah menunjukkan bahwa pada pertanian organik mempunyai kandungan C-organik yang tinggi sedangkan pada pertanian konvensional mempunyai kandungan C-organik yang rendah sampai tinggi (Lampiran 3). Data Tabel 1 menunjukkan bahwa semua contoh tanah yang akan dianalisis mempunyai kesuburan tanah yang baik karena mempunyai jumlah Corganik ≥ 2%. Nilai rasio C/N berkisar 8.710.4, berdasarkan kriteria penilaian sifat-sifat tanah menunjukkan bahwa tanah tersebut mempunyai rasio C/N yang rendah (Puslittanah 2005). Kandungan rasio C/N pada tanah pertanian organik lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian konvensional. Hal ini dikarenakan pertanian organik menggunakan pupuk organik lebih banyak dari pada pertanian konvensional. Mikroorganisme membutuhkan Corganik untuk menyediakan energi, sedangkan nitrogen untuk pemeliharaan dan pembentukan sel-sel tubuh. Kandungan nitrogen makin banyak maka makin cepat bahan organik terurai karena jasad renik yang menguraikan bahan ini memerlukan nitrogen untuk perkembangannya. Transformasi residu organik menjadi bahan organik yang stabil (humus) akan menyebabkan hubungan yang konsisten antara C dengan N (Bohn et al. 1979). Menurut Darmawijaya (1990), sifat fisika kimia tanah Andisol salah satu diantaranya mengandung C dan N tinggi tetapi rasio C/N rendah. Kadar Air Penentuan kadar air dilakukan dengan metode gravimetri tidak langsung. Bobot air dihitung berdasarkan pada kehilangan bobot setelah penguapan pada suhu 105 ºC (Harjadi 1993). Suhu 105 ºC digunakan untuk menghilangkan air pada tanah yang terikat secara fisik. Penentuan kadar air sangat penting dalam menentukan kadar amonium dan nitrat dalam tanah. Kadar air tanah dapat mempengaruhi ekosistem yang terdapat pada tanah, oleh karena itu pada proses analisis dilakukan pengukuran kadar air sebagai faktor koreksi dari setiap kondisi tanah yang berbeda. Berdasarkan analisis yang dilakukan, kadar air yang dihasilkan berkisar 39-72%
6
(Lampiran 6-11). Secara umum kadar air yang dihasilkan baik pertanian organik maupun konvensional pada beberapa kedalaman fluktuatif dan tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya penguapan pada permukaan tanah sehingga kadar air akan cenderung berbeda-beda pada setiap kedalaman (Gambar 1 dan 2). Contoh tanah Andisol memiliki kadar air yang tinggi (Gardiner & Miller 2004). 0 10 20 30 40 50 60 70 80 (% )
Kedalaman (cm)
0 20 40 60 80 100 PHO
BOO
BSBO
Gambar 1 Kadar air (%) pada beberapa kedalaman tanah di pertanian organik. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 (% )
Kedalaman (cm)
0 20 40 60 80 100 PHK
BOK
BSBK
Gambar 2 Kadar air (%) pada beberapa kedalaman tanah di pertanian konvensional. Pelepasan NH4+ Tanah pada Sistem Pertanian Organik dan Konvensional Proses pelepasan NH4+ tanah pada pertanian organik dan konvensional tanah Andisol Cisarua (Permata Hati dan Bina Sarana Bakti) dan Ciwidey (Bukit Organik) disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4 yang diperoleh dari data Lampiran 6-7. Terdapat hubungan antara proses mineralisasi nitrogen tanah dengan rasio C/N. Rasio C/N yang rendah menyebabkan tanah tersebut masih aktif untuk melakukan proses mineralisasi
nitrogen. Laju mineralisasi nitrogen bergantung pada suhu, rasio C/N, pH tanah, dan susunan mineral lempung (Sanchez 1992). Kadar NH4+ pada pertanian organik dan konvensional dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya proses dekomposisi bahan organik (Soepardi 1996). Kadar NH4+ tanah pada pertanian organik di Bukit Organik pada kedalaman 0-25, 25-50, dan 50-75 cm semakin menurun berturut-turut, yaitu 17.52, 11.32, dan 9.37 mg/kg (Gambar 3), hal ini menunjukkan bahwa proses mineralisasi nitrogen aktif berlangsung pada kedalaman 025 cm. Penurunan kadar NH4+ pada kedalaman 25-50 dan 50-75 cm dikarenakan pada kedalaman tersebut telah terjadi proses nitrifikasi, yaitu proses perubahan NH4+ menjadi NO3-. Kadar NH4+ tanah di Permata Hati dan Bina Sarana Bakti mengalami kenaikan dari kedalaman 0-25 sampai 25-50 cm. Kadar amonium di Permata Hati naik dari kedalaman 0-25 cm sebesar 17.11 menjadi 18.67 mg/kg pada kedalaman 25-50 cm, sedangkan di Bina Sarana Bakti naik dari 5.82 menjadi 8.50 mg/kg. Pada kedalaman 50-75 cm turun kembali. Kadar NH4+ dari ketiga lokasi naik kembali pada kedalaman 75-100 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pada kedalaman tersebut telah terjadi proses denitrifikasi karena kurangnya oksigen dalam tanah. Kadar oksigen pada tanah semakin dalam akan semakin berkurang. Kurangnya oksigen dapat memicu berkembangnya mikroorganisme anaerob yang berperan dalam proses denitrifikasi, sehingga NO3- dirombak kembali menjadi NH4+ (Soepardi 1983). Kadar NH4+ tanah pada pertanian konvensional di Permata Hati dari kedalaman 0-25 dan 25-50 cm turun dari 34.55 menjadi 23.34 mg/kg (Gambar 4). Setelah itu, kadar amonium naik kembali pada kedalaman 50-75 cm dan kemudian turun kembali pada kedalaman 75-100 cm, namun relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa pada kedalaman tersebut mikroorganisme sedang membutuhkan nitrogen untuk membentuk sel-sel baru yang diperoleh dari denitrifikasi NO3- yang terjadi pada kondisi anaerob menghasilkan NH4+ selanjutnya mengalami proses imobilisasi nitrogen, yaitu proses konversi nitrogen anorganik menjadi nitrogen organik. Kadar NH4+ tanah di Bukit Organik dan Bina Sarana Bakti pada pertanian konvensional di kedalaman 0-25, 25-50, dan 50-75 cm semakin menurun. Kadar NH4+ di
7
Bukit Organik menurun dari 27.49 menjadi 7.38 mg/kg, sedangkan kadar NH4+ di Bina Sarana Bakti menurun dari 31.34 menjadi 7.28 mg/kg. Kadar NH4+ naik kembali pada kedalaman 75-100 cm. Kadar NH4+ tanah pada pertanian konvensional pada beberapa kedalaman umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian organik. Hal ini dikarenakan pupuk N-anorganik yang diberikan pada pertanian konvensional sangat mudah larut sehingga proses mineralisasi nitrogen pada pertanian konvensioanal lebih cepat. Penurunan kadar NH4+ disebabkan oleh jumlah nitrogen yang berasal dari pupuk sintetis mulai berkurang dengan kedalaman tanah yang semakin dalam. Jumlah nitrogen tanah yang berkurang diikuti dengan pelepasan gas nitrogen lebih cepat dari reaksi denitrifikasi pembentukan ion NH4+, sehingga nitrogen banyak yang hilang dari tanah dan dilepaskan ke udara dalam bentuk gas. 0
5
10 15 20 25 30 35
Kedalaman (cm)
0
(mg/kg)
20 40 60 80 100 PHO
BOO
BSBO
Gambar 3 Kadar amonium (mg/kg) pada . beberapa kedalaman tanah di pertanian organik. 0
5
10 15 20 25 30 35 (mg/kg)
Kedalaman (cm)
0 20 40 60 80 100 PHK
BOK
BSBK
Gambar 4 Kadar amonium (mg/kg) pada beberapa kedalaman tanah di pertanian konvensional.
Proses mineralisasi dalam tanah melibatkan dua reaksi, yaitu aminisasi dan amonifikasi. Aminisasi dalam tanah berubah dari protein menjadi asam amino, setelah itu akan mengalami amonifikasi tanah dari asam amino menjadi amonium (Havlin et al. 1999). Hal ini dapat menyebabkan kadar amonium dalam tanah meningkat. Amonium dalam tanah pada kondisi aerob akan mengalami nitrifikasi, sehingga amonium dalam tanah akan menurun karena terjadi transformasi dari amonium menjadi nitrat (Soepardi 1996). Proses perubahan amonium menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Intensitas proses ini bergantung pada jumlah amonium yang tersedia untuk bakteri penitrifikasi (Sanchez et al. 2001). Pelepasan NO3- Tanah pada Sistem Pertanian Organik dan Konvensional Proses pelepasan NO3- tanah pada pertanian organik dan konvensional tanah Andisol Cisarua (Permata Hati dan Bina Sarana Bakti) dan Ciwidey (Bukit Organik) disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6 yang diperoleh data dari Lampiran 9-11. Pergerakan nitrat di dalam tanah lebih cepat dari pada amonium karena sifatnya yang mudah larut dan tidak terjerap oleh partikel tanah. Nitrat di dalam tanah lebih cepat bergerak dibandingkan amonium (Tisdale et al. 1985), sehingga kadar nitrat tanah dari ketiga lokasi pada pertanian organik dan konvensional berbeda. Kadar NO3- tanah pada beberapa kedalaman di pertanian organik pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan pertanian konvensional, meskipun kadar Ntotal tanah awal pada pertanian organik lebih besar dibandinkan dengan pertanian konvensional, hal ini disebabkan pada pertanian organik mikroorganisme lambat mendekomposisi bahan organik sedangkan pada pertanian konvensional telah ditambahkan pupuk sintetis yang lebih cepat tersedia. Kadar NO3- tanah pada pertanian organik di Bukit Organik semakin menurun pada kedalaman 0-75 cm dan di Bina Sarana Bakti menurun pada kedalaman 0-100 cm (Gambar 5). Kadar NO3- pada kedalaman 0-25 cm di lokasi tersebut mempunyai kadar nitrat yang tinggi sebesar 321.40 dan 432.74 mg/kg, hal ini menunjukkan bahwa pada kedalaman tersebut banyak tersedia nitrogen yang berasal dari dekomposisi bahan organik, sehingga
8
mempunyai kadar NH4+ yang tinggi. Pada kondisi aerob, NH4+ tersebut akan berubah menjadi NO3-. Pada kedalaman 25-75 cm di Bukit Organik mempunyai kadar NO3- yang semakin menurun dari 66.41 menjadi 41.03 mg/kg sedangkan di Bina Sarana Bakti pada kedalaman 25-100 cm menurun dari 137.65 menjadi 42.84 mg/kg, hal ini disebabkan pada kedalaman tersebut kadar oksigen semakin berkurang dan penggunaan amonium sebagai pembentuk sel mikroorganisme. Kadar NO3pada pertanian organik di Permata Hati pada kedalaman 0-100 cm semakin meningkat dari 39.96 menjadi 162.94 mg/kg. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor pendukung seperti jumlah mikroorganisme, bahan organik sebagai sumber nitrogen, air dan oksigen yang mencukupi. 0 125 250 375 500 625 750 875 (mg/kg)
Kedalaman (cm)
0 20 40 60 80 100 PHO
BOO
BSBO
Gambar 5 Kadar nitrat (mg/kg) pada . beberapa kedalaman tanah di pertanian organik.
(mg/kg)
Perbandingan antara Pertanian Organik dan Konvensional pada Penentuan Kadar NH4+ Tanah
BSBK
Mineralisasi nitrogen merupakan proses konversi nitrogen bentuk organik menjadi bentuk anorganik (Krisna 2002), antara lain NH4+ dan NO3-. Perbandingan kadar NH4+ tanah pada pertanian organik dan tanah pada pertanian konvensional pada kedalaman 0-25 cm di Permata Hati, Bukit Organik, dan Bina Sarana Bakti disajikan pada Gambar 7. Kadar NH4+ di ketiga lokasi pada sistem pertanian konvensional lebih tinggi dari pada pertanian organik. Hal ini terjadi karena pada pertanian konvensional diberikan pupuk input berupa pupuk anorganik (urea dan ZA) dalam dosis yang tinggi selain pupuk organik. NH4+ pada pertanian organik tersedia lambat, karena dekomposisi bahan organik membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pupuk
0 125 250 375 500 625 750 875
Kedalaman (cm)
0 20 40 60 80 100 PHK
BOK
Bakti. Hal ini disebabkan oleh pemberian pupuk sintetis dalam bentuk amonium yang berlebih, sehingga pada kondisi aerob amonium tersebut akan berubah menjadi NO3. Pada kedalaman 25-50 cm di Bukit Organik kadar NO3- tanah turun dengan cepat dari 833.43 menjadi 254.78 mg/kg. Hal ini menandakan dalam kedalaman tersebut jumlah nitrogen yang berasal dari pupuk sintetis mulai berkurang. Pada umumnya dari ketiga lokasi pada beberapa kedalaman tanah mempunyai kadar nitrat yang fluktuatif, karena kadar nitrat juga dipengaruhi oleh proses dekomposisi di dalam tanah (Soepardi 1996) namun di Permata Hati kadar nitrat semakin naik dari kedalaman 50-100 cm. Kadar NO3- tanah pada umumnya di setiap pertanian organik dan pertanian konvensional berbeda (Gambar 5 dan 6). Perbedaan tersebut terjadi pada kecepatan proses nitrifikasi pada kedalaman 0-25 cm, tanah yang dipupuk dengan pupuk sintetis mengalami proses mineralisasi lebih cepat dan stabil dibandingkan yang dipupuk dengan pupuk organik. Hal ini disebabkan oleh kandungan bahan organik di dalam tanah masih cukup tinggi sehingga ketika ditambahkan pupuk sintetis, nitrogen dari pupuk akan bereaksi dengan baik dan ditahan oleh bahan organik (Sarwono 2007), sedangkan bila ditambahkan pupuk organik saja proses mineralisasi yang diawali dengan proses dekomposisi bahan organik dan fiksasi amonium oleh mikroorganisme terhadap reaksi pembentukan nitrat berjalan dengan lambat.
G ambar 6 Kadar nitrat (mg/kg) pada beberapa kedalaman tanah di pertanian konvensional. Kadar NO3- tanah pada pertanian konvensional di Bukit Organik pada kedalaman 0-25 cm lebih tinggi dibandingkan kadar NO3-di Permata Hati dan Bina Sarana
9
40 30 20
Perbandingan antara Pertanian Organik dan Konvensional pada Penentuan Kadar NO3- Tanah Perbandingan kadar NO3- tanah pertanian organik dan konvensional pada kedalaman 025 cm di Permata Hati, Bukit Organik, dan Bina Sarana Bakti disajikan pada Gambar 8. Kadar NO3- pada pertanian organik umumnya lebih rendah dibandingkan dengan pertanian konvensional. Hal ini disebabkan jumlah NH4+ yang tersedia pada pertanian konvensional lebih tinggi (Gambar 7). Pada kondisi aerob amonium akan cepat berubah menjadi nitrat. Selain itu, pada pertanian organik proses dekomposisi bahan organik berjalan lambat dan terjadi fiksasi amonium oleh mikroorganisme sehingga pembentukan nitrat berjalan lambat pada kedalaman 0-25 cm. Penentuan kadar NO3- tanah pertanian organik dan konvensional di Permata Hati pada kedalaman 0-25 cm dengan menggunakan uji beda nilai tengah menunjukkan hasil yang beda nyata, sedangkan di Bukit Organik dan Bina Sarana Bakti menunjukkan hasil yang tidak beda nyata. Lampiran 13 menyajikan uji t-hitung pada perhitungan statistik dengan nilai α 0.05 menyatakan bahwa pada kedua pertanian memiliki kadar NO3- yang beda nyata pada kedalaman 50-75 cm di Bukit Organik.
10 0 PH
BO
BSB
Lokasi Organik
Konvensional
Gambar 7 Perbandingan kadar NH4+ tanah awal pada kedalaman 0-25 cm antara pertanian organik dan konvensional. Data lain yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar NH4+ di Bukit Organik pada pertanian organik dan konvensional pada beberapa kedalaman memiliki hipotesis yang mendukung untuk menerima H0. Lampiran 12 menyajikan uji t-hitung pada perhitungan statistik dengan nilai α 0.05, yang menyatakan bahwa kedua pertanian tersebut memiliki kadar NH4+ pada beberapa kedalaman tidak beda nyata.
Kadar nitrat (mg/kg)
Kadar amonium (mg/kg)
sintetis. Sedangkan pada pertanian konvensional yang ditambahkan pupuk sintetis nitrogen akan cepat mengalami mineralisasi menjadi NH4+ dan mudah hilang dari solum tanah, sehingga pada kedalaman 0-25 cm kadar NH4+ lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian organik. Analisis statistik yang digunakan untuk membandingkan kadar NH4+ pada beberapa kedalaman tanah Andisol pertanian organik dan konvensional yaitu uji beda nilai tengah. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar NH4+ tanah pada kedalaman 0-25 cm di Permata Hati, Bukit Organik, dan Bina Sarana Bakti pada pertanian organik dan konvensional pada memiliki hipotesis yang mendukung untuk menerima H0. Hal ini menunjukkan bahwa kadar NH4+ tanah dari ketiga lokasi tidak beda nyata (Gambar 7). Lampiran 12 menyajikan uji t-hitung pada perhitungan statistik dengan nilai α 0.05, yang menyatakan bahwa kedua pertanian tersebut memiliki kadar NH4+ tanah yang beda nyata pada kedalaman 50-75 cm di Permata Hati dan 25-50 cm di Bina Sarana Bakti.
800 600 400 200 0 PH
BO
BSB
Lokasi Organik
Konvensional
Gambar 8 Perbandingan kadar NO3- tanah awal pada kedalaman 0-25 cm antara pertanian organik dan konvensional. Data lain yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar NO3- tanah di Bina Sarana Bakti pada pertanian organik dan konvensional pada beberapa kedalaman memiliki hipotesis yang mendukung untuk menerima H0. Lampiran 13 menyajikan nilai uji t-hitung pada perhitungan statistik dengan nilai α 0.05, yang menyatakan
10
bahwa kedua pertanian tersebut memiliki kadar NO3- tanah pada beberapa kedalaman yang tidak berbeda nyata.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pelepasan kadar NH4+ dan NO3- pada beberapa kedalaman tanah Andisol yang dikelola secara organik dan konvensional di Permata Hati, Bukit Organik, dan Bina Sarana Bakti. Kadar NH4+ tanah sistem pertanian konvensional pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pertanian organik. Pada kedalaman 0-25 cm, kadar NH4+ tanah yang dikelola secara konvensional di ketiga lokasi penelitian berkisar 27.49 sampai 34.55 mg/kg sedangkan pada sistem pertanian organik berkisar 5.82 sampai 17.11 mg/kg. Semakin meningkat kedalaman tanah, kadar NH4+ semakin menurun. Kadar NO3pada sistem pertanian konvensional pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pertanian organik. Pada kedalaman 025 cm, kadar NO3- dalam tanah yang dikelola secara konvensional di ketiga lokasi penelitian berkisar 241.72 sampai 833.43 mg/kg sedangkan pada sistem pertanian organik berkisar 39.96 sampai 432.74 mg/kg. Semakin meningkat kedalaman tanah, kadar NO3semakin menurun namun nilainya diatas batas yang diperbolehkan. ambang NO3Mineralisasi nitrogen dalam bentuk NH4+ tanah pada pertanian organik lebih lambat dibandingkan dengan pertanian konvensional. Saran Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui berapa banyak dosis pupuk organik maupun anorganik yang seharusnya diberikan pada pertanian organik dan konvensional agar tidak mencemari lingkungan. Mempelajari dinamika mineralisasi nitrogen yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung seperti pH tanah, populasi dan jenis mikroorganisme.
DAFTAR PUSTAKA Bertrand I, Delfose O, Mary B. 2006. Carbon and nitrogen mineralization in acidic, limed and calcareous agricultural soils: apparent and actual effects. Soil Biol Biochem 39:276-288.
Bohn HL, McNeal BL, O’Connor GA. 1979 Soil Chemistry. New York: J Wiley. Buckman OH, Brady NC. 1982. Ilmu Tanah. Prof Dr Soegiman, Penerjemah. Terjemahan dari The Nature and Properties of Soils. Penerbit Bhatara Karya Aksara Jakarta. Crohn D. 2004. Nitrogen Mineralization and Its Importance in Organic Waste Recycling. [terhubung berkala]. http://alfalfa.ucdavis.edu.pdf. [Agustus 2008]. Darmawijaya. 1990. Klasifikasi Tanah. Yogyakarta: Gajah Mada University Pr. [Depkes]. 1990. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/Menkes/PERIX/1990 tentang Syaratsyarat dan Pengawasan Kualitas Air. Jakarta: Depkes. Foth HD. 1998. Fundamental of Soil Science. John Wiley. Gardiner DT, Miller RW. 2004. Soils In Our Environment. Tenth Edition. New Jersay: Pearson Education. Goldman E, Jacobs R. 1991. Determination of nitrates by ultraviolets absopstion. J. Amer. Water Works Assoc 53:187. Hardjowigeno S. 2003. llmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. Harjadi W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Havlin JL, Beaton JD, Tisdale SL, Nelsen WL. 1999. Soil Fertility and Fertilizers, 6th Edition. Prentice Hall, New Jersey. Krisna KR. 2002. Soil Fertility and Crop Production. Science Publisher. Moeskops B. 2007. Soil Quality under Organic and Convensional Agriculture in Java. Interm Report of PhD Research. Ghent University. Belgium. Nasoetion AH. 1996. Pengantar ke Ilmu-ilmu Pertanian. Pustaka Literatur Antar Nusa, hlm. 133. Norman JL, Edbrg JC, Stucky JW. 1985. Determination of nitrate soil extracts by dual-wavelength ultraviolet spectrophotometry. J Soil Scl Soc. 49:11821186. Poveda K, Dewenter IS, Scheu S, Tscharntke T. 2005. Belowground effects of organic