Pendidikan Tinggi dan Ketahanan Nasional Dr.H.Suryadi Siregar DEA Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung
Orasi Ilmiah Wisuda XVII Lembaga Pendidikan TRIGUNA, Tasikmalaya, Rabu 31 Oktober 2007
1
Pengantar Assalammualaikum Wr.Wb Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa yang atas rahmat dan karunia Nya kita dapat berkumpul disini. Hadirin yang saya hormati, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan saya menyampaikan Orasi Ilmiah dengan judul “Pendidikan Tinggi dan Ketahanan Nasional” I. Makna Suatu Penddikan Tujuan utama dari kita belajar sama halnya seperti kita bernegara. Pada dasarnya adalah untuk memperoleh kesejahterakan, lahir dan bathin. Secara lahiriah ada tiga indikator universal yang yang paling sering digunakan, untuk melihat kesejahteraan suatu bangsa, yaitu; tingkat kemiskinan, tingkat dan kualitas pendidikan dan tingkat kesehatan lahir maupun bathin (Kalla,2003) Ketiga hal ini tak dapat dipisahkan, karena saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Kemiskinan dapat menyebabkan kesehatan serta tingkat dan kualitas pendidikan yang rendah. Tingkat kesehatan yang rendah dapat membuat orang menjadi miskin dan kurang terdidik, sedangkan pendidikan yang rendah dan kurang bermutu akan menjadi penghalang untuk keluar dari kemiskinan dan kesehatan yang rendah. Tentu saja masih banyak indikator lain yang dapat dipakai, tetapi ketiga hal inilah yang paling utama dan hampir selalu digunakan orang Sejalan dengan hal diatas, sektor pendidikan tinggi merupakan investasi penting bagi pertumbuhan ekonomi, yang diperlukan untuk mengurangi kemiskinan maupun peningkatan taraf kesehatan masyarakat. Selain itu kemajuan di bidang pendidikan, khususnya pendidikan tinggi akan membawa suatu
2
bangsa ke arah penguasaan ilmu dan teknologi yang pada gilirannya akan memberikan keunggulan di berbagai bidang dalam persaingan antar bangsa. Namun adalah penting untuk diingat, bahwa pendidikan yang menghasilkan lulusan bermutu rendah pada hakekatnya bukanlah merupakan investasi, melainkan justru merupakan kerugian baik dari segi biaya, tenaga maupun waktu. Bahkan tidak jarang menimbulkan masalah sosial, politik dan keamanan. Oleh sebab itu setiap upaya pembangunan di sektor pendidikan haruslah terfokus pada ikhtiar untuk menghasilkan lulusan yang memenuhi standard/kualifikasi tertentu, serta menempatkan bangsa pada posisi terhormat dalam tatanan pergaulan dunia. Dengan kata lain, diperlukan penetapan standard mutu kelas dunia serta pengaturan dan pengendalian agar standard tersebut memang benar diterapkan dan dipenuhi. Jadi bukan sebaliknya, dimana orang sering menstandardisasikan aspek kurikulum dan aspek sarana prasarana, tapi justru tidak menganggap penting atau melupakan perlunya penetapan dan pengaturan standard kelas dunia. Ironisnya, justru inilah sebagian besar dari pengalaman kita selama ini, dimana sejak di pendidikan dasar justru nyaris tidak ada orang yang tidak lulus dan pendidikan telah dianggap baik jika sarana dan prasarananya lengkap, serta proses belajarmengajar telah mengikuti metode tertentu. Kelengkapan sarana-prasarana tentu saja penting, tetapi kebutuhan minimalnya justru harus ditetapkan dengan mengacu pada suatu standard hasil yang ingin dicapai. 2. Teknologi Informasi dan Masyarakat Teknologi informasi telah memicu delapan perubahan dalam masyarakat (Vincent,1993), yang akan menentukan berbagai aspek penting dalam kehidupan di masa depan. Yang pertama adalah meningkatnya penetrasi teknologi informasi dalam kehidupan masyarakat. Peningkatan ini sedemikian rupa, sehingga menjadikan teknologi informasi menjadi komoditi yang dibutuhkan oleh semua orang. Ini berbeda dengan kondisi dulu di mana teknologi informasi masih berada pada tempat-tempat
3
khusus dan hanya dikuasai oleh sekelompok elit tertentu. Segenap lapisan masyarakat bersentuhan langsung dengan teknologi informasi, dan akses terhadap teknologi informasi menjadi sedemikian mudahnya seperti halnya listrik, air minum, televisi, dan telepon. Perubahan ke dua adalah konvergensi antara komputer dan komunikasi. Kemampuan komputer menjadi komponen yang penting dalam komunikasi, dan komunikasi menjadi hal yang vital bagi komputer. Interaksi yang erat ini menyerupai hubungan antara bahasa dan tulisan yang terjadi pada masa lalu, sedemikian eratnya sehingga satu dengan yang lain saling membutuhkan dan bahkan akhirnya menyatu tak terpisahkan. Di kantor-kantor kita tidak melihat lagi adanya pemisahan antara komputer dengan mesin tulis, komputer dengan pesawat telepon, komputer dengan mesin foto kopi, dan komputer dengan mesin fax. Perubahan ke tiga adalah makin meningkatnya otomasi kerja. Otomasi disini diartikan sebagai penggunaan mesin untuk pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh manusia. Teknologi informasi mengotomasikan analisa kimia, diagnosa penyakit, pembukuan, manajemen waktu, pekerjaan kesekretariatan, pabrik-pabrik, dan bahkan proses belajar-mengajar. Ke empat adalah kuatnya pengaruh teknologi informasi terhadap konfigurasi bisnis dan manajemen. Organisasi tradisional yang disusun dengan paradigma birokrasi yang hirarkis, dengan membagi-bagi fungsi secara vertikal dan tanggung jawab secara horisontal, telah menyebabkan interaksi dan komunikasi hanya terjadi pada ruang yang sempit di dalam suatu jangkauan, sehingga otoritas juga berarti pengendalian arus informasi. Kemajuan teknologi informasi telah menciutkan konfigurasi birokrasi organisasi, sehingga hanya memiliki sedikit jumlah lapisan dan memperpendek rantai birokrasi serta memungkinkan interaksi informasi antar seluruh stakeholder. Pengaruh ke lima adalah makin tingginya percepatan perubahan sosial. Teknologi informasi dapat diakses secara mudah dan sudah menjadi komoditi yang memudahkan akses informasi dengan sangat cepat dan dalam jumlah yang besar.
4
Hal ini akan meningkatkan kecepatan perubahan sosial sehingga masyarakat menjadi lebih dinamis dan lentur. Kemudahan akses informasi ini menuntut efisiensi kerja dari suatu organisasi serta membangun keterbukaan dalam komunitas. Yang ke enam adalah memacu dan memungkinkan kompetisi global. Kemajuan teknologi informasi membawa konektivitas global yang menghilangkan batas geografis, ruang maupun waktu. Nilai hubungan bisnis secara elektronis akan jauh melampaui transaksi konvensional. Bahkan dalam beberapa bidang tertentu, contohnya perbankan. Jumlah kliring transaksi antar bank melalui sistem Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) dalam satu minggu saja nilainya jauh lebih besar dari nilai perdagangan Indonesia dalam satu tahun. Perubahan ke tujuh adalah memasyarakatnya standar global. Teknologi informasi modern mengharuskan diikutinya standar yang bersifat universal, baik standar tata cara kerja, format organisasi, maupun standar perilaku masyarakat. Standar global ini juga berlaku dalam lingkungan manajemen sehingga semua institusi harus mengadopsi good corporate governance yang merupakan praktek standar global. Perubahan berikutnya adalah bergesernya data menjadi pengetahuan. Pada era tradisional, basis utama dari informasi adalah data, yaitu kumpulan fakta yang tidak memiliki asosiativitas. Setelah tahun 2000, tatkala jumlah informasi sudah sedemikian besarnya, maka konsep data seperti ini tidak sesuai lagi dan digantikan dengan pengetahuan, yaitu informasi dengan asosiativitas berganda. Dengan demikian teknologi informasi bukan lagi teknologi pengolah data, tetapi telah menjadi teknologi pengolah pengetahuan. Delapan perubahan mendasar pada masyarakat inilah yang kemudian membawa kita pada kelahiran kembali abad informasi yang disebut sebagai era ke dua dari abad informasi (Penzias, 1995). 3. Arsitektur Bisnis di Era Kedua Abad Informasi
5
Hammer (1990) mengatakan bahwa kelahiran kembali abad informasi ini didorong oleh kenyataan bahwa selama ini meskipun teknologi berkembang dengan sangat luar biasa namun ternyata masih belum menunjukkan daya guna yang semestinya. Hasil penelitian Loveman (1991) misalnya menyimpulkan bahwa: belum ada cukup bukti yang memuaskan bahwa penggunaan IT dapat mempercepat produktivitas ataupun kinerja bisnis lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya kesalahan fundamental dalam pemanfaatan teknologi informasi, sehingga menyebabkan terjadinya disharmoni antara teknologi dengan manusia, teknologi dengan alam, bahkan teknologi dengan teknologi itu sendiri. Menurut Davidson (1996) ada tiga fase dalam kelahiran kembali abad informasi ini, yaitu fase kuantitas, fase kualitas, dan fase harmoni. Fase kuantitas ditandai dengan paradigma produksi masal, yang merupakan warisan dari abad industri. Fase selanjutnya, kualitas, ditandai dengan bergesernya fokus utama dari kuantitas ke kualitas serta pendaya-gunaan keunggulan kompetitif. Fase ini sebetulnya merupakan reaksi dari kompetisi global terutama dari negara-negara industri baru Asia yang mulai mengancam dominasi negara barat yang telah lebih dahulu menjadi negara maju. Pada fase ini dapat dilihat berbagai pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan keunggulan kompetitif. Fokusnya, adalah pada produk teknologi yang kemudian melahirkan kemajuan yang luar biasa dalam bidang teknologi informasi. Sedangkan pada fase harmoni terjadi pergeseran lokasi dan nilai dari produk individual ke layanan terintegrasi. Customer menjadi partner dalam penciptaan nilai, serta ikut berpartisipasi dalam rantai industri dan bisnis. Dengan demikian transisi ini menciptakan koherensi yang lebih baik dalam proses penciptaan nilai karena teknologi lebih selaras dengan pemakai dan lingkungan sekitarnya. Untuk mencapai koherensi ini maka dalam pemanfaatan teknologi informasi, yang penting bukanlah lagi produk teknologinya, tetapi strategi dibalik teknologi tersebut (Keyes, 1993). Strategi ini berupa penggunaan
6
yang berwawasan (visionary use of information technology). Strategi ini bukanlah hal yang sederhana, karena penggunaan teknologi informasi yang berwawasan adalah sebuah faset multidimensional. Para profesional teknologi informasi, misalnya, akan memiliki pandangan berbeda dengan para pimpinan strategis bisnis. Perbedaan-perbedaan ini kemudian memerlukan pendekatan baru yaitu, suatu transformasi organisasi yang didasarkan atas perubahan sikap yang melingkupi seluruh organisasi (Tapscott dan Caston, 1994). Pendekatan ini memerlukan pertimbangan-pertimbangan holistik untuk mengembangkan sebuah proses operasional yang menyelaraskan teknologi informasi dengan strategi organisasi, yang disebut sebagai sinergi antara teknologi dan rencana strategis.
teknologi
informasi
4. Transformasi Organisasi Kita mengenal ada tiga framework transformasi organisasi (Blumenthal dan Haspeslagh, 1994), yaitu peningkatan efisiensi operasi, transformasi strategis, dan kelahiran kembali (self renewal). Tujuan dari transformasi jenis pertama adalah untuk mendapatkan peningkatan efisiensi dalam skala besar, bisa dalam bentuk penurunan biaya, peningkatan kualitas dan pelayanan, dan pengurangan waktu proses. Transformasi ini biasanya dilakukan dengan melakukan rekayasa ulang organisasi, prosedur dan tata cara kerja, restrukturisasi peran dan tanggung jawab, serta mendefinisi-ulangkan standar tata nilai dan ukuran. Pada umumnya transformasi jenis ini memerlukan dukungan terhadap kerja team, kemampuan bekerja lintas fungsi, dan kemauan untuk memainkan peranan yang lebih besar dalam mengidentifikasi maupun memecahkan masalah. Para pimpinan bertindak sebagai pemandu dan fasilitator sehingga dapat terbentuk suatu pemberdayaan anggota organisasi (empowerment of employee). Sedangkan transformasi jenis kedua, adalah transformasi strategis, tujuan utamanya mendapatkan kembali keunggulan
7
kompetitif dengan mendefinisi-ulangkan tujuan, visi, dan misi organisasi, menciptakan kompetensi baru, serta memanfaatkannya untuk mengatasi masalah-masalah baru. Transformasi strategis ini biasanya dilakukan jika terjadi perubahan yang sangat fundamental, dalam teknologi, pasar, lingkungan sosial, atau adanya tekanan lain yang agresif. Transformasi yang ketiga adalah kelahiran kembali, yang menciptakan kemampuan-kemampuan baru dari sebuah organisasi untuk mengantisipasi dan mengatasi perubahanperubahan lingkungan sehingga menghilangkan gap antara strategi dan operasi. Kelahiran kembali ini menuntut kemampuan dan kesediaan menghadapi realita baru, kesiapan menerima tanggung jawab, memahami tuntutan standar kerja yang tinggi, dan kesiapan menerima hasil apapun bentuknya. Untuk mencapai kemampuan-kemampuan ini biasanya organisasi melakukan stripping struktur organisasi, penyederhanaan birokrasi, dan pendelegasian proses pengambilan keputusan. Teknologi informasi dapat mendukung ke tiga jenis kerangka kerja transformasi tersebut. Teknologi informasi mampu menciptakan dan memelihara jaringan organisasi yang fleksibel. Eksploitasi teknologi informasi secara strategis dan penuh wawasan yang diselaraskan dengan aktivitas organisasilah yang akan memberikan hasil yang memuaskan dalam transformasi bisnis. Untuk itu diperlukan suatu perencanaan yang matang secara menyeluruh dalam hal pembinaan profesionalisme dalam 4 aspek yang meliputi pembinaan fungsi, pembinaan organisasi, peningkatan kualitas intelektual dan kapabilitas, dan pembenahan administrasi dan manajemen (Siegel,2000). 5. Sistem pendidikan tinggi dan peran pemerintah Ciri utama sistem pendidikan tinggi adalah dalam hal otonomi, baik di bidang akademis, kurikulum maupun bidang penyelenggaraan/manajemen. Oleh sebab itu tidak banyak negara yang memiliki kurikulum nasional di tingkat perguruan tinggi. Di Indonesia memang terdapat kurikulum nasional
8
(kurnas) tingkat perguruan tinggi, tetapi isinya boleh dikatakan hanya terbatas pada penetapan jumlah kredit minimum yang harus dipenuhi untuk suatu program studi. Di Amerika misalnya juga terdapat pengaturan seperti itu, tetapi bukan oleh lembaga pemerintah melainkan oleh perhimpunan keilmuwan atau profesi yang terkait dengan program studi yang bersangkutan. Begitu pula halnya dengan standard kelulusan. Bahkan perhimpunan seperti itu menyelenggarakan ujian sertifikasi profesi yang harus diikuti oleh lulusan perguruan tinggi manapun, termasuk yang terkenal. Jadi yang lebih dipentingkan adalah standard nasional mengenai kelulusan, pengaturannya bukan oleh pemerintah, tetapi oleh organisasi keilmuwan atau profesi. Tidak jarang standard yang dikembangkan dan diterapkan disuatu negara kemudian digunakan pula oleh negara lain. Pada bidang ilmu tertentu terdapat juga perhimpunan tingkat internasional yang kemudian mengembangkan suatu standard yang diberlakukan oleh mereka secara internasional. Peran pemerintah dalam sistem pendidikan tinggi lebih cendrung kepada fungsi fasilitasi dan pelayanan. Kalaupun ada peran regulasi biasanya hanya pada hal yang bersifat umum saja terutama pada aspek non-akademik. Kecendrungan semacam ini terjadi disebagian besar negara. Oleh sebab itu keberadaan berbagai organisasi profesi dan keilmuan yang kuat dengan kewenangan yang kuat pula amatlah diperlukan. Jika tidak maka biasanya pemerintah mengambil alih peran ini, paling tidak untuk sementara waktu sampai terdapat asosiasi keilmuwan dan profesi yang kuat tersebut. Contoh lain adalah dalam hal akreditasi. Karena belum ada organisasi yang handal dan dapat dipercaya oleh berbagai pihak terkait, maka pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, namun badan ini pun tidak terlepas dari banyak masalah, integritas maupun kepercayaan. Berkenaan dengan akreditasi, terlepas dari siapa yang melaksanakannya mestinya lebih mementingkan penilaian terhadap kemampuan menghasilkan lulusan yang bermutu dari pada kepemilikan sarana-prasarana yang megah. Begitu pula
9
dengan bukti-bukti atau dokumen yang berkenaan dengan pengorganisasian dan manajemen, kiranya tidaklah dijadikan kriteria utama dalam penilaian. Pada saat ini biasanya masyarakat masih melihat bahwa umumnya perguruan tinggi yang sarana fisiknya megah banyak profesornya, akan mendapatkan hasil akreditasi yang tinggi untuk berbagai program studi yang dikelolanya. Meskipun perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan bermutu lazimnya memiliki saranaprasarana yang mencukupi, tetapi yang sebaliknya tidaklah selalu benar (Kalla,2003). 6. Mahasiswa dan Lulusan Terlepas dari sarana-prasarana yang dimiliki, mutu lulusan suatu perguruan tinggi akan bergantung pada tiga hal: 1. Persyaratan untuk diterima menjadi mahasiswa, jika hanya mereka yang amat cerdas dan telah memenuhi persyaratan (pre-requisite) saja yang diterima, maka standard mutu lulusan yang tinggi akan dapat diterapkan 2. Beban tugas akademis, teori dan praktek, selama pendidikan, makin sulit dan banyak tugas-tugas yang harus dilalui dengan kualifikasi "lulus" pada suatu mata kuliah, akan makin terjamin mutu lulusannya nanti 3. Persyaratan akhir untuk mendapatkan sertifikat dan gelar, makin tinggi standard kelulusan yang diterapkan akan makin terjamin pula mutunya Ini berarti bahwa lembaga yang sangat selektif dalam penerimaan mahasiswa, disertai dengan proses yang menuntut mahasiswa belajar ekstra keras, kemudian diakhiri dengan standard kelulusan yang tinggi dan diterapkan dengan ketat, tentulah akan lebih terjamin mutu lulusannya. Begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu semua penyelenggara pendidikan sesuai dengan misi dan visinya masing-masing, seyogyanya memilih dan menetapkan segment mutu yang sesuai dengan kemampuan dirinya, dalam arti bahwa standard yang akan diterapkan adalah "achievable" namun tetap
10
mempertimbangkan segi "competitiveness". Memang, masih banyak lembaga pendidikan yang masih bergulat untuk sekedar bertahan hidup karena masalah keuangan yang tak mencukupi, tetapi hal ini tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan masalah mutu. Meskipun mahasiswa yang masuk nyaris tanpa seleksi, namun apabila dijalankan dalam situasi yang menuntut mereka untuk belajar keras, tentulah dalam segala kekurangan tersebut akan dihasilkan lulusan yang lebih baik daripada tanpa harus belajar keras. Hal yang memprihatinkan adalah ketika suatu perguruan tinggi yang telah relatif berkecukupan sarana-prasarananya, serta cukup banyak pelamarnya, bahkan tinggi pula uang kuliahnya, tetapi justru berlomba-lomba menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya, sementara di sisi lain tidak menerapkan persyaratan yang layak pada beban tugas/belajar maupun pada standard kelulusannya. Argumen bahwa hal ini ditempuh dalam rangka pemerataan kesempatan belajar di perguruan tinggi tampaknya patut dipertanyakan. Tatkala lulusan menjadi massal tetapi dengan kompetensi yang yang tidak memadai, maka yang dihasilkannya bukanlah sumbangan bagi pembangunan bangsa melainkan justru gangguan. Oleh sebab itu pada institusi (apapun namanya) dan unit kegiatan lainnya yang masih serba kekurangan maupun yang telah berkecukupan haruslah ditumbuhkan semangat untuk selalu berorientasi kepada mutu lulusan maupun mutu kerja tiap individu. Individu yang kuat, ditopang dengan kerukunan antar sivitas akademika akan menghasilkan organisasi yang kuat. 7. Pengetahuan Sebagai Soft Power Kini telah dikenal secara luas dalam dunia politik dan kebudayaan, bahwa pendidikan menjadi alat yang sangat ampuh untuk apa yang disebut sebagai soft power. Kuasa lunak atau soft power adalah frasa lain dari hegemoni satu pihak atas pihak lainnya. Kata soft power sendiri pertama kali dikenalkan oleh Joseph S Nye seorang guru besar Kennedy School of Government, Universitas Harvard di AS. Berbeda dengan hard
11
power atau kuasa keras yang berupa kekuatan militer, sanksi,
uang dan lainnya. Soft power adalah hegemoni penguasa melalui nilai, institusi, kebudayaan dan kebijakan. Kesadaran akan kekuatan soft power dalam memaksa lawan politik untuk patuh dan tunduk disadari benar oleh negara-negara besar, misalnya pemerintah AS dengan senang hati telah menanamkan biaya yang besar bagi pertukaran siswa dan mahasiswa, didirikannya pusat-pusat kebudayaan dan sebagainya. Sekarang kita dapat melihat banyak sekali American Corner berupa pustaka diberbagai Universitas, maupun restoran cepat saji. Mantan menteri luar negri AS, Collin Powell pernah menyatakan bahwa proses pertukaran budaya melalui program beasiswa belajar merupakan aset besar bagi negaranya, terutama menjadikan para ”Alumni Amerika” tersebut sebagai diplomat bagi kepentingan Amerika Serikat. Saat ini telah terbukti bahwa masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) mampu mendominasi politik dan militer melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan budaya. hampir semua produk teknologi, pengetahuan dan budaya negara maju menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun sayang, bukan kerja keras dan kedisiplinan yang ditiru. Tapi gaya hidup hedonis dan cara-cara serba instant yang dikooptasi. Hal ini telah membawa pengaruh pada kemajuan dan ekonomi bangsa Menurut Ramli (2007). Banyaknya masalah yang dihadapi oleh bangsa kita, khususnya bidang ekonomi berasal dari dua hal. Pertama: miskinnya kualitas kepemimpinan dan contoh teladan yang baik yang dimanifestasikan dalam peraktek kolusi-korupsi dan nepotisme (KKN) dan yang kedua adalah cara berpikir(school of thought), yang lebih banyak mengandalkan cara berfikir yang dikenal di kalangan ekonom sebagai Washington Consensus. Yaitu garis kebijakan ekonomi yang diatur dari Washington untuk negara-negara berkembang, padahal mereka sendiri tidak melaksanakannya. Di Asia Timur ini ada dua negara yang secara konsisten melaksanakan Washington Consensus, yaitu Indonesia dan Philipina. Kedua negara ini tingkat ketimpangan ekonomi sangat besar. Prestasi
12
yang dicapai antara lain menjadi eksportir tenaga kerja wanita terbesar di dunia. Negara-negara di Asia Timur lainnya seperti Malaysia, Singapura, Thailand, China, Jepang tidak menjalankan Washington Consensus. Mereka lebih mandiri dan percaya diri dalam merumuskan kebijakan di bidang ekonomi, dan menggunakan apa yang disebut model Asia Timur. Dalam model Washington Consensus, pemerintah memainkan peran yang sangat terbatas, sementara dalam model Asia Timur pemerintah memainkan peranan yang proaktif dalam bidang ekonomi. Dengan cara ini negara-negara Asia Timur mengejar ketinggalannya dari Barat. Walaupun dalam bidang politik dan militer mereka bisa bekerjasama dengan Washington, tetapi dalam bidang ekonomi tetap mandiri dalam merumuskan suatu kebijakan. Dengan strategi itu mereka bisa mengejar ketertinggalan dari dunia barat. Perlahan tapi pasti negara tersebut menjadi lebih kuat secara militer. Pada pertengahan tahun 1960-an GNP perkapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan, China nyaris sama, yaitu kurang dari US$100 per kapita. Setelah lebih dari 40 tahun, GNP perkapita negara-negara tersebut pada tahun 2004, adalah: Indonesia sekitar US$ 1.000, Malaysia US$ 4.520, Korea Selatan US$ 14.000, Thailand US$ 2.490, Taiwan US$ 14.590, China US$ 1.500. Jadi timbul pertanyaan. kenapa negara-negara lain bisa maju lebih cepat, tingkat kesejahteraan rakyatnya lebih baik, jurang antara kaya-miskin memang ada tapi tidak sebesar yang terjadi di Indonesia. Kita tidak bisa hanya menyalahkan pemerintah ataupun presiden demi presiden, tapi karena ada cara berfikir yang dominan di dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang hanya merupakan sub-ordinasi dari kepentingan Internasional. Dari segi yang lain, melalui perjuangan yang berat, Indonesia mendapatkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, dalam arti kemerdekaan politik sebagai bangsa. Tahun 1998, kita mendapatkan kebebasan dalam berdemokrasi,
13
kebebasan untuk menyatakan dan menulis apa saja yang selama rezim otoriter Soeharto tidak mungkin. Tetapi sejak tahun 1945, belum pernah terjadi kebangkitan ekonomi. Hal yang sama terjadi pula setelah reformasi tahun 1998. Jadi harus ada pertanyaan mendasar, ketika kita sudah memiliki kemerdekaan politik (political independence), sudah memiliki kebebasan dalam berdemokrasi, tetapi mengapa belum pernah terjadi kebangkitan ekonomi sampai sekarang, jawabannya adalah apa yang disebut kembalinya kolonialisme gaya baru. Bukan lagi model kolonialisme jaman dulu, yang menggunakan kekuatan militer dan dominasi politik, tetapi penguasaan ekonomi melalui mekanisme pasar bebas dan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, yang turut berperan dalam merumuskan undang-undang dan berbagai kebijakan di Indonesia. Misalnya, Bank Dunia memberikan 400 juta dollar tapi dia mendesak Indonesia harus membuat UU Privatisasi Air, sehingga petani juga harus bayar air. Kemudian ADB (Asia Development Bank) memberikan pinjaman 300 juta dollar tapi Indonesia harus mempunyai UU Privatisasi, agar perusahaan-perusahaan negara bisa dijual dengan harga murah. Punya senjata canggih tapi tidak bisa digunakan karena diembargo oleh Amerika. Hal seperti ini sesungguhnya telah melanggar konstitusi dan kedaulatan negara kita. Mengakhiri orasi ini izinkan saya menyampaikan pesan kepada Wisudawan-wisudawati yang saya cintai. Saudara sebagai generasi muda hendaknya dapat menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik. Sebagai seorang yang terdidik hendaklah saudara dapat memegang tiga perkara berikut; 1. Memandang pendidikan sebagai sesuatu yang menyeluruh dan berjalan sepanjang hayat, dimana hakekat dari pendidikan itu adalah usaha untuk mentransmisikan kebudayaan. Ia harus dapat meningkatkan daya pikir, mengembangkan bakat dan keperibadian yang kuat,
14
menumbuhkan kemampuan hidup bermasyarakat meningkatkan pengetahuan tentang pokok-pokok pikiran dan permasalahan zaman. 2. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat, acap kali menimbulkan perubahan yang sukar diantisipasi. Spesialisasi semakin menajam, oleh sebab itu kita tidak saja perlu menguasai materi pengetahuan tetapi juga harus dapat memahami sistematika dan struktur ilmu pengetahuan itu, serta cara-cara pendekatan dan metodologinya. Sangatlah penting untuk mengembangkan daya pikir agar dapat menelaah sesuatu secara sistematis, taat azas dan berpikir secara terstruktur. 3. Ilmu pengetahuan itu bersifat universal, merupakan milik masyarakat umum, dikembangkan oleh semangat ingin tahu serta digali oleh kecendrungan menyoal sesuatu yang belum jelas. Keahlian dan kemahiran dalam ilmu pengetahuan menuntut sikap ilmiah yakni menjunjung tinggi objektifitas, terbuka dalam menerima hal baru, rasional serta cendrung untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, tanpa harus cepat merasa puas. Ada kata bijak yang perlu kita renungkan bersama.” Manakala kekayaan yang hilang tak satupun yang hilang. Manakala kesehatan yang hilang ada sesuatu yang hilang, tetapi apabila karakter yang hilang, semuanya akan menjadi musnah.” Jadilah manusia Indonesia yang punya jati diri, cerdas dalam mengambil keuntungan dari soft power negara besar, namun tetap mandiri dan tidak dikuasai oleh mereka. Sebuah tugas besar dan sangat mulia, memang bukan tugas yang mudah tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil. Terima kasih atas perhatian dan kesabaran hadirin dalam mengikuti orasi ini. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan bimbingan dan perlindungannya kepada kita semua. Wabillahi taufik walhidayah. Wassalammualaikum Wr.Wb
15
Referensi Blumenthal, B dan. Haspeslaghm, P. "Toward a definition of corporate transformation". Sloan Management Review, Spring 1994. Davidson, W. H. "Beyond Re-Engineering: The Three Phases of Business Transformation," IEEE Engineering Management Review, Vol. 23, No. 2, Summer, 1996, pp. 17-26. Hammer, M. "Reengineering work: Don't automate, obliterate". Harvard Business Review, July-August 1990, pp. 104122. Kalla,Y,M. Pengembangan SDM Indonesia melalui sistem pendidikan tinggi dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan, Munas Assosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia di Jakarta, 7 April 2003 Keyes, J. Infotrends: The Competitive Use of Information. McGraw-Hill, Inc., 1993 Loveman, "Does investments in IT pay off". Computerworld, 25 Nov 1991, p. 7. Penzias, A. Harmony: Business, Technology & Life After Paperwork. Harper Business, 1995. Ramli,R. Politik dan Ekonomi Indonesia (komunikasi pribadi) http://www.kabarindonesia.com, Oktober/2007 Siegel, D. Futurize Your Enterprise: Business Strategy in the Age of the e-customer, John Wiley & Sons, Inc, 2000 Tapscott, D dan Caston, A. Paradigm Shift: The New Promise of Information technology. McGraw-Hill, Inc, 1994. Vincent, D. "How eight firms transformed- With technology". Financial Executive, March/April 1993.
16
BIODATA 1. Nama 2. Tempat dan tanggal lahir
: Dr. Suryadi Siregar : Takengon (Aceh), 6 Juni 1951 : 130 515 711 : MIPA-ITB : Astronomi : Astronomi/Tata Surya : Lektor Kepala / IVB
3. NIP 4. Fakultas/Sekolah 5. Kelompok 6. Keilmuan/Keahlian 7. Jabatan Fungsional Akademik I. Riwayat Pendidikan
1.
Jenjan g Pendid ikan S1
2.
S2
Department d’Astrophysique, Universite de Nice, Perancis
8082
3.
S3
Department d’Astrophysique Universite de Nice, Perancis
8284
No
Perguruan Tinggi
Departemen Astronomi, Institut Teknologi Bandung (ITB), Indonesia
Tah un Lulu s 7176
Gelar
Bidang
Sarjana Ilmu Pengetahu an Alam (Drs) Diplome Etude Approfandi (DEA)
Drs, Astronomi
Doctorat de Troisieme Cycle (DR)
Astrophysique. option : Automatique et traitment du signal Astrophysique. option : Automatique et traitment du signal
II. Penghargaan N o 1.
Nama Penghargaan Satyalancana Karya Satya 20 tahun PNS
Pemberi Penghargaan Presiden RI
Tahun 2002
17
III. Kerjasama Internasional No
Kegiatan
Nama Mitra
Tahun
1.
Visiting Scientist
University of Pisa (Italia)
1984
2.
Visiting Scientist
1984
3.
Visiting Scientist
4.
Visiting Scientist
Observatoire de Strasbourg, Strasbourg (Perancis) Centre d’Etude Astronomique et Geodynamique CNRS, Grasse, Perancis Edinburgh Astronomical Observatory, Edinburgh, Scotland
5.
Visiting Scientist
1987
6.
Visiting Scientist
7.
Visiting Scientist
8.
Visiting Scientist
9.
Visiting Scientist
Uccle Astronomical Observatory, Brussel, Belgia Japan Society Promotion of Science (JSPS): Tokyo Astronomical Observatory, Mitaka. Jepang Department of Physics, University of New South Wales, Sidney, Australia National Astronomical Observatory( Doidara Station, Doidara. Okayama Astronomical Observatory, Okayama) Jepang Inter University Centre for Astrophysics (IUAC) Maharashtra, Pune, India
10.
Visiting Scientist
National Astronomical Observatory Mitaka dan
1993
1985
1986
1989
Keterang an Seminar Asteroid Statistical on Astronomy Riset
Astronomy Photograp hy on Schmidt Plate Visual Double Star Observasi, Riset dan seminar
1990
Seminar
1991
Observasi, Riset dan seminar
1992
AsianPacific Regional Meeting on Astronomy Observasi, Riset dan
18
11.
Visiting Scientist
Kiso Observatory, Kiso . Jepang National Astronomical Observatory dan Nobeyama Radio Astronomical Observatory, Nobeyama. Jepang
seminar 1994
Observasi, Riset dan seminar
IV. Lain-lain No 1.
Kegiatan Kongres Astronomi Internasional: IAU XXVIth General Assembly, Prague 14-24 Agustus 2006
Tempat Praha,Cekos lavakia
Waktu 14-24 Agustus 2006
Keterangan Anggota delegasi, Republik Indonesia
2.
Olimpiade internasional: II-nd Asian Pacific Astronomy Olympiad, Vladivostok 4-11 Desember 2006 Kongres Astronomi Internasional: Thai National Astronomy Meeting (TNAM2007) and The 1st Meeting of the South-East Asian Astronomical Network(SEAAN) Olimpiade internasional: XII-th International Astronomy Olympiad, Simiez, Ukraine, 29 September -7 Oktober 2007
Vladivostok, Rusia
4-11 Desember 2006
Team Leader Kontingen Olimpiade Indonesia
Nakorn Pathom, Bangkok
22-24 March 2007
Anggota delegasi Republik Indonesia. Presentation: NEAs Study in Indonesia
Simiez,Ukrai ne
29 September sampai 7 Oktober 2007
Team Leader Kontingen Olimpiade Indonesia
3.
4.
V. Publikasi Artikel dan makalah dalam negri 40 Artikel dan prosiding seminar Internasional 10
19