PENCETUS TIMBULNYA SENGKETA PERTANAHAN ANTARA MASYARAKAT VERSUS PERKEBUNAN DI SUMATERA TIMUR Dari Zaman Kolonial Sampai Reformasi SYAFRUDDIN KALO Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Pengantar Pada zaman penjajahan, fungsi hukum tanah mengabdikan pada kepentingan Pemerintah Hindia Belanda, tanpa memperdulikan kepentingan rakyat Indonesia. Akibatnya fungsi tanah yang semula sebagai sumber kesejahteraan dan kemakmuran yang merupakan karunia Illahi, setelah kedatangan penjajah berubah menjadi sumber penindasan, sumber malapetaka dan sumber ketidakadilan. Dalam tulisan ini, perlu dijelaskan tentang konsep penguasaan tanah dan kaitannya dengan persewaan tanah. Konsep penguasaan tanah dalam sejarah hukum pertanahan di Indonesia sejak zaman kesultanan, zaman kolonial sampai zaman kemerdekaan, dalam praktek diperlakukan konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat, hukum Eropa dan hukum nasional. Di Eropa sebelum masa Revolusi Perancis berlaku doktrin bahwa raja adalah penguasa segala hal di negaranya dengan semboyan “L’etat c’est Moi” atau Negara adalah Saya teori ini mencerminkan kekuasaan yang besar atas tanah. Raja dianggap sebagai wakil negara dan pemilik tanah adalah negara. Teori ini juga berlaku di Inggris dan Belanda. Indonesia sebagai negara jajahan Belanda memberlakukan teori ini di Indonesia, yang berarti bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik raja dan dengan demikian oleh karena raja takluk kepada pemerintahan kolonial, maka semua tanah di negara jajahan dikonversi menjadi milik raja Belanda. Oleh karena itu pemerintah Kolonial menganggap semua tanah yang ada di Indonesia adalah milik penguasa kolonial. Dengan memperlakukan azas domein verklaring, dengan arti bahwa semua tanah-tanah tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi tanah negara.1 Atas dasar teori ini maka pemerintah kolonial dapat menyewakan tanah-tanah kepada perusahaan onderneming dengan skala besar. Dengan diberlakukannya asas domein verklaring oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, dapat diasumsikan bahwa kebijakan itu didasari atas alasan-alasan karena pemerintah Belanda menganggap raja-raja di Indonesia yang mempunyai kekuasaan hak domein atas tanah, maka dengan sendirinya hak domein itu juga diambil over oleh Belanda karena Belanda memegang kedaulatan di Indonesia. Anggapan pemerintah Belanda yang demikian itu, pada dasarnya adalah sangat keliru. Karena tidak semua raja-raja di Indonesia mempunyai hak domein atas tanah, khususnya di Sumatera Timur raja-raja tidak menguasai semua tanah di wilayah kerajaannya, tetapi di wilayah persekutuan hukum adat yang berada di bawah kekuasaan kesultanan tanah adalah merupakan milik komunal (beschikkingsrecht). Anggota persekutuan dari hukum adat itu dapat membuka tanah dan memungut hasil hutan dengan seizin kepala persekutuan atau 1
Lihat, pasal 1 Agrarisch Besluit dan hubungkan dengan pasal 519 dan pasal 520 BW.
©2004 Digitized by USU digital library
1
pengetua adat, hak ini merupakan hak ulayat dalam masyarakat adat itu. Dalam praktek fungsi domein verklaring dalam perundang-undangan pertanahan pemerintah kolonial Belanda adalah : a. Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUUHPdt, seperti hak erfpacht, hak opstal dan lain-lainnya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah. b. Bidang pembuktian pemilikan.2 Kutipan di atas, memberikan penjelasan bahwa negara bertindak sebagai pemilik. Pemerintah memberikan hak-hak erfacht atau persewaan tanah jangka panjang kepada perusahaan onderneming, dengan mengingkari hak-hak masyarakat adat yang ada di atas tanah menjadi objek persewaan tersebut. Kebijakan pemerintah Belanda dalam memperlakukan teori domein verklaring ini adalah, sangat merugikan rakyat karena domein diperlakukan di atas tanah rakyat dan memungkinkan tanah-tanah hak ulayat diberikan kepada orang asing dengan hak sewa (erfacht). Dalam hal ini, perlu dijelaskan apa yang disebut dengan persewaan tanah (tenure), penyewa (tenant) dan pemilik tanah yang menyewakan (landowner) khususnya yang muncul dalam sejarah persewaan dan penguasaan tanah di Sumatera Timur. Dalam hal ini, Kenneth P. Davis mengatakan sebagai berikut : The basic concept of ownership is that of tenure. This means the right or capacity to have and to hold land for certain uses. Historically,the concept of tenure long preceded the idea of individual ownership. The word “tenure” means “the holding of property, especially real estate, of or by reference to a superior. Inherent in the woed “held” is the idea of exclusion, that is to set aside and keep as one’s own by shutting out and excluding others. Another indispensable dimension of tenure is the period time for which the property is held” Berdasarkan defenisi Davis ini bisa kita jelaskan bahwa sewa tanah merupakan jenis bentuk pemilikan tanah dengan tujuan tertentu. Persewaan tanah ini berarti penguasaan lahan perkebunan dan menjadi bagian dari pemilikan. Perbedaan yang mendasari antara persewaan dengan pemilikan adalah bahwa persewaan (tenure) yang dimaksudkan Davis merupakan pemetikan hasilnya dari kerja tertentu, sehingga tanah ini diterima dari pihak lain dalam bentuk pinjaman. Defenisi Davis ini bertolak dari sistem pemilikan tanah di Inggris yang menyebutkan bahwa hanya raja Inggris yang menjadi pemilik tanah, dan semua mereka yang menguasai serta menggarap tanah itu adalah penyewa atau peminjam tanah.3 Defenisi David di atas ini bisa dikembangkan dengan konsep tujuan persewaan yang muncul atas penguasaan tanah. Tentang ini A.W.B. Simpson mengatakan : An obvious consequence of the tenurial system is that a number persons have interensts of some sort in the same parcel of land. Confining our 2
3
Boedi Harsono, “Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya”, Jilid I, Hukum Tanah Nasional. (Jakarta : Djambatan, 1999), hal. 43. Kenneth P. Davis, ibid., hal. 14.
©2004 Digitized by USU digital library
2
attention for the time being simply to freholders, at the bottom of the feudal ladder there will be a tenant who has seisin of the land and is called the tenant in demesne, dan at the top there is the king. In between there may be a string of mesne lords who are lords and tenants at the same time. The tenant in demesne is conceived as the owner of the land and to treat the interest of the lords in land as inra in re aliena. 4 Dengan melihat defenisi Simpson tersebut di atas, lebih tegas lagi bisa kita ketahui bahwa persewaan tanah ini berasal dari pemilik tanah. Pemilik tanah yang diakui menurut hukum adat Eropa adalah raja. Raja akan membagi-bagikan tanah tersebut kepada para bangsawan dalam bentuk suatu struktur hirarkis, dengan tujuan dua hal: menyerahkan sebagian hasilnya sebagai upeti kepadanya, dan memelihara para bangsawan beserta keluarganya dengan sisa hasil itu sebagai imbalan atas kepatuhan dan kesetiaannya kepadanya. Tentu saja bangsawan tidak menggarap sendiri tanah itu, namun membagi-bagikan tanah itu kepada kelompok di bawahnya sebagai kelompok penggarap tanah. Para penggarap tanah ini juga mengalami kewajiban yang sama sebagai suatu bentuk perabdian feodal, dan mereka juga dianggap sebagai penyewa tanah itu. Konsep persewaan dan penguasaan tanah tersebut di atas telah menunjukan kepada kita bahwa sumber dari kepemilikan tanah terletak pada pusat kekuasaan, dalam hal ini raja. Dengan demikian raja menjadi satu-satunya pemilik tanah (vorstdomein). Namun pada penggarapan dan pengolahan tanahtanah itu, tentu saja raja tidak akan melakukannya sendiri. Hal ini bisa diketahui dari apa yang dikatakan oleh Mosca sebagai berikut : But the man who is at the head of the state would certainly not be able to govern without the support of a numerous class to enforce respect for his orders and to have them carried out; and granting that he can make one individual, or indeed many individuals,in the ruling class feel the weight of his power, he certainly cannot be at odds with the class as a whole or do away with it. Even if that were possible, he would at once be forced to create another class, without the support of which action on his past would be completely paralyzed. 0n the other hand, granting that the discontent of the masses might succeed in deposing a ruling class, inevitably as we shall later show, there would have to be another organized minority within the masses themselves to discharge the functions of a ruling class. 0therwise all organization, and the whole social structure, would be destroyed.5 Dengan melihat kutipan di atas, Mosca menyebutkan bahwa raja dalam hal ini tidak menggarap sendiri namun membagi-bagi tanah itu kepada para pejabat dan bangsawan kecil bawahannya untuk digarap dan disetorkan sebagian hasilnya kepadanya. Dengan demikian tanah ini merupakan semacam pinjaman 4 5
Lihat, A.W.B. Simpson, “A History of the Land Law”, (Oxford : Clarendon Press, 1986) hal. 47. Lihat, Gaetano Mosca, “The Ruling Class”, (New York : McGraw Hill Book Company, 1939) hal. 51. Mosca adalah seorang sosiolog politik yang melontarkan teori dan konsep mengenai elite serta posisinya dalam struktur kekuasaan dan birokrasi. Dalam pandangan Mosca, elite merupakan kelompok yang menduduki jabatan strategis. Namun Mosca menyoroti elite dari perspektif monarki feodalistis yang lebih cenderung membatasi jangkauannya pada lingkup feodalisme di Eropa. Dalam sorotannya dia menyebut bahwa elite selalu berkaitan dengan kelompok yang memegang kendali kekuasaan dan menentukan segala dinamika kehidupan suatu negara dan warganya, termasuk dalam penguasaan lahan pertanahan.
©2004 Digitized by USU digital library
3
(leen) dalam pandangan raja-raja Eropa feodalis. Raja menjadi penentu dari pemilikannya dan tidak akan bisa dilepaskan haknya tanpa merombak seluruh sistem feodal yang menjadi kekuasaannya. Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus-menerus maka tanah tersebut dapat menjadi hak milik secara individual. Dalam hal ini bisa kita lihat penjelasan Ter Haar tentang pemilikan tanah adat sebagai berikut : “Hukum adat memberikan hak terdahulu kepada orang yang dulu menaruh tanda pelarangannya atau mula-mula membuka tanah; bilamana ia tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penebangan dan pembakaran menurut musimnya, maka orang lain bisa mendesaknya supaya memilih: mengerjakan terus atau menyerahkan tanahnya kepadanya. Jadi tuntutan pemilikan hak milik ini lenyap sama sekali bilamana ada lain orang sesama anggota yang menginginkannya dan mendesak dia memilih satu antara kedua pilihan itu”.6 Bertolak dari pandangan Ter Haar ini bisa diketahui, bahwa seseorang akan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu, apabila dia sudah membuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya atau merubahnya dari kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang. Selama dia masih mengerjakan tanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya. Jadi dalam hal ini, tekanan diberikan pada hasil produksi dari tanah yang bisa dipetiknya, sebab apabila dia tidak lagi mengerjakannya maka tanah itu bisa diambil oleh orang lain yang akan menggarapnya. Konsep Ter Haar tersebut bisa diperjelas lagi dengan apa yang dikatakan sebagai hak ulayat. Soerojo Wignjodipoero mengatakan berikut ini: Sebagai seorang warga persekutuan (komunal) maka tiap individu mempunyai hak untuk : a. mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan dan sebagainya. b. memburu hewan liar yang hidup di wilayah wewenang komunal. c. mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar. d. membuka tanah dan kemudian mengerjakan tanah itu terus-menerus e. mengusahakan untuk diurus kolam ikan di atasnya7 Dengan mengungkapkan sejumlah hasil yang bisa dipetik ini, Soerojo menyebutkan bahwa hak ulayat yang diakui oleh masyarakat adat ini merupakan hak pakai tanah oleh individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihhakan atau melepaskan haknya atas tanah yang dibuka ini kepada anggota dari masyarakat lain atau pendatang dari luar masyarakat tersebut, kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama semua anggota komunal tersebut. 6
7
Lihat, Mr. B. Ter Haar, “Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat”, terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto (Jakarta : Prajnya Paramita, 1958) hal. 91. Lihat, Soerojo Wignjodipoero, “Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat”, (Jakarta : Gunung Agung , 1984), hal. 201-202.
©2004 Digitized by USU digital library
4
Semua tanah, hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk mempunyai hak baik yang nyata maupun hak yang secara diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah negara. Menurut hukum adat, desa mempunyai hak untuk menguasai tanah di luar perbatasan desa, penduduk desa mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan izin kepala desa. Menurut penafsiran Trenite, tanah tersebut milik negara, namun menurut pandangan Van Volenhoven, Logeman dan Ter Haar tanah tersebut tidak di bawah kekuasaan negara.8 Sistem hukum yang melandasi pemilikan tanah komunal dalam ulayat ini adalah pandangan tentang kehidupan sosial dari masyarakat tradisional sendiri. Menurut Unger9, hubungan yang berlaku antar-individu dilandasi dengan ikatan kekerabatan kolektif. Keanggotaan mereka ditetapkan oleh ikatan kekerabatan nyata, namun tentang kepemilikan tanah hal ini diatur terlepas dari kelompok keluarga. Sebagai akibat dari ketatnya ikatan komunal yang berlaku dalam masyarakat ini, perbedaan antara anggota masyarakat dan orang luar sangat jelas. Orang luar yang masuk ke dalam lingkaran komunal ini dianggap asing dan tidak boleh merampas hak atas penguasaan tanah oleh para anggota komunal. Hal ini dapat disesuaikan dengan pandangan masyarakat Sumatera Timur yang mengakui pemilikan tanah sebagai milik komunal atau, dalam pandangan lain, milik raja.10 Sebagai akibatnya para pengusaha perkebunan asing (onderneming) dianggap oleh mereka telah merampas hak yang telah ada sejak turun-temurun atau hak yang diberikan oleh Sultan kepada mereka. Dengan menanami dan menyewa tanah-tanah yang ada tanpa sepengetahuan atau tanpa berunding terlebih dahulu dengan penduduk, maka terjadi ketegangan sosial dengan tuduhan sebagai perampasan hak milik.11 Sebagai ungkapan lahir dari gejolak psikis sosial yang disertai dengan tekanan beban ekonomi, maka terjadi konflik di sini. Hak penguasaan tanah yang berlaku secara yuridis di Indonesia, konsep ini tertuang dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 pasal 2 yang berbunyi: I. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai 8
Lihat, Erman Rajagukguk, “Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup”, (Jakarta : Chandra Pratama, 1995), hal. 28. Selanjutnya dikatakan bahwa apabila mengikuti pendapat Trenite tidak cuku menghentikan sewa atas tanah bebas apabila penduduk satu desa atau desa yang lain menyatakan tanah bersangkutan di bawah kekuasaan mereka. Pernyataan ini tidak dapat ditolak. Namun mengikuti kenyataan bahwa tanah seperti itu selain perlu dibuktikan menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dari bagian teritorial desa, harus juga terdapat bukti tanah tersebut dimanfaatkan. Desa dapat menggunakan tanah sedemikian rupa, baik sebagai padang rumput pengembalaan milik bersama atau untuk maksud-maksud lain. 9 Lihat, Roberto Mangabeira Unger, “Law in Modern Society : Toward a Criticism of Social Theory”, (New York : The Free Press, 1977), hal. 140-141. 10 Dikatakan seperti semua wilayah yang berada di bawah pemerintahan para Sultan, Raja menganggap dirinya sebagai pemilik tanah yang nampaknya bertentangan dengan seluruh adat yang diakui secara resmi oleh masyarakat sebagai pemiliknya . Tetapi raja berusaha keras agar semua tanah bisa memberikan pemasukan bagi kas kerajaannya, tanpa adanya gangguan yang muncul bagi pelaksanaan hak itu . Kondisi ini menimbulkan konflik antara masyarakat dan pengusaha Onderneming , sehingga pemerintah kolonial perlu mengamankan kondisi tersebut. Lihat, Memorie van Overgave L. Kapoort, Asisten Residen van Afdeeling, Asahan, 4 Mei 1903. 11 Ibid.
©2004 Digitized by USU digital library
5
yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat. II. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; III.Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur; IV.Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-Daerah swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Hak menguasai negara yang dimaksudkan dalam pasal 2 UUPA tersebut di atas adalah meliputi semua bumi, air dan ruang angkasa, baik yang sudah dihakki oleh seorang maupun tidak. Kekuasaan tanah terhadap tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberikan kekuasaan kepada seorang yang mempunyainya untuk menggunakan haknya. Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain adalah sangat luas dan penuh. Misalnya negara dapat memberikan tanah yang sedemikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut peruntukannya dan keperluannya, misalnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai ataupun dengan memberikan hak pengelolaan pada suatu badan penguasa. Dalam pada itu kekuasaan negara atas tanah-tanah ini pun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum sepanjang kenyataan hak ulayat itu masih ada.12 Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” di atas adalah merupakan aspek publik. Bertolak dari ketentuan dalam pasal 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tersebut bisa diketahui bahwa yang menguasai semua tanah adalah Negara.13 Namun meskipun demikian Negara tidak sewenang-wenang dalam pemilikannya, melainkan mengusahakan dan mengolahnya demi kepentingan umum seluruh warga negara. Negara menjadi pengganti raja dalam masa pemerintahan feodal, dan negara bisa menjadi suatu lembaga hukum yang berwenang untuk
12 13
Lihat, Penjelasan Umum UUPA Nomor 5 tahun 1960 Bagian II. Menarik dalam hal ini membandingkan pengertian negara di sini dengan negara menurut Hans Kelsen. Kelsen menyebutkan bahwa negara dalam hal ini memiliki sejumlah fungsi yakni sebagai struktur hukum atau organisasi politik yang memiliki baas-batas wilayah tertentu; negara sebagai lembaga hukum yakni pemegang hak dan kewajiban tertinggi sebagai suatu lembaga; negara sebagai subyek, yakni berhak mengambil tindakan atas persoalan tertentu yang menyangkut penanganan hak-hak legal. Lihat, Hans Kelsen, “Pure Theory of Law”, (Berkeley; University of California Press, 1978), hal. 286-291.
©2004 Digitized by USU digital library
6
melepaskan tanah dalam bentuk peralihan hak (jual-beli, hibah, warisan).14 Sengketa Tanah Perkebunan Versus Masyarakat Pada Masa Konsesi di Sumatera Timur. Dari uraian sebelumnya telah bisa diketahui bahwa tanah-tanah di Sumatra Timur ditentukan penguasaannya oleh empat unsur besar yang berkepentingan terhadapnya yaitu : sultan, perusahaan perkebunan (onderneming), pemerintah kolonial, dan rakyat petani setempat. Sultan-sultan Melayu dalam hal ini mendasarkan pandangan penguasaan tanahnya pada prinsip bahwa raja adalah pemilik semua tanah (Vorstdomein) dan berhak memberikan tanah itu kepada siapapun yang dianggapnya layak dan mampu menggarapnya dengan menyerahkan upeti dari sebagian hasilnya kepada Sultan.15 Pada sisi yang lain, rakyat sebagai kawula raja memiliki prinsip bahwa tanah adalah milik adat yang bersifat komunal (ulayat), sementara raja dalam hal ini hanya memegang status sebagai pimpinan adat dan bukan sebagai penguasa tanah. Sultan berhak memerintah namun dalam pelaksanaan pemerintahan harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip adat yang berlaku. Jadi dengan kata lain, mengingat tanah adalah milik adat yang dikelola secara komunal untuk kepentingan bersama dan rakyat merupakan anggota dari kesatuan adat yang ada, maka semua tanah yang terkena hukum adat itu menjadi hak semua warga secara komunal (volksdomein). Dalam perkembangan sejarah Sumatera Timur, selain unsur raja dan rakyat sebagai suatu kesatuan feodal tradisional yang telah ada, pada pertengahan kedua abad XIX mulai muncul pihak luar dalam kekuatan yang berbeda. Kekuatan baru ini adalah kekuatan modal asing yang berbentuk pengusaha kapitalis dengan investasi modal utama dalam sektor perkebunan (onderneming). Para pengusaha perkebunan ini memerlukan tanah sebagai modal utama (permanent asset) dalam menggerakan roda usahanya dengan tujuan mengolah hasil produksi tanah bagi kebutuhan pasaran Internasional. Untuk itu, pengusaha perkebunan juga berkepentingan terhadap penguasaan tanah yang harus diperoleh dengan segala cara. Dengan mendasarkan pada kondisi zaman, mereka menganut faham “laissez faire laissez passer” (biarlah kami bebas berusaha) dengan mendasarkan kekuatannya pada besarnya modal dan jaringan bisnis yang telah dikembangkan secara cermat.16 Dalam proses 14
Ketentuan dalam UUPA Nomor 5 tahun 1960 ini sebenarnya kurang memberikan gambaran yang jelas sehingga mudah mengalami penyimpangan dan penyelewengan atau penyalahgunaan sehubungan dengan pelaksanaan hak menguasai tanah oleh negara tersebut. Sebagai contoh pengambilalihan hak ulayat atas tanah adat yang digunakan untuk pembangunan demi kepentingan negara. 15 Sistim yang dianut oleh para sultan ini mirip dengan raja-raja feodal Eropa pada abad pertengahan. Raja-raja Eropa membagi-bagikan tanah kepada orang-orang yang ditunjuk olehnya untuk menggarap tanah dan disetorkan sebagian hasilnya kepada mereka, namun setelah mereka meninggal tidak bisa menyerahkan kepada orang lain atau memberikan kepada keturunannya tanpa seizin raja. Dengan demikian status mereka hanya sebagai peminjam (leenstelsel). Lihat, B.C. Verkruisen, op.cit. hal. 4-5. Lihat juga, Gaetano Mosca, The Ruling Elite (London : Penguin Book, 1969). 16
Dalam semboyan liberal kapitalisme yang baru didengungkan di Eropa pada pertengahan abad XIX, faktor tanah dan tenaga kerja menjadi modal utama sebagai sarana produksi yang akan memberikan keuntungan berlimpah bagi kebutuhan pasar internasional. Kedua faktor produksi ini tersedia di tanah koloni, namun memerlukan suntikan modal dari para pengusaha ini. Lihat, B. Natapermadi, “Tiga Tahun Pembangunan Perkebunan”, dalam Almanak Pertanian 1954, hal. 244-245.
©2004 Digitized by USU digital library
7
mencapai tujuan ini, mereka membuka hubungan dengan para penguasa tanah secara formal yakni para Sultan Melayu dan melakukan interaksi sosial dengan para kepala adat setempat (datuk, penghulu, perbapaan). Wujud dari keberhasilan para pengusaha onderneming ini nampak dalam bentuk persewaan tanah oleh perusahaan dan perubahan fungsi tanah yang terjadi sejak akhir abad XIX di Sumatera Timur.17 Selain ketiga kekuatan tersebut di atas, muncul kekuatan ketiga yakni pemerintah kolonial Belanda yang mulai memasuki wilayah Sumatera Timur melalui jalur diplomatik politik. Tujuan pemerintah Belanda ini lebih bersifat politis dengan tekanan pada mempertahankan keutuhan kekuasaan Belanda dari ancaman inviltrasi asing dan menegakan keamanan serta ketertiban (rust en orde) di wilayah tempat para kawulanya mengelola kekuatan bisnisnya (para pengusaha perkebunan). Dengan menerima peran tersebut di atas, dalam hal ini pemerintah kolonial berkewajiban tampil sebagai penengah, pembuat kebijakan, penentu arah perkembangan dan pemegang keputusan akhir dalam sengketa yang muncul di antara pihak-pihak yang berkepentingan di Sumatera Timur. Setelah mengamati pemetaan kekuatan yang bermain di kawasan perkebunan Sumatera Timur ini, bisa diketahui bahwa sumber sengketa (dispute) yang berkaitan dengan tanah pasti akan melibatkan pihak-pihak tersebut di atas sejak dari akar permasalahan sampai penyelesaian akhir yang bersifat sementara. Dalam hal ini perlu diperhatikan adanya sifat sengketa yang berkelanjutan dalam penguasaan tanah di wilayah perkebunan Sumatera Timur. Persoalan tersebut hampir tidak pernah bisa diselesaikan secara tuntas karena adanya dua faktor penyebab utama yang berperan dalam hal ini. Faktor pertama adalah perbedaan persepsi awal yang dianut antara penguasa dan yang dikuasai. Penguasa dalam hal ini Sultan Melayu menganut prinsip bahwa raja adalah pemilik tanah (vorstdomein) mengingat Sultan-Sultan Melayu merupakan keturunan dari mereka yang diberi wewenang untuk memerintah, sementara rakyat merasa bahwa tanah adalah milik adat dan raja hanya sebagai koordinatornya (volksdomein). Pengusaha perkebunan Eropa yang berpedoman pada prinsip kekuasaan legal rasional memandang sultan seperti halnya raja-raja feodal di Eropa abad pertengahan dan raja-raja di Jawa, menganggap sultan sebagai pemilik tanah yang sah dan kontrak dengan sultan dianggap sudah menjamin tersedianya lahan tetap bagi kebutuhan usahanya dan merupakan pengakuan legal atas keabsahan tindakannya, tanpa memikirkan penduduk setempat yang menjadi penggarap tanah itu sebelum mereka datang. Akibatnya konflik kepentingan muncul di sini. Faktor kedua yang menghambat penyelesaian konflik agraria secara tuntas adalah penyelesaian yang diambil oleh pemerintah kolonial tidak menekankan pada aspek hukum yuridisnya, melainkan lebih dilandaskan pada kepentingan pemerintah untuk masa depan. Dengan demikian pemerintah kolonial lebih mengutamakan pendekatan politik untuk mengatasi persoalan tanah. Pemerintah kolonial dalam hal ini lebih menyukai kondisi keamanan yang 17
Salah satu dampak dari kapitalisme Barat terhadap para penguasa adat pribumi ini adalah diperkenalkannya ekonomi uang. Sejak dibukanya pengelolaan perkebunan onderneming para penguasa adat tidak lagi bisa mendasarkan produksinya hampir sepenuhnya pada konsumsi rumahtangga; dia harus mencari penghasilan uang tambahan. Akibatnya dia terlibat dalam produksi bagi pasaran dunia dan menjadi tergantung dengan flunktuasi ekonomi pasar. Mereka memaksa wargannya untuk mencari penghasilan tambahan apakah dengan ikut penanam tanaman niaga seperti karet rakyat di Sumatra Timur atau bekerja pada perusahaan itu sebagai kuli upahan, misalnya di tempat perajangan tembakau atau di tempat pengeringan karet. Lihat, W.F. Wertheim, “Indonesian Society in Transition”, (Bandung : Sumur Bandung, 1956), hal. 35.
©2004 Digitized by USU digital library
8
mengambang (floating security) sehingga semua letupan yang muncul selalu diselesaikan melalui tekanan dengan alasan untuk menegakan keamanan dan ketertiban (rust en orde). Sebagai akibatnya bersamaan dengan alih generasi yang terjadi, persoalan penguasaan lahan akan kembali muncul secara periodik dalam bentuk letupan-letupan pemberontakan dan pergolakan sosial. Konflik Kepentingan Berdasarkan hasil penelitian, bahwa dalam perkembangan sejarah, perbedaan kepentingan (conflicts) dan sengketa (dispute) pertanahan terjadi antara masyarakat petani dengan perkebunan. Pihak perkebunan didukung oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan Sultan Deli yang telah berlangsung sejak satu Abad secara terus-menerus. Dalam tahun 1863, Sultan Deli dengan restu Belanda telah memberikan konsesi luas kepada investor Belanda untuk perkebunan tembakau dalam waktu 75 sampai 99 tahun, tanpa batas-batas yang jelas. Sementara itu, rakyat sendiri sesungguhnya sudah bercocok tanam tembakau, pala secara tradisional. Hasil produksinya telah diekspor oleh para pedagang ke Penang, jauh sebelum Belanda datang ke Sumatera Timur. Dengan berkembangnya perusahaan perkebunan Belanda di Sumatera Timur, maka Sultan memberikan konsesi perkebunan secara besar-besaran dengan mengambil tanah-tanah yang semula telah dimiliki oleh rakyat untuk pertanian dan perkampungan berdasarkan Hukum Adat. Ketika datuk-datuk kepala suku Batak Karo tidak diajak berunding oleh sultan untuk menyerahkan konsesi-konsesi tanah di wilayah mereka, maka datuk-datuk ini menentang dan menuduh bahwa pemberian konsesi ini telah melanggar hukum adat yang sudah ada sebelum kedatangan Belanda. Dengan menyerang onderneming-onderneming itu, orang Batak Karo berharap akan mengakhiri perampasan hak-hak mereka dan meyakinkan pengusaha onderneming bahwa mereka harus merundingkan kontrak-kontrak tanah di wilayah Batak Karo dengan kepala suku masing-masing dan bukan dengan sultan.18 Residen Belanda menyelesaikan pertentangan langsung antara Sultan dan kepala-kepala suku Batak Karo itu, dengan menetapkan bahwa : pembayaran untuk konsesi-konsesi di wilayah Karo harus dibagi tiga bagian yang sama, sepertiga untuk Sultan, sepertiga untuk Datuk Batak Karo, dan sepertiga diberikan untuk Kepala-Kepala Desa dalam lingkungan konsesi. Karena Sultan berkedudukan lebih kurang merupakan koordinator saja dari pemerintahan urung (Datuk-Datuk)19 yang otonom, sedangkan Datuk-Datuk 18
19
1. 2. 3. 4.
E.A. Halewijn, “Geographische en ethnographische gegevens betreffendehet Rijk van Deli“ , Tijdschrift voor Indische Taal-, land-, en Volkenkunde, 23 (1876), hal. 147-152. Setelah dilakukan penelitian oleh pejabat-pejabat Belanda, maka tersingkap Kerajaan Deli itu sebagaimana dilaporkan W.P.F.L. Winckel terdiri dari : Daerah yang diperintah langsung oleh Sultan Deli dengan kampung Kota Maksum, Kota Maimun, Sukarame, Pulau Brayan, Glugur, Tanjung Mulia, Kampung Besar, Labuhan, Belawan, Mabar, Titipapan, Martubung dan Tanah Anam Ratus. Empat urung atau suku yakni, Serbanyaman, Sepuluhdua Kuta, Sukapiring dan Senembah. Daerah Percut dengan sebagai bagiannya distrik Sungai Tuan. Wilayah Padang-Bedagei. Empat urung ini dibagi menjadi daerah Melayu dan Batak, sementara daerah Batak dibagi lagi menjadi daerah hilir dan hulu atau yang oleh penduduk disebut Sinuan Bungo dan Sinuan
©2004 Digitized by USU digital library
9
yang langsung mengepalai rakyat masing-masing umumnya anti penanaman modal asing, bahkan anti masuknya kolonialisme Belanda, maka seiring dengan derita dan ratap tangis rakyat/petani, di tahun 1872 meletuslah pemberontakan yang dikenal dengan “Perang Sunggal“. Fakta sejarah, akibat perang Sunggal tersebut, maka pemerintah Belanda membagi tiga uang sewa atas tanah konsesi, yaitu sebahagian untuk Sultan, untuk Datuk-Datuk, dan untuk para penghulu yang berada di wilayah tanah konsesi. Tetapi dalam perjalanan sejarah selanjutnya, Sultan Deli dan para sultan yang ada di daerah Sumatera Timur, masih terus memberikan konsesi kepada pengusaha Onderneming. Akibatnya rakyat tidak mempunyai tanah untuk pertanian lagi. Untuk mengatasi keadaan ini, dalam akte-akte konsesi yang diberikan kepada pengusaha-pengusaha Onderneming, masyarakat diperbolehkan untuk memakai tanah yang dinamakan sebagai tanah jaluran.20 Bagi petani yang berstatus rakyat penunggu menjadi susah karena tanah-tanah jaluran setiap tahun berpindah-pindah secara rotasi pula dan letaknya kebanyakan jauh dari kampung tempat mereka menetap. Bagi rakyat suku Melayu yang tak ingin kualat pada raja, ketentuan menjadi nomaden, mereka menerima dengan apa boleh buat.21 Namun, diantara rakyat sultan lainnya termasuk petani Suku Karo yang sejak semula sudah homogen dengan adat istiadatnya, mereka tidak patuh terhadap kebijakan sultan. Sejak ini telah terjadi konflik kepentingan antara masyarakat dengan perkebunan yang dikenal dengan tuntutan rakyat penunggu. Disamping itu, karena adanya kompleksitas persoalan tanah yang disebabkan oleh adanya penduduk yang heterogen, yaitu terdiri dari Suku Melayu (di daerah pantai Langkat, dan Serdang), Batak Karo dan Simalungun. Di samping itu ada suku Jawa bekas kuli kontrak, dan golongan Cina.22 Sejak zaman pendudukan Jepang (1942-1945) suasana menjadi berubah, tanah
Gambir. Mengenai pemerintahan atas bagian kesultanan ini berikut perlu disampaikan. Urung atau suku berada di bawah pimpinan yang menyandang gelar Datuk, kecuali kepala sinembah yang disebut Kejuruan dan gelarnya juga disandang oleh kepala tanah Percut. Lima kepala adat ini bersama-sama kemudian membentuk Dewan Bangsawan. Di daerah Padang-Bedagei Sultan Deli memiliki wakil juga di Labuhan Deli. Di bawah kekuasaan langsung sultan hanya para kepala dari empat urung di Kejuruan Percut yang masih ada. Mengenai ahli warisnya sebagai aturan umum bisa diterima bahwa putera sulung harus menggantikan ayahnya dan kebiasaan ini juga diberlakukan bagi kepala adat yang lebih rendah. Datuk dianggap oleh sultan setelah berunding dengan Asisten Residen Deli dan Serdang serta dengan persetujuan Gubernur, dan penyimpangan baru bisa dilakukan apabila sistim ahli waris ini tidak memiliki syarat. Juga para kepala adat yang kurang cocok yang hanya memikirkan martabatnya sendiri masih terdapat diantara keturunan bangsawan itu. Di daerah Batak dari empat urung itu ada kebiasaan bahwa kepala dusun diangkat dan dipecat oleh kerapatan, para pejabat tinggi di kerapatan dusun dan para pejabat rendah oleh kerapatan urung. Lihat, Memorie van Overgave, W.P.F.L. Winckel, hal. 71-73. Lihat juga Gouvernement Besluit tanggal 30 Nopember 1920 nomer 42. 20 Lihat, Akta Konsesi 1877, 1878, 1884. 21 Lihat, Muhammad Said, “Wilopo dan Tanjung Morawa”, dalam : Wilopo 70 tahun, (Jakarta : Gunung Agung, 1979), hal. 330. 22 Penggarap Cina bekas kuli perkebunan, melakukan pemberontakan yang dikenal dengan Peristiwa Tanjung Morawa.
©2004 Digitized by USU digital library
10
dibagi-bagikan kepada rakyat untuk ditanami tanaman pangan. Masyarakat ini telah melakukan penggarapan areal perkebunan tembakau Deli, dan kemudian diikuti pula pendatang baru atau Imigran dari Tapanuli (Batak Toba). Perbedaan kepentingan muncul di antara penduduk Melayu, Batak Karo, dan Batak Toba terhadap tanah di areal perkebunan, dimana masing-masing pihak bertindak selaku petani penggarap (konflik horizontal), dan adanya kepentingan pihak pengusaha perkebunan untuk mempertahankan areal konsesi mereka, yang bernuansa ekonomi untuk memperoleh keuntungan (konflik vertikal). Sementara itu pada sisi lain juga muncul kepentingan penguasa untuk menertibkan penggarapan di atas tanah perkebunan, dalam rangka membangun perekonomian, sebagai negara yang baru merdeka, disamping cenderung melindungi pihak pengusaha perkebunan tetapi menyadari juga hak-hak rakyat berdasarkan hukum adatnya. Kenyataan ini membuat penguasa melakukan tindakan yang bersifat mendua. Keadaan ini menimbulkan konflik yang akhirnya membawa sengketa diantara pihak rakyat penggarap, pemerintah, dan pengusaha perkebunan. Selanjutnya, sengketa pertanahan di Sumatera Utara, terjadi karena adanya Rivalitas Politik, di Sumatera Timur,23 sebagai dampak pendudukan Belanda pada masa RIS (tahun 1947- 1949), dan pembentukan Negara Bagian Negara Sumatera Timur. Sejak tahun 1950, terjadi pertentangan antara kaum Republik Unitaris (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan Republik Federalis, yang ketika itu dikenal sebagai golongan Republiken dan Federalis. Kenyataan ini juga menimbulkan konflik kepentingan di antara pendukung kaum Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah kembali ke negara kesatuan, masing-masing pihak menanamkan pengaruh, dengan melibatkan para petani penggarap, dalam rangka memperoleh dukungan suara pada Pemilu pertama dalam sejarah Republik Indonesia. Bagi pendukung Negara Sumatera Timur, ada usaha untuk mempertahankan areal perkebunan dari serbuan masyarakat petani penggarap. Sementara itu bagi pendukung Negara Kesatuan, mereka berusaha untuk memperoleh suara dari petani penggarap, sehingga terkesan membiarkan areal perkebunan digarap oleh masyarakat petani penggarap. Sengketa pertanahan antara petani penggarap atau pendudukan liar oleh rakyat atas tanah-tanah konsesi onderneming perkebunan tembakau yang dimukimkan kembali muncul. Proses pemukiman yang berlangsung sejak zaman Jepang sampai pendudukan Belanda, yang kembali ke perkebunan mereka yang sudah ditinggalkan sejak zaman Jepang, tidak bisa diselesaikan secara tuntas. Keadaan ini berlangsung terus sampai Konferensi Meja Bundar (KMB). Dalam perjanjian KMB ditentukan bahwa tanah-tanah yang telah digarap oleh masyarakat, tidak dengan begitu saja dapat dikembalikan kepada Onderneming 23
Rivalitas Politik antara PKI, Masyumi, PNI, beserta organisasi-organisasi taninya masing-masing, dan ketika itu para penggarap tanah perkebunan didukung oleh partai-partai politik tersebut . Dalam kenyataannya, para penggarap tanah perkebunan tersebut, tidak dapat diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah, sehubungan dengan adanya pro dan kontra antara Negara Kesatuan dengan Negara Federasi yang diciptakan Belanda, yang masing-masing memanfaatkan massa rakyat petani penggarap untuk memenangkan percaturan politik.
©2004 Digitized by USU digital library
11
yang bersangkutan, akan timbul kegelisahan yang amat sangat, sehingga pengembalian tanah itu pada kebanyakan hal tidak mungkin terjadi. Tiap keadaan akan dipertimbangkan sendiri, dan akan diusahakan penyelesaian yang dapat diterima oleh segala pihak. Konflik Antara Masyarakat dan Perkebunan Setelah Perjanjian KMB Berdasarkan perjanjian KMB tersebut dengan jelas bahwa, tanah-tanah onderneming tidak akan dikembalikan begitu saja, dan tidak akan dicabut begitu saja . Keadaan ini juga menimbulkan konflik kepentingan antara masyarakat dan perkebunan, hingga terjadi sengketa yang tidak mudah diselesaikan . Sengketa berlangsung terus sampai berakhirnya/batalnya perjanjian KMB, dan kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dibentuk Panitia Pusat Urusan Tanah Pertanian (PPUTP) menghasilkan persetujuan umum antara penguasa sementara dan pengusaha perkebunan, bahwa perkebunan tembakau harus mengembalikan sekitar 130.000 Ha tanah, dari seluruh lahan perkebunan seluas 255.000 Ha kepada pemerintah provinsi. Sisanya seluas 125.000 Ha, diberikan kepada Deli Planters Vereniging (DPV), dengan hak sewa selama 30 tahun. Dari luas tanah yang 130.000 Ha ini, 90.000 Ha diserahkan kepada rakyat sebagai hak milik. Dalam pelaksanaan teknis tugas PPUTP tersebut, menimbulkan sengketa antara masyarakat, perkebunan dan pemerintah. Sengketa ini terus berlangsung sampai terbentuknya UndangUndang Pokok Agraria (UUPA), dan masalahnya tidak dapat diselesaikan, kemudian berlanjut sampai masa pemerintahan Soeharto hingga Reformasi . Konflik Antara Masyarakat dan Perkebunan Setelah Orde Baru dan Reformasi Secara umum, materi perbedaan kepentingan (conflicts) dan sengketa (dispute) pertanahan pada dewasa ini (sejak Orde Baru dan Orde Reformasi), dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu sengketa sesama anggota masyarakat, sengketa antara anggota masyarakat dengan pemerintah dan sengketa antara anggota masyarakat dengan pihak pengusaha perkebunan, baik swasta maupun BUMN. Dari ketiga kelompok sengketa tersebut, sengketa antara anggota masyarakat dengan pihak perusahaan perkebunan yang menyangkut HGU adalah sangat dominan terjadi di Provinsi Sumatera Utara. Ini termasuk sengketa antara anggota masyarakat dengan perusahaan perkebunan yang disebabkan adanya tuntutan atas tanah-tanah HGU yang diakui sebagai hak ulayat dari suatu kelompok masyarakat. Tuntutan masyarakat hukum adat atas HGU perkebunan di Provinsi Sumatera utara, pada umumnya berasal dari badan-badan atau lembaga-lembaga tertentu yang mengatasnamakan kelompok masyarakat hukum adat. Tuntutan terhadap tanah ulayat24 seluas ± 250.000 Ha meliputi seluruh bekas areal konsesi Deli Planters Verenigings (DPV) yang terbentang antara Sungai Ular (Kabupaten Deli Serdang), sampai dengan Sungai Wampu (Kabupaten langkat), dikembalikan kepada negara ± seluas 130.000 Ha, dan sisanya 125.000 Ha, diberikan sebagai hak sewa selama 24
Tentang perbedaan persepsi yang bekaitan dengan penguasaan tanah adat (hak ulayat) bisa dilihat pada Bab III sub A disertasi ini tentang konflik tanah adat dan tanah negara.
©2004 Digitized by USU digital library
12
30 tahun, kepada DPV. Pembagaian tanah 130.000 Ha yang diperuntukkan untuk rakyat, ternyata sampai keluarnya UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tidak dapat diselesaikan secara tuntas. Dalam perkembangan selanjutnya, luas tanah yang diberikan sebagai hak sewa kepada DPV, diperbaharui dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Agraria No.24/HGU/1965, yang diberikan kepada PNP-IX menjadi seluas 59.000 Ha. Pelaksanaan Surat Keputusan Menteri Agraria No.24/HGU/1965 dalam prakteknya, banyak menimbulkan sengketa antara rakyat penunggu dengan pihak perkebunan, mengenai hak ulayat yaitu hak masyarakat untuk mengerjakan tanah jaluran di atas areal PNP-IX, dan sengketa antara penggarap yang datang sebagai imigran dari Batak Toba, dan para penggarap bekas kuli kontrak suku Jawa dan Cina. Kemudian dalam periode selanjutnya, terjadi juga sengketa antar eks-karyawan pensiunan perkebunan dengan pihak PNP-IX ( sekarang PTPN-II ). Disamping itu, ada pula penafsiran yang menyatakan bahwa tanahtanah perkebunan dengan hak konsesi tersebut diberikan oleh Sultan sebagai kepala pemerintahan waktu itu, dan bukan sebagai kepala/pemangku Adat. Atas dasar penafsiran ini, secara yuridis dapat diartikan bahwa dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, demi hukum pemerintah kesultanan termasuk Deli, praktis tidak ada lagi. Dengan demikian pemerintahan yang berlaku adalah Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan akibat hukum bahwa tanah-tanah konsesi yang dahulunya diberikan oleh sultan sebagai kepala pemerintahan, berubah statusnya menjadi tanah negara, yang pengaturan peruntukkan dan penggunaannya merupakan kewenangan negara, sebagai wujud hak menguasai negara yang diatur dalam pasal 33 UUD 1945 jo. pasal 2 UUPA No. 5 Tahun 1960. Di lain pihak, dalam pasal 3 UUPA No.5 Tahun 1960 dengan tegas mengatakan, bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat masih tetap diakui keberadaannya, sepanjang kenyataannya masih ada. Dengan adanya pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat, maka hal ini menimbulkan dilematis dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera Utara, dimana dalam perkembangannya, keberadaan hukum adat itu sendiri masih menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan masyarakat adat, dengan pihak-pihak lainnya. Kenyataan ini dari sudut ilmu hukum dapat dianalisa bahwa, UUPA Nomor 5 Tahun 1960 didalamnya mengandung dua (2) sistem hukum yang berbeda yaitu satu sisi berdasarkan sistem hukum nasional, dan sistem hukum adat. Hal ini akan menimbulkan perselisihan hukum (Conflictenrecht) yang harus ditentukan hukum mana atau hukum apa yang menjadi hukum dari suatu hubungan hukum yang terjadi dalam suatu peristiwa hukum, yang menyangkut dua atau lebih sistem hukum yang berlaku. Dalam hal ini, mengenai tanah jaluran sebagai hak dari rakyat penunggu yang berdasarkan hukum adat, dan Hak Guna Usaha (HGU) PNP-IX (sekarang PTPN-II) yang diterbitkan berdasarkan UUPA No.5 Tahun 1960 yang sama sekali tidak sesuai dengan hukum adat adalah merupakan dua sistem hukum yang berbeda. Maka dalam hal ini perlu adanya peraturan petunjuk atau peraturan asli yang mengatur sendiri. Peraturan petunjuk diperlukan untuk menentukan, apakah hukum adat atau mutlak UUPA Nasional. Sedangkan peraturan asli adalah peraturan yang tidak menunjuk, hukum mana yang akan dilakukan, tetapi memberi sendiri penyelesaian misalnya, penjelesan umum II-3 tenntang
©2004 Digitized by USU digital library
13
pelaksanaan hak ulayat. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya sengketa terhadap tuntutan hak ulayat pada areal HGU perkebunan khususnya di Sumetara Utara. Berdasarkan wawancara dengan pejabat Tim “B-PLUS” Sumatera Utara25 . Bahwa sejak tahun 1960 s/d 2002, banyak tuntutan masyarakat terhadap PNPIX (sekarang PTPN-II) berdasarkan hak ulayat, yang menuntut antara lain : 26 Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPPRI), Badan Kesejahteraan Masyarakat Adat Deli (BKMAD), Forum Pembela Tanah Ulayat Masyarakat Melayu Sumatera Timur (Forum PETA UMAT), Kesatuan Hukum Adat Serdang (KMHAS), Kelompok-kelompok masyarakat yang mengaku sebagai keturunan, ahli waris, ataupun warga dari raja-raja/pengetua adat, yang dulunya menguasai wilayah, atau daerah-daerah tertentu di Provinsi Sumatera Utara. Tuntutan rakyat atas tanah perkebunan tersebut di atas adalah didasarkan pada bukti-bukti atau alas hak, yang telah diterbitkan pejabat penyelesaian tanah garapan di areal perkebunan sebelumnya seperti : a) SK GUBSU No. 36/K/Agr/1951, mengenai pembagian tanah. sawah dan ladang di seluruh areal PTPN-II (Eks. PTPN-IX). b) Kartu Tanda Pendaftaran Pemilikan Tanah Perkebunan (KTPPT) yang dikeluarkan oleh kantor Reorganisasi Pemakaian tanah Sumatera Timur (KRPT) maupun Camat Tahun 1954 sampai 1956. c) Surat Izin Menggarap yang dikeluarkan oleh Bupati sebagai Ketua Panitia Landreform Kabupaten maupun Kecamatan. d) Surat Keputusan dari Badan Penyelesaian Perkebunan Sumatera Timur (BPPST). e) Surat Keputusan Mendagri No. 44/ DJA/1981 mengenai Redistribusi Tanah seluas 9.085 Ha. f) Surat Keputusan Gubernur mengenai Hasil Tim Penyelesaian Tanah Garapan PTP IX (TPTGA), yang telah ditindaklanjuti dengan SK Mendagri No.85/ DJA/1984. g) Surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Desa dan diketahui Camat. h) Bukti Pembayaran Ipeda yang dikeluarkan oleh Jawatan Pemungut Pajak. i) Surat Pembagian Tanah Objek Landreform yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Agraria Tingkat II Deli Serdang dan Langkat. j) Pengakuan Kesaksian dan Uraian Kronologis tuntutan yang diperbuat oleh masyarakat/penuntut. Tuntutan bekas karyawan/pensiunan karyawan PTPN-II yang masih ditempati menyangkut 58 perumahan lokasi seluas 2.865,513 Ha, yang tersebar pada 26 kebun, ada yang tergabung kedalam Himpunan Pensiunan Perkebunan Maju Bersama (HIPPMA) seluas 910,5 Ha, terletak di 21 kebun. Selebihnya seluas 1.955,013 Ha tergabung dalam Persatuan Purna Karyawan Perkebunan Republik Indonesia ( P3RI), serta kelompok lainnya. 25
26
Hasil wawancara dengan Pejabat Tim “B-PLUS” yang dilakukan di kantor wilayah BPN Tingkat-1 Sumatera Utara pada hari Senin tanggal 11 Februari 2002. Pemerintah Daerah Sumatera Utara, Kebijakan Untuk Mengatasi Penyelesaian Konflik (Klaim Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat). Disampaikan dalam Seminar Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Melayu di Sumatera Utara, Medan, 02 Februari 2002. Dan Hasil Wawancara dengan Paniita B “PLUS” Sumatera Utara.
©2004 Digitized by USU digital library
14
Ada permohonan rakyat di atas areal perkebunan, untuk kepentingan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan kepentingan perkantoran/perumahan untuk pemerintah maupun kepentingan masyarakat lainnya seluas 4.251,82 Ha.27 Tuntutan masyarakat atas areal Perkebunan PTPN-II tersebut di atas, yang dituntut atas dasar Hak Ulayat Masyarakat Adat (Melayu), dan masyarakat lainnya, pada saat sekarang ini, tidak dapat dilepaskan dari sejarah sengketa tanah masa lalu. Sulitnya Penyelesaian Sengketa dan Munculnya Sengketa Baru. Dari uraian beberapa kasus tersebut diatas, dapat kita kategorikan karakteristik sengketa pertanahan di areal perkebunan PTPN-II dan PTN-III adalah adanya berbagai tuntutan masyarakat antara lain : I. Tuntutan Badan Rakyat Penunggu Republik Indonesia (BPRPI), terhadap areal PTPN-II, agar diberikan lahan tanah jaluran, berdasarkan hak ulayat masyarakat adat Melayu . II. Tuntutan masyarakat penggarap terhadap tanah di areal perkebunan PTPN di Sumatera Utara . III.Tuntutan karyawan eks PTPN-II, terhadap areal perkebunan tentang tapak perumahan dan lahan pertanian, yang digugat untuk dilepaskan dari areal HGU dan dibagikan kepada eks karyawan. IV.Dan lain-lain . Sedangkan kasus sengketa Hak Guna Usaha PTPN-III di Kabupaten Deli Serdang Perkebunan Bandar Betsy, Perkebunan Sei Putih, Perkebunan Silau Dunia, Perkebunan Rambutan, Perkebunan Gunung Pamela dan di Kabupaten Labuhan Batu seperti Perkebunan Rantau Prapat, Perkebunan Aek Torop dan Perkebunan Aek Nabara adalah : I. Tuntutan para penggarap terhadap areal Perkebunan berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 dan SK Landreform No. 4/II/10/LR/PP, No.2/II/ LR/ 65/ PP. II. Tuntutan para penggarap berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, Undang-Undang No 51 Prp Tahun 1960. III. Tuntutan para penggarap Kartu Pendaftaran Tanah dikeluarkan Assisten Wedana 1 Desember 1954. IV. Tuntutan para penggarap Kelompok Reformasi berdasarkan telah menggarap sejak tahun 1942. Tuntutan ini tidak didasari oleh undangundang atau tanpa alas hak yang sah. V. Tuntutan para penggarap berdasarkan telah menggarap tahun 1942 atas perintah militer Jepang. Tuntutan ini tidak didasari oleh undang-undang atau tanpa alas hak yang sah.
27
Wawancara dengan Informan dari Tim Tanah Kantor Gubernur Sumatera Utara pada hari Selasa tanggal 12 Februari 2002 di Kantor Gubernur Sumatera Utara . Dikatakan pula bahwa sangat sulit menghadapi tuntutan-tuntutan masyarakat adat yang tergabung dalam organisasi tersebut di atas, yang muncul setelah Reformasi, kecuali BPRPI , dan tuntutan dari para penggarap yang legal maupun ilegal. Jika dikabulkan semua apa yang mereka tuntut, maka seluruh areal perkebunan PTPN-II yang ada sekarang ini tidak cukup untuk dibagikan kepada masyarakat tersebut . Kalaupun dipenuhi tuntutan tersebut, maka tidak ada lagi tanah yang bersisa untuk PTPN-II. Jadi secara rasional, tuntutan masyarakat itu tidak logis, bahkan ada yang tanpa memiliki alas hak sama sekali.
©2004 Digitized by USU digital library
15
Secara umum dari beberapa kasus tersebut diatas dapat dianalisa, bahwa tindakan penggarapan yang dilakukan oleh masyarakat diatas tanah perkebunan, terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang hak menguasai negara dengan hak ulayat masyarakat adat. Dalam pasal 2 UUPA ditegaskan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi di kuasai oleh negara, tetapi disisi lain dalam pasal 3 menegaskan, bahwa hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada tetap diakui. Dari kedua ketentuan tersebut diatas, berarti didalam UUPA terdapat dua sistim hukum yang berbeda mengenai hak menguasai terhadap tanah. Keadaan ini menimbulkan terjadinya conflicten recht/perselisihan hukum, maka dalam hal ini perlu ditegaskan tentang apa yang menjadi peraturan hukum atau hukum mana yang berlaku mengenai suatu hubungan hukum yang terjadi dalam suatu peristiwa hukum yang memuat unsur-unsur yang dapat menyangkutkan dua atau lebih sistim hukum yang berlaku. Contohnya kasus antara BPRPI versus PTPN-II, BPRPI menggugat tanah jaluran yang bersumber dari hukum adat diatas areal PTPN-II, sedangkan PTPN-II mempertahankan haknya berdasarkan HGU yang dikeluarkan Menteri Agraria berdasarkan UUPA. Pemberian HGU kepada PTPN-II oleh negara didasarkan atas pasal 2 UUPA, tetapi secara yuridis tindakan ini harus memperhatikan pasal 3 dan pasal 5 UUPA. Namun dalam pelaksanaannya ternyata hak ulayat masyarakat adat diabaikan sama sekali. Pemerintah dan PTPN-II tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat adat setempat, ataupun tidak memberikan recognitie sebagai konstribusi kepada masyarakat, dengan adanya HGU di atas tanah ulayat mereka. Dari kasus ini Pemerintah hanya menentukan hukum yang berlaku dalam konflik tersebut, hanya bersandar pada pasal 2 UUPA, sedangkan pasal 3 dan pasal 5 UUPA dikesampingkan. Konflik antara hukum negara (UUPA) dan hukum adat/tradisi tak tertulis, terjadi karena hukum negara yang tertulis dan disistematisasi dalam UUPA, tidak melestarikan tatanan tradisi masyarakat adat/lokal yang lama, dengan cara mengakomodasi tradisi dan hukum adat lokal ke dalam UUPA. Tetapi hanya mendekonstruksi serta merekonstruksi tatanan-tatanan institusional yang ada atau bahkan untuk menggantikannya dengan yang baru dalam rangka mengupayakan unifikasi hukum tanah. Maka dalam praktek penegakan UUPA terdapat selisih paham mengenai keberadaan hukum itu legal gaps, yaitu selisih pahaman dan atau keyakinan masyarakat antara apa yang dikehendaki oleh pelaksana administratur negara agar dipatuhi dengan apa yang masih diyakini dan dipatuhi oleh masyarakat, sebagai tradisi sehari-hari oleh masyarakat setempat. Legal gaps terjadi karena substansi pasal 2 UUPA, mengenai hak menguasai negara, tidak ada membatasi secara tegas tentang sejauh mana hak menguasai negara itu dapat berlangsung. Apabila dikaitkan dengan pasal 3 UUPA yang mengakui hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada, juga tidak dirumuskan persyaratan-persyaratan yang konkrit sebagai elemen-elemen untuk menentukan ada tidaknya hak ulayat. Disamping itu pasal 5 UUPA hanya merumuskan hukum adat secara umum dan abstrak, dengan menyebutkan hukum adat “sebagai hukum asli” yang sesuai dengan kesadaran hukum rakyat banyak dan yang sesuai dengan Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Perumusan ini menimbulkan legal gaps antara keyakinan masyarakat dengan apa yang dikehendaki oleh pemerintah. Keyakinan hukum masyarakat adat lokal tidak sama dengan keyakinan dan kehendak pemerintah. Kondisi inilah yang
©2004 Digitized by USU digital library
16
menyebabkan sengketa pertanahan sulit diselesaikan, walaupun ada kalanya dapat diselesaikan dengan pemaksaan kehendak namun sengketa cenderung akan muncul kembali. Pelaksanaan UUPA dalam prakteknya dilakukan secara universal, tanpa memperhatikan hukum yang hidup (Living law) dalam masyarakat tertentu. Sehingga pada masyarakat Sumatera Timur yang masih mengakui adanya hak ulayat, penerapan dan pengertian dari sistim hukum tersebut, di kalangan masyarakat adat masih kabur. Disamping itu model dalam penerapan UUPA dan kebijakan-kebijakan pemerintah, hanya diberikan oleh pembuat undang-undang kepada pelaksana hukum, dengan mekanisme kontrol penerapan sanksi, atas pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat. Tanpa mempertimbangkan kenyataan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Ternyata sanksi hukum tidak dapat menghentikan sengketa pertanahan, baik tuntutan berdasarkan hak ulayat, maupun tuntutan berdasarkan okupasi tanah yang telah dilakukan secara terus-menerus dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Penggarapan diatas tanah perkebunan oleh masyarakat adat maupun oleh petani penggarap terus berlangsung, walaupun sudah banyak peraturanperaturan dan kebijakan pemerintah yang dikeluarkan untuk mengantisipasi agar tidak terjadinya tindakan penggarapan, baik dari BPRPI maupun dari para petani penggarap. Sengketa pertanahan di Sumatera Utara sampai sekarang belum dapat diselesaikan secara tuntas karena permasalahan yang dihadapi sangat rumit sehubungan dengan sejarah keberadaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku di Sumatera Utara khususnya mengenai sengketa tanah perkebunan yang antara lain sebagai berikut : 1. Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 Tentang Soal Pemakian Tanah Oleh Rakyat. Pemakaian tanah perkebunan dan hutan menurut Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 jo. Undang-Undang No. 1/1956 harus diselesaikan, dan pada tanggal berlakunya Undang-Undang No. 51 Prp. Tahun 1960 belum diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Darurat tersebut, selanjutnya akan diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Menteri Agraria setelah mendengar keterangan Menteri Pertanian. Menteri Agraria dengan mendengar Menteri Pertanian dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menyelseaikan pemakaian tanah perkebunan dan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah dimulai sejak tanggal 12 Juni 1954. Dalam menyelesaikan pemakaian tanah perkebunan Menteri Agraria harus memperhatikan kepentingan rakyat pemakai tanah yang bersangkutan, kepentingan penduduk di daerah perkebunan dan luasnya tanah yang diperlukan perusahaan perkebunan untuk menyelenggarakan usahanya, dengan ketentuan terlebih dahulu diusahakan penyelesaian secara musyawarah dengan pihak-pihak yang bersangkutan. 28 Terhadap siapa yang melanggar dan tidak mematuhinya dapat diancam pidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan apabila sebanyak-banyaknya 500 rupiah. 29
28 29
Lihat, Pasal 5 Undang-Undang No.51 Prp Tahun 1960. Lihat, Pasal 6 (2) Undang-Undang No.51 Prp Tahun 1960.
©2004 Digitized by USU digital library
17
2. Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Undang-Undang No. 51 Prp. Tahun 1960 ini adalah merupakan dasar hukum bagi penguasa daerah untuk melindungi tanah-tanah terhadap pemakaian yang berhak atau kuasanya serta melakukan tindakan-tindakan dalam menyelesaikan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah. Dalam undang-undang ini menentukan dua cara penyelesaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, yaitu : a. Penyelesaian untuk pemakaian tanah bukan perkebunan dan bukan hutan. Penyelesaiannya diatur dalam pasal 3 yang berbunyi : 1) Penguasa daerah dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang ada di daerah masing-masing pada suatu waktu. 2) Penyelesaian tersebut pada ayat 1 pasal ini diadakan dengan memperhatikan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan. Dari ketentuan pasal 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa pemakai tanah bukan tanah perkebunan dan bukan tanah hutan, penguasa daerah dalam hal ini Bupati dapat memerintahkan pengosongannya, bahkan dapat melaksanakan sendiri tanpa proses pengadilan. Disamping itu menurut ketentuan pasal 6 pemakai tanah tanpa izin ini dapat dikenakan pidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau denda sebanya-banyaknya Rp. 5.000,b. Penyelesaian untuk pemakaian tanah-tanah perkebunan dan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Cara penyelesaian diatur dalam pasal 5 yang berbunyi sebagai berikut ; 1) Pemakaian tanah-tanah perkebunan dan hutan yang menurut Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954 termuat dalam lembaran negara Tahun 1954 Nomor 65 jo. Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1956 termuat dalam lembaran negara tahun 1956 Nomor 45 harus diselesaikan, dan yang pada tanggal mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini belum diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Darurat tersebut, selanjutnya akan diselesaikan menurut ketentuanketentuan yang akan ditetapkan oleh Menteri Agraria, setelah mendengar Menteri Pertanian. 2) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat 1 pasal ini, maka Menteri Agraria dengan mendengarkan Menteri Pertanian, dapat pula mengambil tindakan-tindakan untuk mnyelesaikan pemakaian tanah perkebunan dan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang dimulai sejak tanggal 12 juni 1954. 3) Didalam rangka penyelesaian pemakaian tanah perkebunan dan hutan itu Menteri Agraria dan Instansi yang ditunjuknya mempunyai wewenang pula sebagai yang dimaksud dalam pasal 4. 4) Didalam menggunakan wewenangnya sebagai yang dimaksud dalam pasal ini, maka mengenai penyelesaian pemakaian tanah-tanah perkebunan Menteri Agraria harus memperhatikan kepentingan rakyat pemakai tanah yang bersangkutan, kepentingan penduduk lainnya di
©2004 Digitized by USU digital library
18
daerah tempat letaknya perusahaan kebun dan luas tanah yang diperlukan perusahaan itu untuk menyelenggarakan usahanya dengan ketentuan bahwa terlebih dahulu harus diusahakan tercapainya penyelesaian dengan jalan musyawarah dengan pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 4 Undang-Undang Prp No 51 Tahun 1960 yang dimaksud oleh ayat 3 tersebut diatas berbunyi sebagai berikut : 1) Dalam rangka menyelesaikan pemakaian tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 3, maka penguasa daerah dapat memerintahkan kepada tanah yang bersangkutan dengan segala barang dan orang yang menerimanya hak daripadanya. 2) Jika setelah berlakuya tenggang waktu yang ditentukan didalam perintah pengosongan tersebut pada ayat 1 pasal ini belum dipenuhi yang bersangkutan, maka penguasa daerah atau pejabat yang diberi wewenang olehnya melaksanakan pengosongan itu atas biaya pemakai tanah itu sendiri. Jadi menurut ketentuan pasal 4 dan 5 tersebut, untuk pemakaian tanah perkebunan dan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya dapat diselesaikan dengan dua cara yaitu : 1) Dengan cara menerapkan ketentuan pasal 4, yakni perintah pengosongan secara paksa oleh Menteri Agraria dan Instansi yang ditunjuknya; 2) Dengan jalan musyawarah dengan memperhatikan kepentingan rakyat pemakai tanah dan kepentingan penduduk lainnya. Kedua peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah tersebut, silih berganti telah terjadi perubahan Perundang-undangan dan kebijakan mengenai tanah perkebunan, baik yang dilakukan secara fundamental maupun secara tambal sulam. Menurut Solly Lubis, bahwa konseptualisasi yang tidak mendasar dan tanpa perkiraan strategis, dapat menimbulkan perundang-undangan yang bersifat tambal sulam dengan daya atur yang kurang tahan lama. Sebagai contoh, undang-undang agraria bukan sekedar fenomena hukum dan produk politik pertanahan, tetapi juga mempunyai dimensi ekonomis, sekaligus dimensi budaya seperti misalnya tanah ulayat dan tanah jaluran. Dimensi politik penataan pendidikan dan penggunaan tanah sebagai jawaban terhadap politik pertanahan di masa kolonial yang melihat tanah sebagai penguasa dan ekonomi kuat. Melalui pendekatan kultural pembinaan hukum dilihat bukan sekedar pergeseran waktu dari zaman kolonial ke zaman kemerdekaan, tetapi adalah juga pergeseran nilai yang kita anut kedalam kontstruksi hukum nasional.30 Sehubungan dengan pendapat tersebut diatas, pelaksanaan UUPA No. 5 Tahun 1960. Khusus mengenai keberadaan hukum adat tentang hak ulayat dan tanah jaluran di areal perkebunan PTPN Sumatera Utara, ternyata tidak taat azas, bahkan bertentangan dengan filosofi hukumnya. Pemahaman atas unsur filosofis UUPA No. 5 Tahun 1960, memegang peranan sentral sebagai pemahaman dan penilaian yang benar atas semua peraturan 30
M. Solly Lubis, “Serba-Serbi Politik dan Hukum”, (Bandung : Mandar Madju, 1989), hal. 48-49.
©2004 Digitized by USU digital library
19
hukum yang bersangkutan dengan tanah. Selama pemahaman atas filosofis UUPA yang bersumber pada filosofis adat, tidak dipahami dengan baik, maka kerancuan dan pertentangan norma dalam penerapan hukumnya akan terus berlangsung. Kerancuan ini berdampak pada sistem administrasi dan sistem pertanahan yang akhirnya akan menimbulkan rasa tidak puas dari masyarakat, karena bertentangan dengan rasa keadilan. Kenyataan ini berlangsung sampai saat sekarang, karena para penegak hukum mengabaikan pemahaman tentang filosofis hukum adat tanah, sebagai dasar UUPA No. 5 Tahun 1960. Dalam praktek, penafsiran atas norma hukum UUPA sering dilandaskan hanya pada Hukum Barat (BW/KUHPerdata). Oleh karena itu, ketika berhadapan dengan persoalan tanah, maka sumber jawaban selalu dicari pada BW/KUHPerdata, dengan prakyek Administrasi Kolonial Belanda yang Kolonialis. Jika berpegang pada filosofis Hukum Barat, maka jiwa UUPA telah dihancurkan, dimana penegak hukum menempatkan dirinya sebagai lawan, dan bukan fasilitator atas aspirasi rakyat. Hal ini berdampak pada pertentangan antara masyarakat dengan penguasa yang sukar mencari penyelesaiannya. Sebabnya adalah karena adanya perbedaan sumber inspirasi norma hukum yang berbeda dan saling bertentangan antara sumber yang digunakan, antara sumber yang digunakan para penegak hukum yaitu hanya sebatas hukum positif (ius constitutum) dengan persepsi dan aspirasi masyarakat, tentang bagaimana seharusnya hukum tanah itu harus dilakukan (ius constituendum) diterapkan. Seyogyanya, beberapa peraturan yang terkait mengenai penyelesaian sengketa pertanahan, yang diterbitkan sebagai peraturan pelaksanaan dari UUPA. Untuk menyelesaikan sengketa antara masyarakat adat dan petani penggarap dengan PTPN, harus dibuat sesuai dengan jiwa/filosofis dari UUPA secara mendasar dan menyeluruh. Tidak dilakukan hanya secara praktis dan pragmatis yang hanya mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak, sesuai dengan tuntutan yang terjadi pada suatu saat tertentu, misalnya hanya memandang kepentingan pembangunan ekonomis dan kepentingan pengusaha besar, yakni misalnya kepentingan pengusaha perkebunan PTPN. Keberadaan peraturan yang dibuat atas dasar kepentingan yang mendesak/darurat, misalnya Undang-Undang Darurat Prp. No.56 Tahun 1951 dan beberapa peraturan lainnya yang terkait, sudah barang tentu sukar untuk diterapkan, bahkan selalu menimbulkan ketidakpuasan masyarakat (penggarap) karena bertentangan dengan rasa keadilan.Tetapi dengan berlakunya peraturan tersebut, yang masing-masing telah menimbulkan akibat hukum dan menimbulkan hak tertentu bagi masyarakat maupun pihak perkebunan. Akibat hukum yang ditimbulkan, dengan sendirinya hapus, walaupun telah terjadi perubahan perundang-undangan maupun kebijakan. Oleh karena itu, hak-hak masyarakat yang telah ada akibat dari undangundang yang terdahulu masih tetap melekat, sepanjang undang-undang yang baru belum dapat menyelesaikannya sesuai dengan aturan peralihan yang ada dalam undang-undang tersebut. 3. Pedoman Menteri Agraria No.1 Tahun 1960, Tentang Penyelesaian Sengketa Pemakaian Tanah Perkebunan di Sumatera Timur. Berdasarkan Pedoman Menteri Agraria No.1 Tahun 1960, Tentang Penyelesaian Sengketa Pemakaian Tanah Perkebunan di Sumatera Timur, antara lain mengatur bagi orang-orang pemakai tanah perkebunan yang termasuk golongan yang dilindungi oleh Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954,
©2004 Digitized by USU digital library
20
dipindahkan ke tempat-tempat penampungan yang telah disediakan bagi mereka. Penampungan bagi orang-orang tersebut diusahakan sedemikian rupa, sehingga mereka ditempat yang baru itu mendapatkan mata pencaharian, sebagai buruh perkebunan atau petani untuk kepentingan hidupnya dan tempat pekarangan yang cukup luas. Tiap-tiap keluarga petani yang dipindahkan mendapat pembagian tanah pertanian, yang menjamin hidupnya secara layak.31 Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa bagi penggarap tanah perkebunan tetap dilindungi, dan tidak dapat digusur dengan begitu saja oleh pihak perkebunan. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata masyarakat adat dengan tuntutan hak ulayatnya dan petani penggarap, yang dilindungi dengan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, banyak yang tergusur, bahkan mengalami intimidasi dari penguasa perang ketika itu. Misalnya penguasa pelaksana DWIKORA daerah Sumatera Utara . Di samping itu, Pedoman Menteri Agraria tersebut menegaskan bahwa, untuk tanah jaluran yang menimbulkan persengketaan yang tak habis-habisnya antara rakyat penunggu, buruh/tani dan Perkebunan. Mengingat makin bertambah kecilnya tanah jaluran, berhubung adanya wens-areal, maka adanya persediaan tanah itu tidak cukup lagi untuk dibagi diantara mereka yang menghendakinya. Oleh karena itu, pembagian tanah jaluran harus segera dihapuskan.32 Ketentuan tersebut dilanjutkan dengan Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963, yang menegaskan bahwa : tanah-tanah jaluran yang ada setelah wens-areal perkebunan-perkebunan yang bersangkutan, ditetapkan tidak boleh dibagi lagi menurut cara yang lama. 4. Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963 Tentang. Menurut Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963, yang mendapatkan tanah jaluran adalah sebagai berikut : a. Yang berhak adalah rakyat petani saja, tidak termasuk buruh perkebunan. b. Harus digarap sendiri. c. Izin penggarapan hanya berlaku untuk satu tahun panen. d. Penyelenggaraan pembagiannya, misalnya penentuan siapa rakyat petani, luas tanah, letak tanah dilakukan oleh Panitia Landreform daerah tingkat II . Dengan keluarnya Peraturan Menteri Agararia No.1 Tahun 1960 jo. Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963, maka dengan tegas keberadaan tanah jaluran sudah dihapus atau tidak boleh lagi dibagi menurut cara yang lama. Ketentuan ini menimbulkan penafsiran yang berbeda dari kalangan masyarakat, ada yang berpendapat tanah jaluran sudah dihapuskan dan ada yang berpendapat bahwa tanah jaluran masih tetap ada, cuma saja pembagiannya harus dirubah, dan tidak dibenarkan menurut cara yang lama . Menurut Mariam Darus, isi Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963 itu dapat diketahui, bahwa tanah jaluran bukan dihapuskan, tetapi yang menggunakannya atau yang berhak menggarapnya 31 32
Lihat, Pedoman Menteri Agraria No. 1 Tahun 1960, bahagian II angka 2. Ibid, bagian V.
©2004 Digitized by USU digital library
21
bukan saja rakyat penunggu, tetapi rakyat petani. Dengan perluasan itu maka tidaklah dapat disimpulkan bahwa pedoman itu meniadakan rakyat petani penunggu, tetapi malahan menegaskan, bahwa rakyat petani inklusief, rakyat petani penunggu berhak memakai tanah jaluran.33 Berdasarkan pendapat Mariam Darus tersebut, dapat disimpulkan bahwa materi/objek tanah jaluran tetap ada, tetapi hanya materi subjeknya ( penggarap) yang berubah. Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II Tahun 1963 tersebut, kemudian dilanjutkan dengan Surat Keputusan Panitia Landreform Daerah Tk. I. Provinsi Sumatera Utara, tanggal 19 Februari 1964 No. SK I/LR/1964, Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Bekas Tanaman Tembakau/ Tanah Jaluran . Pedoman pelaksanaan itu menentukan dengan singkat adalah : 1. Petani ialah orang baik yang mempunyai tanah sendiri, yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah pertanian. 2. Petani itu bertempat tinggal di desa yang terdekat dengan perkebunan tembakau dan dalam satu kecamatan dengan kebun yang bersangkutan. 3. Luas tiap bagian adalah 1/2 Ha. 4. Pengusahaan tanah oleh petani berlaku untuk selama 6 bulan.34 Perkembangan selanjutnya berdasarkan SK Panitia Landreform Provinsi Sumatera Utara No.961/LR/I/1969, tanggal 26 September 1969, tentang Pedoman Pengosongan Tanah Garapan Rakyat dalam areal perkebunan. Ditentukan dengan tegas bahwa pengosongan harus terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan pihak rakyat penggarap yang bersangkutan. Kepada penggarap diberitahukan semua fasilitas ganti rugi dan penampungan sesuai dengan Ketentuan Peraturan-Peraturan yang ada yang akan diterima mereka akibat pengosongan.35 Ketentuan dari Panitia Landreform tersebut diatas dengan jelas menegaskan bahwa pengosongan tanah garapan rakyat di areal perkebunan harus dilakukan dengan musyawarah dan bagi mereka yang terkena pengosongan harus diberi ganti rugi dan penampungan. Namun dalam praktek, ketentuan ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, sehingga menimbulkan sengketa antara penggarap dengan pihak Perkebunan.
5. Keputusan Menteri Agraria No: SK.24/HGU/1965 Tentang Pemberian Hak Guna Usaha Pada PPN Tembakau Deli Sumatera Timur.
Dalam Konsideran keputusan tersebut, menunjukkan bahwa PPN Tembakau Deli Sumatera Timur, Daerah Tingkat I Sumatera Utara yang semula mempunyai areal keseluruhan seluas ± 250.000 Ha, telah dipersempit menjadi ± 59.000 Ha, yang disebabkan antara lain, adanya pendudukan/ penggarapan oleh rakyat diatas areal tersebut. Dalam pertimbangannya juga menyebutkan bahwa, Surat Keputusan itu adalah merupakan landasan hukum berupa pemberian Hak Guna Usaha atas wens-areal seluas ± 59.000 Ha, kepada PPN Tembakau Deli Sumatera Timur, Daerah Tingkat I Sumatera Utara, dan menegaskan bahwa 33
34
35
Mariam Darus, dalam Mahadi, “Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur Tahun 1800-1975”, (Bandung : Alumni, 1976), hal. 166. Lihat, Mahadi, “Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur ( Tahun 1800 - 1975 )”, (Bandung : Alumni, 1976), hal. 169. Lihat, SK Panitia Landreform Provinsi Sumatera Utara, No.961/LR/1969, bagian I dan II.
©2004 Digitized by USU digital library
22
sisa tanah seluas ± 191.000 Ha, dijadikan sebagai objek Landreform, dengan tidak mengurangi kepentingan PPN Tembakau Deli. Dalam Diktum keputusan tersebut pada Penetapan Ketiga Bagian VI dan VII, menegaskan bahwa tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha ini harus diusahakan secara layak menurut norma-norma yang berlaku, dan harus diusahakan sendiri oleh pemegang haknya dan dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain baik secara persewaan ataupun bentuk serah pakai lainnya. Dalam Ketentuan ini, tidak dijumpai lagi istilah tanah jaluran. Mahadi menafsirkan bahwa istilah tanah jaluran, termasuk kedalam pengertian serah pakai dalam ketentuan tersebut, namun dipertanyakan bagaimana dari segi hukumnya? Menurut Mahadi, hak tanah jaluran yang merupakan penjelmaan hak ulayat, telah dipraktekkan oleh pihak perkebunan asing selama 100 tahun, dan telah mendapat pengakuan dalam perundangundangan. Tentu tidak dengan begitu saja hak tanah jaluran dapat hapus dengan suatu perumusan umum dalam suatu SK Hak Guna Usaha.36 Kebijakan pemerintah Sumatera Utara mengenai status tanah jaluran di areal perkebunan tembakau Deli, Sumatera Timur, setelah keluarnya SK Menteri Agraria No. 24/HGU/1965 mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.370/III/SU/1968 menyatakan, “sambil menunggu pengesahan Menteri Dalam Negeri ditetapkan Pertama, penggarapan tanah jaluran ditiadakan. Kedua, mewajibkan PNP-IX menanami tanah jaluran dengan padi”. Menteri Dalam Negeri dengan suratnya tanggal 20 Oktober 1968 No. S.D. 16/3/8 menyetujui surat keputusan Gubernur Sumatera Utara tersebut, dengan catatan bahwa untuk petani penggarap/penunggu yang mata pencahariannya pokoknya adalah mengusahakan tanah pertanian dapat disediakan tempat penampungan. Berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri tersebut dapat ditafsirkan bahwa tempat penampungan bagi para petani penggarap digantungkan kepada syarat bagi mereka yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah pertanian, bukan didasarkan atas hak ulayat masyarakat penunggu. Maka dengan demikian hak adat dijadikan hak ekonomis. Hal ini berarti menampikkan keberadaan hukum adat, sehingga menimbulkan persengketaan diantara masyarakat penunggu dengan pihak perkebunan. 6. Surat Keputusan Gubernur No. 370/ III/ SU/ 1968. Keputusan Gubernur Sumatera Utara antara lain : 1). Penggarapan tanah jaluran dalam areal Perusahaan Negara Perkebunan IX (Sekarang PTPN-II) di daerah Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat, baik oleh rakyat petani maupun rakyat petani bersama-sama dengan karyawan PNP, ABRI, Pegawai Negeri ditiadakan. 2). Mewajibkan PNP-IX (PTPN-II) untuk mengolah dan menanami tanah kosong bekas tanaman tembakau yang sedianya diperuntukkan buat tanah jaluran di dalam PNP itu dengan tanaman padi, dengan ketentuan : a. Teknik dan cara pengolahan dan tanamannya dilakukan oleh PNP-IX (PTPN-II) dengan memakai peralatan dan tenaga karyawannya sendiri;
36
Mahadi, op cit, hal. 169.
©2004 Digitized by USU digital library
23
b. Hasil padi yang diperoleh dari penanaman itu diperhitungkan dengan
jatah beras buat PNP-IX (PTPN-II) dan tidak diperkenankan diperjualbelikan kepada atau oleh pihak lain; c. Apabila mendapat kelebihan setelah dikurangi jumlah jatah beras PNP IX (PTPN-II) buat setahun, maka kelebihan itu akan diatur penggunaannya oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara.
Sejak keluarnya Surat Keputusan Gubernur No. 370/III/SU/1968 telah banyak menimbulkan perdebatan pro dan kontra mengenai keberadaan tanah jaluran di areal perkebunan, antara lain dapat dicatat perdebatan antara Mariam Darus Badrulzaman, S.H dengan Sarbaini Ghazaly, S.H.37 Menurut Mariam Darus, tanah jaluran adalah hak rakyat berdasarkan hukum adat dan merupakan manifestasi dari hak ulayat, sedangkan menurut Sarbaini tanah jaluran itu lahir dari goodwill konsesionaris. Lembaga Hak Asasi Manusia Sumatera Utara menolak Keputusan Gubernur Sumatera Utara yang menghapuskan tanah jaluran. Keputusan itu dinyatakan tidak sah dan bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Penangkapan-penangkapan terhadap 200 orang petani penggarap yang dilakukan oleh alat negara supaya dihentikan.38 BPRPI Sumatera Utara, juga menentang Keputusan Gubernur tersebut, dengan mengatakan suatu perkosaan terhadap hak adat dan hukum adat dari rakyat setempat dan untuk kesalahan ini mendesak pemerintah agar Gubernur diturunkan dari jabatannya.39 Protes terhadap Keputusan Gubernur terus berkembang dalam masyarakat Sumatera Utara. Pada tanggal 21 dan 22 September 1968, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara mengadakan seminar tanah jaluran . Dengan tujuan : 1. Menghidangkan uraian ilmiah tentang pertanyaan “Apa sebenarnya tanah jaluran itu?”. 2. Berusaha dalam batas-batas kemungkinan, untuk menentukan sifat tanah jaluran dalam rangka : a. Tertib hukum sebelum Perang Dunia Kedua. b. Tertib hukum sesudah tanggal 17 - 8 - 1945, hingga sampai saat berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria. c. Undang-Undang Pokok Agraria 1960, sampai tanggal dikeluarkannya surat Hak Guna Usaha untuk P.P.N. Tembakau Deli ( Keputusan Menteri Agraria 10 - 6 - 1965 No. SK 24/ H.G.U./65). 3. Sampai dimana tanah jaluran dapat dipertahankan dalam kepentingan nasional dan Rencana Pembangunan Lima Tahun. 4. Seandainya tanah jaluran perlu ditiadakan, maka hendaknya disarankan : a. Siapa yang berhak meniadakannya. b. Cara meniadakannya.
37 38
39
Lihat, Pajakun Nawi, “Sejarah Tembakau Deli”, Skripsi Fakultas Hukum USU, Medan,1972. Lihat, arktikel “Putusan Gubernur Sumatera Utara Ditolak?”, dalam harian Duta Masyarakat, 13 Agustus 1968. Lihat, artikel “Tanah Sumatera Bagian Timur Gubernur Didesak Turun”, dalam harian Duta Masyarakat, 26 Juli 1968.
©2004 Digitized by USU digital library
24
c. Dimana perlu mencadangkan syarat-syarat.40 Menurut A. P. Parlindungan menyatakan bahwa, hukum adat yang berlaku bagi tanah jaluran adalah hukum yang berurat berakar dalam kehidupan rakyat dan setiap tekanan atau penghapusan akan dirasakan oleh rakyat sebagai perkosaan hak-hak mereka dan mereka akan merasa ketidakadilan yang tidak berkeputusan. Penghapusan dapat dilakukan dengan musyawarah dengan pihakpihak yang bersangkutan.41 Disisi lain Mariam Darus juga mengatakan bahwa tanah jaluran adalah lembaga adat dan secara deklaratif ditegaskan dalam akta-akta konsesi, tanah jaluran sebagai lembaga adat mendapat tempat dalam UUPA No. 5/ 1960 dan penghapusan tanah jaluran hanya sah apabila : a. Ditinjau dari aturan-aturan negara bertentangan dengan kepentingan nasional dan yang berhak menentukan apakah lembaga adat ini bertentangan dengan kepentingan nasional ialah rakyat melalui undang-undang (DPR). b. Ditinjau dari hukum adat hanya sah apabila ditetapkan oleh masyarakat hukum itu sendiri.42 Hasil keputusan seminar tanah jaluran tersebut, yang direkomendasikan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dapat dicatat antara lain sebagai berikut : 1. Surat Keputusan Menteri Agraria No. 24/ HGU/ 65 adalah ketetapan yang dalam hukum Administratif mengatur hubungan hukum antara negara dan P.P.N Tembakau Deli, jadi tidak mengatur hak orang lain, sehingga dengan demikian surat keputusan itu tidak mungkin menghapuskan hak rakyat penunggu sebagai pihak ketiga, apalagi hak rakyat penunggu itu berdasarkan hukum adat. 2. Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 370/ III/ GSU tanggal 16 Juli 1968 tidak mempunyai akibat hukum. Pemakaian tanah jaluran dapat dilangsungkan tanpa merugikan perkebunan, asal diatur secara khusus dengan peraturan yang khusus. 3. Seandainya ada kepentingan yang lebih tinggi/nasional hak rakyat penunggu sebagai lembaga hukum adat, perlu dihapuskan maka jalannya ialah : a. Masyarakat hukum adat itu sendiri menghapuskannya. b. Undang-undang dengan mengadakan masa peralihan dan pengaturan terhadap akibat-akibat dari penghapusan itu.43 Kenyataannya dalam praktek, walaupun sudah ada hasil seminar mengenai tanah jaluran yang telah direkomendasikan kepada pemerintah pusat maupun daerah, sengketa pertanahan mengenai hak ulayat/ tanah jaluran di areal perkebunan di Sumatera Utara, masih terus berlanjut, terbukti dengan
40 41
42
43
Mahadi, Op cit, hal. 172 - 17. Pendapat A.P Parlindungan disampaikan pada Seminar Tanah Jaluran tanggal 21 dan 22 September 1968 di Fakultas Hukum USU Medan. Disampaikan Mariam Darus dalam Seminar Tanah Jaluran, tanggal 21-22 September 1968 di Fakultas Hukum USU, Medan. Lihat, keputusan Seminar Tanah Jaluran, tanggal 22 September 1968, pada point IV, V, VI dan VII.
©2004 Digitized by USU digital library
25
adanya Perkara Pidana No.402/1968/K.44 Dan sampai sekarang, sengketa pertanahan mengenai hak ulayat/ tanah jaluran, masih terus berlangsung, dengan segala aspek dan perkembangannya. Penyelesaian sengketa pertanahan di areal perkebunan yang dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, sampai sekarang belum dapat diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah daerah Sumetara Utara,45 bahkan situasinya sejak adanya reformasi tahun 1998, sampai sekarang, sengketa tanah perkebunan di Sumatera Utara semakin runyam, karena munculnya penggarap-penggarap baru yang berdalih demi refomasi menduduki areal perkebunan.46 Analisa dan evaluasi dari uraian masalah terjadinya konflik dan sengketa pertanahan yang terjadi di Sumatera Utara, dari catatan sejarah, dapat dilihat sebagai suatu bukti bahwa permasalahan hak penguasaan atas tanah tidak bisa begitu saja diatasi dan diselesaikan. Konflik yang muncul dari sengketa ini secara periodik akan muncul sebagai akibat adanya benturan kepentingan yang terjadi antara pihak-pihak yang menghendaki penguasaan lahan. Konflik ini bisa bersifat vertikal maupun horizontal. Namun dalam disertasi ini pola yang nampak sejak masa kolonial hingga pemerintahan Orde Baru, konflik yang paling banyak terjadi adalah konflik vertikal, khususnya antara pihak petani penggarap tanah dan pihak perusahaan perkebunan. Dalam bab-bab sebelumnya telah diungkapkan bagaimana proses dan pola konflik vertikal tersebut terjadi sejak zaman kolonial (masa berlakunya Agrarische Wet 1870) hingga munculnya UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Namun kesemua peratuan itu tidak berjalan secara efektif, disebabkan fakta yang disebutkan di atas. Kondisi ini cenderung telah membentuk perilaku hukum masyarakat baik BPRPI, Petani penggarap maupun pihak pengusaha perkebunan menjadi sama-sama tidak mematuhi hukum. Ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku adalah karena adanya legal gaps. Meskipun adanya penerapan sanksi-sanksi hukum secara formal, masyarakat dan perkebunan ternyata tidak mematuhi, karena masingmasing pihak bertahan dengan keyakinan hukum mereka masing-masing. Perbuatan hukum yang ilegal itu terus berlangsung, sepanjang pemerintah tidak mengupayakan informasi hukum dan penyuluhan hukum kepada masyarakat. Ilegalitas perbuatan yang dilakukan masyarakat terus berlangsung dalam waktu yang cukup panjang sampai saat ini. Akibatnya mempengaruhi sikap perilaku masyarakat (legal behavior) yang tidak mematuhi hukum dan bertambahnya kuantitas masyarakat penggarap dari waktu ke waktu, disebabkan karena tidak efektifnya hukum yang berlaku. Hukum telah kehilangan fungsi sebagai alat kontrol sosial dari pemerintah dan tidak berhasil untuk mendorong prilaku yang berguna, atau mencegah terjadinya penggarapan tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Pada kasus-kasus yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa semua peraturan dan kebijakan pemerintah yang telah ada tidak dapat dilaksanakan atau telah menjadi peraturan hukum yang mati (dead letter). 44 45
46
Mengenai kasus tersebut, telah diuraikan dalam diskripsi kasus. Lihat, kasus areal Perkebunan PTPN-II, III dan IV, Mengenai Penggarapan yang dilakukan oleh petani penggarap, BPRPI , dan ex-karyawan perkebunan, yang sampai sekarang belum dapat diselesaikan. Tuntutan rakyat penggarap yang mengakui sebagai petani berdasarkan reformasi 1998, yang saat ini semakin marak terjadi di beberapa areal perkebunan.
©2004 Digitized by USU digital library
26
Perubahan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh pemerintah secara tambal sulam, cenderung hanya untuk kepentingan birokrasi dan kepentingan pengusaha perkebunan. Musyawarah yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, pihak perkebunan dan masyarakat hanya bergantung pada persepsi penguasa hingga penerapan sanksi menjadi terbatas pada masyarakat sebagai petani penggarap. Faktor politik dan ekonomi merupakan salah satu faktor terjadinya sengketa pertanahan di Sumatera Utara dan merupakan salah satu faktor sulitnya menemukan penyelesaian sengketa tersebut, dimana sengketa lama belum dapat diselesaikan, tetapi sengketa baru selalu muncul kembali. Adanya persaingan politik (rivalitas politik) sejak zaman kesultanan dan zaman kolonial sampai sekarang, merupakan salah satu penyebab timbulnya sengketa yang sulit diselesaikan. Pada masa kesultanan adanya persaingan antara sultan dan pemerintah kolonial dalam mempengaruhi masyarakat khususnya, mengenai perlindungan hak ulayat masyarakat yang berada di areal konsesi onderneming. Pada mulanya sultan dan pengusaha onderneming mewujudkan hak ulayat masyarakat di atas areal konsesi dengan memberikan tanah jaluran kepada masyarakat penunggu. Tetapi dalam pelaksanaan pembagian tanah jaluran, ternyata sultan dan pihak onderneming telah berkoalisi ikut memanfaatkan tanah jaluran. Sultan mengambil jatah tanah jaluran buat kerabat kerajaan dan juga memberikannya kepada petani-petani pendatang yang membayar sewa baik berupa hasil panen maupun uang. Sedangkan pihak onderneming memanfaatkan tanah jaluran untuk diberikan kepada kuli kontrak suku Jawa dan China, dengan mendapat imbalan dan membeli hasil panen dengan harga murah untuk kepentingan kuli perkebunan serta menyewakan tanah jaluran kepada orang China untuk kedai-kedai. Akibat kondisi ini, posisi rakyat penunggu dari sudut ekonomi semakin terjepit, karena tanah jaluran sebagai lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, semakin berkurang. Disamping itu pemerintah kolonial mempunyai kepentingan politik untuk menanamkan kekuasaannya dan menghancurkan hegomoni Sultan Deli, yaitu dengan membiarkan orang-orang Imigran dari Batak Toba, suku Karo yang berasal dari pegunungan untuk menggarap tanah jaluran, sehingga terjadi konflik antara para pendatang dengan rakyat penunggu. Situasi dan kondisi demikian itu, dalam pelaksanaannya pemerintah kesultanan (Zelfbestuur) dan pemerintahan kolonial selalu bertindak mendua terhadap rakyat penunggu, misalnya sultan di satu sisi melindungi hak ulayat masyarakat, tapi di sisi lain dia juga melindungi kepentingan onderneming sebagai pemasuk devisa bagi pemerintahan sultan, begitu juga sebaliknya yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Fakta ini menunjukkan bahwa sengketa pertanahan atas dasar hak ulayat dan dasar penggarapan sulit untuk diselesaikan, bahkan selalu muncul sengketa baru. Pada masa kemerdekaan sengketa pertanahan di Sumatera Utara, terus bertambah disebabkan karena adanya faktor politik yaitu persaingan antara pemerintah RIS dengan pemerintah NST yang sama-sama mempengaruhi rakyat penggarap untuk kepentingan politik. Pemerintah RIS membiarkan penggarapan terjadi di areal perkebunan, bahkan memprovokasi agar buruh perkebunan dan penggarap-penggarap untuk memberontak. Pemerintah RIS memanfaatkan rakyat penggarap agar mendukung pemerintahan Republik. Sedangkan pemerintah NST, walaupun pada hakekatnya pemerintah NST akan membersihkan penggarap dari areal perkebunan, tetapi terpaksa melakukan
©2004 Digitized by USU digital library
27
kompromi dengan rakyat dan membiarkan rakyat menggarap di atas areal perkebunan. Pemerintah NST membutuhkan dukungan rakyat untuk kelangsungan pemerintahannya. Situasi dan kondisi politik pada saat itu, membuat pemerintah RIS dan NST selalu bersikap mendua dalam melaksanakan kebijakan mengenai penyelesaian sengketa pertanahan. Akibatnya sengketa pertanahan tidak pernah selesai dan selalu muncul penggarap-penggarap baru yang memanfaatkan situasi politik demikian. Penggarapan tanah di areal perkebunan semakin bertambah banyak akibat provokasi dari partai politik, salah satu yang sangat berperan ketika itu adalah PKI dengan ormas BTI nya menghasut rakyat untuk melakukan penggarapan-penggarapan dengan slogan “rakyat untuk petani”. Kondisi perkebunan di Sumatera Timur mengalami kerugian dan penyusutan areal HGU nya dari 125.000 Ha telah menyusut menjadi 59.000 Ha, selebihnya tanah kembali dikuasai oleh negara dan dibagi-bagikan kepada rakyat. Proses pelaksanaan pembagian tidak berjalan akibat situasi politik ketika itu. Program pemerintah telah mendata dan akan mendistribusikan tanah untuk petani, tetapi sebelum dilaksanakan pembagian sesuai dengan data-data yang ada, muncul ribuan lagi penggarap-penggarap baru, sehingga pembagian tanah tidak berjalan. Rakyat petani yang menerima pembagian tanah ada yang menolak, karena tanah yang dibagi dianggap tidak layak tanam atau berada jauh di pedalaman. Mereka-mereka yang telah menerima surat pembagian tanah berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, Kartu Pendaftaran Tanah, Surat Izin Menggarap dan lain-lain tidak mau menguasai tanah tersebut, kemudian menggarap tanah perkebunan yang berada dalam areal 59.000 Ha. Padahal pembagian tanah buat mereka sudah berada di luar areal tersebut. Dalam kenyataannya pihak PPN/PTP/PTPN-II belum memanfaatkan semua areal seluas 59.000 Ha, dengan telantarnya tanah tersebut, masyarakat kembali menggarap, tidak saja penggarap-penggarap lama melainkan juga muncul penggarap-penggarap baru. Pemerintah tidak mengambil tindakantindakan, sehingga penggarapan berlangsung dalam waktu yang cukup lama tanpa penyelesaian. Penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah sejak pemerintahan orde baru dilakukan dengan tindakan melalui pendekatan militer yang dikenal dengan operasi sadar. Tindakan ini hanya menyelesaikan sengketa pertanahan sesaat dan tidak dapat menyelesaikan secara tuntas. Di era reformasi penggarapan muncul kembali, hampir di seluruh wilayah perkebunan PTPN-II, mulai dari Sungai Ular Kabupaten Deli Serdang sampai Sungai Wampu Kabupaten Langkat. Silih berganti penyelesaian telah dilakukan, tetapi bermunculan pula penggarappenggarap baru, disebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa tersebut. Penutup Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, sengketa tanah di areal perkebunan antara masyarakat petani penggarap dengan pengusaha perkebunan PTPN-II dan PTPN-III, serta pemerintah, merupakan suatu peristiwa yang selalu terjadi secara periodik. Hal ini khususnya menyangkut tentang hak konsesi yang diberikan sultan, yang menyangkut hak ulayat masyarakat adat, mengenai okupasi tanah perkebunan PTPN-II dan PTPN-III, mengenai tuntutan berdasarkan hak ulayat masyarakat dari BPRPI dan tuntutan eks karyawan PTPNII terhadap perumahan dan perladangan mereka. Dapat disimpulkan sebagai berikut :
©2004 Digitized by USU digital library
28
Faktor-faktor penyebab timbulnya sengketa dalam penguasaan hak atas tanah untuk kepentingan usaha perkebunan adalah : Pertama, sengketa pertanahan yang terjadi tidak terlepas dari masa pemerintahan kesultanan, yaitu tentang status pemilikan tanah dalam konsep penguasaan yang berbeda. Menurut pandangan penguasa tradisional, sultan adalah pemilik dari semua tanah di wilayah kesultanannya. Sementara itu masyarakat adat mengakui bahwa tanah adalah milik adat yang bersifat komunal sehingga diperuntukkan penggunaannya bagi semua warga masyarakat. Tanah ini menjadi sumber penghidupan masyarakat, sehingga tidak bisa dialihkan kepada warga lain di luar masyarakat tersebut. Dengan melihat konsep ini, masyarakat memandang sultan sebagai pemangku adat yang dianggap wajib berunding dengan para kepala adat dalam menyewakan tanah ulayat kepada pihak konsesionaris. Para pengusaha perkebunan Barat dan pemerintah Eropa, yang menganut pandangan bahwa raja adalah pemilik semua tanah seperti di Barat, menganggap sultan adalah penguasa semua tanah di kesultanannya. Oleh karena itu mereka kemudian menghubungi sultan untuk meminta tanah konsesi. Sultan Deli memberikan tanah konsesi kepada onderneming perkebunan swasta Belanda dengan batas-batas yang tidak jelas, selama 99 tahun. Konsesi yang diberikan oleh Sultan Deli tersebut, mencakup wilayah yang dikuasai para Datuk, di wilayah Kesultanan Deli tanpa terlebih dahulu mendapat izin para datuk-datuk. Akibatnya terjadi sengketa yang dikenal dengan perang Sunggal. Kemudian setelah itu Pemerintah Belanda memerintahkan kepada sultan untuk membagi tiga hasil uang sewa tanah konsesi, yaitu masing-masing untuk sultan, datuk-datuk dan penghulu adat. Kepada masyarakat petani diberikan hak tanah jaluran, tapi dalam pelaksanaannya tanah jaluran itu tidak dibagi seluruhnya pada petani rakyat penunggu. Sultan dan pihak onderneming berkoalisi dan berkolusi, membagi sebagian tanah jaluran untuk disewakan kepada kuli perkebunan suku Jawa dan China serta kerabat sultan. Hal ini menyebabkan terjadinya sengketa, dan pemberontakan dari petani. Kemudian dengan keluarnya Undang-Undang Hak Erfacht pada tahun 1931, yang secara formal menghapuskan tanah jaluran di dalam hak erfacht, menimbulkan kegelisahan bagi para petani, dan akhirnya menimbulkan sengketa, antara rakyat penunggu dengan pihak perkebunan. Sengketa pertanahan terjadi karena adanya kompleksitas persoalan tanah, yang disebabkan karena adanya penduduk yang heterogen, di Sumatera Utara, terdiri dari Suku Melayu, Batak Karo dan Simalungun, dan Suku Jawa bekas kuli kontrak, serta golongan China, yang sejak zaman Jepang, telah melakukan penggarapan areal perkebunan Tembakau Deli, dan kemudian diikuti pula pendatang baru atau imigran dari Tapanuli (Batak Toba). Akhirnya tanah jaluran yang diperuntukkan untuk rakyat penunggu menjadi semakin berkurang, mengakibatkan terjadi sengketa horizontal yaitu antara rakyat penunggu dan kaum pendatang. Sengketa pertanahan antara petani penggarap atau pendudukan liar oleh rakyat, atau tanah-tanah konsesi onderneming perkebunan tembakau, yang dimukimkan kembali, sejak zaman Jepang sampai pendudukan Belanda, dilanjutkan pada masa RIS, KMB, kembali ke Negara Kesatuan RI, hingga nasionalisasi. Setelah periode itu bermunculan bermacam-macam tuntutan masyarakat terhadap tanah perkebunan diantaranya : tuntutan rakyat penunggu atas tanah jaluran, tuntutan petani penggarap, terhadap tanah perkebunan yang telah digarapnya sejak zaman Jepang. Sengketa pertanahan di
©2004 Digitized by USU digital library
29
Sumtera Utara juga terjadi karena adanya rivalitas politik di Sumatera Timur, antara pemerintahan RIS dan NST, yang sengaja memanfaatkan ketegangan sosial di sana, masing-masing mempengaruhi masyarakat penggarap untuk memenuhi kepentingan politik mereka. Dalam menyelesaikan masalah sengketa pertanahan antara masyarkat dan perkebunan, RIS dan NST selalu bersifat mendua sehingga terjadi persengketaan yang tidak mudah diselesaikan. Disamping itu adanya partai-partai politik, yang bersaing terdiri atas berbagai kelompok politik dengan ideologi dan pandangan yang berbeda-beda dan sering bertentangan untuk mencapai kemenangan Politik mereka. Mereka berusaha menggalang dukungan dari rakyat yang tersingkir atau terdesak (marginal) dalam persaingannya menghadapi para penguasa lahan yang baru. Perubahan struktur politik dan kebijakan pusat yang bersifat mendua, yaitu satu sisi berusaha untuk membela rakyat penggarap dan di sisi lain membela pihak perkebunan sebagai penghasil devisa negara. Hal ini mempengaruhi perkembangan dan penyelesaian sengketa yang ada. Dalam prakteknya tidak pernah selesai dan selalu muncul penggarap-penggarap baru. Sengketa ini tidak dapat diselesaikan secara tuntas. Keadaan ini terus berlangsung sampai pemerintahan orde baru, dan berlanjut sampai adanya Reformasi tahun 1998. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Davis, Kenneth P., Land Use, New York : McGraw-Hill Book Company, 1976. Haar, Mr. B. Ter, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, Jakarta : Prajnya Paramita, 1958. Halewijn, E.A., Geographische en ethnographische gegevens betreffendehet Rijk van Deli, Tijdschrift voor Indische Taal-, land-, en Volkenkunde, 23 (1876). Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Hukum Tanah Nasional. Jakarta : Djambatan, 1999. Kelsen, Hans, Pure Theory of Law, Berkeley; University of California Press, 1978. Lubis, M. Solly, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Bandung : Mandar Madju, 1989. Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800 - 1975), Bandung : Alumni, 1976. Mosca, Gaetano, The Ruling Class, New York : McGraw Hill Book Company, 1939. , The Ruling Elite, London : Penguin Book, 1969. Nawi,
Pajakun, Sejarah Medan,1972.
Tembakau
Deli,
Said, Muhammad, Wilopo dan Tanjung Jakarta : Gunung Agung, 1979.
Skripsi
Fakultas
Morawa, dalam :
Hukum
USU,
Wilopo 70 tahun,
Simpson, A.W.B., A History of the Land Law, Oxford : Clarendon Press, 1986. Rajagukguk, Erman, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, Jakarta : Chandra Pratama, 1995.
©2004 Digitized by USU digital library
30
Unger, Roberto Mangabeira, Law in Modern Society : Toward a Criticism of Social Theory, New York : The Free Press, 1977. Wertheim, W.F., Indonesian Society in Transition Bandung : Sumur Bandung, 1956. Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Jakarta : Gunung Agung, 1984. Dokumen Arsip Manuskrip (dokumen yang tidak diterbitkan) Agrarisch Besluit dan hubungkan dengan pasal 519 dan pasal 520 BW. Akta Konsesi 1877, 1878, 1884. Gouvernement Besluit tanggal 30 Nopember 1920 nomer 42. Memorie van Overgave, L. Kapoort, Asisten Residen van Afdeeling, Asahan, 4 Mei 1903. Memorie van Overgave, W.P.F.L. Winckel. Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960. Undang-Undang No.51 Prp Tahun 1960. Pedoman Menteri Agraria No. 1 Tahun 1960. Surat Keputusan Panitia Landreform Provinsi Sumatera Utara, No.961/LR/1969. Koleksi Penerbitan Berkala B. Natapermadi, Tiga Tahun Pembangunan Perkebunan, Almanak Pertanian 1954. Putusan Gubernur Sumatera Utara Ditolak?, harian Duta Masyarakat, 13 Agustus 1968. Tanah Sumatera Bagian Timur Gubernur Didesak Turun, harian Duta Masyarakat, 26 Juli 1968.
©2004 Digitized by USU digital library
31