DI BAWAH CENGKERAMAN KAPITALISME: Konflik Status Tanah Jaluran Antara Onderneming dan Rakyat Penunggu di Sumatra Timur Jaman Kolonial SYAFRUDDIN KALO Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Pengantar Sumatra Timur pada masa kolonial, khususnya sejak tahun 1870, merupakan suatu lahan eksploitasi ekonomi dan sasaran investasi agro-bisnis dari kekuatan kapitalis kolonial asing yang menanamkan modalnya di Indonesia1. Prospek yang baik dari hasil-hasil percobaan tanam pertama dan lonjakan harga produk agraria perkebunan di Sumatra Timur ini menjadi rangsangan dan titik tolak utama bagi perluasannya. Berbagai macam perusahaan dengan kekuatan modal raksasa berlomba-lomba dalam menanamkan modal dan mencari segala macam cara untuk memperoleh lahan bagi usaha agrobisnisnya di wilayah tersebut2. 1
2
Yang dimaksud Sumatra Timur pada jaman kolonial adalah daerah milik raja-raja Melayu yang terletak di sebelah utara sungai Kampar dan di selatan sungai Tamiang dengan luas wilayah sekitar 92.000 km2. Wilayah ini sering disebut sebagai Residentie van Oostkust Soematra yang mencakup daerah kesultanan Deli-Serdang, Asahan, Langkat dan Simalungun-Tanah Karo. Kecuali daerah Simalungun-Karo yang dikuasai oleh etnis Batak, daerah yang lain di Sumatra Timur merupakan kekuasaan para sultan Melayu dan dihuni oleh etnis Melayu dengan hak milik tanahnya yang berlaku menurut adat Melayu. Lihat tentang ini pada T.J. Boezemer, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1921), halaman 267. Masuknya perkebunan Belanda yang dipelopori dengan investasi awal oleh Nienhuis pada tahun 1862 dengan percobaan tembakaunya ini semakin berkembang pesat setelah adanya dukungan juridis dan tehnis. Secara tehnis, para investor asing mengetahui dari hasil percobaan penanaman tembakau pertama oleh Nienhuis yang menerima harga penawaran tinggi di pasaran tembakau Amsterdam, sementara secara juridis formal dengan munculnya peraturan-peraturan hukum agraria seperti Agrarische Wet tahun 1870 yang meskipun berlaku untuk Jawa-Madura namun menjadi titik tolak pembuatan peraturan agraria bagi Sumatra Timur dan juga lewat tekanan politik kepada para Sultan Melayu oleh pemerintah kolonial Belanda melalui perjanjian-perjanjian dan kontrak-kontrak politik. Dalam berbagai perjanjian yang dibuat pemerintah Belanda dengan para Sultan Melayu ini terbuka jalan bagi para pengusaha pemilik modal (ondernemets) untuk menanamkan investasi di sektor perkebunan lewat sewa tanah milik Sultan. Lihat tentang ini dalam Karl. J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, terjemahanJ. Rumbo (Jakarta, Sinar Harapan, 1985) halaman 51 dst. Ada empat faktor utama yang mendorong peralihan pandangan kapitalis dan perluasan lahan eksploitasi ekonominya di luar Jawa khususnya di Sumatra Timur. Pertama adalah semakin menurunnya daya produksi Jawa sebagai sasaran lahan eksploitasi kolonial sejak beberapa abad yang mengakibatkan semakin kritisnya kondisi kesuburan tanah, munculnya produk saingan baru dari negara koloni lain terhadap produk Jawa sehingga mengakibatkan anjloknya harga produk agraria Jawa, munculnya permintaan baru dari para konsumen internasional terhadap produkproduk agraria yang dihasilkan oleh luar Jawa dan akhirnya perlunya pembukaan lahan eksploitasi dan kolonisasi di luar Jawa dengan tujuan menjaga keseimbangan terhadap kepadatan penduduk dan merosotnya kesejahteraan di Jawa. Lihat Th. Lindblad, Het Belang van Buitengewesten (Amsterdam, NEHA, 1986) halaman 3.
©2004 Digitized by USU digital library
1
Di sisi lain, kondisi pemilikan lahan di Sumatra Timur khususnya di wilayah raja-raja swatantra (pemerintahan kasultanan), telah berlaku dua macam sistem kepemilikan tanah. Dari sudut pandang suprastruktur yang bernuansa elitis, dalam bidang ini berlaku prinsip Vorstdomein yakni semua tanah di wilayah tersebut adalah milik raja yang berkausa, dalam hal ini Sultan Melayu. Sultan sebagai penguasa daerah memiliki hak kuasa atas tanah-tanah di negaranya dan berhak membagi-bagikan kepada kerabat dan birokrasinya hingga sampai kepada rakyat yang memiliki hak garap3. Dalam penerapan sistem tersebut di wilayah Sumatra Timur, kekuasaan hak milik raja atas tanah ditunjukan melalui status karunia Sultan yang diberikan dalam bentuk tanah kepada penggarapnya. Pada sisi lain dalam kehidupan agraria masyarakat tradisional, berlaku juga sistem pemilikan tanah oleh rakyat yang bersifat komunal (volksdomein). Menurut sistem ini, sumber utama pemilikan tanah berdasarkan pada konsep bahwa pembuka lahan pertama menjadi pemegang hak utama bersama keturunan dan keluarganya, yang akan menggarapnya secara bergantian (komunal system). Dalam perkembangan selanjutnya, tanah-tanah komunal ini kemudian diakui sebagai tanah adat yang bisa dimiliki dan digarap bersama secara turun-temurun dalam bentuk hak ulayat. Keberadaan dan keabsahan tanah ulayat ini tidak bisa dilepaskan dari pelestarian dan eksistensi masyarakat adat pendukungnya yang menjadikannya sebagai titik tolak dan sumber kehidupan4. Dalam menggunakan tanah-tanah ulayat tersebut, sistem pergiliran pakai biasanya diberlakukan dalam kurun waktu tertentu sehingga perputaran atau sirkulasi hak pakai tanah merata di antara para anggota masyarakat ini. 3
4
Dalam sistem pemerintahan monarkhi feodalistis, raja dianggap sebagai penguasa segala yang terdapat di atas permukaan tanah dan di bawah langit kekuasaannya. Dengan demikian sistem feodalisme bertumpu pada penguasaan tanah yang menjadi sumber kehidupan semua orang dan ditentukan penggunaannya oleh raja yang berkuasa. Semboyan raja Perancis Louis XIV “L’etat c’est moi” (negara adalah saya) menunjukan bahwa kekuasaan raja atas tanah bersifat absolut (mutlak) dan tidak bisa ditawar lagi. Dengan demikian menurut sistem pemilikan tanah feodalistis, rakyat sebagai kawula raja hanya berhak menggarap dan mengambil sebagian hasil garapannya untuk mencukupi kebutuhan sendiri, sedangkan sebagian besar hasilnya disetorkan kepada raja untuk mencukupi kebutuhan diri, keluarganya dan istananya. Sumber dari sistem penguasaan tanah feodal ini bertolak dari kepercayaan bahwa raja dianggap sebagai wakil dan manifestasi Tuhan di dunia (kultus dewa-raja) yang sering bisa dirujuk kembali dari konsep kepercayaan terhadap perwujudan tata pemerintahan monarki lama baik di Eropa (yang bersumber dari hukum Romawi) maupun di Timur (India dan Cina yang bertolak dari kepercayaan Hindu terhadap kasta-kasta). Lihat tentang ini konsep Gaetano Mosca dalam The Ruling Class (New York, McGraw Hill Book Company, 1939), halaman 51. Pertumbuhan dan perkembangan pemilikan tanah komunal tersebut secara antropologis bertolak dari pertumbuhan dan pembentukan masyarakat kesukuan. Perkembangan masyarakat yang dimulai dari kehidupan individu primitif dengan pola mata pencaharian berburu dan meramu telah memberikan dasar bagi kehidupan kerjasama dan gotong royong komunalistis yang diteruskan dengan perubahan dalam pola pemukiman serta tempat tinggal. Pemukiman bersama dalam suatu kelompok telah mempengaruhi pandangan dalam hubungan pergaulan serta sistem kekerabatan. Dari kondisi ini tumbuh nilai-nilai dan norma sosial tradisional dalam kaitannya dengan sumber penghidupan dan mata pencaharian. Tentu saja hal ini tidak bisa dilepaskan dari sistem kepemilikan tanah di antara penduduk tradisional tersebut. Lihat Mr. B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti Poeponoto (Prajnya Paramita, Jakarta, 1958), halaman 91.
©2004 Digitized by USU digital library
2
Melihat kondisi pemilikan tanah yang berlaku di wilayah swatantra Sumatra Timur ini, para pengusaha dan pemilik modal (ondernemer) merasa perlu menempuh jalur politik dan juridis formal untuk memenuhi kebutuhan agrobisnisnya. Langkah yang digunakan adalah menggunakan birokrasi kolonial untuk menekan raja-raja Melayu agar bersedia melepaskan tanahnya dalam bentuk hak sewa kepada para pengusaha perkebunan tersebut. Dengan kesepakatan yang menyangkut harga dan lama sewa, satu persatu lahan di wilayah para Sultan Melayu yang sebelumnya berstatus tanah ulayat atau karunia sultan berubah menjadi lahan onderneming yang ditanami dengan produk agraria sebagai tuntutan dari pasaran kapitalisme di Eropa5. Dalam tulisan ini akan dicoba untuk mengungkapkan perubahan yang terjadi dalam penerapan kedua sistem tersebut pada tanah-tanah di Pantai Timur Sumatra dengan masuk dan berkembangnya sistem eksploitasi perkebunan besar (onderneming) dan penanaman kekuasaan serta kontrol pemerintah kolonial yang menjadi penopang utama investasi kapitalisme. Dengan demikian juga perlu digali sumber konflik dan benturan yang terjadi dalam pertemuan kedua sistem yang berbeda sehubungan dengan pemilikan tanah dan rakyat penunggu di sana. Bertolak dari hasil penelitian tersebut, diharapkan bisa ditemukan dan diketahui beberapa tindakan dan kebijakan yang diambil untuk menyelesaikan sengketa dan konflik yang berkepanjangan pada bidang tersebut. Ekploitasi Agraria dan Dampaknya bagi Kehidupan Petani 5
Penggunaan birokrasi kolonial bagi kepentingan pengusaha kapitalis asing ini tidak terlepas dari perubahan pemegang kekuasan di Belanda yang beralih dari kelompok konservatif kepada kelompok liberal. Dengan runtuhnya sistem Tanam Paksa yang didukung oleh kelompok konservatif dengan tekanan utama pada kepentingan kas kerajaan Belanda, sistem eksploitasi agraria swasta liberal yang ditandai dengan munculnya Agrarische Wet tahun 1870 oleh Menteri Koloni Franssen van de Putte telah berhasil menyerahkan hak penentu kebijakan negara kepada para pengusaha kapitalis swasta. Hal ini ditindaklanjuti dengan adanya perlombaan eksploitasi agraria di tanah jajahan dengan tujuan memenuhi tuntutan kapitalis internasional yang berpusat di sentra-sentra lelang hasil tanaman tropis dari koloni. Dengan demikian penentu kekuasaan di Belanda beralih dari para birokrat pemerintahan yang diangkat oleh raja/ratu Belanda kepada para pemegang saham perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa yang mengarahkan sasaran eksploitasi ekonominya ke tanah koloni. Lihat H. Idema, Parlementaire Geschiedenis van Nederland Indie (‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1898) halaman 148.
©2004 Digitized by USU digital library
3
Bersama dengan penambahan lahan untuk kepentingan perkebunan, sebagai akibatnya banyak tanah petani yang diambil untuk disewa dan ditanami dengan tanaman perkebunan, sehingga para petani kehilangan ladang mereka. Dengan tidak adanya ladang petani, yang semuanya sudah dirubah menjadi tanah perkebunan (onderneming), ini terbukti bahwa hak ulayat tidak lagi diakui oleh pemerintah kolonial yang mengizinkan persewaan semua lahan milik petani kepada pengusaha perkebunan. Hal ini menciptakan ketegangan sosial. Sebagai akibatnya sering terjadi konflik yang muncul antara masyarakat pribumi di satu pihak versus perusahaan perkebunan (onderneming) yang didukung oleh pemerintah kolonial maupun sultan di lain pihak. Dalam salah satu peristiwa yang terjadi, penduduk pribumi menghadap Kontrolir untuk melaporkan peristiwa tersebut. Kontrolir lalu membawa persoalan ini ke Kerapatan di Arnhemia pada tanggal 16 Juli 1918 dengan mengundang sultan dan para penghulu yang berkaitan. Semua keberatan rakyat yang disampaikan di atas dibenarkan oleh para penghulu yang hadir di sana. Kontrolir Winkelman kemudian memutuskan adanya pemberian batas jarak 9 kaki persegi yang jelas untuk digunakan sebagai lahan cocok tanam penduduk; penduduk juga berhak mengambil segala macam tanaman di lahan tanah tersebut.6 Pengaduan penduduk memperoleh perhatian dari Sultan Deli yang melalui Keputusan Nomor 80 tanggal 1 Juli 1921 menetapkan bahwa para kawulanya tidak boleh menawarkan lebih dari 25% hasil tanah sebagai uang sewa untuk tanah yang disisihkan di luar lahan penanaman. Tanah ini sering disebut dengan istilah tanah jaluran.7 Untuk mempertegas definisi tentang tanah jaluran ini, perlu dikutip penjelasan yang disampaikan oleh Mahadi sebagai berikut: Yang dimaksud dengan tanah jaluran ialah tanah tempat tanaman tembakau yang baru selesai dipetik, di atas mana para petani diperbolehkan menanam tanaman semusim, ialah padi dan jagung, dan setelah tanaman tersebut habis dipanen tidak lagi boleh diolah dan ditanami karena perlu dihutankan sampai tiba giliran untuk kembali ditanami dengan tembakau (sistem rotasi).8 6 7
8
Ginting Margana, “Kabratan anak negeri dan toean toean kebon”, Andalas, 19 Nopember 1918. Mv0. Pronk, op.cit; lihat juga, “Beberapa Suggesties oentoek Commissie Ra’jat Penoenggoe”, Pewarta Deli, 20 Desember 1932. Tentang keputusan penyetoran ini lihat, Keputusan Sultan Deli Nomor 80, 1 Juli 1921 dan Keputusan Sultan Serdang Nomor 8/13 tanggal 13 Juli 1921. Dalam sistem sewa tanah oleh pengusaha perkebunan swasta dari Sultan, menurut konsep hukum dagang yang sah sewa mencakup seluruh lahan yang diserahkan dan ditetapkan oleh Sultan untuk ditanami dengan tanaman dagang demi kepentingan perusahaan perkebunan yang telah memenuhi kewajibannya dalam bentuk pembayaran uang sewa yang telah disepakati kepada Sultan selaku penguasa tanah. Dengan demikian pengusaha perkebunan merasa berhak untuk menggunakan tenaga yang sebelumnya menggarap tanah-tanah itu dan menyerahkan hasilnya kepada Sultan, atau mengusir mereka dan menggantinya dengan para kuli kontrak yang didatangkan oleh pengusaha perkebunan dari daerah lain. Kasus demikian sering menjadi sumber konflik. Lihat Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu atas Tanah di Sumatra Timur (tahun 1800-1975) (Bandung, Alumni, 1976), hal. 126. Dalam kutipannya tersebut, Mahadi mengritik pandangan tentang hak milik tanah jaluran yang dianggap telah dikuasai oleh petani. Menurut Mahadi, kelemahan pandangan tersebut bertolak dari status pemegang hak milik. Petani bukan merupakan status pemilik, melainkan penduduk (opgezetenen) yang memegang hak milik. Di sisi lain penduduk tidak selalu petani dan hal ini akan terlihat jelas dalam kaitannya dengan status pekerja perkebunan (kuli kontrak). Pekerja perkebunan bukan petani meskipun tugasnya sama seperti petani yakni menggarap tanah. Jadi dalam hal ini perlu diperjelas status pemegang hak tanah jaluran tersebut.
©2004 Digitized by USU digital library
4
Dengan melihat definisi oleh Mahadi tersebut, kita bisa menarik kesimpulan bahwa dalam proses persewaan lahan bagi penanaman tembakau oleh perkebunan, telah terjadi penggunaan lahan secara bergiliran atas bagian tertentu dari luas perkebunan tersebut. Bagian yang digunakan ini diberikan kepada rakyat penunggu dikerjakan setelah berakhirnya musim panen tembakau9. Sebelum mengupas persoalan ini lebih lanjut, perlu juga disampaikan tentang apa yang disebut dengan ra’jat penunggu di sini. Menurut Mahadi, rakyat penunggu adalah golongan penduduk yang bertempat tinggal di dekat dan di sekitar tanah jaluran yang pada umumnya adalah kawula kerajaan pada masa lalu atau landschapsonderhorigen.10 Pengukuhan hak ra’jat penunggu ini atas tanah jaluran mendapat keberatan dari pengusaha pemegang konsesi karena mereka merasa terancam, mengingat tanah jaluran tersebut akan hilang apabila masa konsesi berakhir dan status tanah ini berubah menjadi erfacht.11 Penyelesaian ini tidak tuntas, mengingat sanksi hukum tidak dimuat dalam keputusan tersebut. Sebagai akibatnya pemerasan dan penipuan masih terus berlangsung. 9
Di sini perlu diperjelas tentang sifat dan masa tumbuh tanaman tembakau dibandingkan dengan produk agraria lain yang dimaksudkan bagi kepentingan ekspor. Tembakau tidak ditanam secara terus-menerus pada sebuah lahan yang telah dibuka dan disewa dari penduduk oleh pengusaha, sehingga terdapat waktu luang atau istirahat bagi tanah untuk memulihkan kembali lapisan humusnya. Masa istirahat ini memberikan kesempatan bagi penduduk (opgezetenen) untuk menanaminya dengan produk pertanian yang terutama dimaksudkan memenuhi kebutuhan pangan seperti padi, jagung, ketela, dsb. Sistem tersebut bisa menjadi pengganti dari hilangnya sumber pendapatan penduduk tradisional lama yang sebelumnya diberi kuasa hak pakai oleh Sultan sebagai akibat persewaan tanah kepada pengusaha perkebunan. Ini menciptakan perbedaan besar dengan kondisi perkebunan di Jawa yang ditanami dengan (umumnya) tanaman keras jangka panjang seperti kopi, gula, teh, nila, dsb. di mana penggunaan tanah secara terus-menerus dituntut oleh pengusaha perkebunan. Sebagai akibatnya terjadi perubahan status penghuni tanah yang disewakan dari petani penggarap menjadi kuli perkebunan atau buruh pabrik gula. Tentu saja fenomena ini membuat proses dinamika kehidupan perkebunan di Jawa dan Sumatra menjadi sangat berbeda. Di Jawa proses pertumbuhan perkebunan berkembang menjadi dua sistem, yakni sistem perkebunan pabrik (onderneming fabricage) dan tanah-tanah partikelir (particuliere landerijen) yang menciptakan model tuan-tuan tanah asing di tengah kehidupan petani pribumi. Lihat tentang ini J. Faez, Particuliere Landerijen in Bewesten van Cimanoek Rivier (‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1894). 10 Dengan terhapusnya sistem pemerintahan kerajaan swatantra sesudah proklamasi kemerdekaan 1945, status kawula Sultan yang diwujudkan dalam bentuk rakyat penunggu ini menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini semakin dipertegas dengan keluarnya UUPA tahun 1960. Namun demikian penegasan yang diharapkan bisa diberikan oleh UUPA tersebut tidak terealisir, yakni dengan masih kaburnya status hak milik adat atas tanah-tanah ulayat yang berkaitan erat dengan status rakyat penunggu. Akibatnya masih sering terjadi sengketa agraria yang tidak terselesaikan setelah munculnya peraturan tersebut. Pergolakan setelah proklamasi tahun 1945 yang diikuti dengan terjadinya revolusi sosial di Sumatra Timur yang menghapuskan sistem kesultanan feodal Melayu membuat status rakyat penunggu ini tidak lagi bisa bertahan, bahkan struktur feodalisme lama yang terkait dengan pemilikan tanah di sana juga hancur bersamaan dengan penghapusan modal asing akibat revolusi. Dengan demikian setelah kemerdekaan status penduduk semuanya sama sebagai warga negara Republik Indonesia yang menjadi kawula pemerintah pusat RI. Lihat Mahadi, op.cit, hal 126-127. 11 Yang dimaksud dengan hak erfpacht adalah suatu hak kebendaan untuk mengenyam, menikmati atas suatu benda yang tidak bergerak kepunyaan orang lain, dengan kewajiban membayar satu pacht atau canon untuk tiap tahunnya kepada yang mempunyainya, baik berupa uang atau hasil pendapatannya.
©2004 Digitized by USU digital library
5
Hal ini terungkap dengan adanya tanah-tanah jaluran bagi penduduk yang tidak memenuhi syarat atau sesuai dengan harapan penduduk. Suatu ungkapan keluhan disampaikan oleh G. Mergana dalam harian Andalas pada tahun 1918 : Di bawah ini saja toetoerken satoe persatoe kaberatan anak negri jang telah dilakoeken oleh toean toean kebon soepaja djangan kelak saja ini dikataken t.t. pembatja mengisep kabar dari oedjoeng djari sadja : Dimana ladang jang tanahnja soeboer dan rata sedikit t.t. kebon asingkan, itoe boeat ladang sewa, atawa boeat djoealan. Mana ladang jang tida saberapa baik, itoelah dibagi boeat anak negeri. Ladang-ladang dibagi oentoek anak negri, poen djangan di sangka, dibagi oleh toean toean kebon menoeroet sepandjang boenji Contract, itoelah sekali kali tida! Boektinja terseboet di dalam Contract ladang penoenggoel boeat anak negri dalem satoe tangga jaitoe (1 H Are) atawa 10000 M. Diladang j.t.s. selainnja dari pokok kajoe androng, toean kebon tanem poela sematjem kajoe jang diseboetken (oleh anak negeri kajoe emboen). Binatang anak negeri tida sekali boleh mengindjak tanah concessie kectjoeali pasar (djalan), anak negeri tida boleh mengembalaken lemboe atawa kerbaunja katanah jang diloear tanah kampoeng, itoelah sekali kali tida boleh, menoeroet prentah toean kebon. Disebelah satoe kebon, ada djoega dilarang anak negeri mengambilkajoe, ditanah consessie walaupoen dipergoenakan boeat roemah tangganja. Anak negeri dipaksa oleh toean toean kebon mengerdjaken pakerdjaan kebon seperti mentjoetjoek tembako dan mentjari oelat. Betoel, boeat itoe pakerdjaan diberi oepah menoeroet pendapatannja, tetapi tida lebih sabrapa dari orang contrack, begitoelah boeat anak negeri, itoepoen disertaken poela dengan antjeman : “Kaloe loe tida maoe tjoetjoek tembako, saja tida kasih ladang”. Pada tahun 1918 ini bertambah poela sematjem peratoeran dari kebon kebon, jaitoe: ladang ladang oentoek anak negeri lebih doeloe ditanemi djagoeng kapoenjaan kebon, kamoedian sasoedah habis boeah djagoeng jang ditkoetip oleh kebon, baroelah anak negeri bisa tanam padi.12 Dari kutipan di atas bisa diketahui bahwa onderneming tidak mematuhi ketentuan kontrak dengan sultan, bahwa akan menyediakan tanah jaluran yang terbaik bagi penduduk untuk ditanami tanaman pangan. Dalam hal ini onderneming telah melakukan wanprestasi, yaitu tidak melaksanakan kewajiban dalam kontrak. Sultan bukannya tidak mengetahui peristiwa ini, namun tidak mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Lihat pasal 720 BW. Erfpacht dikeluarkan pada saat banyak permohonan masuk kepada Sultan Melayu sebagai penguasa tanah. Untuk memudahkan aktivitas perkebunan yang ada, sistem erfpacht jangka panjang merupakan salah satu cara terbaik. Lihat “ Hoe verkrijgt men gronden in erfpacht op Sumatra?” dalam Algemeene Landbouwweekblad van Nederlandsch Indie, tahun 1916-1917, nomor 22, halaman 7, koleksi Perpustakaan Nasional RI nomor 602. 12 Ginting Margana, “Kabratan anak negri dan toean toean kebon”, Andalas, 22 Agustus 1918.
©2004 Digitized by USU digital library
6
Para pengusaha yang memegang konsesi tanah dari sultan mempunyai kewajiban-kewajiban berikut ini; menyisihkan tanah jaluran setelah dipanen dari tembakau, menyisihkan tanah untuk kampung dan menyisihkan minimal 4 bau tanah bagi pertanian rakyat. ketentuan ini selalu dimuat dalam kontrak sewa meskipun dalam pelaksanaan masih harus diperhatikan.13 Dalam prakteknya ketentuan tersebut tidak dijalankan oleh pengusaha onderneming secara konsekuen dan sultanpun tidak mengambil tindakan terhadap pelanggaran syarat konsesi tersebut. Persoalan tanah yang timbul disebabkan adanya keseganan pengusaha perkebunan untuk menyisihkan lahan (jaluran) yang seharusnya digunakan bagi penduduk pribumi. Tanah tersebut tetap dipertahankan sendiri dan diberikan kepada pegawainya atas dasar sewa. Tindakan ini tidak bisa dikendalikan baik oleh sultan maupun oleh kontrolir, mengingat adanya kesepakatan antara pengusaha perkebunan dan pemerintah. Kesepakatan ini menyebutkan bahwa atas setiap konsesi yang dikeluarkan, seperempat tanah yang disepakati dan separuh cukai tahunan harus disetorkan ke kas negara demi kepentingan proyek pembangunan umum. Setelah memenuhi kewajiban ini, pengusaha perkebunan diberi kebebasan dalam hubungannya dengan sultan.14 Tindakan pengusaha perkebunan yang tidak mematuhi akte konsesi yang mewajibkannya untuk memberikan tanah jaluran kepada masyarakat, ternyata tidak dicegah oleh Sultan, namun justru membiarkannya. Hal ini disebabkan karena sultan telah mendapat keuntungan yang besar dari pengusaha perkebunan. Pernyataan ini bisa dibuktikan dalam tahap penyelesaian perkara ini, yaitu dengan menyerahkan keputusannya kepada aparat pemerintah, khususnya Kontrolir setempat. 13
Memorie van Overgave, H. D. Moyenfeld Beneden Deli, 9 April 1934, hal. 38. Keseganan pengusaha perkebunan untuk menyisihkan lahan jaluran sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat di antara pengusaha dan petani melalui pemerintah kolonial ini bersumber pada penerapan kebijakan agraria sebagai akibat kesulitan yang muncul dari berkurangnya lahan tembakau. Bagi pengusaha perkebunan, keuntungan akan lebih banyak diperoleh dengan menggunakan lahan yang ada untuk membuka koloni bagi para kuli kontrak daripada untuk menyerahkannya kepada penduduk setempat. Di sisi lain Sultan juga merasa berkepentingan dengan bertambahnya hasil tembakau yang berarti kenaikan jumlah setoran sewa oleh pengusaha kepadanya, daripada hasil agraria yang diperoleh lewat kawulanya yang berstatus rakyat penunggu. Keluhan muncul dari pengusaha kepada Kontrolir bahwa banyak juga rakyat penunggu yang tinggal di luar kompleks perkebunan namun ikut menuntut tanah jaluran dan ini dianggap merugikan quota produksi tembakau bagi pengusaha. 14 Memorie van 0vergave L. Kapoort, op.cit. Dalam perkembangan lebih lanjut, tanah-tanah yang diserahkan oleh pengusaha perkebunan sebagai hasil kontrak sewanya dengan Sultan ini oleh pemerintah digunakan untuk membangun fasilitas umum seperti jalan, bangunan pemerintah, kantor pos, gudang-gudang, sekolah dsb. Persoalan muncul karena status tanah masih menjadi hak milik Sultan, sedangkan infrastruktur yang dibangun di atasnya menjadi hak milik pemerintah kolonial. Akan tetapi pemerintah kolonial tidak bisa membicarakan penyelesaiannya dengan Sultan, mengingat pemerintah kolonial merasa terikat dengan kesepakatannya kepada pengusaha perkebunan. Hal ini terjadi di daerah Tanjungbalei dan kota pelabuhan Tanjung Tiram. Selama tanah-tanah tersebut masih berguna bagi kepentingan pemerintah Belanda, maka status hak pakainya masih terus dipegang oleh pemerintah sementara sebagian tanah di daerah Labuhanbatu dikembalikan lagi karena menurut pemerintah tidak lagi efektif untuk dipertahankan pemilikannya. Persoalan kemudian muncul ketika pemerintah kolonial digantikan oleh pemerintah nasional RI yang harus menghadapi beberapa tuntutan dari keturunan para penguasa feodal pribumi sebagai pemegang hak atas tanah-tanah tersebut.
©2004 Digitized by USU digital library
7
Tengku A. Machmoed menulis sebuah artikel “PENGAROEH CONCESSIE DI SOEMATRA TIMOER Motto” : Kapitalis Minoem Soesoe, Zelfbestuurder toeroet memerah Ra’jat, sebagai berikut : Menoeroet pendengaran kita, “tidak ada” terseboet dalam artikel “politiek contract” antara radja-radja kita dengan pemerintah Belanda, bahwa djikalau kaoem kapitaal itoe akan masoek mentjari kekajaannja di sini, mesti diberikan tanah setjoekoepnja. 0leh sebab itoe seandainja radja-radja kita tidak terlaloe leloeasa memberi tempat masoek kepada kapitalist itoe tentoelah kita ra’jat tidak begini sengsara dalam peroesahaan. Adakan radja-radja itoe mendapat hoekoeman ataoe tjatjian djika kaoem kapitaal itoe tidak diberi masoek? Kita raja tentoe tidak! Tjoema tentoelah radja-radja kita itoe tidak lagi mendapat poeloehan riboe roepiah, karena tertoetoepnja pintoe oentoek kapitalist itoe. Kita pikir tentoelah radja-radja kita tidakkan senang memakan harta jang berpoeloeh riboe itoe, kalaoe ra’jatnja sampai sengsara. Adakah senang seorang ajah memakan harta anaknja jang didjoeal? Moengkin kalaoe radja jang tjoema memikirkan hawa nafsoenja dan tidak memikir ra’jat itoe oempama anak laginja. Walaupoen radja-radja itoe menerima poeloehan riboe roepiah seorang, tetapi kita kira beloem ada dari harta jang diterima mereka dipergoenakannja oentoek kepentingan ra’jat, ketjoeali ada seorang doea di antara baginda-baginda itoe jang pengasih penjajang. Kesenangan yang diterima radja-radja itu adakah artinja bagi ra’iat? Tentoe pembatja dapat djawab sendiri. Djikalaoe kita ra’jat ini nanti soedah pergi semoea dari sini apakah radja itu nanti masih menjadi radja djoega? Oleh sebab itoe marilah pembatja kita tadahkan tangan kedoea boeahnja arah kelangit memohonkan koedrat Toehan jang esa agar terpoesinglah hati radja-radja itoe kepada memikirkan keperloean ra’iatnja soepaja aman sentosa negerinja. Dan pengharapan kita djanganlah lagi bangsa kita teroetama anak Soematra Timoer selamanja beringin mendjadi hamba kapitalist itoe sahadja melainkan beroesahalah sedapatdapatnja bekerdja sendiri oentoek kita dan bersamasamalah kita pohonkan kehadapan radja-radja kita tanah tempat beroesaha walaupoen tanah itoe soedah dalam conssesie.15 Sengketa yang muncul ini bukan hanya menyangkut status tanah sewaan, namun juga berkaitan dengan masalah tanah jaluran. Tanah jaluran muncul sebagai lahan yang disisihkan setelah panen tembakau, disediakan bagi penduduk pribumi setempat untuk lahan penanaman padi atau jagung, atau mungkin keduanya sekaligus, dalam jangka waktu sekali panen. Dalam kontrak sewa antara pengusaha onderneming dengan sultan, tanah jaluran ini dimasukkan sebagai salah satu ketentuan kontrak tersebut dan disepakati terletak di lahan konsesi. Setelah digunakan oleh penduduk pribumi untuk menanam tanaman pangan ini, tanah itu dikembalikan kepada pengusaha perkebunan untuk memulai lagi penanaman tembakau. 15
T. A. Machmoed, dalam Pewarta Deli, 11 Januari 1926. Menarik untuk diperhatikan di sini bahwa seorang bangsawan menulis keluhan tersebut dalam sebuah terbitan berkala. Tanpa mempertimbangkan ideologi dan aliran politik si penulis, perlu ditegaskan bahwa para Raja Melayu yang berkuasa pada saat itu kurang begitu memihak kepada penduduk dalam menghadapi ambisi kekuasaan.
©2004 Digitized by USU digital library
8
Namun tidak semua lahan konsesi milik onderneming ini dijadikan sebagai tanah jaluran bagi penanaman padi penduduk. Perhitungan batas-batas jaluran ini diserahkan atas dasar musyawarah dengan masyarakat kampung. Setiap warga menerima bagian satu lahan dengan tambahan kepada penghulu sebuah lahan selaku koordinator. Ada ketentuan bahwa yang menerima tanah jaluran ini adalah keluarga yang sudah menikah, sehingga apabila ada bujangan yang tinggal di desa tersebut maka dia harus segera menikah supaya menerima jatah tanah jaluran. Namun sebagai imbangannya bagi para penerima jaluran itu, mereka harus membayar pajak kepada pemerintah atau melakukan kerja wajib untuk kepentingan merawat infrastruktur seperti jalan, jembatan dsb.16 Dalam pelaksanaan kesepakatan tentang jaluran ini terdapat beberapa problem yang mengarah pada sengketa atas tanah. Hal ini terjadi sebagai akibat dari beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh onderneming maupun oleh para kepala adat Melayu. Sebagai akibatnya terjadi kekurangan pangan dan penderitaan bagi penduduk pribumi setempat. Kondisi resah dan gelisah ini akhirnya mengarah pada protes yang diajukan kepada pejabat pemerintah kolonial, mengingat sultan dalam hal ini tidak bisa diharapkan bantuannya untuk terlibat dalam masalah itu. Sumber-Sumber Konflik Penyimpangan pertama atas tanah jaluran ini terjadi ketika perusahaan perkebunan tidak menyerahkan tanah jaluran kepada penduduk setempat sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam kontrak, melainkan menyerahkan kepada para pekerja mereka yang menganggur setelah panen tembakau. Sebagai akibatnya tanah-tanah jaluran ini dikerjakan oleh para pekerja bangsal, Cina dan Jawa seperti yang terjadi di beberapa perkebunan Deli Tua, Bakala, dan Tuntungan milik Deli Maatschappij, Arnhemia milik Rotterdam Deli dan Rimbun milik perusahan onderneming Rimbun. Setelah masa kerja jaluran ini berakhir, kadang-kadang para pekerja Cina ini tidak pergi, namun tetap terus berlangsung dan bahkan mengarah pada pemberian hak bangun. Ini terjadi di Medan, Sukarame, Arnhemia, Labuhan Deli, Kampung Baru, Pulau Brayan, Glugur, 16
Memorie van 0vergave G.L.J.D. Kok, op.cit, hal. 87. Dalam tahap akhir penyewaan lahan tersebut, tanah-tanah jaluran yang seharusnya digunakan untuk menanam padi disewakan kepada para pekerja bangsal, para pemilik kedai Cina dan Melayu. Dalam proses persewaan tersebut, para kepala adat Melayu juga ikut menerima bagian dari hasil sewanya. Ini menimbulkan banyak keluhan dari penduduk yang berhak menerima tanah jaluran yakni rakyat penunggu. Pimpinan adat setempat tidak bisa menyelesaikan persoalan tersebut karena kepentingan mereka juga terlibat dalam persewaan lahan jaluran kepada orang-orang Cina, sehingga para pejabat Belanda ikut campur untuk mencegah terjadinya pergolakan sebagai akibat ketimpangan yang muncul dalam penyerahan hak tanah jaluran ini. Beberapa keluhan muncul tentang penguasaan uang sewa tanahtanah jaluran kepada orang-orang Cina dari para pengusaha perkebunan oleh para kepala adat Melayu ini.
©2004 Digitized by USU digital library
9
Belawan, Kampung Besar, Sungai Agul, Hamparan Perak, Sungai Rampah, Bedagei, Bandar Sono dan Tebing Tinggi.17 Akibatnya beberapa ketegangan terjadi antara penduduk setempat di sekitar perkebunan yang memegang hak atas tanah itu (ra’jat penoenggoe) dengan para penggarap luar yang tidak sah. Sementara itu para penggarap ini merasa bahwa mereka berhak menggarap karena telah mendapat restu dari pengusaha onderneming. Onderneming berdalih, bahwa tanah yang diserahkan kepada pekerja ini adalah tanah di luar jaluran dan disewakan dengan pembayaran hasil panen padi.18 Kasus penyimpangan dalam soal pembagian tanah jaluran yang lain adalah, bahwa pengusaha perkebunan tidak langsung menyerahkannya kepada ra’jat penoenggoe, melainkan kepada kepala adat Melayu yang dianggap sebagai pimpinan rakyat setempat. Pimpinan Melayu ini tidak membagikan tanah jaluran kepada masyarakat, namun menggarapnya sendiri atau menyewakannya kepada para pemilik kedai dan petani sayur Cina dan Jawa. Persewaan ini dilakukan berdasarkan kontrak yang dibuat di depan para kepala adat.19 17
18
19
Memorie van 0vergave W.P.F.L. Winckel, op.cit, hal. 54. Langkah untuk menyelesaikan perkara itu sebenarnya sudah diambil melalui keputusan Sultan Deli tanggal 10 Januari 1920 dan keputusan Sultan Serdang tanggal 28 Desember 1919 untuk melepaskan tanah-tanah liar bagi penanaman tanaman pangan. Diharapkan agar tanah seluas 500 bahu di daerah Serdang bisa berproduksi untuk menutup kebutuhan pangan penduduk, namun ternyata hasilnya terlalu kecil sehingga dibuat ketentuan untuk menanami padi minimal seluas ¾ bagian. Namun demikian perlu diawasi penggunaannya oleh Kontrolir karena penghulu sering meminta jatah lebih banyak lahan dari tanah-tanah yang disediakan tersebut. akibatnya Sultan Deli harus kembali mengeluarkan keputusan tanggal 1 Juli 1921 nomor 80 yang menyatakan bahwa para kepala adat ini tidak boleh mengambil lebih dari 25% jatah tanah jaluran dalam bentuk uang sewa yang menjadi hak penduduk setempat. Memorie van 0vergave N.J. Ruychaver, Kontrolir Beneden Deli 30 Maret 1926, hal. 36. Alasan ini digunakan untuk menolak penduduk setempat menggarap jaluran karena dianggap mereka tidak mampu membayarnya. Pengusaha perkebunan menggunakan standard pembayaran hasil sewa tanahnya oleh para petani sayur Cina bekas kuli kontrak yang tinggal di sana. Harga sewa padi ini harus dibayar dengan hasil panen padi namun harus disesuaikan dengan harga setoran dari orangorang Cina ini. Di sisi lain para petani Cina tersebut juga menjadi konsumen pohon-pohon milik penduduk untuk dijual hasilnya ke Medan. Akibatnya rakyat mengadukan kasus ini kepada pejabat pemerintah. Tentang ini lihat artikel “Tanah Djaloeran”, dalam harian Benih Merdeka, 25 Mei 1920. Memorie van 0vergave N.J. Ruychaver, Ibid, hal. 36. Persoalan menjadi bergeser ketika keabsahan para petani Cina yang menghuni tanah tersebut diragukan kebenarannya. Langkah segera diambil dengan mengadakan pendataan yang menetapkan adanya pendaftaran hak menghuni melalui pembayaran sejumlah uang tertentu oleh orang-orang Cina. Mengingat orang Cina adalah kawula pemerintah Belanda, maka pembayaran tidak disetorkan kepada pengusaha perkebunan, Sultan atau kepala adat Melayu setempat namun masuk ke kantong pemerintah kolonial. Hal ini hanya bisa menyelesaikan sementara saja, namun persoalan masih berlanjut mengingat orang-orang Cina merasa tidak bertanggungjawab dengan Sultan maupun penduduk pribumi, sementara penduduk pribumi memandang orang-orang Cina ini belum sah menghuni tanah mereka karena belum memenuhi kewajibannya. Konflik ini segera meledak setelah pasca kemerdekaan yang menyingkirkan kekuasaan kolonial dan mengakibatkan timbulnya ketegangan dalam status penghunian tanah oleh para bekas kuli kontrak Cina ini.
©2004 Digitized by USU digital library
10
Bekas kuli Cina ini menimbulkan masalah karena mereka menghuni tanah-tanah milik sultan atau penduduk tanpa izin. Akibatnya sering muncul konflik ketika mereka harus meninggalkan tempat itu. Kondisi ini baru berakhir setelah ada petak-petak khusus yang ditunjuk untuk pemukiman mereka dan sebagai jaminan, mereka harus menyisihkan hasil kerja kepada penduduk setempat atau pemerintah tempat mereka bermukim.20 Laporan pertanggungjawaban D.F. Pronk, Controleur van Beneden Deli Oostkust Sumatra menyebutkan : “Dari informasi yang dikumpulkan tentang hal ini pada tahun 1921 terbukti bahwa pada tahun tersebut kepada pemegang hak diberikan tanah seluas 2100 bahu jaluran; yang disewakan oleh perusahaan pada penduduk seluas 900 bahu jaluran, sisa jaluran yang lain disewakan atau secara cuma-cuma dipinjamkan kepada pegawai atau pendatang baru yang tinggal di perkebunan itu. Jumlah ini pada tahun 1921 mencakup seluruh jaluran. Sehubungan dengan penyewaan jaluran kepada penduduk kampung sampai sekarang ada aturan bahwa penduduk ini kepada perkebunan harus menyerahkan 100-150 kantong padi per jaluran, dimana mereka menerima upah antara f 7 sampai f 10,50. Namun peraturan ini selalu memberi jalan bagi pemerasan, penipuan dan ketidakadilan, sehingga perkebunan sering menyerahkan penanganannya kepada pejabat pribumi sementara juga kepala adat dan penghulu tidak bisa diabaikan dengan membebani penduduk dari uang sewa dan penyewaan jaluran untuk memetik keuntungan yang berasal dari penyewaan jaluran. Atas dasar ini Sultan Deli dalam putusannya tanggal 1 Juli 1921 No.80 menetapkan bahwa para kawulanya tidak boleh menawarkan lebih dari 25% hasil sebagai uang sewa untuk satu jaluran. Sampai sekarang keputusan ini belum bisa berjalan, terutama yang menyangkut hukuman atas pelanggaran; seperti surat saya kepada Asissten Residen Deli-Serdang Nomor 5361/GZ tanggal 4 Agustus 1922 jo. Nomor 7028/GZ tanggal 9 Agustus 1921. Dengan tujuan untuk memungkinkan perkebunan membuat peraturan sendiri, komisi dibentuk yang terdiri dari seorang wakil pemerintah Eropa, pengusaha pribumi dan perkebunan yang harus menafsirkan nilai jaluran untuk bisa menentukan nilai sewanya (Asissten Residen Deli dan Serdang Nomor 6594/GZ tanggal 9 November 1922)”.21 20
21
Memorie van Overgave, D.F. Pronk, op.cit, hal. 33. Namun demikian persoalan ini belum berakhir mengingat adanya peristiwa mirip yang terjadi. Perkara baru muncul ketika penduduk pribumi dari luar daerah ikut menjadi penguasa lahan jaluran tersebut. Hal ini terjadi ketika penduduk pribumi yang berasal dari luar daerah itu tinggal dalam jangka waktu lama dan memberikan modal kepada penduduk pribumi setempat untuk menanam karet sendiri. Lama-kelamaan tanah-tanah tersebut beralih penguasaan dari penduduk pribumi setempat (rakyat penungu) kepada penduduk pribumi lain, dalam hal ini para bekas pekerja perkebunan orang Jawa. dengan demikian dari sudut pandang status, penduduk pribumi setempat jelas tidak diuntungkan. Di sisi lain ada tuntutan yang tidak bisa dipenuhi ketika petani kecil setempat dipaksa harus memiliki lahannya sendiri untuk bisa mengelolah usahanya. Periksa Memorie van Overgave Reuvers, Kontroleur van Beneden Deli 15 Maret 1926 (koleksi MvO serie Ie, ANRI Jakarta) halaman 46. Memorie van Overgave, D.F. Pronk, op.cit, hal. 34. Sebagai tindak lanjut untuk mencegah kondisi buruk itu, ada usaha bagi pembentukan komisi yang terdiri atas wakil penguasa Eropa, Sultan dan pihak perkebunan dalam rangka menafsirkan nilai jaluran dengan maksud agar bisa menentukan nilai sewanya. Di sisi lain pemerintah Eropa mulai berpikir untuk menempatkan para bekas kuli kontrak yang sudah selesai masa kerjanya di tempat-tempat penampungan terpisah (kolonisasi) seperti di Sisir Gunting, Paluh Kurau, Sungaiyu dan Paluhmana. Harapan besar dilontarkan supaya dengan proses kolonisasi tersebut, ikatan kerja yang eksploitatif dan merugikan bagi rakyat penunggu bisa dihindari.
©2004 Digitized by USU digital library
11
Berdasarkan keterangan Pronk, telah terjadi apa yang disebut multieksploitasi dengan korban penduduk setempat yang tinggal di onderneming. Sementara di sisi lain penduduk pendatang bersama para pegawai perkebunan diberi hak untuk menggarap tanah jaluran, meskipun sebagian hasilnya disetorkan kepada onderneming dengan alasan bahwa onderneming telah menyewa tanah itu dari sultan dan membayarkan pajak mereka kepada pemerintah. Namun hal ini membuat marah penduduk setempat, dengan sasaran onderneming dan penduduk pendatang. Untuk mencegah terjadinya konflik terbuka, pihak penguasa baik sultan maupun pemerintah kolonial berusaha melindungi penduduk dengan mengeluarkan keputusan formal seperti yang disebut dalam laporan Pronk. Keberatan yang diajukan oleh penduduk setempat kepada pimpinan Melayu dijawab dengan ketentuan bahwa apabila penduduk setempat bersedia menyerahkan antara 100-150 kantong padi per jaluran (tolak), yang setara dengan nilai antara f 7,50 sampai f 10,50 maka penduduk setempat (ra’jat penoenggoe) bisa menggarap tanah jaluran ini. Tingginya harga yang ditawarkan, yang sering membuka peluang bagi pemerasan, penipuan dan ketidakadilan, sangat membebani penduduk sehingga menganggap penggarapan tanah jaluran tidak mungkin mereka lakukan. Pihak onderneming menyerahkan penanganan persoalannya kepada pejabat pribumi setempat, namun para kepala adat dan penghulu ini justru menambah beban penduduk itu.22 Pertikaian tanah jaluran memuncak pada tahun 1921 dan sultan dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab. Sultan baru menyidangkan persoalan ini di Kerapatan pada tanggal 27 Nopember 1928. Asisten Residen Deli-Serdang menghendaki agar kerapatan mengakui tanah-tanah dengan batas-batas yang jelas sebagai hak penduduk kampung besar, namun dengan ketentuan setiap orang hanya diberi jatah 2 bau tanah. Tanah-tanah harus ditetapkan kembali batas-batas pembagiannya mengingat batas-batas lama telah hilang akibat banjir. Keputusan ini ditolak oleh penduduk setempat dengan alasan kurang luas untuk bisa menghidupi mereka. Baru setelah adanya jaminan dari karapatan bahwa hak-hak penduduk atas tanah ini tidak bisa diganggu oleh pemegang konsesi, mereka menerimanya.23 Namun jaminan dari kerapatan agar hak penduduk tidak terganggu tidak terealisasi, terutama yang menyangkut hukuman atas pelanggaran terhadap penyerahan tanah jaluran kepada bekas kuli kontrak Cina, masih menimbulkan kekecewaan rakyat dan ditambah dengan kasus penipuan oleh penghulu adat yang memihak perkebunan. Sebagai akibatnya situasi menjadi tegang. 22
Ibid, hal. 35. Ini terbukti dari jumlah uang yang harus diterima penduduk sebanyak f 7-10,50 dari hasil penyerahan 100-150 kantong padi per jaluran. Apabila dijual tanpa melewati para kepala adat tersebut, penduduk akan menerima jauh di atas nilai itu. Namun mengingat bagi koordinasi pengelolaan tanah jaluran ini diserahkan kepada para kepala adat, maka dalam hal ini penghulu dan kepala adat berperan penting dalam eksploitasi ekonomi atas hasil tanah jaluran demi kepentingan kantong sendiri. 23 Memorie van 0vergave J. Reuvers, Kontrolir Beneden Deli 15 Maret 1926 hal. 50-55; lihat juga, Memorie van 0vergave J.W. Burger, Kontrolir Beneden Deli, 8 Pebruari 1932 hal. 13.
©2004 Digitized by USU digital library
12
Protes-protes segera disampaikan oleh penduduk setempat kepada pemerintah kolonial yang segera memberikan perhatian dengan mengirimkan Inspektur Urusan Agraria Du Marchie Servaas ke Sumatera Timur untuk menyelidiki sejumlah keluhan yang menyangkut tanah antara penduduk setempat dan perkebunan. Menurut Du Marchie Servaas penyelesaian yang terbaik bagi masalah sengketa tanah ini adalah perubahan status dari konsesi menjadi hak erfacht.24 Namun karena semua persoalan itu telah mengambang bertahun-tahun dan berkali-kali diselidiki oleh pemerintah setempat, maka penyelesaian masalah ini tidak bisa dilakukan secara cepat. Du Marchie Servaas membuat Memorandum tanggal 31 Maret 1929 yang kemudian disampaikan oleh Gubernur Sumatera Timur kepada pengusaha onderneming tembakau Deli dan kepada persatuan pengusaha onderneming karet di Sumatera Timur. Isinya antara lain agar dilakukan perundingan antara pemerintah dan pengusaha onderneming mengenai pengalihan konsesi-konsesi menjadi hak erfacht atau sewa jangka panjang.25 Dengan berakhirnya akte konsesi maka perlu diperhitungkan kepentingan tanaman tembakau atau kepentingan tanaman padi penduduk.26 Du Marchie Servaas memusatkan perhatiannya untuk menambah bagian penduduk setempat atas tanah dan mengusulkan pengurangan daerah konsesi tembakau secara menyeluruh sebanyak 12,5% dan sewa jangka panjang harus dibatasi selama 50 tahun. Hal ini menimbulkan kemarahan dari para pemilik onderneming, dan mereka bertahan agar sewa jangka panjang selama 75 tahun dihitung sejak berakhirnya masa konsesi.27 24
“Onderzoek over Grondkwestie”, Deli Courant, 20 Maret 1929. Yang dimaksud dengan erfpacht adalah hak guna usaha sebagai hak untuk menikmati sepenuhnya hasl pengolahan barang tidak bergerak atau tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah atau pemegang hak tanah tersebut sebagai pengakuan tentang kepemilikan hak, baik dalam bentuk uang maupun hasil bumi. Pemegang hak erfpacht ini berhak menikmati segala hak yang terkandung dalam hak kepemilikan tanah dalam usahanya namun tidak boleh mengurangi nilai tanah tersebut seperti melakukan penggalian batu atau bahan tambang di dalamnya. Lihat Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia (Jakarta, PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1989) hal. 450. Menurut pengertian hukum perdata modern hak erfpacht tersebut diserahkan secara formal atas dasar kontrak sewa antara dua pihak dan diakui keabsahannya melalui peraturan hukum tertulis seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ini tidak bisa disamakan dengan hak sewa yang dimiliki oleh kawula raja dalam sistem kepemilikan tanah feodal tradisional yang mengakui raja sebagai pemilik seluruh tanah dan rakyat adalah pemegang hak pakai atau hak sewanya. Lihat Peter Butt, Land Law (Sydney, LBC Information Services, 1996) hal. 60-61. 25 J.G.W. Lekkerkerker, Consessies en erfpachten voor landbouwondernemingen in de Buitengewesten, Groningen, 1928 hal. 66-70. 26 Memorie van Overgave, S. Bouman, Afdeling Deli-Serdang 1 Desember 1929, hal. 6. 27 Karl J. Pelzer, op.cit, hal. 122. Bagi para pengusaha perkebunan tembakau, sewa tanah untuk kepentingan perkebunannya pada mulanya mencapai 99 tahun. Namun karena dirasa terlalu lama untuk dilaksanakan oleh seorang pengusaha dan seringnya terjadi kesulitan dalam perpanjangan kontrak yang akan dilaksanakan oleh pengusaha baru, pemerintah Belanda melakukan pengurangan masa kontrak. Setelah mengadakan perundingan dengan para pengusaha perkebunan dan Sultan, masa kontrak itu ditetapkan maksimal menjadi 75 tahun pada tahun 1892. Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia, masa berlakunya hak guna usaha ini dalam UUPA tahun 1960 diperpendek menjadi 25 tahun untuk individu atau 35 tahun untuk perusahaan bagi suatu periode dan bisa diperpanjang lagi sampai 25 tahun berikutnya setelah melewati prosedur yang ditetapkan oleh BPN.
©2004 Digitized by USU digital library
13
Ketika beberapa konsesi telah mendekati akhir masa berlakunya, maka muncul tuntutan dari penduduk terhadap hak atas tanah mereka di bekas tanah konsesi antara lain Kebun Mandi Angin yang berakhir pada tanggal 31 Desember 1931, Sungai Braas yang berakhir pada 31 Mei 1932, Tanjung Balai berakhir pada 4 November 1937 dan Sungai Krio yang berakhir pada 1 Juli 1936. Semua perkebunan ini adalah milik perusahaan tembakau Arendsburg, yang akan mengalihkan konsesinya menjadi hak sewa jangka panjang/erfacht.28 Permasalahan lain yang memperumit sengketa pertanahan di Sumatera Timur adalah persoalan kolonisasi. Kolonisasi merupakan suatu kompleks lahan yang disediakan untuk menampung para pekerja perkebunan yang berasal dari berbagai tempat seperti buruh Jawa, Banjar, Cina, dsb. Kolonisasi dibuka di antaranya di kompleks Sisir Gunting pada tahun 1920 untuk menampung para pekerja Banjar. Kemudian juga di tanah perkebunan Percut dibuka kolonisasi. Kedua lahan ini sebelumnya adalah kampung Sisir Gunting dan Paluh Kurau yang disewakan oleh Sultan Deli tanggal 7 Mei 1919 kepada pemegang konsesi untuk para penanam padi Banjar, kemudian ditambah dengan kampung Pematang Serai. Dari pembukaan lahan ini sultan melalui perantaraan Gubernur menerima uang sebesar f 7.300,-. Lahan yang sudah diduduki oleh penduduk setempat itu dijadikan daerah kolonisasi, sementara melalui Keputusan Sultan tanggal 10 Januari 1920 yang disetujui oleh Gubernur Pantai Timur Sumatera tanggal 4 Pebruari 1920 tanah-tanah liar disediakan sebagai pengganti bagi penduduk yang tersingkir. Tanah-tanah liar ini dikeluarkan dengan akte dari sultan (grant).29 Lahan kolonisasi ini tetap dihuni oleh para pekerja perkebunan setelah kontrak mereka berakhir. Dengan demikian tanpa status yang jelas mereka bisa disebut sebagai penghuni liar. Mereka yang masih bertahan ini mengundang juga para pendatang luar (imigran) masuk ke daerah itu, khususnya orang-orang Batak Toba30. Status ini terutama diberikan oleh penduduk setempat yang merasa tergusur atas kedatangan mereka. Dalam hal ini tidak ada tindakan baik dari pihak sultan maupun pemerintah kolonial dan pengusaha onderneming yang melakukan kolusi dengan menciptakan lahan-lahan tanpa status yang jelas. 28
Memorie van Overgave, Bouman, op.cit, hal. 7. Memorie van 0vergave S. Bouman, ibid, hal. 10; lihat juga, Mv0 J. Reuvers, Deli 15 Maret 1926, hal. 56. Seperti yang telah disebutkan dalam teori pemilikan tanah vorstdomein, di tanah-tanah Melayu khususnya di wilayah Kesultanan Melayu Sultan dianggap sebagai pemilik semua tanah dan berhak untuk membagi-bagikan tanah tersebut kepada kawulanya. Jenis tanah yang dibagikan itu disebut sebagai karunia Sultan (grant Sultan). Persoalan baru muncul ketika kekuasaan Sultan mulai diambil alih oleh pemerintah Belanda dan Kontrolir menjadi pejabat tertinggi Belanda yang ditempatkan uintuk menggantikan Sultan. Kontrolir kemudian sering juga membagi-bagikan tanah yang dianggap sebagai milik pemerintah kepada penduduk petani sebagai jalan keluar sengketa antara petani dan perkebunan. Tanah ini disebut sebagai grant Controleur. 30 Menurut pengalaman yang diperoleh, orang-orang Batak Toba tergolong sebagai etnis Batak yang tekun dan kuat dalam menggarap tanah untuk kepentingan produktivitas. Orang-orang Batak Toba mulai membanjiri daerah Pantai Timur Sumatra dan bermukim di hampir semua wilayah. Di Simalungun misalnya orang-orang Batak Toba didatangkan oleh pemerintah kolonial untuk menggarap sawah-sawah milik raja-raja Simalungun dan membuka pemukiman di daerah Bah Bulian. Semakin lama jumlah mereka bertambah banyak dan akhirnya melebihi jumlah penduduk asli Simalungun sendiri. Lihat J. Tideman, Simeloengoen (‘s Gravenhage, Van Doesburgh, 1922). 29
©2004 Digitized by USU digital library
14
Persoalan pertanahan menjadi sumber kekacauan dan kebingungan, juga menjadi sumber pemerasan dan penipuan. Perubahan status hukum dari konsesi menjadi hak erfacht telah menjadi bahan pembicaraan sehari-hari. Untuk mengatasi persoalan ini dibentuk Kantor Urusan Agraria.31 Kantor Urusan Agraria yang dibuka di Medan kemudian menunjukkan pekerjaan yang sangat bermanfaat dengan menetapkan secara cermat hak milik tanah bagi penduduk setempat. Pertama-tama sistem ini diterapkan di daerah perkebunan, yang penggunaannya selama bertahun-tahun telah berlangsung, sehingga bisa diterbitkan bukti tertulis kepada yang bersangkutan seperti grant untuk tanahtanah garapan di luar pusat pemukiman.32Dalam pelaksanaan pemberian grant yang dikeluarkan oleh sultan, terdapat beberapa kekacauan, antara lain dikeluarkannya dua grant untuk satu petak tanah yang sama. Hal ini terbongkar di depan sidang karapatan ketika telah diajukan dua bukti pemberian untuk sebidang tanah yang sama, dimana salah satu bukti itu memiliki Cap Sultan palsu. Selain itu terjadi sengketa hukum, dengan adanya pemberian ganda, seperti yang dimuat dalam Surat Kontrolir Pronk kepada Tengku Besar, Nomor 346/GZ tanggal 11 Januari 1923. Karena banyaknya perbedaan model yang menyangkut isi dan persyaratan perolehan grant, maka banyak penduduk setempat yang menggelapkan hak atas tanah ini, tidak memiliki bukti pemberian atau surat keterangan grant atas namanya. Sebagai penyelesaian diputuskan dalam sidang para Raja Melayu bahwa pemegang hak ini akan diakui, apabila memiliki surat keterangan tertulis atas namanya sebagai bukti.33 Dalam pelaksanaan keputusan tersebut, kendala segera dihadapi karena untuk membuktikan kebenaran dan keabsahan surat pemilikan grant tersebut, tanahtanah itu untuk sementara harus disita dari pemiliknya. Akibatnya banyak orang yang tidak mau membuktikan surat keterangan itu dan diam-diam menyewakannya kepada pendatang non-pribumi. Untuk mengatasi kerumitan yang terjadi ini, pemerintah Belanda mengambil keputusan dengan mengganti grant sultan melalui grant kontrolir.34 31
Memorie van Overgave, D.F. Pronk, op.cit, hal. 30. Nama aslinya adalah het Kantoor voor Agrarische Zaken dan dibiayai oleh anggaran daerah. Kantor ini berada di bawah pimpinan asisten residen yang dibantu oleh dua orang kontrolir agraria. Pembiayaan bagi anggaran kantor ini diperoleh selain dari subsidi pemerintah juga bantuan dari para pengusaha perkebunan. Arti penting kantor ini segera meningkat pesat dengan bertambahnya kesibukan dalam tugas-tugas yang harus dihadapi, yang terbukti dari tntutan bagi perluasan kantor urusan agraria itu bersama jumlah pegawainya. 32 Memorie van Overgave, H.E.K. Eserma, Asisten Residen van Deli-Serdang, 21 September 1921, hal. 32. Pengeluaran bukti tertulis ini sangat membantu dalam penyelesaian sengketa kepemilikan tanah dan memperjelas batas-batas wilayah. Kantor catatan agraria ini kemudian dirubah menjadi kadaster. 33 MvO, D.F. Pronk, op.cit, hal. 32. Hal ini menunjukan arti pentingnya kedudukan dan status Kontrolir di daerah Sumatra Timur khususnya dan luar Jawa umumnya setelah tahun 1910 atau Pax Neerlandica. Kontrolir dianggap sangat strategis karena dia adalah pejabat Belanda yang langsung berhubungan dengan para penguasa pribumi dan penduduknya. Ini menunjukan penurunan luas wilayah raja-raja pribumi yang disamakan statusnya dengan pimpinan suatu Onderafdeeling, berbeda dengan raja-raja Jawa yang disejajarkan kedudukannya dengan penguasa suatu Karesidenan. Pada masa Orde Baru kedudukan ini diteruskan dengan pemberian status dan jabatan bupati atau camat untuk penguasa daerah bekas raja-raja swatantra di luar Jawa, sedangkan bagi penguasa daerah bekas raja-raja Jawa diberi pangkat dan kedudukan sebagai Gubernur. 34 Lihat, Staatsblad van Nederlandsch Indie, tahun 1925 Nomor 474.
©2004 Digitized by USU digital library
15
Berbeda dengan grant sultan, grant kontrolir khusus diberikan di pusat pemukiman oleh pimpinan Onderafdeling atas nama sultan. Grant ini harus memuat bukti persetujuan Gubernur kepala wilayah dan didaftar secara khusus penerimanya kepada kontrolir yang mengeluarkan grant ini. Hak bangun diberikan di pusat pemukiman dan sekitarnya. Pendaftaran ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya dua grant atas tanah yang sama.35 Langkah pemerintah ini juga tidak mampu menuntaskan seluruh persoalan karena justru pemilikan menjadi semakin tidak pasti dan dari kekosongan itu akhirnya tergantung pada pendapat sultan atau kontrolir apakah hak miliknya bisa diakui secara hukum. Para pemilik grant sultan lama memiliki semacam hak milik individu atas tanah ini, sementara grant kontrolir hanya dikeluarkan untuk jangka waktu tertentu. Selain itu sebagian besar penduduk masih menghuni tanah-tanah yang ada tanpa surat keterangan tertulis, termasuk juga masalah penghunian tanah tidak sah oleh orang-orang Cina penyewa yang sering terjadi. Meskipun persoalan antara pemegang konsesi dan masyarakat telah berakhir, namun persoalan antara sultan dan pemegang konsesi lain muncul di Percut. Hal ini bersumber pada kondisi banjir yang juga merugikan tanah konsesi milik perusahaan onderneming tembakau Arendsburg yang membuat kanal bagi penyaluran air di perkebunannya. Pembuatan kanal ini melewati tanah sultan yang tidak disewakan. Sebagai penyelesaian, tanah ini dikembalikan oleh perusahaan tembakau Arendsburg kepada sultan dengan tekanan pemerintah kolonial. Namun sultan wajib menjadikan tanah ini sebagai daerah pemukiman kolonisasi bagi para pekerja perkebunan tersebut.36 Status tanah yang dijadikan daerah kolonisasi ini juga dirubah menjadi erfacht, dan bukan konsesi.37 Kasus sengketa serupa juga terjadi atas Kampung Kuala Bakala yang terletak di tanah konsesi perkebunan Padang Bulan. Warga kampung mengajukan protes kepada Gubernur Sumatera Timur tanggal 6 Juni 1928 karena lahan pertanian mereka telah didesak oleh onderneming. Dari penelitian yang dilakukan kemudian oleh pemerintah terbukti bahwa daerah konsesi perkebunan Padang Bulan ini bersumber dari dua kontrak dengan Sultan Deli, yang dibuat pada tahun 1869 dan 1872. Kontrak ini menunjukkan tanah-tanah mana yang dikuasai oleh perusahaan onderneming seluas 3412,87 bahu termasuk wilayah kampung Kuala Bakala. Sultan Deli mengizinkan perluasan lebih lanjut dengan catatan penduduk diberi sedikit tanah sebagai sisanya. Dalam pelaksanaannya onderneming semakin mendesak kebutuhan tanah penduduk. Gubernur Sumatera Timur memutuskan lewat suratnya Nomor 2238/AZ tanggal 6 Desember 1928 agar perkebunan menyisihkan tanah bagi penduduk. Namun pihak perkebunan tidak bersedia dengan alasan kebutuhan bagi pemukiman tenaga kerjanya. Penyelesaian yang diambil oleh pemerintah adalah menunjuk 35
36 37
Mv0. Winckel, op.cit, hal. 51-52. Ini bisa dilakukan setelah adanya kesepakatan antara Sultan dan Residen yang akan membagi masing-masing wewenang dalam mengeluarkan grant ini. Dalam kesepakatan tersebut diputuskan bahwa grant yang tidak tercatat akan dianggap batal dan tidak berlaku. Memorie van Overgave, Bouman, op.cit, hal. 10. Hak erfacht ini dibatasi maksimal 3500 bahu dengan masa sewa 75 tahun. Permintaan hak erfacht oleh pemegang konsesi kepada sultan harus dilakukan melalui Residen yang sebelumnya akan mempertimbangkan dampak-dampaknya setelah menerima laporan komisi penyelidik yang dibentuknya. Namun pada kenyataannya sering penyelidikan dan pengukuran ini tidak dilakukan mengingat kesulitan lahan yang diminta. Erfachtregelen voor Zelfbestuurder in Buitenbezittingen, dalam Indische Gids, jilid I, tahun 1919, hal. 788.
©2004 Digitized by USU digital library
16
beberapa kampung seperti Pulau Brayan, Titipapan, Kampung Besar, Labuhandeli, Belawan, Hamparan Perak dan Sunggal sebagai tempat-tempat dengan hak bangun untuk penampungan tenaga kerja perkebunan, dimana mereka juga memperoleh petak tanah bagi usaha pertanian kecil. Semua ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari Sultan Deli.38 Dari kedua kasus tersebut di atas bisa dijelaskan bahwa kegiatan onderneming dalam melakukan usahanya sering melakukan pelanggaran atas luas tanah yang dimuat dalam surat perjanjian yang telah dibuat. Perluasan usaha dan kebutuhan untuk memukimkan tenaga kerja mereka menjadi faktor utama yang mendasari perluasan sepihak lahan itu dengan mengorbankan tanah kampung penduduk. Sultan yang juga ikut menandatangani kontrak, tidak membantu penduduk setempat dalam menemukan penyelesaian, sehingga penduduk kemudian berpaling kepada pejabat kolonial dengan harapan bisa memberikan jalan keluar terbaik bagi mereka.39 Persoalan tanah lain selama masa onderneming juga muncul sehubungan dengan para pemukim pendatang, dalam hal ini orang-orang Batak Toba. Seperti diketahui, pemerintah Belanda sengaja mendatangkan orang-orang Batak Toba ke Sumatera Timur sebagai tenaga penggarap tanah dan memberinya mereka tanah-tanah yang dimintakan dari sultan. Untuk ini, tanah-tanah jaluran sebagian diserahkan kepada para kepala adat oleh onderneming setelah panen tembakau. Para kepala adat ini tidak membagikan tanah yang ada kepada penduduk warganya, namun menyuruh warganya mengerjakan tanah itu untuk kepentingan penghulunya sendiri. Tentu saja hal ini sangat membebani warga, seperti yang bisa dilihat dari keluhan yang dimuat dalam harian Benih Merdeka di bawah ini : Tangis ratapnja Batak Karo di Loehak Langkat Hoeloe Pada soeatoe hari saja lihat 4 orang laki-laki Batak melintas hendak pigi ke Bindjai; saja dengar tjakap mereka itoe satoe sama lain katanja - “Bagaimana ini hal? Apa kita raajat maoe diboenoeh oleh kepala-kepala kita jang lebih tinggi? Tjoebalah soedara fikir, inilah mahalnja makanan. Oesahkan kepala-kepala kita hendak memberi petoendjoek pada kita boeat djalan kehidoepan, tetapi mereka penghoeloe-penghoeloe kita masing-masing membuat actie yang menekan dan bikin mati kita ampoenja kehidoepan. Bagaimana saja tidak bilang begitoe? Tjoba soedara fikir didalam segala roepa kita ditindis betoel-betoel oleh kita ampoenja penghoeloe; sedjak moelai dari hal 38
Gouvernoor 0ostkust Sumatra Besluit 31 Desember 1917 Nomor 803 dan 1 Nopember 1922 Nomor 1738; Lihat tentang penyelesaiannya dalam Memorie van 0vergave Kontrolir J. Reuvers op.cit., hal. 56; lihat juga, Memorie van 0vergave H.D. Moyenfield, Controleur Beneden Deli 9 April 1934, hal. 41. Kebijakan Gubernur ini lebih banyak dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kembali kerusuhan dan pergolakan seperti yang terjadi di daerah Sunggal pada awal perluasan usaha perkebunan tersebut. Dengan memenuhi kebutuhan penduduk setempat untuk bisa bermukim dan bercocok tanam dalam rangka memenuhi tuntutan hidupnya, jaminan keamanan bagi para pengusaha beserta para pekerjanya akan bisa ditegakan dari konflik dan gangguan penduduk pribumi setempat. 39 “Pergerakan Ekonomi Sumatra”, Pewarta Deli, 5 Maret 1928. Para pejabat pemerintah kolonial di daerah tersebut biasanya tampil sebagai pemegang keputusan yang menentukan dan menjadi penengah dalam sengketa agraria. Tindakan ini lebih banyak diambil bukan karena para pejabat kolonial bersimpati kepada penduduk pribumi, melainkan lebih didasarkan pada pertimbangan keamanan untuk menghindari terjadinya pemberontakan dan kerusuhan yang akan merugikan keuangan kolonial.
©2004 Digitized by USU digital library
17
jang ketjil hingga sampai pada hal jang berpenting sekali; kita orang ada dikotak-katikkan oleh itoe penghoeloe-penghoeloe. Apa maoe diboenoeh oleh kepala jang tertinggi kata saja. Masakan radja tidak tahoe itoe hal (perboeatan itoe penghoeloe) jang demikian? Kalaoe ia tidak tahoe terang sekalian mereka mendengarkan rapport penghoeloe sadja dengan tidak soeka periksa apa ada yang dirapport itoe penghoeloe benar atau tidak. Tjoba radja periksa betoel-betoel rapportnja penghoeloe-penghoeloe tentang djaboe-djaboe boeat goena berbagi ladang pertanaman padi saban tahoen, dapatlah kelak ia bertemoe dengan actie penghoeloe itu, bagaimana soenglapnja main comedie mendjoeal nama-nama beberapa lelaki jang beloem pernah kawin diseboet dalam rapportnja ada seorang jang berdjaboe (lelaki-bini) demikian djoega perempoean jang masih perawan toelen diseboet rapportnja ada berlaki, soepaja dapat djaloeran perladangan. Tapi setelah dapat adakah diberikan itoe djaloeran pada adresnja? Apa itoe boekan tipoe namanja goena dirinja? Diantara djaloeran jang ada berhak masing-masing, itoepoen dikoeasai oleh penghoeloe poela jaitoe siapa jang ia sajang orang jang soeka mendjilat tapak kakinja, itoelah orang jang dapat memilih jang baik, sedang orang jang tidak soeka mengjilat dikasi sadja dimana tanah ombang meterban. Soeda pula habis ketaman padi, disitoe ada lagi satoe matjam actie penghoeloe itoe, jaitoe kalau maoe djoeal padi tidak boleh pada orang jang lain, melainkan kepada penghoeloe dengan harga jang soedah ditentoekan oleh penghoeloe itu sendiri. Begitoe djoega halnja didalam pertanaman djagoeng ini, itoe penghoeloe kita hampir disegenap kampoeng mendjalankan actie begitoe. Apa tidak lebih baik kita masoekkan permintaan sama Sjarikat PBK di Loehak Langkat Hoeloe?40 Seperti yang disebutkan dalam tulisan di atas, sultan yang dilapori oleh rakyat tentang kecurangan dan pemerasan oleh penghulu tidak bertindak atau memperhatikan persoalan itu. Hal ini dikaitkan karena di antara orang Batak Karo ada keyakinan, bahwa suku dan pimpinan adatnya sebagai wakil dari marga menjadi pemilik tanah dan bukan sultan. Sultan menganggap desa-desa Batak Karo ini sebagai bentuk kekuasaan otonom. Jika orang Batak Karo ingin membuka sawah maka dia hanya wajib memberitahu kepala adatnya. Kepala adat ini diangkat dan dipecat oleh karapatan, karapatan dusun dan karapatan urung. Di sisi lain pemerintah kolonial yang menerima laporan ini mencari sumber kesalahan dari dua sisi yaitu tidak jelasnya batas pemisah di daerah Langkat antara daerah kampung Batak Karo dan kampung Melayu, seperti yang sudah dilakukan di Deli, dan faktor agama yang dijadikan alasan oleh Belanda sebagai penyebab benturan pandangan tersebut.41 Resesi Ekonomi 1930 dan Pengaruhnya di Sumatra Timur Pada akhir tahun 1920, di daerah Karo wilayah Kesultanan Deli telah berkembang kebiasaan hanya memberikan setengah jaluran kepada pendatangpendatang baru dari dataran tinggi Tanah Karo. Proses ini sering mengalami gangguan konflik-konflik kecil sehubungan dengan status dan luas tanah 40 41
“Tangis ratapnya Batak Karo di Loehak Langkat Hoeloe”, Benih Merdeka, 20 Mei 1920. Menurut pejabat Belanda, Sultan memandang orang Batak Karo ini tidak bisa diberlakukan hukum Islam mengingat mereka bukan umat Islam. Sebagai akibatnya mereka tidak bersedia tunduk pada Sultan sebagai pimpinan agama Islam di wilayahnya. Mv0 G.L.J.D. Kok. Op.cit., hal. 85 dan Mv0. Winckel, op.cit,hal. 75.
©2004 Digitized by USU digital library
18
tersebut di antara para penggarap dan pihak perkebunan. Akibatnya pada tahun 1929 dibentuk komisi untuk menentukan penyelesaian yang tetap atas konflikkonflik tanah jaluran, yang setiap tahun makin meningkat pada setiap pembagian tanah setelah selesai panen tembakau. Ternyata komisi ini mengalami kesulitan, sedangkan keadaan semakin parah sebagai akibat dari resesi dunia (malaise atau zaman “meleset”) pada tahun 1930. Perkebunanperkebunan tembakau mengurangi daerah penanamannya, dan dengan sendirinya penyediaan tanah jaluran semakin berkurang. Pada waktu yang sama semakin banyak penduduk kembali bercocok tanam, karena pekerjaan karena pekerjaan di kota-kota semakin berkurang.42 Dengan demikian bisa dikatakan bahwa salah satu dampak resesi ekonomi yang terjadi di Sumatera Timur adalah terjadinya arus balik dari para imigran pekerja kasar perkotaan. Pada awal abad-XX banyak penduduk pedesaan yang berangkat mencari pekerjaan di kota sebagai buruh seperti di pabrikpabrik, pelabuhan, kereta api dsb. Pada masa resesi ekonomi yang diikuti dengan pengurangan jumlah tenaga kerja di beberapa infrastruktur kota, dan disertai dengan stagnasi perdagangan ekspor-impor yang mengakibatkan turunnya aktivitas di sektor perhubungan (pelabuhan, kereta api), jumlah pengangguran di kota semakin meningkat. Sebagian dari para penganggur ini kemudian kembali ke kampung halamannya dan menggantungkan hidupnya pada tanah dan sistem pertanian tradisional.43 Di pihak onderneming ada usaha untuk mengatasi krisis ekonomi ini dengan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja kepada para pegawainya. Tindakan pengusaha perkebunan ini berupa penyewaan tanah perkebunan kepada pegawainya sendiri dengan sistem potong gaji atau menyewakan kepada orang Cina. Tujuan pengusaha adalah memperoleh hasil sebanyak mungkin, karena produksi kadang-kadang dibeli perkebunan dengan harga yang sudah ditetapkan sekaligus menjamin tetap tersedianya buruh pekerja perkebunan yang murah. Tentu saja tindakan pengusaha ini menciptakan kondisi ketegangan baru di onderneming. Ini dipicu oleh kekecewaan dan kemarahan penduduk setempat yang merasa bahwa tanah jaluran sebagai hak mereka sesuai dengan kesepakatan antara pihak onderneming, pemerintah kolonial dan sultan disamping menurut ketentuan hukum adat, telah dirampas oleh para bekas kuli 42
Mahadi, op.cit, hal. 127. Resesi ekonomi tahun 1930-an awal telah memberikan pukulan besar pada kehidupan ekonomi kapitalis khususnya di sektor perdagangan dan industri. Ini diawali dengan ambruknya harga saham di Wall Street New York pada tahun 1929 dan diikuti dengan krisis moneter dan modal bagi perusahaan-perusahaan besar di Amerika. Akibatnya pemerintah Amerika mengambil kebijakan menutup pasaran Amerika bagi impor komoditi industri Eropa dan produk tropis kolonial. Tentu saja hal ini mengakibatkan terjadinya defisit perdagangan bagi negara-negara koloni Eropa yang telah menggantungkan sebagian besar pasaran produk tropis jajahannya di Amerika. Kemerosotan harga segera terjadi bagi beberapa komoditi hasil bumi tanah jajahan yang diikuti dengan penghentian produksi dan pengurangan lahan penanaman. Sebagai akibatnya lebih jauh, kondisi ini menciptakan pembatalan beberapa kontrak kerja yang mengakibatkan berlimpahnya pengangguran. Di Sumatra Timur ini nampak dengan pemulangan sejumlah besar tenaga kuli kontrak ke Jawa atau penghentian hubungan kerja dengan para kuli kontrak pendatang di daerahdaerah perkebunan. Lihat W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition (Bandung, Van Hoeve, 1958) halaman 129. 43 Lihat, Jaarverslag van Haven Belawan pada tahun 1930, koleksi Perpustakaan Nasional RI, Jakarta.
©2004 Digitized by USU digital library
19
perkebunan dalam hal ini orang-orang Cina dan Jawa. Tanpa disadari terjadi segregasi (ketegangan sebelum meledak sebagai konflik) sosial bernuansa etnis. Pada tahun 1930 dimulai periode meningkatnya ketidakpastian bagi petani di daerah penanaman tembakau (Deli, Serdang, Langkat), yang akhirnya menjadi basis penting gerakan politik di pedesaan. Kesediaan perkebunan tembakau yang mempersiapkan tanah jaluran untuk dipakai oleh masyarakat sudah mulai berkurang. Sebelumnya setiap orang yang rumahnya terletak di dalam kampung yang diambil alih oleh perkebunan dapat mengharapkan pemakaian tanah jaluran untuk ditanaminya.44 Ketentuan mengenai pemberian tanah jaluran tersebut, dimuat dalam suatu kontrak agar penduduk di tanah perkebunan bisa memperoleh hasil dari tanamannya sendiri. Prosesnya berlangsung melalui penghulu sebagai koordinator dengan menerima suatu tambahan tanah, sedangkan anggota keluarga menerima separuh apabila mereka membantunya. Jadi demi kepentingan keluarga yang memiliki banyak anak diberikan tambahan untuk menampungnya.45 Pemerintah Belanda sangat mengecam praktek tanah jaluran, karena cara ini menghalangi pencetakan sawah-sawah baru yang hasilnya lebih produktif untuk mencukupi persediaan beras di daerah yang bersangkutan. Cara ini juga dianggap hanya mengembangkan sifat malas dan menghilangkan daya inisiatif penduduk yang menerimanya.46 Dengan alasan ini pemerintah kolonial berhasrat untuk menghapuskan tanah jaluran di areal konsesi. Dalam perkembangan selanjutnya dibentuk komisi penyelesaian konflikkonflik tanah jaluran. Tetapi komisi ini menghadapi persoalan-persoalan yang lebih rumit karena keadaan di Sumatera Timur semakin parah sebagai akibat resesi dunia pada tahun 1930. Perkebunan-perkebunan tembakau telah mengurangi daerah penanamannya, mengakibatkan persediaan tanah jaluran semakin berkurang, sedangkan dalam waktu yang sama banyak penduduk yang menyerobot tanah perkebunan karena disebabkan lapangan pekerjaan di kota semakin berkurang. Untuk mengatasi keadaan ini pemerintah kolonial mengadakan penelitian. Pada tahun 1932 penelitian resmi yang lebih cermat diadakan untuk membedakan mereka yang akan mendapatkan hak penuh pembagian tanah berdasarkan pendahulunya. Kelompok ini telah berada di tempat itu sebelum tanah itu dikonsesikan. Mereka dikategorikan sebagai golongan “A”, sedangkan 44
Anthony Reid, op.cit, hal 126. Pada akhir dekade kedua abad-XX krisis ekonomi dunia malaise yang mulai terjadi di Bursa Saham Internasional New York segera menyebar ke seluruh wilayah koloni negara-negara Eropa. Mengingat dominasi ekonomi di tanah-tanah jajahan Eropa dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar yang bertumpu pada kekuatan industri dan perkebunan, maka beberapa perusahaan besar yang multinasional segera terkena pukulan dengan merosotnya harga saham mereka di pasaran Internasional New York tersebut. Banyak dari perusahaan ini yang dinyatakan bangkrut (pailit) dan sebagian lagi terpaksa harus melepaskan asetnya atau mengurangi secara tajam jumlah investasinya di tanah koloni. Hal tersebut sangat terasa di wilayah perkebunan Pantai Timur Sumatera, yang segera mengalami penyusutan wilayah dan pengurangan jumlah tenaga kerja dalam aktivitas onderneming. Lihat juga, Anne Booth, Sejarah Perekonomian Indonesia (Jakarta : LP3ES, 1988). 45 Memorie van Overgave, G.L.J.D. Kok, op.cit. 46 Memorie van Overgave, Bouman, op.cit, hal. 46.
©2004 Digitized by USU digital library
20
mereka yang menetap kemudian hanya berhak untuk separuh pembagian, disebut sebagai golongan “B”. Ada kebutuhan untuk mengurangi jatah tanah jaluran yang ketika itu telah diberikan kepada kepala suku Melayu. Juga ada pengurangan luas setiap jaluran dari sebelumnya 0,6 ha.47 Pada tahun 1934 setelah perekonomian pulih kembali, pihak onderneming memprotes sistem pembagian tanah jaluran tersebut karena mereka menganggap jika tanah bekas panen tanaman tembakau yang telah diolah itu dipakai untuk tanaman lain, maka akan merugikan bagi kesuburan tanah. Alasan pihak onderneming ini memperkuat keinginan pemerintah kolonial untuk menghapuskan tanah jaluran. Konsesi perkebunan yang habis waktunya pada tahun 1931 dialihkan menjadi hak erfacht (hak sewa jangka panjang). Atas desakan para sultan dan terutama Gubernur Van Suchtelen (19331936), pelaksanaan hak erfacht tertunda untuk sementara karena penghapusan tanah jaluran secara menyeluruh akan sangat memukul penghidupan rakyat di daerah itu. Tetapi setelah penggantian Gubernur, rencana erfacht yang memberikan hak kontrol sepenuhnya kepada perkebunan tanpa tanah jaluran baru berlaku atau menjadi kenyataan (1937). Keadaan ini menimbulkan kegelisahan kepada para petani. Keadaan lebih gawat timbul ketika tanah jaluran dibagikan berdasarkan daftar baru yang berhak menerimanya pada tahun 1938. Petani Karo dari dusun-dusun telah menghadap Sultan Deli untuk mengajukan protesnya. Sementara itu kedua partai politik penting di Medan yakni Gerindo dan Parindra, telah menyorot akan bahaya yang merugikan kaum tani jika, ordonnantie erfacht yang baru itu dilaksanakan.48 Selama pendudukan Jepang, segala lapangan kegiatan ditujukan untuk menopang usaha perang. Hal itu berlaku pula bagi bidang ekonomi pada umumnya dan bidang perkebunan khususnya. Untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan, terutama beras, Jepang mengadakan bagi masyarakat wajib setor.49 Tindakan Jepang ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan ekonomi perang yang sudah diputuskan dalam Konperensi Kekaisaran tanggal 6 Nopember 1941 di Tokyo. Salah satu keputusan penting yang diambil oleh Jepang atas Sumatera Timur adalah menyatukan pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya di bawah satu pemerintahan, mengingat kesamaan etnis, budaya dan sistem ekonomi perkebunan di antara kedua daerah itu. Meskipun tidak bertahan lama, hanya satu tahun kemudian Sumatera dipisahkan kembali di bawah pemerintahan Satuan AD XXV. Namun selama awal pendudukan Jepang ini kebijakan atas tanah-tanah perkebunan tidak mengalami perubahan berarti, kecuali bahwa para perwira militer Jepang di sini menggantikan posisi para pejabat sipil Belanda, sementara para pengusaha onderneming Eropa digantikan oleh para pelaku ekonomi Jepang (dalam hal ini kelompok Mitsui) yang harus menghasilkan produksi untuk mendukung kepentingan perang.50 47
Anthony Reid, op.cit, hal. 128. Anthony Reid, ibid, hal. 130. Selanjutnya dijelaskan organisasi itu diwakili oleh Jacoeb Siregar dan Mr. H. Luat Siregar, masing-masing telah maju menjadi juru bicara untuk Gerindo dan Parindra. Lihat juga Politiek Verslag van Oostkust Sumatra Residentie 1937. 49 Sartono Kartodirdjo, Djoko Suryo, op.cit, hal 161 lebih lanjut dijelaskan pula Rakyat dipaksa untuk menanam tanaman pangan, terutama beras di areal tanah perkebunan dan hasilnya disetor kepada penguasa Jepang. 50 Sebelum melakukan ekspansinya ke Asia Tenggara, para petinggi militer dan sipil Jepang dalam Konperensi Kekaisaran 6 Nopember 1941 telah memutuskan nasib “kawasan Selatan” (nanjo) ini. Seluruh wilayah Asia Tenggara akan ditempatkan sebagai kawasan pinggiran dari Lingkungan 48
©2004 Digitized by USU digital library
21
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya sebagai suatu kesatuan ekonomi. Dengan status demikian, maka seluruh wilayah Asia Tenggara wajib menyetorkan semua hasil bumi, hasil tambang dan tenaga kerjanya bagi kepentingan Peperangan Asia Timur Raya. Keputusan Konperensi Kekaisaran ini menjadi dasar hukum kebijakan Jepang selama masa pendudukannya atas seluruh kawasan Asia Tenggara dan baru dicabut setelah penyerahan Jepang kepada Sekutu tanggal 2 September 1945 oleh Southeast Asia Command (Komando Asia Tenggara). Jan Pluvier: Southeast Asia: From Collonialism to Independence (Singapore : McMillan Company, 1977), hal. 97-98.
©2004 Digitized by USU digital library
22
Setelah kekuasaan Belanda digantikan oleh penguasa Jepang, kedudukan para pejabat Belanda dan pengusaha onderneming digantikan oleh para Perwira Militer Jepang sebagai penguasa Sipil dan Militer. Struktur penguasaan tanah tidak dirubah, namun fungsi tanah berubah dengan diutamakan bagi kepentingan perang militer Jepang. Sebagai akibatnya para datuk dan penghulu tidak tergeser dari posisinya, namun hanya berganti atasan. Seperti yang telah diketahui bahwa pada masa pendudukan Jepang sektor perekonomian mengalami tekanan hebat, akibatnya banyak terjadi kekurangan pangan karena jatah tanah bekas perkebunan ditanami dengan tanaman bagi serdadu-serdadu Jepang tanpa memberikan jatah memadai bagi rakyat. Dengan banyaknya tanah-tanah perkebunan yang digarap atau dikerjakan oleh rakyat atas perintah penguasa Jepang, ketika itu tak mengherankan apabila perkebunan telantar sehingga produksinya merosot secara mencolok, bahkan ada juga yang dihentikan usahanya.51 Pada masa pendudukan Jepang, perusahaan perkebunan dikelompokkan dan dikelola menurut wilayah kesatuan kepulauannya. Perkebunan di Jawa dikelompokkan ke dalam Kaneei Nogioo Semushei, dan kelompok perkebunan swasta asing disebut Sabai Kanri Kodan. Perusahaan perkebunan di Sumatera dikelompokkan dalam perusahaan pemerintah Jepang.52Di Sumatera Timur, tanggung jawab untuk melaksanakan semua onderneming/perkebunan asing dilimpahkan kepada Noyen Renggo Kai, sebuah badan yang didirikan dalam pertengahan tahun 1942, badan ini mempunyai kantor di Medan dengan staf-staf orang Jepang dibantu oleh penasehat Barat. Menjelang akhir tahun 1942 Noyen Renggo Kai digantikan oleh sebuah badan organisasi administratif baru, Shonan Gonu Kumiai, yang berpusat di Singapura. Para penasehat Barat/penghubung digantikan oleh grup Manajer Jepang, yang masing-masing bertanggung jawab untuk beberapa perkebunan.53 Dalam periode pendudukan Jepang hampir di seluruh Indonesia onderneming-onderneming mengalami kemunduran.54 Keadaan ini dialami di Sumatera Timur, banyak onderneming telah dibubarkan dan buruh mereka berhenti tak berketentuan. Ketika itu Sumatera Timur berada dalam keadaan kekurangan pangan. Menghadapi keadaan tersebut, penguasa militer Jepang memperluas secara besar-besaran program produksi pangan darurat dan memerintahkan pada onderneming tembakau untuk melepaskan 160.000 ha tanah perkebunan tembakau di Langkat, Deli, dan Serdang. Pada akhir tahun 1943, tanah perkebunan tembakau itu dipergunakan untuk penanaman sepanjang tahun bukan hanya untuk padi, jagung dan tanaman pangan lain, melainkan juga untuk serat, kacang-kacangan, jarak dan tanaman-tanaman industri yang berguna bagi kebutuhan perang Jepang. Akibatnya perubahan ini menghancurkan sistem penggiliran penanaman yang sebelumnya dilakukan dengan telaten, dan juga menyebabkan kerusakan-kerusakan tanah pada semua perkebunan di tanah rendah dekat pantai. Sejumlah besar perkebunan tembakau yang paling produktif, terutama yang dekat ke jalan-jalan raya utama atau kota-kota besar seperti Medan dan Binjai, diambil alih seluruhnya oleh buruh-buruh Jawa, orangorang desa dan rakyat kota setempat dengan persetujuan penguasa-penguasa Jepang. 55 51 52 53 54
Ibid, hal. 162. Ibid, hal. 175. Karl. J. Pelzer, op.cit, hal 152. Kemunduran Onderneming/perekebunan sudah terjadi di seluruh Indonesia, kecuali perkebunan karet tidak banyak mengalami kemunduran sedangkan komoditi lainnya mundur secara mencolok.
©2004 Digitized by USU digital library
23
Kekurangan pangan di Sumatera Timur memaksa tanah perkebunan dialihkan kepada penggunaan-penggunaan lain, pembukaan lahan baru meluas di beberapa tempat. Di dalam lingkungan pohon-pohon karet muda yang berumur lima tahun atau lebih, dirusak atau dicabuti dijadikan tanaman pangan.Tanah-tanah dimaksud diberikan kepada petani yang tidak mempunyai tanah. Akibatnya ribuan buruh yang tidak mempunyai tanah meninggalkan bangsal-bangsal perkebunan, dan mendirikan rumah-rumah sederhana di bidang-bidang tanah yang baru mereka peroleh, dan mulai mengembangkan kebun-kebun pekarangan kecil. Dengan demikian banyak tanah-tanah perkebunan yang telah digarap, baik oleh masyarakat berbagai etnis Batak, Melayu, Jawa, maupun oleh buruhburuh perkebunan itu sendiri. Keadaan demikian akhirnya menimbulkan sengketa pertanahan antara onderneming dengan masyarakat dan buruhnya sendiri.Kondisi di atas misalnya, memicu tuntutan dari para petani kampung Kutambelu, daerah Tanjung Anom, Deli. Mereka mengajukan permohonan kepada datuk yang diserahi mengolah tanah jaluran oleh penguasa Jepang. Namun datuk itu menolak mengabulkan permohonan perluasan tanah garapan yang diharapkan oleh petani untuk menutup kebutuhan tanaman pangan yang sudah semakin mendesak. Bahkan datuk ini menjawab : ”Aku kan tidak suruh kau bikin anak banyak? Kalau anakmu banyak tidak bisa kau belandjai, buang sadja ke sungai!”56 Jawaban ini memicu pemberontakan yang segera meluas ke daerah Serbanyaman, XII Kuta dan Sukapiring yang terutama dilancarkan oleh para petani Batak Karo. Dengan kekuatan militer Jepang menindas pemberontakan ini dan melakukan pembantaian serta penangkapan terhadap pelakunya. Sampai akhir kekuasaan Jepang tidak terjadi penataan kembali tanah-tanah yang ada. Kesimpulan Perkembangan peristiwa tersebut di atas memperlihatkan bahwa persengketaan tanah di Sumatera Timur sudah berlangsung secara periodik, dimulai sejak masuknya modal swasta Belanda yang membuka perkebunan tahun 1862 sampai akhir kekuasan Belanda di Indonesia. Masuknya Jepang, menyebabkan sengketa pertanahan di Sumatera Timur bukan menjadi berhenti, bahkan menimbulkan bibit-bibit sengketa baru yang pecah setelah Indonesia merdeka. Sejarah selanjutnya memperlihatkan sengketa pertanahan antara masyarakat dengan perkebunan di Sumatera Timur terus berlangsung. Sumber dari permasalahan tersebut sebenarnya sangat kompleks. Sistem kepemilikan tanah yang kacau karena tidak didukung oleh batas-batas tertulis yang jelas sejak jaman kesultanan sampai akhir kekuasaan kolonial menjadikan perebutan kepemilikan lahan oleh setiap pihak yang berkepentingan. Pemerintah Belanda, sultan-sultan Melayu, pengusaha perkebunan dan rakyat masingmasing mengakui memiliki hak atas tanah dengan dasar yang berbeda-beda. Dalam proses sengketa yang terjadi, pihak yang memegang kuasa (dalam hal ini pemerintah kolonial dan pengusaha perkebunan) menggunakan posisinya yang Sartono Kartodirjo, Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan Di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta : Aditya Media Yogyakarta, 1991), hal. 162. 55 56
Karl. J. Pelzer, op.cit, hal. 153. Darman Tambunan, “Pemberontakan Kaum Tani (Aron) melawan Fasisme Djepang 26 Djuli 194226 Djuli 1958”, Harian Rakjat, 26 Juli 1958.
©2004 Digitized by USU digital library
24
dominan untuk menempatkan rakyat pada posisi yang termarginalisasi dan akhirnya terdepak dari penghunian dan penggunaan lahannya. Pihak penguasa pribumi tradisional, yakni Sultan Melayu dan para pemimpin adat tradisional sebagai tumpuan harapan rakyat pribumi, pada kenyataannya tidak mampu memberikan jalan keluar dan jaminan perlindungan kepada penduduk. Di sisi lain banyak anggota pemerintahan pribumi yang justru terlibat dan memiliki kepentingan dalam eksploitasi ekonomi atas tanah dan tenaga kerja di Pantai Timur Sumatra. Mengingat tertutupnya saluran keluar untuk mengajukan protes dan kekecewaan terhadap kondisi yang ada, konflik yang bernuansa kekerasan tidak bisa dihindari lagi. Pemberontakan penduduk di daerah Sunggal menjadi bukti terjadinya pelanggaran hak adat atas tanah yang tidak bisa diterima oleh rakyat. Begitu juga dengan beberapa kasus seperti pengrusakan kebun, penyerangan pegawai perkebunan dan pemogokan kerja merupakan bukti adanya penolakan terhadap tekanan eksploitasi dari kekuatan modal besar atas penduduk. Berbagai tindakan diambil oleh para penguasa kolonial untuk mengatasi persoalan ini. Di antaranya adalah penerapan sistem jaluran yang diharapkan mampu memberikan jalan tengah bagi konflik antara kedua pihak. Akan tetapi pelaksanaan kebijakan yang setengah-setengah dan sarat dengan KKN tidak bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini terbukti adanya pemenangan kepentingan dari pemilik modal besar baik oleh penguasa kolonial, sultan maupun para pemimpin adat tradisional dalam sengketa atas tanah jaluran yang akan ditanami oleh penduduk pribumi. Kasus penggunaan lahan bagi kolonisasi tenaga kerja perkebunan yang diduga telah melanggar hak milik tanah penduduk setempat juga merupakan bentuk pemasungan hak asasi. Kasus-kasus konflik yang masih meradang dan cara penyelesaian yang setengah hati ini mengakibatkan proses hukum bagi penyelesaian sengketa tetap mengambang dan tidak terselesaikan. Pergantian rejim penguasa yang bersifat rekonstruktif tidak mampu memberikan jalan keluar bagi kondisi macet ini, mengingat penggunaan hukum represif lebih diutamakan dengan nuansa politis yang sangat kental. Akibatnya diperlukan adanya proses dekonstruktif bagi perkara ini untuk bisa mencapai kondisi harmonis, stabil dan kemajuan pesat yang nyata.
KEPUSTAKAAN Sumber Arsip koleksi ANRI Jakarta Gouvernoor 0ostkust Sumatra Besluit 31 Desember 1917 Nomor 803 dan 1 Nopember 1922 Nomor 1738 Memorie van Overgave S. Bouman, Asisten Residen Deli-Serdang, 1 Desember 1929 Memorie van Overgave H.E.K. Eserma, Asisten Residen van Deli-Serdang, 21 September 1921 Memorie van 0vergave L. Kapoort, Asisten Residen Afdeeling Asahan, 4 Mei 1903 Memorie van Overgave G.L.J.D. Kok, Asisten Residen Deli-Serdang, 30 Juni 1910
©2004 Digitized by USU digital library
25
Memorie van 0vergave H.D. Moyenfeld, Kontrolir Beneden Deli, 9 April 1934 Memorie van Overgave D.F. Pronk, Kontrolir Beneden Deli, 9 Maret 1923 Memorie van Overgave Reuvers, Kontroleur van Beneden Deli 15 Maret 1926 Memorie van 0vergave N.J. Ruychaver, Kontrolir Beneden Deli 30 Maret 1926 Memorie van Overgave W.P.L.F. Winckel, Asisten Residen Deli-Serdang 9 Maret 1925 Politiek Verslag van Oostkust Sumatra Residentie 1937 koleksi MvO serie 4e, ANRI Jakarta Koleksi Leksikografi Perpustakaan Nasional RI Jaarverslag van Haven Belawan pada tahun 1930 Staatsblad van Nederlandsch Indie, tahun 1925 Nomor 474 Sumber Penerbitan Berkala koleksi Perpustakaan Nasional RI “ Hoe verkrijgt men gronden in erfpacht op Sumatra?” dalam Algemeene Landbouwweekblad van Nederlandsch Indie, tahun 1916-1917, nomor 22, halaman 7 Ginting Margana, “Kabratan anak negri dan toean toean kebon”, Andalas, 22 Agustus 1918 Erfachtregelen voor Zelfbestuurder in Buitenbezittingen, dalam Indische Gids, jilid I, tahun 1919 “Tangis ratapnya Batak Karo di Loehak Langkat Hoeloe”, Benih Merdeka, 20 Mei 1920 “Tanah Djaloeran”, dalam harian Benih Merdeka, 25 Mei 1920 T,A. Machmoed, PENGAROEH CONCESSIE DI SOEMATRA TIMOER Motto” : Kapitalis Minoem Soesoe, Zelfbestuurder toeroet memerah Ra’jat dalam Pewarta Deli, 11 Januari 1926 “Pergerakan Ekonomi Sumatra”, Pewarta Deli, 5 Maret 1928 “Onderzoek over Grondkwestie”, Deli Courant, 20 Maret 1929 Beberapa Suggesties oentoek Commissie Ra’jat Penoenggoe”, Pewarta Deli, 20 Desember 1932 Darman Tambunan, “Pemberontakan Kaum Tani (Aron) melawan Fasisme Djepang 26 Djuli 1942-26 Djuli 1958”, Harian Rakjat, 26 Juli 1958 Buku-buku Boezemer, T.J., Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1921
©2004 Digitized by USU digital library
26
Booth, Anne, Sejarah Perekonomian Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1988 Butt, Peter, Land Law, Sydney, LBC Information Services, 1996 Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1989 Faez, J., Particuliere Landerijen in Bewesten van Cimanoek Rivier, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1894 Idema, H., Parlementaire Geschiedenis van Nederland Indie, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1898 Lindblad, Th., Het Belang van Buitengewesten, Amsterdam, NEHA, 1986 Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu atas Tanah di Sumatra Timur (tahun 1800-1975), Bandung, Alumni, 1976 Mosca, Gaetano, The Ruling Class, New York, McGraw Hill Book Company, 1939 Pelzer, Karl. J., Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, terjemahanJ. Rumbo, Jakarta, Sinar Harapan, 1985 Pluvier, Jan, Southeast Asia: From Collonialism to Independence (Singapore : McMillan Company, 1977 Sartono Kartodirjo, Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan Di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta : Aditya Media Yogyakarta, 1991 Ter Haar, B, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti Poeponoto, Prajnya Paramita, Jakarta, 1958 Tideman, J. Simeloengoen, ‘s Gravenhage, Van Doesburgh, 1922 Wertheim, W.F.,Indonesian Society in Transition, Bandung, Van Hoeve, 1958
©2004 Digitized by USU digital library
27