eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah di Minangkabau Achmad Haykal1, Kismiyati El Karimah2, S Kunto Adi Wibowo3 Jurusan Ilmu Manajemen Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
Corresponding Author:
[email protected]
ABSTRACT Ownership of land in communal ownership of Minangkabau is owned by the people according to matrilineal kinship. Indigenous knowledge about soils often have conflicts with other knowledge that both have interests in the land. Quite often conflict because conflict is present knowledge of land ownership. This study sought to describe the conflict in the knowledge that dominates the relationship that is created and dominated the discourse in a historical journey from the land of Minangkabau. To analyze the problems, this study uses the concept of hybridity from the perspective of postkolonial discourse and the concept of Foucault. The implications of the use of the concept is the use of critical discourse analysis methods Sara Mills. Ground knowledge to the contrary is present in the liminal space, the space where the negotiations-negotiations of knowledge which gave birth to a new hybrid entity. The new hybrid entities such as the presence of knowledge-eigendom pusako, property search and. Hybridity, hybridity is present in the knowledge of the kolonial State and the State of Indonesia. Advice and reflection of this research is, Based on the knowledge that emerged was a hybrid in this study are also not able to reduce land conflicts that occurred in the Minangkabau. Though knowledge is born from the process of negotiating a number of knowledge intersect. Means knowledge of the land was never enough to muffle the conflict. Kata kunci: Konflik, Pengetahuan, Wacana, Hibiditas
1
Penulis Pembimbing Utama 3 Pembimbing Pendamping 2
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 1 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Pendahuluan. Minangkabau merupakan salah satu suku di Indonesia yang sering kali menjadi objek penelitian bagi peneliti luar maupun peneliti lokal. Umumnya mereka tertarik pada kebudayaan Minangkabau, salah satu diantaranya adalah adat tentang kepemilikan tanah. konsep kepemilikan tanah dimiliki secara komunal dalam satu kaum. Kaum terdiri dari beberapa unit-unit keluarga yang masih dalam satu keturunan berdasarkan garis ibu. Bentuk pemanfaatan tanah adat oleh seluruh anggota kaumnya juga bervariasi, biasanya tergantung kepada besar kecilnya jumblah anggota kaum yang bersangkutan. Salah satu kategori tanah adat adalah tanah pusako tinggi yang merupakan tanah adat yang paling eksis diantara jenis tanah adat lainya di Minangkabau. Bisa dikatakan hampir semua orang Minangkabau yang tinggal di sana bisa dipastikan mereka tinggal di atas tanah kaum, kecuali mereka tinggal di tanah yang sudah dapat dibeli ataupun disewa. Hukum adat Minangkabau mengatakan bahwa ketentuan harta pusako tinggi tidak boleh dijual ataupun dihilangkan. Hal ini menunjukan adanya hak lain atas tanah selain pusako tinggi yaitu hak milik kaum. Tanah di Minangkabau sering menyebabkan konflik, hal ini akibat pola kepemilikan tanah yang khas, yaitu kepemilikan tanah oleh kaum atau suku. Jadi masing-masing anggota suku hanya boleh memakai dan mengambil manfaat dari tanah tersebut tetapi tidak bisa memiliki. Akan menjadi masalah ketika praktek tanah
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 2 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
pusaka banyak yang diperjual belikan. Karena hal ini akan menyimpan potensi konflik dalam masyarakat Minangkabau (Zubir, 2010). Bahkan dalam pemberitaan surat kabar Haluan menyebutkan hampir 70 % kasus pembunuhan yang terjadi di Sumatera Barat (Minangkabau) berawal dari konflik tanah. Data ini diperkuat lagi oleh laporan Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Sumatera Barat yang menyatakan bahwa, 310 kasus yang masuk pengadilan, 245 diantaranya adalah masalah tanah. Jadi kasus tanah sebesar 79 % diantara keseluruhan kasus di Sumatera Barat.1 Salah satunya konflik yang terjadi antara Ardi sabagai penggugat dengan Baharudin, Ajis, Gadis, Riyas sebagai tergugat. Konflik yang memperbutkan tanah pusako tinggi ini telah malang melintang diberbagai ruang-ruang pengadilan baik di kerapatan adat hingga di Pengadilan Mahkamah Agung. Akhirnya pada tahun 2000 Mahkamah Agung melalui keputusan No 442/PK/Pdt/2000 menyatakan bahwa; Pengadilan membatalkan tuntutan penggugat berupa hak kepemilikan tanah pusako tinggi. Dalam menimbang putusannya, Pengadilan Mahkamah Agung mengacu pada hukum adat secara umum di Indonesia, yaitu intensitas menentukan hak dan kewajiban antara pemakai dengan tanah. Dalam hal ini, tergugat merupakan generasi ketiga yang telah menempati tanah tersebut semenjak tahun 1984, dengan begitu Pengadilan menyatakan hubungan tergugat lebih dari cukup untuk memiliki atau sekurangnya mereka dapat memperoleh manfaat dari tanah pusako tinggi tersebut.
1
(www.Haluan.com edisi 12-5-2005).
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 3 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Kedua pengadilan tidak mengabulkan gugatan Ardi dikarenakan, Ardi tidak dapat membuktikan dirinya sebagai mamak kepala waris. Konflik tanah pusako tinggi diatas bermula dari laporan Ardi yang berbeda kaum dengan Baharudin, Ajis, Gadis, Riyas. Relasi keduanya dijembatani oleh seseorang yang bernama Loneh. Ardi selaku penggugat merupakan kemenakan dari Loneh, sedangkan Baharudin, Ajis, Gadis, Riyas selaku tergugat adalah cucu dari Loneh. Bagi pengetahuan adat Minangkabau, walaupun mereka terhubung dengan Loneh, akan tetapi mereka bukan merupakan anggota kerabat sekaum, karena kekerabatan di Minangkabau menurut garis ibu Berbeda pada tahun 1963 pembicaraan tanah dalam Pengadilan Payakumbuh tidak beralih dari mamak kepada kemenakan. Konflik ini membicarakan tanah pencaharian milik Jamalin yang didapat berkat usahanya sendiri. Selain tanah juga terdapat usaha kincir padi yang dilakukan oleh Jamalin bersama anak-anaknya. Jamalin Sebagai pemilik tanah pencaharian berelasi dengan para anak dan juga para kemenakan. Ketika Jamalin meninggal, para kemenakan mengambil alih tanah pencaharian tersebut. Hal inilah yang menyebabkan konflik terjadi hingga Pengadilan Negri Payakumbuh. Para anak yang merasa tanah tersebut merupakan harta peninggalan ayahnya melaporkan kemenakan ke Pengadilan. Selain itu mereka merasa memiliki kontribusi yang besar, karena mereka ikut membantu dalam mengembangkan usaha tersebut. Akhirnya pada tanggal 10 januari 1963 Pengadilan
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 4 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
memutuskan para anak lah yang berhak memiliki tanah pencaharian Jamalin (Syarifuddin, 1982:518) Dari dua kasus diatas, terdapat perubahan praktik tentang peralihan tanah di Minangkabau. Pada tahun 1963, Pengadilan Payakumbuh memutuskan tanah pencaharian beralih dari ayah kepada anak-anaknya. Hal itu berbeda dengan tahun 2000, konflik tanah yang terjadi dalam pengadilan Mahkamah Agung memutuskan bahwa tanah pusako tinggi beralih dari kakek kepada cucu. Transformasi praktik tanah diatas berelasi dengan pengetahuan yang berbeda pada tiap waktunya, Pada pengadilan tahun 1963 tanah pencaharian yang merupakan hasil usaha Jamalin dapat diturunkan kepada anak. Berbeda dengan pengetahuan dalam pengadilan Mahkamah Agung tahun 2000. Dalam memutuskan konflik tanah antara Ardi dengan Baharudin, pengadilan merujuk hukum adat secara umum di Indonesia yang mengatakan bahwa relasi tanah dengan pemiliknya tergantung intensitasnya, dengan demikian para cucu yang merupakan generasi ketiga keturunan dari Loneh memiliki hak atas tanah tersebut. Pengadilan dalam memutuskan konflik tanah pusako tinggi merujuk pengetahuan adat secara umum yang diterapkan diseluruh daerah di Indonesia. Dalam praktiknya pengetahuan Negara tentang tanah mendominasi pengetahuan adat Minangkabau. terbukti dalam memutuskan perkara tanah adat Minangkabau pengadilan tidak merujuk pengetahuan adat Minangkabau melainkan pengetahuan adat secara umum.
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 5 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Wacana konflik tanah dibaca sebagai pengetahuan yang didalamnya terjadi persilangan sejumlah pengetahuan yang menghasilkan entitas yang hibrid. Hibriditas merupakan konsep dari perspektif postkolonial, ia adalah pencampuran dari berbagai hal yang telah berkarakter hibrida. Seluruh kebudayaan merupakan zona berubahnya sekat dan hibridisasi. Namun konsep hibriditas memungkinkan kita mengenali bentuk-bentuk produksi subjek baru dan bentuk-bentuk budaya. Jadi konsep hibriditas dapat diterima sebagai sesuatu alat untuk memahami perubahan budaya lewat perumusan strategis atau stabilisasi temporer kategori budaya (Barker, 2008:210). Wacana konflik tanah berelasi dengan praktik yang dibangun dari sejumlah pengetahuan tentang tanah secara menyejarah. Sejarah dan wacana mempunyai pertautan yang erat, karena pada dasarnya sejarah terbentuk melalui episteme atau cara pandang dunia yang dimiliki oleh suatu masyarakat dalam konteks waktu tertentu. Epistem ini tersimpan dalam wacana (Mills, 2007 dan Kendal&Wickham, 1999). Cara berpikir atau episteme ini tidak dipengaruhi oleh individu akan tetapi sturktur wacana yang dominan. Littlejohn menuliskan bahwa struktur wacana ini menyimpan cara-cara mempraktekkan dan mengungkapkan gagasan, apa yang orang tahu tidak dapat dipisahkan dari struktur wacana. Bagi Foucault, wacana termasuk teks tertulis, ungkapan lisan dan bentuk non verbal seperti arsitektur, gambar bahkan praktik institusi (Littlejohn, 2005:330).
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 6 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Salah satu institusi tempat dimana wacana konflik tanah diproduksi adalah pengadilan. Relasi Pengadilan dengan wacana konflik tanah merupakan tempat dimana kekuasaan dibangun dan dinegoisasikan. Berbagai statement yang menciptakan klaim kebenaran yang disepakati sebagai pengetahuan cendrung menyusun cara berfikir tentang tanah. Oleh karena itu Peran penelitian ini adalah mengurai bagaimana sejumlah pengetahuan yang saling bersilangan membentuk entitas hibrid yang berelasi dengan wacana konflk tanah yang menyejarah. Hal ini terutama dimaksudkan sebagai usaha memfokuskan penelitian ini.
Metode Untuk memetakan pengetahuan tentang kepemilikan tanah yang berelasi dengan wacana konflik tanah, penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dari Sarah mills yang menganjurkan langkah-langkah analisisnya, seperti yang terdapat dalam buku Gavin Kendall dan Gary Wickham (1999). Dalam buku tersebut disebutkan bahwa pada dasarnya analisis wacana Foucaultian adalah sebuah analisis kesejarahan (disebut sebagai Archaeology) yang mempunyai dua prinsip utama. Prinsip pertama adalah non-interpretive, Kendal & Wickham (1999;26) menulisaknya dengan: To say that archaeological research seeks to provide a description of regularities and so forth is to say that archaeological research is not only content to remain at the level of appearances, but that it has no time for any quest to go ‘beyond’ this level to find ‘deeper meanings’
Non-interpretive berarti analisis wacana berusaha tidak mencari kecuali deskripsi dari aturan perbedaan, transformasi dan seterusnya. Analisis wacana Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 7 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Foucaultian hanya menganalisis permukaan, karena memang tidak adanya sesuatu yang ‘beyond’. Anggapan adanya sesuatu yang ‘beyond’ itulah yang sebenarnya menyebabkan kita dapat berfikir mengenai ‘deeper meaning’, bukan karena kita menemukan meaning itu sendiri. Dengan begitu, meaning pada dasarnya adalah sebuah judgement. Prinsip kedua adalah non-anthropological, dimana ia menolak penyelidikan kepada ‘author’ dan lebih berkonsentrasi pada statement dan visibilitas (hal yang dapat dilihat). In saying that archaeological research is non-anthropological research, we are adding another dimension to the exhortation to concentrate on appearance. The principle exhorts us to concentrate on the appearance. The principle exhorts us to concentrate on the appearance of statements and by implication to avoid the habit of seeking to source meaning in human beings.
Dengan berdasar kedua prinsip tersebut, Sara Mills menganjurkan untuk mencari seluruh teks yang berkaitan dengan topic penelitian, artinya bahwa analisis wacananya berkonsentrasi pada masalah kesejarahan. Bagaimanapun teknik pengumpulan datanya apakah ia studi literer atau wawancara berdasar pada prinsip diatas, penelitian ini berprinsip non-anthropologist dan non-interpretive Data yang dikumpulkan adalah semua data yang berkaitan dengan topic penelitian. Akan tetapi pada dasarnya, menurut Mills dengan menyitir Dreyfus dan Rabinow “several different utterance can, in fact, constitute in single statement” (Mills, 2001:61). Beberapa statement dengan framework berbeda kemudian membentuk episteme sebuah jaman. Untuk lebih sederhanya, Sara Mills menganjurkan mengikuti analisis wacana yang dianjurkan oleh Kendal dan Wickham (1999;27&33):
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 8 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
1. Memetakan hubungan antara yang dapat dikatakan (sayable) dan dapat dilihat (visible). Contohnya dalam analisi konflik tanah, kita perlu memperhatikan pada hal-hal apa yang dibicarkan (pendapat peneliti tentang tanah, keputusan adat) dan apa yang dilihat (praktek tanah, kebijakan pemerintah, teknik pendisiplinan, dsb) 2. Menganalisis hubungan antara sebuah pernyataan dengan pernyataan yang lain. Investigasi harus lebih terfokus pada bagaimana sistem pernyataan bekerja. Misalnya, pernyataan otoritas pemerintah yang menyediakan frame work bagi ninik mamak dan ulama. 3. Merumuskan aturan-aturan dari pangulangan pernyataan atau pengulangan penggunaan wacana. Analisis fokus pada prosedur yang digunakan oleh lembaga adat, otoritas pemerintah, ulama, dan lain-lainnya untuk mengeluarkan statement. Jadi analisis yang dilakukan lebih fokus pada bagaimana cara statement tertentu dapat selalu diulang atau tidak diulang. 4.
Me nganalisis posisi yang dibangun antara subjek dalam pernyataan tersebut. Analisis ini fokus pada bagaimana cara sebuah pernyataan memproduksi posisi subjek. Cara dari ‘bagaimana menjadi’ dan ‘bagaimana berlaku’ yang dapat dipraktekan oleh subjek. Dalam analisis praktek pengadilan, misalnya posisi
penggugat, tergugat, keputusan pengadilan, dan
sebagainya 5.
Me ndeskripsikan permukaan kemunculan (surface of emergences) tempat dimana objek ditunjuk dan dibentuk. ‘tanah pusako tinggi’ dan ‘waris’ misalnya diperlakukan sebagai domain. Dalam domain ini, aturan syara’ misalnya dapat mempengaruhi bagaimana tanah dialihkan ke anak sebagai sebuah tipe khusus dari subjek ahli waris
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 9 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
6.
Me ndeskripsikan institusi yang membutuhkan otoritas dan menyediakan batasan-batasan dimana objek wacana dapat berlaku. Institusi disini selalu diperlakukan sebagai ‘tempat visible (apa yang bisa dikatakan)’. Di tahap ini, misalnya analisis berusaha mencari gambaran keputusan yang dikeluarkan oleh kerapatan dewan penghulu yang membuat institusi ini dapat beroprasi.
7.
Me ndeskripsikan bentuk-bentuk khas yang mereferensikan pada cara yang dituju oleh objek diskursif. Analisis fokus pada cara sistematis dimana fenomena dapat diakses. Misalnya, petatah petitih Minangkabau memberikan kepada kita kosa kata dan seperangkat konsep-konsep sehingga memungkinkan kita untuk mendapatkan ukuran dari praktek tanah adat.
Analisis Penelitian ini
menggunakan analisis
postkolonial
yang memandang
pengetahuan kepemilikan tanah merupakan hasil persilangan kuasa pengetahuan dan menarasikan bahwa gagasan ini adalah strategi budaya. Dalam pengertian strategi budaya yang dilakukan tidak dalam pengertian biner, namun justru terjadi dengan cara peniruan yang terlihat sama tapi tak sepenuhnya sama. Penulis dapat menyimpulkan penelitian ini sebagai berikut; 1. Ide dominan kelas penguasa yakni pemerintah kolonial atas sub ordinat yakni masyarakat adat Minangkabau untuk eksploitasi dan mengontrol pengetahuan tanah. Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 10 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
2.
Dominasi
kuasa
pengetahuan Negara Indonesia terhadap pengetahuan adat yang hadir dalam ruang-ruang seminar adat menegoisasikan tanah adat yang dapat digunakan secara universal demi kesejahteraan rakyat. 3.
Negara
Indonesia
dalam praktik tanah tetap melanjutkan pengetahuan kolonial Belanda. Pengetahuan Negara tentang adat yang universal hadir dalam ruang-ruang pengadilan mendominasi pengetahuan adat. Terbukti dalam pengadilan di Mahkamah Agung merujuk pengetahuan adat secara universal dalam konflik tanah pusako tinggi adat Minangkabau. 4.
Pengetahuan kepemilikan tanah di Minangkabau hadir dalam pertemuan kuasa pengetahuan yang bersilangan. Pertemuan dalam relasi kuasa dominasi dan resistensi kemudian bernegoisasi melahirkan pengetahuan hibrid diantaranya: a.
Pertama
pusako-
eigendom Eigendom merupakan bentuk pengetahuan penguasa pemerintah Kolonial yang mengatur tanah dalam kepemilikian individu yang otonom. Kepemilikan individu ini berlasi dengan teknik pencatatan agar mendapat legalitas hukum formal Belanda. karena tanah yang telah terdaftar dapat dilindungi oleh hukum formal Belanda. Apabila tanah telah mendapat payung hukum yang
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 11 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
umum diterapkan oleh pemerintah kolonial, umumnya tanah ini dapat dengan mudah dijual kepada orang lain, bahkan kepada non pribumi. Agar tujuan pemerintah kolonial tercapai, maka dikeluarakanlah peraturan menganai pencatatan tanah atas tanah pusako adat yang dikenal dengan akteeigendom. Karena tanah pusako bukan milik individu melainkan milik komununal, maka strategi yang dilakukan pemerintah kolonial dalam pencatatan adalah mencantumkan nama mamak kepala waris sebagai pemilik yang mewakili kaum. dengan demikian secara tersamar strategi ini bertujuan individualisasi kepemilikan tanah. Dilain pihak, masyarakat adat sebagai sub ordinat atas kelas penguasa, memiliki pengetahuan mengenai tanah yang telah lama dipraktikan bahkan sebelum datangnya pemerintah kolonial Belanda. Bagi masyarakat adat pengetahuan kepemilikan tanah turun dari mamak kepada kemenakan. dalam hal ini tanah adat tidak dapat dimiliki oleh individu melainkan dimiliki oleh anggota kaum menurut garis ibu. Jenis tanah ini diterapkan hukum adat, yang ketika terjadi sengketa dapat diselesaikan melalui rapat Dewan Penghulu. Negoisasi dua pengetahuan antara pengetahuan pemerintah kolonial dengan masyarakat adat yang terjadi dalam apa yang disebut ruang ketiga melahirkan entitas baru yang hibrid. Dalam hal ini hibriditas tersebut adalah pusakoeigendom. jenis tanah pusako-eigendom yang hadir dalam pengadilan konflik tanah milik Puti Maley dipraktikan hampir sama namun tidak benar-benar
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 12 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
sama dengan kedua pengetahuan tersebut. Tanah pusako-eigendom yang telah tercacat di notaries milik Puti Piaman yang diwasiatkan akan diwarisi hanya kepada cucu perempuanya kemudian dibatalkan dan memasukan mana Puti Maley (anak perempuan Puti Piaman) sebagai satu-satunya ahli waris yang sah secara adat oleh Landraad (pengadilan Kolonial). Dalam memutuskan, Landraad tidak merujuk hukum formal belanda, melainkan keputusan Dewan Penghulu.
b.
Tanah pencaharian Hadirnya subjek tanah pencaharian terbentuk dari sejumblah pengetahuan yang berelasi dengan tanah. Persilangan yang terjadi antara lain terdapat pengetahuan waris secara syara’ dengan waris secara adat. Kemunculan waris menurut syara’ yang pertama kali dipertentangkan dengan peralihan harta secara adat berawal dari statement Syekh Achmad Khatib. Pada waktu itu pengetahuan adat dimana harta lazim diturunkan dari mamak kepada kemenakan mendominasi praktek peralihan harta di Minangkabau, kemudian pengetahuan Islam resistensi terhadap pola peralihan ini. Diawal kemerdekaan terjadi perpecahan diantara kaum adat. Perpecahan ini memisahkan penghulu dalam Majelis Tinggi Kerapatan Adat Minangkabau dengan Partai Adat Rakyat. Penghulu yang tergabung dalam Partai Adat Rakyat mengusung ide-ide baru perihal adat. Salah satu gagasanya adalah
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 13 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
pembaharuan adat tanpa berdasarkan etnis dan agama tertentu. Menurut mereka prinsip dasar yang menyatukan semua adalah rasa senasib dan sepenanggungan dalam hal ini adalah eksplotasi yang dilakukan imperialime dan kolonialisme. Adanya pengetahuan dalam Partai Adat Rakyat ini kemudian dijadikan strategi oleh Inyik Sulaiman Ar-rasuli untuk merumuskan harta pencaharian yang dapat diwariskan secara Syara’. Strategi yang dilakukan adalah menunjuk Partai Adat Rakyat sebagai penyelenggara seminar adat tahun 1952. Di lain pihak Partai Adat Rakyat memiliki tujuan untuk mengenalkan partainya menjelang pemilu pertama. c.
Mamak kepala waris Hadirnya mamak kepala waris dalam ruang pengadilan merupakan produk pengetahuan seminar adat tahun 1968. Sebelumnya mamak kepala waris difungsikan sebagai petugas penarik pajak untuk disetorkan kepada pemerintah kolonial. Strategi yang dilakukan pemerintah adalah untuk mengontrol dan menariki sumber-sumber yang kaum miliki. untuk dapat diterima oleh pengetahuan adat, mamak kepala waris dinegoisasikan dengan pengetahuan adat sebagai perwakilan kaum yang mengurusi dan mengawasi harta milik kaum. Selain itu pemerintah kolonial memiliki kepentingan penguasaan tanah akan tetapi praktik kepemilikan tanah di Minangkabau dimiliki secara komunal oleh tiap-tiap anggota kaum. Praktik tersebut bertentangan dengan hukum
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 14 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
formal, dimana kepemilikan merupakan milik individu. Agar tujuan pemerintah kolonial tercapai, maka diterapkanya teknik pencatatan tanah yang disebut akte-eigendom pada tahun 1910. Kali ini satrategi yang dilakukan adalah menjadikan mamak kepala waris yang berfungsi sebagai perwakilan kaum sebagai perwkilan kepemilikan atas harta pusako adat. Dengan demikian praktik pencatatan tanah merupakan dominasi pengetahuan kolonial atas tanah di Minangkabau. Kesimpulan. Berdasarkan proses dan hasil penelitian, penulis berusaha membuat catatancatatan berupa kesimpulan yang dapat dijadikan bahan refleksi menyangkut penelitian ini: 1.
Penulis
menyadari
dalam praktik dominasi pengetahuan tanah pemerintah Indonesia tidak lebih baik dengan pemerintah kolonial. 2.
Berdasarakan pengetahuan yang muncul secara hibrid seperti tiga temuan diatas ternyata juga tidak mampu untuk meredam konflik tanah yang terjadi di Minangkabau. padahal subjek tersebut lahir dari proses negoisasi sejumblah pengetahuan yang bersilangan. Berarti pengetahuan tentang tanah tidak pernah mencukupi untuk meredam konflik yang terjadi.
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 15 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
3.
Akhirnya,
penulis
menyadari bahwa perspektif post-kolonialisme membantu kita untuk terbuka terhadap proses kritik diri dan mengajak kita untuk terus mengecek ulang penilaian-penilian kita terhadap dunia di luar diri kita. Daftar Pustaka Asnan,
Gusti.2006.
Pemerintahan
Sumatera
Barat:
Dari
VOC
Hingga
Reformasi.Yogyakarta: Citra pustaka __________. 2007. Memikirkan Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950an.Jakarta: Yayasan Obor Barker, Chris. 2000. Cultural Study: Theory and Practice. New Delhi: Sage Publications.
Benda, Franz Von Beckmann. 2000. Properti Dan Kesinambungan Sosial. Jakarta: Grasindo ________________________. 2000. Runtuhnya Tangga Menuju Mufakat. Jakarta: Grasindo Bertens, K. 2006. Filsafat Barat Kontempores Jilid II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Denzin, Norman K and Lincoln. 1994. Yvoman S. Handbook of Qualitative Research. London-Thousand Oaks-New Delhi: Sage Publications. Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri. Jakarta: Komunitas Bambu Foucault, Michel. 1997. Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ______________. 1972. The Archaeology of Knowledge. NewYork: Pantheon. Graves, Elizabeth. E. 2007. Asal-usul Elite Minangkabau Modern. Jakarta: Yayasan Obor Hardiman, F.X. Budi. 2007. Filsafat Modern; Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 16 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
Kendall, Gavin and Wickham, Gary. 1999. Using Foucault’s Methods. LondonThousand Oaks-New Delhi: Sage Publications. Littlejohn, Samuel W. and Foss, Karen A. 2005. Theories of Human Communication Ed.8. USA: Thomson Wadsworth. Mills, Sara. 1997. Discourse. London&Newyork: Routledge.
Naim, Mochtar. 1968. Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris di Minangkabau. Padang: Center Form Minangkabau Studies. Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers. Noer, Fauzi. 1999. Petani & Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia. Yogyakarta: kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar. Solomon, Robert dan Higgins, Kathleen M. 2002. Sejarah Filsafat. Yogyakarta : Bentang.
Syafifuddin, Amir. 1982. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung Press. Sumber Lain:
Surat Kabar:
Haluan edisi 9 april 1930 Haluan, edisi 9 februari 1927 Haluan edisi 16 april 1930 Haluan, edisi 22 desember 1926 Haluan, Edisi 27 November 1929 Haluan edisi 30 Novemver 1929
Putusan Pengadilan:
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 17 of 18
eJurnal Mahasiswa Universitas Padjadjaran Vol.1., No.1 (2012)
2000 No 442/PK/Pdt/2000
Achmad Haykal - Konflik Pengetahuan Kepemilikan Tanah ... Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi © 2012 http://journals.unpad.ac.id
Page 18 of 18