pEnEbare-news No. 12, Jan. - 2007
Redaksi: Edi Cahyono, Maxim Napitupulu, Maulana Mahendra, Muhammad H.T., Hemasari Dharmabumi
Negara dan Klas Di Bawah Kapitalisme Pinggiran* Hamza Alavi
Walaupun ada peran sentral yang diberikan pada negara serta kebijaksanaan publik dalam teori “modernisasi”, namun yang agak mengejutkan adalah mengapa sedikit Diterbitkan oleh: perhatian dicurahkan untuk pemeriksaan sifat-dasar negara Yayasan Penebar itu sendiri, lokasinya di dalam susunan masyarakat yang terbagi atas klas, serta hubungannya dengan kekuatankekuatan sosial yang bertentangan. Agaknya negara terpikirkan sebagai suatu entitas yang berdiri di luar serta di atas masyarakat, perantara otonom yang (secara potensial) dinobatkan oleh suatu sumber rasionalitas independen (yang dihiasi “bantuan teknis” negeri-negeri pEnEbar e-news terbit metropolitan), serta berkemampuan untuk memprakarsai sebagai media pertukaran dan mengejar program-program pembangunan demi dan perdebatan soal-soal perburuhan dan globalisasi. keuntungan seluruh masyarakat. Implisit ada suatu Kami mendukung gerak anti- pemisahan antara negara dengan masyarakat, meremehkan globalisasi masyarakat persoalan-persoalan mengenai fondasi sosial kekuasaan Indonesia. Globalisasi dan perdagangan bebas serta pembentukan kebijaksanaan publik. Problematika merupakan jebakan negeri- negara kemudian terbatas pada hal-hal kemujaraban negeri imperialis untuk institusi-institusi publiknya serta organ-organ untuk menjadikan negeri-negeri miskin terus menjadi koloni mencapai tujuan-tujuan serta program-program dan dihisap oleh negeri- “modernisasi,” dengan fokus khusus pada peranan “elite
negeri maju. Kami menerima tulisan-tulisan yang sejalan dengan misi kami untuk dimasukkan dan diedarkan Diterjemahkan dari: Hamza Alavi, “State and Class Under Peripheral melalui e-news ini. Capitalism,” dalam Hamzah Alavi & Teodor Shanin (eds.), 1982, Intro-
duction to The Sociology of Developing Societies, Macmillan Press Ltd.
Yayasan Penebar ~ Jl. Makmur, no. 15, Rt. 009/Rw.02, Kelurahan Susukan, Jakarta 13750, Indonesia • Tel./Facs. ~ (+ 62 21) 841 2546 • email ~
[email protected] • website ~ http://www.geocities.com/ypenebar/
pEnEbare-news
penguasa,” partai-partai politik, birokrasi, serta militer.
no. 12, januari 2007
Teori-teori “modernisasi,” bagaimanapun juga, eksplisit atau implisit teori-teori pembangunan kapitalis, karena dipremiskan pada penciptaan serta pemeliharaan struktur-struktur serta institusi-institusi dasar masyarakat kapitalis, yang bisa diperlawankan dengan gagasan perubahan revolusioner yang bertujuan melakukan perubahan tegas struktur-struktur internal serta cakupan internasional kerangka kapitalisme global. Kedua macam (teori) perubahan tersebut menyebabkan pembubaran serta transformasi sturktur-struktur sosial dan ekonomi prakapitalis, tetapi masing-masing dengan cara berlainan. Pada masyarakat-masyarakat “yang dimodernisir,” arah perubahan adalah menuju penggabungannya di bawah kapitalisme pinggiran suatu aspek masalah yang telah didiskusikan dalam artikel saya “Struktur Kapitalisme Pinggiran.” Tentu saja, beberapa gagasan besar (general) mengenai negara dan masyarakat mendasari diskusi-diskusi peran negara dari teoriteori “modernisasi”. Khususnya teori fungsionalis, yang sangat berpengaruh dalam pembentukan pemikiran-pemikiran sosiologi politik serta sosiologi pembangunan, dengan memberikan konsepkonsep utamanya.1 Agar memahami sepenuhnya implikasi posisi fungsionalis, orang harus mengingat kembali pengaturan konsepsi kuncinya: pada dasamya masyarakat ditegakkan dari dasar saling melengkapi serta saling menukar peran-peran di dalam pembagian kerja sosial. Ini berlawanan dengan gagasan eksploitasi serta penindasan, dominasi serta subordinasi, dan antagonisme kepentingan klas. Struktur-struktur, seperti sistem politik dan negara, dengan demikian ada untuk melaksanakan fungsi-fungsi The U.S Social Science Research Council Committee on Comparative Politics, dengan ketua Gabriel Almond, yang sangat berpengaruh selama tahun 1960an yang memperluas aplikasi teori fungsionalis untuk penganalisaan “masyarakat-masyarakat sedang berkembang”. Pemikiran sentral pendekatan ini diuraikan Almond dalam “Introduction: A Functional Approach to Comparative Politics,” G.A Almond dan J.S Coleman, eds., The Politics of the Developing Areas (Princeton: Princeton University Press. 1960). 1
2
Baik teori fungsionalis maupun “model pasar” menghasilkan konklusi pluralis mengenai cara bekerjanya sistem politik, melawan pengakuan kepentingan kelas yang terstruktur dalam konflik. Di dalam literatur teori “modernisasi” pertimbangan-
3
no. 12, januari 2007
yang diperlukan, yang hanya bisa untuk kebaikan seluruh masyarakat. Suatu pandangan lain (alternatif), yang tidak mereifikasi masyarakat sebagai suatu keseluruhan (sebagaimana dilakukan teori fungsionalis), tetapi malahan memulai dari pemikiran proses sosial yang ditegakkan oleh interaksi-interaksi individu yang bertindak bebas–”model pasar”–meskipun begitu tiba pada konklusi yang sangat serupa dengan semua teori fungsionalis berkenaan dengan isu-isu yang relevan di dalam karangan ini. Analogi pasar ekonomi adalah pasar politik (dan entreprenur-entreprenur politik bertujuan memaksimisasi suara), tempat individu dalam masyarakat mengajukan tuntutantuntutan serta dukungan-dukungannya; semua ini diubah sistem politik menjadi output-output dalam bentuk perundang-undangan, aplikasi hukum, dan alokasi nilai kewenangan. Dengan adanya “kompetisi bebas,” sistem menghasilkan hasil “fair,” seperti di dalam pasar ekonomi. Tak ada persoalan-parsoalan yang diajukan mengenai pra-kondisi pembagian kerja partikular di dalam masyarakat, atau konsekuensi-konsekuensi pembagian klas yang mendeterminasi kapasitas anggota klas-klas berbeda di dalam pasar politik serta ekonomi, atau hubungan-hubungannya yang tidak sama terhadap negara, dalam suasana saling beroposisi di antara mereka. Sebaliknya dari konsepsi bahwa masyarakat secara sistematis terbagi atas klas-klas yang antagonistis, sesuai dengan hubungan-hubungan produksi sosialnya, di sini kita mempunyai gambaran heterogenitas kepentingan yang tidak pasti dan bersaing satu sama lain, di mana negara memainkan peran netral, mempertahankan aturan permainan, menggabungkan macammacam kepentingan berlawanan menjadi kebijaksanaankebijaksanaan koheren, serta mempertahankan masyarakat menjadi satu demi kebaikan semua anggotanya ketimbang kepentingan-kepentingan klas-klas dominan, pengeksploitirnya.
o. 12, januari 2007
pEnEbare-news
pertimbangan mengenai negara dan masyarakat seringkali dikemukakan terpilah karenanya berbeda dan secara hakiki bertentangan dengan tradisi-tradisi teoritis nya–tidak hanya dengan dua yang diacu diatas tapi juga dengan yang ketiga yang sesungguhnya melawan konsepsi-konsepsi pluralisnya. Adalah pemikiran-pemikiran yang diambil dari “teori elit,” yang membayangkan adanya individu-individu serta kelompokkelompok yang perlu diistimewakan di dalam masyarakat serta negara, menduduki posisi-posisi kekuasaan serta kewenangan. Tapi posisi dominan mereka tidak dihubungkan dengan posisiposisi kelas serta kekuasaan ekonominya atau pergaulan kelasnya, melainkan pada sikap-sikap personal serta nilai-nilai sosial. Dengan demikian teori modernisasi dengan sangat kritis tercantel pada apa yang disebut “elit-elit yang di-Barat-kan (Westernizing elites). pengemban teknologi serta rasionalitas Barat yang harus mengambil-alih (kepemimpinan) “elit-elit tradisonal”. Peran yang diakuinya sendiri elit-elit yang dimodernisir tersebut adalah perubahan “masyarakat tradisional,” konsepsi yang memisahkan mereka, dalam arti, dari masyarakatnya sendiri dan mendukungnya dari luar. Konsepsi negara yang mendasari konsepsi ini, berlawanan dengan pandangan fungsionalis dan model pasar, adalah bahwa negara merupakan suatu perantara otonom yang terselenggara demi masyarakat, ketimbang sebagai produknya. Tekanan bukan pada konsensus atau pertandingan bebas (free play) di dalam pasar politik, tetapi pada kesanggupan serta kemujaraban elit-elit yang dimodernisir serta instrumennya, negara, sebagat pengemban tenaga kemajuan. Inilah self-image birokrasi pimpinan-pimpinan militer ambisius, raja-raja yang menemukan bahwa mereka mempunyai misi bagi negerinya. Konsepsi elit-elit yang dimodernisir yang voluntaris tersebut, bagimanapun juga menerima tanpa mempersoalkan akar-akar sosial mereka serta memasukkan masyarakat yang terbagi atas kelas, dan juga mengenai “imperatif-imperatif struktural” (lihat di bawah) serta pembatas-pembatas beroperasinya. Untuk memahami isu-isu negara dan perkembangannya, karena
4
5
no. 12, januari 2007
itu, adalah hakiki memeriksa persoalan-persoalan dasar dari negara serta kelas-kelas di bawah kapitalisme pinggiran. Untuk itu kita bisa mengidentifikasi empat tingkat berlainan di mana persoalan-persoalan relevan bisa diajukan. Pertama mengenai sifat-dasar serta peran negara di dalam masyarakat di tingkat paling umum, yaitu, peran sentralnya dalam penciptaan serta reproduksi tata-tertib sosial yang menegakkan pra-kondisi yang diperlukan untuk berfungsinya suatu perekonomian kapitalis (pinggiran). Kedua seperangkat persoalan mengenai hakekat negara “instrumental” untuk dan atas nama kelompok-kelompok dan kelas kelas tertentu yang mencoba menguasainya. Inilah dua aspek negara menyolok yang terdapat di dalam perdebatan Marxis kontemporer, namun kita tidak mempunyai cukup tempat di sini untuk menyelidiki sepenuhnya. Kita akan memperhatikan, secara singkat, isu-isu penting (main) untuk bisa menjelaskan secara terperinci konsep kunci kita “imperatif struktural”, dan kemudian kita akan beralih mengidentifikasi serta menganalisa isu-isu khusus yang muncul di dalam konteks masyarakat-masyarakat kapitalis pinggiran. Ketiga seperangkat persoalan tentang sifatdasar serta karakter mereka yang menduduki posisi-posisi kewenangan serta kekuasaan di dalam aparatur negara, “para abdi negara”. Apakah mereka sesungguhnya tuan ketimbang abdi? Kalau mereka memiliki kadar otonomi, seberapa jauh (atau bisakah) meluas? Apakah mereka, mempunyai interes sendiri, independen dari kelas-kelas dominan? Akhirnya, kita bisa memeriksa pandangan bahwa negara bukanlah “aktor,” terselenggara atas nama kelas-kelas yang mendominasi, tapi sebagai arena perjuangan kelas–negara bukanlah entitas homogen serta monolitis tapi sebagai sesuatu yang berdiferensiasi, di dalamnya kita bisa menemukan lebih dari satu pusat (locus) kekuasaan. Kita bisa mempertimbangkan kemungkinankemungkinan perjuangan klas di dalam kerangka negara itu sendiri, bertentangan dengan konfrontasi kelas-kelas subordinat melawan negara kelas-kelas dominan. Dalam kasus ini sekali lagi muncul persoalan tentang batas-batas keuntungan (limits of gains)
pEnEbare-news
o. 12, januari 2007
yang mungkin di dalam kerangka negara sebagai arena perjuangan klas, selain daripada perebutan kekuasaan secara revolusioner oleh klas-klas subordinat. Ada juga disini persoalanpersoalan tentang kedalaman penetrasi ke masyarakat sipil institutusi-institusi negara–persoalan yang khususnya penting dalam konteks masyarakat-masyarakat pra-kapitalis yang tengah digabungkan di bawah kapitalisme (pinggiran). Membicarakan persoalan pertama, fungsi negara yang fundamental dan paling utama (overriding) adalah merealisir serta memelihara prasyarat-prasyarat organisasi tata tertib sosial kapitalis. Produksi dan pertukaran kapitalis mensyaratkan adanya, secara simultan, semacam persamaan di dalam masyarakat serta ketidak-samaan dasar. Berlawanan dengan hakhak serta status-status yang bisa dibeda-bedakan diantara individu-individu berlainan di dalam masyarakat-masyarakat prakapitalis, produksi dan pertukaran kapitalis didasarkan pada persamaan juridis di antara individu-individu: yaitu basis pertukaran yang bebas, kontraktual, di dalam masyarakat kapitalis di mana tenaga kerja itu sendiri merupakan barang dagangan yang dapat dijual dan dibeli dengan bebas. Tetapi kondisi yang terakhir ini mensyaratkan adanya ketidak-samaan fundamental di dalam pembagian sumber daya masyarakat melalui penciptaan kelas pemilik alat-alat produksi dan kelas pekerja yang dicabut haknya sebagai dasar pemilikan kapitalis, serta hukum-hukum dan institusi-institusi yang cocok sebagai tempat produksi dan pertukaran kapitalis bergantung. Pemikiran bahwa peran negara adalah memelihara fondasi-fondasi tata tertib sosial oleh teori Marxis dan teori-teori sosiologi sama-sama dipakai; perbedaannya ialah pada pemikiran (apa) tata tertib yang seharusnya dipelihara. Tapi bagi sosiologi struktural-fungsional dan versi teori Marxis yang fungsionalis, di samping peran negara dibatasi pada tingkat yang paling umum tersebut,2 bagi kedua konsepsi ini individu-
Nicos Poulantzas masih tetap pendukung paling terkenal dan berpengaruh teori politik Marxisme fungsionalis. Bandingkan N. Poulantzas, Political Power and Social Classes (London: New Left Books, 1973). Untuk kritik lihat Simon 2
6
Kita di sini tidak akan mencoba meringkas argumen-argumen yang bertebaran dalam perdebatan terkenal antara Ralph Miliband dengan Nicos Poulantzas di mana beberapa isu penting (main) dibahas, tetapi pembaca boleh, meskipun begitu, mengingatnya selama diskusi kita ini.3 Kita harus mengakui bahwa interpretasi berat sebelah (one sided) atas salah satu dari dua posisi merupakan interpretasi yang sangat menyederhanakan pemikiran Marx mengenai subyek ini. Inilah yang ditunjukan Miliband di dalam esei seminal di mana ia menjelaskan, mungkin untuk pertama kali, dua konsepsi pilihan mengenai negara dalam karya Marx, disatukan sebagai elemen-elemen kesatuan teori kompleks (single complex theory). 4 Miliband menguraikan dengan terperinci “konsepsi Clarke, “Marxism, Sociology, and Poulantzas’ Theory of the State” dalam Capital and Class, no. 2 (1977). Nicos Poulantzas, “The Problem of the Capitalist State” dalam New Left Review 58 (1969) – tinjauan Ralph Miliband, The State in Capitalist Society (London: 1969); Ralph Miliband, “The Capitalist State – Reply to Nicos Poulantzas,” New Left Review 59(1970); Ralph Miliband, “Poulantzas and the Capitalist State,” New Left Review 82 (1973).
3
4
Ralph Miliband, “Marx and the State” dalam R. Miliband dan J. Saville, eds.,
7
no. 12, januari 2007
individu dan kelompok-kelompok (serta klas-klas) hanyalah alatalat dan pengemban struktur-struktur reifikasi yang beroperasi menuruti logikanya serta tak dapat ditawar-tawar, terbentang di dalam perwujudan-perwujudan proses-proses sosial. Semua itu tidak disebabkan oleh aksi-aksi individu dan kelas yang berkemauan. Sosiologi struktural-fungsional maupun Marxisme fungsionalis sama-sama mengesampingkan, karena itu, persoalanpersoalan lain, yang diuraikan di bawah ini, yaitu karakter “instrumental” negara di bawah kekuasaan “klas-klas penguasa,” bahkan dengan sangat tegas kemungkinan kepentingankepentingan independen mereka yang menguasai aparatur negara–atau persolan terakhir kita, yaitu, negara itu sendiri arena perjuangan klas–karena di dalam pandangan mereka negara merupakan entitas dengan fungsi-fungsi yang ditunjuknya sendiri.
pEnEbare-news
no. 12, januari 2007
negara Bonapartis”, di mana Poulantzas kemudian mengkaitkan, untuk mengenyampingkan konsepsi lainnya, instrumentalis. Miliband, ini harus dikatakan, meski bukan Marxis fungsionalis, (hanya) menolak konsepsi negara “instrumentalis” yang kasar. Jika pandangan semacam itu, ia mengatakan diterima “berarti ... bahwa negara bertindak atas nama kelas dominan atau ‘penguasa,’ ... itu merupakan satu posisi; tapi (mengatakan) bahwa negara bertindak atas pimpinan klas tersebut adalah pernyataan yang sama sekali berbeda, dan, sebagaimana telah saya katakan merupakan deformasi vulgar pemikiran Marx-Engels.”5 Pandangan negara Marxis fungsionalis maupun “instrumentalis” yang kasar bisa dilihat sebagai reduksionis, karena bagi keduanya negara secara eksklusif bertindak menuruti “situasi umum borjuis keseluruhan,” meskipun dalam versi yang lebih awal anggapan tersebut dikualifikasi sebagai “otonomi relatif” negara yang berhadapan dengan fraksi-fraksi atau golongan-golongan borjuis tertentu justru karena itu negara bisa bertindak atas nama kapital keseluruhan, lepas dari tuntutan-tuntutan yang partikular. Dengan demikian kedua pandangan tersebut mengesampingkan kemampuan klas-klas yang bertentangan, selain daripada borjuis “keseluruhan,” untuk mendesakkan tuntutan-tuntutannya (dengan berbagai kadar kesuksesan) pada negara. Sebagaimana akan kita lihat, masalah ini terutama penting di dalam masyarakatmasyarakat kapitalis pinggiran karena kita menemukan lebih dari pada satu klas dominan, yaitu, tidak hanya borjuis pribumi (indigenous), tapi juga klas-klas borjuis metropolitan serta pemilik tanah. Juga, kita bisa mempertimbangkan apakah ada kemungkinan perjuangan kelas yang berhasil dari kelas-kelas subordinat yang paling tidak memperoleh beberapa keuntungan tertentu–persoalan yang dikesampingkan kedua versi teori Marxis tersebut. Selain itu, keduanya mengajukan pandangan satu dimensi pembentukan serta pelaksanaan kebijaksanaankebijaksanaan negara, karena hampir setiap waktu serta tak Socialist Register1965 (London: Merlin Press. 1965). 5
R. Miliband, “Poulantzas and the Capitalist State,” halaman 85 dst.
8
Pada pokok ini mungkin bermanfaat menjelaskan dengan terperinci konsep kita “imperarif struktural,” seperti telah disebut di atas, yang tidak lah “deterministis” seperti kedengarannya. Sungguh kebalikannya: yang memungkinkan kita memahami kadar kebebasan, penyimpangan-penyimpangan dari keperluankeperluan serta tuntutan-tuntutan kapital, di dalam bekerjanya negara di bawah kapitalisme (pinggiran). “Imperatif struktural,” mengacu pada dasar kalkulasi ekonomi masyarakat kapitalis serta kondisi-kondisi yang berpengaruh pada hasil-hasilnya, untuk tingkat perusahaan individu maupun tingkat negara. Menetapkan kondisi-kondisi tingkah laku ekonomi serta alokasi sumber-daya yang menguntungkan, menggambarkan alokasi “efisien” dari “yang tidak efisien” dengan acuan prestasi pasar, serta memberi batas bangkrut tidaknya. Juga mengacu pada dinamika perkembangan kapitalis serta kontradiksi-kontradiksinya, yang dianalisa ekonomi politik Marxis.6 Tapi gagasan “imperatif atruktural” ini tidak berarti banwa terlebih dahulu ia mendeterminasi tindakan-tindakan individuindividu kapitalis serta negara kapitalis, seolah-olah semuanya telah diprogramkan dengan sempurna–sebagaimana implisit di dalam konsepsi negara kapitalis Marxisme fungsionalis. Baik kapitalis-kapitalis individual maupun para pelindung negara kapitalis tidak punya pengetahuan serta tinjauan masa depan yang sempurna, dan kalkulasinya selalu penuh dengan ketidak-pastian. Paul M. Sweezy, The Theory of Capitalist Development (New York: Monthly Review Press, 1964). Pertama diterbitkan pada 1942, karya ini tetap tak terbandingi sebagal eksposisi ekonomi politik Marxis yang gamblang. 6
9
no. 12, januari 2007
pernah menyimpang negara mengikuti kepentingan-kepentingan kelas dominan. Jika kemungkinan terakhir tersebut diakui, kita harus mempertimbangkan kondisi-kondisi serta batas-batas tertentu deviasi-deviasi seperti itu. Bekerjanya negara di bawah kapitalisme pinggiran sebenarnya membuka jajaran persoalan yang jauh lebih besar dibanding yang dihadapi teori negara Marxis dalam konteks negara-negara kapitalis maju.
pEnEbare-news
o. 12, januari 2007
Tegasnya, bagimanapun juga, menuju pada kebangkrutan. Di tingkat negara, tidak hanya itu tapi juga yang lain, ideologi, faktor-faktor campur tangan yang, secara konjungtural, menerangkan penyimpangan-penyimpangan tindakan-tindakan negara dari kepentingan “klas penguasa.” Ideologi bukanlah masalah satu dimensi sederhana dari perkembang biakan ideologi kelas penguasa, seperti ditawarkan Marxisme fungsionalis; agaknya merupakan proses yang lebih kompleks dan memang lebih adekuat ditangkap karya-karya Antonio Gramsci serta mereka yang menguraikan pemikiran seminalnya. Di tingkat negara, karena itu, faktor-faktor campur tangan inilah yang menciptakan penyimpangan-penyimpangan dari pencarian rasionalitas kapitalis sempurna. Apakah ini kemudian berarti bahwa tindakan-tindakan negara tak terduga-duga serta tidak mengikuti jalan logis yang tersedia–sehingga semuanya bersifat otonom? Tidak. Jika demikian soalnya, kita tidak berbicara “imperatif struktural.” Itu adalah imperatif kapitalisme, yang betapa pun, tidak atas dasar kenyataan bahwa ia mengkodratkan tindakan-tindakan kapitalia-kapitalis individual serta negara kapitalis. Agaknya, karakter imperatifnya terletak dalam kenyataan bahwa ia menentukan konsekuensi-konsekuensi tindakantindakan tersebut; menciptakan situasi-situasi baru, berturut-turut, dasar kalkulasi diperbaharui serta perenungan tindakan “korektif.” Maka pada momen-momen tertentu, secara konjungtural, tindakan-tindakan perusahaan-perusahaan kapitalis serta negara kapitalis bisa menyimpang dari logika perekonomian kapitalis serta kebutuhan “obyektif”nya–berlawanan dengan pandangan Marxis fungsionalis. Tapi penyimpangan-penyimpangan itu tidak dapat berlanjut tanpa konsekuensi negatif bagi kapitalis dan negara kapitalis, karena itu melahirkan evaluasi baru–dan, tentu saja tuntutan-tuntutan–dari borjuis untuk suatu perubahan agar kebijaksanaan selaras dengan keperluan-keperluan obyektifnya, sekalipun tetap tidak sempurna berlangsungnya. Dengan jalan inilah, melalui proses re-evaluasi dan pengkoreksian
10
Dari keterangan tersebut, dengan adanya otonomi relatif tindakan negara di dalam batas-batas serta pembatasan “imperatif struktural,” kita bisa mengakui kasus-kasus di mana tindakan negara membantu serta mempercepat perkembangan kapitalis dan kasus-kasus, sering dengan latar belakang retorik populis, di mana tindakan negara merintangi serta memperlambat tanpa merusak dasar-dasar institusional dan struktural perekonomian kapitalis (hingga beralih pada suatu transformasi masyarakat revolusioner). Kapitalisme itu sendiri tidak bisa ditransendir selama negara menjamin kontinuitas hubungan-hubungan produksi sosial kapitalis dan struktur klasnya yang didasarkan pemilikan kapitalis yang memisahkan produsen dari alat-alat produksinya dengan menempatkan mereka sebagai klas yang tereksploitasi. Ini berlaku juga pada perusahaan-perusahaan “sektor publik,” yang beroperasi di dalam kerangka kapitalisme pinggiran serta tunduk pada imperatifnya. Perusahaanperusahaan yang disponsori negara atau dimiliki negara dengan demikian tidak lebih daripada “pengemban kapital”, satu dari berbagai bentuk pengorganisasian kapital, yang kebanyakan menggunakan bentuk pemilikan individual atau korporasi. Mengikuti garis pemikiran ini, beberapa Marxis berbicara tentang borjuis birokrat pemegang perusahaan-perusahann seperti itu.”7 I.G. Shivjee, The Class Strugles in Tanzania (New York: Monthly Review Press, 1976). 7
11
no. 12, januari 2007
kebijaksanaan-kebijaksanaan serta program-program yang terus menerus, logika perekonomian kapitalis, “imperatif struktural,” akhirnya menyandarkan dirinya pada kebijaksanaan negara. Itulah salah satu pengertian jika sesorang dengan penuh arti menyatakan “determinasi ekonomi sebagai instansi terakhir.” Maka bukan konsep yang mekanistis, deterministis. Ada arti lain yang juga sangat tepat: karena kemajuan perkembangan kapitalis, kontradiksi-kontradiksi pokoknya berkembang serta menimbulkan kondisi-kondisi dan kekuatan-kekuatan yang beroperasi dan mempunyai pengaruh yang sungguh-sungguh independen dari kemauan dan tindakan-tindakan kelas penguasa.
pEnEbare-news
o. 12, januari 2007
Tetapi jika garis pemikiran ini diikuti, distingsi analitis harus dibuat antara perusahaan-perusahaan negara dan pejabat-pejabat yang menjalankannya, di mana keputusan-keputusannya tunduk pada peraturan pembayaran hutang kapitalis (sekalipun tidak terpenuhi di dalam praktek aktualnya–demikian pula sektor swasta hampir selalu tidak mencapainya tanpa bantuan sektor publik) di satu pihak, dengan, di pihak lain, mereka yang menguasai aparatur negara, birokrat-birokrat negara yang tidak dalam cara yang sama ditentukan oleh kalkulasi-kalkulasi yang menguntungkan. Konsep “imperatif struktural” yang dipahami dengan cara ini memberi diri kita jarak dari logika Marxiame fungsionalis yang pada hakekatnya deteministis, dan juga dari versi konsepsi negara instrumental yang lebih kasar, tanpa membuang sama sekali gagasan instrumentalitas. Menajamkan kita terhadap kenyataan bahwa birokrasi negara itu sendiri mengkalkulasi kebijaksanaannya selaras dengan ketentuan-ketentuan kapitalisme tanpa harus menerima perintah kelas kapitalis. Tapi, di saat yang sama, dengan adanya kadar ketidak-pastian di dalam pembentukan kebijaksanaan publik, adalah sangat perlu bagi semua kelas dominan di dalam masyarakat kapitalis pinggiran (akan didiskusikan di bawah) untuk terwakili dalam aparatur negara dalam rangka mendesakkan tuntutan-tuntutannya, untuk tujuan tersebut mereka membentuk mode perwakilan yang aktif di dalam negara. Bentuk-bentuk yang dipakai: partai-partai politik, organisasi-organisasi independen, perwakilan formal di dalam komisi perlengkapan negara, dan lain-lain, dan juga fraksi-fraksi dalam aparatur negara yang dibentuk berdasarkan asal-usul dan/ atau afiliasi kelas serta komitmen anggota-anggota birokrasi dan militer. Sekarang kita akan mempertimbangkan masalah persaingan kepentingan di antara klas-klas dominan di dalam masyarakat kapitalis pinggiran. Konsep “imperatif struktural” yang dipahami dengan cara di atas mengijinkan kita untuk mengakui kemungkinan pemisahan, di dalam batas-batas dan pada momen-
12
Masalah pengidentifikasian klas-klas penguasa serta jajaran klas di masyarakat-masyarakat kapitalis pinggiran lebih kompleks dibanding negeri-negeri kapitalis maju. Untuk memahami masalah ini, kita harus ingat bahwa untuk tiap-tiap mode produksi (mode of production), seperti mode feodal atau mode kapitalis, teori Marxis mengakui ada sepasang “klas fundamental”, klas produsen yang terkesploitasi dan klas yang mengeksploitasi, berasal dari hubungan-hubungan produksi sosial yang merupakan konstitutif mode produksi. Di mana kapitalisme menang dan membubarkan mode pra-kapitalis, seperti negeri-negeri kapitalis maju, borjuis dan proletar merupakan klas-klas fundamental. Di mana, seperti Rusia pra-revolusi yang bukan jajahan, sebagaimana Lenin analisa, kita
13
no. 12, januari 2007
momen tertentu, antara pembentukan kebijaksanaan publik dengan kepentingan-kepentingan klas dominan yang bertentangan, klas-klas borjuis pribumi, borjuis metropolitan, serta pemilik tanah, dan juga kenyataan bahwa penyimpanganpenyimpangan seperti itu bukan hanya punya batas melainkan juga tidak bisa bertahan dalam periode waktu yang lama, untuk segera disusul dengan konsekuensi-konsekuensi dari kebijaksanaan yang demikian, yang mendorong suatu perubahan arah, sehingga kebijaksanaan negara harus disesualkan dengan keperluan-keperluan serta tuntutan-tuntutan kapitalisme pinggiran. Pandangan “determinasi ekonomi sebagai instansi terakhir” ini mengijinkan kita menerangkan kebodohan serta salah perhitungan para pelindung negara, dan kadar kebebasan yang dimilikinya yang memungkinkan mengejar kepentingankepentingannya sendiri karena menguasai aparatur negarap satu soal yang akan kita pertimbangkan di bawah. Tapi pertama-tama kita musti kembali pada soal klas dominan di dalam masyarakat kapitalis pinggiran, yang tidak sama dengan negeri-negeri kapitalis maju di mana kita hanya punya satu klas dominan yang harus dihadapi–fakta di mana suatu cetakan khusus telah terbentuk di dalam perdebatan Marxis tentang negara, cetakan yang tidak gampang mencocokkannya dengan kasus masyarakatmasyarakat kapitalis pinggiran.
pEnEbare-news
o. 12, januari 2007
mempunyai formasi sosial dengan mode feodal masih dominan tapi mode kapitalis tengah bangkit serta menantang mode feodal, kita mempunyai klas-klas fundamental yang bertempat di modenya masing-masing dalam kontradiksi antagonistis. Perkembangan yang satu perlu meminta pembubaran yang lain. Kepentingan kedua “klas fundamental” dalam dua mode produksi pada formasi sosial yang sama tersebut adalah tidak dapat didamaikan; kontradiksi antara keduanya hanya terpecahkan melalui perubahan struktural. Selain “klas-klas fundamental” Marxisme juga mengakui eksistensi “klas-klas pembantu”, seperti produsen serta pedagang kecil-kecilan, klas profesional, dan seterusnya. yang arti strukturalnya diperoleh dari lokasinya yang berhadap-hadapan dengan mode produksi dominan serta hubungannya dengan klas-klas fundamental, yang merupakan lawan langsung (rival contender) klas penguasa. Di masyarakat kapitalis pinggiran, betapa pun, kita disajikan dengan pola formasi klas dan jajaran klas yang berbeda baik dengan negeri-negeri kapitalis maju maupun dari gambaran Lenin atas Rusia bukan jajahan yang menunggu revolusi borjuisnya. Proses aktual formasi klas dan restrukturisasi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin merupakan konsekuensi dampak kapitalisme kolonial (untuk kasus Amerika Latin, juga dari penaklukan kolonial Iberia pra-kapitalis) serta sangat bervariasi, sestiai dengan perbedaan formasi sosial pra-kepitalisnya masing-masing, dan perbedaan di dalam perjumpaannya dengan kolonialisme serta cara penggabungannya di bawah kapitalisme pinggiran. Untuk tujuan kita sekarang, dengan resiko beberapa over-simplifikasi, kita bisa membedakan dua tipe situasi dasar. Pertama adalah Masyarakat-masyarakat di mana kita menemukan klas-klas pemilik tanah berkedudukan kuat, tidak lagi “feodal,” seperti telah saya katakan, tetapi pemilik tanah kapitalis (capitalist landed property) yang mengeksploitasi buruh tani yang dicabut haknya. Melalui pendirian negara kapitalis pinggiran, serta institusiinstitusi perekonomian kapitalis, kita menemukan juga tumbuhnya tingkat perkembangan berbeda-beda, bukan hanya
14
Kita merasakan bahwa di masyarakat kapitalis pinggiran yang mempunyai pluralitas “klas fundamental” kita tidak bisa menunjuk salah satunya, tanpa ambiguitas, sebagai “klas penguasa”; baik versi teori negara “Instrumentalis” Marxis maupun versi fungsionalis, sebagaimana yang diformulasikan sekarang ini, tidak dapat memberi kerangka teoritis yang memadai agar masalah ini bisa dipecahkan. Juga tidak sama, misalnya, dengan model Rusia pra-revolusi Lenin, karena ketiga klas ini tidak bertempat pada mode-mode produksi yang antagonistis (telah saya coba tunjukkan di dalam, artikel saya, “Struktur Kapitalisme Pinggiran”), dasar suatu kontradiksi antagonistis di antara mereka sehingga klas yang sedang bangkit harus menang, menyebabkan 8 Michaela Von Freyhold, “The Post-Colonial State and Its Tanzanian Version,” Review of African Political Economy 8 (1977).
15
no. 12, januari 2007
borjuis komprador yang merupakan penyokong kapital asing, tapi juga borjuis industri yang hubungannya dengan kapital asing ambivalen. Kapital asing menentang perkembangan saingan lokalnya ini tapi pada saat yang sama, sejauh bisa berkembang, golongan-golongan tertentu kapital asing (khusuanya yang bergerak dalam industri teknologi tinggi) akan mencari hubungan kolaborasi dengan borjuis industri pribumi ini. Lagi pula, kapital asing–borjuis metropolitan sendiri–mengalami kehadiran struktural di dalam masyarakat post-kolonial dan aparatur negaranya–yang tangan-tangannya tidak terlepas walaupun terjadi kemerdekaan yang tidak berlangsung di negeri-negeri yang tidak dijadikan sasaran kekuasaan kolonial langsung. Sesungguhnya, borjuis metropolitan ini terwakilkan secara rangkap di dalam masyarakat kapitalis pinggiran dan di negara. Pada instansi pertama diwakilkan melalui kehadiran lokalnya sendiri, dengan organisasi, dan sumber-daya. Tapi kehadiran langsung ini sangat diperkuat melalui mediasi negara-negara metropolitan masing-masing atas namanya di dalam urusanurusannya dengan negara-negara masyarakat kapitalis pinggiran. Karena itu tidak bisa dianggap sebagai di luar masyarakatmasyarakat ini.8
pEnEbare-news
o. 12, januari 2007
pembubaran dua klas lainnya di dalam masyarakat yang direstukturisasi. Saya katakan bahwa ketiga klas tersebut bertempat di dalam struktur tunggal kapitalisme pinggiran, mengakui persaingan kepentingan di antara mereka tanpa kontradiksi struktural. Dapat dikatakan bahwa ini bukanlah tiga klas terpisah tapi hanya “pecahan-pecahan” suatu klas tunggal, analog pembagian borjuis negeri-negeri kapitalis maju ke dalam “pecahan-pecahan” berbeda, seperti kapital industri, kapital keuangan, serta kapital perdagangan. Tapi ada perbedaan fundamental antara kedua kasus tersebut. Di negeri-negeri kapitalis maju (dan jajaranya pun demikian di kapitalisme pinggiran). “pecahan-pecahan” tersebut pada hakekat saling-melengkapi di dalam fungsi-fungsinya, sehingga hanya dengan menyatukannya menjadi “kapital keseluruhan” ditegakkanlah seluruh organisasi produksi serta pertukaran kapitalis. Hakekat dasar saling melengkapi itu yang menegakannya, bersama-sama, menjadi klas tunggal. Tapi sama sekali bukan demikian kasus klas-klas borjuis pribumi, borjuis metropolitan, serta pemilik tanah di masyarakat kapitalis pinggiran, karena masing-masing menegakan sebuah klas utuh di dalam pengertian; peran-perannya satu sama lain terpisah ketimbang saling melengkapi. Oleh karena itu kita tidak dapat menganggapnya, bersama-sama, menegakan satu klas (penguasa) tunggal. Dengan adanya kenyataan demikian. maka baik konsepsi negara borjuis instrumentalis, seperti pemikiran teori negara Marxis dalam konteks negeri-negeri kapitalis maju, ataupun juga teori Marxis fungsionalis, tidak bisa memberikan eksplanasi memuaskan mengenai dasar kekuasaan negara serta klas di masyarakat kapitalis pinggiran dengan pluralitas “kelas fundamental”nya. Karena itu kita bisa mengakui problematika negara dan klas di bawah kapitalisme pinggiran sebagai satu yang berbeda. Kedua, yang lain, susunan klas yang dijumpai di kebanyakan negeri Afrika di mana penduduk asli terutama terdiri dari
16
Peranan politik klas menengah bergaji serta berpendidikan di masyarakat-masyarakat kapitalis pinggiran, bagaimanapun juga, sungguh sangat penting dan tidak bisa begitu saja dihilangkan, Contoh-contoh pendekatan ini adalah: John Saul, “The State in Post-Colonial Societies: Tanzania,” Sosialist Register 1974 (London: Merlin Press. 1974); Wolfgang Hein dan Konrad Steinzel, “The Capitalist State and Underdevelopment in Latin America: The Case of Venezuela,” Kapitalistate 2 (1973) – kedua artikel ini dicetak kembali dalam Harry Goulbourne, ed., Politics and the State in the Third World (London: 1979), buku yang menawarkan koleksi artikel yang berguna. Akan jelas bahwa “Nizer”nya Saul menunjuk kategori klas yang sama dengan “Patriziat” Hein dan Steinzel, tapi tiba pada konklusi yang secara diametral bertentangan. 9
17
no. 12, januari 2007
komunitas-komunitas petani (masyarakat “tribal”) tanpa klas-klas pemilik tanah besar seperti yang banyak kita jumpai di Asia, Amerika Latin, atau bagian-bagian lain Afrika. Segera sesudah dominasi serta transformasi ekonomi kolonial, borjuis asing (expatriate) ditanam di dalam masyarakat-masyarakat ini–bukan hanya wakil-wakil borjuis metropolitan sendiri, tapi juga borjuis komprador yang terutama direkrut dari negeri-negeri Asia untuk menyokong perekonomian kolonial. Setelah dekolonisasi, karena pengusiran langsung (atau tekanan lebih halus agar ke luar) terhadap orang-orang Asia, tercipta kekosongan klas. Karena para ahli teori kurang mengakui kehadiran struktural borjuis metropolitan di dalam masyarakat-masyarakat ini, mereka berhadapan dengan satu gambaran yang tampaknya paradoks karena hanya ada “klas fundamental” yang subordinat, yaitu, klas pekerja, tapi tak ada superordinatnya yang bisa ditunjuk sebagai “klas penguasa.” Ketika mencari klas penguasanya, di dalam konteks tersebut, beberapa teoritisi Marxis mengarah pada “borjuis kecil baru,” kelas menengah bergaji yang diambil dari penduduk asli yang menyelenggarakan aparatur negara (satu “klas pembantu”) sebagai “klas penguasa”.9 Analisa yang kurang paham yang mendasari pandangan tersebut akan lenyap jIka kita masukan dalam gambaran itu peran dan kehadiran struktural borjuis metropolitan di masyarakat-masyarakat kapitalis pinggiran sebagai “klas fundamental”.
pEnEbare-news
no. 12, januari 2007
dengan menunjuknya sebagai “klas pembantu.” Khususnya di negeri-negeri yang mengalami kekuasaan kolonial langsung, klas itu memperoleh karakteristik khusus yang membedakannya secara sosial dan kultural dari kelompok-kelompok asli lainnya. Penerimaannya terhadap satu bahasa dan budaya asing, Inggris atau Perancis menjarakkan mereka dari kebanyakan masyarakatnya yang kurang menikmati jenis pendidikan yang mereka punyai itu. Mereka merupakan sasaran yang jauh lebih penting dari pada klas lainnya di dalam masyarakat-masyarakat kapitalis bagi pengaruh serta pemikiran-pemikiran yang berasal dari negeri-negeri metropolitan. Atas dasar kenyataan bahwa mereka pula yang memegang eselon lebih tinggi dalam birokrasi serta militer, maka mereka memegang kedudukan yang sangat strategis, terutama bagi kekuasaan-kekuasaan metropolitan. Anggota-anggota sangat aktif dan bersemangat bermain di dalam (kehidupan) politik masyarakat-masyarakat kapitalis pinggiran serta kebanyakan arah tuntutan-tuntutan politiknya ditujukan untuk posisi-posisi kekuasaan dalam aparatur negara saja. Negara merupakan majikan terbesar dan memberikan hasil terbanyak bagi mereka–dan, karenanya cenderung korup serta nepotisme, untuk sanak familinya. Kita lihat kecenderungan klas ini untuk terusmenerus retak dari loyalitas etnis, regional, bahasa, atau sektarian, yang di luarnya tampak berkontradiksi dengan tradisi-tradisi ideologi liberal, sekuler, “Barat” yang mereka serap. Sesungguhnya, mereka mendiami lebih satu lingkup budaya. Gaya-hidup mereka tetap “Barat” khususnya terekspresi dari benda-benda materi yang diagungkan budaya Barat. Pemikiranpemikirannya, yang lebih penting, dipenuhi dengan logika rasionalitas kapitalis, sekalipun, seperti halnya “modernis” menerjemahkan agama dan budaya tradisonalnya, mereka nyatakan pemikiran-pemikiran tersebut dengan idiom tradisi. Selebihnya kembali pada budaya asli yang hanya bisa menjadi penghias pengalaman asingnya. Tapi pendidikan keahlian kenegaraannya lah yang mempunyai tanda “Barat” yang tegas. Mereka telah terbiasa (internalized) dengan kalkulus kapital.
18
Mempetimbangkan dari klas-klas mana aparatur negara terutama direkrut membawa kita pada persoalan utama ketiga (di atas), yaitu, sifat-dasar dan karakter birokrasi serta militer, tentang mereka-mereka yang menduduki posisi kekuasaan serta kewenangan dalam negara. Dalam konsepsi instrumentalis yang sederhana, fungsi mereka adalah sesuatu yang semata-mata karangan, seperti implisit dalam istilahnya. Demikian juga pandangan Marxis fungsionalis, seperti dikemukakan Poulantzas, di mana baginya kekhususan birokrasi larut ke dalam konsepsi fungsi-fungsi negara borjuis. Isu yang dikejarnya terarah pada asalusul klas birokrasi, karena itu dianggap kurang penting. Namun demikian saya tak akan menolak begitu saja pentingnya asal-usul klas: anggota-anggota eselon birokrasi dan militer yang lebih tinggi sering kali direkrut dari keluarga-keluarga pemilik tanah atau pengusaha tani (farmer) kaya atau borjuis (yang mampu memberi mereka keperluan pendidikan yang lebih tinggi). Karena itu, bahwa meski komitmen dengan, dalam beberapa hal di tingkat yang paling tinggi, program-program seperti land-reform, gagal dilaksanakan secara efektif, karena klas yang terpengaruh (program tersebut) terwakili langsung dalam aparatur negara atas dasar asal-usul klas pejabatnya, dengan demikian mampu merusak pelaksanaan langkah-langkah yang secara langsung merugikan dirinya. Juga kita menjumpai kasus-kasus afiliasi klas, lepas dari asal-usul klas, antara pejabat pejabat yang memperoleh hubungan akrab dengan borjuis metropolitan maupun dengan borjuis lokal, yang kepentingan-kepentingannya mereka ikuti dengan semangat dan biasanya efektif. Itulah dua aspek dari mode representasi klas di dalam negara. Masalah sifat-dasar dan karakter birokrasi negara selanjutnya yang perlu kita pertimbangkan bukan saja berhubungan dengan mode representasi klas tetapi juga apakah negara begitu saja menegakan kepentingan yang sungguh sungguh independen dari masing-
19
no. 12, januari 2007
Mereka hadir tersendiri di dalam masyarakat-masyarakat dan negara kapitalis pinggiran, sesuatu yang secara kualitatif berbeda dengan rekan-rekannya di masyarakat-masyarakat kapitalis maju.
no. 12, januari 2007
pEnEbare-news
masing klas dalam masyarakat; dan jika demikian, apakah kepentingan-kepentingan tersebut bisa terlaksana serta di dalam batas-batas mana semua itu boleh dikejar, merupakan subyek imperatif struktural kapitalisme pinggiran yang telah saya acu. Kita dapat memulainya dengan mengakui bahwa terdapat kecenderungan yang hampir universal dari rejim-rejim masyarakat kapitalis pinggiran untuk mendapatkan karakter otoriter dan berkembang-biak diktator militer. Gejala ini seringkali dilangkan dengan mengusulkan bahwa ia merupakan respon atas perjuangan klas yang dikibaskan para pekerja dan petani. Tapi penjelasan seperti itu, sementara benar untuk beberapa kasus (yang paling terkenal, tentu saja peristiwa–Chili), sama sekali tidak benar untuk mayoritas kasus tersebut di mana gerakan-gerakan di antara, serta organisasinya, klas-klas subordinat sebenarnya sangat lemah, dan perlawanan aktual jika memang ada, sporadis dan lokal sifatnya. Orang takkan mungkin bisa memperkecil karakter represif negara masyarakat kapitalis pinggiran dalam hubungan dengan klas-klas subordinat dan intervensi negara yang efektif, melalui alat perundang-undangan dan administratif dan juga tindak kekerasan polisi serta militer yang dilembagakan, untuk menindas usaha-usaha klas-klas subordinat mengorganisir dirinya serta bertindak atas namanya sendiri. Dan perlengkapan ideologi negara, dan disebarkan klas-klas dominan, pun dipenuhi dengan tugas menahan serangan dari bawah. Meskipun begitu penjelasan ini tampaknya tidak mencukupi ketika berhadapan dengan realitas-realitas di banyak negara di mana muncul rejimrejim yang sangat tersentralisir dan tidak demokratis. Di tingkat yang sama sekali berbeda, bagaimanapun juga, kita menjumpai bahwa bukan hanya klas-klas subordinat yang berhadapan dengan negara sebagai kekuatan asing. Klas-klas fundamental pun melakukan hal yang sama–dan di sini terutama kekuasaan administratif negara yang disebarkan untuk menghadapi mereka, sementara tetap menegakan kepentingankepentingan fundamentalnya. Tidak seperti di negeri-negeri kapitalis maju di mana negara berkembang di belakang klas
20
Dengan memilih kepentingan kelas yang satu, negara per definisi menolak tuntutan saingannya. Karena itu negara bukan “instrumen” salah satu dari mereka. Dalam kasus ini takkan berfaedah kita mengikuti formulasi Marxis fungsionalis tentang negara sebagai reprodusen tata-tertib untuk memperkuat seluruh klas penguasa. Pluralitas klas dalam konteks kita sekarang tidaklah menegakan klas tunggal, dan karena itu formulasi fungsionalis kecil sekali artinya dalam konteks tersebut. Tak akan sukar untuk memberi bukti kejadian-kejadian di mana negara di dalam masyarakat kapitalis pinggiran gagal untuk terus-menerus mengikuti kepentingan salah satu dari ketiga klas dominan tunggal tersebut–termasuk borjuasi metropolitan, yang paling 10 Hamza Alavi, “The State in Post-Colonial Societies,” New Left Review 74 (1972), dicetak kembali dalam Goulbourne. ed., Politics and the State.
21
no. 12, januari 2007
dominan tunggal, dan institusi-institusi serta kekuasaannya sebagian besar berkembang menurut keperluan keperluan klas tersebut dan karena itu “subordinat”nya, sebaliknya kita menemukan bahwa di negeri-negeri kapitalis pinggiran terusmenerus terjadi pertambahan kekuasaan pengawasan serta pengaturan di tangan negara yang sangat kuat dan tersentralisir atas klas-klas fundamental “dominan”; di sini kelas fundamental tak memiliki pengawasan langsung atas negara. Dalam kesempatan sebelumnya saya menunjuk sindrom ini sebagai negara yang “sangat maju” (overdeveloped state), dalam arti bahwa pembesaran kekuasaan pengawasan serta pengaturan negara yang berlebihan telah menambah dan meluas jauh melewati logika perlunya negara untuk memimpin berfungsinya institusi-institusi sosial masyarakat secara tertib. 10 Dengan acuan masyarakat yang memiliki lebih dari satu “klas fundamental,” saya menjelaskan perkembangan otonomi relatif negara dan kekuasaan luasnya ini atas dasar bahwa justru karena pluralitas klas dominan, di mana persaingan kepentingan di tengahi negara, yang karena itu ikut mempertimbangkan tuntutan mereka masing-masing, negara harus memiliki derajat kebebasan di dalam menghadapi mereka masing-masing secara individual.
o. 12, januari 2007
pEnEbare-news
kuat dari ketiganya, karena kapital metropolitan sendiri (dan negara metropolitan yang bertindak atas namanya) sekarang harus berunding dengan negara. Mereka tak bisa memaksakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya pada negara–meskipun harus ditambahkan bahwa kadar kebebasannya sangat bervariasi. Oleh sebab itu pernyataan “ketergantungan” yang kasar secara umum menyesatkan dan mengaburkan kenyataan bahwa kapital metropolitan (yang terdiri dari beberapa kelompok bersaing) seringkali harus menerima ketidakpuasan-ketidakpuasan atau kompromikompromi. Hubungannya dengan negara post-kolonial tidak lagi seperti pada periode kekuasaan kolonial, variasi langsung maupun tidak langsung. Ini terjadi juga di masyarakat-masyarakat di mana kapital metropolitan tidak berhadapan dalam kompetisi dengan klas-klas fundamental pribumi. Ada beberapa faktor yang mendasari ekuasi baru hubungan antar negara dan kadar kebebasan yang relatif lebih besar negara-negara kapitalis pinggiran ini setelah dekolonisasi–isu-isu yang tak bisa kita kejar di sini. Sebaliknya, kita harus mengakui ketergantungan ekonomi yang sangat serius masyarakat kapitalis pinggiran pada kapital metropolitan. Kita harus kembali pada soal apa maksud tujuan otonomi relatif negara ini disebarkan, dan mereka yang berada di tampuk. Otonomi relatifnya menetapkan mereka kesempatankesempatan pembagian keuntungan yang sebelumnya tak pernah terjadi. Hal tersebut timbul dari dua jurusan: Pertama, negara di bawah kapitalisme pinggiran, atas nama “pembangunan,” menyebarkan sumber-sumber ekonomi yang sangat banyak, seringkali sangat melebihi jumlah investasi swasta, Sumber-sumber itu sebagian diambil dari proporsi nilai lebih yang dihasilkan di dalam perekonomian yang ada, tapi ini dilipat gandakan dengan sumbersumber yang diambil darl pinjaman luar negeri. Skala anggaran publik ini menegakan dasar ekonomi independen dan kepentingan tertanam (vested Interest) mereka yang menguasai negarap sehingga anggaran serta program-program negara tidak selalu bisa dirasionalisasi dan dibenarkan dengan acuan
22
Permintaan-permintaan anggara negara serta cara pembayarannya tidak hanya dipengaruhi kepentingan pribadi mereka yang menguasai dan mengajukan program. Sebagian juga dipengaruhi permintaan kolektif golongan dalam aparatur, yang paling menyolok militer, yang memiliki kepentingan tertanam untuk menyalurkan dana-dana publik ke dalam proyek-proyek yang menjadi kepentingan-kepentingannya–seringkali merusak seluruh perekonomian dan karena itu “klas-klas fundamental”, yang dengan demikian kehilangan sumber-sumber. Berkaitan dengan penyerahan langsung dan penggunaan sumber-sumber ekonomi, kita melihat penyebaran kekuasaan negara sendiri berhadap-hadapan dengan “klas-klas fundamental,” karena perkembang-biakan pengawasan negara menciptakan serangkaian rintangan yang potensial harus ditanggulangi para investor–dan mereka melakukan dengan menyuap para pejabat di semua tingkat. Ini membuka lebar saluran lain mereka yang menguasai aparatur negara untuk menyedot sebagian surplus bagi keuntungannya sendiri. Akan tetapi kedua hal ini yaitu kekuasaan negara yang tersebar maupun kekuasaannya atas sumber ekonominya sendiri hanya bisa beroperasi di dalam kerangka kapitalisme pinggiran yang terus bertahan serta tidak rusak. Di dalam kerangka inilah keuntungan-keuntungan pribadi bisa dinikmati. Lagi pula, kekayaan para pejabat sipil, politisi, birokrat, serta perwira militer akan sangat membawa hasil bilamana mereka dapat menginvestasi keuntungan tidak halalnya itu, dan untuk maksud itu mereka harus sekali lagi beroperasi di dalam kerangka kapitalisme pinggiran. Sepanjang jaminan-jaminan komitmen para pelindung negara ini untuk mempertahankan struktur kapitalisme pinggiran, hilangnya sebagian proporsi surplus merupakan harga yang dibayar “klas-klas fundamental” untuk pemeliharaan kepentingan-kepentingan pokok kolektifnya sendiri. Akhirnyas harus dikatakan bahwa seluruh pengelolaan negara dan
23
no. 12, januari 2007
kebutuhan-kebutuhan serta keperluan-keperluan perekonomian dan “klas-klas fundamental” dominan.
pEnEbare-news
o. 12, januari 2007
perekonomian itu sendiri merupakan subyek “imperatif struktural.” Pada analisa terakhir, karena itu, kebijaksanaankebijaksanaan negara harus tetap di dalam kerangka serta logika kapitalisme pinggiran; sebaliknya mereka yang menguasai negara akan menemukan dirinya berada dalam cengkeraman krisis-krisis yang tidak dapat dipecahkannya. Untuk mempertahankan otonomi relatif yang berhadap-hadapan dengan klas-klas dominan ini (disamping itu klas-klas subordinat), penguasa-penguasa negara masyarakat kapitalis pinggiran mencoba merintangi penciptaan serta berfungsinya institusiinstitusi perwakilan politik secara efektif melalui mana klas-klas ini mengerahkan tekanan terhadap para penguasa negara. Di manapun juga institusi-institusi seperti itu ada secara nominal, karena institusi parlementer serta partai-partai politik mengalami atrophia (mandek) dan kekuasaan efektif mengendap ke dalam tangan-tangan mereka yang berada dipuncak aparatur negara– serta birokrasi dan militer ketimbang partai-partai yang merupakan sumber utama kekuasaannya. India seringkali disebut sebagai perkecualian, sebuah demokrasi parlementer tulen di dalam suatu masyarakat kapitalis pinggiran. Tapi suatu pemeriksaan yang teliti atas sistem politik India memperlihatkan bahwa pengawasan birokrasi oleh mereka yang berada dipuncak pemerintahan jauh lebih berperanan untuk dasar kekuasaan negara, termasuk pengelolaan golongan-golongan di dalam “partai penguasa”nya sendiri, dari pada yang lazim (dan secara dangkal) dinyatakan.11 Di manapun juga kekuasaan birokrasi serta militer jauh lebih menyolok. Kekuasaan militer seringkali dipercayai sebagai contoh penindasan yang hebat belaka–ada, tentu, beberapa kejadian di mana militer justru digunakan kekuatannya untuk maksud tersebut (yang terkenal, Chili). Tapi pandangan peran militer di masyarakat kapitalis pinggiran seperti ltu mengaburkan tiga aspek C.P. Bhambri, Bureaucracy and Politics in India (Delhi: 1971); Myron Weiner, “India’s New Political Institutions,” Asian Survey 16, no. 9 (1976).
11
24
Ranajit Guha, “Indian Democracy: Long Dead, Now Buried,” Journal of Contemporary Asia, 6. no. 4 (1976). 12
25
no. 12, januari 2007
krusialnya: Pertama, rejim-rejim sipil dan parlementer sama sekali tidak sungguh-sungguh menghindari penyebaran militer dalam menghadapi perjuangan dan gerakan klas-klas subordinat. Sekali lagi kita sebut contoh India, yang meskipun dengan pemerintahan parlementer terpilih, penindasan ekstrim telah digunakan serta militer sepenuhnya disebar untuk tujuan tersebut. 12 Sesungguhnya, penyamaan sederhana kekuasaan militer dengan pelepasan tali penindasan mengaburkan aspek-aspek lainnya, yang sama pentingnya. Satunya adalah arti juridisnya. Bahwa tidak hanya kekuasaan militer yang memungkinkan penggunaan kuantitas kekerasan phisik yang lebih besar dalam menghadapi rakyat, tapi juga dari keadaan perang yang menggantikan semua pembatas konstitusional serta legal, yang memungkinkan kekuasaan sewenang-wenang bukan hanya mengacu pada tindakan-tindakan represif tapi juga “administratif.” Militer mengemukakan dirinya sama dengan undang-undang itu sendiri, yang tidak memerlukan sumber “kewenangan” lain. Aspek lain adalah ideolgi. Di sini–dan ada beberapa kasus seiarah di mana ini menjadi sangat penting (central importance)–militer sungguhsungguh memiliki kadar “legitimasi” dari rakyat jelata dan mengemukakan dirinya sebagai pelindung integritas negara. Sampai tahun 1977 inilah kasus Pakistan, di mana militer masuk dalam arena politik di saat terjadi krisis politik mengklaim menyelamatkan negara dari “para politisi yang memikirkan diri sendiri.” Sampai lenyapnya seluruh kredibilitasnya, militer memiliki cukup “kharisma” yang memungkinkan melakukan hal ini. Dengan cara yang sama, kita sebut contoh Turki, di mana militer juga mengklaim, dengan beberapa efek, sebagai pewaris perjuangan nasionalis di bawah pimpinan Kemal Attaturk dan atas dasar klaim tersebut mampu masuk dalam arena politik dengan kekuatan-kekuatan legitimasi politiknya–sebagai sesuatu kekuatan ideologi, karena itu, bukan hanya berdasarkan kekuatan penindasannya belaka. Sumber legitimasi seperti itu bisa habis,
pEnEbare-news
o. 12, januari 2007
bagaimanapun juga, dan cepat hilang ketika rakyat melihat wajah asli militer di dalam kekuasaannya. Dengan mengakui hal ini, di antara pimpinan militer yang lebih canggih lebih suka mempertahankan suatu pemerintahan sipil nominal dalam jabatan, sepanjang mereka sendiri memegang kekuasaan efektif di belakangnya. Tapi para pemimpin militer yang ambisius tidak selalu menghargai pertimbangan-pertimbangan seperti itu yang bertahan dengan caranya, dan rejim politik sipil terbukti sangat tak berdaya. Soal legitimasi sesungguhnya merupakan aspek krusial negara manapun, karena pada hakekatnya negara tak bisa hidup jika harus terus mengambil jalan kekerasan dalam menghadapi rakyat. Suatu kekuatan ideologi diperlukan. Meskipun birokrasi di kebanyakan masyarakat kapitalis pinggiran adalah inti kekuasaan negara, karena yang menentukan tindakan hari-harinya (serta di dalam analisa akhir inilah yang berarti), umumnya tidak bisa melegitimasikan dirinya serta berkuasa dengan namanya sendiri. Peran partai-partai politik dan berbagai pertemuan parlementer yang dipilih menyediakan legitimasi yang diperlukan. Akan tetapi pemilihan-pemilihan membuka jalan bagi kekuatan-kekuatan masyarakat sipil untuk bergeseran dengan negara sampai beberapa derajat. Bilamana hal ini menimbulkan krisis, cara penyelesaian militer dicoba. Pemerintahan partai-partai politik, bagaimanapun juga, tidak membutuhkan pemilihan yang sungguh-sungguh atau mobilisasi massa. Kasusnya seringkali adalah (khususnya dalam sistem partai tunggal), bahwa “partai penguasa” merupakan tempurung kosong, yang ditunjang birokrasi, yang kelihatan bukan hanya tidak memerlukan pengerahan dukungan massa tapi juga khawatir. Soal keempat utama kita yaitu apakah kita harus memandang negara sebagai entitas belaka, sesuatu yang ada serta bertindak ke berbagai jurusan seperti didiskusikan di atas untuk dan atas nama klas penguasa; atau apakah kita dapat menggabungkan pandangan tersebut dengan pandangan negara sebagai sekumpulan institusi yang merupakan arena perjuangan klas. Kita
26
Kita boleh membedakan kondisi-kondisi pokok yang tunduk pada imperatif struktural dan berkaitan dengan fondasi-fondasi paling dasar tata-tertib sosial kapitalisme pinggiran. Mengenai hal ini tak akan ada kompromi dan negara tak akan mengalah. Sebaliknya, mungkin juga untuk membayangkan daerah lain di mana ada kesempatan untuk kompromi, dan di mana konsesikonsesi bisa dilakukan ketika menghadapi perjuangan massa, konsesi-konsesi yang akan menumpulkan serangan gerakan massa dan, bagi klas-klas fundamental, merupakan bantuan yang sangat diharapkan dalam penggabungan klas-klas subordinat ke dalam kerangka kekuasaan negara kapitalisme pinggiran secara tertib. Namun kekuasaannya sendiri–serta dasar sosialnya–tidak ditransendir; yang hanya bisa terjadi jika ada pemecahan serta pembubaran negara kapitalis pinggiran, bersama-sama dengan kapitalisme pinggiran itu sendiri secara revolusioner.
27
no. 12, januari 2007
usulkan bahwa kedua aspek negara ini diperlukan untuk mencapai konsepsi negara yang memadai. Kebanyakan diskusi kita di atas sebenarnya terarah pada perjuangan di antara ketiga “klas fundamental” yang bertentangan, yang mencari bentukbentuk perwakilan dalam negara serta bersaing satu sama lain untuk mengatur rumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan publik agar sejajar dengan yang menjadi kepentingan klas partikularnya. Dengan bukti tersebut kita menganggap negara sebagai arena perjuangan klas di antara klas-klas fundamental yang bersaing. Juga, dengan batas lebih sempit klas-klas subordinat bisa juga melihat kemungkinan menegakkan posisi-posisi di dalam sistem politik dan negara dan mencapai tingkat perwakilan klas agar supaya mencapai keuntungan-keuntungan tertentu– kebijaksanaan-kebijaksanaan seperti itu dapat hidup, jika ada kondisi-kondisi politik pemilihan, di mana partai-partai yang bersaing perlu mengumpulkan tingkat dukungan massa. Meskipun demikian kemungkinan-kemungkinan keuntungankeuntungan bagi klas-klas subordinat itu perlu dibatasi oleh imperatif-imperatif struktural kapitalisme pinggiran.
no. 12, januari 2007
pEnEbare-news
Yayasan Penebar adalah institusi nir-laba independen. Kami berharap saudara/i (individu) maupun organisasi bersedia mendukung aktivitas kami. Kami menerima donasi, hibah dan dukungan tak mengikat dalam bentuk apapun. Bila saudara/i bermaksud mendukung kami dengan mendonasikan uang, rekening bank kami adalah: BCA (Cabang Cimanggis), rekening Tahapan BCA, nomor account: 166 1746276.
28