BAB I
Bekerjanya Kapitalisme Negara di Era Reformasi
1. Latar Belakang Reformasi menjadi tonggak penting dalam sejarah Indonesia yang menandai runtuhnya pemerintahan otoriter Orde Baru. Namun, reformasi yang berusia tujuh belas tahun masih menyisakan kemelut dalam pengelolaan sumber daya alam dengan masih langgengnya kapitalisme negara. Tulisan ini bermaksud memaparkan mengenai kekuatan kapital yang bekerja dibawah kontrol negara dalam ekstraksi sumber daya agraria. Dalam penelitian ini, negara tidak dimaknai secara tunggal. Namun terdiri atas unsur pemerintah dari tingkat pusat hingga pemerintah desa serta insititusi militer. Ketika negara dengan korporasi menjadi bagian dari pelaku reproduksi kapital sehingga menciptakan ketimpangan, pada saat bersamaan negara mengkampanyekan Hak Asasi Manusia (HAM). Dari sini dapat kita lihat bahwa posisi negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) dalam pemenuhan hak menjadi dipertanyakan. Tulisan ini lebih lanjut hendak mengkaji dampak dari bekerjanya kapital terhadap pemenuhan hak kesejahteraan masyarakat dalam konteks pemanfaatan sumber daya agraria. Apakah negara mampu menjamin hak masyarakat atau justru menjadi pelanggar HAM. Pelanggaran HAM dapat dipahami sebagai tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan otoritas negara yang mengancam dan melanggar hak asasi manusia baik berupa kebijakan ataupun tindakan langsung. Penilaian terhadap pelanggaran HAM ini melekat pada negara yang direpresentasikan oleh aparat negara (sipil dan militer).1 Kasus penambangan pasir besi di Kecamatan Adipala, Cilacap, dipinjam untuk menegaskan bahwa tugas reformasi belumlah selesai.
Mufti Makaarim A. “Pelanggaran HAM: Warisan (maut) Keterlibatan Militer Dalam Bisnis”. Dalam Bisnis Serdadu: Ekonomi Bayangan. Jaleswari Pramodhawardani dan Andi Widjajanto,ed. 73-90. Jakarta: The Indonesian Institute. Hlm. 81 1
1
Sumber daya agraria –termasuk mineral di dalamnya- pada dasarnya dikuasai oleh negara seperti yang tercantum di dalam UU Pokok Agraria No.5 tahun 1960 dan secara yuridis masih berlaku hingga sekarang. Dalam pengelolaannya, negara mendelegasikan wewenangnya kepada korporasi yang memiliki orientasi mendapatkan keuntungan. Dalam skema tersebut, sumber daya agraria yang pada dasarnya adalah bersifat state owned justru dikelola oleh private owned, dan perubahan ini niscaya berimplikasi bagi penjaminan hak rakyat untuk disejahterakan melalui pengelolaan sumber daya tersebut. Perlu dicatat bahwa istilah ‘kapital’ dalam kajian ini tidak saja dimengerti sebagai modal, melainkan juga dimengerti sebagai suatu proses dan cara produksi yang menggerakan uang untuk memperoleh uang yang lebih banyak (MoneyCommodity-More Money). Dalam cara produksi kapitalis, proses itu tak bisa berhenti dan berlaku sekali saja, tetapi harus melakukan proses akumulasi keuntungan yang tanpa henti (endless accumulation) dan harus selalu menghilangkan hambatan supaya proses akumulasi itu dapat mengalami pembesaran dan perluasan (boundless accumulation). Kapital juga merupakan relasi sosial, yaitu hubungan antara kelas kapitalis dan kelas buruh dalam suatu proses kerja dimana untuk memperoleh uang lebih banyak (laba), kelas kapitalis mengeksploitasi dan menghisap kelas buruh.2 Reproduksi kapital membutuhkan peran negara dalam penentuan regulasi, meski tidak jarang negara justru hadir dengan dominasinya yang kuat. Kemunculan dominasi negara dalam pembangunan ekonomi telah muncul sejak pemerintahan Soekarno. Pada saat itu, perusahaan-perusahaan didirikan untuk mengambilalih perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi.3 Ada dua cara untuk melihat peran negara selama periode pendalaman industrialisasi. Pertama, negara terlibat langsung dalam menumpuk kapital dengan memiliki sumber daya dan menanamkan modal di berbagai sektor melalui perusahaan negara. Kedua,
2Noer
Fauzi Rachman dan Dian Yanuardy. 2014. MP3EI: Cerita (Si)Apa? Mengapa Sekarang?. Jurnal Landreform, Edisi 1/Mei 2014, 36-60. Hlm. 38 3 Eric Hiariej. 2005. Materialisme Sejarah Kejatuhan Soeharto: Pertumbuhan dan Kebangkrutan Kapitalisme Orde Baru. Yogyakarta: Ire Press. Hlm. 69
2
negara terlibat dengan cara tidak langsung melalui perencanaan, formulasi aturan dan implementasi kebijakan.4 Perluasan kapital dalam sektor sumber daya agraria yang didominasi negara telah tumbuh sejak masa Orde Baru, tidak terkecuali di pesisir selatan Cilacap. Wilayah ini mengalami industrialisasi di awal pemerintah Orde Baru berupa pembangunan kilang minyak Pertamina dan penambangan pasir besi oleh perusahaan negara PT Aneka Tambang (PT Antam). Pemerintah Orde Baru menjadikan
pembangunan
pertambangan
sebagai
sektor
strategis
untuk
meningkatkan sumber pendapatan negara. Paradigma tersebut telah melekat pada pemerintahan Orde Baru dengan dimasukkannya pertambangan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kebijakan pemerintahan Orde Baru yang kapitalistik diiringi oleh penguatan militer hingga tingkat desa sehingga mempermudah masuknya penambangan. Pesisir yang mengandung potensi mineral dan pertanian pada dasarnya merupakan sumber daya milik bersama (common pool resources/ CPR) yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai kelompok. Sumber daya ini berada dibawah kepemilikan negara dengan dikuasakan oleh militer sebagai kawasan pertahanan. Sikap pemerintah dan militer sebagai institusi negara yang permisif terhadap masuknya modal, mendorong adanya perubahan fungsi tanah yang pada awalnya dimanfaatkan sebagai lahan pertanian menjadi area penambangan dan industri lainnya. Meluasnya perubahan lahan pertanian menjadi wilayah pertambangan di berbagai wilayah di Indonesia membuat kajian ekonomi politik agraria penting untung dilakukan. Mengutip dari Wiradi, pendekatan political economy penting dan sesuai dengan karakteristik utama masalah agraria sebagai masalah politik.5 Pengalaman pertambangan di Indonesia lebih banyak menunjukkan narasi tentang ketimpangan penguasaan tanah maupun ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan konflik horizontal maupun vertikal. Cerita masyarakat Desa Kertabuana, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, menunjukkan bagaimana 4
Ibid, hlm. 70 Gunawan Wiradi. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria dan Penelitian Agraria. Yogyakarta: STPN Press, hlm. 2 5
3
tambang batubara telah mengepung desa dan merubah lahan pertanian menjadi lubang bekas galian.6 Pengalaman masyarakat pegunungan kendeng menunjukkan bahwa kemunculan tambang karst telah menyulut konflik berbasis sumber daya alam. Harapan yang dimunculkan bahwa tambang akan membawa kesejahteraan seakan hanya mitos yang dibawa oleh industri pertambangan. Pengelolaan sumber daya milik bersama oleh aktor privat seringkali menyebabkan ketimpangan yang berujung pada kemiskinan. Studi Moh. Yusuf dkk di dataran tinggi Garut menunjukkan bahwa pemodal besar (negara dan swasta) yang menerapkan model penguasaan kawasan hutan dan perkebunan telah menyebabkan persoalan ketimpangan penguasaan tanah sehingga menyumbang proses pemiskinan masyarakat pedesaan.7 Hadirnya bentuk-bentuk penguasaan sumber-sumber agraria oleh negara dan swasta dalam bentuk areal perkebunan dan kehutanan, beriringan dengan lepasnya akses dan kontrol (enclosure) petani terhadap lahan garapannya. Kehadiran perusahaan bermodal besar ini –baik negara maupun swasta- telah menggeser pola-pola ekonomi skala rumah tangga petani (satuan ekonomi terkecil) di pedesaan menjadi tenaga kerja upahan lepas. 8 Ekspansi kapital dan ketimpangan penguasaan tanah bagai dua sisi mata uang. Pertanyaan yang kemudian mengedepan adalah: apakah ekspansi kapital selalu menciptakan persoalan ketimpangan ketimpangan
penguasaan
tanah
sebagai
penguasaan tanah? sumber
agraria
Ataukah
justru
turut
melanggengkan kekuasaan kapital dalam ekstraksi sumber daya alam?. Pertanyaan-pertanyaan ini perlu diajukan untuk melihat kerja kapital dan adanya ketimpangan yang muncul dalam pengelolaan sumber daya agraria. Kapitalisme negara pesisir Cilacap telah dimulai sejak masa kolonial. Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakaan penataan ruang dengan menjadikan Cilacap sebagai pintu keluar masuk bagi hasil pertanian dari kebijakan kapitalistik tanam paksa. Kekuatan militer pun dibangun untuk 6
Anna Mariana, Devy DC dan Vegitya R. Putri. Politik Lokal, Elite Lokal dan Konsesi Pertambangan: Perjuangan Perempuan atas Akses Tanah di Kutai Kertanegara dalam MEMBACA ULANG POLITIK DAN KEBIJAKAN AGRARIA (Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2013). Yogyakarta: STPN Press. Hlm. 253 7 Moh. Yusuf, dkk. “Pembentukan Modal, Ekstraksi Surplus dan Penciptaan Kemiskinan di Pertanian Dataran Tinggi: Studi Kasus Dua Desa di Garut”. Dalam Memahami dan menemukan jalan keluar dari problem agraria dan krisis sosial ekologi. Laksmi A. Savitri, ed. 10-50. Bogor: Sajogyo Institute. Hlm. 14 8 Ibid, Hlm. 24
4
mengamankan perekonomian Belanda dan menjaga keamanan dari serangan negara lain. Watak dominasi negara dalam perekonomian berlanjut pada masa Orde Baru yang ditandai dengan eksploitasi sumber daya oleh perusahaan negara, PT Antam. Kejatuhan Orde Baru tidak turut mengakhiri kapitalisme negara yang ditandai dengan keberlanjutan produksi PT Antam hingga tahun 2010. Pasca kepergian PT Antam, dominasi negara dalam kegiatan perekonomian tetap kokoh. Dominasi negara terwujud dalam peran pemerintah kabupaten hingga pemerintah desa dan militer. Pemerintah Kabupaten Cilacap hingga pemerintah desa yang menjadi bagian dari negara, dengan terbuka memberikan izin penambangan kepada perusahaan-perusahaan penambangan pasir besi. Militer sebagai institusi negara yang merasa menguasai kawasan pesisir, turut berperan dalam memberikan persetujuan kepada korporasi tambang. Bukan hanya perusahaan, petani yang akan melakukan kegiatan pertanian pun harus mendapat persetujuan TNI AD. Bentuk bisnis yang dijalankan oleh militer mendapatkan legitimasi negara melalui peraturan menteri keuangan yang menyebut bahwa militer dapat menyewakan asetnya kepada pihak ketiga. Keuntungan ekstraksi mineral yang lebih besar dan tidak membutuhkan waktu lama, menjadi kesempatan yang menggiurkan dibanding dengan kegiatan pertanian. Oleh karena itu, ketika banyak perusahaan yang hendak melakukan penambangan pasir besi, TNI pun menyewakan tanahnya kepada perusahaan meskipun harus memutuskan sewa tanah dengan petani. Disini terlihat bahwa militer yang menjadi bagian dari negara turut menjadi pelaku dari kapitalisasi sumber daya agraria. Padahal disisi lain, negara mengemban kewajiban untuk memenuhi hak kesejahteraan masyarakat. Berlangsungnya kapitalisasi sumber daya alam dibawah kontrol negara telah melahirkan dampak yang sangat buruk bagi penikmatan hak masyarakat. Gejala ini membuat Asep Mulyana (2012) menyimpulkan bahwa bisnis dan HAM
5
di Indonesia memiliki relasi yang berbanding terbalik: eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam telah mengorbankan penikmatan HAM.9
Kekuatan dan beroperasinya kapital
Ketimpangan Penguasaan sumberdaya agraria
Penjaminan Hak kesejahteraan
Pelepasan alat produksi Komodifikasi sumber daya alam Politik penataan ruang
Bagan I. 1. Alur Kerja Kapital
Ketika sumber daya hanya dikuasai oleh pengusaha atas izin dari pemerintah, masyarakat –terutama petani- kehilangan alat produksinya dan semakin tersingkirkan. Berbagai upaya dilakukan masyarakat untuk mencicipi bagian dari proses eksploitasi kekayaan sumber daya di pesisir desanya. Misalnya dengan mendirikan portal di jalan desa dan menarik uang kepada truk yang membawa pasir; meminta uang debu dan perbaikan jalan yang rusak; meminta sumbangan kepada perusahaan ketika ada acara desa; dan melakukan penambangan manual. Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat tidak dapat dilihat secara hitam putih, legal atau illegal, resmi atau liar. Secara lebih jauh, perlu dilihat mengapa masyarakat melakukan penambangan “liar” di pesisir pantai. Sekarang ini penambangan tidak lagi marak sebab pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan larangan ekspor bahan mentah10 melalui Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 20 tahun 2013 sebagai perubahan kedua atas Permen ESDM nomor 07 Tahun 2012 mengenai peningkatan nilai tambah mineral. Banyak dari perusahaan pasir besi yang bangkrut karena kesulitan membangun smelter dan tidak dapat melakukan ekspor.
9
Asep Mulyana. Mengintegrasikan HAM ke Dalam Kebijakan dan Praktik Perusahaan. Jurnal HAM Vol VIII, 2012, 265-281 10 Larangan ekspor bahan mentah telah diamanatkan dalam UU Mineral dan Batu Bara no 4 tahun 2009
6
Perusahaan hanya mampu menjual pasir besi kepada pasar lokal seperti perusahaan semen. Kebijakan larangan ekspor semata hanya berorientasi pada peningkatan hasil ekonomi dari bahan tambang, bukan karena pemerintah berkomitmen memenuhi hak kesejahteraan masyarakat. Kasus penambangan pasir besi di Kecamatan Adipala hanya menjadi area pembuktian bagi argumentasi penulis bahwa reformasi tidak menghapus kapitalisme negara yang telah menciptakan ketimpangan dan berimbas pada kegagalan negara dalam menjamin hak kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itulah, penelitian ini penting untuk dilakukan sebagai gambaran bahwa reformasi politik belum secara tuntas dilakukan di Indonesia.
I.2. Permasalahan Beranjak dari penjelasan latar belakang diatas, penelitian ini akan menjawab pertanyaan Bagaimana kegagalan reformasi dalam mengubah watak kapitalisme negara sehingga berdampak pada penjaminan hak kesejahteraan masyarakat?. Berdasarkan pertanyaan tersebut, rumusan masalah penelitian kemudian diturunkan sebagai berikut: 1. Bagaimana watak kapitalisme negara tidak berubah pasca reformasi di pesisir selatan Cilacap? 2. Bagaimana kapitalisme negara membawa dampak bagi penjaminanan hak kesejahteraan masyarakat?
I.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap kerja kapitalisme negara perubahan kawasan pertanian menjadi penambangan pasir besi hingga masa reformasi. Lebih lanjut, penelitian ini berusaha melihat dampak dari penguasaan kapital dalam perubahan tanah pertanian menjadi kawasan penambangan pasir besi terhadap pemenuhan hak kesejahteraan masyarakat, khususnya petani.
7
I.4. Literatur Review Peralihan Orde Lama menjadi Orde Baru bukan saja merubah struktur politik Indonesia, tetapi juga merubah arah kebijakan ekonomi Indonesia. Di awal pemerintahan Orde Baru, dikeluarkan kebijakan yang mengizinkan masuknya modal asing untuk mengeksploitasi kekayaan Indonesia. Selain itu, ada upaya menghancurkan kebijakan pemerintahan Soekarno yang mengancam kepentingan kapitalis dan para pendukungnya. Misalnya saja kebijakan land reform yang menggagas redistribusi lahan, menjadi ancaman bagi kalangan kapitalis, tuan tanah yang bergelar haji, dan Angkatan Darat. Bagi mereka, land reform hanya akan mengambil alih tanah dan kekayaan mereka, serta perkebunan milik Negara yang dibawah kendali Angkatan Darat.11. Mengalisa dengan teori otoriterisme birokratik dan korporatisme negara, dalam bukunya Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971 Mas’oed menjelaskan bahwa pemerintah Orde Baru menggunakan strategi stabilisasi dan pembangunan ekonomi yang memberikan peranan aktif pada pengusaha swasta di dalam ekonomi pasar terpimpin dan dapat mengerahkan dukungan internasional. Pada masa Orde Baru, dinamika ekonomi politik agraria lebih banyak dimainkan oleh kelompok yang berkuasa. Studi Robin Broad12 mengenai ekonomi politik sumber daya alam kehutanan di Indonesia dan Filipina memahami bagaimana melimpahnya kekayaan sumber daya alam di dunia ketiga diikuti dengan eksploitasi sumber daya alam. Broad menjelaskan bahwa melimpahnya sumber daya alam justru mengkatalisasi interaksi negara dengan kelompok privelege. Dalam hal ini negara tidak hanya dipolitisasi, tetapi juga dibajak oleh kelompok berkuasa. Sejarah penguasaan hutan pada masa Orde Baru hanya dikuasai oleh orang-orang yang dekat dengan Soeharto, seperti Bob Hasan dan Prajogo Pangestu. Robinson menyebut, penguasaan ekonomi politik sumber daya alam didukung oleh masuknya modal asing. Bukan hanya dalam sektor pertambangan, tetapi juga meliputi sektor kehutanan, pertanian, manufaktur dan Mochtar Mas’oed. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES. Hlm.60. Robin Broad. 1995. The Political Economy of Natural Resources: Case Studies of the Indonesian and Philippine Forest Sectors. The Journal of Developing Areas 29 (3) 11 12
8
infrastruktur. Bahkan di bawah pemerintahan Orde Baru, pendapatan ekspor Indonesia meningkat tajam yaitu dari sektor industri ekstraktif: minyak dan kayu.13 Ekonomi politik sumber daya alam telah menjadi minat bagi akademisi seiring dengan eksploitasi sumber daya alam yang disertai dengan ketimpangan, kemiskinan dan konflik. Dengan perspektif ekonomi politik agraria, A Haroon Akram-Lodhi14 menyoroti mengenai tanah, pasar dan enclosure neoliberal dalam kebijakan kebijakan reforma agraria yang dipandu oleh pasar (Market-led agrarian reform/ MLAR). Kebijakan MLAR didasarkan pada dua asumsi yaitu menganggap
tanah
hanya
sebatas
pada
sumber
daya
ekonomi
yang
menguntungkan dan pasar sebagai institusi dimana partisipan didalamnya berada dalam posisi setara. Padahal asusmsi ini pada dasarnya salah, karena adanya karakter yang melekat secara sosial pada tanah dan pasar. Lodhi menggunakan ekonomi politik agraria untuk memahami proses transfer tanah yang menekankan pada karakter yang melekat secara sosial, khususnya terkait dengan konsep enclosure. Ekonomi politik agraria ditarik dalam pengertian pergerakan hukum kapitalisme kontemporer dan hubungannya dengan daerah pedalaman. Menurut Kautsky, ekonomi politik agraria berfokus pada bagaimana kapital dapat mengendalikan pertanian, merevolusi, menghancurkan bentuk produksi dalam untuk kemudian membangun produksi yang baru. Enclosure dalam mode kapitalis, menurut Lodhi dengan mengutip dari Wood, menekankan bagaimana kapital berakar dalam perubahan konten dan makna dari relasi kepemilikan sosial.
Lahirnya kapitalisme melalui proses enclosure
mencerminkan suatu proses yang lebih dalam dan tidak sesederhana transfer kepemilkan privat dari asset material. Sehingga enclosure pun tidak hanya dipahami sebagas tanah. Neoliberal enclosure yang terjadi melalui program MLAR
memfasilitasi
rekonfigurasi
struktur
agrarian
“bifurcated”
yang
memunculkan pertanian kapitalis beroriensi ekspor dan sub sektor agraria yang berorientasi subsisten. Mochtar Mas’oed,. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES, Hlm. 104 Haroon Akram-Lodhi. 2007. Land, Market, and Neoliberal Enclosure: An Agrarian Political Economy Perspective. Third World Quarterly 28 (8). DOI: 10.1080/01436590701637326. 1437-1456 13 14
9
Salah satu
yang mendorong adanya kemiskinan yaitu adanya
ketimpangan struktur penguasaan agraria. Dengan kacamata demokrasi struktural, Amin Tohari meletakkan struktur penguasaan agraria sebagai basis pembentukan kelas sosial, yang turut melestarikan dominasi kekuasaan lokal dan menciptakan gerakan demokrasi yang tidak lagi percaya pada demokrasi prosedural. Tohari melihat bahwa demokrasi bukan sekedar sistem yang yang hanya menjamin hakhak sosial dan politik warga negara, tetapi juga harus mampu menjamin hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob), sehingga tidak terjebak dalam demokrasi oligarkis.15
Demokrasi
semestinya
bisa
menjadi
ruang
yang
mampu
mendistribusikan sumber daya, agar sumber daya tidak dikuasai oleh orang-orang tertentu. Dengan melihat kasus perkebunan di Blitar, struktur agraria menunjukkan dominasi dari kelompok swasta, militer dan negara terhadap sumber-sumber agraria sehingga menciptakan kemiskinan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah perkebunan. Dalam aktivitas pertambangan, kesejahteraan juga menjadi hal yang dipertanyakan. Penyebabnya, aktivitas pertambangan sendiri masih belum menyentuh aspek kesejahteraan masyarakat lokal, meskipun pertambangan memberikan kontribusi terhadap pendapatan pemerintah dan kepada Produk Domestik Bruto (PDB). Emil Salim dan timnya melakukan evaluasi dampak sosial penambangan yang melibatkan Bank Dunia untuk menjawab pertanyaan apakah
kegiatan
penambangan
memberikan
dampak
positif
terhadap
kesejahteraan masyarakat lokal. Hasil evaluasi ini melihat adanya syarat-syarat agar
pertambangan
dapat
memberikan
kontribusi
terhadap
pengentasan
kemiskinan, mengurangi potensi konflik sosial dan ekonomi dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan. Pertama, tata kelola korporasi dan tata kelola publik (corporate and public governance) yang pro rakyat miskin. Kedua, Kebijakan-
15Amin
Tohari. 2013. Keluar Dari Demokrasi Populer: Dinamika Demokrasi Lokal dan Distribusi Sumber Daya. Jogjakarta: Penerbit Polgov. Hlm. 14
10
kebijakan sosial dan lingkungan yang lebih efektif. Ketiga, Penghargaan terhadap hak asasi manusia. 16 Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam sektor ekstraksi sumber daya alam –terutama perusahaan multinasional- memiliki dampak positif dalam kemajuan ekonomi. Namun disisi lain, kegiatan perusahaan membawa dampak negative
terhadap
penikmatan
HAM.
Dalam
tulisannya
berjudul
Mengintegrasikan HAM Ke Dalam Kebijakan dan Praktik Perusahaan, Asep Mulyana menjelaskan bagaimana bisnis dan HAM di Indonesia memiliki relasi yang berbanding terbalik: eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam telah mengorbankan penikmatan HAM. Perusahaan yang bergerak dalam pengelolaan sumber daya alam menghasilkan dampak buruk bagi penikmatan HAM seperti munculnya sengketa atas tanah, kerusakan alam, pencemaran air dan udara, ketimpangan sosial, keterbelakangan ekonomi, yang berujung pada konflik dan kekerasan sosial. Karena dampak inilah, perusahaan dituntut untuk ikut bertanggung jawab dalam pemenuhan HAM.17 Proyek-proyek semacam ini tidak lain merupakan bagian dari agenda neoliberalisme untuk melakukan akumulasi kapital dengan cara perampasan sumber daya. Studi Amin Tohari mengenai persoalan land grabbing dalam kasus MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) mengkonfirmasi bahwa land grabbing sebagai bentuk perluasan ruang baru bagi kapitalisme telah membawa dampak terhadap pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak atas tanah dan sumber penghidupan yang berasal dari tanah. Hak-hak individu yang diakui secara internasional termasuk di dalamnya hak hidup, makanan, kesehatan, bekerja, dan bebas dari diskriminasi dalam dimensi apapun terancam terlanggar dalam kasus MIFFE, padahal norma hukum menuntut pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memajukannya.18
Nina L.Subiman dan Budy P. Resosudarmo. 2010. “Tambang untuk Kesejahteraan Rakyat: Konflik dan Usaha Penyelesaian. Dalam Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. Iwan J. Azis, dkk, ed. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Hlm. 429 17 Asep Mulyana, Op.Cit, 265-281. 18 Amin Tohari. Land Grabbing dan Potensi Internal Displacement Persons (IDP) Dalam Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua. Dalam Jurnal Bhumi No 37 tahun 12, April 2013 16
11
Segala dampak dari penambangan yang merugikan masyarakat dan lingkungan, dijawab perusahaan dengan menggunakan skema Corporate Social Responsibility. Tesis Norvie Aperiansyani19 mengungkapkan bahwa CSR merupakan skema yang ambisius karena mengesankan besarnya tanggung jawab perusahaan, yang di satu sisi tidak mudah dipenuhi oleh perusahaan. CSR hanya menjadi aktivitas bisnis perusahaan untuk mendapatkan ijin sosial (social licence) sehingga skema ini seringkali mengalami kegagalan karena beberapa hal. Pertama, persoalan konseptual akademis dimana perusahaan pertambangan cenderung mengorbankan aspek ekologis. Jikapun aspek ekologis diperhitungkan, hanya sekedar kamuflase untuk mensiasati publik supaya perusahaan terkesan respek terhadap lingkungan. Kedua, CSR menjadi sikap etis pemilik perusahaan untuk melanggengkan kepentingan bisnis mereka. Dalam hal ini, CSR hanya dijadikan sebagai alat promosi perusahaan demi menjaga citra perusahaan atas kerusakan-kerusakan lingkungan akibat penambangan. Berkaca dari penelitian yang sudah ada, tulisan ini akan memahami kekuasaan kapital di tingkat lokal yang telah mempengaruhi pemenuhan hak kesejahteraan masyarakat. Perubahan fungsi tanah dari tanah produktif untuk pertanian menjadi wilayah pertambangan, tidak lepas dari dinamika ekonomi politik nasional dan global yang pada akhirnya tetap memarginalkan petani dan masyarakat kecil.
I.5. Kerangka Teori I.5.1. Kajian Agraria Istilah agraria, berdasarkan asal-usulnya (etimologi), berasal dari kata bahasa latin “ager” yang memiliki makna lapangan, pedusunan (lawan dari perkotaan), wilayah, tanah negara. Dalam istilah lain yaitu agger dimaknai sebagai tanggung penahan/pelindung, pematang, tanggul sungai, jalan tambak, reruntuhan
19
Norvie Aperiansyani. 2012. Defisit Akuntabilitas Perusahaan: The Politics of Corporate Social Responsibility. Tesis Studi Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.g[.
12
tanah. Dari istilah ini, agraria bukan sekedar tanah atau pertanian. Kata pedusunan, bukit dan wilayah menunjukkan betapa luasnya makna dari agraria. Jika makna agraria hanya dimaknai sebagai tanah atau pertanian, berarti telah mengalami penyempitan makna.20 Namun berdasarkan konstitusi yang digunakan, agraria dimaknai sebagai tanah, seperti yang digunakan dalam undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Kata agraria yang memiliki makna sempit sebatas tanah, dalam perkembangannya mengalami perluasan makna.21 Agraria dimaknai lebih luas, tidak sebatas pada tanah dan segala hal yang berkaitan dengan pertanian. Melainkan menyangkut sumber daya air, hutan, laut, termasuk sumber daya yang ada di dalam bumi. Perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa makna agraria mengalami penyempitan makna atau perluasan makna, tidak merubah kesepakatan para ahli dan makna yang terkandung dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA, agraria meliputi bumi dan segala yang ada dibawahnya, air dan angkasa (ruang di atas bumi, termasuk udara). Segala sumber daya yang terkandung dalam perut bumi dan terletak di atas permukaan bumi, sumber daya lautan dan seisinya, serta udara di angkasa raya merupakan cakupan dari agraria. Kajian agraria telah banyak mendapatkan perhatian dari akademisi dan peneliti seiring dengan meluasnya permasalahan agraria di tanah air. Kajian ini sempat mengalami kemandegan pada masa Orde Baru ketika kajian ini dianggap mengarah pada paham komunis. Tipikal kajian agraria yang digunakan pada masa Orde Baru hanya kajian yang mendukung langgengnya pemerintahan ini, misalnya mengenai involusi pertanian. Baru setelah kejatuhan pemerintah Orde Baru, permasalahan agraria mulai terbuka dan semakin mendapatkan perhatian dari para akademisi. Lingkup kajian agraria menyangkut dua hal yaitu objek agraria dan subjek agraria. Objek agraria mengarah pada sumber agraria yang berbentuk fisik. Seperti yang tercantum dalam UU PA, jenis-jenis sumber agraria ada lima jenis. Sitorus. 2002. “Lingkup Agraria”. Dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Endang Suhendar, dkk, ed. Bandung: Akatiga 21 Yance Arizona. 2014. Konstitusionalisme Agraria.Yogyakarta: STPN Press. hlm. 8 20
13
Pertama yaitu tanah atau permukaan bumi. Tanah menjadi modal alami yang teramat penting dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Kedua, perairan dimana menjadi modal alami untuk kegiatan perikanan. Ketiga, hutan dimana flora dan fauna tumbuh dan hidup bersama dengan komunitas-komunitas yang tinggal di hutan serta memanfaatkan hasil hutan untuk mempertahankan hidup. Keempat, bahan tambang seperti minyak, gas, emas, bijih besi, timah, intan, batu mulia, fosfat, pasir, batu. Kelima, udara sebagai kesatuan dari alam. Lingkup kajian agraria yang kedua yaitu subjek agraria. Subjek agraria menjadi pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan objek agraria. Subjek agraria sendiri terdiri dari tiga kategori yaitu komunitas sebagai kesatuan dari unit rumah tangga; pemerintah sebagai representasi dari negara (pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan hingga desa); dan swasta sebagai sektor private (private sector). Subjek-subjek agraria ini memiliki ikatan dengan sumber agraria melalui institusi pemilikan (tenure institution).22. Dalam kajian agraria, dikenal adanya istilah land tenure. Tenure yang berasal dari bahasa latin memiliki beberapa pengertian yaitu memelihara, memegang, dan memiliki. Oleh karena itu, land tenure dapat dipahami sebagai hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah ini mengarah pada status hukum pada tanah, misalnya hak milik, gadai, bagi hasil, sewa menyewa dan kedudukan buruh tani.23 Sistem tenurial dapat juga dilihat sebagai sekumpulan hak (bundle of rights) dalam pemanfaatan sumber daya alam.24 Artinya yaitu sekumpulan hak yang dimiliki subjek hak untuk mengelola dan mendapatkan manfaat dari sumber daya alam. Sekumpulan hak ini tidak berdiri sendiri, karena disertai dengan kewajiban yang harus ditaati oleh subjek hak dalam pengelolaan sumber daya alam. Tujuannya tidak lain agar terciptanya keseimbangan dalam penyelenggaran hak.
22
Sitorus, Op.Cit Gunawan Wiradi. 1984. “Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria”, dalam Dua Abad Penguasaan Tanah. Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, ed. Jakarta: Gramedia. Hlm 290. 24 Noer Fauzi Rahman. Konflik Tenurial: Yang Diciptakan, Tapi Tak Hendak Diselesaikan. 23
14
Sistem tenurial mengandung tiga komponen utama. Pertama, subjek hak yang meliputi individu, kelompok, rumah tangga dan komunitas. Kedua, objek hak yaitu persil tanah atau benda-benda yang ada diatas tanah, perairan (sungai, laut, rawa), mineral dan bahan tambang yang terkandung di dalam tanah. Ketiga yaitu jenis hak yang terdiri dari hak milik, hak sewa dan hak pakai.25 Dalam sistem tenurial perlu dibedakan antara pemilikan dan penguasaan, meskipun hak pemilikan berada di dalam penguasaan. Kepemilikan mengarah pada subjek hak yang memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya alam. Kepemilikan menunjukkan kondisi de jure. Sedangkan penguasaan mengarah pada pihak-pihak yang menggunakan dan mengambil manfaat dari sumber daya alam. Penguasaan merujuk pada kondisi de facto. Di dalam pengelolaan sumber daya alam, seringkali terjadi kondisi de jure sekaligus de facto.26 Pengelolaan sumber daya alam bersama seperti hutan, perairan, pesisir, ladang gembala, tanah pertanian, bahan tambang tidak mudah dilakukan. Konsep ini dikenal dengan common pool resources (CPR) yang digagas oleh Ostrom. CPR merupakan sistem sumber daya alam yang dimanfaatkan bersama oleh kelompok pengguna. Pengelolaan CPR tidaklah mudah karena ada kecenderungan dari pengguna yang memiliki kepentingan berbeda dalam memanfaatkan sumber daya. Kesalahan dalam mengelola CPR dapat menyebabkan terjadinya “tragedy of the commons” seperti yang ditulis oleh Garret Hardin. Dalam teori sumber daya, berdasarkan kepemilikannya dapat dibagi ke dalam empat kategori.27 Pertama, kepemilikan negara (state property) dimana sumber daya dimiliki oleh seluruh warga negara, dan pengendalian pengelolaan dilakukan oleh pemerintah. Kedua, kepemilikan privat (private property), dimana individu atau perusahaan memiliki hak atas sumber daya. Ketiga, kepemilikan komunal (communal property atau common property), dimana sumber daya dimiliki dan dikontrol oleh sekelompok masyarakat. keempat, open access dimana sumber daya dapat diakses secara bebas. Sifat common property hampir mirip
25
ibid ibid 27Arif Satria. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta: LKis. Hlm 16. 26
15
dengan open access. Menurut Ostrom, CPR yang dikelola oleh masyarakat akan lebih dapat menghindari terjadinya “the tragedy of the common”. Pemahaman kajian agraria dan pengelolaan sumber daya menjadi penting untuk melihat bagaimana sumber daya pesisir selatan Cilacap dikelola. Pengelolaan
sumber
daya
yang
sewenang-wenang
akan
menyebabkan
ketidakadilan sehingga akan memarginalkan kelompok tertentu.
I.5.2. Kekuatan Kapital dalam Ranah Agraria Kapital bukanlah dimaknai sebagai uang atau asset dalam bentuk tanah maupun mesin produksi. Mengacu pada Marx, kapital dipahami sebagai hubungan produksi (sosial) yang menampakkan diri sebagai barang. Hubungan produksi merupakan hubungan-hubungan yang terjalin antara manusia dengan manusia yang terwujud dalam kelas-kelas yang terlibat dalam proses produksi. Uang memang menjadi bagian penting dari kapital. Namun yang terpenting dari kapital adalah proses pergerakan dari uang (M/money), untuk membeli komoditi (C/commodity),
sehingga
menghasilkan
uang
(M/money).
Proses
yang
berlangsung terus menerus ini akan menghasilkan keuntungan berlipat bagi pemilik kapital. Dalam proses akumulasi kapital ini, tenaga kerja menjadi bagian penting yang tidak bisa dipisahkan. Awal dari proses akumulasi kapital ini disebut Marx sebagai akumulasi primitif. Akumulasi primitif, disamping sebagai permulaaan dari kapitalisme, menjadi basis prekondisi dari fase akumulasi kapital. Akumulai primitif dipahami sebagai proses yang mengoperasikan dua transformasi, yaitu alat subsisten dan produksi ke dalam kapital; dan mengubah produsen menjadi tenaga kerja (marx 1990, 874). Akumulasi primitif mengambil alih barang publik yang ditransfer ke dalam kepemilikan privat. Pada waktu yang sama, akumulasi primitif juga mentransformasi jutaan subsisten atau petani kecil ke dalam proletariat tanpa tanah, yang tidak memiliki alat produksi kecuali tenaga kerja mereka. Teori akumulasi primitive yang diajukan oleh Marx berusaha menyanggah teori akumulasi primitive yang disampaikan oleh Adam Smith.
16
Adam Smith menyampaikan bahwa berlangsungnya produksi kekayaan modern secara logis haruslah didahului oleh adanya timbunan kekayaan sebelumnya. Bagi Smith, adanya pembagian kerja antara orang-orang yang menguasai sarana produksi dan orang-orang yang menjual tenaga kerjanya pada pemilik sarana produksi disebabkan karena ada orang-orang yang rajin, hemat dan kreatif di satu sisi, dan ada orang malas, boros dan bodoh disisi lain. Kekayaan dan kemiskinan dianggap sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan oleh nenek moyang. Marx menyanggah teori Smith dengan berargumen bahwa kapital dan kekayaan pemilik sarana produksi merupakan hasil perampasan terhadap kekayaan sosial hasil kerja golongan lain.28 Akumulasi primitive yang menjadi awal dari akumulasi lebih lanjut, harus berjalan secara berulang-ulang, karena jika tidak motor penggerak akumulasi akan segera berhenti. Luxemburg berpendapat bahwa akumulasi primitive ini menjadi suatu kekuatan yang penting dan terus hidup dalam geografi historis akumulasi kapital melalui imperialisme.29 Ia menawarkan pembacaan akumulasi primitive yang tidak hanya soal waktu, tetapi juga dimensi ruang dari eksploitasi dalam dialektika lokal dan global. Baik Marx maupun Luxemburg meyakini bahwa kekuatan (khususnya militer) berperan utama pada kerja-kerja akumulasi primitive. Force is the only solution open to capital; the accumulation of capital is seen as an historical process, employs force as a permanent weapon, not only as its genesis, but further on down to the present day (Luxemburg 2003, 351) (kekuatan adalah solusi untuk membuka kapital; akumulasi kapital dilihat sebagai proses historis, menggunakan kekuatan sebagai senjata permanen, bukan hanya sebagai permulaan, tetapi berlanjut sampai sekarang. Hubungan produksi kapitalis terbentuk oleh proses komodifikasi barang dan jasa yang merambah ke semua sektor. Komodifikasi dapat dipahami sebagai proses menjadikan sesuatu yang sesungguhnya bukanlah komoditi menjadi komoditi. Komodifikasi menjadi salah satu yang memperluas kapitalisme moden,
28
Dede Mulyanto. 2012. Genealogi Kapitalisme. Yogyakarta: Resist Book Hlm 95 Arendt. 1968. Imperialism. New York: Harcourt Brace Janovich. Lihat dalam David Harvey. 2010. Imperialisme Baru. Yogyakarta: Insist. Hlm, 161. 29
17
dimana nilai tukar dan nilai guna dijadikan menjadi sesuatu/barang. Di dalam sistem kapitalisme, tanah dan tenaga kerja diperlakukan sebagai komoditi. Tanah yang pada hakekatnya memiliki fungsi sosial budaya dan tidak bisa diproduksi oleh manusia, dijadikan komoditi di dalam pasar kapitalisme. Begitupula kerja yang sejatinya menjadi bagian dari eksistensial hubungan manusia dengan alam tidak luput dikomodifikasi.30 Ketika tanah dan sumber agraria yang ada didalamnya dijadikan sebagai komoditas, dengan perlahan petani kehilangan alat produksinya. Pemisahan petani dari alat produksinya bukan tanpa maksud. Setelah tidak memiliki alat produksi lagi, petani terdesak untuk menjual satu-satunya yang dimiliki yaitu tenaganya. Petanipun terpaksa bekerja pada pemilik tanah sebagai buruh tani. Dalam konteks komodifikasi tanah untuk kegiatan industry seperti pertambangan, petani yang kehilangan tanah bekerja sebagai buruh tambang, supir dump truck, dll. Di dalam perekonomian kapitalis, kepemilikan atas sarana produksi bersifat formal absolute. Seseorang yang secara hukum diakui sebagai pemilik suatu bidang tanah tetap akan menjadi pemilik meski tidak mengolah tanah tersebut.31 Kepemilikan tanah yang sifatnya formal absolute ini mampu mendorong munculnya ketimpangan atas penguasaan sumber daya agraria. Selain itu, ketimpangan penguasaan atas tanah merupakan akibat dari pengalokasian ruang yang lebih banyak untuk kepentingan industri dan pebisnis. Henri Lefebvre (1992) menyebut bahwa politik penciptaan (penataan) ruang merupakan sebuah reproduksi ruang dalam konteks kontrol, dominasi dan akumulasi kapital. Penataan ruang menjadi cara menciptakan batas-batas legal untuk alokasi penggunaan dan pemanfaatan tanah serta sumberdaya didalamnya. Bahkan kepentingan bisnis ini mampu menyebabkan perampasan tanah, transaksi tanah skala luas, hingga pengusiran.32 Ketimpangan penguasaan tanah ini menjadi sebab
30
Dede Mulyanto, Op.Cit, Hlm 20 Ibid, hlm 15 32 Rachman, Op Cit,. Hlm. 53 31
18
dari melebarnya kemiskinan di pedesaan dan mendorong terjadinya konflik agraria.33 Negara menjadi katalisator bagi kapitalis untuk memperluas pasar dan mengeksploitasi sumber daya agraria. Dalam pendekatan ekonomi politik marxis, ada dua cara pandang dalam melihat posisi negara. Pertama, cara pandang instrumentalis yang menempatkan negara sebagai alat kepentingan kelas sosial dominan.34 Negara menjadi institusi atau agen politik dalam rangka melindungi kepentingan politik dari sebuah kelas sebab negara menjadi instrument yang dikendalikan oleh kelas tersebut.35 Negara dianggap merupakan negara kelas yang mendukung kepentingan kelas-kelas penindas. Negara memungkinkan kelas atas untuk memperjuangkan kepentingan khusus mereka sebagai kepentingan umum.36 Kedua, perspektif strukturalis yang menganggap negara sebagai lembaga yang memiliki otonomi relatif.37 Dalam perkembangannya, negara tidak selalu menjadi alat bagi kelas penindas karena negara memiliki kepentingan sendiri. Sedangkan dalam kacamata marxisme struktural, hubungan negara dan kelas kapital merupakan hubungan yang rumit. Disini negara bisa “bertindak atas nama” kelas kapitalis tapi belum tentu negara akan “bertindak atas perintah” dari kelas tersebut.38 Poulantzas melalui kacamata selektivitas struktural melihat bahwa negara menjadi yang paling tahu tentang apa yang menjadi kepentingan modal, konsekuensi bagi kekuatan sosial lain, bahkan jika mereka ditentang oleh modal, didesain untuk memajukan kepentingan jangka panjang modal, bahkan jika perlu dengan menentang kepentingan modal tertentu.39 Peran negara yang besar dalam mengatur perekonomian dapat mengarah pada kapitalisme negara. Beberapa ilmuwan seperti James Petras, Fernandez dan Ocampo, Bamat dan Farsoun, menekankan bentuk dari intervensi negara, seperti 33
Noer Fauzi. Restitusi Hak Atas Tanah: Mewujudkan Keadilan Agraria di Masa Transisi. Jurnal Dinamika Hak Asasi Manusia. Jurnal DInamika HAM. Volume 2, No.1, April 2001. Surabaya: Pusham Ubaya. Hlm. 65 34 Eric Hiariej. Teori Negara Marxis. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 7, Nomor 2, November 2003 (261-282). Hlm. 261. 35 Caporaso, 179 36 Suseno, hlm. 119; Arif Budiman. 2002. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: PT Gramedia. Hlm. 56 37 Hiariej, Ibid, hlm. 262. 38 Op Cit, Coparaso, hlm. 181. 39 David Marsh dan Gerry Stoker. 2012. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung:Penerbit Nusa Media. Hlm. 196
19
nasionalisasi industri milik asing, sentralisasi keuangan dan perbankan, serta perencanaan ekonomi negara.40 Berlangsungnya kapitalisme negara didukung oleh keberadaan aparatur negara yang bersedia melayani kepentingan kapitalis. Bahkan, intervensi militer melanggengkan kerja kapitalis. Namun bagi , intervensi negara merupakan upaya untuk menguatkan hubungan produksi kapitalis sebagai bagian dari logika kapitalisme. Negara kapitalis berfungsi untuk mereproduksi kondisi bagi akumulasi kapital.41 Di Indonesia, kapitalisme negara telah berlangsung pasca kemerdekaan dan terus mengalami perubahan. Revolusi kemerdekaan mengalami reduksi subtansial dan tidak menguntungkan rakyat ketika perusahaan asing yang telah dinasionalisasi justru berada di bawah kontrol militer. Hasilnya, program ekonomi terpimpin Soekarno tidak membuka jalan bagi sosialisme, tetapi menuju kapitalisme negara.42 Kapitalisme negara pun mengalami banyak perubahan pada masa pemerintah Soeharto. Tumbuhnya perusahaan negara meredup diawal pemerintah Soeharto yang membuka investasi asing sebagai implikasi dari tuntutan IMF. Namun, pada masa 1970an perusahaan negara kembali menjalankan peran dominannya setelah adanya ledakan minyak. Baru pada tahun 1980an setelah krisis minyak, kapitalisme negara mengalami perubahan. Negara membuka investasi pada swasta dalam industri manufaktur.43 Pada tahun 1980an, dominasi kapital pada dunia pertanian turut mempengaruhi transformasi hubungan produksi ke arah sistem yang berorientasi pada pasar.44 Tentu proses transformasi ini tidak terjadi begitu saja, akan tetapi telah direncanakan sedemikian rupa oleh kekuasaan dominan yang secara langsung berhubungan dengan kekuasaan institusi, organisasi dan keuangan. Hadirnya WTO dan lembaga keuangan seperti IMF dengan kuat mencengkeram 40
Dalam Alex Dupuy and Barry Truchil. Problems in the Theory of State Capitalism. Theory and Society, Vol. 8, No. 1 (Jul., 1979), pp. 1-38. Hlm 9 41 Ibid, hlm 10 42 Imam Toto K. Rahardjo dan Suko Sudarso. 2010. Bung Karno-Masalah Pertahanan Keamanan. Jakarta: Grasindo. Hlm. LXXVI 43 Eric Hiariej. 2005. Materialisme Sejarah Kejatuhan Soeharto: Pertumbuhan dan Kebangkrutan Kapitalisme Orde Baru. Yogyakarta: Ire Press 44 Terence Wesley-Smith and Eugene Ogan. 1992. Copper, Class, and Crisis: Changing Relations of Production in Bougainville. The Contemporary Pacific, Vol. 4, No. 2, Special Issue: A Legacy of Development: Three Years of Crisis in Bougainville (FALL 1992), pp. 245-267
20
dunia pertanian di negara berkembang untuk melayani kebutuhan negara maju. Hasilnya, transformasi pertanian hanya menghasilkan perubahan mode produksi yang lebih terstandar dan menguntungkan pasar. Tentu dominasi kapital bukan hanya berusaha memaksimalkan keuntungan dari hasil pertanian. Jauh dari itu, ketika usaha pertanian mendatangkan keuntungan yang lebih sedikit, tidak mustahil kekuasaan kapital merambah sektor lain yang lebih menguntungkan seperti penambangan, perkebunan sawit, tanaman biofuel. Hubungan produksi diarahkan kepada kebutuhan pasar yang memberikan manfaat pada pemilik kapital. Hubungan produksi dalam sektor pertanian mengalami banyak perubahan ketika masuknya kapitalisme, seperti yang terjadi di Bougenville sebelum perang dunia pertama. Pertanian ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ekspor untuk memenuhi kebutuhan negara maju. Hubungan produksi mengalami perubahan drastic ketika penambangan tembaga masuk ke wilayah ini. Pertama, kapitalisme industri penambangan dalam kenyataannya mengabaikan hak atas tanah dan hanya memberikan kompensasi atas hilangnya tanah dan perkebunan penduduk, tidak pada kerusakan lingkungan dan relokasi desa. Kedua, perubahan dalam formasi kelas dimana masyarakat lokal terpaksa bekerja di perusahaan tambang dan mengalami diskriminasi berdasarkan kemampuan kerja. Penambangan juga memunculkan pebisnis lokal dalam penambangan. Ketiga, penambangan telah mengubah hubungan sosial antara penduduk perempuan dan laki-laki serta hubungan sosial antara generasi. Kegiatan penambangan lebih mengutamakan laki-laki dibanding perempuan dan mendorong pembagian kerja berbasis pendidikan yang dimiliki. Kelas kapitalis sendiri terus berusaha melakukan akumulasi kapital tanpa henti dan meningkatkan nilai surplus (surplus value). Kelas ini memiliki dua kepentingan yaitu mempertahankan posisi kekayaannya (ditambah dengan kepentingan untuk menaikkan posisi jika memungkinkan) dan mempertahankan sistem sosial yang telah memberinya kesempatan untuk mengakumulasi kekayaan
21
pribadi.45 Dalam konteks penguasaan sumber daya agraria, kekuasaan kapital menggunakan strategi ganda yaitu dengan mereka mengalokasikan pendapatan untuk harga tinggi/investasi jangka panjang dan membuka serta mengadaptasi wilayah baru untuk pengembangan industri. Strategi investasi ini didukung oleh kebijakan diskursif yang diperkuat oleh negara, non negara, agen parastatal dan dibentuk oleh pemerintahan ekstraktif yang didukung oleh kapitalis dan logika kekuasaan teritorial. Untuk itulah perusahaan mengontrol sumber daya untuk mengontrol tanah dan sumber daya, dan (minimal) tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi.46 Krisis 1997 yang menimpa negara-negara di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, turut mempengaruhi terjadinya transformasi di sektor pedesaaan yang berhubungan dengan bertambahnya jangkauan pasar dan komoditasi kepemilikan publik, produksi dan hubungan sosial.47 Di Indonesia, krisis ini diikuti kejatuhan Soeharto dan tuntutan reformasi dalam segala sektor. Namun, reformasi gagal menghancurkan kapitalisme negara yang lama.48 Negara melakukan intervensi sangat besar alam pengelolaan sumber daya agraria. Konversi tanah pun terus dilakukan oleh penyewa kecil hingga konglomerat transnasional, yang berkepentingan dalam mengambil kesempatan untuk meningkatkan tuntutan pasar globalisasi untuk komoditas eksotik. Dengan bertambahnya integrasi ke dalam pertukaran pasar global, akses tanah, tenaga kerja, kapital keuangan dan teknologi dimodifikasi, telah menciptakan elit desa baru, petani kelas menengah dan disparitas yang lebih besar dalam komunitas desa.49 Bangun kerangka kekuatan kapital dalam ranah agraria digunakan untuk membantu penulis dalam mengalisis kekuatan kapital dalam penambangan pasir besi di Kecamatan Adipala, Cilacap. Komodifikasi tanah dan tenaga kerja untuk kegiatan penambangan dilakukan sebagai proses melipatgandakan keuntungan 45
Richard Robinson, 2012. Soeharto dan Bangkitkan Kapitalisme di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu. hlm, 155 46 Alberto Alonso-Fradejas. 2012. Land Control-Grabbing in Guatemala: the political economy of contemporary agrarian change. Canadian Journal of Development Studies, 33:4, 509-528. DOI: 10.1080/02255189.2012.743455. hlm. 524 47 Sarah Turner and Dominique Caouette. 2009. Shifting fields of rural resistance in Southeast Asia. Dalam Agrarian Angst and Rural Resistance in Contemporary Southeast Asia. New York: Routledge. Hlm. 1 48 Hiarid, ibid, hlm. 302 49 Turner, Op.Cit
22
oleh pemilik kapital, tanpa melihat fungsi tanah secara ekonomi, sosial dan budaya bagi petani dan masyarakat luas. Dominasi kapital di pesisir Kecamatan Adipala tidak hanya berdiri sendiri, tetapi mendapat dukungan dari militer dan negara melalui politik penciptaan ruang dan pembuatan regulasi.
I.5.3. Hak Atas Kesejahteraan Sebagaimana penjelasan sebelumnya, demi kelanjutan akumulasi kapital harus dilakukan komersialisasi terhadap tanah dan tenaga kerja.
Petani
dipisahkan dari tanah yang menjadi alat produksinya. Akibatnya mereka tidak lagi berperan sebagai produsen dan menjadi petani tanpa tanah. Petani yang tidak lagi memiliki lahan garapan menjadi golongan proletar yang jauh dari kehidupan sejahtera. Vandana Shiva pun turut mempertegas, dalam ekonomi pasar, prinsip pemanfaatan sumber daya alam adalah memaksimalkan keuntungan dan akumulasi kapital. Ketika sumber daya alam yang telah dimanfaatkan oleh alam untuk memperbaharui diri dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber mata pencaharian, dialihkan untuk kepentingan pasar maka mengakibatkan kelangkaan sumber daya alam dan menciptakan bentuk kemiskinan baru.50 Terpusatnya penguasaan sumber daya di tangan orang-orang tertentu, membuat masyarakat umum tidak menikmati sumber daya yang ada. Sebagaimana yang diutarakan oleh D.S Moore, ketika beberapa individu diuntungkan dari bertambahnya komoditasi dan linkaged dengan pasar regional dan global, hanya segelintir orang saja yang terlibat secara selektif, sementara yang lain tidak mendapat manfaat dari bertambahnya pelanggaran hak indigenous, berkurangnya akses pada sumber daya dan bertambahnya konflik.51 Dalam penelitian ini, kesejahteraan dilihat dari kacamata hak asasi manusia yang menempatkan kesejahteraan sebagai hak bagi setiap warga negara. Kerangka hak asasi manusia telah banyak digunakan oleh para ilmuwan untuk
Vandana Shiva. 2005. “Pemiskinan terhadap Lingkungan: Perempuan dan Anak-anak yang Jadi Korban” dalam Ecofeminism: Perspektif Gerakan perempuan dan Lingkungan. Vandana Shiva dan Maria Mies. Yogyakarta: Ire Press. 79-102. Hlm. 81 51 Dalam Sarah Turner dan Dominique Caouette, Op.Cit, hlm 2 50
23
menganalisis fenomena land grabbing dan ekspansi kapitalisme.52 Kerangka hak asasi manusia memiliki peran yang penting sebagai strategi untuk melawan ketidakadilan hukum dan rezim hukum internasional yang berlawanan dengan masyarakat miskin desa. Bagaimanapun, agenda globalisasi neoliberal telah membawa perubahan dalam kerangka hukum nasional dan internasional terkait isu-isu agraria. Pertama, yaitu lembaga keuangan internasional ikut menentukan kebijakan suatu negara.
Kedua, keberadaan WTO mengontrol kebijakan
perdagangan negara sehingga tunduk pada mekanisme WTO. Ketiga, kewajiban mengenai tenaga kerja, sosial dan standard lingkungan yang seharusnya dipenuhi oleh korporasi dan ditegakkan negara, mulai berganti menjadi skema sukarela semacam CSR.53 Menjamin kesejahteraan warga negara merupakan tanggung jawab yang diemban oleh pemerintah sesuai dengan amanat undang-undang dasar. Indonesia yang merupakan negara demokrasi memiliki tantangan besar dalam menjawab persoalan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan kesejahteraan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan dan kinerja kebijakan sosial (social policy) yang dikembangkan oleh negara. Kebijakan sosial instrumen kebijakan secara khusus dirancang dan diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan warga negara.54 Kesejahteraan dapat dimaknai secara berbeda-beda. Menurut UU no 11 tahun 2009, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Ukuran suatu negara sejahtera tidak ditentukan oleh Produk Nasional Bruto (PNB). 52
Lihat Rolf Kunnemann dan Sofia Monsalve Suarez. 2013. International Human Rights and Governing Land Grabbing: A View from Global Civil Society. Globalization, 10:1, 123-131. DOI: 10.1080/14747731.2013.760933; Christophe Golay & Irene Biglino. 2013. Human Rights Responses to Land Grabbing: a Right to food perspective. Thrid World Quarterly, 34:9, 1630-1650. DOI: 10.1080/01436597.2013.843853 53 Sofía Monsalve Suárez (2013) The Human Rights Framework in Contemporary Agrarian Struggles, The Journal of Peasant Studies, 40:1, 239-290, DOI: 10.1080/03066150.2011.652950. Hlm. 243 54 Midgley, J. eooo. "The -Definition of soeial policy" dalam J. Midgley, M.B. Tracy dan M.Livermore (ed). The H andbook of social policy. Sage publication. London, dikutip dari D. Triwibowo. Demokrasi Tanpa Kesejahteraan? Telaah dan Gagasan Bagi Reforma Kebijakan Sosial di Indonesia. Makalah pada Panel Gerakan Buruh di Bawah Tirani Modal dalam Konferensi Warisan otoritarianisme: Demokrasi Indonesia dan Tirani Modal, 5 Agustus 2oo8, Depok.
24
Mengutip dari Vandana Shiva, kenaikan PNB tidak berarti menaikkan kekayaan atau kesejahteraan masyarakat. Hal ini karena PNB tidak menghitung biaya dari beban ekologi dan hilangnya sumber penghidupan petani (khususnya perempuan) yang dihasilkan dari aktivitas perusahaan.55 Namun bagi perusahaan yang berada di dalam skema welfare pluralism56, kesejahteraan dimanifestasikan dalam bentuk corporate social responsibility yang kemudian dioperasionalisasikan melalui program community development sebagai upaya peningkatan kesejahteraan.57 Hak atas kesejahteraan telah hadir pada 1936 melalui konstitusi USSR yang menjamin hak atas pendidikan, hak pekerjaan, mendapat bantuan ketika sakit dan disability. Apabila hak-hak dasar seperti kebutuhan pangan, kesehatan, pekerjaan, perumahan, air bersij, pertanahan, aman dari tindak kekerasan dan pendidikan tidak terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa seseorang dalam kondisi miskin. Hak kesejahteraan dikokohkan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights) di tahun 1948, dan kemudian diatur dalam kovenan internasional mengenai hak ekonomi sosial dan budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR). Pembahasan kerangka hak asasi manusia penting merujuk pada perjanjian-perjanjian hak asasi manusia, sebagai upaya untuk melakukan litigasi, monitoring, akuntabilitas dan strategi advokasi sesuai dengan yang tercantum di dalam perjanjian.58 Indonesia telah meratifikasi ICESCR melalui UU no 11 tahun 2005 untuk menunjukkan komitmen negara memenuhi hak ekosob. Sesuai dengan ICESCR, negara memiliki dua kewajiban yaitu kewajiban melakukan (Obligation of Conduct) dan kewajiban hasil (Obligation of Result). Kewajiban melakukan mengandung pengertian bahwa negara harus mengambil langkah spesifik, terutama berkait
55Vandana
Shiva, 1998. Bebas Dari Pembangunan,Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm. 9 Dalam skema ini negara tidak berperan sebagai aktor tunggal dalam konteks ekonomi dan sosial, namun peran itu dibantu oleh kedua aktor komplementer yaitu swasta dan sipil. Lihat Danang Arif Darmawan dan Bagus Wahyu Utomo. Kemiskinan dalam Konstruksi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Studi Mengenai Konstruksi Kemiskinan yang Dibangun oleh PT Holcim TBK Cilacap Sebagai Dasar Pengembangan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan). Executive Summary dalam Sinopsis Fisipol Research Days 2014 hlm. 155 57 Ibid 58 Sofia Monsalve Suarez, Op.Cit, 242. 56
25
dengan aksi atau pencegahan. Sedangkan kewajiban hasil merupakan kewajiban untuk mencapai hasil tertentu melalui implementasi aktif kebijakan dan program. Di dalam hak ekosob, dijamin mengenai hak atas tempat tinggal dimana setiap orang berhak untuk memperoleh standar hidup yang layak bagi dirinya sendiri dan keluarganya seperti tertulis dalam Komentar Umum No 4, pasal 11 ayat 1. Salah satu indikator tempat tinggal yang layak yaitu tempat tinggal yang dapat melindungi diri dari ancaman kesehatan maupun fisik bangunan. Selain hak atas tempat tinggal, hak atas pekerjaan tak kalah penting bagi setiap warga negara. Oleh karena itu, dalam ICESCR pasal 6 disebutkan bahwa hak atas pekerjaan merupakan hak individual, yang dimiliki setiap orang, dan pada saat yang sama juga merupakan hak kolektif.
Hak atas pekerjaan sangat dibutuhkan oleh
individu dan keluarganya untuk bertahan hidup untuk pengembangan dirinya serta pengakuannya di dalam suatu komunitas. Kesejahteraan bukan hanya diukur dari hunian dan pekerjaan, tetapi juga dilihat dari kesehatan. Pasal 25 (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan : “Setiap manusia mempunyai hak atas standar kehidupan yang cukup, bagi kesehatan dirinya sendiri dan keluarganya, yang mencakup makanan, tempat tinggal, pakaian dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial yang penting. Hak atas kesehatan dimaknai sebagai hak inklusif yang luas, mencakup tidak hanya pelayanan kesehatan yang tepat dan memadai, namun juga mencakup faktor-faktor peranan kesehatan, misalnya akses terhadap air minum sehat dan sanitasi yang memadai Oleh karena itulah, hak atas air juga menjadi faktor penting yang menentukan kesejahteraan warga negara. Hak atas air merupakan jaminan mutlak untuk memenuhi standar kehidupan yang layak karena paling fundamental untuk bertahan hidup. Komite ICESCR mencatat pentingnya menjamin akses berkelanjutan kepada sumberdaya air bagi pertanian untuk merealisasikan hak atas bahan pangan yang layak . Perhatian harus diberikan untuk memastikan bahwa petani-petani yang tidak beruntung dan termarjinalisasi, termasuk petani perempuan, mempunyai akses yang sama terhadap air dan sistem manajemen air, termasuk pola panen hujan berkelanjutan serta teknologi irigasi.
26
Ketika berbicara hak atas pekerjaan, hak atas air, hak atas kesehatan, maka tidak bisa dilepaskan dari hak atas tanah. Tanah memiliki arti penting bagi masyarakat dan (terutama) petani yang menggantungkan hidup dari pengolahan tanah. Mengutip dari Suares, hak atas tanah bukanlah hak untuk memiliki atau hak untuk menjual dan membeli tanah. the human right to land as the right of every human being to access— individually or as a community—local natural resources in order to feed themselves sustainably, to house themselves, and to live their culture.59 Lebih lanjut Kunnemann dan Suarez menyebut bahwa hak atas tanah bukan berarti hak untuk menghasilkan keuntungan dengan tanah. Hak ini dibatasi untuk komunitas dan kebutuhan makan individu serta memelihara budaya mereka. Negara dalam hal ini memiliki kewajiban untuk menghormati, menjaga dan memenuhi hak atas tanah. Kewajiban untuk menghormati berarti negara harus menghormati dan tidak mengganggu akses dan kontrol tanah oleh komunitas dan individu. Negara harus menjaga penggunaan tanah dan mengontrolnya dari intervensi pencarian keuntungan oleh pihak ketiga baik elit nasional, Trans National Corporation (TNC), dan negara lain. Negara juga harus memenuhi dan memfasilitasi akses berkelanjutan terhadap, penggunaan, kontrol atas tanah bagi siapa saja yang menggunakannya sesuai dengan gagasan hak asasi manusia atas tanah.60 Pembatasan terhadap hak ekosob ini dapat dibenarkan dengan tujuan untuk keamanan nasional selama dilakukan untuk melindungi keberadaan bangsa atau integritas teritorialnya atau kemerdekaan politiknya terhadap suatu kekuatan atau ancaman kekuatan. Dalam komentar umum hak ekosob disebutkan bahwa keamanan nasional tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk memaksakan pembatasan yang hanya bertujuan untuk mencegah ancaman lokal atau yang relative terbatas terhadap hukum dan ketertiban. Pelanggaran yang sistematis terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya menggerogoti keamanan nasional
59
Rolf Kunnemann dan Sofia Monsalve Suarez. 2013. International Human Rights and Governing Land Grabbing: A View from Global Civil Society. Globalization, 10:1, 123-131. DOI: 10.1080/14747731.2013.760933. Hlm. 131 60 Ibid, Hlm, 132
27
yang sesungguhnya dan bisa membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Negara yang bertanggung jawab atas pelanggaran serupa tidak boleh memaksakan keamanan nasional sebagai pembenaran untuk tindakantindakan yang bertujuan untuk menekan oposisi terhadap pelanggaran serupa, maupun yang bertujuan untuk melakukan praktek represif terhadap penduduk. Perubahan kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan di banyak tempat memunculkan konflik dan pelanggaran HAM. Tersingkirkanya hak-hak masyarakat dilakukan atas nama kapital dalam praktik globalisasi.61 Bahkan White dan Wiradi menyebut bahwa tidak satupun proses perubahan agraria di Jawa pada masa pra-kolonial maupun kolonial berlangsung secara damai karena adanya persoalan ketidakmerataan distribusi tanah. Dalam istilah setempat, kekerasan yang disebut perang desa selalu terjadi dalam proses perubahanperubahan agraria itu62 Pemerintah
Orde
Baru
dengan
kebijakan
pembangunan
neoliberalismenya mengubah tanah pertanian untuk pembangunan sektor lain seperti perkebunan sawit, penambangan, pembangunan perkotaan dengan model perampasan tanah. Penetapan kawasan konservasi dan taman nasional hanya modus untuk membatasi akses masyarakat akan sumber daya. Fauzi menjelaskan model perampasan tanah dan kekayaan alam dimulai dari adanya negaranisasi atau nasionalisasi tanah dan kekayaaan alam kepunyaan penduduk, dan atas dasar klaim negara itu, pemerintah memberikan ijin-ijin dan hak-hak pemanfaatan di atas bidang tanah termaksud untuk perusahaan bermodal besar atau proyekproyek pembangunan, baik yang dimiliki badan usaha swasta maupun pemerintah.63 Aktivitas korporasi dalam lingkungan komunitas miskin di negara berkembang menghasilkan kekerasan HAM, baik kekerasan ekonomi, sosial budaya, maupun kekerasan terhadap hak sipil dan politik. Globalisasi menjadikan korporasi memiliki kekuasaan yang kuat, termasuk mengontrol negara. Jernej 61
Hendrik Siregar. 2014. Akhiri Cara Mudah Tambang Habisiss Hutan: Stop Izin Pinjam Pakai Hutan. Jurnal LandReform. Volume 1/Mei 2014. 61-70. Hlm. 63 62 Benjamin White dan Gunawan Wiradi. Reforma Agraria dalam Tinjauan Komparatif Hasil Lokakarya Kebijakan Reforma Adraria di Selabintana. Bogor:Brighten Press. Hlm. 24 63 Rachman, Op.Cit, hlm. 61
28
Letnar Cernic menyebutkan kemungkinan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan korporasi. Diantaranya yaitu penyiksaan, diskriminasi rasial, genosida, pemaksaan dan buruh anak-anak, perbudakan, degradasi lingkungan, dan kekerasan lain yang berhubungan dengan komunitas lokal. Lebih lanjut, Cernic menjelaskan bahwa perusahaan yang bergerak dalam sektor ekstraktif seperti minyak, gas, dan tambang, berkontribusi terhadap pelanggaran HAM.64 Christophe Golay & Irene Biglino65 menambahkan tindakan perampasan tanah (land grabbing) sebagai pelanggaran hak asasi manusia, karena terkait juga dengan pelanggaran hak atas pangan. Dari perspektif ekonomi politik, land grabbing pada dasarnya adalah pengambilalihan kendali yang mengacu pada perebutan kekuasaan untuk mengontrol tanah dan sumber daya didalamnya seperti air, mineral, hutan, untuk mendapatkan keuntungan. Proses ini melibatkan modal dalam skala besar yang menyebabkan bergesernya orientasi penggunaan sumber daya alam menjadi berkarakter ekstraktif, baik untuk tujuan internasional maupun domestic. 66 Land grabbing yang merugikan masyarakat marginal dilakukan oleh perusahaan yang didukung oleh pemerintah. Untuk mengatur praktik bisnis yang seringkali melanggar HAM, United Nation (UN) mengeluarkan Guiding Principles on Business and Human Rights. Di dalam prinsip ini, diatur mengenai kewajiban negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) dan pengusaha sebagai aktor non negara (non state actor) dan masyarakat sebagai pemegang hak (rights holder). Dalam pendekatan tradisional, negara memiliki kewajiban untuk menghormati (respect), melindungi (protect) dan memenuhi (fulfil) hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Kewajiban ini berlaku pula dalam prinsip Bisnis dan HAM dimana negara harus melindungi kekerasan terhadap HAM oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan bisnis.
64
Jernej Letnar Cernic. Corporate Responsibility for Human Rights: A Critical Analysis of the OECD Guidelines for Multinational erterprises. International Law Volume 4. No. 1 65 Christophe Golay & Irene Biglino. 2013. Human Rights Responses to Land Grabbing: a Right to food perspective. Thrid World Quarterly, 34:9, 1630-1650. DOI: 10.1080/01436597.2013.843853 66 Jennifer Franco, et al. 2013. The Global Land Grab. TNI Agrarian Justice Programme. Diakses di http://www.tni.org/files/download/landgrabbingprimer-feb2013.pdf. Hlm. 3
29
Perusahaan sebagai aktor non negara memiliki tanggung jawab dalam menghormati hak asasi manusia. Dalam tulisannya, Asep Mulyana menyebut bahwa ada empat faktor yang saling berkaitan mengapa perusahaan multinasional dikenai tanggung jawab terhadap penghormatan HAM, yaitu: (1) kekuasaan ekonomi perusahaan multinasional; (2) sifat internasional dari perusahaan multinasional; (3) dampak operasi perusahaan multinasional; (4) terbatasnya kemampuan negara mengatur perusahaan multinasional. Berbeda dengan paradigma tradisional yang menempatkan kewajiban perlindungan ham pada negara, Steven R. Ratner mengusulkan kewajiban untuk melindungi HAM ada pada perusahaan. Menurut Ratner, hukum internasional seharusnya mengatur kewajiban ini, dan skop kewajiban ditentukan berdasarkan karakter aktivitas perusahaan.67 Ketika korporasi memiliki tanggung jawab terhadap penyelenggaraan HAM, negara tidak serta lepas tangan. Negara tetap memikul kewajiban utamanya (primary responsibility) untuk menentang terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM oleh korporasi. Ketika ada pelanggaran HAM, maka negara dan korporasi berkewajiban menyediakan akses yang lebih efektif bagi upaya-upaya perbaikan (more effective access to remedy) terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi.68
67
Steven R. Ratner. Corporations and Human Rights: A Theory of Legal Responsibility. The Yale Law Journal, Vol. 111, No. 3 (Dec., 2001), pp. 443-545 68 Majda El Muhtaj. Relasi Bisnis dan HAM untuk Indonesia Bermartabat. Disampaikan pada Konferensi INFID, Jakarta, 14-16 Oktober 2014. Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan penulis yang dimuat dalam Jurnal HUMANITAS, Pusham Unimed, edisi Vol. II, No. 1, Juni 2011. Lebih lanjut dapat dilihat pada www.pusham.unimed.ac.id. Diakses di
30
I.6. Kerangka Pikir Bagan III.1. Penguasaan Sumber Daya Agraria
Penguasaan oleh TNI Legalisasi penataan ruang
Negara
Komodifikasi
Sumber daya agraria komodifikasi
Pemilik modal
Hak kesejahteraan
Masyarakat
Keterangan: Ketiga subjek agraria yaitu negara, masyarakat dan korporasi memiliki kepentingan yang beragam dalam mengelola sumber daya agraria (dalam hal ini tanah dan pasir besi). Pengelolaan sumber daya agraria lebih banyak didominasi oleh kapital sehingga menyisihkan masyarakat yang sebagian besar menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) dalam pemenuhan hak kesejahteraan masyarakat, justru bekerja sama dengan korporasi dalam penambangan pasir besi.
I.7. Definisi Konseptual Untuk memberikan arahan pada fokus penelitian, perlu dilakukan generalisasi dari sekelompok fenomena yang abstrak secara empiric. Dan untuk lebih memahami maka perlu membuat pembatasan dan penegasan definisi konsep sebagai berikut: a. Kekuatan Kapital Kapital dipahami sebagai hubungan produksi di dalam formasi sosial kapitalis yang cenderung bersifat eksploitatif. Hubungan produksi dibagi menjadi dua kelas yaitu kelas pemilik kapital dan kelas proletar.
31
Keberlangsungan kapital berada di bawah kontrol negara baik melalui keterlibatan langsung dalam perusahaan maupun melalui regulasi. b. Ketimpangan penguasaan sumber agraria Ketimpangan penguasaan sumber agraria merujuk pada penguasaan agraria yang terkonsentrasi di tangan pihak tertentu. Ketimpangan ini turut dipengaruhi oleh penataan ruang yang lebih memihak pada aktor dominan dan memudahkan masuknya kapital. Ketika hal ini terjadi, maka masyarakat memiliki akses yang terbatas untuk memanfaatkan sumber daya agraria sehingga pihak yang menguasai sumber agraria lah yang mendapatkan keuntungan. c. Hak atas kesejahteraan Hak kesejahteraan dalam penelitian ini mengacu pada hak-hak yang telah dijamin di dalam ICESCR. Diantaranya yaitu hak atas tempat tinggal, hak atas tanah, hak atas air, hak atas kesehatan dan hak atas pekerjaan. Penelitian
ini
akan
menulusuri
bagaimana
negara
menjalankan
kewajibannya untuk menjaga, melindungi dan memenuhi hak atas kesejahteraan masyarakat di Desa Welahan Wetan dan Glempangpasir.
I.8. Definisi Operasional Dalam rangka memudahkan proses pengumpulan data, maka definisi konsep yang akan dioperasionalkan ke dalam indikator‐indikator agar mampu menggambarkan dan menjelaskan gejala‐gejala yang dapat diuji kebenarannya. Adapun operasionalisasi konsep dalam penelitian ini meliputi hal‐hal sebagai berikut: a. Kekuatan kapital 1. Investasi penambangan mengubah tanah pertanian, tanah pertahanan dan tanah desa menjadi penambangan. 2. TNI menyewakan tanah kepada perusahaan untuk mendapatkan keuntungan berlibat dibanding ketika menyewakan pada petani. 3. Pemerintah desa menyewakan tanah kas desa kepada perusahaan. 4. Uang dapat mengendalikan pemerintah desa hingga pemuda sehingga penambangan tetap berjalan.
32
5. Karena membutuhkan modal yang besar untuk reklamasi dan tidak mau merugi, lubang bekas tambang ditinggalkan tanpa direklamasi. 6. Perusahaan merekrut tenaga kerja –khususnya laki-laki- dari penduduk desa dan menjadikan pemuda desa sebagai penjaga keamanan. 7. Munculnya pengusaha desa yang turut berbisnis penambangan pasir besi, baik sebagai pemegang IUP maupun sebagai makelar tanah. b. Ketimpangan penguasaan sumber daya agraria 1.
Tanah di sepanjang pesisir selatan Cilacap dikuasai oleh TNI.
2.
TNI melakukan upaya pelegalan penguasaan tanah melalui sertifikasi tanah.
3.
Masyarakat harus membayar sewa kepada TNI ketika akan mengolah tanah untuk pertanian.
4.
Korporasi
menyewa
tanah ke
TNI ketika
akan melakukan
penambangan pasir besi. c. Hak Atas Kesejahteraan 1. Hak tempat tinggal terpenuhi ketika penambangan tidak menyebabkan terganggunya keamanan dan kenyamanan keluarga. 2. Hak atas tanah terpenuhi ketika masyarakat memiliki akses untuk mengolah tanah untuk kegiatan yang tidak mengganggu lingkungan. 3. Hak atas air terpenuhi saat penambangan pasir besi tidak menganggu masyarakat untuk mengakses air bersih untuk kebutuhan rumah tangga maupun akses air untuk kebutuhan pertanian. 4. Hak kesehatan terpenuhi apabila penambangan pasir besi tidak menyebabkan hak masyarakat akan kesehatan terganggu, termasuk hak untuk mendapatkan udara yang bersih dan tidak menyebabkan penyakit. 5. Hak pekerjaan tidak terlaksana apabila penambangan pasir besi tidak menghalangi petani untuk tetap bekerja.
33
I.9. Metode Penelitian Studi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif untuk menjelaskan mengenai kapitalisme negara dalam perubahan tanah pertanian menjadi penambangan dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat di wilayah penambangan pasir besi di Cilacap. Pendekatan penelitian kualitatif digunakan karena penelitian ini bermaksud memahami realitas sosial dengan pemahaman yang lebih interpretif dan mendalam. Seperti yang disebutkan oleh Bryman bahwa motif dari penelitian kualitatif adalah hendak memahami dan menginterpretasikan realitas sosial, atau memahami makna yang orang-orang lekatkan pada suatu fenomena sosial (tindakan, keputusan, keyakinan, nilai) Untuk menjelaskan mengenai beroperasinya kapital dalam perubahan agraria dari pertanian menjadi pertambangan, penelitian ini akan menggunakan studi kasus. Metode studi kasus diperlukan untuk menggali hal-hal yang mendasar di
balik
fenomena
ekonomi
politik
di
sektor
pertambangan
dan
mendeskripsikannya secara mendetail. Kasus penambangan pasir besi di Cilacap memiliki keunikan tersendiri. Pertama, penambangan pasir besi telah dilakukan sejak satu dekade pertama Orde Baru berkuasa hingga sekarang. Kedua, penambangan pasir besi dilakukan di atas tanah miliki TNI dimana semua aktifitas di wilayah TNI harus seizin TNI, termasuk ketika masyarakat hendak melakukan kegiatan pertanian.
I.9.1. Instrumen penelitian Untuk mendapatkan data yang akurat dan efektif dalam menjelaskan dinamika ekonomi politik agraria dengan kesejahteraan, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data. Diantaranya yaitu: 1. Studi pustaka Metode studi pustaka digunakan untuk mendapatkan data sekunder dengan mengumpulkan data dari dokumen maupun media berupa surat kabar, majalah serta internet. Dari data sekunder ini, dapat dipetakan mengenai perspektif pembangunan dan kesejahteraan yang dibangun oleh media.
34
2. Observasi (Pengamatan) Pengumpulkan data ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan terhadap objek tempat, pelaku dan kegiatan dalam pertambangan pasir besi. Peneliti mengamati bagaimana dinamika ekonomi politik di wilayah yang awalnya menjadi lahan pertanian menjadi kawasan penambangan pasir besi. Selain itu, peneliti mengamati bagaimana kesejahteraan masyarakat setelah adanya penambangan. Dari hasil pengamatan langsung, peneliti membuat catatan sistematis sebagai bahan untuk analisis data. 3. Wawancara mendalam (indepth interview). Tehnik ini digunakan untuk mendapatkan data primer.
Wawancara
mendalam dilakukan dengan bertatap muka langsung maupun melalui telepon dengan informan kunci (key informant) dengan menggunakan pedoman wawancara. Berikut daftar informan kunci dalam penelitian ini: Tabel I.1. Daftar Informan Kunci Informan
Alasan
Pengusaha
Untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan, bagaimana menjalin relasi dengan pemerintah dari sebelum IUP dikeluarkan sampai proses produksi. Selain itu, untuk mendapatkan informasi mengenai apa yang diberikan oleh perusahaan kepada pemda daan masyarakat
Pemerintah Kabupaten
Pemerintah menjadi pengambil kebijakan pengelolaan sumber daya alam di daerahnya
Pemerintah desa
Pemerintah desa menjadi unit terkecil pemerintah yang mewiliki wewenang langsung dalam pengelolaan tambang
Petani pemilik/penyewa tanah
Petani menjadi pihak yang merasakan langsung dampak penambangan, baik dampak negative maupun dampak positive.
yang
mengatur
4. Wawancara kelompok Wawancara kelompok dilakukan dengan mengumpulkan beberapa masyarakat
untuk
mengetahui
bagaimana
hak-hak
mereka sejak
dilaksanakan penambangan sampai penambangan ditutup dapat dipenuhi
35
oleh pemerintah ataupun perusahaan. Dari sini diharapkan keluar beberapa gagasan dari masyarakat sehingga peneliti mendapatkan gambaran yang detail mengenai kontribusi pertambangan pasir besi terhadap kesejahteraan masyarakat.
I.9.2. Teknik Analisa Data Ada beberapa tahap analisa data dalam penelitian ini. Pertama, mengumpulkan data –baik data dokumen maupun transkrip wawancara- yang sudah didapatkan selama proses penelitian berlangsung. Peneliti akan menyederhanakan informasi yang terkumpul dan mengkategorikan data dengan cara memberikan kode. Kedua, mereduksi data dengan cara memilih data yang sesuai dengan kebutuhan penelitian dan memfokuskan pada jawaban atas pertanyaan penelitian yang diajukan. Baru setelah itu data dapat disajikan dan dilakukan penarikan kesimpulan dengan melakukan verifikasi pada catatan lapangan, hasil wawancara, hasil dokumentasi berupa kliping dan dokumen, sehingga data-data teruji validitasnya.
I.10. Sistematika penulisan Bab 1 dari tulisan ini memberikan pemahaman tentang problematika dalam penelitian ini. Bab ini bertujuan untuk menjelaskan landasan pemikiran dan landasan teoritik mengenai kekuatan kapital dan hak kesejahteraan masyarakat. Bab awal ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, studi literatur, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan Bab 2 dari tesis ini menjelaskan mengenai watak kapitalisme negara yang tidak berubah sejak masa kolonial hingga reformasi. Lebih lanjut, bab ini menjelaskan mengenai pengaruh kekuatan militer dan kapital terhadap pembentukan sistem tenurial tanah di pesisir selatan Cilacap. Bab 3 memaparkan tentang ironi kapitalisme dalam mendorong ketimpangan di Desa Welahan Wetan dan Glempang Pasir sejak tahun 2008 hingga 2015. Dalam bab ini dijelaskan mengenai komodifikasi tanah yang dilakukan diatas tanah pertahanan, tanah desa dan tanah hak milik dalam konteks
36
otonomi daerah. Investor yang masuk ke desa bukan hanya investor besar, tetapi juga investor kecil tingkat desa. Lebih lanjut, bab ini menyajikan tentang bagaimana pergulatan masyarakat dalam kapitalisme lokal yang telah menyerbu desa. Bab 4 menguraikan mengenai dampak kekuatan kapital terhadap pemenuhan hak kesejahteraan. Sebelumnya, bab ini memaparkan tentang upaya Negara dan Korporasi Menghadirkan Kesejahteraan Melalui Tambang. Lebih lanjut bab ini menjelaskan tentang perjuangan masyarakat untuk mendapatkan hak mereka yang hilang karena kerja kapital dalam penambangan pasir besi. Sebagai reflesi, di akhir bab ini penulis memaparkan mengenai kapitalisme negara yang tidak hilang pasca reformasi. Bab 5 berisi kesimpulan dari tesis ini
37