BAB II TINJAUAN SOSIAL POLITIK PERKEBUNAN TEMBAKAU DI SUMATERA TIMUR
2.1 Sejarah Penjajahan Kolonial Belanda di Indonesia Praktek kolonial Belanda di Indonesia dimulai pada tahun 1596 ketika armada dagang mereka tiba untuk pertama kalinya di daerah Banten. Semula kedatangan armada dagang yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman tersebut disambut baik oleh para
penguasa
setempat.
Namun,
lama-kelamaan
Belanda
memperlihatkan
keserakahan dan ingin mengejar keuntungan sendiri. Akibatnya, mereka menyingkir karena dimusuhi oleh orang-orang Banten. Dari daerah Banten, pedagang-pedagang Belanda melanjutkan pelayarannya sampai ke Maluku yang saat itu dikenal sebagai daerah pusat rempah-rempah. Mereka membentuk suatu gabungan perseroan sindikat dagang Belanda yang disebut dengan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang oleh pemerintah Belanda diberi hak eksklusif untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan Kepulauan Salomon (Badrika, 2006:152-153). Armada VOC datang ke Indonesia untuk melakukan pembelian rempahrempah dengan mengadakan kontrak jual beli dengan pihak penguasa pribumi. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, VOC bertujuan menguasai
dan memonopoli
perdagangan di Indonesia. Dengan melakukan penaklukan dan penguasaan secara sepihak, Belanda berusaha menyingkirkan pedagang-pedagang asing lainnya, serta
Universitas Sumatera Utara
memaksa penguasa pribumi untuk mengadakan perjanjian jual beli hanya kepada mereka (Fauzi, 1999:21). Selama lebih kurang 200 tahun lamanya VOC berusaha merebut dan menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia. Selama kurun waktu itu pula VOC berhasil menguasai sebagian daerah di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi Selatan, dan Maluku Selatan. Namun, pada akhir abad ke-18, karena banyaknya pegawai yang korupsi dan ingin memperkaya diri mengakibatkan VOC bangkrut dan tidak dapat dipertahankan lagi. Setelah VOC dibubarkan, segala hak dan kewajibannya diambil alih oleh pemerintah Belanda. Maka sejak awal abad ke-19 Indonesia diperintah oleh kolonial Belanda. Bagi bangsa Indonesia adanya pergantian dari VOC ke tangan pemerintah Belanda tidak mengalami perubahan. Bangsa yang menjajahnya tetap sama, yaitu bangsa Belanda. Semuanya hanya ingin mengeruk kekayaan bumi Indonesia tanpa memperhatikan rakyat yang memiliknya. Oleh karena itu, kedua-duanya hanya membawa dampak buruk terhadap bangsa Indonesia. Hidup rakyat semakin sengsara dan menderita (Waridah, 2003:21). Sejak VOC dibubarkan tahun 1799, perkembangan perekonomian bangsa Belanda mengalami masa yang sangat suram. Mundurnya kegiatan perekonomian Belanda pada masa itu disebabkan karena negeri Belanda menjadi anggota koalisi untuk menghadapi pemerintahan Napoleon Bonaparte dari Perancis. Walaupun pada akhirnya pasukan koalisi menang dan Belanda terbebas dari penjajahan Perancis,
Universitas Sumatera Utara
namun ekonomi negaranya merosot tajam, karena kas negeri Belanda telah kosong dan ditambah lagi adanya hutang luar negeri yang jumlahnya tidak sedikit. Untuk mengatasi ekonomi negara seperti ini, pemerintah kolonial mencoba untuk menggali potensi Indonesia melalui pelaksanaan sistem tanam paksa. Sistem tanam paksa ini memang telah membawa hasil yang sangat besar dalam memperbaiki perekonomian negara dan pemerintah Belanda, sehingga mereka terhindar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Namun dibalik itu, rakyat Indonesia justru semakin tertindas dan miskin (Waridah, 2003:21). Setelah tanam paksa dihapuskan, sistem ekonomi yang diterapkan oleh kolonial Belanda pada saat itu adalah sistem ekonomi kapitalisme, yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. hal ini membuka peluang kepada pengusaha swasta asing yang terjun langsung dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, diantaranya adalah membentuk perkebunan-perkebunan dengan tanaman yang laku di pasaran Eropa, seperti
perkebunan tembakau di
Sumatera Timur.
2.2 Sejarah Perkebunan Tembakau di Deli Sumatera Timur (Deli) sejak dahulu merupakan wilayah yang sangat kaya akan hasil perkebunan seperti lada, karet dan tembakau. Karena hasil perkebunan ini Sumatera Timur terkenal sampai ke benua Eropa. Faktor wilayah yang sangat strategis, tanah yang subur, dan iklim yang sangat mendukung dalam segi bercocok tanam semakin membangkitkan minat bangsa Belanda untuk menguasai daerah di
Universitas Sumatera Utara
Sumatera Timur. Ketika pulau Jawa telah menjadi pusat penanaman tebu, para pengusaha justru mencoba mendirikan perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Sejarah perkebunan Deli dimulai ketika kapal Josephine yang merapat di Belawan pada tanggal 7 Juli 1863 yang membawa orang-orang dari perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuys dari firma Van den Arend Surabaya. Rombongan yang dibawa Said Abdullah bin Umar Bilsagih ini diterima dengan sangat baik oleh Sultan Deli dan diberi tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 8.000 m) untuk kebun tembakau yang terletak di Labuhan Deli dengan konsesi 20 tahun (http://tekongan.com/). Usaha penanaman tembakau ini awalnya gagal dan mengalami kerugian yang cukup besar. Namun Nienhuys tetap bersikukuh bahwa tanah Deli akan mendatangkan keuntungan yang besar jauh melebihi kerugian yang pernah dikeluarkan. Kegigihannya ini terbukti ketika bulan Maret tahun 1864 sampailah contoh daun tembakau Deli yang pertama kali ke Rotterdam, Belanda. Sambutan para pedagang terhadap daun tembakau Deli ini sangat memuaskan. Bahkan, tembakau Deli dinilai berkualitas tinggi untuk dijadikan bahan pembungkus cerutu. Keberhasilan ini mendorong P Van den Arend sebagai penanam modal memerintahkan Nienhuys untuk memperluas usahanya. Nienhuys pada saat itu telah berhasil membuktikan bahwa tembakau yang dihasilkan di Deli merupakan produk yang sangat menguntungkan di pasar perdagangan Eropa dan menjadikan Deli sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik di dunia (Erwin, 1999:3).
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengusahakan budidaya tembakau dalam skala besar, diperlukan modal lebih banyak lagi. Maka pada tahun 1869 Nienhuys mendirikan perusahaan Deli Maatschappij, perseroan terbatas pertama yang beroperasi di Hindia Belanda (Breman, 1997:26). Pada tahun 1870, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Maatschppij dari Labuhan ke Kampung Medan. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat. Pesatnya perkembangan perekonomian ini mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang (http/id.wikipedia.org/wiki/Kota Medan). Semakin berkembangnya suatu perkebunan, maka semakin banyak pula tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengelola perkebunan tersebut. Hal ini menjadi faktor kesulitan tersendiri bagi pengusaha perkebunan, karena pada saat itu untuk mendapatkan tenaga kerja yang harus dipekerjakan di perkebunan sulit untuk ditemukan. Menurut Pelzer (1885:54), menanam tembakau terutama tembakau pembungkus cerutu membutuhkan banyak tenaga kerja dan sebagaimana para pengusaha lainnya di berbagai daerah lainnya juga membutuhkan pekerja untuk dipekerjakan. Hal ini merupakan suatu masalah yang sangat sulit dihadapi para pengusaha perkebunan di Deli. Mereka tidak dapat mengharapkan penduduk setempat (orang Melayu dan Batak) karena dianggap tidak punya disiplin dan malas (Waridah, 2003:21). Bahkan menurut Nienhuys, orang Batak ia golongkan dalam bangsa yang umumnya bodoh (Breman, 1997:23).
Universitas Sumatera Utara
Kebutuhan akan tenaga kerja dalam jumlah besar pun sangat mendesak sehingga mereka merekrut tenaga kerja dari Cina dan desa-desa miskin di pulau Jawa. Seperti yang dikemukakan oleh Stoler (2005:3), bahwa perusahaan perkebunan pantai timur Sumatera pada mulanya mengimpor pekerja Cina dan kemudian pekerja Jawa dalam jumlah ratusan ribu, yang ditampung dan diberi makan di barak-barak perkebunan dan diikat dengan status sebagai budak.
2.3 Tembakau Deli sebagai Komoditas Ekspor Perkebunan tembakau Deli yang telah dirintis oleh Nienhuys dan para pionir pengusaha perkebunan lainnya telah membuat perekonomian Deli semakin maju karena Deli dijadikan sebagai wilayah untuk pertanian ekspor secara besar-besaran (Stoler, 2005:25). Seperti yang dikemukakan oleh John Anderson, bahwa penanaman tembakau di Deli sangat penting karena tanaman inilah yang kemudian membuat Deli terkenal ke seluruh dunia (Pelzer, 1985:21). Keberhasilan Nienhuys menggarap tembakau Deli menjadi begitu terkenal dibuktikan pada bulan Maret 1864, ketika contoh daun tembakau Deli yang pertama ke Rotterdam mendapatkan sambutan yang sangat memuaskan dari para pedagang tembakau. Daun tembakau Deli dianggap berkualitas baik dengan daya bakar dekblad yang baik pula. Kedudukan tembakau Maryland dan Kentucky yang selama itu memegang pasar untuk konsumsi tembakau pipa bergeser dengan meningkatnya konsumsi cerutu, sehingga pasaran tembakau pembalut cerutu dari Havana, Cuba, dan Jawa menduduki tempat yang lebih tinggi sebagai penghasil daun tembakau pembalut
Universitas Sumatera Utara
cerutu. Tembakau Jawa yang mula-mula menjadi pilihan adalah tembakau Rembang, kemudian berturut-turut menjadi pilihan pertama adalah tembakau Blitar, tembakau Kedu, tembakau Lumajang, tembakau vorstenlanden di Klaten dan tembakau Besuki. Namun setelah muncul tembakau dari Sumatera maka pilihan pertama untuk pembalut cerutu paling baik adalah tembakau Deli karena aroma dan mutunya yang khas. Oleh karena itu, tembakau Deli akhirnya dijadikan sebagai komoditi ekspor yang paling utama di Sumatera Timur (Erwin, 1999:3-4). Adapun perkembangan ekspor tembakau Deli ke Eropa dari tahun 1864-1900 dapat dilihat dari tabel berikut. Tabel 1. Produksi tembakau di Sumatera Timur tahun 1864-1900 Tahun panen 1864 1869 1874 1879 1884 1889 1890 1892 1894 1899 1900
Jumlah bal (a 158 kg) 50 1.381 12.895 57.596 115.496 184.322 236.323 144.682 193.334 264.100 223.731
Rata-rata harga/ 0,5 kg (gulden) 0,48 1,29 1,50 1,19 1,44 1,46 0,72 1,26 1,19 0,82 1,11
Nilai Jual (f) 4.000 250.000 2.850.000 10.350.000 27.550.000 40.600.000 26.000.000 26.700.000 35.000.000 33.300.000 38.000.000
Sumber: Jan Breman, 1977:79
Dari tabel tersebut dapat dilihat ekonomi perkebunan di Sumatera Timur dalam jangka panjang mengalami perkembangan pesat, dengan pengecualian kemunduran seperti yang terjadi pada awal tahun 1890-an yang hanya bersifat
Universitas Sumatera Utara
sementara. Tembakau Deli yang diekspor tersebut memberikan keuntungan bagi perusahaan. Hal itu tercermin dalam angka-angka keuntungan yang dicapai oleh pihak perkebunan setiap tahunnya selalu meningkat. Bahkan, data-data tahun 1901 menunjukkan bahwa sudah terdapat 34.000 tapak luas tanah perkebunan tembakau yang produksinya ditaksir mencapai f 40 juta, yang harganya di pasaran bisa mencapai f 102 juta. Berdasarkan data itu pula dinyatakan bahwa jumlah keuntungan yang diterima oleh perkebunan tembakau Deli antara tahun 1864-1900 mencapai f 662 juta (Said,1977:74-75). Begitu terkenalnya tembakau Deli pada saat itu bahkan masih bertahan hingga saat ini. Hal ini ditandai masih banyaknya perusahaan rokok cerutu di Eropa dan Amerika yang menggunakan simbol-simbol tembakau Sumatera sebagai wrapper atau lapisan terluar pembungkus cerutu. Ada pula perusahaan yang hanya sedikit sekali menggunakan tembakau Sumatera pada cerutunya, tetapi sudah menyebutkan bahwa cerutu tersebut mengandung daun tembakau Sumatera. Bahkan, Brazil yang merupakan negara penghasil daun tembakau cerutu juga berusaha menanam tembakau Deli. Seperti yang dilakukan oleh perusahaan Suerdieck Charutus di kota Bahia, di bagian tenggara Brazil yang setiap tahunnya menanam tembakau Deli seluas 500 Ha, dengan produktivitas yang sangat tinggi, namun mutu yang dihasilkan belum bisa mengimbangi mutu tembakau Sumatera yang ditanam di daerah Deli (Erwin,1999:11). Hal ini membuktikan bahwa tembakau Deli sebagai bahan cerutu dengan spesial sebagai pembalut luar (dekblaad) masih merupakan tembakau pilihan dan paling dicari bagi pengusaha industri cerutu hingga saat ini.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Perkebunan Tembakau sebagai Sarana perbudakan Ketika tanaman tembakau mulai dibudidayakan pada tahun 1869 di Sumatera Timur, pengusaha swasta mulai mengalami kendala dalam hal perekrutan tenaga kerja. Karena pada saat itu, tenaga kerja masih langka dan tidak sebanding dengan luas tanah yang ada. Maka pada awalnya diupayakan perekrutan kuli dari Cina sebanyak 800-900 orang. Selain orang Cina, beberapa ratus orang keling dari India dan Jawa juga didatangkan ke Sumatera Timur (Breman, 1989:23). Orang Cina yang didatangkan ke wilayah Sumatera Timur sampai tahun 1913 mengalami peningkatan yang cepat. Banyaknya orang Cina di wilayah sumatera Timur telah membuka peluang terdapatnya kelompok-kelompok diantara mereka. Kongsi merupakan sebutan bagi kelompok tenaga kerja Cina. Tingginya mobilitas orang Cina telah memberikan kebebasan kepada agen atau kantor emigrasi untuk bertindak sebagai perekrut tenaga kerja atau pun sebagai pedagang perantara. Ketika pecah perang dunia I, akibat blokade laut, timbul kesulitan perekrutan tenaga kerja dari Cina. Akhirnya diupayakan tenaga kerja dari pulau Jawa karena ketabahan dan ketekunan orang Jawa dalam bekerja dianggap lebih daripada orang Cina (Mubyarto, 1992:117-118). Perolehan tenaga kerja dari Jawa yang lazim disebut kuli memerlukan biaya yang tidak sedikit, baik untuk transportasi maupun untuk membeli para kuli tersebut. Dengan perantaraan makelar atau tukang werek (dalam bahasa Belanda werven yang berarti mengajak orang bekerja di perusahaan) para kuli diperoleh dengan bujuk rayu
Universitas Sumatera Utara
dan berbagai tipuan. Dengan mudah para makelar mendapatkan calon kuli, khususnya yang terhimpit secara ekonomi dan ingin mengubah nasib. Eric Wolf menyatakan bahwa dimanapun perkebunan itu timbul atau diimpor dari luar, maka ia selalu merusak norma-norma budaya yang telah ada sebelumnya dan menetapkan ketentuan-ketentuannya sendiri, kadang dengan cara membujuk, kadang-kadang dengan paksaan, tetapi selalu berada dalam konflik-konflik dengan ketentuan budaya yang dilanda olehnya. Beraneka ragam bentuk tindakan bujukan dan paksaan yang telah digunakan ini ternyata efektif untuk menjamin keberhasilan ekspansi perkebunan (Stoler, 2005:13-14). Kuli adalah istilah khas kolonial. Maknanya sangat merendahkan derajat si kuli. Hal itu sesuai dengan penindasan yang dilakukan oleh pengusaha perkebunan tersebut terhadap mereka. Istilah kuli berasal dari bahasa Tamil dengan ejaan Inggris, yaitu cooli yang berarti pengambil upah. Istilah itu sendiri sebenarnya bukan berarti rendah, rendahnya nama itu hanya karena selama pekerjaan itu dikerjakan mereka tidak bebas dan tidak boleh mengangkat muka, sehingga istilah itu sendiri turut menurun maknanya (Said, 1977:63-64). Seperti yang dikemukakan oleh Mubyarto (1992:118) bahwa dalam menempuh perjalanan ke “tanah berjanji”, nasib yang dialami oleh para kuli tidak ubahnya seperti ternak yang akan dibawa ke pembantaian dalam gerbong kereta api tertutup. Sebelum memasuki kamp kerja, para kuli diwajibkan menandatangani kontrak kerja tanpa dapat mengetahui dan memahami isinya.
Universitas Sumatera Utara
Guna mendukung pembangunan industri perkebunan, maka pada tahun 1880 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan yang bersifat otoriter yang merupakan landasan kontrak kerja yang telah diatur khusus bagi wilayah Sumatera Timur. Kebijakan itu dikenal sebagai koeli ordonantie (peraturan tentang kuli) (Stoler, 2005:44). Peraturan ini sebenarnya ditujukan untuk memberikan kepastian kedudukan buruh dan majikan, tetapi pada kenyataannya majikan sama sekali tidak terikat dalam perjanjian kerja tersebut. Bahkan menurut Soepomo, pihak majikan mempunyai wewenang atas pribadi tenaga buruh. Ordonansi ini menetapkan bahwa sebagai imbalan biaya pelayaran ke Deli seorang kuli diwajibkan bekerja selama tiga tahun. Untuk mengikat para kuli maka diberlakukanlah sanksi pidana (poenale sanctie) secara keras (Mubyarto, 1992:119). Kontrak kerja awalnya dilakukan dengan tujuan memperoleh kerja efisien melalui pemanfaatan tenaga kerja yang tersedia dengan upah yang cukup murah. Dengan cara inilah para pengusaha perkebunan memperoleh kontrol sepenuhnya atas para pekerja. Mereka menganggap berhak mengawasi sendiri pelaksanaan disiplin kerja yang keras dan menghukum kuli yang tidak memenuhi kewajiban (Breman, 1992:31). Namun, berlakunya ordonansi kuli dan sanksi pidana tersebut justru membuat para pengusaha perkebunan semakin berbuat tindakan yang sewenangwenang. Pukulan, cambukan, tendangan, dan berbagai penyiksaan lainnya sering menimpa kuli-kuli tersebut. Seorang administratur yang menyiksa secara keji kuli yang berbuat sedikit kesalahan atau seorang asisten yang menyalahgunakan
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan dengan menjebloskan seorang kuli ke dalam penjara agar dapat menguasai istrinya sudah menjadi hal biasa di perkebunan Deli. Kebijakan itu telah disalahgunakan oleh pengusaha perkebunan untuk melegalkannya perbudakan terhadap para kuli yang bekerja. Seperti yang dikatakan oleh Rhemrev, bahwa hubungan antara majikan dengan kuli kontrak adalah sedemikian rupa sehingga di satu pihak majikan selalu merasa yakin bahwa dirinya berhak menguasai kuli dan di pihak lainnya, para kuli juga merasa yakin bahwa dirinya tergantung sepenuhnya pada majikan. Jadi, di salah satu pihak penyalahgunaan kekuasaan, di lain pihak penyerahan diri sepenuhnya sebagai budak. Sifat bengis, tidak kenal perasaan, dan kejam di pihak si tuan, sebaliknya sikap merendahkan diri yang berlebihan dan pendendam di pihak kuli (Breman, 1992:234-235). Apalagi dengan adanya paham di kalangan pengusaha perkebunan yang menganggap bahwa seorang tuan kebun tidak akan dianggap berhasil dan sukses jika tidak dapat menundukkan kuli membuat mereka terpacu untuk memperlakukan kuli-kuli itu secara kejam dan tidak berperikemanusiaan. Dixon mengatakan bahwa secara teoretis, orang bisa menjadi tuan kebun terbaik di dunia jika tahu benar bagaimana menanam dan merawat tembakau, tapi di Deli ia tidak akan berguna jika tidak mampu membuat orang tunduk padanya. Hidup matinya seorang asisten atau tuan kebun di Deli adalah wibawanya (Breman, 1992:85). Dalam masalah pembagian upah pun para kuli mendapat ketidakadilan. Kondisi dalam perkebunan memperlihatkan dengan jelas ketimpangan kesejahteraan
Universitas Sumatera Utara
antara asisten terendah yang menerima gaji sebesar ƒ350-ƒ540 setiap bulan pada tahun 1926, yang berarti 20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan upah kuli yang hanya menerima ƒ19,50 setiap bulan. Bahkan, demi tercapainya sistem kerja yang efisien, para pengusaha menetapkan kebijakan upah kuli perempuan harus lebih rendah dibandingkan kuli laki-laki. Maka tidak jarang seorang kuli perempuan terpaksa melacurkan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Upah yang kecil ini sangat tidak sesuai jika dibandingkan dengan eksploitasi tenaga mereka yang diperas lebih kurang 10-12 jam sehari dan acapkali harus kerja lembur. Istilah kuli kontrak memang tidak dapat lepas dari kondisi mereka yang selalu dijerat dengan keroyalan yaitu, perjudian, candu, dan pelacuran. Dalam keadaan semacam ini maka persekot upah yang mereka terima ludes, sehingga akhirnya para kuli akan terus-menerus memperpanjang kontrak (Mubyarto, 1992:119). Politik etis yang menyebutkan bahwa upaya meningkatkan taraf ekonomi dan sosial penduduk pribumi menjadi tugas penting pemerintahan kolonial akhirnya tidak pernah berjalan. Ini adalah tujuan yang terutama hanya diakui di atas kertas. Dalam praktek, apa yang dinamakan politik etis itu berbenturan dengan keyakinan penguasa, yaitu bahwa memajukan orang Asia hanya dapat dilakukan dengan tangan besi. Kuli tidaklah lebih dari “seekor binatang” di mata majikan, yang harus didisplinkan dengan tangan besi (Breman,1992:xxiv). Bahkan menurut van Kol, kuli-kuli kontrak itu selalu mengalami berbagai hal yang sangat tidak manusiawi di perkebunan Deli. Makanan yang tidak pernah cukup, penganiayaan yang kejam, perampasan kemerdekaan pribadi, kematian-kematian
Universitas Sumatera Utara
yang dipaksakan bagi seorang tahanan yang tidak berdosa, merajalelanya pelacuran yang mengakibatkan timbulnya penyakit sipilis yang berjangkit, orang-orang lari yang direjam, pemuatan kuli-kuli secara padat diluar kapasitas kapal dan rumah sakit jelek yang mengakibatkan kematian pasien, mayat-mayat yang tidak tentu ditanam, dan bahkan sebagian dari kuli-kuli itu memilih untuk bunuh diri sebagai jalan agar mereka tersingkir dari ketidakberdayaan (Said,1977:74).
Universitas Sumatera Utara