Penantian di Ujung Stasiun Kota Tua Setiap kali gue mendengar lirik lagu ‘My Heart Will Go On” gue selalu teringat tentang film Titanic. Dan setiap kali, gue berfikir tentang film Titanic, gue selalu teringat kisah perjalanan dua sejoli antara Jack dan Rose Dowsen. Sepasang kekasih yang berlatar belakang antara kelas bangsawan dengan masyarakat biasa. Semesta telah mempertemukan mereka dengan ajaib, di tengah dinginnya gelanggang kapal yang berlayar, melintasi hamparan samudera. Rose yang mencoba mengakhiri hidupnya untuk menceburkan dirinya ke laut, tapi.., upaya bunuh diri itu gagal. Hingga akhirnya dibujuk oleh seorang cowok tampan bernama Jack. Lewat bujukan manisnya, Rose akhirnya sadar bawa bunuh diri, bukan cara terbaik lepas dari masalah. Pada suatu malam yang dingin, di atas sebuah kapal pesiar yang megah, mereka akhirnya sepakat untuk menghapus garis ‘aku’ dan ‘kamu’ menjadi kita. Namun sayang, alam semesta berkehendak lain. Hal buruk menjelma menjadi bencana, kapal pesiar itu tenggelam setelah menghantam gunung es. Pada sebuah samudera yang dingin, Jack dan Rose mencoba bertahan hidup di tengah suhu dingin yang maha ekstrim. Namun takdir telah digariskan. Jack akhirnya meregang nyawa, sambil memegang tangan kekasihnya, yang mengambang di atas sepotong pintu. Seperti itu kira-kira apa yang terjadi dua tahun yang lalu. Waktu itu tepat jam tiga sore, menjelang senja tiba. Saat masih aktif bekerja di salah satu industri per-bank-kan swasta terbesar di Indonesia. Pada suatu sore, baru saja gue keluar dari kantor. Mendadak gue terhenyak hebat dari tempat duduk, dan berjalan tergopoh-gopoh, setelah mendengar telfon dari Dine di seberang sana. Bahwa, sebagian dari keluarga kecilnya, kakek dan neneknya tidak merestui hubungan kita yang sudah terjalin genap dua tahun. “Masak sama anak itu, saudaranya kan banyak Din, ada tujuh orang. Nanti masak pas kawinan, kesini mau naik becak. Hem, malu-maluin keluarga kita aja nanti,” katanya, sambil menirukan omongan kakeknya. Ya Tuhan.., seketika seisi dada gue terasa sesak menerima kabar yang tentu di luar kelaziman. Dada gue seperti tersulut api, sambil ngempet emosi gue membalas pesan itu. “Sampaikan ini ke kakekmu, iya gak apa-apa Hun. Aku masih kuat menjalani hubungan kayak gini,” balas gue, trenyuh.
Lalu di seberang sana, terdengar isakan kecil. Hanya membutuhkan beberapa detik, sesekali tarikan napasnya sesunggukan. Gue pun ndak sanggup untuk mendengar suaranya. Telfonnya segera gue matikan. Klik. Sepanjang jalan, seusai pulang kerja, air mata gue lepas berjatuhan seperti hujan di musim kemarau. Bulir demi bulir yang berjatuhan, merembet membasahi pelupuk mata. Ada satu hal terjadi, hati sudah terlanjur terluka. Gue menyadari, sebagai manusia yang punya hati, pedihnya seperti kehilangan harapan. Padahal baru sebatas mendapat penolakan terkecil dari anggota keluarganya. Penolakan ini seakan-akan memberi isyarat panjang, hari-hari berikutnya bisa di ramalkan bakalan penuh dengan jalanan yang terjal. Gue tahu, hubungan ini memang disekat oleh jarak bernama status sosial. Masing-masing dari kita pun paham banget, hubungan ini bakalan nggak lempeng. Kita memang komitmen, apa pun batu sandungan di depan. Kita akan tetap berdiri bersama. Beriringan dan bergandengan tangan. Hati yang semula tampak lebih kuat, dan tegar, berubah menjadi remuk, pecah berkeping-keping mendengar hinaan maha kejam. Tapi kita tetap hebat. Tidak peduli, hal remeh-temeh menghampiri. Ujian boleh datang tanpa mengentuk pintu, tapi kita tetap bergandengan tangan, menyuruhnya pergi. Memang, Dine terlahir dari keluarga singgasana. Bapaknya seorang pejabat teras utama abdi negara, kepala sekolah. Bisnis orang tuanya, tersebar di segala tempat. Mulai dari bisnis yang menawarkan jasa, seperti kepemilikan Hotel, sampai bisnis transportasi lain jasa angkut material menggunakan Truk. Pernak-pernik simbol-simbol sosial pun, seakan melekat dalam singgasananya. Rumahnya mirip keraton konglomerat. Di halaman depan, penuh dengan mobil mewah dengan konsep: satu orang, satu mobil. Mewah. Bapaknya bergelar Sarjana Magister. Sedangkan ibuknya, baru-bari ini, menempati posisi baru jabatan publik: anggota dewan perwakilan rakyat tingkat daerah. Sementara jika mengacu pada kasta sosial. Pekerjaan seorang pedagang di kampung halaman seperti keluarga kami, nyaris di samakan dengan petani. Iyah, tak ubahnya dengan masyarakat biasa. Jadi, memang masih ada pandangan: kalangan abdi negara masih di segani di kampung halaman. Sedangkan orang tua gue, memilih hidup sederhana, dengan hanya menjalankan usaha rumahan, jagal hewan ternak: sapi dan kambing. Latar belakang keluarga yang sangat berbeda, sebenarnya bukan penghalang untuk terus bersama.
Ini bukan zamannya lagi Jack dan Rose Dowsen. Meski pun ibuk sering, mewanti-wanti ke gue dan pacar, sewaktu kita berada di ruang tamu rumah, “Dine, ibuknya Mas Boedi kerjanya di pasar lo, beda dengan kerjaan bapak sama ibukmu,” kata ibuk, “Gak mewah banget,’ ibu masih berkata dengan polosnya. Tanpa berfikir panjang, gue pun membalasnya. “Duh, ngomong apa sih, Buk,” balas gue, sewot. “Nggak usah di pikirin deh buk. Pokoknya ibuk yang penting doain aku aja, biar aku nanti setelah lulus punya pekerjaan enak!,” balas gue. “Bener Buk, apa kata Mas Boedi, lagian kita nggak perlu membeda-bedakan, wong kita itu semua sama kok. Iya kan, Mas?” saut pacar, sambil memegang bantal yang ada di kursi sofa. Dalam satu tarikkan napas. Ibuk menjawab. “Iya, sih Le (nama panggilan anak laki-laki untuk orang jawa), nggak ada yang perlu di pikirin, asal kamu punya pekerjaan enak, laki-laki kan di lihat dari tanggung jawabnya,” kata ibuk. “Kalo ibumu ini sih, asal kalian berdua bahagia, ya bakal ibuk dukung,” Lalu kita manggut-manggut, setuju. Sudah ke sekian kalinya pacar main ke rumah, sehabis kita janjian untuk pulang bareng-bareng. Saat gue pulang, pacar juga ikutan pulang. Sewaktu pacar main ke rumah, itu pun harus mengelabuhi orang tuanya. Menunggu kesempatan datang di waktu yang pas. Kedua orang tuanya yang kerja kantoran dari pagi sampai sore, siangnya di manfaat kan pacar, untuk main ke rumah. Pacar sudah sangat akrab, dengan keluarga gue, sampai-sampai kalo main ke rumah, ibuk pun mengajaknya untuk makan bareng-bareng. Hubungan kita sebenarnya kayak main kucing-kucingan. Ketemuan di luar rumah pun, sangat jarang kita laku kan. Sebab, orang tuanya sangat ketat memberika izin ke luar rumah untuk anak bungsunya. Kadang pada waktu sore, kita bertemu di sela-sela jam kosong sehabis pacar ngecek jumlah tamu yang menginap di hotelnya. Gue bingung, sampai saat ini pun, ketika hubungan kita berjalan lebih dari satu tahun, gue belum pernah main ke rumahnya, plus ngobrol dengan bapak-ibuknya.
Mentok-mentok, gue nyamperin pacar cuma di depan rumahnya sewaktu gue mengambil obat promag, saat besok harinya gue harus balik ke Surabaya. Gue dan Dine, memang berasal dari kampung halaman yang sama. Dan kebetulan budaya kuno tentang sudut pandang orang kaya, berstempel abdi negara (baca: PNS) masih di anggap kelas bangsawan. Profesi abdi negara, di kampung halaman gue, menempati pamor pekerjaan paling bergengsi. Entahlah, dari mana datangnya sudut pandang yang belum bisa diketahui asal-usulnya ini. Yang jelas, tidak ada alasan yang bisa membantah, dua anak manusia saling mencintai untuk terus bersama. Memang rencana kita dulu, selepas Dine di terima kuliah di kampus UM Malang. Gue bakalan di perkenalkan dengan ke dua orang tuanya secara langsung. Lewat saluran telfon, dia resmi berjanji dengan gue, saat usia kuliahnya sudah masuk tiga bulan, gue, boleh main ke rumahnya. Tapi.., ehm.., belakangan rencana itu mundur. Terus mundur ke belakang dan akhirnya janji itu lenyap di telan waktu. Pada pertengahan tahun 2013, ketika Dine sedang asyik liburan dalam rangka week and, janji itu bertemu dengan faktanya. Pada suatu malam, gue mendengar kabar suram darinya. Dalam ceritanya, baru saja dia di nasehati secara serius di ruang keluarga, oleh orang tuanya. Malam itu, selarik pesan itu terkirim melalui live report pesan pendek, yang gue terima bertubi-tubi. Gue geleng-geleng kepala, seakan tidak percaya dengan kabar baru ini. Astaga..., begitu gue baca dengan teliti sampai selesai, mata gue berembun. Lalu hati menciut seperti kehilangan sebuah harapan. Gue kembali membaca pesan itu, seakan masih tak percaya. Bait demi bait. “Mas, barusan aku di ajak bapak duduk di ruang keluarga loh. Bapak tahu kalo pacarku itu kamu mas, bapak juga ngerti orang tuamu itu siapa.’ Beberapa detik kemudian pesan berikutnya menyusul. “Mas, sama bapak, aku di suruh, nyari pacar yang lebih tua dari aku, dan yang lebih mapan dari mas, itu artinya secara ndak langsung bapak ndak setuju dengan hubungan kita, mas.” pesannya ini di akhiri dengan emotikon nangis. Gue stres. Kabar ini seperti mematikan harapan. Gue meletak kan henfon ke samping bantal. Dalam ke adaan seperti ini, hati manusia mana yang kuat menahan siksaan maha pedih. Mata gue sembab menatap langit-langit. Seraya meminta petunjuk dengan sang
pemberi kehidupan. Entah apa yang bisa gue laku kan sekarang. Semuanya menjadi gelap-gulita. Sama seperti seorang pejalan kaki pada sebuah lorong, lalu kemudian ujungnya menghilang seketika. Henfon terus berdering dan begetar, pacar telfon berkali-kali, mengisyaratkan gue untuk segera membalas pesan pendeknya. Tapi, gue hanya bisa terbaring lemas dan meringkuk, bersama keputus asa’an yang datang. Lalu tiba-tiba, pesan pendek datang lagi darinya. “Jangan sedih Mas, kamu harus berjuang. Ini demi aku. Demi hubungan kita. Mas harus bisa jadi orang hebat. Terus jemput aku dengan seperangkat alat Sholat dan ngebawa bapak-bapak KUA datang ke rumah.” Semangat gue naik. Membaca pesan pendek berbunyi “Seperangkat alat sholat” dan “Bapak-Bapak KUA” pengen sekali gue untuk segera menafkahinya. Tapi sayang, waktu belum berada pada situasi yang pas. Ada sebuah pameo, sejak zaman batu, pasangan yang hebat adalah mereka yang bisa sama-sama saling menguatkan di saat badai menerjang. Dan kali ini, gue merasakan hal itu. Di saat kaki gue lelah, Dine berusaha menopang badan gue supaya tetap tegak berdiri. Sama seperti pesan pada bait lagunya Sheila On 7 -- saat kaki telah lelah, kita saling menopang. Ujian memang datang silih beganti, menghampiri tanpa ngasih kabar. Dan kita, tetap tangguh bergandengan tangan. Tetap saling menguatkan satu sama lain. Dari pelajaran ini, masing-masing dari kita pun akhirnya paham, akan kekurangan yang kita miliki. Sementara gue seperti di takdirkan untuk menjadi seorang laki-laki yang rapuh. Dan Dine, hadir melengkapi sebagai pacar yang tangguh. Yang selalu memberi dorongan semangat ke gue. “Aku gak sedih kok, dedek. Cuma terharu, habis baca SMS-mu, kita bakal bersama-sama terus kok.” balas gue. Kemudian dia mengirimkan emotikon cium jauh. (*_*). Adem. ***
Long Distance Relationhsip kita sebenarnya masuk dalam kasta terendah dibandingkan para pelaku long distance relationship yang lain. Gue di Surabaya, dan Dine di Malang. Kita sebenarnya dipisahkan waktu sekitaran dua jaman. Hitung-hitungan dua jam, bisa di tempuh menggunakan kereta api, berangkat dari Stasiun Gubeng. Sampai di stasiun kota Malang, nggak lebih dari jam sembilan pagi. Kalo berangkat dengan naik Ojek, dengan kecepatan yang sama seperti kereta api, gue yakin mas-mas tukang ojeknya gak bakalan ada yang mau. Lazimnya para pelaku long distance relationship yang lain, semua jejaring sosial media pun kami gunakan. Faktor jarang ketemu, kadang di time-line kita sering mesra-mesraan. Mulai dari hal sepele, semisal ngucapin selamat pagi lewat mention-an twitter, sampai kadang kelewat batas dengan memanggil sebutan sayang di lini masa, lengkap dengan emotikan: gambar berpelukan. Sampai yang paling parah, di bio akun twitter kami, memasang keterangan: sayang akun @notedcupu. Dan sebaliknya. Jika gue pikir-pikir sekarang, betapa menggelikannya apa yang kita lakukan dulu. Kita juga sering melakukan komunikasi lewat skype. Saat jam dinding sudah di atas, pukul tujuh malam, kami segera saling pandang di depan layar telfon genggamnya masing-masing. Setelah berhasil melalui pergulatan yang panjang, di antara pilihan paket anak gaul, muka gue berubah menjadi kayak boneka abstrak. Dan muka dia yang cubi segede bakpao kukus, jadi mirip kayak guling kelebihan spon. Nggak betah dengan jaringan yang lemot. Akhirnya pelampiasan untuk melepas rasa kangen, kita tumpahkan lewat telfon sampai kita sama-sama tertidur pulas. Kebiasaaan itu terus berulang, setiap hari, sepanjang malam. Sampai gue hapal banget, suara dengkuran ngoroknya yang super halus, mendekati bunyi klakson metro mini yang kehabisan bahan bakar. Bahkan, sifat manjanya sebagai anak bungsu, bisa gue deteksi sewaktu dia rewel pada saat gue mematikan telfon setelah dia terlelap tidur. Klik. Tapi kadang meski pun sudah pules, pendengarannya masih peka banget, hingga dia terbangun. Kemudian dia balik telfon gue, lalu bilang. “Mas, kok di matiin.., sih. Pokoknya temenin aku sampek pagi. Titik!” katanya manja, dari balik seberang telfon. Kalo sudah merasa terancam, biasanya gue bakalan nurut. “Kepencet tadi, makannya telfonnya mati, Dek.” kata gue, ngeles. “Wes, tidur sana lagi. Selimutnya di pakek ya.” lanjut gue.
“Emoh.., selimutiiiiiiiiin.” balasnya, lagi-lagi manja banget. “Iya, sini-sini,” lalu kemudian dia tertidur pulas, sampai telinga gue kepanasan mendengar dengkuran suaranya Dan kami menembus cakrawala malam yang tenang. Nggak sebatas di telfon saja, untuk ngobatin kangen. Pelaku long distance relationship juga butuh bersentuhan secara fisik. Memang secara hakiki, meski pun raga kita berbeda tempat, tapi pikiran kita saling bertemu. Yang paling simpel, kadang di kepala gue muncul pertanyaan: dia disana lagi ngapain ya, sudah makan apa belum?. Lalu kemudian, gue telfon dia seketika. Kelar. Tapi itu hanya bisa ngobatin kangen dalam waktu yang tidak terlalu panjang. Gue tahu, obat paling ampuh, ngilangin kangen adalah dengan cara bertemu. Selama belum keturutan, kangen akan terus mengganggu meminta pertanggung jawaban. Menurut gue, salah satu cara ngobatin kangen adalah dengan cara ngasih kejutan secara tiba-tiba. Tujuan gue ngasih surprise adalah, biar pacar lebih nyaman sama gue. Karena, setelah gue pertimbangkan, kejutan adalah satu cara, menciptakan moment biar bisa di kenang dan di ceritakan sewaktu kita tua nanti. Karena kenangan manis, adalah peristiwa surpises yang nggak bisa dilupain. Gue pengen banget, liat pacar bisa emosi, terus habis itu, gue di peluk kenceng-kenceng, dengan pemandangan mimik muka: ya ampun, sumpah kamu gila banget. Dan untuk mendukung hal itu semua, gue harus jadi cowok yang nyebelin. Nyebelin?. He’em nyebelin, maksudnya, bukan bikin pacar marah, tapi bikin pacar berkesan atas perjuangan yang gue lakukan. Berangkat dari hal itu semua, gue punya modal dasar untuk menjadi cowok yang bisa dibanggakan. Ehm. Gue peka, pada dasarnya semua cewek bakal suka kalo cowoknya bisa romantis. Jadi gini, hal ini pernah terjadi pada pertengahan bulan Februari 2014. Hari itu, jatuh pada hari week and: Sabtu. Dimana suasana lobi Stasiun Gubeng sedang penuh sesak oleh penumpang dari berbagai kota -- ke berbagai tujuan. Jam lima pagi, gue sudah keluar dari antrian pembelian tiket. Iyap, satu tiket untuk keberangkatan jam 7 pagi, dengan kereta bernama Penataran Express, sudah gue genggam rapat-rapat. Lalu
gue chekt- in sambil, memberikan kartu identitas gue sama bapak-bapak petugas. Hanya dalam satu kali tarikan napas, setelah duduk di ruang keberangkatan, banyak sekali panggilan tak terjawab yang masuk, dan puluhan pesan singkat yang menumpuk. Kabar itu semua berasal dari satu orang yang sama: Dine. Dan salah satu isi pesannya, gue buka: “Selamat pagi, cinta. Bangun, sudah pagi nih?,” ajaknya. Karena memang niatnya gue mau bikin surpraise, gue pun, gak membalas pesan pendek sekaligus telfon darinya. Jutek, diem, cuek: semua gue lakuin, demi kejutan yang bermakna. Gue paham banget, mungkin dia kawatir, sudah sepagi ini, gue dibangunin, tapi belum ada kabar. Untungnya masih pagi, mungkin gue cuma di curigai dengan tuduhan: belum bangun. Coba kalo situasi ini sedang berlangsung malam hari: gue bisa dituduh kelayapan mencari selingkuhan baru di Bundaran Waru. Hingga pada sampai titik jenuh, dia akhirnya mengirim pesan pendek lagi, lalu gue baca sambil tersenyum kecil. “Mas, kemana sih, nyebelin banget sih jadi orang, yowes, aku pamit keluar mau nyari sarapan,” pesannya, lewat blackberry mesengger. Setidaknya kalo dia kebawa emosi. Gue bisa beruntung, entar pas ketemu, sebagai pelampiasannya gue bisa di peluk kenceng-kenceng, sampek remuk. Bersamaan dengan itu, persis menjelang jam keberangkatan, kabar mengejutkan datang dari alat pengeras suara, yang teletak di atas: pusat kendali informasi. Gue kaget, informasi itu, membuat rencana surprise gue buyar seketika. Di sampaikan bahwa, kereta yang akan gue tumpangi ke stasiun Kota Malang, pagi ini, sedang mengalami gangguan. Lokomotifnya anjlok keluar dari perlintasan rel kereta. Sial banget. Inilah salah satu penyebab, kenapa LDR itu kadang bikin nyesek. Iyap, ketemuan itu akhirnya gue tunda. Gue keluar dari lobi stasiun dengan muka kusut, lalu gue mentelfon dia. Setelah cerita panjang lebar, dia balik menanggapi. “Ha-ha-haa,” Dine malah ketawa kenceng. “Syukurin kualat, kamu Mas, salah siapa tadi nggak ngebales SMS, yeii kapok, kan?” ucapnya, sambil ketawa cekikikan di dalam kamar kosnya.
“Hemmmm..., “ gue bergumam kecil. “Jadi bener, ndak pengen ketemu aku?. Awas entar kalo kangen, gak bakalan aku tanggepin. Wek!” ledek, gue. “Kangen sih Mas, tapi kalo berangkat sekarang, sampek Malang sudah siang banget lo,” katanya, memberi penjelasan. “Terus entar jam tiga’an kamu harus balik lagi ke Surabaya, masak ya cuma ketemuannya sebentar. GAK MAU AKU, GAK MAU?” terikanya manja, dari balik telfon. “Ehmmm., “ gue menggigit bibir. “Iya, udah deh, nurut aku.” Dan akhirnya rencana kejutan itu gagal. Gue pun enggak pernah kapok memakai moda transportasi ini. Toh jenis angkutan umum yang satu ini, mudah di jangkau dari kontrakan gue. Hanya butuh lima belas menit, nyetir pakek motor sambil memakai sarung, sudah sampai ke Stasiun Gubeng. Hal yang sama juga terjadi di seberang sana. Jarak dari kosnya pacar dengan Stasiun Kota, cukup dekat. Karena kampusnya pacar terletak di kampus dua UM - Sawojajar. Dan pertimbangan yang nggak kalah penting, tiketnya murah dibanding naik bus, atau pun mancal pakek motor pribadi. Pernah juga gue, pertama kali ke Malang nekat banget naik motor. Demi apa?. Sumpah demi nurutin kangen buat ketemu pacar. Padahal ke adaan saat itu pada awal bulan Juli 2014, gue buta peta. Gue buta arah jalan. Karena perasaan kangen lebih besar, dari pada ketakutan nyasar di jalan, gue nekat berangkat. Gila banget. Cuma satu petunjuk yang bisa gue jadikan patokan di sepanjang jalan. Saat melintasi perempatan lampu merah, gue berhenti sejenak, lalu mendongak ke atas melihat papan petunjuk jalan. Cukup dengan satu kali tarikan napas dan anggukan kepala, setelah membaca tulisan di papan: Malang belok kanan. Gue langsung mengikuti petunjuk tersebut.., sepanjang jalan..., motor melaju..., sampai akhirnya gue tiba disana dengan muka mirip badut. Pipi gue penuh cemolan debu, dan beberapa bekas hitam asap knalpot kedaraan yang nemempel di muka. Saat seperti ini, gue merasa berbeda kasta dengan pacar. Si Buruk Rupa dan Si Pipi Bakpao. “YA AMPUN MAS,” bukannya dia malah seneng ketemu gue, pacar malah histeris, sewaktu gue sudah di depan kosnya. “Masak pacarku item kayak gini,” lalu pacar berjalan masuk kamarnya, mengambil handuk. “Mas, mandi dulu sana, ke belakang, terus abis itu kita makan yak. Nih, udah aku masakin makanan ke
sukaanmu. Sop sayur jagung tauuuuk.” katanya, centil. Suaranya yang manja, mampu mengobati keletihan gue “Ya, maklum kan naik motor, dek-dek.“ sergah gue pada saat itu juga. “Asyik, pas perut ku laper banget ikih. “ lanjut gue, lalu berjalan ke kamar mandi. Kelar mandi, gue dandan menyisir rambut dan kumis di depan cermin. Dalam ke ada’an seperti ini, gue merasa kita sejajar dalam sebuah kasta: ”Si Tampan, dan Si Tukang Masak. Setelah ngebuka pintu kamar mandi. Di ruang tamu kosnya, sudah terlihat berbagai kudapan yang terhidang di atas karpet. Sayur jagung, nasi dua porsi di piring warna putih, dan sambal ikan lele goreng yang kematengan. Lengkap dengan segelas teh hangat. Andai Farah Kwin ada disini lalu mencicipi makanan ini, dia pasti bakal bilang: Yumiii....., gosong’o Lezato. “Dedek, kamu tahu gak, cewek seksi itu, yang pinter masak, lo?” puji gue. Padahal faktanya sangat bersebrangan. Badannya dia penuh dengan gumpalan lemak jenuh. Dia menaik kan bahu, lalu membalas, “Orang aku gemuk gini kok di bilang seksi toh, Mas-mas. Gombal tauk!” sergahnya sambil bibirnya, meruncing. Gue ketawa kenceng. “Ha-ha-ha-ha” “Tapi yang jelas,” dia berhenti sejenak, tangannya yang luwes mengambil sayur jagung, kemudian mencomot sambal ikan lele gorengnya, lalu menaruhnya di atas piring gue. “Kalo aku bisa masak Mas, ibukmu nggak bakal kawatir lo, Mas, berarti anaknya jatuh di tangan cewek yang tepat. Kamu bisa menafkahi aku, aku pun bisa menjamin kesehatan makananmu!” katanya, mantap. Gue senyum-senyum kecil. Lalu menjawab dengan pelan. “Sejak kapan, dek-dek, romantis kayak gini,” ucap gue, sambil mengusap-ngusap rambut poninya. Dia memegang tangan kanan gue, lalu menjawab. “Sejak kita jadian,” katanya, lalu dahinya berkernyit.“Kita akan kayak gini terus kan, Mas?.”
Gue menatap matanya, dalam. Seakan ada isyarat yang datang dari udara, sambil mengangguk, gue jawab dengan mantap. “He’em...., pasti, dek-dek.” “Gimanaa masakanku, Mas?” katanya, minta diberi masukan sambil mengigit buntut ikan Lele goreng. “Cantik, kayak yang masak!’ jawab gue. Lalu gue mengambil sambal goreng lagi. Setelah membubuhkan sambalnya di atas nasi, ternyata sambalnya malah jatuh ke karpet. Dia pun, nyletuk. “Uh, pasti ceroboh deh kamu, Mas,” katanya, sewot. “Sumpah, mirip sama bapak kamu itu mas, kalo makan, pasti ada aja yang tumpah.” “Iya, kan calon menantunya, makannya kudu kompakan biar serasi,” balas gue. Lalu kemudian dia tertawa menggelegak, seneng. “Hahahaha, mau banget!’ komentarnya, sambil alisnya melejit. Dan saat bersama dengan pacar, waktu terasa sangat cepat berjalan. Gue sangat tahu resiko ini, orang yang merasa cocok dan nyambung, akan sangat mudah membunuh waktu. Sadar atau tidak, waktu yang panjang, bisa berubah menjadi sangat singkat, ketika dua pasang anak manusia, saling berbincang dan berhadap-hadapan untuk melepas kerinduan. Sesimpel itu kita bertemu, dan mengisi setiap menit yang berjalan. Tiba-tiba senja telah datang menjemput. Buru-buru gue harus balik ke Surabaya, dengan segenap rasa kehahagia’an yang telah terlampiaskan. Tapi disisi lain, ada kesedihan yang mengikuti. Sebelum berangkat, gue bersalaman dengannya, di depan gerbang tempat kosnya. Selarik pesan pun, muncul dari ke dua bibirnya. “Mas, hati-hati di jalan ya, pelan-pelan nyetirnya, kalo sudah sampai, kabarin aku secepatnya, yaaa?” harapnya, dengan pemandangan bola matanya yang redup.
Sampai disini, gue seperti mendapat pencerahan baru. Mata adalah bahasa halus perempuan, yang mengisyaratkan pesan kepada laki-laki agar lebih peka. Dan benar juga, pacar memegang kuat-kuat tangan gue. Kepalanya menunduk. Seraya meminta gue untuk sejenak lebih lama berada di dekatnya -- menemaninya setiap waktu. Sadar atau tidak, saat kita long distance relationship, kita bisa merasakan kebahagia’an dan kesedihan datang dalam waktu yang bersamaan. Sambil, mencium keningnya. Gue jawab dengan suara yang parau. “Iya, DEK, BAIK-BAIK DI SINI YA, AKU SAYANG KAMU,” kata gue, dalem. Setelah dia kelihatan baik-baik saja, gue mencoba membuatnya merasa nyaman. “Secepatnya aku bakal balik ke sini lagi, Dek. Tos dulu dong.” Dia ketawa kecil. Tangannya mengangkat ke udara. “Tos, balik, Hunyi” katanya,, nyletuk begitu saja, memberi nama panggilan baru ke gue. Seperti orang yang sangat berjodoh. Dengan tanggap dan konek, gue ikutan membalas. “Huni dan Hunyi gitu, ya?” tanya gue. Sambil menarik gas, duduk di atas motor. Dia manggut-manggut, seakan setuju dengan usulan gue. Gue melambaikan tangan ke udara, kemudian motor melaju menyusuri jalan: balik ke Surabaya. Sama seperti waktu berangkat ke Malang, gue balik dengan mengandalkan papan nama petunjuk jalan. Entah, benar atau salah, sepanjang perjalanan gue memakai rumus ini. Saat tadi gue berangkat ke Malang sering berbelok kanan, berarti saat dari arah yang berlawanan, gue harus belok kiri. Sepanjang, perjalanan lebih dari sejam, gue aman-aman aja. Ketika mamasuki pertigaan, sebelum jembatan flay ofer kota Sidoarjo, gue lurus terus....., gue ndak menghiraukan rambu-rambu lalu lintas. Selang tiga puluh menit berikutnya. Beberapa mobil dari arah belakang ngegas dengan sangat kenceng. Mulai dari mobil pribadi, sampai jenis angkutan umum seperti trevel, bahkan truk pengangkut rombongan kuli bangunan. Gue mengintip dari arah spion, kendaraan semakin padat, jelas sebagai pengendara motor yang punya sim satu dan nyawa satu, gue keder, kemudian nepi ke sebelah kiri. Dan gue baru menyadari, sampai sejauh ini, gue belum melihat pengendara motor. Melihat ada rambu lalu lintas di tepi jalan dengan gambar sepedah motor di kasih tanda silang. Gue semakin yakin ada yang janggal. Dan bener saja, kampret, gue nyasar sampek masuk toll.
Seketika gue berhenti, lalu menepi. Beberapa mobil yang melintas, ada orang yang ngebuka jendela, lalu memandang aneh ke arah gue. Lengkap dengan mimik muka heran: wah, ada orang gila bersepeda motor bisa masuk toll. Malu dan canggung pun datang bersamaan. Bego dan tledor, memang kadang nggak bisa dibedakan. Dan inilah gambaran perasaan gue sekarang. Karena mau balik melawan arus takut ketabrak, gue pun mencoba melambai-lambaikan tangan ke depan kamera CCTV yang tak jauh dari lokasi gue berhenti. Jika hal ini, terjadi pada malam hari, gue pasti dikira peserta uji nyali yang abis ngelihat hantu kuntilanak ngasal jalan Sekitar tiga puluh menit kemudian, mobil derek petugas Jasa Marga, datang lalu berhenti persis disamping gue. Dua bapak-bapak petugas yang berperan sebagai sopir, dan kenek, turun dari mobil, lalu bertanya sangat serius ke gue, tentang ke ada’an yang sebenarnya terjadi. Setelah gue jelaskan panjang lebar ke bapak-bapak dua petugas yang memakai seragam dinas ini, salah satu di antara mereka yang berkumis tipis, berperut buncit, berseloroh. “Makannya, kalo nyetir jangan ngelamun Mas, mikirin ceweknya mulu sih?” katanya, sambil menepuk pundak gue. Gue pun membalasnya dengan ketawa kecut. “Hehehehe,” lalu dengan jujur gue menjawab. “Abis ketemuan si dia, kok Pak, mungkin masih kangen aja kali, ya?.” Dengan sangat konek, bapak berkumis ini bisa merasakan apa yang ada di kepala gue. “Bapak dulu, masih muda juga kayak kamu, LDR gitu,” katanya ramah, lalu kumis tipisnya mengembang ke udara. “Motormu di derek saja, kamu masuk mobil, dari pada kalo ngelawan arus bisa bahaya, bisa ketabrak.” Gue manggut-manggut, sambil mengucapkan beribu terimakasih sama Bapak-bapak ini. Sumpah, dan inilah pertama kali dalam sejarah hidup gue, bisa masuk toll dengan memakai sepedah motor. Dan sekaligus gue bisa naik mobil derek. Yang belum tentu orang lain dibelahan bumi manapun, bisa ngalamin kejadian yang sama, dan ini semua bisa terjadi gara-gara gue LDR-an.
Setelah gue kabari si dia kalo, gue nyasar, dan berada dalam dalam mobil derek. Pacar heboh banget, mulai dari bbm-nya yang panjang banget kayak artikel skripsi, nanyain keada’an gue, sampai pacar telfon berkali-kali. Yang pasti, gue ndak bisa angkat telfonnya pada saat itu juga. Gue pun menjaskan kalo gue masih baik-baik saja. Lalu pacar mengeluarkan ultimatum keras. “Pokoknya kalo ke Malang lagi, nggak usah bawa motor Huni. Titik. Ora oleh ngebantah.” katanya, lewat pesan pendek. Cinta terkadang memang bisa membuat anak manusia lebih berani menantang segala keterbatasan. Andai saja, dia di Malang sana hanya sebatas sahabat, pasti gue ndak akan senekat ini. Berangkat dengan keada’an buta arah. Tapi belakangan, kenekatan itu malah dibenci olehnya, mungkit saja pacar takut kalo sewaktu-wakku terjadi apa-apa sama gue. Jujur, mendapat perhatian dari seorang same one, dan nggak mau bikin dia was-was, gue pun akhirnya menjadi mahkluk yang sangat penurut. Selalu mengikuti apa yang di perintahkan. Dalam waktu yang bersamaan, dua hati anak manusia sangat saling mempengaruhi satu sama lain. Dan itu semua, terjadi oleh sebab yang sama: karena cinta. Karena kebiasaan gue yang suka ngebaca berbagai buku, sering gue ajakin dia pergi kelayapan nongkrong ke toko buku, seperti di Gramedia Matoz Mall. Atau pun toko Gramedia di Jalan Kertajaya saat dia main ke Surabaya. Sebelum gue datang di kehidupannya, dia sangat jarang sekali bersentuhan dengan buku. Tapi semenjak ada gue, kebiasaan-kebiasaan yang gue lakuin, entah kenapa, menular ke dia. Gue merasa menjadi cowok yang sangat berpengaruh, membuat kepribadian baru dalam hidupnya. Setidaknya selama masih masa pacaran, gue bisa menjadi seorang calon pemimpin yang bisa memberikan pengaruh baik. Ehm. Pernah suatu waktu, pada saat gue ulang tahun yang ke-23, jauh-jauh dari Malang naik bus, dia bawa kardus gede banget, yang dibungkus keresek warna merah. Gue jemput, dia di terminal Purabaya pakek motor. Gue peka, kalo isinya pasti kado buat gue. Setibanya dia sampai kontrakan, dia pun mempersilahkan gue membuka isi kardusnya. Kardus yang satu, isinya kue tar, lengkap dengan patung lilin kita berdua. Yang satu lagi, bentuk kadonya semacam kotak pandora, persegi empat. Setelah gue robek bungkusannya, kemudian gue membuka tutupnya: isinya buku yang selama ini gue cari-cari. Brand Gardener, karangan Handoko.
Gue kemudian tersenyum bahagia, persis di depannya, gue langsung peluk kenceng-kenceng, lalu gue bilang. “Terimaksih ya Hunyi, ini kan buku yang selama ini aku cari, tapi gak pernah dapet,” Dia pun menggelinjang. Kakinya jungkat-jungkit. “Selamat ulang tahun, ya Huni, buruan mapan, terus buruan jawab aku ke bapak,” balasnya, lalu gue ketawa seneng. “Ha-ha-ha-ha,” Inilah moment yang paling mengesankan sepanjang bab ini di ketik. Perayaan ulang tahun yang sepanjang hidup gue, ndak pernah gue alami dalam lingkungan keluarga. Kini di moment ini, gara-gara dia, gue bisa menikmati upacara tiup lilin bareng same one. Kejutan kecil yang punya makna besar sepanjang sejarah. Akhirnya, gue pun ikut terpengaruh untuk memaknai tanggal-tanggal istimewa yang berhubungan dengan hubungan kita. Sifat dia kayak gini, juga berasal dari lingkungan keluarganya yang hidup penuh materi, sejak kecil setiap dia ulang tahun, pasti bakal dirayain bareng orang tuanya. Urusan selera makanan pun, akhirnya kita dipertemukan dalam satu meja. Saat gue ajakin dia keliling muterin kota Surabaya, gue rutin ajakin dia makan di rumah makan sederhana: nasi padang Pak Badrun. Kalo gue ajakin pacar makan ditempat mewah, bisa nangis dompet gue. Gue tahu, meski pun pacar anaknya orang berada, tapi saat gue ajakin dia makan ala kaki limaan kayak tadi, dia nggak pernah nolak. Iyap, gue berhasil ngarahin dia jadi cewek yang sangat sederhana. Saat makan pun, kadang nasi yang gue sendok belepotan, sampai tumpah keluar dari piring. Dengan spontan, pasti dia bilang. “Huh, Huni ikih,” katanya kesal, giginya gemertak agak jengkel. “Pasti kayak bapak ku deh, kalo makan enggak pernah rapi, ceroboh kamu ituh!’ katanya, sambil ngelap meja yang berada di depan gue. Gue pun langsung membalas. “Ya, malah bagus toh Hunyi, wong menantu sama bapaknya kompakan kok. Itu artinya kita jodoh,” lalu gue melejitkan alis. “Iyaa, kan?” Dia mencubit pipi gue, terus bilang. “Dasar cowok jelek!” “Jelek-jelek gini, tapi pacarmu.” Lalu dia ketawa lepas. “Ha-ha-ha-ha”
Meski pun orang tua gue bukan kalangan konglomerat, tapi gue bukan orang yang melarat kekurangan duwit. Saat mau ketemu dia pun, jauh-jauh hari sudah gue rencanakan dengan matang beserta nyisihin tabungan, buat liburan bareng dia. Saat gue berkunjung ke sana, jalan-jalan kita bukan ke pusat perbelanjaan, tapi ke alam terbuka. Semua tempat wisata pemandangan alam terbuka di kota Malang dan Batu, sepertinya sudah kita kunjungi. Mulai dari kebun binatang yang super gede itu, sampai taman bunga yang kayak di film-film Indosiar. Ada beberapa ke untungan yang gue dapet, dari model pacaran kayak gini. Pertama hemat ongkos, ke dua, ini jenis pacaran yang bikin paru-paru kita jadi sehat. Ini salah satu cara kita, menghargai hari tua nanti: bisa tetap sehat. Di saat dia kecapekan muter-muter keliling wahana permainan, jurus jitunya pun mampu membuat gue menggelinjang dengan sangat hebat. Mendengar suaranya yang manja, gue merasa terbius untuk memberikan kasih sayang yang gue punya. Sambil klesotan, dia bakal bilang. “Hunyi, capek,” katanya. “Kaki ku pegel, loh.” dia sambat karena abis ngelilingi kebun bitang seluas sepuluh hektar. Kemudian dia klesotan di atas jembatan berornamen kayu. “Mau, nggak aku gendong?” gue mencoba menawari bantuan. Lalu duduk di sebelahnya, memberikan bahu. Bukannya malah main manja-manjaan. Kita malah cengengesan. “Emoh-emoh, orang badanmu cungkring gitu Hun, mana kuat gendong aku?” katanya, sambil bibirnya meruncing. Terus mencubit perut gue. “Lah, tuh tauk, badanmu kan gede kayak Gorila, itu,” kata gue sambil menunjuk gorila di kandang sebelah jembatan kayu. Lalu gue berlari meninggalkan dia dibelakang. Kemudian kita kejar-kejaran sambil tertawa lepas bersamaan. Pada saat seperti ini, gue sadar banget, sesimpel itu kita membahagiakan satu sama lain. Keceriaan bisa mengalahkan segalanya. Dan gue yakin, hidup penuh kebahagiaan patokannya bukan statistik angka dalam wujud materi.
Makannya, gue nggak heran, kalo setiap kali gue mau balik ke Surabaya lewat Stasiun Malang kota, dia selalu megangin tangan gue kenceng-kenceng di dalam lobi stasiun. Sambil nunggu kereta yang datang, sudah nggak ke itung lagi, dia selalu bersandar di pundak gue. Nangis. Ketika terdengar bunyi klakson kereta api yang mendekat, tiba-tiba di pundak gue ada yang basah, air matanya dia tumpah. Dia semakin kenceng megangin lengan gue. Kepalanya menunduk, dan belum mau bicara. Mau nggak mau, gue harus jadi cowok jentelmen untuk menghibur dia. Padahal jujur, di dalam sanubari gue, hati ini ikutan pedih juga. Iyalah, rasanya nggak mau ninggalin dia sendirian di kota ini. Sekuat tenaga, gue berusaha ngempet, biar ndak ikutan nangis. Panggilan untuk calon penumpang Kereta Api Penataran Express pun tiba. Dari tempat duduk, ruang tunggu kursi penumpang, gue ajakin dia ngantri utuk proses chek-in yang terakhir kalinya. Setelah tiket gue mendapat ketokan stempel. Pegangan tangannya gue lepas. Lalu gue bilang dengan meletakan telunjuk tangan kanan gue persis di depan bibirnya. “Ssssssst...., Hunyi, nggak boleh nangis,” gue berbisik pelan di depannya, “Aku balik ke Surabaya dulu, ya?” lalu gue mengusap-ngusap poni rambutnya. Kepalanya mengangguk pelan. Gue kemudian memegang pundaknya, lalu memberi sebuah kepastian. “Hunyi aku janji, dua minggu lagi aku bakal balik ke sini lagi.” kata gue, dalem. Dia tersenyum, lalu ke dua pipi yang cubi mengembang. Semburat kesedihan dari raut wajahnya pun, seperti tersapu oleh senyum dinginnya. “Huni, sudah sana berangkat,” katanya kalem, sambil melepaskan tangan gue dari pundaknya, lalu menciumnya. “Hati-hati ya, Huni, awas jangan mabok loh. Kita telfonan kalo huni sudah di dalam kereta?.” Gue pun langsung membalasnya, “Siap...., bos kecil.” kata gue, sambil mengacungkan jempol. Lalu melewati pintu pemeriksaan tiket. Sebelum memasuki lorong bawah tanah menuju jalur satu, gue berhenti sejenak. Berbalik badan. Dia masih berdiri ditempat yang tadi.
Gue melihatnya sebentar, dia melambaikan tangan kanannya. Matanya mengerjap-ngerjap pelan, lalu sedetik kemudian di susul anggukan kepala. Mengizinkan gue untuk pergi. Setelah beberapa tahun kami bersama. Tibalah hari yang sangat spesial untuknya: merayakan hari kelahirannya. Lazimnya sebagaimana upacara perayaan ulang tahun, gue pun menyiapkan kado yang sangat surpise untuknya, beserta kue tar yang gue pesen dua hari sebelumnya. Di ulang tahun yang pertama, gue kasih dia kado, seperangkat alat sholat, mulai dari mukena, dan sajadah. Di dalam kado itu, juga gue kasih jam tangan. Biar, kelihatannya nyambung, misal sewaktu dia keluar bisa liat jam, kapan waktunya untuk sholat. Tapi hari ini, gue membelikannya kado Bonekah Doraemon. Bayangin saja, bonekah tersebut tingginya hampir satu meter, lebarnya dua kalilipat ukuran badan gue. Sampai-sampai, sewaktu gue perjalanan pulang dari toko, agak kerepotan banget pas ngebawanya pulang. Sepanjang perjalanan dari toko ke rumah, tuh bonekah gue masuk kan ke dalam kardus kulkas. Dan gue sangat yakin, orang-orang yang memandang aneh ke gue, di kepalnya muncul firasat jelek, bahwa gue sebagai: pemulung kardus bekas. Detik-detik keberangkatan pun akhrinya tiba. Hari ini, pacar ulang tahun genap yang ke-20. Dengan semangat bangun pagi jam lima, gue pun langsung cabut tancap gas ke kamar mandi. Segalanya gue siapkan dengan sangat sempurna, ketiak penuh deodoran, badan wajib bau wangi, rambut wajib sisiran dan pakek minyak. Setelah memastikan semuanya beres, gue tancap gas ke Stasiun Gubeng. Sambil membawa kardus kulkas di jok belakang. Sepanjang perjalanan, reaksi orang yang ngelihat gue, pada aneh semua. Tapi gue cuek. Gue takut saja kalo di tuduh, mau membuang korban mutilasi. Begitu memarkirkan motor gue, kereta api yang gue tumpangi sudah berada di Jalur lima. Sambil nentengin kardus kulkas di depan, gue berjalan sambil mendongakkan kepala ke kanan, lalu gue teriak kenceng tiap kali mau nabrak orang: permisi-permisi, minggir-minggir. Semua orang yang ada stasiun gubeng, pandangannya mengarah ke gue. Tatapan mata mereka rancu, ada anak muda seusia gue bawa peralatan kulkas?. Di benak mereka barang kali, gue abis kredit kulkas. Setelah berhasil melakukan chek-in, bapak petugas penjaga tiket pun, memastikan kalo kardus yang gue bawa, nggak bisa masuk ke dalam kereta. Situasi mulai panik.
“Pintu kereta kecil, mas, ini kardusnya nggak bisa masuk lo?” katanya, “Lha isinya opo toh mas, kelihatannya ringan gitu?.” komentarnya lagi, sambil memelintir kumis tipisnya. Dengan napas memburu, gue jawab. “Bonekah, Pak, bonekah Doraemon setinggi satu meter, lebarnya setengah meter.” jawab gue menjelaskan, sambil ngos-ngosan. Bapak petugas penjaga tiket ini alisnya naik. “OPOHHH?,” bapak ini kaget. “Duh, nggak bisa masuk kereta itu nanti, Mas,” katanya, ikutan panik. Gue pun bingung, “Iyah, gimana dong Pak?”. Sedetik kemudian lonceng kereta bernama Penataran Express yang gue tumpangi, mengeluarkan sirine, bahwa sepuluh menit lagi, kereta akan berangkat. Sejenak kemudian, bapak petugas tiket ini, mentelfon seseorang diseberang sana. Dalam telfonnya, sayup-sayup gue mendengar percakapan antara seorang masinis. Setelah telfonya di tutup, bapak ini bilang lagi ke gue. “Kamu mau bikin kejutan ke pacarmu, kan?” katanya sambil tangan kanannya masih memegang gagang telfon. Dengan sangat canggung, gue menganggukan kepala, lalu gue jawab” Iya, Pak, he-he-he.” Bersamaan dengan waktu yang sangat mepet, solusi pun muncul. “Sudah kamu buruan masuk ya, disana sudah di tunggu Pak Masinis, sama petugas yang lain, keretanya mau berangkat, nanti sebelum masuk kardusnya harus di lepas dulu, biar bisa masuk itu Doraemonnya,” katanya, lalu tertawa terbahak. Dalam satu tarikan napas, urat sarap gue mulai longgar. Lega banget. Sebelum gue mengucapkan terimakasih, bapak ini bilang lagi. “Mentalmu berani juga ya, harusnya dia bangga punya kamu,” pujinya, sambil mengacungkan jempol kanannya. Gue pun membalasnya, sambil berlari. “YEAH, TERIMAKASIH PAK!’
Seperti apa yang sudah disampaikan di awal tadi, setibanya gue di depan pintu masuk kereta, Pak Masinis dan satu orang petugas ke amanan, sudah menunggu gue. Lewat satu kalimat perintah dari Bapak Masinis ini, dengan sangat cekatan, petugas kemanan ini menyobek solasi yang melingkari kardus kulkas. Hanya butuh, satu kedipan mata, Bonekah Doraemon sudah berada di depan mata gue, menyisakan bungkus dari tokonya: pelastik warna hitam. Gue pun dilayani dengan hangat sekali. Pak Masinis sama Pak Petugas Keamanan, membawa Bonekah Doraemon gue masuk ke dalam kereta. Bapak berdua ini, dengan kompak memiringkan bonekah tersebut dengan posisi, membentuk garis lurus. Pak Masinis yang berada di depan, menghilang dari balik pintu kereta. Sambil berjalan dibelakangnya, sayup-sayup gue mendengar obrolan dari Pak Masinis, “Kepalanya sudah masuk, belok kanan, belok kanan, lurus-lurus.” Setelah gue pikir-pikir, aba-aba ini, jadi mirip proses persalinan, ibu-ibu melahirkan. Begitu gue sampai ditempat duduk yang sesuai dengan nomer yang tertera dalam tiket, Pak Masinis itu, masih menunggu gue. Dengan sangat ramah, bapak ini menyampaikan sesuatu, “Mas, Bonekahnya saya taruh disini, ya?” “Maaf ya, Pak, ngerepotin bapak jadinya,” balas gue, sambil menjulurkan tangan untuk berjabat tangan. “Senang rasanya bisa bantu, pelanggan Mas,” katanya, menjabat tangan gue balik dengan hangat. “Saya, ke ruang kemudi dulu ya, keretanya mau berangkat.” Sekitar lima menit, gue menyadarkan bahu ke tempat duduk, lalu terdengar bunyi sirine kereta api yang mengisyaratkan, akan segera berangkat. Desingan bunyi bantalan rell yang bergesekan dengan roda besi pun, menjadi nada yang sangat bahagia. Detik-detik menjelang pertemuan, seperti merasakan kebahagiaan tanpa batas, rasanya seumur hidup pun mau gue terjebak dalam situasi semacam ini.
Inilah beberapa alasan kenapa gue suka banget naik kereta: sepanjang jalan, sinar matahari pagi bisa masuk menembus hidung. Dari balik jendela, gue bisa menikmati hamparan sawah yang menghijau. Kebun mangga yang mulai ranum memasuki masa panen. Dan lembah perbukitan di kaki gunung yang masih berselimut kabut. Rasa-rasanya long distance relationship gue semacam wisata Dharma Wanita. Dan wanitanya, adalah si pacar. Lima belas menit sebelum sampai di Stasiun Kota Malang. Gue kabari pacar lewat pesan pendek. “Jemput aku di tempat biasa, ya Huni” Yeah, pertemuan yang dinanti pun datang. Tanpa kerepotan, Bonekah Doraemon gue gendong dibelakang. Tangan gue melipat, seperti tangan sedang diborgol memegang pantat hewan musang itu. Saat melewati pintu kereta, terpaksa badan gue harus merunduk seperti orang Jepang yang sedang menyambut tamu dan bilang: ari gatok. Gue jadi mikir, kayak gini ya, rasanya bikin pacar ketawa, plus bangga atas perjuangan yang gue lakuin. Begitu melewati lorong bawah tanah, gue menaiki anak tangga kecil satu demi satu, kaki mengayun pelan hingga gue sampai di pintu keluar. Di pintu keluar, beberapa orang yang berprofesi sebagai Tukang Ojek, Pak Sopir Taxi, dan Pak Tukang Becak, menawari gue tumpangan, yang langsung gue balas dengan senyum, hingga gue berlalu begitu saja meninggalkannya. Mata ini terpejam hebat, saat gue melihat pacar berdiri disampiang motor sekuter metiknya. Poni rambutnya yang seolah malas dirapikan, membuat dia kelihatan natural. Senyum dinginnya menyambut gue. Pada titik ini, kita saling pandang dan melempar senyum. Seolah-olah ini semua, seperti jalan cerita yang sudah di tulis di skenario film-film FTV. Begitu gue sudah, berada di depannya. Dia menjabat tangan gue, sambil loncat-loncat kecil, penuh bahagia, dia bilang. “Ye-ye-ee, ketemu Huni, itu yang di belakang, kadonya buat aku, kan?” katanya sambil matanya mengedeip-ngedip, penuh manja. Gue mundur satu langkah ke belakang. Gue manggut-manggut, terus gue balik tanya. “He’em, Hunyik, mau tau nggak isinya, apa?” Dia mendekat ke gue. Raut wajahnya berbinar, bahagia.“Boleh aku intip?” “Boleh, siapa takut!,” jawab gue.
Si Bonekah Musang gue geser ke depan. Letaknya persis tengah-tengah kita berdiri. Tangannya membuka bundelan plastik wara hitam. Setelah bungkusnya terbuka, dia bilang. “Aku sayang kamu, Huni, termakasih ya kadonya.” katanya, menggelinjang, lalu tawanya berhamburan ke udara, kemudian dia loncat-loncat kecil seperti yang tadi. Sepersekian detik kemudian, dia memeluk gue kenceng banget. “Aku bangga punya kamu, Huni.” katanya, dalem. Yang langsung gue balas. “Aku juga bangga punya kamu, panjang umur ya, Hunyi. Semoga kita sampai kakek-nenek,” kata gue, dalem, sambil ngusap-ngusap poni rambutnnya. Lalu mencium keningnya. Sensasi macam apa ini, hingga membuat kita hilang ingatan sementara. Dan lupa waktu kalo ini adalah area parkiran yang langsung mendapat respon dari bapak petugas parkir. “Mbak-Mas, kalian ini kok mirip ya, mungkin sudah jodoh!” katanya nyeletuk dengan sangat spontan, dan kalimat seperti ini sudah sangat sering gue dengar -yang langsung membuat tertawa orang-orang yang berada di sekitar kita. Kita hanya merespon manggut-manggut, senyum bahagia. Lokasi parkiran depan stasiun kota Malang, menjadi saksi sejarah perjalanan cinta anak kampung yang dipertemukan oleh Gerbong Lokomotif. Berkali-kali tempat ini, menawarkan dua peranaan sudut pandang yang berbeda, sepanjang perjalanan hubungan kita: pertemuan dan perpisahan. Kebahagiaan karena bertemu, dan kesedihan saat harus berpisah. Dengan penuh keceriaan, selepas tiup lilin di ruang tamu tempat dia ngekos, gue bilang dengan mimik muka serius. “Hunyi, “ kata, gue sambil memegang ke dua tanggannya. “Kamu tau kan, aku nggak selalu ada di sampinghmu saat kamu bilang kangen,” gue berhenti sejenak, lalu melanjutkan. “Gini, anggap saja Bonekah Doraemon ini aku. Jadi kalo kamu kangen, peluk kenceng-kenceng Bonekah ini, ya” lanjut gue, trenyuh.
Badannya mendekat ke arah gue. Lalu mencium pipi kanan gue penuh perasaan, dan berkata. “I love you.” Entah ada angin apa, dia bilang dengan sangat mantap ke gue. “Huni, apa pun yang terjadi ke depan, aku maunya sama kamu, aku maunya kita serius.” dia berhenti sejenak, mengambil satu tarikan napas, “Aku maunya kita sampai menikah,” katanya, sangat yakin. Gue mengangguk dengan setuju. Seraya tersenyum bahagia mendengar kalimat maha sakti darinya“Aku Maunya Kita Sampai Menikah’’ yang langsung meneduhkan hati gue. Hingga batin gue mampu mengeluarkan sebuah keyakinan: kamu adalah jodohku. Seperti biasa, gue di Malang di traktir makan sama pacar di rumah makan nasi padang: Bu Badrun. Lanjut, berbubu kuliner seperti menikmati Es Dempo, lalu jalan-jalan mengelilingi komplek rumah tua di jalan Ijen Nirwana. Setelah kaki merasa pegal, kita selonjoran di toko buku, hanya sekedar baca-baca, tanpa perlu membeli. Satu bulan berlalu, sepertinya perjalanan long distance relatiohsip kita sangat aman-aman sekali, semua berjalan lancar. Mungkin karena frekuwensi kita yang sering ketemu. Faktor jarak juga, sangat menentukan: Surabaya - Malang, dua jam sampai. Sebulan kadang bisa ketemu dua kali, atau, kalo sama-sama sibuk, sebulan sekali baru bisa ketemuan. Kadang beranteman juga gara-gara miskomunikasi. Di saat dia ngambek gara-gara gue telat mengangkat telfonnya, sepertinya perang dunia ke tiga bakalan meletus. Ujung-ujungnya gue yang minta maap duluan. Atau kadang, dia yang minta maap, lebih dulu. Awal bulan September 2014, kita ketemuan lagi, gue ajakin pacar jalan-jalan ke Taman Bunga Selekta yang berada di kota Batu - Malang. Di taman bunga ini, kita mirip sepasang kekasih yang kerasukan setan Hollywood. Main kejar-kejaraan di antara bunga yang bermekaran di musim dingin. Lalu kita mengambil posisi terbaik untuk sesi foto bersama. Kadang gue yang ngambil gambar, dengan posisi kepalanya dia nyandar di dada gue. Romantis. Kadang dia yang fotoin, tapi gue yang dibelakang, seperti orang yang sedang mengintip. Setelah kita lihat hasilnya, gue bilang ke dia. “Hunyi, coba deh liat, kita, memang mirip ya,” kata gue, sambil menggeser beberapa foto. “Mata, idung, alis, kok bisa sama gini ya bentuknya, jangan-jangan kita emang jodoh.” ucap gue, dengan muka serius.
Pacar mencubit pipi gue, dengan ke dua tanggannya. Lalu menjawab. “Bener-bener, itu tanda-tandanya kita jodoh, Huni.” sambutnya, matanya memandang gue, fokus. “Uhmmm,” gue manggut-manggut setuju. Lalu secara diam-diam, gue turun ke lokasi kolam renang dibawah sana, yang kemudian di susul teriakan manjanya, “HUNI JAHAT, AKU DI TINGGAL”. Pada jarak lima belas meter, gue pun menunggunya untuk turun. Kemudian kita berjalan beriringan, melihat-lihat desain bangunan area kolam renang, sampai-sampai, dibuat takjub oleh perenang yang melakukan jumping dari ketinggian sepuluh meter. Setelah selesai kita rundingan kecil, pacar menawari gue untuk berenang, yang langsung gue sambut tawarannya, dengan menyewa kolor ditempat persewaaan. Tapi, setelah lima belas menit nyebur ke kolam, fisik gue cemen banget. Hawa dingin mulai menyergap, gigi saling gemertak berderit-derit. Sambil menahan dingin, gue jongkok dipinggir kolam, menghangatkan badan dari sinar senja matahari sore. Entah kenapa, begitu melihat gue, pacar malah ketawa lepas dari tempat duduknya. Barang kali, gue di anggap seperti, hewan Pinguin yang lagi jongkok menahan sembelit. Awalnya, gue memang mikir dua kali, saat mau renang, soalnya air kolamnya di ambil langsung dari sumber mata air pegunungan, yang kadar suhu dinginnya emang kabangetan. “Kedinginan ya, Hun?” tanya, Dine. Saat gue duduk di sebelahnya. Gue cuman mengangguk kan kepala. “Sudah, cepet sana salin, bajunya di pakek, ya,” katanya, sambil menyodorkan baju dan celana ke arah gue. “Iya Hunyi, kamu tunggu disini ya, jangan kemana-mana lo,” balas gue, berlalu. Sekitar lima belas menit, akhirnya gue keluar dari kamar mandi. Rambut gue acak-acakan. Muka sayu setengah pucat. Dan, beberapa menit kemudian, setelah jalan, gue muntah-muntah mengeluarkan cairan air mineral yang gue minum tadi. Mendapati gue sedang sakit mendadak, dia sangat ibu’an ngerawat gue. Di bawah kursi beratapkan payung plastik, kita berteduh untuk istirahat. Dalam beberapa moment, pacar sedikit menumpahkan minyak kayu putih di tangan kanannya, kemudian mengoleskan ke perut
gue. Lalu berpindah, mengusap-ngusap lengan gue. Anget. “Maafin aku, ya Huni,” katanya, memohon di depan gue. “Tadi aku maksain Huni mandi, padahal airnya dingin banget, jadi masuk angin gini kan, gara-gara aku?’’ sambungnya, lalu memegang kenceng ke dua tangan gue. “Ehm...,” gue menggigit bibir, “Apa pun yang Hunyi suruh, aku bakal nurut kok, asal Hunyi bisa seneng,” saut gue, mantap. Sambil mencubit pipi gue, dia jawab. “Hal-hal kayak gini yang, bikin aku makin sayang sama kamu, Huni.” Gue senyum tipis, kepala mengangguk pelan. “Uhh...., sama.” Satu bulan berlalu setelah jalan-jalan di Taman Bunga Selekta kota Batu, gue dan pacar menjalani long distance relatiohship lagi. Kita kembali dipisahkan oleh jarak, namun yang pasti, hubungan kita berjalan seperti biasanya. Sangat harmonis dan tidak ada yang janggal. Semua berjalan dengan normal. Gue tetap setia dengan dia, begitu juga pacar juga menjaga hatinya, khusus buat gue. Kita masih sama seperti waktu awal-awal jadian dulu. Kita masih sama seperti cinta yang di ikat oleh komitmen. Keadaa’an mulai berbeda, saat tabungan gue mulai menipis, selepas gue belum dapat kerja lagi, sehabis mundur dari pekerjaan yang lama, karena harus ngerawat Ayah masuk ruang opname di salah satu Rumah Sakit besar di Surabaya, karena mengalami penyakit stroke. Gue kembali menghadapi titik nol. Dimana gue harus mencari pekerjaaan baru, yang bisa memberi keyakinan pada orang tuanya, kalo gue, adalah laki-laki yang bisa bertanggung jawab. Dan mapan untuk anak sulungnya. Ini demi masa depan hubungan kami. Kita pun akhirnya sama-sama menyibukkan diri. Frekuwensi telfonan kita pun, sangat jarang kita lakukan. Dari yang biasanya telfonan semalaman sampek pagi, kadang cuma sejam doang, itu pun kalo sempat. Jejaring media sosial kita pun, juga ikutan sepi. Kita jarang bertegur sapa lewat mention di twiter, atau sekedar chating online lewat facebook. Gue memaklumi, posisinya dia sebagai seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar -- yang akhir-akhir ini, diberatkan oleh
berbagai tugas oleh Dosennya. Dan sekarang, kami pun kehilangan sesi-sesi untuk ngobrol sepanjang malam. Pada suatu malam, sehabis gue pulang kuliah, gue telfon dia, setelah tiga kali nada sambung, dia mengangkat, “Aku ngantuk, ini baru selesai ngerjain tugas, dan besok aku harus ke kampus jam tujuh pagi,” katanya, setengah ngambek. Dan gue sangat paham, kalo dia lagi ngambek, biasanya males banget nyebut nama gue. Dalam satu tarikan napas, gue jawab. “Kita seharian, saling nggak kasih kabar. Kamu kemana aja, sih ?” tanya gue ke dia. “Udah, Mas, urusin pekerjaanmu dulu, jangan mikirin telfonan terus,” jawabnya, kesal. “Udah, aku mau tidur lagi, jangan berisik” lanjutnya. Ada hening sebentar, lalu gue jawab. “Iya, udah terserah!” Klik. Kemudian gue menutup telfonnya. Sebulan belakangan, gue merasa ada sesutau yang janggal pada hubungan ini. Kita bagaikan dipisahkan oleh benua yang berbeda, yang berjarak di antara perbatasan waktu siang dan malam. Sangat jauh. Bayangin aja, saat pacar sibuk kuliah, gue sibuk mencari pekerjaaan baru. Saat pacar pulang kuliah, gue malah berangkat kuliah -- demi menempuh pendidikan sarjana. Saat gue pulang kuliah, pacar sudah tertidur pulas. Situasi tidak sehat semacam ini, sudah berlangsung selama sebulan lebih, hingga puncaknya gue kangen banget buat nemuin dia di kota Malang sana. Di waktu yang berbeda, pada suatu malam yang sama, gue telfon dia lagi, untuk merencakan ketemuan besok paginya, karena sudah sebulan lebih kita belum ketemu. Perasaan kangen pun, sudah memuncak sampai di ubun-ubun. Seperti seseorang yang telah berubah, dia bilang gini ke gue. “Ketemuan terus, yang kamu pikirin, Mas” katanya. “Urusin sana pekerjaanmu?” lagi-lagi dia menolak dengan nada yang meninggi.
Gue menghela napas, lalu gue jawab, “Udah Hunnnyi, tadi siang aku sudah wara-wiri ke berbagai perusahaan, kirim surat lamaran kerja. Terus, nyelesaain naskah buku, yang bakal aku kirim ke penerbit.” “Pokoknya sekarang, nggak usah mikirin jadi penulis dulu, urusin sana cari pekerjaan baru.” kata dia. Memang pada saat itu, gue sedang mengejar naskah buku yang pertama -- yang akan gue kirim ke penerbit. Jujur, sambil kesal gue mengeluarkan umpatan khas bahasa Surabaya, lalu gue balas, “Kamu kenapa, sih, sensitif banget, pasti lagi ada tamu, kan?” tanya gue, mencairkan suasan. “Nggak usah sok ngelucu, ini serius, Mas.” katanya, menimpali. “Kamu kasar banget, sama aku Mas. Aku perempuan, nggak perlu ngumpat kayak gitu.” dia nangis sesunggukan, di seberang sana, lalu gue bingung harus berbuat apa lagi. Untuk meluluhkan hatinya, gue pun mencoba ngomong lebih halus lagi. “Iya, aku butuh kamu, di saat seperti ini Hun?. Maafin aku, kalo tadi sempat marah. Aku butuh semangatmu. Inget komitmen kita: kita sampai nikah kan?.’’ tanpa membalas pertanyaan gue. Dia malah balik, bertanya. “Iya, tapi lebih baik kita sampai sini aja, deh, Mas.” katanya, memberi keputusan sepihak . Gue menghela napas, sedetik kemudian gue tanya, “Maksudnya?” “Kita putus,” jawab dia. “Aku gak, mau, terus gimana?” “Aku ngga bisa menerima keadaan kamu yang sekarang, Mas.” “Segampang ini kita putus, kita sudah lebih dari tiga tahun bersama, ini hati Dek, bukan mainan?,” tanya gue, mencoba tetap bertahan. “Pokoknya kita berteman aja, ya!.” jawabnya sepeti yang tadi, tanpa memberi alasan yang jelas.
Hari itu, seperti mimpi buruk di siang bolong. Selanjutnya ingatan gue samar-samar, tidak jelas. Gue masih ingat, habis itu gue, nangis kejer di dalam kamar. Meratapi, sekaligus ngebayangin kalo dikemudian hari, dia bakalan menjadi orang lain, menjauh, hingga gue tidak bisa mengenalinya lagi. Lalu keberadaannya lenyap dari kehidupan ini, meskipun raganya masih bernyawa. Gue terbaring tiduran di kamar, sambil mendengar kata ‘Putus’ yang terus mengambang di ingatan. Pacar tetap bersikukuh, kalo hubungan ini terpaksa harus berakhir dengan keputusan satu pihak. Dia ngomong dengan berbagai macam hal, “Meski pun kita temenan, kamu boleh kok lain waktu main ke sini.” Malam itu, telfon gue matikan, setelah dia bilang, “Kita tetap sahabatan kan?” *** Patah hati ini adalah runtuhnya sebuah harapan, tapi kali ini beda, gue merasa separuh nyawa gue ada yang hilang. Dan ini adalah patah hati terhebat yang pernah gue alami. Seminggu setelah kita putus, pikiran gue masih murung, mau ngapain aja, bawaannya males. Gue berubah menjadi anak yang suka mengurung diri di kamar. Menguncinya rapat-rapat dari dalam. Gue bingung, kenapa dia pergi dengan mengambil keputusan sepihak, sewaktu perasaan rindu gue mencapai titik puncak. Gue bingung, dia pun juga sama sekali tidak menghubungi gue. Dunia sekaan menjadi sepi, gue merasa terhempas ke dalam terowongan waktu yang gelap. Seolah-olah gue menjadi manusia paling kesepian di dunia ini. Hati gue berubah menjadi sangat sensitif, saat mendengar musik melankolis yang keluar dari TV. Yang pernah kita dengarkan sewaktu pacaran dulu. Lirik lagu, dia hanya dia dimatakunya ‘Sami Simolangkir’, kini menjadi nada yang menyedihkan. Lalu gue menangis meratapi cinta yang pergi begitu saja, sambil memeluk erat kemeja dari pembeliannya. Badan gue pun semakin kurus, karena berhari-hari nafsu makan pun ikutan pergi. Rutinitas gue berjalan sangat landai. Bangun pagi, kemudian mandi, lalu balik mengurung diri di kamar. Begitu terus, monoton. Gue keluar rumah cuma pas mau, berangkat kuliah. Air mata gue meleleh, sewaktu gue harus melewati Stasiun Gubeng. Lalu melewati rumah makan nasi padang Pak Badrun, yang sering kita kunjungi sewaktu makan bersama.
Seolah-olah bayangan dia masih ada, di tempat-tempat sewaktu kita pacaran dulu. Kenangan-kenangan indah dulu, berubah menjadi ingatan kejam yang menikam setiap waktu. Di kampus pun, gue kehilangan konsentrasi. Mengikuti sesi kuliah hanya ala kadarnya, asal masuk, dan lebih banyak berdiam di dalam kelas. Lalu pada suatu malam, sewaktu gue sedang duduk sendirian di halte taman kampus, dia tiba-tiba telfon. “Mas, kamu makan ya, sudah beberapa hari ini, aku denger dari bapak-ibukmu, kamu ndak mau makan?” katanya, dari seberang sana. Gue pun tidak menjawab perhatian sesaatnya. Gue menghela napas, setelah satu tarikan napas, gue balas. “Aku gak mau kita putus, Hunyi.” jawab gue, dengan suara yang parau. “Ehm..,’ jawabnya, lalu ada hening sejenak. “Kamu harus berubah, ya?” balasnya. “Berubah gimana Huni,” gue balik bertanya. “Aku kan, tetep cowok yang kamu kenal sama seperti sewaktu kita jadian di bulan Februari 2013,” Dia tersenyum sebentar. Lalu menjawab. “Iya, pokoknya Huni, berubah ya, jangan kurus gitu, aku nggak mau punya cowok jelek.” katanya memberi sebuah harapan baru. Kabar bahagia ini pun, mampu mengangkat diri gue dari keterpurukan. Gue juga tidak sempat bertanya kenapa dia berubah pikiran, kalo kita akan tetap bersama lagi. Suatu hari berselang, setelah dia ngasih perhatian, kita sangat inten berkomunikasi lewat blackberry masangger. Kita kembali seperti sedia kala, memanggil satu sama lain dengan sebutan “Huni dan Hunyi,’ tapi pikiran gue masih penuh tanda tanya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi disana. Saat gue, meminta alasanya, dia selalu ngasih jawaban yang sama.”Kamu, jangan fokusin jadi penulis Mas, nyari kerjaan mapan aja dulu, ya!” Pada akhir bulan Oktober 2014, pada suatu malam, entah ada angin apa, belum genap seminggu kita saling komunikasi. Ada yang terasa sangat beda dari dia. Sewaktu pagi-pagi gue tanyakan, kabar dia disana, lewat blackberry masangger, tapi baru malam hari, dia sempatkan membalas pesan gue. Komunikasi dari waktu ke waktu, semakin
memburuk lagi. Setiap kali gue menanyakan keadaannya, untuk sekedar memastikan hari itu dia sudah makan, dia merasa terganggu dengan pehatian gue. Puncaknya malam berikutnya, sehabis gue selesai mengikuti kuliah, mendadak dia telfon. Dengan suara yang sangat pelan, dia ngasih kabar mengejutkan. “Mas, aku sudah bersama dengan orang lain. Anaknya satu kelas sama aku di kampus,’ kata dia, kalem. Gue belum menjawab. Kabar ini seperti sebuah mimpi di siang bolong. Pahit sekaligus pedih. Pahit karena, gue merasakan kecewa yang terlalu dalam, pedih karena komitmen yang pernah kita bangun kini lenyap. Mata gue sembab. Pelan-pelan bulir air mata gue tumpah di halte taman kampus. Dengan penuh rasa kecewa yang sangat dalam, terpaksa gue jawab. “Kamu hati-hati disana.” Klik. Lalu telfon gue tutup seketika. Dan mungkin ini terakhir kalinya gue mendengar suaranya. Setelah sekian lama gue merindukannya tapi tak sempat tersampaikan untuk bertemu. Di parkiran kampus, gue menyalakan motor. Tiba-tiba saja gue mendapat pikiran untuk pergi ke Stasiun Gubeng. Motor gue melaju ke jalan protokol bertuliskan: JL. Raya Gubeng. Sampai disini gue belum paham, kenapa gue tiba-tiba sudah berada di Stasiun -tempat dimana kita bertemu dan berpisah. Mungkin karena perasaan cinta gue, kelewat lebih dalam, dari sekedar patah hati. Mungkin tempat ini, memang pas untuk melepas beban rasa kangen. Di Stasiun Gubeng, gue duduk di pinggiran pintu masuk. Mata gue tertuju pada semua orang yang lalu-lalang keluar masuk, pintu keberangkatan. Sebagian dari mereka, saling bersalaman, dan berpelukan. Kenangan manis gue dengan dia sewaktu pacaran, datang bertubi-tubi. Mulai dari sewaktu gue jemput dia, lalu kemudian dia nyium tangan gue. Mulai dari makan bareng di rumah makan nasi padang, sampai ingatan kita sewaktu telfonan sampai pagi. Semua menumpuk dalam kepala. Semua kenangan lama itu, mengetuk ingatan tanpa kata permisi. Bayangan-bayangan masa lalu sewaktu pacaran dengan dia, berterbangan di kepala gue, meminta untuk di ingat. Entah kenapa, kenangan ini terasa begitu getir dan pahit. Kebahagiaan yang sempat gue rasakan bertahun-tahun dengannya, kini berubah menjadi hujan air mata.
Gue seakan menelan pil pahit, sewaktu gue ingat, janji-janji, yang pernah kita ucapkan dulu: kita sampai menikah. Gue belum bisa bersahabat dengan keadaan seperti ini, ketika dia sudah dengan orang lain. Gue berjalan masuk, ke dalam ruang tunggu stasiun. Lalu tiba-tiba, terdengar satu sirine kereta api yang datang, kemudian suara desingan lokomotifnya membuyarkan lamunan gue. Seakan-akan menghancurkan kepingan kenangan lama yang mencoba kembali datang. Sepertinya ada yang memang harus selesai di antara patah hati terhebat ini. Sama seperti kereta api yang datang setelah perjalanan panjang, cinta punya batas waktu, kapan harus berhenti karena sebuah penghianatan.