Di Ujung Cemeti Ada Emas ? oleh Lady Paula R. Mandalika
INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual
Pandangan Hendri mungkin mewakili pandangan beberapa orangtua tentang sikap mendidik anak dengan memberi hukuman yang menggunakan kekerasan bila mereka berbuat salah. Hukuman dengan kekerasan dalam bentuk pukulan, cubitan bahkan cacian menjadi bagian dari proses mendidik anak dalam keluarga. Orangtua berpendapat bahwa dengan memukul anak , mereka mengajar anak untuk bertindak benar atau tidak membahayakan dirinya sendiri. Dalam hal ini orangtua berpikir mereka dalam dilemma karena hukuman dengan kekerasan itu bukan karena mereka membenci anaknya tetapi justru karena mereka menyayangi anak itu. Apakah dilema seperti itu dapat melegitimasi tindakan orangtua mendidik untuk mendidik anak dengan kekerasan? Dampak negative hukuman dengan kekerasan dalam pendidikan Hukuman dengan kekerasan sebenarnya berdampak negative bagi si anak, seperti :
1.Hubungan Hierarkis Dalam kasus Hendri di atas kita melihat bagaimana Hendri diberi tahu kesalahannya dengan pukulan. Contoh tersebut jelas memperlihatkan hubungan hierarkis antara ayah dan anak. Dalam mendidik anaknya si ayah melakukan pendekatan yang hierarkis terlihat dari tidak mendengar penjelasan dari anaknya dan juga tidak memberi penjelasan kepada anaknya. Tidak ada dialog karena dialog digantikan dengan pukulan sebagai tanda anak berbuat salah dan hadiah sebagai tanda anak berbuat benar. Pukulan sendiri lebih memperlihatkan otoritas dan kekuasaan daripada kasih sayang. Oleh sebab itu hubungan yang akan tercipta dari pola seperti itu adalah hubungan hierarkis antara yang berkuasa dan yang tidak berkuasa, yang kuat dan yang lemah, yang tahu segalanya dan yang dianggap tidak tahu apa-apa yaitu si orangtua dan anak. Hubungan seperti ini akan melahirkan rasa takut si anak kepada orangtua sebagai bagian dari ketidakberdayaan sehingga ia akan menurut saja. Sebaliknya anak dapat juga memberontak dari hubungan seperti itu.
2. Tidak ada kesadaran Tidak adanya kesadaran bukan hanya dialami oleh anak-anak tapi juga dialami oleh orang dewasa. Contohnya saja dalam pengalaman hidup berasrama
Edisi No. 8- Semester Genap 2005
73
Metode Penerapan Praktis
“Di ujung cemeti ada emas?” Judul tersebut adalah sebuah slogan yang cukup akrab di telinga kita. Slogan yang mungkin sudah cukup banyak dikritisi tetapi kenyataan di masyarakat membuktikan bahwa kekerasan terhadap anak dalam keluarga masih banyak terjadi. Data dari Komnas PA (Perlindungan Anak) yang dipaparkan oleh Seto Mulyadi, ketua komisi Perlindungan Anak, mencatat 481 kasus kekerasan selama tahun 2003 dan 547 kasus kekerasan selama tahun 2004. Kasus kekerasan yang terjadi tahun 2004 meliputi 221 kasus kekerasan seksual, 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasus kekerasan psikis, 106 kasus masalah lain.1 Kasus-kasus tersebut mencatat penganiayaan, pembunuhan terhadap anak-anak yang dilakukan oleh orang terdekat termasuk keluarga mereka sendiri. Upaya yang kita lakukan tentunya tidak hanya terbatas pada pencegahan pembunuhan dan penganiayaan tapi juga pencegahan segala bentuk kekerasan termasuk hukuman dengan kekerasan seperti memukul, mencubit, menampar, mencaci maki yang masih menjadi bagian proses pendidikan anaka dalam keluarga. Diantaranya seperti pengalaman Hendri, anak bungsu dari 4 bersaudara. Suatu hari Hendri dan saudara-saudaranya masingmasing diberikan sebatang coklat oleh ayahnya. Kemudian teman-teman Hendri datang bermain ke rumahnya dan Hendri memakan coklat bagiannya bersama teman-temannya. Tapi karena coklatnya tidak cukup untuk semua temannya ia pun mengambil coklat saudaranya dan membagi coklat-coklat itu kepada temannya. Ayahnya yang kemudian mengetahui hal tersebut marah dan memberi hukuman pada Hendri dengan memukul Hendri dengan ikat pinggang. Kadangkala ayahnya juga menggunakan kayu untuk memukulnya bila ia berbuat salah. Menurut pendapat Hendri sendiri hukuman seperti itu mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Aspek negatifnya yaitu si anak akan semakin kebal terhadap pukulan itu. Tetapi aspek positifnya adalah pukulan dapat menjadi cara efektif untuk meyadarkan si anak bahwa apa yang dilakukannya salah.
Metode Penerapan Praktis
beberapa mahasiswa tidak menjaga kebersihan tempat tinggalnya. Malas untuk korvei mingguan, malas membersihkan kamar mandi, malas membersihkan ruang makan, membuang sampah sembarangan , dan lain sebagainya. Mereka yang malas ini kemudian menjadi rajin dalam jangka waktu tertentu hanya karena mereka telah ditegur oleh UPAM (Unit Pengelola Asrama) dan diberi sanksi korvei tambahan. Mereka tidak menyadari bahwa kebersihan di asrama harus dijaga demi kesehatan diri sendiri dan seluruh penghuni asrama. Masih banyak contoh lain di sekitar kita yang menunjukkan bahwa orang melakukan sesuatu karena takut dihukum dan bukan karena adanya kesadaran. Salah satu faktor yang mengakibatkan hal ini adalah pendidikan. Bila sejak kanak-kanak pendidikan yang lebih dominan adalah menanamkan rasa takut daripada kesadaran maka kelak ia akan bertindak karena takut dihukum daripada sadar untuk bertindak secara bertanggungjawab. Dari hukuman dengan kekerasan tidak akan lahir kesadaran tapi akan tercipta ketakutan. Ketakutan bukan hanya kepada hukuman tapi juga takut untuk mengambil inisiatif sendiri, takut untuk bertindak ,takut berbuat salah, dan juga takut bertanggung jawab. Jean Piaget, ahli psikologi perkembangan anak, menyatakan bahwa sanksi atau hukuman justru menciptakan heteronom dalam diri anak. Maksudnya, anak-anak justru jadi semakin tidak mampu menentukan sendiri hal-hal yang terkait dengan tindakan mereka. Hukuman tidak dilihatnya sebagai cara untuk menumbuhkan sikap kemandirian. Karena itu hukuman merupakan pilihan terakhir sedangkan pendekatan dialog merupakan hal penting yang dilakukan untuk mengetahui penyebab yang mendorong munculnya perilaku negative pada anak 2 Contohnya saja dalam kasus Hendri, ia langsung dipukul karena terlalu serakah dan mengambil milik saudaranya. Di satu sisi ia taat untuk tidak lagi mengambil bagian orang lain tapi bisa jadi bukan karena ia sadar bahwa ia harus menghormati hak milik orang lain melainkan karena ia takut pada hukuman dari orangtuanya. Ketaatan itu ia pilih sebagai bagian dari ketidakberdayaannya. Ia memilih untuk menaati orangtuanya karena itu adalah jalan paling aman dibandingkan dipukuli orangtuanya. Sehingga dari hal ini jelas bahwa Hendri tidak punya pemahaman yang baik tentang akibat buruk perbuatannya.
3. Tidak mampu membuat keputusan sendiri Akibat lain dari hukuman dengan kekerasan sebagai pola pendidikan adalah kecenderungan untuk memilih berhenti berpikir dan membuat keputusan yang ia inginkan . Selanjutnya ia akan membuat keputusan yang orangtuanya inginkan. Sikap seperti
74
INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual
ini akan membuat Hendri menjadi anak yang kurang percaya diri dalam bertindak dan mengambil keputusan. Ia taat pada semua hal yang diinstrusikan orangtuanya tetapi tidak berani mengambil inisiatif sendiri. Mengapa? Karena ia takut salah. Padahal kesalahan adalah sebuah proses pembelajaran. Takut salah adalah sebuah kebodohan yang semakin membuat anak menjadi pasif dalam bertindak. Sayangnya sikap taat seperti ini seringkali dinilai sebagai hal yang positif oleh kebanyakan orangtua. Padahal ketaatan seperti itu akan membuat daya eksplorasi dan daya kreativitas padam, anak makin menurut, makin jinak, dan makin tidak berani bertanya. Orangtua mengharapkan anak menjadi duplikat orangtuanya dengan berbuat apa yang benar sesuai instruksi orangtuanya. Dalam hal ini orangtua tidak melihat anak sebagai individu atau subjek yang berkembang tapi melihat anak sebagai objek yang dapat dijinakkan. Anak dengan segala daya kreativitas, eksplorasi, minat dan kebebasannya tidak dihargai sebagai subjek yang dapat berkembang.
Latar belakang penyebab hukuman dengan kekerasan Selain melihat dampak negative dari hukuman dengan kekerasan itu perlu juga dilihat latar belakang dilakukannya hukuman kekerasan itu. Alasan yang lebih sering dilontarkan adalah karena mereka sayang pada anaknya dan mau mendisiplinkan anaknya agar mereka menjadi anak yang baik (versi orangtua). Alasan mendisplinkan anak dan sayang sebenarnya perlu dipertanyakan kembali karena pendisiplinan pada kenyataannya lebih kearah penjinakkan. Anak yang sedang dalam perkembangan dengan segala ide kreatifnya dijinakkan atau dipaksakan untuk menjadi orang dewasa mini sedangkan alasan kasih sayang menjadi alasan klise karena hukuman fisik itu lebih menceminkan kekuasaan dan otoritas. Oleh karena itu ada alasan lain yang lebih kuat yang melatarbelakangi pola pendidikan semacam itu kepada anak seperti :
Edisi No. 8 - Semester Genap 2005
1. Pola kekerasan yang berulang
2. Kurangnya pengetahuan akan tahap-tahap perkembangan anak Hal lain yang menjadi latar belakang adalah kurangnya pengetahuan akan tahap-tahap perkembangan anak. Kekurangan pengetahuan akan tahap-tahap perkembangan anak mengakibatkan orangtua tidak mampu dan kesulitan untuk menghadapi si anak sesuai tahap perkembangannya. Padahal anak sedang dalam tahap pembelajaran, bereksplorasi dan kreatif. Contohnya saja anak berumur 3 tahun dengan segala keingintahuanya dipaksakan menjadi orang dewasa yang diharapkan tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Keingintahuan, imajinasi, kretivitas si anak kerap kali dianggap sebagai kenakalan karena tidak sesuai dengan prilaku orang dewasa. Anak yang berkata kotor atau memaki orang lain, misalnya langsung diklaim sebagai anak nakal tanpa dipahami bahwa pada usia balita anak masih kental dalam peniruan. Orangtua yang langsung memukul anaknya jelas tidak mengetahui tahap perkembangan yang sedang dijalani anaknya karena besar kemungkinan bahwa si anak mendengar kata kotor tersebut dari seseorang dan menirunya. Kenakalan yang diselesaikan dengan pukulan jelas tidak menjawab persolan terlebih bila
INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual
3. Pelampiasan Alasan lain mengapa orangtua melakukan pemukulan terhadap anak adalah sebagai pelampiasan. Bila orangtua mempunyai masalah dan tidak mampu mengendalikan emosinya maka ketika si anak ribut, menangis, atau menjadi manja, orangtua menjadi marah dan melampiaskan marahnya pada anaknya yang sebenarnya bukan penyebab dasar kemarahannya. Orangtua yang tidak mampu mengelola emosinya cenderung menjadikan anakanak sebagai sasaran kemarahannya, sehingga yang dilihat bersalah dalam hal ini adalah si anak yang dianggap mengganggu orangtuanya. Mendidik dengan konstruktif Mendidik dengan konstruktif didasari oleh pemahaman bahwa setiap anak adalah pribadi berharga yang berkembang secara bertahap. Mereka adalah subjek dan bukan objek. Oleh karena itu pola pendidikan yang konstruktif adalah pendidikan yang menghargai anak sebagai subjek yang dapat berpikir, memilih dan menentukan sikap. Hal tersebut sejalan dengan filsafat konstruktivisme yang dikembangkan oleh Jean Piaget, L. Kohlberg, Vygotsky. Dimana anak tidak dilihat sebagai tabula rasa , kertas putih kosong yang kemudian diisi dengan tulisan-tulisan dari pendidik. Melainkan dipahami bahwa pengetahuan seorang anak adalah bentukan (konstruksi) anak sendiri. Pengetahuan itu kebanyakan dibentuk lewat pengalaman inderawi, lewat melihat, lewat menjamah, lewat membaui, mendengar dan akhirnya
Edisi No. 8- Semester Genap 2005
75
Metode Penerapan Praktis
Salah satu alasan yang menjadi latarbelakang kekerasan terhadap anak adalah karena pengalaman pendidikan masa kecil orangtua. Ketika ia masih kanak-kanak ia pun dididik dengan pola demikian dari orangtuanya sehingga bila ia tidak pernah mengkritisi tindakan orangtuanya dan hanya menerimanya maka ia pun akan menganggap model tersebut sebagai kewajaran dan melakukan hal yang sama terhadap anak-anaknya di kemudian hari. Hal yang lebih berbahaya adalah ia melihat kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik. Oleh karena itu ia terpola untuk melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Contohnya saja Hendri yang mengalami hal itu ketika kecil memahami bahwa cara mendidik semacam itu mempunyai sisi positif dan sisi negative. Namun dari penjelasan tentang sisi positif dan sisi negative dari Hendri nampak bahwa hukuman semacam itu baginya punya aspek positif yang sangat kuat yaitu memberitahunya mana yang salah. Dari tanggapannya itu tidaklah mengherankan bila Hendri juga akan meneruskan cara seperti itu.
kata-kata kotor itu didengarnya dari orangtua yang seharusnya menjadi teladan. Demikian pula sebaliknya pada anak yang berumur kurang lebih 15 tahun, orangtua memperlakukannya seperti anak berumur 3 tahun. Si anak tidak diberi ruang atau kebebasan untuk mengambil keputusan karena segala hal diselesaikan oleh orangtua dengan anggapan orangtua mengetahui apa yang terbaik bagi si anak. Bila orangtua tidak mengetahui tahap-tahap perkembangan dan kebutuhan si anak pada usianya masing-masing maka mereka pun tidak tahu cara mendukung anak dalam perkembangannya sebaliknya mereka akan cenderung memaksakan kehendaknya kepada si anak.
Metode Penerapan Praktis
merumuskan dalam pikiran. Piaget melihat pengetahuan itu dibentuk secara pribadi. Arahan dari pendidik adalah bahan yang harus diolah dan dirumuskan secara aktif oleh anak. Vygotsky melihat pengetahuan dibentuk dalam kerjasama dengan teman lain.3 Kohlberg sendiri melihat perkembangan moral anak bertahap dan dipengaruhi oleh daya kognitifnya.4 Ketiga tokoh ini melihat bahwa dalam hal ini pendidik berperan untuk memicu atau merangsang anak untuk belajar dan merumuskan pengertiannya. Hal ini sejalan dengan model konsientisasi yang dicetuskan Paulo Freire dimana siswa tidak pasif hanya mendengarkan pendidik berceramah dan hanya taat pada apa yang dikatakan pendidik tanpa boleh bersikap kritis. Tapi dalam hal ini siswa aktif dan partisipatif dalam proses belajar , merumuskan pemikiran dan tindakannya ketika diperhadapkan dengan realitas. 5 Dengan demikian orangtua adalah pendidik yang berperan bukan untuk menginternalisasi nilai-nilai yang dianutnya tetapi berperan untuk menstimulasi atau merangsang daya kognitif anak sehingga anak dapat berpikir, memilih dan memutuskan dengan baik. Oleh karena itu hukuman dengan kekerasan bukanlah pendidikan yang konstruktif karena selain berdampak negative, pendidikan dengan kekerasan adalah model pendidikan yang menyuapi anak dengan nilai-nilai orangtua. Dalam pendidikan seperti itu terjadi pemaksaan nilai dan ketaatan anak adalah akibat ketidakberdayaanya. Oleh karena itu pendidkan dalam keluargayang penting untuk dikembangkan dalam pendidikan dalam keluarga adalah :
1 . Dari pendekatan indoktrinatif ke dialogis Masalah pendekatan indoktrinatif menurut Kohlberg dapat diatasi dengan pemahaman akan konsep perkembangan. Dimana dalam konsep tersebut, perkembangan moral seseorang berjalan secara alamiah dan tidak dipaksakan. Dalam hal ini pendidik hanya bertugas menstimulasi perkembangan tersebut dan bukan melakukan indotrinasi nilai.6 Tugas ini juga menjadi tugas orangtua sebagai pendidik. Salah satu cara konstruktif yang menstimulasi perkembangan seorang anak adalah lewat dialog. Dialog dengan anak itu penting untuk dikembangkan. Dalam dialog orangtua jangan hanya mau didengar tetapi juga harus mendengarkan anak. Dalam dialog anak dapat bebas mengemukakan pendapatnya, apakah ia setuju atau tidak. Dengan pendekatan ini akan tercipta komunikasi yang baik antara orangtua dan anak. Orangtua tidak lagi dengan kekuasaannya memaksakan kehendak kepada anak tetapi lebih menghargai keberadaan anak sebagai subjek atau individu yang pendapatnya dihargai dan didengar. Bila anak berbuat salah maka dibutuhkan penjelasan dari
76
INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual
orangtua sehingga anak mengerti bahwa apa yang diperbuatnya salah dan belajar dari hal itu.
2. Penghargaan Anak perlu dihargai kreativitasnya. Hal-hal sederhana yang diciptakan atau dibuat anak jangan diabaikan tetapi hendaknya dihargai. Penghargaan sendiri dapat menjadi stimulus bagi anak untuk lebih berkembang dan dapat meningkatkan rasa percaya dirinya. Penghargaan akan kreativitas, imajinasi dan tindakantindakan positif akan semakin mendorong anak untuk berkembang ke arah yang lebih baik. Penghargaan untuk kemampuan masing-masing anak juga perlu untuk dikembangkan. Dalam hal ini perlu disadari bahwa setiap anak memiliki kemampuan maingmasing. Oleh karena itu tidaklah benar bila demi gengsi orangtua maka anak dipaksakan untuk menguasai semua bidang dengan ikut kursus secara berlebihan.
3. Pendidikan sesuai tahap perkembangan Dalam rangka pendidikan anak dalam keluarga, orangtua sangat perlu untuk memahami tahaptahap perkembangan anak. Dengan demikian orangtua dapat memberi stimulus, reaksi yang tepat dalam menghadapi anak yang sedang berkembang.
4. Kebebasan dan tanggung jawab Memberi kebebasan kepada anak untuk berpikir, memilih dan memutuskan tindakan adalah bagian penting yang perlu dikembangkan dalam pendidikan anak. Peran orangtua tidak pada pemberian hukuman, tetapi orangtua berperan untuk mengarahkan, merangsang daya pikir anak agar dapat berpikir, memilih dan bertindak posistif. Seiring dengan pemberian kebebasan juga ada tanggung jawab yang harus dipenuhi. Dengan demikian anak bertanggung jawab secara sadar atas pilihannya dan tindakannya. Ia menyadari ada resiko atau konsekwensi dari tindakannya dan ia harus bertanggung jawab terhadap hal itu. Resiko dalam hal ini bukanlah hukuman dengan kekerasan tetapi resiko merupakan tanggung jawabnya atas tindakannya.
Lady Paula, S.Th adalah alumni STT INTIM Makassar tahun 2004
Edisi No. 8 - Semester Genap 2005
6
Catatan kaki : Komnas PA (Perlindungan Anak), Tempo Interaktif, 28 Desember 2004. 1
F. Budi Hardiman, “Pendidikan Moral Sebagai Pendidikan Keadilan”, dalam Shindunata(ed), Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman Daftar Pustaka :
Jean Piaget dalam bukunya The Moral Judgement Of The Child membagi perkembangan moral menjadi dua tahap, yakni tahap heteronom dan tahap otonom. Heteronom berada di bawah hukum dari luar. Sebaliknya Otonom yaitu berada di bawah hukum yang diberikan sendiri, Utami Sri Rahayu, “Hindari Hukuman Fisik Pada Anak”, dalam Nakita Panduan Tumbuh kembang Anak, 27 November 2004,hal.12-13
Paul Suparno dkk, Reformasi Pendidikan sebuah Rekomendasi (Yogyakarta: Kanisius, 2002).
3
Paul Suparno dkk, Reformasi Pendidikan sebuah Rekomendasi (Yogyakarta : Kanisius,2002), hal. 15-16.
Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral (Yogyakarta:Kanisius, 1995).
Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral (Yogyakarta : Kanisius, 1995),hal. 147-148.
YB Mangunwijaya, Impian dari Yogyakarta (Jakarta:Kompas,2003).(Yogyakarta:Kanisius,2001).
2
4
5
Shindunata (ed), Pendidikan Kegeisahan Sepanjang Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 2001). Shindunata(ed), Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita (Yogyakarta: Kanisius,2000).
Paul Suparno dkk, op.cit, hal. 17
Ubahlah Kebiasaanmu Tujuh langkah pendekatan positif dalam proses belajar seumur hidup dari: Sean Covey, The 7 Habits of Highly Effective Teens (7 Kebiasaan Remaja yang Sangat Efektif), Jakarta: Binarupa Aksara, 2001 (hlm 22-23)
Metode Penerapan Praktis
Kebiasaan 1: Jadilah Proaktif. Bertanggung jawablah atas hidupmu sendiri. Kebiasaan 2: Merujuk pada Tujuan Akhir, atau Mulailah dengan Mengingat-ingat Tujuan Akhirmu. Definisikanlah misi dan sasaran hidupmu. Kebiasaan 3: Dahulukan yang Utama. Susunlah prioritas, dan dahulukanlah hal-hal yang penting. Kebiasaan 4: Berpikir Menang/ Menang. Bersikaplah agar semua orang bisa menang. Kebiasaan 5: Berusaha Memahami Terlebih dahulu, Baru Dipahami. Jadilah pendengar yang baik, yang tulus. Kebiasaan 6: Wujudkan Sinergi. Berkerjasamalah agar mencapai hasil lebih baik. Kebiasaan 7: Asahlah Gergaji. Perbaharuilah dirimu sevara berkala.
INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual
Edisi No. 8- Semester Genap 2005
77
Pendidikan dalam Karikatur
Metode Penerapan Praktis
diclipping oleh Tim Redaksi Jurnal INTIM
78
INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual
Edisi No. 8 - Semester Genap 2005