PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL PADA KASUS DEPENDENSI SPASIAL (Studi Kasus: Kemiskinan di Provinsi Papua)
MARNA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemodelan Persamaan Struktural pada kasus Dependensi Spasial adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016
Marna NIM G152130131
RINGKASAN MARNA. Pemodelan Persamaan Struktural pada Kasus Dependensi Spasial. Dibimbing oleh ANIK DJURAIDAH dan I MADE SUMERTAJAYA. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam memberantas kemiskinan. Akan tetapi sampai saat ini kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi terutama di Papua. Terdapat beberapa peubah yang diduga berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kemiskinan di suatu wilayah. Peubah tersebut merupakan peubah laten yang tidak dapat diukur secara langsung dan membutuhkan beberapa indikator sebagai pendekatan. Teknik analisis yang tepat untuk pendugaan hubungan antar peubah baik secara langsung maupun tidak langsung dari sejumlah indikator dan peubah laten diantaranya adalah melalui Model Persamaan Struktural (MPS). MPS dengan pendekatan klasik memiliki beberapa asumsi yang harus dipenuhi. Asumsi tersebut diantaranya adalah ukuran contoh harus cukup besar dan data harus menyebar mengikuti sebaran normal. Ghozali (2008) mengatakan bahwa penggunaan contoh yang kecil dalam MPS dengan pendekatan klasik dapat memberikan hasil penduga parameter dan model statistik yang tidak baik. Selain itu juga dapat menghasilkan matriks ragam peragam contoh yang singular. Penelitian ini memiliki ukuran contoh kecil maka diperlukan metode alternatif untuk menyelesaikannya. Metode alternatif yang digunakan adalah melalui pendekatan kuadrat terkecil parsial (KTP). Wahyuni (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kemungkinan kemiskinan di Papua juga dapat dipengaruhi oleh kemiskinan di wilayah sekitarnya. Berdasarkan masalah tersebut, pada penelitian ini akan dilakukan kajian untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan di Papua menggunakan MPS dengan mempertimbangkan ketergantungan spasial. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Provinsi Papua Tahun 2013 yang terdiri dari 29 kabupaten. Peubah yang diteliti terdiri dari dua peubah laten eksogen yaitu kesehatan dan pendidikan serta tiga peubah laten endogen yaitu sumber daya manusia (SDM), ekonomi dan kemiskinan. Peubah laten eksogen diukur dengan 10 indikator dan peubah laten endogen diukur dengan 12 indikator. Tahapan yang dilakukan adalah eksplorasi data, analisis MPS dengan pendekatan KTP yang selanjutnya akan dilakukan analisis spasial otoregresif (spatial autoregressive model/SAR) dan spasial Durbin terhadap skor laten yang diperoleh dari pendugaan model pengukuran serta pemilihan model terbaik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada model awal terdapat beberapa indikator yang tidak valid terhadap peubah laten. Indikator yang tidak valid diantaranya adalah (1) angka harapan hidup, (2) persentase penduduk yang tidak mempunyai keluhan kesehatan selama sebulan terakhir, (3) persentase rumah tangga dengan luas lantai perkapita ≥ 10 m2 dan (4) indeks keparahan kemiskinan. Setelah dilakukan modifikasi model diperoleh model pengukuran yang terdiri dari 18 indikator yang valid. Berdasarkan nilai Akaike Information Criterion (AIC) terkecil maka model struktural yang terpilih adalah model struktural SAR. Model yang terbentuk yaitu kemiskinan dipengaruhi oleh lag spasial kemiskinan, kesehatan dan pendidikan. Kesehatan dan pendidikan berpengaruh negatif
terhadap kemiskinan artinya semakin baik kesehatan dan pendidikan maka tingkat kemiskinan di Papua akan menurun. Ekonomi dipengaruhi oleh kesehatan dan pendidikan. SDM dipengaruhi oleh lag spasial SDM dan kesehatan. Faktor kesehatan memiliki pengaruh paling besar terhadap kemiskinan di Papua. Artinya kesehatan merupakan faktor utama yang harus diperbaiki untuk mengurangi kemiskinan di Papua. Kata kunci: Kemiskinan, Model Persamaan Struktural, Papua, SAR, Spasial Durbin
SUMMARY MARNA. Structural Equation Modelling in case of Spatial Dependence. Supervised by ANIK DJURAIDAH and I MADE SUMERTAJAYA. Many efforts have been done by Indonesia government in overcoming the poverty problem yet the poverty level in Indonesia is still high enough especially in Papua. There are some variables which are supposed to influence directly or indirectly to poverty in the region. The variables are latent variables that can not be measured directly and in need of some indicators as an approach. The analytical techniques appropriate to estimate relationships between variables, either directly or indirectly of indicators and latent variables is through Structural Equation Model (SEM). SEM with the classical approach has some assumptions. Such assumptions include the sample size should be large enough and data must to follow the normal distribution. Ghozali (2008) said that the use of a small example in SEM with a classical approach may provide bad results of parameter estimator and the statistical models even may generate singular example of variance covariance matrix and the negative variance. This research has a small sample size so it is important to bring alternative method to resolve it. Alternative method used is through Partial Least Squares approach (PLS). Wahyuni (2013) in his research said that the possibility of poverty in Papua can be influenced by the dependence between regions. Based on these problems, it needed to be research to determine the factors that influence poverty in Papua using SEM by considering the spatial dependence. This research used secondary data from National Socio-Economic Survey of Papua province in 2013 that consists of 29 regencies. The studied variables consisted of two exogenous latent variables which were health and education as well as three endogenous latent variables which were human resources (HR), economic and poverty. Exogenous latent variables were measured by 10 indicators. Endogenous latent variables were measured by 12 indicators. Steps of the research were a data exploration, analytical approach SEM with PLS then continued with spatial autoregressive model (SAR) and spatial Durbin to the latent scores obtained from the estimation of the measurement model as well as selection of the best models. The results of this research showed that the measurement model, there were some invalid indicators towards the latent variables. Invalid indicators include (1) life expectancy, (2) the percentage of people who do not have health complaints last month, (3) percentage of households with per capita floor area ≥ 10 m2, and (4) poverty severity index. After modification of the model obtained measurement model consisted of 18 indicators were valid. Based on the lowest Akaike Information Criterion (AIC) value, it is concluded that the best spatial structural model was SAR model. Model obtained was poverty is influenced by the spatially lagged poverty, health and education. Health and education negatively influenced poverty, means the better health and education, the poverty level in Papua will decrease. Economy was influenced by health and education. HR was influenced by spatially lagged and health human resources. Health factor has the biggest
influence toward poverty in Papua. It means that health was a major factor that must be improved to reduce poverty in Papua. Key words: Poverty, Structural Equation Modeling, Papua, SAR, Spatial Durbin
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL PADA KASUS DEPENDENSI SPASIAL (Studi Kasus: Kemiskinan di Provinsi Papua)
MARNA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Statistika Terapan Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Farit Mochamad Afendi, M.Si
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Farit Mochamad Afendi, M.Si
Judul Tesis Nama NRP
: Pemodelan Persamaan Struktural pada Kasus Dependensi Spasial (Studi Kasus: Kemiskinan di Provinsi Papua) : Marna : G152130131
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Anik Djuraidah, MS Ketua
Dr. Ir. I Made Sumertajaya, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Statistika Terapan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Indahwati, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 22 Desember 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Pemodelan Persamaan Struktural pada kasus Dependensi Spasial (Studi Kasus: Kemiskinan Di Provinsi Papua)” ini dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Anik Djuraidah, MS selaku pembimbing I dan Bapak Dr. Ir. I Made Sumertajaya, M.Si selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis dalam penulisan karya ilmiah ini. 2. Bapak Dr. Farit Mochamad Afendi, M.Si selaku penguji luar komisi pada ujian tesis 3. Ibu Dr. Ir. Indahwati, M.Si selaku ketua Program Studi Statistika Terapan S2 yang telah turut membantu kelancaran penyelesaian karya ini. 4. Seluruh staf pengajar pascasarjana Departemen Statistika IPB yang telah banyak memberikan ilmu dan arahan selama perkuliahan sampai dengan penulisan karya ini. 5. Suamiku Jailani Purnomo, anakku Azka Maritza Batrisya, ke-empat orang tuaku, serta seluruh keluarga atas do’a, dukungan, dan kasih sayangnya. 6. Seluruh mahasiswa program studi statistika terapan dan statistika baik S2 maupun S3 atas dukungan yang tulus, saran, dan ilmu yang positif. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan oleh penulis untuk penulisan karya ilmiah selanjutnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2016
Marna
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian
1 1 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Model Persamaan Struktural (MPS) Pemodelan MPS dengan Pendekatan KTP Model Spasial Regresi Linier Model SAR dan Spasial Durbin Model SAR dan Spasial Durbin dalam MPS
3 3 3 6 7 8
3 METODE PENELITIAN Data Metode Analisis
9 9 10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Data Model Persamaan Struktural (MPS) Model Persamaan Struktural Spasial Pemilihan Model Terbaik Pengujian Galat Model Struktural
12 12 14 17 18 20
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
22 22 22
DAFTAR PUSTAKA
23
LAMPIRAN
24
RIWAYAT HIDUP
34
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Indikator yang digunakan pada 5 peubah laten dalam penelitian Nilai statistik dari indikator Nilai penduga parameter dan hasil uji model pengukuran Uji validitas diskriminan model pengukuran Uji reliabilitas model pengukuran Uji kecocokan model pengukuran Nilai penduga parameter dan uji hipotesis model struktural Hasil pengujian Indeks Moran Pendugaan parameter model struktural spasial Nilai koefisien determinasi dan nilai AIC Uji kenormalan galat model struktural spasial Uji keragaman galat model struktural spasial Uji Indeks Moran terhadap galat model non spasial Uji Indeks Moran terhadap galat model spasial
9 12 15 15 16 16 16 17 18 19 20 20 21 21
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Bentuk hubungan antara peubah laten Diagram kotak garis peubah indikator Peta persentase kemiskinan per kabupaten di Papua tahun 2013 Model persamaan struktural Peta skor peubah kemiskinan per kabupaten di Papua 2013 Model persamaan struktural SAR
10 13 14 16 17 19
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Pembobot spasial menggunakan Queen Contiguity Jumlah tetangga masing-masing kabupaten Provinsi Papua Hasil pengujian Indeks Moran masing-masing indikator Model persamaan struktural untuk model awal Model pengukuran untuk MPS awal Muatan silang untuk MPS tanpa indikator X1.4, X1.5, Y2.4 dan Y3.4 Model kemiskinan masing-masing kabupaten Provinsi Papua
25 26 27 28 29 30 31
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks karena menyangkut berbagai macam aspek seperti hak untuk terpenuhinya pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Kemiskinan juga merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Hal ini terlihat adanya tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals/ MDGs) yang berisi delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Tujuan pertamanya memberantas kemiskinan dan kelaparan dengan target kemiskinan sebesar 7.59 persen. Badan Pusat Statistika (2014) menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 10.96 persen dan yang tertinggi berada di Provinsi Papua yaitu sebesar 27.80 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia belum mencapai target dari MDGs tersebut. Afifah (2013) menunjukkan bahwa peubah pendidikan, kesehatan, sumber daya manusia, dan ekonomi dapat mempengaruhi kemiskinan di Jawa Tengah baik secara langsung maupun tidak langsung. Peubah tersebut tidak dapat diukur secara langsung dan membutuhkan beberapa indikator sebagai pendekatan. Teknik analisis yang tepat untuk pendugaan hubungan antar peubah baik secara langsung maupun tidak langsung dari sejumlah indikator dan peubah laten diantaranya adalah melalui Model Persamaan Struktural (MPS). MPS dengan pendekatan klasik memiliki beberapa asumsi yang harus dipenuhi. Asumsi tersebut diantaranya adalah ukuran contoh harus cukup besar dan data harus menyebar mengikuti sebaran normal. Ghozali (2008) mengatakan bahwa penggunaan contoh yang kecil dalam MPS dengan pendekatan klasik dapat memberikan hasil penduga parameter dan model statistik yang tidak baik. Selain itu juga dapat menghasilkan matriks ragam peragam contoh yang singular. Pada penelitian ini memiliki ukuran contoh kecil maka diperlukan metode alternatif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Metode alternatif yang digunakan yaitu melalui pendekatan kuadrat terkecil parsial (KTP). Kuadrat terkecil parsial (KTP) dapat digunakan pada setiap jenis ukuran data, syarat asumsi lebih fleksibel dan dapat digunakan ketika landasan teori model lemah atau penggukuran setiap peubah laten masih baru. Wahyuni (2013) dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Papua menunjukkan bahwa model GWR lebih baik dibanding model OLS. Selain itu juga dikatakan bahwa kemungkinan kemiskinan di Papua juga dapat dipengaruhi oleh kemiskinan di wilayah sekitarnya. Sun et al. (2015) telah melakukan penelitian mengenai penyakit Tuberculosis di Cina menggunakan model persamaan struktural GWR dengan pendekatan KTP. Oud dan Folmer (2008) telah melakukan penelitian mengenai pendekatan persamaan struktural untuk model ketergantungan spasial. Pada model regresi spasial otoregresif (spatial autoregressive model/SAR) pengaruh lag spasial yang diperhitungkan hanya pada peubah tak bebas saja. Selanjutnya Anselin (1988) mengenalkan kasus khusus dari spasial otoregresif. Yaitu adanya penambahan pengaruh lag spasial peubah respon dan peubah prediktor yang dikenal dengan model spasial Durbin.
2 Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan kajian untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kemiskinan di Papua menggunakan MPS dengan pendekatan KTP. Selanjutnya akan dilakukan analisis SAR dan spasial Durbin terhadap skor laten yang diperoleh dari pendugaan model pengukuran. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan agar persentase kemiskinan di Papua semakin berkurang.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Papua menggunakan model persamaan struktural dengan mempertimbangkan ketergantungan spasial.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Model Persamaan Struktural (MPS) MPS merupakan salah satu analisis multivariat yang dapat menganalisis hubungan peubah secara kompleks, pada umumnya digunakan untuk penelitian yang menggunakan banyak peubah dan dapat menganalisis model yang rumit secara bersamaan dengan kemampuan untuk menguji atau melakukan konfirmasi terhadap sebuah konsep teoritis yang diujikan melalui indikator-indikator empiris. Menurut Bollen (1989), MPS secara umum terdiri dari dua model, yaitu model struktural dan model pengukuran. Model struktural menggambarkan hubunganhubungan yang ada di antara peubah-peubah laten. Sedangkan dalam model pengukuran, setiap peubah laten dimodelkan sebagai sebuah faktor yang mendasari peubah indikator yang terkait. Model struktural pada MPS dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut: η = Βη + Γξ + ζ (1) sedangkan model pengukurannya adalah x = Λx ξ + δ (2) (3) y = Λy η + ε asumsinya Ε ζ =0 , E ε = 0, E δ =0, cov ε,η =0, cov δ,ξ =0, cov ζ,ξ =0, dan matriks B non-singular. η adalah vektor peubah laten endogen (px1), ξ adalah vektor peubah laten eksogen (qx1), 𝚩 adalah matriks koefisien antar peubah laten endogen (pxp), 𝚪 adalah matriks koefisien antara peubah laten endogen dengan peubah laten eksogen (pxq), ζ adalah vektor galat model struktural (px1), y adalah vektor peubah penjelas dari peubah laten endogen (rx1), x adalah vektor peubah penjelas dari peubah laten eksogen (sx1), 𝚲 𝐲 adalah matriks koefisien antara peubah laten endogen dengan peubah penjelasnya (rxp), 𝚲 𝐱 adalah matriks koefisien antara peubah laten eksogen dengan peubah penjelasnya (sxq), ε adalah vektor galat model pengukuran peubah laten endogen (rx1), δ adalah vektor galat model pengukuran peubah laten eksogen (sx1), r adalah banyaknya indikator peubah laten endogen, dan s adalah banyaknya indikator peubah laten eksogen.
Pemodelan MPS dengan pendekatan KTP Kuadrat Terkecil Parsial (KTP) yang dikembangkan oleh Wold (1982) sebagai metode umum untuk pendugaan MPS yang memuat peubah laten. Pendugaan parameter dan pengujian kecocokan model KTP tidak memerlukan asumsi sebaran dari peubah pengamatan dan ukuran contoh tidak harus besar. Spesifikasi model pada metode KTP didefinisikan dari model struktural (inner model) yang menyatakan hubungan antara peubah-peubah laten dan model pengukuran (outer model) yang menyatakan hubungan antara peubah laten dengan indikator-indikatornya. Model struktural pada metode KTP adalah sebagai berikut: εj =
i
βji εi +
l
γjl ξl + δj
(4)
4 dengan εj adalah peubah laten endogen ke-j, βji adalah koefisien lintas antara peubah laten endogen ke-j dengan peubah laten endogen ke-i, εi adalah peubah laten endogen ke-i untuk i ≠ j, γjl adalah koefisien lintas antara peubah laten endogen ke-j dengan peubah laten eksogen ke-l, ξl adalah peubah laten eksogen ke-l, dan δj adalah galat model struktural. Pada model pengukuran dilakukan pembobotan untuk mendekati nilai peubah laten yang ada. Menurut Chin (1998), peneliti dapat menggunakan pembobot-pembobot awal dengan nilai yang sama untuk mendapatkan pendekatan awal sebuah peubah laten. Inti dari prosedur KTP adalah menentukan pembobotpembobot yang akan digunakan untuk menduga peubah laten pada model pengukuran. Pembobot-pembobot diperoleh dari regresi KTP yang diterapkan pada setiap indikator. Proses perhitungan dilakukan dengan cara iterasi, dalam setiap prosedur iterasi misalkan s = 1,2,3…, konvergensi diperiksa dengan membandingkan bobot model pengukuran pada langkah s terhadap bobot model pengukuran pada langkah s-1. Iterasi akan berhenti jika telah tercapai kondisi s-1
s-1
konvergen. Wold (1982) mengusulkan ((wsik − wik )/wik ) < 10-5 sebagai kriteria konvergensi. Secara umum algoritma untuk menentukan pembobot-pembobot, koefisien-koefisien lintas, dan nilai peubah laten dalam KTP terbagi menjadi 2 tahap (Chin 1998), yaitu: 1. Pendugaan iterasi dari pembobot-pembobot awal dan nilai-nilai peubah laten awal dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Pendugaan model pengukuran ξl =
k
awal wik yik
εi = b.
awal wlk xlk
Pendugaan model struktural l
vil ξl
ε*j = vji εi +
d.
(6)
k
ε*i =
c.
(5)
(7) l
vjl ξl
(8)
dengan vil , vji dan vjl adalah bobot model struktural. Dalam penelitian ini bobot model struktural yang digunakan adalah bobot berdasarkan skema path. Bobot untuk vil adalah: cor (εi , ξl ) untuk εi dan ξl yang berhubungan v il = 0 untuk εi dan ξl yang tidak berhubungan Pembaruan bobot model pengukuran Pembaruan dilakukan untuk memperoleh bobot baru model pengukuran yaitu wbaru ik dengan cara sebagai berikut: * yik = wbaru (9) ik εi +eik Pemeriksaan konvergensi Kriteria konvergensi yang digunakan adalah baru-1
baru-1
((wbaru )/wik ) < 10-5 . Apabila kriteria konvergensi belum ik − wik terpenuhi maka proses iterasi diulangi dari langkah a dengan menggunakan bobot terbaru sampai langkah c hingga konvergensinya terpenuhi. Jika telah konvergen maka lanjut ke tahap 2.
5 2.
Pendugaan koefisien jalur Dengan menggunakan pembobot yang telah memenuhi kekonvergenan diperoleh skor peubah laten dengan formula berikut: ξl = εj =
k k
kriteria
wbaru kl xkl
(10)
wbaru kj ykj
(11)
Setelah di peroleh skor peubah laten dilakukan pendugaan koefisien jalur antar peubah laten yang di duga dengan metode kuadrat terkecil (ordinary least square/OLS) seperti analisis regresi linier berganda dengan menggunakan skor peubah laten. Menurut Chin (1998), spesifikasi model pada metode KTP didefinisikan menjadi dua macam model yaitu model pengukuran dan model struktural dengan uji kecocokan sebagai berikut: 1. Uji kecocokan terhadap model pengukuran a. Validitas konvergen (Convergent Validity) Validitas konvergen dinilai berdasarkan korelasi antara setiap indikator dengan peubah laten. Nilai korelasi di atas 0.7 dapat dikatakan ideal,artinya indikator tersebut dikatakan signifikan sebagai indikator yang mengukur peubah laten. Namun, nilai korelasi diatas 0.5 dapat diterima, sedangkan nilai korelasi dibawah 0.5 dapat dikeluarkan dari model. b. Validitas diskriminan Validitas diskriminan diukur menggunakan nilai rata-rata ragam terekstrasi (average variance extracted/AVE) yang mengukur keragaman peubah laten yang dapat dijelaskan oleh pengukuran yang dilakukan. Nilai AVE yang mengindikasikan keragaman yang cukup baik adalah diatas 0.5. Formula AVE adalah sebagai berikut: λ2k AVE= (12) λ2k + k var εk 𝜆𝑘 adalah komponen korelasi indikator ke-k dan var εk =1- λk 2 . Validitas diskriminan juga dapat didukung melalui nilai muatan indikator terhadap peubah laten yang diukur harus lebih tinggi dibanding dengan muatan silangnya serta akar AVE yang lebih besar dari korelasi peubah laten (Fornell & Larcker 1981). c. Reliabilitas gabungan (Composite Reliability) Reliabilitas gabungan (ρc ) digunakan untuk mengukur reliabilitas setiap peubah laten yang menunjukkan stabilitas dan konsistensi dari suatu pengukuran, nilainya berkisar 0 sampai 1. Nilai batas yang diterima untuk ρc adalah diatas 0.7, walaupun bukan merupakan standar absolut. Reliabilitas gabungan dapat dihitung dengan rumus berikut: λk 2 ρc = (13) λk 2 + k var εk 2. Uji kecocokan terhadap Model Struktural a. Pengujian signifikansi hubungan peubah laten eksogen terhadap peubah endogen dengan melihat nilai t-hitung tiap peubah pada model struktural . b. Nilai R2 yang menunjukkan besarnya keragaman peubah endogen yang mampu dijelaskan oleh peubah eksogen, nilai R2 = 0.67 (subtansial) , 0.33 (moderat) , dan 0.19 (lemah).
6 Model Spasial Regresi Linier Aspek spasial pada suatu data dapat dilihat dari pengaruh atau efek spasial, efek spasial bisa diuji jika data penelitian mengandung otokorelasi spasial. Oleh karena itu sebelum mengidentifikasi efek spasial, uji otokorelasi spasial perlu dilakukan terlebih dahulu. Otokorelasi spasial (spatial autocorrelation) merupakan suatu ukuran kemiripan dari objek di dalam ruang. Pendekatan otokorelasi spasial dapat menggunakan statistik indeks moran. Statsitik uji indeks moran dinyatakan sebagai berikut (Fischer & Wang 2011): Hipotesis: H0 : tidak ada otokorelasi spasial H1 : ada otokorelasi spasial Statistik uji: Ι-Ε Ι Zhitung = (14) Var Ι dengan n ni=1 nj=1 wij Xi -X Xj -X 1 n2 .S1 - n.S2 +3.S20 I= , Ε Ι =, Var Ι = - Ε(Ι) 2 n n n 2 2 2 n-1 w X -X n -1 S0 i i=1 j=1 ij i=1 n
n
S0 =
wij , S1 = i=1 j=1
1 2
n
n
n
n
(wij +wji )2 , S2 = i=1 j=1
wij + i=1
j=1
2
n
wji j=1
Tolak H0 jika Zhitung > Zα/2 . Anselin (1988) mengatakan bahwa efek spasial dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ketergantungan spasial dan keragaman spasial. Ketergantungan spasial terjadi akibat adanya pengaruh lokasi ke-i terhadap lokasi ke-j (𝑖 ≠ 𝑗), sedangkan keragaman spasial terjadi akibat adanya perbedaan antar satu wilayah dengan wilayah lainnya (random region effect). Secara umum model spasial dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut: (15) y = ρWy + Χβ + u u = λWu + ε dengan y adalah vektor peubah tak bebas berukuran n x 1, X merupakan matriks peubah bebas berukuran n x (p + 1), ρ adalah koefisien lag spasial peubah tak bebas, β vektor parameter koefisien regresi berukuran (p+1) x 1, λ adalah koefisien lag spasial pada galat yang bernilai λ ≤ 1, u adalah vektor galat acak yang diasumsikan mengandung otokorelasi berukuran nx1, 𝛆 adalah vektor galat berukuran n x 1 yang menyebar normal dengan rata-rata nol serta ragam σ2 𝚰 yaitu ε~N(0 , σ2 𝚰) dengan 𝐈 adalah matriks identitas berukuran n x n, n adalah banyaknya amatan atau lokasi dan 𝐖 merupakan matriks pembobot berukuran nxn dengan elemen diagonal bernilai nol. Menurut strukturnya, matriks pembobot spasial terbagi ke dalam dua tipe yaitu berdasarkan jarak dan persinggungan (contiguity). Menurut LeSage (1999), ada beberapa metode untuk mendefinisikan hubungan persinggungan antar wilayah, salah satunya adalah Queen Contiguity yaitu dengan mendefinisikan wij = 1 untuk wilayah yang bersisian atau titik sudutnya bertemu dengan wilayah yang menjadi perhatian, wij = 0 untuk wilayah lainnya, sehingga nantinya akan diperoleh matriks pembobot W yang telah distandarisasi.
7 Model SAR dan Spasial Durbin Model lag spasial merupakan salah satu model spasial dengan pendekatan area yang memperhitungkan pengaruh lag spasial hanya pada peubah tak bebas. Apabila peubah tak bebas berkorelasi secara spasial (ρ≠0 dan λ=0), maka persamaan (15) menjadi sebagai berikut ( Anselin 1988): y = ρWy + Xβ + ε (16) Pendugaan parameter model SAR dilakukan dengan metode kemungkinan maksimum. Fungsi log likelihood untuk model SAR adalah sebagai berikut: 1 n/2 1 T 2 L(ρ,β,ζ | y)= I-ρW exp - 2 I-ρW y-Xβ I-ρW y-Xβ 2 2πζ 2ζ n 1 1 T ln (L) = ln + ln I - ρW - 2 I-ρW y-Xβ I-ρW y-Xβ (17) 2 2 2πζ 2ζ Apabila e0 = y- Xβ0 yang diperoleh dari regresi model y = Xβ0 + e0 , ed =Wy-Xβd 1
T
yang diperoleh dari regresi model Wy=Xβd +ed dan ζ2 = n e0 -ρed (e0 - ρed ) Maka pendugaan 𝜌 dapat dilakukan dengan cara memaksimumkan fungsi pseudo log likelihood sebagai berikut: n ln (L) = c - ln e0 - ρ ed T (e0 - ρed ) + ln I - ρW (18) 2 n n 1 dengan c = - ln 2π - ln n 2 2 2 penduga parameter β dan σ2 model SAR adalah sebagai berikut: β = XT X
-1
(19)
T
1
2
XT I - ρW y
ζ = n y - ρWy- Xβ y- ρWy- Xβ dengan β = β0 -ρ𝛃𝐝 (20) Salah satu kekurangan dari model lag spasial adalah bahwa pola spasial dalam data hanya dapat dijelaskan oleh efek interaksi peubah tak bebas, tetapi tidak dapat dijelaskan oleh efek interaksi peubah bebas pada waktu yang sama. Model lag spasial dapat dikembangkan dengan menambahkan lag spasial peubah bebas yang dikenal sebagai model spasial Durbin. Bentuk model spasial Durbin adalah sebagai berikut ( Anselin 1988): y = ρWy + Xβ1 + WXβ2 + ε (21) atau y = ρWy + Zβ + ε (I - ρW)y = Zβ + ε dengan mendefinisikan 𝐀 = 𝐈 − ρ𝐖 , 𝐙 = [ 𝐗 , 𝐖𝐗] dan β=[β1 , β2 ]T maka fungsi log-likelihood persamaan diatas diperoleh: n 1 ln(L) = - ln 2πζ2 + ln A - 2 ((Ay-Zβ)T Ay-Zβ ) (22) 2 2ζ Pendugaan 𝜌 dapat dilakukan dengan cara memaksimumkan fungsi pseudo log likelihood seperti persamaan (18). Sehingga diperoleh penduga parameter 𝛃 dan σ2 sebagai berikut : -1
β = (ZT Z) ZT Ay 1 ζ2 = (Ay-Zβ)T Ay-Zβ n
(23) (24)
8 Model SAR dan Spasial Durbin dalam MPS Ketergantungan spasial pada model SAR dan spasial Durbin dalam MPS berlaku pada peubah laten bukan pada peubah observasi (indikator). Pada kasus model MPS, peubah laten tidak dapat diukur secara langsung sebagai contoh unit. Sehingga digunakan nilai skor faktor yang didapatkan dari analisis MPS sebagai suatu contoh unit yang terukur. Oud dan Folmer (2008) merepresentasikan model SAR dalam MPS sebagai berikut : η* = ρWη*+X*β1+ε (25) dan model spasial Durbin sebagai berikut: η* = ρWη*+X*β1 +WX*β2 + ε (26) dengan η* : vektor skor faktor peubah laten endogen berukuran n x 1 X* : matriks skor faktor peubah laten yang berhubungan dengan η* berukuran n x (k + 1) ρ : koefisien lag spasial peubah endogen β1 : vektor parameter koefisien regresi, berukuran (k+1) x 1 β𝟐 : vektor parameter koefisien lag spasial peubah laten yang berhubungan dengan η* berukuran k x 1 𝛆 : vektor galat berukuran n x 𝐖 : matrik pembobot berukuran n x n dengan elemen diagonal bernilai nol.
9
3 METODE PENELITIAN Data Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yaitu Data publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Provinsi Papua Tahun 2013 yang terdiri dari 29 kabupaten. Peubah yang diteliti terdiri dari dua peubah laten eksogen yaitu kesehatan dan pendidikan, tiga peubah laten endogen yaitu sumber daya manusia (SDM), ekonomi dan kemiskinan. Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur peubah laten eksogen dan peubah laten endogen diperoleh berdasarkan penelitian sebelumnya (Afifah 2013; Anuraga 2013). Dalam penelitian ini peubah laten eksogen dan endogen tersebut diukur dengan 22 indikator dengan rincian pada Tabel 1. Tabel 1. Indikator yang digunakan pada 5 peubah laten dalam penelitian Peubah Laten dan Indikator Kode Kesehatan (ξ1 ) X1.1 Persentase balita yang pernah mendapat imunisasi campak Persentase balita yang proses kelahirannya ditolong oleh tenaga X1.2 X1.3 medis Persentase rumah tangga yang menggunakan jamban sendiri X1.4 Angka harapan hidup Persentase penduduk yang tidak mempunyai keluhan kesehatan X1.5 selama sebulan terakhir Pendidikan (ξ2 ) X2.1 Angka Partisipasi Sekolah ( APS ) usia 7-18 tahun X2.2 Persentase penduduk 10 tahun ke atas yang pernah/masih sekolah X2.3 Persentase penduduk 15 tahun ke atas yang melek huruf X2.4 Rata-rata lama sekolah Persentase penduduk 10 tahun keatas yang dapat membaca dan X2.5 menulis Sumber Daya Manusia (ε1 ) Y1.1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Y1.2 Persentase pekerja disektor formal Persentase jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja disektor Y1.3 non pertanian Y1.4 Persentase penduduk 15 tahun keatas yang bekerja seminggu lalu Ekonomi (ε2 ) Persentase rumah tangga yang penerangannya menggunakan listrik Y2.1 Y2.2 Persentase penduduk yang mempunyai alat komunikasi Y2.3 Persentase penduduk yang tidak pernah mendapatkan beras raskin 2 Y2.4 Persentase rumah tangga dengan luas lantai perkapita ≥ 10 m Kemiskinan (ε3 ) Y3.1 Persentase penduduk miskin Y3.2 Indeks kedalaman kemiskinan Y3.3 Persentase jumlah keluarga yang termasuk keluarga pra sejahtera Y3.4 Indeks keparahan kemiskinan
10 Metode Analisis 1. 2.
Eksplorasi data untuk mengetahui gambaran umum data yang digunakan MPS terboboti spasial pada model struktural Langkah-langkah yang dilakukan adalah: a. Spesifikasi model Diagram jalur Pembentukan diagram jalur pada Gambar 1 dapat memudahkan dalam menerjemahkan pola hubungan antara peubah laten. Selanjutnya dari diagram jalur tersebut dibentuk persamaan yang menyatakan model pengukuran dan model struktural.
Gambar 1 Bentuk hubungan antara peubah laten (Afifah 2013)
Model Pengukuran untuk peubah laten endogen y1.1 ε1 λy1.1 0 0 y1.2 y1.2 ε2 λ 0 0 y1.3 y1.3 ε3 0 0 λ y1.4 y1.4 ε4 λ 0 0 y y2.1 ε5 0 λ 2.1 0 ε 1 y2.2 y2.2 0 λ 0 ε + ε6 = 2 y y2.3 ε7 0 ε 0 λ 2.3 3 y2.4 y2.4 ε8 0 λ 0 y y3.1 ε9 0 0 λ 3.1 y3.2 y3.2 ε 10 0 0 λ y3.3 y3.3 ε 11 0 0 λ y3.4 y3.4 ε 12 0 0 λ
11
3.
4.
untuk peubah laten eksogen δ1 λx11 0 x1.1 x12 δ2 λ 0 x1.2 δ3 λx13 0 x1.3 x14 δ4 λ 0 x1.4 x15 ξ δ5 0 x1.5 = λ 1 + x δ6 x2.1 0 λ 2.1 ξ2 x2.2 x2.2 δ7 0 λ x2.3 x2.3 δ8 0 λ x2.4 x2.4 0 λ δ9 x2.5 x2.5 0 λ δ10 Model Struktural Banyaknya persamaan struktural adalah sejumlah peubah laten endogen. Pada penelitian ini terdapat 3 persamaan struktural yaitu: ε1 = γ11 ξ1 + γ12 ξ2 + δ1 ε2 = γ21 ξ1 + γ22 ξ2 + β21 ε1 + δ 2 ε3 = β31 ε1 + β32 ε2 + δ 3 Apabila di tulis dalam bentuk matriks, maka persamaan menjadi δ1 ε1 0 0 0 ε1 γ11 γ12 0 ξ1 ε2 = β21 0 0 ε2 + γ γ22 0 ξ2 + δ2 21 ε3 ε β31 β32 0 3 δ3 0 0 0 ξ3 b. Pendugaan parameter MPS dengan KTP c. Uji kecocokan model pengukuran (outer model) dan model struktural (inner model) d. Membentuk matriks pembobot spasial yaitu matriks langkah Ratu (Queen Contiguity) e. Melakukan uji otokorelasi spasial dengan statistik Indeks Moran terhadap skor laten yang diperoleh dari pendugaan model pengukuran pada MPS f. Melakukan pendugaan parameter model struktural SAR dan spasial Durbin dengan metode penduga kemungkinan maksimum. Pemilihan model struktural spasial terbaik dengan melihat nilai Akaike Information Criterion (AIC) AIC = −2 log(maksimum likelihood)+2p, (Fotheringham et al. 2002) Interpretasi dan kesimpulan
12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas mengenai eksplorasi data dan model persamaan struktural spasial terhadap kemiskinan di Papua. Model spasial yang digunakan adalah model SAR dan model spasial Durbin, selanjutnya akan dilakukan pemilihan model terbaik. Eksplorasi Data Hasil eksplorasi data untuk semua indikator yang digunakan disajiikan pada Tabel 2. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa untuk indikator peubah laten kesehatan, persentase balita yang pernah mendapat imunisasi campak (X1.1) berada pada rentang [1.32%; 90.93%] dengan rata-rata 52.33%, Kabupaten Merauke adalah kabupaten yang persentase balita pernah mendapat imunisasi campak paling banyak, sedangkan yang paling rendah mendapat imunisasi campak adalah Kabupaten Intan Jaya.
Indikator Rata-rata X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4 Y2.1 Y2.2 Y2.3 Y2.4 Y3.1 Y3.2 Y3.3 Y3.4
52.33 38.38 43.77 67.18 81.13 68.37 66.86 69.53 5.50 67.72 78.69 20.32 25.71 96.07 41.91 35.99 60.98 33.64 31.53 7.05 55.09 2.30
Tabel 2 Nilai statistik dari indikator Nilai Nilai Kabupaten Kabupaten Terkecil Terbesar Nilai Terkecil Nilai Terbesar 1.32 90.93 Intan Jaya Merauke 1.33 93.15 Intan Jaya Kota Jayapura 0.70 81.31 Mem. Tengah Biak Numfor 63.85 70.88 Merauke Mimika 60.33 89.69 Nduga Nabire 20.61 92.79 Nduga Biak Numfor 18.23 99.04 Nduga Supiori 23.76 99.23 Nduga Biak Numfor 2.30 11.07 Intan Jaya Kota Jayapura 19.04 99.09 Nduga Biak Numfor 54.90 97.50 Supiori Mem. Tengah 0.30 63.56 Mem. Tengah Kota Jayapura 0.11 88.43 Nduga Kota Jayapura 88.02 100 Supiori Paniai 1.30 98.40 Intan Jaya Kota Jayapura 0.10 98.83 Intan Jaya Kota Jayapura 16.89 96.46 Yalimo Puncak 1.05 63.51 Nduga Jayapura 12.95 45.92 Merauke Deiyai 2.35 18.03 Merauke Deiyai 27.80 82.58 Peg. Bintang Puncak 0.60 8.40 Merauke Deiyai
Indikator peubah laten pendidikan seperti angka partisipasi sekolah usia 718 tahun (X2.1) berada pada rentang [20.61%; 92.79%] dengan rata-rata 68.37%, Kabupaten Biak Numfom adalah kabupaten yang paling tinggi angka partisipasi
13 sekolahnya, sedangkan yang paling rendah angka partisipasi sekolah adalah Kabupaten Nduga. Persentase penduduk 15 tahun keatas yang melek huruf (X2.3) berada pada rentang [23.76%; 99.23%] dengan rata-rata 69.53%, Kabupaten Biak Numfom adalah kabupaten yang paling tinggi persentase penduduk 15 tahun keatas yang melek huruf, sedangkan yang paling rendah adalah Kabupaten Nduga. Persentase pekerja disektor formal (Y1.2) berada pada rentang [0.30%; 63.56%] dengan rata-rata 8.55%, kota Jayapura adalah kota dengan persentase pekerja disektor formal paling tinggi, sedangkan yang paling rendah persentase pekerja disektor formal adalah Kabupaten Memberamo Tengah. Persentase jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja disektor non pertanian (Y1.3) memiliki rata-rata sebesar 25.71%, kota Jayapura adalah kota dengan persentase jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja disektor non pertanian paling tinggi, sedangkan yang paling rendah adalah Kabupaten Nduga. Persentase penduduk yang tidak pernah mendapatkan beras raskin (Y2.2) memiliki rata-rata sebesar 60.98%, Kabupaten Puncak adalah kabupaten dengan persentase penduduk yang tidak pernah mendapatkan beras raskin paling banyak, sedangkan persentase penduduk yang pernah mendapatkan beras raskin paling banyak adalah adalah Kabupaten Yalimo. Untuk indikator peubah laten kemiskinan, persentase kemiskinan (Y3.1) di Provinsi Papua pada tahun 2013 memiliki rata-rata sebesar 31.53%. Kabupaten Merauke merupakan kabupaten dengan persentase kemiskinan terendah yaitu 12.95% sedangkan persentase kemiskinan tertinggi 45.92% adalah Kabupaten Deiyai. Indeks kedalaman kemiskinan (Y3.2 ) memiliki rata-rata sebesar 7.05%. Kabupaten Merauke merupakan kabupaten dengan persentase kemiskinan terendah yaitu 2.35% sedangkan persentase kemiskinan tertinggi 18.03% adalah Kabupaten Deiyai. Berdasarkan diagram kotak garis pada Gambar 2 menunjukkan bahwa terdapat keragaman yang cukup tinggi di beberapa indikator pada peubah laten. Artinya terdapat kesenjangan antara kabupaten di Provinsi Papua. Indikator Y2.2 adalah indikator yang memiliki keragaman tertinggi. Indikator angka harapan hidup (X1.4) adalah indikator dengan keragaman paling rendah. Pada beberapa indikator juga terdapat pencilan diantaranya Kabupaten Nduga pada indikator X1.5, Kabupaten Yalimo pada indikator Y2.3, Deiyai dan Intan Jaya pada indikator Y3.4.
Nilai peubah indikator
100
80
60
Mimika Nduga
40
20
Yalimo 0
Deiyai Intan Jaya Yahukimo Deiyai Intan Jaya
.1 .2 .3 .4 .5 .1 .2 .3 .4 .5 .1 .2 .3 .4 .1 .2 .3 .4 .1 .2 .3 .4 X 1 X 1 X 1 X 1 X1 X 2 X 2 X2 X 2 X2 Y1 Y1 Y1 Y1 Y2 Y2 Y2 Y2 Y3 Y3 Y3 Y3
Peubah indikator
Gambar 2. Diagram kotak garis peubah indikator
14 Peta persentase kemiskinan per kabupaten di Papua pada Gambar 3 menggambarkan bahwa kabupaten yang mempunyai persentase kemiskinan satu kelompok letaknya berdampingan. Hal ini menunjukan adanya pengaruh spasial pada persentase kemiskinan di Papua. Kelompok persentase kemiskinan dibagi menjadi tiga kelompok dengan panjang interval data yang sama antar kelompok, yaitu kelompok rendah (12.95 – 23.94) terdiri dari Kabupaten Merauke, Jayapura, Mimika, Sarmi, Keerom, Mappi dan kota Jayapura. Kelompok tengah (23.94 – 34.93) terdiri dari Kabupaten Nabire, Kepulauan Yapen, Biak Numfor, Boven Digoel, Asmat, dan Dogiyai. Kelompok tinggi (34.93 – 45.92) terdiri dari kabupaten di daerah-daerah bagian tengah Papua, diantaranya seperti Nduga, Puncak Jaya, Paniai, Jayawijaya, Puncak, Yalimo, Intan jaya, Supiori, Yahukimo, Lanny Jaya, Memberamo Tengah, Deiyai. Hasil pengujian Indeks Moran terhadap indikator- indikator yang digunakan (Lampiran 3) dengan menggunakan pembobot Queen Contiguity (Lampiran 1) diperoleh bahwa tidak terdapat korelasi spasial pada indikator X1.4, X1.5, Y2.4 dan Y3.4, namun nilai Indeks Moran pada seluruh indikator lebih dari nilai harapan yang menujukkan pola data yang mengelompok dan memiliki kesamaan karakteristik pada wilayah yang berdekatan.
Gambar 3. Peta persentase kemiskinan per kabupaten di Papua tahun 2013
Model Persamaan Stuktural ( MPS) Data kemiskinan di Papua dimodelkan menggunakan MPS dengan metode penduga kuadrat terkecil parsial (KTP). Berdasarkan koefisien lintas pada diagram jalur untuk model persamaan struktural awal (Lampiran 4) dan hasil pengujian model pengukuran (Lampiran 5) terdapat empat indikator yang tidak memenuhi validitas kekonvergenan yaitu indikator X1.4, X1.5, Y2.4 dan Y3.4. Hasil dugaan dan pengujian parameter model pengukuran tanpa indikator X1.4, X1.5, Y2.4 dan Y3.4 disajikan pada Tabel 3 diperoleh nilai muatan faktor untuk semua indikator lebih besar dari 0.70 serta signifikan pada taraf nyata 10%. Hal ini menunjukkan bahwa semua indikator memiliki tingkat validitas kekonvergenan yang tinggi dalam merefleksikan peubah latennya. Hasil uji validitas diskriminan model pengukuran pada Tabel 4 diperoleh nilai akar rata-rata ragam terekstrasi (average variance extracted/AVE) semua peubah laten lebih besar dari korelasi antar peubah laten dan nilai muatan item untuk setiap peubah laten lebih tinggi dibanding dengan muatan silangnya (Lampiran 6), sehingga dapat disimpulkan bahwa peubah dan indikator yang digunakan dalam penelitian ini telah memenuhi validitas diskriminan.
15 Tabel 3. Nilai penduga parameter dan hasil uji model pengukuran Peubah Muatan Faktor Galat Baku Nilai-t Kesehatan X1.1 0.897 0.039 23.11** X1.2 0.970 0.010 101.68** X1.3 0.916 0.027 33.81** Pendidikan X2.1 0.900 0.029 31.29** X2.2 0.986 0.005 196.02** X2.3 0.984 0.005 181.21** X2.4 0.860 0.050 17.09** X2.5 0.987 0.004 241.32** SDM Y1.1 0.928 0.020 47.32** Y1.2 0.962 0.014 70.27** Y1.3 0.968 0.007 148.92** Y1.4 0.857 0.060 14.34** Ekonomi Y2.1 0.950 0.009 104.40** Y2.2 0.781 0.116 6.75** Y2.3 0.970 0.010 99.49** Kemiskinan Y3.1 0.965 0.016 61.35** Y3.2 0.720 0.092 7.84** Y3.3 0.902 0.037 24.23** **nyata pada taraf nyata 5%, * nyata pada taraf nyata 10%
Peubah Laten Kesehatan Pendidikan SDM Ekonomi Kemiskinan
Tabel 4 Uji validitas diskriminan model pengukuran Korelasi Kesehatan Pendidikan SDM Ekonomi Kemiskinan 1.000 0.890 -0.907 0.898 -0.670 0.890 1.000 -0.860 0.878 -0.656 - 0.907 - 0.860 1.000 -0.865 0.671 0.898 0.878 -0.865 1.000 -0.729 - 0.670 - 0.656 0.671 -0.729 1.000
Akar AVE 0.928 0.945 0.930 0.904 0.868
Uji reliabilitas pada Tabel 5 diketahui bahwa peubah yang digunakan memiliki nilai cronbach alpha lebih dari 0.6 dan nilai reliabilitas komposit lebih dari 0.7 artinya semua peubah laten yang digunakan memiliki nilai reliabilitas gabungan yang baik sehingga semua indikator yang digunakan untuk mengukur masing-masing peubah laten adalah reliabel. Setelah model pengukuran dapat dinyatakan valid dan reliabel, maka selanjutnya dilakukan evaluasi model struktural. Nilai R2 pada Tabel 6 menunjukkan bahwa peubah kesehatan dan pendidikan mampu menjelaskan keragaman dari SDM sebesar 84 %, sisanya dijelaskan oleh peubah lain yang tidak dijelaskan dalam model. Nilai Goodness of Fit (GOF) yang diperoleh sebesar 0.79, artinya bahwa peubah eksogen yang terdiri dari kesehatan dan pendidikan dapat menjelaskan sebesar 79 % keragaman pada SDM, ekonomi dan kemiskinan, sisanya dijelaskan oleh peubah lain.
16 Tabel 5 Uji reliabilitas model pengukuran Peubah Laten Cronbach Reliabilitas Nilai Alpha gabungan AVE Kesehatan 0.92 0.95 0.86 Pendidikan 0.97 0.98 0.89 SDM 0.95 0.96 0.86 Ekonomi 0.89 0.93 0.82 Kemiskinan 0.84 0.90 0.76 Tabel 6 Uji kecocokan model struktural Peubah Laten Kriteria AIC R2 SDM 37.85 0.84 Ekonomi 38.85 0.84 Kemiskinan 67.89 0.54 Koefisien lintas model persamaan struktural disajikan pada Gambar 4 dan pengujian signifikansinya pada Tabel 7 diperoleh bahwa kemiskinan dipengaruhi secara signifikan oleh ekonomi, ekonomi dipengaruhi secara signifikan oleh kesehatan dan pendidikan, dan SDM dipengaruhi secara signifikan oleh kesehatan. Tabel 7 Nilai penduga parameter dan uji hipotesis model struktural Hubungan Peubah Koefisien Galat baku Nilai-t Nilai-p 0.17 Kesehatan -> SDM 0.684 3.93 0.00** 0.17 Pendidikan -> SDM 0.251 1.44 0.16 0.22 Kesehatan -> Ekonomi 0.434 1.97 0.06* 0.18 Pendidikan -> Ekonomi 0.332 1.83 0.08* 0.20 SDM -> Ekonomi 0.185 0.94 0.35 0.26 SDM -> Kemiskinan - 0.159 - 0.60 0.55 0.26 Ekonomi -> Kemiskinan - 0.591 -2.23 0.03** **nyata pada taraf nyata 5%, * nyata pada taraf nyata 10%
Gambar 4. Model persamaan struktural
17 Model Persamaan Struktural Spasial Hasil pengujian indeks moran terhadap skor peubah laten dengan menggunakan pembobot ketetanggaan menunjukkan bahwa semua skor peubah laten diperoleh keputusan tolak H0, artinya terdapat korelasi spasial setiap peubah laten pada taraf nyata 10% ( Tabel 8). Tabel 8 Hasil pengujian Indeks Moran Peubah Laten Indeks Moran Nilai-p Kesehatan 0.314 0.00** Pendidikan 0.372 0.00** SDM 0.426 0.00** Ekonomi 0.290 0.01** Kemiskinan 0.397 0.00** ** nyata pada taraf nyata 5%, * nyata pada taraf nyata 10% Untuk menggambarkan ketergantungan spasial pada skor peubah kemiskinan antar kabupaten/kota juga dapat disajikan dalam bentuk peta pada Gambar 3. Peta tersebut menggambarkan bahwa kabupaten yang mempunyai skor peubah kemiskinan satu kelompok letaknya berdampingan. Hal ini menunjukan adanya pengaruh spasial pada skor peubah kemiskinan di Papua. Karena terdapat korelasi spasial maka selanjutnya akan dilakukan pemodelan struktural dengan memasukkan aspek spasial. Kelompok skor peubah kemiskinan dibagi menjadi tiga kelompok dengan panjang interval skor sama antar kelompok, yaitu kelompok rendah (-1.874;-0.766), kelompok tengah (-0.766;0.341) dan kelompok tinggi (0.341 ;1.449).
. Gambar 5. Peta skor peubah kemiskinan per kabupaten di Papua 2013 Nilai koefisien pengujian signifikansi model struktural spasial Durbin dan model SAR tercantum dalam Tabel 9. Model SAR yang diperoleh menunjukkan bahwa kemiskinan dipengaruhi secara signifikan oleh lag kemiskinan dan ekonomi. Ekonomi dipengaruhi secara signifikan oleh kesehatan dan pendidikan. SDM dipengaruhi secara signifikan oleh lag spasial SDM dan kesehatan. Model struktural SAR yang terbentuk adalah sebagai berikut: SDMi = 0.196 nj=1,i≠j wij SDMj + 0.641 Kesehatani Ekonomii = 0.439 Kesehatani + 0.327 Pendidikani Kemiskinani = 0.339 nj=1,i≠j wij Kemiskinanj – 0.525 Ekonomii
18 Model spasial Durbin yang diperoleh menunjukkan bahwa Kemiskinan dipengaruhi secara signifikan oleh lag kemiskinan dan ekonomi. Ekonomi dipengaruhi secara signifikan oleh lag ekonomi, kesehatan, pendidikan dan SDM. SDM dipengaruhi secara signifikan oleh kesehatan. Model struktural spasial durbin yang terbentuk adalah sebagai berikut: SDMi = 0.655 Kesehatani Ekonomii = 0.433 nj=1,i≠j wij Ekonomij + 0.413 Kesehatani + 0.321 Pendidikani + 0.315 SDMi Kemiskinani = 0.452 nj=1,i≠j wij Kemiskinanj – 0.469 Ekonomii Tabel 9 Pendugaan parameter model struktural spasial Peubah Laten Model SAR Model Spasial Durbin Koefisien Nilai-p Koefisien Nilai-p SDM Kesehatan 0.641 0.00** 0.655 0.00** Pendidikan 0.217 0.19 0.217 0.21 Lag SDM 0.196 0.08* 0.200 0.46 Lag kesehatan 0.063 0.84 Lag pendidikan - 0.092 0.77 Ekonomi Kesehatan 0.439 0.04** 0.413 0.04** Pendidikan 0.327 0.07* 0.321 0.05* SDM 0.170 0.39 0.315 0.09* Lag ekonomi 0.050 0.69 0.433 0.01** Lag kesehatan - 0.087 0.86 Lag pendidikan - 0.026 0.93 Lag SDM - 0.454 0.34 Kemiskinan SDM - 0.125 0.61 - 0.236 0.45 Ekonomi - 0.525 0.03** - 0.469 0.09* Lag kemiskinan 0.339 0.04** 0.452 0.02** Lag SDM 0.165 0.67 Lag ekonomi 0.076 0.84 **nyata pada taraf nyata 5%, * nyata pada taraf nyata 10%
Pemilihan Model Terbaik Pemilihan model terbaik digunakan kriteria nilai Akaike Information Criterion (AIC). Model terbaik memiliki nilai AIC terkecil. Berdasarkan nilai AIC pada Tabel 10 maka model struktural yang terpilih adalah model SAR. Model struktural SAR yang terbentuk: SDMi = 0.196 nj=1,i≠j wij SDMj + 0.641 Kesehatani Ekonomii = 0.439 Kesehatani + 0.327 Pendidikani Kemiskinani = 0.339 nj=1,i≠j wij Kemiskinanj – 0.231 Kesehatani – 0.172 Pendidikani
19 Y1.1
Y1.3
Y1.2 0.928 0.962
X1.1
Y1.4
0.968 0.857
0.897 X1.2 X1.3
0.970
0.641
0.85
0.196
0.916 SDM
Kesehatan
0.217 0.439
X2.1
- 0.125 Lag Kemiskinan 0.170 0.339
0.900 X2.2 X2.3
Lag SDM
- 0.525
0.986 0.327
0.984
0.84
0.965
0.60
Y3.1
0.720
Y3.2
0.902 Kemiskinan
Y3.3
0.050
0.860 X2.4 X2.5
0.987
Pendidikan
0.950 Y2.1
Ekonomi 0.781 0.970 Y2.2
Lag Ekonomi Y2.3
Gambar 6. Model persamaan struktural SAR Tabel 10 Nilai koefisien determinasi dan nilai AIC Model SAR Spasial Durbin Peubah Laten 2 2 R Kriteria AIC R Kriteria AIC SDM 0.85 36.93 0.85 40.82 Ekonomi 0.84 40.69 0.89 36.97 Kemiskinan 0.60 65.91 0.62 67.66 Koefisien determinasi (R2) pada Tabel 10 menunjukkan bahwa 85% keragaman dari SDM bisa dijelaskan oleh model, sisanya dijelaskan oleh peubah lain yang tidak dijelaskan dalam model. Peubah SDM dipengaruhi oleh lag SDM dan kesehatan. Koefisien lag SDM berpengaruh signifikan, artinya SDM kabupaten ke-i akan meningkat dengan meningkatnya SDM di kabupaten yang bertetangga dengan kabupaten ke-i. Kesehatan berpengaruh positif terhadap SDM dengan koefisien sebesar 0.641 artinya semakin meningkatnya kualitas kesehatan di kabupaten ke-i maka akan meningkatkan SDM di kabupaten ke-i. Koefisien determinasi model ekonomi adalah 0.84, artinya keragaman ekonomi mampu dijelaskan oleh model sebesar 84% sisanya dijelaskan oleh peubah lain yang tidak dijelaskan dalam model. Ekonomi dipengaruhi secara signifikan oleh kesehatan dan pendidikan. Kesehatan berpengaruh positif terhadap ekonomi dengan koefisien sebesar 0.439 artinya semakin meningkatnya kualitas kesehatan di kabupaten ke-i maka akan meningkatkan kualitas ekonomi di kabupaten ke-i. Pendidikan berpengaruh positif terhadap ekonomi artinya semakin meningkatnya kualitas pendidikan di kabupaten ke-i maka akan meningkatkan kualitas ekonomi di kabupaten ke-i. Koefisien determinasi model kemiskinan adalah 0.60, artinya keragaman kemiskinan mampu dijelaskan oleh model sebesar 60% sisanya dijelaskan oleh peubah lain yang tidak dijelaskan dalam model. Kemiskinan dipengaruhi lag kemiskinan, kesehatan dan pendidikan. Koefisien lag kemiskinan berpengaruh signifikan artinya kemiskinan kabupaten ke-i akan meningkat dengan meningkatnya kemiskinan di kabupaten yang bertetangga dengan kabupaten ke-i. Kesehatan berpengaruh negatif artinya semakin meningkatnya kualitas kesehatan di kabupaten ke-i maka kemiskinan di kabupaten ke-i akan menurun.
20 Nilai R2 masing-masing model dan nilai AVE model pengukuran pada Tabel 5 dapat digunakan untuk menghitung nilai Goodness of fit (GOF). Nilai GOF yang diperoleh sebesar 0.80 artinya bahwa peubah eksogen yang terdiri dari kesehatan dan pendidikan dapat menjelaskan sebesar 80% dari SDM, ekonomi dan kemiskinan, sisanya dijelaskan oleh peubah lain. Sebagai contoh ilustrasi model kemiskinan untuk Kabupaten Merauke adalah (Lampiran 7): KemiskinanMerauke = 0.169 (KemiskinanBoven + KemiskinanMappi) – 0.231 KesehatanMerauke – 0.172 PendidikanMerauke Berdasarkan model kemiskinan Merauke diatas maka dapat diartikan bahwa peningkatan kemiskinan di Kabupaten Boven dan Kabupaten Mappi maka kemiskinan di Kabupaten Merauke juga akan meningkat. Kesehatan dan pendidikan berpengaruh negatif artinya semakin meningkatnya kualitas kesehatan dan pendidikan di Kabupaten Merauke maka akan mengurangi kemiskinan di Kabupaten Merauke.
Pengujian Galat Model Struktural Pengujian kenormalan galat dengan uji Kolmogorov-Smirnov (KS) terhadap galat model struktural spasial pada Tabel 11 menunjukkan bahwa untuk galat model spasial SDM, ekonomi dan kemiskinan diperoleh keputusan tidak tolak H0 dengan taraf nyata 10%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa model lag spasial SDM, ekonomi dan kemiskinan memiliki galat yang menyebar normal. Tabel 11 Uji kenormalan galat model struktural spasial Model Statistik Nilai-p Keputusan SDM 0.087 0.15 Tidak tolak H0 Ekonomi 0.071 0.15 Tidak tolak H0 Kemiskinan 0.093 0.14 Tidak tolak H0 Pengujian keragaman galat model struktural spasial dilakukan dengan uji Breusch- Pagan (BP) yang disajikan pada Tabel 12 menunjukkan bahwa pada taraf nyata 10% untuk model SDM, model ekonomi dan model kemiskinan diperoleh keputusan tidak tolak H0. Dapat disimpulkan bahwa model lag spasial SDM, ekonomi dan kemiskinan memiliki ragam yang homogen. Tabel 12 Uji keragaman galat model struktural spasial Model Statistik Nilai-p Keputusan SDM 1.234 0.54 Tidak tolak H0 Ekonomi 7.918 0.24 Tidak tolak H0 Kemiskinan 3.995 0.14 Tidak tolak H0 Hasil pengujian indeks moran terhadap galat model struktural non spasial menunjukkan bahwa pada model SDM, model ekonomi dan model kemiskinan diperoleh keputusan tolak H0, artinya masih terdapat otokorelasi pada galat model struktural non spasial pada taraf nyata 10% (Tabel 13). Sehingga selanjutnya sangat penting untuk menambahkan efek spasial pada model struktural.
21 Tabel 13 Uji Indeks Moran terhadap galat model non spasial Model Indeks Moran Nilai-p SDM 0.14 0.10* Ekonomi 0.42 0.00** Kemiskinan 0.31 0.00** ** nyata pada taraf nyata 5%, * nyata pada taraf nyata 10% Hasil pengujian indeks moran terhadap galat model struktural spasial diperoleh bahwa pada model SDM dan model kemiskinan diperoleh keputusan tidak tolak H0, artinya tidak terdapat otokorelasi pada galat model struktural spasial SDM dan kemiskinan pada taraf nyata 10% (Tabel 14). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan efek spasial pada MPS, selain meningkatkan R2 dan menurunkan nilai AIC juga dapat mengatasi otokorelasi spasial pada uji asumsi galat. Pada galat model ekonomi masih terdapat otokorelasi pada taraf nyata 10%. Hal ini disebabkan karena model yang dipilih untuk semua model dari peubah endogen adalah sama yaitu model SAR. Tabel 14 Uji Indeks Moran terhadap galat model spasial Model Indeks Moran Nilai-p SDM 0.01 0.36 Ekonomi 0.37 0.00** Kemiskinan 0.02 0.33 ** nyata pada taraf nyata 5%, * nyata pada taraf nyata 10%
22
5
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah disajikan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam pengukuran peubah laten tidak memenuhi validitas kekonvergenan dan validitas diskriminan sehingga dikeluarkan dari model pengukuran. Indikator yang tidak valid diantaranya adalah angka harapan hidup, persentase penduduk yang tidak mempunyai keluhan kesehatan selama sebulan terakhir, persentase rumah tangga dengan luas lantai perkapita ≥ 10 m2 dan indeks keparahan kemiskinan. Kemiskinan di Papua dipengaruhi oleh lag spasial kemiskinan, kesehatan dan pendidikan. Ekonomi dipengaruhi oleh kesehatan dan pendidikan. SDM dipengaruhi oleh lag spasial SDM dan kesehatan. Kesehatan merupakan faktor utama yang harus diperbaiki untuk mengurangi kemiskinan di Papua.
Saran Nilai Goodness of Fit (GOF) model yang diperoleh pada hasil penelitian ini masih relatif kecil. Sehingga disaran untuk penelitian selanjutnya agar melakukan penelitian model persamaan struktural dengan menambahkan efek spasial pada model pengukurannya dan menggantikan indikator yang tidak valid dengan indikator lain yang dianggap dapat mengukur peubah laten. Selain itu, galat pada model SAR ekonomi masih terdapat otokorelasi. Sehingga disarankan agar menggunakan model spasial yang berbeda untuk masing-masing model peubah laten endogen.
23
DAFTAR PUSTAKA Afifah N. 2013. Analisis Structural Equation Modelling (SEM) dengan Finite Mixture Partial Least Square (FIMIX-PLS) [tesis]. Surabaya: FMIPA ITS. Anselin L. 1988. Spatial Econometrics: Methods and Models. Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Anuraga G. 2013. Pemodelan Kemiskinan di Jawa Timur dengan Structural Equation Modeling-Partial Least Square. Statistika, Vol. 1, No. 2. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2013. Papua(ID) : BPS. Bollen KA. 1989. Structural Equations with Latent Variables. Canada: A WileyInterscience Publication. Chin WW. 1998. The Partial Least Squares Approach to Structural Equation Modeling. Di dalam: Marcoulides GA, editor. Modern Methods for Business Research. London: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher. hlm 295-336. Fischer MM, Wang J. 2011. Spatial Data Analysis: Models, Methods and Techniques. London: Springer Heidelberg Dordrecht. Fornell C, Larcker DF. 1981. Evaluating Structural Equation Model with Unobservable Variables and Measurement Error. Journal of Marketing Research, 18(1), 39-50. Fotheringham AS, Brunsdon C, Chartlon M. 2002. Geographically Weighted Regression, the Analysis of Spatially Varying Relationships. England: John Wiley and Sons, LTD. Ghozali I. 2008. Structural Equation Modeling, Metode Atlernatif dengan Partial Least Square Edisi 2. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. LeSage J. 1999. The Theory and Practice of Spatial Econometrics. Toledo Ohio: Departement of Economics University of Toledo. Oud JHL, Folmer H. 2008. A Structural Equation Approach to Spatial Dependence Models. Geographical Analysis 40: 152–166. Sun W, Gong J, Zhou J, Zhao Y, Tan J, Ibrahim AN, Zhou Y. 2015. A Spatial, Social and Environmental Study of Tuberculosis in China Using Statistical and GIS Technology. Int. J. Environ. Res. Public Health 2015, 12, 14251448; doi:10.3390/ijerph120201425. Wahyuni TNR. 2013. Faktor-faktor yang Berkorelasi dengan Kemiskinan di Provinsi Papua: Analisis Spatial Heterogeneity [tesis]. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Wold H. 1982. Partial Least Square, Encyclopedia of Statistical sciences Vol. VI. New York: John Wiley and Sons.
24
LAMPIRAN
25
26 Lampiran 2 Jumlah tetangga masing-masing kabupaten dengan Queen Contiguity No Nama Kab 1 Merauke 2 Jayawijaya 3
Jayapura
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nabire Kepulauan Yapen Biak Numfor Paniai Puncak Jaya Mimika Boven Digoel Mappi Asmat Yahukimo
14 15
Pegunungan Bintang Tolikara
16 17 18 19 20
Sarmi Keerom Waropen Supiori Mamberamo Raya
21 22 23
Nduga Lanny Jaya Mamberamo Tengah
24
Yalimo
25
Puncak
26 27 28 29
Dogiyai Intan Jaya Deiyai Kota Jayapura
Jumlah Bertetangga dengan kab/Kota 2 Boven, Mappi 5 Yahukimo, Nduga, Lanny Jaya, Memberamo Tengah, Yalimo 6 Yahukimo, Pegunungan Bintang, Sarmi, Seroom, Yalimo, Kota Jaya Pura 4 Paniai, Waropen, Dogiyai, Intan Jaya 1 Membramo Raya 1 Supiori 6 Nabire, Mimika, Puncak, Dogiyai, Intan Jaya, Deiyai 4 Tolikara, Memberamo Raya, Lanny Jaya, Puncak 6 Paniai, Asmat, Nduga, Puncak, Dogiyai, Deiyai 4 Merauke, Mappi, Yahukimo, Pegunungan Bintang 3 Merauke, Boven Digoel, Asmat 4 Mimika, mappi, Yahukimo, Nduga 7 Jaya wijaya, Jayapura, Boven Digoel, Asmat, Pegunungan Bintang, Nduga, yalimo 4 Jayapura, Boven Digoel, Yahukimo, Keerom 4 Puncak Jaya, Memberamo Raya, Lanny Jaya, Memberamo Tengah 3 Jayapura, memberamo Raya, Memberamo tengah 3 Jayapura, Pegunungan Bintang, kota Jayapura 4 Nabire, Memberamo Raya, Puncak, Intan Jaya 1 Biak Numfor 6 Puncak Jaya, Tolikara, Sarmi, Waropen, Memberamo Tengah, Puncak 5 Jaya Wijaya, Mimika, Asmat, Yahukimo, Lanny Jaya 5 Jaya Wijaya, Puncak Jaya, Tolikara, Nduga, Puncak 5 Jaya wijaya, Tolikara, Sarmi, memberamo Raya, Yalimo 4 Jaya wijaya, Jayapura, Yahukimo, Memberamo Tengah 7 Paniai, puncak Jaya, mimika, waropen, Memberamo Raya, Lanny Jaya, Intan Jaya 4 Nabire, Paniai, mimika, Deiyai 4 Nabire, Paniai, Waropen, Puncak 3 Paniai, Mimika, Dogiyai 2 Jayapura, Keerom
27 Lampiran 3 Hasil pengujian Indeks Moran masing-masing indikator Indikator
Indeks moran
Nilai-p
X1.1 0.220 0.04** X1.2 0.336 0.00** X1.3 0.337 0.00** X1.4 0.079 0.19 X1.5 0.077 0.21 X2.1 0.322 0.00** X2.2 0.382 0.00** X2.3 0.356 0.00** X2.4 0.306 0.00** X2.5 0.368 0.00** Y1.1 0.375 0.00** Y1.2 0.280 0.01** Y1.3 0.301 0.00** Y1.4 0.497 0.00** Y2.1 0.264 0.01** Y2.2 0.317 0.00** Y2.3 0.218 0.04** Y2.4 0.067 0.56 Y3.1 0.390 0.00** Y3.2 0.138 0.09* Y3.3 0.299 0.01** Y3.4 0.083 0.18 **nyata pada taraf nyata 5%, * nyata pada taraf nyata 10%
28 Lampiran 4 Model persamaan struktural model awal Y1.1 X1.1 X1.2 X1.3
0.968
0.962
0.928
0.880
Y1.3
Y1.2
Y1.4 0.856
0.966
0.84
0.661
0.909 0.411
X1.4
0.117
Kesehatan
SDM
Y3.1
-0.196 0.964
0.283
X1.5
0.52
0.093
0.508
0.696 0.891
X2.1
-0.543
0.901
X2.2
0.984
X2.3
0.986
X2.5
Y3.3
0.455
Y3.4
0.86
0.360
0.861
X2.4
Kemiskinan
Y3.2
Pendidikan 0.987
Y2.1
Ekonomi 0.951
0.972
Y2.2
0.776
-0.072
Y2.3
Y2.4
29 Lampiran 5 Model pengukuran untuk MPS awal Peubah Muatan Faktor Galat Baku Nilai-t Kesehatan X1.1 0.880 0.044 19.96** X1.2 0.966 0.009 104.06** X1.3 0.909 0.025 35.78** X1.4 0.411 0.276 1.49 X1.5 0.117 0.242 0.48 Pendidikan X2.1 0.901 0.033 26.99** X2.2 0.984 0.005 185.92** X2.3 0.986 0.005 206.60** X2.4 0.861 0.048 17.85** X2.5 0.987 0.004 270.49** SDM Y1.1 0.928 0.019 48.66** Y1.2 0.962 0.013 73.91** Y1.3 0.968 0.007 147.37** Y1.4 0.856 0.054 15.85** Ekonomi Y2.1 0.951 0.014 68.66** Y2.2 0.972 0.007 139.80** Y2.3 0.776 0.118 6.59** Y2.4 - 0.072 0.277 -0.26 Kemiskinan Y3.1 0.964 0.016 61.35** Y3.2 0.696 0.092 7.84** Y3.3 0.891 0.037 24.23** Y3.4 0.455 0.276 1.65 **nyata pada taraf nyata 5%, * nyata pada taraf nyata 10%
30 Lampiran 6 Muatan silang untuk MPS tanpa indikator X1.4, X1.5, Y2.4 dan Y3.4 Kesehatan Pendidikan SDM Kesehatan X1.1 X1.2 X1.3 Pendidikan X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 SDM Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4 Ekonomi Y2.1 Y2.2 Y2.3 Kemiskinan Y3.1 Y3.2 Y3.3
Ekonomi Kemiskinan
0.897 0.970 0.916
0.771 0.869 0.833
-0.747 -0.917 -0.849
0.746 0.912 0.830
-0.601 -0.714 -0.544
0.716 0.867 0.877 0.842 0.879
0.900 0.986 0.984 0.860 0.987
-0.654 -0.845 -0.854 -0.824 -0.854
0.728 0.826 0.850 0.882 0.843
-0.425 -0.676 -0.670 -0.621 -0.673
-0.816 -0.923 -0.931 -0.668
-0.794 -0.844 -0.849 -0.694
0.928 0.962 0.968 0.856
-0.755 -0.900 -0.908 -0.605
0.541 0.678 0.679 0.584
0.917 0.575 0.896
0.878 0.596 0.871
-0.844 -0.648 -0.835
0.950 0.781 0.970
-0.724 -0.548 -0.690
-0.742 -0.356 -0.563
-0.710 -0.408 -0.538
0.686 0.371 0.623
-0.781 -0.362 -0.658
0.965 0.720 0.902
31 Lampiran 7 Model kemiskinan masing-masing kabupaten Provinsi Papua 1. Merauke KemiskinanMerauke = 0.169 (KemiskinanBoven + KemiskinanMappi) – 0.231 KesehatanMerauke – 0.172 PendidikanMerauke 2. Jayawijaya KemiskinanJayawijaya = 0.068 (KemiskinanYahukimo + KemiskinanNduga + KemiskinanLannyJaya + KemiskinanMamberamoTengah+ KemiskinanYalimo) – 0.231 KesehatanJayawijaya – 0.172 PendidikanJayawijaya 3. Jayapura Kemiskinan Jayapura = 0.056 (KemiskinanYahukimo + KemiskinanPegunungan Bintang + KemiskinanSarmi+ KemiskinanSeroom +KemiskinanYalimo + KemiskinanKota Jayapura) – 0.231 Kesehatan Jayapura – 0.172 PendidikanJayapura 4. Nabire KemiskinanNabire = 0.085 (KemiskinanPaniai + KemiskinanWaropen + KemiskinanDogiyai+ KemiskinanIntan Jaya) – 0.231 KesehatanNabire – 0.172 PendidikanNabire 5. Kepulauan Yapen KemiskinanYapen = 0.339(KemiskinanMamberamo Raya )– 0.231 KesehatanYapen– 0.172 PendidikanYapen 6. Biak Numfor KemiskinanBiak Numfor = 0.339(KemiskinanSupiori)– 0.231 KesehatanBiak Numfor– 0.172 PendidikanBiak Numfor 7. Paniai KemiskinanPaniai = 0.056 (KemiskinanNabire + KemiskinanMimika+ KemiskinanPuncak + KemiskinanDogiyai+KemiskinanIntan Jaya + KemiskinanDeiyai) – 0.231Kesehatan Paniai – 0.172 PendidikanPaniai 8. Puncak Jaya KemiskinanPuncakJaya = 0.085 (KemiskinanTolikara + KemiskinanMamberamoRaya + KemiskinanLanny Jaya+KemiskinanPuncak) – 0.231 KesehatanPuncak Jaya– 0.172 PendidikanPuncak Jaya 9. Mimika KemiskinanMimika= 0.056(KemiskinanPaniai+KemiskinanAsmat+ KemiskinanNduga + KemiskinanPuncak+KemiskinanDogiyai+ KemiskinanDeiyai)– 0.231Kesehatan Mimika – 0.172 PendidikanMimika 10. Boven Digoel KemiskinanBoven Digoel= 0.085 (KemiskinanMerauke + KemiskinanMappi + KemiskinanYahukimo + KemiskinanPegunungan Bintang)– 0.231 Kesehatan BovenDigoel – 0.172 PendidikanBovenDigoel 11. Mappi KemiskinanMappi = 0.113 (KemiskinanMerauke+ KemiskinanBovenDigoel + KemiskinanAsmat) – 0.231 KesehatanMappi – 0.172 PendidikanMappi
32 12. Asmat KemiskinanAsmat = 0.085 (KemiskinanMimika + KemiskinanMappi + KemiskinanYahukimo + KemiskinanNduga) – 0.231 Kesehatan Asmat – 0.172 Pendidikan Asmat 13. Yahukimo KemiskinanYahukimo = 0.048 (KemiskinanJayawijaya+ KemiskinanJayapura+ KemiskinanBovenDigoel + KemiskinanAsmat + KemiskinanPegununganBintang+ KemiskinanNduga + KemiskinanYalimo)– 0.231Kesehatan Yahukimo – 0.172 Pendidikan Yahukimo 14. Pegunungan Bintang KemiskinanPegununganBintang = 0.085 (KemiskinanJayapura + KemiskinanBovenDigoel + KemiskinanYahukimo +KemiskinanKeerom) – 0.231 Kesehatan Pegunungan Bintang – 0.172 Pendidikan Pegunungan Bintang
15. Tolikara KemiskinanTolikara
= 0.085 (KemiskinanPuncak Jaya + KemiskinanMamberamo Raya + KemiskinanLanny Jaya +KemiskinanMamberamo Tengah)– 0.231 Kesehatan Tolikara – 0.172 Pendidikan Tolikara
16. Sarmi KemiskinanSarmi = 0.113 (KemiskinanJayapura + KemiskinanMamberamoRaya + KemiskinanMamberamo Tengah)– 0.231 KesehatanSarmi – 0.172 Pendidikan Sarmi 17. Keerom KemiskinanKeerom= 0.113 (KemiskinanJayapura + KemiskinanPegunungan Bintang + KemiskinanKota Jayapura)– 0.231 Kesehatan Keerom– 0.172 Pendidikan Keerom 18. Waropen KemiskinanWaropen = 0.085 (KemiskinanNabire + KemiskinanMamberamoRaya + KemiskinanPuncak + KemiskinanIntanJaya)– 0.231 KesehatanWaropen– 0.172 Pendidikan Waropen 19. Supiori KemiskinanSupiori= 0.339(KemiskinanBiak Numfor)–0.231 KesehatanSupiori–0.172 PendidikanSupiori 20. Mamberamo Raya KemiskinanMamberamo Raya= 0.056 (KemiskinanPuncak Jaya + KemiskinanTolikara + KemiskinanSarmi + KemiskinanWaropen+ KemiskinanMamberamo Tengah + KemiskinanPuncak) – 0.231 Kesehatan Mamberamo Raya – 0.172 Pendidikan Mamberamo Raya
21. Nduga KemiskinanNduga= 0.068 (KemiskinanJaya Wijaya + KemiskinanMimika + KemiskinanAsmat + KemiskinanYahukimo+ KemiskinanLanny Jaya) – 0.231 KesehatanNduga – 0.172 Pendidikan Nduga
33 22. Lanny Jaya KemiskinanLanny
Jaya=
0.068 (KemiskinanJayawijaya+KemiskinanPuncak Jaya + KemiskinanTolikara + KemiskinanNduga + KemiskinanPuncak) – 0.231 Kesehatan Lanny Jaya – 0.172 Pendidikan Lanny Jaya
23. Mamberamo Tengah KemiskinanMamberamoTengah= 0.068 (KemiskinanJayawijaya + KemiskinanTolikara + KemiskinanSarmi + KemiskinanMamberamo Raya + KemiskinanYalimo) – 0.231 KesehatanMamberamo Tengah – 0.172 Pendidikan Mamberamo Tengah 24. Yalimo KemiskinanYalimo= 0.085 (KemiskinanJayawijaya + KemiskinanJayapura + KemiskinanYahukimo + KemiskinanMamberamo Tengah) – 0.231Kesehatan Yalimo – 0.172 Pendidikan Yalimo 25. Puncak Kemiskinan Puncak =0.048 (KemiskinanPaniai + KemiskinanPuncak Jaya+ KemiskinanMimika + KemiskinanWaropen + KemiskinanMamberamo Raya + KemiskinanLanny Jaya + KemiskinanIntan Jaya)– 0.231 Kesehatan Puncak – 0.172 Pendidikan Puncak 26. Dogiyai 0.085 (KemiskinanNabire + KemiskinanPaniai + Kemiskinan Dogiyai = KemiskinanMimika + Kemiskinan Deiyai)– 0.231 Kesehatan Dogiyai – 0.172 Pendidikan Dogiyai 27. Intan Jaya KemiskinanIntanJaya = 0.085 (KemiskinanNabire + KemiskinanPaniai + KemiskinanWaropen + KemiskinanPuncak) – 0.231 Kesehatan Intan Jaya – 0.172 Pendidikan Intan Jaya 28. Deiyai Kemiskinan Deiyai =0.113 (KemiskinanPaniai + KemiskinanMimika + KemiskinanDogiyai) – 0.231 Kesehatan Deiyai – 0.172 Pendidikan Deiyai 29. Kota Jayapura Kemiskinan Kota Jayapura= 0.169 (KemiskinanJayapura + KemiskinanKeerom) – 0.231 Kesehatan Kota Jayapura – 0.172 Pendidikan Kota Jayapura
34
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Pebuar, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung pada Tanggal 12 April 1989, sebagai anak pertama dari pasangan Jumri dan Nawa. Pendidikan Sekolah Dasar penulis ditempuh di Sekolah Dasar Negeri 257 Pebuar (Bangka Barat) lulus tahun 2001, selanjutnya di SMP Negeri 2 Jebus (Bangka Barat) lulus tahun 2004. Tahun 2007 penulis menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Pangkalpinang. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya dan menamatkannya pada Tahun 2010. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Master pada Program Studi Statistika di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada Tahun 2013 dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) Dikti.