Arung Diri Kitab Puisi
Djoko Saryono
PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR
DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
UPT TAMAN BUDAYA
ARUNG DIRI Kitab Puisi
i
Arung Diri Kitab Puisi Perajin Kata:
Djoko Saryono Tata Tampilan Isi z Indro Basuki Tata Tampilan Sampul z Giryadi
Diterbitkan oleh:
UPT Taman Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Edisi 2013 Ukuran: 20 x 20 cm Jumlah: xxxii + 246 halaman ISBN: 978-602-9461-74-9 TIDAK DIPERDAGANGKAN
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apa pun, secara elektronis, maupun mekanis, termasuk fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal 72, Ayat (1), (2), dan (6).
ii
ARUNG DIRI Kitab Puisi
PRAKATA Arus kehidupan modern saat ini sangat kuat. Arus ini sarat perubahan akibat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi. Ini telah mendekonstruksi hampir seluruh aspek kehidupan yang menyeret kita ke dalam lorong gelap kehidupan. Keadaan ini barangkali analog dengan “zaman edan” yang dimaklumkan oleh pujangga besar Ranggawarsita. Dalam zaman edan ini juga terjadi erosi fungsi dan kesaktian seni tradisi yang merupakan kekuatan kultural pembentukan karakter, identitas, dan jati diri. Di tengah keadaan demikian, kehadiran karya sastra yang merevitalisasi, mentransformasi, dan mendayagunakan seni tradisi perlu diapresiasi sebab berarti menghidupkan seni tradisi di tengah arus kehidupan modern. Kandungan makna dan nilainya dapat menjadi secercah cahaya, sebagaimana kita temukan dalam Arung Diri yang mengangkat seni tradisi kita. Sebagai puisi, karya-karya dalam Arung Diri jelaslah menggunakan media bahasa. Bahasa puisi merupakan tanda bermakna ganda yang selalu menyodorkan berbagai kemungkinan makna. Arung Diri karya Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd tentu menyodorkan berbagai kemungkinan makna yang bertolak dari pikiran dan perasaan tentang seni tradisi yang telah diolah secara imajinatif dan estetis sedemikian rupa. Oleh karena itu, batin atau jiwa puisi-puisi dalam Arung Diri sesungguhnya seni tradisi yang didayagunakan, difungsionalkan, dan ditransformasikan ke dalam bentuk puisi modern. Untuk itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur sebagai lembaga yang diberi amanat mengawal pelestarian dan pengembangan seni budaya menerbitkan kumpulan puisi Arung Diri. Ini merupakan upaya memperhatikan perkembangan keragaman seni budaya di Jawa Timur, dalam hal ini turut mendukung perkembangan seni sastra modern berakar seni tradisi. Semoga buku ini bermanfaat bagi perkembangan seni budaya secara luas di Jawa Timur dan menjadi warisan bernilai. Surabaya, Desember 2013 Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur
Dr. H. JARIANTO, M.Si Pembina Utama Madya NIP. 19580807 197702 1 002
iii
ARUNG DIRI Kitab Puisi
iii
Menulis adalah seni mengulang-ulang tanpa disadari orang. [Nassim Nicholas Thaleb, Ranjang Prokrustes, Gramedia, 2011:60] Bahasa dan tulisan hanya lambang untuk ekspresikan kebenaran. Tetapi, menggelikan bila menganggap tulisan sebagai kebenaran seperti telunjuk sebagai bulan. [Tsai Chih Chung, The Book of Zen, Elex Komputindo, 2012:31] Kalau ingin membuat kesal penyair, jelaskan puisinya. [Nassim Nicholas Thaleb, Ranjang Prokrustes, Gramedia, 2011:84]
iv
ARUNG DIRI Kitab Puisi
PENGAKUAN PUISI Sungguh, kau belum kenal aku? astaga! bagaimana bisa? yang mengasuhmu budaya macam apa? pendidikan macam apa? Namaku puisi, kenapa kau lupa – memang sengaja alpa? meski tak kutahu titi mangsa, sejak kapan aku ada di dunia jelas umurku amat tua, setua pelbagai agama, karena aku dipiara: agama tak cuma berkata, tetapi jelas mencinta bahkan menyayang tiada tara, sejak dahulu kala dipercaya aku menemani ayat baka penyelamat manusia dipercaya aku mewadahi makna hidup kekal nanti di surga oleh agamawan disilakan aku tinggal di relung agama oleh agamawan diajak aku menemui umat beragama dengarlah, betapa merdu suaraku melantunkan ayat baka! lihatlah, dalam Gilgamesh aku bersama agama orang Sumeria dalam Dao De Jing dan Zhuang Zi aku bersama taoisme Cina memandu manusia meraih cemerlang kebajikan paripurna dalam Catur Weda, Mahabharata, dan Ramayana aku juga ada menyatu ajaran Hindu menemani manusia mencapai nirwana dalam Tripitaka, 50 Syair Vasubandhu, dan Songs of Milarepa aku bersanding ajaran Buddha menunjuki manusia jalan utama dalam Zabur, Taurat, dan Injil aku elok rupa tampil di muka menjaga perangai manusia agar selalu bertabur cahaya cinta bahkan dalam Qur’an nan mulia aku disayang demikian rupa hingga kepuitisan dan keindahanku memancar penuh pesona orang-orang pun riang gembira meneguk firman Allah ta’ala maka Allah mahapuitis dan mahaindah, keindahan amat disuka maka rapal doa serba puitis dan indah menenteramkan jiwa
v
ARUNG DIRI Kitab Puisi
v
jelas umurku amat tua, setua adab dan budaya, karena aku dicinta: dalam relung budaya Sumeria, Mesir Kuno, dan Maya aku primadona tak heran ditugasi jadi saluran masyarakat, pendidikan, dan agama dalam relung budaya Yunani dan Romawi aku kekasih para cendekia tak heran tercipta Poetics, Illiad, Odyssey, dan Oedipus nan pukau jiwa dalam kanvas peradaban Cina dan India akulah perawat pikiran manusia tak heran mengabadi I Ching, Analecta, Bhagavadgita, dan Brahmasutra dalam kanvas peradaban Asia Barat dan Persia aku duta ajaran agama tak heran Mantiq al-Tayr, Gulistan, Rubbaiyat, dan Matsnawi menghuni jiwa dalam kanvas abab dan budaya nusantara masa silamku sungguh amat jaya dikasihi agamawan, dihidupi penguasa, disenangi warga, dan dijaga pujangga dicipta dengan kekhusyukan tiada tara, dicipta dengan rapal doa mandraguna tak heran lahir Bujang nan Domang, I La Galigo, dan Serat Chentini nan luar biasa tak heran Syair Perahu, Gurindam 12, Hikayat Bayan Budiman, Minuman Pencinta, Bustan al Salatin, dan Sejarah Melayu senandungkan ajaran tasawuf memesona tak heran lahir kakawin Arjunawiwaha, Adiparwa, Kunjarakarna, dan Lubdhaka juga Negarakertagama dan Serat Kalatidha yang pamerkan cerlang keindahan makna Pada masa silam, semua pujangga dan warga sangat menghormati keberadaanku: mereka patuh mengikuti aturanku, mereka pantang mengubah letak susun diriku mereka luar biasa, membuahkan karya cemerlang dalam aturan begitu kaku! tak heran aku pun mampu melantunkan kesederhanaan dan kemerduan nada suara semua pendengar dan pembaca niscaya terkesima, senantiasa terlena indah makna Namun, aku kian tak terkemuka, karena putaran waktu membuat pujangga tiada dan warga pun menghindariku dengan segala alasan dan seribu cara dusta lahirlah para pemuisi mandiri dan pembaca menuntut kemerdekaan menafsiri mereka mencari jalan-jalan sendiri, merangkai dan menata kata-kata sesuka hati sejak itu aku kehilangan kesederhanaan dan kemerduan – keduanya tiada lagi dunia pun memasuki zaman baru – kerumitan dan kekacauan suara kini diimani
vi
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Sungguh, aku rindu kesederhanaan dan kemerduan, begitu juga banyak manusia di dalam dunia yang memuja kerumitan, kekacauan, seragam suara, dan datar nada maka, bersyukurlah aku, hadir himpunan puisi Arung Diri ini, dengan bahasa dan tata sederhana dan merdu, tapi bagiku pancarkan kenikmatan merasuk jiwa Aku kerasan tinggal dalam kesederhanaan dan kemerduan puisi dalam Arung Diri. Harapanku, pembaca ikhlas menikmati kesederhanaan dan kemerduan pepak seri, menemu irama ritmis dalam untaian bahasa, dan menjumpa terang lukisan dalam kanvas bahasa, serta mencecap makna yang terpancar dari kesederhanaan dan kemerduan Arung Diri. Semoga. Amin. Malang, hujan bulan Desember 2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
vii
viii
ARUNG DIRI Kitab Puisi
MAKLUMAT ARUNG DIRI Puisi adalah negeri kata-kata. Kampung halaman kata-kata adalah bunyibunyi yang selalu bergandengan mesra supaya berdaya melahirkan makna. Bunyi-bunyi meminta harus selalu hidup bersama karena kesendirian berarti kesebatangkaraan, kesepian, dan kehampaan makna. Ia disertai oleh suara dan atau tulisan supaya dapat dikenali manusia, dicerna kepala juga dada manusia. Rantau kata-kata adalah kalimat-kalimat yang senantiasa berjalin kelindan secara serasi supaya bisa melahirkan wacana. Wacana lebih suka mandiri karena semenjak tercipta menjadi kediaman makna. Ia ditemani oleh suara dan atau tulisan supaya dipahami manusia, disantap kelezatannya oleh manusia. Huruf-huruf adalah kediaman pungkasan bunyi-bunyi dan kalimatkalimat. Huruf-huruf lazim mewakili suara dan atau tulisan pulang ke kampung halaman puisi atau melawat ke rantau puisi. Suara adalah ibu kandung kata-kata, sedang tulisan adalah ibu pengganti kata-kata. Bunyi-bunyi dan kalimat-kalimat selalu disayangi oleh suara dan atau tulisan, selalu ditolong hadir oleh terang suara dan atau tulisan. Tanpa suara, bunyi dan atau kalimat tiada mungkin diucapkan bibir dan didengar oleh telinga manusia. Tanpa tulisan, bunyi dan atau kalimat mustahil ditatap mata dan dibaca oleh kornea manusia. Bunyi dan atau kalimat selalu mendiami suara dan atau tulisan karena suara dan atau tulisan begitu mencinta, tiada pernah berlaku aniaya. Perkembangan budaya dan adab manusia memperlihatkan betapa melimpah ruah kasih sayang suara dan atau tulisan kepada bunyibunyi dan kalimat-kalimat sehingga bunyi-bunyi dan kalimat-kalimat bisa bersapa dengan manusia, berkelana ke sudut-sudut dunia. Penutur bahasa yang menyuarakan dan atau mendengarkan kata-kata adalah para pelancong ke negeri kata-kata yang riang bermain bunyi-bunyi dan kalimat-kalimat. Mereka menata bunyi-bunyi sarat cinta supaya tercipta suara indah di telinga. Mereka mengungkai kalimat-kalimat penuh kasih
ix
ARUNG DIRI Kitab Puisi
ix
sayang supaya tercipta suara lezat makna di dada. Penutur bahasa yang membaca dan atau menuliskan kata-kata adalah para pelawat yang bersukasuka memainkan bunyi-bunyi dan kalimat-kalimat bertuliskan. Mereka menata huruf-huruf beraroma kasmaran sehingga tercipta makna yang mampu memanggil bunyi-bunyi dan kalimat-kalimat untuk hadir di dalam tulisan. Penikmat atau pembaca puisi adalah pecinta kerajinan kata-kata yang selalu terpana bunyi-bunyi bersuara dan atau bertuliskan; tertawan kalimat-kalimat bersuara dan atau bertuliskan; teperdaya huruf-huruf indah bermakna yang menjadi kediaman suara dan tulisan. Para pembaca puisi yang rajin melisankan atau mendaraskan puisi adalah para musafir kata-kata yang menawarkan kerajinan bunyi-bunyi dan kalimat-kalimat bersuara dan atau bertuliskan kepada sesiapa; menjamu sesiapa dengan aneka tataan huruf-huruf sarat pesona yang disuarakan dan atau dituliskan ke dunia. Para pemuisi atau kini suka disebut penyair adalah perajin kata-kata yang dikira tangkas menenun bunyi-bunyi dan cekatan memintal kalimat-kalimat bermahkota suara dan atau tulisan mendecakkan jiwa; yang disangka cendekia mengungkai huruf-huruf menjadi makna yang mampu mengguna-guna kepala. Para penyair adalah pawang kata-kata yang pura-pura kuasa menenung bunyibunyi dan atau kalimat-kalimat menjadi pijar-pijar bara makna yang membuat terbakar dada. Para penyair adalah ahli teluh kata-kata yang memamerkan kecemerlangan muslihat bunyi-bunyi dan atau kalimat-kalimat bersuara dan atau bertuliskan kepada dunia, yang justru membuatnya dikagumi dan bahkan dipuja-puji banyak manusia; ditempatkan sebagai cendekia di dalam taman peradaban manusia. Mendengarkan dan atau membaca puisi adalah bertamasya di negeri katakata yang dengan riang gembira menjelajahi lebat rimba bunyi-bunyi yang beraneka dan atau menyusuri belantara kalimat-kalimat yang berbagai-bagai makna. Melisankan dan atau menulis puisi adalah bertualang di negeri katakata yang dengan penuh keberanian nyali mengarungi jeram bunyi-bunyi yang
x
ARUNG DIRI Kitab Puisi
berceruk tiada terduga; dan atau menyusuri sungai kalimat-kalimat yang berkelok dan berpalung mendebarkan dada. Menulis puisi adalah usaha keras kepala hendak mengawetkan segala cerita, berita, dan gelisah jiwa yang terancam hilang sia-sia tertiup lalu waktu. Menulis puisi adalah upaya pura-pura cendekia meracik kata-kata yang memabukkan, menyadarkan, membangkitkan, menggemaskan, menjengkelkan, meracuni, dan atau memusingkan orang, namun jelas-jelas tak haram dan berdosa. Menulis puisi adalah ikhtiar melarikan diri dengan cara pura-pura mahir menyulam kata-kata menjadi keindahan yang bisa meneluh rasa di samping pura-pura cerdas meracik kebijaksanaan berbungkus kata-kata bersuara dan atau bertuliskan yang mampu menggendam jiwa. Menulis puisi adalah ikhtiar melukiskan paras dunia dengan keindahan anyaman kata-kata, rajutan bunyi-bunyi, dan atau ukiran kalimat-kalimat, seolah-olah dalam rangka menghancurkan keburukan dunia, padahal dalam sejarah manusia belum pernah terjadi revolusi disulut oleh puisi. Puisi cuma bisa menggedor kepala juga dada manusia yang jarang bersilaturahmi ke dunia sastra. Maka menulis puisi pada masa kini adalah ikhtiar mengencangkan urat leher untuk merapalkan pentingnya keindahan di telinga orang yang menulikan diri. Contoh nyatanya adalah Arung Diri: Kitab Puisi? Gombal! Malang, saat hujan tiba-tiba hadir 2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
xi
xii
ARUNG DIRI Kitab Puisi
PURWAWACANA KAWAN:
GAGASAN MENEMU RAGA Oleh: Tengsoe Tjahjono* lebah-lebah itu membangun sarang ayat di lubuk batin kita agar jiwa kerasan wirid di sana (Lebah 3 – Djoko Saryono) Djoko Saryono (selanjutnya disingkat DS) dikenal sebagai guru besar Universitas Negeri Malang. Tulisan-tulisannya berkisar pada masalah-masalah pendidikan, sosial budaya, dan kritik sastra. Dalam konteks seperti itu DS selalu bergelut dan bergulat dengan gagasan. Gagasan-gagasan DS sering terkesan unik, bahkan banyak yang amat kontroversial. Bagaimana jika tiba-tiba di hadapan Anda disodori tulisan DS yang tidak berupa tulisan akademik, namun berupa puisi? Mungkin saja terbersit rasa antara percaya dan tidak percaya. Tetapi, rasa tidak percaya itu lenyap begitu cepat saat saya mulai membaca puisi demi puisi yang ditulis DS. Di hadapan saya tergelar merjan-merjan gagasan yang ditulis dengan bangunan sederhana, namun justru eksotis dan puitis. Tampaknya indah tidak harus ‘neka-neka’ (Jawa, artinya aneh-aneh). Dalam kesederhanaan puisi DS, justru memancar keunikan. Sebagai pribadi yang terbiasa hidup dalam atmosfer akademik, ruangruang seminar, konsultan pendidikan, dan sebagainya, keseharian DS adalah gagasan. Puisi DS pun terkesan bermula dari gagasan. Gagasan-gagasan itu bergerak dan mengalir mencari bentuk ekspresi, menemu raga puisi. Bagi DS puisi sejajar dengan lebah: punya daya sengat dan sekaligus madu. Maka, tidak heran DS menulis: lebah-lebah itu/ membangun sarang ayat/ di lubuk batin kita/ agar jiwa kerasan wirid di sana. Suara puisi ibarat gumam lebah, mendengung penuh irama, ada yang bisa memahami, banyak xiii
ARUNG DIRI Kitab Puisi
xiii
pula yang tidak mengerti. DS ingin puisi membangun kalimat-kalimat bijak di hati setiap orang agar kesadaran keilahian hidup dalam setiap jiwa. Puisi itu manis dicecap, namun sekaligus diharapkan memiliki daya gedor pada telinga yang tuli, mata yang buta, mulut yang gagu, kaki yang lumpuh, tangan yang lunglai, saat ketidakadilan, keserakahan, dan penindasan terbaca dalam hidup sehari-hari. Puisi mengajak manusia peduli. Puisi: Ruang Theo-humanitas “Saya merasakan, maka saya ada.” Demikianlah paradigma theo-humanitas. Pernyataan itu amat berkaitan dengan persoalan humanitas, emosional, dan spiritualitas. Paradigma theo-humanitas itu terasa sekali pada puisi-puisi DS. Prinsip bahwa “Saya merasakan (kesedihan, kemenderitaan, kesia-siaan, kesesakan orang lain, maka saya (menjadi) ada” membangun relasi interpersonal dan solidaritas; merefleksikan hidup keilahian di antara sesama. Tema-tema yang diusung DS pun bergerak dari persoalan Gaza, Bosnia, kezaliman, kerusuhan, sampai ke persoalan makrifat. Simak puisi berikut ini. GAZA 1 langkah lars itu terus berderap dalam pikiran menuju piring-piring di meja makan dan menghidangkan: darah dan kematian lalu kau kunyah bersama teve yang menyanderamu di ruang tamu hingga kau lalai waktu yang terus bergerak menapak gurat jejak kematian di napasmu Malang, Maret 1995
Gaza adalah sebuah kawasan yang terletak di pantai timur Laut Tengah, berbatasan dengan Mesir di sebelah barat daya, dan Israel di sebelah timur dan utara. Di Jalur Gaza drama konflik Israel-Palestina tidak kunjung xiv
ARUNG DIRI Kitab Puisi
reda. Namun, puisi DS tidaklah bicara tentang Gaza dalam realitas sejarah. Gaza dalam puisi DS merupakan realitas metaforik. Dalam bait pertama puisi ditulis: langkah lars itu terus berderap dalam pikiran/ menuju piringpiring di meja makan/ dan menghidangkan: darah dan kematian. Persoalan kekerasan menjadi makanan kita setiap hari, menjadi sesuatu yang biasa, yang tidak lagi memprihatinkan. Bahkan, yang amat menyedihkan realitas seperti itu justru dirayakan di layar televisi sebagai bagian dari ornamenornamen budaya popular. Matinya kemampuan ‘merasakan’ dalam diri manusia terjadi karena sudah menjadi lumrahnya kekerasan dan ketidakadilan. Solidaritas tereduksi menjadi pragmatisme. Maka, sungguh masuk akal jika DS menulis: menapak gurat jejak kematian di napasmu. Manusia telah mati-rasa dan mati-peduli. Dalam puisi Bosnia 1 DS menulis: dan lihat, lihatlah, dunia terbata-bata mengeja/ bahasa yang telah lunglai makna dan daya/ apa nama tindak keji dan bengis Serbia/ (boleh jadi, di sini bahasa telah dimangsa kuasa). Dalam puisi ini pun Bosnia menjadi latar metaforik. Yang paling penting justru bagaimanakah manusia membahasakan ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya. Ketika bahasa dimaknai secara politis, maka bahasa justru tidak memiliki kuasa-diri. Bahasa menjadi bagian dari kuasa-lain, kuasa dari manusia yang menggunakan. Bahasa tidak lagi sekadar menjadi sarana komunikasi, namun menjilma menjadi sarana kekuasaan. Ketika kekerasan dimaknai sebagai pembelaan diri, ketika kekejian diartikan sebagai upaya pemenuhan hak, lalu apa sebenarnya kuasa-bahasa? Tidak ada. Sungguh: dunia terbatabata mengeja. Secara eksplisit DS merumuskan pengertian bahasa melalui puisi berikut ini. BAHASA 1 benar, benar, tak ada apa-apa di sini kecuali kokang senapan dan sedikit amunisi biasa dipakai para politisi atau petinggi meledakkan lidah yang bersekutu hati nurani ARUNG DIRI Kitab Puisi
xv
demi ketunggalan kenyataan dan kebenaran demi kelanggengan rezim makna yang selalu alpa akan kemajemukan suara maka, apa yang bisa diharap dari bahasa — yang bersemayam di geraham kuasa — yang tiap hari terus berbiak di media massa? yang tiap saat terus berkembara lewat mulut, kabel, gelombang inframerah, dan satelit di luar angkasa? Malang, Januari 1996
Dalam konteks puisi di atas bahasa hadir secara antagonis, yaitu menjadi sarana untuk menakut-nakuti kelompok yang termarginalisasi agar kuasa tetap berada pada tangan kelompok tertentu. Pola-pola ideologi marxis yang mengelompokkan masyarakat menjadi dua bagian: yang menguasai alat produksi dan yang tidak menguasai alat produksi kekal sampai saat ini, juga di sini. Dan, bahasa menjadi sarana ampuh untuk menciptakan oposisi biner: yang mengusai-yang dikuasai, rajin-pemalas, pandai-bodoh, rasional-mistik; yang pada akhirnya yang mengusai, rajin, pandai, dan rasionallah kelas unggul yang boleh bermain apa pun, tanpa bisa disalahkan, tanpa bisa dikalahkan. Apalagi teknologi komunikasi berpihak pada mereka. Lewat bahasa yang dikonstruksi sedemikian rupa, lalu disalurkan melalui gelombang suara dan gambar ke ruang-ruang publik dan privat, kuku-kuku kekuasaan pun semakin tajam mencengkeram. Ternyata tidak mudah ‘merasakan’ kegelisahan orang lain. Mereka lebih banyak memenangkan diri sendiri melalui rasionalitas yang dibangun terus-menerus. Dalam puisi Membaca Sejarah DS menanyakan tentang siapa yang menanam semiotika kemegahan sriwijaya,/ majapahit, dan tiga setengah abad kolonialisme Belanda/ ke dalam rongga dada?; menanam semiotika pertumbuhan, pemerataan,/ kehebatan fundamen ekonomi, dan keberhasilan pembangunan/ ke dalam saraf pikiran?; menanam semiotika stabilitas politik,/ massa
xvi
ARUNG DIRI Kitab Puisi
mengambang, dan undang-undang regulasi partai tak bisa diusik/ ke dalam nadi kehidupan?. Memahami pengertian sejarah secara tepat bergantung kepada kemampuan membaca seseorang. Dani Cavallaro (2001) menyatakan bahwa membaca adalah sebuah proses yang melibatkan manusia setiap saat, sebagaimana manusia itu berusaha mencoba memahami dunia atau menafsirkan tandatanda yang mengelilingi mereka. Membaca merupakan salah satu mekanisme paling vital dalam konteks sosial manusia. Membaca sejarah bukanlah membaca huruf-huruf mati. Sejarah itu ditulis, lebih tepatnya dikonstruksi. Sejarah bukan representasi peristiwa. Sejarah adalah representasi kepentingan. Pertanyaan-pertanyaan DS dalam puisi Membaca Sejarah lahir dari kesadaran membaca kritis. Pertanyaan lahir karena rasa heran, rasa tidak tahu, rasa tidak mengerti, rasa penasaran, atas fakta bahasa yang terkesan ganjil dan aneh. Pernyataan mengenai kemegahan Sriwijaya dan Majapahit, tiga setengah abad penjajahan, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, keberhasilan pembangunan, massa mengambang, dan sebagainya adalah konstruksi ideologi yang ditanamkan ke dalam jiwa bangsa melalui bahasa. Dengan sangat ironis dan satire DS menulis hasilnya adalah batu, mitologi, dan monumen, hanya melahirkan kata-kata benda yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perubahan kelayakan hidup bangsa. Puisi-puisi DS jadilah ruang theo-humanitas. Di tengah hingar-bingar dan hiruk-pikuk keserakahan, kesewenang-wenangan, kebebalan, dan sebagainya yang mencerabut relasi personal antarmanusia, yang merampas sikap solidaritas terhadap sesama, yang menghabisi kemampuan merasakan pada jiwa setiap orang, DS pun merindukan keheningan. Ning dan wening. Hanya dengan cara begitu manusia bisa menyadari kodratnya sebagai makhluk Tuhan yang tidak berdaya, yang oleh karena itu harus saling bersatu dengan yang lain. Perhatikan puisi berikut ini.
ARUNG DIRI Kitab Puisi
xvii
RINDUNYA RINDU MAKRIFAT ADA dalam puasa suara dan berkendara mutmainah cinta rindunya menghisap seluruh ayat semesta sukmanya menyusu makrifat ada “jangan ganggu aku”, katanya “tarian rumiku sudah tiba di semenanjung ada manusia” hijab cakrawala pun tersingkap buraq cahaya melesat dan adanya lenyap dan dirinya tamat “jangan tanya jasad jangan tanya alamat aku di luar segala kalam tersurat”, pesannya di tiap desah angin lewat Malang, Juli 1998
Makrifat berarti menyadari kehadiran Allah dalam gerak-gerik lahir maupun batin seperti melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan, berpikir dan sebagainya. Segala sesuatu ada karena Allah semata. Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki, menurut al-Gazali, bukan diperoleh melalui pengalaman indrawi, juga tidak melalui penalaran rasional, namun lewat kemurnian kalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Dalam makrifat tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indra dan tidak terjangkau oleh akal (rasio). Makrifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan
xviii
ARUNG DIRI Kitab Puisi
membuat ketenangan akal pikiran. Siapa pun yang meningkat makrifatnya, meningkat pula ketenangan hatinya. Dalam tasawuf, makrifat merupakan tataran kesadaran paling tinggi. Jika setiap orang menyadari bahwa Allah hadir di mana dan kapan saja, tindakan manusia pun akan berkiblat kepada Allah. Namun, membangun kesadaran makrifat itu tidaklah mudah. Hanya saja ketidakmudahan itu bukanlah alasan bagi manusia untuk memilih jalan sendiri, menjauh dari sikap makrifat. “Dalam puasa suara” usaha mencapai makrifat itu mampu dilaksanakan. Manusia harus bersedia untuk berdiam dari retorika, pidatopidato politik dan basa-basi; manusia harus mencari ruang hening untuk mawas-diri. Dengan demikian, manusia diharapkan melepaskan egonya, masuk ke dalam persoalan publik-papa melalui tindakan nyata. Maka manusia itu dapat menunjukkan kepada dunia bahwa “tarian rumiku sudah tiba/ di semenanjung ada manusia”. Tarian rumi adalah tarian sufi, tarian mereka yang mengamalkan pekerjaan tasawuf. Artinya, bagi manusia sekarang ini yang diperlukan bukanlah kata-kata atau retorika, tetapi sebuah tarian, sebuah gerak jiwa yang konkret, yang dimotivasi oleh gerak Allah sendiri.
Puisi: Sebuah Reidentifikasi Diri Dalam ruang theo-humanitas pemahaman orang tentang manusia mau tak mau harus memancarkan sikap keilahian. Allah tidak membedakan manusia kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, majikan dan buruh, dan sebagainya. Allah hanya akan memperhitungkan amal ibadah mereka saat manusia hidup di dunia. Manusia pun tidak boleh terjebak dalam konstruk berpikir Ferdinand de Saussure tentang oposisi biner yang telah berhasil membangun struktur-struktur kesadaran pengetahuan. Oposisi biner telah membagi dunia ke dalam dua kategori, dan kategori yang satu biasanya lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Hal itu sangat merugikan dua hubungan tersebut. Di masyarakat akan terjadi dualitas kelompok yang saling menindas yang melahirkan primordalisasi dan sektarianisasi. Yang mengerikan oposisi tersebut pada akhirnya tercipta menjadi mitos dan kebenaran yang diamini. ARUNG DIRI Kitab Puisi
xix
Banyak istilah yang terjebak pada gagasan oposisi biner yang dikaitkan dengan kekuasaan dan melahirkan penindasan-penindasan baru, misalnya minoritas-mayoritas, pusat-pinggiran, global-lokal, protagonis-antagonis, dan sebagainya. Muaranya adalah lahirnya batas-batas teritori untuk menentukan ‘siapa kita’ dan ‘siapa mereka’. Dikotomi biner ini justru mengandung unsurunsur hierarkis dan oposisional yang menindas. Dikotomi merupakan simplifikasi yang menyesatkan. Oleh karena itu, harus ada gerakan yang membangun wacana tandingan, wacana pembalikan, atau dekonstruksi terhadap kelaziman yang selama ini menyesatkan namun dianggap sebagai kebenaran. Harus ada pembacaan ulang terhadap predikasi kelompok manusia yang selama ini dikonstruksi secara hierarkial dan oposisional, harus ada reidentifikasi. Tokoh-tokoh Sukesi, Sarpakenaka, dan Sinta adalah tokoh-tokoh perempuan dalam Epos Ramayana yang tubuh, jiwa, dan hidupnya telah dikonstruksi oleh kekuasaan laki-laki. Label kesetiaan, diam, penuh cinta dan pengabdian, suci, dan patuh adalah label-label yang ditanamkan secara terus-menerus, bahkan turun-temurun, atas entitas yang bernama perempuan. DS menuliskan teks puisi pembalikan, dekonstruksi, dan reidentifikasi diri. Perhatikan penggalan puisi berikut ini. SUARA HATI DEWI SUKESI … dengan lapang dada harus kukata akulah ibu segala malapetaka semesta: semestinya Wisrawa juga karena mereka kukandung berbulan lamanya karena mereka terlahir dari rahimku nan mulia dengan terbuka jiwa harus kukata akulah ibu segala mara bahaya marcapada: semestinya Wisrawa juga karena kuduga semua ilmu berkah indah buahnya ternyata ada yang berbisa: hamburkan racun saat kubuka
xx
ARUNG DIRI Kitab Puisi
karena kukira semua ilmu beri faedah bagi siapa saja ternyata ada yang dimonopoli dewa: taburkan tuba saat kuminta karena kuyakin semua ilmu dipiara kebenaran kencana ternyata ada yang dirantai kuasa dewa: tebarkan celaka saat kucoba bukankah aku perempuan perkasa? rela menerima getir takdir sepanjang masa ikhlas memanggul beratnya hidup hina dina lapang dicerca dalam Ramayana, wayang, dan cerita aku Dewi Sukesi, wanita jelita teperdaya ilmu berbisa dan dikerjai para dewa yang tak rela manusia jadi sempurna pesanku kepada manusia: waspadalah tabiat ilmu dunia kalau gegabah, Sukesi dan Wisrawa kedua di depan mata Dewi Sukesi adalah ibu Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Wibisana. Buah cintanya dengan Begawan Wisrawa yang sudah tua. Kecuali Wibisana, putra-putri Sukesi berwujud raksasa. Itulah hukuman atau kutukan yang harus diterima Sukesi karena meminta Wisrawa menjelaskan makna Sastra Jendra Hayuningrat. Sastra Jendra Hayuningrat adalah ajaran tentang keselamatan penguasa demi tercapainya keselamatan alam semesta. Yang dimaksud dengan penguasa bukanlah hanya raja, pemimpin negara, ataupun pemimpin lain, namun terlebih adalah diri sendiri. Manusia harus mampu menaklukkan dan menguasai dirinya sendiri. Dalam konteks filosofi Jawa yang harus ditaklukkan dan dikuasai manusia adalah sifat angkara murka yang berada dalam dirinya. Karena Sukesi dan juga Wisrawa gagal mengendalikan hawa nafsunya, terjebak dalam hasrat birahi, kutukan itu pun harus ditanggung Sukesi, menjadi ibu dari anak-anak berwujud mengerikan. Rahwana, anak pertama, raksasa yang mengerikan, berwajah sepuluh, berwarna merah bagai api, wataknya jahat sekali, hanya mengedepankan nafsu. Kumbakarna, putranya yang kedua, raksasa besar, kulitnya hitam, melambangkan nafsu makan dan tidur yang berlebihan. Sarpakenaka, anak ketiga, perempuan raksesi yang berwatak jahat, suka iri. Mukanya jelek ARUNG DIRI Kitab Puisi
xxi
berwarna kuning dan suka bersolek berlebihan. Melambangkan nafsu kepada harta duniawi. Wibisana, putra keempat berupa manusia. Satria tampan ini melambangkan laku tirakat, hidup sederhana dan sangat spiritual. Dalam konteks ini tampak sekali bahwa dalam rahim jiwa manusia terkandung sifat angkara dan juga laku budi-suci. Persoalannya adalah mampukah manusia mengelola kedua sifat yang saling bertentangan namun sekaligus saling mengisi dan melengkapi itu? Pertanyaan berikutnya adalah mengapa Sukesi yang harus menanggungnya. Mengapa memahami Sastra Jendra Hayuningrat melahirkan kutuk bagi perempuan? Bukanlah mempelajari ilmu hak setiap pribadi? Terjadi ketidakadilan jender dalam kasus ini. Maka, Sukesi pun berseru, “aku Dewi Sukesi, wanita jelita teperdaya ilmu berbisa/dan dikerjai dewa yang tak rela manusia jadi sempurna/pesanku kepada manusia: waspadalah tabiat ilmu dunia/ kalau gegabah, Sukesi dan Wisrawa kedua di depan mata.” Perhatikan pula penggalan puisi berikut ini. SUARA HATI SARPAKENAKA 1 Akulah perempuan yang menerima sepenuh hati segala yang terberi pada diri: ujud raksasi menebar ngeri buruk rupa tiada menarik lelaki badan pun tak sesuai idaman hati budi pun tiada terpuji karna jahat menguasai apalagi suara, sungguh di luar tatakrama resmi apalagi pribadi, sungguh lancung pekerti Bukankah aku perempuan mulia karena sanggup memikul semua? tetapi, kenapa justru ditahbiskan perempuan hina dan tiada harga? Apakah kemuliaan sebangun rupa bagus, hati terpuji, lembut suara, dan tinggi budi, bukan kesanggupan menerima takdir sepenuh jiwa? Sungguh cerita dan tafsir sederhana – tiada merasuk rahasia makna! Sungguh cerita dan tafsir tak semena-mena – demi kepentingan kuasa! …
xxii
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Nasib Sukesi tidaklah jauh berbeda dengan nasib Sarpakenaka. Mereka juga terperangkap pada kultur yang didesain oleh kekuatan laki-laki. Sarpakenaka adalah putri Sukesi, berwujud raksesi. Dia digambarkan selalu mendukung tindakan jahat Rahwana, kakaknya. Sebagai sang nafsu hitam sangat bersemangat mendukung sang nafsu merah (representasi Rahwana) dan merintangi manusia dalam menggapai pencerahan. Benarkah ia mendukung kejahatan Rahwana atau justru tak berdaya secara hierarkial dan oposisional karena Rahwana adalah kakaknya dan sekaligus laki-laki? Ketidakcantikannya juga bukan kehendaknya, namun karena takdir yang harus diterima sebagai akibat kutuk yang disandang sang ibu. Berjalan dalam garis takdir dan narasi yang tidak kuasa ia hindari bukanlah pekerjaan mudah. Predikasi antagonis harus ia terima dan ia jalani. Maka, DS pun mengajak Sarpakenaka bertanya, “Bukankah aku perempuan mulia karena sanggup memikul semua?” Berani bertanya adalah sebuah keberanian, walaupun jawaban tidak mudah ia dapatkan. Yang terpenting telah tumbuh kesadaran kritis atas kodratnya sebagai perempuan yang dalam catatan perjalanan hidup manusia selalu termarginalisasi. Keberanian membalikkan fakta menjadi fakta baru memang belum konkret dikerjakan Sukesi dan Sarpakenaka di dalam puisi di atas, walau sinyal-sinyal pemberontakan sudah terbaca lewat pertanyaan-pertanyaan keras yang mereka lantunkan. Justru dalam diri Sinta semangat melawan kekuasaan laki-laki tidak hanya dinyatakan secara verbal, namun juga melalui tindakan. Perhatikan puisi berikut ini. MIMPI SINTA Rahwana… Rahwana… Rahwana… bawa saja aku ke dalam istana asmara di Alengka biarkan menyantap gelegak nafsu yang kau punya dan mainkan seluruh jurus indah kamasutra dan hunjamkan libidomu di kedalaman raga
ARUNG DIRI Kitab Puisi
xxiii
Bukan cuma mereguk nikmat tiada tara aku juga serasa terbang ke nirwana – meski kubelum ke sana Jangan hiraukan Rama …jangan indahkan dia lelaki sangat jaim yang sesungguhnya lemah jiwa di hadapan wanita yang ditakdirkan paling setia hingga perlu bala butuh wanara untuk citra diraja padahal cukup pakai besar jiwa dan lapang dada Madiun, 2007
Puisi Mimpi Sinta itu merupakan suara bawah sadar Sinta. Suara bawah sadar itu ketika menyeruak ke luar bisa jadi akan berubah menjadi tindakan. Bukan lagi mimpi namun sebuah kenyataan. Benarkah Rama mencintai Sinta sehingga ia berjuang merebut kembali Sinta dari genggaman Rahwana dengan bantuan laskar kera? Ataukah ia takut bahwa benda kepunyaannya, mainan yang sangat ia eman-eman, jatuh ke tangan orang lain? Atau, justru merasa harga dirinya terinjak-injak ketika bagian dari privasinya direnggut oleh pihak lain? Oleh karena itu DS melakukan pembacaan ulang atas kisah Sinta tersebut. Dalam pembacaan kritis hendaknya manusia tidak gampang terjebak pada pemahaman makna tekstual, namun harus mampu menemukan alasan mengapa artikulasi gagasan disusun dengan cara tertentu. DS menafsirkan bahwa Rama adalah lelaki sangat jaim yang sesungguhnya lemah jiwa/ di hadapan wanita yang ditakdirkan paling setia/ hingga perlu bala butuh wanara untuk citra diraja/. Tentu penafsiran tersebut jauh dari kebenaran yang selama ini dibaca banyak orang yang menganggap Rama adalah titisan Wisnu penjaga kedamaian dunia. Pemujaan kepada Rama justru membutakan orang kepada pengetahuan bahwa bagaimana pun juga Rama hanyalah seorang manusia. Hal itulah yang mendorong DS melakukan pembacaan ulang, menuliskan sisi manusia (yang tidak sempurna dan selalu lemah) dari Rama. Bahkan, Sinta pun dilukiskan sisi ‘kebetinaannya’ yang
xxiv
ARUNG DIRI Kitab Puisi
tidak selamanya harus setia, lebih-lebih kepada kesewenang-wenangan lakilaki. Reidentifikasi diri juga dikenakan kepada tokoh-tokoh antagonis Rahwana dan Kumbakarna. Reidentifikasi diri tersebut semata-mata untuk mengangkat martabat manusia, memanusiawikan manusia, mendudukkan eksistensi manusia secara proposional. Dalam puisi Suara Hati Rahwana DS menulis: Tapi, haruskah semua sebutan menjijikkan kusandang – kukenakan?/ Sedang aku melakukan semua di luar timbang, di luar kesadaran/ Aku hanya menjalani takdir dewata: suka cita, pantang terbata!/ Aku hanya menepati takdir ilahi: tanpa mengingkari yang telah pasti! Rahwana menanyakan mengapa predikat buruk harus selalu disandangnya padahal sebagai makhluk ia tidak mungkin bisa menolak takdir. Bahkan, dalam puisi Suara Hati Kumbakarna DS menulis: pilihan kehidupan hanya permainan – bukan kekalahan kemenangan/ di sana tak ada pengkhianatan – juga kehebatan kebodohan/ pilihan kehidupan hanya permainan – kenapa harus memutuskan? Puisi-puisi DS terbentang dari ruang theo-humanitas ke identifikasi diri. Kesadaran keilahian yang diharapkan tumbuh pada tiap pribadi akan mampu melahirkan kesadaran kritis terhadap arti dan kedudukan manusia. Jiwa manusia bukan hanya hitam dan putih, namun tergelar juga dimensi abuabu dalam hidup dan kehidupannya. Itulah sejatinya wujud multi-dimensinya manusia. Tulisan ini akan saya akhiri dengan mengutip puisi DS berikut ini. RISALAH RINDU 2 di batinku al-Ghazali tiba – lalu dia sebar lembar-lembar memesona Mishkat al-Anwar penuh cinta kulipat jadi bahtera Sinbad bersuar lalu kupakai melayari lautan cahaya maha cahaya denyar angin cahaya menerpa geriap jiwa: di mana berada? gemulung ombak cahaya membentur jiwa: sampai mana?
ARUNG DIRI Kitab Puisi
xxv
bahtera Sinbadku terus berlayar – menuju hakikat ada mengarungi lautan cahaya maha cahaya – mencari arah dermaga [pelayaranku terus menembus waktu – tak kutahu kapan tiba karna aku tenggelam di dasar Mishkat al-Anwar – ditawan pana] Malang, 2011
DS adalah seorang akademisi. Dia tidak mau terjebak dalam klasifikasi kering seperti itu. Buktinya ia pun menulis puisi. Inilah dimensi lain dari DS, bahkan mungkin sebuah upaya reidentifikasi diri. Yang jelas saya pribadi berharap DS terus menulis puisi agar mimpinya tentang pelayaran Sinbad dapat terwujud, dan kelak ia sungguh menemukan hakikat. Malang, ketika hujan di pengujung 2012
*Dr. Tengsoe Tjahjono, M.Pd adalah penyair, eseis, dan kritikus sastra serta dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Dia telah menulis beberapa kumpulan puisi dan bukubuku sastra.
xxvi
ARUNG DIRI Kitab Puisi
DAFTAR ISI PRAKATA .........................................................................................................
iii
PENGAKUAN PUISI .........................................................................................
v
MAKLUMAT ARUNG DIRI ..............................................................................
ix
PURWAWACANA KAWAN: GAGASAN MENEMU RAGA ..........................................................................
xv
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xxvii ARUNG CERITA .............................................................................................. l Suara Hati Dewi Sukesi ........................................................................ l Suara Hati Wisrawa .............................................................................. l Percakapan Wiswara dan Sukesi ............................................................ l Kemarahan Danaraja ............................................................................. l Suara Hati Rahwana ............................................................................. l Suara Hati Kumbakarna ........................................................................ l Kematian Indah Ksatria ......................................................................... l Suara Hati Sarpakenaka 1 ..................................................................... l Suara Hati Sarpakenaka 2 ..................................................................... l Perasaan Hati Wibisana ......................................................................... l Ucapan Rama kepada Sinta ................................................................... l Geram Rama kepada Sinta ................................................................... l Jawaban Sinta kepada Rama ................................................................. l Mimpi Sinta ......................................................................................... l Kekesalan Sinta ..................................................................................... l Kata Hati Bisma Muda ......................................................................... l Bara Asmara Bisma ............................................................................... l Kisah Cinta Amba dan Bisma ............................................................... l Kata Hati Gandari 1 ............................................................................. l Kata Hati Gandari 2 ............................................................................. l Penyesalan Kunti ................................................................................... l Tampik Kunti ........................................................................................
xxvii
ARUNG DIRI Kitab Puisi
1 3 6 10 11 13 16 18 20 22 23 25 26 27 28 29 30 32 33 37 39 41 43
xxvii
Abnormalisme ....................................................................................... Percakapan Waktu ................................................................................. Kata Hati Karna .................................................................................... Kata Hati Drupadi ................................................................................ Jalan Swargaloka ................................................................................... Pengakuan Parikesit ............................................................................... Sarpahoma ............................................................................................ Kata Hati Ramaparasu .......................................................................... Pertanyaan Duryudana ........................................................................... Perjalanan Cinta Sukrasana .................................................................... Sesal Sumantri ......................................................................................
46 49 50 52 53 55 57 59 61 63 66
ARUNG JIWA .................................................................................................. l Sajak Perjalanan ..................................................................................... l Sapi Betina ............................................................................................ l Lebah 1 ................................................................................................ l Lebah 2 ................................................................................................ l Lebah 3 ................................................................................................ l Surat 1 .................................................................................................. l Surat 2 .................................................................................................. l Surat 3 .................................................................................................. l Arus ...................................................................................................... l Rindunya Rindu Makrifat Ada .............................................................. l Angin Semesta 1 ................................................................................... l Angin Semesta 2 ................................................................................... l Angin Semesta 3 ................................................................................... l Angin Semesta 4 ................................................................................... l Angin Semesta 5 ................................................................................... l Angin Semesta 6 ................................................................................... l Angin Semesta 7 ................................................................................... l Suwung ................................................................................................. l Pencerahan ............................................................................................ l Eling ..................................................................................................... l Sajak Patah Hati ...................................................................................
69 71 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92
l l l l l l l l l l l
xxviii
ARUNG DIRI Kitab Puisi
l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l l
Cinta, Bila Kau Suka ............................................................................ Cinta, Laut adalah Dirimu .................................................................... Cinta, Samudra telah Jadi Pena 1 ......................................................... Cinta, Samudra telah Jadi Pena 2 ......................................................... Cinta, Zikir Ombak Membuai Kita ...................................................... Keselamatan .......................................................................................... Laut Iman ............................................................................................. Mantra Pembersih Diri ......................................................................... Mantra Keberanian ................................................................................ Mantra Cinta ........................................................................................ Mantra Rindu ....................................................................................... Rindu Bersama ...................................................................................... Risalah Rindu 1 .................................................................................... Risalah Rindu 2 .................................................................................... Para Perindu .......................................................................................... Penunggang Cahaya ................................................................................ Variasi Asmara 1 .................................................................................. Variasi Asmara 2 .................................................................................. Variasi Asmara 3 .................................................................................. Variasi Asmara 4 .................................................................................. Membaca Dini Hari ............................................................................. Kasmaran .............................................................................................. Syukur ................................................................................................... Meditasi Diri ........................................................................................ Mencari Jalan 1 .................................................................................... Mencari Jalan 2 .................................................................................... Mencari Jalan 3 .................................................................................... Mencari Jalan 4 .................................................................................... Sonata Cinta ......................................................................................... Mencari Makrifat .................................................................................. Memburu Hakikat ................................................................................ Pengakuan ............................................................................................. Perjalanan Cinta .................................................................................... Memburu Inti .......................................................................................
ARUNG DIRI Kitab Puisi
93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129
xxix
ARUNG BERITA ............................................................................................. l Gaza 1 .................................................................................................. l Gaza 2 .................................................................................................. l Bosnia 1 ................................................................................................ l Bosnia 2 ................................................................................................ l Bahasa 1 ............................................................................................... l Bahasa 2 ............................................................................................... l Bahasa 3 ............................................................................................... l Bahasa 4 ............................................................................................... l Membaca Sejarah .................................................................................. l Pantai Bama .......................................................................................... l Talpat .................................................................................................... l Di Negeri Sulapankah Aku? ................................................................. l Moratorium Kebengisan ........................................................................ l Bebal ..................................................................................................... l Jakarta: Kerusuhan Mei 1998 ............................................................... l Testimoni Kerusuhan ............................................................................. l Akulah Sunyi ........................................................................................ l Machiavielisme ..................................................................................... l Suramadu .............................................................................................. l Patah Hati di Suramadu ....................................................................... l Cinta, Kenapa Ada Newton dan Hawking? .......................................... l Kita dan Newton .................................................................................. l Kita dan Hawking ................................................................................. l Mencari Bahagia ................................................................................... l Mencari Kekasih ................................................................................... l Air ........................................................................................................ l Puisi Belajar Mengumpat ...................................................................... l Manusia Aniaya .................................................................................... l Laila dan Berita Media ......................................................................... l Nabila Kini Membaca .......................................................................... l Maulana Bertanya Makna ..................................................................... l Ekshibisionisme ..................................................................................... l Pelayaran Rindu di Matamu .................................................................. l Sketsa Pagi ............................................................................................
xxx
ARUNG DIRI Kitab Puisi
131 133 134 135 137 139 140 141 143 144 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 167 168 170 171 172
Semiotika Kezaliman ............................................................................. Kezaliman ............................................................................................. Anomali ................................................................................................ Bumi Kita ............................................................................................. Nasib Bumi ........................................................................................... Muasal Kepunahan ................................................................................ Pencaplokan Bahasa ............................................................................... Pembajakan ............................................................................................ Legasi .................................................................................................... Keberanian ............................................................................................ Solilokui ............................................................................................... Senandika Kaum Papa ........................................................................... Pertarungan Makna ................................................................................ Kesetimbangan ...................................................................................... Kejumudan atau Kedamaian? ................................................................. Kehampaan ............................................................................................ Bagaimana Mungkin ..............................................................................
173 175 176 178 180 182 184 186 188 189 192 194 195 197 200 202 203
PURNAWACANA KAWAN: MENYATUKAN YANG TERBELAH: JALAN PUISI ARUNG DIRI .............................................................................
205
UCAPAN TERIMA KASIH ..............................................................................
243
TENTANG PERAJIN KATA ............................................................................
245
l l l l l l l l l l l l l l l l l
ARUNG DIRI Kitab Puisi
xxxi
xxxii
ARUNG DIRI Kitab Puisi
1 Arung Cerita
ARUNG DIRI Kitab Puisi
1
2
ARUNG DIRI Kitab Puisi
SUARA HATI DEWI SUKESI seperti segala sabda kusangka semua ilmu memperindah dunia dan menyelamatkan arung hidup manusia maka, kuminta Sastra Jendra Hayuningrat kepada Wisrawa ketika kepadaku dia mencari cinta buat anaknya Danaraja [“jangan…jangan…bencana bakal mendera dunia bila aku membeber rahasia Sastra Jendra kepada wanita tapi demi anakku raja Danareja kubeber kedalaman makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu tiada tandingnya”, putus Begawan Wisrawa menggegerkan seisi alam semesta dan mengguncang damai indraloka, merepotkan semua dewa] berdua di sanggar pemujaan dewa dengan budi yang ditenggelamkan lautan lupa Wisrawa pun gelap mata, lalu membeber jantung rahasia aku menyambutnya penuh gairah cinta – didihnya kelupas dada aku menyambarnya penuh hajat kama – umbar nafsu purba karena Sastra Jendra bukan teori belaka, tapi laku bercinta membuta karena Sastra Jendra butuh singkapan hijab wanita agar dapat dicerna karena Sastra Jendra perlu ketelanjangan agar puncak kenikmatan dirasa dan aku pun – juga Wisrawa – memasuki kegelapan kehidupan berbilang waktu bergumul tanpa penglihatan – juga tiada kesantunan berbilang kali mendaki puncak kenikmatan – mungkin juga kebebalan sebab semua makna Sastra Jendra harus diuraikan – juga ditamatkan
3
ARUNG DIRI Kitab Puisi
3
[gunung-gemunung beterbangan pepohonan rimba bertumbangan air sungai dan lautan berhamburan makhluk-makhluk berlarian – mencari perlindungan dan alam semesta terjerembab di palung kesedihan] ketika terang tanah – setelah segala variasi tubuh diolah dan semua nafsu muntah dan tumpah ke seluruh urat nadi alam semesta, bencana telah merambah: anakku Dasamuka, Kumbakarna, dan Sarpakenaka berwujud raksasa yang takdirnya mengacau tata dunia – juga ketenteraman manusia hingga dunia onar senantiasa – tak sempat merasai bahagia kendati aku jelita pualam semesta – bersuami Wisrawa tua bangka kendati Wibisana anakku tampan perwira – tapi tak memihak ibunda dengan lapang dada harus kukata akulah ibu segala malapetaka semesta: semestinya Wisrawa juga karena mereka kukandung berbulan lamanya karena mereka terlahir dari rahimku nan mulia dengan terbuka jiwa harus kuterima akulah ibu segala mara bahaya marcapada: semestinya Wisrawa juga karena kuduga semua ilmu berkah indah buahnya ternyata ada yang berbisa: hamburkan racun saat kubuka karena kukira semua ilmu beri faedah bagi siapa saja ternyata ada yang dimonopoli dewa: taburkan tuba saat kuminta
4
ARUNG DIRI Kitab Puisi
karena kuyakin semua ilmu dipiara kebenaran kencana ternyata ada yang dirantai kuasa dewa: tebarkan celaka saat kucoba bukankah aku perempuan perkasa? sanggup menerima getir takdir sepanjang masa ikhlas memanggul beratnya hidup hina dina lapang dicerca dalam Ramayana, wayang, dan cerita aku Dewi Sukesi, wanita jelita teperdaya ilmu berbisa dan dikerjai dewa yang tak rela manusia jadi sempurna pesanku kepada manusia: waspadalah tabiat ilmu dunia kalau gegabah, Sukesi dan Wisrawa kedua di depan mata [gunung-gemunung beterbangan, pepohonan bertumbangan air sungai dan lautan berhamburan, semua makhluk berlarian tapi, tapi, kini bukan aku dan Wisrawa biangnya: kalian sendiri membuka kotak pandora dengan gelegak hasrat mendedah isi dunia] aku Dewi Sukesi, ibu segala kerusakan dunia kenapa jejakku kau ikuti wahai manusia – mengumbar angkara? aku Dewi Sukesi…. [gema suara jauh melintasi sunyi] Malang, 2007
ARUNG DIRI Kitab Puisi
5
SUARA HATI WISRAWA sejatiku telah renta – umurku sedang mendaki senja buat apa birahi cinta? – nadiku selalu diarungi doa mataku keberserahan semata – pandangku swargaloka untuk apa nafsu asmara? – napasku sudah dilayari bunga memang segala kesaktian masih kupunya segenap ilmu langka masih terjaga di dada memang segala keberanian masih bergelora segenap ketangkasan raga tetap terpelihara tubuh, kulit, dan raut pun tetap tampak muda [maka, jangan dekati cinta jangan sentuh asmara sekalipun demi Danaraja – anakmu yang gamang wanita] aku hanya masgul – kenapa permaisuri Danaraja tak muncul? aku memang terpukul – kenapa raja diraja dirajam ragu bergaul? adakah seorang bapa bisa mengarungi masa tua – berselendang bahagia ketika anak kinasih tangkas urus negara – tapi tumpul rasa wanitanya [hentikan pikiranmu Wisrawa – kau mulai diracuni iba jangan teruskan menimang rencana – kau sedang disihir petaka jangan manjakan Danaraja – kau sedang berjalan menuju celaka] kesempatanku kini terbuka – Sukesi membentang sayembara aku harus mengantarkannya di atas tahta – hati pualam Danaraja
6
ARUNG DIRI Kitab Puisi
[sadarlah Wisrawa – kau menginjak tapal kerusakan dunia berhentilah Wisrawa – kau sedang mencetak tapak mala] [tibalah Wisrawa di arena sayembara – membekuk semua petarung mengerahkan ketinggian ilmu langka – sebab rencana pantang urung] siapa masih berani maju ke arena – aku siapkan jurus paling digdaya Sukesi dara jelita harus kubawa – segala rintang harus kulibas semua [waktu tiba-tiba memucat – angin seketika minggat segenap suara tercekat – senyap hadir berlipat-lipat semua keberanian sekarat – semua rasa dihajar pepat] akulah Wisrawa, tua bangka beraut muda pemenang sayembara kini Dewi Sukesi harus kusandingkan dengan ananda Danaraja duduk mesra di dampar kencana negeri gemah ripah Lokapala sesuai janjiku sejak mula – mencarikan pasangan ananda tercinta sebab aku akan muram durja – ananda tak punya turun pelanjut tahta [“sebagai sudah kukata, aku tak perlu suami lelaki perkasa kuidamkan lelaki cendekia bisa membeber rahasia Sastra Jendra biar aku dapat bersemayam di puncak kenikmatan berlama-lama”, ujar Dewi Sukesi merusak gendang telinga – serasa padat tuba] [Wisrawa ternganga – pinta Sukesi tak dinyana dan terperangkap perdaya – menolak tak kuasa sebab ingat Danaraja butuh kelengkapan tahta: seorang permaisuri jelita]
ARUNG DIRI Kitab Puisi
7
demi cintaku kepada Danaraja, baiklah kubeber rahasia makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepadamu hai jelita tetapi perlu kau tahu, Sastra Jendra ilmu kesempurnaan milik dewa namun harus kau pahami, Sastra Jendra ada di luar bahasa di luar suara tak butuh ajar, hanya butuh laku gerak untuk tiba di lubuk makna tapi patut kau mahfumi, makna Sastra Jendra ada di kedalaman cinta sehingga ketelanjangan syarat tiba di sana – syarat mereguknya [“ayolah Wisrawa, jangan banyak suara, hasratku telah membadai siap menghempaskan rahasia makna Sastra Jendra ke anyir pantai: tempat sisa hasrat birahi terkulai sehabis dua nafsu sengit bertikai”] baiklah Sukesi kubeber Sastra Jendra dengan semangat amber sambutlah dengan gairah cinta meluber – hasrat puncak teler [Wisrawa memeragakan semua rahasia makna Sastra Jendra Sukesi merenangi lautan kenikmatan – tak terbandingkan Wisrawa mendengus kalap mempertunjukkan jurus Sastra Jendra Sukesi menenggelamkan diri dalam kenikmatan – tak tertandingkan] [“sebab kau Wisrawa, aku selalu mandi rahasia makna Sastra Jendra bagaimana mungkin aku bisa memalingkan cinta – bisa garing dada siapa sudi melabuhkan hasrat pada Danaraja – bisa kerontang jiwa Danaraja cuma bisa sepenuh jiwa merias tahta – gairahku bisa merana dia gamang merasai wanita, bimbang menyelami palung nikmat cinta: sesuatu yang paling tak kusuka” putus Sukesi meremukkan hati Wisrawa – tapi menolak tak kuasa]
8
ARUNG DIRI Kitab Puisi
“duh Gusti sang maha pemberi, kenapa kerusakan dunia kumulai duh Gusti sang maha pemberi, kenapa takdir perusak harus kujalani”, ratap Wisrawa ketika menyadari situasi tapi benih kerusakan telah dikandung Sukesi [pepohonan pun lunglai – satwa-satwa gontai benda semesta terberai – indraloka terburai bau amis menyebar – wangi teratai bubar semua berdebar-debar – menunggu gelar perang... perang... perang dahsyatnya melampaui bayang!] Malang, 2007
ARUNG DIRI Kitab Puisi
9
PERCAKAPAN WISRAWA DAN SUKESI “Cintaku, belajar Sastra Jendra pada waktu tak tepat, pasti berbuah jahat – menimbulkan bencana hebat”, bisik mesra Wisrawa pada Sukesi yang disandera hasrat. “Semua kemashuran dan kehebatan telah kudapatkan karena ayahanda Prabu Sumali raja diraja tak tertandingkan. Kini aku butuh mabuk kepayang – butuh kenikmatan. Maka, ilmu Sastra Jendra Hayuningrat harus kurasakan. Kaulah yang tepat mengajarkan, Cintaku”, balas mesra Sukesi melumpuhkan pertahanan sang resi mandraguna. “Aku sudah tak butuh kenikmatan – kelelakianku menuju peraduan” “Tapi aku masih memerlukan – biar kugapai puncak nikmat kehidupan” “Kau Sukesi memantik nyala gairahku – jangan kau teruskan!” “Cepat kulayarkan gairahku – bersatu gairahmu di laut berkedalaman!” [Ombak gairah berdebur dahsyat – tingginya tak tercatat segala alat Sukesi mencecap nikmat berlipat-lipat – dunia beringsut menuju sesat] Malang, 2007
10
ARUNG DIRI Kitab Puisi
KEMARAHAN DANARAJA indah jagat raya dirompak hitam tinta pertanda angkara dan petaka naik tahta duh jagat dewa batara! kenapa Sukesi justru dimangsa Wisrawa? padahal dia utusan negeri sejahtera Lokapala untuk melamarkan Sukesi menjadi permaisuri raja: Prabu Danaraja, putra kinasih Wisrawa “bedebah kau Wisrawa, enyah kau ayahanda! sungguh kau begawan tanpa pranata cuaca: gampang beralih suasana, gelapkan terang jiwa hanya karena paras purnama Sukesi yang kucinta ayahanda menggali liang duka bagi batin ananda! ayahanda macam apa kau hai Begawan Wisrawa?!” geram Danaraja mendidih dengar Wisrawa ingkari peran duta “ayahanda, jangan kau kira, aku gamang menangkap tatap wanita aku gemetar disengat hasrat asmara, dan mati nyali di ranjang berdua aku hanya belum paham makna Sastra Jendra yang telah Sukesi pinta maka kuutus kau meminang Sukesi dengan jejampi Sastra Jendra”, murka Danaraja merobohkan pepohonan dan tetanaman marcapada “ketimbang aku raja tiada harga dan hilang perbawa di Lokapala kupilih berpisah cinta, kuputuskan ikatan darah yang menautkan kita
ARUNG DIRI Kitab Puisi
11
maka, kuperangi kau Wisrawa dengan bara kesumat sengeri neraka” [selaksa bala tentara Lokapala berderap cepat menyerbu Alengka dipimpin Prabu Danaraja, putra kinasih Wisrawa, gagah dan perwira] “hai Wisrawa, kau manusia rusak tata, kau renggut mawar cintaku maka maut kulesakkan di dada, biar neraka segera menerimamu”, amuk Danaraja serang Wisrawa, yang membopong tumpukan sendu
[hari bersalin matahari, malam bersalin rembulan, juga penanggalan dahsyat laga Danaraja dan Wisrawa serasa gemunung berletusan marcapada porak berserak-serak, swargaloka guncang jumpalitan manusia getir rasakan, dunia mengaduh kesakitan, sampai kapan? dewa risau saksikan, bujuk Danaraja sedia lindap dengan giur imbalan] Malang, 2012
12
ARUNG DIRI Kitab Puisi
SUARA HATI RAHWANA Jangan kau mudah menebar buruk sangka: betapa durjana Rahwana si Dasamuka betapa terkutuk Rahwana si Dasamuka [padahal aku pernah berbagi suka bersama manusia] Jangan kau mudah menabur pepat umpat: Rahwana si Dasamuka makhluk bejat Rahwana si Dasamuka raksasa bangsat [padahal darah brahmana kukandung sangat kuat] Terang kaca lukis sejarah: hantu, mambang, dan rama-rama selalu hadir menyembah keserakahan, ketamakan, dan kerusakan datang menyerah dunia iblis, dunia manusia, dan dunia surgawi takluk sudah Benderang cermin ingatan sejarah: aku memang selalu mandi amis darah – minum anyir merah aku memang senantiasa mengungkai resah – menebar gelisah aku memang tak putus merangkai susah – menyebar bubrah aku memang terus melumat kepala jadi remah – menyantap sirah Tapi, haruskah semua sebutan menjijikkan kusandang – kukenakan? Padahal aku melakukan semua di luar timbang, di luar kesadaran Aku hanya menjalani takdir dewata: suka cita, pantang terbata! Aku hanya menepati takdir ilahi: tanpa mengingkari yang telah pasti! Ingatlah, aku anak turun perempuan jelita nan cendekia Ingatlah, aku anak turun resi lembut hati nan mandraguna
ARUNG DIRI Kitab Puisi
13
Kakekku pun raja diraja digdaya: dikenang mashur dan wibawa Mana mungkin aku dikandung oleh kegelapan dan kerusakan? Mana mungkin aku diasuh oleh kelancungan dan keserakahan? Takdir memang dahsyat ombak samudra yang menggulung siapa saja Takdir memang badai laut paling gila yang menghempaskan siapa saja Aku pun tergulung lumpuh daya: segala usaha terasa hilang guna kendati aku sakti mandraguna tiada tertandingi oleh sesiapa bahkan oleh semua dewa – apalagi iblis-iblis bergaya Maka aku terima: jadi Rahwana si Dasamuka yang menggiriskan dunia Maka aku lapang dada: selalu jadi muara segala kebatilan marcapada Maka aku rela menghuni palung kegelapan sepenuh jiwa – tanpa duka Maka aku tabah tunaikan laku kerusakan pada seluruh semesta: agar Rama dan semua bala jadi lambang kebenaran dan kebaikan agar kebenaran dan kebaikan tersingkap beda di dalam kesilauan agar semua manusia memiliki gantungan saat rembang gamang agar timbangan kehidupan dapat seimbang saat goncang Aku Rahwana si Dasamuka: hidupku hanya wayang bergantung sang dalang: kenapa harus bimbang? Masihkah kau menghunus kelewang tuduhan bahwa akulah sutradara segala kegelapan dan kerusakan? Hati makhluk memang selalu bergoyang – sulit setimbang Aku Rahwana si Dasamuka, menerima takdir apa adanya: tanpa takut, tak bakal beringsut, sebab tak patut Aku Rahwana si Dasamuka, melakoni takdir sepenuh jiwa
14
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Aku Rahwana si Dasamuka, hanya kini sedia mengalirkan isi dada Aku Rahwana si Dasamuka, rintihku saja mengguncang dunia maka kini aku berpantang kata – biar bungah seisi semesta [Semesta melahap senja – malam mabuk duka Matahari dikepung renjana – bulan kasip jaga Lamat-lamat suara menghambur ke mana-mana: Rahwana... Rahwana... Rahwana.... mengantar makhluk memasuki labirin bencana] Malang, 2007
ARUNG DIRI Kitab Puisi
15
SUARA HATI KUMBAKARNA lahirku memang raksasa – apalagi adik kandung Dasamuka tapi batinku brahmana – bukankah ayahku resi berwibawa tapi hatiku berbalut zafira – berkat takdir yang kuterima tapi lakuku selembut dewa – kebalikan kakanda Dasamuka maka, aku ksatria berwatak brahmana meski berbadan raksasa maka, aku mampu menangkap mana kebenaran dan kesalahan: Rama memang benar, kakakku Dasamuka memang salah selalu begitu kataku pada Dasamuka kendati tak berbuah tapi, aku ksatria negeri Alengka, maka kupilih kesetiaan: kemuliaan ksatria pada pengorbanan meski tahu akan kalah kehormatan ksatria pada janji setia meski tahu bakal rebah [kehidupan dan kematian bagi ksatria bukan pokok masalah] dalam hidup, harus didahulukan kesetiaan apa kebenaran? dalam hidup, harus diutamakan kebenaran apa kesetiaan? bagiku, ksatria berbatin brahmana, kesetiaan harus didahulukan bagi adikku, si tampan Wibisana, kebenaran harus diutamakan [jangan kau jawab pilih kebenaran dan kesetiaan bersamaan sebab tanda tak bertanggung jawab pada pilihan kehidupan: simalakama memang kerap terhidang pada kita pilihlah dengan keikhlasan yang mukim di dada jangan memanjakan kehidupan tanpa perbawa]
16
ARUNG DIRI Kitab Puisi
pilihan kehidupan hanya permainan – harus tak memisahkan maka begini kulakukan: sesaat sebelum tempur pungkasan menghadapi Rama sesaat sebelum kujemput ajal di tuba anak panah Rama kukirim peluk bahagia kepada Wibisana – juga tulus cinta “aku ksatria negeri Alengka adinda, kesetiaan segalanya” dan terasa cinta Wibisana mengalir sejuk ke seluruh jiwa pilihan kehidupan hanya permainan – bukan kekalahan kemenangan di sana tak ada pengkhianatan – juga kehebatan kebodohan pilihan kehidupan hanya permainan – kenapa harus memutuskan? Malang, 2007
ARUNG DIRI Kitab Puisi
17
KEMATIAN INDAH KSATRIA aku Kumbakarna, ksatria negeri Alengka bukan kehidupan kucari, bukan kematian kuhindari kedaulatan negeri harus kubela – kendati bertaruh nyawa martabat negara harus kujaga – meskipun maut menemui kutahu takdirku telah tiba – dalam laga seru dengan Rama ajalku telah memanggil penuh cinta – harus kusambut mesra majulah Rama majulah segesit rusa – sukmaku telah siaga rentanglah busurmu rentang seliat baja – ajalku bakal menerima [Kumbakarna terus menerjang – menebas dan menginjak sesiapa pasukan Rama lintang pukang – Kumbakarna kian merajalela] majulah Rama majulah segesit rusa – biar anak panahmu tepat di dada rentanglah busurmu rentang seliat baja – biar hunjam dalam di sukma [Rama terkesiap, Rama termangu, dengan busur sudah ditarik kuat tiada kuasa menolak tugas – bagai cahaya anak panah kilat melesat] lesatlah cepat anak panah Rama – tanganku siaga penuh cinta: secepat cahaya, anak panah Rama tiba di tangan Kumbakarna dan kedua tangan putus – berpisah dengan tubuh raksasa lesatlah cepat anak panah Rama – kakiku telah dialiri semerbak doa: secepat suara, anak panah Rama menghantam kaki Kumbakarna dan kedua kaki terpenggal – jatuh jadi sekerat tulang bertuba
18
ARUNG DIRI Kitab Puisi
[tanpa tangan dan kaki, tubuh Kumbakarna mengguling dan melindas menghentikan napas semua manusia dan wanara yang dipapas] majulah Rama, cepat majulah, sempurnakan mautku – jangan ragu telah berdendang tembang keberserahanku, berseru-seru nirwanaku [Rama pun mengarahkan anak panah tepat pada ulu hati Kumbakarna] lesatlah cepat anak panah Rama – leherku telah siap menerima: dan secepat kilat, anak panah Rama menyapu leher Kumbakarna kepala dan tubuh pun berpisah – tanda takdir telah paripurna [Rama langkahkan kaki, meninggalkan sunyi, selepas Kumbakarna tiada lagi] Malang, 2007
ARUNG DIRI Kitab Puisi
19
SUARA HATI SARPAKENAKA 1 Akulah perempuan yang menerima sepenuh hati segala yang terberi pada diri: ujud raksasi menebar ngeri buruk rupa tiada menarik lelaki badan pun tak sesuai idaman hati budi pun tiada terpuji karna jahat menguasai apalagi suara, sungguh di luar tata krama resmi apalagi pribadi, sungguh lancung pekerti Bukankah aku perempuan mulia karena sanggup memikul semua? tetapi, kenapa justru ditahbiskan perempuan hina dan tiada harga? Apakah kemuliaan sebangun rupa bagus, hati terpuji, lembut suara, dan tinggi budi, bukan kesanggupan menerima takdir sepenuh jiwa? Sungguh cerita dan tafsir sederhana – tiada merasuk rahasia makna! Sungguh cerita dan tafsir tak semena-mena – demi kepentingan kuasa! Akulah perempuan yang menerima sepenuh kesadaran segala yang jadi ketetapan: terlahir dari Wisrawa nan digdaya dan Sukesi nan menawan bersaudara Dasamuka dan Kumbakarna yang menggiriskan dan Wibisana yang melarikan diri dari kesetiaan Bukankah aku perempuan teladan karna lapang menerima ketetapan? tetapi, kenapa justru didaulat perempuan lancung tiada berperadaban? Apakah keteladanan sebangun tampang menawan dan memihak kebenaran, dan bukan kesediaan menerima takdir penuh keberserahan? Sungguh cerita dan tafsir kekanak-kanakan – tiada merasuk inti kehidupan! Sungguh cerita dan tafsir tak berkeadilan – demi kelanggengan kenikmatan!
20
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Akulah Sarpakenaka perempuan raksasa tak mewarisi kecantikan ibunda dan kesaktian ayahanda yang celaka akibat pinta Danaraja tapi, aku menerima sepenuh jiwa segala takdir yang ada: tanpa dendam dan kecewa! [bumi mendadak gemetar – semua kehabisan sesumbar damai indraloka guncang seketika – semua penghuni hilang sabda] Malang, 2007
ARUNG DIRI Kitab Puisi
21
SUARA HATI SARPAKENAKA 2 “Dalam Ramayana juga wayang Jawa apa beda adaku dengan Sinta? Tak ada. Sinta dan aku sama-sama perempuan aniaya di bawah bayang-bayang gergasi kuasa pria” simpul Sarpakenaka menentang pakem cerita. “Kejelekanku dan kecantikan Sinta, kelancunganku dan kesucian Sinta, kesetiaanku pada kakanda Rahwana dan kebenaran Sinta di pihak Rama, hanya perumitan alur cerita buatan pria sebagai topeng pelanggengan kuasa”, papar Sarpakenaka membuka borok cerita. “Maka, sadarlah hai kau Sinta! Kita korban patriarki semata: tiada kemanusiaan dan keadilan di sana! kecuali cekam takut pria tak memimpin dunia! kecuali muslihat pria untuk selalu berada di muka!” [padahal mestinya kita bersanding bersama kinasih kita] Malang, 2007
22
ARUNG DIRI Kitab Puisi
PERASAAN HATI WIBISANA Benar, benar, aku anak Sukesi dan Wisrawa yang telah gagal mengelola gelegak asmara hingga mereka induk segala angkara dan petaka Bagaimana mungkin aku harus menyatakan dusta? padahal kebenaran dan kebajikan bagiku mahkota Benar, benar, aku adik bungsu Rahwana, Kumbakarna, dan Sarpakenaka yang punya tubuh dan paras raksasa Rahwana dan Sarpakenaka sumbu onar seisi dunia Kumbakarna ksatria sejati yang setia kepada Alengka Bagaimana mungkin aku harus menyuarakan dusta? padahal kebenaran dan kejujuran harus kujaga Takdirku memang penjaga kebenaran: maka kuminta kebajikan kepada dewata takdir Kumbakarna pemelihara kesetiaan: maka dia minta kekuatan kepada dewata takdir Rahwana dan Sarpakenaka pemuja kebatilan: maka mereka minta kesaktian kepada dewata Kendati berdiri di tempat berbeda mereka senantiasa kuguyur anggur cinta sebab pernah hidup di hangat rahim yang sama sebab terlahir dari sosok wanita yang sama: sosok Sukesi nan jelita, idaman para raja
ARUNG DIRI Kitab Puisi
23
Kendati berada di tempat berbeda cintaku kepada mereka adalah rimba belantara rimbun hijau penuh kesegaran, lebat tiada terkira sebab terasuh oleh kelembutan kedua orang tua sebab terawat oleh ketangguhan menerima derita: ketangguhan Sukesi menanggung bencana Banyak tak terkira – jalan menuju indah swargaloka kenapa makhluk salah terka – jalan tunggal dipuja! Kebenaran hanya satu jalan menuju swargaloka: maka besar dada tak bakal kubusungkan Kesetiaan juga satu jalan menuju swargaloka: maka kuhormati Kumbakarna punya pendirian Kebatilan haruskah dimaknai jalan sesat ke neraka selamanya? dan bukan jalan pembersihan diri sebelum tiba di swargaloka? maka kumengerti pilihan Rahwana dan Sarpakenaka tak bakal kulemparkan kutuk kepada kedua kakanda! Takdirku penjaga kebenaran, harus bersikap penuh kebajikan takdirku perawat kebajikan, harus berlaku penuh kelembutan maka rendah hati dan penuh pengertian selalu kuutamakan maka segala serapah dan kekerasan selalu kuhindarkan maka pada Rahwana dan Sarpakenaka tak kumaklumkan perang maka pada Kumbakarna kusematkan tulus cinta sebelum tumbang maka aku hanya menyeberang – pada pihak Rama nan gemilang! Malang, 2012
24
ARUNG DIRI Kitab Puisi
UCAPAN RAMA KEPADA SINTA berbilang masa kau digenggam kuasa Rahwana kesucianmu tentulah sirna sebab ia tercipta dari gelegak asmara yang kehilangan tata bersanggama juga pengkhianatan niat suci manusia maka, bagaimana aku bisa percaya dirimu buatku semata: raja diraja Ayodhya dan dihormati semesta Madiun, 2007
ARUNG DIRI Kitab Puisi
25
GERAM RAMA KEPADA SINTA Lama-lama pendirianku goyah juga: sesungguhnya kau dilarikan Rahwana ataukah pergi bersama atas nama cinta? Mungkinkah ragamu suci di istana Alengka dan menampik segala gairah badani raja Alengka? Kitab memang menetapkan cerita: bahwa kau dilarikan Rahwana lantas seisi semesta geger luar biasa Kurang ajar! ketahuanlah aku lelaki lemah daya tanpa bala tanpa bantuan wanara tanpa pemihakan dewa Kurang ajar! kau Rahwana juga Sinta yang kudamba Madiun, 2007
26
ARUNG DIRI Kitab Puisi
JAWABAN SINTA KEPADA RAMA Jelaslah kupilih sendu ketimbang membuktikan kesucian padamu sebab hakikatku suci sejak ada – sejak sediakala Kobar api tak mempan melumat raga justru aibmu bakal nganga terbuka: lelaki cuma suka syak wasangka – meski raja diraja dan menafsiri cinta dengan kuasa – bukan rahsa Rama, memang sejak dicipta kau tak pernah sampai palung jiwa wanita: tempat janji setia kupahatkan di sana Madiun, 2007
ARUNG DIRI Kitab Puisi
27
MIMPI SINTA Rahwana…Rahwana…Rahwana… bawa saja aku ke dalam istana asmara di Alengka biarkan menyantap gelegak nafsu yang kau punya dan mainkan seluruh jurus indah kamasutra dan hunjamkan libidomu di kedalaman raga Bukan cuma mereguk nikmat tiada tara aku juga serasa terbang ke nirwana – meski kubelum ke sana Jangan hiraukan Rama …jangan indahkan dia lelaki sangat jaim yang sesungguhnya lemah jiwa di hadapan wanita yang ditakdirkan paling setia hingga perlu bala butuh wanara untuk citra diraja padahal cukup pakai besar jiwa dan lapang dada Madiun, 2007
28
ARUNG DIRI Kitab Puisi
KEKESALAN SINTA Di mana saja lelaki sama: di dalam cerita juga dunia nyata di dalam bahasa juga realita selalu merebut ruang hidup wanita senantiasa meniadakan keberadaan wanita Akulah buktinya: di dalam bahasa nasibku ditulis aniaya di dalam Ramayana hidupku terlunta-lunta di tengah aniaya para lelaki yang haus kuasa Kuingin benar bermetamarfosa ke dunia nyata tapi Marsinah mati di tangan lelaki bersenjata dan ribuan pemudi jadi pemuas nafsu purba dan buruh perempuan hanya barang semata Oh dewa… oh dewa… inikah keadilan namanya? inikah kemanusiaan maknanya? kini aku tak percaya! Madiun, 2007
ARUNG DIRI Kitab Puisi
29
KATA HATI BISMA MUDA Aku Dewabrata, sang Bisma muda, anak Dewi Gangga tujuh kakakku mati semua, ditenggelamkan di sungai oleh ibunda sebab dicegah ayahanda, aku luput binasa, tapi ibunda pulang ke surga aku dibawa serta, dibesarkan dalam permai surga, dan asuhan bidari jelita saat dewasa, turun kembali ke marcapada, kujumpa ayahanda dilahap usia. Meski dikunyah tua, ayahanda bangkit selera, bila menatap wanita maka dia putuskan menyunting janda jelita, agar hidup berbalur asmara Satyawati ibu mudaku pasang syarat istimewa, sang anak harus naik tahta ayahanda segera hilang muka, masgul belaka, sebab aku putra mahkota. “Tahta, ayahanda ambil saja, bagiku bukan hal utama dalam hidup fana keikhlasan kepada orangtua, ketakziman kepada ayahanda, tiada dua”, berkata amat bijaksana Bisma muda, mematahkan reranting angsoka. “Betapa mulia hatimu wahai Bisma, menyerahkan impian semua manusia namun bahaya tetap di mata, sebab anak turunmu bisa meminta hak tahta negara bisa dirundung perang paling gila, sekandung tarung berebut kuasa”, Santanu melempar kata beraura duka, merundukkan dedaunan belantara. “Ayahanda, jangan kau mengasah buruk sangka, dan menimang derita penghormatan dan pengorbanan anakmu tiada bisa ditala, juga dibahasa demi bungah hati dan tenteram jiwa ayahanda, demi girang hati istri muda baiklah kuucap sumpah, dalam sepanjang hidup, aku bakal menjauhi wanita, berpantang jatuh cinta, menidurkan gairah sanggama, juga selibat selamanya”, kata-kata Bisma meruntuhkan semua mega, membanting-banting pintu surga.
30
ARUNG DIRI Kitab Puisi
[Santanu kehabisan kata, dunia kehilangan bahasa, para dewa ternganga Bisma meraih rahasia hakikat ada, menguasai hak hidup dan mati di dunia para dewa segan mencampuri Bisma, sebab dia manusia di atas para dewa] Malang, 2011
ARUNG DIRI Kitab Puisi
31
BARA ASMARA BISMA Jangan Amba, jangan kau sulut bara asmara yang tengah mengabu di sela reruntuhan aneka cita sebab telah kusiram dingin hasrat bertahun lamanya demi kelangsungan kuasa Santanu-Satyawati di Astina Biarlah sepi cinta memagut diri, melumat sanubari Biarlah hambar rasa menjajah hati, mengebiri ganas laki Jangan Amba, jangan kau bakar bara asmara di panas tungku api cinta yang kau nyalakan di dada sebab telah kupadamkan sekian lama dan selamanya demi keseimbangan kuasa Santanu-Satyawati di Astina Biarlah mati rasa mengaliri nadi, membanjiri nurani Biarlah mati semu mencacah hati, merajang gairah laki Kau tahu, kuasa lazim menerkam korban siapa saja: tak cuma wanita, bahkan putra mahkota Kau tahu, kuasa galib menelan anak turun manusia: dan akulah orangnya, kehilangan segalanya meski kuikhlaskan semua, kurelakan tanpa duka demi kelanggengan dinasti keluarga sebagai penguasa yang cemas akan keterbukaan dunia dan perubahan tata Malang, 2011
32
ARUNG DIRI Kitab Puisi
KISAH CINTA AMBA DAN BISMA [adakah bahasa yang sanggup mengatakan kehebatan Bisma? adakah lukisan yang mampu menggambarkan kesaktian Bisma? dikuasai segala ilmu: agama, politik, perang, dan olah senjata bahkan hidup dan mati digenggam pula: dapat dipilih sesuka Bisma apalagi cuma menjadikan tak berdaya para petarung paruh baya maka mudah baginya memenangi sayembara cinta wanita dan memboyong ke Astina tiga dara jelita: salah satunya si kepodang Amba sesaudara Ambika dan Ambalika] “Bisma, kau lelaki istimewa paling kupuja ketinggian budi dan jiwamu gentarkan dewa kenapa kau persembahkan aku buat raja Astina? bukankah kau pemenang sayembara, berhak atas Amba?” tanya Amba kepada Bisma yang tengah digempur goda cinta “Jangan kau lantunkan suara yang memukul dada telah kubentengi nafsu dengan gunung-gunung doa dan keikhlasan melampaui kemampuan para dewa!” “Bisma, kau lelaki luar biasa paling kudamba pamormu menyala-nyala bakar sekujur jiwa-raga kenapa kau kawinkan aku dengan raja Astina?”, gugat Amba berbalur lulur kehalusan asmara
ARUNG DIRI Kitab Puisi
33
“Jangan kau anyam kata-kata berbisa, wahai Amba jangan kau racik nafsu purba yang memangsa sukma aku berpantang jatuh cinta, apalagi birahi asmara!”, tangkis segera Bisma dengan heran tak bisa sirna “Namun, aku hanya sudi menyerahkan cinta kepadamu aku bahagia melepas tubuh ranumku pada golak gairahmu kepada raja Astina, kendati diraja berkuasa, mana aku mau”, kian kencang Amba mengirim badai hasrat ke putra Santanu Amba mendesiskan sasmita, saat sehasta jarak dengan Bisma “Jangan, jangan kau hantarkan taufan gairah asmara, Amba biarkan lingga di tubuhku jadi hias badani belaka, guna tak ada aku telah putuskan membujang sepanjang hidup di marcapada lagi pula aku cuma utusan raja Astina, khianat tak bakal kucipta”, Bisma menahan kelenjar-kelenjar asmara yang kian membajak dada “Cintaku cuma berbinar-binar denganmu, duhai Bisma gairahku cuma berkobar-kobar denganmu, duhai Bisma kenapa kau bentengi dirimu dengan sumpah menyiksa? Sambutlah gemunung gairahku, kau akan mandi rasa bahagia”, tandas Amba kian mendekati tubuh Bisma – tubuh perkasa [Bisma terpana, gentar, hendak menghindar senjata sakti diacungkan agar Amba berdebar dan niat Amba bubar, juga hasrat bersama pudar namun senjata sakti Bisma hilang kendali, tak bisa henti menghunjami tubuh Amba, tumbang bersama matahari]
34
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Dalam kejut paling kalut, Bisma menyambar, meraih tubuh Amba memangku dan memeluk begitu mesra, ketika ruh menemu tuju surga “Kenapa kau bunuh aku, duhai Bisma, hanya karena cintaku serasa bara bukankah cukup menepis dengan kata, bukan menghunjamkan senjata? Adakah cinta harus berbalas kematian, bukankah cukup kesakitan dada? “ “Maafkan aku, Amba, tak kusediakan niat mencelakaimu, membunuhmu aku ditimang gamang, harus menjaga sumpahku apa menerima cintamu. Harus kau tahu, betapa menggelora cintaku di pantai rindu hatimu seluruh gairah asmaraku adalah badai samudra paling gila di Lautan Hindia dan kelelakianku adalah ombak samudra yang mengirim debur ke dermaga hendak menyongsong cintamu, namun kupadamkan seketika demi Astina”, aku Bisma lirih, membelai paras Amba, saat ruhnya meninggalkan raga. Mendengar aku Bisma, paras Amba bercahaya kian jelita, raut penuh rona dan betapa bahagia ruh Amba saat meninggalkan raga, lalu berkata mesra: “Duhai Bisma pujaku, kutunggu kau di surga, kujemput ruhmu penuh suka cita lantas kita berkasih mesra tanpa jeda, sambil mandi hujan cahaya bahagia kita jadi sepasang kekasih sejati di sana, kita jadi mempelai abadi di sana” “Ya, tunggulah aku bidadari jiwaku, penghuni tunggal palung hati Bisma nanti jemputlah penuh bunga di pintu surga, kita pengantin suci senantiasa”, kata hati Bisma dengan memeluk raga Amba yang telah ditinggalkan ruhnya lalu dia menutup mata Amba, dan meletakkan raga seolah menidurkan Amba. [di padang Kurusetra, Barathayuda kian menggila, Bisma tiada tandingnya di tengah kilau hujan senjata, tajam batin Bisma yakin Srikandi adalah Amba “ayo majulah Amba sekilat kijang jelita di tengah belantara”, sambut Bisma “jemput ruhku segera Amba, berikan mautku seketika”, lembut ia meminta “hamba Srikandi, bukan Amba kekasih tuan – hamba hanya utusan cinta” “jangan lama bicara Amba, serang aku dan letakkan mautku di hulu jiwa” ARUNG DIRI Kitab Puisi
35
dia berikan ruang buat Srikandi menyerang tiada terkira dan juga Arjuna melesatkan dahsyat berpuluh anak panah berbisa ke seluruh tubuh Bisma terjungkal Bisma dari kereta, berbaring di ranjang panah menancapi tubuhnya] “Duhai Amba kejora jiwa, kau datang jemput aku, ajak aku ke surga betapa bungah diriku berjalan di atas cahaya, berpegangan dalam cinta Duhai Amba kejora jiwa, kita segera ke sana, selepas kusaksikan Kurawa punah semua dan kuberikan wejangan suci kepada cucuku Yudistira”, lirih ucap Bisma disaksikan Srikandi jelmaan Amba di padang Kurusetra. [Kurawa hancur, Bisma gugur, prahara Bharatayudha bekap manusia ruh Bisma wangi menur, mesra dibimbing ruh Amba menuju surga] Malang, 2011
36
ARUNG DIRI Kitab Puisi
KATA HATI GANDARI 1 Tersebab kuasa dan wibawa wangsa Kuru di dunia: aku pun dipersembahkan ayahanda bagi mereka menjadi istri pangeran Pandu atau Drestarasta biar temali kekuasaan kokoh tak tertandingi sesiapa Tersebab berita dibawa Bisma, aku pun mencari upaya biar tak dipilih Drestarasta, padahal Pandu paling kucinta Meski berbalur amis tiada kira, memilihku juga Drestarasta karna naga Kowara bawa mustika sasraludira menyusup dada: aku lumpuh daya, aku pun diam bertudung duka hujan kesedihan seketika menderas berkala-kala di taman hati yang dikepung patriarki begitu lama Tersebab Drestarasta buta, aku pun menutup mata lipatan kacu hitam kubebatkan mata sepanjang usia menampik pendar cahaya, menolak terang dunia menyingkirkan keindahan yang menyihir kepala: ini tanda cinta suci atau tindak hilang asa? ini bukti bela cinta atau kecewa tak terkata? Tersebab Drestarasta buta, aku pun menutup mata bukankah cinta tak butuh mata, hati jalan sempurna bukankah asmara tak damba raga, rasa paling utama bukankah hasrat tak syaratkan hasta, raba sumber perdana
ARUNG DIRI Kitab Puisi
37
ini tanda hormat atau rasa jijik menguasai dada? ini bukti menerima cinta atau laku serba mendua? Tersebab Drestarasta buta, hatiku bergelora samudra saat bercinta: kendati tak saling tatap mata tak saling puja raga Tersebab Drestarasta buta, rasaku berombak saat memadu asmara: berkat dengus gairah kamasutra gairah erotika Tersebab Drestarasta buta, rabaku membadai saat hasrat meminta: sebab bayang-bayang seranjang di dalam pikiran wanita dan aku pun menjadi ibu para Kurawa – mereka amatlah kucinta apapun perilaku seratus ananda – acap acuhkan ibunda apapun perangai seratus ananda – gemar ingkari dharma apapun jalan hidup seratus ananda – tumpas di Baratayudha sebab cinta kencana adalah kesediaan menerima yang tak sempurna sebab cinta kencana adalah kerelaan menyayangi yang tak berakhlak mulia Malang, ujung malam 2012
38
ARUNG DIRI Kitab Puisi
KATA HATI GANDARI 2 Hidup bersama Drestarasta, aku tiba pada pikiran: kekuasaan selalu menuntut kesempurnaan dan kesempurnaan diartikan tak ada kecacatan dan kesempurnaan dimaknai sebagai kebenaran kebenaran selalu ditetapkan oleh kekuasaan dan kekuasaan digenggam para lelaki pilihan dan kekuasaan ditentukan ideologi idaman maka Drestarasta yang buta bukanlah lelaki sempurna: meski sehat jiwa raga, cukup digdaya pula maka Drestarasta yang buta tak benar duduk di tahta Astina: meski sulung Astina, kakak Pandu Dewanata meski bijaksana, mampu memimpin negara maka Pandu Dewanata pilihan utama, didaulat jadi raja Astina karna punya mata yang menangkap cahaya, melihat terang dunia Tapi, takdir dan celaka tak bisa ditunda, Pandu mangkat usia muda Drestarasta naik tahta, meski sementara, hingga Pandawa dewasa Tatkala Pandawa dewasa, Duryadana duduki tahta, tanpa restu tetua: bukankah aku lelaki sempurna, tak cacat mata seperti ayahanda kenapa garis tahta harus ikut keturunan paman Pandu Dewanata padahal dia anak kedua, adik ayahanda, meski berlainan ibunda mestinya dikembalikan kepada Duryudana, sulung trah Kurawa
ARUNG DIRI Kitab Puisi
39
Maka wangsa Kuru pun terperangkap simalakama, terundung malapetaka: sesaudara menggelar Bharatayudha, memperebutkan tahta fana Maka kekuasaan pun goyah, kesempurnaan terbelah, kebenaran tak absah: karna palsu belaka, tebal rias pura-pura, dan sarat nafsu dursila [Marcapada pun serasa mengerut – menanggung laku tak patut Makhluk-makhluk bermimik kecut – menggendong aib berlarut-larut] Malang, ujung malam 2012
40
ARUNG DIRI Kitab Puisi
PENYESALAN KUNTI Risau tiba di dada ketika Kunti dirajam duri-duri sepi. Cekam kuat ingatan pada Basukarna tak sudi pergi: mengiris-iris pipih serpih hati “Duh Gusti kang murbeng dumadi kenapa mantra aji pepanggil* kucoba semau sendiri tak hati-hati hingga terjadi kehamilan tak kuingini padahal aku tak sudi tubuh terlukai, harus tetap suci keperawanan tetap kumiliki selepas kelahiran bayi tak boleh tahu seorang lelaki, bahkan seisi bumi sebelum terang meminang pagi, melamar matahari” [Dan Batara Surya bantu lahirkan bayi lewat telinga maka ia bernama Basukarna, putra mentari di dunia ia tak pernah merasai keindahan gua garba ibunda] “Duh Gusti kang murbeng dumadi anakku Basukarna terpaksa kularung di kali kupisahkan dari belas kasih ibu kandung sejati karena gemerlap citra wanita istana lebih kuikuti karena kilap status terpandang mesti lebih kuimani ketimbang tanggung jawab pada perbuatan tak terpuji karena kesempurnaan palsu lebih kuimami karena kepura-puraan suci mesti kulindungi ketimbang mengakui Basukarna anak kandung sendiri” sesal Kunti dituntun jernih budi ketika sadar merambati ARUNG DIRI Kitab Puisi
41
“Duh Gusti kang murbeng dumadi Basukarna berjalan dari kehinaan ke kehinaan bumi karena segenap terang telah kusembunyikan di hati dan kututupi gengsi sebagai wanita muda idaman lelaki apakah aku ibu tak punya sanubari dan lancung pekerti? “Duh Gusti kang murbeng dumadi memang aku tak sedahsyat, tak sehebat Satyawati berani mengakui Abiyasa anak kandung sendiri ketika kekalutan dinasti mengirim segenap jeri hingga keutuhan negeri terlindungi, tegak berdiri”, leluhur Astina nan luar biasa dikagumi Kunti Risau jiwa telah pulang ke desah dada Ingatan pada Basukarna lekat di syaraf kepala Kunti terpana: “kegelapan selalu menuntut dibuka!” Kunti ternganga: “jalan hidup sungguh susah diterka!” Malang, ujung malam 2012
* aji pepanggil = mantra atau doa pemanggil dewa untuk memberi anak yang dimiliki oleh Kunti
42
ARUNG DIRI Kitab Puisi
TAMPIK KUNTI [“ayolah cintaku, lakukan niyoga* demi nasib kita berdua demi kelanggengan wangsa kita, kelangsungan negeri Astina”, bujuk Pandu yang cemas kepada Kunti yang dikepung lara] kegelapan demi kegelapan kehidupan sudah kuarungi jangan sungkurkan aku ke dalam palung kegelapan kembali cuma karena seorang anak tak kulahirkan dari rahimku nan suci hanya karena anak ahli waris tahta tak kusembahkan sebagai istri tersebab gentar tak masuk surga bila anak kandung tak dimiliki kesetiaanku tak terbagi – kendati kau dirundung impotensi: kesetiaan hanya memerlukan pengertian sepenuh nurani kecintaanku tak terkurangi – meski kau dirajang kutuk mati: kecintaan hanya meminta penerimaan tulus sanubari mana mungkin aku memberi gairah birahi pada lelaki selain suami: hanya karena seorang anak yang tak mungkin kau beri akibat kutuk resi yang bertemu ajal di panahmu nan sakti mana mungkin aku beradu seranjang dengan sembarang lelaki: hanya demi keturunan yang kelak meneruskan dinasti mencampakkan kesalehan, janji suci, dan bakti diri [“ayolah cintaku, lakukan niyoga karena sesuai dharma agama keteladanan pendahulu kita melakukan niyoga pantas dicoba bukankah aku, si Pandu Dewanata, suamimu juga buah niyoga!”, desak Pandu yang gemetar kepada Kunti yang tegar membaja]
ARUNG DIRI Kitab Puisi
43
aku heran, kekuasaan selalu menuntut keturunan ahli waris tahta: menghalalkan segala cara meski memorak-parik tata kuasa mengingkari segala tata susila demi seorang anak manusia bukankah ahli waris bisa sesiapa, tak harus dinasti keluarga! aku heran, kekuasaan selalu memperalat sejarah dan dharma agama: memoles peristiwa lalu sebagai teladan baku bagi sesiapa mengutak-atik dharma untuk kelangsungan kuasa dan tahta bukankah seharusnya kekuasaan bersendi tuntunan agama? aku terbata, betapa rakusnya kekuasaan tanpa bimbingan budi mulia aku ternganga, betapa bengisnya kekuasaan tanpa keluhuran cita-cita aku terpana, betapa kejinya kekuasaan tanpa kesadaran panggilan jiwa: wanita cuma dijadikan deru nafsu yang mengokohkan mahkota sejarah cuma dijadikan pupur indah yang mempercantik tahta agama cuma dijadikan suara sabda yang membenarkan kuasa aku bersangka, kekuasaan cuma narsis dengan diri sendiri: sibuk membangun aliansi kuasa lewat seksualitas bernafsi sibuk memperkuat jaring kuasa lewat perkawinan berbisa sibuk memperalat ajaran agama demi kelanggengan dinasti! [rakyat cuma cacah angka – kepala, perut, dan dada dianggap tiada] Pandu cintaku, cinta suci tak menuntut apa-apa – apalagi mahkota diraja Pandu cintaku, setia sejati tak meminta apa-apa – hanya dirimu apa adanya [Pandu termangu, kehabisan kata, memandang Kunti betapa kian jelita Kunti menatap Pandu betapa gemerlap pesona, mengalirkan selaksa bara] Duhai Pandu, demi pengabdianku padamu, aku akan melakukan….
44
ARUNG DIRI Kitab Puisi
[“Kuntiii…”, sergah Pandu memotong, memandang kosong, cuma bayang-bayang lorong] Panduuu… jangan kau…. [Pandu dan Kunti beradu pandang: ada samar bayang tak mau hilang, ada baur kenang ada derit goyang ranjang, ada kematian telanjang ada kepayang terintang, ada berat gairah teralang ada maha-prahara perang, ada tahta mengambang ada jurang lapar jengkang, ada bau amis mengembang] “Kuntiii…” – “Panduuu…” [Pandu dan Kunti baku peluk kencang – depan jalan simpang berlubang ada kitab rajah nasib terbuang – ada aneka masa depan terpalang] Malang, ujung malam 2012
*niyoga = turun ranjang
ARUNG DIRI Kitab Puisi
45
ABNORMALISME [niyaga menabuh gendang. dalang mainkan wayang. cerita menguarkan sungsang. suara suluk sumbang] kekuasaan kian abnormal saat Kurawa dan Pandawa hadir dunia: mereka hadir, tak lahir, sebab di luar kewajaran manusia mereka tak lewat jalan biasa: jalan juang ibunda bertaruh nyawa mereka tak lewat peranakan ibunda: jalan cinta makhluk istimewa seratus Kurawa adalah gumpal daging yang tersesat di rahim ibunda sekian lama dipukuli bertubi oleh geram Gandari karna putus asa seratus Kurawa adalah cincangan gumpal daging keras serupa bola yang dibanting-banting Gandari penuh histeria saat di puncak murka seratus Kurawa adalah anak seratus guci berlumur mentega dan doa yang disembunyikan di ruang rahasia dan dijaga Gandari berbilang dua maka seratus Kurawa adalah raut ketanahan, kebumian, kebinatangan dan ketubuhan yang membentuk rupa kaku kekuasaan maka seratus Kurawa adalah makhluk setengah manusia: yang hadir bersama deru nafsu cengkeram kuasa di pusat lingkar kuasa istana negeri Astina lima Pandawa adalah timbunan cemas yang membajak resah dada Pandu Dewanata dihempas bayang kehilangan kuasa dan tahta lima Pandawa adalah buah rengekan lelaki pupus daya dan putus asa yang kehabisan hujah mulia di muka Kunti nan cendekia dan digdaya lima Pandawa adalah anak dewa yang teperdaya aji pepanggil istimewa
46
ARUNG DIRI Kitab Puisi
yang dimantrakan Kunti akibat tak tega juga kesal pada Pandu Dewanata maka lima Pandawa adalah raut kecahayaan, kelangitan, kedewataan dan keruhanian yang membangun paras indah kekuasaan maka lima Pandawa adalah makhluk setengah manusia: yang hadir bersama gemuruh hasrat menagih tahta di pinggiran lingkar kuasa istana negeri Astina [niyaga menabuh gendang. dalang mainkan wayang. cerita menguarkan sungsang. alunan suluk sumbang] kekamilan kekuasaan butuh kebersamaan: raut ketanahan dengan kecahayaan raut kebumian dengan kelangitan raut kebinatangan dengan kedewataan juga raut ketubuhan dengan keruhanian maka Kurawa dan Pandawa adalah sepasang kekasih baka yang membawa kimia kelanggengan negeri Astina yang bakal menangkal aneka dera keruntuhan negara tapi lihatlah para Kurawa dan Pandawa di negeri Astina: mereka berebut mahkota – mereka makhluk abnormal semua apakah kekuasaan selalu menolak kekamilan – keagungan? apakah kekuasaan selalu mengidap keabnormalan – kecacatan? pantas kekuasaan rabun keselamatan – lamur ketatasusilaan! tapi lihatlah para Kurawa dan Pandawa di negeri Astina: mereka menggelar sandiwara kuasa luar biasa, apa kalian juga?!
ARUNG DIRI Kitab Puisi
47
[niyaga menabuh gendang. dalang mainkan wayang. cerita menguarkan sungsang. lantunan suluk sumbang] apakah pasangan Kurawa dan Pandawa di negerimu terceraikan? apakah kekuasaan di negerimu alunkan sungsang juga sumbang? [dalang selesai mainkan wayang. sisakan tanya membayang] Malang, ujung malam 2012
48
ARUNG DIRI Kitab Puisi
PERCAKAPAN WAKTU Dua waktu: waktu wayang dan waktu dunia berjumpa selepas berabad mengembara: tak saling berkaba cinta “aku mengembara dari cerita ke cerita hingga bertemu Arjuna” “aku mengarungi berita demi berita sampai bersua dua manusia” “Arjuna adalah lelaki ksatria dengan istri di setiap sudut marcapada dan menghadiahi mereka anak-anak tampan, perwira, dan ksatria sebagai siasat menghadapi Bharatayudha, menegakkan hak atas tahta dan bukan sebagai pemuas syahwat belaka, pelampias bara lingga” “Dua manusia adalah lelaki penuh rasa takut dengan istri di mana-mana dan memberi mereka dana juga harta berlimpah pun aneka rupa sebagai ikhtiar menghilangkan jejak korupsi yang remukkan bangsa dan menyelamatkan jarahan mereka demi kehidupan fana” “Arjuna diburu cemas”, ucap waktu wayang, “sebab gentar kehilangan tahta” “Dua lelaki diburu takut miskin”, kata waktu dunia,”karna kemelekatan harta” [Keberuntungan sejati adalah ketiadaan kecemasan dan ketakutan dunia maka keberuntungan sejati tak kenal kehilangan dan kemelekatan dunia] “Arjuna cemas kehilangan tahta sebab disandera pikiran menyerbaduakan tak mampu capai kealamian pikiran”, tegas waktu wayang begitu cerlang “Dua lelaki takut miskin harta karena dibajak pikiran mendiskriminasikan tak bisa meraih kemurnian pikiran”, tandas waktu dunia demikian terang Dua waktu bersitatap penuh kesima: sungguh manusia salah mengada? Malang, rembang pagi 2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
49
KATA HATI KARNA Kau tahu, namaku Karna – lelaki terbuang oleh ibunda dan di sungai ditemu lalu diasuh Adirata – jelata sais kereta Ibuku Kunti perempuan memesona – selalu dianugerahi dewata: aku sendiri anugerah Dewa Surya kepada Kunti semata yang dihilangkan demi menjaga kesempurnaan citra Adikku Pandawa lima – lelaki digdaya penuh wibawa, dihormati semesta: mereka benih para batara, bukan Pandu sang ayahanda maka mereka selalu dibela dewa, dimenangkan oleh pencerita maka mereka memenangi Baratayudha di medan Kurusetra Kau tahu, ajalku berkemah di padang Kurusetra – dan dikuasai Pandawa maka ibunda Kunti dicecar gentar saat aku beradu pandang lawan Arjuna dan memintaku meninggalkan para Kurawa yang dipimpin Duryudana “Ibunda, bagiku kemuliaan, kehormatan, dan kesetiaan sangat utama sekalipun dihadiahkan Kurawa yang oleh cerita ditakdirkan jadi durjana ketimbang garis darah, kebenaran, dan kemenangan milik Pandawa yang sesungguhnya berlumur kecurangan Kresna dan empunya cerita. Keikhlasan dan kebesaran hati mengakui jasa Kurawa tak ternilai harga ketimbang kematianku di anak panah Arjuna saat lumpur jebak kereta. Jangan masgul ibunda, kelak aku bersama anak-anakmu Pandawa di surga kendati sekarang memihak Kurawa menghadapi Pandawa di Baratayudha”, benderang jawab Karna memorakporandakan logika yang dibela manusia Kau tahu, takdirku murah hati dan suka berbagi – dan tulus jiwa melebihi ketulusan sesiapa, sayang dikhianati Batara Indra ayah Arjuna Kau tahu, takdirku tangkas perang dan olah senjata – dan sakti mandraguna 50
ARUNG DIRI Kitab Puisi
melebihi kesaktian Pandawa, sayang aku dikutuk para dewa juga brahmana tak dikehendaki memenangi tarung paling bikin bingung melawan Arjuna sebab bakal melelehkan kebekuan tata nilai yang beratus tahun dijaga: oleh kenangan dan ingatan semua manusia oleh kesenian dan kebudayaan Asia dan dunia Malang, 2011
ARUNG DIRI Kitab Puisi
51
KATA HATI DRUPADI Mana bisa lubang hati ditambal cepat? aku pun terus menapaki puncak kesumat akibat putusan Kunti yang tak tepat: kenapa aku harus bersuami kelima Pandawa? hingga Karna menyebutku pelacur rakus ksatria padahal aku perempuan mulia kinasih batara dan sangat jijik layani lima lingga anak turun Bharata juga sangat anti gairah sanggama tanpa tata krama Mana gampang lubang hati ditimbun angan? aku pun terus mengarungi luas lautan kekesalan akibat putusan Yudistira tak matang timbangan: kenapa aku harus jadi taruhan perjudian dadu? hingga Kurawa menganggapku dagangan tak mutu hingga Dursasana menjambak dan menyeretku penuh nafsu juga menelanjangi busanaku meski Kresna menyelamatkanku Aku benar-benar tiada percaya – juga habis kata-kata Kunti dan Pandawa yang disayangi dewa bertindak aniaya Kunti dan Pandawa yang selalu dibela dewa berlaku dina: kenapa tega? Malang, 2011
52
ARUNG DIRI Kitab Puisi
JALAN SWARGALOKA usai Baratayudha, jelaga paling gelap meraja, senyap tersepi bertahta anyir padang Kurusetra, punah Kurawa Pandawa, kehidupan pun tiada: cuma gelimpang ribuan tubuh ditinggal sukma Yudistira, sulung Pandawa, tiba di swargaloka – tempat indah idaman sesiapa jiwa remuk, rabu serasa pecah seketika – para Kurawa tengah bercengkerama “di manakah adinda para Pandawa tercinta – juga kakanda Karna nan mulia?” kuat gaung suara tanya Yudistira – merampas luas dan indah swargaloka diantar dayang swarga, Yudistira tiba di neraka – ruang siksa para pendosa “duh…jagat dewa batara, kenapa justru dirajam siksa di panas api neraka andindaku para Pandawa dan pahlawan-pahlawan amat mulia seperti Karna?” Yudistira lempar pedih tanya – menghantam dinding swarga – juga para dewa “Wahai dewa batara, kupilih neraka ketimbang swarga karena aku lebih pendosa ketimbang mereka yang di neraka: para Pandawa dan Karna juga Drestajumena karena keselamatanku semerbak makna bila bersama mereka: durjana juga durhakalah aku bila sendiri di swarga” tandas Yudistira gentarkan seisi swarga – juga goyahkan diri dewa [tiba-tiba dewa batara membalik penghuni swarga dan neraka: para Pandawa, Karna juga Drestajumena terpelanting ke swarga para Kurawa dan pendosa terlempar ke panas tungku api neraka]
ARUNG DIRI Kitab Puisi
53
di swargaloka, para Pandawa dan Karna baku peluk mesra meski baku ancam juga baku bunuh dilakukan di padang Kurusetra Yudistira terpana – keteguhan hati menyelamatkan semua saudara Yudistira ternganga – kedamaian bersama melebihi indah swargaloka Malang, 2011
54
ARUNG DIRI Kitab Puisi
PENGAKUAN PARIKESIT [seekor ular kukalungkan ke leher Samiti karena diam belaka, tanyaku tak disahuti Kala Srenggi marah mengutukku segera mati digigit Naga Taksaka yang suci, tepat tujuh hari] manakah puncak yang paling puncak manakah tinggi yang paling tinggi manakah benteng yang paling benteng manakah aman yang paling aman kesana aku hendak rentak bergerak kejaran Naga Taksaka harus kuhindari semburan bisa naga harus dapat kutameng kusiapkan brahmana, prajurit, dan ahli pengobatan tapi, jiwaku bertanya: dengan takdir kenapa lari? ia selalu bersama dirimu kemanapun kau sembunyi [mestinya keberserahan diri – juga kelapangan hati] aku raja Hastinapura lambang kebesaran mati digigit ular betapa keterlaluan memalukan: maka brahmana melindungiku dengan doa maka prajurit menjagaku, lengah sedikit pun tiada maka ahli pengobatan siapkan dupa dan penawar bisa aku yakin tiada celah terbuka buat Naga Taksaka mana mungkin mengirimkan semburan bisa ARUNG DIRI Kitab Puisi
55
[Naga Taksaka mengubah diri – menjelma ulat kecil sekali Naga Taksaka cari tempat sembunyi – di buah jambu tak diketahui lalu kemanapun Parikesit pergi selalu membututi – dan mendeteksi] [seorang brahmana jelmaan naga berbisa – sahabat Naga Taksaka berdatang sembah kepada Parikesit, menghaturkan jambu istimewa] brahmana, sungguh kau tahu selera, ini jambu paling kusuka kepadaku berikan segera, kulahap buat memuaskan liur rasa [ketika Parikesit menerima, Naga Taksaka menjelma sediakala saat Parikesit terkesima, Naga Taksaka menunaikan tugasnya menggigit nadi Parikesit, mengalirkan bisa ke seluruh tubuh raja: kemanapun kau sembunyi, takdir mengalir dengan pasti] oh oh oh kau Naga Taksaka, perantara takdir dewata dengan keberserahan terbuka, kini semua aku terima dulu mestinya aku tak sembunyi, menjamumu girang hati [tubuh Parikesit tuntas terbakar – menjelma abu suci lalu dimasukkan tembikar – dialirkan ke sungai bernyanyi] Malang, 2010
56
ARUNG DIRI Kitab Puisi
SARPAHOMA* [Janamejaya…Janamejaya…dendam selalu hilang mata kenapa kau suka piara – berbiak di dalam api membara?] Parikesit telah tiada, dendam Janamejaya bergelora: “bukan cuma Naga Taksaka, semua ular harus binasa – tak bersisa maka harus kuadakan sarpahoma – dipimpin dan dijaga brahmana” dimulailah sarpahoma panas kobar merah api serupa panas neraka bersekutu mantra suci luar biasa para brahmana semua hilang daya – terhisap mantra menuju celaka dan ribuan ular melayang, mendebum di tungku sarpahoma: dibakar panas kobar api, ludes tanpa sisa di Nagaloka, Naga Taksaka dipukuli cemas tiada kira: “duh Sang Astika segeralah turun ke bumi, temui Janamejaya pohonkan kata, hentikan sarpahoma, ribuan ular telah moksa” badai mantra suci terus menyeret ular ke tungku sarpahoma juga Naga Taksaka yang bertahan di ujung pakaian Dewa Indra tubuh Dewa Indra pun bergoncang dihantam badai mantra tiada tara terseret menuju ganas tungku sarpahoma – lalu melepaskan Naga Taksaka tubuh Naga Taksaka pun habis daya – menghantam tungku sarpahoma “aku segera melumatkan tubuhmu Naga Taksaka”, kobar api beri aba-aba
ARUNG DIRI Kitab Puisi
57
ketika kobar api menelan Naga Taksaka – mantra Sang Astika tiba dan menyelamatkan Naga Taksaka berkat kabul Janamejaya [Janamejaya… Janamejaya… kearifan selalu berbuah keagungan memang kau harus piara – memberi pupuk subur kedamaian] Malang, 2010
*Upacara Pengorbanan Ular
58
ARUNG DIRI Kitab Puisi
KATA HATI RAMAPARASU jangan kau umbar praduga karunia umur panjang tiada kira berkah dan bungah senantiasa kuterima ketahuilah, ada onggok luka mencacah dada ada tajam nestapa mengiris-iris tenang jiwa ada gempuran kecewa meretakkan kepala aku telah pula dihempas badai duka berkala-kala: demi bakti kepada Jamadagni ayahanda dan harga diri keluarga kubunuh ibuku Renuka sebab main cinta buta dengan Citraratra demi tenteram dunia, tak terhitung kubunuh para ksatria ternama karena kelenjar mereka diracuni pikiran perang dan perang semata pekerti dan laku mereka lancung pula hingga hilang nyawa si jelata maka demi damai masa depan, pantang bagiku menjadi guru ksatria kalau brahmana, kuterima, sebab mereka penjaga keindahan dunia tapi setelah Bisma dan Durna remukkan jiwa, kini menipuku si Karna menyaru sebagai brahmana muda, bermohon jadi murid paling setia hingga aku memberi ilmu paling digdaya, terunggul di marcapada sekaligus kutuk kematian baginya, lupa ilmu yang telah dikuasainya panjang umurku menjelma panjang jalan tak ada ujungnya kian jauh mata batin memandang kian menabrak fatamorgana aku pun kehilangan cinta, didera angan kosong, kehabisan cita-cita ternyata hidup perlu tegas tapal batas, butuh lengkung cakrawala agar ada satu titik pandang jiwa, agar bisa menatap satu tujuan ada tak lamur mata batin seperti aku Ramaparasu si Rama Bargawa ARUNG DIRI Kitab Puisi
59
aku telah jenuh dan penat mengarungi panjang hidup manusia maka kucari-cari maut milikku sampai ke seluruh sudut marcapada: tapi tak kutemu juga, kabur begitu dengar aku tiba maka kucari-cati kematianku pada kesaktian para ksatria ternama: tapi mereka kutaklukkan semua, tak mampu cabut nyawa aku kecewa, aku bertanya-tanya: apakah dewata demikian tega permainkan takdir yang kucinta, sembunyikan maut yang kupuja? [Rama Bargawa, Rama Bargawa, takdirmu dibawa titisan Wisnu di dunia kini mautmu dipegang Rama putra Dasarata, tunggulah ia dewasa] begitu Rama dewasa, kucari dia, hendak kuminta takdirku kepadanya kucegat di jalan, kutantang dia, sepulang memenangi sayembara Sinta lalu kuambil mautku sesegera, kurebut kematianku dari senjata Rama akupun gugur, meniti swargaloka, bergelar Ramaparasu sang batara wahai manusia, carilah batas umurmu dan lengkung cakrawala hidupmu agar tak terlunta-lunta di dunia, agar tak lelah menunggu maut bertamu jangan seperti aku si Ramaparasu, tersaruk dan letih menemu mautku! aku si Ramaparasu, kini terbebas dari siksa panjang umur tiada kira kini aku bahagia, tinggal di swargaloka, bermandi keabadian selamanya Malang, 2012
60
ARUNG DIRI Kitab Puisi
PERTANYAAN DURYUDANA Kenapa harus aku dan keluarga menjadi pecundang dan punah dalam perang mahadahsyat di Kurusetra yang penuh aroma busuk dan anyir merah darah Kenapa bukan Yudistira dan keluarga besar dia padahal sama-sama anak turun Barata? Kenapa harus aku dan keluarga merasakan ganas kobar api neraka bukan Yudistira dan keluarga besar dia padahal sama-sama anak turun Barata? Mestinya aku dan keluargaku menghuni indah swargaloka apakah karna aku dan adikku hanya anak raja buta si Drestarastra bukan anak dewata yang serba kuasa seperti Yudistira dan adik dia? Padahal lebih mulia mana: keluargaku ataukah keluarga Yudistira bukankah aku dan adik-adikku lahir dari sanggama bertatakrama? ketimbang Yudistira dan sang adik lahir dari campur tangan dewata akibat Pandu menanggung kutuk bertemu ajal ketika beradu cinta [dan memang mangkat saat nekad menggumuli Madrim istri kedua] Mestinya ibuku juga lebih mulia ketimbang Kunti dan Madrim si ibu Yudistira dan adik dia karna ibuku hanya mau digauli oleh Drestarastra, suami tercinta
ARUNG DIRI Kitab Puisi
61
sedang Kunti dan Madrim justru digauli sepenuhnya para dewata dan membelakangi suami Pandu dewanata, celaka dia diam belaka! Apa norma kesetiaan, kejujuran, dan kemuliaan mudah dipermainkan? kepada Yudistira juga adik-adik dan ibu dia, bisa total diberikan? kepadaku juga adik-adik dan ibuku, mana mungkin disandangkan? astaga! dunia kehidupan macam apa yang sedang kita kembangkan! Malang, 2012
62
ARUNG DIRI Kitab Puisi
PERJALANAN CINTA SUKRASANA memang aku kebalikan dari kakanda Sumantri: kakanda tampan rupawan, idaman semua putri kerajaan badanku cebol menakutkan, perutku jemblung memuakkan parasku pun serupa hewan, bikin orang kocar-kacir berlarian suara kakanda merdu menawan, suaraku cedal menggelikan kakanda dikejar-kejar putri jelita berhias purnama rembulan diriku dijauhi semua orang, juga ditakuti semua perempuan tetapi kakanda Sumantri juga kebalikan dari aku: aku lebih sakti dalam segala, kakanda Sumantri lebih pandai berkata aku punya ilmu luar biasa, kakanda Sumantri punya ilmu tak seberapa dia juga pandai meminta meski aku terima karena dia sangat kucinta tetapi kakanda Sumantri jelas kebalikan dari aku: aku telah melampaui badanku hingga menemukan rahasia baka aku sudah melampaui badanku hingga leluasa mengabdi di surga kakanda Sumantri masih terpenjara tubuh yang semu dan fana kakanda Sumantri terperangkap paras dan rias yang sementara kendati tampak gemerlap memesona, memukau mata manusia tetapi tak kuasa mendedah lelapis langit, raih bakti sempurna maka, bagiku dunia tak adil karena lebih memuja tubuh ketimbang sukma lebih menghargai yang kasat mata ketimbang yang di kepala lebih memuliakan rias ketampanan ketimbang kecendekiaan lebih menyembah paras kebendaan ketimbang keruhanian ARUNG DIRI Kitab Puisi
63
maka, bagiku, dunia telah terpenjara kewadagan mengimani kehebatan, memuja-muja keunggulan mengimani kemegahan, memuja-muja keanggunan bersimpuh pada kekuasaan, bersuka suapi kekerasan hingga tak sanggup membubung menemu kemuliaan hingga tak kuasa mencapai makrifat kehidupan hingga tak mampu menciptakan jalan keabadian maka, bagiku, dunia telah terperosok ke jurang kesesatan hingga berbalut kegelapan, dan bersekutu kesemuan maka, simpulku, dunia amat bengis bagi makhluk sepertiku cuma untungkan dan bahagiakan manusia seperti kakakku tetapi, aku dan kakanda Sumantri adalah satu tak boleh terpisahkan oleh dunia yang telah sesat tuju karena kakanda Sumantri janin perkasa di kokoh rahim ibu dan aku ari-ari yang setia memberi makan rahim ibu setiap waktu karena kakanda Sumantri dan aku pemilik bersama teduh rahim ibu maka, aku cintai kakanda Sumantri sepenuh jiwa, seluruh napas dada maka, kubaktikan sepanjang hidupku bagi kejayaan Sumantri nan perwira dengan keikhlasan, ketulusan, dan ketanpapamrihan mengagetkan surga maka, kemanapun Sumantri pergi, mengembara, mengelana, dan mengabdi aku pasti mencari, selalu mengikuti, senantiasa membayangi dengan cinta suci dan siap membantu saat ketangkasan dan kesaktian Sumantri tak mencukupi [kakanda Sumantri menganggukkan kepala, tanda bakal istiqamah pada janji]
64
ARUNG DIRI Kitab Puisi
tetapi, apa harus dikata, sesat hakikat kian menerungku dunia juga manusia setelah Taman Sriwedari kupindah ke Maespati, kureguk tuba, kubopong celaka karena cengkerama bahagia permaisuri, putri raja dan dayang-dayang istana berantakan seketika saat mereka temukan aku berada Taman Sriwedari juga dan mahapatih Maespati sekejab tiba, mengusirku pergi dengan nada murka tentu aku tak bersedia karena dia kakanda Sumantri, manusia paling kucinta dan telah mengizinkan aku untuk selalu bersamanya, dalam suka dalam duka kakanda Sumantri makin murka, merentang busur panah tepat terarah dada dan mengirim maut ke jantungku saat puncak kemelut jiwa gagal dia kelola aku terkesiap sesaat, tapi maut meringkus nyawa lebih cepat, tumbanglah aku Sumantri terperanjat, tapi remuk jiwa merambat cepat, dia pun berwajah sendu “tega nian kau ingkari janji wahai Sumantri, tega nian kau rebahkan adik sendiri tapi, aku tak terlarai, dan tetap mengirimi harum cinta kepada kakanda Sumantri sebab kuyakin kau tetap mencintai, dan mengakui aku tak terganti di palung hati memang karena berada di dunia yang sesat tuju, kau kirim maut ke jantungku ini” “aku menunggumu kakanda Sumantri karna surga hanya menerima kita bersama di sana kita selalu bersama, tak terpisahkan lagi, sebab telah kalis dari nafsu dunia” [Sumantri memikul pedih yang kelabu, sambil berkawan sendu terus menunggu kedatangan Sukrasana menumpang taring Rahwana, antarkan ajal yang gaharu] Malang, 2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
65
SESAL SUMANTRI Duh adikku Sukrasana! Kenapa panahku tak bisa kujaga hingga tiba-tiba kehilangan mata alpa melindungi ajalmu di pucuknya Kenapa tanganku harus dihajar gemetar hingga konsentrasiku seketika ambyar berkilat anak panahku pun menyambar: dadamu yang selalu diharu biru cinta dan seketika terbuka ditinggal ruh nan baka Duh adikku Sukrasana! Kenapa kau jemput ajal di tangan kakanda dan aku harus mati dicincang taring Rahwana meski kutahu kau bersembunyi di sana: sekian lama dan kaulah yang memburai tubuhku jadi serpih bunga Duh adikku Sukrasana! Kenapa aku dirampok bimbang dunia: terbanting antara citra dan hakikat ada hingga kita saling meniadakan hidup bermakna padahal kita satu hakikat di rahim ibunda! Duh adikku Sukrasana! Kenapa kita harus jalani nasib baku bunuh di dunia cuma karena sesuatu yang fana – dan memisahkan kita?
66
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Duh adikku Sukrasana! Kini aku dibakar bara sesal yang menghanguskan suka cita Kemanapun diri menghadap, menyantap kobar siksa semata Kemanapun kaki melangkah, mengerkah nyala sengsara belaka Duh adikku Sukrasana! Hidupku tinggal sepenggal sukma Hidupku bersisa sepotong raga Sebab kau dan aku satu adanya (Langit mengarak berat duka, cakrawala menggiring sarat derita Udara mengembuskan rintih dada, angin menderaikan isak jiwa Jagat raya menabur pedih tuba, jagat diri menebar pekat petaka) Duh adikku Sukrasana! Kau tunggukah aku di pintu indraloka? Malang, 2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
67
68
ARUNG DIRI Kitab Puisi
2 Arung Jiwa
ARUNG DIRI Kitab Puisi
69
70
ARUNG DIRI Kitab Puisi
SAJAK PERJALANAN 1 perkenankan aku, ya, manisku membangun kubu di ayat-ayatmu pertahanan pungkasan bagi jiwa ketika berkemas senjakala usia menyodorkan berkas catatan purba: perjanjian sebelum turun ke dunia perkenankan aku, ya, manisku 2 perkenankan aku, ya, manisku mencipta teduh hutan lestari dari seratus empat belas suratmu padaku peristirahatan terakhir bagi kekalahan yang selalu di ujung penaku sendiri perkenankan aku, ya, manisku 3 perkenankan aku, ya, manisku merenangi deras arus sungai janjimu yang berhulu di ayat-ayat kitab suci dan bermuara di syair samudra surgawi sebelum waktu membaca kitab nasib ini yang tersimpan di napasku sendiri perkenankan aku, ya, manisku
71
ARUNG DIRI Kitab Puisi
71
4 perkenankan aku, ya, manisku mengarung luas laut berbatas cakrawala yang senantiasa terjelma dari sabdamu di antara deru nafsu ekonomi yang terjaja di supermarket, fastfood, dan plaza-plaza di kota perkenankan aku, ya, manisku Malang, 1995
72
ARUNG DIRI Kitab Puisi
SAPI BETINA telah berabad-abad, ya, telah berabad-abad bermilyar sapi betina terus mukim di ayat-ayat menunjuki kita tempat penuh nikmat: samudra bernama surga di mana segala ada seperti bunda cerita “tapi, tapi, kita bukan Sulaiman yang mengerti bahasa hewani dan tak hendak berlagak Sulaiman, sekadar hendak pahami mau sapi”, ujarmu seraya membuka-buka kitab ilmu dan teknologi untuk mencipta surga imitasi di bumi maya ini: di mana segenap nafsu bisa dilunasi oleh komputer multimedia dan televisi oleh pusat perbelanjaan, toserba, dan plaza oleh MacDonalds, KFC, dan Donuts Donkin juga Malang, Juni 1996
ARUNG DIRI Kitab Puisi
73
LEBAH 1 dengung lebah-lebah itu, dengung lebah-lebah itu membangun ayat-ayat dalam bahasa baka bagi kefanaan hidup kita, kesementaraan dunia biar menembus hakikat puncak ada Malang, Juni 1996
74
ARUNG DIRI Kitab Puisi
LEBAH 2 lebah-lebah itu mengajari kita membaca bahasa penyimpan rahasia hidup setelah akhir segala tapi tak juga bisa selalu saja terbata mengeja bahkan napas di leher kita sebab kita sudah menjual jiwa pada tubuh-tubuh terbuka pada busana-busana toserba pada makanan di plaza-plaza sementara surau-surau terus memanggil dengan parau dan masjid rubuh saat adzan tiba tersebab sujud tak lagi ada di sana Malang, Juni 1996
ARUNG DIRI Kitab Puisi
75
LEBAH 3 lebah-lebah itu membangun sarang ayat baka di lubuk batin kita agar jiwa kerasan wirid di sana tapi tak juga nyata jiwa lebih suka mukim di plaza-plaza dan busana-busana Malang, Juni 1996
76
ARUNG DIRI Kitab Puisi
SURAT 1 surat-suratmu telah kuterima dari kecil dulu, disampaikan bunda tercinta tatkala waktu tiba, tatkala adzan bergema ampuni, begitu lama tak kusempatkan baca : menumpuk di antara reruntuhan masjid di dada kubiarkan bahasanya meronta-ronta : kegerahan hidup bersama nafsu, dusta, dan angkara kuceraikan cintanya dari hidup penuh warna : wahai, betapa, wahai... ia tetap memanggil dalam cinta Malang, Juni 1996
ARUNG DIRI Kitab Puisi
77
SURAT 2 seratus empat belas surat telah kau kirim padaku berisi peta perjalanan nasib agar sampai padamu: peta bersahaja, mudah membacanya peta bersahaja, mudah melaksanakannya bila hidup disucikan dari tamak, loba, dan angkara Malang, Juni 1996
78
ARUNG DIRI Kitab Puisi
SURAT 3 ketika kubaca surat-suratmu bah pun melanda denyut nadiku seperti kapas, aku pun lepas terdampar di padang mahaluas: tak bernama karena mendahului bahasa tak fana sebelum akhir kiamat tiba Malang, Juni 1996
ARUNG DIRI Kitab Puisi
79
ARUS merenangi arus yang terjelma dari suratmu yang kau kirim berbilang tahun kepadaku ke muara sampailah aku: tak ada siapa-siapa di sini akhir waktu belum kau putusi Malang, Mei 1996
80
ARUNG DIRI Kitab Puisi
RINDUNYA RINDU MAKRIFAT ADA dalam puasa suara dan berkendara mutmainah cinta rindunya menghisap seluruh ayat semesta sukmanya menyusu makrifat ada “jangan ganggu aku”, katanya “tarian rumiku sudah tiba di semenanjung ada manusia” hijab cakrawala pun tersingkap buraq cahaya melesat dan adanya lenyap dan dirinya tamat “jangan tanya jasad jangan tanya alamat aku di luar segala kalam tersurat”, pesannya di tiap desah angin lewat Malang, Juli 1998
ARUNG DIRI Kitab Puisi
81
ANGIN SEMESTA 1 Engkaulah angin semesta yang singgah di pucuk ombak samudra yang bergulung-gulung di bola mataku dan kini menjelma lautan di kampungku Kau tahu, musim telah khianati waktu dan aku mengembara dari banjir ke banjir hingga beku seluruh waktu: di manakah akhir? Engkaulah angin semesta tempat tanyaku kau lepaskan seketika ke dalam sunyi sejati, hening dunia
82
ARUNG DIRI Kitab Puisi
ANGIN SEMESTA 2 Engkaulah angin semesta, yang saksikan persalinan almanak tua Pasti kau tahu, ramadan kini telah tiba meski banyak lidah teperdaya, terbata mengeja ayat-ayat abadi Gusti karena yang tak pasti dipegangi Pasti kau tahu, kalau tak manusia tak alpa, maka maafkan segala dosa manusia Engkaulah angin semesta yang membopong kasih dan menaburkan ke hatiku biar bersih.
ARUNG DIRI Kitab Puisi
83
ANGIN SEMESTA 3 Engkaulah angin semesta menunjuki jalan lempang sepanjang hutan cinta akupun menyusuri dengan tak putus rapal doa. Aneh, berminggu-minggu tak kutemukan ujungnya dan aku riang terus mengukurinya. Aneh, jalan itu menikung ke angkasa makin kujejaki makin meninggi hingga tak tahu lagi kemana jalan tertinggi akupun lenyap di ujung jalan yang silau cahaya astaga! Jalan Cahaya!
84
ARUNG DIRI Kitab Puisi
ANGIN SEMESTA 4 Engkaulah angin semesta, membaca tanda demi tanda yang terbentang di lahan basa “musim tak bisa kubaca sebab tak ada titi mangsa” embusmu di antara pekat perdu tersisa aku ternganga, tapi temanku berdencing harta.
ARUNG DIRI Kitab Puisi
85
ANGIN SEMESTA 5 Engkaulah angin semesta, yang mencatat senja terluka setelah angin tak bisa dibaca manusia “musim apakah ini, tandanya selalu mendua?”, semua orang bertanya tapi jawab dalam kitab tiada
86
ARUNG DIRI Kitab Puisi
ANGIN SEMESTA 6 Engkaukah angin semesta? kutahu engkau kolektor jalan dan kaki yang tersimpan rapi di bilik hati. Ketika tiba sepi, jalanmu menjulur ke arasi tinggi dan suara kaki-kakimu makin meninggi tak terperi bergegas ke waktu abadi, waktu hakiki.
ARUNG DIRI Kitab Puisi
87
ANGIN SEMESTA 7 Engkaulah angin semesta yang mengirim kabar tentang kemarau yang diratapi rekah tanah desa. Tentu kau tahu, gerimis telah pindah ke mata kita rinai telah menjelma rajam batu di hati kita bau basah tanah telah kembali ke jantung semesta. lalu apa yang bisa diharap petani kecuali rindu yang silam? Engkaulah angin semesta yang mumpuni, menderu mengusir polutan dan mengajak mendung melawat ke bandar ranggas. Mataram, 2007
88
ARUNG DIRI Kitab Puisi
SUWUNG bukan waktu bukan rindu tak ragu tak jemu tak lesu lalu siapa kau tunggu? [“masih lima milyar tahun dunia bersamamu”, ujar Hawking di dalam buku] bukan semu bukan palsu tak sendu tak kuyu tak sembilu lalu sampai kapan kau tunggu? [“sudah pasti menemuimu akhir waktu “, Ihya Ulumuddin al-Ghazali berseru] Malang, 2006
ARUNG DIRI Kitab Puisi
89
PENCERAHAN mandi rindu di bawah hujan cahayamu sabda-sabda mengaliri jejaring nadiku: tiba-tiba terangkat kedua tangan membangun masjid di dada penuh iman Malang, 2006
90
ARUNG DIRI Kitab Puisi
ELING dan suara-suara pamit kembali hingga dedaunan meditasi sunyi: semua membersih segala mengganih gerak batin pun buih di sini, rahasia cuma ilusi karena segala membuka diri di sini, untai alibi tiada arti sebab semua mengaku penuh seri Malang, 2006
ARUNG DIRI Kitab Puisi
91
SAJAK PATAH HATI patah hati adalah rindu salah alamat akibat kalam tersurat terbaca gurat hingga tak tercerna segala isyarat patah hati adalah kangen tiada nikmat gara-gara surat cinta berlumur umpat hingga berantakan segala jejak nubuat patah hati adalah cinta tersesat di dalam kitab yang tertutup rapat hingga tersumbat segenap hikmat patah hati adalah cinta sekarat terperangkap jurang hambat Malang, 2006
92
ARUNG DIRI Kitab Puisi
CINTA, BILA KAU SUKA cinta, bila kau suka, esok kupetikkan cahaya “untuk apa? pendarnya mengaburkan yang fana dan baka” cinta, bila kau suka, esok kurangkaikan cahaya “untuk apa? silaunya menghilangkan yang neraka dan surga” cinta, bila kau suka, esok kubawakan kitab cahaya bacalah, cinta! niscaya kau tiba di padang cahaya tempat makhluk bergirang sepanjang masa Mataram, 2006
ARUNG DIRI Kitab Puisi
93
CINTA, LAUT ADALAH DIRIMU Cinta, laut adalah dirimu: bergelombang dan merindu hening tempat ayat berkubu Cinta, laut adalah dirimu: bergemuruh dan merayu sepi tempat sabda berlagu Cinta, laut adalah dirimu: menebar kalam setiap waktu Mataram, 2006
94
ARUNG DIRI Kitab Puisi
CINTA, SAMUDRA TELAH JADI PENA 1 duhai cinta betapa indah gunung-gemunung ombak di mata kita [“niscaya ia dipiara samudra nan perkasa”, simpulmu segera] serasa menumpang perahu Nuh kita terus berlayar ke tengah samudra: lama-lama segala air semata – dan batas cakrawala sementara dasar hanya fatamorgana – Dewa Ruci tinggal cerita hiruk-pikuk sirna seketika – dan lengking nyanyi sejak senja sementara geladak kapal menjelma musala – juga kubu jiwa “inikah banjir besar yang disebutkan kitab suci kita?”, membalun tanya di antara ruang semesta dan kita tersihir kasidah ombak, terlena zikir rampak hingga kantuk menetak, kita pun lelap serempak duhai cinta terjagalah segera, di muka ada anak bersuara: “siapa mau pena…siapa mau pena…penaku luar biasa lantaran terbuat dari ayat suci dengan isi seluruh air samudra” dalam tidur kita apakah samudra telah jadi pena? dan kita adalah tinta penoreh sabda? duhai cinta kenapa bergegas segala ada? Mataram, 2006 ARUNG DIRI Kitab Puisi
95
CINTA, SAMUDRA TELAH JADI PENA 2 sebab pasang, kapal berlayar tenang “leee olang”, kita pun ceria berdendang melintasi ruang demi ruang terbentang sambil mengamini tasbih jutaan kerlip bintang hingga tak sadar kapal membentur ujung pena yang tertancap pada ayat-ayat baka yang sedang menghisap seluruh air samudra [tentu kita terkesiap, cinta: kenapa bisa? sayang, sunatullah tak untuk ditanya – dipercaya] Mataram, 2006
96
ARUNG DIRI Kitab Puisi
CINTA, ZIKIR OMBAK MEMBUAI KITA Cinta, seusai badai, pantai landai dan rampak zikir ombak membuai kita pun mengangkasa memanjat pelangi senjakala menemu kekosongan makna Mataram, 2006
ARUNG DIRI Kitab Puisi
97
KESELAMATAN sesudah kerkah tanah laut pun terbelah: pecah! semua kejahatan tercegah dan kebaikan tumpah: menggulung para bedebah mengharumi kaum beribadah “ini keadilan atau kutukkah? dahsyatnya tak ada dalam sejarah!” dan para bedebah terimpit dinding rebah juga tertimbun tanah tertelan air muntah dan kaum beribadah bersujud serah juga bertanam berkah beramal tambah siapa masih ingat kisah? keselamatan telah dicontohkan Allah Mataram, 2006
98
ARUNG DIRI Kitab Puisi
LAUT IMAN laut mana yang kau baca dalam sejarah? laut mati: ruang segala yang musnah atau laut merah: tempat dicipta sejarah “laut iman kupilih sudah tak ragu tak akan berubah sebab pertanda ada di laut merah: karnaval keselamatan penyembah Allah” dan pengikut Musa kembali bungah dan pasukan firaun terkubur kelam tingkah Mataram, 2006
ARUNG DIRI Kitab Puisi
99
MANTRA PEMBERSIHAN DIRI Bersama barzanji Sesayat sepi, kau hidangkan di hati: terdengar jernih zikir ilahi Sesayat cinta, kau suguhkan di dada: terdengar indah rapal doa Sesayat rindu, kau antarkan di rabu: terdengar bersih rubaiyat kalbu Sesayat giur, kau sodorkan di lebur: terdengar siur iman bersyukur Sesayat gairah, kau tawarkan di girah: terdengar ikhlas kasidah jiwa berserah Telah sampai kau di hampar padang keindahan: tempat bertahta keselamatan – juga keabadian Malang, 2010
100
ARUNG DIRI Kitab Puisi
MANTRA KEBERANIAN bersama bismillah reguklah segelas resah santaplah serawah gelisah lahaplah sepinggan gundah mamahlah sepiring rebah kunyahlah secawan payah lumatlah serabu desah bersama subannallah layarilah sesungai berkah arungilah seombak hasrat temu susurilah sesamudra rindu saringlah semuara cahaya kalbu maka sampailah kau di rumah Allah dibelai rahmah, dijamu janji terindah: hidup gelimang suka selepas berkemas dunia Malang, 2010
ARUNG DIRI Kitab Puisi
101
MANTRA CINTA bersama allahuakbar simpanlah umbar debar sembunyikan samar kabar hilangkanlah ambar mawar hancurkanlah elok lembar gambar bersama istigfar hentikanlah lantang sesumbar buanglah segantang rasa besar singkirkanlah sedada loba mekar campakkanlah segenggam rasa hambar maka tibalah kau di puncak cahaya mereguk anggur ria meneguk bahagia sumber segala terang, obat segala bimbang Malang, 2010
102
ARUNG DIRI Kitab Puisi
MANTRA RINDU debur debur debur hancur hancur hancur mumur mumur mumur segala tampak bubur segala desah gelisah kabur segala derap napas kubur kutiba pada mutmainah cinta kutiba pada mahabah putih jiwa kutiba pada puncak ada: ternyata suwung semata sebab la illah ha illallah ada di dada Malang, 2010
ARUNG DIRI Kitab Puisi
103
RINDU BERSAMA Kucari-cari, kucari-cari dengan buncah energi manusia mulia bernama Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina dalam endapan ajaran indah bersari cinta ilahi di hamparan peradaban Asia dan nusantara: nyaris tak ada, tak ada jejak mereka nyaris tak ada, tak ada raut mereka dalam pijar-pijar cahaya ajaran wangi makna di hamparan peradaban selain Asia dan nusantara: aha kutemu Averroes dan Avicenna di jantung peradaban Eropa nan memesona menjelma serat peradaban yang kini digdaya kutemu mereka mengolah dan merawat kepala Berhari-hari, berhari-hari dengan debur penasaran hati kujelajahi relung terdalam peradaban Asia dan nusantara: kutemu al-Ghazali menguasai segenap nurani memenuhi rongga dada, berpaling tak bakal bisa mengolah dan merawat hati sanubari tiada henti Kurenung-renung, kurenung-renung dengan selaksa doa kenapa Eropa telah mengolah kepala begitu luar biasa hingga ilmu dan teknologi tercipta mengagetkan agama dan sekarang menguasai seisi dunia juga luar angkasa bahkan rahasia hidup mati nyaris digenggam pula
104
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Kupikir-pikir, kupikir-pikir dengan nalar bersendi logika kenapa Asia dan nusantara suntuk mengolah dada semata menata hati sebegitu rupa, melindungi hati dari mara bahaya hingga tercipta kelembutan hati yang disangka inti agama dan kini tengah kebingungan digempur hasil ilmu-ilmu Eropa dan kini diterungku rapuh jiwa, digelayuti berat putus asa Tapi, tapi kulihat juga manusia Eropa dilanda kemarau dada rekah luka jiwa mereka kian menganga, rapuh hati merajalela dan runtuh nurani akibat kekosongan makna, sepi dari doa-doa Kunalar-nalar, kunalar-nalar dengan akal terbuka dunia telah terbelah antara kepala dan dada antara akal dan jiwa, antara ilmu dan akhlak mulia dan berjalan sendiri-sendiri tanpa kompas cita-cita hingga masing-masing belahan dunia tak saling bersapa malah saling menebar tuba curiga dan pahit wasangka mengasah kelewang tuduhan berabad-abad lamanya hingga kini masing-masing mengunyah perih goresan luka dan celaka, masing-masing tak bisa menyembuhkannya! Kureka-reka, kureka-reka dalam bayang cita Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan al-Ghazali masgul bersama saksikan keterbelahan dunia yang mengekalkan duka padahal mereka dulu berdebat bersenjatakan runcing logika bersilat pikir dengan tajam pena, berhujah dengan harum cinta lihatlah Tahafut al Falasifa dan Tahafut al Tahafut warisan mereka sama-sama indah memesona, penuh penghormatan pada manusia
ARUNG DIRI Kitab Puisi
105
Kubayang-bayangkan, kubayang-bayangkan dalam kepala al-Ghazali mengajak Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina beranjangsana suka cita menjejaki seluruh sudut negeri Asia dan nusantara dan mukim berlama-lama di kepala semua manusia di sana Kubayang-bayangkan, kubayang-bayangkan dalam kepala Ibnu Rusyd bersama Ibnu Sina menggamit al-Ghazali tercinta berjalan-jalan menyusuri semua hamparan peradaban Eropa dan singgah berlama-lama di nurani semua manusia di sana Jangan kau sergah khayalan belaka! Jangan kau kata igauan orang gila semata! Bukankah kita satu belaka, berasal dari sumber yang sama: Sang Maharahman dan Mahakuasa Kenapa harus memelihara saling curiga bukankah kita pulang ke rumah yang sama: surga yang dijanjikan agama-agama Kenapa harus membangun dinding prasangka bukankah kita berlindung di bawah ayat-ayat baka bukti kalam Sang Maharahman dan Mahakuasa Mari, mari, mari kita bersama dengan leluasa jiwa duduk santai di ruang keluarga manusia: menyeruput umpama Einstein soal ilmu dan agama ingatlah, mereka kekasih sejati, yang saling mengada
106
ARUNG DIRI Kitab Puisi
menyantap cerlang makna tamsil Fritjof Capra perkara jejaring kehidupan semesta dan manusia semesta satu jejaring persis ikatan darah keluarga meneguk secangkir makna aforisma Iqbal tercinta seraya mendatangi sapi betina, dia bertutur mesra Timur dan Barat milik Allah semata, bukan manusia kenapa kalian saling memutus sapa, mencipta luka? Mari, mari kita jelajahi indah panorama semesta jadi turis sejati di bumi manusia, bumi milik Allah ta’ala bersapa dengan siapa saja: al-Ghazali, Ibnu Rusyd atau Ibnu Sina berhangat rindu dengan Newton, Einstein atau Hawking boleh saja Mari, mari kita sarungkan segala purba sangka dan curiga Mari, mari kita perindah bumi yang kerontang makna Malang, 2011
ARUNG DIRI Kitab Puisi
107
RISALAH RINDU 1 al-Ghazali tiba membawa Mishkat al-Anwar nan indah kuguna menanak cinta sampai matang di mata Allah kupakai membangun nurani hingga dihuni hanya Allah : gelisah gundah yang menjajah hati niscaya tak betah : anggur rindu yang sejati rindu niscaya tersaji berlimpah Malang, 2011
108
ARUNG DIRI Kitab Puisi
RISALAH RINDU 2 di batinku al-Ghazali tiba – lalu dia sebar lembar-lembar memesona Mishkat al-Anwar penuh cinta kulipat jadi bahtera Sinbad bersuar lalu kupakai melayari lautan cahaya maha cahaya denyar angin cahaya menerpa geriap jiwa: di mana berada? gemulung ombak cahaya membentur jiwa: sampai mana? bahtera Sinbadku terus berlayar – menuju hakikat ada mengarungi lautan cahaya maha cahaya – mencari arah dermaga [pelayaranku terus menembus waktu – tak kutahu kapan tiba karna aku tenggelam di dasar Mishkat al-Anwar – ditawan pana] Malang, 2011
ARUNG DIRI Kitab Puisi
109
PARA PERINDU Berzikir, berzikir, berzikirlah kekasihku biar dunia suntuk mengitari satu sumbu: tak limbung oleh kuasa semu istikamah menuju muara segala rindu biar suasana dikuasai oleh harum narwastu: sanggup lumerkan bubuk mesiu sanggup usir selaksa gemuruh nafsu hingga batin manusia bermetamorfosa cempaka ungu yang menebar lautan harum di taman indah para perindu Bertasbih, bertasbih, bertasbihlah kekasihku biar dunia suntuk mengelilingi pusat yang satu: tetap awas dari segenap silau palsu istikamah menemu hulu sejati hulu biar suasana dikuasai kesucian berinti subhanahu mampu singkirkan para gadungan lucu mampu bersihkan batin dari kerak debu hingga batin manusia berpegangan pada yang satu dan mampu bersemayam di taman indah para perindu Malang, 2011
110
ARUNG DIRI Kitab Puisi
PENUNGGANG CAHAYA dia selalu bayangkan semesta sebagai himpunan cahaya dia selalu bayangkan swargaloka sebagai tumpukan cahaya bahkan dia yakini ada jalan raya dari semesta ke swargaloka: jalan cahaya, pijar sinar indah memesona jalan cahaya, ruang panjang berkilau makna dia merasa selalu menunggang cahaya – dia jadi penunggang cahaya! dan merasa selalu melaju kencang di lempang jalan cahaya, kelokan cahaya, lengkungan cahaya, kecepatan cahaya, dan lantas singgah di rumah cahaya: dinamai swargaloka, ruang penuh insan bercahaya dia merasa tiba di persinggahan terakhir dan bakal jumpa Sang Maharaja dia cari di mana Sang Maharaja, tapi justru jumpa cahaya maha cahaya dia pun menunggang cahaya maha cahaya, menuju rumah kekekalan manusia ternyata dia tiba di relung hati nurani manusia: tempat keselamatan bertahta! kini dia merasa telah menjadi pangeran cahaya, bertahta di rumah cahaya: hati nurani manusia, tak di luar sana! Malang, 2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
111
VARIASI ASMARA 1 Memandang puncak yang disamarkan selimut awan juga lautan pasir yang digelapkan kabut bertangisan tibalah kita di inti kesenyapan: tiada suara mengusik rasa apalagi kata-kata mengirim cinta karena suara pertanda belum sampai puncak pesona karena kata-kata pertanda masih ada birahi bergelora Semesta bergegas menemui awal ada manusia: sebelum ada suara sebelum ada kata-kata Kudekap erat dirimu, kusentuh lembut pipimu: amat dingin ditimbuni berlaksa rindu Kudekap kuat rindumu, kukecup indah bibirmu: amat hangat dibakari kemenyan syahdu Kita pun memasuki terang di dalam gelap awan dan kabut bismillah, allahuakbar, dan alhamdulillah hangat menyambut Malang, 2011
112
ARUNG DIRI Kitab Puisi
VARIASI ASMARA 2 di dermaga Padang Bai, angin musim hujan menerpa bahu dan membawa butiran sisa hujan kepada dingin tubuhmu: kau termangu menatap laut biru belum tampak rombongan perahu kecuali samar gundukan pulau piatu dalam dahsyat gigil tubuhmu kubelai legam rambutmu, kusematkan bunga rindu: ada hangat menjalari rabumu kuseka langsat keningmu, kusuntingkan hasrat di telingamu: ada kau dan aku bergumul di aortamu Malang, 2011
ARUNG DIRI Kitab Puisi
113
VARIASI ASMARA 3 menjelajahi rimba asmara di lingkar lehermu dan melintasi bukit-bukit juga lembah di tubuhmu cuma kutemu sebilah kayu – setajam sembilu cuma kutemu sebilah kayu – rupa lingga kaku kutikamkan ke ulu nikmatmu – jeritmu menggugah nafsu aku tahu, sepasang kekasih telah memasuki rahimmu mukim di situ – berbilang waktu – almanak pun tahu aku tahu, dirimu bersalin rupa – menjelma pinang dibelah dua ditemani doa semerbak dupa angsoka – juga wangi semesta Malang, 2011
114
ARUNG DIRI Kitab Puisi
VARIASI ASMARA 4 Hutan dan burung jelaslah pasangan sejati sebab tanpa nyanyi burung, hutan dibajak sepi Kau dan aku pastilah sekuntum kembang abadi sebab tanpa kilau hati kau, aku dirancah sangsi Hutan dan angin jelaslah sekutu tak terganti sebab tanpa desau angin, hutan kehilangan citra diri Kau dan aku pastilah setangkai wijaya kusuma suci sebab tanpa bersanding kau, aku kehabisan eksistensi Hutan dan keteduhan jelaslah dua yang manunggal Kau dan aku pastilah hutan dan keteduhan yang kekal Malang, 2011
ARUNG DIRI Kitab Puisi
115
MEMBACA DINI HARI Aku bertemu Rumi saat suntuk membaca dini hari bersama embun suci pembilas diri dan ia memberiku Matsnawi yang pukau hati: puisi gandrung, sarat makna senandung cinta abadi memberiku secawan anggur ilahi yang lenakan diri: hingga aku mabuk kepayang dengan Yang Hakiki memberiku tarian berpusar putar menuju arasi: hingga aku kehilangan segala yang duniawi Serupa darwis, akupun hilang diri, akupun meniada diri karena cuma makhluk dhaif di hadapan ilahi Aku terus membubung ringan sekali, tiada tepermanai melampaui ringan kapas disorong kencang angin berlari makin tinggi kian lenyap diri, mata batinpun rabun mencari ruhaniku tiba di ruang indah abadi, bertemu Yang Hakiki apakah ini cuma mimpi atau tunai janji ilahi? Aku sadarkan diri, saat dini hari membasuhkan embun suci dan Rumi telah menjalari seluruh nadi, menguasai kujur diri: sungguh dini hari indah yang mencuci kotor hati! Malang, 2012
116
ARUNG DIRI Kitab Puisi
KASMARAN diam-diam aku selalu mengharapkan kau menjadi iringan awan, menjelma deras hujan mengurungku sebagai tahanan di ceruk penantian dan membiusku dengan wangi al-Hikam yang menawan diam-diam aku selalu mengharapkan kau menjadi lembaran al-Hikam, menjelma Athaillah beneran menyuarakan ajakan melintasi pintu keindahan maharahman dan mendaraskan tamsil-tamsil keselamatan bermahkota firman diam-diam aku selalu mengharapkan kau menjadi putih awan keimanan, menjelma deras hujan firman dan menenggelamkan aku di dalam lautan makrifat kehidupan dan membebaskan aku dari penjara kesementaraan dan kefanaan Malang, 2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
117
SYUKUR saat pagi tiba kabut turun ke tengah kotaku orang-orang memekikkan seru setelah sekian lama menunggu: betapa rindu, betapa haru! tetanah merekah temukan lembab kembali dedaunan berseri-seri mengirimi musim semi orang-orang merapal doa tak henti-henti duhai betapa indah segala berkah ilahi: telah lama dinanti-nanti Malang, 2012
118
ARUNG DIRI Kitab Puisi
MEDITASI DIRI Kantuk telah mengepung mataku, menyerbu korneaku: serasa pasukan Hulagu Khan menyerbu Baghdad dulu sejak dentang jam tiba-tiba menghilang entah kemana: serasa petikan sitar Ravi Shankar ditelan dendang semesta Maka, waktu kehilangan gaung suara, yang pukau sepasang cinta dan aku memasuki kekosongan semata, yang dijaga bening doa-doa Malang, 2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
119
MENCARI JALAN 1 Telah berapa tangkai rindu kau petik dari rimbun pohon cinta di taman tak butuh nama sebab melampaui bahasa? Telah berapa kuntum kepayang kau ambil dari mekar bunga cinta di taman tak butuh kata sebab mendahului suara? Telah berapa hitungan waktu kau kunjungi taman hening gema di kota kekal cinta yang diguyur hujan hikmat senantiasa? Datanglah datanglah segera sebelum bahasa memulangkan makna sebelum suara mencapai kosong nada sebelum waktu menghapus tapal nama sebelum sabda membuka jalan-jalan baka Malang, 2012
120
ARUNG DIRI Kitab Puisi
MENCARI JALAN 2 Kekasih, manakah cinta paling cinta kuingin menghunjamkan ke palung sukma agar diri tak berpaling kepada selain doa: doa bermuara sidratul muntaha tempat makhluk muskil anjangsana sebab bertahta Dia dan hanya Dia Kekasih, manakah cahaya sebenar cahaya kuhendak memijarkan ke sekujur gelap jiwa agar diri mengarungi cahaya mencapai ruang baka: cahaya milik penghuni sidratul muntaha sesembahan tunggal manusia ahli surga dan penguasa sejati kehidupan manusia Kekasih Kekasih aku bukan apa-apa bukan siapa-siapa diriku terbakar cahaya maha cahaya Kekasih Kekasih aku kehabisan rupa aku kehilangan raga diriku sirna entah jadi apa Inikah keagungan dan keindahan paripurna? Malang, 2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
121
MENCARI JALAN 3 Kusaksikan ikan-ikan berenang riang di lautan: tampilkan tarian memukau tak terbandingkan Kusaksikan burung-burung terbang senang di awan: tunjukkan gerak indah tiada tertirukan Kusaksikan embus segala angin menuju pusat kehidupan: kirimkan sejuk ke palung hati tercerahkan Kusaksikan segala air mengalir mencapai lautan: contohkan kebersatuan tanpa perbedaan Kenapa kusaksikan manusia justru ingin berenang terbang, berembus, dan mengalir tanpa pikiran? Kenapa tak suntuk berdoa dengan hati lapang tembangkan kepasrahan dan kesyukuran? Malang, 2012
122
ARUNG DIRI Kitab Puisi
MENCARI JALAN 4 bila beribu debat tak mengantar dirimu teringat bila beribu hujat tak membawa dirimu berhikmat bila beribu laknat tak menyadarkan dirimu tobat bila beribu ayat tak memalingkan dirimu menatap kiblat dengan apa dirimu mendaki hakikat, mencapai puncak makrifat? tinggi galah ilmu telah kau ukur: galah sejati hidup malah kian terbujur tinggi puncak kuasa telah kau atur: puncak sejati hidup malah tersungkur tinggi gunung harta telah kau tata bak batang menjulur: gunung sejati hidup malah gugur dengan apa dirimu hendak mendaki puncak masyhur: mencapai singgasana luhur? hendak kemanakah dirimu sebelum terkubur: berpesta anggur atau pilih kufur? pilih di manakah dirimu selepas semua yang fana hancur: jawablah, jangan pura-pura tertidur! Malang, 2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
123
SONATA CINTA beri aku waktu, memeram bebuah rindu beri aku masa, menanak bebulir cinta beri aku bebuah rindu, menjamu kejernihan kalbu beri aku bebulir cinta, menyuguhi kebeningan sukma beri aku jernih kalbu, menyunting bebunga nurani gaharu: di tanjung gairah syahdu yang menyihir debur laut biru beri aku bening sukma, memetik kembang surgawi nan jelita: di jazirah gelora jiwa yang mengguna-guna ombak segara hai…beri aku dirimu, biar kugapai puncak keselamatan hidupku Malang, 1998/2012
124
ARUNG DIRI Kitab Puisi
MENCARI MAKRIFAT izinkan aku mengendarai angin biar cepat mencapai tempat rabani yang alamin izinkan aku menunggang badai biar kuat menjangkau ruang kauni yang handai izinkan aku menaiki gemulung awan biar kuasa mengitari keluasan alam yang puan izinkan aku menumpang pijar petir biar sanggup membakar diri jadi cahaya yang amir izinkan aku menakhodai cuaca biar mampu menerangi alam semesta yang rida sebab aku tiada, aku bisa wujud apa saja sebab aku telah tiwikrama di dalam suara sabda Malang, puncak malam 2011
ARUNG DIRI Kitab Puisi
125
MEMBURU HAKIKAT aku adalah energi alam semesta tak terbahasa: tak cukup lema untuk menyatakannya sanggup menggerakkan semesta putari pataka aku adalah cahaya berkilau luar biasa tak terkata: tak lengkap kata untuk menampungnya mampu menerangi pegelaran kehidupan jagat raya aku adalah api membara istimewa tak tersuara: tak genap suara untuk mewadahinya kuasa membakar tanpa sisa seluruh keindahan buana aku adalah hasil akhir tempur cahaya berkilau luar biasa dengan api membara di pelataran keberadaan manusia dahsyat menggentarkan kesadaran tertinggi manusia aku butuhkan kilau cahaya suci yang kelembutannya sanggup meredam panas bara api di dalam dada aku perlukan bara api perkasa yang kekuatannya mampu mematangkan semangat hidup di dalam jiwa aku hasratkan tarian kilau cahaya bersama bara api istimewa agar diri terbuai, ringan menapaki cakrawala dan tiba di puncak pesona kefitrian manusia [namun, aku kerap terjatuh – dan terbakar bara api namun, aku acap terpiuh – kilau cahaya terusir pergi] Malang, 2001/2012
126
ARUNG DIRI Kitab Puisi
PENGAKUAN kekasih, boleh jadi mulutku terjepit capit lupa tiada kuasa mendaras indah bacaan sempurna kekasih, tak mustahil bibirku terjahit jarum alpa tiada sanggup melantunkan bacaan sempurna kekasih, barangkali batinku terhimpit bongkah noda tiada daya mencerna kilau makna bacaan sempurna kekasih, jangan-jangan kalbuku tertindih berat dosa tiada mampu membentang pesan bacaan sempurna kekasih, bisa jadi jiwaku tertimbun arang prasangka tiada kekuatan membabarkan isi bacaan sempurna kekasih, mungkin memang aku tak pantas tinggal di surga sebab buta hakikat bacaan sempurna – alpa mewujudkannya kekasih, mungkin pantasku cuma menghuni jahanam neraka tapi pasti kau tahu, apatah aku sanggup hidup sekejab di sana lalu bagaimana: kekasih, aku rindu kau bersuara, ujarkan sabda! Malang, 2001/2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
127
PERJALANAN CINTA Kutinggalkan mereka: huruf-huruf bersimbah doa mengandung janin cinta di lembar kertas-kertas sisa: didiami aneka rajah nasib pria berbilang waktu kau rajin merawatnya bersama kelembutan jiwa tak terkata serupa basuh embun pagi di putik sari: lambat laun lahirlah kekasih hati Kau tak mengutarakan apa-apa, walau sekata: sebab disergap pana, ditawan gelora dada namun diam-diam larut melipat kertas-kertas sisa: merakit huruf-huruf dengan halus rasa menjadi bahtera kasih beradar pijar cinta dan kau layarkan ke tengah samudra jiwa aku pun berarung rindu meraih dermaga Malang, musim hujan 2012
128
ARUNG DIRI Kitab Puisi
MEMBURU INTI kosong itu penuh isi, segenap ruang terhuni kalau kau lihat hampa, kau baru hidup pada tatar raga kosong itu puncak ada, segala ruang berudara jika kau duga hampa, kau baru tiba pada pancaindra kosong itu wujud sempurna, semua ruang berguna bila kau sangka hampa, kau baru sampai pada nafsu benda kosong itu energi niskala, kediaman hanif sukma jikalau kau pikir hampa, kau baru menapaki tapal dunia maka maka maka maka
kosongkan kosongkan kosongkan kosongkan
dirimu, biar dengki dan serakah tersapu batinmu, biar selain kekasih hati berlalu kalbumu, biar jiwa tenang berdiam di situ pikirmu, biar mahacahaya tergelar di situ
sebab kosong itu kendara keselamatanmu… Malang, 2005/2005
ARUNG DIRI Kitab Puisi
129
130
ARUNG DIRI Kitab Puisi
3 Arung Berita
ARUNG DIRI Kitab Puisi
131
132
ARUNG DIRI Kitab Puisi
GAZA 1 langkah lars itu terus berderap dalam pikiran menuju piring-piring di meja makan dan menghidangkan: darah dan kematian lalu kau kunyah bersama teve yang menyanderamu di ruang tamu hingga kau lalai waktu yang terus bergerak menapak gurat jejak kematian di napasmu Malang, Maret 1995
ARUNG DIRI Kitab Puisi
133
GAZA 2 di gersang padang kepercayaan Arafat telah mengawinkan harapan dengan sedikit kenyataan - tanah impian lewat bahasa yang terbiasa menyembunyikan kejujuran : seperti dulu, Anwar Sadat melakukan dan menuai kematian seluruh arabia ternganga: “zionis, zionis itukah yang dikawininya?” detak-detak waktu cuma melintasi padang keraguan yang berpuluh tahun dipiara Malang, Maret 1995
134
ARUNG DIRI Kitab Puisi
BOSNIA 1 bosnia, bosnia, bosnia... di manakah dirimu di peta? : bikinan eropa dan amerika bom-bom terus memakamkan kota-kota: bihac, sarajevo, sebrenica, dan zepa menanam aroma angkara, menanam durjana: “serbia... serbia... serbia... serbia”, terbantun gema di tiap napas yang menderu ke ruang baka dan lihat, lihatlah, dunia terbata-bata mengeja bahasa yang telah lunglai makna dan daya apa nama tindak keji dan bengis serbia (boleh jadi, di sini bahasa telah dimangsa kuasa) dan lihat, lihatlah, chirac, major, clinton, dan ghali bersama kharadzic, mladic, dan milosevic menari memainkan tarian hamlet yang gamang nurani di atas peta bumi yang hendak dibagi-bagi (barangkali, di sini pikiran telah jadi rahang gergasi) bosnia, bosnia, bosnia... masih adakah dirimu di peta? : bikinan eropa dan amerika
135
ARUNG DIRI Kitab Puisi
135
(tak ada, tak ada bahasa, semesta duka desing peluru cuma – melumat peta tetes darah ganih cuma – membakakan cinta) bosnia, bosnia, bosnia... masih adakah dirimu di peta? (dunia berkemas – pulang ke negeri sunyi terus serbia buas – ranggas raga dan hati) bosnia, bosnia, bosnia.... masih adakah dirimu di peta? (anak-anak eropa dan amerika konon belajar sejarah resmi dunia “tapi, tapi, bosnia tak ada di sana”, ujarnya kepada anak-anak expatriate bosnia) Malang, 1995
136
ARUNG DIRI Kitab Puisi
BOSNIA 2 ingin, ingin benar, kukirim ke kotamu: sarajevo, bihac, sebrenica, zepa badai zikir beraroma semerbak narwastu yang meninabobokan para serdadu yang menidurkan segala hamburan mesiu dan melelapkan dunia yang letih oleh gairah nafsu (dan sunyi semesta istirah setelah sengit berbantah) “jangan berkhayal melulu”, sergah seorang ibu, (mengokang senapan tua, sisa perang dunia kedua) “sebrenica juga perlu peluru — bukan cuma zikirmu — untuk perang yang tuli dari suara hati kami” ingin, ingin benar, kukirim ke kotamu: sarajevo, bihac, sebrenica, zepa badai zikir beraroma selaksa harum cendana yang melumerkan pikiran durjana para tentara yang melelehkan segala kokang senjata dan menidurkan dunia yang letih oleh rakus angkara (dan dingin menyekap balkan) “kalian cuma bisa bicara”, hardik ibu tua sebrenica, (ringkih tubuhnya, kuat ditopang bara harap merdeka) ARUNG DIRI Kitab Puisi
137
“bosnia juga perlu keadilan dunia — tak zikirmu saja — bagi perang yang sengaja dibiakkan di negeri kami punya” (dan dingin menyekap balkan dan mortir tetap berdentuman dan korban-korban terus berjatuhan dan mayat-mayat terus dikuburkan dan dunia masih terus kebingungan) Malang, 1995
138
ARUNG DIRI Kitab Puisi
BAHASA 1 benar, benar, tak ada apa-apa di sini kecuali kokang senapan dan sedikit amunisi biasa dipakai para politisi atau petinggi meledakkan lidah yang bersekutu hati nurani demi ketunggalan kenyataan dan kebenaran demi kelanggengan rezim makna yang selalu alpa akan kemajemukan suara maka, apa yang bisa diharap dari bahasa — yang bersemayam di geraham kuasa — yang tiap hari terus berbiak di media massa? yang tiap saat terus berkembara lewat mulut, kabel, gelombang inframerah, dan satelit di luar angkasa? Malang, Januari 1996
ARUNG DIRI Kitab Puisi
139
BAHASA 2 siapa itu bisik-bisik di luar bahasa? hingga tak terpahami para telik raja dan tak bisa dipahat di daftar cekal – ruang buat yang bertindak mokal “akulah Sulaiman yang bicara dengan mukjizat kehidupan tersebab bahasa sudah teperdaya kuasa mencekik kejujuran, menabur durjana” siapa itu cakap-cakap di luar makna? hingga tak tersadap telinga negara dan lolos dari ancaman penghasutan massa “akulah Sulaiman yang bersuara dengan makrifat kehidupan tersebab bahasa telah kehilangan keadilan bagi keanekaan suara yang terus berlompatan” siapa itu berkubu di luar bahasa dan makna? “sssstttttttt. diamlah. ini suasana bertuba curiga di luar bahasa dan makna : itulah suaka teraman kita” Malang, Januari 1996
140
ARUNG DIRI Kitab Puisi
BAHASA 3 angin apakah ini? gemuruh apakah ini? (berpuluh tahun rasanya tak jua henti) bahasa pun berguguran kalimatnya kata-katanya patah, bunyi-bunyinya rebah dan makna bersuaka di istana raja sibuk berpesta dan bersulang mencipta realita seperti negeri uttarakuru semua orang bisu: hilang cita hilang suara hilang daya di bawah bayang-bayang kokang senjata di bawah berlaksa tajam sorot mata telik negara tinggal tangan-tangan terampil di seluruh negeri yang tak lagi digerakkan oleh hasrat ganih nurani memahat huruf-huruf yang tak diakrabi sama sekali memahat huruf-huruf yang di luar kebutuhan sendiri :jadi slogan dan propaganda yang berisik di sini! angin apakah ini? gemuruh apakah ini? (berpuluh tahun rasanya mencekam nurani)
ARUNG DIRI Kitab Puisi
141
segenap negeri sunyi tinggal tangan-tangan menari — tapi tanpa hati di atas panggung kuasa yang bak gergasi Malang, Januari 1996
142
ARUNG DIRI Kitab Puisi
BAHASA 4 siapa itu bicara? dengan bahasa yang terluka belepotan darah ditikam lalim kuasa ssttt.... jangan gunakan kepala! telik negara hadir di mana-mana kudengar cuma sayat tangis merenda catatan-catatan kelam nasib dan mengharap langit segera gerimis oleh kelembutan malaikat penjaga petala langit Malang, Januari 1996
ARUNG DIRI Kitab Puisi
143
MEMBACA SEJARAH Ibu, ibu, siapa telah menanam semiotika kemegahan sriwijaya, majapahit, dan tiga setengah abad kolonialisme Belanda ke dalam rongga dada? Dan kini jadi batu, seperti beton-beton raksasa di jalan layang dan gedung megapolitan kota Jakarta yang merampas semua cakrawala dan menikam pelangi di langit senjakala Ibu, ibu, siapa telah menanam semiotika pertumbuhan, pemerataan, kehebatan fundamen ekonomi, dan keberhasilan pembangunan ke dalam syaraf pikiran? Dan kini jadi mitologi, seperti menhir batu-batu di sepi perbukitan tua dan tanah-tanah tinggi yang menyuguhkan aroma keangkeran mitis dan menaburkan bubuk ekstasi benda-benda pada manusia Ibu, ibu, siapa telah menanam semiotika stabilitas politik, massa mengambang, dan undang-undang regulasi partai tak bisa diusik ke dalam nadi kehidupan? Dan kini jadi monumen, seperti portal baja di jalan perumahan mewah kota dan halaman departemen negara yang merintangi kebebasan lalu lalang manusia dan memasung pluralisme suara di dalam gudang kuasa Ibu, ibu, betapa berat mengusungnya ke lorong-lorong Indonesia dan mengkilapkannya jadi cermin kegagahan kita! dan menyulapnya jadi bukti keberhasilan kita!
144
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Ibu, ibu, jangan jadikan aku Syshipe, jangan jadikan aku Syshipe! biar, biar, biarkanlah aku jadi Ibnu Batutah si pengembara itu yang mengarung luas samudra peradaban beribu kalam suci yang membentangkan luas cakrawala kebudayaan bersari ajaran abadi untuk kemudian singgah di bandar nabi-nabi yang bersuar cahaya ayat suci dan bertemu Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Rumi, Qadir Jailani, Suhrawardi, Hamzah Fansuri, Ar’anirri, Ahmad Dahlan, dan Hasyim As’ari dan bersilat kata sama Socrates, Plato, Aristoteles, Descartes, Hobbes, Marx, Foucault, Derrida, Chomsky, Einstein, Hawking, dan Habermas demi keselamatan kita di padang abadi bikinan ilahi Ibu, ibu, lepaskan aku dari segenap titipan sejarahmu! Malang, Desember 1996
ARUNG DIRI Kitab Puisi
145
PANTAI BAMA malam-malam begini pantai menawari asin rindu kecipak ombak mencatati puncak-puncak sunyi dan di daun-daun ketapang tua, angin berzikir khusyu di sini aku menunggu ayatmu jadi lagu melantunkan suluk keabadian tak semu ditingkah rebana iman duhai betapa merdu pengantar tidur abadi, tak lekang ruang dan waktu Baluran, 1997
146
ARUNG DIRI Kitab Puisi
TALPAT perbukitan tua menikahi sunyi raya daun-daun istirah gubah lagu semesta karena angin gunung bersicepat berkemas bersama mendung melawat ke bandar-bandar lepas berwujud lembing cahaya kita pun tiba di titik nol suasana tak ada siapa-siapa, tak ada apa-apa cuma Dia, cuma Dia, merangkum seluruh dada Baluran, 1997
ARUNG DIRI Kitab Puisi
147
DI NEGERI SULAPANKAH AKU? maka, terjadilah: air mata menjelmakan waduk raksasa tangis si miskin membarakan samudra api suara-suara surgawi menggiring ke penjara orang-orang hilang tanpa alamat pasti maka, terjadilah: kekerasan adalah kebenaran kebengisan adalah kewajaran kekeliruan adalah kenormalan Gusti, di negeri sulapankah aku kini? Malang, akhir 1997
148
ARUNG DIRI Kitab Puisi
MORATORIUM KEBENGISAN pada batu-batu kubaca kesaksian berabad-abad lalu: sepasukan keserakahan dihalau burung-burung seraksasa kemungkaran dirajam doa-doa hei! kau yang serakah dan mungkar bacalah batu-batu itu! sebelum ia bangkit menghujanimu dan menguburmu dalam sejarah kekelaman nafsu hei! kau yang serakah dan mungkar bertobatlah secepat gerak cahaya! ruang waktu tak lagi berpihak padamu sebab telah beterbangan ababil beribu-ribu: bernama mahasiswa berjuluk rakyat jelata mengguyurimu dengan berlaksa batu: batu kebenaran batu kejujuran batu kemurnian Malang, April 1998
ARUNG DIRI Kitab Puisi
149
BEBAL pada seorang batu ayat-ayatmu cuma paku buat menguatkan tahta-kuasa semu: di mana keserakahan terus dijamu di mana kezaliman terus dimadu pada seikat manusia ayat-ayatmu magnet belaka buat melengketkan diri di manis bibir kuasa: di mana jabatan dijadikan berhala di mana harta jadi tujuan mengada pada seorang bunga warna-warni tiba-tiba dunia istiqfar bersama Rumi sambil suntuk menari-nari: astaqfirullah astaqfirullah astaqfirullah Malang, Maret 1998
150
ARUNG DIRI Kitab Puisi
JAKARTA: KERUSUHAN MEI 1998 Masihkah kau memaksaku sebut nama sedang sekadar cacah angka aku tak punya: dirompak kuasa pria demi kelanggengan dusta dihapus lalim kuasa demi kecemerlangan citra dibakar kobar dengki bersumbu purba sangka aku cuma benda tiada harga di tengah bara membakar kota maka aku pun diperkosa para binatang bermuka manusia: jangan-jangan kaulah pelaku utama! Masihkah kau mendesakku katakan nama sedang bahasa sampai kini aku tak punya: telah disita pria demi terjaga timpang tata dilumat kuasa demi sirna laku dursila penguasa disihir para penyaru reformasi berjubah pencinta aku hanya wanita tuna daya di tengah nyala meluluhkan kota maka aku pun dirundung libido para pria berjiwa serigala: jangan-jangan kaulah pelaku utama! Lantaran media dan negara bungkam semata selepas huru-hara maka aku menikahi hening paripurna – arungi duka demi duka: terhempas badai kebiadaban yang mengepung jiwa tergulung ombak kejahatan yang mencabik suci raga hingga orang-orang bermahkota cinta mencari dan menanya: gerangan di mana mereka bersama benih yang kehilangan bapa? suaraku tiada sebab kehilangan angka dan bahasa – terhinakan juga di dalam pusaran kuasa yang gelap mata – dan digenggam para durjana! Malang, 2001/2010 ARUNG DIRI Kitab Puisi
151
TESTIMONI KERUSUHAN kokang senjata – milik pasukan khusus, katanya dalam genggam kuasa tangan durjana tentara peluru-peluru lantas kehilangan mata: mengoyak tubuh tak berdosa merampas nyawa dengan paksa orang-orang menyumpah serapah berlimpah-limpah tumpah [tapi: kepala penguasa telah kehilangan telinga nurani penguasa telah disandera angkara] tanah-tanah basah wangi darah enam pendar cahaya menaiki tangga Allah “hari ini, kusambut kalian kembali sebab rumah abadi kalian di sini” Malang, Mei 1998
152
ARUNG DIRI Kitab Puisi
AKULAH SUNYI akulah puncak sunyi yang mengerami waktu hingga orang-orang menunggu: kebebasan yang diperam reformasi katamu: apa pula ini? tapi, tapi, di mana kebebasan? “yang kudapat kekerasan melulu!”, ujarmu pada angin berhamburan akulah pucuk sunyi yang telah diusir pergi dari ruh negeri: kini hiruk-pikuk saban hari sayang, sayang, tanpa arti Bogor, November 2001
ARUNG DIRI Kitab Puisi
153
MACHIAVELISME dan perempuan itu melemparkan kerlingnya sebelum desah pertama merobek lengang “dia ... diakah ... yang telah bikin mabuk Mangir muda?” kepada Pambayun ternganga semua orang sebelum heran lindap, nafsu telah menyergap dikawininya Pambayun, dititipinya anak turun sebelum sembilan bulan berlalu ke Mataramlah Mangir menghadap sebagai menantu menjemput ajal yang telah disiapkan sebilah keris di situ: keris mertua yang tahunya cuma kuasa “oh ... kangmas ... kangmas”, ratap Pambayun sendu mengekalkan kuasa ayahanda prabu Bogor, November 2001
154
ARUNG DIRI Kitab Puisi
SURAMADU memandang panjang Suramadu garis membaur – batas pun hancur jarak melebur – beda pun gugur : kenapa kita malah bangun ragu? selat cuma tanda – ada pantai jaga ruang cinta alun hanya semiotika – ada gemuruh rindu bicara : kenapa kita terus sembunyikan yang sama? memandang panjang Suramadu aku dirajam hasrat bertemu – sebab kita satu Malang, 2011
ARUNG DIRI Kitab Puisi
155
PATAH HATI DI SURAMADU Cahaya tahu aku berencana menangkap senja di Suramadu: senja terindah yang pernah menculik pacarku membuatku lunglai disiram sedih berminggu-minggu Cahaya tahu aku berencana memukuli senja di Suramadu: senja tercantik yang membawa lari pacarku membuatku kehilangan mesra berwaktu-waktu Cahaya dan waktu telah bersekutu di jembatan Suramadu mengirim silau paling silau di sepanjang jembatan Suramadu: aku nanar kehilangan tuju – disembunyikan di mana pacarku? mengirim saat paling lama di sepanjang jembatan Suramadu: aku jengah kehilangan tunggu – dilarikan ke mana pacarku? Cahaya dan selat telah berkubu di jembatan Suramadu: tiada sampan berlagu – tiada alun melintasi Suramadu tiada ikan-ikan menari – tiada teduh memayungi Suramadu aku terkapar ditabrak sepi beribu-ribu – dihempas berat rindu Malang, 2011
156
ARUNG DIRI Kitab Puisi
CINTA, KENAPA ADA NEWTON DAN HAWKING? Cinta, ingatkah kau: telah berbilang abad Newton membekukan dunia menjadi mesin raksasa di jantung kehidupan kita dan menjadi sampah di orbit galaksi maha pesona [apakah kita seonggok sampah juga – begitu serasa?] Cinta, dalam nganga Hawking tiba bersama kita: meledakkan dunia yang cuma mesin raksasa lima miliar tahun lagi dari masa hidup manusia tapi getaran halus mengerikan kini telah terasa [apakah kita jadi serpih kapas melayang di angkasa?] Cinta, di mana Sang Mahahidup bertahta – saat ledak dunia jadi debu? Newton dan Hawking tak mau bicara – mulut terjahit ragu padahal aku ingin bertemu, menanya langkah keselamatanku [tak usah cengeng begitu – Sang Mahahidup telah memberimu buku bacalah, akan terbuka pintu hidup abadi setelah akhir waktu] Malang, 2011
ARUNG DIRI Kitab Puisi
157
KITA DAN NEWTON andai Newton tak ada apa kita melayang-layang di udara? : jadi zarah di keluasan semesta apa justru meluncur berkecepatan cahaya? : terhempas di entah sebab alas tiada apa justru tak jadi siapa-siapa, tak jadi apa-apa? : hanya ruh yang masih sibuk mencari raga andai Newton tak ada kita tak mengungkai tanya: Allah di mana? kita suntuk mencipta puja sastra: Allah ta’ala andai Newton tak ada dunia tetap mengorbit di tata surya meski mungkin tenggelam di zaman purba Malang, 2011
158
ARUNG DIRI Kitab Puisi
KITA DAN HAWKING andai Hawking berkursi roda datang membawa bunga bukan cerita The Brief History of Time yang menetak jiwa mungkin kita tetap hiruk berbelanja di megah plaza : seraya bersuara, saya belanja maka saya ada mungkin kita tetap sibuk berdansa di sembarang kala : sembari beretorika, saya dansa maka saya ceria mungkin kita tak berlari-lari mencari damai musala : seraya berdoa, ya Allah selamatkan kami semua mungkin kita tak sujud pasrahkan jiwa begitu paripurna : ya Allah kami dari-Mu niscaya pulang kepada-Mu juga Malang, 2011
ARUNG DIRI Kitab Puisi
159
MENCARI BAHAGIA dengan bening doa kudaras kitab demi kitab tua karena dunia dilimbur cemas dan kalap senantiasa dengan merdu zikir kucerna arif pikir demi pikir ternama karena manusia ditenung tamak dan loba tanpa jeda dan kucari-cari Ki Ageng Suryamentaram sang Pangeran Jawa pemilik kitab kearifan kehidupan bersari kenikmatan baka yang menawarkan racikan kawruh jiwa1 bagi semua manusia yang memberikan adonan pangawikan pribadi2 bagi jiwa dahaga siapa duga bisa menenangkan manusia, mendamaikan dunia “tapi, jangan kau buru bahagia semata, ia mulur mungkret3 adanya selami palung jiwa, bakal kau temukan sangkan paraning4 manusia berhulu Gusti sumber segala ada, asal segenap keadaan jiwa niscaya kau dan dunia bertawaf mengitari hidayah Sang Mahacinta”, kudengar Pangeran Jawa berbagi jalan terang menuju negeri suka cita aku ternganga, kenapa dunia tiba di simpang jalan tak bertanda dan manusia mengambil arah menjauhi jalan Pangeran Jawa Malang, 2012
1 2 3 4
kawruh jiwa = pengetahuan jiwa pangawikan pribadi = rahasia diri pribadi mulur mungkret = memuai mengerut sangkan paraning = hakikat datang dan pergi
160
ARUNG DIRI Kitab Puisi
MENCARI KEKASIH : buat Moh. Harun
setiap suara adalah berita maka kau tunggui tanpa kedip mata maka kau simak tanpa lena telinga siapa sangka menceritakan kebenaran keberadaan kekasih yang kau harapkan rupa kekasih yang selalu kau rindukan setiap suara adalah kekasih kekasih kekasih
berita: kau berada di kemuliaan kau berparas keceriaan kau mandi cahaya keimanan
setiap suara adalah berita: tak usah kau cari sampai waktu lekang ke rumah abadi, kekasih kau telah pulang diantar gemunung air yang berkelebat datang dan mengajak mereka tinggal di arasi lapang setiap suara adalah berita tak heran kau selalu terjaga sembari ucap: Allah Allah Allah tercinta Malang, 2005
ARUNG DIRI Kitab Puisi
161
AIR :buat Moh. Harun
air yang kita buang di selokan diam-diam bersekutu di lautan menghayati makna kebersamaan: bak Dasamuka besar kedahsyatan mampu melumatkan yang diinginkan air yang sedahsyat Dasamuka tiba-tiba menyeret gunung ke kota: membersihkan segala yang ada benda-benda – juga manusia tercinta Malang, 2005
162
ARUNG DIRI Kitab Puisi
SAJAK BELAJAR MENGUMPAT Kutemui kitab hati nurani yang berumah di dalam diri kuwawancarai perkara basmi-membasmi korupsi di seantero negeri lantas kutanyai kenapa sendi bangsa kian rapuh digerogoti korupsi bersungut-sunggut ia umpat segala yang terjadi:”bajingan, diamput!” “maknaku acap disalahpahami – bahkan telah dipelintiri”, ujarnya kecut. Kutemui kitab hati nurani yang masgul di dalam diri kucecari kenapa hukuman koruptor dikurangi, tak diganjar mati padahal di negeri jiran koruptor justru hidupnya disusuti – pasti bermuka merah padma ia maki segala yang terjadi:”bangsat, keparat!” “diriku telah dipermainkan – bahkan dipakai sembunyi”, katanya pepat. Kutemui kitab hati nurani yang terkulai di dalam diri ketika negeri kian lunglai dihajar korupsi – diracuni hipokrasi ternyata ia telah tak sadarkan diri – mengalami kondisi mati suri. Malang, 2011
ARUNG DIRI Kitab Puisi
163
MANUSIA ANIAYA Rembang pagi tiba. Bersama doa, Aulia tenggelam membaca. Koran nasional baru tiba. Rupa lembar kertas putih belaka, kosong semata. Huruf-hurufnya sudah tak ada, entah kenapa. Kata-katanya menghilang begitu saja, entah karena apa. Bahasanya melarikan diri sebelum koran ditata, entah sebab apa. Mengungkai duga Aulia: huruf-huruf tak sudi jadi topeng kebohongan, bungkus kepalsuan atau rias kelancungan manusia tamak ketenaran. Menata sangka Aulia: kata-kata tak ada daya tuturkan kebenaran, suarakan kejujuran atau lengkingkan keadilan yang menyelamatkan. Merangkai simpul Aulia: bahasa telah teraniaya, pantas kesadaran sirna pikiran kehilangan kompas cita, dan kalbu ditenggelamkan lautan loba maka korupsi meraja, kitab suci dan tanah kubur pun diembat tanpa dosa: gila! gila! masihkah para koruptor layak disebut manusia? sedang hewan tak tumpuk makanan dan umbar nafsu purba inikah kedunguan manusia, inikah kejatuhan kedua manusia? Malang, ujung malam 2012
164
ARUNG DIRI Kitab Puisi
LAILA DAN BERITA MEDIA Tanpa setahu penjaga, Laila memasuki belantara berita media. Di kertas warna, layar kaca juga jaringan digital di udara. Tak kedip mata. Selalu pasang telinga. Tak lena jiwa. Selalu terjaga. Menjelajahi berita demi berita yang menyedot waktu manusia, menyabot hati manusia. Menelikung kesadaran manusia. Tak ada realita, tak ada realita dijumpa Laila. Telah disihir rezim harta jelma sensasi belaka. Sensasi semata. Astaga, orang-orang amini sebagai kenyataan, tanpa tajam kepala. Astaga, orang-orang menghargai sebagai dogma, serupa sabda. Tak ada fakta, tak ada fakta disapa Laila. Telah disulap rezim media jelma ilusi belaka. Ilusi semata. Celaka, orang-orang yakini sebagai kenyataan, tanpa bijak dada. Celaka, orang-orang mempercayai sebagai dogma, serupa sabda. Tak ada yang nyata, tak ada yang nyata ditemui Laila. Telah disalin rezim infotaimen jadi citra belaka. Citra indah semata. Masyaallah, ucap Laila, orang-orang menyangka sebagai benar-benar ada, tanpa selidik jiwa, tanpa kokoh kepala. Fatamorgana kuasai mata. Masyaallah, ujar Laila, orang-orang mengimami sebagai dogma, serupa sabda. Salah sangka menjerumuskan kewarasan manusia. Laila terpana. Laila menganyam tanya. Kemana pergi pikiran dari kepala.
ARUNG DIRI Kitab Puisi
165
Kemana menghilang kesadaran dari jiwa. Kemana? Laila terkesima. Laila menguntai tanya. Kemana minggat kearifan dari dada. Kemana menghilang kepekaan dari rasa. Kemana? Laila berlari, berlari melintasi orang-orang yang disandera berita. Saksikan orang-orang riuh berpesta menyantap sensasi, ilusi juga gemerlap citra, dengan derai tawa, kadang haru biru sukma. Seolah selami ayat-ayat baka, petunjuk jalan ke sidratul muntaha. Laila berlari, berlari keluar dari belantara berita media. Hindari peri, mambang, dan hantu yang menguasai media, telah menawan manusia, melenakan manusia tanpa sadar jiwa. Laila ternganga. Terkepung sensasi, ilusi, dan citra di mana-mana. Laila…Laila…. Malang, ujung malam 2012
166
ARUNG DIRI Kitab Puisi
NABILA KINI MEMBACA Nabila, perempuan lima tahun usia, semangat belajar membaca, membaca makna bersuluh cahaya maha cahaya. Tersebab pesona deretan huruf-huruf agung, yang menjulur melampaui cakrawala, mencapai pohon bidara yang daunnya semua makhluk semesta. Tapi, tapi Nabila tak mengerti deretan huruf-huruf sarat makna karna telah dibajak korupsi, anarki, dan hipokrisi yang kian membuta karna dilindas keserakahan, ketamakan juga keculasan paling gila. Tersebab pesona untaian kata-kata indah, yang mengangkasa menembus lelapis langit, menjangkau pohon kehidupan baka yang diidamkan semua makhluk penghuni alam semesta. Tapi, tapi Nabila tak memahami untaian kata-kata sarat doa karna telah disandera korupsi, anarki, dan hipokrisi yang kian meraja karna disusupi kebohongan, kepalsuan juga kepura-puraan paripurna. Bersama iqra, Nabila menerka semua huruf dan kata: astaga! Pantas Nabila tak bisa membaca, menangguk harum makna karna korupsi, anarki dan hipokrisi menerungku semua huruf dan kata. Celaka! Celaka! Masihkah sabda bisa bicara? Nabila terasa diguna-guna. Malang, ujung malam 2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
167
MAULANA BERTANYA MAKNA Frankl* ceria menemu fitrah manusia saat belas kasih dicampakkan perang dunia mata batin dicincang lalim kuasa para durjana. Frankl pun cekat menata kata bercahaya di bawah kekelaman kemanusiaan eropa: manusia memburu makna menjadi bermartabat dan berharga “Kenapa manusia kini malah memburu harta dan tahta semata, bukan belas kasih berasa lezat makna – berikat pohon bidara: gunakan sembarang cara asusila memilin lambang-lambang agama bahkan menista kitab suci nan mulia”, sergah Maulana saat senjakala menjamu kami di taman pesona. Kami hanya beradu mata – mata cinta bersepuh karunia berisik tanda tak terolah jiwa – tak pantas di taman pesona. Dan Maulana tepekur saksikan banyak pemimpin teraniaya jadi pesakitan tersebab sihir candu harta dan tahta yang fana: celaka, mereka kira inti hidup manusia! Dan Maulana tafakur bayangkan banyak manusia teperdaya harta dan tahta hanya karena ketakutan tak bahagia di dunia: astaga, mereka di simpang jalan agama!
168
ARUNG DIRI Kitab Puisi
“Bukankah manusia kini sesat tuju – memburu segala semu. pintu mana hendak dibuka akhir waktu – manusia digulung ragu”, cetus Maulana saat perjamuan makna kami nikmati sepanjang waktu Malang, ujung malam 2012
* Lengkapnya Victor Frankl, yaitu psikolog terkemuka yang menulis buku Man’s Search for Meaning
ARUNG DIRI Kitab Puisi
169
EKSHIBISIONISME Senja tadi, saat wajah bumi penuh seri, harum doa santri seorang mantan petinggi, merasa banyak jasa pada negeri dipidana korupsi dengan hukuman badan masuk terali besi tak bisa didekati dan gagal dieksekusi, dilindungi oleh polisi dan diberi tempat sembunyi – seketika hilang ditelan bumi [ini penegakan keadilan atau pembangkangan tertata rapi] Siang tadi, saat raut pertiwi penuh puji, semerbak wangi seorang petinggi, merasa berjuang demi kejayaan negeri disidang korupsi dengan sangkaan warna-warni bikin ngeri senyum aneka arti menuju kursi, dikawal banyak pengacara teruji dan selalu berkata: tak mengerti – sebab diri tak punya akal budi [ini sandiwara televisi atau upaya membasmi wabah korupsi?] Para pengacara tangkas bersilat kata, dengan nalar dipelintiri berondongkan rasionalisasi berapi-api, pakai ayat cabar hati di depan sorot lampu kamera televisi, yang sedang cari sensasi Para penegak hukum saling kelahi, sibuk mempertahankan diri sembari terus berucap tanpa arti, kebusukan menyelimuti seolah penjaga negeri paling berarti, padahal suka lempar teka-teki [ini negeri demokrasi atau kleptokrasi di mana semua mencuri?] Malang, ujung tahun 2012
170
ARUNG DIRI Kitab Puisi
PELAYARAN RINDU DI MATAMU : untuk Azis Black Asuransi
dari kerdip matamu, tercipta samudra biru dalam melampaui selamku, luas melewati pandangku cepat kulayarkan perahu rindu, bernakhoda hasrat bertemu laju-melaju arungi ombak menderu, gesit hindari badai menyapu mencari dermaga di dalam tulus cintamu – terang suar kutunggu kapankah angin sakal mengirim rayu, tanda pantai menunggu biar berakhir pelayaran rindu di matamu – aku bergelimang cintamu Malang, ujung malam 2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
171
SKETSA PAGI : bagi Sri Azemi Yuliani
lantun doa mengantar remang pulang. menghilang para mambang. lelawa terbang sebab tak suka benderang. lindap segenap gamang. gemintang tinggal samar bayang-bayang. langit pun buka gerbang. datang segenap lukisan terang. basah embun perlahan melayang memenuhi keluasan ruang. menyapa udara arungi angkasa lapang. kesegaran menumpang embus angin yang singgah di daun-daun riang. dan daun bangkit bergoyang, sambut basah embun yang meminang. “sayang, aku mabuk kepayang, lama kau tak tandang”, hijau daun girang. “cinta, kuingin selalu tandang, namun banyak rintang”, embun bilang. “sayang, sendirikah kau datang, tiada yang kupandang, cuma tiang-tiang” “cinta, aku datang bersama kesegaran dan embus angin berdendang” [sepasang kekasih saling pegang kembang, saling pandang setentang, saling ulurkan mawar sayang, “yang, kita dihempas rindu tak kepalang” sepasang kekasih digulung cinta bandang, kehilangan jalan pulang] Mataram, rembang pagi 2012
172
ARUNG DIRI Kitab Puisi
SEMIOTIKA KEZALIMAN hutan adalah lebat pepohonan yang dicahayai kerahmanan: dikawani hijau, dijaga derau dilingkungi kosmogoni, dikitari pemali dipandu jiwa bersih, dibela hati ganih rimba adalah rimbun pepohonan yang dibinari kerahiman: ditemani kicau, dilindungi desau dilingkupi mitologi, dilingkari mantra suci dikawal pikiran putih, dipiara nalar jernih hutan adalah mata air kehidupan alami – bersari rabani: tempat rajah nasib diteguhkan ruang gerak napas disucimurnikan ajang masa depan direncanakan tapak nikmat dijagalestarikan rimba adalah tanah air kebudayaan asali – berinti kauni: tempat akal budi dimuliakan ruang olah semesta ditinggikan ajang pusaka budaya diwariskan tapak syukur ditumbuhsuburkan hutan dan rimba adalah senapas cinta baka – bergelimang kelembutan mengolah kehidupan dan kebudayaan – menjadi ragi kemanusiaan hutan dan rimba adalah sejantung kasih baki – berwangi keberserahan menyantuni kehidupan dan kebudayaan – menjelma hara kesemestaan hutan dan rimba adalah sehati sayang abadi – berharum keimanan menyuburi kehidupan dan kebudayaan – merupa rabuk keselamatan ARUNG DIRI Kitab Puisi
173
maka kerusakan hutan adalah hancurnya sumber kehidupan kepunahan rimba adalah matinya mula kebudayaan maka kerusakan hutan adalah hancurnya keberadaan manusia kepunahan rimba adalah matinya kelangsungan jagat raya maka kerusakan hutan adalah hancurnya wujud indah keimanan kepunahan rimba adalah matinya rasa kehadiran Tuhan ketika gergasi keserakahan robohkan lebat pepohonan – jadi gelondong: robohlah kehidupan dan kebudayaan manusia – sisakan rangka ketika gergaji ketamakan rebahkan rimbun pepohonan – jadi pokok gosong: rebahlah keberadaan dan kelangsungan manusia – tinggalkan cerita ketika rahang keserakahan dan ketamakan cincang hutan dan rimba: kita berada di palung lupa wajah keimanan dan kekhalifahan manusia! ketika tajam taring keserakahan dan ketamakan lumat hutan dan rimba: kita berada di tepian kehancuran semesta, kepunahan umat manusia! hai kalian yang bebal, dengarlah Gandhi bersuara: semesta cukup menghidupi semua manusia tak mencukupi seorang serakah dan tamak semata! hai kalian yang bebal, tak mau berpikir, simaklah suara sabda: janganlah kamu berbuat kerusakan di muka semesta bila beriman sebab kebinasaan tak disuka Sang Mahacinta hai kalian yang bebal…. [dan pepohonan terus bertumbangan – hutan dan rimba tinggal kenangan siapa itu mandi harta bergelimangan? – bertuhan pundi dana berdencingan?] Malang, 1998/2010
174
ARUNG DIRI Kitab Puisi
KEZALIMAN Ketika ditebang pepohonan hijau yang rindangi bumi: manusia telah berbuat zalim kepada-Mu ya Gusti sebab bumi adalah rupa kehadiran-Mu sendiri Ketika ditumbangkan pepohonan indah yang sejuki bumi: manusia robohkan ayat-ayat baka-Mu ya Rabbi sebab bumi adalah pergelaran firman-Mu sejati Ketika seisi bumi digali dan diambil demi kelimpahan harta manusia menganiaya dan merompak milik-Mu ya Paduka sebab bumi adalah kepunyaan-Mu semata Ketika diporak-porandakan bumi yang menghidupi: manusia telah menodai kesucian-Mu ya Illahi sebab bumi adalah masjid milik-Mu nan suci Ketika dihancurleburkan keindahan bumi: manusia mengingkari-Mu ya Gusti? Malang, 1998/2010
ARUNG DIRI Kitab Puisi
175
ANOMALI tabiat musim sukar dibaca gemar mengingkari adat semesta kerap memamerkan kelakuan tanpa pola: kerunyaman timbul di mana-mana manusia hilang kesadaran menjaga perangai cuaca pun di luar norma suka mempermainkan tanda alam raya acap mengelak emban sepakat makna: akal pikiran luput menyana hidup manusia diterkam petaka satwa pun bingung beri isyarat pada hayat manusia: tak muncul dan lindap selaras ketetapan tata tumbuhan kacau kirim perlambang pada hidup manusia: tak kembang dan layu seturut gerak buana pranata mangsa tampak salah rumus utama tak sanggup menafsir polah musim dan cuaca barangkali kitab musim telah kedaluwarsa boleh jadi buku cuaca sudah buram dibaca dan kurang dipiara, apalagi diperbarui makna bahkan mungkin telah dicampakkan manusia
176
ARUNG DIRI Kitab Puisi
maka cemas menjalari setiap diri manusia basah dinyana tiba, kering datang tak terduga hijau dirindu mata, gersang hamparkan duka embus sejuk dicita, bara panas tampakkan rupa alun diharap berpesta, gunung ombak sapu segala maka kota-kota justru digenangi air mata: ketika mendamba kemarau paripurna maka desa-desa justru dibakar api surya: ketika mengharap penghujan sempurna maka lahan-lahan malah diguyuri asam celaka: tatkala ingin ragi kesuburan menyapa maka lingkungan malah ditaburi karbon siksa: tatkala rindu rabuk keselamatan mengata maka keajekan alam raya merepih tiada guna bumi dan manusia ada di tubir kehancuran nyata Malang, hujan tiada henti 2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
177
BUMI KITA Bumi adalah perahu keramat bernyawa mustajab doa: lampaui hebat perahu Nuh dahulu kala mengarungi luas samudra alam semesta berbilang kala: jelajahi palka demi palka secepat gerak cahaya berpenghuni semua makhluk yang ikhlas bersama: nabatah, satwa, dan manusia karya sang mahacipta Bumi adalah perahu mungil bersaripati kamil surga: serasa debu di antara lintasan bermilyar benda mengelilingi lapang lautan alam raya bertahun cahaya: edari ruang demi ruang secekat buraq mustafa berpenumpang para makhluk yang dibimbing waspada: nabatah, satwa, dan manusia milik sang mahabaka Ketika puja sastra dan doa disulih ragu pikir dan prakira manusia ketika riuh upacara syukuri bumi disalin giat kerja singkapi dunia kezaliman dan kebodohan pun memberangus diri manusia: ia mencincang bumi, alpa rawat selembut firman ilahi rakus dan tamak pun menjajah pikiran, hati, dan jiwa manusia: ia menganiaya bumi, lupa belas kasih semerdu ayat suci Maka manusia lena peran utama pemelihara jagat raya: jadi lanun yang rampas perahu keramat milik sang mahamulia jadi bajak laut yang hancurkan perahu mungil di alam semesta jadi penyamun yang binasakan nabatah dan satwa tiada dosa
178
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Bumi pun terhuyung di ambang kehancuran nyata. Hai kau yang lupa…. [terlantun hiruk cemas sesiapa rasai ketakteraturan jagat raya bergaung lolong lara sesiapa digulung ketakseimbangan buana bergema jerit gentar sesiapa dilibas ketakselarasan alam semesta sedang perahu bumi kian karam, tengkurap serupa seekor kura-kura] Hai kau yang lalai, sedang mencari apa – kenapa dirayakan ingkar dan durhaka? Malang, 2005/2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
179
NASIB BUMI siapa lebih berarti bagi kita selain bumi yang tulus memberi meski kita lukai indahnya saban hari siapa lebih kasih pada kita selain bumi yang ikhlas menghidupi meski kita aniaya sempurnanya tiada henti siapa amat baik kepada kita kecuali bumi yang setia melindungi kendati kita rusak keutuhannya tanpa hati siapa sangat pengertian terhadap kita kecuali bumi yang selalu mendampingi kendati kita ingkari welas asihnya tanpa nurani tiada yang begitu kuat selain bumi: tabah menanggung derita perbuatan kita tiada yang demikian menerima selain bumi: amat menyayangi kita yang lama menyiksa tiada yang sebegitu mengabdi kecuali bumi: ajek menyantuni kita yang selalu menzalimi tiada yang sedemikian melayani kecuali bumi: sedia menyejuki kita yang acap mengakali
180
ARUNG DIRI Kitab Puisi
hai manusia… tidakkah kita dengar lirih lara bumi? tidakkah kita tangkap rintih dada bumi? tidakkah kita serap sengal napas bumi? mungkin kita telah buta segala Malang, 2005/2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
181
MUASAL KEPUNAHAN hai kegelapan! di manakah akal sehat kau sembunyikan? kerusakan telah tak tertanggungkan hai kebodohan! di manakah nalar lurus kau hanyutkan? kekacauan sudah tak terbayangkan hai kezaliman! di manakah hati nurani kau tenggelamkan? kepunahan mungkin tiada terbahasakan hai kelancungan! di manakah rasa malu kau karamkan? kehancuran makin tak tertahankan hai kebiadaban! di manakah langkah sejati kau kuburkan? kebinasaan boleh jadi tiada terhindarkan apakah manusia kini cuma raga?: tanpa kesadaran cita ataukah merosot jadi benda semata?
182
ARUNG DIRI Kitab Puisi
adakah manusia cuma naluri belaka?: yang berperangai loba ataukah merosot jadi hewan semata? apakah kini manusia kehilangan pancaindra, bahkan segala? Malang, 2005/2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
183
PENCAPLOKAN BAHASA lihatlah, bahasa mencipta keterbelahan hidup bersama menggali jurang ketaksetaraan di antara sesama manusia membangun ruang keberpihakan pada sekelompok warga: mencampak para paria, memihak para durjana menindas kaum papa, memuliakan kaum berkuasa menyerimpung orang terpaksa, menjunjung orang lancung jiwa para paria juga kaum papa yang terpaksa mengambil beberapa biji lada sebab kemiskinan mendera disebut pencuri hina – maling tiada harga tak jarang dinamai rupa-rupa cerca yang merajang martabat manusia dan dikirim ke ruang peradilan diiringi kata mengiris jiwa – menyayat rasa tumpat rasa malu dan tunduk kepala saat tayang di layar kaca saudara para durjana juga kaum berkuasa yang lancung menggarong uang negara sebab terbius nikmat harta disebut koruptor saja – pencuci uang semata kadang digelari kolaborator keadilan bila sedia kerja sama ungkap fakta dan diantar ke ruang peradilan dikawal barisan pengacara – ayat pembela umbar senyum buaya dan lambai hasta sandiwara saat di muka kamera lihatlah… betapa timpang penamaan para paria dibanding para durjana! betapa senjang pembahasaan kaum papa dengan kaum berkuasa! kenapa para durjana juga kaum berkuasa beroleh anggun bahasa dan makna: apa mereka pantas beroleh keanggunan, sedang diri penuh kelacuran?
184
ARUNG DIRI Kitab Puisi
kenapa para paria juga kaum papa justru beroleh kasar bahasa dan makna: apa mereka harus beroleh kekasaran, sedang diri penuh kemurnian? adakah kemanusiaan mereka beda – adakah ketuhanan mereka beda: kemanusiaan dan ketuhanan para paria justru murni tiada cela kemanusiaan dan ketuhanan para durjana malah ternoda tipu daya lihatlah, para durjana juga kaum berkuasa digdaya merumuskan bahasa: piawai memiuh bahasa – sanggup memutar balik makna lihatlah, para paria juga kaum papa justru hilang kuasa menyusun bahasa: galib disalahkan ahli bahasa – jamak disingkirkan negara lihatlah… bahasa menjelma suaka para durjana juga kaum berkuasa: menjadi ruang menyelamatkan diri dari serbuan mara bahaya bahasa telah mengurung kehidupan para paria juga kaum papa: menjadi terungku segala kemurnian suara yang ingin merdeka bahasa jadi palagan penjajahan kesadaran dan pikiran manusia: tak ada keterbukaan di sana – tak ada kebersamaan hidup di sana pertempuran menguasai bahasa berkala-kala – nyaris tanpa jeda para paria juga kaum papa kian kehilangan suara – bisu semata para durjana juga kaum berkuasa kian pamer tipu daya bahasa bahasa jadi mandala pertempuran antarkelompok manusia …. Malang, 1998/2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
185
PEMBAJAKAN Kau saksikan, kata demokrasi kini justru dibajak mulut politisi dan petinggi padahal mereka paling banyak mengingkari: berlaku aristokrasi dan anti-demokrasi Lidah mereka licin sekali serupa oli tak berhulu pada kesadaran murni tak bermuara pada perangai terpuji Ucapan mereka sarat kontradiksi disesaki siasat keji susah dipahami tiap waktu gentayangan di layar televisi Kau saksikan, kini kata anti-korupsi dikuasai mulut politisi dan saudagar zulmani padahal mereka paling banyak mengkhianati: divonis korupsi dan dikurung jeruji besi Lisan mereka seumpama lidah kobra tak bersumbu pada pikiran kencana tak berhilir pada tingkah perbawa Ucapan mereka semburkan busa dikendalikan akal lancung padat tuba tiap saat berbiak di saluran layar kaca Kau saksikan, orang kebanyakan terpiuh dada terkesima, terheran-heran, dan ternganga
186
ARUNG DIRI Kitab Puisi
betapa mudah mereka bersalin rupa: menghapus muka dan suara lama mencipta paras baru nan sempurna pejuang demokrasi dan anti-korupsi pengecam anarki dan korupsi tiap hari meski lubuk hati kosong nilai rabani disabot kepura-puraan mentradisi [inikah sandiwara demokrasi dan anti-korupsi?] Malang, ujung malam 2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
187
LEGASI Mengenang Ratna Indraswari Ibrahim
Kau pulang, wariskan kembang: wangi semerbak antarkan mabuk kepayang orang-orang menghirupnya setiap tandang: mereka melayang temu kemurnian ruang Kau pulang, tinggalkan daya juang: amat digdaya rubuhkan berlaksa rintang orang-orang mereguknya saban sambang: mereka melenggang raih kesejatian tawang Kau pulang, berikan keteguhan cara pandang: amat kukuh tiada goyah oleh iming-iming uang orang-orang mengudapnya bilamana anjang mereka melenting capai kesadaran karang Kau pulang, hadiahkan berjuta kenang: amat rapat mengikat pakatan para hulubalang orang-orang menyantapnya ketika datang: mereka mendaki jalur menuju cahaya terang Malang, musim hujan 2012
188
ARUNG DIRI Kitab Puisi
KEBERANIAN: bagi I Gusti Ngurah Oka
Seorang anak muda, awal likuran usia, cerlang kepala dijebloskan penjara atas nama murka, syahwat kuasa dengan sangka mengganggu ritus penguasa tipis telinga merongrong pranata negara, memberontak pada bangsa “Kucintai bangsa melebihi nyawa, pantang kukhianat padanya mereka amat lama dilena fatamorgana, dibius suara pura-pura ditiarapkan curiga telik negara, dan dibayangi salak senjata maka kubangunkan mereka, hendak kubebaskan bangsa dengan memberi aneka pilihan jiwa, ruang majemuk suara” Seorang ibu jelita paruh baya, menenteng lautan kasih ibunda menatap haru anak muda, menatap hari depan berkabut celaka “Duhai anak lanang, kenapa kau tantang penguasa nan buta jiwa dan tersihir candu kuasa – kehilangan keutamaan bernegara Kau memang bernyali tiada tara, tapi tak punya berlapis nyawa Betapa cemas, geram, bangga, dan was-was bersekutu di dada”, gumam lirih membentur telinga telik negara yang selalu siaga Anak muda mengguyur ibunda dengan deras hujan cinta kendati diserbu beribu dera – dihantam berlaksa perih siksa Seorang bapa tengah baya, tegar bijaksana, bernadi ksatria mendekati anak muda bawa gulungan lontar tua bercahaya “Adakah ayahanda cemas, geram, bangga, dan was-was pula?”, anak muda melempar tanya – menembakkan sorot mata
ARUNG DIRI Kitab Puisi
189
Tiada arus suara, tiada sahut memenuhi udara, pula tiada gema Perlahan sang bapa menggelar gulungan lontar tua di atas meja di ruang kunjung narapidana yang tiap sudut bau busuk kuasa “Wahai anak lanang, ini pohon silsilah leluhurmu!”, berat suara dan telunjuk bapa tiba di gambar pohon leluhur rimbun darma Anak muda terkesima – tak menyana – benamkan pandang mata menyelami susur galur dirinya – singgahi nama-nama di lontar tua “Mereka semua ksatria mulia, penuh cinta melindungi para jelata ikhlas membela daulat bangsa, lapang menentang penjajah dina menunaikan darma meski harus menukar nyawa”, tandas bapa Anak muda tertawan cerita – gemunung tekad tumbuh di jiwa “Sebab siksa raga, jangan kau hancurkan keyakinan di lubuk jiwa Sebab terali penjara, jangan tiba-tiba kau surut perjuangkan cita Sebab salak senjata, jangan kau serahkan segenap rahasia mulia Darma ksatria tak kenal jeri, ketakutan, dan kematian di dunia karena kebajikan, kemuliaan, dan pengorbanan panji utama Raih darmamu – teruskan juangmu – biar leluhurmu tak malu”, tegas sang bapa pada anak muda yang terpesona isi lontar tua. Seorang ibu jelita dan seorang bapa bijaksana memandang anak muda: anak bungsu yang belum lama dipangku dan ditimang berdua kini telah digerakkan darah ksatria melabrak kezaliman penguasa dan dikurung di balik jeruji penjara, dihantukan di dalam media Anak muda balas memandang – cuma memandang, tanpa kata dan suara Seorang ibu jelita dan seorang bapa bijaksana membalikkan raga tinggalkan ruang kunjung penjara – tinggalkan gulungan lontar tua
190
ARUNG DIRI Kitab Puisi
juga tinggalkan hati mereka buat kehangatan anak bungsu tercinta tak ada lambai hasta nan mesra sebab pertemuan mereka tak pesta Anak muda berawan cinta, mendekap gulungan lontar tua di dada [dia pun merasa mandi kilau cahaya – bersumber pesan lontar tua] Malang, 1997/2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
191
SOLILOKUI diriku adalah ramuan sifat kemalaikatan dan keiblisan maka kukandung energi niskala dan benda bersamaan maka kukandung cahaya dan api berdampingan maka kukandung terang dan gelap bersandingan kendati fitrahku berinti kesucian dan kemuliaan pembawaanku kehanifan, bukan kedurhakaan kodratku merindu kebaikan, bukan kejahatan bahkan aku disandangi tugas agung kekhalifahan: demikian dendang kebajikan dan suci ajaran maka kusangkal segala sifat keiblisan kuingkari semua sisi gelap di kujur diri kutampik segenap keburukan di kolong diri maka kusanjung-sanjung sifat kemalaikatan kujunjung-junjung sisi terang di jeluk diri kupuja-puja seluruh kebaikan di relung diri hingga aku amat asing dengan diriku sendiri: aku manusia ataukah malaikat di dunia? hingga aku pangling dengan hakikatku pribadi: aku ruh meraga atau benda mencahaya? hingga aku tak mengerti keberadaanku sejati: aku ada di dunia, surga, neraka atau di mana? dan aku pun jadi rabun hati, tak awas diri: gelap dan terang tak bisa membedakan kini
192
ARUNG DIRI Kitab Puisi
tak heran aku pun tersungkur ke palung kenistaan tanpa jeda melakukan ritus kejahatan kemanusiaan: korupsi tak henti lantaran hasrat berkuasa tak kuakui padahal hasrat berkuasa itu manusiawi korupsi tak henti lantaran berburu nikmat tanpa kendali padahal puncak nikmat itu puncak sakit diri korupsi tak bertepi sebab menghamba nafsu hewani padahal nafsu hewani itu serendah-rendah nafsu diri korupsi tak bertepi sebab malas berpikir hakiki padahal berpikir hakiki itu hakikat makhluk insani korupsi menjadi-jadi karena kokosongan jiwa merajai padahal kosong jiwa itu tingkap binasa eksistensi korupsi menjadi tuan hati karena tiada transendensi diri padahal transendensi diri itu busur panah ulah rabani masihkah aku manusia – jangan-jangan rupa serigala karena aku tenggelam dalam keiblisan belaka karena aku tertimbun oleh kejahatan semata karena aku berlaku merugi bagi sesama manusia adakah aku rupa serigala – tiada rupa manusia bercahaya? [dan korupsi kian menyandera – transendensi diri cuma kata manusia tinggal raga, diri dibakar api, kehilangan cahaya sstttt…. hus! jangan bicara rasa malu, martabat manusia!] Malang, 2009/2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
193
SENANDIKA KAUM PAPA sebab papa, kenapa kami didakwa kejujuran tak punya: maka kalian buntu pintu cukupnya harta benda maka kalian tutup jalan kabulnya makmur sentosa maka kalian pasang halang rintang raih hayat sejahtera hingga kami tak kuasa apa-apa, tak dapat kemana-mana hingga kami terpaku pencaharian, bertungkus kesukaran hingga kami bergeming penghidupan, berlumus kemiskinan padahal kami remuk tulang ketika kalian riang riungan padahal kami sabung nyawa saat kalian tidur nyaman apakah kepapaan sebangun ketakjujuran – bengkok hati, nista jiwa? tidakkah kepapaan serupa kesengsaraan – derita kurang harta saja? adakah kejujuran monopoli kaum berada – hak milik kaum berpunya: atas dasar nalar apa? – atas nama moral apa? nalar macam apa – nalar cinta ataukah nalar dengki kaum berpunya? moral macam mana – moral belas kasih apa moral benci kaum berada? nalar tak lagi bersendi jernih pikiran dan jujur hati, penuh bias prasangka moral tak lagi berisi suara hati manusia, tapi kepentingan sepihak belaka sungguh, nalar dan moral telah dipilin dan dikangkangi kaum berpunya! Malang, 2001/2012
194
ARUNG DIRI Kitab Puisi
PERTARUNGAN MAKNA di negeri kami yang betapa permai makna Tuhan diperebutkan hampir saban hari untuk alas pembenaran keyakinan yang diikuti di negeri kami yang sungguh aduhai maksud Tuhan dipertikaikan nyaris tiap hari untuk tumpuan pengabsahan ajaran sendiri: panas hati, sumpah serapah, dan caci maki yang mencincang hati membumbui bara hati, pepat umpat, dan laknat keji yang mencacah sanubari meningkahi kekerasan, perusakan, dan pengusiran menggenapi di negeri kami yang alangkah sepoi asma Tuhan diusung kesana kemari tak henti jadi dasar nalar menghakimi keyakinan liyan di negeri kami yang bukan main amboi nama Tuhan diacungkan di sana sini tanpa risi jadi landas pikir menyesatkan aliran handai tolan: demi menegakkan keyakinan rabani yang dipercaya kelompok sendiri demi melindungi kebenaran hakiki yang diakui oleh kumpulan sehati demi menjaga kesucian ilahi Rabbi yang ditakutkan bakal ternodai demi melestarikan pandangan agamawi yang dicemaskan bakal tergerusi ARUNG DIRI Kitab Puisi
195
maka rasa saling mengerti, saling menghormati rasa saling menghargai juga saling mempercayai sebagai sesama sirna di jantung kehidupan bersama jumud jiwa dan purba sangka bertitah di tiap bilik dada maka toleransi dan harmoni tinggal kata tanpa daya nyaris tanpa realita, cuma mengiang di setiap telinga meski terus diangankan dan diinginkan semua manusia kebebasan berkeyakinan pun terapung di telaga mara diskriminasi dan ujaran benci mengepung di mana-mana kedamaian berkeyakinan pun terkatung di jurang mala intimidasi dan acungan senjata mengurung seluruh dada manusia seiman, sebangsa, setetangga, bahkan sesaudara kian jauh terseret sungai-sungai keyakinan bermuara beda manusia pun muskil bersama mencipta samudra lillahi ta’ala maka gerigi gemeretak, mulut orang-orang teriak: negeri dibakar bahaya, bangsa dikobari bencana petinggi negeri bermahligai di mana – bersulang citra? ketersekatan manusia di puncak celaka bisa kurbankan nyawa punggawa ada di mana – sedang sibuk beretorika? cuma suara sumbang berhamburan di udara, tebar pedih siksa petinggi dan punggawa tiada rupa di tengah keteserpihan bangsa Malang, 2009/2012
196
ARUNG DIRI Kitab Puisi
KESETIMBANGAN kesetimbangan adalah titian keselamatan hidup bersama menahbiskan sesiapa tegak imbang di tengah senantiasa sanggup mengedarkan pandang kiri kanan di mistar sama persis insan memberi salam ketika mengakhiri sembahyang menyapa dunia menebarkan keselamatan pada semua orang maka hati-hatilah jikalau kehidupan telah tak setimbang niscaya diombang-ambing pusaran aneka arus kehidupan: arus besar atau arus kecil, arus kuat atau arus lemah, arus utama atau arus sampingan bakal menyetir arah celakalah manusia manakala arus kuat, arus besar atau arus utama mencengkeram sendi pokok kehidupan bersama dan dikukuhkan sebagai kebenaran tunggal tak terganti sebab pertanda mizan kehidupan telah terusir pergi maka hati-hatilah manusia bilamana demokrasi dan pilihan umum menjelma arus utama dan dimahkotai sebagai kebenaran utama tak tersulih apa karena berarti terjadi penindasan arus selainnya: monarki dan syura ditenggelamkan di mana? maka hati-hatilah manusia jikalau hak asasi manusia merupa arus utama
ARUNG DIRI Kitab Puisi
197
dan diperlakukan sebagai kebenaran tunggal semata karena berarti terjadi penggusuran arus selainnya: kewajiban asasi manusia dicampakkan kemana? maka waspadalah manusia apabila kapitalisme dan neoliberalisme menjadi arus utama dan didaulat sebagai kebenaran satu-satunya tiada dua karena berarti berlangsung peminggiran arus selainnya: sosialisme dan pasar sosial disingkirkan kemana? maka waspadalah manusia kalau pasar bebas dan daya saing mewujud arus utama dan dipercaya sebagai kebenaran tak ada tandingnya karena berarti berlangsung pemusnahan arus selainnya: peran negara dan pemihakan rakyat ada di mana? maka hati-hatilah manusia bilamana hukum selalu menguasai arus utama dan dibaiat sebagai kebenaran tunggal senantiasa karena berarti berlangsung pengusiran arus selainnya: etika dan moral telah dilemparkan kemana? maka waspadalah manusia manakala dominasi negara menempati arus utama dan diyakini sebagai kebenaran yang harus nyata karena berarti terjadi penenggelaman arus selainnya: masyarakat madani dicemplungkan di mana?
198
ARUNG DIRI Kitab Puisi
ketaksetimbangan kini betapa amat merajalela keselamatan hidup bersama terguncang prahara: ketimpangan, kesenjangan, dan ketakadilan bersuka ketakseimbangan kini bukan main bersimaharaja kedamaian hidup bersama berada di bibir angkara: kejahatan, kekerasan, dan kemungkaran berpesta ria adakah arus utama mengidap cacat tak terlihat batin manusia? manusia penunggang arus utama dimabuk nikmat hingga lupa: dan para pecundang sebagai tumbal dianggap tiada? Malang, 2010/2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
199
KEJUMUDAN ATAU KEDAMAIAN? Kami tutup pintu, kami tutup pintu rapat-rapat biar orang luar tak bisa menduduki bilik kehidupan dijaga keyakinan dan tradisi yang leluhur wariskan orang luar boleh jadi bakal membeseti malah mengubah keyakinan dan tradisi yang berbilang waktu terbukti menenteramkan dan mampu mengantar kami ke lubuk ketenangan kehidupan yang menghanyutkan Kami tutup pikiran, kami tutup pikiran kuat-kuat agar pikiran asing tak dapat mendiami ruang kehidupan dipiara kepercayaan dan adat terberi yang moyang tinggalkan pikiran asing bisa jadi akan menghakimi bahkan menjatuhkan kepercayaan dan adat terberi yang berbilang kala terbukti menyejukkan dan sanggup membawa kami ke palung kedamaian kehidupan yang meninabobokan Kami tutup hati, kami tutup hati tumpat-tumpat biar rasa hati lain enggan meninggali kamar kehidupan dipelihara keadaban dan kebiasaan yang tetua turunkan rasa hati lain amat mungkin melenakan bahkan menidurkan keadaban dan kebiasaan yang berwaktu-waktu terbukti menyegarkan dan berdaya menuntun kami ke dasar kenyamanan kehidupan yang menyilaukan 200
ARUNG DIRI Kitab Puisi
[Jagat raya setia menapaki garis edar, bumi pun indah berputar kebudayaan dan peradaban udar, tradisi bergeser tiap sebentar keyakinan memperbaharui mimbar, kepercayaan mengubah uar pikiran menganyari tempat sandar, hati memoles tajam denyar sstt… siapa tetap membeku bagai bandar, perubahan menggegar!] Malang, 2001/2012
ARUNG DIRI Kitab Puisi
201
KEHAMPAAN suara-suara berloncatan, hiruk berhamburan: di telinga orang bergaung lantang kata-kata berlentingan, gaduh bertaburan: di hati lapang berasa dentang tapi, tapi di mana bersemayam ruh kebajikan: sudah lamakah ditendang? tapi, tapi di mana berteduh paras kearifan: telah lamakah dibuang? hening pun kehilangan ruang: tempat segala menjadi terang bunyi pun kehabisan dendang: irama segala menjadi bang sedang hampa kian tegas mencencang: merajang segenap senang sedang senyap semakin kuat menerjang: mencincang segala riang ooo jagat dewa batara…. bahasa kini telah terpanggang buah pikir dan rasa berubah arang inikah zaman tak pantas dikenang dan harus dihapus dari hikayat orang? karena tak wariskan damai bagi zaman datang Malang, rembang petang 2011
202
ARUNG DIRI Kitab Puisi
BAGAIMANA MUNGKIN Bagaimana mungkin damai bakal tercipta jikalau saban waktu kita menyebar saling curiga Bagaimana mungkin saling percaya mewujud nyata bilamana pikiran dan rasa sarat gelimang buruk sangka Bagaimana mungkin saling menghormati tampil di muka manakala suka-suka, dengki, dan gelap mata menjajah jiwa Bagaimana mungkin saling menghargai sesama berjaya kalau belas kasih dan tenggang rasa sirna dari tiap dada Bagaimana mungkin tersuguhkan akal bercahaya cinta dan kejernihan hati bersulam keberserahan paripurna jika bahasa bersimpang makna, bersekutu dusta Hai kau yang dungu… sebelum damai kau temu, perbaiki bahasamu! Malang, rembang sore 2011
ARUNG DIRI Kitab Puisi
203
204
ARUNG DIRI Kitab Puisi
PURNAWACANA KAWAN:
MENYATUKAN YANG TERBELAH: JALAN PUISI ARUNG DIRI Oleh: Sudibyo* Puisi bukan hanya milik penyair. Puisi adalah milik semua orang. Cendekiawan menulis puisi tidak harus untuk menjadi penyair. Tetapi itu perlu dilakukannya untuk keseimbangan jiwanya. (Umbu Landu Parangi, Kompas Minggu, Januari 2013)
I. Arung Diri adalah Perjalanan Hidup adalah perjalanan. Manusia hanya diberi kesempatan Tuhan untuk melakukan perjalanan dari titik berangkat hingga titik batas yang telah ditetapkan. Adapun kepekaan adalah kesadaran untuk menoleh, merenung, dan merasakan segala hal yang dilewati. Arung Diri adalah kepekaan terhadap gejala yang dilewati dalam perjalanan yang menjelma menjadi puisi. Kepekaan membuat seseorang menyadari segala hal yang ditemui dalam perjalanan beserta makna yang ditawarkannya. Tanpa kepekaan, sungai yang berkelok tak akan pernah terlihat dan nenek tua berwajah keriput penuh keringat menggendong bakul tak memberi makna apa-apa. Akan tetapi, perjalanan tidak selalu berangkat ke luar diri. Perjalanan sering juga memilih menuju ke dalam diri. Demikianlah, inspirasi-inspirasi terlihat di dalam Arung Diri tidak saja berasal dari gejala-gejala yang teramati, cerita-cerita yang terdengar, pikiranpikiran yang terbaca, tetapi juga dari laku-laku pengalaman yang terhayati. Dalam fenomenologinya, sebagian puisi merupakan penyelaman pengalaman kemakhlukan, sebagian puisi lagi merupakan penghayatan pemikiran-pemi-
205
ARUNG DIRI Kitab Puisi
205
kiran atau semacam wisata pengetahuan, dan sebagian puisi lainnya merupakan pengonstruksian persepsi-persepsi dalam suatu permainan demokrasi aspirasi. Terasa sekali jejak-jejak kitab langit, kisah-kisah mitologi, pemikiran-pemikiran tradisi, modern dan spiritual, pesona alam dan bencananya, tingkah laku sosial politik, dan pengalaman pergulatan jiwa yang personal. Hanya karena kepekaanlah, gejala-gejala ini bisa terlahir menjadi puisi. Kepekaan menghidupkan kesadaran, memberikan penghayatan, dan menangkap kelebat makna. Maka, Arung Diri adalah puisi perjalanan yang penulisannya relatif panjang (1994-2012). Motif kelahirannya pun tampaknya tidak karena alasan eksistensi kepenyairan, tetapi lebih karena keinginan terlibat dalam ekspresi kebudayaan. Akan tetapi, justru karena alasan-alasan kelahirannya yang tampaknya tidak dibebani tuntutan batas waktu dan ambisi kepenyairan, puisi-puisi Arung Diri menampilkan kemampuan untuk memberikan gambaran utuh peta kegelisahan manusia yang biasanya terungkap dalam puisi. Dalam pemilahan Fuad Hassan (1988), gambaran utuh itu berada dalam tiga perkara, yakni perkara hubungan manusia dengan Tuhan dan alam, perkara hubungan antarsesama manusia, dan perkara perjumpaan manusia dengan dirinya sendiri.
II. Situasi Kemanusiaan dan Jalan Tauhid Puisi Jurang-jurang perkara manusia dalam kemungkinan relasinya itu adalah suatu kegagalan tauhid. Kegagalan tauhid adalah kegagalan menyatu, kegagalan membebaskan diri dan meleburkan diri, dan kegagalan mengutuhkan diri. Dalam perkara kemenyatuan dengan Tuhan, masalah itu disebut sebagai kegagalan tauhid vertikal; dalam perkara kemenyatuan sosial, masalah itu disebut kegagalan tauhid horizontal; dalam perkara kemenyatuan pribadi atau keutuhan diri, masalah itu disebut sebagai kegagalan tauhid internal.
206
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Maksud puisi di balik ketiga wilayah kegelisahanya itu bisa dinamai jalan puisi. Karena target umumnya adalah menyatukan hal-hal yang terpisah, terpecah, dan terbelah, maka jalan itu bisa dinamai sebagai jalan tauhid puisi.
Kegagalan Tauhid Vertikal Inilah barangkali sejumlah metafora kegagalan tauhid vertikal yang disenggol-senggol dalam Arung Diri. Metafora Satu: Manusia Dikendarai Kuda SURAT 2 seratus empat belas surat telah kau kirim padaku berisi peta perjalanan nasib agar sampai padamu: peta bersahaja, mudah membacanya peta bersahaja, mudah melaksanakannya bila hidup disucikan dari tamak, loba, angkara Maka, persoalannya adalah: jika nafsu diibaratkan kuda. Manusia yang dikendarai oleh kuda adalah manusia yang hidupnya lebih dikendalikan nafsunya daripada kemampuannya mengendalikan nafsunya. Pengalaman kemanusiaan mengajarkan bahwa jalan tauhid manusia kepada Tuhan hanya bisa dicapai jika manusia mampu menaklukkan syahwat hawa nafsunya. Kegagalan manusia menaklukkan nafsu adalah kegagalan tauhid dengan Tuhannya. Bahkan sering dinyatakan bahwa menaklukkan syahwat adalah jalan satu-satunya yang harus dilewati dalam pencapaian tauhid vertikal ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia yang gagal menyatu dengan Tuhannya adalah manusia yang gagal menempuh jalan satu-satunya yang harus dilewati: menaklukkan nafsu. Maka ditambahkan dalam puisi Sapi ARUNG DIRI Kitab Puisi
207
Betina: (…) ujarmu seraya membuka-buka kitab ilmu dan teknologi// untuk mencipta surga imitasi di bumi maya ini//: di mana segenap nafsu bisa dilunasi (…). Lalu dikatakan lagi dalam puisi Lebah 2: (…) selalu saja terbata mengeja// bahkan napas di leher kita// sebab kita sudah menjual jiwa// pada tubuh-tubuh terbuka// pada busana-busana toserba// pada makanan di plazaplaza (…)
Metafora Dua: Manusia Merasa Cahaya Siapakah sebenar-benarnya cahaya, yang dalam puisi Cinta, Bila Kau Suka, dikatakan “pendarnya mengaburkan yang fana dan baka, yang silaunya menghilangkan yang neraka dan surga”? Cahaya, sumber cahaya, dan cahaya yang mahacahaya adalah Tuhan, sedangkan manusia hanyalah kaca yang memantulkan cahaya. Yang menjadi persoalan adalah ketika manusia terlalu ingin menjadi pusat kekaguman, sangat berkonsentrsi meraih kebesaran, dan sangat gila pada ketenaran. Pada titik ini, manusia telah lupa pada amanat yang dititipkan kepadanya, yaitu bahwa posisinya hanyalah tak lebih dari sekadar menjadi cermin pemantul, dan bukan cahaya yang dipantulkan cermin itu. Engkau kaca, bukan cahaya adalah metafora olok-olok terhadap kepongahan manusia. Adapun yang akan berhasil menyatu adalah dia, yang dalam puisi Penunggang Cahaya disebut sebagai pangeran cahaya. Dalam bayangan pangeran cahaya, “semesta adalah himpunan cahaya, surga adalah tumpukan cahaya, jalan cahaya adalah jalan dari semesta ke surga yang indah dan bermakna, rumah cahaya adalah rumah kekekalan manusia, rumah tinggal cahaya mahacahaya”. Puisi ini mengungkapkan tafsir spiritualnya bahwa rumah cahaya itu berada di dalam diri manusia, di dalam hati nuraninya, tidak di luar sana, suatu tafsir yang sering diungkapkan dalam kebanyakan pengalaman pencapaian spiritual yang tinggi, katanya: “kini dia
208
ARUNG DIRI Kitab Puisi
merasa telah menjadi pangeran cahaya, bertahta di rumah cahaya: hati nurani manusia, tak di luar sana”.
Metafora Tiga: Manusia Penyembah Berhala Manusia penyembah berhala adalah manusia yang tidak menomorsatukan Tuhan. Menyembah berhala dan segala hal yang diberhalakan adalah perilaku sirik, yaitu perilaku yang membuat manusia tidak total dalam ketuhanannya. Manusia ini tidak saja mencipta tuhan-tuhan baru, seperti kedudukan, pangkat, jabatan, atau kekayaan, tetapi juga menyembah tuhantuhan itu. Karena tidak menomorsatukan Tuhan dalam hidupnya, ketika menjadi kelas menengah pun, dia tidak memasukkan rumah Tuhan dalam perencanaan sejak awal dalam gedung-gedung yang dibangunnya. Rumah Tuhan memang ada, tetapi diselip-selipkan di tempat-tempat yang darurat. Lalu terjadilah seperti yang dikatakan puisi Lebah 2:” (…) sementara surausurau//terus memanggil dengan parau// dan masjid rubuh saat adzan tiba// tersebab sujud tak lagi ada di sana//.
Metafora Empat: Manusia Topeng Manusia topeng adalah manusia yang menjadikan Tuhan sekadar sebagai topeng dalam kehidupannya. Dia mengelola aksesoris-aksesoris yang mencitrakan kedekatan dirinya kepada Tuhan melalui ucapan, pakaian, stiker, tetapi keseluruhan hidupnya tidak mencerminkan pemaknaan sikap berkeTuhan-an yang total. Kadang-kadang dia menjadikan Tuhan sekadar sebagai satpam penjaga rumah; dia lupa diri merasa menjadi bosnya Tuhan. Tidak selalu kebaikan yang dijadikan pembungkus kejahatan. Tetapi, sebuah penipuan sebagai topeng bisa pula dilakukan dengan kejahatan yang dibungkus kejahatan.
ARUNG DIRI Kitab Puisi
209
Perbuatan Rahwana yang menculik Sinta adalah kejahatan karena Rahwana memaksakan kehendak dan Sinta dijadikan objek paksaan. Orang lalu membenci Rahwana dan menaruh kasihan kepada Sinta. Tetapi, jika di balik keyakinan masyarakat bahwa yang terjadi di antara mereka adalah hubungan permusuhan lalu mereka menjalin perselingkuhan, maka inilah topeng-topeng yang sangat rapi. Puisi Mimpi Sinta adalah simbolisasi penyakit ini.
Metafora Lima: Manusia yang Berpikir Bahwa Sungai-Sungai Tidak Bertemu di Laut Jika sungai-sungai pada akhirnya bertemu di laut, manakah yang sebenarnya menjadi metafora Tuhan: sungai ataukah laut? Jika sungai-sungai akhirnya bertemu di laut, adakah agama yang pada akhirnya tidak membawa pertemuan kepada Tuhan? Sebagian orang merasa Tuhan yang ia sembah berbeda dengan yang disembah orang lain. Sebagian orang lagi merasa bahwa Tuhan yang ia sembah adalah Tuhan semua orang, bahkan Tuhan semua makhluk. Tetapi, jika sungai-sungai pada akhirnya bertemu di laut, mengapa masih ada orang menyembah Tuhan yang tidak menjadi Tuhan semua orang, Tuhan semua makhluk? Yang seharusnya diterima adalah bahwa Tuhan yang disembah manusia adalah Tuhan semua manusia, tetapi kenyataan yang terjadi pada manusia adalah bahwa manusia sering menganggap Tuhan yang mereka sembah berbeda yang disembah orang lain. Demikianlah puisi Perasaan Hati Wibisana mengatakan: “(…) banyak tak terkira – jalan menuju indah swargaloka// kenapa makhluk salah terka – jalan tunggal dipuja! (…). Seperti juga dikatakan dalam puisi Air : air yang kita buang di selokan// diam-diam bersekutu di lautan (…) Atau seperti juga dikatakan dalam puisi Suramadu: garis membaur – batas pun hancur// jarak melebur – beda pun gugur (…)
210
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Catatan: Dalam puisi, sejarah manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, yang paling umum, adalah kumpulan kisah percintaan agung antara manusia dengan Tuhannya: cinta yang belum terkabulkan, cinta yang gagal dan menimbulkan frustasi, dan suatu angan-angan percintaan yang masih berada pada tingkat dirindukan, dan beberapa yang lain merupakan pengalaman percintaan yang karena misteri keindahannya lalu dirindukan untuk kembali. Chairil Anwar dalam Doa-nya yang dahsyat pun hanya mampu mengungkapkan ketakberdayaannya: Tuhanku// aku hilang bentuk// remuk// Tuhanku// aku mengmembara di negeri asing// Tuhanku,// di pintu-Mu aku mengetuk/ / aku tidak bisa berpaling//”. Atau ungkapan persaksian yang penuh kedalaman spiritual dari Rabiah al-Adawiyah yang mengagumkan, yang oleh Kadarisman (2007) dengan indahnya diungkapkan kembali dalam bahasa Indonesia sebagai berikut adalah prakisah cinta: “Tuhan, bila aku menghamba pada-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka// dan bila aku menghamba pada-Mu karena mengharap surga, keluarkan aku dari surga// Tapi bila aku menghamba pada-Mu karena Engkau semata, maka jangan Kau palingkan dariku keindahanMu yang abadi//. Tipe idealnya tentulah relasi pengungkapan kemesraan yang bersifat pengalaman yang menunjukkan semacam kesatuan ekskatik, perjumbuhan, atau ke-manunggaling kawulo-Gusti-an, seperti relasi ketunggalan antara api dan panas, kain dan kapas, angin dan arah, dan nyala-gelap dalam lampu padam seperti diungkapkan dalam puisi Abdul Hadi W.M. (1976) Tuhan, Kita Begitu Dekat, sebagai berikut: Tuhan// Kita begitu dekat// Seperti api dengan panas// Aku panas dalam apimu///. Tuhan// Kita begitu dekat// Seperti kain dengan kapas// Aku kapas dalam kainmu///. Tuhan// Kita begitu dekat// Seperti angin dan arahnya///Kita begitu dekat///Dalam gelap// Kini nyala//Pada lampu padammu/// Tetapi tipe ideal ini tidak banyak.
ARUNG DIRI Kitab Puisi
211
Adakah ini berarti bahwa kisah percintaan agung yang terkabulkan antara manusia dan Tuhannya memang merupakan sisi yang sulit diungkapakan puisi, atau memang sedikit saja penyair yang mencapai laku pengalaman hidup penyatuan dalam Tuhan ini, ataukah memang karena kecenderungan ketidakmampuan puisi itu sendiri dalam mengungkapkannya, ataukan karena pengalaman kegagalan puisi sendiri dalam mengungkapkannya lalu puisi menyadari bahwa pengalaman itu adalah pengalaman yang berada di luar kata-kata? Penyebabnya bisa jadi semuanya. Oleh karena itu, yang paling umum dilakukan puisi adalah upaya kontemplatif terhadap penyebab-penyebab kegagalan upaya manusia dalam menyatukan dirinya terhadap Tuhan itu.
Kegagalan Tauhid Horizontal Jika kegagalan tauhid vertikal adalah wilayah kegelisahan puisi yang menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan atau alam, maka kegagalan tauhid horizontal berkenaan dengan kendala-kendala dalam hubungan antara manusia dan manusia dalam suatu struktur yang dapat dibantah. Struktur sosial ini adalah tatanan kebudayaan yang diciptakan sendiri manusia. Di dalamnya sering tersembunyi mekanisme-mekanisme produk kekuasaan bagi terjadinya ketidakadilan sosial dan ketimpangan kesejahteraan ekonomi. Puisi-puisi yang bermain di wilayah ini, mengacu uraian Sutardji Calzoum Bachri (2001) dalam esainya Hormat Maksimal kepada Puisi adalah puisipuisi yang bergerak di belakang sejarah atau puisi-puisi yang berhadaphadapan dengan realitas sejarah. Gayanya cenderung bermakna dua arah: di satu sisi bersifat mengingatkan, menegur, dan mengkritik kekuasaan, di lain sisi bersifat mengadvokasi kesadaran sosial politis massa. Salah satu puisi Lautan Jilbab (1989), yaitu Mulut Kami Ditampar, adalah contoh yang konkret. Dalam puisi ini, Emha Ainun Nadjib menyatakan sikap politisnya
212
ARUNG DIRI Kitab Puisi
terhadap ketidakadilan pemerintahan Orde Baru yang otoriter, yang mempraktikkan sistem monopoli dalam perekonomian, yang memberlakukan sistem politik penafsiran yang tunggal ala kekuasaan, dan praktik penjagaan sistem itu melalui kekerasan penindasan dan pembungkaman. Mulut Kami Ditampar “Jadi harus disebut negara macam apa yang di dalamnya berlangsung monopoli dan penindasan, sedang Tuhan sendiri tak memberi hak kepada diri-Nya untuk melakukan hal demikian?” terdengar suara bergemeremang di antara kaum Jilbab. “Ide kekuasaan dicetuskan, petak-petak digariskan dan pagar-pagar didirikan, seolah-olah dengan demikian bisa dicapai pemisahan total dari ruang hak milik Tuhan.” “Negara menyatakan menyembah Tuhan, padahal yang dimaksud bukanlah Tuhan. Negara menyatakan memberlakukan keadilan sosial, padahal tidaklah demikian”. “Kalau dari mulut kami terpantul suara Tuhan,” kata salah satu di antara kaum Jilbab itu, “mulut kami ditampar!” Sekadar contoh lain puisi yang berhadap-hadapan dengan realitas sejarah adalah Puisi Tahun Baru 1990 karya W.S. Rendra. Terhadap kekuasaan Orde Baru yang menindas hak asasi kemerdekaan berpendapat itu, W.S. Rendra mengingatkan bahayanya: “(…) Tanpa hak asasi tak ada kesulitan kehidupan// Orang hanya bisa digerakkan// tapi kehilangan daya geraknya sendiri// Rakyat bodoh tanpa opini// Di sekolah murid-murid diajar menghafal// berdengung seperti lebah// lalu menjadi sarjana menganggur// Di rumah ibadah orang nerocos menghafal// Di kampung menjadi pembenci// yang tangkas membunuh dan membakar// (…)
ARUNG DIRI Kitab Puisi
213
Jadi, suatu tauhid horizontal pada dasarnya adalah suatu kohesi sosial yang berdiri di atas idealitas nilai-nilai yang mendasari kelangsungan kehidupan yang adil secara politik dan sejahtera secara ekonomi. Kegagalan tauhid horizontal bisa terjadi pada tingkat-tingkat yang berbeda. Semua tingkatan itu adalah wilayah pergulatan puisi yang mengupayakan tauhid horizontal. Peta pergulatan puisi-puisi Arung Diri dalam persoalan ini dapat diuraikan berikut ini.
Masalah Satu: Penindasan Negara terhadap Rakyat Negara dikatakan menindas rakyat tidak saja ketika negara melakukan penggusuran, pengusiran, dan kekerasan terhadap rakyatnya, tetapi juga ketika negara bersikap tak sungguh-sungguh mencerdaskan rakyatnya sehingga rakyatnya tetap dalam kebodohan, menjadi babu di negeri orang, menjadi pelacur, pencopet, perampok, dan pelaku kejahatan lainnya. Juga, ketika negara berbuat menyudutkan mereka dan menyebarkan kebencian terhadap mereka dan menutup angan-angan mereka. Termasuk dalam hal ini, negara juga melakukan pembungkaman terhadap rakyatnya yang mencoba berani menyatakan pandangan yang berbeda. Negara menentukan apa yang selayaknya dipikirkan rakyatnya dan yang tidak perlu dipikirkan. Negara juga menyensor informasi-informasi dan menentukan mana yang boleh dibaca dan yang tidak boleh dibaca. Kadang -kadang, negara menciptakan idiom-idiom kebijakan yang indah dan ambigu, tetapi tafsir tunggalnya adalah hak negara. Jadi negara penindas rakyat adalah suatu paradoks. Orang-orang berkumpul membuat kontrak yang namanya negara dan mempercayainya untuk mengatur mereka mencapai kesejahteraan hidup. Namun, perbuatan negara hanya demi kelangsungan kekuasaannya dan tidak menjadi saluran kesejahteraan bagi rakyatnya. Bahkan negara juga membuka relasi-relasi untuk bersama-sama
214
ARUNG DIRI Kitab Puisi
menjadi penindas dan penghisap rakyatnya sendiri serta merampok jatahjatah kesejahteraan rakyat dari wilayahnya sendiri. Memahami makna referensial puisi-puisi Arung Diri, terlihat sekali kegagalan tauhid antara negara dan rakyatnya ini pernah terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini, puisi lahir dalam situasi kekejaman dan pilihan gaya ungkap puisi adalah keputusan setelah berhitung dengan risiko. Dengan mengambil beberapa puisi sebagai ilustrasi, dari puisi Bahasa l hingga Bahasa 4, pilihan sikap puisi Arung Diri bisa dipahami jika tidak mengambil sikap puisi seorang aktivis politik, yang biasanya mengadvokasi semangat-semangat untuk melawan, tetapi sebatas mencatat dan berbisik mengenai kekejaman yang terjadi. Ini tidak berarti bahwa puisi yang berani berteriak berada di atas puisi yang memilih sikap berbisik karena kualitas puisi tidak ada hubungannya dengan keberanian berteriak dan kegalakan sebuah puisi juga tidak bisa diukur dari kekersan teriakannya. Demikianlah, tercatat makna referensial dalam puisi Bahasa l bahwa situasinya memang serba salah dan menakutkan. Pemerintah mengendalikan informasi dan bahasa hanya boleh mengatakan apa yang diperintahkan untuk dikatakan. Dalam pada itu, yang dikatakan bahasa pun juga tak dapat dipercaya, tetapi menunjukkan sikap tidak percaya pun bukan perkara sepele karena apa pun sikap yang dipilih berarti harus mempertaruhkan hidup di ujung senjata, maka inilah persoalannya: (…)apa yang bisa diharap dari bahasa (…). Dalam puisi Bahasa 2 tergambar bagaimana tiadanya ruang gerak. Pemerintah menaruh curiga terhadap rakyat. Celakanya, petugas intelijen berada di mana-mana. Lalu orang memilih sikap diam dan tinggal “(…) di luar bahasa dan makna (…)” Dalam Bahasa 3, situasi tragis hak bersuara rakyat tergambar dalam “bahasa pun berguguran kalimatnya// katakatanya patah, bunyi-bunyinya rebah” dan “(…) semua orang bisu: hilang cita// hilang suara// hilang daya”. Bahkan puisi Bahasa 4 menunjukkan
ARUNG DIRI Kitab Puisi
215
frustasinya untuk ukuran puisi politik yang biasanya mempercayai gerakan politis untuk membongkar persoalan-persoalan yang bersumber dari ciptaan manusia sendiri, tetapi puisi ini memilih mengadu kepada penguasa langit, maka sikapnya: “(…) mengharap langit segera gerimis oleh kelembutan malaikat penjaga petala langit”.
Masalah Dua: Pertarungan Antarkelompok Masyarakat Terjadinya kelompok-kelompok dalam masyarakat, entah didasarkan agama, etnis, ras, profesi, hobi, wilayah kampung, komunitas kampus atau lainnya, adalah sesuatu yang alami. Namun, ketika relasi antarkelompok berlangsung dalam tema-tema pertarungan, karakter setiap kelompok cenderung mengeras dan terjadilah perbenturan-perbenturan. Sebaliknya, karena karakter kelompok tampil makin mengeras, relasi-relasi kelompok cenderung ke arah perbenturan. Kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat menjadi suka menyendiri dan tidak mencoba memahami kelompok lain, lalu bersifat reaktif dan gampang tersinggung. Ini semua biasanya berakhir penyesalan. Akan tetapi, penyesalan selalu datang di belakang. Adapun bahasa penyesalan itu adalah kata-kata Sumantri kepada Sukrasana, adik yang sangat mencintai kakak, tetapi dibunuh sendiri oleh kakaknya sendiri, seperti dalam puisi Sesal Sumantri: “Duh adikku Sukrasana!//Kenapa kita harus jalani nasib baku bunuh di dunia?”
Masalah Tiga: Dominasi Laki-laki terhadap Perempuan Relasi lelaki-perempuan yang cenderung berlandaskan hubungan kekuasaan telah melahirkan penindasan-penindasan terhadap perempuan. Hubunganhubungan laki-laki perempuan tidak berdasarkan prinsip kesetaraan gender,
216
ARUNG DIRI Kitab Puisi
kerja sama, dan pembagian kerja, tetapi berdasarkan kekuatan. Kaum perempuan hidup dalam definisi laki-laki yang mulai dicurigai perempuan sebagai upaya laki-laki yang menguntungkan dirinya sendiri. Lalu terjadilah kecenderungan dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam perlakuan-perlakuan yang merendahkan. Kaum perempuan memberikan reaksi. Lalu muncul gagasan-gagasan perlawanan perempuan terhadap laki-laki. Lelaki dan perempuan tiba-tiba menjadi dua makhluk yang berbeda dan dikeluarkan dari posisi sebagai makhluk yang bernama manusia. Maka kisah perlawanan perempuan terhadap lelaki pun terjadi. Tokoh Drupadi, istri kelima Pandawa, yang dalam kisah konvensional pewayangan Jawa tampak tak bermasalah, tiba-tiba dalam cerpen Baju Ratna Indraswari Ibrahim, menggugat dan menaruh ketidakpercayaan lagi terhadap kelima Pandawa, suaminya, sebagai lelaki-lelaki yang tidak pantas dipuja sebagai ksatria karena telah berbuat hina dengan mempertaruhkan istri mereka sebagai barang taruhan dalam meja perjudian dengan Kurawa dan hanya bisa bersikap diam ketika istrinya diperlakukan secara hina oleh para Kurawa. Dalam Arung Diri, persoalan relasi wanita-pria ini banyak diungkapkan dalam puisi-puisi yang berinspirasikan pewayangan. Drupadi, dalam puisi Kata Hati Drupadi, mengungkapkan sesalnya terhadap Yudistira, “(…) aku pun terus mengarungi luas lautan kekesalan// akibat putusan Yudistira tak matang timbangan// (…)”. Lalu Sinta dalam Jawaban Sinta kepada Rama mulai menilai Rama, “(…) lelaki cuma suka syak waa sangka – meski raja diraja// dan menafsiri cinta dengan kuasa – bukan rahsa// (…)”. Sarpakenaka, tokoh raksesi dan adik Rahwana, dalam puisi Sarpakenaka 2, bahkan sudah tidak hanya menafsirkan dirinya, tetapi sudah melihat posisi wanita secara umum di hadapan pria, yaitu bahwa dirinya dan Sinta telah berada dalam: ”(…) perumitan alur cerita buatan pria// sebagai topeng pelanggengan kuasa (…)”.
ARUNG DIRI Kitab Puisi
217
Masalah Empat: Jaringan Global Kapitalisme dan Kemandegan Distribusi Ketika banyak orang menumpuk kekayaan dan berhasil masuk dalam daftar orang terkaya, tetapi di kanan-kiri masih banyak bergelimang kemiskinan, maka yang terjadi adalah pemusatan kekayaan dan kemandegan sirkulasi kekayaan. Lalu tak terhindarkan, lahirlah kanker-kanker yang menyumbat peredaran yang membunuh daya hidup desa-desa. Kesejahteraan mengalami berbagai kemacetan dan memancing bangunnya keteganganketegangan. Hal itu disebabkan karena kekuatan-kekuatan modal itu pertamatama tidak bermaksud hidup berbagi, tetapi lebih untuk menumpuk kekayaan diri. Maka pusat-pusat perdagangan besar masuk ke kampung-kampung dan para penjual pracangan tersingkir dan mati perlahan-perlahan. Istilah dalam Puisi Perjalanan bagian 4, situasi itu tergambar dalam “(…) deru nafsu ekonomi yang terjaja di supermarket, fastfood, dan plaza-plaza di kota (…)”. Maka puisi Membaca Sejarah menilai idiom-idiom “pertumbuhan, pemerataan, kehebatan fundamen ekonomi, keberhasilan pembangunan” yang menjadi dasar ideologi di balik kapitalisme tak lebih dari sekadar bubuk ekstasi. Masalah Lima: Lain-Lain Hubungan antarmanusia hari ini juga masih diwarnai pecahnya sebuah negara seperti Yugoslavia, kolonialisme di Palestina, ancaman terorisme global, pengusiran komunitas Rohingya, berbagai penyingkiran budaya lokal, dan globalisasi narkotika. Maka, Arung Diri berbicara melalui Gaza dan Bosnia. Kegagalan Tauhid Internal Penglihatan yang bersifat ke dalam terhadap diri kemanusiaan saat ini memberikan pemahaman bahwa kepribadian kemanusiaan telah mengalami 218
ARUNG DIRI Kitab Puisi
keterpecahan. Hakikat manusia hari ini adalah manusia tanpa kesadaran hati dan akal budi. Manusia telah tereduksi menjadi sekadar berderajat benda, bertindak beracuan iklan, dan seperti mesin yang reaksi-reaksinya bergantung remote control Manusia tidak lagi memuat keseluruhan unsur-unsur pengutuhnya dan hanya berupa sempalan-sempalan unsur tertentu. Kecenderungan manusia yang hidup tanpa kesadaran ruh mengubah manusia hanya mengandung unsur badan yang orientasi hidupnya adalah nafsu kesenangan, memuaskan nafsu konsumtif, dan berburu iklan. Kecenderungan manusia yang hidup tanpa kesadaran akal melahirkan manusia yang reaksi-reaksinya mekanis seperti mesin, bahkan peniadaan akal juga berarti hidup tidak mendasarkan pada norma dan nilai yang lalu mengundang dan melahirkan peristiwa tragedi kemanusiaan sendiri. Gambaran ini terlihat dalam puisi Emha Ainun Nadjib (1990), Seribu Masjid, Satu Jumlahnya, yang berjudul Terbelah: (…)Sesudah berjamaah dan bersalaman//Kami injak mereka dalam perpolitikan//Sehabis saling tersenyum di pengajian//Kami pukul mereka dalam perdagangan///Jamaah kami satu sisi/ /Kami bermusuhan tanpa mengerti//Malam kami riuh mengaji// siang kami sembah patung nagari///(…). W.S. Rendra dalam puisi Puisi Tahun Baru 1990 yang telah dikutip di awal merefleksikan masalah karakteristik insting kesenangan dan reaksi bak mesin manusia kini sebagai berikut: “(…) Bagaimanakah wajah kemanusiaan?// Di jalan orang dibius keajaiban iklan// di rumah ia tegang, marah dan berdusta// Impian mengganti perencanaan// Penataran mengganti penyadaran///(…). Adapun A. Mustofa Bisri dalam puisi Baju I langsung menunjuk saja kepalsuan-kepalsuannya: “Baju yang kau pergunakan// Menyembunyikan dirimu// Terus kau pertahankan sampai suatu ketika//Kau terpaksa telanjang//Dan kau tak lagi mengenali// Dirimu sendiri//. Maka demikian inilah peta kasar dan masih bertumpang tindih, bentukbentuk kejatuhan manusia, yaitu keterpecahan manusia sebagai suatu hakikat keutuhan pribadinya, yang dijadikan kegelisahan puisi-puisi Arung Diri. ARUNG DIRI Kitab Puisi
219
Kejatuhan Satu: Manusia Sekadar Badan Pertanyaan filsafat apakah hakikatnya manusia telah diajukan berabadabad. Kalau manusia sekadar badan, maka manusia tak ubahnya batu. Kalau manusia hakikatnya ruh, maka manusia mirip hantu. Maka lalu banyak diterima bahwa manusia adalah kesatuan badan-ruh, kesatuan tubuh-jiwa, dan badan yang berakal atau tubuh yang berpikir. Manusia yang terperas kemanusiaannya hanya menjadi sebongkah badan, keakuan manusia adalah nafsu badan atau gairah jasmani. Kesanggupannya adalah mencari kenikmatan, bukan hati yang merasakan. Jalan hidupnya hanya senang-taksenang atau enak-tak enak. Oleh karena itu, adalah aneh ketika unsur badan yang hakikatnya adalah bagian yang paling dangkal, justru dimenangkan atas jiwa. Jiwa hakikatnya merupakan inti kemanusiaan. Hanya jiwa atau ruh yang mampu membawa kepada kebahagiaan sebab hanya jiwa atau ruh yang mampu bertemu dengan kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang sejati yang gabungannya memberikan getaran kebahagiaan yang sejati. Jadi, bukannya menolak badan, melainkan menolak badan yang dimenangkan atas jiwa. Dalam puisi Perjalanan Cinta Sukrasana, maka dikatakan: “(…) bagiku dunia telah terpenjara kewadagan//mengimani kehebatan, memuja-muja keunggulan//mengimani kemegahan, memuja-muja keanggunan// bersimpuh pada kekuasaan, bersuka suapi kekerasan// (…) Kejatuhan Dua: Manusia Cetakan Iklan Zaman ketika semua sisi kehidupan dibentuk iklan, watak manusia adalah produk pemenang-pemenang iklan. Manusia digiring sesuai dengan kemauan barang yang terdapat di dalam iklan. Lalu, orang mengelola hidup sesuai yang diajarkan iklan. Iklan menjadi acuan penilaian, sikap dan pilihan. Padahal, apa yang diajarkan iklan? Daya iklan adalah selera, rasa, variasi,
220
ARUNG DIRI Kitab Puisi
kemewahan, dan ketergantungan. Iklan memodifikasi dari selera kebutuhan menjadi selera nafsu kesenangan. Iklan juga lebih mengarahkan kepada kepalsuan daripada kesejatian melalui mitos-mitos penstrataan yang tak sejati seperti budaya gengsi, kepriyayian, dan warung-warung modernitas. Iklan adalah pupuk subur untuk persaingan ekonomi, pergulatan politik, dan penyelewengan hukum karena iklanlah yang menghidupkan konsumtivisme, sedang konsumtivisme membangkitkan persaingan. Puisi Eling menggambarkan wajah-wajah palsu itu sebagai “semua mengaku penuh seri”
Kejatuhan Tiga: Manusia Remote Control Kejatuhan yang ketiga adalah ketika manusia menjadi mesin. Reaksireaksi manusia menjadi sangat behavioristik yang berpola stimulus-respons. Akal, nilai, dan norma yang menjadi ciri khas kemanusiaan tidak berfungsi diganti cara berpikir dan bertindak ala mesin. Kondisi ini dibentuk oleh situasi kini yang membuat manusia menjalani hidup seperti mesin. Manusia mesin tidak banyak menggunakan akal sehat. Oleh karena itu, manusia akhirnya kehilangan nilai dalam hidupnya. Lalu terjadilah abnormalitas: korupsi, selingkuh, tawuran dan kriminalitas. Ini semua adalah bentukbentuk perwujudan dari hidup manusia yang tidak lagi menggunakan akal sehat, dan juga nurani. Puisi Belajar Mengumpat menggambarkan kemeriahan korupsi ini karena nurani “telah lunglai, tak sadarkan diri, dan mati suri.”
Kesimpulan: Menyatukan, Membebaskan, dan Mengutuhkan Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah bahwa puisipuisi Arung Diri adalah puisi-puisi yang melemparkan target, yakni target tauhid mistik-spiritual, target tauhid sosial politik, dan target tauhid eksisten-
ARUNG DIRI Kitab Puisi
221
sial. Dengan target tauhid mistik spiritual, diangankan relasi ideal antara manusia sebagai makhluk dan Tuhan sebagai khalik atau antara manusia sebagai unsur alam dan alam sebagai kekuatan kosmis yang menaungi. Dengan target tauhid sosial politik, diangankan relasi ideal antara sesama manusia yang terbebas dari hubungan-hubungan penindasan. Adapun dengan tauhid internal, diangankan keutuhan kesejatian eksistensi manusia sebagai sebuah pribadi dari kemungkinan-kemungkinan keterbelahannya. Singkatnya, puisi-puisi Arung Diri melempar target besar: menyatukan, membebaskan dan mengutuhkan.
III. Sublimasi, Artikulasi, dan Sukses Puisi Akan tetapi, keberhasilan sebuah puisi tidak ditentukan oleh kandungannya. Artinya, puisi dikatakan memesona bukan karena di dalamnya telah diungkapkan soal-soal religiositas, soal-soal sosial politik, atau soal-soal eksistensi kemanusiaan, tetapi sebaliknya, karena diungkapkan dalam di dalam puisi yang memikatlah, soal religiositas, masalah sosial politik, dan problem eksistensi kemanusiaan itu menjadi menarik. Soal-soal religiositas, sosial politik, filsafat dan psikologi, dalam puisi adalah material yang bersifat eksternal dan sekunder. Oleh karena itu, jika ekspektasi terhadap puisi semata-mata pada kandungannya, maka ekspektasi itu akan menghadapi kekecewaan. Persoalan kandungan puisi akan lebih mudah dan memadai dalam memenuhi harapan jika dipelajari pada sumber-sumbernya secara langsung, yakni kitab-kitab keagamaan, buku-buku sosial politik, atau jurnaljurnal filsafat dan psikologi, atau kamus-kamus ensiklopedi. Keseluruhan sumber-sumber ini mampu memberikan uraian yang bersifat terinci yang memenuhi harapan praktis keingintahuan manusia terhadap sumber-sumber eksternal puisi.
222
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Dalam pada itu, telah banyak dikemukakan dalam referensi-referensi seni, bahwa sebagai karya seni, target puisi bukanlah memenuhi kebutuhan praktis, tetapi memperkaya kebutuhan orang yang ingin memenuhi kebutuhan spiritualnya melalui kenikmatan-kenikmatan estetik yang diberikan. Melalui perwujudan yang terkonsentrasi dan terorganisasi, puisi tidak bermaksud bercerita kepada pembaca tentang pengalaman, tetapi mengarahkan secara imajinatif pembacanya untuk terlibat di dalam pengalaman itu. Ini berarti, puisi merupakan sarana imajinatif yang mengantarkan pembacanya ke dalam pemahaman kehidupan secara lebih penuh, lebih mendalam, lebih kaya, dan dengan kesadaran yang lebih besar, melalui upaya mengenalkan pengalaman tertentu yang melalui peristiwa biasa tak dapat disentuh dan mendorong penghayatan yang lebih tajam pembacanya untuk memahami kehidupan seperti dilaluinya dalam pengalaman sehari-hari yang telah dimiliki. Demikianlah, maka pengurasian puisi berpandangan bahwa kesuksesan puisi selayaknya diukur dari kemampuannya untuk melibatkan pembaca secara emosional dan intelektual, intensitasnya dalam mengolah pengalaman hidup, dan daya bayangnya untuk memberikan pemahaman tentang kehidupan melalui pemahaman tentang diri, orang lain, dan hakikat kemanusiaan pada umumnya. Dalam pernyataan lain, criteria sukses puisi harus dilihat dari segisegi kedalaman pengembaraan batin, format retorika dan disiplin bahasa, dan lompatan ide dan spontanitas yang dicerminkan. Kita dapat menyederhanakan kriteria-kriteria itu dalam dua segi saja: autentisitas sublimasi dan orisinalitas artikulasi. Autentisitas sublimasi adalah hal yang berkitan dengan pengolahan pengalaman dan perasaan di dalam suatu proses penyaringan psikologis. Dalam hal ini, syarat kejujuran dalam melihat dan menempatkan persoalan dan kaitannya dengan pengalaman indrawi merupakan faktor intelektual dan afektif yang penting di dalam melahirkan pesan yang khas dan personal.
ARUNG DIRI Kitab Puisi
223
Adapun orisinalitas artikulasi adalah hal yang berkenaan dengan pemaduan antara persoalan yang dihayati dan pengolahan bahasa pengucapan menjadi ekspresi ucapan yang unik, spontan, dan mengejutkan. Kemampuan melakukan pemaduan kriteria autentisitas sublimasi dan orisinalitas artikulasi akan melahirkan kualitas puisi temuan penyair dan kemudian bisa menjadi faktor penting autentisitas kepenyairannya dan menentukan eksistensinya dalam dunia perpuisian. Akan tetapi, melihat kepenyairan seseorang mutlak bertolak dari puisi-puisi yang diciptakannya sebab hakikat pembicaraan kesenimanan adalah pembicaraan kekaryaan. Sehubungan dengan hal tersebutlah, ilustrasi otentisitas dan orisinalitas itu, misalnya, dapat dilakukan dengan membicarakan puisi Stanza W.S. Rendra berikut ini. Puisi ini adalah sebuah puisi metafisis luar biasa. Proses penciptaan puisi ini tentu bagaikan proses lahirnya keris yang berpamor. Dalam jangkauan daya bayangnya yang tinggi, namun terwadahi dalam bentuknya yang ringkas, tentu terlalu banyak residu yang harus dihilangkan dalam proses pembakaran penciptaanya. Artinya, puisi ini mengandung kontemplasi dan sublimasi pesan yang intens untuk sampai pada rumusan persepsi pesannya, strukturasi perlambangannya, dan ekspresi pengucapannya yang unik khas penyairnya. Dalam bentuknya yang singkat, ia mempermenungkan dan memadukan tiga persoalan besar sekaligus: kehidupan, kematian, dan kepergian. Rumusan makna yang ditemukan penyair adalah bahwa kehidupan adalah ruh yang bersatu dengan badan dan ia adalah berpasang, kemudian kematian adalah ruh yang berpisah dari badan, maka begitu ruh pergi tubuh pun lunglai, sedangkan kepergian adalah kembalinya ruh kepada asal dari mana ia berangkat. Lalu, paduan pesan ini mencapai wujud kelahirannya menjadi sebuah puisi melalui pemilihan dan penataan entri ensiklopedis, yaitu konsep-konsep dari dunia pengetahuan yang dimiliki manusia, dan pemilihan dan penataan entri linguistik, yaitu bahasa ucapan yang menjadi lambang dari 224
ARUNG DIRI Kitab Puisi
entri ensiklopedi, sementara itu, penataan itu sendiri juga merupakan pilihan dari kemungkinan yang ada dalam entri logika puisi. Paduan antara entri ensiklopedi dan entri linguistik dalam puisi ini akhirnya tecermin pada pilihan leksikon-leksikon, yakni antara lain burung, daun, angin, kapas, dan tanah, dan gramatika, yakni antara lain ada burung dua, jantan dan betina, dua-dua, sudah tua, dan seterusnya, lalu pilihan ekspresi, yaitu pola dan bentuk yang terstrukturasi dan terformalisasi secara utuh. Hasilnya adalah puisi berikut ini, yaitu puisi yang mencerminkan otentisitas dan orisinalitas penyairnya. STANZA Ada burung dua jantan dan betina Hinggap di dahan Ada daun dua tidak jantan dan tidak betina Gugur dari dahan Ada kapuk dan angin dua-dua sudah tua Pergi ke selatan Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu Mengendap di hatiku Sebagai ilustrasi lain, dapat dibicarakan bagaimana pencarian autentisitas dan orisinalitas dalam puisi yang dapat ditafsirkan sebagai puisi sosial dari Sapardi Djoko Damono berjudul Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari berikut. Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari waktu berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah
ARUNG DIRI Kitab Puisi
225
menciptakan bayang-bayang aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan Kelahiran puisi ini dapat ditafsirkan karena penyairnya merasa gerah terhadap gejala pertikaian sosial yang sering terjadi yang bersumber dari sikap egoisme manusia yang menonjolkan hak-haknya untuk diutamakan karena merasa telah berbuat. Sementara itu, penyair ini tampak menyimpan kesan emosional tentang pengalaman indrawi yang umum dialami banyak orang tropis yang menjadi lingkungan tempat hidupnya, yaitu relasi saat pagi hari antara dirinya, matahari, dan bayang-bayang dalam perjalanannya ke barat. Pengolahan intelektual penyair mengenai kegelisahannya sampai pada makna bahwa sikap yang mementingkan diri perlu ditekan dan orang perlu belajar menerima yang terjadi. Tampaknya dalam penghayatannya yang memadukan antara hasil pengolahan intelektual yang dipandangnya signifikan dan simpanan pengalaman indrawinya yang memesona, penyair menemukan alasan mengapa simpanan pengalaman iderawinya itu begitu memesonanya. Ini terjadi karena fenomena kesan indrawi itu telah menjadi penolongnya dalam keinginan mengungkapkan sikap intelektualnya terhadap persoalan yang menggelisahkannya. Persoalannya tidak berhenti di sini. Kini penyair betul-betul ingin mengungkapkan pengalaman ini dalam suatu bahasa ucapan yang tidak saja mampu secara lebih intensif mengungkapkan pengalamannya, tetapi lebih dari itu juga mampu mengungkapkan sikap emosionalnya secara lebih efektif mengenai pengalaman intelektualnya itu. Maka disusunlah bahasa pengucapan yang memadukan pengetahuan intelektualnya mengenai persoalan, sikap afektif dirinya terhadap persoalan, dan bahasa pengucapan mengenai persoalan itu. Hasilnya adalah puisi sederhana namun intens khas Sapardi ini.
226
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Pertanyaan kita adalah: bagaimana dengan puisi-puisi dalam Arung Diri? Dalam pengamatan secara kasar, kita bisa mengatakan bahwa puisipuisi dalam kumpulan ini tampil dalam dua wajah. Wajah pertama adalah puisi-puisi yang mampu diungkapkan dengan gaya cair, komunikatif, dan panjang, sedangkan wajah kedua adalah puisi-puisi pendek yang berusaha menjaga kepadatan intensitas pengungkapan. Puisi-puisi yang panjang itu umumnya adalah puisi-puisi yang ingin mengungkapkan makna melalui pilihan wadah yang diambil dari dunia pewayangan, sedangkan puisi-puisi yang pendek tampaknya adalah puisi-puisi yang terjemahan maknanya harus masih dicari wadahnya terutama dalam laku penghayatan diri atau melalui penghayatan alam. Maka layak untuk dijadikan persoalan: mengapa puisi-puisi jenis pertama mampu lahir dalam format yang panjang, sedangkan puisi-puisi jenis kedua cenderung memilih lahir dalam format yang pendek? Dugaan yang bisa diberikan adalah karena format pengungkapan puisi jenis pertama itu pada dasarnya sudah tersedia, sebaliknya, format untuk pengungkapan puisi-puisi jenis kedua harus dicari sendiri. Puisi jenis pertama menuntut rekonstruksi yang bertolak dari dekonstruksi wadah yang pada dasarnya alusi, sementara puisi jenis kedua menuntut rekonstruksi yang bahan-bahannya harus dipetik dari “taman bunga” yang keberadaannya entah di mana. Keduanya menuntut perjuangan yang berbeda, tetapi juga menjanjikan nilai yang berbeda. Ini tidak berarti panjang-pendeknya puisi menentukan kualitas puisi karena banyak puisi panjang yang bagus dan banyak puisi pendek yang tak bagus, sebaliknya banyak puisi pendek yang sangat memikat, namun banyak juga puisi panjang yang menjemukan. Yang masuk akal adalah bahwa kualitas puisi ditentukan seberapa jauh autentisitas pengolahan pesan dan orisinalitas pengolahan pengucapan diperjuangan dalam kesungguhan keterpaduannya dengan “suasana dalam” yang bergejolak dalam diri penyairnya.
ARUNG DIRI Kitab Puisi
227
Yang barangkali penting untuk diapresiasi dalam kaitannya dengan puisi-puisi Arung Diri adalah bagaimana kriteria keotentikan dan keorisinalan diperjuangkan dalam tiga kategori puisi yang diajukan, baik dalam puisi tauhid vertikal, dalam puisi tauhid horizontal, maupun dalam puisi tauhid internal. Akan tetapi, hal itu tidak akan dilakukan di sini. Yang mampu dikemukakan adalah memberikan ilustrasi yang jauh dari tuntutan representatif tentang peluang yang bisa dicerminkan beberapa puisi saja, yakni puisi Suramadu, puisi Cinta, Laut adalah Dirimu, puisi Machiavelisme dan puisi Mencari Bahagia untuk suatu konteks pembicaraan puisi yang mengingatkan, puisi yang membebaskan, dan puisi yang mengutuhkan dalam hubungannya dengan persoalan sublimasi dan artikulasinya. Tentang Puisi yang Mengingatkan Segala puisi yang berada dalam kategori puisi spiritual atau puisi mistik selalu mengolah makna yang timbul dari pengakuan dan penghayatan manusia terhadap kehadiran suatu pusat daya transendental yang memiliki sifat suprahuman dan supranatural, yaitu suatu pusat daya yang dianggap menguasai berbagai kondisi dan peristiwa alamiah serta segala dampaknya terhadap kehidupan manusia. Pusat daya ini harus dihormati dan patut dipuja agar tidak memancarkan suatu dampak yang merugikan diri manusia. Dalam pandangan kebudayaan, sikap dan tindakan religius manusia ini, menurut Fuad Hassan (1998:2), berlangsung dari tindakan spekulasi ke tindakan kepercayaan. Manusia menduga pada pohon tertentu berdiam hantu yang bisa murka kalau kenyamanannya terganggu. Sesaji harus diletakkan di tempat tertentu sebagai isyarat penghormatan kepada roh yang menjaganya. Air samudra mustahil menggelombang dahsyat kalau tidak ada yang mengguncangnya. Gunung berapi tidak begitu saja meletus kalau tidak ada daya yang meledakannya. Kalah dan menang pun bergantung pada pusat daya yang 228
ARUNG DIRI Kitab Puisi
menetapkan kesudahan perang. Orang Mesir kuno percaya daya gaib itu adalah matahari karena tiada kehidupan tanpa matahari lalu meragakannya melalui Ra sebagai dewa matahari dan menyembahnya sebagai mahadewa. Orang Babylonia percaya bahwa bertahannya kehidupan di bumi karena ketersediaan makanan yang bersumber dari kesuburan bumi, maka orang Babylonia memuja dewa kesuburan Isthar sebagai mahadewa. Bahkan penganut agama wahyu pun harus beranjak pada sikap percaya pada pusat daya transendental yang suprahuman, supranatural, dan bersifat serba maha. Pada religi wahyu yang monoteistik, hal itu dimulai dari pengakuan akan kehadiran satu Tuhan, apa pun sebutannya. Yang lalu dijabarkan dalam kitab sucinya yang menjadi pedoman penuntun penganutnya. Namun, sebuah religi barulah sebuah keseluruhan sistem kepercayaan untuk dijadikan sebuah acuan. Dalam penghayatan pemeluknya ,yang disebut sikap religius, ia akan tampil berkadar sesuai derajat kesadaran pemeluknya dalam meramu ajaran yang dicerapnya dalam sikap, pikiran, dan tindak-tanduknya. Dari uraian ini ingin dikatakan bahwa puisi yang bermuatan spiritual atau mistik adalah puisi yang memang menunjukkan relasinya dengan sistem keyakinan dalam sebuah religi, tetapi bukan cerminan religi itu sendiri. Yang bisa diterima adalah puisi itu mencerminkan kadar kesadaran sikap religious penyairnya. Puisi yang bermuatan spiritual atau mistik, dengan demikian, adalah puisi hasil pengolahan, pendalaman, dan bahkan laku penghayatan yang bersumber dari kesadaran pemahaman persepsi dan pengalaman hati dalam membangun relasi dengan pusat daya transendental. Ini berarti puisi yang lahir akan berada dalam rentang jarak antara manusia dan pusat daya, dari yang jauh jarak sampai pada yang tanpa jarak, atau dari hubungan keterpisahan menuju kepada hubungan kemenyatuan atau percintaan, maka terlahirlah puisi yang mengungkapkan ketakberdayaan hingga puisi yang mengungkapkan kerinduan untuk bertemu (kembali). ARUNG DIRI Kitab Puisi
229
SURAMADU memandang panjang Suramadu garis membaur – batas pun hancur jarak melebur – beda pun gugur kenapa kita malah bangun ragu? selat cuma tanda – ada pantai jaga ruang cinta alun hanya semiotika – ada gemuruh rindu bicara kenapa kita terus sembunyikan yang sama? memandang panjang Suramadu aku dirajam hasrat bertemu – sebab kita satu Puisi Suramadu tersebut menurut saya adalah contoh puisi yang menunjukkan kekuatannya. Puisi ini tidak hanya menampilkan keutuhan format, sofistikasi retorika, keindahan bunyi, kilatan-kilatan imajinasi, tetapi juga ambiguitas dan ambivalensi makna. Puisi ini berbicara tentang sesuatu yang berbasis pada nilai yang signifikan: kehendak (kerinduan) untuk menyatu. Di balik kehendak kemenyatuan melalui pertemuan itu tentu terdapat asumsi tentang keadaan keterpisahan atau ketidakbersatuan. Tetapi siapa subjeksubjek yang merindukan dan yang dirindukan ini: seseorang kepada seseorang, misalnya seorang pemuda kepada kekasihnya? Etnis kepada etnis, misalnya orang Jawa kepada orang Madura atau sebaliknya? Ataukah, keimanan yang merasuk dalam diri seorang anak manusia sehingga di mana-mana peka membaca kebesaran Tuhannya? Apa artinya sebab kita satu yang menjadi alasan kuat seperti dirajam hasrat bertemu: sesama manusia, sesama manusia Indonesia, atau suatu idiom pencapaian mistik manusia dan Tuhannya? Dengan memberi pelbagai kemungkinan penafsiran hingga yang terakhir,
230
ARUNG DIRI Kitab Puisi
dapat diduga proses penyaringan psikologis dalam tahap sublimasi puisi ini tentu berlangsung intens. Hal yang sama dapat dirasakan dalam baris-baris puisi Laut adalah Dirimu. Dari yang ditampilkan, puisi ini ingin menunjukkan penghormatannya kepada Tuhan melalui ungkapan-ungkapan pujiannya. Tuhan disapanya Cinta, suatu pilihan ungkapan yang intim, yang terjemahan sifat-sifat kemahabesarannya tecermin dari sifat laut. CINTA, LAUT ADALAH DIRIMU Cinta, laut adalah dirimu: bergelombang dan merindu hening tempat ayat berkubu Cinta, laut adalah dirimu: bergemuruh dan merayu sepi tempat sabda berlagu Cinta, laut adalah dirimu: menebar kalam setiap waktu Jika mampu menunjukkan pengalaman laku jiwa dan laku hati, puisipuisi jenis tersebut bisa berkembang mengikuti pencapaian para penyair sufi. Dalam puisi-puisi penyair sufi, hubungan manusia dengan Tuhan sering diibaratkan hubungan cinta. Bahkan, menurut tokoh sufi dan penyair Rumi, cinta merupakan jalan memahami kehidupan dan asal-usul ketuhanan diri manusia, selain jalan pengetahuan. Demikianlah, Rumi, sebagaimana dirinci Abdul Hadi W.M. (2007), mencapai ketinggian berbagai makna cinta. Cinta adalah asas mencapai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Cinta adalah pengetahuan intuitif. Cinta, secara teologis, adalah keimanan yang membawa kepada Yang Haqq. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam
ARUNG DIRI Kitab Puisi
231
semesta. Cinta sejati dan mendalam dapat membawa seseorang mengenal hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk formal kehidupan. Karena dapat membawa kepada kebenaran tertinggi, cinta merupakan sarana manusia terpenting dalam mentransendensikan dirinya, terbang tinggi menuju Yang Satu. Maka demikianlah baris-baris puisi cinta dari Rumi: Inilah Cinta: terbang tinggi melesat ke langit Setiap saat ratusan hijab tercabik Langkah pertama menyangkal dunia (zuhd) Kemudian jiwa pun berjalan tanpa kaki Dalam cinta, dunia dan benda telah raib Segala yang muncul di benak dipandangnya sepi Kataku, “Moga bahagia, o Jiwa!” Bertandang riang ke negeri para pencinta Menyaksikan kerajaan tak terpandang mata Merasakan alangkah lezatnya gairah dalam dada! Katakan, o Jiwa, dari mana napas ini datang Katakan pula, o Hati, bagaimana jantung ini bisa berdenyut
Tentang Puisi yang Membebaskan Sublimasi pada puisi yang membebaskan selalu akan bertolak dari dan menuju pada penghormatan pada harkat kemanusiaan. Maka, puisi akan bergulat dalam dunia nyata realitas sosial dan sejarah, menegakkan nilai-nilai dalam hubungan antarmanusia, meluruskan kecurangan-kecurangan yang
232
ARUNG DIRI Kitab Puisi
disembunyikan, melawan kuasa-kuasa yang menindas, membongkar tata nilai sosial politik yang rapuh dan menjadi tempat-tempat persembunyian kejahatan kemanusiaan, dan mencatat dan menyimpan dengan rapi pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan ini. Namun, artikulasi puisi jenis ini selalu merupakan hasil perhitungan antara kejujuran, dan risiko. Bahkan konsep risiko ini tidak sekadar dalam hubungannya dengan iblis yang kasat mata, tetapi juga dalam perhitungan antara ketercapaian advokasi sosial dan keindahan artikulasi puisi. Ada puisi yang sangat memperhitungkan keduanya. Ada puisi yang terpaksa mengambil prioritas. Salah satu puisi yang menarik dalam konteks ini adalah Machiavielisme, sebuah puisi yang pengungkapannya padat dan taktis tentang kejahatan kemanusiaan dari seorang penguasa yang menindas dalam sejarah politik Jawa. Kekejaman Panembahan Senopati, Sultan Mataram Islam, terhadap para santri, para pembangkang dan orang-orang dari keluarganya sendiri, demi kelanggengan kekuasaannya, yang menjadi wadah untuk kegelisahan yang diungkapkan dalam puisi ini, tidak saja merupakan simbol efektif bagi setiap kuasa yang menindas, tetapi puisi ini mampu menata rapi data ikonik sejarah menjadi rekonstruksi estetik yang efektif-imajinatif. Pengungkapannya sama indahnya dengan puisi yang pernah ada yang ditulis Herman J. Waluyo, tetapi berbeda dalam “situasi tanpa kata” yang coba dicerminkan. Bandingkanlah puisi Machiavielisme dalam Arung Diri dengan puisi Kidung Megatruh karya Herman J.Waluyo (1981) berikut. Demikianlah puisi Machiavielisme: MACHIAVELISME Dan perempuan itu melemparkan kerlingnya sebelum desah pertama merobek lengang “dia…diakah yang telah bikin mabuk Mangir muda?” kepada Pambayun ternganga semua orang
ARUNG DIRI Kitab Puisi
233
Sebelum heran lindap, nafsu telah menyergap dikawininya Pambayun, dititipinya anak turun Sebelum sembilan bulan berlalu ke Mataramlah Mangir menghadap sebagai menantu menjemput ajal yang telah disiapkan sebilah keris di situ: keris mertua yang tahunya cuma kuasa “Oh … kangmas … kangmas”, ratap Pambayun sendu mengekalkan kuasa ayahannda prabu Kita bandingkan puisi tersebut dengan puisi Kidung Megatruh berikut. KIDUNG MEGATRUH Pambayun Menatap Merapi yang Membara Mulut wanita itu terkunci, ketika Mangir bertanya tentang dirinya. Dan untuk apa serta ke mana akhirnya. Namun, demi cinta yang bersemi ia tak sanggup lagi main sandiwara. Dengan tersendat, wanita itu membeberkan apa siapa dan untuk apa Putri Mataram itu datang ke Wanabaya. Terbayang wajah angker duri kerajaan yang kini amat dicintainya Musuh ayahnya kini telah menjadi calon bapak bagi putranya. Gundah pun muncul berdetakan bersama bakti kepada negara dan raja. Antara senyum dan duka, tawa dan tangis kini sukar ditentukan batasnya. Lelaki itu tidak terkejut dan tidak marah kepadanya. Ksatria itu membayangkan garis nasib yang telah pupus dalam namanya. Kutuk dewata terbayang di mata, meski baru kuping masih megah di istana.
234
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Ketika Pambayun mengajak lelaki itu menghadap sang raja, Ia tak mampu menolaknya. Peta nasib dan garis hidup telah nyata di depannya. Juga ketika ia harus berpisah dengan barukuping, pusaka andalannya, Ia tak pernah mampu mengucapkan kata tidak. Mangir, suami, ksatria, dan pemberontak itupun mati di tangan raja. Mulut wanita itu terkunci ketika Raja mengucapkan terima kasih padanya. Dan seluruh pejabat kerajaan memujanya sebagai pahlawan nusa. Butir-butir tangis tak tertahan olehnya. Berbaur isakan bahagia dan duka. Dan ketika kerajaan menganugerahi tanda jasa, Wanita itu tak mengerti lagi batas antara bahagia dan duka.
Tentang Puisi yang Mengutuhkan Sublimasi puisi yang bersifat mengutuhkan manusia dari keterpecahannya mengambil pilihan pada refleksi terhadap ekspresi tindak-tanduk manusia yang merosot dari derajat kemanusiaannya. Artikulasi puisi seringkali memilih merumuskan dan menggambarkan tindak-tanduk manusia terbelah dalam suatu hubungan sebab-akibat. Misalnya, puisi menggambarkan sebab-akibat tindak-tanduk manusia yang dikendalikan nafsu badan dan keluar dari nilainilai akal sehat. Di sini puisi bisa mengonstruksi refleksi makna melalui, misalnya, orang yang belanjanya menuruti kesenangan, orang yang melakukan pengeluaran melampaui kebutuhannya, orang yang melakukan korupsi, orang yang melakukan pelanggaran nilai, orang yang tidak menggunakan akal sehat, orang yang tidak diajari berpikir oleh kebudayaannya, atau orang yang bersekolah, tetapi pelajarannya tidak mengajari berpikir, dan seterusnya,
ARUNG DIRI Kitab Puisi
235
semacam Puisi Tahun Baru 1990 Rendra yang baris-barisnya telah dikutip di awal. Target puisi adalah tumbuhnya kesadaran manusia akan hakikat keutuhannya. Penampilan puisi adalah introspeksi kritis dan reflektif tentang manusia menelanjangi dirinya sendiri. Tujuannya adalah manusia yang utuh, seimbang, tenteram, dan bahagia. Gayanya menunjuk atau meratap menyesali diri. Dalam Arung Diri, misalnya, puisi yang mengutuhkan itu bisa dilihat pada puisi Mencari Bahagia berikut. MENCARI BAHAGIA dengan bening doa kudaras kitab demi kitab tua karena dunia dilimbur cemas dan kalap senantiasa dengan merdu zikir kucerna arif pikir demi pikir ternama karena manusia ditenung tamak dan loba tanpa jeda dan kucari-cari Ki Ageng Suryamentaram sang Pangeran Jawa pemilik kitab kearifan kehidupan bersari kenikmatan baka yang menawarkan racikan kawruh jiwa bagi semua manusia yang memberikan adonan pangawikan pribadi bagi jiwa dahaga siapa duga bisa menenangkan manusia, mendamaikan dunia “tapi, jangan kau buru bahagia semata, ia mulur mungkret adanya selami palung jiwa, bakal kau temukan sangkan paraning manusia berhulu Gusti sumber segala ada, asal segenap keadaan jiwa niscaya kau dan dunia bertawaf mengitari hidayah Sang Mahacinta”, kudengar Pangeran Jawa berbagi jalan terang menuju negeri suka cita aku ternganga, kenapa dunia tiba di simpang jalan tak bertanda dan manusia mengambil arah menjauhi jalan Pangeran Jawa
236
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Puisi Mencari Bahagia tersebut pada dasarnya adalah puisi yang targetnya mengutuhkan kemanusiaan. Puisi ini menemukan inspirasi bahagia dari seorang ahli ilmu jiwa dalam budaya Jawa, Ki Ageng Suryomentaram, dari abad ke18. Apa sebenarnya pandangannya tentang bahagia? Dalam salah satu bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tentang bahagia, Suryomentaram (l985:26) mengatakan: “Maka orang akan merasa ‘aku mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia’. Bila orang sudah mempunyai rasa ‘aku mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia’. Maka dalam mengawasi keinginannya sendiri dan perjalanan hidupnya sendiri, ia merasa ‘itu bukanlah aku. Begitu juga dalam menanggapi dunia dengan segenap isinya dan semua kejadian-kejadian, orang pun merasa ‘itu bukanlah aku’. Demikianlah rasa aku itu, bahagia dan abadi. Karena itu, di mana saja, kapan saja, bagaimana saja, bahagialah orang itu. Demikianlah pengetahuan orang hidup bahagia.” Jadi, dalam pandangan Suryomentaram, bahagia adalah kondisi yang dicapai setelah orang melakukan kerja introspeksi diri. Dalam kerja introspeksi ini, orang harus mencapai kesadaran aku dengan mengeluarkan diri dari yang bukan aku. Dengan meminjam terminologi ruh dan nafsu, kita bisa mengatakan bahwa bahagia adalah aku dan aku adalah ruh. Sebaliknya, tidak bahagia adalah bukan aku, bukan aku itu adalah nafsu. Orang yang ingin bahagia harus mencapai atau menemukan diri dalam kondisi aku dan mengeluarkan yang bukan aku dari dalam dirinya. Bisa dikatakan juga, orang yang ingin bahagia, dalam dirinya, harus memenangkan ruh atas nafsu. Ruh hakikatnya bahagia, sedangkan nafsu hakikatnya tidak bahagia. Akan tetapi, tampaknya, sebagai sebuah puisi, puisi Mencari Bahagia tersebut cenderung menjadi contoh puisi yang kurang berhasil. Puisi ini masih harus diperjuangkan dalam pencapaian sublimasinya dan artikulasinya. Puisi ini kurang mampu menunjukkan gejolak batin dari pengalaman jiwa yang berada dalam situasi problematik. Puisi ini hanya terasa ingin mengatakan ARUNG DIRI Kitab Puisi
237
sesuatu, tetapi belum sampai menunjukkan kerja puitiknya. Puisi hanya mengatakan bahwa ada sebuah referensi cara bahagia yang memikatnya yang justru tidak ditemukannya dari tempat yang jauh, tetapi dari temuan “orang dalam” dari khazanah intelektual budaya tradisinya sendiri. Akan tetapi, puisi ini tidak sampai menunjukkan perjuangan batin yang tersayat-sayat sebelum akhirnya diselamatkan metode bahagia itu. Kondisi proses sublimasi yang belum matang inilah barangkali yang akhirnya melahirkan pilihan artikulasi yang kurang mampu melibatkan emosi pembacaan. Artikulasi puisi tidak menampilkan diri dalam pertukaran pengalaman batin dari situasi cengkeraman ketidakbahagiaan, tetapi memilih menyampaikan ajaran bahagia dari orang lain yang tidak dikemas sebagai pengalaman pribadi yang meyakinkan. Risikonya adalah puisi tidak mampu secara kuat menyuarakan suasana dalam dari diri penyair. Catatan Tambahan: Puisi yang Beralusi pada Wayang Sebagai tambahan, perlu dikemukakan catatan berkenaan dengan puisipuisi wayang dalam Arung Diri. Ini karena Arung Diri tampak sekali memperjuangkan banyak puisi yang beralusi pada dunia pewayangan. Bahkan Arung Diri menunjukkan kemampuan yang memukau dalam menggali, memilih, dan menata kekayaan linguistiknya untuk puisi-puisi wayang ini. Rasakan pukauan keindahan beberapa baris kata Bisma dalam puisi Kisah Cinta Amba dan Bisma yang sangat memikat berikut: “Jangan kau lantunkan suara yang memukul dada telah kubentengi nafsu dengan gunung-gunung doa dan keikhlasan melampaui kemampuan para dewa!” ……..
238
ARUNG DIRI Kitab Puisi
Jangan kau anyam kata-kata berbisa, wahai Amba jangan kau racik nafsu purba yang memangsa sukma aku berpantang jatuh cinta, apalagi birahi asmara!” Demikianlah, dunia masa lalu masih memberikan sumbangan kekuatannya. Bahkan, Frank Stewart (2003) menganjurkan agar puisi mencari sumbersumber kekuatannya dari masa lalu. Akan tetapi, puisi yang beralusi pada karya masa lalu akan selalu dihadapkan risiko: puisi berdiri di belakang bayang-bayang. Maka, persoalan puisi yang memilih beralusi adalah bagaimana keluar dari bayang-bayang dengan penuh harga diri. Dalam perhitungan ini, puisi dituntut untuk banyak berhitung. Puisi harus melakukan sublimasi untuk maknanya sendiri karena keindahan artikulasi yang tidak menyuarakan pencapaian sublimasi adalah kehadiran yang tidak berarti. Ini berarti puisi yang melakukan puitisasi saja tidak cukup. Ini bukan berarti sebuah puisi akan sulit berhasil jika beralusi. Jika sublimasi diperjuangkan, puisi yang beralusi pada wayang juga bisa tampil memikat. Dalam kaitan contoh ini, puisi bisa berbuat tidak hanya mengolah kisah cinta Bisma-Amba dalam artikulasinya, tetapi artikulasi itu bisa dikeluarkan dari sublimasi persoalan aktual puisi sendiri. Jika ini dilakukan, kehadiran puisi menciptakan suaranya sendiri. Puisi Ruang Singgah Sitok Srengenge berikut tidak sekadar memuitisasi kisah Bisma-Amba dari wayang, tetapi mengolah kisah itu untuk menggandakan suaranya sendiri. RUANG SINGGAH Suara Bisma Sesekali singgahlah ke ruang sunyi di antara riuh rindu puisiku Puisi yang menyertaiku dua windu sejak terakhir kali kutatap matamu
ARUNG DIRI Kitab Puisi
239
Mata yang dihuni gadis pemberang pemberani perentang tali, Tali gendewa gaib –batas cinta dan batas nasib Singgah, Amba, meski tiada apa. Hanya sebentang tanah kosong, Tanah yang merengkuh hutan kecil dengan pohon-pohon tua, Pohon-pohon yang menjaga lembah tetap lembab, Selembab pipimu yang menyimpan sungai Sungai yang berkunjung bersama hujan lalu merantau di musim kemarau, Musim yang membujuk burung-burung seberang bertandang, Burung-burung yang kadang berjingkrak di jalan setapak, Jalan yang akan mengantarmu ke ruang sunyi itu Mungkin kau tak menemukanku di sana, Mungkin aku sedang mencarimu entah di mana Ingin kutatap sekali lagi manik matamu, kutemu gadis yang dulu, Gadis pemberang pemberani itu, yang kelak menjemputku Demikianlah penyambutan yang bisa saya kemukakan untuk diskusi. Kepada Mas Djoko Saryono, saya mengucapkan selamat atas ARUNG DIRInya. Semoga semakin mulyo dan mulia.
Sengkaling, 22 Januari 2013
240
ARUNG DIRI Kitab Puisi
DAFTAR PUSTAKA Abshar-Abdalla, Ulil. 2012. Teks dan Kontradiksi. Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, kolom edisi 041, Januari 2012. Bachri, Sutardji Calzoum. 2001. Hormat Maksimal kepada Puisi. Dalam Horison, Juli, hlm. 4–8. Budiman, Arief. 1987. Sastra yang Ditulis untuk Orang yang Ada di dalam Sejarah. Dalam Heryanto, Ariel. 1988. Perdebatan sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali. Hlm. 379–384. Damono, Sapardi Djoko. 1988. Puisi Kita Kini. Dalam Prisma, no.8 Th.XVII, hlm. 30–39. Hadi W.M., Abdul.2007. Rumi dan Relevansi Sastra Sufi. Dalam Horison, XII, 2007, hlm.10–20. Hartoko, Dick.1993. Estetika dalam Seniman dan Budayanya. Dalam Sutrisno, Muji dan Verhaak.1993. Estetika: Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 93– 98 Hassan, Fuad. 1989. Kesusastraan sebagai Layar Proyeksi. Dalam Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 56–64. Hassan, Fuad.1998. Religi dan Ilmu dalam Masa Industrialisasi. Dalam Studium Generale. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., hlm. 2–10. Icksan, M.A. 1999. Dalam Apresiasi, Puisi Harus Dihadirkan dalam Wujudnya yang Utuh: Dibawakan!. Malang: PPs UM. Kadarisman, Effendi. 2010. Hipotesis Sapir-Whorf dalam Ungkap Verbal Keagamaan. Dalam Mengurai Bahasa, Menyibak Budaya, Malang: UIN Malang Press, hlm. 38–59. Kleden, Ignas. 2004. Puisi, Penyair, dan Intelektual Publik. Dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Graffiti, hlm. 207–352. Kuntowijoyo. 2005. Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika dan Struktur Sastra. Dalam Horison, xxxix/2005, hlm. 8–19. Mohammad, Gunawan. 1996. Sastra Pasemon: Pergumulan Bawah Sadar Bahasa dan Kuasa. Dalam Latif, Yudi dan Ibrahim, Idi Subandi. 1996. Bahasa dan Kekuasaan. Bandung: Mizan, hlm. 310–317. Schimmel, Annemarie. 2007. Bahasa Simbolik Maulana Jalaluddin Rumi. Dalam Horison, XII, 2007, hlm. 21–29.
ARUNG DIRI Kitab Puisi
241
Stewart, Frank. 2003. Nilai-Nilai Puitika Indigienous bagi Dunia Puitika Kontemporer. Dalam Kolong Budaya, No. 02 Th. 2003, hlm. 21–30. Suryomentaram, Ki Ageng. 1985. Ajaran-Ajaran Ki Ageng Suryomentaram 1. Jakarta: Yayasan Idayu. Teeuw, A. 1983. Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi. Dalam Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia, hlm. 37–58. Verhaar, John W.M. 1989. Identitas Manusia Menurut Psikologi dan Psikiatri Abad ke20. Yogyakarta: Kanisius. Wahid, Abdurrahman. 2001. Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia. Dalam Menggerakkan Tradisi. Yogyakarta: LKIS, hlm 45–50.
*Sudibyo, S.Pd adalah eseis dan kritikus sastra Indonesia. Ia menjadi guru bahasa Indonesia di SMA Negeri 10 Malang. Di samping itu, ia juga mengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Sosial dan Humaniora IKIP Budi Utomo Malang. Beberapa kali ia memenangi lomba menulis esei sastra yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
242
ARUNG DIRI Kitab Puisi
UCAPAN TERIMA KASIH Manusia itu makhluk bermain, homo ludens. Begitu kata Huizinga. Bermain apa saja – bisa olah raga, olah jiwa, dan olah bahasa. Selain berlagak senang olah raga dan olah jiwa, saya berlagak senang olah bahasa. Saya pun belajar bermain bahasa, bermain makna. Ketangkasan bermain bahasa dan kepiawaian bermain makna adalah bekal utama perajin kata-kata. Karyakarya yang tersaji dalam himpunan Arung Diri di sini cermin terang bahwa saya sedang belajar bermain bahasa, bermain makna. Juga merupakan hasil belajar bermain bahasa, bermain makna sekian lama. Kesederhanaan permainan bahasa dan makna menandakan saya betul-betul perajin kata-kata yang masih pemula. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah semata, karya-karya ini dapat disatukan dalam himpunan Arung Diri: Kitab Puisi dan dapat terbit. Arung Diri yang berisi karya-karya permainan bahasa dan makna ini dapat terbit dengan tersangka utama Tengsoe Tjahjono, Sudibyo, dan Misbahul Amri. Bagi saya, ketiganya provokator ulung yang suka melempar bara dalam kegiatan tulis-menulis dan kegiatan bersastra. Ketiganya suka memanasmanasi saya untuk menerbitkan karya pada saat bertemu. Redi, Indra, dan Pangat juga suka menambah panas suasana kreatif. Terima kasih yang tulus layak dilayangkan kepada mereka. Terima kasih juga kepada teman-teman yang seteman ngobrol tiada juntrung: Mas Jaswanto, Mas Nono, Mas Yeni, Mas Imam, Black Asuranci, Anang Musik, Malik Mojokerto, dan lain-lain. Tentu saja terima kasih layak saya layangkan kepada keluarga: Yani, Nanda, Wibi, Ayu, dan Lala. Ayah saya tentu harus disebut di sini karena beliau memberi teladan tulis-menulis. Juga kedua mertua yang telah membiarkan saya menggantang asap angan, yang kemudian saya raih dan tuliskan menjadi
243
ARUNG DIRI Kitab Puisi
243
permainan bahasa. Terima kasih juga kepada Giryadi yang telah membuat desain sampul dan Ali Oncom yang menyumbang ilustrasi dalam. Terima kasih juga selalu saya sampaikan kepada Indro Basuki yang selalu bersedia dan tangkas menyiapkan tulisan-tulisan saya. Terakhir, apresiasi dan terima kasih saya layangkan kepada Taman Budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur yang sudi mencetak dan menggandakan karya ini serta ikut menyebarluaskannya di lingkungan pemerintah dan para pencinta seni budaya. Semoga karya-karya yang tersaji di sini ada gunanya. Amin 3x ya Rabb.
Malang, hujan bulan Desember 2013
Djoko Saryono
244
ARUNG DIRI Kitab Puisi
TENTANG PERAJIN KATA Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd nama beserta gelar akademisnya. Lahir di kota Madiun, besar dan mukim di kota Malang hingga sekarang. Tamat dari SDN Gading Kasri tahun 1976; dari SMPN I Malang tahun 1978; dan dari SMA PPSP IKIP Malang tahun 1981. Kemudian masuk Departeman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKSS IKIP Malang (sekarang Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, UM), lulus tahun 1986. Setelah itu, dengan beasiswa dari Tim Manajemen Program Doktor, dia langsung masuk Fakultas Pascasarjana IKIP Malang, lulus magister pendidikan bahasa tahun 1991 dan lulus doktor pendidikan bahasa tahun 1998. Semenjak tahun 1986 menjadi dosen di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM) dan sejak tahun 1998 menjadi dosen di Program Pascasarjana UM. Selain itu, dia pernah aktif mengajar di IKIP Budi Utomo Malang, FKIP Universitas Muhammadiyah Malang, dan Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Dia juga mengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Dia juga menjadi penguji tamu ujian disertasi di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra PPs Universitas Negeri Surabaya. Sesekali dia memberikan ceramah di berbagai kampus perguruan tinggi. Semenjak tahun 2003 dia mendapat amanah menjadi Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia (program magister dan doktor) Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Pada tahun 2010 dia mendapat amanah menjadi Ketua Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa V. Di samping itu, dia pernah menjadi konsultan pendidikan dan konsultan monitoring dan evaluasi pada Provincial Project Implementation Unit dan Central Project Coordination Unit, Junior Secondary Education Project World Bank Loan IBRD 4042, 4062, dan 4095, Direktorat PLP Ditjen Dikdasmen Depdiknas. Masih berkenaan dengan dunia pendidikan, dia juga menjadi Ketua Komisi Pelayanan dan Konsultasi Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur, anggota Dewan Sekolah SDN Gading Kasri Malang, SMPN 4 Malang, dan SMAN 8 Malang. Sementara itu, pergaulannya di kalangan kesenian pernah mendamparkannya menjadi Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Sastra
245
ARUNG DIRI Kitab Puisi
245
Dewan Kesenian Malang. Pernah juga menjadi Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komda Malang Raya pada tahun 1990-an. Jauh sebelumnya, semasa menjadi siswa dan mahasiswa pada akhir 1970-an dan sepanjang dekade 1980-an, dia pernah ikut mendirikan dan menjadi ketua organisasi pecinta alam GAPEMA SMA PPSP IKIP Malang; menjadi wakil ketua sekaligus pembina Mapala Jonggring Salaka IKIP Malang; dan pengurus perhimpunan pendaki kota Malang Mahameru. Masih pada dekade 1980-an dia pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Penulis dan redaksi koran kampus Komunikasi IKIP Malang. Djoko Saryono pernah memiliki hobi menulis. Dulu artikel-artikelnya dimuat di koran dan majalah seperti Republika, Pena Pendidikan, dan Gentengkali. Beberapa penelitian bahasa dan sastra serta pembelajaran pernah dikerjakannya kendati sebagian besar belum diterbitkan. Beberapa buku ringkas-ringan yang ditulisnya sudah diterbitkan oleh berbagai penerbit lokal. Arung Diri: Kitab Puisi ini merupakan buku pertamanya yang bukan karya ilmiah. Cita-citanya ke depan bisa menulis lagi buku yang bukan karya ilmiah.
246
ARUNG DIRI Kitab Puisi