PEMBINAAN SEKTOR INFORMAL DALAM PERPESKTIP WAWASAN NUSANTARA
Oleh: Drs. H. Suraji, M.Si. Dosen Kopertis Wil. VI dpk STIA ASMI Solo ABSTRAKSI Sektor informal adalah kegiatan perekonomian yang hiterogen yang terdiri dari beberapa bentuk kegiatan bersekala kecil dengan modal terbatas yang biasanya diusahakan dengan sejumlah tenaga kerja yang berpendidikan formal rendah, mereka melakukan kegiatan produksi, perdagangan, dan jasa dengan ketrampilan yang diperoleh dari proses magang serta umumnya tidak memperoleh perlindungan hukum. Dibutuhkan undang-undang secara nasional yang mengatur para pengusaha sector informal sebagai upaya memformalkan mereka dalam konstalasi nasional secara luas. Program pembinaan manajemen juga diperlukan kepada sector informal melalui lembaga terkait, serta perlu koperasi, perbankan dan para pengusaha bersekala besar dalam posisi sebagai bapak asuh sehingga mereka dapat belajar secara langsung untuk mengembangkan usahanya. Wawasan nusantara adalah perwujudan satu kesatuan social budaya dan satu kesatuan ekonomi. Satu kesatuan social budaya daya dalam arti bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus merupakan kehidupan yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata dan seimbang serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan kemajuan bangsa. Satu kesatuan ekonomi dalam arti bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa Indonesia, keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air. Secara terpadu dalam perspektip Wawasan Nusantara pembinaan sector informal dirasa sangat mendesak sebagai bagian dari upaya mencapai tujuan dan kepentingan nasional bangsa Indonesia.
A. PENDAHULUAN Pembangunan yang mengutamakan kota selama ini telah melahirkan ketimpangan desa - kota sehingga terjadi imigrasi penduduk dari desa ke kota. Ketimpangan tersebut terjadi sebagai akibat pemusatan pembangunan berbagai fasilitas berupa jalan raya, perumahan, fasilitas perdagangan, bank serta fasilitas pendidikan dan pemerintahan di kota sehingga kota lebih cepat berkembang menjadi pusat. (Manning, 1991). Pada sisi yang lain desa tidak mendapat perhatian seperti halnya di kota, akibatnya pengutamaan kota ini cukup rumit, antara lain menyebabkan ketimpangan perolehan kesempatan menikmati berbagai fasilitas yang disbutkan di atas, sebagai akibatnya penduduk desa berbondong-bondong datang ke kota dengan harapan akan dapat menikmati fasilitas tersebut sekaligus memperoleh penghasilan yang lebih besar. Secara lebih ringkas dapat dikatakan imigrasi dari desa ke kota terjadi antara lain karena disebabkan oleh kemiskinan desa dan harapan akan mendapatkan penghasilan lebih tinggi di kota. Para imigran yang berasal dari desa ini, pada kenyataannya tidak mampu memasuki lapangan pekerjaan formal di kota karena tidak dapat memenuhi berbagai persyaratan yang ada. Mereka pada umumnya mempunyai pendidikan formal yang rendah, miskin ketrampilan, karena terisolasi di dalam suasana desa, dan tidak dipersiapkan untuk memasuki pasaran kerja di kotakota. (Hidayat, 2007). Sementara itu lapangan kerja pada sektor formal sendiri sangat terbatas dikarenakan oleh ketidak seimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk pada umumnya, khususnya pertumbuhan
angkatan kerja yang amat cepat. Untuk mempertahankan hidupnya para imigran berusaha sendiri membuka lapangan pekerjaan dengan cara mereka sesuai modal, ketrampilan, dan kesempatan yang dimiliki dan kemudian dikenal dengan istilah sektor informal (Soto, 2001). Dari keseluruhan tawaran tenaga kerja yang ada sektor informal menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, karena kesempatan pada sektor formal sangat terbatas seperti yang saya sebutkan di atas.
B. KARAKTERISTIK SEKTOR INFORMAL Kesepakatan tentang definisi konsep sektor informal di kalangan para ahli belum tercapai hingga sekarang dan sebagai akibatnya maka karakteristik struktur sektor ini hanya bersifat tentatip. Sebab-sebab belum adanya kesepakatan tersebut antara lain dikarenakan oleh kecenderungan masingmasing dari para ahli yang mengamati sektor informal menyorotinya dari sudut pandang yang berbeda-beda. Demikian pula latar belakang sosial budaya tempat terjadinya kegiatan sektor informal berbeda sehingga sulit untuk memperoleh gambaran yang umum di dalam mengembangkan konsepkonsep sektor ini. Kenyataan lain yang juga menyebabkan belum adanya kesepakatan tersebut oleh karena sangat terbatasnya pengetahuan tentang fenomena yang ilusip ini, bahkan terkadang absen dari laporan pemerintah, meskipun sektor ini merupakan aspek sentral perekonomian dan dinamika sosial negara sedang berkembang (Portes, Alejandro, 2009).
Geertz mengidentifikasikan sistem perekonomian secara dualistis dengan memakai istilah the Bazaar Economy dan Firm Economy (Roberts, 2008). Dalam kontek pemikiran Geertz seluruh sektor produksi dan jual beli yang berskala kecil termasuk The Bazaar Economy. Dengan berlandaskan arus barang dan jasa, mekanisme yang mengatur arus barang dan jasa serta peran sosio-kultural dari sistem pasar, ia merumuskan bahwa barang yang mengalir dalam sistem bazaar pada umumnya produk-produk kecil yang mudah disimpan, mudah dipindahkan melalui saluran panjang di pasar sehingga berputar melewati sejumlah orang sebelum sampai di tangan konsumen. Mekanisme yang mengaturnya berupa sistem harga yang dengan tawar menawar dan hubungan perkreditan yang komplek yang di atur dengan hatihati, adanya pembagian resiko yang luas di antara mereka yang terlibat di dalamnya, serta perolehan keuntungan yang tipis di antara mereka. Oleh karena mekanisme ini bersifat memecah belah kegiatan perekonomian, ke dalam unit-unit yang lebih kecil, maka sistem bazaar ini melibatkan banyak tenaga kerja. Dengan demikian daya serap tenaga krja pada jenis kegiatan ini cenderung bertambah dan dapat berfungsi sebagai katup pengaman perekonomian. Sistem bazaar di dalam pandangan Goldscheider (2009), peran sosiokultural karena dalam sistem ini pasar beroperasi secara inpersonal, bahkan orang-orang dalam satu keluarga, ayah, ibu dan anak-anak akan bersaing secara gigih meskipun ada hubungan partikularistik.
Hoover Kenneth (2000) merupakan orang yang pertama
kali
memperkenalkan konsep sektor informal, melalui penelitiannya di Ghana. Ia memakai istilah ini untuk menjelaskan para pekerja di perkotaan di luar sektor upah (Forbes, 2006). Variabel kunci dalam penelitian Hart terletak pada tingkat rasionalitas, pekerjaan, yakni pengaturan pekerjaan atas dasar ada dan tidak
adanya
gaji
tetap
yang
permanent.
Atas
dasar
itu
Hart
mengklasifikasikan dan mengidentifikasi perekonomian secara dualistis sebagai sektor modern yang produktif dan sektor tradisional yang produktivitasnya rendah. Dalam penelitian tersebut Hoover menjumpai kesempatan memperoleh penghasilan secara formal dan informal. Kesempatan formal berupa gaji dari negara, sektor swasta, tunjangan pensiun dan tunjangan pensiun dan tunjangan pengangguran. Sedangkan kesempatan memperoleh tunjangan informal adalah kesempatan yang sah dan tidak sah. Kesempatan informal yang satu adalah berupa kegiatan yang berada pada bidang pertanian, perkebunan yang berorientasi pasar. Kontrak pembangunan dan berupa kegiatan yang berhubungan dengannya, melakukan usaha sendiri berupa produksi sepatu, penjahit, pengusaha bird an toko, usaha tersier dalam skala yang lebih besar berupa perumahan, transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, kegiatan berupa sewa menyewa, distribusi kecil-kecilan berupa perdagangan kelontong, pengusaha kaki lima, pengusaha makanan jadi, jadi pelayanan bank, jasa lain berupa pengamen, pengusaha binatu, juru potret, tukang cukur, transaksi pribadi, jasa lain berupa pengusaha, penyemir sepatu, tukang cukur,
pengangkut sampah, juru potret, pekerja reparasi, makelar. Transaksi pribadi berupa pengemis, pinjam meminjam, arus uang serta barang pmberian. Kesempatan informal yang tidak sah berupa pencurian, perampokan, perjudian, pelacuran, perdagangan gelap, lintah darat, pegadaian tidak resmi, perdagangan obat bius, suap menyuap, berbagai macam korupsi politik, perlindungan kejahatan, juga termasuk pencurian kecil, pemalsuan uang dan sejenisnya (Manning dan Effendi, 2010). Salah satu upaya untuk mendapat pemahaman yang lebih baik tentang pengertian sektor informal dapat diperoleh dari konsep trialisasi pemahaman karakteristik
sektor
informal
secara
linier,
kemudian
menggunakan
kebalikannya sebagai karakteristik sektor informal. Karakteristik utama dari sektor formal menunjuk pada usaha formal dan pekerjaan upahan yang secara permanen berusaha pada sektor industri, kantor pun dan usaha-usaha lain yang sudah mapan, implikasi dari karakteristik ini adalah bahwa sektor formal : 1. Struktur ketenagakerjaan telah terorganisasi dengan baik. 2. Usaha-usaha tersebut terdaftar secara resmi. 3. Para pekerja mendapat perlindungan hukum secara memadai (Breman, 2000). Di hadapan semua itulah sektor informal digambarkan dan difahami oleh kebanyakan peneliti sehingga semua sektor kegiatan ekonomi yang memiliki kebalikan dari semua karakteristik. Pendekatan semacam ini tidak banyak manfaatnya sebab di dalam kenyataan nuansa-nuansa yang tercakup di dalam sektor informal sangat
komplek dan karenanya tidak dapat cara penjelasannya secara kebalikan linier dan karakteristik sektor formal saja. Dalam efisiensi dan produktivitas misalnya, sektor formal dianalisa diidentikan dengan usaha yang efektif, efisien dan produktif sedangkan sektor informal kebalikannya. Asumsi seperti ini dapat menyesatkan karena akan memberikan gambaran yang sangat keliru tentang sektor informal yang sebenarnya. Telaah International Labour Organization (ILO) tentang sektor informal membuktikan bahwa bagian terbesar dari lapangan kerja pada sektor informal secara marginal jauh lebih produktif, efisien secara ekonomi dan menguntungkan, meskipun ukurannya kecil dan terbatas pada teknologi yang sederhana, modal yang relative kecil dan kurang mempunyai kaitan dengan usaha pada sektor formal lainnya (Grabb, Gugler 2004). Demikian pula pada status sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan pendapatan, hampir sulit dibedakan antara pekerja upahan (buruh). Pada sektor formal (industri) dengan tukang kayu, pengusaha home industri, pemilik warung, kios yang tergolong informal, serta mobilitas di antara mereka pun hampir tidak banyak perbedaannya (Manning, 2004). Dalam banyak penelitian ditemukan bahwa sektor informal bukanlah seperangkan kegiatan kaum papa untuk mempertahankan hidupnya. Studi di negara Industri dan negara berkembang menemukan adanya dinamika ekonomi kea rah aktivitas peningkatan pendapatan di luar ketentuan hukum dan tingkat pendapatan dari para wiraswastawan informal sering lebih tinggi daripada mereka bekerja pada perekonomian sektor formal (Lee, Everett,
1992). Portes secara tegas mengatakan bahwa sektor informal bukanlah eufemisme untuk kemiskinan melainkan hubungan produksi specifik, sementara kemiskinan merupakan atribut yang melekat pada proses distribusi (Portes, 2009). Telaah lain yang cukup penting untuk memahami pengertian dan karakteristik sektor informal adalah dikemukakan oleh Breman dan Hidayat. Berdasarkan penelitiannya di India, Breman menemukan ciri-ciri sektor informal sebagai berikut: 1. Modal pada umumnya kecil. 2. Tingkat produktivitasnya rendah. 3. Skala usaha kecil. 4. Tingkat pendidikan pelakunya rendah. 5. Menggunakan teknologi sederhana. 6. Sistem kepemilikan bersifat tunggal dan menggunakan tenaga kerja dari lingkungan keluarga. 7. Mudah masuk keluar pasar. 8. Kurang mendapat dukungan/penerimaan dari pemerintah. Hidayat (2007) memutuskan 3 (tiga) definisi kerja tentang sektor informal sebagai berikut : 1. Sektor informal adalah sektor yang tidak menerima proteksi pemerintah. 2. Sektor ini belum dapat menggunakan bantuan meskipun telah pemerintah menyediakannya, karena tidak mampu.
3. Sektor yang telah menerima bantuan, tetapi belum sanggup membawa sektor ini mandiri (tetap gurem). Walaupun definisi kerja ketiga mempunyai implikasi atau harapan ingin menjadikan sektor informal yang sudah tentu akan bertentangan dengan dinamika internal sektor informal sendiri, tetapi kriteria yang dipakai cukup baik dalam arti bukan pada formalitas ada atau tidaknya bantuan yang diberikan
pemerintah,
melainkan
fokusnya
berfungsi
pada
kriteria
accessibility bagi sektor informal terhadap penggunaan yang telah disediakan pemerintah. Senada dengan Hidayat, beberapa ahli lain seperti Mazumbar, Sethurman, Soto juga berpendapat bahwa sektor informal dikebanyakan negara sedang berkembang pada umumnya tidak mendapat proteksi pemerintah. Usaha mereka dijalankan menurut kemampuan skill dan modal yang dimilikinya, kemampuan dan skill tidak diperoleh melalui proses pendidikan formal, melainkan melalui belajar sambil bekerja, serta modal usaha diperoleh dari usaha sendiri atau pinjaman dari luar lembaga keuangan resmi (Romli, 2000). Dengan demikian baik tenaga kerja yang terlibat maupun modal yang dioperasikan umumnya tak mendapat perlindungan hukum atau perlindungan pemerintah. Sektor informal oleh sebagian peneliti dikaitkan dengan pekerja sendiri yakni bidang-bidang pekerjaan berskala kecil di perkotaan yang para pelakunya tidak memperkerjakan diri mereka pada orang lain. Karena sifatnya yang demikian itulah maka sering sektor informal dipandang sebagai sektor
yang mandiri (self employment). Namun demikian penelitian lain melihat sektor ini tidak mandiri, dengan alasan tidak dapat melepaskan diri dari sektor formal dalam produksi barang dan distribusi barang dan jasa (Breman, 1990). Sektor informal tidak dapat mandiri karena adanya ketimpangan struktural dimana keluwesan, kelangsungan hidup dan teknologi adaptif dari kegiatan-kegiatan sektor informal yang produktif dihalangi oleh keadaan pasar yang jauh lebih menguntungkan sektor perekonomian formal. Dari segi pelakunya sikap ketergantungan sektor informal pada sektor formal disebabkan oleh beberapa hal. Adanya kecenderungan kaum miskin di perkotaan untuk mendapat ketentraman dengan masuk ke dalam hubunganhubungan ketergantungan dengan kelompok yang berkedudukan lebih tinggi tersebut biasanya diciptakan dan dipertahankan melalui model ikatan yang pada umumnya lebih menguntungkan sektor formal. Karakteristik yang diberikan oleh beberapa peneliti tersebut di atas membuktikan gambaran tentang sektor informal sebagai sektor kegiatan perekonomian yang heterogin yang terdiri dari beberapa bentuk kegiatan yang berskala kecil dengan modal yang terbatas yang biasanya diusahakan tenaga kerja yang terlibat di dalamnya umumnya berpendidikan formal rendah dan mereka melakukan kegiatan poduksi, perdagangan barang dan jasa dengan ketrampilan yang diperoleh dari proses magang serta umumnya tidak memperoleh perlindungan hukum.
C. KEBIJAKSANAAN
PEMERINTAH
TERHADAP
SEKTOR
INFORMAL 1. Kebijaksanaan Penataan Tempat Hampir seluruh kegiatan sektor informal di kota diatur dengan berbagai peraturan yang jumlahnya tidak kurang dari 30 aturan, dimulai dari peraturan tingkat pusat sampai pada peraturan tingkat daerah. Peraturan pemerintah tingkat pusat yang tertua yang selalu dijadikan dasar dalam konsideran keputusan dan peraturan lainnya di daerah-daerah adalah Hinder Ordonantie (H.O) 1926 tentang gangguan, yang dimuat dalam staablat nomor 1926 tahun 1926. Kemudian untuk pemungutan retribusi, biasanya yang dijadikan sebagai salah satu konsideran utama dalam setiap peraturan tentang sektor informal di kota di daerah adalah undang-undang darurat nomor 12 tahun 1957 tentang pengaturan umum distribusi. Dalam hal pemanfaatan tempat kegiatan sektor informal, pada bagian konsideran selalu ditempatkan alasan ketertiban, keamanan, kelancaran atau pembinaan. Bahkan dalam keputusan untuk daerah ditetapkan dengan melaksanakan Peraturan Daerah nomor 126 tahun 1983 yang dirumuskan sebagai berikut : “ Pada umumnya pedagang kaki lima adalah golongan ekonomi lemah yang perlu dibina lebih lanjut oleh pemerintah “ Rumusan yang senada dengan ini juga terdapat dalam berbagai peraturan lainnya yang menyangkut sektor informal yang pada dasarnya memandang sektor ini
sebagai obyek yang perlu dibina, dan bahkan sebagai subyek dalam perekonomian perkotaan. Alasan lain yang selalu disebutkan di dalam konsideran setiap peraturan tentang sektor informal, termasuk di dalamnya kegiatan di pasar, terminal, parkir, serta kegiatan kaki lima adalah keindahan kota, dan pemerataan kesempatan berusaha. Namun demikian peraturan-peraturan tentang penataan tempat tersebut tidak banyak membantu pelaku kegiatan sektor informal, sebab tidak lebih menguntungkan jika peraturan tersebut dibuat. Hal lain yang sangat menarik adalah adanya pasal-pasal dalam peraturan tersebut, baik peraturan daerah No. 10 tahun 1991, Peraturan Daerah No. 8 tahun 1992 dan pada Perda No. 12 tahun 1993 menyebutkan bahwa penunjukan tempat usaha, tempat atau lokasi perpakiran, serta tata cara dan prosedur perijinan dan pengaturan tempat ini lebih banyak diputuskan oleh Bupati/Wali kota sebagai penguasa tunggal di daerah tingkat II atau di kotamadya. Cara pengaturan semacam ini merupakan bentuk lain dari perlakuan yang formal sifatnya dan memberikan kesan seolah-olah semua sektor adalah sebagai sektor formal dan hampir tidak ada sektor informal dalam pengertian konsep sektor informal yang dikenal selama ini, yakni tidak ada campur tangan pemerintah atau berada di luar hukum. 2. Perijinan Kegiatan Sektor Informal
Seperti halnya dengan penataan tempat kegiatan, perijinan untuk melakukan kegiatan apapun termasuk kegiatan sektor informal sepenuhnya berada di tangan Bupati, sebagai penguasa tunggal di daerah atau wali kota sebagai penguasa di daerah kotamadya masing-masing, dengan cara mengajukan permohonan tertulis kepada Bupati atau Walikota di daerahnya masing-masing dan melalui prosedur yang cukup panjang, dengan relasi khusus seperti hubungan keluarga atau persahabatan tetangga dengan pejabat yang bertugas memproses perijinan akan sangat membantu mempercepat jangka waktu pemrosesan. Jika hubungan khusus tidak ada maka mereka pada umumnya menciptakan hubungan tersendiri dengan cara memberikan uang pelicin atau uang lelah kepada petugas yang menangani kepentingan mereka. Pada pelaku kegiatan sektor informal yang beroperasi di pasar dan sekitarnya diatur secara khusus dengan Peraturan Daerah masing-masing, yang mana penunjukan lokasi pasar dan pemakaian tempat diatur oleh Bupati/Walikota. Adapun alasannya seperti yang telah diutarakan di atas yaitu untuk menjaga ketertiban, keamanan, kelancaran serta untuk membina para pedagang. Alasan-alasan seperti itu mengandung asumsi bahwa pelaku kegiatan sektor informal menyebabkan ketidakindahan, kemacetan, ketidaktertiban dan semua bentuk negatif lainnya, meskipun tidak selamanya benar karena keindahan, ketertiban dan kelancaran tergantung juga pada faktor lain seperti perencanaan tata kota secara menyeluruh dan terpadu dan sektor geografis.
Dalam Peraturan Daerah tersebut di atas diatur tentang Surat Ijin Tempat Usaha (SITU) dan Surat Keterangan Tidak Memerlukan Surat Ijin Tempat Usaha (SKTM SITU). Prosedur pengurusan kedua jenis surat tersebut tidak mudah karena masih ada berbagai persyaratan informal yang harus dipenuhi, seperti : Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Keterangan Berkelakuan Baik dari Kepolisian. Bukti lain yang menunjukkan bahwa pengaturan kegiatan sektor informal dinamakan dengan sektor formal adalah adanya peraturan daerah, yang sebagian menggalangkan sebagian sektor
informal
bersama-sama
dengan
sektor
formal
dengan
mengkategorikan sebagian usaha golongan III dan golongan IV. Golongan III ini meliputi kelompok perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha perdagangan kecil eceran, warung/kedai, Home industri, tukang gigi/emas/sepatu, penjahit, koperasi, industri kecil dan bidang usaha lain yang menurut ruang lingkup usahanya dapat digolongkan sebagai usaha golongan III. Sedangkan golongan IV ini meliputi : Perusahaan lain seperti kios dan pedagang kaki lima. Dalam
peraturan
Daerah
juga
terdapat
peraturan
tentang
pembinaan pedagang kaki lima dengan kategori sebagai berikut : a. Mereka yang menjajakan barangnya dengan memakai tenda/stand tidak menetap. b. Mereka yang menjajagan barang dagangannya dengan menggunakan kotak tidak tetap.
c. Mereka
yang memikul
barang dagangannya
dengan maksud
dijualbelikan baik dalam satu lingkungan atau berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. d. Mereka yang menjajakan barang dagangannya dengan memakai gerobak dorong. e. Mereka yang menjual barang dagangannya dengan cara gelaran. Untuk dapat melakukan kegiatan tersebut mereka diharuskan untuk mempunyai NPWPP (Nomer Pokok Wajib Pajak Daerah), dan diharuskan mengajukan ijin kepada Bupati Kepala Daerah setempat secara tertulis. Kesulitan yang pada umumnya dialami oleh para penjual keliling yang berpendidikan rendah, tidak dapat memenuhi persyaratan dan prosedur tersebut di atas, yang pada umumnya karena sebagian besar mereka tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut maka kebanyakan mereka mengambil jalan pintas dengan memberikan uang pelicin kepada petugas, bahkan sebagian besar mereka melakukan kegiatan berdagang atau berusaha tanpa menyelesaikan persyaratan-persyaratan tersebut, sebagai akibatnya maka peraturan tersebut menjadi tidak fungsional, dan perijinan untuk melakukan kegiatan lebih ditentukan oleh hubungan baik di antara pelaku kegiatan dan petugas lapangan. 3. Pungutan dan Retribusi Hampir setiap kegiatan perekonomian yang berskala kecil, menengah dan besar yang dilakukan dalam wilayah kota diatur dengan berbagai peraturan termasuk, peraturan mengenai pungutan dan retribusi.
Pungutan untuk kegiatan sektor informal dilakukan oleh juru pungut yang merupakan tenaga harian lepas, bahwa pungutan yang dilakukan oleh juru pungut tersebut harus diserahkan kepada bendahara BP3T pada setiap hari ke kantor kas daerah pada akhir minggu. Untuk kegiatan perekonomian di dalam pasar dan terminal dengan surat keputusan Bupati, dengan sistem pengupahan seperti yang tersebut di atas. Tugas utama mereka adalah mengintensipkan
pemungutan
retribusi,
serta
menjaga
ketertiban,
keamanan, dan kebersihan di lingkungan kerjanya. D. BEBERAPA KAJIAN TENTANG SEKTOR INFORMAL DI MASA DATANG DALAM PERSPEKTIF WAWASAN NUSANTARA Dalam upaya mendukung perwujudan doktrin Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional,
sekaligus
juga
menanggapi
perkembangan-
perkembangan lingkungan strategi (nasional, regional dan global) dan antisipasi kebutuhan masa depan maka focus kegiatan pada pengembangan sektor informal untuk mendukung ekonomi nasional, pada sektor informal perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Usia pedagang eceran Persoalan usia menjadi faktor yang cukup penting dalam membahas keberadaan pedagang eceran skala kecil di Jakarta. Faktor usia akan menunjukkan sejauh mana peran dari usia produktif dan usia non poduktif
yang berinteraksi dalam usaha itu. Dari eksplorasi data
ditemukan bahwa masing-masing komoditi baik industri dan pertanian usia produktif yang menjadi tulang punggung adalah usia 31 sampai 50
tahun. Mayoritas pedagang eceran industri sebesar 35,5% pada usia 31-40 tahun hanya 4,5%. Berbeda dengan komoditi industri, tulang punggung untuk komoditi pertanian adalah pedagang eceran yang berusia 41-50 tahun sebesar 44%. Sebagai penopang adalah pedagang eceran usia 21-30 tahun dan 41-50 tahun yakni masing-masing sebesar 18,8% dan 27,2%. Fenomena di atas menunjukkan bahwa variabel usia berpengaruh terhadap peluang memasuki usaha perdagangan eceran tiap-tiap komoditi baik industri maupun pertanian. Argumentasi yang bisa diketengahkan di sini adalah adanya faktor modal, untuk memasuki perdagangan eceran komoditi industri secara relatif dibutuhkan modal lebih besar dari pada sektor pertanian. 2. Pendidikan pedagang eceran Kenyataan seperti itu juga sangat berkaitan erat dengan tingkat pendidikan pedagang eceran. Untuk komoditi industri para pedagang 43,6% sudah tamat SLTA umum, 27% sudah tamat SMP umum dan 18,1% telah tamat SD. Hal ini sangat berbeda dengan pedagang eceran pada komoditi pertanian dengan tingkat pendidikan tamat SD mencapai 42,8%, SLTP umum mencapai 22,8% dan SLTA umum hanya 13,2%. Pedagang eceran yang mencapai tingkat universitas untuk komoditi industri mencapai 1,8% sedangkan untuk komoditi pertanian hanya 0,4%. Bahkan untuk tingkat pendidikan akademi komoditi pertanian tidak ada (0%), sedangkan untuk industri 0,9%. Kondisi seperti ini membuktikan
bahwa semakin tinggi pendidikan pedagang eceran lebih tertarik untuk berkiprah dalam komoditi industri. Tingkat pendidikan juga menunjukkan peluang orang untuk memperoleh modal lebih mudah. Hal berkaitan dengan performance dan penguasaan informasi menembus lembaga-lembaga keuangan serta keberanian meyakinkan para pemilik modal. Hal ini semakin menunjukkan bahwa intelektual berpengaruh terhadap pilihan komoditi. 3. Kepemilikan tempat Selain modal usaha yang penting dalam melihat sosok pedagang eceran skala kecil (tidak berbadan hukum) adalah mengenai tempat usaha. Tempat usaha akan menunjukkan tingkat keseriusan dan permanennya usaha. Hal ini penting karena bagi usaha tidak berbadan hukum, faktor tempat yang permanen sangat berpengaruh terhadap kinerja dan kesinambungan usaha. Dari eksplorasi data ditemukan bahwa untuk pedagang eceran komoditi industri yang memiliki tempat tetap sebesar 88,1% dan untuk komoditi pertanian 63,6%. Hal ini menunjukkan bahwa pedagang eceran untuk komoditi industri lebih serius dari berfikir tentang kesinambungan bahwa usaha. Pengamatan yang lebih tajam melihat bahwa dari yang memiliki tempat justru pedagang eceran komoditi pertanian mencapai 61% sedangkan untuk industri hanya 14,4%. Pedagang eceran komoditi industri lebih suka mengontrak (mencapai 35%) dan untuk komoditi pertanian
hanya 28,8%. Sedangkan model kepemilikan lain-lain untuk komoditi dan pertanian masing-masing adalah 20,6% dan 10,7%. 4. Perkembangan usaha pedagang eceran Masih berkaitan dengan kesinambungan usaha, dari hasil penelitian LP3ES mencatat bahwa semua responden telah tumbuh lebih dari 3 tahun. Bagi pedagang eceran komoditi pertanian sebesar 64%. Dalam usaha mendeteksi pertumbuhan usaha 52,7% pedagang eceran-eceran komoditi industri menyatakan lebih dari pada tiga tahun yang lalu. Sedangkan yang menyatakan sama saja sebesar 40,9%, dan yang menyatakan lebih buruk hanya 6,3%. Kondisi seperti itu juga sama dihadapi oleh pedagang eceran komoditi pertanian yang menyatakan lebih baik 54,8%, yang menyatakan sama saja 38,8%, dan yang menyatakan lebih buruk hanya 14,5%. Sebaliknya hambatan pemasaran sangat dirasakan oleh pedagang eceran komoditi industri yakni sebesar 28,1%, dan untuk pedagang eceran komoditi pertanian hanya sebesar 12,4%. Untuk hambatan pengadaan barang dan kesulitan ketrampilan tidak terlalu besar dirasakan oleh pedagang eceran komoditi industri yakni sebesar 2,7% dan 1,7%. Bagi pedagang eceran komoditi pertanian hambatan pengadaan dan ketrampilan masing-masing sebesar 8,4%. Problematika manajerial sangat kurang dihadapi oleh para pedagang. Hal ini dimungkinkan karena memang secara manajemen personalia yang dikelola sangat sedikit. Pada pedagang eceran komoditi pertanian hampir 54% jumlah tenaga kerjanya hanya satu orang, atau
dikelola sendiri (one man Show). Sedangkan yang dikelola dua orang sebesar 29,2%, dikelola tiga orang 12%, dikelola lima orang hanya 2%. Berbeda yang dimiliki dengan pedagang eceran komoditi pertanian, komoditi industri yang memiliki hingga empat orang tenaga kerja rata-rata sebesar 20%, sedangkan dengan tenaga kerja lima orang dan lima orang lebih masing-masing sebesar 8,2% dan 6,3%. Hal ini menunjukkan bahwa pedagang eceran komoditi industri cenderung melibatkan lebih banyak tenaga kerja dibanding dengan pedagang eceran komoditi pertanian. Dalam tiap bulan sebagian besar pedagang eceran baik komoditi industri dan pertanian bekerja 21 sampai 30 hari. Untuk pedagang eceran industri sebesar 96,4% dan untuk pedagang eceran komoditi pertanian sebesar 95,6%. Sedangkan rata-rata jam kerja/hari, sampai 17-24 jam/hari sebesar 96,5% untuk pedagang eceran komoditi industri dan 95,6% untuk pedagang eceran komoditi pertanian, hal ini menjelaskan bahwa waktu hariannya untuk menekuni usahanya. 5. Estimasi Model keterikatan usaha Salah satu solusi untuk meningkatkan produktivitas sektor informal baik pada skala kecil ataupun pada pedagang sektor informal yang skala menengah perlu adanya keterkaitan usaha. Kemitraan antar pedagang sektor informal dengan para pengusaha yang didukung oleh pemerintah (Pemda setempat) dan lembaga perbankan dan koperasi adalah salah satu model yang bisa digunakan dalam keterkaitan usaha.
Keterkaitan usaha akan mengoptimalkan seluruh potensi yang ada. Tidak
saja
akan
mendukung
yang
lemah,
tetapi
akan
saling
menguntungkan semua pihak yang terlibat. Apabila digambarkan dalam diagram sektor informal dalam keterkaitan usaha akan terlihat sebagai berikut : Diagram Konsep Keterkaitan Usaha Dalam Pembinaan Sektor Informal Dalam Perspektip Wawasan Nusantara
E. KESIMPULAN 1. Sektor informal tidak saja hadir di kota-kota besar yang padat kegiatan industrinya akan tetapi juga kota-kota kecil yang tidak padat penduduknya
dan industrinya, yang pada umumnya dilakukan oleh para imigran dari kota-kota lain ataupun mereka yang datang dari daerah pedesaan. 2. Hampir seluruh kegiatan sektor informal ditekuni oleh para imigran yang berasal dari luar kota, baik mereka yang berasal dari satu wilayah propinsi yang sama ataupun dari propinsi lain atau dari pulau lain, sebab-sebab umum untuk berimigrasi di antara mereka pada dasarnya sama, yakni adanya desakan sosial di pedesaan atau tempat asal mereka di satu pihak dan dorongan atau daya tarik kota di lain pihak. 3. Untuk memasuki kegiatan sektor internal, sebagian besar imigran menggunakan jaringan sosial tradisional berupa jaringan keluarga, jaringan etnis dan persahabatan serta jaringan agama, sebab seperti halnya dengan sektor formal, sektor informal juga mempunyai sejumlah persyaratan tetentu sehingga tidak setiap orang dapat memasuki kegiatan sektor informal dengan mudah, karena dalam batas-batas tertentu kegiatan ini membutuhkan sejumlah persyaratan dan fasilitas yang hanya dapat dipenuhi apabila mereka mempergunakan jaringan sosial tradisional yang ada. 4. Meskipun kebanyakan para pelaku kegiatan sektor informal sering bekerja sama dalam melakukan kegiatannya, karena saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, terutama imigran yang daerah asalnya jauh, namun demikian mereka terlibat dalam proses persaingan dengan sesama temannya dalam merebut peluang peran dan bagi penawaran jasa dan komoditas mereka.
Persaingan tersebut bahkan ada yang berkembang menjadi konflik terbuka berupa pertengkaran mulut dan perkelahian fisik yang menyerupai perang, antara kelompok etnis sering pula menelan korban jiwa dan materi. Situasi kemajemukan kelompok etnis serta sikap yang kurang terbuka di antara masing-masing kelompok etnis merupakan sebab-sebab potensial yang dapat menjadi penyulut terjadinya konflik terbuka. Meskipun sebagian besar dari sejumlah konflik terbuka yang terjadi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini tidak dapat dikatakan konflik antar pelaku kegiatan sektor informal semata-mata, akan tetapi dengan melihat sebabsebabnya maka dapat dikatakan bahwa konflik tersebut sedikit banyak berlatar belakang ekonomi dan perbedaan etnis, oleh karena itu konflik itu dapat muncul dalam kegiatan sektor informal sebagai salah satu bentuk mekanisme perekonomian. Maka secara terpadu dalam perspektif Wawasan Nusantara pembinaan sektor informal dirasa sangat mendesak sebagai bagian dari upaya mencapai tujuan dan kepentingan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Breman, JC. 2000. THE INFORMAL SECTOR IN RESEARCH, Theory and Practice, Roterdam Forbes, Dean. K. 2006 GEOGRAFI KETERBELAKANGAN, LP3ES, Jakarta. Grabb, Edward. G, 2004 SOCIAL INECUALITY, Holt, Rinehart and Winston of Canada Goldscheider (ed), 2009, LABOUR ALLOCATION ANRURAL DEVELOPMENT MIGRATIONS IN FOUR JAVENESE FILLAGES, Westview Press, Inc. London. Hidayat, 2007, PERANAN, PROFIL DAN PROSPEK PEDAGANG ECERAN (Formal dan Informal ) Dalam Pembangunan, Prisma, bulan Juli. Hoover, Kennet, R, 2000, THE ELEMENTS OF SCIENTIFIC THINKING, St. Martin’s Press, New York. Manning, Chris and Tadjuddin Nur Effendi (ed), 2001. URBANISASI PENGANGGURAN DAN SEKTOR INFORMAL DI KOTA, Yayasan Obor, Indonesia. Mc. Gee, 2005, PEROMBAKAN STRUKTUR DAN KOTA DI DUNIA KETIGA, Suatu Teori Involusi Kota, dalam C. Manning dan TN. Effendi (ed) Urbanisasi Pengangguran dan Sektor Informal di kota, PT. Gramedia, Jakarta. Portes, Alejandro (dkk), 2009, THE INFORMAL ECONOMY, The John Hopkins University Press, London. Ramli
Rusli, 2000, PENCIPTAAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR INFORMAL PEDAGANG KAKI LIMA DI DKI JAKARTA (Disertasi, S3) Universitas Pajajaran, Bandung.
Robert, Bryan, 2008, CITIES OF PEASANTS; EXPLORATIONS in Urban Analysis, Edward Arnold, New York. Soto, Hernando, De, 2001, MASIH ADA JALAN LAIN, Revolusi Tersembunyi di Dunia ketiga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.