TESIS
PEMBERIAN INJEKSI TESTOSTERONE ENANTHATE DOSIS TINGGI (RAITORIO®) TIDAK MENURUNKAN KADAR ESTROGEN PADA TIKUS BETINA PUTIH (ALBINO RAT) DEWASA
ERNITA KUSUMA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
TESIS
PEMBERIAN INJEKSI TESTOSTERONE ENANTHATE DOSIS TINGGI (RAITORIO®) TIDAK MENURUNKAN KADAR ESTROGEN PADA TIKUS BETINA PUTIH (ALBINO RAT) DEWASA
ERNITA KUSUMA NIM 0790761016
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 1
2
PEMBERIAN INJEKSI TESTOSTERONE ENANTHATE DOSIS TINGGI (RAITORIO®) TIDAK MENURUNKAN KADAR ESTROGEN PADA TIKUS BETINA PUTIH (ALBINO RAT) DEWASA
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
ERNITA KUSUMA NIM 0790761016
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
3
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 18 Juli 2011
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, SpAnd, FAACS NIP. 194612131971071001
Prof. Dr. dr. A. A. Gede Budhiarta, SpPD-KEM NIP. 194412211972061001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And.,FAACS NIP. 194612131971071001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji pada
4
Tanggal 18 Juli 2011 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No.: 1125/UN 14.4/HK/2011, Tanggal 22 Juni 2011
Ketua
: Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS
Anggota : 1. Prof. Dr. dr. A. A. Gede Budhiarta, SpPD-KEMD 2. Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp. And 3. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK 4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D
5
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat-Nya penyusunan tesis yang berjudul Pemberian Injeksi Testosterone Enanthate Dosis Tinggi (Raitorio®) Tidak Menurunkan Kadar Estrogen Pada Tikus Betina Putih (Albino Rat) Dewasa dapat terselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Master. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, dukungan, serta bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, dengan ketulusan hati dan rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And, FAACS selaku Dosen Pembimbing I dan sebagai Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Kedokteran Anti Penuaan yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan serta semangat sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. A. A. Gede Budhiarta, SpPD-KEMD, selaku Dosen Pembimbing II yang banyak memberikan masukan dan bimbingan dengan bijaksana serta kesabaran dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis,
6
yaitu Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK, Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And, dan Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D, yang telah memberikan masukan, saran, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Drs. I Ketut Tunas, MSi, yang telah membantu dalam membimbing analisis statistik sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Kepada I Gede Wiranatha, S.Si, beserta seluruh staf di Animal Laboratory Unit, yang telah memberikan waktu untuk membantu, penulis ucapkan banyak terima kasih. Tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ayah (alm.), ibu, mertua, dan suami tercinta, yang dengan tulus memberikan doa dan dukungan, baik moral, material, maupun spiritual, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Terima kasih pula kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang dengan pengorbanan telah memberi kesempatan kepada penulis untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segenap kritik dan saran sangat penulis harapkan. Penulis berharap apa yang tertulis dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Denpasar, Juni 2011
Penulis
7
PEMBERIAN INJEKSI TESTOSTERONE ENANTHATE DOSIS TINGGI (RAITORIO®) TIDAK MENURUNKAN KADAR ESTROGEN PADA TIKUS BETINA PUTIH (ALBINO RAT) DEWASA Oleh Ernita Kusuma Program Studi Ilmu Biomedik ABSTRAK Proses aging akan menyebabkan terjadinya penurunan fisiologik tubuh dan peningkatan terjadinya penyakit. Banyak faktor penyebab proses penuaan yang dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal ialah berkurangnya hormon terutama pada wanita sesudah memasuki usia menopause, yang dapat menimbulkan berbagai macam keluhan yang sangat mengganggu. Dengan demikian pemberian terapi sulih hormon dapat membantu untuk mengurangi keluhankeluhan yang dialami. Dalam masyarakat saat ini banyak digunakan injeksi berbahan dasar Testosterone Enanthate (TE) untuk meningkatkan kekenyalan kulit dan libido. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi (Raitorio®) terhadap kadar estrogen. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan randomized pre-post test control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah tikus betina dewasa yang berumur 90 hari dengan berat 200 -250 gram. Sebanyak 36 ekor tikus diambil secara acak sebagai sampel dan dialokasikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol sebanyak 18 ekor diberikan plasebo (aquabidest) dan sisanya 18 ekor sebagai kelompok perlakuan dengan injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata kadar estradiol sebelum perlakuan pada kelompok kontrol adalah 65,39±153,97 dan rerata sesudah perlakuan adalah 86,04±255,35. Sedangkan rerata kadar estradiol sebelum perlakuan pada kelompok Testosterone Enanthate adalah 16,22±29,19 dan rerata sesudah perlakuan adalah 719,91±897,93. Dengan uji Wilcoxon Sign Rank Test didapatkan bahwa terjadi peningkatan kadar estradiol secara bermakna pada kelompok perlakuan (p<0,05). Selanjutnya analisis komparabilitas antar kelompok perlakuan diuji berdasarkan rerata kadar estradiol kedua kelompok. Analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa rerata kadar estradiol pada kedua kelompok sebelum perlakuan tidak berbeda (p > 0,05). Sedangkan kadar estradiol sesudah perlakuan antara kedua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05). Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi ternyata tidak menurunkan, tetapi meningkatkan kadar estrogen pada tikus betina dewasa. Disarankan kepada para wanita untuk berhati-hati dalam memilih produk untuk sulih hormon karena tidak semua produk yang dipasarkan mengandung hormon yang sesuai dengan fungsinya. Diharapkan juga dapat dilakukan penelitian lanjut untuk mengetahui efek samping dari penggunaan injeksi ini.
Kata Kunci: Aging, Testosterone Enanthate dosis tinggi, estradiol, tikus betina dewasa
8
ABSTRACT HIGH DOSE TESTOSTERONE ENANTHATE INJECTION (RAITORIO®) DOES NOT DECREASE ESTROGENE LEVEL OF ADULT FEMALE ALBINO RAT Aging process decreases physiology of the body and increases diseases. There are internal and external factors causing the aging process. One of the internal factors is the decrease in the hormone in menopausal women that can cause many symptoms. Therefore, Hormone Replacement Therapy (HRT) can minimalize the symptoms. Nowadays, many women use high dose Testoterone Enanthate injection to increase the elasticity of the skin and improve their libido. The aim of this study was to determine the effects of high dose of Testoterone Enanthate injection (Raitorio®) to estrogene level of adult female rat. This research was an experimental study with randomized pre-post test control group design. The population used in this study was adult female albino rats (age 90 days with the body weight of 200-250grams). There were 36 subjects, divided into 2 groups, with 18 rats each. One group was treated with placebo (aquabidest), and the other with high dose Testoterone Enanthate injection. The result showed that the mean of the estradiol level on the control group before injection was 65,39±153,97, and after the injection was 86,04±255,35. While the mean of the estradiol level on treatment group before the injection was 16,22±29,19 and after the injection was 719,91±897,93. The significant (p<0.05) increase of estradiol level was showed on treatment group with Wilcoxon Sign Rank Test. And then comparison analysis between the treatment groups was analysed by the mean of the estradiol level of both groups. The comparison analysed by Mann-Whitney showed that the mean of estradiol level on both groups before the injection was not different (p>0.05). Meanwhile, the estradiol level after the injection between both groups was significantly different (p<0.05). Thus, it is concluded that High Dose of Testosterone Enanthate injection used in this study does not decrease, but increases the estrogene level of adult female albino rats significantly. It is suggested to all women to choose the right product of Hormone Replacement Therapy in order to get the good result of the treatment. It is needed to do further research of the side effects of this product.
Key words: Aging, high dose Testosterone Enanthate, estradiol, adult female albino rat
9
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM.............................................................................. .....
i
PRASYARAT GELAR............................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN .....................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .........................................................
iv
UCAPAN TERIMAKASIH .....................................................................
v
ABSTRAK ..............................................................................................
vii
ABSTRACT ............................................................................................
viii
DAFTAR ISI ...........................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ...................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xiv
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH .................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xvi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ...................................................................
1
1.1 Latar Belakang .................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................
6
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................
6
1.4 Manfaat penelitian............................................................
6
KAJIAN PUSTAKA ................................................................
8
2.1 Proses Penuaan ................................................................
8
2.1.1 Teori Proses Penuaan (Aging).................................
8
10
2.1.2 Tanda-tanda Penuaan .............................................
12
2.2 Hormon Testosteron .........................................................
14
2.2.1 Pengaturan Fungsi Seksual Melalui Hormon dari Hipotalamus dan Kelenjar Hipofise Anterior ..........
18
2.2.2 Penghambatan Timbal Balik Sekresi LH dan FSH Kelenjar Hipofisis Anterior oleh Testosteron Pengaturan Umpan Timbal Balik Negatif Sekresi Testosteron.............................................................
19
2.3 Hormon Estrogen .............................................................
21
2.4 Menopause.......................................................................
25
2.5 Sulih Testosteron .............................................................
32
2.5.1 Pemberian Injeksi Testosteron pada Pria ................
32
2.5.2 Pemberian Injeksi Testosteron pada Wanita ...........
33
2.5.3 Efek Samping Injeksi Testosterone Enanthate Dosis Tinggi...........................................................
35
2.6 Hewan Coba Tikus ...........................................................
36
2.6.1 Penggunaan
Tikus
(Rattus
Norvegicus)
di
Laboratorium .........................................................
36
2.6.2 Pemberian Makanan dan Air Minum Tikus di Laboratorium .........................................................
38
2.6.3 Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium ...
38
2.6.4 Perilaku Seksual Tikus Betina ................................
40
2.6.5 Perilaku Seksual Tikus Jantan ................................
43
11
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ..........
45
3.1 Kerangka Berpikir ............................................................
45
3.2 Konsep Penelitian ............................................................
46
3.3 Hipotesis Penelitian..........................................................
46
BAB IV METODE PENELITIAN .........................................................
47
4.1 Rancangan Penelitian .......................................................
47
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian...........................................
48
4.3 Populasi dan Sampel ........................................................
48
4.3.1 Subyek Penelitian ...................................................
48
4.3.2 Kriteria Subyek ......................................................
48
4.3.3 Besaran Sampel......................................................
49
4.3.4 Teknik Penentuan Sampel .....................................
49
4.4 Variabel ...........................................................................
50
4.4.1 Klasifikasi Variabel ................................................
50
4.4.2 Definisi Operasional Variabel ................................
50
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian .......................................
51
4.5.1 Bahan Penelitian.........................................................
51
4.5.2 Instrumen Penelitian...................................................
51
4.6 Tata Cara Penelitian .........................................................
52
4.6.1 Pemberian Perlakuan ..............................................
52
4.6.2 Perhitungan Dosis Testosterone Enanthate Untuk Subyek Penelitian ...................................................
53
4.6.3 Alur Penelitian .......................................................
55
12
BAB V
4.6.4 Teknik Pengambilan Darah ....................................
55
4.6.5 Mekanisme Kerja Penelitian ...................................
55
4.7 Analisis Statistik ..............................................................
56
HASIL PENELITIAN ..............................................................
58
5.1 Uji Normalitas Data .........................................................
58
5.2 Analisis Efek Perlakuan Testosterone Enanthate Dosis Tinggi ..............................................................................
59
5.3 Perbedaan Kadar Estradiol antar Kelompok .....................
60
5.3.1 Uji Komparabilitas .................................................
60
5.3.2 Analisis Efek Perlakuan .........................................
61
BAB VI PEMBAHASAN ......................................................................
63
6.1 Subyek Penelitian.............................................................
63
6.2 Peningkatan Kadar Estradiol Setelah Injeksi Testosterone Enanthate Dosis Tinggi (Raitorio®) ...............................
63
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN......................................................
67
7.1 Simpulan ..........................................................................
67
7.2 Saran ................................................................................
67
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
69
LAMPIRAN ............................................................................................
72
13
DAFTAR TABEL
Halaman 2.1
Keluhan Klimakterik pada Wanita Usia antara 45 dan 54 tahun.......
29
2.2
Data Biologis Tikus ........................................................................
37
2.3
Mineral dalam Makanan Tikus ........................................................
38
2.4
Perubahan-perubahan Yang Terdapat Pada Ulas Vagina dan Perilaku Seksual Tikus Betina .........................................................
41
4.1
Dosis Sesuai dengan Berat Badan Tikus ..........................................
54
5.1
Hasil Uji Normalitas Data Kadar Estradiol masing-masing Kelompok Baik Sebelum maupun Sesudah Perlakuan .....................
5.2
Rerata Kadar Estradiol Sebelum dengan Sesudah Diberikan Perlakuan ........................................................................................
5.3
Rerata
59
Kadar Estradiol antar Kelompok Sebelum Diberikan
Perlakuan ........................................................................................ 5.4
58
60
Rerata Kadar Estradiol antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan ........................................................................................
61
14
DAFTAR GAMBAR
Halaman 2.1
Axis Hipotalamus-Organ .................................................................
20
2.2
Pembentukan Hormon Steroid pada Ovarium ..................................
23
3.1
Konsep Penelitian ...........................................................................
46
4.1
Rancangan Penelitian ......................................................................
47
4.2
Alur Penelitian ................................................................................
55
5.1
Perubahan Kadar Estradiol pada Masing-masing Kelompok............
60
5.2
Perbandingan Kadar Estradiol Antar Kelompok Perlakuan ..............
62
15
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH
AAM
: Anti Aging Medicine
A4M
: American Academy of Anti-Aging Medicine
DHEA
: Dehydroepiandrosterone
EDTA
: Ethylen Tetra Diamine
ELISA
: Enzyme Linked Immunosorbent Assay
DNA
: Deoxyribonucleic acid
FDA
: Food and Drug Administration
FSH
: Follicle Stimulating Hormone
GH
: Growth Hormone
GnRH
: Gonadotropin Releasing Hormone
HDL
: High Density Lipoprotein
HRT
: Hormone Replacement Therapy
IGF-I
: Insulin Growth Factor-I
IU/Kg
: International Unit per Kilogram
KAP
: Kedokteran Anti Penuaan
LDL
: Low Density Lipoprotein
LH
: Luteinizing Hormone
mg/Kg
: mili gram per kilogram
µg/Kg
: mikro gram per kilogram
PCOS
: Polycystic Ovary Syndrome
pg/ml
: piko gram per mili liter
16
SHBG
: Sex Hormone Binding Globulin
TE
: Testosterone Enanthate
WHO
: World Health Organization
17
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Data hasil pemeriksaan kadar estradiol pada kontrol Pre dan Post injeksi plasebo ...................................................................................
72
2. Data hasil pemeriksaan kadar estradiol pada perlakuan Pre dan Post injeksi Testosterone Enanthate Dosis Tinggi (Raitorio®) .................
73
3. Uji normalitas data kadar estradiol.....................................................
74
4. Uji Wilcoxon Sign Rank Test antara Pre dengan Post masing-masing kelompok ..........................................................................................
74
5. Uji Mann-Whitney antara kelompok kontrol dengan perlakuan .........
77
6. Konversi perhitungan dosis untuk beberapa jenis hewan dan manusia
78
7. Gambar produk injeksi Testosterone Enanthate
Dosis Tinggi
(Raitorio®)........................................................................................
79
18
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Populasi orang tua di dunia mencapai laju yang sangat luar biasa. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1997 mencapai 201,4 juta dengan 100,9 juta orang wanita (Baziad, 2003). Pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia mencapai 203,46 juta orang, yang terdiri dari 101,64 juta laki-laki dan 101,81 juta perempuan. Jumlah perempuan yang berusia di atas 50 tahun dan diperkirakan telah memasuki usia menopause sebanyak 15,5 juta orang, sedangkan jumlah laki-laki yang berusia di atas 55 tahun dan diperkirakan telah memasuki usia andropause adalah sebesar 14,25 juta orang (Baziad, 2003). Hingga tahun 2020, populasi dunia diperkirakan mencapai lebih dari 1 milyar orang berumur 60 tahun atau lebih, dan sebagian besar di negara sedang berkembang (Beers, 2004). Di Indonesia diperkirakan jumlah perempuan yang hidup dalam usia menopause adalah 30,3 juta dan jumlah laki-laki andropause mencapai 24,7 juta. Di samping itu, berkat pembangunan di bidang kesehatan, angka harapan hidup perempuan dan laki-laki Indonesia juga meningkat. Di satu sisi kita patut gembira karena usia harapan hidup perempuan dan laki-laki meningkat, namun di segi lain mereka harus melewati usia tua dengan berbagai masalah dari dampak kekurangan hormon estrogen dan androgen (Baziad, 2003). Dengan semakin bertambahnya usia, maka akan terjadi penurunan berbagai fungsi organ tubuh dan terjadinya perubahan fisik, baik tingkat selular, organ, maupun sistem karena proses penuaan.
19
Penuaan (aging) adalah proses fisiologis yang dialami oleh seluruh mahluk hidup (Wibowo, 2003). Untuk pertama kalinya dalam sejarah kedokteran, aging dilihat sebagai suatu penyakit yang dapat diperlambat (Morgan, 2003). Menurut WHO (1996) terdapat interaksi antara gaya hidup, penyakit, pekerjaan, dan penuaan biologis. Adanya aging maka terjadi dua fenomena yaitu penurunan fisiologik tubuh dan peningkatan terjadinya penyakit (Fowler, 2003). Akibatnya terjadi gangguan terhadap kulit, selaput lendir, panca indera, otot, tulang, sistem kardiovaskuler, sistem imun (perubahan respon netrofil, makrofag, dan limfosit), sistem metabolisme glukosa, sistem gastrointestinal, reproduksi, fungsi otak-saraf dan sensorik (Baziad, 2003; Goldman, 2007). Ada banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan yang dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2007). Terdapat hubungan antara usia dengan perubahan yang terjadi pada poros pituitari-organ target. Semua organ akan menyusut dan bermanifestasi dalam bentuk penurunan level hormon, seperti yang telah ditemukan oleh para ilmuwan bahwa proses aging tidak mungkin terlepas dari penurunan hormon-hormon seperti DHEA (dehydroepiandrosterone), HGH (Human Growth Hormone), estrogen, progesteron, testosteron, tiroid, dan melatonin (Morgan, 2003).
20
Antiaging medicine menggunakan pengobatan saat terdapat indikasi medis, di antaranya dengan cara menganjurkan pemberian nutrisi makanan, suplemen yang tepat dan natural hormone replacement therapy (HRT). HRT yang diberikan adalah hormon yang cukup sederhana yang secara biokimia identik dengan apa yang terdapat dalam tubuh saat usia tigapuluhan tahun dan juga penting bagi para tenaga dokter untuk tetap memonitor kadar hormon melalui darah dan tes urin (Morgan, 2003). Terdapat hormon utama dan yang mudah diperoleh yaitu estradiol, testosteron, DHEA, tiroid, melatonin, growth hormone, dan progesteron. Semua ini memberikan banyak keuntungan dalam penggunaannya hingga saat ini, dan terjadi suatu peningkatan jumlah penelitian yang merekomendasikan hormon-hormon ini sebagai terapi yang memperlambat proses aging, menghentikan perkembangan penyakit yang berhubungan dengan usia, dan tetap hidup dan sehat pada pertengahan kedua dari kehidupan. Hormon testosteron merupakan hormon androgen utama dalam sirkulasi darah. Hormon testosteron pada umumnya dikaitkan dengan aspek seksual dan reproduksi dalam hidup manusia. Meskipun ini benar, tetapi tidak berarti testosteron hanya berfungsi pada sistem seksual dan reproduksi, tetapi berperan juga pada otak, tulang, otot, lemak, sistem hematopoesis dan sistem imun (Pangkahila, 2007). Hormon androgen tidak hanya diproduksi oleh pria, melainkan juga oleh wanita. Pada wanita, androgen juga mempunyai peranan penting bagi dorongan seksual. Androgen memengaruhi dorongan seksual dan perilaku seksual wanita. Lebih jauh, penelitian pada binatang menunjukkan androgen mempunyai peranan penting dalam pengaturan fisiologi jaringan vagina, dan juga berperan dalam bangkitan seksual.
21
Pada saat wanita mengalami menopause, fungsi ovariumnya berkurang. Tetapi dengan meningkatnya kadar LH (Luteinizing Hormone) dapat mengakibatkan sekresi androgen ovarium meningkat untuk sementara. Inilah yang mungkin dapat menjelaskan mengapa pada sekitar masa menopause kadar testosteron dapat berkurang, tidak berubah, atau meningkat. Seperti pada pria, pada wanita pun testosteron tidak hanya berpengaruh terhadap fungsi seksual, melainkan terhadap fungsi lainnya. Fungsi kognitif, massa tulang, massa otot, dan sel darah merah pada wanita juga dipengaruhi oleh hormon testosteron (Pangkahila, 2007). Bagi wanita, begitu memasuki usia menopause timbullah berbagai macam keluhan yang sangat mengganggu, dan beberapa tahun setelah menopause, angka kejadian patah tulang, penyakit jantung koroner, stroke, demensia, dan kanker usus besar meningkat. Karena memang keluhan yang muncul pada perempuan tersebut kebanyakan disebabkan karena kekurangan hormon estrogen, maka dengan sendirinya pengobatan yang tepat adalah dengan terapi sulih hormon. Dari berbagai penelitian terbukti bahwa pemberian terapi sulih hormon jangka panjang dapat mencegah perempuan terkena pengeroposan tulang, penyakit jantung koroner, stroke, demensia, dan kanker usus besar, sehingga dengan sendirinya meningkatkan kualitas hidup (Baziad, 2003).
Saat ini banyak ditemukan penggunaan berbagai macam injeksi pada wanita di beberapa daerah di Indonesia, yang dilakukan oleh beberapa teman sejawat dokter, dan salah satunya berbahan dasar Testosterone Enanthate (TE). Menurut para dokter dan
22
pasien yang bersangkutan, pemberian TE ini dimaksudkan untuk meningkatkan kekenyalan kulit dan libido, baik yang akan, sedang ataupun telah memasuki masa menopause. Dosis yang digunakan adalah 5.000-10.000 mg TE (dengan nama dagang Raitorio® dan di masyarakat dikenal dengan nama Placenta Platinum) per kali injeksi yang dilakukan setiap 6-12 bulan (Kusuma, 2009). Dosis yang diberikan ini tidak sesuai dengan prosedur yang tepat secara internasional, karena dosis yang dianjurkan adalah 200-250 mg TE setiap 2-3 minggu untuk pria dewasa (Neischlag dan Behre, 1990). Pemberian TE harus dilakukan sesuai dengan indikasi dan dosis yang tepat, karena TE dosis tinggi dapat menurunkan kadar estrogen. Hal ini dapat terjadi karena testosteron yang disekresikan sebagai respons terhadap LH mempunyai efek timbal balik dalam menghentikan sekresi LH oleh hipofisis anterior. Androgen dikonversikan secara aktif menjadi estrogen, kemudian aromatisasi berperan memberikan umpan balik negatif kepada otak (Sperrof, 2004). Hal ini akan menyebabkan gejala-gejala antara lain perasaan panas di daerah wajah (hot flushes), jantung berdebar-debar, gangguan tidur, depresi, mudah tersinggung, cepat lelah, kesemutan, gangguan libido, obstipasi, berat badan bertambah, nyeri tulang dan otot (Baziad, 2003). Di samping itu kadar testoteron yang tinggi dapat menimbulkan beberapa efek samping antara lain: acne, androgenetic alopecia, virilization yang ditandai dengan hipertrofi klitoris, suara yang berat, perkembangan otot androgenik, atrofi mammae, hirsutisme, male pattern baldness, perilaku maskulin, gangguan pada ovarium, gangguan metabolik dan kardiovaskuler, dan gangguan psikologis (Goodman, 2001). Informasi yang ada di masyarakat inilah yang membuat penulis ingin
23
mengetahui sejauh mana efek samping yang ditimbulkan dari pemberian preparat ini pada wanita yang telah menggunakannya.
1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang akan dicari jawabannya melalui penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Apakah pemberian injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi (Raitorio®) dapat menurunkan kadar estrogen pada tikus betina dewasa?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui pemberian injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi (Raitorio®) dapat menurunkan kadar estrogen pada tikus betina dewasa.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
Manfaat akademis:
24
Diharapkan dari hasil penelitian ini didapatkan data yang dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh pemberian injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi (Raitorio®) terhadap penurunan kadar estrogen pada tikus betina dewasa.
Manfaat praktis:
Diharapkan masyarakat dapat lebih rasional dan berhati-hati dalam menggunakan injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi (Raitorio®).
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Proses Penuaan 2.1.1 Teori Proses Penuaan (Aging)
Perkembangan ilmu kedokteran, dalam hal ini Ilmu Kedokteran AntiPenuaan (KAP) atau Anti-Aging Medicine (AAM) telah membawa konsep baru dalam dunia kedokteran. Penuaan diperlakukan sebagai penyakit, sehingga dapat dan harus dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007). Dengan mencegah proses penuaan, fungsi berbagai organ tubuh dapat dipertahankan agar tetap optimal. Hasilnya organ tubuh dapat berfungsi seperti pada usia yang lebih muda, padahal usia sebenarnya bertambah. Dengan demikian penampilan dan kualitas hidupnya lebih muda dibandingkan dengan usia sebenarnya (Pangkahila, 2007). Aging secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik, dan aging tidak dapat dihindarkan, berjalan dengan kecepatan yang berbeda tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung dari kesehatan individu (Fowler, 2003). Definisi aging menurut A4M (American Academy of Anti Aging Medicine) adalah kelemahan dan kegagalan fisik dan mental yang berhubungan dengan aging yang normal disebabkan karena disfungsi 25
26
fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Klatz, 2003). Sebenarnya banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Tetapi pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori wear and tear dan teori program. Teori wear and tear meliputi kerusakan DNA, glycosilation (glikosilasi), proses imun, dan neuroendocrine theory (Pangkahila, 2007). Menurut Goldman dan Klatz (2007) ada 4 teori pokok dari aging, yaitu: 1) Teori “wear and tear” Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel. 2) Teori Neuroendokrin Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.
27
3) Teori Kontrol Genetik Teori ini fokus pada genetik memrogram sandi sepanjang DNA, dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup. 4) Teori Radikal Bebas Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal bebas oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein. Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2007).
28
Berbagai faktor yang dapat mempercepat proses penuaan (Wibowo, 2003), adalah : 1) Faktor lingkungan a. Pencemaran lingkungan yang berwujud bahan-bahan polutan dan kimia sebagai hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan rumah tangga akan mempercepat penuaan. b. Pencemaran lingkungan berwujud suara bising. Dari berbagai penelitian ternyata suara bising akan mampu meningkatkan kadar hormon prolaktin dan mampu menyebabkan apoptosis di berbagai jaringan tubuh. c. Kondisi lingkungan hidup kumuh serta kurangnya penyediaan air bersih akan meningkatkan pemakaian energi tubuh untuk meningkatkan kekebalan. d. Pemakaian obat-obat/jamu yang tidak terkontrol pemakaiannnya sehingga menyebabkan turunnya hormon tubuh secara langsung atau tidak langsung melalui mekanisme umpan balik (hormonal feedback mechanism). e. Sinar matahari secara langsung yang dapat mempercepat penuaan kulit dengan hilangnya elastisitas dan rusaknya kolagen kulit. 2) Faktor diet / makanan. Jumlah nutrisi yang tidak optimal, jenis, dan kualitas makanan yang banyak menggunakan pengawet, pewarna, perasa dari bahan kimia terlarang. Zat beracun dalam makanan dapat menimbulkan kerusakan berbagai organ tubuh, antara lain organ hati.
29
3) Faktor genetik Genetik seseorang sangat ditentukan oleh genetik orang tuanya. Tetapi faktor genetik ternyata dapat berubah karena infeksi virus, radiasi, dan zat racun dalam makanan / minuman / kulit yang diserap oleh tubuh. 4) Faktor psikis Faktor stres ini ternyata mampu memacu proses apoptosis di berbagai organ / jaringan tubuh. 5) Faktor organik Secara umum, faktor organik adalah : rendahnya kebugaran / fitness, pola makan kurang sehat, penurunan GH (Growth Hormone) dan IGF-1 (Insulin Growth Factor-1), penurunan testosteron, penurunan melatonin secara konstan setelah usia 30 tahun dan menyebabkan gangguan circadian clock (ritme harian), selanjutnya kulit dan rambut akan berkurang pigmentasinya dan terjadi pula gangguan tidur, peningkatan prolaktin yang sejalan dengan perubahan emosi dan stres, perubahan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH).
2.1.2 Tanda-tanda Penuaan Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua bagian, yaitu:
1. Tanda fisik, seperti massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut, daya ingat berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan kerja menurun
30
dan sakit tulang. 2. Tanda psikis, antara lain menurunnya gairah hidup, sulit tidur, mudah cemas, mudah tersinggung, dan merasa tidak berarti lagi. Akan tetapi proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung menampakkan perubahan fisik dan psikis seperti di atas. Menurut Pangkahila (2007), proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap sebagai berikut:
1) Tahap subklinik (usia 25-35 tahun): Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Bahkan pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal.
2) Tahap transisi (usia 35-45 tahun): Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Massa otot berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya risiko penyakit jantung pembuluh darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik, yang dapat mengakibatkan penyakit, seperti kanker, arthritis (radang sendi), berkurangnya memori, penyakit jantung koroner, dan diabetes.
31
3) Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas): Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen, dan juga hormon tiroid. Terjadi juga penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin, dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidak mampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan. Ketidak mampuan menjadi faktor utama sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan. Dengan melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengalami gejala atau keluhan, bukan berarti tidak mengalami proses penuaan. Lebih jauh, ini dapat menjadi pegangan bahwa untuk mengatasi proses penuaan jangan menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata (Pangkahila, 2007).
2.2 Hormon Testosteron Hormon testosteron merupakan hormon androgen utama di dalam sirkulasi darah. Testosteron pada umumnya dikaitkan dengan aspek seksual dan reproduksi dalam hidup manusia. Meskipun ini benar, tetapi tidak berarti testosteron hanya berfungsi pada sistem seksual dan reproduksi, selain itu juga pada otak, tulang, otot, lemak, sistem hematopoesis, dan sistem imun. Hormon testosteron tidak hanya dihasilkan oleh pria, melainkan juga oleh
32
wanita. Pada pria, lebih 95 persen hormon androgen diproduksi di dalam testis oleh sel Leydig, dan sisanya diproduksi oleh korteks adrenalis. Pada wanita, androgen diproduksi sebanyak 0.2-0.3 mg/hari, 25 persen oleh ovarium, 25 persen oleh kelenjar adrenalis, dan 50 persen oleh konversi perifer dari prehormone androstenedione dan precursor dehydroepiandrosterone (DHEA). Androstenedione diproduksi di dalam ovarium (50 persen), sedangkan DHEA diproduksi hampir seluruhnya di kelenjar adrenalis (90-95 persen) (Sperrof, 2004). Pada umumnya, testosteron bertanggung jawab terhadap berbagai sifat maskulinisasi tubuh. Penyuntikan sejumlah besar hormon kelamin pria ke dalam hewan yang hamil menyebabkan perkembangan organ-organ seksual jantan walaupun janinnya betina (Guyton, 2000). Testosteron menyebabkan sifat-sifat kelamin sekunder, yang membedakan pria dari wanita, yaitu: Pengaruh pada penyebaran rambut tubuh. Testosteron menyebabkan pertumbuhan rambut (1) di atas pubis, (2) ke atas sepanjang linea alba kadang-kadang sampai ke umbilikus dan di atasnya, (3) pada wajah, (4) biasanya pada dada, dan (5) kurang sering pada bagian tubuh yang lain, seperti punggung. Testosteron juga menyebabkan rambut pada bagian tubuh lainnya sehingga menjadi lebih menyebar (Guyton, 2000). Kebotakan. Testosteron menurunkan pertumbuhan rambut pada bagian atas kepala, yang biasanya disebut male pattern baldness (Gooren and Polderman, 1990). Wanita yang memiliki latar belakang yang sesuai dan yang menderita tumor androgenik dalam jangka waktu yang lama dapat menjadi botak dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada pria (Guyton, 2000).
33
Pengaruh pada suara. Testosteron yang disekresi oleh testis atau disuntikkan ke dalam tubuh menyebabkan hipertrofi mukosa laring dan pembesaran. Pengaruh terhadap suara pada awalnya secara relatif menjadi tidak sinkron, suara serak, tetapi secara bertahap berubah menjadi suara maskulin yang khas (Gooren and Polderman, 1990). Pengaruh pada kulit dan pertumbuhan akne. Testosteron meningkatkan ketebalan kulit di seluruh tubuh dan meningkatkan kekasaran jaringan subkutan. Testosteron meningkatkan kecepatan sekresi beberapa atau mungkin semua kelenjar sebasea. Yang paling penting adalah kelebihan sekresi oleh kelenjar sebasea wajah, karena kelebihan sekresi di wajah ini dapat menyebabkan akne (Guyton, 2000). Pengaruh pada pembentukan protein dan perkembangan otot. Salah satu karakteristik yang paling penting pada pria adalah perkembangan peningkatan muskulatur mengikuti masa pubertas, rata-rata sekitar 50 persen massa otot pria meningkat melebihi massa otot wanita. Hal ini juga berhubungan dengan peningkatan protein di bagian lain dari tubuh yang tidak berotot. Banyak perubahan pada kulit juga disebabkan oleh penumpukan protein pada kulit, dan pada suara mungkin juga terutama disebabkan oleh fungsi anabolik protein testosteron. Terjadi peningkatan berat badan karena peningkatan massa otot dan retensi sodium dan air. Respon muskular ini terjadi karena meningkatnya diameter dari serabut otot. Karena pengaruh testosteron yang sangat besar pada muskulatur tubuh, testosteron (atau yang lebih sering disebut androgen sintetik) digunakan secara luas oleh atlet untuk meningkatkan kinerja otot mereka. Penggunaan ini sangat membahayakan karena efek berbahaya yang panjang akibat kelebihan testosteron.
34
Testosteron juga digunakan pada usia tua sebagai hormon peremajaan untuk meningkatkan kekuatan dan tenaga otot. Pengaruh pada pertumbuhan tulang dan retensi kalsium. Setelah peningkatan sirkulasi testosteron yang sangat besar pada saat pubertas atau setelah penyuntikan testosteron yang lama, tulang sangat menebal dan mengendapkan sejumlah besar garam kalsium tambahan. Jadi, testosteron meningkatkan jumlah total matriks tulang dan menyebabkan retensi kalsium. Peningkatan dalam matriks tulang diyakini dari fungsi anabolik protein umum testosteron dan pengendapan garam-garam kalsium, yang menghasilkan peningkatan matriks tulang secara sekunder. Karena kemampuan testosteron untuk meningkatkan ukuran dan kekuatan tulang, testosteron sering digunakan pada usia lanjut untuk mengobati osteoporosis (Guyton, 2000). Pengaruh pada metabolisme basal. Penyuntikan testosteron dalam jumlah besar dapat meningkatkan kecepatan metabolisme basal sampai 15 persen. Peningkatan kecepatan metabolisme tersebut mungkin disebabkan oleh pengaruh tidak langsung testosteron terhadap anabolisme protein, peningkatan kuantitas protein, terutama enzim, meningkatkan aktifitas semua sel (Guyton, 2000). Testosteron juga telah banyak digunakan untuk mengobati berbagai macam anemia. Pengaruh pada sel darah merah. Ketika testosteron jumlah normal disuntikkan pada orang dewasa yang dikastrasi, jumlah sel-sel darah merah per milimeter kubik meningkat 15 sampai 20 persen, juga, rata-rata pria memiliki 700.000 sel-sel darah merah per milimeter kubik lebih banyak daripada rata-rata wanita. Perbedaan ini sebagian mungkin disebabkan oleh peningkatan kecepatan metabolisme setelah pemberian testosteron dan bukan efek langsung testosteron terhadap pembentukan
35
sel-sel darah merah (Guyton, 2000). Pengaruh pada elektrolit dan keseimbangan cairan. Banyak hormon steroid dapat meningkatkan reabsorpsi natrium pada tubulus distal ginjal. Testosteron memiliki pengaruh
tersebut
tetapi
hanya
derajat
kecil
bila
dibandingkan
dengan
mineralokortikoid adrenal. Meskipun demikian, setelah pubertas, darah dan volume cairan ekstraseluler pada pria sedikit meningkat dalam hubungannya dengan berat badan (Guyton, 2000).
2.2.1
Pengaturan Sekresi Hormon dari Hipotalamus dan Kelenjar Hipofisis Anterior Bagian utama dari pengaturan fungsi seksual baik pada pria maupun wanita
dimulai dengan sekresi hormon pelepas gonadotropin (GnRH = Gonadothropin Releasing Hormone) oleh hipotalamus. Hormon ini selanjutnya merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk menyekresikan dua hormon lain yang disebut hormon-hormon gonadotropin: (1) Luteinizing Hormone (LH) dan (2) Follicle Stimulating Hormone (FSH) (Guyton, 2000).
GnRH dan Pengaruhnya dalam Meningkatkan Sekresi LH dan FSH GnRH disekresikan secara intermiten selama beberapa menit setiap 1 sampai 3 jam. Intensitas perangsangan hormon ini ditentukan dalam dua cara: (1) oleh frekuensi dari siklus sekresi dan (2) oleh jumlah GnRH yang dilepaskan pada setiap siklus. Sekresi LH oleh kelenjar hipofisis anterior juga merupakan suatu siklus, yaitu sekresi LH hampir
36
selalu mengikuti pelepasan bertahap dari GnRH. Sebaliknya, peningkatan dan penurunan sekresi FSH hanya sedikit mengikuti fluktuasi sekresi GnRH; di samping itu, sekresi FSH berubah lebih lambat setelah beberapa jam sebagai respons terhadap perubahan jangka panjang dari GnRH. Karena hubungan antara sekresi GnRH dan sekresi LH yang jauh lebih dekat, GnRH juga telah dikenal secara luas sebagai hormon pelepas LH (Guyton, 2000).
2.2.2
Hubungan Timbal Balik Sekresi LH dan FSH Kelenjar Hipofisis Anterior oleh Testosteron Hubungan testosteron dengan berbagai hormon seks lainnya diatur melalui
poros hipotalamus-hipofise-ovarium seperti pada gambar berikut di bawah ini:
Poros hipotalamus-ovarium Hipothalamus
s low
GnRH puls es
fast
Pituitary FSH
LH
37
Gambar 2.1 Poros Hipotalamus-Organ (Sperrof, 2004).
Testosteron yang disekresikan sebagai respons terhadap LH mempunyai efek timbal balik dalam menghentikan sekresi LH oleh hipofisis anterior. Efek timbal balik itu terjadi dalam dua cara: 1. Sejauh ini bagian penghambatan yang lebih besar dihasilkan dari efek langsung testosteron terhadap hipotalamus dalam menurunkan sekresi GnRH. Keadaan ini sebaliknya secara bersamaan menyebabkan penurunan sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior, dan penurunan LH akan menurunkan sekresi testosteron. Jadi, bilamana sekresi testosteron menjadi terlalu banyak, melalui hipotalamus dan kelenjar hipofisis, efek umpan balik negatif otomatis ini akan mengurangi sekresi testosteron kembali ke kadar normalnya. Sebaliknya, terlalu sedikit testosteron akan
38
menyebabkan hipotalamus menyekresikan sejumlah besar GnRH, disertai dengan peningkatan sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior. 2. Testosteron mungkin juga mempunyai efek umpan negatif yang lemah, yang bekerja secara langsung pada kelenjar hipofisis anterior sebagai tambahan terhadap efek umpan balik hipofisis anterior terhadap hipotalamus. Umpan balik hipofisis ini diduga secara khusus menghentikan sekresi LH. Akibatnya, sejumlah kecil pengaturan
sekresi
testosteron
diyakini
terjadi
dalam cara
yang sama
(Guyton,2000). Androgen akan dikonversikan secara aktif menjadi estrogen, kemudian aromatisasi berperan memberikan umpan balik negatif kepada otak (Sperrof, 2004). Maka apabila terdapat testosteron dalam jumlah yang tinggi dalam darah, maka akan terjadi umpan balik negatif kepada otak untuk menurunkan produksi testosteron, sehingga kadar estrogen pun akan berkurang. Beberapa studi menemukan bahwa testosteron dapat memperbaiki kualitas memori, meningkatkan energi, dan kepuasan terhadap diri sendiri (Arrington, 2009).
2.3 Hormon Estrogen Menurut Guyton (2000), sistem hormon wanita terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut: 1. Hormon yang dikeluarkan hipotalamus, hormon pelepas-gonadotropin yang sebelumnya juga disebut hormon pelepas-hormon lutein. 2. Hormon hipofisis anterior, hormon perangsang folikel dan hormon lutein, keduanya
39
disekresi sebagai respon terhadap pelepasan hormon GnRH dari hipotalamus. 3. Hormon-hormon ovarium, estrogen dan progesteron, yang disekresi oleh ovarium sebagai respon terhadap kedua hormon dari kelenjar hipofisis anterior. Estrogen adalah hormon yang dihasilkan oleh ovarium yang berfungsi dalam meningkatkan proliferasi dan pertumbuhan sel-sel spesifik pada tubuh dan bertanggung jawab akan perkembangan sebagian besar sifat seksual sekunder wanita. Ada tiga jenis estrogen yang terdapat dalam jumlah yang bermakna, yaitu beta estradiol, estron, dan estriol. Beta estradiol merupakan estrogen utama yang disekresi oleh ovarium. Estron sebagian besar disekresi oleh korteks adrenal ginjal dan sel teka ovarium. Estriol adalah estrogen yang lemah, merupakan produk oksidasi estradiol dan estron yang terjadi di hati. Potensi estrogenik dari beta estradiol adalah 12 kali lebih besar daripada potensi estron dan 80 kali lebih besar dari estriol, sehingga beta estradiol dianggap sebagai estrogen utama (Guyton, 2000). Fungsi utama dari estrogen adalah untuk menimbulkan proliferasi sel dan pertumbuhan jaringan organ-organ kelamin dan jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi. Estrogen memengaruhi sifat seksual primer dan sekunder. Pada organ seksual, setelah pubertas estrogen memengaruhi perubahan organ seksual wanita dari bentuk anak-anak menjadi bentuk dewasa. Banyak sekali organ tubuh yang mengandung reseptor estrogen, yang berarti banyak organ tubuh yang bereaksi terhadap estrogen dan dipengaruhi oleh estrogen. Selain organ seksual dan reproduksi, beberapa organ yang juga bereaksi terhadap estrogen antara lain otak, hati, payudara, kulit, tulang, dan pembuluh darah. Ini berarti kalau terjadi perubahan pada kadar estrogen, maka banyak tanda dan keluhan yang
40
muncul dan dirasakan oleh wanita (Pangkahila, 2007). Pembentukan estrogen pada ovarium membutuhkan kerjasama dari sel teka dan granulosa di bawah pengaruh dari hormon FSH dan LH. Sel-sel teka yang mengelilingi folikel di ovarium adalah sel-sel dengan tingkat vaskularisasi yang tinggi dan menggunakan kolesterol yang terutama berasal dari lipoprotein yang bersirkulasi di peredaran darah sebagai awal dari pembentukan androstenedion dan testosteron di bawah pengaruh dari LH. Androstenedion dan testosteron tersebut kemudian ditransfer melalui lamina basalis menuju ke sel-sel granulosa, dimana sel-sel ini tidak menerima suplai darah secara langsung. Sel mural granulosa yang terutama kaya akan aromatase, di bawah pengaruh FSH akan menghasilkan estradiol yang merupakan steroid utama yang dihasilkan oleh fase folikular dari ovarium, dan juga merupakan estrogen yang paling poten (Hall, 2008). Pembentukan hormon steroid pada ovarium dapat dilihat pada gambar berikut: Theca Cell
C holestero l CAMP
H L Testos terone
Granulos a Ce ll H S F
Tes tosterone
Androstened ione
An drostenedion e
Aromatization Estro ne
Estradiol
CAMP
41
Gb. 2.2 Pembentukan hormon steroid pada ovarium (Sperrof, 2004). Estrogen juga berperan sebagai pemberi efek umpan balik negatif kuat yang menekan sekresi gonadotropin (FSH dan LH), sehingga pertumbuhan folikel terhambat. Pada wanita normal, estradiol diproduksi rata-rata 100-300 µg/hari. Produksi androstenedion sekitar 3 mg/hari, dan konversi perifer (sekitar 1%) dari androstenedion menjadi estron sekitar 20-30% dari produksi estron per hari (Guyton, 2000). Karena estrogen mempunyai efek-efek yang penting pada berbagai jaringan tubuh, maka tidak mengherankan apabila kadar estrogen wanita rendah sekali, dapat timbul efek-efek negatif. Salah satunya yang paling terlihat adalah berakhirnya menstruasi. Selain itu penurunan estrogen dapat menimbulkan gejala-gejala sebagai berikut: 1. Hot flushes dan keringat malam hari dengan gangguan tidur 2. Kekeringan vagina dan kehilangan elastisitas jaringan vagina 3. Meningkatnya infeksi saluran kencing dan masalah-masalah dengan inkontinensia urinaria 4. Kehilangan hasrat dan fungsi seksual 5. Perubahan mood atau depresi 6. Timbul masalah dalam ingatan dan meningkatnya resiko penyakit Alzheimer 7. Perubahan pada payudara, yaitu kehilangan kekencangannya 8. Perubahan pada kulit, yaitu kulit menjadi lebih tipis, kolagen dan kelembaban berkurang
42
9. Kehilangan densitas tulang, dapat mengakibatkan osteoporosis 10. Meningkatkan kadar kolesterol, dapat meningkatkan resiko penyakit jantung (Guyton, 2000).
2.4 Menopause Pada umumnya orang lebih senang menggunakan istilah ’Menopause’, meskipun istilah tersebut kurang tepat, karena menopause hanya merupakan kejadian sesaat saja, yaitu perdarahan haid yang terakhir. Yang paling tepat digunakan adalah klimakterik, yaitu fase peralihan antara pramenopause dan pascamenopause. Disebut pascamenopause bila telah mengalami menopause 12 bulan sampai menuju senium. Senium adalah pascamenopause lanjut, yaitu setelah usia 65 tahun. Bila ovarium tidak berfungsi lagi pada usia <40 tahun disebut klimakterium prekok (Baziad, 2003). Fase klimakterik dibagi dalam beberapa fase: Pramenopause Fase pramenopause adalah fase antara usia 40 tahun dan dimulainya fase klimakterik. Fase ini ditandai dengan siklus haid yang tidak teratur, dengan perdarahan haid yang memanjang dan jumlah darah haid yang relaitf banyak, dan kadang-kadang disertai nyeri haid (dismenorea). Pada wanita tertentu telah timbul keluhan vasomotorik dan keluhan sindrom prahaid atau sindrom pramenstrual. Perubahan endokrinologik yang terjadi adalah berupa fase folikuler yang memendek, kadar estrogen yang tinggi, kadar FSH juga biasanya tinggi, tetapi dapat juga ditemukan kadar FSH yang normal. Fase luteal tetap stabil. Akibat kadar FSH yang tinggi ini dapat terjadi perangsangan
43
ovarium yang berlebihan (hiperstimulasi) sehingga kadang-kadang dijumpai kadar estrogen yang sangat tinggi. Perimenopause Perimenopause merupakan
fase peralihan antara
pramenopause dan
pascamenopause. Fase ini ditandai dengan siklus haid yang tidak teratur. Sebanyak 40% wanita siklus haidnya anovulatorik. Meskipun terjadi ovulasi, kadar progesteron tetap rendah. Kadar FSH, LH, dan estrogen sangat bervariasi. Pada umumnya wanita telah mengalami berbagai jenis keluhan klimakterik. Menopause Jumlah folikel yang mengalami atresia makin meningkat, sampai suatu ketika tidak tersedia lagi folikel yang cukup. Produksi estrogen pun berkurang dan tidak terjadi haid lagi yang berakhir dengan terjadinya menopause. Oleh karena itu menopause diartikan sebagai haid alami terakhir, dan hal ini tidak terjadi bila wanita menggunakan kontrasepsi hormonal pada usia perimenopause. Kita tidak pernah tahu kapan wanita tersebut memasuki usia menopause. Untuk menentukan diagnosis menopause, pil kontrasepsi harus segera dihentikan dan satu bulan kemudian dilakukan pemeriksaan FSH dan estradiol (Baziad, 2000). Bila pada usia perimenopause ditemukan kadar FSH dan estradiol yang bervariasi (tinggi atau rendah), maka setelah memasuki usia menopause akan selalu ditemukan kadar FSH yang tinggi (>40 mIU/ml). Kadar estradiol pada awal menopause dijumpai rendah hanya pada sebagian wanita, sedangkan pada sebagian wanita lain, apalagi wanita gemuk, kadar estradiol dapat tinggi. Hal ini terjadi akibat proses
44
aromatisasi androgen menjadi estrogen di dalam jaringan lemak. Diagnosis menopause merupakan diagnosis retrospektif. Bila seorang wanita tidak haid selama 12 bulan, dan dijumpai kadar FSH darah >40 mIU/ml dan kadar Estradiol <30 pg/ml, telah dapat dikatakan wanita tersebut telah mengalami menopause. Pascamenopause Ovarium sudah tidak berfungsi sama sekali, kadar estradiol berada antara 20-30 pg/ml, dan kadar hormon gonadotropin biasanya meningkat. Peningkatan hormon gonadotropin ini disebabkan oleh terhentinya produksi inhibin akibat tidak tersedianya folikel dalam jumlah yang cukup. Pada usia reproduksi folikel memproduksi inhibin dalam jumlah yang cukup dan inhibin inilah yang menekan sekresi FSH, bukan sekresi LH. Akibat rendahnya kadar estradiol, endometrium menjadi atropik dan tidak mungkin muncul haid lagi. Namun pada wanita gemuk masih ditemukan kadar estron yang tinggi, dan estron ini akan diubah menjadi estradiol. Estradiol yang tinggi ini menimbulkan proliferasi pada endometrium dan mengakibatkan terjadinya perdarahan pada uterus (Baziad, 2003). Pada wanita pascamenopause masih saja dapat dijumpai jenis steroid seks lain dengan kadar yang normal dalam darah. Ternyata ovarium wanita pascamenopause masih memiliki kemampuan untuk menyintesis steroid seks. Sel-sel hilus dan kortek ovarium masih dapat memproduksi androgen, estrogen, dan progesteron dalam jumlah tertentu. Selain itu, jaringan tubuh tertentu, seperti lemak, uterus, hati, otot, kulit, rambut, dan bahkan bagian dari sistem neural sumsum tulang memiliki kemampuan mengaromatisasi androgen menjadi estrogen. Kelenjar adrenal merupakan sumber androgen utama bagi wanita pascamenopause.
45
Faktor-faktor yang Memengaruhi Menopause. Saat masuknya seseorang dalam fase menopause sangat berbeda-beda. Wanita di Eropa tidak sama usia menopausenya dengan wanita di Asia. Faktor genetik kemungkinan berperan terhadap usia menopause. Baik usia pertama haid (menars), melahirkan pada usia muda, maupun berat badan tidak terbukti mempercepat datangnya menopause. Memasuki usia menopause lebih awal dijumpai pada wanita nulipara, wanita dengan diabetes melitus, perokok berat, kurang gizi, wanita vegetarian, wanita dengan sosioekonomi rendah, dan pada wanita yang hidup pada ketinggian >4000 m. Wanita multipara dan wanita yang banyak mengonsumsi daging, atau minum alkohol akan mengalami menopause lebih lambat (Baziad, 2003). Gambaran Klinis Menopause. Lebih kurang 70% wanita peri dan pascamenopause mengalami keluhan vasomotorik, depresif, dan keluhan psikis dan somatik lainnya (tabel 2.1). Berat atau ringannya keluhan berbeda-beda pada setiap wanita. Keluhan-keluhan tersebut mencapai puncaknya sebelum dan sesudah menopause, dan dengan meningkatnya usia, keluhan-keluhan tersebut makin jarang ditemukan. Dengan makin meningkatnya usia, maka makin sering dijumpai gangguan seksual pada wanita. Akibat kekurangan hormon estrogen, aliran darah ke vagina berkurang, cairan vagina berkurang, dan sel-sel epitel vagina menjadi tipis dan mudah cedera. Beberapa penelitian membuktikan bahwa kadar estrogen yang cukup merupakan faktor terpenting untuk mempertahankan kesehatan dan mencegah vagina dari kekeringan sehingga tidak menimbulkan nyeri saat sanggama.
46
Keluhan-keluhan yang dapat timbul antara lain dapat dilihat pada tabel berikut: Gejolak panas (hot flushes)
70%
Jantung berdebar-debar
40%
Gangguan tidur Depresi
50% 70%
Mudah tersinggung, merasa takut, gelisah, dan lekas marah Sakit kepala
90% 70%
Cepat lelah, sulit berkonsentrasi, mudah lupa, kurang tenaga
65%
Berkunang-kunang
20%
Kesemutan
25%
Gangguan libido
30%
Obstipasi
40%
Berat badan bertambah Nyeri tulang dan otot Osteoporosis
Tabel 2.1
60% 50% 35%
Keluhan Klimakterik pada Wanita Usia antara 45 dan 54 tahun (Baziad, 2003)
Wanita dengan kadar estrogen <50 pg/ml lebih banyak mengeluh masalah seksual seperti vaginanya kering, perasaan terbakar, gatal, dan sering keputihan. Akibat cairan vagina berkurang, umumnya wanita mengeluh sakit saat sanggama.
47
Pada masa perimenopause sebanyak 15% wanita mengeluh vagina kering, meskipun haidnya masih teratur. Pada masa pascamenopause, wanita yang mengeluh vagina kering meningkat sampai 50%. Libido sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti perasaan, lingkungan, dan faktor hormonal. Apakah terdapat pengaruh langsung rendahnya kadar estrogen terhadap libido, hingga kini belum dapat dibuktikan. Androgen kelihatannya memiliki peranan penting dalam hal peningkatan libido, karena pada wanita yang telah diangkat kedua ovariumnya, penurunan libido yang terjadi erat kaitannya dengan penurunan kadar androgen. Baik pada wanita dengan menopause alami, maupun pada wanita pasca-ooforektomi bilateral, pemberian androgen kombinasi dengan estrogen akan meningkatkan libido. Pemberian androgen telah terbukti dapat meningkatkan libido, tetapi efek samping yang muncul juga banyak (Baziad, 2003). Kekurangan estrogen juga dapat menurunkan HDL (High Density Lipoprotein). Padahal HDL sangat penting dalam mencegah penyakit jantung koroner. Selain itu kekurangan estrogen dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin sehingga mengganggu metabolisme lipoprotein yang kaya akan trigliserid. Akibatnya terjadi hiperinsulinemia, tekanan darah meningkat, HDL menurun, dan LDL (Low Density Lipoprotein) meningkat. Terjadi penumpukan lemak di perut yang disebut adipositas tipe android. Semua ini memicu terbentuknya aterosklerosis dan penyakit iskemik. Kulit yang sehat sangat penting bagi seorang wanita. Kelainan kulit sedikit saja dapat memberikan dampak negatif bagi mereka. Kulit terdiri dari dua lapisan, yaitu bagian luar epidermis dengan keratinosit dan melanositnya, dan bagian dalam yaitu dermis, yang mengandung kolagen tinggi. Dermis memiliki banyak arteriolen, yang
48
membentuk tumpukan kapiler di dalam papil-papil dan sangat berperan pada timbulnya semburan panas. Sementara itu kolagen dan serat elastin berperan untuk mempertahankan stabilitas dan elastisitas kulit. Turgor kulit dapat dipertahankan oleh proteoglikan yang dapat menyimpan air dalam jumlah besar. Estrogen memengaruhi, terutama kadar kolagen, jumlah proteoglikan, dan kadar air dari kulit. Proses penuaan pada kulit merupakan proses yang kompleks (Baziad, 2003). Estrogen memengaruhi aktifitas metabolik sel-sel epidermis dan fibroblas, serta aliran darah. Kekurangan estrogen dapat menurunkan mitosis kulit sampai atropi, menyebabkan berkurangnya sintesis kolagen, dan meningkatkan penghancuran kolagen. Estrogen juga memiliki efek protektif langsung terhadap kulit melalui pencegahan radikal bebas terhadap kulit. Pemberian androgen juga dapat meningkatkan massa tulang dengan beberapa cara, seperti memicu aktifitas osteoblas melalui reseptor androgen di tulang, dan terjadinya aromatisasi androgen menjadi estrogen di tulang itu sendiri. Pada pengobatan wanita-wanita pascamenopause yang sudah mengalami osteoporosis dengan Nandrolon Underkonat (intramuskuler 50 mg setiap 3 minggu) ditemukan penambahan densitas mineral tulang yang sangat mencolok. Efek samping negatif berupa gambaran androgenisasi, seperti perubahan suara dan gambaran hirsutisme, sedangkan efek positifnya berupa berkurangnya jumlah lemak dan peningkatan massa otot. Menopause merupakan proses biologis dan alamiah sebagai salah satu siklus kehidupan wanita yang akan dilalui oleh setiap wanita bila memiliki umur panjang. Pada masa ini terjadi perubahan anatomi dan penurunan fungsi tubuh. Hal ini dihubungkan
49
dengan kekurangan hormon estrogen, masalah psikososial, dan penyakit usia lanjut (Baziad, 2003).
2.5 Sulih Testosteron Oleh karena aging berkaitan dengan penurunan hormon, pengobatan yang tepat haruslah bertujuan meningkatkan atau mengembalikan kadar hormon-hormon tersebut, termasuk hormon testosteron. Penurunan hormon-hormon ini akan memperburuk kualitas hidup wanita pada masa menopause dan pria pada masa andropause. Pengobatan dengan testosteron pada umumnya dilakukan dalam jangka panjang, dan memerlukan pemeriksaan yang teratur, termasuk pemeriksaan kadar hormon dan reaksi yang terjadi. Ada beberapa preparat testosteron untuk pengobatan pengganti, dengan cara pemberian yang berbeda, yaitu: 1. per oral (Testosterone undecanoate dan buccal Testosterone) 2. injeksi
intramuskuler
(Testosterone
propionate,
Testosterone
enanthate,
Testosterone undecanoate, dan injeksi subkutan Testosterone pellet) 3. transdermal (T gel dan T patch) Preparat sulih testosteron dapat diberikan secara oral dalam bentuk tablet, suntikan, secara rektal, aplikasi nasal, implan, dan transdermal.
2.5.1 Pemberian Injeksi Testosteron pada Pria Perubahan aktifitas dari poros hipotalamus-hipofise-gonadal pada pria terjadi
50
lebih lambat. Seiring dengan penuaan, kadar serum total dan free testosterone tampak menurun. Andropause terjadi karena penurunan jumlah dan kemampuan sekresi sel Leydig. Penurunan serum total testosteron ini dimulai setelah umur 40 tahun. Kadar free testosterone juga menurun sehubungan dengan peningkatan SHBG (Sex Hormone Binding Globulin). Gejala-gejala pada defisiensi androgen pada pria:
Menurunnya aktivitas dan libido (sexual desire)
Menurunnya ereksi spontan dan mengecilnya testis
Berkurangnya tinggi badan dan bone mineral density
Berkurangnya kekuatan otot, hot flushes dan berkeringat
Berkurangnya energi, motivasi, dan inisiatif
Depresi dan perasaan sedih
Konsentrasi dan daya ingat menurun, serta gangguan tidur
Anemia ringan (normokromik, normositer)
Peningkatan lemak tubuh dan indeks massa tubuh Terapi testosteron dianjurkan untuk pria yang mengalami sindroma defisiensi
androgen, agar dapat memperbaiki fungsi seksual dan kepadatan tulang. Hasil terapeutik sebaiknya dapat meningkatkan kadar testosteron sampai kadar 400-800 mg/dl untuk pria dewasa muda. Untuk pria dewasa tua sebaiknya mencapai kadar yang lebih rendah yaitu 300-500 mg/dl (Bhasin, 2006).
2.5.2 Pemberian Injeksi Testosteron pada Wanita
51
Keputusan pemberian pengobatan hormon pada wanita menopause harus mempertimbangkan keuntungan dan risiko berdasarkan riwayat kesehatan yang bersangkutan. Akan tetapi, pengobatan hormon pada menopause tidak boleh diberikan bila wanita mempunyai riwayat kanker payudara atau rahim, stroke, serangan jantung, penggumpalan darah, dan mengalami gangguan fungsi hati. Dalam keadaan seperti ini, disarankan melakukan perbaikan hidup sebagai pengganti pengobatan hormon atau mencoba pengobatan lain (Pangkahila, 2007). Androgen memegang peranan penting dalam fungsi seksual wanita, yang mengalami penurunan kadar androgen pada akhir masa reproduksi. Meskipun tidak ada preparat androgen yang secara spesifik disetujui oleh FDA untuk pengobatan disfungsi seksual atau insufisiensi androgen pada wanita, pemberian androgen ini telah digunakan tanpa label untuk memperbaiki disfungsi seksual dan menurunnya libido pada wanita berusia di atas 40 tahun. Telah banyak dilakukan clinical trial pada wanita postmenopause yang kehilangan libido, memperlihatkan secara signifikan bahwa dengan pemberian testosteron dapat memperbaiki fungsi seksual yaitu dorongan, bangkitan, frekuensi, dan kepuasan seksual. Selama penelitian yang dilakukan selama 2 tahun, pada kontrol tidak ditemukan efek samping yang berarti. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian testosteron dosis rendah cukup efektif untuk memperbaiki disfungsi seksual pada wanita postmenopause (Bolour dan Braunstein, 2005). Adakalanya injeksi mixed testosterone esters (50-100 mg) digunakan setiap 4-6 minggu secara intramuskular pada wanita dengan simtom defisiensi androgen, meskipun tidak ada data-data mengenai hal ini. Secara klinis, terapi ini memberikan efek
52
yang cepat, yaitu meningkatnya libido dalam waktu 2-3 hari setelah pemberian injeksi. Farmakokinetik dari mixed testosterone esters injeksi pada wanita belum dipelajari, tetapi para wanita tersebut melaporkan timbulnya acne dan cliteromegaly setelah mendapatkan injeksi (Buckler, 1998).
2.5.3 Efek Samping Injeksi Testosterone Enantate Dosis Tinggi Efek samping dalam penggunaan injeksi testosteron dosis tinggi berbeda pada setiap individu. Gejala-gejala hiperandrogen (Gooren, 1990) adalah: 1. Efek pada gonadotropin, spermatogenesis, dan fungsi seksual 2. Efek pada metabolisme dan beberapa sistem organ: -
Efek anabolik (efek pada keseimbangan nitrogen, perkembangan otot, dan sebagainya)
-
Efek pada hematopoesis dan formasi trombus
-
Retensi air dan garam
-
Efek metabolik lainnya (termasuk efek pada ginjal, pernapasan, dan metabolisme tulang)
3. Efek virilisasi 4. Memengaruhi sistem saraf pusat 5. Efek terhadap hepar dan hipersensitifitas 6. Efek teratogenik Kontraindikasi relatif untuk terapi testosteron adalah akne tingkat sedang-berat, hirsutisme, alopesia androgenik, dan keadaan-keadaan di mana peningkatan libido tidak
53
dikehendaki. Kontraindikasi absolutnya antara lain hamil, menyusui, dan suspected androgen-dependent neoplasia. Efek samping dari pemberian testosteron dosis tinggi adalah virilisasi, retensi cairan, dan potentially adverse lipoprotein-lipid effects (David, 1999). Menurut Goodman (2001), efek samping testosteron dosis tinggi antara lain hirsutisme, acne, dan alopecia, dan yang berkaitan dengan sistem reproduksi wanita yaitu amenore dan infertilitas. Hiperandrogenisme juga dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler yang serius (seperti hipertensi, penyakit mikrovaskuler, dan dislipidemi), dan penyakit metabolik lainnya (seperti Diabetes Melitus tipe 2). Kondisi yang umumnya terjadi pada hiperandrogenisme pada usia reproduksi adalah penyakit-penyakit ovulatori dan Polycystic Ovary Syndrome (PCOS). Pemberian testosteron sebaiknya tidak diberikan pada wanita postmenopause yang tidak mendapatkan terapi sulih estrogen. Awalnya, pemberian estrogen saja dapat memperbaiki gejala-gejala postmenopause, seperti mengurangi kekeringan vagina, dan kemudian untuk meningkatkan fungsi seksualnya dibutuhkan terapi androgen. Selanjutnya, pemberian testosteron saja akan menekan SHBG yang dapat meningkatkan timbulnya efek samping.
2.6 Hewan Coba Tikus 2.6.1 Penggunaan Tikus (Rattus Norvegicus) di Laboratorium Penggunaan tikus atau rat (Rattus Norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang
54
memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino putih berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya, dan galur Wistar yang ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek (Malole dan Pramono, 1989). Tikus (Rattus Norvegicus) galur Wistar lebih besar dari famili tikus umumnya, di mana tikus ini dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung ekor dan berat 140-500 gram. Tikus betina biasanya memiliki ukuran lebih kecil dari tikus jantan dan memiliki kematangan seksual pada umur 4 bulan dan dapat hidup selama 4 tahun (Kusumawati, 2004). Berikut adalah data biologis tikus:
Data Biologis Tikus KARAKTERISTIK Berat badan Jantan Betina Berat lahir Lama hidup Temperatur tubuh Kebutuhan air Kebutuhan makanan Frekuensi denyut jantung Frekuensi respirasi Tidal volume Pubertas Saat dikawinkan Jantan Betina Lama siklus birahi Lama kebuntingan Jumlah anak perkelahiran
UKURAN ( gram ) ( gram ) ( gram ) ( tahun ) (oC) (ml/100g BB) (g/100g BB ) (permenit) (permenit) (ml) (hari)
: : : : : : : : : : :
300-400 250-300 5-6 2,5-3 35,9-37,5 8-11 5 330-480 66-114 0,6-1,25 50-60
(hari) (hari) (hari) (hari)
: : : : :
65-110 65-110 4-5 21-23 6-12
55
Umur sapih
(hari)
:
21
Tabel 2.2 Data Biologis Tikus (Malole dan Pramono, 1989; Kusumawati, 2004)
2.6.2 Pemberian Makanan dan Air Minum Tikus di Laboratorium Bahan dasar makanan tikus dapat bervariasi misalnya: protein 20-25% (tetapi hanya 12%, kalau protein itu lengkap berisi semua asam amino esensial dengan konsentrasi benar), lemak (5%), pati (45-50%), serat kasar (kira-kira 5%), abu (4-5%), vitamin A (4.000 IU/Kg), vitamin D (1.000 IU/Kg), alfa tokoferol (30 mg/Kg), asam linoleat (3 mg/Kg), tiamin (4 mg/Kg), riboflavin (3 mg/Kg), pantotenat (8 mg/Kg), vitamin B12 (50 ug/Kg), biotin (10 ug/Kg), piridoksin (40-300 ug/Kg), dan kolin (1000 mg/Kg). Untuk memenuhi kebutuhan makanan tikus, di Indonesia dipakai makanan ayam petelur (kandungan protein 17%) yang mudah diperoleh di toko makanan ayam (Malole dan Pramono, 1989) dan pemberian air minum tikus ad libitum. Keperluan mineral tikus tercantum dalam tabel berikut ini: Mineral
Kebutuhan
Kalsium
0,5%
Fosfor
0,4%
Magnesium
400 mg/Kg
Kalium
0,36%
Natrium
0,05%
Tembaga
5,0%
Yodium
0,15 mg/Kg
Besi
35,0 mg/Kg
56
Mangan
50,0 mg/Kg
Seng
12,0 mg/Kg
Tabel 2.3 Mineral dalam makanan tikus (Malole dan Pramono, 1989).
2.6.3 Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium Pemantauan keselamatan tikus di laboratorium (Ngatidjan, 2006) antara lain: 1. Kandang tikus harus cukup kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu kali seminggu), mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan gigitan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur harus mudah menyerap air, pada umumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam padi. 2. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan fisiologi tikus (suhu, kelembaban, dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari). 3. Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram, luas lantai tiap ekor tikus adalah 600 cm², tinggi 20,0 cm. 4. Tikus harus diperlakukan dengan kasih sayang. Aspek kesejahteraan tikus laboratorium meliputi:
Bebas dari rasa sakit
Bebas dari rasa haus dan lapar
Bebas dari penyakit
57
Pengendalian penyakit pada tikus antar lain:
Sering mengganti alas tidur dan membersihkan kandang
Merawat tikus dengan cara yang higienis, yaitu tangan perawat harus selalu bersih
Perhatikan secara seksama gejala-gejala sakit, misalnya berat badan turun atau gejala lain seperti sukar bernapas dan mencret
Setelah pengambilan darah dilakukan, tikus sebaiknya diberikan vitamin seperti asam folat dan B12
Untuk mengurangi rasa sakit pada saat pengambilan darah dapat diberikan alkohol pada area yang akan diinjeksi.
2.6.4 Perilaku Seksual Tikus Betina Berbeda dengan
manusia, mamalia yang bukan primata tidak mengalami
menstruasi. Siklus seksualnya disebut siklus estrus. Keinginan hewan betina untuk melakukan hubungan seksual muncul pada siklus ini. Pada spesies yang ovulasinya spontan seperti tikus, peristiwa endokrin yang mendasarinya sama seperti siklus menstruasi. Ovulasi pada spesies lainnya dapat ditimbulkan oleh kopulasi (reflek ovulasi) (Ganong, 1990). Siklus estrus dibagi menjadi 4 fase berdasarkan gejala klinik, perubahan pada organ, dan saluran reproduksi, yaitu (1) proestrus, (2) estrus, (3) metestrus, dan (4) diestrus (Partodiharjo, 1992). Proestrus yang dihasilkan hormon estrogen merupakan periode persiapan yang ditandai dengan pertumbuhan folikel oleh FSH dan dihasilkan hormon estrogen. Fase ini
58
pada tikus berlangsung kira-kira 12 jam. Estrus yang ditandai dengan penerimaan pejantan oleh betina untuk kopulasi merupakan masa keinginan kawin (Partodiharjo, 1992). Estrogen pada fase ini mencapai konsentrasi tertinggi pada waktu terbentuknya folikel de Graaf yang berisi ovum sehingga merangsang hipofise anterior utntuk menyekresikan LH (luteinizing hormone) yang diperlukan untuk ovulasi. Metestrus merupakan lanjutan periode estrus. Sel-sel granulosa dan sel-sel teka yang berasal dari folikel yang telah pecah pada periode ini akan membentuk korpus luteum dan mulai menghasilkan progesteron (Partodihjarjo, 1992; Hardjopranjoto, 1995). Fase ini pada tikus berlangsung kira-kira 21 jam. Diestrus merupakan periode akhir siklus estrus. Korpus luteum berkembang sempurna pada periode ini. Hormon LH pada fase ini sangat berperan memelihara korpus luteum untuk memproduksi progesteron. Selanjutnya hipofise anterior mulai menyekresikan hormon gonadotropin (FSH dan LH) untuk merangsang pertumbuhan folikel baru (Partodiharjo, 1992; Hardjopranjoto, 1995). Fase ini berlangsung kira-kira 57 jam. Berikut perubahan-perubahan yang terdapat pada ulas vagina dan perilaku seksual tikus betina: Tahap Estrus (waktu)
Ulas Vagina
Perilaku Seksual
Proestrus (12 jam)
Sel epitel
Pre kopulasi
Estrus (12 jam) Metestrus (21 jam) Diestrus (57 jam)
Tabel 2.4
Sel kornifikasi Sel kornifikasi, leukosit Leukosit, sel epitel
Lordosis Menolak jantan Menolak jantan
Perubahan-perubahan yang terdapat pada ulas vagina dan perilaku seksual
59
tikus betina
Estrogen berperan dalam menjaga libido dan perilaku seksual tikus (Kenyon, 2000). Peranan estrogen pada saat perilaku prekopulasi adalah meningkatkan keinginan betina untuk mendekati jantan, menyebabkan atraktifitas betina dengan merangsang terbentuknya stimulus seperti bau, feromon, dan suara (Carlson,2001; Kenyon, 2000). Hormon estrogen dibentuk saat proses maturasi dari folikel ovarium dan proses aromatisasi oleh enzim aromatase sehingga terjadi konversi dari androgen dalam hal ini androstenedion dan testosteron menjadi estrogen (Shiverick dan Salafia, 1999). Dorongan atau motivasi seksual dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain hormon testosteron. Testosteron pada tikus betina dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Testosteron mempunyai peranan penting pada perilaku seksual tikus betina (Kenyon, 2000). Injeksi testosteron pada tikus betina yang diovarektomi mengakibatkan peningkatan perilaku seksual dalam bentuk perilaku proseptif (de Jonge et. al. dalam Kenyon, 2000). Bila kekurangan hormon testosteron atau mengalami gangguan dalam bereaksi terhadap hormon itu maka dorongan seksualnya menurun (Pangkahila, 2005). Dioksin yang mengacaukan sistem biologis hormon akan mengakibatkan gangguan dalam bereaksi terhadap hormon testosteron. Anonim (2007) menyatakan rangsangan seksual tikus mulai muncul dari hidung, di mana terdapat organ yang peka rangsangan yang disebut vomeronasal. Dari kelenjar eksokrin pada vomeronasal akan terbentuk feromon yang merupakan sinyal kimia untuk komunikasi sosial dan seksual. Feromon ini dalam kadar yang cukup akan menstimuli perilaku seksual pada tikus betina, bila kadarnya menurun akan mengakibatkan
60
penurunan perilaku seksual. Tikus betina mengadopsi perilaku seksual tikus jantan berupa menunggangi dan melengkungkan pelvis. Menurut Pfaus (1996) perilaku seksual tikus betina dapat dibedakan menjadi atraktif, proseptif, dan reseptif. Atraktif adalah perubahan fisiologis dan perilaku yang mempengaruhi jantan sehingga tertarik dengan tikus betina. Proseptif adalah perilaku yang menunjukkan keinginan betina untuk melakukan kopulasi dengan jantan. Pada tikus perilaku prekopulasi atau bercumbu merupakan tahapan yang penting dalam kopulasi. Perilaku ini merupakan keinginan betina untuk mendekati jantan. Ada tiga komponen dalam perilaku proseptif: pendekatan, orientasi, dan berlarian. Dalam hal ini betina akan mendekati jantan kemudian beradaptasi dengan jalan mencium atau membaui daerah sekitar genital. Berlarian merupakan perilaku betina melompat dengan kaki kuku dan tiba-tiba berlari cepat menjauhi jantan. Tahapan kejadian yang ditunjukkan oleh tikus betina akan merangsang tikus jantan untuk mengejar betina tersebut dan ingin melakukan kopulasi (Pfaus, 1996). Reseptif adalah perilaku yang menunjukkan kemampuan betina untuk melakukan kopulasi (Kenyon, 2006). Perilaku kopulasi (kawin) pada tikus betina ditunjukkan dengan tubuh lordosis. Betina akan diam tidak bergerak, serta melengkungkan punggung dan memanjangkan kaki depan menyebabkan terangkatnya kepala dan pantat serta menyampingnya ekor ke satu sisi tubuh. Postur tubuh lordosis terjadi ketika jantan melakukan posisi kopulasi pada betina yang bersifat reseptif.
61
2.6.5 Perilaku Seksual Tikus Jantan Perilaku seksual tikus jantan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku prekopulasi dan perilaku kopulasi (kawin). Perilaku prekopulasi merupakan tahap bercumbu ditunjukkan dengan mengendus bau yang disekresikan oleh betina. Tikus betina menyekresikan satu jenis bau yang merangsang jantan untuk memeriksa daerah genital betina dan jenis yang lain merangsang jantan untuk melakukan mount pada betina (Pfaus, 1996). Setelah melalui masa percumbuan tikus akan menunjukkan perilaku kopulasi yang terdiri dari beberapa tahap. Satu tahapan terdiri dari mount, intromission, ejakulasi. Mount adalah perilaku jantan dimana jantan mengambil posisi kopulasi pada punggung betina dan memegang panggul betina serta melakukan pelvic thrusting. Intromission adalah perilaku jantan mengambil posisi kopulasi pada punggung betina, memegang panggul betina, pelvic thrusting dan penetrasi vagina. Ejakulasi adalah pengeluaran sekret dari kelenjar prostat, vesikula seminalis, kelenjar koagulum, dan spermatozoa. Sekret ini akan menggumpal membentuk copulatory plug atau sumbat vagina (Kenyon, 2006). Interval postejakulasi adalah periode refrakter yang terjadi setelah ejakulasi dimana jantan tidak tertarik terhadap perilaku seksual betina yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit. Kelelahan merupakan periode refrakter dimana jantan tidak tertarik lagi terhadap perilaku seksual, walaupun ada betina lain yang baru (Kenyon, 2006). Motivasi seksual merupakan kecenderungan jantan untuk mencari dan
62
mendapatkan betina yang akan diajak kawin. Derajat motivasi seksual berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mount dan intermission. Semakin tinggi motivasi seksual akan ditunjukkan dengan waktu mount dan intermission yang semakin singkat (Pfaus, 1996).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir Setelah mencapai dewasa, secara alamiah sebagian komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi. Sebaliknya justru terjadi penurunan karena proses penuaan. Banyak faktor yang menyebabkan penuaan antara lain adalah faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen meliputi aging process, penyakit degeneratif, gangguan poros hipotalamus-organ, dan genetik. Sedangkan faktor eksogen antara lain keadaan umum yang tidak baik, gaya hidup tidak sehat, umur, stres, dan penyakit. Kerangka berpikir pada penelitian ini berdasarkan teori bahwa terjadinya suatu perubahan fungsi dari semua organ tubuh yang sebagai proses penuaan (aging) terjadi karena banyak faktor yang saling mempengaruhi satu sama lain. Salah satunya adalah adanya gangguan poros hipotalamus-organ yang menyebabkan penurunan kadar hormon di dalam tubuh. Hormon testosteron dapat diberikan untuk menghambat proses penuaan, namun dosis yang diberikan harus sesuai dengan dosis yang telah dianjurkan. Saat ini banyak masyarakat yang menggunakan injeksi testosteron melebihi dosis yang telah ditentukan, antara lain dengan produk dagang dengan nama Raitorio®, yang dapat meningkatkan kadar hormon estrogen.
63
64
3.2 Konsep Penelitian Berdasarkan penjelasan di atas, maka pemberian injeksi testosteron dosis tinggi akan menurunkan kadar estrogen dapat dilihat pada skema 3.1.
Faktor Endogen:
TE dosis
Faktor Eksogen:
tinggi - Keadaan umum tidak
- Genetik
baik
- Gangguan poros hipotalamus-hipofise-
Tikus betina dewasa
organ
- Gaya hidup tidak sehat - Umur
- Penyakit degeneratif
- Stres Kadar estrogen
Skema 3.1 Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir, maka hipotesis yang dapat diajukan adalah :
Pemberian injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi (Raitorio®) dapat menurunkan kadar estrogen pada tikus betina dewasa.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah randomized pre-post test control group design (Pocock, 2008). Pada kelompok subyek penelitian dilakukan alokasi sampel secara random sehingga didapatkan 2 kelompok. Satu kelompok sebagai kelompok kontrol yang diberikan plasebo aqua pro-injeksi (sesuai dengan volume TE), kelompok yang lain sebagai kelompok perlakuan yang diberikan Testosterone Enanthate dosis tinggi (Raitorio®) sebanyak 180 mg intramuskular. Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
P
S
O1
P0
O3
P1
O2
RA
Skema 4.1 Rancangan Penelitian
65
O4
66
Keterangan: P
= Populasi tikus betina dewasa muda umur 90 hari, berat badan 200-250 gram
S
=
Sampel tikus
RA
= Random Alokasi
O1, O3
= Kadar estrogen sebelum perlakuan
O2
= Kadar estrogen setelah 2 minggu diberikan suntikan plasebo (aquabides)
O4
= Kadar estrogen setelah 2 minggu diberikan suntikan Testostreron Enanthate dosis tinggi
P0
= Perlakuan dengan diberi suntikan plasebo (aquabides)
P1
= Perlakuan dengan diberi suntikan intramuskuler Testostreron Enanthate dosis tinggi
4.2
Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratory Animal Unit, Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Subyek Penelitian
67
Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah tikus yang sesuai dengan sampel yang telah ditentukan dalam penelitian.
4.3.2 Kriteria Subyek Sampel dalam penelitian ini adalah tikus betina dewasa muda, yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut : Kriteria Inklusi : a.
Tikus betina putih dewasa (Rattus norvegicus dari galur Wistar)
b.
Umur 90 hari
c.
Berat badan 200-250 gram.
Kriteria Eksklusi: apabila tikus sakit pada saat penelitian. Kriteria Drop out : apabila tikus mati pada saat penelitian.
4.3.3 Besaran Sampel Pada penelitian ini perhitungan jumlah sampel dihitung dengan rumus (Federer, 1963): (n-1) x (t-1) ≥ 15 n = jumlah replikasi t = jumlah perlakuan Perhitungan sebagai berikut (n-1) x (2-1) ≥ 15, jadi n=16. Jumlah sampel per kelompok adalah 16 ekor tikus. Tiap kelompok ditambah 2 ekor sebagai cadangan. Ada 2 kelompok, jadi total jumlah sampel adalah 36 ekor tikus.
68
4.3.4 Teknik Penentuan Sampel Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara berikut : a)
Dari populasi tikus (Rattus norvegicus) diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi.
b)
Dari jumlah sampel yang telah memenuhi syarat diambil secara random untuk mendapatkan jumlah sampel.
c)
Dari sampel yang telah dipilih kemudian dibagi menjadi 2 kelompok secara random yaitu kelompok kontrol dan kelompok yang mendapat perlakuan, masing-masing kelompok dengan jumlah sampel.
4.4 Variabel 4.4.1 Klasifikasi Variabel a.
Variabel bebas
:
b.
Variabel tergantung :
kadar estrogen
c.
Variabel kontrol
- varian tikus (Rattus norvegicus)
:
Testosterone Enanthate (Raitorio®) dosis tinggi
- jenis kelamin, umur, berat badan tikus - suhu, kelembaban, nutrisi, kandang
4.4.2 Definisi Operasional Variabel 1. Testosterone Enanthate dosis tinggi (Raitorio®) adalah suatu bentuk sediaan testosterone esther sebesar 10.000 mg, diinjeksikan intramuskular satu kali. 2. Kadar estrogen adalah kadar hormon estradiol dalam darah yang diukur dengan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Darah diambil
69
pada awal penelitian untuk masing-masing kelompok penelitian dan 14 hari kemudian (setelah selesai diberi perlakuan). 3. Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus betina putih (Rattus norvegicus) dari galur Wistar, betina, umur 90 hari, berat badan 200-250 gram. 4. Kualitas dan kuantitas kandang adalah kandang pemeliharaan dengan atap dari kawat, dilengkapi dengan tempat makanan dan minuman, dan disediakan satu kandang untuk 5 (lima) ekor tikus. 5. Kualitas dan kuantitas makanan berupa konsentrat makanan ayam dan minuman yang diberikan secara tak terbatas (ad libitum). Suhu ruang tikus dipertahankan 20-25ºC, kelembaban dan pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari, aliran udara dalam ruang harus lemah dan mantap (ruang berventilasi baik dengan penyinaran normal).
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian 4.5.1 Bahan Penelitian 1. Testosterone Enanthate 10.000mg (1 vial 5000mg = 2 cc, Raitorio®) 2. Darah tikus betina sehat umur 90 hari 3. Reagen untuk pemeriksaan estradiol 4. EDTA (Ethylen Tetra Diamine) 5. Aquabides
4.5.2 Instrumen Penelitian
70
1. Kandang tikus dengan kelengkapan tempat makanan dan minuman 2. Pipet kapiler hematokrit 3. Tabung penampung darah 4. Set alat pemeriksaan estradiol darah tikus 5. Sarung tangan 6. Alat kit estradiol 7. Kamera digital
4.6 Tata Cara Penelitian Penelitian dilakukan sebagai berikut : 4.6.1 Pemberian Perlakuan
Sejumlah sampel tikus diadaptasi selama 1 minggu, dengan 4-5 ekor tikus dalam satu kandang, diberikan makanan standar dan minum ad libitum.
Secara random tikus dibagi menjadi 2 kelompok sebagai kelompok kontrol dan kelompok TE.
Kedua kelompok tersebut kemudian diambil darahnya melalui vena orbita masing-masing sebanyak 1 ml dengan mempergunakan pipet kapiler hematokrit,
kemudian ditampung dalam
tabung
yang
sudah diberi
antikoagulan (EDTA), kemudian dilakukan pemeriksaan estradiol.
Kelompok perlakuan diberikan injeksi Testosterone Enanthate (Raitorio®) dengan dosis yang sudah disesuaikan dengan berat badan masing-masing secara intramuskular, sedangkan kelompok kontrol diberikan injeksi aquabides.
71
Kedua kelompok diambil kembali untuk diperiksa kadar estradiol setelah mendapatkan injeksi aquabides dan TE pada hari ke-14 setelah injeksi.
Pengamatan terhadap perilaku seksual tikus betina dilakukan dalam kandang dengan ukuran 50cm x 30cm x 30cm yang beralaskan sekam. Jantan diaklimatisasi dalam kandang kaca selama kurang lebih 20 menit. Setelah 20 menit aklimatisasi, tikus betina dimasukkan ke dalam kandang kaca. Pengamatan dilakukan secara terus menerus, segera setelah tikus betina menunjukkan perilaku seksual reseptif, tikus jantan dikeluarkan dari kandang. Bila dalam 30 menit tikus betina tidak menunjukkan perilaku seksual reseptif maka perkawinan dianggap gagal.
Dilakukan analisis statistik.
Seluruh sampel tikus dikembalikan ke tempatnya semula sebelum dilakukan penelitian untuk dipelihara kembali.
4.6.2 Perhitungan Dosis Long Acting Testosterone Enanthate Untuk Subyek Penelitian Perhitungan dosis digunakan konversi dari manusia (berat badan 70kg) ke tikus (200 g) adalah 0,018. Dosis manusia 10.000 mg Long Acting Testosterone Enanthate (Raitorio®) setelah dikonversi pada tikus menjadi 0.018 x 10.000 mg = 180 mg (Laurence, dalam Ngatidjan, 2006). Sediaan yang dipakai dalam penelitian ini adalah 2 ampul Long Acting Testosterone Enanthate (Raitorio®) yang mengandung 10.000 mg/4ml (2.500 mg/ml). Kelompok P1 diberi Long Acting Testosterone Enanthate (Raitorio®)
72
disuntikkan intramuskular pada paha tikus sesuai dengan berat badan tikus yang telah ditimbang. Untuk kelompok kontrol, masing-masing tikus diberi aquabides. Penyuntikan Long Acting Testosterone Enanthate (Raitorio®) secara intramuskular dilakukan satu kali. Pada hari ke-14 kadar estradiol kedua kelompok tikus diperiksa kembali. Perhitungan dosis sesuai dengan berat badan tikus adalah sebagai berikut: No. Urut
Berat Badan Kontrol (gr)
Dosis Aquabidest
Berat Badan Perlakuan (gr)
Dosis TE (ml)
(ml)
1
208
0.075
210
0.076
2
200
0.072
205
0.074
3
200
0.072
200
0.072
4
211
0.076
208
0.075
5
215
0.077
217
0.078
6
205
0.074
225
0.081
7
207
0.075
214
0.077
8
210
0.076
216
0.078
9
220
0.079
217
0.078
10
218
0.078
200
0.072
11
200
0.072
210
0.076
12
225
0.081
210
0.076
73
13
208
0.075
200
0.072
14
218
0.078
211
0.076
15
214
0.077
225
0.081
16
206
0.074
218
0.078
17
219
0.079
200
0.072
18
206
0.074
228
0.082
Tabel 4.1 Perhitungan dosis sesuai dengan berat badan tikus
74
4.6.3 Alur Penelitian Tikus Betina Dewasa Muda
Pre Treatment
Kelompok Kontrol
Diambil darah untuk periksa estradiol
Pemberian Plasebo 14 Hari
Post Treatment
Kelompok Perlakuan
Pemberian TE 14 Hari
Diambil Darah Untuk Periksa Estradiol
Analisis
Skema 4.2 Alur Penelitian
4.6.4 Teknik Pengambilan Darah Darah diambil dari vena orbita sebanyak 1 ml dengan mempergunakan pipet kapiler hematokrit, kemudian ditampung dalam tabung yang sudah diberi antikoagulan ( EDTA ).
4.6.5 Mekanisme Kerja Penelitian Model ELISA
yang digunakan adalah Sandwich
ELISA,
yaitu
menggunakan tiga macam antibodi. Antibodi pertama biasanya menggunakan
75
antibodi monoklonal yang dilapiskan pada microplate dan selanjutnya direaksikan dengan antigen. Setelah dilakukan pencucian baru ditambahkan antibodi kedua atau sampel serum yang akan dideteksi dan selanjutnya direaksikan dengan antibodi ketiga yaitu fragmen imunoglobulin yang akan dideteksi (Rantam, 2003). Pemeriksaan dengan metode ELISA untuk estradiol yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Reagen diletakkan di suhu ruang sebelum digunakan. 2. Pipet 50 µL Standard, sampel, dan QC ke dalam well. 3. Tambahkan 100 µL E2 Enzyme Conjugate ke masing-masing well, kocok 2-5 menit dan kemudian inkubasi selama 2 jam di suhu 37ºC. 4. Buang cairan dan cuci 5x dengan wash solution (300 µL per well. Keringkan diatas tissue. 5. Tambahkan 100 µL TMB substrate solution kedalam masing-masing well termasuk blak. 6. Inkubasi plate di suhu ruang selama 20 menit. 7. Tambahkan 50 µL stopping solution dan homogenkan dengan cepat. 8. Baca microwell dengan microwell reader di panjang gelombang 45nm.
4.7 Analisis Statistik Data yang diperoleh akan dianalisis sebagai berikut:
1. Analisis Deskriptif. 2. Analisis Normalitas dan Homogenitas: a. Uji Normalitas data dengan Shapiro-Wilk test, didapatkan data tidak
76
berdistribusi normal ( p<0.05) (Rees, 2001). b. Uji homogenitas tidak dilakukan karena data tidak berdistribusi normal (Archambault, 2008). 3. Analisis Inferensial: Karena data tidak berdistribusi normal maka digunakan Uji Wilcoxon Test untuk mengetahui perbedaan antara pre dengan post (Weisstein, 2008) dan antar kelompok dengan Mann-Whitney Test (Schoonjans, 2008).
BAB V HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 36 tikus betina dewasa
sebagai
sampel, yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu kelompk P1 (kontrol) dan kelompok P2 (Testosterone Enanthate). Masing-masing berjumlah 18 ekor. Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji normalitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan.
5.1 Uji Normalitas Data Data kadar estradiol baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan bahwa semua data tidak berdistribusi normal, dan hasilnya disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas Data Kadar Estradiol masing-masing Kelompok Baik Sebelum maupun Sesudah Perlakuan
Kelompok Perlakuan
N
77
p
Keterangan
78
.001
Kontrol Pre
18
Testosterone Enanthate Pre
18
Kontrol Post
18
Testosterone Enanthate Post
18
.001 .001 .001
Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal
5.2 Analisis Efek Perlakuan Injeksi Testosterone Enanthate Dosis Tinggi Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata kadar estradiol antara sebelum dengan sesudah diberikan perlakuan berupa injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Wilcoxon Signed Ranks Test disajikan pada Tabel 5.2 berikut. Tabel 5.2 Rerata Kadar Estradiol antara Sebelum dengan Sesudah Diberikan Perlakuan
Perlakuan Kelompok
Beda
P
Sebelum
Sesudah
Rerata
Kontrol
65,39±153,97
86,04±255,35
20,65
0,554
Testosterone Enanthate
16,22±29,19
719,91±897,93
703,69
0,001
79
Tabel 5.2 di atas menunjukkan bahwa rerata kadar estradiol sebelum perlakuan pada kelompok kontrol adalah 65,39153,97 dan rerata sesudah perlakuan adalah 86,04255,35. Sedangkan rerata kadar estradiol sebelum perlakuan pada kelompok Testosterone Enanthate adalah 16,2229,19 dan rerata sesudah perlakuan adalah 719,91897,93. Analisis kemaknaan dengan uji Wilcoxon Sign Rank Test menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol nilai p = 0,554 dan pada kelompok Testosterone Enanthate nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa terjadi peningkatan kadar estradiol secara bermakna pada kelompok perlakuan (Testosterone Enanthate) (p < 0,05). Sedangkan pada kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan secara bermakna.
Estradiol 719.91
800.00 600.00
Sebelum
400.00 200.00
65.39
86.04 16.22
Sesudah
0.00
Kontrol
Testosterone Enanthate
Gambar 5.1 Perubahan Kadar Estradiol pada Masing-masing Kelompok
Gambar 5.1 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar estradiol pada kelompok Testosterone Enanthate, sedangkan pada kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan.
80
5.3 Perbedaan Kadar Estradiol antar Kelompok 5.3.1 Uji Komparabilitas Analisis komparabilitas diuji berdasarkan rerata kadar estradiol antar kelompok. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney disajikan pada Tabel 5.3 berikut. Tabel 5.3 Rerata Kadar Estradiol antar Kelompok Sebelum Perlakuan
Kelompok Subjek
N
Rerata Kadar Estradiol
SB
Kontrol
18
65,39
153,97
Testosterone Enanthate
18
16,22
29,19
U
P
147,0
0,632
Tabel 5.3 di atas menunjukkan bahwa rerata kadar estradiol kelompok kontrol adalah 65,39±153,97, rerata kelompok Testosterone Enanthate adalah 16,22±29,19. Analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa nilai U = 147,00 nilai p = 0,632. Hal ini berarti bahwa rerata kadar estradiol pada kedua kelompok tidak berbeda (p > 0,05).
5.3.2 Analisis Efek Perlakuan Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata kadar estradiol antar kelompok
81
sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney disajikan pada Tabel 5.4 berikut. Tabel 5.4 Rerata Kadar Estradiol antar Kelompok Setelah Perlakuan
Kelompok Subjek
N
Rerata Kadar
SB
Estradiol
Kontrol
18
86,04
255,35
Testosterone Enanthate
18
719,91
897,93
U
P
34,00
0,001
Tabel 5.4 di atas menunjukkan bahwa rerata kadar estradiol kelompok kontrol adalah 86,04±255,35 dan rerata kadar estradiol kelompok Testosterone Enanthate adalah 719,91±897,93. Analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa nilai U = 34,00 nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata kadar estradiol pada kedua kelompok berbeda (p < 0,05).
82
Estradiol 800.00 700.00 600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00
719.91
Kontrol
65.39 16.22
86.04
Sebelum
Sesudah
Testosterone Enanthate
Gambar 5.2 Perbandingan Kadar Estradiol antar Kelompok Perlakuan
Gambar 5.2 menunjukkan bahwa kadar estradiol sesudah diberikan perlakuan antara kelompok kontrol dengan kelompok Testosterone Enanthate berbeda.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Subyek Penelitian Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 36 tikus betina dewasa. Kadar estradiol baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan bahwa semua data tidak berdistribusi normal, sehingga digunakan uji nonparametrik, yaitu uji Wilcoxon dan Uji Mann-Whitney.
6.2 Peningkatan Kadar Estradiol Setelah Injeksi Testosterone Enanthate Dosis Tinggi (Raitorio®)
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata kadar estradiol sebelum perlakuan pada kelompok kontrol adalah 65,39±153,97 dan rerata sesudah perlakuan adalah 86,04±255,35. Sedangkan rerata kadar estradiol sebelum perlakuan pada kelompok Testosterone Enanthate adalah 16,22±29,19 dan rerata sesudah perlakuan adalah 719,91±897,93. Dengan uji Wilcoxon Sign Rank Test didapatkan bahwa terjadi peningkatan kadar estradiol secara bermakna pada kelompok perlakuan yaitu sesudah injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi (p < 0,05). Sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan secara bermakna. 83
84
Selanjutnya analisis komparabilitas antar kelompok perlakuan diuji berdasarkan rerata kadar estradiol kedua kelompok. Analisis kemaknaan dengan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa rerata kadar estradiol pada kedua kelompok sebelum perlakuan tidak berbeda (p > 0,05). Sedangkan kadar estradiol sesudah perlakuan antara kedua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05). Terjadinya peningkatan kadar estradiol setelah injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi (Raitorio®) menandakan bahwa ada perbedaan dengan kondisi yang seharusnya, yaitu kadar hormon estrogen dalam darah akan menurun karena adanya feedback negative dari kadar testosteron yang tinggi. Salah satu tujuan dari penggunaan injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi ini adalah untuk meningkatkan libido, maka peneliti juga melakukan pengamatan terhadap perubahan perilaku seksual pada kedua kelompok tikus betina tersebut. Dari hasil pengamatan yang dilakukan selama 30 menit terhadap perilaku reseptif pada tikus betina, tidak tampak adanya perubahan perilaku seksual. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan kadar testosteron dalam darah setelah diberikan produk tersebut, karena testosteron pada umumnya dikaitkan dengan aspek seksual dan reproduksi. Pada wanita, androgen diproduksi sebanyak 0.2-0.3 mg/hari, 25 persen oleh ovarium, 25 persen oleh kelenjar adrenalis, dan 50 persen oleh konversi perifer dari prehormone
androstenedione
dan
precursor
dehydroepiandrosterone
(DHEA).
Androstenedione diproduksi di dalam ovarium (50 persen), sedangkan DHEA diproduksi hampir seluruhnya di kelenjar adrenalis (90-95 persen) (Sperrof, 1999). Pada umumnya, testosteron bertanggung jawab terhadap berbagai sifat maskulinisasi tubuh. Penyuntikan sejumlah besar hormon kelamin pria ke dalam hewan yang hamil menyebabkan perkembangan organ-organ seksual jantan walaupun janinnya betina.
85
Sebenarnya testosteron yang disekresikan sebagai respons terhadap LH mempunyai efek timbal balik dalam menghentikan sekresi LH oleh hipofisis anterior. Sejauh ini bagian penghambatan yang lebih besar dihasilkan dari efek langsung testosteron terhadap hipotalamus dalam menurunkan sekresi GnRH. Terlalu sedikit testosteron akan menyebabkan hipotalamus menyekresikan sejumlah besar GnRH, disertai dengan peningkatan sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior. Testosteron mungkin juga mempunyai efek umpan negatif yang lemah, yang bekerja secara langsung pada kelenjar hipofisis anterior sebagai tambahan terhadap efek umpan balik hipofisis anterior terhadap hipotalamus. Umpan balik hipofisis ini diduga secara khusus menghentikan sekresi LH. Akibatnya, sejumlah kecil pengaturan sekresi testosteroon diyakini terjadi dalam cara yang sama. Dalam jaringan lemak, testosteron secara aktif dikonversikan menjadi estradiol, kemudian aromatisasi berperan memberikan umpan balik negatif kepada otak. Maka apabila terdapat testosteron dalam jumlah yang tinggi dalam darah, maka akan terjadi umpan balik negatif kepada otak untuk menurunkan produksi testosteron, sehingga kadar estrogen pun akan berkurang. Terjadinya peningkatan kadar estrogen dan tidak adanya perubahan perilaku seksual setelah perlakuan menunjukkan bahwa kemungkinan bahan yang terkandung dalam produk tersebut tidak sesuai dengan kandungan yang tertera pada kemasan. Selain itu juga ada kemungkinan bahwa kadar testosteron yang tinggi dalam darah teraromatisasi menjadi estradiol, sehingga kadar estradiol dalam darah juga meningkat. Maka dari itu diharapkan masyarakat baik pria maupun wanita untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan produk tersebut, karena kadar estrogen yang tinggi dalam darah
86
dapat menyebabkan gejala-gejala sebagai berikut: Pada wanita: risiko kanker payudara, perdarahan pada vagina, hiperplasia endometrium, dan penyakit kardiovaskuler. Pada pria: terjadi penekanan pada poros hipotalamus-organ sehingga dapat menyebabkan infertilitas. Hal lain yang perlu diperhatikan pada penggunaan produk ini untuk manusia ialah dosis yang digunakan sangat tinggi, apalagi untuk wanita, yaitu 5000-10.000 mg setiap 6-12 bulan sekali. Padahal untuk pria saja dosis yang digunakan hanya 250-300 mg setiap 3 minggu. Pada wanita yang telah mengalami menopause akan terjadi penurunan produksi hormon testosteron, maka sebaiknya sebelum dilakukan terapi hormon dilakukan pemeriksaan Sex Hormone Binding Globulin (SHBG) atau Free Testosterone terlebih dahulu.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian pada tikus betina dewasa didapatkan simpulan sebagai berikut:
-
Pemberian injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi (Raitorio®) tidak menurunkan, tetapi justru meningkatkan kadar estradiol pada tikus betina dewasa.
7.2 Saran Sebagai saran dalam penelitian ini adalah: 1. Disarankan kepada para wanita untuk berhati-hati dalam memilih produk sulih hormon karena tidak semua produk yang dipasarkan mengandung hormon yang sesuai dengan fungsinya. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kemungkinan adanya kandungan lain pada produk Raitorio® tersebut. 3. Jika dilakukan penelitian selanjutnya mengenai produk ini, sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar LH pada semua sampel.
87
88
4. Perlu dilakukan penelitian dengan dosis Testosterone Enanthate yang sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk mengetahui apakah terjadi penurunan kadar estrogen seperti yang terjadi pada penelitian ini. 5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh Testosterone Enanthate dosis tinggi (Raitorio®) tersebut. 6. Kepada
para
dokter
diharapkan
agar
mempertimbangkan
indikasi
dan
kontraindikasi sebelum memberikan injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. Sex-Specific Behaviour in Mice Affected by Sensory Organ, Findings Have Implication for Human Research. Available at: http://www/angelfire.com/il/nalapralaya/rokok/html. Accessed Aug 8, 2007. Archambault, S. 2008. Independent Samples T Test, (cited 2010). Available from: http://www.wellesley.edu/psychology.psych205/indepttest.html Arrington, C. 2009. Low Testosterone in Women. Availlable from: http://www.anti-agingmd.com/testoterone.ht. Accessed February, 6, 2010. Baziad, A. 2003. Menopause dan Andropause. Cetakan pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. hlm. 177-185,196-205. Bhasin, S. et al. 2006. J Clin Endocrinol Metab. 91. p. 1995-2010. Bolour, S., Braunstein, G. 2005. Journal of Impotence Research. p. 399-408. Availlable from: http://www.nature.com-International. Accessed February, 6, 2010. Buckler, H.M., Robertson, W.R., Wu, F.C.W. 1998. Which androgen replacement therapy for women? J. Clin Endocrinol Metab. 83: 3920–3924. Carlson, N.R. 2001. Physiology of Behaviour. Alyn Bacon Inc. London, Sydney. p.248-320. Federer, W.T. 1963. Experimental Design Theory and Application. Man William & Co, Inc. New York. Fowler, B. 2003. Functional and Biological Markers of Aging. In: Klatz, R. 2003. Anti-Aging Medical Therapeutics volume 5. Chicago: the A4M Publications. p. 43. Ganong, W. 2003. Fisiologi Kedokteran. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC: 417-425. Goldman, R. 2007. The New Anti-Aging Revolution. Malaysia: Advantage Quest. p. 65-66. Goodman, N.F.,MD. 2001. Medical Guidelines for Clinical Practice for The Diagnosis and Treatment of Hyperandrogenic Disorders. Vol. 7 No.2. p. 121-124. 89
90
Gooren, L.J.G., Polderman, K.H. 1990. Safety Aspects of Androgen Therapy. In: Nieschlag, E., Behre, H.M., editors. Testosterone-Action, Deficiency, Substitution. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. p. 186-197. Guyton, A.C., Hall, J.E. 2000. Textbook of Medical Physiology. 10th edition. WB Saunders Company; 81:1283-1302. Hall, J.E. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. In: Fauci, Braunwald, Kasper, editors. The Female Reproductive System: Infertility and Contraception. New York: McGraw Hill. p. 2327. Hardjopranjoto, S.H. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Surabaya: Airlangga University Press, hal. 46-49. Kenyon, C.A.P. 2006. Hormones and Sexual Behaviour. University of Playmouth Department of Psychology Study and Learning Material On Line. Kusuma, E. 2009. Sumber informasi penggunaan injeksi Testosterone Enanthate dosis tinggi (Raitorio®) yang diperoleh beberapa dokter di Jakarta (Juni 2009). Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Malole, M.B.M., Pramono, C.S.U. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Jabar. Institut Pertanian Bogor: 104-112. Morgan, R. 2003. Hormone Replacement Therapy: A Primer – DHEA, Estrogen, HGH, Therapeutics volume 5. Chicago: the A4M Publications. p. 325-327, 330-332. Neischlag, E and Behre, H.M. 1990. Testosterone Action: Deficiency Substitution. Germany. Springer Verlag Berlin Heidelberg. Ngatidjan. 2006. Metode Laboratorium Dalam Toksikologi. Yogyakarta. Penerbit Bagian Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Pangkahila,W. 2007. Anti-aging Medicine: Memperlambat Meningkatkan Kualitas Hidup. hal. 24-28, 70-74.
Penuaan
Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, hal. 75; 165-202.
91
Pfaus, J.G. 1996. Frank A Beach Award. Homologies of Animal and Human Sexual Behaviours. Hormones and Behaviour, 30: 187-200. Pocock, S.J. 2008. Clinical Trial: A Practical Approach. Cjicester : John Wiley & Sons. p. 127-128. Rantam, F.A. 2003. Metode Imunologi. Surabaya: Airlangga University Press. hal. 83. Rees, D. 2001. Essential Statistics. 4th ed. London: Chapman & Hall. p. 258. Schoonjans, F. 2008. Mann-Whitney Test (Independent Samples), (cited 2010). Available from: http://www.medcalc.be/manual/mannwhitney.php. Shiverick, K.T. & Salafia, C. 1999. Cigarette Smoking and Pregnancy, Ovarian, Uterine, and Placenta Effects, 20, p. 265-272. Speroff, L. 2004. Clinical Gynaecologic Endocrinology and Infertility. 6th. Ed. Amerika Serikat: Lippincott Williams & Wilkins, p. 48-50; 67-68; 71-78; 879-880. Weisstein, E. 2008. Wilcoxon Signed Rank Test, (cited 2010 March. 19). Available from: http://mathworld.wolfram.com/WilcoxonSignedRanktest Wibowo, S. 2003. Andropause: Keluhan, Diagnosis dan Penanganannya. Dalam: The Concepts of Anti Aging and How to Make Without Disorder. Jakarta: FKUI. hal. 11-17. World Health Organization. 1996. Penuaan dan Kapasitas Kerja. Jakarta: EGC. hal.2.
LAMPIRAN Lampiran 1
Data hasil pemeriksaan kadar estradiol pada kontrol Pre dan Post injeksi placebo
NO.
KONTROL
PRE
POST
1
K1
15
20
2
K2
370
4
3
K3
170
9.2
4
K4
4
20
5
K5
4.4
2.8
6
K6
3.6
2.4
7
K7
9.2
7.9
8
K8
8.4
2.4
9
K9
2
20
10
K10
6.8
11
11
K11
2
2.4
12
K12
2
2.4
13
K13
8
150
14
K14
2
170
15
K15
2
25
16
K16
5.6
5.6
17
K17
2
1090
18
K18
560
3.6
92
93
Lampiran 2
Data hasil pemeriksaan kadar estradiol pada perlakuan Pre dan Post injeksi Testosterone Enanthate Dosis Tinggi (Raitorio®)
NO.
PERLAKUAN
PRE
POST
1
P1
4.4
20
2
P2
8.8
3200
3
P3
2
8.4
4
P4
8
260
5
P5
12
470
6
P6
6.4
2300
7
P7
18
800
8
P8
2.4
90
9
P9
5.2
20
10
P10
5.6
660
11
P11
60
340
12
P12
4
470
13
P13
6.4
240
14
P14
4.8
420
15
P15
2
570
16
P16
20
2200
17
P17
120
470
18
P18
2
420
94
Lampiran 3 Uji Normalitas Data Kadar Estradiol
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova kelompok Estradiol Pre
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Kontrol
.462
18
.000
.481
18
.000
Perlakuan
.337
18
.000
.516
18
.000
.428
18
.000
.363
18
.000
.304
18
.000
.710
18
.000
Estradiol Post Kontrol Perlakuan a. Lilliefors Significance Correction
95
Lampiran 4 Uji Wilcoxon Sign Rank Test antara Pre dengan Post masing-masing Kelompok
Descriptive Statisticsa Percentiles
N Estradiol Pre
Estradiol Post
Mean
Std. Minimu Maximu Deviation m m
25th
50th (Median)
75th
18 65.3889 153.97314
2.00
560.00 2.0000
5.0000
10.650 0
18 86.0389 255.34703
2.40 1090.00 2.7000
8.5500
21.250 0
a. kelompok = Kontrol
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranksd N Estradiol Post - Estradiol Pre Negative Ranks Positive Ranks
Mean Rank 7a
9.14
64.00
10b
8.90
89.00
Ties
1c
Total
18
a. Estradiol Post < Estradiol Pre b. Estradiol Post > Estradiol Pre
Sum of Ranks
96
Ranksd N
Mean Rank 7a
9.14
64.00
10b
8.90
89.00
Estradiol Post - Estradiol Pre Negative Ranks Positive Ranks
Sum of Ranks
Ties
1c
Total
18
a. Estradiol Post < Estradiol Pre b. Estradiol Post > Estradiol Pre c. Estradiol Post = Estradiol Pre d. kelompok = Kontrol
Test Statisticsb,c Estradiol Post Estradiol Pre -.592a
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
.554
a. Based on negative ranks. b. kelompok = Kontrol c. Wilcoxon Signed Ranks Test
Descriptive Statisticsa N
Mean
Std.
Minimum
Maximu
Percentiles
97
Deviation
m
50th (Median)
25th Estradiol Pre
18
16.2222
29.19411
2.00
Estradiol Post
18 7.1991E2 897.93470
8.40
120.00
3.6000
3200.00 2.0250E2
6.0000
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranksd
Estradiol Post - Estradiol Pre Negative Ranks Positive Ranks
Mean Rank .00
.00
18b
9.50
171.00
0c
Total
18
a. Estradiol Post < Estradiol Pre b. Estradiol Post > Estradiol Pre
Sum of Ranks
0a
Ties
13.5000
445.0000 6.9500E2
a. kelompok = Perlakuan
N
75th
98
Ranksd N Estradiol Post - Estradiol Pre Negative Ranks Positive Ranks
Mean Rank 0a
.00
.00
18b
9.50
171.00
Ties
0c
Total
18
a. Estradiol Post < Estradiol Pre b. Estradiol Post > Estradiol Pre c. Estradiol Post = Estradiol Pre d. kelompok = Perlakuan
Test Statisticsb,c Estradiol Post Estradiol Pre Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Based on negative ranks. b. kelompok = Perlakuan c. Wilcoxon Signed Ranks Test
-3.724a .000
Sum of Ranks
99
Lampiran 5 Uji Mann – Whitney antara Kelompok Kontrol dengan Perlakuan
Group Statistics
kelompok Estradiol Pre
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Kontrol
18
65.3889
153.97314
36.29182
Perlakuan
18
16.2222
29.19411
6.88112
18
86.0389
255.34703
60.18587
18 7.1991E2
897.93470
211.64524
Estradiol Post Kontrol Perlakuan
Mann-Whitney Test
Ranks kelompok Estradiol Pre
Estradiol Post
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Kontrol
18
17.67
318.00
Perlakuan
18
19.33
348.00
Total
36
Kontrol
18
11.39
205.00
Perlakuan
18
25.61
461.00
Total
36
100
Test Statisticsb Estradiol Pre
Estradiol Post
Mann-Whitney U
147.000
34.000
Wilcoxon W
318.000
205.000
-.478
-4.059
.632
.000
.650a
.000a
Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: kelompok
101
Lampiran 6 KONVERSI PERHITUNGAN DOSIS UNTUK BEBERAPA JENIS HEWAN DAN MANUSIA
Mencit
Tikus
Marmot
Kelinci
Kucing
Kera
Anjing
Manusia
20 g
200g
400g
1,5 kg
2 kg
4 kg
12 kg
70 kg
1,0
7,0
2,25
27,8
29,7
64,1
124,2
387,9
0,14
1,0
1,74
3,9
4,2
9,2
17,8
56,0
0,08
0,57
1,0
2,25
2,4
5,2
10,2
31,5
0,04
0,25
0,44
1,0
1,08
2,4
4,5
14,2
0,03
0,23
0,41
0,92
1,0
2,2
4,1
13,0
0,016
0,11
0,19
0,42
0,45
1,0
1,9
6,1
0,008
0,06
0,10
0,22
0,24
0,52
1,0
3,1
0,0026
0,018
0,013
0,07
0,076
0,16
0,32
1,0
Mencit 20 g Tikus 200 g Marmot 400 g Kelinci 1,5 kg Kucing 2 kg Kera 4 kg Anjing 12 kg Manusia 70 kg
i
Lampiran 7 Gambar-gambar produk injeksi Testosterone Enanthate Dosis Tinggi (Raitorio®)
ii