TESIS
PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F2-ISOPROSTAN DALAM URIN TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL
DESI HARDIANTY
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
TESIS
PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F2-ISOPROSTAN DALAM URIN TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL
DESI HARDIANTY NIM 0990761009
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F2-ISOPROSTAN DALAM URIN TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
DESI HARDIANTY NIM : 0990761009
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 15 September 2011
Pembimbing I
Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK
Pembimbing II
Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And
NIP : 1302464501
NIP : 194402011964091001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.Wimpie Pangkahila,SpAnd, FAACS NIP : 194612131971071001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,Sp.S NIP: 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai Oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal : 15 September 2011
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor
: 1125/UN14.4/HK/2011
Tanggal
: 22 Juni 2011
Ketua
:
Prof. Dr. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK
Anggota
:
1. Prof. Dr. dr. J.Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And. 2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF 3. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, MOH 4. Prof.Dr.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And.FAACS
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan
Allah SWT atas
berkat,
rahmat, bimbingan serta petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul : Pemberian Propolis Menurunkan Kadar F2-Isoprostan dalam Urin Tikus Putih Jantan (Rattus Novergicus) yang Mengalami Aktivitas Fisik Maksimal.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada : 1.
Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD sebagai Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.
2.
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Program Pascasarjana Universitas Udayana.
3.
Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd, FAACS sebagai Ketua Program Studi Kekhususan Kedokteran Anti Penuaan atas ilmu yang diberikan yang telah memacu penulis untuk dapat berkarya bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya Kedokteran Anti Penuaan, serta memberikan bimbingan, saran dan arahan yang sangat berarti dalam menyusun tesis ini.
4.
Prof. dr. N Agus Bagiada, SpBIOK, sebagai dosen pembimbing I yang dengan sabar memberikan ilmunya selama penulis mengikuti studi, serta bimbingan dan saran terutama dalam memahami ilmu kedokteran biomolekuler yang sangat besar manfaatnya dalam penyusunan tesis ini.
5.
Prof. Dr. dr.J Alex Pangkahila, MSc, SpAnd, sebagai dosen pembimbing II atas ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti studi, yang selalu ada untuk memberikan ide, bimbingan dan saran terutama dalam teknis menulis ilmiah yang baku, serta memberi motivasi untuk menyusun tesis dan menyelesaikan studi.
6.
Prof. Dr. dr. N Adiputra, MOH, atas ilmu yang diberikan kepada penulis selama mengikuti studi, yang dengan kemurahan hati selalu bersedia memberikan bimbingan dan saran yang sangat berarti mengenai teknis menulis ilmiah yang baku, membantu penulis dalam memahami metodologi penelitian, serta selalu memberi motivasi sehingga terselesaikannya tesis ini.
7.
Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF, atas saran dan bimbingannya yang sangat bermanfaat mengenai teknis menulis ilmiah yang baku, serta motivasi selama penyusunan tesis.
8.
Prof. dr. I Gusti Made Aman, SpFK, selaku Koordinator Laboratory Animal Unit, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam menyediakan fasilitas tempat, peralatan, dan bantuan teknisi bagi terlaksananya penelitian, serta bimbingannya dalam memahami perhitungan dosis yang benar.
9.
Prof. Drh. Nyoman Mantik Astawa, Ph.D, dari bagian Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam penelitian terutama bimbingan dan masukan dalam menggunakan kit penelitian.
10. I Gede Wiranatha, S.Si, dari bagian Animal Unit Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, yang telah banyak membantu dalam
penelitian terutama bimbingan serta masukan dalam proses pemeliharaan dan pengelolaan hewan uji. 11. Drs.I Ketut Tunas, M.Si. yang telah banyak membantu dalam penelitian dan penyusunan tesis ini terutama saran, ide, masukan dan bimbingan dalam bidang statistik. 12. Khamdan Khalimi SP., M.Si dari laboratorium
Biopestisida Universitas
Udayana yang telah banyak membantu dan memberikan saran dan bimbingan terutama dalam proses pengolahan ekstrak propolis untuk penelitian. 13. dr. Desak Wihandani, Mkes, dari bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, atas ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti studi, serta saran, bimbingan dan motivasi dalam penyusunan tesis ini.
14. Staf Ilmu Biomedik Kedokteran Antipenuaan serta teman-teman mahasiswa Program Magister Ilmu Biomedik atas motivasi yang diberikan kepada penulis.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada keluarga tercinta, yakni: kedua orang tua Bapak Harbudi dan Ibu Zubaida, kakak dan adik, serta suami terkasih Ricky Wijaya dan anak tersayang Raihan Danendra Wijaya yang senantiasa memberikan doa, dan dukungan moril yang tiada hentinya dalam menyelesaikan program magister ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaikinya. Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi masyarakat serta kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Kedokteran Anti Penuaan.
Denpasar, September 2011 Penulis
ABSTRAK PEMBERIAN EKSTRAK PROPOLIS PERORAL MENURUNKAN KADAR F2-ISOPROSTAN DALAM URIN TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) JANTAN YANG MENGALAMI AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL Aktivitas fisik maksimal menyebabkan terjadinya peningkatan produksi radikal bebas disebabkan oleh peningkatan konsumsi oksigen 10-20 kali, dan 100-200 kali pada serat otot yang berkontraksi. Di samping itu akan memicu pelepasan radikal bebas superoksida, serta terjadinya reperfusion injury yang menyebabkan kerusakan pada jaringan lain yang mengalami iskemia, dan bersifat ireversibel. Bila kadar radikal bebas melebihi kemampuan antioksidan yang ada dalam tubuh untuk menetralisir radikal bebas maka akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif jangka panjang telah terbukti dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif. Penggunaan antioksidan dapat mencegah terbentuknya radikal bebas. Salah satu antioksidan yang banyak ditemukan di masyarakat adalah Propolis Trigona sp yang dihasilkan oleh lebah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penurunan kadar f2-isoprostan dalam urin tikus wistar yang diberikan ekstrak propolis dengan air setelah mengalami aktivitas fisik maksimal. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan pre-test posttest control group design yang dilakukan pada 18 ekor tikus wistar jantan, berumur 2 – 3 bulan, berat badan 150- 200 g. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar pada bulan JuliAgustus 2011. Pemeriksaan F2-isoprostan dilakukan di Laboratorium Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar. Data dianalisis dengan uji One Way ANOVA. Berdasarkan hasil analisis sesudah perlakuan didapatkan bahwa rerata kadar f2isoprostan kelompok kontrol adalah 4,471,80 ng/ml, rerata kelompok ekstrak propolis 0,3 g adalah 2,900,70 ng/ml, dan kelompok ekstrak propolis 0,6 g adalah 1,400,66 ng/ml. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa rerata kadar f2-isoprostan pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05). Terdapat penurunan kadar f2-isoprostan pada kelompok pemberian ekstrak propolis 0,3 g sebesar 35,12% dan pada kelompok pemberian ekstrak propolis 0,6 g sebesar 68,68%. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak propolis 0,3 g dan 0,6 g setiap hari selama 7 hari pada tikus wistar jantan, mampu menurunkan kadar f2isoprostan secara bermakna dibandingkan dengan plasebo, dan penurunan kadar f2isoprostan dengan ekstrak propolis 0,6 g memberi hasil yang lebih baik. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penggunaannya pada manusia, dan jenis penyakit atau keluhan yang dapat diobati dengan propolis. Kata kunci: ekstrak propolis, tikus wistar, aktivitas fisik maksimal, f2-isoprostan.
ABSTRACT
ORAL ADMINISTRATION OF PROPOLIS EXTRACT REDUCES THE LEVEL OF F2-ISOPROSTANE IN URINE MALE WHITE RATS (RATTUS NOVERGICUS) EXPERIENCE THE MAXIMAL PHYSICAL ACTIVITY
Maximal physical activity causes increased production of free radicals due to an increase of 10-20 times body oxygen consumption, and 100-200 times of the affected muscle fibers, that will trigger the release of superoxide free radicals, as well as the occurrence of reperfusion injury of ischaemic tissue factors. The level of free radicals exceeds the amount of antioxidants in the body will cause oxidative stress. Long-term oxidative stress has been shown to cause various degenerative diseases. The use of antioxidants can prevent and quenced the formation of free radicals. One of substance that have high antioxidants capacity is Trigona sp propolis produced by bees. The purpose of this study was to determine the decreased of f2-isoprostane levels in rats urine that were treated with water propolis extract after having a maximal physical activity. This study is an experimental research using pre-test post-test control group design that was conducted on 18 male wistar rats, aged 2-3 months, weight 150-200 g. Research conducted at the Laboratory of Pharmacology Faculty of Medicine Udayana University, Denpasar in July-August 2011. F2-isoprostan examination performed at the Laboratory of the Veterinary Faculty of Veterinary Medicine, Udayana University, Denpasar. Data were analyzed with One Way ANOVA. Based on the results of this experiment study after treatment it was found that the average of f2-isoprostane control group was 4.47±1.80 ng/ml, propolis extract 0.3 g group was 2.90±0.70 ng/ml, and propolis extract 0.6 g group was 1.40±0.66 ng/ml. Analysis of significance by One Way Anova test shows that the average levels of f2isoprostane in all three groups after given different treatment was significantly different (p <0.05). There are decreased levels of f2-isoprostane on 0.3 g of propolis extract group was 35.12% and in group 0.6 g of propolis extract was 68.68%. In this study indicate that administration of propolis extract 0.3 g and 0.6 g per day for 7 days in male wistar rats, was able to reduce levels of f2-isoprostane significantly compared to placebo. The decreasing of f2-isoprostan level with using propolis extract 0.6 g is better than propolis extract 0.3 g. The results could be used as a basis for conducting further research for using propolis in humans and determine the type of complaints of any illness that can be treated with propolis. Key words: propolis extract, wistar rats, maximum physical activity, f2-isoprostane
DAFTAR ISI PRASYARAT GELAR.................................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................... PENETAPAN PANITIA PENGUJI TES...................................................... UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................... ABSTRAK........................................................................................................ DAFTAR ISI..................................................................................................... DAFTAR TABEL............................................................................................ DAFTAR GAMBAR........................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………..
i ii iii iv vii ix xi xii xiii xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang........................................................................................ 1.2. Rumusan Masalah.................................................................................. 1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian..................................................................................
1 8 8 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Penuaan.................................................................................................... 2.2. Anti Penuaan............................................................................................ 2.3. Radikal Bebas.......................................................................................... 2.4. Aktivitas Fisik Maksimal........................................................................ 2.5. Antioksidan.............................................................................................. 2.6. Propolis.................................................................................................... 2.7. Hewan Coba.............................................................................................
10 15 16 29 33 36 52
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, HIPOTESIS 3.1. Kerangka Berpikir.................................................................................... 3.2. Konsep............................................................................................... ...... 3.3. Hipotesis Penelitian..................................................................................
55 58 58
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian................................................................................ 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................. 4.3. Populasi dan Besar Sampel...................................................................... 4.4. Variabel Penelitian................................................................................... 4.5. Prosedur Penelitian................................................................................... 4.6. Analisis Data............................................................................................
59 60 60 62 64 72
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Uji Normalitas Data Kadar F2-isoprostan Sebelum dan Sesudah Perlakuan ................................................................................................ 5.2. Uji Homogenitas Varians Kadar F2-isoprostan Antar Kelompok Sebelum dan Sesudah Perlakuan............................................................................ 5.3. Uji Komparabilitas Kadar F2-isoprostan.................................................. 5.3.1. Analisis Efek antar Kelompok Sebelum Perlakuan........................ 5.3.2. Analisis Efek antar Kelompok Sesudah Perlakuan......................
73 74 74 74 75
BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Subjek Penelitian.................................................................................... 6.2. Pemberian Aktivitas fisik Maksimal...................................................... 6.3. Pemberian Ekstrak propolis.................................................................... 6.4. Pengaruh Ekstrak propolis terhadap Kadar F2-isoprostan...................... 6.5. Manfaat Propolis terhadap Ilmu kedokteran Antipenuaan.....................
78 79 80 82 85
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan................................................................................................ 7.2. Saran......................................................................................................
87 88
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ LAMPIRAN......................................................................................................
89 95
DAFTAR TABEL
2.1. 5.1. 5.2. 5.3. 5.4. 5.5.
Halaman Antioxidants Activities of Bee Products (Nakajima et al., 2009).............. 47 Hasil Uji Normalitas Kadar F2-isoprostan Sebelum dan Setelah Perlakuan 74 Uji Homogenitas Varians Kadar F2-isoprostan Antar Kelompok Sebelum dan Sesudah Perlakuan................................................................. 74 Rerata Kadar F2-isoprostan Antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan............................................................................................. ...... 75 Perbedaan Rerata Kadar F2-isoprostan Antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan................................................................................... 76 Analisis Komparasi F2-Isoprostan Sesudah Perlakuan antar Kelompok.... 77
DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1. Korelasi hubungan antioksidan dalam sistem biologi.................................. 36 2.2. Lebah Penghasil Propolis ............................................................................ 38 2.3. Propolis Trigona sp ..................................................................................... 39 2.4. Chemical structures of the most important flavonoids found in honey and Propolis........................................................................................................ 40 3.1. Bagan konsep penelitian......................................................................... .... 58 4.1. Rancangan Penelitian................................................................................... 59 4.2. Bagan alur penelitian.................................................................................... 69 5.1. Grafik Perubahan Isoprostan Antara Sebelum dengan Sesudah Perlakuan Masing-masing Kelompok .......................................................................... 76
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Foto-foto Penelitian .................................................................... 95 Nilai Konversi Dosis Obat Hewan Coba dengan Manusia......... 101 Uji Normalitas Data.................................................................... 102 Uji Oneway ANOVA Data Sebelum dan Sesudah Perlakuan .. 103 Post Hoc Tests............................................................................. 104
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5.
DAFTAR SINGKATAN AAM AGES CAPE COX DMBA EEP GGPD KAP MDA NAC SOD SOR TBARS UV WEP
= = = = = = = = = = = = = = =
Anti Aging Medicine Advanced Glycation End Products Caffeic Acid Phenethyl Ester Cyclooxygenase Dimethylbenz (a) anthracene Ethanol Extract of Propolis Glucose-6-Phospate Kedokteran Anti Penuaan Malondialdehid N-Acetyl-Cystein Superoksida Dismutase Senyawa Oksigen Reaktif Thiobarbituric Acid Reactive Substance Ultraviolet Water Extract of Propolis
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penuaan adalah suatu proses yang akan dialami semua makhluk hidup, tidak
terkecuali manusia. Semua manusia, terutama kaum wanita, senang jika dirinya terlihat lebih muda dari usia biologisnya. Banyak cara dilakukan untuk memperpanjang usia harapan hidup, serta menjalani masa tua dengan kualitas hidup yang lebih baik. Setelah mencapai usia dewasa, secara alamiah seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi, melainkan terjadi penurunan karena proses penuaan (Pangkahila, 2007). Jaringan tubuh secara perlahan akan kehilangan kemampuan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo, 1999). Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi tua, yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kepada kematian. Pada dasarnya penyebab penuaan dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan genetik. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan (Pangkahila, 2007). Perkembangan ilmu Kedokteran Anti Penuaan (KAP) atau Anti Aging Medicine 1 telah membawa konsep baru. Pertama, penuaan dapat dianggap sama dengan suatu
penyakit yang dapat dicegah, diobati bahkan dikembalikan ke keadaan sewaktu muda. Kedua, manusia bukanlah orang hukuman yang terperangkap dalam takdir genetiknya. Ketiga, manusia mengalami keluhan atau gejala penuaan karena kadar hormonnya menurun, bukan kadar hormon menurun karena manusia menjadi tua. Bila berbagai faktor penyebab penuaan dapat dihindari, proses penuaan tentu dapat dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dapat dipertahankan, sehingga usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang lebih baik (Pangkahila, 2007). Ada puluhan teori penuaan yang telah dikemukakan oleh pakar, dan teori radikal bebas mendapat perhatian lebih besar sejak penggunaan antioksidan diyakini dapat menghambat kerusakan akibat radikal bebas (Goldman and Klantz, 2003). Teori radikal bebas merupakan salah satu teori yang menerangkan tentang terjadinya proses penuaan,
yang diperkenalkan oleh Gerschman kemudian
dikembangkan oleh Denham Harman. Teori ini menekankan bahwa radikal bebas dapat merusak sel-sel tubuh manusia (Goldman and Klantz, 2003). Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya, bersifat sangat reaktif, dengan cara menyerang dan mengikat atau menarik elektron molekul yang berada di sekitarnya (Soeatmaji, 1998). Hal ini mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru, sehingga akan terjadi reaksi rantai (chain reactions) (Sadikin, 2001; Winarsi, 2010). Radikal bebas akan merusak membran sel, DNA, protein. Beribu-ribu studi mendukung ide bahwa radikal bebas mempunyai kontribusi yang besar pada terjadinya
penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan seperti kanker, penyakit jantung dan proses penuaan (Bagiada, 2001). Dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan radikal bebas juga meningkat. Secara endogenus, hal ini berkaitan dengan laju metabolisme, sedangkan secara eksogenus, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya usia seseorang. Kedua faktor tersebut secara sinergis meningkatkan jumlah radikal bebas dalam tubuh (Winarsi, 2010). Beberapa sumber internal radikal bebas antara lain mitokondria, fagositosis, xantin oksidase, reaksi yang melibatkan logam transisi seperti Fe dan Cu, latihan fisik, inflamasi, reperfusion injury. Beberapa sumber eksternal radikal bebas diantaranya asap rokok, polusi lingkungan, radiasi, sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, pestisida (Langseth, 1996). Secara normal tubuh dapat mengatasi efek buruk radikal bebas, namun jika radikal bebas yang dihasilkan melebihi antioksidan dapat menyebabkan stres oksidatif (Wiyono, 2003). Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan untuk meredam efek buruk radikal bebas yang dapat merusak membran sel, protein dan DNA, dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel atau jaringan. Jika hal ini terjadi dalam waktu yang berkepanjangan, maka akan terjadi penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang akan menyebabkan sel atau jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati (Bagiada, 2001). Olahraga berat atau olahraga yang melampaui batas kelelahan dapat
menyebabkan peningkatan laju pembentukan radikal bebas, yang dapat menimbulkan stres oksidatif (Cooper, 2001). Pada olahraga berat atau olahraga yang melampaui batas kelelahan, radikal bebas terbentuk melalui dua cara. Pertama, olahraga berlebihan menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh tubuh 10-20 kali atau lebih. Di dalam serat otot yang berkontraksi penggunaan oksigen dapat meningkat 100-200 kali di atas kebutuhan normal (Clarkson, 2000; Cooper, 2001; Sauza, 2005). Peningkatan oksigen yang luar biasa memicu pelepasan radikal bebas, terutama radikal superoksida. Kedua, karena terjadinya reperfusion injury, saat berolahraga berat, darah yang mengalir dalam tubuh keluar dari berbagai organ yang tidak terlibat secara aktif dalam proses olahraga. Namun darah dialirkan ke otot skelet. Selama pengalihan aliran darah, sebagian atau seluruh bagian organ tubuh yang tidak terlibat dalam olahraga akan mengalami kekurangan oksigen secara tiba-tiba (hipoksia). Proses iskemia yang terjadi menyebabkan perubahan enzim xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase, yang bersifat ireversibel. Setelah berolahraga terjadi proses reperfusi, dimana darah bergerak kembali dengan cepat ke berbagai organ yang kekurangan aliran darah sehingga oksigen terpenuhi kembali, reaksi yang terjadi dipengaruhi oleh xantin oksidase. Reaksi ini menghasilkan radikal bebas sehingga menimbulkan reperfusion injury (injury yang terjadi setelah terjadinya reperfusi setelah mengalami iskemia) (Langseth, 1996; Cooper, 2001). Beberapa cara untuk mengurangi radikal bebas yang timbul akibat aktivitas fisik maksimal antara lain dengan pemberian antioksidan dan istirahat. Antioksidan
adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan, termasuk enzim - enzim dan protein - protein pengikat logam bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dihambat (Winarsi, 2007; Pangkahila, 2007). Propolis atau lem lebah merupakan produk alami dari lebah madu yang mempunyai potensi antioksidan yang tinggi (Gheldof et al., 2002). Propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang paling kuat dalam melawan oksidan dan radikal bebas (radikal H2O2, O2●-, OH●) dibandingkan dengan hasil produk lebah lainnya (Nakajima et al., 2009). Kandungan flavonoid di dalamnya dapat meredam efek buruk radikal bebas (Mot et al., 2009). Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa kandungan Caffeic acid yang ada di dalam propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi,
yang dapat
meningkatkan ekspresi glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD) yang didapat dari ekspresi gen antioksidan, lebih kuat dibandingkan vitamin E. Caffeic acid mempunyai aktivitas antioksidan 4-6 kali lebih kuat terhadap oksidan dan H2O2 dan radikal bebas O2●-, dibandingkan vitamin C dan N-acetyl-cystein (NAC) (Nakajima et al., 2009). Manfaat propolis selain sebagai antioksidan adalah antibakteri, antiinflamasi, antiviral, hepatoprotektif, antitumor, mencegah terjadinya ulkus dan vasodilator (Viuda et al., 2008; Nakajima et al., 2009). Hasil penelitian uji sitotoksik serbuk propolis dan madu propolis terhadap sel kanker rahim dan payudara, menunjukkan propolis dapat menghambat sel kanker
HeLa (sel kanker serviks), Siha (sel kanker uterus), T47D dan MCF7 (sel kanker payudara). Nilai LC50 adalah 15,625-62,5 µg/ml. Artinya, propolis dosis 15,625-62,5 µg/ml dapat menghambat aktivitas 50% sel kanker dalam kultur (Yuliati, 2009). Sejalan dengan temuan itu, uji potensi propolis dalam pengobatan tumor payudara pada
tikus
betina
galur
Sprague
dawley
yang
diinduksi
7,12-
dimethylbenz(a)anthracene (DMBA), menunjukkan bahwa propolis mampu mengobati tumor payudara melalui pengecilan diameter nodul. DMBA dilarutkan dalam minyak jagung dan diinduksikan pada tikus dengan dosis 20 mg/kg bobot tubuh. Dosis propolis yang diberikan adalah 2,5 ml/kgbb, diberikan dua kali per hari selama satu bulan. Hasil penelitian itu membuktikan adanya pengecilan nodul dari diameter 1,8 cm menjadi 0,6 cm setelah satu bulan pemberian propolis (Astuti and Widyarini, 2009). Uji toksisitas membuktikan bahwa propolis sangat aman dikonsumsi berulang. Dalam uji praklinis, LD50 propolis mencapai lebih dari 10.000 mg. LD50 adalah lethal dosage, yaitu dosis yang mematikan separuh hewan percobaan. Jika dikonversi, dosis itu setara 7 ons sekali konsumsi untuk manusia dengan berat badan 70 kg. Faktanya, dosis konsumsi propolis di masyarakat sangat rendah, hanya 1-2 tetes dalam segelas air minum. Efek konsumsi jangka panjang, tidak menimbulkan kerusakan pada darah, organ hati, dan ginjal. Penentuan toksisitas subkronik pada 21 ekor mencit menunjukkan pemberian propolis dosis 5.000 mg/kgbb dan 10.000 mg/kgbb setiap hari selama 30 hari, tidak menimbulkan kematian mencit, tidak mempengaruhi berat badan, tidak mengganggu jumlah sel-sel darah dan kadar hemoglobin, tidak mengganggu fungsi hati dan ginjal (tidak mempengaruhi kadar SGOT, SGPT,
kreatinin dan asam urat), tidak mempengaruhi kualitas sel-sel hati, ginjal dan lambung (Sarto and Saragih, 2009). Propolis merupakan salah satu sumber antioksidan alami yang terdapat di Indonesia. Untuk mengetahui secara pasti perubahan yang terjadi secara in vivo, diperlukan suatu biomarker. Biomarker didefinisikan sebagai suatu karakteristik yang secara objektif dapat diukur dan dievaluasi sebagai indikator normal terhadap proses biologi, patologi atau respon farmakologi terhadap intervensi terapeutik (Dalle-Donne, et al., 2006). Salah satu biomarker yang dipakai untuk menentukan stres oksidatif adalah kadar f2-isoprostan, yang merupakan hasil akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh akibat radikal bebas (Cadenas, et al., 2002 (a) (b)). F2-isoprostan merupakan gold standart daripada pemeriksaan stres oksidatif, karena prosedur dan tehniknya lebih mudah dimana sampel dapat diambil dari urin, sehingga tidak memerlukan tindakan invasif. Sejauh ini belum ada penelitian yang melaporkan apakah ekstrak propolis dapat menurunkan kadar f2-isoprostan dalam urin tikus wistar, untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut.
1.2
Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Apakah pemberian ektrak propolis peroral dosis 0,3 gram dapat menurunkan kadar f2-isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) jantan, yang mengalami aktivitas fisik maksimal? 2. Apakah pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,6 gram dapat menurunkan kadar f2-isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) jantan, yang mengalami aktivitas fisik maksimal?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
:
Untuk mengetahui pemberian propolis sebagai
antioksidan dapat menurunkan kerusakan oksidatif yang terjadi. 1.3.2 Tujuan Khusus
:
1. Untuk mengetahui bahwa pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,3 gram dapat menurunkan kadar f2-isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) jantan yang mengalami aktivitas fisik maksimal. 2. Untuk mengetahui bahwa pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,6 gram dapat menurunkan kadar f2-isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) jantan yang mengalami aktivitas fisik maksimal.
1.4
Manfaat Penelitian
1. Manfaat ilmiah
:
Hasil penelitian diharapkan dapat menguatkan teori
tentang potensi propolis sebagai antioksidan dalam upaya mencegah terjadinya stres oksidatif sebagai salah satu penyebab proses penuaan. 2. Manfaat sosial
:
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi kepada masyarakat umum tentang potensi propolis sebagai antioksidan, untuk mencegah salah satu penyebab proses penuaan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan konsumsi propolis di masyarakat dan nilai jualnya di pasaran.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
PENUAAN
2.1.1 Definisi Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik dan struktural, yang disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus, dan kanker), yang akan menyebabkan kita mengakhiri hidup dengan episode terminal yang dramatik seperti stroke, infark myokard, koma asidotik, metastasis kanker dan sebagainya (Darmojo, 1999). 2.1.2 Penyebab Penuaan Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kepada kematian. Pada dasarnya faktor itu dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apotosis, sistem kekebalan yang menurun, dan genetik. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2007). 10
2.1.3 Teori Proses Penuaan Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu wear and tear theory dan programmed theory (Goldmann and Klatz, 2003). 2.1.3.1 Wear and Tear Theory Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan tubuh menjadi lemah lalu meninggal sebagai akibat dari penggunaan dan kerusakan yang terus menerus. Teori ini telah lama diperkenalkan oleh Dr. August Weismann, seorang ahli biologi dari Jerman pada tahun 1882. Menurut teori ini, tubuh dan selnya menjadi rusak karena terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Kerusakan tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi di tingkat sel (Goldmann dan Klatz, 2003). Hal ini berarti walaupun seseorang tidak pernah merokok, minum alkohol, dan hanya mengonsumsi makanan alami, dengan menggunakan organ tubuh secara biasa saja, pada akhirnya terjadi kerusakan. Penyalahgunaan organ tubuh membuat kerusakan lebih cepat. Karena itu, tubuh menjadi tua, sel merasakan pengaruhnya, terlepas dari seberapa sehat gaya hidupnya. Pada masa muda sistem pemeliharaan dan perbaikan tubuh mampu melakukan kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan kerusakan normal berlebihan (Goldmann dan Klatz, 2003). Dengan menjadi tua, tubuh kehilangan kemampuan memperbaiki kerusakan karena penyebab apa pun. Banyak orang tua meninggal karena penyakit yang pada masa mudanya dapat ditolak. Teori ini meyakini pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu mengembalikan proses penuaan.
Mekanismenya dengan merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Goldman dan Klatz, 2003). Teori wear and tear meliputi: 1.
Teori Kerusakan DNA Tubuh mempunyai kemampuan untuk memperbaiki diri (DNA repair). Proses penuaan sebenarnya berarti proses penyembuhan yang tidak sempurna dan sebagai akibat penimbunan kerusakan molekul yang terus menerus (Darmojo, 1999). Kerusakan DNA menumpuk dalam waktu lama, yang mencapai suatu keadaan dimana basis molekul sebanarnya sudah rusak berat. Kerusakan molekuler dapat terjadi karena faktor dari luar, seperti radiasi, polutan, asap rokok dan mutagen kimia (Pangkahila, 2007).
2.
Teori Penuaan Radikal Bebas Teori radikal bebas merupakan salah satu teori tentang penuaan, yang diperkenalkan oleh Gerschman kemudian dikembangkan oleh Denham Harman. Teori ini menekankan bahwa radikal bebas dapat merusak sel – sel tubuh manusia (Goldman dan Klantz, 2003). Radikal bebas adalah suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih elekron yang tidak berpasangan pada orbital luarnya, bersifat sangat reaktif, dengan cara menarik elektron molekul yang ada disekitarnya, mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru, sehingga akan terjadi reaksi rantai (Soeatmadji, 1998; Sadikin, 2001).
Kerusakan yang ditimbulkan akibat radikal bebas dimulai ketika lahir dan terus berlanjut hingga meninggal dunia. Ketika masih muda dampak yang ditimbulkan bersifat minor karena tubuh memiliki mekanisme perbaikan dan penggantian yang masih berfungsi baik untuk mempertahankan sel dan organ dalam keadaan sehat. Dengan bertambahnya usia akumulasi kerusakan akibat radikal bebas akan mengganggu metabolisme sel, menyebabkan mutasi sel yang dapat menimbulkan kanker dan kematian (Goldmann and Klatz, 2003). 3.
Glikosilasi Glikosilasi merupakan salah satu proses biokimia dalam tubuh yang menyebabkan perubahan fisik yang dramatis. Glikosilasi adalah reaksi non enzimatik antara senyawa glukosa dengan senyawa protein, menghasilkan glikotoksin atau Advanced Glycation End Product (AGEs), yang merupakan radikal bebas yang akan merusak jaringan tubuh. Proses ini semakin sering terjadi saat kita menua, terjadi tanpa bantuan enzim spesifik, yang menyebabkan glikosilasi menjadi sangat berbahaya (Roizen and Oz, 2009).
2.1.3.2 Programmed Theory Teori ini menganggap di dalam tubuh manusia terdapat jam biologik, mulai dari proses konsepsi sampai ke kematian dalam suatu model terprogram (Darmojo, 1999). Peristiwa ini terprogram mulai dari sel sampai embrio, janin, masa bayi, anakanak, remaja, dewasa, menjadi tua dan akhirnya meninggal (Pangkahila, 2007).
1.
Teori Terbatasnya Replikasi Sel Pada ujung chromosome strands terdapat struktur khusus yang disebut telomer. Setiap replikasi sel telomer memendek pada setiap pembelahan sel. Setelah sejumlah sel pembelahan sel, telomer telah dipakai dan pembelahan sel berhenti. Menurut Hayflick, mekanisme telomere tersebut menentukan rentang usia sel dan pada akhirnya juga rentang usia organisme itu sendiri (Pangkahila, 2007).
2.
Proses Imun Rusaknya sistem imun tubuh seperti: mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Salah satu bukti yang ditemukan ialah bertambahnya prevalensi auto antibodi pada orang lanjut usia (Darmojo, 1999).
3.
Teori Neuroendrokin Teori ini diperkenalkan Vladimir Dilman, PhD, berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada usia muda berbagai hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi
organ tubuh, sehingga fungsi berbagai organ tubuh sangat optimal. Akan tetapi, ketika manusia menjadi tua, tubuh hanya mampu memproduksi hormon lebih sedikit sehingga kadarnya menurun. Akibatnya berbagai fungsi tubuh terganggu (Darmojo, 1999; Goldman dan
Klatz,
2003).
Terapi
sulih
hormon
membantu
untuk
mengembalikan fungsi hormon tubuh sehingga dapat memperlambat proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2003). 2.2
ANTI PENUAAN Anti Aging Medicine (AAM) pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan
oleh American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M) pada tahun 1993. Anti Aging Medicine adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat (Pangkahila, 2007). Perkembangan ilmu Kedokteran Anti Penuaan (KAP) atau Anti Aging Medicine telah membawa konsep baru yang menyebabkan perubahan paradigma di dunia kedokteran. 1.
Penuaan dapat dianggap sama dengan suatu penyakit yang dapat dicegah, diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula.
2.
Manusia bukanlah orang hukuman yang terperangkap dalam takdir genetiknya.
3.
Manusia mengalami keluhan atau gejala penuaan karena kadar hormonnya menurun, bukan kadar hormon menurun karena manusia menjadi tua (Pangkahila, 2007). Bila berbagai faktor penyebab penuaan dapat dihindari, proses penuaan tentu
dapat dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dapat dipertahankan, sehingga usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Jika radikal bebas dapat diatasi dengan antioksidan, salah satu penyebab proses penuaan sudah dihambat. Jika gaya hidup tidak sehat ditinggalkan, diet tidak sehat dihindari, dan hormon yang berkurang diatasi dengan pengobatan, maka proses penuaan yang penting dapat disingkirkan (Pangkahila, 2007). 2.3
RADIKAL BEBAS
2.3.1 Definisi Radikal Bebas Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya, dapat bereaksi dengan molekul lain menimbulkan reaksi rantai yang sangat dekstruktif (Soeatmadji, 1998; Goldmann and Klatz, 2003). Pengertian radikal bebas dan oksidan sering dianggap sama karena keduanya memiliki kemiripan sifat, serta memiliki aktivitas yang sama dan memberikan akibat yang hampir sama, meskipun melalui proses yang berbeda (Suryohudoyo, 2000; Winarsi, 2010).
2.3.2 Sifat-sifat Radikal Bebas Radikal bebas memiliki reaktifitas tinggi, adanya satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya, menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang atau menarik elektron molekul yang berada di sekitarnya (Soeatmaji, 1998). Hal ini mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru, dengan kata lain radikal bebas dapat mengubah suatu molekul atau senyawa menjadi suatu radikal bebas baru, dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi rantai (chain reactions) (Sadikin, 2001; Winarsi, 2010). Pemahaman radikal bebas sebagai oksidan memang tidak salah. Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan terletak pada kecenderungannya untuk menarik elektron. Pengertian oksidan dalam ilmu kimia adalah, senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu senyawa yang dapat menerima atau menarik elektron, disebut juga oksidator, misalnya ion ferri (Fe +++) Fe3+
+
e-
→
Fe2+
Jadi sama halnya dengan oksidan, radikal bebas adalah penerima elektron. Itulah sebabnya dalam kepustakaan kedokteran, radikal bebas digolongkan dalam oksidan. Namun perlu diingat bahwa radikal bebas adalah oksidan tetapi tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya, dibandingkan dengan senyawa non radikal (Halliwell and Gutteridge, 1985; Suryohudoyo, 2000; Winarsi, 2010). Reaktivitas dari radikal bebas baru akan berhenti bila ada peredam atau diredam (quenched) oleh senyawa yang bersifat antioksidan, seperti glutation (Winarsi, 2010). GSH dengan •OH
•OH + GSH
H2O + GS• (Radikal glutation)
GS• + GS•
GSSG
2.3.3 Sumber Oksidan Oksidan yang dapat merusak sel berasal dari berbagai sumber (Halliwell dan Gutteridge, 1985) yaitu : 1.
Yang berasal dari tubuh sendiri, yaitu senyawa-senyawa yang sebenarnya berasal dari proses-proses biologik normal (fisiologis),
namun oleh suatu sebab
terdapat dalam jumlah besar. 2.
Yang berasal dari proses peradangan
3.
Yang berasal dari luar tubuh, seperti misalnya : obat-obatan dan senyawa pencemar (polutan).
4.
Radiasi. Tanpa disadari, dalam tubuh kita terbentuk radikal bebas secara terus menerus,
baik melalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi, dan respon terhadap pengaruh dari luar, seperti polusi lingkungan, ultraviolet (UV), asap rokok dll. Dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan radikal bebas juga meningkat. Secara endogenus, hal ini bekaitan dengan laju metabolisme seiring dengan betambahnya usia. Bertambahnya glikolisis juga akan menyebabkan peningkatan oksidasi glukosa dalam siklus asam sitrat sehingga radikal bebas akan terbentuk lebih banyak. Secara eksogenus, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya usia seseorang. Kedua faktor tersebut secara sinergis meningkatkan jumlah radikal bebas dalam tubuh (Winarsi, 2010).
2.3.4 Tahap Pembentukan Radikal Bebas Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui tiga tahapan reaksi berikut 1.
Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas, menjadikan senyawa non radikal menjadi radikal. Misalnya:
2.
Fe ++
+ H2O2
Fe +++
R1 _H
+
R1•
•OH
+ OH-
+ •OH
+ H2O
Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal, dimana reaksi berantai radikal bebas diperluas sehingga membentuk beberapa radikal bebas baru.
3.
R2_H
+
R1•
R2 •
+ R1_H
R3_H
+
R2•
R3 •
+ R2_H
Tahap terminasi,
yaitu pembentukan non radikal dari radikal
bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau
bebas,
dengan penangkap
radikal, sehingga potensi propagasinya rendah.. R1 •
+
R1 •
R1_R1
R2 •
+
R1 •
R2_R1
R2 •
+
R2 •
R2_R2 dan seterusnya (Winarsi, 2010) :
2.3.5 Senyawa Oksigen Reaktif Pada dasarnya radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara endogen (sebagai respon normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel) dan secara eksogen (misalnya dari polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit) (Supari, 1996).
Teraktivasinya oksigen dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas oksigen, yang disebut anion superoksida (O2● ). Secara invitro senyawa radikal ini akan membentuk kompleks dengan senyawa organik. Banyak faktor yang menyebabkan senyawa tersebut membentuk kompleks, antara lain adanya sifat permukaan membran, muatan listrik, sifat pengikatan makromolekul, dan bagian enzim, substrat, maupun katalisator. Senyawa kompleks ini dapat terjadi pada berbagai sel yang masih normal maupun tidak normal atau telah teraktivasi (Belleville-Nabet, 1996). Radikal bebas, yang sering disebut senyawa oksigen reaktif (SOR), dapat dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Senyawa oksigen reaktif juga dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres ataupun tidak stres. Pada kondisi tidak stres, terdapat keseimbangan antara proses pembentukan dan pemusnahan senyawa oksigen reaktif. Sementara pada kondisi stres oksidatif, pembentukan senyawa oksigen reaktif lebih tinggi dibandingkan dengan pemusnahannya. Akibatnya, sistem pertahanan tubuh terpacu untuk bekerja lebih keras untuk memusnahkan senyawa oksigen reaktif. Salah satu sistem pertahanan tubuh itu adalah sistem antioksidan enzimatis dan non enzimatis, yang bekerja menekan senyawa oksigen reaktif yang berlebihan. Oksigen teraktivasi juga dapat terbentuk karena fungsi enzim atau sistem transfer elektron terganggu. Sebagai akibatnya adalah gangguan metabolik yang mengakibatkan stres oksidatif (Winarsi, 2010). Senyawa oksigen reaktif berasal dari oksigen (O 2), yaitu senyawa yang sangat dibutuhkan oleh organisme aerob seperti halnya manusia. Senyawa oksigen ini
digunakan organisme aerob untuk menghasilkan energi berupa ATP, melalui proses fosforilasi oksidatif dalam mitokondria, dengan reaksi sebagai berikut. 2NADH + 2H+ + O2
2NAD+ + 2H2O + energi
ADP + energi
ATP
Dalam proses ini, 1 molekul oksigen akan tereduksi menjadi 2 molekul air menurut reaksi sebagai berikut. O2 + 4H+ + 4e-
2H2 O
Reduksi satu molekul oksigen menjadi dua molekul air terjadi dengan memindahkan empat elektron. Namun dalam keadaan tertentu, proses pemindahan elektron ini tidak terjadi secara sempurna, sehingga mengakibatkan terjadinya senyawa oksigen reaktif. Adapun tahapan pembentukan senyawa oksigen reaktif adalah sebagai berikut. O2
+
e-
O2-•
O2
+
e-
O2
+ 2e- + 2H +
H2O2
O2
+ 3e-
• OH +
O2
+ 4e - + 4H +
+ H+
+ 3H +
• OOH
H2O
2H2O
Dari tahapan reaksi tersebut, tampak bahwa radikal ion superoksida, radikal peroksil, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil terbentuk sebagai akibat pemindahan elektron yang kurang sempurna dalam proses reduksi oksigen (Winarsi, 2010).
Radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif menyebabkan stres oksidatif yang mengakibatkan berbagai penyakit. Kejadian ini diawali oleh reaksi oksidasi dalam tubuh. Bahkan meningkatnya kejadian penyakit kardiovaskuler, aterosklerosis, diabetes melitus, dan kanker diyakini berkorelasi positif dengan tingginya radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif dalam tubuh (Winarsi, 2010). 2.3.5.1 Radikal Ion Superoksida (O2●) Radikal ion superoksida disebut juga anion superoksida. Senyawa ini diproduksi di beberapa tempat yang memiliki rantai transpor elektron. Oksigen teraktivasi dapat terjadi dalam berbagai bagian sel, termasuk mitokondria, kloroplas, mikrosom, glikosom, peroksisom, dan sitosol (Elstner, 1991). Pembentukan radikal ion superoksida ini melalui beberapa mekanisme sebagai berikut (Cadenas and Packer, 2002 (a)): 1.
Reaksi samping dalam reaksi yang melibakan Fe++, misalnya dalam proses: a.
Fosforilasi oksidatif
b.
Oksigenasi hemoglobin
c.
Hidroksilasi oleh enzim monooksigenase (dalam sitokrom P450 dan sitokrom b4)
d. 2.
Fe++ + O2
Fe +++ + O2•-
Reaksi dalam mitokondria dan granulosit yang dikatalisis oleh NADH/NADPH oksidase. NADH + O2
NAD+ + H+ + O2•-
NADP + O2
NADP+ + H + + O2•-
3.
Reaksi yang dikatalisis oleh xantin oksidase (XO) XH + H2O + 2 O2 XO Xantin
X-OH + 2 O2•- + 2 H+ Asam urat
Dalam keadaan normal, di dalam sel mamalia tidak terdapat enzim xantin oksidase. Enzim ini berasal dari enzim xantin dehidrogenase (XD) yang mengalami proteolisis dan berubah menjadi xantin oksidase (XO), ketika terjadi iskemia atau hipoksia. XD
XO + peptida Xantin oksidase
Perubahan xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase bersifat irreversibel. Artinya bila suplai oksigen kembali normal maka akan terbentuk senyawa lain, yaitu ion superoksida yang lebih reaktif yang mengakibatkan kerusakan jaringan. 2.3.5.2 Radikal Peroksil (●OOH) Sebetulnya ion superoksida tidak terlalu reaktif bila dibandingkan dengan bentuk perubahannya yang berupa radikal peroksil. O2•- + H+
●OOH Radikal peroksil
Radikal peroksil ini sangat reaktif, dan akan membentuk radikal baru melalui reaksi sebagai berikut. ●OOH + XH
●X + H2O2
Dari reaksi ini terlihat bahwa radikal peroksil lebih berbahaya daripada H2O2 (Cadenas and Packer, 2002 (a); Winarsi, 2007). 2.3.5.3 Hidrogen Peroksida (H2O 2)
Hidrogen peroksida (H2O2) terbentuk karena aktivitas enzim-enzim oksidase yang mengkatalisis reaksi dalam retikulo endoplasmik (mikrosom) dan peroksisom. RH2 + O2
R + H2O2
Hidrogen peroksida merupakan senyawa oksidan yang sangat kuat dan dapat mengoksidasi berbagai senyawa dalam sel, seperti glutation. 2GSH + H2O2
GSSG + 2H2O
Hidrogen peroksida tidak hanya bersifat sebagai oksidator, melainkan juga dapat membentuk radikal bebas, bila bereaksi dengan logam transisi seperti Fe++ dan Cu+ dalam reaksi Fenton. Fe++ + H2O2
Fe+++ + OH- + ●OH
Cu+ + H2O2
Cu ++ + OH- + ●OH
Efek negatif yang lain dari oksidator hidrogen peroksida adalah kemampuannya untuk membentuk ion hipoklorit (ClO -) melalui reaksi yang dikatalisis oleh enzim mieloperoksidase dalam sel inflamasi, seperti granulosit, monosit, dan makrofag (Cadenas and Packer, 2002 (a)). H2O2 + Cl-
H2O + ClO-
R + ClO-
RO + Cl-
2.3.5.4 Radikal Hidroksil (●OH) Keberadaan senyawa H2O2 dapat berbahaya bila bersama-sama ion superoksida karena akan membentuk radikal hidroksil (OH●) melalui reaksi Haber-Weiss berikut.
O2● - + H2O2
O2 + OH- + ●OH
Reaksi Haber-Weiss memerlukan ion Fe+++ atau Cu++ dan terjadi melaui dua tahap. Fe+++ + O2● -
Fe++ + O2
Fe+++ + H2O2
Fe+++ + OH- + ●OH
Dari berbagai bentuk senyawa oksigen reaktif tersebut, radikal hiroksil merupakan senyawa yang paling reaktif dan berbahaya. Radikal hidroksil bukan merupakan produk primer proses biologis, melainkan berasal dari H2O2 dan O2● (Cadenas and Packer, 2002 (a); Winarsi, 2007). 2.3.5.5 Singlet Oksigen (1O2) Singlet oksigen merupakan bentuk oksigen yang memiliki reaktivitas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan oksigen bentuk ground state. Senyawa ini akan terbentuk melaui reaksi yang dikatalisis oleh enzim-enzim (Cadenas and Packer, 2002 (a); Winarsi, 2007): a.
Enzim monooksigenase yang menggunakan sitokrom P450 dengan substrat peroksida.
b.
Enzim prostaglandin endoperoksida sintetase, yaitu suatu enzim yang bekerja dalam pembentukan prostaglandin dalam asam arakidonat.
c.
Enzim mieloperoksidase, yang mengkatalisis reaksi hipoklorit dengan H2O2.
2.3.6 Stres Oksidatif Tubuh dapat mengatasi radikal bebas, namun jika radikal bebas yang dihasilkan melebihi antioksidan dapat menyebabkan stres oksidatif (Wiyono, 2003). Stres
oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan, untuk meredam efek buruk radikal bebas, yang dapat merusak membran sel, protein dan DNA, dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel atau jaringan. Jika hal ini terjadi dalam waktu yang berkepanjangan, maka akan terjadi penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang akan menyebabkan sel atau jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati (Bagiada, 2001). 2.3.6.1 Dampak Negatif Senyawa Oksigen reaktif Senyawa oksigen reaktif merusak komponen sel, sehingga ketahanan integritas dan kehidupan sel terganggu. Dampak dari senyawa oksigen reaktif sangat luas dan mekanisme molekulernya masih belum terkuak secara jelas (Bagiada, 2001). 2.3.6.2 Dampak Negatif Radikal Hidroksil Radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya. Merusak tiga jenis senyawa. yang penting untuk mempertahankan integritas sel (Halliwel dan Cross, 1994), yaitu: a. Asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel. b. DNA, yang merupakan perangkat genetik c. Protein, yang memegang berbagai peran penting, seperti enzim, reseptor, antibodi dan penyusun matriks serta sitoskeleton. Dampak terhadap membran sel, dapat menyerang komponen penting membran sel seperti: asam linoleat, linolenat dan arakidonat, yang dapat menimbulkan reaksi rantai peroksidasi lipid. Terputusnya rantai asam lemak tidak jenuh menghasilkan
senyawa toksik seperti: aldehid, MDA, 9-OH noneal,etana, F2-Isoprostan dan lain-lain. Juga dapat membentuk ikatan silang (cross-linking) (Cadenas and Packer, 2002 (a) (b); Winarsi, 2007). Dampak terhadap DNA, hidroksilasi basa timin dan sitosin, pembukaan inti purin dan pirimidin serta terputusnya rantai fosfodiester DNA, replikasi sel terganggu. Terjadi mutasi, bila sistim perbaikan DNA terlampaui atau terjadi error prone (bila sistim perbaikan DNA salah) (Winarsi, 2007). DNA mitokondria (mtDNA) merupakan target utama senyawa oksigen reaktif (SOR). Paparan senyawa oksigen reaktif pada mtDNA, ditemukan pada penderita berbagai penyakit degeneratif yang berkaitan dengan aging. Akibatnya adalah penurunan fungsi mitokondria, dan bahkan kerusakan pada mtDNA. Kerusakan pada mitokondria , dapat digunakan sebagai biomarker pada penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh senyawa oksigen reaktif (Yakes and Van Houten, 1997). Dampak terhadap protein, terjadi reaksi dengan asam amino penyusun protein dan yang paling rawan adalah sistein (SH)= ikatan sulf hidril RSH + •OH RS• + H2O RS. + RS. R-S-S-R Ikatan S-S (disulfida linkage), menyebabkan protein kehilangan aktivitasnya (Winarsi, 2007) 2.3.6.3 Dampak Positif
Melawan/membunuh organisme patogen yang dihasilkan oleh granulosit, makrofag dan monosit. Bila produksi oksidan berlebihan menimbulkan kerusakan jaringan (Bagiada, 2001). 2.3.7 Pengukuran Peroksidasi Lipid Peroksidasi lipid terjadi dalam beberapa tahapan. Banyak teknik tersedia untuk mengukur tingkat peroksidasi, hilangnya substrat asam lemak penyebab terjadinya rantai peroksidasi lemak, sehingga prinsipnya secara sederhana pengukuran peroksidasi adalah untuk menguji hilangnya
asam lemak, salah satunya dengan
mengukur kadar f2-isoprostan, yang merupakan produk akhir yang toksik dari peroksidasi lipid (Cadenas and Packer, 2002 (b)). F2-isoprostan dapat ditemukan di jaringan dan cairan tubuh (termasuk urin) manusia dan hewan, yang mengandung f2-isoprostan dan metabolitnya dalam tingkat rendah ( ̴ 30-40 pg/mL di plasma segar manusia, ̴ 2 ng/mg kreatinin di urin manusia). Tingkat f2-isoprostan in vivo meningkat dalam kondisi stres oksidatif (misalnya dalam plasma dan urin perokok, dalam nafas penderita asma, pada penderita diabetes, dalam cairan paru yang terpapar O2 tinggi, dalam plasma tikus yang kelebihan beban besi, dan pada hewan yang diberi perlakuan dengan CCl4. Isoprostan juga dapat terbentuk dalam makanan, tetapi berkontribusi sedikit untuk kadar plasma pada manusia (Cadenas and Packer, 2002 (a) (b)). 2.4
AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL Olahraga harus menjadi pusat setiap rencana kerja antioksidan yang efektif.
Alasannya tanpa olahraga yang teratur, pertahanan dalam tubuh terhadap radikal
bebas, termasuk antioksidan endogen, seperti superoksida dismutase, glutation peroksidase, dan katalase dapat menjadi terlalu rapuh, untuk mempertahankan efek yang optimal (Cooper, 2001). Namun penting melakukan jenis olahraga yang benar. Artinya mengandalkan olahraga dengan intensitas rendah, yang akan meminimumkan pengeluaran radikal bebas yang berlebihan saat latihan, dan pada saat yang sama meningkatkan jumlah enzim alami, atau antioksidan endogen (Cooper, 2001). 2.4.1 Olahraga Berintensitas Rendah Olahraga dengan intensitas rendah adalah program olahraga hidup sehat yang paling efektif, termasuk membangun pertahanan melawan radikal bebas (Cooper, 2001). Untuk mendapatkan hasil maksimal dan risiko minimal pada pelatihan diperlukan kondisi lingkungan yang memadai dan takaran pelatihan yang tepat untuk setiap individu meliputi FITT, yaitu Frequency, Intencity, Type, Time. Frekuensi yang dianjurkan tiga hingga lima kali per minggu dengan intensitas kurang lebih 60-85% dari denyut jantung maksimal: 220 – umur (dalam tahun). Latihan didahului pemanasan selama 3-5 menit, dilanjutkan latihan inti 15-60 menit, diakhiri pendinginan 3-5 menit (Giam, 1993). 2.4.2. Latihan Fisik Berlebih Pelatihan berlebih seringkali akibat dari (Hatfield, 2001): a.
Volume latihan terlalu banyak.
b.
Intensitas pelatihan terlalu tinggi.
c.
Durasi pelatihan terlalu panjang.
d.
Frekuensi pelatihan terlalu sering Saat ini, lebih banyak alasan untuk membatasi intensitas latihan, alasan utama
pada bahaya yang disebabkan oleh kelebihan radikal bebas, yang mungkin terbentuk selama latihan fisik berat. Latihan dengan intensitas tinggi yang melelahkan dapat meningkatkan kemungkinan berbagai masalah kesehatan, seperti kanker, serangan jantung, katarak, penuaan dini, penurunan kekebalan, dan lain lain (Cooper, 2001). Dr. Ralph Paffenbarger melakukan studi terhadap 16.936 pria alumni Harvard, berusia 35 sampai 74 tahun. Menurut laporan yang dimuat dalam The New England Journal of Medicine, ditemukan angka kematian lebih rendah bagi pria yang melakukan aktivitas fisik secara teratur, dibandingkan pria yang tidak pernah melakukannya. Laju kematian lebih rendah pada pria yang menghabiskan 2000 kalori atau lebih per minggu. Akan tetapi, pada tingkat intensitas tinggi, olahraga kurang bermanfaat. Angka kematian mulai meningkat diantara pria yang menghabiskan lebih dari 3000 kalori per minggu (Cooper, 2001). 2.4.3 Hubungan Latihan Berlebihan dan Kerusakan karena Radikal bebas Pada keadaan normal, radikal bebas terbentuk secara amat perlahan, kemudian dinetralisasi oleh antioksidan dalam tubuh. Namun jika laju pembentukan radikal bebas sangat meningkat karena dipicu latihan yang berlebihan, jumlah radikal akan melebihi kemampuan sistem pertahanan tubuh, menyerang membran sel, sehingga terjadi kerusakan sel-sel pada otot dan tulang. Kerusakan dan peradangan jaringan yang sering menyertai olahraga yang menghabiskan tenaga, merupakan tanda paling jelas adanya kegiatan radikal bebas (Cooper, 2001).
2.4.4 Pembentukan Radikal Bebas Pada Latihan Fisik Berlebih Radikal bebas terbentuk selama berolahraga melalui dua cara: 1.
Pelepasan Elektron Saat berolahraga terjadi pelepasan elektron, olahraga berlebihan menyebabkan terjadi peningkatan konsumsi oksigen oleh tubuh 10-20 kali atau lebih. Dalam serat otot yang berkontraksi penggunaan oksigen dapat meningkat 100-200 kali di atas kebutuhan normal. Peningkatan oksigen yang luar biasa memicu pelepasan radikal bebas , terutama radikal superoksida (Clarkson, 2000; Cooper, 2001; Sauza, 2005).
2.
Fenomena Reperfusion Injury Saat berolahraga berat, darah yang mengalir dalam tubuh keluar dari berbagai organ yang tidak terlibat secara aktif dalam proses. Namun darah dialirkan ke otot skelet. Selama pengalihan aliran darah, sebagian atau seluruh bagian organ tubuh yang tidak terlibat dalam olahraga akan mengalami kekurangan oksigen secara tiba-tiba (hipoksia). Proses iskemia yang terjadi menyebabkan perubahan enzim xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase, dimana perubahannya bersifat ireversibel. Setelah berolahraga terjadi proses reperfusi, dimana darah bergerak kembali dengan cepat ke berbagai organ yang kekurangan aliran darah sehingga oksigen terpenuhi kembali, reaksi yang terjadi dipengaruhi oleh xantin oksidase. Reaksi ini menghasilkan radikal bebas sehingga menimbulkan reperfusion injury (injury yang terjadi setelah terjadinya reperfusi setelah mengalami iskemia (Langseth, 1996; Cooper 2001)).
2.4.5 Hasil Pengukuran Radikal Bebas Saat Berolahraga Saat ini tidak terdapat penanda diagnosis tunggal untuk latihan fisik berlebih. Pemeriksaan yang tersedia untuk memeriksa respon biomarker terhadap latihan (Margonis et al., 2007). Pengukuran radikal bebas terutama pada proses oksidasi lemak, yang dikenal sebagai peroksidasi lipid. Proses ini membentuk sisa metabolisme, salah satunya dikenal sebagai thiobarbituric acid reactive substance (TBARS) (Cooper, 2001; Cadenas and Packer, 2002 (a)), yang merupakan tes yang tertua untuk mengukur peroksidasi lipid, merupakan pengujian yang sederhana, tetapi kesederhanaan melakukan uji ini memungkinkan kompleksitas kimianya (Cadenas dan Packer, 2002 (a)). Pemeriksaan respon biomarker terhadap latihan ketahanan yang dilakukan pada 12 orang laki-laki berusia 21 tahun, yang dilakukan selama 12 minggu, dimana latihan pada masing-masing sesi dilakukan selama tiga minggu. Pada sesi pertama dilakukan latihan dua kali seminggu. Sesi kedua delapan kali seminggu. Sesi ketiga 14 kali seminggu. Diikuti istirahat total selama tiga minggu. Sampel darah atau urin dikumpulkan pada keadaan basal dan 96 jam pascalatihan terakhir pada tiap sesi. Hasilnya menunjukkan adanya leukositosis, peningkatan isoprostan dalam urin (7fold), TBARS (56%), katalase (96%), gluthatione peroxidase, serta gluthatione yang teroksidasi (GSSG) (25%). Sebaliknya terjadi penurunan gluthatione tereduksi (GSH) (31%), GSH/GSSG (56%), dan kapasitas total antioksidan. Dapat disimpulkan, latihan fisik berlebih merangsang respon terhadap biomarker stres oksidatif (Margonis et al., 2007).
2.5
ANTIOKSIDAN
2.5.1 Definisi Antioksidan Dalam pengertian kimia, senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (elektron donors). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dihambat (Winarsi, 2007), termasuk enzim - enzim dan protein - protein pengikat logam (Pangkahila, 2007). 2.5.2 Klasifikasi antioksidan 2.5.2.1 Klasifikasi antioksidan secara umum 1.
Antioksidan Enzimatis, misalnya enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase.
2.
Antioksidan Non Enzimatis a. Antioksidan larut lemak, seperti -tokoferol, karotenoid, flavonoid, quinon, dan bilirubin. b. Antioksidan larut air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, dan protein pengikat heme. (Miyazaki et al., 2000; Winarsi, 2007). Antioksidan enzimatis dan non enzimatis tersebut bekerja sama memerangi
aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh. Terjadinya stres oksidatif dapat dihambat oleh kerja enzim-enzim antioksidan dalam tubuh dan antioksidan non enzimatik (Miyazaki et al, 2000; Winarsi, 2007).
2.5.2.2 Klasifikasi berdasar mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan 1.
Antioksidan pencegah ( preventive antioxidants). Pada dasarnya tujuan antioksidan jenis ini mencegah terjadinya
radikal
hidroksil, yaitu radikal yang paling berbahaya. Untuk membentuk radikal hidroksil diperlukan tiga komponen, yaitu : logam transisi Fe atau Cu, H2O2 dan O2• - Agar reaksi Fenton ((Fe++(Cu+) + H2O2
Fe+++ ( Cu++ )
+ OH - + • OH ))
tidak terjadi, maka harus dicegah keberadaan ion Fe++ atau Cu+ bebas. Untuk itu berperan beberapa protein penting, yaitu : a. Untuk Fe transferin atau feritin b. Untuk Cu : seruloplasmin atau albumin Penimbunan O2• - dicegah oleh enzim superoksida dismutase (SOD) dengan mengkatalisis reaksi dismutasi O2•-. 2O2 •
-
+ 2H
SOD
H2O2 + O2
Enzim SOD melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya proses peradangan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Penimbunan hidrogen peroksida (H2O2) dicegah melalui aktivitas dua enzim, yaitu : a. Katalase, yaitu enzim yang mengandung heme, yang mengkatalisis reaksi dismutasi H2O2 menjadi air dan oksigen, dimana katalase mampu mengoksidasi satu molekul hidrogen peroksida menjadi oksigen, kemudian secara simultan mereduksi molekul hidrogen peroksida kedua menjadi air. 2H2O2
2H2O + O2
b. Peroksidase, yang mengkatalisis reaksi sebagai berikut : R + H2O2
RO + H2O
Diantara berbagai peroksidase, yang paling penting adalah gluthation peroksidase (GSPx), yang mengkatalisis reaksi : 2GSH + H2O2
GSSG + 2H2O
Apabila radikal hidroksil masih saja terbentuk, masih ada sarana lain untuk meredamnya, tanpa memberi kesempatan untuk memulai reaksi rantai dengan melibatkan senyawa-senyawa yang mengandung sulhidril seperti gluthation dan sistein. Gluthation ( GSH ) : GSH + • OH 2GS•
GS• + H2O GSSG
Sistein ( Cys-SH ) : Cys-SH + •OH 2 Cys • 2.
Cys-S • + H2O Cys-S-S-Cys
Antioksidan pemutus reaksi rantai ( chain-breaking antioxidants). Dalam kelompok antioksidan ini termasuk vitramin E (tokoferol), asam askorbat ( vitamin C ), β –karoten. Vitamin E dan β -karoten bersifat lipofilik, sehingga dapat berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid. Sebaliknya, vitamin C, gluthation dan sistein bersifat hidrofilik, dan berperan dalam sitosol ((Frei, 1999; Milner, 2000; Murray et al., 2000).
Gambar 2.1 Korelasi hubungan antioksidan dalam sistem biologi (Yuji et al, 2010) 2.6
PROPOLIS Propolis atau lem lebah adalah suatu zat yang dihasilkan oleh lebah madu,
mengandung resin dan lilin lebah, bersifat lengket yang dikumpulkan dari sumber tanaman, terutama dari bunga dan pucuk daun, untuk kemudian dicampur dengan air liur lebah (Marcucci et al., 2001, Salatino et al., 2005; Nakajima et al., 2009). Asal tanaman penghasil propolis belum dapat diketahui semuanya, yang saat ini diketahui adalah berasal dari getah resin tanaman kelompok pinus dan akasia. Propolis digunakan untuk menutup sel-sel atau ruang heksagonal pada sarang lebah. Biasanya, propolis menutup celah kecil berukuran 4-6 mm, sedangkan celah yang lebih besar diisi oleh lilin lebah. Dahulu peternak lebah di Amerika Serikat menganggap propolis sebagai bahan pengganggu, sebab melekat di tangan, pakaian, dan sepatu ketika cuaca panas, serta berubah keras dan berkerak ketika dingin (Salatino et al., 2005).
Salah satu jenis lebah yang mampu menghasilkan propolis dalam jumlah banyak yaitu jenis Trigona sp (Sabir, 2009). Spesies lebah madu yang juga aktif mencari propolis adalah Apis Mellifera (Salatino et al., 2005).Hanya lebah betina pekerja yang bertugas mencari polen sebagai bahan baku propolis, mengolah propolis dari berbagai bahan seperti pucuk daun, getah tumbuhan, dan kulit beragam tumbuhan seperti akasia dan pinus. Lebah jantan tidak mempunyai kantong polen di bagian tibia atau tungkai kaki dan tanpa kelenjar malam, itulah sebabnya tidak mampu mencari dan mengangkut polen ke sarang. Lebah madu cenderung menyesuaikan jadwal penerbangannya pada saat bunga-bunga dari spesies yang dikunjungi mulai mekar dan menghasilkan serbuk sari, dan di luar itu tetap berada di sarang (Ensiklopedi Indonesia, 2003).
Gambar 2.2. Lebah Penghasil Propolis (Sumber: Value Added Products of Beekeeping by R Krell, FAO)
2.6.1. Karakteristik Propolis Warna propolis bervariasi, dari kuning, hijau hingga coklat tua, tergantung pada sumber tumbuhannya, seperti propolis Brazil (Cuba) berwarna kehijauan (Salatino, 2005). Propolis merupakan substansi resin alami yang mempunyai aroma wangi, sangat lengket pada suhu sarang saat baru dibentuk, mengeras pada suhu 150C, dan menjadi mudah pecah di bawah suhu 50C. Pada suhu 250-450 C, propolis bersifat lembut, elastis dan sangat lengket. Di atas suhu 450C, propolis semakin lengket seperti karet. Sementara pada suhu 600 dan 700-1000C propolis akan mencair (Krell, 1996).
Propolis Gambar 2.3. Propolis Trigona sp 2.6.2. Kandungan Propolis
Propolis terdiri dari resin (50%), wax (30%), essential oils (10%), pollen (5%), dan komponen organik (5%) (Gomez et al., 2006). Resin mengandung flavonoid, fenol, dan berbagai bentuk asam (Borelli et al., 2002). Salah satu ikatan fenol yang ada dalam propolis yaitu Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE) (Viuda et al., 2008). CAPE merupakan sisi aktif flavonoid yang bekerja untuk memaksimalkan aktivitas scavenger terhadap radikal bebas, dengan cara menurunkan aktivitas radikal hidroksil (●OH) sehingga tidak terlalu reaktif lagi (Cadenas and Packer, 2002 (c)). Propolis mengandung 16 asam amino essensial yang dibutuhkan untuk regenerasi sel. Dari semua asam amino yang terdapat dalam propolis, arginin dan prolin tergolong yang terbanyak, sekitar 45,8%. Propolis mengandung semua mineral, kecuali sulfur. Zat besi (Fe) dan seng (Zn) adalah kandungan yang terbanyak. Kandungan mineral ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuh tanaman. Propolis juga mengandung vitamin, di antaranya vitamin A, vitamin B (B1, B2, B6), vitamin C, vitamin E dan vitamin D (Krell, 1996; Wikipedia, 2010).
Gambar. 2.4. Chemical structures of the most important flavonoids found in honey and propolis (Viuda et al., 2008) . 2.6.3. Jenis-Jenis propolis Berikut
ini adalah beberapa bentuk propolis yang sudah diproduksi massal
(Krell, 1996): 1.
Propolis mentah, yaitu propolis tanpa melalui proses pematangan (mentah), bisa langsung dikonsumsi. Umumnya berbentuk bongkahan atau dibekukan.
Bongkahan besar propolis murni dapat dikunyah, seperti permen karet. Namun sebaiknya dikonsumsi dalam jumlah sedikit, jika berlebihan menyebabkan gangguan pada perut. Selain itu ada propolis mentah yang dihancurkan hingga menjadi butiran halus. Butiran halus biasanya dimasukkan dalam kapsul atau dicampur dengan makanan dan minuman. 2.
Propolis cair, adalah propolis bentuk cair, yang telah diekstrak dengan jenis pelarut tertentu. Ada banyak jenis pelarut yang dapat digunakan, di antaranya etanol (alkohol), air, pelarut minyak sayur atau lemak hewan.
3.
Propolis bubuk (powder). Sebelum diproses menjadi bentuk bubuk atau powder, propolis mentah (raw propolis) terlebih dahulu diekstrak dengan alkohol, air, atau ekstrak glikol. Bentuk propolis bubuk di pasaran dapat ditemukan dalam bentuk tablet atau kapsul.
4.
Injeksi. Hingga kini ketersediaan propolis injeksi masih dalam penelitian.
5.
Pasta dan minyak propolis. Salah satunya adalah pasta gigi propolis, yang bermanfaat untuk mencegah karies, radang gusi, dan sariawan. Selain dalam bentuk pasta, propolis juga bisa dicampur dengan minyak atau krim untuk dioleskan.
2.6.4.Ekstraksi Propolis Ekstraksi propolis membutuhkan pelarut. Pemilihan cairan pelarut tergantung pada tujuan penggunaan propolis dan tehnik yang ada. Selama ini, ekstraksi propolis menggunakan ethanol, propilen glikol, atau air. Ethanol dan glikol dapat melarutkan seluruh zat aktif.
Bahannya merupakan propolis mentah, untuk mengetahui propolis mentah yang masih berkualitas adalah dengan mencampur propolis sebanyak setengah sendok teh dengan secangkir susu, lalu biarkan selama empat hari pada suhu hangat. Jika susu tetap segar, berarti propolis masih baik. Sebaliknya jika fisik susu berubah, berarti propolis sudah tidak baik. Cara pertama dilakukan dengan membersihkan propolis dan kotoran yang tampak, juga dari lilin yang berlebihan. Caranya propolis dihaluskan menjadi butiran kecil atau bubuk halus. Jika propolis terlalu lengket dan sulit dihaluskan, sebaiknya propolis disimpan dahulu dalam freezer atau lemari es selama beberpa jam hingga menjadi keras dan rapuh. Propolis yang lengket, bisa dibuat setipis mungkin untuk menigkatkan kontak permukaan antara alkohol dengan propolis, sehingga pelarutan mudah dilakukan. Alat dan bahan yang digunakan untuk melakukan proses ekstraksi skala industri kecil sebagai berikut: 1.
Botol berkapasitas besar yang dapat ditutup rapat.
2.
Timbangan yang cukup sensitif untuk menimbang jumlah kecil.
3.
Kertas filter, kain katun berlapis, atau bola kapas sebagai saringan.
4.
Lemari es atau freezer, meski tidak terlalu pentng.
5.
Sumber panas, seperti perangkat destilasi, pengering vakum, atau pengering beku, berguna untuk menguapkan pelarut (Krell, 1996).
2.6.5. Teknik Ekstraksi Hingga kini belum ada standarisasi tentang konsentrasi, metode ekstraksi, dan jenis pelarut yang akan dipakai.
Tehnik Ekstraksi Propolis Alkohol Ekstraksi propolis alkohol merupakan proses ekstraksi yang paling banyak dilakukan. Alkohol yang biasanya digunakan adalah etanol. Ekstrak propolis yang digunakan pada manusia, pemilihan jenis alkohol lebih berupa gin, rum, cachasa, arak atau cairan destilasi lainnya. Cairan alkohol ini memang mengandung kurang dari 70% alkohol, tetapi hasilnya tetap berkualitas . Berdasarkan penelitian, ekstraksi yang menghasilkan zat aktif terbanyak adalah propolis yang dilarutkan dalam alkohol 70%. Semakin lama direndam dalam alkohol, propolis akan semakin larut. Idealnya, lama waktu pelarutan maksimum 2-3 minggu. Prosedur ekstraksi dengan alkohol: a. Prosedur yang saat ini digunakan untuk industri skala kecil adalah dengan perbandingan propolis alkohol sebesar 5-10%. Artinya rasio berat propolis dengan berat pelarut berkisar 5-10%. Sementara itu, konsentrasi awal propolis yang akan diekstraksi tidak boleh lebih dari 30%, jika lebih ekstraksi akan kurang efisien dan kurang lengkap. b. Timbang jumlah propolis dan hitung volume alkohol yang digunakan. Sebaiknya, berat alkohol ditimbang agar dapat dibandingkan dengan berat propolis. Secara sederhana, 1 liter alkohol 100% beratnya 800 gram, dan 1 liter alkohol 70% beratnya 860 gram. Menimbang alkohol lebih dipilih daripada menghitung volume alkohol karena lebih akurat. c. Selanjutnya, alkohol dan propolis dimasukkan ke dalam satu wadah, tutup rapat, lalu kocok pelan-pelan. Pengocokan dilakukan sekali sampai dua kali setiap
harinya. Wadah disimpan dalam tempat yang gelap dan hangat, setidaknya selama tiga hari. Untuk hasil terbaik, biasanya ekstraksi memerlukan waktu 1-2 minggu. d. Untuk mempercepat proses ekstraksi, rebus campuran alkohol dengan propolis selama delapan jam untuk melarutkan semua resin yang ada. Namun untuk mendapat kualitas ekstrak propolis yang terbaik, pemanasan ini sebaiknya dihindari. e. Setelah disimpan, cairan disaring dengan kertas filter, kain halus, atau kapas. Kain dibuat berlapis agar penyaringan lebih efektif. Lebih baik lagi jika ditambahkan saringan lagi di bawahnya. Sisa saringan pertama masih bisa diekstrak lagi melalui prosedur yang sama. Untuk mendapat hasil yang maksimal, satu hari sebelum proses penyaringan, campuran propolis disimpan dalam lemari es, dengan suhu dibawah 4oC, tetapi jangan sampai membeku. Sebaiknya, saringan juga dibersihkan sebelum digunakan. f. Hasil penyaringan akan berupa cairan jernih, bebas dari pertikel, dan berwarna cokelat tua atau sedikit kemerahan. Simpan hasil penyaringan dalam botol bersih berwarna gelap dan hampa udara. Jika botol tidak berwarna gelap, letakkan saja botol di tempat gelap, dingin, atau dibungkus dengan kain atau kertas, lalu jauhkan dari cahaya matahari. Contoh: Untuk membuat propolis alkohol 10%, campurkan satu bagian propolis dengan sembilan bagian alkohol. Jadi untuk 100 gram propolis, diperlukan campuran pelarut alkohol sebanyak 900 gram. Begitu juga untuk 1kg propolis, perlu ditambahkan 9 kg
alkohol. Sementara, untuk membuat propolis alkohol 55, perbandingan yang dibutuhkan adalah satu bagian propolis dengan 19 bagian alkohol. Untuk mengatasi mahalnya harga pelarut, konsentrasi ekstrak awal dibuat lebih tinggi (sekitar 30%) dan baru diencerkan lagi, tergantung pada tujuan penggunaannya. Teknik Ekstraksi Propolis Glikol Metode ini hampir sama dengan metode ekstraksi propolis alkohol, hanya berbeda dari jenis pelarutnya, yaitu glikol dalam bentuk propylene glycol. Perbandingan atau konsentrasi yang dipakai sebaiknya tidak melebihi 10%. Kekurangan teknik ekstraksi ini adalah membutuhkan suhu yang lebih tinggi saat melakukan proses penguapan pelarut, yang tentunya dapat membuat komponen di dalam propolis mudah menguap. Harga glikol biasanya lebih murah dari alkohol. Sayangnya, glikol tidak mudah diperoleh di semua tempat. Teknik Ekstraksi Propolis Air Ekstraksi propolis dengan air dilakukan dengan cara melarutkan propolis dalam air selama beberapa hari atau merebusnya dalam air. Metode ekstraksi propolis air sama persis dengan ekstraksi alkohol. Terbatasnya pemanfaatan ekstraksi propolis alkohol, terutama untuk dikonsumsi ibu hamil dan anak, konsumsi di negara muslim, atau faktor kesehatan tertentu, membuat ekstraksi propolis air menjadi penting. Membuat Ekstrak Propolis di Rumah Ekstraksi zat aktif dalam propolis juga bisa dilakukan di rumah. Bahannya propolis mentah, Bahan lain yang dibutuhkan adalah pelarut, dapat berupa alkohol, propilen glikol atau air. Cara yang digunakan sama seperti membuat ekstraksi propolis untuk
skala industri, hanya peralatan untuk pembuatan ekstraksi propolis di rumah lebih sederhana (Krell, 1996). 2.6.6 Manfaat dan Bukti Ilmiah Propolis Propolis dan hasil produk lebah lainnya seperti madu, pollen dan royal jeli, bermanfaat untuk kesehatan. Di antaranya bermanfaat sebagai antioksidan, antibakteri, antiinflamasi, hepatoprotektif, antitumor, dan vasodilator (Viuda et al., 2008; Nakajima et al., 2009). Manfaat Sebagai Antioksidan Propolis merupakan produk alami yang mempunyai potensi antioksidan yang tinggi (Gheldof et al., 2002). Propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang paling kuat dalam melawan radikal bebas (radikal H2O2, O2-, OH●) dibandingkan dengan hasil produk lebah lainnya (Nakajima et al., 2009). Kandungan flavonoid di dalamnya dapat meredam efek buruk radikal bebas, dengan menghambat peroksidasi lipid melalui aktivasi peroksidase terhadap hemoglobin, yang merupakan antioksidan endogen (Mot et al., 2009). Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa kandungan Caffeic acid yang ada di dalam propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi,
yang dapat
meningkatkan ekspresi glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD) yang dikenal sebagai gen antioksidan, lebih kuat dibandingkan vitamin E. Caffeic acid mempunyai aktivitas antioksidan 4-6 kali lebih kuat terhadap radikal H2O2 dan O2 -, dibandingkan vitamin C dan N-acetyl-cystein (NAC) (Nakajima et al., 2009). Potensi kekuatan antioksidan ekstrak propolis dan polen secara berturut-turut, yaitu; ekstrak propolis air,
ekstrak propolis etanol, polen. Seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini (Nakajima et al.,2009). Tabel 2.1. Antioxidant activities of bee products (Nakajima et al., 2009) IC50 (95% confidence limit) H2O2
O2·-
HO·
WEP
0.24 (0.15– 0.34)
0.91 (0.64– 1.21)
4.12 (3.31–5.17)
EEP
2.48 (1.65– 4.05)
0.79 (0.56– 1.04)
5.83 (4.99–6.87)
9.99 (8.01– 12.3)
8.44 (6.64– 10.4)
57.6 (46.5–69.9)
> 100
> 100
> 100
Compounds Brazilian green propolis (μg/ml)
Other bee products (μg/ml) Pollen Royal
jelly
Constituents of propolis (μM) 3,4-di-
O-Caffeoylquinic acid
0.52 (0.36– 0.70)
0.25 (0.18– 0.32)
1.86 (1.50–2.31)
3,5-di-
O-Caffeoylquinic acid
0.33 (0.16– 0.53)
0.18 (0.13– 0.24)
2.02 (1.51–3.07)
0.22 (0.11– 0.35)
0.16 (0.11– 0.22)
2.38 (1.83–3.19)
1.44 (1.16– 1.76)
2.01 (1.38– 2.84)
51.9 (39.1–73.1)
Baccharin
> 100
> 100
> 100
Coumaric acid
> 100
> 100
59.4 (39.1– 102.7)
Drupanin
7.35 (5.28– 10.0)
5.24 (3.20– 8.00)
26.4 (17.4–43.4)
Caffeic acid
0.28 (0.22– 0.36)
0.13 (0.11– 0.16)
(bersambung) 1.82 (1.50–2.23)
Quinic acid
> 100
> 100
> 100
3-Caffeoylquinic acid Artepillin C
IC50 (95% confidence limit) H2O2
O2·-
HO·
> 100
> 100
> 100
Trolox
0.29 (0.11– 0.59)
0.36 (0.13– 0.75)
1.30 (0.97–1.77)
NAC
1.84 (1.02– 4.37)
2.40 (1.46– 4.42)
> 100
Ascorbic acid (Vitamin C)
1.53 (1.38– 1.70)
0.70 (0.50– 0.94)
2.07 (0.98–5.81)
Compounds Constituents of royal jelly (μM) 10-Hydroxy decenoic acid Antioxidants (μM)
IC50: 50% inhibitory concentration, WEP: water extract of propolis, EEP: ethanol extract of propolis, NAC: N-acetyl cysteine.
Manfaat Sebagai Antikanker Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE), salah satu bahan aktif dalam propolis, terbukti menghentikan pertumbuhan sel kanker. Hasil penelitian uji sitotoksik serbuk propolis dan madu propolis terhadap sel kanker rahim dan payudara di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gajah Mada (UGM), menunjukkan propolis dapat menghambat sel kanker HeLa (sel kanker serviks), Siha (sel kanker uterus), T47D dan MCF7 (sel kanker payudara). Riset ilmiah itu membuktikan bahwa nilai LC50 15,625-62,5 µg/ml. Artinya, propolis dosis 15,62562,5 µg/ml dapat menghambat aktivitas 50% sel kanker dalam kultur. Dimana nilai LC50 serbuk propolis lebih kecil dibandingkan madu propolis, yang berarti mempunyai efek lebih toksik secara in vitro (Yuliati, 2009).
Uji potensi propolis dalam pengobatan tumor mammae pada tikus betina galur Sprague
dawley
yang
diinduksi
7,12-dimethylbenz(a)anthracene
(DMBA),
menunjukkan bahwa propolis mampu mengobati tumor mammae melalui pengecilan diameter nodul. Sebanyak 40 tikus berumur lima pekan dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: kelompok kontrol hanya diberi DMBA, kelompok P1 diberikan propolis setelah terpapar tumor, kelompok P2 propolis diberikan sebelum dan setelah terpapar tumor. DMBA dilarutkan dalam minyak jagung dan diinduksikan pada tikus dengan dosis 20 mg/kg bobot tubuh. Dosis propolis yang diberikan adalah 2,5 ml/kgbb, diberikan dua kali per hari selama satu bulan (Astuti dan Widyarini, 2009). Hasilnya sebulan kemudian diukur, kelompok pertama perkembangan nodul atau benjolan pada tikus semakin membesar, mencapai 87,5% dari delapan ekor tikus yang tersisa. Kelompok kedua dan ketiga memberikan hasil nodul yang semakin mengecil, masing-masing mencapai 69,23% dan 66,66% dari hewan uji. Penelitian itu membuktikan terjadi pengecilan nodul dari diameter 1,8 cm menjadi 0,6 cm setelah satu bulan pemberian propolis (Astuti and Widyarini, 2009). Manfaat Sebagai Antiinflamasi Flavonoid yang terdapat di dalam propolis dapat menghambat Cyclooxygenase (COX) dan aktivitas lipo-oxygenase, serta membatasi aktivitas polygalacturonase (Raso et al, 2001; Borelli et al., 2002). Komponen lainnya, yakni Caffeic Acid Phenetyl Ester (CAPE), juga mempunyai aktivitas antiinflamasi dengan menghambat pengeluaran asam arakidonat pada membran sel, dimana menyebabkan penekanan
aktivasi Cyclooxygenase-1(COX-1) dan Cyclooxygenase-2 (COX-2), dan menghambat ekspresi gen dari COX-2 (Mirzoeva and Calder, 1996). Manfaat sebagai Antiviral Propolis mempunyai kapasitas untuk menghambat propagasi virus. Beberapa studi in vitro menunjukkan efek propolis pada DNA dan RNA berbagai virus, di antaranya Herpes Simpleks tipe 1 dan 2, Adenovirus tipe 2, virus Ostomatitis Vesikular dan virus Polio tipe 2. Efek diamati berdasarkan reduksi multiplikasi virus dan aksinya (Amoros et al., 1992). Manfaat Sebagai Antibakteri Penelitian aktivitas antibakteri flavonoid propolis Trigona sp terhadap bakteri Streptococcus mutans (in vitro), menunjukkan propolis Trigona sp secara signifikan (p<0,05) menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans yang diinkubasi selama 24 dan 48 jam (Sabir, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan di bagian parasitologi Fakultas Kedpkteran Universitas
Gajah
Mada,
menunjukkan
propolis
bermanfaat
sebagai
immunomodulator. Peneliti membagi tikus menjadi delapan kelompok, empat kelompok pertama diberikan 3,9 mg propolis oral setiap dua hari, selama dua minggu sebelum infeksi, empat kelompok lainnya tidak. Lalu kedua kelompok diberikan Plasmodium Berghei secara intraperitoneal. Setelah itu diberi terapi injeksi klorokuin selama tiga hari, dengan dosis berturut-turut 1,56 mg; 1,56 mg; 0,8 mg. Empat kelompok pertama juga diberikan propolis 3,9 mg setiap hari selain klorokuin. Evaluasi dengan menghitung persentase parasitemia setiap hari dimulai dari hari
pertama setelah infeksi, serta melihat efek parasitologiknya terhadap hati, limpa, ginjal dan otak. Hasilnya propolis tidak menghentikan infeksi, tetapi menghambat pertumbuhan Plasmodium Berghei di sel darah merah, dan memperpanjang harapan hidup dari tikus. Pemeriksaan patologik menunjukkan inflamasi ringan di hati, limpa, ginjal dan hati kelompok
tikus yang diberi propolis, jadi
propolis mengurangi
kerusakan organ (Wijayanti et al., 2003). Manfaat Sebagai Antiulkus Propolis dan madu mempunyai kapasitas sebagai antiulkus. Flavonoid meningkatkan kadar prostaglandin pada mukosa, yang dapat meningkatkan efek proteksi pada mukosa lambung, sehingga mencegah ulserasi (Duarte et al, 2001). Penelitian lain menunjukkan ulkus berhubungan dengan Reactive Oxygen Species (ROS) (Marthin et al., 1998). Flavonoid dapat menghambat ROS dengan menghambat peroksidasi lipid, yang dapat meningkatkan aktivitas glutation peroksidase (Duarte et al., 2001). 2.6.7 Toksisitas Propolis Penelitian di Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada, membuktikan bahwa propolis sangat aman dikonsumsi. Uji toksisitas dilakukan untuk menentukan toksisitas propolis yang dikonsumsi berulang dalam waktu sampai tiga bulan. Dalam uji praklinis, LD50 propolis mencapai lebih dari 10.000 mg. LD50 adalah lethal dosage, yaitu dosis yang mematikan separuh hewan percobaan. Jika dikonversi, dosis itu setara 7 ons sekali konsumsi untuk manusia dengan berat badan 70 kg. Faktanya, dosis konsumsi propolis di masyarakat sangat rendah, hanya 1-2 tetes dalam segelas air
minum. Efek konsumsi jangka panjang, tidak menimbulkan kerusakan pada darah, organ hati, dan ginjal. (Sarto and Saragih, 2009). Penentuan toksisitas subkronik dilakukan dengan menggunakan mencit jantan, 21 ekor mencit dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari tujuh ekor, kelompok pertama adalah kelompok kontrol tanpa perlakuan, dua kelompok yang lain diperlakukan dengan dosis propolis 5.000 mg/kgbb dan 10.000 mg/kgbb setiap hari selama 30 hari. Hasil analisis menunjukkan tidak menimbulkan kematian mencit, tidak mempengaruhi berat badan, tidak mengganggu jumlah sel-sel darah dan kadar hemoglobin, tidak mengganggu fungsi hati dan ginjal (tidak mempengaruhi kadar SGOT, SGPT, kreatinin dan asam urat), tidak mempengaruhi kualitas sel-sel hati, ginjal dan lambung (Sarto and Saragih, 2009). 2.7
HEWAN COBA
2.7.1 Penggunaan tikus ( Rattus Norvegicus) di laboratorium Penggunaan tikus atau rat ( Rattus Norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino putih berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya dan galur Wistar yang ditandai dengan kepala besar dan
ekor
lebih
pendek ( Malole and
Pramono, 1989). Tikus ( Rattus norvegicus ) galur wistar lebih besar dari famili tikus umumnya dimana tikus ini dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung ekor dan
berat 140-500 gram. Tikus betina biasanya memiliki ukuran lebih kecil dari tikus jantan dan memiliki kematangan seksual pada umur 4 bulan dan dapat hidup selama 4 tahun ( Kusumawati, 2004) Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat melihat dan mendengar tikus lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit, tetapi tikus dapat berbiak sebaik mencit. Karena hewan ini lebih besar daripada mencit, maka untuk beberapa macam percobaan, tikus lebih menguntungkan (Smith and Mangkoewidjojo, 1988). Dibandingkan dengan tikus liar, tikus laboratorium lebih cepat menjadi dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih mudah berkembang biak. Jika tikus liar dapat hidup dapat hidup 4-5 tahun, tikus laboratorium jarang hidup lebih dari 3 tahun (Smith and Mangkoewidjojo, 1988). Umumnya berat tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat tikus liar. Biasanya pada umur empat minggu beratnya 35-40 gram, dan berat dewasa rata-rata 200-250 gram, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Tikus jantan tua dapat mencapai 500 gram, tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 gram (Smith and Mangkoewidjojo, 1988). Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain. Tikus tidak dapat muntah, karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara
ke dalam lambung dan tikus tidak mempunyai kandung empedu (Smith and Mangkoewidjojo, 1988). 2.7.2 Pemantauan keselamatan tikus di laboratorium Pemantauan keselamatan tikus di laboratorium (Smith and Mangkoewidjojo, 1988; Ngatidjan, 2006 ) antara lain : a.
Kandang tikus harus cukup kuat tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu kali seminggu), mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan gigitan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur harus mudah menyerap air pada umumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam padi.
b.
Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan fisiologi tikus.(suhu, kelembaban dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari).
c.
Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram luas lantai tiap ekor tikus adalah 600 cm2, tinggi 20,0 cm.
d.
Tikus harus diperlakukan dengan kasih sayang.
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1
Kerangka Berpikir Setelah mencapai usia dewasa, secara alamiah seluruh komponen tubuh tidak
dapat berkembang lagi, melainkan terjadi penurunan karena proses penuaan. Beberapa faktor yang menyebabkan penuaan antara lain adalah faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor internal adalah radikal bebas, yang bersifat sangat reaktif. Radikal bebas akan merusak membran sel, DNA, protein., sehingga radikal bebas mempunyai kontribusi yang besar pada terjadinya penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan seperti kanker, penyakit jantung dan proses penuaan. Beberapa sumber internal radikal bebas: mitokondria, fagositosis, xantin oksidase, reaksi yang melibatkan logam transisi seperti Fe dan Cu, latihan fisik, inflamasi, dan reperfusion injury. Beberapa sumber eksternal radikal bebas: asap rokok, polusi lingkungan, radiasi, sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, pestisida. Tubuh dapat mengatasi radikal bebas, namun jika radikal bebas yang dihasilkan melebihi antioksidan dapat menyebabkan stres oksidatif. Salah satu akibat dari stres oksidatif adalah terjadinya peroksidasi lipid, yang menyebabkan hilangnya asam lemak tidak jenuh, dan menjadi salah satu penyebab utama kerusakan sel. Latihan yang berlebihan dapat meningkatkan laju pembentukan radikal bebas, yang menimbulkan stres oksidatif. Pada olahraga berat atau olahraga yang melampaui batas kelelahan, terjadi peningkatan kebutuhan oksigen 10-20 kali, bahkan pada otot 55
yang berkontraksi kebutuhan oksigen meningkat 100-200 kali dari kebutuhan normal, selain itu latihan yang berlebihan dapat menyebabkan reperfusion injury yang bersifat irreversibel. Pemberian antioksidan dapat mengurangi kerusakan oksidatif yang terjadi. Propolis sebagai antioksidan sudah tidak terbantahkan lagi. Propolis merupakan produk alami yang mempunyai potensi antioksidan yang tinggi. Propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang paling kuat dalam melawan radikal bebas (radikal H2O2, O2-, OH●) dibandingkan dengan hasil produk lebah lainnya. Kandungan flavonoid di dalamnya dapat meredam efek negatif radikal bebas. Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa kandungan Caffeic acid yang ada di dalam propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi, yang dapat meningkatkan ekspresi glucose-6phospate dehydrogenase (G6PD) yang didapat dari ekspresi gen antioksidan, lebih kuat dibandingkan vitamin E. Caffeic acid mempunyai aktivitas antioksidan 4-6 kali lebih kuat terhadap radikal H2O2 dan O2 -, dibandingkan vitamin C dan N-acetyl-cystein (NAC). Manfaat propolis lainnya adalah sebagai antibakteri, antiinflamasi, antiviral, hepatoprotektif, antitumor, mencegah terjadinya ulkus dan vasodilator. Caffeic acid merupakan sisi aktif flavonoid yang bekerja untuk memaksimalkan aktivitas scavenger terhadap radikal bebas, dengan cara menurunkan aktivitas radikal hidroksil (●OH) sehingga tidak terlalu reaktif lagi, melalui tiga tahap: 1. Mencegah proses inisiasi, melalui proses scavenger terhadap ●OH melalui reaksi yang melibatkan transfer elektron dan mungkin pula eliminasi logam berat.
2. Memutuskan reaksi berantai peroksidatif dengan menstabilkan radikal peroksil, membentuknya menjadi peroxide dengan mendonorkan atom hidrogen (H). 3. Regenerasi α-tocopherol dengan mengurangi radikal α-tocopheroxyl. Untuk mengetahui secara pasti perubahan yang terjadi diperlukan biomarker, yaitu suatu karakteristik yang secara objektif dapat diukur dan dievaluasi sebagai indikator normal terhadap proses biologi, patologi, atau respon farmakologi terhadap intervensi terapeutik. Salah satu biomarker yang dipakai untuk menentukan stres oksidatif pada manusia adalah f2-isoprostan, yang merupakan salah satu produk akhir peroksidasi lipid. F2-isoprostan dapat ditemukan di jaringan dan cairan tubuh (termasuk urin) manusia dan hewan, yang mengandung f2-isoprostan dan metabolitnya dalam tingkat rendah ( ̴ 30-40 pg/mL di plasma segar manusia, ̴ 2 ng/mg kreatinin di urin manusia). F2-isoprostan merupakan gold standart daripada pemeriksaan stres oksidatif, karena prosedur dan tehniknya lebih mudah dimana sampel dapat diambil dari urin, sehingga tidak memerlukan tindakan invasif. Berdasarkan penjelasan di atas, maka peranan propolis oral dalam menghambat peningkatan kadar f2-isoprostan dalam urin, dan menghambat proses penuaan, dapat dilihat pada gambar 3. 1.
3.2. Konsep PROPOLIS
Sumber Internal Radikal Bebas :
Sumber Eksternal Radikal Bebas : - Asap rokok - Polusi lingkungan - Radiasi - Sinar UV - Obat-obatan tertentu (pestisida)
- Mitokondria - Fagositosis - AKTIVITAS FISIK BERLEBIH - Inflamasi - Iskemia/reperfusi
TIKUS F2-isoprostan Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian 3.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep penelitian di atas, maka ditetapkan hipotesis
penelitian sebagai berikut: 3.
Pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,3 g dapat menurunkan kadar f2isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) jantan yang mengalami aktivitas fisik maksimal.
4.
Pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,6 g dapat menurunkan kadar f2isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) jantan yang mengalami aktivitas fisik maksimal.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan Pre-test Post-test Control Group Design (Pocock, 2008). Skema rancangan penelitian adalah sebagai berikut : Pre test
Post test P0
O1
O2 P1
O3 P
S
R
O4 P2
O5
O6
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Keterangan : P = S = R = P0 = P1 = P2 = O1 = O3 = O5 = O2 = O4 = O6 =
Populasi Sampel Random Kontrol, dengan diberi aquadest 1 cc dan aktivitas fisik maksimal Perlakuan 1 (0,3 g ekstrak propolis) dan aktivitas fisik maksimal Perlakuan 2 (0,6 g ekstrak propolis) dan aktivitas fisik maksimal Kadar f2-isoprostan pre test kelompok kontrol Kadar f2-isoprostan pre test 59kelompok perlakuan I Kadar f2-isoprostan pre test kelompok perlakuan II Kadar f2-isoprostan post test kelompok kontrol Kadar f2-isoprostan post test kelompok perlakuan 1 Kadar f2-isoprostan post test kelompok perlakuan II
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian sudah dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, pada bulan Juli - Agustus 2011. Pemeriksaan kadar
f2-isoprostan urin dilakukan di Laboratorium Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar. 4.3 Populasi dan Besar Sampel Dalam penelitian ini digunakan tikus dengan kriteria sebagai berikut : tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar, jantan, dewasa yang sehat, berumur 2-3 bulan, berat badan 150-200 gram. Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian dihitung dengan menggunakan rumus Pocock (2008)
n
2 2 f , 2 1 2
n
= jumlah sampel
= simpang baku
= tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05) tingkat kemaknaan (1- ) = 0,95 dua sisi
= tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,1)
f ( ,)
= 13 (Tabel 9.1 Pocock, 2008)
1
= rerata nilai isoprostan sebelum perlakuan
2
= rerata nilai isoprostan sesudah perlakuan
Dalam penelitian ini nilai rerata kelompok perlakuan adalah (1 = 2,97) , (2 = 2,23) dan = 0,35 (Vitariana, 2011). Perhitungan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan = 0,05 dan = 0,1, sehingga besar sampel adalah: n = 5,8
2 ( 0,35 ) 2 ( 2,23 - 2,97 )
2
x13
= 6 (pembulatan) Berdasarkan hasil tersebut, jumlah subyek dalam penelitian ini menjadi 3x6 = 18 ekor, untuk mengantisipasi terjadinya drop out pada sampel, maka dalam penelitian jumlah sampel ditambah 15%, sehingga menjadi 21 ekor tikus, dan jumlah sampel masing-masing kelompok adalah 7 ekor tikus.
Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut : a.
Dari populasi tikus putih ( Rattus Norvegicus) galur Wistar diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi : jenis kelamin jantan, sehat, umur 2-3 bulan dan berat 150-200 gram.
b.
Dari jumlah sampel yang telah memenuhi syarat diambil secara random untuk mendapatkan jumlah sampel.
c.
Dari sampel yang telah dipilih kemudian dibagi 3 kelompok secara random yaitu kelompok kontrol (P0), kelompok perlakuan I (P1), kelompok perlakuan II ( P2), masing-masing kelompok dengan jumlah sampel yaitu 7 ekor tikus.
4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Klasifikasi Variabel a. Variabel bebas
: Dosis ekstrak propolis.
b. Variabel tergantung : Kadar f2-isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar yang mengalami aktivitas fisik maksimal.
c. Variabel terkendali : Jenis tikus, umur tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar, berat badan tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar, jenis kelamin tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar.
4.4.2 Definisi Operasional Variabel a. Ekstrak propolis adalah ekstrak yang dibuat dari propolis Trigona sp mentah yang dibeli dari Binaapiari di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang dikumpulkan dari peternakan lebah Trigona sp di Pandeglang, kemudian di ekstraksi dengan air (aquabidest), yang akan mempengaruhi hasil penelitian secara langsung. Diberikan satu kali sehari dengan dosis 0,3 g yang diencerkan dengan aquadest sampai menjadi 1 cc untuk kelompok perlakuan satu, dan 0,6 g yang diencerkan dengan aquadest sampai menjadi 1 cc untuk kelompok perlakuan dua, secara oral selama seminggu, satu jam setelah tikus wistar direnangkan. b.
Aktivitas fisik maksimal adalah kemampuan maksimal melakukan renang bebas sekuat-kuatnya sampai terjadi tanda-tanda overtraining berubah hampir tenggelam oleh karena menurunnya kekuatan otot, menurunnya waktu reaksi serta menurunnya frekuensi gerakan dan menurunnya reflek (O’Toole, 2008). Penelitian yang pernah dilakukan
didapatkan kemampuan waktu renang
maksimal tikus wistar adalah berkisar 60 menit (Abubakar, 2010; Vitariana, 2011). Perlakuan pelatihan ini dilakukan satu kali setiap hari dalam wadah
ember dengan diameter 30 cm dengan kedalaman air 40 cm selama satu minggu. c.
Kadar f2-isoprostan dalam urin tikus wistar adalah penurunan kadar f2isoprostan, yaitu nilai tanda kerusakan oksidatif pada membran sel yang merupakan hasil dari peroksidase lipid asam arakidonat, yang disebabkan oleh radikal bebas, yang diperiksa dengan menggunakan 8-iso-PGF2α enzyme immunoassay kit (EIA) dari assay design. Pengambilan urin dilakukan dengan cara menampung urin masing-masing tikus putih jantan (Rattus Novergicus) selama satu malam, yang ditampung dengan wadah khusus, yang diberi penyaring. Pengambilan spesimen urin dilakukan dua kali, yaitu sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan.
d.
Jenis tikus yang dipergunakan adalah tikus putih (Rattus Norvegicus) galur Wistar.
e.
Umur tikus wistar
: 2-3 bulan.
f.
Berat badan tikus wistar
: 150-200 gram.
g.
Jenis kelamin tikus wistar
: jantan.
4.5.
Prosedur Penelitian.
4.5.1. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan adalah kandang tikus lengkap dengan wadah khusus penampung urin, timbangan analitik, botol berwarna gelap, kain kasa untuk menyaring ekstrak propolis, bak untuk merenangkan tikus, sarung tangan, jarum suntik
sonde, pinset, kit untuk pemeriksaan f2-isoprostan, box pendingin, buku tabel untuk mencatat data. 4.5.2. Pembuatan Ekstrak Propolis Dalam Air 1.
Propolis mentah disimpan dalam freezer sehari sebelumnya agar mudah dibersihkan dari kotoran.
2.
Propolis mentah yang sudah dibersihkan lalu ditimbang sebanyak 100 gram, demikian pula dengan aquabidest ditimbang sebanyak 900 gram.
3.
Selanjutnya, aquabidest dan propolis dimasukkan ke dalam satu wadah, tutup rapat, wadah disimpan dalam tempat yang gelap dan hangat, selama 1 minggu, lalu kocok pelan-pelan. Pengocokan dilakukan sepuluh kali setiap harinya sampai satu minggu.
4.
Setelah disimpan, cairan disaring dengan kertas filter, kain halus, atau kapas. Kain dibuat berlapis agar penyaringan lebih efektif. Lebih baik lagi jika ditambahkan saringan lagi di bawahnya. Sisa saringan pertama masih bisa diekstrak lagi melalui prosedur yang sama. Untuk mendapat hasil yang maksimal, satu hari sebelum proses penyaringan, campuran propolis disimpan dalam lemari es, dengan suhu dibawah 4oC, tetapi jangan sampai membeku. Sebaiknya, saringan juga dibersihkan sebelum digunakan.
5.
Hasil penyaringan akan berupa cairan jernih, bebas dari pertikel, dan berwarna cokelat kehitaman. Simpan hasil penyaringan dalam botol bersih berwarna gelap dan hampa udara. Jika botol tidak berwarna gelap, letakkan saja botol di tempat
gelap, dingin, atau dibungkus dengan kain atau kertas, lalu jauhkan dari cahaya matahari. 4.5.3 Pemberian Dosis Propolis Penghitungan dosis propolis pada penelitian berdasarkan konversi dosis propolis pada manusia yaitu 30 cc (Astuti and Widyarini, 2009). Jika rerata berat badan orang Indonesia 50 kg, sementara konversi penghitungan dosis dari manusia (70 kg) ke tikus adalah 0,018, maka pemberian propolis setiap kali pemberian adalah: Ekstrak propolis air 1 cc = 1 gram Ekstrak propolis air 30 cc = 30 gram Perhitungan konversi pada tikus = 0,018 x 70/50 x 30 = 0,756 gram Dosis yang diberikan untuk perlakuan II = 150/200 x 0,756 = 0,567=0,6 gram Dosis yang diberikan untuk perlakuan I = ½ x 0,6 g = 0,3 gram 4.5.4 Pemilihan dan Pemeliharaan Hewan Uji Pemilihan tikus putih (Rattus Novergicus) yang akan dijadikan sampel percobaan dengan cara memilih tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar, jantan yang sehat, dan menimbang tikus dengan berat 150-200 gram. Adanya penyakit dalam hewan uji dapat menyebabkan hasil uji tidak dapat dipercaya. Dalam hubungannya dengan ini pemeliharaan hewan uji harus diperhatikan. Makanan yang memenuhi syarat untuk masing-masing jenis hewan uji merupakan faktor penting di samping lingkungan yang sehat, penggunaan insektisida dan sebagainya (Ngatidjan, 2006). Prinsip kandang tikus laboratorium sama dengan kandang mencit laboratorium, tetapi kandang tikus perlu sedikit lebih besar. Semua jenis kandang digunakan dengan maksud sama yaitu dipakai untuk mengandangkan hewan untuk percobaan, untuk
menternakan, atau untuk hewan persediaan (hewan stok). Kandang harus cukup kuat, tidak mudah rusak, dan tahan disteril ulang dengan suhu mencapai 1200 C dan tahan disterilkan dengan bahan kimia. Kandang dibuat dari bahan yang baik dan mudah dibongkar, mudah dibersihkan, dan mudah dipasang lagi. Kandang harus tahan gigitan, hewan tidak mudah lepas, tapi hewan harus tampak jelas dari luar (Smith and Mangkoewidjojo, 1988). 4.5.5. Alur Penelitian 1.
Memilih tikus putih (Rattus Novergicus) sebanyak 21 ekor tikus, yang akan dipergunakan dalam penelitian, yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu: tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar, berjenis kelamin jantan yang sehat, berusia 2-3 bulan, dengan berat badan 150-200 gram.
2.
Sebelum penelitian dimulai, dilakukan adaptasi terhadap seluruh tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar jantan selama tujuh hari. Satu kandang berisi 4-5 ekor tikus.
3.
Pada hari ke delapan dilakukan pengambilan sampel urin terhadap seluruh tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar, yang telah ditampung selama satu malam, untuk pemeriksaan kadar f2-isoprostan sebagai pre-test.
4.
Lalu tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar jantan dibagi menjadi tiga kelompok, untuk selanjutnya diberikan perlakuan selama tujuh hari. Kontrol (P0) dengan aquadest 1 cc , P1 diberikan 0,3 g ekstrak propolis air yang diencerkan dengan aquadest sampai menjadi 1 cc per ekor/hari, P2 diberikan
0,6 g ekstrak propolis air yang diencerkan dengan aquadest sampai menjadi 1 cc per ekor/hari. 5.
Selama perlakuan selama tujuh hari seluruh kelompok tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar diberikan aktivitas fisik maksimal dengan cara direnangkan hingga hampir tenggelam (kurang lebih selama 60 menit) satu jam sebelum pemberian ekstrak propolis (Abubakar, 2010).
6.
Lalu tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar jantan dikeringkan dengan handuk dan dijemur di bawah sinar matahari kurang lebih selama 15 menit, dilanjutkan dengan pengambilan sampel urin tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar jantan untuk pemeriksaan kadar f2-isoprostan post test. Cara pemberian ekstrak propolis air pada tikus putih (Rattus Novergicus) galur
Wistar, yaitu dengan memegang tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar jantan, dengan cara memegang leher bagian belakang dengan tangan kiri sedemikian rupa sehingga kulit itu terjepit ibu jari dan telunjuk. Ini diperkuat dengan jepitan pangkal ibu jari dengan ibu jari lainnya pada kulit punggung dan ekor dikait dengan kelingking tangan kiri tersebut (Ngatidjan, 2006). Bahan uji diberikan peroral dengan sonde. Sonde dimasukkan dengan hati-hati kira-kira sampai di lambung. Setelah yakin jarum masuk ke dalam lambung dan tidak ke paru, barulah bahan uji di dalamnya dipompakan ke luar (Ngatidjan, 2006). Alur penelitian dapat dilihat pada gambar 4.2 di bawah ini. Tikus Wistar
Pre test Seluruh urin tikus wistar diperiksa kadar 8-iso-PGF2α
Post test
Perlakuan Perlakuan Kelompok 2 1 Kontrol Tikus Tikus direnangkan Tikus direnangkan direnangkan sampai kelelahan sampai kelelahan sampai kelelahan dan 1jam dan 1jam kemudian dan 1jam kemudian diberikan propolis kemudian diberikan propolis 0,6 g yang diberikan plasebo 0,3 g yg diencerkan sampai 1cc, hal ini diencerkan sampai menjadi 1cc, hal ini dilakukan setiap menjadi 1cc, hal dilakukan setiap hari hari Seluruh selama 1urin tikus wistar ini dilakukan selama 1 2α minggu diperiksa kadar 8-iso-PGF ANALISIS
DATA
Gambar 4.2. Alur Penelitian
4.5.6. Evaluasi F2-isoprostan dalam Urin Tikus Wistar Pemeriksaan kadar f2-isoprostan dilakukan dengan menggunakan 8-iso-PGF2α enzyme immunoassay kit (EIA) dari assay design, yang merupakan immunoassay yang kompetitif untuk penentuan kadar bebas f2-isoprostan dalam larutan biological. Kit tersebut menggunakan antibodi poliklonal terhadap f2-isoprostan untuk dapat mengikatnya dengan cara yang kompetitif yang terdapat dalam sampel atau dalam molekul alkaline phospatase yang memiliki f2-isoprostan yang secara kovalen melekat padanya. Prosedur penggunaan kit:
3.
Pertama ditentukan penomoran sumur yang akan digunakan dengan berpedoman pada lembar assay layout.
4.
Memasukkan dengan pipet 100 µL standar diluent (Assay Buffer atautissue Culture Media) ke dalam sumur NSB dan B0 (0 pg/ml standard ).
5.
Memasukkan dengan pipet100 µL cairan standar ke dalam sumur nomor satu sampai dengan tujuh.
6.
Memasukkan dengan pipet 100 µL cairan sampel ke dalam sumur sesuai penomorannya.
7.
Memasukkan dengan pipet 50 µL assay buffer ke dalam sumur NSB.
8.
Memasukkan dengan pipet 50 µL
konjugat biru ke dalam semua sumur,
kecuali total activity (TA) dan sumur kosong (blank). 9.
Memasukkan dengan pipet 50 µL antibodi kuning ke dalam semua sumur kecuali sumur kosong (blank), TA dan NSB. Sebagai catatan sesuai sumur harus berwarna hijau kecuali sumur NSB yang seharusnya berwarna biru. Sumur TA dan blank seharusnya kosong dan tidak berwarna pada langkah ini.
10.
Piring sampel kit diinkubasi pada suhu kamar ke dalam plate shaker selama dua jam pada 500 rpm, selama masa ini dapat digunakan plastik penutup piring sampel kit jika dikehendaki.
11.
Masing-masing sumur dikosongkan dan dicuci dengan menambahkan 400 µL cairan pencuci, diulangi dua kali sehingga total dilakukan tiga kali pencucian.
12.
Setelah pencucian terakhir, sumur dikosongkan dan piring ditepuk di atas kertas pembersih untuk memastikan buffer pencuci tidak ada yang tertinggal.
13.
Ditambahkan 5 µL konjugat warna biru terang dalam pengenceran 1:10 ke dalam sumur TA.
14.
Ditambahkan 200 µL cairan substrat kemudian diinkubasi dalam suhu kamar selama 45 menit tanpa dikocok.
15.
Ditambahkan 50 µL stop solution ke dalam setiap sumur, hal ini akan segera menghentikan reaksi yang terjadi dan piring sampel harus segera dibaca setelahnya.
16.
Kemudian dibaca dengan densitas optik pada 405 nm, dengan koreksi antara 570 dan 590 nm.
4.6.
Analisis Data Dalam penelitian ini semua data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan
program SPSS for windows Versi 16.0. Analisis data dalam penelitian meliputi: a.
Analisis deskriptif:
b.
Uji normalitas dengan menggunakan uji Shapiro Wilks, untuk mengetahui normalitas distribusi data. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05).
c.
Uji homogenitas dengan menggunakan uji Levene’s test, untuk mengetahui homogenitas data antar kelompok. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05)
d.
Uji Komparabilitas, dikarenakan data menyebar normal dan homogen maka analisis perbandingan (komparasi) 3 kelompok sebelum dan sesudah diberi perlakuan menggunakan uji One Way Anova.
e.
Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu dilakukan uji lanjut dengan Least Significant Difference – test (LSD) atau BNT (Beda Nilai Terkecil).
BAB V HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 18 ekor tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar, jantan, dewasa yang sehat, berumur 2-3 bulan, berat badan 150-200 gram sebagai sampel, yang terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok masingmasing berjumlah 6 ekor mencit, yaitu kelompk kontrol (air), kelompok ekstrak propolis 0,3 g, dan kelompok ekstrak propolis 0,6 g. Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan.
5.1 Uji Normalitas Data Data kadar f2-isoprostan baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji ShapiroWilk. Hasilnya menunjukkan bahwa data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Hasil Uji Normalitas F2-Isoprostan Kelompok Sebelum dan Setelah Perlakuan Kelompok Subjek Kontrol pre Kelompok Ekstrak propolis 0,3 g pre Kelompok Ekstrak propolis 0,6 g pre Kontrol post Kelompok Ekstrak propolis 0,3 g post Kelompok Ekstrak propolis 0,6 g post
N
p
Keterangan
6 6 6 6 6 6
0,312 0,222 0,327 0,891 0,231 0,770
Normal Normal Normal Normal Normal Normal
5.2 Uji Homogenitas Data antar Kelompok Data kadar f2-isoprostan antar kelompok baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Uji Homogenitas F2-Isoprostan antar Kelompok Sebelum dan Setelah Diberikan Perlakuan Kelompok Subjek
F
p
Keterangan
Isoprostan pre
0,398
0,679
Homogen
Isoprostan post
1,750
0,248
Homogen
5.3.
Uji Komparabilitas
5.3.1 Analisis antar Kelompok Sebelum Perlakuan Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata kadar f2-isoprostan antar kelompok sesudah diberikan aktivitas fisik maksimal dan sebelum diberikan perlakuan berupa ekstrak propolis. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way
Anova disajikan pada Tabel 5.3 berikut. Tabel 5.3 Rerata F2-Isoprostan antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan Kelompok Subjek
n
Rerata Isoprostan
SB
Kontrol
6
2,57
3,43
Ekstrak propolis 0,3 g
6
2,86
2,92
Ekstrak propolis 0,6 g
6
2,18
2,17
F
p
0,085
0,919
Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata kadar f2-isoprostan kelompok kontrol adalah 2,573,43 ng/ml, rerata kelompok ekstrak propolis 0,3 g adalah 2,862,92 ng/ml, dan kelompok ekstrak propolis 0,6 g adalah 2,182,17 ng/ml. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 0,085 dan nilai p = 0,919. Hal ini berarti bahwa ketiga kelompok sesudah diberikan aktivitas fisik maksimal dan sebelum diberikan perlakuan berupa ekstrak propolis, rerata kadar f2-isoprostannya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05). 5.3.2. Analisis antar Kelompok Sesudah Perlakuan Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata f2-isoprostan antar kelompok sesudah diberikan aktivitas fisik maksimal dan ekstrak propolis. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.4 berikut.
Tabel 5.4
Rerata Kadar F2-Isoprostan antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan N
Rerata Isoprostan
SB
Kontrol
6
4,47
1,80
Ekstrak propolis 0,3 g
6
2,90
0,70
Ekstrak propolis 0,6 g
6
1,40
0,66
Kelompok Subjek
F
P
10,24
0,002
Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata kadar f2-isoprostan kelompok kontrol adalah 4,471,80 ng/ml, rerata kelompok ekstrak propolis 0,3 g adalah 2,900,70 ng/ml, dan kelompok ekstrak propolis 0,6 g adalah 1,400,66 ng/ml. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 10,24 dan nilai p = 0,002. Hal ini berarti bahwa ketiga kelompok sesudah diberikan aktivitas fisik maksimal dan ekstrak propolis, rerata kadar f2-isoprostannya berbeda secara bermakna (p<0,05).
Gambar 5.1 Grafik Perubahan Kadar F2-Isoprostan Antara Sebelum dengan Sesudah Perlakuan Masing-masing Kelompok
Gambar 5.1 di atas menggambarkan bahwa pemberian ekstrak propolis dengan dosis 0,3 g dan 0,6 g dapat menurunkan kadar f2-isoprostan dibandingkan dengan kontrol. Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu dilakukan uji lanjut dengan Least Significant Difference – test (LSD).
Hasil uji
disajikan di bawah ini. Tabel 5.5 Analisis Komparasi F2-Isoprostan Sesudah Perlakuan antar Kelompok Kelompok Kontrol dan ekstrak propolis 0,3 g
Beda Rerata 1,57
p 0,035
Interpretasi Berbeda Bermakna
Kontrol dan ekstrak propolis 0,6 g
3,07
0,001
Berbeda Bermakna
Ekstrak propolis 0,3 dan 0,6 g
1,50
0,043
Berbeda Bermakna
Hasil uji lanjutan di atas menunjukan bahwa: 1.
Rerata f2-isoprostan kelompok kontrol berbeda bermakna dengan kelompok ekstrak propolis 0,3 g (rerata kelompok ekstrak propolis 0,3 g lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).
2.
Rerata f2-isoprostan kelompok kontrol berbeda secara bermakna dengan kelompok ekstrak propolis 0,6 g (rerata kelompok ekstrak propolis 0,6 g lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).
3.
Rerata f2-isoprostan kelompok ekstrak propolis 0,3 g berbeda bermakna dengan kelompok ekstrak propolis 0,6 g (rerata kelompok ekstrak propolis 0,6 g lebih rendah daripada rerata kelompok 0,3 g).
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Subyek Penelitian Dalam penelitian ini digunakan tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar, jantan, dewasa yang sehat, berumur 2-3 bulan, berat badan 150-200 gram. Penggunaan tikus dikarenakan ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain. Tikus tidak dapat muntah, karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tikus tidak mempunyai kandung empedu (Smith and Mangkoewidjojo, 1988). Penggunaan tikus atau rat ( Rattus Norvegicus) karena telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Alasan memilih galur Wistar dalam penelitian dikarenakan, galur ini memiliki kepala besar dan ekor lebih pendek dibandingkan galur Sprague dawley ( Malole and Pramono, 1989). Tikus ( Rattus norvegicus ) galur Wistar lebih besar dari famili tikus umumnya dimana tikus ini dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung ekor dan berat 140-500 gram (Kusumawati, 2004). Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Karena hewan ini lebih besar daripada mencit, maka untuk beberapa macam percobaan, tikus lebih menguntungkan (Smith and Mangkoewidjojo, 1988). Jumlah sampel awal yang digunakan sebanyak 21 ekor tikus Wistar, yang 78
terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok masing-masing berjumlah 7 ekor tikus Wistar, yaitu kelompok kontrol (aquadest 1 cc), kelompok ekstrak propolis 0,3 g, dan kelompok ekstrak propolis 0,6 g. Namun pada akhir penelitian ditemukan adanya droup out, dimana ada data yang tidak terbaca oleh alat spektrofotometri, hal ini bisa dikarenakan adanya nilai yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, sehingga jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini menjadi 18 ekor tikus, dimana masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus, yang merupakan jumlah sampel minimal.
Terdiri dari
kelompok kontrol (aktivitas fisik maksimal), kelompok P1 (aktivitas fisik maksimal + ekstrak propolis 0,3 g), dan kelompok P2 (aktivitas fisik maksimal + ekstrak propolis 0,6 g). Penelitian dilakukan selama 7 hari.
6.2.
Pemberian Aktivitas Fisik Maksimal Olahraga berat atau olahraga yang melampaui batas kelelahan dapat
menyebabkan peningkatan laju pembentukan radikal bebas, yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Peningkatan oksigen yang luar biasa memicu pelepasan radikal bebas, terutama radikal superoksida (Cooper, 2001). Pada penelitian ini semua kelompok tikus Wistar diberikan aktivitas berlebih maksimal selama 60 menit setiap hari selama 1 minggu. Pengambilan waktu 1 minggu didasarkan atas hasil penelitian yang pernah dilakukan peneliti sebelumnya. Penelitian yang pernah dilakukan didapatkan kemampuan waktu renang maksimal tikus wistar adalah berkisar 60 menit (Abubakar, 2010; Vitariana, 2011). Kedalaman air pada ember 40 cm, dikarenakan panjang ratarata tikus Wistar yang digunakan pada penelitian ini berkisar 35 cm.
6.3.
Pemberian Ekstrak Propolis Pada penelitian ini semua kelompok perlakuan diberikan ekstrak propolis air
secara oral selama 1 minggu. Pengambilan waktu 1 minggu didasarkan atas hasil penelitian yang pernah dilakukan peneliti sebelumnya, bahwa didapatkan penurunan kadar f2-isoprostan yang signifikan dalam waktu satu minggu setelah pemberian ekstrak yang mengandung antioksidan, yang juga mengandung flavonoid dan CAPE pada tikus yang mengalami aktivitas fisik maksimal (Vitariana, 2011). Penggunaan ekstrak propolis sebagai perlakuan dikarenakan: 1.
Propolis merupakan produk alami yang mempunyai potensi antioksidan yang tinggi (Gheldof et al., 2002).
2.
Propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang paling kuat dalam melawan oksidan dan radikal bebas (radikal H2O2, O2●-, OH●) dibandingkan dengan hasil produk lebah lainnya (Nakajima et al., 2009).
3.
Caffeic acid yang ada di dalam propolis mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi, yang dapat meningkatkan ekspresi glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD) yang didapat dari ekspresi gen antioksidan, lebih kuat dibandingkan vitamin E. Caffeic acid mempunyai aktivitas antioksidan 4-6 kali lebih kuat terhadap oksidan dan H2O2 dan radikal bebas O2●-, dibandingkan vitamin C dan N-acetyl-cystein (NAC) (Nakajima et al., 2009).
4.
Kandungan flavonoid di dalamnya dapat meredam efek buruk radikal bebas, dengan menghambat peroksidasi lipid melalui aktivasi peroksidase terhadap
hemoglobin, yang merupakan antioksidan endogen (enzimatis) (Mot et al., 2009). Peroksidase bermanfaat untuk mencegah penimbunan H2O2, yang keberadaannya menjadi berbahaya jika bersama-sama O2●-, dikarenakan dapat membentuk radikal ●OH yang merupakan radikal bebas yang paling reaktif dan paling berbahaya, yang dapat merusak membran sel
dengan menyebabkan
terputusnya asam lemak tidak jenuh (Cadenas and Parker (a), 2002). 5.
Vitamin E dan flavonoid yang terkandung dalam propolis diketahui merupakan antioksidan pemutus rantai (chain breaking antioxidants) yang larut dalam lemak, yang bekerja pada membran sel, yang dapat memutus rantai peroksidasi lipid (Murray et al, 2000; Milner, 2002).
6.
Vitamin C yang terdapat pada propolis diketahui merupakan antioksidan pemutus rantai yang larut di dalam air, dan bekerja di sitosol (Murray et al, 2000; Milner, 2002) Pemberian ekstrak propolis di dalam air berdasarkan hasil penelitian di Jepang,
yang menunjukkan bahwa potensi kekuatan antioksidan ekstrak propolis di dalam air dapat menurunkan oksidan dan radikal bebas (H2O2, O2●-, dan ●OH) lebih besar dibandingkan dengan ekstrak propolis dengan etanol dan polen seperti yang terlihat pada tabel 2.1 (Nakajima et al., 2009). Pemilihan ekstrak propolis sebagai perlakuan dalam penelitian juga dikarenakan propolis mempunyai manfaat lainnya yang sangat baik untuk menjaga kesehatan, antara lain sebagai antibakteri, antiinflamasi, antiviral, hepatoprotektif, antitumor, mencegah terjadinya ulkus dan vasodilator (Viuda et al., 2008; Nakajima et al., 2009).
6.4.
Pengaruh Ekstrak Propolis terhadap Kadar F2-Isoprostan Terdapat penurunan kadar f2-isoprostan urin yang signifikan pada tikus Wistar
yang mengalami aktivitas fisik maksimal setelah diberikan ekstrak propolis. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa semakin tinggi dosis ekstrak propolis yang diberikan maka semakin menurun pula kadar f2-isoprostan dalam urin. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa kadar f2-isoprostan pada kelompok kontrol, kelompok P1, dan P2, berdistribusi normal (p > 0,05), baik sebelum perlakuan (pre) maupun sesudah perlakuan (post). Di samping itu juga, varian antar kelompok baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan adalah homogen (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa syarat penggunaan uji parametrik untuk analisis data isoprostan sudah terpenuhi. Selanjutnya untuk uji komparabilitas dan uji efek perlakuan digunakan uji parametrik yaitu uji One Way ANOVA untuk mengetahui perbedaan rerata antar kelompok sebelum perlakuan maupun rerata antar kelompok sesudah perlakuan. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata kadar f2-isoprostan kelompok kontrol adalah 2,573,43 ng/ml, rerata kelompok ekstrak propolis 0,3 g adalah 2,862,92 ng/ml, dan kelompok ekstrak propolis 0,6 g adalah 2,182,17 ng/ml. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 0,085 dan nilai p = 0,919. Hal ini berarti bahwa semua kelompok sebelum diberikan perlakuan, rerata kadar f2-isoprostan tidak berbeda secara bermakna (p>0,05).
Sedangkan hasil analisis sesudah perlakuan didapatkan bahwa rerata kadar f2isoprostan kelompok kontrol adalah 4,471,80 ng/ml, rerata kelompok ekstrak propolis 0,3 g adalah 2,900,70 ng/ml, dan kelompok ekstrak propolis 0,6 g adalah 1,400,66 ng/ml. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 10,24 dan nilai p = 0,002. Hal ini berarti bahwa rerata kadar f2isoprostan pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05). Uji lanjutan dengan uji Least Significant Difference–test (LSD) untuk mengetahui beda nyata terkecil kadar f2-isoprostan antara dua kelompok sesudah diberikan perlakuan, dimana didapatkan hasil sebagai berikut: rerata kelompok kontrol berbeda bermakna dengan kelompok ekstrak propolis 0,3 g (rerata kelompok kontrol lebih tinggi daripada rerata kelompok ekstrak propolis 0,3 g). Rerata kelompok kontrol berbeda secara bermakna dengan kelompok ekstrak propolis 0,6 gr (rerata kelompok kontrol lebih tinggi daripada rerata kelompok ekstrak propolis 0,6 g). Rerata kelompok ekstrak propolis 0,3 g berbeda secara bermakna dengan kelompok ekstrak propolis 0,6 g (rerata kelompok ekstrak propolis 0,3 g lebih tinggi daripada rerata kelompok ekstrak propolis 0,6 g). Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar f2isoprostan setelah diberikan aktivitas fisik maksimal. Hal ini disebabkan karena pada kegiatan yang berat atau aktivitas yang melampaui batas kelelahan dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas, dikarenakan terjadi pelepasan elektron melalui peningkatan konsumsi oksigen oleh tubuh 10-20 kali atau lebih, bahkan pada serat otot
yang berkontraksi penggunaan oksigen dapat meningkat 100-200 kali di atas kebutuhan normal (Clarkson, 2000; Cooper, 2001; Sauza, 2005). Peningkatan oksigen yang luar biasa memicu pelepasan radikal bebas, terutama radikal superoksida. Di samping itu juga terjadi reperfusion injury, saat beraktivitas fisik maksimal, darah yang mengalir dalam tubuh ke luar dari berbagai organ yang tidak terlibat secara aktif dalam proses. Namun darah dialirkan ke otot skelet. Selama pengalihan aliran darah, sebagian atau seluruh bagian organ tubuh yang tidak terlibat dalam olahraga akan mengalami kekurangan oksigen secara tiba-tiba (hipoksia). Proses iskemia yang terjadi menyebabkan perubahan enzim xantin dehidrogenase menjadi xantin oksidase, dimana perubahannya bersifat ireversibel. Setelah berolahraga terjadi proses reperfusi, dimana darah bergerak kembali dengan cepat ke berbagai organ yang kekurangan aliran darah sehingga oksigen terpenuhi kembali, reaksi yang terjadi dipengaruhi oleh xantin oksidase. Reaksi ini menghasilkan radikal bebas sehingga menimbulkan reperfusion injury (injury yang terjadi setelah terjadinya reperfusi setelah mengalami iskemia) (Langseth, 1996; Cooper, 2001). Pada kelompok yang diberikan ekstrak propolis 0,3 gram setelah aktivitas fisik maksimal tidak terjadi penurunan kadar f2-isoprostan dari sebelum diberikan aktivitas fisik maksimal tetapi juga tidak terjadi peningkatan yang bermakna. Hal ini menandakan bahwa aktivitas fisik maksimal dapat diimbangi dengan pemberian ekstrak propolis dengan dosis 0,3 gram. Artinya dengan pemberian 0,3 gram ekstrak propolis sudah cukup efektif untuk mencegah terjadinya stres oksidatif. Sedangkan pemberian ekstrak propolis 0,6 gram dapat menurunkan kadar f2-isoprostan secara
bermakna. Dimana tidak hanya terjadi penurunan kadar f2-isoprostan bila dibandingkan dengan sebelum perlakuan, tetapi juga terdapat penurunan signifikan pada tikus yang mengalami aktivitas fisik maksimal bila dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak mendapat perlakuan, yakni sebesar 68,68%. Hal ini menunjukkan bahwa propolis memang mempunyai potensi antioksidan yang tinggi, dan menguatkan teori tentang potensi propolis sebagai antioksidan sebagai upaya mencegah terjadinya stres oksidatif sebagai salah satu penyebab proses penuaan.
6.5.
Manfaat Propolis terhadap Perkembangan Ilmu Kedokteran Antipenuaan Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemberian propolis oral pada
tikus Wistar yang mengalami aktivitas fisik maksimal tidak hanya dapat mencegah terjadinya stres oksidatif, yang ditandai dengan berimbangnya kadar f2-isoprostan pada kontrol dan kelompok tikus dengan perlakuan ekstrak propolis air 0,3 g. Propolis diketahui dapat mengobati dan memperbaiki keadaan stres oksidatif ke keadaan semula, yang ditandai dengan penurunan kadar f2-isoprostan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar f2-isoprostan sebelum mengalami aktivitas fisik maksimal, serta sebelum diberikan ekstrak propolis air pada kelompok tikus ekstrak propolis air 0,6 g. Jika radikal bebas dapat di atasi dengan antioksidan, salah satu penyebab proses penuaan sudah dihambat. Bila berbagai faktor penyebab penuaan dapat dihindari, proses penuaan tentu dapat dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan
kualitas hidup dapat dipertahankan, sehingga usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang lebih baik (Pangkahila, 2007).
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian pemberian ekstrak propolis dalam air secara oral
pada tikus Wistar jantan selama satu minggu didapatkan simpulan sebagai berikut: 5.
Pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,3 g dapat menurunkan kadar f2isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus ) jantan yang mengalami aktivitas fisik maksimal sebesar 35,12 %.
6.
Pemberian ekstrak propolis peroral dosis 0,6 g dapat menurunkan kadar f2isoprostan dalam urin tikus putih (Rattus Novergicus) jantan yang mengalami aktivitas fisik maksimal sebesar 68,68 %. Hal tersebut membuktikan bahwa substansi ini memiliki efek antioksidan yang
baik. Efek antioksidan ini dipengaruhi oleh dosis dimana makin tinggi dosis propolis yang diberikan makin menurun pula kadar kadar f2-isoprostan di dalam urin, dan makin tinggi dosis propolis (0,6 g) menunjukkan adanya penurunan stres oksidatif di dalam tubuh tikus wistar lebih rendah dari sebelum mengalami aktivitas fisik maksimal, dan lebih rendah dari sebelum diberikan perlakuan.
87
7.2.
Saran Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui peran ekstrak propolis sebagai antioksidan dalam mengatasi keluhan atau penyakit. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada manusia untuk mendapatkan data yang lebih dipercaya sehingga penggunaannya lebih efektif dan tepat guna. 3. Jika penelitian klinik pada manusia telah dilakukan disarankan bagi mereka yang banyak terpapar oleh radikal bebas seperti polutan, radiasi, dan para atlit atau mereka yang mengalami aktivitas fisik maksimal hingga kelelahan sangat baik atau disarankan untuk mengkonsumsi propolis dalam upaya meredam terjadinya stres oksidatif.
DAFTAR PUSTAKA Abubakar, O. 2010. Pemberian Ekstrak Kulit Terung Ungu (Solanum melongena L) Menghambat Peningkatan MDA dalam Darah Tikus Wistar yang Dinduksi Aktivitas Fisik Maksimal (tesis). Denpasar. Universitas Udayana. Amoros, M., Sauvager, F., Girre, L.,Cormier, M. 1992. In vitro antiviral activity of propolis. Apidologie 23(3):231–40. Astuti, P., Wdyarini, S. 2009. Potensi Propolis dalam Pengobatan Tumor Mammae Pada tikus Putih Galur Sprague Dawley yang Diinduksi 7,12dimethylbenz(a)anthracene (DMBA). Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu. Yogyakarta. Universitas Gajah Mada. Bagiada, N.A. 2001. Proses Penuaan dan Penanggulangannya. Denpasar: Fakultas Kedokteran. Universitas Udayana. Hal : 22.`` Belleville-Nabet, F. 1996. Zat Gizi Antioksidan Penangkal Senyawa Radikal Pangan dalam Sistem Biologis. Prosiding Seminar senyawa Radikal dan Sistem Pangan; Reaksi Biomlekuler, Dampak Terhadap Kesehatan dan Penangkalan. CFNS-IPB dan Kedutaan Besar Perancis-Jakarta. Borrelli, F., Maffia, P., Pinto, L., Ianaro, A., Russo, A., Capasso, F., Ialenti, A. 2002. Phytochemical compounds involved in the anti-inflammatory effect of propolis extract. Fitoterapia 73(1):53–63. Cadenas, E., Packer, L. 2002 (a). Food- Derived Antioxidants: How to Evaluate Their Importance in Food and In Vivo. Handbook of Antioxidants. Second edition. California : Marcel Dekker, Inc. p. 9-19. Cadenas, E., Packer, L. 2002 (b). Quantification of Isoprostanes as Indicators of Oxidants Stress In Vivo. Handbook of Antioxidants. Second edition. California : Marcel Dekker, Inc. p. 57-90. Cadenas, E., Packer, L. 2002 (c). Expanded Caffeic Acid and Related Antioxidant Compound: Biochemical and Cellular Effects. Handbook of Antioxidants. Second edition. California : Marcel Dekker, Inc. p. 279-303. Clarkson, P.M., Thomson, H.S. 2000. Antioxidants: What Role Do They Play in Physical Activity and Health, Am J Clin Nutr. 729 (Suppl): 637. Cooper, K.H. 2001. Sehat Tanpa Obat, Empat Langkah Revolusi Antioksidan yang Mengubah Hidup Anda. Cetakan ke-1. Bandung : Penerbit Kaifa. Hal : 7389. Dalle-Donne, I., Rossi, R., Colombo, R., Giustarini, D.,Milzani, A. 2006. Biomarkers of Oxidative Damage in Human Disease. Available from:
http://www.redorbit.com/news/science/473334/biomarkers_of_oxidative_dama ge_in_human_disease/index.html. Accessed at October 25, 2010. Darmojo, R.B. 1999. Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Geriatri. Edisi kedua. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal : 3-12. Duarte, J., Galisteo, M., Angeles-Ocete, M., Pérez-Vizcaino, F., Zarzuelo, A., Tamargo J. 2001. Effects of chronic quercetin treatment on hepatic oxidative status of spontaneously hypertensive rats. Mol Cell Biochem 221(1/2):155–60. Elstner, E.F. 1991. Mechanisms of Oxygen activation in Different Compartment of Plant Cells. Active Oxygent/Oxidative Stress and Plant Metabolism.. E.J. Pell dan K.L Steffen (Eds). Rockville, MD: American Society of Plant Physiologists p: 13-25. Ensiklopedi Indonesia. 2003. Serangga. Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna. Edisi kelima. Jakarta. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Frei, B. 1999. Oxygen Species and Antioxidant Vitamint. Mechanism of Action. The American Journal of Medical, 13. p. 1007-1024. Gheldof, N., Wang, X.H., Engeseth, N.J. 2002. Identification and quantification of antioxidant components of honeys from various floral sources. J Agric Food Chem 50:5870–7. Giam, C.K. 1993. Ilmu Kedokteran Olahraga. Binarupa Aksara. Jakarta. Hal: 34-37. Goldman, R., Klatz. 2003. The New Anti-Aging Revolution. Australasian Edition. Theories of Aging. p. 22-24, 191-194. Gómez, C.A.M., Gómez, R.M., Arráez, R.D., Segura, C.A., Fernández, G.A. 2006. Advances in the analysis of phenolic compounds in products derived from bees. J Pharmac Bio Anal 41:1220–34. Halliwell, B., Cross C. E., 1994. Oxygen –derived species Their Relation of Human Disease and Enviromental Stress. Enviromental Health Perspective, Vol 117, number 6. p. 5-12.
Halliwell, B., Gutteridge, J. M. C. 1985. Free Radical in Biology and Medicine. The chemistry of oxygen radical and other oxygen-derived species. Second edition. Clarendon press, Oxford University press, New York, NY ( USA) Hatfield, F.C. 2001. Overreaching and Overtraining. International Sport Science Association. Page: 1-11. Krell, R. 1996. Propolis. Value Added Products From Beekeeping.FAO Agricultural Service Bulletin. Food and Agricultural Organization of The United Nation, number 124. P. 157-194. Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Langseth, L. 1996. Oxidants, Antioxidants and Disease Prevention. ILSI European Monograph Series. Brussel:1996; 1-24. Malole, Pramono. S.U. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Jawa Barat: Institut Pertanian Bogor . hal : 104 – 112. Marcucci, M.C, Ferreres,F., Viguera ,G. C., Bankova, V.S., De Castro, S.L., Dantas , A.P., Valente, P.H.M., Paulino, N. 2001. Phenolic compounds from Brazilian propolis with pharmacological activities. J Ethnopharmacol 74:105–12. Margonis, K., Fatourus, I.G., Jamurtas, A.Z., Nikolaidis, M.G., Douroudos, I., Chatzinikolaou, A., Mitrakov, A., Mastorakos, G., Papassotiriou, I., Taxildaris, K., Kouretas, D. 2007. Oxidative Stress Biomarkers Response to Physical Overtraining:
Implications
for
Diagnosis.
Available
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/. Accessed at October 25, 2010.
from:
Martin, M.J., Casa, C., Alarcon, C., Cabeza, J., Villegas, I., Motilva, V. 1998. Antioxidant mechanisms involved in gastroprotective effects of quercetin. Z Naturforsch C, Biosci 53(1/2):82–8. Milner, J. A. 2000. Mechanism of Action of Antioxidan: A Substance in food that significantly decrease the adverse effects of reactive species such as reactive oxygen and nitrogen species, on normal physiologycal funtion in human. Dietary Reference Intake, Foods and Nutrition. Natl Acad Press , [Cited 2009 April ]. Available from : http//ods.od.nih.gov/nems/conference/oda2002/milner-pdf . Mirzoeva, O.K., Calder, P.C. 1996. The effect of propolis and its components on eicosanoid production during the inflammatory response. Prostaglandins Leukot Fatty Acids 55:441–9. Miyazaki, H. Shuji, O., Ookawara, T., Kizaki, T., Toshinai, K., Sung , H., Haga ,S. Ji, L.L.,Ohno H.2000. Strenuous Endurance Training in Humans Reduces Oxidative Stress Following Exhausting Exercise. European Journal of Applied Physiology. Vol. 84, no. 1-2, September 2000. p 1-6.
Mot, A.C., Damian, G., Sarbu, C., Silaghi, D.R. 2009. Redox reactivity in propolis: direct detection of free radicals in basic medium and interaction with hemoglobin.Department of Chemistry and Chemical Engineering, 'Babes-Bolyai' University, Cluj-Napoca, Romania. Journal Medicine Food. 14(6):267-74. Murray, R. K., Granner, D. K., Mayes, P. A., Rodwell, V. W. 2000. Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta : EGC. hal : 609-612. Nakajima, Y., Tsuruma, K., Shimazawa, M., Mishima.S., Hara, H. 2009. Comparison of Bee Products Based on Assays of Antioxidant Capacities. Nagaragawa Research Center. Department of Biofunctional Evaluation, Molecular Pharmacology, Gifu Pharmaceutical University, 5-6-1 Mitahora-higashi, Gifu 502-8585. Japan. Published online by Journal BioMed Central Medicine, 14726882/9:4.
Ngatidjan, 2006. Metode Laboratorium dalam Toksikologi. Cetakan -1. Yogyakarta : Bagian Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran UGM. hal : 116, 136. O’Toole, M.L. 2008. Skeletal Muscle Damage and Repair : Overreaching and Overtraining In Endurance Athletes. In Overtraining in Sports. Human Kinetik Publisher. Inc. Campaign Illinois. Editor Peter M.Tiidus. p 306. Pangkahila, W. 2007. Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup. AntiAging Medicine. Cetakan ke-1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hal : 9, 13-23, 40-41. Pocock, S. J. 2008. The size of a clinical trial, Clinical Trials, A Practical Approach. John Willey & Sons. P. 123-127. Raso, G.M., Meli, R., Carlo, G., Pacilio, M., Carlo, R. 2001. Inhibition of inducible nitric oxide synthase and cyclooxygenase-2 expression by flavonoids in macrophage J774A.1. Life Sci 68(8):921–31. Roizen, M. F., Oz, M. C. 2009. Staying Young. Jurus Menyiasati Kerja Gen Agar Muda Sepanjang Hidup. Cetakan ke-1. Jakarta : Penerbit Qanita PT.Mizan Pustaka. Hal : 163-186. Sabir, A. 2009. Aktivitas Antibakteri Flavonoid Propolis Trigona sp terhadap Bakteri Streptococcus Mutans (In vitro). Bagian Konservasi Gigi. Makasar. Fakultas Kedokteran universitas Hasanudin. Available from: http://www.journal.unair.ac.id. Vol: 38,no:3, 2005. Accessed at November 23, 2010. Sadikin, M. 2001. Pelacakan Dampak Radikal Bebas Terhadap Makromolekul. Kumpulan Makalah Pelatihan Radikal Bebas dan Antioksidan dalam Kesehatan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Salatino, A., Teixera, E.W., Negri, G., Dejair. 2005. Origin and Chemical Variation of Brazilian Propolis. Department of Botany. Brazil: Institute of Biosciences University of São PauloBrazil. Published by Oxford University Press. Sarto, M., Saragih, H. 2009. Penentuan Toksisitas Sub kronik Trombo Propolis Pada Mencit (Mus Musculus L) Balb-C Jantan. Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu . Yogyakarta: Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada. Sauza, T.P., Oliveira, P.R., Pereira, B. 2005. Physical Exercise and Oxidative Stress Effect on Intense Physical Exercise on Urinary Chemiluminescence and Plasmatic Malondialdehyde. Rev Bras Med Esporte, Vol 11, No 1 Jan/Fev.
Smith , J. B. , Soesanto Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia ( UI Press). hal : 30 – 32 , 43-44, 54,57. Soeatmaji, D.W. 1998. Peran Stres oksidatif dalam Patogenesis Angiopati Mikro dan Makro DM. Medica 5 (24). Hal : 318-325. Supari, F. 1996. Radikal Bebas dan Patofisologi Beberapa Penyakit. Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan: Reaksi Biomolekuler, Dampak Terhadap Kesehatan dan Penangkalan. Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dan Kedubes Perancis-Jakarta. Suryohudoyo, P. 2000 . Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. Perpustakaan Nasional RI. Jakarta :Penerbit CV Sagung Seto. hal : 31- 47. Vitariana, 2011. Pemberian Ekstrak Daun Kayu Manis (Sauropus Androgynus(L.)Merr) Menurunkan Kadar Isoprostan dalam Urin Tikus Wistar yang Diberikan Beban Aktivitas Berlebih Maksimal (Tesis). Denpasar. Universitas Udayana. Viuda,M.V., Ruiz,N.Y., Fernández,L. J., Pérez,Á. J. 2008. Functional Properties of Honey, Propolis, and Royal Jelly. Journal of Food Science, 73: R117–R124. doi: 10.1111/j.1750-3841.2008.00966. Wijayanti, M.A., Herdiana, M., Husodo, S.Y.M. 2003. Efek Bee Propolis Terhadap Infeksi Plasmodium Berghei Pada Mencit Swiss. Jurnal Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Vol: 35. No 2. Wikipedia. 2010. Propolis. Available at: http://id>wikipedia.org/wiki/propolis. Accessed November 23, 2010.
Winarsi, H. 2010. Antioksidan Alami & Radikal Bebas. Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Cetakan ke-4. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. hal : 1215,19,29-36,86-106. Wiyono. 2003. Pengaruh Pemberian Vitamin E terhadap Kadar Malondialdehid Pada Pengidap Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Kedokteran Fakultas Kedokteran Universiras Diponogoro. Vol : 38. No 1. Yakes, F.M., B. Van Houten. 1997. Mitochondrial DNA Damage is More Extensive and persists Longer than Nuclear DNA Damage in Human Cells Following Oxidative Stress. Proceeding of National Academy of Science. USA, 94 (2): 514-519. Yuji, N., Masaichi, C.I.L., Yoji, K., Ryoji, N., Yoshikazu, Y. 2010. Oxidative Stress Marker, Anti-Aging medicine Vol.7, Japanese society of Anti-Aging Medicine. p.36-44. Yuliati, T. 2009. Uji Sitotoksik Serbuk Propolis dan Madu Propolis terhadap Sel Kanker Rahim dan Payudara. Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu. Yogyakarta. Universitas gajah Mada.
Lampiran 1 Foto-foto Penelitian
Propolis Trigona sp di Tepi Sarang
Propolis Trigona sp
Bahan Baku Propolis Trigona sp Mentah
Serbuk Propolis
Proses Penyaringan
Penimbangan Berat 1 cc Propolis
Kandang Tikus Wistar Dibagi dalam 3 kelompok
Tikus Wistar Direnangkan Sampai Lelah
Pemberian Ekstrak Propolis Pada Tikus Wistar
Penampungan Urin Tikus Wistar
Kit Pemeriksaan Isoprostan
Kit Pemeriksaan Isoprostan
Proses Pengenceran
Pembacaan Hasil Pada Spektrofotometri
Lampiran 2 KONVERSI PERHITUNGAN DOSIS UNTUK BEBERAPA JENIS HEWAN DAN MANUSIA (GHOSH, 1971) Mencit 20 g
Tikus 200 g
Marmot 400 g
Kelinci 1,5 kg
Kucing 2 kg
Kera 4 kg
Anjing 12 kg
Manusia 70 kg
Mencit 20 g
1,0
7,0
2,25
27,8
29,7
64,1
142,2
387,9
Tikus 200 g
0,14
1,0
1,74
3,9
4,2
9,2
17,8
56,0
Marmot 400 g
0,08
0,57
1,0
2,25
2,4
5,2
10,2
31,5
Kelinci 1,5 kg
0,04
0,25
0,44
1,0
1,08
2,4
4,5
14,2
Kucing 2 kg
0,03
0,23
0,41
0,92
1,0
2,2
4,1
13,0
Kera 4 kg
0,016
0,11
0,19
0,42
0,45
1,0
1,9
6,1
Anjing 12 kg
0,008
0,06
0,10
0,22
0,24
0,52
1,0
3,1
Manusia 70 kg
0,0026
0,018
0,013
0,07
0,076
0,16
0,32
1,0
Lampiran 3 Uji Normalitas Data Isoprostan
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Kelompok isoprostan_pr Kontrol e propolis 0,3 mg
Statistic
Sig.
Statistic
df
Sig.
.325
6
.200*
.887
6
.312
.257
6
.200*
.869
6
.222
6
.200*
.892
6
.327
6
.200*
.970
6
.891
6
.200*
.871
6
.231
6
.200*
.954
6
.770
propolis 0,6 .195 mg isoprostan_po Kontrol .168 st propolis 0,3 .264 mg propolis 0,6 .210 mg a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Lampiran 4
df
Shapiro-Wilk
Uji One Way Anova Data Isoprostan antar Kelompok Perlakuan Sebelum dan Sesudah Perlakuan 95% Confidence Interval for Mean N isoprostan_p Kontrol re propolis 0,3 mg propolis 0,6 mg Total isoprostan_p Kontrol ost propolis 0,3 mg propolis 0,6 mg Total
Std. Mean Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
6 2.5717
3.43440 1.40209
-1.0325
6.1759
6 2.8633
2.91966 1.19194
-.2007
5.9273
6 2.1800
2.17353 .88734
-.1010
4.4610
18 2.5383 6 4.4717
2.72925 .64329 1.80062 .73510
1.1811 2.5820
3.8956 6.3613
6 2.8983
.69666 .28441
2.1672
3.6294
6 1.3967
.65613 .26786
.7081
2.0852
18 2.9222
1.70056 .40083
2.0766
3.7679
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic isoprostan_pre isoprostan_post
df1
df2
.398 1.750
2 2
Sig. 15 15
.679 .248
ANOVA Sum of Squares isoprostan_pre Between Groups Within Groups Total isoprostan_pos Between t Groups
Mean Square
df
1.411
2
.705
125.219
15
8.348
126.630
17
28.372
2
14.186
F
Sig.
.085
.919
10.235
.002
Within Groups Total
20.790 49.162
15 17
1.386
Lampiran 5 Post Hoc Tests Multiple Comparisons LSD (I) Mean Dependent Kelompo Difference Variable k (J) Kelompok (I-J) isoprostan_p Kontrol propolis 0,3 1.57333* ost mg propolis 0,6 3.07500* mg propolis Kontrol -1.57333* 0,3 mg propolis 0,6 1.50167* mg propolis Kontrol -3.07500* 0,6 mg propolis 0,3 -1.50167* mg *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
95% Confidence Interval Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
.67971
.035
.1246
3.0221
.67971
.000
1.6262
4.5238
.67971
.035
-3.0221
-.1246
.67971
.043
.0529
2.9504
.67971
.000
-4.5238
-1.6262
.67971
.043
-2.9504
-.0529