55
PEMBAHASAN Aspek Teknis Pelaksanaan aspek teknis budidaya kebun milik PG Cepiring secara umum dilakukan sesuai dengan prosedur perusahaan. Pelaksanaan teknis budidaya di lapang akan selalu menyesuaikan dengan keadaan yang ditemui. Penyesuaian tersebut harus dilakukan agar tujuan dari perkerjaan tersebut dapat tercapai meskipun pekerjaan tersebut tidak terdapat pada rencana awal. Proses budidaya yang dilakukan di wilayah PG Cepiring dilakukan dengan sistem Reynoso. Reynoso adalah sistem pengaturan tata air sehingga tebu di lapangan dapat mendapat air yang cukup. Sistem reynoso digunakan untuk menurunkan muka air tanah. Sistem reynoso memungkinkan dalam pemasukan air melalui irigasi ketika musim kemarau dan pembuangan air berlebihan ketika musim penghujan. Sistem reynoso diterapkan terutama di lahan sawah irigasi. Hal ini sesuai karena lahan sawah irigasi akan menyediakan air selama musim hujan dan musim kemarau, sehingga harus diatur pemasukan dan pembuangannya melalui sistem reynoso. Dengan pengaturan irigasi dan drainase pada kebun dapat meningkatkan hasil tebu serta rendemennya (Supriadi, 1992). Seluruh kebun di wilayah PG Cepiring memiliki standar teknis pelaksanaan budidaya yang harus diterapkan mulai dari pembukaan lahan sampai tebang angkut. Standar teknis ini berlaku untuk semua jenis lahan, yaitu lahan sawah dan tegalan. Namun untuk lahan yang tercekam salinitas terdapat teknis budidaya yang berbeda, yaitu pada tata air kebun.
Sistem tata air kebun Sistem tata air kebun harus diterapkan agar kebun mendapat air dalam jumlah yang cukup. Setiap kebun di wilayah PG Cepiring menerapkan tata air berdasarkan jenis dan tipologi kebun serta menyesuaikan kondisi masa tanam dan kondisi tertentu yang ada di kebun. Masa tanam yang diterapkan terdiri dari dua, yaitu pola A dan pola B. Pola A adalah kebun yang ditanam antara akhir musim penghujan dan awal musim kemarau. Penanaman pada pola A biasanya pada
56 bulan April sampai Juni. Pola B adalah kebun yang ditanam antara akhir musim kemarau dan awal musim penghujan. Penanaman pada pola B biasanya pada bulan September sampai November. Penyesuaian tata air juga dilakukan pada kondisi khusus yang terdapat di kebun seperti cekaman salinitas, kerentannan pada banjir, serta arah, letak dan besarnya sumber air. Pada sawah irigasi dengan kondisi yang umum, sistem tata air menggunakan sistem reynoso dengan pola faktor 1 200. Faktor 1 200 berarti dalam 1 ha kebun, dibagi menjadi 20 bak juringan dengan lebar 8 m. Setiap bak juringan terdiri dari 60 juringan dengan jarak pusat ke pusat juringan (PKP) yaitu 1 m. Tata air dilakukan dengan pembuatan got yang terdiri dari got keliling, got malang, dan got mujur. Got keliling adalah got yang mengelilingi kebun sebagai masukan dan drainase dengan lebar 60 cm dan kedalaman 70 cm. Got mujur hampir sama dengan got keliling namun terletak di dalam kebun, dengan ukuran lebar 50 cm dan dalam 60 cm. Got malang adalah got yang tegak lurus dengan juringan yang membatasi bak juringan satu dengan yang lain, dengan lebar 50 cm dan kedalaman 50 cm. Sistem got yang diterapkan PG Cepiring serupa dengan pendapat Sutardjo (2008) dalam hal jenis dan ukuran got. Terdapat beberapa perbedaan dalam sistem tata air pada lahan tegalan dengan lahan sawah irigasi. Perbedaan tersebut ada pada panjang juringan pada lahan tegalan. Panjang juringan lahan tegalan dua kali dari lahan sawah, yaitu sebesar 16 m. Hal ini dilakukan karena jumlah air yang ada di lahan tegalan tidak sebanyak lahan sawah irigasi. Sumber air tegalan berasal dari hujan, sehingga diperlukan penyimpanan air agar tebu tidak kekurangan air. Dengan panjang juringan 16 m, got malang akan lebih sedikit sehingga mencegah drainase yang berlebihan. Kebun dengan got malang yang lebih sedikit akan lebih banyak menyimpan air hujan untuk tanaman. Ketika hujan terlalu besar dan kebun kelebihan air, got malang tetap berfungsi sebagai drainase kebun agar air tidak menggenang di lahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Supriadi (1992), yaitu diperlukan pengairan yang sesuai dengan keadaan lahan untuk mencegah penggenangan air yang dapat menurunkan hasil. Sistem tata air akan disesuaikan dengan kondisi khusus yang terjadi di kebun. Beberapa kondisi khusus yang dapat mempengaruhi tata air adalah
57 cekaman salinitas, kerentanan terhadap banjir, serta arah, letak dan besarnya sumber air. Pada prinsipnya ketika air yang masuk ke kebun lebih banyak daripada sawah irigasi, jumlah got untuk drainase akan diperbanyak dengan mengurangi panjang juringan. Ketika jumlah air yang ada lebih sedikit, diperlukan upaya penghematan air dengan mengurangi jumlah got drainase dengan menambah panjang juringan. Upaya ini tidak hanya diterapkan untuk keseluruhan kebun, namun dapat diterapkan untuk wilayah kebun tertentu seperti daerah kebun di dekat inlet atau outlet.
Aspek Manajerial PG Cepiring merupakan pabrik gula yang memproduksi gula kristal putih. Gula kristal putih yang diproduksi berasal dari dua bahan baku, yaitu tebu dan raw sugar. Diluar musim giling tebu, PG Cepiring memproduksi gula kristal putih dari bahan baku raw sugar. Selama musim giling tebu, PG Cepiring memproduksi gula kristal putih dengan bahan baku tebu dan raw sugar. Kebijakan mengolah raw sugar diterapkan untuk memenuhi kapasitas giling pabrik (ideal capacity). Selama musim giling tebu, PG Cepiring membutuhkan bahan baku tebu untuk memenuhi kapasitas giling tebu terpasang yang mencapai 2 000 ton tebu per hari. Untuk memenuhi kapasitas tersebut selama 150 hari giling per tahun, PG Cepiring membutuhkan sekitar 300 000 ton tebu per tahun giling. Dengan produktivitas tebu rata-rata 70 ton/ha, PG Cepiring membutuhkan luas area sekitar 4 300 ha lahan tebu. Sementara itu, lahan untuk kebun tebu di wilayah Kendal dan sekitarnya semakin terbatas. Keterbatasan lahan ini diakibatkan oleh persaingan dengan komoditas lain yang memiliki waktu pengembalian modal yang lebih singkat, seperti tembakau, padi dan palawija. PG Cepring pada dasarnya tidak memiliki lahan dengan status Hak Guna Usaha (HGU). Untuk memenuhi kebutuhan tebu, PG Cepiring menerapkan bebagai upaya agar petani tebu rakyat (PTR) menanam tebu dan menggiling tebunya di PG Cepiring. Berbagai puaya tersebut meliputi penerapan sisitem kemitraan yang saling menguntungkan, pemberian kredit kepada petani melalui fasilitas Kredit Ketahanan Pangan dan Energi untuk Tebu (KKP-E Tebu), dan penerapan sistem beli putus untuk PTR mandiri. Berbagai upaya tersebut
58 dilaksanakan oleh bagian tanaman, sehingga posisi bagian tanaman secara struktural di perusahaan juga mempengaruhi dalam pengambilan kebijakan tersebut.
Sistem kemitraan Terdapat tiga pola kemitraan yang diterapkan PG Cepiring. Pola kemitraan tersebut antara lain pola kemitraan tipe A, pola kemitraan tipe B, dan pola kemitraan tipe D. Pola kemitraan tipe A (KMA) merupakan kemitraan yang diterapkan kepada petani ketika petani tidak mampu secara teknis maupun finansial dalam usaha budidaya tebu. Petani hanya memiliki hak milik sebidang tanah yang ingin diusahakan untuk budidaya tebu. Dalam penerapan KMA, seluruh kegiatan budidaya dan pembiayaannya dilakukan oleh PG melalui staf lapang. Sistem bagi hasil yang diterapkan adalah bagi hasil yang dibayarkan dimuka kepada petani. Hal ini akan menjadi jaminan akan besarnya bagi hasil yang diterima petani tanpa dipengaruhi oleh besarnya hasil panen yang akan didapat ketika panen. Pola kemitraan tipe B (KMB) merupakan pola kemitraan yang diterapkan kepada petani tebu rakyat yang telah mampu dalam teknik bididaya tebu namun tidak mampu dalam pembiayaannya. Dalam penerapan KMB, PG akan memberikan pinjaman untuk pembiayaan budidaya tebu melalui Kredit Ketahanan Pangan dan Energi Tebu (KKPE-Tebu) dan bekerjasama dengan bank sebagai penyedia kredit. PG akan bertindak sebagai penjamin (avalist) bagi petani untuk dapat mengembalikan kredit kepada bank. Proses budiaya tebu dilakukan oleh petani dibawah bimbingan petugas lapang PG. Petugas lapang PG bertindak sebagai pengawas dalam alokasi dana kredit yang telah dicairkan kepada petani. Bagi hasil yang diterapkan dalam KMB berdasarkan ketentuan bagi hasil giling tebu di PG, sehingga besarnya hasil yang diterima petani ditentukan oleh jumlah panen tebu yang didapat serta rendemennya. Kemitraan pola D (KMD) adalah kemitraan antara PG dengan petani yang telah mampu dalam budidaya tebu baik secara teknis maupun pembiayaannya. Kebun tebu dengan pola kemitraan D biasa disebut kebun tebu mandiri. Dalam kemitraan ini, PG berperan sebagai jasa pengolahan tebu menjadi gula. Sistem
59 bagi hasil yang diterapkan adalah sistem bagi hasil pengolahan tebu berdasarkan rendemen. Terdapat beberapa aturan dalam penerimaan tebu di PG Cepiring dari KMD, yaitu tebu bersih tidak terbakar, tidak diikat menggunakan daun, serta petani tidak memiliki kredit dari PG lain dalam pembiayaan kebunnya. Ketiga pola kemitraan ini akan membantu PG Cepiring dalam mendapatkan bahan baku tebu selama musim giling. Kemitraan pola A akan membantu PG Cepiring untuk mendapatkan areal perkebunan tebu dari petani dengan sisitem sewa lahan atau bagi hasil yang dibayarkan diawal. Sistem ini menguntungkan bagi kedua belah pihak karena petani mendapat keuntungan yang telah ditetapkan berdasarkan perjanjian di awal. Hal ini berarti petani pendapatkan kepastian keuntungan yang dibayarkan di awal tanpa melihat berapapun hasil tebu yang nantinya akan didapatkan. Petani juga mendapatkan keuntungan tambahan dari hasil tebu keprasan setelah jangka waktu sewa
lahan berakhir. Hal ini
menguntungkan bagi petani karena petani tidak perlu mengeluarkan biaya untuk penanaman awal tebu yang membutuhkan biaya yang cukup besar, namun hanya perlu melakukan pemeliharaan tanaman keprasan.
Kredit ketahanan pangan dan energi (KKP-E Tebu) KKPE digunakan dalam pembiayaan budidaya tebu petani kemitraan pola B (KMB). KKPE merupakan kredit yang diberikan bank penyedia kredit kepada petani tebu rakyat yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI). Dalam proses kredit tersebut, PG merupakan penjamin (avalist) yang akan menjamin petani untuk mengembalikan kreditnya kepada bank. Perjanjian kredit dilakukan oleh Bank dan Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) serta diketahui oleh PG sebagai avalist. KPTR merupakan lembaga keuangan dari APTRI yang akan memfasilitasi anggotanya dalam perolehan kredit. PG Cepiring bekerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai bank penyedia KKPE. Besarnya nilai KKPE berdasarkan kategori tanaman tebu yang diajukan, yaitu tanaman tahun pertama atau Plant Cane (PC) dan tanaman tebu keprasan atau Ratoon Cane (RC). Besarnya nilai KKPE untuk PC adalah Rp 18 000 000,per hektar, sedangkan untuk RC sebesar Rp 15 500 000,- per hektar. Perbedaan nilai kredit antara PC dan RC terletak pada pembiayaan kebutuhan bibit pada
60 tanaman PC. Besarnya luasan kebun maksimal yang dapat diajukan seorang petani adalah 4 hektar, sedangkan besarnnya nilai kredit yang diterima petani maksimal sebesar Rp 50 000 000,-. Pencairan KKPE akan diberikan bank kepada PG untuk dapat disalurkan kepada petani. PG Cepiring akan menyalurkan kredit kepada petani secara bertahap, sesuai dengan urutan budidaya tebu. Bank penyedia kredit memiliki standar besarnya pembiayaan berbagai urutan proses budaidaya. Dalam pelaksanaan pencairan dana kepada petani, PG mempunyai stantar tersendiri dalam hal besaran pembiayaan setiap proses budidaya tebu, namun jumlah total pembiayaan yang diterima petani tetap sama dengan besaran yang diberikan bank. Hal ini dikarenakan dibutuhkan beberapa penyesuaian dalam budidaya tebu sehingga mempengaruhi dalam pembiayaan budidaya tersebut. Besarnya kredit yang diterima tiap tahapan budidaya dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 15. Nilai KKP-E Setiap Tahapan Budidaya Tebu PC per Hektar Pembiayaan Standar Bank BRI Standar PG Cepiring COL (Cost of living) Rp 500 000,- Rp 2 000 000,Bibit Rp 2 500 000,- Rp 3 000 000,Pupuk Rp 3 000 000,- Rp 1 850 000,Biaya garap Rp 6 000 000,- Rp 4 500 000,Tebang angkut Rp 5 500 000,- Rp 6 150 000,Pengendalian hama dan penyakit Rp 500 000,- Rp 300 000,Jumlah Rp 18 000 000,- Rp 18 000 000,Sumber : Kantor Tanaman, PT Industri Gula Nusantara Sistem yang diterapkan oleh PG IGN baik untuk keamanan kredit. Pencairan kredit secara bertahap dapat menghindari pemakaian kredit oleh patani untuk kegiatan selain budidaya tebu. Penyesuaian nilai kredit berdasarkan tahapan budidaya juga dapat membuat kredit tepat sasaran dan mencegah kelebihan nilai kredit yang dapat digunakan untuk keperluan selaian budidaya tebu. Selain itu, kontrol terhadap petani juga dapat dilakukan per tahapan budidaya, sehingga pencairan kredit untuk kegiatan selanjutnya dapat menyesuaikan kondisi yang ada saat pengamatan. Terdapat beberapa syarat dalam pengajuan KKPE bagi petani kepada bank dengan PG sebagai avalist. Syarat pertama adalah petani mempunyai lahan dengan luasan tertentu. Syarat kedua adalah petani yang berhimpun dalam KPTR
61 mengajukan Rencana Definitif Kelompok (RDK) yang berisikan beberapa nama petani yang akan mengajukan KKPE serta luasan kebun yang akan diajukan. Pembuatan RDK akan melibatkan kepala desa yang menjamin keberadaaan lahan yang diajukan. Syarat ketiga adalah petani mengajukan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang memuat besarnya kebutuhan biaya yang dibagi kedalam tahapan budidaya. pembuatan RDKK melibatkan ketua kelompok petani tebu rakyat, ketua koperasi petani tebu rakyat, serta PG sebagai penjamin. Syarat yang keempat adalah fotokopi kartu tanda penduduk setiap petani yang mengajukan permohonan KKPE. Keempat syarat tersebut akan diajukan kepada bank sebagai penyedia kredit. Terdapat beberapa kegiatan yang akan dilakukan bank selama tahap pencairan kredit. Bank akan melakukan peninjauan lapang ke lahan tebu petani pada tahap awal. Peninjauan lapang akan didampingi pihak PG. Lahan tebu yang akan disetujui permohonan kreditnya adalah lahan yang sudah ditanami tebu untuk tebu PC. Setelah peninjauan lapang, proses akan berjalan di bank untuk pencairan KKPE. Kredit KKPE akan dicairkan bank ke rekening PG dengan jangka waktu kredit 12 bulan dan bunga subsidi pemerintah sebesar 7%. PG akan menyalurkan kredit kepada petani dan akan memotong bagi hasil yang diperoleh petani ketika panen tebu untuk pelunasan kredit kepada bank. Kredit ini dapat memicu petani untuk menanam tebu di lahan mereka. Petani yang memiliki lahan dan mampu secara teknis dalam budidaya tebu namun terkendala modal tetap dapat menanam tebu melalui bantuan kredit tersebut. Keuntungan yang didapatkan PG selain mendapatkan bahan baku tebu adalah kepastian dalam mendapatkan areal pada tahun selanjutnya. Hal ini dikarenakan petani yang menerima kredit ini akan menjadi petani binaan PG yang memiliki ikatan secara tidak formal dengan PG. Petani tersebut juga cenderung akan memperluas lahannya di tahun selanjutnya sehingga bahan baku tebu yang disetorkan ke PG akan meningkat pada tahun selanjutnya.
Sistem beli putus PG Cepiring telah menerapkan sistem beli putus tebu untuk petani tebu mandiri atau kemitraan pola D (KMD) sejak tahun 2009. Kebijakan ini adalah
62 salah satu upaya dalam menarik petani tebu mandiri untuk menggiling tebu di PG Cepiring. Sistem beli putus adalah sistem pembayaran tebu secara langsung ketika tebu milik petani mandiri tiba di PG tanpa harus menunggu tebu selesai digiling menjadi gula. Kriteria tebu yang diterima di PG Cepiring dengan sistem beli putus adalah nilai brix nira batang tebu minimal 14. Selain itu kondisi tebu harus bersih dan tidak diikat menggunakan daun tebu melainkan menggunakan pengikat dari batang tebu yang diiris tipis. Harga tebu per kwintal telah ditetapkan tanpa memperhitungkan besarnya nilai brix nira. Sistem beli putus sangat menguntungkan petani karena petani cepat mendapatkan uang tanpa haruns menunggu proses pengolahan tebu. Dengan perputaran uang yang singkat, petani tebu dapat membiayai proses tebang angkut untuk kebun mereka setelahnya sehingga tebu petani dapat segera selesai ditebang. Penerapan sistem ini efektif untuk menarik minat petani tebu mandiri untuk menggiling tebu meraka di PG Cepiring. Hal ini dapat dilihat dari semaikin banyaknya tebu yang masuk ke PG Cepiring yang berasal dari petani tebu mandiri, yaitu dari 38 290 ton pada tahun 2009 menjadi 97 230 pada rahun 2010. Sistem beli putus yang diterapkan juga memiliki beberapa kelamahan. Kelemahan ini diakibatkan oleh tidak diberlakukannya nilai brix atau rendemen individu petani untuk menentukan besarnya harga tebu. Hal ini akan menguntungkan bagi petani dengan rendemen yang kecil, namun untuk petani dengan rendemen yang tinggi tidak mendapatkan insentif lebih dari perbedaan nilai rendemen tersebut. Sistem ini tidak memberi pelajaran kepada petani dengan rendemen yang rendah untuk berupaya menaikkan rendemennya. Hal ini dapat mengakibatkan petani tidak menerapkan praktik budidaya tebu secara baik untuk mendapatkan rendemen tinggi, namun hanya sekedar meningkatkan produksi dan mencapai nilai brix yang sesuai standar PG Cepiring. Kelemahan yang lain adalah tingginya harga beli tebu yang diterapkan oleh PG Cepiring. Tebu dibeli oleh PG Cepiring dengan harga Rp 40 000,00 per kwintal. Dengan harga gula Rp 8 000,00/kg dan perolehan gula bersih sebesar 66%, maka PG Cepiring baru mencapai BEP (break even point) saat rendemen tebu kira-kira mencapai 7%. Namun, dengan kriteria nilai brix tebu giling yang
63 lebih dari 14, rendemen rata-rata tebu beli putus hanya berkisar 6% - 6,5%. Hal ini akan menguntungkan bagi petani, namun akan merugikan bagi PG karena nilai gula yang diapatkan dapat lebih rendah dari harga beli tebu tersebut. Saat ini, masalah tersebut dapat diatasi oleh PG karena kerugian tersebut dapat diatasi dengan gula dari bahan baku raw sugar. Hal ini akan menjadi masalah bagi PG pada tahun 2012, ketika izin mengolah raw sugar sudah habis dan hanya mengandalkan tebu sebagai bahan baku gula.
Manajemen kemitraan Sistem kemitraan membutuhkan terjasama yang baik antara petani tebu rakyat, PG, dan bank penyedia kredit. Kerjasama yang baik akan menciptakan sinergi agar masing-masing pihak dapat saling menguntungkan. Selain itu juga diperlukan sinergi antara bagian pabrikasi sebagai pengolah tebu dan bagian lapang yang berhubungan dengan petani mitra sebagai penyedia bahan baku tebu. Sinergi yang baik diantara kebuanya akan menyebabkan musim giling tebu berjalan dengan baik. Musim giling yang dijadwalkan oleh bagian pabrikasi akan bertepatan dengan kondisi tebu di petani mitra yang tepat untuk dipanen. Terdapat sinergi yang kurang baik antara bagian pabrikasi dengan bagian lapang PG Cepiring. Hal ini terlihat dari pabrik yang belum siap untuk musim giling tebu sementara terdapat kebun tebu yang sudah siap dipanen. Hal ini diakibatkan karena proses perbaikan pabrik yang belum selesai dengan penambahan alat di stasiun gilingan. Hal ini memaksa bagian lapang untuk tetap memanen kebun tebu yang telah siap panen dan bekerjasama dengan PG lain untuk menggiling tebu dari kebun tersebut. Kegiatan panen terpaksa dilakukan karena cuaca yang sangat mendukung pada saat PG Cepring belum siap untuk memulai musim giling. Diperlukan perencanaan yang baik antara bagian pabrikasi dan bagian lapang untuk menentukan musim giling. Perencanaan bulan dimulainya musim giling membantu bagian tanaman dalam mempersiapkan kebun tebu sejak awal tanam. Bagian lapang dapat menentukan awal pembukaan lahan baru untuk dapat disesuaikan dengan masa giling. Perencanaan lamanya musim giling akan
64 membantu bagian tanaman dalam menentukan target luasan tebu yang harus ditanam untuk memenuhi kapasitas giling pabrik selama musim giling.
Struktur organisasi bagian tanaman PG Cepiring Bagian Tanaman adalah salah satu divisi di PG Cepiring yang bertanggung jawab untuk menyediakan bahan baku tebu selama masa giling PG. Penyediaan bahan baku tebu dilaksanakan dengan budidaya tebu dengan sistem kemitraan dengan petani tebu rakyat. Bagian tanaman berada di bawah garis koordinasi kepala pabrik dalam struktur organisasi PG Cepring. Hal ini berarti wewenang pengambilan kebijakan dari bagian tanaman terbatas dan harus dikoordinasikan dengan kepala pabik. Keadaan ini berpengaruh pada wewenang dalam perluasan area tebu yang harus dikoordinasikan dengan kepala pabrik, sehingga kadang terkendala. Sistem yang efisien adalah dibaginya bagian kewenangan menjadi dua bagian yang berbeda, yaitu pabrik dan tanaman. Dengan sistem seperti ini, pelaksanaan kebijakan pengembangan area dan kebijakan lain di bagian tanaman dapat lebih efisien dengan tetap berkoordinasi dengan bagian pabik.
Aspek Khusus Kondisi geografis yang terdapat pada Pidodo memnyebabkan tingkat salinitas yang tinggi. Salinitas terjadi akibat adanya banjir air pasang yang sering terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1993), yang menyatakan bahwa proses salinisasi daerah dengan iklim basah terjadi di delta sungai yang terpengaruh air laut dan pantai yang letaknya rendah.
Kondisi salinitas kebun Menurut Cresser et al. (1993), kriteria tanah salin adalah tanah dengan daya hantar listrik (DHL) lebih dari 2 dS/m. Tanah dengan DHL kurang dari 2 dS/m tergolong nonsalin dengan pengaruh salinitas terhadap tanaman dapat diabaikan. Berdasarkan pendapat tersebut, meskipun nilai DHL kebun Pidodo
65 lebih besar dari Gondang sebagai kontrol lahan nonsalin, kebun Pidodo masih tergolong lahan nonsalin pada pengamatan tebu berumur 31 MSK. Berdasarkan hasil analisis salinitas tanah (Tabel 7), dapat diketahui bahwa kondisi salinitas kebun Pidodo dapat diabaikan. Menurut Marwanto et al (2009) tingkat salinitas lahan di pesisir pantai utara Jawa berkisar 2-8 dS/m. Hasil pengamatan di kebun Pidodo menunjukkan nilai yang lebih kecil, yaitu 0.168 dS/m. Hal ini menunjukkan bahwa teknik tata air melalui metode kolamalur (basin-furrow method) yang diterapkan di lahan Pidodo dapat membuat tingkat salinitas lahan sampai ke golongan nonsalin pada umur tebu 31 MST, yaitu pada bulan April. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1993), pencucian air dan perbaikan drainase dapat memperbaiki tanah-tanah salin.
Tabel 16. Curah Hujan Kebun Pidodo pada Stasiun Hujan Terdekat Bulan
Tahun 2006 2007 2008 Januari 545 110 238 Februari 246 224 897 Maret 131 261 108 April 108 252 61 Mei 30 58 69 Juni 22 79 26 Juli 18 25 0 Agustus 0 49 6 September 0 0 11 Oktober 0 54 151 November 74 66 82 Desember 123 248 218 Sumber : Dinas Pengairan Kabupaten Kendal
2009 245 376 57 64 67 102 26 26 20 16 34 78
2010 231 169 177 73 208 136 41 107 222 232 207 333
Penurunan salinitas ini juga dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi di kebun Pidodo pada bulan Januari sampai April sehingga termasuk bulan basah (Kartasapoetra, 2008). Hal ini dapat terlihat dari data pengamatan curah hujan selama 5 tahun terakhir dari stasiun hujan terdekat (Tabel 16). Pengaruh tingginya curah hujan terhadap penurunan tingkat salinitas ini sesuai dengan pendapat Tan (1991), bahwa salinitas akan berkurang dengan adanya curah hujan yang tinggi pada daerah beriklim basah.
66 Teknis budidaya tebu di lahan salin Menurut Santoso (1993), sistem irigasi dan got yang diterapkan di lahan tercekam salinitas oleh PG Cepiring disebut dengan metode reklamasi lahan salin dengan metode kolam-alur (basin-furrow method). Metode ini akan mengalirkan air irigasi melalui parit (got) yang dibuat di sekeliling lahan. Air akan dipertahankan sekitar seminggu sampai seluruh lahan dapat diresapi air. Dengan sistem ini kepekatan garam akan tercuci aliran irigasi, sehingga kadar garam yang tinggi di lahan dapat diatasi. Got dengan ukuran yang besar dapat mengurangi kerusakan lahan akibat banjir air pasang yang kerap terjadi di lahan tercekam salinitas yang terletak di pesisir pantai utara Jawa. Ketika banjir terjadi, air akan tertampung di got sehingga mencegah air banjir dengan kandungan garam tinggi masuk ke juringan tebu. Hal ini dapat mencegah kerusakan fisik pada tebu juga mencegah peningkatan salinitas tanah pada kebun.
Kondisi tebu di lanah salin Hasil pengamatan tinggi tanaman (Tabel 9) menunjukkan tinggi tanaman kebun salin lebih rendah dan berbeda nyata pada seluruh minggu pengamatan. Hal ini menunjukkan pengaruh salinitas yang nyata terhadap tinggi tanaman tebu. Tebu di lahan salin mengalami cekaman dalam pertumbuhan tingginya. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1993) yang menyebutkan bahwa tanaman dengan cekaman salinitas akan mengalami penghambatan dari perpanjangan sel, sehingga tanaman tampak kerdil. Hasil pengamatan jumlah ruas (Tabel 9) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada seluruh minggu pengamatan. Hasil ini menunjukkan bahwa pertumbuhan anatomi tebu pada lahan salin sama seperti tebu pada umunya yang ditaman di kondisi nonsalin berdasarkan jumlah ruas batangnya. Dengan tinggi batang yang lebih rendah dan mempunyai jumlah ruas yang sama dengan tebu tak tercekam salinitas, panjang ruas tebu tercekam salinitas lebih pendek daripada tebu tak tercekam. Hal tersebut menunjukkan pembelahan sel pada tebu tercekam salinitas tetap berjalan, namun pemanjangan selnya terganggu. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1993) yang menyatakan pembelahan sel pada tanaman
67 tercekam salinitas tetap berjalan secara kontinu, namun pemanjangan selnya terhambat. Hasil pengamatan diameter batang (Tabel 9) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada seluruh minggu pengamatan. Hal ini menunjukkan cekaman salinitas tidak berpengaruh terhadap besarnya diameter tebu. Tebu yang merupakan tanaman monokotil memang tidak mengalami pembesaran batang karena tidak memiliki kambium di batang dan besarnya diameter dipengaruhi oleh pemupukan N pada tebu (James, 2004). Pengamatan diameter yang tidak berbeda nyata ini menunjukkan penyerapan nutrisi melaui akar tetap dapat berjalan dengan upaya reklamasi lahan salin dan teknik budidaya yang dilakukan di kebun tercekam salinitas. Pengamatan bobot batang dilakukan menggunakan tabel konversi bobot batang per meter berdasarkan diameter batang (Lampiran 4). Berdasarkan perhitungan tersebut, selain dipengaruhi oleh varietasnya, bobot tebu akan dipengaruhi diameter dan panjang batangnya. Pada pengamatan bobot batang (Tabel 9), didapatkan bobot batang tebu tercekam salinitas yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan kebun nonsalin pada setiap pengamatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun upaya reklamasi dan teknik budidaya yang diterapkan di lahan salin dapat menghasilkan diameter batang yang sama dengan tebu di lahan nonsalin, bobot perbatang tebu tetap lebih rendah dari tebu nonsalin. Hal ini disebabkan pertumbuhan tinggi tebu tercekam salinitas sangat terhambat (Tabel 9). Bobot batang yang rendah pada kebun salin akan mempengaruhi jumlah panen yang didapatkan. Pengamatan jumlah batang tebu dan sogolan (Tabel 10) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara kebun salin dengan kebun nonsalin. Banyaknya jumlah batang menggambarkan kondisi pertumbuhan tunas-tunas baru setelah keprasan, sedangkan jumlah sogolan menggambarkan pertumbuhan tunastunas susulan yang tumbuh menjelang fase generatif tebu. Hasil pengamatan yang didapatkan menunjukkan bahwa upaya reklamasi lahan salin dan teknis budidaya tebu yang diterapkan di lahan salin dapat menghilangkan pengaruh salinitas dalam menghambat pertumbuhan tunas-tunas baru.
68 Brix nira tebu di lapang akan menggambarkan rendemen tebu ketika diolah menjadi gula. Berdasarkan pengamatan (Tabel 11) didapatkan bahwa nilai brix kebun salin dan kebun nonsalin tidak berbeda nyata pada pengukuran 27 MSK dan 41 MSK. Hal tersebut menunjukkan upaya reklamasi dan teknik budidaya tebu yang diterapkan di kebun salin dapat menghilangkan pengaruh buruk cekaman salinitas dalam pembentukan dan penyimpanan sukrosa pada tebu. Hal ini disebabkan oleh upaya reklamasi yang dilakukan dapat mencegah pengaruh salinitas dalam menghambat penyerapan hara (Santoso,1993). Penyerapan unsur hara yang baik oleh tanaman dapat meningkatkan rendemen (Supriyadi, 1992). Selain itu, rendemen yang sama pada kedua kebun juga dipengaruhi oleh teknik budidaya yang sama pada kedua kebun selain tata air, karena rendemen tebu dipengaruhi oleh teknis budidaya yang diterapkan (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, 2008).
Pertumbuhan dan pembungaan tebu di lahan salin Pengamatan pertumbuhan (Tebel 12) menunjukkan pertumbuhan tebu selama 27 MSK sampai 41 MSK menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata untuk seluruh peubah pengamatan. Hasil pengamatan menujukkan bahwa pertumbuhan tebu di lahan salin pada periode pengamatan tersebut tidak berbeda dengan pertumbuhan tebu di lahan nonsalin. Hal ini menunjukkan pengaruh buruk salinitas pada pertumbuhan tebu tidak terjadi pada periode tersebut. Hal ini didukung dengan hasil analisis salinitas tanah di lahan salin yang menunjukkan tingkat salinitas yang redah dan dapat ditolerir oleh tanaman (Tabel 7). Meskipun pertumbuhan tebu pada periode pengamatan 27 MSK sampai 41 MSK tidak terpengaruh oleh salinitas, kondisi tanaman tebu di lahan salin menunjukkan hasil yang lebih rendah berdasarkan pengamatan tinggi tanaman (Tabel 9). Hal ini menunjukkan bahwa efek buruk salinitas terhadap pertumbuhan tebu terjadi pada masa pertumbuhan vegetatif awal setelah keprasan. Efek buruk salinitas yang terjadi pada masa vegetatif awal dikarenakan curah hujan pada masa tersebut rendah. Terjadi curah hujan yang rendah pada bulan Juli sampai September (Tabel 16) sehingga digolongkan bulan kering (Kartasapoetra, 2008). Curah hujan yang rendah pada bulan tersebut mengakibatkan tingkat salinitas
69 pada kebun salin bertambah dan menghambat pertumbuhan tinggi batang tebu pada fase vegetatif awal setelah keprasan. Hal ini sesuai pendapat Santoso (1993) yang menyatakan bahwa proses salinisasi akan bertambah karena curah hujan yang kurang untuk malarutkan dan mencuci garam. Salinitas juga berpengaruh pada pembungaan tebu. Hal ini menunjukkan efek salinitas berpengaruh pada percepatan pembungaan pada tebu, meskipun telah dilakukan upaya reklamasi lahan dan teknis budidaya di lahan salin. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadisaputro (2008) yang menyatakan bahwa cekaman air pada lahan salin dapat mendorong pembungaan tebu.
Produktivitas tebu dan analisis usaha tani kebun tebu di lahan salin Produktivitas tebu di lahan salin (Tabel 13) berbeda nyata dan lebih rendah daripada lahan nonsalin. Hal ini menunjukkan upaya reklamasi lahan dan teknik budidaya yang telah dilakukan di kebun salin belum mampu membuat tebu berproduksi seperti lahan nonsalin. Hal ini juga menunjukkan pengaruh dari salinitas tetap terjadi pada lahan salin dan mengakibatkan rendahnya produktivitas tebu. Namun produktivitas kebun salin menunjukkan peningkatan selama tiga musim tanam. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh buruk salinitas terhadap tanaman berangsur-angsur berkurang. Sehingga dapat diketahui bahwa upaya reklamasi dan teknik budidaya tebu yang telah diterapkan pada kategori tanaman PC dapat mengurangi salinitas kebun secara berangsur-angsur sampai pengamatan pada kategori RC2. Pengamatan melalui data sekunder juga dilakukan pada analisis usaha tani kebun salin. Analisis dilakukan pada masa tanam 2010/2011 pada kebun Pidodo (salin) dan kebun Gondang (nonsalin). Rata-rata keuntungan antara lahan salin dan nonsalin menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda (Tabel 14). Hal ini menunjukkan perolehan keuntungan dari usaha tebu di kedua lahan tersebut sama, meskipun produksi tebu di lahan nonsalin jauh lebih tinggi daripada lahan salin. Hal ini diakibatkan oleh biaya sewa lahan yang jauh berbeda. Biaya sewa lahan di lahan nonsalin yang merupakan lahan subur sangat tinggi. Hal ini diakibatkan juga oleh persaingan dengan komoditas lain di lahan nonsalin sehingga menyebabkan biaya sewa lahan yang tinggi. Biaya sewa di lahan salin jauh lebih
70 rendah diakibatkan oleh letak lahan yang kurang strategis serta kesuburan lahan yang rendah akibat cekaman salinitas. Hal ini menyebabkan tidak adanya persaingan dengan komoditas lain di lahan salin yang menyebabkan rendahnya biaya sewa lahan.