ASPEK-ASPEK TEKNIS EKSKAVASI DALAM KERANGKA PEMAHAMAN TRANSFORMASI DATA1 J. Susetyo Edy Yuwono Jurusan Arkeologi FIB UGM
1. Kedudukan Ekskavasi dalam Lapangan Studi Arkeologi Di dalam cakupan kajian (lapangan studi) arkeologi, dikenal beberapa tingkatan sistem yang satu sama lain saling terkait, sebagaimana tergambar pada bagan alir di bawah ini:
Living System
Taphonomic System
Conservation System RETRIEVAL SYSTEM
ARKEOLOGI HISTORIOGRAFI
Cultural Resource Management (CRM) System
ARKEOLOGI KONSERVASI
Keterangan: • Living system, merupakan sistem di mana objek-objek material (artefak) masih berada di dalam sistem budaya masyarakat pendukungnya. Objek tersebut dibuat dan difungsikan sesuai dengan konsep yang mereka miliki, sampai akhirnya tidak digunakan lagi atau hilang dan terdeposisi di suatu tempat. Penggambaran living system masa lampau melalui sisa-sisa budaya materi yang ditinggalkan pendukungnya merupakan tujuan umum Arkeologi Historiografi. •
Taphonomic system, merupakan sistem yang berlangsung sejak suatu objek terdeposisi hingga ditemukan kembali oleh arkeolog. Berbagai proses yang berlangsung dalam sistem ini, baik proses budaya maupun alam, akan menghasilkan perubahan kondisi yang sangat mencolok. Dengan demikian, sistem tafonomi merupakan lapangan studi yang sangat penting karena dapat menentukan besar-kecilnya bias yang muncul dari kesimpulan para arkeolog atas objek yang ditemukan dan dikajinya.
•
Retrieval system, merupakan upaya menemukan kembali objek-objek arkeologis sebagai data/pijakan untuk menggambarkan kembali kehidupan manusia yang melatarbelakangi keberadaannya (living system), serta berbagai proses yang berlangsung setelah benda tersebut terdeposisi (taphonomic system). Dengan kata lain, retrieval system merupakan tahapan awal bagi pencapaian tujuan Arkeologi Historiografi. Di lain pihak, hasil suatu retrieval system juga perlu dikonservasi untuk kemudian dikembangkan dan dimanfaatkan bagi kehidupan sekarang melalui pengelolaan yang benar. Dengan demikian, kegiatan penemuan kembali benda-benda arkeologis merupakan penghubung antara kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu dengan kepentingan kita di masa sekarang dan mendatang. Sistem ini
1
Disampaikan pada Bimbingan Pelatihan Metodologi Penelitian Arkeologi, Puslitarkenas, Yogyakarta, 2003.
1
berlangsung melalui tiga tahapan kegiatan, yaitu Observasi, Deskripsi, dan Interpretasi – Eksplanasi.
•
Conservation System dan CRM system, merupakan bagian dari Arkeologi Konservasi yang dapat diartikan sebagai cabang arkeologi yang mencoba untuk mempreservasi dan mengelola objek arkeologis untuk berbagai kepentingan akademis-praktis di masa sekarang dan mendatang.
Sebagai bagian dari tahap observasi, ekskavasi merupakan kegiatan yang sangat khas bagi arkeologi. Begitu eratnya kaitan antara “arkeologi” dengan “ekskavasi” pada kenyataannya mampu menghadirkan image bahwa ekskavasi merupakan salah satu “identitas” arkeologi. “Arkeolog” dengan sendirinya identik dengan “ekskavator”. Hal ini diperkuat melalui pernyataan Grahame Clark, bahwa: "the archaeologist with little or no
experience of excavation is ill qualified to interpret the result of other people's digging". Pendapat di atas sangatlah tepat karena arkeologi jelas berurusan dengan berbagai bentuk tinggalan manusia masa lalu yang --- karena berbagai proses alam maupun budaya, selama kurun waktu yang sangat panjang --- akhirnya terpendam di dalam tanah dan sebagian tersebar di permukaan tanah. Objek arkeologis yang diperoleh melalui ekskavasi sangat penting karena pada umumnya lebih terpreservasi dan tidak terlalu teraduk jika dibandingkan dengan objek-objek arkeologis di permukaan. Melalui ekskavasi inilah para arkeolog berusaha membuka kembali “rekaman” kehidupan manusia masa lalu melalui sisa-sisa aktivitasnya yang masih terawetkan sampai sekarang, dengan memperhatikan proses transformasi sejak materi tersebut terdeposisi hingga ditemukan kembali. Untuk memahami seberapa besar peran ekskavasi di dalam proses kerja arkeologi, pandangan kaum Behavioralist mengenai tiga ranah penelitian arkeologi (three research domains) pantas untuk disimak. Ketiga ranah yang dimaksud adalah: Pertama, menjawab pertanyaan how, yaitu "How did a particular configuration of objects come to be where they are presently observed ?". Pertanyaan ini berhubungan dengan proses pembentukan data arkeologi; Kedua, menjawab pertanyaan where, what, dan when, yang berhubungan dengan upaya untuk merekonstruksi, mengidentifikasi, dan menggambarkan tingkah laku manusia pada masa lalu; Ketiga, menjawab pertanyaan why, yang berhubungan dengan penjelasan tentang tingkah laku manusia masa lalu. Ranah pertama tidak pernah disebut secara eksplisit dalam paradigma arkeologi. Bahkan dalam rumusan definisi arkeologi pun hanya disebut mengenai description and explanation of human behavior. Padahal jawaban atas pertanyaan tersebut sangat tergantung atas bagaimana peneliti mengetahui proses pembentukan data yang dipakai sebagai titik tolak kajiannya. Proses-proses yang mempengaruhi pembentukan data arkeologi beserta akibatakibat yang ditimbulkannya perlu diidentifikasi dan dikenali sebelum kesimpulan tentang tingkah laku manusia dan budaya masa lalu dihasilkan. Tanpa memperhatikan hal-hal tersebut, kesimpulan yang dihasilkan oleh para arkeolog akan banyak diwarnai bias. Data arkeologi itu sendiri pada dasarnya merupakan hasil akumulasi sejumlah besar bias. Ketika ditemukan pada saat sekarang, objek-objek arkeologis tidak dapat langsung menginformasikan kepada kita tentang kondisi masa lalu secara menyeluruh. Cara untuk memahaminya adalah dengan mengetahui bagaimana kondisi objek tersebut terbentuk, mengalami perubahan, sehingga menampakkan ciri-ciri seperti yang kita lihat sekarang.
2
Terjadinya bias pada objek arkeologis tidak dapat dihindari, karena kenampakan objek yang tertangkap mata arkeolog merupakan hasil proses tingkah laku manusia (baik disengaja maupun tidak disengaja) dan proses alam yang masing-masing menghasilkan bentuk-bentuk transformasi data. Oleh karenanya, kesadaran akan adanya bias dan bentuk-bentuk proses transformasi yang menghasilkannya sangat diperlukan sebelum inferensi dilakukan. Daniels (1972), mengelompokkan faktor-faktor penyebab bias menjadi tiga, yaitu historical factors, post-depositional factors, dan research factors. Historical factors meliputi semua faktor penyebab yang berasal dari cara hidup pembuat dan pemakai artefak, lingkungan sekitar, serta reaksi mereka terhadapnya. Post-depositional factors mencakup semua sebab yang merubah kedudukan atau posisi objek setelah ditinggalkan oleh pemakainya sampai ditemukan kembali oleh arkeolog. Adapun research factors adalah faktor-faktor yang berasal dari peneliti sendiri, mulai tahap retrieval hingga publikasi. Sejalan dengan pengelompokan di atas, selama ini juga dikenal adanya dua kategori konteks dalam pandangan transformasi, yaitu Konteks Sistem dan Konteks Arkeologi. Menurut Reid (1995), Konteks Sistem merupakan sistem tingkah laku di mana objekobjek material menjadi salah satu bagiannya. Konteks ini merupakan sistem sosio-kultural yang masih hidup, yang meninggalkan rekaman dalam bentuk objek-objek material beserta asosiasinya yang diperoleh pada masa sekarang. Konteks Sistem ini mencakup fenomena masa lalu yang berusaha direkonstruksi dan dijelaskan oleh arkeolog. Sedangkan Konteks Arkeologi merupakan rekaman arkeologis dari masa sekarang, yang mengandung sifat-sifat formal, spasial, kuantitatif, dan relasional dari objek-objek kultural dan non-kultural. Objek-objek yang berada dalam Konteks Arkeologi merupakan hasil hubungan timbal balik antara tingkah laku manusia dan materi (behavioral correlate) dengan tingkah laku budaya dan non budaya (C-Transforms dan N-Transforms) yang membentuk data arkeologi. Hubungan antara ketiga sumber bias yang sudah dipaparkan di atas dengan kedua jenis konteks ini dapat dipakai untuk merekonstruksi tingkat bias pada data arkeologi (lihat skema 1).
3
BIAS tk. 1
a) Tidak semua pola tingkah laku manusia menghasilkan budaya materi b) Di antara budaya materi yang terbentuk tidak semuanya masuk ke dalam Konteks Arkeologi
Historical Factors dalam Konteks Sistem
Context
BIAS tk. 2
BIAS tk. 3
a) Di antara semua budaya materi yang masuk ke Konteks Arkeologi tidak semuanya terawetkan b) Di antara budaya materi yang terawetkan tidak semuanya masih memiliki konteks yang jelas
a) Di antara budaya materi yang terawetkan tidak semuanya dapat ditemukan b) Di antara data yang ditemukan tidak semuanya mampu diungkapkan oleh arkeolog c) Di antara pola-pola budaya materi yang ada tidak semuanya dapat ditangani dan diidentifikasi dengan tepat
Post-Depositional Factors dalam Konteks Arkeologi
Research Factors dalam Retrieval Context
Modifikasi dari: Michael B. Collins, 1979
Skema 1. Tingkat Bias Data Arkeologi
2. Konteks Temuan sebagai Cerminan Proses Transformasi Data Indentifikasi mengenai proses transformasi yang pernah berlangsung di suatu situs sangat didasari pemahaman mengenai konteks temuan sebagai salah satu bentuk data arkeologi. Melalui pemahaman tersebut arti masing-masing objek beserta asosiasinya dapat diprediksikan. Menurut Sharer dan Ashmore (1992), konteks merupakan data arkeologi yang penting, yang dihasilkan melalui gabungan dua macam proses, yaitu proses tingkahlaku para pendukungnya (behavioral process) dan proses transformasi (transformation process) yang terjadi setelah suatu objek terdeposisi. Pengertian konteks mencakup interpretasi terhadap arti suatu deposisi objek di dalam matriks, provenience, dan asosiasinya dengan data objek di sekitarnya, terutama untuk menjawab pertanyaan di mana dan bagaimana objek tersebut terendapkan.
4
Matriks Matriks memiliki pengertian kondisi fisik yang melingkupi, menampung, dan berada di sekeliling objek arkeologis, baik artefak, ekofak, maupun fitur. Dengan demikian, matriks banyak berhubungan dengan tanah atau lapisan batuan.
Provenience Merujuk pada keletakan suatu situs atau objek baik secara horisontal, vertikal, maupun di dalam matriksnya masing-masing. Keletakan secara horisontal berhubungan dengan kedudukan suatu situs atau objek di dalam bentang geografisnya (dengan sistem grid tertentu), sedangkan secara vertikal mengacu pada ketinggian, baik secara relatif (beda tinggi) maupun absolut (dari permukaan air laut). Asosiasi Berkaitan dengan aspek keruangan antar masing-masing objek. Setiap artefak berasosiasi dengan artefak lain, bahkan dengan bentuk-bentuk data lain di sekitarnya. Secara umum, konteks temuan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu konteks primer dan konteks sekunder. Konteks primer merupakan kondisi di mana provenience, asosiasi, dan matriks belum pernah teraduk sejak objek arkeologis terdeposisi hingga ditemukan kembali oleh arkeolog. Di dalam konteks yang demikian ini, fitur arkeologis berada dalam keadaan yang masih utuh (intact). Sedangkan konteks sekunder merupakan kondisi di mana provenience, asosiasi, dan matriks sudah mengalami perubahan, baik sebagian maupun keseluruhan, akibat proses-proses transformasi yang terjadi setelah suatu objek terdeposisi di suatu tempat. Secara lebih rinci, masing-masing konteks tersebut dapat dibedakan lagi manjadi dua kategori, sehingga secara keseluruhan terdapat empat jenis konteks. Keempat jenis konteks yang dimaksud adalah:
a. Use-related primary context: Konteks ini dihasilkan melalui deposisi di lokasi-lokasi di mana artefak-artefak dibuat dan digunakan oleh para pendukungnya. Asosiasi temuan di dalam jenis konteks ini dapat menunjukkan bahwa artefak-artefak tersebut pernah digunakan dan terdeposit di tempat yang sama, sehingga memudahkan upaya rekonstruksi tingkahlaku manusia atau masyarakat pendukungnya di masa lampau.
b. Transposed primary context: Konteks ini dihasilkan melalui tingkahlaku yang tidak berhubungan dengan pembuatan dan atau penggunaan suatu artefak, tetapi melalui tingkah laku yang berhubungan dengan pembuangan atau penimbunan deposit-deposit tertentu, misalnya sampah. Asosiasi antara dua atau lebih artefak di dalam konteks ini tidak banyak membantu arkeolog untuk merekonstruksikan proses pembuatan dan penggunaannya.
c. Use-related secondary context: Merupakan konteks yang dihasilkan melalui “pengadukan” oleh aktivitas manusia setelah terjadinya deposisi objek. Aktivitas “pengadukan” yang dimaksud dilakukan oleh manusia berikutnya (sesudahnya), baik sengaja 5
maupun tidak sengaja, untuk tujuan-tujuan tertentu. Beberapa peristiwa yang dimaksud antara lain peristiwa peperangan, pembangunan gedung-gedung, atau aktivitas penjarahan (looting). Jenis-jenis peristiwa atau aktivitas tersebut beserta posisi kronologisnya kadang-kadang masih dapat dikenali oleh para arkeolog.
d. Natural secondary context: Merupakan konteks sekunder yang pembentukannya dipengaruhi oleh prosesproses alam. Dengan demikian, yang berpengaruh adalah agen-agen nonbudaya, di antaranya oleh binatang, tumbuhan, dan peristiwa-peristiwa alam tertentu. Beberapa jenis artefak kemungkinan digunakan dalam periode waktu yang lama. Selama kurun waktu tersebut, berbagai proses perbaikan, modifikasi, serta perubahan dan variasi fungsi sangat mungkin terjadi. Sebagai contoh, sebuah wadah dari gerabah dapat digunakan untuk mengangkut air, menyimpan makanan, memasak, atau dijadikan pola dalam pembuatan wadah lainnya di lokasi perbengkelan. Pada saat wadah tersebut terdeposit selama atau sesudah masa pemakaiannya, dan kemudian tersimpan di dalam matriks yang belum teraduk serta berasosiasi dengan temuan lainnya (artefak, ekofak, dan fitur), maka konteks temuannya termasuk dalam kategori primer yang dapat menggambarkan pola tingkahlaku pendukungnya (use-related primary context). Pada beberapa situs perbengkelan, use-related primary context tidak hanya mampu manggambarkan tingkahlaku pembuatan alat melainkan juga detil spesifik dari proses pembuatan yang pernah dilakukan. Determinasi bahwa suatu konteks termasuk dalam kategori primer dan use-related tergantung pada mampu tidaknya konteks tersebut menggambarkan secara langsung tingkahlaku manusia pendukungnya. Kemampuan suatu konteks untuk tetap bertahan dalam kondisi primer tergantung pada proses-proses transformasi yang mampu mengawetkannya. Beberapa aktivitas manusia memang dapat merusak dan menghilangkan use-related dan atau transposed primary context. Tetapi pada beberapa kasus lainnya, aktivitas-aktivitas tertentu justru mampu mempertahankan keawetan konteks yang sudah terbentuk sebelumnya. Misal, pembangunan struktur lantai di atas bekas lokasi perbengkelan masa lalu. Proses-proses deposisi tertentu juga memiliki kecenderungan untuk melindungi konteks primer dari kerusakan. Salah satu contoh paling nyata dari deposisi ini ialah dalam kasus penguburan. Beberapa peristiwa alam seperti sedimentasi tanah dan peristiwa vulkanik seringkali juga dapat melindungi keaslian dan keawetan suatu konteks primer, misalnya tertutupnya kota Pompeii oleh hasil erupsi Gunung Vesuvius. Pada kenyataannya, tidak semua konteks primer termasuk kategori use-related. Orang seringkali membuang barang-barang yang sudah rusak, pecah, atau tidak dipakai lagi ke dalam lubang-lubang sampah. Selama tidak terjadi pengadukan, lubang-lubang sampah yang berisi berbagai jenis artefak dan ekofak buangan dapat membentuk strata atau layers, yang masing-masing dapat menggambarkan periode deposisinya. Dengan demikian, lubang sampah juga termasuk konteks primer. Namun karena sifat deposisinya hanya berhubungan dengan proses pembuangan (tidak dapat menggambarkan proses pembuatan dan penggunaan benda), maka dimasukkan ke dalam kategori transposed primary context. 6
Apabila sampah tersebut terangkut ke suatu tempat (misal sebagai tanah uruk) dan selanjutnya bercampur dengan hasil aktivitas manusia di tempat yang baru, maka yang terjadi adalah kombinasi antara use-related primary context, transposed primary context, dan bahkan secondary context. Kegunaan atau fungsi suatu artefak tidak dapat diketahui secara langsung melalui asosiasinya di dalam transposed primary context. Asosiasi di dalam jenis konteks ini hanya membantu untuk mengetahui kronologi pengendapannya saja. Selama tidak terjadi gangguan, benda-benda yang saling berasosiasi di dalam provenience dan matriks yang sama adalah sejaman. Apabila suatu lubang sampah difungsikan dalam kurun waktu yang lama, maka posisi relatif benda-benda dalam keseluruhan deposit (atau dalam masingmasing layer) dapat diakses untuk penentuan penanggalan relatif (relatives dating). Di dalam use-related secondary context, upaya identifikasi harus dilakukan dengan baik dan cermat untuk mengetahui bagaimana sekumpulan objek sampai terdeposit di suatu tempat. Apabila kerusakan konteks tersebut tidak dapat dikenali dengan baik, maka interpretasi yang dihasilkan akan banyak mengandung kesalahan dan bias. Sebagai contoh, temuan-temuan di dalam kuburan yang sudah teraduk tidak selalu merupakan sisa-sisa dari aktivitas penguburan asli, melainkan juga material yang dibawa oleh para looters yang kemudian tertinggal di sana. Temuan kancing baju di dalam salah satu peti kubur batu di Situs Gunungbang, Gunung Kidul, merupakan salah satu contoh mengenai hal itu. Contoh lainnya banyak diperoleh dari upaya pengurukan tanah dalam rangka penyiapan suatu bangunan. Apabila tanah uruk tersebut diambil dari lubang-lubang sampah kuna yang banyak mengandung temuan, maka temuan yang berusia tua justru akan terdeposit di lapisan atas. Tanpa mengetahui sejarah pengendapan seperti di atas maka interpretasi kronologis akan banyak menghasilkan kesalahan. Jenis konteks terakhir, yaitu natural secondary context, salah satunya diakibatkan oleh perilaku binatang. Pembuatan liang-liang persembunyian oleh jenis-jenis binatang tertentu dapat memindahkan artefak dari lapisan atas ke lapisan di bawahnya dan kemudian berasosiasi dengan fitur yang lebih tua. Jenis-jenis binatang pengerat (Rodentia) juga sering mengumpulkan tulang-tulang kecil di liang persembunyiannya. Demikian juga halnya kerusakan-kerusakan yang sering disebabkan oleh cacing dan rayap. Tanpa mempelajari perilaku binatang-binatang tersebut para arkeolog akan banyak mengalami kesulitan, bahkan terjebak dalam kesalahan interpretasi. Selain perilaku binatang, pertumbuhan akar pohon dan peristiwa-peristiwa alam tertentu juga dapat menjadi agen penyebab terjadinya natural secondary context. Kegiatan pengumpulan data (ekskavasi), karenanya bukan hanya perlu mencatat secara cermat asosiasi, matriks, dan provenience temuan, tetapi juga harus menggunakan informasi yang diperoleh untuk menentukan jenis konteks data yang dihadapi. Kurangnya perhatian dan penanganan serius terhadap konteks temuan dapat mengakibatkan rusaknya data beserta informasi yang dikandungnya. Di sini konteks memegang peranan yang sangat penting, karena identifikasi tingkahlaku yang pernah berlangsung di suatu situs sangat dipengaruhi oleh pemahaman atas konteks temuan. Melalui pemahaman tersebut arti masing-masing objek beserta asosiasinya dapat diketahui. Menurut Hodder (1995), arti simbolik suatu artefak tidak sepenuhnya bersifat arbitrer, sebab mereka dikelilingi oleh konteksnya. Konteks merupakan totalitas dari lingkungan yang relevan. Jadi terdapat hubungan dialektik yang dinamis antara sebuah objek dengan konteksnya. Dengan memasukkan sebuah objek ke dalam sebuah konteks, arti konteks tersebut 7
dengan sendirinya berubah. Dengan demikian, konteks dapat memperoleh arti dari - dan
memberikan arti kepada - sebuah objek. 3. Tujuan dan Jenis-jenis Ekskavasi Sebagaimana tersirat dari definisinya, maka tujuan pokok ekskavasi adalah untuk memperoleh dan mengumpulkan data arkeologi yang semula terpendam di dalam lapisan tanah dengan memperhatikan karakteristik konteks temuannya, agar bentuk-bentuk transformasi data yang pernah berlangsung dapat dikenali. Tujuan ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi terlebih dahulu, sebelum mengungkapkan penjelasan historiografis situs atau fenomena arkeologis yang diekskavasi. Penjelasan historiografis yang dimaksud mencakup kedudukan sejarah budaya pendukung situs, rekonstruksi cara hidup pendukung situs, dan atau penjelasan proses budaya yang terjadi. Di samping tujuan umum di atas, masih ada beberapa tujuan khusus sesuai dengan kondisi yang dihadapi serta jenis-jenis ekskavasi yang dilakukan. Jenis-jenis ekskavasi yang dimaksud antara lain meliputi: a. Ekskavasi penyelamatan (Rescue excavation) Yaitu ekskavasi yang dilakukan untuk menyelamatkan data arkeologi sebelum terjadi peristiwa yang akan mengakibatkan kerusakan data tersebut beserta konteks dan situsnya. Peristiwa-peristiwa yang dimaksud di antaranya penggenangan waduk, pembuatan jalan, pembangunan di bidang industri, dan pengembangan kawasan pemukiman. Dengan demikian, ekskavasi ini bertujuan untuk memperoleh informasi tambahan mengenai kondisi data dan situs arkeologi, sebagai bahan pertimbangan tentang aspek penyelamatannya. Tujuan seperti ini biasanya mendasari kegiatan penyelamatan dan pemugaran suatu monumen yang indikasi awalnya sudah diketahui, baik melalui penemuan tidak sengaja maupun sengaja, yang kemudian terancam punah. b. Ekskavasi penelitian (Research excavation) Tujuan pokoknya untuk mengumpulkan data dalam rangka pemecahan sesuatu masalah atau meneliti salah satu aspek kehidupan manusia masa lampau. Secara lebih rinci, jenis ekskavasi ini dapat dikelompokkan lagi menjadi dua, yaitu: • Untuk memperoleh data baru tentang suatu situs atau lokasi yang diduga sebagai situs arkeologi, baik yang belum pernah maupun pernah diteliti sebelumnya. Tujuan seperti ini umumnya bersifat penjajakan dan didasari kerangka penalaran induktif. • Untuk menemukan data dalam rangka pengujian suatu hipotesis. Tujuan seperti ini didasari penalaran yang bersifat deduktif. c. Ekskavasi percobaan (Trial excavation) Tujuan utamanya untuk memperoleh keyakinan apakah suatu situs layak untuk digali, atau untuk menemukan batas sebaran fenomena arkeologis di suatu wilayah yang luas. Jenis ekskavasi ini dapat dilakukan baik di lokasi yang mengandung ataupun tidak mengandung indikasi permukaan. d. Ekskavasi pelatihan (Training excavation) Tujuan ekskavasi ini untuk memberikan pengalaman ketrampilan dalam hal metode dan teknik ekskavasi. Oleh karena sifatnya latihan maka lahan untuk ekskavasi tidak harus berupa situs arkeologi. Pada kenyataannya ekskavasi pelatihan 8
seringkali dilaksanakan bersamaan dengan ekskavasi penyelamatan dan ekskavasi penelitian di lokasi yang benar-benar merupakan situs arkeologi. Berdasarkan orientasi keruangan atau sasaran dimensi dalam formasi situs, ekskavasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a. Ekskavasi secara vertikal (Penetrating excavation) Tujuan pokoknya adalah untuk mengetahui kedalaman, urutan, dan komposisi tinggalan arkeologis secara vertikal. Dimensi yang ingin diketahui lebih mengarah ke dimensi waktu (temporal) untuk merunut deposisi masing-masing objek secara kronologis tanpa mengesampingkan aspek transformasinya. Salah satu contoh dari ekskavasi ini adalah pembuatan test pit. Test pit merupakan ekskavasi yang bersifat satu dimensi saja yaitu kedalaman. Tujuan diadakannya test pit adalah untuk memperoleh sampel data dan untuk mendapatkan gambaran (cross-section) aspek deposisional di suatu situs. Test pit biasanya merupakan kotak yang pertama digali sebelum pelaksanaan ekskavasi di dalam lingkungan situs. b. Ekskavasi secara horisontal (Clearing excavation) Tujuan pokoknya adalah untuk mengetahui denah, perluasan horisontal, dan susunan atau pola deposit tinggalan arkeologis. Penekanannya adalah "tracing continuities of single surface or deposits". Dengan demikian, ekskavasi ini lebih banyak berhubungan dengan dimensi ruang (space).
4. Sistem dan Teknik Ekskavasi Di dalam kegiatan ekskavasi dikenal berbagai sistem dan teknik yang pemilihannya sangat dipengaruhi oleh berbagai hal, baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Hal-hal yang dimaksud, antara lain: a. Jenis dan kondisi situs yang akan digali b. Tujuan atau sasaran yang akan dicapai c. Waktu dan dana yang tersedia, dan d. Besar kecilnya tim yang akan melaksanakan ekskavasi. Berdasarkan bentuknya, ada beberapa sistem yang biasa diterapkan dalam ekskavasi, meliputi: a.
Sistem kotak (box) Pada sistem ini, kotak galian pada umumnya berukuran 2 x 2 m dan digali penuh (tanpa menyisakan dinding). Sistem ini paling umum diterapkan di Indonesia.
b.
Sistem jaring (grid) Pada sistem ini, kotak galian yang berukuran 2 m x 2 m tidak digali secara penuh, melainkan dengan menyisakan dinding masing-masing sisi selebar 25 cm sehingga ukuran galian hanya 1,50 m x 1,50 m. Sisa dinding 25 cm akhirnya menjadi sebuah pematang silang selebar 50 cm apabila semua kotak yang berdekatan digali.
9
c.
Sistem parit (trench) Kotak yang digali menurut sistem ini denahnya memanjang membentuk parit. Jadi pada dasarnya merupakan perpanjangan dari sistem box dan biasa diterapkan pada temuan-temuan berbentuk struktur bangunan atau fitur memanjang.
d.
Sistem kuadran (quadrant) Sistem ini seringkali diterapkan pada situs yang bentuknya membukit. Dalam pelaksanaannya, situs dibagi menjadi empat bagian. Masing-masing bagian digali secara berurutan dan menyilang dengan menyisakan dinding untuk pematang.
Dalam kaitannya dengan cara perekaman dan pengelompokan data, sistem ekskavasi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: a.
Sistem Spit Adalah sistem perekaman dan pengelompokan temuan berdasarkan interval kedalaman yang tetap. Umumnya interval yang dipakai adalah per 20 cm atau 10 cm, tergantung sifat temuannya. Ekskavasi candi, misalnya, dengan temuantemuan yang berukuran relatif besar, biasanya menggunakan interval 20 cm, sedangkan interval kecil biasanya digunakan pada ekskavasi di situs-situs prasejarah yang ukuran temuannya relatif kecil. Sistem spit paling mudah dan paling praktis dilakukan, tetapi tingkat ketelitiannya paling rendah. Hal ini dikarenakan sistem ini bersifat arbitrer (ditentukan oleh peneliti), sehingga tidak dapat menggambarkan kenyataan pengelompokan data yang sesungguhnya di lapangan. Batas antar spit tidak identik dengan batas antar lapisan budaya atau antar layer dalam stratigrafi tanah. Tidak jarang temuan-temuan dari dua lapisan budaya atau dua layer stratigrafi tercampur dalam satu spit. Atau sebaliknya, temuan dari satu lapisan budaya atau satu layer stratigrafi seringkali terpisah menjadi dua spit atau lebih. Dalam pelaksanaannya, sistem ini akan selalu menghasilkan kedalaman akhir yang rata.
b.
Sistem Layer Adalah sistem perekaman dan pengelompokan temuan berdasarkan batas-batas lapisan tanah. Hasil pengelompokan temuan dengan sistem ini benar-benar sesuai dengan kenyataan pengelompokan temuan di lapangan, sehingga sifatnya non-arbitrer. Sistem ini memiliki tingkat akurasi yang paling tinggi, namun paling sulit dilakukan, karena batas antar layer dalam stratigrafi sangat sulit diamati, apalagi melalui pengamatan secara horisontal (tampak atas). Untuk menerapkan sistem ini kejelian dan kecermatan dalam mengamati perbedaan lapisan tanah menjadi syarat mutlak.
c.
Sistem Lot Pada dasarnya merupakan gabungan dari dua sistem yang sudah dijabarkan sebelumnya. Ekskavasi dengan sistem ini dilakukan per interval kedalaman tertentu, tetapi jika ditemukan kenampakan tanah yang berbeda, misal berupa fitur baik yang sifatnya artifisial maupun alami, maka fitur tersebut diprioritaskan untuk diekskavasi terlebih dahulu. Temuan-temuan yang ada di dalamnya kemudian dikelompokkan ke dalam satu lot. 10
Pada ketiga sistem pengelompokan data di atas, pengupasan tanah dilakukan dengan teknik garuk (scraping), yaitu teknik pengupasan tanah sedikit demi sedikit secara horisontal agar tidak ada data yang terlewat dari pengamatan. Di samping itu, data yang ada dapat terhindar dari kerusakan fisik.
5. Proses dan Tahapan Ekskavasi Sebagai sebuah tahapan awal dalam retrieval system, pelaksanaan observasi arkeologis, khususnya ekskavasi, tidak terlepas dari tahapan kerja arkeologi secara keseluruhan sebagaimana tergambar dalam bagan alir di bawah ini. FORMULASI: Permasalahan/hipotesis Latar belakang penelitian Studi kelayakan
IMPLEMENTASI: Perijinan Pendanaan Logistik
PENGUMPULAN DATA: Reconnaissance Survei
Ekskavasi
PUBLICATION/RESTORATION: Penggunaan hasil penelitian sebagai dasar perencanaan penelitian lanjutan
INTERPRETASI: Sejarah budaya Cara hidup Proses budaya
ANALISIS: Artefaktual Kontekstual Transformasi
PEMROSESAN DATA: Pembersihan Katalogisasi Klasifikasi awal
Modifikasi dari: Sharer & Ashmore, 1992
Secara lebih khusus, maka proses dan tahapan kerja ekskavasi dapat dirinci menjadi tiga tahap, meliputi tahap persiapan (pra-ekskavasi), pelaksanaan, dan pasca-ekskavasi. Uraian masing-masing tahap tersebut adalah sebagai berikut:
Tahap Persiapan (Pra-ekskavasi), meliputi: a. b. c. d. e. f.
Pembuatan usulan kegiatan (proposal) Pengurusan administrasi, perijinan, dan akomodasi Penyusunan tim ekskavasi Perumusan strategi ekskavasi. Pengadaan bahan dan peralatan Pendekatan dengan masyarakat setempat dan instansi terkait
Tahap Pelaksanaan, meliputi: a. Orientasi Lapangan Pekerjaan ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang kondisi situs dan lingkungannya secara umum, khususnya mengenai bentuk, kondisi, dan sejarah penggunaan lahan, serta kondisi dan persebaran data permukaan. Gambaran ini sangat membantu penentuan strategi layout (misalnya untuk menentukan letak titik nol situs dan kemungkinan pengembangan grid selama berlangsungnya ekskavasi), serta gambaran proses transformasi yang pernah terjadi.
11
Semua keadaan yang ditemui atau diamati dalam tahapan ini direkam secara lengkap melalui pencatatan, penggambaran, dan pemotretan. Perlu diupayakan agar kondisi yang terekam melalui pendeskripsian tersebut adalah kondisi asli situs sebelum tersentuh oleh kegiatan arkeologis. b. Pembuatan Layout Pembuatan layout dimaksudkan sebagai penataan letak bagian situs (kotak) yang nantinya akan diekskavasi. Pada prinsipnya layout dibuat agar fenomena di lapangan, termasuk keletakan masing-masing kotak dapat dipetakan secara akurat di atas kertas. Dalam pelaksanaannya, lokasi situs yang akan diekskavasi dibagibagi terlebih dahulu melalui kegiatan pemetaan ke dalam grid-grid dengan ukuran seragam, dan diikuti penamaan masing-masing grid. Langkah yang pertama kali dilakukan dalam pembuatan layout adalah penentuan letak titik nol situs. Titik bantu ini dikenal dengan istilah datum point (DP), yang ketinggiannya dari permukaan laut harus diketahui secara pasti melalui pemetaan. Ketinggian DP dari permukaan laut diketahui dengan cara menghitung selisih ketinggian antara posisi DP dengan titik triangulasi yang letak dan posisi ketinggiannya sudah tercantum di dalam peta topografi masing-masing daerah. Selama proses ekskavasi berlangsung, pengukuran kedalaman semua temuan harus berpedoman pada DP sebagai titik nol-nya. Dengan diketahuinya ketinggian DP dari permukaan laut, maka provenience masing-masing temuan dapat diketahui pula secara akurat. Keletakan DP di dalam suatu situs sangat tergantung pada kondisi situs yang bersangkutan. Langkah berikutnya adalah membuat dua sumbu (sumbu X dan Y) yang saling tegak lurus, dengan DP sebagai titik perpotongan keduanya. Orientasi sumbu utama (utara-selatan) selalu berpedoman pada arah utara magnit. Dengan terbentuknya garis koordinat ini, maka secara imajiner lokasi situs terbagi menjadi empat kuadran, yaitu kuadran I – IV dan penamaannya dilakukan secara sistematis. Pada kedua sumbu utama kemudian ditentukan titik-titik dengan jarak teratur (misal 2 m), yang merupakan titik bantu untuk pembuatan kotak-kotak galian, dengan cara menarik benang dari masing-masing titik sejajar dengan garis sumbu. Dengan demikian akan dihasilkan beberapa titik perpotongan yang nantinya dijadikan titik-titik sudut masing-masing kotak. c. Penentuan Kotak Galian Penentuan kotak mana yang akan diekskavasi dan berapa jumlahnya seringkali didasarkan atas berbagai pertimbangan yang berbeda-beda, tergantung jenis situs, kondisi dan situasi situs, serta sifat dan keadaan temuan yang ada di permukaan tanah. Satu hal yang harus diperhatikan ialah bahwa letak dan jumlah kotak tersebut harus cukup representatif untuk menggambarkan kondisi situs dan temuannya secara keseluruhan. d. Proses Ekskavasi • Penentuan SDP Proses ini diawali dengan penentuan titik bantu yang digunakan untuk pengukuran kedalaman temuan, atau sering dikenal dengan SDP (secondary datum point). Pada prinsipnya, tujuan pembuatan SDP adalah sama dengan 12
DP. Perbedaannya, kalau SDP hanya diorientasikan untuk satu kotak, DP diorientasikan untuk skala situs. Untuk kotak-kotak yang letaknya berdekatan dengan titik DP, pengukuran kedalaman temuan dapat dilakukan dengan menggunakan DP tersebut tanpa harus membuat SDP. Sedangkan kotak yang letaknya relatif jauh dari DP, pembuatan SDP mutlak dilakukan. Penentuan SDP untuk masing-masing kotak sebaiknya memilih lokasi di salah satu sudut kotak yang konturnya paling tinggi dan paling aman dari kemungkinan terjadinya perubahan. Titik tersebut dibuat dengan menancapkan sebuah patok di lokasi terpilih dan membuat tanda pada patok tersebut sebagai titik nol. Biasanya tanda tersebut dibuat 20 cm di atas permukaan tanah, agar penghitungan selisih ketinggian dengan permukaan tanah mudah dilakukan dan sekaligus lokasinya tidak mudah tertutup urukan tanah. Meskipun ketinggian semua SDP adalah sama, yaitu 20 cm dari permukaan tanah, namun ketinggiannya dari permukaan laut berbeda-beda. Hal ini dapat diketahui dengan melakukan pengukuran selisih ketinggian antara masing-masing SDP dengan DP yang sudah diketahui ketinggiannya secara pasti melalui pemetaan. Ketinggian pasti SDP dari permukaan laut ini harus diketahui dan dicatat oleh masing-masing peneliti di kotak yang bersangkutan. • Pendokumentasian Permukaan Langkah selanjutnya adalah melakukan pendokumentasian secara lengkap dan cermat terhadap kondisi permukaan kotak sebelum diekskavasi. Bagaimana kontur permukaan tanah, vegetasi yang tumbuh, jenis tanahnya, dan data arkeologi yang ada, semuanya dicatat secara detil disertai penggambaran, pengukuran, dan pemotretan. Tujuan dari itu semua adalah untuk mendokumentasikan keadaan masing-masing kotak yang nantinya akan “rusak” setelah digali.2 • Pengupasan Tanah dan Pengangkatan Temuan Proses pengupasan tanah dapat dimulai setelah pendokumentasian permukaan secara lengkap selesai dilakukan. Teknik yang dilakukan adalah teknik garuk (scraping) dengan menghindarkan terjadinya penumpukan tanah di lubang galian, agar tidak mengganggu pengamatan terhadap temuan yang mungkin ada. Tanah hasil galian ini pun perlu diayak sebelum dibuang ke tempat penimbunan (dumping), yang lokasinya diusahakan sedemikian rupa agar tidak terlalu jauh dari kotak ekskavasi dan tidak mengganggu proses ekskavasi secara keseluruhan. Pengupasan tanah harus dilakukan secara mendatar dimulai dari bagian permukaan yang paling tinggi. Selama pengupasan berlangsung, setiap gejala
2
Perlu diingat bahwa sifat ekskavasi adalah merusak dan tidak dapat diulang lagi (unrepeatable experiment). Namun tanpa ekskavasi kita tidak akan memperoleh data secara lengkap untuk dapat mengungkap kehidupan manusia yang sudah lama punah. Pemecahan dari semua itu adalah adanya ekskavasi secara terkontrol, sistematis, dan metodis, sehingga semua keadaan yang sudah tergali masih dapat direkonstruksi sedetil mungkin di atas kertas atau media lainnya.
13
yang ditemui harus diamati dan direkam secara cermat dan lengkap, baik itu menyangkut jenis-jenis temuan maupun kondisi tanahnya.3 Cara pengelompokan temuan yang dilakukan tergantung pada sistem ekskavasinya (spit, layer, atau lot). Ketiga sistem tersebut pada dasarnya juga menentukan sistem pemantauan, recording, dan evaluasi atas proses ekskavasi yang berlangsung. Dan apapun sistem yang dipilih, pengukuran secara akurat terhadap masing-masing jenis temuan merupakan langkah yang harus diperhatikan. Setiap ada temuan, tindakan yang tidak boleh dilupakan adalah mengadakan perekaman secara lengkap dan detil, dengan memasukkannya ke dalam fieldnote yang sudah disediakan. Selain karena sifat ekskavasi yang “merusak”, tindakan ini juga dilakukan untuk mengenali jenis konteks dan proses transformasi yang pernah berlangsung. Oleh karenanya, pengambilan masing-masing temuan pun memerlukan teknik khusus. Pengangkatan temuan dari matriksnya tidak boleh hanya diorientasikan ke masing-masing temuan saja. Karena apa yang diangkat dari lubang ekskavasi pada dasarnya bukan hanya objek materi yang dikenal dengan istilah data, melainkan juga semua informasi yang berhubungan dengan keberadaannya. Pada prinsipnya, suatu temuan boleh diangkat apabila gambaran asosiasi dan relasinya dengan temuan lain beserta matriksnya sudah jelas dan sudah dilakukan perekaman. Pada beberapa kasus, suatu temuan tidak boleh diangkat karena mempunyai hubungan kontekstual dengan temuan lainnya, misal bagian dari struktur bangunan yang masih asli, atau bagian dari rangka manusia. Pengambilan atau pengangkatan jenis temuan yang berbeda seringkali memerlukan perlakuan yang berbeda pula. Materi-materi anorganik kebanyakan dapat diangkat dengan menggunakan tangan. Sedangkan untuk materi-materi organik pengambilan dengan tangan secara langsung seringkali tidak dibenarkan. Demikian pula halnya dengan pengambilan sampel tanah atau arang untuk keperluan analisis laboratoris. Pada banyak kasus, seringkali dijumpai keadaan temuan yang sudah benarbenar rapuh dan akan hancur apabila diangkat. Sebagai contoh temuantemuan tulang atau materi organik lainnya. Kondisi semacam ini seringkali menjadi dilema apabila bahan-bahan konsolidasi yang seharusnya dapat menguatkan materi tersebut tidak tersedia. Untuk mengantisipasinya, recording secara lengkap dan detil merupakan tindakan minimal yang mutlak diperlukan. Temuan-temuan yang sudah diangkat kemudian dibersihkan tanpa melakukan pencucian. Langkah selanjutnya adalah memasukkan masing-masing temuan ke dalam kantong (plastik) dan diberi label dengan ketentuan yang sudah disepakati. Dalam sistem labelisasi minimal dicantumkan: nama situs, nama kotak, tanggal, spit/layer/lot, .jenis temuan, dan jumlah/berat. Langkah ini
3
Untuk itu diperlukan fieldnote yang komprehensif, sistematis, dan fleksibel untuk merekam semua informasi yang diperoleh selama ekskavasi, baik secara verbal maupun piktorial.
14
harus selalu disertai dengan pencatatan di dalam fieldnote yang sudah disediakan, termasuk rekapitulasi temuan secara keseluruhan. • Pengukuran Langkah ini dimaksudkan untuk memindahkan posisi tiga dimensi temuan (provenience) dari lokasi aslinya ke atas kertas. Hasil pengukuran secara tepat dan responsibel hanya dapat diperoleh apabila masing-masing kotak memiliki titik nol (SDP) yang tetap dan keempat dindingnya benar-benar rata - vertikal. Pengukuran temuan pada dasarnya meliputi pengukuran kedalaman (dimensi vertikal) dan pengukuran keletakan (dimensi horisontal). Tujuan pengukuran kedalaman adalah untuk memposisikan keletakan vertikal masing-masing temuan, baik secara mikro (dari permukaan tanah) maupun secara makro (dari permukaan laut). Dengan kata lain, pengukuran kedalaman terkait erat dengan aspek diakronik masing-masing temuan. Sedangkan pengukuran keletakan bertujuan untuk memposisikan kedudukan horisontal masing-masing temuan, baik secara mikro (di dalam kotaknya masing-masing) maupun secara lebih makro (di dalam satu situs, kawasan, atau bahkan bentang geografis tertentu). Jadi pengukuran ini berhubungan dengan aspek sinkronik masing-masing temuan dengan hasil akhir berupa denah atau gambar tampak atas. Pekerjaan lain yang terkait erat dengan pengukuran adalah penggambaran, meliputi penggambaran temuan dan kotak (potongan, profil, dan tampak atas/denah) serta penggambaran stratigrafi. Kualitas dan ketepatan hasil penggambaran ini sangat menentukan diperoleh tidaknya gambaran transformasi data yang pernah terjadi, atau jenis konteks yang terbentuk. Skala yang digunakan dalam setiap jenis penggambaran tersebut sebaiknya seragam dan mudah dikonversikan ke millimeter block, misalnya skala 1:20. e. Penyelesaian Kotak Proses ekskavasi di suatu kotak dinyatakan selesai apabila sudah mencapai keadaan steril, yaitu keadaan yang diduga sudah tidak mengandung data arkeologis. Namun demikian, tidak jarang langkah penghentian terpaksa diambil karena waktu yang dijadwalkan sudah habis. Apapun alasan penghentiannya, tahap finishing ekskavasi sebaiknya mengikuti prosedur-prosedur sebagai berikut: • Pengecekan ulang terhadap kedalaman dan hasil-hasil dokumentasi yang sudah dilakukan. • Penyelesaian semua bentuk penggambaran. • Pembuatan resume tentang hasil ekskavasi kotak secara keseluruhan, sejak dari awal (alasan pemilihan kotak) sampai akhir ekskavasi (alasan dihentikannya ekskavasi), lengkap dengan hasil-hasil yang sudah diperoleh disertai rekapitulasi temuan. • Melakukan orientasi tentang kedudukan kotak yang bersangkutan terhadap kotak-kotak lain di dalam satu situs. Hasil orientasi ini dijadikan bahan untuk melengkapi kesimpulan sementara dari resume yang dibuat. Tidak tertutup kemungkinan dimasukkannya saran-saran untuk penyempurnaan hasil penelitian. • Melakukan penimbunan kembali lubang galian sejauh diperlukan, dengan terlebih dahulu menutup permukaan lubang dengan plastik. Hal ini dilakukan
15
untuk menandai batas ekskavasi yang sudah pernah dilakukan, karena ada kemungkinan ekskavasi di kotak tersebut akan dilanjutkan lagi.
Tahap Pasca-ekskavasi, meliputi:4 a. Pengolahan Data (Analisis) Secara garis besar kegiatan pengolahan data dapat dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Kedua analisis tersebut sekurang-kurangnya harus memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut: • Aspek struktural Mencakup analisis struktur dan bentuk data secara rinci, termasuk di dalamnya berbagai atribut yang dimiliki oleh temuan bersangkutan. • Aspek kontekstual Mencakup semua hal yang berhubungan dengan matriks, provenience, dan asosiasi data tersebut dengan bentuk data lain di sekitarnya. Analisis secara detail terhadap aspek ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang proses deposisi dan transformasi objek, sehingga tingkat bias yang terjadi dapat diperhitungkan. Perlu diperhatikan bahwa data arkeologi terbentuk melalui dua proses, yaitu proses tingkah laku dan proses transformasi, sehingga faktor bias harus dianalisis terlebih dahulu dengan melihat aspek kontekstualnya sebelum melangkah pada analisis lebih jauh. • Aspek fungsional: Mencakup analisis mengenai fungsi suatu objek dengan mempertimbangkan jenjang data yang ada, baik pada tingkat artefak, tipe, sub-himpunan, maupun himpunan. Dasar dari analisis ini dengan sendirinya bukan hanya pada bentuk, melainkan juga konteks yang dimilikinya. Seringkali penggunaan analogi dapat membantu penggambaran aspek fungsional suatu objek. • Aspek behavioral: Dari analisis fungsi diharapkan diperoleh pula gambaran secara lebih luas mengenai aspek tingkahlaku manusia pendukungnya, mencakup tingkahlaku teknologis, sosiologis, dan ideologis. b. Pembuatan Laporan Laporan hasil penelitian merupakan bentuk pertanggungjawaban ilmiah dan sekaligus moral, sehingga merupakan satu rangkaian dengan kegiatan penelitian yang tidak boleh diabaikan. c. Publikasi Hasil
4
Masing-masing kegiatan dalam tahap pasca-ekskavasi ini hanya diuraikan secara garis besar. Uraian secara rinci dapat dibaca di bagian lain.
16
6. Penutup Sekelumit uraian tentang ekskavasi di atas merupakan hal-hal yang sifatnya sangat umum. Beberapa kasus khusus seringkali memaksa dilakukannya berbagai bentuk “penyimpangan” dan improvisasi dalam pelaksanaannya. Namun demikian, kaidah ilmiah tetap menjadi dasar yang tidak boleh ditinggalkan, terutama untuk mengenali tingkat bias yang sudah terjadi. Dan yang lebih penting lagi adalah menekan sekecil mungkin munculnya bias baru sebagai dampak dari penelitian. Kesalahan metode dan teknik ekskavasi dalam setiap detil kegiatannya, adalah sumber bias baru yang justru paling sering terjadi dan tidak dapat diperbaiki lagi. BACAAN PENUNJANG Alexander, John, 1970. The Directing of Archaeological Excavations, John Baker, London. Barker, Philip, 1977. The Techniques of Archaeological Excavation, Batsford, London. Collins, Michael B., 1979. "Sources of Bias in Processual Data: An Appraisal", dalam James W. Mueller (ed), Sampling in Archaeology, Arizona: The University of Arizona Press, hlm. 26-32. Daniels, S.G.H., 1972. "Research Design Models", dalam David L. Clarke (ed), Models in Archaeology, London: Methuen and Co. Ltd., hlm. 201-229. Hester, T.R., R.F. Heizer, and J.A. Graham, 1973. Field Methods in Archaeology, Mayfield, Palo Alto, Cal. Hodder, Ian, 1995. Theory and Practice in Archaeology, London: Routledge. Joukowsky, Martha, 1980. A Complete Manual of Field Archaeology: Tools and Techniques Work for Archaeologists, New Jersey, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs Patrik, Linda E., 1985. “Is There an Archaeological Record”, dalam Michael B. Schiffer (ed.), Advances in Archaeological Method and Theory, vol.8, Academic Press, New York, 27-62. Reid, J. Jefferson, 1995, "Four Strategies after Twenty Years: A Return to Basics", dalam James M. Skibo, William H. Walker, dan Axel E. Nielsen (ed), Expanding Archaeology, Salt Lake City: University of Utah Press, hlm. 15-21. Renfrew, Colin dan Paul Bahn, 1991. Archaeology: theories, methods and practice, Thames and Hudson, London. Schiffer, Michael B., 1987. Formation Processes of the Archaeological Record, Albuquerque: University of New Mexico Press. Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore, 1992, Archaeology: discovering our past, second edition, Mayfield Publishing Co., California. Skibo, James M., William H.Walker, dan Axel E. Nielsen (ed), 1995. Expanding Archaeology, Salt Lake City: University of Utah Press. Thomas, David Hurst, 1989. Archaeology, Holt, Rinehart and Winston, Chicago.
17