geoarkeologi.blog.ugm.ac.id, upload 16 Maret 2013
SITUS GUNUNGBANG DALAM PERSPEKTIF TRANSFORMASI1 J. Susetyo Edy Yuwono Jurusan Arkeologi UGM
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Situs Gunungbang terletak di Dukuh Gunungbang, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul, kira-kira 7 km sebelah timurlaut kota Wonosari. Situs ini merupakan salah satu situs penguburan dari tradisi prasejarah di Gunungkidul yang ditandai dengan sebaran peti kubur batu (PKB), terutama di sebelah barat Bukit Gunungbang yang terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk. Kurang lebih 200 m di sebelah utara situs mengalir Sungai Branjang yang merupakan sungai purba, anak Sungai Oyo. Perhatian terhadap Situs Gunungbang pertama kali dirintis oleh Th.A.Th. van der Hoop pada tahun 1934, sebagai tindak lanjut atas laporan J.L. Moens (Haris Sukendar, 1971). Hasil penelitian menyebutkan bahwa Situs Gunungbang merupakan salah satu situs megalitik di Gunungkidul yang banyak mengandung temuan peti kubur batu. Perhatian terhadap hasil budaya megalitik Gunungkidul muncul kembali pada tahun 1968, yakni dengan adanya survei ulang yang dilakukan oleh Haris Sukendar dalam rangka penulisan skripsi sarjananya. Dalam penelitian tersebut dapat ditemukan kembali situs-situs megalitik yang telah dicatat oleh van der Hoop, salah satu di antaranya ialah Situs Gunungbang. Peninggalan megalitik yang ditemukan di situs ini berupa peti kubur batu, menhir, dan lumpang batu (Ibid.) Pada tahun 1983, SPSP DIY mengadakan pemetaan di Situs Sokoliman dan Gunungbang, dan dilanjutkan dengan inventarisasi kepurbakalaan di Kecamatan Karangmojo pada tahun 1985. Dalam kedua laporan tersebut diperoleh gambaran tentang sebaran peti kubur batu di Situs Gunungbang, termasuk tinggalan-tinggalan yang belum pernah disebut sebelumnya oleh para peneliti terdahulu. Salah satu rekomendasi yang dihasilkan dari kegiatan inventarisasi dan pemetaan oleh SPSP DIY, ialah perlunya pengamanan lebih intensif dan penelitian lebih lanjut berupa ekskavasi penyelamatan terhadap Situs Gunungbang (SPSP DIY, 1983 dan 1985). Menindaklanjuti usulan di atas ditambah dengan alasan perlunya penelitian lebih intensif di kawasan Gunungkidul, maka pada tanggal 12-18 Oktober 1998, Jurusan Arkeologi UGM mengadakan ekskavasi di Situs Gunungbang. Dari ekskavasi tersebut dapat diketahui bahwa semua peti kubur batu di Situs Gunungbang sudah dalam keadaan teraduk (disturb) akibat kegiatan non arkeologis berupa penggalian liar. Selain itu, survei terhadap Situs Gunungbang dan situs-situs megalitik di sekitarnya, yaitu Situs Ngawis, Gondang, Sokoliman, dan Bleberan yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta, juga menunjukkan bahwa jumlah peti kubur dan arca menhir yang ada di situs-situs tersebut sudah berkurang. Beberapa bagian dari temuan-temuan yang pernah dilaporkan oleh para peneliti sebelumnya sudah berubah jumlah dan lokasinya. 1
Disampaikan dalam Seminar Sehari Penelitian Terpadu Kawasan Arkeologis (PTKA) Gunungkidul Tahap I: Gunungbang, UGM, 12 Mei 1999.
2
Dengan demikian, proses transformasi data arkeologi, khususnya di Situs Gunungbang, sudah berada pada tingkat yang memprihatinkan. Apabila fenomena seperti ini tidak dipertimbangkan dalam proses analisis, maka inferensi terhadap kehidupan yang didasarkan atas data yang ditemukan akan menghasilkan kesimpulan yang menyimpang (bias). 2. Permasalahan dan Tujuan Penulisan Sebaran peti kubur batu di Situs Gunungbang menunjukkan bahwa di lokasi ini pernah berlangsung sebuah peradaban yang cukup kompleks, terlihat dari berbagai unsur yang terkait dengan data penguburan. Aspek-aspek kehidupan yang kemungkinan dapat tergambar melalui unsur-unsur tersebut meliputi: Aspek religius-konseptual: Antara lain berupa konsep pemilihan ruang untuk penguburan, alasan pemilihan orientasi kubur, alasan pemilihan bekal kubur, dan gambaran perkembangan religi secara umum; Aspek teknologi: Antara lain perkembangan teknologi pembuatan alat-alat yang tampak dari bekal kubur, gambaran teknologi penguburan, dan gambaran teknologi penambangan serta penyiapan batu kubur; Aspek sosial: Antara lain penggambaran kondisi demografis, kemungkinan adanya sistem perlapisan sosial, gambaran kehidupan sosial secara umum, termasuk di dalamnya mata pencaharian masyarakat, terjadinya kontak sosial dengan daerah lain, dan transformasi sosial budaya yang pernah terjadi; Aspek lingkungan: Antara lain kondisi potensi sumberdaya alam setempat dalam mendukung kehidupan komunitas, aspek-aspek adaptasi terhadap lingkungan, dan gambaran tentang perubahan lingkungan yang pernah terjadi. Sebagian besar aspek-aspek di atas merupakan latent aspects dari data arkeologi di Situs Gunungbang. Pengungkapan aspek-aspek tersebut tidak boleh mengabaikan berbagai proses transformasi yang pernah terjadi, sejak data tersebut masih berasosiasi secara fungsional dengan manusia pendukungnya (systemic context) sampai menjadi data arkeologi yang kemudian ditemukan kembali oleh arkeolog (archaeological context) (Schiffer, 1987; Sharer and Ashmore, 1998). Permasalahan yang muncul dari proses perjalanan data tersebut di Gunungbang ialah: Proses transformasi apa saja yang pernah terjadi di Situs Gunungbang? Bagaimana kedudukan penelitian arkeologi (ekskavasi) dalam kerangka transformasi data secara utuh? Kedua permasalahan di atas mengarahkan tulisan ini untuk menghasilkan identifikasi atas berbagai bentuk proses transformasi yang pernah terjadi di Situs Gunungbang berikut bentuk-bentuk bias yang dihasilkannya. Dalam perspektif transformasi, penelitian arkeologi (ekskavasi) juga perlu didudukkan sebagai agen yang berpotensi menghasilkan bias baru pada data arkeologi. situs gunungbang dalam perspektif transformasi_JSE Yuwono 1999
3
B. GAMBARAN UMUM Situs Gunungbang merupakan kompleks kubur peti batu dari tradisi prasejarah yang terletak di sebuah dataran, tepat di sebelah barat Bukit Gunungbang (Periksa peta no.1). Jenis lahan di mana sebaran peti kubur batu tersebut berada dapat dikelompokkan menjadi dua, yang masing-masing memiliki kondisi berbeda. Kedua jenis lahan tersebut dipisahkan oleh sebuah jalan kecil. Jenis lahan pertama berupa lahan kosong yang tidak diusahakan oleh penduduk. Lahan ini terletak di sebelah timur jalan kecil dan ditumbuhi oleh beberapa batang pohon jati serta tumbuhtumbuhan perdu (Periksa foto no.1). Peti kubur batu yang terdapat di lahan ini berjumlah enam buah, satu di antaranya tertutup sebagian oleh talud halaman rumah penduduk dan tepat di bagian tengahnya tumbuh Foto 1 sebatang pohon jati. Pohon jati serupa juga tumbuh di tengah-tengah peti kubur batu lainnya (Periksa foto no. 2). Selain keenam peti kubur batu tersebut, di lahan ini juga ditemukan beberapa bagian peti kubur, terdiri atas fragmen dinding peti kubur dan patok-patok dari batu putih, terutama di tebing barat bukit dalam posisi lepas atau tidak membentuk struktur (Periksa foto no. 3). Temuan serupa juga terdapat di dinding talud halaman bercampur dengan bongkahan-bongkahan batu lepas. Jenis lahan kedua berupa lahan tegalan di sebelah barat jalan kecil, yang setiap saat mengalami pengolahan tanah oleh para petani setempat. Peti kubur batu yang terdapat di lahan jenis ini berjumlah dua buah. Indikasi arkeologis yang tampak di permukaan tanah berupa beberapa struktur peti kubur batu yang sebagian besar sudah rusak, dinding-dindingnya dalam posisi miring, dan tidak lengkap, serta beberapa fragmen dinding batu kubur lepas yang terkonsentrasi di sekitar masing-masing struktur peti kubur. Dari indikasi permukaan ini masih dapat ditentukan jumlah peti kubur yang terdapat di Situs Gunungbang, yaitu delapan buah. Selain bagian dari peti kubur, temuan-temuan artefaktual tidak terdapat di permukaan tanah. Ekskavasi yang dilakukan dengan sistem lot terhadap ke delapan peti kubur di Situs Gunungbang berhasil menemukan beberapa jenis fragmen artefak, meliputi gerabah, keramik asing, manik-manik, logam, tatal batu, fragmen kaca, gelang besi, fragmen logam, dan kancing baju dari plastik. Adapun jenis-jenis ekofak yang ditemukan terdiri atas fragmen tulang manusia, fragmen fosil kayu, arang, gumpalan tanah liat bakar, biji-bijian, gigi manusia, dan gigi binatang. Semua jenis temuan tersebut tersebar di bagian dalam peti kubur, mulai dari kedalaman awal hingga akhir. Dengan kata lain, baik secara horisontal maupun vertikal asosiasi dan provenience dari masing-masing temuan sudah tidak membentuk konteks yang jelas atau sudah teraduk. Frekuensi masing-masing jenis temuan di masing-masing peti kubur sangat bervariasi. Secara umum, jenis temuan yang mendominasi semua peti kubur batu di Situs Gunungbang berupa fragmen gerabah, fragmen tulang manusia, dan manik-manik. Sedangkan jenis-jenis situs gunungbang dalam perspektif transformasi_JSE Yuwono 1999
4
temuan yang lain, baik artefak maupun ekofak, tidak ditemukan merata di setiap peti kubur batu. Dari delapan peti kubur batu yang diekskavasi, peti kubur yang paling lengkap temuannya ialah PKB VIII yang terletak di lahan tegalan. Situs kubur peti batu Gunungbang ternyata tidak memberikan informasi mengenai manusia yang dikuburkan, karena rangka manusia secara utuh tidak ditemukan. Sisa-sisa manusia yang ditemukan hanya berupa beberapa fragmen tulang panjang dan beberapa buah gigi Foto 2 geraham. Fragmen tulang manusia terutama terdapat di PKB I, PKB III, PKB IV, PKB VI, dan PKB VIII. Fragmen-fragmen tulang tersebut sudah tidak membentuk asosiasi satu sama lain, keadaannya pun sudah sangat rapuh dan selalu hancur setiap kali diangkat (Periksa foto no. 4). Sedangkan jumlah temuan gigi manusia paling banyak terdapat di PKB VIII, yaitu 12 buah. Selain temuantemuan di atas, tidak satupun bagian tengkorak yang ditemukan di Situs Gunungbang. Dari delapan peti kubur yang diekskavasi, enam di antaranya sudah menampakkan bagian dasarnya (Periksa foto no. 5). Satu peti kubur batu (PKB IV) belum selesai diekskavasi, sehingga bagian dasarnya belum tampak, sedangkan satu peti kubur yang lain (PKB VII) tidak memberikan informasi mengenai bagian dasar kubur. Bagian peti kubur yang ditemukan di PKB VII ini hanya terdiri atas dua buah batu patok dan satu buah lingga. C. PEMBAHASAN Berdasarkan pandangan kaum Behavioralist, terdapat tiga ranah penelitian arkeologi (three research domains) yang perlu diperhatikan (Reid, 1995). Pertama, menjawab pertanyaan how, yaitu "How did a particular configuration of objects come to be where they are presently observed?". Pertanyaan ini berhubungan dengan proses pembentukan data (formation of the archaeological record); Kedua, menjawab pertanyaan where, what, dan when, yang berhubungan dengan upaya untuk merekonstruksi, mengidentifikasi, dan menggambarkan tingkah laku manusia pada masa lalu; Ketiga, menjawab pertanyaan why, yang berhubungan dengan penjelasan tentang tingkah laku manusia masa lalu. Ranah pertama tidak pernah disebut secara eksplisit dalam tujuan arkeologi. Bahkan dalam rumusan definisi arkeologi pun hanya disebut mengenai description and eksplanation of human behavior. Padahal jawaban atas kedua pertanyaan terakhir sangat tergantung atas bagaimana peneliti mengetahui proses pembentukan data yang dipakai sebagai titik tolak kajiannya. Proses-proses yang mempengaruhi pembentukan data arkeologi beserta akibatakibat yang ditimbulkannya perlu diidentifikasi dan dikenali sebelum kesimpulan tentang tingkah laku manusia dan budaya masa lalu dihasilkan (Ibid.). Tanpa memperhatikan hal-hal di atas, kesimpulan yang dihasilkan oleh para arkeolog akan banyak diwarnai bias, karena pada dasarnya data arkeologi merupakan hasil akumulasi sejumlah besar bias (Schiffer, 1976 dan 1987). Ketika ditemukan pada saat sekarang, data tersebut tidak dapat langsung menginformasikan kepada kita tentang kondisi masa lalu secara menyeluruh. Cara untuk situs gunungbang dalam perspektif transformasi_JSE Yuwono 1999
5
memahaminya adalah dengan mengetahui bagaimana data tersebut terbentuk, mengalami perubahan, sehingga menampakkan ciri-ciri seperti yang kita lihat sekarang (Binford, 1983). Terjadinya bias dalam data arkeologi tidak dapat dihindari, karena kenampakan data arkeologi yang tertangkap mata arkeolog merupakan hasil proses tingkah laku manusia (baik disengaja maupun tidak disengaja) dan proses alam yang masing-masing menghasilkan bentuk-bentuk transformasi data. Oleh karenanya, kesadaran akan adanya bias dan bentuk-bentuk proses transformasi yang menghasilkannya sangat diperlukan sebelum inferensi dilakukan (Yuwono, 1993/1994.).
Foto 3
Daniels mengelompokkan faktor-faktor penyebab bias menjadi tiga, yaitu historical factors, post-depositional factors, dan research factors. Historical factors meliputi semua faktor penyebab yang berasal dari cara hidup pembuat dan pemakai artefak, lingkungan sekitar, serta reaksi mereka terhadapnya. Post-depositional factors mencakup semua sebab yang merubah kedudukan atau posisi data setelah ditinggalkan oleh pemakainya sampai ditemukan kembali oleh arkeolog. Adapun research factors adalah faktor-faktor yang berasal dari peneliti sendiri, mulai tahap retrieval sampai publikasi (Daniels, 1972). Sejalan dengan pengelompokan faktor-faktor di atas, selama ini dikenal adanya dua konteks dalam pandangan transformasi, yaitu systemic context (S) dan archaeological context (A). Systemic context merupakan kumpulan benda yang beroperasi dalam suatu sistem tingkah laku masyarakat yang masih hidup, sedangkan archaeological context merupakan kumpulan benda yang tidak lagi mengambil bagian dalam suatu sistem tingkah laku masyarakatnya (Schiffer, 1976 dan 1987; Sharer and Ashmore, 1979 dan 1992), Batasan yang agak berbeda mengenai kedua konteks di atas diajukan oleh J. Jefferson Reid. Menurutnya, systemic context merupakan sistem tingkah laku di mana objek-objek material menjadi salah satu bagiannya. Konteks ini merupakan sistem sosio-kultural yang masih hidup, yang meninggalkan rekaman dalam bentuk objek-objek material beserta asosiasinya yang diperoleh pada masa sekarang. Systemic context ini mencakup fenomena masa lalu yang berusaha direkonstruksi dan dijelaskan oleh arkeolog. Sedangkan archaeological context merupakan rekaman arkeologis dari masa sekarang, yang mengandung sifat-sifat formal, spasial, kuantitatif, dan relasional dari objek-objek kultural dan non-kultural (Reid, 1995). Objek-objek yang berada dalam archaeological context merupakan hasil hubungan timbal balik antara tingkah laku manusia dan materi (behavioral correlate) dengan tingkah laku budaya dan non budaya (C-Transforms dan N-Transforms) yang membentuk data arkeologi (Skibo, Walker, dan Nielsen, 1995). Hasil ekskavasi di Situs Gunungbang menunjukkan bahwa semua peti kubur batu yang diteliti sudah berada dalam keadaan teraduk. Hal ini terlihat dari kondisi konstruksi peti kubur, kondisi masing-masing temuan, dan kondisi asosiasi antar temuan. Berdasarkan situs gunungbang dalam perspektif transformasi_JSE Yuwono 1999
6
kondisi di atas maka berbagai proses transformasi data yang pernah terjadi berikut bias yang dihasilkannya dapat dijelaskan (Periksa skema no.1). Dalam systemic context para pendukung budaya megalitik Situs Gunungbang (S1), berbagai peralatan yang dibuat dan digunakan sehari-hari, serta faktorfaktor biokultural lainnya merupakan hasil interaksi antara aspek-aspek perilaku (meliputi perilaku teknologis, sosiologis, dan ideologis) dan aspek-aspek lingkungan (meliputi lingkungan geografis, operasional atau fungsional, perseptual, dan Foto 4 perilaku). Faktor-faktor transformasi yang berperan dalam S1 dapat dikelompokkan ke dalam historical factors, salah satu di antaranya berupa dugaan mengenai adanya mutilasi gigi, terutama pada gigi seri, serta indikasi mengenai kebiasaan makan sirih. Apabila dugaan tersebut benar maka fenomena mutilasi gigi dan makan sirih ini merupakan akar tradisi yang masih dilakukan sampai sekarang (Wibawa, 1995). Dalam kaitannya dengan peralatan sehari-hari, salah satu kegiatan dalam konteks S1 berhubungan dengan proses buat. Artefak-artefak bekal kubur di Situs Gunungbang belum tentu dibuat oleh masyarakat Gunungbang sendiri, karena indikasi mengenai hal tersebut, misalnya pembuatan alat-alat logam dan manik-manik belum ditemukan. Informasi yang diharapkan mengenai teknologi pembuatan alat-alat tersebut tentunya harus diperoleh dari situs hunian, lebih khusus lagi situs bengkel dan bukan dari situs penguburan. Tidak semua materi yang berperan dalam kehidupan masyarakat Gunungbang terdeposit dalam konteks kubur. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan situs penguburan dalam memberikan informasi selengkapnya mengenai historical factors dari suatu masyarakat. Bahkan gambaran yang berhubungan dengan perilaku penguburan itu sendiri sulit diperoleh. Salah satu kasus menarik yang muncul dari Situs Gunungbang ialah ditemukannya bekal kubur berupa asosiasi sejumlah gigi lembu di bawah lantai dasar PKB VIII (Periksa foto no. 6). Temuan serupa juga terdapat di beberapa peti kubur lainnya, meskipun jumlahnya tidak sebanyak di PKB VIII, lokasinya pun tersebar di dalam peti bercampur dengan sisa-sisa bekal kubur lainnya. Sisa-sisa bekal kubur yang ditemukan antara lain berupa benda-benda perlengkapan hidup sehari-hari (peralatan dari besi dan gerabah), benda-benda perhiasan (manik-manik kaca, manik-manik terakota, dan gelang besi), serta ekofak (salah satu di antaranya berupa gigi babi). Tidak jelas apakah semua gigi lembu yang ditemukan di bawah lantai peti kubur tersebut berasal dari satu individu atau lebih. Namun menurut penulis, gigi-gigi tersebut bukan berasal dari lembu yang sengaja dikurbankan pada saat upacara penguburan dilakukan, tetapi dikumpulkan dari temuan-temuan lepas. Apabila asumsi ini benar, maka para pelaku penguburan di Situs Gunungbang sudah melakukan aktivitas reklamasi untuk keperluan pengadaan bekal kubur. Kemungkinan lain ialah disimpannya gigi-gigi lembu yang tanggal/lepas selama masa hidupnya, yang kemudian dimanfaatkan sebagai bekal kubur. Kemungkinan mana yang benar sulit untuk diketahui, tetapi situs gunungbang dalam perspektif transformasi_JSE Yuwono 1999
7
keberadaannya di dalam konteks kubur menunjukkan bahwa lembu sudah dianggap penting dalam kerangka kognitif mereka. Setelah mengalami proses pemakaian, benda-benda keperluan hidup sehari-hari yang sudah tidak digunakan lagi akhirnya masuk ke archaeological context (A1). Transformasi dari systemic context ke archaeological context ini sering dikenal dengan deposisi budaya (cultural deposition). Menurut Mundardjito, deposisi budaya dapat dikelompokkan menjadi dua golongan: Pertama, proses biasa atau normal yang terdiri atas proses buang (discard), penguburan (disposal of the dead), dan hilang (loss); Kedua, proses ditinggalkan (abandonment) (Mundardjito, 1982). Menurut penulis, pengelompokan di atas tidak tepat karena di antara keempat jenis proses tersebut, penguburan (disposal of the dead) merupakan proses deposisi budaya yang paling unik, berbeda dari ketiga bentuk proses yang lain. Proses discard, abandonment, dan loss, jelas mentransformasikan objek-objek material ke dalam archaeological context. Sedangkan dalam kasus Foto 5 penguburan, semua materi yang dikuburkan tidak sepenuhnya berada dalam archaeological context, karena kubur (terlebih lagi lokasi kompleks penguburan) merupakan hasil perilaku idioteknik yang senantiasa mempengaruhi perilaku dan sifat masyarakat. Bahkan seringkali menjadi orientasi persepsual (spiritual) dan perilaku bagi masyarakat pendukungnya, terutama keluarga si mati. Oleh karena itu, objek-objek yang secara sengaja dimasukkan ke dalam kubur pada dasarnya masih berada dalam systemic context, sampai kubur (dan kompleks penguburan) tersebut tidak berperan lagi dalam sistem budaya masyarakatnya. Lebih jelas lagi, sampai aktivitas religi yang berhubungan dengan kompleks penguburan tersebut terhenti, sehingga semua kubur berubah menjadi dead monument. Kapan perubahan tersebut terjadi di Gunungbang sulit diketahui dengan pasti. Meskipun objek-objek yang dijadikan bekal kubur (misalnya artefak) mengalami perubahan fungsi dari teknomik ke idioteknik, namun objek-objek tersebut pada dasarnya masih memiliki nilai analisis yang tinggi untuk mengungkapkan ”remnant use-life value" yang terkandung di dalamnya. Jadi bekal kubur tidak sepenuhnya merupakan objek-objek yang sudah berada di luar konteks pemakaian…... "ritual objects are as utilitarian as any others". Pengungkapan atas perubahan kedudukan dari benda-benda yang digunakan sehari-hari (utilitarian items) menjadi ritual objects ("nonutilitarian items") perlu lebih memperhatikan aspek kepercayaan daripada aspek tingkah laku semata, yaitu melalui analisis simbol (Walker, 1995). Berdasarkan kondisi peti kubur batu dan konteks temuannya dapat disimpulkan bahwa semua peti kubur batu di Situs Gunungbang sudah dalam keadaan teraduk. Unsur-unsur yang diperhatikan dalam analisis kontekstual ini berupa matriks, provenience, dan asosiasi (Sharer and Ashmore, 1992). Dari ketiga unsur tersebut, gambaran teraduknya kubur situs gunungbang dalam perspektif transformasi_JSE Yuwono 1999
8
terutama diperoleh dari provenience dan asosiasi antar temuan. Secara keruangan, semua temuan di setiap peti kubur batu (termasuk temuan gigi dan fragmen tulang manusia), tersebar merata baik secara vertikal maupun horisontal, tanpa membentuk asosiasi yang jelas. Bahkan di antara beberapa temuan tersebut terdapat unsur baru berupa kancing baju dari bahan plastik yang ditemukan di PKB VIII. Ditemukannya unsur baru dalam suatu konteks arkeologi menggambarkan adanya proses yang menyebabkan terjadinya kedekatan spasial antara unsur tambahan tersebut dengan konteks aslinya. Hal ini tentu saja memberikan implikasi terhadap proses inferensi yang nantinya dihasilkan. Dalam upaya mencapai penafsiran yang representatif tentang kehidupan masa lalu maka Foto 6 faktor-faktor yang menyebabkan variabilitas data harus diperhatikan. Faktor-faktor tersebut di antaranya mencakup sistem budaya (misal potensi pemanfaatan lahan dan perilaku manusia yang pernah berlangsung di lokasi tersebut) serta faktor-faktor dari data itu sendiri (misal penemuan kembali secara selektif oleh peneliti) (Patrik, 1985). Uraian di atas menunjukkan bahwa indentifikasi proses transformasi yang pernah berlangsung di suatu situs sangat didasari atas pemahaman konteks temuan. Melalui pemahaman tersebut arti masing-masing objek beserta asosiasinya dapat diprediksikan. Menurut Hodder, arti simbolik suatu artefak tidak sepenuhnya bersifat arbitrer, sebab mereka dikelilingi oleh konteksnya. Konteks merupakan totalitas dari lingkungan yang relevan. "The totality of the relevant dimensions of variation around any one object can be identified as the context of that object". Terdapat hubungan dialektik yang dinamis antara sebuah objek dengan konteksnya. Dengan memasukkan sebuah objek ke dalam sebuah konteks, arti konteks tersebut dengan sendirinya berubah. Dengan demikian, konteks dapat memperoleh arti dari -- dan memberikan arti kepada --sebuah objek (Hodder, 1991 dan 1995). Fenomena data arkeologi di Situs Gunungbang ditambah informasi dari masyarakat di sekitar situs dapat menunjukkan adanya upaya looting oleh para pencari benda-benda berharga dari situs kubur. Pada saat peristiwa tersebut terjadi, semua peti kubur batu di Situs Gunungbang jelas sudah berada pada archaeological context (A1). Tindakan para looters tersebut menghasilkan dua fenomena, yaitu reklamasi
situs gunungbang dalam perspektif transformasi_JSE Yuwono 1999
9
Skema 1:
Keterangan: A= Archaeological Context S= Systemic Context
= bersifat tegas = bersifat hipotetik
dan deposisi budaya. Fenomena reklamasi berupa pengambilan deposit-deposit kubur dari A1 untuk dimanfaatkan dalam systemic context mereka (S2). Akibat terjadinya reklamasi ini berupa hilangnya benda-benda berharga yang semula digunakan sebagai bekal kubur. Deposisi budaya yang dilakukan oleh para looters berupa tindakan membuang (discard) dan meninggalkan (abandonment) kembali sisa-sisa objek yang tidak mereka perlukan. Selain itu juga terjadi peristiwa loss berupa masuknya benda-benda milik mereka yang akhirnya bercampur dengan deposit kubur. Contoh sederhana dari kasus ini ditunjukkan melalui temuan kancing baju di PKB VIII. Terjadinya fenomena looting di atas akhirnya merubah kondisi A1 menjadi A2.
situs gunungbang dalam perspektif transformasi_JSE Yuwono 1999
10
Bentuk C-Transforms yang lain berupa aktivitas pengolahan tanah oleh para petani, terutama terhadap peti kubur batu yang berada di lokasi tegalan. Namun demikian, hampir dapat dipastikan bahwa aktivitas tersebut tidak banyak merusak konteks temuan secara keseluruhan karena adanya semacam "ketakutan" dari mereka untuk mengusik Foto 7 tinggalan-tinggalan arkeologi yang ada. Hal ini dibuktikan dengan paling tingginya variabilitas temuan di PKB VIII yang terletak di lahan tegalan. Satusatunya bentuk kerusakan yang ditimbulkan oleh masyarakat di sekitar situs adalah pemanfaaan fragmen-fragmen batu kubur yang sudah terlepas dari strukturnya akibat tindakan para looters. Kasus ini dapat dilihat pada beberapa talud halaman yang sebagian batunya berasal dari struktur kubur (Periksa foto no. 7). Alasan lain mengenai kecilnya dampak transformasi oleh para petani terhadap tinggalan kubur di Gunungbang, ialah adanya usaha mereka untuk mengumpulkan beberapa fragmen dinding kubur yang sudah berantakan ke lokasi aslinya (Periksa foto no. 8). Selain akibat agen perubah berupa C-Transform, kerusakan data di Gunungbang juga dipengaruhi oleh N-Transform. Contoh nyata mengenai hal ini berupa tumbuhnya pohon jati di tengah-tengah beberapa peti kubur.2 Pertumbuhan akar pohon tersebut akhirnya mengakibatkan rusaknya beberapa struktur dinding kubur dan membatasi ruang gerak ekskavasi, sehingga ada tiga peti kubur batu yang tidak dapat diekskavasi secara utuh (PKB II, PKB IV,dan PKB V). Pertumbuhan akar pohon juga berpengaruh terhadap kerusakan konteks temuan di dalam peti kubur, sehingga mengasilkan archaeological context berikutnya akibat faktor alam (A3). Proses transformasi yang dijelaskan di atas, terutama perubahan-perubahan yang terjadi sejak dari A1 A3, dipengaruhi oleh post-depositional factors yang terdiri atas CTransforms dan N-Transforms. Proses ini menghasilkan beragam bias yang akhirnya dihadapi oleh para peneliti. Data yang ditemukan oleh peneliti dengan sendirinya sudah mengalami perubahan, baik secara formal, spasial, relasional, dan kuantitatif/frekuensi. Perubahan formal berupa kerusakan struktur kubur dan perubahan bentuk deposit kubur menjadi fragmen-fragmen; perubahan spasial berupa transformasi keruangan dari masingmasing objek, baik secara vertikal maupun horisontal; Perubahan relasional berupa kerusakan asosiasi antar masing-masing data kubur, termasuk hadirnya unsur baru yang dapat merubah arti konteks secara keseluruhan; sedangkan perubahan kuantitatif/frekuensi berupa penambahan dan pengurangan jumlah temuan. Aktivitas reklamasi oleh para looters jelas menghasilkan reduksi jumlah dan kualitas data, di samping menghasilkan penambahan jumlah fragmen akibat pecahnya beberapa jenis bekal kubur. 2
Hasil survei dan pemetaan oleh SPSP DIY pada tahun 1983 menunjukkan bahwa belum ada peti kubur batu yang ditumbuhi pohon jati. situs gunungbang dalam perspektif transformasi_JSE Yuwono 1999
11
Dari perspektif transformasi, kegiatan ekskavasi dapat menghasilkan dua fenomena sebagaimana dihasilkan oleh para looters. Pertama, reklamasi data arkeologi untuk kepentingan masyarakat sekarang (S3), baik untuk kepentingan pengembangan ilmu maupun kepentingan praktis; kedua, terbentuknya archaeological context berikutnya (A4) sebagai sisa-sisa aktivitas ekskavasi. Tahap inferensi untuk memperoleh gambaran kehidupan pendukung Situs Gunungbang pada masa lalu, khususnya yang berhubungan dengan sistem penguburan, pada dasarnya merupakan upaya "kilas balik" dari S3 S1, yang dengan sendirinya harus mempertimbangkan berbagai tahap transformasi yang pernah terjadi berikut tingkat-tingkat bias yang dihasilkannya. Selain kedua konteks transformasi di atas, yaitu systemic context dan archaeological context, ternyata masih ada satu tahapan yang juga berpotensi sebagai sumber bias dan harus didudukkan sebagai satu tahapan transformasi tersendiri, yaitu retrieval context berupa pengumpulan data oleh para peneliti (research factors). Pada kasus Gunungbang, Retrieval context terhadap data arkeologi yang sudah dipenuhi bias (A3) Foto 8 merupakan awal munculnya dua macam konteks yang terjadi sesudahnya, yaitu systemic context para peneliti (S3) dan archaeological context sisa ekskavasi (A4). D. RENUNGAN Bagi seorang arkeolog, data yang dikaji merupakan "unfamiliar materials" dari sebuah distorsi realitas masa lalu dan masa-masa sesudahnya. Akibatnya, kebenaran mutlak tentang realitas yang terkandung di dalamnya tidak mungkin dapat diperoleh. Sifat "unfamiliar" tersebut menyebabkan sulitnya menentukan data mana yang bermanfaat bagi proses penyimpulan dan mana yang tidak (Kelley dan Hanen, 1990; Richards, 1995). Kesalahan penentuan dan penanganan atas data tersebut akhirnya akan bermuara pada akumulasi bias. Dalam kasus Gunungbang, bentuk-bentuk transformasi yang pernah terjadi paling sedikit menghasilkan tiga tingkatan bias (Periksa skema no. 2), yang secara umum terjadi dalam systemic context, archaeological context, dan retrieval context. Untuk mengungkapkan latar belakang kehidupan masyarakat pendukungnya, karenanya harus memperhatikan dua hal, yaitu meningkatkan kesadaran dan kepekaan akan berbagai proses transformasi yang pernah terjadi beserta bentuk bias yang dihasilkannya, dan meminimalkan bias akibat research factors pada retrieval context.
situs gunungbang dalam perspektif transformasi_JSE Yuwono 1999
12
Skema 2: TINGKAT BIAS DATA ARKEOLOGI DI SITUS GUNUNGBANG a)
BIAS tk. 1
Tidak semua pola tingkah laku masyarakat pendukung Situs Gunungbang menghasilkan budaya materi b) Di antara budaya materi yang terbentuk tidak semuanya masuk ke Archaeological Context c) Di antara semua budaya materi yang masuk ke Archaeological context tidak semuanya berada dalam konteks kubur
a)
BIAS tk. 2
Di antara budaya materi yang masuk ke konteks kubur tidak semuanya terawetkan b) Di antara budaya materi yang terawetkan tidak semuanya masih memiliki konteks yang jelas
PostDepositional Factors dalam Archaeological Context
a)
BIAS tk. 3
Di antara budaya materi yang terawetkan tidak semuanya dapat diselamatkan b) Di antara data yang terselamatkan tidak semuanya mampu diungkapkan oleh arkeolog c) Di antara pola-pola budaya materi yang ada tidak semuanya dapat ditangani dan diidentifikasi dengan tepat
Historical Factors dalam Systemic Context
Research Factors dalam Retrieval Context
Modifikasi dari: Michael B. Collins, 1979
E. DAFTAR PUSTAKA Binford, Lewis R., 1983. In Pursuit of the Past: Decoding the Archaeological Record, New York: Thames and Hudson. Collins, Michael B., 1979. "Sources of Bias in Processual Data: An Appraisal", dalam James W. Mueller (ed), Sampling in Archaeology, Arizona: The University of Arizona Press, hlm. 26-32. Daniels, S.G.H., 1972. "Research Design Models", dalam David L. Clarke (ed), Models in Archaeology, London: Methuen and Co. Ltd., hlm. 201-229. situs gunungbang dalam perspektif transformasi_JSE Yuwono 1999
13
Hodder, Ian, 1991, Reading the Past: Current Approaches to Interpretation in Archaeology, second edition, Cambridge: Cambridge University Press. ---------------, 1995. Theory and Practice in Archaeology, London: Routledge. Kelley, Jane H. dan Marsha P. Hanen, 1990. Archaeology and the Methodology of Science, Albuquerque: University of New Mexico Press. Mundardjito, 1982. "Pandangan Tafonomi Dalam Arkeologi: Penilaian Kembali atas Teori dan Metode", dalam PIA II, Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala, hlm. 497-509. Patrik, Linda E, 1985. "Is There an Archaeological Record", dalam Michael B. Schiffer (ed), Advances in Archaeological Method and Theory, vol.8. New York: Academic Press, hlm. 27-62. Reid, J. Jefferson, 1995, "Four Strategies after Twenty Years: A Return to Basics", dalam James M. Skibo, William H. Walker, dan Axel E. Nielsen (ed), Expanding Archaeology, Salt Lake City: University of Utah Press, hlm. 15-21. Richards, Colin, 1995. "Knowing about the Past", dalam Ian Hodder et.al (ed), Interpreting Archaeology: Finding Meaning in the Past, New York: Roudlegde, hlm. 216-219. Schiffer, Michael B., 1976. Behavioral Archaeology, New York: Academic Press. ---------------, 1987. Formation Processes of the Archaeological Record, Albuquerque: University of New Mexico Press. Skibo, James M., William H.Walker, dan Axel E. Nielsen (ed), 1995. Expanding Archaeology, Salt Lake City: University of Utah Press. Sharer, Robert J., and Wendy Ashmore, 1979. Fundamentals of Archaeology, California: The Benjamin/Cummings Publishing Company Inc. ---------------, 1992. Archaeology: Discovering Our Past, second edition, California: Mayfield Publishing Company. Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY, 1983. Laporan Pemetaan Situs Kepurbakalaan di Desa Sokoliman dan Gunungbang, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta: SPSP DIY. ---------------, 1985. Laporan Inventarisasi Kepurbakalaan di Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta: SPSP DIY. Sukendar, Haris, 1971. "Penjelidikan Megalithik di Daerah Wonosari (Gunungkidul)", Skripsi, Yogyakarta: Fak. Sastra UGM. Yuwono, J. Susetyo Edy, 1993/1994, "Transformasi Batuan Candi Pacitan (Sebuah Kajian Tafonomi)", Laporan Penelitian, Yogyakarta: Fak. Sastra UGM. Walker, William H., 1995. "Ceremonial Trash?", dalam James M. Skibo, William H. Walker, dan Axel E. Nielsen (ed), Expanding Archaeology, Salt Lake City: University of Utah Press, hlm. 67-79. Wibawa, Nur Riyadi, 1995, "Unsur Religius dalam Tradisi Repam Gigi di Daerah Istimewa Yogyakarta", Skripsi, Yogyakarta: Fak. Sastra UGM.
situs gunungbang dalam perspektif transformasi_JSE Yuwono 1999