TRANSFORMASI PENELITIAN KE DALAM INOVASI © Penerbit Dewan Riset Nasional Sekretariat Gedung I BPP Teknologi Lantai 2 Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta 10340 Penyusun: Sonny Yuliar Diterbitkan oleh Penerbit Dewan Riset Nasional Jakarta, 2011 www.drn.go.id
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN No.
i
KATA PENGANTAR KETUA DEWAN RISET NASIONAL (DRN) Pertama-tama perkenankan kami memanjatkan Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya buku “Transformasi Penelitian ke dalam Inovasi” ini. Sejak tahun 2002, Indonesia telah memiliki UU No 18 tahun 2002 mengenai Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek (Sisnas P3 Iptek), dimana terminologi serta kebijakan perencanaan umum pembangunan nasional iptek nasional tercantum dalam undang-undang ini. Penyelenggaraan kegiatan kajian yang diinisiasi oleh Dewan Riset Nasional (DRN) dan menjadi dasar pembuatan buku ini merupakan salah satu upaya yang terkait dengan implementasi salah satu misi iptek 2025 dalam mewujudkan sistem inovasi nasional yang tangguh guna meningkatkan daya saing bangsa di era global. Dalam rangka peningkatan daya saing, dibutuhkan adanya penguatan sistem inovasi, dimana koordinasi dan kemitraan merupakan faktor yang krusial dari sistem inovasi. Sehubungan dengan itu, penerbitan buku “Transformasi Penelitian ke dalam Inovasi” ini diharapkan dapat mengidentifikasi masalah nasional yang dihadapi dan memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak yang terkait mengenai rumusan konsep penguatan sistem inovasi dan pengembangan koordinasi serta kemitraan iptek yang perlu dikeluarkan oleh pemerintah. Penerbitan buku ini dapat terwujud setelah melalui kajian dan diskusi secara intensif, berulang, serta didukung oleh kerjasama dari berbagai pihak. Atas jerih payah yang telah dilakukan, kami mengucapkan terima kasih. Kami berharap buku ini dapat bermanfaat sebagai referensi strategi dan implementasi bermitra bagi semua pihak yang terkait dengan iptek, khususnya dalam penguatan Sistem Inovasi Nasional Indonesia yang berkelanjutan. Jakarta, Oktober 2011 Ketua Dewan Riset Nasional Prof. Dr. Andrianto Handojo
KATA PENGANTAR PENYUSUN ‘Inovasi’ bukan istilah yang baru. Tetapi dalam satu dekade belakangan ini istilah tersebut tampaknya mengalami pembaruan makna. Inovasi sering menjadi tema pembahasan dalam pertemuan-pertemuan multipihak yang melibatkan para pelaku usaha, pembuat kebijakan, akademisi dan praktisi. Bagi pihak tertentu, inovasi dimaknai sebagai cara-cara baru dalam melakukan bisnis yang menjawab harapan para pelanggan, di tengah persaingan usaha yang makin ketat. Bagi pihak yang lain, inovasi dikaitkan dengan eksplorasi hasilhasil penelitian untuk tujuan komersial ataupun tujuan sosial. Bagi pihak yang lain lagi, inovasi dikaitkan dengan sasaran-sasaran kebijakan makro-ekonomik dan program peningkatan daya saing industrial. Meski digunakan dengan pemaknaan yang bervariasi, inovasi telah membuka ruang dialog yang mempertemukan pihak-pihak, yang secara tradisional bekerja dalam ‘dunia-dunia’ yang terpisah. Inovasi membuka ruang bagi pembicaraan mengenai harapan-harapan yang baru, mengenai peluangpeluang yang baru, dan mengenai hasil-hasil yang lebih baik. Bagi bangsa Indonesia, para pelaku usaha, para pembuat kebijakan dan para akademisi/peneliti merupakan komponen-komponen bangsa yang disatukan oleh kebangsaan Indonesia. Tetapi, profesionalitas yang dipegang oleh masingmasing komponen bangsa tersebut tidak jarang menimbulkan ‘dunia-dunia’ yang relatif terpisah satu dari yang lain. Modernisme memang menekankan spesialisasi dan pembedaan peranan. Tetapi pembicaraan-pembicaraan mengenai inovasi menyarankan bahwa spesialisasi dan pembedaan peranan tidak harus disertai dengan keterpisahan. Interaksi antara lembaga-lembaga atau pelaku-pelaku dengan peranan-peranan yang berbeda merupakan sumber pembelajaran yang penting untuk mencapai hasil-hasil yang lebih baik. Buku ini tidak membahas inovasi dalam konteks persaingan perusahaanperusahaan ataupun dalam konteks kebijakan makro-ekonomik. Pembahasan dalam buku ini berfokus pada interaksi antara ‘dunia di dalam laboratorium’ dan ‘dunia di luar laboratorium’ atau, dengan perkataan lain, antara penelitian iptek di ‘hulu’ dan pemanfaatan iptek di ‘hilir’. Fokus bahasan tersebut bersesuaian dengan aspek-aspek tertentu dari ‘sistem inovasi nasional’ dan ‘relasi triple-helix’; topik-topik yang kini menjadi sentral dalam literatur di bidang innovation studies. Hasil yang disajikan dalam buku ini merupakan sebuah konrtibusi untuk literatur tersebut.
Melalui bahan yang disajikan dalam buku ini penulis ingin menyampaikan pesan bahwa para akademisi dan peneliti di Indonesia sanggup berkontribusi bagi kemajuan bangsa, lebih dari apa-apa yang sudah dicapai saat ini. Hanya saja, untuk menghasilkan kontribusi yang lebih signifikan diperlukan adanya interaksi yang lebih erat antara ‘dunia di dalam laboratorium’ dan ‘dunia di luar laboratorium’. Bila apa-apa yang sudah dicapai oleh para akademisi/peneliti dianggap, oleh sebagian pihak, belum cukup berarti, ini bukan sebuah alasan untuk menyatakan bahwa penelitian itu tidak atau kurang penting. Tidak ada bangsa maju mana pun, di Barat maupun di Timur, yang berhasil meraih kemajuannya tanpa didukung oleh kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya, bangsa-bangsa yang tidak sungguh-sungguh mengupayakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan terperbelenggu oleh kebodohan dan ketakberdayaan, yang dapat berujung pada frustasi sosial, praktik korupsi yang meluas dan konflik horizontal. Sejumlah bangsa-bangsa terbelakang kini mengalami situasi seperti itu. Penulis sampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang mendalam kepada seluruh akademisi/peneliti yang bersedia berpartisipasi dalam wawancara dan diskusi yang penulis selenggarakan untuk memperoleh data guna penulisan buku ini. Penulis sampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada segenap anggota Dewan Riset Nasional (DRN), khususnya kepada Ketua DRN—Prof. Dr. Andrianto Handoyo, dan Sekretasis DRN—Dr. Tusy A. Adibroto, yang memberikan kepercayaan dan amanat pada penulis untuk menyusun buku ini, serta Dr. Derry Pantjadarma yang senantiasa memberi dukungan moral bagi penulis untuk menyelesaikan naskah buku ini. Dukungan dari Sekretariat DRN, khususnya Pak Hartaya, juga amat berarti bagi penulis. Yang terakhir, penulis sampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas pengertian dan dukungan moral yang tulus dari keluarga penulis: Resa Ristanti, Muhammad Fadhlullah dan Erza Afiya Azka. Bandung, Oktober 2011 Ir. Sonny Yuliar, Ph.D Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB)
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR KETUA DEWAN RISET NASIONAL KATA PENGANTAR PENYUSUN DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL
i ii iv viii xi
BAB 1
PENDAHULUAN 1.1 Litbang Iptek dalam Polemik 1.2 Litbang Iptek dan Kapabilitas Bangsa 1.2.1 Gagasan Sistem Inovasi 1.3 Konteks Pembangunan Indonesia 1.4 Fokus dan Metodologi Bahasan 1.5 Sistematika Bahasan
1 1 3 5 6 9 15
BAB 2
PERMASALAHAN TEORETIKAL 2.1 Pendahuluan 2.2 Permasalahan dari Model Linier 2.2.1 Konteks Komersial 2.2.2 Konteks Sosial 2.3 Permasalahan Filosofikal 2.3.1 Metode Ilmiah untuk ’Hard Sciences’ 2.3.2 Metode Ilmiah untuk ’Soft Sciences’ 2.3.3 Reduksionisme (Materialistik) 2.4 Desakan untuk Rekonsiliasi 2.5 Formulasi Sistem Inovasi 2.5.1 Interaksi Triple-Helix 2.5.2 Penelitian Moda-2 2.5.3 Inovasi dalam Perusahaan 2.6 Evolusi Perguruan Tinggi 2.7 Rangkuman
17 17 18 21 22 25 25 27 29 32 34 36 38 39 40 43
BAB 3
JEJARING RELASI AKADEMISI
45
3.1 3.2 3.3 3.4
Pendahuluan Tarik-Menarik antara ‘Hulu’ dan ‘Hilir’ Pertentangan Nilai antara ‘Hulu’ dan ‘Hilir’ Negosiasi yang Kompleks di ‘Laboratorium Masyarakat’ Diskusi 3.5.1 Rangkuman Isu-Isu 3.5.2 Variasi-Seleksi dan Jejaring Relasi
45 47 58 70
RUANG VARIASI-SELEKSI DI LEMBAGA PUBLIK/SWASTA 4.1 Pendahuluan 4.2 Ruang Variasi-Seleksi di Balitbang 4.3 Ruang Variasi-Seleksi di Lembaga NonKementerian 4.4 Ruang Variasi-Seleksi di Perusahaan Swasta 4.5 Diskusi 4.5.1 Permasalahan Struktural di Balitbang 4.5.2 Posisi Penelitian LPNK 4.5.3 Peranan Pelaku Swasta
89
3.5
BAB 4
BAB 5
EKSPERIMEN DI ‘LABORATORIUM MASYARAKAT’ 5.1 Pendahuluan 5.2 Kontroversi Fakta Ilmiah dalam Sengketa Hukum 5.2.1 Fakta UGBO 5.2.2 Fakta MV-earthquake 5.2.3 Fakta MV-drilling 5.2.4 Implikasi Konflik Sosial dalam Difusi Iptek 5.3 Difusi TIK untuk Mengatasi Digital Divide 5.3.1 Digital Learning di Desa Cinta Mekar 5.3.1.1 Pengembangan Relasi 5.3.1.2 Penyesuaian-Penyesuaian 5.3.2 Radio-Internet Community di Desa Limbangan 5.3.2.1 Inisiasi Gagasan 5.3.2.2 Penyebarluasan Gagasan 5.3.3 Kampung Digital di Sampali 5.3.3.1 Tahap Inisiasi
80 80 84
89 91 112 127 134 134 138 141 143 143 144 146 149 152 156 161 163 165 166 167 168 170 171 172
5.4
5.3.3.2 Perluasan Relasi-Relasi 5.3.3.3 Keberlanjutan 5.3.4 Karakteristik Difusi TIK 5.3.4.1 Ketersediaan Pilihan dan Negosiasi Kebutuhan 5.3.4.2 Keselarasan Jejaring Teknikal dan Jejaring Sosial Diskusi
174 176 177 177 179 182
BAB 6
MODEL JEJARING INOVASI 6.1 Pendahuluan 6.2 Variasi-Seleksi melalui Jejaring 6.2.1 Kelembaman Jejaring 6.2.2 Irreversibility Lintasan Penelitian 6.3 Konstruksi Ruang Pembelajaran dalam Difusi Iptek 6.3.1 Sebuah Isu Etika 6.4 Prinsip-Prinsip Teoretikal 6.5 Kontribusi pada Literatur 6.6 Situasi ‘Anomali’
187 187 188 193 194 195 200 202 207 210
BAB 7
IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1 Pendahuluan 7.2 Posisi Struktural Kebijakan Iptek 7.3 Kompleksitas Masalah Publik 7.4 Objektif dari Kebijakan Iptek 7.5 Transformasi Jejaring sebagai Objektif Kebijakan 7.6 Program Iptek untuk Transformasi Jejaring 7.6.1 Program Iptek Dasar/Fundamental 7.6.2 Program Iptek Terapan 7.6.3 Program Peningkatan Kapasitas 7.6.4 Program Percepatan Difusi 7.6.5 Kegiatan, Output dan Outcome Program 7.6.6 Keterkaitan Sektor Iptek dan Sektor Non-Iptek 7.7 KNRT sebagai Mediator 7.7.1 Posisi Lemlit Non-Kementerian
213 213 214 217 218 220 221 224 226 227 228 229 231 233 238
7.7.2 Taman Inovasi sebagai Simpul Jejaring BAB 8
245
EPILOG: REPUBLIK IPTEK
249
DAFTAR PUSTAKA DOKUMEN LEGAL ACUAN INDEKS
257 265 267
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1
Analisis Data melalui Spiral Tingkatan Abstraksi
13
Gambar 1.2
Sistematika Bahasan
16
Gambar 2.1
Pemanfaatan Iptek dalam Logika/Model Linier
19
Gambar 2.2
Timbulnya Efek dari Pemanfaatan Iptek dalam
24
Asumsi Netralitas Iptek Gambar 2.3a
Fundamentalitas Realitas dalam Paham
30
Reduksionisme Materialistik Gambar 2.3b
Fenomena Emergence sebagai Counter-Example atas
30
Reduksionisme Materialistik Gambar 2.4
Struktur Pokok Sistem Inovasi yang Diperluas
38
(Sumber: Cozzen dan Catalán, 2008) Gambar 2.5
39
Gambar 3.1
Faktor Peningkatan Kapasitas Produksi: (Kiri) Perspektif Ekonomika Neo-Klasik; (Kanan) Perspektif Ekonomika Evolusioner (Sumber: Allbu, 1997) Ilustrasi tentang Variasi-Seleksi Kognitif
Gambar 3.2
Ilustrasi tentang Jejaring-Jejaring Relasi Akademisi
87
Gambar 4.1a
Ruang Variasi-Seleksi yang Terbatas
138
Gambar 4.1b
Perluasan Ruang Variasi-Seleksi di Balitbang
138
Gambar 5.1
Perkembangan Relasi-Relasi: (Atas) Relasi-Relasi di
158
86
Fase Awal; (Bawah) Terbentuknya Relasi Peneliti dan Non-Peneliti Gambar 5.2
Sebuah Cara terbentuknya Kesesuaian antara Klaim
160
Ilmiah dan Kepentingan Sosial Gambar 5.3
183
Gambar 6.1
Ilustrasi tentang Logika Linier dalam Gagasan Difusi Iptek Respresentasi Graf dari Jejaring Penelitian
Gambar 6.2
Respresentasi Graf dari Jejaring-Jejaring Penelitian
191
191
dalam Kasus Semburan Lumpur Panas Gambar 6.3
Representasi Graf dari Ruang Pembelajaran dalam Kasus Difusi TIK: (Atas) Pilihan Iptek dan Pelaku
199
Adopsi Terbatas; (Tengah) Pilihan Iptek Terbatas, Beberapa Pelaku Adopsi Terlibat; (Bawah) Terdapat Variasi dalam Pilihan Iptek, Beberapa Pelaku Adopsi, dan Relasi-Relasi yang Padat Gambar 6.4a
Kemungkinan 1: Keterpisahan Jejaring Penelitian dan
206
Jejaring Non-Penelitian—Situasi Anti-Inovasi Gambar 6.4b
Kemungkinan 2: Keterleburan Peneliti dalam Jejaring
206
Non-Penelitian—Situasi Kontra-Litbang Iptek Gambar 6.4c
Perluasan Timbal-Balik (mutual extension) antara
207
Jejaring Penelitian dan Jejaring Non-Penelitian melalui Mediator-Mediator—Situasi Pro-Inovasi Gambar 6.5
Berbagai Arah Transformasi Pengetahuan dalam
210
Inovasi Gambar 7.1
Posisi Struktural Kebijakan Iptek dalam Sektor Publik
216
Gambar 7.2
Keterpautan Pertanyaan/Isu antara Program-
224
Program Iptek dalam Perspektif Model Jejaring Inovasi Gambar 7.3
Program-Program Iptek sebagai Instrumen untuk
233
Membangun Keterpautan Antarsektoral Gambar 7.4
KNRT dan Lemlit Non-Kementerian sebagai Mediator Interaksi Antarpihak untuk Mengintegrasikan Iptek dan Pembangunan Bangsa
246
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1
Kuadran Pasteur (sumber: Stokes, 1997)
Tabel 5.1
Perbedaan Variasi-Seleksi antara Fakta UGBO, Fakta
19 157
MV-earthquake dan Fakta MV-drilling (Sumber: Susanto, 2008) Tabel 5.2
Aspek-Aspek Sosial dan Teknikal dari Difusi TIK
180
Tabel 5.3
Isu-Isu Non-Linier dalam Difusi Iptek (Inovasi)
185
transformasi penelitian
1
Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Litbang Iptek dalam Polemik Apakah penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (litbang iptek) merupakan sebuah faktor yang penting bagi kemajuan bangsa? Terhadap pertanyaan ini, para pelaku litbang iptek tentu saja akan memberikan jawaban yang positif. Sebuah argumen yang lazim dikemukakan adalah bahwa litbang iptek memungkinkan (to enable) industrialisasi ekonomi dan terwujudnya masyarakat berbasiskan pengetahuan (knowledge based society). Tetapi ini bukan satu-satunya jawaban. Iptek, sebagai alat produksi dan barang konsumsi, memang hal yang penting. Tetapi iptek dapat diperoleh melalui transaksi di pasar global. Jadi faktor yang penting bagi kemajuan bangsa adalah pertumbuhan ekonomik, karena ini meningkatkan daya beli (purchasing power). Jawaban yang lain lagi mengedepankan perspektif politik. Suatu bangsa akan maju bila hak bersuara setiap warga bangsa diakui penuh, dan berbagai urusan penting dalam kehidupan berbangsa diputuskan melalui suara terbanyak. Jadi, apakah litbang iptek itu penting atau tidak bagi kemajuan bangsa, penilaian mayoritas yang menentukan jawabannya. Kegiatan litbang iptek berlangsung di lembaga-lembaga litbang dan perguruan-perguruan tinggi, dan para peneliti serta akademisi merupakan pelaku yang penting di balik perkembangan iptek. Tetapi iptek menimbulkan manfaat yang aktual ketika berada ‗di tangan‘ para pengguna iptek. Sebagai ilustrasi, mesin-mesin menghasilkan barang-barang konsumer yang laku dijual ketika mesin-mesin tersebut berada di tangan entrepreneur. Peluru kendali menjadi alat penghancur yang efektif ketika berada di tangan personil militer yang terlatih. Obat-obatan akan bekerja efektif ketika berada di tangan dokter dan suster yang dengan sabar memberikan layanan pada para pasien. Di dalam
2
ke dalam inovasi
laboratorium iptek disajikan dalam bentuk rancangan (design), purwa rupa (prototype), demonstrasi eksperimental, dan makalah ilmiah. Di luar laboratorium, iptek tampil dalam wujud barang-barang konsumer, mesin-mesin produksi, berbagai jenis alat, bangunan dan lingkungan binaan (built environment), struktur dan infrastruktur. Para pelaku industri bergantung pada kinerja mesin-mesin untuk mempertahankan kuantitas produksi dan kualitas produk. Para perencana ekonomik memahami betul pentingnya ketersediaan infrastruktur (seperti prasarana transportasi, jejaring listrik, jejaring telekomunikasi, prasarana metrologi legal, dan lain-lain) untuk meningkatkan daya tarik bagi para penanam modal asing. Di arena politik, keabsahan penetapan ‗kursi-kursi‘ kekuasaan melalui penghitungan suara sangat bergantung pada kualitas sarana dan pra-sarana teknologi informasi. Suatu kekeliruan teknikal yang sederhana saja dapat membuat sejumlah ‗kursi‘ kehilangan keabsahannya. Meningkatnya ancaman penyusupan terorisme dan penangkapan ikan ilegal di perairan perbatasan, serta makin canggihnya modus-modus korupsi membuat berbagai jenis iptek terlibat dalam pemeliharaan keamanan dan penegakan hukum. Pentingnya iptek, tampaknya, sulit disangkal. Berbagai jenis dan bentuk alat, perkakas, mesin, struktur dan infrastruktur—iptek di ‗dunia di luar laboratorium‘—memainkan peranan yang penting di ranah sosial, ekonomik, politik, hukum, keamanan dan pertahanan. Meski demikian, pentingnya iptek bukan lantas menjadi pembenaran bagi pentingnya litbang iptek. Pentingnya iptek di ‗dunia di luar laboratorium‘ menjadi pembenaran bagi pentingnya litbang iptek di ‗dunia di dalam laboratorium‘ hanya jika kedua ‗dunia‘ tersebut berhubungan dengan erat. Ketika kegiatan litbang iptek (di dalam laboratorium) secara aktual menghasilkan nilai-nilai tambah dalam berbagai kegiatan penggunaan iptek (di luar laboratorium), tidak ada alasan bagi para ahli ekonomi dan pengusaha, politisi, budayawan dan khalayak awam untuk menyangkal arti penting litbang iptek. Tetapi ketika, sebaliknya, ‗dunia di dalam laboratorium‘ dan ‗dunia di luar laboratorium‘ tidak berhubungan, polemik mengenai arti penting litbang iptek merupakan hal yang wajar. Dan implikasi yang tidak terelakkan dari polemik tersebut adalah rendahnya dukungan publik atas litbang iptek nasional.
transformasi penelitian
3
1.2 Litbang Iptek dan Kapabilitas Bangsa Keberadaan iptek pada suatu bangsa membuat berbagai kegiatan dapat dilakukan, dan tujuan-tujuan bersama dapat diwujudkan. Dengan perkataan lain, keberadaan iptek memberikan kapabilitas bangsa. Suatu bangsa dapat memperoleh iptek melalui tiga cara: (i) pengembangan dari dalam (endogenous) melalui penelitian; (ii) adopsi/adaptasi dari luar (exogenous); dan (iii) kombinasi antara pengembangan dari dalam dan adopsi/adaptasi dari luar. Dalam bentuk komoditas, iptek dapat dibeli di pasar global asalkan tersedia cukup daya beli. Dalam bentuk bantuan-bantuan teknikal (technical aids), iptek dapat diperoleh dari negara-negara donor pembangunan. Penanaman modal asing pada umumnya juga membawa iptek ke dalam negeri. Pembelian di pasar, penerimaan bantuan asing dan penanaman modal asing merupakan mekanisme untuk mendapatkan iptek dari luar. Apa yang akan terjadi bila suatu bangsa, untuk mendapatkan iptek yang ia butuhkan, melulu mengandalkan jual-beli di pasar global, bantuan dari bangsabangsa lain dan penanaman modal asing? Yang akan terjadi adalah bangsa tersebut kehilangan kemerdekaannya. Masa depan dan kemajuan bangsa seperti ini dibatasi oleh faktor-faktor luar (exogeneous) seperti pasokan pasar global, kedermawanan bangsa-bangsa asing dan kepentingan para pemilik modal asing. Para pelaku usaha dari bangsa tersebut, karena tidak mampu mengembangkan iptek sendiri, tidak leluasa untuk bersaing melalui strategi diferensiasi produk. Ketika diberi ruang untuk bersaing secara bebas, para pelaku usaha tersebut mungkin akan memilih strategi menekan biaya produksi, atau ‗membanting harga‘. Ketika para pelaku usaha tidak memiliki kemampuan untuk melakukan diferensiasi produk (melalui litbang), persaingan pasar bebas tidak menjamin terwujudnya peningkatan efisiensi1.
1
Meluasnya praktik kartel di Amerika Serikat di akhir abad ke-19 merupakan contoh mengenai situasi demikian (Mowery dan Rosenberg, 1998). Situasi ini berubah ketika, melalui dorongan pemerintah federal Amerika Serikat, para pelaku usaha mulai melakukan praktik „pinjam dan komersialisasi‟ hasil-hasil litbang iptek dari Eropa.
4
ke dalam inovasi
Bagi sebuah bangsa yang mendapatkan iptek melulu dari faktor luar, pilihan-pilihan masa depan bangsa tersebut dibatasi oleh faktor luar juga. Kalau cita-cita dan aspirasi bangsa tersebut tidak direstui dan didukung oleh bangsabangsa lain, bangsa tersebut tidak akan bisa mewujudkan cita-cita dan aspirasi tersebut. Bangsa seperti ini mungkin memiliki sejenis kemerdekaan, yaitu kemerdekaan dari paksaan bangsa-bangsa lain. Tetapi bangsa tersebut tidak memiliki kemerdekaan jenis lainnya, yaitu kemerdekaan untuk mewujudkan cita-cita dan aspirasinya. Perbedaan kedua jenis kemerdekaan ini, kemerdekaan dari dan kemerdekaan untuk, mungkin tidak banyak. Tetapi perbedaan tersebut hakiki. Kemerdekaan untuk mewujudkan cita-cita mempersyaratkan adanya kapabilitas, dan faktor ini dapat ditingkatkan melalui litbang iptek. Bila disertai dengan pengembangan dari dalam, adopsi dan adaptasi iptek dari luar akan memperluas ruang pilihan-pilihan. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pengembangan iptek dari dalam (melalui litbang) merupakan syarat yang perlu bagi peningkatan kemampuan dan kapabilitas bangsa. Tetapi ini hanya syarat perlu (necessary condition), bukan syarat cukup (sufficient condition). Dalam catatan Goonatilake (1984), hingga akhir dekade 1980-an kegiatan litbang iptek di negara-negara Amerika Latin telah berlangsung secara intensif. Tetapi pada umumnya litbang iptek tersebut berpola imitatif dengan menginduk pada litbang iptek di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Akibatnya, litbang iptek di negara-negara Amerika Latin tersebut tidak relevan bagi kegiatan-kegiatan pembangunan. Mulai awal dekade 1990-an beberapa negara Amerika Latin mengubah kebijakan iptek mereka dan berupaya mengintegrasikan kegiatan litbang iptek ke dalam pembangunan (Viotti, 2008). Situasi yang serupa juga terjadi pada bangsa-bangsa berkembang di Asia dan Afrika (Pradip, 1984; Ahmad dkk, 1988). Di satu sisi, iptek yang digunakan bangsa-bangsa berkembang untuk menopang kegiatan pembangunan diperoleh melalui bantuan asing atau melalui penanaman modal asing yang disertai dengan alih iptek (science and technology transfer). Di lain sisi, kegiatan litbang iptek di bangsa-bangsa tersebut dilakukan tanpa dipandu oleh suatu objektif pembangunan. Dengan perkataan lain, iptek yang digunakan untuk pembangunan didapatkan dari luar (dari negara-negara donor dan para
transformasi penelitian
5
penanam modal asing), sementara iptek yang dikembangkan sendiri (oleh bangsa-bangsa berkembang) tidak terintegrasikan ke dalam pembangunan. Jadi, litbang iptek merupakan syarat perlu bagi peningkatan kapabilitas bangsa. Agar menjadi syarat perlu dan sekaligus syarat cukup (necessary and sufficient condition), kegiatan litbang iptek perlu terintegrasikan ke dalam kegiatan-kegiatan pembangunan—keterintegrasian ‗dunia di dalam laboratorium‘ dan ‗dunia di luar laboratorium‘. 1.2.1
Gagasan Sistem Inovasi
Keterintegrasian ‗dunia di dalam laboratorium‘ dan ‗dunia di luar laboratorium‘ merupakan sebuah isu yang sentral dalam reformasi kebijakan iptek di negaranegara berindustri maju sejak awal dekade 1990-an. Ketika Perang Dingin berakhir (ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin di tahun 1989) dan persaingan kekuatan militer bergeser menjadi persaingan kekuatan industrial, negara-negara peserta Perang Dunia menghadapi suatu masalah yang baru: peningkatan daya saing industri-industri nasional. Untuk menjawab tantangan ini, pengintegrasian litbang iptek ke dalam sistem ekonomik nasional dipandang sebagai sebuah langkah yang stratejik. Hal ini tidak mudah, karena di masa Perang Dingin pola dan orientasi dari litbang iptek dipengaruhi sangat kuat oleh kepentingan pertahanan. Di masa Perang Dingin, litbang iptek terintegrasikan ke dalam sektor pertahanan tetapi tidak ke dalam sektor ekonomik. Dalam catatan Lee (1997), sejak awal dekade 1990-an Amerika Serikat memulai reformasi kebijakan iptek dengan mengintegrasikan litbang iptek ke dalam sektor industri telekomunikasi. Ini merupakan respons terhadap derasnya aliran produk industri-industri telekomunikasi Jepang ke dalam pasar domestik Amerika Serikat. Gagasan ‗sistem inovasi‘ lahir pada dekade 1990-an dalam konteks reformasi kebijakan sebagaimana diuraikan di atas. Sistem inovasi dikembangkan sebagai sebuah kerangka kerja kebijakan untuk mengintegrasikan litbang iptek ke dalam sektor-sektor industrial nonpertahanan. Melalui penelitian-penelitian berpola lintas-disiplin, para akademisi
6
ke dalam inovasi
berupaya mengembangkan basis ilmiah bagi gagasan sistem inovasi tersebut2. Sebagai produk ilmiah, ‗sistem inovasi‘ lahir dalam konteks reformassi kebijakan di negara-negara berindustri maju. Gagasan ini dikembangkan untuk menjawab masalah keterintegrasian ‗dunia di dalam laboratorium‘ dan ‗dunia di luar laboratorium‘ di negara-negara tersebut, dalam konteks dinamika politik yang khusus. Apakah gagasan sistem inovasi tersebut relevan bagi bangsabangsa berkembang? Bangsa-bangsa berkembang dan bangsa-bangsa berindustri maju berbeda satu dari yang lain dalam hal lintasan sejarah, pola pembangunan, dan tingkat kemajuan. Perbedaan ini, pada gilirannya, berimplikasi pada perbedaan ‗dunia di dalam laboratorium‘, ‗dunia di luar laboratorium‘, dan perbedaan peluang untuk mengintegrasikan kedua ‗dunia‘ tersebut. 1.3 Konteks Pembangunan Indonesia Bagi bangsa Indonesia, keterintegrasian antara litbang iptek dan pembangunan telah menjadi amanat undang-undang. Undang-Undang mengenai Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas P3 IPTEK) yang diterbitkan pada tahun 2002 menetapkan bahwa pengembangan iptek diarahkan pada peningkatkan daya saing ekonomik dan pencapaian kemandirian bangsa Indonesia. Secara khusus Pasal 5 UU Sisnas P3 IPTEK menetapkan bahwa: ―Sistem nasional riset, pengembangan dan pemanfaatan iptek berfungsi untuk membentuk pola hubungan yang saling memperkuat antara unsur penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek dalam satu keseluruhan yang utuh.‖ Unsur-unsur yang dimaksudkan dalam pasal ini terdiri atas unsur institusi, unsur sumber daya dan unsur jejaring. Institusi atau kelembagaan iptek mencakup perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha dan lembagalembaga penunjang. UU Sisnas P3 IPTEK menggariskan bahwa lembaga-
2
Suatu tinjauan literatur yang komprehensif mengenai perkembangan teori-teori sistem inovasi diberikan dalam Fagerberk dkk (2004).
transformasi penelitian
7
lembaga iptek tersebut berfungsi untuk: (i) mengorganisasikan pembentukan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan, perekayasan, inovasi dan difusi teknologi; dan (ii) membentuk iklim dan memberikan dukungan yang diperlukan bagi penyelenggaraan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek. Pasal 15 dari UU Sisnas P3 IPTEK secara khusus menekankan pentingnya jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur-unsur kelembagaan iptek, untuk menghasilkan kinerja sistem nasional iptek dan inovasi. UU Sisnas P3 IPTEK tersebut menyediakan kerangka legislasi bagi perumusan kebijakan-kebijakan iptek nasional seperti Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Iptek (Jakstranas Iptek) oleh Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) dan perumusan Agenda Riset Nasional (ARN) oleh Dewan Riset Nasional (DRN). Pada periode 2005-2010 ARN terdiri atas enam bidang prioritas, yaitu: (i) ketahanan pangan; (ii) energi baru dan terbarukan; (iii) teknologi dan manajemen transportasi; (iv) teknologi informasi dan komunikasi; (v) teknologi pertahanan dan keamanan; (vi) teknologi kesehatan dan obat. Pada periode 2010-2014, ditambahkan bidang material baru sebagai bidang prioritas dalam ARN. Jakstranas Iptek dan ARN tersebut diimplementasikan melalui, antara lain, penyelenggaraan empat jenis program insentif, yaitu: (i) program riset dasar; (ii) program riset terapan; (iii) program peningkatan kapasitas iptek sistem produksi; dan (iv) program percepatan difusi dan pemanfaatan iptek. Keterintegrasian antara litbang iptek dan pembangunan juga merupakan isu yang sentral dalam kebijakan iptek nasional pada dekade 1980-an, di era Pemerintahan Orde Baru. Di masa itu, KRT menggulirkan program-program iptek dengan skala yang bertingkat, yaitu: Riset Unggulan Terpadu (RUT); Riset Unggulan Kemitraan (RUK); dan Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS). Pemerintahan Orde Baru juga memprakarsai serta membiayai pengembangan industri-industri berbasis iptek nasional (seperti Industri Pesawat Terbang Nusantara, IPTN), membentuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta mengembangkan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (sebagai kawasan iptek). Ini semua merupakan bagian dari upaya Pemerintahan Orde Baru untuk mengintegrasikan litbang iptek ke dalam pembangunan nasional. Meski keterintegrasian antara litbang iptek dan pembangunan merupakan isu yang sentral baik dalam Pemerintahan Orde Baru maupun Pemerintahan
8
ke dalam inovasi
Orde Reformasi, terdapat perbedaan paradigma pembangunan pada kedua Pemerintahan tersebut. Pemerintahan Orde Baru menganut paradigma pembangunan yang dihela negara (state-led development). Dalam paradigma ini, negara memiliki peranan yang dominan dalam menentukan arah dan menggerakkan pembangunan, termasuk pembangunan iptek. Di era Pemerintahan Orde Reformasi, peran negara dalam pembangunan secara bertahap dikurangi melalui liberalisasi sektor-sektor publik. Secara bertahap para pelaku pasar (pelaku swasta) mendapatkan ruang yang lebih luas untuk berperan dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Pembangunan Indonesia mengalami pergeseran paradigma dari state-led menuju market-led3. Di tahun 1999 Pemerintah Indonesia menggulirkan kebijakan otonomi perguruan tinggi. Isu-isu yang sentral dalam kebijakan otonomi perguruan tinggi ini adalah, antara lain: (i) pemberian otonomi pada perguruan tinggi dalam urusan akademik; (ii) peningkatan relevansi pasar (market relevance) dari kegiatan penelitian dan pengajaran di perguruan tinggi; dan (iii) peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perguruan tinggi. Dalam implementasinya, kebijakan otonomi perguruan tinggi tersebut menimbulkan perbedaan tafsiran. Bagi sebagian kalangan, kebijakan otonomi perguruan tinggi merupakan liberalisasi sektor pendidikan tinggi. Dalam tafsiran ini, sebuah perguruan tinggi otonom harus menyediakan produk sesuai dengan permintaan pasar, dan menghasilkan produk tersebut dengan cara-cara yang efisien. Dengan melakukan hal-hal demikian, sebuah perguruan tinggi otonom akan memiliki daya saing di pasar layanan pendidikan, dan memperoleh dana (dalam proporsi tertentu) dari pasar untuk pembiayaan kegiatan-kegiatan dalam kampus. Bagi sebagian kalangan yang lain, otonomi perguruan tinggi 3
Fakta mengenai terjadinya pergeseran paradigma ini dapat ditelusuri pada kandungan sejumlah undang-undang yang dihasilkan di era Pemerintahan Orde Reformasi (sejak 1999). Meski demikian, masih menjadi perdebatan apakah pembangunan Indonesia saat ini telah sepenuhnya mengadopsi paham neoliberalisme atau tidak. Neoliberalisme merupakan paham pembangunan yang menekankan peranan kekuatan pasar dan menyarankan intevensi pemerintah yang minimal. Paham ini pernah dianut Negaranegara Amerika Latin pada dekade 1980-an dan sejak 1990-an mulai ditinggalkan karena menimbulkan krisis ekonomik, politik dan sosial yang meluas di negara-negara tersebut (Desai dan Potter, 2002).
transformasi penelitian
9
ditafsirkan sebagai pemberian otonomi akademik oleh negara kepada perguruan tinggi, dengan disertai dukungan pembiayaan oleh negara, agar perguruan tinggi dapat memperluas peranannya dalam pembangunan bangsa. Apakah suatu negara menganut paham pembangunan yang cenderung state-led atau market-led, hal ini membawa implikasi pada peluang-peluang untuk mengintegrasikan litbang iptek ke dalam pembangunan. Tetapi tentu saja market-led tidak identik dengan state-less. Di negara-negara penganut ekonomi pasar (market economy) seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Cina4, sektor iptek dan pendidikan tinggi tetap diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah. Relevansi pasar (market relevance) dari litbang iptek dan pendidikan tinggi merupakan isu yang sentral dalam kebijakan iptek dan kebijakan pendidikan tinggi di negara-negara tersebut. Untuk mewujudkan peningkatan relevansi pasar ini, pemerintah di negara-negara tersebut menyediakan berbagai insentif fiskal dan non-fiskal, membiayai kegiatan-kegiatan litbang dan komersialisasi hasil litbang, dan membiayai pengembangan sumber-sumber daya dan lembaga-lembaga baru yang dibutuhkan bagi reformasi kebijakan iptek/pendidikan tinggi. Dengan perkataan lain, negara tetap menjadi kekuatan besar yang mengarahkan dan menggerakkan perkembangan iptek dan pendidikan tinggi di negara-negara penganut ekonomi pasar. 1.4 Fokus dan Metodologi Bahasan Keterintegrasian ‗dunia di dalam laboratorium‘ dan ‗dunia di luar laboratorium‘ merupakan tema pembahasan dalam buku ini. Tema ini, tentu saja, memiliki cakupan permasalahan yang luas meliputi kedua ‗dunia‘ tersebut. Lebih spesifiknya, pembahasan dalam buku ini berfokus pada permasalahan:
bagaimana kegiatan-kegiatan litbang iptek (di dalam laboratorium) dapat menghasilkan nilai-nilai tambah bagi pihak-pihak pengguna iptek (di luar 4
Sejak dekade 1990-an tatanan ekonomi Cina makin berpola ekonomi pasar, meski Cina bukan penganut kapitalisme liberal. Perusahaan-perusahaan swasta (berkebangsaan) Cina, bukan swasta asing, merupakan pelaku yang dominan dalam ekonomi Cina.
10
ke dalam inovasi
laboratorium)— permasalahan ‗transformasi penelitian ke dalam inovasi‘. Beberapa pendekatan yang berbeda dapat ditempuh untuk membahas permasalahan tersebut. Misalnya, pendekatan kognitif dapat digunakan untuk menganalisis kandungan dari hasil-hasil litbang iptek, dan menilai apakah hasilhasil litbang tersebut sesuai dengan kebutuhan pihak-pihak pengguna iptek (baik di ranah komersial maupun non-komersial). Teknik-teknik statistika dapat digunakan untuk mendeteksi kecenderungan-kecenderungan yang ada. Pendekatan seperti ini membutuhkan indikator-indikator mengenai ‗kesesuaian‘ antara ‗hasil litbang‘ dan ‗kebutuhan pengguna iptek‘. Bila indikator-indikator yang digunakan tidak relevan, hasil analisis statistika yang diperoleh menjadi tidak bermakna atau membawa pada kesimpulan yang salah. Pendekatan yang lain menggunakan perspektif ekonomik. Misalnya, pembahasan ditempuh dengan mempelajari pengaruh pilihan-pilihan instrumen fiskal (dan non-fiskal) terhadap: (i) pola/strategi persaingan antara pelaku usaha; dan (ii) tingkat permintaan akan litbang iptek (lihat misalnya pembahasan dengan pendekatan ekonomik dalam Nelson dan Winter (1982); Nelson (1993); Keller dan Samuels (2003)). Pendekatan kelembagaan juga dapat ditempuh untuk mengamati pola, intensitas dan outcome dari kerja sama-kerja sama antara para pelaku di lembaga-lembaga iptek dan para pelaku pengguna iptek (di ranah komersial dan di ranah publik/non-komersial). Kajian-kajian tentang University-Industry Linkage (UIL) pada umumnya mengadopsi perspektif kelembagaan seperti ini. Pembahasan dalam buku ini menggunakan pendekatan/perspektif sosial, khususnya perspektif teori jejaring-aktor (actor-network theory, ANT). Dalam literatur, pendekatan sosial diadopsi oleh, antara lain: Knorr-Cetina (2000) untuk mempelajari kultur dari komunitas-komunitas ilmiah; Hess (1995) untuk mempelajari relasi-relasi kuasa yang berkembang melalui penelitian, Merton dkk (1991) untuk mempelajari norma dan interaksi sosial di perguruanperguruan tinggi. Dalam buku ini, perspektif ANT digunakan untuk mempelajari secara empirikal: pertanyaan (i): bagaimana relasi-relasi antara para peneliti/pelaku litbang dan pelaku-
transformasi penelitian
pelaku yang lain terbentuk/terjalin;
(baik
pelaku
litbang
maupun
11
non-litbang)
pertanyaan (ii): dalam kasus inisiatif pemanfaatan iptek, pola relasi-relasi (antara para penginisiasi dan pengadopsi) seperti apa yang kondusif bagi adopsi iptek tersebut. Melalui telaah atas jawaban-jawaban terhadap kedua pertanyaan tersebut, dapat diperoleh sebuah penjelasan mengenai faktor kendala dan faktor pendorong bagi transformasi penelitian ke dalam inovasi. Dari penjelasan tersebut kemudian dapat diekstraksikan implikasi-implikasi kebijakan yang relevan. Pelaku (actor) dan jejaring relasi-relasi antara pelaku-pelaku (network of relations) merupakan gagasan-gagasan analitik yang kunci dalam ANT. Para pelaku itu sendiri bersifat otonom. Oleh karena ini, suatu relasi antara para pelaku hanya akan terjalin setelah melalui penyesuaian atau translasi (translation). Lazimnya para peneliti ANT melakukan penelusuran empirik dengan berfokus pada translasi-translasi, bagaimana relasi-relasi terbentuk melalui translasi tersebut, dan outcome dari relasi-relasi ini. Ciri yang khas dari ANT adalah bahwa teori ini tidak bersandar pada konsep-konsep makro (seperti struktur, sistem, lembaga) ataupun konsep-konsep mikro (seperti individualitas, makna personal). ANT bersandar pada translasi-translasi dan relasi-relasi (Latour, 2005). Dalam ANT (dan juga teori-teori sosial dalam paradigma konstruktivistik), pencarian sumber data tidak bersandar pada konsep sampling, karena konsep ini didasarkan pada asumsi a-priori akan keberadaan suatu populasi dengan identitas dan batasan (boundary) yang tetap5. Dalam ANT, boundary merupakan persoalan empirik a posteriori. Sebagai sebuah teori dalam sosiologi, ANT membuka peluang bagi adopsi dan pengembangan konsep-konsep matematika untuk melakukan kalkulasikalkulasi. Melalui penyederhanaan-penyederhanaan hasil penelusuran jejaringaktor dapat dinyatakan dalam bentuk graf (graph)—sebuah konsep matematika 5
Diskusi yang komprehensif mengenai metode-metode penelitian sosial diberikan dalam Alvesson, Mats dan Kajskoldberg (2000) dan Denzin dan Lincoln (1998).
12
ke dalam inovasi
abstrak yang lazim digunakan dalam analisis jejaring. Begitu dinyatakan dalam bentuk graf, teknik-teknik analisis graf dapat diterapkan untuk melakukan kalkulasi terhadap jejaring-aktor. Dalam literatur, penggunaan teori graf dalam kalkulasi jejaring-aktor masih di tahap perkembangan. Dalam buku ini, konsep graf digunakan sebatas untuk merepresentasikan jejaring-aktor yang disederhanakan (reduced). Persoalan kalkulasi jejaring-aktor di luar cakupan pembahasan buku ini. Pembahasan mengenai pertanyaan (i) di atas didasarkan pada hasil penelusuran jejaring-aktor melalui wawancara dan/atau focus group discussion (FGD), dengan melibatkan para peneliti (sebagai informan) dari Institut Teknologi sepuluh November (ITS), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Kristen Satyawacana UKSW)6, Badan-Badan Penelitian dan Pengembangan di Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagagagan, dan Kementerian Pertahanan, Lembaga-Lembaga Penelitian Non-Kementerian (LIPI, BPPT, BATAN, BAKOSURTANAL) dan empat buah perusahaan swasta. Penelusuran melalui wawancara/FGD tersebut bermula dengan isu-isu kebijakan kekinian (current), seperti isu relevansi pasar dari litbang iptek dan isu otonomi perguruan tinggi. Isu-isu tersebut tengah menjadi perhatian yang meluas dan, tidak jarang, disertai dengan kontroversi. Dengan teknik problematisasi demikian, menjadi terbuka ruang bagi para informan untuk mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan praktis penelitian (research practice) di lembaga mereka masing-masing. Secara keseluruhan, lebih dari lima puluh informan berpartisipasi dalam wawancara/FGD tersebut. Pembahasan mengenai pertanyaan (ii) di atas di dasarkan pada hasil penelusuran melalui studi atas dua kasus inisiatif pemanfaatan iptek, yaitu kasus digital divide dan kasus semburan lumpur panas di Jawa Timur. Untuk kasus digital divide, penelusuran empirikal dilakukan di desa Cinta Mekar (Kab. Subang, Jawa Barat), desa Limbangan di Jawa Tengah, dan desa Sampali di Sumatera Utara. Untuk kasus semburan lumpur panas, pengamatan dilakukan 6
ITS, ITB dan UKSW termasuk di antara perguruan-perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki produktivitas penelitian yang tinggi. Di antara ketiganya terdapat rentangan variasi yang luas dalam hal disiplin keilmuan yang dikelola, proses kelahiran lembaga, dan lingkungan sosial.
transformasi penelitian
13
di laboratorium tempat para peneliti bekerja dan di sejumlah forum pertemuan publik yang relevan. Penelusuran tersebut dibatasi oleh isu-isu yang dianggap berkaitan erat dengan: program-program inisiatif implementasi teknologi informasi (kasus digital divide); upaya-upaya penyediaan fakta ilmiah untuk menyelesaikan sengketa hukum (kasus semburan lumpur panas). Pelaksanaan kegiatan-kegiatan penelusuran empirikal tersebut di atas bersifat con-current, dalam arti bahwa masing-masing bersifat saling-bebas satu terhadap yang lain. Hal ini membuka peluang bagi triangulasi silang antara hasil eksplorasi yang satu dan hasil eksplorasi yang lainnya (Creswell, 2005). Pengumpulan dan interpretasi data dilakukan dengan dipandu oleh perspektif ANT. Secara disederhanakan, teknik interpretasi data mengikuti tahap-tahap abstraksi sebagaimana divisualkan dalam Gambar 1.1.
Penyimpulan Teoretikal dan Implikasi Kebijakan Interpretasi terhadap Pola-Pola Relasi/Graf untuk mendapatkan Karakteristik Praktis Penelitian dan Pola Difusi/Adopsi Penelusuran Translasi-Translasi dan Relasi-Relasi, Triangulasi Substansi Triangulasi Awal (konsistensi sumber data)
Penyusunan Narasi dan Deskripsi Relasi-Relasi dalam bentuk Graf Pengkodean Data dengan Dipandu oleh Perspektif ANT dan Isu-Isu yang Relevan dengan Pertanyaan (i) dan (ii) Arsip Data dan Organisasi Data
Koleksi Data (wawancara & FGD, pengamatan lapangan, transkripsi hasil wawancara, pengambilan fotofoto dan pengumpulan dokumen yang relevan)
Gambar 1.1 Analisis Data melalui Spiral Tingkatan Abstraksi Keseluruhan data yang dijadikan basis empirikal bagi pembahasan dalam buku ini diperoleh melalui kegiatan-kegiatan wawancara dan FGD yang
14
ke dalam inovasi
melibatkan lebih dari 75 informan, dengan durasi wawancara bervariasi antara 30 menit sampai lebih dari 120 menit. Sebagian besar dari kegiatan pengumpulan data tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan kajian dengan judul ―Kajian Kecenderungan Riset Hulu-Hilir‖, yang didanai oleh Dewan Riset Nasional (DRN) Republik Indonesia. Kajian ini dilaksanakan dalam kurun waktu Agustus sampai dengan Desember, tahun 2009. Data yang berkaitan dengan kasus difusi iptek (kasus digital divide dan kasus semburan Lumpur Panas) diperoleh melalui kajian terdahulu dengan judul ―Knowledge Systems and Inequality‖, yang didanai oleh International Development Research Center (IDRC), Kanada, yang dilaksanakan pada kurun waktu Januari, 2008 sampai Juni, 2009. Penggunaan keseluruhan data empirikal tersebut memungkinkan pembahasan kasus-kasus difusi iptek secara diakronik (diachronic). Tetapi pembahasan mengenai relasi-relasi para peneliti bersifat sinkronik (synchronic). Penelusuran berpola diakronik diperlukan bila yang ingin diungkapkan adalah evolusi perguruan tinggi atau evolusi kelompok-kelompok peneliti. Pembahasan dalam buku ini mengadopsi perspektif sosial, khususnya perspektif jejaringaktor. Tentu saja, setiap pemilihan perspektif teoretikal membawa implikasi kognitif tertentu. Berkaitan dengan pemilihan perspektif teoretikal ini, yang menjadi isu bukanlah perspektif mana yang paling baik. Yang menjadi isu adalah bagaimana pembahasan-pembahasan dengan perspektif-perspektif yang berbeda dapat saling memperkaya satu pada yang lain, dan menghasilkan pemahaman yang makin utuh. Analisis dan penyimpulan dalam buku ini menggunakan teknik kualitatif, karena pembahasan di sini bersifat eksploratif— menelusuri dan menemukenali faktor-faktor apa yang bekerja dan bagaimana faktor-faktor tersebut menimbulkan efek-efek yang teramati (empirically observed). Teknik kuantitatif diperlukan jika pembahasan dimaksudkan untuk mengukur, menakar dan melakukan kalkulasi. Dalam bagian-bagian tertentu buku ini diilustrasikan penggunaan teknik graf (graph) untuk merepresentasikan hasil-hasil penelusuran jejaring-aktor. Penggunaan teknik graf untuk kalkulasi jejaring-aktor, meski hal ini mungkin dilakukan, di luar cakupan pembahasan buku ini. 1.5 Sistematika Bahasan
transformasi penelitian
15
Dalam bab ini telah dipaparkan konteks, fokus dan metodologi pembahasan ‗transformasi penelitian ke dalam inovasi‘. Sejumlah gagasan dan teori telah dikembangkan dalam literatur, khususnya literatur di area sistem inovasi dan area science and technology studies (STS). Dalam Bab 2 didiskusikan beberapa gagasan dan teori yang dipandang relevan dengan tema pembahasan buku ini, yaitu: kritik-kritik terhadap model linier inovasi; problematika filosofikal berkaitan dengan masalah pemanfaatan iptek; pokok-pokok gagasan sistem inovasi; dan evolusi perguruan tinggi. Hasil-hasil penelusuran empirikal melalui wawancara, FGD dan studi kasus yang menjadi dasar bagi pembahasan pertanyaan (i) dan pertanyaan (ii) tersebut di atas dipaparkan dalam Bab 3 dan Bab 4 (untuk pertanyaan (i)) dan Bab 5 (untuk pertanyaan (ii)). Di akhir Bab 5 didiskusikan secara khusus sebuah kritik terhadap model difusi inovasi linier. Ekstraksi teoretikal dari hasil-hasil yang dipaparkan di ketiga bab tersebut didiskusikan dalam Bab 6, dan implikasi kebijakan dari ekstraksi teoretikal ini didiskusikan di Bab 7. Bab 8 menutup pembahasan buku ini dengan mengemukakan beberapa isu paradigma.[]
16
ke dalam inovasi
Diskusi Kritikal melalui Tinjauan Literatur Sistem Inovasi dan STS
Definisi Konteks, Fokus dan Metodologi
Deskripsi RelasiRelasi Akademisi di Perguruan Tinggi
Deskripsi RelasiRelasi Peneliti di Balitbang, LPNK dan Perusahaan
Deskripsi RelasiRelasi dalam Inisiatif Inovasi
Ekstraksi Teoretikal
Implikasi Kebijakan
Penutup
Gambar 1.2 Sistematika Bahasan
transformasi penelitian
17
Bab 2 PERMASALAHAN TEORETIKAL 2.1 Pendahuluan
Bagaimana, atau melalui cara apa, kegiatan litbang iptek dapat menghasilkan nilai tambah bagi pihak pengguna iptek? Jawaban yang dapat segera ditawarkan adalah: melalui penerapan hasil litbang iptek. Melalui tinjauan literatur, dalam bab ini akan diperlihatkan bahwa jawaban seperti ini tidak memadai. Pembahasan dalam bab ini bermula dengan sebuah model tentang mekanisme pemanfaatan hasil litbang iptek yang dikenal sebagai ‗model linier‘ dari inovasi. Akan diperlihatkan bahwa model ini mengandung asumsi-asumsi yang tidak bersesuaian dengan realitas. Pembahasan kemudian masuk ‗ke dalam‘ iptek, untuk memperlihatkan adanya kesulitan epistemologikal yang membuat iptek terpisah dari masyarakat—kesenjangan epistemologikal. Tentu saja, dalam realitas praktikal iptek tidak pernah terpisah dari masyarakat. Tetapi kesenjangan epistemologikal tersebut membuat upaya-upaya praktikal untuk menerapkan iptek di masyarakat menghadapi kesulitan-kesulitan teoretikal7. Pembahasan selanjutnya berfokus pada perkembangan gagasan sistem inovasi. Gagasan sistem inovasi merujuk pada kegiatan-kegiatan litbang iptek, kegiatan-kegiatan produksi industrial dan kegiatan-kegiatan ekonomik yang lainnya. Gagasan ini menekankan pentingnya keterpautan sistemik antara berbagai kegiatan tersebut bagi peningkatan kapasitas inovasi—potensi untuk mewujudkan inovasi—dari suatu ekonomi. Perkembangan gagasan sistem inovasi tersebut membawa implikasi pada reformasi kebijakan iptek dan transformasi perguruan tinggi.
7
Sebagai ilustrasi tentang situasi demikian adalah praktik-praktik „alih iptek‟ dan „diseminasi iptek‟. Kedua gagasan tersebut relatif populer dan telah dipraktikkan secara meluas. Pengujian yang seksama atas kandungan dari kedua gagasan tersebut akan segera mengungkapkan adanya kelemahan-kelemahan teoretikal.
18
ke dalam inovasi
Keseluruhan pembahasan di bab ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa permasalahan ‗pemanfaatan iptek‘ melibatkan pertanyaan-pertanyaan di ranah filosofikal/epistemologikal dan pertanyaan-pertanyaan di ranah kebijakan dan kelembagan. Literatur yang dirujuk dalam pembahasan di bab ini merupakan hasil-hasil kajian mengenai pemanfaatan iptek di negara-negara berindustri maju, yang lazimnya dipandang sebagai sumber perkembangan iptek itu sendiri. Iptek, di negara-negara tersebut, memang telah berkembang begitu pesat sejak Revolusi Industri di akhir abad ke-18. Tetapi perkembangan ini cenderung berlangsung melalui cara-cara yang kurang refleksif (Schroeder, 2007; Mitcham, 1994). Kesulitan-kesulitan yang timbul dalam upaya-upaya pemanfaatan iptek tampaknya bersumber dari cara-cara pengembangan iptek yang kurang refleksif tersebut. 2.2 Permasalahan dari Model Linier Bagaimana penelitian dan pengembangan iptek dapat diarahkan untuk perbaikan kehidupan sosial, atau kemajuan ekonomik? Pertanyaan ini terlihat sederhana dan jawabannya mudah: terapkan saja iptek dan dapatkan manfaatnya. Tetapi, apa yang dimaksud dengan menerapkan iptek? Jawaban yang konvensional adalah sebagai berikut. Pertama, penerapan iptek memerlukan penelitian terapan (applied research) terlebih dahulu, karena pengembangan iptek itu sendiri belum tentu ditujukan pada masalah-masalah praktikal tertentu. Setelah ini, hasil-hasil dari penelitian terapan didiseminasikan secara luas sehingga dapat diakses oleh pihak-pihak yang membutuhkannya. Dengan adanya akses ini, pihak-pihak tersebut dapat menggunakan hasil-hasil penelitian terapan untuk menjawab masalah-masalah yang mereka hadapi. Secara sederhana, logika konvensional tersebut di atas dapat divisualisasikan sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 2.1. Logika (atau model) mengenai langkah-langkah pemanfaatan iptek seperti ini dikenal luas sebagai model linier inovasi (Lee, 1997; Rip dkk, 1995; Rosenberg, 1992; Rogers, 1993; Mowery dan Rosenberg, 1998).
transformasi penelitian
Penelitian Dasar/ Fundamental
Penelitian Terapan
Pengembangan (Perancangan, Konstruksi, Pengujian)
19
Distribusi/ Pemasaran/ Pengoperasian
Gambar 2.1 Pemanfaatan Iptek dalam Logika/Model Linier Penelitian terapan itu sendiri merupakan jenis penelitian yang berbeda dari penelitian dasar atau penelitian fundamental (basic/fundamental research). Secara konvensional, sebuah cara untuk membedakan kedua jenis penelitian ini adalah dengan menelusuri orientasi dari suatu penelitian. Dalam pembahasannya mengenai penelitian terapan dan penelitian fundamental, Stokes (1997) mengadopsi suatu kuadran yang dikenal sebagai Kuadran Pasteur untuk menganalisis perbedaan orientasi-orientasi penelitian (lihat Tabel 2.1). Jadi, kuadran tersebut membedakan apakah seorang ilmuwan, ketika melakukan penelitian, digerakkan oleh motivasi untuk mendapatkan pemahaman fundamental, atau untuk menghasilkan manfaat praktikal. Tabel 2.1 Kuadran Pasteur (sumber: Stokes, 1997)
Pertimbangan Pemanfaatan Praktikal
Ya Tidak
Pencarian Sebab Fundamental Ya Tidak Penelitian Dasar Penelitian Terapan Berinspirasikan Murni Terapan Penelitian Dasar ? Murni
Dalam nomenlaktur disiplin-disiplin iptek juga dikenal pembedaan antara teoretikal dan terapan, seperti fisika teoretikal yang dibedakan dari fisika terapan. Sebagian kalangan menggunakan predikat ‗murni‘8 bagi penelitian 8
Pemberian predikat „murni‟ ini mengandung problematik. Evolusi ilmu pengetahuan justru memperlihatkan percabangan-percabangan dan pencampuran-pencampuran
20
ke dalam inovasi
fundamental untuk menekankan kemurnian motivasi dan orientasi. Sebagian kalangan yang lain menggunakan predikat ‗hulu‘ untuk penelitian fundamental dan predikat ‗hilir‘ untuk penelitian terapan. Metafor ‗hulu-hilir‘ ini didasarkan atas asumsi mengenai ‗aliran iptek‘ yang menyerupai aliran air sungai dari mata air ke muara. Dalam literatur tentang sistem inovasi, diakui bahwa cikal-bakal dari model linier inovasi tersebut adalah proposal kebijakan iptek yang disusun oleh Vannevar Bush pada tahun 1945, dengan judul ‗Science: The Endless Frontier‘ (Fagerberk dkk, 2004). Proposal kebijakan iptek ini ia ajukan sebagai cetak-biru sistem penelitian dan pengembangan iptek Amerika Serikat di era pasca-Perang Dunia. Gagasan pokok dalam pemikiran Bush adalah bahwa: (i) penelitian fundamental merupakan pra-syarat bagi inovasi di industri-industri, dan (ii) perguruan tinggi merupakan tempat yang terbaik bagi pelaksanaan penelitian fundamental. Dalam Proposal tersebut, Bush mengantisipasi faktor kegagalan pasar dan mengusulkan agar Pemerintah Federal Amerika Serikat meningkatkan secara signifikan pendanaan bagi penelitian fundamental di perguruan-perguruan tinggi. Jadi, model linier inovasi, dilengkapi dengan Kuadran Pasteur untuk membedakan jenis-jenis penelitian, menyediakan sebuah sarana konseptual untuk mengelola kegiatan litbang dan pemanfaatan iptek. Apakah model linier inovasi dan gagasan-gagasan yang terkait dengan model tersebut telah menjawab permasalahan pemanfaatan iptek? Berikut ini disampaikan sejumlah argumen yang menyarankan bahwa jawaban terhadap pertanyaan ini adalah negatif.
substansi keilmuan, alih-alih keterisolasian. Fisika teoretikal, misalnya, sarat dengan matematika. Perkembangan geometri non-Euclidean berinspirasikan pemikiran mekanika relativistik. Perkembangan teknologi informatika dan informasi berpola lintas-disiplin dan mempertemukan ilmu komputasi (matematika terapan), fisika material, teknologi elektromagnetika, komputasi syaraf, ilmu desain visual, dan lain-lain. Jadi, makna „murni‟ dalam frase „ilmu murni‟ yang bisa diterima adalah bahwa ilmu tersebut „berorientasi pada penjelasan fundamental‟, bukan murni dalam subtansi.
transformasi penelitian
2.2.1
21
Konteks Komersial
Argumen yang pertama didasarkan pada hasil kajian-kajian mengenai praktis di perusahaan-perusahaan (Fagerberk dkk, 2004; Albu, 1997; Rosenberg, 1982; Mowery dan Rosenberg, 1998). Temuan dari kajian-kajian ini memperlihatkan bahwa pada umumnya perusahaan-perusahaan melakukan perubahanperubahan teknikal (technical changes) atas dasar pertimbangan komersial, dan mereka memulai dengan menggali pengetahuan yang sudah mereka miliki dan gunakan. Hanya ketika penggalian ini tidak memberikan hasil, mereka mulai menengok hasil-hasil penelitian dasar dan terapan yang ditawarkan perguruanperguruan tinggi. Tetapi ini hanya salah satu pilihan yang mungkin diambil. Pilihan yang lain adalah melakukan alliansi dengan perusahaan-perusahaan lain untuk mengendalikan pasar (dikenal sebagai kartel). Ketika para pelaku usaha tidak tertarik untuk menengok hasil-hasil litbang iptek, ‗aliran iptek‘ akan terhenti sebelum mencapai ‗hilir‘. Dalam kasus di mana suatu perusahaan mencoba menggali hasil penelitian untuk keperluan komersial, upaya ini belum tentu berhasil dalam satu langkah. Terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan ini seperti strategi bisnis dari perusahaan-perusahaan lain yang terlibat dalam persaingan, iklim usaha yang dipengaruhi oleh regulasi, standar-standar produk yang diterapkan, dan juga perilaku konsumer (Rosenberg, 1982). Selain ini, terdapat juga kasuskasus di mana produk komersial telah digunakan meluas, sementara penelitian dasar yang terkait dengan produk tersebut justru belum tersedia (Mowery dan Rosenberg, 1998). Jadi, model linier inovasi tidak menggambarkan situasi riel secara akurat. Para pelaku usaha yang terlibat dalam suatu persaingan belum tertentu tertarik pada, atau membutuhkan, apa-apa yang disediakan oleh para pelaku litbang iptek. Dalam kasus di mana para pelaku usaha tertarik untuk mengakses dan mengadopsi pada apa-apa yang ditawarkan oleh pelaku litbang, terdapat faktorfaktor yang menentukan keberhasilan adopsi tersebut. Faktor-faktor ini tidak diungkapkan secara eksplisit dalam model linier inovasi. Lebih jauh lagi, model linier inovasi tidak dapat digunakan untuk menjelaskan adanya ‗aliran dari hilir ke hulu‘; situasi di mana iptek tertentu telah digunakan meluas dalam konteks
22
ke dalam inovasi
komersial sementara penelitian fundamental yang terkait dengan iptek tersebut baru terpicu di kemudian hari. Kuadran Pasteur juga tidak menggambarkan situasi ‗hulu‘ secara lengkap. Berkaitan dengan isu ini, Calvert (2002) mengamati respons sejumlah akademisi di perguruan-perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Inggris terhadap kebijakan komersialisasi penelitian. Kebijakan ini diperkenalkan pada awal dekade 1990-an sebagai bagian dari desentralisasi sektor pendidikan tinggi. Dari kajian tersebut ditemukan bahwa dalam pandangan para akademisi, seorang peneliti yang mengerjakan penelitian dasar/fundamental menyandang status yang tertinggi, jauh di atas status peneliti yang mengerjakan penelitian terapan. Selain ini para akademisi juga berpandangan bahwa komersialisasi penelitian itu menyerupai praktis ‗prostitusi‘. Tentu saja hasil kajian ini tidak berlaku umum; pandangan seorang akademisi dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan dari akademisi tersebut dan situasi-situasi khusus yang berlaku di perguruan tinggi dan di masyarakat. Tetapi temuan yang didapatkan Calvert tersebut memiliki signifikansi. Amerika Serikat dan Inggris merupakan dua negara yang dikenal gigih memperjuangkan liberalisasi sektor-sektor publik dan mendesak perguruan-perguruan tinggi untuk membangun hubungan dengan industri-industri untuk tujuan komersialisasi hasil penelitian. Hasil kajian Calvert menyediakan sebuah kasus yang menunjukkan adanya ketidaklengkapan dalam Kuadran Pasteur. Kajian Calvert tersebut menyarankan bekerjanya nilai-nilai kultural tertentu yang dipegang teguh oleh para peneliti, yang pada gilirannya mempengaruhi para peneliti dalam memilih jenis-jenis penelitian. 2.2.2
Konteks Sosial
Kritik lain terhadap model linier inovasi bersumber pada pengamatan atas dampak-dampak negatif dari kehadiran iptek. Sejumlah hasil kajian memperlihatkan bahwa kehadiran iptek justru menimbulkan masalah-masalah yang tidak kunjung terselesaikan seperti polusi lingkungan, marjinalisasi posisi kaum buruh, ancaman terhadap keselamatan di lokasi kerja, pembelengguan kebebasan individual melalui surveillance dan kontrol publik, perawatan
transformasi penelitian
23
kesehatan yang makin mahal, kebergantungan iptek di negara-negara berkembang, dan lain-lain (Schroeder, 2007). Jika model linier tersebut memang bersesuaian dengan realitas, maka berbagai masalah etikal ini akan dapat dijawab dengan menyusun program-program iptek yang mengikuti tahapantahapan linier tersebut. Tetapi, pengamatan akan dampak-dampak iptek di masyarakat menyarankan bahwa tidak jarang iptek itu sendiri merupakan sumber masalah, alih-alih sebagai sebuah jawaban potensial. Dengan perkataan lain, model linier inovasi tersebut tidak menjelaskan fenomena ‗dialektika iptek‘; bahwa iptek memungkinkan kemajuan-kemajuan sosial/ekonomik, tetapi pada saat yang sama menjadi sumber munculnya masalah-masalah sosial/ekonomik yang baru. Ketika dihadapkan pada pertanyaan mengenai dampak sosial, sebuah argumen yang lazim dikemukakan adalah bahwa iptek itu sendiri pada dasarnya berwatak netral atau tidak berpihak. Apakah hasil dari penggunaan iptek itu memberikan kebaikan atau tidak, ini bergantung pada motivasi pengguna iptek tersebut. Kalau kelompok tertentu menginginkan kebaikan sosial melalui iptek, ia dapat menyusun program iptek dengan mengadopsi model linier tersebut. Begitu juga, kalau kelompok yang lain ingin menimbulkan kerusakan dan kehancuran sosial dengan menggunakan iptek, ia pun dapat mengadopsi model linier untuk mewujudkan keinginannya itu. Dengan argumen seperti ini, model linier ingin dipertahankan. Jadi, dalam pandangan netralitas iptek, model linier inovasi itu sendiri berwatak netral dalam arti tidak berpihak pada kepentingan kelompok sosial yang mana pun. Jika dalam situasi yang aktual dijumpai bahwa kehadiran iptek justru menimbulkan masalah sosial berlarut-larut, ini merupakan hasil totalitas dari program-program iptek yang baik dan yang tidak baik seperti diilustrasikan dalam Gambar 2.2.
24
ke dalam inovasi
Program Iptek + Maksud Baik
Totalisasi?
EfekTotal Aktual di Masyarakat
Program Iptek + Maksud Tidak Baik
Gambar 2.2 Timbulnya Efek dari Pemanfaatan Iptek dalam Asumsi Netralitas Iptek Pertanyaan yang krusial di sini adalah: bagaimana totalisasi efek-efek dari program iptek itu terjadi? Jika totalisasi tersebut terjadi melalui negosiasinegosiasi dari kelompok-kelompok yang berkepentingan, ini berarti bahwa totalisasi tersebut merupakan proses politik. Dengan perkataan lain, proses pemanfaatan iptek melibatkan negosiasi-negosiasi politik, selain penelitian dan pengembangan iptek. Dan implikasi dari hal ini adalah bahwa pemanfaatan iptek merupakan proses yang berwatak non-linier dan mengandung ketidakpastian-ketidakpastian, seperti halnya proses politik pada umumnya. Jadi, argumen netralitas iptek tidak dapat mempertahankan model linier inovasi. Para ilmuwan yang menganut netralisme iptek beranggapan bahwa, karena iptek itu netral, pemanfaatan iptek semata-mata urusan praktikal. Urusan pokok para ilmuwan adalah mengembangkan iptek. Di sisi lain, (sebagian) para ilmuwan sosial memandang iptek itu sebatas alat atau instrumen. Urusan pokok para ilmuwan sosial adalah pada nilai-nilai, norma-norma, aktor-aktor, kelembagaan, dan struktur. Kalau semua substansi sosial sudah selesai, baru iptek (sebagai alat) dipakai. Jadi, netralisme iptek ini dianut bukan saja oleh para ilmuwan pengembang iptek, melainkan juga para ilmuwan sosial. Implikasi dari netralisme iptek ini adalah keterpisahan antara iptek dan isu-isu sosial/etikal. Keterpisahan ini, secara aktual, hanya berada di ranah teoretikal (dan filosofikal), tetapi tidak di ranah praktikal.
transformasi penelitian
25
Anggapan-anggapan bahwa iptek itu, meski ampuh, berwatak netral, dan bahwa iptek itu sekadar alat (netral) yang dapat dipakai untuk tujuan sosial yang mana pun, membuat pemanfaatan iptek menjadi sulit dibahas secara seksama. Para ilmuwan penganut netralisme iptek cenderung menganggap masalah ini sebagai masalah praktikal yang dapat dijawab dengan ―tinggal diterapkan‖, ―‗terserah kebutuhan pengguna‖, ―tinggal dipakai kalau tujuan sosial sudah disepakati‖. Dan ketika suatu upaya pemanfaatan iptek tidak memberikan hasil, atau menimbulkan efek yang menyimpang dari yang semula diharapkan, situasi ini disikapi dengan menyatakan ―penggunanya tidak siap‖, ―budaya masyarakat tidak mendukung‖, ―alat yang dipilih bertentangan dengan budaya‖. Tampaknya, permasalahan pemanfaatan iptek mengandung kompleksitas yang tidak dapat dipahami dengan logika linier. 2.3 Permasalahan Filosofikal Berikut ini didiskusikan isu-isu filosofikal yang menimbulkan kesulitan bagi upaya pemanfaatan iptek. Dua isu pokok yang menjadi perhatian di sini adalah: fondasi dari realitas objektif dan metode ilmiah. 2.3.1
Metode Ilmiah untuk „Hard Sciences‘
Metode ilmiah (scientific method) merupakan unsur yang krusial bagi perkembangan pengetahuan. Ini merupakan faktor yang menentukan status pengetahuan, yang membedakan pengetahuan ilmiah dari yang tidak ilmiah. Secara sederhana, suatu pengetahuan layak menyandang predikat ‗ilmiah‘ bila pengetahuan tersebut bersesuaian dengn realitas objektif. Dalam literatur filsafat pengetahuan (philosophy of science), dikenal beberapa paham yang bertautan dengan perkembangan metode ilmiah, yaitu empirisisme, positivisme, falsifikasionisme, dan konstruktivisme (Hess, 1995; Edward dkk, 2008). Paham empirisisme (empiricism) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta-fakta objektif yang 'telah ada di luar sana.' Untuk mendapatkan pengetahuan ini, yang perlu manusia kerjakan adalah mengumpulkan ‗kepingan-kepingan‘ fakta melalui pengalaman inderawi, dan
26
ke dalam inovasi
menyusunnya—secara induktif—untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang realitas objektif. Fondasi empirisisme ini dibangun oleh para tokoh modernisme seperti seperti Francis Bacon, David Hume, Rene Decartes. Asumsi yang dipegang oleh para penganut paham empirisisme adalah bahwa gagasangagasan harus berkorespondensi satu-ke-satu (one-to-one correspondence) dengan besaran-besaran fisis yang terinderai. Dengan cara demikian, gagasan-gagasan akan terhindar dari bias subjektif. Di mata kaum empirisisme, seorang pengamat merupakan subjek yang rentan terhadap nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan subjektif. Agar pengetahuan mencapai status objektif—pengetahuan ilmiah, gagasan-gagasan penyusun pengetahuan harus terbebas dari bias subjektif. Untuk menjawab masalah ini kaum empirisisme menawarkan metode empirikal (inderawi) seperti yang diuraikan di atas. Jawaban kaum empirisisme ini membuka sebuah fase baru dalam perkembangan pengetahuan, di mana fakta dipisahkan dari nilai dan objek dipisahkan dari subjek. Paham empirisisme kemudian mendapatkan pengukuhan oleh kaum positivisme, yang menegaskan empirisisme sebagai satu-satunya paham keilmuan yang absah. Perkembangan paham positivisme (positivism) tersebut dimotori oleh kelompok skolar yang dikenal dengan sebutan Vienna Circle di dekade 1920-an. Tokoh penting dari positivisme ini adalah seorang ilmuwan sosial asal Perancis, August Comte. Ia percaya bahwa evolusi ilmu pengetahuan telah melewati tahapan metafisik dan tahapan spekulatif, dan telah sampai ke tahapan positif. Comte mengajukan prinsip verifiability sebagai kriteria metoda ilmiah yang positif. Menurut kriteria ini, sebuah pernyataan/proposisi dapat dipandang bermakna hanya jika pernyataan/proposisi ini dapat diverifikasi melalui eksperimentasi inderawi9 (Hess, 1995). Paham positivisme ini kemudian dijabarkan ke dalam langkah-langkah empirisisme logika (logico-empiricism) oleh Rudolf Carnap. Hingga sekitar tiga dekade setelah diperkenalkan, logico-
9
Pandangan Comte ini sendiri sebenarnya tidak terlepas dari problematik. Proposisi yang diajukan Comte bahwa “suatu proposisi dapat dipandang bermakna hanya jika proposisi ini dapat diverifikasi melalui eksperimentasi inderawi”, tidak mungkin diverifikasi melalui eksperimen inderawi. Jadi, proposisi Comte tersebut mengandung swakontradiksi.
transformasi penelitian
27
empiricism dipandang (oleh sebagian kalangan skolar) sebagai jawaban final bagi masalah metode ilmiah. Sebuah kritik terhadap positivisme—khususnya logico-empiricism—yang dikenal luas dalam literatur filsafat pengetahuan adalah kritik yang dirumuskan oleh Karl Popper di awal 1960-an. Kritik ini ditujukan pada prosedur induktif dalam logico-empiricism. Menurut Popper, kecenderungan para ilmuwan untuk menguji kebenaran sebuah hipotesis (secara empirikal) mengandung bias positivistik10, dan ini justru akan melemahkan keabsahan teori ilmiah. Popper menyarankan suatu prinsip yang dikenal sebagai prinsip falsificasionism. Dalam prinsip ini, prosedur empirikal harus dilakukan dengan berupaya menyangkal (to falsify), alih-alih mengkonfirmasi, hipotesis-hipotesis. Ketika upaya untuk menyangkal sebuah hipotesis melalui pengujan empirikal tidak memberikan hasil, maka hipotesis itu layak diterima. Makin kuat upaya untuk menyangkal hipotesis tersebut, makin tinggi keabsahan hipotesis tersebut. Pada esensinya, logico-empiricism dan falsificasionism memiliki struktur logikal yang identik. Keduanya berbeda hanya dalam prosedur praktikal. 2.3.2
Metode Ilmiah untuk ‗Soft Sciences‘
Dalam paham positivisme, nilai-nilai kultural merupakan gagasan yang tidak bermakna karena tidak dapat dirujukkan pada besaran-besaran fisikal sehingga tidak dapat diverifikasi. Ini membawa konsekuensi-konsekuensi yang lebih jauh sebagai berikut: Pertama, masalah pengetahuan (dan kemudian juga teknologi) menjadi terpisahkan dari masalah kemasyarakatan. Positivisme menyatakan bahwa keabsahan pengetahuan tidak boleh ditakar atau dinilai dengan pertimbangan-pertimbangan kultural, etikal dan politikal, karena pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak bermakna menurut kriteria positivisme. Jadi, pernyataan etikal seperti ―science itu baik (atau tidak
10
Maksudnya, positivisme mendorong ilmuwan bekerja untuk menegaskan bahwa hipotesis yang ia ajukan adalah absah, bukan untuk menegaskan yang sebaliknya, yaitu bahwa hipotesis tersebut tidak absah. Dalam artian demikian, positivisme mengandung bias.
28
ke dalam inovasi
baik)‖ adalah pernyataan yang tidak bermakna karena pernyataan ini tidak dapat diverifikasi (menurut kriteria positivisme). Di sisi lain, isu-isu kemasyarakatan sering sarat dengan nilai-nilai kultural, pertimbanganpertimbangan etikal dan politikal. Dengan perkataan lain, positivisme menyarankan bahwa perkembangan pengetahuan dan perkembangan kemasyarakatan dibahas sebagai dua hal yang sepenuhnya terpisahkan. Dan implikasi dari ini, pemanfaatan iptek menjadi mustahil dibahas. Ke dua, paham positivisme (beserta logico-empiricism) menimbulkan tantangan bagi para ilmuwan sosial dan kemanusiaan. Pertanyaan yang krusial di sini adalah: (i) apakah realitas sosial dan realitas kemanusiaan di satu sisi, dan realitas kealaman (material) di sisi lain, merupakan realitas yang sama sehingga harus dipelajari dengan metode ilmiah yang sama? ataukah (ii) realitas sosial/kemanusiaan dan realitas kealaman (material) dua realitas yang (secara ontologikal) berbeda sehingga memerlukan metode ilmiah (epistemologi) yang berbeda? Mana pun pilihan yang diambil, hal ini menimbulkan kesulitan tersendiri dalam kajian pemanfaatan iptek.
Berkenaan dengan tantangan tersebut, sebagian kalangan ilmuwan memilih untuk menempuh pendekatan yang cenderung pragmatik. Mereka mengembangkan teknik-teknik berbasiskan statistika untuk melakukan penelitian sosial dan kemanusiaan. Dengan cara seperti ini, variabel-variabel yang ‗teramati secara inderawi‘ dan ‗terukur‘ dapat dikembangkan, dan penelitian sosial dapat dilaksanakan dengan mengikuti prosedur logicoempiricism layaknya penelitian kealaman. Dan dengan pendekatan demikian, penelitian sosial/kemanusiaan meraih status ilmiah yang setara dengan penelitian kealaman. Pendekatan demikian, boleh dikatakan, berpola pragmatik. Pertanyaan filosofikal yang seharusnya dijawab terlebih dahulu adalah: apakah realitas sosial dan realitas kemanusiaan itu—pertanyaan ontologi. Setelah ini dijawab, barulah metode ilmiah (epistemologi) dikembangkan. Prosedur demikian berlaku dalam filsafat—ontologi mendahului epistemologi, bukan sebaliknya. Jika metode ilmiah ditetapkan terlebih dahulu, implikasinya adalah
transformasi penelitian
29
pengetahuan mengenai realitas sosial (realitas kemanusiaan) dibatasi oleh asumsi-asumsi ontologikal yang secara eksplisit (atau implisit) terkandung dalam metode ilmiah tersebut. Sebagian kalangan ilmuwan menempuh pendekatan yang berbeda, yaitu dengan membangun paham keilmuan berkenaan dengan realitas sosial (realitas kemanusiaan), dan seiring dengan ini mengembangkan metode ilmiah yang sesuai untuk mempelajari realitas sosial (realitas kemanusiaan) dengan dipandu oleh paham keilmuan tersebut. Upaya-upaya demikian menghasilkan metode ilmiah yang dikenal sebagai metode kualitatif (qualitative research inquiry). Atribut ‗kualitatif‘ ini digunakan sebagai pembeda dari metode penelitian sosial berbasiskan statistika, yang berbentuk kuantitatif. Pembahasan yang komprehensif mengenai perkembangan ini diberikan dalam Alvesson, Mats dan Kajskoldberg (2000), Denzin dan Lincoln (1998). Belakangan ini berkembang metode penelitian mixed atau integrative, yang berupaya untuk bergerak melampaui (beyond) pembedaan kualitatif-kuantitatif. Selain perkembanganperkembangan ini, paham positivisme itu sendiri mendapatkan kritik yang meluas dan koreksi dari para skolar yang kemudian merumuskan paham konstruktivisme (constructivism) (Edward dkk, 2008). 2.3.3
Reduksionisme (Materialistik)
Salah satu topik penting yang menjadi perhatian para ilmuwan dan para skolar filsafat pengetahuan adalah ‗tingkat ke-fundamental-an pengetahuan‘. Pertanyaannya di sini adalah: mana pengetahuan yang layak dipandang sebagai fondasi bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain. Jawaban atas pertanyaan ini didasarkan pada pencarian terhadap realitas yang fundamental, atau sebabsebab fundamental yang menjelaskan berbagai hal yang dijumpai dalam realitas yang teramati. Ini bukan merupakan permasalahan epistemologikal, melainkan ontologikal. Jika A dan B adalah bagian dari realitas objektif dan realitas A lebih fundamental daripada realitas B, maka pengetahuan tentang A lebih fundamental dari pengetahuan tentang B. Sebagai ilustrasi, seorang ahli sains syaraf (neuroscience), Alwin Scott, dalam bukunya "Stairway to the mind: controversial new science of consciousness,― meninjau
30
ke dalam inovasi
Makin Fundamenlat
secara kritikal piramida pengetahuan-pengetahuan yang dianut oleh sebagian ilmuwan syaraf. Piramida tersebut diilustrasikan dalam Gambar 2.3.
Budaya Kesadaran Otak Jaringan Sel-Sel Syaraf Struktur Biokimiawi Molekul Atom
Gambar 2.3a Fundamentalitas Realitas dalam Paham Reduksionisme Materialistik
Kesadaran Otak Jaringan Sel-Sel Syaraf Struktur Biokimiawi Molekul Atom
Gambar 2.3b
+? +? +? +? +?
Fenomena Emergence
Makin Fundamenlat
+? Budaya
Fenomena Emergence sebagai Counter-Example atas Reduksionisme Materialistik
Sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 2.3a, realitas atom dipercaya sebagai realitas yang paling fundamental. Realitas-realitas lain, pada prinsipnya, tersusun atas atom-atom. Penyusunan piramida realitas demikian dipandu oleh sebuah paham yang dikenal sebagai reduksionisme materialistik. Berdasarkan paham reduksionisme demikian, realitas pada tingkatan tertentu dapat dipahami dengan mempelajari realitas pada tingkatan di bawahnya, yang relatif lebih fundamental. Jadi, berdasarkan paham ini, realitas kesadaran manusia
transformasi penelitian
31
dapat dipahami dengan mempelajari struktur biokimiawi otak, dan realitas budaya dapat dipahami dengan mempelajari atom-atom. Alwin Scott mengungkapkan adanya problematik pada piramida pengetahuan-pengetahuan tersebut. Menurutnya, piramida tersebut tidak mengungkapkan fenomena emergent, bahwa realitas di suatu tingkatan bukan merupakan kumpulan agregat dari realitas di tingkatan di bawahnya. Dengan perkataan lain, keseluruhan bukan jumlah agregat dari bagian-bagiannya. Jadi, kesadaran bukan merupakan asembli dari atom, molekul, neron. Tetapi kesadaran emerges dari semua elemen-elemen ini. Kesadaran, meski terpaut dengan realitas atomik, kimiawi dan neronik, merupakan realitas yang (secara ontologikal) sepenuhnya baru. Pandangan reduksionisme tersebut, menurut Alwin Scott, tidak berhasil memberikan jawaban yang utuh tentang kesadaran manusia oleh karena ketidakmampuannya menjelaskan fenomena emergent tersebut. Berkaitan dengan paham reduksionisme tersebut, seorang pemenang Nobel untuk Fisika, Prof. Murray Gell-Mann, dalam novelnya ―The Quark and The Jaguar,‖ menuturkan, "There would seem to be an enormous gap between fundamental physics and these other pursuits… Elementary particles have no individuality. … By contrast, … linguistics, history are concerned with individual empires …". Dalam novel tersebut Murray Gell-Mann menyusun peringkat pengetahuanpengetahuan atas dasar perbedaan tingkat kompleksitas. Pergerakan dari dasar ke puncak piramida merupakan pergeseran dari kesederhanaan menuju kompleksitas. Ini yang dimetaforkan oleh Gell-Mann sebagai perjalanan dari Quark (fenomena fisika) menuju Jaguar (fenomena mahluk hidup yang berwatak adaptif). Dalam pandangan Murray Gell-Mann masyarakat merupakan sebuah sistem yang kreatif dan memiliki kompleksitas yang sangat tinggi. Penguasaan terhadap hukum-hukum universal matematika dan fisika tidak begitu saja membuka jalan untuk menerangkan fenomena mental ataupun fenomena sosialpolitik. Paham reduksionisme tersebut tentu saja menimbulkan kesulitan bagi kajian pemanfaatan iptek. Jika manusia dan masyarakat dipercaya sebagai realitas yang murni tersusun atas atom-atom, maka pertanyaan mengenai nilainilai, baik-buruk, menjadi tidak relevan. Alwin Scott dan Murray Gell-Mann
32
ke dalam inovasi
mewakili kelompok ilmuwan kealaman yang mempertanyakan keabsahan paham reduksionisme. Murray Gell-Mann secara khusus menyarankan bahwa fenomena kemasyarakatan dipelajari dengan metode ilmiah tersendiri. Tentu saja, gagasan-gagasan dan teknik-teknik yang berkembang pada pengetahuan tertentu dapat berguna bagi pengetahuan yang lain. Pengetahuan-pengetahuan dapat berkembang dengan cara-cara yang saling memperkaya satu pada yang lain, tanpa memerlukan asumsi mengenai mana pengetahuan yang lebih fundamental. 2.4 Desakan untuk Rekonsiliasi Upaya-upaya secara seksama dan sistematik untuk memahami masalah pemanfaatan iptek mulai berkembang secara signifikan pada dekade 1980-an, terutama oleh para skolar/akademisi di sejumlah perguruan tinggi di Uni Eropa dan Amerika Serikat, dan kemudian meluas ke Asia dan Amerika Latin. Terdapat beberapa faktor yang memicu upaya-upaya rekonsiliasi antara ‗hard sciences‘ dan ‗soft sciences‘: (i) menajamnya persaingan industrial antarbangsabangsa; (ii) meluasnya desakan untuk mewujudkan demokrasi; (iii) isu lingkungan global. Di penghujung dekade 1980-an, runtuhnya Tembok Berlin dan berakhirnya Perang Dingin menandai dimulainya babak baru pergaulan antarbangsa-bangsa, yang dicirikan oleh persaingan ekonomik berbasiskan kekuatan industrial. Gagasan pasar global dan borderless nation diusulkan agar arena persaingan ekonomik menjadi luas, dan kekuatan-kekuatan industrial menjadi efektif. Untuk ini, masing-masing bangsa mengerahkan kekuatan iptek untuk menopang industri dan mengembangan kekuatan industrial. Inggris dan Amerika Serikat merupakan dua negara yang paling dahulu merumuskan kebijakan iptek untuk tujuan ini, dan memacu perkembangan teori-teori tentang sistem inovasi (inovasi sistemik) berskala nasional (Fagerberk dkk, 2004). Desakan untuk mewujudkan demokrasi (apakah demokrasi liberal atau demokrasi sosial, atau demokrasi model lainnya) juga meluas pada dekade 1980an. Dalam konteks ini, sebagian kalangan ilmuwan ingin memposisikan iptek dan pengetahuan ilmiah sebagai sebuah jawaban, bukan penghalang, bagi
transformasi penelitian
33
upaya demokratisasi. Hal ini memacu perkembangan kajian-kajian yang bersifat kritikal dan refleksif terhadap iptek dan pengetahuan ilmiah pada umumnya. Ini menghasilkan, antara lain, perkembangan area keilmuan antardisiplin yang kini dikenal sebagai science and technology studies (STS) (Edward dkk, 2008). Faktor yang ke tiga adalah isu lingkungan global. Isu ini berkaitan dengan kedua faktor yang didiskusikan di atas, yaitu persaingan global dan demokratisasi. Globalisasi ekonomi (dan persaingan industrial) membawa konsekuensi bahwa isu lingkungan harus dilihat dalam perspektif kepentingan global, bukan nasional. Prinsip demokrasi menekankan bahwa pembahasan lingkungan global tidak memarjinalkan kelompok-kelompok atau bangsabangsa tertentu. Jadi, diperlukan suatu partisipasi global utuk membahas dan menjawab isu lingkungan global. Di berbagai forum antarbangsa, para pelaku usaha dan industri, para pembuat kebijakan, para ilmuwan dan peneliti, para aktivis lingkungan dan LSM-LSM bertemu, mengajukan kepentingannya masing-masing, bertukar pandangan, dan mencari platform bersama. Watak multidimensional dari lingkungan global mendesak para ilmuwan dari beragam latar belakang keilmuan untuk mempelajari fenomena tersebut dengan bekerja secara lintas-disiplin. Lahirnya gagasan tentang ‗sistem inovasi‘ dapat dilihat sebagai bagian dari rekonsiliasi sebagaimana diuraikan di atas. ‗Inovasi‘ itu sendiri bukan istilah yang baru. Dalam kamus Encarta, misalnya, dinyatakan bahwa ‗innovation‘ berasal dari istilah Bahasa Latin abad 16 ‗innovare‘ yang berarti ‗memperbarui‘ (renew). Kecenderungan untuk melakukan sesuatu dengan cara yang lebih baik, dan mengujinya dalam praktis, merupakan hal yang melekat dalam diri manusia. Jadi, sebagai fenomena, bisa jadi inovasi telah ada di sepanjang sejarah manusia. Meski demikian, untuk kurun waktu yang lama fenomena ini tidak menjadi perhatian para ilmuwan dan peneliti. Dalam kajian-kajian ekonomik, misalnya, perhatian lebih berfokus pada akumulasi modal dan mekanisme pasar. Ketika para ahli ekonomika menjelaskan bagaimana mekanisme pasar bebas menimbulkan efisiensi, mereka tidak menjelaskan bagaimana peningkatan efisiensi itu terjadi melalui inovasi11. 11
Ketika perusahaan-perusahaan dalam suatu pasar bebas mencapai efisiensi yang lebih tinggi, pada dasarnya ini dicapai melalui dua cara: menurunkan biaya produksi atau
34
ke dalam inovasi
Dengan perkataan lain, dalam ekonomika inovasi diperlakukan sebagai ‗kotak hitam‘; yang diperhatikan adalah input dan output dari inovasi. Tetapi proses internal dari inovasi tidak dijelaskan. Di sisi lain, para filosof pengetahuan berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan di seputar objektivitas pengetahuan dan piramida pengetahuan-pengetahuan, para ilmuwan kealaman berkonsentrasi pada discovery races, dan para ahli teknologi sibuk dalam perlombaan invensi12. Tidak jarang para ilmuwan dan ahli teknologi beragumen tentang pentingnya penelitian-penelitian mereka, dengan merujuk pada manfatmanfaat ekonomik yang potensial. Meski demikian, sering argumen-argumen seperti ini tidak disertai dengan penjelasan tentang proses inovasi—bagaimana iptek yang dikembangkan akan menimbulkan dampak sosial/ekonomik. Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang inovasi, sebagai fenomena, tidak menjadi perhatian utama dalam penelitian-penelitian mereka. 2.5 Formulasi Sistem Inovasi Sebagaimana dinyatakan di bagian terdahulu, kajian ilmiah atas fenomena inovasi merupakan bagian dari upaya rekonsiliasi antara ‗hard sciences‘ dan ‗soft sciences‘. Menurut catatan Fagerberg dkk (2004), kajian-kajian tetang inovasi baru berkembang secara intensif dan pesat dalam beberapa dekade belakangan, dan cenderung berpola lintas-disiplin. Kajian-kajian awal mengenai inovasi, misalnya, dirintis oleh seorang ilmuwan sosial asal Jerman, Joseph Schumpeter, di tahun 1930/1940-an. Schumpeter menaruh perhatian pada peranan inovasi dalam perubahan sosial dan ekonomik. Dalam pandangan Schumpeter, fenomena ini tidak cukup dipahami melalui kajian-kajian yang hanya menaikkan produktivitas (termasuk kualitas produk). Sebagian perusahaan berhasil, sebagian yang lain tidak. Ekonomika neo-klasik tidak menjelaskan bagaimana perusahaan tertentu berhasil melakukan inovasi dan perusahaan yang lain tidak berhasil. Ini karena ekonomika lebih berfokus pada efek-efek total/agregat. 12 Dalam tinjauannya mengenai perkembangan teori inovasi, Fagerberg (2004) membedakan inovasi dari invensi. Invensi dan inovasi memiliki kesamaan dalam hal keduanya mengandung gagasan yang baru. Tetapi, yang disebut inovasi adalah ketika suatu gagasan baru sudah masuk ke ranah praktis di masyarakat, bukan di dalam laboratorium.
transformasi penelitian
35
memperhatikan distribusi dan alokasi sumber-sumber daya. Perubahan ekonomik, menurut Schumpeter, harus dipandang sebagai proses kualitatif yang digerakkan oleh inovasi, dan berlangsung melalui suatu lintasan sejarah (Fagerberg dkk, 2004). Schumpeter sendiri mendefinisikan inovasi sebagai ‗kombinasi yang baru‘ dari sumber-sumber daya yang ada. Secara implisit, definisi ini memberi penekanan pada peranan iptek. Pada tahap-tahap berikutnya kajian-kajian inovasi berkembang dengan befokus pada: (i) proses inovasi; (ii) faktor-faktor yang mempengaruhi proses inovasi; dan (iii) dampak ekonomik dan sosial dari inovasi. Pendekatan yang kemudian diadopsi meluas di kalangan ilmuwan inovasi didasarkan pada perspektif kesisteman dan perspektif jejaring (network). Berikut ini adalah beberapa definisi yang dirumuskan oleh para ahli ekonomika: “The network of institutions in the public and private sectors whose activities and interactions initiate, import, modify and diffuse new technologies” (Dosi dan Freeman, 1990); “A set of institutions whose interactions determine the innovative performance of national economies” (Nelson, 1993); “All parts and aspects of the economic structure and the institutional set-up affecting learning as well as searching and exploring – the production system, the marketing system and the system of finance present themselves as subsystems in which learning takes place “ (Lundvall, 1992). Dari definisi-definisi tersebut dapat diekstraksikan beberapa hal sebagai berikut: inovasi merupakan fenomena dengan ciri-ciri pokok: pembelajaran, eksplorasi dan difusi iptek baru; inovasi merupakan fenomena sistemik yang mencakup unsur-unsur dalam struktur ekonomik dan tatanan kelembagaan baik milik publik maupun swasta; inovasi terjadi ketika unsur-unsur struktural dan kelembagaan berinteraksi satu dengan yang lain.
36
ke dalam inovasi
Definisi-definisi tersebut, tentu saja, mencerminkan suatu perspektif ekonomik. Meski sistem/lembaga penelitian dan pengembangan iptek tidak secara eksplisit dinyatakan, frase ‗diffuse new technologies‘ dan ‗searching and exploring‘ menegaskan peranan sistem penelitian dan pengembangan iptek dalam sebuah inovasi. Fagerberg dkk (2004) secara khusus mencatat adanya kecenderungan lintas-disiplin dalam kajian-kajian inovasi. Kelompok-kelompok peneliti yang berbeda, dengan komposisi ilmu-ilmu yang berbeda, mengkaji aspek-aspek yang berbeda dari inovasi. Hal ini membuat inovasi menjadi area kajian ilmiah yang kaya akan pengetahuan baru dan produktif. 2.5.1
Interaksi Triple-Helix
Kajian-kajian kesisteman terhadap fenomena inovasi menyimpulkan adanya unsur-unsur yang esensial dalam sebuah inovasi sistemik, yaitu (Cozzen dan Catalán, 2008; Baskaran dan Muchie, 2008): Perusahaan-perusahaan, yang memiliki kepentingan akan iptek baru untuk meraih posisi yang kompetitif di ranah pasar, dan untuk ini berupaya mempertahankan daya saing melalui pembelajaran dan pengembangan kapabilitas teknologikal; Organisasi-organisasi iptek (perguruan tinggi atau lembaga penelitian milik pemerintah) yang menyumbangkan iptek melalui komersialisasi hasil penelitian, atau membantu perusahaan-perusahaan untuk mengembangkan pembelajaran, meningkatkan kapabilitas teknologikal, dan meningkatkan kapasitas serap (absorptive capacity) iptek; Institusi-institusi pemerintahan dan regulasi-regulasi yang menentukan kondusif atau tidaknya lingkungan bagi tumbuhnya suatu usaha baru, atau bagi pengenalan, pengujian dan adopsi suatu iptek baru; Interaksi-interaksi antara perusahaan-perusahaan, organisasi-organisasi iptek dan institusi-institusi pemerintahan sebagai proses fundamental yang memungkinkan peningkatan kapasitas dan kinerja sistem inovasi. Interaksi-interaksi khusus antara unsur-unsur ini yang menimbulkan inovasi dikenal sebagai model triple helix (lihat Gambar 2.4) (Etzkovitz dan Leydesdoff, 2000; Fagerberg dkk, 2004).
transformasi penelitian
37
Bila pada tahap awal para peneliti inovasi berfokus di ranah komersial (pada kinerja ekonomik seperti pertumbuhan produktivitas, peningkatan daya saing dan perluasan bisnis), pada tahap berikutnya para peneliti tersebut mulai memperhatikan inovasi di ranah sosial (non-komersial) dengan berfokus pada permasalahan-permasalahan seperti penyediaan layanan kesehatan, penyediaan air dan sanitasi, ketahanan pangan, keberlanjutan lingkungan, dan lain-lain (Cozzen dan Catalán, 2008). Sebagai implikasi dari perluasan fokus ini, unsurunsur pokok dari inovasi juga mengalami perluasan mencakup (lihat Gambar 2.4): organisasi-organisasi yang berperan dalam social problem-solving seperti lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), asosiasi-asosiasi profesi/praktisi, dan konsensus-konsensus antara organisasi-organisasi non-pemerintah. Interaksi-interaksi antara unsur-unsur tersebut dapat bersifat kompetitif atau kooperatif, formal ataupun non-formal. Sebagai ilustrasi mengenai tujuan non-ekonomik adalah pencapaian Millennium Development goals (MDGs). Organisasi-organisasi nonpemerintah/non-komersial mengambil peran inisiatif dalam sistem-sistem inovasi lokal untuk menjawab masalah air bersih dan sanitasi di kawasan kumuh perkotaan (urban slum), ataupun di kawasan perdesaan. Dalam kasus seperti ini, rumah tangga dan komunitas lokal harus membuat keputusankeputusan dengan pilihan-pilihan yang sangat terbatas. Di sini, seleksi iptek pada tingkat rumah tangga dan komunitas lokal merupakan bagian yang penting dari proses pembelajaran. Berbagai pelaku dari sistem inovasi perlu mempelajari proses keputusan di tingkat tersebut untuk dapat menjamin terjadinya inovasi yang berkelanjutan.
38
ke dalam inovasi
Sistem Inovasi
Hasil (Outcome) Inovasi Organisasi ProblemSolving
Organisasi Pengetahuan
Pembelajaran atas Pilihan-Pilihan; Seleksi oleh Pengguna/Pengadopsi
Pertumbuhan Bisnis Perbaikan Kesehatan Ketahanan Pangan Keberlanjutan Lingkungan
Governance (Tata Kelola)
Gambar 2.4 Struktur Pokok Sistem Inovasi yang Diperluas (Sumber: Cozzen dan Catalán, 2008) 2.5.2
Penelitian Moda-2
Dalam konteks kajian-kajian mengenai inovasi, gagasan yang secara khusus merujuk pada pola penelitian adalah yang dikenal sebagai penelitian ‗moda-2‘. Penelitian moda-2 dibedakan dari penelitian yang konvensional dalam hal kompleksitas interaksi yang berkaitan dengan penelitian tersebut. Dalam penelitian yang konvensional, interaksi yang terjadi adalah di antara sesama peneliti, dan penelitian ini berpola monodisiplin atau multidisiplin secara terbatas. Dalam penelitian moda-2, interaksi yang terjadi melibatkan pelakupelaku dari lembaga-lembaga/organisasi-organisasi yang beragam wataknya, dan penelitian makin berpola lintas-disiplin. Salah satu contohnya adalah penelitian yang melibatkan interaksi yang intensif antara akademisi dan praktisi industri, dan menghasilkan makalah-makalah ilmiah yang ditulis bersama oleh akademisi dan praktisi. Berkembangnya penelitian moda-2 ini merupakan konsekuensi dari meluasnya dan makin beragamnya pelaku-pelaku interaksi dalam sebuah inovasi. Berkembangnya praktis penelitian moda-2 ini terungkap dalam temuan-temuan empirikal yang didapatkan oleh Gibbons dkk (1994).
transformasi penelitian
2.5.3
39
Inovasi dalam Perusahaan
Efisiensi merupakan gagasan yang sentral dalam ekonomika, dan bagaimana suatu perusahaan dapat mencapai efisiensi yang tinggi merupakan isu yang sentral dalam kajian ekonomik. Apakah peningkatan efisiensi bisa dijelaskan hanya dengan menggunakan konsep-konsep modal, tenaga kerja, dan alih iptek? Kajian-kajian empirikal menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di sejumlah negara berkembang tidak berhasil meningkatkan efisiensi meski telah mendapatkan suntikan modal dan melakukan alih iptek (Keller dan Samuels, 2003; Thee, 1996). Yang terabaikan di sini adalah bahwa peningkatan efisiensi suatu perusahaan pada esensinya merupakan sebuah inovasi di dalam perusahaan. Kapabilitas dari suatu perusahaan untuk melakukan inovasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti: keterampilan, pengalaman, pengetahuan, sumbersumber iptek, dan interaksi dengan perusahaan-perusahaan/organisasiorganisasi lain. Faktor yang krusial bagi peningkatan kapabilitas inovasi ini adalah pembelajaran (learning), yang biasanya berlangsung secara inkremental dan kumulatif. Seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 2.5, siklus di bagian bawah mewakili proses perubahan teknis (technical change) dan siklus di bagian atas mewakili proses pembelajaran teknologikal. Dalam Gambar 2.5, pembelajaran teknologikal diilustrasikan sebagai proses yang terdiri atas ‗gerak maju‘ (garis utuh) dan ‗gerak mundur‘ (garis terputusputus). Pengalaman dan pengetahuan produksi dapat berkembang seiring dengan keterlibatan para operator/insinyur dalam kegiatan produksi, dan perkembangan ini dapat menimbulkan peningkatan kapasitas produksi. Tetapi tanpa kapabilitas teknologikal, manfaat dari pengalaman dan pengetahuan produksi menjadi terbatas. Sebaliknya, pengalaman dan pengetahuan yang berkembang melalui kegiatan teknis akan memperluas proses pembelajaran teknologikal, yang pada gilirannya menghasilkan peningkatan dalam kapabilitas teknologikal.
40
ke dalam inovasi PEMBELAJARAN TEKNOLOGIS Kapabilitas Teknologis
AKTIVITAS TEKNIS
Impor dan Alih Teknologi Kapasitas Produksi
Kapasitas Produksi Input (Modal, Tenaga Kerja, Bahan Mentah)
PROSES PRODUKSI
Output
Input (Modal, Tenaga Kerja, Bahan Mentah)
PROSES PRODUKSI
Output
Gambar 2.5 Faktor Peningkatan Kapasitas Produksi: (Kiri) Perspektif Ekonomika Neo-Klasik; (Kanan) Perspektif Ekonomika Evolusioner.(Sumber: Allbu, 1997) Jadi, pembelajaran merupakan faktor yang menentukan kapabilitas inovasi di perusahaan-perusahaan. Dalam kajian-kajian ekonomik yang konvensional, faktor pembelajaran ini kurang diperhitungkan. Hal ini pada gilirannya membawa implikasi pada kebijakan-kebijakan ekonomik. Peningkatan kapabilitas inovasi perusahaan-perusahaan tidak bisa dijawab hanya dengan menggunakan instrumen-instrumen finansial (seperti kemudahan kredit dan insentif fiskal). Tentu saja instrumen-instrumen finansial ini penting, tetapi tidak cukup. Peningkatan kapabilitas inovasi dari perusahaan-perusahaan membutuhkan adanya lingkungan regulasi yang mendorong perusahaanperusahaan untuk berinteraksi dengan lembaga-lembaga iptek, dan melakukan pembelajaran melalui interaksi tersebut. 2.6 Evolusi Perguruan Tinggi Perubahan cara pandang tentang pengetahuan, khususnya tentang hubungan antara perkembangan pengetahuan dan pemanfaatan pengetahuan, juga menimbulkan pengaruh pada bentuk-bentuk perguruan tinggi. Dalam literatur tentang perguruan tinggi, bentuk Humboldtian dipandang sebagai bentuk awal dari perguruan tinggi modern. Istilah Humboldtian itu sendiri merujuk pada sosok Wilhelm von Humboldt. Pada tahun 1809 ia mengusulkan gagasan
transformasi penelitian
41
tentang perguruan tinggi atas dasar filosofi idealis bahwa perguruan tinggi merupakan wadah bagi pembentukan karakter manusia. Dalam filosofi idealis tersebut, pembentukan karakter melalui pengetahuan dipandang sebagai tujuan tertinggi dalam kehidupan individual manusia dan pewujudan nilai-nilai luhur kemanusiaan, sedangkan manfaat material dari pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang kurang berharga (Keck, 1993). Jadi, perguruan tinggi Humboldtian dipisahkan dari sistem ekonomik. Ini bersesuaian dengan bentuk-bentuk pemerintahan aristokratik yang berlaku di bangsa-bangsa Eropa sampai abad ke-19. Dalam pemerintahaan aristokratik, kelas penguasa relatif mendominasi kelas produksi/pekerja. Perguruanperguruan tinggi di Eropa di masa itu pada umumnya didirikan oleh pemerintah (kelas penguasa) untuk kepentingan kelas tersebut. Di pertengahan abad ke-19 berkembang perguruan-perguruan tinggi yang berorientasi pada penelitian. Salah satu yang menonjol adalah perguruan tinggi Gottingen, yang didirikan oleh kerajaan Hanover. Perguruan-perguruan tinggi penelitian tersebut bekerja untuk kepentingan pemerintah dan mendapat pengawasan dari pemerintah. Dalam situasi-situasi seperti yang dipaparkan di atas, perkembangan industri-industri di Eropa tidak mendapatkan dukungan dari kegiatan penelitian perguruan tinggi (Keck, 1993). Sebagai respons atas situasi seperti ini, sejumlah organisasi profesi yang terkait dengan industri mengambil inisiatif untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi lain, yang kemudian dikenal dengan nama technische Hochschule. Pendirian lembaga ini dimaksudkan untuk menghasilkan sarjana-sarjana teknik yang mengisi kebutuhan tenaga kerja di industri-industri. Keberadaan sistem ganda (dual system) seperti ini—perguruan tinggi penelitian dan technische hochschule, mencerminkan adanya persaingan antarkelas sosial di masyarakat Jerman di masa itu. Di Eropa abad ke-19, iptek dan industri berkembang dalam jalur-jalur yang terpisah. Di satu sisi, kegiatan penelitian di perguruan tinggi diarahkan pada kepentingan kelas penguasa dan mendapatkan dukungan dana yang besar dari pemerintah. Kegiatan penelitian tersebut tidak berorientasi pada kebutuhankebutuhan industri. Di sisi lain, industri-industri dikembangkan dalam kelaskelas sosial di luar kelas penguasa (the ruling class). Praktis komersialisasi hasil penelitian tidak dikenal di Eropa di masa itu. Komersialisasi penelitian
42
ke dalam inovasi
perguruan tinggi, untuk pertama kalinya, dipraktikkan di Amerika Serikat (AS) di awal abad ke-20 (sebelum Perang Dunia I). Menurut catatan Mowery dan Rosenberg (1998), sampai di akhir abad ke-19 tingkat kemajuan iptek di Amerika Serikat jauh tertinggal dari tingkat kemajuan iptek di Eropa (terutama di Perancis, Jerman, Belanda, dan Inggris). Meski demikian, di masa itu tingkat kesejahteraan masyarakat Amerika Serikat jauh lebih tinggi dari masyarakat negara-negara Eropa. Tingkat kesejahteraan yang tinggi dari masyarakat Amerika Serikat tersebut ditopang oleh faktor kekayaan sumber daya alam, pasar domestik yang berukuran besar, dan meluasnya praktis wirausaha di masyarakat. Komersialisasi hasil penelitian perguruan tinggi mulai muncul di Amerika Serikat ketika Pemerintah Federal mengeluarkan kebijakan antitrust yang melarang perusahaan-perusahaan melakukan praktis kartel. Sebagai respons terhadap kebijakan tersebut, perusahaan-perusahaan mulai mengubah strategi persaingan mereka, dan mencari cara-cara diferensiasi produk untuk memenangkan persaingan (Mowery dan Rosenberg, 1998). Untuk menjalankan strategi diferensiasi produk tersebut, perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ‗meminjam‘ iptek dari Eropa, dan melakukan adaptasi untuk keperluan persaingan domestik. Para akademisi dari perguruan-perguruan tinggi lokal/nasional dilibatkan untuk mendukung strategi ‗pinjam dan komersialisasi‘ (borrowing and commercializing) tersebut. Salah satu contohnya adalah proses Haber-Bosch, yang dapat mengubah nitrogen di atmosfer menjadi pupuk dalam jumlah yang berlimpah. Teknologi ini semula dikembangkan oleh para ilmuwan Jerman. Kemudian teknologi ini diadopsi oleh insinyur-insinyur industri di AS, dan setelah menempuh waktu yang panjang akhirnya berhasil dikomersialkan. Perguruan-perguruan tinggi (terutama MIT dan universitas Stanford) mulai terlibat dalam memasok hasil penelitian untuk perusahaan-perusahaan swasta. Relevansi antara penelitian di perguruan tinggi dan penelitian industrial mulai meningkat, dan kegiatankegiatan penelitian akademik di perguruan tinggi berorientasi sepenuhnya terapan (pure applied research). Reformasi kebijakan iptek dan pendidikan tinggi di Amerika Serikat dan Uni Eropa Barat terjadi secara meluas pada akhir dekade 1980-an. Pada dekade tersebut berkembang luas tuntutan bahwa: (i) program-program penelitian yang
transformasi penelitian
43
menggunakan anggaran negara harus akuntabel dan responsif terhadap kebutuhan publik; dan (ii) penelitian dan pendidikan tinggi harus memberikan dampak yang positif bagi kemajuan ekonomik dan kualitas kehidupan sosial secara keseluruhan (Lee, 1997). Reformasi kebijakan tersebut pada gilirannya menstimulasi transformasi perguruan-perguruan tinggi (Kohler dan Huber, 2006). Seiring dengan ini, gagasan-gagasan tentang bentuk baru perguruan tinggi dikaji dan dibahas secara meluas. Sebagian para peneliti merumuskan gagasan tentang perguruan tinggi entrepreneurial, yang dibedakan dari perguruan tinggi pengajaran (teaching) dan perguruan tinggi penelitian. Sebagai sebuah gagasan teoretikal, ‗perguruan tinggi entrepreneurial‘ mulai menjadi pembahasan di literatur akademik pada awal 1990-an. Elemen kunci dalam transformasi menuju perguruan tinggi entrepreneurial adalah (Etzkowitz, 2000): (i) pergeseran dalam kegiatan penelitian dari kegiatan individual menjadi kegiatan kolektif/berkelompok; dan (ii) perluasan dalam misi pendidikan dari pendidikan untuk individual menjadi pendidikan untuk pengembangan organisasi-organisasi di luar kampus, seperti melalui pelembagaan inkubasi bisnis dan pengembangan LSM-LSM. Etzkowitz (2000) berargumen bahwa melalui transformasi-transformasi seperti yang diuraikan di atas, perguruan tinggi entrepreneurial memiliki kemampuan untuk merumuskan academic goals yang bersifat stratejik, melaksanakan penelitian stratejik (strategic research), dan menerjemahkan pengetahuan yang dihasilkan oleh penelitian tersebut ke dalam manfaat-manfaat ekonomik dan sosial. 2.7 Rangkuman Tinjauan literatur yang disampaikan di bab ini memperlihatkan bahwa kesulitan-kesulitan dalam pemanfaatan iptek bersumber pada permasalahan teoretikal, bukan pada permasalahan praktikal. Jadi, situasinya bukanlah bahwa teori-teori/model-model tentang pemanfaatan iptek telah tersedia, dan permasalahan hanya ada di ranah penerapan praktikal. Sebaliknya, permasalahan justru berada di ranah gagasan-gagasan teoretikal. Permasalahan keterintegrasian antara perkembangan iptek dan pemanfaatan iptek mengasumsikan bahwa ‗iptek‘ dan ‗masyarakat‘ merupakan dua gagasan yang selaras (compatible). Tentu saja dalam realitas praktikal sehari-
44
ke dalam inovasi
hari, iptek dan masyarakat tidak pernah terpisahkan. Meski demikian, seperti yang dibahas melalui tinjauan literatur di bab ini, iptek dan masyarakat terpisahkan di ranah epistemologi. Keterpisahan ini dimulai sejak masa-masa awal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu sendiri. Keterpisahan epistemoligikal antara ‗hard sciences‘ dan ‗soft sciences‘ merupakan sebuah faktor yang menimbulkan kesulitan dalam upaya-upaya praktikal untuk mengintegrasikan perkembangan iptek dan pemanfaatan iptek. Kritik-kritik atas keterpisahan epistemolgikal tersebut dan kajian-kajian untuk mewujudkan rekonsiliasi antara ‗hard sciences‘ dan ‗soft sciences‘ baru berkembang ketika terjadi perubahan-perubahan konteks sosial dan politik yang kondusif. Kritik-kritik dan kajian-kajian tersebut, pada gilirannya, menyediakan basis ilmiah bagi reformasi kebijakan iptek, kebijakan ekonomik, dan kebijakan publik pada umumnya. Kritik dan kajian ilmiah tersebut berfokus pada: (i) koreksi atas metode ilmiah (kritik/koreksi epistemologi); (ii) kritik atas model linier inovasi; dan (iii) pengembangan model-model untuk mengelola kegiatan litbang iptek dan kegiatan pembangunan kemasyarakatan dengan cara-cara yang terintegrasi. Perkembangan gagasan sistem inovasi, penggunaan gagasan sistem inovasi dalam reformasi kebijakan-kebijakan publik, dan evolusi bentuk-bentuk perguruan tinggi dapat dipandang sebagai hasil-hasil dari kritik/kajian ilmiah tersebut13. Perkembangan-perkembangan ini semua tengah berlangsung di negara-negara berindustri maju, tempat perkembangan iptek modern bermula. Meski sangat penting, hasil-hasil yang diraih di negara-negara berindustri maju tidak dapat begitu saja diadopsi dan digunakan di negara-negara berkembang. Keterintegrasian antara perkembangan iptek dan pemanfaatan iptek di negaranegara berkembang, khususnya di Indonesia, perlu dipelajari dengan memperhatikan kondisi-kondisi khas yang berlaku. Pembahasan pada bab-bab berikut ini didasarkan pada pengamatan empirikal atas kondisi-kondisi yang khas tersebut.[]
13
Tumbuh dan berkembangnya bidang kajian Science and Technology Studies (STS) juga merupakan hasil dari upaya untuk mewujudkan rekonsiliasi antara „hard sciences‟ dan „soft sciences‟.
transformasi penelitian
45
Bab 3 JEJARING RELASI AKADEMISI
3.1 Pendahuluan
Perguruan tinggi dapat dipandang sebagai ‗lembaga induk‘ bagi penelitian dan pengembangan iptek. Meski terdapat lembaga-lembaga lain yang juga menyelenggarakan litbang iptek, para peneliti yang bekerja di lembaga-lembaga tersebut mendapatkan gelar kesarjanaan di perguruan tinggi. Perguruan tinggi juga merupakan ‗lembaga induk‘ bagi pendidikan di tingkat menengah dan dasar. Pengetahuan yang diajarkan dan metode pembelajaran yang diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan menengah/dasar, berasal dari perguruan tinggi. Di negara-negara berindustri maju, perguruan tinggi memiliki peranan yang fundamental dalam pengembangan iptek dan pemanfaatan hasil litbang iptek di masyarakat. Di negara-negara tersebut, peranan perguruan tinggi merupakan sebuah isu yang sentral dalam kebijakan iptek. Secara formal, perguruan-perguruan tinggi di Indonesia terikat pada Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu bahwa perguruan tinggi menjalankan misi pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Tridharma Perguruan Tinggi tersebut, meski bersifat komprehensif, tidak secara eksplisit menggariskan apakah misi-misi penelitian dan pengabdian masyarakat harus saling berkaitan dan terpadu, atau tidak. Keterpaduan kedua misi tersebut bermakna bahwa kegiatan pengabdian masyarakat mengandung unsur penelitian dan kegiatan penelitian berorientasi pada pengabdian masyarakat. Keterpaduan antara misi penelitian dan misi pengabdian masyarakat merupakan hal yang krusial bagi inovasi. Pembahasan di bab ini bertujuan untuk menggali dan memaparkan: (i) bagaimana para akademisi menyikapi isu pemanfaatan hasil litbang iptek; dan (ii) dalam situasi di mana seorang akademisi terlibat dalam upaya pemanfaatan hasil litbang iptek, apa hal-hal yang dipandang akademisi tersebut sebagai
46
ke dalam inovasi
kendala atau peluang. Pembahasan dalam bab ini didasarkan pada hasil wawancara dan focus group discussion (FGD) dengan sejumlah akademisi dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Pelaksanaan wawancara dan FGD tersebut di atas diposisikan dalam konteks implementasi kebijakan otonomi perguruan tinggi14. Ketiga perguruan tinggi tersebut di atas mewakili perguruan-perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki tingkat produktivitas penelitian yang relatif tinggi, dan memiliki kemitraan penelitian dengan berbagai pihak di masyarakat baik pada skala lokal maupun nasional. ITB merupakan salah satu dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sejak awal dekade 2000-an memelopori transformasi menjadi perguruan tinggi otonom dengan bentuk Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN). ITS, meski bukan pelopor transformasi menjadi PT BHMN, juga melakukan penyesuaian-penyesuaian tersendiri untuk merespons kebijakan otonomi perguruan tinggi. UKSW, sebagai perguruan tinggi swasta (PTS), sejak awal berdirinya sudah otonom dalam aspek pendanaan. Bagi UKSW, sebagai perguruan tinggi swasta, aspek otonomi akademik dalam kebijakan otonomi perguruan tinggi lebih relevan. Kebijakan otonomi perguruan tinggi merupakan konteks yang relevan bagi pembahasan di buku ini. Salah satu objektif dari kebijakan tersebut adalah pemanfaatan hasil penelitian (perguruan tinggi) di masyarakat. Isu-isu yang sentral dalam kebijakan otonomi perguruan tinggi tersebut adalah, antara lain: peningkatan relevansi pasar (market relevance)15 dari kegiatan penelitian dan
14
Kebijakan ini merupakan bagian dari reformasi di berbagai sektor publik di Indonesia yang bergulir sejak tahun 1999. Landasan hukum bagi kebijakan otonomi perguruan tinggi ini kemudian diperkuat melalui penerbitan undang-undang yang dikenal sebagai Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Perumusan undang-undang ini menempuh proses revisi berulang-ulang selama lebih dari lima tahun. Pada tahun 2009 UU BHP disahkan oleh Pemerintah, tetapi pada tahun 2010 keabsahan UU BHP dinyatakan batal oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 15 Relevansi dari kegiatan pengajaran/penelitian bukanlah isu yang baru. Sejak dekade 1980-an Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidian Nasional dan Kementerian Riset dan Teknologi telah menggulirkan sejumlah program insentif untuk meningkatkan relevansi ekonomik dari kegiatan pengajaran/penelitian di perguruan
transformasi penelitian
47
pengajaran di perguruan tinggi; dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perguruan tinggi16. Dalam sosialisasi kebijakan otonomi perguruan tinggi tersebut, Pemerintah menggulirkan gagasan mengenai ‗komersialisasi penelitian‘ (research commercialization) sebagai sebuah cara untuk meningkatkan relevansi penelitian perguruan tinggi terhadap permintaan pasar. Tetapi para akademisi dan peneliti di perguruan tinggi, berdasarkan pengalaman dan praktis mereka, memiliki asumsi dan cara pandang tersendiri tentang penelitian dan pemanfaatan iptek. Pembahasan di bab ini tentu saja tidak mencakup seluruh cara pandang para peneliti dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Meski demikian, isu-isu yang mengemuka di bab ini memiliki rentangan variasi yang luas. 3.2 Tarik-Menarik antara ‗Hulu‘ dan ‗Hilir‖ Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) merupakan sebuah perguruan tinggi di mana keseluruhan kegiatan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat—Tridharma Perguruan Tinggi—berkonsentrasi pada teknologi. Secara konvensional di Indonesia, sebuah institut teknologi dibedakan dari sebuah universitas dalam hal variasi disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang dikelolanya17. Dalam sebuah universitas terdapat fakultas-fakultas yang mengelola ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan kemanusian, selain fakultas teknologi dan fakultas matematika ilmu pengetahuan alam. Di ITS, sebagai
tinggi. Yang baru, dalam kebijakan otonomi perguruan tinggi, adalah bahwa isu relevansi dijawab melalui transformasi kelembagaan perguruan tinggi. 16 Dalam Yuliar dan Syamwil (2008) dikutip pernyataan pejabat Dirjen Pendidikan Tinggi sebagai berikut, “ … kinerja perguruan tinggi bukan hanya jumlah lulusan, melainkan jumlah lulusan yang diserap oleh lapangan pekerjaan … pendidikan tinggi harus relevan dengan permintaan pasar atau lapangan pekerjaan. … Perguruan tinggi otonom di Inggris berjalan dengan baik … memiliki relasi yang baik dengan industri.” 17 Pernyataan ini dimaksudkan untuk menekankan bahwa apa yang berlaku di Indonesia berbeda dari yang berlaku di mancanegara. Misalnya, sejumlah institut teknologi di Amerika Serikat memiliki fakultas-fakultas ilmu-ilmu sosial dan kemanusian. „University of Science and Technology‟ merupakan bentuk lain dari perguruan tinggi yang diadopsi di banyak negara, tetapi tidak dikenal di Indonesia.
48
ke dalam inovasi
sebuah institut teknologi, pengelolaan ilmu-ilmu pengetahuan berkonsentrasi pada disiplin-disiplin teknologi, matematika dan ilmu pengetahuan alam. Seiring dengan bergulirnya kebijakan otonomi perguruan tinggi, di ITS berlangsung upaya-upaya untuk menetapkan kebijakan penelitian dan mengembangkan kelembagaan penelitian. Salah satu di antaranya adalah penyatuan Lembaga Penelitian (LP) dan Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) menjadi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM). Berikut ini disampaikan hasil wawancara dengan beberapa peneliti di ITS baik yang berasal dari fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam (FMIPA) maupun fakultas-fakultas teknik. Mengenai penelitian ‗hulu‘ dan penelitian ‗hilir‘, seorang peneliti yang berlatar belakang pendidikan di bidang kimia murni menuturkan sebagai berikut: Jadi kalau kami yang bergerak di bidang MIPA ini dekat dengan sumbernya begitu... kalau di area MIPA itu kan dekat dengan sumbernya ... terus disebut hulunya begitu kan. Terus ada asumsi kalau yang di bagian hilir ini ... sudah banyak aplikasi ... sudah banyak bumbu-bumbu nya. ... aliran pengetahuan kita analogikan dengan aliran air... Aktifitas kami, yang dinamakan komunitas di hulu, ya memang dari asalnya kita ke basic science, dan itu merupakan titik acuan science. Titik acuan science ini normalnya, itu selalu mencari mencari suatu terobosan juga, yang nantinya sebenarnya juga akan memikirkan juga ke hilirnya seperti apa. ... yang saya lakukan misalnya, memang kadang tidak banyak yang memikirkan aplikasinya. Nanti saja, yang penting ini ada suatu fenomena yang kita pelajari dulu. Sebagai contoh misalnya kalau yang kami lakukan, seperti potensi lokal di Jawa Timur ini, apa yang bisa kita lakukan dengan penelitian dasar terhadap potensi di Jawa Timur ini. Nah, ternyata setelah kami lakukan, ternyata apa yang kami lakukan itu aplikasinya bermacam-macam, ya. Ini ternyata juga ditindaklanjuti oleh teman-teman. Peneliti tersebut mengasosiasikan bidang MIPA dengan ‗sumber‘ iptek melalui ungkapan, ―… bidang MIPA ini dekat dengan sumbernya.‖ Iptek yang berada
transformasi penelitian
49
dekat ‗sumber‘ ini ia bedakan dari iptek yang berada di hilir yang ―sudah banyak bumbu-bumbu―. Peneliti tersebut tampaknya membedakan iptek-iptek atas dasar kriteria apakah iptek tersebut ia pandang bersifat esensial atau tidak esensial. Bumbu-bumbu, dalam sebuah produk pangan, bukan unsur yang esensial dari produk tersebut. Oleh karena iptek di hulu mengandung unsur esensial, iptek tersebut dipandang sebagai ―titik acuan science‖. Jadi, iptek di hilir perlu mengacu iptek di hulu karena unsur-unsur yang esensial berada dalam iptek hulu18. Peneliti fisika partikel tersebut memaparkan upaya yang ia tempuh untuk berinteraksi dengan peneliti-peneliti lain sebagai berikut: ... ya saya belajar itu di Jerman ... waktu meneliti itu, di sini belum nge-trend sampai sekarang pun juga belum kan, masih dalam tahap wacana-wacana. ... ya, tidak apa-apa itulah kecepatan negara kita. ... yang telah kami lakukan antara lain riset sintetis misalnya nano partikel. Waktu itu tidak berpikir jauhlah, ya ini rujukan literatur saja. Ya, habis itu kami coba share ke teman-teman yang lain. Akhirnya teman-teman ada yang memilikirkan di hilirnya mau seperti apa. Saya bisa di hulu. Ya sudah, itu yang saya kerjakan. ... ada wacana untuk membuat baja yang kuat dari temuan di teknik sipil. Ada lagi teman yang melakukan riset ini, dia pemodel matematika. ... Ada yang pure basic, ada yang di fisika itu melakukan penelitian tentang partikel-partikel. Tapi kami juga sudah memikirkan kira-kira aplikasinya seperti apa, kita punya tim di LPPM. Jadi, dengan memposisikan fisika partikel sebagai ‗acuan‘, peneliti tersebut menggali peluang-peluang penerapan dengan pendekatan science-pushed. Bertitik tolak pada anggapan bahwa iptek tertentu lebih esensial dari iptek-iptek yang lain, dan karenanya merupakan acuan bagi iptek-iptek yang lain, dilakukan pencarian kombinasi-kombinasi antara iptek yang esensial dengan ‗bumbu-bumbu‘, dengan harapan akan didapatkannya suatu kombinasi yang menimbulkan manfaat yang baru. Ini inti dari inovasi dengan pendekatan 18
Argumentasi atau narasi yang dikemukakan di sini menyerupai argumentasi piramida pengetahuan-pengetahuan yang didiskusikan di Bab 2.
50
ke dalam inovasi
science-pushed, yang tampaknya diadopsi oleh peneliti partikel nano tersebut dalam berinteraksi dengan peneliti-peneliti yang lain. Dalam penuturan berikut ini, peneliti tersebut menyampaikan upaya-upaya untuk menstimulasi interaksi antarpeneliti sebagai bagian dari penataan kelembagaan penelitian oleh LPPM ITS: ... kita mencoba mengarah ke enam fokus 19 itu. Itu sebagai sarana kita mendekatkan baik orang hulu dan orang hilir. … Dengan fokus pada agenda yang ada, diharapkan akan ada titik temu. Saya melihat kalau di fakultas MIPA ini orang-orang yang agak open itu malah dari kimia, … akhirnya untuk MIPA sendiri yang banyak diterima proposalnya itu di kimia. Seorang kolega kami membangun arsitek molekul lanjutan, disusun begini dan begitu ... setelah ini ditekuni, jadi. ... begitu kajian di hulu selesai di hilir juga akan terpenuhi. Itu menyesuaikan ke arah sana. Itu mau tidak mau. ... jadi kadangkadang hilir inilah yang coba kita tarik oleh orang-orang hulu. Ungkapan ―orang-orang yang agak open itu …, yang banyak diterima proposalnya‖ mencerminkan bahwa bagi peneliti tersebut, sifat terbuka (open) untuk berinteraksi adalah sifat yang penting. Melalui interaksi dengan penelitipeneliti dengan latar belakang keilmuan yang beragam, iptek yang esensial dapat dikombinasikan dengan iptek-iptek yang lain dan menghasilkan sesuatu yang (diharapkan) bermanfaat. Ungkapan ―begitu kajian di hulu selesai di hilir juga akan terpenuhi …‖ menegaskan cara pandang science-pushed dari peneliti tersebut mengenai inovasi. Bagi peneliti tersebut, seorang peneliti hulu perlu berinteraksi dengan peneliti-peneliti lain agar pendekatan science-pushed tersebut efektif. Ungkapan ― … kadang-kadang hilir inilah yang coba kita tarik oleh orang-orang hulu‖ menggambarkan pandangan peneliti tersebut mengenai posisi penelitian hulu. Melalui ungkapan ini, peneliti tersebut menunjukkan keberatannya terhadap pandangan demand-pulled, bahwa penelitian hulu yang harus selalu disesuaikan dengan kebutuhan di hilir.
19
Di sini peneliti tersebut merujuk pada enam bidang fokus yang dirumuskan dalam Agenda Riset Nasional Periode 2006-2010.
transformasi penelitian
51
Tampaknya di kalangan peneliti di ITS terjadi semacam perdebatan mengenai pendekatan untuk meng-hilir-kan penelitian: apakah penelitian hulu perlu merespons permintaan di hilir, ataukah penelitian hilir perlu mengacu pada penelitian hulu. Penuturan-penuturan berikut ini menggambarkan situasi ‗tarik-menarik‘ tersebut: Memang ada beberapa peneliti yang mungkin semacam ekslusif ... tapi sebenarnya ekslusif mereka di sini kan untuk mempertahankan kondisi supaya tidak terkontaminasi tadi. ... Ketika saya menempatkan diri orang laboratorium ... yang kita lihat pun lingkupnya laboratorium ... Kalau kita di luar kan yang kita lihat ITS, lebih luas lah. ... Itu kadang yang menumbuhkan kearoganan. ... Ekslusifitas itu tidak bisa dihilangkan ... karena ini terkait identitas ... identitas masing-masing ... tapi kalau ingin mencoba diiriskan itu bisa. Dan ITS sebagai lembaga yang mewadahi scientific staff yang bergerak di bidang proses belajar-mengajar, karena bisnis yang utama adalah akademis di bidang pengajaran. Tapi di satu sisi karena tri dharma-nya harus bisa. Nah, akhirnya ITS ini mempunyai cluster-cluster penelitian ... Jadi ITS itu ada tiga fokus yang dikerjakan, yang pertama itu adalah bidang maritim kelautan. Kemudian yang kedua ... di permukiman. Yang ketiga itu energi. Jadi hanya tiga ini. Nah ... di pemukiman ... ini kaitannya dengan lingkungan, biologi bisa masuk di sana, kemudian energi ... perlu modeling. ... Tumpahan minyak itu ternyata bisa dimodelkan. Nah, ini orang-orang dari sains bisa masuk, ya matematik tadi. ... Dengan adanya clustercluster tadi satu dengan yang lain bisa saling komunikasi tanpa harus meninggalkan identitas aslinya. Kalau penjembatannya ... ya, mau tidak mau lembaga yang menangani ... sehingga tahu persis petanya ... orang-orang teoritis ya ... tetap diperhatikan dengan proporsional gitu ya. ... karena orang-orang ini sangat perlu juga ... yang di kalangan hulu ini sesungguhnya diperlukan oleh kalangan hilir, paling tidak itu konsep dasar. ...
52
ke dalam inovasi
Dengan menyusun kluster-kluster topik penelitian, LPPM ITS berupaya untuk menstimulasi interaksi antara komunitas-komunitas atau kelompokkelompok peneliti hulu dan hilir. Dengan membentuk kluster-kluster penelitian, yang diharapkan adalah ―… satu dengan yang lain bisa saling komunikasi tanpa harus meninggalkan identitas aslinya‖. Interaksi seperti ini, dalam pandangan peneliti tersebut, tidak bisa terjadi secara suka rela atau melalui inisiasi para peneliti itu sendiri, sehingga memerlukan ‗jembatan‘, dan ―mau tidak mau lembaga yang menangani‖. Dalam penuturan-penuturan di atas, iptek hulu diposisikan sebagai‘titik acuan‘ yang perlu diikuti oleh iptek hilir. Penuturan-penuturan berikut ini, disampaikan oleh seorang peneliti geofisika yang juga dikenal sebagai guru besar termuda di ITS, menempatkan posisi iptek hulu dengan cara yang berbeda: Iya, ini ... contoh paper saya ... kebetulan saya memang menekuni tentang seismik dalam. Ya, kalau dulu aneh, sekarang ini kan juga terbukti ... Saya melihat gempa itu sesuatu yang menarik, bukan sesuatu yang menakutkan. Iya, buat saya itu data. ... Saya bisa mengolahnya dan mengungkapkan keakuratannya dengan metode. ... Saya coba jelaskan sedikit. Dulu waktu SMA belajar 3 dimensi ya....itu kan ada sumbu x, y, dan z. Data gempa itu kalau saya melihat dari 3 koordinat tersebut, jadi tingkat akurasinya lebih tinggi. Beda sama BMG20 yang mengambil dari 2 titik saja.... Contoh di Padang itu kan, kemarin sempat ada perbedaan perhitungan dari 7,2 Skala Ritcher menjadi 7,9 Skala Ritcher. Kalau saya tidak seperti itu. Perhitungan saya, 7,6 Skala Ritcher. Itu lebih presisi, karena saya melihat dari kerelatifan 3 sumbu tadi. ... Kalau penghitungan kekeuatan gempa, kan komponennya masih banyak, selain posisi ada juga pola pergerakan lempeng, ... masih banyak lagi. Terus terang, bangsa kita ini belum bisa menghargai data. ... Saya ikut komunitas ahli seismografi di luar 21 ... sekitar 200 20 21
Maksudnya Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Yang dimaksud di sini adalah komunitas ilmuwan internasional.
transformasi penelitian
53
orang . Di Indonesia ini cuma ada dua yang bergelut di bidang ini, saya dan seorang peneliti dari ITB. Tapi kita alirannya beda. Saya memang aktif menulis. Itu yang membuat jadi guru besar paling muda di ITS ini. ... Saya menulis dan terus menulis. Saya tidak perduli orang di sini mau menghargai tulisan itu apa tidak. Yang penting orang luar sana banyak yang mengapresiasi saya. Ungkapan ‖Kalau saya tidak seperti itu. Perhitungan saya, 7,6 Skala Richter. Itu lebih presisi, karena saya melihat dari kerelatifan 3 sumbu‖ menggambarkan adanya sesuatu yang tengah diperdebatkan (dalam hal ini antara peneliti tersebut dan pihak BMKG). Bagi peneliti tersebut, keakuratan dan presisi menjadi kriteria untuk menentukan metode mana yang layak atau tidak layak untuk diperlakukan sebagai acuan. Jadi, klaim (claim) tentang gejala alam (dalam hal ini gempa bumi) yang layak diikuti adalah yang didasarkan pada metode acuan, bukan metode yang lain. Peneliti tersebut menyatakan adanya sikap penolakan terhadap metode acuan. Pihak-pihak yang menolak itu adalah yang ―… belum bisa menghargai data‖. Mereka ini adalah pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan peneliti tersebut, dalam penetapan metode acuan untuk memahami dan menghitung kekuatan gempa bumi. Menyikapi penolakan ini, peneliti geofisika tersebut menjalin relasi dengan pihak-pihak lain yang sepandangan, dan menempuh upaya ‖ … menulis dan terus menulis. Saya tidak perduli orang di sini mau menghargai tulisan itu apa tidak. Yang penting orang luar sana banyak yang mengapresiasi saya..‖. Jadi, mana iptek yang merupakan acuan dan mana yang bukan dapat merupakan hal yang diperdebatkan. Dalam penuturan di atas, perdebatan itu terjadi antara peneliti perguruan tinggi dan pihak BMKG. Sebagai sebuah badan pemerintahan, BMKG memiliki kewenangan legal, dan apa-apa yang diputuskan BMKG memiliki konkesuensi praktis dalam kehidupan masyarakat. Di sisi lain, seorang peneliti perguruan tinggi dapat menyebarluaskan pemikirannya melalui jurnal-jurnal ilmiah, dan menjalin kerja sama penelitian dengan komunitas-komunitas akademik. Jika jalur kewenangan legal dan jalur akademik ini terpisah, maka iptek acuan akan kehilangan efektivitasnya— sebagai acuan—dalam kehidupan masyarakat. Dengan perkataan lain, penuturan peneliti geofisika di atas menyarankan bahwa peng-hilir-an iptek memerlukan dukungan kepranataan legal. Dan untuk ini, pengembangan
54
ke dalam inovasi
interaksi antara peneliti dan pelaku-pelaku lain, dalam kasus ini khususnya dengan pihak BMKG, merupakan faktor yang krusial. Mengenai interaksi antara peneliti-peneliti, seorang peneliti lain yang berlatar belakang bidang statistika menyampaikan pandangan sebagai berikut ini: Saya melihat antara hulu-hilir ini bukan suatu masalah. Saya sering berinteraksi dengan orang-orang hulu ya, seperti matematika dalam pengembangan model, tapi saya juga terlibat dalam tim orang hilir ... ya misalnya di BPLPS22 kan banyak orang hilirnya itu ... ya selain itu sih kami juga terlibat dalam penelitian pengembangan wilayah, lingkungan ... kami saling support ... Riset di hulu itu lebih lekat nuansa keilmuannya ... Tapi kalau orang hilir kan masih butuh support ... dan lebih luas`areanya ... Tapi kita kan tidak memilah-milah ya ... toh pada dasarnya semua sama saja. Coba biar sesama peneliti ini saling mengenali ... coba usulkan ke DRN kalau risetnya itu tidak terbatas hulu-hilir. Buat riset raksasa yang melibatkan banyak orang ... biar sama-sama mengenali ... kan biar tidak ada kesan ‘pengaplingan wilayah‘. ... kalau selama ini sih saya belum merasa dipersulit dengan birokasi di ITS ... kalau memang agak sosial, ya cara pengemasannya saja biar mendekati bidang23 kita ya, namanya orang Jawa Timur ini kan harus kreatif...harus ulet..... Dalam penuturan di atas, ungkapan ―Riset di hulu itu lebih lekat nuansa keilmuannya ... Tapi kalau orang hilir kan masih butuh support ... dan lebih luas`areanya ... Tapi kita kan tidak memilah-milah ya ... toh pada dasarnya semua sama saja‖ menegaskan cara pandang peneliti tersebut mengenai posisi relatif ilmu-ilmu pengetahuan. Peneliti tersebut mengakui adanya perbedaan antara penelitian hulu dan penelitian hilir. Meski demikian, bagi peneliti tersebut, perbedaan ini tidak membuat yang satu lebih utama dari yang lain. 22
Badan Penanggulangan Lumpur Panas Sidoarjo. Ini mengacu ke para peneliti di ITS yang menekuni ilmu-ilmu pengetahuan sosial, yang secara konvensional bukan merupakan area keilmuan yang menjadi perhatian ITS sebagai sebuah institut teknologi. 23
transformasi penelitian
55
Bagi peneliti tersebut, yang ia pandang penting adalah ―…biar sesama peneliti ini saling mengenali ... biar tidak ada kesan ‘pengaplingan wilayah‘. … namanya orang Jawa Timur ini kan harus kreatif...harus ulet....‖. Jadi, meski mengakui adanya perbedaan jenis-jenis iptek, peneliti tersebut memandang penting interaksi dan komunikasi antara peneliti-peneliti. Peneliti tersebut juga menyarankan bahwa ke-jawatimur-an dapat menjadi sebuah faktor penyatu. Ungkapan ―kalau memang agak sosial, ya cara pengemasannya saja‖ merujuk pada administrasi kegiatan penelitian. Dengan pernyataan ini, peneliti tersebut tampaknya menyarankan bahwa perangkat administrasi tidak menjadi alat untuk membatasi kebebasan akademik dalam pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan. Ungkapan ―cara pengemasannya‖ menyarankan adanya penyelarasan antara kegiatan akademik dan ketentuan administratif, bukan pembatasan kegiatan akademik. Penuturan-penuturan para peneliti di atas memperlihatkan bahwa seorang peneliti dapat memegang pandangan tertentu, yang berbeda dari pandangan peneliti lain, tentang posisi iptek, dan hal ini, sampai batas tertentu, mempengaruhi preferensi peneliti dalam berinteraksi dengan kelompok atau komunitas yang lain. Terdapat peneliti yang, karena berpegang pada pandangan tertentu, memilih bersikap tertutup untuk berinteraksi, dan terdapat peneliti lain yang relatif lebih terbuka. Perbedaan pandangan dan sikap ini berimplikasi bahwa upaya-upaya untuk menstimulasi interaksi antara peneliti-peneliti menghadapi penolakan dari sebagian kalangan peneliti. Dalam upaya penataan kelembagaan penelitian di ITS, orientasi atau arah penelitian bersama merupakan sebuah isu yang sentral. Berikut ini penuturan seorang peneliti, sekaligus penjabat Sekretaris LPPM ITS, yang memberikan gambaran mengenai situasi yang berkembang: Ya, kalau mau jujur ya, cara ini tidak semua setuju … saya yakin juga ada beberapa orang yang tersingkir dan membentuk pola sendiri. Tapi, kalau kita lihat, LPPM sebagai wadah, juga melihat dalam skala makronya, kemana ‗kendaraan ini akan membawa penumpangnya‘. Lha, waktu pemetaan resource itu kita peroleh kesepakatan di hilir. Ya sudah, kita dorong saja ini ke hilir. Jangan sampai itu resultan sampai nol … yang satu ke hulu dan yang lain ke hilir … ya tidak ke mana-mana kita.
56
ke dalam inovasi
Kalau di ITS ini kami lebih didorong ke hilir ... namun kami juga tidak menutup kemungkinan orang hulu juga terlibat. Memang saya akui di ITS ini ada kesan lebih akomodatif pada peneliti yang hilir. Sebenarnya kami tidak memaksa. Tapi kalau kita sibuk bermain-main di hulu, dan tanpa terkait dengan hilir, jadi nothing saja ... jadi kita harus membuat sistem yang implementatif ... tapi, itu pendapat saya sebagai pribadi dan juga saya di institusi. Ya, kita lihat roadmap ITS memang lebih menuju arah hilir. Tapi hilir ini juga tidak akan ada kalau tidak ada hulu kan? Jadi tantangan kita, juga mungkin sama dengan tantangan DRN, harus kita kaitkan hulu-hilir. Ungkapan ―Jangan sampai itu resultan sampai nol … yang satu ke hulu dan yang lain ke hilir … ya tidak ke mana-mana kita‖ mencerminkan adanya gejala ‗tarik-menarik‘ antara para peneliti. Dikhawatirkan oleh peneliti tersebut bahwa ‗tarik-menarik‘ tersebut akan membuat ITS bergerak ―tidak ke mana-mana‖. Gambaran situasi yang serupa juga diberikan oleh seorang peneliti yang menjabat Ketua LPPM ITS melalui penuturannya berikut ini: Ya, kalau kami di ITS ini mengarah pada hilir, tapi bukan mengabaikan yang hulu karena itu juga penting. Harus ada complete chain-nya ... hulu juga tidak akan bisa bergerak kalau di hilir tidak mau menampung. Ungkapan ―Harus ada complete chain-nya‖ mencerminkan pandangan peneliti tersebut mengenai pentingnya interaksi antara peneliti hulu dan peneliti hilir, bahwa interaksi tersebut akan membuat rantai penelitian menjadi tersambung utuh, complete. Lebih jauh peneliti tersebut menambahkan sebagai berikut: ... ya, saya ini mantan pentolan penabuh gamelan di Bali ... harus kuliah ke Surabaya, dan segala macam mimpi saya ... Biarpun orang science, saya suka seni dan budaya. Di mana pun negara itu akan maju, jika adanya korelasi dan kesatuan antara science dan budaya. Kalau misalnya sains itu tidak berbudaya, maka tidak bermoral. Inilah yang tidak ada di Indonesia. Harusnya ekonomi pembangunan ini, mencakup bisnis, sosiologi, politik ... tetapi di Indonesia knowledge-nya sangat jauh dari arah sana.
transformasi penelitian
57
Padahal dengan adanya knowledge tersebut menjadi kunci kebenaran, bukan dari kunci kepentingan. Makanya nilai sosial itu harus berjalan sejalan dengan ilmu dan teknologi, sehingga menjadi suatu kesatuan untuk ekonomi pembangunan. Ungkapan-ungkapan ―… kesatuan antara science dan budaya― dan ―… nilai sosial itu harus berjalan sejalan dengan ilmu dan teknologi, sehingga menjadi suatu kesatuan‖ mencerminkan nilai-nilai yang dipegang oleh peneliti tersebut, yang ia pandang perlu menjadi pemandu dalam upaya-upaya mengelola kegiatan penelitian. Peneliti tersebut juga menyampaikan harapannya mengenai proses kolektif di tingkat pengambil kebijakan sebagai berikut: … roadmap-nya yang harus diperhatikan, ... Menteri Riset dan Menteri Industri harusnya duduk bersama-sama membicarakan roadmap pengembangan industri yang menyatu. Inilah yang belum terjadi Indonesia. Itu baru Menteri industri, belum Menteri Pendidikan, Menteri Perdagangan ... Apa yang harus diperdagangkan? Apa yang harus saya riset? Apa yang harus saya produksi? Ini yang tidak jalan. Penuturan para peneliti ITS di atas memberikan gambaran bahwa dalam lingkungan ITS terdapat peneliti yang cenderung pada penelitian hulu dan peneliti yang cenderung pada penelitian hilir. Ketika LPPM ITS menggariskan kebijakan mengenai peng-hilir-an penelitian, terjadi semacam tarik-menarik antara peneliti hulu dan peneliti hilir. Terdapat peneliti hulu yang ingin menarik peneliti hilir agar mengacu pada penelitian hulu, dan terdapat peneliti hilir yang meminta peneliti hulu menyesuaikan diri dengan penelitian hilir. Ini merupakan persoalan siapa mengacu pada siapa, dan siapa menyesuaikan diri terhadap siapa. Gejala tarik-menarik ini menyarankan bahwa masing-masing peneliti memiliki kelembaman (inertia). Gejala tarik-menarik tersebut di atas tidak bisa dijelaskan dengan menggunakan konsep piramida pengetahuan-pengetahuan yang dibahas di Bab 2. Dalam konsep piramida tersebut, iptek hulu menyediakan pijakan bagi iptek hilir dan iptek hilir bersandar pada iptek hulu. Jika jenis-jenis iptek yang berbeda mengikuti struktur hirarkis sebagaimana disarankan oleh piramida ilmu-ilmu tersebut, tidak akan terjadi tarik-menarik antara peneliti hulu dan peneliti hilir karena posisi relatif masing-masing jenis penelitian sudah jelas.
58
ke dalam inovasi
Adanya gejala tarik-menarik antara peneliti memperlihatkan bahwa penelitan memiliki dimensi lain, selain dimensi epistemik-kognitif24 dan bahwa piramida pengetahuan-pengetahuan tersebut memberikan gambaran yang tidak lengkap mengenai jenis-jenis iptek dan penelitian. 3.3 Pertentangan Nilai antara ‗Hulu‘ dan ‗Hilir‘ Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan institut teknologi yang tertua 25 di Indonesia. Pada tahun 2000, ITB merupakan satu dari empat (di tahun 2001 bertambah dua lagi menjadi enam) perguruan tinggi negeri yang ditetapkan sebagai PT BHMN. Sejak tahun 2001, transformasi kelembagaan dilakukan oleh ITB. Sebuah langkah penting dalam transisi ITB dari PTN menuju PT BHMN adalah restrukturisasi pusat-pusat penelitian. Kebijakan yang memandu proses transisi tersebut tercermin dari pernyataan pejabat Rektor ITB periode 2001-2005 sebagai berikut: ITB secara keseluruhan dibagi menjadi dua bagian. Satu bagian yang menunjukkan academic excellence. Satu lagi yang memang engine penghasil uang. … Kita harus melawan opini yang mengatakan bahwa BHMN itu artinya komersialisasi. Memang ada unitnya yang komersial. Tapi jangan lupa ada yang academic excellence, tidak bisa tidak! (kutipan wawancara dalam Yuliar dan Bintari, 2009) Di kalangan pembuat kebijakan, wacana mengenai ‗perguruan tinggi otonom‘ sering dikaitkan dengan gagasan-gagasan ‗komersialisasi hasil penelitian‘, ‗mekanisme pasar‘ dan ‗efisiensi‘ (Yuliar dan Syamwil, 2008). Hal ini menimbulkan reaksi kontra dari pihak-pihak lain (seperti LSM pendidikan
24
Epistemik-kognitif di sini maksudnya adalah cara-cara, dan asumsi yang mendasari, bagaimana pengetahuan dihasilkan melalui kegiatan kognitif. Permasalahan ini secara khusus dipelajari dalam filsafat, yakni dalam cabang epistemologi. 25 Cikal bakal ITB adalah sekolah tinggi teknik yang didirikan Pemerintah HindiaBelanda pada tahun 1920, yaitu Technische Hogeschool.
transformasi penelitian
59
dan para pengamat pendidikan), yang khawatir bahwa desentralisasi26 pendidikan tinggi akan berubah menjadi komersialisasi pendidikan tinggi. Pernyataan Rektor ITB tersebut mencerminkan sikap kritis bahwa, meski ITB berupaya otonom dalam pendanaan, ITB menolak gagasan komersialisasi pendidikan tinggi. Dalam restrukturisasi pusat-pusat penelitian yang disebutkan di atas, salah satu isu yang digulirkan oleh jajaran rektorat ITB adalah integrasi kegiatankegiatan penelitian baik untuk tujuan komersialisasi ke sektor industri maupun untuk tujuan pemberdayaan masyarakat27. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, ITB menyusun agenda penelitian institusional serta mengembangkan program insentif penelitian yang disebut Riset Unggulan ITB. Berikut ini disampaikan hasil wawancara dengan sejumlah peneliti di ITB yang menggambarkan sikap-sikap yang berkembang di kalangan peneliti. Seorang peneliti yang sekaligus perintis pendirian pusat ilmu rekayasa di ITB menuturkan: ... integrasi dan aplikasi yang ada kaitannya dengan industri… Kalau kita lihat industri saat ini, itu namanya projek. Begitu kita berhubungan dengan industri, pasti problem-solving. Nah, itu yang kita lakukan sekarang, problem solving. Mungkin dari segi keuangan naik. Ada masukan projek-proyek karena memang dimintanya itu. Kalau tidak ada, dianggap tidak exsist. Tapi, ya itu bukan projek penelitian. … Karena uang, istilah basic research ya susah, karena kita dituntut profit center … jadi kalau kita yang murni ke penelitian, yang merupakan konsep awal dari pendirian pusat penelitian ini, penelitian yang masuk jadi sangat terbatas. Kaitan dengan market tadi kita harus berani akhirnya, melakukan riset-riset yang memang kita anggap nilai prospek bisnis yang tinggi.
26
Gagasan mengenai desentralisasi pendidikan tinggi telah bergulir pada awal 1990-an, jauh sebelum Era Reformasi. Di masa itu, gagasan desentralisasi muncul sebagai kritik terhadap sentralisasi kewenangan yang dipraktikkan oleh Pemerintah Orde Baru. 27 Berkaitan dengan ini, ITB mengubah istilah Pengabdian pada Masyarakat (community service) dalam nama LPPM menjadi Pemberdayaan Masyarakat (community development/empowerment).
60
ke dalam inovasi
Dalam penuturan ini, peneliti tersebut membedakan kegiatan penelitian ke dalam penelitian problem-solving dan penelitian dasar (basic research). Dari ungkapan ―Begitu kita berhubungan dengan industri, pasti problem-solving‖, peneliti tersebut menyatakan bahwa penelitian hilir cenderung berpola problemsolving, yang ―Kalau kita lihat industri saat ini, itu namanya projek‖. Melalui ungkapan ―Karena uang, istilah basic research ya susah‖ peneliti tersebut mempertentangkan penelitian dasar dan penelitian problem-solving. Penuturan peneliti tersebut berikut ini memperjelas apa-apa yang ia pertentangkan: Proyek senilai Rp. 20 milyar itu bagaimana dibandingkan dengan penelitian Rp. 20 juta? Ada juga kerja yang kita tidak ada budget-nya seperti penelitian S2 dan S3. Dan ini bisa menjadi paper. Itu secara knowledge. Melalui ungkapan ―Proyek senilai Rp. 20 milyar itu bagaimana dibandingkan dengan penelitian Rp. 20 juta?‖, peneliti tersebut mempertentangkan nilai komersial dari penelitian problem-solving dan nilai keilmuan dari penelitian dasar. Jadi, penelitian yang memiliki nilai komersial tinggi belum tentu berkualitas secara akademik. Sebaliknya, penelitian yang menghasilkan pengetahuan akademik yang bermutu belum tentu bernilai komersial tinggi. Lebih jauh peneliti tersebut menyatakan sikapnya mengenai isu komersialisasi penelitian sebagai berikut. … sistem produksi yang dikembangkan di laboratorium itu menghasilkan produk yang bagus, tapi kuantitasnya sedikit. ... tidak bisa kalau kita langsung kaitkan dengan industri yang ITB punya, karena dalam proses itu rugi terus. Kalau ITB hidup di situ, mungkin ITB hilang gedung satu-satu. Ini kan pasti masuk ke ‗lembah yang hitam‘ dulu, lama sekali tidak tahu berapa lama, lalu bisa keluar, survive, baru positif. Selama di lembah itu ya jangan ngajak ITB, di awal harus investasi banyak. Kalau kita kerja di awal, ITB dilibatkan, habis ... ITB ini adalah institusi pendidikan. Jadi business tidak di situ, enterpreneurs itu tidak di situ. Jadi cuman ada dua, pengajaran dengan pengembangan. Semua pengabdian kepada masyarakat itu mulanya di situ, muaranya di ITB. Jadi yang bikin
transformasi penelitian
61
perusahaan segala macam, itu tidak dalam konteks muara ini, tapi dalam muara yang lain. Ini akan bersaing dengan industri yang sudah sangat efisien di luar. ITB tidak akan mampu dalam konteks business dan entepreneur. Kenapa? Ini bukan tukangnya. Ini tukangnya mendidik. Ungkapan ― … masuk ke ‗lembah yang hitam‘‖ di sini merujuk pada situasi persaingan bisnis yang, menurut peneliti tersebut, ―Kalau ITB hidup di situ, mungkin ITB hilang gedung satu-satu‖. Dalam penuturan berikutnya peneliti tersebut menyarankan pemisahan antara kegiatan bisnis dan kegiatan akademik, ―ITB ini adalah institusi pendidikan. Jadi business tidak di situ, enterpreneurs itu tidak di situ ―. Bagi peneliti tersebut, penelitian hilir, dikarenakan orientasinya pada problem-solving untuk menjawab kebutuhan industri, berada dekat dengan dunia bisnis. Dan kegiatan yang bernuansa bisnis, disarankan oleh peneliti tersebut, tidak dilaksanakan di institusi pendidikan seperti ITB. Secara tidak langsung, peneliti tersebut menyarankan bahwa penelitian hilir tidak dilaksanakan di ITB, atau bahwa ITB lebih mengutamakan penelitian hulu daripada penelitian hilir. Penuturan berikut ini menegaskan pandangan peneliti tersebut mengenai perbedaan antara penelitian hulu dan penelitian hilir. Projek …, katakanlah kita mengembangkan projek. Hasilnya apa? Pembodohan itu. Pengabdian kepada masyarakat ini sebetulnya rusak karena ini diletakkan dalam dimensi yang berbeda dari dua ini28. Nah, harusnya dalam dimensi yang sama, pengabdian masyarakatnya itu memperkaya yang dua ini. … Jadi begini ya, ada projek yang … sangat ‗tukang‘. Kita kan Ph. D. di sini. Jadi mesti market-nya sesuatu yang profitable secara akademik, dan juga secara profesional, dan juga yang mendukung pendidikan. Mahasiswa bisa ikut di situ, kemudian memperkaya bagaimana kita mengajar mahasiswa. Jadi, mengenai penelitian hilir yang berpola problem-solving untuk menjawab kebutuhan idustri, peneliti tersebut menyatakan ― … kita mengembangkan projek, hasilnya apa? Pembodohan itu‖. Sedangkan penelitian yang layak 28
Yang dimaksud adalah dua aspek Tri Dharma yang lain, yaitu pengajaran dan penelitian.
62
ke dalam inovasi
dilaksanakan di ITB adalah yang ―… mesti market-nya sesuatu yang profitable secara akademik‖. Dalam penurutan-penuturan di atas, peneliti tersebut tidak secara eksplisit menyatakan definisi mengenai ‗penelitian hilir‘. Meski demikian peneliti tersebut membedakan antara dasar (atau penelitian murni) yang menghasilkan pengetahuan akademik dari penelitian problem-solving industrial yang memiliki nilai komersial. Bagi peneliti tersebut, kedua jenis penelititan ini mengandung pertentangan nilai-nilai. Tetapi peneliti tersebut melihat bentuk penelitian hilir lain, yang dapat selaras dengan penelitian dasar. Dalam ungkapan ―Pengabdian kepada masyarakat ini sebetulnya rusak karena ini diletakkan dalam dimensi yang berbeda dari dua ini. Nah, harusnya dalam dimensi yang sama, …‖, peneliti tersebut menyarankan bahwa kegiatan pengabdian pada masyarakat dilaksanakan dalam bentuk penelitian. Jika hal ini dilakukan, maka kegiatan pengabdian masyarakat akan memperkaya kegiatan pengajaran dan penelitian. Mengenai penelitian hilir yang berorientasi pada (kebutuhan) industri, peneliti tersebut memperlihatkan sikap yang kontra atau menolak dikarenakan dua hal: pertama, penelitian seperti ini tidak menghasilkan pengetahuan akademik; ke dua, penelitian ini berada dekat dengan dunia bisnis. Sikap ini tampaknya didasarkan pada pengalaman peneliti tersebut berinteraksi dengan pelaku-pelaku industri tertentu. Bahwa sikap tersebut merujuk pada pengalaman terlihat dalam penuturan ―Kalau kita lihat industri saat ini, … ‖. Seperti apa situasi industri di Indonesia saat ini? Di Indonesia terdapat banyak perusahaan-perusahaan (baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara, BUMN) yang mengoperasikan mesin-mesin atau instalasi teknologi dengan pola turnkey. Dalam perusahaan-perusahaan seperti ini, berbagai mesin dan instalasi teknologi yang dibutuhkan untuk menopang kegiatan produksi dipasok oleh produser-produser di mancanegara. Untuk menjalankan kegiatan produksi, yang perlu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan seperti ini adalah ‗plug-and-play‘. Kajian-kajian survei yang dilakukan oleh Thee (1996) memperlihatkan bahwa perusahaan-perusahaan seperti itu kurang memiliki kapasitas serap teknologi (technology absorbtion capacity).
transformasi penelitian
63
Sangat mungkin bahwa perusahaan-perusahaan seperti yang digambarkan di atas tidak memiliki permintaan (demand) atas hasil-hasil penelitian para peneliti di ITB, atau di perguruan tinggi lain pada umumnya. Ini karena, pertama, perusahaan-perusahaan tersebut terikat pada perusahaan-perusahaan pemasok29 teknologi di mancanegara. Ke dua, kalaupun ada hasil penelitian dari ITB yang relevan, diperlukan upaya-upaya untuk mengadopsi dan mengadaptasikan hasil penelitian tersebut ke dalam instalasi teknologi dan sistem produksi yang telah terpasang. Ini membutuhkan kapasitas serap teknologi yang memadai. Ke tiga, teknologi belum tentu merupakan faktor yang penting dalam strategi persaingan bisnis. Menekan upah, menerapkan sistem kontrak bagi buruh, atau ‗membanting‘ harga dapat menjadi faktor-faktor yang lebih efektif dalam persaingan bisnis30. Bagi perusahaan-perusahaan seperti itu, layanan dari perguruan tinggi yang relevan bukanlah penelitian, melainkan layanan-layanan trouble-shooting dengan lingkup yang terbatas. Layanan-layanan yang bisa diberikan perguruan tinggi adalah, misalnya, peremajaan (reconditioning) sebagian komponen peralatan atau pelatihan teknis yang terkait dengan pengoperasian teknologi baru (yang dibeli dari perusahaan pemasok). Dari hasil studi kasus terhadap perusahaanperusahaan di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia, Albu (1997) menyimpulkan bahwa banyak perusahaan-perusahaan di negara-negara berkembang berada dalam situasi demikian. Tidak terdapat cukup kapasitas bagi, atau tidak terdapat insentif fiskal yang mendorong, perusahaanperusahaan tersebut untuk memanfaatkan hasil-hasil penelitian dari perguruan tinggi. Jadi, dalam penuturan-penuturan di atas, pandangan dan sikap mengenai penelitian hilir disampaikan dengan merujuk pada situasi dan kondisi praktis di perusahaan-perusahaan tertentu. Berikut ini dipaparkan adanya pandangan yang bernuansa berbeda mengenai penelitian hilir yang berorietasi 29
Lazimnya perusahaan-perusahaan pemasok memberikan jaminan-jaminan dan purna jual pada perusahaan-perusahaan pembeli. Tetapi jaminan-jaminan tersebut berlaku dengan syarat perusahaan-perusahaan pembeli itu tidak melakukan modifikasi terhadap mesin atau instalasi teknologi yang dibeli dari perusahaan-perusahaan pemasok tersebut. 30 Faktor-faktor mana yang efektif dalam peraingan bisnis ditentukan juga oleh kondisikondisi kebijakan makro ekonomik.
64
ke dalam inovasi
industrial/komersial. Pandangan ini dikemukakan oleh seorang peneliti yang berlatar belakang ilmu/teknologi hayati. Mengenai kebijakan integrasi penelitian yang ditetapkan ITB, peneliti ini menuturkan: Karena LPPM sendiri meminta kita untuk produk oriented, jadi kita lihat dari track record … Kalau kita misalnya, tiba-tiba membuat sesuatu yang baru, yang tidak biasa, kita kerjakan mulai dari nol. Jadi track record kita dari pertama kali. … Kemudian juga keahlian dari orang-orang di sini … Kita lihat juga yang relatif mudah dijual … Kita juga banyak berinteraksi dengan industri untuk menanyakan kira-kira apa yang mereka inginkan. … Kita itu banyak melakukan kerja sama. Misalnya, kalau ada projek mengenai pengelolaan lingkungan ... tapi bukan penelitian. Jadi sesuatu yang sudah kita peroleh dari hasil penelitian ... kita jual sebagai produk atau layanan kejasama. Sebetulnya kita itu kan semuanya berbasis scientific. Artinya, awalnya itu berasal dari penelitian. Kita bekerja sama dengan LIPI, Kalbe Farma, kemudian dengan beberapa industri pupuk, … Ini kan biasanya permintaan. Jadi mereka inginnya demikian, ... lalu kita sepakati … Jadi dua belah pihak. … sebaiknya LPPM itu perannya memperkuat lagi lah, apa-apa yang sudah dibangun oleh pusat penelitian. Umpamanya, … pekerjaanpekerjaan yang sebetulnya bisa teraplikasi ke industri, tetapi kurang dipromosikan …, seharusnya kan LPPM bisa. … mungkin Ketua LPPM yang sering pergi kemana-mana itu. Kalau dengan industri, ya, biasanya kita harus tawarkan produk yang hampir sudah masuk komersial. … Ya mereka harus siap keuangan. ... Kalau di luar negeri itu kan, misalnya, industri itu memberikan sebagian dana ke beberapa penelitian atau ke universitas. Kalau di sini kan tidak ada. Dalam pandangan peneliti ini, penelitian hilir yang bercirikan product oriented dan relatif mudah dijual. Ini berbeda dari pandangan peneliti terdahulu yang melihat penelitian hilir sebagai projek problem-solving untuk memenuhi kebutuhan industri. Perbedaan ini tampaknya bersumber pada perbedaan situasi aktual yang dialami oleh kedua peneliti tersebut. Mitra-mitra penelitian
transformasi penelitian
65
hilir yang dimiliki oleh kedua penelitian tersebut tampaknya merupakan perusahaan-perusahaan dengan karakteristik dan perilaku yang berbeda. Dalam penuturan peneliti teknologi hayati tersebut, ungkapan ―kita juga banyak berinteraksi dengan industri untuk menanyakan kira-kira apa yang mereka inginkan. … Jadi sesuatu yang sudah kita peroleh dari hasil penelitian ... kita jual sebagai produk atau layanan‖ menggambarkan adanya permintaan (demand) atas hasil penelitian yang ditawarkan oleh peneliti tersebut. Upaya mempertemukan pasokan dan permintaan berlangsung melalui negosiasinegosiasi untuk mencapai kesepakatan, seperti yang diungkapkan dalam ‖Ini kan biasanya permintaan. Jadi mereka inginnya demikian, ... lalu kita sepakati … Jadi dua belah pihak‖. Pernyataan peneliti tersebut merujuk pada perusahaan tertentu yang bergerak di bidang kesehatan. Perusahaan-perusahaan semacam ini memerlukan membutuhkan pengembangan produk secara lokal untuk merespons permintaaan konsumer. Pengembangan produk tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi konsumer, dan ini tidak bisa dilakukan melalui impor teknologi semata. Perusahan-perusahaan seperti itu membutuhkan hasil penelitian perguruan tinggi (lokal). Lebih terinci mengenai hal ini dipaparkan oleh para peneliti perusahaan swasta di Bab 4 buku ini. Meski demikian, peneliti tersebut melihat adanya kendala dalam memenuhi permintaan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Kendala tersebut ia nyatakan dalam ungkapan ―Kalau dengan industri, … kita harus tawarkan produk yang hampir sudah masuk komersial. … Kalau di luar negeri itu kan, misalnya, industri itu memberikan sebagian dana ke beberapa penelitian …‖. Kendala ini merupakan suatu kesenjangan (gap) yang dalam literatur kebijakan teknologi dikenal sebagai ‗kesenjangan pendanaan‘ (Lee, 1987) yang lazim terjadi pada kegiatan-kegiatan penelitian di tahap pra-komersial31.
31
Di tahap pra-komersial, perguruan tinggi kesulitan mencari sumber pendanaan dikarenakan penelitian di tahap ini sudah tidak signifikan secara akademik, sementara perusahaan swasta masih enggan menanamkan modal karena hasil penelitian yang ada masih bersifat pra-komersial. Di Amerika Serikat, masalah „kesenjangan pendanaan‟ diatasi oleh Pemerintah Federal dengan cara mengalokasikan anggaran negara untuk menutup kesenjangan pendanaan tersebut.
66
ke dalam inovasi
Jadi, bagi peneliti ini, penelitian hulu dan penelitian hilir bukanlah dua hal yang bertentangan. Kegiatan penelitian yang berorientasi pada pemenuhan permintaan industri tidak niscaya bertentangan dengan nilai akademik. Baginya ― … kita itu kan semuanya berbasis scientific. Artinya, awalnya itu berasal dari penelitian‖. Maksudnya, apa-apa yang ditawarkan ke industri itu sesuatu yang tidak terlepas dari kegiatan penelitian, tidak terlepas dari basis scientific, dan sesuai dengan track record peneliti. Melalui negosiasi-negosiasi, dapat dicapai kesepakatan dua-pihak dengan pelaku industri sehingga komersialisasi hasil penelitian dapat diselaraskan dengan kepentingan pengembangan pengetahuan akademik itu sendiri. Yang menjadi masalah, bagi peneliti ini, bukanlah pertentangan nilai-nilai (antara nilai komersial dan nilai akademik/keilmuan), melainkan kebijakan makro-ekonomik yang dianggapnya kurang mendukung. Hal ini ia tuturkan sebagai berikut: Jadi kerja sama industri dengan perguruan tinggi itu kan harus ada iklim politik yang mendukung. … Kalau ada produk itu langsung ditampung oleh negara, dan lalu pemasarannya jalan. Kalau di Indonesia kan justru mengimpor. Industri dengan kita tidak terlalu nyambung, ... Kan harus ada suatu policy yang membuat agar produk-produk dari dalam itu dilindungi dulu .... Nah, industri itu sendiri tidak pernah mendapat rangsangan untuk membantu kita. Mereka kan kerjanya paling-paling kalau sudah jadi, baru mau. Kalau ada prospek yang kelihatannya bagus, baru mau mereka. Perlu dibuat semacam road map nasional, sebetulnya kebutuhan yang paling mendesak itu apa, dan sudah sampai mana. Jadi harusnya LPPM itu punya road map tadi. Misalnya, Bioenergi itu ingin bagaimana sih, dari A sampai Z, dan melalui apa saja. … Lalu Ketua LPPM kan bisa melakukan political will bahwa pusat penelitian ini harus begini, saya sediakan dana begitu, pasti mau. Mengenai kebijakan integrasi penelitian di ITB, peneliti tersebut menyampaikan pandangan sebagai berikut:
transformasi penelitian
67
Jadi saya kira, mungkin ini konsep subsidi. Jadi, kalau misalnya ini penelitian belum menjanjikan, padahal ITB memerlukan produk-produk hasil penelitian yang marketable, okay, ini ada garis, benang merahnya. Yang kita tuju misalnya produk ITB itu unggulannya apa. Tetapi yang ini yang bersifat basic of sciencenya, ke ilmu pengetahuan, agar penelitian-penelitian dasar tetap jalan. Dalam serangkaian penuturan di atas, isu mengenai pembedaan jenis-jenis penelitian—penelitian dasar dan penelitian terapan, penelitian hulu dan penelitian hilir—diartikulasikan oleh para peneliti dalam konteks transformasi ITB menuju PT BHMN. Meski terdapat hal-hal yang signifikan yang terungkap melalui wawancara tersebut, isu-isu transformasi ITB tampaknya membatasi perkembangan wawancara tersebut. Berikut ini disampaikan hasil focus group discussion (FGD) dengan sejumlah peneliti dari pusat-pusat penelitian di ITB, yang diselenggarakan di LPPM ITB. Dalam FGD ini, para partisipan diminta untuk mengungkapkan pandangan dan harapan berkenaan dengan peran ITB dalam sistem inovasi bangsa. Jadi, kalau wawancara sebelumnya bersifat retrospektif (menengok apa-apa yang terjadi di masa lalu), FGD ini lebih bersifat prospektif (apa yang mungkin atau diinginkan terjadi di masa depan). Sebagaimana diperlihatkan berikut ini, FGD ini memunculkan rentang isu-isu yang lebih meluas dibandingkan yang dihasilkan dari wawancara di atas. Berikut ini penuturan seorang partisipan FGD berkenaan dengan interaksi antara peneliti dan pelaku industri: Mungkin karena background saya teknik kimia, maka saya juga ingin mengungkapkan masalah tentang industri yang dialami oleh saya secara pribadi atau teman-teman. ... Riset yang nantinya menjadi sesuatu yang bermakna, dan bisa memiliki nilai jual, itu kan ada kelompok-kelompok yang sudah di tugaskan … ini kelompok riset, ini kelompok yang memasarkan. Namun persoalannya itu adalah tidaknya adanya trust di antara kelompok-kelompok tersebut. Saya tidak tahu persis, tapi itu yang saya lihat, itu yang sedang terjadi. Ada industri yang memiki kepercayaan yang tinggi pada peneliti, tapi ini jumlahnya sangat sedikit.
68
ke dalam inovasi
Merespons isu ini, seorang partisipan yang lain menyampaikan pandangan sebagai berikut: Saya punya gambar inovasi, terdiri atas 2 lingkaran yang beririsan. Satu iptek dan satu dinamika industri. Kalau di Indonesia, interaksinya hampir putus. Di Indonesia, iptek kita diisi oleh luar negeri, industri pun diisi oleh luar negeri. Kesenjangan ini harus ditutup kalau kita mau riset dan industri nyambung. Tadi dikatakan sedikit sekali industri yang percaya. Ini karena industri kita itu dibangun tidak dengan R & D. Industri kita dibangun dengan membeli teknologi. Kalau membeli teknologi, berarti rantai kebergantungan yang panjang. Ya, contohbya saja, kalau kita beli mobil baru dari dealer. Kalau mobil rusak, kita tidak ingat bengkel teman yang sebangsa. Kita justru kembali ke dealer. Seorang partisipan yang lain, merespons isu keterkaitan iptek-industri, menambahkan gagasan ‗piramida penelitian‘32 sebagai berikut: … kita membicarakan situasi-situasi perguruan tinggi, … kalau industri kita ‗babak belur‘ ya, tidak akan berarti. Kalau di negara maju orang bicara tentang riset yang teoritis pun bisa ada yang menampung. Nah, ini syarat yang perlu adalah piramida riset, piramida riset ini. Piramida riset itu mulai dari yang sangat teoritis, yang bawahnya, seperti riset matematikanya. Di atas itu ada orang fisika, kimia yang teoritis. Tapi masih bisa menggunakan. Sesudah itu engineering, lalu praktisi dan industri. Kalau seperti ini yang terjadi, akan jalan. Kalau di luar negeri, semua itu jalan. Orang matematika atau fisika teori di Indonesia tidak bisa bergerak. ... Tapi masalahnya, infrastruktur untuk integrasi riset dan industri belum jalan. Kalau perguruan tinggi masuk ke industri, ke dunia yang tidak siap, perguruan tinggi bisa malah mati dan tidak produktif. Tuntutan terhadap perguruan tinggi itu banyak … harus menyelesaikan masalah bangsa ... peringkat 32
Lihat juga uraian dan kritik tentang gagasan piramida ilmu-ilmu pengetahuan di Bab 2.
transformasi penelitian
69
world class … harus banyak paper … Semua segmen harus digarap. Jadi, paling tidak piramida itu cepat dirumuskan oleh perguruan tinggi, oleh para peneliti di Indonesia.
Seorang partisipan yang lain lagi mengemukakan isu-isu kebijakan yang terkait dengan iptek dan industri sebagai berikut: Kalau pelaku industri kita lebih berwatak pedagang daripada pengembang teknologi. Tapi itu juga baik. Karena kalau mengembangkan teknologi, baru dirasakan 5 sampai 10 tahun ke depan. ... Kalau setiap ganti menteri, ganti aturan, ganti prioritas … Kalau saya jadi pedagang, lebih untung. Saya dagang mobil karena mobil laris. Kalau besok kacang laris, saya pun akan jual kacang. Selama kita tidak punya tujuan dan konsisten mengejar tujuan ini, kita akan mengalami kesulitan. Jadi, kalau kita tidak yakin punya kebijakan jangka panjang, 20 sampai 30 tahun, topik penelitian jangan dibatasi atau difokuskan... Ini ada kaitannya dengan LPPM. LPPM itu menetapkan 3 topik prioritas. Sekarang biodiesel. Kalau kita jual, kita tidak untung karena harga minyak fosil cenderung turun lagi. Jadi, risetnya diteruskan atau tidak? Biarkan orang itu mau riset apa saja ... karena mungkin nanti malah jadi ‗ujung tombak‘ kemajuan. Peng-hilir-an penelitian tentu saja tidak identik dengan komersialisasi penelitian. Tetapi bagi ITB, komersialisasi penelitian merupakan salah satu isu yang sentral dalam transformasi menuju perguruan tinggi otonom. Dari penuturan-penuturan para peneliti ITB, komersialisasi penelitian diterjemahkan sebagai pengembangan interaksi dengan para pelaku industri dan pengusaha. Penuturan-penuturan tersebut memperlihatkan pentingnya ruang negosiasi bagi pengembangan interaksi. Tentu saja antara apa-apa yang diteliti dan dikembangkan di ITB dan apaapa yang digunakan di industri bukanlah dua hal yang sama. Terdapat kesenjangan (gap) antara keduanya. Dalam suatu upaya komersialisasi penelitian, kedua hal tersebut didekatkan melalui interaksi dan negosiasi. Tetapi
70
ke dalam inovasi
proses ini tidak berlangsung di ‗ruang hampa‘. Baik para peneliti maupun para pelaku industri/pengusaha memiliki kelembaman (inertia). Para pelaku industri terikat pada perusahaan pemasok teknologi, perusahaan pesaing, mekanisme penanaman modal, regulasi yang berlaku dan lain-lain. Para peneliti terikat pada komunitas-komunitas ilmiah, teori-teori dan model-model yang dikembangkan di kalangan ilmuwan, dan juga regulasi yang berlaku dalam kampus. Ketika kelembaman-kelembaman ini begitu tinggi, interaksi antara peneliti dan pelaku industri tidak menghasilkan keselarasan-keselarasan. Perusahaanperusahaan yang sangat bergantung pada pasokan teknologi dari mancanegara atau perusahaan-perusahaan dengan induk perusahaan di luar negeri, memiliki kelembaman yang relatif tinggi. Bagi para peneliti, ruang negosiasi dengan perusahaan-perusahaan seperti ini menjadi terbatas. Situasi seperti ini yang digambarkan oleh para peneliti sebagai pertentangan nilai antara nilai komersial dan nilai keilmuan. Dalam situasi yang lain, interaksi yang ditempuh peneliti lebih mendalam, dan berlangsung sepanjang proses penelitian. Ini dimungkinkan ketika di sisi pelaku industri/pengusaha juga terdapat sikap keterbukaan dan kesediaan untuk menggali peluang pemanfaatan hasil penelitian. Dengan cara demikian keselarasan-keselarasan dapat dicapai, sampai batas tertentu. 3.4 Negosiasi yang Kompleks di ‗Laboratorium Masyarakat‘ Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) merupakan sebuah universitas yang berstatus swasta (perguruan tinggi swasta, PTS), dan termasuk salah satu PTS yang tertua di Indonesia33. Sejak awal berdirinya, UKSW memberikan perhatian yang besar pada kegiatan penelitian, selain pada kegiatan pengajaran dan pengabdian masyarakat. Pernyataan Visi yang tercantum dalam Statuta Universitas UKSW mencerminkan bahwa sejak masa-masa awal berdirinya, pengelolaan kegiatan penelitian UKSW telah bersandar pada prinsip keterpaduan antara penelitian hulu dan penelitian hilir, dan keterpaduan antara
33
UKSW didirikan pada tahun 1956 dengan bentuk perguruan tinggi pendidikan, dan berkembang menjadi universitas pada tahun 1960.
transformasi penelitian
71
kegiatan penelitian dan kegiatan pengajaran34. Di UKSW terdapat sejumlah pusat penelitian dan program pascasarjana (jenjang magister dan doktor) yang berwatak lintas-disiplin. Seorang peneliti dari Pusat Studi Gender UKSW menggambarkan situasi penelitian sebagai berikut: Pendekatan kami bergaya LSM, karena dekonstruksi jender itu tidak bisa setengah-setengah, harus all out. … jadi tidak bisa penelitian tok, terus masukkan di rak, tidak menghasilkan apaapa. Jadi kami pernah punya pengalaman kerja sama dengan LSM, tapi tidak pernah bisa klop … akhirnya kami buat LSM sendiri. Jadi, kalau kami bergerak itu bergerak bersama LSM. Jadi, yang warnanya sangat praksis kami menggunakan baju LSM. Pusat Studi Gender (PSG) UKSW merupakan sebuah pusat penelitian yang berkonsentrasi pada permasalahan pengarusutamaan jender (gender mainstreaming). Penuturan di atas memperlihatkan bahwa penelitian di pusat tersebut mencakup aspek teoretikal dan aspek praksis35. Ungkapan ― … yang warnanya sangat praksis kami menggunakan baju LSM.‖ merujuk pada upaya yang ditempuh oleh peneliti tersebut untuk mengembangkan relasi dengan pelaku-pelaku di masyarakat. Penuturan tersebut juga menggambarkan bahwa
34
Dalam Statuta Universitas UKSW tercantum lima butir Visi UKSW, dua di antaranya yang secara khusus berkaitan dengan penelitian adalah: menjadi universitas magistrorum et scholarium untuk pembentukan creative minority bagi pembangunan dan pembaharuan masyarakat dan negara Indonesia; menjadi radar dalam situasi perubahan kebudayaan, politik, moral dan rohaniah, yang mensinyalir, mencatat dan mengikuti perubahan-perubahan itu guna menjadikannya obyek atau sasaran pembahasan dan penelitian. 35
Dalam suatu praksis, berbeda dari penelitian teoretikal, peneliti berinteraksi secara dekat dengan objek penelitian. Penelitian aksi (action research) dan penelitian partisipatori (participatory research) merupakan jenis-jenis penelitian di mana peneliti terlibat dalam sebuah praksis. Dalam penelitian seperti ini, peneliti tidak menarik garis yang rijid antara subjek dan objek penelitian. Peneliti tidak bekerja „at distant‟, melainkan „engaged‟ dengan objek penelitian.
72
ke dalam inovasi
ketika kegiatan penelitian masuk ke ranah praksis, cara-cara yang konvensional dipandang kurang memadai sehingga diperlukan ‗baju LSM‘. Upaya-upaya untuk pengarusutamaan jender di PSG dilakukan melalui, antara lain, kegiatan-kegiatan alih teknologi dan pembinaan terhadap para pelaku usaha. Dalam penuturan berikut ini, peneliti tersebut menggambarkan isu-isu yang dihadapi dalam upaya menjalin relasi dengan pihak-pihak luar: … jadi begini, dalam melakukan riset unggulan kemitraan dari Kementerian Ristek itu salah satu syaratnya kan harus kerja sama dengan perusahaan yang sudah punya jejaring pasar yang luas. Kami sudah sempat membuat dua model. Model pertama, kami menjalin kerja sama dengan satu perusahan, tapi ini kan tidak jalan karena keterbukaan dan transparansi itu tidak bisa dibangun. Nah, sehingga ada kemandekan di sini. Kemudian kami bangun model ke dua, yaitu membuat asosiasi dari usahausaha kecil, itu menghadapi pasar. Model pertama di bawah satu perusahaan sementara yang satu lagi asosiasi supaya mereka berhadapan dengan pasar. Tapi keduanya mandek. Yang satu karena kekuatan internalnya tinggi sehingga kami masuknya susah, kalau yang satunya terlalu lemah sehingga tidak bisa bargain dia. Lalu kami membuat model baru lagi yaitu dengan melalui satu lembaga mediasi untuk berhadapan dengan pasar seperti yang diterapkan dalam mekanisme fair-trade. Dalam menggunakan mediasi ini kan ada dua model lagi, fairtrade sama ethical trade. Yang ethical saya belum belajar, tapi saya mau belajar nanti kalau fair-trade ada kelemahan. Menurut peneliti tersebut, menjalin relasi dengan perusahaan besar memberikan keuntungan dalam bentuk akses jejaring yang luas. Tetapi perusahaan besar memiliki ‗kekuatan internal‘ yang menyulitkan negosiasinegosiasi. Di sisi lain, menjalin relasi dengan perusahaan kecil tidak menimbulkan kesulitan dalam penyesuaian-penyesuaian, tetapi perusahaanperusahaan tersebut lemah dalam posisi tawar (di pasar). Jadi, mengacu pada pengalaman peneliti tersebut, ketika seorang peneliti masuk ke hilir ia berhadapan dengan pelaku-pelaku yang beragam dalam perilaku dan posisi,
transformasi penelitian
73
dan terlibat dalam negosiasi-negosiasi dan penyesuaian-penyesuaian36. Perusahaan-perusahaan tertentu lebih berpengaruh di pasar (dalam penentuan jenis komoditas dan harga) daripada perusahaan-perusahaan lainnya. Tetapi perusahaan-perusahaan yang lebih berpengaruh di pasar memiliki kelembaman yang relatif besar, sehingga menimbulkan kesulitan bagi peneliti dalam bernegosiasi dengan mereka. Untuk menjalin relasi dengan pelaku-pelaku tersebut, seorang peneliti terlibat dalam negosiasi-negosiasi dan penyesuaianpenyesuaian37. Di UKSW terdapat sebuah pusat penelitian yang khusus berkonsentrasi pada masalah pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM), baik dalam aspek mikro-ekonomik maupun makro-ekonomik. Seorang peneliti dari pusat tersebut menurutkan pengalamannya sebagai berikut: Sesuai dengan daerah sini di mana industri besar tidak ada, menengah pun jarang. Artinya mikro dan kecil. Itu menjadi kajian penelitian yang dimulai tahun 80-an, yang temanya industri pedesaan. … Kami punya strategi langsung dan tidak langsung. Kalau yang tidak langsung itu untuk perbaikan iklim usaha dan produksi. Karena sering kita melakukan penelitian, pendampingan, pelatihan tapi selama iklimnya tidak bagus jadi percuma itu. Nah, itu susah juga ya, karena untuk bidang sosial, namanya inovasi itu kan tidak bisa murni, ya. Lain kalau eksakta, itu bisa di laboratorium sendirian dan bilang,‖wah itu penemuan saya!‖ Tapi kalau ilmu sosial itu kan laboratoriumnya di masyarakat. Awalnya memang menginisiasi di tingkat propinsi … aspek reformasi birokrasi … lalu ada aspek formalisasi usaha, akses dan memudahkan berusaha. … kita dengan mikrokredit dekat, 36
Ketika seorang peneliti merintis kerja sama dengan pelaku usaha, objektif yang dituju tentunya berkaitan dengan diferensiasi produk (product differentiation), apakah dalam penyediaan produk (product delivery), kualitas produk, metode produksi, manajemen produksi, dan lain-lain. Penetapan objektif ini melibatkan negosiasi-negosiasi antara peneliti dan pelaku usaha. Jika pelaku usaha tersebut memiliki kelembaman yang tinggi, negosiasi tersebut menjadi sulit untuk bergulir. 37 Situasi yang serupa digambarkan oleh para peneliti ITB ketika menjalin relasi dengan perusahaan-perusahaan yang pasokan teknologinya bergantung pada impor .
74
ke dalam inovasi
dengan PKBL, bank-bank BUMN, di mana mereka ada alokasi laba pada pengembangan mikro dan kecil. Jadi, untuk mencapai objektif dari penelitiannya, peneliti tersebut mengembangkan relasi-relasi dengan jenis-jenis pelaku yang berbeda, dan menerapkan strategi-strategi yang berbeda. Strategi yang langsung dijalankan melalui interaksi dengan para pelaku usaha kecil untuk melaksanakan pelatihan dan pendampingan, sedangkan strategi yang tidak langsung ditempuh dengan memberikan advokasi pada para pembuat kebijakan dan penyelenggara pemerintahan. Peneliti tersebut memberikan gambaran mengenai kompleksitas situasi penelitian di hilir yang ia hadapi melalui ungkapan ―…kalau eksakta, itu bisa di laboratorium sendirian … ilmu sosial itu kan laboratoriumnya di masyarakat‖38. Dengan penuturan ini tampaknya peneliti tersebut ingin menyatakan bahwa hasil (outcome) dari suatu ‗esperimen di masyarakat‘ tidak semata-mata ditentukan oleh faktor kemampuan peneliti, tetapi juga ditentukan melalui interaksi yang kompleks antara peneliti tersebut dan berbagai pelaku lain di masyarakat. Kompleksitas relasi-relasi ini yang membuat seorang peneliti sosial tidak bisa menyatakan ―itu penemuan saya!‖ Lebih jauh mengenai penelitian di ‗laboratorium masyarakat‘ ini peneliti tersebut menuturkan: … ada Regulatory Impact Asesment, RIA, itu metode baru. Ketika Depdagri teriak banyak regulasi daerah yang bermasalah, peraturan daerah, pajak ‗siluman,‘ … kita belajar dengan metode RIA. Ini pendekatan pertautan analisis substansi hukum dengan analisis biaya-manfaat, dan dipadukan jadi satu. Ini juga sudah kita kenalkan ke beberapa kabupaten dan ditindaklanjuti. Di lapangan kita menemukan apa yang disebut ijin gangguan. Itu aneh tuh, sebuah aturan dari masa Belanda yang ditetapkan 38
Dalam pengembangan ilmu-ilmu kealaman, laboratorium merupakan situs tempat eksperimen dilaksanakan. Di laboratorium, hukum-hukum empiris dicari, hipotesishipotesis/teori-teori diuji. Meski umumnya sebuah eksperimen itu dirancang terlebih dahulu sebelum dilaksanakan, hasil (outcome) dari eksperimen tidak sepenuhnya bisa diperkirakan. sering hasil eksperimen itu „diluar dugaan‟, atau bahkan bertentangan dengan hipotesis-hipotesis. Ketidakpastian dalam eksperimen ini justru yang membuat eksperimen itu penting dan menarik bagi para peneliti.
transformasi penelitian
75
tahun 1926 dan sekarang masih berlaku, dan turunannya ada peraturan-peraturan daerah yang bentuknya tidak sama. … Kalau membuka usaha, … untuk mendapat ijin dasarnya harus mendapat ijin gangguan. Kami kerja sama dengan orang-orang dari fakultas hukum. Kita mengadvokasi tingkat nasional. Kemarin di tingkat propinsi kita minta support dari Gubernur yang kemudian disampaikan ke Depdagri, yang lalu menugaskan satgas untuk mengklarifikasi. … Kalau mendampingi saja, kita susah modal … nanti tidak dipercaya karena tidak punya modal dan hanya bisa ngomong saja begitu ya. Tapi kalau kita menjalin kerja sama dengan bank ini, … begitu kan ada solusinya, begitu kan. Jadi, dalam penuturan di atas, pelaku-pelaku yang terlibat dalam penelitian di ‗laboratorium masyarakat‘ mencakup: penyelenggara pemerintahan (di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten), pengusaha, akademisi, dan pelaku perbankan. Melakukan penelitian dengan masyarakat sebagai ‗laboratorium‘ melibatkan jalinan relasi-relasi dengan pelaku-pelaku yang beragam tersebut. Di UKSW terdapat pusat penelitian yang lingkup kegiatannya berbasis kawasan, khususnya kawasan timur dari Indonesia. Pusat ini diberi nama Pusat Studi Kawasan Timur Indonesia (PSKTI). Seorang peneliti dari pusat tersebut menuturkan pengalamannya sebagai berikut: Berawal dari dulu, kami banyak dari Indonesia Timur. Kami melihat itu selalu tertinggal. Kami tahu jelas bagaimana kualitas manusia, kualitas pelayanan pegawai-pegawai daerah yang asalasalan, juga perencanaan- perencanaan yang hanya menuruti apa yang maunya Jakarta. Sementara kami tahu persoalanpersoalan di daerah, kadang khas. Jadi waktu itu jaman Orde Baru di mana semuanya seragam, waktu itu kami dealing dengan pemerintah daerah Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, mereka itu yang pertama. Kami waktu itu membuat perencanaan tata wilayah dengan pola kami, seperti tata guna lahan. Jadi yang kami lakukan bukan permasalahan teknis saja, tapi juga kultural, lebih holistik lah. Misalnya tanah, kami membor tanah, itu untuk yang fisik ya, kami bawa ke sini dan dianalisis. Ada semua lokasi itu yang kami bor. Jadi ini melibatkan orang pertanian, biologi, ekonomi,
76
ke dalam inovasi
sipil, dan ternyata bisa ditetapkan jenis tanaman apa yang cocok. Itu pekerjaan kami yang pertama. Kami juga melakukan penelitian tentang kondisi pendidikan di sana, untuk melihat problem-problem kenapa anak-anak banyak yang putus sekolah. Misalnya melihat berapa jam waktu belajar di rumah, dia bantu orang tua sampai dia merasa capek sekali. Ya. Etnografi, tapi juga ada sedikit survei. Selain itu juga kami melihat entrepreneurship lokal. Kemudian kami juga buat penelitian tentang ukuran kemiskinan lokal. Kami tidak mau melihat data BPS, karena kalau melihat BPS semua orang miskin. Makanya kami disain semua secara lokal. Lalu diterapkan disainnya dan sekarang programnya sedang berjalan. Misalnya kami disain untuk memperkenalkan Teknologi Informasi di dalam birokrasi, misalnya. Jadi, pokok permasalahan yang diperhatikan dalam penelitian mencakup berbagai aspek dari pembangunan seperti tata ruang, infrastruktur, pendidikan, pertanian, ekonomi, birokrasi, teknologi, dan sosio-kultur, dan pelaksanaan penelitian tersebut melibatkan peneliti-peneliti dari beragam jenis ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih jauh mengenai ragam kegiatan dalam penelitian, peneliti tersebut menuturkan sebagai berikut: Kalau kami di lembaga ini membuat sistem sedemikian rupa di mana projek tetap jalan, tapi intelektual masih bekerja begitu ya. … Selalu yang kami minta dari mereka itu adalah tindak lanjut dari projek ini dalam paper-paper ke jurnal. Jadi begini, mereka kalau bekerja pasti membuat laporan, dan setelah itu harus dipikirkan untuk mensintesiskan. … Biarkanlah teman-teman yang masih muda untuk di lapangan, laporan mereka itu yang kami lihat, baca, sintesiskan, lalu hasilkan paper dari situ bersama-sama mereka. Jadi ketemu, karena kalau mereka suruh tulis itu tidak mungkin. Kami secara institusional mengejar mutu, … maka kalau mencari data di lapangan tidak asal pergi, kita betul-betul cari dan gali, bahkan kami tes. Jadi betul-betul terkontrol, karena survival kami di situ. Misalnya satu contoh di Bali, kami yang mengkoordinir
transformasi penelitian
77
juga … justru melakukan empowering mereka untuk belajar. Kami tidak mau seperti imperialis. Jadi, ada pekerjaan lapangan (field work) dan pembuatan laporan, dan ada upayaupaya sintesis dan penulisan paper-paper yang dipublikasi melalui jurnal-jurnal ilmiah. Selain ini, sebelum pekerjaan lapangan dimulai, dilakukan persiapanpersiapan sehingga ―kalau mencari data di lapangan tidak asal pergi, kita betulbetul cari dan gali, bahkan kami tes‖. Dalam ungkapan ―… justru melakukan empowering mereka untuk belajar… ‖, peneliti tersebut menegaskan bahwa penelitian dilakukan bukan hanya untuk memberikan manfaat bagi para peneliti, tetapi juga bagi masyarakat itu sendiri. Ini didasarkan pada prinsip yang dianut oleh peneliti tersebut, yang ia ungkapkan sebagai ―Kami tidak mau seperti imperialis‖. Teknologi informasi (TI) merupakan salah satu jenis teknologi 39 yang mendapat perhatian di UKSW. Salah satu dari program-program pengembangan TI adalah program pemanfaatan TI untuk pemberdayaan masyarakat, yang dikelola dalam wadah Pusat Bisnis dan Teknologi (Bistek). Mengenai program ini seorang peneliti dari pusat tersebut menuturkan sebagai berikut: Awalnya namanya Inkubator Bisnis, karena Dikti yang berwenang terhadap perguruan tinggi mencanangkan bahwa sebaiknya lulusan perguruan tingi sudah diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja. Nah, itu sebagai faktor pendorong, Ini dikaitkan dengan kemampuan kita dibidang TI untuk dikomersialkan, untuk dikembangkan, … menciptakan entrepreneur yang memanfaatkan ilmu dan teknologi informasi. … Pekerjaan yang kita lakukan hanya beberapa, terutama masalah ERP, entreprise resource planning, yang membantu proses kinerja perusahaan. Yang pertama, start-up company, yang akan menjadi pusat inkubator untuk dimulainya sebuah perusahaan TI. Yang ke dua pendampingan UKM. Yang ke tiga training center, pusat pelatihan juga. Ke empat research and development yang akan 39
Di UKSW juga intensif dijalankan program-program untuk pengembangan bioteknologi dan ilmu bio-molekul.
78
ke dalam inovasi
mengadakan penelitian TI. Untuk yang start up company, kita sudah ada yaitu Wacana Inti Informatika, WII. Selama ini bekerjasama dengan Departemen Perindustrian … membuat pelatihan internet. Kita perkenalkan internet dengan UKM. Jadi kita jelaskan bahwa ternyata internet ini bisa digunakan untuk pengembangan usaha, dan sebagian besar mereka belum mengerti komputer. Makanya muatannya salah satunya pengenalan komputer. Penuturan berikut ini mengungkapkan pendekatan yang ditempuh Bistek dalam berinteraksi dengan user, untuk mendefinisikan dan menjalankan program pemanfaatan TI: Sebenarnya, kebutuhan di lapangannya itu yang mana? UKM kita itu strategisnya mau diarahkan ke mana kaitannya dengan TI? Mungkin itu yang lebih penting. Itu strategi kita mengajak mereka, bukan membuat kurikulum sendiri. Ternyata mereka butuh sistem pembukuannya. Nah, kita ajak bekerja sama. … Tujuan Bistek kan selain sebagai inkubator, juga memberikan training dan pengembangan TI ke masyarakat yang masih kurang menjangkaunya. … WII itu perusahaan TI untuk pendidikan seperti modul interaktif, mungkin lebih mirip dengan Pesona Fisika. Tapi kami buat beda sedikit, karena ada aktifitas belajar. Kami kembangkan satu aplikasi supaya bisa mencakup ke sistem interaktif … Produk kami lebih kepada aktifitas belajarnya, soal-soal tes semacamnya. … Jadi dalam model CD interaktif itu ada konsep-konsep, lalu ada animasinya, lalu ada juga tesnya. Nah nanti si guru itu dia yang akan melihat pencapaian dari soal-soal itu. Jadi, tergantung kebutuhan user juga. Seperti yang kami dapat ini untuk pengembangan sekolah internasional di Jayapura. Kami men-support TI-nya dari infrastruktur sampai maintenance. Tapi untuk itu kami kerja sama dengan Bistek karena di sana ada divisi untuk itu. Untuk saat ini kami lebih fokus ke pendidikan. Kami juga sedang menyiapkan bersama perusahaan di Jakarta itu untuk video conference, kami buat kelasnya di Salatiga. … bisa saja ‗tek‘ yang dikembangkan bukan TI. Bisa bio-teknologi, dan lain-lain.
transformasi penelitian
79
Penuturan berikut ini menggambarkan upaya-upaya yang ditempuh untuk memadukan kegiatan penelitian, kegiatan pengajaran dan kegiatan pengabdian masyarakat: Jadi dari dosen TI yang 30-an, bisa menjadi 10 perusahaan yang lahir dari sini. Itu yang terus saya kampanyekan. Setelah itu bukan berarti dosen melupakan aktivitas mengajarnya. Tapi justru dengan begitu waktu dosen mengajar, … mengalami banyak sekali learning. Itu maksudnya Tridharma Perguruan Tinggi, … integrated. Orang kan sering mempermasalahkan, pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Orang kan memahami pengabdian masyarakat itu seperti ‗turun ke sawah, menyangkul‘. Sebetulnya kan tidak harus begitu. Kita kembangkan bisnis, atau apa yang bermanfaat bagi masyarkat. Penelitian itu kan riset awal kita, kemudian waktu mengajar, sudah tahu konsep dan contoh riel di lapangan. Itu yang kita bawa di kelas. Penuturan para peneliti UKSW di atas menggambarkan situasi penelitian di hilir, yang, oleh salah seorang dari para peneliti tersebut, diberi istilah ‗laboratorium masyarakat‘. Para peneliti tersebut juga memaparkan upayaupaya untuk memadukan penelitian hilir dan penelitian hulu, dan juga memadukan penelitian dan pengajaran. Pola-pola penelitian seperti yang digambarkan para peneliti tersebut tampaknya merupakan objektifikasi, atau realisasi, dari butir-butir dalam Visi UKSW. Melakukan penelitian di hilir, yang digambarkan sebagai bekerja di ‗laboratorium masyarakat‘, melibatkan interaksi dengan beragam pelaku di masyarakat: penyelenggara pemerintahan, LSM, pengusaha besar dan pelaku UKM, akademisi dari perguruan tinggi lain. Oleh karena ini, keragaman, atau bahkan pertentangan, pandangan dan kepentingan merupakan situasi yang normal dalam penelitian di hilir. Menjalin relasi-relasi dengan para pelaku tersebut melibatkan negosiasi-negosiasi dan penyesuaian-penyesuaian yang dapat berakhir pada kesepakatan ataupun ketidaksepakatan.
80
ke dalam inovasi
3.5 Diskusi Pemaparan hasil wawancara dan FGD di bab ini menggambarkan pandanganpandangan para peneliti tentang isu ‗pemanfaatan hasil penelitian‘ serta pengalaman mereka dalam upaya-upaya pemanfaatan hasil penelitian. Bahan empirikal yang dipaparkan di sini memang tidak mengungkapkan kegiatankegiatan penelitian secara terinci. Meski demikian, penuturan-penuturan para peneliti tersebut mengungkapkan karakteristik penelitian, yang relevan dan penting bagi upaya-upaya pemanfaatan hasil penelitian di masyarakat. 3.5.1
Rangkuman Isu-Isu
Secara umum, penelitian basik/dasar dipandang memiliki status yang berbeda dari penelitian terapan. Kutipan-kutipan frasa berikut ini menggambarkan perbedaan status tersebut: ―Jadi kalau kami yang bergerak di bidang MIPA ini dekat dengan sumbernya begitu ... kalau yang di bagian hilir ini ... sudah banyak aplikasi ... sudah banyak bumbu-bumbu nya. … basic science, dan itu merupakan titik acuan science.” ―... integrasi dan aplikasi yang ada kaitannya dengan industri … itu namanya projek …. problem-solving. … Mungkin dari segi keuangan naik. … Tapi, ya itu bukan projek penelitian.‖ ―Pendekatan kami bergaya LSM, karena dekonstruksi jender itu tidak bisa setengah-setengah, harus all out. … jadi tidak bisa penelitian tok, terus masukkan di rak, tidak menghasilkan apa-apa. … Jadi, kalau kami bergerak itu bergerak bersama LSM. Jadi, yang warnanya sangat praksis kami menggunakan baju LSM.‖ Meski demikian tidak dapat dikatakan bahwa para peneliti di perguruan tinggi lebih cenderung pada penelitian basik/dasar. Para peneliti yang bekerja di ‗hulu‘ berkutat dengan eksplanasi fundamental dan berpandangan bahwa hasil pekerjaannya perlu dijadikan acuan. Sementara itu, peneliti-peneliti lainnya
transformasi penelitian
81
bekerja untuk mengembangkan teknologi yang relevan dengan kegiatankegiatan industrial, mengembangkan produk yang berpotensi komersial, atau mengembangkan model-model untuk pemberdayaan masyarakat. Bagi para peneliti di ‗hulu‘ (pelaku penelitian basik/dasar), pemanfaatan hasil penelitian dipandang perlu mengacu pada hasil-hasil penelitian basik/dasar. Tetapi penggalian hasil-hasil penelitian basik/dasar untuk tujuan penerapan tidak dipandang sebagai bagian dari tugas mereka. Bagi Para peneliti di ‗hilir‘, upaya-upaya pemanfaatan hasil penelitian dilakukan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat apakah dalam konteks komersial ataupun konteks sosial (non-komersial). Kedua kelompok peneliti ini, kelompok peneliti ‗hulu‘ dan kelompok peneliti ‗hilir‘, tampaknya masing-masing bekerja secara otonom. Kedua kelompok tersebut tidak terlibat dalam interaksi-interaksi untuk menggali peluang-peluang penerapan hasil-hasil penelitian. ‗Aliran pengetahuan‘ sebagaimana dikonsepsikan dalam model linier inovasi tampaknya bukan hal yang umum terjadi. Di satu sisi, peneliti di ‗hilir‘ tidak bekerja untuk menggali hasil-hasil penelitian koleganya di ‗hulu‘. Di lain sisi, peneliti di ‗hulu‘ tidak bekerja dengan suatu orientasi akan adanya peluangpeluang terapan di ‗hilir‘. Jadi, meski dalam sebuah perguruan tinggi terdapat kelompok peneliti ‗hulu‘/basik dan kelompok peneliti ‗hilir‘/terapan, kedua kelompok tersebut tidak terlibat dalam interaksi untuk ‗mengalirkan pengetahuan‘ dari ‗hulu‘ ke ‗hilir. Situasi seperti ini tidak bersesuaian dengan asumsi ‗aliran pengetahuan‘ dalam model linier inovasi. Ketika seorang peneliti (baik peneliti hulu maupun peneliti hilir) berupaya untuk membawa hasil penelitiannya ke ranah praktikal di masyarakat, terdapat hal-hal yang dipandang peneliti tersebut sebagai kendala atau hambatan. Kumpulan kutipan berikut ini mengilustrasikan kendala-kendala/hambatanhambatan tersebut: ―Saya melihat gempa itu sesuatu yang menarik, bukan sesuatu yang menakutkan. Iya, buat saya itu data. ... Terus terang, bangsa kita ini belum bisa menghargai data. ... Saya menulis dan terus menulis. Saya tidak perduli orang di sini mau menghargai tulisan itu apa tidak. Yang penting orang luar sana banyak yang mengapresiasi
82
ke dalam inovasi
saya.‖ ―Kalau dengan industri, ya, biasanya kita harus tawarkan produk yang hampir sudah masuk komersial. … Ya mereka harus siap keuangan. ... Kalau di luar negeri itu kan, misalnya, industri itu memberikan sebagian dana ke beberapa penelitian atau ke universitas. Kalau di sini kan tidak ada.‖ ―Industri dengan kita tidak terlalu nyambung, ... Kan harus ada suatu policy yang membuat agar produk-produk dari dalam itu dilindungi dulu .... Nah, industri itu sendiri tidak pernah mendapat rangsangan untuk membantu kita. Mereka kan kerjanya paling-paling kalau sudah jadi, baru mau.― ― … persoalannya itu adalah tidaknya adanya trust di antara kelompok-kelompok tersebut. … Ada industri yang memiki kepercayaan yang tinggi pada peneliti, tapi ini jumlahnya sangat sedikit.‖ ―… industri kita itu dibangun tidak dengan R & D. Industri kita dibangun dengan membeli teknologi.― ―Kalau perguruan tinggi masuk ke industri, ke dunia yang tidak siap, perguruan tinggi bisa malah mati dan tidak produktif. Tuntutan terhadap perguruan tinggi itu banyak … harus menyelesaikan masalah bangsa ... peringkat world class … harus banyak paper … Semua segmen harus digarap.‖ ―Kami sudah sempat membuat dua model. Model pertama, kami menjalin kerja sama dengan satu perusahan, tapi ini kan tidak jalan karena keterbukaan dan transparansi itu tidak bisa dibangun. … ― ―Di lapangan kita menemukan apa yang disebut ijin gangguan. Itu aneh tuh, sebuah aturan dari masa Belanda yang ditetapkan tahun 1926 dan sekarang masih berlaku, dan turunannya ada peraturanperaturan daerah yang bentuknya tidak sama.‖ Keseluruhan kutipan-kutipan di atas merujuk pada adanya kesenjangan antara apa-apa yang berkembang di dalam kampus dan apa-apa yang berlaku di ‗laboratorium masyarakat‘. Kesenjangan ini dapat berwujud kesenjangan nilai-
transformasi penelitian
83
nilai budaya/kultur dan kebiasaan praktikal, kesenjangan finansial, kesenjangan teknologikal, dan kesenjangan kelembagaan/institusional. Berbagai bentuk kesenjangan ini tidak diperhitungkan dalam model linier inovasi. Untuk mengatasi atau mempersempit kesenjangan tersebut, langkah yang ditempuh para peneliti adalah berinteraksi lebih erat dan mengupayakan negosiasi-negosiasi dengan berbagai pihak di ‗laboratorium masyarakat‘. Kutipan-kutipan berikut ini menggambarkan interaksi-interaksi dan negosiasinegosiasi tersebut. ―Kita juga banyak berinteraksi dengan industri untuk menanyakan kira-kira apa yang mereka inginkan. … Ini kan biasanya permintaan. Jadi mereka inginnya demikian, ... lalu kita sepakati … Jadi dua belah pihak.‖ ―Pendekatan kami bergaya LSM, karena dekonstruksi jender itu tidak bisa setengah-setengah, harus all out. … Jadi kami pernah punya pengalaman kerja sama dengan LSM, tapi tidak pernah bisa klop … akhirnya kami buat LSM sendiri. Jadi, kalau kami bergerak itu bergerak bersama LSM. Jadi, yang warnanya sangat praksis kami menggunakan baju LSM.‖ ―Kami kerja sama dengan orang-orang dari fakultas hukum. Kita mengadvokasi tingkat nasional. Kemarin di tingkat propinsi kita minta support dari Gubernur yang kemudian disampaikan ke Depdagri, yang lalu menugaskan satgas untuk mengklarifikasi. … Kalau mendampingi saja, kita susah modal … Tapi kalau kita menjalin kerja sama dengan bank ini, … begitu kan ada solusinya, begitu kan.‖ ―Sebenarnya, kebutuhan di lapangannya itu yang mana? UKM kita itu strategisnya mau diarahkan ke mana kaitannya dengan TI? Mungkin itu yang lebih penting. Itu strategi kita mengajak mereka, bukan membuat kurikulum sendiri.― Pembahasan yang lebih terinci mengenai upaya-upaya pemanfaatan iptek didiskusikan di Bab 5.
84
3.5.2
ke dalam inovasi
Variasi-Seleksi dan Jejaring Relasi
Pemaparan hasil wawancara dan FGD yang disampaikan di bab ini memperlihatkan adanya keragaman orientasi penelitian. Sebagian para peneliti yang cenderung pada penelitian dasar dan sebagian lainnya cenderung pada penelitian terapan. Ada peneliti yang terlibat intensif dalam upaya-upaya pemanfaatan hasil penelitian dan ada juga peneliti yang membatasi lingkup kegiatannya di kampus. Para peneliti tersebut berbeda dalam disiplin-disiplin keilmuan yang ditekuni. Misalnya, terdapat peneliti yang berfokus pada penjelasan gejala alam dan metode pengukuran gejala alam, dan menaruh perhatian pada kebenaran pengukuran. Peneliti yang lain menaruh perhatian pada produk-produk komersial, dan bagaimana kualitas produk tersebut dapat ditingkatkan melalui penelitian ilmiah yang terstruktur dan sistematik. Peneliti yang lainnya menaruh perhatian pada teori dan prinsip dasar dari kesetaraan jender, dan bagaimana teori dan prinsip tersebut dapat menjadi pemandu yang efektif dalam praktis sosial (social practice). Peneliti yang lain lagi menaruh perhatian pada ilmu-ilmu pengetahuan yang menjadi fondasi bagi praktis kerekayasaan di industri-industri. Bila dikesampingkan perbedaan subjek-subjek penelitian dan orientasiorientasi penelitian, didapatkan suatu kesamaan bahwa seorang peneliti, ketika meneliti, melakukan variasi-seleksi40 dengan pola yang khas. Secara sederhana, variasi-seleksi bermula ketika seorang peneliti menilai bahwa suatu teori, metode atau model tertentu mengandung permasalahan atau problematik, dan memutuskan bahwa sesuatu teori/model/metode yang lebih benar perlu ditemukan. Dengan perkataan lain, peneliti tersebut memulai dengan problematisasi (problematization) atas situasi. Untuk mendapatkan teori/model/metode yang lebih benar, peneliti tersebut akan menghasilkan (to generate) pilihan-pilihan—variasi, dan setelah itu menetapkan satu dari pilihan-
40
Konsep variasi-seleksi ini lazim digunakan dalam pembahasan tentang teori pembelajaran (learning).
transformasi penelitian
85
pilihan tersebut yang dipandang lebih benar melalui metode validasi tertentu 41-seleksi. Dengan mekanisme variasi-seleksi seperti ini, suatu penelitian memberikan hasil yang bersifat orisinal dan mengandung kebaruan (novelty). Berikut ini adalah beberapa pernyataan para peneliti yang menggambarkan adanya variasi-seleksi tersebut: ―kan ada sumbu x, y, dan z. Data gempa itu kalau saya melihat dari 3 koordinat tersebut, jadi tingkat akurasinya lebih tinggi. Beda sama BMG yang mengambil dari 2 titik saja‖; ―Jadi track record kita dari pertama kali. … Kita lihat juga yang relatif mudah dijual … Kita juga banyak berinteraksi dengan industri untuk menanyakan kira-kira apa yang mereka inginkan‖; ―Kami sudah sempat membuat dua model. Model pertama, kami menjalin kerja sama dengan satu perusahan, tapi ini kan tidak jalan karena keterbukaan dan transparansi itu tidak bisa dibangun. … Kemudian kami bangun model ke dua, yaitu membuat asosiasi dari usaha-usaha kecil, itu menghadapi pasar. Lalu kami membuat model baru lagi yaitu dengan melalui satu lembaga mediasi … Dalam menggunakan mediasi ini kan ada dua model lagi, fairtrade sama ethical trade‖; ―perencanaan-perencanaan yang hanya menuruti apa yang maunya Jakarta. Sementara kami tahu persoalan-persoalan di daerah, kadang khas‖ Dengan penyederhanaan-penyederhanaan, lintasan variasi-seleksi kognitif dapat digambarkan seperti pada Gambar 3.1. Ketika seorang peneliti melakukan penelitian dengan subjek atau pokok bahasan X, ini dimulai dengan penilaian bahwa X0 bersifat problematik atau mengandung masalah. Kemudian peneliti 41
Penetapan kebenaran ini merupakan proses kognitif yang kompleks dan menjadi pembahasan tersendiri dalam filsafat, ilmu logika, dan juga teori-teori sosial tentang ilmu pengetahuan.
86
ke dalam inovasi
tersebut berupaya melakukan pembedaan kognitif terhadap X 0 dan menghasilkan variasi X1, X2, dan seterusnya. Kemudian peneliti tersebut memvalidasi satu dari sekumpulan X1, X2, dan seterusnya tersebut, dan menetapkan bahwa, katakanlah, XN adalah Xvalid. Pada umumnya, lintasan pencarian dari X0 menuju Xvalid tidak bersifat satu arah, memunculkan banyak percabangan, dan mungkin disertai gerakan maju-mundur.
Xf0 variasi
Xf0, Xf1, Xf2, Xf3, ... seleksi
Xf0, Xf1, Xf2, Xf3, ...
Gambar 3.1 Ilustrasi tentang Variasi-Seleksi Kognitif Bagaimana variasi-seleksi dapat terjadi? Kemampuan-kemampuan kognitif seperti ketajaman intuisi, kecermatan pengamatan, kedalaman kontemplasi dan kreativitas merupakan faktor yang penting bagi variasi-seleksi. Tetapi, sebagaimana diungkapkan melalui penuturan-penuturan para peneliti di bab ini, penelitian juga melibatkan jurnal ilmiah, instrumen pengukuran, perangkat eksperimental, komunitas/asosiasi keilmuan, seminar, serta pendukung dan sponsor penelitian. Ini semua merupakan faktor-faktor yang juga penting untuk mendukung variasi-seleksi. Artikel-artikel dalam jurnal ilmiah memaparkan teori-teori/modelmodel/metode-metode yang dikembangkan oleh peneliti-peneliti yang berasal dari perguruan-perguruan tinggi/lembaga-lembaga penelitian di berbagai penjuru dunia. Secara tidak langsung, melalui jurnal ilmiah seorang peneliti berinteraksi dengan peneliti-peneliti lain yang berasal dari perguruanperguruan tinggi yang lain juga (mungkin di mancanegara), dan mungkin juga
transformasi penelitian
87
dari waktu yang berbeda (artikel yang ditulis di masa silam). Ketika seorang peneliti memilih untuk menggunakan instrumen ukur tertentu, atau perangkat eksperimen tertentu, ia juga mengadopsi kaidah-kaidah praktikal berkenaan dengan penggunaan instrumen/perangkat tersebut. Kaidah-kaidah tersebut disepakati di kalangan komunitas tertentu (pada umumnya komunitas internasional) yang dituliskan ke dalam dokumen panduan dan standard operating procedure. Instrumen ukur dan perangkat ekperimen merupakan bagian dari kesepakatan-kesepakatan antara peneliti-peneliti yang tersebar di berbagai negara. Asosiasi-asosiasi keilmuan dan seminar-seminar merupakan simpulsimpul yang mempertemukan para ilmuwan/peneliti dari berbagai tempat. Dalam seminar-seminar para peneliti berinteraksi, apakah untuk saling memperkuat ataupun untuk saling bertanding. Pendukung dan sponsor penelitian merupakan faktor non-kognitif lain yang mempengaruhi variasiseleksi. Pendukung penelitian memberikan fasilitas, izin, akses bagi peneliti, dan sponsor penelitian mengucurkan dana penelitian. Dengan dana penelitian, seorang peneliti dapat melakukan kunjungan keskolaran, mengikuti seminar, melakukan pengamatan ke tempat-tempat yang jauh dan terpencil, dan banyak hal yang lainnya.
Sponsor Penelitian
Komunitas Keilmuan Internasional
Masyarakat Luas
Sponsor Penelitian
Pemerintah
Jurnal Ilmiah Terkait
Asosiasi Ilmiah Bidang X
Jurnal Ilmiah Bidang X
Peneliti Bidang X
Lembaga Swadaya Masyarakat
Komunitas Lokal Peneliti Bidang Y
Dokumen Legal Terkait Y Asosiasi Terkait Y Jurnal Ilmiah Terkait Y
Gambar 3.2 Ilustrasi tentang Jejaring-Jejaring Relasi Akademisi Yang ingin ditekankan melalui uraian di atas adalah bahwa kegiatan penelitian bukan semata-mata kegiatan kognitif. Alih-alih demikian, untuk
88
ke dalam inovasi
melakukan variasi-seleksi seorang peneliti mengembangkan relasi-relasi dengan beragam pelaku lain yang tersebar di berbagai tempat dan waktu. Dalam artian demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian memiliki sifat jejaring. Pengembangan relasi-relasi dalam jejaring dibutuhkan bagi seorang peneliti untuk memperluas ruang variasi-seleksi. Sebagaimana akan diperlihatkan dalam bab-bab berikut, sifat jejaring dari penelitian penting diperhatikan dalam upaya pemanfaatan hasil penelitian.[]
transformasi penelitian
89
Bab 4 JEJARING RELASI PENELITI DI LEMBAGA PUBLIK/SWASTA
4.1 Pendahuluan
Penelitian,
selain di perguruan-perguruan tinggi, juga diselenggarakan di
lembaga-lembaga penelitian publik dan, sampai batas tertentu, perusahaanperusahaan swasta42. Pola dan arah dari kegiatan-kegiatan penelitian di lembaga penelitian publik/perusahaan swasta ditentukan oleh misi publik/komersial dari lembaga/perusahaan tersebut. Berbeda dari perguruan tinggi, dalam lembaga penelitian publik/perusahaan swasta tidak terdapat ‗aliran sumber daya pengetahuan‘: para mahasiswa yang masuk dan keluar sebagai lulusan dari tahun ke tahun. Para mahasiswa tersebut, melalui skripsi, tesis dan disertasi, berkontribusi dalam konservasi, penyebarluasan dan pengembangan pengetahuan. Meski demikian, lembaga publik/organisasi swasta memiliki kewenangan publik/modal finansial untuk mengubah pengetahuan ke dalam program aksi/produk. Jadi, setidaknya secara formal, kelebihan perguruan tinggi adalah dalam pengembangan dan penyebarluasan pengetahuan, sementara kelebihan lembaga publik/swasta adalah dalam transformasi pengetahuan ke dalam program/produk.
42
Selain di perguruan tinggi, lembaga penelitian publik dan perusahaan swasta, kegiatan penelitian juga terdapat di komunitas-komunitas tradisional. Di komunitas-komunitas tradisional, pembelajaran kolektif terjadi melalui cara-cara tradisional dan menghasilkan apa yang dikenal sebagai indigeneous knowledge/wisdom. Pembelajaran kolektif demikian dapat dipandang sebagai penelitian kolektif, meski dengan kelembagaan dan metode yang berbeda dari kelembagaan dan metode modern. Di Cina dan Jepang, dikotomi tradisional-modern diminimalkan melalui upaya-upaya sintesis kebudayaan, sehingga tidak terjadi keterberlahan kebudayaan (cultural divide).
90
ke dalam inovasi
Di Indonesia, lembaga-lembaga penelitian publik dapat dikelompokkan ke dalam lembaga pemerintah kementerian (LPK) dan lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK). Lembaga penelitian dalam kementerian disebut juga badan penelitian dan pengembangan (balitbang). Di tingkat daerah, pemerintahpemerintah daerah memiliki badan penelitian dan pengembangan tingkat daerah (balitbangda). Balitbang merupakan satu bagian di antara bagian-bagian kelembagaan lain (disebut juga direktorat) yang ada dalam sebuah kementerian. Berbeda dari balitbang, lembaga penelitian LPNK memiliki keleluasaan yang lebih tinggi dalam menetapkan lingkup dan arah penelitian. Sejak tahun 2005, KRT bersama dengan DRN melakukan dialog-dialog yang intensif dengan berbagai perwakilan perguruan tinggi, lembaga penelitian publik dan perusahaan swasta untuk menyusun agenda penelitian berskala nasional yang disebut Agenda Riset Nasional (ARN). Isu- isu yang sentral dalam dialog-dialog tersebut adalah, antara lain, kontribusi penelitian dalam peningkatan kesejahteraan bangsa, kemitraan antara Pemerintah, pelaku bisnis dan akademisi, serta koordinasi di antara berbagai lembaga penelitian. Dalam bab ini dipaparkan pandangan sejumlah peneliti dari Balitbang, lembaga penelitian non-kementerian, dan perusahaan swasta berkenaan dengan isu-isu tersebut di atas. Paparan ini didasarkan pada wawancara dan FGD yang melibatkan peneliti-peneliti di Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertahanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Badan Ko-ordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dan Kementerian Riset dan Teknologi (KRT), serta empat perusahaan swasta. Di Bab 3 telah didiskusikan bahwa suatu penelitian menempuh proses variasi-seleksi dan, seiring dengan proses ini, seorang peneliti menjalin relasirelasi dengan berbagai pelaku lain melalui jurnal-jurnal ilmiah, instrumeninstrumen ukur, perangkat-perangkat eksperimen, mitra-mitra penelitian, asosiasi-asosiasi keilmuan dan juga sponsor-sponsor penelitian. Tanpa jurnal ilmiah, instrumen, perangkat eksperimen, asosiasi, dan sponsor, variasi pilihanpilihan akan menjadi terbatas. Dengan perkataan lain, relasi-relasi dengan
transformasi penelitian
91
berbagai hal tersebut memperluas ruang variasi-seleksi. Melalui penuturanpenuturan para peneliti, dalam bab ini akan digali ruang variasi-seleksi di balitbang, lembaga penelitian non-kementerian dan perusahaan swasta. 4.2 Ruang Variasi-Seleksi di Balitbang Sebagaimana telah disebutkan, balitbang merupakan sebuah lembaga penelitian yang secara struktural berada di bawah suatu kementerian43. Pada umumnya balitbang di Indonesia dibentuk di periode lima-tahun ke dua Pemerintahan Orde Baru, yaitu di sekitar pertengahan dekade 1970-an. Pembentukan sebuah balitbang didasarkan pada kebutuhan dari kementerian yang terkait. Apakah kegiatan penelitian di balitbang cenderung pada penelitian ‗hulu‘ atau ‗hilir‘, penelitian dasar atau terapan? Kalau mengacu pada tugas dan fungsi balitbang sebagai bagian dari kementerian teknikal, dapat diduga bahwa penelitian di balitbang cenderung pada penelitian terapan, atau penelitian di ‗hilir‘. Tetapi, permasalahan yang aktual tampaknya lebih kompleks daripada gambaran formal-struktural. Berikut ini penuturan para peneliti dari sejumlah balitbang berkenaan dengan kegiatan penelitian di balitbang. Seorang peneliti dari balitbang Kementerian Pertanian menuturkan perjalanan karirnya sebagai berikut: Saya bekerja sejak tahun 1993, jadi sekarang sudah 16 tahun, ya. Kalau di awal-awal kita masuk ke badan litbang pertanian, kita ikut sama kegiatan-kegiatan yang sudah established. … banyak kegiatan-kegiatan … itu bergantung dengan bidang ilmu kita … nanti saya mengembangkan potensi saya sendiri …sekaligus belajar pada peneliti yang lebih senior. Pengembangan potensi diri itu bisa banyak caranya, ya, … kita harus banyak membaca … juga kita harus ikut dalam seminar-seminar sehingga banyak ilmu yang bisa terima. Selain itu kita juga harus …apa… ikut kursus-kursus yang istilahnya spesifik terhadap bidang keilmuan kita.
43
Dalam hal ini, kementerian yang lingkup tugas dan fungsinya mencakup penyelenggaraan program-program teknikal.
92
ke dalam inovasi
Di dalam seminar-seminar … kita ikut itu ... bukan berarti sekedar mendengarkan … kita presentasi paper kita. … Intinya, kalau sudah di penelitian itu kita otodidak … yang menentukan keberhasilan itu kita sendiri. Kita harus rajin membaca jurnaljurnal, publikasi-publikasi yang relevan dengan bidang kita. Ungkapan ―bergantung dengan bidang ilmu kita … belajar pada peneliti yang lebih senior. … banyak membaca … ikut dalam seminar-seminar … ikut kursuskursus‖ menggambarkan perluasan relasi-relasi ketika peneliti itu memulai perjalanan karirnya di balitbang. Pentingnya pengembangan relasi-relasi ini dinyatakan peneliti tersebut dalam ungkapan ―Intinya, kalau sudah di penelitian itu kita otodidak … yang menentukan keberhasilan itu kita sendiri‖. Jadi, bagi peneliti tersebut, pengembangan potensi diri memerlukan upaya secara mandiri untuk mengembangkan relasi-relasi. Penuturan berikut ini memberikan gambaran mengenai hal-hal lain yang membentuk arah penelitian: Disebut bebas betul sih, tidak … jadi semuanya tergantung. Misalnya begini. Di badan litbang ada balai penelitiannya itu … mungkin sekitar ada 20-an lebih, ya. … Misalkan balai peternakan … tupoksinya kan mengenai peternakan. Dia tidak mungkin mengurusi buah-buahan … balai penelitian tanaman padi juga khusus mengurusi tanaman padi … tidak mungkin tanaman sayur-sayuran. Penelitian yang saya lakukan … terutama bidang keilmuan saya mengenai bidang emisi gas rumah kaca di lahan pertanian … bagaimana menekan emisi gas rumah kaca dari lahan pertanian, terutama lahan padi sawah. Orientasinya sekarang bagaimana menekan gas rumah kaca yang dilepaskan dari tanah gambut. … Terus kita juga mengharapkan ke depan itu pertanian itu masuk ke dalam program Clean Development Mechanism, CDM ... apa yang diatur di dalam protokol Kyoto, … kita usahakan bisa masuk ke sana dalam satu skema CDM itu. Itu yang jelas … awalnya memang dari diri sendiri … tapi itu kita harus menyesuaikan program utama dari badang litbang sendiri. Karena kan masing-masing balai kan punya rencana strategis. Balai ini eselon tiga, tergantung rencana strategis
transformasi penelitian
93
eselon duanya, eselon dua itu bergantung pada rencana strategis eselon satu, dan eselon satu itu bergantung pada rencana strategis kementerian. Jadi, hal-hal yang membentuk (to shape) arah penelitian adalah latar belakang pendidikan, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang diemban balitbang (faktor struktural), rencana internal lembaga, dan juga isu-isu nasional/global yang relevan dengan tupoksi kementerian. Peneliti tersebut menyatakan bahwa di satu sisi ―… awalnya memang dari diri sendiri‖, dan di lain sisi ―… kita harus menyesuaikan program utama dari badang litbang sendiri‖. Pernyataan ini mencerminkan adanya penyesuaian-penyesuaian yang dihadapi peneliti tersebut dalam menentukan arah penelitian. Peneliti tersebut memiliki kebebasan individual dalam menentukan arah penelitian, meski ini perlu ia tempuh secara otodidak. Sementara itu, terdapat rencana strategis lembaga dan program balitbang yang memberi batasan bagi peneliti tersebut. Dalam penuturan berikut ini, peneliti tersebut memberikan gambaran mengenai ragam pelaku yang turut menentukan arah kegiatan: Perguruan tinggi, dengan lembaga internasional, terus lembaga ristek, dan dengan swasta. Misalnya, sekarang yang sedang relevan itu ... pupuk kaya besi … dengan teknologi pupuk kaya besi untuk penekanan emisi gas metana dari lahan sawah. Itu dengan perusahaan Jepang. Terus penelitian tentang neraca karbon pada lahan gambut, itu kerja sama dengan Institut Pertanian Bogor, dan dengan pusat penelitian kelapa sawit. Tentang neraca karbon dari berbagai tanaman di lahan gambut di Kalimantan Barat itu dengan kementerian ristek. Terus … penelitian mengenai teknologi pengelolaan air dalam menekan emisi gas rumah kaca itu dengan litbang Kementerian Pekerjaan Umum. Yang dengan Jepang itu … mereka punya pupuk … mereka punya uang. Mereka ingin tahu pupuknya itu menekan gas rumah kaca, betul apa tidak. Mereka minta tolong coba bikin kira-kira konsep penelitian ini. Dalam penuturan berikut ini, peneliti tersebut memberikan ilustrasi mengenai penyesuaian-penyesuaian dalam pemilihan topik penelitian:
94
ke dalam inovasi
Jadi ... memang ide-ide dari awalnya dari diri sendiri. Tetapi harus kita sesuaikan dengan rencara strategis dari balai tersebut, jadi nggak menyimpang jauh. Misalnya begini. Saya dari balai penelitian lingkungan pertanian. Balai lingkungan pertanian ini tupoksinya emisi. Salah satunya emisi dan mitigasi gas rumah kaca, serta pencemaran … limbah industri dan pertambangan maupun pestisida dari lahan pertanian. Tapi terus kita mau mengukur … emisinya di kegiatan industri, misalnya semen Cibinong. Itu sudah bukan kegiatan kita lagi. Jadi, walaupun sama-sama di bidang emisi gas rumah kaca, tapi kan dia bidangnya industri. Walaupun kita juga bisa tahu … bagaimana untuk emisi di semen Cibinong … itu bukan bidang kita ... kita harus membatasi diri. Ungkapan ―… kita mau mengukur … emisinya di kegiatan industri, … Itu sudah bukan kegiatan kita lagi‖ merujuk pada sebuah faktor eksternal yang membatasi ruang lingkup penelitian. Faktor eksternal tersebut berkaitan dengan tupoksi dan perencanaan dari kementerian yang lain (dalam hal ini Kementerian Perindustrian). Jadi, penetapan batas-batas dari lingkup penelitian mengikuti ketentuan-ketentuan struktural. Dengan perkataan lain, faktor keilmuan dikompromikan dengan faktor struktural, sebagaimana tercermin dalam ungkapan ―walaupun sama-sama di bidang emisi gas rumah kaca, tapi kan dia bidangnya industri. Walaupun kita juga bisa tahu … bagaimana untuk emisi di semen Cibinong … kita harus membatasi diri‖. Balai Lingkungan Pertanian tidak melakukan penelitian mengenai lingkungan industri, karena bidang industri masuk ke dalam ruang lingkup kementerian yang lain. Di sini, kategorisasi ‗pertanian‘ dan ‗industri‘ bukan ketegorisasi disiplin-disiplin ilmu pengetahuan, melainkan kategorisasi struktural yang berkaitan dengan sektorsektor pemerintahan. Dalam ‗lensa‘ struktural, dua kegiatan penelitian dapat terlihat sebagai kegiatan-kegiatan yang saling tumpang-tindih. Merujuk pada penuturan di atas, misalkan bahwa balitbang Kementerian Perindustrian melakukan penelitian tentang industri yang mencakup aspek lingkungan dari industri. Misalkan juga bahwa balitbang Kementerian Pertanian melakukan kajian emisi gas rumah kaca yang mencakup emisi industri. Dalam aspek substansi keilmuan, kedua kajian tersebut mungkin saja berbeda karena bertolak dari sudut pandang yang
transformasi penelitian
95
berbeda. Tetapi dalam ‗lensa‘ struktural, kedua kegiatan tersebut saling ‗menembus batas‘ struktural. Situasi demikian kurang baik dilihat dalam ‗lensa‘ struktural sehingga menurut peneliti tersebut ―… kita harus membatasi diri‖. Mengenai isu tumpang-tindih penelitian ini, peneliti tersebut menyampaikan pandangan sebagai berikut: … tumpang-tindih itu tidak ada salahnya … kita ada yang namanya wilayah … ada hitam, ada putih, ada abu-abu … Tidak ada yang salah tumpang-tindih itu. Hanya sekarang yang wilayah abu-abu itu, satu mengerjakan apa yang satu mengerjakan apa, yang kira-kira bisa disinergikan. Contohya … ada balai penelitian lingkungan pertanian yang mengukur mengenai gas rumah kaca, ada balai penelitian tanah rawa yang mengukur teknologi rawa yang bisa meningkatkan produksi tanaman. Itu berdiri sendiri-sendiri. … bagaimana dengan emisi gas rumah kaca di tanah rawa? Itu masuk ke wilayahnya rawa. Nanti orang balai penelitian rawa kita gaet juga. Nanti kita yang memikirkan bagaimana produksinya naik, tapi emisi gas rumah kacanya juga turun. Itu namanya wilayah abu-abu. Itu boleh kita lakukan. … boleh, tapi harus jelas kontribusi masing-masing … karena kan ini mau ditulis sebagai jurnal … itu ada angka kredit masing-masing penelitinya itu kan. Orang balai tanah rawa itu menulis bagaimana meningkatkan produktivitas di tanah rawa, saya menulis teknologi dalam menekan emisi gas rumah kacanya … begitu lho. Jadi ada wilayah abu-abunya … nggak salah. Pernyataan ini menggambarkan sesuatu yang dinegosiasikan oleh peneliti tersebut. Melalui ungkapan ―ada hitam, ada putih, ada abu-abu‖, peneliti tersebut merujuk pada pembatasan lingkup penelitian berdasarkan pertimbangan struktural (batasan sektor-sektor pemerintahan). Jadi, ada topiktopik penelitian yang kesesuaiannya dengan sektor-sektor pemerintahan mudah ditentukan. Tetapi ada juga topik-topik penelitian yang tidak mudah ditentukan kesesuaian sektoralnya sebagaimana diilustrasikan dalam ungkapan ―… ada balai penelitian lingkungan pertanian yang mengukur mengenai gas rumah kaca, ada balai penelitian tanah rawa yang mengukur teknologi rawa … bagaimana dengan emisi gas rumah kaca di tanah rawa?‖. Topik-topik
96
ke dalam inovasi
penelitian seperti ini, menurut peneliti tersebut, berada di wilayah ‗abu-abu‘. Peneliti tersebut, tampaknya, menggunakan istilah ‗wilayah abu-abu‘ untuk menegosiasikan dinding sektoral yang membuat pemisahan ‗hitam-putih.‘ Ia menyatakan bahwa ―Itu namanya wilayah abu-abu. Itu boleh kita lakukan. … tapi harus jelas kontribusi masing-masing … karena kan ini mau ditulis sebagai jurnal‖. Jadi, peneliti tersebut menyarankan bahwa topik-topik penelitian yang berada di ‗wilayah abu-abu‘ boleh dilaksanakan oleh para peneliti dari sektorsektor yang berbeda, asalkan disertai dengan pembagian pekerjaan yang disepakati. Penuturan berikut ini memberikan gambaran mengenai apakah peneliti tersebut melakukan penelitian hulu atau penelitian hilir: Saya pernah melakukan … misalnya penelitian mengenai potensi produksi gas metana. Saya nggak tahu ini apa masuk kategori hulu atau hilir. Saya pernah memetakan potensi gas rumah kaca dari berbagai jenis tanah di berbagai tempat di Jawa Tengah. … Mungkin maksudnya basic science sama applied science? Harusnya mungkin itu daripada hulu-hilir, itu istilahnya membingungkan. Jadi, lebih baik disebutkan apakah penelitian itu lebih bersifat basic science atau applied science. Nah, kita bisa bergerak di dua-duanya, begitu lho. Kalau apa yang saya kerjakan sekarang, itu teknologi-teknologi yang nantinya memang bisa diterapkan di lapangan. Tapi juga ada unsur-unsur basic-nya di situ, karena bagaimana pun applied science tanpa basic science tidak ada. Ungkapan ―… Kalau apa yang saya kerjakan sekarang, itu teknologi-teknologi yang nantinya memang bisa diterapkan di lapangan‖ menunjukkan bahwa kegiatan peneliti tersebut relatif berada di hulu. Pernyataan ―… yang nantinya memang bisa diterapkan di lapangan‖ tentunya tidak merujuk pada sesuatu yang secara aktual diterapkan. Bahwa kegiatan penelitian dari peneliti tersebut relatif berada di hulu juga terlihat dari penuturannya mengenai upaya pemanfaatan hasil penelitian berikut ini: Itu kan proses diseminasi … diseminasinya itu kan macammacam, ada mekanismenya. Kita bisa menyebarluaskan melalui
transformasi penelitian
97
Internet dan web hasil-hasil penelitian. Masing-masing balai itu setiap tahunnya itu membuat booklet-booklet. Jadi masyarakat itu yang perlu informasi bisa datang. Yang lainnya itu seminarseminar yang setiap tahun pasti diselenggarakan, paling tidak di tingkat eselon dua. Nanti kita undang siapa-siapa, misalnya pengguna teknologi dari dinas pertanian, pengambil kebijakan … kita undang mereka. Mereka bisa menggunakan informasi dari seminar tersebut. Jadi proses diseminasinya seperti itu. Kita juga kan setiap tahunnya membuat laporan tahunan … kita kirimkan dari eselon tiga ke eselon dua. Dari eselon dua nanti digodok, di situ ada tim sintesis kebijakan. Tim sintesis kebijakan itu yang menerapkan teknologi-teknologi yang nantinya bisa digunakan. Nah, begitu kan. Nanti diserahkan lagi ke tingkat eselon satu, dan nanti di eselon satu digodok untuk disebarluaskan ke direktorat jenderal teknikal. Jadi proses diseminasinya seperti itu. Tapi kalau dari masing-masing balai itu tidak ada proses diseminasi yang sifatnya langsung ke masyarakat. Tapi kalau masyarakat itu ingin mencari, ya, dipersilahkan. Proses diseminasinya yang langsung itu hanya melalui seminar. Jadi, menurut peneliti tersebut, upaya pemanfaatan hasil penelitian dilakukan melalui diseminasi informasi, dan harapan bahwa ―masyarakat itu yang perlu informasi bisa datang‖. Ungkapan tersebut mencerminkan bahwa relasi antara peneliti dan masyarakat, dalam kaitannya dengan penelitan, berpola satu-arah. Relasi tersebut bersifat tidak langsung, dan menggunakan media seperti Internet, website, booklet, dan seminar. Pihak peneliti menyampaikan hasil-hasil penelitiannya melalui Internet, website, booklet, dan makalah-makalah seminar. Kalau ada warga masyarakat yang berminat terhadap hasil-hasil penelitian, media tersebut dapat diakses. Dalam relasi demikian, masyarakat diposisikan sebagai pelaku yang pasif. Dalam suatu penelitian hilir, terdapat relasi yang kompleks antara peneliti dan berbagai pelaku lain di masyarakat 44; interaksi, alih-alih diseminasi informasi satu-arah. 44
Dalam penuturan peneliti yang dipaparkan di sub-bab 3.4, kompleksitas relasi-relasi antara peneliti dan masyarakat dalam suatu penelitian hilir digambarkan sebagai penelitian di „laboratorium masyarakat‟.
98
ke dalam inovasi
Selain melalui diseminasi informasi, peneliti tersebut menyampaikan saluran lain untuk pemanfaatan hasil penelitian. Saluran ini digambarkan sebagai ―… laporan tahunan … dari eselon tiga ke eselon dua … , di situ ada tim sintesis kebijakan. Tim sintesis kebijakan itu yang menerapkan teknologiteknologi yang nantinya bisa digunakan. … Nanti diserahkan lagi ke tingkat eselon satu, dan … disebarluaskan ke direktorat jenderal teknikal‖. Jadi, saluran ini terdiri atas pembedaan tugas-tugas dan hirarki kewenangan. Komunikasi dalam saluran seperti ini cenderung tersegmentasi dan berpola satu-arah45. Diseminasi informasi melalui pelaporan secara berjenjang (ke eselon-eselon yang lebih tinggi) dapat dipandang sebagai sebuah mekanisme untuk menghasilkan accountability dari hasil penelitian. Jadi, penelitian dan hasilnya dinilai melalui suatu saluran struktural yang tersusun atas hirarki kewenangan. Tetapi penilaian hasil penelitian berdasarkan hirarki kewenangan belum tentu sesuai dengan penilaian hasil penelitian berasarkan kriteria akademik. Mengenai hal ini, peneliti tersebut memberikan gambaran sebagai berikut: …. istilahnya peneliti itu harusnya lebih independen. Dia boleh salah, tetapi dia tidak boleh bohong. Tapi masalahnya sekarang kadang peneliti itu sudah benar hasil kajiannya seperti ini, tetapi belum tentu disetujui oleh pengambil kebijakan karena bertentangan … Hal-hal kontradiksi-kontradiksi itu akan selalu ada. Nah, makanya … kadang dipertanyakan sebetulnya, itu sampai sejauh mana sih sebetulnya independensi seorang peneliti itu kan. … Di luar negeri … peneliti boleh ngomong apa saja, yang penting hasil penelitiannya itu. Kalau di sini belum tentu … hasil penelitiannya A, dia belum tentu bisa menyampaikan A .. bisa B, bisa C, bisa A+ … tapi kadang itu bertentangan dengan hati nurani. Dengan pernyataan ini peneliti tersebut menyarankan adanya ruang negosiasi, atau tawar-menawar, bila penilaian terhadap hasil penelitian melalui jalur 45
Hirarki kewenangan menentukan siapa-siapa yang berwenang/tidak berwenang untuk menetapkan sasaran penelitian dan kriteria penilaian terhadap hasil penelitian. Hal ini berimplikasi komunikasi satu-arah dalam pelaksanaan penelitian. Dalam komunikasi dua-arah, para pelaku komunikasi berada dalam posisi yang setara, setidaknya berkaitan dengan hak untuk menyampaikan pandangan dan hak untuk didengar.
transformasi penelitian
99
kewenangan dan penilaian melalui keriteria akademik memberikan hasil-hasil yang berbeda. Penuturan-penuturan di atas menggambarkan situasi di mana penelitian cenderung berpola penelitian hulu, dan arah penelitian ditentukan melalui kombinasi antara faktor struktural dan faktor keilmuan. Penelitian yang digambarkan oleh peneliti tersebut dapat dikatakan sebagai penelitian hulu, atau setidaknya bukan penelitian hilir. Faktor-faktor struktural (seperti tupoksi, pelaporan internal, dan batasan sektoral) menjadi pembatas bagi interaksi langsung antara peneliti dan pelaku-pelaku lain di masyarakat. Mengenai dualitas kriteria dalam penilaian hasil penelitan, hal ini tidak akan menimbulkan akibat yang berarti bila hasil penelitian tersebut tidak dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan. Tetapi, ketika suatu kebijakan diambil berdasarkan hasil penelitian, sementara hasil penelitian tersebut mendapat intervensi dari faktor struktural, maka kebijakan tersebut menjadi tidak absah secara akademik meski mungkin accountable secara prosedural. Misalnya, suatu kebijakan akan diambil berkenaan dengan eksplorasi komersial atas sumber daya alam tertentu, dan untuk ini diperlukan penelitian untuk menentukan apakah standar kualitas lingkungan dipenuhi atau tidak. Seandainya dalam situasi seperti ini proses penelitian mendapatkan intervensi struktural46, kebijakan yang diambil dapat menimbulkan dampak negatif yang serius. Berikut ini dipaparkan penuturan-penuturan seorang peneliti dari balitbang Kementerian Perindustrian mengenai upaya-upaya meng-hilir-kan hasil-hasil penelitian. Peneliti tersebut memiliki pengalaman bekerja di sejumlah balitbang daerah, dan telah mengabdi lebih dari dua dekade. Ia menggambarkan kegiatan-kegiatan penelitian yang pernah ia lakukan sebagai berikut: Saya banyak berkecimpung dalam teknologi proses, tapi dengan bahan baku komoditi hasil pertanian, dalam arti luas ya. Jadi meneliti dengan basik hasil pertanian. Dalam arti luas berarti bisa dari pangan, tanaman, kemudian perikanan, peternakan, dan termasuk perhutanan. Nah jadi baik dari segi science-nya, ya dari 46
Intervensi ini dapat berbentuk, misalnya, pembatasan lingkup dan jenis data, pembatasan metodologi dan sarana penelitian, pembatasan jenis penelitian/peneliti.
100
ke dalam inovasi
teknologinya, maupun dari standarisasinya. Dan itu untuk mengcreate teknologinya, kemudian dalam arti juga mendesain produknya, kemudian bagaimana penerimaan produk itu ke konsumer ya, ke pasarnya ya begitu ... Memang kalau bicara mengenai hulu-hilir ya sebenarnya saya itu sudah, sebenarnya. Misalnya mulai dari pascapanen ya, sampai produk itu siap untuk dikonsumsi ya. Istilahnya sampai ke ‘end product‘ gitu ya, sampai ke produk akhir. Kalau saya mempersepsikan ya, yang hulu itu adalah penelitian yang mengarah ke bahan baku ... sampai ke barang diolah kembali ya, di industri untuk menjadi barang siap pakai gitu. Jadi, peneliti tersebut mengasosiasikan penelitian hulu dan penelitian hilir dengan aliran material di industri, atau dikenal juga dengan istilah rantai pasokan produksi47. Ia memaknai penelitian hulu-hilir melalui ungkapan ―… meng-create teknologinya, … mendesain produknya, … penerimaan produk itu ke konsumer … ke pasarnya‖. Dalam artian seperti ini, peneliti tersebut beranggapan bahwa ―… mengenai hulu-hilir ya sebenarnya saya itu sudah‖. Memberikan ilustrasi yang lebih terinci mengenai penelitian hulu-hilir, peneliti tersebut menuturkan sebagai berikut: Kalau yang hulu, yang pernah saya lakukan adalah penelitian tentang karet ... mulai dari getahnya yang namanya latex. Produk setengah jadi yang terbaik adalah yang tipis, yang ketebalannya sekitar 3 mm atau 5 mm. Ini kemudian diasap dengan teknik tertentu ya, jadi tidak sembarangan. Jadi dari penelitian itu menghasilkan produk di hulunya ya. Produk setengah jadi ini juga bisa udah bisa dipasarkan, dipasarkan ke industri-industri yang akan mengelola lebih lanjut ... yang termasuk di dalamnya produk-produk yang akan menghasilkan komponen karet untuk kendaraan bermotor misalnya, atau untuk karet mesin-mesin industri ... termasuk produk-produk vulkanisir misalnya. Nah, sedangkan riset hilirnya adalah yang pernah kita lakukan yaitu membuat produk karet bantalan mesin untuk kendaraan
47
Istilah ini merujuk pada sederetan transformasi material mulai dari bahan baku sampai menjadi produk yang siap digunakan konsumer.
transformasi penelitian
101
bermotor. Nah, itu riset untuk membuat bantalan mesin dari karet menjadi bagian hilirnya, karena langsung ke pemakainya ya kan. Istilah ‗hulu-hilir‘ yang disampaikan peneliti ini tidak berhubungan dengan ilmu pengetahuan dasar dan ilmu pengetahuan terapan. Namun demikian terdapat keserupaan makna. Produk hulu (seperti halnya penelitian basik) relatif bersifat murni, sedangkan produk hilir (seperti juga penelitian terapan) relatif mengandung campuran. Meski, dalam penuturan di atas, peneliti tersebut menyatakan telah melakukan penelitian hulu dan hilir, apakah secara aktual penelitian yang ia lakukan telah masuk ke area hilir? Penuturan berikut ini menggambarkan situasi yang lebih aktual: ... ya dari dulu kita ini banyak ... istilahnya public service ya, yang sesusai dengan kedudukan kita sebagai Pegawai Negeri Sipil ya … Nah, seperti itu kita memasarkannya selama ini kan, termasuk melalui majalah atau jurnal-jurnal ya. Nah, namun akhir-akhir ini ya, barangkali belum ada sepuluh tahun terakhir lah, nah risetriset kita ini mulai diarahkan pada HAKI ya, hak kekayaan intelektual ya. Nah, jadi dalam hal ini sudah harus mengaitkan antara peneliti dengan user nya ya. Nah, jadi siapa yang mau pakai mungkin ada konsekuensinya biaya begitu ya, dengan penelitinya, antara perusahaan pengguna. … Tapi terlepas dari adanya, apa namanya itu, yang dulu kita hanya public service murni, sekarang sudah diarahkan, mungkin sudah ada semacam royalty ya, sudah termasuk HAKI, apakah itu dalam bentuk paten itu ya. Ungkapan-ungkapan ―istilahnya public service … sesusai dengan kedudukan kita sebagai Pegawai Negeri Sipil‖ dan ‖kita memasarkannya selama ini kan, termasuk melalui majalah atau jurnal-jurnal ya‖ memperlihatkan bahwa kegiatan-kegiatan peneliti tersebut masih berpola penelitian hulu. Penuturan di atas menggambarkan bahwa, di masa lalu, kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti tersebut ia pandang sebagai layanan publik, sebagai kewajiban dari seorang Pegawai Negeri Sipil. Peneliti tersebut mengakui bahwa, ―namun akhir-akhir ini ya, … riset-riset kita ini mulai diarahkan pada HAKI … jadi dalam hal ini sudah harus mengaitkan antara peneliti dengan user nya ya‖.
102
ke dalam inovasi
Meski penelitian hulu dan penelitian hilir industri sudah sejak lama dilakukan, keterkaitan antara penelitian dan pengguna penelitian baru belakangan menjadi perhatian peneliti tersebut. Jadi, penelitian mengenai hilir industri yang telah ia lakukan dalam kurun waktu yang cukup lama, tampaknya tidak sepenuhnya berorientasi pada apa-apa yang secara aktual diminta oleh para pelaku industri. Mengenai pemanfaatan hasil penelitian, peneliti tersebut memiliki pandangan tersendiri sebagai berikut: Memang ya, pada dasarnya hasil penelitian itu, pada dasarnya layak digunakan, jadi jangan sampai hasil penelitian itu hanya sampai laporan saja ya. Tapi ya, walaupun hanya sampai di laporan ... masih banyak manfaatnya, ya. Misalnya, manfaatnya ya, apabila mahasiswa menyusun tesis ya, atau skripsi ya, bisa menjadi bahan masukan untuk menambah bobot dari tulisan kita ya. Di samping itu juga ... paling tidak itu dapat menjadi khasanah kekayaan iptek Negara ya. Ya, cuma memang yang diharapkan paling tidak ada tindak lanjutnya ya ... untuk kesejahteraan di masyarakat ... itu yang diharapkan. Dalam pandangan peneliti tersebut, meski suatu penelitian berakhir pada laporan-laporan, ini pun memiliki potensi untuk dimanfaatkan. Para mahasiswa dapat memanfaatkan laporan-laporan tersebut sebagai bahan penelitian untuk menyusun skripsi dan tesis. Pandangan ini tercermin dalam ungkapan, ―… walaupun hanya sampai di laporan ... masih banyak manfaatnya‖. Dengan perkataan lain, bagi peneliti tersebut manfaat penelitian itu tidak terbatas pada manfaat komersial tetapi mencakup juga manfaat akademik. Mengenai penggunaan hasil penelitian oleh masyarakat luas (pengguna produk industri), peneliti tersebut menyatakan, ―cuma memang yang diharapkan paling tidak ada tindak lanjutnya ya ... untuk kesejahteraan di masyarakat‖. Melalui ungkapan ―ada tindak lanjutnya‖, peneliti tersebut membedakan antara kegiatan penelitian yang pokok dan kegiatan lain yang sifatnya ‗lanjutan‘. Seperti apa kegiatan ‗lanjutan‘ tersebut? Dan siapa yang dianggap perlu berperan melaksanakan kegiatan tersebut? Mengenai pertanyaan-pertanyaan ini, peneliti tersebut menuturkan sebagai berikut:
transformasi penelitian
103
Saya pikir itu lembaga lain … sangat berperan ya. Jadi kita tidak bisa memasyarakatkan ya, hasil litbang itu dengan istilahnya ‗single fighter‘ ya, sendirian. Di sini saja kan ada Direktorat Jendral Pembina Industri … Nah, itu sangat berperan, jadi untuk mengintrodusir … Kemudian, misalnya, instansi di pemerintah daerah sendiri, khususnya yang menangani sektor industri. Nah, … apa itu dinas di bidang industri ya, yang ada di pemda-pemda, baik itu pemda di provinsi atau pemda kabupaten/kota. Itu sangat berperan karena kan yang langsung … Jadi memang cara kita memasyarakatkan hasil litbang itu ya, tahap pertama kita ke dinas-dinas yang menangani industri. Dan bahkan ya, sebenarnya antardepartemen, antarinstansi juga perlu kerja sama yang baik begitu ya. Nah, misalnya Departemen Perhubungan ya, misalnya Perhubungan Darat. Nah, Perhubungan Darat itu kan biasanya bisa dikatakan sebagai user ya, Hal itu akan sangat terdorong ya, untuk memproduksi produk, katakan karet tadi, ya, untuk spare part kendaraan bermotor itu ya, yang memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia ya, agar dipakai oleh Perhubungan Darat itu ya. Jadi, yang dimaksudkan sebagai kegiatan-kegiatan ‗lanjutan‘ adalah seperti pemasyarakatan hasil penelitian, pengenalan dan promosi hasil penelitian. Kegiatan-kegiatan ini, dalam pandangan peneliti tersebut, sebaiknya dilaksanakan oleh pihak-pihak lain di luar balitbang (seperti direktorat lain dan pemerintahan daerah). Penindaklanjutan penelitian tersebut menghadapi sejumlah permasalahan sebagaimana dituturkan berikut ini: … perlu pendalaman atau kajian yang lebih khusus mengenai hasil riset itu oleh direktorat terkait kan. Apakah ini siap untuk diimplementasikan atau belum, begitu kan. Nah, kadang-kadang menurut penelitinya ini siap untuk diimplementasikan, tapi menurut Direktorat Jendral belum. Nah, begitu perbedaannya persepsi … tapi komunikasi itu kurang terorganisir ya, saya kira. Nah, kadang-kadang ada di peneliti yang mengetahui bahwa menurut Direktorat Jendral penelitian ini perlu lanjut begitu. Nah, namun kadang-kadang informasi itu tidak sampai ke peneliti, jadi penelitian itu kadang-kadang tidak dilanjutkan lagi.
104
ke dalam inovasi
Penuturan di atas mencerminkan adanya dualitas dalam kriteria penilaian hasil penelitian. Pihak Direktorat Jenderal dan peneliti menggunakan kriteria yang berbeda dalam menilai apakah suatu hasil penelitian sudah layak diimplementasikan atau belum. Adanya perbedaan posisi struktural antara peneliti dan pejabat Direktoral Jenderal menimbulkan hambatan dalam komunikasi berkaitan dengan penilaian terhadap hasil penelitian. Penuturan berikut ini memberikan gambaran yang lebih terinci mengenai dualitas kriteria penilaian hasil penelitian tersebut: Banyak terjadi itu ya Direktorat Jendral itu menganggap itu sih skala kecil, jadi belum mungkin untuk masuk ke industri besar gitu. Nah … sedangkan kita untuk mencobanya skala komersial ya, kita keterbatasan. Kita dikasih dana kan hanya untuk percobaan-percobaan di laboratorium kan. Sebenarnya ada satu tahap lagi yang menjembatani antara hasil riset dengan aplikasinya di industri, yaitu tahap yang namanya valid plant. Nah ini kewenangan siapa? Ada yang mengatakan itu masih kewenangan litbang … ada yang mengatakan itu adalah tanggung jawab yang ada di industri … untuk mengkaji lebih dalam apakah itu pada skala komersial sudah layak. … Kalau saya katakan hampir semua hasil penelitian itu tidak melalui valid plant. Nah, kalau menurut penelitinya ini sudah baik ya, tapi karena tidak ditindaklanjuti dengan valid plant, jadi user-nya ragu. Dalam penutuan ini, peneliti tersebut menyarankan adanya faktor ketiga, yaitu valid plant, untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan antara peneliti dan pihak Direktorat Jenderal. Valid plant ini berkaitan langsung dengan pandangan dan kepentingan pelaku industri sebagai end user dari hasil penelitian. Permasalahan komunikasi yang timbul dalam penindaklanjutan hasil penelitian, bagi peneliti tersebut, merupakan sesuatu yang mengganggu konsentrasi peneliti: Untuk melakukan ini … kepala litbang ini ya, yang mestinya melakukan koordinasi ya … Nah, jadi peneliti itu fokus ya. Jadi dia hanya melakukan penelitian, jadi tidak di-recoki dengan permasalahan pemasarannya ya.
transformasi penelitian
105
Dengan menyarankan bahwa seorang peneliti di balitbang ―tidak di-recoki‖ dengan kegiatan-kegiatan lain, seperti pemasaran, peneliti tersebut membedakan kegiatan-kegiatan mana yang layak dan yang tidak layak dilaksanakan di balitbang. Penuturan berikut ini menegaskan apa yang peneliti tersebut anggap layak untuk dilakukan oleh seorang peneliti di balitbang: Ya, kalau saya sih sebenarnya tidak merasa rugi, karena kita PNS ya, untuk melakukan public service ya. Tapi akhirnya jadi tidak tertelusuri ya hasil penelitian kita itu. Jadi pada akhirnya kita itu menjadi ‗pahlawan tanpa tanda jasa‘ ya. Ya, pertama kebanggaannya saya itu adalah, kalau tulisan kita terbit di jurnal ya. Dan jurnalnya itu selalu saya arsipkan, begitu menurut saya. Kemudian yang termasuk banggalah ya kalau misalnya sampai ke jenjang puncak ya, istilahnya jabatan peneliti. Penuturan-penuturan di atas (oleh peneliti-peneliti balitbang Kementerian Perindustrian dan balitbang Kementerian Pertanian) menggambarkan situasi di mana interaksi antara peneliti dan pengguna akhir (end user) relatif terbatas. Masyarakat, atau pelaku industri, tidak (cukup) terlibat dalam penentuan masalah penelitian, atau dalam menilai kelayakan hasil penelitian. Penuturan peneliti dari balitbang Kementerian Perindustrian menyarankan pentingnya keterlibatan pelaku industri dalam menilai kelayakan hasil penelitian. Berikut ini disampaikan penuturan peneliti di balitbang Kementerian Pertahanan dan dinas litbang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Berbeda dari sektor-sektor lainnya, sektor pertahanan terpaut langsung dengan kedaulatan negara, dan karenanya sektor ini bersifat strategis bagi kepentingan negara. Pelaku penelitian, pelaku industri dan pengguna hasil penelitian serta produk industri di sektor pertahanan relatif terbatas. Pembatasan ini berkaitan dengan sifat strategis dari sektor pertahanan tersebut. Meski pelaku swasta dapat berpartisipasi dalam memasok produk pertahanan, keterlibatan mereka terbatas/dibatasi. Penyelenggaraan industri pertahanan tidak dapat diserahkan sepenuhnya pada para pelaku swasta. Prinsip profit
106
ke dalam inovasi
maximizing yang berlaku di kalangan swasta berpotensi untuk bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara48. Penuturan peneliti berikut ini menggambarkan situasi penelitian di balitbang Kementerian Pertahanan: Jika ada urgency sarana pertahanan, … kita harus bisa memproduksi sarana pertahanan. … Jika kita tidak punya industri hulu-nya, kita assembling seperti panser, senjata, karena bahan bakunya kita belum bisa menghasilkan. … yang kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi seperti kapal selam, jet. Jika kita perlu, kita harus beli. Yang sudah bisa, ya kita buat. Tapi masalahnya, Indonesia yang baru mulai dalam industri ini, kapasitasnya dalam menghasilkan tidak besar, sehingga sebagian dibuat di sini, sebagaian harus impor. Repotnya produksi sendiri itu karena kita belum bisa massal, harganya mahal dibandingkan impor. Nah ini perlu kebijakan pemerintah. Kalau pemerintah tidak mengatakan ‗beli dalam negeri‘, ya industrinya tidak bangkit. Penuturan ini menggambarkan situasi yang khas. Ungkapan ―Jika ada urgency sarana pertahanan, … kita harus bisa memproduksi sarana pertahanan. …‖ di sini merujuk pada kebutuhan negara, dan produksi sarana pertahanan oleh (aparatur) negara. Melalui ungkapan ―Kalau pemerintah tidak mengatakan ‗beli dalam negeri‘, … industrinya tidak bangkit‖, peneliti tersebut menyarankan perlunya stimulasi dari Pemerintah untuk meningkatkan kemampuan produksi sarana pertahanan. Sarana pertahanan, khususnya alat utama sistem persenjataan (alutsista), bukanlah barang-barang yang tersedia bebas di pasar (domestik ataupun internasional). Meski negara-negara tertentu, karena memiliki kemampuan yang tinggi dalam produksi alutsista, dapat menawarkan bantuan, permintaan akan 48
Sebagian kalangan percaya bahwa pasar (market) akan bekerja efisien bila pasar tersebut bebas negara, borderless, dan menyarankan agar intervensi negara terhadap minimal, atau dihilangkan sama sekali. Persisnya karena alasan ini, bahwa para pelaku pasar (khususnya penganut paham pasar bebas) mengesampingkan keberadaan negara demi kepentingan komersial, kepentingan pasar berpotensi untuk bertentangan dengan kepentingan kedaulatan negara. Di negara-negara berindustri maju, industri pertahanan dikendalikan oleh negara.
transformasi penelitian
107
bantuan tersebut membutuhkan kerja sama pertahanan bilateral di tingkat negara. Bila hubungan diplomatik antara dua negara merenggang, tidak akan ada kerja sama pertahanan antara kedua negara tersebut. Jadi, kemampuan suatu negara dalam menghasilkan alutsista berhubungan erat dengan kedaulatan negara tersebut49. Kebijakan penetapan mana-mana alutsista yang dipasok melalui produksi nasional, dan mana-mana yang diperoleh melalui bantuan negara lain (atau impor), merupakan bagian dari strategi pertahanan dan ketahanan sebuah negara. Kemitraan dengan perusahaan-perusahaan nasional merupakan sebuah cara yang ditempuh oleh balitbang Kementerian Pertahanan untuk meningkatkan kapasitas produksi. Ini diilustrasikan dalam penuturan berikut ini: Dari hulu kita jalankan, yang langsung di hilir juga kita jalankan. Caranya bermitra. Misalnya assembling panser. Kita tidak buat pansernya. Industri saja yang buat pansernya. Kita memodifikasi mesinnya. Jadi lebih kena, lebih essensial. Kalau buat prototype, industri lebih bagus buatnya dari pada kita. Lebih rinci mengenai kemitraan dengan para pelaku industri disampaikan oleh seorang peneliti dari Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Peneliti tersebut memberikan gambaran sebagai berikut: Dislibang ini fungsinya menyelenggarakan penelitian dan pengembangan. Pengertian penelitiannya sama dengan pengertian umum. … Litbang kita banyak uji coba material, dari mulai senjata, kendaraan, amunisi, kancing, baju, sepatu, sampai dengan parasut. Sebelum barang dibeli oleh Angkatan Darat, itu harus diadakan sertifikat. Misalnya tahun anggaran ini TNI AD butuh sepatu, silahkan rekanan mengajukan, dengan catatan sudah mempunyai sertifikat yang dikeluarkan Dislitbang AD. Jadi kita sudah ada beberapa material yang kita kembangkan sendiri, yang baru ini seperti pistol tempur, … sekarang 49
Di banyak negara, kebutuhan untuk membangun kemampuan negara dalam menghasilkan alutsista merupakan sebuah faktor penting yang memacu perkembangan iptek dasar.
108
ke dalam inovasi
diproduksi massal. Ini diproduksi oleh PT. Pindad. Lisensinya punya Dislitbang. Jadi kita yang meneliti, lalu kita uji coba, berhasil, lalu diproduksi oleh PT. Pindad. Itu hasil kajian kita. Kita mencari industri yang mampu mendukung keinginan kita … industri itu punya kemampuan. Seperti untuk radio kita kerja sama dengan Lembaga Elektronika Nasional, LEN. Kita pernah merekayasa perahu karet dengan PT. INKABA, itu bukan Badan Usaha Milik Negara. Dalam pengajuan program, kita mengajukan ke AD. Jadi dana dari TNI. Kita bisa kerja sama dengan BPPT, dengan Kementerian Ristek. Contoh, kemarin kita ada pengajuan alat pemantau satuan radio kontrol, kita kerja sama dengan LEN, tapi yang membiayai Kementerian Ristek. Jadi kita mengajukan ke Kementerian Ristek. Supervisi oleh kita, yang melaksanakan LEN, yang mendanai Ristek. Penuturan di atas menggambarkan keragaman mitra-mitra penelitian mulai dari LPNK, BUMN sampai perusahaan swasta. Hal-hal yang dinegosiasikan dengan mitra-mitra penelitian adalah, antara lain, kompetensi teknikal, sumber pembiayaan, hak untuk melakukan pengawasan dan sertifikasi. Di sini, perusahaan swasta terlibat dalam pengadaan komponen pendukung nonsenjata, seperti perahu karet. Pada bulan Oktober tahun 2003, sejumlah peneliti balitbang dari kementerian-kementerian yang berbeda membentuk sebuah forum komunikasi. Melalui forum ini, para anggota mengangkat permasalahan yang dihadapi balitbang dan mencari solusi bersama. Dalam penuturan-penuturan terdahulu, para peneliti balitbang memberikan gambaran mengenai permasalahan yang dihadapi balitbang seperti tumpang-tindih penelitian, dualitas kriteria dalam penilian hasil penelitian, dan hambatan komunikasi. Seorang perintis forum tersebut, yang berafiliasi dengan balitbang Kementerian Hukum dan HAM, menuturkan hal-hal yang menjadi perhatian forum sebagai berikut: Di balitbang masih banyak masalah-masalah internal yang harus dihadapi atau diselesaikan. … Sekitar 40 orang dari balitbang berbagai departemen pada tanggal 9 Oktober 2003 bertemu dan mendirikan Forum Komunikasi Kelitbangan (FKK). Kami
transformasi penelitian
109
bersama-sama membicarakan apa yang sebenarnya yang menjadi masalah utama atau masalah-masalah yang mendominasi di masing-masing balitbang … kami membuat semacam inventarisasi permasalahan. … Dua masalah saja yang paling sering ditemukan … Pertama adalah soal sumber daya manusia, SDM peneliti yang ada di balitbang. Menjadi peneliti menurut saya harus merupakan panggilan jiwa, bukan karena terpaksa atau dipaksa. Sementara masih banyak SDM peneliti di balitbang yang terpaksa menjadi peneliti karena dia, pada saat pertama menjadi pegawai, ditempatkan di Balitbang, padahal dia tidak mempunyai minat menjadi peneliti, … bahkan ada yang merasa terbuang ketika ditempatkan di balitbang. … Jarang PNS yang mau menjadi peneliti. Ya, mungkin karena dianggap kelas dua. ... Selain minat menjadi peneliti … masih adanya ego sektoral … banyak peneliti yang tidak mau mengerjakan sebuah penelitian, karena merasa penelitian itu bukan bidangnya atau bukan merupakan bagian dari pekerjaannya. Akhirnya penelitian tersebut jadi terbengkalai. Yang kedua yang menjadi masalah di hampir semua balitbang adalah soal budgeting. Budgeting di balitbang kan … biasanya diajukan dari bawah. Nah, tadi saya sudah ceritakan bagaimana kondisi SDM di balitbang. Akhirnya untuk mengajukan budget riset juga tidak percaya diri ya, takut terlalu besar atau takut tidak diterima. Apalagi peneliti di balitbang sendiri masih menganggap diri mereka kelas dua ya, karena status balitbang yang sebagai penunjang itu. Jadi sebenarnya tidak hanya karena mereka yang dimarjinalkan, tapi mereka sendiri kadang memarjinalkan diri mereka sendiri. Ungkapan-ungkapan ―… masih banyak SDM peneliti di balitbang yang terpaksa menjadi peneliti karena dia, pada saat pertama menjadi pegawai, ditempatkan di Balitbang‖, dan ‖ … peneliti di balitbang sendiri masih menganggap diri mereka kelas dua ya, karena status balitbang yang sebagai penunjang itu‖ mencerminkan adanya faktor struktural (non-akademik) yang mempengaruhi pengelolaan penelitian di balitbang. Menurut perintis FKK tersebut, penempatan seorang pegawai di balitbang tidak selalu didasarkan
110
ke dalam inovasi
pada pertimbangan keilmuan (kompetensi akademik). Selain ini, ada pandangan bahwa balitbang diposisikan sebagai lembaga ‗kelas dua‘ dalam kementerian. Ungkapan ―… banyak peneliti yang tidak mau mengerjakan sebuah penelitian, karena merasa penelitian itu bukan bidangnya atau bukan merupakan bagian dari pekerjaannya‖ juga merujuk pada pengaruh faktor struktural. Mengenai pengaruh faktor struktural dalam penentuan arah dan ruang lingkup penelitian-penelitian, peneliti tersebut memberikan ilustrasi sebagai berikut: Ini ya, masih ada dikotomi … padahal ya, semuanya masih ada keterkaitan. … Bahkan satu persoalan bukan hanya tanggung jawab atau tugas satu institusi saja … Sebagai contoh apakah ketahanan pangan hanya menjadi tanggung jawab Departemen Pertanian saja? Saya kira tidak, karena ketahanan pangan tidak hanya pada hasil-hasil pertanian, karena pangan adalah semua yang bisa dimakan oleh manusia. Maka pangan bisa terkait juga dengan hasil-hasil laut dan perikanan. Maka di sini Departemen Kelautan dan Perikanan juga terkait dengan ketahanan pangan. Hal lain yang menyangkut ketahanan pangan juga adalah soal infrastruktur pertanian, seperti irigasi dan kualitas air untuk pertanian, infrastruktur jalan untuk distribusi hasil-hasil pangan, juga moda-moda transportasi yang diperlukan untuk menditribusikannya sampai kepada masyarakat. Maka dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum dan Perhubungan saya kira juga mempunyai tanggung jawab yang sama dalam ketahanan pangan. Selain itu Departemen Perindustrian juga terkait dengan industri pangannya. Mestinya ada agenda riset yang harus sudah tersosialisasikan dengan baik kepada masing-masing peneliti. Soal agenda riset ini sebenarnya sudah ada agenda riset nasional, ARN, yang disusun oleh Dewan Riset Nasional, DRN. DRN kan sudah buat buku putih ya, ARN tadi, dan inginnya diikuti oleh semua lembaga-lembaga penelitian termasuk balitbang. Padahal kan setiap lembaga seperti balitbang ini juga punya buku putih juga ya, renstra itu. Renstra masing-masing pusat penelitian kan mengacu kepada renstra balitbang dan renstra balitbang mengacu pada renstra departemen. Jadi, masing-masing
transformasi penelitian
111
balitbang sebenarnya sudah punya acuan atau alur sendiri untuk menyusun agenda risetnya. Nah di sini mestinya ‗dewa-dewa‘ yang kumpul di DRN itu memikirkan bagaimana hubungan antara ARN dengan lembaga-lembaga penelitian termasuk balitbang. Ungkapan ― … DRN kan sudah buat buku putih ya, ARN …, dan inginnya diikuti oleh semua lembaga-lembaga penelitian termasuk balitbang. Padahal kan setiap lembaga seperti balitbang ini juga punya buku putih juga ya, renstra itu‖ merujuk ke isu struktural yang lain, yaitu dualitas dokumen-dokumen acuan. Penggunaan istilah ‗dewa-dewa‘ di sini mencerminkan harapan bahwa para anggota DRN sanggup melihat beyond struktur. Lebih jauh mengenai peran DRN, perintis FKK tersebut menuturkan sebagai berikut: Begini ya... DRN itu kan terdiri dari berbagai peneliti dari kalangan perguruan tinggi, pemerintah hingga swasta dan mencoba mengakomodasi kepentingan-kepentingan penelitian dari berbagai lembaga penelitian. Tapi menurut saya, lebih banyak yang berperan adalah dari kalangan perguruan tinggi ya, walaupun dari kalangan balitbang juga ada ya. Tapi komposisinya tetap lebih banyak dari kalangan perguruan tinggi, apalagi yang mewakili balitbang biasanya pejabat Eselon I, Kabadan Litbang, yang sudah disibukkan dengan pekerjaanpekerjaan struktural di kantor. Jadi kalau ada pertemuan di DRN mereka jarang hadir. Makanya keputusan-keputusan di DRN pun banyak didominasi oleh kalangan perguruan tinggi. Agenda risetnya juga mungkin lebih dekat kalangan peguruan tinggi. Tapi juga biasanya kalau ada pertemuan antara peneliti balitbang dengan peneliti dari perguruan tinggi, peneliti balitbang kadang kurang percaya diri lah … kalau bertemu dengan peneliti perguruan tinggi yang sama-sama profesor, tapi kan beda. Yang satu profesor riset, yang satu guru besar. Kan biasanya kalau ditanya, bapak profesor, guru besar di mana? Ungkapan ― … komposisinya tetap lebih banyak dari kalangan perguruan tinggi, … yang mewakili balitbang biasanya pejabat Eselon I, Kabadan Litbang, yang sudah disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan struktural … Makanya
112
ke dalam inovasi
keputusan-keputusan di DRN pun banyak didominasi oleh kalangan perguruan tinggi. Agenda risetnya juga mungkin lebih dekat kalangan peguruan tinggi‖ merujuk ke isu struktural dalam proses pengambilan keputusan di DRN. Pernyataan ―kalau bertemu dengan peneliti perguruan tinggi yang sama-sama profesor, tapi kan beda. Yang satu profesor riset, yang satu guru besar‖ merujuk pada suatu dualitas kriteria dalam penilaian kompetensi seorang peneliti. Tentu saja, penuturan perintis FKK ini lebih menggambarkan kekhawatiran dan harapan, bukan fakta. Meski demikian, kekhawatiran itu relevan. DRN itu sendiri merupakan aparatus kelembagaan peneliti yang berada di lingkungan Kementerian Riset dan Teknologi. Implikasinya, DRN bukan lembaga akademik yang sepenuhnya independen dalam menentukan agenda-agenda kerjanya. 4.3 Ruang Variasi-Seleksi di Lembaga Non-Kementerian Melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 200350 ditetapkan tujuh (dari jumlah keseluruhan 26) Lembaga Pemerintah Non-Kementerian yang dikoordinasikan oleh Kementerian Riset dan Teknologi (KRT), yaitu: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN); Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN); Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN); Badan Koordinasi Survei dan Pementaan Nasional (BAKOSURTANAL); dan Badan Standarisasi Nasional (BSN). Keputusan Presiden tersebut menjadi landasan legal yang memposisikan ketujuh LPNK tersebut sebagai lembaga penelitian publik (public research institute), yang dalam pelaksanaan tugasnya dikoordinasikan oleh KRT. Bila lingkup kegiatan penelitian di balitbang disesuaikan dengan lingkup kegiatan teknikal dari kementerian yang terkait, tidak demikian halnya dengan lingkup kegiatan penelitian di LPNK. Bagaimana pola kegiatan penelitian di LPNK? Apakah terdapat pembedaan kegiatan-kegiatan penelitian hulu dan
50
Keputuran Presiden tentang Pengkoordinasian Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
transformasi penelitian
113
penelitian hilir? Mengenai isu-isu tersebut, berikut ini dipaparkan penuturan sejumlah peneliti51 dari lembaga-lembaga penelitian LPNK. Seorang peneliti dari LIPI memberikan gambaran mengenai penstrukturan kegiatan-kegiatan penelitian di lembaga tersebut sebagai berikut: Orientasi atau penelitian di lembaga kami sebetulnya, dari namanya Lembaga Penelitian Indonesia, itu sebetulnya dari basic research ke aplikatif, bisa jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Kemudian program yang diteliti itu mengacu pada program Ristek Nasional. Kemudian LIPI sendiri punya program. Jadi ada top- down dari KRT, dari Pemerintah, dan LIPI. Yang bottom-up dari peneliti-peneliti sendiri, dan dari masalah di masyarakat, di industri, PEMDA dan lainnya. Jadi ada top-down dan bottom-up. Kemudian penggunanya jelas masyarakat, industri, Pemda, UKM-UKM, dan kemudian kerja sama antar-LPNK sendiri. Hasilnya bisa berupa metode, atau proses, atau prototipe, atau tenaganya sendiri dipakai PEMDA-nya sendiri, atau Industri, kemudian makalah ilmiah jelas dan sudah pasti. Yang saya ketahui memang ilmu pengetahuannya memang beragam, karena dari awalnya itu pusat lembaga penelitian. Di LIPI sendiri ada puslit-puslit, ada puslit Fisika, Kimia, puslit Politik dan Sosial. Tiap-tiap puslit punya core kompetensi sendiri yang digarisbawahi oleh LIPI sendiri, tapi juga mengacu pada program nasional, dan itu kita melihat juga masalah-masalah di masyarakat atau Industri. Jadi, kegiatan-kegiatan penelitian di LIPI mencakup rentang keilmuan yang lebar, mulai dari ilmu pengetahuan dasar dan sampai ke ilmu pengetahuan terapan. Pemilihan topik-topik penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan program-program nasional, baik yang ditetapkan oleh KRT maupun oleh Pemerintah pada umumnya, permintaan industri, permintaan pemerintahan
51
Penuturan-penuturan yang dipaparkan di sini disampaikan oleh para peneliti dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan di KRT pada bulan Oktober 2009. Para partisipan FGD ini berasal dari LPNK-LPNK yang berada di bawah koordinasi KRT, dan juga beberapa kedeputian di KRT.
114
ke dalam inovasi
daerah, permintaan masyarakat luas, dan orientasi individual para peneliti itu sendiri. Struktur kelembagaan LIPI mengikuti kategorisasi disiplin-disiplin ilmu pengetahuan. Dalam struktur kelembagaan LIPI terdapat pusat-pusat penelitian yang masing-masing mengelola disiplin-disiplin ilmu pengetahuan tertentu. Lingkup kegiatan penelitian di masing-masing pusat penelitian (puslit) dibatasi oleh identitas keilmuan puslit tersebut. Penuturan berikut ini menegaskan pembatasan lingkup keilmuen tersebut: Tiap puslit itu yang jelas tidak akan melebar dari fungsi puslitnya sendiri. Yang fisika tidak jauh dari fisika, dan yang biologi mungkin tidak jauh dari biologinya itu sendiri, meski dari yang bottom up, jadi masalah yang ada di masyarakat, industri atau UKM-UKM. Jadi mereka ada porsinya sendiri tiap puslit itu. Seorang peneliti yang lain, dari sebuah pusat penelitian di LIPI, menggambarkan adanya penyesuaian-penyesuaian dalam penetapan topik-topik penelitian sebagai berikut: Jadi memang di tempat kami ada penelitian yang bottom-up dan yang top-down. Yang kita lakukan itu sebetulnya, untuk penelitinya itu sendiri punya kebebasan begitu ya. Jadi bagi peneliti yang memiliki disiplin ilmu yang berbeda, dia bisa melakukan atau bisa mengusulkan penelitian sendiri sesuai bidang keahlian, walaupun itu tidak sesuai atau sejalan dengan anjuran penelitian yang top-down. Tapi kebanyakan dari kami lebih baik melakukannya itu sekali jalan. Jadinya, misalkan kita interest untuk suatu penelitian, kita kaitkan juga ke depannya seperti apa, dan dukungan Pemerintah seperti apa. Mengenai orientasi penelitian seperti yang tadi disampaikan itu, memang ada yang bersifat manfaat dan ada yang bersifat keilmuan. Jadi, kalau yang di tempat kami kecenderungannya itu sekarang yang ada manfaatnya begitu. Itu juga kiat untuk mendapatkan projek-projek penelitian dapat berjalan terus, sebab nanti pada pertanggungjawaban penelitian itu, yang dipertanyakan itu produknya atau prototipe, bukan hanya makalah ilmiah saja. Jadi, beberapa tahun terakhir ini penelitiannya diarahkan kepada pemanfaatannya.
transformasi penelitian
115
Ungkapan ―bagi peneliti … bisa mengusulkan penelitan sendiri sesuai bidang keahlian, walaupun itu tidak sesuai atau sejalan dengan anjuran penelitian yang top-down‖ menggambarkan penyesuaian-penyesuaian antara orientasi individual peneliti dan arahan lembaga. Ungkapan ― …pada pertanggungjawaban penelitian itu, yang dipertanyakan itu produknya atau prototipe, bukan hanya makalah ilmiah saja … beberapa tahun terakhir ini penelitiannya diarahkan kepada pemanfaatannya‖ mencerminkan adanya pergeseran kriteria dalam evaluasi dan penilaian kegiatan penelitian52. Berikut ini penuturan seorang peneliti dari Pusat Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi (KIM) LIPI, mengenai penelitian bottom-up: Kalau dalam penelitian, mungkin karena instumentasi 53 bisa penerapannya banyak aplikasi. Dalam penelitian itu penelitinya masing-masing. Jadi mungkin koordinasinya kurang. Jadi mencari lahan masing-masing. Kebanyakan kita ke industri, instrumentasi itu ada yang digunakan untuk industri. Ya, itu masing-masing peneliti mencari pasar masing-masing. Kita penelitian di situ awalnya prototipe. Ada yang digunakan untuk industri, ada yang hanya prototipe. Penelitian telemetri, ukuran jarak jauh untuk listrik, selama ini ada yang digunakan untuk stasiun Gambir, kemudian ke dirgantaraan ke TNI, untuk tracking kapal musuh. Sempat ada kerja sama untuk TNI, tapi kadang tidak semua digunakan, kadang hanya awal untuk penjajakan. Ungkapan ‖… mencari lahan masing-masing. … masing-masing peneliti mencari pasar masing-masing‖ merujuk pada upaya seorang peneliti untuk mengembangkan relasi-relasi dengan mitra-mitra industri. Ketika upaya ini
52
Pemanfaatan hasil penelitian merupakan isu yang sentral dalam kebijakan penelitian yang digariskan KRT dalam enam tahun belakangan. Tetapi sebetulnya isu ini sudah digulirkan KRT sejak awal periode 1990-an melalui program insentif Riset Unggulan Terpadu, Riset Unggulan Kemitraan dan Riset Unggulan Strategis Nasional. 53 Instrumentasi merupakan teknologi yang berfungsi menggerakkan (to actuate), memantau dan mengendalikan (to control) sistem-sistem teknologikal (technological systems) yang relatif komplek dan berskala besar seperti pabrik manufaktur, pabrik proses kimiawi, kereta api, pesawat terbang, satelit, reaktor nuklir dan lain-lain.
116
ke dalam inovasi
berhasil, seorang peneliti akan terikat pada suatu kesepakatan kerja sama dengan mitranya. Mitra-mitra para peneliti ini tentunya beragam (industriindustri yang berbeda, organisasi-organisasi yang berbeda), dan memiliki kebutuhan penelitian yang berbeda-beda. Situasi demikian tentu saja menimbulkan kesan bahwa kegiatan-kegiatan penelitian kurang terkoordinasi antara satu dengan yang lain. Bila tugas kelembagaan LIPI berkaitan dengan pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan, tugas kelembagaan BPPT berkaitan dengan penerapan teknologiteknologi. Tentu saja dalam aspek substantif, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa sepenuhnya dipisahkan. Di satu sisi, pengembangan teknologi membutuhkan ilmu pengetahuan dasar. Khususnya penerapan teknologi di masyarakat membutuhkan dukungan ilmu pengetahuan kealaman, dan juga ilmu-ilmu pengetahuan tentang masyarakat dan manusia (yakni ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan). Di lain sisi, pengembangan ilmu pengetahuan membutuhkan teknologi untuk, misalnya, menopang eksperimen-eksperimen. Seorang peneliti54 dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memberikan gambaran sebagai berikut: Saya bekerja di BPPT, di Balai Besar Teknologi Energi. Jadi, melihat namanya, pekerjaan kita lebih dekat pada terapan. Jadi core kompetensi kita di Balai Besar Teknologi, B2T, itu ada tiga. Yang pertama mengenai efisiensi energi. Yang kedua mengenai bahan bakar fosil, dan yang ketiga ada renewable energy. Energi terbarukan itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu geotermal, fotovoltaik dan elektriokimia. Berkaitan dengan kegiatan saya mengenai penelitian, saya pada awalnya bertugas untuk membidangi penelitian fuel cell di Balai Besar Teknologi Energi. Jadi, dulu dari misinya Pak Habibie yang kita itu reverse enggineering55, berawal di akhir. Ketika itu 54
Dalam pembahasan di buku ini istilah „peneliti‟ digunakan dalam arti luas, mencakup peneliti, perekayasa, analis kebijakan, eksperimentalis, dan lain-lain. Mengenai hal ini telah dibahas di Bab 1. 55 Dalam literatur, istilah „reverse engineering‟ digunakan untuk merujuk pada sebuah metodologi kerekayasaan khusus, yang bekerja dengan cara membongkar produk yang sudah jadi, melakukan semacam decoding untuk mengungkapkan rancangan konseptual
transformasi penelitian
117
saya mengadakan pembelian peralatan yang kita bongkar untuk kita teliti, karena prospeknya fuel cell. Beberapa kalangan itu mengatakan bahwa itu sangat berprospek bagus. Setelah membeli alat, ternyata laboratoriumnya tidak ada. Jadi, kita beli kita, bongkar, tapi laboratoriumnya tidak ada. Untuk itu saya dapat berkesempatan melakukan penelitiannya itu di Jerman, dan kemudian diselesaikan. Alhamdulillah saya selesaikan. Ke depan ini, karena penelitiannya prosesnya setengah jalan, seperti kita ketahui karena teknologi fuel cell itu masih di simpang jalan. Jadi, prospek ke depan itu yang sebetulnya bisa di link-kan ke industri. Sekarang itu yang saya kerjakan itu membangun link-nya ke berbagai institusi untuk untuk bekerjasama di bidang fuel cell, dan menjadi tenaga ahli di beberapa insitusi untuk menjadi tenaga ahli di bidang fuel cell itu sendiri. Penuturan peneliti ini merujuk pada kebijakan industrialisasi yang berpola technology-led, yang diadopsi oleh KRT di masa pemerintahan Orde Baru (khususnya periode 1980 sampai awal 1990-an). Dalam kebijakan seperti ini, penerapan teknologi bukan merupakan respons terhadap permintaan pasar. Alih-alih demikian, teknologi diposisikan sebagai faktor yang menghela dan memberikan haluan dari proses industrilalisasi 56. Peneliti lain, masih dari BPPT, menuturkan perkembangan sebuah pusat yang baru di awal tahun 2000-an: Pusat kami adalah satu-satunya pusat di bidang kesehatan dan obat di BPPT, dan masih tergolong baru, baru tahun 2000 dirintis, dan orang dulu tidak percaya kalau ada farmasi di BPPT. Kemudian dalam pusat itu ada tiga bidang, bahan baku farmasi, sediaan farmasi dan alat kesehatan. Rumusan itu sudah dilakukan dengan melihat kepentingan nasional. produk tersebut, dan kemudian diikuti dengan modifikasi rancangan dan re-construction. Reverse engineering dipraktikkan di Jepang sejak masa Restorasi Meiji, untuk „mencuri‟ teknologi dari negara-negara Barat. 56 Hasil kajian-kajian di literatur mengungkapkan bahwa kebijakan industrialisasi demikian bisa efektif kalau terdapat cukup kapasitas para pelaku industri untuk melakukan penyerapan teknologi dan inovasi (technology absorption and innovation).
118
ke dalam inovasi
Sejak didirikan kami belum punya tempat untuk melakukan penelitian, sehingga nebeng di sana-sana, di berbagai tempat di mana-mana. Tapi karena komitmen kami, setiap tahun dari anggaran yang ada kami dapat menyisihkan dana untuk membelikan alat, sehingga sejak 2000 kami sudah dikumpulkan di bangunan baru di Puspiptek. Saat ini kami punya 11 laboratorium dan 1 ruang plant. Dalam perumusan program, yang jelas kami mengacu Agenda Riset Nasional dalam bidang kesehatan dan obat-obatan. Saat ini kita fokus ke bahan obat dari herbal, karena kita melihat kalau mau bersaing dengan industri farmasi global yang sudah sangat kuat, kita melihat dari resources yang ada. Kita akan mengembangkan resources sumber hayati yang ada. … Targetnya pertama untuk mengembangkan suatu prototipe sediaan yang nantinya digunakan untuk industri, yang kedua bisa juga perbaikan hal-hal yang diminta industri, atau perbaikan masalah-masalah yang ada di industri. Tentu hal itu bersifat temporer. Ungkapan peneliti tersebut bahwa ―…kalau mau bersaing dengan industri farmasi global yang sudah sangat kuat, kita melihat dari resources yang ada. Kita akan mengembangkan resources sumber hayati yang ada‖ mencerminkan suatu kebijakan industrialisasi yang berbasis keunikan sumber daya lokal 57. Ini berbeda dari kebijakan industrialisasi yang berpola technology-led. Pendirian pusat yang bergerak di bidang kesehatan itu sendiri mencerminkan suatu perubahan pendekatan dalam penerapan teknologi. Berbeda dari LIPI dan BPPT, lingkup kegiatan penelitian di BATAN relatif lebih spesifik, yakni berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir. Penuturan oleh seorang peneliti dari BATAN berikut ini menggambarkan pola dan arah penelitian di lembaganya: Saya kerja di pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi. Jadi, dari nama lembaganya sudah pusat aplikasi, kelompok kami diberi tugas 57
Tentu saja keunikan sumber daya alam semata bukan merupakan faktor daya saing. Tetapi jika dikombinasikan dengan penelitian dan inovasi, keunikan sumber daya alam akan menjadi faktor daya saing.
transformasi penelitian
119
penelitian dan service dari penggunaan radioaktif untuk troubleshooting, juga untuk gamma scan menggunakan sumber tertutup. … Jadi memang kebanyakan melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pelayanan. Kita punya pengalaman di PT. Pusri, PT. Pusri menggunakan gas urea dan NH4 untuk menghasilkan pupuk urea dari hidrogen. Di situ, di salah satu kilang proses terjadi kebocoran, dan teknik lain tidak bisa digunakan. Jadi, dengan teknik scan kita bisa melihat lokasi terjadinya malfunction. Jadi mengetahui sumber masalahnya. Maka pekerja pabrik bisa melokalisir daerahnya. Jadi, kalau dia shutdown dia hanya konsentrasi di daerah itu saja. Dari pekerjaan tersebut, kita mendapatkan surat penghargaan atau sertifikat, bahwa mereka merekomendasi karena mereka punya semacam asosiasi. Jadi, kalau ada pekerjaan semacam ini mereka pakai BATAN. Sekarang kita juga mengembangkan yang namanya gamma scan. Kalau tadi kita scanning masukan-masukan data hanya berupa grafik, sekarang kita coba data kita kumpulkan sebanyakbanyaknya, kita rekontruksi lagi dan berbentuk visual. Untuk yang dua dimensi kita sudah berhasil dan kita sudah terapkan di geotermal di gunung Dieng. Penuturan di atas menggambarkan suatu interaksi antara peneliti dan pelaku industri. Perumusan masalah penelitian dan penjajakan metode atau teknik yang sesuai untuk menjawab masalah tersebut berjalan secara iteratif melalui interaksi tersebut. Ungkapan ― … kita mendapatkan surat penghargaan atau sertifikat, bahwa mereka merekomendasi‖ merujuk pada suatu kesepakatan antara peneliti dan pelaku industri, sebagai pengguna hasil penelitian, mengenai metode yang dianggap sesuai untuk menjawab masalah. Penuturan peneliti BATAN ini juga menggambarkan suatu proses pengembangan teknikal (technical development) secara interaktif dengan pengguna. Pengembangan teknikal berlangsung melalui penjajakan teknikteknik yang ada dalam situasi praktis (yaitu di lingkungan industri). Melalui interaksi dengan para pelaku industri, terjadi pembelajaran bersama (mutual learning) mengenai teknik-teknik yang ada tersebut. Ketika pembelajaran ini sampai pada suatu kesimpulan bersama mengenai teknik mana yang bekerja,
120
ke dalam inovasi
barulah dicari variasi dari teknik tersebut untuk digali peluang penerapannya dalam situasi-situasi praktis yang berbeda. Peneliti yang lain, juga bekerja di bidang teknologi nuklir, menuturkan situasi penelitian yang berbeda: Di bidang saya itu, kami memiliki alat yang bisa memanfaatkan berkas netron yang dihasilkan dari reaktor nuklir. Nah, netron itu dengan teknik tertentu bisa digunakan untuk penelitian material, Kami sudah punya tujuh alat, satu hibah dari Jepang dan enam dibeli melalui programnya Pak Habibie saat membangun PUSPIPTEK Serpong, Alat itu dibangun tahun 1987. Tujuannya untuk penelitian material teknologi tinggi, untuk semikonduktor dengan signal kristal. Tetapi, ketika alat itu sudah dibangun, sudah beroperasi pada 1987-1992, SDM-nya belum ada, sehingga alat tersebut hanya pajangan. Dengan berlangsungnya waktu alat mulai rusak dan teknologi sudah mulai ketinggalan. Sekitar tahun 1998 lima alat rusak semuanya, terutama pada alat kontrol sistemnya. Karena dibeli lewat proyek, kita tidak bisa komplain penggantian alat, karena kontraknya sudah habis. Satu alat hibah dari Jepang masih di back-up. Jadi, apabila ada kerusakan sampai saat ini pihak Jepang masih bisa membantu. Sebenarnya Jepang tidak memberikan secara gratis. Jadi waktu itu kita membagun reaktor nuklir 30 MW, Jepang itu mau mengup-grade reaktor dia. Jadi dia menjadikan reaktor kita itu eksperimennya, semua fasilitasnya jadi eksperimennya. Jadi dia memberikan satu alat, dan dia sudah membuat berpuluh-puluh alat di Jepang. Akhirnya waktu itu … saya itu meminta bantuan ke sana sendiri untuk memperbaiki kontrol sistemnya. Tapi tetap tidak bisa. Akhirnya dengan bantuan yang ada, itu dengan peneliti dari Fisika ITB. sedikit demi sedikit sistem kontrolnya diperbaiki sehingga 1998 bisa beroperasi lagi, hingga sekarang. Nah, saat itu alatnya lebih banyak dioperasikan sendiri, dianalisis sendiri, dipakai sendiri, dipublikasikan sendiri, diuji sendiri… Pokoknya semuanya serba sendirilah. Karena alat itu, mungkin menurut ukuran Indonesia, masih hi-tech, jadi susah untuk berkomunikasi. Ada beberapa rekan-rekan kami telah
transformasi penelitian
121
kembali, mereka punya kolaborasi dengan luar negeri, dan mulai tahun 2000-an sudah mulai interaksi dengan pihak luar negeri. Alat itu mahal, sangat mahal… sehingga ketika ada kerusakan, itu dana itu sudah tidak mencukupi lagi. Malah teman-teman berpikir ya, lebih baik ditutup saja. Tapi bila ditutup akan merembet ke reaktor, karena kalau ditutup reaktornya juga digunakan untuk apa? Akhirnya dengan kemampuan yang ada, dengan fasilitas yang ada, alat itu dioperasikan. Penuturan di atas menggambarkan situasi di mana penelitian dan pengembangan berlangsung secara relatif terisolasi (tidak disertai interaksi dengan pengguna atau calon pengguna hasil penelitian). Peneliti tersebut menggambarkan situasi ini melalui ungkapan ―… alatnya lebih banyak dioperasikan sendiri, dianalisis sendiri, dipakai sendiri, dipublikasikan sendiri, diuji sendiri…‖. Donor peralatan (pihak Jepang), menurut peneliti tersebut, merupakan pihak yang mendapatkan manfaat tidak langsung. Tetapi tampaknya hubungan antara penerima bantuan dan pemberi bantuan bersifat asimetrik. Pihak Jepang, sebagai pemberi hibah, tentu memiliki kewenangan yang lebih tinggi dalam menentukan spesifikasi dari peralatan yang diberikan sebagai bantuan. Hubungan yang tidak simetrik ini dinyatakan peneliti tersebut melalui ungkapan ―Jadi dia menjadikan reaktor kita itu eksperimennya, semua fasilitasnya jadi eksperimennya‖. LIPI, BPPT dan BATAN merupakan lembaga-lembaga di mana kegiatan intinya adalah penelitian, apakah penelitian ini untuk pengembangan keilmuan ataupun untuk kerekayasaan. Bagi LPNK yang lain, seperti BAKOSURTANAL, kegiatan inti di lembaga tersebut mencakup kegiatan teknikal dan kegiatan penelitian. Seorang peneliti dari BAKOSURTANAL memberikan gambaran sebagai berikut: Di Bakosurtanal ini ada semacam dualisme. Peneliti khusus diwadahi di Balai Geomatika, Penelitian rekayasa di pemetaan. Kemudian di struktural, kaitannya dengan produksi peta. Di situ ada suatu pengklasifikasikan atau pengkelompokan sumber daya manusia. Kenyataannya, sumber daya yang potensial ada di produksi peta. Dulunya itu ada Balai
122
ke dalam inovasi
Geomatika. Istilahnya itu ‗tempat parkir SDM‘. Tapi sekarang sudah ada pengembangan supaya, istilahnya, ada fungsi penelitian yang berfungsi sebagaimana penelitian. Produksi peta merupakan pekerjaan teknikal, dalam arti bahwa ini merupakan pekerjaan membuat sesuatu dengan mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku. Sementara itu, penelitian merupakan kegiatan yang bersifat eksploratif. Pekerjaan teknikal cenderung bersifat rutin, mengulang apa-apa yang sudah ada, sedangkan penelitian mencari sesuatu yang baru (yang lebih efisien, lebih akurat, dan lain-lain). Kalau dalam sebuah lembaga terdapat dua jenis kegiatan inti, persoalannya adalah: siapa mengerjakan apa. Melalui ungkapan ―… Kenyataannya, sumber daya yang potensial ada di produksi peta‖, peneliti tersebut menyatakan adanya kekurangsesuaian dalam penempatan para peneliti di BAKOSURTANAL, meski masalah ini telah diselesaikan. Lebih terinci mengenai pengaruh faktor organisasional terhadap pola penelitian, peneliti tersebut menuturkan sebagai berikut: Saya sendiri dulu di peneliti muda … pada saat dipromosikan di struktural, jabatan fungsional saya diberhentikan sementara, sehingga saya kebanyakan di struktural, menangani produksi peta, yaitu di peta tematik. Nah, teman-teman yang ada di peta tematik ini tidak ada anggaran khsus untuk penelitian, namun tetap melakukan kegiatan, harus memenuhi kewajiban atau istilahnya ‗setor kredit‘. Itu dari pekerjaan rutin berupaya untuk menuangkan tulisan apa yang dikerjakan secara rutin. Jadi secara khusus memang tidak ada anggaran, tapi bergantung kreativitas. Kemudian yang kedua, di Bakosurtanal sendiri ada jabatan fungsional, peta survai dan pemetaan, surtafung istilahnya, survei dan pemetaan fungsional. Nah, sekarang ini SDM-SDM itu ada kecenderungan untuk diarahkan ke sana. Di satu sisi ada SDM-SDM yang sudah terpayungi peneliti-peneliti di LIPI. Di Surtafung sendiri dipayungi Bakosurtanal. Di Surtafung ini bukan kaitannya kepada penelitian, tetapi kaitannya itu penghargaan dari lembaga yang memberikan penghargaan. Kaitannya dengan prestasi kinerja, karena di situ ada pembinaan karir.
transformasi penelitian
123
Dalam penuturan di atas, peneliti tersebut mengemukakan permasalahan mengenai jalur karir, kriteria penilaian kinerja, serta sistem penghargaan. Jadi, produksi peta merupakan pekerjaan struktural sedangkan penelitian merupakan pekerjaan fungsional. Permasalahannya adalah bagaimana membedakan kriteria penilaian kinerja dan bagaimana memberikan penghargaan yang setara, untuk dua jenis pekerjaan yang berbeda tersebut. Berbeda dari lembaga-lembaga penelitian LPNK, tugas pokok dari KRT berkaitan dengan perumusan kebijakan iptek nasional dan ko-ordinasi kegiatankegiatan penelitian sesuai dengan kebijakan iptek tersebut. Substansi kebijakan iptek yang dirumuskan oleh KRT mencakup aspek sumber daya iptek (khususnya pembinaan dan pengembangan kapasitas para peneliti), sarana dan pra-sarana iptek, kelembagaan iptek, arah dan prioritas litbang iptek. Berikut ini penuturan seorang peneliti di lingkungan KRT yang mengemukakan isu-isu yang terkait dengan sumber daya manusia (SDM) iptek dan kelembagaan iptek: Sebenarnya … masalah SDM ini tidak terlepas dari kelembagaan litbang, karena apa pun iklim kerja itu, kita harus lihat kelembagaan dari litbang sendiri, dan ini, mau tidak mau, tidak terlepas dari tiga sisi: segi akademik, government-nya dan bisnisnya. Ketiga-tiganya ini terkait dan akan mempengaruhi litbang, dan tentu saja SDM-nya. Lembaga pendidikan memproduksi sarjana-sarjana dan meproduksi SDM litbang sendiri. … Ada kategori dari pemanfaatan sarjana lulusan universitas ini, pada tiga lapangan kerja. Universitas menghasilkan doktor, tujuannya adalah untuk menjadi seorang peneliti. Seorang peneliti itu harus mampu mendesain, sekaligus melaksanakan riset itu sendiri. Memang ini menjadi perdebatan barangkali… Sebenarnya dosen atau guru itu untuk tingkat master saja. Lalu sarjana untuk level S1 masih mungkin kita manfaatkan sebagai officer dan worker, termasuk di bidang risetnya sendiri. Tidak sebagai pembuat analisis, tapi untuk pengolah datanya dan sebagainya. Seolaholah produk dari dunia pendidikan itu, sarjana, master dan doktor itu, secara langsung ada kategori pemanfaatan tenaga kerjanya. Itu kalau kita lihat dari sisi akademik.
124
ke dalam inovasi
Sementara itu, sisi government-nya … nampak-nampaknya berkecenderungan dianggap sebagai hakim. Atau sebagai wasit. Nah, ini berada di bawah peran government sebenarnya, Government sebagai pengatur, dengan kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dibuat, itu lebih menentukan tingkat peran dan kedudukan dari litbang sendiri. Dan itu akan berpengaruh kepada SDM dari litbang itu. Nah dari bisnis, kita tahu dari bisnis itu memanfaatkan peneliti dan lembaga penelitian itu untuk pengembangan bisnis itu sendiri. Tapi sampai sekarang di Indonesia iklim pemanfaatan SDM litbang sendiri belum begitu bagus, belum banyak, dan memang ini persoalan terkait dengan penggalian sumber daya kreatif. Universitas itu memiliki tenaga-tenaga muda yang memiliki daya kreatifitas yang tinggi, yaitu mahasiswamahasiswa, punya dosen-dosen yang masih fresh dalam menggali sebagainya itu. Itu belum cukup kita gali. Jadi secara singkat saya menyimpulkan bahwa iklim kerja SDM litbang kita ini …, dipengaruhi oleh bentuk kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, kemampuan dunia pendidikan untuk menghasilkan tenaga litbang ini sendiri, dan juga kemampuan dari daya serap dari dunia bisnis. Penuturan ini mengemukan hal-hal yang normatif berkaitan dengan SDM dan kelembagaan iptek. Peneliti tersebut secara spesifik mengemukakan isu mengenai penggalian potensi dan pemanfaatan SDM iptek. Bila penuturan di atas mengemukakan isu struktural-kelembagaan, penuturan peneliti berikut ini menekankan pembedaan jenis-jenis penelitian dan keterkaitan antara penelitianpenelitian yang berbeda jenis: Kalau kita melihat lebih jauh, riset terapan lebih berorientasi kepada masyarakat, sehingga apa yang dihasilkan itu langsung dinikmati oleh masyarakat. Kemudian berkaitan dengan riset dasar, riset fundamental menurut saya lebih pada akademisi yang banyak berbincang-bincang, berfikir dan menganalisis tentang substansi pada keilmuan itu sendiri. Dengan dua hal ini, mestinya SDM iptek memiliki peran yang berbeda. Riset dasar saya kira berfokus pada substansi keilmuan
transformasi penelitian
125
itu sendiri. Tetapi pada riset terapan, mereka harus lebih menyeluruh, dari awal sampai ujung pada sesuatu produk yang nantinya dimanfaatkan. Kalau kita pergi ke suatu perguruan tinggi, mayoritas mengkaji pada bidang-bidang yang mengandung fundamental. Suatu contoh masalah energi. Saya kebetulan orang sosial, orang-orang yang sosial, mereka mengaitkan dengan masalah energi itu sepertinya susah sekali, mengaitkan dengan pertanian juga susah sekali. Saya kira ini permasalahan iklim yang perlu dibenahi. Peneliti lain berikut ini mengemukakan isu-isu yang terkait dengan peranan KRT itu sendiri: LPNK sudah ada. Apakah Ristek melakukan ko-ordinasi hanya dalam urusan administrasi, atau untuk kemajuan iptek itu sendiri? Kalau ko-ordinasi hanya dalam urusan administrasi, kurang optimal peran Ristek itu. Saya mengharapkan ada program dari kelembagaan yang lebih tajam, dalam arti setiap LPNK itu punya ciri khas, setiap LPNK itu punya brand. Masingmasing LPNK itu lebih tajam terarah ke program-program yang lebih konkrit, … berdasarkan kekuatan masing-masing yang spesifik. Dalam penuturan ini, peneliti tersebut mengungkapkan harapannya akan pengembangan relasi antara KRT dan LPNK-LPNK. Ia mengharapkan bahwa KRT mengembangkan program-program yang lebih konkrit dan sesuai dengan kekuatan LPNK. Mengenai peranan ko-ordinasi tersebut, peneliti yang lain menyampaikan saran sebagai berikut: … mungkin karena fungsi Kementerian Ristek sebagai koordinasi, perlu target-target sasaran yang jelas. Artinya, nanti bisa mengkoordinasi penelitian-penelitian yang memang dibutuhkan oleh pasar. Penelitian untuk pasar tentunya harus merapat ke industri. Jadi, saya kira Kementerian Ristek ke depan harus mengarah ke sana, karena sifatnya stratejik. Terus itu rentetannya banyak. Untuk pengembangan teknologi mesti ada roadmap-nya… mungkin harus diinstruksikan bahwa tiap
126
ke dalam inovasi
lembaga kalau mau mengarah ke produk, roadmap teknologinya jadi pegangan. … kita sulit berjalan karena kita tidak punya target yang jelas, tidak ditentukan goal yang jelas sencara nasional. Kemudian koordinator secara nasional belum berfungsi dengan baik, walaupun sudah diberikan instrumen-instrumen berupa PP, PERPRES, dan UU. Namun semua belum berjalan dengan baik, … selama ini terjadi banyak tumpang tindih. Jadi, teman teman di ITB melakukan penelitian A, di UNPAD juga A. Penelitiannya bisa sama, dan pakai dana APBN. Yang saya usulkan adalah kita melakukan inventarisasi. Jadi kalau kita bisa menginventarisasi, bisa lebih efisien kita untuk memakai APBN, … iklim pun akan menjadi sehat dan distribusi SDM juga semakin baik … Kita bisa tahu mana yang lemah di kita. Jadi untuk membangun iklim iptek yang lebih baik, saya usulkan inventarisasi dulu, kemudian ambil langkah-langkah yang pasti karena kita tahu keadaan kita di mana, mau ke mana, sehingga kita bisa mengukur milestone-nya. Universitas kan pensuplai orang-orang pintar, bisa mempersiapkan lebih baik. Sedangkan LPNK bukan sumber sumber SDM. LPNK tinggal pakai. Penuturan-penuturan para peneliti dari KRT dan LPNK-LPNK di atas tampaknya konvergen pada sebuah isu, yaitu ko-ordinasi antara LPNK-LPNK dan peranan KRT dalam melakukan ko-ordinasi tersebut. Masing-masing LPNK, secara legal-formal, telah memiliki identitass kelembagaan yang jelas, dan berbeda satu dari yang lain. Pertanyaan mengenai ko-ordinasi tersebut tidak berkenaan dengan urusan internal masing-masing LPNK, melainkan berkenaan dengan urusan nasional. Dengan perkataan lain, pertanyaan tentang ko-ordinasi tersebut berkenaan dengan arah dan prioritas penelitian nasional, dan pembedaan peranan serta kesalingterkaitan antara LPNK-LPNK. Di antara para peneliti di LPNK-LPNK terdapat perbedaan pola penelitian, khususnya dalam aspek interaksi. Terdapat peneliti-peneliti yang melakukan penelitian melalui interaksi yang erat dengan pelaku-pelaku industri/usaha, dan terdapat peneliti-peneliti yang berinteraksi dengan sesama
transformasi penelitian
127
peneliti/akademisi. Mitra-mitra eksternal dari para peneliti tersebut, baik para pelaku industri/usaha maupun para peneliti/akademisi lain, tentu akan membawa pengaruh terhadap arah penelitian di LPNK-LPNK. Bagi KRT, sebagai ko-ordinator lintas-LPNK, keberadaan mitra-mitra tersebut dapat menimbulkan peluang sekaligus ancaman. Mitra-mitra eksternal LPNK tersebut memiliki sumber-sumber daya yang dapat dimanfaatkan (secara tidak langsung) untuk mendukung kebijakan iptek yang dirumuskan KRT. Tetapi mitra-mitra tersebut juga memiliki kepentingan-kepentingan yang mungkin tidak selaras dengan arah dan prioritas kebijakan iptek nasional.
4.4 Ruang Variasi-Seleksi di Perusahaan Swasta Dalam metafora ‗aliran hulu-hilir pengetahuan‘, perusahaan swasta dapat diposisikan sebagai pelaku di hilir. Perusahaan swasta yang melakukan pengembangan, atau diferensiasi produk merupakan pengguna hasil penelitian. Perusahaan swasta seperti ini menggunakan hasil penelitian yang dilakukan dalam laboratorium milik perusahaan tersebut, atau hasil penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi/lembaga litbang, atau kombinasi keduanya. Di Indonesia, perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki induk di mancanegara tentu saja akan menggunakan hasil penelitian di perusahaan induknya, atau di perguruan-perguruan tinggi di negara tempat perusahaan induk tersebut membayar pajak. Di negara-negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Cina dan beberapa negara Asia lainnya, pemerintah di negara-negara tersebut memberlakukan insentif fiskal dan non-fiskal bagi perusahaanperusahaan yang menggunakan hasil-hasil penelitian perguruan tinggi. Tentu saja, insentif dari pemerintah ini hanya berlaku jika perguruan tinggi yang terlibat adalah perguruan tinggi nasional. Artinya, nasionalitas atau kebangsaan merupakan sebuah faktor penyatu dalam relasi tiga-pihak antara pemerintah, perusahaan swasta dan perguruan tinggi58. Berikut ini dipaparkan pandangan 58
Bekerjanya relasi-relasi berbasis kebangsaan antara pemerintah, perusahaan swasta, dan perguruan tinggi, merupakan faktor yang penting dipelajari untuk memahami persaingan pasar dan daya saing. Pada faktanya, sering persaingan pasar itu tidak murni
128
ke dalam inovasi
dari sejumlah pelaku swasta mengenai arti penting penelitian dan kerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga penelitian publik. Salah satu jenis perusahaan swasta yang membutuhkan hasil penelitian lokal (Indonesia) adalah perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan, khususnya sebagai pemasok alat-alat kedokteran. Sebagian dari alat-alat kedokteran yang dipasok ke pasar domestik merupakan produk perusahaanperusahaan asing yang kemudian diimpor. Meski demikian, tidak semua jenis alat dapat dipasok melalui mekanisme impor. Seorang direktur dari sebuah perusahaan pemasok menuturkan sebagai berikut: Semua supplier biasanya hanya ingin menggunakan, memperkenalkan alat yang ingin mereka supply. Contohnya jika saya punya alat-alat ini, ini saja yang dipakai. Padahal kan kita juga punya kompetitor, produk mereka juga bagus kan begitu. … Tidak ada satu supplier pun yang mau mengeluarkan uang untuk riset, begitu tadinya. Nah, kenapa kita mau mulai? Nah, tentunya ada pertimbangan bisnis juga. Misalnya kan... beli alat, khususnya elektrikalnya ... Ada komputernya, ada kontrol untuk suara jantung dan paru-paru, ada bonekanya ya kan, ada speaker. Tapi ini kan bukan alat kedokteran ya, ini untuk pendidikan. Mungkin uji fungsi sudah cukup, karena setelah kita tahu di monitor, bunyi jantung ok, speakernya jalan, kan selesai. Tapi kalau misalnya harus diuji cobakan, misalnya saya punya alat itu untuk mengukur body composition, Nah, apakah kita hanya supply terus, kenyataan di lapangan, masa bodoh? Untuk itu, kenyataan di lapangan, kita perlu kerja sama di riset. Mungkin untuk pertama, alat ini cukup bagus atau tidak, cukup aplikatif atau tidak, bagaimana ke depannya. Perusahaan farmasi itu ada yang BUMN dan ada yang swasta. Perusahaan swasta sendiri kan ada yang swasta nasional atau antara satu perusahaan swasta dan perusahaan swasta yang lain. Di balik suatu perusahaan swasta terdapat mitra-mitra perguruan tinggi nasional dan pemerintah nasional yang mendukung kemitraan tersebut.
transformasi penelitian
129
swasta asing. Kalau untuk risetnya sendiri, dilakukan oleh pusatnya, terutama yang asing. Jadi mereka mengadakan riset, kemudian nanti itu diterapkan untuk di Indonesia. Nah, itu bisa atau tidak. Nah, itu orang yang mengadakan riset di sini sebetulnya sudah punya formulanya sendiri, begitu kan. Nanti oleh orang Indonesia, itu dikembangkan, bisa atau tidak. Jadi, kebutuhan akan penelitian distimulasi oleh permasalahan adaptasi produk terhadap situasi dan keadaan konsumer. Pada dasarnya produk yang dipasok diperoleh melalui impor. Pengembangan atau modifikasi produk diperlukan untuk tujuan adaptasi terhadap situasi lokal, dan di sini kerja sama dengan perguruan tinggi domestik/lokal menjadi relevan. Lebih jauh mengenai kerja sama penelitian dituturkan sebagai berikut: Yang lebih banyak itu justru yang swasta lokal, karena mereka itu justru yang kadang-kadang ingin punya produk, lalu minta tolong sama Perguruan Tinggi. Mereka ingin punya produk begini, bisa tidak dicarikan formulanya, misalnya ke jurusan farmasi. Biasanya ide awalnya muncul dari bagian marketing atau bagian litbang, untuk pengembangan produk baru. Karena ada keterbatasan sarana, fasilitas atau tenaga untuk melakukan penelitian, kemudian minta bantuan perguruan tinggi untuk membantu pelaksanaan trial produk tersebut. Memang biasanya suka melalui jalur dari dosen, atau alumni perguruan tinggi yang bekerja di perusahaan. Kalau kenal kan jadi mudah mengurusnya. Biasanya perusahaan memilih perguruan tinggi atau tempat litbang tertentu karena sudah ada ‗chemistry‘... kenal dengan dosen, access-nya mudah, tahu keinginan masingmasing, dan kalau ada masalah bisa didiskusikan dengan baik. Jadi karena faktor alumni, atau karena kedekatan dengan beberapa orang. Dalam penuturan di atas, ungkapan ―…sudah ada ‗chemistry‘ ... access-nya mudah, tahu keinginan masing-masing, dan kalau ada masalah bisa didiskusikan dengan baik‖ menggambarkan faktor-faktor yang dipandang penting dalam menjalin relasi dengan para peneliti di perguruan tinggi. Faktorfaktor tersebut berkaitan dengan komunikasi, negosiasi, dan keselarasan. Faktor
130
ke dalam inovasi
kompetensi akademik tidak disebutkan dalam penuturan di atas. Tentu saja kompetensi akademik merupakan hal yang penting. Tetapi dalam perspektif bisnis, terdapat kriteria lain yang menjadi perhatian, sebagaimana digambarkan dalam penuturan berikut ini: Kadang ada yang sukses dari segi pengembangan, tapi tidak sukses dari segi marketing, alias terlalu mahal dan tidak feasible. Sebagai bayangan begini ... dari 10 produk yang dikembangkan, 7 yang berhasil secara proses, 3 tidak bisa dilanjutkan. Dari 7 yang berhasil ini, 5 mungkin diteruskan pengembangannya karena masih ada potensi di market, 2 di-drop karena kemahalan atau ada kesulitan dalam proses produksi. Biaya analisis juga harus dimasukkan ke dalam cost accounting sebagai R&D cost. Kalau R&D cost-nya kemahalan, termasuk untuk fee peneliti, paten, lisensi, ... ya, produknya kan jadi kemahalan dan tidak bisa dijual. Produk yang dari awal tidak jadi, juga banyak. Call untuk stop bisa dari kedua belah pihak. Biasanya kalau dari perguruan tinggi karena proses dan teknologinya susah. Kalau dari perusahaan karena cost-nya terlalu mahal, atau karena pengembangannya sudah kelamaan, bisa jadi market-nya sudah lewat karena trend-nya sudah berubah. Jadi, selain kriteria akademik yang umumnya diadopsi seorang peneliti perguruan tinggi, dalam kerja sama antara perusahaan dan perguruan tinggi juga terlibat kriteria komersial. Kedua kriteria ini tentu saja tidak sama. Dikarenakan adanya perbedaan kriteria seperti ini, dalam kerja sama antara perusahaan dan perguruan tinggi ruang komunikasi dan negosiasi menjadi penting, terbentuknya ‗chemistry‘ menjadi penting. Penuturan berikut ini diberikan oleh seorang perekayasa dari sebuah perusahaan kesehatan yang lain. Ia menyampaikan pandangannya berdasarkan pengalamannya bekerja sama dengan para peneliti dari peruguruan tinggi. Isuisu yang terkait dengan kerja sama tersebut ia tuturkan sebagai berikut: Kalau perusahaan kami sekarang sedang mengembangkan konsep kemitraan dengan pihak akademisi dan Goverment. Akademisinya ya perguruan tinggi, Government-nya ya pemerintah sebagai regulator. Jadi regulatornya kan Depkes,
transformasi penelitian
131
BPOM ... Dengan perguruan tinggi, penelitian-penelitiannya juga tidak nyambung begitu. Mereka kan hanya mengejar ... sorry saja... jurnal, kredit. Mungkin itu bagus untuk sains. Tapi untuk komersial itu harus banyak pertimbangan. Feasible tidak? Bahan bakunya mudah didapat tidak? Nah, yang sudah kita jalankan yaitu flu burung dengan sebuah perguruan tinggi negeri. Karena kebutuhan, perusahaan kalau terikat sendiri juga mahal, dan lama. Makanya ambilnya dari perguruan tinggi, tinggal diarahkan saja sesuai dengan kebutuhan komersial. Kebutuhan komersialnya tinggal diarahkan saja dengan kebutuhan Goverment begitu. ... Untuk pengembangan vaksin masa depan itu mengundang BPOM dan perguruan tinggi. Penuturan-penuturan terdahulu berkaitan dengan situasi di perusahaanperusahaan yang boleh dikatakan ‗besar‘. Berikut ini adalah penuturan yang berkaitan dengan situasi di perusahaan ‗menengah‘ (atau ‗kecil‘), yang secara khusus bergerak sebagai pemasok produk berbasis litbang iptek. Seorang perekayasa, dan sekaligus salah satu pendiri perusahaan, menyampaikan penuturan sebagai berikut: Perusahaan ini terbentuk tahun 2005. Awalnya kami mengerjakan projek dari Kementerian Pertahanan. Projeknya selesai, karena ada masalah, dan orang-orangnya berpisah. Nah, sebagian orang ini bergabung dengan kolega dari Jakarta, mencari investor, dan akhirnya membentuk perusahaan. Kenapa dibentuk? Karena kami sudah punya pengalaman membuat Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) untuk Kementerian Pertahanan. Awalnya kami membuat produk sendiri. Biasanya kami berdasarkan pesanan dari luar. Nah ini sejak pertama terbentuk kami berinisiatif, karena punya dana dari investor, kami mengembangkan produk sendiri, kami beri nama Produk 1 dan 2. Di tengah jalan pengembangan, kami dapat kerja sama dari BPPT, karena dia juga mengerjakan teknologi serupa. Dia mengajak untuk mengembangkan bersama melalui kerja sama. Kalau di pemerintahan itu biasanya masalah teknologinya ketinggalan. Sumber dayanya juga kurang. Kalau untuk teknologi ini, jelas tenaga-tenaga di sektor pemerintah belum ada yang bisa
132
ke dalam inovasi
menguasai. Jadi bisa dikatakan sektor swasta ini memiliki dan menyumbangkan teknologi dan sumber daya manusianya. BPPT berkontribusi dalam hal pendanaan, dan dukungan politis. Itu penting. Maksud saya politis, meyakinkan orang-orang di atas itu, bahwa produk ini, teknologi ini, penting untuk negara. Kalau tidak ada unsur pemerintah yang mendukung, susah. Tadinya kami berharap militer yang mendukung, karena militer paling banyak membutuhkan. Tapi ternyata di pihak militer ada kubu yang mendukung produk lokal, ada yang lebih mendukung produk dari luar atau impor. Beban pekerjaan itu sebenarnya tinggi sekali. Untuk mengerjakan projek ini setahun, bisa dibilang kami sudah overload. Dan itu bahaya juga sebenarnya, karena ada hal yang kami lewati, misalnya masalah dokumentasi ini. Kami swasta itu tidak bisa berbuat banyak. Kalau tuntutan mereka setahun harus selesai, ya kami harus siap. Padahal itu tidak realistis sebenarnya. Coba Malaysia itu, anggarannya sekitar Rp. 16 Miliar, itu hanya untuk membuat satu komponen, dan itu setahun. Tahun berikutnya dia buat yang lain lagi. Kalau kami yang mengerjakan itu dengan kondisi sekarang, hanya 2 bulan. Penuturan perekayasa ini mengemukakan isu-isu yang terkait dengan platform kerja sama antara perusahaannya dan pihak Pemerintah (sebagai mitranya). Perusahaan tempat perekayasa tersebut bekerja merupakan perusahaan yang pendiriannya melibatkan sejumlah peneliti dari perguruan tinggi. Kemitraan antara perusahaan tersebut dan BPPT mewakili suatu kerja sama antara perguruan tinggi, perusahaan swasta dan Pemerintah. Di sini, disepakatinya platform kerja sama yang realistis, yakni yang sesuai dengan kekuatan dan keterbatasan masing-masing pihak yang bersepakat, merupakan isu yang krusial bagi keberlanjutan kerja sama tersebut. Berikut ini penuturan seorang perekayasa dari sebuah perusahaan swasta lainnya, yang merintis pengembangan dan produksi hovercraft untuk memasok kebutuhan TNI AL: Awalnya mereka tidak kenal apa itu hovercraft … hanya hydrofoil. Memang hydrofoil adalah kapal yang menggunakan waterjet, artinya menghisap air kemudian disemprotkan ke
transformasi penelitian
133
belakang. Tapi kondisi yang dihadapi di Indonesia itu lautnya kotor, banyak sampah. Sehingga bagian suction itu selalu buntu karena sampah, kotoran, kayu, atau plastik, sehingga banyak rewelnya. Dan tidak ada yang kenal hovercraft pada saat itu. … Nah, setelah lihat yang di Aceh, baru terbuka. Mereka tidak bisa lihat benda dari konsep atau desain. Harus ada barangnya dulu. Sementara untuk membuat barang itu butuh modal, dan investor di Indonesia tipenya adalah kalau bisnisnya sudah yakin, baru mau investasi. Kalau di atas kertas mereka masih ragu. Kalau ada yang mau beli, baru investasi. Yang mau beli, kalau ada barangnya baru beli. Kami melihat hovercraft bisa digunakan untuk operasi di daerah yang tidak didukung infrastruktur yang memadai … Kami mulai dengan memperbaiki hovercraft yang ada, desain-nya desain Belanda. Kemudian pihak Angkatan Laut mulai tertarik. Itu tengah tahun 2004. Di tahun 1998 kami sudah mulai desain untuk 20 penumpang. Produk pertama butuh waktu 4 bulan. Kami tidak puas. Kami memang prototyping. Membuat satu, dievaluasi di tahun ke dua, diperbaiki, baru serial production. Nah, ini prototipe pertama 4 bulan, dengan segala kekurangannya. Produksi ke dua menyusul. Koreksi di pertama diperbaiki di ke dua, dan selanjutnya. … Barangnya sekarang sudah 5 buah yang dibeli, itu ada di Surabaya. Pernah dipakai di Kalimantan untuk latihan perang. Hasil pemakaiannya ya, ada complaint, tapi dalam batas yang wajar. Konsepnya kami buat berdasarkan apa yang bisa kita jumpai di dalam negeri. Pekerjanya kami ambil dari galangan kapal. Hanya memang harus diubah cara berpikirnya. Membuat kapal itu, kendala berat tidak ada masalah. Berapa pun beratnya pasti akan mengapung karena volumenya besar. Tapi kalau hovercraft harus dikasih tahu target beratnya sekian kilogram. … Kemudian konstruksi struktur ringan, itu juga mereka baru tahu. Nah, harus ada yang melatih itu. Mengenai kendala-kendala yang timbul dalam pengembangan kerja sama, perekayasa tersebut menuturkan sebagai berikut:
134
ke dalam inovasi
Sistem kontrak anggaran yang hanya setahun putus, kemudian tahun berikutnya harus diulangi lagi, itu sangat mengganggu. Satu produk kan tidak boleh dikontrak dalam 3 tahun, di mana dibagi 3 fase yang kontinyu. Yang ada adalah ya, setiap tahun ada kontrak, dari satu tahun ke tahun berikutnya itu harus beda pekerjaannya. Mungkin kalau masuk ke pengembangan bisa, tapi ini masuk ke pengadaan tidak bisa, jadi harus tuntas dalam satu tahun. Ini jadi posting-nya salah. … Karena set up industrinya memang belum mantap benar, orangnya sangat terbatas, kegiatan menjadi terpecah ketika harus ada yang mencoba, ada yang meneruskan produksi. Kami sempat mendidik juga beberapa staf Angkatan Laut untuk menjadi operator. Ke depannya kami inginkan ada pola kerja sama pengembangan. Jadi sebagai user pihak Angkatan Laut tidak hanya terima jadi di ujung, tapi ikut mulai dari desain, ujicoba dan lain-lain. Tapi pola semacam itu memang agak sulit dilakukan karena kebiasaannya, kalau beli di luar negeri, hanya lihat-lihat barangnya lalu dipakai. 4.5 Diskusi Pemaparan hasil wawancara dan FGD di bab ini mengungkapkan aspek-aspek penting dari situasi penelitian di balitbang, lembaga penelitian non-kementerian dan perusahaan swasta, yang relevan bagi permasalahan pemanfaatan iptek. Tentu saja, bahan empirikal yang dipaparkan di sini tidak mewakili seluruh aspek dan situasi dari penelitian di lembaga-lembaga tersebut. Meski demikian, hasil wawancara dan FGD tersebut mengungkapkan isu-isu dalam rentangan yang luas. 4.5.1
Permasalahan Struktural di Balitbang
Balitbang adalah sebuah unsur kelembagaan dalam sebuah kementerian. Setiap kementerian memiliki tugas pokok dan fungsi untuk menjawab masalah publik di sektor pembangunan tertentu. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, suatu kementerian menyusun kebijakan-kebijakan dan melaksanakan
transformasi penelitian
135
program-program untuk penyediaan regulasi dan/atau penyediaan sarana dan pra-sarana publik. Untuk mendukung keberhasilan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi kementerian tersebut, keselarasan antara unsur-unsur kelembagaan merupakan hal yang penting. Kegiatan penelitian di balitbang dan kegiatan teknikal di direktorat teknikal memiliki karakter yang berbeda. Karakter yang khas dari penelitian adalah adanya proses variasi-seleksi. Perkembangan dari suatu penelitian memerlukan adanya ruang bagi proses variasi-seleksi tersebut—ruang penelitian. Berbeda dari ini, kegiatan teknikal lebih berwatak konstruksi, baik konstruksi yang bersifat material (seperti penyediaan sarana/pra-sarana publik) maupun konstruksi kesisteman atau tatanan (seperti penyusunan regulasi). Sebagai ilustrasi mengenai perbedaan antara kedua jenis kegiatan ini, suatu regulasi disusun untuk dipatuhi tetapi makalah ilmiah disusun untuk dikritik dan dikembangkan melalui penelitian lanjutan. Jadi, produk teknikal dibuat untuk ditetapkan dan diberlakukan, sedangkan produk penelitian dibuat untuk dikembangkan lebih lanjut. Penuturan para peneliti dari balitbang mengungkapkan bahwa dalam realitas praktikal, membangun keterkaitan antara kegiatan penelitian dan kegiatan teknikal bukan hal yang mudah. Seorang peneliti di balitbang mungkin saja memperluas ruang variasi-seleksi (ruang penelitian) dengan cara, misalnya, mengembangkan relasi-relasi dengan peneliti-peneliti di perguruan tinggi, di lembaga penelitian asing atau pelaku-pelaku yang lainnya. Tetapi hal ini dapat berakibat peneliti tersebut mengalami kesulitan untuk merespons kebutuhan kolega-koleganya di direktorat-direktorat teknikal. Secara umum, kemajuan dari penelitian dan kemajuan dari kegiatan teknikal tidak bisa dinilai dengan tolok ukur yang sama. Perbedaan tolok ukur ini dapat dualitas dalam kriteria penilaian hasil-hasil kegiatan dalam sebuah kementerian. Misalnya, makalah ilmiah yang disusun oleh seorang peneliti balitbang mungkin saja bagus bila dinilai dengan tolok ukur orisinalitas dan kebaruan tetapi tidak relevan dengan kebutuhan di direktorat. Sebaliknya, suatu makalah ilmiah yang relevan dengan kebutuhan di direktorat belum tentu memiliki kebaruan. Permasalahan dualitas tersebut dapat diatasi melalui ko-ordinasi kegiatankegiatan dengan cara, misalnya, menetapkan objektif-objektif dan target-target
136
ke dalam inovasi
bersama. Sebagai ilustrasi, misalkan objektif dan target bersama tersebut adalah perbaikan kualitas lingkungan industri dan tersedianya standar-standar lingkungan. Di sini, kegiatan-kegiatan penelitian diarahkan untuk menjawab berbagai permasalahan yang berkaitan dengan perbaikan kualitas lingkungan industri dan standar-standar praktis yang relevan. Kegiatan-kegiatan penelitian ini membutuhkan variasi-seleksi, dan ini dapat ditempuh dengan menjalin relasi dengan para peneliti di LPNK atau perguruan tinggi. Tetapi arah dari perkembangan penelitian ini perlu ditetapkan dan dikawal bersama-sama dengan melibatkan para pelaku di direktorat-direktorat yang terkait. Selain ini, para peneliti di balitbang juga perlu, sampai batas tertentu, terlibat dalam kegiatan-kegiatan teknikal yang diselenggarakan oleh direktorat-direktorat. Dalam diskusi di akhir Bab 3, telah disampaikan pentingnya interaksiinteraksi bagi keberhasilan suatu penelitian di ‗laboratorium masyarakat‘. Para peneliti dan calon pengguna hasil penelitian perlu berinteraksi sejak tahapan awal dari penelitian untuk secara bersama-sama menetapkan kebutuhan dan mengevaluasi alternatif-alternatif solusi. Bagi penelitian di balitbang, calon pengguna hasil penelitian adalah para pelaku di direktorat, dan, yang tidak bisa diabaikan, publik itu sendiri. Suatu kementerian menghasilkan produk-produk untuk kebutuhan publik. Oleh karena ini, publik juga merupakan pengguna dari hasil penelitian di balitbang. Penuturan-penuturan para peneliti balitbang yang dikemukakan di bab ini memperlihatkan adanya perbedaan dalam interaksi-interaksi antara para peneliti dan para (calon) pengguna hasil penelitian. Ketika interaksi terjadi hanya di tahap akhir penelitian (misalnya di tahap evaluasi hasil kegiatan atau pada seminar untuk diseminasi), interaksi yang terjadi sangat terbatas. Tetapi kasus penelitian di sektor pertahanan memperlihatkan interaksi yang relatif erat. Di sini, pengguna akhir dari hasil penelitian adalah para personil TNI. Dalam kasus ini, para peneliti dan para personil TNI terlibat dalam interaksi yang erat dan sinambung untuk menentukan kebutuhan penelitian dan menguji hasil penelitian. Di sektor pertanian yang menjadi pengguna akhir adalah para petani dan konsumer hasil pertanian, dan di sektor industri yang menjadi pengguna akhir adalah para pengusaha, tenaga kerja industrial dan konsumer produk industrial.
transformasi penelitian
137
Di sektor-sektor seperti ini, pengguna hasil penelitian merupakan kelompokkelompok sosial (social groups) yang relatif beragam. Lebih jauh lagi, kompleksitas permasalahan publik dapat membawa implikasi bahwa pengguna hasil penelitian itu bercirikan lintas-sektoral. Misalnya, pengguna hasil penelitian lingkungan industri mencakup juga para warga penduduk yang berhuni di sekitar kawasan industri. Keragaman kelompok-kelompok pengguna ini pada gilirannya menimbulkan tantangan tersendiri dalam pengembangan interaksi-interaksi. Jadi, permasalahan dualitas di balitbang diatasi dengan cara mempererat interaksi antara para peneliti di balitbang dan pelaku-pelaku lain di direktoratdirektorat dan para pengguna akhir hasil penelitian. Para peneliti balitbang dapat mendampingi para pelaku di direktorat-direktorat dalam pelaksanaan program-program teknikal di masyarakat. Dari sini, peneliti balitbang dapat merumuskan isu-isu/pertanyaan-pertanyaan penelitian yang relevan bagi keberhasilan program-program tersebut. Sebaliknya, para pelaku di direktoratdirektorat dapat mendampingi para peneliti balitbang untuk mengetahui temuan-temuan penelitian, dan menerjemahkannya ke dalam program-program teknikal. Pada prinsipnya, interaksi yang lebih erat antara peneliti balitbang dan pelaku direktorat dapat dikembangkan dan hal ini akan meningkatkan relevansi dari penelitian balitbang. Pada Gambar 4.1 diilustrasikan (dengan penyederhanaan-penyederhanaan) perbedaan pola interaksi antara para peneliti di balitbang dan para pelaku di direktorat. Hanya saja, dalam realitas praktikal, pengembangan interaksi (seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4.1b) memerlukan sistem administrasi yang sesuai. Bila sistem administrasi yang berlaku menempatkan para peneliti balitbang dan pelaku direktorat dalam ‗kotak-kotak‘ kelembagaan yang kaku dan rijid, interaksi-interaksi yang erat sulit dikembangkan dan ruang variasi-seleksi menjadi terbatas.
138
ke dalam inovasi Pembuat Kebijakan/ Program Pelaku Direktorat
Tupoksi Struktural Program Litbang
Program Teknikal Penerima Layanan Publik (Masyarakat)
Peneliti Balitbang
Masyarakat Ilmiah Bidang X
Jurnal Ilmiah Bidang X
Gambar 4.1a Ruang Variasi-Seleksi yang Terbatas Pembuat Kebijakan/ Program Pelaku Direktorat
Tupoksi Struktural Program Litbang
Program Teknikal
Peneliti Balitbang
Masyarakat Ilmiah Bidang X
Penerima Layanan Publik (Masyarakat)
Jurnal Ilmiah Bidang X
Gambar 4.1b Perluasan Ruang Variasi-Seleksi 4.5.2
Posisi Penelitian LPNK
Penuturan para peneliti yang dipaparkan di bab ini menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan penelitian di lembaga-lembaga non-kementerian memiliki
transformasi penelitian
139
orientasi yang berbeda-beda, dan ruang variasi-seleksi di lembaga-lembaga ini relatif luas. Terdapat kegiatan-kegiatan penelitian yang bertujuan pengembangan dan konservasi pengetahuan, atau penelitian untuk pengujianpengujian teknologi, ataupun penelitian yang merespons kebutuhan pengguna di industri-industri tertentu. Para peneliti yang melakukan penelitian untuk merespons kebutuhan industri tampaknya berinteraksi secara relatif erat dengan mitra-mitra dari industri. Penuturan tersebut juga mengungkapkan bahwa pemanfaatan hasil penelitian merupakan isu yang makin menjadi perhatian di kalangan para peneliti. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, suatu kementerian teknikal memiliki kewenangan untuk menyediakan regulasi dan sarana/pra-sarana untuk menjawab masalah publik di sektor pembangunan tertentu. KRT, dan lembaga-lembaga penelitian non-kementerian di bawah koordinasi KRT, bergerak di sektor penelitian. Pada umumnya yang disediakan oleh KRT dan lembaga-lembaga penelitian non-kementerian adalah hasil-hasil penelitian baik dalam bentuk makalah ilmiah, rancangan teknologikal (technological design), maupun rancangan kesisteman (system design) sebagai hasil kajian-kajian sosial, politikal atau ekonomik. Pertanyaan yang krusial di sini adalah: bagaimana produk yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian non-kementerian dibedakan dari produk yang dihasilkan oleh direktorat-direktorat di kementerian teknikal? Sebagai ilustrasi, kementerian industri, misalnya, memiliki kewenangan untuk menyediakan alat-alat produksi untuk kepentingan publik. BPPT pun memiliki kemampuan untuk meneliti, mengembangkan dan melakukan rancang-bangun alat-alat produksi untuk kepentingan publik. Kedua produk ini berbeda, atau seharusnya dibedakan. Produk yang disediakan oleh kementerian industri adalah alat-alat produksi itu sendiri. Tetapi produk yang disediakan oleh BPPT, pada intinya, adalah pengetahuan yang terkandung dalam rancangbangun. Dengan perkataan lain, KRT dan lembaga-lembaga penelitian di bawah koordinasinya bekerja untuk mengembangkan pengetahuan di ranah publik. Apakah penelitian di lembaga-lembaga penelitian non-kementerian dapat dilakukan dengan cara atau orientasi yang sama dengan penelitian di perguruan tinggi? Di perguruan tinggi, kegiatan penelitian terpaut dengan pengajaran dan pendidikan. Perguruan tinggi, meski dapat melakukan penelitian dengan
140
ke dalam inovasi
intensitas yang sangat tinggi, pada prinsipnya merupakan lembaga pendidikan yang menghasilkan sarjana-sarjana. Lembaga penelitian non-kementerian tidak bertugas menyelenggarakan pendidikan, tetapi menyelenggarakan penelitian untuk merespons permasalahan publik. Dikarenakan adanya perbedaan tugas/fungsi pokok ini, seharusnya terdapat perbedaan cara atau orientasi penelitian di kedua lembaga tersebut. Kualitas pengetahuan dan kompetensi yang dimiliki para sarjana dapat dijadikan salah satu tolok ukur bagi kinerja perguruan tinggi. Untuk lembagalembaga penelitian non-kementerian, atas dasar apa tolok ukur kinerja tersebut disusun? Bila KRT dan lembaga-lembaga penelitian di bawah koordinasinya merupakan lembaga-lembaga yang merespons permasalahan publik, tolok ukur seperti apa yang memadai sebagai panduan dalam pelaksanaan tugas tersebut? Apakah jumlah dan kualitas publikasi ilmiah merupakan tolok ukur yang memadai bagi lembaga penelitian non-kementerian? Sebuah jawaban yang dapat ditawarkan di sini adalah bahwa keberhasilan dari lembaga-lembaga penelitian dinilai atas dasar relevansi publik (public relevance) dari hasil-hasil penelitian, selain, tentu saja, aspek keilmiahan dari hasil-hasil penelitian tersebut. Suatu kegiatan penelitian dikatakan memiliki relevansi publik bila, kegiatan tersebut terpaut erat dengan permasalahan publik tertentu, dan hasil dari penelitian tersebut penting untuk menjawab permasalahan publik tersebut. Jadi, relevansi publik dari kegiatan penelitian dapat diukur berdasarkan ‗nilai tambah‘ yang ditimbulkan oleh penelitian tersebut di ranah publik. Nilai tambah tersebut dapat berupa nilai tambah ekonomik, nilai tambah politikal, nilai tambah sosial ataupun nilai tambah lingkungan. Bila pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan posisi penelitian di KRT dan lembaga-lembaga penelitian non-kementerian tidak dijawab secara memadai, menjadi sulit peranan lembaga-lembaga tersebut didefinisikan. Hal ini pada gilirannya akan menimbulkan kesulitan bagi KRT untuk menjalankan fungsi koordinasi. Lebih jauh mengenai posisi penelitian di lembaga-lembaga penelitian non-kementerian, peranan lembaga-lembaga tersebut, dan fungsi koordinasi KRT akan dibahas di Bab 7.
transformasi penelitian
4.5.3
141
Peranan Pelaku Swasta
Penuturan para pelaku swasta yang dipaparkan di bab ini menggambarkan adanya konteks di mana hasil penelitian dibutuhkan. Hasil penelitian tersebut dibutuhkan untuk melakukan diferensiasi atau pembedaan produk. Dalam kasus perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan, penelitian dibutuhkan untuk melakukan adaptasi produk terhadap situasi dan keadaan konsumer lokal. Pada dasarnya produk yang dipasok oleh perusahaan tersebut diperoleh melalui impor. Untuk tujuan adaptasi tersebut, kerja sama dengan perguruan tinggi domestik/lokal menjadi relevan. Dalam kasus perusahaanperusahaan yang bergerak di sektor pertahanan, kebutuhan akan hasil penelitian tumbuh dikarenakan tidak tersedianya produk (secara bebas) di pasar. Kebutuhan teknologi di lembaga pertahanan bersifat sangat khusus. Jadi, kalau pun tersedia produk-produk yang relevan di pasar, produk-produk tersebut belum tentu menjawab kebutuhan yang khusus tersebut. Situasi demikian memunculkan kebutuhan akan penelitian dan pengembangan iptek. Penuturan-penuturan para pelaku di bidang pertahanan tersebut juga mengungkapkan pentingnya peranan perusahaan kecil/menengah. Perusahaanperusahaan tempat mereka bekerja merupakan perusahaan yang berskala kecil/menengah, tetapi memiliki tenaga kerja dengan tingkat pengetahuan dan kemampuan rancang-bangun yang tinggi. Perusahaan-perusahaan seperti ini mampu menerjemahkan kebutuhan pengguna (dalam hal ini pihak Kementerian Pertahanan) ke dalam rancangan-bangun teknologikal, dan pada saat yang sama juga mampu menggali hasil-hasil penelitian dari perguruan tinggi. Dengan perkataan lain, perusahaan kecil/menengah seperti ini berperanan sebagai simpul bagi pengembangan relasi-relasi triple-helix yang melibatkan perguruan tinggi, perusahaan dan Pemerintah (lihat pembahasan mengenai konsep triplehelix di Bab 2). Peranan perusahaan swasta seperti ini tampaknya krusial dalam perluasan ruang variasi-seleksi dan transformasi penelitian iptek (di perguruan tinggi) ke dalam bentuk-bentuk yang sesuai dengan situasi yang dihadapi oleh pengguna (yaitu lembaga pertahanan).[]
142
ke dalam inovasi
transformasi penelitian
143
Bab 5 EKSPERIMEN DI ‗LABORATORIUM MASYARAKAT‘
5.1. Pendahuluan
Dalam model linier inovasi, sebagaimana didiskusikan di Bab 2, diasumsikan bahwa transformasi penelitian ke dalam inovasi melibatkan langkah-langkah untuk mengalirkan pengetahuan. Di hulu aliran terdapat penelitian dasar, sementara di hilir aliran hasil penelitian tersebut digunakan atau diadopsi di masyarakat. Upaya adopsi suatu hasil penelitian tentu saja tidak terjadi di laboratorium, di kampus ataupun di lembaga penelitian. Adopsi hasil penelitian berlangsung dalam situasi-situasi praktikal di masyarakat—di ‗laboratorium masyarakat‘59. Pembahasan di bab ini berfokus pada dua kasus upaya pemanfaatan hasil penelitian iptek di masyarakat. Kedua kasus tersebut adalah: (i) upaya untuk memberikan basis ilmiah bagi pengambilan keputusan hukum atas kasus semburan Lumpur Panas di Jawa Timur (disebut Lumpur Lapindo oleh sebagian kalangan, dan Lumpur Sidoarjo oleh sebagian yang lainnya); (ii) upaya untuk membawa hasil penelitian dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ke masyarakat perdesaan. Menggunakan istilah dalam Rogers (2003), kedua kasus ini dapat dipandang sebagai upaya difusi iptek, yaitu difusi fakta ilmiah (kasus yang pertama) dan difusi devais-devais TIK (kasus yang ke dua). 59
Istilah „laboratorium masyarakat‟ ini digunakan oleh para peneliti yang penuturannya dipaparkan di sub-bab 3.4. Penggunaan istilah ini menyarankan bahwa pemanfaatan iptek di masyarakat melibatkan relasi-relasi yang kompleks dan ketidakpastianketidakpastian, layaknya sebuah eksperimen di laboratorium.
144
ke dalam inovasi
Tujuan pembahasan di sini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai situasi di ‗hilir‘, tempat terjadinya difusi iptek, dengan memusatkan perhatian pada: (i) interaksi antara para peneliti dan pelaku-pelaku non-peneliti yang terlibat dalam difusi iptek; dan (ii) pola-pola relasi yang terjalin seiring dengan inisiatif difusi iptek. Pembahasan dalam bab ini memanfaatkan, secara parsial, bahan empirikal yang dihasilkan dalam kajian-kajian terdahulu yang dilaporkan dalam Susanto (2008), Srimarga (2008) dan Rivai (2010). 5.2. Kontroversi Fakta Ilmiah dalam Sengketa Hukum Salah satu arena dalam kehidupan bermasyarakat di mana peranan iptek bersifat krusial adalah arena hukum, khususnya ketika terjadi sengketa. Dalam sebuah lembaga penegak hukum, lazimnya terdapat laboratorium forensik yang sarat dengan iptek. Di laboratorium forensik iptek merupakan alat yang sangat penting bagi aparat penegak hukum untuk dapat mengungkapkan fakta hukum. Tetapi ketika terjadi sengketa hukum, peranan iptek menjadi lebih penting daripada sebatas alat. Fakta ilmiah (scientific fact) yang diungkapkan oleh seorang peneliti menyediakan basis bagi rekonsiliasi pihak-pihak yang bersengketa. Dalam situasi sengketa hukum, proses pengungkapan fakta ilmiah (scientific fact) tidak hanya perlu bersifat ilmiah, tetapi juga perlu terpercaya (credible) bagi pihak-pihak yang tengah bersengketa. Di sini, para peneliti yang terlibat dalam pengungkapan fakta ilmiah harus dipastikan berada dalam posisi yang independen (non-partisan). Kerusakan lingkungan sering menjadi sumber timbulnya sengketa hukum, terlebih lagi bila hal ini memiliki dampak sosial yang meluas. Ketika sengketa terjadi berlarut-larut, menjadi sulit dicapai kesepakatan untuk menanggulangi kerusakan lingkungan dan dampak sosialnya tersebut. Isu-isu yang mungkin dipersengketakan adalah, misalnya: apakah memang telah terjadi kelingkungan ataukah tidak; apakah dampak sosial yang timbul disebabkan oleh kerusakan lingkungan semata ataukah disebabkan juga oleh faktor-faktor yang lain; apakah penyebab kerusakan lingkungan tersebut; siapakah pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kerusakan lingkungan tersebut; siapakah
transformasi penelitian
145
pihak yang menanggung risiko dari kerusakan lingkungan tersebut. Iptek dibutuhkan untuk menjawab semua isu ini. Semburan lumpur panas di Jawa Timur yang terus meluas sejak pertengahan tahun 200660 merupakan contoh dari masalah lingkungan yang menimbulkan sengketa hukum yang berkepanjangan. Meski pihak kejaksaan telah menempuh langkah-langkah untuk membuat keputusan hukum, masih terjadi persengketaan antara sejumlah pihak berkenaan dengan sebab terjadinya semburan lumpur panas61 tersebut, dan siapa pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Para peneliti, baik dari perguruan tinggi 62 maupun lembaga penelitian publik, telah terlibat untuk memberikan penjelasan ilmiah atas terjadinya semburan lumpur panas tersebut. Sebagian dari para peneliti tersebut bekerja atas dasar penugasan oleh Pemerintah, sebagian bekerja sebagai konsultan ahli bagi pihak-pihak tertentu, dan sebagian yang lainnya bekerja secara suka rela. Hal yang menarik dalam kasus sengketa semburan lumpur panas ini adalah bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para peneliti tersebut menghasilkan bukan satu fakta ilmiah, melainkan beberapa fakta ilmiah yang saling bertentangan. Berikut ini dipaparkan tiga dari fakta-fakta ilmiah yang dihasilkan oleh para peneliti, dan hasil wawancara dengan para peneliti yang mendukung masing-masing fakta ilmiah tersebut. Fakta ilmiah yang pertama adalah fakta underground blowout di Sumur Banjarpanji-1—disingkat fakta 60
Menurut pemberitaan sejumlah surat kabar, semburan lumpur panas pertama kali terjadi pada Senin, 29 Mei 2006, sekitar pukul 5.30 WIB, di lahan sawah seorang warga desa Siring, Kecamatan Porong. Lokasi semburan tersebut berjarak sekitar 150 meter barat daya dari lokasi rig pemboran Sumur Banjarpanji-1. Pada Rabu dan Kamis (1 dan 2 Juni 2006) muncul semburan kedua sekitar 150 meter timur laut dari titik semburan pertama, dan semburan ketiga sekitar 300 meter timur laut dari titik semburan kedua. Beberapa hari kemudian semburan yang pertama makin besar debitnya, dan mulai menggenangi area persawahan dan permukiman di sekitarnya. 61 Sengketa yang terjadi menimbulkan penamaan yang berbeda terhadap lumpur panas vulkanik tersebut. Sebagian kalangan menyebutnya lumpur Lapindo (Lula), sebagian kalangan yang lainnya menyebutnya lumpur Sidoardjo (Lusi). 62 Dalam beberapa tahun belakangan, sejumlah peneliti dari perguruan-perguruan tinggi di mancanegara telah turut berperan serta, meski kehadiran mereka juga tidak berhasil mengakhiri sengketa.
146
ke dalam inovasi
UGBO; yang ke dua fakta mud volcano yang disebabkan gempa (earthquake) Yogyakarta—fakta MV-earthquake; dan yang ke tiga fakta mud volcano yang disebabkan drilling—fakta MV-drilling. Pemaparan di sini tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan mengenai penyebab dari terjadinya lumpur panas tersebut di atas. Fokus pemaparan di sini adalah pada perbedaan pola variasi-seleksi63 yang dikembangkan para peneliti untuk menjelaskan penyebab terjadinya semburan lumpur panas tersebut. Berkaitan dengan perbedaan faktafakta ilmiah tersebut, sebagian kalangan peneliti menyebut lumpur panas yang menyembur sejak akhir Mei 2006 di kecamatan Porong, Jawa Timur, sebagai Lumpur Lapindo (Lula) dan sebagian kalangan yang lain menyebutnya sebagai Lumpur Sidoarjo (Lusi). Dalam pembahasan berikut ini, akan digunakan istilah Lumpur Panas (bisa disingkat Luna). 5.2.1
Fakta UGBO
Sebagaimana disebutkan di atas, sebagian kalangan peneliti membuat pernyataan ilmiah (scientific statement) bahwa semburan lumpur panas di Jawa Timur merupakan fenomena underground blowout64. Seorang peneliti yang terlibat dalam pengungkapan fakta UGBO memberikan penuturan sebagai berikut: Mengapa saya tidak pertentangkan antara investigasi dengan hipotesa? Karena investigasi ini ada dasarnya dari fakta, dari hasil daily drilling report, yang kemudian kami kenal, atau diistilahkan seperti black box-nya itu. Sedangkan teman-teman kita yang lain yang berhipotesa, melihat kejadian itu sebagai 63
Pembahasan mengenai penelitian sebagai variasi-seleksi (kognitif) telah diberikan di akhir Bab 3 buku ini. 64 Menurut pemaparan kelompok peneliti yang terkait, UGBO merupakan gejala mengalirnya fluida dalam kuantitas yang tidak terkendalikan, dari suatu zona ke zona lain yang memiliki permeabilitas dan porositas yang lebih tinggi. UGBO dapat terjadi karena, antara lain, terbentuknya zona retak (fractured zone) di sekitar casing shoe dari suatu instalasi pengeboran. UGBO dapat terjadi melalui: surface blowout (fluida sampai ke permukaan tanah lewat lubang sumur); dan subsurface blowout (fluida sampai ke permukaan tanah melalui rekahan-rekahan pada lapisan bumi di sekitar lubang sumur).
transformasi penelitian
147
sebuah similarities dengan kejadian di tempat lain. Jadi, oleh karena itu bagi saya ini bukan pertandingan antara dua ilmu. Yang satu adalah hipotesa, yang satu adalah fakta! … kalau ada sebuah pesawat jatuh, orang boleh berbicara karena angin, karena halilintar dan sebagainya, boleh saja. Tapi ketika diketemukan black box-nya mengatakan bahwa itu karena pilot, apakah itu tetap kita mau pertandingkan?65 Dalam penuturan ini, peneliti tersebut memberikan gambaran mengenai cara-cara bagaimana ia melakukan penelitian. Selain ini, peneliti tersebut juga menyampaikan kritik terhadap kelompok peneliti yang lain. Ungkapan ―… investigasi ini ada dasarnya dari fakta, dari hasil daily drilling report…‖ memberikan gambaran mengenai prinsip yang dipegang oleh peneliti tersebut bahwa penelitian didasarkan pada fakta. Daily drilling report merupakan seperangkat instrumentasi yang digunakan peneliti tersebut sebagai sumber fakta. Arti penting daily drilling report bagi peneliti tersebut ia ungkapkan melalui pernyataan ― … seperti black box-nya…‖. Istilah black-box lazim digunakan di bidang penerbangan. Ini merupakan seperangkat instrumentasi yang dipasang di kokpit pesawat terbang, dan berfungsi merekam berbagai kondisi terbang pesawat. Peneliti tersebut memperbandingkan posisi fakta ilmiah yang ia usung terhadap posisi fakta ilmiah yang diusung kelompok peneliti lain lewat ungkapan ―… teman-teman kita yang lain yang berhipotesa, melihat kejadian itu sebagai sebuah similarities … bagi saya ini bukan pertandingan antara dua ilmu. Yang satu adalah hipotesa, yang satu adalah fakta! …‖. Dengan memposisikan daily drilling report sebagai sumber fakta, peneliti ini menyusun semacam rekonstruksi atas serangkaian peristiwa yang mendahului terjadinya semburan lumpur vulkanik di sekitar Sumur Banjarpanji-1. Rekonstruksi ini mengacu pada data daily drilling report yang terkait dengan formasi tanah, kondisi pemboran, dan karakteristik bebatuan. Berdasarkan rekonstruksi ini, ia berargumentasi bahwa semburan lumpur vulkanik 65
Penuturan ini dikutip dari transkrip rekaman presentasi di seminar “Diskusi Pakar Bersama Publik; Mengurai Lumpur Lapindo dan Solusinya”, yang diselenggarakan Walhi, Jatam, ICEL, YLBHI, dan Elsam di Hotel Bumi Karsa, Jakarta, tanggal 29 Januari 2008.
148
ke dalam inovasi
disebabkan oleh terjadinya kick66 yang kemudian menimbulkan keretakan batuan formasi di bawah casing shoe. Sebagai akibat lebih jauh, menurutnya, fluida bertekanan tinggi menerobos ke atas dan keluar ke permukaan bumi. Penuturan berikut ini memberikan gambaran mengenai argumentasi yang disusun peneliti tersebut: Nah, mari kita lihat. Selama tekanan di permukaan tidak naik melebihi 316. Apa itu 316? Maximum Allowable Surface Pressure atau maksimum tekanan di permukaan yang diperbolehkan … Kalau di kedalaman yang lain … tekanannya 330. Artinya, teman-teman di lapangan tidak boleh membuat atau menghandle sumur ini apabila tekanan di permukaan melebihi tekanan ini. Apa yang terjadi? Di dalam investigasi yang saya miliki ternyata tekanannya cukup tinggi. Ini saya peroleh dari polisi datanya! Kemudian data itu kita test, di sini adalah 620, di sini 1.054. Kalau saya gambarkan, saya hitungkan bahwa tadi tekanan yang diperbolehkan 316-330, ternyata kedalaman 3.584 di atas 330. Berarti apalagi 1.054, berarti bahwa rekahan terjadi! Apa tidak cukup sederhana kita melihat bahwa ini terjadi di lubang yang sedang dibor?! Sangat sederhana! 67 Mengenai fakta mud volcano yang diusung oleh kelompok-kelompok peneliti yang lain, peneliti tersebut memberikan penyangkalan sebagai berikut: … Tapi jika ini mud vulcano, itu sebuah ‗bisul‘ yang bertekanan tinggi, yang kalau ditusuk ia keluar, tidak akan pernah turun! Wong tekanannya masih tinggi. Akan keluar, tidak akan pernah
66
Masuknya fluida formasi ke dalam lubang sumur akibat tekanan fluida formasi lebih besar dari pada tekanan lumpur pemboran yang disirkulasikan dalam lubang sumur (beda tekanan hidrostatis). Untuk menangani kick, tekanan hidrostatis permukaan dan bawah permukaan ini diseimbangkan, salah satunya dengan meningkatkan densitas lumpur pemboran. 67 Penuturan ini dikutip dari transkrip rekaman pembicaraan peneliti yang terkait dalam seminar “Diskusi Pakar Bersama Publik; Mengurai Lumpur Lapindo dan Solusinya”, yang diselenggarakan oleh Walhi, Jatam, ICEL, YLBHI, dan Elsam di Hotel Bumi Karsa, Jakarta, pada tanggal 29 Januari 2008.
transformasi penelitian
149
turun! Data sekarang menunjukkan sudah turun beberapa meter di bagian tengahnya. Fakta apalagi yang harus kita cari?! 68 Peneliti pengusung fakta UGBO ini, pada awalnya dipercaya sebagai ketua tim investigasi yang dinamai Tim Investigasi Independen Masalah Semburan Lumpur di Sekitar Sumur Banjarpanji-1. Tim tersebut dibentuk oleh Kementerian ESDM, dan beranggotakan para ahli geologi, ahli geofisika, serta ahli pemboran sejumlah perguruan tinggi. Setelah kurang lebih dua minggu tim tersebut bekerja, tim tersebut sampai pada kesimpulan bahwa semburan lumpur merupakan fenomena UGBO. Ketika Pemerintah Pusat mengeluarkan Keppres No.13 Tahun 2006 tentang pembentukan sebuah tim nasional, peneliti tersebut diperbantukan untuk mematikan semburan lumpur, bukan untuk melakukan investigasi. Setelah sekitar enam bulan tergabung di tim nasional ini, peneliti tersebut mengundurkan diri. Bersama pihak-pihak yang lain, peneliti tersebut pada tahun 2007 menulis dan mempublikasi sebuah buku dengan judul ―Kejadian dan Penanggulangan Semburan Lumpur di Sekitar Sumur Banjarpanji-1 Lapindo Brantas Inc.‖ Pada bulan Februari tahun 2008, bertempat di Gedung Nusantara V DPR-MPR, peneliti tersebut bersama dengan sejumlah peneliti lain, sejumlah LSM, dan sejumlah warga serta tokoh masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi semburan lumpur mendeklarasikan Gerakan Menutup Lumpur Lapindo. 5.2.2
Fakta MV-earthquake
Kelompok peneliti yang mengusung fakta mud volcano akibat gempa bumi adalah kelompok yang dalam penuturan peneliti terdahulu (pengusung UGBO) disebut sebagai ―… teman-teman kita yang lain yang berhipotesa…‖. Kelompok peneliti ini menelusuri hubungan antara peristiwa semburan lumpur vulkanik dan gempa bumi yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Seorang peneliti dari kelompok ini memberikan gambaran sebagai berikut:
68
Penuturan ini dikutip dari transkrip rekaman presentasi di seminar “Diskusi Pakar Bersama Publik; Mengurai Lumpur Lapindo dan Solusinya”
150
ke dalam inovasi
Memahami semburan lumpur Sidoarjo tidaklah lebih mudah seperti apa yang kita pikirkan. Karena kita berhadapan antara fakta dan teori. Selain itu juga, bahwa pendekatan ini harus bersifat multiperspektif. Namun, satu hal yang harus kita pahami adalah bahwa perspektif geologi adalah sebuah perspektif yang paling awal yang kita harus pahami. Jika pemahaman kita pada teori yang benar, akan membawa kita pada penanganan yang benar. Saya pernah terlibat dalam tim investigasi dari IAGI dari bulan Juni sampai September 2006. Karena itu data ini saya dapatkan ketika saya pernah di dalam tim. Memahami fenomena yang berasal dari bawah permukaan bumi memang merupakan bagian dari pekerjaan geologis. Oleh karena itu semburan lumpur sidoarjo hanya dapat dipahami, setidaknya, oleh para ahli geologi…69 Dalam ungkapan ―… kita berhadapan antara fakta dan teori. …‖ peneliti ini menempatkan kelompoknya dan kelompok pendukung fakta UGBO pada posisi yang berhadapan. Peneliti tersebut menekankan peranan penting dari teori, sementara kelompok pendukung fakta UGBO berpegang pada data, yaitu daily drilling report. Ia menegaskan posisi kelompoknya lewat ungkapan ―… pendekatan ini harus bersifat multiperspektif. … satu hal yang harus kita pahami adalah bahwa perspektif geologi adalah sebuah perspektif yang paling awal yang kita harus pahami … Memahami fenomena yang berasal dari bawah permukaan bumi memang merupakan bagian dari pekerjaan geologis...‖. Ia sendiri merupakan seorang ahli geologi yang memiliki hubungan dengan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Jika peneliti yang mengusung fakta UGBO berpegang erat pada instrumentasi yang berada di lokasi pemboran, peneliti yang mengusung fakta MV-earthquake bersandar pada perspektif teoretikal, yakni perspektif keilmuan geologi. Kelompok pendukung fakta MV-earthquake berargumen bahwa semburan lumpur panas di Sidoarjo (Lusi), Lumpur Siring, atau Lumpur 69
Penuturan ini dikutip dari transkrip rekaman presentasi di seminar “Mencari Solusi Dampak Lumpur Sidoarjo; Perspektif Teknik, Sosial dan Ekonomi” (Seraton Hotel Surabaya, 28/02/08)
transformasi penelitian
151
Porong, adalah fenomena mud volcano yang dipicu oleh gempa Yogyakarta tanggal 27 Mei 2006. Kelompok ini merujuk pada kelurusan geografis antara beberapa mud volcano yang sebelumnya sudah ada di Jawa Timur (yaitu di Karang Anyar, Pulungan, Gunung Anyar, dan Bujel Tasik), dan semburan lumpur panas ini dan sesar Watu Kosek, yang diyakini mengalami reaktivasi oleh goncangan gempa Yogyakarta. Dari kelurusan geografis tersebut ditafsirkan adanya rangkaian sebab-akibat yang menimbulkan semburan dalam suatu sesar kawasan. Semburan ini keluar ke permukaan bumi dikarenakan tekanan hidrostatik serta sesar-sesar kecil yang memotong sesar kawasan tersebut. Berikut ini penuturan seorang peneliti dari kelompok pengusung fakta MVearthquake: Sesar regional di wilayah ini adalah strike-slip berarah Barat Daya-Timur Laut yang memotong sampai ujung barat Madura, dan ke selatan sampai ke Pegunungan selatan … Yang tengah terjadi di Sumur Banjarpanji adalah ekstrusi liquefied clay yang berasal dari Upper Kalibeng clay di kedalaman 4000-6000 feet, yang terlikuifikasi akibat clay tersebut mengalami sediment failures, kehilangan shear strength-nya, kehilangan bearing capacity-nya. Semburan terjadi karena liquefied clay ini punya tekanan hidrostatik dan pore pressure. Lapisan liquefied clay ini terpotong-potong sesar-sesar kecil yang sampai ke permukaan. Sesar-sesar ini adalah vents. Sekali menemukan vents maka akan terjadi release pressure agar terjadi equilibrium. Suatu liquefaction akan mengalami tiga macam failures : lateral spreads, flow failures, loss of bearing strength. Ini semua telah terjadi di Banjarpanji. … Semua kasus liquefaction yang pernah dilaporkan terjadi dan pernah ditulis di paper-paper atau textbook adalah karena adanya sudden cyclic shocks/sudden cyclic loads. Gempa adalah penyebab utama. Penyebab lain bisa storm waves, rock slides, influx ground water yang tiba-tiba… saya percaya gempa Yogya mereaktivasi sesar-sesar di atas Prupuh di sekuen Mio-Pliosen sampai Plistosen…di Yogyakarta, dilaporkan juga di rekahan-rekahan baru yang merentang di jalan-jalan raya dan wilayah perumahan
152
ke dalam inovasi
penduduk, terjadi ekstrusi lumpur. Liquefaction adalah gejala biasa suatu gempa…70. Penuturan ini tentu saja tidak mudah untuk dicerna oleh mereka yang tidak akrab dengan istilah-istilah teknis yang lazim digunakan dalam literatur di bidang geologi. Penuturan tersebut tampaknya memang menggambarkan sebuah perspektif teoretikal, yang menelusuri keterkaitan antara fenomena gempa Yogyakarta, semburan lumpur di Jawa Timur, dan fenomena-fenomena yang dilaporkan dalam literatur geologi. 5.2.3
Fakta MV-drilling
Kelompok peneliti yang ke tiga adalah yang mendukung fakta bahwa semburan lumpur merupakan mud volcano yang dipicu oleh kegiatan pemboran. Kelompok ini, seperti halnya kelompok pengusung fakta UGBO, menggunakan daily drilling report. Tetapi mereka menggabungkan ini dengan kondisi geologi kawasan, yaitu data sebaran mud volcano di Jawa Timur. Berdasarkan kedua sumber data ini mereka mengkategorikan semburan lumpur panas di Jawa Timur sebagai hot mud-spring atau mud-geyser. Penuturan peneliti berikut ini memberikan gambaran mengenai argumentasi yang dipegang: Banyak orang mengemukakan pendapat, tapi yang harus dipersoalkan itu apa mereka punya data atau tidak? ... Orang boleh saja berpendapat, tapi kalau tidak ada dasar datanya, bagaimana ya..? Kita bisa katakan itu hipotesa barang kali? … Data sendiri itu apa? Data itu ada yang bisa kita amati sendiri, ada juga data berdasarkan pengamatan orang lain (kesaksian). Kalau kesaksian itu akan ditulis dalam laporan... bisa juga orang berdasarkan pengamatan sepintas, ke sana melihat, bisa dilihatnya seketika. Mungkin ada orang melihatnya beberapa kali ke sana. Sehingga bisa disimpulkan urutan-urutan kejadian yang disebut narasi. Kemudian bisa juga mengamati gejala di permukaan, tidak pernah melihat data di bawah permukaannya; merujuk kepada pekerjaan orang-orang lain mempunyai 70
Dikutip dari artikel peneliti terkait yang dimuat di situs www.WordPress.com
transformasi penelitian
153
kesimpulan dari gejala yang sama dengan asumsi. Harus dipertanyakan apakah asumsi itu benar? Kita lihat fakta-fakta. Faktanya: pada tanggal 27 Mei 2006 pagi ada gempa; faktanya dari kesaksian BMG dengan pengukuran peralatan skala richternya adalah 6,3; terjadi semburan lumpur dengan jarak sekitar 270 km dari Yogya; di dekat semburan ada pengeboran Lapindo; diakui ada permasalahan-permasalahan pemboran di BP-1; data kondisi geologi berdasarkan kajian sebelumnya, seperti data Sumur Porong-1; data daily drilling report; data geologi permukaan71. Penuturan ini menggambar adanya upaya melakukan rekonsiliasi antara fakta UGBO dan fakta MV-earthquake. Dalam ungkapan ―… Orang boleh saja berpendapat, tapi kalau tidak ada dasar datanya, … itu hipotesa barang kali? … Data sendiri itu apa? Data itu ada yang bisa kita amati sendiri, ada juga data berdasarkan pengamatan orang lain (kesaksian). … ‖ peneliti tersebut mengakui peranan penting dari data, tetapi pada saat yang sama ia mencoba memberikan definisi data yang lebih luas. Peneliti tersebut juga menyandingkan data dan fakta, meski ia tidak menjelaskan apakah kedua hal ini sama atau berbeda. Fakta-fakta yang ia sebutkan mencakup daily drilling report dan fakta-fakta geologi kawasan—data lokal dan fakta kawasan. Dengan cara demikian, ia menggabungkan argumentasi kelompok pendukung fakta UGBO dan kelompok pendukung fakta MV-earthquake. Berkenaan dengan fenomena mud volcano, peneliti tersebut memberikan penuturan sebagai berikut: Dalam ilmu geologi, mud volcano itu sangat jarang sekali dibahas. Tidak ada buku, text book, yang membahas secara khusus... Ahliahlinya sangat jarang sekali…Di pulau Key itu dihebohkan ada pulau yang muncul ke permukaan laut. Saya datangi, memang lumpur hitam dengan berbagai bongkah muncul ke permukaan laut. Tapi tidak sejenis Lumpur Sidoarjo. Ini menyemburkan air, panas, ada uap. Di situ lumpurnya saja keluar membentuk pulau, lama-lama pulaunya juga kena air, itu hilang. Ini
71
Transkrip rekaman wawancara dengan peneliti yang terkait.
154
ke dalam inovasi
sebenarnya gunung api lumpur jenis yang disebabkan … mud extrusion. Tetapi saya dalam buku saya … membahas di situ bahwa gunung api lumpur itu ada macam-macam…Paling tidak ada dua jenis… Jenis pertama adalah karena disebabkan kebocoran… suatu lapisan yang mengandung air atau gas, bahkan minyak. Itu bocor ke permukaan. Kalau bocor maka lapisan air, minyak bertekanan tinggi … keluar menyembur, dan sepanjang jalan, karena merupakan rekahan, mereka itu membawa dari samping lapisan batuan bahan-bahan dari dinding, dari sampingnya itu keluar. Jadi waktu ia keluar itu sudah bercampur dengan bahan-bahan padat atau solid. Maka itu disebut lumpur…Yang berbentuk kerucut ini yang disebut gunung api lumpur. Kalau dia itu lebih banyak airnya yang keluar dari pada zat padatnya, maka lereng…gunung lumpur itu sangat landai...jenis ini, disebabkan kebocoran reservoir secara alami, itu biasanya berada di kedalaman dangkal, kurang dari 1.000 meter. Tetapi di dalam kasus Lapindo Brantas itu, kelihatannya itu bukan dari lapisan dangkal, tapi dari lapisan dalam…Karena…banyak sekali…keluar uap. Artinya uap itu berasal dari air yang mendidih… …Sedangkan kurang dari 6.000 kaki, maka temperaturnya juga sangat kurang dari…100 derajat… Laporan ilmiah geologi di mana pun di dunia bahwa temperatur dari kerak bumi itu makin ke bawah makin tinggi, yang disebut geothermal gradient. Tidak semua daerah mempunyai geothermal gradient sama… Nah,…kita mengetahui, daerah di mana terjadi sirkulasi yang hilang itu. Pada kedalaman pemboran itu temperaturnya sekitar 156 derajat. Jadi jelas kalau air itu datang dari sana, dia akan mendidih keluarnya, karena pada waktu 156 itu pada tekanan yang begitu tinggi, sekitar 7.000 psi, titik didih itu belum tercapai. Tetapi begitu lepas, maka menguaplah air menjadi uap. Maka…itu lebih saya sebutkan sebagai jenis mata air panas seperti di Ciater, tapi membawa lumpur…hot mud-spring; …jenis mud volcano, tapi jenis yang…permukaannnya paling landai.72 72
ibid; mud volcano juga disebutnya sebagai gunung api lumpur.
transformasi penelitian
155
Penuturan yang panjang ini menggambarkan suatu perspektif geologi. Tetapi peneliti tersebut tampaknya bersikap hati-hati dalam mengkategorisasikan mud volcano. Terjadinya mud volcano ini sendiri, menurut peneliti tersebut, terkait dengan gejala hydrofracturing yang dipicu oleh aktivitas pemboran di Sumur Banjarpanji-1. Ini digambarkan dalam penuturan sebagai berikut: Kita lihat, BP-1 itu sudah masuk ke dalam suatu reservoir…bertekanan tinggi, ada lost dan kick. Itu biasa terjadi di formasi Kujung… Di Sumur Porong juga kejadian itu. Hanya saja di Porong itu antisipasi sudah sesuai sehingga casing sudah dipasang… Nah, bahwasanya di situ ada lapisan bertekanan tinggi, yang sering menghasilkan shale extrusion, itu betul! Betul sekali! Itu…diketahui…pada kedalaman antara 4000 sampai 6000 kaki. Itu ada! Kelihatan!..Apakah airnya juga dari overpressure shale itu? Gak bisa begitu! Jadi airnya mungkin dari formasi Kujung di bawah, naik ke atas membawa lempung yang…dikasih warna coklat…, yang dikasih warna kuning…Itu air …yang membawa ke atas, mengerosi lempung-lempung yang ada di atasnya, dan itu terbukti semua, itu diakui sendiri… Dengan demikian sebetulnya … yang terjadi adalah kebocoran reservoir. Air membawah lumpur nyembur ke atas kemudian karena hydrofract dia memecahkan lapisanlapisan yang ada di atasnya dan keluarlah apa yang disebut mud vulcano ini. Rekan-rekan geologi kita … jarang yang mengetahui, mengkaji teori hydrofracturing, bahwa air bertekanan tinggi dari suatu reservoir, jika dia bocor ke permukaan, itu bisa meretakkan batuan. …dikalangan teknik pemboran itu biasa dilakukan; bahwa orang memasukkan air dengan memompa ini bisa meretakkan batuan.73 Meski sama-sama merujuk daily drilling report, argumentasi peneliti ini berbeda dengan apa yang diajukan oleh peneliti pengusung fakta UGBO. Peneliti UGBO berargumen bahwa semburan terjadi karena adanya kick yang
73
Dikutip dari transkrip rekaman presentasi oleh peneliti terkait di seminar “Mencari Solusi Dampak Lumpur Sidoarjo; Perspektif Teknik, Sosial dan Ekonomi”
156
ke dalam inovasi
melebihi harga ambang batas tekanan, sehingga meretakkan batuan formasi di lubang sumur yang tidak ber-casing, khususnya di bagian bawah casing shoe. 5.2.4
Implikasi Konflik Sosial dalam Difusi Iptek
Penuturan-penuturan para peneliti yang dikemukakan di bagian terdahulu menggambarkan adanya perbedaan pola-pola variasi-seleksi. Peneliti pengusung fakta UGBO dan peneliti pengusung fakta MV-earthquake berbeda dalam hal pilihan akan perspektif teoretikal, metode penelitian, dan kriteria untuk menetapkan kelayakan data. Terkait dengan perbedaan ini adalah perbedaan dalam asosiasi-asosiasi keilmuan yang dirujuk, instrumen-instrumen pengukuran yang digunakan, dan sumber-suber data yang diakses. Perbedaanperbedaan ini dirangkum dalam Tabel 5.1 berikut ini. Dalam kasus ini, variasi-seleksi berkaitan dengan perkembangan relasirelasi dengan kelompok-kelompok non-peneliti. Perkembangan relasi ini diilustrasikan di Gambar 5.1. Dalam gambar tersebut, kelompok A dan kelompok B adalah dua kelompok (non-peneliti) yang bersengketa berkaitan dengan fenomena semburan Lumpur Panas. Sengketa ini berkaitan dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Kelompok peneliti X dan kelompok peneliti Y adalah dua kelompok peneliti yang mengusung fakta-fakta ilmiah yang saling bertentangan. Diasumsikan di sini bahwa baik kelompok peneliti X dan kelompok peneliti Y masing-masing berpegang pada norma netralitas iptek, dan tidak berpihak pada kelompok non-peneliti yang mana pun. Akan tetapi, klaim atau fakta ilmiah yang diusung kelompok peneliti X (Y) bersesuaian dengan kepentingan kelompok A (B). Dalam situasi seperti ini, dapat berkembang relasi antara kelompok peneliti X (Y) dan kelompok sosial A (B), meski relasi ini tidak didasarkan pada sikap keberpihakan. Situasi yang diperlihatkan dalam Gambar 5.1 mengilustrasikan kemungkinan terdistorsinya norma netralitas iptek, meski hal ini bukan sesuatu yang secara sadar diinginkan oleh para peneliti yang terkait. Dalam kasus semburan Lumpur Panas, terdapat indikasi bahwa perluasan relasi seperti ini terjadi. Fakta MV-earthquake bersesuaian dengan kepentingan kelompok yang berpandangan bahwa semburan lumpur bukan dikarenakan faktor manusia,
transformasi penelitian
157
melainkan dikarenakan bencana alam (yakni Gempa Yogyakarta). Di sisi lain, fakta UGBO bersesuaian dengan kelompok yang menuding adanya faktor manusia. Dalam kegiatan-kegiatan sosialisasi hasil penelitian, terlihat adanya kerja sama antara kelompok peneliti tertentu dan kelompok non-peneliti tertentu. Tabel 5.1 Perbedaan Variasi-Seleksi antara Fakta UGBO, Fakta MV-earthquake dan Fakta MV-drilling (Sumber: Susanto, 2008) Fakta UGBO
Fakta
Fakta
MV-earthquake
MV-drilling
Sumber Data (sumber relasi empirikal)
Daily drilling report
Fakta geologi kawasan
Daily drilling report dan fakta geologi kawasan
Relasi-Relasi Teknikal
Kondisi pemboran Sumur Banjarpanji-1 (daily drilling report dan data uji laboratorium sumber air dan lumpur; tekanan hidrostatis, geoyhermal gradient, data uji laboratorium asal air dan lumpur)
Kondisi geologi kawasan dan sejarah mud volcano (kondisi geologi dalam dimensi ruang-waktu; sesar Watu Kosek, diapiric shale/ overpressure shale, sebaran mud volcano di sekitar Lusi, geology setting, run seismic, rambatan energi dan gelombang gempa)
Kondisi pemboran Sumur Banjarpanji-1 dan kondisi geologi kawasan (daily drilling report dan uji laboratorium sumber air dan lumpur; Gunung Penanggungan, Welirang dan Arjuno, dan sumber mata air panas di sekitarnya)
Relasi-Relasi Sosial
LSM, Perwakilan (non-formal) Masyarakat Lokal
IAGI, BPPT, LIPI, Aspermigas, Lapindo, TP2LS
…
158
ke dalam inovasi
Kelompok Non-Peneliti A
Relasi Persengketaan
Kelompok Peneliti X
Relasi Saling Menyangkal
Kelompok Non-Peneliti A
Relasi Persengketaan
Keselarasan Klaim Ilmiah dan Kepentingan
Kelompok Peneliti X
Kelompok Non-Peneliti B
Kelompok Peneliti Y
Kelompok Non-Peneliti B
Keselarasan Klaim Ilmiah dan Kepentingan
Relasi Saling Menyangkal
Kelompok Peneliti Y
Gambar 5.1 Perkembangan Relasi-Relasi: (Atas) Relasi-Relasi di Fase Awal; (Bawah) Terbentuknya Relasi Peneliti dan Non-Peneliti Kesesuaian atau keselarasan antara kelompok peneliti dan kelompok kepentingan terlihat pada penyelenggaraan seminar-seminar secara bersama, dengan pendanaan oleh pihak-pihak non-peneliti74. Penyelenggaraan seminar-
74
Di antaranya adalah seminar di Hotel Bumi Karsa yang diselenggarakan Walhi, ICEL, Jatam, YLBHI, dan Elsam; deklarasi Gerakan Menutup Lumpur (Gempur) Lapindo di Gd. Nusantara V DPR-RI oleh Gempur Lapindo (aliansi LSM, tokoh masyarakat, peneliti proponen UGBO, korban) untuk kelompok Peneliti A; International Workshop
transformasi penelitian
159
seminar seperti ini kental dengan nuansa ‗pertarungan fakta ilmiah‘, alih-alih dialog untuk mencari kebenaran. Sering, dalam seminar-seminar seperti ini, seorang peneliti menuding peneliti lain sebagai tidak berkompeten, alih-alih menyimak dengan seksama pandangan-pandangan yang berbeda dari penelitipeneliti lain. Para peneliti pun tidak jarang menggunakan istilah yang, secara tidak langsung, memperlihatkan keberpihakan seperti Lula (Lumpur Lapindo) atau Lusi (Lumpur Sidoarjo). Sebagaimana didiskusikan di Bab 3, variasi-seleksi (dalam suatu penelitian) bermula ketika seorang peneliti menilai bahwa suatu teori/metode/model sebagai tidak benar ataupun bermasalah, dan memutuskan bahwa sesuatu teori/metode/model yang benar perlu ditemukan. Pencarian (searching) atas teori/metode/model yang benar akan menghasilkan pilihan-pilihan. Kemudian, berdasarkan prinsip validasi tertentu, peneliti tersebut menetapkan yang benar di antara pilihan-pilihan yang ada. Dalam kasus semburan Lumpur Panas ini, terlihat suatu pola variasi-seleksi yang khusus (lihat Gambar 5.1). Di sini, para peneliti saling melakukan problematisasi (mutual problematization) satu terhadap yang lain. Dengan perkataan lain yang lebih sederhana, para peneliti saling menyangkal satu terhadap yang lain—relasi penyangkalan (negative relation). Masing-masing kelompok peneliti mengusung fakta ilmiah tertentu, mengukuhkan kebenaran fakta ini, sambil menyangkal fakta ilmiah yang diklaim oleh kelompok yang lain. Ini terjadi antara kelompok pendukung fakta UGBO dan kelompok pendukung fakta MV-earthquake. Peneliti pendukung fakta UGBO bekerja dengan mengukuhkan fakta UGBO sambil menyangkal fakta MV-earthquake. Sebaliknya, peneliti pendukung fakta MV-earthquake bekerja dengan mengukuhkan fakta MV-earthquake sambil menyangkal fakta UGBO. Sementara itu, peneliti pendukung fakta MV-drilling bekerja dengan melakukan koreksi-koreksi pada fakta UGBO dan MV-earthquake sekaligus.
di Auditorium BPPT, diselenggarakan IAGI, LIPI, BPPT dan seminar oleh Aspermigas untuk kelompok Peneliti B.
160
ke dalam inovasi halangan konformitas
Kelompok Kepentingan
menyamping/ detour
Goal Problematisasi
Goal 2
Pergeseran
Goal 1
X X Peneliti Asosiasi Aksi
Gambar 5.2 Sebuah Cara terbentuknya Kesesuaian antara Klaim Ilmiah dan Kepentingan Sosial Dalam situasi seperti ini, alih-alih merekonsiliasikan sengketa, para peneliti dan fakta-fakta ilmiah menjadi bagian yang membuat persengketaan hukum ‗lebih keras‘. Apakah dalam kasus ini para peneliti menunjukkan keberpihakan pada kelompok tertentu? Atau, apakah kasus ini menunjukkan bahwa iptek terkontaminasi oleh politik? Penelusuran terhadap narasi dari masing-masing peneliti tidak memperlihatkan adanya faktor politik di dalamnya. Masingmasing peneliti bekerja secara profesional, sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku dalam komunitas ilmiah yang terkait. Jadi, kalaupun terjadi kesesuaian antara fakta ilmiah dan kepentingan politik, kesesuaian ini bukan sesuatu yang dirancang dari awal. Bagaimana penyesuaian (secara tidak disengaja) seperti ini dapat terjadi diilustrasikan dalam Gambar 5.2. Tampaknya, pelajaran yang dapat dipetik dari kasus Lumpur Panas ini bukanlah bahwa apakah peneliti dan iptek itu bersifat netral atau berpihak. Pelajaran yang penting adalah bahwa hasil penelitian itu dapat sesuai dengan kepentingan politik tertentu, meski hal ini bukan sesuatu yang diinginkan oleh peneliti. Kesesuaian ini dapat menimbulkan gejala penggabungan (augmentation) jejaring-jejaring yang saling memperkuat, dan menghasilkan lintasan variasiseleksi yang tak-dapat-balik (irreversible). Dengan perkataan lain, meski seorang peneliti tidak memiliki kepentingan, tetapi ia dapat menjadi bagian dari jejaring yang begitu padat dan rapat sehingga peneliti tersebut tidak mungkin
transformasi penelitian
161
mempertimbangkan hipotesis yang bertentangan dengan apa-apa yang diterima dalam jejaring. Sebagaimana didiskusikan di Bab 2 tentang metode ilmiah, logico-empirism dapat dijalankan dengan menempuh prosedur positivisme atau falsifikasionisme. Kedua prosedur ini memiliki keabsahan yang sama. Dalam pola positivisme, pengujian lebih menekankan pengukuhan hipotesis. Tetapi dalam falsifikasionisme, pengujian dilakukan justru dengan cara menyangkal hipotesis. Dalam kasus semburan Lumpur Panas, para peneliti memperlihatkan sikap positivistik. Argumentasi-argumentasi para peneliti cenderung berpola positivistik. Para peneliti bekerja untuk mengukuhkan bahwa hipotesis yang ia ajukan benar. Dalam pola falsifikasionistik, seorang peneliti bekerja untuk menyangkal hipotesis yang ia ajukan. Ia akan menuturkan upaya-upaya untuk menyangkal hipotesis yang ia ajukan sendiri, alih-alih menyangkal hipotesis yang diajukan oleh peneliti lain. 5.3
Difusi TIK untuk Mengatasi Digital Divide
Pengembangan dan pemanfaatan TIK mengalami perubahan yang radikal dalam beberapa dekade terakhir. Di masa Perang Dingin (era pasca-Perang Dunia II), pengembangan TIK didominasi oleh kepentingan-kepentingan pertahanan. Runtuhnya Tembok Berlin menandai pergeseran geopolitik dari perang psikologis (di masa Perang Dingin) ke arah pertarungan industrial— globalisasi persaingan industrial. Seiring dengan perubahan geopolotik tersebut, pengembangan TIK berubah dari pola terpusat dan tertutup menjadi tersebar dan terbuka. Pada pertengahan dekade1990-an, negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) bersepakat bahwa pengembangan dan pemanfaatan TIK diintegrasikan ke dalam kebijakankebijakan ekonomik. Pada satu dekade terakhir, berkembang pesat upaya-upaya untuk memanfaatkan TIK guna menjawab permasalahan-permasalahan di negara berkembang, di bawah skema Universal Service Obligation. Salah satu rumusan masalah yang dihadapi negara berkembang adalah apa yang dikenal dengan ‗kesenjangan digital‘ (digital divide). Secara sederhana, kesenjangan digital ini dapat diartikan sebagai kesenjangan sosial-ekonomik antara dua kelas atau kelompok sosial, yang disebabkan oleh kesenjangan dalam
162
ke dalam inovasi
penguasaan TIK (McGregor, 1997; Storrgard, 1998). Bentuk penguasaan TIK yang paling sederhana adalah ketersediaan akses ke TIK75 dan kemampuan untuk memanfaatkan TIK. Kesenjangan digital ini dapat terjadi bukan saja antara dua bangsa, melainkan juga antara masayarakat kota dan masyarakat desa dalam sebuah negara. Berpijak pada rumusan masalah kesenjangan digital tersebut, Bank Dunia dan badan-badan donor internasional lainnya mengembangkan program-program bantuan yang dimaksudkan untuk mengatasi kesenjangan digital di masyarakat perdesaan. Melalui hasil kajian evaluatif terhadap program-program bantunan tersebut, Stoorgard (1998) menyarankan pentingnya faktor-fakor sosial berikut ini untuk diperhitungkan: (i) akses ke TIK harus dimaknai lebih luas, mencakup akses ke sumber pengetahuan, sumber daya ekonomik, dan sumber daya sosial yang lainnya; (ii) peran mediator dari organisasi yang berakar dalam masyarakat; (iii) partisipasi yang luas dari masyarakat; (iv) visi dan kepemimpinan di masyarakat. Di Indonesia, masyarakat perdesaan tinggal di wilayah-wilayah yang tersebar dalam bentangan geografis yang sangat luas, dan antara satu wilayah dan wilayah yang lain terpisah oleh jarak yang jauh. Di sisi lain, pada umumnya infrastruktur (transportasi, listrik dan telekomunikasi) perdesaan relatif terbatas ketersediaannya. Dalam situasi seperti ini, banyak masyarakat desa berada dalam keadaan yang relatif terisolasi. Berikut ini dibahas tiga kasus inisiatif pemanfaatan TIK untuk pembangunan masyarakat perdesaan. Dalam kasus yang pertama, penginisiasi berasal dari perguruan tinggi (dalam hal ini, ITB). Dalam kasus yang ke dua, inisiatif dirintis oleh seorang warga desa, yang kemudian mendapatkan bantuan konsultatif dari sebuah LSM. Dalam kasus yang ke tiga, inisiatif dirintis melalui kolaborasi antara seorang warga desa dan seorang staf dari divisi pemberdayaan masyarakat, PT. Telkom. Pembahasan ketiga kasus ini tidak dimaksudkan untuk tujuan penilaian komparatif. Masingmasing kasus akan digali keunikannya sehingga didapatkan perbedaan-
75
Hingga saat ini masih terjadi perdebatan mengenai makna dari kesenjangan digital. Sebagian kalangan menyatakan bahwa kesenjangan digital tidak sebatas akses pada perangkat komputer dan saluran telekomunikasi, tetapi juga akses pada informasi dan sumber daya lain seperti pendidikan, finansial, politik dan hukum.
transformasi penelitian
163
perbedaan, dan pemahaman yang lebih kaya mengenai pemanfaatan TIK di perdesaan. Sebagian data yang dijadikan basis bagi pembahasan di sini berasal dari kajian-kajian terdahulu yang dilaporkan dalam Srimarga (2009) dan Rivai (2010). 5.3.1
Digital Learning di Desa Cinta Mekar
Projek Digital Learning digagas dan dirintis implementasinya oleh Pusat Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi76 (PPTIK) ITB. Pendanaan projek tersebut bersumberkan bantuan dari Microsoft dan dari ITB. Diyakini oleh para penggagas projek tersebut bahwa penyebarluasan akses ke TIK merupakan sebuah jawaban bagi masalah kesenjangan digital (digital gap) di masyarakat. Melalui implementasi projek digital learning, diharapkan TIK dapat berfungsi sebagai enabling factor77 bagi produktivitas ekonomik dan perbaikan kehidupan sosial masyarakat desa. Sebagaimana dikutip dalam Srimarga (2009), seorang peneliti PPTIK ITB menuturkan: … Coba bayangkan kalau di desa itu ada pesawat telpon murah, malah kalau bisa gratis, ada beberapa unit komputer personal, kemudian kita beri pelatihan kepada mereka. Mereka pasti akan bisa menggunakan Internet, dan pasti mereka akan lebih mudah memasarkan hasil-hasil desanya ke kota, mereka bisa mengecek harga komoditi hasil panennya online. Dan di sekolah....anakanak desa itu pasti akan bisa juga menggunakan Internet untuk mencari sumber-sumber pengetahuan baru. Sebagai targeted beneficiary dari projek Digital Learning ditetapkan masyarakat desa Cinta Mekar, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Salah satu pertimbangan dalam penetapan ini adalah bahwa masyarakat Cinta Mekar 76
PPTIK ITB merupakan satu dari sejumlah pusat penelitian yang dibentuk oleh ITB pada tahun 2002. PPTIK, seperti juga pusat-pusat penelitian yang lain, mengemban misi yang ditetapkan ITB dan untuk menjalankan misi tersebut menerima dukungan pendanaan dari ITB. 77 Dalam beberapa wawancara, pimpinan PPTIK ITB menyatakan keyakinannya bahwa akses ke TIK akan memampukan (to enable) para pelaku ekonomi di desa memperluas akses ke pasar di perkotaan.
164
ke dalam inovasi
telah berhasil mengadopsi teknologi mikro-hidro untuk penyediaan listrik lokal78. Keberhasilan ini menandakan adanya semacam keterbukaan masyarakat desa tersebut untuk menerima dan mengadopsi teknologi yang relatif baru bagi mereka. Tokoh setempat yang turut merintis dan mengawal implementasi projek mikro-hidro tersebut merupakan seorang praktisi yang memiliki hubungan dekat dengan sejumlah peneliti ITB. Perintis projek Digital Learning berharap bahwa tokoh tersebut dapat berperan sebagai mediator antara PPTIK ITB dan masyarakat desa Cinta Mekar. Desa Cinta Mekar tidak memiliki jejaring telpon publik. Keadaan ini dipandang oleh perintis projek Digital Learning sebagai sebuah need factor atas TIK. Jadi, keterbatasan jejaring telekomunikasi merupakan kendala bagi warga desa Cinta Mekar untuk berkomunikasi ke dunia luar, khususnya kendala bagi upaya-upaya promosi dan perluasan pasar bagi produk-produk pertanian lokal. Keterbatasan infrastruktur tersebut juga diduga sebagai penghambat perkembangan di bidang pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan asumsiasumsi demikian, kelompok-kelompok sosial yang diduga berpotensi sebagai beneficiary dari pojek ini adalah, antara lain, penyelenggara sekolah dasar/menengah, pemerintah desa, koperasi, dan posyandu. Kegiatan-kegiatan dari projek Digital Learning mencakup pemberian (sebagai bantuan cuma-cuma) peralatan TIK, instalasi peralatan, dan pelatihan pengoperasian peralatan TIK tersebut. Dalam hal ini, PPTIK ITB merupakan pihak yang menyediakan peralatan dan materi pelatihan, sekaligus pelaksana instalasi dan penyelenggara pelatihan. Rancangan dari peralatan TIK dan konsep pelatihan tersebut telah ditetapkan di tahap awal perumusan projek Digital Learning. Peralatan TIK yang diberikan mencakup: jejaring telepon lokal (untuk komunikasi intra-lokal); menara pemancar lokal dan server (ditempatkan di rumah salah seorang warga desa); sejumlah pesawat telpon genggam (untuk rumah tangga); sejumlah perangkat keras komputer dan perangkat lunak aplikasi (untuk beberapa lembaga formal desa); berbagai pelatihan teknis yang terkait dengan pengoperasian peralatan keras dan lunak; pengembangan 78
Projek pengenalan dan instalasi mikro-hidro di desa Cinta Mekar melibatkan tokohtokoh setempat, Kementerian ESDM dan sebuah perusahaan swasta. Pembangkit listrik mikro-hidro mulai beroperasi pada tahun 2007.
transformasi penelitian
165
koneksi, melalui jejaring PLN, ke pembangkit listrik mikro-hidro yang telah beroperasi di Cinta Mekar. 5.3.1.1 Pengembangan Relasi Untuk mengenalkan gagasan Digital Learning ke masyarakat desa Cinta Mekar, pihak perintis projek memulai dengan mengunjungi kediaman seorang tokoh setempat. Dalam kunjungan tersebut disampaikan latar belakang gagasan dan tujuan dari Digital Learning dan diminta kesediaan tokoh tersebut untuk menjadi penghubung antara PPTIK ITB dan para warga desa. Tokoh tersebut merupakan mantan Kepala Desa Cinta Mekar dan kemudian menjabat Ketua Koperasi Unit Desa (KUD). Ia merupakan tokoh yang berhasil menjadi perantara antara para warga desa dan pihak-pihak luar desa dalam implementasi projek mikro-hidro. Melalui perantara tokoh tersebut, diselenggarakan pertemuan-pertemuan non-formal antara pelaksana projek Digital Learning dan para warga desa Cinta Mekar. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut dipaparkan latar belakang dan tujuan dari Digital Learning, dan digambarkan fitur dan fungsi peralatan TIK yang akan diberikan sebagai bantuan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa upaya ini berhasil menstimulasi partisipasi warga desa. Khususnya, berkembang ketertarikan warga desa terhadap peralatan tekepon. Tetapi mereka kurang tertarik pada komputer, karena dianggap sulit pengoperasian dan perawatannya. Kesulitan yang terjadi adalah dalam penggalian kebutuhan warga desa terhadap kandungan informasi. Pertanyaan-pertanyaan mengenai kebutuhan informasi yang berkaitan dengan layanan pendidikan dan kesehatan sering tidak direspons oleh warga desa. Seorang warga desa, ketika ditanya alasannya menerima bantuan, menjawab (Srimarga, 2009): … rugi kalau menolak bantuan, namanya juga bantuan. Ungkapkan ini menggambarkan bahwa meski partisipasi warga desa berhasil distimulasi melalui perantaraan tokoh setempat, partisipasi itu di tingkat yang rendah. Sosok tokoh setempat tersebut yang dikenal baik dan terpercaya membuat warga desa bersedia untuk bepartisipasi dalam pertemuan-pertemuan
166
ke dalam inovasi
non-formal. Meski demikian, interaksi-interaksi yang terjadi tidak berkembang cukup jauh ke tahap penggalian kebutuhan-kebutuhan informasi. Bagi pihak pelaksana projek Digital Learning, usulan-usulan kebutuhan informasi dari warga desa akan dijadukan acuan dalam pengembangan kandungan (content) sistem informasi. Ketika usulan-usulan tentang kebutuhan informasi tidak kunjung terumuskan dalam pertemuan-pertemuan non-formal, implementasi projek Digital Learning menjadi terhenti. 5.3.1.2 Penyesuaian-Penyesuaian Menghadapi situasi demikian, pihak pelaksana projek Digital Learning menjalin kemitraan dengan Program Magister Studi Pembangunan (PMSP) ITB, dan membentuk tim khusus untuk melaksanakan semacam information need assessment. Tim tersebut kemudian melaksanakan FGD dan wawancara berpola etnografis dengan sejumlah warga desa Cinta Mekar, tokoh-tokoh setempat, pejabat pemerintah desa, guru-guru, dan para pemuda. Pihak PMSP ITB melakukan information need assessment dengan berpegang pada hipotesis bahwa kebutuhan informasi masyarakat tidak terlepas dari keberadaan relasi-relasi sosial yang aktual, khususnya relasi-relasi sosial yang berpola jejaring. Dengan mengidentifikasi relasi-relasi sosial tersebut, diharapkan dapat dirumuskan fitur dan fungsi TIK yang berpotensi memperluas relasi-relasi sosial tersebut. Hasil kajian dari tim tersebut memperlihatkan bahwa pada umumnya relasi-relasi sosial pada warga desa Cinta Mekar merupakan relasi-relasi yang berwatak lokal. Jadi, pada umumnya warga desa melakukan komunikasi dengan cara tatap-muka atau komunikasi langsung79 (unmediated communication). Media informasi seperti papan tulis tidak dijumpai di tempat-tempat pertemuan warga. Begitu juga sumber-sumber informasi seperti seperti surat kabar, leaflet, buletin, dan lain-lain tidak dijumpai di tempat-tempat publik, kantor desa, ataupun rumah-rumah penduduk. Media elektronik yang banyak dijumpai adalah televisi dan radio, yang merupakan media komunikasi satu arah. 79
Lawan dari komunikasi langsung adalah komunikasi melalui media (mediated communication). Komunikasi melalui telepon kabel, Internet dan surat adalah komunikasi tidak langsung.
transformasi penelitian
167
Mendapatkan fakta ini, tim menyimpulkan bahwa tidak ada kebutuhan yang aktual akan TIK. Hanya jika diupayakan perubahan-perubahan kepranataan sosial pada desa Cinta Mekar, kebutuhan akan TIK akan berkembang. Tetapi dalam kondisi sosial yang ada, kebutuhan itu memang tidak ada. Dari hasil kajian tersebut, tim merekomendasikan kepada PPTIK ITB bahwa lingkup dari beneficiary tidak dibatasi oleh wilayah administratif (dalam hal ini, wiayah desa), tetapi berkonsentrasi pada sebuah sektor, yaitu sektor pendidikan atau sektor kesehatan. Pertimbangannya adalah lebih tinggi intensitas komunikasi dan lebih luas interaksi sosial di sektor-sektor tersebut, daripada dalam desa Cinta Mekar. Rekomendasi ini berimplikasi bahwa peralatan TIK yang ditawarkan harus dimodifikasi agar lebih sesuai dengan kebutuhan informasi di sektor yang lebih spesifik (yakni sektor pendidikan atau sektor kesehatan). mempertimbangkan rekomendasi tersebut, pihak PPTIK ITB menyetujui memutuskan untuk memilih sektor pendidikan di kabupaten Subang sebagai targeted beneficiary, dan kemudian menjalin kemitraan dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung untuk mengembangkan substansi pendidikan dari projek Digital Learning. Modifikasi dari projek Digital Learning direalisasikan dengan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan seperti, antara lain: penyediaan perangkat keras dan perangkat lunak komputer (sistem operasi dan aplikasi) serta instalasi jejaring Internet (secara terbatas) untuk keperluan guru dan siswa sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah yang dipilih sebagai beneficiary; penyelenggaraan pelatihan bagi guru-guru di sekolah dasar dan madrasah tersebut; pengembangan bahan-bahan belajar-mengajar berbasis komputer; penyusunan kurikulum e-learning; pendampingan bagi para guru untuk mengajarkan komputer di sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah; pemberian fasilitas pada para guru di sekolah dasar dan madrasah untuk menggunakan Internet, sementara koneksi ke Internet menggunakan pesawat telepon CDMA komersial, bukan pesawat telepon khusus yang semula disediakan PPTIK ITB. 5.3.2
Radio-Internet Community di Desa Limbangan
Radio Community merupakan gagasan tentang pemanfaatan pesawat pemancar (gelombang radio) untuk tujuan pembelajaran komunitas (community learning).
168
ke dalam inovasi
Gagasan ini telah dikenal oleh sebagian masyarakat sejak dekade 1980-an, sebelum teknologi Internet berkembang. Gagasan Radio Community tersebut dipromosikan ke negara-negara berkembang melalui, antara lain, United Nations Development Program (UNDP). Radio-Internet Community merupakan semacam inovasi terhadap Radio Community, melalui penambahan Internet dan komputer ke dalam Radio Community. Ini merupakan inovasi yang dirintis di kalangan pemuda di desa Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. 5.3.2.1 Inisiasi Gagasan Di desa Limbangan dan masyarakat di sekitarnya, Radio Community telah dikenal sejak tahun 2000-an. Di berbagai lokasi di Limbangan dan di sekitarnya telah terdapat kelompok-kelompok sosial yang tergabung dalam suatu Radio Community. Perintis gagasan Radio-Internet Community adalah seorang pemuda setempat, yang di awal tahun 2000 membuka usaha penyewaan komputer yang berlokasi di desa Limbangan. Pemuda tersebut, saat itu, baru saja menyelesaikan pendidikan sarjana di bidang ekonomi dari sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah. Melalui usaha penyewaan komputer, pemuda tersebut mengembangkan sebuah wadah bagi kaum muda desa untuk berinteraksi, khususnya para aktivis sosial dan pemuda petani. Di lokasi penyewaan komputer tersebut, kaum muda setempat sering berkumpul dan membicarakan isu-isu sosial dan ekonomik desa. Secara berangsur-angsur, tanpa direncanakan oleh siapa pun sebelumnya, usaha penyewaan komputer tersebut berkembang menjadi forum kaum muda (sebagai sebuah lembaga non-formal). Agenda kegiatan kolektif dan pembagian peran dibicarakan bersama, dan disepakati melalui musyawarah. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan bersama kemudian berkembang, mencakup pembelajaran komputer, pelestarian lingkungan, dan pembelajaran keagamaan. Pada pertengahan tahun 2002, di suatu kesempatan, terjadi pertemuan antara para anggota forum kaum muda Limbangan tersebut dan LSM Pattiro80.
80
Pattiro (Pusat Telaah dan Informasi Regional) adalah sebuah non-governmental organization (NGO) yang bergerak di bidang good governance dan pemberdayaan
transformasi penelitian
169
Pertemuan ini kemudian berkembang menjadi interaksi yang lebih mendalam, dan dari sini terlontar gagasan untuk mengembangkan forum tersebut menjadi lembaga formal, yang kemudian diberi nama Sekolah Rakyat (SR)81. Interaksi lebih jauh antara SR dan Pattiro ini, pada gilirannya, menstimulasi perkembangan gagasan-gagasan baru mengenai pemanfaatan TIK. Dengan melibatkan perwakilan dari desa-desa di sekitar Limbangan, pihak SR menginisiasi serangkaian pembahasan untuk mencari peluang-peluang untuk pengembangan pemanfaatan TIK. Tidak sulit bagi SR untuk menstimulasi partisipasi masyarakat di sekitar Limbangan, karena kegiatan-kegiatan SR sebelumnya (sebelum menjadi lembaga formal) telah dikenal relatif luas di masyarakat sekitar Limbangan. Dari serangkaian diskusi tersebut dihasilkan kesepakatan tentang tiga objektif yang diprioritaskan, yaitu pengembangan kapasitas kaum muda desa, pengembangan ekonomi lokal, dan perbaikan local governance. Melalui konsultasi dengan Pattiro, pihak SR memilih solusi teknologi yang memadukan konsep Radio Community dan Internet. Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan akan ketersediaan sarana/prasarana di Limbangan dan di desa-desa sekitarnya. Pihak Pattiro memberikan bantuan sejumlah komputer tambahan, perangkat lunak dan layanan akses ke Internet. Selain itu, pihak SR juga berhasil memobilisasi sumber-sumber setempat untuk secara swadaya membeli perangkat pemancar radio. Melalui partisipasi dari para perwakilan desa-desa setempat, dan dengan menggunakan berbagai devais dan perangkat teknologi tersebut, akhirnya SR berhasil membentuk sebuah Radio-Internet Community. Komputer, jejaring telepon, telepon genggam dan lain-lain telah ada dan digunakan oleh sebagian warga desa Limbangan dan desa-desa di sekitarnya. Tetapi penggunaan berbagai devais tersebut hanya memberikan manfaat yang terbatas. Melalui projek Radio-Internet Community digali manfaatmanfaat baru dari penggunaan berbagai devais tersebut.
masyarakat. Pattiro berkedudukan di Jakarta dan memiliki kantor jejaring di 14 kota / kabupaten di Indonesia, salah satunya adalah di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. 81 Dalam akta notaris lembaga ini disebut sebagai Persyarikatan Sekolah Rakyat.
170
ke dalam inovasi
5.3.2.2 Penyebarluasan Gagasan Penyebarluasan gagasan mengenai pemanfaatan TIK melalui Radio-Internet Community berlangsung secara inkremental dengan menggunakan kesempatankesempatan non-formal, dan melalui ritual-ritual tradisional masyarakat desa. Seorang perintis Radio-Internet Community menuturkan (Srimarga, 2009): …diseminasi ini berhasil, bukan karena teknologi yang dibawa canggih, juga bukan karena sudah ada permintaan orang di sini. Tetapi karena proses dialog dengan masyarakatnya sangat bagus. Fasilitatornya bagus-bagus. Dalam pertemuan-pertemuan non-formal, pihak SR meminta dukungan dari para pejabat terkait baik di tingkat desa maupun kecamatan. Salah satu bentuk dukungan yang dibutuhkan adalah perijinan. Pihak SR memberikan jaminan bahwa keseluruhan kegiatan yang terkait dengan Radio-Internet Community bersifat non-politis dan non-partisan. Kegiatan Radio-Internet Community mencakup pengelolaan siaran radio dan pengelolaan kegiatan-kegiatan sosial. Para pemuda mengelola kegiatan siaran radio secara sukarela. Partisipasi dari berbagai pihak juga terus-menerus dikembangkan. Misalnya, upaya untuk menjalin kerja sama dengan Puskesmas Kecamatan Limbangan menghasilkan program penyuluhan kesehatan secara interaktif. Program penyuluhan kesehatan tersebut diminati oleh warga desa karena memungkinkan interaksi secara on-line dengan menggunakan kombinasi antara teknologi radio dan telepon genggam. Melalui keberadaan Radio-Internet Community, masyarakat setempat berhasil menghidupkan kembali upacara tradisional yang telah lama mati, yaitu Tembang Ngisor Mbulan. Dalam upacara yang digelar di setiap malam purnama ini, para warga desa melakukan dialogdialog sambil memeragakan kesenian tradisional. Upacara Tembang Ngisor Mbulan menjadi hidup kembali ketika dipromosikan secara luas melalui RadioInternet Community. Secara berangsur-angsur, kontribusi warga desa terhadap Radio-Internet Community makin meningkat, baik dalam bentuk dana operasional siaran radio, pasokan berita lokal untuk bahan siaran, Compact Disk yang berisi bahan pengajian, musik, naskah cerita dan sebagainya.
transformasi penelitian
171
Keberadaan Radio-Internet Community menstimulasi pembelajaran komputer bagi para pemuda desa. Perangkat komputer dan Internet yang ada di stasiun siaran, selain digunakan sarana penyiaran, juga digunakan sarana belajar bagi para pemuda disana. Para pemuda yang bertugas sebagai pengelola siaran radio sekaligus juga berperan sebagai instruktur komputer.Selain ini, Radio-Internet Community juga memfasilitasi perluasan interaksi sosial di masyarakat Limbangan. Misalnya, berkembang interaksi antara kelompok pemuda Muhammadiyah dan kelompok pemuda Nadlha‘atul Ulama (NU) di desa Limbangan yang sebelumnya, untuk kurun waktu yang cukup panjang, tidak terjadi dialog. Setelah kurang lebih empat tahun berjalan, pada tahun 2006 pihak SR menyerahkan pengelolaan Radio-Internet Community ke kelompok pemuda di desa lain, yaitu desa Taman Rejo. Upaya re-generasi ini, pada gilirannya, disertai dengan adanya pergeseran-pergeseran. Khususnya, substansi program acara siaran radio mengalami banyak pergeseran. Sebelumnya program siaran disukai warga desa karena mengetengahkan dan mempertukarkan isu-isu sosial yang relevan dengan kehidupan warga desa. Di bawah pengelolaan kelompok muda yang baru, program siaran lebih banyak menyajikan materi hiburan, seperti layaknya program siaran stasiun swasta. Program hiburan yang disiarkan juga tidak jarang menimbulkan protes dari warga desa, karena dianggap substansi yang disiarkan dianggap tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai tradisional setempat. Khususnya protes datang dari para sesepuh desa Limbangan. 5.3.3
Kampung Digital di Sampali
Pada tahun 2008, PT. Telkom mencanangkan sebuah program yang dinamakan Sumatera Pulau Digital. Program tersebut bertujuan untuk membangun komunikasi antara satu komunitas dengan komunitas lainnya di Sumatera, khususnya di wilayah-wilayah perdesaan. Kampung Digital merupakan salah satu bagian dari program tersebut. Kampung Digital merupakan gagasan tentang kampung yang memiliki sarana TIK yang relatif mutakhir seperti broadband Internet access dan blogsite. Dengan adanya sarana demikian, diharapkan masyarakat perdesaan dapat menggunakan komputer, Internet dan berbagai sarana TIK lainnya untuk pengembangan usaha. Kampung Digital
172
ke dalam inovasi
Sampali (KD Sampali) adalah satu dari tujuh Kampung Digital yang pengembangannya difasilitasi oleh PT. Telkom. 5.3.3.1 Tahap Inisiasi Inisiasi KD Sampali bukan berasal dari PT. Telkom, melainkan dari kelompok pemuda lokal yang tergabung dalam Pusat Kegiatan Belajar Mandiri Generasi Amanah (PKBM GA). PKBM GA dirintis dan dibentuk pada tahun 2006 oleh seorang warga setempat, yang juga seorang dosen di sebuah lembaga pendidikan komputer di kota Medan. Kegiatan utama PKBM GA adalah penyediaan layanan pendidikan usia dini (PAUD) dan pelatihan Internet dengan biaya yang terjangkau bagi masyarakat Sampali. Seiring dengan meningkatnya minat warga terhadap layanan PKBM GA, kelompok perintis lembaga tersebut menggalang dukungan dari berbagai kalangan mulai dari kaum muda, tokoh masyarakat, pemuka agama, aktivis politik, ibu-ibu PKK dan lain sebagainya. Ketika lingkup kegiatan makin meluas, para pengelola PKBM GA mengajukan proposal ke sejumlah donatur dan perusahaan, termasuk ke PT. Telkom Divisi Regional I, Sumatera. Tetapi proposal tersebut tidak begitu saja bisa meyakinkan pihak PT. Telkom. Mengenai tanggapan PT. Telkom terhadap proposal tersebut, seorang perintis PKBM GA menuturkan sebagai berikut: Permintaan kami untuk membangun kampung digital tidak langsung disetujui. ‖Lho Pak, itu enggak sembarangan, ada syaratnya‖, kata orang Telkomnya. Pertama harus ada sekelompok anak muda yang tahu mengenai ICT. Kedua masyarakatnya aktif membangun desa. Dan yang ketiga itu ... ada potensi desa yang bisa ditonjolkan atau dikembangkan. Jadi kami minta, tapi tidak di kasih. (kutipan transkrip wawancara dalam Rivai, 2010) Berkaitan dengan persyaratan tersebut, seorang Community Development Officer (CDO) dari PT. Telkom memberikan penjelasan sebagai berikut: Kelembagaan masyarakat itu yang akan memberikan garansi sustainability di sini. Jadi kelembagaan masyarakat itu yang
transformasi penelitian
173
mana yang dominan, itulah yang kita pertama kali harus bermitra di situ. (kutipan transkrip wawancara dalam Rivai, 2010) CDO PT. Telkom tersebut juga menyampaikan bahwa penetapan persyaratan tersebut didasarkan pada kesimpulan-kesimpulan yang ia ambil dari pengalaman pelaksanaan program Kampung Digital yang terdahulu. Salah satu kesimpulan yang ia ambil adalah bahwa pengembangan kelembagaan merupakan faktor yang penting bagi keberlanjutan program Kampung Digital. Untuk memenuhi persyaratan yang diminta pihak PT. Telkom, pihak PKBM GA memperluas kegiatannya, antara lain dengan mengembangkan blog dengan alamat http://desasampali.blog.com. Blog ini memuat berita-berita tentang Sampali, dan terus menerus dimutahirkan kandungan beritanya. Pihak PKBM GA kemudian kembali menemui pihak PT. Telkom dan merperlihatkan apa-apa yang telah mereka kembangkan. Melihat kesungguhan PKBM GA, pihak PT. Telkom memutuskan untuk menyetujui proposal yang diajukan, dan memberikan bantuan secara bertahap. Di tahap pertama, bantuan itu dalam bentuk satu buah unit komputer dan layanan Internet gratis selama tiga bulan. Bantuan dari PT. Telkom tersebut oleh pihak PKBM GA kemudian diintegrasikan ke dalam sarana TIK yang telah mereka miliki untuk pengembangan layanan-layanan. Melalui bantuan tersebut, PKBM GA meningkatkan intensitas kegiatan pengenalan komputer dan Internet pada masyarakat Sampali. Pelatihan komputer dan Internet ini juga diberikan pada ibu-ibu pengelola PKK dan para pengurus DKM. Untuk pengembangan aspek kandungan informasi, PT. Telkom memberikan pelatihan jurnalistik bagi kaum muda, yang diselenggarakan di Speedy Learning Center milik PT. Telkom. Para peserta diajarkan cara menulis berita, pengambilan foto, dan penulisan berita secara on-line. Pada akhir pelatihan setiap peserta diberi kartu pers, sehingga dapat melakukan pekerjaan jurnalistik. Pada tahap berikutnya, PT. Telkom, melalui divisi Community Development Center, meminta PKBM GA untuk membuat pemetaan potensi ekonomik masyarakat Sampali. Seorang CDO PT. Telkom menuturkan sebagai berikut: Kebutuhan tentang lingkungan itu juga didefinisikan oleh masyarakat sendiri. Namun ada evaluasi juga dari kita. Tidak serta merta apa yang mereka kemukakan lalu diterima dan
174
ke dalam inovasi
diterapkan begitu saja. ... Karena, kalau proposal mereka minta kambing lalu kita kasih kambing, belum tentu sesuai. Janganjangan tujuannya bukan kambing, tapi sapi misalnya. Itu kan harus kita diskusikan, sehingga kita tahu motifnya itu apa. (kutipan transkrip wawancara dalam Rivai, 2010) Dalam penuturan ini, CDO PT. Telkom tersebut menyatakan isu-isu yang ia negosiasikan dengan pihak PKBM GA. Penuturan tersebut juga menggambarkan bahwa dalam pemberian fasilitas, PT. Telkom menempuh pendekatan interaktif melalui dialog dan negosiasi. Dengan cara demikian, kebutuhan-kebutuhan akan TIK dirumuskan dan solusi dicari. Dalam penyediaan perangkat TIK untuk Kampung Digital Sampali, PT. Telkom melibatkan sejumlah perusahaan rekanannya untuk melakukan survei, rancangan konfigurasi jejaring, penempatan menara, serta instalasi radio hot spot dan radio point to point. Di semua kegiatan ini pihak PKBM GA dilibatkan. 5.3.3.2 Perluasan Relasi-Relasi Untuk mencakup keseluruhan warga desa Sampali, dibangun tiga buah Pusat Informasi Masyarakat (PIM). Pemilihan lokasi PIM didasarkan pada beberapa pertimbangan, di antaranya, intensitas kegiatan sosial dan kegiatan ekonomik yang telah ada. Biaya operasional PIM sepenuhnya ditanggung para pengelola PIM itu sendiri, sedangkan biaya berlangganan jejaring dan pemeliharaan peralatan menjadi tanggung jawab Pengurus KD Sampali (yakni pihak PKBM GA). Untuk pemeliharaan teknikal, PT. Telkom memberikan pelatihan perakitan dan trouble shooting perangkat keras dan jejaring pada para pengelola dan beberapa pemuda desa. Dengan pelatihan ini diinginkan bahwa pemeliharaan rutin dan perbaikan kerusakan ringan dapat ditangani langsung oleh para pengelola PIM. Salah satu PIM berlokasi di dusun Pondok Rawa, dengan kurang lebih 200 kepala keluarga. Letak dusun Pondok Rawa ini relatif terpencil. Pekerjaan sehari-hari warga dusun setempat adalah sebagai tukang bangunan, tenaga pendidik/guru, petani sayur-sayuran, atau buruh perkebunan. Hampir semua keluarga di dusun Pondok Rawa beternak lembu atau kambing. Lokasi Pondok Rawa dikelilingi oleh padang rumput, sehingga ternak dengan mudah dapat
transformasi penelitian
175
diberi makan. PIM di Pondok Rawa dikelola oleh seorang pemuda tamatan STM. Ia sendiri memiliki usaha non-formal di bidang percetakan foto dan undangan. PIM Pondok Rawa pada awalnya dimanfaatkan oleh para pelajar dan guru-guru. Pihak PT. Telkom melihat bahwa peternakan kambing dan sapi merupakan potensi bagi pengembangan kegiatan ekonomik. PT. Telkom kemudian memfasilitasi pengembangan koperasi. Dengan memanfaatkan website, koperasi tersebut kemudian mempromosikan produk-produk peternakan warga setempat. Upaya ini menghasilkan peningkatan penjualan produk peternakan. Melihat keberhasilan ini, timbul gagasan dari warga setempat untuk membuat pupuk organik cair dari kotoran hewan. Ide ini datang dari seorang peternak setempat yang sering bepergian ke Brastagi untuk menjual kotoran ternak. Kotoran ternak dari dusun Pondok Rawa di beli oleh para pemilik kebun di Brastagi. Ketika mengetahui bahwa kotoran ternak bisa dijadikan pupuk, para peternak dusun Pondok Rawa tersebut mulai mencoba sendiri pembuatan pupuk, sambil menggali informasi dengan memanfaatkan fasilitas yang tersedia di PIM Pondok Rawa. Kegiatan ini kemudian berkembang menjadi Kelompok Usaha Pembuatan Pupuk Organik ASB (Agro Sampali Bangkit). Perluasan kegiatan juga terjadi pada PIM Balai Desa. PIM ini berlokasi di kantor Balai Desa Sampali. Pengelola PIM Balai Desa ini juga merupakan anggota PKBM GA. Salah seorang pengelola PIM Balai Desa merupakan mahasiswa IAIN Sumatera Utara, yang aktif dalam Forum Remaja Islam di Sampali. Pada awalnya, PIM Balai Desa lebih banyak dimanfaatkan oleh anakanak sekolah terutama anak-anak SMA, dan ibu-ibu PKK. Ibu-ibu memanfaatkan PIM untuk mencari resep masakan atau hal-hal lain yang relevan dengan kegiatan sehari-hari. Ketua Tim Penggerak PKK Desa Sampali turut mempromosikan PIM Balai Desa pada ibu-ibu PKK. Meski berada di pusat pemerintahan desa, PIM Balai Desa belum termanfaatkan untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan. Pihak Kepala Desa justru kurang mendukung pemanfaatan PIM tersebut. Salah seorang pengelola PIM Balai Desa menuturkan sebagai berikut: Kepala desanya tidak suka Internet ada di situ. Tidak ada manfaat, katanya. Kan waktu itu dibangunnya ... mereka yang
176
ke dalam inovasi
tidak suka. Hanya tidak berani terus terang. Beraninya di belakang. (kutipan transkrip wawancara dalam Rivai, 2010) Penuturan ini menggambarkan adanya konstroversi yang mengiringi pengembangan PIM Balai Desa. Di tahap awal pengembangan KD Sampali, Sekretaris Desa saat itu menjabat sebagai care taker Kepala Desa. Ia ikut terlibat dalam pendirian KD Sampali dan berbagai kegiatan pembangunan di desanya. Ia bahkan mengembangkan blog tersendiri untuk mempromosikan cita-citanya mengenai pembangunan Sampali. Tetapi pemimpin desa yang baru memiliki pandangan yang berbeda mengenai keberadaan TIK, khususnya mengenai PIM di Kantor Balai Desa. 5.3.3.3 Keberlanjutan Sebagian besar partisipan dalam Kampung Digital adalah kaum pelajar dan pemuda. Kehadiran komputer dan Internet memberikan kesempatan pada mereka untuk mendapatkan bahan-bahan pelajaran, ilmu pengetahuan, keterampilan ataupun sarana hiburan. Masyarakat umum seperti petani, pedagang, pegawai dan sebagainya jarang mengakses komputer dan Internet, kecuali pada saat kelas pelatihan diselenggarakan. Pemanfaatan TIK sebagai penggerak kegiatan ekonomik, sebagaimana yang diharapkan oleh PT. Telkom, telah memberikan hasil meski relatif terbatas. Usaha yang berkembang melalui pemanfaatan PIM adalah peternakan, pengembangan Koperasi Sampali Digital, dan pembuatan pupuk organik oleh Kelompok Usaha Agro Sampali Bangkit. PKBM GA memainkan peranan krusial dalam perkembangan Kampung Digital Sampali. Secara sukarela, lembaga ini telah berupaya mengenalkan TIK pada masyarakat sebelum mereka bertemu dengan PT. Telkom. Meski bantuan teknikal dan keahlian dari PT. Telkom memiliki kontribusi yang sangat berarti, mobilitas dan kredibilitas para anggota PKBM GA merupakan faktor katalis dalam penyebarluasan pemanfaatan TIK di masyarakat Sampali.
transformasi penelitian
5.3.4
177
Karakteristik Difusi TIK
Ketiga kasus yang dibahas terdahulu dapat dikategorikan sebagai kasus difusi TIK82. Projek Digital Learning, projek Radio-Internet Community dan projek Kampung Digital masing-masing mengandung gagasan baru yang, oleh penginisiasi gagasan tersebut, disebarluaskan ke masyarakat untuk menjawab masalah. Dari ketiga kasus difusi TIK yang dibahas di sini, hanya kasus Digital Learning yang melibatkan hasil penelitian dari perguruan tinggi. Pada kedua kasus yang lainnya, difusi TIK melibatkan pemasok non-peneliti. Berikut ini didiskusikan pelajaran yang dapat dipetik dari pembahasan ketiga kasus difusi TIK tersebut. 5.3.4.1 Ketersediaan Pilihan dan Negosiasi Kebutuhan Pada kasus Digital Learning, pilihan TIK telah ditetapkan (pre-selected) sebelum projek diimplementasikan. Pilihan TIK tersebut merupakan sebagian saja dari keseluruhan hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan di lingkungan PPTIK ITB. Banyak dari hasil-hasil tersebut merupakan penelitian maju (advanced research) yang dipublikasikan di tingkat internasional. Para peneliti di lingkungan PPTIK ITB juga memiliki relasi-relasi dengan para peneliti di luar negeri seperti di Jepang dan Amerika Serikat. Kelebihan yang dimiliki oleh PPTIK ITB adalah tingkat produktivitas yang tinggi dalam penelitian yang bertaraf internasional, dan relasi-relasi dengan para peneliti di luar negeri. Tetapi, dalam konteks penyelenggaraan projek Digital Learning, kelebihan ini justru menjadi faktor pembatas. Tidak banyak dari hasil-hasil penelitian yang dapat ditawarkan melalui projek Digital Learning, karena sebagian besar hasilhasil penelitian tersebut berorientasi pada penelitian maju yang disesuaikan dengan kecenderungan di forum ilmiah internasional. Dalam kasus RadioInternet Community, pilihan-pilihan TIK juga relatif terbatas karena baik 82
Ketiga kasus ini dapat dikategorikan sebagai difusi iptek/inovasi sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Rogers (2003).
178
ke dalam inovasi
penginisiasi projek maupun LSM Pattiro bukan merupakan pemasok iptek. Tetapi dalam kasus ini penginisiasi projek memanfaatkan iptek yang telah ada dan digunakan di masyarakat Limbangan. Pembahasan ketiga kasus difusi TIK tersebut memperlihatkan pentingnya ketersediaan pilihan-pilihan TIK. Argumennya sederhana. Kebutuhan akan TIK bukan sesuatu yang sudah diketahui secara pasti di awal proses difusi TIK. Kebutuhan akan TIK mulai dipahami ketika berbagai pihak yang berpartisipasi dalam proses difusi, terlibat dalam interaksi dan negosiasi. Melalui interaksi dan negosiasi tersebut, disepakati kebutuhan TIK yang akan dijawab melalui pasokan TIK yang disediakan oleh penginisiasi difusi. Jadi, kebutuhan TIK merupakan hasil kesepakatan, bukan sesuatu yang sudah dipahami sejak awal. Peluang tercapainya kesepakatan tersebut bergantung pada ketersediaan pilihan-pilihan TIK. Jika tidak ada pilihan, tidak ada hal-hal yang dapat dinegosiasikan. Dalam situasi seperti ini, hanya ada dua kemungkinan: terima pilihan yang ditawarkan, atau tolak. Dalam kasus Digital Learning di Cinta Mekar, pihak PPTIK ITB mengalami kesulitan untuk bernegosiasi dikarenakan keterbatasan pilihan TIK yang dapat mereka tawarkan. Meski di lingkungan PPTIK ITB terdapat banyak hasil penelitian, sebagian besar dari penelitian ini merupakan penelitian bertaraf internasional, yaitu penelitian dengan topik-topik yang disesuaikan dengan kecenderungan di forum ilmiah internasional. Dalam kasus Kampung Digital di Sampali, pihak PT. Telkom memiliki pilihan-pilihan peralatan TIK dan programprogram pelatihan yang terakumulasi melalui pengalaman mereka. Dengan adanya pilihan-pilihan ini, PT. Telkom relatif leluasa untuk bernegosiasi dengan pihak-pihak di Sampali berkenaan dengan kebutuhan TIK yang akan dipenuhi oleh PT. Telkom. Dalam kasus Radio-Internet Community, penginisiasi projek berpijak pada peralatan TIK dan praktis yang sudah dikenal masyarakat, yaitu praktis Radio Community. Ia pun terlibat dalam mengelola dan membina Radio Community di Limbangan. Dalam situasi demikian, kebutuhan TIK relatif sudah dipahami. Yang ia lakukan adalah menstimulasi kebutuhan-kebutuhan baru, dengan berpijak pada kebutuhan yang sudah ada. Dalam kasus ini, keterbatasan pilihan TIK bukan merupakan hambatan bagi difusi, karena kebutuhan akan TIK relatif sudah dipahami dan disepakati.
transformasi penelitian
179
Jadi, sebuah pelajaran yang dapat dipetik dari pembahasan ketiga kasus difusi TIK terdahulu adalah bahwa kesesuaian antara pilihan TIK dan kebutuhan akan TIK merupakan faktor yang menentukan keberhasilan difusi TIK. Kebutuhan akan TIK bukan merupakan sesuatu yang telah dipahami semua pihak di awal difusi. Alih-alih demikian, kebutuhan tersebut dipelajari oleh berbagai pihak melalui interaksi di antara mereka. Pada akhirnya, kebutuhan mana yang ditetapkan untuk dijawab, bergantung pada proses negosiasi dan kesepakatan. Ruang negoiasi akan terbuka lebar bila cukup tersedia pilihan-pilihan TIK. Sebaliknya, bila terbatas pilihan-pilihan TIK yang tersedia, terbatas juga ruang negosiasi tersebut. 5.3.4.2 Keselarasan Jejaring Teknikal dan Jejaring Sosial Kasus-kasus difusi TIK yang dibahas di atas juga memperlihatkan karakteristik yang spesifik dari pemanfaatan TIK. Dalam inisiasi Digital Learning di Cinta Mekar, dapat dikatakan bahwa tidak ada kebutuhan akan TIK. Hal ini berkaitan dengan relasi-relasi sosial warga Cinta Mekar yang relatif bersifat lokal. Dalam kasus Radio-Internet Community di Limbangan dan Kampung Digital di Sampali, dapat dikatakan bahwa para pemuda dan pelajar berperanan sebagai pengadopsi awal (early adopter). Mereka ini adalah individu-individu yang memiliki relasi sosial yang luas (non-lokal), baik dalam bentuk kegiatan sosial maupun kegiatan belajar. Tentu saja tidak semua pemuda dan pelajar yang berperanan sebagai pengadopsi awal. Para peternak di Sampali telah menginisiasi perdagangan keluar wilayah lokal sebelum projek Kampung Digital dikenalkan pada mereka. Pengenalan peralatan TIK di PIM berhasil menstimulasi timbulnya kebutuhan baru, yaitu kebutuhan untuk meproduksi dan memasarkan pupuk organik dengan memanfaatkan TIK yang tersedia di PIM. Sebaliknya, kegiatan para petani di Cinta Mekar relatif bersifat lokal. Pengenalan TIK pada mereka tidak berhasil menstimulasi kebutuhan-kebutuhan yang baru. Di Sampali, TIK diadopsi juga kemudian oleh ibu-ibu pengelola PKK. Mereka ini dapat dipandang sebagai kalangan ibu-ibu yang aktif dalam kegiatan sosial. Jadi, ketiga kasus difusi TIK yang dibahas di atas memperlihatkan adanya hubungan yang positif antara keterlibatan seseorang dalam suatu jejaring sosial
180
ke dalam inovasi
dan kebutuhan akan TIK. Kebutuhan akan TIK relatif mudah distimulasi pada mereka yang terlibat aktif dalam jejaring sosial tertentu. Ketiga kasus di atas memperlihatkan bahwa komunitas belajar (baik formal maupun non-formal) berperanan sebagai pengadopsi awal. Bila ditelusuri lebih jauh, kegiatan belajar mereka itu merupakan kegiatan yang bersifat non-lokal. Para petani (peternak) berbeda pola partisipasinya dalam kegiatan ekonomik. Terdapat petani (peternak) yang hanya terlibat dalam kegiatan ekonomik lokal, terdapat petani (peternak) yang telah terlibat dalam transaksi pasar non-lokal. Tabel 5.2 berikut ini merangkum pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik dari pembahasan ketiga kasus difusi TIK di atas. Tabel 5.2 Aspek-Aspek Sosial dan Teknikal dari Difusi TIK Digital Learning di Cinta Mekar
Radio-Internet Community di Limbangan
Kampung Digital di Sampali
Ketersediaan Pilihan TIK
Relatif terbatas (pilihan TIK telah ditetapkan di awal difusi)
Relatif terbatas (pihak-pihak penginisiasi bukan merupakan pemasok TIK)
Cukup bervariasi (pihak donor merupakan perusahaan pemasok TIK yang berpengalaman)
Kebutuhan Akan TIK
Kurang berhasil distimulasi dikarenakan terbatasnya ruang negosiasi, dan kondisi sosial yang berlaku
Berhasil distimulasi meski pilihan TIK terbatas; ini dilakukan dengan berpijak pada kebutuhan yang sudah diketahui dan TIK yang sudah digunakan
Berhasil distimulasi meski disertai dengan ketidakpastian yang tinggi; cukupnya ketersediaan pilihan TIK memungkinkan dilakukannya negosiasi-negosiasi dengan berbagai kelompok di
transformasi penelitian
181
masyarakat Jejaring Sosial
Relatif terbatas; relasi-relasi sosial warga relatif bersifat lokal
Relatif meluas pada sebagian kaum muda dan pelajar; keberadaan Radio Community telah memperluas relasi-relasi sosial di Limbangan
Relatif meluas pada sebagian kaum muda dan pelajar, sebagian peternak, dan ibu-ibu PKK ;
Jejaring Teknikal
Jejaring teknikal yang ditawarkan tidak sesuai untuk memperluas relasirelasi sosial yang ada
Secara berangsurangsur, jejaring teknikal yang dikembangkan berhasil memperluas jejaring sosial yang ada pada Radio Community
Terdapat keragaman situasi; pada PIM Pondok Rawa jejaring teknikal yang dikembangkan berhasil memperluas berbagai relasi sosial dan ekonomik, tetapi pada PIM Balai Desa tidak terjadi perluasan relasi sosial dikarenakan adanya penolakan dari pejabat setempat
182
5.4
ke dalam inovasi
Diskusi
Pencarian fakta ilmiah berkaitan dengan semburan lumpur dan pengenalan TIK di perdesaan, keduanya dapat dikategorikan sebagai kasus difusi iptek. Keduanya bermula dari suatu persepsi akan masalah, dan pilihan-pilihan iptek diperkenalkan untuk diadopsi sebagai jawaban atas masalah tersebut. Dalam kasus yang pertama, masalah sengketa hukum diharapkan akan bisa dijawab bila suatu fakta ilmiah berhasil diungkapkan dan diadopsi oleh berbagai pihak yang bersengketa. Dalam kasus yang kedua, digital divide diharapkan dapat diatasi bila TIK diadopsi oleh masyarakat perdesaan. Dalam kerangka kerja konseptual yang digunakan Rogers (2003), kedua kasus tersebut mewakili kasus difusi iptek. Berdasarkan kajian atas kedua kasus tersebut, berikut ini didiskusikan isu-isu yang relevan dengan model difusi iptek yang dikemukakan dalam Rogers (2003). Gagasan difusi iptek (atau difusi inovasi) menyarankan adanya perbedaan konsentrasi antara dua pihak atau kelompok sosial yang, pada gilirannya, menjadi sebuah faktor pendorong difusi (Gambar 5.3). Di satu sisi terdapat pihak atau kelompok sosial yang merupakan sumber gagasan (sumber iptek), di lain sisi terdapat pihak atau kelompok sosial yang merupakan (calon) pengadopsi gagasan (iptek). Di antara kedua pihak atau kelompok sosial tersebut terdapat perbedaan konsentrasi gagasan (iptek). Difusi gagasan (iptek) dapat terjadi dikarenakan perbedaan konsentrasi tersebut. Melalui kajian-kajian kasus yang ekstensif, Rogers (2003) menyarankan peranan penting kanal komunikasi, waktu, dan sistem sosial dalam menentukan laju difusi iptek. Kanal komunikasi merupakan beragam moda komunikasi (formal atau non-formal, langsung atau melalui media, antarkelompok atau antarindividu). Waktu di sini berkaitan dengan kecepatan pengambilan keputusan-keputusan, dan juga ketepatan waktu (tidak terlalu dini atau terlambat) keputusan-keputusan tersebut diambil. Sistem sosial mencakup nilainilai, norma-norma, perilaku, tradisi, dan kepranataan sosial yang berlaku.
transformasi penelitian x
Difusi Gagasan
x x
x x
xx
x x
x
x
x
x
x
: Gagasan (iptek) baru
x
: Gagasan yang lama
x x
x
x
x
x
x
x x
Pihak/Kelompok Penginisiasi dengan Konsentrasi Gagasan (Iptek) Baru
x x
x
x
x x
x
Kanal Komunikasi
183
x x
Pihak/Kelompok (calon) Pengadopsi dengan
x
x
x x
x
x
x
Pihak/Kelompok Penginisiasi dengan Konsentrasi Gagasan (Iptek) Baru
x
: Gagasan (iptek) baru
x
: Gagasan yang lama
x
x
x
x
x x
Pihak/Kelompok (calon) Pengadopsi dengan
Gambar 5.3 Ilustrasi tentang Logika Linier dalam Gagasan Difusi Iptek Jadi, model difusi iptek yang disarankan oleh Rogers (2003) bersandar pada kaidah-kaidah komunikasi, moda-moda pengambilan keputusan, dan teori-teori sosial (khususnya komunikasi sosial). Meski demikian, model difusi iptek tersebut menganut logika yang linier. Model tersebut mengasumsikan adanya aliran gagasan (iptek) secara satu arah dari pihak penginisiasi ke pihak pengadopsi. Dalam model linier inovasi, aliran iptek bergerak dari penelitian dasar menuju ke pengguna iptek. Dalam model difusi iptek, aliran bergerak dari area dengan konsentrasi gagasan yang tinggi ke area lain dengan konsentrasi gagasan yang relatif lebih rendah. Berdasarkan pemaparan kasus semburan Lumpur Panas dan difusi TIK yang disampaikan terdahulu, berikut ini didiskusikan isu-isu yang berkaitan dengan model difusi iptek tersebut: Gagasan (iptek) baru Inovasi melibatkan gagasan atau iptek yang baru. Tetapi gagasan (iptek) yang mengalami difusi belum tentu merupakan gagasan (iptek) yang dihasilkan di awal proses difusi. Kebutuhan akan iptek bukan merupakan sesuatu yang dapat dipahami secara pasti di awal proses difusi. Alih-alih demikian, kebutuhan akan iptek berkembang melalui interaksi dan negosiasi antara pihak
184
ke dalam inovasi
penginisiasi dan pihak pengadopsi. Jadi, apa pun yang ditawarkan di awal difusi sangat mungkin mengalami modifikasi-modifikasi di sepanjang proses difusi. Pihak-pihak pengadopsi berpeluang untuk berkontribusi dalam modifikasimodifikasi tersebut. Sebagai konsekuensinya, status penginisiasi dan status pengadopsi bukanlah dua hal yang berbeda secara tegas. Pihak pengadopsi mungkin saja memiliki peranan sebagai penginisiasi juga, meski hanya secara parsial. Komunikasi Dalam difusi iptek, komunikasi bersifat lebih kompleks dari sekadar diseminasi gagasan. Pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi tidak beroperasi di ‗ruang hampa‘. Mereka yang berpartisipasi dalam komunikasi telah memiliki relasi-relasi sosial dan relasi-relasi teknikal. Oleh karena ini, komunikasi tersebut melibatkan negosiasi-negosiasi yang kompleks, yang mungkin saja melibatkan pihak-pihak yang tidak secara langsung berkepentingan dengan difusi iptek. Melalui negosiasi-negosiasi tersebut, berbagai pihak yang terlibat melakukan penyesuaianpenyesuaian untuk sampai pada kesepakatan. Ketersediaan pilihan-pilihan iptek merupakan sebuah faktor penting yang menentukan peluang bagi upaya penyesuaian-penyesuaian. Makin terbatas ketersediaan iptek, makin terbatas juga peluang bagi terjadinya penyesuaian-penyesuaian. Waktu Dalam gagasan Rogers (2003), waktu berkaitan dengan ketepatan dan kecepatan pengambilan keputusan. Ketepatan waktu pengambilan keputusan berkaitan dengan ketepatan interaksi. Dalam kasus difusi TIK di Cinta Mekar, pihak penginisiasi menjalin relasi dengan tokoh setempat yang, belakangan, disadari bahwa tokoh tersebut bukan merupakan pelaku yang tepat. Tokoh tersebut, meski berhasil menjadi perantara dalam adopsi
transformasi penelitian
185
teknologi mikro hidro, bukan merupakan ‗simpul‘ yang tepat bagi adopsi TIK. Kecepatan pengambilan keputusan berkaitan dengan efektivitas negosiasi-negosiasi. Di sini, ketersediaan dan akses ke pilihan-pilihan iptek merupakan faktor yang penting. Sistem Sosial Perhatian pada sistem sosial penting bukan sebatas untuk mengetahui tingkat kesiapan atau tingkat penerimaan. Kasus semburan Lumpur Panas memperlihatkan bahwa penolakan dan konflik sosial dapat menjadi sumber inovasi itu sendiri. Keberadaan konflik menjadi sebuah faktor yang menggiring berbagai pihak untuk terlibat dalam perlombaan inovasi (innovation race). Dengan perkataan lain, penolakan sosial tidak harus dipandang sebagai penghalang inovasi. Selama peluang bagi inovasi tetap terbuka, adanya penolakan, kontroversi atau bahkan konfllik dapat menjadi sebuah sumber pemacu produksi gagasan-gagasan yang lebih baik. Table 5.3 Isu-Isu Non-Linier dalam Difusi Iptek (Inovasi) Model Linier Difusi Iptek
Aspek-Aspek Non-Linier
(Rogers, 2003)
Inovasi
Gagasan atau iptek yang dipersepsi baru oleh pengadopsi
Kebaruan gagasan (iptek) bergantung pada pemahaman dan kesepakatan akan kebutuhan; pemahaman akan kebutuhan berkembang melalui interaksi dan negosiasi di sepanjang proses difusi; gagasan (iptek) yang ditawarkan di awal belum tentu merupakan gagasan (iptek) yang pada akhirnya diadopsi
186
ke dalam inovasi
Komuni -kasi
Waktu
Sistem Sosial
Kanal-kanal (global/lokal) (media massa/ interpersonal) yang melalui ini inovasi mengalir
Komunikasi lebih kompleks dari sebatas diseminasi gagasan; komunikasi tersebut melibatkan negosiasi-negosiasi yang kompleks, yang mungkin saja melibatkan pihak-pihak yang tidak secara langsung berkepentingan dengan difusi iptek; negosiasi-negosiasi tersebut memerlukan penyesuaian-penyesuaian pada berbagai pihak yang terlibat; ketersediaan pilihan-pilihan iptek menentukan kelonggaran ruang negosiasi (atau ruang komunikasi) dan peluang terjadinya penyesuaianpenyesuaian.
Ketepatan dan kecepatan pengambilan keputusan untuk mengadopsi gagasan
Ketepatan waktu pengambilan keputusan berkaitan dengan ketepatan interaksi; kecepatan pengambilan keputusan berkaitan dengan efektivitas negosiasi-negosiasi.
Nilai-nilai, normanorma, tradisi, kepranataan sosial yang menentukan peluang komunikasi dan tingkat penerimaan gagasan
Peranan sistem sosial tidak sebatas pasif—kesiapan sosial dan penerimaan sosial; penolakan, kontroversi dan konflik sosial dapat berperanan aktif, yaitu sebagai sumber pemacu pengembangan gagasan-gagasan yang lebih baik.
Berbagai isu yang dibahas di sini dirangkum dalam Tabel 5.3. Sebagaimana diperlihatkan pada tabel tersebut, meski aspek-aspek difusi iptek yang diusulkan Rogers (2003) tetap relevan, asumsi linier dalam model tersebut masih memerlukan koreksi-koreksi.[]
transformasi penelitian
187
Bab 6 MODEL JEJARING INOVASI
6.1 Pendahuluan
Keterpautan antara litbang iptek, di satu sisi, dan pemanfaatan iptek, di lain sisi, merupakan persyaratan bagi transformasi penelitian ke dalam inovasi. Sebagaimana didiskusikan di Bab 2, gagasan tentang sistem inovasi menawarkan kondisi-kondisi kesisteman yang, bila dipenuhi, memungkinkan terjadinya transformasi penelitian ke dalam inovasi. Meski demikian, gagasan sistem inovasi tidak memberikan penjelasan tentang bagaimana kondisi-kondisi tersebut secara aktual dapat terwujud. Dalam beberapa tahun belakangan, para peneliti/skolar inovasi mulai menggali karakteristik dari penelitian dan inovasi dalam situasi-situasi aktual yang khusus. Pemahaman mengenai karakteristik dari penelitian dan inovasi tersebut diperlukan untuk menemukenali peluangpeluang untuk secara aktual mewujudkan kondisi-kondisi yang disarankan dalam gagasan sistem inovasi. Dalam Bab 3 dan Bab 4 buku ini telah dipaparkan pola-pola relasi yang dijalin oleh para peneliti di perguruan tinggi, di balitbang, di lembaga penelitian non-kementerian dan di perusahaan swasta. Pola dan struktur relasi-relasi yang relevan bagi difusi iptek telah didiskusikan melalui kasus-kasus yang dipaparkan di Bab 5. Diskusi atas temuan-temuan empirikal yang dipaparkan di ketiga bab tersebut memperlihatkan adanya keragaman pola variasi-seleksi yang ditempuh oleh para peneliti, baik di hulu maupun di hilir. Keragaman pola variasi-seleksi ini bersesuaian dengan keragaman jejaring-jejaring relasi yang dijalin dan dikembangkan oleh para peneliti.
188
ke dalam inovasi
Pembahasan dalam bab ini berfokus pada ekstraksi teoretikal atas hasil-hasil yang dipaparkan dan didiskusikan di bab-bab terdahulu tersebut. Pertama-tama akan didiskusikan karakteristik jejaring dari penelitian dan difusi iptek. Kemudian akan didiskusikan bagaimana karakteristik jejaring ini membawa implikasi pada pola lintasan-lintasan penelitian iptek, dan peluang-peluang untuk mengintegrasikan penelitian iptek dan pemanfaatan iptek. Implikasiimplikasi dari isu-isu teoretikal tersebut pada kebijakan iptek akan dibahas di Bab 7. 6.2 Variasi-Seleksi melalui Jejaring Penelitian, tentu saja, merupakan kegiatan yang bersifat kognitif. Lebih spesifiknya, penelitian merupakan kegiatan kognitif dengan moda variasiseleksi. Tetapi terdapat aspek penting yang lain dari penelitian, yang terungkap melalui hasil penelusuran empirikal yang dipaparkan di bab-bab terdahulu. Variasi-seleksi (kognitif) yang ditempuh oleh para peneliti melibatkan makalahmakalah ilmiah, instrumen-instrumen ukur, perangkat-perangkat eksperimen, asosiasi-asosiasi keilmuan, seminar-seminar dan sponsor-sponsor penelitian. Penuturan-penuturan para peneliti, baik di perguruan tinggi, di balitbang, di lembaga penelitian non-kementerian, maupun di perusahaan swasta mengungkapkan pentingnya ini semua. Melalui makalah ilmiah, instrumen ukur, perangkat eksperimen, asosiasi keilmuan dan sponsor—unsur-unsur nonkognitif—seorang peneliti masuk ke dalam suatu konstelasi relasi-relasi yang tersebar (distributed relations). Dalam kasus semburan Lumpur Panas di Bab 5, sebaran relasi-relasi yang dikembangkan oleh para peneliti menimbulkan suatu keselarasan antara ‗pertandingan fakta ilmiah‘ dan pertentangan kepentingan kelompok (sosial). Suatu makalah ilmiah dalam sebuah jurnal ilmiah ditulis oleh sekelompok peneliti dari beberapa perguruan tinggi yang mungkin berasal dari negaranegara yang berbeda. Lebih jauh lagi, sebuah makalah ilmiah berhubungan dengan makalah-makalah ilmiah yang lain dalam jurnal-jurnal ilmiah yang lain juga. Dengan perkataan lain, sebuah makalah ilmiah merupakan bagian dari suatu jejaring relasi-relasi yang menghubungkan para peneliti dari berbagai
transformasi penelitian
189
lembaga yang berbeda, wilayah geografis yang berbeda, dan bahkan bekerja pada waktu-waktu yang berbeda—relasi-relasi yang tersebar secara ruang dan waktu. Asosiasi-asosiasi keilmuan dan seminar-seminar mempertemukan para peneliti dari berbagai tempat. Dalam pertemuan-pertemuan ini, makalahmakalah ‗bersirkulasi‘ menghubungkan satu asosiasi dengan asosiasi yang lain, satu seminar dengan seminar yang lain. Jadi, ketika seorang peneliti menggunakan sebuah makalah ilmiah dalam suatu jurnal ilmiah dan terlibat dalam suatu asosiasi keilmuan/seminar, ia masuk ke dalam jejaring relasi-relasi yang tersebar secara ruang dan waktu. Makin intensif seorang peneliti berinteraksi dengan makalah-makalah ilmiah, makin intensif ia terikat dalam jejaring tersebut. Instrumen ukur dan perangkat eksperimen dirancang dan dioperasionalkan berdasarkan kaidah-kaidah tertentu yang disepakati oleh kelompokkelompok/asosiasi-asosiasi ilmuwan tertentu, organisasi-organisasi standar, dan juga para pabrikan yang memanufaktur instrumen dan perangkat eksperimen tersebut. Bukan hanya penggunaan instrumen ukur yang ‗keras, penggunaan instrumen ukur yang ‗lunak‘ seperti lembar survei dan teknik analisis statistika yang terkait juga mempersyaratkan kepatuhan akan kaidah-kaidah tertentu yang disepakati oleh kelompok-kelompok peneliti tertentu. Jadi, seperti halnya dengan makalah ilmiah, instrumen ukur dan perangkat eksperimen juga merupakan bagian dari jejaring relasi-relasi. Seorang peneliti yang menggunakan instrumen-instrumen ukur atau perangkat-perangkat eksperimen harus mempelajari berbagai kaidah operasional. Jika kaidah-kaidah penggunaan instrumen/perangkat ukur tidak dipatuhi, suatu hasil penelitian berisiko dinilai tidak absah. Sponsor-sponsor penelitian memegang agenda tertentu yang disepakati oleh sejumlah pihak (badan-badan internasional, lembaga-lembaga kebijakan, asosiasi-asosiasi perusahaan, LSM_LSM, dan lain-lain). Ketika seorang peneliti mengajukan proposal penelitian pada sponsor tertentu, ia harus melakukan penyesuaian-penyesuaian. Suatu proposal penelitian yang tidak sesuai dengan agenda sponsor penelitian berisiko ditolak untuk didanai. Selain ini, dalam sebuah lembaga penelitian (seperti balitbang atau lembaga penelitian nonkementerian), suatu proposal penelitian harus sesuai dengan kebijakan lembaga.
190
ke dalam inovasi
Makalah ilmiah, instrumen ukur, perangkat eksperimen, asosiasi keilmuan, seminar dan sponsor penelitian ini semua merupakan faktor non-kognitif yang penting bagi suatu penelitian. Ketika melakukan penelitian, seorang peneliti menjalin relasi-relasi dengan berbagai unsur tersebut selain melakukan kegiatan kognitif (seperti menjalankan logico-empirism, menguji/menyangkal hipotesis, melakukan eksplorasi hermenetik, dan lain-lain). Lintasan variasi-seleksi yang ditempuh oleh seorang peneliti dibentuk oleh faktor kognitif dan faktor nonkognitif tersebut. Khususnya, faktor non-kognitif membuat penelitian memiliki karakter jejaring yang tersebar. Tetapi seorang peneliti juga memiliki relasi-relasi yang bersifat lokal. Seorang dosen terdaftar sebagai pengajar di program studi tertentu, di fakultas tertentu. Seorang peneliti di lembaga penelitian terikat pada tugas pokok dan fungsi tertentu. Untuk keperluan karir, seorang dosen/peneliti harus secara berkala mengisi formulir-formulir administrasi, dan menunjukkan pada atasan (struktural) bahwa apa-apa yang ia kerjakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan lembaga. Jadi, seorang peneliti terlibat dalam dua jenis relasi sekaligus: relasi tersebar/global dan relasi lokal. Sampai batas tertentu, seorang peneliti memiliki kebebasan untuk memilih apakah memperkuat relasi-relasi global, ataukah memperkuat relasi-relasi lokal, ataukah meyeimbangkan keduanya. Penuturanpenuturan para peneliti yang dipaparkan di Bab 3 dan Bab 4 memperlihatkan adanya kebebasan ini. Karakteristik jejaring dari suatu penelitian dapat dinyatakan dengan menggunakan graf83 (graph), sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 6.1 dan Gambar 6.2. Dalam Gambar 6.1 diilustrasikan bahwa seorang peneliti, melalui penelitiannya, mengembangkan relasi-relasi tersebar dan relasi-relasi lokal. Dalam Gambar 6.2 diperlihatkan (dengan banyak penyederhanaan) relasi-relasi tersebar yang dimiliki para peneliti yang terlibat dalam produksi fakta ilmiah
83
Dalam matematika, graf (graph) merupakan konsep abstrak yang tersusun atas dua unsur yang sederhana: entitas (lazim divisualkan sebagai titik, vertex) dan relasi (divisualkan sebagai garis, edge). Abstraksi demikian memungkinkan analisis sifat-sifat struktural dari jejaring-jejaring konkret yang kompleks. Meskipun mungkin dilakukan, pembahasan dalam buku ini tidak masuk ke dalam analisis graf jejaring-jejaring penelitian.
transformasi penelitian
191
berkenaan dengan fenomena semburan Lumpur Panas, seperti yang dibahas di Bab 5.
Relasi-Relasi dengan Unsur-Unsur Non-Lokal
: Peneliti
Relasi-Relasi dengan Unsur-Unsur Lokal : Unsur-Unsur Lokal & Non-Lokal
Gambar 6.1 Respresentasi Graf dari Jejaring Penelitian Fenomena Lumpur Panas
LSM Warga Lokal
Fakta Kawasan
Drilling reports
Jurnal Ilmiah Laboratorium
Lapindo
Buku Teks & Jurnal Ilmiah
Jejaring Relasi terkait Fakta UGBO
Aspermigas IAGI
Jejaring Relasi terkait Fakta MV-earthquake : Peneliti : Unsur-Unsur Lokal & Non-Lokal
Gambar 6.2 Respresentasi Graf dari Jejaring-Jejaring Penelitian dalam Kasus Semburan Lumpur Panas
192
ke dalam inovasi
Variasi-seleksi kognitif tentu saja bukan hal yang khas pada penelitian, melainkan terjadi para setiap pembelajaran (learning). Misalnya, pada organisasiorganisasi komersial yang menerapkan prinsip knowledge management, pembelajaran berlangsung melalui sirkulasi media (teks, dokumen, simbol) untuk mempercepat dan memperluas pertukaran gagasan-gagasan di antara sesama anggota organisasi di berbagai lapisan struktural. Sirkulasi ini membuat relasi-relasi di antara para anggota organisasi menjadi lebih padat. Meski demikian, relasi-relasi tersebut relatif bersifat lokal. Relasi-relasi tersebar dapat diamati dalam perusahaan-perusahaan manufaktur. Dalam ruang perakitan terdapat banyak komponen teknikal yang berasal dari berbagai perusahaan pemasok/pabrikan. Tetapi kegiatan perakitan bukanlah kegiatan pembelajaran. Suatu perakitan berlangsung mengikuti prosedur yang ketat, dan prosedur ini ditetapkan sebelum perakitan dimulai oleh pihak pengelola perusahaan, berbagai insinyur perancang, dan organisasi-organisasi standar. Variasi-seleksi merupakan hal yang dihindari dalam kegiatan perakitan. Suatu variasi dapat dinilai sebagai penyimpangan terhadap standar teknikal. Jadi, variasi-seleksi tanpa relasi-relasi tersebar berlangsung di organisasi-organisasi komersial dan relasi-relasi tersebar tanpa variasi-seleksi terjadi di ruang-ruang perakitan. Variasi-seleksi yang disertai dengan relasi-relasi tersebar tampaknya merupakan hal yang khas pada penelitian. Mungkinkah relasi-relasi seorang peneliti dibatasi dalam ruang lingkup yang lokal atau terkonsentrasi? Tentu saja hal ini mungkin dilakukan dengan cara misalnya, membatasi topik-topik yang boleh diteliti, makalah-makalah ilmiah/buku-buku teks yang boleh diacu, instrumen-instrumen/perangkatperangkat eksperimen yang boleh digunakan, dan lain-lain. Tetapi jika berbagai pembatasan diberlakukan, yang terjadi adalah ruang variasi-seleksi menjadi sangat terbatas. Akibat yang lebih jauh dari pembatasan ini adalah suatu penelitian akan kehilangan kebaruan (novelty). Dan pemanfaatan hasil penelitian yang tidak mengandung kebaruan tidak akan menghasilkan inovasi. Kebaruan penelitian dan inovasi mempersyaratkan adanya ruang variasi-seleksi yang cukup luas dan relasi-relasi tersebar yang membentang ruang variasi-seleksi tersebut. Tetapi ketersebaran relasi-relasi tersebut menimbulkan tantangan tersendiri bagi transformasi penelitian ke dalam inovasi.
transformasi penelitian
6.2.1
193
Kelembaman Jejaring
Ketika seorang peneliti hulu menolak untuk melakukan penelitian hilir (atau sebaliknya), atau ketika seorang peneliti enggan melakukan penelitian yang diprioritaskan oleh pembuat kebijakan, apakah hal ini disebabkan oleh faktor ego? Tentu saja ego merupakan sebuah faktor yang mempengaruhi perilaku. Tetapi penjelasan seperti ini terlalu umum karena setiap manusia, bukan hanya para peneliti, memiliki ego. Penjelasan yang lebih khusus dapat ditelusuri pada karakteristik jejaring dari penelitian. Apakah mudah bagi seorang peneliti untuk mengubah atau menggeser orientasi penelitiannya? Kalau seorang peneliti hulu bersedia ‗turun‘ ke hilir, atau peneliti hilir ‗naik‘ ke hulu, ia akan menghadapi kendala-kendala jejaring (network constraints). Tidak mudah bagi seorang peneliti hilir untuk menjalin hubungan dengan seorang peneliti hulu kalau, untuk ini, ia juga perlu menjalin hubungan dengan asosiasi keilmuan yang menjadi mitra peneliti hulu tersebut. Sebaliknya, tidak mudah juga seorang peneliti hulu untuk menjalin hubungan dengan seorang peneliti hilir kalau, untuk ini, ia juga perlu menjalin hubungan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bermitra dengan peneliti hilir tersebut. Untuk mengubah atau menggeser orientasi penelitian, seorang peneliti perlu membaca banyak buku teks dan makalah-makalah yang bagi dia baru. Sulitnya menjalin relasi dengan buku-buku teks dan jurnal-jurnal ilmiah yang baru dapat diamati pada para mahasiswa doktoral yang baru memulai kajian literatur di tahap awal penyusunan disertasi. Bagi seorang peneliti eksperimental, mengubah orientasi penelitian berimplikasi penggunaan perangkat-perangkat eksperimen yang baru. Bukan hanya ini, memulai penelitian dalam orientasi yang baru seorang peneliti perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan komunitas-komunitas keilmuan yang baru dan juga sponsor-sponsor penelitian yang baru. Dan implikasi dari ini semua, seorang peneliti yang mengubah orientasi penelitiannya menghadapi risiko melemahnya relasi-relasi yang sudah ia miliki. Jadi, fakta bahwa suatu penelitian berada pada suatu jejaring berimplikasi bahwa perubahan orientasi melibatkan perubahan jejaring: relasi-relasi baru
194
ke dalam inovasi
harus dijalin dan relasi-relasi lama mengalami perlemahan. Prinsipnya, berada pada suatu jejaring berarti terikat pada simpul-simpul yang menyusun jejaring tersebut. Menjalin relasi dengan jejaring yang baru berimplikasi dua gerakan sekaligus: (i) penyesuaian-penyesuaian untuk membangun relasi-relasi dengan berbagai simpul penyusun jejaring baru; dan (ii) penyesuaian-penyesuaian dengan berbagai simpul dari jejaring yang lama. Ketersebaran relasi-relasi yang dimiliki oleh seorang peneliti membuat kebaradaan relasi-relasi tersebut tidak mudah diamati dalam situasi yang normal. Keberadaan jejaring tersebut akan terdeteksi ketika, misalnya, seorang peneliti diminta mengubah arah atau orientasi penelitiannya. Komersialisasi hasil penelitian, relevansi pasar dari penelitian, prioritas penelitian nasional merupakan isu-isu yang, sebagaimana diungkapkan di Bab 3 dan Bab 4, ‗mengusik‘ para peneliti. Ketika sikap para peneliti terhadap isu-isu tersebut digali, menjadi terlihat keberadaan relasi-relasi yang tersebar. Penuturanpenuturan para peneliti mengungkapkan bahwa penyesuaian-penyesuaian relasi-relasi, sebagai respons terhadap isu-isu tersebut, bukanlah hal yang sederhana dan mudah. 6.2.2
Irreversibility Lintasan Penelitian
Jejaring bukanlah hal yang bersifat statik. Suatu jejaring dapat berevolusi menjadi makin padat melalui kehadiran relasi-relasi, ataupun mengalami pengurangan/pelemahan relasi-relasi yang ada. Evolusi jejaring demikian dipelajari dalam Rip dkk (1995). Situasi di mana relasi-relasi baru muncul dan jejaring menjadi makin padat disebut situasi konvergen, dan sebaliknya divergen. Situasi konvergen terjadi ketika, misalnya, berbagai pelaku yang terikat dalam sebuah jejaring mencapai kesepakatan tentang siapa-siapa pelaku yang layak diperhitungkan dalam negosiasi, teori-teori/model-model/metodemetode mana yang dipandang sebagai acuan dalam negosiasi, isu-isu dan aspek-aspek teknikal apa yang menjadi subjek negosiasi. Jika kesepakatankesepakatan tersebut tidak tercapai, maka jejaring relatif bersifat divergen. Jejaring penelitian berkembang melalui serangkaian projek penelitian. Para peneliti bekerja dari satu projek penelitian ke projek penelitian yang lain, dan
transformasi penelitian
195
seiring dengan ini mengembangkan relasi-relasi yang baru. Terdapat dua kemungkinan lintasan yang dihasilkan melalui perkembangan tersebut: lintasan irreversible dan lintasan reversible. Suatu lintasan yang irreversible terbentuk ketika dari satu projek penelitian ke projek penelitian berikutnya berkembang relasi-relasi baru yang makin konvergen. Ini dapat terjadi ketika para pelaku yang terlibat dalam serangkaian projek penelitian saling memperkuat kesepakatan akan pilihan-pilihan teori/model/metode tertentu dan menolak pilihan-pilihan yang lain. Dalam jejaring yang berkembang dengan cara seperti ini, relasi-relasi antara unsurunsur jejaring menjadi makin rapat dan kuat dan pada saat yang sama relasirelasi degan unsur-unsur di luar jejaring makin lemah atau bahkan hilang. Batas antara jejaring dan lingkungannya menjadi tajam. Ketika seorang peneliti berada dalam sebuah jejaring yang berkembang melalui lintasan yang irreversible, akan sulit bagi peneliti tersebut untuk melakukan perubahan orientasi penelitian. Suatu lintasan yang reversible terbentuk ketika dari satu projek penelitian ke projek penelitian yang berikutnya senantiasa terdapat keragaman unsur-unsur jejaring. Ini dapat terjadi, misalnya, ketika para pelaku yang terlibat dalam serangkaian projek penelitian selalu terbuka terhadap pilihan-pilihan teori/model/metode. Jejaring penelitian berkembang makin luas, tetapi pada saat yang sama ruang bagi alternatif-alternatif tetap terbuka. Di setiap tahapan perkembangan jejaring selalu tersedia pilihan-pilihan dalam bentangan yang luas yang memungkinkan reversibility. 6.3 Konstruksi Ruang Pembelajaran dalam Difusi Iptek Dalam suatu difusi iptek, sebagaimana dipaparkan dalam kasus-kasus di Bab 5, bertemu para pelaku penginisiasi (initiator) dan para pelaku pengadopsi (adopter). Kedua kelompok pelaku tersebut terlibat dalam negosiasi-negosiasi mengenai pilihan-pilihan iptek yang dipandang layak dan kriteria-kriteria untuk menetapkan pilihan iptek untuk diadopsi. Dalam kasus semburan Lumpur Panas, pihak-pihak yang berperanan sebagai penginisiasi inovasi adalah Pemerintah (sebagai pihak yang memberikan kewenangan penelitian), para peneliti (sebagai pihak yang menghasilkan fakta ilmiah) dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam sengketa. Pengadopsi iptek di sini adalah para pelaku
196
ke dalam inovasi
penegakan hukum, pihak-pihak yang bersengketa, dan sejumlah LSM yang mewakili komunitas-komunitas lokal. Dalam kasus difusi TIK, pihak-pihak yang berperanan sebagai penginisiasi adalah kelompok peneliti (kasus digital learning), kelompok praktisi (kasus radio-Internet community), pemerintah dan praktisi (kasus digital village), sedangkan pihak-pihak pengadopsi adalah komunitas-komunitas lokal. Baik pelaku penginisiasi maupun pelaku pengadopsi tidak bekerja secara soliter atau terisolasi. Penginsiasi dan pengadopsi terikat dalam relasi-relasi dengan berbagai pihak/unsur lain yang tidak secara langsung terlibat dalam difusi iptek. Para penginisiasi maupun pengadopsi merupakan bagian dari suatu jejaring relasi-relasi—jejaring penginisiasi dan jejaring pengadopsi. Dalam negosiasi-negosiasi mengenai pilihan-pilihan iptek dan kriteria-kriteria seleksi iptek, berlangsung penyesuaian-penyesuaian yang melibatkan unsur-unsur jejaring. Keberhasilan difusi iptek bergantung pada variasi-seleksi yang melibatkan jejaring penginisiasi dan jejaring pengadopsi. Dalam kasus semburan Lumpur Panas, berkembang jejaring-jejaring yang irreversible (masing-masing bersesuaian dengan fakta ilmiah tertentu). Pilihan-pilihan dan kriteria seleksi yang diterima dalam jejaring yang satu, ditolak oleh jejaring yang lain. Situasi ini bersesuaian dengan variasi-seleksi yang relatif sempit. Dalam kasus difusi TIK di Sampali (kasus digital village), pilihan-pilihan TIK berkembang seiring dengan perkembangan jejaring. Jadi, dalam suatu difusi iptek para pelaku terlibat dalam negosiasi-negosiasi dan pengambilan keputusan untuk menerima/ menolak suatu pilihan iptek atau menetapkan pilihan yang baru. Para pelaku tersebut saling berbeda satu dari yang lain. Mereka memiliki tujuan atau goal yang saling berbeda; memiliki kriteria teknikal yang saling berbeda; berpegang pada nilai-nilai sosio-kultural yang berbeda-beda; memiliki pengalaman, pengetahuan dan keterampilan yang berbeda-beda. Keputusan-keputusan yang diambil oleh para pelaku difusi iptek, oleh karenanya, dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dalam tujuan, kriteria, nilai-nilai, pengalaman, pengetahuan serta keterampilan. Ini semua menimbulkan efek-efek non-linier sebagai berikut: Kebaruan gagasan (iptek) bergantung pada pemahaman dan kesepakatan akan kebutuhan, dan pemahaman akan kebutuhan ini berkembang melalui
transformasi penelitian
197
interaksi dan negosiasi di sepanjang proses difusi. Implikasi dari hal ini adalah gagasan (iptek) yang ditawarkan di awal belum tentu merupakan gagasan (iptek) yang pada akhirnya diadopsi; Komunikasi yang terjadi dalam difusi iptek lebih kompleks dari sebatas diseminasi gagasan, dan melibatkan negosiasi-negosiasi yang mungkin saja melibatkan pihak-pihak yang tidak secara langsung berkepentingan dengan difusi iptek. Negosiasi-negosiasi tersebut memerlukan penyesuaianpenyesuaian pada berbagai pihak yang terlibat. Ketersediaan pilihan-pilihan iptek menentukan kelonggaran ruang negosiasi (atau ruang komunikasi) dan peluang terjadinya penyesuaian-penyesuaian; Ketepatan waktu pengambilan keputusan berkaitan dengan ketepatan penentuan mitra-mitra interaksi, sedangkan kecepatan pengambilan keputusan berkaitan dengan efektivitas negosiasi-negosiasi; Kesiapan dan penerimaan sosial, di satu sisi, dan penolakan, kontroversi serta konflik sosial, di lain sisi, keduanya dapat menjadi sumber pemacu perkembangan gagasan-gagasan.
Adanya aspek-aspek non-linier dari difusi iptek tersebut menyarankan bahwa gagasan kanal/saluran komunikasi yang dirumuskan oleh Rogers (2003) kurang memadai. Aspek-aspek non-linier tersebut menyarankan pentingnya gagasan mengenai ruang, yaitu ‗ruang pembelajaran‘ (learning space). Ruang pembelajaran dalam difusi iptek dapat didefinisikan sebagai sekumpulan: (i) kelompok-kelompok penginisiasi, pengadopsi awal kelompok-kelompok yang diwakili oleh pengadopsi awal;
dan
(ii) pilihan-pilihan iptek yang tersedia dan unsur-unsur teknikal yang diacu oleh berbagai kelompok; dan (iii) relasi-relasi antara berbagai kelompok dalam butir (i) dan pilihan-pilihan iptek serta unsur-unsur teknikal dalam butir (ii). Ruang pembelajaran dikatakan luas bila relasi-relasi dalam butir (iii) di atas padat. Dalam situasi demikian, terbuka peluang bahwa pembelajaran yang
198
ke dalam inovasi
berlangsung menghasilkan pilihan-pilihan iptek baru yang sebelumnya tidak ditawarkan oleh kelompok-kelompok penginisiasi. Dalam pembahasan terdahulu, kasus digital learning, kasus radio-Internet community dan kasus digital village merupakan inisiatif-inisiatif difusi iptek dengan pola-pola yang berbeda. Dalam kasus digital learning, relasi-relasi yang terjalin relatif terbatas dan pilihan-pilihan iptek yang berkembang juga terbatas. Dalam kasus radio-Internet community, pada tahapan awal relasi-relasi dan pilihan-pilihan iptek mengalami perkembangan. Tetapi pada tahapan berikutnya, relasi-relasi yang telah berkembang mengalami penyusutan. Dalam kasus digital village, relasi-relasi berkembang luas dan menghasilkan pilihanpilihan iptek baru. Dengan perkataan lain, difusi TIK dalam ketiga kasus ini berlangsung melalui pola-pola konstruksi ruang pembelajaran yang berbedabeda. Perbedaan ini diperlihatkan pada Gambar 6.3. Difusi TIK dalam kasus digital learning berlangsung melalui ruang pembelajaran yang relatif terbatas, sedangkan difusi TIK dalam kasus digital village melalui ruang pembelajaran yang relatif luas. Dalam kasus semburan Lumpur Panas, terdapat fakta-fakta ilmiah yang berbeda yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok peneliti yang berbeda dan terdapat kelompok-kelompok sosial pengadopsi awal. Tetapi relasi-relasi antara ini semua tidak berkembang. Masing-masing kelompok peneliti menempuh lintasan penelitian yang cenderung irreversible dan antara kelompok-kelompok sosial terjadi konflik kepentingan. Agar ruang pembelajaran berkembang, faktafakta ilmiah yang tersedia perlu dapat diakses (accessible) bukan hanya bagi kelompok-kelompok sosial pengadopsi, melainkan juga di antara kelompokkelompok peneliti itu sendiri. Kelompok-kelompok sosial (non-peneliti) perlu mengenal dan cukup memahami bagaimana fakta-fakta ilmiah tersebut dihasilkan. Kelompok-kelompok peneliti yang terlibat dalam persaingan juga perlu saling menguji fakta-fakta ilmiah yang mereka hasilkan. Dihasilkannya fakta-fakta ilmiah oleh kelompok-kelompok peneliti yang bersaing memang menyediakan sumber yang penting bagi inovasi. Tetapi irreversibility dari lintasan-lintasan yang ditempuh oleh kelompok-kelompok penelitian yang berasosiasi dengan kelompok-kelompok sosial yang bertentangan kepentingan menjadi penghalang bagi perkembangan ruang pembelajaran.
transformasi penelitian
Jejaring Penginisiasi
199
Jejaring Pengadopsi Pemasok Iptek
Pilihan Iptek
Pengadopsi Awal
Penginisiasi
Kelompok Sosial
Jejaring Pengadopsi
Jejaring Penginisiasi Pemasok Iptek
Pengadopsi Awal Kelompok Sosial Pilihan Iptek
Pengadopsi Awal
Penginisiasi
Pengadopsi Awal
Kelompok Sosial
Kelompok Sosial
Jejaring Penginisiasi
Jejaring Pengadopsi Pemasok Iptek Kelompok Sosial
Pilihan Iptek 1 Pengadopsi Awal Pilihan Iptek 2 Penginisiasi Pilihan Iptek 3
Pengadopsi Awal
Pengadopsi Awal
Kelompok Sosial
Kelompok Sosial
Gambar 6.3 Representasi Graf dari Ruang Pembelajaran dalam Kasus Difusi TIK: (Atas) Pilihan Iptek dan Pelaku Adopsi Terbatas; (Tengah) Pilihan Iptek Terbatas, Beberapa Pelaku Adopsi Terlibat; (Bawah) Terdapat Variasi dalam Pilihan Iptek, Beberapa Pelaku Adopsi, dan Relasi-Relasi yang Padat
200
6.3.1
ke dalam inovasi
Sebuah Isu Etika
Ketika suatu adopsi iptek memberikan manfaat bagi kelompok sosial tertentu dan pada saat yang sama berdampak buruk bagi kelompok sosial yang lain, timbul permasalahan etika sosial. Kasus semburan Lumpur Panas memperlihatkan sebuah situasi di mana permasalahan etika tersebut menjadi kompleks. Perlombaan scientific discovery yang terjadi antara para peneliti memang menghasilkan pilihan-pilihan, yaitu dalam kasus ini pilihan-pilihan fakta ilmiah. Hal ini membuka ruang pembelajaran bagi berbagai pihak yang terkait/berkepentingan dengan penyelesaian masalah Lumpur Panas tersebut. Tetapi pembelajaran yang berlangsung tampaknya tidak memadai bagi penyelesaian masalah tersebut. Ketersediaan pilihan-pilihan fakta ilmiah tersebut tidak menyediakan basis bagi pencapaian kepastian hukum. Dan ketidakpastian hukum ini membawa implikasi dalam langkah-langkah penanganan dampak sosial. Untuk mencapai kepastian hukum dalam kasus semburan Lumpur Panas, perlombaan scientific discovery yang terjadi perlu sampai pada suatu tahapan yang menghasilkan sebuah fakta ilmiah yang dapat diterima (atau tidak bisa disangkal) oleh berbagai pihak yang terlibat dalam sengketa. Sebuah fakta ilmiah yang diterima secara luas akan dihasilkan bila kelompok-kelompok peneliti yang terlibat dalam perlombaan discovery menjalin interaksi yang erat, alih-alih saling mengisolasi satu dari yang lain. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa para peneliti perlu buru-buru mencapai kesepatan akan suatu fakta ilmiah tertentu, demi tercapainya kepastian hukum. Seorang ilmuwan akan menerima sebuah hipotesis hanya jika terdapat data dan argumen yang mendukung keabsahan hipotesis tersebut. Untuk mendapatkan kesimpulan ilmiah, para ilmuan bersandar pada logico-empirism. Sebagaimana didiskusikan di Bab 2, logico-empirism dapat dilaksanakan dengan dua pendekatan praktikal yang berbeda, yaitu positivism dan falsificationism. Dalam falsificationism, urusan yang pokok adalah penyangkalan, bukan pengukuhan, hipotesis. Bukan hal yang penting hipotesis mana yang pada akhirnya terkukuhkan (melalui penyangkalan-penyangkalan). Yang penting
transformasi penelitian
201
adalah penyangkalan-penyangkalan itu sendiri. Dengan cara demikian, seorang ilmuwan terbebas dari bias untuk mengukuhkan hipotesis tertentu. Dalam kasus semburan Lumpur Panas, interaksi dan kolaborasi antara kelompok-kelompok ilmuwan mungkin dikembangkan bila kelompok-kelompok ilmuwan tersebut mengadopsi pendekatan falsificationism seperti ini. Misalkan bahwa kelompok ilmuwan A melontarkan hipotesis 1 dan kelompok ilmuwan B melontarkan hipotesis 2. Dalam pendekatan falsificationism, kelompok A bekerja untuk menyangkal hipotesis 1 dan kelompok B bekerja untuk menyangkal hipotesis 2. Dalam situasi seperti ini, kelompok B dapat membantu kelompok A untuk menyangkal hipotesis 1 dan, sebaliknya, kelompok A dapat membantu kelompok B untuk menyangkal hipotesis 2. Jika kelompok B berhasil mengumpulkan data dan menyusun argumen yang menyangkal hipotesis 1, hal ini justru membantu kelompok A. Begitu juga dengan yang sebaliknya. Dengan mekanisme demikian, terjalin interaksi antara kelompok A dan kelompok B. Meski masing-masing kelompok ilmuwan mengajukan hipotesis-hipotesis yang berbeda, penggunaan pendekatan falsificationism membuka ruang interaksi antara kelompok-kelompok tersebut. Tetapi jika kedua kelompok ilmuwan tersebut mengadopsi pendekatan positivism, interaksi menjadi sulit dijalin. Dalam situasi seperti ini, masingmasing kelompok ilmuwan berusaha mengumpulkan data dan menyusun argumen yang mendukung hipotesisnya sendiri-sendiri. Kelompok A berupaya untuk mengukuhkan hipotesis 1, kelompok B berupaya mengukuhkan hipotesis 2. Andaikan bahwa kelompok A bekerja membantu kelompok B, yaitu berupaya mengukuhkan hipotesis 2. Jika upaya ini berhasil, terkukuhkannya hipotesis 2 secara tidak langsung melemahkan posisi hipotesis 1. Padahal, urusan pokok kelompok A adalah mengukuhkan hipotesis 1. Begitu juga dengan yang sebaliknya. Dengan perkataan lain, dalam pendekatan positivism persaingan antara kelompok-kelompok ilmuwan cenderung bersifat mutually exclusive. Lebih jauh lagi, dengan mengadopsi falsificationism kelompok ilmuwan A dan kelompok ilmuwan B dapat menjalin kolaborasi untuk menyangkal baik hipotesis 1 maupun hipotesis 2 sekaligus. Dengan cara demikian, kedua kelompok ilmuwan tersebut berpeluang untuk mengembangkan tujuan bersama dan kerangka kerja bersama. Kolaborasi ini akan membuat pekerjaan para ilmuwan menjadi lebih efisien dikarenakan adanya peluang-peluang untuk
202
ke dalam inovasi
bertukar atau berbagi sumber-sumber daya. Dengan perkataan lain, pendekatan falsificationism dapat menghindarkan seorang peneliti dari lintasan penelitian yang irreversible. Hal demikian sulit dicapai bila kelompok-kelompok ilmuwan mengadopsi positivism. Sebagaimana dipaparkan di Bab 5, alih-alih berkolaborasi kelompok-kelompok ilmuwan yang terlibat dalam perlombaan untuk menyingkap fenomena semburan Lumpur Panas justru masuk ke dalam konflik. Kasus semburan Lumpur Panas tersebut memperlihatkan bagaimana positivism dapat membawa pada lintasan penelitian yang irreversible. Jika komitmen seorang ilmuwan adalah untuk mengungkapkan kebenaran, sikap partisan terhadap hipotesis tertentu adalah tidak relevan. Begitu pula, sikap menyerang hipotesis yang diajukan ilmuwan yang lain juga merupakan sikap yang tidak relevan. Satu-satunya yang relevan adalah terungkapnya kebenaran, tidak menjadi soal hipotesis mana yang pada akhirnya terbukti paling absah dan ilmuwan mana yang pada akhirnya berhasil mengungkapkan kebenaran. Jika para ilmuwan yang terlibat dalam perlombaan discovery dalam kasus semburan Lumpur Panas memang berkomitmen pada pengungkapan kebenaran, seharusnya tidak ada penghalang bagi para ilmuwan dari kelompokkelompok yang berbeda untuk berdialog dan saling bertukar pengetahuan. Permasalahan etika dalam difusi iptek dapat diatasi bila para ilmuwan atau peneliti yang terlibat bersikap terbuka satu terhadap yang lain, bersikap terbuka terhadap berbagai alternatif dan kemungkinan, dan menghindari pengambilan kesimpulan secara dini serta sikap-sikap yang (disengaja ataupun tidak) mendekati partisan. 6.4 Prinsip-Prinsip Teoretikal Berdasarkan diskusi-diskusi di atas, berikut ini disampaikan kesimpulankesimpulan berkenaan dengan penelitian iptek, difusi iptek, dan transformasi penelitian ke dalam inovasi. Kegiatan penelitian iptek berlangsung di perguruan-perguruan tinggi, lembaga-lembaga litbang dan, sampai batas intensitas tertentu, di perusahaan-perusahaan swasta, sementara kegiatan penggunaan atau adopsi iptek terjadi di ‗laboratorium masyarakat‘ yang bercirikan adanya keragaman nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan.
transformasi penelitian
203
Penelitian iptek dan difusi iptek keduanya melibatkan variasi-seleksi relasirelasi jejaring, tetapi dengan pola-pola yang berbeda dan melibatkan pelakupelaku yang berbeda. Kegiatan penelitian iptek dapat menghasilkan nilai-nilai tambah jika terjadi difusi hasil penelitian di ‗laboratorium masyarakat‘. Proses ini—transformasi penelitian ke dalam inovasi, mempersyaratkan adanya suatu keselarasan tertentu antara jejaring penelitian dan jejaring difusi iptek. Kesimpulan-kesimpulan di atas dapat dinyatakan dalam bentuk sekumpulan proposisi sebagai berikut: Proposisi 1 (berkenaan dengan praktis penelitian) Praktis penelitian memiliki karakter jejaring dan, sebagai implikasi dari karakater jejaring ini, lintasan penelitian yang ditempuh para peneliti dapat memiliki derajat reversibility yang bervariasi—makin lembam jejaring, makin irreversible lintasan penelitian; Proposisi 2 (berkenaan dengan pola difusi iptek) Difusi iptek mempersyaratkan perkembangan ruang pembelajaran yang tersusun atas: kelompok-kelompok penginisiasi, pengadopsi awal dan kelompok-kelompok yang diwakili oleh pengadopsi awal; pilihan-pilihan iptek yang tersedia dan unsur-unsur teknikal yang diacu oleh berbagai kelompok; dan relasi-relasi antara berbagai kelompok dan pilihan-pilihan iptek serta unsur-unsur teknikal; Proposisi 3 (syarat perlu bagi transformasi penelitian ke dalam inovasi) Transformasi penelitian ke dalam inovasi mempersyaratkan dua hal: pertama, penelitian berlangsung dalam lintasan yang reversible;
ke dua, terdapat relasi-relasi antara jejaring penelitian dan jejaring non-penelitian yang memungkinkan perkembangan ruang pembelajaran.
204
ke dalam inovasi
Ketiga proposisi di atas, sebagai satu kesatuan, menyediakan prinsipprinsip teoretikal untuk menjelaskan transformasi penelitian ke dalam inovasi. Proposisi 1 dan proposisi 2 menyatakan karakteristik jejaring dari penelitian iptek dan difusi iptek, sedangkan proposisi 3 menyatakan persyaratan yang dibutuhkan untuk menghubungkan penelitian dan difusi hasil penelitian. Transformasi penelitian ke dalam inovasi sulit terjadi dalam situasi di mana jejaring penelitian dan jejaring non-penelitian terpisah satu dari yang lain, sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 6.4a. Dalam situasi seperti ini, tidak banyak gunanya mempertemukan para peneliti dan pelaku usaha melalui forum seperti ‗pameran iptek‘, ‗temu peneliti dan pengusaha‘, dan yang sejenisnya. Dalam situasi keterpisahan jejaring, upaya untuk mendorong para peneliti untuk melakukan komersialisasi hasil penelitian, atau untuk meneliti topiktopik yang ‗diminta‘ pelaku pasar, akan menimbulkan penolakan atau sikap skeptikal di kalangan para peneliti. Begitu pula, dalam situasi demikian tidak banyak gunanya mendorong para pelaku usaha untuk membeli apa-apa yang dihasilkan para peneliti. Transformasi penelitian ke dalam inovasi memerlukan interaksi yang lebih luas dari sebatas interaksi transaksional supply-demand. Peneliti dan pelaku usaha masing-masing merupakan bagian dari jejaring yang memiliki kelembaman (network inertia). Hanya ketika kedua jenis jejaring tersebut—jejaring penelitian dan jejaring non-penelitian—memiliki cukup banyak koneksi-koneksi, pertemuan antara para peneliti dan pelaku usaha akan menghasilkan ruang pembelajaran yang memungkinkan difusi hasil penelitian. Permasalahan transformasi penelitian ke dalam inovasi tidak bisa direduksi menjadi permasalahan preferensi para individu peneliti. Jadi, permasalahan tersebut tidak bisa dijawab dengan cara meningkatkan minat para peneliti untuk melakukan penelitian yang sesuai dengan kepentingan industri-industri tertentu. Jika hal ini terjadi, para peneliti yang terus-menerus melakukan penelitian untuk industri-industri tertentu akan menjadi bagian dari jejaring non-penelitian, dan terlepas dari jejaring penelitian. Dalam situasi demikian, seorang peneliti akan menjadi pekerja industri, bukan peneliti lagi. Situasi demikian diilustrasikan dalam Gambar 6.4b.
transformasi penelitian
205
Upaya untuk mempertemukan para peneliti dan para pelaku usaha dan upaya untuk meningkatkan minat para peneliti akan topik-topik penelitian yang relevan dengan pasar, keduanya tentu saja perlu dan penting. Tetapi kedua upaya tersebut tidak cukup. Diperlukan upaya lain yang lebih berfokus pada jejaring-jejaring, yaitu memperluas relasi-relasi antara jejaring penelitian dan jejaring non-penelitian. Dengan bersandar pada ketiga proposisi tersebut, transformasi penelitian ke dalam inovasi mempersyaratkan dua hal: (i) lintasan penelitian yang ditempuh para peneliti yang terlibat dalam inisiatif inovasi merupakan lintasan yang bersifat reversible (atau memiliki derajat reversibility yang cukup tinggi); dan (ii) interaksi-interaksi antara para peneliti dan para pengadopsi hasil penelitian (dalam suatu inisiatif inovasi) membentang ruang pembelajaran yang cukup luas untuk memungkinkan variasi-seleksi secara kolektif. Dalam Gambar 6.4c dilustrasikan, dengan banyak penyederhanaan, konstelasi jejaring-jejaring yang kondusif bagi transformasi penelitian ke dalam inovasi. Dalam konstelasi jejaring-jejaring seperti ini, suatu inisiatif untuk mendifusikan hasil penelitian tidak akan mengalami kendala-kendala jejaring. Konstelasi jejaring-jejaring yang divisualkan dalam Gambar 6.3 dapat ditafsirkan sebagai model jejaring inovasi, yaitu model tentang konektivitas jejaring-jejaring yang kondusif bagi transformasi penelitian ke dalam inovasi.
206
ke dalam inovasi
Lembaga-Lembaga/ Kelompok-Kelompok Litbang Iptek
Organisasi-Organisasi/ Komunitas-Komunitas NonLitbang (Kelompok Usaha, Pemerintah, Komunitas Tradisional, LSM, dll)
: Pelaku Non-Litbang Iptek : Pelaku Litbang Iptek
Gambar 6.4a Kemungkinan 1: Keterpisahan Jejaring Penelitian dan Jejaring Non-Penelitian—Situasi Anti-Inovasi
Lembaga-Lembaga/ Kelompok-Kelompok Litbang Iptek
Organisasi-Organisasi/ Komunitas-Komunitas NonLitbang (Kelompok Usaha, Pemerintah, Komunitas Tradisional, LSM, dll)
: Pelaku Non-Litbang Iptek : Pelaku Litbang Iptek
Gambar 6.4b Kemungkinan 2: Keterleburan Peneliti dalam Jejaring NonPenelitian—Situasi Kontra-Litbang Iptek
transformasi penelitian
Lembaga-Lembaga/ Kelompok-Kelompok Litbang Iptek
207
Organisasi-Organisasi/ Komunitas-Komunitas NonLitbang (Kelompok Usaha, Pemerintah, Komunitas Tradisional, LSM, dll)
: Pelaku Non-Litbang Iptek : Pelaku Litbang Iptek
Gambar 6.4c Perluasan Timbal-Balik (mutual extension) antara Jejaring Penelitian dan Jejaring Non-Penelitian melalui Mediator-Mediator—Situasi ProInovasi
6.5 Kontribusi pada Literatur Berikut ini dibahas posisi dari ketiga proposisi tersebut di atas dalam konteks gagasan-gagasan atau teori-teori yang berkembang di literatur. Sebagaimana didiskusikan di Bab 2, gagasan-gagasan tentang sistem inovasi dan relasi triplehelix menawarkan kondisi-kondisi kesisteman dan kelembagaan yang kondusif bagi transformasi penelitian ke dalam inovasi. Berikut ini didiskusikan posisi ketiga proposisi tersebut di atas dalam konteks teori-teori yang relevan di literatur: Pentingnya lintasan yang reversible tidak secara khusus dibahas dalam literatur sistem inovasi. Tetapi gagasan penelitian moda-2 yang dicirikan oleh penelitian lintas-disiplin yang melibatkan peneliti dan pelaku usaha, bersesuaian dengan gagasan lintasan penelitian yang prinsip reversible. Melalui keterlibatan dalam penelitian-penelitian moda-2, para peneliti mengembangkan relasi-relasi dengan berbagai pelaku yang memiliki
208
ke dalam inovasi
perspektif-perspektif teoretikal dan metode-metode praktikal yang beragam. Adanya keragaman dalam jejaring relasi-relasi ini pada gilirannya mencegah terjadinya lintasan penelitian yang irreversible. Dalam literatur sistem inovasi, ‗pembelajaran melalui interaksi‘ merupakan gagasan yang sentral. Proposisi 2 mengelaborasi gagasan tersebut secara lebih terinci dengan memberikan penekanan pada variasi pilihan-pilihan iptek, pelaku-pelaku yang relevan, dan acuan-acuan teknikal. Proposisi tersebut menekankan bahwa ruang pembelajaran tersusun atas unsur-unsur sosial dan unsur-unsur teknikal sekaligus. Dengan perkataan lain, difusi iptek melibatkan konstruksi ruang pembelajaran sosio-teknikal. Baik gagasan sistem inovasi maupun gagasan triple-helix memberi penekanan pada konektivitas. Tetapi gagasan sistem inovasi dan relasi triple-helix tersebut bersandar pada gagasan-gagasan makro-sosial seperti struktur, lembaga dan organisasi. Berbeda dengan ini, ketiga proposisi di atas bersandar pada gagasan jejaring. Suatu jejaring tersusun atas pelakupelaku dan relasi-relasi antarpelaku-pelaku. Suatu pelaku dapat berwujud sosial seperti individu-individu, organisasi-organisasi dan lembagalembaga, atau berbentuk teknikal seperti instrumen-instrumen ukur dan perangkat-perangkat eksperimen. Apa pun yang menuntut penyesuaianpenyesuaian dan dapat menimbulkan pergeseran-pergeseran dapat dianggap sebagai pelaku. Relasi-relasi dapat bersifat formal atau nonformal. Jadi, ketiga proposisi di atas dapat digunakan untuk melakukan analisis baik pada skala makro, meso maupun mikro, formal maupun nonformal, modern maupun tradisional.
Ketiga proposisi tersebut di atas juga dapat digunakan untuk memberikan koreksi atas model linier inovasi. Sebagaimana didiskusikan di Bab 2, model linier inovasi mendapatkan kritik yang meluas dari para peneliti inovasi. Model linier tersebut mengasumsikan adanya ‗aliran pengetahuan‘, atau transformasi pengetahuan, yang bergerak secara satu arah (uni-directional) dari penelitian fundamental/basik menuju penelitian terapan, dan kemudian ke tahapan adopsi hasil penelitian. Secara implisit, model linier tersebut mengasumsikan
transformasi penelitian
209
adanya ‗perbedaan potensial gravitasi‘ antara penelitian fundamental/basik, penelitian terapan, dan adopsi hasil penelitian. Dalam perspektif yang dibangun melalui ketiga proposi di atas—model jejaring inovasi, tidak ada ‗perbedaan potensial gravitasi‘ antara jenis-jenis pengetahuan ataupun antara tahapan-tahapan penelitian. Meski demikian, penelitian yang satu dapat berada dalam sebuah jejaring yang jauh lebih padat dari penelitian yang lain dan, sebagai implikasinya, penelitian yang satu dapat bersifat lebih lembam dari yang lain. Jadi, dalam perspektif jejaring tidak ada ‗medan gravitasi‘ yang bekerja pada pengetahuan yang menarik penelitian fundamental ke bawah/ke hilir. Model jejaring inovasi memberikan penekanan pada gerakan-gerakan (penelitian) dengan moda variasi-seleksi yang menghasilkan relasi-relasi jejaring—jejaring penelitian. Efek-efek tarikan dan kelembaman dapat muncul sebagai implikasi dari perbedaan kepadatan84 relatif antara jejaring-jejaring penelitian tersebut. Inovasi, sebagaimana digagas dalam model linier, melibatkan serangkaian transformasi pengetahuan. Dalam model jejaring, transformasi-transformasi tersebut tidak berlangsung secara satu arah dengan digerakkan oleh ‗perbedaan potensial‘. Berbeda dari model linier inovasi, model jejaring inovasi menyoroti pentingnya interaksi-interaksi antara pelaku-pelaku yang beragam yang memungkinkan penggabungan jejaring-jejaring. Interaksi-interaksi tersebut menimbulkan transformasi-transformasi pengetahuan yang berpola dua arah (bi-directional), iteratif dan adaptif sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 6.5. Transformasi tersebut berpola dua arah dikarenakan tidak ada perbedaan potensial antara jenis-jenis pengetahuan, meski mungkin terdapat perbedaan kelembaman (jejaring) antara penelitian yang satu dan penelitian yang lain. Transformasi tersebut bersifat iteratif dalam arti bergerak maju-mundur, berulang-ulang, bersesuaian dengan penyesuaian-penyesuaian yang berlangsung antara para pelaku yang terlibat. Transformasi tersebut bersifat adaptif dalam arti apa-apa yang dihasilkan di suatu tahapan transformasi
84
Kepadatan di sini maksudnya adalah kepadatan jejaring, bukan kepadatan ruang. Kepadatan ruang diukur dengan banyaknya sesuatu dalam satuan ruang tertentu. Kepadatan jejaring diukur dengan banyaknya relasi-relasi yang menghubungkan simpulsimpul.
210
ke dalam inovasi
mengalami penyesuaian-penyesuaian di tahapan-tahapan transformasi yang berikutnya. Dengan menempuh serangkaian interaksi-interaksi sebagaimana digagas dalam model jejaring inovasi, para pelaku (peneliti dan non-peneliti) mengembangkan relasi-relasi yang mengandung cukup keragaman untuk memberikan lintasan penelitian yang reversible. Hal ini, pada gilirannya, membuka peluang bagi lebih banyak pilihan-pilihan iptek, lebih banyak (calon) pengadopsi iptek yang terlibat, dan relasi-relasi yang lebih padat. Dengan perkataan lain, bila para peneliti iptek dan (calon) pengadopsi iptek melakukan interaksi-interaksi dengan pola sebagaimana disarankan oleh model jejaring inovasi, kedua syarat bagi ‗transformasi penelitian ke dalam inovasi‘ menjadi terpenuhi.
Penelitian Dasar/ Fundamental
Penelitian Terapan
Penelitian di Laboratorium
Pengembangan (Perancangan, Konstruksi, Pengujian)
Adopsi (Distribusi, Pemasaran, Pengoperasian)
Difusi di ‘Laboratorium Masyarakat’
Gambar 6.5 Berbagai Arah Transformasi Pengetahuan dalam Inovasi 6.6 Situasi ‗Anomali‘ Dalam kasus-kasus yang khusus, seperti dalam situasi perang atau ‗perang dingin‘, suatu masalah pertahanan tertentu dapat langsung diterjemahkan ke dalam kemajuan iptek tertentu. Misalnya, jika ancaman yang signifikan berbentuk serangan rudal, maka kemajuan iptek anti-rudal memberikan
transformasi penelitian
211
jawaban bagi masalah pertahanan tersebut85. Dalam kasus yang khusus seperti ini, difusi iptek dapat berlangsung melalui cara-cara yang khusus juga. Para peneliti—penginisiasi iptek—berada dalam sebuah lembaga pertahanan yang terisolasi dari publik, dan mereka bekerja dalam suatu garis komando serta di bawah pengawasan yang ketat. Pengguna dari hasil penelitian adalah para personil militer—pengadopsi iptek. Selama penelitian berlangsung, para peneliti berinteraksi secara dekat dan erat dengan para personil militer (sebagai calon pengguna hasil penelitian)86. Interaksi tersebut bersifat terisolasi dan tertutup terhadap pihak-pihak lain di luar lembaga pertahanan. Dalam situasi khusus seperti yang diilustrasikan di atas, jejaring penelitian berkembang secara terkonsentrasi, dan tidak terjadi percabangan relasi-relasi sebagai konsekuensi dari interaksi yang terkonsentrasi dan terisolasi. Dengan perkataan lain, kegiatan penelitian iptek kehilangan karakter jejaringnya. Difusi iptek dalam situasi perang, atau ‗perang dingin‘, tampaknya merupakan kasus khusus di mana model jejaring inovasi tereduksi menjadi model linier inovasi. Dalam kasus yang khusus tersebut, asumsi ‗aliran iptek uni-direksional‘ cukup bersesuaian dengan realitas. Hanya saja, masalah pertahanan dalam situasi perang merupakan kasus perkecualian, bukan kasus yang umum. Dalam situasi damai, masalah pertahanan tidak bisa sepenuhnya diisolasi dari masalah publik non-pertahanan, dan penelitian-penelitian untuk pertahanan makin berbaur dengan penelitian-penelitian untuk menjawab masalah publik secara umum. Model linier inovasi, dengan penekanan pada interaksi yang sekuensial, tidak memperhitungkan kedua syarat bagi ‗transformasi penelitian ke dalam inovasi‘, yaitu reversibility lintasan penelitian dan ruang pembelajaran. Dalam situasi-situasi di mana kedua syarat tersebut secara kebetulan (by chance) terpenuhi, model linier mungkin saja bekerja dengan baik. Dengan perkataan
85
Tentu hal ini disertai asumsi-asumsi bahwa terdapat personil militer yang sanggup mengoperasikan iptek anti-rudal tersebut, terdapat dukungan logistik dan infrastruktur, dan terdapat dukungan politik yang konsisten. 86 Situasi interaksi yang menyerupai ini digambarkan oleh para peneliti dari balitbang di sektor pertahanan yang dipaparkan di Bab 3. Situasi ini berbeda secara mencolok dari situasi penelitian di kementerian perindustrian.
212
ke dalam inovasi
lain, dalam perspektif model jejaring, model linier inovasi tersebut tidak lengkap. Dalam situasi yang umum, kedua syarat tersebut belum tentu terpenuhi dan langkah-langkah kebijakan diperlukan untuk mewujudkan kedua syarat tersebut. Jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, penerapan model linier inovasi membawa implikasi terjadinya pemisahan kegiatan-kegiatan penelitian iptek ke dalam ‗kotak-kotak‘ kelembagaan yang, pada gilirannya, memisahkan ‗dunia di dalam laboratorium‘ dari ‗dunia di luar laboratorium‘.[]
transformasi penelitian
213
Bab 7 IMPLIKASI PADA KEBIJAKAN
7.1 Pendahuluan
Suatu
kebijakan publik disusun untuk menjawab masalah tertentu, di ranah
publik. Dalam penyusunan kebijakan iptek, jawaban atas masalah publik dinyatakan dalam bentuk pemanfaatan iptek tertentu. Tentu saja tidak semua jenis masalah publik dapat dijawab melalui pengembangan dan pemanfaatan iptek. Meski demikian, di berbagai sektor publik implementasi dari kebijakan publik melibatkan pemanfaatan iptek tertentu. Misalnya, pemanfaatan iptek terlibat dalam implementasi kebijakan penegakan hukum, kebijakan reformasi birokrasi, kebijakan pengarusutamaan jender, kebijakan pengentasan kemiskinan, dan kebijakan-kebijakan sosial lainnya. Di sektor-sektor yang sarat iptek seperti komunikasi dan informasi, perhubungan, energi, lingkungan, dan lain-lain, pemanfaatan beragam jenis iptek terlibat dalam implementasi kebijakan-kebijakan. Oleh karena ini, pemanfaatan iptek merupakan sebuah isu yang penting bagi implementasi kebijakan di berbagai sektor publik. Prinsip-prinsip teoretikal yang didiskusikan di Bab 6 menegaskan bahwa pemanfaatan iptek melibatkan langkah-langkah yang lebih kompleks dari sebatas penelitian, pengembangan dan penerapan iptek. Pemanfaatan iptek di ranah publik memerlukan ―transformasi penelitian ke dalam inovasi‖ di ranah publik, yang melibatkan transformasi jejaring—model jejaring inovasi. Bersandar pada prinsip-prinsip tersebut, suatu kebijakan iptek perlu berfokus pada transformasi jejaring. Dalam bab ini pembahasan akan berfokus pada permasalahan kebijakan iptek di kementerian iptek di Indonesia, yaitu di Kementerian Riset dan Teknologi (KRT). Kementerian ini secara langsung bertanggung jawab atas
214
ke dalam inovasi
perkembangan dan pemanfaatan iptek di Indonesia. Meski demikian, perkembangan dan pemanfaatan iptek di Indonesia juga dipengaruhi, secara tidak langsung ataupun secara langsung, oleh kebijakan-kebijakan di sektorsektor publik lainnya. Lebih spesifiknya, di sini akan dibahas isu-isu kebijakan iptek yang relevan bagi permasalahan ―transformasi penelitian ke dalam inovasi‖. Pada bab ini akan dijabarkan (sebagai rekomendasi) rumusan program-program iptek, peranan mediator dari KRT, dan peranan taman inovasi (innovation park). 7.2 Posisi Struktural Kebijakan Iptek Dalam pembahasan mengenai kebijakan publik pada umumnya, ada dua aspek yang perlu dibedakan87: aspek substansi/kandungan dan aspek kewenangan/ legalitas (Hogwood dan Gunn, 1988). Substansi kebijakan publik terpaut dengan substansi masalah publik (public problem) yang tengah dihadapi, dan perumusan substansi kebijakan publik ditujukan untuk menjawab masalah publik tersebut. Aspek kewenangan dari kebijakan publik berkenaan dengan distribusi kewenangan di antara para pembuat kebijakan dan mekanisme penggunaan kewenangan dalam pembuatan dan implementasi kebijakan. Mungkin terjadi bahwa suatu kebijakan benar secara legal (absah) tetapi salah secara substansi, atau sebaliknya, salah secara prosedural (tidak absah) tetapi benar dalam substansi. Kesalahan legal/prosedural akan membuat suatu kebijakan menjadi tidak efektif atau batal, sedangkan kesalahan substantif dapat menimbulkan dampak-dampak buruk bagi masyarakat.
87
Selain ini, terdapat aspek ke tiga dari kebijakan publik, yaitu politikal. Suatu masalah publik sering menyentuh kepentingan-kepentingan beragam kelompok-kelompok sosial di masyarakat (partai-partai politik, LSM-LSM, dan lain-lain). Perumusan kebijakan berkenaan dengan masalah publik tersebut, oleh karenanya, tidak terlepas dari persetujuan ataupun penolakan dari kelompok-kelompok sosial tersebut. Pembedaan ketiga aspek kebijakan ini—legal, substantif dan politikal, penting dalam analisis dan evaluasi kebijakan.
transformasi penelitian
215
Dalam struktur kelembagaan pemerintahan di Indonesia88, posisi kebijakan iptek dapat divisualkan dalam skema sistem input-output sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 7.1. Dalam gambar tersebut kebijakan iptek bekerja dalam sektor iptek, yang dibedakan dari sektor-sektor publik non-iptek yang lainnya. Kewenangan pembuatan kebijakan iptek berada pada Kementerian Riset dan Teknologi (KRT). KRT merupakan aparatus pemerintahan yang memiliki tugas dan kewenangan untuk merumuskan dan merealisasikan kebijakan iptek, sedangkan lembaga-lembaga penelitian non-kementerian (LPNK) merupakan bagian dari sistem litbang iptek yang berada di bawah koordinasi KRT. Perguruan-perguruan tinggi dan balitbang-balitbang kementerian (dan juga balitbang-balitbang pemerintahan daerah) dapat dipandang sebagai bagian dari sistem litbang iptek, tetapi secara struktur kelembagaan terpisah dari KRT. Sistem litbang iptek di sini mencakup unsur-unsur kelembagaan, sumber-sumber daya, dan kegiatan-kegiatan yang terpaut dengan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan iptek. KRT merumuskan goal dan objektif kebijakan iptek dengan mengikuti mekanisme yang diatur dalam undang-undang, serta mengerahkan instrumeninstrumen intervensi melalui program-program iptek. Instrumen-instrumen tersebut dapat berbentuk uang, sarana/pra-sarana litbang iptek, fasilitas interaksi dan komunikasi, ataupun insentif profesional/jenjang karir. Ini semua berfungsi sebagai input bagi sistem litbang iptek. Selain dari KRT, sistem litbang iptek juga mungkin menerima input dari sektor-sektor non-iptek, perusahaanperusahaan swasta ataupun badan-badan internasional. Output yang dihasilkan oleh sistem litbang iptek mencakup makalah ilmiah, buku teks, dan rancangan iptek baik yang dipatenkan maupun tidak. Untuk perguruan tinggi, ouput yang dihasilkan mencakup para lulusan, khususnya pada magister dan doktor. Outcome dari sistem litbang iptek mencakup keterampilan/keahlian baru, ilmu pengetahuan baru, cara pandang dan perilaku yang baru, serta peningkatan
88
Terdapat perbedaan antara satu negara dan negara yang lain dalam penempatan posisi struktural dari kebijakan iptek. Di Indonesia, kebijakan iptek berada dalam sektor yang tersendiri. Di Jepang, kebijakan iptek terintegrasi dengan kebijakan industri dan kebijakan pendidikan tinggi. Di negara lain seperti Cina dan Iran, kebijakan iptek bersifat lintas-sektoral.
216
ke dalam inovasi
kapasitas dan kapabilitas kelembagaan. Output dan outcome yang dihasilkan sistem litbang iptek ini, secara langsung ataupun tidak langsung, mempengaruhi sektor-sektor non-iptek.
Indikator
Kebijakan Non-Iptek
Instrumen Intervensi
Sektor Non-Iptek Sistem Non-Iptek
Input
Output, Outcome
Sektor Iptek
Input
Output, Outcome
LPNK
Lingkup Ko-ordnasi KNRT
Gambar 7.1
Perguruan Tinggi, Balitbang
Instrumen Intervensi
Kebijakan Iptek (KNRT)
Indikator
Posisi Struktural Kebijakan Iptek dalam Sektor Publik
transformasi penelitian
217
7.3 Kompleksitas Masalah Publik Kasus-kasus yang dibahas di Bab 5 memberikan sebuah gambaran mengenai karakter dari masalah publik. Dalam kasus semburan Lumpur Panas, misalnya, kepastian hukum merupakan bagian yang kritikal dari masalah publik yang dihadapi. Tanpa kepastian hukum, langkah-langkah penanggulangan semburan lumpur panas beserta dampak-dampak sosialnya, menjadi terhambat. Untuk mencapai kepastian hukum diperlukan kesaksian para pakar, yakni para ilmuwan dan hasil penelitian mereka berkenaan dengan fenomena semburan Lumpur Panas ini. Tetapi terdapat kelompok-kelompok sosial yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan berkaitan dengan fenomena semburan Lumpur Panas tersebut. Pertentangan kepentingan ini, secara tidak langsung, mempengaruhi kesaksian yang diberikan oleh para ilmuwan. Di sini, hasil penelitian iptek dibutuhkan untuk mewujudkan inovasi (yakni terciptanya kepastian hukum). Tetapi untuk mewujudkan inovasi tersebut para peneliti perlu terlibat lebih dari sebatas menyajikan hasil penelitian. Para peneliti juga perlu terlibat dalam upaya-upaya meresolusi kepentingan-kepentingan yang bertentangan, dan secara kolektif membangun sebuah pijakan ilmiah bagi kepastian hukum. Dalam masalah digital divide, difusi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) diperlukan untuk menjawab masalah publik tersebut. Tetapi masalah digital divide tidak dapat dijawab hanya melalui pengembangan dan difusi TIK. Diperlukan adanya mobilitas dan konektivitas sosial serta kondisi-kondisi ekonomik untuk menopang difusi iptek. Mobilitas dan konektivitas sosial ini ditentukan oleh karakteristik sosial-budaya dari masyarakat, sedangkan kondisikondisi ekonomik ini ditentukan oleh akses ke pasar, akses ke lembaga finansial, dan akses ke infrastruktur perdagangan. Dengan perkataan lain, untuk menjawab masalah digital divide diperlukan ketiga faktor tersebut secara serentak: pengembangan dan difusi TIK; pengembangan mobilitas dan konektivitas sosial; dan pengembangan kondisi-kondisi ekonomik. Sebagi ilustrasi yang lain adalah masalah keamanan pasokan energi. Agar masyarakat dapat tetap menjalankan kegiatan sosial dan ekonomik tanpa perlu bergantung pada impor minyak dan gas bumi, diperlukan pengembangan
218
ke dalam inovasi
sumber energi alternatif. Dalam kasus ini, pengembangan iptek untuk diversifikasi, produksi, distribusi, dan konsumsi energi alternatif merupakan faktor yang perlu, tetapi tidak cukup. Faktor-faktor lain perlu bekerja seperti kemauan dan kesiapan para pengusaha untuk masuk ke sektor yang baru ini, dan upaya yang konsisten dari pemerintah untuk menemukan insentif (fiskal dan non-fiskal) yang efektif untuk memacu adopsi iptek di pasar. Selain ini semua, diperlukan adanya perubahan cara pandang terhadap energi di seluruh lapisan masyarakat89. Seluruh faktor ini perlu bekerja dan saling memperkuat untuk mewujudkan jawaban bagi masalah keamanan pasokan energi. Ilustrasi-ilustrasi ini semua menegaskan bahwa masalah publik memiliki watak multidimensional dan kompleks, dan sebagai implikasinya, jawaban atas masalah publik tersebut juga berwatak multidimensional. Meski pengembangan iptek merupakan faktor yang penting bagi inovasi untuk menjawab masalah publik, faktor iptek saja tidak memadai. Inovasi untuk menjawab masalah publik memerlukan pengembangan faktor iptek, faktor sosial-budaya dan faktor ekonomik secara serentak dan terpadu. Watak multidimensional dan kompleks dari masalah publik menyarankan bahwa objektif dari kebijakan iptek perlu dirumuskan secara serentak dan terpadu dengan objektif-objektif dari kebijakan publik di sektor-sektor yang lain. 7.4 Objektif dari Kebijakan Iptek Perumusan substansi dari kebijakan iptek bertitik tolak pada suatu masalah tertentu di ranah publik. Objektif atau goal90 dari kebijakan iptek, tentunya,
89
Pihak-pihak yang berbeda kepentingan akan memandang masalah keamanan pasokan energi secara berbeda, dan menawarkan jawaban yang berbeda juga. Bagi pihak tertentu, yang penting adalah masyarakat memiliki daya beli (purchasing power) dan akses ke pasar energi global. Dengan daya beli, masyarakat dapat membeli energi di pasar. Bagi pihak yang lain, sumber energi bermakna stratejik dan ketidakbergantungan energi terhadap bangsa lain merupakan prasyarat bagi kedaulatan negara. Bagi pihak yang lain lagi, ketersediaan pangan lebih penting daripada ketersediaan sumber energi. 90 „Objektif‟ dan „goal‟ adalah dua istilah yang memiliki keserupaan makna, tetapi berbeda dalam penekanan. Objektif adalah sekumpulan keadaan yang dikehendaki keterwujudannya, sedangkan goal lebih menekankan efek-efek yang dikehendaki dari
transformasi penelitian
219
adalah terjawabnya masalah publik tersebut. Kebijakan iptek tersebut kemudian diimplementasikan melalui program-program iptek. Sebuah pertanyaan yang krusial di sini adalah: bagaimana suatu program iptek dapat menjawab masalah publik? Sebuah jawaban yang dapat ditawarkan adalah bahwa masalah publik akan terjawab ketika iptek—dengan tingkat kemajuan tertentu—telah dihasilkan oleh para peneliti, dan kemudian iptek tersebut diadopsi oleh pihak-pihak yang menghadapi masalah publik. Atas dasar argumentasi demikian, kebijakan iptek dirumuskan untuk mengembangkan dan mendiseminasikan iptek yang dianggap relevan dengan masalah publik yang tengah dihadapi. Argumentasi seperti ini bersesuaian dengan pandangan determinisme teknologi (technology determinism), yang merupakan inti dari model linier inovasi (Fagerberg dkk, 2004). Kasus-kasus yang dibahas di Bab 5 mengungkapkan pola-pola interaksi antara berbagai pelaku yang terlibat dalam difusi iptek. Pengelolaan difusi iptek, oleh karenanya, memerlukan pengelolaan interaksi-interaksi tersebut. Interaksi antara peneliti dan pelaku-pelaku lain dalam suatu difusi iptek merupakan aspek yang terabaikan dalam model linier inovasi. Hal yang kurang diperhatikan dalam model linier inovasi adalah karakteristik dari praktis penelitian (research practice) itu sendiri. Kajian empirik yang dibahas dalam Bab 3 dan Bab 4 memperlihatkan bahwa penelitian itu sendiri meliliki karakter jejaring yang tersebar. Para peneliti, melalui kegiatan penelitian mereka, terlibat dalam relasi-relasi dengan berbagai pelaku yang tersebar dalam ruang dan waktu, dan iptek berkembang melalui relasi-relasi tersebar tersebut. Untuk menjawab masalah publik dibutuhkan transformasi penelitian iptek ke dalam inovasi di sektor publik. Transformasi tersebut tidak dapat diwujudkan melalui langkah-langkah sekuensial-linier (penelitian dasar penelitian terapan diseminasi/adopsi). Transformasi tersebut berlangsung melalui pengembangan relasi-relasi antar jejaring-jejaring yang melibatkan pelaku-pelaku yang heterogen. Atas dasar argumentasi demikian dapat disimpulkan bahwa jika suatu kebijakan iptek disusun untuk menjawab masalah keterwujudan objektif tersebut. Dalam pembuatan kebijakan, kedua hal ini penting dibedakan.
220
ke dalam inovasi
publik, maka objektif dari kebijakan iptek tersebut haruslah dinyatakan dalam bentuk transformasi jejaring. Pernyataan objektif dari kebijakan iptek perlu mencakup: (i) pelaku-pelaku yang dipandang relevan dan isu-isu yang dihadapi/dianggap penting oleh pelaku-pelaku tersebut; dan (ii) relasi-relasi antara pelaku-pelaku yang dipandang perlu untuk dikembangkan, diperluas ataupun diperlemah. 7.5 Transformasi Jejaring sebagai Objektif Kebijakan Jika penelitian dan difusi iptek memiliki karakter jejaring, maka suatu kebijakan iptek perlu dirumuskan untuk menstimulasi transformasi jejaring. Instrumeninstrumen kebijakan iptek yang konvensional dapat dikerahkan untuk mewujudkan transformasi jejaring tersebut. Misalnya, dengan memperbesar/memperkecil anggaran penelitian, relasi-relasi tertentu akan menguat/melemah. Dengan memfasilitasi penyelenggaraan seminar-seminar dan forum-forum ilmiah, relasi-relasi antara pelaku-pelaku tertentu akan berkembang. Pengadaan perangkat-perangkat eksperimen, buku-buku teks dan jurnal-jurnal ilmiah juga akan menimbulkan perubahan-perubahan jejaring. Jadi, instrumen-instrumen kebijakan iptek yang konvensional dapat digunakan untuk mewujudkan transformasi jejaring. Untuk mewujudkan transformasi jejaring (sebagai objektif dari kebijakan iptek), kebijakan dan program iptek yang dirumuskan oleh KRT perlu berfokus pada interaksi-interaksi dan relasi-relasi antara pelaku litbang dan pelaku nonlitbang. Objektif (transformasi jejaring) tersebut dapat dibedakan ke dalam subobjektif: (i) perluasan interaksi (antara sesama pelaku litbang dan antara pelaku litbang dan pelaku non-litbang)—tahapan penelitian dan pengembangan iptek; (ii) perluasan ruang pembelajaran (atau ruang variasi-seleksi pilihan-pilihan iptek)—tahapan pemanfaatan iptek. Sub-objektif yang pertama tersebut dimaksudkan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya lintasan penelitian yang irreversible. Berbeda dengan objektif tersebut di atas, dalam model linier inovasi lazimnya objektif kebijakan iptek dinyatakan dalam bentuk: (i) capaian pengembangan iptek di laboratorium; (ii) sasaran diseminasi hasil
transformasi penelitian
221
pengembangan iptek (dengan harapan akan terjadi adopsi). Kedua hal ini merupakan bagian yang penting dari transformasi jejaring, tetapi tidak memadai sebagai objektif dari kebijakan iptek. Sebagai ilustrasi, pada dekade 1990-an KRT memiliki program-program iptek yang, antara lain, dikenal dengan nama Riset Unggulan Terpadu (RUT), Riset Unggulan Kemitraan (RUK), dan Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS). Program-program ini menekankan aspek keterpaduan, kemitraan, dan aspek stratejik nasional. Meski demikian, kegiatan-kegiatan yang distimulasi oleh program-program tersebut masih terbatas pada penelitian dan pengembangan iptek. Yang kurang mendapatkan perhatian adalah perluasan interaksi-interaksi antara para pelaku litbang iptek dan pelaku non-litbang iptek. Tercapainya keterpaduan dan kemitraan mempersyaratkan interaksiinteraksi, negosiasi-negosiasi dan penyesuaian-penyesuaian untuk mencapai kesepakatan tentang, misalnya, masalah penelitian bersama (common research problem), pertanyaan dan objektif penelitian bersama serta distribusi peranan. Kesepakatan dalam hal-hal ini semua akan dicapai bila dianggap sesuai dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat. Untuk mencapai keberlanjutan (sustainability), kesepakatan tersebut perlu dirumuskan dalam suatu kerangka kerja jangka menengah/panjang. Indikator-indikator dari keterpaduan/kemitraan tersebut adalah, misalnya: terbentuknya asosiasi keilmuan multi/lintas-disiplin, dihasilkannya platform penelitian lintas-disiplin, terbentuknya usaha kecil/menengah yang dijalankan bersama oleh pengusaha dan peneliti, dihasilkannya standar produk tertentu melalui kesepakatan antara peneliti, pengusaha dan regulator, dan lain-lain. Bila keterpaduan, kemitraan dan ke-stratejik-an merupakan objektif dari kebijakan iptek, kualitas akademik dari penelitian dan jumlah publikasi ilmiah/paten bukan merupakan indikator-indikator ketercapaian objektif yang memadai. 7.6 Program Iptek untuk Transformasi Jejaring Di bagian terdahulu telah didiskusikan bahwa jika kebijakan iptek dimaksudkan untuk menjawab masalah publik, maka kebijakan ini perlu menstimulasi dan mendorong terjadinya transformasi penelitian ke dalam inovasi. Prinsip-prinsip teoretikal yang dibahas di Bab 6 (proposisi 1, proposisi 2 dan proposisi 3)
222
ke dalam inovasi
menegaskan bahwa baik penelitian iptek maupun difusi iptek memiliki karakter jejaring. Dikarenakan adanya sifat jejaring tersebut, transformasi penelitian ke dalam inovasi memerlukan transformasi jejaring—model jejaring inovasi. Jadi, iptek tidak dapat memberikan jawaban bagi masalah publik hanya melalui langkah-langkah yang linier (penelitian/pengembangan iptek yang dilanjutkan dengan penerapan iptek), sebagaimana disarankan oleh model linier inovasi. Berbagai keterbatasan dari model linier ini telah didiskusikan di bab-bab terdahulu. Proposisi 3 yang dibahas di Bab 6 menyatakan secara spesifik kondisikondisi yang merupakan persyaratan bagi transformasi penelitian ke dalam inovasi, yaitu: pertama, penelitian-penelitian berlangsung dalam lintasan yang reversible; dan ke dua, terdapat relasi-relasi antara jejaring penelitian dan jejaring non-penelitian yang memungkinkan perkembangan ruang pembelajaran. Pernyataan kedua objektif tersebut bersifat umum. Artinya, pernyataan tersebut berlaku tanpa mempersoalkan sektor-sektor publik tertentu di mana suatu masalah publik akan dijawab melalui kebijakan iptek. Sejak awal dekade 2000-an, KRT memperkenalkan program-program iptek yang diberi nama: (i) Program Iptek Dasar; (ii) Program Iptek Terapan; (iii) Program Peningkatan Kapasitas Sistem Produksi; dan (iv) Program Percepatan Difusi Iptek. Program-program iptek tersebut masing-masing memiliki objektif dan sasaran yang spesifik. Mengacu pada prinsip-prinsip teoretikal yang dibahas di Bab 6, keempat program iptek tersebut perlu dapat mewujudkan kondisi-kondisi sebagai berikut: penelitian-penelitian dalam lintasan yang reversible; relasi-relasi antara jejaring penelitian dan jejaring non-penelitian yang memungkinkan perkembangan ruang pembelajaran. Kedua kondisi tersebut dapat diwujudkan melalui keterpautan dalam hal isu dan perspektif antara program yang satu dan progam yang lain—interaksi lintas-program. Interaksi-interaksi tersebut akan menimbulkan transformasitransformasi pengetahuan yang disertai dengan penyesuaian-penyesuaian antara beragam para pelaku yang terlibat. Dengan adanya interaksi-interaksi lintas-program, terbuka peluang bagi:
transformasi penelitian
223
pengembangan relasi-relasi antara berbagai pelaku yang mengandung cukup keragaman isu dan perspektif untuk memberikan lintasan penelitian yang reversible;
pengembangan lebih banyak pilihan-pilihan iptek, lebih banyak (calon) pengadopsi iptek yang terlibat, dan relasi-relasi yang lebih padat— pengembangan ruang pembelajaran.
Sebagai ilustrasi mengenai interaksi lintas-program, pertanyaan-pertanyaan dan isu-isu yang dirumuskan untuk program iptek dasar memiliki relevansi yang kuat dengan pertanyaan dan isu-isu untuk program iptek terapan, program peningkatan kapasitas sistem produksi dan program percepatan difusi iptek. Hal demikian juga berlaku bagi program-program yang lainnya. Skema keterpautan pertanyaan-pertanyaan dan isu-isu antara secara lintas-program ini divisualkan dalam Gambar 7.2. Dalam Gambar 7.2 tersebut, relasi-relasi linier uni-direksional (dinyatakan dengan garis lurus berarah ke kanan) antara program-program iptek bersesuaian dengan model linier inovasi. Relasi-relasi yang bersifat antisipatif dan adaptif, garis-garis lengkung berarah ke kiri dengan nomor (1) sampai dengan (7), merepresentasikan pertanyaan-pertanyaan dan isu-isu yang menghubungkan program iptek yang relatif berada di ‗hilir‘ dengan program iptek yang relatif berada di ‗hulu‘. Jadi, garis lengkung dengan nomor (1) bersesuaian dengan pertanyaan-pertanyaan dan isu-isu yang menghubungkan program percepatan difusi iptek dan program iptek dasar, dan seterusnya. Pada bagian berikut ini dijabarkan kumpulan pertanyaan-pertanyaan dan isu-isu yang menghubungkan program iptek yang satu dan program iptek yang lain.
ke dalam inovasi
224
(1) (3)
(4) (6)
Program Iptek Dasar
Program Peningkatan Kapasitas Inovasi
Program Iptek Terapan
(5)
Program Perluasan/ Percepatan Difusi
(7)
(2)
Gambar 7.2 Keterpautan Pertanyaan/Isu antara Program-Program Iptek dalam Perspektif Model Jejaring Inovasi
7.6.1
Program Iptek Dasar/Fundamental
Progam iptek dasar/fundamental perlu berfokus bukan hanya pada pengembangan iptek dasar dalam makna yang konvensional, melainkan mencakup upaya-upaya untuk merumuskan masalah atau pertanyaan fundamental yang terkait dengan peluang-peluang inovasi dan pilihan-pilihan masa depan bangsa. Dalam makna yang konvensional, penelitian iptek dasar adalah penelitian tentang jenis-jenis iptek yang berada di posisi dasar dari piramida iptek (lihat Gambar 2.3 di Bab 2). Membatasi penelitian fundamental hanya pada jenis-jenis iptek ini akan mengurangi nilai stratejik dari penelitian fundamental itu sendiri. Program iptek dasar/fundamental perlu mencakup berbagai pertanyaan dan isu fundamental yang memiliki nilai stratejik bagi inovasi dan kemajuan bangsa. Untuk merumuskan masalah fundamental tersebut, diperlukan interaksi antara peneliti-peneliti dengan beragam keilmuan (termasuk ahli ekonomika dan budayawan), para praktisi perencana pembangunan, pelaku usaha dan entrepreneur, politisi dan tokoh-tokoh masyarakat. Para fisikawan dan matematikawan memiliki keterbatasan untuk bisa menerawang peluang-
transformasi penelitian
225
peluang inovasi. Para politisi dan tokoh masyarakat penting terlibat dalam upaya-upaya menerawang masa depan (foresight). Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan spesifik yang dapat digunakan sebagai panduan dalam perumusan program iptek fundamental. Kelompok pertanyaan (1) — perumusan pertanyaan-pertanyaan fundamental berkaitan dengan pilihan-pilihan masa depan bangsa dan peluang-peluang inovasi:
Apakah pilihan-pilihan masa depan bangsa yang diinginkan (jangka menengah dan panjang); apakah tantangan-tantangan yang dihadapi dalam kerangka upaya mewujudkan pilihan-pilihan masa depan tersebut; apakah peluang-peluang inovasi untuk menjawab tantangantantangan; apakah nilai-nilai (values) dan risiko-risiko potensial dari inovasi tersebut bagi berbagai kelompok/elemen sosial di masyarakat;
Apakah perubahan-perubahan sosial, ekonomik dan teknologikal (social, economic and technological changes) yang diperlukan untuk mewujudkan peluang-peluang inovasi tersebut di atas; apakah pertanyaan-pertanyaan fundamental yang perlu dijawab secara ilmiah untuk mewujudkan perubahan-perubahan sosial, ekonomik dan teknologikal tersebut.
Kelompok pertanyaan (2) — perumusan pertanyaan-pertanyaan fundamental yang relevan bagi upaya peningkatan kapasitas inovasi:
Apakah kapasitas sosial, ekonomik dan teknologikal yang perlu dimiliki oleh kelompok-kelompok/elemen-elemen sosial (pelaku regulasi, pelaku usaha, pelaku finansial, pelaku industri, pelaku litbang, kelompok-kelompok nonformal/tradisional, dan lain-lain) di masyarakat, untuk
226
ke dalam inovasi
mewujudkan peluang-peluang inovasi tersebut di atas; apakah pertanyaan-pertanyaan fundamental yang perlu dijawab secara ilmiah untuk mendorong peningkatan kapasitas sosial, ekonomik dan teknologikal tersebut; Kelompok pertanyaan (3) - perumusan pertanyaan-pertanyaan fundamental untuk penelitian dan pengembangan iptek:
Seperti apakah kondisi iptek (ilmu-ilmu kealaman, teknologi, ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan) yang ada pada saat ini (present state of the art); apakah iptek yang ada sekarang telah dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental yang dirumuskan di atas; apakah pertanyaanpertanyaan fundamental yang masih belum bisa dijawab oleh iptek yang ada pada saat ini.
Dalam perumusan pertanyaan di atas, program pengembangan iptek dasar diletakkan dalam kerangka upaya pewujudan visi tentang masa depan bangsa. Pembahasan tentang pilihan-pilihan masa depan bangsa merupakan bagian yang terpadu dari program iptek dasar. 7.6.2
Program Iptek Terapan
Bila program iptek dasar/fundamental berfokus pada pertanyaan-pertanyaan fundamental, program iptek terapan berfokus pada pengembangan faktor-faktor enabling perubahan. Program iptek dasar/fundamental berfokus pada penyingkapan (discovery) sebab-sebab fundamental (fundamental causes), sebutlah, X, yang diperlukan untuk mewujudkan keadaan bangsa yang diterawang, Y. Sebab-sebab X tersebut dapat berwujud teknologikal, sosial, ataupun kultural. Program iptek terapan menggali dan mengembangkan teknikteknik untuk mewujudkan atau merealisasikan X dalam konteks-konteks yang khusus. Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan spesifik yang dapat digunakan sebagai panduan dalam perumusan program iptek terapan.
transformasi penelitian
227
Kelompok pertanyaan (4) — perumusan pertanyaan-pertanyaan untuk penelitian dan pengembangan iptek sesuai dengan kontekskonteks inovasi yang khusus:
Seperti apalah konteks-konteks sosial, ekonomik dan teknologikal di mana inovasi-inovasi berpeluang terwujud; seperti apakah karakteristik dan perilaku dari (calon) pengadopsi iptek; bagaimanakah iptek yang tersedia dikembangkan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan konteks-konteks sosial, ekonomik dan teknologikal, serta karakteristik dan perilaku dari para calon pengadopsi tersebut;
Kelompok pertanyaan (5) — perumusan pertanyaan-pertanyaan untuk penelitian dan pengembangan iptek sesuai dengan kapasitas dan kemampuan para pengadopsi iptek:
7.6.3
Seperti apakah kapasitas dan kemampuan para calon pengadopsi iptek untuk melakukan pembelajaran dan mengintegrasikan iptek yang diadopsi ke dalam praktis; bagaimanakah iptek yang tersedia dikembangkan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kapasitas dan kemampuan para calon pengadopsi tersebut;
Program Peningkatan Kapasitas
Iptek yang dikembangkan melalui program iptek terapan perlu diadopsi oleh berbagai pelaku, dan diintegrasikan ke dalam praktis. Upaya ini memerlukan kapasitas dan kemampuan. Jika kapasitas dan kemampuan ini rendah, maka terbatas iptek yang dapat diadopsi. Faktor-faktor kunci bagi peningkatan kapasitas ini adalah pembelajaran dan pengembangan kelembagaan atau kepranataan.
ke dalam inovasi
228
Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan spesifik yang dapat digunakan sebagai panduan dalam perumusan program peningkatan kapasitas inovasi.
Kelompok pertanyaan (6) — perumusan pertanyaan-pertanyaan untuk peningkatan kapasitas inovasi:
Seperti apakah konteks-konteks sosial, ekonomik dan teknologikal di mana inovasi-inovasi berpeluang terwujud; bagaimanakah kapasitas sosial, ekonomik, teknologikal ditingkatkan untuk mempercepat dan memperluas inovasiinovasi; pola-pola pembelajaran seperti apakah yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan para calon pengadopsi iptek untuk mengintegrasikan iptek yang ada ke dalam praktis;
Di sini, kapasitas sosial mencakup modal sosial dan kapasitas kelembagaan; kapasitas ekonomik mencakup kapasitas finansial, kapasitas pengambilan keputusan investasi, dan kapasitas distribusional; kapasitas teknologikal mencakup kapasitas produksi dan konsumsi, kapasitas pengembangan produk, serta kapasitas adopsi dan integrasi iptek ke dalam praktis sosial. 7.6.4
Program Percepatan Difusi
Percepatan difusi bergantung pada keberhasilan dalam pengembangan ruang pembelajaran. Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan spesifik yang dapat digunakan sebagai panduan dalam perumusan program percepatan difusi iptek Kelompok pertanyaan (7) — perumusan pertanyaan-pertanyaan untuk percepatan dan perluasan difusi iptek:
Apakah adopsi iptek yang dipraktikkan telah menciptakan nilai-nilai bagi pihak-pihak yang melakukan adopsi tersebut;
transformasi penelitian
229
apakah terdapat pihak-pihak yang termarjinalkan atau bahkan menanggung risiko sebagai konsekuensi dari adopsi iptek; apakah kapasitas sosial, ekonomik, teknologikal yang ada telah cukup digali untuk mempercepat dan memperluas difusi iptek; apakah pola pembelajaran yang ada sudah efektif dalam meningkatkan kapasitas-kapasitas yang diperlukan untuk melakukan adopsi iptek;
7.6.5
Kegiatan, Output dan Outcome Program
Agar suatu kegiatan penelitian iptek dapat berkontribusi ke dalam inovasi, kegiatan penelitian iptek tersebut harus menimbulkan perubahan pada kegiatan-kegiatan non-penelitian dalam beragam konteks praktis di masyarakat. Hal ini hanya dapat terjadi bila terdapat keterpautan yang erat antara kegiatan penelitian dan kegiatan-kegiatan non-penelitian. Interaksi antara para peneliti dan para pelaku non-peneliti adalah faktor yang penting untuk membangun keterpautan antara kegiatan penelitian iptek dan kegiatan non-penelitian. Model linier inovasi menyarankan bahwa interaksi ini dibangun sesudah kegiatan penelitian iptek itu selesai (sesudah penelitian dasar dan penelitian terapan selesai dilaksanakan). Hal ini menimbulkan risiko bahwa interaksi baru dimulai ketika lintasan penelitian telah menjadi irreversible. Berbeda dari model linier, model jejaring inovasi menyarankan bahwa interaksi dibangun bahkan sebelum penelitian iptek dasar dimulai. Untuk menstimulasi pengembangan interaksi-interaksi dan transformasi jejaring, program-program iptek perlu mendukung kegiatan-kegiatan berikut ini: Inisiatif pembentukan forum-forum komunikasi iptek yang melibatkan pelaku litbang iptek dan pelaku non-litbang; pengembangan berbagai bentuk media komunikasi untuk pengembangan dan pemeliharaan interaksi antara pelaku litbang iptek dan pelaku non-litbang;
230
ke dalam inovasi
Penelitian-penelitian yang berorientasi pada aksi dan perubahan sosial seperti penelitian aksi (action research), penelitian partisipatori (participatory research) dan penelitian-penelitian sejenis yang lazim digunakan dalam penelitian sosial (social research). Interaksi dan komunikasi yang lebih erat dan berkesinambungan antara para peneliti, pelaku usaha dan politisi merupakan hal yang penting untuk membangun pemahaman bersama (common understanding) di antara pihak-pihak yang hidup dalam ‗dunia‘ yang berbeda-beda. Pembentukan forum-forum iptek yang beranggotakan para pelaku litbang dan pelaku non-litbang (pelaku usaha, politisi dan praktisi lainnya) dapat menjadi sarana yang penting bagi pengembangan interaksi dan komunikasi. Upaya untuk saling-mengenal antara pihak satu dengan pihak yang lain dengan disertai sikap saling mempercayai dan saling menghormati, pada gilirannya akan menghasilkan ‗modal sosial‘ bagi difusi dan adopsi iptek di masyarakat. Selain forum-forum komunikasi, penelitian-penelitian yang berorientasi pada aksi juga dapat menstimulasi perkembangan interaksi antara berbagai pihak. Secara sederhana, suatu penelitian berorientasi aksi menggabungkan penelitian dan aksi ke dalam suatu kesatuan metodologikal. Penelitianpenelitian berorientasi aksi pada dasarnya merupakan sejenis penelitian sosial (social research) yang berpola lintas-disiplin untuk menggali dan menemukenali peluang-peluang perubahan, menginisiasi dan memfasilitasi perubahan, serta mengantisipasi dampak-dampak perubahan yang tidak diinginkan. Interaksi, partisipasi dan kesetaraan merupakan unsur-unsur yang esensial dari penelitian-penelitian yang berorientasi aksi. Penelitian-penelitian berorientasi aksi yang relevan dengan implementasi kebijakan iptek adalah, misalnya: penelitian partisipatori untuk membangun kesepakatan mengenai suatu platform atau agenda penelitian kolektif yang melibatkan para peneliti, pelaku usaha dan pihak-pihak pemerintahan daerah; penelitian aksi untuk menstimulasi permintaan atas produk iptek tertentu; penelitian aksi untuk memperluas ruang pembelajaran dalam konteks difusi iptek tertentu; penelitian partisipatori untuk menyiapkan iklim atau kepranataan yang kondusif bagi difusi/adopsi iptek; dan lain-lain.
transformasi penelitian
231
Kegiatan-kegiatan yang distimulasi melalui program-program iptek, baik kegiatan penelitian maupun kegiatan pengembangan interaksi, akan menghasilkan output dan outcome. Output dari kegiatan-kegiatan tersebut adalah makalah ilmiah, makalah kebijakan, purwa rupa iptek dan paten, serta model-model perubahan sosial. Ini semua merupakan output ilmiah. Output yang berkaitan dengan pengembangan interaksi mencakup: (i) dokumendokumen kesepakatan yang dihasilkan oleh forum-forum komunikasi; (ii) media komunikasi dan informasi (ilmiah dan non-ilmiah) yang diorganisasikan secara ko-operatif antara pelaku litbang iptek dan pelaku non-litbang; dan (iii) perusahaan-perusahaan/organisasi-organisasi baru (komersial ataupun nonkomersial) yang dijalankan secara kolaboratif antara pelaku litbang iptek dan pelaku non-litbang. Kemajuan dalam iptek merupakan outcome dari kegiatan penelitian dan pengembangan iptek. Outcome dari pengembangan interaksi mencakup: tumbuhnya pemahaman bersama, cara pandang bersama, sikap saling-percaya dan saling-menghormati, serta kemauan (willingness) untuk berko-operasi dan berkolaborasi antara pelaku litbang iptek dan para pelaku non-litbang; meningkatnya kapasitas pembelajaran (learning capacity) dan kapasitas adopsi iptek di berbagai organisasi sosial dan perusahaan komersial, termasuk perusahaan-perusahaan berskala menengah dan kecil.
7.6.6 Keterkaitan Sektor Iptek dan Sektor Non-Iptek Serangkaian program-program iptek tersebut di atas dapat diletakkan dalam perspektif sistem input-output, sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 7.3 berikut ini. Melalui program-program iptek, kebijakan iptek dan kebijakan noniptek dipertemukan. Isu-isu yang berasal dari sektor-sektor publik non-iptek diakomodasikan ke dalam program-program iptek. Sebaliknya, implementasi
232
ke dalam inovasi
program-program iptek membuka ruang pembelajaran yang melibatkan para pelaku litbang dan pelaku non-litbang. Dengan cara demikian, terjadi interaksi antara sistem litbang iptek dan sistem non-iptek dan terbuka peluang bagi litbang iptek untuk berkontribusi dalam menjawab masalah-masalah publik. Bila keterkaitan sistemik antara sektor (litbang) iptek dan sektor-sektor noniptek terbangun dengan erat, kontribusi iptek dalam pembangunan, khususnya pembangunan ekonomik, menjadi dapat diukur. Dalam kondisi seperti ini, indikator-indikator makro (seperti dalam total factor productivity, TFP) dan variabel-variabel input/output dapat dirumuskan untuk tujuan pengukuran kontribusi iptek dalam pembangunan. Pengukuran kontribusi iptek dalam pembangunan diperlukan dalam perencanaan pembangunan iptek. Tetapi bila keterkaitan tersebut tidak/belum bersifat sistemik, pengukuran-pengukuran agregat tidak akan bisa mendeteksi efek-efek yang dihasilkan oleh sistem iptek. Jika dua hal, katakanlah A dan B tidak memiliki relasi sistemik yang erat, pengukuran ‗pengaruh A terhadap B‘ (dan sebaliknya) tidak akan menghasilkan informasi yang cukup bermakna. Di sektor ekonomik, pengukuran kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomik lazim dilakukan. Jika pertumbuhan ekonomik (per tahun) ingin ditingkatkan, katakanlah, X %, maka investasi (per tahun) harus ditingkatkan Y %. Tetapi kaidah ‗jika-maka‘ ini hanya bermakna jika komponenkomponen sistem ekonomik tersebut (sistem perbankan, sistem informasi, sistem standar dan meterologi legal, sistem perijinan usaha, sistem ketenagakerjaan, jejaring listrik dan transportasi, jejaring telekomunikasi, dan lain-lain) telah terintegrasikan secara kokoh. Bila sistem ekonomik tersebut terfragmentasi, menjadi sulit diestimasi kontribusi investasi terhadap kinerja sistem ekonomik.
transformasi penelitian
Indikator
Kebijakan Non-Iptek
233
Instrumen Intervensi
Sektor Non-Iptek Sistem Non-Iptek
Input
Output, Outcome
Sektor Iptek Program-Program Iptek (1) (3)
(4) (6)
Program Iptek Dasar
Program Peningkatan Kapasitas Inovasi
Program Iptek Terapan
(5)
Input Program Perluasan/ Percepatan Difusi
Perguruan Tinggi, Balitbang
Output, Outcome
LPNK
(7)
(2)
Instrumen Intervensi
Kebijakan Iptek (KNRT)
Indikator
Gambar 7.3 Program-Program Iptek sebagai Instrumen untuk Membangun Keterpautan Antarsektoral
7.7 KRT sebagai Mediator Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, suatu kementerian memiliki kewenangan untuk menyediakan regulasi dan sarana/pra-sarana untuk menjawab masalah publik di sektor pembangunan tertentu. KRT, dan lembagalembaga penelitian non-kementerian di bawah koordinasi KRT, bergerak di sektor penelitian. Pada umumnya yang disediakan oleh KRT dan lembagalembaga penelitian non-kementerian adalah hasil-hasil penelitian baik dalam bentuk makalah ilmiah, rancangan teknologikal (technological design), maupun
234
ke dalam inovasi
rancangan kesisteman (system design) sebagai hasil kajian-kajian sosial, politikal atau ekonomik. Sebuah isu yang krusial di sini adalah: bagaimana produk yang dihasilkan oleh KRT dibedakan dari produk yang dihasilkan oleh kementeriankementerian yang lain. Sebagai ilustrasi, kementerian perindustrian, misalnya, memiliki kewenangan untuk menyediakan alat-alat produksi untuk kepentingan publik. BPPT pun memiliki kemampuan untuk meneliti, mengembangkan dan melakukan rancang-bangun alat-alat produksi untuk kepentingan publik. Kedua produk ini berbeda, atau seharusnya dibedakan. Produk yang disediakan oleh kementerian industri adalah alat-alat produksi itu sendiri. Tetapi produk yang disediakan oleh BPPT, pada intinya, adalah pengetahuan yang terkandung dalam rancang-bangun. Dengan perkataan lain, KRT dan lembaga-lembaga penelitian di bawah koordinasinya bekerja untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah di ranah publik, yaitu pengetahuan ilmiah yang menghasilkan nilai-nilai bagi publik. Dalam pembahasan di Bab 6 telah dinyatakan bahwa transformasi pengetahuan (sebagai hasil penelitian) ke dalam nilai-nilai (inovasi) membutuhkan semacam transformasi jejaring, khususnya: pengembangan relasi-relasi antara berbagai pelaku; dan pengembangan ruang pembelajaran. Secara lebih spesifik di atas telah diuraikan program-program iptek yang relevan bagi pengembangan relasi dan ruang pembelajaran. Program-program iptek yang diuraikan tersebut mengandung dua aspek dalam sebuah kesatuan objektif: pertama, aspek pengembangan iptek; ke dua, aspek pengembangan relasi-relasi dan ruang pembelajaran. Secara umum kegiatan penelitian dan pengembangan iptek berlangsung di lembaga-lembaga penelitian LPNK, perguruan-perguruan tinggi dan balitbang-balitbang. Dalam konteks ini, peranan KRT dalam pengembangan relasi-relasi dan ruang pembelajaran merupakan hal yang krusial. Pengembangan relasi-relasi dan ruang pembelajaran melibatkan serangkaian negosiasi dan penyesuaian dari berbagai pihak yang beragam dalam perspektif, nilai dan kepentingan. Meski penting, insentif finansial bukan faktor yang memadai bagi pengembangan relasi-relasi dan ruang pembelajaran. Di sini diperlukan adanya pihak atau pelaku yang melakukan langkah-langkah
transformasi penelitian
235
mediasi sedemikian rupa sehingga negosiasi-negosiasi dan penyesuaianpenyesuaian yang berlangsung dapat sampai pada suatu kesepakatan kolektif. KRT dapat memainkan peran memfasilitasi dan membantu (to enable) proses pencapaian kesepakatan tersebut. Sebagai ilustrasi, pembentukan forum-forum iptek dapat menghasilkan sarana kelembagaan yang diperlukan bagi pengembangan dan pemeliharaan interaksi-interaksi. Penting bahwa keanggotaan forum-forum tersebut bersifat hibrida, yaitu berasal dari beragam organisasi. Di sektor kesehatan, misalnya, suatu forum iptek dapat melibatkan perwakilan organisasi perlindungan konsumen, perwakilan organisasi pengobatan tradisional, perwakilan kelompok-kelompok adat, selain para peneliti, pembuat regulasi, perwakilan organisasi usaha dan perusahaan asuransi, perwakilan kementerian kesehatan, kementerian perdagangan dan kementerian sosial. Di sektor energi, khususnya energi nabati (bio-energy), suatu forum iptek perlu melibatkan para peneliti dan praktisi, perwakilan organisasi tani, perwakilan kelompok adat, para pelaku usaha baik penghasil maupun pengguna energi nabati, pembuat regulasi di sektor pertanian, pertanahan, energi, perdagangan, dan perwakilan pemerintahan daerah. Pembentukan forum-forum hibrida seperti ini membutuhkan adanya mediator. Dalam hal ini, peranan KRT menjadi krusial. Para pelaku yang terlibat dalam suatu forum hibrida tentu memiliki perspektif atau kepentingan masing-masing. Para perwakilan kementerian memiliki perspektif sektoral dan para perwakilan pemerintahan daerah memiliki perspektif kedaerahan. Begitu pula, para pelaku usaha memiliki kepentingan komersial dan perwakilan kelompok adat menganut nilai dan perspektif tertentu. Dalam situasi seperti ini, sikap non-partisan dari mediator menjadi penting. Sebagai mediator yang sekaligus juga merupakan aparatur pemerintahan, penting bahwa KRT berfokus pada proses transformasi pengetahuan ke dalam nilai-nilai bagi seluas mungkin publik. Dengan perkataan lain, KRT tidak hanya berfokus pada proses transformasi penelitian ke dalam inovasi, tetapi juga berupaya untuk memastikan bahwa inovasi yang terjadi bersifat inklusif. Berikut ini diuraikan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh KRT untuk memainkan peranan sebagai mediator:
ke dalam inovasi
236
Memantau capaian-capaian ilmiah (dalam berbagai bentuk) yang diraih oleh para peneliti di lembaga-lembaga litbang LPNK, perguruan-perguruan tinggi dan balitbang-balitbang, menyusun dokumentasi yang sistematik berdasarkan hasil pemantauan tersebut, dan menyediakan akses yang luas bagi publik atas dokumentasi tersebut; Memantau interaksi-interaksi yang telah dirintis dan/atau tengah dikembangkan oleh para peneliti di lembaga-lembaga litbang LPNK, perguruan-perguruan tinggi dan balitbangbalitbang; pemantauan ini berfokus pada: (i) platform kerja sama yang telah berhasil disepakati melalui interaksi-interaksi; (ii) potensi-potensi inovasi yang digali melalui kerja sama tersebut; (iii) kendala-kendala yang dihadapi untuk mewujudkan potensi inovasi melalui kerja sama tersebut; Mengevaluasi apakah publik telah dapat mengakses dengan baik informasi tentang capaian-capaian ilmiah yang ada; Mengevaluasi apakah sudah cukup terdapat interaksi-interaksi berkaitan dengan potensi-potensi inovasi dari capaian-capaian ilmiah yang ada; Mengevaluasi apakah, dalam interaksi-interaksi yang tengah berlangsung, ada peluang-peluang inovasi baru yang dapat dihasilkan melalui perluasan interaksi-interaksi tersebut. Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi tersebut KRT dapat menyusun rencana (dalam bentuk program-program kegiatan) untuk: Meningkatkan dan memperluas akses publik terhadap informasi tentang capaian-capaian ilmiah yang ada; Menstimulasi dan memfasilitasi interaksi-interaksi untuk menggali potensi-potensi inovasi dari capaian-capaian ilmiah yang ada, dan mendorong pengayaan interaksi dalam kasus di mana terjadi lintasan penelitian yang berpotensi menjadi irreversible; Memfasilitasi perluasan interaksi-interaksi dan ruang
transformasi penelitian
237
pembelajaran agar menghasilkan inovasi yang lebih signifikan atau berdampak lebih luas. Bergantung pada situasi-situasi yang khusus, beragam jenis kegiatan di atas— pemantauan, evaluasi dan perencanaan—dapat dilaksanakan secara sekuensial (dalam bentuk siklus) ataupun secara serentak (concurrent). Kegiatan-kegiatan pemantauan dapat mengambil bentuk kegiatan rutin. Tetapi evaluasi dan perencanaan membutuhkan penelitian/kajian kebijakan (policy research/study), termasuk kejian kebijakan yang berorientasi pada aksi (action oriented research). Penyusunan berbagai indikator yang relevan dan instrumen pemantauan yang tepat juga membutuhkan kajian yang memadai. Berbagai jenis kegiatan (pemantauan, evaluasi dan perencanaan) di atas diuraikan untuk memposisikan KRT sebagai mediator bagi proses transformasi penelitian ke dalam inovasi. KRT, sebagai mediator transformasi, tidak melakukan penelitian untuk pengembangan iptek. Penelitian dan pengembangan iptek dilaksanakan di lembaga-lembaga litbang LPNK, perguruan-perguruan tinggi dan balitbang-balitbang kementerian (dan juga dinas-dinas litbang di pemerintahan daerah). KRT berfokus pada pengembangan interaksi-interaksi, relasi-relasi, dan transformasi jejaring. Untuk mendukung peranan ini, diperlukan kegiatan-kegiatan penelitian yang berjenis penelitian kebijakan dan penelitian yang berorientasi aksi. Perumusan peranan KRT sebagai mediator, sebagaimana diuraikan di atas, bersifat umum (generic) dalam arti perumusan tersebut tidak bergantung pada prioritas-prioritas pembangunan nasional yang spesifik, yang bergantung pada dinamika politik nasional. Apa pun rencana, prioritas dan sasaran pembangunan nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, sumbangan dari sektor riset dan teknologi adalah mewujudkan ‗transformasi penelitian ke dalam inovasi‘ yang relevan dengan prioritas dan sasaran tersebut. Dalam hal ini, peranan KRT sebagai mediator bagi ‗transformasi jejaring‘ menjadi krusial. Peranan demikian tidak mungkin dijalankan oleh aparatur pemerintahan yang lain.
238
ke dalam inovasi
7.7.1 Posisi Lemlit LPNK Lembaga penelitian LPNK, balitbang kementerian dan perguruan tinggi publik 91 semuanya merupakan lembaga publik yang, secara legal-formal, mengemban tanggung jawab untuk merespons dan menjawab permasalahan publik. Konsekuensi dari tanggung jawab demikian adalah bahwa relevansi publik dari penelitian merupakan isu yang krusial bagi lembaga-lembaga tersebut. Suatu penelitian yang memiliki relevansi publik adalah yang menghasilkan nilai-nilai di ranah publik. Untuk mewujudkan relevansi publik dari penelitian, penting bahwa lembaga-lembaga tersebut terlibat dalam relasi-relasi dengan berbagai pelaku di ranah publik. Paparan di Bab 3 dan Bab 4 memperlihatkan bahwa antara lembagalembaga penelitian LPNK, balitbang-balitbang dan perguruan-perguruan tinggi terdapat perbedaan struktural-fungsional. Bagi sebuah perguruan tinggi, pengajaran dan pendidikan merupakan kegiatan-kegiatan yang esensial. Kegiatan penelitian di perguruan tinggi tidak terlepas dari pengajaran dan pendidikan. Di balitbang, para peneliti melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan kolega-kolega di direktorat-direktorat teknikal. Lingkup penelitian di balitbang dibatasi oleh lingkup sektoral kementerian yang menaungi balitbang tersebut. Dibandingkan dengan perguruan tinggi dan balitbang, lembaga penelitian non-kementerian memiliki keleluasaan yang relatif lebih tinggi untuk melakukan penelitian dan pengembangan relasi-relasi dengan berbagai pelaku di ranah publik. LIPI merupakan lembaga publik yang menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam rentang disiplin keilmuan yang luas mencakup ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Dengan posisi dan kapasitas seperti ini, LIPI memiliki peranan yang penting sebagai pemandu perkembangan ilmu pengetahuan pada skala nasional. Untuk mewujudkan relevansi publik dari penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan, hal-hal berikut ini dapat dilakukan oleh LIPI: 91
Perguruan tinggi publik yang dimaksudkan di sini adalah perguruan tinggi yang pendirian dan penyelenggaraan kegiatannya menggunakan sumber daya dan kewenangan publik dan, sebagai konsekuensinya, terikat pada kepentingan publik.
transformasi penelitian
92
239
Berkoordinasi dengan KRT untuk memantau capaian-capaian ilmiah (dalam berbagai bentuk) yang diraih oleh para peneliti di lembaga-lembaga litbang LPNK, perguruan-perguruan tinggi dan balitbang-balitbang, dan melakukan penilaian (assessment) apakah penelitian-penelitian tersebut telah mimiliki relevansi publik; berkoordinasi dengan KRT untuk menyusun dokumentasi capaian-capaian ilmiah dan menyediakan akses bagi pihak-pihak yang relevan; Memberikan advokasi pada lembaga-lembaga penelitian publik (perguruan-perguruan tinggi, balitbang-balitbang kementerian dan pemerintahan daerah) untuk peningkatan relevansi publik dari penelitian; melakukan inisiasi kerja sama dengan berbagai lembaga penelitian untuk merespons/menjawab permasalahan publik tertentu; Memantau perkembangan pengetahuan pada masyarakat nonpeneliti, dan menilai apakah sudah memadai bagi kemajuan kualitas kehidupan sosial; bekerja sama dengan berbagai pelaku (pemerintah daerah, LSM, pelaku media publik dan perusahaan-perusahaan swasta) untuk mempromosikan pembelajaran publik; Secara berkala dan sinambung menyelenggarakan foresight92 iptek dan merumuskan tema-tema penelitian stratejik berdasarkan foresight tersebut; memelopori penelitian dan pengembangan iptek yang berkaitan dengan tema-tema stratejik tersebut; Dengan berkoordinasi dengan KRT, bekerja sama dengan kementerian-kementerian lain dan pemerintahan daerah untuk
Dalam konteks pembahasan di sini, foresight lebih relevan daripada forecast. Suatu forecast bersandar pada lintasan di masa lalu dan kecenderungan yang ke masa depan yang ditimbulkan oleh lintasan masa lalu tersebut. Dalam foresight, meski lintasan masa lalu diperhintungkan, arah ke depan diturunkan berdasarkan suatu visi tentang masa depan.
ke dalam inovasi
240
merumuskan kebijakan tentang pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi pada skala nasional dan daerah untuk peningkatan kualitas kehidupan sosial secara utuh. Berbeda dari LIPI yang berfokus pada ilmu pengetahuan, kegiatan BPPT berfokus pada teknologi mencakup penelitian, pengembangan dan penerapan. Teknologi (dalam bentuk alat, mesin, struktur dan infrastruktur) hadir ke dalam berbagai kehidupan publik melalui beberapa mekanisme seperti persaingan pasar, kegiatan-kegiatan layanan publik di berbagai sektor pembangunan dan juga inisiatif-inisiatif spontan oleh berbagai komunitas. Berkaitan dengan kehadiran teknologi dalam kehidupan publik, BPPT dapat memainkan peranan yang penting dalam peningkatan manfaat sosial/ekonomik dari teknologi dan peningkatan kualitas pembelajaran sosial dalam adopsi teknologi oleh berbagai pihak di masyarakat. Untuk menopang peranan tersebut, hal-hal berikut ini dapat dilakukan oleh BPPT:
Berkoordinasi dengan KRT untuk memantau hasil-hasil upaya pengembangan teknologi yang diraih oleh para peneliti di lembaga-lembaga litbang LPNK, perguruan-perguruan tinggi dan balitbang-balitbang, dan melakukan penilaian apakah hasil-hasil tersebut berpotensi untuk diadopsi oleh masyarakat; berkoordinasi dengan KRT untuk menyusun dokumentasi dan menyediakan akses bagi pihak-pihak yang relevan;
Memberikan advokasi pada lembaga-lembaga penelitian publik (perguruan-perguruan tinggi, balitbang-balitbang kementerian dan pemerintahan daerah) untuk peningkatan relevansi publik dari penelitian teknologi; melakukan inisiasi kerja sama dengan berbagai lembaga penelitian untuk mempromosikan difusi/adopsi teknologi untuk menjawab permasalahan publik tertentu;
Memantau teknologi yang hadir di berbagai ranah publik, dan menilai apakah kehadiran teknologi tersebut membawa
transformasi penelitian
241
pengaruh yang baik bagi kemajuan kualitas kehidupan sosial; bekerja sama dengan berbagai pelaku (pemerintah daerah, LSM, pelaku media publik dan perusahaan-perusahaan swasta) untuk peningkatan sumbangan teknologi dalam kehidupan publik;
Secara berkala dan sinambung, dan bermitra dengan pelakupelaku yang relevan, menyelenggarakan foresight teknologi dan merumuskan tema-tema penelitian dan pengembangan teknologi yang stratejik berdasarkan foresight teknologi tersebut; memelopori penelitian dan pengembangan teknologi yang berkaitan dengan tema-tema stratejik tersebut.
Dengan berkoordinasi dengan KRT, bekerja sama dengan kementerian-kementerian lain dan pemerintahan daerah untuk merumuskan kebijakan tentang pengembangan teknologi dan inovasi pada skala nasional dan daerah untuk peningkatan kualitas kehidupan sosial secara utuh.
Dibandingkan dengan LIPI dan BPPT, lembaga-lembaga LPNK lain seperti BATAN, BAPETEN, LAPAN, BAKOSURTANAL dan BSN memiliki lingkup penelitian dengan rentang disiplin keilmuan yang lebih spesifik. Meski demikian, seperti halnya LIPI dan BPPT, penting bahwa lembaga-lembaga tersebut dapat memainkan peranan pengelolaan iptek di ranah publik. Misalnya, BATAN dan BAPETEN berfokus pada permasalahan publik di sektor pangan, kesehatan dan energi yang dapat dijawab melalui pengembangan dan pemanfaatan radiasi nuklir. BATAN dan BAPETEN dapat memantau pengelolaan limbah nuklir dari berbagai kegiatan penelitian (baik di lembaga publik maupun swasta) yang terkait dengan pemanfaatan radiasi dan tenaga nuklir, serta memastikan relevansi publik dari kegiatan tersebut. Lembagalembaga ini juga dapat terlibat dalam foresight iptek dengan berfokus pada iptek nuklir. BSN dapat bekerja sama dengan LIPI, BPPT, dan BAPETEN untuk menilai dampak dari penggunaan teknologi (dengan mengacu pada standar yang berlaku) yang ada di berbagai sektor publik dan swasta, dan mengembangkan standar yang baru. BSN juga dapat bekerja sama dengan LIPI
242
ke dalam inovasi
dan perusahaan-perusahaan swasta untuk menyediakan pendidikan publik tentang standar. Interaksi dan kerja sama antara lembaga-lembaga penelitian LPNK itu sendiri merupakan hal yang penting. Sebagai ilustrasi, pemanfaatan teknologi di masyarakat membutuhkan perubahan cara pandang, persepsi, perilaku dan kepranataan sosial, selain rancang bangun teknologikal. Berbagai aspek sosiokultural dari pemanfaatan teknologi dapat dikembangkan melalui kerja sama antara LIPI dan BPPT. LIPI dan BPPT dapat memelopori pengembangan pengetahuan tentang sistem ekonomik yang memperhitungkan faktor penelitian dan adopsi teknologi—pengembangan teori inovasi. Hasil penelitian ini dapat diadopsi para pembuat kebijakan ekonomik untuk menstimulasi difusi teknologi di ranah ekonomik. BPPT dan LIPI dapat memelopori mengembangkan teori tentang pembelajaran dalam konteks difusi teknologi, dan hasil dari pengembangan ini didialogkan dengan berbagai pelaku dari perguruan tinggi, balitbang dan lembaga-lembaga penelitian lain. Penelitian tentang disiplin teknologi tertentu dapat berlangsung sekaligus di beberapa lembaga. Misalnya, tentang pemanfaatan nuklir, BATAN melakukan penelitian dan pengembangan teknik tertentu, BAPETEN mengkaji dampak lingkungan dari teknik tersebut, BSN merumuskan standar teknikal yang relevan, BPPT melakukan penelitian tentang model difusi/adopsi teknik tersebut, LIPI melakukan penelitian tentang cara pandang dan perilaku sosial yang relevan. Dalam uraian di atas, pembedaan peranan antara lembaga-lembaga penelitian publik tidak didasarkan atas model linier inovasi, tetapi model jejaring inovasi. Bila model linier inovasi yang dijadikan panduan, lembagalembaga penelitian dibedakan atas dasar perbedaan jenis-jenis penelitian. Misalnya, lembaga yang satu berfokus pada penelitian dasar, sementara lembaga yang lain pada penelitian terapan, dan lembaga yang lain lagi pada difusi hasil penelitian. Pembedaan seperti ini mengandung risiko bahwa tidak terjadi ‗aliran pengetahuan‘ dari satu lembaga ke lembaga lainnya sebagaimana diasumsikan dalam model linier inovasi. Pemaksaan ‗aliran pengetahuan‘ dengan pendekatan struktural juga bukan hal yang baik karena dua alasan: pertama, pemaksaan struktural menimbulkan hilangnya kebebasan akademik
transformasi penelitian
243
dan; ke dua, pemaksaan struktural tidak akan menghasilkan adopsi hasil penelitian yang bertahan lama (durable). Model jejaring inovasi tidak menekankan ‗aliran pengetahuan‘ tetapi interaksi dan pengembangan relasirelasi dengan berbagai pelaku di ranah publik. Adanya tumpang-tindih penelitian antara satu lembaga dan lembaga yang lain bukan hal yang buruk dalam perspektif jejaring inovasi. Sejauh penelitianpenelitian berlangsung dengan disertai pengembangan relasi-relasi, kecil kemungkinan penelitian-penelitian itu sepenuhnya tumpang-tindih. Misalnya, penelitian tentang teknologi X yang melibatkan relasi-relasi dengan pelakupelaku A, B dan C sangat mungkin berbeda dengan penelitian teknologi X yang melibatkan pelaku-pelaku D, E dan F. Para pelaku pada umumnya memiliki nilai dan kepentingan yang berbeda-beda dan interaksi antara para pelaku tersebut menghasilkan konteks dan arah penelitian yang spesifik dan unik. Pada Gambar 7.4 divisualisasikan posisi KRT dan Lemlit LPNK dalam konstelasi jejaring iptek nasional. Pada gambar tersebut, di tengah-tengah terdapat lembaga-lembaga litbang LPNK yang bekerja di bawah ko-ordinasi KRT. Di sisi-sisi lain terdapat berbagai lembaga/organisasi di masyarakat, termasuk organisasi politik, LSM, dan badan-badan internasional. Dalam konseptualisasi yang divisualkan pada gambar tersebut, KRT dan lembagalembaga litbang LPNK menjalankan fungsi-fungsi sebagai berikut:
Penyusunan agenda iptek nasional KRT, bersama-sama dengan lembaga-lembaga litbang LPNK, menyusun agenda pembangunan iptek nasional sebagai respons terhadap: (i) prioritas pembangunan Pemerintah Nasional dan pemerintahan daerah; (ii) tantangan dan peluang dunia usaha nasional; (iii) permasalahan pembangunan politik nasional; (iv) permasalahan pendidikan tinggi nasional; dan (v) tantangan dan peluang regional/global; dalam penyusunan agenda iptek nasional tersebut, penting bahwa KRT dan segenap lembaga litbang LPNK terlibat dalam interaksi dengan berbagai pihak, dan menjadi fasilitator interaksi antarpihak;
ke dalam inovasi
244
Peningkatan kapasitas Iptek Sebagai bagian dari pelaksanaan agenda pembangunan iptek nasional, lembaga-lembaga litbang LPNK bekerja sama dengan para pelaku usaha dan para pelaku di kementeriankementerian serta pemerintahan daerah untuk menyelenggarakan program-program peningkatan kapasitas iptek, serta bekerja sama dengan ormas, parpol, LSM dan pelaku-pelaku media massa untuk menyelenggarakan pendidikan publik;
Penyelenggaraan penelitian stratejik Lembaga-lembaga litbang LPNK menyelenggarakan penelitianpenelitian yang stratejik bagi pelaksanaan agenda pembangunan iptek nasional; ini dilakukan dengan bekerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi nasional atau bermitra dengan lembaga-lembaga internasional; penelitianpenelitian di LPNK, oleh karenanya, bersifat tematik sesuai dengan agenda iptek nasional; ini berbeda dengan penelitianpenelitian di perguruan tinggi yang memiliki fungsi penyebarluasan pengetahuan dan fungsi pendidikan; fungsi penelitian di lembaga litbang LPNK adalah fungsi stratejik nasional.
Penyusunan foresight iptek nasional Foresight berurusan dengan masa depan bangsa; dalam foresight iptek, pembahasanan mengenai visi masa depan bangsa dikaitkan dengan visi tentang kemajuan iptek; foresight iptek merupakan hal yang relevan bagi para pelaku pendidikan tinggi, para pelaku usaha/industri, pelaku-pelaku di kementerian-kementerian dan pemerintahan daerah, pelakupelaku partai politik, organisasi massa dan LSM.
Dalam uraian di atas yang ditekankan bukanlah fungsi penelitian dan pengembangan iptek, melainkan fungsi integrasi antara litbang iptek dan
transformasi penelitian
245
pembangunan bangsa. Dalam perspektif pembangunan bangsa, bukan hanya kemajuan litbang iptek yang penting, melainkan juga: (i) kapasitas iptek di berbagai perusahaan dan lembaga-lembaga publik; serta (ii) pemahaman publik akan iptek. Dalam perspektif pembangunan, peranan yang krusial dari KRT bukanlah sebatas mendorong litbang iptek. Peranan yang krusial dari KRT adalah memediasi dan menfasilitasi interaksi antara berbagai pihak untuk berpartisipasi dalam memajukan iptek nasional dan mengintegrasikan iptek ke dalam berbagai aspek kehidupan publik. Dewan Riset Nasional (DRN) merupakan sebuah aparatus pemerintahan yang berada dalam lingkungan KRT. Prediket ‗Riset‘ dalam Dewan Riset Nasional dapat membawa implikasi pembatasan peranan DRN. Jika keterintegrasian antara litbang iptek dan pembangunan menjadi permasalahan utama yang dijawab oleh KRT, dapat dipertimbangkan penggunaan nama ‗Dewan Iptek Nasional‘. Nama ini memungkinkan pembahasan aspek-aspek non-riset dari iptek seperti aspek regulasi, aspek politik, aspek ekonomik, aspek kapasitas organisasi/lembaga, aspek pemahaman publik dan aspek kebudayaan masyarakat. Anggota-anggota ‗Dewan Iptek Nasional‘ merupakan perwakilan dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan kemajuan iptek dan keterintegrasian antara iptek dan pembangunan bangsa.
7.7.2
Taman Inovasi sebagai Simpul Jejaring
Di akhir Bab 5 telah didiskusikan aspek-aspek jejaring dari difusi iptek. Pertama, upaya untuk memahami kebutuhan iptek memerlukan interaksi dan pembelajaran di sepanjang proses difusi. Jadi, gagasan (iptek) yang ditawarkan di awal suatu inisiatif difusi iptek belum tentu merupakan gagasan (iptek) yang pada akhirnya diadopsi. Ke dua, difusi iptek membutuhkan komunikasi yang lebih kompleks dan erat dari sebatas diseminasi atau sosialisasi gagasan. Komunikasi tersebut melibatkan negosiasi-negosiasi yang komplek, dan penyesuaian-penyesuaian pada berbagai pihak yang terlibat. Ketersediaan pilihan-pilihan iptek menentukan kelonggaran ruang negosiasi (atau ruang komunikasi) dan peluang terjadinya penyesuaian-penyesuaian. Ke tiga, kecepatan proses difusi berkaitan dengan efektivitas negosiasi-negosiasi. Secara
246
ke dalam inovasi
ringkas, terdapat tiga faktor yang krusial bagi difusi iptek: (i) interaksi yang kontinyu atau berkesinambungan; (ii) dialog dan pembelajaran tentang pilihanpilihan iptek; dan negosiasi yang efektif. Ke tiga faktor tersebut dapat dikembangkan melalui taman inovasi (innovation park).
KomunitasKomunitas Keilmuan dan Badan-Badan Iptek Internasional
PerguruanPerguruan Tinggi
Storage dan diseminasi pengetahuan; Kolaborasi penelitian stratejik; Kolaborasi penelitian stratejik Agenda penelitian nasional/rejional/global Agenda penelitian rejional/global Foresight iptek
Lemlit LPNK
KomunitasKomunitas Pelaku Usaha Domestik
KNRT
Lemlit LPNK
Agenda pengembangan ekonomik; Agenda pengembangan politik nasional; Peningkatan kapasitas iptek Pendidikan publik; pada perusahaan-perusahaan Foresight iptek Foresight iptek Agenda pembangunan nasional dan daerah; Peningkatan kapasitas iptek pada kementerian dan pemerintahan daerah; Pengembangan kelembagaan iptek daerah; Foresight iptek LSM, Ormas, Parpol
KementerianKementerian; PemerintahanPemerintahan Daerah
Gambar 7.4 KRT dan Lemlit Non-Kementerian sebagai Mediator Interaksi Antarpihak untuk Mengintegrasikan Iptek dan Pembangunan Bangsa Mengacu pada faktor-faktor difusi iptek sebagaimana diuraikan di atas, taman inovasi dapat didefinisikan sebagai tempat (place) yang berfungsi sebagai simpul yang memfasilitasi ketiga jenis kegiatan kolektif: interaksi, pembelajaran
transformasi penelitian
247
dan negosiasi. Pelaku-pelaku yang dapat terlibat dalam taman inovasi adalah, antara lain: para peneliti (dari perguruan tinggi atau lemlit), pelaku usaha (swasta atau BUMN), pelaku finansial, pembuat regulasi, perencana pembangunan, serta perwakilan konsumer dan kelompok-kelompok sosial lain di masyarakat. Sebagai sebuah tempat, taman inovasi meminimalkan jarak geografis bagi pihak-pihak yang berinteraksi di dalamnya. Penting bahwa lokasi dari taman inovasi tersebut relatif dekat dengan suatu kawasan industri. Hal ini khususnya penting bagi mobilitas peralatan dan perlengkapan eksperimen industrial. Sebuah taman inovassi perlu memiliki iklim/suasana yang cocok sebagai tempat bersama (common place). Sebagai tempat bersama, taman inovassi perlu dirancang untuk memberikan suasana yang nyaman bagi berbagai pihak yang berinteraksi di dalamnya: akademisi, pelaku usaha, pelaku birokrasi, perwakilan masyarakat, dan lain-lain. Sebagai sebuah institusi sosial, taman inovasi perlu didukung oleh individu-individu yang mampu berperanan sebagai mediator, yaitu individu-individu yang mampu melakukan komunikasi dan negosiasi dengan baik dengan berbagai pihak yang berinteraksi. Selain ini, taman inovasi perlu didukung oleh berbagai media informasi dan komunikasi yang terhubungkan ke tempat-tempat lain (perguruan-perguruan tinggi, perusahaanperusahaan, kementerian-kementerian dan dinas-dinas pemerintahan daerah). Perangkat eksperimental seperti apa yang dipasang di taman inovasi disepakati bersama oleh berbagai pihak. Perangkat eksperimental tersebut menjadi sarana komunikasi dan pembelajaran antara para peneliti, pelaku usaha dan pelaku regulasi.[]
248
ke dalam inovasi
transformasi penelitian
249
Bab 8 EPILOG: REPUBLIK IPTEK
Keterintegrasian litbang iptek dalam kehidupan publik—keterintegrasian antara ‗dunia di dalam laboratorium‘ dan ‗dunia di luar laboratorium‘—merupakan tema sentral buku ini. Ketika, akibat bekerjanya faktor-faktor tertentu, kedua ‗dunia‘ tersebut menjadi terpisah, kemajuan iptek belum tentu memberikan hasil-hasil yang bermakna bagi kehidupan publik. Hal ini dapat membawa implikasi rendahnya dukungan publik terhadap kegiatan litbang iptek. Sebaliknya, ketika litbang iptek terintegrasikan ke dalam upaya-upaya pembangunan di berbagai sektor, kemajuan iptek menjadi sebuah faktor yang penting bagi peningkatan kapabilitas, kedaulatan dan kemajuan bangsa. Tanpa meraih kemajuan di sektor iptek, mungkin saja suatu bangsa sanggup bertahan hidup (to survive), mencapai kesejahteraan dan demokrasi. Tetapi, apa makna kesejahteraan dan demokrasi tanpa disertai dengan kemajuan iptek? Jika kesejahteraan dicapai tanpa disertai dengan kemajuan iptek, tingkat daya beli (purchasing power) yang tinggi tidak disertai dengan daya guna (power to add value) dan daya buat (power to create). Meski berbagai barang/jasa dapat dibeli di pasar global, sangat terbatas kemampuan masyarakat untuk menghasilkan nilai tambah melalui penggunaan barang/jasa tersebut. Terjadi inefisiensi dalam konsumsi barang/jasa. Selain ini, kesejahteraan yang dicapai sangat bergantung pada kestabilan pasokan barang/jasa di pasar. Gangguan pada pasokan barang/jasa dapat berakibat merosotnya tingkat kesejahteraan. Jadi, kesejahteraan tanpa disertai kemajuan iptek--daya beli tanpa daya guna dan daya buat—bermakna kesejahteraan dengan inefisiensi (dalam konsumsi), dan kesejahteraan dengan insecurity. Bahwa tingkat daya beli yang tinggi belum tentu menimbulkan daya guna, apalagi daya buat, telah diingatkan oleh Amartya Zen, ahli ekonomika penerima Nobel, melalui bukunya ―Development As Freedom‖. Mungkin sebagian kalangan mengesampingkan peringatan Zen dengan mengatakan, ―Untuk apa membuat
250
ke dalam inovasi
kalau bisa membeli!‖ Terdahap pandangan demikian dapat diberikan jawaban, ―Apa gunanya membeli kalau tidak bisa menghasilkan nilai tambah melalui apa-apa yang dibeli!‖. Dalam suatu demokrasi, hak bersuara setiap warga negara diakui penuh dan suara mayoritas menentukan. Tetapi, apa maknanya bila demokrasi tercapai tanpa disertai kemajuan iptek? Maknanya adalah bahwa meski menentukan, suara mayoritas tidak disertai dengan daya mayoritas. Apa artinya keputusan mayoritas bahwa ketahanan pangan harus diwujudkan, keamanan pasokan energi harus dijamin, daerah-daerah tertinggal harus dimajukan, bila mayoritas tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan itu semua? Apa artinya pengakuan atas suatu keputusan bila apa-apa yang diputuskan tidak bisa diwujudkan oleh pihak yang memutuskan? Apa artinya suara bila tidak disertai dengan kemampuan untuk berbuat? Jadi, kesejahteraan yang sejati adalah kesejahteraan yang disertai dengan efisiensi dalam produksi dan konsumsi, dan ketahanan (security). Demokrasi yang sejati menghasilkan kedaulatan rakyat yang disertai dengan daya rakyat, bukan suara mayoritas dengan ketakberdayaan rakyat. Kesejahteraan dan demokrasi yang sejati mempersyaratkan kemajuan iptek. Tetapi adanya litbang dan kemajuan iptek tidak secara niscaya menghasilkan kemajuan bangsa. Apa artinya penguasaan dan kemajuan iptek bila hal ini diraih hanya oleh sekelompok kecil dari masyarakat, dan tidak membawa implikasi-implikasi pada keseluruhan masyarakat? Apa artinya kemajuan iptek bila justru memperlebar kesenjangan sosial dan menghambat perkembangan kebudayaan? ooOoo Argumentasi di atas menyarankan bahwa kesejahteraan, demokrasi dan kemajuan iptek adalah unsur-unsur yang pokok dari kemajuan bangsa. Tercapainya kemajuan bangsa hanya akan bermakna utuh bila ketiga unsur tersebut berkembang selaras dan saling memperkuat satu terhadap yang lain. Keterintegrasian antara litbang iptek dan kegiatan-kegiatan pembangunan di berbagai sektor menjadi krusial dalam perspektif ini. Litbang iptek bukan lagi
transformasi penelitian
251
permasalahan di ranah akademik semata, tetapi permasalahan di ranah publik-iptek sebagai public matter, iptek sebagai res publica. Dalam sebuah republik, kolektivitas menjadi basis keputusan politikal. Setiap keputusan politikal diarahkan pada kepentingan dan tujuan kolektif, dan setiap individu atau kelompok mendapatkan perlakuan yang kurang-lebih setara dalam urusan-urusan kolektif. Dalam sebuah Republik Iptek, iptek hadir untuk kebaikan seluruh masyarakat, bukan semata-mata untuk para peneliti, para penguasa ataupun para pemilik modal. Masyarakat, sebagai sebuah kesatuan kolektif, merupakan pelaku pengembangan iptek dan sekaligus menjadi pihak yang mendapatkan manfaat dari kemajuan iptek. Iptek hadir untuk kemajuan publik, dan publik menjadi pendukung utama kemajuan iptek. Demokrasi dalam Republik Iptek Dalam sebuah Republik Iptek, para peneliti iptek, ilmuwan dan akademisi secara sinambung dan intensif berdialog dengan publik untuk membicarakan visi tentang masa depan bersama, dan pilihan-pilihan lintasan untuk mewujudkan visi tersebut. Para ilmuwan fasih menjalankan logico-empirism dan laboratorium tempat mereka bekerja diperlengkapi dengan perangkat-perangkat eksperimental yang canggih. Tetapi ini semua tidak menjadi penghalang bagi dialog antara para ilmuwan dan kaum awam. Apa-apa yang terjadi di laboratorium ilmiah transparan bagi publik dan kegiatan-kegiatan ilmiah accountable oleh publik. Laboratorium ilmiah dan ‗laboratorium masyarakat‘ memang terpisah oleh dinding-dinding, tetapi dinding-dinding tersebut bersifat porous, yaitu mengandung cukup banyak celah untuk memungkinkan dialogdialog antara para penghuni di sebelah-sebelah dinding. Melalui dialog-dialog tersebut, visi masa depan dibicarakan, hasil-hasil litbang dikomunikasikan, dukungan sumber daya dan dukungan politik diberikan. Para ilmuwan merupakan wakil rakyat yang penting, yang menjadi penghubung antara rakyat dan lingkungan alam/hayati, antara bangsa dan Tanah-Air. Para wakil rakyat tersebut tidak dipilih melalui suara terbanyak, melainkan melalui kapasitas, kompetensi, pengabdian dan kesetiaan. Para ilmuwan berlomba-lomba menyingkap kebenaran, bukan semata-mata demi ketenaran dan nama besar, tetapi yang utama adalah demi menjalankan amanah rakyat.
252
ke dalam inovasi
Rakyat dalam Republik Iptek merupakan pendukung terdepan bagi litbang iptek dikarenakan rakyat merupakan penerima manfaat yang utama (primary beneficiary) dari kemajuan iptek, dan menjadi saksi atas kontribusi iptek bagi kemajuan publik. Iptek adalah alat kedaulatan rakyat dalam Republik Iptek. Rakyat tidak lagi bersandar pada belas kasihan melalui bantuan tunai, programprogram kemiskinan, ataupun janji-janji para politisi menjelang pemilu. Rakyat mencapai kedaulatan dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi melalui peranan dan kontribusi para peneliti, ilmuwan dan akademisi. Dalam Republik Iptek, partai politik yang mengabaikan pentingnya penguasaan iptek akan sulit memenangkan pemilu, karena menghadapi penolakan dari rakyat. Kebohongan politik dan korupsi hanya mendapatkan ruang yang terbatas dalam masyarakat yang haus akan nilai tambah dan kreativitas. Dalam Republik Iptek, para ilmuwan menjaga agar ilmu pengetahuan senantiasa menjadi ‗alat kebenaran‘, bukan ‗alat kekuasaan‘. Ilmu pengetahuan dan teknologi tetap terbagi ke dalam ‗kotak-kotak disipliner‘, tetapi terdapat banyak celah yang memungkinkan dialog dan sintesis lintas-disipliner. ‗Kotakkotak disipliner‘ tidak menjadi wilayah-wilayah kekuasaan, yang dipagari oleh dinding-dinding administratif yang pejal. Para ilmuwan, dengan latar belakang keilmuan dan preferensi epistemologi yang berbeda-beda, berdialog untuk membicarakan temuan-temuan dan menggali peluang-peluang untuk saling memperkaya dan menyempurnakan. Para ahli ilmu alam dan ahli teknologi mengenali prinsip-prinsip pokok dalam ilmu-ilmu sosial/kemanusiaan serta menghayati prinsip keadilan sosial, dan, sebaliknya, para ahli ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan mengenali prinsip-prinsip pokok dalam fisika, kimia, biologi, dan desain kerekayasaan. Filsafat, etika, estetika, logika dan matematika dikenali dengan akrab oleh para ilmuwan di berbagai disiplin ilmu. Para ilmuwan mencegah keterpecahbelahan ilmu pengetahuan yang menjauhkan ilmu pengetahuan dari kebenaran. Ekonomi dalam Republik Iptek Rakyat dalam Republik Iptek bangga akan daya cipta dan daya guna, dan bukan rakyat yang konsumtif, yang puas hanya dengan daya beli. Rakyat berpartisipasi dalam kegiatan ekonomik tidak sebatas sebagai buruh atau
transformasi penelitian
253
konsumer, tetapi juga sebagai produser, pemodal, pewirausaha dan perancang yang kreatif. Ekonomi dalam Republik Iptek tidak didominasi oleh negara, karena hal ini akan membatasi partisipasi rakyat, tetapi digerakkan dan ditumbuhkan melalui kegiatan pertukaran pasar. Persaingan menjadi kaidah yang pokok dalam kegiatan pertukaran pasar, karena di sini monopoli ataupun oligopoli tidak berlaku. Para pengusaha membuat rencana bisnis dan mengalokasikan modal untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi para pengusaha tidak bekerja semata-mata untuk menumpuk kekayaan pribadi. Sebagai anggota dari Republik Iptek, para pengusaha bergandengan tangan dengan para peneliti, ilmuwan dan akademisi untuk memajukan iptek, dan menggali potensi iptek untuk peningkatan kualitas produk dan kepuasan konsumer. Persaingan antara para pengusaha dalam Republik Iptek menjadi sebuah faktor penting yang memacu perkembangan iptek. Kurva supply-demand mendapat tambahan satu dimensi, yaitu dimensi iptek. Efisiensi tetapi merupakan tolok ukur yang utama bagi kinerja ekonomik di Republik Iptek, tetapi dalam makna yang luas. Bukan hanya pertumbuhan kapital dan kuntungan finansial yang dihargai sebagai output dari kegiatan ekonomik, melainkan juga perkembangan dan penguasaan iptek. Pengembangan bisnis, pengembangan industri dan pengembangan iptek berjalan selaras dan saling memperkuat. Permasalahan ekonomik dalam Republik Iptek bukan sekadar alokasi sumber daya untuk menghasilkan barang/jasa, melainkan alokasi sumber daya untuk menghasilkan barang/jasa yang makin bermutu, dan menumbuhkan produser-produser dan konsumerkonsumer yang makin berkapasitas iptek. Dalam Republik Iptek, iptek menjadi alat yang ampuh untuk melakukan eksplorasi sumber daya alam/hayati untuk kepentingan kemajuan publik. Tetapi pada saat yang sama iptek juga menjadi alat untuk melakukan rehabilitasi lingkungan alam/hayati yang mengalami kerusakan akibat eksplorasi. Pelaku-pelaku industri yang melakukan eksplorasi pada skala besar dan mendapatkan keuntungan yang besar dari eksplorasi tersebut, mengemban tanggung jawab yang besar juga untuk melakukan rehabilitasi. Dekatnya hubungan antara iptek dan publik membawa implikasi eratnya interaksi antara industri informasi, industri mekanik dan industri pertanian. Ketiga jenis industri ini ada bersamaan, co-existing, dalam hubungan-hubungan ko-evolusoner yang
254
ke dalam inovasi
menghasilkan bio-info-industri. Dalam situasi seperti ini, klasifikasi masyarakat ke dalam masyarakat pertanian, masyarakat industri dan masyarakat informasi, sebagaimana dibayangkan oleh Alfin Toffler, menjadi tidak relevan. Nasionalisme Republik Iptek Nasionalisme dan globalisme/internasionalisme tidak saling bertentangan bagi bangsa-bangsa penganut Republik Iptek. Setiap bangsa menghormati sepenuhnya hak masing-masing bangsa untuk meraih kemajuan iptek. Bangsabangsa berkolaborasi dalam kegiatan perdagangan dan litbang iptek. Tetapi masing-masing bangsa berusaha mencegah melebarnya kesenjangan iptek antarbangsa, yang dapat menimbulkan kebergantungan iptek dan eksploitasi antarbangsa. Para pemodal asing dan pemodal domestik bekerja sama dalam penanaman modal dan pengembangan produk, berdasarkan prinsip kesetaraan dan pencegahan eksploitasi. Perdagangan bebas (free-trade) dan perdagangan yang berkesetaraan (fair-trade) berlangsung secara berdampingan. Pemilikan akan kekayaan dan penguasaan iptek tersebar antarbangsa, dan intrabangsa. Hak atas Kekayaan Intelektual disusun bukan saja untuk melindungi hak perusahaan/ilmuwan tertentu, melainkan juga untuk menghormati hak perusahaan/ilmuwan yang lain untuk tumbuh dan berkembang. Paten tidak menjadi instrumen hegemoni bagi kelompok yang mapan, tetapi menjadi instrumen untuk mewujudkan kesetaraan dan mendorong pertumbuhan kelompok-kelompok pemula. Globalisasi ekonomi dengan kaidah-kaidah demikian akan terhindar dari praktik hegemoni dan eksploitasi. Dalam situasi demikian, proteksionisme nasionalistik menjadi tidak relevan karena sudah tidak ada lagi ancaman eksploitasi global. ooOoo Republik Iptek adalah sebuah imajinasi tentang suatu masyarakat, di mana iptek menyatu ke dalam kehidupan publik. Dalam masyarakat seperti ini, transformasi penelitian ke dalam inovasi dapat berlangsung tanpa hambatanhambatan sistemik. Kedua syarat yang disarankan dalam Proposisi 3 (di Bab 6) sepenuhnya berlaku dalam Republik Iptek, yaitu bahwa: (i) penelitian
transformasi penelitian
255
berlangsung dalam lintasan yang reversible; dan (ii) terdapat relasi-relasi antara jejaring penelitian dan jejaring non-penelitian yang memungkinkan perkembangan ruang pembelajaran. Sebagai sebuah imajinasi, Republik Iptek berbeda dari kenyataan, atau bahkan jauh dari kenyataan, menyerupai utopia. Tetapi Republik Iptek bukanlah merupakan ilusi atau khayalan. Secara teoretikal, ‗di atas kertas‘, Republik Iptek tidak mustahil untuk terwujud di masa depan. Unsur-unsur tertentu dalam masyarakat global telah merintis upaya-upaya untuk mendekatkan iptek pada publik dan menyuarakan demokratisasi kebijakan iptek. Para ilmuwan dan akademisi yang tergabung dalam science & technology studies merupakan bagian dari unsur-unsur global tersebut. Ketika para peneliti sistem inovasi menggagas triple-helix dan sistem inovasi nasional, ini juga merupakan upaya untuk menjalin hubungan yang sistemik antara litbang iptek dan kegiatan-kegiatan ekonomik. Bagi bangsa Indonesia, sampai hari ini arti penting dari litbang iptek masih menjadi polemik. Gagasan imajinatif mengenai Republik Iptek yang diuraikan di atas menawarkan sebuah jalan untuk mengganti polemik tersebut dengan dialog-dialog.[]
256
ke dalam inovasi
transformasi penelitian
257
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A., dkk (Editor). 1988. Science and Technology Policy for National Development: A Window on the Asian Experience. Canada: The Foundation for International Training. Albrechts, Louis. 2003. ―Reconstructing Decision-Making: Planning Versus Politics.‖ Planning Theory. Vol. 2, p.249. Albu, M. 1997. ―Technological Learning and Innovation in Industrial Clusters in the South.‖ preprint. Alroe, H. F. dan E. Kristensen. 2002. ―Towards a Systemic Research Methodology in Agriculture: Rethinking the Role of Values in Science.‖ Agriculture and Human Values. Vol. 19, p.2-23. Alvesson, Mats dan Kajskoldberg. 2000. Reflexive Methodology: New Vistas for Qualitative Research. London: SAGE Publications. Amir, S., I. Nurlaila dan S. Yuliar. 2008. ―Cultivating Energy, Reducing Poverty: Biofuel Development in an Indonesian Village.‖ Perspectives on Global Development and Technology.Vol.7(2), p.113-132. Banji, Oyelaran-Oyeyinka. 2006. ―Systems of Innovation and Underdevelopment: An Institutional Perspektif.‖ Journal of Science, Technology, and Society. Vol. 11, p.239-269. Baskaran, A. dan M. Muchie. 2008. ―Towards a Unified Conception of Innovation Systems‖. Proceedings of the 6th Globelics Conference. Mexico City, September 22-24. Bijker, Wiebe E., Thomas P. Hughes dan Trevor Pinch. 1994. The Social Construction of Technological Systems : New Direction in The Sociology and History of Technology. Massachusetts: MIT Press. Bijker, Wiebe E. dan John Law (Editor). 1990. Shaping Technology/Building Society: Studies in Sociotechnical Change. Massachusetts: MIT Press.
258
ke dalam inovasi
Brundenius, C., Bengt-Ake Lundvall dan J. Sutz. 2008. ―Developmental University Systems: Empirical, Analytical and Normative Perspectives.‖ Proceedings of the 6th Globelics Conference. Mexico City, September 22-24. Cozzens, S. dan P. Catalán. 2008. ―Global Systems of Innovation: Water Supply and Sanitation in Developing Countries‖. Proceedings of the 6th Globelics Conference. Mexico City, September 22-24. Calvert, J. 2002. ―Making Academic Research Useful: Scientists‘ responses to changing policy demands.‖ NPRNet Conference on Rethinking Science Policy: Analytical Frameworks For Evidence-Based Policy. UK, March 21-23. Cutcliffe, Stephen H. dan Carl Mitcham. 2001. Visions of STS: Counterpoints in Science, Technology and Society Studies. New York: State University of New York Press. Dasgupta, P. dan P. David. 1994. ―Toward a new economics of science‖. Research Policy, Vo.23(5), p.487-522. de Bruijn, Hans. 2004. Creating System Innovation: How Large Scale Transitions Emerge. London: A.A. Balkema Publishers. Denzin, Norman K. dan Ivonna S. Lincoln. 1998. Collecting and Interpreting Qualitative Materials. London: SAGE Publications. Desai, V. dan R.B. Potter (Editor). 2002. The Companion to Development Studies. New York: Oxford University Press Inc. Dosi, G. 1990. ―The nature of the Innovative process.‖‘ Dalam G. Dosi dan C. Freeman. The Economics of Innovation. England: Edward Elgar Publishing Ltd. Dosi, G. dan C. Freeman (Editor). 1990. The Economics of Innovation. England: Edward Elgar Publishing Ltd. Edward J. Hackett, Olga Amsterdamska, Michael Lynch, dan Judy Wajcman. 2008. The Handbook of Science and Technology Studies. Massachusetts: MIT Press.
transformasi penelitian
259
Etzkowitz H. dan Leydesdorff L. 2000. ―The dynamics of innovation: from national systems and ‗mode 2‘ to a triple helix of university-industrygovernment relations‖. Research Policy, Vol. 29(2), p.109-123. Etzkowitz, H. 2000. "The future of University and the university of the future: evolution of ivory tower to entrepreneurial paradigm". Research Policy, Vol. 29(1), p.313-330. Fagerberg, Jan, David. C. Mowery, dan Richard Nelson. 2004. The Oxford Handbook of Innovation. New York: Oxford University Press. Fisher, E., R.L. Mahajan, dan C. Mitcham. 2006. ―Midstream Modulation of Technology: Governance From Within.‖ Bulletin of Science, Technology & Society. Vol. 26, No.6. Friedmann, John. 2003. ―Why Do Planning Theory.‖ Planning Theory, Vol.2, No.7. Gell-Mann, Murray. 1994. The Quark and The Jaguar. New York: Henry Holt and Company, LLC. Goguen J.A. 1997. ―Towards a Social, Ethical Theory of Information.‖ Social Science Research, Technical Systems and Cooperative Works. Goonatilake, S. 1984. Aborted Creativity: Science & Creativity in the Third World. London: Zed Book Ltd. Hess, David J. 1995. Science and Technology in a Multicultural World: The Cultural Politics of Facts and Artifacts. New York: Columbia University Press. Hogwood, Brian W. dan Lewis A. Gunn. 1988. Policy Analysis for The Real World. New York: Oxford University Press. Howe, Joe dan Colin Langdon. 2002. ―Towards a Reflexive Planning Theory.‖ Planning Theory. Vol.1, p.209. Hughes, Thomas P. 2004. Human-Built World: How To Think about Technology and Culture. The University of Chicago Press.
260
ke dalam inovasi
Hussler, C., P. Fabienne dan M.F. Tang. 2008. ―In search of accurate models to valorise academic research: qualitative evidence from three regional experiences‖. Proceedings of the 6th Globelics Conference. Mexico City, September 22-24. Jantsch, Erich. 1972. Technological Planning and Social Futures. London: Associated Business Programmes Ltd. Juma, C. 2001. ―Global governance of technology: meeting the needs of developing countries.‖ Int. J. Technology Management, Vol. 22, No. 7. Kadiman, K. 2009. Simfoni Inovasi: Cita dan Realita. Jakarta: Penerbit Foresight dan KMNRT RI. Keck, O. (1993). ―The national system of technical innovation in Germany.‖ Dalam R. Nelson, National Innovation Systems: a comparative analysis. New York: Oxford University Press. Keller, W.W. dan R.S. Samuels (Editor). 2003. Crisis and Innovation in Asian Technology. Cambridge: Cambridge University Press. Kohler, Jürgen dan Josef Huber (Editor). 2006. Higher Education Governance between Democratic Culture, Academic Aspirations and Market Forces. Council of Europe Publishing. Knorr-Cetina, K. 2000. Epistemic Culture: How The Sciences Make Knowledge. London: Harvard University Press. Kroes, P. 1998. ―Technological Explanations : The Relation between Structure and Function of Technological Objects‖. Society for Philosophy & Technology. Latour, Bruno. 1987. Science in Action: How to Follow Scientiss and Engineers through Society. Massachusetts: Harvard University Press. Latour, B. 2005. Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network Theory. New York: Oxford University Press.
transformasi penelitian
261
Law, John (editor). 1991. A Sociology of Monsters: Essays on Power, Technology and Domination. London: Routledge Publisher. Lee, Y.S. 1997. Technology Transfer and Public Policy. Connecticut: Greenwood Publishing Group, Inc. Lindblom, Charles E. 2001. The Market System: What It Is, How It Works, and What To Make Of It. London: Yale University Pres. Lundvall, Bengt-Åke (Editor). 1992. National Innovation Systems: Towards a Theory of Innovation and Interactive Learning. London: Pinter Publishers. MacKenzie, Donald dan Judy Wajcman (Editor). 2004. The Social Shaping of Technology: a Reader. Milton Keynes: Open University Press. McGregor, MJ. 1997. ―What is the Role for Information Technology in Sustaining Rural Western Australia?‖ preprint. Martin, B. 1998. Tied Knowledge: Power in Higher http://www.uow.edu.au/arts/sts/bmartin/pubs/98tk/
Education.
Mertins, Kai (editor). 2002. ―Program Evaluasi Riset Sains dan Teknologi untuk Pembangunan (PERISKOP)‖. Laporan Kajian. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi - RI dan Kementerian Pendidikan dan Riset - Jerman. Mitcham, Carl. 1994. Thinking Through Technology: The Path Between Engineering and Philosophy. Chicago: The Chicago University Press. Mowery, D.C. dan N. Rosenberg. 1998. Paths of Innovation: Technological Change in 20th-Century America. Cambridge: Cambridge University Press. Nelson R. dan S. Winter. 1982. An evolutionary theory of economic change. Cambridge: The Belknapp Press of Harvard University Press. Nelson, R. 1993. National Innovation Systems: A Comparative Study. New York: Oxford University Press. Nye, D., 1987. ―Shaping Communication Networks: Telegraph, Telephone and Computer.‖ Social Research Journal.
262
ke dalam inovasi
Porter M.A. 1990. Competitiveness of Nations. Cambridge: Cambridge University Press. Pradip, K. G. (editor). 1984. Technology Policy and Development: A Third World Perspective. Connecticut: Greenwood Press. Rip, Arie, Thomas J. Misa dan Johan Schot (Editor). 1995. Managing Technology in Society: The Approach of Contructive Technology Assessment. London: Pinter Publishers. Rivai, A. Yanti. 2010. ―Peranan Relawan dalam Adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi di Perdesaan‖. Tesis Magister. Program Magister Studi Pembangunan – ITB. Rogers, E. M. 2003. Diffusion of Innovations. London: Simon & Schuster Inc. Rosenberg, N. 1982. Inside The Black Box: Technology and Economics. Cambridge: Cambridge University Press. Sachs, Wolfgang, dkk. 1992. Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power. Johanesburg: Witwatersrand University Press. Sanyal, Bishwapriya. 2005. ―Planning as Anticipation of Resistance.‖ Planning Theory. Vol.4, p.225. Sasmojo, S. 2005. Sains, Teknologi, Masyarakat dan Pembangunan. Bandung: Penerbit Studi Pembangunan ITB. Schumpeter, J.A. 1942. Capitalism, Socialism and Democracy. London: Allen and Unwin Publisher. Schroeder, Ralph. 2007. Rethinking Science, Technology and Social Change. California: Stanford University Press. Scott, Alwyn. 1995. Stairway to The Mind: The Controversial New Science. New York: Springer-Verlag Inc. Sen, Amartya. 1999. Development as Freedom. New York: Oxford University Press.
transformasi penelitian
263
Simon, D. 2002. ―Neo-Liberalism, Structural Adjustment and Poverty Reduction Strategies.‖ Dalam V. Desai dan R. Potter, The Companion to Development Studies. New York: Oxford University Press. Srimarga, Ilham C. 2009. ―Pola Adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi di Desa: Suatu Tinjauan Sosio-teknis‖. Tesis Magister. Program Magister Studi Pembangunan – ITB. Stokes, D. 1997. Pasteur‟s Quadrant: Basic Science and Technological Innovation. Washington, DC: Brookings Institution Press. Storgaard, K. 1998. "Rural Telematics: Rural Networks, Local Rivalry and Readyness", dalam Social Sciences COST-A4, Vol. 7. Making the Global Village Local. Hetland, P., et. al. (Editors), the European Commision. Susanto, Edi. 2008. ―Politik tentang Alam dalam Penetapan Status Peristiwa Semburan Lumpur Lapindo/Sidoarjo: Analisis Jejaring-Aktor‖. Tesis Magister. Program Magister Studi Pembangunan – ITB. Thee, K.W. 1996. Kebijakan Pengembangan Kemampuan Teknologi Industri di Indonesia. Jakarta: Penerbit LIPI. Thee, K.W. 2006. ―Technology and Indonesia‘s Industrial Competitiveness.‖ ADBI Research Paper No. 72. Viotti, E.B. 2008. ―Brazil: From S & T to Innovation Policy.‖ Proceedings of the 6th Globelics Conference. Mexico City, September 22-24. Yuliar, S. dan I.B. Syamwil. 2008. ―Changing Contexts of Higher Education Policy: toward A New Role of Universities in Indonesia‘s Innovation System.‖ Proceedings of the 6th Globelics Conference. Mexico City, September 22-24.
264
ke dalam inovasi
transformasi penelitian
265
DOKUMEN LEGAL ACUAN
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan IPTEK Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Iptek 2005-2009 Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Iptek 2010-2014
266
ke dalam inovasi
transformasi penelitian
INDEKS
A actor-network theory, 10 ANT: metode penelitian, 10 ARN, 6 B BAKOSURTANAL, 123 Balai Geomatika, 123 balitbang, 92 balitbangda, 92 BATAN, 120 borrowing and commercializing, 43 BPPT, 117 C constructivism, 32 cross-falsification, 199; pendekatan ilmiah, 199 D demand-pulled, 53 dialektika iptek, 25 diferensiasi produk: di perusahaan swasta, 139
difusi iptek: aspek-aspek non-linier, 181 difusi iptek: aspek etika, 198; aspek ruang pembelajaran, 195 digital divide: pengertian, 159 Digital Learning, 161 dual system: sistem pendidikan tinggi, 43 E early adopter, 177 empirisisme, 29 endogenous development: ciri-ciri, 3 esperimen di masyarakat, 76 exogenous development: ciriciri, 3 F fakta ilmiah, 142 fakta mud volcano, 146 fakta underground blowout, 143 falsificasionism, 30 falsifikasionisme, 159
267
268
ke dalam inovasi
fenomena emergent: kritik atas reduksionisme, 34 filosofi idealis, 42 following the actors: teknik pengumpulan data, 10 G gamma scan, 120 graf: representasi jejaring penelitian, 190 graph: sebuah representasi jejaring-aktor, 11 H hovercraft, 134 I indigeneous knowledge, 91 inkremental: tipe perubahan, 205 Inovasi: definisi kamus, 35 interpretasi data: teknik, 12 iptek: paham netralisme, 25 ITB, 60 ITS, 49
J jejaring: konvergen/divergen, 193; sifat non-lokal, 187 jejaring penelitian, 88 K Kampung Digital, 169 Kapabilitas inovasi, 40 kapasitas serap teknologi, 65 kebijakan antitrust, 43 kebijakan iptek, 207; objektif, 213 kebijakan publik: substansi dan legalitas, 207 Kementerian Perindustrian, 101 Kementerian Pertahanan, 107 Kementerian Pertanian, 93 kesenjangan digital, 161 knowledge management, 189 KRT, 113; fungsi koordinasi, 124 komersialisasi penelitian, 48 komersialisasi pendidikan tinggi, 61
transformasi penelitian
komersialisasi penelitian, 62 Komersialisasi riset, 43 Kuadran Pasteur, 21
269
Otonomi perguruan tinggi: isu-isu kebijakan, 47 P
L laboratorium masyarakat, 77 lembaga penelitian publik, 91 lintasan penelitian: reversible/irreversible, 193 LIPI, 114; KIM, 116 logico-empiricism, 30 Lumpur Panas, 142 M market-led development, 7 Metafor ‗hulu-hilir‘, 22 metode ilmiah: masalah demarkasi iptek, 29 model jejaring inovasi, 201 model linier inovasi: deskripsi, 21; kritikkritik, 26 O objektif kebijakan iptek, 213
pembelajaran teknologikal, 41 penelitian: aspek public relevance, 139; di Balitbang, 93; di LPNK, 114; di perusahaan swasta, 128; kriteria pemilihan topik, 95 penelitian ‗hulu‘ dan ‗hilir‘, 50 penelitian ‗moda-2‘: deskripsi, 40 penelitian fundamental, 21 penelitian hulu-hilir: di Balitbang, 102 penelitian stratejik, 44 Penelitian terapan, 21 pengarusutamaan jender, 73 penilaian: dualitas kriteria, 105 perencanaan iptek: dalam model jejaring inovasi, 202; skenario prospek, 203
270
ke dalam inovasi
perguruan tinggi: Humboldtian, 42; kebijakan otonomi, 47; penelitian, 42; tinjauan historis, 42 perguruan tinggi entrepreneurial, 44 perguruan tinggi Humboldtian, 42 perlombaan scientific discovery, 198 pertentangan nilai-nilai, 68 piramida ilmu-ilmu pengetahuan, 33; kritikkritik, 34 piramida penelitian, 70 positivism, 29 positivisme, 159 prinsip verifiability: kriteria ilmiah, 30 PT BHMN, 48 PUSPIPTEK, 121 Q qualitative research inquiry, 32 R R&D cost, 131
Radio-Internet Community, 166 reduksionistik, 34 Reformasi kebijakan, 44 reverse enggineering, 118 Riset Unggulan ITB, 61 ruang pembelajaran: sebuah definisi, 195 S science-pushed, 52 sengketa hukum, 142 sistem inovasi: definisi, 36; definisi yang diperluas, 39 state-led development, 6 sumber daya pengetahuan, 91 T technische hochschule, 43 teknologi fuel cell, 118 teknologi informasi dan komunikasi, 142 TIK: difusi di perdesaan, 176; ketersediaan pilihan, 176 Tridharma Perguruan Tinggi, 49 triple helix: deskripsi, 38
transformasi penelitian
trouble-shooting, 65 tumpang-tindih penelitian, 96 U UKSW, 73 UU Sisnas P3 IPTEK, 5
271
V variasi-seleksi, 84; dalam pembelajaran, 189; lintasan, 85; ruang, 88 Vienna Circle, 30
PROFIL PENYUSUN Sonny Yuliar mendapatkan gelar sarjana teknik (tahun 1989) di bidang teknik fisika (engineering physics) dengan predikat cum laude dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan gelar Ph.D (tahun 1996) di bidang rekayasa kesisteman (systems engineering) dari Research School of Information Sciences and Engineering, Australian National University. Sejak tahun 2000 ia mulai menekuni bidang ilmu lintas-disiplin yang kini dikenal dengan nama science and technology studies (STS), dengan berfokus pada aspek-aspek teoretikal dari actor-network theory (ANT) dan permasalahan kebijakan teknologi seperti tata kelola teknologi (technology governance) dan inovasi yang inklusif (inclusive innovation). Sejak tahun 2001 ia terlibat aktif dalam kegiatan pengajaran dan pembimbingan tesis di Pogram Magister Studi Pembangunan, ITB, dan mulai tahun 2006, seiring dengan restrukturisasi kelembagaan dalam ITB, ia bergabung dengan Kelompok Keahlian Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan (KK P2PK) di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB. Saat ini ia merupakan anggota Komisi Teknis Sosial Kemanusiaan di Dewan Riset Nasional (periode 2008-2011). Sejumlah buku dengan topik-topik yang terkait dengan STS telah ia tulis/sunting dan sejumlah makalah ilmiah telah ia publikasikan pada jurnaljurnal bertaraf internasional/nasional. Ia juga aktif berpartisipasi dalam seminar/lokakarya/focus group discussion di lembaga-lembaga pemerintahan seperti Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Badan Pusat Statistik. Dalam lima tahun terakhir ia berhasil mendapatkan dua competitive research grant dengan topiktopik tentang knowledge system dan inclusive innovation, dari International Development Research Center (IDRC) yang berkedudukan di Kanada. ,
TIM PENDUKUNG SEKRETARIAT Pengarah
: Tusy A. Adibroto
Koordinator
: Hartaya
Desain Sampul & Tata Letak: Syarif Budiman