Edisi II Januari 2016
PELAJARAN RESOLUSI KONFLIK DI HUTAN HARAPAN W
ajah Damsi dan Mat Samin berseri-seri seusai menandatangani kesepakatan antara lima kelompok masyarakat Batin Sembilan dengan Presiden Direktur PT Restorasi Ekosistem Indonesia Effendy A Sumardja. “Kesepakatan ini sudah lama kami tunggu,” kata Damsi, Depati Marga Batin Kandang Rebo. Mat Samin, tokoh Simpang Macan Luar, mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang menjadi mediator. Kesepakatan itu ditandatangani pada Kamis, 3 Desember 2015 di Camp Hutan Harapan, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi. Hadir dalam acara itu, Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Hanni Hadiati, Direktur Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat, KLHK Rosa Vivien Ratnawati dan Direktur Usaha Jasa Lingkungan dan Hasil Hutan Gatot Soebiantoro. Lalu Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Irmansyah Rahman, perwakilan Burung Indonesia dan Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi. “Kesepakatan ini adalah kerja sama saling menguntungkan terkait lokasi, batas wilayah kelola, tata kelola, warga yang diakomodir, hak dan kewajiban, hingga ke monitoring dan evaluasi,” kata Effendy Sumarja. Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan No 159/MenhutII/2004 menetapkan lahan seluas 98.555 hektare (ha) di Jambi dan Sumatera Selatan sebagai kawasan restorasi ekosistem yang dikelola PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki). Kawasan
INFO UTAMA
itu sebelumnya adalah hutan produksi yang dikelola PT Asialog dan Inhutani yang habis masa konsesinya. Oleh PT Reki, kawasan itu dinamakan Hutan Harapan (Harapan Rainforest) dimana tinggal warga Batin Sembilan. Tarik menarik antara kepentingan keberlanjutan lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat menyebabkan terjadi konflik di wilayah ini. Ada lima wilayah Hutan Harapan (di Jambi) yang diklaim milik masyarakat yang melibatkan 2020 kepala keluarga. Yaitu Kunangan Jaya I, Kunangan Jaya II, Tanjung Mandiri, Alam Sakti dan Bukit Sinyal. Banyak pendatang dan pemilik modal yang masuk ke area ini. Walhasil ada sekitar 19.641 ha lahan yang terbuka akibat aktivitas illegal oleh pendatang. Tahun 2012, konflik ini masuk ke Komnas HAM terkait peristiwa pembakaran yang terjadi di perkampungan yang dilakukan oleh Polhut. Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi membantu mediasi konflik antara PT Reki dengan warga Kunangan Jaya I, tempat hidup lima kelompok masyarakat Batin Sembilan. Dalam kesepakatan yang ditandatangani 3 Desember 2015 itu ada 1.455 ha yang dikelola bersama 390 jiwa masyarakat Batin Sembilan. Wilayah kelola itu meliputi lokasi pengembangan tanaman kehidupan, pemukiman, fasilitas sosial, budi daya tanaman pangan, kebun campur, pemakaman, hutan bersama, tanaman obat, holtikultura, sepadan sungai dan sumber mata air.
bersambung ke halaman 2
1
Lanjutan
INFO UTAMA
Pemanfaatan itu harus dengan cara-cara tradisional, seperti memancing, menajur, memasang bubu, dan menjala. Warga tidak boleh mempergunakan racun, jaring, listrik, atau bom ikan. Hanni Hadiati mengimbau keterlibatan berbagai pihak untuk melindungi hutan, termasuk memberantas illegal logging, perburuan satwa, dan lainnya. “KLHK memaksimalkan upaya resolusi konflik dan penataan ruang kelola masyarakat adat,” katanya. Rosa Vivien mengingatkan PT Reki bahwa ada warga yang telah lama hidup di dalam wilayah konsesinya. Pada sisi lain, dia menghimbau masyarakat ikut menjaga hutan agar tersedia ruang untuk kehidupannya. “Semoga kelompok-kelompok lain bisa segera mengikuti kesepakatan ini,” kata Kabid Penataan Kawasan Hutan, Dinas Kehutanan Jambi, Wahyu Widodo. Beberapa lembaga swadaya masyarakat memang tengah mengupayakan penyelesaian konflik di Hutan Harapan. Kelompok warga Tanjung Mandiri dan Alam Sakti misalnya, sedang proses penyelesaian konflik melalui pola kemitraan. Lalu kelompok Tani Bumi Hutan Mandiri menyepakati penyelesaian konflik melalui kemitraan kehutanan. Kelompok yang didampingi LSM Secapa juga masih dalam proses mediasi dari Imparsial. Rosa Vivien menjelaskan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah melakukan sejumlah kebijakan dan langkah penyelesaian konflik. “Dibentuknya Direktorat Penanganan Konflik Tenurian dan Hutan Adat di KLHK adalah wujud dari Nawacita tentang kehadiran Negara,” katanya. Dasar hukum menyelesaikan konflik antara lain Putusan MK 25/2012, Permenhut Hutan Hak dan Rancangan Permenhut Penyelesaian Konflik. Permen Hutan Hak menjadi basis hukum bagi masyarakat adat melakukan klaim hutan hak, jika komunitas mereka telah diakui. Permen Penyelesaian Konflik sedang disusun konsepnya adalah Working Group Tenure.
pembuatan basis data dan informasi yang dimiliki dan diakui bersama oleh para pihak. Keempat, penentuan model. Kelima, tata aturan penyelesaian, termasuk pengunaan istilah misalnya perambah, pendatang illegal dan lainnya. Keenam, ketaatan para pihak terhadap kesepakatan. Ketujuh, komunikasi antar pihak dan terakhir, kondisi pasca kesepakatan. Kasus di Hutan Harapan ini menjadi pelajaran penyelesaian konflik land tenure lainnya di berbagai daerah.
TIPOLOGI DAN PENYELESAIAN KONFLIK
D
ari 88.361 desa di Tanah Air, ada 31.957 desa (36,1%) berada di dalam, tepi dan sekitar kawasan hutan (data BPS, 2010). Direktur Eksekutif Epistema Institute Dr Myrna A Safitri mencatat terjadi ketimpangan yang sangat nyata pada tingkat pemberian izin untuk mengelola kawasan hutan negara. Izin untuk korporasi ada 97 persen sementara izin untuk rakyat hanya 3 persen, yaitu untuk izin hutan kemasyarakatan, hutan desa, IUPHHK-HTR dan pelepasan transmigrasi. Kondisi tersebut menjadi salah satu penyebab konflik masyarakat dengan korporasi dengan pihak lainnya. Data yang dihimpun Perkumpulan Huma (2013) menjelaskan tipologi konflik agraria berdasarkan aktor. Tabel selanjutnya menjelaskan bentuk penyelesaian konflik selama ini. Memang, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat.
Saat ini solusi penyelesaian konflik melalui KLHK adalah perhutanan sosial. Terkait konflik di Hutan Harapan, kata Vivien dan Hanni Hadiati, KLHK telah mengindetifikasi dan menindaklanjuti masalah-masalah yang didiskusikan. Pertama, penyelesaian masalah di tingkat tapak yang pro masyarakat miskin, lingkungan dan HAM. Kedua, perbaikan kebijakan. “Kami membangun model-model penyelesaian konflik,” kata Hanni. Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi berhasil menerapkan model itu ketika menjadi mediator antara PT Reki dengan lima kelompok masyarakat Batin Sembilan. Mereka melakukan negoisasi langsung dengan prinsip-prinsip non-kekerasan, non-diskriminasi dan penghormatan hak-hak masyarakat.
Tipologi Konflik Agraria Berdasarkan Aktor
Umi, dari Yayasan CAPPA menjelaskan tantangan yang dihadapi. Antara lain ketidak seimbangan/kesetaraan posisi dan pengetahuan (kapasitas) para pihak, yaitu masyarakat dan perusahaan. Prosesnya membutuhkan waktu untuk meyakinkan warga masuk ke tahap mediasi, mediator harus disepakati kedua belah pihak, prosesnya harus dipantau semua pihak terkait dan ketaatan para pihak terhadap kesepakatan yang dibuat. Dari pengalaman ini, ada sejumlah kunci penyelesaian konflik. Pertama, pemetaan aktor dan kepentingan masing-masing. Kedua, penentuan subyek dan obyek sengketa. Ketiga, Sumber: HuMaWin, 2013
2
Bentuk Penyelesaian Konflik
GALERI KEGIATAN
KOMITMEN UNTUK MENGELOLA GAMBUT BERKELANJUTAN DI JAMBI Jambi – Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 makin menyadarkan semua pihak pentingnya pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Untuk meningkatkan peran masyarakat dalam hal ini, UNDP bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi mengadakan acara Temu Petani Gambut ‘Mewujudkan Kelola Lahan Gambut yang Berkelanjutan.’ Kegiatan yang diselenggarakan pada 14-15 Desember 2015 mengundang perwakilan petani dari tiga kabupaten di Jambi, yaitu Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi. Selain itu ikut serta pula utusan lembaga swadaya masyarakat Jambi, perusahaan pemegang konsensi, dan birokrat dari provinsi dan kabupaten. “Dinas Kehutanan menjamin bahwa 20% kawasan hutan diperuntukkan untuk masyarakat dalam bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat,” kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Irmansyah. Dia juga berjanji akan mengupayakan penguatan Indeks Tata Kelola Kehutanan di wilayahnya. Janji Irmansyah melegakan. Maklum 736,2 hektar lahan gambut di Jambi mengalami ancaman. Ketika musim kemarau, ancaman kebakaran terus menghadang. Di Tanjung Jabung Timur yang mayoritas lahannya terdiri dari lahan gambut, intrusi air laut sudah masuk ke parit-parit desa. Sehingga masyarakat mengkonsumsi air asin untuk kebutuhan sehari-hari. Warga mengidentifikasi sejumlah isu pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Mulai dari belum jelasnya tata batas lahan antar masyarakat dengan perusahaan, peningkatan taraf ekonomi penduduk, regulasi, lambatnya respon pemerintah dalam penanganan kebakaran hutan, minimnya fasilitas pemadaman kebakaran, kanalisasi dan peningkatan kapasitas pengelolaan koperasi.
MEMBANGUN SISTEM MRV UNTUK PROYEK REDD+ Jakarta – Kebutuhan adanya kelembagaan tentang measurement, reporting and verification (MRV) untuk program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) dirasakan mendesak saat ini. Apalagi kegiatan MRV memerlukan pendanaan yang besar dan berkelanjutan. Pada sisi lain, sejumlah provinsi yang telah melakukan proyek percontohan REDD+ menanyakan kelangsungan proyek ini. Pernyataan di atas merupakan kesimpulan utama dari kegiatan Curah Gagasan dan GAP Analysis untuk Pelaksaan MRV REDD+ di Jakarta pada 15 Desember 2015. Kegiatan ini diadakan UNDP-REDD+ dengan menghadirkan para ahli, antara lain Belinda A Margono, Agung Putra, Hari Widodo dan lainnya. Arief Dharmawan dari UNDP-REDD menjelaskan tujuan diskusi untuk mengetahui apa saja yang diperlukan dalam membangun sistem MRV REDD+ dalam kurun waktu enam bulan ke depan. Lalu ingin mengetahui gap analysis dari sistem MRV yang telah dibuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Satgas REDD+ serta memperoleh masukan bagi pembangunan sistem MRV REDD+ ke depan. “Kami sepakat mengusulkan pembentukan satuan tugas percepatan kelembagaan MRV REDD+,” kata Arief. Satuan tugas ini berdasarkan surat keputusan yang lintas unit kerja. Tugas dari satgas ini antara lain mensinkronkan dan mempercepat revisi Perpres 61/2011 dan Perpres 71/2011. Lalu penguatan kapasitas dan penyiapan naskah akademis tentang MRV.
Dari diskusi kelompok, warga membuat rencana tindak lanjut. Untuk mengatasi kebakaran, mereka akan membuat kanal blocking, embung, sumur bor, penyediaan alat pemadam serta membangun pos-pos pencegahan dan penanggulangan api.
Satgas itu membahas peraturan menteri tentang FREL dan kelengkapan panduannya. Pengembangan register aksi mitigasi dan registrasi yang telah memiliki MRV. Lalu mensinkronkan kebijakan dan kegiatan inventarisasi karbon hutan terkait antar unit kerja.
Mereka mengusulkan adanya pendampingan untuk melakukan budidaya ikan, menanam komoditi tumpang sari dan hasil pertanian lainnya serta pemasaran hasil produk petani. Selain itu pendampingan untuk menyusun peraturan desa serta penguatan jaringan kerja antar masyarakat pengelolaan lahan gambut.
Tugas lain adalah persiapan technical assessment FREL oleh Sekretariat UNFCCC dan penyiapan materi komunikasi publik tentang MRV. Hasil diskusi ini akan dibahas lebih lanjut dengan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK.
3
GALERI KEGIATAN
100 HAKIM DAN PANITERA IKUTI LOKAKARYA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT Pekanbaru — Sebanyak 100 orang hakim, panitera dan panitera pembantu mengikuti Lokakarya Kebakaran Lahan Rawa Gambut dan Hutan serta Implementasi Pedoman Penomoran Perkara-Perkara Lingkungan Hidup. Kegiatan ini diselenggarakan di Pekanbaru, pada 17-18 Desember 2015.
Peserta lokakarya berasal dari Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru, Jambi dan Palembang. Selain itu juga Pengadilan Negeri (PN) se-Provinsi Riau. Acara ini diselenggarakan Kelompok Kerja Lingkungan Hidup Nasional (Pokja LHN) Mahkamah Agung bekerja sama
MENANGANI KONFLIK DAN MEMULIHKAN EKOSISTEM TESSO NILO Pekanbaru – “Anak nelayan menjala ikan/Dapat dua tiga ikan sepat/Bangun kebersamaan dan kekuatan/Supaya kinerja di TNTN terus meningkat.” Pantun ini menjadi penutup sambutan Pelaksana Tugas Gubernur Riau pada acara focus group discussion (FGD) penanganan konflik dan rencana pemulihan ekosistem Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). FGD itu diadakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Provinsi Riau dan Program REDD UNDP pada 29 Desember 2015 di kantor Gubernur Riau, Pekanbaru. “Tiga Staf Khusus Menteri KLHK hadir di sini, membuktikan betapa pentingnya kegiatan ini untuk mencari solusi terbaik dalam penanganan konflik dan upaya pemulihan ekosistem,” kata Hartono, Direktur Kawasan Konservasi, Dirjen KSDAE. Memang dari 81 ribu hektare kawasan TNTN, hutan yang tersisa sekitar 21 ribu ha. Selebihnya dikuasai sekitar 70 ribu pendatang yang bermukim dan menanam sawit. Terdapat 23
4
desa yang berada di sekitar Taman Nasional, 4 desa diantaranya berbatasan langsung yaitu LKB, AH, Bagan Limau, Pontian Mekar. Selain itu TNTN dikelilingi beberapa perusahaan dan
GALERI KEGIATAN dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang didukung Program REDD+ UNDP. “Melalui pedoman penomoran ini memudahkan administrasi pengadilan dalam mendata perkara-perkara lingkungan hidup dan hal ini bermanfaat bagi masyarakat pencari keadilan,” kata Roki Panjaitan yang mewakili Ketua Pokja LHN ketika membuka acara lokakarya. Maklum, selama ini MA belum memiliki pedoman penomoran perkara–perkara lingkungan hidup. Walhasil, pedoman penomoran ini akan memberikan kemudahan dalam mengenali dan menginventarisasi perkara lingkungan hidup di seluruh Indonesia. Hal ini penting untuk memberlakukan format putusan secara nasional, ujar Roki, yang memerlukan dukungan pedoman standar penyusunan putusan dan penomoran perkara di peradilan umum dan pengadilan tata usaha negara. Lokakarya selama dua hari tersebut menghadirkan sejumlah pembicara. Dosen Fakultas Hukum UI, Wiwiek Awiati menyampaikan materi Hukum Lingkungan dalam Kebakaran Lahan Rawa Gambut dan Hutan. Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Dirjen Penegakan Hukum KLHK Jasmin Ragil Utomo membawakan materi Penegakan Hukum Dalam Kebakaran Lahan dan Hutan. Lalu, dosen Universitas Riau, Haris Gunawan membawakan materi Tipologi dan Karakteristik Lahan Rawa Gambut Indonesia. Profesor Bambang Hero (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB) memberikan materi Pembelajaran dari KasusKasus di Pengadilan. Sementara itu, Sekretaris dan Anggota Pokja LHN Mahkamah Agung memberikan materi mengenai implemengtasi pedoman penomeran perkara-perkara lingkungan hidup.
HPH yaitu PT RAPP, PT Siak Raya Timber, PT Rimba Peranap Indah, dan PT Rimba Lazuardi. Padahal Tesso Nilo merupakan hutan hujan dataran rendah yang tersisa di Sumatera saat ini. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendata 215 jenis pohon dari 48 famili dan 305 jenis anak pohon dari 56 famili. Kawasan ini juga habitat gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Terdapat 3 opsi/pilihan menyelesaikan konflik di TNTN. Pertama, melakukan restorasi dan rehabilitasi di areal overlap dan ruang kosong seluas 3000 ha yang akan dijadikan model lahan rehabilitasi di Desa Lubuk Kembang Bungan dan Desa Air Hitam. Kedua, penanganan lahan dengan tanaman sawit yang sudah ada dengan memberikan kesempatan selama 1 siklus. Setelah itu diganti dengan tanaman pangan/tanaman kehidupan yang nantinya juga akan dikelola oleh masyarakat. Opsi ketiga adalah penegakan hukum. Dari diskusi FGD, dipilih opsi satu dan dua. Staf Khusus Menteri KLHK Bidang Koordinasi Jaringan LSM dan Analisa Amdal Hanni Adiati menjelaskan pemerintah akan menghutankan kembali area seluas 3000 ha. Program ini mesti dirancang secara rinci. “Harus ada dukungan dari semua pihak, oleh pemerintah daerah, TNI/Polri, perguruan tinggi, media dan Komnas HAM,” katanya.
LOKALATIH PENEGAKAN HUKUM MULTIDOOR AKAN DIIKUTI PEJABAT ESELON Jakarta — “Sungguh kecewa rasanya melihat keputusan bapak hakim yang menolak gugatan perdata pemerintah ke perusahaan yang membakar hutan, PT Bumi Mekar Hijau anak perusahaan dari PT Sinar Mas.” Kalimat ini menutupi situs resmi Pengadilan Negeri (PN) Palembang sejak 30 Desember 2015 hingga 2 Januari 2016. Kalimat itu dibuat oleh peretas yang kecewa dengan putusan oleh Majelis Hakim PN Palembang Parlas Nababan dan Eli Warti serta Kartidjo. Ketiganya menolak gugatan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas PT BMH sebesar Rp7,9 triliun. Majelis hakim dalam persidangan memaparkan, jika dari seluruh gugatan, tidak ada yang dapat dibuktikan baik berupa kerugian maupun kerusakan hayati. Tak hanya diretas, olok-olok terhadap hakim PN Palembang juga menyebar di media sosial. Contohnya kalimat ini yang katanya mengutip argumentasi hakim, “Bakar hutan itu tidak merusak lingkungan hidup karena masih bisa ditanami lagi.” Penegakan hukum memang jadi salah satu titik lemah penanganan kebakaran hutan dan lahan di Tanah Air. Untuk memperkuat hal itu, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berencana mengadakan Lokakarya dan Pelatihan (Lokalatih) Penegakan Hukum Lingkungan Kebakaran Hutan dan Lahan Secara Multidoor pada akhir Januari 2016 di Jakarta. Pada 21 Desember 2015 berlangsung rapat persiapan membahas lokalatih itu di Jakarta. Peserta rapat berasal dari utusan KLHK, Kelompok Kerja Lingkungan Hidup Nasional (Pokja LHN) Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, dan Program REDD+ UNDP. Rencananya, lokalatih selama tiga hari ini akan diikuti 74 peserta yang merupakan perwakilan pejabat eselon dari Kejaksaan Agung, Polri, KLHK dan Mahkamah Agung. Tujuh Kepala Polda dan Kepala Kejaksaan Tinggi akan ikut serta yaitu dari Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Riau, Sumatera Selatan dan Jambi. Pada hari pertama, peserta mendapat sejumlah materi dari para ahli dan praktisi. Hari kedua adalah praktek lapangan berupa pengambilan sampel dan barang bukti, penyusunan BAP, administrasi penyidikan, dan pembuatan penuntutan. Hari terakhir adalah peradilan semu atau pembuat/pengambil keputusan. Rencananya lokalatih dibuka Menteri LHK dan Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan Kapolri sebagai pembicara kunci.
5
GALERI KEGIATAN
MENYUSUN BAHAN AJAR PELATIHAN PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN
Bogor – Pelatih dan peserta Lokakarya Penyerasian Pengajaran dan Materi Presentasi Program CBFFM di Lima Provinsi saling membagi pengalaman. Lokakarya yang diadakan UNDP-REDD+ di Bogor pada 21-22 Desember 2015 bertujuan menyusun bahan ajar Community Based Forest Fire Management (CBFFM) atau Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat. Peserta berasal dari lima provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Mereka selama ini menjadi pelatih dan mendampingi warga memadamkan kebakaran di daerahnya. Salah satu yang membagi pengalaman adalah Suprayitno, dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia bercerita pengalamannya ketika menangani pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997. Ketika itu terjadi kebakaran yang dahsyat di Kalimantan dan Sumatera. Dia mengerahkan 50 polisi hutan untuk memadamkan api di satu wilayah dekat pemukiman transmigrasi di Bengkulu. Sekitar 500 warga transmigran hanya menyaksikan pemadaman karena mereka yang membakar lahannya untuk pembersihan lahan dan ditanam kembali. Keesokan harinya warga ikut serta memadamkan api karena diberikan uang oleh petugas. Namun esoknya, mereka membakar lagi dengan harapan dapat uang. “Kita harus pelajari bagaimana pendekatan ke masyarakat agar mereka menjadi sukarelawan. Intinya jangan terlalu banyak memberi filosofi karena menyulitkan kita masuk ke warga,” katanya.
6
Prama Gustian, dari Balai Diklat Kehutanan Bogor menambahkan bahwa slide dan penyampaian materi pelatihan harus lebih menarik. Perbanyak bahan gambar jangan hanya tulisan. “Seperti tipe-tipe kebakaran diperbanyak contoh gambarnya,” katanya. Asli dari Balai Diklat Kehutanan Samarinda menjelaskan tujuan pembelajaran diawal setelah bagian judul. Lalu masuk ke bagian pendahuluan dan penyebab serta dampak kebakaran. Titik poinnya agar peserta tahu maksud dari pelatihan ini. Walhasil, penyebab kebakaran dipisahkan antara faktor alam dan manusia. Lalu ada bagian lagi soal kesengajaan dan kelalaian. Narasumber lain, Baru, menjelaskan kita kurikulum yang lebih deduktif untuk penempatan penyebab dan dampak kebakaran. “Nanti tim pengajar yang lebih bisa improvisasi dan lebih mengena seperti apa kepada pesertanya,” katanya. Sebenarnya, sejak 2013, Komisi Daerah (Komda) REDD+ melakukan pelatihan ke berbagai kelompok penanggulangan kebakaran hutan di masyarakat. Pelatihan itu dibantu Badan Pengelola (BP) REDD+ dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan (Pusdiklathut) Kementerian Kehutanan. Selama dua hari peserta lokakarya di Bogor pada 21-22 Desember 2015 menyusun bahan ajar mengenai dasardasar kebakaran lahan dan hutan; teknik pencegahan dan pemadaman; bagaimana membangkitkan partisipasi masyarakat; bagaimana teknik penanganan paska kebakaran lahan dan hutan; soal kebijakan dan peraturan; dan materi navigasi darat. Pada Januari 2016 rencananya akan dilakukan sosialisasi hasil lokakarya di lima provinsi.
GALERI INFORMASI
PEKERJAAN RUMAH USAI COP PARIS Jakarta – Pekerjaan besar akan dilakukan pemerintah seusai mengikuti Conference of the Parties (COP) Ke-21 di Paris. “Kita akan mereview Rencana Aksi Nasional Gas-Gas Rumah Kaca (RAN GRK),” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada rapat evaluasi Delegasi Indonesia di COP pada 18 Desember 2015 di Jakarta. Selain itu, KLHK akan merestrukturisasi lembaga Dewan Pengarah Perubahan Iklim, konsolidasi metodologi MRV (measurement, reporting and verification) dan mendiskusikan target Intended Nationally-Determined Contribution (dokumen kontribusi penurunan emisi karbon yang diniatkan) per sektor. Menteri Siti meminta jajarannya melakukan tindak lanjut kerja sama yang diteken selama COP Paris dengan sejumlah negara. Yakni soal blue carbon dengan pemerintah Australia. Lalu upaya merestorasi lahan gambut dengan pemerintah Finlandia, Swedia, Kanada, dan Norwegia. Terakhir kerja sama dengan Jerman, Inggris, dan Norwegia di bidang kehutanan. Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Nur Masripatin telah menyusun jadwal pertemuan terkait dengan target
INDC tiap sektor. Termasuk menyiapkan dokumen yang akan di-submit ke Adhoc Working Group on Paris Agreement dan working group lainnya. “Juga persiapan dalam rangka penandatanganan Paris Agreement pada 22 April 2015 dan ratifikasinya,” kata Nur Masripatin. Menurutnya, misi Indonesia ke COP-21 Paris (30 November – 12 Desember 2015) memperjuangkan kepentingan melalui dua track, yaitu jalur negosiasi dan outreach and campaign. Ada beberapa point penting posisi Indonesia yang berhasil dibawa. Antara lain perlunya mencapai kesepakatan yang ambisius, mengikat, yang adil bagi negara berkembang. Lalu kesepakatan harus menghormati hak-hak indigenous people dan local communities. Kesepakatan mengacu pada pelestarian hutan dan laut serta keanekaragaman hayati. Point lainnya menyangkut REDD+ akselesasi menuju 2020. Karena menurut UNEP kenaikan suhu 2oC sangat mungkin terjadi lebih cepat dari 2020 bila tidak ditangani secara komitmen. Terakhir adalah perlunya pendanaan sebelum dan sesudah 2020.
7
GALERI FOTO
Penandatanganan Kesepakatan antara PT Reki dengan Warga Kunangan Jaya I di Camp Hutan Harapan, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi, pada 3 Desember 2015
Temu Petani Gambut ‘Mewujudkan Kelola Lahan Gambut yang Berkelanjutan’, di Jambi, pada 14-15 Desember 2015
Lokakarya Kebakaran Lahan Rawa Gambut dan Hutan serta Implementasi Pedoman Penomoran Perkara-Perkara Lingkungan Hidup, di Pekanbaru, pada 17-18 Desember 2015
FGD Penanganan Konflik dan Rencana Pemulihan Ekosistem Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), di kantor Gubernur Riau, pada 29 Desember 2015
Buletin ini diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama dengan Program REDD+ UNDP
8
Mayapada Tower II, Lantai 14 Jalan Sudirman Kav. 27, Jakarta Selatan 12920 Indonesia Telepon : +62 (21) 2500811 Faksimili : +62 (21) 2500822 Contact Person :
[email protected]