EFEKTIVITAS PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK SUMBER DAYA HUTAN
M. IMAM ARIFANDY
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat sebagai Resolusi Konflik Sumber Daya Hutan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
M. Imam Arifandy NIM I34110089
1
ABSTRACT M. IMAM ARIFANDY. Effectiveness of Community Based Forest Management as Forest Resources Conflict Resolution. Supervised by MARTUA SIHALOHO. Community Based Forest Management (CBFM) is a system of state forest management that conducted Perhutani joinly with community forestry forest villages. CBFM include: drafting plans, utilization of forest resources, and protection of forest resources. CBFM regulated the rights and obligations of all stakeholders involved. Conflict of interest in the management of forest resources can lead to conflicts beetwen any stakeholders. This research aim to analyse (1) conflict sources and the beginning of forest resources conflict in the Kalimendong village, (2) conflict resolution mechanism that were implemented based on the CBFM, (3) effectiveness CBFM as conflict resolution in forest resources management. The result of this study found that the conflict in Kalimendong village occured since 1998 that comes from the differences in perception, interest, and ownership beetwen the public and Perhutani. CBFM then can be conflict resolution of forest resources management, but CBFM can then generate a new conflict when the interests of stakeholder can not be accomodated. The analysis shows that characteristic of number of dependents has negatively correlation related to the effectiveness of CBFM as conflict resolution. Keywords: conflict, CBFM, conflict resolution, forest resources
2
EFEKTIVITAS PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK SUMBER DAYA HUTAN
M. IMAM ARIFANDY
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015
3
Judul Skripsi Nama NIM
: Efektivitas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat sebagai Resolusi Konflik Sumber Daya Hutan : M. Imam Arifandy : I34110089
Disetujui oleh
Martua Sihaloho, SP, M.Si Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, M.Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
4
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Efektivitas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat sebagai Resolusi Konflik Sumber Daya Hutan. Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Martua Sihaloho, S.P, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini, kepada kedua orang tua tercinta, Ibunda Prof. DR. Dra. Hj. Hasnah Faizah AR. M.Hum. dan juga Ayahanda tercinta H. Arian Taufik S.E M.M yang selalu melimpahkan kasih sayangnya kepada penulis, serta adik Nabilla Tuzzahwa Ivanza yang selalu mendukung penulis. Selain itu terimakasih kepada pihak Perum Perhutani dan LMDH Rimba Mulya beserta jajarannya yang telah bekerja sama dan memberikan informasi dalam penelitian ini. Tidak lupa juga penulis ucapkan terimakasih kepada temanteman SKPM 48, sahabat-sahabat di KUILCINTA, rekan-rekan di SIMPUL MATI, serta teman-teman LORO REPTILE BOGOR yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang selalu mendukung dan mendoakan penulis. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Mei 2015
M. Imam Arifandy NIM I34110089
5
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian PENDEKATAN TEORETIS Tinjauan Pustaka Kerangka Pemikiran Hipotesis Definisi Operasional PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Teknik Pengambilan Responden dan Informan Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum KPH Kedu Utara Gambaran Umum BKPH Wonosobo Gambaran Umum RPH Leksono Gambaran Umum Desa Kalimendong AWAL MULA DAN SUMBER TERJADINYA KONFLIK Sejarah Konflik Pengelolaan Sumber Daya Hutan Sumber-Sumber Konflik Pengelolaan Sumber Daya Hutan Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Konflik Ikhtisar PERAN-PERAN INDIVIDU DALAM IMPLEMENTASI PHBM Awal Terbentuknya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Proses Perencanaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Pelaksanaan dan Pemanfaatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Ikhtisar ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU TERHADAP EFEKTIVITAS PHBM SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK Karakteristik Individu Hubungan Karekteristik Individu terhadap Efektivitas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat sebagai Resolusi Konflik Ikhtisar PENUTUP DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Vii Viii Ix 1 1 2 3 3 5 5 11 13 13 17 17 17 17 18 19 21 21 26 28 29 33 33 36 39 43 45 45 46 47 54 57 59 59 65 79 81 85 87
6
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
29 30 31 32
Definisi operasional penelitian Metode pengumpulan data Luas wilayah kerja KPH Kedu Utara Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi kawasan hutan KPH Kedu Utara tahun 2013 Luas wilayah kerja Bagian Hutan (BH) Susunan kelas hutan per BKPH tahun 2012 Pembagian kawasan perlindungan tahun 2012 Pembagian kawasan penggunaan lain tahun 2012 Data jumlah penduduk KPH Kedu Utara tahun 2012 Wilayah kerja BKPH Wonosobo tahun 2014 Sadapan pinus BKPH Wonosobo tahun 2014 Sharing salak tahun 2014 Sharing wisata tahun 2014 Laporan huruf A RPH Leksono Data tanaman rakyat tahun 2009 Mata pencaharian penduduk desa Kalimendong Sumber konflik pengelolaan sumber daya hutan desa Kalimendong Kawasan petak pengelolaan PHBM LMDH Rimba Mulya Rincian sensus sengon tahun 2008 Hasil tebangan penjarangan sengon tahun 2008 Jumlah produksi getah pinus desa Kalimendong Kerusakan hutan desa Kalimendong Frekuensi tingkat pendidikan anggota LMDH Rimba Mulya yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi umur anggota LMDH Rimba Mulya yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi jenis kelamin anggota LMDH Rimba Mulya yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi tingkat pendapatan anggota LMDH Rimba Mulya yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi jumlah tanggungan anggota LMDH Rimba Mulya yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM anggota LMDH Rimba Mulya yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi tingkat kepemilikan lahan persil anggota LMDH sesudah PHBM yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi luas petak lahan PHBM yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi jenis pekerjaan responden yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Desa Kalimendong tahun 2015
13 18 21 22 22 23 24 25 25 26 27 27 28 29 30 31 36 47 50 51 52 54 59 60 60 61 62 63
63 64 65 66
7
DAFTAR TABEL (lanjutan) 33 34 35 36 37
38
39 40 41 42 43 44
Jumlah dan persentase tingkat pendidikan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Tingkat pendidikan seluruh anggota LMDH Rimba Mulya Jumlah dan persentase tingkat pendapatan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Jumlah dan persentase jumlah tanggungan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Jumlah dan persentase tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Jumlah dan persentase tingkat kepemilikan lahan persil sesudah PHBM terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Jumlah dan persentase luas petak lahan PHBM terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Persentase tutupan pinus Jumlah dan persentase umur terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Jumlah dan persentase jenis kelamin terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Jumlah dan persentase jenis pekerjaan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Hasil uji statistik
67 67 68 69 70
71
75 75 76 76 78 80
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Kerangka pemikiran Persentase tingkat pendidikan penduduk Desa Kalimendong tahun 2014 Grafik kerusakan hutan negara di Desa Kalimendong Kepemilikan lahan persil sebelum PHBM Kepemilikan lahan persil sesudah PHBM
12 32 55 73 73
8
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5 6
Peta lokasi Desa Kalimendong Prestasi LMDH Rimba Mulya Dokumentasi lapang Tulisan tematik Pengolahan data Uji reliabilitas kuisioner
87 88 89 90 95 98
9
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pengelolaan sumber daya alam merupakan suatu upaya yang berkesinambungan dalam proses pembangunan yang berkelanjutan dalam upaya menyejahterakan masyarakat. Hubungan antara sumber daya alam yang tersedia dengan kesejahteraan masyarakat sangat erat, ketersediaan sumber daya alam yang terbatas dapat menjadi suatu masalah yang besar jika pengelolaanya tidak terkoordinasi dengan baik (Hasanusimon 2010). Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai negara dan dipergunakan sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat secara adil dan merata”. Menurut UU No. 41 Tahun 1999, “tujuan dari penyelenggaraan kehutanan adalah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk menjangkau manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan”. Hutan atau rimba dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, baik untuk membuka ladang maupun mengambil hasil hutan berupa kayu maupun non-kayu. Beberapa kawasan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengambil hasil hutan non-kayu antara lain rawa, sungai, dan padang rumput (Hasanusimon 2010). Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan dapat menimbulkan benturan kepentingan setiap stakeholder yang kemudian berdampak pada terjadinya konflik. Konflik dapat disebabkan oleh benturan kepentingan pihakpihak terhadap hutan, diantaranya pemerintah, masyarakat dan swasta. Konflik pengelolaan hutan yang paling sering terjadi yaitu antara masyarakat sekitar hutan dengan pengelola hutan, dalam hal ini adalah pemerintah atau swasta, ataupun bisa dengan sesama masyarakat itu sendiri. Konflik tersebut dapat berdampak pada kerusakan kelestarian lingkungan, baik fisik maupun non-fisik, maka pihak pengelola harus melakukan segala upaya untuk menyelesaikan konflik tersebut (Margitawaty 2004). Konflik sumber daya adalah hubungan antara sumber daya dengan kekerasan yang tidak selalu sederhana dan bersifat linier, ketika ada sumber daya di situ pula ada kekerasan, dan juga dari berbagai kasus yang ditemukan bahwa ketika ada tempat dengan sumber daya melimpah maka kekerasan sering terlihat. Dengan kata lain konflik atas sumber daya disebabkan oleh berbagai macam faktor, diantaranya; (1) pola dan akumulasi modal yang bernuansa distribusi tidak seimbang secara spasial, (2) bentuk-bentuk akses kontrol terhadap sumber daya yang juga tidak merata termasuk hak kepemilikan dan hak penguasaan, (3) para aktor yang muncul dari hubungan sosial produksi yang tidak seimbang seperti perusahaan, pekerja, alat negara dan sebagainya (Suyatna dan Suseno 2007). Pengelolaan konflik sumber daya alam atau yang biasa disebut proses penyelesaian konflik adalah suatu bentuk upaya dalam menyelesaikan suatu ketegangan antara pihak-pihak yang bertikai atas kepentingannya sendiri dalam
10
hal mengakses sumber daya alam. Terdapat teknik-teknik atau alternatif penyelesaian konflik yang bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga sedapat mungkin menghindari penyelesaian masalah melalui meja hukum (Maguire dan Boiney 1994 dalam Mitchel et al. 2000). Terdapat banyak pendekatan-pendekatan penyelesaian konflik atas sumber daya namun yang menarik terdapat alternatif penyelesaian konflik tersebut yaitu pendekatan melalui partisipasi masyarakat lokal yang sifatnya persuasif dan berkomitmen pada kesepakatan bersama (Mitchell et al. 2000) atau pendekatan tersebut dapat dikatakan sebagai proses manajemen konflik. Perhutanan Sosial adalah sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak lain (berbagai unsur sosial) yang dapat dilakukan di mana saja, di lahan milik pribadi, umum atau di kawasan hutan yang diijinkan. Perhutanan Sosial ada yang sudah dikembangkan secara tradisional di berbagai daerah seperti Repong Damar di Sumatera, Simpunk di Kalimantan, Kane atau hutan keluarga di Timor maupun yang diperkenalkan oleh pihak luar, misalnya Hutan Kemasyarakatan, Kehutanan Masyarakat, PHBM dan sebagainya. Perhutanan Sosial memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumber daya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal, dan tujuan produksi yang lestari (CIFOR 2003). Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan program dari Perum Perhutani untuk mengatasi konflik-konflik yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan hutan. Keberhasilan program PHBM di Perum Perhutani perlu ditunjang dengan adanya Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang bersedia memelihara kelestarian hutan serta menjalin kerjasama dengan Perum Perhutani (Theresia 2008). Perbedaan-perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh setiap stakeholder dalam melakukan pengelolaan sumber daya hutan tersebut juga menjadi sumber yang dapat memicu munculnya konflik dalam pengelolaan sumber daya hutan. Konflik tersebut jika tidak dikelola dengan baik, maka akan memunculkan dampak negatif yang akan dirasakan oleh setiap stakeholder maupun yang akan dirasakan oleh sumber daya hutan itu sendiri (Hidayah 2012)
Masalah Penelitian Penyebab konflik pengelolaan sumber daya alam yang ditekankan oleh Fisher et al. (2000) adalah isu-isu utama yang muncul pada waktu menganalisis konflik, yaitu isu kekuasaan, budaya, identitas, gender dan hak. Isu-isu ini muncul ketika mengamati interaksi antar pihak yang bertikai, yang pada satu kesempatan tertentu akan menjadi latar belakang konflik serta berperan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi secara diam-diam. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu: Bagaimana awal mula serta sumber konflik yang terjadi dalam konflik pengelolaan sumber daya hutan di Desa Kalimendong, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah? Hidayah (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa proses manajemen yang menghasilkan resolusi konflik dipandang menjadi hal yang sangat penting
11
dalam menyelesaikan konflik pengelolaan sumber daya hutan yang terjadi. Resolusi konflik yang dihasilkan berupa program-program atau model-model pengelolaan yang diimplementasikan berdasarkan konsep Perhutanan Sosial. Program-program tersebut perlu adanya perencanaan sebelumnya, yang dapat menjadikan program tersebut dapat berjalan dengan baik, dan yang paling penting dapat menjadi resolusi konflik yang memuaskan semua stakeholder yang terlibat. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu: Bagaimana peran-peran individu dalam implementasi PHBM di hutan negara? Kompleksitas stakeholder yang terlibat dalam suatu bentuk pengelolaan sumber daya hutan, menyebabkan banyaknya terjadi benturan-benturan yang dapat memicu terjadinya konflik dalam pengelolaan sumber daya hutan. Selain itu, perbedaan-perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh setiap stakeholder dalam melakukan pengelolaan sumber daya hutan tersebut juga menjadi sumber yang dapat memicu munculnya konflik dalam pengelolaan sumber daya hutan. Konflik tersebut jika tidak dikelola dengan baik, maka akan memunculkan dampak negatif yang akan dirasakan oleh setiap stakeholder maupun yang akan dirasakan oleh sumber daya hutan itu sendiri (Hidayah 2012). Jadi, dapat dirumuskan pertanyaan: Apakah terdapat hubungan antara karakteristik individu dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Mengetahui bagaimana awal mula dan sumber konflik yang terjadi dalam konflik pengelolaan sumber daya hutan di Desa Kalimendong, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah? 2. Mengetahui bagaimana peran-peran individu dalam implementasi PHBM di hutan negara? 3. Menganalisis apakah terdapat hubungan antara karakteristik individu dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik?
Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi akademisi, penelitian ini menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial, khususnya konflik dalam pengelolaan sumber daya hutan. 2. Bagi pemerintah, Perhutani dan Dinas Kehutanan, penelitian ini menjadi suatu saran dalam memberikan informasi pentingnya pembuatan kebijakan yang terkait sebagai suatu bentuk resolusi konflik khususnya pembuatan kebijakan sesuai konsep Perhutanan Sosial yang diterapkan. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pentingnya berkolaborasi dan saling bekerja sama antar setiap stakeholder dalam melakukan pengelolaan sumber daya hutan, dan dalam kegiatan penyelesaian konflik.
4
5
PENDEKATAN TEORETIS
Tinjauan Pustaka
Pengertian Konflik Fisher et al. (2000) berpendapat bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Berdasarkan penjelasan pengertian konflik menurut Fuad dan Maskanah (2000) yaitu benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan adanya perbedaan budaya, nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumber daya, dimana masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang sama terhadap sumber daya. Konflik dan kehidupan manusia sangatlah sulit untuk dipisahkan dan keduanya berada bersama-sama. Sedangkan menurut Ibrahim (2002) Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lain sebagainya, dimana tujuan dari mereka bertikai itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya dengan kekerasan atau ancaman. Menurut level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horizontal, terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapakah lawan yang sebenarnya. Sedangkan menurut wujudnya, konflik dibedakan menjadi konflik tertutup (laten), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest). Konflik tertutup (latent) dicirikan dengan adanya tekanantekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling potensial sekalipun. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan ketika pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses peyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik ketika pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan buntu (Fuad dan Maskanah 2000). Konflik selalu diidentikkan dengan kekerasan, ancaman, dan segala hal yang berkonotasi negatif. Konflik sebenarnya dapat bersifat positif. Mitchell et al. (2000) yang mengungkapkan bahwa dengan adanya konflik, maka konflik tersebut dapat membantu mengidentifikasi proses pengelolaan sumber daya dan lingkungan yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman. Pengertian konflik yang telah dijelaskan oleh beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum konflik melibatkan tiga aspek yaitu
6
kognisi, situasi dan perilaku. Aspek kognisi yaitu tentang persepsi mengenai perbedaan dan perbedaan kepentingan antar setiap pihak yang terlibat di dalam konflik terhadap objek-objek tertentu. Aspek perilaku yaitu berupa perjuangan yang dilakukan oleh pihak yang terlibat dalam konflik dalam upaya menyingkirkan, menghancurkan dan membuat pihak lainnya menjadi tak berdaya. Sedangkan aspek situasi adalah ketidakselarasan tujuan dan kepentingan berbagai pihak yang terlibat.
Sumber-sumber Konflik dan Resolusi Konflik Menurut Tadjudin (2000), sumber konflik adalah perbedaan dan perbedaan tersebut bersifat mutlak yang artinya secara obyektif memang berbeda. Namun perbedaan tersebut hanya ada pada tingkat persepsi. Tadjudin (2000) dalam Dharmawan dan Marina (2011) menjelaskan bahwa konflik dapat bersumber dari empat perbedaan, diantaranya; perbedaan tata nilai, perbedaan persepsi, perbedaan kepentingan, dan perbedaan akuan hak kepemilikan. Kadir et al. (2013) menjelaskan konflik dapat bersumber dari beberapa hal, seperti yang terjadi pada kasus Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Provinsi Sulawesi Selatan. Sumber konflik tersebut diantaranya; polarisasi hubungan antar pihak yang terlibat, ketidaksetaraan prinsip antar pihak yang terlibat, pembatasan dalam kebutuhan manusia, perbedaan persepsi mengenai identitas, dan transformasi konflik yang disebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Konflik yang terjadi dapat berupa konflik vertikal maupun berupa konflik horizontal. Kedua jenis konflik tersebut dapat bersumber dari perbedaan persepsi dan benturan kepentingan antar setiap aktor. Selain itu, konflik juga dapat bersumber dari persaingan antar aktor dalam mencapai tujuannya masing-masing, serta adanya perbedaan akses di antara pihak yang terlibat. Keempat sumber konflik tersebut dapat mengakibatkan berbagai permasalahan baik yang dirasakan oleh pihak yang terlibat, maupun yang dirasakan oleh objek konflik, dalam hal ini adalah sumber daya hutan (Sardi 2010). Penyebab konflik yang ditekankan oleh Fisher et al. (2000) adalah isu-isu utama yang muncul pada waktu menganalisis konflik, yaitu isu kekuasaan, budaya, identitas, gender dan hak. Isu-isu ini muncul ketika mengamati interaksi antar pihak yang bertikai, yang pada satu kesempatan tertentu akan menjadi latar belakang konflik serta berperan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi secara diam-diam. Adapun sumber-sumber konflik kehutanan, menurut Fuad dan Maskanah (2000) adalah sebagai berikut: 1. Perbedaan persepsi politik dan hukum antara pemerintah dengan masyarakat dalam hal klaim dan pengakuan hak pada kawasan hutan. 2. Penguasaan dan akses masyarakat lokal tidak diimbangi dengan usaha pengamanan hak. 3. Sektorisme kebijakan negara terhadap sumber daya alam, pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang parsial. 4. Sistem kelola dengan pemberian konsesi HPH yang ditentukan terpusat menciptakan pertentangan dan benturan nilai-nilai kelestarian sumber daya hutan dengan kepentingan ekonomi.
7
Konflik yang ada perlu untuk dicarikan solusi, sehingga diperlukannya ruang untuk berdialog antara setiap pihak yang terlibat di dalam konflik tersebut. Condliffe (1991) sebagaimana dikutip Dharmawan dan Marina (2011), mengajukan delapan prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik, yaitu: Lumping it, Avoidance or exit, Coercion, Negotiation, Conciliation, Mediaton, Arbitration, dan Adjudication. 1. Lumping it. Terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan diabaikan (simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan. 2. Avoidance or exit. Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi atau psikologis. 3. Coercion. Satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau kepentingannya pada pihak yang lain. 4. Negotiation. Kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersama-sama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga. 5. Concilliation. Mengajak (menyatukan) kedua belah pihak yang bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan. 6. Mediation. Pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan. 7. Arbitration. Bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga. 8. Adjudication. Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan yang diambil baik yang diharapkan maupun tidak oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam konteks konflik kehutanan, Pruitt and Rubin (2009) dalam Kadir et al. (2013) menjelaskan 5 strategi dalam penyelesaian konflik, diantaranya; 1. Contending (bertanding), yaitu menyelesaikan konflik menurut kemauan seseorang tanpa memperdulikan kepentingan pihak lain, strategi ini membujuk bahkan mengancam pihak lain 2. Problem Solving (pemecahan masalah), yaitu identifikasi dan mengambangkan masalah secara kolaborasi yang kemudian mengarah kepada solusi yang memuaskan kedua belah pihak. Hasilnya berupa kompromi atau solusi integratif. 3. Yielding (mengalah). Menurunkan aspirasi sendiri dan menerima kekurangan dari apa yang sebetulnya diinginkan. 4. Inaction (diam). Tindakan temporer tidak melakukan apa-apa untuk mencermati perkembangan lebih lanjut. 5. Withdrawing (menarik diri). Yaitu meninggalkan konflik secara permanen, memunculkan ketidakpastian sehingga mengharapkan pihak lain untuk mengalah. Dharmawan dan Marina (2011) di dalam penelitiannya mengemukakan konsep penyelesaian konflik pada kawasan konservasi (Taman Nasional Gunung Halimun Salak). Proses resolusi konflik tersebut yaitu:
8
1. Penetapan wilayah masyarakat adat yang berada pada enclave Taman Nasional untuk dijadikan Zona Khusus Budaya. 2. Pengakuan hak tanah adat oleh pemerintah. 3. Proses negosiasi untuk mencapai kesepakatan bersama. 4. Proses mediasi dengan dibantu oleh Mediator untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan semua pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dapat juga dijadikan sebagai resolusi konflik pengelolaan sumber daya hutan, Hidayah (2012) di dalam penelitiannya mengemukakan konsep PHBM sebagai resolusi konflik, yaitu melalui program-program untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Program tersebut diantaranya; peningkatan aksesbilitas masyarakat, peningkatan interaksi stakeholder, dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Konsep Perhutanan Sosial Perhutanan Sosial adalah sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak lain (berbagai unsur sosial) yang dapat dilakukan di mana saja, di lahan milik pribadi, umum atau di kawasan hutan yang diijinkan. Perhutanan Sosial ada yang sudah dikembangkan secara tradisional di berbagai daerah seperti Repong Damar di Sumatera, Simpunk di Kalimantan, Kane atau hutan keluarga di Timor maupun yang diperkenalkan oleh pihak luar, misalnya Hutan Kemasyarakatan, Kehutanan Masyarakat, PHBM dan sebagainya. Perhutanan Sosial memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumber daya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal, dan tujuan produksi yang lestari (CIFOR 2003). Indonesia menggunakan berbagai istilah seperti Hutan Kemasyarakatan, Hutan Kerakyatan, Kehutanan Masyarakat, Kehutanan Sosial dan Social Forestry. Selain itu ada pula yang menggunakan istilah Perhutanan Masyarakat, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat atau Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ada juga yang menggunakan istilah Pengelolaan Hutan Bersama, Pengelolaan Hutan Dalam Kemitraan dan Pengelolaan Hutan Multipihak atau Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat (PHOM). Belum ada istilah yang disepakati bersama dan diterima secara luas. Namun semakin meningkat kesamaan pandangan dan keinginan untuk menegaskan prinsip-prinsip tujuan dan cara pencapaiannya bukan pada namanya (CIFOR 2003). Menurut Departemen Kehutanan sejak tahun 1980-an Perhutanan Sosial adalah semua bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta masyarakat baik di kawasan hutan milik negara maupun milik pribadi atau kelompok. Di kawasan hutan milik negara disebut Hutan Kemasyarakatan (HKM) sedangkan di lahan milik disebut Hutan Rakyat (HR). Proses reformasi kewenangan pengelolaan Hutan Rakyat kemudian diserahkan kepada daerah. Pada tahun 2002 jajaran Departemen Kehutanan menempatkan Perhutanan Sosial di dalam birokrasi sebagai payung dari semua program dan kebijakan strategis. Departemen Kehutanan sudah membentuk sebuah kelompok kerja khusus untuk Perhutanan Sosial (CIFOR 2003).
9
Murniati dan Sumarhani (2010) menjelaskan bentuk-bentuk Perhutanan Sosial yang sudah dikembangkan baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun yang berada di luar kawasan hutan. Di dalam kawasan Hutan Produksi dapat dikembangkan bentuk Perhutanan Sosial yaitu; Prosperity Appoach, Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT), Tumpangsari Selama Daur, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa, dan Hutan Kemasyarakatan. Di dalam kawasan Hutan Lindung hanya ada satu bentuk Perhutanan Sosial yang dapat dikembangkan, yaitu Hutan Kemasyarakatan. Di dalam kawasan Hutan Konservasi, dapat dikembangkan bentuk Perhutanan Sosial yaitu Program Penanaman Lahan oleh Masyarakat untuk Rehabilitasi Ekologi. Sedangkan untuk yang berada di luar kawasan hutan, maka model Perhutanan Sosial yang dapat dikembangkan adalah bentuk Hutan Rakyat dan Kebun Campuran. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Berdasarkan keputusan direksi PT. Perhutani No. 682/KPTS/DIR/2009 tentang PHBM, adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dan atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Tujuan dari pelaksanaan PHBM untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional dan professional. Terjadi peningkatan peran dan tanggungjawab yang dilakukan perum Perhutani, masyarakat, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan. Adapun tujuan pengelolaan hutan bersama masyarakat secara lengkap sebagaimana disebutkan yaitu: 1. Meningkatkan tanggung jawab perusahaan, masyarakat desa hutan, dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungssi dan manfaat sumberdaya hutan. 2. Meningkatkan peran perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan 3. Memperluas akses masyarakat desa hutan dalam pengelolaan sumberdaya hutan 4. Menselaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah sesuai dengan kondisi dan dinamika sosial masyarakat desa hutan 5. Meningkatkan usaha-usaha produktif menuju masyarakat desa hutan mandiri yang mendukung terciptanya hutan lestari PHBM dilakukan berbasis Desa Hutan dengan ruang lingkup di dalam dan di luar kawasan hutan baik berbasis lahan maupun bukan lahan dengan mempertimbangkan skala prioritas berdasarkan perencanaan partisipatif. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat dilaksanakan dengan tidak mengubah status kawasan hutan, fungsi hutan dan status tanah perusahaan.
10
Konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dapat juga dijadikan sebagai resolusi konflik pengelolaan sumber daya hutan, Hidayah (2012) di dalam penelitiannya mengemukakan konsep PHBM sebagai resolusi konflik, yaitu melalui program-program untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Program tersebut diantaranya; peningkatan aksesbilitas masyarakat, peningkatan interaksi stakeholder, dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Efektivitas PHBM sebagai Resolusi Konflik Hidayah (2012) dalam penelitiannya menjelaskan, PHBM memiliki rangkaian program-program yang melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan pengelolaan hutan, program tersebut berazazkan kemitraan dan memiliki prinsip untuk menyelaraskan pola kepentingan antar setiap pemangku kepentingan/stakeholders. Efektivitas PHBM dalam mengurangi konflik kehutanan dapat dilihat melalui partisipasi masyarakat dalam kegiatan program PHBM, yaitu keikutsertaan masyarakat yang termasuk dalam kelompok tani hutan atau LMDH, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, Pemanfaatan hasil, serta Monitoring dan Evaluasi (Theresia 2008). Ada beberapa macam atau bentuk partisipasi yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain menurut Yadov (1980) dalam (Theresia 2008) menjelaskan ada empat macam kegiatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yaitu: 1. Partisipasi dalam pembuatan perencanaan 2. Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan 3. Partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi 4. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil.
Karakteristik Stakeholder Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kompleksitas stakeholder yang terlibat dalam suatu bentuk pengelolaan sumber daya hutan, menyebabkan banyaknya terjadi benturan-benturan yang dapat memicu terjadinya konflik dalam pengelolaan sumber daya hutan (Hidayah 2012). Perbedaan-perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh setiap stakeholder dalam melakukan pengelolaan sumber daya hutan tersebut juga menjadi sumber yang dapat memicu munculnya konflik dalam pengelolaan sumber daya hutan. Konflik tersebut jika tidak dikelola dengan baik, maka akan memunculkan dampak negatif yang akan dirasakan oleh setiap stakeholder maupun yang akan dirasakan oleh sumber daya hutan itu sendiri (Hidayah 2012). Karakteristik yang dimiliki oleh stakeholder pengelolaan sumber daya hutan diantaranya: umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, luas lahan pribadi, luas lahan hutan PHBM yang dikelola, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan serta jenis kelamin (Hidayah 2012).
11
Kerangka Pemikiran Pengelolaan sumber daya hutan melibatkan stakeholder/aktor, diantaranya; Masyarakat sekitar hutan yang tergabung ke dalam Lembaga Mayarakat Desa Hutan (LMDH), serta pihak pengelola kawasan, dalam hal ini berupa Perhutani unit I Jawa Tengah, Dinas Kehutanan dan Kementerian Kehutanan. Masyarakat sekitar hutan sebagai aktor utama dalam kegiatan PHBM memiliki karakteristik yang di bedakan berdasarkan umur, jenis pekerjaan, jenis kelamin, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan yang dalam hal ini berarti banyaknya anggota rumah tangga yang menjadi tanggungan, serta tingkat kepemilikan lahan persil yaitu lahan yang berada di luar kawasan PHBM pada saat sesudah dan sebelum adanya PHBM. Menurut Tadjudin (2000) interaksi yang terjadi antar setiap stakeholder yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan dapat menjadi sumber terjadinya konflik jika dalam interaksi tersebut terdapat perbedaan. Keempat perbedaan tersebut diantaranya; perbedaan tata nilai, perbedaan persepsi, perbedaan kepentingan dan perbedaan akuan hak kepemilikan. Konflik yang terdapat dalam pengelolaan sumber daya hutan dapat terjadi dalam berbagai wujud, berupa konflik latent, konflik emerging, dan konflik manifest. Konflik terjadi akibat beberapa faktor penyebab, diantaranya; polarisasi hubungan antar stakeholder, perbedaan prinsip dalam pengelolaan sumber daya hutan, keterbatasan akses dalam melakukan pemanfaatan fungsi hutan, perbedaan persepsi, kepentingan, tata nilai, dan akuan hak kepemilikan dalam pengelolaan sumber daya hutan, benturan kepentingan antar setiap stakeholder, persaingan dalam memanfaatkan sumber daya hutan, dan kelangkaan atau keterbatasan jumlah sumber daya yang tersedia (Fuad dan Maskanah 2000). Konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dapat dijadikan sebagai resolusi konflik pengelolaan sumber daya hutan. Efektivitas PHBM dalam mengurangi konflik kehutanan dapat dilihat melalui partisipasi masyarakat dalam kegiatan program PHBM, yaitu keikutsertaan masyarakat yang termasuk dalam kelompok tani hutan atau LMDH, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, Pemanfaatan hasil, serta Monitoring dan Evaluasi (Theresia 2008). Secara skematis, kerangka kerja penelitian digambarkan seperti pada Gambar 1.
12
Stakeholder -Perhutani -Perhutani -Pemerintah -Pemerintah -LSM
Masyarakat Desa Hutan -Umur (X1) -Jenis Kelamin (X2) -Tingkat Pendapatan (X3) -Tingkat Pendidikan (X4) -Jumlah Tanggungan (X5) -Tingkat Kepemilikan Lahan Persil sebelum PHBM (X6) -Tingkat Kepemilikan Lahan Persil sesudah PHBM (X7) -Jumlah Petak Lahan PHBM (X8) -Jenis Pekerjaan (X9)
Konfllik pengelolaan SDH
Sejarah konflik Sumber konflik
Efektivitas PHBM sebagai Resolusi Konflik (Y)
Perencanaan (Y1) Pelaksanaan (Y2) Pemanfaatan hasil (Y3) Monitoring dan evaluasi (Y4)
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Ket:
Analisis Kuantitatif Analisis Deskriptif/Kualitatif Berhubungan
13
Hipotesis Penelitian Yn = f(Xn) Y = f (X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7,X8,X9) Hipotesis penelitian ini diuraikan sebagai berikut: Diduga proses interaksi antar stakeholder menentukan proses terjadinya konflik pengelolaan sumber daya hutan 2. Diduga sejarah dan sumber konflik menentukan dibentuknya PHBM sebagai resolusi konflik 3. Diduga karakteristik umur aktor berhubungan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Y= f (X1.1, X1.2) 4. Diduga karakteristik jenis kelamin aktor berhubungan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Y= f (X2.1, X2.2) 5. Diduga karakteristik tingkat pendapatan aktor berhubungan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Y= f (X3.1, X3.2, X3.3) 6. Diduga karakteristik tingkat pendidikan aktor berhubungan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Y= f (X4.1, X4.2, X4.3) 7. Diduga karakteristik jumlah tanggungan aktor berhubungan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Y= f (X5.1, X5.2, X5.3) 8. Diduga karakteristik tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM aktor berhubungan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Y= f (X6.1, X6.2, X6.3) 9. Diduga karakteristik tingkat kepemilikan lahan persil sesudah PHBM aktor berhubungan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Y= f (X7.1, X7.2, X7.3) 10. Diduga karakteristik jumlah petak lahan PHBM aktor berhubungan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Y= f (X8.1, X8.2, X8.3) 11. Diduga karakteristik jenis pekerjaan berhubungan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Y= f (X9.1, X9.2, X9.3) 1.
Definisi Operasional Definisi operasional untuk masing-masing variabel dijelaskan dalam tabel 1, sebagai berikut: Tabel 1 Definisi operasional penelitian Definisi Jenis Sumber No Variabel Indikator Operasional Data Rujukan 1 Umur Lamanya seseorang -Produktif (15-64 Nominal S. Rusli hidup dalam satuan tahun) (skor 1) (2005) tahun -Non Produktif (<15 tahun dan >64 tahun) (skor 2) 2 Tingkat Tingkat pendidikan - Rendah (tidak Ordinal BPS pendidikan menurut UU (2005) sekolah, tidak tamat Republik Indonesia SD, tamat SD, paket
14
3
4
5
No. 20 tahun 2003 A (skor 1) tingkat pendidikan - Sedang (SMP/Mts, atau sering disebut SMA/MA, SMEA, jenjang pendidikan STM, SMK, Paket adalah tahapan C) (skor 2) pendidikan yang - Tinggi (Diploma, ditetapkan Sarjana) (skor 3) berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik. Jenjang pendidikan formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi Jenis Sifat fisik responden - Laki laki (skor 1) Nominal BPS kelamin seperti yang tercatat - Perempuan (skor 2) (2005) dalam kartu identitas yang dimiliki oleh responden, yaitu laki-laki dan perempuan Tingkat Rata-rata hasil (X) -Rendah, jika Ordinal BPS pendapatan kerja berupa uang pendapatan ≤ x – ½ (2005) yang diperoleh sd (skor 1) individu per bulan -Sedang, jika pada program PHBM, pendapatan x – ½ sd tingkat pendapatan < x < + ½ sd (skor diukur sesuai data di 2) lapangan/emik -Tinggi, jika pendapatan ≥ x + ½ sd (skor 3) Tingkat Rata-rata besarnya -Rendah, jika tingkat Ordinal Hidayah kepemilikan lahan yang dimiliki kepemilikan lahan (2012) lahan Persil oleh responden saat persil sebelum sebelum sebelum PHBM PHBM ≤ x – ½ sd PHBM diterapkan (X). Lahan (skor 1) tersebut terletak -Sedang, jika tingkat berbatasan dengan kepemilikan lahan lokasi hutan PHBM persil sebelum dan dihitung dalam PHBM x – ½ sd < satuan hektar (Ha). x < + ½ sd (skor 2) Apabila status -Tinggi, jika tingkat penguasaan lahan kepemilikan lahan lebih dari satu (sakap, persil sebelum sewa, hak milik), PHBM ≥ x + ½ sd maka diambil secara (skor 3)
15
6
Tingkat kepemilikan lahan Persil sesudah PHBM
7
Jumlah tanggungan
8
Jumlah luas petak lahan PHBM
kumulatif. Diukur sesuai data di lapangan/emik Rata-rata besarnya -Rendah, jika tingkat Ordinal Hidayah lahan yang dimiliki kepemilikan lahan (2012) oleh responden saat persil sesudah sesudah PHBM PHBM ≤ x – ½ sd diterapkan (X). Lahan (skor 1) tersebut terletak -Sedang, jika tingkat berbatasan dengan kepemilikan lahan lokasi hutan PHBM persil sesudah dan dihitung dalam PHBM x – ½ sd < satuan hektar (Ha). x < + ½ sd (skor 2) Apabila status -Tinggi, jika tingkat penguasaan lahan kepemilikan lahan lebih dari satu (sakap, persil sesudah sewa, hak milik), PHBM ≥ x + ½ sd maka diambil secara (skor 3) kumulatif. Tingkat kepemilikan diukur sesuai data di lapangan/emik Rata-rata hasil -Rendah, jika jumlah Ordinal Hidayah banyaknya individu tanggungan ≤ x – ½ (2012) (X) dalam keluarga sd (skor 1) yang ditanggung -Sedang, jika jumlah oleh responden saat tanggungan x – ½ penelitian dilakukan. sd < x < + ½ sd Jumlah tanggungan (skor 2) diukur sesuai data di -Tinggi, jika tingkat lapangan/emik kepemilikan lahan persil sesudah PHBM ≥ x + ½ sd (skor 3) Besarnya lahan -Rendah, jika jumlah Ordinal Perhutani PHBM yang dimiliki petak lahan PHBM (2009) oleh responden saat ≤ x – ½ sd (skor 1) penelitian dilakukan -Sedang, jika jumlah (X). Lahan tersebut tanggungan x – ½ terletak berbatasan sd < x < + ½ sd dengan lokasi hutan (skor 2) PHBM dan dihitung -Tinggi, jika tingkat dalam satuan Hektar kepemilikan lahan (Ha). Karakteristik persil sesudah Jumlah luas petak PHBM ≥ x + ½ sd lahan PHBM diukur (skor 3) sesuai data di lapangan/emik
16
9
Jenis pekerjaan
10 Efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik
Bidang pekerjaan - Pertanian (skor 1) Nominal Tresia D responden yang (2007) - Non pertanian dalam penelitian ini (skor 2) dibagi atas bidang pertanian dan non pertanian. Bidang pertanian terdiri dari pekerjaan pertanian, perburuan, kehutanan dan perikanan. Sedangkan bidang non pertanian terdiri dari pekerjaan selain bidang pertanian di atas Efektivitas diukur Jika: Ordinal Yadov berdasarkan sangat tidak setuju (1980) partisipasi (STS) skor: 1 dalam masyarakat dalam tidak setuju (TS) Theresia kegiatan program skor: 2 (2008) PHBM, yaitu setuju (S) skor: 3 keikutsertaan sangat setuju (SS) masyarakat yang skor: 4 termasuk dalam kelompok tani hutan Rumus interval antar atau LMDH, yang kelas meliputi 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑎𝑥−𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑖𝑛 perencanaan, = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 pelaksanaan, Pemanfaatan hasil, 112−28 84 serta Monitoring dan = 3 = 3 = 28 Evaluasi -Rendah, jika jumlah skor : 28-55 -Sedang, jika jumlah skor : 56-84 -Tinggi, jika jumlah skor : 85-112
17
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian tentang efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik dalam pengelolaan sumber daya hutan ini merupakan penelitian kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Metode kuantitatif merupakan survai dengan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data yang diperoleh dari responden. Sedangkan data kualitatif diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan (Singarimbun dan Effendi 2008).
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di LMDH Rimba Mulya, Desa Kalimendong, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan: 1. Desa Kalimendong pada saat sebelum adanya PHBM banyak terjadi kasus pejarahan hutan oleh masyarakat, sehingga menjadi konflik antara Perhutani dengan masyarakat. 2. LMDH Rimba Mulya adalah satu-satunya LMDH yang memiliki klasifikasi LMDH paling atas, yaitu LMDH mandiri di BKPH Wonosobo. 3. Desa Kalimendong adalah desa percontohan dalam program PHBM, status tersebut diberikan oleh pihak Perhutani. 4. LMDH Rimba mulya merupakan juara dalam Lomba Penghijauan dan Konservasi Alam (PKA) tingkat Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009. 5. LMDH Rimba Mulya sebagai pemenang juara II kategori LMDH di tingkat nasional oleh Kementrian Kehutanan. 6. Segenap prestasi yang telah diraih oleh LMDH, penulis berpendapat bahwa LMDH Rimba Mulya mampu mengelola hutan negara dengan baik, dan dapat menyelesaikan konflik melalui program PHBM bersama dengan Perhutani. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2014 sampai dengan April 2015. Kegiatan dalam penelitian ini meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapang, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi,dan perbaikan laporan skripsi. Kegiatan penelitian meliputi pengambilan data lapangan baik primer dan sekunder, mengetahui struktur masyarakat desa, menyebar beberapa panduan pertanyaan, kuisioner, wawancara mendalam dan observasi lapang dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi dan perbaikan laporan penelitian.
Teknik Pengambilan Responden dan Informan Subjek dalam penelitian ini adalah responden dan informan. Responden adalah orang yang memberikan informasi mengenai diri mereka sendiri sebagai
18
sumber data. Responden penelitian ini adalah masyarakat desa hutan yang tergabung ke dalam keanggotaan LMDH Rimba Mulya, yang ditunjukkan dengan kartu tanda anggota (KTA). Responden tersebut mengisi kuisioner yang berisi pertanyaan tentang karakteristik dan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik. Sedangkan informan dalam penelitian ini adalah individu yang memahami tentang PHBM di Desa Kalimendong, diantaranya: pengurus LMDH, pesanggem, tokoh masyarakat, mandor Perhutani, asper Perhutani, serta Dishut Wonosobo. Populasi dalam penelitian ini yaitu masyarakat Desa Kalimendong. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah tangga masyarakat Desa Kalimendong yang tergabung dalam LMDH Rimba Mulya yang berjumlah 235 orang (Lampiran 2). Pemilihan responden dilakukan dengan teknik pengambilan Simple Random Sampling. Unit analisis tersebut dipilih karena dalam setiap pelaksanaannya, program PHBM hanya memperbolehkan anggota LMDH saja yang dapat mengikuti program PHBM. Keanggotaan LMDH Rimba Mulya terdiri dari semua penduduk yang bertempat tinggal di Desa Kalimendong, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo yang terdaftar sebagai anggota dengan ditandai kepemilikan Kartu Tanda Anggota (KTA) LMDH Sumber Makmur. Jumlah sampel yang akan dijadikan responden berjumlah 40 individu anggota LMDH Rimba Mulya, Desa Kalimendong, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo yang tersebar di 7 Kelompok Tani Hutan (KTH). Pemilihan sampel dengan menggunakan bantuan piranti lunak Microsoft Excel 2010 dengan menggunakan rumus =Randbeetween (Lampiran 2).
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data primer, yang diperoleh dari kuisioner, serta wawancara mendalam dengan informan, yang memahami mengenai PHBM di Desa Kalimendong. Data sekunder, yaitu profil desa Kalimendong, Profil LMDH, Laporan Kemajuan Pekerjaan BPKH Wonosobo, Laporan Kawasan Hutan KPH Kedu Utara, Pedoman tertulis PHBM, Perjanjian Kerja Sama Perhutani dan LMDH, Petak wilayah, data kerusakan hutan, laporan tahunan Perhutani, dan Pedoman Berbagai hasil hutan baik kayu atau non-kayu. Metode penelitian yang digunakan untuk menggali fakta, data, dan informasi dalam penelitian ini digunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei yaitu mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam terhadap informan. Metode lain yang digunakan adalah melalui observasi lapang di lokasi penelitian guna melihat fenomena aktual yang terjadi dan juga mengkaji dokumen yang ada seperti data monografi desa, statistik kehutanan dan laporan tahunan Perhutani. Lebih lanjut tentang pengumpulan data dapat dilihat pada tabel berikut:
19
Tabel 2 Metode pengumpulan data Teknik Pengumpulan Data Kuesioner
Data yang dikumpulkan
Karakteristik responden Kepemilikan lahan responden selain lahan PHBM Jumlah lahan PHBM Efektivitas PHBM Wawancara mendalam Bagaimana pandangan masyarakat terhadap konflik Bagaimana pandangan masyarakat terhadap Perhutani Bagaimana pandangan masyarakat terhadap PHBM Bagaimana pandangan masyarakat terhadap LMDH Bagaimana fungsi LMDH Bagaimana pandangan Perhutani terhadap masyarakat Bagaimana sumber dan awal mula terjadinya konflik Observasi lapang Aktivitas yang dilakukan masyarakat dan LMDH Analisis dokumen Profil Desa Kalimendong Profil LMDH Laporan Kemajuan Pekerjaan BPKH Wonosobo Laporan Kawasan Hutan KPH Kedu Utara Pedoman tertulis PHBM Perjanjian Kerja Sama Perhutani dan LMDH Petak wilayah Data kerusakan hutan Laporan tahunan Perhutani Pedoman Berbagai hasil hutan baik kayu atau non-kayu
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuisioner yang diperoleh kemudian dianalisis secara kuantitatif, kemudian dilakukan pengkodean data yang bertujuan agar data menjadi seragam. Setelah pengkodean data, selanjutnya jawaban responden dihitung persentasenya dalam bentuk tabel frekuensi dan tabel tabulasi silang. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial berupa korelasi Rank Spearman. Analisis deskriptif dilakukan melalui statistika deskriptif, yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan data yang telah terkumpul. Analisis data deskriptif dilakukan dengan menyajikan data melalui tabulasi silang. Teknik analisis inferensial dilakukan dengan statistik inferensial, yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan membuat kesimpulan yang berlaku umum. Analisis statistik inferensial menggunakan korelasi Rank Spearman dan Chi Square untuk mengkorelasikan dua data yang mempunyai gejala ordinal dan nominal. Pengolahan data menggunakan bantuan piranti lunak (software) SPSS 16.0 dan Microsoft Excel 2010. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten.
20
21
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Utara
Kondisi Geografis Pengelolaan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Utara berada di bawah manajemen Unit I Jawa Tengah yang secara administratif terletak di lima kabupaten yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Temanggung, dan Kabupaten Wonosobo. Luas wilayah kerja KPH Kedu Utara terdiri dari Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Lindung. Tabel 3 Luas wilayah kerja KPH Kedu Utara Kelas Hutan Luas (Ha) Persentase (%) Hutan Produksi 12 082.51 35.2 Hutan Produksi Terbatas 11 469.39 31.6 Hutan Lindung 12 071.49 33.2 Total 36 343.39 100.0 Sumber: Profil KPH Kedu Utara tahun 2012
Wilayah KPH Kedu Utara terletak pada ketinggian 215,9 – 3.296,2 meter di atas permukaan laut, ketinggian paling rendah berada di dukuh Ngalian, dan ketinggian tertinggi berada di puncak gunung Sumbing, mempunyai bentuk topografi datar (1,10%), landai (5,25%), bergelombang (12,05%), agak curam (35,27%) serta curam (46,32%). Sedangkan jenis tanah pada wilayah KPH Kedu Utara memiliki jenis tanah berupa latosol, mediteran, regosol, dan grumosol. KPH Kedu Utara memiliki iklim tipe C dengan 8 bulan basah tertinggi dan 4 bulan basah terendah.
Sumber Daya Hutan 1. Pembagian wilayah kerja Pengelolaan kawasan hutan KPH Kedu Utara dibagi menjadi lima (5) Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BPKH) yang juga menjadi Bagian Hutan (BH), yaitu Ambarawa, Magelang, Temanggung, Wonosobo, dan Candiroto, yang terdiri dari 21 Resort Pemangkuan Hutan (RPH). Wilayah kerja KPH Kedu Utara dibagi menjadi tiga (3) kawasan hutan yang dibedakan berdasarkan fungsi kawasan hutan, yaitu kawasan Hutan Lindung seluas 12.602,53 Ha, kawasan Hutan Produksi Terbatas seluas 10.959,22 Ha, dan kawasan Hutan Produksi seluas 12.781,64 Ha. Luas kawasan hutan di KPH Kedu Utara memiliki total luas wilayah kerja mencapai 36.343,39 Ha.
22
Tabel 4 Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi kawasan hutan KPH Kedu Utara tahun 2013 No
BKPH
1 Ambarawa
RPH
Gempol Lempuyangan Pagergunung Srandil Jumlah 2 Candiroto Candiroto Jumo Kenjuran Petung Tlogopucang Jumlah 3 Magelang Kalegen Mangli Temanggal Jumlah 4 Temanggung Jumprit Kecepit Kemloko Kwadungan Jumlah 5 Wonosobo Anggrunggondok Dieng Kleseman Leksono Sigedang Jumlah Total luas hutan KPH Kedu Utara
Hutan Lindung 1 585.76 1 085.59 184.30 426.14 3 281.79 921.43 921.43 967.11 193.20 1 160.31 148.40 1 217.72 868.57 749.21 2 983.90 562.20 2 047.54 667.46 977.90 4 255.10 12 602.53
Luas Kawasan Hutan (Ha) Hutan Hutan Produksi Produksi Terbatas 405.30 485.96 213.30 135.60 900.41 138.12 444.04 1 963.05 759.68 2 706.46 9.90 2 385.64 974.18 459.42 2 225.04 701.70 890.62 1 685.78 8 667.18 235.02 432.98 141.40 351.24 1 384.61 727.66 1 817.59 1 395.65 31.57 765.36 253.98 2 161.01 285.55 936.30 131.50 487.82 1 052.37 1 120.14 1 138.64 806.59 4 421.72 1 251.64 10 959.22 12 781.64
Jumlah 2 477.02 1 434.49 1 222.83 870.18 6 004.52 2 706.46 2 395.54 2 355.03 2 225.04 1 592.32 11 274.39 668.00 1 108.51 1 929.05 3 705.56 1 575.62 1 217.72 868.57 1 768.55 5 430.46 1 630.00 2 535.36 2 839.97 1 138.64 1 784.49 9 928.46 36 343.39
Sumber: KPH Kedu Utara pencermatan fungsi kawasan hutan tahun 2013
Untuk kepentingan perencanaan, hutan KPH Kedu Utara dikelompokkan ke dalam 5 (lima) Bagian Hutan (BH) dan dikategorikan ke dalam dua jenis tanaman yaitu Pinus (Pinus merkusii) dan Mahoni (Macrophylla sweetenia). Tabel 5 Luas wilayah kerja Bagian Hutan (BH) No Bagian Hutan (BH) Kelas Perusahaan Luas (Ha) 1 Ambarawa Pinus 6 004.52 2 Magelang Pinus 3 705.56 3 Temanggung Pinus 5 430.46 4 Wonosobo Pinus 9 928.46 5 Candiroto Mahoni 11 274.39 Jumlah 36 343.39 Sumber: Profil KPH Kedu Utara tahun 2012
23
2. Pembagian Wilayah Berdasarkan Susunan Kelas Hutan Berdasarkan susunan Kelas Hutan, kawasan hutan di wilayah KPH Kedu Utara dibagi menjadi 3 (tiga) Kelas Hutan yaitu Hutan Lindung, dan Hutan Produksi, dan Hutan Produksi Terbatas. Kawasan Hutan Produksi terdiri dari tiga (3) kawasan, yaitu Kawasan Untuk Produksi, Kawasan Perlindungan, dan Kawasan Penggunaan Lain dengan total luas keseluruhan kawasan mencapai 24.271,90 Ha. a. Kawasan Hutan Untuk Produksi Kawasan Hutan Untuk Produksi memiliki total luas 16.590,70 Ha, pembagian Kawasan Untuk Produksi pada dasarnya mengacu pembagian kelas hutan pada SK Dirjen 143/KPTS/DJ/I/1974. Kawasan Hutan Untuk Produksi merupakan lapangan-lapangan untuk menghasilkan kayu dan/atau hasil hutan lainnya. Kawasan Hutan Untuk Produksi terbagi menjadi dua yaitu Kawasan Untuk Kelas Perusahaan dengan total luas 9.672,30 Ha, dan Kawasan Bukan Untuk Kelas Perusahaan dengan luas 6.918,40 Ha. Secara ringkas pembagian Kawasan Hutan Produksi yaitu: Tabel 6 Susunan kelas hutan per BKPH tahun 2012 BKPH (Ha) No Kelas Hutan Magelang Ambarawa Wonosobo Temanggung Hutan 1 204.61 2 933.89 4 019.44 3 012.85 A Lindung B Hutan Produksi 1 Kawasan Untuk Produksi - Kawasan 1 732.90 1 351.90 2 412.10 678.80 untuk kelas perusahaan - Kawasan 500.10 72.30 1.518,50 1 478.40 Bukan Untuk Kelas Perusahaan 2 Kawasan 257.00 1 618.80 1 884.90 247.20 Perlindungan 3 Kawasan 10.95 27.63 30.52 13.21 Penggunaan lain Jumlah B 2 500.95 3 070.63 5 909.02 2 417.61 (1+2+3) JUMLAH 3 705.56 6 004.52 9 928.46 5 430.46 (A+B) Sumber: Profil KPH Kedu Utara tahun 2012
Candiroto 900.70
3 496.60
3 286.10
3 337.50 253.49
10 373.69 11 274.39
24
b. Kawasan Perlindungan pada Hutan Produksi Kawasan Perlindungan adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kawasan Perlindungan yang terdapat di KPH Kedu Utara ditetapkan seluas 7.345,40 Ha yang terbagi menjadi empat (4) kategori kawasan yang ditetapkan oleh Perhutani yaitu Kawasan Perlindungan Setempat (KPS), Kawasan Perlindungan Khusus (KPKH), Hutan Alam Sekunder (HAS), dan Kawasan Perlindungan Tak Baik Untuk Produksi (TBP). Namun pada kawasan Ambarawa, Wonosobo, dan temanggung tidak terdapat Kawasan Perlindungan Khusus (KPKH). Secara ringkas, pembagian kawasan perlindungan dijelaskan pada tabel berikut:
No Uraian
Tabel 7 Pembagian kawasan perlindungan Magelang Ambarawa Wonosobo Temanggung Candiroto (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) 9.30 2.30 280.30 16.90 380.10
I Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) II Kawasan Perlindungan Khusus (KPKH) III Hutan Alam Sekunder (HAS) IV Kawasan Perlindungan Tak Baik Untuk Produksi (TBP) Jumlah Total I+II+III+IV (Ha)
1.10
-
-
-
1.60
167.40
1 451.40
988.70
55.50
2 825.10
79.20
165.10
615.90
174.80
130.70
257.00
1 618.80
1 884.90
247.20
3 337.50
Sumber: Profil KPH Kedu Utara tahun 2012
c. Kawasan Penggunaan Lain pada Hutan Produksi Kawasan Penggunaan Lain adalah kawasan yang ditetapkan Perhutani selain untuk kepentingan pengelolaan hutan. Dalam kawasan ini terdapat arealareal pendukung kegiatan pengelolaan, diantaranya Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI), Hutan Dengan Tujuan Khusus (HTKH), Kawasan Dengan Masalah Tenurial (KTN), dan areal Wana Wisata (WW). Kawasan Penggunaan Lain pada KPH Kedu Utara ditetapkan seluas 335,80 Ha.
25
Tabel 8 Pembagian kawasan penggunaan lain Magelang Ambarawa Wonosobo Temanggung Candiroto No Uraian (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) I Lapangan Dengan 6.85 14.33 30.52 13.21 74.39 Tujuan Istimewa (LDTI) II Hutan Dengan 4.10 1.50 59.20 Tujuan Khusus (HTKH) III Kawasan Dengan 5.20 126.20 Masalah Tenurial (KTN) IV Wana Wisata 6.60 (WW) Jumlah Total 10.95 27.63 30.52 13.21 253.49 I+II+III+IV (Ha) Sumber: Profil Kedu Utara tahun 2012
Sosial Ekonomi KPH Kedu Utara dengan luas wilayah 36.343,39 Ha di dalamnya terdapat 257 desa yang berada dalam wilayah administrasi 5 (lima) kabupaten. Jumlah penduduk dibawah 20 tahun, angkatan produktif, dan non-produktif yang berada di kawasan hutan KPH Kedu Utara. Mayoritas masyarakat yang ada di sekitar hutan yang produktif (bekerja) kurang lebih sebanyak 55,8% bekerja di sektor pertanian. Mengingat lingkungan biofisik yang ada di sekitar masyarakat didominasi oleh hutan, maka interaksi masyarakat terhadap hutan relatif tinggi. Dengan laju pertumbuhan penduduk ± 0,58% per tahun memberikan tekanan yang cukup besar terhadap hutan. Lahan pertanian berupa sawah dan tegalan yang ada di sekitar wilayah kerja KPH Kedu Utara luasnya sangat terbatas, maka lahan hutan menjadi tempat garapan (mata pencaharian) guna mencukupi kebutuhan ekonomi. Tabel 9 Data jumlah penduduk KPH Kedu Utara Laki-laki Perempuan Jumlah (L+P) No Uraian N % N % N % 1 Anak-anak <20 tahun 97 360 25.2 39 873 13.5 137 233 20.2 2 Angkatan kerja 20-54 198 328 51.3 181 082 61.7 379 410 55.8 tahun 3 Angkatan tidak 90 199 23.3 72 404 24.6 162 603 23.9 produktif >55 tahun Total 385 887 100.0 293 359 100.0 679 246 100.0 Sumber: Profil KPH Kedu Utara tahun 2012
Disamping pekerjaan pokoknya sebagai petani atau buruh tani, sebagian masyarakat juga melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan hutan, diantaranya Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan (PLTD), perencekan
26
(pengambilan rencek untuk kebutuhan hidup sehari-hari yaitu memasak atau kalau lebih bisa dijual), penyadapan pinus (pengambilan getah pinus untuk dijual) dan kegiatan lain yang terkait dengan pengelolaan hutan. Interaksi negatif sering muncul, yang pada akhir-akhir ini sangat dirasakan dampaknya dan merupakan ancaman terhadap keberadaan kawasan hutan. Salah satu solusi yang dikembangkan oleh Perhutani KPH Kedu Utara adalah pengelolaan hutan melalui pola kemitraan dan bagi hasil yang disebut Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dimulai pada tahun 2001.
Gambaran Umum Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Wonosobo BKPH Wonosobo adalah bagian dari Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Utara yang berkedudukan di Magelang. Secara geografis wilayah hutan BKPH Wonosobo berada di daerah pegunungan dengan kondisi lapangan bergelombang, miring dan berjurang dengan total luas wilayah kerja 9.928,46 Ha yang terbagi ke dalam tiga (3) kawasan fungsi hutan, Hutan Produksi 1.296,10 Ha, Hutan Produksi Terbatas 4.612,92 Ha, dan Hutan Lindung 4.019,44 Ha. Secara administratif seluruh wilayah kerja BKPH Wonosobo terletak di Kabupaten Wonosobo. Kawasan BKPH Wonosobo berbatasan langsung dengan kawasan BKPH dan KPH lainnya, yaitu: : BKPH Karang Kobar, KPH Banyumas Timur Sebelah Utara Sebelah Timur : BKPH Candiroto, BKPH Temanggung Sebelah Selatan : BKPH Ngadisono : BKPH Banjarnegara Sebelah Barat Wilayah kerja BKPH Wonosobo terbagi ke dalam 5 (lima) Resort Pemangku Hutan (RPH), yang tersebar di 11 Kecamatan. BKPH Wonosobo melakukan kerja sama PHBM dengan Masyarakat Desa Hutan (MDH) yang tergabung ke dalam 66 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Jenis tanaman pokok pada BPKH Wonosobo adalah Pinus, Kopi, dan Rimba Campur (Rbcp). Tabel 10 Wilayah kerja BKPH Wonosobo Resort Pemangkuan Jumlah Jumlah Tanaman pokok No Luas (Ha) Hutan (RPH) LMDH Kecamatan (Jenis) 1 Dieng 18 4 Rimba Campur 2 526.80 2 Anggrunggondok 9 3 Pinus 1 627.10 3 Leksono 14 2 Pinus 1 120.40 Sigedang 10 3 Rimba Campur 4 1 728.50 Kopi Klesemen 15 3 Rimba Campur 5 2 837.00 Pinus 6 Alur 34.66 Total 66 11 3 9 928.46 Sumber: Evaluasi Kerja BKPH Wonosobo tahun 2014
BKPH Wonosobo melakukan kerja sama dengan 66 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang terbagi ke dalam 3 bentuk kerja sama, diantaranya kerja sama sadapan pinus, kerja sama sharing salak (PLTD), dan sharing wisata.
27
Kerja sama sadapan pinus yang dilakukan BKPH Wonosobo hanya terdapat pada dua Resort Pemangkuan Hutan (RPH), yaitu RPH Leksono dan RPH Kleseman, besar produksi sadapan pinus dan sharing yang diterima oleh Perhutani dijelaskan berdasarkan Rencana Teknik Tahunan (RTT) dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). Tabel 11 Sadapan pinus BKPH Wonosobo tahun 2014 Jumlah Luas Target Realisasi % RPH penyadap (Ha) RTT RKAP RTT RKAP RTT RKAP Kleseman 133 578.0 164 490 176 688 184 809 184 809 112.35 104.60 Leksono 45 165.6 47 351 54 788 60 361 60 361 127.47 110.17 Jumlah 178 743.6 211 841 231 476 245 170 245 170 115.73 105.91 Sumber: Evaluasi kerja BKPH Wonosobo tahun 2014
Berdasarkan tabel 11, terlihat hasil realisasi di RPH Kleseman lebih besar dari RPH Leksono, yaitu sebesar 184.809 Kg, sedangkan realisasi di RPH Leksono sebesar 60.361 Kg, namun persentase RTT dan RKAP di RPH Leksono lebih besar jika dibandingkan dengan RPH Kleseman, padahal jumlah pesanggem penyadap pinus pada RPH Leksono mengalami penurunan jumlah pesanggem penyadap pinus, namun hal tersebut tidak mempengaruhi hasil sadapan pinus di RPH Leksono. Hal tersebut dituturkan oleh Mandor TPG (Tempat Pengumpulan Getah) bapak YW (55 tahun). “Sekarang jumlah pesanggem penyadap pinus sudah berkurang jumlahnya mas, kalau dulu masih sekitar 45 orang di Kalimendong, sekarang ya cuma 15 orang, tapi produksi getahnya tidak menurun, malah selalu melebihi target, penurunan jumlah itu disebabkan karena hasil dari salak lebih besar dari hasil menyadap, dan kalau sudah mengurusi salak, pesanggem sudah tidak ada waktu untuk menyadap”.
Kerja sama kedua yang dilakukan oleh BKPH Wonosobo bersama dengan LMDH yaitu berupa kerja sama sharing komoditas salak. Kerja sama tersebut dilakukan hanya pada satu kawasan RPH yaitu RPH Leksono. Pembagian sharing yang dilakukan BKPH Wonosobo dengan LMDH tertuang dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang pada setiap LMDH memiliki proporsi yang berbeda dalam setiap pembagian sharing tersebut. Total luas kawasan RPH Leksono yang melakukan kerja sama sharing salak seluas 621,0 Ha, dengan hasil sharing yang diterima oleh BKPH Wonosobo mencapai Rp80.530.800,- pada tahun 2014. Tabel 12 Sharing salak tahun 2014 Jumlah Pohon Jenis Jumlah Luas Realisasi RPH Belum Produksi LMDH (Ha) Produktif (Rp.) Jumlah Produktif Leksono Salak 11 621.00 57 522 43 615 101 137 80 530 800 Sumber : Evaluasi kerja BKPH Wonosobo tahun 2014
28
Kerja sama ketiga yang dilakukan oleh BKPH Wonosobo bersama dengan LMDH yaitu berupa kerja sama sharing wisata. Pembagian sharing yang dilakukan BKPH Wonosobo dengan LMDH tertuang dalam Perjanjian Kerja sama (PKS) yang pada setiap LMDH memiliki proporsi yang berbeda dalam setiap pembagian sharing tersebut. Pelaksanaan sharing wisata dilakukan pada tujuh (7) kawasan wisata yang berbeda. Hasil sharing yang diterima oleh BKPH Wonosobo mencapai Rp266.428.700,- pada tahun 2014. Tabel 13 Sharing wisata tahun 2014 Jumlah Pengunjung Pendapatan Sharing Lembaga Masyarakat (Orang) (Rp.) No Desa Hutan 2013 2014 2013 2014 1 Bina Tirta G. Sikunir 3 892 102 079 4 981 760 156 581 120 2 Bina Tirta G. Prajan 400 400 000 3 Alam Lestari Petak 9 1 430 1 417 200 4 Alam Lestari G. Prau 8 500 8 500 000 5 Bina Tirta G. Prau 800 53 795 800 000 64 145 000 6 Tani Lestari Batu Angin 2 13 100 - 24 300 000 7 Sharing MCK Sikunir 8 085 380 Jumlah 4 692 179 304 5 781 760 266 428 700 Sumber: Evaluasi kerja BKPH Wonosobo tahun 2014
Gambaran Umum Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Leksono Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Leksono adalah bagian dari BKPH Wonosobo yang berkedudukan di Kecamatan Leksono. Secara geografis, kondisi tanah berbukit dan labil. Tekstur tanah lempungan dengan tingkat kemiringan tanah 15 derajat, miring dan berjurang dengan total luas wilayah kerja 1.120,4 Ha. Secara administratif terdapat 14 Desa, dan 14 LMDH yang berada di bawah naungan RPH Leksono. Bentuk kerja sama yang dilakukan RPH Leksono bersama dengan LMDH diantaranya karja sama sadap pinus, kerja sama PLTD salak, dan kerja sama pengkayaan tanaman aren. Berdasarkan kerja sama, kondisi geografis, dan jumlah LMDH yang terlibat, hal tersebut mengakibatkan besarnya intensitas interaksi antara masyarakat dengan hutan dan terjadinya bencana alam berupa longsor. Hal tersebut kemudian berakibat pada kerusakan yang hutan negara yang terjadi pada kawasan RPH Leksono.
29
Tabel 14 Laporan huruf A RPH Leksono Kehilangan pohon Sisa pencurian Bencana alam Pohon Kerugian Pohon Kerugian Pohon Volume Kerugian Tahun Petak X Rp. 1000 X Rp. (kubik) X Rp. 1000 1000 2005 46b 17 68 2006 2007 42a, 44a 99 27.1273 7 212 2008 44a, 42a, 58 18.2325 5 603 44c 2009 52b 62 1 911 2010 44a, 47b, 23 794 32 36.1396 8 981 53a 2011 42a, 42b, 41 16.8410 37 690 51a, 45c 2012 51a, 43a, 5 502 239 32 844 55a, 44a, 42a, 55d, 44c, 47b, 53a, 48a 2013 48 3 47 2014 8a, 16a, 10 409 2 450 23b, 40b Jumlah 25 11 026 85 2 705 469 98.3404 94 780 Sumber: Buku Register LA RPH Leksono
Gambaran Umum Desa Kalimendong Kondisi Geografis Secara administratif Desa Kalimendong terletak di Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah dengan batas wilayah sebagai berikut: 1. Sebelah Barat : Desa Tlogo, Kecamatan Sukoharjo : Desa Timbang, Kecamatan Leksono 2. Sebelah Timur 3. Sebelah Utara : Desa Manggis, Kecamatan Leksono 4. Sebelah Selatan : Desa Jonggolsari, Kecamatan Leksono Luas keseluruhan Desa Kalimendong 432,00 Ha yang terdiri dari areal perkebunan rakyat 297,36 Ha, persawahan 21,43 Ha, perkampungan 11,33 Ha, kawasan hutan negara 69,80 Ha, dan sisanya fasilitas umum desa. Kawasan hutan negara Desa Kalimendong masuk wilayah pangkuan RPH Leksono, BKPH Wonosobo, KPH Kedu Utara. Letak Desa Kalimendong berjarak 6 km dari Kecamatan Leksono, 13 km dari Ibukota Kabupaten Wonosobo dan 134 km dari Ibukota Provinsi Jawa Tengah. Kondisi tanah berbukit dan labil. Tekstur tanah lempungan dengan
30
tingkat kemiringan tanah 15 derajat. Desa Kalimendong memiliki curah hujan 3.400 mm/tahun, dengan ketinggian wilayah 800 meter di atas permukaan laut, desa ini memiliki suhu rata-rata 25’C. Dengan kondisi tanah, iklim, dan topografi tersebut, menjadikan tanaman salak, sengon, suren, kelapa, dan durian sebagai komoditas utama pertanian yang dihasilkan oleh penduduk Desa Kalimendong. Komoditas Salak menjadi andalan dan menjadi komoditas paling utama di desa ini, dengan luas lahan milik masyarakat seluas 223 Ha, penduduk Desa Kalimendong mampu memproduksi 12.000 Ton/Ha salak per tahun dan menjadi komoditas utama di Desa Kalimendong.
Tanaman Salak Sengon Suren Kelapa Mahoni Durian
Tabel 15 Data tanaman rakyat tahun 2009 Satuan Rumpun Batang Batang Batang Batang Batang
Jumlah 336 205 30 221 2 907 3 190 709 373
Sumber: Rekap pendataan ekonomi rakyat tahun 2009
Penduduk dan Mata Pencaharian Berdasarkan data monografi, Desa Kalimendong terdiri dari 3 dusun dengan total secara keseluruhan tercatat 3.326 jiwa dengan proporsi penduduk dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 1.643 jiwa dan penduduk dengan jenis kelamin perempuan yaitu 1.683 jiwa. Kondisi topografi berupa daerah hutan dan ketersediaan lahan pertanian yang lebih sedikit daripada lahan hutan, maka sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Kalimendong adalah sebagai petani penggarap lahan hutan atau yang dapat disebut “pesanggem” yaitu penggarap lahan hutan Perhutani dan yang lainnya adalah buruh tani, pedagang, buruh, pengusaha jasa angkutan, PNS/TNI/POLRI dan lain-lain.
31
Tabel 16 Mata pencaharian penduduk Desa Kalimendong Jumlah (orang) No Mata Pencaharian Laki-laki Perempuan 1 Petani 1 100 232 2 Buruh tani 274 20 3 Buruh usaha peternakan 4 2 4 Pemilik usaha peternakan 7 5 Montir 14 6 Tukang kayu 35 7 Tukang sumur 1 8 Tukang jahit 7 9 Tukang kue 12 10 Tukang rias 2 11 Pengusaha perdagangan hasil bumi 10 5 12 Buruh jasa perdagangan hasil bumi 25 5 13 Pemilik usaha transportasi 6 14 Buruh usaha transportasi 6 15 Pemilik warung/rumah makan 5 16 16 PNS 7 9 17 TNI 2 18 POLRI 2 19 Pensiunan PNS/TNI/POLRI 1 20 Bidan 2 21 PRT 1 62 22 Supir 14 23 Buruh migran 9 51 24 Karyawa swasta 39 20 25 Karyawan perusahaan pemerintah 3 3 26 Perempuan tidak berkerja 1 235 27 Laki-laki tidak bekerja 78 Jumlah 1 643 1 683
∑ (L+P) 1 332 294 6 7 14 35 1 7 12 2 15 30 6 6 21 16 2 2 1 2 63 14 60 59 6 1 235 3 326
Sumber: Profil Desa Kalimendong 2014
Pendidikan Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan menggambarkan tingkat kemajuan suatu wilayah dalam pembangunan terutama terkait dengan kualitas sumberdaya manusia. Penduduk Desa Kalimendong dengan jumlah 3.326 jiwa tercatat 11.5 persen yang tidak sekolah, 58,6 persen yang hanya tamatan Sekolah Dasar, 22,3 persen tamat Sekolah Menengah Pertama, 6,1 persen tamat Sekolah Menengah Atas, dan hanya 1,5 persen yang mengecap pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Kondisi pendidikan yang relatif rendah tersebut mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia di Desa Kalimendong. Tingkat pendidikan yang relatif rendah tersebut mengakibatkan penduduk Desa Kalimendong untuk meneruskan profesi petani sebagai mata pencaharian utama dari turuan orang tua mereka. Akses yang kurang memadai dan kemampuan dalam melakukan usaha lain, menjadikan sektor pertanian sebagai
32
meta pencaharian utama di Desa Kalimendong dan ditunjang dengan lahan hutan yang luas yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Kalimendong.
Persentase Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Kalimendong Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
6% 1% 12% 22% 59%
Gambar 2 Persentase tingkat pendidikan penduduk Desa Kalimendong Sarana dan Prasarana Secara umum, sarana dan prasarana di Desa Kalimendong dibedakan berdasarkan transportasi, komunikasi, sanitasi, pemerintahan, peribadatan, kesehatan, pendidikan, energi penerangan, dan kebersihan. Sarana dan prasarana transportasi di Desa Kalimendong memiliki jalan aspal desa sepanjang 11 Km, dengan kondisi 7 Km yang masih baik dan 4 Km dengan kondisi yang rusak, hanya terdapat satu akses jalan menuju masuk dan keluar di Desa Kalimendong karena Desa Kalimendong dikelilingi oleh Hutan Rakyat dan Hutan Negara sedangkan untuk jalan sarana transportasi sungai, dan udara tidak terdapat di Desa kalimendong, hanya terdapat transportasi darat dengan menggunakan angkutan ojek, mayoritas penduduk Desa Kalimendong mempunyai kendaraan pribadi berupa sepeda motor untuk aktivitas transportasi pribadi. Sarana dan prasarana komunikasi tidak terdapat kantor pos, koran, maupun radio di Desa Kalimendong. Sedangkan sarana dan prasarana sanitasi, Desa Kalimendong memiliki 46 unit sumur gali, 5 unit sumur pompa, 4 unit hidran umum, dan 2 unit mata air. Sarana dan prasarana pemerintahan terdapat kantor Kepala Desa Kalimendong yang menyatu dengan kantor Perlindungan Masyarakat (LINMAS), kantor Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), dan kantor Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sarana dan prasarana peribadatan, Desa Kalimendong memiliki 3 unit Masjid dan 7 unit Musholla. Sarana dan prasarana kesehatan Desa Kalimendong terdapat 1 unit Puskesmas dan 2 unit Posyandu serta 2 orang bidan. Sarana olahraga, hanya terdapat 1 lapangan sepakbola. Sarana dan prasarana pendidikan pada Desa Kalimendong hanya terdapat 2 unit Taman Kanak-Kanak (TK), dan 2 unit Sekolah Dasar (SD). Sarana dan prasarana energi penerangan yang terdapat pada Desa Kalimendong, hanya terdapat 829 unit rumah yang diterangi Perusahaan Listrik Negara (PLN), 4 unit rumah menggunakan lampu minyak, 4 unit rumah menggunakan penerangan kayu bakar, dan 2 unit rumah tanpa penerangan. Desa Kalimendong tidak memiliki Tempat Pembuangan Sampah (TPS) sehingga mayoritas warga terbiasa membakar sampah.
33
AWAL MULA DAN SUMBER TERJADINYA KONFLIK
Sejarah Konflik Pengelolaan Sumber Daya Hutan Konflik kehutanan di kawasan Desa Kalimendong terjadi pada awal runtuhnya era Orde Baru pada tahun 1998. Konflik pada saat itu adalah banyaknya kasus penjarahan hutan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang berasal dari Desa Kalimendong dan juga yang berasal dari luar Desa Kalimendong. Salah satu kasus yang terjadi adalah pada tahun 1998 terjadi penangkapan penjarahan kayu oleh pihak Perhutani, penangkapan tersebut dapat dilakukan karena adanya laporan dari masyarakat Desa Kalimendong yang melihat adanya kejadian penjarahan kayu di lahan hutan milik negara. Pada kejadian tersebut Perhutani menangkap sembilan (9) orang tersangka, salah satunya adalah warga Desa Kalimendong, warga tersebut adalah sebagai otak pelaku penjarahan hutan, selain itu Perhutani juga melakukan penyitaan barang bukti kayu pinus. Kemudian Perhutani bersama masyarakat melakukan perundingan terkait tindak lanjut dari penangkapan sembilan (9) tersangka ini, maka kemudian diputuskan hukuman denda yang kemudian uang denda tersebut akan dipergunakan untuk pembangunan masjid dan para tersangka tersebut diusir dari Desa Kalimendong. Banyaknya kasus penjarahan hutan pada masa itu kemudian menyebabkan lahan hutan negara mengalami kerusakan yang sangat parah, selain itu Perhutani juga selalu mencurigai masyarakat Kalimendong, sebagai pelaku penjarahan kayu di lahan negara. Hal tersebut dituturkan oleh Ketua LMDH Rimba Mulya bapak NS (42 tahun). “Awal mula terjadi yaitu kasus pencurian kayu di hutan negara yang dilakukan oleh 9 orang yang berasal dari Temanggung, salah seorang warga mendengar bunyi mesin chainsaw para pelaku ketika melakukan aksi penebangan liar, kemudian warga mengumumkan kejadian tersebut dengan mengggunakan pengeras suara masjid, warga kemudian berkumpul dan berinisiatif menangkap pelaku tersebut bersama pihak Perhutani, ternyata otak pelaku pencurian tersebut adalah oknum yang berasal dari Desa Kalimendong. Serta kasus-kasus pencurian kayu yang terjadi pada tahuntahun selanjutnya. Akibatnya Perhutani menganggap bahwa masyarakat Kalimendong adalah pelaku pencurian kayu di hutan milik negara, sehingga terjadi konflik antara masyarakat dengan Perhutani, kita berdua saling mencurigai. Konflik terjadi akibat kurangnya komunikasi antara masyarakat dan Perhutani dan akibat ga adanya mekanisme khusus yang mengatur pengelolaan hutan negara di wilayah administratif Desa Kalimendong. Konflik bermula pada tahun 1998 hingga tahun 2004 sampai akhirnya diterapkannya program PHBM oleh Perhutani pada tahun 2001”.
Pada tahun 2001 terjadi perbedaan pandangan pengelolaan hutan di kawasan Wonosobo antara Perhutani dengan pemerintah Kabupaten Wonosobo. Hal
34
tersebut dilatarbelakangi kondisi hutan yang rusak parah dan dengan diberlakukannya UU tentang Pemerintah Daerah, maka tahun 2001 pemerintah Kabupaten Wonosobo mengesahkan Perda No 22 Tahun 2001 tentang PSDHBM. Pemerintah menganggap bahwa dengan adanya UU Pemerintah Daerah, maka Pemerintah daerah dapat mandiri dalam melakukan pengelolaan hutan negara, hal tersebut kemudian menjadi permasalahan karena Perhutani menolak PSDHBM tersebut. Namun secara garis besar, konflik antara Perhutani dengan pemerintah Kabupaten Wonosobo tidak berpengaruh terhadap masyarakat Kalimendong. Dengan gejolak yang terjadi, masyarakat Kalimendong tetap melakukan pengelolaan hutan dengan konsep PHBM dan sama sekali tidak terganggu dengan adanya konflik antara PSDHBM dengan PHBM. Aksi penjarahan di kawasan hutan negara terjadi selama tujuh (7) tahun hingga tahun 2004. Banyak faktor yang mendasari aksi penjarahan, selain adanya pergolakan pemindahan kekuasaan pada pemerintah pusat dan adanya oknumoknum yang tidak bertanggungjawab mengajak masyarakat Desa untuk ikut memanfaatkan situasi pergolakan tersebut dengan ikut serta melakukan aksi penjarahan hutan, dan kemudian hasil penjarahan tersebut dijual kepada Brokerbroker kayu. Pada tahun 2004 kembali terjadi penangkapan pencurian kayu oleh pihak Perhutani, sebanyak tiga (3) truk kayu pinus hasil penjarahan kayu berhasil disita oleh Perhutani, kemudian para pelaku tersebut diserahkan kepada pihak kepolisian. Akibatnya setelah kasus penangkapan tersebut, terjadi aksi pembakaran Pos Tempat Pengumpulan Getah (TPG) milik Perhutani oleh oknumoknum yang merasa dirugikan dari kejadian penangkapan tersebut. Sebanyak 1.5 ton getah pinus yang sudah dikumpulkan habis terbakar pada waktu itu, namun pelaku pembakaran tersebut tidak dapat ditangkap karena masyarakat Desa Kalimendong tidak mengetahui perihal pembakaran tersebut. Hal ini dituturkan oleh salah satu Mandor TPG Perhutani bapak YW (55 tahun). “Tahun 2004 itu saya menyita barang bukti kayu yang sudah ditebang oleh penjarah, waktu itu kayu yang saya sita kira-kira sebanyak 3 truk, itu sekitar 10-12 kubik kayu pinus. Dampak dari penjarahan itu ya ke hutan, waktu itu hutan negara dirusak secara massal oleh masyarakat. Sedangkan dampak dari penangkapan penjarah itu pos TPG saya di bakar oleh oknum di Kalimendong, akibatnya 1.5 ton getah waktu itu ludes kebakar. Yang membakar pos itu ya bukan orang Kalimendong, tapi orang luar, waktu itu tidak ditangkap karena ya masyarakat di Kalimendong waktu itu sedang ada acara, jadi sibuk buat ngurus acara wayangan”.
Kondisi pengrusakan lahan hutan negara berlangsung lama hingga tujuh (7) tahun sampai akhirnya pada tahun 2005 hingga sekarang terjadi penurunan frekuensi pencurian kayu di kawasan Desa Kalimendong, walaupun PHBM sudah berdiri di Desa Kalimendong sejak tahun 2002, namun pada mulanya tetap saja terjadi kasus penjarahan kayu pada lahan hutan negara yang melibatkan warga Desa Kalimendong. Awal mula PHBM diterapkan pada tahun 2002, kesepakatan pembagian sharing profit pada Perjanjian Kerja Sama salak adalah sebesar Rp1000/pohon/tahun, hal itu berarti bahwa masyarakat Kalimendong yang
35
mengikuti PHBM diwajibkan menyetor Rp1000 per pohon salak kepada pihak Perhutani pada setiap tahunnya, hal tersebut tidak menjadi suatu permasalahan bagi masyarakat desa. kemudian pada tahun 2012 Perhutani mengajak semua LMDH di tingkat KPH Kedu Utara untuk rapat bersama membahas kenaikan sharing profit. LMDH Rimba Mulya pada dasarnya tidak sepakat dengan kenaikan harga yang diajukan Perhutani, yang awalnya sharing sebesar Rp1000/pohon/tahun menjadi Rp2000/pohon/tahun. LMDH Rimba Mulya saat itu tidak menyetujui hal tersebut karena pada beberapa kawasan, pesanggem mengeluh bahwa di kawasannya memiliki kerapatan pinus yang terlalu rapat, sehingga menyebabkan salak yang berada di bawah tegakan pinus menjadi tidak terkena cahaya matahari dan tidak berbuah. Hal ini kemudian disampaikan LMDH Rimba Mulya kepada pihak Perhutani, namun karena kalah jumlah suara, maka Perhutani tetap memberlakukan sharing profit sebesar Rp2000/pohon/tahun. Hal tersebut terjadi karena mayoritas LMDH selain Rimba Mulya menyetujui kenaikan sharing profit tersebut, dikarenakan kawasan pada LMDH selain Rimba Mulya memiliki kondisi tutupan pinus yang jarang dan tidak sepadat di kawasan LMDH Rimba Mulya sehingga tidak mempengaruhi produksi salak. Akibatnya terjadi konflik antara Perhutani dan masyarakat Desa Kalimendong, bentuk protes yang dilakukan masyarakat Desa Kalimendong adalah dengan sengaja melakukan keterlambatan pembayaran sharing setiap tahunnya kepada Perhutani, dan melakukan pengrusakan tegakan pinus dengan teknik teresan. Berdasarkan temuan tersebut, dapat diketahui sejarah panjang mengenai konflik yang terjadi di kawasan Desa Kalimendong, yang mengakibatkan kerugian ekonomi dan ekologi yang dirasakan baik oleh Perhutani maupun masyarakat Desa Kalimendong. Kerugian fisik berupa kerusakan hutan yang sangat besar yang mengakibatkan kerugian profit bagi Perhutani dan kerugian ekologi bagi masyarakat Desa berupa terjadinya bencana alam dan kekeringan. Setelah adanya PHBM, perlahan kondisi hutan negara yang dikelola LMDH Rimba Mulya semakin membaik, dan kasus konflik yang terjadi dapat teredam dan situasi perlahan menjadi kondusif bagi kedua pihak. Namun masalah baru kemudian muncul ketika PHBM tidak sejalan dengan kondisi dan kepentingan masyarakat, yang dapat memicu terjadinya konflik baru antara kedua belah pihak. Berdasarkan kondisi perselisihan antara Perhutani dengan masyarakat terjadi dapat dibedakan menjadi tiga wujud, yaitu latent, emerging, dan manifest. Perwujudan konflik yang terjadi antara masyarakat dan Perhutani berupa konflik emerging dan konflik manifest. Konflik emerging adalah konflik ketika pihakpihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, permasalahan jelas, tapi proses penyelesaian masalah masih belum berkembang, sedangkan konflik manifest adalah konflik ketika pihak-pihak sudah terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi dan proses penyelesaian sudah berkembang. Wujud konflik emerging yang terjadi adalah ketika masyarakat melakukan keterlambatan pembayaran sharing profit, dan ketika masyarakat melakukan teknik teresan, yaitu tindakan melukai batang pinus yang dirasa mengganggu tanaman salak mereka, sehingga mengakibatkan pohon pinus tersebut mati secara perlahan. Sedangkan konflik manifest yang terjadi adalah ketika terjadinya penangkapan pelaku penjarah hutan dan pembakaran pos Tempat Pengumpulan
36
Getah (TPG) milik Perhutani oleh oknum masyarakat pada tahun 2004, yang mengakibatkan terbakarnya getah pinus sebanyak 1.5 ton.
Sumber-Sumber Konflik Pengelolaan Sumber Daya Hutan Konflik yang terjadi di kawasan Desa Kalimendong dapat disebabkan dari berbagai faktor yang kemudian dapat memunculkan akibat buruk dari adanya konflik tersebut. Berikut dijelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik yang terjadi di Desa Kalimendong. Tabel 17 Sumber konflik pengelolaan sumber daya hutan Desa Kalimendong Waktu Pihak yang kejadian berkonfllik 1998-2003 Perhutani dengan Masyarakat. Terjadi penangkapan penjarah hutan negara oleh masyarakat bersama Perhutani
Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik Gejolak reformasi, yaitu pemindahan kekuasaan pemerintah pusat yang mengakibatkan situasi tidak kondusif bagi keamanan hutan Kurangnya komunikasi antara Perhutani dan masyarakat terkait pengawasan hutan negara Kurangnya tenaga pengawas hutan Perum Perhutani 2004 Perhutani dengan Pengawasan hutan yang (sesudah Masyarakat. sangat minim adanya Terjadi Jumlah personil penjaga PHBM)/ penangkapan hutan yang sedikit penjarah hutan dan Proses komunikasi yang pembakaran pos tidak terjalin baik antara TPG oleh oknum Perhutani dan masyarakat Desa Kalimendong 2012 Perhutani, LMDH, Komunikasi yang tidak (sesudah dan Masyarakat. terjalin baik antara adanya Terjadi perbedaan masyarakat dengan PHBM) pendapat sharing Perhutani profit antara Kondisi petak hutan yang Perhutani dengan padat tutupan pinus masyarakat Desa Sharing profit yang Kalimendong yang dianggap tidak adil bagi diwakili LMDH masyarkat Rimba Mulya
Sumber: Analisis data primer 2015
Akibat konflik Terjadi kerusakan hutan yang berdampak pada kerusakan ekologi, terjadinya bencana banjir dan kekeringan serta penurunan profit Perhutani Hubungan Perhutani dan masyarakat yang memburuk
Rusaknya pos TPG milik Perhutani Kerugian 1.5 ton getah pinus yang terbakar Kerugian kerusakan hutan negara Terjadi pengrusakan tanaman pinus oleh masyarakat Desa Kalimendong, yaitu teknik teresan yaitu teknik melukai bagian bawah batang pinus yang menyebabkan pinus mati secara perlahan Keterlambatan pembayaran sharing profit oleh masyarakat sebagai bentuk protes kepada Perhutani
37
Menurut Tadjudin (2000) dalam Dharmawan dan Marina (2011) dijelaskan bahwa konflik dapat bersumber dari empat perbedaan, diantaranya; perbedaan tata nilai, perbedaan persepsi, perbedaan kepentingan, dan perbedaan akuan hak kepemilikan. Perbedaan yang menjadi sumber konflik di kawasan Desa Kalimendong, diantaranya, perbedaan kepentingan antara Perhutani dan Masyarakat. Kepentingan yang dimiliki oleh Perhutani yaitu kepentingan untuk menjaga sumber daya hutan negara, dalam hal ini tegakan pohon yang menjadi aset ekonomi maupun aset ekologi bagi Perhutani. Sedangkan masyarakat memiliki kepentingan mengakses hutan negara untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari seperti kayu bakar, kayu untuk membangun rumah, rumput untuk pakan ternak dan berbagai sumber daya lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari. Perbedaan kedua adalah perbedaan persepsi. Perhutani menganggap bahwa masyarakat Desa Kalimendong adalah para pelaku penjarahan hutan milik negara, sedangkan masyarakat menganggap Perhutani adalah pihak yang merebut sumber daya hutan dari masyarakat. Perbedaan ketiga adalah perbedaan hak kepemilikan yang terjadi antara Perhutani dengan Pemerintah Daerah Wonosobo dan masyarakat. Perhutani menganggap bahwa kewenangan kawasan hutan negara adalah kewenangan milik Perhutani. Sedangkan menurut Pemerintah Daerah Wonosobo, menganggap bahwa semua sumber daya yang berada di kawasan administratif Kabupaten Wonosobo merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Wonosobo, hal tersebut didasarkan pada Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Sedangkan masyarakat tidak memiliki kewenangan hak kepemilikan berdasarkan hukum pada saat itu. Konflik tersebut juga disebabkan oleh proses komunikasi yang tidak berjalan baik antara masyarakat dengan Perhutani, selain itu kasus penjarahan yang terjadi juga diakibatkan oleh situasi negara yang sedang tidak kondusif dan juga minimnya tenaga penjaga hutan yang dimiliki oleh Perhutani sehingga menjadikan kondisi tersebut sebagai faktor penyebab munculnya konflik. Pernyataan serupa kemudian dituturkan salah satu mandor PHBM Perhutani, bapak TF (46 tahun). “Kalau penjarahan ya karena pada waktu itu terjadi chaos di Indonesia, kita kan kekurangan personil dalam melakukan patroli pada waktu itu dan juga komunikasi kita sama masyarakat pada waktu itu belum sebaik sekarang ini, dan juga waktu terjadinya pembakaran itu menurut saya ibarat balas dendam lah dari oknum yang kita tangkap. Kalau akibat penjarahan itu hutan negara rusak semua, hampir semua kawasan hutan negara itu rusak karena penjarahan itu tadi. Kalau akibat pembakaran pos TPG itu ya getah pinus yang sudah dikumpulkan itu habis terbakar, padahal waktu itu sudah terkumpul kira-kira 1.5 ton getah pinus”.
Konflik dan berbagai faktor penyebabnya kemudian menimbulkan berbagai dampak buruk yang dirasakan oleh masyarakat dan Perhutani, akibat yang ditimbulkan dapat berupa kerusakan hutan, kerusakan lingkungan, bahkan
38
berdampak pada sumber kehidupan masyarakat Desa Kalimendong. Bagi Perhutani, dampak negatif yang dirasakan adalah hilangnya aset tanaman pinus yang sudah mulai ada sejak tahun 1964 yang menimbulkan kerugian profit bagi Perhutani. Dampak buruk yang ditimbulkan dari kerusakan hutan juga dituturkan oleh salah satu pesanggem, yang tergabung sebagai anggota LMDH Rimba Mulya, bapak MS (42 tahun). “Waktu dulu itu kayu yang dicuri penjarah itu banyak mas, ya akibatnya kan hutan jadi rusak mas, kalau yang kita rasakan waktu itu ya jalan Desa kita rusak, kan mereka pakai truk kesininya dan juga waktu itu pernah terjadi banjir, erosi tanah, longsor dan yang paling buruk ya waktu kekeringan, sangat sulit mencari air waktu itu, biasanya sumur warga sedalam 3 meter sudah ada air, ini bahkan bisa sampai 5 meter, kadang ya kering total”.
Adanya PHBM tidak serta merta langsung dapat menyelesaikan konflik, justru kemudian PHBM dapat memunculkan konflik yang baru, ketika kepentingan salah satu pihak tidak dapat terakomodasi dengan baik. Kasus yang terjadi di Desa Kalimendong setelah PHBM antara masyarakat dan Perhutani adalah ketika terjadi kenaikan sharing profit yang diberlakukan oleh Perhutani, yang awalnya disepakati sharing profit sebesar Rp1000/pohon/tahun kemudian berubah menjadi Rp2000/pohon/tahun, hal tersebut menjadi permasalahan bagi masyarakat ketika ada sebagian masyarakat yang kebagian petak lahan hutan negara dengan kondisi tutupan pinus yang sangat rapat, sehingga mengakibatkan tanaman salak mengalami penurunan produksi, bahkan bisa tidak berbuah sama sekali akibat tegakan pinus yang menutup cahaya matahari. Hal tersebut kemudian menjadikan beberapa masyarakat untuk melakukan kegiatan ilegal yaitu perusakan pohon pinus dengan teknik teresan, yaitu teknik melukai bagian bawah batang pinus dan bagian atas akar dengan menggunakan alat tajam, sehingga pinus akan mati secara perlahan, hal ini dilakukan masyarakat agar tegakan pinus tidak mengganggu tanaman salak yang ditanam oleh masyarakat di sekitar tegakan pinus tersebut. Beberapa pesanggem juga melakukan penanaman salak yang dianggap diluar ketentuan. Berdasarkan kesepakatan, masyarakat dapat menanam salak dengan jarak 2 meter dari setiap tegakan pinus, namun beberapa masyarakat bahkan ada yang menanam salak berdempetan dengan tegakan pinus. Selain itu beberapa masyarakat juga sengaja melakukan keterlambatan pembayaran sharing profit setiap tahunnya kepada Perhutani. Seluruh bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat adalah sebagai bentuk protes yang dilakukan kepada pihak Perhutani. Hal serupa juga dituturkan oleh salah satu Mandor Perhutani, bapak YW (55 tahun). “Masyarakat banyak yang melakukan teresan yaitu perusakan batang pinus bagian atas akar dengan menggunakan alat tajam, sehingga pinus menjadi kering dan mati perlahan. Memang pinusnya ga ditebang, tapi kan itu merusak, agar pinusnya mati. Selain itu, kan dulu kesepakatannya masyarakat menanam salak itu ada jarak tanamnya, kalau dari tegakan pinus ya seharusnya kurang lebih 2 meter jaraknya, ini malah di lokasi justru
39
tegakan pinus dan salak jaraknya dempetan, kan itu mengganggu tegakan pinus”.
Kegiatan illegal tersebut tidak dilakukan seluruh masyarakat Desa Kalimendong, melainkan hanya segelintir oknum pesanggem yang melakukan kegiatan tersebut, pihak Perhutani hanya memberikan teguran kepada pesanggem yang ketahuan melakukan teresan, namun hal tersebut tetap dapat memicu terjadinya konflik dan kerusakan hutan.
Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Konflik Menurut Fuad dan Maskanah (2000) berdasarkan levelnya, konflik dibedakan menjadi dua jenis, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik yang terjadi di Desa Kalimendong adalah konflik dengan level vertikal, yaitu ketika pihak yang berlawanan berada pada level yang berbeda, dalam hal ini level masyarakat Desa Kalimendong berada di bawah level Perhutani sebagai Perusahaan Umum yang memiliki wewenang penuh dalam mengelola hutan negara.
Perum Perhutani Perhutani adalah salah satu Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perusahaan Umum, yang bergerak dibidang kehutanan. Wilayah kerja Perum Perhutani meliputi kawasan hutan negara, baik hutan produksi maupun hutan lindung, di pulau Jawa dan Madura. Perum Perhutani mengemban tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan dengan memperhatikan aspek produksi/ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Dalam operasinya, Perum Perhutani berada dalam dalam pengawasan Kementrian BUMN dan bimbingan teknis dari Kementrian Kehutanan (Laporan Tahunan Perhutani 2013). Sejarah pengelolaan hutan di Jawa dan Madura, secara modern-institusional dimulai pada tahun 1897 dengan dikeluarkannya Reglement voor het beheer der bosschen van den lande op Java en Madoera, Staatsblad 1897 nomor 61 (disingkat Bosreglement). Selain itu terbit juga Reglement voor den dienst van het Bochwezen op Java en Madoera (disingkat Dienst Reglement) yang menetapkan aturan tentang organisasi Jawatan Kehutanan, dan dibentuk Jawatan Kehutanan dengan Gouvernement Besluit (keputusan pemerintah) tanggal 9 Februari 1897 Nomor 21, termuat dalam Bijblad 5164 (Laporan Tahunan Perhutani 2013). Sejak saat itu, hutan-hutan kayu jati di Jawa mulai diurus dengan baik, dengan dimulainya afbakening (pemancangan), pengukuran, pemetaan, dan penataan hutan. Aturan pengelolaan hutan di masa kolonial kemudian mengalami beberapa kali perubahan. Pada tahun 1930, pengelolaan hutan jati diserahkan kepada “Djatibedrif” atau perusahaan hutan jati dari Pemerintah Kolonial (Jawatan Kehutanan). Pada tahun 1940 pengurusan hutan jati dari “Djatibedrif” dikembalikan lagi ke Jawatan Kehutanan. Pasca kemerdekaan Republik Indonesia
40
tanggal 17 Agustus 1945, hak, kewajiban, tanggungjawab, dan kewenangan pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh Jawatan Kehutanan Hindia Belanda q.q. den Dienst van het Boschwezen, dilimpahkan secara peralihan kelembagaan kepada Jawatan Kehutanan Republik Indonesia (Laporan Tahunan Perhutani 2013). Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 1961, berdiri Badan Pimpinan Umum (BPU) Perusahaan Kehutanan Negara, disingkat “BPU Perhutani”. Pada tahun 1972, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1972, Pemerintah Indonesia mendirikan Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau disingkat Perum Perhutani. Melalui serangkaian PP, kemudian PN Perhutani Djawa Timur (Unit II) dan PN Perhutani Djawa Tengah (Unit I), dilebur kedalam Perum Perhutani, dilanjutkan dengan penambahan Unit III Perum Perhutani untuk daerah Jawa Barat. Dasar Hukum Perum Perhutani sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1978, kemudian disempurnakan/diganti, berturut-turut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999 dan Peraturan pemerintah Nomor 14 Tahun 2001 (Laporan Tahunan Perhutani 2013). Secara garis besar, profil bisnis Perhutani dikelompokkan menjadi tiga (3) aktivitas, yaitu aktivitas utama, aktivitas bisnis, dan aktivitas pendukung. Aktivitas Utama bergerak di bidang pengelolaan sumber daya hutan yang terdiri dari perencanaan sumber daya hutan, reboisasi & rehabilitasi, perlindungan sumber daya hutan, kelola sosial lingkungan, dan produksi hasil kayu dan bukan hasil kayu. Aktivitas Bisnis yang dilakukan adalah aktivitas untuk memupuk keuntungan, yaitu dengan cara pemasaran kayu (log dan olahan), pemasaran non kayu dan jasa lingkungan, industri kayu dan non kayu, dan optimalisasi aset perusahaan. Sedangkan Aktivitas Pendukung yang dilakukan Perhutani adalah sumber daya manusia dan unsur pendukungnya, keuangan, kesekretariatan perusahaan serta kepatuhan, pengembangan strategi serta transformasi bisnis, perencanaan strategis perusahaan, dan pengawasan internal (Laporan Tahunan Perhutani 2013). Pengelolaan hutan negara termasuk di wilayah Desa Kalimendong berada dalam wewenang Perhutani, sebelum berdiri PHBM, kerja sama yang dilakukan Perhutani dengan masyarakat hanya sebatas tenaga kerja, yaitu ketika Perhutani mengadakan kegiatan penanaman di hutan negara, maka Perhutani mengajak masyarakat desa sebagai tenaga kerja dalam kegiatan tersebut. Hal tersebut juga dituturkan oleh KSS PHBM KPH Kedu Utara, bapak SKT (53 tahun). “Pada saat sebelum PHBM kan Perhutani berhubungan dengan masyarakat dan pemerintah hanya sebatas mencari tenaga kerja saja, semisalnya kalau ada kegiatan penanaman, barulah kita mencari tenaga kerja di desa, dan merekrut masyarakat, tapi itu dulu sebelum adanya PHBM”.
Selain perekrutan tenaga kerja, sebelum berdirinya PHBM di Desa Kalimendong sempat ada proses kerja sama yang dilakukan Perhutani dengan masyarakat desa, kerja sama tersebut adalah program Mantri Lurah. Kerja sama Mantri Lurah tersebut dilakukan pada tahun 1980-an, yaitu berupa kegiatan yang
41
melibatkan masyarakat sebagai pengelola hutan negara dalam bentuk penanaman tanaman sela di bawah tegakan pokok, namun program tersebut hanya dapat berjalan sampai empat (4) tahun. Hal serupa juga dituturkan oleh ketua LMDH Rimba Mulya, bapak NS (42 tahun). “Sebelum PHBM, pada tahun 1980-an terdapat kerjasama antara Perhutani dengan masyarakat desa dalam bentuk Ma-Lu (Mantri Lurah) berupa program penanaman tanaman sela berupa kapulaga, rumput pakan ternak, palawija, jagung, serta kopi di bawah tegakan tanaman pokok, namun sharing profit tidak ada tertuang dalam MoU serta masyarakat hanya boleh memanfaatkan lahan hingga tanaman sela sudah dianggap mampu berporduksi, sehingga program MaLu hanya bertahan selama 3-4 tahun”.
Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Perhutani bersama dengan masyarakat pada saat sebelum PHBM tersebut hanya dapat berjalan beberapa tahun dan tidak dapat berjalan secara berkesinambungan.
Masyarakat Desa Hutan Berdasarkan SK Direksi Perum Perhutani No. 682/KPTS/DIR/2009 yang dimaksud dengan Masyarakat Desa Hutan (MDH) adalah kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan, dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumber daya hutan untuk mendukung kehidupannya. sedangkan yang dimaksud dengan Desa Hutan (DH) adalah wilayah desa yang secara geografis dan administratif berbatasan dengan kawasan hutan atau di sekitar kawasan hutan Dalam kegiatan PHBM, masyarakat Desa Kalimendong harus memiliki lembaga yang menaungi masyarakat, kemudian pada tanggal 28 November 2002 di hadapan notaris/pejabat pembuat akta tanah, bersama dengan pihak Perhutani dan masyarakat desa kemudian didirikan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Rimba Mulya. Selain untuk pendirian LMDH, masyarakat melalui LMDH bersama Perhutani yang diwakili Administratur juga menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) mengenai pengelolaan sumber daya hutan yang selalu diperbaharui setiap 2 tahun sekali oleh masyarakat dan Perhutani. Objek perjanjian kerja sama antara Perhutani dengan LMDH Rimba Mulya adalah petak pangkuan desa. Pengelolaan hutan bersama antara masyarakat dan Perhutani meliputi perencanaan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan, tebangan, sadapan, dan pemanfaatan hutan lainnya. Selain itu juga diatur mengenai pembagian sharing profit antara masyarakat dan Perhutani. LMDH juga berfungsi sebagai wadah bagi kelompok-kelompok tani hutan yang berada di Desa Kalimendong, sebanyak tujuh (7) Kelompok Tani Hutan (KTH) berada di bawah naungan LMDH Rimba Mulya, dengan total jumlah anggota sebanyak 235 orang warga Desa Kalimendong. Sebelum adanya PHBM, hubungan masyarakat dan Perhutani tidak berlangsung baik, karena masyarakat merasa takut terhadap mandor-mandor Perhutani, hal tersebut diakibatkan seringnya terjadi penangkapan yang dilakukan
42
oleh Mandor Perhutani pada waktu itu. Hal serupa dituturkan oleh salah satu tokoh masyarakat Desa Kalimendong, bapak PRK (59 tahun). “Awalnya lahan Perhutani tidak bisa disentuh sama masyarakat, dulu saja kalau liat Mandor takut sekali, sampai dulu saya sembunyi, sebab dulu itu Perhutani ga mau lahan negara disentuh dan dimasuki manusia, masyarakat yang ketahuan masuk hutan dulu sering ditangkap sama Mandor Perhutani”.
Sampai pada akhirnya didirikan PHBM di Desa Kalimendong, barulah masyarakat mulai dapat melakukan interaksi dengan baik bersama pihak Perhutani. Pada tahun 2001 pernah terjadi perbedaan pengelolaan hutan negara antara Perhutani dengan pemerintah Kabupaten Wonosobo. Perbedaan konsep tersebut muncul akibat kondisi hutan yang mengalami kerusakan parah, dan dengan munculnya UU mengenai Pemerintah Daerah, sehingga Pemerintah Kabupaten Wonosobo menginisiasi pengelolaan hutan dengan mengesahkan Perda PSDHBM. Namun masyarakat Kalimendong sama sekali tidak terusik dengan adanya Perda tersebut, masyarakat Kalimendong tidak beralih ke PSDHBM, mereka tetap menggunakan PHBM sebagai model pengelolaan hutan negara di kawasan Desa Kalimendong sampai pada akhirnya Perda tersebut dicabut oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Hal serupa kemudian dituturkan oleh Kadishut Wonosobo, bapak ADR (41 tahun). “waktu itu kan akibat dari kerusakan hutan yang luar biasa, kemudian juga muncul peraturan Pemerintah Daerah, kemudian melatarbelakangi munculnya PSDHBM, awal mulanya gini, masyarakat melapor ke DPR terkait kerusakan lingkungan yang timbul, kemudian DPR bersama Pemda berencana mengambil alih pengelolaan hutan, karena Perhutani sudah dianggap tidak mampu mengelola hutan, akibat yang timbul dari kerusakan hutan pada waktu itu jalan desa rusak, sumur warga desa semakin dalam ketika kemarau, kesulitan air ketika kemarau. Tapi Desa Kalimendong termasuk pro PHBM, masyarakat Desa Kalimendong tetap menggunakan PHBM sebagai acuan model pengelolaan hutan, dan sama sekali engga terganggu dengan munculnya Perda PSDHBM. PSDHBM awalnya bertujuan untuk memberikan akses kepada masyarakat yang tidak punya lahan. Dinas Kehutanan pada dasarnya tidak mempermasalahkan mengenai status kepemilikan atau siapa yg mengelola, hanya saja Dinas Kehutanan ingin memastikan bahwa perubahan status tidak mempengaruhi kestabilan dan keseimbangan ekologi di hutan, tapi kan pada akhirnya perda PSDHBM itu dicabut berdasarkan surat dari Kementrian Dalam Negri pada waktu itu”.
Proses konflik antara Perhutani dengan Pemerintah Wonosobo tersebut tidak berpengaruh terhadap pengelolaan hutan di Desa Kalimendong, masyarakat Desa Kalimendong tetap menggunakan PHBM sebagai model pengelolaan hutan yang mereka lakukan, dan akhirnya perda PSDHBM tersebut dicabut oleh Pemerintah Wonosobo.
43
Ikhtisar Konflik yang terjadi di kawasan Desa Kalimendong berlangsung sejak tahun 1998 hingga tahun 2012, hal tersebut menimbulkan berbagai dampak buruk, baik yang dirasakan oleh manusia maupun oleh alam. Pergolakan seperti penjarahan hutan negara terjadi karena adanya pergolakan politik yang terjadi di Indonesia, sehingga menciptakan suasana yang tidak kondusif bagi keamanan hutan. Perwujudan konflik yang terjadi antara masyarakat dan Perhutani berupa konflik emerging dan konflik manifest. Konflik emerging adalah konflik ketika pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, permasalahan jelas, tapi proses penyelesaian masalah masih belum berkembang (Fuad dan Maskanah 2000). Konflik manifest adalah konflik ketika pihak-pihak sudah terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi dan proses penyelesaian sudah berkembang (Fuad dan Maskanah 2000). Bentuk-bentuk konflik yang terjadi di kawasan Desa Kalimendong sebelum dan sesudah PHBM memiliki perbedaan, pada saat sebelum adanya PHBM, bentuk konflik yang terjadi adalah konflik manifest dengan derajat kedalaman konflik sudah sampai pada kasus pencurian kayu yang menyebabkan terjadinya penangkapan para penjarah kayu. Setelah adanya PHBM, konflik tidak serta merta dapat langsung terselesaikan, kebiasaan buruk masyarakat yang sudah terbiasa melakukan pencurian kayu di lahan hutan negara kembali terjadi, kasus tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya pembakaran pos TPG oleh oknum masyarakat. PHBM di Desa Kalimendong kemudian memunculkan konflik yang baru ketika dalam pelaksanaannya, ketika salah satu kepentingan masyarakat belum dapat terakomodasi dengan baik. Menurut Tadjudin (2000) dalam Dharmawan dan Marina (2011) menjelaskan bahwa konflik dapat bersumber dari empat perbedaan, diantaranya; perbedaan tata nilai, perbedaan persepsi, perbedaan kepentingan, dan perbedaan akuan hak kepemilikan. Konflik yang terjadi pada kawasan Desa Kalimendong memiliki konflik yang bersumber dari perbedaan persepsi, perbedaan kepentingan, dan perbedaan hak kepemilikan. Menurut Fuad dan Maskanah (2000) berdasarkan levelnya, konflik dibedakan menjadi dua jenis, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik yang terjadi di Desa Kalimendong adalah konflik dengan level vertikal, yaitu ketika pihak yang berlawanan berada pada level yang berbeda, dalam hal ini level masyarakat Desa Kalimendong berada di bawah level Perhutani sebagai Perusahaan Umum yang berwewenang dalam mengelola hutan negara. Kondisi hutan negara yang mengalami kerusakan parah, kemudian membuat Perhutani menginisiasi suatu konsep pengelolaan yang melibatkan masyarakat sebagai aktor pengelola sekaligus penjaga hutan, program tersebut adalah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang berdiri pada tahun 2002 di Desa Kalimendong. Konsep PHBM tersebut salah satu tujuannya adalah sebagai resolusi dari terjadinya konflik. Adanya PHBM tidak serta merta langsung dapat menyelesaikan konflik, justru kemudian PHBM dapat memunculkan konflik yang baru dengan wujud emerging, ketika proses komunikasi tidak berjalan dengan baik dan kepentingan salah satu pihak tidak dapat terakomodasi dengan baik. Konflik baru yang muncul setelah berdirinya PHBM adalah ketika terjadinya
44
pembakaran pos Tempat Pengumpulan getah (TPG) yang dilakukan oleh oknum masyarakat desa pada tahun 2004, sebagai bentuk balas dendam dari penangkapan dan penyitaan hasil kayu ilegal yang dilakukan oleh Perhutani. Konflik selanjutnya adalah ketika kepentingan masyarakat belum terakomodasi sepenuhnya dalam hal pembagian sharing profit dengan Perhutani, akibatnya beberapa masyarakat melakukan tindakan sepihak yang mengakibatkan kerusakan tegakan pohon pinus pada lahan hutan negara namun tidak sampai pada kejadian penangkapan oleh Perhutani. Dampak dari adanya konflik kemudian menimbulkan efek negatif yang dirasakan baik oleh masyarakat ataupun Perhutani. Konflik yang terjadi menyebabkan kerugian ekonomi bagi Perhutani, dan juga kerugian berupa kehilangan aset tegakan pinus yang sudah ada sejak penanaman tahun 1964. Bagi masyarakat, konflik yang terjadi menumbulkan efek negatif berupa kerusakan lingkungan yang berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat Kalimendong, dampak buruk tersebut diantaranya; kerusakan jalan desa, terjadinya banjir, masalah kekeringan, kehilangan sumber mata air. Selain konflik yang terjadi antara masyarakat dan Perhutani, di Kabupaten Wonosobo juga terjadi konflik antara Perhutani dengan Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Konflik tersebut diakibatkan kerusakan hutan yang parah, kemudian Pemda Wonosobo mengesahkan Perda Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Pengesahan Perda tersebut juga didasarkan pada Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah, yang memberikan keleluasaan kepada Pemerintah Daerah untuk mandiri dalam mengelola sumber daya yang ada di kawasan mereka. Hal tersebut bertolak belakang dengan PHBM. Pada konsep PSDHBM, pengelolaan hutan negara diambil alih oleh Pemda, sehingga memunculkan konflik antara Pemda Wonosobo dengan Perhutani. Konflik yang terjadi antara Pemerintah Wonosobo dengan Perhutani kemudian tidak berdampak bagi masyarakat Desa Kalimendong. Walaupun terjadi pengesahan Perda PSDHBM, namun masyarakat Kalimendong tetap menggunakan PHBM sebagai model pengelolaan hutan negara yang mereka lakukan, sehingga konflik antara Perhutani dengan Pemda Wonosobo sama sekali tidak mengganggu kestabilan kegiatan PHBM di Desa Kalimendong.
45
PERAN-PERAN INDIVIDU DALAM IMPLEMENTASI PHBM
Awal Terbentuknya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Setelah beberapa tahun terjadi kasus penjarahan hutan di lahan hutan negara yang kemudian menyebabkan terjadinya konflik, kemudian pada tahun 2001 Perhutani mengeluarkan Surat Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani No 136/KPTS/DIR/2001 Tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat merupakan konsep kemitraan yang berkesinambungan antara semua stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan hutan negara, bukan hanya untuk menjaga sumber daya hutan, tapi juga untuk memunculkan interaksi yang baik antara setiap stakeholder yang terlibat, sehingga dapat meredam konflik yang terjadi. Seiring perkembangannya, PHBM mengalami berbagai perubahan, Surat Keputusan (SK) yang terbaru dikeluarkan oleh Perhutani adalah SK Direksi no 682/KPTS/DIR/2009. SK tersebut menjadi acuan terbaru bagi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Maksud dan tujuan dari PHBM yang tertuang dalam SK Direksi no 682/KPTS/DIR/2009 adalah untuk memberikan arah pengelolaan sumber daya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional guna mancapai visi dan misi Perhutani. Tujuan PHBM diantaranya juga untuk meningkatkan tanggungjawab, peran, dan memperluas akses setiap pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya hutan, serta meningkatkan usaha-usaha produktif menuju masyarakat desa hutan yang mendukung terciptanya hutan lestari. Awal mula PHBM masuk ke Desa Kalimendong adalah pada tahun 2002, Perhutani berusaha memberikan sosialisasi mengenai PHBM kepada masyarakat Kalimendong dengan difasilitasi oleh Pemerintah Desa. Setelah melalui beberapa kali pertemuan antara masyarakat dan Perhutani, kemudian dibentuk lembaga yang menaungi masyarakat Desa Kalimendong untuk dapat mengikuti kegiatan PHBM, hal tersebut karena dalam kegiatannya, PHBM hanya mengizinkan masyarakat yang tergabung di dalam lembaga untuk ikut mengelola kawasan hutan negara. Pada bulan November tahun 2002, masyarakat Desa Kalimendong bersama dengan Perhutani dan dengan disaksikan oleh Notaris, maka dibentuklah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang diberi nama LMDH Rimba Mulya yang sekaligus diketuai oleh kepala Desa Kalimendong pada saat itu. LMDH Rimba Mulya memiliki akta pendirian sebagai kekuatan dan kepastian hukum yang kuat. Adanya PHBM dapat meningkatkan dan memperbaiki komunikasi serta kerja sama antara Perhutani dan masyarakat baik dalam hal pengelolaan hutan, maupun dalam pengawasan hutan. Hal serupa juga dituturkan oleh KSS PHBM Perhutani KPH Kedu Utara, bapak SKT (53 tahun).
46
“Permasalahannya kan waktu itu dimulai dari reformasi, kita kebablasan, hutan negara waktu itu habis ditebang sama penjarah, hukum pun waktu itu kayak ga berlaku, kemudian Perhutani melakukan evaluasi. Sebelum PHBM kan sebenarnya sudah ada kerja sama, tapi hanya sebatas tenaga kerja saja, setelah kita evaluasi, kemudian kita rumuskan PHBM, yaitu Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, ya dengan masyarakat kita mulai bekerja sama dalam hal pengawasan dan pemanfaatan, ga seperti dulu yang hanya sebatas tenaga kerja dan tidak dilibatkan secara penuh, sekarang masyarakat sudah dilibatkan dalam pengelolaan dan pengawasan, jadi masyarakat sama Perhutani bekerja sama dalam mengelola dan menjaga hutan negara sesuai dengan kesepakatan dalam PKS”.
Dengan dimulainya PHBM di Desa Kalimendong, diharapkan mampu untuk menjadi resolusi konflik pengelolaan sumber daya hutan, yang terjadi antara masyarakat dengan Perhutani, serta menjadi awal terbentuknya pengelolaan hutan lestari yang dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat Desa Kalimendong.
Proses Perencanaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Setelah berdirinya LMDH Rimba Mulya, masyarakat bersama dengan pihak Perhutani melakukan perencanaan PHBM yang difasilitasi oleh Pemerintah Desa. kegiatan perencanaan dilakukan secara Participatory Rural Appraisal (PRA) suatu pendekatan untuk mengenali masyarakat dan permasalahannya dari perspektif masyarakat itu sendiri ditambah dengan pengalaman-pengalaman dari Perhutani atau pihak lain untuk membangun kesadaran dan menggerakkan partisipasi warga melalui diskusi informasi, mengkaji permasalahan sehingga kepentingan semua pihak yang terlibat dapat terakomodasi dengan baik. Dalam kegiatan perencanaan kemudian dibahas mengenai hak dan kewajiban setiap pihak yang terlibat dalam kegiatan PHBM, objek perjanjian, ketentuan teknis, ketentuan berbagi hasil kayu, ketentuan berbagi hasil bukan kayu, sanksi, penyelesaian perselisihan, dan juga dibahas mengenai pembagian sharing profit dalam kegiatan pemanfaatan lahan serta disepakati perbaharuan Perjanjian Kerja Sama akan dilakukan setiap 2 tahun sekali didasarkan pada hasil sensus produksi setiap tahunnya. Hasil kesepakatan yang dicapai dalam perencanan PHBM adalah kawan petak pangkuan desa yang akan dikelola oleh LMDH Rimba Mulya seluas 69,8 Ha yang tersebar di 6 petak pangkuan desa, namun jenis komoditas tanaman yang akan ditanam di bawah tegakan adalah jenis salak pondoh dengan cara sharing bagi hasil pada lahan hutan negara adalah seluas 19,9 Ha, dan kemudian hasil kesepakatan tersebut diajukan ke KPH Kedu Utara. Tindak lanjut atas kesepakatan tersebut adalah dengan ditandatanganinya Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara masyarakat yang diwakili ketua LMDH Rimba Mulya dengan Perhutani yang diwakili oleh Administratur.
47
Tabel 18 Kawasan petak pengelolaan PHBM LMDH Rimba Mulya BH/BKPH Anak petak Luas (Ha) Keterangan Wonosobo 42a 24.5 Tanaman tahun 1994, jenis Rbcp 42b 12.2 Tanaman tahun 1996, jenis Rbcp 42c 3.3 Tanaman tahun 1996, jenis Rbcp 44a 6.3 Tanaman tahun 1964, jenis pinus 44b 27.9 Tanaman tahun 1976, jenis pinus 44f 7.7 Tanaman tahun 1997, jenis pinus Sumber: Akta pendirian LMDH Rimba Mulya
Salah satu kesepakatan yang tertuang dalam PKS adalah sharing yang harus dibayar pesanggem sebesar Rp1000/tahun/pohon salak, dengan ketentuan Rp800 disetor kepada Perhutani, dan Rp200 diberikan untuk kas LMDH. Ketentuan pembayaran sharing tersebut sebenarnya sangat menguntungkan bagi pesanggem, karena perhitungan setoran hanya dihitung per pohon, sedangkan pada komoditas salak, dalam satu pohon bisa tumbuh dua sampai tiga rumpun salak yang dapat berbuah. Hal serupa dituturkan oleh Ketua LMDH Rimba Mulya sekaligus Kepala Desa Kalimendong pada waktu itu, bapak NS (42 tahun). “Perumusan kesepakatan tersebut dilaksanakan sebanyak 3 kali. Awal mulanya sharing profit antara Perhutani dengan masyarakat dari hasil salak sebesar Rp1000/pohon/tahun (800 untuk Perhutani, 200 untuk LMDH). Selanjutnya Perhutani melakukan bantuan ke LMDH Rimba Mulya dengan memberikan bantuan bibit salak. Kondisi ini sebenarnya memberikan keuntungan bagi masyarakat karena perhitungan sharing profit hanya berdasarkan hitungan per pohon bukan per rumpun, sedangkan salak dalam satu pohon nya memiliki 3 rumpun, sehingga memberikan keuntungan yang besar bagi pesanggem”.
Proses perencanaan PHBM tidak terlepas dari peran-peran individu yang terlibat dalam serangkaian proses-proses perumusan kesepakatan, setiap individu yang terlibat memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Sehingga dalam proses perencanaan ini dilakukan strategi Participatory Rural Appraisal agar kepentingan setiap aktor yang terlibat dapat terakomodasi dengan baik.
Pelaksanaan dan Pemanfaatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Kegiatan pelaksanaan PHBM di Desa Kalimendong didasarkan pada buku pedoman kegiatan PHBM yang disusun berdasarkan kesepakatan yang telah tercapai pada tahap perencaan sebelumnya. Berdasarkan SK Direksi No 682/KPTS/DIR/2009 tentang PHBM, yang dimaksud dengan pelaksanaan PHBM adalah pengelolaan sumber daya hutan yang dilaksanakan dengan jiwa bersama, berdaya, dan berbagi yang meliputi pemanfaatan atau ruang, pemanfaatan waktu, dan pemanfaatan hasil dalam pengelolaan sumber daya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat, dan saling mendukung serta kesadaran akan tanggungjawab sosial
48
(Social Responsibility). Dalam setiap pengelolaan hutan disusun program yang dapat dikerjasamakan dengan LMDH, antara lain bidang perencanaan, pembinaan SDH, produksi, pemasaran dan industri, keamanan hutan, keuangan dan sumber daya manusia. Proses pelaksanaan PHBM mendapat tanggapan positif dari masyarakat Desa Kalimendong, proses awal pelaksanaan PHBM adalah mendata keanggotaan LMDH Rimba Mulya yang kemudian hasil pendataan menunjukkan 235 orang masyarakat Desa Kalimendong berkeinginan mengikuti kegiatan PHBM. Pelaksanaan selanjutnya adalah mengenai proporsi pembagian anak petak wilayah hutan kepada setiap pesanggem. Awal mulanya pembagian anak petak lahan hutan negara ditujuan kepada para pesanggem yang tidak memiliki lahan dan yang memiliki lahan sedikit, setelah semua pesanggem sudah memiliki lahan, barulah proses pembagian anak petak dilakukan secara diundi untuk semua pesanggem, sehingga tidak ada ketimpangan dan kecemburuan sosial dalam pembagian area petak lahan, sedangkan mengenai penetapan jumlah maksimum tidak diberikan pembatasan jumlah anak petak yang akan dikelola oleh pesanggem melainkan hanya didasarkan pada keinginan dan kemampuan dari setiap pesanggem. Setiap pesanggem boleh mengajukan lebih dari satu anak petak. Proporsi pembagian anak petak juga memiliki luas yang relatif seragam, satu (1) anak petak kawasan hutan memiliki luas rata-rata 0,25 Ha. Hal serupa juga dituturkan oleh KSS PHBM, yang juga ikut dalam rapat pembagian anak petak tersebut yang dilakukan di Balai Desa Kalimendong, bapak SKT (53 tahun). “Ya PHBM sudah dapat diterima, malah masyarakat dan Pemerintah Desa sangat kooperatif dengan Perhutani, kita ga kesulitan menjelaskan PHBM kepada masyarakat pada waktu itu, dan masyarakat juga menilai PHBM sebagai pintu masuk bagi masyarakat untuk ikut mengelola lahan negara, ya melalui PHBM ada peningkatan kesejahteraan yang dirasakan masyarakat, yang tadinya masyarakat tidak mempunyai lahan, melalui PHBM masyarakat memiliki lahan, walaupun statusnya bukan hak milik, tapi mereka diberi keleluasaan untuk ikut memanfaatkan lahan negara, jadi secara umum, tanggapan masyarakat waktu awal pelaksanaan PHBM ini sangat positif sekali”.
Proses pembagian petak lahan yang ditujukan untuk para anggota yang tidak memiliki lahan dan memiliki lahan sedikit tersebut dapat berjalan dengan baik dan adil karena pembagiannya dilakukan secara diundi, sehingga peluang setiap anggota sama dalam mendapatkan lokasi lahan PHBM. Serangkaian proses perumusan kerja sama tidak terlepas dari peran setiap individu yang kooperatif. Perbedaan-perbedaan karakteristik pada setiap individu mampu diatasi dengan baik karena kepentingan setiap individu dapat terakomodasi, sehingga proses pelaksanaan dan pemanfaatan dapat berjalan dengan baik.
49
Perjanjian Kerja Sama Salak Awal mula kegiatan penanaman, Perhutani memberikan bantuan bibit salak pondoh kepada LMDH Rimba Mulya sebanyak 24.000 bibit pohon pada tahun 2002, yang kemudian dimanfaatkan pesanggem untuk mulai menanam salak di bawah tegakan pohon pinus di lahan hutan negara. Selain untuk perluaasan lahan Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan (PLTD) komoditas salak pondoh juga dibudidayakan oleh para pesanggem untuk kemudian bibitnya dijual ke luar Kalimendong, dengan harga jual Rp4000 sampai Rp5000 per bibit pohon salak. Penarikan sharing profit salak pertama kali dilakukan oleh Perhutani pada tahun 2006. Sebanyak 336.300 pohon salak yang ada di lahan hutan negara, ditarik sharing sebesar Rp1000/pohon dari para pesanggem dengan total sharing yang diterima oleh Perhutani mencapai Rp336.300.000. Sharing tersebut kemudian dibagi sesuai proporsi yang sudah disepakati di tahap awal perencanaan, yaitu 80 persen untuk Perhutani dan 20 persen untuk kas LMDH. Penerimaan bersih yang didapat oleh perhutani adalah sebesar Rp269.040.000, dan penerimaan bersih yang diberikan kepada kas LMDH adalah sebesar Rp67.260.000. Pemasukan tersebut adalah pemasukan yang diterima oleh pihak Perhutani dan LMDH Rimba Mulya, sedangkan bagi pesanggem, dari 336.300 pohon salak yang berbuah kemudian dijual ke pengepul yang ada di Desa Kalimendong, dapat menghasilkan 1.660 ton salak/tahun dengan nilai jual Rp3000/Kg. Pemasukan pada tahun 2006 yang didapat oleh pesanggem mencapai total Rp4.980.000.000 (empat milyar sembilan ratus delapan puluh juta rupiah). Pendapatan pesanggem tersebut dirasa dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Desa Kalimendong. Dengan adanya PHBM masyarakat merasakan perubahan dampak yang luar biasa dalam penghidupan mereka seharihari, melalui PHBM masyarakat Desa Kalimendong sudah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, perubahan juga terjadi ketika masyarakat sudah tidak perlu merantau ke luar pulau Jawa untuk menghidupi keluarganya. Hal serupa dituturkan oleh salah satu pesanggem yang ikut dalam pegiatan PHBM dan juga ikut menikmati hasil dari penanaman salak, bapak MS (42 tahun). “Ya jelas PHBM memberikan manfaat mas, sekarang saja di Kalimendong hampir semuanya sudah punya lahan dan ikut PHBM, kan itu berarti masyarakat merasakan peningkatan nafkah dari PHBM. Kalau dulu sebelum PHBM masyarakat ga bisa kerja di desa, hampir semua merantau ke Kalimantan atau Sumatra, sekarang semua tinggal di desa ikut menanam salak, lah kalau sampai lahan Perhutani ditutup seperti dulu, kita mau makan apa mas? Pasti semua akan merantau lagi seperti dulu, sekarang kita nanem salak ya alhamdulillah terasa besar manfaatnya”.
Adanya PHBM mampu meningkatkan pendapatan masyarakat Desa Kalimendong. Awal mulanya penanaman salak dilakukan oleh pesanggem hanya di kawasan hutan negara, sedangkan untuk kawasan perkebunan pribadi, rata-rata pesanggem hanya menanam komoditas jagung, kopi, padi, ketela, dan komoditas pertanian tumpang sari lainnya. Setelah melihat pendapatan PHBM yang dihasilkan pada salak yang jauh lebih besar, kemudian warga masyarakat Desa
50
Kalimendong merubah tanaman yang ada di perkebunan pribadi menjadi komoditas salak pondoh. Hal serupa dituturkan oleh ketua LMDH Rimba Mulya yang pada saat itu juga sebagai Kepala Desa Kalimendong, bapak NS (42 tahun). “Secara umum setelah PHBM berjalan, masyarakat merasakan dampak yang positif, dengan keuntungan yang besar dari hasil salak, dan masyarakat merasakan PHBM mampu mensejahterakan mereka. Untuk komoditi salak, pesanggem melakukan panen 2 kali dalam 1 bulan dengan jarak tanam 2.5m X 2.5m meter antar pohon salak, sehingga dengan luas lahan 1 Ha, pesangem mampu menanam 1600 pohon salak, dengan hasil minimal 6.5 Kuintal salak/panen, dengan harga jual salak 3500/kg kepada tengkulak, artinya dalam 1 Ha lahan salak akan memberikan pendapatan kepada pesanggem sebesar Rp4.500.000/bulan .Sedangkan untuk biaya produksi yang dikeluarkan pesanggem adalah untuk pupuk kandang adalah Rp400.000/bulan dan pengeluaran untuk tenaga kerja panen Rp150.000/panen atau totalnya Rp300.000/bulan. Berdasarkan perhitungan tersebut, pesanggem mendapatkan keuntungan bersih Rp3.800.000/Ha/Bulan”.
Dengan luas lahan 1 Ha, seorang pesanggem dapat menghasilkan 6.5 kuintal salak setiap kali panen, dengan rata-rata masa panen setiap 15 hari sekali, sehingga mampu memberikan pemasukan bersih sebesar Rp3.8000.000/bulan.
Perjanjian Kerja Sama Sengon Selain melaksanakan Perjanjian Kerja Sama (PKS) salak, Perhutani bersama dengan LMDH Rimba Mulya juga melalukan PKS sengon, yaitu kegiatan tebangan penjarangan pohon sengon (Albizia sp.) di lahan hutan negara pada tahun 2008. Sebelum melaksanakan tebangan penjarangan, Perhutani bersama LMDH Rimba Mulya melakukan kegiatan sensus pohon sengon. Kawasan Desa Kalimendong memiliki lima (5) petak pangkuan hutan dengan total pohon sengon yang ada di dalam kawasan sebanyak 16.533 pohon mulai dari sengon yang berdiameter di bawah 5 cm, hingga pohon sengon yang memiliki diameter diatas 16 cm. Pohon sengon tersebut berasal dari kegiatan penanaman sejak tahun 2003. Tabel 19 Rincian sensus sengon tahun 2008 Tahun tanam / diameter Luas Jumlah Desa Petak 0-5 cm 6-10 cm 11-15cm >16 cm (Ha) pohon 2006 2005 2004 2003 Kalimendong 42a 24.5 6 660 544 229 35 7 468 42b 12.2 1 593 399 250 662 2 304 42c 3.3 441 75 62 6 584 44a 6.3 388 374 256 50 1 068 44f 27.9 544 699 420 104 1 767 44b 7.7 1 979 854 467 51 3 342 Jumlah 11 605 2 936 1 684 308 16 533
51
Sumber: Laporan sensus sengon LMDH Rimba Mulya tahun 2008
Awal kegiatan PKS sengon adalah penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara Perhutani yang diwakilkan Administratur KPH Kedu Utara, dengan masyarakat Desa Kalimendong yang diwakilkan Ketua LMDH Rimba Mulya. Kegiatan penandatanganan perjanjian No 07/059.9/PHBM/KDU/I dilakukan di Pendopo Kecamatan Leksono, pada tanggal 15 Maret 2008 yang disaksikan oleh Wakil Bupati Wonosobo, Asper BKPH Wonosobo, Kepala Dishutbun Wonosobo, dan Camat Leksono. Pada perjanjian tersebut disepakati pembagian sharing tebangan penjarangan sengon sebesar 40 persen untuk Perhutani, 40 persen untuk pesanggem, dan 20 persen untuk LMDH Rimba Mulya. Proporsi yang diterima LMDH Rimba mulya sebesar 20 persen kemudian dibagi lagi dengan proporsi 40 persen untuk KPH, 40 persen untuk kas LMDH, 15 persen untuk kas Desa Kalimendong, dan 5 persen untuk Pemda Wonosobo. Pembagian sharing nantinya akan dilakukan setelah dikurangi dengan biaya sensus, biaya penebangan, dan biaya pajak dengan total sebesar Rp9.642.912. Kesepakatan mengenai penebangan penjarangan yang akan dilakukan adalah target jumlah pohon sengon yang akan ditebang, yaitu sebanyak 800 pohon yang tersebar di beberapa anak petak pada wilayah hutan negara di Desa Kalimendong. Namun, tidak semua pesanggem dapat menikmati hasil pembagian sharing tersebut, hal itu disebabkan karena sengon yang akan ditebang berada pada anak petak yang hanya dikelola oleh 26 pesanggem yang nantinya akan mendapatkan hasil sharing sebesar 40 persen. Hal serupa dituturkan oleh salah satu pesanggem, bapak MS (42 tahun). “Ya dulu kan ada penebangan sengon, penebangan penjarangan dari Perhutani, waktu itu tahun 2008 kalo ga salah ya, tapi ga semua lahan pesanggem yang ditebang, waktu itu hanya beberapa saja, jadi bagi hasilnya ga dinikmati semua, hanya pesanggem yang ada penebangan sengon di lahannya saja”.
Kegiatan tebangan penjarangan sengon yang dilakukan oleh Perhutani dengan masyarakat Desa Kalimendong kemudian menghasilkan sebanyak 800 pohon dengan volume 166.406 m3 dan hasil penjualan bersih mencapai Rp38.877.970. Pembagian hasil sharing kemudian dilakukan berdasarkan proporsi yang sudah disepakati sebelumnya yaitu 40 persen untuk Perhutani (Rp15.551.188), 40 persen untuk pesanggem (Rp15.551.188), dan 20 persen untuk LMDH Rimba Mulya (Rp7.775.594). Tabel 20 Hasil tebangan penjarangan sengon tahun 2008 Target tebangan Realisasi tebangan Biaya sensus, penebangan Hasil bersih dan pajak (Rp) (Rp) Pohon Hasil (m3) Pohon Hasil (m3) 800 161 225 800 166 406 9 642 912 38 877 970 Sumber: Data tebangan sengon LMDH Rimba Mulya
Proses pemberian sharing kepada pesanggem dan LMDH Rimba Mulya dilakukan di lapangan Desa Kalimendong, proses pemberian tersebut
52
dilaksanakan secara simbolis oleh Gubernur Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009. Kerja Sama Penyadapan Pinus Pinus merupakan tanaman mayoritas yang menjadi tegakan pada lahan hutan negara yang berada di kawasan Desa Kalimendong. Salah satu sumber daya yang dapat dimanfaatkan dari tanaman pinus adalah getah pinus yang dapat diolah menjadi gondorukem dan terpentine. Kegiatan kerja sama penyadapan pinus dilakukan oleh LMDH Rimba Mulya dan Perhutani. Pohon pinus yang berada di anak petak yang dikelola oleh pesanggem dapat dimanfaatkan untuk penyadapan pinus, namun tidak semua pesanggem melakukan penyadapan pinus. Tahun 2014, jumlah pesanggem yang melakukan kegiatan penyadapan mengalami penurunan, yaitu hanya tersisa 16 orang penyadap yang melakukan kegiatan penyadapan di empat (4) wilayah petak hutan. Penurunan jumlah penyadap diakibatkan karena para pesanggem lebih memilih untuk mengurus salak ketimbang ikut menyadap, dan penurunan jumlah penyadap ternyata tidak mempengaruhi produksi getah pinus di Desa Kalimendong, justru produksi getah pinus pada Desa Kalimendong selalu berada diatas target produksi tahunan. Hal tersebut juga dituturkan oleh salah satu Mandor Tempat Pengumpulan Getah (TPG), bapak YW (55 tahun). “Sekarang jumlah pesanggem penyadap pinus sudah berkurang jumlahnya mas, kalau dulu masih sekitar 45 orang, sekarang ya cuma 16 orang di Kalimendong, tapi produksi getahnya tidak menurun, malah selalu melebihi target, penurunan jumlah penyadap itu diakibatkan ya karena hasil dari salak lebih besar dari hasil menyadap, dan kalau sudah mengurusi salak, pesanggem sudah tidak ada waktu untuk menyadap”.
Berdasarkan tabel 21, dapat dijelaskan bahwa produksi getah pinus Desa Kalimendong melebihi target produksi. Pada tahun 2014, jumlah pohon pinus yang disadap adalah sebanya 7.123 pohon, dengan target produksi 16,1 ton getah, dengan realisasi produksi getah pada Desa Kalimendong berada diatas target, yaitu sebesar 20,64 ton getah pinus. Tabel 21 Jumlah produksi getah pinus Desa Kalimendong Jenis Petak Tahun tanam Jumlah Terget produksi Realisasi produksi Produksi hutan pinus pohon 2014 (Kg) 2014 (Kg) Getah pinus 42a 1977 1 768 3 448 4 423 sadap lanjut 42b 1997 2 761 7 041 8 976 44a 1997 1 761 3 509 4 498 44b 1976 833 2 124 2 737 Jumlah 7 123 16 100 20 634 Sumber: Laporan kemajuan eksploitasi non-kayu tahun 2014
Proses pengambilan getah pinus yaitu dengan cara menggeret batang pinus yaitu dengan menggerus bagian epidermis batang pinus, dan kemudian ditampung dengan menggunakan batok kelapa. Proses pengumpulan dilakukan setiap 15 hari
53
sekali, dan dikumpulkan di Tempat Pengumpulan Getah (TPG) yang ada di Desa Kalimendong. Setelah mengumpulkan getah, pesanggem akan mendapatkan bayaran langsung dari Mandor TPG, pembayaran getah pinus dibedakan berdasarkan kualitas getah pinus yang dikumpulkan. Getah pinus yang bersih dari kotoran digolongkan getah pinus Mutu I, sedangkan getah pinus yang kotor akan digolongkan ke getah Mutu II. Harga getah pinus mutu I adalah Rp2.000/Kg, sedangkan untuk mutu II akan dihargai Rp1.100/Kg.
Usaha Mandiri LMDH Rimba Mulya Selain melakukan kerja sama dengan pihak Perhutani, LMDH Rimba Mulya juga melakukan berbagai kegiatan produktif yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan anggotanya melalui pemanfaatan berbagai sumber daya yang tersedia di lahan hutan negara. Kegiatan tersebut dilakukan secara mandiri oleh anggota LMDH Rimba Mulya. Berbagai kegiatan mandiri yang dilakukan LMDH Rimba mulya adalah usaha peternakan kambing dan sapi, budidaya lebah madu, dan usaha mandiri perikanan. 1. Usaha mandiri peternakan kambing dan sapi Kawasan hutan negara yang ada di Desa Kalimendong memiliki berbagai sumber daya yang terdapat di sela-sela tanaman bawah tegakan tanaman pokok hutan, antara lain, tanaman rumput dari jenis kaliandra, sextaria, mexico, dan kalanjana. Adanya Hijauan Pakan Ternak (HPT) yang melimpah ruah, sehingga sangat berpotensi untuk pengembangan peternakan kambing dan sapi. Luas tanaman HPT di lahan hutan negara mencapai luas lima (5) Ha, yang tersebar di batas petak dan batas anak petak wilayah hutan, dengan produksi mencapai 60 ton/bulan. Berlimpahnya sumber daya tanaman tersebut kemudian membuat pesanggem memanfaatkan ketersediaan Hijauan Pakan Ternak, para pesanggem berusaha untuk budidaya ternak kambing jenis PE, yang memiliki nilai jual sangat tinggi. Populasi ternak besar di Desa Kalimendong, pada tahun 2015 untuk jenis sapi sebanyak 125 ekor, jenis kambing PE sebanyak 315 ekor, dan kambing lokal sebanyak 1.876 ekor. Pada tahun 2009, Gubernur Jawa Tengah memberikan bantuan ternak kepada LMDH Rimba Mulya berupa kambing PE. Pemberian bantuan ternak tersebut dibagi menjadi dua (2) tahap. Tahap pertama pada bulan Juli sebanyak 50 ekor, dan tahap kedua pada bulan Oktober sebanyak 50 ekor. Pembuatan kandang kelompok yang berlokasi di luar pemukiman penduduk, bertujuan untuk menjadikan Desa Kalimendong sebagai perintisan kampung ternak, sehingga tidak ada warga yang tinggal serumah dengan ternak peliharaan dengan tujuan memperbaiki sanitasi dan kesehatan di Desa Kalimendong. 2. Budidaya lebah madu LMDH Rimba Mulya juga melakukan budidaya lebah madu, sebagai alternatif penenambah penghasilan. Pada tahun 2014, jumlah stuf (kotak lebah) yang ada mencapai 40 buah, kegiatan budidaya lebah madu ini mampu memproduksi madu hingga 20 botol/bulan, dengan harga jual Rp70.000/botol.
54
3. Usaha mandiri perikanan Usaha perikanan juga dilakukan oleh LMDH Rimba Mulya, pada tahun 2014, LMDH Rimba Mulya telah memiliki 4 buah kolam perikanan untuk budidaya ikan air tawar jenis nila. Pembudidayan usaha perikanan ini telah mampu memproduksi sebanyak 25.000 ekor ikan nila setiap kali panen. Penjualan hasil panen ikan nila dilakukan untuk memenuhi pasar dalam desa dan juga ke luar desa.
Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Berdasarkan kesepakatan pada tahap perencanaan, maka kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap program PHBM akan dilaksanakan setiap minimal 2 tahun sekali, antara Perhutani dan LMDH Rimba Mulya. Pelaksanaan PHBM berjalan dengan baik, dengan ditunjukkan penurunan grafik pencurian kayu di kawasan hutan negara. Berikut data kerusakan hutan di kawasan Desa Kalimendong. Tabel 22 Kerusakan hutan Desa Kalimendong Kehilangan pohon Sisa pencurian Bencana alam Tahun Petak Kerugian Kerugian Volume Kerugian pohon Pohon Pohon X Rp. 1000 X Rp. 1000 (kubik) X Rp. 1000 2004 42a, 36 4 257 42b, 42c 2005 2006 2007 42a 45 17.127 3 212 3.000 2008 44a, 42a 30 9.232 3 603 2009 2010 2011 42a, 42b 19 7.841 15 690 2012 44a 17 10 844 2013 44a 16 1 506 2014 44a 10 1 057 Jumlah 26 2 563 36 4 257 111 34.200 33 349 Sumber : Sensus tegakan LMDH Rimba Mulya tahun 2014
Berdasarkan tabel no 22, dapat dijelaskan bahwa situasi Desa Kalimendong mulai kondusif sejak tahun 2005. Kasus pencurian yang terakhir terjadi di Desa Kalimendong adalah pada tahun 2004, akibatnya Perhutani mengalami pencurian kayu sebanyak 36 pohon jenis pinus. Tahun selanjutnya tidak pernah ada kasus pencurian kayu yang terjadi di wilayah Desa Kalimendong dan juga tidak pernah lagi terjadi konflik antara masyarakat dan Perhutani sampai akhirnya pada tahun 2012 terjadi konflik emerging antara masyarakat Kalimendong dengan Perhutani. Kasus kerusakan hutan yang disebabkan oleh bencana alam terjadi pada tahun 2007, 2008, 2011, dan 2012, dengan total kerusakan berjumlah 111 pohon,
55
bencana alam yang terjadi di Desa Kalimendong adalah bencana tanah longsor yang terjadi pada kawasan hutan negara. Hal tersebut disebabkan oleh keadaan topografi tanah pada Desa Kalimendong memiliki kondisi sangat curam (46,32%), tingkat kemiringan mencapai 15 derajat, kemudian diperparah dengan tingkat curah hujan yang relatif tinggi di Desa Kalimendong, yaitu 3.400 mm/tahun. 50
45
45 40
36
35
30
30 25 19
20
17
16
15
10
10 5
0
0 000 000 00
00
000 000 00
00
000
00
00
0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
kehilangan pohon
pencurian pohon
bencana alam
Gambar 3 Grafik kerusakan hutan negara di Desa Kalimendong Grafik di atas menjelaskan bahwa pada tahun 2013 dan 2014 terjadi kasus kehilangan pohon di Desa Kalimendong. Yang dimaksud dari kehilangan pohon adalah kondisi pohon yang ditemukan dalam kondisi mati. Pada tahun 2013 ditemukan 16 pohon pinus dalam keadaan mati, dan pada tahun 2014 ditemukan 10 pohon pinus yang mati. Kematian pohon pinus tersebut terjadi karena tindakan beberapa pesanggem yang sengaja melakukan teknik teresan yaitu teknik melukai pohon pinus dengan menggunakan alat tajam. Pelukaan pohon pinus pada bagian bawah batang mengakibatkan pohon pinus mati secara perlahan, kegiatan pelukaan pohon pinus tersebut terjadi sejak tahun 2012. Kegiatan pelukaan yang dilakukan oleh beberapa pesanggem disebabkan konflik emerging antara masyarakat dan Perhutani, konflik tersebut diakibatkan karena pada tahun 2012 terjadi peningkatan biaya sharing profit antara Perhutani dan masyarakat yang sebelumnya pesanggem membayar sharing sebesar Rp1000/pohon/tahun kemudian dinaikkan menjadi Rp2000/pohon/tahun. Hal itu menjadi sebuah permasalahan baru, ketika pada kawasan anak petak hutan yang mereka kelola terdapat tutupan pinus yang sangat rapat sehingga menyebabkan salak yang ditanam di sela pinus menjadi tidak terkena sinar matahari yang cukup, sehingga menyebabkan tanaman salak tidak berbuah. Hal serupa dituturkan oleh ketua LMDH Rimba Mulya, bapak NS (42 tahun).
56
“Sejak tahun 2012 sharing profit antara masyarakat dan Perhutani adalah sebesar Rp2000/pohon/tahun, nah hal itu yang memicu konflik pada pembagian sharing ini, pesanggem yang kebagian lahan yang tertutup oleh banyak pohon pinus, salaknya tidak dapat berbuah, karena sinar matahari tertutup oleh tegakan pinus itu. waktu dulu kenaikan sharing itu sebenarnya LMDH ingin mengakomodasi keinginan masyarakat mengenai kenaikan sharing, kan masyarakat maunya jangan dinaikkan terus sharingnya. Waktu itu ada rapat antara LMDH se-Kedu Utara dengan Perhutani, waktu itu ada tawar-menawar mengenai kenaikan sharing, namun LMDH di Sukoharjo dan LMDH lainnya menyetujui kenaikan sharing, karena pada LMDHLMDH itu, lahannya bagus dan tidak banyak tertutup oleh pinus, hanya Kalimendong saja yang tidak setuju dengan kenaikan harga sharing, ya kita kekurangan suara pada waktu itu dan ikut saja dengan ketok palu kenaikan sharing Rp2.000 itu, masyarakat waktu itu banyak mengeluh tentang kenaikan itu, karena beberapa masyarakat merasa rugi, karena dengan rimbunan pinus itu, pohon salak masyarakat tidak berbuah”.
Kenaikan pembayaran sharing salak kemudian menjadi keluhan bagi pesanggem yang pada kawasan anak petak hutan yang mereka kelola terdapat tutupan pinus yang sangat rapat sehingga menyebabkan salak yang ditanam di sela pinus menjadi tidak terkena sinar matahari, sehingga menyebabkan tanaman salak tidak berbuah, akibatnya menjadikan pesanggem melakukan tindakan ilegal, yaitu tindakan teresan yang bertujuan untuk mengurangi tutupan pinus. Berdasarkan tabel 22, kawasan petak hutan yang mengalami kehilangan pohon berada di petak 44a, hal tersebut terjadi karena pada petak kawasan 44a memiliki tegakan pinus yang sangat padat, dengan luas petak 6,3 Ha, petak 44a memiliki jumlah tegakan pinus sebanyak 1.761 pohon dengan kerapatan 279,52 pohon/Ha. Sehingga menyebabkan kawasan petak 44a sangat rawan terhadap tindakan teresan. Bagi setiap pesanggem yang melakukan tindakan teresan, pihak Perhutani tidak melakukan penangkapan, namun hanya melakukan tindakan persuasif berupa peringatan dan pembinaan kepada para pesanggem yang melakukan tindakan teresan tersebut. Hal serupa dituturkan oleh mandor PHBM RPH Leksono, bapak TF (46 tahun). “Di lapangan itu kadang ya kita temukan pesanggem yang teresan ke pohon pinus itu, tapi kita ga pernah nangkep pelakunya mas, paling kita kasih peringatan dan pembinaan lah, ibaratnya kan selama ini hubungan Perhutani dengan masyarakat sudah baik, ya kita menjaga hubungan baik itu, makanya kita ga nangkep, tapi cukup pembinaan dan peringatan bagi pelaku teresan”.
Apabila kegiatan teresan masih tetap dilakukan oleh pesanggem, maka tidak menutup kemungkinan dapat memperparah wujud konflik yang terjadi. Konflik yang awalnya berwujud konflik emerging akan dapat menjadi konflik manifest ketika Perhutani tidak lagi melakukan tindakan persuasif, melainkan melakukan tindakan represif berupa tindakan penangkapan bagi para pesanggem yang tetap melakukan kegiatan teresan meskipun sudah dibina dan diperingatkan, sehingga nantinya perlu dicari solusi yang kemudian tidak merugikan kedua belah pihak.
57
Ikhtisar Awal mula program PHBM diberlakukan adalah pada tahun 2001, hal tersebut diakibatkan oleh parahnya kondisi kerusakan hutan negara, oleh maraknya kasus penjarahan kayu yang terjadi. Hal tersebut diperparah dengan jumlah petugas Perhutani yang tidak sebanding dengan luas lahan hutan negara yang harus diawasi, sehingga menyebabkan Perhutani sering mengalami kecolongan dalam pengawasan hutan negara. Pada tahun 2001, Direksi Perhutani mengeluarkan Surat Keputusan Direksi No 136/KPTS/DIR/2001 Tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat merupakan konsep kemitraan yang berkesinambungan antara semua stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan hutan negara, bukan hanya untuk menjaga sumber daya hutan, tapi juga untuk memunculkan interaksi yang baik antara setiap stakeholder yang terlibat. Dengan kata lain, Perhutani mengajak masyarakat desa untuk ikut sebagai aktor yang mengelola sekaligus melakukan pengawasan hutan negara, sehingga dapat meredam konflik yang terjadi. Sebagaimana menurut Pruitt dan Rubin (2009) dalam Kadir et al. (2013), proses penyelesaian konflik melalui implementasi PHBM adalah strategi penyelesaian konflik secara Problem Solving, yaitu penyelesaian konflik dengan identifikasi dan mengembangkan masalah secara kolaborasi yang kemudian mengarah kepada solusi yang memuaskan kedua belah pihak. Hasilnya berupa kompromi atau solusi integratif. Dalam hal PHBM, masyarakat dan Perhutani melakukan penyelesaian konflik secara kolaborasi, yaitu melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan, serta monitoring dan evaluasi. Proses penyelesaian konflik pada PHBM menghasilkan kepuasan, melalui akomodasi setiap kepentingan bagi kedua belah pihak, yaitu masyarakat dan Perhutani PHBM pertama kali diterapkan di Desa Kalimendong pada tahun 2002, disertai dengan terbentuknya Lembaga Masyarakat Desa Hutan Kalimendong (LMDH) Rimba Mulya, yang menaungi masyarakat Desa Kalimendong untuk mengikuti program PHBM. Berbagai kegiatan dilaksanakan oleh masyarakat Desa Kalimendong, baik itu berupa kerja sama dengan Perhutani, Pemerintah Daerah, maupun usaha mandiri yang dilakukan oleh masyarakat. Berbagai kegiatan tersebut telah memberikan berbagai dampak positif, baik yang dirasakan oleh Perhutani bersama masyarakat Desa Kalimendong, maupun dampak positif yang terjadi pada hutan negara. Dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat adalah terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat melalui program PHBM, selain itu juga memberikan dampak perbaikan ekologi yang dirasakan oleh masyarakat. Bagi Perhutani, dengan adanya PHBM, terjadi pengurangan angka pencurian kayu, dan juga memberikan pemasukan bagi Perhutani melalui sharing profit. Namun adanya PHBM tidak serta-merta dapat langsung menyelesaikan konflik yang terjadi di kawasan Desa Kalimendong. Kasus penjarahan hutan masih terjadi di Desa Kalimendong hingga puncaknya terjadi pada tahun 2004, yaitu terjadi penangkapan para pelaku pencurian kayu dengan penyitaan barang bukti sebanyak 10-12 m3 kayu pinus, yang kemudian berujung pada kejadian pembakaran pos Tempat Pengumpulan Getah (TPG) milik Perhutani di Desa Kalimendong. Pembakaran pos TPG tersebut terjadi akibat komunikasi yang belum berjalan baik antara Perhutani dengan masyarakat Desa Kalimendong,
58
sehingga para pelaku penjarah kayu masih dapat melakukan kegiatan ilegal tersebut. Proses perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan, maupun proses monitoring dan evaluasi PHBM di Desa Kalimendong telah berjalan dengan baik. Masyarakat Desa Kalimendong melalui LMDH Rimba Mulya selalu turut berperan aktif dalam setiap tahapan proses PHBM, sehingga kepentingan kedua belah pihak antara Perhutani dengan masyarakat dapat saling terakomodasi dengan baik. Proses implementasi PHBM berjalan baik, kepentingan setiap stakeholder yang terlibat dapat terakomodasi dengan baik, sampai akhirnya pada tahun 2012 program PHBM memunculkan konflik baru dengan wujud konflik emerging antara Perhutani dengan masyarakat Desa Kalimendong. Konflik yang terjadi adalah tindakan beberapa pesanggem yang sengaja melakukan teknik teresan yaitu teknik melukai pohon pinus dengan menggunakan alat tajam sehingga mengakibatkan pohon pinus mati secara perlahan, hal tersebut diakibatkan karena pada tahun 2012 terjadi peningkatan biaya sharing profit antara Perhutani dan masyarakat yang sebelumnya pesanggem membayar sharing sebesar Rp1000/pohon/tahun kemudian dinaikkan menjadi Rp2000/pohon/tahun. Hal itu menjadi sebuah permasalahan baru. Kenaikan pembayaran sharing salak yang dianggap tidak adil itu kemudian menjadi keluhan bagi para pesanggem yang pada kawasan anak petak hutan yang mereka kelola terdapat tutupan pinus yang sangat rapat sehingga menyebabkan salak yang ditanam di sela pinus menjadi tidak terkena sinar matahari yang cukup, sehingga menyebabkan tanaman salak tidak berbuah, akibatnya menjadikan pesanggem melakukan tindakan ilegal, yaitu tindakan teresan yang bertujuan untuk mengurangi tutupan pinus. Namun, Perhutani tidak melakukan tindakan penangkapan atas tindakan pesanggem tersebut, melainkan hanya memberikan pembinaan dan peringatan. Proses akomodasi kepentingan masyarakat yang dilakukan oleh LMDH ketika terjadi peningkatan pembayaran sharing adalah proses yang disebut Lumping it oleh Condliffe (1991) dalam Dharmawan dan Marina (2011) yaitu kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya, dan hubungan dengan pihak lawan terus berlanjut. Proses Lumping it yang dilakukan LMDH kepada Perhutani adalah berupa kegagalan LMDH untuk mengakomodasi kepentingan anggotanya agar kenaikan pembayaran sharing tidak jadi dilakukan oleh Perhutani, namun pihak Perhutani tetap melakukan kenaikan sharing dan hubungan Perhutani dengan masyarakat tetap berjalan. Proses implementasi PHBM yang kemudian dianggap tidak mengakomodasi kepentingan salah satu pihak dapat menjadi memicu terjadinya konflik baru antara Perhutani dengan masyarakat Kalimendong. Pentingnya peran individu menjadikan perbedaan karakteristik tersebut berhubungan dengan proses konflik dan resolusi konflik. Adanya peran-peran individu dalam setiap kegiatan implementasi PHBM perlu dianalisis lebih lanjut, agar kepentingan setiap individu dapat terakomodasi dengan baik. Pentingnya peran individu dalam setiap kegiatan PHBM dapat mempengaruhi efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik. Pada bab selanjutnya akan dibahas analisis hubungan karakteristik individu dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik.
59
ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU TERHADAP EFEKTIVITAS PHBM SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK
Karakteristik Individu Karakteristik individu merupakan faktor internal dari masing-masing individu anggota LMDH Rimba Mulya yang dibagi kedalam sembilan (9) variabel, yaitu: umur, pendidikan, jenis kelamin, jumlah tanggungan, jenis pekerjaan, jumlah kepemilikan lahan persil sebelum PHBM, jumlah kepemilikan lahan persil sesudah PHBM, dan luas petak lahan PHBM. Pada sub-bab ini menguraikan sembilan (9) variabel karakteristik individu anggota LMDH Rimba Mulya.
Tingkat Pendidikan Pendidikan tertinggi responden adalah taman SMA, sedangkan pendidikan terendah responden adalah tamat SD, dengan mayoritas responden adalah taman SD. Peneliti mengkategorikan tingkat pendidikan berdasarkan tahapan pendidikan yang ditetapkan dari tingkat perkembangan peserta didik. Jenjang pendidikan formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (BPS 2005). Tingkat pendidikan responden pada penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu tidak tamat SD atau tamat SD disebut tingkat pendidikan rendah, tamat SMP atau sederajat disebut tingkat pendidikan sedang, dan tamat SMA dan perguruan tinggi digolongkan ke dalam tingkat pendidikan tinggi. Tabel berikut menampilkan jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan. Tabel 23
Frekuensi tingkat pendidikan anggota LMDH Rimba Mulya yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi Tingkat pendidikan Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 35 87.5 Sedang 4 10.0 Tinggi 1 2.5 Total 40 100.0
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa mayoritas responden mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini dapat dijelaskan karena sebaran frekuensinya menunjukkan persentase yang besar pada tingkat pendidikan rendah sebesar 87,5%. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan formal yang ditamatkan oleh responden rata-rata hanya tamat SD.
60
Umur Pengkategorian umur berdasarkan selang umur produktif, yaitu 15-64 tahun dan non-produktif <15tahun, dan >64tahun (Rusli 2005). Umur terendah responden pada penelitian ini adalah 27 tahun, sedangkan umur tertinggi adalah 72 tahun dengan rata-rata umur responden adalah 50 tahun. Peneliti menggolongkan umur responden berdasarkan rentang atau siklus lamanya hidup manusia. Tabel berikut menampilkan jumlah dan persentase responden menurut umur. Tabel 24 Frekuensi umur anggota LMDH Rimba Mulya, Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi Umur Jumlah (N) Persentase (%) Non-produktif 5 12.5 Produktif 35 87.5 Total 40 100.0 Dari tabel di atas, diketahui bahwa mayoritas responden berada pada umur produktif. Hal ini dapat dijelaskan karena sebaran frekuensinya menunjukkan persentase yang dominan pada umur produktif sebesar 87,5%.
Jenis Kelamin Jenis kelamin responden pada penelitian ini adalah sifat fisik responden seperti yang tercatat dalam kartu identitas yang dimiliki oleh responden, yaitu laki-laki dan perempuan. Berikut adalah jumlah dan persentase sebaran responden menurut golongan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Tabel berikut menampilkan jumlah dan persentase responden menurut jenis kelamin. Tabel 25 Frekuensi jenis kelamin anggota LMDH Rimba Mulya yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi Jenis kelamin Jumlah (N) Persentase (%) Perempuan 2 5.0 Laki-Laki 38 95.0 Total 40 100.0 Dari tabel di atas, diketahui bahwa mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki. Hal ini dapat dijelaskan karena sebaran frekuensinya menunjukkan persentase yang besar pada kategori laki-laki sebesar 95,0%. Temuan di lapang menemukan adanya pesanggem perempuan yang mengikuti kegiatan PHBM, seperti yang diungkapkan ketua LMDH Rimba Mulya bapak NS (42 tahun).
61
“LMDH berkembang hingga sekarang anggota LMDH Rimba Mulya sudah memiliki 235 anggota. Mayoritas laki-laki sebanyak 230 orang tapi ada beberapa anggota kita yang perempuan sebanyak 5 orang, ya mereka yang perempuan ini single parent mas, atau suaminya merantau keluar, dan ratarata anggota perempuan ini cuma punya kemampuan sebagai petani”.
Temuan di lapang menunjukkan pada seluruh anggota LMDH Rimba Mulya sebanyak 235 orang, memiliki sebaran anggota jenis kelamin laki-laki sebanyak 230 orang dengan persentase 97,87%, sedangkan jenis kelamin perempuan terdapat 5 orang dengan persentase 2,12%. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan responden pada penelitian ini adalah jumlah uang yang diterima individu dari bekerja pada kegiatan PHBM pada setiap bulannya. Hasil temuan lapang menunjukkan pendapatan responden dari PHBM bersumber dari kegiatan pemanenan salak, penyadapan pinus, dan kegiatan usaha mandiri LMDH. Pendapatan yang didapat dari kegiatan pemanenan salak dan penyadapan pinus diterima dua kali dalam satu bulan, sedangkan untuk usaha mandiri LMDH diterima ketika ada penjualan. Umumnya responden tidak hanya melakukan kegiatan PHBM sebagai sumber pendapatannya, mayoritas responden juga mengelola lahan pribadi yang mereka miliki yang umumnya ditanami komoditas salak dan pohon sengon. Penggolongan tingkat pendapatan dilakukan berdasarkan jumlah uang yang diterima dari hasil mengikuti kegiatan PHBM. Penggolongan dibedakan menjadi tiga golongan, tingkat pendapatan di bawah Rp1.000.000 digolongkan kepada tingkat pendapatan rendah, sedangkan tingkat pendapatan antara Rp1.000.000 sampai Rp2.500.000 digolongkan kepada tingkat pendapatan sedang, sedangkan tingkat pendapatan di atas Rp2.500.000 digolongkan kepada tingkap pendapatan tinggi. Responden pesanggem memiliki pendapatan tertinggi sebesar Rp5.000.000 dan pendapatan paling rendah sebesar Rp300.000 dengan rata-rata jumlah pendapatan sebesar Rp1.737.500. Tabel berikut menampilkan jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendapatan. Tabel 26
Frekuensi tingkat pendapatan anggota LMDH Rimba Mulya yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi Tingkat pendapatan Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 9 22.5 Sedang 19 47.5 Tinggi 12 30.0 Total 40 100.0
Dari tabel di atas, diketahui bahwa mayoritas responden memiliki tingkat pendapatan yang sedang. Hal ini dapat dijelaskan karena sebaran frekuensinya
62
menunjukkan persentase tingkat pendapatan paling besar pada tingkat pendapatan sedang sebesar 47, 5%.
Jumlah Tanggungan Perhitungan jumlah tanggungan responden didasarkan pada banyaknya jumlah individu yang beban penghidupannya ditanggung oleh responden pada saat penelitian ini dilakukan. Penggolongan jumlah tanggungan dibedakan menjadi tinggi, sedang, dan rendah. Jumlah tanggungan tinggi lebih dari 4 orang digolongkan ke jumlah tanggungan tinggi, sedangkan jumlah tanggungan 2 sampai 4 orang digolongkan ke jumlah tanggungan sedang, serta jumlah tanggungan kurang dari 2 orang digolongkan ke jumlah tanggungan rendah. Jumlah tanggungan terbanyak adalah sebanyak 7 orang, jumlah tanggungan paling sedikit 1 orang, dan rata-rata jumlah tanggungan sebanyak 3 orang. Tabel berikut menampilkan jumlah dan persentase responden menurut tingkat jumlah tanggungan. Tabel 27
Frekuensi jumlah tanggungan anggota LMDH Rimba Mulya yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi Jumlah tanggungan Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 8 20.0 Sedang 17 42.5 Tinggi 15 37.5 Total 40 100.0
Dari tabel di atas, diketahui bahwa mayoritas responden memiliki jumlah tanggungan yang sedang. Hal ini dapat dijelaskan karena sebaran frekuensinya menunjukkan persentase besar pada jumlah tanggungan sedang sebesar 42,5%.
Tingkat Kepemilikan Lahan Persil Sebelum PHBM Tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM adalah besarnya lahan yang dikelola oleh responden saat sebelum PHBM diterapkan yang diukur dalam satuan hektar (Ha), jika terdapat lebih dari satu (sewa, sakap, dan hak milik) maka dihitung secara kumulatif. Kebanyakan dari responden sudah lupa mengenai luas lahan yang mereka miliki, sehingga penulis meminta bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan. Bukti tersebut dimiliki oleh semua responden karena mereka selalu menyimpan bukti-bukti tersebut. Penggolongan tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM dibedakan menjadi tinggi, sedang, dan rendah. Tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM digolongkan tinggi jika luas lahan lebih dari 1,1 Ha, sedangkan tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM digolongkan sedang jika luas lahan dari 0,3 Ha sampai 1,1 Ha, serta tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM digolongkan rendah jika luas lahan kurang dari 0,3 Ha. Rata-rata responden memiliki tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM dengan luas 0,76 Ha,
63
dengan jumlah terbanyak 4 Ha, dan jumlah paling sedikit adalah sama sekali tidak memiliki lahan. Tabel berikut menampilkan jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM. Tabel 28 Frekuensi tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM anggota LMDH Rimba Mulya yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Tingkat kepemilikan lahan Frekuensi persil sebelum PHBM Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 12 30.0 Sedang 23 57.5 Tinggi 5 12.5 Total 40 100.0 Dari tabel di atas, diketahui bahwa responden memiliki tingkat kepemilikan lahan persil sebelum adanya PHBM yang sedang. Hal ini dapat dijelaskan karena sebaran frekuensinya menunjukkan persentase dominan pada tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM sedang sebesar 57,5%.
Tingkat Kepemilikan Lahan Persil Sesudah PHBM Tingkat kepemilikan lahan persil sesudah PHBM adalah besarnya lahan yang dikelola oleh responden saat sesudah PHBM diterapkan yang diukur dalam satuan hektar (Ha), jika terdapat lebih dari satu (sewa, sakap, dan hak milik) maka dihitung secara kumulatif. Pengambilan data luas lahan dilakukan dengan cara meminta bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan. Bukti tersebut dimiliki oleh semua responden karena mereka selalu menyimpan bukti-bukti tersebut. Penggolongan tingkat kepemilikan lahan persil sesudah PHBM dibedakan menjadi tinggi, sedang, dan rendah. Tingkat kepemilikan lahan persil sesudah PHBM digolongkan tinggi jika luas lahan lebih dari 0,7 Ha, sedangkan tingkat kepemilikan lahan persil sesudah PHBM digolongkan sedang jika luas lahan dari 0,28 Ha sampai 0,7 Ha, serta tingkat kepemilikan lahan persil sesudah PHBM digolongkan rendah jika luas lahan kurang dari 0,28 Ha. Rata-rata responden memiliki tingkat kepemilikan lahan persil sesudah PHBM dengan luas 0,52 Ha, dengan jumlah terbanyak 2,25 Ha, dan jumlah paling sedikit adalah sama sekali tidak memiliki lahan. Tabel berikut menampilkan jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepemilikan lahan persil sesudah PHBM. Tabel 29 Frekuensi tingkat kepemilikan lahan persil anggota LMDH sesudah adanya PHBM yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Tingkat kepemilikan lahan Frekuensi persil sesudah PHBM Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 18 45.0 Sedang 10 25.0 Tinggi 12 30.0 Total 40 100.0
64
Dari tabel di atas, diketahui bahwa responden memiliki tingkat kepemilikan lahan persil sesudah adanya PHBM yang sedang. Hal ini dapat dijelaskan karena sebaran frekuensinya menunjukkan persentase rendah sebesar 45,0%.
Luas Petak Lahan PHBM Luas petak lahan PHBM adalah besarnya lahan PHBM yang dikelola oleh responden saat penelitian dilakukan. Lahan tersebut berada di lokasi hutan PHBM dan dihitung dalam satuan Hektar (Ha). Penggolongan luas petak lahan PHBM dibedakan menjadi tinggi, sedang, dan rendah. Luas petak lahan PHBM digolongkan tinggi jika luas lahan lebih dari 0,65 Ha, sedangkan luas petak lahan PHBM digolongkan sedang jika luas lahan dari 0,26 Ha sampai 0,65 Ha, serta luas petak lahan PHBM digolongkan rendah jika luas lahan kurang dari 0,26 Ha. Rata-rata responden memiliki luas petak lahan PHBM dengan luas 0,46 Ha, dengan jumlah terbanyak 2 Ha, dan jumlah paling sedikit adalah 0,25 Ha. Tabel berikut menampilkan jumlah dan persentase responden menurut luas petak lahan PHBM. Tabel 30 Frekuensi luas petak lahan PHBM yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi Luas petak lahan PHBM Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 20 50.0 Sedang 16 40.0 Tinggi 4 10.0 Total 40 100.0 Dari tabel di atas, diketahui bahwa responden memiliki luas petak lahan PHBM yang rendah. Hal ini dapat dijelaskan karena sebaran frekuensinya menunjukkan persentase dominan pada luas petak lahan PHBM rendah yaitu sebesar 50,0%.
Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan responden dalam penelitian ini adalah jenis pekerjaan yang dilakukan selain melakukan kegiatan PHBM. Jenis pekerjaan dibagi atas bidang pertanian dan non-pertanian. Bidang pertanian terdiri dari pekerjaan pertanian, perburuan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Sedangkan bidang nonpertanian terdiri dari pekerjaan selain bidang pertanian. Selain kegiatan PHBM, sebanyak 7 orang responden juga melakukan pekerjaan non-pertanian, diantaranya, berdagang, mengojek, dan Pejabat Desa Kalimendong. sedangkan 33 orang responden lainnya mengolah lahan milik pribadi. Tabel berikut menampilkan jumlah dan persentase responden menurut jenis pekerjaan.
65
Tabel 31
Frekuensi jenis pekerjaan responden yang terdapat di Desa Kalimendong tahun 2015 Frekuensi Jenis pekerjaan Jumlah (N) Persentase (%) Non-pertanian 7 17.5 Pertanian 33 82.5 Total 40 100.0
Dari tabel di atas, diketahui bahwa mayoritas responden memiliki jenis pekerjaan pada bidang pertanian. Hal ini dapat dijelaskan karena sebaran frekuensinya menunjukkan persentase yang besar pada jenis pekerjaan pertanian sebesar 82,5%.
Hubungan Karakteristik Individu terhadap Efektivitas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat sebagai Resolusi Konflik Pada pengujian statistik penelitian ini, terdapat dua hipotesis yang diasumsikan, yaitu: H0: Tidak terdapat hubungan antara variabel karakteristik dan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik. H1: Terdapat hubungan antara variabel variabel karakteristik dan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik. Pengukuran efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik dengan menggunakan alat kuisioner sebagai pengumpulan data yang berisi 28 pernyataan. Proporsi pembagian pertanyaan adalah terdapat tujuh (7) pernyataan, pada setiap pernyataan tahap partisipasi pada kuisioner efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik. Responden kemudian mengisi kuisioner tersebut sesuai dengan pembagian empat (4) kolom, yang terbagi menjadi sangat tidak setuju (STS) skor 1, tidak setuju (TS) skor 2, setuju (S) skor 3, sangat setuju (SS) skor 4. Sehingga akan diperoleh nilai minimum 28, dan nilai maksimum 112. Setelah mengumpulkan semua jawaban dari responden kemudian akan diperoleh jumlah nilai pengisian kuisioner pada setiap individu responden. Jumlah nilai yang dimiliki oleh setiap responden tersebut kemudian akan digolongkan menjadi tiga (3) yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Penggolongan tersebut dilakukan dengan menggunakan rumus interval antar kelas, sebagai berikut: Rumus interval antar kelas =
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑎𝑥−𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑖𝑛 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠
=
112−28 3
=
84 3
= 28
Penggunaan rumus tersebut akan menghasilkan nilai interval dari ketiga golongan, sehingga diperoleh golongan rendah, jika jumlah skor 28-55, dan golongan sedang, jika jumlah skor 56-84, serta golongan tinggi, jika jumlah skor 85-112.
66
Tabel 32
Frekuensi efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Desa Kalimendong tahun 2015 Efektivitas PHBM Frekuensi sebagai resolusi konflik Jumlah (N) Persentase (%) Rendah 0 0.0 Sedang 22 45.5 Tinggi 18 55.5 Total 40 100.0
Berdasarkan hasil temuan di lapang, nilai minimum dari efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik adalah 72, dan nilai maksimum efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik adalah 92. Hal tersebut kemudian menjadikan sebaran responden tidak ada yang berada pada golongan rendah, seluruh responden mengemukakan bahwa secara umum pelaksanaan efektivitas PHBM yang ada di Desa Kalimendong telah dapat secara efektif menjadi resolusi konflik. Penuturan serupa dikemukakan oleh salah tokoh masyarakat Desa Kalimendong, bapak PRK (59 tahun). “yang masyarakat rasakan, adanya PHBM di Desa Kalimendong ini sangat amat dapat menyelesaikan konflik, dulunya kan banyak terjadi kasus antara masyarakat dan Perhutani, setelah PHBM ini ada, kasus yang dulu terjadi itu sudah engga ada lagi sekarang, PHBM ini efektif llah dalam menyelesaikan konflik disini, masyarakat jadi bisa ikut aktif mengelola dan menjaga hutan, tapi, PHBM kan bikin perselisihan baru tentang kenaikan sharing. Memang kenaikan itu hanya dirasakan segelintir orang saja. Kalau secara umumnya saya bisa katakan PHBM ini efektif banget lah dalam menyelesaikan konflik”.
Kuisioner yang digunakan sebagai alat pengumpulan data telah dilakukan uji reliabel pada 7 orang pesanggem, dan menghasilkan nilai Alpha Cronbach’s 0,6880 pada r tabel 0,6694. Berdasarkan hasil tersebut, maka nilai Alpha Cronbach’s > r tabel, sehingga kuisioner penelitian dapat dikatakan reliabel sebagai alat pengumpul data dalam penelitian.
Hubungan Tingkat Pendidikan terhadap Efektivitas PHBM sebagai Resolusi Konflik Tingkat pendidikan responden anggota LMDH Rimba Mulya mempunyai peran penting dalam efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik. Karakteristik tingkat pendidikan tersebut bertujuan untuk menunjukkan distribusi data hasil temuan di lapang mengenai pendidikan anggota LMDH Rimba Mulya.
67
Tabel 33 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Efektivitas PHBM Sebagai Resolusi Konflik Total (%) Tingkat No pendidikan Rendah Sedang Tinggi ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % 1 Rendah 0 0.0 18 51.4 17 48.6 35 100.0 2 Sedang 0 0.0 3 75.0 1 25.0 4 100.0 3 Tinggi 0 0.0 1 100.0 0 0.0 1 100.0 Total 0 0.0 22 55.0 18 45.0 40 100.0 Uji Spearman: Nilai Signifikansi = 0,232 ; Koefisien Korelasi -0,193
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa total persentase derajat efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik sedang dan tingkat pendidikan rendah menunjukkan persentase dominan sebesar 51,4%. Berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan antara karakterisitk tingkat pendidikan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik. Karena Nilai Signifikansi > 0,1 maka hipotesis yang diterima adalah H0. Berdasarkan temuan di lapangan, mayoritas tingkat pendidikan masyarakat Desa Kalimendong memiliki tingkat pendidikan rendah namun efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik tinggi. Hasil temuan di lapangan, anggota LMDH Rimba Mulya yang memiliki pendidikan rendah lebih mudah untuk mengakomodasi kepentingan secara bersama, dikarenakan anggota memiliki kolektivitas yang tinggi, hal itu ditunjukkan dengan kekompakan masyarakat dalam merumuskan keputusan kolektif yang disepakati untuk kemudian diajukan ke Perhutani. Hal tersebut juga dituturkan oleh salah satu pesanggem, bapak MS (42 tahun). “Kalau rapat, ya rata-rata pesanggem itu kan tamatan SD, jadi pada kompak, pesanggem ya sering ngasih usul kalo rapat dan teman-teman lainnya itu juga, jadi ga sulit nyari kesepakatan waktu rapat itu, paling cuma sebentar, asalkan kesepatakan itu ga merugikan ya kita ngikut, dan selama ini kita ga pernah kesulitan untuk sepakat bersama-sama”.
Tabel berikut menampilkan jumlah dan persentase tingkat pendidikan anggota LMDH Rimba Mulya. Tabel 34 Tingkat pendidikan seluruh anggota LMDH Rimba Mulya Frekuensi Tingkat pendidikan Jumlah (N) Persentase (%) Tidak tamat SD 6 2.55 Tamat SD 207 88.08 Tamat SMP 4 17.00 Tamat SMA/SMK 18 7.65 Total 235 100.00 Sumber: Profil LMDH Rimba Mulya tahun 2014
68
LMDH Rimba Mulya memiliki 235 anggota, dengan mayoritas pendidikan anggotanya adalah tamat SD, yaitu sebesar 88,08%, dan tidak ada pesanggem yang memiliki pendidikan sampai pada jenjang Perguruan Tinggi.
Hubungan Tingkat Pendapatan terhadap Efektivitas PHBM sebagai Resolusi Konflik Karakteristik tingkat pendapatan bertujuan untuk menunjukkan distribusi data temuan di lapang tentang jumlah pendapatan anggota LMDH Rimba Mulya. Tabel 35 Jumlah dan persentase tingkat pendapatan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Tingkat No pendapatan 1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi Total
Efektivitas PHBM Sebagai Resolusi Konflik Rendah ∑ % 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Sedang ∑ % 6 50.0 10 52.6 6 66.7 22 55.0
Tinggi ∑ % 6 50.0 9 47.4 3 33.3 18 45.0
Total (%) ∑ 12 19 9 40
% 100.0 100.0 100.0 100.0
Uji Spearman: Nilai Signifikansi = 0,488 ; Koefisien Korelasi -0,113
Dari tabel di atas diketahui bahwa total persentase derajat efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik sedang dan tingkat pendapatan sedang menunjukkan persentase dominan sebesar 52,6%. Berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik. Karena Nilai Signifikansi > 0,1 maka hipotesis yang diterima adalah H0. Berdasarkan temuan di lapangan, mayoritas tingkat pendapatan responden anggota LMDH Rimba Mulya sebanyak 47,5% memiliki tingkat pendapatan sedang. Temuan di lapang menunjukkan responden anggota LMDH Rimba Mulya adalah para pesanggem memiliki pendapatan tertinggi sebesar Rp5.000.000 dan pendapatan paling rendah sebesar Rp300.000 dengan rata-rata jumlah pendapatan sebesar Rp1.737.500. Distribusi responden yang memiliki tingkat pendapatan sedang adalah sebanyak 19 orang. Para responden yang terdiri dari 19 orang tersebut adalah para pesanggem yang memiliki petak lahan PHBM yang mengalami tebangan penjarangan sengon pada tahun 2008. Sehingga hanya ada 19 dari 40 orang responden yang mengalami proses pemanfaatan hasil tebangan penjarangan kayu sengon bersama dengan perhutani pada program PHBM. Sedangkan 21 responden lainnya tidak ikut dalam pemanfaatan hasil tebangan penjarangan pada tahun 2008.
69
Hubungan Jumlah Tanggungan terhadap Efektivitas PHBM sebagai Resolusi Konflik Jumlah tanggungan anggota LMDH Rimba Mulya mempunyai peran penting dalam efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik. Karakteristik jumlah tanggungan tersebut bertujuan untuk menunjukkan distribusi data hasil temuan di lapang mengenai jumlah tanggungan anggota LMDH Rimba Mulya. Tabel 36 Jumlah dan persentase jumlah tanggungan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Efektivitas PHBM Sebagai Resolusi Konflik Total (%) Jumlah No tanggungan Rendah Sedang Tinggi ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % 1 Rendah 0 0.0 2 25.0 6 75.0 8 100.0 2 Sedang 0 0.0 9 52.9 8 47.1 17 100.0 3 Tinggi 0 0.0 11 73.3 4 26.7 15 100.0 Total 0 0.0 22 55.0 18 45.0 40 100.0 Uji Spearman: Nilai Signifikansi = 0,028 ; Koefisien Korelasi -0,374
Dari tabel di atas, diketahui bahwa total persentase derajat efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik sedang dan jumlah tanggungan tinggi menunjukkan persentase dominan sebesar 73,3%. Berdasarkan uji statistik terdapat hubungan negatif antara karakterisitk jumlah tanggungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik. Karena Nilai Signifikansi < 0,1 maka hipotesis yang diterima adalah H1. Nilai Koefisien Korelasi yang bernilai negatif menghasilkan hipotesis semakin tinggi karakteristik jumlah tanggungan, maka semakin rendah efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik. Berdasarkan temuan di lapangan, mayoritas jumlah tanggungan responden anggota LMDH Rimba Mulya sebanyak 42,5% memiliki jumlah tanggungan sedang. Temuan di lapang menunjukkan responden anggota LMDH Rimba Mulya adalah para pesanggem yang memiliki jumlah tanggungan terbanyak yaitu 7 orang dan jumlah tanggungan paling sedikit adalah 1 orang, dengan rata-rata jumlah tangggungan sebanyak 3,075 orang (kategori sedang). Banyaknya jumlah individu yang menjadi tanggungan oleh responden, kemudian menyebabkan responden untuk harus meluangkan waktu lebih banyak untuk tanggungan yang responden miliki, sehingga menyebabkan responden memiliki waktu yang lebih sedikit untuk berpartisipasi dalam PHBM. Adanya beban tanggungan yang tinggi kemudian menyebabkan responden kekurangan waktu untuk mengikuti kegiatan-kegiatan PHBM. Hal serupa dituturkan salah satu pesanggem yang memiliki jumlah tanggungan 5 orang, bapak BY (27 tahun). “Kalau saya berangkat ke kebun salak itu agak siangan mas, paginya kan saya nganter anak dan istri sekolah, istri saya kan guru, jadi berangkat ke ladangnya itu jam sepuluhan, disana ngurus salaknya juga sebentar, cuma sampe jam setengah tiga sore, soalnya saya harus jemput anak-anak
70
sedangkan istriku ya istri, saya juga jarang ikut rapat mas, ga sempat, soalnya lebih banyak waktu buat ngurusin anak-anak”.
Penuturan sebaliknya disampaikan oleh salah satu pesanggem responden yang memiliki jumlah tanggungan hanya satu orang sehingga memiliki waktu lebih untuk berpartisipasi dalam kegiatan PHBM, bapak PY (60 tahun). “Saya sehari-hari dari pagi jam 8 sampai magrib itu di kebun mas ya fokus ngurusin petak lahan saya, ngurus salak itu kan agak repot ya, jadi harus luangin banyak waktu di kebun. Di rumah ya berdua sama istri aja kan anak sudah kerja semua, sudah merantau. Kalau ada pertemuan ya saya selalu ikut, ga pernah absen saya dari dulu”.
Berdasarkan temuan tersebut, diketahui bahwa jumlah tanggungan memiliki hubungan negatif dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik. Semakin tinggi jumlah tanggungan, maka efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik semakin rendah, dan juga sebaliknya, semakin rendah jumlah tanggungan maka semakin tinggi efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik.
Hubungan Tingkat Kepemilikan Lahan Persil Sebelum PHBM terhadap Efektivitas PHBM sebagai Resolusi Konflik Tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM adalah besarnya lahan yang dikelola oleh responden saat sebelum PHBM diterapkan. Jika terdapat lebih dari satu (sewa, sakap, dan hak milik) maka dihitung secara kumulatif. Berdasarkan tabel 37, diketahui bahwa total persentase derajat efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik sedang dan tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM sedang menunjukkan persentase dominan sebesar 56,5%. Berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan antara tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konfik. Karena Nilai Signifikansi > 0,1 maka hipotesis yang diterima adalah H0. Tabel 37 Jumlah dan persentase tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Tingkat Efektivitas PHBM Sebagai Resolusi kepemilikan Konflik Total (%) No lahan persil Rendah Sedang Tinggi sebelum ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % PHBM 1 Rendah 0 0.0 7 58.3 5 41.7 12 100.0 2 Sedang 0 0.0 13 56.5 10 43.5 23 100.0 3 Tinggi 0 0.0 2 40.0 3 60.0 5 100.0 Total 0 0.0 22 55.0 18 45.0 40 100.0 Uji Spearman: Nilai Signifikansi 0,597 =; Koefisien Korelasi 0,086
71
Temuan di lapangan, rata-rata tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM adalah sebesar 0,76 Ha. Sebelum adanya PHBM, individu yang sudah memiliki lahan persil yang luas belum dapat mengikuti program PHBM yang ditawarkan oleh Perhutani, karena pada awal pelaksanaan program PHBM ditujukan kepada individu yang memiliki lahan pribadi sedikit dan juga individu belum memiliki lahan pribadi. Jumlah individu yang memiliki lahan persil kategori rendah dan sedang adalah sebanyak 35 orang dengan persentase 87,5%. Kondisi tersebut juga dituturkan oleh ketua LMDH Rimba mulya, bapak NS (42 tahun). “Untuk ketentuan pembagian petak lahan, awal mulanya ditujukan kepada masyarakat yang memiliki lahan sedikit, yaitu di bawah 1 hektar, dan juga masyarakat yang tidak memiliki lahan. Masyarakat yang lahannya terbatas itu justru rajin ikut PHBM, malah kalau yang lahan pribadinya banyak, justru lahan PHBM nya ga keurus, malah yang sudah punya banyak lahan pribadi ya rata-rata ga ikut PHBM lagi, walaupun ada juga masyarakat yang sanggup mengelola banyak lahan”.
Berdasarkan temuan tersebut diketahui bahwa kepemilikan lahan persil sebelum PHBM tidak berhubungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik, namun kepemilikan lahan persil sebelum PHBM menjadi penentu pembagian awal petak lahan PHBM pada tahap perencanaan.
Hubungan Tingkat Kepemilikan Lahan Persil Sesudah PHBM terhadap Efektivitas PHBM sebagai Resolusi Konflik Tingkat kepemilikan lahan persil sesudah PHBM adalah besarnya lahan yang dikelola oleh responden saat sesudah PHBM diterapkan yang diukur dalam satuan hektar (Ha), jika terdapat lebih dari satu (sewa, sakap, dan hak milik) maka dihitung secara kumulatif. Tabel 38 Jumlah dan persentase tingkat kepemilikan lahan persil sesudah PHBM terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Tingkat Efektivitas PHBM Sebagai Resolusi kepemilikan Konflik Total (%) No lahan persil Rendah Sedang Tinggi sesudah ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % PHBM 1 Rendah 0 0.0 9 50.0 9 50.0 18 100.0 2 Sedang 0 0.0 6 60.0 4 40.0 10 100.0 3 Tinggi 0 0.0 7 58.3 5 41.7 12 100.0 Total 0 0.0 22 55.0 18 45.0 40 100.0 Uji Spearman: Nilai Signifikansi 0,626 =; Koefisien Korelasi -0,790
72
Dari tabel di atas, diketahui bahwa total persentase derajat efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik sedang dan tinggi, serta tingkat kepemilikan lahan persil sesudah PHBM rendah menunjukkan persentase yang seimbang sebesar 50,0%. Berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan antara tingkat kepemilikan lahan persil sesudah PHBM dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konfik. Karena Nilai Signifikansi > 0,1 maka hipotesis yang diterima adalah H0. Kondisi tersebut terjadi karena pesanggem yang memiliki lahan persil rendah, memiliki waktu lebih banyak dalam mengikuti kegiatan PHBM dibandingkan pesanggem yang memiliki lahan persil yang tinggi. Sehingga pesanggem yang memiliki lahan persil rendah dapat lebih berpartisipasi dalam kegiatan PHBM. Melalui observasi lapang, peneliti menemukan bahwa pesanggem setiap harinya menghabiskan sembilan (9) jam setiap harinya untuk mengelola lahan salak PHBM, pengelolaan yang dilakukan oleh pesanggem yaitu pembersihan sela tanaman salak, penyerbukan buatan, pemupukan, serta pemanenan, sehingga menjadikan pesanggem memiliki waktu luang yang sedikit untuk mengelola lahan selain lahan PHBM. Para pesanggem yang memiliki lahan PHBM rendah, cenderung dapat membagi waktu dan fokus dalam setiap kegiatan PHBM. Penuturan serupa juga dituturkan oleh salah satu pesanggem yang mengelola lahan PHBM, bapak MS (42 tahun). “Saya setiap pagi berangkat ke kebun itu jam 8, pulangnya bisa sampai jam 6 sore kadang mas, saya kan mengelola satu petak, jadi ga banyak pikiran, lebih bisa fokuslah ngelola petak lahan PHBM saya, kalau lahan saya kebanyakan takutnya malah ga keurus, soalnya ngerawat salak ini kan agak susah ya mas, tiap hari harus dibersihkan, trus kan kita nyari bunganya buat diserbuk”.
Berdasarkan temuan lapang tersebut diketahui bahwa kepemilikan lahan persil sesudah PHBM tidak berhubungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik, namun kepemilikan lahan persil sebelum PHBM yang tinggi dapat menjadi penghalang bagi para pesanggem untuk berpartisipasi dalam kegiatan PHBM. Gambar berikut memperlihatkan sebaran kepemilikan lahan persil saat sebelum PHBM dan sesudah PHBM dengan menggunakan acuan standar deviasi berdasarkan penggolongan pada kepemilikan lahan persil sebelum PHBM.
73
2
12,5 % 5 0rang (12,0 Ha)
2 57,5 % 23 orang (16,22 Ha)
7,5 % 3 orang (5,25 Ha)
47,5 % 19 orang ( 13,1 Ha)
2 30,0 % 12 orang (2,27 Ha)
Gambar 4. Kepemilikan lahan persil sebelum PHBM
4
45,0 % 18 orang (2,79 Ha)
Gambar 5. Kepemilikan lahan Persil sesudah PHBM
Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat dinamika kepemilikan lahan persil sebelum dan sesudah adanya PHBM di Desa Kalimendong, terjadi pergeseran distribusi kepemilikan lahan di setiap tingkatan yang terjadi secara dinamis. Pada kepemilikan lahan persil tinggi, terjadi penurunan frekuensi sebesar 5,0% setelah adanya PHBM sehingga frekuensinya menjadi 7,5%. Pada kepemilikan lahan sedang, terjadi penurunan frekuensi sebesar 10,0% setelah adanya PHBM sehingga frekuensinya menjadi 47,5%. Pada kepemilikan lahan rendah, terjadi peningkatan frekuensi yaitu sebesar 15,0% setelah adanya PHBM sehingga frekuensinya naik menjadi 45,0%. Total kepemilikan lahan persil sebelum PHBM adalah 30,49 Ha, dan total kepemilikan lahan persil sesudah PHBM adalah 21,14 Ha. Berdasarkan temuan di lapang, adanya penurunan frekuensi kepemilikan lahan persil disebabkan karena 9 orang pesanggem menjual lahan pribadi yang mereka miliki, namun hanya 8 orang yang mengalami penurunan tingkatan kepemilikan lahan. Penjualan tersebut dilakukan dengan alasan ketidakmampuan pesanggem dari segi waktu untuk mengelola lahan yang luas dan juga pesanggem cenderung enggan untuk melepaskan lahan PHBM yang mereka kelola, karena pertimbangan modal yang rendah karena adanya bantuan bibit dari Perhutani dan berbagai keuntungan tambahan yang diperoleh ketika mengikuti PHBM, diantaranya keuntungan usaha mandiri LMDH. Kondisi tersebut menyebabkan pesanggem lebih memilih mengelola lahan PHBM dan menjual sebagian lahan pribadi. Penuturan serupa disampaikan oleh salah satu pesanggem yang mengalami penurunan jumlah lahan persil, bapak SY (48 tahun). “Dulu saya ada lahan pribadi 4 hektar, yang ditanem itu dulu jagung mas, nah pas PHBM udah masuk sini, tak ngerasain hasil dari PHBM salak itu lebih bagus mas, akhirnya lahan pribadi itu tak jual 3 hektar, soalnya saya ga sanggup kalau ngelola terlalu banyak, mending saya di salak PHBM saja, soalnya kan bibitnya dikasih Perhutani, trus modalnya juga ga terlalu gede mas, harga jualnya juga bagus lah, apalagi kalau ada penjualan kambing LMDH, saya juga dapat tambahan penghasilan lagi”.
74
Temuan di lapangan menunjukkan 7 orang pesanggem membeli lahan baru, namun hanya 2 orang pesanggem yang mengalami peningkatan tingkat kepemilikan lahan. Lahan baru yang dimiliki oleh pesanggem tersebut cenderung sebagai lahan tidur (tidak berproduksi) dan hanya dipergunakan sebagai aset untuk kemudian dijual kembali ketika terdesak membutuhkan biaya untuk keperluan tertentu. Penuturan serupa disampaikan oleh salah satu pesanggem yang mengalami peningkatan jumlah lahan persil, bapak PAI (41 tahun). “Ya awalnya kan ada lahan pribadi mas, luasnya 1 Ha, dulu saya tanem kopi, pas udah ikutan PHBM saya pikir hasil salak dari PHBM jauh lebih besar mas dibanding sama kopi, terus saya ganti tanaman kopi menjadi salak kayak PHBM, alhamdulillah ya dapet lebih lah buat beli tanah lagi, tapi tanah yang saya beli itu engga saya tanem salak juga, saya biarin aja mas, itu nanti bisa buat dijual lagi, kalau nanti ada keperluan atau nanti anak saya mau kuliah kayak si mas nya”.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan jumlah kepemilikan lahan persil responden setelah adanya PHBM. Temuan di lapang menunjukkan bahwa Pesanggem cenderung lebih mengurangi jumlah lahan pribadi yang mereka miliki, agar dapat fokus mengelola lahan PHBM. Adanya pertambahan jumlah lahan persil digunakan pesanggem sebagai lahan tidur (tidak berproduksi) dan hanya digunakan sebagai aset untuk dijual kembali, ketika mengalami krisis. Kecenderungan pesanggem yang lebih memilih fokus dengan program PHBM, menjadikan partisipasi pesanggem dapat berjalan dengan baik pada setiap tahapan PHBM, dengan kondisi tersebut, konflik dapat diredam karena kepentingan para pesanggem maupun Perhutani sebagai aktor pengelola dan pengawas hutan dapat terakomodasi dengan baik karena adanya partisipasi yang tinggi.
Hubungan Luas Petak Lahan PHBM terhadap Efektivitas PHBM sebagai Resolusi Konflik Luas petak lahan PHBM adalah besarnya lahan PHBM yang dikelola oleh responden saat penelitian dilakukan. Lahan tersebut berada di lokasi hutan PHBM dan dihitung dalam satuan Hektar (Ha). Sebanyak 50,0% responden memiliki luas petak lahan PHBM rendah, 40,0% memiliki luas petak lahan sedang, dan hanya 10,0% responden yang memiliki luas petak lahan PHBM yang tinggi. Rata-rata luas petak lahan PHBM adalah seluas 0,46 Ha.
75
Tabel 39 Jumlah dan persentase luas petak lahan PHBM terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Efektivitas PHBM Sebagai Resolusi Konflik Total (%) Luas petak No lahan PHBM Rendah Sedang Tinggi ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % 1 Rendah 0 0.0 10 50.0 10 50.0 20 100.0 2 Sedang 0 0.0 9 56.2 7 43.8 16 100.0 3 Tinggi 0 0.0 3 75.0 1 25.0 4 100.0 Total 0 0.0 22 55.0 18 45.0 40 100.0 Uji Spearman: Nilai Signifikansi 0,440 ; Koefisien Korelasi -0,126
Dari tabel di atas, diketahui bahwa total persentase derajat efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik tinggi dan sedang, serta luas petak lahan PHBM rendah menunjukkan persentase yang seimbang yaitu dengan persentase sebesar 50,0%. Berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan antara luas petak lahan PHBM dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konfik. Karena Nilai Signifikansi > 0,1 maka hipotesis yang diterima adalah H0. Kondisi tersebut diakibatkan karena, jumlah luas petak lahan PHBM yang tinggi tidak menjamin efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik menjadi tinggi pula. Luas petak lahan yang tinggi justru akan menjadikan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik menurun jika lahan tersebut memiliki tutupan pinus yang rapat, sedangkan jika pada luas petak lahan PHBM yang rendah dapat menjadikan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik menjadi tinggi jika lahan tersebut memiliki tutupan pinus yang jarang. Tutupan pinus yang terlalu rapat dapat menjadi penyebab rendahnya pendapatan pesanggem karena tutupan pinus tersebut dapat menghalangi sinar matahari bagi komoditas salak yang berada di bawah tegakan pinus, sehingga menyebabkan salak tidak dapat berbuah, bahkan bisa mati. Hasil temuan di lapang, pesanggem yang memiliki lahan luas, namun memiliki tutupan pinus yang rapat dapat memicu terjadinya konflik, ketika pesanggem melakukan tindakan teresan yang mengakibatkan pohon pinus mati secara perlahan.
Petak Lahan PHBM 42a 42b 44a 44b
Tabel 40 Persentase tutupan pinus Luas petak (Ha) Jumlah pohon 24.5 1 768 12.2 2 761 6.3 1 761 27.9 833
Kerapatan pinus 72.16 pohon/Ha 226.31 pohon/Ha 279.52 pohon/Ha 29.85 pohon/Ha
kawasan petak hutan yang memiliki tutupan pohon pinus paling padat berada di petak 44a, hal tersebut terjadi karena pada petak kawasan 44a memiliki tegakan pinus yang sangat padat, dengan kerapatan pinus 279,52 pohon/Ha. Kondisi tersebut menyebabkan mayoritas tanaman salak yang berada di petak 44a memiliki produksi yang sedikit, bahkan tidak dapat berproduksi. Para pesanggem yang memiliki pendapatan tinggi dan sedang adalah para pesanggem yang memiliki anak petak berada di petak 42a.
76
Hal tersebut juga dituturkan oleh salah satu pesanggem memiliki kawasan petak hutan PHBM yang berada di petak 44a, bapak SY (40 tahun). “Pembagian kawasan petak PHBM kan diundi biar adil, jadi kita ga bisa milih petak yang tutupannya jarang, saya kebetulan dapetnya di petak 44a, disitu saya mengelola 3 anak petak mas, luasnya kira-kira ya tiga perempat hektar, tapi tanaman salak saya di sana ga bisa berbuah banyak mas, kan di sana itu tutupan pinusnya padet banget ya, jadi tetap saja produksi salak saya sedikit, padahal luas anak petak yang saya kelola itu luas”.
Kondisi demikian menyebabkan para pesanggem yang memiliki luas petak lahan PHBM rendah, namun dengan kondisi tutupan pinus yang jarang, kemudian dapat menghasilkan produksi salak yang baik, sehingga efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik akan tetap tinggi, walaupun luas petak lahan pesanggem rendah.
Hubungan Umur terhadap Efektivitas PHBM sebagai Resolusi Konflik Tabel berikut menampilkan hubungan responden menurut karakteristik umur terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik. Tabel 41
Jumlah dan persentase umur terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Efektivitas PHBM Sebagai Resolusi Konflik Total (%) No Umur Rendah Sedang Tinggi ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % 1 Non-produktif 0 0.0 2 40.0 3 60.0 5 100.0 2 Produktif 0 0.0 20 57.7 15 42.9 35 100.0 Total 0 0.0 22 55.0 18 45.0 40 100.0
Uji Chi-Square: P Chi-Square value = 0,519 ; P Chi-Square value table = 2,706 ; α = 0,1 ; df = 1 ; Nilai Signifikansi = 0,471
Dari tabel 41, diketahui bahwa total persentase derajat efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik sedang dan umur produktif menunjukkan persentase dominan sebesar 87,5%. Berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan antara karakteristik umur dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konfik, karena Nilai Signifikansi > 0,1 maka hipotesis yang diterima adalah H0. Temuan di lapang menunjukkan pada seluruh anggota LMDH Rimba mulya sebanyak 235 orang, terdapat 170 orang berada pada umur produktif dengan persentase 72,34%, sedangkan pada umur non-produktif terdapat 58 orang dengan persentase 24,68%. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya mengenai PHBM, umur produktif merupakan umur dimana masyarakat aktif melakukan kegiatan di dalam hutan. Hampir seluruh masyarakat umur produktif melakukan kegiatan pemanfaatan hutan, pemeliharaan dan penjagaan wilayah hutan secara efektif (Theresia 2008).
77
Hal tersebut juga dituturkan oleh salah satu pesanggem yang berada pada umur non-produktif, bapak AB (72 tahun). “Kalau ikut PHBM itu kan kita dikasih lahan buat nanem salak ya mas, kalau ngurus salak itu tiap harinya saya mulai jam 8 pagi, selesainya kadang jam 4 sore, soalnya saya kan sudah tua mas, apalagi saya ngelola dua anak petak, jadi cepet capek, kalau malemnya ada pertemuan rapat itu saya ga pernah hadir, sudah ga sanggup lagi kayak dulu”.
Temuan tersebut menjelaskan bahwa pesanggem yang memiliki usia produktif akan lebih efektif dalam melaksanakan kegiatan PHBM, sehingga penyelesaian konflik dalam kegiatan PHBM dapat berjalan dengan baik.
Hubungan Jenis Kelamin terhadap Efektivitas PHBM sebagai Resolusi Konflik Jenis kelamin responden pada penelitian ini adalah sifat fisik responden seperti yang tercatat dalam kartu identitas yang dimiliki oleh responden, yaitu laki-laki dan perempuan. Tabel 42
Jumlah dan persentase jenis kelamin terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Efektivitas PHBM Sebagai Resolusi Konflik Total (%) Jenis No kelamin Rendah Sedang Tinggi ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % 1 Perempuan 0 0.0 2 100.0 0 0.0 2 100.0 2 Laki-laki 0 0.0 20 52.6 18 47.4 38 100.0 Total 0 0.0 22 55.0 18 45.0 40 100.0
Uji Chi-Square: P Chi-Square value = 1,722 ; P Chi-Square value table = 2,706 ; α = 0,1 ; df = 1 ; Nilai Signifikansi = 0,189
Dari tabel 42, diketahui bahwa total persentase derajat efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik sedang dan jenis kelamin laki-laki menunjukkan persentase dominan sebesar 95,0%. Berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan antara karakteristik jenis kelamin dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konfik, karena Nilai Signifikansi > 0,1 maka hipotesis yang diterima adalah H0. Temuan di lapang menunjukkan pada seluruh anggota LMDH Rimba Mulya sebanyak 235 orang, memiliki sebaran anggota jenis kelamin laki-laki sebanyak 230 orang dengan persentase 97,87%, sedangkan jenis kelamin perempuan terdapat 5 orang dengan persentase 2,12%. Adanya kehadiran pesanggem perempuan di LMDH Rimba Mulya, karena para pesanggem perempuan tersebut adalah seorang single parent, atau para perempuan ditinggal merantau oleh suaminya, sehingga menyebabkan para
78
perempuan tersebut ikut mengelola lahan hutan, dan juga dikarenakan para perempuan tersebut hanya memiliki kemampuan bertani. Hal serupa juga dituturkan oleh salah satu pesanggem perempuan yang menjadi anggota LMDH Rimba Mulya, Ibu MY (38 tahun). “Dulu sebelum PHBM itu saya bertani sawah sama suami saya, terus lahan itu dijual buat modal suami saya merantau ke Kalimantan, setelah itu muncul PHBM itu disini dan saya ikut, kan saya sudah ga punya pemasukan dulu mas, pemasukan cuma dari kiriman suami saya itu, saya kan ga bisa apa-apa selain bertani makanya saya coba ikut PHBM, tapi kalau ada rapat pertemuan gitu saya jarang hadir, soalnya anak saya masih kecil jadi ga bisa ditinggal lama, yang sering ikut rapat pertemuan itu biasanya laki-laki, perempuan jarang pernah hadir”.
Ketika diadakan pertemuan antara Perhutani dengan para pesanggem, para angggota perempuan tersebut jarang mengikuti pertemuan, berbeda halnya dengan laki-laki yang selalu mengikuti apabila ada pertemuan antara pesanggem dengan Perhutani.
Hubungan Jenis Pekerjaan terhadap Efektivitas PHBM sebagai Resolusi Konflik Jenis pekerjaan responden dalam penelitian ini adalah jenis pekerjaan yang dilakukan selain melakukan kegiatan PHBM. Jenis pekerjaan dibagi atas bidang pertanian dan non-pertanian. Bidang pertanian terdiri dari pekerjaan pertanian, perburuan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Sedangkan bidang nonpertanian terdiri dari pekerjaan selain bidang pertanian. Hasil penelitian di lapang menunjukkan bahwa jenis pekerjaan nonpertanian yang dilakukan oleh responden adalah pekerjaan ojek, pedagang parfum, pedagang ayam potong, dan pejabat pemerintah Desa Kalimendong. Tabel 43
Jumlah dan persentase jenis pekerjaan terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik di Desa Kalimendong tahun 2015 Efektivitas PHBM Sebagai Resolusi Konflik Total (%) Jenis No pekerjaan Rendah Sedang Tinggi ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % 1 Non-pertanian 0 0.0 5 71.4 2 28.6 7 100.0 2 Pertanian 0 0.0 17 51.5 16 48.5 33 100.0 Total 0 0.0 22 55.0 18 45.0 40 100.0
Uji Chi-Square: P Chi-Square value = 0,925 ; P Chi-Square value table = 2,706 ; α = 0,1 ; df = 1 ; Nilai Signifikansi = 0,336
Dari tabel di atas, diketahui bahwa total persentase derajat efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik sedang dan jenis pekerjaan pertanian menunjukkan persentase dominan sebesar 51,5%.
79
Berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan antara karakteristik jenis pekerjaan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konfik, karena Nilai Signifikansi > 0,1 maka hipotesis yang diterima adalah H0. Responden yang melakukan pekerjaan non-pertanian selain mengelola lahan PHBM mengalami kesulitan dalam pembagian waktu kerja. Sedangkan responden yang hanya melakukan kegiatan pertanian tidak mengalami kesulitan membagi waktu untuk mengikuti PHBM. Hal tersebut juga dituturkan oleh salah satu responden yang melakukan pekerjaan non-pertanian yaitu membuka toko parfum, bapak SL (30 tahun). “Selain PHBM kan saya juga pedagang parfum mas, toko parfum saya ada di dekat kecamatan, sekitar 6 kilometer dari rumah saya, sedangkan lahan saya ada di petak 42a dan lokasinya dalem banget, saya kesulitan membagi waktu antara menjaga toko parfum dengan mengelola lahan PHBM, jadi kalau pagi yang jaga di toko itu istri saya dan saya pagi itu ke kebun salak, kalau siang sampe sore saya yang menjaga toko, begitulah setiap harinya kegiatan saya, kalau malemnya ada pertemuan ya saya ga ikut mas, sudah kecapean soalnya”.
Berdasarkan temuan tersebut, kondisi pekerjaan responden di bidang pertanian lebih dapat membagi waktu untuk ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan PHBM, dibandingkan dengan responden pekerjaan non-pertanian. Ikhtisar Anggota LMDH Rimba Mulya yang menjadi responden pada penelitian ini memiliki karakteristik, yaitu : 1) berpendidikan rendah, 2) mayoritas berada pada umur produktif, 3) mayoritas anggota adalah laki-laki, dan minoritas adalah perempuan, 4) mayoritas memiliki tingkat pendapatan sedang, 5) memiliki jumlah tanggungan sedang, 6) memiliki tingkat kepemilikan lahan sebelum PHBM sedang, 7) memiliki tingkat kepemilikan lahan sesudah PHBM rendah, 8) memiliki luas petak lahan PHBM rendah, 9) mayoritas memiliki pekerjaan pertanian, dan minoritas pekerjaan non-pertanian. Hasil uji statistik menyimpulkan bahwa karakteristik yang berhubungan dengan efektifitas PHBM sebagai resolusi konflik, adalah karakteristik jumlah tanggungan. Hubungan antara kedua variabel tersebut adalah hubungan negatif, karena memiliki Nilai Signifikansi 0,028 dan Keofisien Korelasi -0,374. Sedangkan karakteristik lainnya tidak memiliki hubungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik berdasarkan uji statistik pada taraf signifikansi 0,1. Berikut ditampilkan hasil uji statistik pada hubungan setiap karakteristik individu terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik.
80
No Hipotesis Uji 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tabel 44 Hasil uji statistik α n-sig
Diduga Tingkat pendidikan berhubungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Diduga Tingkat pendapatan berhubungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Diduga jumlah tanggungan berhubungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Diduga Tingkat kepemilikan lahan persil sebelum PHBM berhubungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Diduga Tingkat kepemilikan lahan persil sesudah PHBM berhubungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Diduga luas lahan PHBM berhubungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Diduga umur berhubungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Diduga jenis kelamin berhubungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Diduga jenis pekerjaan berhubungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik
0.1
0,232
0.1
0,488
Hipotesis Uji diterima Statistik H0 Rank Spearman H0
Rank Spearman
0,028 Koef. Korelasi = -0,374 0.1 0,597
H1
Rank Spearman
H0
Rank Spearman
0.1
0,626
H0
Rank Spearman
0.1
0,440
H0
Rank Spearman
0.1
0,471
H0
Chi Square
0.1
0,189
H0
Chi Square
0.1
0,336
H0
Chi Square
0.1
81
PENUTUP
Kesimpulan Konflik pengelolaan sumber daya hutan di Desa Kalimendong telah terjadi sejak tahun 1998 akibat ketidakstabilan kondisi negara pada saat itu. Situasi tidak kondusif kemudian mengakibatkan banyaknya kasus penjarahan hutan termasuk hutan negara di wilayah Desa Kalimendong sehingga menyebabkan kerusakan hutan yang besar. Konflik antara masyarakat dengan Perhutani tersebut mencapai puncaknya pada tahun 2004, ketika Perhutani melakukan penangkapan oknum masyarakat yang melakukan penjarahan kayu, yang kemudian berujung pada pembakaran pos Tempat Pengumpulan Getah (TPG) milik Perhutani. Berdasarkan wujud konflik yang terjadi, konflik di Desa Kalimendong berwujud emerging dan manifest, sedangkan menurut levelnya, konflik yang terjadi adalah konflik vertikal. Berdasarkan sumbernya, konflik yang terjadi di Desa Kalimendong bersumber dari perbedaan dalam tataran perbedaan kepentingan, perbedaan persepsi, dan perbedaan hak kepemilikan. Implementasi PHBM di Desa Kalimendong pada tahun 2002 dapat menjadi strategi resolusi konflik, proses penyelesaian konflik melalui implementasi PHBM di Desa Kalimendong adalah strategi penyelesaian konflik secara Problem Solving, yaitu, penyelesaian konflik yang menghasilkan kepuasan, melalui akomodasi setiap kepentingan bagi kedua belah pihak, yaitu masyarakat dan Perhutani. Strategi resolusi konflik yang diterapkan kemudian menghasilkan; 1) penurunan grafik pencurian kayu, 2) adanya PHBM yang dapat menjadikan masyarakat terlibat secara aktif melalui program-program dalam bentuk kerja sama dalam mengelola dan mengawasi hutan secara bersama-sama dengan pihak Perhutani, 3) selain bekerja sama dengan Perhutani, masyarakat juga memiliki usaha mandiri yang dinaungi LMDH dengan tujuan meningkatkan pendapatan masyarakat, 4) adanya sistem bagi hasil (sharing profit) sebagai bentuk kerja sama pemanfaatan hasil antara Perhutani dengan masyarakat Desa Kalimendong, 5) sistem kerja PHBM yang partisipatif dalam setiap kegiatannya, baik dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan, serta tahap monitoring dan evaluasi sehingga kepentingan semua pihak yang terlibat dapat terakomodasi dengan baik, 6) adanya berbagai prestasi LMDH Rimba Mulya sebagai LMDH terbaik di tingkat provinsi, maupun tingkat nasional, (7) memperbaiki komunikasi serta kerja sama antara Perhutani dan masyarakat baik dalam hal pengelolaan hutan, maupun dalam pengawasan hutan, dan (8) memberikan dampak perbaikan ekologi yang dirasakan oleh masyarakat. Berbagai bentuk implementasi PHBM yang dilakukan sebagai resolusi konflik tidak serta merta menghilangkan konflik di kawasan Desa Kalimendong. Adanya PHBM kemudian memunculkan konflik baru antara Perhutani dan masyarakat, konflik yang terjadi dalam wujud konflik emerging, ketika kepentingan salah satu pihak tidak terakomodosi dengan baik atau yang disebut dengan Lumping it, yaitu kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya, dan hubungan dengan pihak lawan terus berlanjut. Proses Lumping it yang dilakukan LMDH kepada Perhutani adalah berupa
82
kegagalan LMDH untuk mengakomodasi kepentingan anggotanya agar kenaikan pembayaran sharing tidak jadi dilakukan oleh Perhutani, namun pihak Perhutani tetap melakukan kenaikan sharing dan hubungan Perhutani dengan masyarakat tetap berjalan. Anggota LMDH Rimba Mulya yang menjadi responden pada penelitian ini memiliki karakteristik, yaitu: 1) berpendidikan rendah, 2) berada pada umur produktif, 3) mayoritas anggota adalah laki-laki, dan minoritas adalah perempuan, 4) memiliki tingkat pendapatan sedang, 5) memiliki jumlah tanggungan sedang, 6) memiliki tingkat kepemilikan lahan sebelum PHBM sedang, 7) memiliki tingkat kepemilikan lahan sesudah PHBM rendah, 8) memiliki luas petak lahan PHBM rendah, dan 9) mayoritas memiliki pekerjaan pertanian, dan minoritas pekerjaan non-pertanian. Berdasarkan uji statistik, dari semua karakteristik, ditemukan hanya satu karakteristik yang berbuhungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik, yaitu karakteristik jumlah tanggungan individu anggota LMDH Rimba Mulya berhubungan negatif terhadap efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik, sementara karakteristik lainnya secara statistik tidak memiliki hubungan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik, temuan di lapang menghasilkan bahwa semakin tinggi jumlah tanggungan individu maka efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik akan semakin rendah, hal tersebut diakibatkan karena dalam kegiatan PHBM, masyarakat dituntut memiliki banyak waktu untuk mengikuti serangkaian kegiatan PHBM, sehingga bagi individu yang memiliki jumlah tanggungan tinggi, maka akan memiliki sedikit waktu untuk mengikuti kegiatan PHBM.
Saran Bagi akademisi, penelitian ini memperlihatkan bahwa fenomena sosial konflik pengelolaan sumber daya hutan bersumber dari hal yang paling mendasar yaitu perbedaan persepsi antara pengelola hutan dengan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Melalui PHBM dilakukan penyatuan pemahaman antar setiap stakeholder yang terlibat agar tercapai penyelesaian konflik. Hasil akhir dari implementasi PHBM adalah terakomodasinya kepentingan setiap stakeholder yang terlibat, melalui proses partisipatif dalam setiap tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, monitoring, dan evaluasi. Penelitian ini juga nantinya diharapkan dapat menjadi pustaka acuan dalam melakukan penelitian tentang PHBM. Bagi Perhutani, berdasarkan temuan di lapangan, PHBM kemudian memunculkan konflik baru akibat kepentingan masyarakat untuk membatalkan kenaikan sharing profit tidak dapat disetujui oleh Perhutani. Bagi Perhutani hendaknya memberikan kebijakan kelonggaran sharing profit bagi pesanggem yang memiliki lahan PHBM dengan tutupan pinus yang rapat, kelonggaran tersebut dapat diimplementasikan dengan memasukkan variabel kerapatan pinus ke dalam mekanisme pembayaran sharing. Perhitungan kerapatan pinus dapat dilakukan dengan cara sensus tegakan, sehingga didapatkan angka kerapatan pinus pada setiap anak petak lahan PHBM. Bagi pesanggem yang memiliki lahan PHBM dengan kerapatan pinus tinggi maka dapat dikurangi biaya sharing profit yang akan disetorkan kepada Perhutani sehingga tidak ada lagi pesanggem yang
83
melakukan tindakan teresan. Namun, jika hal permasalahan itu tidak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan kedua pihak, maka bukan tidak mungkin dapat memicu kembali terjadinya konflik. Selain untuk menjadi pertimbangan pembayaran sharing profit, sensus juga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui jumlah tegakan pinus pada setiap lahan yang dikelola oleh pesanggem, ketika terjadi pencurian kayu, maka pesanggem memiliki konsekuensi terhadap pencurian tersebut, konsekuensi yang diterima pesanggem adalah jika Perhutani melakukan tebangan penjarangan, maka pesanggem yang kehilangan tegakan lahannya akan dikurangi bayarannya sesuai dengan jumlah tegakan yang dicuri. Hal tersebut akan menyebabkan pesanggem akan ikut menjaga tegakan yang ada di lahan miliknya, sehingga keamanan hutan akan tetap terjaga. Bagi pemerintah dan Dinas Kehutanan, dapat memberikan fasilitasi kepada para pesanggem terkait pengelolaan lahan PHBM, yaitu pelatihan kelembagaan LMDH, pengelolaan salak maupun pengelolaan usaha mandiri LMDH Rimba Mulya, sehingga para pesanggem dapat menghasilkan produksi yang maksimal, terutama bagi pesanggem yang memiliki petak lahan PHBM dengan kerapatan pinus yang tinggi, melalui pelatihan yang difasilitasi pemerintah dan Dinas Kehutanan, diharapkan permasalahan produksi salak pada lahan kerapatan pinus tinggi dapat teratasi. Bagi masyarakat, khususnya LMDH Rimba Mulya, hendaknya memberikan pembinaan kepada anggota yang melakukan tindakan teresan. Pembinaan bertujuan untuk menjaga tegakan pinus agar tidak rusak, selain itu juga LMDH Rimba Mulya dapat melakukan kemitraan dengan pihak lain untuk saling bekerja sama, sebagai contoh melakukan studi banding dengan LMDH lainnya yang berhasil mengatasi permasalahan-permasalahan terkait produksi salak.
84
85
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2005. Konsep Rumah Tangga [internet]. [diunduh 19 Desember 2014]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id. [CIFOR] Center for International Forestry Research. 2003. Warta Kebijakan. Perhutanan Sosial [Internet]. (3 Feb 2003[diunduh 11 Sep 2014]). Tersedia pada http://cifor.org/acm/download/pub/wk/warta09.pdf. Condliffe P. 1991. Conflict Management a Practical Guide. Victoria (US): Tafe Publications. Dharmawan A, Marina I. 2011. Analisis Konflik Sumber Daya Hutan di Kawasan Konservasi. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia (2011) [Internet]. (11 Feb 2011[diunduh 17 September 2014]); 5 :90-96. Tersedia pada http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5830. Fisher S, Abdi J, Smith LR, Williams S. 2000. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Kartikasari S, penerjemah; Lapilatu RM dan Rini DN, editor. Jakarta (ID): The British Council. Fuad F, Maskanah S. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor (ID): Pustaka LATIN. Hasanusimon. 2010. Dinamika Hutan Rakyat. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Hidayah A. 2012. Manajemen Konflik Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Komunitas (Studi Kasus: Konsep PHBM di KPH Randublatung, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ibrahim J. 2002. Sosiologi Pedesaan. Malang (ID): UMM Pres. Kadir A, Nurhaedah M, Purwanti R. 2013. Konflik pada Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Provinsi Sulawesi Selatan dan Upaya Penyelesaiannya. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi kehutanan (2013) [internet]. (24 Juni 2013[diunduh 24 September 2014]); 10 :186-198. Tersedia pada http://www.fordamof.org/index.php/content/info/43/2010jurnalsosekhttp://w ww.bibliopedant.com/9lh8LyotLMHSrOxBYzxL. Margitawaty B. 2004. Fenomena Pertukaran dalam Pengelolaan Hutan Secara Kolaboratif (Studi Kasus: Implementasi PHBM di Desa Puncak Kecamatan Cigugur dan Desa Linggasana Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mitchell B, Setiawan B, Rahmi D. 2000. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Murniati, Sumarhani. 2010. Pengembangan Model-Model Social Forestry. Anwar S, Hakim I, editor. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. [Perum Perhutani] Perusahaan Umum Perusahaan Hutan Negara Indonesia. 2009. Keputusan Direksi Perum Perhutani Tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Jakarta (ID): Perum Perhutani.
86
Pruitt D, Rubin J. 2009. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Rusli S. 2005. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta (ID): LP3ES. Sardi I. 2010. Konflik Sosial dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan (Studi Kasus di Taman Nasional Bukit Duabelas Provinsi Jambi) [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Singarimbun M, Effendi S. 2008. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Suyatna H, Suseno D. 2007. Mewujudkan Kebijakan Pertanian yang Pro-Petani. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (2007) [Internet]. (Maret 2007[diunduh 11 Sep 2014]). 10: 267-294. Tersedia pada http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/229. Tadjudin D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor (ID): Pustaka LATIN. Tresia D. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perceraian di Sumatera Barat [working paper]. [diunduh 11 sep 2014]. Padang (ID): Universitas Andalas. Tersedia pada: https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&ei=Rby8VKHVNJ Xg8AXZ74HADQ&url=http://repository.unand.ac.id/494/1/diana_tresia_05 206015_27juli_2006.rtf&ved=0CCQQFjAD&usg=AFQjCNGp6Ve_LE196 xEQDmqWvQvR7CTClg&sig2=y17FNLL6F313RE8qcAvx6Q. Theresia C. 2008. Efektivitas Pengelolaan Hutan Kolaboratif Antara Masyarakat Dengan Perum Perhutani Kasus PHBM di KPH Kuningan dan KPH Majalengka Perum Perhutani Unit III Jawa Barat [Skripsi]. [diunduh 11 sep 2014]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tersedia pada: https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&ei=N0-0VKiL4qUuATquoKwBw&url=http://repository.ipb.ac.id/bitstream/123456789/1 1653/2/E08cct.pdf&ved=0CBkQFjAA&usg=AFQjCNE5PpugqaKicvItWo Yu_t0S6Yjohg&sig2=jBc3J4my-fFFKUCi6R41bQ.
87
Lampiran 1 Peta lokasi Desa Kalimendong
88
Lampiran 2 Prestasi LMDH Rimba Mulya Tahun Perlombaan 2006 Lomba konservasi hutan dan lahan tingkat Nasional 2009 Lomba kelompok ternak agropolitan tingkat Kabupaten Wonosobo 2009 Lomba penghijauan dan konservasi alam tingkat Provinsi Jawa Tengah 2010 Lomba penghijauan dan konservasi alam tingkat Provinsi Jawa Tengah 2010 Pemecahan rekor muri gula terpanjang di Indonesia dan Dunia 2010 Bilateral Work Camp Young Volunteer South Korea 2011 Lomba Lembaga Masyarakat Desa Hutan terbaik tingkat Nasional 2013 Lomba Peternakan Kambing Tingkat Provinsi Jawa Tengah 2013 Lomba Lembaga Masyarakat Desa Hutan terbaik tingkat Nasional oleh Kemenhut
Keterangan Juara I Juara I Juara III Juara III Piagam Penghargaan Piagam Penghargaan Juara II Juara I Juara II
89
Lampiran 3 Dokumentasi lapang
Bakal buah salak
Wawancara mendalam ketua LMDH
Buah salak siap panen
Kawasan Hutan Negara
Kebun salak dan Tegakan Pinus
Penyadapan pinus
Tempat pengumpulan salak
Kandang kambing LMDH
Kolam perikanan LMDH
Kantor desa Kalimendong
90
Lampiran 4 Tulisan tematik Konflik Konflik yang terjadi di desa Kalimendong pertama kali terjadi pada tahun 1998, yaitu ketika Perhutani melakukan penangkapan para pelaku penjarah kayu di kawasan hutan negara yang bersebelahan dengan desa Kalimendong. Perhutani melakukan penangkapan sembilan orang yang melakukan aksi penjarahan kayu, dan juga melakukan penyitaan barang bukti berupa kayu pinus yang sudah ditebang oleh para pelaku. Kemudian para pelaku yang berasal dari desa Kalimendong dan Temanggung tersebut diusir keluar dari desa dan dikenakan biaya denda atas kegiatan penjarahan yang mereka lakukan. Munculnya kasus-kasus penjarahan diakibatkan oleh situasi negara yang tidak kondusif akibat fenomena politik runtuhnya Orde Baru, yang menyebabkan masyarakat berusaha mengambil sumber daya hutan yang selama ini tidak dapat mereka akses, yaitu terjadi pada saat pemindahan kekuasaan di tingkat pusat, sehingga tidak kondusif bagi keamanan hutan negara. Akibat dari penjarahan tersebut, terjadi kerusakan hutan yang berdampak pada kerusakan ekologi berupa bencana banjir, dan bencana kekeringan di desa Kalimendong. Pada tahun 2001, diberlakukannya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan karena kerusakan hutan yang luar biasa, maka Pemerintah Daerah Wonosobo melakukan inisiatif dengan mengambil alih pengelolaan hutan negara dari Perhutani. Pengambil alihan tersebut dilakukan dengan cara mengesahkan Perda No 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Adanya Perda tersebut kemudian memunculkan konflik antara Perhutani dengan Pemerintah Daerah Wonosobo. Perda PSDHBM tersebut manjadikan Pemda Wonosobo sebagai aktor pengelola kawasan hutan negara, dan bukanlah Perhutani, sehingga dengan adanya PSDHBM, Perhutani tidak lagi menjadi pengelola hutan negara. Adanya perda PSDHBM tidak berdampak ke desa Kalimendong. Warga desa Kalimendong tetap menggunakan PHBM sebagai acuan dalam pengelolaan hutan negara. pada akhirnya perda PSDHBM dicabut oleh Pemerintah Pusat, dengan diturunkannya surat dari Kementrian Dalam Negeri, sehingga PHBM menjadi model pengelolaan hutan yang kembali berlaku di Kabupaten Wonosobo. Konflik mencapai puncaknya pada tahun 2004, yaitu ketika Perhutani kembali melakukan penangkapan para pelaku penjarah hutan dengan barang bukti kayu sebanyak 12 kubik. Akibat dari penangkapan tersebut, oknum dari desa Kalimendong membakar pos Tempat Pengumpulan Getah (TPG) milik Perhutani sebagai aksi “balas dendam”. Disamping kerusakan hutan negara, kejadian tersebut juga mengakibatnya 1.5 ton getah pinus yang sudah dikumpulkan menjadi hangus terbakar. Kejadian tersebut dapat terjadi karena minimnya pengawasan dari Perhutani, akibat minimnya jumlah personil penjaga hutan. Setelah kejadian pembakaran pos TPG pada tahun 2004 hingga sekarang sudah tidak ditemukan adanya kasus penjarahan hutan di Desa Kalimendong. Situasi hutan negara mulai kondusif ketika program PHBM sudah dapat dilaksanakan dengan baik.
91
Implementasi PHBM sebagai resolusi konflik
Program PHBM awalnya diberlakukan oleh Perhutani melalui Surat Keputusan Direksi No 136/KTPS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Adanya surat keputusan tersebut diakibatkan kondisi hutan negara yang semakin rusak, sehingga Perhutani melakukan evaluasi, yang kemudian disepakati untuk melibatkan masyarakat desa hutan untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan hutan negara dan juga kegiatan pengawasan hutan negara. PHBM mulai diterapkan di Desa Kalimendong pada tahun 2002, bersamaan dengan berdirinya Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang menaungi masyarakat Desa Kalimendong dalam mengikuti kegiatan PHBM. Agar memiliki kekuatan dan kepastian hukum, maka LMDH tersebut disahkan oleh Notaris di hadapan pihak Perhutani dan masyarakat Desa Kalimendong, kemudian LMDH tersebut diberi nama LMDH Rimba Mulya. Perhutani kemudian melakukan sosialisasi dengan masyarakat mengenai mekanisme, hak, dan kewajiban setiap pihak yang terlibat dalam kegiatan PHBM. Masyarakat menganggap bahwa PHBM adalah sebuah kesempatan bagi masyarakat untuk ikut menjadi pelaku pengelola hutan. Pada setiap proses PHBM, masyarakat selalu dilibatkan oleh Perhutani baik pada tahap perencanaan, pengambilan keputusan dan pembagian hasil PHBM, dengan proses tersebut, kepentingan masyarakat dan kepentingan Perhutani dapat terakomodasi dengan baik dan adil, serta saran dan kritik yang diberikan masyarakat terhadap Perhutani dapat diakomodasi dengan baik, dengan kata lain, proses komunikasi antara masyarakat dan Perhutani berjalan dengan baik, sehingga konflik dapat diselesaikan, serta kawasan hutan beserta sumber daya alam di dalamnya dapat terjaga dengan baik dan efektif. Hal serupa dituturkan oleh Ketua LMDH Rimba Mulya sekaligus Kepala Desa Kalimendong pada waktu itu, bapak NS (42 tahun). “Perumusan kesepakatan tersebut dilaksanakan sebanyak 3 kali. Awal mulanya sharing profit antara Perhutani dengan masyarakat dari hasil salak sebesar Rp. 1000/pohon/tahun (800 untuk Perhutani, 200 untuk LMDH). Selanjutnya Perhutani melakukan bantuan ke LMDH Rimba Mulya dengan memberikan bantuan bibit salak. Kondisi ini sebenarnya memberikan keuntungan bagi masyarakat karena perhitungan sharing profit hanya berdasarkan hitungan per pohon bukan per rumpun, sedangkan salak dalam satu pohon nya memiliki 3 rumpun, sehingga memberikan keuntungan yang besar bagi pesanggem”.
Selain melakukan Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan (PLDT), masyarakat di bawah naungan LMDH juga melakukan berbagai kerja sama dengan Perhutani, seperti penebangan penjarangan sengon pada kawasan hutan negara yang terjadi pada tahun 2008, dan juga usaha kerja sama penyadapan pinus. Selain usaha kerja sama dengan Perhutani, masyarakat melalui LMDH juga melakukan usaha mandiri di bidang peternakan, perikanan, dan budidaya lebah madu. Berbagai kegiatan tersebut kemudian memberikan dampak positif kepada masyarakat berupa peningkatan pendapatan.
92
Awal mula LMDH Rimba Mulya berdiri, direncanakan diketuai oleh pak Aryanto, dengan anggota hanya dari tokoh-tokoh masyarakat desa. namun ketika pembahasan kesepakatan dengan Perhutani, pak Aryanto mengalihkan jabatannya ke pak Nisro dengan alasan ketidaksanggupannya untuk merumuskan kesepakatan bersama Perhutani. Perumusan kesepakatan tersebut dilaksanakan sebanyak 3 kali. Awal mulanya sharing profit antara Perhutani dengan masyarakat dari hasil salak sebesar Rp. 1000/pohon/tahun (800 untuk Perhutani, 200 untuk LMDH). Selanjutnya Perhutani melakukan invest ke LMDH Rimba Mulya dengan memberikan bantuan bibit salak. Kondisi ini sebenarnya memberikan keuntungan bagi masyarakat karena perhitungan sharing profit hanya berdasarkan hitungan per pohon bukan per rumpun, sedangkan salak dalam satu pohon nya memiliki 3 rumpun, sehingga memberikan keuntungan yang besar bagi pesanggem. Untuk ketentuan pembagian petak lahan, awal mulanya ditujukan kepada masyarakat yang tidak memiliki lahan dan yang memiliki lahan sedikti, seiring berjalannya waktu kemudian masyarakat lainnya yang sudah memiliki banyak lahan pribadi juga dapat mengakses lahan PHBM. Hal serupa juga dituturkan oleh KSS PHBM, yang juga ikut dalam rapat pembagian anak petak tersebut yang dilakukan di Balai Desa Kalimendong, bapak SKT (53 tahun). “Ya PHBM sudah dapat diterima, malah masyarakat dan Pemerintah Desa sangat kooperatif dengan Perhutani, kita ga kesulitan menjelaskan PHBM kepada masyarakat pada waktu itu, dan masyarakat juga menilai PHBM sebagai pintu masuk bagi masyarakat untuk ikut mengelola lahan negara, ya melalui PHBM ada peningkatan kesejahteraan yang dirasakan masyarakat, yang tadinya masyarakat tidak mempunyai lahan, melalui PHBM masyarakat memiliki lahan, walaupun statusnya bukan hak milik, tapi mereka diberi keleluasaan untuk ikut memanfaatkan lahan negara, jadi secara umum, tanggapan masyarakat waktu awal pelaksanaan PHBM ini sangat positif sekali”.
Secara umum setelah PHBM berjalan, masyarakat merasakan dampak yang positif, dengan keuntungan yang besar dari hasil salak, dan masyarakat merasakan PHBM mampu mensejahterakan masyarakat. Untuk komoditi salak, pesanggem melakukan panen 2 kali dalam 1 bulan dengan jarak tanam 2.5m X 2.5m meter antar pohon salak, sehingga dengan luas lahan 1 Ha, pesangem mampu menanam 1600 pohon salak, dengan hasil minimal 6.5 Kuintal salak/panen, dengan harga jual salak 3500/kg kepada tengkulak, artinya dalam 1 Ha lahan salak akan memberikan pendapatan kepada pesanggem sebesar Rp. 4.500.000/bulan. Sedangkan untuk biaya produksi yang dikeluarkan pesanggem adalah untuk pupuk kandang adalah Rp. 400.000/bulan dan pengeluaran untuk tenaga kerja panen Rp 150.000/panen atau Rp. 300.000/bulan. Berdasarkan perhitungan tersebut, pesanggem mendapatkan keuntungan bersih Rp. 3.800.000/Ha/Bulan. Implementasi PHBM dapat berjalan dengan baik, Perhutani dan masyarakat sama-sama merasakan dampak postifi dari adanya program PHBM. Salah satu dampak positif yang dirasakan adalah kembalinya ekologi hutan yang lestari serta sudah tidak adanya kasus penjarahan pohon sejak tahun 2004.
93
Tabel 1 Kerusakan hutan Desa Kalimendong Kehilangan pohon Sisa pencurian Bencana alam Tahun Petak Kerugian Kerugian Volume Kerugian pohon Pohon Pohon X Rp. 1000 X Rp. 1000 (kubik) X Rp. 1000 2004 42a, 36 4 257 42b, 42c 2005 2006 2007 42a 45 17.127 3 212 3.000 2008 44a, 42a 30 9.232 3 603 2009 2010 2011 42a, 42b 19 7.841 15 690 2012 44a 17 10 844 2013 44a 16 1 506 2014 44a 10 1 057 Jumlah 26 2 563 36 4 257 111 34.200 33 349 Sumber : Sensus tegakan LMDH Rimba Mulya tahun 2014
Sampai pada akhirnya implementasi PHBM yang berjalan baik tersebut kemudian memunculkan konflik baru pada tahun 2012.
PHBM memunculkan konflik baru Seiring berjalannya PHBM di Desa Kalimendong, kemudian memunculkan konflik baru antara masyarakat dengan Perhutani, permasalahan tersebut terjadi pada tahun 2012 akibat peningkatan biaya pembagian sharing yang harus dibayar oleh pesanggem kepada Perhutani, awalnya kesepakatan sharing yang harus dibayar adalah Rp. 1.000/pohon/tahun yang kemudian sharing tersebut naik menjadi sebesar Rp. 2000/pohon/tahun dengan komposisi. Hal tersebut kemudian menjadi permasalahan baru, ketika kenaikan tersebut dianggap memberatkan para pesanggem. Adanya kenaikan sharing itu membuat LMDH ingin mengakomodasi keinginan masyarakat mengenai kenaikan sharing. ketika ada rapat antara LMDH se-Kedu Utara dengan Perhutani, waktu itu ada tawar-menawar mengenai kenaikan sharing, namun LMDH di Sukoharjo dan LMDH lainnya menyetujui kenaikan sharing, karena pada LMDH-LMDH tersebut lahannya bagus dan tidak banyak tertutup oleh pinus, hanya LMDH Rimba Mulya saja yang tidak setuju dengan kenaikan harga sharing, sehingga LMDH Rimba Mulya kekurangan suara pada waktu itu dan tidak dapat mengakomodasi kepentingan anggotanya kepada Perhutani. Kenaikan pembayaran sharing salak yang dianggap tidak adil itu kemudian menjadi keluhan bagi para pesanggem yang pada kawasan anak petak hutan yang
94
mereka kelola terdapat tutupan pinus yang sangat rapat sehingga menyebabkan salak yang ditanam di sela pinus menjadi tidak terkena sinar matahari yang cukup, sehingga menyebabkan tanaman salak tidak berbuah, akibatnya menjadikan pesanggem melakukan tindakan ilegal, yaitu tindakan teresan yang bertujuan untuk mengurangi tutupan pinus. Namun, Perhutani tidak melakukan tindakan penangkapan atas tindakan pesanggem tersebut, melainkan hanya memberikan pembinaan dan peringatan.
Petak Lahan PHBM 42a 42b 44a 44b
Tabel 2 Persentase tutupan pinus Luas petak (Ha) Jumlah pohon 24.5 1 768 12.2 2 761 6.3 1 761 27.9 833
Kerapatan pinus 72.16 pohon/Ha 226.31 pohon/Ha 279.52 pohon/Ha 29.85 pohon/Ha
Kawasan petak hutan yang memiliki tutupan pohon pinus paling padat berada di petak 44a, hal tersebut terjadi karena pada petak kawasan 44a memiliki tegakan pinus yang sangat padat, dengan kerapatan pinus 279,52 pohon/Ha. Kondisi tersebut menyebabkan mayoritas tanaman salak yang berada di petak 44a memiliki produksi yang sedikit, bahkan tidak dapat berproduksi. Kondisi tersebut juga menyebabkan para pesanggem yang memiliki petak lahan PHBM di petak 44a sering melakukan tindakan teresan, sampai pada tahun 2014 ditemukan 26 pohon pinus yang mati akibat tindakan teresan. Proses akomodasi kepentingan masyarakat yang dilakukan oleh LMDH ketika terjadi peningkatan pembayaran sharing mengalami kegagalan dalam mengakomodasi kepentingan anggotanya agar kenaikan pembayaran sharing tidak jadi dilakukan oleh Perhutani. Pihak Perhutani tetap melakukan kenaikan sharing dan hubungan Perhutani dengan masyarakat tetap berjalan. Proses implementasi PHBM yang kemudian dianggap tidak mengakomodasi kepentingan salah satu pihak dapat menjadi memicu terjadinya konflik manifest baru antara Perhutani dengan masyarakat Kalimendong. Apabila permasalahan tersebut tidak dapat terselesaikan dengan baik, bukan tidak mungkin akan kembali terjadi konflik dengan wujud manifest antara Perhutani dengan masyarakat Desa Kalimendong.
95
Lampiran 5 Pengolahan data Tabel hubungan tingkat pendidikan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Correlations efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Spearman's rho
efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik
Correlation Coefficient
1.000
-.193
.
.232
40
40
-.193
1.000
Sig. (2-tailed) N
Pendidikan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
pendidikan
.232
.
40
40
N
Tabel hubungan tingkat pendapatan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Correlations efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Spearman's rho
pendapatan
efektivitas PHBM Correlation Coefficient sebagai resolusi Sig. (2-tailed) konflik N
1.000
-.113
.
.488
40
40
pendapatan
-.113
1.000
.488
.
40
40
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Tabel hubungan tingkat pendapatan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Correlations efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Spearman's rho
efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
jumlah tanggungan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
jumlah tanggungan
1.000
-.347*
.
.028
40
40
-.347*
1.000
.028
.
40
40
96
Tabel hubungan karakteristik kepemilikan lahan persil sebelum PHBM dengan efektifitas PHBM sebagai resolusi konflik Correlations efektivitas PHBM luas lahan pribadi sebagai resolusi konflik sebelum PHBM Spearman's rho
efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
luas lahan Correlation Coefficient pribadi sebelum Sig. (2-tailed) PHBM N
1.000
.086
.
.597
40
40
.086
1.000
.597
.
40
40
Tabel hubungan karakteristik kepemilikan lahan persil sesudah PHBM dengan efektifitas PHBM sebagai resolusi konflik Correlations efektivitas PHBM luas lahan pribadi sebagai resolusi konflik sesudah PHBM Spearman's rho
efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
luas lahan Correlation Coefficient pribadi sesudah Sig. (2-tailed) PHBM N
1.000
-.079
.
.626
40
40
-.079
1.000
.626
.
40
40
Tabel hubungan karakteristik luas petak lahan PHBM dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Correlations efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik luas lahan PHBM Spearman's rho
efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
luas lahan PHBM
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
1.000
-.126
.
.440
40
40
-.126
1.000
.440
.
40
40
97
Tabel hubungan karakteristik umur dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
.519a
1
.471
.058
1
.810
.517
1
.472
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.642 .506
N of Valid Casesb
1
.402
.477
40
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,25. b. Computed only for a 2x2 table
Tabel hubungan karakteristik jenis kelamin dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
1.722a
1
.189
.340
1
.560
2.477
1
.116
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.492 1.679
Casesb
1
.296
.195
40
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,90. b. Computed only for a 2x2 table
Tabel hubungan karakteristik jenis pekerjaan dengan efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
.925a
1
.336
.296
1
.587
.958
1
.328
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.427 .902
1
.342
40
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,15. b. Computed only for a 2x2 table
.297
98
Lampiran 6 Uji reliabilitas kuisioner efektivitas PHBM sebagai resolusi konflik Case Processing Summary N Cases
Reliability Statistics
%
Valid
7
100.0
Excludeda
0
.0
Total
7
100.0
Cronbach's Alpha
N of Items .688
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure. Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted quest1 quest2 quest3 quest4 quest5 quest6 quest7 quest8 quest9 quest10 quest11 quest12 quest13 quest14 quest15 quest16 quest17 quest18 quest19 quest20 quest21 quest22 quest23 quest24 quest25 quest26 quest27 quest28
80.40 80.18 80.38 80.35 80.25 80.38 80.80 80.52 80.70 80.50 80.32 80.38 80.43 80.43 80.38 80.20 80.43 80.15 81.55 81.52 81.52 80.62 80.55 79.85 80.70 80.78 80.70 80.23
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Total Correlation 23.733 23.533 21.420 22.951 23.167 23.574 20.421 23.743 24.523 22.974 21.610 20.599 23.789 21.687 22.856 24.677 21.481 23.515 24.049 24.102 24.051 23.215 23.074 23.823 21.856 20.128 21.087 20.487
.065 .039 .496 .286 .094 .128 .283 .163 -.125 .206 .352 .340 .060 .481 .337 -.159 .527 .021 .051 .000 .023 .289 .378 .023 .231 .641 .497 .553
Cronbach's Alpha if Item Deleted .689 .696 .658 .677 .692 .686 .679 .685 .704 .681 .667 .668 .689 .660 .675 .705 .657 .701 .688 .690 .689 .678 .676 .693 .681 .639 .655 .647
28
99
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 1 Mei 1993 dari Ayah H. Arian Taufik, SE, M.M dan Ibu Prof Dr Hj Hasnah Faizah AR, M.Hum. Penulis adalah putra pertama dari dua bersaudara, memiliki adik perempuan bernama Nabilla Tuzzahwa Ivanza. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Pekanbaru dan pada tahun yang sama penulis lolos seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam bidang non-akademik yaitu sebagai mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam “Simpul Mati” dan aktif pada kegiatan lomba olahraga yang diadakan di dalam kampus IPB dan di luar kampus IPB, beberapa prestasi yang telah diraih penulis adalah Juara I Futsal Espent tahun 2012, juara I Futsal Espent tahun 2013, juara II Futsal Espent tahun 2014, juara 1 lompat jauh putra Espent 2014, dan Top Scorer Futsal Espent 2014. Penulis juga aktif dalam kepanitiaan beberapa event di IPB seperti Espent, Indonesian Ecology Expo (INDEX). Selain itu penulis juga tergabung dalam organisasi Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Riau Bogor (IKPMR) sejak tahun 2011 hingga sekarang. Kini penulis aktif menggeluti bisnis yang sudah dijalankan sejak tahun 2011, bisnis ini bergerak di bidang penjualan pet shop khusus Reptillia yang sedang penulis kembangkan menjadi sebuah Farm Reptillia yang berlandaskan pada prinsip ekologi dan prinsip konservasi.