Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Agus Surono
UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA FAKULTAS HUKUM 2008
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbaru (KDT) Agus Surono Hak Masyarakat Lokal: Pengelolaan Sumber D Agus Surono Cet 1-Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2008 iv + hlm + indeks, 23 ISBN 978-602-17732-5-3
Untuk yang tercinta Orang Tuaku: Bapak Slamet Surani dan Ibu Nafiah Istriku Sonyendah R. Anak-anaku: M. Rizqi Alfarizi R. dan M. Ridho Bayu Prakoso
KATA PENGANTAR
Maha besar Allah SWT atas segala rahmat dan ijinNya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku edisi revisi ini merupakan hasil penelitian dan kajian yang mendalam terhadap masalah pengelolaan sumber daya hutan, khususnya yang berkaitan dengan hak masyarakat lokal. Buku yang merupakan hasil disertasi ini dapat diselesaikan berkat dorongan, pengarahan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak kepada penulis. Sebagai ungkapan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. DR. Daud Silalahi, S.H., selaku Ketua Tim Promotor yang telah dengan sabar dan tiada hentinya membimbing, mengarahkan, dan mendorong penulis untuk tetap bersemangat dalam menyelesaikan disertasi ini. Perhatian yang telah beliau berikan kepada penulis baik sebagai guru besar, pendidik, telah memberikan ilmu, pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang tidak ternilai, untuk itu ucapan terima kasih, penghargaan dan hormat penulis kepada beliau. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. DR. H. Romli Atmasasmita, SH, LL.M., selaku Anggota Tim Promotor juga sebagai Koordinator Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, yang telah berkenan memberikan waktunya disela-sela kesibukan beliau yang amat padat sebagai guru besar dan pakar, untuk memberikan pengarahan dan bimbingan, serta dorongan kepada penulis. Terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Erman Rajagukguk, SH, LL.M., Ph. D., yang telah mengarahkan dan membimbing penulis serta mebagi pengalaman beliau dalam penulisan disertasi ini. Semoga Allah senantiasa membalas dengan keberkahan dan kesehatan. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ayahanda H. Slamet Surani yang selalu memanjatkan doa buat penulis dalam shalatnya dan kepada Almarhumah Hj. Nafiah yang dengan keikhlasannya semasa hidupnya selalu memperjuangkan pendidikan buat putera-puterinya, dan tidak henti-hentinya berdoa, penulis menghaturkan sembah sujud sedalam-dalamnya. Semoga Allah senantiasa meridloi apa yang yang sudah Bapak dan Ibu upayakan. Kepada Mertua yang sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri, H. Soemarsono (Almarhum) yang telah banyak mendorong dan berdoa semasa hidupnya, serta Ibu Hj. Sri Suparsih yang senantiasa memberikan doa kepada penulis dan keluarga. Akhirnya ucapan terima kasih atas pengertian, dukungan dan doa penulis sampaikan kepada Istri tercinta Sonyendah Retnaningsih, SH., MH., yang saat ini juga sedang menempuh pendidikan S3 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, serta anak-anak tercinta M. Rizqi Alfarizi Ramadhan dan M. Ridho Bayu Prakoso, yang senantiasa memberi dorongan semangat dan mengerti atas kesibukan penulis dalam menjalani profesinya sebagai dosen dan praktisi hukum ini. vi
Harapan penulis semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pengembangan Ilmu Hukum secara umum maupun kepentingan pengembangan Ilmu Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam di Indonesia khususnya. Disadari, bahwa masih banyak keurangan disana-sini serta masih jauh untuk kategori sempurna, mengingat segala keterbatasan pada kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karenanya, segala kritik dan saran yang positif senantiasa penulis harapkan. Jakarta,
April 2013
Agus Surono
vii
DAFTAR ISI Pengantar . ............................................................................................................................... Daftar Isi ..................................................................................................................................
x xi
Bab I: Pendahuluan ................................................................................................... A. Latar Belakang . .............................................................................................................. B. Identifikasi Masalah ....................................................................................................... C. Tujuan Penelitian ............................................................................................................ D. Kegunaan Penelitian . ..................................................................................................... E. Kerangka Pemikiran ...................................................................................................... F. Metode Penelitian ...........................................................................................................
1 1 7 8 8 8 18
Bab II: KERANGKA HUKUM HAK MASYARAKAT ADAT DALAM PENGELOLAAN sUMBER DAYA HUTAN . ..................................................... A. Hak Masyarakat Adat Dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia . ........... B. Hak Masyarakat Asli DalamKonvensi Internasional . ................................................ C. Peraturan Daerah Yang Melindungi Masyarakat Adat .............................................. D. Pemikiran Melindungi Masyarakat Lokal Di Tangkahan ..........................................
19 19 33 49 67
Bab III: PEMBAGIAN WEWENANG DALAM PENYUSUNAN KEBIJAKAN, PELAKSANKAN KEBIJAKAN, DAN PENGAWASAN ATAS SUMBER DAYA HUTAN . ....................................................................................................... A. Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Di Bidang Kehutanan . ............................. B. Pembagian Wewenang Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Di Bidang Kehutanan ....................................................................................................................... C. Peranan Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Kawasan Taman Nasional ............
111 141
Bab IV: PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER: STUDI PENGELOLAAN KONFLIK dI TANGKAHAN ........................................................................................................ A. Kawasan Tangkahan, Bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser ........................ B. Pengrusakan Sumber Daya Hutan . .............................................................................. C. Konflik Yang Terjadi Di Tangkahan ............................................................................. D. Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Menjaga Kelestarian Hutan .......................... E. Pengolahan Tangkahan Di Masa Depan .......................................................................
165 167 178 186 223 232
Bab V: Penutup ................................................................................................................ A. Kesimpulan . .................................................................................................................... B. Saran ................................................................................................................................
243 243 244
Daftar Pustaka ..............................................................................................................
245
viii
79 81
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan sumber kehidupan manusia yang sangat penting, sebab hutan menyimpan banyak sekali unsur penunjang yang tidak diperoleh dari sumberdaya alam lainnya. Fungsi hutan dapat dikategorikan dalam 2(dua) faktor penting, masing-masing ekonomi dan ekologi. Dari sisi ekonomi, hutan menjadi pemasok kayu dan non-kayu, pertambangan, perkebunan dan sumberdaya alam lainnya yang menunjang kehidupan (manusia dan hewan). Dari sisi ekologi, hutan merupakan sumber kesuburan tanah dan iklim serta penyimpanan karbon dan sumberdaya genetik.1 Disekitar kawasan hutan, hidup masyarakat asli atau masyarakat adat yang berdasarkan hukum adatnya memiliki hak sumber daya alam disekitar hutan. Hukum adat menetapkan bahwa masyarakat adat tersebut mempunyai hak atas hutan disekitar mereka berupa hak untuk menggunakan lahan di teritorialnya, hak untuk tinggal dalam jangka waktu tertentu di sekitar kawasan, serta hak untuk mamanfaatkan hutan di sekitar kawasan. 2 Dalam perkembangannya disuatu kawasan lahir masyarakat lokal yautu masyarakat yang berasal dari daerah lain, tetapi kemudian menetap untuk jangka waktu yang lama dikawasan tersebut, seperti terjadi dikawasan Tangkahan. Perkembangan sosial ekonomi telah melahirkan konflik antara masyarakat lokal dan negara mengenai pelaksanaan hak-hak mereka tersebut, seperti yang terjadi di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.
1 2
John Haba-Irine H. Gayatri, Konflik Di Kawasan Illegal Logging di Kalimantan Tengah, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2003, hlm. 7. Van Voollenhoven membedakan apa yang disebut dengan hak ulayat (disposal right) dan yang dipegang oleh anggotanya. Van vollenhoven memberikan enam cirri hak ulayat, yaitu 1) masyarakat dan anggotanya diperbolehkan secara bebas untuk menggunakan lahan-lahan perawan (virgin lands) di dalam teritorialnya; 2) pihak luar diijinkan untuk menggunakan lahan-lahan tersebut setelah mendapat ijin jaminan oleh masyarakat; 3) kompensasi bagai penggunaan tersebut harus dibayar oleh pihak luar; 4) masyarakat selalu memelihara control lahan-lahan bekas ditanam di dalam teritorialnya; 5) orang yang bersalah harus bertanggungjawab dan menanggung biaya, dan menjadi tanggung jawab bersama jika pelanggar tak dikenal; 6) masyarakat tidak dapat mengalihkan secara permanent hak ulayatnya.
Bab 1: Pendahuluan
1
Penelitian mengenai hak-hak masyarakat lokal dalam Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser tersebut penting setidak-tidaknya karena empat sebab. Pertama, belum adanya konsep yang jelas tentang perlindungan hak masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan di kawasan Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser. Belum adanya konsep tentang perlindungan masyarakat lokal dapat dibuktikan bahwa dalam kenyataannya masih banyak kesulitan ekonomi masyarakat sekitar kawasan Tangkahan, Taman Nasional Hunung Leuser. Kedua, adanya konflik yang terjadi di berbagai kawasan Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser yang melibatkan berbagai pihak, termasuk juga masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat lokal dalam konflik ini dikarenakan adanya beberapa faktor seperti adanya pengungsi dari Aceh, para pelaku perambah hutan, adanya praktek illegal logging, yang bersumber pada alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ketiga, adanya masalah otonomi daerah, dalam hubungannya dengan pengaturan hak masyarakat lokal untuk ikut serta mengelola sumber daya hutan di kawasan Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser. Selama ini masyarakat yang hidup di sekitar kawasan Tangkahan, Taman Nasional Gunung leuser mempunyai tradisi memanfaatkan sumber daya hutan yang sudah berlangsung secara turun temurun. Pandangan ini menyebabkan mereka beranggapan mempunyai hak untuk memanfaatkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun dengan otonomi daerah yang menjadikan daerah mempunyai hak yang lebih untuk memanfaatkan sumber daya hutan, maka berimbas kepada adanya larangan bagi masyarakat sekitar hutan untuk memanfaatkan hutan, sehingga sering menimbulkan konflik. Keempat, belum adanya pola yang jelas mengenai penyelesaian sengketa antara masyarakat lokal dan negara mengenai pengelolaan sumber daya hutan. Pola-pola penyelesaian yang ditawarkan saat ini masih cenderung berpihak kepada kepentingan pemerintah, atau bahkan belum menyentuh hal yang bersifat mendasar. Kelima, bila dapat diciptakan konsep dan pola yang jelas dalam pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat lokal, maka konsep dan pola tersebut mungkin dapat diterapkan pula pada Taman Nasional di daerah lainnya di Indonesia. Taman Nasional Gunung Leuser merupakan salah satu dari 5 (lima) Taman Nasional yang ditetapkan pertama kali oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1980. Ketika itu Menteri Pertanian mendeklarasikan TN Gunung Leuser, TN Gunung Gede Pangrango, TN Ujung Kulon, TN Baluran, dan TN Komodo seluas total 1,4 juta Ha menjadi Kawasan Taman Nasional.3 3
2
Balai Taman Nasional Gunung Leuser, “Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser”, Kuta Cane: Penerbit TNGL, 2004. Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Sejarah konservasi di kawasan Leuser dimulai sejak tahun 1914 ketika para pemuka adat Aceh meminta pemerintah Kolonial Belanda untuk melindungi hutan Singkil dan Alas Laden dengan melarang eksploitasi kayu dan aktivitas logging di kawasan tersebut. Pada tahun 1928 seorang ahli geologi (yang juga penanam karet) berkebangsaan Belanda, tuan F.C Van Heurn menyusun sebuah konsep permohonan untuk usaha-usaha perlindungan kawasan di wilayah Aceh Barat, yang disampaikan pada suatu forum “Netherlandse Commissi Voor Internationale Natuur Bescherming”, tepatnya pada tanggal 9 Mei 1928. Pada perkembangan selanjutnya, konsep-konsep ini disempurnakan dan diajukan lagi pada tahun 1932, dan pada tahun 1934 kawasan perlindungan sumberdaya alam Gunung Leuser secara resmi ditetapkan. Gubernur Aceh saat itu, Van Aken menetapkan areal seluas 416.500 Ha sebagai kawasan perlindungan. Sementara sumber lain, seperti disebutkan dalam RPTN Gunung Leuser 1995-2020 (Buku I) menyebutkan bahwa untuk pertama kali pada tahun 1934 tuan A. Ph. Van Ahen, Gubernur Aceh saat itu menetapkan secara resmi pembentukan kawasan Suaka Margasatwa Gunung Leuser dengan luas kawasan 142.800 Ha melalui Surat Keputusan (Wildreservaat Goenoeng Leoeser) ZB No. 317 / 35 tanggal 3 Juli 1934.4 Kemudian pada tahun 1936, ditetapkan lagi kawasan hutan rawa Kluet seluas 20.000 Ha, dan pada tahun 1938 kawasan perlindungan sumber daya alam ini mengalami penambahan areal melalui penetapan dari Pemerintah Hindia Belanda waktu itu, yaitu dengan pembentukan Suaka Alam Sekundur (79.100 Ha), dan Suaka Alam Langkat Barat dan Selatan (127.075 Ha).5 Lebih dari 3 dekade kemudian, dibangun 2 (dua) buah stasiun yang kemudian berperan penting dalam kebijakan bidang penelitian dan pengembangan, perlindungan, dan ekoturisme di kawasan TNGL. Pada tahun 1972 Herman dan Ans Rijksen, yang berkebangsaan Belanda memulai pembangunan pusat penelitian dan rehabilitasi serta perkembangan / monitoring Orang Utan di Ketambe. Satu tahun kemudian, pusat penelitian Orang Utan lainnya, mulai dirintis oleh Monica Borner dan Regina Frey di Sungai Bohorok, Langkat. Pada tahun 1976 Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pertanian menetapkan Suaka Margasatwa Kappi seluas 150.000 Ha.6 Pada tanggal 6 Maret 1980, Pemerintah melalui Menteri Pertanian meng umumkan secara resmi tentang pembentukan Taman Nasional Gunung Leuser dalam forum KTT Bumi.7 4 5 6 7
Ibid., hlm.3. Ibid. Ibid. Selanjutnya melalui SK Menteri Pertanian No. 913/Kpts/UM/10/1982 tanggal 30 Oktober 1982, Taman Nasional Gunung Leuser ditetapkan dengan luasan 792.675 Ha. Dan, melalui SK Direktur Jenderal PHPA No. 46/Kpts/VI-Sek/84 tanggal 11 Desember 1984 menetapkan areal Taman Nasional telah bertambah luasan menjadi 862.975 Ha meliputi 5 kawasan perlindungan satwa liar di Gunung Leuser, Gunung Kappi, Langkat, Kluet, dan Sikundur,
Bab 1: Pendahuluan
3
Dalam perkembangannya Taman Nasional Gunung Leuser melahirkan berbagai masalah, sedikitnya dalam 3 bentuk. Pertama, masalah yang berkaitan dengan perambahan atau penguasaan lahan yang melibatkan masyarakat lokal. Aktivitas para pengungsi maupun “perambah yang berkedok sebagai pengungsi” ini makin hari makin meresahkan. Kondisi kawasan TNGL menjadi sangat memprihatinkan sehingga mekanisme ekosistem dan habitat satwa serta pengembangan hayati sudah sangat terganggu. Menurut catatan Yayasan Lauser Indonesia (YLI), pengungsi menguasai lahan TNGL rata-rata 10 – 15 rantai tanah (0,5 Ha / KK), sebagai lahan untuk bertanam. Sembilan puluh persen (90%) pengungsi bekerja sebagai pelaku dan buruh illegal logging. Dokumentasi YLI yang menyebutkan sebanyak 50 unit chainsaw setiap hari beroperasi menghancurkan kawasan TNGL, dengan estimasi volume kayu yang keluar setiap hari sebesar 50 m3.8 Pada waktu Aceh masih dalam keadaan konflik, pengungsi bertambah jumlahnya, mengingat lokasi taman nasional sangat strategis bagi tempat tinggal para pengungsi. Konflik keamanan yang terjadi di wilayah Aceh sebagian besar disikapi oleh masyarakat dengan meninggalkan domisili dan mencari hunian baru untuk menyelamatkan diri. Beberapa diantara kelompok yang eksodus dari Aceh tersebut ada yang berdiam di kawasan TNGL Langkat. Semula komunitas masyarakat yang eksodus dari Aceh menuju kawasan TNGL terbilang kecil, namun belakangan jumlah KK semakin bertambah karena telah terjalin komunikasi dengan para penghuni lama tentang tempat hunian baru di kawasan ini. Seiring berjalannya waktu, masyarakat pengungsi sepertinya mulai senang berdiam di tempat hunian ini. Mereka mulai menanami pekarangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selanjutnya, mereka mulai berpikir untuk mendapat tambahan lain sambil menunggu hasil tanaman pekarangan, yaitu dengan membuka hutan dan mengeksploitasi kayu. Keadaan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak lain sehingga minat masyarakat untuk eksodus ke wilayah ini dan ikut bermain seperti rekan-rekannya semakin 1 buah areal hutan wisata di Lawe Gurah, serta 2 hutan lindung di wilayah Serbolangit dan Sembabala. Pada tahun 1987, melalui SK Dirjen PHPA No.48/Kpts/DJ-VI/1987 tanggal 12 desember tentang penunjukan mintakat, diperoleh wilayah berdasarkan pemintakatan ini seluas 802.185 Ha. Sepuluh tahun kemudian melalui SK Menteri Kehutanan No. 276/ Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997, luas wilayah TNGL yang ditetapkan adalah 1.094.692 Ha. Kemudian luasan ini berubah lagi setelah diterbitkannya Keputusan Presiden No. 33 tahun 1998 tanggal 28 Februari tentang pengelolaan ekosistem Leuser, yaitu menjadi seluas 1.097.000 Ha. Mulai tahun 1997, telah banyak dihasilkan bermacam deklarasi melalui pertemuan dengan para alim ulama, tokoh adat, tokoh agama, Pemda, dan tokoh masyarakat di berbagai wilayah TNGL, misalnya adalah Deklarasi Leuser pada tahun 1997, Deklarasi Langkat 1998, Deklarasi Karo 1999, dan Deklarasi Dairi 1999. 8 4
Ibid. Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
bertambah. Dan, beberapa kemudahan yang menjurus kepada penipuan identitas dilakukan untuk masuk ke areal ini “berkedok sebagai pengungsi”, difasilitasi oleh pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan keadaan dan memiliki kepentingan.9 Masalah pengungsi, pemukiman dan illegal logging sebagian besar terjadi di Damar Hitam, Sei Lepan, Sekoci, Sei Minyak, Tower, Barak Induk, Barak Gajah, Sei Bamban dan Lou Gedang. Pada tahun 2000, sebanyak 38 KK pengungsi melakukan perambahan di kawasan Damar Hitam, Kecamatan Sei Lepan. Berdasarkan laporan pihak YLI pada akhir tahun 2004 sebanyak ± 2000 kk perambah liar (bukan pengungsi) telah menguasai lahan TNGL. Berdasarkan laporan dari petugas lapangan TNGL, terdata 600 KK sebagai perambah liar, dan estimasi luas kerusakan ± 35.000 Ha. Perladangan liar telah lama terjadi di kawasan ini, tercatat mulai marak dan mengancam keberadaan kawasan pada dekade 90-an. Ancaman ini berupa klaim kawasan, dan kemudian berkembang karena para penggarap didukung oleh spekulan lahan.10 Kedua, masalah illegal logging terutama dalam skala besar yang dilakukan oleh pihak luar (pengusaha) yang melibatkan masyarakat lokal dan didukung oleh oknum aparat. Masyarakat lokal di sekitar lokasi saat ini cenderung sebagai “massa mengambang”, yang sebagian menentang keberadaan pengungsi dan perambah ilegal serta sebagian mendukung bahkan ikut terlibat. Masyarakat yang mendukung melihat fenomena ini sebagai alternatif sumber ekonomi baru dalam memenuhi kebutuhan akan lahan dan mendapatkan pendapatan tambahan. Pemanfaatan tradisional yang diperbolehkan hanyalah pemanfaatan potensi kawasan berupa hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan sehari-hari atau mempertahankan kebutuhan hidup atau pemenuhan kebutuhan spiritual masyarakat lokal/setempat/sekitar kawasan konservasi yang dilaksanakan oleh masyarakat lokal/setempat/sekitar Taman Nasional sendiri dengan mempergunakan peralatan tradisional dan sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi.11 Ketiga, kedua manfaat tersebut di atas mengakibatkan kaburnya hak-hak masyarakat lokal untuk mengelola kawasan hutan disekitar kampung mereka. 9 Ibid. 10 Pada tanggal 12 November 2000 telah dilakukan relokasi pengungsi sebanyak ± 200 KK ke Provinsi Riau. Kegiatan relokasi lainnya pernah dilakukan dengan memindahkan para pengungsi ke Kabupaten Tapanuli Selatan. Berdasarkan estimasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Langkat, jumlah perambah saat ini mencapai ± 3.000 KK dan jumlah pengungsi lebih dari 400 KK. Pendataan tentang jumlah perambah, pengungsi, dan pemukim dari masyarakat sekitar hutan sulit dilakukan karena penolakan massa untuk memasuki wilayah. Wawancara dengan Wiratno, Kepala Balai taman Nasional Gunung Leuser, 26 Juni 2006. 11 Dikaitkan dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kegiatan pemanfatan tradisional dilaksanakan pada zona pemanfaatan tradisional Taman Nasional. Bab 1: Pendahuluan
5
Dari sudut pandang wewenang,siapakah yang berhak mengatur dan mengawasi kawasan hutan suatu Taman Nasional. Adakah suatu kebijakan Pemerintah Pusat terhadap eksistensi Taman Nasional dan hak-hak masyarakat lokal atas kawasan tersebut, atau apakah kebijakan dan pengawasan sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2001 tentang Pemerintahan Daerah? Keempat, bagaimana seharusnya penyelesaian konflik yang timbul di kawasantaman nasional tersebut? Adakah suatu kebijakan untuk mengelola konflik yang lahir antara masyarakat asli dan masyarakat pendatang atau konflik antara masyarakat dan negara yang timbul di kawasan taman nasional tersebut? Keempat permasalahan tersebut telah menjadi satu mata rantai yang terkait dengan demikian kuatnya, sehingga diperlukan upaya pemecahan yang terintegrasi, cara pandang yang mengena ke substansi masalah, dan penyelesaian secara menyeluruh dan terpadu oleh semua pihak. Pihak-pihak yang antara lain mempunyai posisi sentral sebagai pihak yang berkonflik dapat dibedakan:12 Pertama, adalah pihak Pengungsi Aceh. Sikap para pengungsi ini secara umum adalah menentang pengusiran paksa atas areal yang telah diusahakan, dan menuntut perhatian negara terhadap jaminan hidup selanjutnya. Seperti halnya masyarakat lokal, sebagian kelompok pengungsi telah teragitasi hingga menuntut status areal yang mereka diami saat ini dilegalkan. Saat ini yang dibutuhkan oleh mereka adalah kejelasan status sosial sebagai bagian dari penduduk yang sah. Sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah bagi mereka apabila harus meninggalkan wilayah TNGL yang mereka diami saat ini. Namun untuk menyambung hidup, mereka terpaksa bertahan dan bersedia melakukan apa saja. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang notabene memiliki modal uang dan pengetahuan untuk memuluskan tujuan mereka mengeksploitasi sumber daya alam dalam pemenuhan lahan untuk perkebunan dan mengambil kayu secara illegal dari dalam kawasan. Kedua, adalah pihak perambah illegal. Kelompok ini adalah para pendatang yang dibayar untuk membuka lahan oleh para cukong. Berlatang belakang kebutuhan ekonomi ditambah pengaruh dari para “aktor intelektual”, mereka tidak mengakui wilayah tersebut sebagai bagian dari wilayah TNGL, menuntut perubahan status, dan pengakuan administratif pemerintah terkait.13 12 Ibid. 13 Faktor-faktor penghambat dalam upaya pemecahan masalah diuraikan sebagai berikut : Pertama, belum kondusifnya keamanan di Aceh menjadi alasan bagi sebagian orang yang ingin mandapat lahan. Mereka mengikuti jejak para pendahulu sesama pengungsi yang telah memiliki lahan dan mata pencaharian di tempat baru. Identitas mereka kadang sulit ditelusuri apakah benar-benar pengungsi dari Aceh atau perambah. Kedua, tata batas dan tanda batas yang jelas di lapangan mutlak diperlukan untuk menata ulang dan menjamin keutuhan kawasan. Di lapangan saat ini tanda batas sudah banyak yang hilang dan bergeser. 6
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Ketiga, Pemerintah Kabupaten dan Propinsi dimana kawasan Taman Nasional itu terletak dan dimana konflik-konflik itu berlangsung, sementara Pemerintah Pusat yang bertanggungjawab mengelola suatu Taman Nasional. Adakah pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah dalam pengelolaan suatu kawasan taman nasional? B. Identifikasi Masalah Untuk memberikan fokus dalam penelitian, maka berikut ini dapat dikemukakan perumusan masalah yang sedikitnya mencakup tiga hal: 1. Bagaimanakah pengaturan yang mungkin diterapkan untuk melindungi masyarakat lokal? 2. Bagaimanakah pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten dalam pengelolaan suatu Taman Nasional, sehingga masyarakat lokal dapat menikmati hak-hak mereka? 3. Bagaimanakah penyelesaian konflik yang komprehensif dalam mewujudkan hak masyarakat lokal di kawasan Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser? Proses hukum ke depan akan sangat tergantung dari kejelasan status kepemilikan kawasan yang direpresentasikan oleh pal batas yang jelas di lapangan. Ketiga, lemahnya supervisi pihak TNGL selaku pengelolaan kawasan selama ini menjadi salah satu sebab maraknya perambahan. Hal ini diperparah oleh kurang pahamnya aparatur non kehutanan dalam memandang sistem pengelolaan kawasan. Pola keproyekan dan luncuran dana dari pusat turut menambah kusutnya permasalahan. Kemitraan yang terjalin, yang pada awalnya diharapkan bisa meminimalisir hambatan dalam pola keproyekan pun belum berjalan selaras. Dalam hal ini masing-masing pihak berjalan sendiri beradu konsep penyelesaian dan kadang melemparkan tanggung jawab begitu saja. Di sinilah menjadi sangat penting untuk selalu mengedepankan upaya penyelesaian kolaboratif dengan memanfaatkan potensi tiap institusi / stakeholder terkait. Keempat, masalah jangka waktu penyelesaian. Hambatan ini erat kaitannya dengan pola keproyekan dan komitmen stakeholder dalam penyelesaian masalah secara tuntas. Sering schedule yang telah tersusun tidak bisa berjalan karena terhambat dalam hal pendanaan dan inkonsistensi prioritas kegiatan oleh insitusi tertentu. Padahal tuntasnya masalah ini butuh konsistensi dan jaminan kelancaran perangkat pendukungnya. Pada akhirnya para obyek pelaku baik aktor intelektual / pemodal maupun para pelaku di lapangan semakin berani menjalankan aksinya karena menganggap semua ini hanya proyek yang akan selesai pada waktunya tanpa ada kelanjutan. Kelima, keterlibatan oknum pemerintah. Hasil investigasi menunjukkan bahwa sebagian aktor pelaku adalah oknum pemerintah yang jelas-jelas telah menyalahgunakan kekuasaan untuk memuluskan aksi mereka. Pengungsi, perambah, dan masyarakat lokal hanyalah obyek yang dimanfaatkan oleh oknum ini dengan memanfaatkan kondisi mereka yang lemah secara ekonomi. Penegakan hukum perlu secara tegas diberikan kepada mereka bahkan perlu dipublikasikan kepada khalayak sebagaimana seorang koruptor yang jelas-jelas telah merugikan negara dan membohongi masyarakat. Wiratno, ”Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser”, makalah disampaikan pada Shared Learning ,” Tangkahan: Pusat Informasi Lingkungan Indonesia bekerjasama dengan CIFOR, 22 Juni 2006 Bab 1: Pendahuluan
7
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisa secara mendalam tentang pengaturan yang mungkin diterapkan agar dapat melindungi hak masyarakat lokal. 2. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisa secara mendalam tentang pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten dalam pengelolaan suatu Taman Nasional, sehingga masyarakat lokal dapat menikmati hak-hak mereka. 3. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisa secara mendalam tentang bagaimanakah penyelesaian konflik yang komprehensif dalam mewujudkan hak masyarakat lokal di kawasan Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser. D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat dan memberikan kontribusi pemikiran: 1. Penelitian ini diharapkan, dari sudut teori dapat memberikan sumbangan pemikiran dan upaya mengembangkan ilmu pengetahuan hukum khususnya yang berkaitan dengan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (natural resources) terutama yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya hutan dan pemanfaatan hutan di kawasan taman nasional. 2. Selanjutnya, dari sudut praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pedoman oleh kalangan instansi yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, terutama bagaimana penyelesaian konflik pengelolaan sumber daya alam bidang kehutanan dalam mewujudkan hak ekonomi masyarakat local dan penyelesaian konflik pemanfaatan hutan di kawasan taman nasional di daerah lainnya. E. Kerangka Pemikiran Penelitian ini pada dasarnya adalah kebijakan pemerintah dalam rangka pengelolaan sumber daya hutan dalam mewujudkan hak masyarakat lokal. Secara khusus akan dicermati tentang konflik pemanfaatan hutan di kawasan taman nasional. Upaya untuk melakukan penelitian “Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Dalam Mewujudkan Hak Masyarakat Lokal” menggunakan beberapa teori yang akan dipakai sebagai alat analisis penelitian dalam 3 (tiga) tataran teori. Pada tataran grand theory dipilih teori Negara Kesejahteraan (welfare state). Pada tataran middle range theory dipilih teori Keadilan yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Rawls, sedangkan pada applied theory dipilih teori hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja. 8
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digunakan untuk dapat menjawab 3 (tiga) identifikasi masalah yang telah ditetapkan. Pilihan berfikir yuridis dari salah satu teori tentang tujuan negara adalah Negara Kesejahteraan (Welfare State). Konsep negara hukum yang semula merupakan liberal berubah ke negara hukum yang menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.14 Menurut konsep Negara Kesejahteraan, tujuan negara adalah untuk kesejahteraan umum. Negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara tersebut.15 Selain konsep negara berdasar atas hukum (biasa disebut negara hukum), juga dikenal konsep negara kesejahteraan (welfare state), yakni suatu konsep yang menempatkan peran negara dalam setiap aspek kehidupan rakyatnya demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat16. Sehubungan dengan konsep negara kesejahteraan tersebut, maka negara yang menganut konsep negara kesejahteraan dapat mengemban 4 (empat) fungsi17 yaitu: 1. The State as provider (negara sebagai pelayan) 2. The State as regulator (negara sebagai pengatur) 3. The State as enterpreneur (negara sebagai wirausaha), and 4. The State as umpire (negara sebagai wasit). Merujuk pada fungsi negara yang menganut konsep negara kesejahteraan sebagaimana telah dikemukakan di atas, menyebabkan negara memegang peranan penting. Guna memenuhi fungsinya sebagai pelayan dan sebagai regulator, maka negara terlibat dan diberi kewenangan untuk membuat peraturan dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang memberikan perlindungan kepada masyarakat lokal, sehingga terwujud kesejahteraan rakyat sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (3). Oleh sebab itu,peranan pemerintah dalam mendorong masyarakat agar lebih berdaya dalam ikut mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam khususnya bidang kehutanan menjadi suatu hal yang sangat penting. Negara mempunyai peran penting dalam mengatur pengelolaan sumber daya hutan dalam mewujudkan hak-hak masyarakat lokal. Instrumen penting yang dapat digunakan oleh negara dalam menyelenggarakan fungsi reguleren termasuk dalam bidang pengelolaan sumber daya hutan adalah undang-undang, dan ini merupakan aplikasi dari asas legalitas dalam konsep negara berdasar atas hukum. 14 Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 133. 15 CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (1), Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 20. 16 Mustamin Dg. Matutu, ”Selayang Pandang (tentang) Perkembangan Tipe-Tipe Negara Modem, ”Pidato Lustrum ke IV Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, 1972. hlm. 15. 17 W. Friedmann., The State and The Rule of Law In A Mixed Economy, London: Steven & Son, 1971, hlm. 5. Bab 1: Pendahuluan
9
Teori Negara Kesejahteraan sangat mendukung pengelolaan konflik pemanfaatan sumberdaya hutan dalam mewujudkan hak masyarakat lokal, sehingga akan mendukung terwujudnya kesejahteraan umum dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui sektor perpajakan. Konsep Negara Kesejahteraan dalam UUD 1945 pertama kali diadop oleh Muhamad Hatta, 18 yang dapat dikemukakan berdasarkan ketentuan Pasal 33 yang berbunyi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-Undang. Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia mengacu pada ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam sebagaimana tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa negara menguasai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, namun penguasaan ini terbatasi yaitu harus dipergunakan untuk sebesarnya-besarnya kemakmuran rakyat.19 Campur tangan Pemerintah tersebut di atas menunjukkan bahwa Indonesia menganut konsep negara kesejahteraan (Welfare State), sebagaimana dicetuskan oleh Beveridge.20 Selanjutnya, dalam perkembangannya karena keterlibatan pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsinya dalam meregulasi dan 18 Jimly Asshiddiqie, “Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Universitas Indonesia , Jakarta, 1998. 19 Muchsan, Hukum Administrasi Negara dan Peradilan, Administrasi Negara di Indonesia, (Jakarta: Liberti, 2003), hlm.9. 20 Beveridge seorang anggota Parlemen Inggris dalam reportnya yang mengandung suatu program sosial, dengan perincian antara lain tentang meratakan pendapatan masyarakat, usulan kesejahteraan social, peluang kerja, pengawasan upah oleh Pemerintah dan usaha di bidang pendidikan. Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: PT. Alumni, 2002), hlm.82. 10
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
mengawasi berbagai aktivitas di masyarakat, timbul berbagai permasalahan yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat di lapangan. Hal tersebut digambarkan oleh Tocqueville seringkali menimbulkan konflik terhadap sistem politik di suatu negara. Ia mengemukakan bahwa: “Conflict, however bounded; controversy, however regulated-these are features not incidental but essential to the operation of the political system”.21 Tujuan hukum dapat dikaji melalui tiga sudut pandang, masing-masing: Pertama, dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dogmatik, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukumnya. Kedua, dari sudut pandang filsafat hukum, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan. Ketiga, dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatannya.22 Dalam tataran Middle Range Theory dipergunakan sebagai pisau analisa adalah teori keadilan. Menurut ajaran utilitis dengan tujuan kemanfaatannya, yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Menurut pandangan ini, tujuan hukum semata-mata adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesarbesarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Penangannya didasarkan pada filsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya. Doktrin utilitis ini mennjurkan ‘the greathes happiness principle’ (prinsip kebahagiaan yang semaksimal mungkin). Tegasnya, menurut teori ini masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya dan agar ketidakbahagiaan diusahakan sedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya.23 Selain pandangan teori keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, dapat dikemukakan teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls. Menurut John Rawls, semua teori keadilan merupakan teori tentang cara untuk menentukan kepentingan-kepentingan yang berbeda dari semua warga masyarakat. Menurut konsep teori keadilan utilitaris, cara yang adil mempersatukan kepentingan-kepentingan manusia yang berbeda adalah dengan selalu mencoba memperbesar kebahagiaan. Menurut Rawls, bagaimanapun juga cara yang adil untuk mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui keseimbangan kepentingankepentingan tersebut tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri. Teori ini sering disebut ’justice as fairness ‘(keadilan sebagai kejujuran). Jadi yang pokok adalah prinsip keadilan mana yang paling 21 Tocqueville’s seperti dikutip Gianfranco Poggi, The Development of the Modern State, (New York: Stanford University Press, 1978), hlm. 111. 22 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 2000), hlm.72. 23 Ibid., hlm.77. Bab 1: Pendahuluan
11
fair, itulah yang harus dipedomani. Terdapat dua prinsip dasar keadilan. Prinsip yang pertama, disebut kebebasan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai kebebasan yang terbesar asal ia tidak menyakiti orang lain. Tegasnya, menurut prinsip kebebasan ini, setiap orang harus diberi kebebasan memilih menjadi pejabat kebebasan berbicara dan berfikir kebebasan memiliki kekayaan, kebebasan dari penangkapan tanpa alasan dan sebagainya.24 Prinsip keadilan yang kedua yang akan disetujui oleh semua orang yang fair adalah bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus menolong seluruh masyarakat dan para pejabat tinggi harus terbuka bagi semuanya. Tegasnya, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dianggap tidak adil kecuali jika ketidaksamaan ini menolong seluruh masyarakat.25 Teori keadilan ini sangat relevan untuk menjawab bagaimana seharusnya pengelolaan konflik pemanfaatan sumberdaya hutan dapat mewujudkan hak masyarakat lokal secara adil. Karena esensi hak masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumber daya hutan adalah adanya perlakuan yang adil untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan secara arif bijaksana dan berkesinambungan untuk kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan generasi yang akan datang. Friedman mengemukakan bahwa suatu sistem hukum terdiri dari tiga unsur26: “Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai 3 (elemen), yaitu (a) struktur system hukum (structure of legal system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislative), institusi pengadilan dengan strukturnya lembaga kejaksaan dan badan kepolisian negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum; (b) subtansi sistem hukum (substance of legal) yang berupa norma-norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk polapola perilaku masyarakat yang berada di balik sistem hukum; dan (c) budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai, ide-ide, harapan-harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang terwujud dalam perilaku masyarakat dalam mempersepsikan hukum”. Pendapat serupa juga dikemukakan dalam teori hukum pembangunan dari Muchtar Kusumaatmadja. Berdasarkan kenyataan kemasyarakatan dan situasi kultural di Indonesia serta kebutuhan riil masyarakat Indonesia, Muchtar Kusumaatmadja merumuskan landasan atau kerangka teoritis bagi pembangunan hukum nasional dengan mengakomodasikan pandangan tentang hukum dari Eugen Ehrlich dan teori hukum Roscou Pound, dan mengolahnya menjadi 24 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 181 dan 203. 25 Ibid. 26 Lawrence W Friedman, American Law, ( New York: W.W. Norton & Company, 1984), hlm. 7. 12
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
suatu konsep hukum yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan, disamping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum.27 Untuk memberikan landasan teoritis dalam memerankan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat serta membangun tatanan hukum nasional yang akan mampu menjalankan peranan tersebut, Muchtar Kusumaatmadja mengajukan konsepsi hukum yang tidak saja merupakan keseluruhan azasazas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.28 Dengan konsepsi hukum tersebut, tampak bahwa Muchtar memandang tatanan hukum itu sebagai suatu sistem yang tersusun atas 3 (tiga) komponen (sub sistem) yaitu:29 a. Azas-azas dan kaidah hukum; b. Kelembagaan hukum; c. Proses perwujudan hukum. Menurut Muchtar Kusumaatmadja, hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu.30 Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bias berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti merupakan arah kegiatan rumusan kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.31 Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum disamping fungsinya yang tradisional yakni untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban.32 Perubahan maupun ketertiban atau keteraturan merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat (sarana) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.33 Peranan hukum dalam pembangunan dimaksudkan agar pembangunan tersebut dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditetapkan. Hal ini berarti bahwa diperlukan seperangkat produk hukum baik berwujud perundang27 28 29 30
Ibid, hlm. 7. Ibid. Ibid. Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: PT. Alumni, 2002), hlm. 89. 31 Ibid. 32 Ibid. 33 Ibid, hlm. 89. Bab 1: Pendahuluan
13
undangan maupun keputusan badan-badan peradilan yang mampu menunjang pembangunan.34 Dalam pelaksanaan ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-perundangan antara lain mengenai sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Materi muatan ideologi tersebut di atas yang dapat dicermati implikasinya pada kinerja Pemerintah Pusat khususnya Departemen Kehutanan beserta unit pelaksana teknis dalam hal ini Balai taman Nasional dan Pemerintah Daerah yang diberi kewenangan untuk mengelola kawasan pelestarian alam masyarakat sekitar kawasan. Dalam kaitannya dengan pengurusan hutan perlu adanya good forestry governance.35 Adapun syarat good forestry governance antara lain: Pertama, adanya transparansi hukum, kebijakan dan pelaksanaan; Kedua, tersedianya mekanisme yang “legitimate” dalam proses akuntabilitas publik; Ketiga, adanya mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi yang partisipatif; Keempat, adanya mekanisme demokratis dalam memperkuat daerah; Kelima, memperbaiki birokrasi pusat yang tidak efektif dan efisien untuk perbaikan kinerja melalui pengembangan institusi yang mengarah kepada peningkatan pelayanan publik.36 Beberapa prasyarat di atas sudah sejalan dengan subtansi Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.37 Pengelolaan sumberdaya hutan adalah sistem pengelolaan hutan dalam rangka memberikan perlindungan sistem penyangga kehidupan baik hutan yang berada di kawasan taman nasional maupun hutan produksi, namun dalam penelitian ini digunakan khusus untuk lingkup pengelolaan hutan di kawasan taman nasional. Apabila pengelolan konflik pemanfaatan sumber daya hutan dapat menerapkan prinsip keadilan, maka akan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Artinya hak-hak masyarakat lokal dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya, sehingga cita-cita konsep Negara kesejahteraan dapat terwujud. Sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengelolaan sumber daya hutan dan bagaimana mewujudkan hak masyarakat lokal, terutama perlindungan dalam bentuk perbaikan atas pengaturan perundang-undangan pada masa yang akan datang. Untuk menghindarkan perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan disertasi ini, berikut ini definisi operasional dari istilah-istilah tersebut. 34 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hlm. 65. 35 Elfian Efendi, Jangan Menunggu Kapal Pecah, ( Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001), hlm.61. 36 Ibid., hlm. 61. 37 Pasal 3 Undang-Undang No.28 Tahun 1999, menyebutkan bahwa ada tujuan asas umum penyelenggaraan negara, yaitu: Kesatu, kepastian hukum, Kedua, asas tertib penyelenggara negara, Ketiga, asas kepentingan umum, Keempat, asas keterbukaan. 14
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
1. Masyarakat Adat adalah kesatuan manusia yang tertentu, mempunyai penguasa-penguasa danmempunyai kekayaan, yang berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun di antara para anggota mempunyai fikiran atau kecenderungan untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu, dalam arti melepaskannya untuk selama-lamanya.38 2. Masyarakat Lokal adalah masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan yang dalam hal ini tinggal disekitar kawasan Taman Nasional yang mempunyai ciri-ciri sosial, ekonomi, budaya yang berbeda dari pengertian masyarakat hukum adat. Masyarakat lokal yaitu sekelompok penduduk asli yang tidak terikat lagi pada masyarakat adat dan pendatang yang berasal dari daerah lain yang sudah tinggal di kawasan tersebut selama lebih dari 10 tahun atau lahir di tempat tersebut, mempunyai hak untuk memanfaatkan hutan yang berada disekitar masyarakat tersebut tinggal.39 3. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam.40 4. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.41 5. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.42 6. Konflik adalah sebagai perwujudan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama. Titik berat konflik dalam penelitian ini adalah konflik kehutanan yang telah muncul kearena publik yang antara lain disebabkan oleh perambahan hutan, pencurian kayu illegal, masalah batas wilayah pengelolaan kawasan hutan, masalah kerusakan hutan, serta adanya peralihan fungsi kawasan hutan.43
38 Budi Riyanto, Bunga Rampai Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam Menuju Smart Regulation, (Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, 2006), hlm.44. 39 Saafroedin Bahar, Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta: Komnas HAM, 2005), hlm.73. 40 Pasal 24 Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 41 Pasal 1 butir 8 Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 42 Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 43 Yuliana Cahya Wulan, dkk, Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997-2006, (Bogor: CIFOR, 2007), hlm.3. Bab 1: Pendahuluan
15
7. Illegal Logging adalah tindakan ilegal yang dilakukan oleh masyarakat atau perusahan atau badan hukum berupa penebangan kayu/pencurian kayu di wilayah yang bukan miliknya, yang kemudian dapat menimbulkan konflik dengan pihak lain yang merasa dirugikan.44 8. Pembagian Kewenangan adalah pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan.45 9. Hak Masyarakat Lokal adalah merupakan hak penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan untuk memanfaatkan sumber daya alam dalam bentuk hak untuk menggarap tanah, memanfaatkan air dan mengambil hasil hutan untuk keperluan rumah tangga. 10. Ekosistem Sumberdaya Alam Hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi.46 11. Konservasi Sumberdaya Alam Hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.47 12. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun diperairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.48 13. Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhususan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.49 14. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi perlindungan penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya hayati dan ekosistemnya.50 44 Ibid. 45 Pasal 2 ayat (7) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 46 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 47 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 48 Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 49 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 50 Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 16
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
15. Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap kehidupan. 16. Hak Ulayat adalah hak kepemilikan bersama/komunal dari masyarakat hukum adat yang dikelola dengan cara gotong royong dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama dan para warga masing-masing dan pemanfaatan tidak bertentang dengan undang-undang.51 17. Hutan Rakyat adalah hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik.52 18. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.53 19. Pendapatan Asli Daerah adalah yang selanjutnya disebut PAD merupakan pendapatan yang berupa: hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.54 20. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah hak untuk mengusahakan hutan di wilayah hutan produksi yang diberikan kepada koperasi, masyarakat atau perusahaan swasta nasional yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dengan izin Menteri.55 21. Pengetahuan Tradisional adalah pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal setempat dalam kaitannya dengan masalah konservasi sesuai pengethuan yang dimiliki secara turun temurun dalam mengelola sumber daya alam dengan senantiasa berpedoman pada kearifan tradisional/lokal.56 22. Zona Pemanfaatan Tradisonal adalah merupakan zona pemanfaatan kawasan hutan dengan memperhatikan kearifan lokal/tradisonal masyarakat sekitar kawasan hutan dalam kaitannya dengan pemanfaatan hutan dan masalah konservasi.57 23. Konservasi Tradisional adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambung an persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya dengan memperhatikan nilai-nilai kearifan tradisonal masrakat sekitar kawasan hutan.58 24. Tanah Ulayat adalah tanah hak kemilikan bersama/komunal dari masyarakat hukum adat yang dikelola secara gotong royong dimanfaatkan 51 52 53 54 55 56 57
Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Undang-Undang Pokok Agraria. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 157 huruf a Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Budi Riyanto, Op. Cit, hlm.45. Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 58 Budi Riyanto, Op. Cit., hlm.47. Bab 1: Pendahuluan
17
untuk memenuhi kebutuhan bersama dan para warga masing-masing dan pemanfaatan tidak bertentangan dengan undang-undang.59 25. Pemerintahan Desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Sedangkan perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya.60 F. Metode Penelitian Penelitian mengenai perlindungan hak masyarakat lokal atas sumber daya alam di sekitar hutan, khususnya di kawasan Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser menggunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu menganalisis data secara mendalam dan komprehensif.61 Selain itu, digunakan metode perbandingan hukum dengan membandingkan tentang pengaturan pengelolaan sumber daya hutan dan masalah hak-hak masyarakat lokal di beberapa negara. Tehnik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Penelitian kepustakaan, yaitu mengumpulkan bahan dokumen yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. b. Penelitian lapangan, yaitu melakukan wawancara dengan para tokoh masyarakat, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser, LPT Tangkahan, serta beberapa pihak yang terlibat dalam konflik di Tangkahan.
59 Ibid 60 Pasal 202 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 61 Valerie J. Janesick, “The Dance of Qualitative Research Design, Metaphore, Methodolatry and Meaning”. Handbook of Qualitatif Research, Ed: Norman K.Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Sage Publication, Inc., California,1994, hlm. 212. 18
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
BAB II KERANGKA HUKUM HAK MASYARAKAT ADAT DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN Hampir 500 tahun banyak dari sistem hukum domestik maupun internasional mendasarkan status hukum masyarakat lokal kepada prinsip ”discovery doctrine.” Berdasarkan doktrin ini penemu suatu daerah mempunyai kewenangan untuk mengontrol penguasaan dan pemakaian tanah-tanah masyarakat asli, dan kemudian mengelola dan menggali sumber-sumber alam yang mereka temukan. Doktrin ini gagal mempertimbangkan eksistensi dari masyarakat lokal karena masyarakat lokal tidak diakui sebagai unit yang sah. Sejak tahun 1970, masyarakat lokal mulai menentang ”discovery doctrine tersebut melalui badan-badan hak asasi manusia internasional.1 Namun jauh sebelumnya hak-hak masyarakat tersebut sudah dicantumkan secara umum dalam Piagam Hak Asasi Manusia Tahun 1948. Bab ini akan menjelaskan perlindungan hak masyarakat, termasuk hak masyarakat asli dalam pengelolaan sumber daya hutan dalam Konstitusi, Konvensi Internasional, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Daerah di beberapa Kabupaten. A. Hak Masyarakat Adat Dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Paragraf-paragraf berikut ini akan menguraikan perlindungan hak masyarakat adat atas sumber daya alam dalam Konstitusi Indonesia, UndangUndang, dan Peraturan Pelaksanaannya. 1. Konstitusi Melindungi Hak Masyarakat Adat Berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum Amandemen) beserta penjelasannya keberadaan (eksistensi) masyarakat adat sudah diakui.2 Pasal 18 menentukan bahwa: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.” 1
2
Jennifer A. Amiot, “Environment, Equality and Indigenous Peoples Land Rights in the Inter-American Human Rights System: Mayagna (Sumo) Indigenous Community of Awas Tigni v. Nicaragua”, in Yale Journal of Environmental Law , Vol. 22: ( 2002), hlm. 881883. Hazairin, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), hlm. 93 – 94.
Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
19
Sedangkan penjelasannya mengatakan bahwa: “Pertama, Daerah Indonesia akan dibagi ke dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerahdaerah yang bersifat autonom (streek dan locale rechtregemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Kedua, Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti: desa-desa di Jawa-Bali, nagari di Minangkabau, dan marga-marga di Palembang dan sebagainya/ daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebgai daerah yang bersifat istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hakhak asal-usul daerah tersebut.” Dalam pidato pembahasan pembentukan UUD 1945 mengenai kekuasaan pemerintah negara, Soepomo menekankan agar keberadaan masyarakat adat harus dihormati dan diperhatikan susunannya yang asli, beliau mengatakan3: “… daerah-daerah ketjil jang mempunjai susunan jang aseli, jaitu volksgemeinschappen … seperti misalnja di Djawa: desa, di Minangkabau: nagri, di Palembang: dusun, lagi pula daerah ketjil jang dinamakan marga, di Tapanuli: huta, di Atjeh: kampong, semua daerah ketjil jang mempunjai susunan rakjat, hendaknja dihormati dan diperhatikan susunannja jang aseli …” Meskipun keberadaan masyarakat adat telah disadari dan bahkan dimasukkan dalam UUD 1945, para perancang konstitusi itu juga menghendaki agar keberadaan persekutuan itu hendaknya nanti akan disesuaikan dengan kemauan jaman. Kenyataan ini dapat dilihat pada pidato Moh. Yamin4: “Perkara Desa barangkali tidak perlu saja bitjarakan di sini, melainkan kita harapkan sadja, supaja sifatnja nanti diperbaharui atau disesuaikan dengan keperluan djaman baru … desa di pulau djawa, negeri di Minangkabau, dan dusun-dusun jang lain … , supaya memenuhi kemauan djaman baru di tanah Indonesia kita ini.” Eksistensi masyarakat adat dalam UUD 1945 setelah amandemen dapat ditemukan pada Pasal 18 B ayat (2) Amandemen II yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” 3 4 20
Pidato Moh. Yamin dalam rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, Lihat: Moh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: tanpa penerbit, 1959). Ibid Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Selanjutnya, Pasal 28 I ayat (3) menyebutkan: ”identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Apabila dicermati, ternyata dalam UUD 1945 telah secara eksplisit menyebutkan masyarakat adat meskipun terminologi yang dipakai adalah masyarakat hukum adat. Namun, UUD 1945 setelah amandemen tidak konsisten dalam penggunaan terminologi. Pasal 18 B disebutkan masyarakat adat sedangkan dalam Pasal 28 I disebutkan masyarakat tradisional. Meskipun tidak konsisten dalam penggunaan istilah, dapat disimpulkan bahwa istilah masyarakat adat sama dengan masyarakat tradisional sudah diakui oleh norma tertinggi di Indonesia. Tetapi sayangnya, pengakuan tersebut masih bersifat setengah hati. Kenyataan ini dapat dilihat dengan penggunaan kalimat: “…sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat…”. Rumusan demikian menimbulkan masalah bagaimana menentukan hak tersebut masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, serta siapa yang menentukan hal tersebut? UUD 1945 setelah amandemen telah melakukan langkah mundur dalam hal pengakuan terhadap masyarakat adat dibandingkan UUD 1945 sebelum amandemen. Hal tersebut disimpulkan dalam diskusi di Banjarmasin dengan tema yang sama yang mengatakan bahwa keberadaan masyarakat adat dalam konstitusi perlu penegasan kembali.5 Selanjutnya, di dalam UUD 1945, apakah hak menentukan nasib sendiri, terutama masyarakat adat, sudah dijamin seperti yang seharusnya? Kenyataannya dalam UUD 1945 (sebelum amandemen), jaminan hak untuk menentukan nasib sendiri belum dirumuskan secara eksplisit.6 Yang ada adalah hak bangsa yang dapat dilihat pada pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa.” Hak bangsa tidak bisa dipersamakan dengan hak menentukan nasib sendiri mengingat bahwa hak bangsa tersebut diserahkan kepada negara sedangkan hak menentukan nasib sendiri tetap dimiliki oleh individu atau kelompok-kelompok pembentuk negara dan tidak bisa diserahkan kepada negara kecuali dipaksa. Kemudian hak segala bangsa hanya digunakan untuk menghadapi kekuasaan penjajahan dari bangsa lain sedangkan hak menentukan nasib sendiri digunakan untuk menghindari perlakuan yang sewenang-wenang dari negara dan pihak lainnya.7 Menurut Soetandyo, 5 6 7
Emil Kleden, “Eksistensi Keberadaan Masyarakat Hukum Adat”, Roundtable Discussion Hasil Kerjasama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan World Agroforestry Centre di Banjarmasin, pada September 2006, hlm. 4. Saafroedin Bahar, Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta: Komisi Hak asasi Manusia, 2005), hlm.18-19. Ibid., hlm. 20.
Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
21
pada mulanya konsep HAM ditafsirkan dalam hak segala bangsa dan bukan hak asasi bagi individu-individunya memang sungguh berfungsi sebagai kekuatan untuk memerdekakan bangsa. Namun konsep yang demikian itu pada akhirnya hanya akan memperkuat hegemoni negara.8 Berdasarkan hal tersebut telah nyata, tidak ada hak untuk menentukan nasib sendiri dalam UUD 1945. Tidak dicantumkanya hak untuk menentuk nasib sendiri oleh para pembentuk UUD 1945 kala itu dapat dimengerti. Pada saat itu jiwa nasionalisme yang begitu kental sehingga hal-hal yang berbau barat (Eropa dan Amerika) dianggap tabu. Pada saat penyusunan UUD 1945, para perancang juga telah mempelajari beberapa konstitusi negara lain, seperti Konstitusi Amerika, Perancis, Jerman, dan sebagainya. Soekarno pada saat itu menyebutkan bahwa UUD negara-negara tersebut bersumber pada Revolusi Perancis dan ajaran Rousseau, Montesqieu, Hobbes, Locke, dan Immanuel Kant, yaitu individualisme dan liberalisme9: ”Njata tuan-tuan dan njonja-njonja jang terhormat, bahwa dasar negara Eropa dan Amerika itu adalah benar falsafah jang salah. Apakah kita hendak menuliskan dasar jang demikian itu dalam Undang-undang Dasar kita?…” Menurut Soekarno, individualisme dan liberalisme merupakan sumber malapetaka yang melanda dunia. Soekarno dalam pidatonya itu tidak menghendaki memberikan hak yang berlebihan kepada warga negara karena nantinya akan mengakibatkan konflik antar warga negara. Berangkat dari asumsi itulah maka Soekarno dan Soepomo tidak begitu sependapat dengan Hatta dan Moh Yamin apabila rakyat diberikan hak-hak terlalu berlebihan seperti dicantumkan pada konstitusi Amerika dan Perancis. Dengan demikian, tak pelak lagi bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri bagi warga negara termasuk masyarakat adat memang tidak secara eksplisit diakui. Hak untuk menentukan nasib sendiri yang meliputi hak untuk secara bebas menentukan status politik, menjalankan sistem ekonomi sendiri dan mengembangkan kebudayaan dalam UUD 1945 setelah diamandemen tidak tercantum secara eksplisit. Pasal 28 I ayat (3) menyebutkan ”identitas budaya dan hak masyarakat adat dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Pasal tersebut hanya menerangkan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisonal dihormati. Apabila dikaji lebih jauh, dalam kandungan kata ‘dihormati’ sama sekali tidak dapat ditafsirkan bahwa hak masyarakat adat dijamin dalam konstitusi. Lagi pula dalam pasal tersebut 8 9
22
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: ELSAM – HuMa, 2002), hlm. 431. Pidato Soekarno tanggal 15 Juli pada sidang BPUPKI, dalam Moh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945: Buku Pertama,(Jakarta: tanpa penerbit, 1959). hlm. 292. Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
tidak dirinci apa saja hak masyarakat tradisional itu. Selain itu, tambahan kalimat ”selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”, bermakna bahwa pada saat waktu tertentu, entah kapan, identitas budaya dan hak masyarakat adat tidak akan dihormati lagi karena dianggap tidak selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban. Dengan demikian, tidak tercantumnya jaminan hak untuk menentukan nasib sendiri yang meliputi secara bebas menentukan status politik, menjalankan sistem ekonomi dan mengembangkan budaya, maka UUD 1945 setelah amandemen tidak melakukan kemajuan apa-apa dalam hal pengakuan hak masyarakat adat. 2. Berbagai Undang-Undang Mencoba Mengatur Hak Masyarakat Adat Perlindungan terhadap masyarakat adat dapat dilihat dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (1960) sampai dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (2004).
Pertama, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok agraria.
Perlindungan hak masyarakat lokal juga terdapat dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria. Pengakuan atas penerapan Hukum Adat di masyarakat Indonesia dalam hubungannya dengan hak komunal dan terhadap jalan agar ia dimasukkan dalam undang-undang dan peraturanperaturan telah menjadi topik perdebatan. Undang-Undang tersebut,sebagai contoh pada Pasal 3 menyatakan bahwa hak-hak komunal dan hak-hak sejenis yang lain dari masyarakat hukum adat dapat dijalankan jika ia masih ada. Pelaksanaan hak-hak tersebut harus sesuai dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara berdasarkan kepada persatuan nasional. Hukum adat tidak seharusnya bertolak belakang dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi. Lebih lanjut Pasal 5 menyatakan bahwa UUPA memperlakukan Hukum Adat sebagai salah satu sumber hukumnya selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara juga undang-undang dan peraturan-peraturan yang lain.10 Adanya pengakuan dalam ketentuan UUPA, hak ulayat sebagai tanah negara. Karakter Hukum Agraria 1960 sebagai hukum dasar, dan fakta bahwa tidak adanya penerapan hukum yang diadopsi selama ini yang sama dengan pengakuan khusus dan perlindungan hak ulayat, telah menaikkan kebijakan pemerintah yang sangat mempengaruhi hak ulayat komunitas ini. Pengertian yang paling ekstrim dari pasal 3 Hukum Agraria tersebut, 10 Herman Slaats, Erman Rajagukguk, Nurul Ilmiah, Ahmad Safik, Masalah Tanah di Indonesia Dari Masa Ke Masa, (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm. 15-16. Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
23
pemerintah memperlakukan semua tanah hak ulayat yang tidak diolah sebagai tanah negara. Dasar hukum dari kebijakan “kondisi hak ulayat” ini adalah Pasal 33 (3) dari UUD 1945 dan Pasal 2 UU. No. 5 Tahun 1960 Ketentuan Pokok Agraria, yang keduanya menyatakan bahwa semua tanah dan sumberdaya alam di Indonesia berada di bawah kontrol negara. Hak kontrol dari negara mungkin sama dengan “radical title” di negara berdasarkan sistem common law. Kebijakan ini telah memungkinkan suatu negara untuk memberikan hakhak bagi tanah hak ulayat yang tidak terolah tanpa memperoleh persetujuan dari masyarakat hukum adat yang relevan dan tanpa memacu kewajiban hukum untuk membayar kompensasi “setimpal” kepada masyarakat hukum adat yang memegang hak ulayat. Praktek ini telah muncul khususnya sehubungan dengan pemberian konsesi kayu pada perusahaan HPH, pengumuman hutang lindung, dan alokasi tanah bagi proyek transmigrasi11.
Kedua, Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
Dalam konsideran menimbang butir b dinyatakan bahwa: “Sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan pemerintahan Desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan Desa agar makin mampu menggerakkan masuyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif”. Persoalan masyarakat adat disadari sebagai persoalan politik dan juga persoalan hukum, yang meliputi beberapa persoalan. Pertama, perlunya perlindungan hukum bagi masyarakat adat oleh Komnas HAM, termasuk juga kepada golongan rentan dalam masyarakat (vulnerable groups). Kedua, adanya perlakuan diskriminasi oleh negara kepada masyarakat adat yang dilakukan secara sistematis melalui berbagai paket kebijakan.12 Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penyeragaman sistem pemerintahan desa (UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa) dan adanya empat persyaratan eksistensi masyarakat hukum adat yang sangat sentralistik. Ketiga, eksistensi masyarakat adat oleh Pemerintah Indonesia 11 Daniel Fitzpatrick, “Disputes and Pluralism ini Modern Indonesia Land Law”, in Yale Journal of International law, vol. 22: (2005), hlm. 186-187. 12 Kesimpulan Lokakarya Nasional Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Jakarta 14-15 Juni 2005 yang rumusan akhirnya disusun oleh Winarno Yudho (Mahkamah Konstitusi), Ansyari Thayib (Komnasham), Saafroedin Bahar (Komnasham), Subiyono (Depdagri), Bisariyadi (Mahkamah Konstitusi), Sandra Moniaga (HuMa), B. Steni (HuMa), Emil Kleden (AMAN), Hilmy Rosyida (Komnasham). Safroedin Bahar, Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta: Komnasham, 2005), hlm. 111-135. 24
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
diperlakukan secara diskriminatif dengan menggunakan logika deduktif empat persyaratan yang lebih banyak metode di atas meja daripada pendekatan empiris. Jika kebijakan pemerintah kolonial Belanda diskriminatif terhadap masyarakat adat maka mereka mengiris daging orang lain. Tetapi diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia merdeka adalah tindakan mengiris daging sendiri.13 Keempat, adanya kepentingan yang mendesak adalah memastikan posisi masyarakat adat dalam konfigurasi tata negara yang baru pasca pemberlakukan UU No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah oleh UU No 32 Tahun 2004. Inventarisasi dengan demikian membantu menemukan format sosial politik sistem pemerintahan daerah yang baru.
Ketiga, Undang-Undang No. 10 tahun 1992 tentang Kependudukan dan Keluarga sejahtera.
Undang-undang ini menjamin sepenuhnya hak penduduk Indonesia atas wilayah warisan adat mengembangkan kebudayaan masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 6 huruf b menyatakan: “Hak penduduk sebagai anggota masyarakat yang meliputi hak untuk mengembangkan kekayaan budaya, hak untuk mengembangkan kemampuan bersama kelompok, hak atas pemanfaatan wilayah warisan adat, serta hak untuk melestarikan atau mengembangkan perilaku budayanya”.
Keempat, Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Penjelasan Pasal 4 ayat 2 dari Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa: “Penggantian yang layak diberikan kepada orang yang dirugikan selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumberdaya alam seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan dan atau ruang yang dapat membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan rancana tata ruang dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Hak tersebut didasarkan atas ketentuan perundangundangan ataupun atas dasar hukum adat dan kebiasaan yang berlaku”.
Kelima, Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menggantikan Undang-Undang No. 5 tahun 1967. Perlindungan masyarakat adat dalam UU No. 5 tahun 1967 juga sudah diakui, meskipun dengan redaksi yang berbeda. Pasal 17 dinyatakan bahwa: 13 Satjipto Raharjdo, Hukum Adat Dalam Negara Kesatuan Modern Republik Indonesia, Op. Cit. hlm. 8. Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
25
“Pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggotaanggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas suatu peraturan hukum sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam UndangUndang ini”. Selanjutnya di dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 5 tahun 1967, dinyatakan bahwa: “Di dalam Pasal 2 dipergunakan istilah Hutan Negara, untuk menyebut semua hutan yang bukan merupakan Hak Milik. Dengan demikian pengertian, Hutan Negara itu mencakup pula hutan-hutan yang baik berdasarkan Peraturan Perundangan maupun Hukum Adat dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Penguasaan masyarakat hukum adat atas tanah tertentu yang didasarkan pada hukum adat, lazimnya disebut hak ulayat yang telah diakui dalam Undang-Undang Pokok Agraria sepanjang kenyataannya memang masih ada.”
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 67 UU No. 41 tahun, menyatakan bahwa14: Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, telah diakui eksistensi masyarakat adat, akan tetapi pengakuan tersebut masih setengah hati dengan kalimat”…sepanjang menurut kenyataannya masih ada…”. Ketentuan tersebut di atas dapat diartikan bahwa msayarakat hukum adat akan mempunyai hak sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui. Dengan kata lain, apabila dia tidak diakui, entah oleh siapa, maka ia tidak akan mempunyai hak. Apabila dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 setelah amandemen, maka ketentuan yang terdapat dalam UU Kehutanan tersebut menunjukkan adanya pengakuan yang tidak tegas. 14 Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 26
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Keenam, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam ketentuan Undang-undang tersebut , dinyatakan bahwa dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.15 Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundangundangan. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Eksistensi masyarakat adat beserta hak-haknya telah dijamin dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyebutkan masyarakat hukum adat, telah diakui dan dijamin secara utuh dengan persyaratan tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan. Ketentuan yang diatur dalam UU ini lebih maju dibandingkan dengan yang diatur dalam UUD 1945 setelah amandemen. Kemajuan UU ini dapat dilihat dengan ditetapkanya bahwa demi penegakan HAM, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. Selain itu adanya pengakuan dan perlindungan bagi identitas budaya termasuk hak ulayat. Namun demikian, masih terdapat pernyataan setengah hati dengan ditentukannya “…selaras dengan perkembangan jaman”. Ini berbarti secara tidak langsung UU HAM juga menetapkan bahwa apa bila sudah tidak lagi selaras dengan perkembangan jaman maka hak tersebut tidak akan dilindungi lagi.
Pasal 6 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, menyebutkan: 1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum masyarakat, dan Pemerintah. 2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 6 dinyatakan: 1) Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi
15 Pasal 6 UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
27
dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan. 2) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas bidaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Ketujuh, Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Pasal 43 UU UU No.21 tahun 2001 menyebutkan: 1) Pemerintah provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. 2) Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan 3) Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundangundangan.”
Kedelapan, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam ketentuan Pasal 93 dinyatakan bahwa:16 (1) Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD. (2) Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Daerah.”
Sedangkan menurut penjelasan Ayat (1), istilah Desa disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat seperti nagari, kampung, huta, bori, dan marga. Yang dimaksud dengan asal-usul adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan penjelasannya. Dalam UU Pemerintahan Daerah, isitilah nagari, kampung, huta, bori dan marga sudah diperkenalkan. Dengan kata lain, UU ini berusaha 16 Pasal 93 UU No.22 tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 28
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
memperkenalkan kembali lembaga-lembaga adat yang selama ini tidak begitu dipedulikan. Namun demikian, dalam UU ini tidak ada terminologi tentang masyarakat adat atau masyarakat hukum adat. Sehingga dapat dikatakan bahwa UU ini juga tidak cukup digunakan sebagai payung untuk mengakui hak-hak dan keberadaan masyarakat adat, walaupun di penjelasan selanjutnya UU ini menunjuk Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen.
Kesembilan, UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
Dalam ketentuan Pasal 6 menyebutkan bahwa: (1) Sumberdaya air dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. (2) Penguasaan sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat dan adat setempat.
Selanjutnya dalam Pasal 7 menyebutkan bahwa: “Hak guna air masyarakat hukum adat tetap diakui, sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan Peraturan Daerah setempat.” 3. Peraturan Pelaksanaan Untuk Perlindungan Hak Masyarakat Adat Hak-hak masyarakat lokal juga dapat ditunjukkan berdasarkan beberapa peraturan pelaksanaan.
Pertama, PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam ketentuan Peraturan Pemerintah tersebut, mengatur Panitia Adjudikasi yang melakukan pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai suatu obyek hak antara lain dalam Penjelasan Pasal 8 huruf c, yang menyatakan: ”... memungkinkan dimasukkannya Tetua Adat yang mengetahui benar riwayat/kepemilikan bidang-bidang tanah setempat dalam Panitia adjudikasi, khususnya di daerah yang hukum adatnya masih kuat.” Sedangkan dalam memberikan pedoman Pembuktian Hak Lama dalam Pasal 24 ayat 2 menyatakan: ”Dalam hal tidak atau tidak lagi bersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukti tertulis atau keterangan yang kadar kebenarannya diakui Tim Adjudikasi, pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, dengansyarat a) penguasaan tersebut dilakukan denga itikad baik dan secara terbuka, b) penguasaan tersebut baik sebelum mapun selama pengumuman sebagaimana dilakukan dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak-pihak lainnya”. Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
29
Kedua, PP Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi.
Dalam ketentuan Pasal 27, dinyatakan bahwa:17 (1) Masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini diberikan hak memungut hasil hutan untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. (2) Pengambilan hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri
Pengaturan mengenai masyarakat adat dalam PP ini masih sama rejimnya dengan UU No 41 tahun 1999, yaitu apabila masyarakat adat tidak diakui maka ia tidak mempunyai hak. PP ini seperti halnya dengan UU No 41 Tahun 1999 melakukan penyimpangan terhadap UUD 1945 setelah amandemen.
Ketiga, Keputusan Menteri kehutanan No. 251/Kpts-II/II/1993 tentang Ketentuan Hak Pemungutan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Hukum Adat.
Pasal 1 Keputusan Menteri Kehutanan tersebut menyatakan bahwa: ”Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan Hak Masyarakat Hukum adat adalah hak sekolompok masyarakat hukum adat tertentu yang masih ada untuk memungut hasil hutan baik kayu maupun non kayu dari areal Hak Pengusahaan Hutan”.
Keempat, Keputusan Menteri Kehutanan No. 252 Tahun 1993 Tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Lestari.
Dalam Keputusan Menteri tersebut, ditetapkan 29.000 ha kawasan hutan lindung dan produksi terbatas di Lampung yang berupa wanatani asli repong damar sebagai kawasan dengan tujuan istimewa. Hak pengelolaan diberikan kepada 16 masyarakat adat setempat. SK ini mengakui pola pengelolaan sumber daya hutan dalam bentuk wanatani asli oleh masyarakat adat Peminggir/Krui.
Kelima, Peraturan Mendagri No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian Serta Pengembangan Adat Istiadat, KebiasaanKebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah.
Pasal 8 Peraturan Mendagri No. 3 tahun 1997, tersebut menyatakan bahwa:
17 Pasal 27 PP No. 6 tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi. 30
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
”Lembaga adat berkedudukan sebagai organisasi permusyawarahan / permufakatan kepala adat / pemangku adat / tetua adat dan pemimpin / pemuka-pemuka adat lainnya yang berada di luar susunan organisasi pemerintah di Provinsi daerah Tk I, Kabupaten / Kotamadya Daerah Tk II, Kecamatan dan / atau Desa / Kelurahan.” Sedangkan Pasal 9 menyebutkan: ”Lembaga adat mempunyai hak dan wewenang sebagai berikut: a) mewakili masyarakat adat keluar, yakni dalam hal-hal yang menyangkut dan mempengaruhi adat, b) mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untukmeningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik, c) menyelesaikan perselihan yang menyangkut perkaraperkara adat.” Peraturan ini mengakui bahwa masyarakat hukum adat merupakan suatu badan hukum diluar struktur pemerintahan yang dapat melakukan hubungan dengan pihak luar dan ke dalam, mengelola harta kekayaannya termasuk sumber daya alamnya serta mengatur sanksi-sanksi atas pelanggaran.”
Keenam, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan.
Dalam Pasal 1 butir 7, dinyatakan bahwa masyarakat setempat adalah kelompok-kelompok orang warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam atau sekitar hutan dan memiliki ciri sebagai suatu komunitas, baik oleh karena kekerabatan, kesamaan mata pencaharian yang berkait dengan hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal bersama, maupun oleh karena faktor ikatan komunitas lainnya. 18 Ketentuan dalam Pasal tersebut, tidak secara eksplisit mengatur mengenai masyarakat adat baik dalam hal pengakuan maupun pemberian hak kepada masyarakat adat untuk mengelola hutan. Tetapi apabila dicermati dari poin-poin pengertian yang diatur dalam pasal tersebut dapat dikatakan bahwa pengertian tersebut juga mencakup masyarakat adat. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa masyarakat adat telah diakui segala hak yang mengikutinya. Apalagi dalam peraturan ini tidak ada satupun pasal yang memuat pengaturan mengenai masyarakat adat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa SK menteri ini tidak konsisten dengan UUD 1945.
Ketujuh, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.
Dalam Pasal 1 yang dimaksud dengan:
18 Pasal 1 butir 7 Keputusan Menteri Kehutanan No. 677/Kpts. II tahun 1998 tentang Hutan Kemasyarakatan. Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
31
1) Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. 2) Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. 3) Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.19
Selanjutnya dalam Pasal 2, dinyatakan bahwa:20 (1) Pelaksanan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. (2) Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila : a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam. Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan, apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. 19 Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelsaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. 20 Ibid., Pasal 2. 32
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
B. Hak Masyarakat Asli Dalam Konvensi Internasional Perlindungan hak masyarakat asli dalam hukum Internasional selama dua dekade terakhir ini lebih baik. Sebelumnya perlindungan hak masyarakat asli sudah dicantumkan dalam Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia 1948, meskipun belum secara tegas menentukan tentang perlindungan hak masyarakat asli. Disamping itu perlindungan masyarakat asli juga telah dicantumkan dalam beberapa Konvensi Internasional yaitu Hak Sipil dan Politik, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Konvensi ILO. 1. Universal Declaration of Human Rigths Tahun 1948 Belum Secara Tegas Menentukan Masyarakat Asli Hak masyarakat lokal dapat dilacak pada masa awal periode kolonial, ketika para misionaris dan cendekiawan yang tertarik mencoba untuk memastikan bahwa masyarakat asli di daerah kolonial pada masa itu terlindungi dari tindakan-tindakan para pendatang dan orang-orang yang ingin memperoleh akses tanah, sumberdaya alam dan menjadikan mereka tenaga kerja. Satu hal menarik sehubungan dengan akses atas sumber daya alam adalah “Sekolah Hukum Internasional Spanyol” pada abad kelimabelas, dimana para pengikutnya, terutama pendirinya Fransisco de Victoria, mengkritik cara para penjajah Spanyol dan kolonialisnya dalam merebut tanah dan hak-hak orang Indian yang dijadikan tenaga kerja. Memperkuat pentingnya esensi kemanusiaan suku Indian di belahan barat, sekolah ini menegaskan bahwa Suku Indian memiliki kekuatan otonomi orisinil dan berhak atas tanah, dimana orang-orang Eropa harus menghormatinya21. Praktek-praktek kenegaraan, isu mengenai pengrusakan terhadap masyarakat lokal dan perubahan cara hidup mereka didiskusikan di Parlemen Inggris pada abad 18 dan 19, terutama selama debat-debat mengenai perbudakan. Pemerintah Amerika melakukan perjanjian dengan masyarakat asli, sesuatu yang mengindikasikan pengakuan tak langsung kedaulatan masyarakat asli22. Bank Dunia telah mengadaptasi Petunjuk Pelaksanaan (Operational Directive), yang secara khusus memberi perhatian dengan pengakuan terhadap sistem adat atas kepemilikan tanah di proyek-proyek binaannya. Setelah sebuah proses draf panjang oleh Kelompok Kerja tentang Populasi Masyarakat Asli, maka “Draf Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Asli” sekarang sedang berada dalam pertimbangan oleh Komisi Hak Asasi Manusia, dan diharapkan dapat diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Apabila 21 S. James Anaya, Indigenous Peoples in International Law, (Oxford: Oxford University Press, 1996), .hlm. 10. 22 Pada 100 tahun keberadaannya, Amerika Serikat membuat lebih dari 370 kesepakatan dengan Bangsa Indian Amerika. G. Alfredsson, “ Treaties with Indigenous Populations”, in Encylopedia of International Law, vol. 2, 1995, hlm. 951. Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
33
draf ini telah diterima, maka akan menjadi sebuah prestasi yang penting dan titik awal yang signifikan di bidang penentuan standar oleh PBB berkenaan dengan hak-hak masyarakat lokal. Hal ini jugalah yang menjadi alasan bagaimana praktek hak asasi manusia di PBB, deklarasi seperti ini biasanya diikuti dengan konvensi yang berhubungan dengan subyek tersebut.23 Perbincangan mengenai masyarakat asli di tingkat internasional tidak berhenti sampai abad tersebut. Istilah “masyarakat asli” digunakan untuk pertama kali pertemuan internasional pada Konfrensi Berlin tahun 18841885, tapi konsepnya berbeda dari apa yang dipahami sekarang ini. Istilah ini dipakai terhadap populasi asli di Afrika yang berada dibawah dominasi kolonial kekuatan besar, yang membedakan mereka dari rakyat atau orangorang dari bangsa yang menjajah mereka24. Pada akhir Perang Dunia I, sebuah doktrin yang dikembangkan berdasar pada konsep “perwalian,” sebagaimana dalam praktek Liga Bangsa-Bangsa. Pasal 22 dari Kovenan Liga Bangsa-Bangsa berhubungan dengan “orangorang yang belum mampu untuk berdiri sendiri pada kondisi dunia modern yang berat” dan memandang dalam “kemapanan dan perkembangan” mereka, sebuah “peradaban luhur”. Ketika membawa ide perwalian ini, Pasal 23 dari kovenan tersebut mengharuskan para anggota dari Liga untuk menganggap sebagai “tugas positif” untuk “berusaha agar tercipta perlakuan yang adil terhadap masyarakat asli dari wilayah yang berada di bawah wewenang mereka”. Piagam PBB tidak memberikan perhatian pada permasalahan dan hakhak masyarakat asli. Pasal 73 Piagam PBB tidak mengatur secara tegas tentang pengertian masyarakat asli. Meskipun sejak awal piagam PBB tidak menyinggung langsung masalah masyarakat asli, piagam ini telah memikul beberapa kebijakan yang berhubungan dengan ‘nasib’ dan permasalahanpermasalahan yang dihadapi oleh masyarakat asli/lokal. Strategi utama dari PBB dan badan-badan multilateral lainnya sehubungan dengan kondisi masyarakat asli telah dijalankan untuk mempelajari kondisi mereka, dengan beberapa strategi. Pada tahun 1949, Majelis Umum PBB menetapkan bahwa ECOSOC dengan bantuan dari berbagai badan-badan khusus lainnya dan dari Institut Inter-Amerika, haruslah mengadakan penelitian mengenai kondisi masyarakat asli di Amerika. Pemerintah Amerika Serikat berusaha mencegah dilakukannya studi ini, karena mereka tidak mau menerima
23 Sandra Moniaga, Hak Masyarakat Adat dan Masalah Serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia, (Jakarta: HUMA, 2003), hlm.24. 24 Erica-Irene Daes, Standar Setting Activities: Evolution of Standars Concerning the Rights of Indigenous People, UNHCR Journal 13, 2 Agustus 1996 (Journal on-line): available from http:// www.unhcr.ch/Huridocda/Huridocda . nsf/E.CN.4.Sub.2.AC.4.1996. 34
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
kritikan dari anggota PBB lainnya25. Baru tahun 1970-an dan awal 1980 PBB dapat mengadakan penelitian ini dan memperoleh informasi detil mengenai permasalahan masyarakat asli. Pada tahun 1971, PBB memerintahkan Komisi PBB untuk Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas (UN Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities) untuk menjalankan studi tentang “Masalah Diskriminasi Terhadap Masyarakat Asli (Lokal)”. Hasil dari studi ini adalah laporan multi volume oleh reporter khusus Jose Martinez Cobo26. Studi ini menggabungkan banyak data tentang masyarakat asli (lokal) di seluruh dunia, dan membuat sebuah laporan berdasarkan atas laporan tertulis yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat asli (lokal), dan akhirnya menerbitkan seri penemuan dan rekomendasi yang secara umum mendukung tuntutan masyarakat asli (lokal). Laporan ini akhirnya menjadi referensi standar untuk diskusi tentang masyarakat asli pada sistem PBB dan terus digunakan dan dirujuk pada sistem aktivitas PBB sekarang ini. Lebih lanjut, laporan ini mengawali pola pengumpulan data dan kerja evaluasi dengan tema tersebut oleh para ahli yang bekerja atas sponsor organisasi-organisasi internasional27. Tahun 1989, Miquel Alfonso Martinez ditunjuk sebagai Reporter Khusus untuk Studi tentang perjanjian, persetujuan dan pengaturan-pengaturan konstruktif lainnya antara Negara dan masyarakat lokal. Pada tahun 1992, reporter khusus lainnya, Erica Irene Daes ditunjuk dengan mandat untuk mengambil studi tentang perlindungan budaya dan kekayaan intelektual masyarakat lokal28. Studi ini diberi judul “Studi tentang perlindungan warisan masyarakat lokal”, berikut dengan prinsip-prinsip dan petunjuk untuk perlindungan warisan masyarakat asli. Laporan ini dimasukkan oleh Reporter Khusus ke sub-komisi pada tahun 1995. Erica-Irene Daes, kemudian ditunjuk kembali sebagai Reporter Khusus untuk mengadakan “Studi tentang Masyarakat Lokal dan Hubungannya dengan Tanah”, dan pada tahun 1997, dia memasukkan laporan pendahuluannya tentang masalah tersebut29. 25 Nathan Lerner, “ The 1989 ILO Convention on Indigenous Population: New Standards?,” Journal of Israel Yearbook on Human Rights, vol. 20,( 1991): hlm. 229. 26 Jose Martinez Cobo, Study of the Problem of Discrimination Againts Indigenous Populations, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1986/7&Adds: hlm. 1-4. 27 UN General Assembly, “Review of the Existing Mechanisms, Procedures and progrmmes within the United Nations concerning Indigenous Peoples”, Report of the Secretary General to the General Assembly, U.N. Doc.A/51/493. 28 Pada tahun 1996, laporan perkembangan ketiga dari studi ini telah diserahkan oleh reporter khusus. Lihat UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1996/23. Selama tahun 1997, Komisi telah meminta reporter khusus untuk menyerahkan laporan akhirnya. Lihat Keputusan dari Komisi HakHak Asasi Manusia 1997/113. 29 Erica-Irene Daes, Indigeneous Peoples and their Relationship to Land, Preliminary working paper, 1997; See UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1997/17 Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
35
Kebijakan-kebijakan lain dan aksi yang dilaksanakan oleh PBB adalah membentuk dua kelompok kerja. Pendeklarasian Dekade Internasional untuk Masyarakat Asli Dunia pada saat PBB mengadakan seminar dan workshop tentang masalah-masalah masyarakat lokal dan menyediakan program beasiswa bagi masyarakat lokal untuk training dan kerja praktek tentang hak asasi manusia dan sistem-sistem di PBB30, dan sekarang sedang dipertimbangkan pembentukan sebuah forum permanen untuk masyarakat asli.31 Pada tahun 1982, PBB membentuk Kelompok Kerja tentang Populasi Masyarakat Asli (Working Group on Indigeneous Populations) untuk meninjau kembali perkembangan-perkembangan menyangkut peningkatan dan perlindungan hak asasi manusia dan kemerdekaan fundamental populasi masyarakat lokal, termasuk informasi yang diminta oleh Sekertaris Jendral setiap tahun, dan untuk memberikan perhatian khusus bagi perubahan standar berkaitan dengan hak-hak masyarakat asli.32 Pekerjaan utama dari kelompok kerja ini adalah persiapan Draf Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Asli (Lokal). Selama proses pertimbangan pada Kelompok Kerja ini, terutama selama proses penyusunan draf, Kelompok Kerja ini mempersilahkan pada negara-negara, masyarakat lokal dan pihakpihak lainnya untuk berdialog dalam sebuah dialog multilateral tentang muatan spesifik norma-norma berkenaan dengan masyarakat lokal dan hak-hak mereka. Kelompok Kerja ini telah menjadi forum internasional utama menyangkut masalah masyarakat lokal dan menawarkan sebuah platform bagi proposal-proposal sesuai dengan kebijakan PBB. “Dengan memasukkan komentar dan proposal dari masyarakat lokal selama lebih sepuluh tahun, kelompok kerja ini telah memberikan arti penting bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan konsep mereka sendiri tentang hakhak mereka di arena internasional”33. Proses draf deklarasi pada Kelompok Kerja ini selesai pada tahun 199334. Pada tahun 1994, induk kelompok kerja ini, Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas, mengadopsi draf ini dan
30 Dekade Internasional dari Masyarakat Asli Dunia telah diproklamirkan oleh Majelis Umum pada 10 Des. 1994 (GA Res. 48/163). Untuk membiayai proyek dan program selama dekade dan memperkokoh kerja sama intenasional untuk solusi dari masalah yang dihadapi oleh masyarakat asli, majelis umum pada tahun 1995 menetapkan dana suka rela untuk Dekade Internasional dari Masyarakat Asli Dunia. 31 Lihat, Laporan dari lokakarya kedua pada forum tetap untuk masyarakat asli dalam sistem PBB, UN Doc. E/CN.4/1998/11 and Add. 1-3 32 33 Jmaes Anaya, Op. Cit., hlm. 52. 34 Draf final diterbitkan dalam sebuah lampiran pada Laporan Kelompok Kerja tentang Masyarakat Asli pada Sesi ke Sebelasny, UN. Doc. E/CN.4/Sub.2/1993/29, Annex 1 (1993) 36
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
menyerahkannya ke Komisi Hak Asasi Manusia PBB35. Melalui resolusi No. 32 tahun 1995 tanggal 3 Maret 1995 memutuskan, “untuk membentuk, atas dasar prioritas sebuah kelompok kerja tanpa kesimpulan dari Komisi Hak Asasi Manusia dengan tujuan tunggal memaparkan draf deklarasi”, dengan mempertimbangkan draf yang dimasukkan oleh sub-komite dengan judul “draf Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Lokal” untuk pertimbangan dan adopsi oleh Majelis Umum dalam Dekade Masyarakat Lokal Dunia tingkat Internasional36. Pemaparan dari draf ini di komisi, yaitu kelompok kerja Komisi, mungkin mengambil waktu yang cukup lama, dan mungkin akan dipengaruhi terutama oleh adanya kepentingan negara, karena para anggota Komisi tersebut mewakili negara mereka. Partisipasi besar dari masyarakat asli pada proses pembuatan draf pada kelompok kerja ini, bagaimanapun, akan disambut. Untuk maksud ini lampiran resolusi Komisi 1995/32 di atas membentuk sebuah prosedur untuk “organisasi masyarakat asli” agar diakui berpartisipasi pada kelompok kerja draf dari komisi37. Selama hak-hak atas tanah dan sumberdaya alam menjadi bagian dari jenis-jenis hak kepemilikan, Pasal 17 Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia haruslah dijadikan referensi pertama. Pasal ini menetapkan bahwa”(1) Semua orang memiliki hak untuk memiliki properti sendiri atau bersama pihak lain; (2) Tidak ada yang boleh sewenang-wenang merampas properti ini”. Pernyataan pada pasal 17 adalah luas dan komprehensif; dia berlaku baik dalam bentuk individual maupun kolektif dari kepemilikan properti38. Oleh karena itu, suatu hak kolektif dari properti, termasuk hak atas tanah dan sumberdaya alam, mempunyai peraturan sebagai suatu landasan legal. Hal ini sangat penting dalam memandang hak-hak pribumi terhadap lahan dan sumberdaya alam sejak sifat kolektif dari hak-hak mereka atas tanah dan sumberdaya alam menjadi sangat signifikan. Usaha perlindungan terhadap hak pada pasal 17 tidak mutlak, dalam arti bahwa seseorang dapat dicabut hak milik propertinya, asalkan hal tersebut dilakukan sesuai proses hukum, tanpa diskriminasi dan kompensasi yang adil39. 35 Draf ini diadopsi tanpa perubahan oleh Sub-Komisi pada resolusinya 1994/45 pada tanggal 26 Agustus 1994. Draf deklarasi ini kemudian dittaruh pada lampiran resolusi sub-komisi sebagai “Draft United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples”, UN Doc. E/CN. 4/1995/2, E/CN.4/Sub.2/1994/56, at 105 (1994) 36 Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia, 1995/32 tanggal 3 Maret, 1995 37 Akses pada waktu proses penyusunan draf di Komisi, mugkin terbuka lebih sedikit bagi masyarakat asli, karena mereka harus diakreditasi terlebih dahulu untuk berpartisipasi (Lihat Commission on Human Rights resolution 1996/38). Hal ini bukanlah kasus yang terjadi pada Kelompok Kerja, dimana secara virtual orang atau kelompok masyarakat asli diijinkan untuk berpartisipasi dalam penyusunannya. 38 Catarina Krause and Gudmundur Alfredsson, “Article 17” in Gudmundur Alfredsson and Asbjorn Eide (eds.), The Universal Declaration of Human Rights: A Common Standard of Achievement, 1999. hlm. 364. 39 Catarina Krause and Gudmundur Alfredson, Op. Cit., hlm. 364 Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
37
“Instrumen hak asasi manusia telah menjaga hak atas budaya, tetapi tidak memberikan definisi tentang konsep ”budaya”. Deklarasi Universal HakHak Asasi Manusia, memberikan definisi itu pada pasal 27. paragraf 1 dari pasal tersebut menjaga hak “kebebasan untuk berpartisipasi pada kehidupan berbudaya”, dan “untuk berbagi dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan manfaatnya”. Inti dari hak untuk berpartisipasi pada kehidupan berbudaya tersebut mencakup sejumlah aspek, seperti: hak untuk menunjukkan kebudayaan seseorang; menghargai kebudayaan orang lain, integritas dan dinamismenya; persamaan akses; menghormati prinsip-prinsip non-diskriminasi; dan perlindungan dan pengembangan budaya yang diikutinya40. 2. Covenan Internasional 1966 Memperluas Perlindungan Hak Masyarakat Kovenan Internasional Tahun 1966 yang memperluas perlindungan hak hak masyarakat mengharuskan negara-negara untuk mengambil tindakan positif untuk melindungi individu-individu dari diskriminasi. Hal tersebut, seperti telah dinyatakan oleh Alfredsson, “orang-orang yang merupakan bagian dari minoritas dan masyarakat asli akan memperoleh keuntungan dari kesetaran kenyamanan dan peraturan-peraturan yang non-diskriminatif41”. Komite Hak Asasi Manusia telah memberi pernyataan bahwa prinsip non-diskriminatif di Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik membutuhkan partisipasi negara untuk tidak hanya mengambil tindakan perlindungan, tapi juga affirmative action dalam upaya untuk menjamin kenyamanan positif dari persamaan hak. Affirmative action mengharuskan negara-negara untuk membuat perbedaan perlakuan, meski demikian, sewaktu Komite Hak Asasi Manusia mengamati, “tidak semua perbedaan perlakuan akan mengakibatkan diskriminasi, jika kriteria untuk perbedaan tersebut beralasan dan jika tujuannya adalah untuk mencapai sebuah tujuan yang sah42” Haruslah diperhatikan bahwa prinsip non-diskriminasi yang diberikan pada instrumen-instrumen di atas berlaku untuk keuntungan individual terhadap hak-hak yang dimaksud. Adalah jelas dari perkataan dari instrumen tersebut: “setiap orang….” Atau “semua orang….” Dapat dimengerti, 40 Ragna Adalsteinsson, and Pall Thorhallson, “Article 27”, in Gudmundur Alfredsson and Asbjorn Eide (eds.), The Universal Declaration of human Rights: A Common Standard of Achievement, 1999. 41 Alfredsson, Gudmundur, “Group Rights, Prefential Treatment and The Rule Law, “ Paper Presented to The Law & Society Trust Consultation on Group & Minority Rights, 1995, hlm.5. 42 Komite Hak Asasi Manusia, General Comment 18: Non-Discrimination, 10/11/89, hlm.1013.
38
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
karena hampir semua hak-hak yang dimajukan oleh instrumen-instrumen tersebut adalah hak-hak individu. Bagaimanapun, melihat dari perlindungan masyarakat asli sebagai kelompok, standar-standar persamaan perlakuan dan non-diskriminatif di atas gagal. Sedangkan dalam dua kovenan dimana tidak terdapat peraturan pada hak atas properti, hak dilindungi dengan instrumen-instrumen nondiskriminasi. Dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik itu sendiri, hak atas properti, seperti hak lainnya, secara “tidak langsung” dilindungi dalam pasal 26. “sebagai suatu ketentuan non-diskriminasi yang berdiri sendiri, ketentuan ini memberikan perlindungan dari diskriminasi dalam menikmati seluruh hak-hak, termasuk hak atas properti, meskipun hak atas properti tidak diketahui sebagai hak spesifik dalam konvensi tersebut43. Konvensi Internasional Ras dan Non-Diskriminasi seperti halnya konvensi dalam menghilangkan semua bentuk diskriminasi terhadap wanita, juga melindungi hak atas properti dari perlakuan diskriminasi dan segala bentuk yang serupa. Jadi, pasal 5 menjamin hak-hak setiap orang atas persamaan hukum tanpa membedakan ras, warna kulit atau bangsa atau asal suku, termasuk fasilitas atas “hak untuk memiliki sendiri properti seperti layaknya memiliki property bersama-sama”, dan “hak untuk mewarisi44”. Komite Hak Asasi Manusia, pada komentar umumnya Pasal 27 Konvensi Internasional Hak sipil dan Politik, mengamati pentingnya hubungan masyarakat asli, dan merupakan hak mereka untuk itu, dengan tanah dan sumberdaya alam, dalam manifestasi dan pelaksanaan hak-hak budaya mereka45. Bagaimanapun, program-program yang berkaitan dengan sumberdaya alam dalam banyak kasus telah merusak budaya masyarakat asli. Relokasi akibat penggunaan tanah mereka, telah mencabut mereka dari setting budaya mereka. Industri minyak, tambang dan penebangan hutan telah menghancurkan budaya mereka dan mengorbankan budaya dan kesucian tempat mereka dan menurunkan kualitas lingkungan mereka. Pasal 27 dari Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik menjaga hak atas budaya dengan rujukan khusus terhadap minoritas. Pasal ini menyebutkan “[D]i negara-negara yang memiliki etnis, agama atau bahasa minoritas, individu yang masuk dalam minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya, pada komunitas dengan anggota lain dalam kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka, untuk menyatakan dan mempraktekkan agama mereka, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.” Adalah penting untuk memperhatikan bahwa selama masyarakat asli “jumlahnya kurang dari setengah dari populasi negara, mereka 43 Ibid.,hlm. 372 44 Pasal 5(d) Konvensi ILO No.169 45 Human Rights Committee, General Comment 23L Ther Rights of Minorities (Article 27): 08/04/94. Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
39
dapat memberikan menggunakan hak minoritas jika mereka mau, seperti dibuktikan oleh kerangka hukum Komite Hak Asasi Manusia dibawah pasal 27.46” Bagaimanapun, “hak fungsi minoritas sebagai standar minimum yang diperlukan dalam perlakuan kelompok-kelompok masyarakat asli. Sebuah lingkungan internasional yang lebih ekspansif, lebih berfungsi terhadap keuntungan masyarakat asli haruslah dicapai.47” Pasal 27 dibentuk dalam cara yang negatif seperti kemerdekaan dari interfensi tidak boleh disangkal, bahwa tindakan positif oleh negara juga diperlukan untuk melindungi identitas sebuah minoritas dan hak-hak dari anggotanya48. Pasal 27 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, menunjukkan dirinya dalam berbagai bentuk, termasuk jalan hidup tersendiri yang diasosiasikan dengan penggunaan sumberdaya tanah. Sehingga hak atas kebudayaan mungkin memasukkan aktivitas tradisional seperti menangkap ikan, berburu, pertanian dan hak untuk hidup di alam49. Hak untuk tidak di-diskriminasi berhubungan dengan persamaan hak di hadapan hukum. Sebagai konsep fundamental pada hak asasi manusia, kedua prinsip ini telah dijamin dalam beberapa instrumen, seperti Universal Declaration of Human Rights (Pasal 2 dan 7), Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Pasal 2 dan 7), Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Pasal 2 ayat (2) dan (3) dan Pasal 3) dan Konvensi tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Ras.” Komite Hak Asasi Manusia telah memberi pernyataan bahwa prinsip nondiskriminatif di Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik membutuhkan partisipasi negara untuk tidak hanya mengambil tindakan perlindungan, tapi juga affirmative action dalam upaya untuk menjamin kenyamanan positif dari persamaan hak. Affirmative action mengharuskan negara-negara untuk membuat perbedaan perlakuan, meski demikian, sewaktu Komite Hak Asasi Manusia mengamati, “tidak semua perbedaan perlakuan akan mengakibatkan diskriminasi, jika kriteria untuk perbedaan tersebut beralasan dan jika tujuannya adalah untuk mencapai sebuah tujuan yang sah50 “Haruslah diperhatikan bahwa prinsip non-diskriminasi yang diberikan pada instrumen-instrumen di atas berlaku untuk keuntungan individual terhadap hak-hak yang dimaksud. Adalah jelas dari perkataan dari instrumen 46 Gudmundur Alfredsson, “Indigeneous Peoples and Autonomy”, in Suksi, M (ed.), Autonomy: Application and Implications, 1998, hlm.126. 47 Thornberry, dalam Enny Soeprapto, Instrumen Hukum Internasional Mengenai Hak Minoritas dan Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta: Komnas HAM, 2005), hlm. 13 48 Human Rights Committee, dalam Ibid., hlm. 15. 49 Kitok v. Sweden (Communication No. 197/1985) dan Bernard Ominayak, Chief of the Lubicon Lake Band v. Canada (Communication No. 167/1984). 50 Komite Hak Asasi Manusia, General Comment 18: Non-Discrimination, 10/11/89, hlm.1013. 40
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
tersebut: “setiap orang….” Atau “semua orang….” Dapat dimengerti, karena hampir semua hak-hak yang dimajukan oleh instrumen-instrumen tersebut adalah hak-hak individu. Bagaimanapun, melihat dari perlindungan masyarakat asli sebagai kelompok, standar-standar persamaan perlakuan dan non-diskriminatif di atas gagal.” Sedangkan dalam dua kovenan dimana tidak terdapat peraturan pada hak atas properti, hak dilindungi dengan instrumen-instrumen non-diskriminasi. Dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik itu sendiri, hak atas properti, seperti hak lainnya, secara “tidak langsung” dilindungi dalam pasal 26. “sebagai suatu ketentuan non-diskriminasi yang berdiri sendiri, ketentuan ini memberikan perlindungan dari diskriminasi dalam menikmati seluruh hak-hak, termasuk hak atas properti, meskipun hak atas properti tidak diketahui sebagai hak spesifik dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik51. Konvensi Penghapusan Diskriminasi Ras seperti halnya konvensi dalam menghilangkan semua bentuk diskriminasi terhadap wanita, juga melindungi hak atas properti dari perlakuan diskriminasi dan segala bentuk yang serupa. Jadi, pasal 5 dari Konvensi Penghapusan Diskriminasi Ras menjamin hak-hak setiap orang atas persamaan hukum tanpa membedakan ras, warna kulit atau bangsa atau asal suku, termasuk fasilitas atas “hak untuk memiliki sendiri properti seperti layaknya memiliki property bersama-sama”, dan “hak untuk mewarisi52”. Komite Hak Asasi Manusia, pada komentar umumnya Pasal 27 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, mengamati pentingnya hubungan masyarakat asli, dan merupakan hak mereka untuk itu, dengan tanah dan sumberdaya alam, dalam manifestasi dan pelaksanaan hak-hak budaya mereka53. Bagaimanapun, program-program yang berkaitan dengan sumberdaya alam dalam banyak kasus telah merusak budaya masyarakat asli. Relokasi akibat penggunaan tanah mereka, telah mencabut mereka dari setting budaya mereka. Industri minyak, tambang dan penebangan hutan telah menghancurkan budaya mereka dan mengorbankan budaya dan kesucian tempat mereka dan menurunkan kualitas lingkungan mereka. Pasal 27 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik menjaga hak atas budaya dengan rujukan khusus terhadap minoritas. Pasal ini menyebutkan “Di negara-negara yang memiliki etnis, agama atau bahasa minoritas, individu yang masuk dalam minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya, pada komunitas dengan anggota lain dalam kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka, untuk menyatakan dan mempraktekkan agama mereka, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.” 51 Ibid.,hlm. 372 52 Pasal 5(d) Konvensi ILO No.169 53 Human Rights Committee, General Comment 23L Ther Rights of Minorities (Article 27): 08/04/94. Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
41
Memperhatikan bahwa selama masyarakat asli “jumlahnya kurang dari setengah dari populasi negara, mereka dapat memberikan menggunakan hak minoritas jika mereka mau, seperti dibuktikan oleh kerangka hukum Komite Hak Asasi Manusia dibawah pasal 27 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik.54” Bagaimanapun, “hak fungsi minoritas sebagai standar minimum yang diperlukan dalam perlakuan kelompok-kelompok masyarakat asli. Sebuah lingkungan internasional yang lebih ekspansif, lebih berfungsi terhadap keuntungan masyarakat asli haruslah dicapai55”. Pasal 27 dibentuk dalam cara yang negatif seperti kemerdekaan dari interfensi tidak boleh disangkal, bahwa tindakan positif oleh negara juga diperlukan untuk melindungi identitas sebuah minoritas dan hak-hak dari anggotanya56. Pasal 27 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, menunjukkan dirinya dalam berbagai bentuk, termasuk jalan hidup tersendiri yang diasosiasikan dengan penggunaan sumberdaya tanah. Sehingga hak atas kebudayaan mungkin memasukkan aktivitas tradisional seperti menangkap ikan, berburu, pertanian dan hak untuk hidup di alam57. 3. Konvensi ILO 1989 Mengatur Perlindungan Masyarakat Asli dan Suku di Negara Merdeka ILO dan badan PBB khusus lainnya telah memberikan perhatiannya terhadap hak-hak masyarakat lokal dan permasalahannya sejak 1920-an. Pada tahun 1926, ILO membentuk sebuah Komite Ahli tentang Tenaga Kerja Lokal untuk membentuk kerangka standar internasional bagi pekerja asli. Tujuan komite ini adalah pertama, untuk meningkatkan kehidupan dan kondisi kerja dari masyarakat lokal dan adat. Kedua, untuk mengadopsi berbagai instrumen yang ditujukan pada perlindungan populasi yang lemah. Pada tahun 1957, ILO mengadopsi sebuah konvensi No. 107 tentang Perlindungan dan Integrasi Masyarakat Lokal dan Adat di Negara-Negara Merdeka58. Tujuan dari konvensi ini, pertama, dalam jangka pendek dapat meningkatkan kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat lokal. Kedua, dalam jangka panjang dapat memperoleh akses secara politik dan pola asosiatif atas tempat yang layak bagi masyarakat lokal. 54 Gudmundur Alfredsson, “Indigeneous Peoples and Autonomy”, in Suksi, M (ed.), Autonomy: Application and Implications, 1998, hlm.126. 55 Thornberry, lihat supra note 48, hlm. 13 56 Human Rights Committee, supra note 139 57 Kitok v. Sweden (Communication No. 197/1985) dan Bernard Ominayak, Chief of the Lubicon Lake Band v. Canada (Communication No. 167/1984), dalam Enny Soeprapto, Op Cit., hlm. 16.. 58 Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) (No.7) berjenaan dengan Perlindungan dan Integrasi Masyarakat Asli dan Populasi Adat dan Semi-Adat lainnya di Negara-negara merdeka, tanggal 26 Juni 1957, 328 U.N.T.S. 247 (selanjutnya disebut Konvensi 170 ILO). 42
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Konvensi No. 107 dibatasi terminologi karena adanya anggota bahwa populasi masyarakat asli dan hak-hak mereka sederajat dalam masyarakat yang lebih besar. Masyarakat lokal atau kelompok seperti itu bukanlah masalah utama, jika secara keseluruhan akan mendatangkan keuntungan dari hak-hak atau perlindungannya59. Konvensi ini mengakui hukum adat masyarakat lokal dan hak kepemilikan tanah kolektif. Pengakuan seperti ini, dianggap sementara karenanya dibayang-bayangi oleh rasa hormat dan bahkan keinginan bagi program integrasi nasional dan asimilasi yang tidak dipaksakan60. Konvensi ini kemudian dikritik karena pendekatan asimilasi dan integrasi, yang berujung pada revisi terhadap konvensi ini kemudian. Berdasarkan kritik atas konvensi ILO No.107, maka pada konvensi ILO di Jenewa Tahun 1986 dipertimbangkan tentang Konvensi Masyarakat Lokal dan Adat di Negara-Negara Merdeka.61 Tidak seperti Konvensi sebelumnya, gagasan utama yang dipakai pada Konvensi 169 ILO adalah “pemeliharaan” dan “partisipasi’, yaitu, partisipasi dari masyarakat lokal dalam kebijakan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka62. Penggunaan terminologi ‘masyarakat’ pada Konvensi ini “Menyiratkan adanya dukungan terhadap identitas, asli dan atribut-atribut yang berhubungan dengan komunitas tersebut”63. Sejalan dengan hal tersebut, Konvensi ini mengakui anggota masyarakat asli sebagai kelompok-kelompok yang akan diuntungkan dengan hak-hak yang dilindungi oleh Konvensi ini. Sehingga Konvensi ini mengakui hakhak kolektif orang-orang ini pada pasal 7 (melindungi kontrol masyarakat asli terhadap pembangunan mereka), pasal 5 (b) dan 8 (b) (menghormati insitusi-institusi masyarakat lokal), Pasal 6 (1)(a) (mengarahkan pemerintah untuk berkonsultasi dengan masyarakat asli melalui “institusi perwakilan mereka”) dan Pasal 13-19 (sehubungan dengan perlindungan hak atas tanah). Konvensi 169 ILO diterapkan pada tanggal 5 September 1991, dan pada Bulan Mei 1998 telah diratifikasi oleh 13 negara. Bagi negaranegara yang telah meratifikasi Konvensi 107 ILO tetapi belum meratifikasi Konvensi 169 ILO, maka konvensi terdahululah yang diterapkan.64 Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa sekarang ini instrumen hukum yang mengikat terutama berkenaan dengan hak masyarakat lokal adalah Konvensi 169 ILO. Konvensi ini pengakuan secara hukum dan 59 James Anaya, Op. Cit., hlm. 44. Lihat juga pasal 1ayat 1 pada konvensi, yang menetapkan: “ Konvensi ini diterapkan untu anggota dari populasi masyarakat adat atau semi adat. “ 60 Ibid., Pasal 2 dan 3. 61 International Labour Organisation Convention No. 169 Concerning Indigeneous and Tribal Peoples in Independent Countries; 27 Juni, 1989; 28 I.L.M 1382; diterapkan pada 5 Sept. 1991 (selanjutnya disebut Konvensi 169 ILO) 62 Lihat khususnya pasal 6 dan 7 dari Konvensi ILO 1989 63 James Anaya, Op. Cit., hlm. 49. 64 Pasal 43 ayat 2 dari Konvensi ILO 1989. Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
43
perlindungan hak-hak masyarakat lokal, meskipun mekanisme penerapannya lemah. Ketika isi Konvensi yang berhubungan dengan perlindungan hakhak masyarakat lokal, tidak ada prosedur pengaduan khusus yang tersedia bagi masyarakat asli untuk membawa kasus mereka ke depan ILO.65 Masalah utama berkaitan dengan hak untuk mendapat perlakuan yang sama adalah adanya pembedaan/diskriminasi atas kebijakan, perundangundangan, dan perlakuan pemerintah terhadap masyarakat lokal terutama hak atas luas tanah dan sumberdaya alam mereka. Pengambilan dan perampasan tanah, sumberdaya alam dan relokasi, melanggar hak mereka atas tanah dan sumberdaya alam tersebut. Inti permasalahan yang berkaitan dengan hak mereka atas sumberdaya alam dan yang diperhatikan saat ini adalah hakhak kepemilikan intelektual tradisional mereka. Pembangunan sumberdaya alam juga mempengaruhi hak mereka untuk memeliharanya. Beberapa hak-hak lainnya yang dapat disebutkan yaitu, hak untuk berpartisipasi, hak untuk mendapatkan izin, dan hak atas lingkungan yang sehat. Norma atau standar yang akan digunakan disini hanya yang relevan atau berhubungan dengan isu atau hak-hak masyarakat asli terhadap tanah dan sumberdaya alam mereka. Prinsip-prinsip/norma yang terdapat dalam konvensi ILO Nomor 169 terdiri dari beberapa hak.
Pertama, Hak untuk tidak didiskriminasikan.
Pencabutan, perampasan, dan penolakan hak-hak masyarakat asli terhadap tanah dan sumberdaya alam mereka umumnya berakar pada sebab yang sama: diskriminasi. Diskriminasi di sebuah negeri mungkin muncul pada hukum (hukum diskriminatif) atau pada implementasi dari hukumhukum tersebut. Doktrin dari sertifikat pribumi, atau doktrin terra nullius, yang menjadi dasar hukum bagi legislasi di beberapa negara, adalah doktrin diskriminatif. Keengganan negara untuk mengakui hak-hak masyarakat lokal terhadap tanah dan sumberdaya alam mereka, atau kegagalan atau keengganan negara untuk menerapkan hukum pada masalah ini, umumnya berakar pada satu sebab diskriminasi. Pada Konvensi ILO 169, pernyataan dengan huruf tebal yang ber hubungan dengan prinsip ini terdapat pada Pasal 3. Paragraf 1 dari artikel ini menjamin prinsip non-diskriminasi kepada orang-orang (sebagai kelompok) berkenaan dengan pemakaian kemerdekaan fundamental dan hak-hak manusia (umum) dan menetapkan bahwa peraturan-peraturan dari konvensi akan diaplikasikan tanpa ada diskriminasi terhadap pria atau wanita dari orang-orang tersebut. Pasal 4 mengharuskan negara mengambil tindakan khusus, asalkan tindakan tersebut tidak bertentangan dengan kebebasan berpendapat yang diharapkan oleh orang-orang yang berkepentingan. 65 44
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Kedua, Hak-Hak atas tanah dan sumberdaya alam.
Pada konvensi ILO 169, hak-hak atas tanah dan sumberdaya alam dilindungi dalam bagian II yang terdiri dari pasal 13 sampai pasal 19. Dalam pasal 13, negara diharuskan untuk menghormati hubungan yang nyata antara masyarakat asli dengan tanahnya atau teritorinya, khususnya aspekaspek kolektif dari hubungan tersebut. Istilah “tanah” mempunyai arti untuk memasukkan konsep dari “teritori” yang meliputi lingkungan seluruhnya dari wilayah yang telah digarap atau digunakan oleh masyarakat tersebut. Dengan demikian termasuk tanah, udara dan bersama dengan sumberdaya alam yang terkandung didalamnya. Pasal 14 dan 15 melindungi hak-hak dari masyarakat asli atas tanah dan sumberdaya alam. Hak-hak dari kepemilikan atas tanah yang secara tradisional didiami haruslah diakui. Langkah hukum harus diambil untuk melindungi hak penggunaan tanah bukan hanya bagi mereka yang telah lama tinggal, tapi juga terhadap mereka yang sudah lama mengaskses/ mengolah tanah tersebut. Adanya orang-orang nomaden dan peladang berpindah secara khusus haruslah dipertimbangkan (Pasal 14). Pasal 15 menyatakan bahwa hak-hak terhadap sumberdaya alam yang bersinggungan dengan tanah yang ditinjau haruslah dijaga. Ketika negara menguasai kepemilikan mineral atau sumberdaya di bawah permukaan atau hak-hak terhadap sumberdaya lainnya yang bersinggungan dengan tanah, prosedur konsultasi harus disusun. Konsultasi ini diperlukan untuk menjamin apakah atau sampai sejauh manakah kepentingan mereka akan berpengaruh sebelum menjalankan atau mengijinkan sebuah program untuk eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut. Kalimat terakhir pada Pasal 15 ayat 2 menetapkan bahwa “Masyarakat yang ditinjau bila mungkin haruslah berpartisipasi untuk mendukung aktivitas tersebut dan menerima kompensasi yang adil untuk setiap kerusakan yang mungkin muncul sebagai hasil dari aktivitas tersebut”. Menurut pandangan peneliti, keputusan ini (penggunaan frase “bila mungkin”) tidak cukup kuat dilihat dari kepentingan masyarakat lokal sebagai kelompok yang dilindungi. Seperti terlihat dari diskusi di atas66, khususnya di negara-negara berkembang, sistem politiknya terpusat. Keuntungan finansial yang diperoleh dari industri yang menggunakan sumberdaya alam tersebut umumnya langsung menuju pemerintah pusat, yang dalam banyak kasus, korup. Pemerintah lokal, belum lagi masyarakat asli, hanya memperoleh keuntungan yang minimum atau bahkan tidak ada. Sedangkan untuk keuntungan lainnya seperti peluang kerja, perusahaan multinasional menyediakan peluang kerja yang sangat sedikit bagi masyarakat asli. Dalam banyak kasus, masyarakat asli hanya memperoleh efek negatif dari industri66 Lihat Bab 3 paragraf 4 diatas atas tentang peran pemerintah dan TNC Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
45
industri tersebut, dan memperoleh keuntungan yang kecil bahkan tidak ada. Hal ini juga terjadi di negara-negara maju seperti kasus uranium di Amerika Serikat. Dengan frase “bila mungkin”, pemerintah akan memperoleh ruang penghargaan dari frase tersebut, bagaimanapun, hal ini akan juga memberikan kemungkinan bagi pemerintah untuk menodai penggunaan doktrin tersebut. Menurut hemat saya, tanpa frase “bila mungkin”, kewajiban yang diberikan kepada negara akan lebih kuat. Negara harus mengatur dan menerapkan kebijakan yang menjamin efektivitas dan partisipasi yang berarti dari masyarakat asli demi keuntungan industri yang memakai sumberdaya alam. Pasal 16 dari Konvensi ini menjelaskan bahwa pemindahan masyarakat asli dari tanah dan relokasi mereka sebagai tindakan yang luar biasa dan hanya dilaksanakan setelah memperoleh “persetujuan yang jelas dan bebas”. Jika “persetujuan yang jelas dan bebas” ini tidak diperoleh, prosedur yang tepat harus diadakan, termasuk hak untuk kembali ke tanah tradisional mereka, bila tanah relokasi mereka tidak diperoleh. Jika hal-hal tersebut tidak terwujud, tanah yang senilai atau kompensasi yang seimbang haruslah diberikan. Sehingga, penyerahan tanah dari masyarakat asli untuk kepentingan publik dimungkinkan tetapi harus dikerjakan dengan melewati proses hukum dan orang-orang yang terlibat harus diberikan kompensasi yang adil. Hal ini masih sejalan dengan peraturan umum di atas tentang hak kepemilikan. Jika pemberian tanah masyarakat asli tidak dimungkinkan dalam semua kondisi, karena, misalnya, orang-orang tersebut menggunakan hak untuk memveto penyerahan tanah tersebut, maka, hal ini berarti diskriminasi terhadap kelompok lain di negara itu. Meski demikian, pertanyaannya di sini adalah, bagaimana “persetujuan yang jelas dan bebas” ini diperoleh. Masyarakat asli mungkin dipaksa seperti yang sering terjadi untuk menyetujui permasalahan seperti relokasi, kadang dengan iming-iming kompensasi, yang pada akhirnya akan gagal, atau setelah waktu yang lama hal ini menjadi tidak berarti. Lebih jauh, relokasi dimasa lampau dianggap cukup beralasan telah mendatangkan kerusakan pada jalan hidup masyarakat asli dan ikatan mereka terhadap tanah mereka. Sehingga, pra kondisi untuk “persetujuan yang jelas dan bebas” harus dijamin, yang menurut pendapat saya harus dimasukkan, seperti, kecukupan dan informasi yang komprehensif tentang “keuntungan dan kerugian” dari proyek tersebut dan kompensasi yang akan mereka terima (bentuk, jumlah dan waktu realisasi), kondisi pengaturan atau pertimbangan, sistem perwakilan, kekuatan relatif dan kapasitas pihak-pihak yang berpartisipasi dalam perundingan, dan jaminan bahwa tidak ada penipuan, paksaan atau tekanan. Peraturan lebih lanjut pada Konvensi ini berkenaan dengan hak-hak terhadap tanah dan sumberdaya alam adalah Pasal 17, 18 dan 19. Pasal 17 46
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
menyinggung masalah tindakan-tindakan perlindungan dalam pemindahan kepemilikan tanah, kapasitas untuk membatasi tanah dan masalah-masalah lain yang berhubungan. Pasal 18 menjelaskan tentang hukuman-hukuman yang diberikan terhadap pelanggaran batas atau penggunaan tanah tanpa ijin. Sedangkan Pasal 19 menjelaskan program agraria nasional yang harus menjamin kesamaan perlakuan bagi masyarakat asli. Hak atas sumberdaya alam membawa hak-hak lainnya yang, berkenaan dengan masyarakat asli, baru saja menjadi perhatian komunitas internasional. Hak ini adalah hak atas kekayaan intelektual masyarakat asli, terutama yang menyangkut pengetahuan dan penggunaan sumberdaya genetik dan biologi. Konvensi Keragaman Biologi telah mengakui hak masyarakat asli ini, dan menuliskannya pada Pasal 8 (j) sebuah rejim hukum bagi perlindungan hak ini. sehingga, menyatakan bahwa Negara: …sejauh mungkin dan setepattepatnya … tergantung legislasi negara yang bersangkutan, penghormatan, pemeliharaan dan penjagaan pengetahuan, inovasi dan praktek-praktek masyarakat asli dan komunitas lokal membentuk gaya hidup tradisional yang relevan bagi konservasi dan penggunaan berkelanjutan dari keragaman biologi dan memajukan aplikasi yang lebih luas dengan persetujuan dan pelibatan para pemegang pengetahuan, inovasi dan praktek-praktek dan mendorong pembagian yang adil dari keuntungan yang muncul dari penggunaan pengetahuan, inovasi dan praktek-praktenya tersebut. Secara prinsip pasal ini mengakui peran masyarakat asli baik untuk mengerti dan melestarikan sumber-sumber biologis dan menghargai hak mereka untuk memperoleh keuntungan darinya. Bagaimanapun, Konvensi ini adalah persetujuan kerangka kerja, yang berarti bahwa meskipun secara hukum mengikat, dia memiliki sedikit mekanisme untuk penerapan dan tidak ada yang memaksa. Para pemerintah diharapkan untuk memainkan peran mereka melalui program-program nasional dan perundang-undangan, tapi tidak ada badan internasional yang dapat memaksa mereka untuk melakukan hal tersebut67.
Ketiga, Hak Atas Kebudayaan.
Seperti telah ditunjukkan oleh pasal 13 dari Konvensi ILO 169, hubungan masyarakat asli dengan tanah atau wilayah mereka adalah kepentingan khusus atas nilai-nilai budaya dan spiritual mereka. Konvensi 169 ILO, sangat menekankan integritas budaya masyarakat lokal. Seperti yang disimpulkan oleh ketua Konfrensi Komite ILO yang menghasilkan Konvensi 169, Konvensi “menggunakan rasa hormat sebagai dasar pemikiran bagi karakteristik dan perbedaan khusus diantara masyarakat 67 Report of the Working Group of Indigeneous Populations on its sixteenth session (Geneva, 27-31 July 1998) E/CN.4/Sub.2/1998/16: 25 Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
47
lokal dan adat dalam lingkungan budaya, sosial dan ekonomi. Konvensi ini menasbihkan dirinya terhadap penghormatan bagi integritas dari nilai, prakek dan institusi masyarakat lokal dalam kerangka kerja umum yang menjamin, memberikan mereka kemampuan untuk memelihara perbedaan identitas mereka dan menjamin identifikasi diri, dibebaskan dari tekanan yang mungkin membawa ke pembauran paksa, tetapi mengatur kemungkinan integrasi mereka dengan masyarakat dan gaya hidup lainnya sepanjang hal ini merupakan hasil pilihan yang bebas dan sukarela68. Sehingga gagasan dari integritas budaya dapat ditemukan pada Konvensi ini dalam beberapa pasal, seperti pasal 5, 8 dan 9 (tentang pengakuan dan penghirmatan terhadap budaya mereka dalam menjalankan peraturan Konvensi dan kebiasaaan mereka, hukum dan institusi adat dalam menerapkan hukum nasional), pasal 13 (berkenaan dengan penghormatan bagi sangat pentingnya nilai-nilai budaya dan spiritual dari masyarakat dalam hubungan mereka dengan tanah dan wilayah) dan pasal 17 (berhubungan dengan prosedur adat berkenaan dengan transmisi atau pemisahan tanah mereka). Memperhatikan bahwa kelangsungan hidup masyarakat lokal membutuhkan lebih dari sekedar perlindungan wilayah mereka. Institusi, kebiasaan dan hukum mereka, misalnya, budaya khusus mereka sehubungan dengan tanah dan sumberdaya alam juga membutuhkan perlindungan yang sama. Hanya menjamin wilayah dari masyarakat lokal tanpa melindungi norma-norma dan institusi mereka yang berhubungan tidak akan menghasilkan apa-apa. Norma-norma tersebut berkenaan dengan perlindungan integritas budaya, terutama dengan pasal 8 dari Konvensi 169 ILO yang merupakan hal yang penting.
Keempat, Hak Untuk Berpartisipasi.
Dalam Konvensi 169 ILO ‘partisipasi’ adalah satu dari dua gagasan sentral atau ‘jiwa’ utama (gagasan yang lainnya adalah ‘pemeliharan’) yang membedakan Konvensi ini dengan yang sebelumnya. Sehingga, hak masyarakat lokal untuk berpartisipasi ditekankan pada beberapa pasal, seperti pasal 2 (1), 5 (c), 6, 7, 15. Pasal 2 menjaga hak masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam aksi yang dilakukan untuk melindungi hak dan integritas dari orang-orang tersebut. Pasal 6 menjelaskan satu kebijakan dasar dari Konvensi ini, yang dinamakan “partisipasi”. Pasal 6 mengharapkan pemerintah untuk membentuk fasilitas yang memampukan orang-orang tersebut untuk berpartisipasi pada semua tingkat pengambil keputusan pada badan-badan dan jabatan administratif. Pasal ini juga meminta pemerintah untuk berunding dengan masyarakat asli dan adat, melalui prosedur dan institusi perwakilan yang benar, kapanpun pertimbangan disusun kepada 68 James Anaya, Op Cit., hlm. 101-102 48
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
langkah-langkah legislatif atau administratif yang mungkin mempengaruhi mereka. Konsultasi atas aplikasi dari Konvensi ini haruslah dilaksanakan dalam niat baik dan pada bentuk yang benar pada situasi, yang dengan maksud untuk mencapai sebuah persetujuan atau perjanjian terhadap langkahlangkah yang diusulkan69. Terlepas dari kasus-kasus tersebut, partisipasi melalui konsultasi atau persetujuan, dijamin oleh pasal 15 (berkenaan dengan hak-hak sumberdaya alam), 16 (berkenaan dengan relokasi), 22 (berkenaan dengan bimbingan kejuruan), dan pasal 23 (berkenaan dengan nafkah dan aktivitas ekonomi tradisional bagi orang-orang tersebut).
Kelima, Hak atas lingkungan yang sehat.
Konvensi 169 ILO pada Pasal 4 ayat (4) yang menyebutkan bahwa “Pemerintah haruslah mengambil tindakan, bekerja sama dengan orangorang terkait, untuk melindungi dan melestarikan lingkungan dari wilayah tempat mereka hidup.” Hak atas kesehatan ini memiliki relevansi terhadap masyarakat asli semenjak banyaknya proyek di wilayah mereka yang pada banyak kasus menyebabkan pengaruh yang sangat serius terhadap lingkungan dan kehidupan mereka. C. Peraturan Daerah Yang Melindungi Masyarakat Adat Masyarakat Hukum adat yang tersebar di wilayah Indonesia mencapai 20.000 kelompok. Dari jumlah tersebut, yang baru terdata oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebanyak 6300 kelompok di wilayah Aceh, 700 kelompok di wilayah Sumatera dan 1000 kelompok di wilayah Bali.70 Sebagai contoh, berikut ini dapat dikemukakan tiga Masyarakat Hukum Adat yang telah disahkan dengan Peraturan Daerah (Perda) atau Keputusan Bupati, yaitu Peraturan daerah (Perda) Kabupaten Kampar Riau No. 12 tahun 1999 tentang Hak tanah layat, Peraturan daerah (Perda) No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy di Wilayah Banten, dan Keputusan Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin.71
69 Tomei, Manuella Tomei and Lee Swepston, Indigenous and Tribal Peoples: A Guide to ILO Convention. 70 S. James Anaya. Indigenous Peoples in International Law, (New York: Oxford University Press, 1994), hlm. 89. 71 Herman Slaats, Erman Rajagukguk, Nurul Ilmiyah, Akhmad Safik, Masalah Tanah Di Indonesia Dari Masa Ke Masa, (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm. 22. Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
49
1. Pengaturan Hak Masyarakat Adat Kampar Perlindungan masyarakat adat di Kabupaten Kampar Riau dapat dilihat dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 g Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Riau No. 12 Tahun Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat menyatakan, bahwa Masyarakat Adat adalah suatu kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang memiliki harta ulayat secara turun-temurun di daerah, berbentuk persukuan, nagari, perbatinan, desa, kepenghuluan dan kampung. Selanjutnya Pasal 1 h menyatakan, bahwa Hak Tanah Ulayat merupakan salah satu harta milik bersama suatu masyarakat adat, yang mencakup suatu kesatuan wilayah berupa lahan pertanahan, tumbuhan yang hidup secara liar dan binatang yang hidup liar diatasnya.
Sedangkan Pasal 2 menyebutkan, bahwa: 1) Hak Tanah Ulayat dan Hak-Hak serupa dari masyarakat Hukum Adat sepanjang hak serupa menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa menurut ketentuan Hukum Adat yang berlaku di setiap tempat. 2) Fungsi Hak Tanah Ulayat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota persekutuan dan masyarakat yang bersifat sosial dan ekonomis.
Selanjutnya Pasal menyatakan sesuai dengan maksu Pasal 2 Peraturan Daerah ini, dapat dilakukan sebagai berikut: a. Agar Tanah Ulayat menjadi produktif dapat diberikan hak pola kemitraan pada Pihak Ketiga b. Untuk memenuhi maksud ayat (1) pasal ini dilakukan musyawarah pemangku adat setempat dan anggota persekutuan masyarakat adat sesuai dengan ketentuan Hukum Adat setempat. c. Kesepakatan kedua belah pihak dibuat di hadapan Pejabat yang berwenang untuk melakukan perjanjian-perjanjian sebagaimana dimaksud pada point a di atas. d. Perbuatan berupa mentelantarkan atau tidak memanfaatkan Hak Tanah Ulayat berturut-turut selama 3 (tiga) tahun yang dilakukan oleh pihakpihak sebagaimana tercantum pada pasal ini, dikenakan sanksi adat berdasarkan Hukum Adat yang berlaku berupa pencabutan hak untuk penggunaan atau pemanfaatan Hak Tanah Ulayat dan dapat diberikan sanksi tambahan sesuai dengan Ketentuan Adat yang berlaku. Selanjutnya Pasal 4 menyatakan bahwa Pemangku Adat memegang atau menguasai Tanah Ulayat tidak dapat mengalihkan atau melepaskan haknya kepada pihak lain kecuali telah ditentukan bersama berdasarkan musyawarah persekutuan adat sesuai adat istiadat setempat. Pasal 5 menjelaskan bahwa:
50
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
1) Kerapatan Adat merupakan satu-satunya lembaga permusyawaratan tertinggi yang mengatur tentang penggunaan dan atau pemanfaatan serta pemindahan kepemilikan Tanah Ulayat. 2) Ketetapan Kerapatan Adat merupakan suatu hasil kesepakatan musyawarah bersama seluruh anggota Kerapatan Adat. 3) Ketetapan Kerapatan adat sebagaimana tersebut pada ayat (2) merupakan suatu ketentuan hukum yang mengikat bagi setiap warga masyarakat adat. Dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan daerah ini menyatakan Hak Penguasaan Tanah Ulayat dibuat atas nam Gelar pemangku Adat yang berhak untuk itu sesuai dengan ketentuan Hukum Adat setempat. Ayat (2) menyebutkan sertifikasi Hak Kepemilikan Tanah Ulayat diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya ayat (1) menjelaskan tentang larangan untuk memindahkan hak kepemilikan Tanah Ulayat kecuali untuk kepentingan: a. Pembangunan Daerah b. Kehendak bersama seluruh warga masyarakat adat berdasarkan ketentuan Hukum Adat yang berlaku. Ayat (2) menyebutkan pengecualian sebagaimana tersebut pada ayat (1), harus berdasarkan ketetapan Kerapatan Adat. Pasal 10 menyebutkan fungsi Penghulu Suku adalah: a. Membantu Pemerintah dalam bidang kemasyarakatan b. Mengurus, mengatur urusan dalam Hukum Adat c. Mengurus mengatur ketentuan dalam Hukum Adat, terhadap hal-hal yang menyangkut tanah ulayat dalam persekutuan, guna kepentingan keperdataan adat juga dalam hal adanya persengketaan atau perkara adat. d. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan tanah ulayat untuk kesejahteraan anggota persekutuan.
Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan wewenang Penghulu Suku adalah: a. Mengatur dan menetapkan pembagian Tanah Ulayat untuk anggota persekutuan melalui musyawarah b. Memberikan rekomendasi tertulis dalam hal adanya pengalihan atau pelepasan Hak Ulayat kepada pihak ketiga berupa Hak Guna Usaha atau hak pakai sesuai ketentuan adat setempat. Bagi pemegang Hak Guna Usaha atau Hak Pakai , jika sampai jangka waktunya, maka hak tanah tersebut kembali kepada Hak Tanah Ulayat dan penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan di dalam Peraturan
Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
51
Menteri Agraria/Kepala badan pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat, Pasal 4 ayat (2). Pengalihan atau Pelepasan Hak Tanah Ulayat kepada anggota persekutuan adat tetap memberlakukan ketentuan Hukum adat setempat. c. Memberikan sanksi secara adat berupa pencabutan hak menggarap, bila ternyata tanah tersebut ditelantarkan berturut-turut selama 3 (tiga) tahun oleh anggota persekutuan. d. Mendaftarkan Tanah Ulayat yang masih ada di kantor Pertanahan Kabupaten Kampar. Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) menyatakan, bahwa pada saat mulai berlakunya Peraturan daerah ini, terhadap seluruh Tanah Ulayat yang dalam proses pengalihan kepemilikannya, akan ditertibkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan Hukum adat yang berlaku. Ayat (2) menjelaskan, bahwa penerbitan sebagaimana tercantum pada ayat (1), akan diselesaikan paling lambat selama 3(tiga) tahun terhitung semenjak diberlakukannya Peraturan Daerah ini, yang meliputi kegiatan-kegiatan: a. Inventarisasi Tanah Ulayat masing-masing masyarakat adat di daerah b. Sertifikat dan atau pemutihan kepemilikan Tanah Ulayat tersebut. 2. Pengaturan Masyarakat Adat Baduy Perlindungan masyarakat lokal menurut Hukum Sdat Baduy diwilayah Banten sudah diakui keberadaannya yang diatur dalam Peraturan daerah (Perda) Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Pasal 1 menyebutkan apa yang dimaksud Hak Ulayat, Tanah Ulayat, Masyarakat Baduy, yaitu: ”Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut Hukum adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat Hukum Adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.” Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu Masyarakat Hukum adat tertentu. Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Lebak yang mempunyai ciri kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum.” Pasal 2 menyebutkan Hak Ulayat Masyarakat Baduy dibatasi terhadap tanah-tanah di wilayah Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupate Lebak yang diukur sesuai dengan peta rekonstruksi dan dituangkan dalam 52
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Beriota Acara sebagai landasan penetapan keputusan Bupati. Selanjutnya Pasal 4 menjelaskan, bahwa segala peruntukan lahan terhadap Hak Ulayat Masyarakat Baduy diserahkan sepenuhnya kepada Masyarakat baduy. Pasal 5 menyebutkan, bahwa Hak Ulayat Masyarakat Baduy tidak meliputi bidang-bidang tanah yang: a. sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang_undang Pokok agraria; b. Merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku. Selanjutnya Pasal 6 menyebutkan, bahwa Desa Kanekes sebagai wilayah pemukiman masyarakat Baduy memiliki batas-batas Desa sebagai berikut: a. Utara: 1) Desa Bojongmenteng Kecamatan Leuwidamar. 2) Desa Cisimeut Kecamatan Leuwidamar. 3) Desa Nyagati Kecamatan Leuwidamar b. Barat: 1) Desa Parakanbeusi Kecamatan Bojongmanik. 2) Desa Keboncau Kecamatan Bojongmanik. 3) Desa Karangnunggal Kecamatan Bojongmanik. c. Selatan: 1) Desa Cikate Kecamatan Cikaju d. Timur: 1) Desa Karangcombang Kecamatan Muncang 2) Desa Cilebang Kecamatan Muncang Pasal 7 menyebutkan wilayah Masyarakat Baduy yang berlokasi di Desa Kanekes memiliki batas-batas alam sebagai berikut: a. Utara: Kali Ciujung b. Selatan: Kali Cidikit c. Barat: Kali Cibarani; d. Timur: Kali Cisimeut. Kemudian Pasal 9 mengatur tentang Ketentuan Pidana. Ayat (1) menyatakan setiap Masyarakat Luar Baduy yang melakukan kegiatan mengganggu, merusak dan menggunakan lahan hak ulayat Masyarakat Baduy diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,- (lima juta rupiah). Ayat (2) Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
53
menyatakan, bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. Selanjutnya Pasal 11 menyatakan dalam rangka menghindari perselisihan dan kesimpangsiuran hak ulayat Masyarakat baduy dari kepentingan perorangan serta sebagai wujud pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat, maka upaya persertifikatan wilayah Baduy tidak diperkenankan. 3. Pengaturan Masyarakat Adat Merangin Perlindungan masyarakat lokal di Kabupaten Merangin tentang Hutan Adat dan Masyarakat adat diatur dalam Keputusan Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin, yang antara lain memutuskan: ”Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Desa Guguk dengan luas 690 Ha yang terletak antara 120o 12’00’’ BT-120o03’45’’ BT dan 02o10’00’’ LS-02o 12’20’’ LS’ mulai dari Titik satu di Muara Sungai Tai dengan titik koordinat (02o10’06’’S, 102o02’59’’ BT) ke Titik Dua di Muara Sungai Nilo dengan titik koordinat (02o14’47’’ LS, 102o03’42’’ BT) terus menelusuri Sungai Nilo ke Titik Tiga Muara Sungai Jambun Jalan Logging dengan titik koordinat (02o11’58’’ LS, 102o03’29’’ BT) terus mengikuti jalan ke Logging kearah Barat sampai ke titik Empat di Kilometer 68 Jalan Logging dengan titik koordinat (02o12’12” LS, 102o01’ 58” BT) terus ke Titik Lima di Telun Muara Sungai Keleman dengan titik koordinat (02o11’37” LS, 102o02’19” BT) terus ke Titik Enam di Sungai Tai bercabang dua titik koordinat (02o10’39” LS, 102o02’24” BT) ditarik sejajar dengan Sungai Tai bercabang dua berjarak + 200 meter dari pinggir Sungai Tai sampai bertemu kembali ke Titik Satu dengan koordinat (02o10’06”LS, 102o06” LS, 102o02’59” BT).” Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk sebagaimana dimaksud dikelola oleh Masyarakat Adat Desa Guguk dengan ketentuan Hukum Adat yang berlaku di Desa Guguk dan telah dituangkan dalam Piagam Kesepakatan pemeliharaan dan Pengelolaan Hutan Adat Desa Guguk Kecamatan sungai Manau Kabupaten Merangin sebagaimana terlampir dalam keputusan ini dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam pengelolaan Hutan adat Desa Guguk sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan oleh Kelompok Pengelola yang ditetapkan dengan Keputusan Bersama Lembaga Adat Desa Guguk, BPD dan Kepala Desa Guguk. Pengelola wajib melaporkan pengelolaan Hutan Adat sebagaimana dimaksud di atas kepada Bupati Merangin melalui Camat Kecamatan Sungai Manau setiap tahunnya dengan tembusan kepada Dinas Kehutanan 54
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
dan pengembangan Sumberdaya Hayati Kabupaten Merangin sebagai instansi yang melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan Hutan Adat Desa Guguk. Apabila Pengelolaan Hutan Adat Guguk menyimpang dari aturan perundang-undangan yang berlaku ataupun bertentangan dengan kepentingan nasional serta menyimpang dari Piagam Kesekapatan sebagaimana dimaksud di atas maka keputusan ini dapat dibatalkan. Keberadaan masyarakat adat dalam Peraturan daerah (Perda) menjadi sangat penting karena Pasal 203 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 204 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara implisit menyebutkan, bahwa keberadaan Masyarakat Hukum Adat diakui bila telah ditetapkan oleh Peraturan daerah. Apabila tidak ditetapkan dengan Peraturan daerah, maka mereka hanya berstatus sebagai masyarakat Hukum Adat secara sosial dan tidak memiliki kedudukan secara hukum.72 Di Sumatera Barat (Indonesia Bagian Barat), Rancangan Peraturan Daerah provinsi mengenai pemanfaatan tanah ulayat memunculkan kekhawatiran masyarakat. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Sumatera Barat, Peraturan daerah itu nanti akan menghilangkan tanahtanah ulayat yang sekarang ini dikuasai oleh masyarakat adat. Menurut Pemerintah Daerah Sumatera Barat, banyak investor ingin menanam modalnya dibidang perkebunan. Namun mereka ragu-ragu karena ketidakpastian pengaturan tanah ulayat dan cara mendapatkan tanah ulayat tersebut.73 Sampai saat ini semenjak di undangkannya Peraturan Menteri graria tersebut, baru empat kabupaten yang telah mengeluarkan produk hukum Perda tentang Hak Ulayat Empat kabupaten dimaksud adalah Kabupaten Lebak (Banten) dengan Perda Nomor 32 tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Surat Keputusan Bupati Bungo (Jambi) Nomor 1249 tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo, Surat Keputusan Bupati Merangin (Jambi) Nomor 287 tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang Sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin dan Perda Kabupaten Kampar (Riau) Nomor 12 tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat. Sedangkan sejumlah daerah lain pernah merencanakan atau sedang melangsungkan inisiatif serupa, Propinsi Sumatera Barat sempat menggodok Raperda tentang Pengaturan Pemanfaatan Tanah Ulayat, Kabupaten Jayapura (Papua) pernah merancang peraturan daerah tentang Perlindungan Terhadap Tanah-Tanah Ulayat Masyarakat Kabupaten Jayapura. Kabupatan Pasir dan 72 Herman Slaats, dkk, Op Cit., hlm.29. 73 Raperda Tanah Ulayat Cemaskan Masyarakat asli”, Media Indonesia, 7 Februari 2003, dalam Herman Slaats, dkk, Ibid., hlm. 29. Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
55
Kapuas Hulu (Kalimantan Barat) masing-masing dalam proses penyusunan raperda dan identifikasi hak ulayat. Seluruh perda yang telah diundangkan dan sedang dalam pembahasan tersebut, menempatkan Permenag/Kepala BPN No. 5/1999 sebagai dasar hukum. Pengorganisiran analisa ini tidak dibuat mengikuti kerangka yang dimiliki oleh Raperda Hak Ulayat ini. Pembahasan akan dilakukan dengan memilih sejumlah topik yang dianggap penting berkenaan dengan substansi dan teknik perancangannya. Berikut ulasan terhadap beberapa topik yang dianggap penting. Sebagai contoh analisa adalah Raperda Kabupaten Pasir tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Pada bagian menimbang huruf c dari raperda hak ulayat ini mengatur mengenai seluk beluk hak ulayat defenisi, kriteria, cara mendapatkannya. Pengaturan mengenai hal-hal itu kemudian difungsikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah tanah ulayat. Namun, kesan seperti itu langsung sirna ketika pasal 10 dan 11 raperda ini mengatakan bahwa di wilayah pemerintahan Kabupayen Pasir tidak ada masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Bukankah Bagian Menimbang huruf c raperda ini mengatakan bahwa pengaturan mengenai tanah ulayat (salah satunya mengenai kriteria) hanyalah sebagai pedoman? Seharusnya, kalau ia hanya berfungsi sebagai pedoman maka tidak boleh sekaligus berfungsi sebagai peraturan yang menetapkan atau imperatif. Andai raperda ini diposisikan sebagai pedoman, maka urusan menetapkan dan membuat peraturan-peraturan imperatif diserahkan pada pengaturan lebih lanjut dari raperda ini. Pengaturan lebih lanjutnya bisa dilakukan oleh perda lain atau oleh Keputusan Bupati. Dengan memilih sifat yang demikian, sebenarnya raperda ini sudah menyimpang dari Permenang/Kepala BPN No. 5/199. Kenapa demikian? Karena dengan tegas Permenag ini mengatakan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat serta pencatatan keberadaan tanah ulayat, akan diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah (pasal 6). Bila menggunakan tafsir gramatikal maka sangat jelas bahwa Permenag ini memandatkan kepada Pemda untuk membuat pengaturan lebih lanjut mengenai dua hal di atas di dalam perda. Perda tersebut akan menjadi landasan yuridis bagi kegiatan penelitian dan penentuan hak ulayat. Mandat semacam itu memang masuk akal karena Permenag ini tidak mengatur lebih rinci mengenai penelitian dan penentuan (prosedur/mekanisme penelitian, mekanisme penyampaian keberatan, dll). Fungsinya hanya sebagai pedoman. Dengan menyebutkan kriteria hak ulayat dan batasan pemberlakukannya maka pengaturan lebih lanjut yang dibutuhkan adalah bagaimana caranya menentukan (prosedur/mekanisme): apakah kelompok masyarakat tertentu memang memiliki atau tidak memiliki hak ulayat karena memenuhi atau tidak memenuhi kriteria tertentu. Sebagai 56
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
pedoman, Permenag ini telah merumuskan hal-hal yang subtantif dan untuk menjalankannya yang diperlukan adalah peraturan pelaksana (perda) yang mengatur hal-hal prosedural. Sementara itu, raperda hak ulayat secara sepihak telah memutuskan bahwa di Kabupaten Pasir tidak satupun kelompok masyarakat dan lembaga adat yang memenuhi kriteria masyarakat hukum adat dan hak ulayat tanpa mengajukan argumen. Apa dasar yang digunakan oleh raperda ini untuk sampai pada kesimpulan semacam itu? Kuat dugaan bahwa yang dijadikan dasar adalah penelitian yang dilakukan oleh Tim Universitas Hasanudin pada tahun 2002. Tapi, bagaimana orang mengetahui hasil penelitian tersebut bila ia tidak merupakan bagian yang integral dari raperda ini. Bila penelitian tersebut menjadi dasar, bagaimana status hukumnya? Apakah penelitian itu menjadi mengikat semua orang yang ada di Kabupaten Pasir atau hanya salah satu rujukan? Lagipula, mengapa penelitian itu dikatakan diselenggarakan oleh Universitas Hasanudin? Bukankah menurut Permenag penelitian dilakukan oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan pihak lain, bukan justru sebaliknya? Tapi sulit juga untuk menyimpulkan bahwa keputusan untuk mengatakan bahwa di Pasir tidak ada mayarakat hukum adat dan hak ulayat didasarkan pada hasil penelitian tersebut. Kesimpulan seperti itu didapat ketika raperda ini mengatakan bahwa di Pasir tidak ada kelompok masyarakat dan lembaga adat karena tidak memenuhi kriteria masyarakat hukum adat dan hak ulayat (pasal 10 dan pasal 11), bukan karena penelitian membuktikan demikian. Jadi, bila dianalogkan dengan proses pemeriksaan sebuah perkara/kasus di pengadilan maka raperda ini ‘mengadili’ bahwa di Pasir dinyatakan tidak ada masyarakat hukum adat dan hak ulayat tanpa proses/tahapan pembuktian. Dengan kata lain, Raperda ini mendengar dirinya sendiri lalu membuat keputusan. Memilih gaya yang demikian membuat raperda ini bisa dikategorikan menyimpangi prinsip hak untuk mengidentifikasi diri sendiri (right to selfidentification), yang dikenal dalam hukum internasional. Misalnya dalam Framework Convention on National Minorities (pasal 3) dan Kovenan HakHak Sipil dan Politik (pasal 27). Hak ini bisa bisa dimiliki oleh perorangan maupun kelompok. Bagi perorangan, diberikan hak untuk menentukan apakah dirinya bagian dari masyarakat adat atau tidak. Sedangkan untuk kelompok diberi hak untuk memelihara identitasnya termasuk identitas kebiasaan, tradisi, bahasa dan agama. Di dalam Kovenan Hak-Hak Sipil dalam Politik ditekankan bahwa penentuan keberadaan sebuah kelompok didasarkan atas kriteria obyektif dan hak untuk mengidentifikasi diri sendiri, bukan diserahkan kepada negara.74 74 Peter Baehr, dkk, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), Pasal 3 dan 27. Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
57
Bila merujuk pada kerangka normatif semacam itu maka apa yang dilakukan oleh pemda dan tim peneliti dari Universitas Hasanudin adalah sebuah kekeliruan besar. Pertama, bukan mereka yang seharusnya melakukan identifikasi melainkan masyarakat adat, dengan menggunakan kriteria yang dirumuskan dalam Permenag/Kepala BPN No. 5/1999. Kedua, siapa yang ditemui oleh Tim Peneliti Unhas di lapangan? Apakah orang atau kelompok yang tepat, ataukah justru orang atau kelompok yang keliru? Kalau yang ditemui adalah orang dan kelompok yang tepat, mengapa tiga organisasi yang relatif reprentatif mewakili masyarakat adat di Pasir justru bereaksi dengan kehadiran raperda ini? Tanggal 31 Juli 2000 Bupati Pasir mengesahkan Perda Kabupaten Pasir Nomor 3 tahun 2000 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat, yang kemudian diundangkan pada tanggal 8 Agustus 2000. Sebagai bagian dari 13 paket Perda mengenai Pemerintahan Desa75, perda ini mengakui bahwa di Pasir ada lembaga adat, wilayah adat, hukum adat dan adat istiadat. Dengan asumsi seperti itu, perda ini kemudian mengatur bagaimana kedudukan dan fungsi lembaga adat, hak dan kewajibannya, sumber kekayaannya dan bagaimana ia diberdayakan, dilestarikan, dikembangkan, dilindungi dan dipelihara. Kendati mengatur hal yang relevan dengan materi muatan raperda hak ulayat, anehnya perda No. 3/2000 ini tidak dijadikan sebagai salah satu dasar hukum oleh raperda tersebut. Mengapa demikian? Agak sukar menemukan penjelasan logis dari tindakan ini. Apakah lembaga adat dan adat istiadat sesuatu yang berbeda dan terpisah dengan masyarakat hukum adat dan hak ulayat? Apa bedanya istilah ‘wilayah adat’ yang disebutkan dalam Perda No. 3/2000 dengan istilah ‘wilayah’ yang disebutkan dalam Raperda Hak Ulayat76? Bagaimana mungkin pengakuan keberadaan lembaga adat dan adat istiadat bisa berbeda dan terpisah dengan pengakuan masyarakat hukum adat dan hak ulayat? Bukankah lembaga adat justru menjadi salah satu unsur pemenuh dari masyarakat hukum adat dan hak ulayat?
75 Akibat UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (pasal ..) dan Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2001 tentang Pedoman Pengaturan Mengenai Pemerintahan Desa, banyak sekali Kabupaten yang berbondong-bondong membuat paket perda mengenai pemerintahan desa, yang jumlahnya berkisar antara 10 sampai 13 buah. Redaksi perdaperda yang mengatur hal itu sangat mirip satu sama lain untuk setiap kabupaten. Rupanya inilah yang memicu gelombang baru penyeragaman pemerintahan lokal pasca UU No. 5/1979, sekalipun di beberapa tempat digunakan istilah yang berbeda. 76 Dalam Perda No. 3/2000 wilayah adat didefenisikan sebagai wilayah kesatuan budaya setempat adat istiadat itu tumbuh, hidup dan berkembang sehingga menjadi penyanggah adat istiadat yang bersangkutan. Sedangkan istilah ‘wilayah’ dalam raperda hak ulayat dipakai sebagai salah satu unsur masyarakat hukum adat (pasal 3 ayat 1d). 58
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Penggunaan syarat kumulatif agaknya menjadi alat penjelas yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Raperda ini dengan tegas mengatakan bahwa pemenuhan unsur masyarakat hukum adat dan kriteria hak ulayat harus secara kumulatif. Artinya, seluruh unsur dan kriteria tersebut harus dipenuhi dengan sekaligus atau keseluruhan. Sekalipun sebuah kelompok masyarakat memiliki lembaga adat atau wilayah adat, namun tidak otomatis menjadi masyarakat hukum adat bila tidak memiliki hukum adat dan kekayaan. Begitu juga sebaliknya, memiliki hukum adat dan kekayaan belum bisa digolongkan sebagai masyarakat hukum adat bila tidak memiliki lembaga adat dan wilayah adat. Karena raperda ini tidak mengakui keberadaan masyarakat hukum adat di Pasir, dengan sendirinya tidak ada hak ulayat di Pasir. Kenapa? Raperda ini kelihatan cukup cerdik dalam soal ini. Dikatakan bahwa masyarakat hukum adat adalah subyek hukum hak ulayat (pasal 6). Kalimat ini seolaholah mengatakan bahwa masyarakat hukum adat bukanlah satu-satunya subyek hukum hak ulayat, tapi juga bisa kelompok masyarakat yang lain. Benarkan demikian? Tafsir semacam itu bisa dianggap keliru dengan dua alasan, yakni: Pertama, raperda ini dengan tegas mengatakan bahwa hak ulayat hanya dimiliki oleh masyarakat hukum adat (pasal 1 angka 7). Kedua, bila mengacu pada kriteria yang digunakan (pasal 7 ayat 1) maka yang dimungkinkan memiliki hak ulayat hanyalah masyarakat hukum adat karena persyaratan terikat oleh tatanan hukum adat (kriteria a dan c). Kriteria semacam itu hanya bisa dipenuhi oleh masyarakat hukum adat. Jadi, baik dilihat dari sisi defenisi dan kriteria, yang berhak menjadi subyek hukum hak ulayat hanyalah masyarakat hukum adat. Jadi karena satu-satunya subyek hukum hak ulayat adalah masyarakat adat dan di Pasir tidak ada masyarakat hukum adat maka tidak ada hak ulayat di Pasir. Tidak perlu susah-susah untuk memeriksa apakah masih ada hak ulayat di Pasir yang memenuhi kriteria karena subyek hukumnya sendiri tidak ada. Cara berfikir semacam ini bisa dilihat dengan telanjang dalam pasal 11 raperda hak ulayat. “Masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum hak ulayat, dinyatakan sudah tidak ada lagi sebagaimana dimaksud pada pasal 10 Peraturan Daerah ini, maka hak ulayat atas tanah, hutan dan perairan sebagai obyek, dinyatakan sudah tidak ada lagi”. Dengan tidak mencantumkan Perda No. 3/2000 sebagai dasar hukum, raperda hak ulayat seolah-olah punya anggapan tidak memiliki hubungan dengannya. Namun hal itu bisa saja dilihat sebagai kekeliruan. Mengapa? Pertama, sejumlah istilah digunakan baik oleh raperda hak ulayat dan Perda No. 3/2000. Misalnya, istilah lembaga adat, masyarakat hukum adat dan hukum adat. Kedua, dua-duanya memiliki cakupan atau obyek pengaturan yang sama. Oleh sebab itu, raperda hak ulayat mutlak menjadikan perda No. Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
59
3/2000 sebagai dasar hukum. Dengan logika itulah bisa dikatakan bahwa raperda hak ulayat memang bertentangan (kontradiktif) dengan perda No. 3/2000 seperti yang dinyatakan dalam Pernyataan Sikap Bersama tentang Raperda Kabupaten Pasir Mengenai Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kenapa dikatakan bertentangan? Pertama, pendefinisian istilah ‘lembaga adat’. Dalam Perda No. 3/2000 lembaga adat didefenisikan sebagai organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan bebagai permasalahan kahidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Sedangkan raperda hak ulayat mendefenisikannya sebagai lembaga yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat untuk melakukan kegiatan pelestarian adat istiadat, diakui dan dikukuhkan oleh Pemerintah Kabupaten. Definisi yang dirumuskan oleh raperda hak ulayat mengerdilkan sosok lembaga adat. Pertama, mendefenisikannya sebatas lembaga, bukan organisasi kemasyarakatan. Kedua, menyempitkan kewenangan lembaga adat sebatas melakukan pelestarian adat istiadat. Dan ketiga, meletakan posisi lembaga adat subordinat di hadapan pemerintah daerah karena terlebih dahulu harus mendapatkan pengakuan. Sebenarnya, lembaga adat menurut perda No. 3/2000 hampir serupa dengan masyarakat hukum adat yang dibayangkan oleh raperda hak ulayat. Itu sebabnya, raperda hak ulayat menggunakan kata kelompok masyarakat dan lembaga adat pada posisi yang sejajar (pasal 10). Ukuran bahwa lembaga adat nyaris serupa dengan masyarakat hukum adat didasari oleh alasan bahwa unsur-unsur lembaga adat hampir mirip dengan unsur masyarakat hukum adat. Menurut perda No. 3/2000 lembaga adat memiliki: (1) sumber kekayaan (pasal 14 ayat 1): (2) memiliki wilayah adat (pasal 1 angka 10); dan (3) memiliki tugas dan kewenangan untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan (pasal 1 angka 10, pasal 6 ayat 2a, pasal 7 ayat 1c). Sedangkan menurut raperda hak ulayat unsur masyarakat hukum adat adalah: (1) adanya kelompok masyarakat yang memiliki integritas, teratur dan bertindak sebagai kesatuan yang terikat dan tunduk pada tatanan hukum adatnya; (2) adanya struktur pemerintahan sendiri yang memiliki kewenangan untuk mengadakan aturan-aturan yang diakui dan diataati oleh warganya; (3) adanya kekayaan yang terpisah dengan kekayaan masingmasing warganya; dan (4) adanya wilayah. Kedua, berbeda dengan raperda hak ulayat, perda No. 3/2000 justru mengakui adanya masyarakat hukum adat. Pasal 13 ayat (1) perda No. 3/2000 berbunyi: 60
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
“Penetapan wilayah adat yang dikuasai oleh masyarakat adat secara tumurun-temurun mempunyai batas-batas yang jelas dan pasti, diakui oleh pemerintah dan dapat digunakan oleh masyarakat sesuai adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku.” Maksud senada bisa didapatkan dalam pasal 1 angka 10 yang mengatakan bahwa lembaga adat tumbuh dan berkembang di dalam sejarah perkembangan masyarakat hukum adat tertentu. Dengan redaksi semacam itu, karena perda No. 3/2000 mengakui lembaga adat, maka dengan sendirinya Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Pasir telah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat lewat perda tersebut. Jadi bisa disimpulkan bahwa dengan mengusulkan raperda hak ulayat artinya pemda Pasir menganulir kebijakannya terdahulu yang mengakui adanya masyarakat hukum adat di Pasir. Barangkali, diantara sekian produk hukum daerah yang mencoba melaksanakan lebih lanjut Permenag/Kepala BPN No. 5/1999, hanya raperda hak ulayat yang difungsikan untuk mendeklarasikan tiadanya masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Berbeda dengan raperda hak ulayat, inisiatif-inisiatif yang berlangsung di Kabupaten Lebak, Kabupaten Bungo dan Kabupaten Merangin justru mengakui masih adanya masyarakat hukum adat atau hak ulayat di daerah masing-masing. Begitu juga dengan Kabupaten Kampar, kendati mencoba mengendalikan hak tanah ulayat dan pemangku adat, tapi tetap masih mengakui adanya tanah ulayat di Kabupaten Kampar. Begitu juga dengan inisiatif di Propinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Jayapura, yang masih dalam status rancangan, sama-sama mengakui kebaradaan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat. Untuk memudahkan, perbedaan masing-masing Perda, Keputusan Bupati dan rancangan Perda tersebut akan dperlihatkan dalam bentuk tabel.
Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
61
Tabel 1. Perbandingan Inisiatif Kebijakan Pengakuan Hak Ulayat Raperda Pasir1
Perda Lebak
Perda Kampar
SK Bupati Bungo dan Merangin
Raperda Sumatera Barat2
Raperda Jayapura
Rauang Lingkup Pengaturan
Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat
Hak Ulayat
Hak tanah Ulayat
Hutan Adat
Tanah Ulayat
Tanah Ulayat, Tanah Adat
Materi Pokok yang Diatur
Kriteria masyarakat hukum adat, subyek hak ulayat, kriteria dan obyek hak ulayat, penentuan keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat
Penetapan wilayah hak ulayat, bidang-bidang tanah yang dikecualikan dari hak ulayat, batas-batas hak ulayat masyarakat Baduy, ketentuan pidana, ketentuan penyidikan, larangan pensertifikatan hak ulayat masyarakat Baduy
Hak Tanah Ulayat (fungsi, larangan dalam penggunaan), Tata cara pemilikan dan penggunaan tanah ulayat, kerapatan adat, pemilikan tanah ulayat, pengawasan, tugas , wewenang dan fungsi kepala penghulu, mandat pembentukan Badan Penyelesaian Permasalahan dan Pemutihan Tanah Ulayat Daerah
Pengakuan terhadap hutan adat, batas, batas hutan adat, penggunaan hukum adat untuk mengelola hutan adat, kewajiban untuk melaporkan
Klasifikasi dan Kewenangan Penguasaan Tanah Ulayat, Kedudukan dan Fungsi Tanah Ulayat, Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah Ulayat, Pendaftaran Tanah Ulayat, Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat, Penguasaan Kembali oleh Negara terhadap Tanah yang telah Berakhir masa berlaku hak atas tanahnya
Pelepasan Tanah Ulayat, Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Kegiatan Usaha, Kewajiban Bagi Perusahaan untuk Memberikan Kompensasi, Ganti Rugia atas TanamTanaman, Kewajiban Membayar Pajak, Kenetuan Peralihan
Mengakui Hak Ulayat/Tdk Mengakui Hak Ulayat
Tidak Mengakui adanya masyarakat hukum adat dan hak ulayat di Pasir
Mengakui keberadaan hak ulayat Masyarakat Baduy
Mengakui Adanya Tanah Hak Ulayat Kampar
Mengakui Hutan Adat dan Masyarakat Hukum Adat
Mengakui adanya Tanah Ulayat di Sumbar
Mengakui adanya Hak Ulayat di Kabupaten Jayapura
Sumber: Perpustakaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara tahun 2006
Di Kabupaten Kapuas Hulu (Kalbar) sejak November 2003 sampai saat ini tengah dilakukan proses identifikasi terhadap lima kampung77 yang berada di Kabupaten tersebut dalam rangka pengakuan hak ulayat/hakhak adat lainnya. Identifikasi dilakukan oleh sejumlah LSM lokal yakni Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), Yayasan Sistem Hutan Kerakyatan 77 Kelima kampung tersebut adalah Sei-Utik, Pulan, Ungak, Langan dan Sei-Tebelian. 62
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
(SHK) Kalbar dan PPSDAK. Tim identifikasi hanya bertugas melengkapi dan mengklarifikasi data-data mengenai lima kampung tersebut, yang sebelumnya sudah dikumpulkan. Identifikasi dilakukan dengan metode menggelar diskusi kampung dan wawancara. Seluruh biaya penyelenggaraan identifikasi ditanggung oleh pemda Kapuas Hulu yang diambil dari pos APBD. Menurut rencana, setelah identifikasi akan dibentuk sebuah tim verifikasi yang bertugas memverifikasi data yang didapatkan dari kegiatan identifikasi. Tim verfikasi akan beranggotakan unsur akademisi, pemda dan LSM. Hasil tim verifikasi akan dipergunakan sebagai dasar ntuk mengeluarkan pengakuan terhadap lima kampung tersebut, lewat peraturan daerah. Selain bermasalah dari segi proses, raperda hak ulayat juga memiliki sejumlah catatan negatif dari sisi substansi. Materi raperda ini menyalahi tuntutan yang dikehendaki oleh Permenag/Kepala BPN No. 5/1999. Tanpa mengatur atau tanpa terlebih dahulu menerbitkan ketentuan atau perda yang mengatur mengenai prosedur penelitian dan penentuan hak ulayat, raperda ini langsung menyimpulkan bahwa di Kabupaten Pasir tidak terdapat masyarakat hukum adat dan hak ulayat, berdasarkan kriteria yang dibuatnya. Raperda hak ulayat juga menabrak perda No. 3/2000 yang nyatanyata memiliki materi pengaturan yang relevan dengannya. Bukan hanya menabrak, raperda hak ulayat justru menegasikan keberadaan perda No. 3/2000 karena tidak mencantumkannya sebagai dasar hukum. Selain melakukan penyempitan defenisi, raperda hak ulayat juga bersebarangan dengan perda No. 3/2000 karena tidak mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat, sementara perda No. 3/2000 mengakuinya. ”Bila dibandingkan dengan inisiatif kebijakan di daerah lain, raperda hak ulayat memilih jalan yang berbeda. Bila inisiatif kebijakan lain mengenai hak ulayat dilandasi oleh semangat untuk mengakui keberadaan hak ulayat, raperda hak ulayat memilih jalan sebaliknya. Tidak salah rasanya bila Pernyataan Sikap Bersama menganggap raperda ini melawan semangat yang dipunyai UUD 1945 hasil amandemen dan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sekedar menggenapi, raperda ini juga melakukan hal serupa terhadap Tap. MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.” 4. Pengaturan Berdasarkan Prinsip Trihita Karana di Bali
Trihita Karana telah menjadi landasan filosofis dalam kehidupan masyarakat Bali yang berlandaskan budaya dan dijiwai Agama Hindu. Secara terminologis, Trihita Karana berasal dari bahasa Sansekerta, terdiri dari kata Tri + Hita + Karana, yang masing-masing berarti tiga, sejahtera, dan sebab/penyebab. Bilamana dirangkaikan, maka ketiga kata tersebut berarti
Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
63
tiga hal yang menyebabkan sejahtera. Ketiga hal yang dimaksudkan adalah terwujudnya tiga hubungan harmonis, yaitu hubungan harmonis manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan harmonis antara sesama manusia, dan hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan hidup. Prinsip Trihita Karana merupakan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Dalam kearifan lokal yang diwujudkan melalui tingkah laku masyarakat sehari-hari tercermin pandangan hidup serta sistem nilainya yang dijadikan pedoman kehidupannya didalam melihat atau menanggapi dunia luarnya. Dengan demikian, kearifan lokal mempunyai kemampuan untuk mengendalikan serta memberikan arah perkembangan kehidupan masyarakat setempat. Ada beberapa ciri yang dapat dijumpai dari kearifan lokal suatu masyarakat, seperti kemampuan untuk bertahan terhadap budaya luar, mampu mengakomodasi unsur-unsur budaya luar/asing, mampu mengintegrasikan budaya luar kedalam budaya masyarakat, terbina secara kumulatif, terbentuk secara evolusioner, serta tidak selamanya tampak jelas secara lahiriah.78 Menyimak ciri-ciri kearifan lokal tersebut, maka Trihita Karana dapat dikualifikasikan sebagai local indegenous masyarakat Hindu Bali, mengingat rumusannya secara jelas dan tegas hanya ditemukan di Bali serta telah menjadi bagian dari pola kelakuan masyarakatnya yang mayoritas penduduknya yaitu rata-rata 92% beragama Hindu.79 Keadaan ini mempengaruhi proses pembentukan Trihita Karana sebagai hasil kristalisasi pola kehidupan masyarakat yang telah membumi berdasarkan ajaran agama Hindu. Sebagai wadah mewujudkan hubungan antara manusia dengan Tuhan dibentuk Parhyangan sebagai tempat persembahyangan. Hal ini juga dapat dijumpai dalam kehidupan umat beragama lainnya, seperti Masjid bagi umat Islam, Gereja bagi umat Kristen, Wihara bagi umat Budha. Pada umat Hindu di Bali, jenis parhyangannya dibedakan atas Pura Keluarga, Pura kawitan, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina, dan Pura Kahyangan Jagat. Dalam hubungan antar manusia, maka setiap orang hendaknya menghindarkan diri dari perbuatan jahat, oleh karena Tuhan sesungguhnya menganugerahkan hal yang sama kepada umat manusia. Keharmonisan antara manusia akan dapat diwujudkan melalui penghargaan atau toleransi yang setulusnya tidak hanya kepada orang yang telah dikenal saja, tetapi juga kepada orang yang baru dikenal. Demikian pula harmonisasi tidak hanya diwujudkan antar sesama manusia dalam posisi derajat yang sama, tetapi juga antara atasan dan bawahan, antara pengusaha dan langganannya dan dengan siapa saja termasuk dengan pemerintah.80 78 Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa, (Jakarta: Penerbit Pustaka Jaya, 1986), hlm.30. 79 Bappeda Provinsi Bali, Data Bali Membangun 2004, (Denpasar: Penerbit Pemerintah Provinsi Bali, 2005), hlm. IV-1. 80 I Made Arya Utama, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Hidup Dalam Mewujudkan Pembangunan Daerah Yang Berkelanjutan, (Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2005), hlm. 255. 64
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Dalam hubungannya dengan alam, manusia haruslah senantiasa mengupayakan terciptanya hubungan yang harmonis karena alam merupakan sumber kesejahteraan dan kebahagiaannya. Konsepsi Sad Kerthi merupakan salah satu implementasi Trihita Karana dalam hubungan manusia dengan Tuhan dan lingkungan hidup. Secara konseptual falsafah Trihita Karana telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Bali, seperti Peraturan daerah mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali, Peraturan daerah Tentang Desa Pekraman, Peraturan daerah Tentang Bangun-Bangunan. Sebagai contoh pengakuan Trihita Karana sebagai filosofi pengaturan tata ruang di daerah Bali dapat dilihat pada Pasal 2 dan 5b Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 4 Tahun 1996 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Pada Pasal 2 ditetapkan bahwa ”Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bali didasarkan kepada falsafah Trihita Karana”. Selanjutnya pada Pasal 5b Peraturan Daerah itu dikemukakan salah satu fungsi dari RTRWP Dati I Bali adalah ”Memberikan kebijaksanaan pokok tentang pemanfaatan ruang daerah sesuai dengan kondisi wilayah dan konsepsi pembangunan yang berkelanjutan dengan landasan falsafah Trihita Karana”. Trihita Karana sebagai suatu filosofi masyarakat Hindu Bali bilamana dikaji dari kelahirannya memiliki banyak persamaan dengan kehadiran Pancasila. Beberapa persamaan yang dimaksudkan seperti merupakan konsep yang digali dan dirumuskan dari perenungan akan nilai-nilai luhur aspek religius masyarakatnya. Keduanya terlahir dari kondisi yang matang untuk menjawab tantangan sebuah perubahan dalam tataran ideologis, dan nilai-nilai Pancasila menjadi landasan filosofis kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, sedangkan Trihita Karana menjadi landasan filosofis pola dasar pembangunan maupun kehidupan masyarakat Bali yang berlandaskan budaya dan dijiwai agama Hindu. Melalui falsafah Trihita Karana, ada tiga hal yang diharapkan dapat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yaitu Paramaartha, Swaartha, dan Paraartha. Paramaartha artinya mengabdi dan memuja Tuhan yang dapat dilakukan melalui Pujanam, Dyanam dan Sewanam. Pujanam adalah memuja Tuhan yang dilakukan secara berkala seperti Nitia Puja dengan melakukan persembahyangan Puja Tri Sandya setiap hari tiga kali maupun Naimitika Puja dengan memuja Tuhan pada saat upacara atau pada hari-hari yang dianggap baik. Dhyanam adalah melakukan konsentrasi dan meditasi untuk menyucikan diri untuk menanamkan rasa Ketuhanan dalam hati. Sewanam adalah pemujaan Tuhan dengan memberikan pelayanan kepada sesaa manusia yang membutuhkan Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
65
pelayanan untuk dapat mendekatkan diri pada yang disebut dengan Manawa Sewa Madawa Sewa. Swaartha artinya membenahi kehidupan diri sendiri secara individual melalui ajaran dharma atau kebenaran dengan mngendalikan sifat-sifat rajah dan tamah serta mengembangkan sifat satwam. Dengan mengembangkan sifat satwam dan mengendalikan sifat-sifat rajah dan tamah diharapkan manusia dapat menghindarkan diri dari perilaku yang mudah marah, mudah tersinggung, iri hati, sombong, rakus, suka bertengkar, individualistis, suka pamer dan sifat-sifat buruk lainnya. Selanjutnya Paraartha artinya mengabdi dan menyayangi orang lain di luar kita beserta alam lingkungan melalui yadnya. Mengabdi kepada orang lain dapat dilakukan dengan menghormati, menyayangi, mengasihi serta melindungi sesama, orang yang lebih tua maupun lebih muda. Mengabdi dan menyayangi lingkungan hidup dapat dilakukan seperti tidak merusak dan atau mencemarkan air, udara, tanah maupun hutan. Pada Manawa Dharmasasastra IV. 52 dan 56 dikemukakan adanya larangan membuang kotoran apalagi racun ke sungai, dan bila larangan ini dilanggar berakibat kepada hilangnya kecerdasan yang bersangkutan. Demikian pula dalam kitab Manawa Swarga disebutkan adanya larangan menebang pohon secara sembarangan tanpa izin dari Raja atau Pemerintah.81 Secara lebih khusus dalam hubungan manusia menjaga keharmonisannya dengan lingkungan hidup, maka masyarakat Hindu Bali secara individual maupun kolektif telah mengembangkan berbagai bentuk perilaku ramah lingkungan hidup, maka masyarakat Hindu Bali secara individual maupun kolektif telah mengembangkan berbagai bentuk perilaku ramah lingkungan hidup dan yadnya. Perilaku ramah lingkungan diwujudkan antara lain dengan tidak menebang pohon pada hari Minggu, tidak boleh memotong ekor cecak, serta tidak mengambil anak burung di sarangnya. Selanjutnya yadnya dalam bentuk upacara tumpek yang dilakukan terhadap lingkungan hidup berupa Upacara Tumpek wariga dan Tumpek Kandang, Ngusaba Desa dan Ngusaba Nini, sedangkan yadnya dalam bentuk caru, antara lain berupa Eka Satha, Panca Satha, Resi Gana, Panca Sanak, Tawur Agung, Panca Walikrama, dan Eka Dasa Rudra.82 Upacara Tumpek wariga yang juga dikenal dengan subutan Tumpek Bubuh diselenggarakan pada hari Sabtu Keliwon Wuku wariga sebagai peringatan hari lahir atau oton dari semua jenis tumbuh-tumbuhan yang ditujukan kehadapan Dewa Sangkara (dewanya tumbuh-tumbuhan) sebagai 81 Ngurah Nala, “Moksartham Jagaddhita”, dalam Ngurah Nala (ed), Moksartham Jagaddhita, (Denpasar: Penerbit Upada sastra, 1995), hlm. 14. 82 Ibid. 66
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, Upacara Tumpek wariga pada hakikatnya menyatakan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan maupun memelihara tumbuh-tumbuhan yang dipergunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selanjutnya upacara Tumpek Kandang atau Tumpek Uye diselenggarakan pada setiap Hari Sabtu Kliwon Wuku Uye yang datang tiap-tiap 210 hari (enam bulan) sekali. Upacara ini dilakukan untuk memperingati hari lahirnya segala jenis binatang yang banyak membantu kelangsungan hidup manusia di bumi ini. Disamping itu, Upacara Tumpek Uye merupakan ungkapan rasa terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Pasupati, yaitu dewa para binatang. Selanjutnya Ngusaba Desa merupakan upacara yang dilakukan untuk memohon kehadapan Tuhan melalui Dewa Brahma agar air tetap mengalir dan Ngusaba Nini merupakan upacara kepada Tuhan melalui dewa Wisnu agar segala tumbuh-tumbuhan dapat menghasilkan atau dipanen secara optimal. Uraian diatas menunjukkan filsafat Trihita Karana dapat membantu masyarakat Hindu Bali pada khususnya serta masyarakat Bali pada umumnya dalam mengambil sikap terbuka dan kritis terhadap hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia lain, dan hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya. Disamping itu filsafat Trihita Karana juga memberikan kekuatan kepada masyarakat Bali untuk berhadapan, mengambil sikap, dan sebagai pemain aktif dalam kehidupan modernisasi tanpa harus kehilangan identitasnya. Fungsi Trihita Karana sebagai filsafat masyarakat Bali seperti itu sejalan dengan fungsi filsafat pada umumnya, yakni dapat membantu dalam mengambil sikap terbuka dan krisis terhadap dampak modernisasi, memungkinkan untuk berhadapan dengan pengaruh budaya modern yang memang tak terbendung, serta dapat mengambil sikap dan menjadi pemain aktif, mempertahankan identitas kita maupun mengarahkan perkembangan sesuai dengan pandangan kita sendiri.83 D. Pemikiran Melindungi Masyarakat Lokal di Tangkahan Keberagaman masyarakat Indonesia sebenarnya telah disadari founding fathers dengan munculnya semboyan negara bhineka tunggal ika.84 Namun, 83 Frans magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Penerbit Kanesius, 1992), hlm. 255. 84 Sandra Moniaga, Hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia, Makalah Lokakarya Nasional IV HAM 1998 diselenggarakan oleh Komnas HAM, Departemen Luar Negeri dan The Australian Human Rights and Equal Opportunity Commission, Jakarta, 1 – 3 Desember Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
67
sepanjang sejarah perjalanan bernegara, pemaknaan semboyan itu yang seharusnya diartikan ‘berbeda-bedalah itu (sekalipun) satulah itu’ berubah diartikan sebagai ‘(sekalipun) berbeda-bedalah itu (namun) satulah itu’.85 Kenyataan ini terjadi karena asumsi bahwa dengan keseragaman maka pemerintahan akan mudah diatur dan dijalankan dan keberagaman merupakan ancaman bagi kesatuan. Oleh karena itu, segala bentuk pemerintahan yang kiranya tidak sejalan, seperti nagari, marga, huta, kampong dan sebagainya, harus diseragamkan.86 Akibat adanya penyeragaman pemerintahan tersebut menyebabkan beberapa hal. Pertama, tersingkirnya semua tatanan yang telah dibentuk oleh masyarakat adat selama ini. Kedua, hak masyarakat adat untuk melanjutkan sistem politik, ekonomi dan pengembangan budaya menjadi terpasung. Ketiga, eksistensi mereka tidak dianggap lagi berikut semua hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya mereka. Padahal, hak-hak tersebut merupakan hak yang paling mendasar bagi manusia dan harus dijamin dalam suatu konstitusi. Keempat, adanya anggapan bahwa sistem kehidupan mereka sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, kolot dan menghambat kemajuan. Oleh karena itu, kehidupan mereka harus dirubah, entah itu dengan cara mengeluarkan kebijakan atau bahkan dengan kekerasan. Dampaknya adalah timbul berbagai praktek pengusiran, pemindahan secara paksa, penggusuran yang berakibat hilangnya kesempatan mereka untuk mengelola sumberdaya alam yang mereka miliki selama ini. Padahal, keberadaan mereka telah ada jauh sebelum negara ini berdiri. Kelima, munculnya berbagai stigma yang mendiskriminasikan mereka, seperti istilah masyarakat terasing, masyarakat tradisional, perambah, dan sebagainya. Berbagai perlakuan yang tidak adil tersebut, menyebabkan masyarakat adat melakukan perlawanan, baik secara sendiri maupun bersama dengan ornop. Mereka menuntut agar semua haknya dan keberadaan mereka diakui sebagai warga negara dalam kehidupan bernegara. Berkat perjuangan yang panjang, bersamaan dengan perubahan politik di Indonesia, saat ini terminologi masyarakat adat sudah dicantumkan dalam UUD 1945 setalah amandemen87 Di mata sebagian kelompok, pengaturan masarakat adat dalam UUD dinilai 1998. Menurut Budiono Kusuomhamidjojo, semboyan bhinneka tunggal ika kemungkinan besar mendapatkan inspirasinya dari semboyan e pluribus unum yang menjiwai pendirian Amerika Serikat. Lihat: Budiono Kusumohamidjojo, Kebhinnekaan Masyarakat di Indonesia: Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, Grasindo, 2000. 85 Soetandyo Wignjosoebroto, Pembaharuan Hukum untuk Menggalang Kehidupan Masyarakat Indonesia Baru yang Berperikemanusiaan, Makalah seminar Nasional “Menggalang Masyarakat Baru yang Berkemanusiaan”, diselenggarakan oleh Ikatan Sosiologi Indonesia, Bogor, 28 – 29 Agustus 2002 86 Penyeragaman ini dapat dilihat dengan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa 87 UUD 1945, Hasil Amandemen Tahun 1999, 2000, 2001, sampai 2002. 68
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
lebih maju dibandingkan naskah aslinya. Pendapat ini didasarkan pada adanya pengakuan sejumlah eksistensi hak-hak asasi masyarakat hukum adat dalam kapasitasnya sebagai salah satu kelompok minoritas (minority group). Penilaian bahwa amandemen kedua sudah melakukan lompatan yang cukup maju dalam pengakuan masyarakat adat, memerlukan penglihatan ulang yang lebih jernih dan tajam. Apakah memang perubahan tersebut sunguh-sungguh lebih maju dari naskah asli, atau secara implisit sebenarnya melakukan langkah mundur. Berdasarkan teorinya JJ Rousseau tentang negara, maka sudah menjadi keharusan jika masyarakat adat sebagai warga negara bersama hak-haknya dijamin dalam konstitusi. Di Indonesia, ada banyak terminologi untuk mengartikan indigenous people. Namun yang biasa digunakan ada dua yaitu masyarakat adat dan masyarakat hukum adat. Terdapat pandangan yang berbeda antara masyarakat adat dan masyarakat hukum adat dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 2: Perbandingan Masyarakat Adat dan Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat adapt
Masyarakat hukum adat
1. memiliki asal-usul secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu
1. masyarakat yang teratur
2. memiliki sistem nilai sendiri
3. memiliki kekuasaan (pemerintahan) sendiri,
3. memiliki ideologi sendiri 4. memiliki sistem ekonomi sendiri 5. memiliki tatanan politik senidiri 6. memiliki keragaman budaya sendiri
2. mempunyai wilayah sendiri
4. memiliki kekayaan baik yang berwujud maupun tak berwujud, 5. anggotanya memilik loyalitas terhadap kehidupan bermasyarakat mereka.
7. memiliki struktur dan kehidupan sosial sendiri, 8. masih melaksanakan adat, budaya, hukum adatnya. Sumber: Makalah Roundtable Discussion di Wisma PKBI, Oktober 2002
Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
69
Berdasarkan tabel perbandingan ciri-ciri masyarakat adat dan dan ciri-ciri masyarakat hukum adat, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan bahkan dapat dikatakan sejalan. Namun di dalam diskusi mengenai masyarakat adat dalam amandemen konstitusi dikatakan bahwa masyarakat adat adalah pelaku hukum adat sedangkan masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang sudah diakui oleh negara. Masyarakat adat pada dasarnya terdiri dari individu-individu yang tidak berbeda dengan individu yang lain sehingga sudah sepantasnya pula keberadaannya diakui dalam suatu konstitusi untuk menjamin hak-hak yang dimiliki oleh mereka sebagai manusia yang merdeka dalam suatu negara. Dapatkah konstruksi hokum perlindungan terhadap masyarakat asli (indigenous people) atau masyarakat adat tersebut diterapkan pula pada masyarakat lokal? Paragraf-paragraf berikut ini mengusulkan bagaimana suatu kerangka hokum perlu untuk melindungi masyarakat lokal, yaitu mereka yang sudah turun-temurun atau sudah lama tinggal di suatu tempat. 1. Kriteria Masyarakat Lokal Landasan filosofis utnuk menentukan kriteria masyarakat lokal adalah Pasal 18 dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal 18 menyatakan bahwa: ”Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak asal–usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Sedangkan penjelasannya mengatakan bahwa: ”Pertama, daerah Indonesia akan dibagi ke dalam daerah provinsi, dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerahdaerah yang bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Kedua, dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 seperti: desa-desa di Jawa-Bali, nagari di Minangkabau, dan marga-marga di Palembang dan sebagainya/daerah-daerah dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak asal usul daerah tersebut”. Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) dinyatakan bahwa: ”Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya.” Berdasarkan kedua ketentuan yang terdapat dalam kedua Pasal UUD 1945 tersebut, maka dapat dikemukakan pandangan Mohammad Hatta tentang autonomi (otonomi). 70
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
”Memberikan autonomi kepada daerah tidak sadja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong berkembangnya auto-aktivitet. Autoaktivitet artinja bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnja auto-aktivitet, tertjapailah apa jang dimaksud dengan demokrasi, jaitu pemerintahan jang dilaksanakan oleh rakjat untuk rakjat. Rakjat tidak sadja menentukan nasibja sendiri, melainkan djuga dan terutama memperbaiki nasibnja sendiri.”88 Menurut pandangan Hatta tersebut, pelaksanaan otonomi termasuk juga sampai pada tingkat desa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam memberikan otonomi kepada desa hendaklah diketahui lebih dahulu, hingga mana dan apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat desa sebagai usaha sendiri dalam melaksanakan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya dalam lingkungan sendiri. Sejalan dengan landasan filosofis dalam UUD 1945 dan pemikiran Hatta tentang otonomi desa, maka hal yang sangat relevan adalah mengenai keberadaan masyarakat lokal yang tinggal disekitar kawasan hutan. Masyarakat lokal secara garis besar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. hidup bersama di wilayah tertentu b. kelompok itu dipandang sebagai sesuatu hal yang wajar c. mempunyai kepentingan bersama d. mempunyai pengurus sendiri e. mempunyai kewenangan mengatur tanah, air, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya f. memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun atau leluhur bersama. Dalam konteks masyarakat lokal yang terdapat di kawasan Tangkahan dapat disimpulkan beberapa kriteria sebagai berikut: a. Masyarakat lokal di kawasan Tangkahan merupakan masyarakat yang hidup bersama di sekitar kawasan Tanagkahan Taman Nasional Gunung Keuser yang secara administratif terletak di dua desa yaitu Desa Namo Sialang dan Sei Serdang, Kecamatan Batang Sarangan, Kabupaten Langkat. b. Masyarakat lokal di kedua desa tersebut mempunyai kepentingan bersama yaitu untuk melestarikan dan memanfaatkan kawasan Tangkahan, baik secara ekonomi, sosial dan budaya. c. Masyarakat lokal di kedua desa dalam mengurus kepentingan bersama tersebut mempunyai pengurus sendiri dalam bentuk, yaitu Lembaga 88 Mohammad Hatta, “Autonomi dan auto-aktivitet”, Harian Pedoman, 13 Mei 1957, hlm. 1-3. Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
71
kemasyarakatan yang berdasarkan keanggotaan yang telah disahkan oleh pemerintah desa di Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang. d. Masyarakat lokal di kawasan Tangkahan mempunyai kewenangan untuk melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan di kawasan Tangkahan. e. Masyarakat lokal di kawasan Tangkahan merupakan masyarakat yang berasal dari suku Karo, Batak, Melayu, dan Jawa, yang sudah menetap lebih dari 10 Tahun di kawasan tersebut. Kriteria mengenai masyarakat lokal tersebut merupakan hal yang membedakan antara ciri-ciri masyarakat adat maupun masyarakat asli menurut beberapa konvensi Internasional maupun Konstitusi Indonesia. 2. Alternatif Bentuk Struktur Masyarakat Lokal Alternatif struktur bentuk masyarakat lokal yang hidup di sekitar kawasan Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser secara administratif adalah berbentuk desa. Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan /atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUD 1945. Landasan pemikiran mengenai alternatif struktur masyarakat lokal berbentuk desa adalah didasarkan atas adanya keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat.89 Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah, desa atau dengan sebutan lainnya melalui pemerintahan desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan tertentu. Adapun struktur pemerintahan desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa. Pasal 202 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa: 1) Pemerintah desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa; 2) Perangkat Desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya; 3) Sekretaris desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
89 Penjelasan Umum UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 72
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Adapun yang menjadi kewenangan dan urusan pemerintahan desa mencakup:90 a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa c. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten kota. d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Dalam menjalankan pemerintahan di desa, maka juga terdapat Badan Permusyawaratan Desa yang merupakan lembaga perwakilan masyarakat desa. Badan Permusyawaratan Desa ini berfungsi untuk menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan Tangkahan yang secara administratif terdapat di dua desa yaitu Desa Sei Serdang dan Desa Namo Sialang, Kecamatan Batang Sarangan Kabupaten Langkat, maka telah diatur berdasarkan Peraturan Desa No. 301 Tahun 2003 tentang Kawasan Ekowisata Tangkahan. Peraturan Desa tersebut telah mendapat persetujuan dari Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa di kedua desa yaitu Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang. Pada konsideran menimbang Peraturan Desa tersebut menyebutkan bahwa”upaya yang perlu dilakukan oleh Lembaga Masyarakat Lokal di Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang dalam merencanakan dan mengelola kawasan Tangkahan dinilai dapat mengakomodasi peran aktif dan partisipasi masyarakat lokal secara berkelanjutan”. Organisasi pemerintahan desa di kawasan Tangkahan yang secara administratif terdapat di dua desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Dalam menjalankan pemerintahan desa, di kedua desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang, terdapat Badan Permusyawaratan Desa yang berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan spirasi masyarakat desa. Selain dibantu oleh Sekretaris Desa, Kepala Desa dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh pelaksana teknis dilapangan seperti Kepala Urusan dan unsur kewilayahan seperti Kepala Dusun.
90 Pasal 206 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
73
3. Dasar Hukum Masyarakat Lokal Penggunaan istilah tentang masyarakat lokal secara eksplisit memang tidak terdapat dalam ketentuan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun demikian secara imlisit dapat kita lihat berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tersebut. Pasal 3 menyebutkan bahwa: ”Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: a. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan dan sebaran yang lebih proporsional b. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi, yang seimbang dan lestari, c. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai d. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal, dan e. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan
74
Selanjutnya Pasal 68 menyebutkan bahwa: 1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan 2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat: a. Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku b. Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan c. Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan, dan d. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. 3) Masyarakat di dalam dan disekitar kawasan hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain ketentuan kedua pasal dalam undang-undang tersebut, beredaan masyarakat lokal dalam memanfaatkan hutan dapat dilihat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi. Pasal 28 menyebutkan bahwa: 1) Masyarakat setempat di dalam dan atau disekitar hutan diberikan prioritas untuk berperan seluas-luasnya di dalam kegiatan oleh badanbadan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2). 2) Masyarakat di dalam dan atau disekitar hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. Mengetahui rencana peruntukan dan pemanfaatan hutan b. Memberikan informasi, sarana pertimbangan dalam pengusahaan hutan 3) Pedoman pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur oleh Menteri. Disamping itu, ketentuan dalam tingkat peraturan pemerintah dapat dilihat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Pasal 51 menyebutkan bahwa: 1) Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam atau sekitar hutan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dan pemanfaatan hutan 2) Untuk meningkatkan kemampuan kelambagan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan difasilitasi oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah 3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) menyebutkan bahwa: ”Masyarakat setempat adalah masyarakat yang berada di dalam dan atau di sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial yang didasarkan pada persamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
75
dalam wadah kelembagaan. Memberdayakan masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam memanfaatkan hutan. Untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat yang dimaksud dapat dilaksanakan melalui hutan kemasyarakatan. 4. Norma Hukum Masyarakat Lokal Masyarakat lokal yang tinggal di kawasan Tangkahan mempunyai norma yang dipedomani sebagai aturan dalam menjaga kelestarian dan mengelola kawasan Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser. Normanorma tersebut terdapat dalam Peraturan Desa Nomor 301 tahun 2003 tentang Kawasan Tangkahan. Norma tersebut terdapat dalam Bab V, terutama diatur dalam Pasal 8 sampai Pasal 16. Masyarakat yang tinggal disekitar kawasan wajib dan bertanggung jawab dalam menjaga dan melestarikan sumber daya alam di Kawasan tangkahan, dan setiap orang dilarang91: a. Merusak keaslian bentangan alam Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan kawasan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan Tangkahan b. Membunuh, memburu dan menjual saatwa yang terdapat dihutan cadangan (hutan produksi masyarakat) diluar Kawasan Taman Nasional c. Merusak keaslian sungai dihabitatnya yang tedapat di Kawasan Tangkahan. d. Melakukan penebangan habis seluruh pohon/tumbuhan yang terdapat di Daerah Aliran Sungai (DAS) e. Mencari ikan di sungai dan anak-anak sungai yang terdapat disekitar kawasan dengan cara: menggunakan racun, menggunakan alat listrik, menggunakan alat peledak, menggunakan jaring tarik. f. Membuang limbah cuci dan sampah ke sungai dan anak sungai secara sengaja maupun tidak sengaja. Masyarakat tanpa kecuali mempunyai kewajiban untuk menjaga, melindungi dan melestarikan tempat-tempat yang telah ditetapkan sebagai Lubuk Larangan. Lubuk Larangan ini dapat dimanfaatkan untuk kegiatan memancing, dimana dalam penyelenggaraannya melalui mekanisme dan aturan Balai Taman Nasional Gunung Leuser untuk kawasan di dalam Taman Nasional dan Pemerintahan Desa untuk kawasan di luar Taman Nasional.
91 Pasal 8 Peraturan Desa Nomor 301 Tahun 2003 tentang Kawasan Tangkahan 76
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Untuk melestarikan ekosistem di luar Kawasan taman Nasional, masyarakat berkewajiban untuk menyelenggarakan hutan-hutan cadangan dengan tanaman produktif dan berdaya guna untuk ekowisata dan pertanian masyarakat. Seluruh masyarakat dan Balai Taman Nasional Gunung Leuser berkewajiban untuk menentang dan melarang upaya pertambangan yang dilakukan dikawasan Taman Nasional. Masyarakat juga mempunyai kaidah/norma dalam mengelola sampah secara bijaksana sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh masyarakat adalah dengan cara: a. Sampah dikelola oleh suatu badan yang dibentuk lembaga sebagai pengelola dan mengatur pengelolaan sampah b. Perlunya penyuliuhan dan pelatihan pengelolaan sampah bagi penduduk dan badan pengelola sampah kawasan c. Pada tiap rumah tangga pengelolaan sampah organik dengan teknik perkomposan dapat dikelola secara mandiri oleh penduduk atau dikelola oleh pengelola sampah kawasan d. Penyediaan tempat sampah yang terpisah untuk jenis sampah, misalnya tempat sampah organik dan non organik e. Kompos hasil pengelolaan sampah organik dimanfaatkan untuk pertanian f. Adanya tempat penampungan akhir bagi sampah non organik untuk dapat dimanfaatkan Dalam bidang pengelolaan air, masyarakat mempunyai kaidah dimana dalam pelaksanaannya untuk menjamin pengadaan air bersih dan sehat melalui: a. Pemanfaatan sumber air alam (mata air pegunungan) b. Pemanafaatan air sungai c. Pemanfaatan air tanah(sumur) d. Pemanfaataan air hujan. Berkaitan dengan masalah penertiban hewan peliharaan di pemukiman masyarakat dan sekitarnya yang merupakan Zona pengembangan di Kawasan Tangkahan, masyarakat mempunyai kaedah dengan ketentuan sebagai berikut: a. Untuk hewan ternak seperti: kerbau, lembu, dan kambing harus dipelihara dengan sehat, terawat dan terkontrol dengan baik agar tidak mengganggu pemukiman dan areal pertanian lainnya Bab 2: Kerangka Hukum Hak Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
77
b. Untuk hewan ternak khususnya babi diwajibkan untuk tidak berkeliaran dan harus dirawat dengan intensif pada tempat/lokasi yang disepakati sebagai lokasi pengembangan c. Untuk hewan penjaga khususnya anjing harus dirawat dengan baik dan sehat serta tidak berkeliaran dikawasan Ekowisata Tangkahan. Disamping norma tersebut di atas, berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya hutan, maka masyarakat lokal yang tinggal disekitar kawasan Tangkahan mendasarkan pada beberapa hal. Pertama, dalam bidang pertanian. Masyarakat hanya dapat mengambil hasil tanaman buah seperti durian, pisang, jeruk manis, rambutan, jeruk nipis, nenas dan kelengkeng. Disamping tanaman buah, masyarakat juga dapat mengambil tanaman obat. Kedua jenis tanaman tersebut dipergunakan untuk kepentingan sehari-hari. Kedua, dalam bidang perikanan sungai. Masyarakat hanya dapat mengambil ikan yang terdapat di aliran sungai hanya dengan memancing dan untuk keperluan rumah tanggal, bukan untuk dijual kepada umum. Ketiga, rimput gajah yang terdapat di kawasan hutan dapat diambil oleh masyarakat untuk dijadikan makanan ternak baik sapi maupun kambing, serta ternak babi. Keempat, masyarakat hanya diperkenankan mengambil hasil hutan bukan kayu berupa: mengambil rotan, mengambil madu, mengambil buah dan aneka hasil hutan lainnya.
78
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
BAB III PEMBAGIAN WEWENANG DALAM PENYUSUNAN KEBIJAKAN, PELAKSANAKAN KEBIJAKAN, DAN PENGAWASAN ATAS SUMBER DAYA HUTAN Pengelolaan sumberdaya hutan dan perlindungan hak masyarakat lokal menjadi tidak jelas sehubungan dengan otonomi daerah. Perbedaan persepsi antara masyarakat lokal, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat telah menimbulkan masalah dalam pengelolaan sumber daya hutan. Pengelolaan taman nasional saat ini masih dianggap sebagai tanggung jawab Pemerintah Pusat sehingga persepsi semacam ini sangat menyulitkan bagi pengelolaan taman nasional, padahal pengelolaan taman nasional sebenarnya merupakan tanggung jawab bersama baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun masyarakat. Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab yang lebih khusus di zona penyangga, yaitu zona yang berada di luar kawasan taman nasional. Pengelolaan taman nasional oleh Pemerintah Daerah dimungkinkan dengan berdasarkan pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut ketentuan tersebut, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya nasional yang berada di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan. Namun demikian, dalam kenyataannya pengelolaan sumber daya alam oleh Pemerintah Daerah menimbulkan permasalahan dilapangan karena adanya perbedaan penafsiran yaitu dengan alasan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), maka ada kalanya kewenangan pengelolaan sumber daya hutan oleh Pemerintah Daerah bertabrakan dengan kewenangan Pemerintah Pusat. Demikian pula pemberdayaan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan yang oleh Pemerintah Pusat sudah diberikan perlindungan, tidak ditindaklanjuti oleh adanya perlindungan oleh Pemerintah Daerah. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak mampu untuk lebih berperan dalam pengelolaan sumber daya hutan, yang justru sudah secara turuntemurun mempunyai tradisi untuk mengelola hutan secara arif dan bijaksana. Bab ini akan menguraikan kebijakan pembangunan berkelanjutan di bidang kehutanan, pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang kehutanan, serta peranan masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan taman nasional.
Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
79
A. Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Di Bidang Kehutanan Paragraf-paragraf ini akan menjelaskan tentang pentingnya pembangunan berkelanjutan bidang kehutanan, kemajuan kebijakan pembangunan berkelanjutan bidang kehutanan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, perubahan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya hutan. 1. Pentingnya Pembangunan Berkelanjutan Bidang Kehutanan Dalam dunia internasional, mengenai konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dikembangkan melalui laporan Komisi Dunia tentang Lingkungan Hidup dan pembangunan (The World Commission on Evironmental and Development) tahun 1987 yang lebih dikenal dengan ”Laporan Brundtland” dengan judul ”Our Common Future” (Masa Depan Kita Bersama). Pada laporan tersebut dikemukakan adanya keharusan setiap negara untuk menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development concept).1 Mengenai definisi pembangunan berkelanjutan menurut WCED diartikan dengan ”development that meets the needs of the present generation without compromisingthe ability of the future generations to meet their own needs” (pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikan generasi mendatang). Menurut Konrad Ginter dan Paul J.L.M. de Waart, pengertian dari WCED tersebut dipandang paling memadai sebagaimana disimak dari pernyataannya bahwa ”The concept of sustainable development was broadly discused, but no agreement was reached on a definition of sustainable development beyond and better suited than the one in the Brundtland Report”.2 Kesulitan memberikan pengertian pembangunan berkelanjutan juga ditunjukkan oleh beberapa ahli yang hanya dapat mengidentifikasikan cirri-ciri pembangunan berkelanjutan, seperti yang dikemukakan oleh Otto Soemarwoto, Emil Salim, Lamont C. Hempel, maupun Johan Galtung sebagai berikut: a. Otto Soemarwoto mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan harus berkelanjutan secara ekologi, social, dan ekonomi (Sustainable development must be ecologically, socially, and economically sustainable);3
1
2 3 80
Janine Ferretti, Common Future, (Toronto: Penerbit Pollution Probe, 1989), hlm. Vii. Dalam I Made Arya Utama, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Hidup Dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan (Suatu Studi Terhadap Pemerintahan di Wilayah Pemerintah daerah Provinsi Bali), (Bandung: Universitas Padjadjaran, 2005), hlm. 87. Konrad Ginther dan paul J.I.M. de Waart, Sustunaible Development as Matter of Good Governance, (London: Martinus Nijhoff Publisher, 1994), hlm. 10. Otto Soemarwoto, Pembangunan Berkelanjutan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1999), hlm. 6. Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
b. Emil Salim mengemukakan “pembangunan berkelanjutan mengharuskan kita mengelola sumber alam serasional mungkin. Ini berarti bahwa sumber-sumber daya alam bias diolah, asalkan secara rasional dan bijaksana. Untuk ini diperlukan pendekatan pembangunan dengan pengembangan lingkungan hidup, yaitu eco-development.4 c. Lamont C. Hempel mengemukakan konsep pembangunan berkelanjutan sebagai yang memadukan kepentingan perlindungan lingkungan hidup kedalam kepentingan pertumbuhan ekonomi (It represented a politically expedient compromise between the forces of economic growth and the those of environmental protection).5 d. Johan Galtung berpendapat pembangunan berkelanjutan sebagai proses memenuhi kebutuhan dasar manusia dengan mempertahankan keseimbangan ekologis (the process of meeting basic human needs while maintaining ecological balance).6 Perbedaan batasan pada pendapat di atas menunjukkan sudut kajiannya masing-masing dalam memahami konsep pembangunan berkelanjutan. Otto Soemarwoto, Emil Salim dan Lamont C. Hempel lebih menekankan kepada proses pembangunannya, sedangkan Johan Galtung menekankan pada tujuan keberlanjutannya. Bilaman perbedaan itu dipadukan dengan konsep WCED, maka konsep pembangunan berkelanjutan menurut penulis dapat diberikan batasan sebagai pembangunan yang mengelola sumber-sumber daya hutan secara rasional dan bijaksana untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikan kebutuhan generasi mendatang. Dengan batasan seperti tu maka baik proses maupun tujuan pembangunan tetap terukur, sehingga dihindarkan berlangsungnya pembangunan menghalalkan segala cara untuk dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan generasi mendatang, maupun berlangsungnya pembangunan yang rasional dan bijaksana hanya untuk generasi sekarang saja. Dalam hal ini, keberlanjutan sumber daya hutan untuk mendukung kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya menjadi salah satu unsur dasar dalam konsep pembangunan berkelanjutan. Sedangkan keberlanjutan sumber daya hutan hanya akan terwujud melalui pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Konsep pembangunan berkelanjutan di atas juga dirumuskan atau diartikan sebagai paradigma pembangunan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini sekaligus juga untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Dengan demikian, sumber daya yang ada saat ini 4 5 6
Emil Salim, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Bidang Sumber Daya Alam, (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, 1996), hlm. 184-185. Lamont C. Hempel, Environmental Governance, The Global Challenge, (Washington DC: Island Press, 1996), hlm. 39. Ibid., hlm. 40.
Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
81
dimanfaatkan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan generasi masa sekarang saja, tetapi jauh kedepan untuk generasi yang akan dating sesuai dengan prinsip keadilan antar dan inter generasi. Menurut hasil penelitian United Nations Development Programme (UNDP), adapun kebutuhan utama manusia meliputi 2 (dua) hal yakni kebebasan dari kemiskinan dan kebebasan dari ketakutan yang meliputi kemanan ekonomi, pengan, kesehatan, lingkungan, pribadi, bermasyarakat, serta keamanan politik.7 Selanjutnya menurut Tjuk Kuswatojo, bahwa dalam konsep pembangun an berkelanjutan yang humanis tersebut terdapat 5(lima) dimensi. Pertama, konsepsi pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan antara persoalan pembangunan dengan persoalan lingkungan hidup yang sebelumnya cenderung dipertentangkan. Kedua, pembangunan berkelanjutan berpijak dari pandangan bahwa konsepsi tentang pembangunan tidak cukup hanya diartikan sebagai ”pertumbuhan ekonomi” semata, melainkan mencakup pula pembangunan dalam arti luas dan mendalam, antara lain menyangkut pembangunan manusia seutuhnya. Ketiga, konsepsi pembangunan berkelanjutan menyadari terdapatnya keterbatasan teknologi dan lingkungan hidup untuk mendukung proses pembangunan. Keempat, konsepsi pembangunan berkelanjutan menekankan pentingnya aspek social politik, khususnya keadilan dan demokrasi yang merupakan aspek tak terpisahkan dari persoalan-persoalan lingkungan. Kelima, konsepsi pembangunan berkelanjutan menyadari terhadap adanya ketimpangan situasi yang mempengaruhi perbedaan sasaran serta prioritas pembangunan yang dikembangkan antara Negara-negara berkembang dan maju.8 Secara historis, kesadaran manusia atas lingkungan hidup sudah ada sejak jaman dahulu kala. Menurut teori hukum alam, manusia tidak lagi diarahkan sebagai majikan lingkungan hidup yang serakah namun diarahkan sebagai majikan yang arif bijaksana. Biaya dan ongkos-ongkos dari pemanfaatan lingkungan hidup mulai dimasukkan dalam proses produksi. Dengan kata lain, pendekatan “use oriented mulai dikembangkan kepada pendekatan “environment oriented” dalam artian bagaimana dapat mengelola lingkungan hidup tanpa harus merusak dan/atau mencemarkannya. Konsep pembangunan berwawasan lingkungan hidup juga meng amanatkan agar pengelolaan lingkungan hidup tidak lagi dilakukan dengan kualitas yang seadanya namun menuntut kualitas pengelolaan yang prima dan optimal dengan menggunakan segenap sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pengelolaan yang telah disepakati. Tujuan adanya 7 8
82
Shirley Conover, Analisa dan Implementasi Kebijakan Lingkungan dan pembangunan Berkelanjutan, Alih Bahasa oleh S.N. Kartikasari, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), hlm. 33. Tjuk Kuswatojo, Penerapan Agenda 21 Di Indonesia, (Bandung: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup ITB, 1996), hlm. 1. Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
pengelolaan juga tidak lagi bersifat “ad hoc” yang dilakukan tanpa suatu kesadaran penuh, melainkan bersifat “needs driven” yaitu kebutuhan yang tak terelakan untuk mewujudkan lingkungan hidup yang baik. Demikian pula pengelolaan lingkungan hidup tidak lagi hanya bersifat “reactive” yang menunggu sampai persoalan lingkungan semakin besar dan kompleks, melainkan diperlukan langkah “proactive” agar dampak ikutan suatu persoalan dapat dicegah sedini mungkin atau paling tidak diminimalisir. Mengenai cakupan pengelolaan dari yang sifatnya per proyek juga mulai dirubah ke pola pengelolaan yang bersifat terpadu. Upaya pengelolaan yang selama ini diarahkan pada penyusunan perundang-undangan dengan berbagai sanksinya perlu dikembangkan ke model panutan oleh aparat Pemerintah dalam arti memberi motivasi kepada semua pihak agar menunjukkan inovasi dan usaha terbaik yang dapat ditiru. Selanjutnya biaya lingkungan yang selama ini terabaikan mulai diintegralkan dalam suatu kegiatan pengelolaan lingkungan, karena akan lebih memenuhi kaidahkaidah ekonomi maupun sosial. Pengelola lingkungan juga diharapkan mulai menyadari tugas dan tanggung jawabnya bersifat berkelanjutan. Semua hal tersebut pada hakikatnya dimaksudkan untuk menciptakan pembangunan berwawasan lingkungan yang memberi perlindungan terhadap kelestarian lingkungan hidup beserta fungsinya. Dalam menciptakan pembangunan berkelanjutan maka pengelolaan sumber daya alam dalam segala usaha pendayagunaannya agar tetap memperlihatkan keseimbangan lingkungan dan kelestarian kemampuannya, sehingga dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat maupun kepentingan generasi yang akan dating. Hubungan antara prinsip pembangunan berwawasan lingkungan dengan pembangunan berkelanjutan tersebut oleh Emil Salim melalui pendekatan ekologis dikemukakan sebagai berikut: “Pembangunan berkelanjutan mengharuskan kita mengelola sumber alam serasional mungkin. Ini berarti bahwa sumber-sumber daya alam bisa diolah, asalkan secara rasional dan bijaksana. Untuk ini diperlukan pendekatan pembangunan dengan pengembangan Lingkungan Hidup, yaitu eco-development. Pendekatan ini tidak menolak diubah dan diolahnya sumber alam untuk pembangunan dan kesejahteraan manusia. Tetapi kesejahteraan manusia mengandung makna lebih luas, mencakup tidak hanya kesejahteraan materiel, pemenuhan kebutuhan generasi hari kini, tetapi juga mencakup kesejahteraan non fisik, mutu kualitas hidup dengan Lingkungan Hidup yang layak dihidupi (liveable environment) dan jaminan bahwa kesejahteraan terpelihara kesinambungannya bagi generasi depan”. M. Daud Silalahi mengibaratkan hubungan antara prinsip pembangunan berwawasan lingkungan dengan konsep berwawasan berkelanjutan di atas sebagai dua sisi dari mata uang yang sama, sehingga saling berkaitan. Oleh Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
83
karena itu tidak berlebihan bilamana Koesnadi Hardjasoemantri menyatakan prinsip pembangunan berwawasan lingkungan sebagai kata kunci dalam rangka pembangunan ini maupun di masa mendatang. Pembangunan berkelanjutan menurut Komisi Bruntland mengidentifikasikan tujuh tujuan penting untuk kebijakan pembangunan dan pingkungan. Ketujuh prinsip tersebut meliputi9: a. Memikirkan kembali makna pembangunan b. Merubah kualitas pertumbuhan yang lebih menekankan pada pembangunan dari pada sekedar pertumbuhan c. Memenuhi kebutuhan dasar akan lapangan kerja, makanan, energy, air dan sanitasi d. Menjamin terciptanya keberlanjutan pada satu tingkat pertumbuhan e. Mengkonversi dan meningkatkan sumberdaya f. Merubah arah teknologi dan mengelola resiko g. Memudahkan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengembalian keputusan. Dari tujuh tujuan tersebut, ada dua hal penting yang membutuhkan perhatian disini. Pertama, meskipun komisi menyadari bahwa pertumbuhan adalah penting untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, pembangunan berkelanjutan merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar pertumbuhan. Untuk itu, merubah hakekat pertumbuhan merupakan sesuatu keharusan, terutama untuk mengurangi sifat materialistisnya, membuatnya lebih hemat energy, dan menyeimbangkan manfaatnya. Kedua, komisi mencatat perlunya keterpaduan antara pertimbangan lingkungan dan ekonomi sebagai strategi utama pembangunan berkelanjutan. Supaya hal ini terwujud, komisi menyimpulkan bahwa perubahan dalam sikap dan tujuan, serta kerangka institusi dan hokum pada setiap tingkatan. Komisi juga mencatat bahwa perubahan kerangka hokum saja tidak cukup untuk melindungi kepentingan bersama. Jaminan perlindungan tersebut memerlukan pemahaman dan dukungan masyarakat, yang pada akhirnya menuntut perlunya partisipasi public dalam setiap pengambilan keputusan tentang lingkungan dan sumber daya alam. Pembangunan berkelanjutan di bidang kehutanan, mulai dibicarakan dan dikembangkan di Indonesia sejak Kongres Taman Nasional Dunia ke V di Durban Afrika Selatan yang diselenggarakan pada tanggal 8-17 September 2003 dan Indonesia turut menghadiri kongres tersebut. Hasil Kongres Taman Nasional Dunia ke-V di Durban dalam kaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia terdapat beberapa prioritas 9
84
Bruce Mitchel, B. Setiawan, Dwita Hadi Rahmi, Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Prtess, 2003), hlm. 35. Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
dan perhatian dalam pengelolaan sumber daya hutan secara lestari atau berkelanjutan. Prioritas tersebut meliputi10: Pertama, peranan kawasan konservasi dalam keanekaragaman hayati yang mencakup kegiatan: 1) Mengupayakan sistem kawasan konservasi yang dapat mewakili keseluruhan perwakilan ekosistem yang ada, sehingga potensi keanekaragaman hayati yang ada dapat dilestarikan secara keseluruhan, dan berupaya menanggulangi ancaman bahaya kepunahan keanekaragaman hayati akan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan lahan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati untuk menunjang kebutuhan hidupnya. 2) Meningkatkan pemahaman pola-pola distribusi species, habitat, ekosistem dan proses ekologi pada keseluruhan skala yang ada, untuk selanjutnya mengembangkan target-target perlindungan dan pelestarian berdasarkan pemahaman tersebut sebagai alat dukungan pada pengambilan keputusan. 3) Meningkatkan dukungan keberadaan data base konservasi alam merupakan alat yang penting bagi upaya pemerintah dan masyarakat untuk membangun jaringan kawasan konservasi secara menyeluruh dan lengkap bagi upaya penyelematan dan konservasi keanekaragaman hayati. 4) Meningkatkan dukungan pendanaan untuk pengelolaan kawasan konservasi secara cukup dan memadai, sehingga upaya konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan kawasan konservasi menjadi lebih efektif. 5) Mengembangkan rencana di tingkat lokal dan nasional untuk pelestarian keanekaragaman hayati, termasuk kontrribusi kawasan konservasi terhadap pelestarian keanekaragaman hayati, pengukuran dari pelaksanaan program konvensi keanekaragaman hayati, pemantauanatas pencapaian target yang disepakati, dan kemajuan yang dapat dicapai dari pelaksanaan konvensi keanekaragaman hayati, serta mendorong dan meningkatkan upaya keanekaragaman hayati. 6) Kepada para pengelola awasan konservasi perlu ditekankan untuk dapat menjabarkan dan melaksanakan program konvensi keanekaragaman hayati di dalam kegiatan pengelolaan, serta mempertukarkan pe ngalamannya dalam pelaksanaan konvensi keanekaragaman hayati.
10 Budi Riyanto, Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Pelestarian Perlindungan Kawasan Alam, (Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Lingkungan dan Kehutanan, 2005), hlm. 108. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
85
7) Menyiapkan secara khusus kebijakan nasional dan peraturan untuk perlindungan warisan dunia, meningkatkan upaya pendidikan dan penyadaran mengenai warisan alam dunia, serta kepada para pengelola kawasan konservasi yang ditetapkan sebagai warisan alam dunia agar dapat meningkatkan kemampuan keterampilan dan pengetahuan yang mengarah kepada pencapaian pengelolaan kawasan warisan dunia secara efektif, serta mengembangkan kerjasama partnership dengan masyarakat, dunia usaha dan berbagai pihak terkait untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Kedua, peranan kawasan konservasi dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang mencakup kegiatan: 1) Membangun rencana kerangka kerja dan program dalam skema untuk pengembangan kawasan konservasi di dalam mencegah dan menanggulangi kemiskinan, dengan merubah pola pemanfaatan yang lebih memperhatikan permintaan dan konsumsi berbasis keberlanjutan, serta mendayagunakan bagian-bagian kawasan konservasi untuk pengembangan ekonomi dan sosial, dengan pembiayaan pengelolaan kawasan konservasi yang efektif dan keberlangsungan linkungan hidup. 2) Mengembangkan instrumen ekonomi untuk pembangunan berkelanjutan dan mampu untuk memberikan keuntungan bagi perlindungan/ konservasi kawasan. 3) Mengembangkan metode total nilai kawasan konservasi pada kegiatan ekonomi, kesejahteraan sosial, serta pemanfaatan barang dan jasa lingkungan. 4) Membangun perencanaan kerangka kerja ekologis yang mewakili kawasan-kawasan konservasi dengan memperhatikan kontribusi kawasan konservasi terhadap upaya strategi penanggulangan kemiskinan. 5) Mengupayakan agar pemerintah bersama-sama dengan pengelola kawasan konservasi, pelaku bisnis dan sukarelawan dapat mengembangkan pendekatan lintas sektoral dalam pembangunan berkelanjutan, dimana kawasan konservasi merupakan komponen kunci dalam program pembangunan di tingkat nasional dan regional. 6) Mengupayakan agar pemerintah dapat mengadopsi pendekatan multi-sektoral melalui dukungan pengembangan kapasitas pengelola kawasan konservasi dan pengembangan kawasan konservasi di dalam penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang hasilnya terintegrasi dan dapat melengkapi kepentingan konservasi keanekaragam hayati. 7) Kepada para pengelola kawasan konservasi dimintakan untuk mengembangkan strategi dan tindakan agar kawasan konservasi 86
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
memiliki peranan dalam penanggulangan bahaya bencana alam seperti banjir, kekeringan, pelestarian kelangsungan sumber daya terbarui, pemberdayaan masyarakat melalui peran serta secara aktif, serta mengkaji keseluruhan kebijakan, termasuk hak kepemilikan lahan, pembiayaan, investasi swasta, dan struktur organisasi yang bertentangan atau dapat disesuaikan dengan kepentingan pembangunan berkelanjutan, hal ini termasuk pula kajian sistem peraturan dan prosedur untuk klasifikasi kawasan konservasi. Ketiga, perbaikan kualitas, efektivitas, dan pelaporan pengelolaan kawasan konservasi keanekaragaman hayati, yang mencakup kegiatan: 1) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengelola, peraturan yang memungkinkan kawasan konservasi dapat dikelola secara efektif dan efisien, serta pemantauan dan pelaporan untuk mendukung pengelolaan secara lebih baik. 2) Meningkatkan dukungan penelitian ilmiah dan kajian teknis, terhadap kecenderungan perubahan ekologis, lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya untuk dapat memberikan pengetahuan yang memadai di dalam proses pengambilan keputusan, serta kemungkinan nilainilai tradisional dan kearifan masyarakat dapat digunakan untuk membangun pengelolaan kawasan konservasi secara partisipasi, dan kemungkinan memahami secara jelas nilai-nilai spiritual dan budaya dalam pengelolaan kawasan konservasi yang lebih terspesialisasi dan luas. 3) Mengembangkan sistem pemantauan dan evaluasi efektivitas pengelolaan kawasan konservasi secara berkelanjutan, terkuantifikasi dan terbuktikan sebagaimana dikembangkan oleh WCPA, yang dapat dilakukan oleh pemerintah maupun berkolaborasi dengan berbagai pihak, sehingga hasilnya akan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan di dalam perencanaan dan pengelolaan, serta pencapaian kemajuan sesuai target penilaian yang disetujui. 4) Mendorong pengelola kawasan konservasi untuk dapat melaksanakan sistem pemantauan dan evaluasi yang dikembangkan dalam kerangka kerja WCPA secara konsisten, efektif dan berkelanjutan, serta melibatkan masyarakat dan lembaga setempat, yang hasilnya dapat dipergunakan untuk memperbaiki keseluruhan aspek pengelolaan kawasan konservasi. 5) Membangun landasan hukum dan peraturan yang relevan dan tepat untuk kemantapan pengelolaan kawasan konservasi, serta pelaksanaannya mengikat pemerintah dan memberikan kewenangan administrasi secara kolaborasi dengan para stakeholder. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
87
6) Mengembangkan kebijakan dan program sumber daya manusia untuk kepentingan pengelolaan kawasan konservasi. 7) Meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi secara efektif dengan melibatkan peranan masyarakat dan stakeholder setempat, dengan fokus perhatian pada peningkatan pembangunan kapasitas masyarakat untuk terlibat lebih efektif. 2. Kemajuan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Bidang Kehutanan Banyak upaya yang telah dilakukan dalam rangka mengembangkan pembangunan berkelanjutan di bidang kehutanan, dalam rangka mewujudkan masa depan yang lebih lestari. Dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan di bidang kehutanan, Pemerintah telah membuat beberapa kebijakan yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pertama, UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok Agraria. Dalam ketentuan tersebut belum tercantum secara tegas tentang pembangunan berkelanjutan di bidang kehutanan. Dalam undang-undang tersebut hanya memberikan pengaturan tentang bagaimana kekayaan alam yang terkandung di dalamnya berupa bumi, air dan sumber daya alam lainnya diperuntukkan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyatnya.11 Selanjutnya dalam penjelasan umum menjukkan bahwa dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya perlu dilakukan pengelolaan sumber daya alam secara lestari. Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa-untuk mencapai apa yang 11 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok Agraria, menyebutkan bahwa: (1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan halhal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hokum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.” 88
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa ”Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara”. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan ”dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti ”dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada ting katan yang tertinggi12: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya. b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu. c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukkum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hokum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (pasal 2 ayat 2 dan 3). Adapun, kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya sampai disitulah batas kekuasaan” Negara tersebut. Kedua, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kebijakan pembangunan berkelanjutan dalam undang-undang tersebut lebih maju jika dibandingkan dengan kebijakan yang terdapat dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok agraria. Dalam undang-undang tersebut meskipun belum mencantumkan konsep kebijakan pembangunan berkelanjutan di bidang kehutanan, namun secara tersirat dapat tampak dalam kebijakan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya harus dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan umat manusia, sehingga pemanfaatannya 12 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok Agraria. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
89
harus dilakukan secara secara lestari dan dapat meningkatkan mutu kehidupan untuk generasi sekarang dan generasi masa yang akan datang.13 Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di perairan maupun di udara yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang. Modal dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan manusia pada umumnya menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara manusia dengan masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap 13 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa: ”Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumberdaya hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang”. Selanjutnya penjelasan Pasal 2 menyebutkan bahwa: ”Pada dasarnya semua sumberdaya alam termasuk sumberdaya alam hayati harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan umat manusia sesuai dengan kemampuan fungsinya. Namun, pemanfaatan harus sedemikian rupa sesuai dengan Undang-undang ini sehingga dapat berlangsung secara lestari untuk masa kini dan masa depan. Pemanfaatan dan pelestarian seperti tersebut di atas harus dilaksanakan secara serasi dan seimbang sebagai perwujudan dari asas konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya”. Disamping dalam Pasal 2 tersebut, maka terkait dengan bagaimana pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan dapat ditunjukkan oleh beberapa ketentuan. Pasal 3 menyebutkan bahwa: ”Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan.” Selanjutnya penjelasan Pasal 3 tersebut menyebutkan bahwa: ”Sumberdaya alam hayati merupakan ekosistem yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Namun, keseimbangan ekosistem harus tetap terjamin.” 90
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
generasi. Tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ataupun tindakan yang melanggar ketentuan tentang perlindungan tumbuhan dan satwa yang dilindungi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana badan dan denda. Pidana yang berat tersebut dipandang perlu karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi. Oleh karena sifatnya yang luas dan menyangkut kepentingan masyarakat secara keseluruhan, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Peranserta rakyat akan diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Untuk itu, Pemerintah berkewajiban meningkatkan pendidikan dan penyuluhan bagi masyarakat dalam rangka sadar konservasi. Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi, yaitu14: a. menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan system penyangga kehidupan); b. menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipetipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah); c. mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan secara lestari). Upaya pemanfaatan secara lestari sebagai salah satu aspek konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistenmya, belum sepenuhnya dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Demikian pula pengelolaan kawasan pelestarian alam dalam bentuk taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, yang menyatukan fungsi perlindungan sistem 14 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
91
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari. Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui tiga kegiatan.15 Pertama, perlindungan sistem penyangga kehidupan. Kehidupan adalah merupakan suatu sistem yang terdiri dari proses yang berkait satu dengan lainnya saling mempengaruhi, yang apabila terputus akan mempengaruhi kehidupan. Agar manusia tidak dihadapkan pada perubahan yang tidak diduga yang akan mempengaruhi pemanfaatan sumberdaya alam hayati, maka proses ekologis yang mengandung kehidupan itu perlu dijaga dan dilindungi. Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau, dan jurang, pemeliharaan fungsi hidrologi hutan, perlindungan pantai, pengelolaan daerah aliran sungai, perlindungan terhadap gejala keunikan dan keindahan alam, dan lain-lain. Kedua, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsurunsur hayati dan non hayati. Semua unsur ini sangat berkait dan pengaruh mempengaruhi. Punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti dengan unsur yang lain. Usaha dan tindakan konservasi untuk menjamin keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagai kesejahteraan manusia. Ketiga, Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Usaha pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada hakekatnya merupakan usaha pengendalian/ pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus pada masa mendatang. Pemanfaatan sercara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui beberapa kegiatan. Pertama, pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. Kedua, pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.16 Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat meupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan 15 Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 16 Pasal 26 dan Pasal 27 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 92
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
dan stawa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati yang dibedakan dalam taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam.17 Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.18 Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.19 Sedangkan taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.20 Sesuai dengan batasan bahwa taman nasional dikelola dengan sistem zonasi, maka pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di taman nasional dilakukan berdasarkan penataan zonasi. Pemanfaatan tersebut tidak bersifat eksploitatif atau ekstraktif seperti misalnya berupa penebangan pohon, namun bersifat pemanfaatan jasa lingkungan sesuai peran dan fungsi Taman Nasional untuk dapat dikembangkan dan dimanfaatkan bagi tujuan penelitian, ilmu pengetahuan menunjang budidaya (memanfaatkan potensi tumbuhan atau satwa liar sebagai sumber bibit/ plasma nutfah untuk dikembangbiakkan/dibudidayakan di luar kawasan Taman Nasional), pariwisata alam dan rekreasi.21 Ketiga, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembangunan berkelanjutan bidang lingkungan hidup secara normatif dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 menetapkan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.22 Kebijakan pembangunan berkelanjutan dalam undang-undang ini belum secara tegas menyebutkan tentang pembangunan berkelanjutan bidang kehutanan. Namun demikian pengakuan dalam undang-undang ini juga menunjukkan adanya kemajuan, yaitu tampak dalam Pasal 9 ayat (3) 17 Pasal 29 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 18 Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 19 Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 20 Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 21 Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 22 Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
93
yang mengakui adanya pembangunan secara terpadu melaui penataan ruang baik berupa perlindungan sumber daya alam hayati maupun non hayati, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, serta keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam menata lingkungan pada umumnya, dan khususnya melalui sektor kehutanan yang merupakan salah satu aspek yang penting.23 Ada 3 (tiga) hal mendasar yang dapat disimpulkan dari rumusan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 Angka 2 dan Pasal 9 ayat (3). Pertama, terdapat 7(tujuh) kegiatan dalam pengelolaan lingkungan hidup, berupa: a. kegiatan penataan b. kegiatan pemanfaatan c. kegiatan pengembangan d. kegiatan pemeliharaan e. kegiatan pemulihan f. kegiatan pengawasan, dan g. kegiatan pengendalian Kedua, pengelolaan lingkungan hidup didasarkan pada prinsip pelestarian ”fungsi Lingkungan Hidup”. Ketiga, pengelolaan lingkungan hidup dilakukan melalui pendekatan terpadu dengan penataan ruang maupun perlindungan unsur-unsur lingkungan hidup. Persoalan pertama menunjukkan ruang lingkup pengelolaan lingkungan hidup yang sangat luas karena meliputi upaya-upaya untukmencegah dan mengendalikan terjadinya degradasi kualitas maupun kuantitas lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dilakukan tidak saja bersifat penanggulangan melalui tindakan ”preemtif dan preventif”.24 Dalam prakteknya, hal ini perlu dicermati oleh karena terdapat kecenderungan bahwa program-program yang diselenggarakan dalam pengelolaan lingkungan hidup saat ini lebih banyak menekankan kepada upaya bersifat penanggulangan (represif) dibandingkan berupa upaya yang bersifat pencegahan, sehingga perlindungan lingkungan hidup sering terlambat. Berkenaan dengan persoalan kedua, Pasal 1 Angka 5 menetapkan pengertian pelestarian fungsi lingkungan hidup sendiri adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung 23 Selanjutnya Pasal 9 ayat (3) menyebutkan bahwa: ”Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumberdaya alam non hayati, perlindungan sumberdaya buatan, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim”. 24 Penjelasan Pasal 10 huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 94
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
lingkungan hidup. Kelangsingan daya dukung lingkungan hidup menurut Pasal 1 Angka 7 diartikan dengan rangkaian upaya untuk melindungi keampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lain. Selanjutnya pengertian kelangsungan daya tampung lingkungan hidup dijumpai pada Pasal 1 Angka 9 yaitu rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya. Penegasan konsep pelestarian fungsi lingkungan hidup di atas juga dapat dijumpai atau dijabarkan pada beberapa ketentuan UU nomor 23 Tahun 1997, seperti pada Pasal 4 huruf d terkait dengan sasaran pengelolaan lingkungan hidup, pada Pasal 6 ayat (1) terkait dengan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, dan Pasal 14 ayat (1) terkait dengan tolok ukur yang diperlukan untuk mewujudkan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Menurut Pasal 4 huruf d UU No.23 Tahun 1997 disebutkan ”tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup di Indonesia (termasuk di daerah Bali). Pada Pasal 6 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 ditetapkan ”Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menaggulangi pencemaran dan perusajan lingkungan hidup”. Selanjutnya menurut Pasal 14 ayat (1) ditegaskan ”Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.” Konsep pelestarian lingkungan hidup di atas menunjukkan yang dilestarikan dan tidak dilakukan perubahan adalah fungsi atau kemampuan lingkungan hidup di dalam mendukung pembangunan berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan mahluk hidup lainnya. Oleh karena itu dampak negatif yang timbul terhadap lingkungan hidup sebagai akibat dari pembangunan harus segera diupayakan untuk dikurangi atau diminimalkan, sehingga keadaan lingkungan hidup menjadi tetap serasi dan seimbang kembali. Konsep ini mencerminkan antara kegiatan pembangunan dan lingkungan hidup merupakan dua hal yang seiring dan bukan dipertentangkan.25 Keempat, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Penbangunan berkelanjutan dalam bidang kehutanan dalam ketentuan undang-undang ini telah menunjukkan kemajuan yang berarti jika di 25 Pasal 3 menyebutkan bahwa: ”Tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
95
bandingkan dengan undang-undang sektoral lainnya. Pembangunan berkelanjutan di bidang kehutanan dapat dilihat dalam beberapa pasal yang terdapat dalam ketentuan undang-undang ini, yang antara lain menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.26 Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.27 Selanjutnya Pasal 3 menyebutkan bahwa: ”Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Hutan berdasarkan statusnya dapat dibedakan ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.28 Dalam pengelolaannya hutan mempunyai tiga fungsi. Pertama, fungsi konservasi, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 26 Pasal 2 menyebutkan bahwa: ”Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.” 27 Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 28 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 96
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Kedua, fungsi lindung, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Ketiga, fungsi produksi, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.29 Untuk kepentingan konservasi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dapat dikelompokkan dalam tiga jenis kawasan hutan konservasi. Pertama, kawasan hutan suaka alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kedua, hutan pelestarian alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pangawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Ketiga, taman buru, yaitu kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.30 Pengurusan secara lestari ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: ”Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat”. Selanjutnya pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan31: a. perencanaan kehutanan yang dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan. b. pengelolaan kehutanan yang meliputi kegiatan antara lain: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam.32 c. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan d. pengawasan, yang dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.
29 30 31 32
Pasal 6 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 21 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
97
Agar hutan dapat terjaga kelestariannya dan kemanfaatannya untuk mewujudkan kemakmuran yang sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka perlu perlindungan hutan dan konservasi alam. Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.33 Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk34: a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Kawasan taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi alam. Kawasan taman nasional ditata ke dalam beberapa zona sebagai berikut35: a. zona inti, yaitu bagian taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia; b. zona rimba, yaitu bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti; dan c. zona pemanfaatan, yaitu bagian kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Kelima, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pengaturan tentang pembangunan berkelanjutan dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, memang tidak mengatur secara khusus tentang masalah kelestarian bidang kehutanan. Namun demikian bidang sumber daya air tersebut sangatlah erat kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya hutan. 36
33 34 35 36
98
Pasal 46 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 47 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Penjelasan Pasal 24 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 21 ayat (1) menyebutkan bahwa: ”Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan kebetradaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia.” Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Perlindungan dan pelestarian sumber air tersebut dapat dilakukan melalui beberapa hal37: a. pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan tangkapan air; b. pengendalian pemanfaatan sumber air; c. pengisian air pada sumber air; d. pengaturan prasarana dan sarana sanitasi; e. perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air; f. pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu; g. pengaturan daerah sempadan sumber air; h. rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau i. pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam. Selanjutnya masih berkaitan dengan masalah konservasi dalam rangka keberlanjutan sumber daya air yang juga berkeitan dengan pengelolaan sumber daya hutan, secara tegas dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 25. Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan secara lengkap bahwa: (1) Konservasi sumber daya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan pantai. (2) Pengaturan konservasi sumber daya air yang berada di dalam kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai diatur berdasarkan perundang-undangan.” 3. Perubahan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Sejak era reformasi kebijakan dalam pengelolaan sumber daya hutan terjadi perubahan paradigma pembangunan kehutanan, yaitu sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kebijakan kehutanan. Konsep baru dalam pembangunan bidang kehutanan tersebut, lebih berpihak dan memberi peluang kepada rakyat untuk turut serta dalam pengelolaan hutan. Salah satu wujud kebijakan tersebut antara lain social forestry sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.O.I/Menhut-II/204 tanggal 12 Juli 2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Dalam Rangka Social Forestry. Pasal 2 Peraturan Menteri tersebut menjelaskan maksud pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan disekitar hutan adalah untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan hutan. 37 Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
99
Sedangkan tujuan pemberdayaan masyarakat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari. Prinsip dasar pemberdayaan masyarakat setempat menurut Peraturan Menteri Kehutanan tersebut meliputi: pertama, penciptaan suasana yang memungkinkan berkembangnya potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat. Kedua, memperkuat potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat. Ketiga, melindungi masyarakat melalui keberpihakan kepada masyarakat untuk mencegah dampak persaingan yang tidak sehat. Dalam penyelenggaraan social forestry tidak diperkenankan mengubah status dan fungsi kawasan hutan, tidak diperkenankan memberi hak kepemilikan atas kawasan hutan dan pengelolaan hutan tidak potensial tetapi dilaksanakan secara utuh. Sehingga dapat dimanfaatkan secara terus menerus dan lestari. Kebijakan social forestry juga mengakomodir Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan kemasyarakatan. Kebijakan hutan kemasyarakatan tersebut bertujuan adalah pertama, sebagai bentuk mengakomodasikan dua kepentingan yang berbeda dari aktor-aktor yang secara inisiatif menggunakan hutan sebagai sumber kehidupan. Kedua, sebagai taktik untuk mengintegrasikan partisipasi masyarakat lokal dalam sistem pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan. Social Forestry merupakan sistem pengelolaan hutan yang melibatkan tiga komponen sumber daya (lahan hutan, teknologi pengelolaan dan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan) dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya, melalui penerapan system teknis kehutanan dengan mendayagunakan kearifan local dan nilai-nilai budaya masyarakat yang mendukung upaya pelestarian sumber daya hutan beserta fungsi yang dimilikinya. Kebijakan social forestry dilakukan berdasarkan pada UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya pasal 68, pasal 69 dan pasal 70. Prinsip yang diatur dalam pasal-pasal tersebut adalah pertama, hakhak masyarakat untuk menghormati kualitas lingkungan; kedua, kegiatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam kawasan hutan misalnya : a) memanfaatkan hasil hutan; b) mengetahui rencana peruntukkan hutan; c) member informasi; d) melakukan pengawasan terhadap pelayangan pembangunan kehutanan.
100
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Terkait dengan social forestry, terdapat 6 (enam) rinsip-prinsip yang sangat penting.38 Pertama, social forestry adalah suatu sistem pengelolaan hutan yang mencakup aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya sebagai sebuah sistem pengelolaan hutan tidak lagi mementingkan aspek kayu semata (timber management), melainkan juga mempertimbangkan hasil hutan non kayu. Bahkan dibanyak lokasi, hasil hutan non kayu merupakan produk utama social forestry di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan ada kelompok Sosial Forestry yang mengembangkan vanili. Pada akhir musim tanam petani dapat memperoleh penghasilan sekitar 500 juta dari hasil vanilinya. Hal ini menunjukkan bahwa hasil hutan non kayu juga dapat menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi, bahkan melebihi kayu, tanpa merusak ekosistem hutan itu sendiri. Sebagai sebuah ekosistem, satuan wilayah kelolanya bisa jadi bukan merupakan batas administrasi tetapi satuan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS). Contohnya di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, yang menjadi sumber dari 5 DAS. Pendekatan DAS merupakan model yang saat ini sedang dipersiapkan untuk comunity forestry yang juga dijalankan oleh Departemen Kehutanan. Satu hal lain yang penting adalah bahwa social forestry tidak boleh dilaksanakan dengan pendekatan proyek. Biasanya pendekatan proyek dibatasi oleh waktu pelaksanaan yang sangat terbatas, yaitu satu tahun anggaran, yang belum tentu dapat dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya. Dana yang digunakan juga tidak bisa fleksibel, karena sudah ditentukan alokasi dan harus digunakan sesuai alokasinya. Ruang untuk mengubah alokasi anggaran sangat terbatas, padahal perubahan yang terjadi di lapangan dalam periode satu tahun anggaran bisa banyak sekali39. Kedua, social forestry ditujukan untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Implikasi dari penerapan prinsip ini sangat luas, karena menyangkut pada terjaminya akses dan manfaat jangka panjang sumber daya hutan untuk masyarakat adat dan lokal. Untuk itu social forestry mengharuskan adanya kepastian hak0hak masyarakat adar dan local atas sumber daya lahan dan hutan, karena masyarakat adalah pelaku utama pengelolaan hutan. Mereka adalah pihak yang paling dekat dan berinteraksi langsung dengan hutan. Mereka juga merupakan pihak yang akan memperoleh dampak langsung akibat pengelolaan hutan. Kepastian hak masyarakat adat dan lokal atas sumber daya hutan berimplikasi pada kepastian hukum ruang kelola social forestry. Ini berarti 38 Budi Riyanto, “Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Menuju Smart Regulation,” Harian Kedaulatan Rakyat Tanggal 28 Maret 2005. Dalam Budi Riyanto, Bangua Rampai Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam, (Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, 2004), hlm. 4-5. 39 Ibid., hlm. 6. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
101
memerlukan rasionalisasi dan realokasi sumber daya hutan yang dikelola masyarakat. Banyak kelompok masyarakat yang telah menunjukkan bahwa kearifan lokal yang dimiliki telah dikembangkan untuk mengelola sumber daya hutan secara lestari40. Oleh karena itu pemerintah juga harus menghormati, mengakui dan mendorong berkembangnya kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan. Dalam tataran praktek, pengelolaan sumber daya hutan juga harus optimal dan dapat membuka peluang-peluang ekonomi yang lebih baik dan adil bagi masyarakat adat dan lokal. Yang lebih penting adalah kegiatan ekonomi yang dikembangkan tidak menjebak masyarakat menjadi semakin bergantung pada sumber daya dari luar, tapi sebaliknya dapat mendorong masyarakat untuk mandiri dengan tetap memanfaatkan sumber daya harus secara berkelanjutan. Untuk menjamin berlangsungnya proses-proses produksi dalam pengelolaan hutan, maka social forestry juga diharapkan mampu menjadi alat untuk menghindarkan terjadinya konflik antar pihak, baik konflik horisontal maupun vertikal. Kalaupun ada konflik, maka social forestry dapat menyediakan mekanisme penyelesaian konflik yang adil41. Ketiga, social forestry harus ditujukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, khususnya sumber daya hutan. Pemanfaatan sumber daya hutan yang terjadi didalam social forestry harus dibarengi dengan upaya rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan. Sekarang ini, laju deforestasi jauh lebih besar daripada laju rehabilitasi sehingga menjadi tantangan besar bagi social forestry. Disamping itu, upaya perlindungan dan pengamanan hutan juga menjadi tantangan social forestry, untuk mengurangi laju degradasi hutan. Disisi lain, social forestry juga bisa diterapkan di kawasankawasan konservasi, seperti taman nasional, tentunya dengan menjamin keberlangsungan fungsi-fungsi konservasi42. Adapun bentuk kegiatan masyarakat dalam rangka social forestry di kawasan taman nasional antara lain pemanfaatan hasil hutan di zona pemanfaatan taman nasional, kegiatan yang menunjang pariwisata alam, pemandu wisatawan, pemanfaatan plasma nutfah untuk dikembangkan di luar taman nasional. Keempat, menghormati dan mengakui keragaman inisiatif social forestry dapat didefinisikan macam-macam. Tidak ada satu definisi pun yang dapat mengakomodir semua inisiatif social forestry yang berkembang sekarang. Peserta lokakarya sepakat untuk tidak memperdebatkan perbedaan definisi, melainkan berupaya untuk menghormati dan mengakui keragaman inisiatif yang ada. Sedangkan hal yang lebih penting adalah upaya untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskan berbagai insiatif yang ada, sehingg dapat menjadi bahan pembelajaran bagi para inisiator di tempat 40 Ibid., hlm. 7. 41 Ibid., hlm. 8-9. 42 Ibid., hlm. 10 102
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
lain. Sebagai bagian dari pengakuan keragaman inisiatif social forestry, maka sudah selayaknya apabila social forestry menjadi kurikulum dalam pendidikan kehutanan Indonesia.43 Kelima, mendorong proses kolaborasi multipihak. Social forestry harus mendorong proses-proses kolaborasi multipihak. Dalam proses kolaborasi harus ada kejelasan hak, peran, tanggung jawab, manfaat dan hubungan diantara para pihak. Dengan adanya kejelasan tersebut, maka diapkan proses belajar diantara para inisiator dan pihak lain yang terlibat dapat menjadi lebih lancar. Kelancaran ini juga menuntut prasyarat rasa saling percaya. Dengan adanya prinsip kolaborasi, maka social forestry juga menciptakan ruang-ruang partisipasi public bagi para pihak yang berkepentingan terhadap hutan. Contoh bisa dilihat di Kabupaten Kutai Barat, yang menyusun program kehutanan secara kolaborasi multipihak, dimana pengelolaan hutan dilakukan dengan berbagai peran diantara para pihak yang terlibat, sehingga tidak ada perebutan kekuasaan. Dalam pengelolaan hutan kolaborasi ini masing-masing pihak memiliki peran spesifik yang tidak dipunyai oleh pihak yang lain sehingga menghasilkan sebuah energi, sehingga tidak perlu tarik menarik kekuasaan antara pusat dengan daerah, antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Karena semua ini adalah dalam konteks kebersamaan.44 Keenam, social forestry harus didukung oleh kebijakan pemerintah baik pusat dan daerah. Dukungan kebijakan ini merupakan wujud dari komitmen pemerintah terhadap pengembangan social forestry. Namun, perlu dipikirkan cara terbaik untuk mengubah system pengelolaan hutan. Sekarang ini mungkin saat yang tepat untuk melakukan transisi dari sistem pengelolaan hutan yang mementingkan pengusaha hutan (HPH) pada social forestry, yang lebih mementingkan masyarakat adat atau lokal. Dukungan pemerintah juga diperlukan menjamin kepastian hukum. Landasan hukum bagi social forestry harus ada, karena kebijakan social forestry sangat rentan terhadap perubahan kepemimpin struktur di Departemen Kehutanan45. Kebijakan social forestry merupakan jawaban terhadap kegagalan pengelolaan sumber daya hutan, yang bersumber dari cara pandang pemerintah terhadap sumber daya hutan. Cara pandang atau paradigma pengelolaan sumber daya hutan yang digunakan oleh pemerintah adalah paradigma yang beumpu pada kepentingan pemerintah semata, dan meminggirkan kepentingan masyarakat. Hal ini terjadi karena posisi pemerintah terhadap rakyat yang masih dominan. Cara pandang demikian 43 Ibid., hlm. 11 44 Ibid. 45 Ibid., Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
103
telah membuat sumber daya hutan menjadi obyek eksploitasi. Sumber daya hutan dandang sebagai sumber devisa. Cara pandang demikian juga menyebabkan terjadinya dikotomi antara kepentingan ekonomi dan ekologi. Juga dikotomi antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan masyarakat lokal. Akibat penggunaan paradigma seperti itu, maka terjadilah penurunan kualitas kehidupan masyarakat. Masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan, menjadi miskin karena mereka tidak memperoleh akses dan jaminan memperoleh manfaat jangka panjang dari sumber daya hutan yang ada di sekeliling mereka. Jangankan pendapatan yang menkat, lapangan kerja bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan juga semakin kecil. Di sisi lain, pengusaha hutan adalah pihak yang paling diuntungkan, dan biasanya pengusaha banyak mendatangkan pekerja dari luar desa46. Akibatnya sering muncul konflik, baik diantara masyarakat setempat dengan pengusaha, maupun antara masyarakat setempat dengan pendatang. Akibat lain dari paradigma pengelolaan hutan yang bertumpu pada kepentingan pemerintah adalah penurunan kualitas lingkungan hidup, khususnya sumber daya hutan47. Konflik yang terjadi menyebabkan sumber daya hutan menjadi sumber daya yang bisa diakses oleh siapa saja, tanpa perlu bertanggung jawab untuk merabilitasinya. Apalagi permintaan kayu tetap meningkat. Perambahan dan pembalakan illegal semakin marak. Kerusakan hutan bertambah parah. Apabila ditelusuri lebih jauh, masalah yang ditimbulkan dari penggunaan paradigma pengelolaan hutan yang bertumpu pada kepentingan pemerintah tersebut, berimplikasi pada munculnya (a) masalah kebijakan nasional, (b) masalah desentralisasi dan kepastian ruang kelola social forestry, (c) masalah institusi lokal dan terhambatnya proses pembelajaran bersama, serta (d) masalah koordinasi dan keselarasan kerja antar inisiator. Keempat masalah tersebut merupakan faktor-faktor yang dapat menhambat pengembangan social forestry di masa depan48. Strategi pengembangan social forestry di Indonesia, mempunyai beberapa tujuan. Pertama, strategi untuk mengembangkan suatu kebijakan nasional bertujuan untuk mendorong adanya kebijakan nasional yang mendukung upaya-upaya masyarakat dalam mengelola hutan, serta mendukung program social forestry secara umum. Strategi ini tidak hanya diperuntukkan bagi Departemen Kehutanan semata, melainkan juga kepada Departemen Dalam Negeri yang mempunyai kewenangan dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi. Selain itu, aparat keamanan TNI dan Polisi juga harus terlibat. Untuk itu perlu didorong mekanisme konsultasi 46 Hasil penelusuran pembangunan kehutanan, 1999; Dokumen AMDAL HPH dan HPHTI 47 Intisasi Lokakarya Social Forestry, op.cit., 48 Ibid., hlm. 21-22. 104
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
publik dalam proses penyusunan, implementasi dan pertanggung jawaban kebijakan. Beberapa cara yang bisa digunakan untuk mengembangkan mekanisme konsultasi publik sesungguhnya bisa diadopsi dari siklus pembelajaran yang terdiri dari atas tahapan49 (a) pengumpulan informasi50, (b) negosiasi51, (c) membangun kesepakatan52, (d) mengelola kesepakatan53. Kedua, Strategi yang dikembangkan untuk mendorong desentralisasi dan mendorong kapasitas ruang kelola social forestry. Dalam desentralisasi dipelrukan penguatan kapasitas PEMDA, baik eksekutif maupun legislatif khususnya untuk memberi respon terhadap beragam kepentingan para piha yang berupa kemampuan untuk memfasilitasi forum-forum dialog yang dapat membangun pemahaman bersama; serta keterampilan untuk membangun perangkat pendukung manajemen kelembagaan multi pihak, termasuk aturan dan mekanisme kerjasamanya54. Pemerintah daerah diharapkan dapat mengambil inisiatif untuk mengembangkan kebijakan daerah tentang social forestry. Untuk itu perlu ada upaya kaji ulang atas peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan pengembangan social forestry. Pemerintah daerah diharapkan juga dapat mengeluarkan kebijakan untuk menetapkan wilayah kelola masyarakat, antara lain dengan melakukan kaji ulang atas kebijakan tata ruang yang ada. Kebijakan social forestry yang dikeluarkan juga harus memperhitungkan 49 Ibid., hlm. 27. 50 Informasi dikpulkan untuk menjadi bahan negosiasi dalam proses penyusunan kesepakatan atas kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah. Untuk itu diperlukan informasi dan data yang akurat. Informasi dan data yang diperlukan misalnya berupa insiatif-inisiatif social forestry yang telah dilakukan oleh masyrakat secara nyata di lapangan, baik dilakukan sendiri maupun bekerjasama dengan pihak lain. Hal ini untuk menunjukkan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan 51 Negosiasi adalah bagian tak terpisahkan dari mekanisme konsultasi publik. Tanpa negosiasi, berarti upaya konsultasi hanyalah upaya searah yang sifatnya searah yang sifatnya memberi informasi tanpa memberi kesempatan untuk memberi umpan balik dan mengkritisi rancangan kebijakan. 52 Dalam membangun kesepakatan perlu proses pengumpulan informasi dan negosiasi menjadi bahan penyusunan kebijakan. Dalam proses penyusunan kebijakan, yang perlu dilakukan adalah : 1) membuat tata tertib penyusunan kebijakan publik yang bersifat multi pihak yang memperjelas hak, kewajiban dan tanggung jawab para pihak yang berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan publik. 2) Bertemu dalam satu meja membahas kebijakan, untuk menghasilkan perumusan kebijakan yang transparan dan partisipatif. 53 Dalam mengelola kesepakatan hal yang perlu diperhatikan adalah menjaga bagaimana implementasi kebijakan di lapangan dapat bekerja. Untuk itu diperlukan koordinasi antara pihak-pihak terkait, yaitu antar departemen (pusat dengan propinsi, propinsi dengan kabupaten). Apabila diperlukan, maka kebkan yang diterapkan juga harus terbuka terhadap dinamika yang terjadi dilapangan. 54 Intisari Lokakarya Nasional Social Forestry, Departemen Jehutanan, 2003, hlm. 28. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
105
upaya untuk mengoptimalkan pendapatan daerah, yang pada akhirnya juga bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.55 Data dan informasi menjadi bagian penting dalam strategi desentralisasi dan kejelasan wilayah kelola masyarakat. Oleh karenanya diperlukan upaya pengembangan sistem informasi untuk meningkatkan ketersediaan informasi dan data serta mempermudah akses informasi bagi masyarakat yang membutuhkan.56 Forum dialog, baik didaerah sendiri maupun antara daerah dengan pemerintah pusat tetap dilakukan, khususnya untuk memperjelas dan menetapkan ruang kelola masyarakat. Forum juga diharapkan dapat memperjelas hak, tanggung jawab dan wewenang informasi dari masingmasing pihak yang terlibat dalam pengembangan social forestry.57 Ketiga, strategi untuk mengembangkan keselarasan kerja antar inisiator terdapat enam strategi sebagaimana dimaksudkan dalam lokakarya nasional sosial forestry tanggal 12 September 2002 di Cisarua58, yaitu: a. Strategi peneguhan komitmen dan konsistensi; b. Strategi komunikasi dan koordinasi; c. Strategi apresiasi terhadap berbagai kepentingan; d. Strategi untuk membangun persepsi dan visi bersama; e. Strategi penegakan hukum; f) Strategi untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat. Strategi ini penting dikembangkan karena sekarang dirasakan rendahnya komitmen dari semua pihak dalam implementasi social forestry yang disebabkan oleh kurang adanya saling percaya antar pihak dan pelaksanaan otonomi daerah yang setengah hati. Untuk itu perlu diteguhkan kembali komitmen dan konsistensi dengan cara: a) Melaksanakan pembagian peran antar semua pihak yang adil dan jelas dalam pelaksaan social forestry. b) Merevisi kebijakan-kebijakan social forestry yang tidak sesuai semangat otonomi daerah. c) Transparansi dalam kegiatan sosial (planning, action dan monitoring dan evaluation) untuk mencapai proses pembelajaran bersama untuk pembelajaran bersama untuk membangun mutual trust diantara pihak yang terlibat.
55 56 57 58 106
Ibid., hlm. 29. Ibid. Ibid. Ibid., hal. 30. Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Selain strategi tersebut di atas, peran masing-masing stakeholder dalam pengembangan social forestry menjadi sangat penting. Berbagai peran yang bisa dijalankan oleh setiap staheholders telah diidentifikasi dalam Lokakarya Nasional Social Forestry. Secara garis besar, ada enam peranan yang dapat dijalankan, yaitu (a) advokasi lingkungan, (b) peran fasilitas, (c) pengkajian atau penelitian, (d) penyebar luasan informasi, (e) peningkatan kapasitas sumber daya manusia, (f) menggalang dukungan publik.59 Sedangkan stakeholder yang telah diidentifikasi juga beragam. Namun paling tidak semua stakeholder dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu (a) masyarakat, yang terdiri atas masyarakat lokal, masyarakat adat, serikat petani, (b) aparat pemerintah baik yang di pusat, daerah maupun lapangan, (c) Parlemen, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), d) kelompok pendukung seperti ORNOP, berbagai forum komunikasi, perguruan tinggi, lembaga penelitian, perusahaan dan donor. Peran yang dijalankan oleh setiap stakeholder secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Peran masyarakat adalah mengevaluasi kinerja pemerintah, penguatan kelembagaan masyarakat, pengalaman dan memberikan informasi. 2) Peran pemerintah adalah membuat kebijakan dan peraturan, menampung pendapat dari masyarakat, membuka ruang partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan, memfasilitasi forumforum komunikasi dan dialog, memfasilitasi pengusaha agar berperan lebih aktif dan melakukan sosialisasi tentang keberadaan peraturan perundang-undangan. 3) Peran DPR dan DPRD adalah mengkritisi kebijakan yang dibuat oleh eksekutif serta menilai kinerja eksekutif. Mereka diharapkan juga memahami peta stakeholder, serta membangun mekanisme konsultasi publik antara lain dengan cara menampung aspirasi stakeholder. 4) Peran kelompok pendukung adalah mengkritisi kebijakan pemerintah, membantu penyusunan draft akademik peraturan, memfasilitasi forum dialog, menjadi mediator penyelesaian konflik, pengkajian dan penelitian, penyebarluasan informasi, memfasilitasi peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan penggalangan dukungan publik. Saat ini pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2004 tanggal 12 Juli 2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Di Dalam atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry. Pasal 2 Peraturan Menteri tersebut menjelaskan maksud pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar hutan adalah 59 Ibid., Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
107
untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan hutan dalam rangka social forestry. Sedangkan tujuan pemberdayaan masyarakat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari. Prinsip dasar pemberdayaan masyarakat menurut Peraturan Menteri Kehutanan tersebut meliputi60: 1) Penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat. 2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. 3) Melindungi masyarakat melalui keberpihakan kepada masyarakat untuk mencegah dampak persaiangn yang tidak sehat. Dalam penyelenggaraan socia forestry tidak diperkenankan mengubah status dan fungsi kawasan hutan, tidak diperkenankan memberikan hak kepemilikan atas kawasan hutan dan pengelolaan hutan tidak parsial tetapi dilaksanakan secara utuh. 61 Namun demikian Peraturan Menteri Kehutanan tersebut belum dapat dioperasional sesuai dengan ketentuan pasal 12 Peraturan Menteri tersebut diatur bahwa tata cara penyelenggaraan social forestry diatur dalam Peraturan Menteri sendiri.62 Menteri kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolaboratif pada tanggal 19 Oktober 2004. Adapun yang menjadi latar belakang lahirnya Peraturan Menteri Kehutanan tersebut antara lain adalah pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam sebagai bagian integral dari pembangunan wilayah masih mengahdapi berbagai tantangan yang sangat berat serta masalah yang kompleks dan saling terkait. Salah satunya adalah keterbatasan kemampuan Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah dalam menjaga keutuhan ekosistem Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia menjadi sumber daya alam yang terbuka (open acces). Kondisi tersebut dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk keuntungan ekonomi yang dapat merugikan dan merusak kelestarian Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Adapun maksud dan tujuan diterbitkan Peraturan Meneteri Kehutanan tentang Pengelolaan Kolaboratif sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 Peraturan Menteri tersebut adalah : pedoman kolaborasi pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan kawasan Pelestarian Alam dimaksudkan sebagai acuan umum dan landasan para pihak yang berkepentingan dalam 60 Peraturan Menteri Kehutanan No.P01/Menhut-II/2004 pasal 5 61 Ibid., pasal 8 62 Ibid., pasal 12 108
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
pelaksanaan kolaborasi untuk membantu meningkatkan efektifitas dan kemanfaatan pengelolaan Kawasan Suaa Alam dan kawasan pelestarian alam adalah terwujudnya persamaan visi, misi dan langkah-langkah strategis dan mendukung memperkuat dan meningkatkan pengelolaan Kawasan Suaka Alam sesuai dengan kondisi fisik, sosial, budaya dan aspirasi setempat. Sedangkan sasaran-sasaran strategis pengelolaan kolaboratif Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam adalah pertama; terjaganya keutuhan sumberdaya alam lanjutan dan ekosistem Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, kedua; terwujudnya peningkatan manfaat ekonomi jangka panjang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, ketiga; terwujudnya rencana dan kesepakatan multi pihak dalam pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, keempat; terwujudnya lembaga pengelolaan kolaboratif untuk mendukung Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, kelima; terselesainya konflik pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, keenam; terwujudnya transparasi, akuntabilitas, peran serta para pihak, efisien efektifitas dan keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kolaborasi pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam merupakan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektifitas pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Tahapan dalam pengelolaan kolaboratif dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: 1) Persiapan para pihak dimaksudkan untuk melakukan penilaian kebutuhan dan kelayakan melalui kegiatan: a. Inventarisasi dan identifikasi kondisi sosial ekonomi masyarakat, potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan. b. Identifikasi dan analisis kelompok yang kepentingan (stakeholder) yang relevan. c. Penilaian ketersediaan sumberdaya finansial dan sumberdaya manusia untuk implementasi pengelolaan kolaboratif. d. Menetapkan tim inisiator (star-up team). e. Fasilitasi kegiatan oleh kelompok yang berkepentingan. f. Kajian ulang interaksi dan ketergantungan para pihak dan masyarakat terhadap Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. g. Melancarkan dan memelihara inisiatif komunikasi sosial dengan para pihak h. Menyelenggarakan penilaian sosio-biofisik secara partisipatif. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
109
i. Membantu para pihak kepentingan untuk mengorganisasikan dirinya, mengidentifikasi perwakilan kelompok dan mengembangkan konsensus internal. 2) Pengembangan dan pelaksanaan rencana dan kesepakatan bersama para pihak, melalui kegiatan: a. Menetapkan fasilitator independen yang disepakati para pihak. b. Menyelenggarakan pertemuan awal untuk menetapkan dan mensahkan aturan main dan prosedur negosiasi para pihak. c. Menyepakati kelembagaan pelaksanaan pengelolaan kolaboratif. d. Menyelenggarakan konsultasi dan pertemuan perencanaan antara pihak berkepentingan untuk menselaraskan kegiatan dengan visi yang telah disepakati bersama. e. Menyepakati misi dan strategi untuk mencapai visi bersama. f. Mengkaji ulang (review) kondisi sosial, ekonomi, ekologi dan kecenderungan perubahan-perubahan yang akan terjadi. g. Menegosiasikan dan menyepakati rencana pelaksanaan pengelolaan kolaboratif dan kesepakatan-kesepakatan dari setiap komponen strategi yang dipilih. 3) Pelaksanaan rencana dan kesepakatan bersama para pihak, melalui kegiatan: a. Menyusun dan mengimplementasikan rencana kerja bersama pelaksanaan pengelolaan kolaboratif. b. Mengumpulkan data dan informasi yang terkandung dalam kesepakatan tindak lanjut. c. Mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang berdampak pada sumberdaya alam kelompok kepentingan serta menciptakan dan mencoba peluang-peluang uang inovatif. d. Evaluasi pelaksanaan pengelolaan kolaboratif, kesepakatankesepakatan dan organisasi multi pihak bersama kelompok kepentingan sebagai bahan untuk merubah dan menyusun kembali rencana dan kesepakatan-kesepakatan baru pelaksanaan pengelolaan kolaboratif.
110
4)
Pengembangan pelaksanaan pengelolaan kolaboratif a. Pengorganisasian dan kelembagaan. b. Pemangku kepentingan dalam konteks pengelolaan kolaboratif. c. Kelembagaan pelaksanaan pengelolaan kolaboratif KSA dan KPA. d. Inisiator dan fasilitator. e. Pendanaan. Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
B. Pembagian Wewenang Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Di Bidang Kehutanan Pengelolaan taman nasional saat ini masih dianggap sebagai tanggung jawab Pemerintah (Pusat) sehingga persepsi semacam ini sangat menyulitkan bagi pengelolaan taman nasional. Padahal pengelolaan taman nasional sebenarnya merupakan tanggungjawab bersama baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun masyarakat. Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab yang lebih khusus di zona penyangga. Paragraf-paragraf berikut ini akan menguraikan kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan sumber daya hutan, kewenangan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber daya hutan, tumpang tindih dan konflik kewenangan dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional. 1. Kewenangan Pemerintah Pusat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah menggariskan paradigma baru dalam prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah dari prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menjadi prinsip otonomi seluasluasnya, nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi yang seluas-luasnya telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan, kecuali yang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Menurut Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 maupun sebelumnya pada Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999, adapun kewenangan inti dari Pemerintah Pusat meliputi 6 (enam) wewenang pemerintahan, yakni di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan (yustisi), moneter dan fiskal nasional, serta bidang agama. Selain itu, menurut ketentuan Pasal 10 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana juga pernah diatur pada Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999, Pemerintah Pusat berwenang menyelenggarakan kewenangan lain yang berskala nasional dan sifatnya strategis yang diatur melalui peraturan perundang-undangan di luar undang-undang Pemerintahan Daerah. Pembagian kewenangan seperti di atas menunjukkan prinsip residual atau pola reduksionis menjadi dasar perimbangan kewenangan pemerintahan secara vertikal antara Pemerintahan Pusat dengan Pemerintah Daerah. Konsekuensinya, urusan pemerintahan daerah menjadi sulit dikenali, segala aspek kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan dan kepentingan umum menjadi wewenang Pemerintahan Daerah. Bagir Manan memandang perkembangan ini sebagai ciri negara modern yang mementingkan kesejahteraan masyarakat.63 63 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 2001), hlm. 37. Dalam I Made Arya Utama, Sistem Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
111
Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi selanjutnya diatur di dalam undang-undang yang secara khusus mengatur tentang kawasan konservasi, yakni Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kebijakan Pemerintah sejauh ini meletakkan kewenangan pengelolaan konservasi termasuk Taman Nasional di Tangan Pemerintah Pusat. Dengan kata lain, pengelolaan kawasan konservasi dilakukan secara sentralistik. Pengelolaan taman nasional secara sentralistik kembali ditegaskan di dalam UU No.32 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga menyebutkan bahwa konservasi merupakan kewenangan pusat.64 Sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya diundangkan, pengelolaan kawasan konservasi, termasuk pengelolaan Taman Nasional mengacu pada sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, UU No.4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup65, PP No.28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, dan Keputusan Presiden No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Dalam bidang kehutanan, secara khusus Pasal 66 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, mengamanatkan sebagian penyerahan kewenangan kepada Pemerintah Daerah. Penyerahan kewenangan pengelolaan sebagian kewenangan dalam bidang kehutanan tersebut dapat dilihat berdasarkan PP Nomor 38 Tahun 2007 yang merupakan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pengganti PP Nomor 25 Tahun 2000 yang merupakan amanat UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping itu secara khusus dalam bidang kehutanan dapat dilihat berdasarkan PP Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kaweasan Hutan, yang kemudian diganti dengan PP Nomor 6 Tahun 2007, yang dianggap sudah tidak kontekstual lagi menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan sumber daya hutan, dapat dilihat berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2007 yang merupakan pengaturan pendelegasian dari UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut bagian menimbang PP No. 6 Tahun 2007, materi muatan yang merupakan cakupan muatan dalam pengelolaan sumber daya hutan adalah, pertama, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan Perizinan Berwawasan Lingkungan Hidup Dalam Mewujudkan Pembangunan Daerah Yang Berkelanjutan, Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaranan, 2005, hlm. 2. 64 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 65 Kedua UU tersebut dicabut dan digantikan dengan UU No.41 Tahun 1999 dan UU No.23 Tahun 1997. 112
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
hutan; kedua, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; ketiga, penyerahan kewenangan; keempat, ganti rugi dan sanksi administratif. Keempat materi muatan tersebut dapat dibuat menjadi dua golongan, yaitu materi muatan yang masuk dalam cakupan pengelolaan hutan dan materi muatan non pengelolaan hutan. Menurut UU Kehutanan, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, merupakan dua dari empat cakupan pengelolaan hutan selain dua yang lain, yaitu: 1) rehabilitasi dan reklamasi; serta 2) perlindungan hutan dan konservasi. Dengan demikian materi mengenai penyerahan kewenangan dan ganti rugi dan sanksi administrasi berada di luar cakupan pengelolaan hutan. Perihal kedudukan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan sebagai bagian dari pengelolaan hutan ditegaskan sendiri oleh PP Nomor 6 Tahun 2007. Pasal 2 menuebutkan bahwa: ”Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan merupakan bagian dari pengelolaan hutan”. Dalam pengelolaan hutan, PP Nomor 6 Tahun 2007 memberikan kewenangan tentang adanya kesatuan pengelolaan hutan yang tidak diatur secara detail dalam PP Nomor 34 Tahun 2002, yang mengakibatkan pelaksanaan pembentukan wilayah pengelolaan hutan tidak dapat berjalan secara baik sebagaimana diamanatkan dalam UU Kehutanan. Akibatnya kawasan hutan menjadi tidak terkelola dengan baik (open access). Karena yang dianggap sebagai penyebab adalah tidak berjalannya pelaksanaan pembentukan wilayah pengelolaan hutan, maka solusi yang ditawarkan adalah melakukan perubahan peraturan pemerintah tersebut. Dalam PP Nomor 6 Tahun 2007 telah mengintrodusir tentang konsep kesatuan pengelolaan hutan (KPH) sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan hutan secara lestari. Kesatuan Pengelolaan Hutan yang dibangun merupakan kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta penyelenggaraan pengelolaan hutan.66 Untuk mewujudkan pengelolaan secara lestari maka seluruh kawasan hutan terbagi dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang berbentuk: Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi, Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung, maupun Kesatuan Pengelolaan Hutan produksi. Menurut ketentuan PP Nomor 6 tahun 2007, beberapa kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan hutan meliputi beberapa hal. Pertama, Pemerintah menetapkan wilayah kesatuan pengelolaan hutan sesuai dengan klasifikasinya yang dapat dibedakan ke dalam Kesatuan 66 Penjelasan Umum PP Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
113
Pengelolaan Hutan Konservasi, Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung, dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi.67 Kedua, Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan di tingkat pusat dengan berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi, terutama terhadap kawasan yang melingkupi beberapa daerah administrasi dalam provinsi yang berbeda.68 Ketiga, pemerintah berwenang untuk menetapkan tugas dan fungsi organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan, yang antara lain meliputi69: a. Menyelenggarakan pengelolaan hutan; b. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota; c. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya; dan d. Membuka peluang investasi. Selain menangani masalah pengelolaan kehutanan, maka Pemerintah Pusat juga mempunyai kewenangan yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan. Sebelum menjelaskan tentang kewenangan Pemerintah Pusat berkaitan dengan pemanfaatan hutan yang terdapat dalam PP Nomor 6 Tahun 2007, maka yang dimaksud dengan pemanfaatan hutan meliputi70: a. Pemanfaatan kawasan b. Pemanfaatan jasa lingkungan c. Pemanfaatan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu; dan d. Pemngutan hasil hutan kayu dan bukan kayu Keempat kegiatan pemanfaatan di atas hanya bisa dilakukan dengan menggunakan instrumen izin. Terdapat sebanyak 6 jenis izin dalam pemanfaatan hutan yang secara generik bisa dirangkum dengan istilah Izin Pemanfaatan Hutan. Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk memberikan izin kegiatan yang mencakup: a. Izin usaha pemanfaatan kawasan (IUPK) b. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUJPL) c. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan non kayu (IUPHHK) d. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK) e. Izin pemungutan hasil hutan kayu (IPHHK); dan f. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK). 67 68 69 70
114
Pasal 6 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2007. Pasal 8 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2007. Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2007 Rikardo Simarmata, Kelembagaan dan Peranserta Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan, (Jakarta: Institut Hukum Sumber Daya Alam, 2007), hlm. 13. Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Mengenai pembolehan dan larangan pemberian izin lebih dari satu dalam satu kawasan, dalam PP No.6 Tahun 2007 membedakannya menurut fungsi. Untuk pemanfaatan hutan dalam hutan lindung, ketentuannya adalah: Pertama, izin pemanfaatan kawasan dapat meliputi beberapa izin yang lebih spesifik: 1) izin kegiatan usaha budidaya tanaman obat; 2) izin usaha tanaman hias; 3) izin kegiatan usaha budidaya jamur; 4) izin kegiatan usaha budidaya lebah; 5) izin usaha penangkaran satwa.71 Kedua, pemberi izin dilarang untuk memberikan izin pemanfaatan hutan lainnya di atas kawasan yang sudah diberikan izin pemanfaatan kawasan, kecuali IPHHBK untuk komoditas tertentu.72 Sedangkan untuk pemanfaatan hutan dalam hutan produksi ketentuannya sebagai berikut: Pertama, dilarang memberikan semua izin pemanfaatan hutan pada wilayah kerja BUMN bidang kehutanan yang telah mendapatkan limpahan kewenangan pengelolaan hutan. Misalnya memberikan izin di kawasan hutan yang merupakan wilayah Perhutani. Pelimpahan kewenangan penyelenggaraan pengelolaan ini dalam PP Nomor 6 Tahun 2007 diatur dalam Pasal 4 ayat (1). Kedua, dilarang memberikan izin lain pada areal hutan yang telah dibebani izin usaha pemanfaatan hutan. Ketiga, diperbolehkan memberikan IPHHBK pada areal yang telah dibebani izin usaha pemanfaatan hutan, dengan komoditas yang berbeda. Ketentuan mengenai pemanfaatan hutan, termasuk ketentuan pemberian izin, pada hutan konservasi, merujuk pada peraturan perundang-undangan lain. Peraturan perundang-undangan rujukan yang dimaksud adalah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, PP Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan pelestarian Alam, serta peraturan pelaksana lainnya. Pengelolan sumberdaya hayati hutan ini dilakukan dengan pendekatan bottom up, partisipatif dan transparan melaui: (1) diskusi kelompok ahli, (2). diskusi antar tematik spesialis, (3) diskusi intern secara intensif dengan beberapa orang pakar, (4) mailing list discussion dengan koordinator regional dan konsorsium lokal untuk menggali permasalahan yang berkembang di daerah/bioregion. Selain itu juga dilakukan penggalian data dari berbagai sumber data serta studi leteratur dari berbagai tulisan para pakar dan hasilhasil seminar, workshop mengenai pengelolaan keanekaragaman hayati.73 71 Pasal 27 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2007. 72 Pasal 27 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2007. 73 Anonim, “Penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Biodiversitas, “makalah Prosiding Workshop Nasional I, diselenggarakan oleh IBSAP dan BAPPENAS di Hotel Salak Bogor, 6-7 November 2001. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
115
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Keanekaragaman hayati ini mencakup keragaman ekosistem (habitat), jenis (spesies) dan genetik. Terdapat lebih kurang 15 formasi hutan alami di Indonesia meliputi : hutan hujan bawah,hutan hujan tengah, hutan hujan atas, hutan pada tanah ultrabasa, hutan tanah kapur hutan musim, hutan savana, hutan, hutan tepi sungai, hutan bawah lahan basah, hutan rawa gambut, hutan rawa, hutan pantai, hutan mangrove, hutan bambu, nipah dan sagu.74 Hutan hujan bawah merupakan formasi hutan yang paling luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang paling tinggi di Indonesia mencakup 65,4 juta hektar (54,6 % dari total luas hutan). Hutan merupakan habitat darat alami utama bagi ± 12.000 spesies jamur, ±1.500 spesies lumut, ± 1250 spesies paku-pakuan, ± 25.000 spesies tumbuhan berbunga, ± 5000 spesies anggrek, ± 250.000 spesies serangga, ± 1000 spesies amfibia, ± 2000 spesies reptilia, ± 1500 spesies burung dan ± 500 spesies mamalia. Tingkat endemisme spesies-spesies fauna di Indonesia juga cukup tinggi. Potensi keanekaragaman hayati di Indonesia juga mempunyai arti yang cukup penting bagi dunia, karena meskipun luasan daratan Indonesia hanya 1,32% dari total luasan daratan yang ada di bumi, ternyata Indonesia memiliki 10 % jenis tumbuhan berbunga, 16 % reptilia dan amfibia, 17 % burung, 15 serangga dan 25 % serangga yang ada di bumi. Hutan di Indonesia juga telah dikenal sebagai sumber kayu perdagangan internasional; terdapat ± 120 jenis (terdiri dari 267 spesies) kayu berkualitas tinggi yang mendominasi perdagangan kayu internasional. Hutan di Indonesia terdapat ± 1300 jenis tumbuhan yang telah dikenal berkhasiat untuk pengobatan.75 Di Indonesia juga terdapat hutan rakyat (kebun pohon-pohonan), yang dikelola oleh masyarakat dengan pola agroforestri tradisional seperti kebun damar di Lampung, kebun karet campuran di Jambi dan Sumatera Selatan, kebun tengkawang dan buah-buahan serta kebun durian campuran di Kalimantan Barat , kebun kayu manis di Sumatera Barat dan Jambi. Berbagai bentuk hutan rakyat ini mampu menciptakan habitat tersendiri bagi keanekaragaman hayati. Luas hutan (kawasan hutan) di Indonesia berdasarkan data Statistik Kehutanan (tahun 1993) ± 141,8 juta hektar, dan berdasarkan data Statistik Kehutanan tahun 2001 telah menurun luasnya menjadi ± 108,6 juta hektar. Selama kurun waktu 8 tahun luas hutan ini telah mengalami penyusutan sebesar 32,2 juta hektar. Bioregion Kalimantan mengalami penyusutan hutan terbesar. Pada kurun waktu delapan tahun kawasan hutan pada bioregion ini telah menyusut ± 12,8 juta hektar, dengan rata-rata penyusutan 74 H. Haeruman, “Konservasi Kehidupan Liar dan Keanekaragaman Hayati di Masa Krisis Ekonomi, “Jurnal Masyarakat Pelestarian Kehidupan Liar Indonesia, 1998:15-20. 75 Ibid., hlm.22. 116
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
per tahunnya ± 1,6 juta hektar. Bioregion Sumatera mengalami penyusutan terbesar kedua setelah Kalimantan . Selama kurun waktu yang sama telah mengalami penyusutan kawasan hutan sebesar ± 11,8 juta hektar, dengan rata-rata penyusutan per tahunnya 1,5 juta hektar. Secara keseluruhan penurunan penutupan hutan (deforestasi) sampai dengan tahun 1997 di bioregion Sumatera mencapai ± 6,7 juta hektar (0,56 juta per tahun), di bioregion Kalimantan mencapai ± 10,4 juta hektar (0,86 juta hektar per tahun). Penyebab deforestasi ini adalah karena terjadinya kebakaran hutan, konversi hutan untuk kegiatan pembangunan perkebunan, serta kerusakan hutan akibat over eksploitasi.76 Hutan mempunyai manfaat ekologis dan telah memberikan manfaat yang besar bagi bangsa dan negara Indonesia, karena menghasilkan kayu perdagangan, hasil hutan non kayu, buah-buahan, obat-obatan, binatang buruan, bahan pangan dan sumber plasma nuftah yang cukup besar dan beranekaragam serta mempunyai manfaat sosial budaya bagi masyarakat. Kawasan hutan juga mempunyai manfaat jasa wisata yang sangat penting bagi perkembangan pariwisata di Indonesia. Nilai sumberdaya hutan dan ekosistemnya dapat didekati dengan memberikan nilai pada : nilai produk kayu hutan, nilai hasil hutan non kayu, nilai hasil tumbuhan obat, nilai satwa dan tumbuhan, nilai jasa wisata keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, nilai keanekaragaman hayati sebagai sumber pangan, nilai manfaat langsung dan tidak langsung bagi masyarakat, dan nilai manfaat ekologis kawasan hutan. Sampai saat ini telah ditetapkan lebih dari 17,8 juta hektar kawasan konservasi darat yang terdiri dari 386 kawasan konservasi dan 4,75 juta hektar kawasan konservasi laut yang terdiri dari 30 kawasan. Luas kawasan konservasi darat ini mencapai 9,2 % luas total daratan Indonesia, atau 16,4% dari luas total kawasan hutan.77 Kawasan konservasi darat ini terdiri dari 167 Cagar Alam, 47 Suaka Margasatwa, 34 Taman Nasional, 79 Taman Wisata Alam, 14 Taman Hutan Raya dan 15 Taman Buru. Sedangkan kawasan konservasi laut terdiri atas 7 Cagar Alam Laut, 3 Suaka Margasatwa, 6 Taman Nasional Laut dan 14 Taman Wisata Alam Laut. Saat ini telah berhasil dikembangkan 23 unit kebun binatang, 17 kebun botani, 14 taman hutan raya, 36 penangkaran satwa serta 2 taman safari, 3 taman burung, 4 lokasi rehabilitasi orang utan dan 6 pusat pelatihan gajah. Selain itu juga dilakukan pengaturan lalu lintas satwa melalui pengawasan peredarannya ke dalam maupun keluar negeri 76 C.V. Barber, S. Affif dan A. Purnomo, Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), hlm.4345. 77 Anonim, “Rencana Aksi Konservasi Keanekaragaman Hayati, “Prosiding Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, 2000: 8-9. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
117
dengan turut serta meratifikasi CITES. Sampai saat ini telah ditetapkan 40 lokasi taman nasional meliputi lebih dari 14,7 juta hektar yang terdiri dari 34 taman nasional darat (± 11 juta ha) dan 6 taman nasional laut (± 3,7 juta ha). 78 Agar akses masyarakat terhadap hutan tidak tertutup dengan ditetapkannya taman nasional, maka pemerintah telah mengembangkan zona-zona penyangga pada banyak taman nasional, dimaksudkan untuk memberikan aspek pemanfaatan bagi masyarakat setempat sekaligus sebagai penyangga bagi keamanan kawasan taman nasional. Luas hutan lindung berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (tahun 1992/1993) ± 30 juta hektar, dan berdasarkan hasil paduserasi RTRWP – TGHK seluas ± 29 Juta ha (tahun 2000). Kegiatan yang telah dilaksanakan mencakup inventarisasi, registrasi, penataan, pengukuhan, pembinaan, pengamanan, peningkatan pengelolaan dalam unit-unit kesatuan pemangkuan dan monitoring perkembangan. Kawasan konservasi dengan fungsi wisata yang ada saat ini antara lain taman wisata alam (TWA) 95 lokasi yang terdiri atas 79 TWA darat dan 14 TWA laut; taman buru 15 lokasi dan taman laut 83 lokasi. Dalam pengembangan obyek-obyek wisata alam Direktorat Jenderal PKA menjalin kerja sama dengan Direktorat Jenderal Pariwisata (Pusat dan Daerah) dalam Forum Komisi Kerjasama Pemanfaatan Obyek Wisata Alam.79 Pemerintah telah mewajibkan bagi para pengusaha hutan (HPH maupun HTI) untuk melaksanakan kegiatan AMDAL di dalam rangka upaya menanggulangi dan menekan dampak negatif kegiatan pengusahaan hutan bagi keanekaragaman hayati dan lingkungan hutan. Pemerintah mewajibkan para pengusaha hutan (HPH maupun HTI) melaksanakan upaya-upaya perlindungan bagi tumbuhan satwa-satwa yang dilindungi dengan pembuatan Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah (KPPN) dan Koridor atau kantong satwa yang juga difungsikan sebagai kawasan pelestarian bagi keberadaan tumbuhan dan satwa endemik, langka, terancam punah dan dilindungi. Kegiatan perlindungan hutan yang telah dilakukan antara lain berupa monitoring dan evaluasi gangguan, koordinasi dalam mengatasi gangguan dan ancaman, penyempurnaan peraturan perundang-undangan, meningkatkan jumlah dan kualitas tenaga jagawana, Satpam kehutanan di HPH. Koordinasi lintas sektoral dilakukan melalui TKPH (Tim Koordinasi Pengamanan Hutan). Dalam melaksanakan seluruh kebijaksanaan umum, kebijaksanaan operasional dan langkah-langkah diperlukan sarana dan prasarana 78 Ibid. 79 Wiratno, dkk, Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasinya Bagi Pengelolaan Taman Nasional, (Jakarta: Forest Press, 2004), .hlm.102. 118
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
penunjang dalam bentuk lunak maupun keras berikut institusinya. Untuk itu dari tahun ke tahun dikembangankan antara lain penyempurnaan dan melengkapi sarana fisik berupa kantor, perusahaan, karyawan dan alatalat komunikasi dan transportasi. Sedangkan institusi, pedoman, petunjuk teknis, penyempurnaan peraturan perundangan sebagai perangkat lunak. Upaya konservasi sumberdaya hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya yang telah dilakukan oleh sektor swasta (pengusaha) sangat terbatas. Beberapa contoh upaya konservasi ini: pertama, Taman Safari yang telah mengkonservasi ex-situ berbagai jenis satwa langka di Indonesia. Ketiga, Taman Burung (TMII dan Bali) yang telah mengkonservasi ex-situ berbagai jenis burung dan tumbuhan Indonesia. Ketiga,Taman Anggrek di banyak lokasi yang telah mengkonservasi ex-situ berbagai jenis anggrek dilindungi di Indonesia. Keempat, Wana Wisata Alam Hayati yang telah turut serta dalam upaya konservasi ekosistem hutan di zona pemanfaatan TN Ujung Kulon. Dalam kurun waktu 1997/1998-1999/2000 perladangan dan okupasi lahan di dalam hutan semakin meningkat. Selama tiga tahun ini ± 200.000 ha hutan terbuka untuk perladangan dan kegiatan pertanian, dengan ratarata ± 66.500 ha per tahun. Hutan di Pulau Sumatera mengalami ancaman yang paling besar dari kegiatan perladangan liar dan okupasi lahan dengan rata-rata ± 28.500 Ha, sebagian besar terjadi di Propinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Menyusul setelah Sumatera yang mangalami ancaman cukup besar berturut-turut adalah Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Bali dan Nusa Tenggara.80 Dalam kurun waktu tahun 1997/1998-1999/2000 beberapa propinsi yang mengalami ancaman cukup besar dari penebangan liar ini adalah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Beberapa kawasan konservasi seperti Taman Nasional Tanjung Puting, TN Kutai, TN Kerinci Seblat, TN Leuser dan beberapa kawasan konservasi yang lain tidak luput dari kegiatan penebangan liar ini. Kawasan Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) yang dicadangkan untuk pembangunan di sektor lain (perkebunan, transmigrasi, pertambangan dan sebagainya) selama kurun waktu 8 tahun terakhir telah dibuka seluas 7,7 juta ha di seluruh wilayah Indonesia dengan rata-rata per tahunnya 9.600 ribu hektar. Pembukaan HPK paling besar terjadi di Sumatera (3,2 juta hektar) menyusul Irian Jaya (± 2,5 juta hektar), Kalimantan (± 1 juta hektar) dan Sulawesi (3,2 juta hektar). Berdasarkan data tahun 2000/2001 terdapat 80 Wiratno, dkk, Op.Cit., hlm.196-198. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
119
± 11,6 juta hektar HPK lagi yang dicadangkan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan pada tahun-tahun mendatang.81 Pengelolaan kawasan hutan konservasi menjadi kewenangan pemerintah (Departemen Kehutanan). Pemanfaatannya untuk ekoturisme juga menjadi kewenangan pemerintah dan sebagian telah dilimpahkan kepada pengusaha (swasta, BUMN). Masyarakat adat dan lokal yang selama ini telah memanfaatkan kawasan tersebut juga tertutup aksesnya dan hanya diperbolehkan untuk memanfaatkan pada zona penyangga.82 Berkaitan dengan keluarnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ternyata proses desentralisasi pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati masih banyak mengalami hambatan. Berbagai peraturan perundangan perlu disempurnakan, ditambahkan dan disesuaikan dengan perkembangan proses desentralisasi yang telah berjalan sebelum ini. Berangkat dari berbagai permasalahan pengelolaan keanekaragaman hayati hutan seperti telah diuraikan sebelumnya, maka Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati ke depan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Pusat harus mampu menyelesaikan permasalahan dan mengeliminer ancaman-ancaman tersebut. Rencana akksi keanekaragaman hayati tersebut antara lain meliputi:83 Pertama, Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam konservasi sumberdaya hutan dan pelestarian pemanfaatannya. Peningkatan kesadaran masyarakat dalam konservasi sumberdaya alam mencakup beberapa kegiatan: 1) Menyebarkan informasi dan pengetahuan mengenai konservasi sumberdaya hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya beserta berbagai aspek kepada masyarakat umum melalui media komunikasi massa berupa media cetak, elektronik dan media tradisional 2) Mengembangkan kurukulum pendidikan konservasi hutan, keanekaragaman hayati dan lingkungan bagi siswa sekolah dan mahasiswa 3) Mengembangkan insentif dan disinsentif dalam pengelolaan hutan untuk meningkatkan kesadaran para pengusaha terhadap konservasi hutan dan keanekaragaman hayati serta pemanfaatan lestari sumberdaya hutan Kedua, Meningkatkan kapasitas dalam pengelolaan hutan dan ke anekaragaman hayati di dalamnya. Peningkatan kapasitas dalam penge lolaan hutan dan keanekaragam hayati berupa: 81 Ibid., hlm.198. 82 John Haba, Irine H. Gayatri dan Mita Noveria, Konflik di Kawasan Illegal Logging Di Kalimantan Tengah, (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2003), hlm.65. 83 Ibid., hlm. 10-16. 120
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
1) Meningkatkan dan mengembangkan kelembagaan (institusi) yang mampu melaksanakan pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya secara efektif dan efisien. 2) Meningkatkan prasarana dan sarana dalam pengelolaan kawasan konservasi, kawasan produksi dan keanekaragaman hayati sehingga pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati menjadi lebih efektif dan efisien 3) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam pengelolaan kawasan konservasi, produksi dan keanekaragaman hayati melalui pendidikan dan berbagai bentuk pelatihan. 4) Peningkatan dan pengembangan mekanisme penyediaan dana dalam pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati Ketiga, Meningkatkan perlindungan hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya dari berbagai bentuk ancaman. Perlindungan hutan dan keanekaragaman hayati mencakup beberapa kegiatan diantaranya: 1) Pemantapan kawasan konservasi dan produksi melalui penataan batas ulang secara konsultatif dan partisipatif 2) Pengukuhan kembali kawasan konservasi yang di dalamnya terdapat potensi tambang dan atau potensi pemanfaatan sektor lain melalui kebijakan yang hirarkinya lebih tinggi 3) Meningkatkan upaya penanggulangan kebakaran hutan 4) Meningkatkan upaya penanggulangan illegal logging 5) Meningkatkan upaya penanggulangan perambahan lahan hutan 6) Meningkatkan upaya penanggulangan pencurian/perburuan liar berbagai jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi 7) Mengimplementasikan pertimbangan konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem essensial di dalam penataan ruang dan alokasi penggunaan lahan Keempat, Merehabilitasi, merestorasi kawasan hutan konservasi dan produksi yang telah rusak dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Kegiatan rehabilitasi kawasan hutan konservasi dan keanekaragaman hayati mencakup kegiatan: 1) Merehabilitasi hutan produksi yang rusak melalui pengembangan HTI, melakukan moratorium penebangan pada kawasan hutan produksi yang potensinya rendah 2) Merehabilitasi dan merestorasi kawasan konservasi yang telah rusak dengan meningkatkan peranserta masyarakat dengan pola hutan kemasyarakatan Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
121
3) Memulihkan populasi spesies tumbuhan dan satwa langka/terancam punah/kritis melalui translokasi, rehabilitasi dan restocking Kelima, Mengembangkan sistem pengetahuan masyarakat tradisional dalam pengelolaan hutan (konservasi, lindung dan produksi) dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Pengembangan system pengatahuan masyarakat mencakup kegiatan: 1) Memelihara sistem pengetahuan tradisional mengenai keanekaragaman hayati yang masih ada dan menghidupkan yang sudah punah yang penting bagi pengelolaan keanekaragaman hayati 2) Memberikan perlindungan hukum terhadap sistem pengetahuan tradisional beserta perangkat budayanya 3) Meningkatkan ketrampilan masyarakat tradisional dalam memelihara sistempengetahuan serta memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomi meraka 4) Memadukan sistem pengetahuan tradisional dalam pengelolaan keanekaragaman hayati nasional cara pembagian keuntungan yang adil Keenam. Desentralisasi pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya serta pembagian keuntungan yang adil dalam pemanfaatan hutan dan keanekaragaman hayati untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka desentralisasi pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati mencakup kegiatan berupa: 1) Membuat peraturan-perundangan yang mengatur kewenangan pengelolan sumberdaya hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya antara pemerintah pusat dan daerah yang adil selaras dengan semangat otonomi daerah 2) Pengakuan kembali terhadap hak-hak masyarakat adat/tradisional 3) Mengantisipasi pengembangan wilayah agar tidak terlepas dari azas pembangunan berkelanjutan, pengelolaan hutan lestari 4) Penyelesaian konflik-konflik antara pemerintah pusat dengan daerah, antara pemerintah dengan masyarakat (lokal, adat) secara musyawarah 5) Mengembangkan mekanisme konsultatif dan kemitraan formal, informal atau gabungan keduanya 6) Mengembangkan pola-pola kemitraan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan rpoduksi, konservasi dan keanekaragaman hayati dengan pembagian keuntungan yang adil antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat 7) Meningkatkan mekanisme insentif dan disinsentif dalam pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya 122
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Ketujuh, Mengembangkan dan mempertahankan sistem pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya secara berkelanjutan. Sistem pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati mencakup kegiatan antara lain: 1) Mengembangkan pemanfaatan berkelanjutan hasil hutan nirkayu dan tumbuhan obat di kawasan konservasi dan produksi dengan meningkatkan peranserta masyarakat melalui pola-pola kemitraan 2) Mengembangkan dan meningkatkan ekoturisme di kawasan konservasi, produksi dan kawasan essensial melalui pola kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat 3) Mempertahankan pemanfaatan hutan dan keanekaragaman hayati lestari yang selama ini telah dilaksanakan 4) Meningkatkan upaya-upaya konservasi (insitu, eksitu) terhadap spesies dilindungi/langka/endemik/terancam punah/kritis yang selama ini telah dilaksanakan 5) Mengembangkan upaya-upaya konservasi baik secara insitu maupun eksitu terhadap jenis-jenis tumbuhan yang mulai langka, terancam punah atau kritis sebagai akibat over eksploitasi, kebakaran hutan dan illegal logging 6) Meningkatkan implementasi konvensi-konvensi internasional secara konsisten Kedelapan, Penyempurnaan kebijakan (peraturan-perundangan) yang lebih mengarah pada desentralisasi dan pembagian yang adil dalam pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya secara lestari. Penyempurnaan kebijakan dalam pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati mencakup kegiatan: 1) Menyempurnakan kebijakan dalam pengelolaan hutandan keanekaragaman hayati di dalamnya terutama kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah dalam pengelolaan tersebut. 2) Membuat kebijakan pemanfaatan sumberdaya hutan dan keanekaragaman hayati yang dapat mengakomodasikan kepentingan masyarakat dan memberikan pembagian keuntungan yang adil Kesembilan, Meningkatkan penegakan hukum dalam pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati. Peningkatan penegakan hokum dalam pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati berupa: 1) Memberikan sanksi hukum yang jelas dan tegas terhadap setiap pelanggaran peraturan-perundangan pengeloaan hutan lestaridan konservasi keanekaragaman hayati baik bagi pengusaha kelompok/ anggota masyarakat maupun aparat pemerintah. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
123
2) Mengembangkan mekasime dan sistem monitoring terhadap pengelolaan hutan lestari dan konservasi keanekaragaman hayati dengan melibatkan pihak public 3) Meningkatkan kapasitas, pengetahuan dan pemahaman para aparat penegak hukum dalam konservasi keanekaragaman hayati. Kesepuluh, Mengembangkan dan meningkatkan sistem informasi dan komunikasi, penelitian dan teknologi dalam pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.Pengembangan dan peningkatan system informasi dalam pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati berupa: 1) Mengembangkan sistem informasi dan komunikasi keanekaragaman hayati yang dapat diakses oleh stakeholders 2) Membangun pusat keanekaragaman hayati (Natioanal Biodiversity Center) lingkup nasional (di pusat) dan Bioregion Biodiversity Center pada setiap bioregion (Sumatera, Jawa-Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua) 3) Melakukan inventarisasi dan identifikasi keanekaragaman hayati hutan pada kawasan konservasi dan produksi dengan prioritas terhadap jenisjenis tumbuhan dan satwa dilindungi, endemik, langka, terancam punah, kritis, tumbuhan penghasil hasil hutan nirkayu, dan tumbuhan obat. 4) Mengembangkan dan meningkatkan kajian mengenai nilai kawasan konservasi dan produksi serta sumberdaya hayati di dalamnya 5) Meningkatkan penelitian-penelitian mengenai pemanfaatan lestari hasil hutan nirkayu dan tumbuhan obat 6) Pengembangan dan peningkatan teknologi dalam upaya-upaya penangkaran (tumbuhan dan satwa), pengelolaan dan pemanfaatan lestari hasil hutan non-kayu dan tumbuhan obat. Selain beberapa ketentuan tersebut di atas mengenai kewenangan Pemerintah Pusat berkaitan dengan pengelolaan sumber daya hutan, dapat dilihat berdasarkan PP Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Menurut PP Nomor 38 Tahun 2007 tersebut, urusan kehutanan merupakan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama-sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, atau yang sering dikenal dengan urusan yang bersifat kongkuren, yaitu urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan sepenuhnya Pemerintah Pusat, yang diselenggarakan bersama oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. 124
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Adapun kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya hutan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 tersebut meliputi beberapa kewenangan sebagaimana yang terdapat dalam lampiran PP tersebut. Pertama, dalam kaitannya dengan masalah konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya, Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan sebagai berikut: a. Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional; b. Penetapan ebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala nasional; c. Pengendalian kebijakan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala nasional; d. Pemanfaatan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional.Pengaturan dan penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala nasional; e. Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala nasional. Kedua, kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan pada hutan produksi adalah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan. Ketiga, kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan penataausahaan hasil hutan adalah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan pengaturan penatausahaan hasil hutan. Keempat, kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan hutan lindung adalah menetapkan n orma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam lampiran (Appendix) Convention on International Trade Endangered Species (CITES) serta pemanfaatan jasa lingkungan skala nasional. Kelima, kewenagan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan mencakup beberapa kegiatan seperti: a. Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi hutan dan lahan kritis; b. Penetapan lahan kritis skala nasional; c. Penyusunan dan penetapan rencana rehabilitasi hutan dan lahan Daerah Aliran Sungai; Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
125
d. Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Keenam, kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, yaitu kegiatan pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Ketujuh, kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan perlindungan hutan yang meliputi kegiatan: a. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan perlindungan hutan pada hutan negara skala nasional; b. Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala nasional. Kedelapan, kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan pengawasan bidang kehutanan yaitu menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria serta penyelenggaraan pengawasan terhadap tugas dekonsentrasi dan pembantuan, pinjaman dan hibah luar negeri serta efektifitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang kehutanan. 2. Kewenangan Daerah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Dalam rangka otonomi daerah dan sesuai dengan amanat UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah.84 Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan 84 Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 126
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah. Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten. Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan pemerintahan di luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. a. Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan pembagian urusan bidang kehutanan dalam lampiran PP No.38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten, Pemerintahan Daerah Provinsi mempunyai wewenang antara lain sebagai berikut: 1) Bidang pemberdayaan masyarakat dan desa. Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai kewenangan untuk penetapan kebijakan daerah skala provinsi dan penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala provinsi. 2) Fasilitasi Konservasi dan Rehabilitasi Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai wewenang untuk melakukan koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi, pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi. Disamping itu Pemerintah Daerah Provinsi juga mempunyai wewenang melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi. 3) Inventarisasi Hutan Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai wewenang untuk penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi, hutan lindung dan taman hutan raya dan skala DAS lintas kabupaten/kota. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
127
4) Penunjukan Kawasan Hutan, Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru Pemerintah Daerah Provinsi memberikan pertimbangan teknis penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru. 5) Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Pemerintah Daerah Provinsi Pengusulan dan pertimbangan teknis pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala provinsi. 6) Penatagunaan Kawasan Hutan Pemerintah Daerah Provinsi berwenang memberikan pertimbangan teknis perubahan status dan fungsi hutan, perubahan status lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan. 7) Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung Pemerintah Daerah provinsi berwenang memberikan izin pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam lampiran (Appendik) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skal aprovinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja Perum Perhutani. 8) Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan di Sekitar Hutan Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai wewenang melakukan pemantauan, evaluasi, dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan disekitar kawasan hutan. 9) Pengembangan Hutan Hak dan Aneka Usaha Kehutanan Pemerintah daerah Provinsi mempunyai wewenang melakukan pemantauan, evaluasi dan fasilitasi hutan hak dan aneka usaha kehutanan. 10) Perlindungan Hutan Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai wewenang dalam pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala provinsi. Disamping itu, Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai wewenang dalam pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala provinsi.
128
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
b. Wewenang Pemerintahan Daerah Kabupaten Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan pembagian urusan bidang kehutanan dalam lampiran PP No.38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten, Pemerintahan Daerah Kabupaten mempunyai wewenang antara lain sebagai berikut: 1) Pemberdayaan Adat dan Pengembangan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk menetapkan kebijakan daerah skala kabupaten dan menetapkan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala kabupaten. 2) Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk menetapkan kebijakan daerah skala kabupaten dan penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala kabupaten. 3) Konservasi dan Rehabilitasi Lingkungan Dalam bidang konservasi dan rehabilitasi lingkungan, Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk mengkoordinasikan dan fasilitasi pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten. Disamping itu juga berwenang dalam pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten, monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan lingkup skala kabupaten. 4) Inventarisasi Hutan Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam wilayah kabupaten. 5) Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk melakukan pengusulan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala kabupaten dengan pertimbangan gubernur.
Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
129
6) Penatagunaan Kawasan Hutan Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk melakukan pengusulan perubahan status dan fungsi hutan dan perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan. 7) Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang memberikan perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM perhutani. 8) Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan di Sekitar Hutan Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang bimbingan masyarakat, pengembangan kelembagaan dan usaha serta kemitraan masyarakat setempat di dalam dan disekitar kawasan hutan. 9) Pengembangan Hutan Hak dan Aneka Usaha Kehutanan Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk menyusun rencana, pembinaan pengelolaan hutan hak dan aneka usaha kehutanan. 10) Perlindungan Hutan Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk melaksanakan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala kabupaten. Disamping itu juga berwenang untu memberikan fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala kabupaten. 3. Tumpang Tindih dan Konflik Kewenangan Dalam Pengelolaan sumber Daya Hutan Sejak implementasi otonomi daerah berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, persoalan utama yang dihadapi dalam pengembangan konservasi di Indonesia adalah pembagian kewenangan pusat dan daerah. Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, kewenangan konservasi masih ada di tangan pemerintah pusat, padahal ada banyak inisiatif di tingkat daerah mengenai peraturan pengelolaan kawasan konservasi yang belum terakomodir oleh pemerintah pusat. Potensi peranan daerah perlu dipahami, karena secara defakto kawasankawasan yang ditetapkan dengan fungsi konservasi (dan juga fungsi lainnya seperti produksi dan lindung) berada di wilayah administratif daerah. Orang 130
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
ditingkat daerah sangat memahami kondisi aktual dan kebutuhan bagi pengelolaan yang terbaik. Di samping itu, karena kawasan konservasi di masa lalu seringkali tidak disertai dengan data dan informasi yang memadai. Dalam kondisi tanpa kewenangan, maka mengkomunikasikan kepentingan konservasi keanekaragaman hayati dengan kepentingan kehidupan masyarakat di dalam dan di luar kawasan menjadi sulit dilaksanakan oleh daerah.85 Konservasi sumber daya alam hayati dakam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuannya untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.86 Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, disebutkan bahwa peraturan konservasi masih merupakan kewenangan pemerintah pusat. Peraturan ini menunjukkan secara jelas bahwa belum terjadi desentralisasi di bidang konservasi, padahal banyak inisiatif di tingkat kabupaten dan masyarakat yang dapat melengkapi peraturan konservasi tersebut. Pengelolaan sentralistik diperparah oleh proses perencanaan, penataan kawasan, perlindungan dan pengawasan dan berbagai kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konvensi yang seringkali dikembangkan secara tidak transparan oleh pemerintah pusat. Dukungan pemerintah daerah dan masyarakat terhadap pengelolaan konservasi sangat rendah.87 Konservasi dalam perspektif Undang-Undang Konservasi Nomor 5 Tahun 1990 dijabarkan dengan berbagai bentuk pengelolaan kawasan yang mencakup Kawasan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa), Cagar Biosfer dan Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam). Dalam pengelolaan ketiga bentuk kawasan ini sama sekali tidak dicantumkan bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut. Masyarakat hanya dilibatkan sebagai peserta untuk diberi pendidikan dan penyuluhan mengenai konservasi. Konsep pengelolaan bersama dengan masyarakat dan pihak pemerintah daerah sebenarnya telah dicoba di beberapa Taman Nasional yang ada di 85 Ciriacy Wantrup, “Common Property as A Concept in Natural resources Policy, “Natural Resources Journal, 1975, hlm. 713-737. 86 Dixon, J.A dan Paul B. Sherman, Economic of Protected Areas: A New Look at Benefit and Cost, (London: East-West Center, 1990), hlm. 15-16. 87 Ibid. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
131
Indonesia. Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Timur misalnya, telah mengembangkan manajemen kolaboratif dengan melibatkan pihak kabupaten dan masyarakat setempat untuk pengelolaan bersama lewat Forum Musyawarah Masyarakat Adat. Merujuk perspektif yang termuat dalam peraturan tersebut, ada beberapa hal ditingkat daerah dan masyarakat yang perlu dicermati, terutama bagi pemerintah pusat untuk meninjau kembali peraturan yang ada. Masalah tersebut antara lain: Pertama, masyarakat sekitar kawasan konservasi masih kurang dilibatkan dalam pengelolaan bersama kawasan konservasi. Bahkan dianggap sebagai musuh yang selalu merambah kawasan. Oleh karenanya adanya asumsi harus diberi pendidikan dan penyuluhan mengenai konservasi. Kedua, pola insentif yang dikembangkan untuk pengelolaan bersama tidak jelas arah dan tujuannya. Pemerintah hanya berharap masyarakat dapat membantu memelihara kawasan saja tanpa adanya perjanjian yang jelas. Jika terjadi masalah terkait dengan kawasan tersebut, masyarakat merasa tidak bertanggungjawab atas permasalahan yang dihadapi. Ketiga, Di lapangan telah terjadi tumpang tindih peraturan pusat dengan daerah, terutama dalam masa desentralisasi ini. Permasalahan yang timbul terkait dengan pengelolaan kawasan, tata ruang wilayah dan pemanfaatan lahan. Pemerintah daerah setempat dengan semangat desentralisasi merasa memiliki untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan tersebut untuk kesejahteraan rakyatnya. Keempat, pandangan bahwa belum adanya contoh kegiatan konservasi yang dapat memberikan andil nyata kepada pemerintah daerah setempat dan masyarakat dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berkaitan dengan hal ini, perlu dijelaskan adnya beberapa kegiatan konservasi yang dapat memberikan sumbangan kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat seperti ekowisata, penelitian berdampak bagi masyarakat, dan kegiatan sejenis lainnya. Keempat permasalahan tersebut di atas mulai berkembang secara intensif setelah era otonomi daerah. Ironisnya, perkembangan isu ini tidak diimbangi dengan kemauan daerah untuk meningkatkan kegiatan konservasi, tetapi karena mau meningkatkan perkembangan daerahnya dengan memanfaatkan sumberdaya alam secara maksimal. Permasalahan yang muncul di tingkat daerah berkaitan dengan kawasan konservasi yang masih dikelola oleh pusat antara lain: Taman Nasional, Cagar Alam, Hutan Wisata dalam era otonomi ini semakin meluas dan parah terkait dengan pembagian kewenangan tersebut. Munculnya kepentingan yang berbeda antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat menimbulkan konflik yang berkepanjangan. 132
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Di satu sisi pemerintah pusat lebih mempertahankan kawasan konservasi sesuai dengan pembentukannya, sedangkan pihak daerah dengan konsep ”pembangunan” untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan PAD berusaha untuk melepaskan kawasan tersebut dari kawasan hutan negara. Sementara itu masyarakat yang berada di sekitar kawasan merasa berhak untuk dapat menikmati hasil dari kawasan tersebut dalam masa desentralisasi. Adanya pengakuan secara hukum di Tingkat Pemerintah Daerah atas upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam mendukung kegiatan konservasi, menunjukkan adanya kebijakan daerah untuk membantu masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan konservasi. Kebijakan tersebut seharusnya didukung dan ditegakkan oleh Departemen Kehutanan yang dapat memberikan masukan konsep-konsep pengelolaan hutan secara nasional yang selanjutnya dijabarkan oleh pihak daerah sebagai pedoman pelaksanaan di lapangan. Departemen Kehutanan dan pemerintah daerah sebenarnya memiliki konsep konservasi dasar yang sama, yaitu memberikan perlindungan dan pengawetan terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Dari aspek pemanfaatan Departemen Kehutanan memberikan zona pemanfaatan dalam kawasan konservasi bagi masyarakat secara terbatas. Sedangkan pemerintah daerah memberikan kewenangan penuh kepada masyarakat untuk mengembangkan kawasan konservasi lokal dengan berbagai model pengelolaan dan peruntukannya. Dari aspek pendekatan kebijakan, Departemen Kehutanan cenderung bertindak secara ’top down’ tanpa memperhatikan kebutuhan yang diperlukan di lapangan. Pendekatan ini mengakibatkan munculnya permasalahan di kawasan konservasi, baik dengan pemerintah setempat maupun masyarakat, antara lain konflik pemanfaatan kawasan baik dengan masyarakat maupun pemerintah daerah setempat. Sementara pemerintah daerah berusaha mengembangkan konsep ’bottom up’ yang memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengelola kawasan konservasi lokal, yang kemungkinan terpaksa mengakomodir masyarakat dengan peraturan yang dibuatnya. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, menjadi dasar bagi daerah untuk mengelola otonom kehutanan di tingkat daerah. Dinas Kehutanan baik propinsi maupun kabupaten dan kota dapat berperan aktif untuk bekerjasama dengan pihak-pihak terkait di pusat, daerah dan masyarakat. Pemerintah daerah dapat mengeluarkan peraturan yang mendukung kegiatan-kegiatan konservasi yang dilakukan oleh masyarakat dengan mengacu pada kebijakan pusat. Demikian juga dapat menjabarkan kebijakan sesuai dengan kebutuhan daerah yang diperlukan dalam hal Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
133
ini kebijakan konservasi. Adanya pembagian peran tersebut, maka upaya penyelesaian konflik yang terjadi selama ini dapat teratasi. Berkaitan dengan permasalahan pembagian peran dan koordinasi yang menjadi kendala utama yang dihadapi oleh Departemen Kehutanan, Pemerintah daerah dan masyarakat dalam kegiatan konservasi, diperlukan suatu mekanisme yang dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu mekanisme yang dapat diginakan oleh Departemen Kehutanan maupun oleh pemerintah daerah adalah mekanisme konsul;tasi publik yaitu suatu rangkaian proses yang dijalankan oleh pemerintah atau pihakpihak lain yang berkepentingan sebagai lembaga internasional, lembaga swadaya masyarakat, kelangan perguruan tinggi, masyarakat dan pihak lain yang memiliki inisiatif yang sama dalam pembuatan kebijakan kepada masyarakat khususnya dalam pengelolaan konservasi. Sejak era otonomi daerah mulai bergulir, persoalan yang dihadapi dalam pengembangan kawasan konservasi di Indonesia adalah pembagian kewenangan dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Pada akhir tahun 80-an dan sepanjang dekade tahun 90-an, gerakan rakyat di tingkat lokal yang melawan ketidak-adilan dalam pelaksanaan pembangunan meningkat tajam. Kasus yang mencuat bervariasi dari kasus individual, keluarga, sampai yang melibatkan sebuah komunitas lokal, baik itu berbentuk suku, kampung maupun beberapa kampung sekaligus88. Seiring dengan itu, menjamur pula organisasi-organisasi non-pemerintah89 yang melakukan advokasi ”pembelaan”90 hak-hak rakyat dan penyelamatan lingkungan. Dan dengan itu merebak pula isu yang dibawa dalam kasus88 Data kasus konflik agraria yang dikeluarkan oleh KPA yang merekam sengketa agraria di Indonesia sejak 1953 sampai dengan 2000, berjumlah 1455 kasus, melibatkan 242.088 Keluarga, 533.866 jiwa dan lahan seluas 1.456.773 hektar yang merupakan lahan masyarakat adat dan lokal. Lawan masyarakat dalam seluruh konflik ini adalah Pemerintah, Perusahaan negara, dan Perusahaan Swasta. Ini menunjukkan bahwa konflik agraria di Indonesia antara masyarakat adat dan lokal dengan Pemerintah dan para pemilik modal adalah konflik struktural akibat pengambil-alihan hak masyarakat oleh negara untuk para pemilik modal. Sampai tingkat tertentu dapat disaksikan dalam data tersebut bahwa aparat negara selalu menjadi pihak yang diperhadapkan dengan masyarakat. Dalam seluruh kasus ini pandangan bahwa Negara adalah alat bagi kapitalisme untuk menguasai sumberdaya agraria di dunia mendapat pembenaran yang signifikan, baik dari aspek legislasinya maupun dalam operasionalisasi peraturan perundangannya. 89 Dapat dilihat dalam “Prosiding Seminar SMERU; Wawasan Tentang LSM Indonesia: Sejarah, Perkembangan Serta Prospeknya”; 15 Agustus 2000. Dalam uraian tentang perkembangan LSM di Aceh sebagai salah satu daerah yang dikaji, tampak bahwa dalam era 70-an baru ada beberapa LSM di Aceh. Dalam era 80-an berkembang menjadi belasan dan dalam 90-an telah ada puluhan LSM di Aceh. Perkembangan ini berjalan melalui proses “membelah diri”, sebuah istilah yang diambil dari khasanah biologi tentang pembelahan sel atau organisma mikro. 90 James Petras dan Henry Veltmeyer, Globalization Unmasked: Imperialism in the 21 st Centery, dalam edisi terjemahan, (Jakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm. 235-257. 134
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
kasus itu. Pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, otonomi daerah dan desa, dan kebijakan-kebijakan negara. Otonomi yang mencakup kontrol atas wilayah adat dan sumberdaya agraria, self-governance dan ekspresi hak-hak sosial budaya merupakan substansi yang tak terpisahkan meskipun dapat dibedakan. Dinamika internal dari ketiga faktor ini dan interaksi dengan pihak lain melahirkan apa yang disebut identitas sebagai sebuah proses. Menguraikan ketiga hal itu sebagai bagian sendiri-sendiri hanya akan melahirkan paham identitas sebagai sesuatu yang terberi dan rigid. Pemahaman seperti ini bermuara pada dikotomi ”kita” ”mereka” yang potensial konflik. Sementara melihat ketiga faktor itu sebagai sebuah makna ”tritunggal” akan melahirkan sebuah masyarakat yang siap bertransformasi dalam proses. Transformasi yang bagaimana kiranya tak perlu diragukan lagi, yakni merengkuh cita-cita pembebasan. Pembebasan yang berarti merebut otonomi yang ditandai oleh otonomi dalam ketiga faktor tersebut: keleluasaan untuk mengurus diri sendiri, hak atas tanah dan sumberdaya agraria dalam wilayah yang diklaim sebagai ruang hidup mereka dan kemeredekaan (bukan kebebasan) mengekspresikan hak-hak sosial budaya. Dan jika ini yang menjadi makna dari isu gerakan indigenous peoples dan sejauh ini dapat dibaca demikian, maka secara substansial ada persambungan yang sangat kuat antara kedua terminologi itu. Dengan demikian masyarakat adat semestinya dipahami sebagai sebuah kategori politis yang ditentukan oleh rangkaitan terpadu (integral) masa lalu, kekinian dan tujuan atau cita-cita politiknya dan model-model perjuangannya. Kedua, identitas yang dipahami dengan baik dalam lingkup masyarakat adat maupun oleh pihak di luar masyarakat adat adalah landasan utama dalam mengusung cita-cita pembebasan yang disebutkan di atas: Kedaulatan mengurus diri sendiri atau secara lebih berkerangka disebutkan sebagai ”otonomi komunitas masyarakat adat” yang dicirikan oleh self-governance, hak atas tanah dan sumberdaya agraria, dan hak-hak sosial budaya. Keleluasaan untuk mengurus diri sendiri (self-governance) adalah sebuah ”warisan sejarah politik” dalam komunitas-komunitas masyarakat adat. Disebut warisan politik karena sistem pengurusan diri sendiri itu lahir dan bertumbuh dari sebuah proses internal dan interaksi yang lama dengan lingkungan dan komunitas masyarakat sekitar. Dalam beberapa contoh yang disebutkan di atas dapat ditemukan apa yang disebut sebagai hukum adat, lembaga adat dengan strukturnya masing-masing dan wilayah adat. Dan di atas itu ada orang-orang anggota komunitas tersebut yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari komunitas itu. Dengan adanya wilayah, hukum dan lembaga serta masyarakatnya sendiri, maka bukan sebuah keanehan bahwa mereka kemudian harus memiliki sistem pengurusan diri sendiri. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
135
Otonomi itulah yang membentuk mereka menjadi sebuah entitas politik dengan hak-hak yang melekat atau bawaan dan bukan hak-hak berian. Dalam sistem penyelenggaraan Negara Indonesia selama ini, terjadi perampasan atau pengambil-alihan hak-hak itu. Pengambilalihan hak bawaan ini kemudian dipolitisir menjadi pengaturan hak-hak berian oleh negara. Inilah sejarah kelam komunitas-komunitas masyarakat adat ketika diberlakukannya Undang-undang Pemerintahan Desa No. 5 Tahun 1979. Celakanya, setelah UU ini dicabut dan tidak diberlakukan lagi dengan dikeluarkannya UU No. 22/1999 dan kemudian UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, paradigma hak bawaan dan hak berian terhadap komunitas masyarakat adat tidak berubah. Masih tetap dengan paradigma lama, yaitu mencerabut hak bawaan masyarakat adat dan lokal, kemudian diperlakukan sebagai hak berian negara. Ini jelas terlihat dalam konsep hak atas tanah. Hak atas tanah dan sumberdaya agraria lainnya sesungguhnya telah cukup jelas arahnya dalam TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya agraria. Pasal 6 TAP ini menyatakan bahwa arah kebijakan pembaruan agraria antara lain adalah:91 “Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini” (ayat 1 butir a); “Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini” (ayat 1 butir b) “Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini” (ayat 1 butir d). Sementara arah kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya agraria antara lain adalah:92 “Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini” (ayat 2 butir a); 91 Pasal 6 TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Agraria. 92 Ibid., Pasal 5. 136
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumberdaya agraria di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional (ayat 2 butir c) dan “Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini (ayat 2 butir e).” Meskipun arah reformasi agraria dan pengelolaan sumberdaya agraria sudah cukup jelas dalam TAP tersebut, namun dalam pelaksanaannya konsistensi pemerintah dalam mewujudkan amanat TAP tersebut masih sangat lemah. Bahkan dapat dikatakan tidak ada kemauan politik pemerintah untuk melaksanakannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adalah sejumlah kebijakan politik yang lahir setelah ditetapkannya TAP No. IX/2001 tersebut. UU No. 19/2004 yang memberikan ijin bagi pertambangan di hutan lindung; Perpres 36/2005 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang telah direvisi namun tidak meninggalkan roh eksploitasi hak rakyat banyak dalam Perpres No. 65/2006. Pasal 13 Perpres 65 ini misalnya, menyatakan bahwa ganti rugi yang diberikan bisa berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali dan atau gabungan dari itu atau bentuk ganti rugi yang lain. Kedua peraturan perundangan ini dibuat dalam dua tahun terakhir, yang berarti setelah penetapan TAP IX/2001. Inkonsistensi ini dengan mudah dapat terjadi di Indonesia, karena pada tataran konstitusi masih terdapat pengakuan bersyarat terhadap masyarakat adat, sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 18 B dan Pasal 28 I Amandemen II UUD 1945, di mana persyarakatan sepanjang masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat, tidak bertentangan dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia dan diatur dengan undang-undang telah membuka ruang manipulasi politik hukum terhadap masyarakat adat. Tidak mengherankan jika kita kemudian melihat kondisionalitas yang sama dalam UUPA 1960 dan bahkan yang lebih buruk lagi adalah UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, UU Pertambangan dan berbagai peraturan organik, termasuk Perpres 36/2005 dan Perpres No. 65/2006 yang telah disebutkan di atas. Pengelolaan hutan secara umum dan khusus dalam rangka pengelolaan keanekaragaman hayati hutan di Indonesia berlandaskan pada berbagai kebijakan mulai dari UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan Keputusan/Surat Edaran Direktur Jenderal. Kebijakan pemerintah yang telah dibuat merupakan landasan bagi seluruh stakeholder (aparat pemerintah, pengusaha, LSM, Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
137
masyarakat akademis dan umum) dalam melaksanakan pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya secara berkelanjutan. Berbagai ancaman terhadap kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya semakin meningkat, baik kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut: Pertama, Dualisme kebijakan pemerintah antara mengkonservasi dan mengeksploitasi sumberdaya hutan baik inter maupun antar departemen, sering mengakibatkan upaya konservasi sering dikalahkan oleh upaya eksploitasi. Kedua, Kuatnya egosektoral (inter dan antar sektoral) telah mengakibatkan banyak kawasan hutan (produksi dan konservasi) yang harus berubah fungsi untuk kegiatan pembangungan di sektor lain, contoh kasus antara Departemen Kehutanan dengan Departemen Pertambangan kaitannya dengan pemanfaatan kawasan konservasi yang terdapat bahan tambang potensial di dalamnya. Pertimbangan atas nilai ekonomi bahan tambang dan ketidakmampuan mengungkapkan nilai ekonomi kawasan konservasi, akan menjadi ancaman bagi keutuhan kawasan-kawasan konservasi yang di dalamnya terdapat bahan tambang yang potensial. Ketiga, Kebijakan dalam penentuan kawasan sebagai hutan produksi, hutan konservasi dan hutan lindung lebih mendasarkan pada kondisi lahan (jenis tanah, kelerengan, curah hujan) dan tidak mendasarkan pada potensi dan kepentingan keanekaragaman hayatinya, sehingga hutan dataran rendah yang memiliki kekayaan keanekaragaman paling tinggi justru dialokasikan sebagai hutan produksi, bahkan dialokasikan untuk dikonversi bagi pembangunan sektor lain (perkebunan, transmigrasi. Keempat, Kebijakan pengelolaan hutan yang mengakibatkan tertutupnya akses masyarakat lokal terhadap kawasan hutan (produksi dan konservasi), telah mengakibatkan konflik yang berkepanjangan dengan masyarakat lokal. Kelima, Pengalihan kewenangan pengelolaan hutan kepada daerah ternyata telah mengakibatkan semakin maraknya eksploitasi hutan yang tidak lagi mengindahkan aspek-aspek kelestarian. Hal ini dapat terjadi karena kesadaran para pejabat pemerintah daerah untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati dan melestarikan sumberdaya hutan masih rendah. Keinginan untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara mudah dan cepat telah mengkibatkan meningkatnya eksploitasi hutan (seperti terjadi di Riau dan Kalimantan Timur), tanpa mengindahkan aspek kelestarian. Keenam, Kebijakan pemerintah dalam memberikan ijin industri kayu yang ijin ini diberikan bukan oleh Departemen Kehutanan telah mengakibatkan permintaan kayu nasional lebih besar dari pada pasokan legal (Hak Pengusahaan Hutan, Hutan Tanaman Industri, Izin Pengelolaan 138
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Kawasan) sehingga marak terjadi pencurian kayu (pasokan kayu ilegal ) untuk memenuhi kebutuhan kayu nasional tersebut. Ketujuh, Keberpihakan pemerintah kepada konglomerat (pengusaha) dalam pengelolaan hutan telah menimbulkan ‘dendam dan sakit hati’ bagi masyarakat lokal yang merasa juga berhak memiliki hutan, sehingga setelah reformasi bergulir, sebagian masyarakat lokal berlomba untuk memperoleh haknya kembali dengan memanen hasil hutan sesuai dengan kebutuhan mereka. Selama ini masyarakat hanya diperlakukan sebagai penonton terhadap eksploitasi hutan di daerahnya, yang telah memberikan kekayaan yang sangat besar bagi pengusaha. Kedelapan, Tidak terjaminnya kepastian usaha dalam pengusahaan hutan (bagi HPH) mengakibatkan terjadinya eksploitasi habis-habisan (over eksplitasi) oleh para pengusaha HPH untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat dan untuk mengimbangi (membayar) pungutan-pungutan baik yang sifatnya resmi maupun tidak resmi. Kesembilan, Kayu hutan tidak ditetapkan sebagai asset tetap dalam pengusahaan hutan sehingga untuk memperoleh keuntungan maksimal maka HPH mengekploitasi hutan habis-habisan. Kesepuluh, Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam menilai kinerja sebuah HPH tidak berdasarkan pada kondisi hutan paska eksploitasi tidak berdasar pada kelestarian hutan tetapi lebih kepada akuntansi kehutanan. Kinerja dikatakan baik jika akuntabilitasnya tinggi. Untuk memperoleh akuntabilitas yang tinggi maka HPH akan cenderung untuk memperbesar eksploitasi. Disamping kesepuluh kebijakan yang menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan sumber daya hutan, masih terdapat beberapa faktor yang menyebabkan adanya masalah tumpang tindih tersebut. Pertama, Penggabungan banyak HPH yang kinerjanya buruk di luar Jawa dengan PT. INHUTANI (I sampai V) semakin memperparah kerusakan hutan yang terjadi karena pada kenyataannya di lapangan mereka juga (para pemegang HPH) yang masih melaksanakan eksploitasi ditambah beban harus berbagi hasil dengan PT. INHUTANI. Kedua, Kegiatan AMDAL, kebijakan yang mewajibkan HPH melaksanakan perlindungan terhadap flora fauna (terutama yang dilindungi), pengalokasian dan pengelolaan Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah, pada kenyataannya masih bersifat formalitas, implementasi dan monitoringnya di lapangan masih sangat kurang. Sanksi dan penegakan hukum bagi HPH yang melanggar ketentuan ini juga masih lemah. Hal ini mengakibatkan HPH tidak peduli terhadap keberadaan satwa dan tumbuhan yang dilindungi yang berada di dalam areal konsesinya. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
139
Ketiga, Kawasan konservasi di Indonesia sangat luas dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia, yang selama ini dikelola secara sentralistik, mempunyaii banyak kelemahan terutama dalam perlindungan dan pengamanannya. Keterbatasan sumberdaya manusia, dana, prasarana dan sarana yang lainnya, mengakibatkan tidak kemampuannya dalam menanggulangi gangguan terhadap kawasan maupun perburuan liar. Keempat, Konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang dilaksanakan selama ini masih cenderung kepada perlindungan dan pengawetan, belum mengarah kepada aspek pemanfaatan sehingga konservasi masih dianggap sebagai kegiatan yang memerlukan banyak dana sehingga sering dikalahkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis pemanfaatannya untuk kepentingan lain. Kelima, Masih sangat kurangnya penilaian ekonomi terhadap kawasan konservasi secara integrated telah mengakibatkan kawasan ini sering dikalahkan oleh kepentingan lain (oleh sektor) lain yang merasa mempunyai nilai ekonomis lebih tinggi. Keenam, Euforia reformasi bagi sebagian masyarakat lokal yang tadinya aksesnya terhadap sumberdaya hutan tertutup, telah mengakibatkan masyarakat merasa punya hak dan bebas memanen hasil hutan sesuai dengan keinginan mereka. Ketujuh, Masih lemahnya penegakan hukum bagi para perambah kawasan hutan (konservasi, produksi dan hutan lindung), mengakibatkan perambahan hutan cenderung terus meningkat. Kedelapan, Pengawasan peredaran satwa dan tumbuhan juga masih lemah. Selain itu adanya kesulitan untuk menelusuri asal tumbuhan dan satwa yang diperdagangkan apakah berasal dari hasil penangkaran atau tangkapan alam (perburuan liar). Kegiatan sektor-sektor lainnya seperti Departemen Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum telah menyebabkan dampak terhadap keanekaragaman hayati yang harus dipertimbangkan. BAPPENAS sebagai perencana pembangunan nasional dan BAPPEDA di propinsi dan kabupaten juga memiliki tanggung jawab kunci untuk konservasi keanekaragaman hayati. LSM-LSM Indonesia telah memainkan peran aktif dalam merangsang ketertarikan umum dalam isu-isu keanekaragaman hayati. Di Indonesia terdapat lebih dari 400 LSM di seluruh nusantara yang bekerja bersama masyarakat lokal untuk menekan perusakan dan degradasi habitat alam, seperti rehabilitasi mangrove, pembinaan kawasan konservasi, pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi, penelitian-penelitian dan kajian kenakeragaman hayati dan kegiatan-kegiatan konservasi yang lainnya.93 93 Chip Fay & Martua Sirait, Mereformasi Para Reformis di Indonesia Pasca Soeharto, (Yakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm.156-158. 140
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Hambatan serius bagi keefekifan program-program konservasi ditinjau dari kelembagaan adalah banyaknya lembaga yang bertanggung jawab secara langsung pada perlindungan keanekaragaman hayati dan kurang terkoordinasikannya lembaga-lembaga tersebut di dalam merencanakan dan melaksanakan program aksi konservasi keanekaragaman hayati. Selain itu dengan bergulirnya desentralisasi, maka diperlukan suatu mekanisme yang tepat yang mengatur keterkaitan antara lembaga yang ada di pusat dan yang di daerah di dalam program pengelolaan keanekaragaman hayati. Secara umum pendanaan untuk pengelolaan sumberdaya hayati masih sangat terbatas, terutama semenjak krisis ekonomi tahun 1997, pendanaan untuk pengelolaan keanekaragaman hayati ini semakin terbatas. Pendanaan yang semakin terbatas ini sebagian besar dialokasikan ke kantor pusat dan taman nasional, yang alokasinya sebagian besar digunakan untuk membayar gaji staf. Bantuan pendanaan dari lembaga-lembaga donor secara umum juga masih terkonsentrasi pada kawasan taman nasional, inipun tidak tersebar secara merata, sedangkan pendaan unutk kawasan konservasi yang lain masih sangat terbatas.94 Jumlah sumberdaya manusia yang memadai secara kuantitas dan kualitas dalam pengelolaan keanekaragaman hayati juga masih terbatas dan belum tersebar merata. Hal ini juga menjadi hambatan besar di dalam pengelolaan keanekaragaman hayati. Apalagi jika dikaitkan dengan desentralisasi, maka jumlah dan kualitas sumberdaya hayati di daerah yang dapat diandalkan dalam pengelolaan sumberdaya hayati juga semakin terbatas. C. Peranan Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Paragraf-paragraf berikut ini akan menguraikan tentang konsep peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan, kebijakan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, peran serta masyarakat di beberapa negara dalam pengelolaan hutan. 1. Konsep Peranan Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Taman Nasional Secara terminologi peran serta masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dengan yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Bahasa yang lebih khusus lagi, peran serta sesungguhnya merupakan ”insentif moral” yang memampukan kelompok non-elite utnuk merundingkan paket-paket baru
94 Sumardja, Beberapa Sumbangan Pemikiran Untuk Pembentukan Sistem Taman Nasional, (Michigan: School of Natural Resources The University of Michigan, 1997), hlm.40. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
141
”insentif materiel” yang mereka butuhkan.95 Dengan perkataan lain, insentif moral tersebut berfungsi selaku ”paspor” mereka untuk mempengaruhi lingkup-lingkup makro yang lebih tinggi, tempat dibuatkannya keputusankeputusan yang sangat menentukan kesejahteraan mereka. Dalam konteks perencanaan proyek atau kegiatan misalnya, masih banyak yang memandang peran serta masyarakat sebagai public information (penyampaian informasi), edukasi, bahkan hanya sekedar alat ”public relation” agar proyek tertentu dapat berjalan tanpa hambatan (getting a project through). Oleh karenanya peran serta masyarakat tidak saja digunakan sebagai tujuan. Disamping persepsi seperti yang dikemukakan Goulet, yaitu peran serta masyarakat sebagai insentif moral, guna mewujudkan insentif materiel, maka Wengert merinci persepsi tentang peran serta masyarakat sebagai berikut96: a. Peran serta masyarakat sebagai suatu kebijaksanaan. Penganut paham ini berpendapat bahwa peran serta masyarakat merupakan suatu kebijaksanaan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan atau terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk dikonsultasi (right to be consulted). b. Peran serta masyarakat sebagai strategi. Paham ini mendalilkan bahwa peran serta masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Pendapat ini didasarkan kepada suatu paham bahwa apabila masyarakat merasa memiliki akses terhadap proses pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat pada tiap tingkatan pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka kredibilitas dari keputusan tersebut akan dengan sendirinya timbul. c. Peran serta masyarakat sebagai alat komunikasi Peran serta masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebu adalah input yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif.
95 Mas Achmad Santosa, Peran Serta Masyarakat dan Potensi Peningkatannya di Indonesia, 1990. Dalam Budi Riyanto, Pemberdayaan Masyarakat sekitar Hutan Dalam Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam, (Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, 2005), hlm. 35. 96 Ibid, hlm. 36. 142
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
d. Peran serta masyarakat sebagai terapi Peran serta masyarakat menurut persepsi ini dilakukan sebagai upaya untuk mengobati masalah-masalah psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidak berdayaan (sense of powerlessness), tidak percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka (participants) bukan sebagai komponen penting dalam masyarakat. Fungsi peran serta masyarakat menurut Koesnadi Hardjasoemantri, dalam pengelolaan lingkungan hidup mempunyai jangkauan yang luas. Peran serta tersebut tidak hanya meliputi peran serta para individu yang terbawa berbagai peraturan atau keputusan administratif, akan tetapi meliputi pula peran serta kelompok dan organisasi masyarakat. Peran serta efektif dapat melayani kemampuan orang seorang, baik dari sudut kemampuan keuangan maupun dari sudut kemampuan pengetahuannya, sehingga peran serta kelompok dan organisasi sangat diperlukan terutama yang bergerak di bidang lingkungan hidup.97 Dari sudut kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, tentu saja berbagai bentuk partisipasi di atas memiliki gradasi dan tingkatannya masing-masing. Arnstein dalam tipologinya yang dikenal sebagai ”Delapan Tangga Partisipasi Masyarakat” menjabarkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat hakiki antara peran serta yang disebut sebagai ”empty ritual” dengan peran serta yang ”real”. Kedelapan tangga yang semakin lama semakin tinggi itu adalah 1) manipulasi (manipulation); 2) terapi (therapy); 3) menyampaikan informasi (informing); 4) konsultasi (consultation); 5) menangkan/meredam kemarahan (placation); kemitraan (partnership); 7) pendelegasian kekuasaan (delegated power); 8) pengawasan masyarakat (citizen control).98 Dua tangga terbawah dikategorikan sebagai ”non participation”, dengan menempatkan bentuk-bentuk partisipasi yang dinamakan 1) manipulasi dan 2) terapi. Sasaran yang sesungguhnya dari kedua bentuk pendekatan ini adalah untuk mendidik dan mengobati partisipan. Tangga ketiga, keempat, dan kelima dikategorikan sebagai tingkat ”tokenisme” (degrees of tokenism), yaitu suatu tingkat partisipasi dimana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Menurut Arnstein, apabila partisipasi hanya dibatasi pada tingkatan ini maka upaya 97 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Keempat Belas, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001), hlm. 105. 98 Arnstein, Shery R, Ladder of Citizen Participation. Dalam Budi Riyatno, Pemberdayaan Masyarakat sekitar Hutan Dalam Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam, (Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, 2005), hlm. 38. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
143
perubahan masyarakat (participants) menuju keadaan yang lebih baik kecil kemungkinan akan terjadi. Dalam tingkat ”tokenism” termasuk didalamnya informing (menyampaikan informasi), consultation (konsultasi) dan placation (memenangkan/meredamkan kemarahan). Selanjutnya Arnstein mengkategorikan tiga tangga teratas ke dalam tingkat kekuasaan masyarakat (degrees of citizen power). Masyarakat dalam tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pada tingkat ini masyarakat dapat menjalankan kemitraan (partnership), dengan memiliki kemampuan tawar menawar bersama-sama penguasa atau pada tingkatan yang lebih tinggi pendelegasian kekuasaan (delegated power) dan pengawasan masyarakat (citizen control). Pada tingkat ketujuh dan kedelapan, masyarakat (non-elit) memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu obyek kebijaksanaan tertentu.99 Lothar Ginting, mengemukakan pentingnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan sebagai berikut100: a. Memberi Informasi Kepada Pemerintah Peran serta masyarakat terutama akan menambah pengetahuan khusus mengenai suatu masalah, baik yang diperoleh dari pengetahuan khusus masyarakat itu sendiri maupun dari para ahli yang diminta pendapat oleh masyarakat. Lebih lanjut peran serta masyarakat tersebut adalah penting dan tak dapat diabaikan dalam rangka memberi informasi kepada Pemerintah mengenai masalah-masalah dan konsekuensi yang timbul dari tindakan yang direncanakan Pemerintah. Dengan demikian Pemerintah dapat mengetahui adanya berbagai kepentingan yang dapat terkena tindakan tersebut dan perlu diperhatikan. Pengetahuan khusus tambahan serta pengetahuan tambahan tentang masalah-masalah yang mungkin timbul itu, yang merupakan masukan peran serta masyarakat, dapat meningkatkan keputusan yang akan diambil dan dengan demikian peran serta masyarakat dapat meningkatkan mutu tindakan Pemerintah dan lembaga-lembaganya untuk melindungi lingkungan hidup. b. Meningkatkan Kesediaan Masyarakat untuk Menerima Keputusan. Seorang warga masyarakat yang telah memperoleh kesempatan untuk berperan serta dalam proses pengambilan keputusan dan tidak dihadapkan pada suatu fait accompli akan cenderung untuk memperlihatkan kesediaan yang lebih besar guna menerima dan meyesuaikan diri dengan keputusan tersebut. Pada pihak lain dan ini adalah lebih penting, peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan akan dapat banyak mengurangi kemungkinan timbulnya 99 Ibid. 100 Koesnadi hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999), hlm. 104-106. 144
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
pertentangan, asal peran serta tersebut dilaksanakan pada saat yang tepat dan berhasil guna. Akan tetapi perlu dipahami, bahwa keputusan tidak akan pernah akan memuaskan semua kepentingan, semua golongan atau semua warga masyarakat; namun kesediaan masyarakat untuk menerima Keputusan Pemerintah akan dapat ditingkatkan. c. Membantu Perlindungan Hukum Apabila sebuah keputusan akhir diambiil dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang diajukan oleh masyarakat selama proses pengambilan keputusan berlangsung, maka dalam banyak hal tidak aka nada keperluan untuk mengajukan perkara ke pengadilan. Apabila sebuah perkara diajukan ke pengadilan, maka lazimnya perkara tersebut memusatkan diri pada sesuatu kegiatan tertentu. Dengan demikian tidak dibuka kesempatan untuk menyarankan dan mempertimbangkan alternative-alternatif lainnya. Sebaliknya di dalam proses pengambilan keputusan, alternativealternatif dapat dan memang dibicarakan, setidak-tidaknya sampai suatu tingkatan tertentu. Selain daripada itu ada beberapa bentuk tindakan administrative, seperti misalnya pemberian izin untuk kegiatankegiatan yang berhubungan dnegan bahan pencemaran (pollutant), dimana undang-undang dapat menangguhkan aksi perdata dengan ketentuan dikaitkan pada tenggat waktu tertentu. Apabila sebuah keputusan dapat mempunyai konsekuensi begitu jauh, maka sangatlah diharapkan bahwa setiap orang yang akan terkena akibat keputusan itu perlu diberitahukan dan mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatan-keberatannya sebelum keputusan itu diambil. d. Mendemokratiskan Pengambilan Keputusan. Peran seta masyarakat dapatlah dipandang untuk membantu Negara dan lembaga-lembaganya guna melaksanakan tugas-tugasnya dengan cara yang lebih dapat diterima dan berhasil guna. Peran serta masyarakat dapat efektif apabila diperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan pemberian informasi kepada masyarakat. Masalah-masalah yang berkaitan dengan pemberian informasi kepada masyarakat adlah sebagai berikut101: a. Pemastian penerimaan informasi; Berbagai peraturan perundang-undangan nasional telah memuat ketentuan yang mengharuskan badan-badan yang bersangkutan untuk mengumumkan rencana kegiatan-kegiatan dalam penerbitanpenerbitan resmi dan atau melalui media massa, baik pada tingkat local, regional, maupun pada tingkat nasional, tergantung pada ruang lingkup 101 Ibid., hal 100-102 Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
145
rencana kegiatan tersebut. Badan-badan tersebut diwajibkan pula untuk memamerkan dalam kurun tertentu dokumen-dokumen seperti misalnya uraian-uraian proyek, permohonan-permohonan izin dan sampai batas tertentu juga laporan-laporan, hasil studi serta pendapat-pendapat dan saran-saran. Pameran dokumen-dokumen tersebut dilakukan ditempat umum yang mudah dikunjungi masyarakat.102 b. Informasi tepat waktu (timely information) Peran serta masyarakat yang berhasil guna memerlukan informasi sedini dan seteliti mungkin. Informasi perlu diberikan pada saat belum diambil suatu keputusan yang mengikat serta masih ada kesempatan untuk mengusulkan alternative-alternatif. Memberikan informasi sedini mungkin ini adalah salah satu tujuan dari peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat, misalnya tentang keharusan secepat mungkin mengumumkan rancangan Environmental Impact Statement (EIS), mengingat bahwa EIS itu merupakan sarana untuk memperkirakan dampak rencana kegiatan dan bukan untuk membenarkan sesuatu keputusan yang telah diambil. c. Informasi lengkap (comprehensive information); Mengenai isi yang perlu dituangkan dalam informasi terdapat banyak perbedaan dari Negara ke Negara. Ketentuan yang mengatur hal ini, yang dikaitkan dengan peran serta masyarakat, terdapat secara lebih lengkap dalam peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat. Draft EIS misalnya sudah harus mempertimbangkan alternativealternatif lainnya mengenai sesuatu rencana kegiatan. d. Informasi yang dapat dipahami (comprehensive information); Sesuatu informasi harus dapat dipahami oleh warga masyarakat karena kalau tidak maka informasi tersebut tidak berguna sama sekali. Pengambilan keputusan di bidang lingkungan hidup sering meliputi masalah-masalah yang amat kompleks dan bersifat teknis ilmiah yang rumit. Namun tetap harus diusahakan agar informasi mengenai masalah tersebut dapat dipahami oleh masyarakat. Oleh karena itu dalam peraturan perundang-undangan beberapa Negara dimuat ketentuan mengenai perlunya informasi disajikan dengan bahasa yang dapat dipahami.103 102 Di Amerika Serikat dikembangkan kebiasaa, yaitu disamping adanya pengumuman kepada masyarakat melalui media sebagaimana diuraikan di atas, juga dikirimkan pemberitahukan kepada warga masyarakat, kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi konservasi alam yang menaruh perhatian. Daftar mereka ini senantiasa dipelihara untuk keperluan pengiriman pemberitahuan, bahan-bahan dan sebagainya. 103 Di Amerika Serikat terdapat ketentuan tentang rekomendasi mengenai perlunya EIS dirancang dalam bentuk yang mudah dipahami, dengan perhatian lebih banyak diberikan kepada isi dari informasi daripada kepada bentuk tertentu, atau kepada ketentuan-ketentuan formal lainnya secara ketat. 146
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
e. Informasi lintas batas (transfrontier information) Masalah yang sangat penting ditimbulkan oleh pencemaran lintas batas (transfrontier pollution). Bentuk-bentuk dan kegiatan-kegiatan pencemaran tertentu di daerah-daerah perbatasan dapat melintasi batasbatas Negara dan memberikan dampak kepada warga masyarakat yang hidup di Negara-negara yang berbatasan. Ada beberapa alasan yang membenarkan akan arti penting dari peran serta masyarakat dalam pembangunan, yaitu104: a. Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan, sehingga partisipasi merupakan dalil logis dari hal yang diakibatkan. b. Peran serta menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang diakibatkan. c. Peran serta menciptakan suatu lingkaran umpan balik bagi arus informasi tentang sikap, aspirasi dan kebutuhan serta kondisi daerah yang tanpa kesadarannya akan tidak terungkap. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya suatu pembangunan. d. Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari dimana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki. e. Partisipasi memperluas zone (kawasan) penerimaan proyek pembangunann. f. Partisipasi akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. g. Partisipasi menopang pembangunan. h. Partisipaso menyediakan lingkungan yang kondusif bagi aktualisasi potensi manusia maupun bagi pertumbuhan manusia secara kualitatif. i. Partisipasi merupakan cara yang efektif untuk membangun kemampuan masyarakat agar mampu mengelola program pembangunan guna memenuhi kebutuhan kas daerah. j. Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokrasi individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri. Menurut Koesnadi Hardjasoemnatri, yaitu guna mendayagunakan dan menghasilkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, Ketentuan yang sama terdapat di Republik Jerman mengenai prosedur perizinan. Para pemohon izin diwajibkan menyampaikan uraian singkat mengenai proyek mereka dengan cara yang mudah dipahami oleh masyarakat tentang dampak potensial yang ditimbulkan oleh proyek tersebut terhadap lingkungan. 104 Waluyo Imam Saworo, Pemberdayaan Organisasi Lokal Tingkat Desa, (Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Disertasi, 2001), hal. 51-52. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
147
peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, perlu dipenuhi persyaratan sebagai berikut105: a. Pemimpin eksekutif yang terbuka Sebagaimana telah dikemukakan di atas, peran serta masyarakat tidak memasalahkan monopoli Negara dan lambing-lambangnya dalam wewenangnya untuk mengambil keputusan. Yang perlu diperhatikan adalah peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tersbut, sehingga keputusan yang kemudian diambil dapat diterima oleh masyarakat dan akan dilaksanakan oleh masyarakat karena didalamnya dapat refleksi dari keinginan masyarakat. Guna mengakomodasikan masukan dalam proses pengambilan keputusan, diperlukan sikap terbuka dari pemimpin eksekutif, sikap bersedia menerima masukan. Sikap bersedia ini tidaklah terbatas pada penerimaan secara pasif, akan tetapi meliputi pula secara aktif mencari masukan tersebut dan ini berarti menghubungi masyarakat dengan pendekatan pribadi (personal approach). b. Peraturan yang akomodatif Disamping adanya tata laksana peran serta masyarakat dalam pengelolaan hidup sebagaimana diamanatkan dalam ayat (3) pasal 5 Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur peran serta tersebut, maka dalam berbagai peraturan lainnya perlu dicantumkan ketentuan mengenai peran serta ini, sehingga para pelaksana mendapat pedoman tentang bagaimana melibatkan masyarakat dalam kegiatan yang diatur oleh peraturan yang bersangkutan. c. Masyarakat yang sadar lingkungan Kunci berhasilnya program pembangunan di bidang lingkungan hidup ada di tangan manusia dan masyarakat. Karena itu sangatlah penting untuk menumbuhkan pengertian, motivasi dan penghayatan di kalangan masyarakat untuk berperan serta dalam mengembangkan lingkungan hidup. ORNOP yang tanggap akan dapat banyak membantu pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang lingkungan hidup. Berbagai cara telah digunakan oleg WALHI dan ORNOPORNOP dalam mengemukakan pendapatnya yaitu diantaranya melalui dengar pendapat dengan DPR, melalui mass media (Koran, radio, TV) serta diskusi, seminar, symposium dan sebagainya.
105 Koesnadi Hardjasoemantri, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hiup,(Makalah yang disampaikan di Seminar Universitas Pancasila tanggal 10 Juni 1991), hal. 8-12. 148
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
d. Informasi yang tepat Ketepatan informasi berkaitan dengan tepat dalam waktu, lengkap dan dapat dipahami. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan aspek-aspek khusus yang ada pada kelompok sasaran. Misalnya, apabila diambil kelompok sasaran masyarakat pedesaan yang baru saja “melek huruf”, maka brosur informasi dengan huruf-huruf kecil tidak akan mencapai sasarannya, karena mereka terbiasa dengan huruf-huruf besar. Penggunaan bahasa daerah merupakan pula sasaran yang perlu diperhatikan apabila diinginkan agar sasaran, yaitu timbulnya pengertian tentang pengembangan lingkungan hidup, dicapai. e. Keterpaduan Segala sesuatu tidak akan berjalan dengan berhasilguna dan berdaya guna, bila tidak terdapat keterpaduan antar instansi, baik keterpaduan horizontal antar sektor maupun keterpaduan vertical antar pusat dan daerah. Kawasan konservasi harus merupakan hubungan yang serasi dengan program pembangunan berkelanjutan. Oleh sebab itu kawasan konservasi merupakan satu kesatuan di dalam system tata guna hutan wilayah. Integrasi kawasan konservasi ke dalam rencana pembangunan wilayah memerlukan hubungan yang terus menerus antara berbagai macam otoritas perencanaan dan pengelolaan serta yang terpenting adalah masyarakat setempat. Rumusan yang jelas dari kebutuhan dan tujuan konservasi dapat memberikan masukan yang sangat berguna dalam perencaan regional dan penerapannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebutuhan akan keberadaan kawasan konservasi seharusnya muncul di daerah terhadap arti kawasan konservasi. Pada saat itu penetapan kawasan konservasi sering dianggap sebagai penghambat pembangunan, terutama pembangunan yang memanfaatkan pembukaan lahan hutan seperti perkebunan dan pertanian.106 Masyarakat sekitar hutan termasuk masyarakat hukum adat yang hidup secara tradisional di dalam kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan keberadaannya telah diakui oleh pemerintah. Dalam rangka pengelolaan hutan yang harus berbasis pada peran masyarakat, maka prinsip dasar yang harus dikembangkan adalah107: a. Prinsip Co-Ownership yaitu bahwa kawasan hutan adalah milik bersama yang harus dilindungi secara bersama-sama, untuk itu ada hak-hak masyarakat di dalamnya yang harus diakui namun juga perlindungan yang harus dilakukan bersama; 106 Ibid., 107 Ditjen PHKA, Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi, Makalah Seminar. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
149
b. Prinsip Co-Operation/Co-Management yaitu bahwa kepemilikan bersama mengharuskan pengelolaan hutan untuk dilakukan bersamasama seluruh komponen masyarakat (stakeholders) yang terdiri dari pemerintah, masyarakat dan ORNOP yang harus bekerja bersama; c. Prinsip Co-Responsibility yaitu bahwa keberadaan kawasan hutan menjadi tanggung jawab bersama karena pengelolaan kawasan hutan merupakan tujuan bersama. Ketiga prinsip tersebut di atas dilaksanakan secara terpadu sehingga fungsi kelestarian hutan tercapai dengan melibatkan secara aktif peran serta masyarakat sekitar hutan. Namun demikian agar masyarakat mampu berpartisipasi maka perlu keberdayaan baik ekonomi, social dan pendidikan. Untuk itu perlu kebijakan pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan agar meningkatkan kesejahteraannya. Konsep pemberdayaan pada dasarnya dibangun dari ide yang menempatkan manusia lebih sebagai subyek dari dunianya sendiri. Terdapat dua kecenderungan proses pemberdayaan. Pertama adalah proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dilengkapi dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kecenderungan proses ini dapat pula disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Kedua adalah kecenderungan sekunder yang lebih menekankan melalui proses dialog. Kecenderungan ini terkait dengan kemampuan individu untuk mengontrol lingkungannya. Agar kecenderungan primer dapat terwujud, maka harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.108 Sumber utama pemberdayaan adalah rumah tangga yang pada dasarnya merupakan suatu unit yang proaktif dan produktif. Rumah tangga juga merupakan kumpulan tiga kekuatan, yaitu social, politik, dan psikologis. Kekuatan social menyangkut akses terhadap dasar-dasar produksi tertentu suatu rumah tangga. Peningkatan atas kekuatan social secara langsung juga berarti peningkatan terhadap dasar-dasar kekayaan produktif rumah tangga itu sendiri. Kekuatan politik dalam rumah tangga meliputi akses pembuatan keputusan terutama keputusan yang mempengaruhi masa depan rumah tangga itu sendiri. Kekuatan ini selain merupakan kekuatan untuk memberikan suara juga merupakan kekuatan untuk menjadi vocal dan untuk bertindak secara kolektif. Sedangkan kekuatan psikologis dalam rumah tangga digambarkan sebagai rasa potensi individu yang menunjukkan perilaku percaya diri. Rasa 108 Ibid., 150
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
potensi pribadi yang semakin tinggi akan memberikan pengaruh positif terhadap perjuangan rumah tangga yang secara terus menerus berusaha untuk meningkatkan kekuatan social politiknya. Secara luas dapat disampaikan bahwa pemberdayaan dapat dipersamakan dengan perolehan kekuatas atas akses terhadap sumber daya untuk mencari nafkah. Pada posisi tersebut, masing-masing individu mempunyai pilihan dan kontrol di semua aspek. Pemberdayaan juga merupakan suatu proses yang menyangkut hubungan-hubungan kekuasaan (kekuatan) yang berubah antara individu, kelompok dan lembaga-lembaga social. Disamping itu, pemberdayaan juga merupakan proses perubahan pribadi karena masing-masing individu mengambil tindakan atas nama diri mereka sendiri dan kemudian mempertegas kembali pemahamannya terhadap dunia tempat tinggal. Pemberdayaan juga berarti pembagian kekuasaan yang adil (equitable sharing of power) sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan. Sedang dari perspektif lingkungan, pemberdayaan mengacu pada pengamanan akses terhadap sumber daya alami dan pengelolaannya secara berkelanjutan. Secara sederhana, konsep pemberdayaan mengacu kepada kemampuan masyarakat untuk mendapat akses dan control atas sumber-sumber hidup yang penting. Konsep pemberdayaan merupakan konsep baru, mulai dikaji secara mendalam sejak decade 70-an, berkembang terus sampai sekarang. Menurut Pranaka109, konsep ini merupakan konsep yang terlalu umum dan kadang-kadang hanya menyentuh cabang atau daun namun tidak menyentuh akar permasalahan. Belum ada gambaran yang memuaskan tentang konsep empowerment sampai saat ini. Walaupun demikian, menurut Pranarka konsep empowerment muncul di awal gerakan modern di Eropa, dimana muncul gelombang pemikiran baru yang menentang kekuasaan mutlak dari agama (gereja dan raja). Masyarakat menghendaki adanya alternative lain yang memerintah melalui proses empowerment. Karena belum adanya kesepatan mengenai definisi empowerment orang lebih senang melihat sifat empowerment saja sebagai suatu fenomena berupa proses yang akan memberikan manfaat baik bagi perorangan dalam organisasi maupun organisasi itu sendiri: Pertama, membantu agar masyarakat dapat lebih mengkontrol kegiatan sendiri maupun lingkungan; Kedua, membantu masyarakat memperbesar atau memperkuat kapasitas kemampuan (enabling) dalam melaksanakan tugas masing-masing; Ketiga, membantu memperbesar kesempatan anggota masyarakat untuk tumbuh, berkembang dan mandiri.110 109 Majalah Kehutanan Indonesia Edisi I tahun 2002, hal. 23 110 Waluyo Imam Isworo, 2002, op.cit., Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
151
Secara singkat, Stewart111 mengatakan bahwa: “Empowering is quite simple, a highly practical and productive way to get the best from yourself and your staff”. Jadi empowering itu merupakan suatu alat bukan tujuan. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat sekitar hutan tujuannya adalah kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Hal tersebut sesuai dengan filosofis pembangunan kehutanan yaitu untuk kesejahteraan masyarakat. Guna berhasilnya empowerment menurut Stewart112 organisasi perlu memperhatikan 7 (tujuh) variable yaitu variable envision113, educate114, eliminate barriers115, express116, enthuse117, equip118, dan evaluate119.
111 Stewart,Empowering People, (London: Pustman Publishing, 1994), hlm.6 112 Ibid., hal 73-86 113 Para manager harus mampu menggambarkan apa yang diinginkan oleh organisasi sehingga anggota organisasi mengetahui dengan jelas kemana organisasi bergerak dan mengapa demikian. 114 Staf organisasi perlu diberi pengertian yang cukup tentang apa dan mengapa suatu kepitusan yang tepat harus diambil. Hal ini memerlukan pendidikan bukan hanya sekedar pelatihan bagi para anggota. Latihan lebih menekankan kepada usaha memperoleh perilaku yang standar yang akan menghasilkan skill tertentu. 115 Pemimpin harus dapat menghilangkan segala harapan bagi proses pemberdayaan. Dalam kaitan ini pertama-tama perlu bagi pimpinan untuk menjamin agar seluruh system dan prosedur mendukung pencapaian tujuan maupun proses pemberdayaan. Kalau perlu staf dan factor administrative atau technical disingkirkan, dan sudah barang tentu hal itu semua dilakukan dengan bijaksana. 116 Agar proses pemberdayaan memperoleh dukungan staf maka pimpinan harus dapat menyatakan (mengekspresikan) dengan jelas apa pemberdayaan itu, serta apa pula manfaatnya bagi individu yang bersangkutan maupun bagi unit kerjanya. Staf organisasi haruslah diberitahu dengan jelas pemberdayaan dengan alasan-alasan yang dapat diterima. 117 Pimpinan mendorong perasaan dan emosi anggota kearah pemahaman akan pentingnya pemberdayaan bagi organisasi maupun bagi dirinya. Untuk keperluan tersebut pimpinan maupun staf harus lebih berkonsentrasi pada hal-hal yang menyangkut manfaat yang akan diperoleh daripada memperhatikan masalah-masalah kecil yang mungkin menghalangi proses pemberdayaan. 118 Evaluasi harus dilaksanakan secara menerus. Untuk keperluan evaluasi harus ada standar yang jelas bagi setiap orang maupun setiap pekerjaan. Standar yang jelas akan sangat membantu dalam usaha medeteksi kemungkinan penyimpangan yang terjadi ataupun tindakan koreksi apa yang diperlukan agar proses tersebut di atas dapat berjalan dengan baik. 119 Evaluasi harus dilaksanakan secara terus menerus. Untuk keperluan evaluasi harus ada standar yang jelas bagi setiap orang maupun setiap pekerjaan. Standar yang jelas akan sangat membantu dalam usaha mendeteksi kemungkinan penyimpangan yang terjadi ataupun tindakan koreksi apa yang diperlukan agar proses tersebut di atas dapat berjalan dengan baik. 152
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Selanjutnya Allan D. Wallis (1996) dalam Syamsuni Arman120 2000 mengemukakan bahwa muncul paradigma baru yang melihat suatu masyarakat sebagai wujud yang utuh. Konsep pengembangan bertujuan untuk memberikan pemberdayaan bagi masyarakat dalam merumuskan masalah yang dihadapi dan mencari solusinya sendiri. Pendekatan baru ini bertumpu pada 6 prinsip utama yaitu: 1) modal masyarakat (social capital), yaitu pengembangan yang ditujukan kepada pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kesadaran mengenai kerjasama dan nilai-nilai yang disepakati; 2) infrastruktur masyarakat (civil infrastructure), yaitu pengembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan informal yang berorientasi kepada kemajuan. 3) Orientasi kepemilikan (asset orientation), pengembangan yang bertumpu pada penggalian kemampuan masyarakat sebagai modal pengembangan. 4) Kerjasama (colaboration), yaitu mengembangkan pola kerjasama yang tumbuh dari dalam. 5) Visi dan tindakan strategis (vision and strategic action) yaitu membangun visi-visi dna mengidentifikasi langkah-langkah strategis oleh masyarakat. 6) Seni demokrasi (art democracy) yaitu mempromosikan cara-cara bertindak yang merangsang partisipasi dan tumbuhnya inisiatif dari dalam. Lebih lanjut menurut Financial Moore Lapped dan Paul Dubois dalam Syamsuni Arman 2000121 ada 10 seni demokrasi yang perlu dikembangkan oleh agent pembangunan dalam upaya pemberdayaan masyarakat, yaitu: 1) Active listening: banyak mendengar sambil berusaha menangkap makna dari apa yang dibicarakan masyarakat; 2) Creative conflict: menonjolkan perbedaan yang merangsang pertumbuhan; 3) Mediation: memberikan fasilitas agar pihak-pihak yang berbeda pendapat dapat mendengar pendapat satu sama lain; 4) Negotiation: penyelesaian yang menyentuh kepentingan kunci dari semua pihak yang terlibat; 120 Syamsuni Arman, Pemetaan Partisipatif Kawasan Sumber Daya Alam Masyarakat Daya Puna di Sekitar dan Kawasan Taman Nasional Bentuang Karimun, (Kalimantan Barat: Prosiding RPPN Bentuang Karimun 2000 s/d 2004, 2000). 121 Ibid., Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
153
5) Political imagination: memberikan gambaran masa depan sesuai dengan nilai yang dianut bersama; 6) Public dialogue: pembicaraan di depan umum tentang hal-hal yang menyentuh kepentingan bersama; 7) Public judgement: memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih diantara alternative yang mereka bersedia melaksanakannya; 8) Celebration and appreciation: menilai kembali dan mempergunakan hasilnya dalam tindakan; 9) Evaluation and reflection: menilai kembali dan mempergunakan hasilnya dalam tindakan; 10) Monitoring: membimbing dan membantu anggota masyarakat dalam proses belajar tentang seni kehidupan bermasyarakat. 2. Kebijakan Peranan Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Taman Nasional Peraturan perundang-undangan yang mengatur peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup antara lain sebagai berikut : Pertama, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 37 menyebutkan: “peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna”. Penjelasannya menyebutkan peran serta rakyat yang dimaksud adalah peran serta rakyat berupa perorangan dan kelompok masyarakat baik yang terorganisasi maupun tidak. Agar rakyat dapat berperan serta secara aktif dalam kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, maka melalui kegiatan penyulusah, pemerintah perlu mengharapkan dan menggerakkan dengan mengikutsertakan kelompok masyarakat. Ketentuan pasal tersebut menunjukkan bahwa peran serta rakyat dalam pengelolaan kawasan pelestarian alam masih berpola top-down. Pengaturan demikian untuk kondisi saat ini sangat tidak popular dan banyak menimbulkan pertentangan di masyarakat. Apabila diperhatikan, maka ketentuan pasal tersebut bermakna pemberdayaan kepada masyarakat khususnya di sekitar hutan. Namun demikian masyarakat hendaknya mendapat keuntungan dari kegiatan konservasi yang memanfaatkan dari potensi kawasan pada zona pemanfaatan taman nasional. Kedua, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Pasal 4 ayat (2) huruf b, menyebutkan bahwa: “setiap orang berhak untuk berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang”. Selanjutnya pasal 5 ayat (1) menyebutkan sebagai berikut: 154
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
“setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang” Pasal 4 ayat (2) huruf b, Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang. Dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah tersebut diatur tentang pelaksanaan hak dan kewajiban serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang, yaitu : Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat berhak: (1) Berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; (2) Mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang kawasan dan rencana rinci tata ruang kawasan. Berdasarkan ketentuan tersebut maka Pengaturan Undang-Undang No.24 tahun 1992 dalam hal peran serta rakyat jauh lebih maju dari UU No.5 tahun 1990. Ketiga, Undang-undang Republik Indonesia No.5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai keanekaragaman hayati. Pasal 13 menyebutkan bahwa para pihak wajib untuk bekerja sama dengan negara lain dan organisasi-organisasi internasional dalam mengembangkan program-program pendidikan dan kesadaran masyarakat, di bidang konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati. Keempat, Undang-Undang Republik Indonesia No,23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 5 ayat (3) menyebutkan bahwa: “setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku”. Dalam penjelasannya, peran serta yang dimaksud meliputi peran serta dalam proses pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan”. Mekanisme peran serta masyarakat yang dikembangkan dalam pengelolaan lingkungan sebagaimana diatur dalam UU No.23 tahun 1997 adalah melalui cara-cara sebagai berikut: (1) Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan; (2) Menumbuhkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; (3) Menumbuhkan ketanggapsertaan masyarakat untuk melakukan pengawasan social; (4) Memberikan saran pendapat (5) Menyampaikan informasi dan atau menyampaikan laporan. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
155
Kelima, Undang-undang Republik Indonesia No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 67 ayat (1) huruf c diatur bahwa pemerintah berkewajiban untuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Selanjutnya dalam pasal 68 diatur hak masyarakat terhadap hutan sebagai berikut : pasal 68 ayat (1) : Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. Selanjutnya pasal 68 ayat (2) : selain hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masyarakat dapat: (1) memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) mengetahui rencana peruntukkan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; (3) member informasi, saran serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan dan; (4) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. Sedangkan pasal 68 ayat (3) mengatur bahwa masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan pasal 68 ayat (4) mengatur bahwa setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam pasla 69 ayat (1) diatur kewajiban masyarakat dalam pengelolaan hutan yaitu masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan. Ketentuan pasal 69 ayat (2) mengatur bahwa dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain atau pemerintah. Ketentuan pasal-pasal tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasikan masyarakat sekitar hutan untuk berkiprah dalam pembangunan kehutanan dan memberikan kompensasi terhadap masyarakat yang dirugikan akibat pembangunan kehutanan. Masyarakat tidak dirugikan akibat pembangunan kehutanan, namun sebaliknya justru masyarakat memperoleh hasil dari pembangunan kehutanan. Oleh karena itu proses pemberdayaan masyarakat perlu terus ditingkatkan. Pada tataran Peraturan Pemerintah hingga saat ini belum disusun Peraturan Pemerintah tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun demikian dalam tataran Keputusan Menteri Kehutanan telah diterbitkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Social Forestry dan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Hutan Kemasyarakatan. Kebijakan kedua Keputusan menteri tersebut tidak semata-mata mengatur 156
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
pemberdayaan masyarakat sebagai tindak lanjut undang-undang konservasi hayati tetapi pengaturan pemberdayaan masyarakat secara umum dalam pengelolaan hutan. Keenam, Undang-undang Republik Indonesia No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 22 huurf b dan huruf d menyebutkan bahwa: “Pada prinsipnya mewajibkan pada pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan mewujudkan keadilan dan pemerataan122.” Dalam konsideran menimbang disebutkan bahwa untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam Negara kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam penjelasan umum Undang-undang No.32 tahun 2004 angka 1 huruf b antara lain disebutkan sebagai berikut : “Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut terbuka peluang bagi pemerintah daerah untuk menyusun Peraturan Daerah khususnya yang mengatur masalah perlindungankawasan dan pengelolaan zona penyangga taman nasional, serta Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan Masyarakat. Disamping ketentuan yang mengatur tentang peran serta masyarakat diatur dalam berbagai ketentuan undang-undang, maka peran serta masyarakat juga diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. a. Peraturan Pemerintah No.18 tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Pasal 10 huruf e: “Pengusahaan pariwisata alam wajib mengikutsertakan masyarakat di sekitar KPA dalam kegiatan usahanya”.123 Kegiatan pariwisata alam dimaksudkan untuk mengusahakan sarana dan prasarana wisata di taman wisata alam. Adapun maksud pengembangan pengusahaan pariwisata alam di kawasan pelestarian alam adalah untuk mengoptimalkan dan memantapkan pemanfaatan potensi objek dan daya tarik wisata alam di kawasan, pelestarian alam, 122 Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; pasal 22 huruf b dan d. 123 Yang dimaksud dengan Pariwisata Alam adalah Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam yang diusahakan oleh pelaku ekonomi. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
157
berdasarkan prinsip kelestarian guna meningkatkan pendapatan Negara dan kesejahteraan masyarakat.124 b. Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang. Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1996 ditetapkan bentuk peran serta masyarakat dalam tata ruang sebagai berikut: Pemberian masukan dalam penentuan arah pengembangan wilayah yang akan dicapai; a. Pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan termasuk bantuan untuk memperjelas hak atas ruang di wilayah, dan termasuk pula perencanaan tata ruang kawasan; b. Bantuan untuk merumuskan perencanaan tata ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I; c. Pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyusunan strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I; d. Pengajuan keberatan terhadap rancangan Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I; e. Kerjasama dalam penelitian dan pengembangan dan atau; f. Bantuan tenaga ahli. c. Peraturan Pemerintah No.68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; Dalam konsideran mengingat huruf a dinyatakan : “bahwa KSA dan KPA merupakan kekayaan alam yang sangat tinggi nilainya karena itu perlu dijaga keutuhan dan kelestarian fungsinya untuk dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam penjelasan umum PP No.68 tahun 1998 disebutkan pada alinea 5 bahwa: “pengelolaan KSA dan KPA pada hakekatnya merupakan salah satu aspek pembangunan yang berkelanjutan serta wawasan lingkungan, sehingga dampaknya sangat positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, yang sekaligus akan meningkatkan pula pendapatan Negara dan penerimaan devisa Negara, yang pada gilirannya dapat memajukan hidup dan kehidupan bangsa”. Sedangkan pada alinea 6: “oleh karena itu, pengelolaan KSA dan KPA tidak hanya didasarkan pada prinsip konservasi untuk konservasi itu sendiri, tetapi konservasi untuk kepentingan bangsa dan seluruh masyarakat Indonesia”. Adapun pemerintah bertugas mengelola KSA dan KPA dan dikelola berdasarkan rencana pengelolaan (pasal 11 dan pasal 12). 124 Budi Riyanto, Pokok-pokok Masalah Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Pelestarian Alam, (Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, 2004), hal. 2 158
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
d. Peraturan Pemerintah No.34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Pasal 51 ayat (1) PP No.34 tahun 2002 mengatur: “Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dimaksud untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dalam pemanfaatan hutan”. Ayat (2): “Untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan difasilitasi oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah”. Dalam penjelasan pasal 51 ayat (1) dinyatakan bahwa: “Masyarakat setempat adalah masyarakat yang berada di dalam dan atau di sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas social yang berdasarkan pada persamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan. Memberdayakan masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam memanfaatkan hutan….”. Ayat (2): “Fasilitas oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah dilaksanakan sesuai dengan kewenangannya antara lain melalui pengakuan status legalitas, penguatan kelembagaan, bimbingan produksi, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, akses terhadap pasar, serta pemberian hak dalam pemanfaatan125. e. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.9 tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang. Peraturan menteri ini merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1996, dalam pasal 1 huruf h disebutkan antara lain bahwa dalam peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan tata ruang, masyarakat perlu dilibatkan dalam proses perencanaan tata ruang. Ketentuan lebih lanjut dari Undang-undang No.41 tahun 1999 yang mengatur tentang peran serta masyarakat tersebut pada tataran institusional level adalah Keputusan Menteri Kehutanan No.31/KptsII/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Kebijakan pemerintah tersebut adalah dengan memperkenalkan pengelolaan hutan yang dikemas dalam program Hutan Kemasyarakatan (community forestry)126. Tujuan Perhutanan sosial atau hutan kemasyarakatan yaitu (1) di satu sisi sebagai bentuk mengakomodasikan dua kepentingan yang berbeda dari aktor-aktor yang secara inisiatif menggunakan hutan sebagai sumber kehidupan dan (2) disisi lain 125 Penjelasan Pasal 17 ayat 1 PP No.34 tahun 2002 126 Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam, (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2005), hlm. 7. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
159
sebagai taktik untuk mengintegrasikan partisipasi masyarakat lokal dalam sistem pemafaatan dan pengelolaan sumber daya hutan. Pengertian hutan kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Kehutanan nomor 31/Kpts-II/2001 adalah Hutan Negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setemat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Keputusan Menteri Kehutanan tersebut tetap berlaku sesu ketentuan pasal 11 Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/MenhutII/2004. Ruang lingkup penyelenggaraan hutan kemasyarakatan meliputi pengaturan tugas dan fungsi serta tanggung jawab pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyaat dalam aspek-aspek penetapan wilayah pengelolaan, penyiapan masyarakat, perizinan, pengelolaan dan pengendalian. Aspek-aspek penyelenggaraan tersebut dilaksanakan sebagai kesatuan mulai dari penetapan wilayah pengelolaan, penyiapan masyarakat, perizinan, pengelolaan sampai dengan pengendalian. Penyiapan masyarakat dimaksudkan untuk meningkatkan kesiapan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan. Meningkatnya kesiapan kelembagaan masyarakat setempat ditamdai dengan terbentuknya kelompok yang memiliki : 1) Aturan internal kelompok yang mengikat dalam pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, dan aturan lainnya dalam pengelolaan organisasi. 2) Aturan pengelolaan hutan kemasyarakatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Pengakuan dari masyarakat melalui Kepala Desa 4) Rencana lokasi dan luas areal kerja serta jangka waktu pengelolaan Kegiatan pengolaan hutan kemsayarakatan meliputi penataan areal kerja, penyusunan rencana pengelolaan pemanfaatan, rehabilitasi dan perlindungan dalam pelaksanaannya difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten atau Kota. Rehabilitasi hutan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan pelaksanaanya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Adapun kegiatan rehabilitas hutan melalui penanaman, pengayaan tanaman, pemeliharaan dan penerapan teknihk konservasi tanagh. Sedangkan kegiatan perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga dan memelihara hutan, kawasan hutan dan lingkungannya agar berfungsi secara optimal dan lestari. Perlindungan hutan dilaksanakan melalui upaya mencegah dan menaggulangi 160
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam serta hama dan penyakitan. Hak pemegang izin hutan kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Keputusan Menteri Kehutanan NO. 31/Kpts-II/2001 pada prinsipnya mengatur sebagai berikut : 1) Melakukan pengelolaan hutan kemasyarakat selama jangka izin 2) Melakukan pemanfaatan hutan 3) Melakukan evaluasi bersama pemerintah. Sedangkan kewajibannya adalah menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup serta mempethatikan kepentinhan umum Melalui: 1) Pemantfaatan areal kerja 2) Rehabilitasi dan perlindungan hutan 3) Pengendalian internal 4) Membayar provisi sumber daya hutan
3. Peranan Masyarakat Lokal di Beberapa Negara Dalam Pengelolaan Taman Nasional
Pertama, Peran Masyarakat di Filiphina.
Filiphina sebagai negara tetangga telah melakukan kebijakan pemberdayaan masyarakat yang disebut The Community Forest Stewardship Agreements (CFSAs). CFSAs adalah suatu instrumen hukum yang mengatur tentang manajemen hutan kemasyarakatan dan mulai diberlakukan oleh Pemerintah Filiphina pada tahun 1982 dengan dikeluarkannya Program Sosial Kehutanan Terpadu (Integrated Social Forestry Program/ISFP). Melalui instrumen hukum tersebut Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat sekitar hutan melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan, perlindungan hutan dan rehabilitasi hutan dalam program hutan kemasyarakatan (Community Forest Program/CFP)127. Beberapa keuntungan program hutan kemasyarakatan (community forestry program/CFP) adalah128: 1) Untuk tujuan pengembangan sosial, CFP sangat tepat untuk konsep pengembangan masyarakat sekitar hutan yang dihadapkan pada masalah pengembangan. 2) Dalam hal perlindungan lingkungan, CFP dapat mencakup secara luas baik terhadap areal hutan maupun jumlah masyarakat yang terlibat, luas 127 Ibid., hal 73 128 Ibid., hal 74 Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
161
areal hutan yang dikelola masyarakat dapat didasarkan pada kebutuhan ekonomi, sosial dan kebudayaan masyarakat. 3) Dari sudut pandang pemerintah, CFP mempunyai dampak yang besar dengan biaya administrasi yang dapat ditekan baik untuk perlindungan lingkungan dan sekaligus dapat mengurangi kemiskinan 4) Dari sudut pandang masyarakat sekitar hutan, CFP dapat menyesuaikan dengan sistem pengelolaan hutan yang berlaku. CFP juga merupakan suatu strategi untuk terealisasinya beberapa tujuan antara lain: 1) Pengakuan atas keberadaan masyarakat dalam areal hutan; 2) Gambaran atas areal hutan yang dimanfaatkan dan diklaim oleh masyarakat 3) Perlindungan dari gangguan terhadap areal hutan oleh pihak dari luar masyarakat sekitar hutan 4) Perlindungan dari program kehutanan lain yang tidak menghormati keberadaan masyarakat sekitar hutan.
Kedua, Peran Masyarakat di India.
Kebijakan nasional Joint Forest Management (JFM) di India dilaksanakan secara nasional sejak tahun 1990, setelah Departemen Lingkungan dan Kehutanan Pusat mengeluarkan himbauan dalam bentuk resolusi kepada seluruh negara bagian untuk lebih memperhatikan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan.129 Program ini menekankan kerjasama antara masyarakat desa yang tinggal di sekitar kawasan hutan dengan Departemen Kehutanan dalam mengelola hutan untuk keuntungan dua belah pihak. Dalam mengelola hutan keduanya saling berbagi peran, tanggung jawab, dan hasil hutan yang dituangkan dalam sebuah kesepakatan. Untuk melakukan kerjasama dengan Departemen Kehutanan, masyarakat desa harus dalam bentuk kelompok yang disebut dengan Forest Protection Committees (FPCs). Heru Iswantoro, mengamati bahwa kebijakan kehutanan India 1988 merupakan titik pijakan pengelolaan hutan masa selanjutnya. Kebijakan ini tidak lagi menekankan sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan, tetapi mementingkan pemeliharaan stabilitas lingkungan melalui preservasi dan restorasi keseimbangan ekologi dan meningkatkan tutupan hutan (forest cover). Namun demikian, kebijakan tersebut telah mengabaikan kebutuhankebutuhan masyarakat desa hutan akan kayu bakar, pakan ternak, kayukayu ukuran kecil dan hasil hutan lainnya.130 129 Kompas, tanggal 24 Mei 2005. 130 Heru Iswantoro, Joint Forest Management di India, Hutan Milik Siapa? Dalam Prosiding Lokakarya Penguasaan Lahan di Kawasan Hutan dan Pembentukan Kelompok Kerja 162
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Kebijakan Kehutanan tersebut akhirnya mendorong lahirnya resolusi tentang JFM yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat pada tahun 1990. Sebagai catatan, Pemerintah Negara Bagian West Bengal telah mengeluarkan resolusi JFM tahun 1989, setahun setelah resolusi nasional tersebut dikeluarkan. Masyarakat bersama Departemen Kehutanan membuat micro-plan untuk pengelolaan hutan, denagn mempersilahkan ORNOP untuk terlibat dalam program JFM, terutama sebagai katalis antara Departemen Kehutanan dengan masyarakat desa. Ketiga, Peran Masyarakat di Costa Rica Costa Rica merupakan negara di Amerika Latin dengan luas daratan 5 juta hektar dan jumlah penduduk 3 juta hektar. Hutan di Costa Rica terdiri dari Taman Nasional dan Hutan Produksi. Taman Nasional dikuasai dan dikelola sepenuhnya oleh Pemerintah, sedangkan Hutan Produksi berada pada tanah-tanah yang dimiliki oleh perorangan. Di dalam taman Nasional tidak diperkenankan adanya pemukiman dan pemanfaatan langsung seperti pertambangan dan pemungutan hasil hutan, kecuali untuk kepentingan pariwisata terbatas, serta untuk kepentingan konservasi alam. Di samping itu, penetapan suatu areal sebagai Taman Nasional digunakan sebagai strategi untuk mengurangi deforestasi.131 Sebelum tahun 1989, tingkat deforestasi di Costa Rica sangat tinggi, yaitu mencapai 60.000 hektar setiap tahunnya. Deforestasi tersebut terjadi akibat tekanan ekonomi sehingga hutan produksi dikonversi menjadi areal peternakan karena lebih menguntungkan. Pada tahun 1970 luas hutan Costa Rica adalah 45 % dari daratan, dan pada 1989 hanya tinggal 20 % dari daratan. Dengan adanya insentif di bidang kehutanan, maka areal hutan meningkat menjadi lebih luas, yaitu pada tahun 2003 mencapai 40 % dari luas daratan. Target luas hutan ideal di Costa Rica adalah 65 % dari daratan.132 Kebijakan pengelolaan hutan diatur diatur dalam Undang-Undang Kehutanan yang sudah tiga kali berubah, yaitu undang-undang periode 1969-1986, undang-undang 1986-1996, undang-undang 1996-sekarang. Undang-undang Kehutanan tahun 1969 mengatur tentang arah pembangunan kehutanan, perizinan penebangan hutan, dan insentif untuk reforestri. Sedangkan Undang-undang Kehutanan tahun 1986 mengatur tentang insentif untuk pengelolaan hutan produksi, preservasi, reforestri, serta fee Penanganan Masalah Penguasaan Lahan di Kawasan Hutan, Nopember 2001, hlm. 145148. 131 Sunaryo, “Laporan Kunjungan ke Costa Rica, departemen Kehutanan. Dalam Budi Riyanto, Op. Cit., hlm. 101. 132 Ibid. Bab 3: Pembagian Wewenang Dalam Penyusunan Kebijakan, Pelaksanakan Kebijakan, dan Pengawasan Atas Sumber Daya Hutan
163
164
sebesar 10 % dari setiap tegakan kayu yang dijual. Fee tersebut dikelola oleh lembaga independen dan digunakan untuk pemberian kredit reforestri. Selanjutnya Undang-undang Kehutanan tahun 1996 mengatur tentang jasa lingkungan dari hutan, pembentukan lembaga independen pengelola keuangan bagi pembangunankehutanan, serta pembentukan lembaga pengawasan pengelolaan hutan. Fonafifo merupakan lembaga independen pengelola keuangan untuk pembangunan kehutanan yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Kehutanan tahun 1996. Tugas dari Fonafifo adalah memberikan kredit reforestri, membayar jasa lingkungan dan mencari dana pembangunan. Model jasa lingkungan yang dibayar oleh Fonafifo terhadap pemilik hutan adalah: a. Konservasi hutan produksi yang diperuntukkan untuk koridor biodiversity dibayar $212 setiap hektar dengan kontrak 5 tahun. Di dalam areal ini selama kontrak tidak diperkenankan adanya konversi maupun penebangan pohon. b. Pengelolaan hutan secara lestari dibayar sebesar $327 setiap hektar dengan kontrak 15 tahun. Selama kontrak tidak diperkenankan adanya konversi baru. c. Reforestri dibayar sebesar $527 setiap hektar dengan kontrak 15 tahun. Selama kontrak tidak diperkenankan adanya konversi hutan. d. Agroforestry dibayar $1 setiap pohon dengan maksimum $3500 setiap pemilik lahan dengan kontrak 10 tahun. Pohon yang ditanam tidak boleh ditebang selama kontrak masih berlaku.
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
BAB IV PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER: STUDI PENGELOLAAN KONFLIK DI TANGKAHAN Tangkahan merupakan sebuah kawasan diperbatasan Taman Nasional Gunung Leuser di sisi Sumatera Utara. Secara geografis kawasan Tangkahan berada pada LU 03041’01”, BT 9804’28,2”. Sedangkan secara administrasi kawasan Tangkahan termasuk kedalam Desa Namo Sialang dan Desa Sei.Serdang ,Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Kawasan Tangkahan terletak di pertemuan dua sungai yaitu Sungai Buluh dan Sungai Batang Serangan yang kemudian mengalir ke hilir dan bertemu dengan Sungai Musam. Topografi kawasan berupa kawasan landai, berbukit dengan kemiringan yang bervariasi (45 – 900). Suhu udara rata-rata di kawasan ini antara 21,1 0C – 27.5 0C dengan kelembaban nisbi berkisar antara 80–100%. Musim hujan di daerah ini berlangsung merata sepanjang tahun tanpa musim kering yang berarti. Curah hujan rata-rata 200 – 320 mm pertahun. Mengingat musim hujan yang merata sepanjang tahun serta kawasan yang rata-rata masih tertutup oleh hutan, air tidak menjadi masalah di kawasan ini. Sebagian besar kebutuhan air masyaraat di kawasan di dapatkan dari unsur tanah dan sungai.
Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
165
Gambar 1. Peta Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser Sumber: Balai Taman Nasional Gunung Leuser
Tangkahan berada pada ketinggian 130–200 , diatas permukaan laut dengan jenis tanah terdiri dari podsolik dan litosol. Podsolik adalah termasuk jenis tanah yang telah mengalami tingkat perkembangan agak lanjut, umumnya berbentuk dari batu liat (serpih), napal dan batu pasir atau pada beberapa bagian telah tercampur dengan bahan vulkanis. Penampang tanah dengan kedalaman sedang, mempunyai sifat kurang baik dan peka terhadap erosi. Cukup baik untuk tanaman tahunan, misalnya: karet dengan memperhatikan segi-segi keerosian tanah serta ketersediaan air. Lotosol adalah jenis tanah tanpa perkembangan profil, merupakan batuan kukuh dengan lapisan tanah sangat tipis di atasnya. Pada wilayah yang curam, terdapat batuan tanpa lapisan tanah. Bahan induk meliputi batu kapur bertufa dan batuan volkan.1 Tangkahan merupakan, kawasan yang akan dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, tepatnya diwilayah kerja Resort Tangkahan yang merupakan wilayah kerja Sub Seksi TNGL Wilayah-IV Besitang yang terletak di dua Desa yaitu Desa Namo 1
166
Ari Suhandi dan Sumaraja, Dampak Sosial Ekowisata Tangkahan, (Jakarta: Yayasan Indecon, 2006), hlm. 1. Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Sialang dan Desa Sei Serdang, dengan batas-batas geografi adalah perkebunan kelapa sawit milik PTPN II kebun Kelapa Sawit di sebelah Utara, perkebunan kelapa sawit milik PT. Ganda Permana di sebelah Selatan, Dusun Kuala Buluh disebelah Timur, dan Taman Nasional Gunung Leuser di sebelah Barat. Sedangkan batas-batas alam kawasan terdiri dari Sungai Batang Serangan, Sungai Buluh dan perkebunan kelapa sawit.2 Bab ini akan menjelaskan tentang kawasan Tangkahan, bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser, Pengrusakan sumber daya hutan, konflik yang terjadi di Tangkahan, partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian hutan, serta pengelolaan Tangkahan di masa depan. A. Kawasan Tangkahan, Bagian Dari Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan Tangkahan merupakan bagian dari Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang secara administrative terdelinasi oleh 9 Kapubaten di dua Provinsi yang Sumatera Utara dan Nangro Aceh Darussalam. Paragrafparagraf berikut ini akan menguraikan tentang keanekaragaman flora dan fauna, keadaan umum dan penduduk di kawasan Tangkahan, serta penetapan kawasan Tangkahan sebagai Taman Nasional Gunung Leuser. 1. Keanekaragaman Flora dan Fauna Kawasan Tangkahan pada bagian Taman Nasional Gunung Leuser, memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi. Sebagian besar kawasan Tangkahan merupakan hutan hujan tropis mulai dari hutan primer Dipterocarpaceae, dan hutan primer campuran. Kawasan ini secara umum didominasi oleh tumbuhan dari famili Dipterocarpaceae, Meliaceae, Burseraceae, Euphorbiaceae, dan Myrtaceae.3 Pohon-pohon besar dengan diameter di atas 1 meter diantaranya adalah pohon kayu jenis Damar, Meranti, Raja dan Cendana masih didapatkan pada jalur-jalur yang relatif mudah dicapai, sehingga memungkinkan untuk dijadikan daya tarik wisata. Hutan di Taman Nasional Gunung Leuser di kawasan Tangkahan memiliki 6 spesies primata seperti orang utan Sumatera (pongo pygmaeus abelii), siamang (hylobates syndactilus), owa (hylobates lar), kedih (presbytis sp.), monyet ekor panjang (macaca fascicularis), dan beruk (macaca nemestrina). Fauna lainnya yang terdapat di kawasan adalah tupai kecil (tupai minor), burung rangkong (buceros rhinoceros), srigunting batu (dicrurs paradiceus), elang (haliastur sp.), dengan mudah dapat dilihat disekitar kawasan dan di dalam hutan. Sedangkan orang utan dan kuau (phasianidae) dapat dilihat pada waktu-waktu tertentu saja.4 2 3 4
Ibid., hlm. 2. Wiratno, Berkaca di Cermin Yang Retak, Studi Pengelolaan Kawasan Ekowisata Tangkahan, (Medan: Balai Taman Nasional Gunung Leuser, 2005), hlm. 9-10. Ibid., hlm. 11.
Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
167
Disamping keanekaragaman flora dan fauna, bentang alam di Tangkahan (baik yang termasuk di dalam maupun diluar TNGL) juga merupakan sumber daya yang dapat dijadikan aset bagi pengembangan pariwisata. Hutan alami, perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, perkebunan jeruk manis, pedesaan, sungai, bukit, tebing, goa-goa dan lembah adalah bagian dari sumber daya alam kawasan, merupakan daya tarik wisata yang dapat diunggulkan. Tersebarnya sumberdaya alam hayati kawasan TNGL (seluas 1.094.692 ha) di dua Propinsi NAD dengan jumlah kabupaten yang berbatasan dengan kawasan sebanyak 9 kabupaten, menjadikan keberadaan kawasan TNGL sangat strategis, sehingga potensi sumberdaya tersebut dalam pengelolaannya harus memperhatikan rencana, strategi, aspirasi, dan nilai-nilai adat/budaya setempat. Mengingat fungsi dan manfaat TNGL sebagai kawasan konservasi dan bukan sebagai produksi kayu, perencanaan pemanfaatan potensi hasil hutan non kayu menjadi fokus utama dalam rencana lima tahun ke depan. Potensi flora TNGL terdiri dari 4000 jenis tumbuhan, yang didominasi oleh jenis Dipterocarpaceae seperti Meranti, Keruing, Shorea, Kapur (Dryobalanops aromatika) dan jenis-jenis tumbuhan langka seperti Pohon Payung Raksasa (Johan nosteijsmania altifrons), raflesia (Rafflesia atjehensis) dan tumbuhan liana berbunga parasit (Rizanthes zippelnii). Selanjutnya disebutkan potensi fauna 736 jenis (174 jenis mamalia dimana mewakili 80% jenis yang ada di Pulau Sumatera dan mewakili 25% jenis yang ada di Indonesia; 191 jenis reptil, 52 jenis ampibia, 380 jenis burung), yang dilindungi antara lain seperti Orang Utan (Pongo pygmaeus), Serudung (Hylobates lar), Ungko (Presbytis thomasi), Macan Akar (Felis temmincki), Burung Kuda (Garrulax rutifrons), Gajah Sumatera (Elephas maximus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Beruang Madu (Helarctos malayanus), dan Burung Rangkong Papan (Buceros bicornis). TNGL juga memiliki keindahan alam yang unik seperti dataran tinggi vulkanik Kappi, Sungai Alas, Pantai Kluet dan sumber air panas yang potensial untuk pengembangan pariwisata. 5 Selain potensi kayu dan satwa, kawasan TNGL memiliki manfaat sebagai pen-suplai kebutuhan air bagi lebih dari 4 juta penduduk yang bermukim di 10 kabupaten di kedua propinsi tersebut. Pieter Van Beukering dan Herman Cesar berpendapat tentang nilai ekonomi kawasan ekosistem Leuser, dimana terungkap bahwa apabila hutan Leuser rusak, suplai air untuk kebutuhan hidup akan hilang 16,0 triliun dengan kalkulasi Rupiah (1 dollar = Rp10.000). Selanjutnya apabila kondisi hutan Leuser tetap 5
168
Wiratno, Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser, (Medan: Balai Taman Nasional Gunung Leuser, 2006), hlm. 34-35. Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
dipertahankan, maka akan menuai keuntungan dengan nilai ekonomi konservasi sekitar 37,3 triliun dan manfaat bersih konservasi sekitar 21,3 triliun atau proporsinya mencapai 25% dari total jasa ekologi Leuser untuk kesejahteraan masyarakat, khususnya yang bermukim di dua propinsi tersebut. Sebagai rujukan tentang besarnya jasa hidrologi Leuser terungkap dalam report UML pada tahun 1999, dari perhitungan diketahui bahwa presipitasi minimum air dapat mencapai 46.299.515.370.000 meter kubik per tahun dan presipitasi maksimum dapat mencapai 129.216.610.000 meter kubik per tahun atau rata-rata 87.758.063.015.000 meter kubik per tahun. 6 Andaikan jumlah yang hilang sekitar 50% dari rata-rata angka presipitasi, maka masih mendulang keuntungan/sisa 43.879.031.507.500 meter kubik per tahun yang terdiri atas air permukaan, air mata air, dan air yang mengisi pori tanah. Pandangan terhadap manfaat ekonomi hutan sebagai penghasil kayu (timber oriented) harus dapat digeser ke arah pemanfaatan hasil hutan non kayu (non-timber oriented). Manfaat intangible kawasan (tanah, air, wisata, dan biodiversitas) yang sampai saat ini masih dikesampingkan sebagai penggerak kegiatan ekonomi masyarakat dan pemerintah daerah.7 2. Keadaan Umum dan Penduduk di Kawasan Tangkahan Penduduk di sekitar kawasan terdiri dari beberapa suku dengan suku Karo sebagai mayoritas yang mendiami perkampungan-perkampungan di sekitar hutan, dan suku Jawa, Batak, Melayu adalah mereka yang tinggal sebagai pekerja perkebunan kelapa sawit dan karet. Ikatan kekeluargaan menjadi rantai yang tidak terputus dalam kehidupan sosial di sekitar kawasan Tangkahan. Masyarakat tetap memegang tradisinya, tampak pada acara-acara sakral seperti perkawinan, ritual tolak bala dan rutinitas adat lainnya. Kehidupan beragama sangat toleran antara pemeluk Islam, Katolik dan Kristen Protestan. Kawasan Tangkahan mencakup dua desa yaitu Namo Sialang dan Sei Serdang. Jumlah penduduk dari Desa Namo Sialang pada tahun 2002 adalah 5037 jiwa yang terdiri dari 2477 laki-laki dan 2560 perempuan yang tersebar pada 15 dusun. Mata pencaharian penduduk kebanyakan adalah pekerja perkebunan, pegawai negeri, sebagian ada yang melakukan aktivitas pertanian, beternak dan mengusahakan perikanan. Sumber energi desa, 95% berasal dari kayu dan 5% minyak. Sedangkan penggunaan listrik berkisar hingga 80%, yang berasal dari Tenaga Diesel. Sumber air desa berasal dari mata air sungai dan hujan. 6 7
Ibid., hlm. 36. Saiful Bahri, “Tangkahan Dalam Renstra 2006-2010,” Makalah disampaikan dalam acara Sheared Learning, di Tangkahan 13-22 Februari 2006, hlm. 4-5.
Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
169
Jumlah penduduk Desa Sei Serdang berjumlah 3120 yang terdiri dari 1531 laki-laki dan 1589 perempuan. Mata pencaharian penduduk, hampir sama dengan mata pencaharian Desa Namo Sialang yaitu pekerja perkebunan (baik kebun milik pribadi maupun milik investor yang berupa jeruk manis, dan karet ataupun kelapa sawit), pegawai negeri, bertani dan beternak. Sumber energi desa adalah 90% berasal dari kayu api, 10% dari minyak dan 100% menggunakan sumber listrik. Pendidikan masyarakat di desa-desa tersebut masih sangat rendah, hal ini disebabkan oleh kurangnya pendapatan serta infrastruktur pendidikan, sehingga masyarakat enggan untuk bersekolah sebagaimana orang tua mereka. Masalah pendidikan tersebut juga menyebabkan terhambatnya kebutuhan sumber daya manusia untuk kegiatan ekowisata di kawasan tersebut. Perkebunan kelapa sawit telah berkembang di kawasan ini sejak tahun 1970, banyak penduduk yang telah menjual tanahnya kepada perkebunan, baik swasta maupun PIR dan menjadi buruh perkebunan. Kegiatan pertanian yang mereka lakukan telah terjepit di antara perkebunan Kelapa Sawit dan Taman Nasional Gunung Leuser. Penduduk makin kekurangan lahan untuk menampung pertambahan populasi dan kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu perlu adanya alternatif ekonomi lain yang tidak bertumpu terhadap pemakaian lahan.8 Jarak Tangkahan dari Medan adalah + 124 km melalui Tanjung Pura, sementara jika melalui Hinai-Padang Tualang adalah + 95 km. Jalur jalan dari Medan-Stabat-Tanjung Pura dalam kondisi relatif baik. Sedangkan jalur Hinai-Padang Tualang Sebahagian dalam Kondisi rusak dan Sebahagian telah dilakukan perbaikan. Jalur dari Simpang Sidodadi-Simpang Robert (34 km) sebagian jalannya dalam kondisi rusak, terutama jalur di perkebunan karet. Bus umum “Pembangunan Semesta” melayani rute Medan (Terminal Pinang Baris) menuju Tangkahan pada jam-jam tertentu (pkl.06,08,10,12 dan 14.00 wib). Rute ke Tangkahan dapat juga dilakukan sepanjang hari dengan rute Medan-Kuala Sawit. Lokasi pemberhentian bus terakhir terletak di Simpang Robert, Dusun Titi Mangga, Desa Namo Sialang, perjalanan ke Tangkahan dilanjutkan dengan menggunakan ojek. Biaya bus umum Medan–Tangkahan adalah Rp. 6.000 (enam ribu rupiah), sedangkan ojek dari Simpang Robert–Tangkahan (8 km) adalah Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah). Jalur jalan dari Simpang Robert–Tangkahan merupakan jalur jalan perkebunan kelapa sawit milik PTPN II, yang berupa jalan batu/ kerikil. Penginapan sederhana dengan pemandangan hutan dan sungai yang terdapat di kawasan hanya dapat ditempuh pengunjung dengan cara 8
170
Wawancara dengan Wiratno, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser, pada acara Shearde Learning, di Tangkahan, Taman Nasional gunung Leuser, 13-22 Februari 2006. Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
menyeberangi Sungai Batang Serangan. Penyeberangan bisa dilakukan dengan menggunakan Perahu, getek/ rakit yang terbuat dari bambu. Biaya penyeberangan adalah Rp. 1.000 (seribu rupiah) per-orang untuk pulang pergi. Disamping itu juga tersedia Perahu karet ( Rubber boat ) yang dapat disewa untuk bersafari sungai, menelusuri hulu sungai buluh dan sungai batang serangan. Warung telekom terdekat terdapat di desa, memakai jasa penyedia saluran telepon dari TELKOM dengan menggunakan sistem telepon satelit. Sementara itu sinyal terakhir dari telepon genggam (dari berbagai pengelola saluran) hanya didapatkan di Tanjung Pura dan Hinai. Selepas kedua kawasan ini maka sinyal telepon genggam tidak ada. Kesehatan dan fasilitas kesehatan pada kedua Desa ini dapat dikatakan masih kurang memadai. Desa Sei Serdang hanya memiliki 1 orang mantri, dan 2 kantor cabang kesehatan/ puskesmas. Sedangkan Desa Namo Sialang memiliki 1 kantor cabang kesehatan/ puskesmas, 1 orang mantri dan 2 toko obat. Rumah Sakit (milik perkebunan) dan Puskesmas dapat ditempuh dalam waktu 1 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor roda dua. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan TNGL masih berada dalam garis kemiskinan (35%). Kehadiran TNGL belum mampu memberikan kontribusi bagi pemecahan permasalahan kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) seiring dengan paradigma Otonomi Daerah. Balai Taman Nasional sebagai pengelola sumberdaya kawasan konservasi pada mulanya belum menjalankan fungsi sepenuhnya. Hal ini terlihat dari orientasi kegiatan yang bersifat proyek sesaat. Programnya tidak memperhatikan kebutuhan riil pelestarian kawasan, tidak mampu memberikan solusi kepada masalah yang dihadapi oleh masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam non-timber, sikap yang tidak akomodatif kepada para penduduk untuk mengikutsertakan mereka membantu mengelola kawasan.9 3. Penetapan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Penetapan kawasan Gunung Leuser sebagai Taman Nasional dimulai pada tahun 1920-an. Pada tahun tersebut, Pemerintah Kolonial Belanda memberikan ijin kepada seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn untuk meneliti dan mengeksplorasi sumber minyak dan mineral yang diperkirakan banyak terdapat di Aceh. Setelah melakukan penelitian tersebut, Van Heurn menyatakan bahwa dalam kawasan yang diteliti tidak 9
Peserta Sheared Learning, “Diskusi Kelompok Mengenai Strategi Kawasan Taman Nasional Dalam Menghadapi Globalisai,” diskusi pada acara Sheared Learning di Tangkahan, 13-22 Februari 2006.
Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
171
ditemukan kandungan mineral yang besar dan menyatakan bahwa pemukapemuka adat setempat menginginkan agar mereka peduli terhadap barisanbarisan pegunungan berhutan lebat yang ada di Gunung Leuser.10 Sebagai gantinya, Van Heurn mendiskusikan hasil pertemuannya dan menawarkan kepada para wakil pemuka adat (para Datoek dan Oeloebalang) untuk mendesak Pemerintah Kolonial Belanda untuk memberikan status kawasan konservasi (Wildlife Sanctuary). Setelah berdiskusi dengan Komisi Belanda untuk Perlindungan Alam, pada bulan Agustus 1928 sebuah proposal disampaikan kepada Pemeintah Kolonial Belanda yang mengusulkan Suaka Alam di Aceh Barat seluas 928.000 ha dan memberikan status perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, ke arah lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh, di bagian utara. Proposal tersebut akhirnya direalisasikan dengan pada tanggal 6 Februari 1934 dengan diadakannya pertemuan di Tapaktuan, yang dihadiri perwakilan pemuka adat dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pertemuan tersebut menghasilkan “Deklarasi Tapaktuan”, yang ditandatangani oleh perwakilan pemuka adat dan Perwakilan Gubernur Hindia Belanda di Aceh pada saat itu (Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden, Vaardezen). Deklarasi tersebut mulai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1934 ((Deze regeling treedt in werking met ingang 1 Januari 1934). Deklarasi tersebut mencerminkan tekad masyarakat Aceh untuk melestarian kawasan Leuser untuk selamanya sekaligus juga diatur tentang sanksi pidananya (baik padana penjara maupun pidanya denda). Dalam salah satu paragraph Deklarasi Tapaktuan disebutkan sebagai berikut11: “Kami Oeloebalang dari landschap Gajo Loeos, Poelau Nas, Meuke’, labuhan Hadji, Manggeng, Lho’ Pawoh Noord, Blang Pidie, dan Bestuurcommissie dari landschap Bambel, Onderafdeeling Gajo dan Alas. Menimbang bahwa perlu sekali diadakannya peratoeran yang memperlindungi segala djenis benda dan segala padang-padang yang diasingkan boeat persediaan. Oleh karena itoe, dilarang dalam tanah persediaan ini mencari hewan yang hidoep, menangkapnya, meloekainya, atau memboenoeh mati, mengganggoe sarang dari binatang-binatang itoe, mengeloerkan hidoep atau mati atau sebagian dari binatang itoe lantaran itoe memoendoerkan banyaknya binatang”. Pada tahun 1934, berdasarkan ZB No. 317/35 tanggal 3 Juli 1934 dibentuk Suaka Alam Gunung Leuser (Wildreservaat Goenoeng Leoser) dengan luas 142.800 ha. Selanjutnya berturut-turut pada tahun 1936, berdasarkan ZB No. 122/AGR, tanggal 26 Oktober 1936 dibentuk Suaka 10 Ibid. 11 Wiratno, Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser, (Medan: Balai Taman Nasional, 2006), hlm. 10-13. 172
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
margasatwa Kluet seluas 20.000 ha yang merupakan penghubung Suaka Alam Gunung Leuser dengan Pantai Barat. Pada tahun 1938 dibentuk Suaka Alam Langkat Barat, Suaka Alam Langkat Selatan dan Suaka Alam Sekundur.12 Selanjutnya pada tahun 1976, dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 69/Kpts/Um/12/1976, tanggal 10 Desember 1976 tentang Penunjukan Areal Hutan Kappi seluas 150.000 ha yang terletak di Aceh Tenggara, Daerah Istimewa Aceh sebagai Suaka Margasatwa Kappi. Keputusan tersebut diikuti dengan Pembentukan Instansi Kerja Sub Balai Pelestarian Alam Gunung Leuser pada tahun 1979.13 Secara Yuridis Formal keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor: 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia, yaitu; TN.Gunung Leuser, TN. Ujung Kulon, TN. Gede Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo. Berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian tersebut, ditunjuk luas TN. Gunung Leuser adalah 792.675 ha. Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor: 719/Dj/VII/1/80, tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa diberikannya status kewenangan pengelolaan TN. Gunung Leuser kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 166/Kpts/ Um/3/1982, tanggal 3 Maret 1982 tentang Perubahan Status sebagian Suaka Margasatwa Kappi seluas 7.200 ha dan Penunjukan sebagian hutan Serbolangit seluas 2.000 ha yang terletak di Aceh Tenggara,Daerah istimewa Aceh sebagai Hutan Wisata Lawe Gurah. Untuk memberikan kepastian hukum bagi pengelola TNGL pada tahun 1982 telah dikeluarkan 2 (dua) Peraturan, yaitu: Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 923/Kpts/UM/12/1982 tentang luas wilayah TN. Gunung Leuser di Propinsi Sumatera Utara adalah 213.985 ha yang merupakan gabungan SM Langkat Selatan dan Barat, SM Sekundur, dan Taman Wisata Sekundur. Serta Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 924/Kpts/Um/12/1982 tentang Luas Wilayah TN. Gunung Leuser di Propinsi daerah Istimewa Aceh seluas 586,500 hektar yang merupakan gabungan SM Gunung Leuser, SM Kluet, SM Kappi dan Taman Wisata Lawe Gurah. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor: 46/Kpts/VI-Sek/84 tentang Penunjukan Wilayah Kerja Taman Nasional, tanggal 11 Desember 1984, disebutkan bahwa Wilayah Kerja TNGL adalah: Suaka Margasatwa (SM) Gunung Leuser, SM langkat 12 Ibid. 13 Keputusan Menteri Pertanian Nomor 69/Kpts/Um/12/1976, tanggal 10 Desember 1976 tentang Penunjukan Areal Hutan Kappi. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
173
Barat, SM Langkat Selatan, SM Sekundur, SM Kappi, SM Kluet, Taman Wisata Lawe Gurah, Taman Wisata Sekundur, Hutan Lindung Serbolangit dan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas Sembabala. Pada tahun 1984 tersebut juga telah ditetapkan Unit Pelaksana Teknis Pengelola TN. Gunung Leuser dengan kantor Pusat di Kutacane, Aceh Tenggara, daerah Istimewa Aceh. Sejak tanggal 12 Mei 1984, dengan diterbitkannya SK Menhut Nomor: 096/Kpts-II/1984 menetapkan TNGL merupakan unit Dirjen PHPA yang tingkatannya disamakan dengan eselon III. UPT ini dipimpin oleh seorang Kepala UPT-TN yang bertanggung jawab kepada Dirjen PHPA dan membawahi Sub Bagian TU dan 2 (dua) seksi yaitu Seksi penyusunan Program dan Seksi Pemanfaatan, dilengkapi dengan Kelompok Tenaga Fungsional Konservasi. Ternyata ketentuan struktur organisasi tersebut masih sukar diterapkan dalam pelaksanaan pengelolaan TNGL karena wilayah kerja kawasan TN ini relatif sangat luas. Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses penngukuhan kawasan hutan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 276/KptsII/1997 tentang Penunjukan TN. Gunung Leuser seluas 1.094.692 hektar yang terletak di Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa TN. Gunung Leuser terdiri dari gabungan: a. Suaka Margasatwa Gunung Leuser: 416.500 hektar b. Suaka Margasatwa Kluet: 20.000 hektar c. Suaka Margasatwa Langkat Barat:51.000 hektar d. Suaka Margasatwa Langkat Selatan: 82.985 hektar e. Suaka Margasatwa Sekundur: 60.600 hektar f. Suaka Margasatwa Kappi: 142.800 hektar g. Taman Wisata Gurah: 9.200 hektar h. Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas: 292.707 hektar Dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 10 Juni 2002, melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002, tentang Organisasi dan Tata Kerja Taman Nasional, Kepala UPT-TN (Balai TN) membawahi Kepala Sub Bagian TU dan Kepala Seksi Wilayah, selain juga Kelompok Jabatan Fungsional. Saat ini wilayah TNGL terbagi dalam 4 seksi wilayah dan mengikuti struktur organisasi taman nasional tipe A, yaitu di Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Langkat Sikundur, dan Langkat Selatan. Khusus wilayah Aceh Tenggara dengan didasarkan oleh karakteristik suku, dibagi lagi menjadi 2 wilayah koordinasi yaitu wilayah Gayo Lues di Blangkejeren dan wilayah Lembah Alas di Kutacane. Secara administrasi Taman Nasional Gunung Leuser terletak di 2 (dua) provinsi, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara, serta berbatasan (delineasi) di 9 (sembilan) Kabupaten. 174
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Gambar 2. Peta Administrasi Taman Nasional Gunung Leuser Sumber: Yayasan Leuser Internasional (Tahun 2006)
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Provinsi
Provinsi NAD
Provinsi Sumatera Utara
Kabupaten Aceh Barat Daya Aceh Selatan Aceh Singkil Gayo Lues Aceh Tenggara Aceh Tamiang Langkat Dairi Karo
Tabel 1. Kabupaten yang terdeliniasi Kawasan TNGL Sumber: Balai Taman Nasional Gunung Leuser (Tahun 2006)
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6186/KptsII/2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional, maka Seksi Konservasi Wilayah IV Balai Taman Nasional Gunung Leuser, sebagai institusi teknis pemangku dan pengelola kawasan setingkat eselon IV membawahi 5 (lima) Resort yang memiliki wilayah kerja masing-masing, yaitu:14 14 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002, tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
175
a. Resort Sei Betung, dengan wilayah kerjanya Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. b. Resort Sekoci, dengan wilayah kerjanya Kecamatan Besitang dan Sei Lepan Kabupaten Langkat. c. Resort Sei Lepan, dengan wilayah kerjanya Kecamatan Sei Lepan Kabupaten Langkat. d. Resort Cinta Raja, dengan wilayah kerjanya Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat. e. Resort Tangkahan, dengan wilayah kerjanya Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat. Struktur organisasi pengelolaan TNGL saat ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 6186/Kpts-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional. Balai TNGL yang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal PHKA. Organisasi dipimpin oleh seorang Kepala Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional dibantu oleh: Kepala Sub Bagian Tata Usaha dan 4 orang Kepala Seksi Konservasi Wilayah, dengan bagan organisasi sebagai berikut:
Gambar 3. Bagan Struktur Organisasi Balai TNGL Sumber: Balai Taman Nasional ( Tahun 2006)
Daftar Selengkapnya Resort-resort Taman Nasional Gunung Leuser diuraikan dalam tabel berikut ini:
176
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
No.
SKW
Nama Resort
1.
Resort Mardinding
2.
Resort Muara Situlen
3.
Resort Lawe Alas
4.
Resort Lawe Mamas
5. 6. 7.
Seksi Konservasi Wilayah I Blangkejeren
Resort Lawe Mengkudu Resort Lawe Gurah Resort Pinding
8.
Resort Terangon
9.
Resort Agusan
10.
Resort Jambur Gele
11.
Resort Marpunga
12.
Resort Subulussalam
13. 14.
Seksi Konservasi Wilayah II Tapaktuan
Resort Bakongan Resort Kluet Selatan
15.
Resort Kluet Utara
16.
Resort Balang Pidie
17.
Resort Krueng Baro
18.
Resort Babahrot
19. 20.
Seksi Konservasi Wilayah III Bukit Lawang
Resort Bukit Lawang Resort Bohorok
21.
Resort Marike
22.
Resort Bekancan
23. 24. 25.
Seksi Konservasi Wilayah IV Besitang
Resort Sei Betung Resort Sekoci Resort Sei Lepan
26.
Resort Cinta Raja
27.
Resort Tangkahan Tabel 2. Daftar Resort Taman Nasional Gunung Leuser Sumber: Balai Taman Nasional Gunung Leuser
Sebagai pemangku dan pengelola kawasan, Seksi Konservasi Wilayah IV Besitang, Balai Taman Nasional Gunung Leuser mengemban 3 (tiga) tugas pokok yang merupakan kegiatan pokok Balai Taman Nasional Gunung Leuser dalam rangka konservasi, yaitu15:
15 Ibid. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
177
a. Perlindungan: mempertahankan integritas (ekosistem) kawasan. b. Pengawetan: melestarikan keutuhan, keaslian dan kemurnian potensi kawasan c. Pemanfaatan: memanfaatkan potensi kawasan secara lestari sesuai dengan fungsi kawasan pelestarian alam. B. Pengrusakan Sumber Daya Hutan Paragraf-paragraf berikut ini akan menguraikan tentang sebab-sebab kerusakan sumber daya hutan, upaya pemulihan dan hambatannya, serta keberadaan lembaga masyarakat dalam menekan kerusakan hutan. 1. Sebab-Sebab Kerusakan Sumber Daya Hutan Kawasan Tangkahan saat ini memang berbeda dengan ketika pengelolaan sebelum tahun 2000-an. Kawasan ini sebelum tahun 2000-an hampir sama dengan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser lainnya, dimana disana-sini terjadi pengundulan hutan yang menyebabkan rusaknya ekosistem kawasan Tangkahan. Penyebab utama dari rusaknya hutan di kawasan Tangkahan adalah masalah illegal loging. Hampir seluruh lelaki dewasa maupun pemuda di Dusun Kuala Gemoh dan Kuala Buluh pernah terlibat kegiatan illegal logging yang telah berlangsung sejak tahun 1970-an. Ketika itu kayu masih ditebang dengan menggunakan kapak dan pengolahan kayu di hutan dilakukan dengan gergaji tangan. Beberapa warga yang menjadi perintis penebangan liar ini kini umumnya telah mencapai usia antara 50 hingga 60-an. Salah satu seorang mantan penebang kayu liar di Kuala Gemoh yang usianya lebih dari 65 tahun mengakui berhenti sejak tahun 80-an, ketika anak-anaknya sudah mulai besar dan mampu bekerja sebagai penebang kayu illegal. Kini ia lebih memilih mengurusi kebun karet dan kelapa sawit miliknya.16 Pada tahun 1980-an, penebangan liar terus berlanjut, bahkan penduduk sudah memanfaatkan gergaji mesin (chainsaw) sehingga laju penebangan jauh lebih cepat. Tak disangkal bahwa generasi tahun 1970-an sebagian masih ada yang terlibat penebangan illegal ini, namun makin banyak generasi muda yang mulai masuk dalam kegiatan ini. Menurut informasi, antara tahun 80-an hingga 90-an ada sedikitnya 2 orang cukong keturunan Tionghoa di Tanjungpura yang menjadi penampungakhir sekaligus pemilik modal dalam mata rantai penebangan liar ini. Para cukong tersebut memiliki kilang kayu (shawmill) atau panglong di Tanjungpura. Mereka hanya mau menerima kayu dan berhubungan 16 Wawancara dengan Pak Okor, Ketua LPT Tangkahan yang pernah menjadi pelaku Illegal Logging, Tangkahan, 20 Februari 2006. 178
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
langsung dengan para tauke kepercayaan mereka yaitu semacam perantara antara cukong dan penebang di tingkat masyarakat. Ketika itu di kampong Kuala Gemoh dan Kuala Buluh saja masing-masing ada 1 orang penduduk setempat yang berperan sebagai Tauke. Belum lagi di kampong lainnya serta desa di luar Namo Sialang, seperti Desa Sei serdang dan sungai Musam. Para Tauke tidak bekerja sendiri, mereka berhubungan dengan para kepala rombongan atau kepala kerja lapangan, yaitu orang yang mengkoordinir para penebang dan pengangkut kayu di hutan. Sala seorang mantan penebang liar memperkirakan ketika itu di Kuala Gemoh dan Kuala Bambu ada sekitar 10 orang penduduk yang berperan sebagai kepala rombongan. Tiap kepala rombongan memiliki anak buah antara 6 hingga 10 orang. Kepala rombongan biasanya mulai terlibat dengan modal sendiri. Salah seorang bekas kepala rombongan pada tahun 1980-an mengaku ketika itu ia menyediakan uang sebesar Rp500.000,- sebagai modal awal operasi. Uang tersebut ia gunakan untuk membeli segala keperluan bekerja di dalam hutan, seperti beras dan lauk pauk, minyak tanah, lampu, minyak makan, rokok, kopi, gula, the, serta bensin untuk chainsaw yang disewanya sebesar Rp250.000,- sekali operasi. Upah anak buah yang menebang, menggergaji, hingga mengangkut kayu dibayar ketika kepala rombongan memperoleh hasil penjualan kayu dari Tauke. Besarnya upah penebang antara Rp250.000,- untuk kayu keras jenis dammar, merbau dan meranti batu, sedangkan untuk kayu meranti sebesar Rp200.000,-. Satu kepala rombongan bisa mengoperasikan sekitar 3-6 chainsaw. Bahkan antara sekitar hutan Tangkahan hingga sungai Buluh Kecil jumlah chainsaw yang beroperasi bisa mencapai 30 chainsaw. Wilayah ”illegal logging” yang dilakukan penduduk Kuala Gemoh dan Kuala Buluh adalah kawasan TNGL yang berdekatan dengan dusun mereka, yaitu Tangkahan dan sekitarnya. Kayu-kayu tebangan diolah dihutan dalam bentuk papan lokasi strategis di sisi sungai sebelum dihanyutkan dengan rakit ke Tanjung Pura. Salah satu lokasi penampungan kayu ketika itu adalah di Namung Gletus, yang kini telah menjadi tempat memandikan gajah persis di bawah base camp Community Response Unit (CRU) yang dibangun LSM Flora dan Fauna International (FFI). Di lokasi ini pula ketika itu terdapat jal;an melintasi kebun kelapa sawit yang dibuat penduduk untuk menuju kebun mereka namun kemudian diperlebar untuk memudahkan truk keluar masuk ketika mengangkut kayu illegal dari Namung Gletus. Daerah lain yang menjadi lokasi penampungan kayu dari hutan adalah di dusun Suka Berbakti. Warga desa yakin bahwa oknum dari TNGL terlibat penebangan liar. Meski tidak ada bukti kuat bahwa mereka menerima uang dari penebangan illegal, namun warga tidak percaya jika oknum TNGL tidak mengetahui. Pasalnya, kayu curian banyak bertumpuk di lokasi-lokasi yang mudah terlihat Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
179
seperti di Simpang Robert. Apalagi saat itu di Resort Tangkahan terdapat 6 petugas jagawana dari TNGL. Beberapa mantan penebang liar menyatakan bahwa para oknum TNGL dan Polisi memang sengaja membiarkan arus keluar kayu illegal dari penduduk ke cukong karena mereka telah mendapat imbalan dari cukong di Tanjung Pura. Kayu-kayu olahan dijual ke cukong dengan harga Rp1,8 juta per ton atau sekitar 10 hok (ukuran 450 inch) balok pada sekitar tahun 1980-an. Ini jumlah yang tidak sedikit, karena biasanya setiap kepala rombongan bisa menghasilkan hingga puluhan juta per bulan. Namun, jumlah tersebut tidak seberapa jika dibandingkan setelah dipotong berbagai hutang ke cukong dan tauke. Kondisi ekonomi kebanyakan penduduk tidak berubah secara signifikan karena uang illegal logging banyak digunakan hanya untuk kebutuhan dasar sehari-hari dan pengeluaran konsumtif seperti bermain judi atau minum minuman keras. Keuntungan justru diraup oleh para tauke dan cukong. Beberapa tauke di dua dusun tersebut memang memiliki barang yang lebih baik dibandingkan mayooritas penduduk. Karena sanggup membeli sepeda motor, mobil dan beberapa bidang tanah. Penebangan liar makin marak sejak tahun 1990-an, terutama setelah masa Soeharto. Kegiatan ini terus berlangsung hingga awal tahun 2000-an. Berbagai operasi memberantas penebangan liar memang telah dilakukan baik oleh kepolisian maupun aparat dari TNGL, bahkan beberapa penduduk telah ditangkap termasuk beberapa tauke di tingkat desa. Sebagian merasa jera dan memutuskan berhenti, namun kebanyakan justru masih melanjutkan kegiatan tersebut. Sampai pada titik tertentu, para pelaku penebangan liar makin menyadari bahwa berhenti dari aktivitas tersebut adalah lebih baik. Ungkapan yang sering kalai terdengar dari para mantan pelaku penebangan liar ini adalah persoalan ketidakadilan. Salah seorang bekas pelaku, seperti S.T, mengaku penghasilan dari penebangan liar memang tampak besar jika dilihat dari jutaan rupiah yang ia terima. Namun, menurutnya uang tersebut seringkali hanya kurang dari separuhnya yang bisa ia manfaatkan karena harus dipotong oleh ongkos, hutang pada tauke atau tauke, dan upah pekerja lapangan. Alasan yang lebih mendorongnya untuk berhenti adalah ketidakadilan antara dirinya dengan para tauke. Menurutnya, keuntungan paling besar justru diperoleh para cukong, termasuk juga oknum aparat kepolisian dan aparat kehutanan. Orang-orang itulah yang selama ini selalu selamat dalam setiap operasi pemberantasan illegal logging. Sedangkan masyarakat, selain dilanda ketakutan, juga paling berisiko untuk ditangkap. Adapun penyebab rusaknya ekosistem Kawasan Tangkahan lainnya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, pola kebijakan Pemerintah Pusat yang cenderung tidak memberikan perlindungan kepada masalah konservasi. Bukti dari tidak 180
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
pedulinya pemerintah dengan masalah konservasi ini adalah dengan kadanya egiatan eksploitasi penebangan pohon di dalam kawasan Besitang mulai tahun 1970, termasuk juga di kawasan Tangkahan. Eksploitasi ini terjadi setelah diberikannya izin HPHH terhadap 3 perusahaan industri kayu di dalam Suaka Margasatwa Sekundur. Setelah ijin HPHH berakhir pada tahun 1977, kemudian eksploitasi penebangan pohon dilanjutkan oleh HPH PT. RGM yang menjadi mitra kerja pilot proyek pembinaan habitat dan populasi satwa Sekundur sampai dengan tahun 1982.17 Kegiatan ini berlanjut hingga tahun 1990-an hingga setelah reformasi yang cenderung memberikan kebebasan kepada Pemerintah Daerah untuk mengeksploitasi hutan di wilayahnya. Kedua, adanya eksploitasi setelah pemberian izin HPHH ini juga berimbas kepada keikutsertaan masyarakat disekitar kawasan Tangkahan. Kondisi ini melibatkan juga masyarakat lokal setempat sebagian ikut menjadi pelaku illegal logging. Keikutsertaan masyarakat ini bermotif dengan alasan ekonomi, mengingat sebagian besar lahan pertanian mereka sebagian besar dikuasai oleh para pemodal yang berasal dari luar penduduk di kedua desa Namo Sialang dan desa Sei Serdang, yang sebagian berasal dari para cukong kayu yang berasal dari Medan. Ketiga, pembukaan lahan di kawasan Tangkahan untuk kepentingan para pengungsi yang berasal dari Aceh dan para pendatang, serta pembukaan lahan untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit. Pembukaan lahan ini juga menjadi salkah satu penyebab munculnya konflik di kawasan Tangkahan, yang memerlukan penyelasian yang cukup panjang. Keempat hal tersebut merupakan beberapa faktor lain yang menyebab kan kerusakan di kawasan Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser.
Gambar 4. Peta Kerusakan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sumber: Yayasan Leuser Internasional (Tahun 2005) 17 Ibid., hlm.4. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
181
Peta tersebut di atas, menunjukkan indikasi bahwa perambahan ke dalam kawasan selalu diawali dari kawasan dengan topografi ringansedang. Misalnya seperti yang terjadi di SKW IV Besitang, termasuk juga di kawasan Tangkahan maupun di Kab.Aceh Tenggara. Kawasan TNGL di wilayah Kab.Aceh Selatan, menunjukkan tidak adanya indikasi kerusakan kawasan, khususnya yang berskala menengah-besar. Daerah penyangga berupa hutan lindung dengan tingkat kesulitan medan yang tinggi, tidak menarik untuk dirambah atau dibalak. 2. Upaya Pemulihan dan Hambatannya Upaya yang dilakukan untuk mengatasi adanya kerusakan hutan di kawasan Tangkahan Taman Nasional, diawali dengan penyesuaian kebijakan dan tata organisasi Departemen Kehutanan. Pada tahun 1983, Direktorat Jenderal Kehutanan yang selama ini berada di bawah Departemen Pertanian berubah menjadi di bawah Departemen Kehutanan. Kebijakan pembentukan Departemen Kehutanan memerlukan proses (masa transisi) penyesuaian kebijakan dan pengorganisasian tata hubungan kerja sampai ke tingkat daerah. Di bawah Departemen Kehutanan dibentuk pula Beberapa Direktorat Jenderal, salah satunya adalah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Pada tahun 1984, ditetapkan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Nasional Gunung Leuser yang langsung berada di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam dengan tugas melakukan pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser berdasarkan sistem zonasi. Dengan terbentuknya Departemen Kehutanan dan UPT Taman Nasional Gunung Leuser, memberikan dampak yang sangat besar terhadap arah dan kebijakan program pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Untuk menekan laju kerusakan kawasan Tangkahan, maka pelaksanaan kegiatan pengamanan hutan secara partisipatif oleh masyarakat lokal senantiasa menjadi prioritas utama di dalam pengelolaan kawasan. Adapun beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat lokal Tangkahan dalam rangka menekan laju kerusakan hutan dilakukan beberapa kegiatan. Pertama, melakukan proses sosialisasi kepada masyarakat terutama kepada mereka yang terlibat dalam melakukan perambahan dan pelaku illegal logging agar tidak melakukannya karena hal ini akan sangat merugikan generasi penerus pada masa yang akan datang. Kegiatan ini tidak dapat dilaksanakan secara sempurna karena mendapat perlawasanan dari kelompok perambah. Tim Sosialisasi mendapat perlakuan kasar dengan adanya pemukulan dan pengeroyokan terhadap petugas oleh kelompok perambah. Kegiatan ini dilaksanakan pada sekitar tahun 19992000. Berdasarkan pengalaman ini, kemudian dilakukan pola pendekatan persuasif terhadap pengungsi dengan membuka ruang diskusi bersama atas 182
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
program rehabilitasi kawasan yang akan dilaksanakan di dalam kawasan. Selain mengadakan sosialisasi, juga dilakukan pertemuan forum LSM/NGO di bidang Konservasi dan Kemanusiaan yang berkaitan dengan program penanganan pengungsi di dalam wilayah TNGL. Dari pertemuan ini dihasilkan komitmen kuat dukungan pelestarian TNGL, dimana Tangkahan merupakan salah satu bagian dari kawasan tersebut kepada para pihak.18 Kedua, rekonstruksi dan Orientasi Batas Kawasan Tangkahan bersama Tim Tata Batas Kabupaten Langkat dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Medan dengan melibatkan masyarakat lokal di dua desa yaitu Desa Namo Sialang dan Sei Serdang. Rekonstruksi batas dilaksanakan pada tahun 1992/1993 dan pada tahun 2001/2002 serta dilakukan tahun 2003. Orientasi Batas pada tahun 2003 oleh Tim Tata Batas Kab. Langkat dan Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah I Medan , dilaksanakan dengan berpedoman pada batas kawasan sesuai peta zaman Belanda. Rekonstruksi ini juga melibatkan masyarakat lokal dan pihak PTPN II mengingat kawasan Tangkahan juga berbatasan dengan lahan perkebunan kelapa sawit milik PTPN II. Hasil rekontruksi ini mengembalikan posisi pal batas yang sebenarnya di lapangan, di mana telah terjadi perubahan letak pal batas kawasan dari hasil rekontruksi yang dilakukan sebelumnya. Ketiga, masyarakat lokal di dua desa yaitu Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang membuat kesepakatan kerjasama dengan pihak Balai Taman Nasional Gunung Leuser untuk pertama kalinya pada tanggal 22 April 2002. Kemudian berdasarkan keputusan kerjasama tersebut maka masyarakat setempat justru aktif dalam mengkampayekan untuk menjaga hutan melalui kegiatan pengembangan ekowisata di kawasan tersebut yang kian hari menunjukkan hasilnya. Keempat, pembuatan Peraturan Desa yang pada intinnya mengatur tentang bagaimana cara mengelola kawasan konservasi Tangkahan dan halhal yang tidak diperbolehkan dalam memanfaatkan sumber daya hutan di kawasan Tangkahan. Sebagai contoh adalah adanya larangan mengambil ikan di Sungai sekitar kawasan dengan cara memberikan racun atau dengan menggunakan jala. Masyarakat hanya boleh mengambil ikan dengan cara memancing. Disamping itu juga adanya larangan untuk tidak memburu hewan yang menjadi ciri khas ekosistem Tangkahan, serta adanya larangan untuk tidak menebang hutan terutama kayu-kayu jenis tertentu. Peraturan Desa ini mengikat masyarakat di dua desa yaitu Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang, begitu juga pihak Balai Taman Nasional Resort Tangkahan juga terikat dan harus mematuhi ketentuan perdes ini. Kelima, dalam rangka mengkampayekan dan melaksanakan Peraturan Desa tersebut maka dibentuklah lembaga masyarakat di kedua desa tersebut 18 “Masyarakat Penggarap TNGL Tetap Bertahan, “Waspada, (Kamis, 21 desember 2006). Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
183
yaitu Lembaga Pariwisata Tangkahan. Lembaga ini selain mengkampayekan masalah isi muatan Perdes, juga mengkampayekan perlunya konservasi di kawasan Tangkahan karena hal ini akan sangat bermanfaat dalam mewujudkan terwujudnya cita-cita pengembangan ekowisata di kawasan Tangkahan. Ekowisata tersebut selain mempunyai keuntungan di bidang konservasi, maka masyarakat setempat juga mempunyai keuntungan secara ekonomis. 3. Keberadaan Lembaga Masyarakat Dalam Menekan Kerusakan Hutan Oleh sebagian masyarakat, keberadaan pariwisata Tangkahan dapat menekan kerusakan hutan dan bahkan justru merehabilitasi hutan di kawasan tersebut. Persepsi masyarakat tentang pariwisata di Tangkahan diperoleh dengan menggali pendapat para responden tentang kegiatan wisata di Tangkahan, manfaat pariwisata Tangkahan, pemahaman tentang hubungan antara pariwisata dengan pelestarian hutan, serta komentar mereka tentang LPT sebagai lembaga pengelolaan pariwisata Tangkahan oleh masyarakat. Survei ini juga telah menjaring sebanyak 29 orang atau 58 % yang merupakan anggota maupun pengurus LPT, dan 21 orang atau 42 % yang bukan anggota LPT. Mereka tinggal tersebar di semua dusun yang dikunjungi. Rata-rata responden dapat menyebutkan atraksi-atraksi wisata yang tersedia di Tangkahan. Jalan-jalan menikmati hutan/trekking, mandi di sungai, berkemah dan menaiki gajah (elephant safari) adalah atraksi yang paling banyak disebutkan. Sumber penghasilan dari kegiatan wisata Tangkahan ini dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
Gambar 5. Sumber Penghasilan dari Kegiatan Wisata Tangkahan Sumber: Yayasan Indecon (Februari 2006)
Salah satu tujuan dari pengembangan ekowisata di Tangkahan adalah untuk mencegah munculnya praktek-praktek perusakan hutan, baik untuk 184
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
kepentingan ekonomi maupun non ekonomi. Agaknya, dengan strategi yang tepat, pengembangan wisata di Tangkahan bisa benar-benar mencapai tujuan tersebut. Salah satu bukti yang terlihat adalah berhentinya kegiatan illegal logging yang selama ini menjadikan Tangkahan dan sekitarnya sebagai salah satu basis kegiatan liar tersebut. Kondisi ini pula yang menjadikan hampir seluruh responden menjawab yakin bahwa pariwisata di Tangkahan bisa mencegah perusakan hutan, khususnya di Tangkahan dan umumnya di kawasan TNGL. Alasannya antara lain karena kegiatan wisata di Tangkahan dikelola oleh masyarakat lokal melalui LPT dan MoU bersama TNGL yang memberi hak kelola hutan seluas 17.500 ha turut membuat komitmen masyarakat terhadap konservasi Tangkahan semakin kuat. Perbandingan prosentase bahwa wisata Tangkahan dapat mencegah perusakan hutan, apabila dibandingkan dengan faktor lainnya dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
Gambar 6. Wisata dan Faktor Lain Dalam Mencegah Kerusakan Hutan Sumber: Yayasan Indecon (Februari 2006)
Responden meyakini, sejauh masyarakat terus terlibat dan memperoleh manfaat dari kegiatan wisata Tangkahan, maka perusakan hutan, terutama oleh illegal logging, tak akan terjadi. Meski hanya satu responden yang tak meyakini wisata Tangkahan bisa mencegah perusakan hutan, namun alasannya perlu disikapi serius, yaitu kekhawatiran bahwa wisata yang berkembang di Tangkahan justru akan merusak alam karena jumlah pengunjung yang tak terkendali. Kekhawatiran inilah sebenarnya yang banyak dihadapi dalam pengembangan ekowisata dimanapun. Bukti tentang ini mulai muncul di Tangkahan. Kalau hari libur, seperti hari raya Idul Fitri atau 17 Agustus, jumlah wisatawan lokal dan pedagang memadati sisi sungai Buluh dan sungai Batang Serangan. Banyak dari mereka yang membuang sampah di sekitar sungai dan membuat kebisingan ketika berkumpul di sisi hutan, terutama dekat air terjun dan jalur trekking. Mengukur dampak yang terjadi dari kegiatan wisata Tangkahan terhadap kehidupan sosial ekonomi penduduk sekitarnya menjadi sulit dilakukan mengingat tidak ada data lengkap yang menggambarkan Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
185
kondisi-kondisi sosial ekonomi sebelum pariwisata dilakukan. Namun, dengan menganalisis beberapa fenomena sosial ekonomi yang terjadi saat monitoring ini dilakukan, dan melihat keterkaitannya dengan pariwisata, setidaknya diperoleh gambaran lebih umum tentang bagaimana hubungan antara pariwisata Tangkahan dengan kehidupan sosial ekonomi penduduk. Memperhatikan fungsi kawasan di atas dan upaya agar mempercepat pemulihan kondisi akibat kerusakan hutan yang terjadi sangat parah pada masa tahun 1980-1999, maka pengelolaan kawasan Tangkahan dikelola dengan sistem zonasi. Pembagian zonasi pada kawasan Tangkahan dihasilkan dari proses perencanaan yang partisipatif bersama masyarakat, dimana zonasi yang dihasilkan telah sesuai dengan kebutuhan dan persepsi di tingkat masyarakat. Hal ini diharapkan dapat membantu para pengembangn di masa datang. Beberapa pertimbangan yang dijadikan dasar dalam penataan ruang di kawasan Tangkahan adalah:19 a. Kerentanan ekosistem dan hidupan luar; b. Nilai keanekaragaman hayati; c. Status kawasan; d. Peraturan Daerah dan Peraturan Balai Taman Nasional; e. Akses ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk partisipasi; f. Sumber daya manusia (kekuatan institusi termasuk alur pengambilan keputusan); g. Nilai sejarah kawasan; h. Aksesibilitas, termasuk akses kontrol; i. Keamanan dan kenyamanan pengunjung; j. Optimalisasi potensi wisata yang tersedia; k. Optimalisasi potensi sarana pendukung wisata; l. Efisiensi biaya. C. Konflik Yang Terjadi Di Tangkahan Paragraf-paragraf berikut ini akan menguraikan tentang latar belakang timbulnya konflik, macam konflik di Tangkahan, sikap Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta penyelesaian konflik yang pernah dilakukan di Tangkahan.
19 Masyarakat lokal kawasan Tangkahan mempunyai konsep penataan ruang dan perencanaan yang berlaku di Kawasan Tangkahan. Tangkahan, Peraturan Desa No. 301 tahun 2003 tentang Kawasan Ekowisata Tangkahan, Pasal 51. 186
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
1. Latar Belakang Timbulnya Konflik
Timbulnya konflik di kawasan Tangkahan dimulai sekitar awal tahun 1990 an hingga tahun 2001. Secara lebih spesisifik sejarah timbulnya konflik di kawasan Tangkahan dapat dikemukakan secara kronologis sebagai berikut: Pertama, pra-1980 dimana pada tahun tersebut sumber ekonomi utama masyarakat berasal dari karet dan palawija. Namun sejak penguasaan lahan-lahan pertanian masyarakat oleh PTPN II karena penjualan besarbesaran lahan masyarakat oleh para calo tanah, maka secara otomatis sumber penghasilan masyarakat menjadi semakin berkurang. Selain dari kalangan PTPN II, terdapat juga lahan pertanian masyarakat yang kemudian dikuasai oleh Perkebunan Swasta sehingga masyarakat tidak lagi sebagai pemilik lahan tersebut namun hanyalah menjadi buruh di perkebunan tersebut.20 Kedua, pada tahun 1980-1990. Pada tahun ini illegal logging semakin marak. Pelaku illegal logging, biasanya berasal dari masyarakat di luar dua desa dan juga berasal sebagian dari dalam desa yaitu masyarakat dari Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang. Ketiga, pada sekitar tahun 1992, O yang merupakan salah seorang tokoh dalam pelaku illegal logging yang berasal dari desa Namo Sialang. Keluar dari penjara setelah sebelumnya pada tahun 1990-an ia ditangkap dan dipenjara. Setelah keluar dari penjara ia mencoba untuk mengkampayekan pentingnya masalah konservasi di kawasan Tangkahan dan kemudian mencoba untuk mengkampayekan tentang pentingnya ekowisata setelah masalah konservasi bisa dilakukan oleh masyarakat.21 Keempat, pada tahun 1992-1994. Setelah pada tahun sebelumnya O melakukan upaya sosialisasi ekowisata di Tangkahan, maka para wisatawan domestik ke Tangkahan menjadi semakin meningkat jumlahnya. Namun seiring dengan semakin meningkatnya kunjungan para wisatawan tersebut premanisme dan illegal logging juga semakin marak di kawasan tersebut. Kelima, pada tahun 1994-1997 jumlah kunjungan wisatawan di kawasan Tangkahan turun drastis. Turunnya kunjungannya wisatawan ini disebabkan karena adanya premanisme dan illegal logging dimana para wisatawan yang berkunjung di kawasan tersebut juga seringkali di ancam dan dimintai uang oleh para preman tersebut. Hal inilah yang menjadi faktor penyebab menurunnya jumlah wisatawan yang berkunjung di Tangkahan. Pada tahun tersebut juga berdiri sebuah penginapan sederhana, milik WY, yang merupakan mantan pemandu wisata di Taman Nasional Bukit Lawang 20 Wawancara dengan Bapak Sitepu (Kepala Desa Namo Sialang), pada acara Sheared Learning, di Tangkahan pada tanggal 20 Februari 2006. 21 Wawancara dengan Ketua Lembaga Pariwisata Tangkahan, pada acara Sheared Learning di Tangkahan, pada tanggal 19 Februari 2006. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
187
yang pindah ke Tangkahan dan membeli sepetak tanah di tempat tersebut untuk penginapan.22 Keenam, pada tahun 1998 WY berupaya menghentikan illegal logging bersama-sama para pemuda dengan bekerjasama dengan aparat Balai Taman Nasional. Namun upaya WY tersebut justru berakibat pada perusakan penginapannya. Perusakan ini dilakukan oleh para pembalak kayu dan pelaku illegal logging yang dibekingi oleh para preman atas suruhan para cukong kayu yang sebagian besar berasal dari Medan. Ketujuh, pada tahun 1999 pemuda setempat melakukan inisiatif untuk menghentikan illegal logging dengan bekerjasama dengan Polsek Batang Serangan. Penghentian oleh Polsek Batang Serangan tersebut atas permintaan dari Forum Solidaritas Masyarakat (Forsolima) di kedua desa yaitu Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang. Disamping itu juga bekerjasama dengan pihak Balai Taman Nasional, Resort Tangkahan.23 Kedelapan, pada tahun 2000 terbentuklah LPT dan Ranger. Kedua lembaga masyarakat di dua desa tersebut, mampu untuk mencegah dan mengamankan maraknya praktek illegal logging melalui upaya-upaya persuasif dengan mengkampayekan kepada mereka yang melakukan illegal logging terutama dari masyarakat lokal. Kegiatan tersebut sangat berhasil karena tokoh yang merupakan pentolan pelaku illegal logging, juga ikut serta secara aktif dalam upaya ini. Hasilnya pada tahun tersebut illegal logging sangat berkurang secara signifikan. Kesembilan, pada tahun 2003 sampai sekarang masih ada perbedaan dalam pengembangan kawasan ekowisata Tangkahan. Hal ini disebabkan oleh karena masih adanya lahan PTPN II yang berdekatan dengan lokasi ekowisata Tangkahan yang akan dipergunakan sebagai lahan parkir atau lokasi untuk berjualan oleh masyarakat lokal. Perbedaan pemahaman tentang batas lahan perkebunan sawit dengan batas lahan kawasan Pengembangan Ekowisata Tangkahan ini juga menyebabkan keengganan Pemda Langkat untuk membantu memfasilitasi sarana dan prasarana menuju kawasan Tangkahan, seperti jalan menuju Tangkahan dan fasilitas listrik untuk penerangan hingga saat ini masih belum terwujud. Padahal sebenarnya Pemda Juga mempunyai kepentingan untuk mengembangkan ekowisata Tangkahan. 2. Macam Konflik di Tangkahan
Konflik merupakan suatu perbedaan cara pandang. Bentuk konflik bisa berupa keluhan saja sampai pada tingkat kekerasan dan perang. Walker
22 Wawancara dengan Wak Yun, Tokoh Masyarakat Tangkahan yang pernah menjadi pemandu di Taman Nasional Bukit Lawang, di Tangkahan, pada tanggal 15 Februari 2006. 23 Wawancara dengan Taufik Ramadhan, mantan anggota Forsolima, sekarang aktif di LPT Tangkahan, pada acara Sheared Learning, di Tangkahan pada tanggal 14 Februari 2006. 188
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
dan Daniels mengupas dengan seksama berbagai definisi konflik yang memperlihatkan bahwa konflik ternyata merupakan suatu wacana yang dikonstruksikan secara sosial dan bisa dipandang dari berbagai sudut.24 Dalam penelitian ini konflik didefinisikan sebagai suatu perwujudan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama. Titik berat dalam penelitian ini adalah konflik kehutanan yang telah muncul ke arena publik, terutama yang terjadi di kawasan Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser. Konflik yang terjadi biasanya melibatkan beberapa pihak seperti perusahaan dan masyarakat, antara anggota masyarakat, antara perusahaan yang satu dengan yang lain dan juga antara masyarakat dengan pemerintah. Dalam penelitian ini konflik-konflik yang terjadi di kawasan konservasi sangat beragam. Di kawasan tersebut, ditelusuri dan dianalisa konflik apa saja yang terjadi, siapa yang terlibat, kapan terjadinya, apa faktor penyebabnya, dan bagaimana tingkat eskalasi dan penyelesaian yang pernah diupayakan. Konflik yang terjadi di kawasan Tangkahan melibatkan beberapa pihak. Pertama, konflik antara masyarakat lokal dengan pihak Balai Taman Nasional Gunung Leuser, Resort Tangkahan. Konflik antara kedua pihak tersebut sangat terlihat ketika masyarakat lokal sebagian mencoba untuk ikut melakukan praktek perambahan hutan. Bahkan secara individual mereka dijadikan alat bagi para cukong kayu dalam menghadapi pihak aparat Balai taman Nasional. Namun hal tersebut secara perlahan semakin berkurang, bahkan saat ini relatif tidak ada karena masyarakat sudah semakin sadar akan manfaat pentingnya konservasi di kawasan Tangkahan dan manfaat ekowisata di kawasan Tangkahan. Kedua, konflik antara pengungsi asal Aceh dengan pihak Balai Taman Nasional. Konflik ini bermula dengan pasca DOM di Aceh. Setelah peristiwa tersebut banyak sebagian warga yang tidak aman mencoba untuk bertahan hidup dengan menempati kawasan untuk tempat tinggal sementara. Di kawasan Tangkahan jumlah pengunsi asal Aceh memang relatif tidak banyak, sekitar 50-75 KK yang menyebar di kedua desa yaitu di Desa Namo Sialang sebanyak 45 KK dan 30 KK di Desa Sei Serdang. Saat ini jumlah pengungsi tersebut sudah 40 % direlokasi untuk dikembalikan ke daerah asal, dan sebagian juga kembali menempati lahan di kawasan Taman Nasional yang lain terutama di kawasan Sekoci dan Sei Lepan. Pada awal tahun 2000, akibat kondisi politik di daerah Aceh Utara dan Aceh Timur yang kurang kondusif, telah terjadi perpindahan penduduk (pengungsi) dari daerah tersebut ke wilayah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kondisi ini diduga telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, dengan dalih sedang memperjuangkan lahan Taman Nasional Gunung Leuser untuk menampung 24 Daniels, S.E and Warker, Working Throught Environmental Conflict: The Collaborative Learning Approach, (Westport: Praeger Publishers, 2001), hlm.3-5. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
189
pengungsi asal Aceh tersebut dan kemudian melakukan pemungutan dana sebesar Rp. 500.000,- per pancang (per 2 hektar) sebagai kompensasi atas pengusahaan lahan. Ketiga, konflik antara calo tanah, pembeli tanah, perambah hutan dengan pihak Balai Taman Nasional Gunung Leuser. Konflik ini terjadi karena adanya perambahan dengan pola jual beli lahan di kawasan Tangkahan. Dimana lahan dari masyarakat biasanya dikuasai oleh masyarakat di luar kedua desa tersebut. Para spekulan tanah (penjual lahan) di kawasan Tangkahan dan sekitarnya, berdasarkan jaringan organisasi dan sistem kerjanya dapat terbagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu :25 1. Spekulan Tanah Besar. Kelompok spekulan tanah besar ini memiliki jaringan organisasi dan system kerja yang terkoordinir secara rapi. Memiliki anggota sindikat jual beli lahan dari mulai buruh (massa pekerja lapangan), mandor (pengaman lapangan), ketua kelompok (coordinator lapangan), kontak person (penghubung/ pemasar lahan), backing/pelindung (pengatur kebijakan) dan pemodal kuat (perorangan s/d skala perusahaan). 2. Spekulan Tanah Kecil. Kelompok spekulan tanah kecil ini melakukan aksi pengkaplingan dan penjualan lahan (TNGL) dengan bekerja secara sendiri-sendiri dan tidak memiliki jaringan kerja secara rapi. Bekerja secara insidentil dengan memanfaatkan ruang–ruang lahan (TNGL) yang berada di dalam dan/ di luar wilayah penguasaan (teritorial) kelompok spekulan tanah besar. Dalam proses jual beli lahan (TNGL) di kawasan Tangkahan dan sekitarnya, juga melibatkan kelompok pembeli. Berdasarkan skala luas pembelian lahan, kelompok ini terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :26 1. Pembeli Skala Besar Kategori pembeli skala besar adalah berdasarkan luasan lahan (TNGL) yang dibeli dan diusahai, yaitu berkisar antara 10 s/d 100 hektar. Kelompok ini berasal dari 3 wilayah yaitu Binjai, Stabat dan Medan. Kelompok ini melakukan pembelian lahan (TNGL) melalui kelompok spekulan tanah besar. 2. Pembeli Skala Kecil Kategori pembeli skala kecil adalah berdasarkan skala luasan lahan (TNGL) yang dibeli dan diusahai berkisar antara 2 s/d 10 hektar. Kelompok ini berasal dari beberapa wilayah Kecamatan di Kabupaten 25 Wiratno, “Penanganan Konflik di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser,” Buletin Jejak Leuser, (Volume 6, 2006), hlm.12-14. 26 Ibid., hlm.14. 190
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Langkat dan ada juga yang berasal dari Medan. Kelompok ini melakukan pembelian lahan (TNGL) melalui kelompok spekulan besar dan ada juga yang melalui kelompok spekulan tanah kecil. Keempat, konflik antara PT. Perkebunan Nusantara II dengan Balai taman Nasional Gunung Leuser. Konflik ini terjadi antara PT. Perkebunan Nusantara II yang terletak di kawasan Tangkahan. Tumpang tindih lahan perkebunan di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser khususnya wilayah Tangkahan oleh perusahaan perkebunan sebagaimana tersebut di atas, diperkirakan telah terjadi sejak tahun 1984 s/d 1990. Hal ini berdasarkan perkiraan umur tanaman Kelapa Sawit yang saat ini telah mencapai usia ± 15 s/d 21 tahun. Operasi pengamanan hutan gabungan bersama Tim Koordinasi Pengamanan Hutan I Wilayah Sumatera Utara, melakukan pemusnahan/penumbangan tanaman Kelapa yang berada di dalam Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan Besitang. Namun tidak sampai tuntas, karena perusahaan mengajukan keberatan dan melakukan penuntutan hukum kepada Balai Taman Nasional Gunung Leuser melalui proses peradilan di Pengadilan Negeri Stabat. Perbedaan penafsiran tapal batas Taman Nasional Gunung Leuser. Perbedaan letak pal batas Taman Nasional Gunung Leuser di kawasan Tangkahan atas hasil Orientasi Batas sepanjang yang dilaksanakan pada tahun 2003 dengan hasil rekontruksi batas yang dilaksanakan tahun 1992/1993 pada lokasi yang sama dan dilaksanakan oleh Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan. Hasil orientasi batas kawasan yang dilaksanakan pada tahun 2003, mengembalikan letak pal batas kawasan yang sesuai dengan hasil tata batas perubahan fungsi kawasan Tangkahan menjadi Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Langkat.27 Apabila dilihat dari jenis konflik yang pernah terjadi, khusus mengenai pengelolaan kawasan ekowisata Tangkahan, peta konflik dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok. Pertama, konflik yang terkait dengan masalah kebijakan. Konflik kebijakan ini antara lain terjadi antara Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) dengan Pemerintah Daerah Langkat mengenai kontribusi LPT pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta peran Pemerintah Daerah dalam mengembangkan pariwisata Tangkahan. Pada sisi Pemda, LPT dianggap tidak berkoordinasi dalam melakukan kegiatannya. Namun demikian dimata LPT, Pemda tidak pernah serius dalam mendorong masyarakat dalam kegiatan wisata di Tangkahan. Mereka menganggap Pemda masih terlalu fokus pada ekowisata di Bukit Lawang. Hal dapat dibuktikan ketidakseriusan Pemda dalam 27 Balai Taman Nasional Gunung Leuser, “Rehabilitasi Tapal batas Kawasan taman Nasional Gunung Leuser,”Siaran Pers, Kantor Balai taman Nasional Perwakilan Medan, 31 Januari 2006. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
191
memberikan papan nama petunjuk menuju kawasan ekowisata Tangkahan yang hanya terdiri 3 buah, anggota LPT dan masyarakat menilai hal tersebut tidak sebanding dengan permintaan Pemda untuk mendapatkan hasil dari retribusi tiket dan parkir. Kedua, konflik yang terkait dengan pengelolaan aset. Konflik pada wilayah ini sangat ditentukan oleh kejelasan status, hak dan tanggungjawab salah satu pihak atas sebuah sumberdaya aset yang dikelola. Contoh lihat adalah saat ranger menginginkan pengelolaan aset camping ground yang selama ini dikuasai oleh LPT. Contoh konflik tertutup lainnya adalah soal ketidakjelasan hak menikmati atraksi wisata antara anggota LPT dengan mereka yang bukan LPT, atau warga desa Namo Sialang dan desa Sei Serdang dengan warga desa lainnya. Kasus mengenai hal ini sempat terungkap ketika terjadi perdebatan antara penjaga tiket dengan seorang pengunjung dari desa Sei Serdang yang hanya membayar tiket separoh harga. Menrutnya, ada informasi bahwa warga dua desa ini diperkenankan membayar tiket masuk Rp. 1000,- dari harga resmi Rp. 2000,-. Ketiga, konflik yang berkaitan dengan kelembagaan LPT. Konflik dalam kelembagaan LPT bisa saja bersifat tertutup (latent) maupun terbuka (manifest). Struktur organisasi, gaya kepemimpinan dan pola pengambilan keputusan merupakan faktor-faktor yang menentukan konflik terjadi. Dalam LPT, konflik bisa melibatkan antara individu, antar kelompok maupun antar kelompok lain dengan individu. Pemicu konflik bisa saja bersifat personal, namun menjadi naik ke permukaan karena menemukan media yang sesuai untuk dimanfaatkan. Konflik berkaitan dengan program lembaga lain, seperti lembaga Indecon, TNGL, FFI, serta Pemda Langkat adalah merupakan lembaga-lembaga yang memiliki kepentingan atas wisata Tangkahan. Friksi yang terjadi antara masyarakat atau LPT dengan lembaga-lembaga tersebut sejauh ini masih bersifat tertutup. Meskipun ada konflik yang bersifat terbuka, biasanya lebih disebabkan oleh kesalahpamahan, perbedaan persepsi, serta komunikasi yang kurang baik di tingkat pelaksanaan program. Selama ini konflik-konflik tersebut masih dapat dikelola lewat komunikasi dan musyawarah. Sedangkan apabila dilihat dari kurun waktu sebelum dan sesudah pembentukan LPT Tangkahan, maka konflik dapat dikelompokkan dalam dua kelompok. Pertama, konflik yang terjadi pada pra pembentukan LPT. Konflik ini dapat bersifat terbuka dan tertutup. Konflik yang bersifat terbuka antara lain adalah konflik antara warga yang terlibat penebangan liar dengan pelaku wisata yang pada saat itu masih belum terkoordinasi dengan baik. Konflik terbuka lainnya adalah mengenai masalah pengelolaan lahan perparkiran yaitu antara warga desa dengan Organisasi Kelompok Perparkiran (OKP) dari warga desa lainnya. Disamping itu mengenai masalah perparkiran juga 192
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
ada konflik yang masih bersifat tertutup antara masyarakat desa dengan pihak Perkebunan Nusantara II (PTPN II), dimana lahan parkir yang dipergunakan untuk pengunjung adalah merupakan kawasan perekebunan sawit yang sudah kosong. Konflik terbuka lainnya pada masa sebelum pembentukan LPT, juga melibatkan antara Balai Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dengan pelaku penebangan liar di kawasan Taman Nasional yang berasal dari dua desa yaitu Desa Namo Sialang dan desa Sei Serdang. Kedua, konflik yang terjadi setelah pembentukan LPT.Sejak pembentukan LPT, konflik yang terjadi pada saat sebelum pembentukan LPT menjadi berkurang, terutama konflik yang sifatnya terbuka. Konflik yang masih terjadi hanyalah konflik yang bersifat tertutup yaitu diantara anggota LPT, baik karena masalah pribadi maupun masalah kelembagaan. Konflik tertutup lainnya menyebabkan adanya apatisme dan pesimistik pada warga desa terhadap Pemda Kabupaten Langkat soal pengelolaan kawasan wisata Tangkahan, terutamna mengenai pembangunan sarana jalan menuju areal wisata Tangkahan. 3. Sikap Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat
Berdasarkan macam-macam konflik yang terjadi di kawasan Tangkahan, yang sifatnya terbuka maka Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat mempunyai sikap yang berbeda dalam melihat konflik tersebut. Secara lebih detail sikap pemerintah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, sikap pemerintah baik pusat maupun daerah dalam melihat konflik antara masyarakat lokal dengan Balai Taman Nasional Gunung Leuser, Resort Tangkahan. Terhadap konflik ini Pemerintah Pusat, yang dalam hal ini diwakili oleh Balai Taman Nasional merespon dalam bentuk adanya kesepakatan antara masyarakat lokal di dua desa dengan pihak Balai Taman Nasional Gunung Leuser pada tanggal 23 September 2001. Kesepakatan tersebut kemudian ditindaklanjuti baik oleh masyarakat lokal setempat dan Balai TNGL dengan masing-masing pihak saling mempersiapkan diri. Kemudian pada tanggal 22 April 2002, dilakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan RI, yang diwakili oleh Balai TNGL dengan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) yang mewakili masyarakat lokal dari dua desa, yaitu desa Namo Sialang dan desa Sei Serdang. Sejak adanya penandatanganan tersebut maka konflik diantara kedua belah pihak secara signifikan menjadi berkurang, karena masyarakat lokal juga dilibatkan dalam masalah konservasi di kawasan Tangkahan yang notabene menjadi wilayah kerja Balai Taman Nasional Gunung Leuser, sektor Wilayah IV, Besitang. Sikap dari Pemerintah Daerah, terhadap konflik antara Balai TNGL dengan masyarakat lokal, tidak terlalu siginifikan berperan aktif. Hal ini
Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
193
dapat dilihat pada proses pendatanganan MoU antara Balai TNGL dengan masyarakat lokal (LPT), Pemda Langkat hanya sebagai pihak yang menghadiri upacara tersebut, bukanlah sebagai pihak yang ada dalam kesepakatan tersebut. Namun demikian sejak adanya MoU tersebut Pemda Langkat berencana mengadakan Perda tentang Tata Ruang dan Proses Perencanaan Secara Partisipatif Kawasan Ekowisata Tangkahan. Namun hingga saat ini Perda tersebut belum pernah diundangkan. Sebenarnya hal tersebut sangat ditunggu oleh masyarakat lokal sebagai dasar legitimasi keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan Tangkahan. Dalam perkembangannya masyarakat menganggap bahwa agar ada dasar legalitas, maka kahirnya masyarakat lokal membuat dua Peraturan Desa yaitu Peraturan Desa No.301 tentang Kawasan Ekowisata Tangkahan (desa Sei Serdang) dan Peraturan Desa No.212 tentang Kawasan Ekowisata Tangkahan (desa Namo Sialang). Kedua, sikap pemerintah dalam menyelesaiakan konflik antara pengungsi asal Aceh dengan pihak Balai Taman Nasional. Dalam menghadapi konflik ini mengingat jumlah keluarga yang mengungsi di kawasan Tangkahan ini relatif lebih mudah jika dibandingkan di resort lainnya di sektor wilayah IV Besitang. Adapun sikap pemerintah pusat dalam hal hal ini adalah melakukan relokasi terhadap para pengungsi untuk menempatkan mereka di luar kawasan konservasi Tangkahan, dengan berdekatan di dekat pemukiman penduduk di luar kedua desa tersebut namun masih berada di Kecamatan Batang Sarangan. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat ini bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat untuk menertibkan dan merelokasi mereka. Namun demikian sebagian diantara mereka lebih kurang 30 % dari jumlah lebih kurang 44 KK kembali ke Aceh sejak Pasca Tsunami. Karena sejak Pasca Tsunami mereka dapat mendapatkan fasilitas dari pemerintah melalui BRR berupa bantuan tempat tinggal dengan menyatakan sebagai korban Tsunami. Salah satu kesalahan yang menghambat dalam proses penyelesaian masalah pengungsi asal Aceh ini adalah karena kurang proaktifnya pemerintah dalam mengatasi masalah pengungsi ketika jumlah mereka masih rtelatif kecil. Namun ketika jumlah mereka sudah semakin banyak hal ini menjadi sulit, mengingat dalam mengatasi masalah pengungsi menyangkut biaya yang tidak sedikit. Ketiga, sikap pemerintah dalam menyelesaikan konflik antara calo tanah, pembeli tanah, perambah hutan dengan pihak Balai Taman Nasional Gunung Leuser. Konflik ini terjadi karena adanya perambahan dengan pola jual beli lahan di kawasan Tangkahan. Sikap pemerintah pusat dalam menyelesaikan masalah ini adalah dengan melakukan rehabilitasi terhadap tapal batas kawasan ekosistem Tangkahan. Upaya yang dilakukan oleh pemertintah pusat ini diwakili oleh pihak Balai TNGL dengan dibantu oleh beberapa pihak termasuk masyarakat lokal dan pihak LSM baik lokal 194
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
maupun internasional. Hal ini dilakukan mengingat masyarakat baik nasional maupun internasional mempunyai kepentingan untuk mengamankan dan merehabilitasi kawasan konservasi Tangkahan, yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gung Leuser yang diyakini oleh masyarakat internasional sebagai The World Haritage International. Sedangkan pemerintah daerah melalui Pemda Langkat dalam mensikapi konflik ini yaitu dengan membuat kebijakan pengembangan kawasan hutan lindung, termasuk juga kawasan Tangkahan. Namun sampai detik ini kebijakan itu belum pernah terwujud terutama dalam bentuk Peraturan Daerah yang mengatur tentang Tata Ruang dan Pengelolaan Partisipatif Kawasan Ekosistem Tangkahan. Padahal konsep tata ruang tersebut sangat diuperlukan terutama untuk membedakan antara kawasan yang termasuk daerah pemukiman dan kawasan yang termasuk konservasi. Keempat, terhadap konflik antara PT. Perkebunan Nusantara II dengan Balai taman Nasional Gunung Leuser. Konflik ini terjadai antara PT. Perkebunan Nusantara II yang terletak di kawasan Tangkahan dengan pihak Balai TNGL. Sikap pemerintah pusat dalam mengatasi konflik ini yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan oreientasi batas kawasan Tangkahan dengan kawasan disekitarnya termasuk juga kawasan Perkebunan Nusantara II (PTPN II). Rekonstruksi ini dilakukan oleh pemerintah pusat (Balai TNGL) dengan bekerjasama dengan Tim Tata Batas Kabupaten Langkat dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Medan, dengan juga melibatkan masyarakat lokal di kedua desa yaitu desa Sei Serdang dan Namo Sialang. Rekonstruksi ini dilakukan pada tahun 1992/1993 dan tahun 2001/2002 serta pada tahun 2003. Orientasi batas pada tahun 2003 ini dilaksanakan dengan berpedoman pada batas kawasan sesuai peta zaman Belanda. Rekosntruksi ini juga melibatkan dari pihak PTPN II, mengingat batas wilayah ini juga berdekatan dengan lahan milik perkebunan tersebut. Hasil rekonstruksi ini mengembalikan posisi pal batas yang sebenarnya di lapangan, dimana telah terjadi perubahan letak pal batas kawasan dari hasil rekonstruksi yang dilakukan sebelumnya. 4. Penyelesaian Konflik Yang Pernah Dilakukan di Tangkahan
Penyelesaian konflik (sengketa) dapat melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian konflik di luar pengadilan diawali oleh adanya ketidakpuasan akan proses penyelesaian konflik melalui pengadilan yang memakan waktu relatif lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, putusan yang dihasilkan oleh pengadilan sering menimbulkan rasa tidak puas para pihak atau ada pihak yang merasa sebagai pihak yang kalah.28
28 Sri Mamudji, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, “ Jurnal Hukum dan Pembangunan 3 (September, 2004): 194-195. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
195
Dikembangkannya penyelesaian sengketa alternatif, seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi didukung oleh beberapa faktor, antara lain 1) cara penyelesaiannya sudah dikenal dalam berbagai budaya; 2) penyelesaiannya bersifat non adversial; 3) memungkinkan semua pihak yang langsung berkaitan dengan sengketa diikutsertakan dalam perundingan; 4) tercapainya win-win solution.29 Terdapat berbagai bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti yang ditulis Nolan-Haley, ”ADR is an umbrella term wich refers generally to alternative to court adjudication of disputes such as negotiation, mediation, arbitration, mini trial and summary jury trial.”30 Tujuan dari pengembangan penyelesaian sengketa alternatif adalah untuk memberikan forum bagi pihak-pihak untuk bekerja kearah kesepakatan sukarela dalam mengambil keputusan mengenai sengketa yang dihadapinya. Dengan demikian penyelesaian sengketa alternatif adalah merupakan sarana yang potensial untuk memperbaiki hubungan di antara pihak-pihak yang bersengketa. Dalam penelitian ini hanya akan dibahas penyelesaian konflik melalui musyawarah dan mufakat yang berakar dari budaya Indonesia, penyelesaian melalui mediasi, dan penyelesaian sengketa secara kolaboratif. a. Penyelesaian Dengan Musyawarah dan Mufakat Penyelesaian konflik (sengketa) alternatif telah lama digunakan oleh masyarakat tradisional di Indonesia dalam rangka menyelesaiakan sengketa di antara mereka. Penyelesaian sengketa alternatif secara tradisional dianggap efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup dalam masyarakat.31 Dengan demikian bagi masyarakat Indonesia penyelesaian sengketa alternatif bukan merupakan fenomena asing, karena konsensus dan kompromi menjadi inti dari penyelesaian sengketa alternatif sesuai dengan pendekatan musyawarah dan mufakat yang dipandang sebagai mekanisme pengambilan keputusan penyelesaian sengketa yang bersumber dari masyarakat atau hukum adat Indonesia. Moh. Koesnoe mengemukakan ada tiga asas kerja dalam menyelesaikan perkara-perkara adat, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan.32 29 Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2000)., hlm. 15. 30 Jacqualine M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution, (St. Paul, Mini Sota: West Publishing Co, 1992), hlm. 4-5. 31 Hilman Kusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1992), hlm.247. 32 Moh. Koesnoe, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, (Surabaya: Airlangga University Press, 1979) hlm.45. 196
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Asas kerukunan adalah suatu asas yang isinya berhubungan erat sekali dengan perdagangan dan sikap orang menghadapi hidup bersama di dalam suatu lingkungan dengan sesamanya untuk mencapai suatu suasana hidup bersama seperti yang oleh adat diterima sebagai ideal yaitu masyarakat aman, tentram dan sejahtera. Satu sama lain bergantungan saling memerlukan sehingga sesamanya menjadi perhatian sepenuhnya dari masing-masing demi untuk dapat terwujudnya dan bertahannya kehidupan bersama. Menghadapi berbagai permasalahan dan sengketa dalam masyarakat asas kerukunan dituangkan dalam ajaran berkehendak bersama, yang dibedakan dalam ajaran musyawarah dan ajaran mufakat. Ajaran musyawarah diartikan sebagai suatu tindakan seseorang bersama orangorang lain untuk menyusun suatu pendapat bersama yang bulat atas suatu permasalahan yang dihadapi oleh seluruh masyarakat. Sedangkan ajaran mufakat adalah menyelesaikan perbedaan-perbedaan kepentingan pribadi seseorang terhadap orang lain atas dasar perundingan antara yang bersangkutan. Di dalam hal ini perundingan diarahkan pada titik-titik yang berada antara kehendak atau pendirian masing-masing pihak, melalui tawar menawar diusahakan untuk sampai kepada persamaan pendirian. Hasil usaha membentuk persamaan kehendak atau pendapat iti disebut persetujuan dan proses pembentukan itu disebut sebagai permufakatan.33 Moh Koesnoe tampaknya membedakan pengertian musyawarah dengan mufakat dimana musyawarah menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama dalam urusan mengenai kepentingan hidup bersama di dalam masyarakat, sedangkan mufakat menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama antara dua orang atau lebih, dimana masing-masing berpangkal dari perhitungan untuk melindungi kepentingan masingmasing sejauh dimungkinkan. Mekanisme penyelesaian sengketa yang sesuai dengan asas kerukunan adalah harus sedemikian rupa sehingga pihak-pihak yang bersengketa dikemudian hari dapat meneruskan kehidupan bersama kembali sebagaimana sebelumnya. Intinya adalah perbaikan hubungan yang juga merupakan salah satu sasaran penyelesaian sengketa alternatif modern. Asas kepatutan mengarah kepada usaha untuk mengurangi jatuhnya seseorang ke dalam rasa malu yang ditimbulkan oleh hasil penyelesaian sengketa tersebut. Oleh karena itu asas kepatutan memusatkan perhatiannya kepada cara menemukan penyelesaian sengketa yang dapat menyelamatkan kualitas dan status pihak-pihak yang bersangkutan dengan sebaik-baiknya. 33 Charles O. Frake, Struck by Speech: The Yaken Concept of Litigation, dalam Laura Nader (ed), Law in Cultur and Society, (Chicago: Aldin Publishing Co, 2005), hlm.147-167. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
197
Asas yang ketiga adalah asas keselarasan, merupakan suatu asas yang bersangkutan dengan soal bagaimana memberi penyelesaian atas suatu sengketa yang dihadapi secara sedemikian rupa sehingga aspek perasaan aestetis terpenuhi secara optimal. Suatu penyelesaian sengketa dianggap memenuhi perasaan estetis jika penyelesaian tersebut dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan maupun masyarakat yang bersangkutan.34 Hingga tahun 1994-1999, masyarakat lokal di sekitar lokasi cenderung sebagai “massa mengambang”, yang sebagian menentang keberadaan pengungsi dan perambah ilegal serta sebagian mendukung bahkan ikut terlibat. Masyarakat yang mendukung melihat fenomena ini sebagai alternatif sumber ekonomi baru dalam memenuhi kebutuhan akan lahan dan mendapatkan pendapatan tambahan. Namun kondisi itu berubah ketika telah terjadi kesepakatan antara Balai Taman Nasional Gunung Leuser dengan masyarakat local yang ada di dua desa tersebut untuk bekerjasama mengatasi masalah illegal logging dan pengelolaan kawasan Tangkahan. Sikap para pengungsi ini secara umum adalah menentang pengusiran paksa atas areal yang telah diusahakan, dan menuntut perhatian negara terhadap jaminan hidup selanjutnya. Seperti halnya masyarakat lokal, sebagian kelompok pengungsi telah teragitasi hingga menuntut status areal yang mereka diami saat ini dilegalkan. Saat ini yang dibutuhkan oleh mereka adalah kejelasan status sosial sebagai bagian dari penduduk yang sah. Sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah bagi mereka apabila harus meninggalkan wilayah TNGL yang mereka diami saat ini. Namun untuk menyambung hidup, mereka terpaksa bertahan dan bersedia melakukan apa saja. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang notabene memiliki modal uang dan pengetahuan untuk memuluskan tujuan mereka mengeksploitasi sumber daya alam dalam pemenuhan lahan untuk perkebunan dan mengambil kayu secara illegal dari dalam kawasan. Kelompok ini adalah para pendatang yang dibayar untuk membuka lahan oleh para cukong. Berlatang belakang kebutuhan ekonomi ditambah pengaruh dari para “aktor intelektual”, mereka tidak mengakui wilayah tersebut sebagai bagian dari wilayah TNGL, menuntut perubahan status, dan pengakuan administratif pemerintah terkait. Pada awalnya untuk mengatasi masalah di kawasan Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser, dilakukan musyawarah untuk mufakat yang merupakan penyelesaian yang berakar dari budaya masyarakat setempat. 34 Ali Budiharjo dkk, Op. Cit, hlm.95. 198
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Namun justru muncul persoalan yang menghambat upaya penyelesaian, karena sebab-sebab berikut: Pertama, masalah yang berkaitan dengan adanya konflik Aceh. Belum kondusifnya keamanan di Aceh menjadi alasan bagi sebagian orang yang ingin mandapat lahan. Mereka mengikuti jejak para pendahulu sesama pengungsi yang telah memiliki lahan dan mata pencaharian di tempat baru. Identitas mereka kadang sulit ditelusuri apakah benar-benar pengungsi dari Aceh atau perambah. Kondisi ini sangat berkurang sejakdi tandatanganinya deklarasi Helsinky tentang Perdamaian di Aceh. Bahkan berdasarkan informasi terkahir dari pihak Balai Taman Nasional, maka sejak pasca Tsunami para pengungsi sebagian telah kembali ke Aceh dan mendapatkan fasilitas bantuan rumah dari program pemerintah yang disalurkan melalui BRR. Kedua, masalah yang berkaitan dengan tapal batas TNGL. Tata batas dan tanda batas yang jelas di lapangan mutlak diperlukan untuk menata ulang dan menjamin keutuhan kawasan. Di lapangan saat ini tanda batas sudah banyak yang hilang dan bergeser. Proses hukum ke depan akan sangat tergantung dari kejelasan status kepemilikan kawasan yang direpresentasikan oleh pal batas yang jelas di lapangan. Ketiga, lemahnya sistem pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Telah diakui bahwa lemahnya supervisi pihak TNGL selaku pengelolaan kawasan selama ini menjadi salah satu sebab maraknya perambahan. Hal ini diperparah oleh kurang pahamnya aparatur non kehutanan dalam memandang sistem pengelolaan kawasan. Pola keproyekan dan luncuran dana dari pusat turut menambah kusutnya permasalahan. Kemitraan yang terjalin, yang pada awalnya diharapkan bisa meminimalisir hambatan dalam pola keproyekan pun belum berjalan selaras. Dalam hal ini masing-masing pihak berjalan sendiri beradu konsep penyelesaian dan kadang melemparkan tanggung jawab begitu saja. Di sinilah menjadi sangat penting untuk selalu mengedepankan upaya penyelesaian kolaboratif dengan memanfaatkan potensi tiap institusi / stakeholder terkait. Keempat, masalah jangka waktu penyelesaian. Hambatan ini erat kaitannya dengan pola keproyekan dan komitmen stakeholder dalam penyelesaian masalah secara tuntas. Sering schedule yang telah tersusun tidak bisa berjalan karena terhambat dalam hal pendanaan dan inkonsistensi prioritas kegiatan oleh insitusi tertentu. Padahal tuntasnya masalah ini butuh konsistensi dan jaminan kelancaran perangkat pendukungnya. Pada akhirnya para obyek pelaku baik aktor intelektual / pemodal maupun para pelaku di lapangan semakin berani menjalankan aksinya karena menganggap semua ini hanya proyek yang akan selesai pada waktunya tanpa ada kelanjutan. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
199
Kelima, masalah keterlibatan oknum pemerintah. Hasil investigasi menunjukkan bahwa sebagian aktor pelaku adalah oknum pemerintah yang jelas-jelas telah menyalahgunakan kekuasaan untuk memuluskan aksi mereka. Pengungsi, perambah, dan masyarakat lokal hanyalah obyek yang dimanfaatkan oleh oknum ini dengan memanfaatkan kondisi mereka yang lemah secara ekonomi. Penegakan hukum perlu secara tegas diberikan kepada mereka bahkan perlu dipublikasikan kepada khalayak sebagaimana seorang koruptor yang jelas-jelas telah merugikan negara dan membohongi masyarakat. Inisiatif penyelesaian konflik di kawasan Tangkahan melalui musyawarah dan mufakat Taman Nasional Gunung Leuser bermula dan dipelopori oleh kaum muda yang menginginkan perubahan sosial dan ekonomi, obsesi modernisasi, maka dibentuklah Tangkahan Simalem Ranger pada 22 April tahun 2001 sebuah perkumpulan yang mempelopori dikembangkanya hutan menjadi tempat Pariwisata seperti di Bukit Lawang atau Brastagi dan dihentikannya berbagai aktivitas-aktivitas pembalakan kayu dan perambahan yang dilakukan oleh orang tua mereka sendiri. Gerakan kaum muda tersebut berubah menjadi sebuah gerakan sosial di desa Namo Sialang dan desa Sei. Serdang, dimana mereka aktif dalam aktivitas sosial desa maupun sebagai Anakberu ( identitas adat suku Karo ). Kegiatan tersebut akhirnya menarik simpati kalangan orang tua, melibatkan berbagai lapisan masyarakat , mendorong terciptanya sebuah kawasan wisata baru di Kabupaten Langkat sebagai jawaban dan investasi social untuk generasi mendatang. 35 Akhirnya pada tanggal 19 Mei 2001 berkumpullah pemimpinpemimpin kelompok penebang , perambah dan tokoh-tokoh masyarakat dan perangkat Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang dan bersepakat untuk mengembangkan pariwisata yang selanjutnya disebut Kawasan Ekowisata Tangkahan dan membentuk Lembaga Pariwisata Tangkahan dengan melalui proses pemungutan suara untuk memilih Dewan Pengurus dan menyusun dasar-dasar pengembangan Pariwisata. Dan hari itu disebut sebagai Kongress I dan merupakan tonggak penting dalam pelestarian Taman Nasional Gunung Leuser dikemudian hari.36 Karena objek wisata yang cukup menarik semua terdapat di dalam Taman Nasional, maka Lembaga Pariwisata Tangkahan menandatangani sebuah bentuk kerjasama (MoU) dengan Balai Taman Nasional Gunung Leuser pada 22 April 2002 selaku pemangku Kawasan untuk memberikan 35 Saiful Bahri, “Tangkahan Inisiatif Lokal Untuk Merakyatkan Taman Nasional Gunung Leuser, “Makalah disampaikan pada “Shearde Learning”, Kawasan Ekowisata Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, Langkat Sumatera Utara, 13-12 Februari 2006, hlm.1-3. 36 Ibid., hlm.4. 200
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
hak kelola kawasan Tangkahan Taman Nasional kepada masyarakat Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang melalui Lembaga Pariwisata Tangkahan sebagai Property Right ( Aset kolektif ) seluas kurang lebih 17.500 ha (batas administratif desa) untuk pengembangan Ekowisata dan Berbagai pemanfaatan tradisional yang menunjang sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Sebagai kompensasinya masyarakat Desa Namo Sialang dan Masyarakat Desa Sei Serdang bertanggung jawab penuh didalam pengamanan dan kelestarian Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser yang berbatasan dengan wilayah desa. Untuk mengintegrasikan serta mengakomodasikan berbagai kearifan dan aturan lokal, maka dirumuskan secara partisipatif sebuah Peraturan Desa tentang pengelolaan kawasan ekowisata Tangkahan. Adapun hal ini mendasari sebuah gelombang perubahan besar-besaran masyarakat dalam melestarikan dan memanfaatkan Taman Nasional secara partisipatif.37 Seluruh proses ini, tidak mudah dan tidak terjadi begitu saja. Menggagas dan melaksanakan cita-cita konservasi partisipatif adalah sesuatu yang mahal dilakukan diantara arahan kebijakan Nasional dan Daerah yang tidak menentu. Keselarasan antara Hutan dan Masyarakat lokal dapat terintegrasi permanen jika memiliki tools yang tepat. Ekowisata adalah sebuah pilihan yang masuk akal, tetapi bagaimana dapat mengakomodasi berbagai elemen kepentingan ditingkat lokal maupun lintas sektoral adalah hal yang pantas kita analisis manfaatnya dan kita laksanakan secara komprehensif. Bagaimana gerakan ekowisata di tingkat lokal dan daerah dapat menjadi sebuah gerakan ekowisata nasional, bagaimana gerakan partisipasi dalam mengelola hutan negara menjadi icon konservasi nasional dan bagaimana gerakan ini dapat menjadi sebuah momentum yang dapat menginteraksikan pengelolaan Taman Nasional dan otoritas lokal secara kolaboratif dan berkelanjutan. Tentunya proses di Tangkahan tidak dapat mencapai titik optimal jikalau hanya dengan inisiatif lokal, tanpa ada langkah kebijakan berbagai pihak untuk mendukung proses keberlanjutanya. Tetapi inisiatif lokal di Tangkahan secara langsung dan tidak langsung telah menciptakan social capital yang amat besar pengaruhnya untuk mendorong pendekatan persuasif dalam pengelolaan Taman Nasional selanjutnya. Sehingga dapat kita artikan bersama, pengelolaan Taman Nasional tidak hanya menjadi beban Departemen Kehutanan tetapi dapat menjadi peluang yang menguntungkan bagi masyarakat lokal, NGO, pihak swasta, Universitas , publik dan terutama bagi pemerintah itu sendiri untuk dapat memulai era baru pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. 37 Ibid., hlm. 5. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
201
Suatu terobosan konservasi bersejarah yang sangat fenomenal terjadi di Kawasan Ekowisata Tangkahan, dimana pada 22 April 2002 ditandatanganinya kesepakatan kerjasama (Memorandum of Understanding) antara Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser dan Lembaga Pariwisata Tangkahan ditengah semaraknya pesta pora Ilegal logging diseluruh Leuser dan terutama di Desa Namo Sialang dan Desa Sei. Serdang. Dimana Lembaga Pariwisata Tangkahan diberi suatu hak kolektif untuk mengelola zona inti Taman Nasional Gunung Leuser seluas 17.500 ha di batas wilayah administratif Desa Namo Sialang dan Desa Sei. Serdang. Dimana pada saat itu memunculkan kontroversial diberbagai kalangan dan hal tersebut dilakukan jauh sebelum di tetapkannya sistem pengelolaan Kolaborasi yang di tetapkan pada 2004 dan dilaksanakan pada 2005. Jauh diantara perdebatan demi perdebatan berbagai NGO yang saling pro kontra tentang Kawasan Ekosistem Leuser ( KEL ), Zona Inti, dampak, manfaat dan berbagai peraturan serta idealnya suatu kawasan yang dibincangkan dibalik meja-meja seminar. Masyarakat Tangkahan tanpa dukungan NGO pada saat itu terus bergerak dan membuktikan bahwa masyarakat Tangkahan memang pantas diberikan kepercayaan untuk mengelola hutan Negara di zona inti seluas 17. 500 ha dan terbukti dapat mengakhiri pesta pora ilegal logging dan perambahan serta melakukan proses Revolusi yang cepat mengubah tatanan pelaku ilegal menjadi benteng utama konservasi ( tahun 2000 – 2003 ) dan hal tersebut di yakini sebagai amandemen pertama. Pada waktu yang berjalan, surutnya pro kontra NGO dengan keberhasilan tersebut mendorong beberapa NGO untuk mendukung dan mengembangkan proses tersebut kepada titik optimal melalui program peningkatan kapasitas SDM dan dukungan pengamanan kawasan Hutan. Menjadi catatan penting bagi kita semua dan sejarah adalah keberhasilan terbut terjadi karena keberanian dan kepercayaan Balai TNGL saat itu dan militansi penduduk lokal untuk membangun desanya secara mandiri. Dimana NGO lain mendukung program setelah hutan aman (tahun 2003-2006) sehingga kita dapat melihat catatan tersebut sebagai motivasi bagi seluruh penduduk desa yang berada di perbatasan Taman Nasional Gunung Leuser bahwa penduduk desa diantara kemiskinan, kebodohan dan dalam wujud extra legal jika diberi kepercayaan penuh akan mampu berterima kasih dengan mengamankan hutan negara dengan imbalan diberi kompensasi untuk memanfaatkannya secara lestari, mandiri dan berkelanjutan. Berdasarkan hasil penilaian bersama ternyata isu ecotourism yang dilaksanakan pada 2003-2006 belum mampu mengakomodasikan kepentingan dan fungsi sosial ekonomi penduduk. Ilegal Logging 202
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
yang terdapat di Dua desa dengan jumlah penduduk 11.000 jiwa, dan isu ecotourism hanya mampu menyerap beberapa persen tenaga kerja lokal, walaupun investasi ekowisata dan jumlah kunjungan domestik dan mancanegara secara signifikan meningkat tajam dan tingkat investasi asing melalui hotel maupun tanah secara tak terduga terjadi lonjakan yang serius, begitu juga dengan projek-projek NGO maupun geliat agen travel, transportasi dan sektor ikutannya yang hanya mampu mengakomodasi tenaga kerja dilini profesional menengah keatas diluar Tangkahan. Hal tersebut secara makro positif untuk menunjang promosi dan perluasan pasar ekowisata yang berskala global. Sehingga keberhasilan RPK ke II dalam pengembangan ecotourism depelopment adalah menjadikan Kawasan Ekowisata Tangkahan masuk di dalam peta sebagai destinasi ekowisata nasional yang berwawasan global, membuka wawasan dan cara pandang penduduk lokal dan yang paling utama adalah harapan baru di raut wajah seluruh masyarakat Desa Namo Sialang dan Desa Sei. Serdang melalui ekowisata dan momentumnya adalah penghargaan inovasi pariwisata Indonesia di tahun 2004 yang diberikan oleh Menteri kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Yang ironisnya justru bukan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Lembaga Pariwisata Tangkahan (masyarakat Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang) dari Departemen Kehutanan RI atas kerja keras penduduk untuk menyelamatkan aset hutan negara seluas 17. 500 ha zona inti Taman Nasional Gunung Leuser dan daerah lain disekitarnya. Kongres ke III Lembaga Pariwisata Tangkahan yang dilaksanakan pada 29 Mei 2006 yang merekomendasikan dilaksanakannya penandatangan kesepakatan kerjasama ( Memorandum of Understanding ) antara Balai Taman Nasional Gunung Leuser dan Lembaga Pariwisata Tangkahan pada 23 Juli 2006 dipandang sebagai suatu momentum amandemen kedua. Dalam kesepakatan kerjasama tersebut untuk masa waktu 2006 – 2011 dimana masyarakat Desa Namo Sialang dan Desa Sei. Serdang melalui Lembaga Pariwisata Tangkahan berhak memanfaatkan Taman Nasional Gunung Leuser untuk pemanfaatan jasa lingkungan / hasil hutan non kayu seperti. Adapun hasil hutan non kayu meliputi: sumber mata air, perdagangan carbon, sarang burung walet, sriti, guano, rotan, getah damar, gaharu, seluruh jenis tanaman hias, tanaman obat, rempah organik, bio kimia, bibit, buah, biji, daun, ikan dan satwa yang secara keseluruhan akan dilaksanakan secara prosedur kelestarian dan kearifan lokal dalam proses pemanfaatannya. Hal tersebut digagas sebagai sumbu utama konservasi nasional dimana secara logika aktivitas Ilegal dan konflik konservasi hanya dapat dan bisa dihentikan melalui proses negosiasi dan diberikan tukaran serta konpensasi yang Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
203
fear secara strategis. Dan hasil hutan non kayu sebagai isyu utama yang akan membangun benteng sosial di sepanjang desa perbatasan TNGL, dan sebagai cluster ekonomi populis yang akan melahirkan gelombang industrialisasi ecologis pedesaan.Dan perdebatan perdebatan tentang aturan, kebijakan maupun perundang-undangan yang belum terakomodasi untuk hal tersebut sudah saatnya di akhiri dengan rendah hati karena kesalahan Legislatif dan eksekutif yang terlambat mengatur dan membaca orientasi dinamika sosial kedepan. Atau kita dihadapkan kepada konflik serius ilegal logging dan perambahan yang terjadi terus menerus berskala mikro dan makro di seluruh kawasan dominan.38 Ditingkat lokal adalah didominasi oleh para pekerja dan pencari kerja yang pragmatis dan realistis tentang fungsi dan manfaat hutan. Tentu para profesional di kelas menengah keatas harus rendah hati menyikapi hal tersebut secara fikiran sederhana para penduduk dusun yang tergoncang akibat stabilitas sosial ekonomi dan budaya .Dibutuhkan suatu keberanian multi pihak untuk berpihak kepada penduduk lokal yang tersebar disepanjang perbatasan Taman Nasional Gunung Leuser, dan bukan berpihak kepada Lembaga donor maupun pengusaha serta elite politik yang tidak pernah dapat memahami secara cerdas arti dari kemiskinan dan kebodohan yang telah diwariskan kepada Desa sejak berpuluh puluh tahun lalu. Konservasi yang dilakukan di Tangkahan adalah suatu fenomena dan momentum yang akan menjadi sumbu nasional dalam peralihan Timber ke Non Timber. Dan seluruh perangkat kebijakan maupun peraturan harus dilakukan deregulasi menyeluruh agar dapat mengakomodasikan masyarakat extra legal kedalam sektor-sektor fomal sehingga terwujud suatu sinergitas multipihak dalam pelestarian kawasan Konservasi yang berbasiskan masyarakat lokal. Disamping itu untuk membangun kekuatan lokal dan peningkatan kapasitas masyarakat perlu adanya transformasi kelas menengah dan profesional ketingkat desa–desa berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser, agar terciptanya transfer ilmu pengetahuan dan teknologi terapan ditingkat lokal. Hal ini secara langsung akan mewujudkan prinsip-prinsip keterpaduan pengelolaan kawasan Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser secara berkelanjutan melalui pemanfaatan Jasa Lingkungan. Hal yang menarik untuk dicermati, setelah terbentuknya Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) pada tahun 2003 maka ada suatu mekanisme yang dapat dijadikan setiap persoalan di kawasan Tangkahan adalah melalui mekanisme permusyawaratan. Mekanisme penyelsaian melalui musyawarah ini dapat dilihat dalam anggaran dasar LPT. 38 Wawancara dengan Ketua Lembaga Pariwisata Tangkahan, Januari 2007. 204
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
b. Penyelesaian Dengan Mediasi Mediasi adalah perluasan dari proses negosiasi. Pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mampu menyelesaikan sengketanya akan menggunakan jasa pihak ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka dalam mencapai suatu kesepakatan. Tidak seperti proses adjudikasi di mana pihak ketiga menerapkan hukum terhadap faktafakta yang ada untuk mencapai suatu hasil. Dalam mediasi, pihak ketiga akan membantu pihak-pihak yang bertikai dalam menerapkan nilainilainya terhadap fakta-fakta untuk mencapai hasil akhir. Nilai-nilai ini dapat meliputi hukum, rasa keadilan, kepercayaan agama, moral dan masalah-masalah etik. Gary H. Barnes dkk mendefinisikan mediasi sebagai berikut:39 “Mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan pihak netral. Peranan pihak netral adalah melibatkan diri untuk membantu para pihak, baik secara pribadi atau kolektif, untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dipersengketakan dan untuk mengembangkan proposal. Proposal lebih lanjut untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Tidak seperti arbitrator, mediator tidak mepunyai wewenang untuk memutus setiap sengketa, melainkan mediator dapat mengikuti pertemuan-pertemuan rahasia dan pembahasan khusus bersama dengan pihak-pihak yang bertikai.” Disamping itu ada pula yang mendefinisikan: “Mediasi adalah suatu proses di mana pihak netral yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersengketa, bertindak sebagai fasilitator bagi kepentingan negosiasi mereka dan membantu mereka mencapai solusi yang saling menguntungkan.”40 Penggunaan mediasi untuk menyelesaikan sengketa bukan merupakan fenomena baru. Di Amerika Serikat kelompok imigran Quaker, Cina dan Jahudi mula-mula cenderung menerapkan modelmodel mediasinya ketimbang mengikuti sistem peradilan Amerika. Perhimpunan tenaga kerja juga telah menggunakan mediasi sejak dikeluarkannya Arbitration Act 1888.41 Perkembangannya sangat pesat, di mana pada tahun 1986 jaringan umum mediasi telah mencapai 220 Public Mediation Centers yang beroperasi di seluruh empat puluh negara bagian di AS yang melayani penyelesaian sengketa masyarakat Amerika baik sengketa besar 39 Gary H. Barnes et all, Introduction to Alternative Dispute Resolution, http: /hg.org/ adrinto2.html. Available: 21 Juni 2000. 40 Alternative Dispute Resolution (ADR), http: /www.fmladr.com/services.htm. Available: 20 Juni 2000. 41 Jacqueline M. Nolan-Haley, Op. Cit, hlm.54-55. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
205
maupun kecil. Sengketa yang diselesaikannya meliputi sengketa bisnis, pertanahan, tenaga kerja, suami-istri, antar tetangga dan lain-lain.42 Ada berbagai tehnik atau pola mediasi yang berbeda, akan tetapi dua di antara tehnik tersebut yang paling umum adalah tehnik fasilitatif dan evaluatif.43 Perbedaan utama diantara keduanya adalah bahwa dalam evaluatif, mediator jauh lebih terlibat secara aktif dalam menyelesaikan sengketa. Mediator akan memberikan saran-saran tentang cara menyelesaikan sengketa dan akan selalu mengevaluasi sengketa bagi kepentingan pihak-pihak. Sedangkan dalam model fasilitatif, mediator akan mengkonsentrasikan diri di dalam mengupayakan komunikasi di antara pihak yang satu dengan pihak lainnya untuk memunculkan solusi bagi sengketa yang mereka hadapi. Mediasi itu sendiri adalah meliputi orang dan interaksi diantara orang-orang tersebut. Seperti kebanyakan bidang atau aspek yang melibatkan orang, tidak ada cara satu-satunya yang terbaik untuk melakukan hal-hal atau untuk mendapatkan hasil. Sebab selama ada pola managemen yang efektif dan berbeda, selama itu pula ada pola mediasi yang efektif dan berbeda. Namun demikian tidak ada mediasi yang dapat menjadi efektif tanpa aspek-aspek berikut ini:44 Pertama, keberadaan perwakilan pihak-pihak dengan otoritas untuk menegosiasikan suatu penyelesaian sengketa. Kedua, keinginan pihak-pihak untukmendapatkan solusi di luar pengadilan. Ada kalanya, hanya satu pihak yang setuju dengan mediasi yang telah ditetapkan, dan harus menjual keuntungan mediasi kepada pihak lainnya. Dalam berbagai sengketa lembaga mediasi netral harus berada dalam posisi terbaiknya untuk meyakinkan pihak-pihak bahwa mediasi memberikan manfaat. Penggunaan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa didasarkan pada kesepakatan para pihak ketika terjadi sengketa, bisa juga telah diperjanjikan sebelumnya. Bahkan mungkin juga bersifat memaksa, karena sudah ditentukan dengan tegas dalam suatu ketentuan undangundang. Menurut Christophen W. Moore, terdapat dua belas faktor yang menyebabkan mediasi menjadi efektif.45
42 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm.190-191. 43 Howaid Raiffa, The Art and Science of Negotiation, (Massachusetts: Harvard University Press, 1988), hlm 119-130. 44 Richard Hill, Non Adversial Mediation, http: /www. Batnetcom/oikoumene/arbmed3. html. Available: 3 Juni 2000. 45 T.M. Luthfi Yazid, “Penyelesaian Sengketa Melalui ADR,” Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun III No.1/1996. hlm.96. 206
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Pertama, para pihak yang bersengketa memiliki sejarah pernah bekerjasama dan berhasil dalam menyelesaikan masalah dalam beberapa hal. Kedua, para pihak tidak memiliki sejarah panjang saling menggugat di pengadilan sebelum melaksanakan proses mediasi. Ketiga, jumlah pihak yang terlibat dalam sengketa tidak meluas sampai pada pihak-pihak yang berada di luar masalah. Keempat, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa telah sepakat untuk membatasi permasalahan yang akan dibahas. Kelima, para pihak mempunyai keinginan besar untuk menyelsaikan masalah mereka. Keenam, para pihak telah mempunyai atau akan mempunyai hubungan lebih lanjut di masa yang akan datang. Ketujuh, tingkat kemarahan dari para pihak masih dalam batas normal. Kedelapan, para pihak bersedia menerima bantuan pihak ketiga. Kesembilan, terdapat alasan-alasan yang kuat untuk menyelesaikan sengketa. Kesepuluh, para pihak tidak memiliki persoalan psikologis yang benar-benar mengganggu hubungan mereka. Kesebelas, terdapat sumber daya untuk tercapainya kompromi. Keduabelas, para pihak memiliki kemauan untuk saling menghargai. Faktor-faktor tersebut tidak lain adalah merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat membawa sengketa ke dalam proses mediasi. Sedangkan syarat utamanya adalah bagaimana memaksimalkan peran seorang mediator dalam menengahi sengketa di antara pihak-pihak untuk dapaty menghasilkan suatu kesepakatan sebagai penyelesaian sengketa tersebut. Hal tersebut tidak terlepas dari siapa yang menjadi mediator? Fungsi apa saja yang harus diperankannya? Dan bagaimana menjadi seorang mediator yang baik? Untuk dapat menjalankan perannya mediator memerlukan informasi sebanyak-banyaknya berkaitan dengan sengketa tersebut dari pihak-pihak yang sedang bertikai. Bermacam-macam cara dapat ditempuh untuk mendapatkan informasi seperti dengan mendengar dari penuturan para pihak, bertanya atau mengamati apa yang dilakukan pihak-pihak dan bagaimana mereka bertindak bila berhadapan satu sama lain dan dalam kondisi pribadi. Hal ini dapat dilakukan melalui suatu pertemuan bersama. Bisa juga mneggunakan suatu tehnik yang sudah dikenal secara luas yang disebut caucusing yakni mengadakan pertemuan pribadi dengan pihak-pihak.46
46 Richard Hill, Op. Cit. hlm. 114. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
207
Dalam pengelolaan sumber daya alam, sengketa adalah sebuah keniscayaan semakin bertambahnya manusia dengan kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan sumber daya yang terbatas. Walaupun sumber daya hutan dapat diperbaharui tetapi butuh waktu yang lama untuk memulihkannya. Banyak kebijakan yang tidak memihak dalam pengelolaan sumber daya alam. Semakin banyak kepentingan para pihak yang bertumpuk pada objek yang sama, akan menimbulkan sengketa. Banyak biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi sengketa tetapi dalam sengketa ada manfaatnya.47 Dengan sengketa kita akan mengetahui masalah dan pihak mana saja yang mempunyai kepentingan sehinggga ini akan merangsang kreatifitas dalam mencari solusi. Manfaat bisa diterima kalau konflik dikelola dengan baik. Pengelolaan SDA semestinya ada aspek pengelolaan sengketa. Dalam penyelesaian harus mengklafisikasi dahulu jenis sengketa. Macam sengketa bermacam-macam ada yang horizontal di masyarakat, ada juga vertikal antar instansi. Ada juga sengketa laten dan manifes, struktural, hubungan sosial, informasi, nilai.48 Dalam pengelolaan sengketa ada bermacam istilah dalam pengelolaan sengketa seperti ADR (Alternative Dispute Resolution). Transfomasi sengketa akan memberikan perubahan pada masingmasing pihak yang bersengketa. Ada arahan dalam pengelolaan konflik dengan konfrontasi, persuasif, pengabaian, kolaborasi, arbitrasi dan perundingan. Inti pengelolaan sengketa adalah berunding yang pada saat itu akan terjadi tawar menawar. Tetapi antara tawar-menawar dan perundingan ada perbedaan. Dalam perundingan ada prasyarat kesiapan dan kesedian para pihak untuk melakukan perundingan. Karena kedua pihak supaya ada kesiapan masing-masing, sehingga kemenangan yang akan dicapai tidak akan semu. Untuk melakukan perundingan juga butuh data informasi yang cukup, sehingga akan dapat diketahui masalah yang ada dan solusi dari sengketa yang ada. Mengidentifikasi pemangku kepentingan adalah sangat perlu karena mereka punya para pihak yang berkepentingan juga bisa menghambat proses. Untuk melakukan kerjasama adalah awalnya dengan perundingan dari sebuah kekuatan dan tekad itikad baik untuk mencari solusi bersama. Dalam sengketa sering kali antar para pihak tidak saling percaya sehingga perlu adanya mediator untuk penyelesaian sengketa. Mediator ini bisa secara personal ataupun objektif yang pasti netral dan bisa dipercaya serta di terima oleh semua para pihak. Peran dari mediator untuk menjaga proses agar proses yang ada berjalan lancar bukan dari isi substansinya. 47 Wawancara dengan Peserta Sheared learning di Tangkahan, 13-22 Februari 2006. 48 Ibid. 208
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Beberapa hal yang penting dalam proses mediasi harus memper hatikan hal-hal sebagai berikut49: a. Kalau Jika dalam suatu penyelesaian sengketa mengalami stagnasi hal ini tergantung pada para pihak, perlu dicermati terlebih dahulu mengapa sampai stagnan? Apa karena emosi atau karena belum ada kesiapannya, ini harus dicari tahu apa masalahnya. b. Setelah sebuah proses kolaborasi lalu ada semacam pengkhianatan sehingga ada saling ketidakpercyaan antar pihak maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan diplomasi diberbagai tataran yang ada di semua level atau dengan pendekatan personal. Dalam menegosiasi kita harus tahu latar belakang lembaga. Misalnya: Perhutani adalah lembaga yang paling liar. Mungkin untuk nego langsung ke atas sehingga akan berpengaruh di seksi bawahnya, karena seksi yang ada di bawah tidak akan pernah mengeluarkan kebijakan. Kebijakan Perhutani ada di tangan direktur pusat. c. Dalam pengelolaan konflik supaya tetap ada keberlanjutan, sebelumnya harus ada prasyarat sebelum pengelolaan bersama. Berkaitan dengan pengajuan konsep, sebenarnya prosedural dibuat dengan tujuan supaya substansi yang ada di dalamnya akan baik. Prosedur adalah fungsional dari subtansi yang baik. d. Dalam sebuah penyelesaian sengketa, perundingan adalah langkah awal dalam penyelesaian sengketa. e. Tolok ukur suatu keberhasilan dari sebuah perundingan jika perundingan yang ada berjalan lancar dan proses yang ada memenuhi kebutuhan dari masing kepentingan-kepentingan para pihak. f. Peran mediator sebenarnya bukan menentukan benar salah tetapi lebih ke pengelolaan sengketa dengan pendekatan pragmatis yang bermanfaat dan bisa diterima oleh para pihak yang bersengketa. Mediator juga yang dapat diterima oleh para pihak dan tidak memihak pada satu pihak sehingga menghasilkan yang berguna bagi masing pihak yang bersengketa. g. Pilihan langkah dalam menyelesaikan konflik untuk isu yang lebih luas harus mengetahui kekuatan terlebih dahulu. Termasuk jika harus memilih jalan konfrontasi. Untuk mengambil jalan konfrontasi kita harus kemampuan yang akan menang, baru berani dengan konfrontasi.
49 Tim Fasilitator PILI dan CIFOR, “Prinsip Dalam Penyelesaian Konflik Dengan Mediasi,” makalah disampaikan pada acara Sheared Learning di Tangkahan, Taman Nasional gunung Leuser, 13-22 Februari, 2006, hlm.1-5. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
209
Sebelum memberikan solusi dengan metode mediasi, maka terdapat beberapa tehnik analisis konflik yang dapat menjadi rujukan. a. Analisis Pemahaman Arti Konflik
Tujuan dari mempelajari teknik ini adalah untuk mengkontruksikan pikiran dan mendapatkan secara interaktif dan dinamis tentang pemahaman dan persepsi tentang arti konflik. Kontriksi pikiran mengenai konflik diidentifikasikan secara nominal. Dari analisis ini keluarannya untuk pilihandilakukannya mediasi, negosiasi atau fasilitasi dalam sebuah pengeloaan konflik. Dalam sebuah pengelolaan konflik teknik analisis ini digunakan sebagai dasar atau pendahuluan.50
b. Analisis Dasar Masalah:
Dalam sebuah penyelesaian konflik, teknik analisa pohon sengketa bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara permasalahan dan dampak secara bertingkat. Penyelesaian konflik yang melibatkan para penting untuk memahami perbedaan pandangan antar para pemangku kepentingan terhadap penyebab dan akibat dari suatu masalah.51 Dalam mengembangkan teknik pohon masalah perlu diperhatikan bahwa suatu masalah tidak terjadi dengan sendirinya secara bersamaan. Selalau saja ada alur sejarah masalah. Salah satu pengembangan alur sejarah adalah dengan memperlakukan peristiwa kunci sebagai peristiwa pokok. Setiap peristiwa dianalisis secara terpisah. Sehingga akan menjadi banyak pohon masalah pada suatu alur sejarah.52 Pengembangan analisis pemacu dan peredam untuk mengetahui pandangan para pihak tentang faktor pemacu yang mencetuskan masalah/konflik. Analisis ini bertujuan mengurai hal-hal yang dapat meredam masalah sehingga tidak berkembang semakin buruk. Prinsip-prinsip dalam menganalisis daya pemacu dan peredam:53 1) Faktor pemacu yang dapat menimbulkan dampak negatif kadang–kadang dapat dibatasi oleh faktor peredam yang mampu memberikan dampak yang berlawanan, misalnya dampak positif yang bisa menghentikan masalah berkembang menjadi semakin buruk. 50 51 52 53 210
Ibid., hlm. 6. Ibid., hlm. 7. Ibid., hlm. 8. Ibid., hlm. 9-10. Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
2) Para pemangku bisa memiliki pandangan yang berbeda tentang faktor pencetus dan faktor peredam terjadinya suatu masalah/ konflik.
Dalam kerangka pengelolaan konflik, analisis rentan waktu membantu mengidentifikasi berbagai kejadian yang menciptakan berbagai situasi pencetus konflik dan memahami bagaimana masalah konflik berevolusi sepanjang waktu.
c. Analisis Profil Para Pihak Teknik analisa Kekuatan, Kepentingan dan Legitimasi.Teknik analisa Kekuatan, Kepentingan dan Legitimasi sering juga disebut dengan teknik Analisis Stakeholder (pemangku kepentingan) atau Teknik Analisis PIL (Power, Interest, Legitimasi). Dari teknik ini akan terlihat kekhasan (saliency) dan posisi para pemangku kepentingan dan berdasarkan kekhasan dan posisi yang dimiliki para pihak akan dilakukan kontruksi terhadap kekhasan itu. Tujuan Teknik Analisis Kekuatan, Kepentingan dan Legitimasi: a) Memberikan gambaran nyata (aktual) maupun potensial bagi para pemangku kepentingan untuk terlibat dalam situasi atau rencanan tertentu. b) Menggunakan indeks kekhasan (Saliency) sebagai kriteria pelibatan pemangku kepentingan dalam penyelesaian konflik. Pemangku Kepentingan (stakeholders) adalah mereka yang sangat berpengaruh dan dipengaruhi oleh persoalan. Aspek-aspek yang dianalisa dari para pihak yang berpengaruh adalah:54 1) Kekuatan (Power): Kemampuan untuk memenangkan kepentingannya dengan menggunakan kekuatan ekonomi dan keuangan, politik, fisik dan daya paksa, informasi dan komunikasi yang dimiliki. Disarankan dalam melihat kekuatan dalam konteks spesifik proyek yang bersangkutan. 2) Kepentingan (Interest): Mengindikasikan tinggi rendahnya dampak yang mungkin timbul dari situasi atau proyek terhadap kepentingan para pemangku kepentingan. 3) Legitimasi/keabsahan: adalah pengakuan dari pihak lain atas status, penghargaan dan klaim (yang bisa diaplikasikan pada situasi tertentu) yang ada pada suatu pemangku kepentingan. 54 Ibid., hlm. 10. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
211
Penyelesaian konflik di kawasan Tangkahan dengan menggunakan mediasi ini juga telah ditempuh, dimana para mediator kebanyakan berasal dari para Lembaga Masyarakat yang berasal dari luar kawasan Tangkahan. Proses mediasi ini berlangsung di dua desa yang dilaksanakan di beberapa dusun antara lain: Dusun Kwala Gemoh, Sei Serdang, Dusun Kwala Buluh. Alur proses mediasi meliputi tahap-tahap sebagai berikut: Pertama, pengantar dan perkenalan. Pada tahap-tahapan ini para pihak yang bertikai atau berkonflik saling memperkenalkan diri. Perkenalan tersebut dimulai dari mediator. Kemudian dilanjutkan oleh para pihak yang berkonflik, mulai dari wakil masyarakat Tangkahan di dua desa, Balai Taman Nasional yang diwakili oleh Kepala Balai Taman Nasional dan jajarannya, Pihak PTPN II, Perkebunan Swasta, Pemerintah Daerah. Kedua, setelah masing-masing pihak yang bernegosiasi, saling memperkenalkan diri, kemudian mediator menawarkan tentang jangka waktu yang akan dipergunakan untuk bernegosiasi. Jangka waktu proses negosiasi tidak dibatasi sampai berapa lama, namun yang dibatasi adalah setiap bertemu berapa lama pertemuan disepakati 4 jam. Pertemuan tersebut berlangsung setiap minggu dan berjalan hingga 3 bulan. Ketiga, setelah dilakukan kesepakatan tentang alokasi waktu yang diperlukan untuk bernegosiasi, maka proses selanjutnya adalah penggalian masalah. Penggalian masalah ini sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang latar belakang konflik, sehingga solusinya juga akan tepat. Keempat, pemilihan topik yang merupakan akar persoalan di kawasan Tangkahan. Dalam pemilihan topik tersebut para pihak yang hadir dalam proses mediasi tersebut sepakat untuk mendahulukan “masalah wisata” sebagai persoalan yang harus didahulukan mengingat dampaknya akan sangat bermanfaat dalam pengembangan ekowisata kawasan Tangkahan. Menurut para pihak yang hadir, maka apabila masalah wisata Tangkahan ini dapat di carikan solusi terbaik maka akan mempunyai dampak yang positif tidak hanya kepada masyarakat lokal secara ekonomi, tetapi juga sangat bermanfaat kepada masalah perlindungan kawasan konservasi dan bahkan bermanfaat kepada penyelesaian konflik tapal batas antara pihak PTPN II, Perkebunan Swasta, serta dengan pihak Balai Taman Nasional. Kelima, setelah menentukan tentang tema/topik yang akan di selesaikan terlebih dahulu maka langkah berikutnya adalah menggali potensi yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang berkonflik. Sehingga potensi yang dimiliki tersebut dapat disinergiskan untuk saling mendukung terhadap masalah pembentukan kawasan wisata Tangkahan tersebut. 212
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Keenam, meskipun para pihak mempunyai persamaan dalam penentuan tentang tema yang akan dibahas untuk diselesaikan terlebih dahulu. Maka hal yang penting adalah langkah penggalian kepentingan para pihak yang berkonflik. Meskipun mereka mempunyai kesamaan dalam penentuan tema yang dibahas, namun di antara mereka ketika hadir dalam proses mediasi tersebut mempunyai kepentingan yang berbedabeda. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kepentingan diantara mereka adalah berbeda-beda. Sebut saja misalnya kehadiran PTPN II, mereka beranggapan bahwa lahan Ekowisata Tangkahan yang saat ini dikelola oleh LPT Tangkahan bersama-sama dengan pihak BAlai Taman Nasional, sebagian merupakan lahan perkebunan kelapa sawit. Anggapan itu menyulitkan proses penyelesaian konflik melalui jalur mediasi. Begitu juga dengan posisi Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat, juga mempunyai persepsi yang berbeda-beda. Sebut saja Dinas Pariwisata, mempunyai kepentingan yang berbeda dengan dinas Pertanahan dan Tata Ruang. Ketujuh, tawaran solusi dari berbagai kepentingan-kepentingan yang berbeda. Hal ini dilakukan setelah mendengar tentang kemungkinan keinginan dari para pihak yang ikut dalam proses mediasi tersebut. Hal ini penting agar menjaga netralitas dari mediator dalam proses mediasi tersebut, sehingga tidak ada kesan keberpihakan dari mediator terhadap pihak tertentu. Kedelapan, pilihan-pilihan penyelesaian konflik yang ditawarkan pada tahap bsebelumnya lebih di eksplorasi dan dipertegas, sehingga dapat menentukan solusi alternatif. Namun dalam kenyataannya proses tersebut tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Dan akhirnya penyelesaian secara mediasi belum dapat dicapai kesepakatan final diantara banyak pihak yang terlibat dalam proses tersebut. Meskipun demikian pada akhir tahap mediasi ini sudah cukup mendapat kemajuan yaitu bias dikelompokkan antara pihak yang setuju tentang pengelolaan ekowisata Tangkahan dengan pihak yang tidak setuju. Pola pengelompokkan ini menunjukkan masih adanya pihak yang belum setuju terhadap penyelesaian konflik disana. Hal yang masih belum disepakati adalah mengenai penggunaan sebagian kecil lahan PTPN II yang akan dipergunakan untuk pengembangan wilayah kawasan Tangkahan, yaitu untuk kepentingan fasilitas umum seperti sarana parker, transportasi dan sarana tempat penjualan souvenir hasil kerajinan masyarakat lokal setempat. Proses mediasai ini berlangsung cukup lama, sekitar dua tahun, yang dimulai pada tahun 1998–2000. Namun demikian perlahan tetapi pasti pengembangan ekowisata Tangkahan berkembang meskipun hanya perlahan, tanpa melibatkan pihak PTPN II. Peranan Pemda Langkat juga belum menunjukkan perannya secara meyakinkan. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
213
Kesembilan, proses mediasi ditutup dengan penutupan yang dilakukan oleh mediator. Untuk menggali permasalahan yang ada, peserta menggunakan pertanyaan kunci “apa yang menjadi masalah di desa ini?”. Permasalahan yang ada kemudian diangkat, kemudian diskoring dengan pemahaman yang ada di masyarakat. Permasalahan yang berhasil dieksplore oleh masyarakat adalah yang berkaitan dengan wisata, sumber daya manusia dan jalan. Dari permasalahan yang sudah ditangkap kemudian dieksplore lebih lanjut sehingga ada kesimpulan bahwa masalah yang paling utama yang ada di desa adalah masalah pengembangan wisata. Wisata itu sendiri yang pada akhirnya akan berkaitan dengan masalah sumber daya alam dan jalan. Kemudian dari permasalahan dalam pengembangan wisata, digali lagi siapa saja yang terlibat dalam pengembangan wisata Tangkahan. Diskusi yang melibatkan masyarakat mulai tani sampai kepala dusun dan lembaga pariwisata Tangkahan muncul beberapa stake-holder dalam pengembangan wisata tersebut antara lain: a. Masyarakat dua desa/Namo Sialang dan Sungai Serdang. Masyarakat di kedua desa tersebut memang merupakan pelaku utama dalam pengelolaan kawasan ekowisata Tangkahan. Selama ini kerjasama diantara keduanya dapat berjalan dengan baik, dikarenakan oleh adanya ikatan cultural dalam kehidupan bermasyarakat yang sebagian besar penduduk mereka berasal dari Karo, meskipun ada juga Batak, Jawa. b. NGO ( FFI, CI, Indecon ), merupakan lembaga yang berasal dari luar melalui program-programnya mencoba untuk membantu masyarakat seperti berupa penyusunan blueprint pengembangan ekowisata Tangkahan, peningkatan kapasitas SDM anak-anak dalam menerima tamu asing terutama dengan melatih mereka dengan bahasa Inggris. Sedangkan LPT Tangkahan, merupakan lembaga yang berasal dari masyarakat di kawasan tersebut yang mewakili dua desa yaitu Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang. c. Pemerintahan desa, baik Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang juga secara aktif turut mendukung. Hal ini terbukti bahwa perangkat desa di kedua desa tersebut menjadi pengurus dalam struktur di LPT Tangkahan. d. Balai Taman Nasional Gunung Leuser, dalam hal ini keterlibatannya dibuktikan dengan membuat kesepakatan kerjasama dengan LPT Tangkahan dalam meengelola kawasan ekosistem Tangkahan secara bersama-sama.
214
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
e. Pemda Kabupaten Langkat, juga seharusnya memberikan dukungan secara signifikan. Namun demikian hingga saat ini masih belum sesuai dengan harapan terutama mengenai dukungan kebijakan untuk ikut mendukung program pengembangan ekowisata Tangkahan, baik berupa sarana-prasarana seperti jalan dan dukungan lainnya dalam peraturan daerah. f. PTPN II, sebagai pihak yang berbatasan dengan kawasan Tangkahan masih belum bias secara sungguh-sungguh membantu pengembangan ekowisata Tangkahan tersebut. Hal ini dengan dibuktikan oleh tidak dikabulkannya permintaan masyarakat di kedua desa tersebut untuk menggunakan sebagian kecil lahan milik PTPN II. g. Dinas Pariwisata, juga belum menunjukkan dukungan yang memadai untuk mengembangkan ekowisata Tangkahan. Mengingat pihak Dinas menginginkan agar pengelolaan kawasan Tangkahan dikelola oleh pihak Dinas Pariwisata. Namun hal ini tidak dipenuhi oleh masyarakat local setempat. Sampai saat ini masih terdapat ganjalan di kalangan Dinas Pariwisata Pemda Kabupaten Langkat.
Penyelesaian konflik dengan menggunakan mediasi di kawasan Tangkahan memang belum berhasil secara maksimal, namun secara perlahan dampak dari penyelesaian ini sangat dapat dirasakan perkembangan oleh masyarakat di kawasan Tangkahan. Penyelesaian melalui jalur mediasi ini kemudian ditingkatkan dengan melalui penyelesaian kolaboratif yang lebih mengedepankan berbagai potensi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan kawasan Tangkahan. Pengembangan penyelesaian ini adalah dengan menggunakan penyelesaian kolaboratif dimana para pihak yang berkepntingan berperan secara aktif dalam pengembangan ekowisata kawasan Tangkahan.
d. Kolaborasi Sebagai Solusi terbaik Perkembangan pendekatan kolaborasi di Indonesia atau kemitraan istilah yang populer di Indonesia secara konseptual dan praktek sebenarnya telah menjadi perdebatan dan pengkajian yang intensif. Di Indonesia pada awal tahun 1990-an, manajemen kolaborasi yang lebih dikenal sebagai pola kemitraan sering dikonotasikan dengan manajemen inti-plasma antara petani dengan perusahaan perkebunan atau model bapak angkat antara pengusaha kecil dan pengusaha besar.55 55 Suporahardjo, Strategi dan Praktek Kolaborasi: Sebuah Tinjauan, (Bogor: Pustaka LATIN, 2005), hlm.3. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
215
Jika dilihat dari sejarahnya, perkembangan pendekatan kolaborasi mulai muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumber daya yang baru, demokratis, lebih mengakui perluasan yang besar atas dimensi manusia dalam mengelola pilihan-pilihan, mengelola ketidakpastian, mengelola kerumitan dari potensi keputusan dan membangun kesepahaman, dukungan, kepemilikan atas pilihan-pilihan bersama.56 Oleh karena itu pendekatan kolaborasi ini sering disebut sebagai jembatan (bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam. Sebagai jembatan penyebrangan yang berfungsi mengintegrasikan batasbatas yang dibatasi oleh geografi, kepentingan dan persepsi.57 Secara lebih spesifik, Wondolleck dan Yafee misalnya, melihat pendekatan proses kolaborasi dari segi empat kegunaan utamanya, yaitu:58 Pertama, membangun pemahaman melalui peningkatan pertukaran informasi dan gagasan antara pemerintah, organisasi dan publik serta memberikan suatu mekanisme untuk penyelesaian ketidakpastian. Kedua, memberikan suatu mekanisme untuk pembuatan keputusan yang efektif melalui proses-proses yang memfokuskan pada problem bersama dan membangun dukungan untuk keputusan. Ketiga, menghasilkan suatu alat untuk membuat kerja yang bagus melalui koordinasi aktivitas lintas batas, meningkatkan manajemen bersama, dan memobilisasi suatu perluasan skenario sumber daya. Keempat, pengembangan kapasitas lembaga pemerintah, organisasi dan komunitas untuk menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Ada tiga pola kemitraan yang munghkin terjadi pada organisasi seperti yang diidentifikasi oleh Huxham dan Macdonald, yaiatu: 1) koordinasi, dimana mungkin tidak ada interaksi langsung antara organisasi, tetapi dimana organiosasi mempertimbangkan kegiatan pihak yang lain dalam perencanaan yang dimilikinya; 2) C0-operation (kerja sama), dimana organisasi berinteraksi untuk mencapai misinya yang dimiliki mereka dan tujuan yang lebih efektif; 3) collaboration (kolaborasi) dimana organisasi bekerjasama untuk mencapai suatu meta-misi sementara juga mengejar misi dan tujuan yang bersifat individual yang mereka miliki.59 Di dalam konteks pengelolaan sumber daya alam pola kemitraan dikenal dengan skema ”joint management” atau ”co-management”, atau ”collaborative management”. Kemitraan biasanya didefiniskan sebagai 56 Julia M. Wondolleck dan Steven L. Yaffee, Making Collaboration Work: Lesson from Innovation in Natural Resource Management, (California: Island Press, 2000), hlm. 14. 57 Ibid., hlm.12. 58 Suporehardjo, Manajemen Kolaborasi: Memahami Plurasisme Membangun Konsensus, (Bogor: Pustaka LATIN, 2005), hlm.5. 59 Ibid., hlm.7. 216
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
berbagai tanggung jawab dan/atau kewenangan antara pemerintah dan pengguna sumber daya lokal dalam mengelola sumberdaya tertentu.60 Spketrum manajemen kemitraan ini dapat dikelompokkan dalam beberapa tipe. Pertama, bersifat instruksi dimana ada pertukaran informasi yang minimal antara pemerintah dan pengguna. Kedua, bersifat konsultasi, dimana ada mekanisme untuk pemerintah mengkonsultasikan dengan pengguna, tetapi seluruh keputusan masih dibuat oleh pemerintah. Ketiga, bersifat bekerjasama (cooperative) dimana pemerintah dan pengguna bekerjasama bersama-sama sebagai partner yang setara di dalam pembuatan keputusan. Tipe ini yang disebut sebagai pola kemitraan yang sesungguhnya. Keempat, bersifat menasehati (advisory), pengguna memberikan saran kepada pemerintah atas sebuah keputusan yang seharusnya diambil dan pemerintah mendukung keputusan itu.61 Kesuksesan dalam mempraktekan pendekatan penyelesaian kolaborasi ini oleh Wondollack dan Yaffee, disebabkan karena beberapa alasan.62 Pertama, kolaborasi dapat berjalan sukses bila dapat membangun ”common ground” (pandangan yang sama), kepentingan bersama atau me nemukan cara menjembatani kecocokan kepentingan yang masih berbeda. Kedua, pentingnya menciptakan kesempatan baru untuk berinteraksi. Misalnya melalui upaya membangun jalur komunikasi baru dan menetapkan struktur baru, baik melalui mekanisme formal maupun informal. Ketiga, pentingnya melibatkan stakeholder ke dalam proses interaksi, bukan hanya produk akhir. Diyakini bahwa interaksi yang intensif dan berkualitas dalam proses pembuatan keputusan akan menghasilkan keputusan yang efektif dan menghasilkan kepuasan seluruh stakeholder. Keempat, pentingnya memfokuskan mengatasi problem dengan caracara baru dan berbeda. Kebanyakan kolaborasi berhasil karena ada kemauan mencoba perilaku baru dan cara-cara berbeda dalam berinteraksi. Kelima, pentingnya meningkatkan kepekaan terhadap tanggungjawab dan komitmen. Para pihak yang terlibat dalam kerja kolaborasi harus bekerja keras untuk mentransformasikan mereka (them) menjadi kami (us). Tantanganya adalah bagaimana menghentikan secara cepat dari situasi permusuhan diantara para pihak dan membantu terlibat dari pernyataan diri sebagai musuh menuju layaknya hidup bersama sebagai tetangga, yang akhirnya harus berkolaborasi. 60 Ibid., hlm.8. 61 Jamie Ferguson dkk,” Seminar Prospektus: Co-management and Resolving Conflict in Environmental Management,” dalam website: www.uogelp h.ca/-jford01/6280/prospectus. pdf. hlm.5. 62 Wondolleck dan Yaffee, Op. Cit., hlm. 16. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
217
Keenam, bentuk inti dari kemitraan yang kolaboratif adalah hubungan (relationship) antara individu-individu, bukan antara organisasi. Sehingga disimpulkan bahwa kemitraan adalah orang-orang yang bergabung berdasarkan hubungan. Karena oranglah yang dianggap mewakili lembaga pemerintah, organisasi atau pekerjaan di dalam suatu proses kolaborasi. Ketujuh, banyak kasus kemitraan kolaboratif sukses karena upayaupaya yang penuh dengan pengabdian, energik secara individual dengan pendekatan pro aktif dan berani memulai dengan upaya-upaya baru. Kedelapan, banyak kasus kemitraan kolaboratif sukses karena orang-orang bersusaha mendapatkan dan mengakui pihak lain. Mereka mengusahakan dana dari luar dan mendaftar bantuan-bantuan yang dapat membantu mengelola proses interaksi antara kelompok ketika mereka tidak mempunyai keahlian atau tidak yakin bagaimana memulainya. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam proses resolusi konflik diambil melalui kegiatan fasilitasi secara intensif untuk mendapatkan strategi penyelesaian melalui pola kolaboratif, yaitu:63 1. Merumuskan persepsi dan kronologis konflik secara lengkap Sejarah kejadian yang lengkap menjadi dasar analisis untuk mendapatkan visi, misi, serta melakukan jajak pendapat antar stakeholder. Cara pandang masing-masing stakeholder menjadi dasar untuk memunculkan komitmen bersama, mencari alternatif penyelesaian terbaik. 2. Menggulirkan konsep Konsesi Rehabilitasi Terpadu sebagai solusi utama Pada tahap ini kelompok konservasi diharapkan muncul untuk menawarkan konsep rehabilitasi guna memulihkan kondisi dan menjaga keutuhan kawasan TNGL. 3. Membangun kerjasama dan kolaborasi dengan berbagai pihak Kolaborasi dibutuhkan untuk mengawal proses penyelesaian, berbagi beban kerja, dan memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk mengambil peran. Lebih penting lagi dari semua itu adalah menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama dan mengaktualisasikan komitmen yang telah terbentuk pada tahap sebelumnya. 4. Tahapan pelaksanaan secara legal formal Tahapan ini dilakukan setelah terjadi penguatan organisasi dalam bentuk manajemen kolaborasi yang dipandang cukup kuat untuk menjamin semua proses dan pelaksanaan kegiatan terjadi dengan semestinya. 5. Evaluasi dan Pemantauan Evaluasi dan pemantauan dilakukan pada tiap tahap kegiatan.. Ada kemungkinan muncul alternatif penyelesaian lain sesuai perkembangan 63 Suporahardjo, dkk, Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan, (Bogor: Pustaka LATIN, 2000), hlm.17-19. 218
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
masalah yang terjadi. Evaluasi akhir dibutuhkan sebagai bahan refleksi untuk kegiatan selanjutnya. Dibutuhkan strategi penanganan yang efektif. Strategi tersebut harus bisa dipastikan akan berjalan secara konsisten dan komprehensif. Pihak TNGL menawarkan strategi penyelesaian secara menyeluruh yang dilaksanakan bersama dalam suatu pola manajemen kolaboratif. Tahapan strategi adalah sebagai berikut :64 a. Penguatan organisasi melalui upaya fasilitasi untuk membangun pola kolaborasi Target yang harus dicapai adalah pemaparan visi, misi, dan jajak pendapat masing-masih pihak, rapat koordinasi, pengumpulan datadata primer / sekunder, hingga pembentukan tim penyelesaian b. Relokasi pengungsi Pelaksanaan relokasi dilakukan setelah proses penyiapan lokasi baru bagi pengungsi sudah mendapat kepastian. Selanjutnya dilakukan sosialisasi relokasi secara terpadu dan penanganan awal bagi penduduk non pengungsi termasuk para pekerja perambah. Aspek lain yang perlu diselesaikan dalam upaya relokasi yaitu penyediaan dana terminasi dan pendampingan pengungsi di lokasi baru. c. Penangkapan dan penegakan hukum bagi perambah Pada saat lain, pihak yang berwenang melakukan penangkapan aktor intelektual, juga para perambah dan memastikan proses hukum berjalan. Proses ini memerlukan data tentang siapa pengungsi dan siapa perambah, mengingat mereka telah membaur di dalam pemukiman. d. Isolasi Kawasan Beberapa kegiatan dalam isolasi kawasan ini adalah : penutupan kawasan dengan membangun pos jaga dan membentuk satuan pengamanan swakarsa, dan sosialisasi awal untuk proses selanjutnya yaitu rehabilitasi. e. Rehabilitasi Kawasan Rehabilitasi diawali dengan pembersihan lokasi bekas pengungsi dan perambah. Setelah pengukuran batas dan luas kerusakan, rehabilitasi bisa dilaksanakan sesuai dengan rencana kegiatan rehabilitasi yang telah disusun bersama, termasuk teknis perawatan tanaman nantinya. f. Community Development Kegiatan pendampingan dan penyadaran perlu secara intensif dilakukan 64 Wiratno, “Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Gunung Leuser Secara Kolaboratif,” makalah disampaikan pada Sheared Learning di Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, 13-22 februari 2006, hlm.3-4. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
219
pada masyarakat di sekitar areal rehabilitasi. Jangan sampai kejadian serupa terulang. Diharapkan dengan pola community development ter bangun hubungan timbal balik yang harmonis antara manusia dengan alam, antara masyarakat dengan kawasan taman nasional. Sesuai dengan arah kebijakan dan strategi pengelolaan konservasi pada program pembangunan kehutanan bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, selain 3 pilar konservasi yaitu fungsi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari, diperlukan dukungan dalam peningkatan pemberdayaan masyarakat dan pengembangan mekanisme penyelesaian konflik. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan suatu arahan dan strategi yang merupakan hasil kesepakatan bersama, bersifat partisipatif, kolaboratif dan memiliki akuntabilitas serta dilaksanakan sesuai dengan komitmen yang telah dibangun secara bersama-sama pula. Arahan dan strategi inilah nantinya yang akan dipakai dalam penyelesaian masalah secara menyeluruh sehingga kawasan dapat direhabilitasi dan kembali berfungsi seperti semula sebagai kawasan konservasi. Dalam era keterbukaan ini pengelolaan didasarkan pada paradigma baru yaitu community based management dan participatory approach. Pengelolaan konservasi melibatkan banyak komponen instansi dan masyarakat untuk mendapatkan sinergi dalam pelaksanaannya. Strategi partisipatif, kolaboratif dan akuntabilitas diterapkan untuk menghimpun kebersamaan seluruh komponen bangsa dalam berperan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan juga dalam monitoring dan evaluasinya. Pelibatan masyarakat diharapkan mulai dari individu, kelompok, LSM, pemerhati dan pelaku ekonomi sehingga semuanya akan memiliki rasa tanggung jawab untuk keberhasilannya. Strategi ini menjadi sangat penting dan bisa aplikatif dalam upaya mengawal perjalanan otonomi daerah, karena setiap daerah juga diharapkan terlibat dalam pengelolaan konservasi. Dengan pola seperti ini diharapkan konflik antar instansi dan masyarakat dapat dihindari dan ditemukan jalan keluar penyelesaian konflik yang terjadi. Pengelolaan konservasi ini sangat membutuhkan harmonisasi berbagai pihak, sehingga diperlukan keterbukaan (akuntabilitas) dari dan kepada semua pihak. Potensi dari sumber daya alam yang terdapat di kawasan, dan dibandingkan dengan lokasi yang sama di Kabupaten Langkat, maka Tangkahan dapat menjadi sebuah kawasan Ekowisata bila dikembangkan dengan baik. Hal ini didukung oleh informasi yang didapatkan dari Buku Panduan Sumatera Utara yang ditulis oleh Mahmud Bangkaru. Menurutnya Tangkahan adalah alternatif lain bagi Bukit Lawang. melalui perencanaan 220
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
yang partisipasif dan ramah lingkungan. Diharapkan bahwa Tangkahan dapat berkembang menjadi kawasan ekowisata dan wisata alam yang baru.65 Perencanaan pengembangan pariwisata di tingkat masyarakat, telah disusun bersama-sama antara masyarakat lokal dan Balai Taman Nasional. Antisipasi dampak pengembangan wisata diantaranya adalah: a. Mengurangi dampak penggunaan kawasan dengan cara membuat zonazona di kawasan pengembangan secara tidak langsung telah membatasi pengunjung yang masuk ke kawasan-kawasan yang rentan. b. Membuat peraturan di tingkat desa dan dikuatkan dengan peraturan di tingkat daerah, tentang pembatasan pembangunan sarana dan prasarana, yang didasarkan pada hasil zonasi dan kesepakatan bersama. c. Mengatur tipe pemanfaatan dan perilaku pengunjung, seperti mengajarkan etika di alam bebas, mengatur jumlah orang dalam satu kelompok, dan lain-lain. d. Mengatur harapan pengunjung, hal ini dapat dicapai dengan cara memberikan informasi mengenai apa yang harus dipakai/digunakan oleh pengunjung, dan memberikan informasi tentang keadaan yang akan mereka hadapi. Pengelolaan secara kolaboratif ini nampak jelas diatur dalam Pasal 3 Peraturan Desa yang menyatakan bahwa Kawasan Ekowisata Tangkahan dikelola menurut azas dan prinsip kebersamaan, keterbukaan, kekeluargaan, dan mengedepankan kepentingan bersama menurut aturan dan mekanisme yang telah disepakati. Berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang untuk membentuk Lembaga Pariwisata Tangkahan pada tanggal 19 Mei 2001 sebagai lembaga masyarakat lokal, maka Pemerintah Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang menetapkan beberapa hal. Pertama, Lembaga Pariwisata Tangkahan disingkat LPT adalah lembaga resmi yang mengelola Kawasan Ekowisata Tangkahan. Kedua, Pengelolaan ekowisata dalam Kawasan Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser dilaksanakan secara bersama-sama antara Lembaga Pariwisata Tangkahan dan Balai Taman Nasional Gung leuser. Ketiga, di dalam pelaksanaannya, Lembaga Pariwisata Tangkahan dan Balai taman Nasional Gunung Leuser dapat bekerjasama dengan para pihak terkait melalui kesepakatan bersama yang disusun menurut mekanisme dan aturan yang berlaku. Keempat, mengenai masalah Lembaga Pariwisata Tangkahan diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Lembaga Pariwisata Tangkahan. 65 Ibid., hlm. 4-6. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
221
Pengaturan tentang pengelolaan kawasan Tangkahan secara kolaboratif ini tampak jelas dilihat dalam kententuan yang terdapat dalam Perdes. Dalam ketentuan tersebut dinayatkan bahwa seluruh masyarakat berkewajiban untuk melindungi, menjaga dan melestarikan tempat-tempat yang telah ditetapkan sebagai Lubuk Larangan di Kawasan Ekowisata Tangkahan dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan memancing, dimana dalam penyelenggaraannya melalui mekanisme dan aturan sebagaimana ditetapkan oleh Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) dan Balai Taman Nasional Gunung Leuser untuk kawasan di dalam Taman Nasional dan Pemerintahan Desa untuk kawasan di luar Taman Nasional (Pasal 9). Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa adanya kolaborasi dalam mengelola kawasan Tangkahan. Pengelolaan ini cukup efektif dan mempunyai hasil yang signifikan, bila dibandingkan dengan penyelesaian yang lain seperti mediasi dan musyawarah. Meskipun kedua penyelesaian tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja, karena keduanya merupakan latar belakang lahirnya penyelesaian dan pengelolaan kawasan Tangkahan yang dilakukan secara kolaboratif. Dalam rangka meningkatkan manfaat masyarakat lokal akan hutan, maka ada suatu ketentuan untuk melestarikan ekosistem di luar kawasan Tangkahan, dimana masyarakat berkewajiban untuk menyelenggarakan hutan-hutan cadangan dengan tanaman produktif dan berdaya guna untuk ekowisata dan pertanian masyarakat (Pasal 10). Disamping itu seluruh masyarakat dan Balai Taman Nasional Gunung Leuser berkewajiban untuk menentang dan melarang upaya pertambangan yang dilakukan di dalam Kawasan Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser. Hal lain yang menarik untuk dikembangan secara kolaboratif meskipun tanpa harus meninggalkan keaslian adat istiadat Suku Karo, maka masyarakat lokal bekerjasama dengan pihak Balai Taman Nasional dengan didukung oleh Indecon melakukan upaya penguatan, pelestarian dan penggunaan budaya lokal. Adapun hal-hal yang dilakukan dalam rangka penguatan dan pelestarian budaya lokal adalah a. Setiap ada kunjungan wisata atau kunjungan dari pihak luar, maka masyarakat lokal senantiasa menampilkan dan menyajikan upacara adat seperti Marga Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu dan Sumbang Sisiwah. b. Rumah adat suku karo yang sudah semakin sulit didapatkan saat ini, dicoba untuk disosialisasikan dan dilestarikan meskipun saat ini cukup sulit ditemukan di masyarakat di kedua desa yaitu Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang. c. Pada upacara adat, baik untuk menyambut para tamu, upacara perkawinan, atau upacara adat lainnya maka senantiasa menggunakan pakaian adat sesuai acara adat tersebut. Hal ini agar tetap menjaga keaslian adat Karo yang memang menjadi mayoritas penduduk di kedua desa tersebut. 222
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Upacara adat tersebut merupakan kegiatan yang rutin diselenggarakan setiap ada tamu wisatawan dan setiap ada upacara adat resmi yang diselenggarakan oleh masyarakat disuatu tempat di atas sungai Batang Serangan. Setiap masyarakat/pengunjung pendatang diwajibkan untuk menghormati tata cara dan adat istiadat yang berlaku di Kawasan Tangkahan. Masyarakat mempercayai apabila ini dilanggar maka akan menimbulkan sesuatu yang tidak baik yang akan menimpa masyarakat lokal maupun pengunjung / pendatang tersebut.
D. Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Menjaga Kelestarian Hutan Paragraf-paragraf berikut ini akan menjelaskan tentang kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan, berhentinya illegal logging, keberlangsungan hutan dan pihak yang harus bertanggung jawab. 1. Kesadaran Masyarakat Menjaga Kelestarian Kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Indecon selama kurang lebih satu tahun. Persepsi masyarakat dalam penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Indecon pada Februari 2006 difokuskan pada pendapat dan sikap mereka tentang hutan dan pariwisata. Persepsi sangat ditentukan oleh tingkat pengetahuan seseorang atas suatu hal. Oleh karena itu, sebagian pertanyaan dalam kuesioner juga mencoba menjaring tingkat pengetahuan masyarakat terhadap hutan dan pariwisata. Selain melalui wawancara tak berstruktur dan diskusi kelompok, survei dengan kuesioner adalah salah satu metode yang digunakan dalam menjaring persepsi masyarakat tentang hutan dan pariwisata di Tangkahan. Sebanyak 50 kuesioner dan berasal dari Desa Sei Serdang dan Namo Sialang. Pencatatan atas kasus-kasus yang bersifat khusus yang diperoleh lewat wawancara tak berstruktur maupun pengamatan dijadikan data pelengkap dalam melakukan analisis dalam metode survei ini. Pada level kepercayaan (confidence level) sekitar 95%, sampling error dari survei ini berkisar 12,1%. Namun, hasil survei ini tidak dimaksudkan untuk menyimpulkan pendapat seluruh warga desa Sei Serdang dan Namo Sialang, tetapi hanya mengukur kecenderungan persepsi dan persebaran pendapat dari sampel yang ditarik. Adapun penarikan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling). Dari 50 orang responden yang diwawancarai, 16 orang adalah warga Sei Serdang dan 34 orang warga Namo Sialang. Mereka mayoritas adalah lakilaki (76 %), sedangkan respnden perempuan hanya 24 %, yang tinggal pada beberapa dusun, terutama dusun Kuala Gemoh dan Kuala Buluh. Survei ini mempertimbangkan asal dusun dengan asumsi Kuala Buluh dan Kuala
Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
223
Gemoh adalah dusun yang paling dekat dengan areal ekowisata Tangkahan, sehingga mereka cenderung memiliki interaksi dan akses lebih intensif dengan persoalan wisata tersebut. Selain itu hampir semua aktifitas yang dilakukan oleh beberapa LSM terkonsentrasi di dua dusun ini. Demikian pula halnya aktifitas yang dilakukan oleh beberapa LSM seperti Indecon dan FFI lebih banyak dikenal oleh warga di Kuala Buluh dan Kuala Gemoh. Kondisi seperti ini sedikit banyak berpengaruh pada persepsi mereka tentang hutan dan pariwisata, khususnya yang terkait dengan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT). Berdasarkan tingkat usia, mayoritas responden adalah usia muda dan produktif di bawah usia 50 tahun dengan dominasi responden berusia antara 21 hingga 25 tahun. Perbandingan responden berdasarkan usia dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
Gambar 7. Perbandingan Responden Berdasarkan Usia Sumber: Yayasan Indecon (Februari 2006)
Sedangkan dari jenis pekerjaannya, mayoritas responden bekerja sebagai petani dan sebagian lagi adalah pelajar dan ibu rumah tangga. Lebih jelasnya tentang perbandingan responden berdasarkan jenis pekerjaannya dapat dilihat dalam gambar diagram di bawah ini.
Gambar 8. Diagram responden Berdasarkan Jenis Pekerjaannya Sumber: Yayasan Indecon (Februari 2006)
224
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Disamping berdasarkan faktor usia dan jenis pekerjaannya, maka dalam memilih responden juga didasarkan atas pendidikan dari responden. Perbandingan jenjang pendidikan responden dapat ditunjukkan dalam gambar diagram perbandingan pendidikan rata-rata dibawah ini.
Gambar 9. Perbandingan Tingkat Pendidikan Responden Sumber: Yayasan Indecon (Februari 2006)
Wawancara terhadap 50 orang penduduk Desa Sei Serdang dan Namo Sialang menunjukkan bahwa 96% dari mereka mengaku hutan (disekitar desa) memiliki manfaat, baik bagi mereka pribadi maupun masyarakat. Hanya 0,4 % saja yang mengatakan bahwa hutan tidak memberi manfaat bagi mereka. Adapun manfaat yang dapat dipersepsikan oleh responden antara lain adalah:
Gambar 10. Bentuk Manfaat Hutan Bagi Masyarakat Sumber: Yayasan Indecon (Februari 2006)
Yang menarik, manfaat hutan sebagai tempat wisata cukup banyak disebut oleh responden, sedangkan manfaat hutan sebagai sumber atau penghasil kayu hanya disebut 10 % dari seluruh responden. Padahal, hingga Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
225
awal tahun 2000-an, warga di dua dusun ini masih terlibat secara aktif dengan kegiatan illegal logging. Mereka telah menikmati pendapatan cukup lama dari penebangan kayu di kawasan TNGL. Hasil survei ini bisa saja menunjukkan bahwa kegiatan wisata di Tangkahan yang mulai berkembang sejak 2001, saat Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) dibentuk, telah menggeser persepsi masyarakat tentang fungsi atau manfaat yang bisa mereka peroleh dari hutan. Namun persepsi ini juga bisa saja dibentuk oleh keterbatasan sumberdaya alam di sekitar mereka, dimana hutan adat hampir tidak lagi dapat ditemui, kecuali hutan yang masuk dalam kawasan TNGL. Dengan demikian aktifitas ekonomi yang bergantung pada sumberdaya hutan memang sangat minimal dan terbatas, terutama untuk kegiatan yang bersifat ekstraktif. Kegiatan berburu atau membuka hutan untuk berkebun cenderung taj ada karena kedua aktifitas ini jelas tak mungkin dilakukan pada TNGL. Maka tak mengherankan jika bentuk-bentuk manfaat yang bersifat jasa lingkungan hutan seperti mencegah bencana alam (98 %), tempat wisata (91,8 %), serta sebagai sumber air lebih banyak disebutkan oleh responden. Bahkan ketika dilakukan analisis silang sebagaimana digambarkan pada bagan di atas, asumsi menguat, dimana ada perbedaan cukup signifikan antara jawaban dari anggota LPT dengan yang bukan anggota LPT. Responden yang menjadi anggota LPT cenderung tidak memilih manfaat hutan yang bersifat ekstraktif seperti untuk menghasilkan kayu, sebagai bahan perkebunan maupun berburu stwa liar. Ini sangat berbeda dengan mereka yang bukan anggota LPT. Sehingga pada sisi ini dapat dikatakan bahwa pengembangan wisata di Tangkahan telah ikut mempengaruhi persepsi masyarakat tentang manfaat hutan, khususnya di kalangan anggota LPT yang lebih intensif mengelola hutan sebagai objek wisata. 2. Berhentinya Illegal Logging Pada tahun 1997-2000 di kawasan Tangkahan marak dengan adanya illegal logging, namun sejak adanya sebuah lembaga masyarakat maka perlahan-lahan illegal logging mulai berkurang, yaitu dengan bentuk pengelolaan kawasan ekowisata Tangkahan. Pengelolaan sumber daya hutan terutama di kawasan ekowisata Tangkahan, bukanlah dengan mudah begitu saja. Namun terdapat beberapa kendala yang harus dilalui oleh masyarakat lokal dan pihak Balai Taman Nasional. Pertama, maraknya penebangan liar (illegal logging), perambahan dan perburuan liar merupakan beberapa kegiatan yang mengancam kawasan Hal itu terjadi pada masa tahun 1990 hingga tahun 2000. Namun sejak adanya kesepakatan antara masyarakat lokal setempat dengan Balai Taman Nasional untuk mengembangkan ekowisata Tangkahan, kegiatan tersebut secara perlahan semakin berkurang. Kesepakatan antara pihak 226
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
masyarakat lokal dengan Balai Taman Nasional terjadi pada tanggal 22 April Tahun 2002. Inti kesepakatan tersebut adalah perlunya kerjasama dalam pengelolaan kawasan Ekowisata Tangkahan dengan pengelolaan secara bersama-sama. Pihak masyarakat diwakili oleh Lembaga Pariwisata Tangkahan yang merupakan satu-satunya lembaga yang daihasilkan dari kesepakatan bersama antara dua desa yaitu Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang. Kedua, masalah kepemilikan lahan oleh pihak luar masyarakat di kedua desa (Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang). Sebagian lahan di luar Taman Nasional Gunung Leuser (kawasan Tangkahan) adalah tanah milik masyarakat yang ditanami karet atau jeruk manis atau tanaman pertanian lainnya. Masalah timbul mengingat saat ini sebagian masyarakat yang memiliki lahan tersebut telah menjual kepada masyarakat di luar kedua desa tersebut.Oleh karena itu perlu dicapai kesepakatan-kesepakatan diantara masyarakat di dua desa tersebut dan pihak dari luar yang telah memiliki tanah. Apabila diperlukan maka akan sangat diperkuat dengan adanya Peraturan Desa atau Perda yang mengatur tentang ketentuan yang mengharuskan adanya upaya untuk mendukung pengelolaan kawasan ekowisata Tangkahan. Ketiga, hingga saat ini kawasan Tangkahan belum memiliki peta rencana tata ruang dan wilayah kawasan. Dikhawatirkan pada masa yang akan datang masih banyak kemungkinan pengembangan yang dapat dilakukan oleh pihak manapun. Bila pengembangan tersebut tidak memperhatikan aspirasi masyarakat dan juga keanekaragaman hayati, maka lingkungan akan mendapatkan dampak negatif dari pengembangan tersebut yang berakibat pada kerusakan lingkungan dan juga sosial budaya. Keempat, masalah sarana dan prasarana yang sampai saat ini belum secara signifikan di dukung oleh Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Sarana yang dimaksudkan adalah sarana transportasi dan sarana kesehatan, serta sarana telekomunikasi yang masih sangat tidak memadai. Sarana jalan saat ini untuk mencapai kota Medan harus ditempuh dengan jarak lebih kurang sekitar 124 km dengan kondisi jalan yang tidak memadai hanya batu kerikil terutama jalur dari Perkebunan Karet dan Perkebunan sawit (PTP II) lebih kurang sekitar 34 km dengan naik kendaraan bermotor. Sarana lain yang masih membutuhkan perhatian baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah adalah sarana kesehatan yang masih sangat tidak memadai, dimana di desa terdekat hanya ada satu puskesmas hanya dengan seorang mantri. Kelima, masalah sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting terutama pada tingkat kesiapan masyarakat yang juga kelak akan menjadi masalah dalam pengembangan kawasan ekowisata. Pemahaman masyarakat dan kekuatan isntitusi harus ditingatkan guna meredam Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
227
dan menyelesaikan konflik horizontal yang akan timbul dengan adanya pengembangan ekowisata ini dan terutama juga terhadap pemahaman mereka tentang masalah konservasi, pariwisata, dan ekowisata pun masih kurang memadai. Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) pada tahun 2001 dan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) kolaborasi pengelolaan antara LPT dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ikut mempengaruhi proses terhentinya penebangan liar di Tangkahan. Menurut pengakuan beberapa mantan pelaku penebangan liar, hingga tahun 2002 kegiatan penebangan masih berlanjut meski jauh berkurang. Ketika MoU ditandatangani, LPT memiliki kekuatan psikologis lebih besar untuk melakukan penjagaan hutan TNGL di Tangkahan, dan labih mampu menyadarkan sebagian kecil warga desa yang masih terlibat. Akhirnya, awal tahun 2003 kegiatan penebangan liar secara signifikan berkurang di Tangkahan, terutama yang dilakukan oleh warga Desa Namo Sialang dan Sei serdang. Hingga saat ini upaya untuk pengelolaan dan pengembangan kawasan ekowisata tangkahan dilakukan oleh masyarakat lokal melalui Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) dengan melakukan beberapa upaya sebagai berikut: Pertama, sejak dilakukannya kesepakatan kerjasama antara masyarakat lokal (LPT) dengan pihak Balai Taman Nasional, maka ditindaklanjuti dengan berbagai kegiatan lanjutan yaitu dengan terbitnya Surat keputusan Kepala Balai Taman Nasional Nomor 1112/SK/VI-BTNGL/2003 Tentang Tarif Pungutan Jasa dan Karcis masuk Kawasan Taman Nasional Gunung Leiser bagian Tangkahan. Dengan keluarnya SK tersebut maka hasil dari pemungutan tersebut dibagi oleh pihak Balai Taman Nasional dengan masyarakat lokal yang dikelola oleh pihak LPT Tangkahan, untuk selanjutnya didistribusikan untuk dua desa yaitu Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang. Kedua, keuntungan yang diterima oleh pihak Balai Taman Nasional adalah masyarakat lokal ikut menjaga kawasan tersebut dengan penuh kesadaran, mengingat mereka juga mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Seperti dapat menjual bahan makanan, menyewakan penginapan yang merupakan rumah tempat tinggal dari masyarakat lokal dengan hadirnya para turis baik domestik maupun mancanegara. Keuntungan yang lain adalah mereka dapat menjadi gaet dengan adanya wisata alam yang sangat memikat di kawasan tersebut. Ketiga, secara sosial dan budaya mereka juga dapat menunjukkan kepada masyarakat luar dengan menampilkan beberapa atraksi tari-tarian dan budaya lainnya dari masyarakat kawasan Tangkahan, yang sebagian besar berasal dari suku Karo. 228
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Keempat, hal yang cukup unik adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat di kedua desa tersebut dengan membuat rambu-rambu dalam mengelola hutan dengan membuat Peraturan Desa Nomor 301 Tahun 2003 tentang Kawasan Ekowisata Tangkahan. Peraturan Desa tersebut pada intinya menyebutkan bahwa sumber daya alam yang terdapat di kawasan Tangkahan adalah merupakan aset berharga yang terdapat di Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang, Kecamatan Batang Serangan, yang dapat dimanfaatkan secara lestari dan berkelenajutan untuk kepentingan masyarakat disekitarnya (Pasal 7). Sebagai tindak lanjut dari prinsip yang terdapat dalam Pasal 7 tersebut, maka seluruh masyarakat wajib dan bertanggung jawab dalam menjaga dan melestarikan sumber daya alam di Kawasan Ekowisata Tangkahan. Adapun kawajiban itu meliputi larangan: 1) merusak keaslian bentangan alam Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan kawasan pengelolaan dan pemanfaatan Ekowisata Tangkahan, 2) larangan membunuh, memburu dan menjual belikan satwa yang terdapat di hutan cadangan (hutan produksi masyarakat) di luar Kawasan Taman Nasional, 3) merusak keaslian sungai dan habitatnya di kawasan Tangkahan (Pasal 8). Kelima, seluruh masyarakat berkewajiban melindungi, menjaga dan melestarikan tempat-tempat yang telah ditetapkan sebagai Lubuk Larangan di kawasan Ekowisata Tangkahan dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan memancing, dimana dalam penyelenggaraannya melalui mekanisme dan aturan sebagaimana ditetapkan oleh LPT Tangkahan dan Balai Taman Nasional Gunung Leuser untuk kawasan di dalam Taman Nasional dan Pemerintahan Desa untuk kawasan luar Taman Nasional (Pasal 9). Keenam, untuk melestarikan ekosistem di luar Kawasan Taman Nasional, masyarakat berkewajiban untuk menyelenggarakan hutan-hutan cadangan dengan tanaman produktif dan berdaya guna untuk ekowisata dan pertanian masyarakat. (Pasal 10). 3. Keberlangsungan Hutan dan Pihak Yang Harus Bertanggungjawab Bagaimana responden menilai tentang keberlangsungan hutan? Ternyata masih cukup banyak (30 %) responden tidak yakin bahwa hutan di sekitar mereka, terutama TNGL akan musnah, hilang atau rusak. Sebagian besar memang memiliki keyakinan bahwa hutan bisa saja habis atau hilang suatu saat. Perbandingan keyakinan bahwa hutan bisa saja habis atau hilang dapat dilihat dalam gambar berikut ini.
Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
229
Gambar 11. Perbandingan Keyakinan Hilang/Musnahnya Hutan Sumber: Yayasan Indecon (Februari 2006)
Responden yang yakin bahwa hutan bisa musnah atau habis kebanyakan (91,4 %) menyalahkan penebangan liar sebagai penyebabnya. Beberapa faktor perusak lain yang cukup banyak disebutkan adalah kebakaran hutan (74,3 %), pembuatan kebun (54,3 %), bencana alam (43 %), serta pembuatan pemukiman penduduk (28,6 %). Perbandingan tentang apa yang menjadi penyebab kerusakan hutan menurut persepsi masyarakat dapat ditunjukkan dalam gambar dibawah ini.
Gambar 12. Faktor Penyebab Rusaknya Hutan Sumber: Yayasan Indecon (Fberuari 2006)
Dalam soal kerusakan hutan ini, lebih dari separuh responden menunjuk pihak Balai Taman Nasional Gunung Leuser sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Pilihan terhadap Balai TNGL sangatlah wajar mengingat di sekitar masyarakat hanya tinggal hutan TNGL lah yang tersisa. Pihak lain yang juga banyak disebutkan adalah masyarakat sendiri. Adapun 230
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Pemda Langkat dan LSM hanya sedikit dipilih sebagai pihak yang harusnya bertanggung jawab. Secara lebih lengkap perbandingan siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap kerusakan hutan dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
Gambar 13. Pihak Yang Harus Bertanggungjawab Atas Kerusakan Hutan Sumber: Yayasan Indecon (Februari 2006)
Persepsi bahwa masyarakat merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan hutan bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, ini merefleksikan kejadian masa lalu, di mana keterlibatan masyarakat sekitar dalam illegal logging di mana mereka sendiri telah melihat bagaimana hutan di sekitarnya yang semakin menyusut akibat penebangan liar tersebut. Kedua, makna tanggung jawab bisa dipandang sebagai tuntutan bahwa keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan mengelola hutan harus diperbesar. Ini bisa dijadikan sebagai bentuk keyakinan bahwa masyarakat adalah pihak kunci karena bisa menjadi aktor dalam kerusakan atau dalam kegiatan pelestarian hutan. Yang menraik untuk dicermati, polisi serta pengusaha tidak menjadi pilihan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Ini bisa saja disebabkan masyarakat memahami bahwa hanya Balai TNGL lah yang memiliki kewenangan atas hutan tersebut. Saat ditanyakan tentang siapa saja yang harus terlibat dalam menjaga kelestarian hutan, hampir seluruh responden menjawab TNGL dan masyarakat. Ini juga menunjukkan bahwa TNGL dan masyarakat diharapkan sebagai pihak paling berperan menjaga hutan. Perbandingan siapakah yang paling harus terlibat dalam melestarikan hutan dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
231
Gambar 14. Pihak Yang Harus Terlibat Dalam Melestarikan Hutan Sumber: Yayasan Indecon (Fberuari 2006)
E. Pengelolaan Tangkahan Di Masa Depan
Pengelolaan kawasan Tangkahan pada masa yang akan datang harus didukung oleh berbagai pihak, baik oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, termasuk juga masyarakat lokal di sekitar kawasan tersebut, yang terdapat di Desa Sei Serdang dan Namo Sialang. Peranan dari para pihak tersebut sangat penting baik bagi Pemerintah Daerah dengan berkembangnya kawasan Ekowisata Tangkahan, Pemerintah Pusat yang terkait dengan terjaganya hutan di Kawasan Taman Nasional, serta bagi masyarakat lokal sendiri untuk dapat memanfaatkan potensi kawasan hutan dan sekaligus sebagai penjaga kelestarian hutan. Secara konseptual dan praktis dalam mengelola kawasan Tangkahan, maka seharusnya kawasan dibagi ke dalam beberapa zona. Pertama, zona intensif yang dialokasikan pada dua kawasan, pertama adalah kawasan perlebunan kelapa sawit milik PTPN II yang termasuk ke dalam wilayah Desa Sei Serdang denganluas lurang lebih 10 hektar. Lokasi tersebut direncanakan untuk diusahakan bersama menjadi Pusat Penerimaan Pengunjung (Staging Area) didukung oleh lahannya yang datar tidak bergelombang dan akses jalan yang mudah. Alokasi kedua dari zona intensif primer adalah kawasan Pantai Tujuh dengan luas kurang lebih 7 hektar dan dapat dikembangkan Wisata Desa di Dusun Kuala Gemoh. Kegiatan dan produk wisata yang bersifat rekreasi, masal dan cenderung bising akan ditempatkan pada zona intensif ini. Kedua, zona semi intensif dengan luas kawasan kurang lebih 35 hektar terdiri dari akomodasi terbatas, perkebunan karet rakyat dan kebun-kebun lainnya memiliki kekuatan untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata agro dan juga pemandian air panas Sei Glugur. Pembuatan jalur wisata dan jalur interpretasi merupakan salah satu prioritas pengembangan. Untuk mengembangkan jalurjalur wisata agro di kawasan perkebunan rakyat tentunya harus berdasarkan hasil kesepakatan bersama. Salah satu kesepakatan yang perlu dihasilkan adalah 232
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
mengenai kepemilikan lahan. Sangat diharapkan bahwa di kawasan ini tidak ada lagi penjualan lahan milik masyarakat lokal kepada masyarakat pendatang yang ingin turut mengembangkan kawasan Tangkahan. Alternatif yang diberikan adalah penyewaan lahan, sehingga masyarakat tetap memiliki lahan tersebut sekaligus mendapatkan pendapatan dari uang sewa. Ketiga, zona ekstensif primer yang merupakan kawasan di dalam TNGL dan menjadi pusat daya tarik ekowisata dengan luas kawasan kurang lebih 18 hektar. Ekowisata berbasiskan pendidikan diterapkan pada kawasan ini, melalui pembuatan jalur-jalur interpretasi. Pembuatan jalur-jalur interpretasi adalah prioritas, termasuk di dalamnya menentukan titik-titik hal-hal menraik, jalur kelajah hutan berdasarkan tema-tema tertentu, seperti tanaman obat, pengamatan burung dan sebagainya. Fasilitas yang dikembangkan di kawasan ini hanyalah tanda-tanda petunjuk, tempat pengamatan dan tempat istirahat yang bermanfaat untuk pembelajaran selama dalam hutan dan papan interpretasi serta perkemahan terbatas. Keempat, potensi zona ekstensif sekunder adalah kawasan di dalam Taman Nasional Gunung Leuser dengan luas kurang lebih 22 hektar. Pesona hutan tropis dengan flora dan faunanya menjadi sumber daya pengembangan jalur-jalur petualangan di dalam hutan. Kawasan ini direncanakan m,enjadi kawasan petualangan dan pengamatan satwa liar. Oleh karena itu perlu untuk dibuatkan jalur-jalur trekkong, beserta dengan peta jalur dalam kawasan yang akurat. Disamping itu perlu penunjuk jalur pada setiap persimpanga. Zona ini hanya dikembangkan dengan sarana dan prasarana sebatas penyediaan jalur jalan setapak, papan informasi, dan lokasi peristirahatan. Zona ini akan meliputi kawasan dengan jarak tempuh maksimum hingga 6-7 jam perjalanan dalam satu hari. Daya tarik yang termasuk dalam kawasan ini adalah Air terjun, sumber air panas dan goa-goa. Paragraf-paragraf berikut ini akan menjelaskan tentang peranan kebijakan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan kawasan Tangkahan, peranan kebijakan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan kawasan Tangkahan, serta peranan masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan Tangkahan di masa yang akan datang. 1. Peranan Kebijakan Pemerintah Pusat Peranan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan kawasan Tangkahan di masa yang akan datang sangat penting, mengingat perannya mempunyai posisi yang sangat dominan. Terutama menyangkut masalah perizinan dan batas-batas kawasan, serta apa saja yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di kawasan tersebut. Kewenangan Pemerintah Pusat berkaitan dengan pengelolaan sumber daya hutan, dapat dilihat berdasarkan PP Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
233
Adapun kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya hutan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 tersebut meliputi beberapa kewenangan sebagaimana yang terdapat dalam lampiran PP tersebut. Pertama, dalam kaitannya dengan masalah konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya, Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan sebagai berikut: a. Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional; b. Penetapan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala nasional; c. Pengendalian kebijakan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala nasional; d. Pemanfaatan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional.Pengaturan dan penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala nasional; e. Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala nasional. Kedua, kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan pada hutan produksi adalah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan. Ketiga, kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan penataausahaan hasil hutan adalah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan pengaturan penatausahaan hasil hutan. Keempat, kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan hutan lindung adalah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam lampiran (Appendix) Convention on International Trade Endangered Species (CITES) serta pemanfaatan jasa lingkungan skala nasional. Kelima, kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan mencakup beberapa kegiatan seperti: a. Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi hutan dan lahan kritis; b. Penetapan lahan kritis skala nasional; c. Penyusunan dan penetapan rencana rehabilitasi hutan dan lahan Daerah Aliran Sungai; 234
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
d. Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Keenam, kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, yaitu kegiatan pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Ketujuh, kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan perlindungan hutan yang meliputi kegiatan: a. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan perlindungan hutan pada hutan negara skala nasional; b. Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala nasional. Kedelapan, kewenangan Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan pengawasan bidang kehutanan yaitu menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria serta penyelenggaraan pengawasan terhadap tugas dekonsentrasi dan pembantuan, pinjaman dan hibah luar negeri serta efektifitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang kehutanan. Kedelapan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat tersebut sebagaimana diatur dalam PP No. 38 Tahun 2007, sangat penting untuk dapat diterapkan secara konsisten oleh Pemerintah Pusat. Sehingga apa yang sudah pernah dirintis oleh Balai Taman Nasional yang secara struktural merupakan wakil dari Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab kepada Departemen Kehutanan. Apa yang sudah pernah dilakukan oleh Balai Taman Nasional dengan melakukan pengelolaan kawasan Taman Nasional di Tangkahan dengan melakukan kemitraan kepada masyarakat lokal dapat dipertahankan, sehingga tujuan mendasar dari keberlanjutan fungsi hutan dapat diwujudkan untuk generasi yang akan datang. 2. Peranan Kebijakan Pemerintah Daerah Peranan kebijakan Pemerintah Daerah dalam bidang kehutanan, sangat diperlukan agar dapat melestarikan pengelolaan kawasan Tangkahan lebih lestari. Faktanya saat ini peranan Pemerintah Daerah di bidang Ekowisata Tangkahan masih belum signifikan. Padahal Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap pengelolaan di zona penyangga, sedangkan Pemerintah Pusat pada zona inti. Peranan kebijakan ini sangat penting dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar kawasan
Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
235
Tangkahan, seperti perbaikan jalan menuju kawasan Tangkahan, sarana dan prasarana lainnya seperti alat komunikasi dan pelayanan kesahatan, serta sarana komunikasi yang memerlukan peranan dari Pemerintah Daerah. Secara umum peranan Pemerintah daerah dapat dibedakan antara peranan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Perbedaan antara keduanya dapat dilihat dalam PP No.38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten. Pemerintahan Daerah Provinsi mempunyai wewenang antara lain sebagai berikut: 1) Bidang pemberdayaan masyarakat dan desa. Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai kewenangan untuk penetapan kebijakan daerah skala provinsi dan penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala provinsi. 2) Fasilitasi Konservasi dan Rehabilitasi Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai wewenang untuk melakukan koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi, pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi. Disamping itu Pemerintah Daerah Provinsi juga mempunyai wewenang melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi. 3) Inventarisasi Hutan Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai wewenang untuk penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi, hutan lindung dan taman hutan raya dan skala DAS lintas kabupaten/kota. 4) Penunjukan Kawasan Hutan, Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru Pemerintah Daerah Provinsi memberikan pertimbangan teknis penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru. 5) Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Pemerintah Daerah Provinsi Pengusulan dan pertimbangan teknis pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala provinsi. 6) Penatagunaan Kawasan Hutan Pemerintah Daerah Provinsi berwenang memberikan pertimbangan teknis perubahan status dan fungsi hutan, perubahan status lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.
236
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
7) Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung Pemerintah Daerah provinsi berwenang memberikan izin pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam lampiran (Appendik) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skal aprovinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja Perum Perhutani. 8) Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan di Sekitar Hutan Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai wewenang melakukan pemantauan, evaluasi, dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan disekitar kawasan hutan. 9) Pengembangan Hutan Hak dan Aneka Usaha Kehutanan Pemerintah daerah Provinsi mempunyai wewenang melakukan pemantauan, evaluasi dan fasilitasi hutan hak dan aneka usaha kehutanan. 10) Perlindungan Hutan Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai wewenang dalam pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala provinsi. Disamping itu, Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai wewenang dalam pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala provinsi. Sedangkan wewenang Pemerintahan Daerah Kabupaten mempunyai wewenang antara lain sebagai berikut: 1) Pemberdayaan Adat dan Pengembangan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk menetapkan kebijakan daerah skala kabupaten dan menetapkan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala kabupaten. 2) Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk menetapkan kebijakan daerah skala kabupaten dan penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala kabupaten. 3) Konservasi dan Rehabilitasi Lingkungan Dalam bidang konservasi dan rehabilitasi lingkungan, Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk mengkoordinasikan dan fasilitasi pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten. Disamping itu juga berwenang dalam pelaksanaan fasilitasi konservasi dan Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
237
rehabilitasi lingkungan skala kabupaten, monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan lingkup skala kabupaten. 4) Inventarisasi Hutan Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang dalam penyelenggara an inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam wilayah kabupaten. 5) Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk melakukan pengusulan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala kabupaten dengan pertimbangan gubernur. 6) Penatagunaan Kawasan Hutan Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk melakukan pengusulan perubahan status dan fungsi hutan dan perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan. 7) Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang memberikan perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM perhutani. 8) Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan di Sekitar Hutan Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang bimbingan masyarakat, pengembangan kelembagaan dan usaha serta kemitraan masyarakat setempat di dalam dan disekitar kawasan hutan. 9) Pengembangan Hutan Hak dan Aneka Usaha Kehutanan Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk menyusun rencana, pembinaan pengelolaan hutan hak dan aneka usaha kehutanan. 10) Perlindungan Hutan Pemerintah Daerah Kabupaten mempunyai wewenang untuk melaksanakan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala kabupaten. Disamping itu juga berwenang untu memberikan fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala kabupaten.
238
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Kewenangan yang dimiliki, baik oleh Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten sangat penting untuk menjaga agar keberlanjutan kawasan Tangkahan bagi generasi yang akan datang dapat tetap terjamin, sehingga koordinasi antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten harus segera dilakukan. Disamping perlunya langkah konkrit dari kedua pemerintahan di daerah tersebut, maka hal yang sangat penting agar kawasan Tangkahan dapat tetap lestari dan dapat bermanfaat bagi masyarakat lokal maka kerjasama nyata antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat sangat diperlukan. Hal ini menjadi penting mengingat selama ini kerjasama antara Pemerintah Daerah tidak berjalan dengan baik. 3. Peranan Masyarakat dan Balai Taman Nasional Pernanan masyarakat lokal dan Balai Taman Nasional saat ini sudah cukup memadai yang diawali dengan adanya kesepakatan diantara kedua belah untuk mengelola kawasan Tangkahan. Namun demikian hal itu perlu dijaga kesinambungannya mengingat saat ini telah terjadi pergantian Kepala Balai Taman Nasional yang baru sejak 11 Oktober 2007. Agar peranan masyarakat lokal dan Balai Taman Nasional dapat berlangsung baik dalam mengelola kawasan ekowisata Tangkahan, maka peranan Pemerintah Daerah dalam bentuk regulasi dan sarana transportasi sangat diperlukan. Obyek wisata alam di kawasan Tangkahan yang telah diidentifikasi oleh pemerintah daerah tingkat II Kabupaten Langkat adalah Pemandian Sei Buluh. Hal ini menunjukkan bahwa informasi mengenai kawasan masih sangat terbatas. Sementara obyek wisata alam dan wisata minat khusus lainnya yang dapat dikemas menjadi Produk-produk Ekowisata yang dapat dikembangkan,telah diindentifikasi oleh Lembaga Pariwisata Tangkahan. Produk ekowisata tersebut meliputi66: a. Produk wisata Petualangan Produk wisata ini bertujuan untuk menambah pengalaman menjelajah hutan hujan tropis dataran rendah dan peningkatan pengetahuan mengenai jenis-jenis satwa yang terdapat di Taman Nasional. jalur jalan setapak akan menyediakan sarana untuk berpetualang dan juga menara– menara pengamatan satwa, diakhir perjalanan produk wisata ini dapat pula ditambahkan dengan menyusur goa dan tubing .Produk ini hanya akan diperuntukan bagi mereka yang memiliki standar kesehatan dan stamina yang baik. Produk wisata ini dapat juga dilakukan dengan paket Elephant Riding Patroll dengan empat ekor Gajah Leuser CRU ( Conservations Respons Unit ) kerjasama Flora dan Fauna Internationals dengan Balai KSDA, Balai TNGL dan Lembaga Pariwisata Tangkahan. 66 Ibid. Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
239
b. Produk Wisata Agro Produk wisata Agro yang dapat dikembangkan diantaranya adalah mengunjungi perkebunan tanaman keras dan buah milik masyarakat. Melalui kegiatan ini dan pengetahuan pengunjung akan kegiatan perkebunan penduduk dapat ditingkatkan.Jalur-jalur Interpretasi wisata Agro yang disiapkan melalui wawasan berbagai jenis perkebunan masyararakat sekaligus mendapatkan pengalaman langsung dilapangan untuk memetik hasilnya,seperti menyadap karet,memetik jeruk, Durian dan lainnya.kegiatan ini dapat dilakukan dengan berjalan kaki, berkuda dan bersepeda.Dan dapat juga dilakukan Interpretasi di Perkebunan Kelapa Sawit dan Karet milik BUMN maupun Swasta yang terdapat di Kawasan Ekowisata dengan menerangkan proses Hulu sampai Hilir Produksinya. Hal ini dapat menjadi mamfaat ganda bagi Masyarakat maupun pengunjung c. Produk Wisata Tirta Dikawasan Tangkahan terdapat sungai-sungai yang memberikan peluang untuk dikembangkanya Wisata Tirta.seperti wisata pemandian yang telah berkembang saat ini.Tujuan dari wisata tirta ini lebih banyak untuk mendapatkan unsur rekreasi,sehingga biasanya bersifat masal ( pada kawasan-kawasan tertentu yang telah ditunjuk )beberapa kegiatan dari widsata tirta yang dapat dilakukan diTangkahan adalah berenang,menyusuri Sungai dengan Tubbing ( ban karet ) dan paket safari sungai dengan Rubber boat dengan Standard safety Pelampung,helmet dan team Rescue. Dan tidak tertutup kemungkinan untuk pengembangan Rafting,kayaking/canoing. d. Berkemah Dalam hal berkemah di Tangkahan akan dikembangkan dua jenis perkemahanan . Pertama adalah perkemahan masal yang akan dikembangkan pada lokasi yang jauh dari Taman Nasional dan secara Zonasi pun merupakan Zonasi untuk kegiatan Rekreasi,akan tetapi nilai-nilai kebersihan,pelestarian kawasan dan juga kemungkinan sistem reservasi akan mulai diberikan secara bertahap. Sementara jenis yang kedua adalah Perkemahan terbatas yang terdapat didalam Taman Nasional,didalam perkemahan ini pengunjung akan benar-benar belajar berkemah yang ramah lingkungan yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap Flora Fauna di Taman Nasional dengan sistem Reservasi yang terbatas. e. Produk wisata Budaya Merupakan salah satu Produk wisata yang juga dapat ditawarkan di Kawasan Ekowisata Tangkahan. Tujuan dari produk wisata ini adalah pengunjung dapat mempelajari serta meningkatkan Apresiasi terhadap 240
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Adat istiadat karo,kesenian Karo dan pengobatan tradisional serta kearifan masyarakat lokal. Proses pengembangan Kawasan Ekowisata Tangkahan pada prinsipnya dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat lokal. Bukti bahwa pengembangan kawasan ekowisata Tangkahan ini dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat lokal, dapat dibuktikan oleh beberapa hal. Pertama, peningkatan kapasitas dan kemampuan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan masyarakat lokal berupa: pendidikan, pelatihan dan studi banding serta mengikuti berbagai forum dan event diberbagai tingkatan dengan bantuan dan kerjasama berbagai pihak ( BTNGL, Disbudpar,UML, INDECON, FFI,CII, PAN ECO, dan lainnya ). Kedua, peningkatan pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapat masyarakat tersebut dilakukan dengan : 1) terbukanya peluang usaha di bidang Pariwisata alam jasa, obyek dan daya tarik serta sarana dan prasarana, 2) memacu pembangunan wilayah setempat baik tingkat local, regional maupun nasional, 3) berkembangnya mitra usaha investasi dengan masyarakat disekitarnya dan terbukanya akses pasar, 4) terjaminya kesinambungan usaha, 5) memberikan keuntungan ekonomi bagi para pengelola kawasan, pengusaha pariwisata alam dan masyarakat setempat, 6) menciptakan multiflier effect bagi berbagai sector ikutan di berbagai tingkatan. Ketiga, peningkatan peran serta masyarakat, dengan menciptakan partisipasi kolektif masyarakat di Desa Namo Sialang dan Desa Sei. Serdang melalui Peraturan Desa. Keempat, menciptakan keuntungan dan manfaat bagi masyarakat. Partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Mempertemukan antara penawaran obyek dan daya tarik wisata alam sebagai produk ekowisata dengan permintaan pasar sehingga dapat memberikan mamfaat pada para pihak yang seharusnya terlibat terutama masyarakat. Kelima, meningkatkan kapasitas dan penguatan pengelolaan. Peningkatan kapasitas Lembaga Pariwisata Tangkahan dalam pengelolaan kawasan secara intensif dan komprehensif. Arah dan alur pengembangan Investasi di Kawasan Ekowisata Tangkahan adalah berorientasi pengembangan mikro ekonomi pedesaan. Sehingga diharapkan dikedepannya dapat mengarahkan kebijakan pembangunan Daerah dan Nasional di pedesaan-pedesaan yang berbatasan dengan Taman Nasional. Dan kawasan disekitar Taman Nasional dapat menjadi kawasan perekonomian yang menggairahkan (ekologi-cluster). Untuk menuju kearah sana membutuhkan kerja keras dan sangat panjang sehingga dibutuhkan infrastruktur sosial yang konsisten dan Bab4: Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: Studi Pengelolaan Konflik Di Tangkahan
241
berkesinambungan dalam sebuah manajemen terpadu dan kolaboratif. Diharapkan dikedepannya akan disepakati bersama oleh berbagai pihak untuk dapat membentuk sebuah Badan Investasi Kawasan sebagai manajemen penataan dan pengendalian serta mengoptimalisasi potensi investasi dan modal di Kawasan Ekowisata Tangkahan. disamping memiliki tujuan untuk dapat mempromosikan dan membuka pintu bagi investasi dari luar dengan tetap dapat mempertahankan orientasi ekologi dan peranan masyarakat lokal secara berkelanjutan.
242
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
Hasil penelitian kepustakaan dan penelitian sebagaimana diuraikan pada babbab sebelumnya menghasilkan beberapa kesimpulan atas masalah-masalah yang dikemukakan dalam permulaan disertasi ini. Pertama, pengertian masyarakat lokal berbeda dengan masyarakat adat. Eksistensi masyarakat adat itu dikenal dari adanya kelompok yang homogenitas, mempunyai aturan-aturannya sendiri dan adanya kepala adat yang mengawasi aturan-aturan adat tersebut dipatuhi. Masyarakat yang semacam itu diakui keberadaannya dan hak-haknya atas sumber daya alam hutan dalam kawasan teritorialnya. Pengaturan semacam ini dapat direplikasikan pada masyarakat lokal yang sudah heterogen, berkenaan dengan hak-hak mereka atas sumber daya alam dari hutan disekitar kawasan mereka. Seperti hak-hak masyarakat adat, yang diatur dalam suatu Peraturan Daerah, hak-hak masyarakat lokal dapat juga diatur dalam suatu Peraturan Daerah. Ketaatan kepada peraturan ini diawasi oleh Kepala Dusun, sehingga penentuan hak-hak mereka atas sumber daya alam hutan disekitarnya, sekaligus merupakan partisipasi mereka dalam pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam tersebut. Bahkan pengaturan semacam itu dapat diturunkan pula dalam Peraturan Desa yang lebih detail dimana kelompok-kelompok masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam pengelolaan sumber-sumber daya alam di hutan sekitar desa mereka, sekaligus memetik manfaat dari hutan yang lestari tersebut. Kedua, bahwa pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten, secara normatif seharusnya dapat menyebabkan masyarakat lokal dapat menikmati hak-hak mereka. Namun demikian pada kenyataannya masyarakat lokal masih belum dapat sepenuhnya menikmati hak-hak mereka. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya masih terdapat tumpang tindih antara kebijakan pemerintah pusat dan kebijakan pemerintah daerah tentang apa saja yang menjadi kewenangan masing-masing. Adanya pandangan dari kalangan pemerintah yang masih menganggap bahwa masyarakat lokal hanya merupakan pihak yang akan merambah kawasan juga merupakan faktor belum terpenuhinya hak-hak mereka, yang pada kenyataannya justru mereka mempunyai kearifan tradisonal dalam mengelola kawasan taman nasional. Bab5: Penutup
243
Pola insentif yang dikembangkan untuk pengelolaan bersama ada kalanya tidak jelas arah dan tujuannya, yang hanya berorientasi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, juga menjadi salah satu faktor belum terpenuhinya hak-hak masyarakat lokal. Adanya pandangan bahwa kegiatan konservasi tidak dapat memberikan andil yang nyata kepada pemerintah daerah dan masyarakat, terutama dalam bentuk pendapatan asli daerah, merupakan salah satu penyebab belum terwujudnya hak-hak masyarakat lokal. Disamping keempat hal tersebut, salah satu faktor yang penting belum terwujudnya hak-hak masyarakat lokal adalah pelaksanaan peraturan ketentuan tentang hak-hak masyarakat dalam undang-undang terkait belum di atur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah sesuai dengan wilayah administrasi kawasan taman nasional tersebut berada. Ketiga, penyelesaian yang komprehensif untuk mengakhiri konflik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya hutan di Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, adalah dengan menggunakan mekanisme penyelesaian kolaboratif. Dalam penyelesaian konflik pemanfaatan hutan di Tangkahan dengan penyelesaian kolaboratif dapat dibuktikan oleh beberapa hal. Salah satu bukti yang pertama adalah terbentuknya Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) yang merupakan lembaga hasil pembentukan masyarakat lokal dalam mengelola kawasan ekowisata Tangkahan. Bukti kedua adalah adanya Peraturan Desa yang mengikat dua desa yaitu desa Namo Sialang dan desa Sei Serdang untuk ikut dalam mengelola kawasan dan memanfaatkan sumber daya hutan. Peraturan Desa tersebut semakin menambah kesadaran masyarakat untuk tidak terlibat dalam kegiatan illegal logging di sekitar kawasan Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser. Bukti ketiga adalah adanya kerjasama nyata antara Balai Taman Nasional Gunung Leuser dengan pihak Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan ekowisata secara bersama-sama. B. Saran 1. Perlunya harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan pengelolaan sumber daya hutan baik untuk tataran Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, serta Peraturan Daerah, agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 2. Perlunya amandemen beberapa ketentuan terutama yang terkait dengan hak-hak masyarakat lokal dengan mencantumkan secara eksplisit dalam berbagai tingkatan peraturan perundang-undangan. 3. Perlunya model penyelesaian konflik pemanfaatan hutan di berbagai Taman Nasional dengan menggunakan sistem kolaboratif atau kemitraan agar lebih dapat dikembangkan di berbagai kawasan Taman Nasional lainnya.
244
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Daftar Pustaka
Adalsteinsson, Ragna dan Pall Thorhallson, “Article 27”, in Gudmundur Alfredsson and Asbjorn Eide (eds.), The Universal Declaration of human Rights: A Common Standard of Achievement, 1999. Alfredsson, Gudmundur, “Treaties with Indigeneous Populations”, in Encyclopedia of International Law, vol 2, 1995. _______, “Group Rights, Prefential Treatment and The Rule Law, “ paper presented to the Law & Society Trust Consultation on Group & Minority Rights, 1995. Afredsson, Gudmundur and Alfred de Zayas, “Minority Rights: Protection by the United nations”, in Human Rights Law Journal, vol. 14, No. 1-2. _______, “Different Forms of and Claims to the Right of Self-Determination”, in Donald Clark and Robert Williamson (eds.), Self Determination: International Perspectives, 1996. _______, “Indigeneous Peoples and Autonomy”, in Suksi, M (ed.), Autonomy: Application and Implications, 1998. _______, Human Rights Activities of The United Nations, Human Rights Course, DCMR-DCHR, 1996. Adalsteinsson, Ragna and Pall Thorhallson, “Article 27”, in Gudmundur Alfredsson and Asbjorn Eide (eds.), The Universal Declaration of human Rights: A Common Standard of Achievement, 1999. Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP), Conference Workshop of Judges and Lawyers on the Justiciability of Economic, Social and Cultural Rights, Manila, 3-5 November 2005. Agus Gus Gatmaytan. Lines Across the Land: The State, Ancestral Domains Delineation and the Manobos of Agusan del Sur, Philippina Natural Resources Law Jurnal, Volume 7 Number I, LRC-KsK, Quezon City, Philippines. Maret 1996. Daftar Pustaka
245
Anaya, S. James. Indigenous Peoples in International Law. Oxford: Oxford University Press, 1996. Åkermark, Athanasia Spilipolou, Justifications of Minority Protection in International Law, 1997. Aditjondro, George Junus. Pola-Pola Gerakan lingkungan: Refleksi Untuk Menyelematkan Lingkungan Dari Ekspansi Modal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. _______, Korban-Korban Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Ali Kodra, Hadi S. dan Syaukani. Bumi Makin Panas Banjir Makin Luas, Yayasan Nuansa Cendekia, Bandung, 2004. Atmasasmita, Romli. Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, CV. Utomo, Bandung, 2004. ______,. Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung, 2003. Agung Sardjono, Mustofa. Mosaik Sosiologi Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya.Yogyakarta: Debut Press, 2004. Awang, San Afri dkk, Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan, Yogyakarta: CV Debut Press, 2001. Baswir, Revrisond dkk, Pembangunan Tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta: ELSAM, 2003. Budiarjo, dkk. Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Cyber Consult, 2000. Bruggink, H. J.J. Refleksi Tentang Hukum. Alih Bahasa Arief Sidharta, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005. Breaking Promises, Making Profits: Mining in the Filipinas, laporan A Christian Aid dan PIPLinks, (Desember 2004). Barsh, Russel Lawrence. “Indigeneous Peoples in 1990s: From Object to Subject of International Law”, in 7 Harvard Human Rights Law Journal 68 (1994) ______, “Recent Practice of the Inspection of the World Bank”, America Journal of International Law 91, 1997
246
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
______, “Indigeneous People and the UN Commission on Human Rights: A case study if Immovable Object and the Irresistible Force,” in Human Rights Quarterly 18, 1996. Bissell, Richard, “Recent Practice of the Inspection of the World Bank”, American Journal of International Law 91, 1997 Bradlow, Daniel D.,”International Organizations and Private Complaints: The Case of the Workd Bank Inspection Panel”, in Virginia J. of Int. law, vol. 34, 1994. Brölmann, C.m. and M.Y.A. Zieck, “Indigeneous Peoples”, in C. Brölmann et al. (eds.), Peoples and Minorities in International Law, 1993. Ben Phillips, Hashim dan Wahyu Widodo. Program-Program Daerah Penyangga, Work Shop, Program daerah penyangga, Bogor, 17-28 Oktober, 1992. Black, Donald & Maureen Mileski (Eds). The Social Organization of Law, Seminar Press, New York, 1973. Bahri, Saiful. “Tangkahan Inisiatif Lokal Untuk Merakyatkan Taman Nasional Gunung Leuser, “Makalah disampaikan pada “Shearde Learning”, Kawasan Ekowisata Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, Langkat Sumatera Utara, 13-12 Februari 2006. Canby, William c., jr., American Indian Law, 1998, Capotorti, M., Study in the Rights of Persons Belongin to Etnic, Religion and Linguistic Minorities, UN Publication, Sales No. 91 XIV 2, Geneva, 1991, Clarke, Jennifer, Racial Non-discrimination Standars and Proposed Amendments to the Native Title Act, Australian Institute of Aboriginal and Torres Strait Islander Studies, April 1997. Coggins, George Cameron and James Donley, “Natural Resources Development on Native American Indian Reservation in the United States”, in Gary D, Meyers, The Way Forward: Collaboration and Cooperation ‘In Country’, National Native Title Tribunal. Colchester, Marcus, “Indigeneous Peoples and the Political Economy of Logging: The case of Guyana and Suriname, “ in IWGIA, Indigeneous peoples, Environment and Development, 1995.
Daftar Pustaka
247
Coggins, George Cameron and James Donley. “Natural Resources Development on Native American Indian Reservation in the United States”, in Gary D, Meyers, The Way Forward: Collaboration and Cooperation ‘In Country’, National Native Title Tribunal. Colchester, Marcus. “Indigeneous Peoples and the Political Economy of Logging: The case of Guyana and Suriname, “ in IWGIA, Indigeneous peoples, Environment and Development, 1995. Christian Aid and PIP Links, ”Breaking Promises, Making Profits: Mining in the Filipinas, ” Natural Resources Law Journal, Desember 2004. Cahyat, A. Masyarakat Mengawasi Pembangunan Daerah: Bagaimana Agar Dapat Efektif?. Bogor: CIFOR, 2005. ______, Perubahan Perundangan Desentralisasi. Bogor: CIFOR, 2005. Cahya Wulan, Yuliana, dkk. Analisa Konflik sector kehutanan di Indonesia 19972003. Bogor: Center for International Forestry Research, 2004. Cotterel, Roger. Law’s Community, Legal Theory in Sociological Perspective, Clarendo Press, Oxford, 1995. Cobo, Jose Martinez. Study of the Problem of Discrimination Againts Indigenous Populations, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1986. Cobo, Jose Martinez. Study of the problem of Discrimination againts Indogeneous Populations, Volume 5. Conclusions, proposals and recommendations, U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/1986/7&Adds.1-4 (hereinafter Cobo Study). Clarke, Jennifer.” Racial Non-discrimination Standars and Proposed Amendments to the Native Title Act.” Australian Institute of Aboriginal and Torres Strait Islander Studies, April 1997. David, J.Whittaker. Conflik and Reconciliation in the Contemporary World : Making of the Contemporary World.-- Cornwall: TJ International Ltd,1999. Depsos RI, Profil Keberhasilan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil pada 12 Provinsi, Depsos RI, 2004. Depsos RI, Model pendekatan Sosial Budaya Dalam Penyiapan dan Pemantapan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Depsos RI, 2004. 248
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Fauzi, Noer dan I Nyoman Nurjaya, Sumber Daya Alam Untuk Rakyat: Modul Lokakarya Penelitian Hukum Kritis-Partisipatif bagi Pendamping Hukum Rakyat, Jakarta: ELSAM, 2000. Fitzduff, Mari. Keterampilan Komunitas Dalam Menghadapi Konflik: Buku Pegangan untuk Kerja Kelompok di Irlandia Utara. Jakarta: British Council, 2002 Ferguson, Jamie dkk.” Seminar Prospektus: Co-management and Resolving Conflict in Environmental Management,” dalam website: www.uogelph.ca/jford01/6280/prospectus.pdf. Fitzpatrick, Daniel “Disputes and Pluralism ini Modern Indonesia Land Law”, in Yale Journal of International law, vol. 22: (2005). Fisher, Simon. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak. Indonesia: The British Council, 2001. Filipina Natural Resources Law Jurnal, Volume 9 Number I, , LRC-KsK, Quezon City, Philippines, (September 1998): 8. Gerard G. Ballesteros, Andre (ed). A Divided Court: Case Materials from The Constitutional Challenge to the Indigenous Peoples Rights Act of 1997, LRC KsK, Philippines, 2001. Hardiman, F Budi, “Posisi Struktural Suku Bangsa dan Hubungan antar Suku Bangsa dalam Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan di Indonesia dari Perspektif Filsafat,” Makalah pada Seminar Nasional Hubungan Struktural Antara Masyarakat Hukum Adat, Suku Bangsa, Bangsa dan Negara Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Jakarta 3-4 Oktober 2005. Heintze, Hans-Joachim, The Protection of Indigeneous Peoples under the ILO Convention, p. 13, available online at http://infoserver.ciesin.org/does/010283/010-283.html<2/2/98> Higgins, Rossalyn, “Minority Rights: Discrepancies and Diveregencies Between the International Covenant and the Council of Europe System,” in Rick Lawson and Matthijs de Blois (eds.), The Dynamics of the Protection of Human Rights ini Europe: Essays in Honour of Henry G. Schemers, vol. III, 1994 Hitchcock, Robert K., “International Human Rights, The Environment, and Indigeneous Peoples”, in 5 Colorado Journal of International Law 15 (1994)
Daftar Pustaka
249
H. Barnes, Gary et all. Introduction to Alternative Dispute Resolution. http: /hg.org/ adrinto2.html. Available: 21 Juni 2000. ______, Alternative Dispute Resolution (ADR), http: /www.fmladr.com/services. htm. Available: 20 Juni 2000. Hill,Richard. Non Adversial Mediation. http: /www. Batnetcom/oikoumene/ arbmed3. html. Available: 3 Juni 2000. Human Rights Committee, General Comment 23L Ther Rights of Minorities (Article 27): 08/04/94. Heroepoetri, Arimbi Julia Kalmirah dan Niken Sekar Palupi, Seri Konvensi Internasional Lingkungan: Konvensi Washington, Konvensi Keanekaragaman Hayati, Konvensi Perubahan Iklim, Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bekerjasama dengan FH UNIKA Atmajaya, 1999. H. Fuad, Faisal. dan Siti Maskanah. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Pustaka LATIN, 2000. Horn, Frank. The Northern Institute for Environmental and Minority Law. Lappland: University of Lappland, 2005. Heydir, Lauriel, dkk, Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Untuk Pengembangan Community Forestry Abad 21, Yogyakarta: Aditya Media, 1999. Harahap, Bazar dkk,. Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan Nasional. Jakarta: Yayasan Peduli Pengembangan Daerah, 2005. Hilary N. “Weaver, Indigenous Identity: What Is It, and Who Really Has It?” American Indian Quarterly/Spring 2001/vol. 25, No 2:244. Irene daes, Erica, Standard Setting Activities: Evolution of Standards Concerning the Rights of Indigeneous People, Working Paper on the concept of “indigeneous people”, U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/AC.4/1996/2. ______, Study on the Protection of the Cultural and Intellectual Property of Indigenous People, E/CN.4/Sub.2/1993/28. ______, Indigeneous Peoples and their Relationship to Land, preliminary working paper, 1997; See UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1997/17.
250
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
______, Evolution of Standards Concerning the Rights of Indigeneous Peoples: New Development and General Discussion of Future Action, UN Doc. E/CN.4/ Sub.2/AC.4/1995/3 ______, Standar Setting Activities: Evolution of Standars Concerning the Rights of Indigenous People, UNHCR Journal 13, 2 Agustus 1996 (Journal online): available from http:// www.unhcr.ch/Huridocda/Huridocda. nsf/E. CN.4.Sub.2.AC.4.1996 ______, Indigeneous Peoples and their Relationship to Land, Preliminary working paper, 1997; See UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1997/17. Independent Commission on International Humanitarian Issues, Indigeneous Peoples: A Global Quest, 1987 Independent Commission on International Humanitarian Issues (ICIHI). Indigeneous Peoples: A Global Quest,(London: Zed Book, 1987. Iskandar, Untung. Poltik Pengelolaan Sumberdaya Hutan : Issue dan Agenda Mendesak.Yogyakarta: Debut Press, 2004. J. Linch, Owen dan Kirk Talbott. Keseimbangan Tindakan: Sistem Pengelolaan Hutan Kerakyatan dan Hukum Negara di Asia dan Pasifik, Jakarta, ELSAM, 2001. John, Connel and Richard Howitt, “Mining, Dispossession and Development,” in John Connel and Richard Howitt, Mining and Indigeneous Peoples in Australasia, 1991. Kusworo, Ahmad. Perambah Hutan atau kambing Hitam?: Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung, Bogor: Pustaka Latin, 2000. Kleden, Emil. Otonomi Komunitas Masyarakat Adat. Jakarta: AMAN, 2000. Kasim, Ifdhal. dan Johanes da Masenus Arus. Hak Ekonomi, Sosial, Budaya, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2001. ______, Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia Internasional Bagi Aparatur Penegak Hukum. Jakarta: Elsam, 2001. Kusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: CV. Mandar Maju, 1992.
Daftar Pustaka
251
Komite Hak Asasi Manusia, General Comment 18: Non-Discrimination, 10/11/89. Krause, Catarina Krause and Gudmundur Alfredsson, “Article 17” in Gudmundur Alfredsson and Asbjorn Eide (eds.), The Universal Declaration of Human Rights: A Common Standard of Achievement, 1999. Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: PT. Alumni, 2002. Kleden, Emil, Sandra Moniaga, B. Steni. “ Sarasehan Tentang Taman Nasional,” Diskusi dengan Tokoh Adat tentang Taman Nasional di Wisma Kenasih, Puncak Bogor, tanggal 31 Agustus 2005. Kuncoro, Mudrajad. Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004. Konvensi Organisasi Buruh Internasional tentang Perlindungan dan Integrasi Masyarakat Asli dan Populasi Adat dan Semi Adat Lainnya di Negara-Negara Merdeka (International Labour Organisation Convention (No. 107) Concerning the Protection and Integration of Indigeneous and Other tribal and Semi-Tribal Populations in Independent Countries, June 26, 1957, 328, U.N.T.S. 247). Konvensi Organisasi Buruh Internasional Tentang Integrasi Masyarakat Asli dan Populasi Adat di Negara Merdeka (International labour Organisation Convention (No. 169) Concerning Indigeneous and Tribal Peoples in Independent Countries, June 27, 1989; 28, I.L.M. 1382; entered into force Sept. 5, 1991). Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights”, G.A. Res. 2200, U.N. GAOR, 21st Sess., U.N. Doc. A/6316, hereinafter ICCPR). Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights” G.A. Res. 2200, U.N. GAOR, 21st Sess., U.N. Doc. A/6316, hereinafter ICESCR). Konvensi Internasional tentang Larangan Bentuk-Bentuk Diskriminasi dan Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination,”660 U.N.T.S. 195, hereinafter ICERD). Lawyers Committee for Human Rights, In The Name of Development: Human Rights and the World Bank in Indonesia, 1999.
252
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Laudjeng, Hedar. Hukum Kolonial di Negara Merdeka. di www.huma.or.id.2003. Lerner, Nathan, “The 1989 ILO Convention on Indigeneous Populations: New Standards?” in Israel Yearbook on Human Rights, vol. 20, 1991. Malik, Ichsan. dkk. Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan konflik Atas Sumber Daya Alam, Jakarta: Yayasan Kemala, 2003. Moelyono, Ilya. dkk, Memadukan Kepentingan Memenagkan Kehidupan, Bandung: Driya Media, 2003. Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2004. Matshui, Yoshiro, “The Road to Sustainable Development: Evolution of the Concept of Development in the UN”, in Konrad Ginther et al. (eds.), Sustainable Development and Good Governance, 1995. M. Capotorti, Study on the Rights of Persons Belonging to Ethnic, Religion and Linguistic Minorities, UN Publication, Sales No. E.91XIV 2, Geneva, 1991. Ministerie van Buitenlandse Zaken, Indigenous in the Netherlands Foreign Policy and Development Cooperation, 14 May 1993, available online at http://www. haleyon.com/pub/FWDP/International/nethrlnd.txt <1/8/99>. Mitchell, Bruce, B. Setiawan dan Dwita Hadi Rahmi. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003. Moh Askin. Penegakan Hukum Lingkungan dan Pembicaraan di DPR-RI. Jakarta: Yasrif Watampoene, 2003. M., Jacqualine. Nolan-Haley. Alternative Dispute Resolution. St. Paul, Mini Sota: West Publishing Co, 1992. Moh. Koesnoe. Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini. Surabaya: Airlangga University Press, 1979. Moniaga, Sandra. Hak Masyarakat Adat dan Masalah Serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia. Jakarta: HUMA, 2003. Marquardt, S., “International Law and Indigeneous peoples”, in International Journal on Group Rights 3, 1995.
Daftar Pustaka
253
Moniaga, Sandra,” Hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia, Makalah Lokakarya Nasional IV HAM 1998 diselenggarakan oleh Komnas HAM, Departemen Luar Negeri dan The Australian Human Rights and Equal Opportunity Commission, Jakarta, 1 – 3 Desember 1998. Moh. Yamin. Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945. Jakarta: tanpa penerbit, 1959. Marvic M.V.F. Leonen, IPs Rights Act of 1997 (R.A.8371): Will this Legal Reality Bring us to a More Progressive Level of Political Discourse? Murray Li, Tania. Pendahuluan dalam Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002. Mamudji, Sri. “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, “ Jurnal Hukum dan Pembangunan 3 (September, 2004): 194-195. Nicholas Tapp, Grant Evans dan R. H. Barnes.‘Indigenous Peoples of Asia”, Edited by R. H. Barnes, Andrew Gray and Benedict Kingsbury; The Association for Asian Studies, dalam Hastiati, Agrarian Reform di Filipina dan Perbandingannya Dengan Landreform di Indonesia. Bandung: CV Mandar Maju, 1990. Nowak, Manfred, “The Right of Self-Determination and Protection of Minorities ini Central and Eastern Europe in Light of Case law of the Human Rights Committee,” in International Journal on Group Rights 1:7-16, 1993. O. Frake, Charles. Struck by Speech: The Yaken Concept of Litigation, dalam Laura Nader (ed), Law in Cultur and Society. Chicago: Aldin Publishing Co, 2005. Parlindungan, A.P. Komentar Terhadap UUPA No.5 Tahun 1960. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2000. Petras, James dan Henry Veltmeyer. Globalization Unmasked: Imperialism in the 21 st Centery, dalam edisi terjemahan. Jakarta: Kreasi Wacana, 2002. “Permanent Sovereignty over natural Reosurces”, G.A. Res. 1803 (XVII, 17 U.N. GAOR Supp (No. 17) at 15, UN Doc. A/5217 (1962). Riyatno, Budi. Selayang Pandang Pengelolaan Kawasan Hutan di Indonesia, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2004. ______,. Pengaturan Hukum Adat di Indonesia, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2004.
254
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
______,. Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Sebuah Tinjauan Hukum Terhadap Debt for nature Swaps, Lembaga Pengkajian Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2004. Riyatno, Budi dan Dudi M. Saragih. Tanya Jawab Lengkap Hukum Konservasi Hayati, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2004. ______, Himpunan Ringkasan Peraturan Perundang-Undangan di BIdang Kehutanan dan Konservasi Hayati, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2004. Riyatno, Budi dan Samedi. Dinamika Konservasi Hayati di Indonesia, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2004. Rajagukguk, Erman. Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra Pratama, 2000. Riyatno. Perdagangan Internasional dan Lingkungan Hidup. Universitas Indonesia, 2005. Rich, Bruce. Menggadaikan Bumi, Infid, 1999. Raiffa, Howaid. The Art and Science of Negotiation. Massachusetts: Harvard University Press, 1988. Rahardo, Satjipto. Hukum Adat Dalam Negara Kesatuan Modern Republik Indonesia. Rositah. Kemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan dan Penanggulangannya. Bogor: CIFOR, 2005. Rubin, Steven M. ad StanwoodC, Fish, “Biodiversity Prospecting: Using Innovative Contractual Provisions to Foster Etnobotanical Knowledge, Technology, and Conservation, “in Colorado Journal of International Environmental law and Policy, vol. 5:23. Report of the Working Group of Indigeneous Populations on its sixteenth session (Geneva, 27-31 July 1998) E/CN.4/Sub.2/1998/16. Report of the Working Group of Indigeneous Populations on its sixteenth session (Geneva, 27-31 July 1998) E/CN.4/Sub.2/1998/16. Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia, 1995/32 tanggal 3 Maret, 1995
Daftar Pustaka
255
Report of the Working Group of Indigeneous Populations on its sixteenth session (Geneva, 27-31 July 1998) E/CN.4/Sub.2/1998/16: 25. Rahardo, Satjipto.” Hukum Adat Dalam Negara Kesatuan Modern Republik Indonesia.”Makalah dalam Lokakarya Nasional Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, KOMNASHAM, DEPDAGRI dan MAHKAMAH KONSTITUSI, Jakarta 14-15 Juni 2005. Rubin, Steven M. ad Stanwood C. “Biodiversity Prospecting: Using Innovative Contractual Provisions to Foster Etnobotanical Knowledge, Technology, and Conservation, “in Colorado Journal of International Environmental law and Policy, vol. 5:23. Republik Indonesia, Undang-Undang UU No.23 Tahun 1997. Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Republik Indonesia. Undang-Undang UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Republik Indonesia, Undang-Undang No.32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Republik, Indonesia, Undang-Undang UU No.39 tahun 1999. tentang Hak Asasi Manusia. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. Sangaji, Arianto.“Membaca Ulang Gerakan Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah”, Jurnal Hukum Adat, 1995.
256
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Susanti, Ari dkk, Proceeding Lokakarya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, Yogyakarta: Lembaga ARUPA, 2000. Suhardjito, Didik. Hak-Hak Penguasaan Atas Hutan di Indonesia, P3KM, Bogor, 1999. _______, dkk, Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat, Yogyakarta, Aditya Media, 2000. Saman, Efendi. dkk, Politik Hukum Penguasaan Hutan di Indonesia, Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), 1993. Santosa, Mas Achmad dan Sulaiman Sembiring, Pengaduan Masyarakat dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 1997. Safitri, Myrna A. Desa, Institusi Lokal dan Pengelolaan Hutan: Refleksi Kebijakan dan Praktik. Jakarta: ELSAM, 2000. Sirait, Martua dan Sandra Moniaga. Utamakan Masyarakat, Kelestarian Sumber Daya Hutan Akan Menyusul: Pengalaman dari Filipina. Jakarta: KPSHK, 2003. Sachs, Aaron, Eco-Justice: Linking Human Rights and the Environment, worldwatch Institute, 1995. Shihata, Irahim F.L., The World Bank Inspection Panel, Oxford Unive. Press, 1994. Sohn, Louis B., “The Rights of Minorities”, in L. Henkin (ed.), The International Bill of Rights, New York, 1981. Sudharto P.Hadi. Resolusi Konflik Lingkungan. Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2004. Shaw Dj. William Shawcross. Deliver US From Evil : Worlords and Peacekeepers In A World Of Endless Conflict .-- London: bloomsbury publishing, 2000 Storey, Gordon dan A. Marzuki, Survey Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan: Contoh untuk Perencanaan dan Pelaksanaan di Tingkat Operasional, Jakarta, Departemen Kehutanan, 2002. Schaffmeister, D. Kekhawatiran Masa Kini: Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan Dalam Teori dan Praktek, Diterjemahkan oleh Tristam P. Moeliono, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1994. Daftar Pustaka
257
Suporahardjo. Strategi dan Praktek Kolaborasi: Sebuah Tinjauan. Bogor: Pustaka LATIN, 2005. ______,. Manajemen Kolaborasi: Memahami Plurasisme Membangun Konsensus. Bogor: Pustaka LATIN, 2005. _______, dkk. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Pustaka LATIN, 2000. Soekanto, Soerjono.Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1983. _______, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Sachs, Aaron. Eco-Justice: Linking Human Rights and the Environment, London: Worldwatch Institute, 1995. Sudirman. Melegalkah Partisipasi Masyarakat Dalam Kebijakan. Bogor: CIFOR, 2006. Sirait, Martua, Chip Fay, dan A. Kusworo.” Bagaimana Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur?.” Makalah Roundtable Discussion di Wisma PKBI, 20 Oktober 1999. Special Report in Forest Resources, Down to Earth, 15 March 1993. Stavenhagen, Rodolfo, “Indigeneous Rights: Some Conceptual Problems”, ini W.J. Assies and A.J. Hoekema (eds.), indigeneous peoples’ Experiences with SelfGovernment, IWGIA Doc. No. 1994. Special Report on Forest Resources, Down to Earth, 15 March 1993 Sekretariat AMAN. Marvic M.v. F Leonen, ”Ips Rights Act of 1997: Will this Legal reality Bring us to a More Progressive Level of Political Discourse,” Filipina Natural Resources Law Journal, Vol.9. No.1, September 1998. Tauli-Corpuz, Victoria, “Three Years After Rio: Indigeneous Assessment,” in Indigenous Peoples, Environment and Development, IWGIA, 1997. Thornberry, Patrick, International Law and the Rights of Minorities, 1991. Tomei, Manuella and Lee Swepston, Indigenous and Tribal Peoples: A Guide to ILO Convention.
258
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan
Tim Peneliti CIFOR, Analisa Konflik Kehutanan di Indonesia 1997-2003, CIFOR, 2004. Tim Peneliti ARUPA. Proceeding Lokakarya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, Lembaga ARUPA, Yogyakarta, 2000. Tim Fasilitator PILI dan CIFOR, “Prinsip Dalam Penyelesaian Konflik Dengan Mediasi,” makalah disampaikan pada acara Sheared Learning di Tangkahan, Taman Nasional gunung Leuser, 13-22 Februari, 2006. Tauli-Corpuz, Victoria. “Three Years After Rio: Indigeneous Assessment,” in Indigenous Peoples, Environment and Development, IWGIA, 1997. ______,“The Resitance of The Indigenous Peoples of Asia Against Racism and Racial Discrimination”, dalam Aida Vidal, Conflicting Law, Overlapping Claim: The Political of Indigenous Peoples Land Rights in Mindanau. Filipines: Davao City Press, 2004. UN General Assembly, “Review of the Existing Mechanisms, Procedures and progrmmes within the United Nations concerning Indigenous Peoples”, Report of the Secretary General to the General Assembly, U.N. Doc.A/51/493. Vidal, Aida. Conflicting Laws, Overlapping Claims: The Politics of Indigenous Peoples’ Land Rights in Mindanao, Alternate Forum for Research in Mindanao. Philippines: Davao City, 2004.
World Council of Indigeneous Peoples, Indigenous Ideology and Philosophy: Workshop II, available online at http://www.halevon.com/pub/FWDP/ International/grouprt.txt.1/8/99 Wiratno, dkk, Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional, Jakarta: Forest Press, 2004. Wondolleck, Julia M. dan Steven L. Yaffee. Making Collaboration Work: Lesson from Innovation in Natural Resource Management. California: Island Press, 2000. Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: ELSAM – HuMa, 2002.
Daftar Pustaka
259
Walde, Thomas “Environmental Policies Towards Mining in Developing Countries”, in 30 Public Land and Resources Law Digest, vol. 30, No. 1, 1993: 15. Walde, Thomas, “Environmental Policies Towards Mining in Developing Countries”, in 30 Public Land and Resources Law Digest, vol. 30, No. 1, 1993, World bank, Operational Directive OD 4.20: Indigeneous Peoples, 1991. Wiratno,“Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Gunung Leuser Secara Kolaboratif,” makalah disampaikan pada Sheared Learning di Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, 13-22 februari 2006. Wignjosoebroto, Soetandyo.” Pembaharuan Hukum untuk Menggalang Kehidupan Masyarakat Indonesia Baru yang Berperikemanusiaan.” Makalah seminar Nasional “Menggalang Masyarakat Baru yang Berkemanusiaan”, diselenggarakan oleh Ikatan Sosiologi Indonesia, Bogor, 28 – 29 Agustus 2002. Young, John. Mining the Earth, World Wacth Paper 109, 1992. Yulianti. Kopermas: Masyarakat Hukum Adat Sebagai Tameng Bagi Pihak Yang Berkepentingan. Bogor: CIFOR, 2005. Yayasan Indecon, Pengembangan Ekowisata Tangkahan “Program Community Development”. Jakarta: Yayasan Indecon, 2006. Yazid, T.M. Luthfi, “Penyelesaian Sengketa Melalui ADR,” Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun III No.1/1996:96.
260
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan