Chalida Fachruddin
Orang Arab di Kota Medan
ORANG ARAB64 DI KOTA MEDAN65 Chalida Fachruddin University of North Sumatra,Medan, Indonesia
Abstract
This paper is a preliminary study about the Arab (Hadhrami) people in Medan. It looks at their socialcultural background, such as their original country, the process of migration and their aim of coming to Medan. This paper also describes the formation of the Hadhrami community in their trading activities and the connection or relationship between Hadhrami people in Medan and other members who lives in neighbouring countries. Social and political changes happened after World War II, and the new situation influenced the life of the Hadhrami people in some countries. The trading networks of this Arab community was reduced to those who reside in Indonesia, especially with their relatives in Java island. Unlike other immigrants in Medan, in daily life it is difficult to differentiate the Hadhrami people with the host population. Most of them have assimilated with the local people.
Keywords: asimilasi, kaum wulati, kaum muwalad, hadhramaut Pendahuluan 64 65 Masyarakat Indonesia yang majemuk adalah sebuah negara bangsa (Suparlan 2000). Kemajemukan bangsa Indonesia disemboyankan dalam “Bhinneka Tunggal Ika“, berbeda-beda tetapi satu; yang berarti terhimpunnya beragam etnis menjadi satu bangsa (Mattulada 1999). Negara Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 mempersatukan 500 etnis menjadi sebuah bangsa. Di antara etnis itu termasuk keturunan asing seperti Cina, India, Arab, Eropah, dan banyak bangsa lainnya. Fenomena tersebut terjadi karena Kepulauan Indonesia pernah menjadi tempat singgah bangsa-bangsa Cina, India, Arab, dan Parsi sebagai pedagang. Begitu pula pedagang-pedagang dari kepulauan Indonesia lainnya, mereka turut terlibat dalam perdagangan diperairan Selat Malaka (Machmud 1980), Selat Malaka merupakan perairan yang menghubungkan 2 (dua) negara besar: India dan Cina, terutama pada masa Sriwijaya (Mulyana 1977). Pedagang-pedagang asing tersebut akhirnya bermukim di Indonesia dan berintegrasi menjadi bangsa Indonesia, termasuk bangsa Arab. Hitti (1970) menyebutkan bahwa bangsa Arab merupakan bangsa yang berasal 64 Makalah disampaikan pada Shared Histories, Communities and Cultural Heritage in Southeast Asia’s Western Littoral di Penang 30 Juli – 3 Agustus 2003. 65 Penamaan “Orang Arab“ lebih menunjukkan etnis sebagai salah satu etnis yang bersatu dalam bangsa Indonesia karena Hadramain kurang begitu populer di Medan untuk menyebut keturunan Arab.
130
dari Jazirah Arab yang masih tetap ada sampai sekarang karena bangsa Babylonia, Assyria, Chalden, Phunisia sudah lenyap. Bangsa Arab ini dikenal sebagai bangsa yang berani dan sebagai bukti nyata adalah keberadaan mereka sampai ke Cina Arnold, Said (1981) menyatakan bahwa sejak abad ke 2 sebelum Masehi perdagangan ke Sri Langka dilakukan oleh orang Arab. Dan sejak awal abad VII, kegiatan perdagangan sudah melanjut ke Cina melalui laut. Dapat diperkirakan lanjut Arnold, bahwa orang-orang Arab itu sudah membangun permukiman di beberapa pulau di Nusantara. Hall (1988) menyatakan pula adanya permukiman Arab sepanjang rute perdagangan antara laut Merah dan laut Cina. Di Indonesia orang Arab dikaitkan dengan penyebaran Islam, seperti yang dikatakan Hamka (1961) bahwa orang Arab adalah pelopor Islam, mereka telah datang ke negerinegeri Melayu pada abad ke VII M, atau tahun pertama Islam. Sebagaimana diketahui bahwa Islam masuk ke Indonesia ini bukanlah diorganisir oleh seuatu negara atau badan yang resmi dari suatu negara. Masuknya secara sukarela dibawa oleh pedagang-pedagang yang mula-mula datang membeli rempah-rempah yang diperlukan dan akan dijual (Noerman 1971). Walaupun banyak para ahli sejarah yang menyatakan Islam datang dari India, bagaimanapun orang Arab mempunyai peranan dalam penyebaran Islam di Indonesia. Penghidupan mereka sebagai pedagang yang
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Vol. 1 • No. 3 • Desember 2005
membawa barang-barang dari Arab dan pulangnya membawa rempah-rempah. Jarak antara Indonesia dan Jazirah Arab memakan waktu yang lama dan amat ditentukan oleh cuaca. Kondisi yang sedemikian menyebabkan pedagang Arab tersebut mengadakan jalinan kekeluargaan melalui perkawinan dengan penduduk pribumi. Tentunya hal ini mempercepat terjadinya asimilasi dan percepatan proses islamisasi di Indonesia. Orang Arab di Indonesia Pada masa Hindia Belanda, pendatang Arab tercatat sebagai etnis migran kedua setelah etnis Cina (Affandi 1999). Orang Arab yang merantau ke Indonesia mayoritas dari Hadramaut (Santoso 2000). Kedatangan orangorang Hadramaut ke Indonesia untuk mencari nafkah (Noer 1981). Mereka menjadi pedagang perantara, pedagang kecil, pemilik toko, menembus pasar dan menyediakan barang dan jasa yang tidak dilakukan pendatang dari Eropah, juga melakukan kegiatan meminjamkan uang (Affandi 1999). Kedatangan orang Arab secara massal pada abad XVIII, namun banyak ahli berkeyakinan bahwa orang Arab sudah berdatangan jauh sebelum proses islamisasi di Indonesia pada abad XV dan XVI. Kedatangan imigran Arab ini pada umumnya kaum lelaki tanpa membawa istri. Setelah menetap pendatang Arab ini mengutamakan menikah dengan perempuan Arab dari keluarga Arab yang telah menetap sebelumnya dan banyak pula melakukan perkawinan dengan pribumi. Asimilasi antara orang Arab dengan pribumi dicatat sebagai yang tertinggi dibanding dengan etnis asing lainnya. Sebagai Muslim, secara umum memudahkan mereka dan di lain pihak longgarnya keterikatan dengan tanah leluhur turut mendorong integrasi mereka dengan kalangan pribumi (Affandi 2000). Orang Arab yang datang ke Indonesia membawa pula sistem stratifikasi sosial walaupun amat memahami bahwa ajaran Islam tidak mengenal perbedaan antarmanusia. Menurut Pijper (1984) stratifikasi orang Arab Hadramaut terdiri dari 5 (lima) golongan: 1. Golongan Saada (Jamak dari Sayyid-Tuan) golongan tertinggi dan terpandang. Golongan ini disebut juga golongan Baalwi atau Alawy dan kadang-kadang dikenal
sebagai golongan Habaib. Mereka mengaku keturunan Ali bin Abi Thalib, keturunan Nabi Muhammad melalui putrinya Fatima Az Zahra. Setiap lelaki bergelar Sayid, Syarif, atau Habib di depan nama dan Syarifah bagi perempuan. Namanama fam mereka antara lain: Alatas, Al Hadda, Al Gadri, Bafagih, Assegaf, Al Mahdali, Al Habsyi. 2. Golongan Qabaail jamak dari Qubila, yaitu golongan ningrat duniawi. Di Hadramaut golongan ini memanggul senjata. Nama fam mereka terdapat Al Katiri, Bin Thalib, Bin Mahri, Al Makarim. 3. Golongan Mashaayikh (jamak dari Syaikh). Orang-orang yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Di antara nama fam adalah Al Bafadhal, Al Bawazir, Al Amudi, Al Iskak, Al Bajabir, Al Skahak, Bin Afif, Al Baqis, Al Barras, dan lain-lain. 4. Golongan Da’fa (jamak dari daif) dan Masakin, golongan ini terdiri dari petani, pedagang, pengrajin. Fam mereka seperti Audah, Bama Symus, Faqih, Makki, Baswedan, Argubi, dan lain-lain. 5. Golongan A’bid, golongan budak. Kemudian masyarakat Arab terbagi dua golongan, yaitu golongan Sayid dan bukan Sayid. Kedua golongan ini berselisih terutama mengenai masalah “kaafah”dan tradisi-tradisi yang menyimpang dari ajaran Islam. Ketika di Indonesia timbul pergerakan nasional, orang Arab pernah terbagi atas dua golongan yang berbeda dalam hal orientasi tanah air, yaitu kaum Arab asli (wulati) dan kaum keturunan Arab (muwalad). Kaum Wulati selalu memandang tanah air mereka adalah Hadramaut dan Indonesia menjadi tempat merantau (al Mahyar) saja. Pada tahun 1905 masyarakat Arab membentuk organisasi yang bernama Jamiat Khair. Organisasi ini bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan, tetapi pada tahun 1915 organisasi ini pecah. Perpecahan ini berawal dari perbedaan pendapat mengenai keistimewaan golongan Alawi yang disebut Tafadul, antara pengurus Jamiat Khair dengan Syeikh Ahmad Syurkati al Anshari as Sudani. Beliau berhenti sebagai guru Jamiat Khair. Bersama orang Arab dari non-Alawi mendirikan organisasi Al Irsyad,
131
Chalida Fachruddin
dengan aktivitas yang sama: sosial dan pendidikan. Golongan Alawi mendirikan Ar Rabithah al Alawiyah pada tahun 1928. Organisasi ini tujuan utamanya mempererat persaudaraan sesama Alawi. Berbagai usaha mendamaikan golongan ini selalu gagal. Perseteruan kedua belah pihak berakhir setelah terbentuknya Persatuan Arab Indonesia (PAI) tahun 1934 yang diketuai oleh Abdul Rahman (AR) Baswedan. Agenda utama PAI memperbaiki keadaan dan kedudukan keturunan Arab dan masyarakat Arab umumnya. Selain itu mempererat perhubungan antara sesama keturunan Arab dan etnis lain sesama penduduk Indonesia. Pada tahun 1940, dalam kongresnya akhirnya PAI menjadi sebuah organisasi yang bersifat politik, ‘Persatuan’ menjadi ‘Partai’. Tujuannya jelas menyatakan bahwa PAI mendidik keturunan Arab supaya menjadi putera/i Indonesia yang berbakti kepada tanah airnya dan masyarakatnya. Bekerja membantu segala daya dan upaya “politik”ekonomi dan sosial menuju keselamatan rakyat dan tanah air Indonesia. Orang Arab di Kota Medan Kota Medan berada di bagian Timur Sumatera Utara di pinggir Selat Malaka. Sebelum kemerdekaan Indonesia, kota Medan adalah ibu negeri Kesultanan Deli. Semula istana dan pusat kerajaan berada di Labuhan Deli (16 Km dari Medan). Menurut sejarah (Sinar 1991) Labuhan Deli merupakan bekas “Kota Cina“, ibu negeri kerajaan Haru yang dihancurkan kerajaan Majapahit pada abad ke 13 (Said 1977). Labuhan Deli berawal dari Kampung Deli yang didirikan oleh seorang Panglima Aceh “Gotjah Pahlawan” pada abad XVII (Meuraksa 1974; Pelzer 1985). Kampung Deli yang terletak di tepi sungai Deli kemudian berkembang menjadi pelabuhan dan ibu negeri Kesultanan Deli. Perkembangan perdagangan pada abad ke XVIII di perairan Selat Malaka membuat Labuhan Deli diminati kelompok etnis dan bangsa-bangsa untuk tempat berdagang dan bermukim. Dengan pembukaan besar-besaran perkebunan di kawasan Timur Sumatera bagian Utara, pada akhir abad XIX Belanda memandang perlu memindahkan pusat pemerintahan dan perdagangannya di Sumatera
132
Orang Arab di Kota Medan
dari Bengkalis tahun 1879. Tempat yang dianggap amat strategis adalah sebuah kampung yang bernama Kampung Medan. Kampung ini terletak pada pertemuan sungai Deli dan sungai Babura yang didirikan oleh Guru Patimpus (Sinar 1991) seorang etnis Karo. Begitu pula Sultan Deli membangun istana yang dikenal sebagai “Istana Maimun“ dan memindahkan pusat Kesultanan Deli ke Medan tahun 1891. Sejak itu kota Medan tumbuh berkembang dan saat ini sedang menuju Kota Metropolitan. Kota Medan amat heterogen penduduknya, hampir semua etnis di Indonesia terutama yang ada di Sumatera dapat ditemukan di kota Medan. Begitu juga keturunan bangsa asing seperti Cina, India, Arab, Eropah, dan lain-lain. Namun para pendatang ini dapat hidup berdampingan secara damai. Belum ada terdengar konflik antar-etnis atau bangsa yang begitu banyak terjadi di kawasan lain di Indonesia akhir-akhir ini. Seperti diketahui bahwa pemerintah Hindia Belanda mengelompokkan penduduk kota menurut etnis atau bangsa. Begitu juga di kota Medan, sampai sekarang sisa-sisa pengelompokan itu masih ada, walau hanya tinggal nama. Misalnya orang Medan masih menyebut Kampung Keling, pada hal Orang Keling (India) sudah tidak sebagai penghuni mayoritas di kawasan tersebut dan nama kawasan itu juga sudah bertukar. Permukiman Orang Arab terdapat di beberapa tempat, antara lain di kampung (sekarang kelurahan) Silalas, Sungai Kera, Pandau Hulu, dan “Kampung Dadap“ yang dikenal sebagai Kampung Arab. Sama dengan Komunitas Cina, pemerintah Belanda mengangkat seorang pemimpin yang disebut kapitan atau kapten. Dengan Kapten Arab inilah pemerintah berhubungan tentang masalah yang menyangkut masyarakat Arab, tanpa memandang golongan. Batasan antara golongan Sayid dan bukan Sayid menjadi kabur (Noer 1982) karena yang menjadi Kapten Arab itu tidak harus golongan Sayid. Seperti Medan Kapten Arab bukan dari golongan Sayid adalah Syeikh Oemar Bin Salmin Bahadjadj yang meninggal pada tahun 1978. Kedatangan Orang Arab ke Medan yang umumnya dari Hadramaut biasanya secara individual atau berombongan maksimal 10 orang tanpa istri. Menurut keterangan, seorang informan mereka datang melalui India, Singapura, atau Malaysia (Penang) ke Sabang terus ke Aceh masuk ke Medan. Biasanya pada
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Vol. 1 • No. 3 • Desember 2005
kota-kota yang disinggahi itu sudah ada orang Arab yang menetap. Akhirnya mereka banyak yang menetap di Medan apalagi ada kerabat yang sudah berhasil. Sama dengan orang Arab di tempat lain, di Medan mereka berusaha sebagai pedagang. Fenomena ini terjadi karena mereka tidak mempunyai pengalaman selain berdagang. Yang diperdagangkan selain perhiasan dan permadani adalah kain pelekat dari India, batik dari Jawa dan tekstil. Pada sebuah kawasan perdagangan tekstil di Medan yang dikenal dengan “Pajak Ikan“, sampai tahun 1970-an perdagangan kain pelekat dan batik ditangani oleh keturunan Arab. Tetapi saat ini jumlah pedagang Arab tidak sampai jumlah jari sebelah tangan lagi. Ketika ditanyakan kepada mereka, generasi baru keturunan Arab banyak yang beralih profesi dari pedagang. Selain kurang modal, banyak yang berhasil lulus dari universitas memilih pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Selain itu orang, Arab di Medan sebelum Perang Dunia II ada yang sudah membuka toko yang menjual bahan bangunan, perabot rumah tangga, dan pengusaha kilang (pabrik) tegel dan genteng. Usaha tersebut sekarang banyak yang sudah tutup kalah bersaing dengan pengusaha Cina. Sampai tahun 1980-an orang Arab di Medan masih berhubungan dagang dengan pulau Jawa, sehingga ada yang menamakan tokonya “Toko Jogja“. Sekarang toko yang dulu terkenal sudah redup oleh kemajuan toko-toko lain. Pernah terdengar bahwa orang Arab di Medan berhubungan dagang ke luar negeri, antara lain ke Malaysia, tetapi sekarang mereka hanya memenuhi kebutuhan lokal saja. Kedatangan orang Arab di Medan sejak tahun 1905 (Balatif 1980) dan berlanjut sampai tahun 1945. Sebagaimana diketahui, bahwa orang Arab terutama dari Hadramaut keluar dari Jazirah Arab untuk mencari kehidupan yang lebih baik, karena ketandusan kawasan tersebut. Setelah ditemukan sumur-sumur minyak yang menjadikan negara-negara Arab kaya raya. Orang Arab tidak lagi perlu mengembara ke Asia Tenggara, bahkan antara 1950-an – 1960an terjadi eksodus orang Arab khusus dari Medan kembali ke Hadramaut. 66 Kebetulan saat 66
Wawancara dengan Ir. Ali Oemar Bahadjadj, yang mengatakan bahwa pada tahun-tahun itu ayahnya Syeikh Oemar selalu mencarter kapal ke Arab mengangkut orangorang Arab kembali ke Hadramaut.
itu di Indonesia sedang terjadi krisis ketatanegaraan dan gangguan keamanan. Namun peristiwa eksodus orang Arab kembali ke Timur Tengah tidak menimbulkan kegoncangan, seperti halnya dengan kepulangan perantau Cina pada tahun 1959 akibat diperlakukannya PP No. 10/1959. Yang paling menarik setiap ada konflik antarpribumi dengan keturunan asing, begitu juga antara etnis di Indonesia, tidak pernah melibatkan kepada keturunan Arab. Tepat seperti yang dikatakan Santoso (2000), keturunan Arab merupakan satu-satunya etnis keturunan asing yang telah melebur sedemikian rupa dengan pribumi. Keterangan ini diperkuat oleh Affandi (1999) bahwa sebagai muslim kelompok imigran Arab secara umum lebih mudah berasimilasi dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Seperti telah dijelaskan bahwa orang Arab datang ke Indonesia tidak membawa istri, setelah merasa cukup mantap dan ingin menetap akhirnya menikah, ada yang dengan keturunan Arab tetapi banyak yang menikah dengan gadis pribumi. Dalam hal ini di Medan mereka tidak mendapat kesulitan, malah mereka diterima dengan senang hati, seperti halnya dengan etnis Melayu banyak persamaan budaya. Di antaranya menyambut kelahiran seorang bayi, berdasarkan ajaran Islam bagi perempuan diqamatkan dan yang laki-laki diazankan. Dalam pelaksanaan ijab kabul orang Arab mempunyai persamaan dengan orang Melayu, tamu yang hadir sebagai saksi diutamakan kaum laki-laki. Pada masa sekarang dalam pelaksanaan acara perkawinan pada umumnya orang Arab memakai adat istiadat pribumi, tergantung etnis dari mana pasangan pengantin. Namun waktu ijab kabul mengikut kebiasaan orang Arab dilaksanakan Sabtu sore yang dihadiri hanya para lelaki. Walimatul urusy (resepsi) pada hari Minggu yang dihadiri oleh tamu-tamu perempuan. Selanjutnya pada setiap acara khusus lelaki atau perempuan dilaksanakan acara “Handolo“, yaitu acara menari bersama dengan pengantin dan “memasang inai“. Pengantin bersama tamu silih berganti menari sampai pengantin letih. Acara Handolo diiringi musik dan nyanyian “Syarah atau Samrah“. Pada akhir-akhir ini terjadi perubahan mengenai tamu-tamu sudah banyak, yang terdiri dari lelaki dan perempuan yang pada umumnya suami istri. Menghadapi musibah kematian sama dengan etnis lain yang bergama Islam. Pada
133
Chalida Fachruddin
umumnya sebagai warga kampung tempat bermukim di Medan, pemeluk agama Islam menjadi anggota Serikat Tolong Menolong (STM) yang mengurus keperluan kematian, termasuk orang Arab. Selain orang Arab juga mempunyai STM khusus untuk orang Arab. Pada tahun 1980-an STM tersebut bernama Al Jamiah Al Murathul Al Arabiyah Al Islamiyah. Merupakan kebiasaan di Medan umumnya setelah pemakaman diadakan tiga malam “tahlilan“, hari terakhir diadakan kenduri. Acara ini sebenarnya bukan kebiasaan orang Arab tetapi kebiasaan banyak etnis yang beragama Islam di Medan. Setelah reformasi, etnis atau kelompok di Indonesia memunculkan identitasnya masingmasing, tidak ketinggalan keturunan Arab. Memang sebelumnya sudah ada organisasi kemasyarakatan untuk silaturahmi antar-orang Arab. Organisasi itu telah berdiri pada tahun 1962 bernama “Annady Al Araby“ kemudian menjadi Annady Al Islamy dan kini ada yang mengusulkan menjadi Annady Al Arabiyah Al Islamyah. Menurut mereka, etnis lain juga sama mengemukakan akarnya sebagai suatu identitas, yang penting masih dalam frame kesatuan bangsa. Kaum perempuan keturunan Arab di Medan sejak tahun 1990 mendirikan pula organisasi Al Ichwani Arabia yang bertujuan mempererat silaturahmi antaranggota sesama keturunan Arab, saling peduli dalam suka dan duka saling sayang antarsesama dalam memperkokoh Ukhuwah Islamiyah. Selain itu orang Arab Alawi mempunyai organisasi yang bernama “Ikatan Keluarga Besar Alawiyah (IKBA). Kegiatannya juga sama dengan organisasi Arab lainnya. Organisasi ini tidak begitu terangkat ke permukaan karena banyak turunan Alawi kurang suka menunjukkan ke-Alwiannya. Apalagi banyak di antara golongan alawi ini tidak lagi menggunakan “gelar Said“ di depan namanya seperti halnya dengan Walikota Medan hanya dikenal dengan Drs. Abdillah Ak. MBA. Beliau adalah seorang alawi dari fam Al Mahdali. Orang Medan mengenal beliau sebagai seorang Melayu. Penutup Di Medan kini sukar menyebut suatu kelompok etnis maupun bangsa sebagai suatu komunitas sebagaimana yang dimaksud oleh Koentjaranigrat (1980) sebagai suatu kesatuan
134
Orang Arab di Kota Medan
hidup manusia, yang menempati suatu wilayah nyata dan yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat serta terikat oleh suatu rasa identitas komunitas. Begitu juga dengan orang Arab di Medan tidak tepat lagi disebut sebuah komunitas. Orang atau keturunan Arab tidak lagi terkelompok dalam satu wilayah tertentu, pekerjaan tertentu. Mereka bertempat tinggal tersebar sebagaimana etnis lain. Mengenai pekerjaan hanya beberapa orang saja sebagai pedagang kain, ada juga yang berprofesi sebagai dokter, engineer, lawyer, pegawai negeri, dan sebagainya. Sukar mengidentifikasi mereka karena kalau dilihat dari nama, sama dengan etnis lain yang beragama Islam. Demikian juga bahasa yang mereka gunakan sejak kedatangan mereka adalah bahasa Melayu yang akhirnya menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu bagi keturunan Arab, karena antar-orang Arab dalam keluarga pun tidak pernah menggunakan bahasa Arab. Rumah dan suasana permukiman mereka tidak ada bedanya dengan rumah orang Muslim lainnya. Sekarang banyak Yayasan Islam, di antaranya yang dimiliki orang keturunan Arab yang bergerak di bidang pendidikan. Tidak ada satu ciri khas yang menunjukkan ke-Arabannya, karena selain nama sekolah peserta didik adalah umat Islam. Sebagai contoh Yayasan Khairiyah Alfalah yang mengasuh Madrasah Tsanawiyah Insan Cita Medan di jalan Alfalah, guru dan muridnya keseluruhannya adalah pribumi yang beragama Islam. Juga Yayasan Syech Oemar bin Salmin Bahadjadj dengan Perguruan Annizam mengasuh Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, pendidikan umum tetapi ciri khas muatan lokal berbasis Islam. Secara sepintas tidak ada yang mengetahui pemiliknya keturunan Arab. Orang Arab sudah terasimilasi dengan sempurna bersama etnis pribumi dalam negara bangsa Indonesia di kota Medan. Jejak-jejak atau keberadaan etnis atau bangsa Arab masih ada, seperti Masjid Arab di jalan Masjid Kesawan, dan Kuburan Arab di Sungai Mati.
Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI • Vol. 1 • No. 3 • Desember 2005
Daftar Pustaka Affandi, Bisri. 1999. Syaikh Ahmad Syurkati (1874 – 1943) Pembaharuan & Pemurni Islam di Indonesia. Jakarta: Alkautsan. Arnold, T.W. 1913. The Prenching of Islam dalam H. M. Said 1981 Aceh Sepanjang Abad. Cet ke-2 Medan: Tanpa Penerbit. Balatif, Zahara. 1980. Partisipasi Masyarakat Arab dalam Pendidikan Agama Islam di Kotamadya Medan. Risalah Fakultas Tarbiyah IAIN Negeri Al Jamiah Sumatera Utara (tidak diterbitkan) Hamka. 1961. Sejarah Umat Islam. Bukit Tinggi-Jakarta: NV. Nusantara. Hall, D.G.E. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Penerjemaah: Drs. JP Soewarsha & Drs. M. Habib Mustapa. Surabaya: Usaha Nasional. Hitti, Philip K. 1970. Dunia Arab Sejarah Ringkas. Terj. Usuludin Hutagalung & ODP Sihombing. Cetakan Ketujuh. Bandung: Penerbit Sinar Bandung. Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Mattulada, H.A. 1999. “Kesukubangsaan dan Negara Kebangsaan di Indonesia Prospek Budaya Politik abad ke-21.” Dalam Antropologi Indonesia ,Thn XXIII, No. 58. Machmud, Anas. 1981. Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia: Penyusun Prof. A. Hasym: PT Al Maarif. Meuraksa, Dada. 1974. Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Firma Hasmar. Noerman, Moehammad. 1971. Sejarah Kebudayaan. Bukittinggi: Pustaka Saadiyah. Mulyana, Slamet. 1966. Sriwijaya. Jakarta: Balai Pustaka. Pelzer, K.J. 1985. Toean Keboen dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria. Terj: J. Raimbo. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Pyper, G.F. 1984. Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia: 1900-1950. Penerjemah: Tudjimah & Jessy Agustin. Jakarta: UI Press. Santoso Budi. 2000. Peranan Keturunan Arab Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: Progres. Sinar, Luckman. 1991. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Perwira. Suparlan Parsudi. 1999. Kemajemukan, Hipotetis. Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan. Dalam Antropologi Indonesia, Th XXIII, No. 58.
135