ANALISIS PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL, MOTIVASI KERJA, KINERJA, DITINJAU DARI GENDER DAN TINGKAT PENDIDIKAN (STUDI FASKEL EKONOMI PNPM MANDIRI PERKOTAAN JAWA TENGAH) OLEH TUKIJAN DAN HARNOTO ABSTRACT Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian terdahulu yang membahas tentang pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja faskel dengan motivasi kerja sebagai variabel mediasi. Penelitian lanjutan ini membahas perbedaan kecerdasan emosional, motivasi kerja, kinerja faskel ekonomi PNPM Mandiri Perkotaan di Jawa Tengah ditinjau dari gender dan tingkat pendidikan. Berdasarkan gender, untuk faskel ekonomi PNPM Mandiri Perkotaan dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : (1) Kecerdasan emosional faskel lakilaki dengan faskel perempuan berbeda. (2) Motivasi kerja faskel laki-laki dengan faskel perempuan berbeda. (3) Kinerja faskel laki-laki dengan faskel perempuan berbeda.Sedangkan berdasarkan tingkat pendidikan, untuk faskel ekonomi diperoleh kesimpulan(1) Kecerdasar emosional faskel dengan tingkat pendidikan D3 dan faskel dengan tingkat pendidikan S1 berbeda. (2) Tidak dapat membedakan motivasi kerja faskel berpendidikan D3 dengan faskel berpendidikan S1, karena pada kasus ini Levene’s Test of Equality of Error Variances tidak memenuhi uji Anova. (3) Tidak dapat membedakan kinerja faskel berpendidikan D3 dengan faskel berpendidikan S1, karena pada kasus ini Levene’s Test of Equality of Error Variances tidak memenuhi uji Anova. Kata kunci : Kecerdasan Emosional, Motivasi Kerja, Kinerja, Gender, Tingkat Pendidikan. PENDAHULUAN. Dalam penelitian terdahulu yang berjudul ’analisis kinerja faskel ekonomi ditinjau dari komitmen, kecerdasan emosional dan motivasi kerja sebagai variabel mediasi diperoleh kesimpulan bahwa; (1) Komitmen berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi kerja, (2)Kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi kerja, (3) Motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja faskel, (4) Komitmen tidak berpengaruh secara langsung terhadap kinerja faskel, (5) Kecerdasan emosional tidak berpengaruh secara langsung terhadap kinerja faskel,(6) Motivasi kerja memediasi pengaruh komitmen terhadap kinerja faskel, dan (7) Motivasi kerja memediasi pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja faskel ekonomi pada PNPM Mandiri Perkotaan di Jawa Tengah.
Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain belum membahas tentang kecerdasan emosional, motivasi kerja, dan kinerja yang dapat berbeda berdasarkan gender maupun tingkat pendidikan. Dari keterbatasan penelitian ini menarik untuk dilakukan penelitian dengan judul ”Analisis perbedaan kecerdasan emosional, motivasi kerja, kinerja ditinjau dari gender dan tingkat pendidikan”. RUMUSAN MASALAH. Masalah yang akan di analisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah terdapat perbedaan kecerdasan emosional faskel berdasarkan gender. 2. Apakah terdapat perbedaan motivasi kerja faskel berdasarkan gender. 3. Apakah terdapat perbedaan kinerja faskel berdasarkan gender. 4. Apakah terdapat perbedaan kecerdasan emosional faskel berdasarkan tingkat pendidikan. 5. Apakah terdapat perbedaan motivasi kerja faskel berdasarkan tingkat pendidikan. 6. Apakah terdapat perbedaan kinerja faskel berdasarkan tingkat pendidikan TUJUAN PENELITIAN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kecerdasan emosional, motivasi kerja, kinerja faskel ekonomi PNPM Mandiri Perkotaan di Jawa Tengah dilihat dari gender dan tingkat pendidikan. KAJIAN PUSTAKA. 1. Kecerdasan Emosional. 1).Pengertian Kecerdasan emosional Goleman (2007:36) mengatakan bahwa
kecerdasan emosional adalah
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati,
dan berdoa, sedangkan menurut Agustian (2002: 45), alam bawah sadar manusia biasa disebut fitrah manusia atau kesucian manusia. Cooper dan Sawaf (2001:2) menyatakan bahwa; “kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi.” Dari beberapa pengertian mengenai kecerdasan emosional di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: a.
Kecerdasan emosional mengandung makna, tidak hanya berarti bersikap ramah; pada saatsaat tertentu, jika diperlukan dapat bersikap tegas bahkan dapat juga tidak menyenangkan, dan mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya tidak diinginkan.
b.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan interpesonal dan intrapersonal yang berfungsi sebagai tali pengendali untuk menyeimbangkan perasaan, pikiran
serta
tindakan. c.
Kecerdasan emosional mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif yang memungkinkan orang bekerja sama dengan orang lain secara lancar menuju tujuan bersama. Berdasarkan pengalaman apabila suatu masalah menyangkut pengambilan
keputusan dan tindakan aspek perasaan sama pentingnya dan seringkali lebih penting daripada nalar. Emosi itu memperkaya : model pemikiran yang tidak menghiraukan emosi merupakan model yang miskin. Nilai – nilai yang lebih tinggi dalam perasaan manusia, seperti kepercayaan, harapan, pengabdian cinta, seluruhnya lenyap dalam pandangan kognitif yang dingin. Kita sudah terlalu lama menekankan pentingnya IQ dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun kecerdasan tidaklah berarti apa – apa bila emosi yang berkuasa. Kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak sifat – sifat yang membuat kita membuat menjadi lebih manusiawi. Kecerdasan emosi atau emosional quotation ( EQ ) meliputi kemampuan mengungkapkan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikannya. Kecerdasan emosi dapat juga diartikan sebagai kemampuan Mental yang membantu kita mengendalikan dan memahami perasaan – perasaan kita dan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan – perasaan tersebut.
Jadi orang yang cerdas secara emosi bukan hanya memiliki emosi atau perasaan – perasaan tetapi juga memahami apa artinya. Dapat melihat diri sendiri, seperti orang lain melihat kita. Mampu memahami orang lain seolah – olah apa yang dirasakan orang itu kita rasakan juga. Tidak ada standar EQ yang resmi dan baku. Namun kecerdasan emosi dapat ditingkatkan baik terukur maupun tidak tetapi dampaknya dapat dirasakan baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Banyak ahli berpendapat kecerdasan emosi yang tinggi akan sangat berpengaruh pada peningkatan kualitas hidup. Setidaknya ada 5 unsur yang membangun kecerdasan emosi yaitu ; Memahami emosi – emosi sendiri, mampu mengelola emosi – emosi sendiri, memotivasi diri sendiri, memahami emosi – emosi orang lain, mampu membina hubungan social. Sejauh mana kecerdasan emosi anda ? untuk mengetahuinnya, kelima unsur diatas dapat dijadikan barometer untuk mengukur apakah anda termasuk orang yang cerdas secara emosi. Apa itu kecerdasan emosional ? Ada banyak perbedaan pendapat tentang kecerdasan emosional. Secara relatif bidang ini dianggap masih baru
dalam
psikologi dan masih mencari bentuknya yang lebih mantap. Secara sederhana perbedaan tersebut bertumpu pada; Kemampuan mengenali emosi diri sendiri, kemampuan mengendalikan emosi dan mengambil tindakan yang tepat, kemampuan mengenali emosi orang lain, kemampuan bertindak dan berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian orang yang cerdas secara emosional adalah orang yang memahami kondisi dirinya. Emosi – emosi yang terjadi, serta mengambil tindakan yang tepat. Orang tersebut mampu mengenali dan berempati terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan menanggapinya secara proposional. 2).Kecerdasan emosional dan realita dunia kerja Dalam bukunya yang terkenal , Daniel Goleman menyebutkan disamping Kecerdasan Intelektual ( IQ ) ada kecerdasan lain yang membantu seseorang sukses yakni kecerdasan emosional ( EQ ). Bahkan secara khusus dikatakan bahwa kecerdasan emosional lebih berperan dalam kesuksesan dibandingkan kecerdasan intelektual. Klaim ini memang terkesan agak dibesarkan meskipun ada beberapa penelitian yang menunjukkan kebenaran kearah sana. Jika kita melihat dunia kerja, maka kita bisa menyaksikan bahwa seseorang tidak cukup hanya pintar dibidangnya. Dunia pekerjaan penuh dengan interaksi sosial dimana
orang harus cakap dalam menangani diri sendiri maupun orang lain. Orang yang cerdas secara intelektual dibidangnya akan mampu bekerja dengan baik. Namun jika ingin melejit lebih jauh dia membutuhkan dukungan rekan kerja, bahawan maupun atasannya. Disinilah emosional membantu seseorang untuk mencapai keberhasilan yang lebih jauh. 3). Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional Segal (2001:5) mengatakan bahwa; “Ruang lingkup EQ adalah hubungan pribadi dan sosial”, sehingga dapat dikatakan, kecerdasan emosional pada manusia dikelompokkan menjadi dua, yaitu kecerdasan pribadi dan kecerdasan sosial. a.
Kecerdasan Pribadi Goleman (2007:44) menjelaskan bahwa “kecerdasan pribadi adalah kemauan untuk mengelola / mengembangkan diri sendiri.” Keuntungan orang yang dapat memperhatikan diri sendiri, dapat juga memperhatikan orang lain, artinya mereka yang mempunyai kemampuan pribadi tinggi akan mampu mengenali dan menerima perasaan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan pribadi ada kaitan dengan kecerdasan sosial (Segal, 2001:8). Tanpa kecerdasan pribadi seperti di atas, mustahil dapat hidup secara produktif. Sebagian besar peneliti yakin begitu lahir ke dunia maka tingkat kecerdasan berkembang berkat kombinasi antara keturunan, lingkungan, dan pengalaman. Kecerdasan pribadi menurut Goleman (2007:41) memiliki beberapa unsur, yaitu: kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi diri.
b.
Kesadaran diri Kesadaran diri adalah mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumber daya dan intuisi; dan merupakan keterampilan dasar yang vital seperti: 1). Pengaturan diri. Pengaturan diri adalah mengelola kondisi emosi-emosi dan sumber daya diri sendiri. Suatu hormon yang berperan penting dalam pengendalian diri adalah amigdala. Amigdala adalah bank memori emosi otak, tempat penyimpanan semua kenangan baik tentang kejayaan dan kegagalan, harapan dan ketakutan, kejengkelan dan frustasi (Goleman, 2007:117). 2). Motivasi diri. Motivasi diri adalah kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan peraihan sasaran. Kecerdasan motivasi diri umumnya meliputi: dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif dan optimisme. 3). Kecerdasan Sosial. Kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk menentukan bagaimana menangani suatu hubungan (Goleman, 2007:43). Stein dan Book
(2002:139) menerangkan bahwa “kecerdasan sosial adalah keterampilan memahami, berinteraksi, bergaul secara baik dengan orang lain.” Berdasarkan ketiga pendapat di atas, maka kecerdasan sosial adalah kemampuan dan keterampilan berkomunikasi dan berinteraksi secara baik dengan orang lain. Pegawai yang mempunyai kecerdasan sosial menyukai berinteraksi dengan teman sesama pegawai. Kapasitas kecerdasan sosial pegawai sangat dipengaruhi oleh sesama pegawai, melebihi kelompok kerja, tim usaha, dan proyek-proyek kerjasama. Mereka biasanya sangat sensitif terhadap perasaan orang lain, ingin tahu berbagai macam gaya hidup, tertarik dengan lingkungan tempat bekerja. Kecerdasan sosial juga ditunjukkan dengan humor yang bisa membuat teman-teman sesama pekerja serta kepala bagian tertawa. Goleman (2007:162) menyatakan ada tiga kecakapan yang perlu dimiliki dalam berinteraksi dengan orang lain, yaitu: 1) empati, 2) keterampilan sosial, dan 3) koordinasi sosial. Empati merupakan keterampilan dasar untuk semua kecakapan sosial yang penting untuk bekerja. Kecakapan ini mencakup: memahami orang lain, orientasi melayani, memberdayakan orang lain, memanfaatkan keragaman dan kesadaran politik.Kecerdasan emosional dalam interaksi sosial merupakan kecakapan untuk mengenali dan memahami emosi, dan selanjutnya menggunakan/ menerapkan secara efektif kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber kekuatan, informasi dan pengaruh yang diwujudkan dalam bentuk perilaku membina hubungan dengan orang lain. Indikator kecerdasan emosional dalam interaksi sosial meliputi: (a) kesadaran diri, (b) pengaturan diri, dan (c) memotivasi diri; kecakapan/kecerdaan sosial yang menckup: (a) empati dan (b) keterampilan sosial. 2. Motivasi Kerja. 1). Pengertian Motivasi Kerja Menurut Stanford (dalam Mangkunegara, 2007: 93), “Motivation as an energizing condition of the organism that serves to direct that organism toward the goal of a certain class” (Motivasi sebagai suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu tujuan tertentu). Menurut Sopiah (2008:170), “motivasi adalah sebagai keadaan dimana usaha dan kemauan keras seseorang diarahkan kepada pencapaian hasil-hasil atau tujuan tertentu.” Sedangkan menurut Samsudin (2006:281), “motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan dorongan atau semangat kerja”. Berdasarkan teori-teori di
atas motivasi kerja didefinisikan sebagai sesuatu yang mendorong seseorang untuk bekerja meliputi: ingin berprestasi dan ingin lebih maju, ingin mendapat pengakuan, tanggung jawab, ingin naik pangkat, ingin mendapatkan gaji yang memadai, hubungan kerja yang harmonis dan menyenangkan. 2). Prinsip-Prinsip Motivasi Kerja Terdapat lima prinsip motivasi kerja, yaitu: “prinsip partisipasi, komunikasi, mengakui andil bawahan, pendelegasian wewenang, dan pemberian perhatian” (Mangkunegara, 2007: 100-101). Kelima prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a). Prinsip Partisipasi. Dalam upaya memotivasi kerja, pegawai perlu diberikan kesempatan ikut berpartisipasi dalam menentukan tujuan yang akan dicapai oleh pemimpin. b). Prinsip Komunikasi. Pemimpin mengkomunikasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan usaha pencapaian tugas, dengan informasi yang jelas, pegawai akan lebih mudah dimotivasi kerjanya. c). Prinsip Mengakui Andil Bawahan. Pemimpin mengakui bahwa bawahan mempunyai andil dalam usaha pencapaian tujuan. d). Prinsip Pendelegasian Wewenang. Pemimpin yang memberikan otoritas atas wewenang kepada pegawai bawahan untuk sewaktu-waktu dapat mengambil keputusan terhadap pekerjaan yang dilakukan. e). Prinsip Pemberian Perhatian. Pemimpin memberikan perhatian terhadap apa yang diinginkan pegawai bawahan, akan memotivasi pegawai bekerja yang diharapkan oleh pemimpin. Wahjosumidjo (2001: 180) mengatakan bahwa “motivasi setiap orang berbedabeda karena keinginan dalam rangka pemenuhan kebutuhan yang berbeda-beda”. Karena adanya perbedaan tersebut, maka diperlukan adanya prinsip-prinsip memotivasi kerja. Kebutuhan merupakan faktor penyebab yang mendasari lahirnya perilaku seseorang sehingga dapat disimpulkan kebutuhan paling kuat pada saat tertentu, merupakan daya dorong yang menggerakkan atau memotivasi seseorang untuk berperilaku ke arah tercapainya tujuan. Jadi motivasi merupakan suatu proses psikologi yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan pada diri seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi sebagai proses psikologi timbul diakibatkan oleh faktor dari dalam diri seseorang atau dari luar diri seseorang. Motivasi secara konvensional termasuk membangun motivasi intrinsik, motivasi ekstrinsik, orientasi tujuan, penentuan nasib sendiri, self efficacy, dan penilaian
kecemasan (Glynn dan Koballa, 2006). Motivasi intrinsik berasal dari penghargaan melekat pada tugas atau kegiatan (Ryan dan Deci, 2000). Sedangkan motivasi yang berasal dari luar perilaku terutama ekstrinsik (Pitrich dan Schunk, 2002). Dalam melaksanakan pekerjaan motivasi sangat diperlukan sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam bekerja tidak mungkin akan melaksanakan aktifitas bekerja dengan baik. Motivasi bersifat rumit dan bersifat individual, sehingga tidak ada cara yang paling tepat untuk memotivasi seseorang. Penguat positif atau positif reinforcement melalui penciptaan lingkungan yang baik misalnya dengan memuji prestasi yang baik serta menghukum yang menimbulkan prestasi negatif. Partisipasi atau pengikutsertaan seseorang dalam suatu pengambilan keputusan akan memotivasi orang tersebut, karena merasa ikut terlibat dan akan ikut bertanggung jawab atas pencapian tujuan keputusan tersebut. Kendala yang sering timbul untuk memunculkan motivasi kerja psotif adalah iklim lingkungan yang tidak membangkitkan motivasi kerja yang lebih baik, lebih adil, lebih jujur. Kendala itu merupakan masalah besar karena menyangkut seluruh komponen struktural, untuk merobaknya perlu revolusi sikapmental. Untuk melahirkan motivasi kerja hanya bisa dicapai dengan kesadaran bersama, serta pentingnya peran motivator dalam memainkan peran sebagai the leader yang mampu menunjukkan arah yang benar sehingga dapat membantu manuju kemandirian dan bertanggung jawab atas semua sifatnya. 3. Kinerja. 1).Pengertian Kinerja Menurut Cooper (dalam Samsudin, 2006:159), “A general term applied to part or all of the conduct or activities of an organization over period of time, often with reference to some standard such as past projected cost, an efficiency base, management responsibility or accountability, or the like.” Artinya, kinerja kerja adalah tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai oleh seseorang, unit, atau divisi dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi / perusahaan. “Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya” (Mangkunegara, 2007:67). “Kinerja adalah suatu ukuran yang mencakup keefektifan dalam pencapain tujuan dan efisiensi yang merupakan rasio dari keluaran efektif, terhadap masukan yang diperlukan untuk mencapai tujuan” (Robbins, 2001:75). Dengan demikian dapat disimpulkan, kinerja merupakan tindakan-tindakan atau pelaksanaan tugas yang telah diselesaikan oleh seseorang dalam kurun waktu teretentu dan patut diukur. Hal ini dapat berkaitan dengan jumlah kuantitas dan kualtias pekerjaan yang dapat diselesaikan oleh individu dalam kurun waktu tertentu. 2). Evaluasi Kinerja Evaluasi kinerja pegawai pada dasarnya merupakan penilaian yang sistematik terhadap penampilan kerja pegawai itu sendiri dan terhadap taraf potensi pegawai dalam upayanya mengembangkan diri untuk kepentingan organisasi. Dessler (2001:131), mendefinisikan kinerja sebagai prosedur apa saja yang meliputi: (1) penetapan standar kinerja; (2) penilaian kinerja aktual pegawai dalam hubungan dengan standar-standar ini; dan (3) memberi umpan balik kepada pegawai dengan tujuan memotivasi orang tersebut untuk menghilangkan kemorosotan kinerja atau terus berkinerja lebih tinggi lagi. Andrew E. Sikula (dalam Mangkunegara, 2007:69) menjelaskan bahwa “Empolyee appraising is the systematic evaluation of a worker’s job performance and potential for development. Appraising is the process of estimating or judging the value, excellence, qualities, or satus of some object, person, or thing” (Penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian adalah proses penaksiran atau penentuan nilai, kualitas, atau status dari beberpa objek, orang ataupun sesuatu). Berdasarkan pendapat di atas, penilaian kinerja pegawai adalah suatu proses penilaian prestasi kerja pegawai yang dilakukan pimpinan instansi atau perusahaan secara sistematis berdasarkan pekerjaan yang ditugaskan kepada pegawai. Rumusan kinerja pegawai relatif berbeda, namun pada dasarnya mempunyai makna yang sama. Istijanto (2006: 187) menyatakan ada beberapa indikator yang perlu diperhatikan dalam perumusan kinerja pegawai, yaitu; Kualitas kerja, tanggung jawab karyawan terhadap pekerjaan, kerja sama tim, motivasi kerja, orientasi, inisiatif karyawan.
3). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Para pemimpin suatu instansi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara seorang karyawan dengan karyawan yang lainnya yang berada di bawah pengawasannya. Menurut Gibson (2001:52) ada tiga perangkat variabel yang mempengaruhi perilaku dan prestasi yaitu; a).Variabel individu, terdiri dari kemampuan dan ketrampilan baik mental dan fsik, latar belakang keluarga, tingkat sosial dan pengalaman, demografi terdiri dari umur, asal-usul dan jenis kelamin.b).Variabel organisasi terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.c).Variabel psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Menurut Mangkunegara (2007:67-68), faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation).(1).Faktor Kemampuan (Ability).Secara psikologis, kemampouan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya, pegawai yang memiliki IQ di atas rata-rata (110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. (2). Faktor Motivasi (Motivation). Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Selanjutnya
menurut
McClelland
(dalam
Mangkunegara,
2007:68)
mengemukakan enam karakteristik pegawai yang memiliki motif berprestasi tinggi, yaitu pertama, memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi. Kedua, berani mengambil resiko. Ketiga, memiliki tujuan yang realistis. Keempat, memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuannya. Kelima, memanfaatkan umpan baik (feed back) yang konkret dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukan. Keenam, mencari kesempatan untuk merealisasi rencana yang telah diprogramkan. Berdasarakan pendapat McClelland tersebut, pegawai akan mampu mencapai kinerja maksimal jika ia memiliki motif berprestasi tinggi. Motif berprestasi yang perlu dimiliki oleh pegawai harus ditumbuhkan dari dalam diri sendiri selain dari lingkungan kerja. 4. Gender.
Konsep perempuan (wanita) Indonesia masa kini tidak sama lagi dengan konsep wanita Indonesia seabat yang lalu. Wanita masa kini memperoleh kesempatan yang lebih majemuk. Wanita masa kini bukan semata-mata anggota keluarga saja. Ia merupakan anggota masyarakat yang semakin tampil keberadaannya dengan berbagai peran yang semakin kukuh. Di dalam kehidupan keluarga, wanita berkesempatan memainkan peran sebagai mahluk social yang berhubungan mesar dengan sesamanya: suami, anak, serta masyarakat luas. Wanita merupakan teman hidup, kekasih yang hangat bagi suaminya, ibu yang penuh kasih saying bagi putra-putrinya. Kemampuan anggota masyarakat termasuk kaum wanita untuk memperoleh pengetahuan senantiasa bertambah. Usaha pendidikan kaum wanita yang dipelopori dan dikembangkan oleh RA Kartini pada dasarnya merupakan usaha membantu kaum wanita untuk mampu mengambil kepustusan. Besar kecilnya kemampuan untuk mengambil keputusan sangat tergantung pada pendidikan seseorang termasuk pendidikan kaum wanita. Kehidupan yang dirasakan masyarakat luas saat ini sudah sangat kompleks yang sangat dipengaruhi oleh berbagai hal termasuk budaya, ekonomi, politik dan lain-lain. Wanita masa kini berkesempatan menikmati pendidikan tinggi, yang dapat melahirkan wanita-wanita pekerja, karie, bahkan tokoh-tokoh dan pejabat-pejabat wanita. Wanita Indonesia memiliki konsep atau acuan untuk meniti keberhasilan dan kesempurnaan hidupnya. Oleh karena itu diharapkan wanita Indonesia adalah seorang yang : (1) Berbudi pekerti luhur adalah orang yang santun, taat agama dan memegang kuat adapt ketimuran. (2) Cerdas, disini adalah mampu berpikir maju, mempunyai wawasan luas, kreatif dan positip dalam menghadapi perkembangan jaman.(3)Tangguh adalah berani dan tabah menghadapi segala persoalan maupun tantangan yang ada dalam kehidupan.(4)Mampu berkarya, dengan bekal pengetahuan dan ketrampilannya, wanita akan dapat bekerja pada instansi pemerintah maupun swasta, bahkan ada pula yang secara mandiri dengan melakukan wirausaha untuk meningkatkan ekonomi keluarga.(5) Seorang ibu yang dapat mendidik putra-putrinya menjadi anak yang berkualitas dan beraklak mulia sebagai generasi penerus bangsa. MODEL PENELITIAN. Mengacu pada perumusan masalah maka model digambarkan dan dijelaskan sebagai berikut:
dalam penelitian ini dapat
Gambar 01 Model Penelitian
Status A - Laki-laki - Sarjana
.
- Kecerdasan Emosional - Motivasi Kerja - Kinerja
- Kecerdasan Emosional - Motivasi Kerja - Kinerja
Status B - Perempuan - D3
- Kecerdasan Emosional - Motivasi Kerja - Kinerja
Status A Berbeda Dengan Status B
- Kecerdasan Emosional - Motivasi Kerja - Kinerja
Gambar di atas menunjukkan bahwa variabel Kecerdasan Emosional, Motivasi Kerja, Kinerja berbeda ditinjau dari Gender dan tingkat Pendidikan. PERUMUSAN HIPOTESIS. H1: Terdapat perbedaan kecerdasan emosional faskel berdasarkan gender. H2: Terdapat perbedaan motivasi kerja faskel berdasarkan gender. H3: Terdapat perbedaan kinerja faskel berdasarkan gender. H4: Terdapat perbedaan kecerdasan emosional faskel berdasarkan tingkat pendidikan. H5: Terdapat perbedaan motivasi kerja faskel berdasarkan tingkat pendidikan. H6: Terdapat perbedaan kinerja faskel berdasarkan tingkat pendidikan METODOLOGI. a. Populasi dan Sampel.
Penelitian ini dilakukan terhadap falkel ekonomi pada PNPM Mandiri Perkotaan di Jawa Tengah yang berjumlah 224 orang. Dengan asumsi homoginitas populasi maka hanya dikirim 100 kuesioner kepada responden. Dari 100 kuesioner tersebut dapat kembali sebanyak 87 kuesioner . Setelah dilakukan editing ternyata ada 12 responden mengisi kuesioner kurang sempurna sehingga yang dijadikan sample dalam penelitian ini sebanyak 75 responden. b. Teknik Analisis. Teknik analisis yang digunakan adalah Uji beda Anova. Teknik analisis uji beda Anova untuk menganalisis perbedaan rata-rata tiga variable (kecerdasan emosional, motivasi, kinerja) tersebut dilihat dari faktor gender dan tingkat pendidikan. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Analisis Perbedaan Kecerdasan Emosional dilihat dari Gender. Hasil analisis of Variance (ANOVA) untuk menguji apakah terdapat perbedaan Kecerdasan Emosional dilihat dari gender adalah sebagai berikut: a Levene's Test of Equality of Error Variances
Dependent Variable: KecerdasanE F 2,855
df1
df2 1
73
Sig. ,095
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept+Gender
Hasil uji levene’s test menunjukkan bahwa nilai F test sebesar 2,855 dan tidak signifikan pada 0,05 (p > 0,05) yang berarti tidak dapat menolak hipotesis nol yang menyatakan variance sama. Hal ini berarti asumsi Anova terpenuhi bahwa variance sama. Setelah asumsi Anova terpenuhi maka dilakukan test of Between-Subject Effects sebagai berikut:
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: KecerdasanE Source Corrected Model Intercept Gender Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 65,554a 30675,154 65,554 177,032 31905,000 242,587
df 1 1 1 73 75 74
Mean Square 65,554 30675,154 65,554 2,425
F 27,032 12649,031 27,032
Sig. ,000 ,000 ,000
a. R Squared = ,270 (Adjusted R Squared = ,260)
Dari hasil test of Between-Subject Effects menunjukkan nilai F hitung sebesar 12649,031 untuk intercept dan signifikan pada 0,05, begitu juga dengan variable Gender dengan nilai F hitung sebesar 27,032 dan signifikan pada 0,05. Karena variable Gender dengan nilai sig. lebih kecil dari pada 0,05 (0,000<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Gender mempengaruhi Kecerdasan Emosional. Dengan kata lain terdapat perbedaan Kecerdasan Emosional antara laki-laki dengan perempuan. Nilai adjusted R square sebesar 0,260 mempunyai arti bahwa variabilitas Kecerdasan Emosional yang dapat dijelaskan Gender sebesar 26 %. 2. Analisis perbedaan Motivasi Kerja dilihat dari Gender. Hasil analisis of Variance (ANOVA) untuk menguji apakah terdapat perbedaan Kecerdasan Emosional dilihat dari gender adalah sebagai berikut: a Levene's Test of Equality of Error Variances
Dependent Variable: MotivasiK F ,610
df1
df2 1
73
Sig. ,437
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept+Gender
Hasil uji levene’s test menunjukkan bahwa nilai F test sebesar 0,610 dan tidak signifikan pada 0,05 (p > 0,05) yang berarti tidak dapat menolak hipotesis nol yang menyatakan variance sama. Hal ini berarti asumsi Anova terpenuhi bahwa variance sama. Setelah asumsi Anova terpenuhi maka dilakukan test of Between-Subject Effects sebagai berikut:
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: MotivasiK Source Corrected Model Intercept Gender Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 81,927a 43113,127 81,927 347,620 44984,000 429,547
df 1 1 1 73 75 74
Mean Square 81,927 43113,127 81,927 4,762
F 17,205 9053,733 17,205
Sig. ,000 ,000 ,000
a. R Squared = ,191 (Adjusted R Squared = ,180)
Dari hasil test of Between-Subject Effects menunjukkan nilai F hitung sebesar 9053,733 untuk intercept dan signifikan pada 0,05, begitu juga dengan variable Gender dengan nilai F hitung sebesar 17,205 dan signifikan pada 0,05. Karena variable Gender dengan nilai sig. lebih kecil dari pada 0,05 (0,000<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Gender mempengaruhi Motivasi Kerja. Dengan kata lain terdapat perbedaan Motivasi Kerja antara laki-laki dengan perempuan. Nilai adjusted R square sebesar 0,180 mempunyai arti bahwa variabilitas Motivasi Kerja yang dapat dijelaskan Gender sebesar 18 %. 3. Analisis Perbedaan Kinerja Faskel dilihat dari Gender. Hasil analisis of Variance (ANOVA) untuk menguji apakah terdapat perbedaan Kecerdasan Emosional dilihat dari gender adalah sebagai berikut: a Levene's Test of Equality of Error Variances
Dependent Variable: KinerjaK F ,404
df1
df2 1
73
Sig. ,527
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept+Gender
Hasil uji levene’s test menunjukkan bahwa nilai F test sebesar 0,404 dan tidak signifikan pada 0,05 (p > 0,05) yang berarti tidak dapat menolak hipotesis nol yang menyatakan variance sama. Hal ini berarti asumsi Anova terpenuhi bahwa variance sama. Setelah asumsi Anova terpenuhi maka dilakukan test of Between-Subject Effects sebagai berikut:
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: KinerjaK Source Corrected Model Intercept Gender Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 45,559a 43223,479 45,559 307,107 45249,000 352,667
df 1 1 1 73 75 74
Mean Square 45,559 43223,479 45,559 4,207
F 10,830 10274,308 10,830
Sig. ,002 ,000 ,002
a. R Squared = ,129 (Adjusted R Squared = ,117)
Dari hasil test of Between-Subject Effects menunjukkan nilai F hitung sebesar 10274,308 untuk intercept dan signifikan pada 0,05, begitu juga dengan variable Gender dengan nilai F hitung sebesar 10,830 dan signifikan pada 0,05. Karena variable Gender dengan nilai sig. lebih kecil dari pada 0,05 (0,002<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Gender mempengaruhi Kinerja Faskel. Dengan kata lain terdapat perbedaan Kinerja Faskel antara laki-laki dengan perempuan. Nilai adjusted R square sebesar 0,117 mempunyai arti bahwa variabilitas Kinerja Faskel yang dapat dijelaskan Gender sebesar 11,7 %. 4. Analisis Perbedaan Kecerdasan Emosional dilihat dari Tingkat pendidikan. Hasil analisis of Variance (ANOVA) untuk menguji apakah terdapat perbedaan Kecerdasan Emosional dilihat dari Tingkat Pendidikan adalah sebagai berikut: a Levene's Test of Equality of Error Variances
Dependent Variable: KecerdasanE F 3,200
df1
df2 1
73
Sig. ,078
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept+Pendidikan
Hasil uji levene’s test menunjukkan bahwa nilai F test sebesar 3,200 dan tidak signifikan pada 0,05 (p > 0,05) yang berarti tidak dapat menolak hipotesis nol yang menyatakan variance sama. Hal ini berarti asumsi Anova terpenuhi bahwa variance sama. Setelah asumsi Anova terpenuhi maka dilakukan test of Between-Subject Effects sebagai berikut:
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: KecerdasanE Source Corrected Model Intercept Pendidikan Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 42,320a 30851,280 42,320 200,267 31905,000 242,587
df 1 1 1 73 75 74
Mean Square 42,320 30851,280 42,320 2,743
F 15,426 11245,723 15,426
Sig. ,000 ,000 ,000
a. R Squared = ,174 (Adjusted R Squared = ,163)
Dari hasil test of Between-Subject Effects menunjukkan nilai F hitung sebesar 11245,723 untuk intercept dan signifikan pada 0,05, begitu juga dengan variable Tingkat Pendidikan dengan nilai F hitung sebesar 15,426 dan signifikan pada 0,05. Karena variable Tingkat Pendidikan dengan nilai sig. lebih kecil dari pada 0,05 (0,000<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Tingkat Pendidikan mempengaruhi Kecerdasan Emosional. Dengan kata lain terdapat perbedaan Kecerdasan Emosional antara Pendidikan D3 dengan pendidikan Sarjana. Nilai adjusted R square sebesar 0, 163 mempunyai arti bahwa variabilitas Kinerja Faskel yang dapat dijelaskan tingkat pendidikan sebesar 16,3 %. 5. Analisis Perbedaan Motivasi Kerja dilihat dari Tingkat Pendidikan. Hasil analisis of Variance (ANOVA) untuk menguji apakah terdapat perbedaan Motivasi Kerja dilihat dari Tingkat Pendidikan adalah sebagai berikut: a Levene's Test of Equality of Error Variances
Dependent Variable: MotivasiK F 4,069
df1
df2 1
73
Sig. ,047
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept+Pendidikan
Hasil uji levene’s test menunjukkan bahwa nilai F test sebesar 4,069 dan signifikan pada 0,05 (p > 0,05) yang berarti menolak hipotesis nol yang menyatakan variance sama. Hal ini berarti asumsi Anova tidak terpenuhi bahwa variance sama. Asumsi Anova yang tidak terpenuhi ini masih bisa dilanjutkan jika dengan sample size yang sama. Berhubung sample size dalam penelitian ini tidak sama maka tidak dilakukan test of BetweenSubject Effects.
6. Analisis Perbedaan Kinerja Faskel dari Tingkat Pendidikan. Hasil analisis of Variance (ANOVA) untuk menguji apakah terdapat perbedaan Motivasi Kerja dilihat dari Tingkat Pendidikan adalah sebagai berikut: a Levene's Test of Equality of Error Variances
Dependent Variable: KinerjaK F 5,798
df1
df2 1
73
Sig. ,019
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept+Pendidikan
Hasil uji levene’s test menunjukkan bahwa nilai F test sebesar 4,069 dan signifikan pada 0,05 (p > 0,05) yang berarti menolak hipotesis nol yang menyatakan variance sama. Hal ini berarti asumsi Anova tidak terpenuhi bahwa variance sama. Asumsi Anova yang tidak terpenuhi ini masih bisa dilanjutkan jika dengan sample size yang sama. Berhubung sample size dalam penelitian ini tidak sama maka tidak dilakukan test of BetweenSubject Effects. KESIMPULAN. Dari uraian tersebut di atas dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Kecerdasar emosional faskel laki-laki dengan faskel perempuan pada faskel ekonomi PNPM Mandiri Perkotaan di Jawa Tengah berbeda, yang dibuktikan dengan test of Between-Subject Effects. Hal ini dibuktikan oleh variabel Gender dengan nilai F hitung sebesar 27,032 dan signifikan pada 0,05. 2. Motivasi kerja faskel laki-laki dengan faskel perempuan pada faskel ekonomi PNPM Mandiri Perkotaan di Jawa Tengah berbeda, yang dibuktikan dengan test of BetweenSubject Effects. Hal ini dibuktikan oleh variabel Gender dengan nilai F hitung sebesar 17,805 dan signifikan pada 0,05. 3. Kinerja faskel laki-laki dengan faskel perempuan pada faskel ekonomi PNPM Mandiri Perkotaan di Jawa Tengah berbeda, yang dibuktikan dengan test of Between-Subject Effects. Hal ini dibuktikan oleh variabel Gender dengan nilai F hitung sebesar 10,830 dan signifikan pada 0,05. 4. Kecerdasar emosional faskel berpendidikan D3 dengan faskel berpendidikan S1 pada faskel ekonomi PNPM Mandiri Perkotaan di Jawa Tengah berbeda, yang dibuktikan
dengan test of Between-Subject Effects. Hal ini dibuktikan oleh variabel tingkat pendidikan dengan nilai F hitung sebesar 15,426 dan signifikan pada 0,05. 5. Tidak dapat membedakan motivasi kerja faskel berpendidikan D3 dengan faskel berpendidikan S1 untuk faskel ekonomi PNPM Mandiri Perkotaan di Jawa Tengah, karena pada kasus ini Levene’s Test of Equality of Error Variaces tidak memenuhi uji Anova. 6. Tidak dapat membedakan kinerja faskel berpendidikan D3
dengan faskel
berpendidikan S1 untuk faskel ekonomi PNPM Mandiri Perkotaan di Jawa Tengah, karena pada kasus ini Levene’s Test of Equality of Error Variaces tidak memenuhi uji Anova. DAFTAR PUSTAKA Agustian, Ary Ginanjar. 2002. Rahasia Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual: Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga. Cooper, Robert K. dan Ayman Sawaf. 2001. Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dessler, Gary. 2001. Human Resources Managemen. Washington DC: Monitoring Serco. Ghozali, Iman, 2005, Analisis Multivariat dengan program SPSS,. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Glynn, SM.and Koballa, 2006, “Motivation to learn college science”, in Mintzes JJ and Leonard, WH (Eds), Handbook of college Science Teaching, National Science Teachers Association Press, Arlington, VA, pp.25-32. Gibson, J. James. 2001. Organisasi, Perilaku, Struktur, dan Proses. Alih Bahasa: Savitri Soekisno dan Agus Dharma. Jakarta: Erlangga. Goleman, Daniel. 2007. Emotional Intellegence. Diterjemahkan oleh T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mangkunegara, Anwar Parabu. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: Remaja Rosda Karya. Morita & Budi Harni (2006) “Pengaruh Motivasi Dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan BPR di Yogyakarta” Tesis . Yogyakarta : Pasca Sarjana UII Nurita Febriyanti Surya (2007) “ Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Motivasi Berprestasi Terhadap Prestasi Kerja pada Anggota Reserse di Kepolisian”. EKOBIS, Vol 3 No. 12 Novarina, 2008, “Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Motivasi Kerja Di PT. Timur Jaya Prestasi Jakarta”. Tesis, Jakarta : Unika Atmajaya
Pintrich, P.R. and Shunk, D.H., (2002), Motivation in Education: Theory, Research and Applications, 2nded, Prentice-Hall, Columbus, OH. Ryan, R.M. and Deci, E.L.(2000)”Intrinsic and ekstrisic motivations classic definitions and new directions”, Contemporery Educational Psychology, Vol.25 no.1 pp 54-67. Segal, Jeanne. 2001. Raising Emotional Intellegence. Diterjemahkan oleh Dian Paramesti Bahar. Jakarta: Citra Aksara. Stein, Steven J., dan Book, Howard E. 2002. The EQ Edge: Emotional Intelligence and Your Success. Diterjemahkan oleh Trinanda Rainy Januasari dan Yudhi Murtopo. Bandung: Kaifa. Sterrs, R.M. 2002. “Task-Goal Atributes, Achievement, and Supervisory Performance”, Organizational Behavior and Human Performance, Juni, hal. 392-403.