oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH
www.djpp.depkumham.go.id
UU 10/2004 belum memberikan pedoman yang komprehensif bagaimana merumuskan norma hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan, baik dalam UU Hukum Pidana maupun dalam “Ketentuan Pidana” dari suatu UU Administratif; Perumusan yang “buruk” tentang hal ini akan menyebabkan kesulitan-kesulitan dalam praktek penegakan hukum, bahkan bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri (kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum); Pada dasarnya ruang lingkup perumusan norma hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan, meliputi: (1) rumusan tentang hukum pidana materiel (tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pidana); (2) rumusan tentang hukum acara pidana (proses dan prosedur pidana), (3) rumusan tentang tata cara pelaksanaan pemidanaan . www.djpp.depkumham.go.id
Pangkal tolak perumusan norma hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan adalah asas legalitas, yang dalam hal ini setidaknya memuat tujuh prinsip: 1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; 2. Tidak ada jenis sanksi pidana kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; 3. Tindak ada jumlah sanksi pidana kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; 4. Tidak ada kewenangan negara untuk melakukan proses acara pidana kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; 5. Tidak ada kewajiban negara untuk melakukan prosedur acara pidana kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; 6. Tidak ada kewenangan negara melaksanakan putusan pemidanaan kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; 7. Tidak ada tata cara pelaksanaan sanksi pidana kecuali ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;
www.djpp.depkumham.go.id
Secara umum, suatu rumusan tindak pidana, setidaknya memuat rumusan tentang: (1)
(2)
(3)
subyek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm); perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik dalam bentuk melakukan sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan ancaman pidana (strafmaat), memaksakan keberlakuan atau ketentuan tersebut.
sebagai sarana dapat ditaatinya
www.djpp.depkumham.go.id
Secara umum digunakan idiom “barang siapa” sebagai padanan “hij die”. Dalam beberapa undang-undang di luar KUHP, juga digunakan istilah “setiap orang”; Idiom “barang siapa” dalam KUHP merujuk kepada orang perseorangan, sedangkan “setiap orang” dalam beberapa undang-undang di luar KUHP, dengan tegas diartikan sebagai “orang perseorangan” atau “korporasi”. Namun demikian, masih banyak UU yang addressaat norm-nya juga korporasi menggunakan “barang siapa”. Misalnya, Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 menggunakan istilah ”barangsiapa”, sekalipun tindak pidana yang berada didalamnya ditujukan pula terhadap korporasi. Bahkan pada tahun yang sama dengan tahun dimana pertama kali digunakan idiom ”setiap orang”, pembentuk undang-undang mengundangkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dengan menggunakan istilah ”barang siapa” untuk menunjukkan addressaat norm-nya; Selain itu, ada pula UU yang sudah menggunakan idiom “setiap orang” (berarti tertuju pada orang perseorangan dan korporasi), tetapi masih menggunakan idiom lain dalam rumusannya. Misalnya Pasal 307 UU No. 10 Tahun 2008, menyebutkan “ setiap orang atau lembaga…”.
www.djpp.depkumham.go.id
Adakalanya ancaman pidana ditujukan kepada subyek hukum dengan ”kualitas” tertentu. Beberapa istilah bersifat sangat umum, seperti ”setiap pihak” dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal atau ”orang asing” dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian. Adakalanya menggunakan istilah yang sangat spesifik, seperti ”pengusaha pengurusan jasa kepabeanan” dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1995 Tentang Kepabeanan (sudah tidak berlaku lagi) atau ”pengusaha pabrik” dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai; Penyebutan subyek hukum sebagai addressaat norm ancaman pidana adakalah keliru karena seharusnya digunakan istilah yang bersifat umum. Misalnya dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang menentukan sebagai berikut: ”Saksi atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.” Ancaman pidana tidak dapat ditujukan kepada ”saksi” karena saksi adalah orang yang tidak melakukan tindak pidana, tetapi justru yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri dari suatu tindak pidana. www.djpp.depkumham.go.id
Perumusan pelarangan tertuju pada ”perbuatannya” bukan pelarangan terhadap ”status seseorang”. Dengan kata lain, ”perbuatan orang dalam kualitas” tertentu yang seharusnya dilarang. Berdasarkan hal ini rumusan tindak pidana di atas seharusnya menentukan: ”Setiap orang yang memberikan keterangan sebagai saksi atau orang lain yang bersangkutan denga perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.”
www.djpp.depkumham.go.id
Juga merupakan perumusan tindak pidana yang keliru, jika ancaman pidana ditujukan kepada ”perbuatan”, tetapi ancaman pidana seharusnya ditujukan kepada ”orang yang melakukan perbuatan”. Misalnya, perumusan tindak pidana dalam Pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang menentukan: ”Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendahrendahnya Rp. 25. 000.000.000 (duapuluh lima millar) dan setinggi-tingginya Rp. 100.000.000.000 (seratus mililar), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan” Demikian pula ketentuan Pasal 83 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, masih mengancam pidana terhadap perbuatan, dengan menentukan: “Percobaan atau permufakatan jahat ….diancam dengan pidana yang sama….” www.djpp.depkumham.go.id
Perbuatan yang dilarang (strafbaar) dalam suatu tindak pidana adalah isi undang-undang yang harus dibuktikan Penuntut Umum, untuk dapat menyatakan seseorang melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, kekeliruan dalam perumusan bagian, ini akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam praktek penegakan hukum. Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap ‘perbuatan’. Dengan demikian, pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Dalam delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah. Dengan demikian, norma hukum pidana berisi rumusan tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal tindak pidana materiel, larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana berisi rumusan tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan.
www.djpp.depkumham.go.id
Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakekatnya undang-undang justru memerintahkan setiap orang melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan dalam undang-undang tersebut. Rumusan tentang tindak pidana berisi tentang kewajiban, yang apabila tidak dilaksanakan pembuatnya diancam dengan pidana. Kewajiban disini, menurut bukan hanya bersumber dari ketentuan undangundang. Dapat saja kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian, ataupun kewajiban yang timbul diluar yang perjanjian, atau kewajiban yang timbul dari hubungan-hubungan khusus, atau kewajiban untuk mencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajibankewajiban lain yang timbul dalam hubungan sosial, seperti kewajiban hidup bertetangga. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban disini dapat berarti sangat umum, sehingga lebih bersifat general social expectation daripada moral aspiration.
www.djpp.depkumham.go.id
Tindak pidana merumuskan “perbuatan yang dilarang”, bukan keadaan batin orang yang melakukan perbuatan itu (kesalahan). Kesalahan umumnya dimanistasikan dalam ‘unsur mental’ tindak pidana, berupa ‘dengan sengaja’ atau ‘karena kealpaan’. Mengingat asumsi umum semua tindak pidana dilakukan “dengan sengaja“ maka tidak diperlukan lagi kata-kata ini dalam rumusan strafbaar; Setiap kata kerja dalam rumusan strafbaar, harus diartikan sebagai kesengajaan, sehingga tidak diperlukan kata-kata “dengan sengaja” dalam rumusan ini; Berbeda dengan kealpaan yang sifatnya perkecualian, sehingga tetap dirumuskan dalam rumusan tindak pidana. Perbuatan yang dapat terjadi karena kealpaan pembuatnya, hanya dijadikan tindak pidana jika perbuatan-perbuatan tersebut dipandang cukup seius. Hanya perbuatan-perbuatan yang dipandang dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi masyarakat, yang dapat dimintai pertanggungjawaban karena kealpaan pembuatnya. www.djpp.depkumham.go.id
Ketentuan pidana dalam tindak pidana administratif berfungsi sebagai “pengaman” yang digunakan untuk “memaksakan” norma-norma administratif; Jika dalam undang-undang pidana, umumnya baik perbuatan yang dilarang (strafbaar) maupun sanksi pidananya (strafmaat) dirumuskan dalam satu pasal. Berbeda umumnya dalam tindak pidana pidana administratif. Ketentuan Pidana dalam undang-undang administratif seharusnya hanya berisi ancaman pidananya (strafmaat), sedangkan perbuatan yang dilarangnya (strafbaar) berada dalam norma administratif. Ketentuan administratif ini dapat berupa suatu “perintah” ataupun “larangan”. Dengan demikian, norma hukum pidana yang terdapat dalam rumusan tindak pidana administratif dapat berisi ancaman pidana ketika melanggar larangan administratif atau dapat pula berisi ancaman pidana ketika melanggar perintah administratif.
www.djpp.depkumham.go.id
Ketika rumusan tindak pidana ditujukan untuk mengamankan ketentuan administratif yang berisi suatu larangan, maka ketentuan administratif tersebut menjadi bagian inti (bestanddeel) tindak pidana. Dengan demikian pada dasarnya rumusan perbuatannya terdapat dalam ketentuan administratif tetapi ancaman pidananya terdapat dalam ketentuan pidana. Konsekuensinya, dalam lapangan hukum acara, ketentuan administratif tersebut harus menjadi perbuatan yang didakwakan (berstanddeelen delict) dan karenanya harus dapat dibuktikan. Sebaliknya, jika rumusan tindak pidana ditujukan untuk mengamankan perintah yang terdapat dalam ketentuan administratif, maka ketentuan administratif tersebut hanya diperlukan untuk menafsirkan bagian inti (bestanddeel) tindak pidana tersebut yang sebenarnya baik perbuatan maupun sanksinya telah ada dalam ketentuan pidana tersebut. Dalam lapangan hukum acara, norma hukum yang terdapat dalam ketentuan adminstratif tersebut tidaklah menjadi perbuatan yang didakwakan. Hal ini menyebabkan Penuntut Umum tidak berkewajiban membuktikan tentang telah dipenuhinya norma administratif tersebut. Namun hal justru menyebabkan pembuktian tentang telah diturutinya perintah yang terdapat dalam ketentuan administratif menjadi beban terdakwa. Sepanjang terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa perintah yang terdapat dalam ketentuan administratif tersebut telah dipenuhi, maka perbuatan materilnya telah terpenuhi.
www.djpp.depkumham.go.id
Pidana adalah reaksi atas tindak pidana, yang berujud nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat tindak pidana tersebut. Dari definisi ini ada tiga unsur utama dari pengertian ”pidana”, yaitu: (1) merupakan reaksi atas suatu aksi, yaitu reaksi atas suatu ”criminal act” atau tindak pidana; (2) yang berujud nestapa; (3) dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana (daader) oleh negara. Antara ”perbuatan yang dilarang” atau strafbaar dan ”ancaman pidana” atau strafmaat mempunyai hubungan sebab akibat (kausalitas). Dilihat dari hakekatnya, tindak pidana adalah perbuatan yang tercela (tercela karena dilarang oleh undangundang dan bukan sebaliknya), sedangkan pidana merupakan konkretisasi dari celaan. Bahkan ”larangan” terhadap perbuatan yang termaktub dalam rumusan tindak pidana justru ”timbul” karena adanya ancaman penjatuhan pidana tersebut barangsiapa yang melakukan perbuatan tersebut.
www.djpp.depkumham.go.id
Meskipun umumnya para ahli sepakat, menggunakan istilah ”pidana”, tetapi istilah tersebut tidak selalu digunakan dalam undang-undang. Beberapa undang-undang menggunakan istilah ”hukuman”. Misalnya, Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya. Begitu juga dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dengan demikian, terhadap ”pidana penjara” misalnya digunakan istilah ”hukuman penjara” dan ”kurungan” disebut dengan ”hukuman kurungan”. Padahal seharusnya ”pidana penjara” atau ”pidana kurungan”. Pola seperti itu pun tidak selalu diikuti dalam beberapa undang-undang lain. Dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian uang, didepan kata ”penjara” tidak digunakan kata ”pidana”, sehingga tertulis: ”...dipidana dengan penjara....”. Sementara itu, dalam berbagai undang-undang, mengunakan istilah ”pidana” didepan ”penjara”. Sedangkan didepan istilah ”denda” dalam berbagai undang-undang yang lain tidak ditambahkan kata ”pidana” dan ada yang menambahkannya. Misalnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, menggunakan idiom ”pidana denda”. Dalam Pasal 16 undang-undang tersebut ditentukan: ”...dipidana dengan pidana denda....”. Demikian pula Pasal 34 Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil, menggunakan istilah ”pidana denda”. Sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan berbagai undang-undang lainnya hanya menggunakan istilah ”denda” saja tanpa ditambahkan istilah ”pidana” didepannya.
www.djpp.depkumham.go.id
Selain itu, untuk menggambarkan jumlah minimum (khusus) maupun maksimum (khusus) yang dapat dijatuhkan bagi pembuat tindak pidana tertentu menggunakan nomenklatuur yang bervariasi Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menggunakan istilah ”paling lama” untuk pidana penjara dan ”paling sedikit” dan ”paling banyak” untuk denda. Undang-Undang 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan menggunakan istilah ”paling singkat” untuk pidana penjara. Sedangkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar menggunakan istilah ”sekurang-kurangnya”... untuk pidana denda minimum yang dapat dijatuhkan dan menggunakan istilah ”paling banyak” untuk maksimumnya. Sementara itu Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menggunakan istilah ”serendah-rendahnya” dan ”setinggi-tingginya” untuk menunjukkan minimum dan maksimum khusus pidana dendanya. Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya menggunakan istilah ”selama-lamanya”. Dalam hal ini ditentukan ”...dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya...”. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi, khusunya ketentuan Pasal 18 tentang pidana tambahan pembayaran uang pengganti, digunakan istilah ”sebanyak-banyaknya” untuk menggambarkan jumlah maksimum pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang dapat dijatuhkan. Ada juga undang-undang yang menggunakan istilah ”sekurung-kurangnya” untuk menggambarkan minimum (khusus) pidana penjara yang dapat dijatuhkan. Misalnya, dalam Pasal 48 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, yang menentukan: ”...dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun....”.
www.djpp.depkumham.go.id
Umumnya ancaman pidana ditempatkan pada bagian akhir suatu rumusan tindak pidana. Apabila ancaman pidana ditujukan terhadap beberapa perbuatan sekaligus, maka ancaman pidana ditempatkan di depan perbuatan terlarangnya. Teknik terakhir ini untuk menghindari kesan ancaman pidana tertuju hanya terhadap sebagian perbuatan saja (bagian perbuatan yang disebut terakhir). Misalnya, Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang, yang menentukan: “Setiap orang yang dengan sengaja: a. menempatkan...; b. mentransfer...; c. membayarkan...; d. menghibahkan...; e. menitipkan...; f. membawa...; g. menukarkan...; h. menyembunyikan atau menyamarkan..., dipidana karena tidak pidana pencucian uang dengan pidana penjara....”
www.djpp.depkumham.go.id
Perumusan ini menjadi lebih baik apabila dirumuskan sebagai berikut: ”Dipidana dengan pidana penjara....., setiap orang yang: a. menempatkan...; b. mentransfer...; c. membayarkan...; d. menghibahkan...; e. menitipkan...; f. membawa...; g. menukarkan...; h. menyembunyikan atau menyamarkan....” Rumusan terakhir ini, ancaman pidana ditujukan terhadap semua perbuatan dari huruf a sampai dengan huruf h. Sedangkan perumusan sebelumnya, seolah-olah hanya terhadap perbuatan yang termuat dalam huruf h. www.djpp.depkumham.go.id
Beberapa undang-undang di luar KUHP telah menyimpangi pola umum pengacaman pidana dalam KUHP, dengan menggunakan model pengancaman kumulatif (yang ditandai dengan kata penghubung ”dan” diantara dua jenis pidana yang diancamkan) atau model kombinasi alternatifkumulatif yang ditandai dengan kata penghubung ”dan/atau” diantara dua jenis pidana yang diancamkan). Dengan pengancaman kumulatif maka hakim terikat untuk menjatuhkan pidana kedua jenis pidana tersebut sekaligus. Persoalannya, pada subyek tindak pidana korporasi, hanya dapat dijatuhkan pidana pokok berupa denda, dan tidak dapat dijatuhkan jenis pidana perampasan kemerdekaan. Mengingat konstruksi ini, akan timbul kesulitan penjatuhan pidana (hanya) terhadap korporasi dalam hal tindak pidana yang dilakukan mengancamkan secara kumulatif pidana-pidana dengan jenis berbeda. Sekalipun salah satu ancaman pidana dalam rumusan tindak pidana adalah denda, tetapi tetap saja dengan model pengancaman kumulatif hakim ”harus” menjatuhkan keduanya. Akibatnya, pengancaman pidana terhadap korporasi menjadi ”non applicable”. Misalnya pada rumusan tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Seharusnya, dalam hal ancaman tindak pidana tersebut juga ditujukan terhadap korporasi, dengan perumusan yang bersifat umum melalui idiom ”setiap orang”, maka model ancaman pidana alternatif atau kombinasi alternatif-kumulatif lebih tepat. www.djpp.depkumham.go.id
Ada tiga model perumusan jumlah pidana. Pertama, fix model, dalam hal ini rumusan tindak pidana menyebutkan dengan tegas berapa jumlah pidana (maksimum ataupun jika perlu minimumnya) yang dapat dijatuhkan hakim. Kedua, catagorization model, dengan menyebutkan dalam bagian ketentuan lain diluar rumusan tindak pidana jumlah pidana untuk beberapa kategori tertentu. Ketiga, free model, dalam hal ini undang-undang tidak menentukan dengan pasti jumlah pidana untuk setiap tindak pidana, melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim. Berdasarkan prinsip nulla poena sine lege stricta, maka hanya model pertama dan kedua yang mungkin diterapkan dalam sistem hukum Indonesia. Begitu pula seharusnya dalam undang-undang diluar KUHP. Umumnya digunakan fix model untuk menentukan jumlah pidana yang dapat dijatuhkan hakim dan Rancangan KUHP juga menggunakan catagorization model khusus untuk denda.
www.djpp.depkumham.go.id
Beberapa undang-undang menunjukkan penyimpangan pada pinsip ini. Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang No. 6 tahun 1983 jo Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 menggunakan free model. Pasal 38 Undang-Undang tersebut menyebutkan: ”...dipidana denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak yang terhutang yang tidak atau kurang dibayar.” Demikian pula ketentuan Pasal 39 Undang-Undang tersebut. Perumusan seperti ini menunjukkan hakim ”bebas” menjatuhkan denda, sehingga pidana menjadi ”tidak terbatas”. Hal ini tentunya menimbulkan keadaan yang bahaya bagi kepastian hukum. Sebenarnya, dalam ancaman pidana, khususnya ancaman denda, tidak begitu saja dapat dikaitkan (digantungkan) dengan kerugian yang timbul akibat dari suatu tindak pidana. Hal ini juga ”disadari” oleh pembentuk undang-undang ini, karena dalam Pasal 41, 41 A, dan 41 B, ancaman pidana denda disebutkan dengan tegas (fix model) berapa jumlah yang mungkin dijatuhkan oleh hakim. Penggantian kerugian juga dapat menjadi sanksi pidana, seperti Pasal 18 Undag-Undang No. 31 tahun 1999 yang menjadikannya sebagai ”pidana tambahan”.
www.djpp.depkumham.go.id
Khusus berkenaan ketentuan yang menyangkut acara pidana hanya dapat ditentukan dalam undang-undang dan tidak dapat dilakukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini dikarenakan ketentuan hukum acara pidana pada dasarnya memuat proses untuk mengurangi hak-hak asasi seseorang, dan prosedur yang harus ditempuh untuk itu guna melindungi hak-hak asasi yang bersangkutan; Dilihat dari sifatnya, baik ketentuan undang-undang tentang acara pidana pada dasarnya harus dipandang sebagai “pembatasan kewenangan negara” untuk mengintervensi kehidupan individu, dan bukan dilihat sebagai “pemberian kewenangan negara” untuk melakukan hal itu;
www.djpp.depkumham.go.id
Harus dihindari “pembatasan kewenganan” yang sama-samar (vagennormen). Misalnya, dalam Pasal 72 UU Perikanan yang menentukan bahwa, “penyidikan dalam perkara tindak pidana dibidang perikanan, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Menjadi persoalan “hukum acara yang berlaku disini” apakah hanya yang terbatas pada yang ditentukan dalam KUHAP, ataukah juga setiap hukum acara yang ditetapkan secara khusus dalam setiap undangundang, termasuk tetapi tidak terbatas pada UU ZEE; Demikian pula halnya dalam Pasal 73 ayat (3) UU Perikanan menentukan bahwa, “untuk melakukan kordinasi dalam penangan tindak pidana dibidang perikanan, Menteri dapat membentuk forum koordinasi”. Tidak jelas apakah yang menjadi kewenangan forum koordinasi disini, dan undang-undang juga tidak mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dengan peraturan perundangan lainnya. Lalu bagaimana hubungannya dengan ketentuan dalam undang-undang lain yang menentukan bahwa Penyidik Polri sebagai koordinator penyidikan; www.djpp.depkumham.go.id
Contoh lain, ketika UU menentukan jangka waktu dan tata cara penahanan terhadap orang perseorangan yang menjadi tersangka, tetapi sama sekali tindak menentukan dan tidak mendelegasikan pengaturannya tentang hal serupa jika dilakukan terhadap kapal; Dalam UU ZEE permohonan untuk membebaskan kapal yang ditangkap dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan pengadilan negeri yang berwenang. Siapakah yang berwenang mengabulkan atau menolak permohanan ini, tidak disebutkan dengan tegas dalam UU ini, yang jika ditafsirkan secara struktural merujuk kepada TNI AL; Sementara itu, dalam UU Perikanan hak/kewenangan seperti ini tidak diatur, sehingga dalam hal penangkapan dan penahanan kapal dilakukan oleh PPNS Perikanan atau Polri, pada dasarnya dapat dilakukan permohanan pembebasan kepada TNI AL;
www.djpp.depkumham.go.id
Terima kasih atas kesabarannya mendengarkan presentasi ini www.djpp.depkumham.go.id