KATA PENGANTAR
Buku Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi yang ada dihadapan pembaca, karya Prof. Dr. Mohammad Askin, S.H. merupakan kumpulan tulisan atau artikel pilihan yang telah dimuat pada media cetak khususnya Varia Peradilan dan kegiatan ilmiah lainnya. Pokok bahasannya berkaitan dengan pengalaman penulis sebagai hakim ad hoc dalam menangani perkara tindak pidana korupsi pada tingkat kasasi. Substansi lainnya berkaitan erat dengan pengalaman penulis sebagai dosen / Guru Besar Ilmu Hukum dan mantan anggota DPR/MPR RI pada era reformasi (1999-2004). Pada era globalisasi dalam nuansa keterbukaan dewasa ini, peran hakim yang memiliki kemandirian yudisial sangat urgen untuk meningkatkan kualitas putusan yang baik dan cepat. Dasar-dasar hukum yang aktual sebagai landasan pertimbangan terhadap fakta yang ditemukan hakim dalam proses persidangan merupakan suatu keniscayaan untuk dilakukan dalam memutus suatu perkara. Strategi pemberantasan korupsi dari berbagai sumber telah pula dikemukakan dalam buku ini sebagai rujukan bagaimana melawan korupsi yang masih banyak terjadi di negara ini, sebagai pelengkap serangkaian putusan perkara Tindak Pidana Korupsi ditampilkan untuk menjelaskan sisi penerapannya. Penerbitan buku ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada kalangan hukum khususnya kepada para Hakim, Pencari Keadilan, Praktisi Hukum, dan Masyarakat Umum sebagai referensi dalam menegakkan hukum dan keadilan, serta langkah untuk menyamakan presepsi bahwa korupsi harus diberantas. Akhirnya, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Mohammad Askin, S.H. yang dengan ikhlas mewakafkan haknya sebagai penulis dalam penerbitan buku ini, dengan iringan doa semoga Allah SWT memberikan pahalaNya; Amin. Jakarta, Agustus 2015 Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung R.I.
Dr. Ridwan Mansyur SH.,MH
i
DAFTAR SINGKATAN AB
: Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie
AD-ART
: Anggaran Dasar-Anggaran Rumah Tangga
AL
: Angkatan Laut
APBN
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Bawasda
: Badan Pengawas Daerah
BPHN
: Badan Pembinaan Hukum Nasional
BPK
: Badan Pemeriksa Keuangan
BPKP
: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
BUMD
: Badan Usaha Milik Daerah
BUMN
: Badan Usaha Milik Negara
CO
: Concuring Opinion
CPI
: Corruption Perception Index
DO
: Dissenting Opinion
DPO
: Daftar Pencarian Orang
DPR
: Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD
: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
HAM
: Hak Asasi Manusia
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
HIR
: Het Herziene Indlandsch Reglement
HR
: Hoge Raad
ICAC
: Independent Commission Against Corruption
ICJR
: Institute for Criminal Justice Reform
ICJS
: Integrated Criminal Justice System
ICW
: Indonesian Corruption Watch
Irjen
: Inspektur Jenderal
Itwilpro
: Inspektorat Wilayah Provinsi
JPU
: Jaksa Penuntut Umum
KHN
: Komisi Hukum Nasional
KK
: Komisi Kejaksaan
KKN
: Korupsi Kolusi Nepotisme
KUHAP
: Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
KUHP
: Kitab Undang-undang Hukum Pidana
KY
: Komisi Yudisial
Laptah MA-RI : Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia LD
: Landmark Decision
LPSK
: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
MA
: Mahkamah Agung
MK
: Mahkamah Konstitusi
MPR
: Majelis Permusyawaratan Rakyat
Ormas
: Organisasi Kemasyarakatan
PERC
: Political and Economic Risk
PJK
: Penyedia Jasa Keuangan
PK
: Peninjauan Kembali
Polri
: Polisi Republik Indonesia
iv
Daftar Singkatan
PP
: Peraturan Pemerintah
PPATK
: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
PPNS
: Pejabat Pegawai Negeri Sipil
PPNSKLH
: Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Lingkungan Hidup
RPKP MA
: Rapat Pleno Kamar Pidana Mahkamah Agung
SDM
: Sumber Daya Manusia
SEMA
: Surat Edaran Mahkamah Agung
SM
: Saksi Mahkota
SPKN
: Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional
SPP
: Sistem Peradilan Pidana
Tipikor
: Tindak Pidana Korupsi
TPPU
: Tindak Pidana Pencucian Uang
TUAMARI
: Ketua Mahkamah Agung RI
UMI
: Universitas Muslim Indonesia
UNCAC
: United Nations Convention Against Corruption
UNDP
: United Nation Development Program
UU KPK
: Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UUD 1945
: Undang-Undang tentang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UUITE
: Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
UUJARI
: Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia
UUKK
: Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman
UUKPB
: Undang-Undang tentang Kepabeanan
UUMA
: Undang-Undang tentang Mahkamah Agung
UUPPLH
: Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
v
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
UUPPTPPU
: Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
UUPTPK
: Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
VOC
: Verenigde Oost Indische Company
vi
KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
KATA SAMBUTAN KETUA MAHKAMAH AGUNG RI Buku Saudara Prof. Dr. Moh. Askin, S.H., yang berjudul “Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi” ini diangkat dari berbagai artikel, buah karya pikiran jemih yang menggabungkan teori ilmu hukum dan pengalaman penulis dalam praktik, yang dimuat dalam Majalah Hukum Varia Peradilan dan beberapa media massa, di samping mengangkat beragam gagasan pemberantasan korupsi dari berbagai sumber. Korupsi adalah extra ordinary crime yang pemberantasannya menjadi perhatian khusus masyarakat. Dalam kapasitasnya sebagai Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Agung sejak tanggal 27 Oktober 2010 serta pengalaman dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya sebagai dosen hukum pidana, hukum acara pidana dan hukum lingkungan di Fakultas Hukum Unversitas Hasanuddin Makassar juga di Fakultas Hukum lainnya di tanah air, tentu ada banyak hal menarik yang dapat dipetik para pembaca di dalam buku ini. Di tengah kesibukan yang sangat padat, semangat untuk membagikan ilmu melalui tulisan-tulisannya patut dihargai. Buku ini akan memperkaya referensi di bidang ilmu hukum, sebagaimana yang dikatakan dalam peribahasa Latin “Verba Volent Scripta Manent” yang artinya adalah: “Yang diungkapkan akan lenyap, sedangkan yang
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
ditulis akan tetap abadi”. Upaya meningkatkan pemahaman terhadap perkembangan ilmu hukum merupakan keharusan bagi penegak hukum, terutama hakim dalam rangka meningkatkan kualitas putusan. Budaya membaca dan menulis ini saya sangat anjurkan pada jajaran Mahkamah Agung baik hakim karier, hakim nonkarier, maupun hakim ad hoc. Dan bagi praktisi hukum serta masyarakat pada umumnya buku ini akan sangat bermanfaat untuk memahami penegakan hukum dalarn beberapa perkara korupsi. Akhimya kepada para pembaca, saya ucapkan selamat menikmati buku ini. Jakarta, 26 Agustus 2015 Ketua Mahkamah Agung RI
Prof. Dr. M. Hatta Ali, S.H., M.H.
viii
KATA SAMBUTAN KEPALA BADAN URUSAN ADMINISTRASI MAHKAMAH AGUNG RI Buku Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi yang ada di hadapan pembaca, karya Prof. Dr. Mohammad Askin, S.H. merupakan kumpulan tulisan atau artikel pilihan yang telah dimuat pada media cetak khususnya Varia Peradilan dan kegiatan ilmiah lainnya. Pokok bahasannya berkaitan dengan pengalaman penulis sebagai hakim ad hoc dalam menangani perkara tindak pidana korupsi pada tingkat kasasi. Substansi lainnya berkaitan erat dengan pengalaman penulis sebagai dosen/Guru Besar Ilmu Hukum dan mantan anggota DPR/MPR RI pada era Reformasi (1999-2004). Pada era globalisasi dalam nuansa keterbukaan dewasa ini, peran hakim yang memiliki kemandirian yudisial sangat urgen untuk meningkatkan kualitas putusan yang baik dan cepat. Dasar-dasar hukum yang aktual sebagai landasan pertimbangan terhadap fakta yang ditemukan hakim dalam proses persidangan merupakan suatu keniscayaan untuk dilakukan dalam memutus suatu perkara. Strategi pemberantasan korupsi dari berbagai sumber telah pula dikemukakan dalam buku ini sebagai rujukan bagaimana melawan korupsi yang masih banyak terjadi di negara ini. Penerbitan buku ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada kalangan hukum khususnya kepada para hakim, pencari keadilan, praktisi hukum, dan masya-
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
rakat umum sebagai referensi dalam menegakkan hukum dan keadilan, serta langkah untuk menyamakan persepsi bahwa korupsi harus diberantas. Akhirnya, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Mohammad Askin, S.H. yang dengan ikhlas mewakafkan haknya sebagai penulis dalam penerbitan buku ini, dengan iringan doa semoga Allah swt. memberikan pahala-Nya; Amin. Jakarta, Agustus 2015 Kepala Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung RI
Dr. Drs. Aco Nur, S.H.
x
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku kecil ini dengan baik. Tulisan ini mengetengahkan kajian tentang peran hakim dan penegak hukum lainnya dalam pemberantasan korupsi. Pokok bahasannya merupakan bentuk penerapan hukum yang dilakukan terhadap isu hukum tertentu yang memerlukan pemahaman atau keahlian yang mendalam mengenai ilmu hukum khususnya dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Hal ini berkenaan dengan tugas hakim untuk mendapatkan ratio decidendi atau legal reasoning yakni alasan hukum yang digunakan oleh hakim terhadap putusannya. Fakta hukum diperlukan untuk menemukan aturan hukum yang tepat untuk diterapkan dengan menggunakan metode silogisme dalam menarik kesimpulan. Selain itu dikemukakan bahasan tentang perlunya dukungan kelembagaan dalam pemberantasan korupsi serta terciptanya keterpaduan dalam menegakkan hukum pidana (integrated criminal justice system). Oleh karena itu paparan tulisan ini bersifat parsial sesuai urgensi atau perhatian penulis pada waktunya sehingga substansinya dapat dipilih sesuai keperluan atau perhatian pembaca yang budiman. Tulisan ini berasal dari artikel penulis sebagai kumpulan masalah hukum terpilih (selected issues) yang dimuat dalam berbagai media cetak dan kegiatan ilmiah lainnya terutama keadaan pada lima tahun terakhir, selanjutnya di-update sesuai perkembangan perundang-undangan. Peran hakim yang memiliki
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
kebebasan yudisial dalam menerapkan hukum sangat penting untuk didiskusikan agar tercipta umpan balik dalam menegakkan hukum yang benar dan adil. Gagasan strategi pemberantasan korupsi dengan berbagai pendapat dikemukakan sebagai bahan renungan bagaimana memberantas korupsi secara efektif. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tampilan satu naskah dikemukakan untuk memudahkan pembaca untuk menggunakan undang-undang ini dengan lancar. Alhamdulillah, melalui tulisan ini juga diharapkan dapat membantu untuk menemukan ketentuan hukum yang tepat untuk diterapkan yang cenderung berkembang dari masa ke masa (clinical research). Selain itu, juga diharapkan sebagai bahan masukan bagi pembuat undang-undang dalam rangka pembaruan, kodifikasi, dan sinkronisasi pengaturan hukum pidana dan hukum acara pidana khususnya berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tegur-sapa dan saran konstruktif para pembaca/teman sejawat akan saya terima dengan senang hati untuk penyempurnaan buku ini. Akhirnya pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih kepada segenap pihak khususnya istri tercinta Sukmawati Dg. Tarring, S.Sos. yang setia mendampingi penulis sejak tanggal 15 April 1976, dalam keadaan senang dan susah, dengan dikaruniai lima anak dan lima cucu telah memberikan bantuan, dukungan, dan motivasi yang berkelanjutan untuk bekerja dengan baik, sehingga karya ini dapat dipersembahkan kepada pembaca. Semoga kajian ini merupakan amal ibadah di sisi Allah swt. dalam rangka mengembangkan dan meneruskan ilmu pengetahuan. Jakarta, 14 Mei 2015, Penulis
xii
DAFTAR ISI Daftar Singkatan
iii
Kata Sambutan Ketua Mahkamah Agung RI
vii
Kata Sambutan Kepala Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung RI
ix
Kata Pengantar
xi
Daftar Isi
xiii
PENERAPAN HUKUM BAB 1 Peran Hakim sebagai Agent of Change dalam Mewujudkan Law and Legal Reform
1
A.
Latar Belakang
1
B.
Pokok Masalah
3
C.
Pembahasan
3
1.
Beberapa Peristilahan
3
2.
Peran Hakim sebagai Agent of Change
5
3.
Putusan Pengadilan sebagai Sumber Hukum
15
4.
Kedudukan Yurisprudensi Mahkamah Agung terhadap Hakim Lainnya
16
5.
Keputusan Pengadilan yang Berkualitas Baik
17
6.
Langkah-langkah Peningkatan Kualitas Putusan Hakim
18
D.
Simpulan
19
Daftar Pustaka
21
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
BAB 2 Peran Hakim dalam Menciptakan Landmark Decision
23
A.
Pendahuluan
23
B.
Pokok Masalah
25
C.
Putusan yang Berkualitas Baik
25
D.
Peran Hakim
29
1.
Mufakat dan Tidak Mufakat
30
2.
Kedudukan Yurisprudensi Mahkamah Agung
31
E.
Penutup
32
BAB 3 Peran Hakim terhadap Penggunaan Saksi Mahkota
35
A.
Pendahuluan
25
B.
Pokok Masalah
37
C.
Acuan Doktrinal
38
D.
Analisis Penggunaan Saksi Mahkota
41
1.
Setuju Penggunaan Saksi Mahkota
41
2.
Tidak Setuju Penggunaan Saksi Mahkota
42
3.
SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Plea Bargaining
44
E.
Peran Hakim
44
F.
Penutup
45
BAB 4
xiv
Peran Hakim dalam Penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor pada Dakwaan Subsidiaritas atau Alternatif
47
A.
Pendahuluan
47
B.
Bentuk-bentuk Surat Dakwaan
48
C.
Sebuah Diskusi
49
D.
Peran Hakim
52
E.
Simpulan
53
Daftar Isi
BAB 5 Peran Hakim Tipikor dalam Proses Kasasi Dihubungkan RUU KUHAP
55
A.
Latar Belakang
55
B.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
57
1.
Hakim Pengadilan TPK
58
2.
Kedudukan Hakim Ad Hoc
59
3.
Proses Penyelesaian Perkara Lebih Cepat
59
4.
Proses Acara Perkara Korupsi Didahulukan Penyelesaiannya
60
5.
Pembuktian
61
6.
Perlindungan Pelapor dan Justice Collaborator/Whistle Blower
62
7.
Transparansi dan Akuntabilitas
63
8.
Rehabilitasi dan Kompensasi
64
C.
D.
Peranan Hakim Tipikor dalam Perkara Kasasi
64
1.
Penjatuhan Sanksi Pidana
66
2.
Rancangan KUHAP
67
Simpulan
67
BAB 6 Penerapan Sanksi Pidana dalam Kasus Tipikor
69
A.
Pendahuluan
69
B.
Pidana Tambahan dan Pidana Bersyarat
72
C.
Pendirian Mahkamah Agung
73
D.
Simpulan
77
BAB 7 Putusan Bebas dan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
79
A.
Pendahuluan
79
B.
Ketentuan Perundang-undangan
81
C.
Acuan Doktrinal
81
D.
Penutup
87
xv
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
BAB 8 Pro Kontra Pemidanaan Korporasi Tanpa Dakwaan Khusus Ex Pasal 20 Ayat (1) UUPTPK
89
A.
Pendahuluan
89
B.
Permasalahan
91
C.
Korporasi sebagai Pelaku/Penanggung Jawab Delik
91
D.
Sanksi Pidana terhadap Korporasi
92
1.
Jenis Sanksi Pidana
92
2.
Penuntutan dan Penjatuhan Sanksi terhadap Korporasi
94
3.
Pro Kontra
94
E.
Analisis dan Rangkuman
98
BAB 9 Penyelesaian Perkara secara Cepat dan Berkualitas Baik
99
A.
Pendahuluan
99
B.
Permasalahan
101
C.
Putusan Mahkamah Konstitusi
101
1.
Perbuatan Melawan Hukum
102
2.
Permohonan Peninjauan Kembali
104
3.
Kasasi terhadap Putusan Bebas
105
D.
E.
Ragam Permasalahan Hukum
107
1.
Saksi Mahkota
107
2.
Narkotika
108
3.
Penerapan Hukum yang Dinyatakan Tidak Mengikat
108
4.
Teknik Pembuatan Putusan
108
Kesimpulan
109
BAB 10
xvi
Whistleblower dan Justice Collaborator
111
A.
Peran Serta Masyarakat
112
B.
Reward bagi Whistleblower dan Justice Collaborators
119
Daftar Isi
BAB 11 Dinamika Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana
125
A.
Pendahuluan
125
B.
Permasalahan
127
C.
Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan PK
127
1.
Kuasa Terpidana
127
2.
Jaksa Penuntut Umum (JPU)
128
3.
Ahli Waris Terpidana Secara in Absentia
129
D.
E.
Waktu Pengajuan PK
131
1.
Putusan Mahkamah Konstitusi
132
2.
SEMA Nomor 7 Tahun 2014
132
3.
Pro Kontra
133
4.
Dukung Langkah MA
133
5.
Pendapat Lain
134
6.
Petunjuk Teknis
134
7.
Mengakhiri Perdebatan
135
Penutup
135
BAB 12 Dukungan Kelembagaan dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Peradilan Tipikor
137
A.
Pendahuluan
137
B.
Kekuasaan Kehakiman
138
C.
Sistem Peradilan Tipikor
140
1.
Pembuatan Surat Dakwaan
142
2.
Sanksi terhadap Korporasi
143
3.
Pengajuan Perkara Kasasi Secara Selektif
145
4.
Splitsen Perkara Secara Berlebihan?
146
D.
Penutup
147
xvii
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
BAB 13 Komisi Yudisial sebagai Penegak Kekuasaan Kehakiman
149
A.
Pendahuluan
149
B.
Permasalahan
150
C.
Pembahasan
151
1.
Pengawasan Perilaku Hakim oleh Komisi Yudisial
151
2.
Pengawasan Tingkah Laku Hakim oleh Mahkamah Agung
157
3.
Perbandingan Antara Kewenangan MA dengan Kewenangan KY
158
D.
Simpulan dan Saran
160
BAB 14 Upaya Hukum Kasasi terhadap Putusan Bebas
161
A.
Pendahuluan
161
B.
Acuan Doktrinal dan Empiris
163
C.
Pendirian Mahkamah Agung
167
D.
Membendung Arus Permohonan Kasasi
168
BAB 15 Keterpaduan dalam Penyidikan Perkara Pidana
171
A.
Pendahuluan
171
B.
Aparat Penyidik
172
C.
Perkembangan Ketentuan Penyidik
172
D.
Prapenuntutan
176
E.
Jaksa sebagai Penyidik dan Penuntut Umum Perkara Tindak Pidana Khusus
177
F.
Perlu Koordinasi
181
Daftar Pustaka
182
BAB 16
xviii
Hukum Acara Pidana tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
183
A.
Undang-Undang Pemberantasan Tipikor
183
1.
183
Tinjauan Umum
Daftar Isi
B.
2.
Peradilan in Absentia
189
3.
Pembuktian
190
4.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
194
5.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
205
Undang-Undang Pencucian Uang
Daftar Pustaka
215 223
STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI BAB 17 Pemberantasan Korupsi: Sebuah Keharusan
225
Daftar Pustaka
234
BAB 18 Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
237
A.
Keadaan di Indonesia
237
B.
Hubungan Pemberantasan Korupsi dengan Pembangunan
240
C.
Kerangka Hukum dan Kebijakan Nasional
243
1.
Era Reformasi
243
2.
Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
245
D.
Strategi dan Rencana Aksi KPK
247
1.
Komitmen untuk Memberantas Korupsi
247
2.
Strategi dan Rencana Aksi KPK
247
E.
Kompetensi dan Komitmen untuk Memberantas Korupsi
250
F.
Simpulan
250
Daftar Pustaka
251
Lampiran I/18: Strategi Pemberantasan Korupsi
253
Lampiran II/18 Upaya-upaya dalam Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional
254
BAB 19 Berbagai Gagasan Strategi Pemberantasan KKN
257
xix
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
BAB 20 UUPTPK dalam SATU NASKAH (Naskah Lengkap (Gabungan) tentang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) 265 Indeks
xx
309
1 PERAN HAKIM SEBAGAI AGENT OF CHANGE DALAM MEWUJUDKAN LAW AND LEGAL REFORM1 A. LATAR BELAKANG Gerakan reformasi di bidang hukum dan peranannya di masyarakat telah dilaksanakan secara gradual yang dimulai dengan dilakukannya Perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan diikuti perundang-undangan lainnya secara berkelanjutan.2 Sejalan dengan gerakan reformasi ini proses transformasi masyarakat ke arah yang dicita-citakan melalui hukum pun hendaknya dilakukan secara berbarengan. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
1
2
Sebagian isi artikel ini telah dimuat dalam Jurnal Hukum “Ishlah” Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Nomor 24 Tahun X-2009. Updating dilakukan untuk penyesuaian terhadap perubahan perundangundangan yang terjadi antara lain Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mencabut Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Peran hukum dimaksud akan berbeda halnya pada negara yang pemerintahannya konservatif atau tidaknya golongan yang berkuasa. Sunaryati Hartono (1991, hlm. 82), menyatakan bahwa negara-negara otokratis yang dikuasai oleh golongan yang eksklusif cenderung menolak perubahan, dan karenanya hanya melihat hukum sebagai alat untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
2 PERAN HAKIM DALAM MENCIPTAKAN LANDMARK DECISION A. PENDAHULUAN Putusan penting yang telah diciptakan oleh pengadilan khususnya lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung di Indonesia, Hoge Raad di Belanda, Cour de Cassation di Prancis, Bundesgerichtshof di Jerman, atau Supreme Court di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, senantiasa ditunggu kalangan hukum sebagai rujukan dalam memecahkan suatu kasus hukum. Lahirnya putusan penting (landmark decision = LD) diawali dengan suatu penemuan hukum. Penemuan hukum pada hakikatnya dapat dilakukan orang perorangan, maupun kelompok terutama kalangan hukum atau penegak hukum (hakim, jaksa, advokat/konsultan hukum) peneliti hukum, maupun pembuat uandang-undang. Hakim dalam melakukan langkah penemuan hukum untuk keperluan memutus perkara secara tepat, benar, dan adil, hasilnya dapat merupakan hukum atau sumber hukum. Bagi pembuat undang-undang hasil hasil kerjanya bersifat preskriptif terhadap fenomena sosial yang sekaligus juga merupakan hukum atau sumber hukum. Bagi peneliti hukum penelitian pada prinsipnya dilakukan secara teoretis dan selanjutnya akan menghasilkan doktrin yang juga dapat merupakan sumber hukum. Pada diskursus ini kajiannya ditujukan kepada hasil kerja hakim dalam memutus perkara secara in concreto.
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Laptah MARI) Tahun 2013 terdapat dua belas putusan yang dinyatakan sebagai landmark decision (LD) masing-masing 5 perkara pidana, (3 pidana khusus, dan 2 pidana umum), 2 perkara agama, 1 perdata khusus, 2 militer, 1 TUN, dan 1 perkara uji materiil. Tampilan ini tentu merupakan berita baik yang patut diapresiasi yang selama ini belum dikaji secara maksimal. Dari segi jumlah putusan MA tahun 2013 merupakan prestasi mencolok dalam kinerja penanganan perkara yang berhasil memutus 16.034 kasus. Jumlah ini dilaporkan sebagai quantum tertinggi dalam sejarah MA setelah mengalami anjlok di tahun 2012. Tidak dijelaskan seluk beluk lahirnya penilaian LD tersebut, bagaimana metode penilaian yang digunakan, berapa putusan yang masuk nominasi, dan kompetensi dalam melakukan penilaian. Sebagai hasil karya monumental, tentu sangat fair untuk diketahui karena menghasilkan putusan yang berkualitas baik dengan menggunakan dasar argumentasi yuridis dan teoretis yang kuat, sama pentingnya dengan menyelesaikan banyak perkara dalam waktu yang relatif cepat.1 Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Hakikat tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Beberapa tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara normatif telah diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) antara lain: (a) mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang (Pasal 4 ayat (1)); (b) membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2)); (c) tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1)); (d) Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan (Pasal 22 ayat (1)); dan (e) wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)). 1
24
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Hakim, Mahkamah Agung RI, 2003, hlm. 251.
Bab 2: Peran Hakim dalam Menciptakan Landmark Decision
Hakim dalam melaksanakan tugasnya akan mendasarkan putusannya pada ketentuan perundang-undangan. Meskipun demikian perundang-undangan yang dimaksud tidak akan selalu mampu atau dapat diterapkan terhadap kasus atau perkara yang dihadapi (asas legalitas). Untuk itu hakim harus melakukan penemuan hukum agar dapat memberi putusan terhadap perkara yang dihadapi secara benar dan adil sebagai dasar terciptanya landmark decision.
B. POKOK MASALAH Mencermati peran hakim yang sangat strategis untuk meningkatkan kualitas putusan dalam mewujudkan landmark decision dapat dikemukakan permasalahan: 1.
Bagaimana bentuk putusan pengadilan yang dapat dinilai sebagai putusan yang baik (landmark decision)?
2.
Bagaimana peran hakim untuk meningkatkan kualitas putusan pengadilan?
Untuk menjawab permasalahan di atas akan dicoba mengidentifikasi beberapa hal sebagai bahan diskusi lanjutan.
C. PUTUSAN YANG BERKUALITAS BAIK Sebuah keputusan pengadilan yang berkualitas baik antara lain dapat dikembalikan kepada doktrin Stare Decisis (SD) yang lazin digunakan pada common law system. Dalam doktrin SD, hakim terikat oleh keputusan hakim terdahulu dalam mengadili perkara yang serupa. Berbeda halnya dengan doktrin per incuriam yakni pengadilan mengambil putusan telah salah memahami ketentuan undang-undang atau putusan pengadilan terdahulu. Putusan pengadilan yang belakangan dengan tidak mengikuti putusan hakim terdahulu dapat menyatakan menerapkan doktrin per incuriam.2 Doktrin stare decisis demikian dalam praktik juga dikenal pada civil law system terhadap putusan yang berkualitas baik atau penting (landmark decisions) dan dapat dijadikan rujukan atau premis mayor terhadap suatu perkara yang dihadapi di pengadilan. Metode
2
Lihat juga Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 45.
25
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
demikian sering disebut clinical research yang bertujuan bukan untuk menemukan hukum in abstracto (apalagi asas dan doktrinnya), melainkan hendak menguji apakah suatu postulat normatif tertentu memang dapat atau tidak dapat dipakai untuk memecahkan suatu masalah hukum tertentu secara in concreto. Putusan Mahkamah Agung3 yang telah dinilai cukup baik sebagai LD antara lain: (a) Putusan MA dalam Perkara Pidana No. 1616K/Pid.Sus/2013, Terdakwa Angelina Patricia Pingkan Sondakh dengan kaidah hukum yang disimpulkan bahwa “Pidana maksimum layak dijatuhkan terhadap terdakwa yang secara aktif memprakarsai pertemuan dan meminta imbalan (fee) memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi”; (b) Putusan MA dalam Perkara Agama No. 402 K/AG/2013 antara Tjahaya Fuktono dkk. (pemohon kasasi) versus Vennie Arianie (termohon kasasi) dengan kaidah hukum yang disimpulkan bahwa “Penguasaan atas harta waris yang belum dibagikan pada masing-masing pihak yang berhak sesuai dengan porsi masing-masing adalah tidak sah dan melanggar hukum”. Dua di antara dua belas putusan MA di atas yang berkualitas LD tentu masih sangat baru yang penilaiannya dilakukan secara internal institusi dan belum merupakan yurisprudensi tetap yang banyak diikuti hakim lainnya. Putusan MA yang banyak dijadikan rujukan dan berkualifikasi LD adalah putusan MA dalam Perkara Pidana No. 78/1979. Putusan ini telah menciptakan yurisprudensi baru dalam sistem pemidanaan. Dengan putusan ini telah menciptakan kaidah hukum baru yakni “jika dalam putusan pengadilan tidak terdapat persesuaian antara pernyataan kesalahan yang dilakukan terdakwa dengan berat hukuman pidana yang dijatuhkan, Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi dapat menilainya; sehingga hukuman yang dijatuhkan itu memadai bagi tujuan edukatip, preventif, korektif, dan represif ”.4 Sebelum putusan ini, MA sebagai pengadilan kasasi menganggap dirinya tidak berwenang menilai tentang “berat ringannya” hukuman yang dijatuhkan. Contoh putusan hakim lainnya yang sangat klasik sebagai LD dan telah digunakan sebagai premis mayor adalah putusan Hoge Raad (HR) Belanda atas kasus Lindenbaum v Cohen (1919) yang menghasilkan pemahaman baru mengenai Onrechtmatige Daad =
3 4
26
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2013, Jakarta, 2014, hlm. 251 dan 263. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, hlm. 1107.
Bab 2: Peran Hakim dalam Menciptakan Landmark Decision
OD (perbuatan melawan hukum) yang sampai sekarang masih berlaku. Pengertian perbuatan melawan hukum ex Pasal 1365 KUHPerdata sebelm tahun 1919 para hakim mengidentikkan perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan melanggar undangundang; sebagai konsekuensi dianutnya aliran legisme yang menempatkan hakim hanya sekadar “terompet undang-undang” (the judge as la bouche de la loi). Setelah keluarnya putusan HR 1919 tersebut di atas telah mengartikan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) itu, adalah berbuat atau tidak berbuat, yang (a) melanggar hak subjek hukum lain, (b) bertentangan dengan kewajian hukum dari si pelaku, (c) bertentangan dengan nilai kepatutan yang seyogianya diindahkan dalam kehidupan bersama terhadap integritas subjek hukum maupun harta bendanya. Begitu juga kasus pencurian aliran listrik yang diputuskan oleh Hoge Raad Belanda (1921). Agar suatu putusan hakim dapat diangkat derajatnya sebagai yurisprudensi yang berkualitas baik sebagai stare decisis dapat diperhatikan hal-hal sebagai berikut:5 Pertama, putusan tersebut mengandung “ratio decidendi”6, yakni: (a) putusan menjelaskan “dasar-dasar hukum” yang aktual sebagai landasan pertimbangan; atau (b) putusan menjelaskan “alasan-alasan” hukum yang “aktual” dan “rasional”, dan dari alasanalasan itulah diambil kesimpulan dan aturan hukum yang ditetapkan hakim dalam putusan yang dijatuhkan; dan (c) semua “fakta” yang ditemukan hakim dalam proses persidangan, harus dipertimbangkan dengan saksama. Kedua, putusan juga harus mengandung “obiter dicta”7 yakni memuat: (a) hal-hal yang tidak pokok tetapi yang dapat menjelaskan lebih terang “ratio decidendi” harus tertuang dalam putusan; (b) dengan demikian kandungan “obiter delicta” dalam putusan merupakan pelengkap “ratio decidendi”, meskipun “obiter dicta” bukan hal yang pokok dalam putusan.
5
6
7
Francs Rusels, (hlm. 49) vide Harahap, M. Jahya, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 195. Black’s Law Dictionary, St. Paul Minn. West Publishing Co., 1979, hlm. 1135, bahwa Ratio decidendi adalah: the ground or reason of decision. The point in a case which determines the judgment. Martin Basiang, Law Dictionary, Obiter dicta (dictum) merupakan suatu pendapat sampingan (sambil lalu) dari hakim, namun bukan bagian dari keputusan atau vonis hakim dan tidak mengikat, namun dapat dipertimbangkan sebagai sesuatu yang mendidik; Red & White Publishing, First Edition, 2009; Lihat juga Black’s Law Dictionary, Ibid., hlm. 967, bahwa Obiter dicta; dictum; adalah words of an opinion entirely unnecessary for the decision of the case …
27
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Patut dicatat bahwa tak ada doktrin Stare Decisis (SD) dalam tradisi civil law, sehingga dalam teori, sebuah perkara bisa diabaikan begitu saja dan tidak perlu diikuti oleh pengadilan berikutnya. Premis dasar adalah bahwa legislatorlah yang menciptakan atau membentuk hukum. Meski demikian, dalam praktik putusan pengadilan pun telah banyak dijadikan dasar pemutusan perkara di samping ketentuan perundangundangan. Penggunaan SD dari dua sistem hukum yang disebut di atas pada nyatanya sudah semakin berdekatan. Putusan pengadilan yang bernilai penting, telah memainkan peran yang sangat berarti dalam mengembangkan hukum di negara-negara civil law, khususnya apabila peraturan hukum atau undang-undang belum tersedia untuk menangani situasi-situasi yang sulit atau baru. Putusan hakim yang berkualitas baik dikembalikan kepada tugas pokok hakim yakni menegakkan hukum dan keadilan. Perdebatan akan senantiasa muncul akan makna keadilan itu sendiri, meski dalam tulisan ini tidak akan berseluk beluk tentang itu. Suatu putusan hakim adalah hasil abstraksi atau proses pemikiran tentang apa yang dianggap sebagai suatu masalah. Di situ sangat banyak faktor yang berpengaruh. Faktor tersebut antara lain: dinamika masyarakat, dinamika para kelompok orang dalam masyarakat, dinamika dari para lingkungan organisasi, adanya tekanan dari luar, adanya pengaruh kebiasaan lama, adanya pengaruh sifat pribadi, adanya pengaruh kelompok luar, dan adanya pengaruh keadaan masa lalu. Selain itu keputusan seseorang dapat pula dipengaruhi oleh nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya. Nilai dimaksud dapat berupa: nilai politis, nilai organisasi, nilai pribadi, nilai kebijaksanaan, dan nilai ideologi.8 Keterampilan dan kemampuan dalam menghadapi dan mengantisipasi problematika hukum dalam masyarakat untuk selanjutnya memberikan solusi, juga satu sisi penting untuk menciptakan putusan berkualitas baik. Keterampilan dimaksud meliputi: (a) legal problem identification, yaitu kemampuan untuk merumuskan atau mengidentifikasi masalah-masalah hukum, (b) legal problem solving, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah hukum, dan (c) decision making, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan.9
8
9
28
Jurnal Ilmiah Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh, Kanun, No. 15 Tahun VI, Desember 1996, hlm. 15, vide Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 197. Bdk. Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum – Upaya Mewujudkan Hukum, UII Press, 2006, hlm. 26-27.
Bab 2: Peran Hakim dalam Menciptakan Landmark Decision
D. PERAN HAKIM Peran hakim dalam kajian ini dikaitkan dengan peran berupa pelaksanaan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan penemuan hukum dan penciptaan hukum dalam memutuskan perkara in concreto. Sekurang-kurangnya tiga rangkaian kegiatan yang harus dilakukan secara bertahap agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik,10 yaitu (1) Mengkonstatasi tentang terjadinya suatu peristiwa yakni hakim menetapkan terjadinya peristiwa konkret berdasarkan bukti-bukti yang ada. Hakim sangat dituntut kemampuan untuk mengidentifikasi isu hukum secara tepat. Tidak dapat disangkal adakalnya pencari keadilan mengajukan persoalan seolah-olah sarat dengan masalah hukum namun sesungguhnya bukan masalah hukum. (2) Mengkualifikasi dalam hal ini berupaya menemukan hukumnya secara tepat terhadap perisitiwa yang telah dikonstatir dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut. Setelah isu hukum diperoleh, dilanjutkan dengan menetapkan norma hukum sebagai premis mayor yang tepat. Undang-undang sebagai premis mayor harus disesuaikan dengan peristiwanya agar undang-undang tersebut dapat mencakup atau meliputi peristiwanya. (3) Melalui proses silogisme dari premis mayor dihubungkan dengan fakta hukum yang relevan akan dapat ditemukan dan diterapkan hukum positif yang dimaksud. Dalam memberikan putusan, perlu memerhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukumnya (rechtssicherheit) dan kemanfaatannya (zweckmassigkeit). Problematik hukum yang perlu dikaji berkenaan dengan peranan hakim sangat tergantung pada kasus yang dihadapi. Dalam perkara tipikor misalnya, berbagai karakter khusus yang dimiliki yang sangat memerlukan pertimbangan yang tepat di antaranya: (1) penerapan Pasal 2 atau Pasal 3 UU UUTPK; (2) Pasal 18 ayat (1) huruf b tentang uang pengganti; (3) penjatuhan sanksi terhadap korporasi; (4) penerapan Pasal 11 dan Pasal 12 huruf a dan huruf b atau Pasal 5; (5) pengajuan dakwaan secara alternatif, subsider, atau kumulatif; (6) pengertian kerugian negara; (7) hasil audit kerugian negara yang dilakukan oleh BPK, BPKP, atau auditor independen/inspektorat; (9) penerapan sanksi hukum secara kumulatif dan/atau alternatif; (10) aspek pertanggungjawaban dalam penyertaan (deelneming);
10
Ibid., hlm. 17.
29
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
dan lain-lain. Hal-hal ini sangat sering menimbulkan kehangatan untuk mencapai kesepakatan dalam pemutusan perkara. Hal yang berkaitan dengan tugas penyelesaian perkara dari problematik hukum di atas diperlukan penciptaan kaidah hukum yang layak diterapkan untuk mewujudkan keadilan substantif. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan penemuan hukum (Rechtsvinding = RV) atau pembentukan hukum (Rechtsschepping = RS). Ajaran penemuan hukum ini, menjawab pertanyaan bagaimana menerapkan suatu ketentuan perundangundangan yang tidak jelas. Dalam keadaan demikian tersedia metode interpretasi atau metode penafsiran. Terhadap aspek pembentukan hukum (rechtsschepping) berkonotasi bahwa hukumnya tidak ada atau sekalipun hukumnya sudah ada tetapi tidak jelas atau kurang lengkap, sehingga harus menciptakan hukum yang baru sebagai penyempurnaan dan/atau pengganti hukum yang ada agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) atau lebih tepat disebut wetsvacuum. Upaya RV maupun RS di atas dapat dikembalikan kepada metode penemuan hukum yang telah dikembangkan melalui metode interpretasi, argumentasi, atau eksposisi (konstruksi hukum). Penguasaan atau keterampilan penggunaan metode penemuan hukum dimaksud tentu merupakan keniscayaan menghadapi problema sosial yang terus berkembang.
1. Mufakat dan Tidak Mufakat Proses akhir dari tugas pengadilan adalah pengambilan keputusan yang diawali dengan musyawarah. Hasil mufakat adalah tujuan terdekat yang ingin dicapai, akan tetapi kadang terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat dipertemukan, akibatnya lahirlah pendapat yang berbeda yang disebut Dissenting Opinion (DO). Pasal 14 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 (UUKK) berbunyi “Dalam hal sidang pemusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan”. Fenomena lainnya yang muncul adalah Concuring Opinion (CO); dalam praktik kadang juga muncul sebagai bentuk pengajuan alasan yang berbeda dalam pengambilan keputusan. CO ini biasanya timbul atas adanya perbedaan pendapat tentang legal reasoning suatu perkara meskipun putusan akhirnya atau amar putusan telah terdapat kesepakatan. Perbedaan ini pun wajib dicantumkan dalam putusan. Lahirnya DO atau CO hendaknya tidak dipandang negatif dengan alasan tidak ter-
30
Bab 2: Peran Hakim dalam Menciptakan Landmark Decision
cipta suara mufakat bulat oleh karena DO dan CO adalah manifestasi atas kemandirian hakim dalam memutus perkara. Pasal 3 ayat (1) UUKK 2009, berbunyi: “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”. Sebuah argumentasi DO dan CO hemat penulis dapat pula dipandang sebagai substansi yang patut dipertimbangkan dalam penilaian sebuah putusan berkualitas baik. Untuk meningkatkan kualitas putusan hakim, perlu ditempuh langkah antara lain: (a) Mewujudkan SDM hakim yang profesional, berintegritas, dan dapat menciptakan keputusan secara prima. Untuk keperluan rekrutmen SDM, perlu dilakukan kelengkapan pola perekrutan dan penggantian hakim yang lebih integratif, transparan, dan akuntabel. (b) Menyelenggarakan pembaruan sistem pendidikan dan pelatihan. Budaya meningkatkan pengetahuan hendaknya senantiasa dihidupkan sehingga dapat memengaruhi kualitas putusan maupun kinerja lembaga peradilan. Langkah ini dilakukan tidak hanya terhadap hakim karier maupun nonkarier, tetapi hakim ad hoc yang ditunjuk untuk menangani perkara pada pengadilan khusus (Tipikor, PHI, Perikanan, dan HAM) juga perlu selalu ditingkatkan pengetahuannya.11 Keadaan ini tentu disesuaikan dengan sistem yang memungkinkan memperdalam pengetahuannya baik melalui program dengan memberi kesempatan mengikuti berbagai forum diskusi dan pelatihan maupun forum pelatihan/diskusi. (c) Mewujudkan sarana dan prasarana pendukung yang memadai. Hal ini tentu mengandung arti yang luas, namun dapat dibatasi terutama pada kesempatan untuk mengakses informasi terutama berkaitan dengan tugas-tugas pokok sebagai hakim. Pusat informasi dan kelengkapan sarana perpustakaan yang up to date adalah sebuah keharusan.
2. Kedudukan Yurisprudensi Mahkamah Agung Meskipun ada pro kontra kalau dikatakan yurisprudensi itu adalah sebagai sumber hukum positif, namun hemat penulis beberaa hal perlu dicatat bahwa yurisprudensi ini sangat berguna dalam beberapa aspek, yakni: (a) akan menjadi dasar keputusan
11
Bdk. Mahkamah Agung, Op. Cit., hlm. 251.
31
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
bagi hakim lainnya yang mengadili perkara yang sama; (b) sebagai bahan hukum primer bagi seorang peneliti hukum; dan (c) berguna bagi kalangan legislatif. Dengan diterapkannya sistem kamar dalam penanganan perkara di MA maka langkah untuk menghasilkan standarisasi putusan (yurisprudensi) semakin konkret. Khusus kegunaan Yurisprudensi MA terhadap hakim yang lain, dapat dikemukakan bahwa MA adalah lembaga peradilan tertinggi yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalan kekuasaan kehakiman. Untuk itu meskipun negara ini menganut civil law system, namun terutama keputusan hakim agung mempunyai kewibawan (gezag) untuk diikuti oleh hakim rendahan. Dapat dikatakan bahwa secara psikologis hakim rendahan akan cenderung mengikuti keputusan hakim yang lebih tinggi terutama keputusan yang dibuat oleh hakim agung atas pertimbangan: pertama, alasan praktis yakni besar kemungkinan dalam hal hakim rendahan membuat keputusan yang bertentangan dengan keputusan hakim yang lebih tinggi tingkatannya maka keputusannya akan ditolak, dan kedua, berdasarkan kesesuaian pendapat yakni hakim rendahan sependapat dengan hakim yang lebih tinggi.
E. PENUTUP Penulis ingin mengulangi pernyataan di atas bahwa putusan hakim yang berkualitas baik dan dapat diangkat derajatnya sebagai yurisprudensi yang bernilai penting (landmark decision) adalah dikembalikan kepada pertimbangan, Pertama, putusan tersebut mengandung “ratio decidendi”, yakni: (1) menjelaskan “dasar-dasar hukum” yang aktual dan rasional sebagai landasan pertimbangan dan dari alasan itulah diambil kesimpulan dan aturan hukum yang diterapkan terhadap putusan in casu; (2) semua “fakta” yang ditemukan dalam proses persidangan, harus dipertimbangkan dengan saksama; dan Kedua, mengandung keterangan pelengkap berupa “obiter dicta”. Peran hakim dalam meningkatkan kualitas putusannya, juga dikembalikan kepada tiga rangkaian kegiatan. Pertama, menetapkan terjadinya peristiwa konkret berdasarkan bukti-bukti yang ada dengan kemampuan untuk mengidentifikasi isu hukum secara benar. Kedua, berupaya menemukan dan menerapkan hukumnya sebagai premis mayor secara tepat terhadap perisitiwa in concreto. Ketiga, menganalisis secara silogisme kaitan
32
Bab 2: Peran Hakim dalam Menciptakan Landmark Decision
premis mayor dengan fakta hukum yang telah ditemukan untuk menerapkan hukum positif secara tepat. Summa summarum, bahwa menciptakan putusan yang berkualitas baik adalah sama pentingnya dengan upaya menyelesaikan perkara secara cepat. Bahwa suatu putusan yang baik, di dalamnya tersimpul secara proporsional unsur keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Mari berlomba menyelesaikan perkara dan menciptakan putusan yang berkualitas baik (landmark decision).
33
3 PERAN HAKIM TERHADAP PENGGUNAAN SAKSI MAHKOTA A. PENDAHULUAN Penggunaan saksi mahkota dalam perkara pidana, semakin sering digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam pengajuan perkara ke pengadilan. Khusus perkara tindak pidana korupsi, hampir semuanya menggunakan saksi mahkota oleh karena modus operandinya berkaitan dengan deelneming (penyertaan). Istilah saksi mahkota (SM) tidak dikenal dalam KUHAP, namun dalam praktik sangat sering digunakan. Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2437/K/Pid.Sus/2011 SM didefinisikan sebagai “saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota”. Selain putusan MA a quo, saksi mahkota juga disebut dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung RI (SEJA) No. B-69/E/ 02/1997 perihal Pembuktian dalam Perkara Pidana yang antara lain menyatakan bahwa: “Dalam praktik saksi mahkota digunakan dalam hal terjadi penyertaan (deelneming), di mana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim. Dengan pertimbangan bahwa dalam status sebagai terdakwa, keterangannya hanya berlaku untuk dirinya sendiri, oleh karena itu dengan berpedoman pada Pasal 142 KUHAP, maka berkas perkara harus diadakan pemisahan (splitsing), agar para terdakwa dapat disidangkan
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
terpisah, sehingga terdakwa yang satu dapat menjadi saksi terhadap lainnya”. SEJA tersebut juga menyinggung adanya Yurisprudensi MA No. 1986K/Pid/1989 tgl. 2 Maret 1990, bahwa jaksa penuntut umum diperbolehkan oleh undang-undang mengajukan teman terdakwa yang ikut serta dalam melakukan perbuatan pidana tersebut sebagai saksi di persidangan, dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa, tidak termasuk dalam berkas perkara yang diberikan kesaksian. Selain menyinggung putusan MA yang membenarkan penggunaan saksi mahkota tersebut, juga dikemukakan putusan berkenaan dengan kasus pembunuhan Marsinah masing-masing Keputusan MA No. 1174 K/Pid/1994, 381 K/Pid/1994, 1592 K/Pid/ 1994, dan 1706 K/Pid/1994 yang menyatakan bahwa “saksi mahkota bertentangan dengan hukum”. Dalam SEJA ini diingatkan bahwa mengantisipasi kemungkinan adanya hakim yang menjadikan putusan MA dalam kasus pembunuhan Marsinah tersebut sebagai dasar putusannya, maka dalam menggunakan saksi mahkota, supaya sedapat mungkin diupayakan juga tambahan alat bukti lain. SEJA ini memberi peringatan bagi JPU bahwa dalam menggunakan saksi mahkota hendaknya tidak mengutamakan keterangan SM melainkan harus pula mengajukan saksi tambahan untuk memperkuat dakwaan JPU. Dengan kata lain SE Kejaksaan Agung ini, juga memahami dengan baik bahwa penggunaan SM ini adalah bersifat alternatif dalam keadaan yang sangat diperlukan saja digunakan SM tersebut. Penggunaan saksi mahkota di berbagai negara juga terjadi dengan istilah: kroon’getuige di Belanda, staatszungen di Jerman, Pentiti kemudian menjadi collaboratore della giustizia di Italia, selanjutnya dengan berbagai istilah seperti informant witness, accomplice evidence, corroborative evidence, justice collaboratour di Amerika Serikat. Saksi mahkota dalam tulisan ini diartikan saksi yang juga sekaligus sebagai terdakwa dalam perkara yang bersifat deelneming (penyertaan). SM dalam satu berkas ditempatkan sebagai terdakwa dan pada berkas lainnya (splitsen/splitsing) ditempatkan sebagai saksi. Mahkota diberikan kepada saksi tersebut oleh karena menyandang dua peran yakni sebagai terdakwa dan sekaligus juga sebagai saksi dalam perkara lainnya. Dengan demikian penggunaan SM oleh JPU, dilakukan terhadap penunutan perkara secara terpisah (splitsing) dari berkas yang memuat suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka/terdakwa. Bahwa praktik pengajuan SM
36
Bab 3: Peran Hakim terhadap Penggunaan Saksi Mahkota
yang demikian ditujukan terhadap perkara pidana yang sangat sulit atau minim pembuktiannya. Dalam tulisan sebelumnya1 penulis mengemukakan bahwa JPU memiliki kewenangan untuk menuntut secara terpisah (splitsing) dari berkas perkara yang memuat beberapa perbuatan pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka/terdakwa berdasarkan Pasal 142 KUHAP. Pemisahan perkara yang demikian secara praktis mempunyai keuntungan, yaitu masing-masing di antara mereka secara bergiliran dapat menjadi terdakwa atau saksi dalam perkara yang terpisah itu. Pemberkasan perkara tipikor secara terpisah dewasa ini tidak lagi merupakan keadaan yang langkah melainkan sudah merupakan kebiasaan dan tidak lagi dipersoalkan sedekat mana splitsing perkara ini sejalan dengan ketentuan hukum yang berlaku baik secara nasional maupun internasional. Dijadikannya terdakwa menjadi saksi yang disebut saksi mahkota itu, dalam praktik telah menimbulkan pro kontra sehingga perlu didiskusikan untuk kemungkinannya dapat menyamakan persepsi guna menghindari terjadinya disparitas putusan; bahkan lebih dari itu kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi bagi seorang terdakwa.
B. POKOK MASALAH Mencermati kedudukan saksi mahkota yang semakin banyak digunakan dalam praktik, dapat dikemukakan permasalahan: 1.
Bagaimanakah kedudukan saksi mahkota dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku?
2.
Bagaimanakah peran hakim terhadap penggunaan saksi mahkota di pengadilan?
Untuk menjawab permasalahan di atas akan dicoba mengidentifikasi beberapa hal sebagai bahan diskusi lanjutan.
1
Moh. Askin, Dukungan Kelembagaan dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman/Peradilan Tipikor, Varia Peradilan, Nomor 327, 2013, hlm. 51-52.
37
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
C. ACUAN DOKTRINAL 1.
Asas Hukum Internasional memuat larangan menjadi saksi bagi perkaranya sendiri yang dikenal sebagai “larangan self incrimination”. Seorang terdakwa tidak boleh diminta apalagi dipaksa atau diwajibkan menjadi saksi atau memberi pengakuan atau keterangan yang akan memberatkan dirinya sendiri (“In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantes, in full equality: (g) Not to be compelled to testify against himself or to confess gulity” vide ICCPR—International Covenant on Civil and Poltical Right—tahun 1966, Pasal 14 ayat (3) huruf g.
2.
Larangan self incrimination bertalian dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) yang telah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2008 (UUKK), bahwa: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hak dasar atau hak konstitusional bahwa seorang itu tidak boleh ditempatkan untuk menyalahkan dirinya sendiri. Hakim memiliki kemandirian dalam menghadapi proses pemeriksaan di tingkat penyidikan dan penuntutan. Hakim harus tetap berpedoman pada fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan.
3.
Ketentuan Pasal 168 huruf a dan c KUHAP pada pokoknya mengatur bahwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi yang bersama-sama sebagai terdakwa. KUHAP tidak menjelaskan kekecualian dimaksud untuk menjadi saksi apakah dalam bentuk satu perkara atau juga dalam perkara yang dipisah (split). Kejadian ini perlu didiskusikan untuk menyamakan persepsi langkah yang dapat dilakukan dalam penggunaan saksi mahkota dimaksud. Ketentuan lainnya yang bersifat khusus terhadap keterangan saksi, tercantum dalam Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengancam seorang saksi yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar. Anacaman hukumannya pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua
38
Bab 3: Peran Hakim terhadap Penggunaan Saksi Mahkota
belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta rupiah. 4.
SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 4 Tahun 2011 tentang Plea Bargaining (PB).2 Berkenaan dengan penggunaan SM ini, SEMA PB menyatakan bahwa bila ditemukan adanya orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai pelapor tindak pidana (Whistle Blower = WB) dan saksi pelaku orang yang bekerja sama (Justice Collaborator = JC) dapat memberikan perlakuan khusus antara lain memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya seperti menjatuhkan pidana percobaan bersyarakat khusus atau menjatuhkan pidana penjara yang paling ringan. Sedangkan kepada whistle blower tidak dapat dikenakan. Whistle Blower (WB = Peniup Pluit) yang juga telah dikenal dalam sistem hukum di Amerika Serikat adalah mereka yang melaporkan terjadinya tindak pidana tertentu. WB dan SM keduanya terdapat persamaan yakni sama sama mengungkap terjadinya tindak pidana dan segala hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya tindak pidana a quo. Perbedaannya, bahwa pada WB adalah bukan tersangka sedangkan pada SM adalah tersangka/terdakwa yang bersedia membantu penyidik untuk mengungkap rangkaian atau seluk beluk terjadinya kejahatan tertentu yang dikeluarkan sebagai tersangka dalam perkara untuk mana ia bersaksi. SEMA ini memberi kewenangan kepada hakim untuk mempertimbangkan jasa JC berkaitan dengan penjatuhan hukuman, yakni: “Menjatuhkan pidana yang paling ringan di antara para terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dan bila mungkin menjatuhkan pidana percobaan secara bersyarat khusus, Pasal 14 (a) dan Pasal 14 (c) KUHP kecuali undang-undang menentukan lain.
2
Pengertian PB dalam Black’s Law Dictionary (terjemahan bebas), merupakan proses dalam hukum acara pidana dalam hal ini terdakwa dan penuntut umum dalam perkara pidana bekerja sama yang baik untuk menyusun penyelesaian perkara yang ditujukan kepada pengadilan. Biasanya kerja sama dimaksud ditujukan kepada perlakuan terhadap terdakwa yang dinilai lebih ringan tingkat kesalahannya dibandingkan dengan terdakwa lainnya atau dengan membatasi hukuman yang lebih ringan dari hukuman lainnya yang lebih berat.
39
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
5.
Rakernas Mahkamah Agung RI, 2011, mempertegas aturan hukum menyangkut Saksi Mahkota antara lain dapat dilihat dalam Pasal 168 KUHAP dan Pasal 169 KUHAP, harus diterapkan secara selektif agar tidak melanggar hak asasi manusia atau hak dasar konstitusional secara tidak melangar prinsip umum non self incrimination. Hak dasar atau hak konstitusional bahwa seorang itu tidak boleh ditempatkan untuk menyalahkan diri sendiri. Hakim tidak boleh larut dalam proses pemeriksaan di tingkat penyidikan dan penuntutan. Hakim harus tetap berpedoman pada fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan.3
6.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UUPSK) mengatur perlindungan saksi yang termaktub dalam Pasal 10 ayat (2) berbunyi “Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
7.
Pada kenyataannya Mahkamah Agung memiliki dua versi putusan berbeda atas penggunaan SM, yakni: pertama, seorang terdakwa tidak dapat menjadi saksi atas tindak pidana yang ia dan teman-teman pelakunya lakukan; kedua, boleh saja seorang terdakwa menjadi saksi dalam perkara yang dilakukan secara bersamasama dengan terdakwa lainnya terhadap berkas perkara secara terpisah.4
8.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption, 2003) mengatur tentang perlindungan saksi-saksi, para ahli, dan para korban; demikian pula perlindungan bagi para pelapor. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 32 dan Pasal 33 yang pada pokoknya mewajibkan kepada negara peserta untuk mengambil tindakan yang tepat sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di negaranya dan mempertimbangkan untuk memasukkan ke dalam sistem hukum nasional mereka tindakan-tindakan yang tepat terhadap saksi pelapor.
3
4
40
Hasil/Kesimpulan Rakernas Mahkamah Agung RI, Jakarta, 18 s/d 22 Septemnber 2011, vide Varia Peradilan, No. 311 Oktober, 2011, hlm. 46-48. Lihat juga Muhammad Alim, Varia Peradilan, No. 324, 2012, “Saksi Mahkota dalam Perspektif Islam”, hlm. 58-60.
Bab 3: Peran Hakim terhadap Penggunaan Saksi Mahkota
D. ANALISIS PENGGUNAAN SAKSI MAHKOTA Berdasarkan acuan doktrinal di atas, terdapat dua versi penggunaan SM yang dapat diurai sebagai berikut:
1. Setuju Penggunan Saksi Mahkota Keadaan sekarang sudah sangat jarang penolakan penggunaan SM ini, meski masih ada teman sejawat (hakim) yang masih sangat kritis bahkan menolak penggunaannya. Kejadian ini tentu patut diapresiasi atas kemandirian hakim dalam mempertimbangkan dan memutus perkara. Pihak yang menyetujui penggunaan SM berpendapat bahwa hal tersebut dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 142 KUHAP yang pada pokoknya mengatur bahwa penuntut umum melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah apabila terdapat beberapa pelaku suatu tindak pidana. Berkas perkara yang diajukan JPU ke pengadilan dan disidangkan masing-masing secara berdiri sendiri sehingga saksi yang diajukan ke pengadilan tetap dipandang sebagai saksi sempurna seperti yang berlaku pada saksi lainnya tanpa mempersoalkan kedudukannya sebagai SM. Putusan Mahkamah Agung berkenaan dengan SM dapat disimak keadaan tempo doeloe awal-awal penggunaan SM ini, yakni Putusan Perkara Kasasi No. 1986 K/Pid/ 1989 tanggal 21 Maret 1990, dengan susunan majelis hakimnya, Ali Said, S.H., selaku ketua sidang dan hakim agung anggota masing-masing Palti Radja Siregar, S.H. dan R. Soebiantomo, S.H., memutuskan “menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi para terdakwa. Majelis berpendapat: “… penuntut umum/jaksa diperbolehkan mengajukan teman terdakwa sebagai saksi, yang disebut “saksi mahkota” (kroongetuige), asalkan perkara terdakwa dipisahkan dari perkara saksi tersebut (terdakwa dan saksi tidak termasuk dalam satu berkas perkara). Hal tersebut tidak dilarang undangundang”. Pada kenyataannya, penggunaan SM tidak terelakkan lagi dengan maraknya kasus deelneming tipikor yang diajukan ke pengadilan. Kalangan hukum pun (penasihat hukum, JPU, maupun hakim), ternyata tidak atau hampir tidak ada lagi yang menentang penggunaannya.
41
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
2. Tidak Setuju Penggunaan Saksi Mahkota Penganut aliran ini berpendapat bahwa penggunaan SM adalah bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah. Praktik pengajuan saksi mahkota oleh JPU dalam kasus Tipikor telah menyalahi prinsip hukum larangan self incrimination sebagai salah satu unsur praduga tidak bersalah. Andi Hamzah mengemukakan praktik penggunaan SM di Belanda, yang berbeda dengan praktik di negara kita. Bahwa saksi mahkota (Kroon’ getuige; Crown Witness), diajukan dari salah seorang terdakwa yang paling ringan peranannya dalam pelaksanaan kejahatan itu misalnya delik narkoba atau terorisme, dikeluarkan dari daftar terdakwa dan dijadikan saksi. Dasar hukumnya ialah asas oportunitas yang ada di tangan jaksa untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang ke pengadilan baik dengan syarat maupun tanpa syarat.5 SM dalam kedudukannya sebagai terdakwa memiliki hak absolut untuk diam bahkan secara absolut juga memiliki hak ingkar atau berbohong. Pasal 66 KUHAP mengatur bahwa terdakwa tidak memiliki beban pembuktian, namun sebaliknya bahwa beban pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa berada pada JPU. Bahwa begitu terdakwa berubah status menjadi SM dalam kasus yang sama meski terjadi pemisahan perkara (splitsing) maka hak hak mutlak terdakwa secara absolut untuk diam menjadi hilang. Penggunaan SM tidak dibenarkan oleh karena melanggar asas peradilan internasional yakni larangan menjadi saksi yang memberatkan dirinya sendiri (non self incrimination). Seorang terdakwa tidak boleh diminta (langsung atau tidak langsung) apalagi dipaksa menjadi saksi atau memberi pengakuan atau keterangan yang akan memberatkan dirinya sendiri.6 Dokumen PBB-ICCPR menyatakan not to be compelled to testify against himself or to confess guilt, atau untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah (non self incrimination). Larangan ini berkaitan dengan prinsip hukum lainnya asas praduga tidak bersalah yang
5 6
42
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, 2008, hlm. 272. Bdk. Bangir Manan, Asas-asas Peradilan dalam Hukum Internasional, Varia Peradilan, No. 324, 2012, hlm. 16-17.
Bab 3: Peran Hakim terhadap Penggunaan Saksi Mahkota
tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 (UUKK) bahwa “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”. Ketentuan Pasal 189 ayat (3) KUHAP juga dijadikan landasan hukum untuk menolak pengajuan terdakwa sebagai SM sebagai wujud penghargaan hak asasi manusia, khususnya non self incrimination. Mahkamah Agung telah melarang penggunaan SM dalam perkara pembunuhan Marsinah tahun 1993. Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1174 K/Pid/1994 dengan Terdakwa/Pemohon Kasasi Ny. Mutiari, dan Putusan MA No. 1952K/Pid/1994 dengan Terdakwa Bambang Wuryangtoyo, Widayat, dan Ahmad Sutiyono Prayogi; Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut: “Bahwa JF telah salah menerapkan hukum pembuktian di mana para saksi yang adalah para terdakwa dalam perkara dengan dakwaan yang sama yang dipecah-pecah adalah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, lagi pula para terdakwa telah mencabut keterangannya di depan penyidik dan pencabutan tersebut beralasan karena adanya tekanan fisik maupun psikis dapat dibuktikan secara nyata di samping itu keterangan saksi-saksi lain yang diajukan ada persesuaian satu sama lain”. Dalam perkara ini terdapat 19 orang saksi mahkota yang diajukan dan didengar keterangannya dalam perkara Terdakwa KUSNIATI ACHYAR binti M. Thoha, juga terdakwa dalam perkara ini, yang memiliki hak mungkir tersebut dan dijadikan saksi mahkota dalam perkara terdakwa. Adi Andojo Soetjipto7 menyatakan bahwa cara pembuktian dengan menggunakan saksi mahkota (kroon’getuige) tidaklah dibenarkan dan dilarang menurut Ilmu Pengetahuan Hukum. Pendapat ini dikemukakan berkenaan dengan Putusan MA No. 429K/Pid/1995 yang menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi JPU pada Kejari Surabaya dengan alasan yang sama seperti dalam putusan MA lainnya yang
7
Adi Andojo Soetjipto, Mantan Hakim Agung RI, Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir: Sebuah Memoar, Granit, 2007, hlm. 167. Beliau adalah Ketua Majelis/Hakim Agung yang memeriksa dan memutus Perkara MA No. 429K/Pid/1995.
43
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
disebut di atas, yang juga dalam kasus Marsinah dengan terdakwa Yudi Susanto alias Kho Hi Pi pemilik PT Catur Putra Surya, bersama tujuh orang karyawannya.
3. SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Plea Bargaining Pada prinsipnya memberi apresiasi kepada justice collaborator untuk diberi insentif berupa peringanan hukuman atas peran atau keterangannya membongkar suatu kejahatan. Penuntut umum seyogianya melakukan musyawarah dengan pihak terhadap JC tentang insentif berupa perlindungan dari kemungkinan pembalasan atau ancaman/ intimidasi terhadap saksi serta alasan untuk meringankan hukuman kepada para saksi dimaksud. Apakah peran JC dalam penjatuhan hukuman sudah dipertimbangkan oleh hakim dalam perkara in concreto? Jawaban atas pertanyaan ini hanya dapat dilakukan dengan baik berdasarkan hasil penelitian secara kasuistis mulai dari tingkat pertama sampai ke Mahkamah Agung. Inventarisasi dan analisis terhadap putusan yang ada, akan sangat bermanfaat untuk melanjutkan, menghentikan, atau melakukan penyempurnaan penggunaan SM dimaksud.
E. PERAN HAKIM Berkaitan dengan problematik hukum di atas diperlukan penciptaan kaidah hukum yang layak diterapkan secara proporsional. Hal ini dapat dicapai antara lain dengan melakukan penemuan hukum. Hakim memberi makna atau melakukan rechtsvinding, legal finding dengan menggunakan instrumen tertentu, berupa penafsiran, analogi, dan penghalusan hukum, konstruksi hukum, dan argumentum a contrario. Khusus pengajuan SM dalam perkara Tipikor sangat dimintakan perhatian hakim mengingat ancaman hukuman terhadap saksi yang ternyata sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar ancaman hukumannya cukup tinggi jika dibandingkan dengan KUHP yakni paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta. Pada sisi lain sebagai seorang terdakwa ia memiliki hak absolut untuk diam atau ingkar. Beberapa hal yang patut dipertimbangkan terhadap penggunaan SM sebagai berikut:
44
Bab 3: Peran Hakim terhadap Penggunaan Saksi Mahkota
a.
Sebelum memeriksa seorang SM, apakah tidak sebaiknya terlebih dahulu dijelaskan dengan baik hak dan kewajiban sebagai terdakwa kemudian diperiksa sebagai saksi berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
b.
Sebelum memberikan kesaksian, apakah tidak sebaiknya terlebih dahulu dimintai persetujuan atau kesediaan untuk diperiksa sebagai SM.
c.
Dalam hal alternatif di atas tidak dilakukan, apakah tidak sebaiknya penasihat hukum terdakwa secara proaktif berupaya melindungi kepentingan SM agar terhindar dari tindakan self incrimination.
Jawaban atas pertanyaan di atas diharapkan dapat menjadi pertimbangan bersama kalangan hukum terutama para hakim untuk mengakhiri atau mengurangi dualisme/ disparitas perlakuan terhadap saksi mahkota. Bilamana jawaban atas pertanyaan ini semuanya menyatakan “sebaiknya begitu” maka sangat beralasan bagi hakim untuk selalu menanyakan kesediaan saksi mahkota untuk dimintai keterangannya dengan terlebih dahulu diingatkan akan hak dan kewajibannya sebagai saksi dan terdakwa, serta adanya hak menolak untuk menjadi SM.
F.
PENUTUP
Saksi Mahkota (kroon’getuige) yang digunakan selama ini tidak diatur secara jelas dalam ketentuan perundang-undangan melainkan penerapannya dilakukan atas dasar interpretasi berdasarkan ketentuan Pasal 142 jo. 168 KUHAP. Penggunaan SM dalam praktik dilakukan terhadap pengajuan perkara yang sangat minim alat buktinya atas suatu tindak pidana yang dilakukan dalam bentuk penyertaan (deelneming) dan akhir-akhir ini sangat sering digunakan terhadap kasus tindak pidana korupsi. Dalam putusan Mahkamah Agung terdapat dua putusan yang berbeda masingmasing: pertama, dapat dilakukan atas dasar kesaksian SM dimaksud dilakukan dalam berkas yang terpisah (splitsing) dengan berkas perkara asal dari saksi tersebut. Kedua, tidak dapat dilakukan penggunaan SM oleh karena hal tersebut bertentangan dengan asas hukum internasional maupun ketentuan perundang-undangan yang berlaku (KUHAP).
45
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Mahkamah Agung telah mengeluarkan SEMA No. 4 Tahun 2011 yang pada hakikatnya memberi perhatian positif kepada pihak yang bersedia memberi kesaksian berupa anjuran kepada hakim yang memeriksa perkara untuk memberikan keringanan hukuman. Seberapa jauh praktik perlakuan kepada SM oleh hakim, masih memerlukan penelitian lebih lanjut atas putusan dalam perkara in concreto. Saran yang dapat dikemukakan, kiranya dalam pemeriksaan perkara yang menggunakan SM sebaiknya diklarifikasi sungguh-sungguh kesediaan saksi untuk memberikan keterangan. Dalam hal seorang terdakwa keberatan untuk memberikan keterangan sebagai SM adalah sangat arif bilamana pemeriksaan kepadanya ditiadakan. Summa summarum, bahwa dalam penyelenggaraan sistem peradilan menuju visi MA “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung” hendaknya diupayakan secara maksimal perlindungan Saksi Mahkota secara proporsional.
46
4 PERAN HAKIM DALAM PENERAPAN PASAL 2 DAN PASAL 3 UU TIPIKOR PADA DAKWAAN SUBSIDIARITAS ATAU ALTERNATIF A. PENDAHULUAN Surat dakwaan (SD) atau surat tuduhan (ST) adalah sebuah syarat atau dasar hukum untuk dapat mengadili suatu perkara pidana. SD atau ST diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) bersama dengan pelimpahan perkara ke pengadilan. Syaratsyarat suatu SD tercantum dalam Pasal 143 KUHAP. Sebelum berlakunya KUHAP syarat surat dakwaan tercantum dalam Pasal 150 ayat (4) HIR yang disebut ST atau akte van verwijzing. Surat dakwaan adalah dasar pemeriksaan suatu perkara pidana, oleh karena itu SD harus jelas menguraikan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa. Kejelasan SD sangat bermanfaat bagi terdakwa dan penasihat hukumnya untuk membela kepentingannya, bermanfaat bagi JPU untuk menentukan dasar-dasar pemeriksaan dan penuntutan, dan bermanfaat bagi hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu KUHAP menetapkan syarat tertentu dan pengabaian syarat dimaksud akan menjadikan SD batal demi hukum. Dalam beberapa putusan pengadilan ternyata SD terhadap pasal perundangundangan tertentu telah menimbulkan disparitas dalam penerapannya.
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
B. BENTUK-BENTUK SURAT DAKWAAN Bentuk-bentuk SD ini tidak dikenal dalam KUHAP akan tetapi muncul untuk keperluan praktik dalam pengajuan perkara untuk diadili. JPU sering menghadapi problematik kasus sehingga dalam doktrin dikenal berbagai bentuk surat dakwaan yang meliputi: dakwaal tunggal,dakwaan kumulatif, dakwaan alternatif, dan dakwaan subsidiaritas.1 Tulisan ini tidak akan berseluk-beluk tentang bentuk-bentuk surat dakwaan melainkan hendak mendiskusikan dua bentuk dakwaan yang disebut terakhir berkenaan dengan penanganan perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUP Tipikor). Dalam doktrin dan yurisprudensi, dakwaan subsider mengandung arti jika pertamatama perkara yang didakwakan adalah yang diancam pidana terberat (primer) dan selanjutnya baru diancamkan yang lebih ringan (subsider). Contoh, dakwaan melakukan tindak pidana abortus provocatus subsider melakukan tindak pidana merawat seorang wanita dengan menerbitkan harapan hamilnya dapat digugurkan (ex Pasal 348 subsider Pasal 299 KUHP). Dalam dakwaan demikian, hakim mendahulukan memeriksa dakwaan primer dan kalau tidak terbukti barulah beralih ke dakwaan subsider. Selanjutnya dalam dakwaan alternatif biasnya disusun dengan dakwaan atas perbuatan-perbuatan yang saling mengecualikan (elkaar over en weer uit sluiten) dan merupakan alternatif (entweder … order) umpamanya perumusan suatu perbuatan, yang menyatakan pencurian suatu barang … atau uraian perbuatan yang menuduhkan penadahan barang yang sama.2 Adalah tidak dapat disangkal bahwa penggunaan dakwaan subsidiaritas dan alternatif dalam praktik belum ada keseragaman alias masih kacau.
1
2
48
Penulisan kata subsidiair, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditulis subsider (pengganti apabila hal pokok terjadi); dalam bahasa Belanda ditulis subsidiair (tambahan). Penulis menggunakan kata subsider sebagai wujud kesadaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kata subsidiaritas telah digunakan secara resmi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (UUPLH) sebagai serapan dari bahasa Inggris subsidiary. Nederburgh, vide A. Karim Nasution, Masalah Surat Tuduhan dalam Proses Pidana, PN Percetakan Negara Jakarta, 1972, hlm. 188.
Bab 4: Peran Hakim dalam Penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor pada Dakwaan …
C. SEBUAH DISKUSI Suatu diskusi yang sering muncul manakala bertemu para kalangan hukum (praktisi dan ilmuwan) berkenaan dengan dakwaan subsidiaritas dengan susunan Primer melanggar Pasal 2 UUP Tipikor dan Subsider melanggar Pasal 3 UUP Tipikor. Melihat bangunan dakwaan yang demikian oleh karena dakwaan telah disusun oleh JPU sebagai dakwaan subsidiaritas, kalangan hukum pada umumnya berpendapat bahwa hakim harus mendahulukan memeriksa Pasal 2 sebagai dakwaan primer dan kalau tidak terbukti barulah memeriksa dakwaan subsider. Aliran ini berpendapat bahwa tidak ada pilihan lain dan harus lebih dahulu memeriksa Pasal 2 sebagai dakwaan primer, tanpa mempertimbangkan apakah penempatan Pasal 2 tersebut benar-benar sudah tepat dan tidak mencederai rasa keadilan. Juga tidak lagi dipertimbangkan apakah JPU dalam menyusun SD sudah tepat memilih pasal tersebut dalam bangunan dakwaan subsidiaritas? Dalam kasus tindak pidana korupsi pada umumnya JPU menggunakan bentuk dakwaan ini. Kontras dari aliran di atas, kalangan lainnya menganut prinsip bahwa penempatan Pasal 2 dan Pasal 3 dalam dakwaan subsidiaritas adalah tidak tepat oleh karena kedua pasal ini saling mengecualikan dan memiliki karakteristik yang sangat berlainan. Di samping itu penerapan kedua pasal tersebut akan mencederai rasa keadilan mengingat ancaman pidana yang sangat berbeda serta subjek atau pelaku tindak pidana telah ditentukan secara jelas dalam kedua pasal undang-undang tersebut. Tidak semua JPU ramai-ramai menggunakan dakwaan subsidiaritas dalam penerapan kedua pasal UUPTPK a quo. JPU pada Kejaksaan Negeri Cianjur misalnya, dalam Perkara Kasasi Nomor 1101 K/Pid.Sus/2011menggunakan dakwaan yang disusun secara alternatif, yaitu: KESATU melanggar Pasal 2 ayat (1) … UUPTPK jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP; atau KEDUA melanggar Pasal 3 … UUPTPK jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dalam keadaan demikian majelis hakim telah diberikan suatu tawaran (offering) atau option oleh JPU untuk mengambil mana di antara dakwaan yang diajukan dianggap paling tepat untuk mempertanggungjawabkan tindak pidana dari perbuatan terdakwa. Aliran pertama memandang bahwa subjek atau pelaku delik dalam Pasal 2 tidak terbatas pada subjek tertentu, laksana keranjang sampah (artinya semua pelaku dapat ditampung dalam pasal ini; penulis menggunakan istilah sebagai pukat harimau);
49
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
sedangkan aliran kedua bersikukuh bahwa karakteristik pelaku delik Pasal 3 sudah sangat jelas yakni hanya mereka yang memiliki kedudukan atau kekuasaan yang berhubungan dengan pelayanan publik yang berpeluang untuk disalahgunakan. Untuk itu dakwaan JPU atas pasal yang sudah jelas berbeda karakteristiknya yang ditempatkan dalam dakwaan subsidiaritas hendaknya tidak diikuti demi keadilan dan harus dibaca dakwaan alternatif. Fenomena di atas benar-benar muncul dalam praktik peradilan di negara kita mulai dari tingkat pertama, banding, sampai tingkat kasasi dan sangat menarik untuk didiskusikan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan. Penulis pada kesempatan ini akan mencoba menampilkan pertimbangan hakim yang tidak serta-merta menerima dakwaan subsidiaritas berkenaan dengan penerapan pasal-pasal a quo dalam dakwaan subsidiaritas. Dengan kata lain Hakim PN tidak menerima apa adanya dan memperlakukan dakwaan subsidiaritas secara kritis-analisis seperti yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Masohi dalam Putusan Nomor 91/Pid.Sus/2010 dengan mengajukan pertimbangan bahwa dalam menilai dakwaan subsidiaritas keadaan yang sama juga dipertimbangkan bahwa sekali pun surat dakwaan JPU disusun secara subsidiaritas akan tetapi unsur pokok dari Pasal 2 dan Pasal 3 UUP Tipikor … yaitu melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan, maka dakwaan tersebut akan dibaca sebagai dakwaan alternatif, dan majelis bebas menentukan (memilih) pasal dari dakwaan yang mana yang sesuai dengan fakta yang ditemukan dalam persidangan. Concuring dengan keputusan PN di atas Putusan PN Biak No. 132/Pid.Sus/2009 yang telah dikuatkan PT Jayapura No. 103/Pid/2010/PT.JPR tanggal 5 Oktober 2010 telah pula mempertimbangkan antara lain bahwa dakwaan JPU berbentuk subsidiaritas yakni “dalam dakwaan subsidiaritas unsur yang terkandung dalam dakwaan primer dan dakwaan subsider haruslah sama, namun pada dakwaan primer selalu ancaman hukumnya terberat sedangkan dalam dakwaan subsider ancaman hukumannya yang ringan. PN Biak juga mempertimbangkan bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 memiliki unsur yang berbeda yakni Pasal 2 tentang melawan hukum sedangkan dalam Pasal 3 tentang penyalahgunaan kewenangan”. Sisi lain yang dapat ditambahkan bahwa pelaku tindak pidana dalam Pasal 2 adalah setiap orang yang dapat terdiri atas (a) perseorangan,
50
Bab 4: Peran Hakim dalam Penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor pada Dakwaan …
dan/atau (b) korporasi; sedangkan subjek atau pelaku delik dalam Pasal 3 juga setiap orang yang harus memangku suatu “jabatan atau kedudukan”. Dalam doktrin dan yurisprudensi telah berkembang pengertian ini bahwa “kedudukan” dimaksud juga dapat dipangku oleh pegawai negeri atau orang perseorangan yang bukan pegawai negeri (swasta) yang memiliki kedudukan atau fungsi tertentu dalam suatu korporasi misalnya Direktur CV. Selain itu sanksi pidana yang diatur kedua pasal ini juga sangat ekstrem. Mahkamah Agung dalam putusannya telah membuat kaidah hukum masing-masing dalam Putusan Nomor 606K/Pid/1984, dan No. 1112 K/Pid/2006 bahwa “terhadap dakwaan yang disusun secara subsidiaritas, dapat dibaca sebagai dakwaan alternatif ”; dan Putusan Nomor 1112K/Pid/2006 bahwa “sekalipun dalam surat dakwaan JPU terbukti dakwaan subsidiaritas, akan tetapi larena unsur pokok Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 berbeda yaitu melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, maka dakwaan tersebut akan dibaca sebagai dakwaan alternatif, dalam hal ini hakim bebas menentukan dakwaan mana yang cocok dengan kasus itu”. Keadaan terakhir, Mahkamah Agung (MA) kembali menentukan sikap melalui beberapa putusannya bahwa dalam hal jaksa penuntut umum menggunakan dakwaan subsidiaritas, maka dakwaan primar terlebih dahulu harus diperiksa/dipertimbangkan, dan kalau dakwaan primer tidak terbukti barulah beralih memeriksa dakwaan subsider dan seterusnya. MA tidak lagi melakukan penerapan hukum atas dakwaan subsidiaritas terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UUP Tipikor dengan membaca dakwaan subsidiaritas sebagai dakwaan alternatif. MA telah memperbaiki putusan sebelumnya dengan menerapkan hukum secara konsisten bahwa penggunaan dakwaan subsidiaritas tidak dapat lagi dibaca sebagai dakwaan alternatif. Tentang penerapan Pasal 2 atau Pasal 3 telah banyak menimbulkan perdebatan, apakah Pasal 2 hanya berlaku terhadap terdakwa yang berstatus bukan pegawai negeri dan Pasal 3 berlaku terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara. MA melalui Surat Edaran Nomor 07 Tahun 2012 menyatakan bahwa hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung (RPKMA) menjadi pedoman dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung, juga harus menjadi pedoman pelaksanaan tugas dalam proses
51
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
penanganan perkara di pengadilan tingkat pertama dan banding sepanjang substansi rumusannya berkenaan dengan kewenangan peradilan tingkat pertama dan banding. Hasil rumusan RPKMA tanggal 8 s/d Maret 2012 antara lain menyatakan: a. Pasal 2 dan Pasal 3 diperuntukkan untuk setiap orang baik swasta maupun pegawai negeri. Jadi baik Pasal 2 maupun Pasal 3 berlaku bagi pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri; b. Apabila unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dalam Pasal 2 tidak terbukti, maka dikenakan Pasal 3 dengan ambang batas minimal Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Adalah tidak adil apabila menjatuhkan pidana bagi terdakwa yang hanya merugikan keuangan negara di bawah Rp100.000.000,00 dikenakan sanksi minimal Pasal 2 yaitu 4 tahun dan denda Rp200.000.000,00; c. Hakim mengadili berdasarkan surat dakwaan. Hakim tetap berpegang dengan Pasal 3, namun pidana dan dendanya dapat ditinggikan.
D. PERAN HAKIM Peran hakim dalam artikel ini dimaknai sebagai kewenangan dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang memiliki peran yang sangat strategis dalam era Reformasi hukum melalui keputusan hakim sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Kebebasan hakim yang dimiliki dalam memutus perkara seperti halnya dalam menghadapi problematik dakwaan di atas sangat diperlukan kearifan sehingga, fungsi utama untuk menegakkan hukum dan keadilan benar-benar dapat terlaksana secara proporsional. Kalaupun ada perbedaan pendapat perlu diskusi yang sehat dan berkelanjutan sehingga disparitas atas perlakuan terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 a quo tidak terlalu ekstrem dan tidak merugikan para justitiabelen. Hakim dalam melaksanakan tugasnya akan mendasarkan putusannya pada ketentuan perundang-undangan. Meskipun demikian perundang-undangan yang dimaksud tidak akan selalu mampu atau dapat diterapkan terhadap kasus atau perkara yang dihadapi (asas legalitas). Untuk itu hakim harus melakukan penemuan hukum agar dapat memberi putusan yang tepat dan adil terhadap perkara yang dihadapi. Urgensi penemuan hukum dan pembentukan hukum adalah sebuah keharusan oleh karena undang-undang tidak akan mampu mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat mengikuti tingkah laku manusia yang sangat dinamis. Pengadilan harus
52
Bab 4: Peran Hakim dalam Penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor pada Dakwaan …
memberi putusan terhadap perkara yang dihadapkan kepadanya meskipun undangundang tidak mengaturnya secara jelas oleh karena hakim yang menolak untuk mengadili perkara dengan alasan tidak diatur dalam undang-undang hal itu adalah suatu pelanggaran hukum. Dalam keadaan demikian mengingat kedudukan hakim terutama hakim agung (kasasi) memiliki kewenangan untuk membentuk hukum atau menemukan hukum terhadap perkara in concreto untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Hakim adalah sebagai agent of change dalam mewujudkan law and legal reform. Hakim agung demikian pula hakim rendahan harus senantiasa berupaya meningkatkan kualitas putusannya untuk menerapkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam era globalisasi terjadi perubahan paradigma di masyarakat dalam merespons dinamika masyarakat yang berimplikasi terhadap kesadaran hukum dan perundang-undangan yang berlaku di masyarakat. Keadaan ini membawa konsekuensi terhadap hakim untuk menantiasa meningkatkan kualitas putusannya mengikuti dinamika dan perkembangan kesadaran hukum masyarakat tersebut.
E. KESIMPULAN Mencermati praktik penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UUP Tipikor dalam dakwaan subsidiaritas atau dakwaan alternatif dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Penempatan kedua pasal a quo dalam surat dakwaan, dalam praktik telah diakomodasi JPU dalam bentuk dakwaan subsidiaritas maupun dakwaan alternatif.
2.
Beberapa putusan Mahkamah Agung menentukan bahwa hakim memiliki kebebasan untuk memilih dakwaan yang akan digunakan dalam memeriksa dakwaan subsidiaritas atau alternatif atas kedua pasal a quo mengingat: (a) tidak adanya pedoman bagi JPU untuk menilai apakah penempatan kedua pasal tersebut dalam dakwaan subsidiaritas atau alternatif sudah tepat dan benar menurut hukum acara pidana; dan (b) masih adanya perbedaan pendangan terhadap karakteristik kedua pasal a quo untuk diterapkan dalam dakwaan tertentu.
3.
Pisau analisis yang dapat dipertimbangkan untuk menilai ketepatan menggunakan kedua dakwaan a quo adalah dengan mencermati fakta hukum yang ada dengan
53
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
karakteristik kedua pasal UUP Tipikor a quo dalam rangka menemukan hukum inconcreto yang tepat untuk diterapkan. 4.
Pendirian Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya yang terakhir mempertegas, bahwa terhadap penggunaan dakwaan subsidiaritas maka terlebih dahulu diperiksa dakwaan primer kemudian diperiksa dakwaan subsider dan seterusnya.
5.
Pedoman penerapan Pasal 2 atau Pasal 3 berdasarkan SEMA No. 07 Tahun 2012 sesuai RPMA Tahun 2012 bahwa nilai ambang batas jumlah kerugian negara sebesar di bawah Rp100.000.000,00 dikenakan Pasal 3, sedangkan yang melebihi Rp100.000.000,00 diterapkan Pasal 2.
54
5 PERAN HAKIM TIPIKOR DALAM PROSES KASASI DIHUBUNGKAN RUU KUHAP A. LATAR BELAKANG Gerakan reformasi di bidang hukum dan peranannya di masyarakat telah dilaksanakan secara gradual yang dimulai dengan dilakukannya Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan diikuti perundangundangan lainnya secara berkelanjutan.1 Sejalan dengan gerakan reformasi ini proses transformasi masyarakat ke arah yang dicita-citakan melalui hukum pun hendaknya dilakukan secara berbarengan. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sebagaimana diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ditentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK). Hal yang sama juga terjadi pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
1
Peran hukum dimaksud akan berbeda halnya pada negara yang pemerintahannya konservatif atau tidaknya golongan yang berkuasa. Sunaryati Hartono (1991, hlm. 82), menyatakan bahwa negara-negara otokratis yang dikuasai oleh golongan yang eksklusif cenderung menolak perubahan, dan karenanya hanya melihat hukum sebagai alat untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Mahkamah Agung (UUMA) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman seperti dimaksud di atas dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. 2 Mahkamah Agung mempunyai kewenangan: (a) mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung; (b) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan (c). kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.3 Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya untuk mengadili pada tingkat kasasi, “tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.4 Lahirnya UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) telah membawa perubahan lebih lanjut dalam pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi (Tipikor). Perubahan dimaksud terkait dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan pengadilan pemeriksaan. Khusus pemeriksaan di sidang pengadilan diatur dalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 62 UUKPK.
2
3 4
56
Lihat Pasal 1 UUKK. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) demikian juga halnya dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UUMA), jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; adalah undang-undang yang baru dibentuk dan disesuaikan dengan Perubahan UUD 1945. Pasal 11 ayat (2) UUKK. Pasal 16 UUKK jo. Pasal 22 AB = Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Ketentuan-ketentuan umum mengenai perundang-undangan di Indonesia), L.N.H.B. 1847 No. 23.
Bab 5: Peran Hakim Tipikor dalam Proses Kasasi Dihubungkan RUU KUHAP
Ketentuan di atas merupakan landasan untuk menempatkan Hakim Tipikor sebagai penyelenggara satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Mencermati peran Hakim Tipikor yang sangat strategik sebagai pengadilan khusus dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah peran Hakim Tipikor dalam proses kasasi di Mahkamah Agung.
2.
Apakah ketentuan kasasi dalam Rancangan KUHAP telah sinkron dengan ketentuan khusus yang berlaku dalam UU Pengadilan Tipikor?
B. PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI UUKPK mengatur secara khusus lembaga peradilan yang bertugas memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaga peradilan dimaksud berada di lingkungan Peradilan Umum. Lembaga ini pada awalnya dibentuk berdasarkan UUKPK Pasal 53 selanjutnya diatur secara khusus dalam UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK).5 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/ kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan (Pasal 3). Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum yang merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi (Pasal 5).
5
Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 (judicial review), bahwa dasar pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menurut Pasal 53 UUKPK dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga perlu diatur kembali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan undang-undang baru.
57
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Dengan keterbatasan sumber daya maka pembentukan Pengadilan TPK dilakukan secara bertahap dan untuk pertama kali Pengadilan TPK dibentuk pada setiap ibu kota provinsi paling lambat 2 (dua tahun) terhitung sejak undang-undang ini diundangkan yakni 29 Oktober 2011 (Pasal 35). Sebagai pengadilan khusus pemeriksaan di sidang pengadilan menurut undangundang ini tetap dilakukan menurut hukum acara yang berlaku khususnya KUHAP. Beberapa ketentuan yang diatur dalam UUPTPK merupakan ketentuan khusus yang menyimpang dari hukum acara pidana pada umumnya (KUHAP).
1. Hakim Pengadilan TPK Susunan majelis hakim terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc yang meliputi Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Kehadiran hakim ad hoc merupakan perkembangan baru dalam sistem peradilan di Indonesia yang dimulai dari Pengadilan Hak Asasi Manusia. Hakim ad hoc dalam pengadilan tindak pidana korupsi, diatur pertama kali dalam UUKPK yang dilanjutkan dalam UUPTPK. Keberadan hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi. Majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi terdiri atas 3 (tiga) orang dengan komposisi 2 banding satu; dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang dengan komposisi 3 (tiga) banding 2 (dua). Dalam UU Perikanan juga ditegaskan susunan majelis hakim Pengadilan Perikanan terdiri atas dua hakim ad hoc dan satu hakim karier.6
6
58
Susunan majelis hakim dalam mengadili perkara tindak pidana korupsi pada pengadilan sebelumnya maupun dalam Pengadilan HAM, hakim ad hoc jumlahnya lebih banyak dari hakim karier; misalnya dalam perbandingan tiga hakim ad hoc dan dua hakim karier, atau dua hakim ad hoc dan satu hakim karier. Menurut UUPTPK, pengaturan demikian sudah tidak ada melainkan perbandingan antara hakim ad hoc dengan hakim karier ditentukan oleh masing-masing Ketua Pengadilan Tipikor/Ketua Pengadilan Tinggi/Ketua Mahkamah Agung.
Bab 5: Peran Hakim Tipikor dalam Proses Kasasi Dihubungkan RUU KUHAP
2. Kedudukan Hakim Ad Hoc Kedudukan hakim ad hoc tidak diatur dalam KUHAP oleh karena hal ini baru diatur kemudian sesuai dengan perkembangan penyelenggaraan negara. Dalam RUU KUHAP hakim ad hoc ini tidak diatur. Hakim ad hoc adalah hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi persyaratan profesional. Penjelasan umum UUPTPK menyatakan bahwa “Keberadaan hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi antara lain di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah”. Persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc tercantum dalam Pasal 12 UUPTPK. Selain itu berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman kembali mempertegas bahwa “hakim ad hoc dapat diangkat pada pengadilan khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman di bidang tertentu dalam jangka waktu tertentu”. Hak keuangan dan administratif hakim ad hoc diberikan tanpa membedakan kedudukan hakim, ex Pasal 21 ayat (2) UUPTPK.
3. Proses Penyelesaian Perkara Lebih Cepat Penyelesaian perkara tindak pidana korupsi menurut UUPTPK, waktunya lebih cepat dibandingkan waktu penyelesaian perkara menurut KUHAP. Lama waktu penyelesaian perkara tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 UUPTPK. KUHAP tidak mengatur batas waktu penyelesaian perkara pidana mulai dari tingkat Pengadilan Negeri sampai ke Mahkamah Agung. Pemeriksaan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama dilakukan paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi, pemeriksaan pada tingkat banding diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi, pemeriksaan pada tingkat kasasi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh hari)
59
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung, dan terhadap peninjauan kembali perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
4. Proses Acara Perkara Korupsi Didahulukan Penyelesaiannya Penyelesaian perkara TPK didahulukan penyelesaiannya dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya (Pasal 25 UUPTPK). Penjelasan pasal ini berbunyi: “Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang oleh undang-undang ditentukan untuk didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan pada tiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan”. Ketentuan ini bersifat hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht) yang ditetapkan terhadap tindak pidana tertentu yang memuat ketentuan khusus dan asas-asas hukum yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan dan asas-asas hukum yang tercantum dalam hukum pidana umum. Beberapa ketentuan hukum pidana yang bersifat khusus di negara ini antara lain: a. hukum pidana militer; b. hukum pidana fiskal; c. hukum pidana ekonomi; dan d. hukum pidana politik. Contoh penerapan Pasal 81 KUHP dalam hal terjadinya kasus perdata yang mendahului perkara tindak pidana korupsi; apakah harus menunggu penyelesaian perkara lainnya. Menurut ketentuan Pasal 25 UUPTPK penyelesaian perkara korupsi harus didahulukan dari perkara yang lain guna penyelesaian secepatnya. Hukum acara pidana yang digunakan dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP), kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini. Kewenangan penyidik yang bersifat khusus menurut undang-undang ini, termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretaping), ex Pasal 12 ayat (1) UUKPK. RUU KUHAP mengatur penyadapan dengan persyaratan yang sangat ketat yakni dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau berdasarkan bukti permulaan yang kuat diduga akan terjadi tindak pidana serius.
60
Bab 5: Peran Hakim Tipikor dalam Proses Kasasi Dihubungkan RUU KUHAP
Penyadapan dimaksud hanya dapat dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setelah mendapat surat izin dari Hakim Komisaris (Pasal 83). Tindak pidana serius tersebut meliputi: (a) terhadap keamanan negara; (b) perampasan kemerdekaan; (c) pencurian dengan kekerasan; (d) pemerasan; (e) pengancaman; (f) perdagangan orang; (g) penyelundupan; (h) korupsi; (i) pencucian uang; (j) pemalsuan uang; (k) keimigrasian; (l) mengenai bahan peledak dan senjata api; (m) terorisme; (n) pelanggaran berat HAM; (o) psikotropika dan narkotika; dan (p) pemerkosaan.7
5. Pembuktian Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, terdapat lima alat bukti yang dikenal dalam peradilan perkara pidana, yaitu: (a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) surat, (d) petunjuk, (e) keterangan terdakwa. Dalam RUU KUHAP Pasal 175 ayat (1) disebutkan, alat bukti yang sah mencakup: (a) barang bukti; (b) surat-surat; (c) bukti elektronik; (d) keterangan seorang ahli; (e) keterangan seorang saksi; (f) keterangan terdakwa; (g) pengamatan hakim. Ayat (2) berbunyi: Alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperoleh secara tidak melawan hukum. Bukti petunjuk selain yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan kerangan terdakwa juga dapat diperoleh dari alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 26A UUTPK (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Perkembangan pengaturan bukti petunjuk dalam undang-undang ini adalah berjalan sesuai dengan perkembangan teknologi informasi yang dapat dijadikan alat bukti tentang terjadinya tindak pidana korupsi. Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi hendaknya memerhatikan ketentuan KUHAP bahwa “penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
7
Suhariyono AR, Rancangan KUHAP: Dalam Prospek Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7 No. 3 Oktober 2010, hlm. 375-376.
61
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya” ex Pasal 188 ayat (3) KUHAP. Alat bukti petunjuk ini dapat diperoleh hakim selama persidangan, sedangkan apa yang diketahui atau yang dialami hakim sebelumnya tidaklah dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan itu telah diketahui oleh umum. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dalam penanganan perkara oleh KPK, hasil penyadapan dapat pula digunakan sebagai petunjuk. Hakim memiliki peran penting dalam memutuskan relevansi alat bukti tertentu terhadap bukti petunjuk dalam perkara tindak pidana korupsi oleh karena belum ada aturan tentang ukuran dalam penilaian suatu bukti petunjuk. Apakah hasil penyadapan secara serta-merta dapat digunakan sebagai alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP. Penyadapan yang merupakan salah satu teknik audit untuk mendapatkan informasi dalam upaya mengungkap kasus “korupsi” merupakan dasar penyelidikan atau penyidikan perkara selanjutnya. Dengan demikian, hasil penyadapan atau rekaman tidaklah serta-merta menjadi alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, melainkan hanya merupakan bahan pertimbangan bagi hakim untuk mendapatkan bukti petunjuk atau keyakinan tentang kebenaran terjadinya tindak pidana, ex Pasal 188 KUHAP. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) juga mengatur bahwa penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik. Berkenaan dengan aspek pembuktian dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh KPK, paling lambat tujuh hari hasil kerja penyelidik melaporkan hasil kerjanya kepada KPK, dan dalam hal penyelidik tidak menemukan bukti permulaan yang cukup KPK menghentikan penyelidikan.
6. Perlindungan Pelapor dan Justice Collaborator/Whistle Blower Suatu perkembangan dalam pemberdayaan masyarakat dalam kebijakan kriminal pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dengan memberikan perlindungan terhadap pelapor. Perlindungan dimaksud terutama untuk melindungi keselamatan
62
Bab 5: Peran Hakim Tipikor dalam Proses Kasasi Dihubungkan RUU KUHAP
pelapor dari berbagai kemungkinan yang mengancam keselamatan dirinya. Hal ini tercantum dalam Pasal 31 UUTPK. Ketentuan ini berhubungan dengan peran serta masyarakat dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi; ex Pasal 41 dan Pasal 42 UUTPK. Ketentuan dalam pasal-pasal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Perlindungan hukum terhadap pelapor dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi pelapor yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 41 ayat (2e)). Masyarakat yang dipandang berjasa dalam mengungkap tindak pidana korupsi disertai bukti-bukti yang diperlukan diberikan penghargaan oleh pemerintah baik berupa piagam maupun premi (Pasal 42). SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 4 Tahun 2011 tgl. 15 Agustus 2011, tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan saksi yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara tindak pidana tertentu (termasuk tipikor) telah memberikan pedoman untuk memberikan perlakuan khusus antara lain: “hakim dalam menentukan pidana yang dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal yang memungkinkan …: (a) menjatuhkan pidana paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dlam perkara a quo; dan (b) bilamana mungkin menjatuhkan pidana percobaan dengan syarat khusus (Pasal 14 dan 14C KUHP) kecuali undangundang menentukan lain”.
7. Transparansi dan Akuntabilitas Ketentuan perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi merupakan konsekuensi upaya penanganan korupsi secara luar biasa. Pasal 24 UUPTPK yang mengatur ketentuan transparansi dan akuntabilitas dalam penjelasan ayat (2) dinyatakan bahwa “ketentuan ini sebagai wujud akuntablitas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi melalui keterbukaan informasi mengenai penyelenggaraan pengadilan. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UUKIP) sangat relevan untuk mendukung prinsip transparansi dan akuntabili-
63
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
tas untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Melalui undang-undang ini diharapkan dapat mempercepat perwujudan pemerintahan yang terbuka yang merupakan upaya strategis mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan terciptanya sistem kepemerintahan yang baik.
8. Rehabilitasi dan Kompensasi Rehabilitasi dan kompensasi sebagaimana diatur dalam Pasal 63 UUKPK tidak memberi penjelasan sehingga memerlukan kajian atau penemuan hukum (rechtsvinding) untuk penerapannya. Kompensasi dan rehabilitasi merupakan ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang ini yang dalam penuntutannya pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (2) KUHAP.
C. PERANAN HAKIM TIPIKOR DALAM PERKARA KASASI Peran Hakim Tipikor dalam kajian ini dikaitkan dengan peran berupa pelaksanaan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan penemuan hukum dan penciptaan hukum dalam memutuskan perkara in concreto. Kata peran (peranan) bagi kalangan hukum, diartikan sebagai suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan peri kelakuan, pada kedudukan tertentu di dalam masyarakat, kedudukan mana dapat dipunyai pribadi ataupun kelompok-kelompok. Pribadi atau pihak yang mempunyai peranan tadi dinamakan pemegang peranan (role occupant) dan peri kelakuannya adalah berperannya pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin berlawanan dengan apa yang ditentukan di dalam kaidah-kaidah. Pada kalangan hukum pemegang peranan adalah subjek hukum, sedangkan peranan merupakan hak-hak dan kewajibankewajiban yang berkaitan dengan kepentingan hukum. Berperannya pemegang peranan merupakan peristiwa hukum yang dapat sesuai atau berlawanan dengan kaidah hukum, merupan role expectation terhadap role occupant (pemegang peranan)8.
8
64
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 137-140.
Bab 5: Peran Hakim Tipikor dalam Proses Kasasi Dihubungkan RUU KUHAP
Problematik hukum yang perlu dikaji berkenaan dengan Peranan Hakim Tipikor dalam Proses Kasasi, berkaitan dengan karakter khusus perkara korupsi di antaranya: (1) penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU UUTPK; (2) Pasal 18 ayat (1) huruf b tentang uang pengganti; (3) penjatuhan sanksi terhadap korporasi; (4) penerapan Pasal 11 dan Pasal 12 huruf a dan huruf b; (5) pengajuan dakwaan secara alternatif, subsider, atau kumulatif; (6) pengertian kerugian negara; (7) hasil audit kerugian negara yang dilakukan oleh BPK, BPKP, atau auditor independen/inspektorat; (9) penerapan sanksi hukum secara kumulatif dan/atau alternatif; (10) aspek pertanggungjawaban dalam penyertaan (deelneming); dan lain-lain. Hal-hal ini sangat sering menimbulkan kesulitan untuk mencapai kesepakatan dalam pemutusan perkara Tipikor. Hal yang berkaitan dengan tugas penyelesaian perkara kasasi dari problematik hukum di atas diperlukan penciptaan kaidah hukum yang layak diterapkan untuk mewujudkan keadilan substantif. a.
Aspek Penemuan Hukum (rechtsvinding). Ajaran penemuan hukum ini, menjawab pertanyaan bagaimana menerapkan suatu ketentuan perundang-undangan yang tidak jelas. Dalam keadaan demikian tersedia metode interpretasi atau metode penafsiran. Penulis hanya ingin mengemukakan bahwa kegiatan yang demikian adalah kegiatan penelitian hukum yang eksklusif atau noble profession yang sesungguhnya hanya efektif dilakukan oleh seorang yang berlatar belakang ahli hukum. Untuk penanganan perkara di pengadilan penemuan hukum dilakukan dengan menggunakan logika sebagai suatu keharusan yang dikenal dengan dengan penggunaan metode deduktif dan metode induktif untuk menyelesaikan perkara in concreto.
b.
Aspek pembentukan hukum (rechsschepping) berkonotasi bahwa hukumnya tidak ada atau sekali pun hukumnya sudah ada tetapi tidak jelas atau kurang lengkap, sehingga hakim harus menciptakan hukum yang baru sebagai penyempurnaan dan/atau pengganti hukum yang ada agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) atau lebih tepat disebut wetsvacuum.
c.
Dissenting Opinion (DO) diartikan sebagai pendapat yang tidak setuju, atau berbeda pendapat. Keadaan ini terjadi bilamana dilakukan musyawarah hakim untuk memutuskan suatu perkara dan tidak dicapai kata mufakat. Pasal 14 ayat (3) UU
65
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
No. 48 Tahun 2009 (UUKK) berbunyi “Dalam hal sidang pemusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan”. Selain alasan DO di atas, maka juga dikenal Concurring Opinion (CO) yang diartikan sebagai alasan yang berbeda yang di dalam praktik juga kadang muncul. CO ini biasanya timbul atas adanya perbedaan pendapat tentang legal reasoning suatu perkara meskipun putusan akhirnya atau amar putusan telah terdapat kesepakatan. Perbedaan ini pun wajib dicantumkan dalam putusan perkara a quo. DO dan CO adalah manifestasi atas kemandiri hakim dalam memutus perkara sebagaimana diatur dalalam UUKK 2009 Pasal 3 (1) bahwa “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”.
1. Penjatuhan Sanksi Pidana Pada hakikatnya penjatuhan sanksi pidana terhadap kasus Tipikor dengan pengutamaan penjatuhan pidana pokok penjara dan denda adalah wujud pendekatan retributif. Teori retributif (retributivism) menyatakan bahwa pidana yang sepatutnya diterima sangat diperlukan berdasarkan alasan, baik keadilan maupun beberapa nilai moral. Penggunaan diskresi hakim berkenaan dengan penjatuhan pidana secara khusus diatur dalam Pasal 12 A UUTPK. Sebagai langkah pendekatan penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku korupsi, Hakim Tipikor pada tingkat kasasi telah mengikuti pendirian Mahkamah Agung antara lain: Pertama, penjatuhan pidana percobaan (bersyarat) pada hakekatnya tidak diperbolehkan. Rapat Kamar Pidana MA memutuskan bahwa pembuat undang-undang telah menetapkan adanya pidana minimum khusus, karena itu menjatuhkan pidana percobaan pada prinsipnya tidak diperbolehkan, dan apabila disimpangi maka hakim telah menginjakkan kakinya ke ranah kekuasaan pembuat undang-undang. Kedua, penjatuhan pidana denda tidak diperkenankan tanpa pidana badan (pidana penjara atau kurungan). Argumennya, bahwa pasal-pasal tindak pidana korupsi telah menetapkan adanya pidana minimum khusus dan pidana maksimal; demikian juga
66
Bab 5: Peran Hakim Tipikor dalam Proses Kasasi Dihubungkan RUU KUHAP
mengenai pidana denda dijatuhkan secara kumulatif bersama pidana penjara, misalnya Pasal 2 UUPTPK, atau pidana denda tersebut dijatuhkan secara alternatif, misalnya Pasal 3 UUPTPK. Ketiga, pengenaan sanksi pidana tambahan uang pengganti juga mendapat perhatian khusus agar tidak ,menimblkan persoalan yang bersinggungan dengan keadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. Untuk itu uang pengganti harus benar-benar sesuai ketentuan Pasal 18 UUTPK. Keempat, dalam hal terdapat gabungan (kumulasi) dari beberapa perkara yang didakwakan oleh JPU dalam perkara Tipikor, pidana yang dijatuhkan adalah ancaman pidana minimal terberat ditambah sepertiga (absorbsi yang dipertajam), dengan catatan tidak diperbolehkan menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimal.
2. Rancangan KUHAP Rancangan KUHAP ini sedang dibahas di DPR. Diskusi di berbagai kalangan/ instansi hukum termasuk pada Kamar Pidana Mahkamah Agung telah pula dilakukan. Beberapa hasil kajian di antaranya patut dicatat bahwa: RUU KUHAP pada pokoknya bukan mengganti KUHAP, tetapi hanya mengubah beberapa Pasal dari KUHAP yang sudah ada. Hal-hal yang baru dalam RUU KUHAP antara lain (a) Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang dikenal dengan Hakim Komisaris; (b) Masalah Tahanan; (c) Alat Bukti; dan (d) Penyadapan. Dalam RUU KUHAP tidak diatur secara eksplisit ketentuan Hakim Tipikor yang memeriksa dan mengadili perkara Tipikor. Berkaitan dengan fungsi Hakim Tipikor dalam pemeriksaan tingkat kasasi, perlu diatur dalam ketentuan peralihan bahwa Ketentuan dalam RUU KUHAP pemeriksaan perkara Tipikor dalam semua tingkat peradilan tetap berpedoman terhadap ketentuan khusus yang telah berlaku sebagai lex specialis.
D. SIMPULAN Beberapa hal dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Penyelenggaraan Peradilan Tipikor pada seluruh tingkat peradilan telah dilakukan
67
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang bersifat khusus (lex specialis) di samping peraturan yang bersifat umum. 2.
RUU KUHAP sebagai kodifikasi Hukum Acara Pidana, tidak mengatur ketentuan hukum acara pidana secara khusus terhadap penanganan perkara korupsi yang telah berjalan baik dan lancar berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang ada selama ini.
3.
Aturan peralihan RUU KUHAP juga tidak mengatur ketentuan yang menyatakan tetap berlakunya ketentuan hukum acara pidana sepanjang tidak bertentangan dengan KUHAP. Dengan demikian perlu diatur ketentuan peralihan dalam RUU KUHAP dengan mencantumkan tetap berlakunya ketentuan perundangundangan yang bersifat khusus di bidang hukum acara pidana, khususnya Peradilan Tipikor dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah menjalankan tugasnya dengan baik selama ini.
68
6 PENERAPAN SANKSI PIDANA DALAM KASUS TIPIKOR A. PENDAHULUAN Dalam rangka penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK), ada beberapa hal yang perlu didiskusikan di antaranya, perlunya kesamaan persepsi dan juga perlunya standar pemidanaan dalam kasus pidana. Keperluan penyamaan persepsi dimaksud terutama perlunya ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta TPK pada khususnya. UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 selanjutnya disingkat UUPTPK telah mengatur berbagai ketentuan khusus di antaranya adalah sanksi pidana dan ketentuan hukum acara pidana. Sanksi (hukuman/ganjaran) yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya, dalam proses penerapan hukum diharapkan dapat memberikan pengaruh positif untuk mencegah dan memberantas TPK. Sanksi pidana memiliki peranan penting dalam menciptakan kepatuhan hukum (compliance). Tirtaamidjaja, (1955) menyatakan bahwa untuk menciptakan agar anggota masyarakat mematuhi hukum maka diperlukan sanksi hukum. Sanksi hukum di sini diartikan sebagai sarana untuk melindungi kepentingan individu ataupun badan (jiwa, harta, hewan, dan badan) dengan mengancam
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
hukuman (sebagai sanksi) terhadap setiap pelanggar hukum. Sanksi hukum ini juga menurut Charles (1984), dimaksudkan agar peraturan tersebut dipatuhi oleh anggota masyarakat. Sanksi ini kemudian dipertahankan oleh pemerintah untuk menjadikan anggota masyarakat mematuhi sebagaimana dikehendaki oleh peraturan. Perkembangan pengaturan sanksi dalam perundang-undangan dimaksud perlu dikaji untuk mengetahui konsistensi maupun visi pembuat undang-undang dalam mengatur sanksi dalam pembuatan perundang-undangan. Ketentuan pidana dalam perundang-undangan sejak diundangkannya UUPTPK telah mengalami perubahan baik dari segi pelaku tindak pidana (subjek hukum) maupun dari bentuk sanksi pidananya. Kajian ini diperlukan atas pertimbangan bahwa UUPTPK diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Dengan demikian kalangan penegak hukum terutama hakim memiliki self confidence yang mantap dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap penjahat tipikor. Tulisan ini hendak mendiskusikan satu dua hal hasil rapat kamar pidana yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung tahun ini, khususnya berkenaan dengan penerapan sanksi pidana. Strafmaat (penentuan ukuran pidana) menjadi penting oleh karena sanksi pidana berfungsi sebagai ultimum remedium (upaya terakhir) setelah aspek keperdataan, aspek TUN, dan aspek upaya lainnya kurang atau gagal untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Lebih dari itu di mata dunia Internasional kondisi korupsi di Indonesia relatif stagnan. Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index, CPI) Indonesia hanya meningkat 0,8 poin dari tahun 2004 ke tahun 2009, dan diharapkan agar terjadi peningkatan kinerja KPK sejalan denga adanya pergantian pimpinan baru. Karakteristik sanksi pidana dalam berbagai ketentuan perundang-undangan, pengaturannya mengalami perkembangan bukan hanya pada UUPTPK akan tetapi juga pada perundang-undangan lainnya. UU No. 32 Tahun 2009 tentang UndangUndang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) misalnya, telah mengatur tiga sanksi hukum sekaligus yakni sanksi administratif, sanksi pidana, dan
70
Bab 6: Penerapan Sanksi Pidana dalam Kasus Tipikor
sanksi pidana. Sanksi pidana pada prinsipnya dijatuhkan sebagai ultimum remedium dengan pengecualian pada keadaan tertentu. Dalam UUPTPK, pengaturan sanksi mengalami perkembangan yang sangat dinamis jika dibandingkan dengan ketentuan sanksi pidana yang tertera dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sanksi pidana yang tercantum dalam KUHP hanya dikenal dengan sanksi pidana tunggal atau utama dan sanksi pidana alternatif terhadap penjatuhan pidana pokok. Hal ini ditandai dengan kata “atau” misalnya dihukum dengan hukuman penjara atau denda …; dan batas minimum sanksi pidana penjara dalam KUHP secara umum adalah satu hari dan maksimum seumur hidup. Sanksi hukum dalam UUPTPK memiliki tiga bentuk yakni sanksi pidana alternatif (atau), sanksi kumulatif (dan), atau gabungan keduanya yang ditandai dengan (dan/atau). Sanksi minimal memiliki ciri khusus yang berbeda dengan sanksi dalam KUHP, misalnya dalam Pasal 2 UUPTPK sanksi minimalnya adalah empat tahun dan sanksi maksimalnya dalam hukuman penjara 20 tahun penjara dan denda … (sanksi kumulatif). Pengaturan sanksi yang demikian adalah mengikat bagi hakim berdasarkan prinsip atau asas legalitas. Makna yang terkandung dalam asas legalitas seperti dikemukakan oleh Schaffmeister, Keizer, dan Sutorius (1995), yakni: pertama, seseorang tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang. Kedua, tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi. Ketiga, seseorang tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan. Keempat, tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas. Kelima, tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana. Keenam, tidak ada pidana lain, kecuali yang ditentukan oleh undang-undang. Ketujuh, (terakhir) penuntutan pidana hanya boleh dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh undangundang.1 Kesalahan yang kadang terjadi, judex facti menerapkan pasal tertentu yang tidak mengikuti ketentuan dimaksud misalnya menjatuhkan pidana lebih rendah lagi dari
1
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, 2009, hlm. 26 (Terjemahan Sahetapy, Liberty, 1995).
71
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
ancaman pidana minimal dari pasal yang didakwakan jaksa penuntut umum, sehingga Mahkamah Agung membatalkan putusan JF oleh karena terjadi kesalahan dalam penerapan hukum.
B. PIDANA TAMBAHAN DAN PIDANA BERSYARAT Selain ketentuan sanksi pidana pokok (penjara dan denda), pidana tambahan maupun penjatuhan pidana bersyarat masih banyak mendapat sorotan termasuk sebagai pokok bahasan pada rapat kamar pidana MA. Pengaturan sanksi pidana tambahan dalam UUPTPK merupakan perkembangan politik hukum pidana nasional yang telah menganut sistem invidualisasi pidana yang berorientasi pada pelaku dan perbuatan (daad-dader strafrecht) sehingga jenis sanksi yang diterapkan dalam undangundang ini meliputi sanksi pidana (straf/punishment) yang bersifat penderitaan dan sanksi tindakan (maatregel/treatment) yang berorientasi penyelamatan keuangan dan perekonomian negara. Sanksi pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 18 UUPTPK masih tumpang-tindih pengaturannya dengan sanksi tindakan. Ketentuan pidana bersyarat tercantum dalam Pasal 14 KUHP yang berlaku sebagai ketentuan umum kecuali ditentukan secara khusus dalam perundang-undangan. Ketentuan ini tidak diatur secara khusus dalam UUPTPK sehingga penerapannya perlu didiskusikan seberapa dekatkah lembaga pidana bersyarat ini dapat menunjang tujuan pemidanaan yang dianut dalam sistem hukum yang berlaku. Pengaturan sanksi UUPTPK merupakan perwujudan politik hukum nasional yang didasarkan pada dua teori (tujuan) pemidanaan yakni pencegahan (prevention) dan retributif (retribution). Dasar pemidanaan pada ajaran retributif beranggapan bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya. Demikian juga pada pandangan preventif, sanksi yang diterapkan secara tepat akan mencegah para penjahat untuk melakukan pengulangan kejahatan dan mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan. Teori retributif (retributivism) menyatakan bahwa pidana yang sepatutnya diterima sangat diperlukan berdasarkan alasan, baik keadilan maupun beberapa nilai moral. Ceteris paribus, dunia akan menjadi baik, bilamana nilai-nilai moral dilindungi dengan memberikan penderitaan atas penjahat. Hal inilah pula yang menyebabkan bahwa
72
Bab 6: Penerapan Sanksi Pidana dalam Kasus Tipikor
kadang pandangan retributif ini dikategorikan sebagai teori pembalasan dendam (the vindictive theory of punishment)2.
C. PENDIRIAN MAHKAMAH AGUNG Bagaimana sikap atau praktik penjatuhan sanksi yang dilakukan Mahkamah Agung terhadap kasus tindak pidana korupsi (TPK), gambaran umumnya dapat dilihat pada keadaan sebagai berikut. Jumlah perkara yang ditangani Mahkamah Agung yang meliputi kasasi dan PK tahun 2011 sebanyak 1.127, mengalami peningkatan sebesar 8,89% dari tahun sebelumnya sebesar 1.035. Data di Mahkamah Agung berkenan penjatuhan sanksi pidana terhadap keseluruhan perkara pidana khusus sebanyak 1.705 kasus yang meliputi kasasi dan PK (termasuk Tipikor), menjatuhkan pidana terhadap 1.570 perkara (92,08%), sedangkan putusan yang membebaskan terdakwa berjumlah 135 perkara (7,92%). Putusan pembebasan dimaksud adalah merupakan putusan bebas dari Pengadilan Negeri yang diajukan kasasi, dan kasasinya ditolak Mahkamah Agung RI sehingga terdakwa tetap bebas. Adapun putusan pemidanaan bebas yang dijatuhkan Mahkamah Agung dengan membatalkan putusan pemidanan pengadilan rendahan sepanjang tahun 2011 adalah nihil (0%)3. Berbarengan dengan itu, suatu langkah peningkatan kinerja telah pula dilakukan Mahkamah Agung dengan menyelenggarakan rapat kamar pidana di bulan Maret tahun ini. Chamber system di Mahakamah Agung mulai berlaku sejak tanggal 19 September 2011 yang merupakan awal dari era baru menggantikan sistem lama yang berlaku selama ini. Tujuan penerapan sistem kamar ini secara singkat dapat dikemukakan,4 pertama, mengembangkan kepakaran dan keahlian hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dengan adanya sistem kamar, maka hakim hanya memutus perkara yang sesuai dengan kompetensi dan keahliannya. Kedua, meningkatkan produktivitas dalam pemeriksaan perkara. Spesialisasi dalam sistem kamar akan mengurangi
2 3 4
Bdk. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 49-50. Supreme Court of The Republik of Indonesia, Annual Report 2011 Executive Summary, pp. 35-36. Pidato Sambutan Ketua Mahkamah Agung pada Pembukaan Rapat Kerja Nasional MA-RI dengan Jajaran Pengadilan dari Empat Lingkungan Peradilan seluruh Indonesia, 2011, di Jakarta.
73
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
disparitas putusan yang diterima oleh majelis karena perkara telah terklasifikasi sehingga sesuai dengan kompetensi majelis. Dengan demikian sistem ini akan meningkatkan munculnya pengulangan (repetisi) dan pada akhirnya tercipta standarisasi (yurisprudensi). Ketiga, memudahkan pengawasan putusan dalam rangka menjaga kesatuan hukum karena putusan telah terklasifikasi sesuai dengan keahlian dalam kamar. Sistem kamar yang konsisten akan berdampak positif dalam jangka panjang, yaitu dapat mendorong Mahkamah Agung untuk dapat lebih menjalankan fungsinya sebagai penjaga kesatuan penerapan hukum yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepastian hukum. Bila kepastian hukum dapat ditingkatkan maka dalam jangka panjang diharapkan arus permohonan kasasi yang tidak beralasan dapat ditekan. Intinya, bahwa penerapan sistem kamar (chamber system) dalam sistem peradilan yang mulai dilaksanakan di MA ini bertujuan untuk menjaga konsistensi putusan, meningkatkan profesionalitas hakim agung, dan mempercepat proses penanganan perkara. Chamber (kamar) dimaksud meliputi Kamar Pidana, Kamar Perdata, Kamar Tata Usaha Negara, Kamar Agama, dan Kamar Militer. Kamar Pidana terdiri atas SubKamar Pidana, dan Sub-Kamar Pidana Khusus, dan Sub-Kamar Pidana Khusus NonTipikor; Kamar Perdata terdiri atas Sub-Kamar Perdata, dan Sub-Kamar Perdata Khusus. Dalam rapat kamar pidana tersebut telah dibahas dan disepakati beberapa teknis penyelenggaran Peradilan Pidana, termasuk di antaranya penerapan sanksi pidana dalam perkara tindak pidana korupsi sebagai berikut: Pertama, penjatuhan pidana percobaan (bersyarat) tidak diperbolehkan. Rapat memutuskan bahwa pembuat undang-undang telah menetapkan adanya pidana minimum khusus, karena itu menjatuhkan pidana percobaan pada prinsipnya tidak diperbolehkan, dan apabila disimpangi maka hakim telah menginjakkan kakinya ke ranah kekuasaan pembuat undang-undang. Hemat penulis, ke depan kesepakatan ini akan menghadapi banyak ujian mengingat karakteristik perkara tertentu sangat bercorak ragam sehingga sangat memerlukan kejelian hakim dalam mewujudkan keadilan. Meminjam ucapan mantan Hakim Agung Bismar Siregar (alm.), bahwa “berhukum secara benar adalah berhukum dengan makna. Artinya, kita tidak boleh berhenti pada satu titik, tetapi harus terus-menerus mencari makna yang lebih dalam. Keadilan jauh lebih daripada kepastian undang-
74
Bab 6: Penerapan Sanksi Pidana dalam Kasus Tipikor
undang. Jadi, carilah makna dari suatu undang-undang, lebih daripada suatu prosedur”..”5 Dengan demikian praktik hukum yang dikedepankan menunjukkan, hakim tetap saja tidak dapat menutup mata akan adanya keadaan tertentu yang mengedepankan keadilan dalam menjatuhkan putusan, tentunya dengan memerhatikan ketentuan yang ada dalam rangka berlakunya asas legalitas seperti dikemukakan di atas.. Kedua, penjatuhan pidana denda tidak diperkenankan tanpa pidana badan (pidana penjara atau kurungan). Argumennya, bahwa pasal-pasal tindak pidana korupsi telah menetapkan adanya pidana minimum khusus dan pidana maksimal; demikian juga mengenai pidana denda dijatuhkan secara kumulatif bersama pidana penjara, misalnya Pasal 2 UUPTPK, atau pidana denda tersebut dijatuhkan secara alternatif, misalnya Pasal 3 UUPTPK. Hakim Agung Djoko Sarwoko, Ketua Muda Pidana Khusus MA-RI menyatakan bahwa penjatuhan pidana dengan pengutamaan penjatuhan pidana pokok penjara dan denda adalah wujud pendekatan retributif dalam penjatuhan sanksi terhadap tindak pidana korupsi. Teori retributif (retributivism) menyatakan bahwa pidana yang sepatutnya diterima sangat diperlukan berdasarkan alasan, baik keadilan maupun beberapa nilai moral. Djoko Sarwoko juga menyinggung penggunaan diskresi hakim berkenaan dengan penjatuhan pidana dimaksud dengan menunjuk Pasal 12 A UUPTPK. Hemat penulis, memang Pasal 3 memuat sanksi pidana pokok secara alternatif, namun penekanan untuk menjatuhkan pidana denda tanpa pidana penjara dapat berimplikasi pada tindakan spekulatif seorang koruptor bahwa hukuman dapat dibayar dengan uang. Jadi penjatuhan sanksi dengan mengedepankan penjatuhan pidana penjara dengan menafikan penjatuhan pidana denda an sich adalah sebuah pilihan keras (hard choice) dari rapat kamar pidana dalam upaya mengefektifkan tujuan pemidanaan. Ketiga, pengenaan sanksi pidana tambahan uang pengganti juga mendapat perhatian khusus pada rapat kamar pidana Mahkamah Agung. Masalah teknis telah
5
Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. xvii.
75
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
muncul dan bilamana tidak ditangani secara baik akan menimbulkan persoalan yang bersingungan dengan keadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam perkara TPK yang dilakukan dalam bentuk deelneming (penyertaan)/ dilakukan secara bersama-sama tetapi disidangkan dalam berkas yang terpisah (splitsen). Contoh kasus yang dikemukakan: (1) Salah seorang terpidana A, mengajukan PK karena uang pengganti telah dijatuhkan kepada terpidana lain, B dan C dalam berkas terpisah, dan telah menutup jumlah kerugian negara yang dinikmati oleh terpidana lain tersebut, padahal pemohon PK juga dijatuhi uang pengganti yang besarnya sama dengan terpidana lain. (2) Dalam hal pemohon PK si A mengajukan keberatan PK dengan alasan bahwa uang pengganti tersebut menjadi berlebihan karena melampaui kerugian negara yang telah dijatuhkan kepada terpidana lain tersebut, bagaimana bunyi putusan Majelis PK. Solusi yang dikemukakan bahwa uang pengganti berpedoman pada Pasal 18 UUPTPK Pasal 18 ayat (1) huruf b dan Pasal 18 ayat (3) UUPTPK: (a) Pasal 18 ayat (1) huruf b, … yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. (b) Pasal 18 ayat (3) … maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi pidana ancaman maksimum dari pidana pokoknya. Sebagai catatan: (a) uang pengganti tidak boleh melampaui kerugian negara, karena dalam hal peninjauan kembali beralasan dan dikabulkan; (b) uang pengganti harus sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b. Untuk itu kepada Ketua Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung diharapkan agar tindak pidana yang dilakukan bersama-sama akan tetapi penuntutannya dilakukan secara terpisah, sebaiknya disidangkan secara terpisah oleh majelis hakim yang sama. Keempat, selanjutnya, dalam hal terpidana telah memenuhi pembayaran uang pengganti sebagian namun tidak mampu membayar kewajiban selebihnya, persoalan yang muncul bagaimanakah perhitungan penerapan pidana penjaranya.
76
Bab 6: Penerapan Sanksi Pidana dalam Kasus Tipikor
Solusinya, (a) Tidak ada kriterianya dalam Pasal 18 UUPTPK. Dengan demikian berapa besar pun yang sudah dibayar, pidana pengganti tetap dijalankan; (b) Eksekusinya dihitung oleh jaksa penuntut umum. Kelima, dalam hal terdapat gabungan (kumulasi) dari beberapa perkara yang didakwakan oleh JPU dalam perkara Tipikor, dipersoalkan penerapan pidana yang dapat dilakukan, yakni apakah (a) jumlah dari seluruh pidana-pidana minimalnya; atau (b) pidana minimal terberat ditambah sepertiga (analog dengan aturan maksimalnya). Solusi yang dikemukakan bahwa pidana yang dijatuhkan adalah ancaman pidana minimal terberat ditambah sepertiga (absorbsi yang dipertajam), dengan catatan tidak diperbolehkan menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimal.
D. SIMPULAN Sanksi pidana dalam UUPTPK memiliki karakter khusus yang dimaksudkan agar dengan penerapan sanksi dapat lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang sangat masif kemunculannya. Ancaman pidana dimaksud terdiri atas sanksi minimal dan sanksi maksimal. Selain itu sanksi pidana tambahan yang berbeda dengan pidana tambahan dalam KUHP juga diharapkan dapat mengembalikan kerugian negara (asset recovery). Pengaturan yang demikian menjadi tidak berarti bilamana tidak diikuti dengan penegakan hukum yang tegas dan konsisten terutama dalam penjatuhan sanksi pidana sesuai politik hukum nasional. Mahkamah Agung dengan terbentuknya sistem kamar (chamber system) telah menyelenggarakan Rapat Kamar Pidana dengan salah satu topik bahasannya adalah berkenaan dengan penerapan sanksi hukum dalam perkara tindak pidana korupsi. Rumusan ini diharapkan dapat dipahami dan dilaksanakan oleh jajaran pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung khususnya Pengadilan Tipikor sehingga tercipta konsistensi, keadilan, dan kepastian hukum dalam penanganan perkara Tipikor.
77
7 PUTUSAN BEBAS DAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM A. PENDAHULUAN Dalam perkara pidana, amar putusan pengadilan memiliki nilai atau kekuatan terhadap perkara yang diperiksa dan diadili. Pengertian amar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perintah, suruhan; dalam aspek hukum berarti bunyi putusan sesudah kata mengadili, memutuskan; dan dalam bahasa Arab yang telah diserap dalam bahasa Indonesia berarti perintah, amar makruf nahi mungkar, perintah untuk mengerjakan perbuatan yang baik dan larangan mengerjakan perbuatan yang keji. Dalam perkara perdata lain lagi yakni dikenal dengan diktum yang berarti ucapan (pernyataan) resmi; keputusan; bagian dari ketetapan yang mengandung keputusan; dan dalam hukum diartikan bagian yang memuat hal yang ditetapkan hakim dalam putusan pengadilan (amar putusan). Tulisan ini hendak mendiskusikan amar putusan yang berbunyi bebas dan amar putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlu kesamaan persepsi berkenaan dengan kedua hal tersebut mengingat implikasi dari kedua amar putusan ini akan memengaruhi kelangsungan suatu perkara khususnya dalam menggunakan upaya hukum banding atau kasasi. Pasal 67 KUHAP berbunyi: “Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari tuntutan hukum, yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat”. Selanjutnya, terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”, ex Pasal 244 KUHAP. Pasal 26 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman (UUKK 2009) berbunyi, “Putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan kepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain”. Putusan vrispraak yang dimohonkan kasasi cukup besar yang semakin menambah beban kerja Mahkamah Agung (MA). Dalam memeriksa perkara kasasi terhadap putusan bebas sangat perlu dicermati terutama Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam mengajukan permohonan kasasi oleh karena syarat atau pintu masuk untuk memeriksa agar tidak menyalahi ketentuan Pasal 244 KUHAP harus ada alasan yang tepat bahwa putusan a quo bukan pembebasan murni. Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang pembebasan yang tidak murni meliputi: (1) apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan; atau (b) apabila pembebasan itu sebenarnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum; atau (c) apabila dalam menjatuhkan putusan itu di pengadilan telah melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut kompetensi absolut dan relatif, tetapi dalam hal apabila ada unsurunsur nonyuridis yang turut dipertimbangkan dalam putusan itu tidak diajukan sebagai keberatan kasasi oleh jaksa, Mahkamah Agung wajib menelitinya. JPU selaku pemohon kasasi harus mengemukakan alasan bahwa putusan a quo bukan putusan bebas murni. Dalam hal JPU tidak mengemukakan alasan dimaksud, permohonan kasasi in casu tidak memenuhi syarat sehinga diputus “tidak dapat diterima” sebagaimana diatur dalam Pasal 31A ayat (5) UU tentang Mahkamah Agung jo. Perubahannya (2009) “Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima”.
80
Bab 7: Putusan Bebas dan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
B. KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 191 ayat (1) KUHAP berbunyi “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti scara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Ayata (2) berbunyi “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Sebelum berlakunya KUHAP, juga sudah diatur dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement, S.1941 No. 44); Pasal 313 berbunyi “Jika Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa kesalahan pesakitan (terdakwa = beklaagde, pen.) tidak terbukti, maka ia dibebaskan dengan perintah, jika ia terkurung (ditahan – pen), supaya segera dikeluarkan dari tahanan, kecuali kalau ia harus ditahan, karena alasan lain. Pasal 314 (1) “Jika Pengadilan Negeri menimbang, bahwa perbuatan yang menyebabkan terdakwa menghadap hakim betul terbukti, akan tetapi tidak menjadikan kejahatan atau pelanggaran, maka Pengadilan Negeri melepaskan pesakitan (terdakwa pen.) dari segala tuntutan tentang perkara itu; (terjemahan Mr. J.H. Scheers cs. dari bahasa Belanda, dengan catatan – pen.). Ringkasnya, Pasal 313 HIR adalah ketentuan yang mengandung pembebasan terdakwa (vrispraak), dan Pasal 314 ayat (1) adalah putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan (ontslag van rechtsvervolging). Jadi kedua ketentuan hukum acara pidana ini mengandung kesamaan dalam pengaturan amar putusan dimaksud.
C. ACUAN DOKTRINAL Dalam hal bagaimanakah suatu putusan berbunyi bebas dan berbunyi lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 KUHAP, untuk memudahkannya dapat disimak doktrin maupun praktik penerapan hukum pidana berkenaan dengan syarat pemidanaan (strafvoraussetzungen) yakni A (syarat objektif) + B (syarat subjektif) = C (syarat pemidanaan)1. Syarat pemidanaan objektif, dikenal
1
Syarat pemidanaan ini bersumber dari teori Herman Kantorowicz (1933) dalam mengkritik pandangan Monistis terhadap perbuatan pidana yang menggabungkan unsur handlung dan schuld; yang diikuti Moeljatno, Roeslan Saleh, A. Zainal Abidin, dan kemudian diikuti banyak pengarang/pakar hukum pidana sesudahnya; vide Prof. Mr. Moeljatno,
81
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
dengan actus reus (delictum) yakni perbuatan kriminal yang bertentangan dengan undang-undang yang terdiri atas: (a) unsur-unsur konstitutif sesuai rumusan delik dalam undang-undang (bestanddelen), dan (b) unsur diam-diam (kenmerk elementen) yang meliputi: (i) perbuatan aktif atau passif (positif atau negatif); (ii) melawan hukum objektif dan subjektif, dan (iii) tidak ada alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond, justification). Syarat objektif ini adalah menentukan adanya tindak pidana; dan bilamana syarat ini tidak terbukti maka berarti tidak ada delik; maka bunyi putusan berbunyi dilepas dari segala tuntutan hukum ex Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Bunyi putusan yang sama juga berlaku dalam hal unsur delik atau syarat objektif di atas terpenuhi akan tetapi terdapat alasan yang menghapuskan suatu peristiwa pidana atau menghilangkan sifat melawan hukum (alasan pembenar = rechtsvaardigingsgronden). Sejalan dengan bunyi pasal ini, Vos, Jonkers, dan Langemeyer menyatakan, dalam hal hakim raguragu menentukan apakah unsur melawan hukum atau tidak, maka tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana. Bunyi putusan, terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging).2 Karena perbuatan pidana tidak ada atau perbuatan yang tercantum dalam surat dakwaan perbuatan terbukti akan tetapi tidak merupakan tindak pidana karena tidak memenuhi syarat sebagaimana disebut di atas, maka tidak perlu diteliti lebih jauh adanya unsur kesalahan. Tidak ada gunanya mempersoalkan unsur kesalahan pembuat atas perbuatan yang tidak merupakan tindak pidana. Terpenuhinya syarat ini sangat ditentukan oleh kemampuan pengadilan (hakim) dalam menilai dan menyimpulkan bukti-bukti yang sah dan meyakinkan. Pasal 183 KUHAP berbunyi, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”; sedangkan menurut Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Berkenaan dengan bunyi
2
82
Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, 1983, hlm. 22-24; dan Prof. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, S.H., Hukum Pidana I, Sinar Grafika, 1995, hlm. 204. Prof. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Gadjah Mada University Press, 1978, hlm. 91.
Bab 7: Putusan Bebas dan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
putusan lepas dari segala tuntutan hukum, Prof. Subekti3 menyatakan, “bahwa dalam hal putusan lepas dari segala tuntuan, hakim tidak menjatuhkan pidana didasarkan pada penafsiran undang-undang. Itulah sebabnya maka sebelum berlakunya KUHAP, putusan lepas … boleh dibanding didasarkan pada pertimbangan, bahwa mungkin hakim yang lebih tinggi (PT/MA) mempunyai penafsiran hukum yang lain terhadap faktafakta yang lain terhadap fakta yang telah terbukti itu”. Penentuan terpenuhinya syarat objektif ini yakni kapan suatu perbuatan terbukti tetapi tidak merupakan tindak pidana atau tidak melawan hukum sehingga diputus lepas dari segala tuntutan hukum sangat sering menimbulkan perbedaan penilaian para hakim, keadaan mana sering melahirkan dissenting opinion (pendapat yang berbeda). Perbedaan penilaian hakim ini telah diberi ruang oleh Pasal 14 ayat (3) UUKK (2009) yang berbunyi “Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan”. Syarat pemidanaan subjektif (mens rea), baru dipersoalkan bilamana ada perbuatan melawan hukum. Unsur mens rea ini juga dikenal dengan unsur pertanggungjawaban menurut hukum pidana (criminal responsibility, criminal liability, strafrechtelijke toerekening) atau kesalahan dalam arti luas. Di dalamnya terdapat unsur (a) kemampuan bertanggung jawab (toerekeneingsvatbaarheid), dan (b) kesalahan dalam arti luas. Untuk menentukan ada tidaknya toerekeningsvatbaarheid sebagaimana dimaksud pada sub a, pada umumnya (sekarang) diterima bahwa hendaknya menerima nasihat dokter (tabib), rumah sakit atau lembaga yang menyelidiki gangguan jiwa manusia. Hakim memiliki kompetensi atau berhak untuk menentukan ada tidaknya kemampuan bertanggung jawab seseorang; demikian pula hakim berhak menentukan supaya seorang terdakwa dimasukkan ke rumah rakit jiwa paling lama satu tahun, ex Pasal 44 ayat (2) KUHP. Seseorang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (ontoerekeningsvatbaar), maka terdakwa tersebut tidak boleh dihukum, ex Pasal 44 dan 45 KUHP; Selanjutnya uraian sub b kesalahan dalam arti luas adalah meliputi (i) kelakuan yang disengaja (dolus)
3
Prof. Subekti, S.H., sku Kompas, 8 Mei, 1982, Artikel, “Bebas dan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum menurut KUH Acara Pidana”.
83
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
dalam berbagai tingkatan, (ii) kelakuan yang kurang hati-hati atau lalai (culpa), (iii) tidak ada alasan yang menghapuskan peranggungjawaban pidana pembuat seperti overmacht (dalam arti sempit Pasal 48), keadaan darurat (noodtoestand, Pasal 48), Kelebihan pembelaan darurat Pasal 49 ayat (2), dan perintah jabatan Pasal 51 ayat (2). Tidak mungkin ada kesalahan tanpa perbuatan melawan hukum. Kesalahan sangat tergantung pada adanya unsur melawan hukum, tetapi tidak berarti melawan hukum juga adalah kesalahan. Syarat subjektif ini baru dipertimbangkan setelah unsur perbuatan sebagai tindak pidana terbukti. Bilamana unsur kesalahan tidak terbukti termasuk adanya alasan yang menghapuskan kesalahan maka terpidana harus dibebaskan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Bunyi putusan yang sama juga berlaku dalam hal unsur kesalahan (mens rea) di atas terpenuhi akan tetapi terdapat alasan yang menghilangkan kesalahan (schulduitsluitingsgronden). Bagaimana halnya bilamana terdakwa sama sekali tidak terbukti melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan; dalam hal ini terdakwa harus diputus bebas oleh karena tidak bersalah. Pandangan yang dikemukakan di atas adalah pandangan legistis (berdasarkan undang-undang). Sebagai ilustrasi, dapat dikemukakan contoh kasus yang telah diputus PN Calang (Wilayah PT Banda Aceh) No. 16/Pid. B/2011/PN.CAG atas Terdakwa Edi Saridi, Dakwaan KESATU Primer Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 … UUP Tipikor, Subsider Pasal 3 jo. Pasal 18 … UUP Tipikor, atau KEDUA Pasal 9 … UUP Tipikor. Tuntutan pidana JPU terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 9 … UUP Tipikor (dakwaan Kedua). Pertimbangan judex facti, a.l. menyatakan bahwa berdasarkan fakta hukum di atas, majelis hakim berpendapat bahwa tindakan Saksi Drs. H. selaku Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Aceh Jaya, dan dua orang saksi lainnya, dilakukan terdorong oleh karena situasional yakni pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 Kabupaten Aceh Jaya masih dalam tanggap darurat rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa bumi tsunami tahun 2004, dalam keadaan overmacht (daya paksa) yaitu berada dalam keadaan posisi terjepit (dwangpositie), di tengah-tengah dua hal yang sulit sama buruknya, di antara mengalihkan dana anggaran honorarium dan pengadaan alat-alat pengolah data untuk membeli pengadaan tanah musala secara bertentangan dengan hukum atau
84
Bab 7: Putusan Bebas dan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
melepaskan pembangunan musala dari BRR. Majelis hakim mempertimbangkan tidak melihat adanya niat jahat dari terdakwa untuk memalsu buku-buku atau daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi …, majelis hakim melihat adanya niat baik terdakwa yang terlihat dari adanya kerja sama dengan Drs. H. … untuk berbuat yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi kepentingan negara dan pelayanan publik. Majelis hakim mengutip pendapat Prof. Dr. Komariah Emong Sapardjaya, … bahwa untuk menetapkan hilangnya sifat melawan hukum sebagai alasan pembenar, secara umum harus dilihat apakah perbuatan terdakwa: (a) mempunyai tujuan nyata yang memberikan manfaat terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang, (b) melindungi kepentingan hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepentingan hukum yang dituju oleh perumusan tindak pidana yang dilanggar, dan (c) mempunyai nilai bagi masyarakat dengan kepentingan sendiri. Majelis hakim mempertimbangkan bahwa dana tersebut dengan pertanggungjawaban yang jelas untuk pembelian tanah untuk pembangunan musala, jelas mempunyai nilai dan tujuan yang nyata serta memberikan manfaat yang lebih besar daripada peruntukan anggaran DIPA untuk pembayaran tenaga Honorer dan pengadaan komputer karena saat tersebut tenaga honorer tidak begitu mendesak diperlukan, demikian juga pengalihan dana komputer, karena sudah ada bantuan komputer dari ERA AUS AID.. Majelis hakim juga mengutip Yurisprudensi MA yang menerapkan sifat ajaran melawan hukum materiil dengan fungsi negatif … No. 42 K/Kr/1966, kemudian diikuti pula Putusan MA No. 71/K/1970, dan Putusan MA No. 81/K/Kr/ 1973; … selanjutnya pengadilan mempertimbangkan/mengartikan perbuatan materiil dipandang tidak wederrechtelijk, walaupun memenuhi semua unsur dari tindak pidana … sebagai salah satu alasan pembenar yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Atas dasar pertimbangan di atas, amar putusan JF berbunyi “(1) menyatakan Terdakwa EDI SARIDI, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan kedua, akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana; (2) Melepaskan terdakwa tersebut oleh karenanya dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Keputusan pengadilan ini telah dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh JPU dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (1) huruf a, b, dan c. Kita tunggu bagaimana pendapat MA tentang kasus tersebut”.
85
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Kontra dengan pandangan legalistik di atas, beberapa kalangan4 mengemukakan kritik bahwa ketentuan ini agak janggal dan mengusulkan memperbaiki redaksi Pasal 191 KUHAP untuk dipergunakan untuk menentukan diktum dan kualifikasi putusan hakim. Beliau berpendapat/mengusulkan bilamana unsur-unsur delik sesuai dengan ketentuan hukum pidana dan dinyatakan dalam surat dakwaan penuntut umum tidak terbukti, maka terdakwa dinyatakan bebas (vrijspraak). Selanjutnya, bilamana unsur perbuatan terdakwa terbukti semua, tetapi salah satu unsur pertanggungjawaban pidana tidak terbukti, maka terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum. Hal dimaksud pertanggungjawaban adalah kesalahan dalam arti luas yang mencakup sengaja dan/atau culpa lata, yang menjadi unsur-unsur pembuat delik. Andi Zainal Abidin berpendapat bahwa rumus Pasal 191 ayat (2) KUHAP sama sekali tidak benar dan tidak logis, karena yang bersangkutan sama keadaannya dengan terdakwa yang tidak terbukti melakukan delik. Berkenaan ketentuan Pasal 191 ayat (1) Andi Hamzah5, juga berpendapat bahwa pemakaian kata “kesalahan” adalah kurang tepat, karena jika kesalahan tidak terbukti maka putusan mestinya lepas dari segala tuntutan hukum. Jika perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi terdakwa tidak bersalah karena tidak melawan hukum atau ada alasan pemaaf. Terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum, Andi Hamzah, mengeritik ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP bahwa sebenarnya kalau perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa bukan delik (tindak pidana), maka dari permulaan seharusnya hakim tidak menerima tuntutan jaksa (niet ontvankelijjk verklaring van het Openbare Ministerie). Chairul Huda6 dalam disertasinya juga mengusulkan agar ketentuan Pasal 191 (2) KUHAP yang menentukan, “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu tidaklah merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”, harus diperbaiki. Dikemukakan bahwa perumusan ini agak janggal, dalam hal ini, yang terbukti bukanlah ‘bukanlah tindak pidana’ tetapi perbuatan. Hal mana tidak termasuk rumusan Surat Dakwaan sesuai
4 5 6
86
Misalnya Guru Besar Fakultas Hukum Unhas, Prof. Dr. Andi Zainal Abidin Farid, S.H., Op. Cit., hlm. 204. Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H., Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2008, hlm. 287-288. Chairul Huda, “Dari “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 54-55.
Bab 7: Putusan Bebas dan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Pasal 143 ayat (2) KUHAP; dan mengusulkan “apabila terdakwa tidak dapat dipersalahkan atas tindak pidana yang didakwakan maka diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Pandangan pakar di atas patut diberi apresiasi sebagai usul untuk dibahas dalam revisi KUHAP yang akan datang. Bahwa mengingat hukum pidana Indonesia menganut aliran/ajaran legalitas maka tentu sebagai warga negara yang baik harus mengikuti secara konsekuen ketentuan KUHAP mengingat rumusan Pasal 191 sudah sangat jelas dan tidak perlu dilakukan interpretasi atau contra legem.
D. PENUTUP Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa bunyi putusan yang berbunyi bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum berimplikasi luas pada upaya hukum dan hak asasi manusia, maka sangat diperlukan analisis yang cermat terhadap kasus yang dihadapi baik terhadap perbuatan maupun pembuatnya. Untuk memudahkan analisis/ penilaian hasil pemeriksaan terhadap tindak pidana yang didakwakan JPU dapat dirujuk kepada teori syarat pemidanaan yang rumusnya: A (syarat objektif – perbuatan) + B (syarat subjektif – pembuat) = C (syarat pemidanaan). Bilamana syarat A tidak terbukti, termasuk ada alasan pembenar maka putusan berbunyi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Selanjutnya bilamana syarat A tidak terbukti maka syarat B tidak perlu dipertimbangkan, sedangkan bilamana syarat A terbukti namun syarat B tidak terpenuhi atau ada alasan pemaaf maka putusan berbunyi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP.
87
8 PRO KONTRA PEMIDANAAN KORPORASI TANPA DAKWAAN KHUSUS EX PASAL 20 AYAT (1) UUPTPK A. PENDAHULUAN Mahkamah Agung, tahun 2013/2014 telah menyelenggarakan rangkaian diskusi dengan topik pilihan yang sangat beragam dan aktual. Topik artikel kali ini dipilih untuk dikaji lebih jauh setelah Kamar Pidana menyelenggarakan diskusi dua topik yang sama atau hampir sama tentang korporasi pada dua kesempatan yang berbeda.1 Substansi hukum dimaksud adalah bagaimana mengembalikan aset negara melalui penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengurus; apakah harus dilakukan dakwaan secara bersama sama dengan korporasi atau sebaliknya, dapat dilakukan penjatuhan sanksi secara bersama-sama antara korporasi dengan pengurus tanpa dakwaan khusus.
1
Kesempatan pertama, Prof. Mr. Nico Keijzer mewakili Hoge Raad (HR) mempresentasikan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (22 Mei 2013), kedua, Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum., Hakim Agung RI, Kajian Teoretik dan Praktis Pemidanaan Korporasi dalam Rangka Pengembalian Aset, dan Dr. Bambang Widjoyanto, S.H., L.L.M. Wakil Ketua KPK, Pertanggungjawaban & Pemidanaan Korporasi dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Suatu Pengalaman KPK (30 Juli 2013).
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Ketentuan dapat dipidananya badan hukum mulai diatur dalam Undang-Undang No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 15 (1), (2), dan dilanjutkan dengan beberapa perundang-undangan lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) sebagai objek kajian, mengatur secara khusus penjatuhan sanksi pidana terhadap korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1). Pada civil law system pertanggungjawaban pidana bagi korporasi tergolong baru jika dibandingkan dengan sistem hukum yang berlaku pada sistem common law. Saat ini banyak negara anggota Uni Eropa yang sudah mengakui pertanggungjawaban pidana korporasi. Inggris merupakan negara pertama mengadopsi pertanggungjawaban pidana korporasi. Belanda mengakui pertanggungjawaban pidana korporasi pada tahun 1976, Prancis pada tahun 1964, Swiss 1998, Belgia 1999, Italia 2001, Denmark 2002, Polandia 2003, Austria dan Rumania 2006, Luksenburg dan Spanyol pada tahun 2010, Republik Ceko pada 2012. Jerman masih menentang konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dengan alasan (1) korporasi tidak bertindak, yang ada hanya orangorang yang bertindak atas nama korporasi; (2) bahwa korporasi tidak memiliki hati nurani dan tidak dapat memiliki unsur kesengajaan/kealpaan.2 Ditetapkannya korporasi sebagai penanggung jawab tindak pidana telah menimbulkan berbagai diskusi tentang penerapan sanksi hukum yang melibatkan korporasi sebagai pelaku di samping pengurus. Dalam UUPTPK terdapat sejumlah ketentuan berkenaan dengan pengaturan tentang korporasi ini, yakni: (1) pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban; (2) pihak yang dapat diuntungkan akibat perbuatan seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum atau seseorang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; (3) pihak yang melakukan tindak pidana; (4) pihak yang selalu melibatkan pengurus; (5) pihak yang dapat dikenakan sanksi pidana pokok pemberatan pidana denda; dan (6) pihak yang dapat dikenai pidana tambahan.
2
90
Nico Keijzerr, Trend and Development Corporate Criminal Liability and It’s Application for the Enforcement of Forest Related Crimes, Makalah, Seminar dan Workshop, Mahkamah Agung, Mei 2013, Jakarta, hlm. 12-13.
Bab 8: Pro Kontra Pemidanaan Korporasi Tanpa Dakwaan Khusus Ex Pasal 20 Ayat (1) UUPTPK
B. PERMASALAHAN Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini hendak mendiskusikan permasalahan: 1.
Bagaimanakah pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi;
2.
Bagaimanakah penjatuhan sanksi terhadap korporasi atas perbuatan yang dilakukan oleh pengurus; dan
3.
Apakah penjatuhan sanksi pidana yang dilakukan pengurus dapat pula dibebankan kepada korporasi tanpa dakwaan khusus.
C. KORPORASI SEBAGAI PELAKU/PENANGGUNG JAWAB DELIK Pengertian manusia sebagai subjek atau pembuat delik masih ditemukan dalam UUPTPK, dengan pengertian manusia dalam kedudukan berkaitan dengan pelayanan kepentingan umum/masyarakat bernegara, yakni: pegawai negeri atau penyelenggara negara, hakim, pemborong, advokat. Dalam UUPTPK pelaku delik terdiri atas tiga komponen, yakni: (1) korporasi, (2) pegawai negeri (dalam pengertian luas), dan (3) setiap orang. Ketentuan korporasi sebagai penanggung jawab delik, dalam UUPTPK tercantum dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 20, bahwa suatu tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi dan/atau pengurusnya. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana menurut Pasal 20 ayat (2) UUPTPK, bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila bertindak dalam lingkungan korporasi baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama: (a) dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja misalnya Direktur Utama seperti diatur dalam AD-ART korporasi yang bersangkutan; (b) dilakukan berdasarkan hubungan lain misalnya pemberian kuasa untuk mewakili korporasi atau melakukan hubungan kerja tertentu; Bila diurai selanjutnya, penanggung jawab delik (pembuat) menurut UUPTPK terdiri atas: (1) orang (manusia); dan (2) korporasi yang meliputi: (a) pengurus saja, (b) korporasi dan pengurusnya, atau (3) korporasi sendiri. Sebagai perbandingan, penanggung jawab delik menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
91
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Uang (UUPPTPPU), dilakukan oleh korporasi dan/atau personel pengendali korporasi. Penjatuhan pidana terhadap korporasi dilakukan apabila dilakukan atau diperintahkan personel pengendali untuk tujuan dan kepentingan korporasi sesuai tugas dan fungsi pelaku/pemberi perintah. Nico Keijzer (NK), dengan mengambil dasar hukum yang berlaku di Belanda, penanggung jawab dilakukan oleh: (a) pemegang kendali, dan (b) pemberi perintah atas tindakan tersebut. Pada sisi lain, dalam UUPTPK, penanggung jawab delik meliputi korporasi, pengurus korporasi, maupun bersama-sama antara pengurus dan korporasi. Dalam Pasal 20 ayat (1) UUPTPK dinyatakan bahwa “dalam hal tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya”. Kata dan mengandung arti kumulatif terhadap korporasi dan pengurus; sedangkan kata atau mengandung arti alternatif, dalam hal ini pengurus mewakili korporasi. Apabila tindak pidana dilakukan atau melibatkan atas nama korporasi menurut UUPTPK, ada tiga kemungkinan yang dapat dituntut sebagai pertanggungjawaban pidananya, yaitu: (1) korporasi itu sendiri; (2) pengurusnya saja, dan (3) korporasi dan pengurusnya.
D. SANKSI PIDANA TERHADAP KORPORASI 1. Jenis Sanksi Pidana Bentuk sanksi pidana yang diatur dalam perundang-undangan meliputi sanksi pidana (straf) dan tindakan (maatregel). Sanksi pidana pokok tercantum dalam Pasal 10 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang terdiri atas: (a) pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana tutupan, dan pidana denda; (b) pidana tambahan meliputi pencabutan hak-hak tertentu, penyitaan benda-benda tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Perumusan bentuk sanksi pidana pokok dalam KUHP pada prinsipnya menggunakan sistem alternatif dengan rumusan misalnya “pidana penjara” atau “denda”, dan selebihnya menggunakan sistem tunggal dengan rumusan tunggal yang hanya memuat sanksi pidana, kurungan, atau denda. Pidana tambahan hanya bersifat fakultatif yakni
92
Bab 8: Pro Kontra Pemidanaan Korporasi Tanpa Dakwaan Khusus Ex Pasal 20 Ayat (1) UUPTPK
rumusannya mengikuti pidana pokok yang dijatuhkan dan dirumuskan dalam suatu delik. Selain sanksi pidana berupa penderitaan atau bersifat siksaan yang diatur dalam KUHP, juga dikenal sanksi berupa tindakan (maatregel) yang tercantum dalam Pasal 44 dan Pasal 45 KUHP. Perkembangan pengaturan sanksi pidana pokok di luar KUHP telah terjadi dengan rumusan yang bersifat kumulatif seperti yang diatur dalam UUPTPK dan berbagai perundang-undangan. Ancaman pidana pokok dalam UUPTPK mengalami kemajuan dalam pengaturannya yakni dengan dicantumkannya ancaman pidana penjara minimal dan ancaman pidana maksimal serta ancaman pidana denda minimal dan ancaman pidana denda maksimal. Hal ini antara lain diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK. Ketentuan sanksi pidana yang mengatur sanksi pidana penjara dan/atau denda (kumulatif atau alternatif) tercantum secara khusus dalam perundang-undangan tertentu yakni dalam Pasal 3 UUPTPK dan beberapa perundang-undangan lainnya. Penerapan jenis sanksi kedua ini, sering menimbulkan perdebatan; satu pihak berpandangan kumulatif, dan yang lainnya berpendapat bahwa penerapan sanksi kedua ini dapat dilakukan secara alternatif. Sanksi berupa tindakan (maatregel) dalam perundang-undangan dikenal dengan tindakan tata tertib dan menurut Sudarto (1973), sanksi demikian adalah bentuk sanksi dalam hukum pidana modern. Sanksi tindakan tata tertib yang tercantum dalam Pasal 18 UUPTPK berupa: a.
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
b.
Pembayaran uang pengganti yang sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c.
Penutupan seluruh atau sebahagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun; dan
d.
Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu. Dalam hal terdakwa tidak dapat membayar uang pengganti atau tidak memiliki
93
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka terdakwa dikenakan hukuman penjara. Dengan ditetapkannya sanksi pidana maksimum dan sanksi pidana minimum terhadap kasus-kasus tertentu yang dipandang sangat membahayakan keselamatan uang uang negara termasuk perlindungan serta kelestarian lingkungan, hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman kurang dari ketentuan ancaman minimal. Hal ini telah pula dipertegas dalam rapat pleno kamar Mahkamah Agung (2012), termasuk larangan menjatuhkan pidana percobaan. Pengecualian penjatuhan sanksi minimal dalam perkara Tipikor tercantum dalam Pasal 12 A UUPTPK yakni tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
2. Penuntutan dan Penjatuhan Sanksi terhadap Korporasi Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Surat pelimpahan dimaksud menurut penjelasan KUHAP adalah pelimpahan perkara itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas perkara. Isi surta dakwaan disusun berdasarkan persyaratan yang diatur dalam Pasal 143 KUHAP dan dalam hal tidak memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud surat dakwaan adalah batal demi hukum.
3. Pro Kontra Kajian yang hendak didiskusikan selanjutnya adalah pemidanaan terhadap korporasi sejalan dengan pertanyaan, apakah korporasi dapat dikenai sanksi tanpa dilakukan penuntutan/dakwaan secara khusus oleh JPU. Jawaban atas pertanyaan ini dalam praktik timbul dua aliran (pro kontra). Aliran pertama, berpendapat bahwa penjatuhan sanksi berupa pembayaran uang pengganti terhadap korporasi dapat dilakukan tanpa surat dakwaan khusus (secara kasuistis) sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUPTPK. Kedua, penjatuhan sanksi terhadap korporasi hanya dapat dilakukan bilamana suatu korporasi telah diajukan sebagai terdakwa dalam suatu perkara yang diadakan khusus untuk itu.
94
Bab 8: Pro Kontra Pemidanaan Korporasi Tanpa Dakwaan Khusus Ex Pasal 20 Ayat (1) UUPTPK
Dalam kasus pengajuan perkara tindak pidana korupsi jo. tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan korporasi, JPU tidak mencantumkan korporasi sebagai pihak yang didakwa melainkan yang didakwa adalah pengurusnya. Diskusi telah berkembang di kalangan teman sejawat apakah korporasi yang tidak ikut didakwa dalam perkara a quo dapat atau tidak dapat dijatuhi sanksi pidana. Berikut ini dikemukakan legal reasoning masing-masing sebagai berikut:
a. Korporasi Dapat Dijatuhi Sanksi Pidana Bersama Pengurusnya Tanpa Surat Dakwaan Tersendiri Tuntutan dan penjatuhan sanksi terhadap korporasi secara kasuistis dapat dijatuhkan bersama pengurusnya tanpa surat dakwaan tersendiri. Putusan Mahkamah Agung Nomor 787 K/Pidsus K/2014, Terdakwa INDAR ATMANTO dalam kapasitas sebagai Direktur Utama PT Indosat Mega Media (PT IM2), terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) UUPTPK …, dihukum penjara selama 8 tahun, denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan; dan menghukum PT IM2 untuk membayar uang pengganti sebesar Rp1.358.343.346.674,00 (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat puluh tiga juga tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah). Putusan MA ini memperbaiki Amar Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 33/ Pid/TPK/2013/PT.DKI tgl. 12 Desember 2013 yang mengubah Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 01/Pid.Sus/ TPK/2013/PN.Jkt.Pst …, sekadar mengenai pidana denda dan uang pengganti. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut berpendapat bahwa korporasi adalah juga subjek hukum, seandainya korporasi tersebut dihukum maka korporasi karena merupakan subjek hukum harus turut didakwakan. Karena in casu perkara ini korporasi tidak masuk dalam dakwaan sehingga tidak dapat dihukum untuk membayar uang pengganti. Bahwa dengan demikian uang pengganti dalam perkara ini tidak dapat dibebankan kepada PT IM2 sebagai korporasi. Mahkamah Agung berpendapat bahwa terhadap alasan Pengadilan Timggi (judex facti) yang tidak membebankan uang pengganti kepada terdakwa, bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPTPK pertanggungjawaban dilakukan oleh korporasi dan/atau
95
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
pengurusnya. Hal ini mengandung arti bahwa undang-undang menganut sistem pertanggungjawaban secara kumulatif-alternatif dalam penuntutan dan penjatuhan sanksi pidana yakni terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. MA berpendapat bahwa meskipun JPU tidak melakukan penuntutan secara khusus terhadap korporasi (PT IM2), namun karena peran terdakwa dalam surat dakwaan dalam kapasitas sebagai Dirut PT IM2, maka pidana tambahan berupa uang pengganti dapat dijatuhkan kepada PT IM2. Anotasi terhadap putusan MA di atas dapat dikemukakan: Pertama, tindak pidana yang dilakukan terdakwa adalah atas nama PT IM2 dalam kapasitas sebagai Direktur Utama. Kedua, hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa semuanya masuk ke PT IM2 sehingga yang mendapat keuntungan atas perbuatan Terdakwa adalah PT IM2. Ketiga, korupsi adalah perbuatan yang sangat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara (extraordinary crime) sehingga upaya penegakan hukum melalui peradilan harus mendukung pengembalian keuangan negara. Keempat, MA telah melakukan interpretasi atau penemuan hukum atas ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPTPK yang berbunyi: “Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya”. Tindak pidana korupsi in casu ternyata dilakukan oleh terdakwa atas nama korporasi maka penjatuhan sanksi dilakukan terhadap terdakwa dan korporasi tanpa menunggu proses penuntutan baru. Kelima, penjatuhan sanksi terhadap korporasi tanpa dakwaan khusus merupakan langkah progresif sekaligus melaksanakan prinsip penyelenggaraan peradilan secara sederhana, murah, dan cepat.
b. Tuntutan dan Penjatuhan Sanksi terhadap Korporasi Harus dengan Surat Dakwaan Berbeda dengan alternatif pertama di atas, bahwa penjatuhan sanksi terhadap korporasi tidak dapat dilakukan bilamana korporasi tidak diajukan sebagai terdakwa. KUHAP sudah mengatur secara terperinci bahwa pengajuan terdakwa ke pengadilan adalah didasarkan pada surat dakwaan dan kalau pada perkara perdata didasarkan pada surat gugatan. Atas dasar itulah hakim memeriksa perkara sebatas yang
96
Bab 8: Pro Kontra Pemidanaan Korporasi Tanpa Dakwaan Khusus Ex Pasal 20 Ayat (1) UUPTPK
didakwakan termasuk dalam penjatuhan sanksi kepada korporasi. Syarat-syarat surat dakwaan ditetapkan secara limitatif dalam KUHAP yang harus dipenuhi dalam pengajuan perkara ke pengadilan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum). Surat dakwaan adalah titik tolak dan sasaran pemeriksaan. Syarat-syarat tertentu yang diatur dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP bilamana tidak terpenuhi, dakwaan menjadi batal demi hukum, dan perkara tidak dapat diperiksa di pengadilan. Putusan Mahkamah Agung No. 982 K. Pid/1988 tgl. 19 September 1990, dalam kasus tindak pidana korupsi, memberikan putusan: Mengadili: Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Maluku dan Pengadilan Negeri di Labuha; Mengadili sendiri: Menyatakan bahwa dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa, baik Dakwaan Primer maupun Dakwaan Subsider adalah batal demi hukum … menyatakan Penuntutan oleh Penuntut Umum tidak dapat diterima. Oleh karena dakwaan dinyatakan batal demi hukum selanjutnya MA menyatakan pula bahwa Penuntutan oleh Penuntut Umum tidak dapat diterima dan bukan dilepas dari segala tuntutan hukum, maka penuntutan oleh JPU masih dapat dilakukan pengajuan perkara a quo untuk disidangkan dengan dakwaan baru yang disusun secara benar menurut KUHAP. Menurut pandangan aliran kedua ini penjatuhan sanksi pidana terhadap setiap subjek hukum harus dilakukan berdasarkan surat dakwaan tersendiri berdasarkan ketentuan pasal KUHAP yang disebut di atas. Di Belanda seperti yang dikemukakan NK, untuk menuntut korporasi terdapat 3 kemungkinan penuntutan dan pengenaan hukuman. Pertama, korporasi itu sendiri dapat dituntut dan dikenakan hukuman; Kedua, terhadap orang yang memegang kendali dari tindak pidana tersebut; dan ketiga, baik terhadap korporasi maupun orang yang memegang kendali terjadinya tindak pidana. Oleh karena itu, jaksa penuntut umum dapat mengadili korporasi, atau orang yang mengendalikan terjadinya tindak pidana, atau keduanya. Dinyatakan selanjutnya bahwa penuntan berkaitan dengan korporasi, maka didahulukan ditetapkan bahwa korporasi telah melakukan tindak pidana, barulah menyusul menuntut pihak yang memegang kendali atas tindakan tersebut.3
3
Nico Keijzer, menurut Pasal 51 KUHP Belanda, Ibid., hlm. 14.
97
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
E. ANALISIS & RANGKUMAN 1.
Penjatuhan sanksi terhadap korporasi didasarkan pada ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPTPK. Putusan Mahkamah Agung Nomor 787 K/Pidsus K/2014, Terdakwa INDAR ATMANTO dalam kapasitas sebagai Direktur Utama PT Indosat Mega Media (PT IM2), terbukti bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) UUPTPK, dihukum penjara selama 8 tahun, denda Rp300 juta. PT IM2 meski tidak dinyatakan sebagai terdakwa dalam perkara a quo namun Mahkamah Agung juga memutuskan menghukum PT IM2 untuk membayar uang pengganti sebesar Rp1.358.343.346.674,00 (satu triliun tiga ratus lima puluh delapan miliar tiga ratus empat puluh tiga tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh empat rupiah).
2.
Penemuan hukum melalui interpretasi ketentuan Pasal 20 ayat (1) bahwa PT IM2 dapat dijatuhi hukuman untuk membayar uang pengganti meski tidak didakwa secara khusus oleh karena Terdakwa Indar Atmanto terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam kapasitas sebagai Direktur Utma PT IM2, berarti tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama korporasi.
3.
Fungsi hukum acara pidana adalah bagaimana menjalankan hukum materiil dengan baik untuk mencapai tujuan perundang-undangan yang telah ditetapkan agar para penegak hukum tidak bertindak liar dan semaunya (judicial tyrani). Hukum acara pidana berkaitan dengan pelaksanaan UUPTPK harus dapat mewujudkan tujuan undang-undang tersebut untuk mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan oknum tertentu.
4.
Pandangan bahwa korporasi, apa pun alasannya tidak dapat dijatuhi sanksi pidana tanpa dinyatakan sebagai terdakwa dalam surat dakwaan adalah sebuah pandangan nuch’ter sejalan dengan ketentuan Pasal 143 KUHAP.
5.
Ikhtiar pelaksanaan asas hukum kontante justisi (peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan) dalam penyelenggaraan peradilan merupakan kewenangan hakim untuk mewujudkannya dalam perkara in concreto.
Demikian semoga segera tercipta kesamaan persepsi penjatuhan hukuman terhadap korporasi dalam upaya mempercepat pengembalian kerugian negara.
98
9 PENYELESAIAN PERKARA SECARA CEPAT DAN BERKUALITAS BAIK A. PENDAHULUAN Percepatan penyelasaian perkara di Mahkamah Agung (MA) dewasa ini cukup membanggakan. Keadaan perkara Januari-Septemnber 2014 seperti dilaporkan Kepaniteraan MA, dari sisa tahun 2013 kemudian masuk 9.091, berhasil diputus 9.761 sehingga sisa menjadi 5.745. Kerja keras dalam mereduksi sisa perkara sampai dengan September 2014 berkurang 10,44% dari sisa perkara tahun 2013. Terdapat delapan fakta keberhasilan MA dalam menangani perkara masing-masing:1 (1) jumlah perkara putus terbanyak; (2) jumlah sisa perkara yang paling rendah; (3) rasio produktivitas memutus tertinggi; (4) rasio sisa perkara paling rendah; (5) nilai clearence rate di atas 100%; (6) jumlah publikasi putusan tertinggi di dunia; (7) jumlah satker yang berpartisipasi dalam publikasi putusan meningkat; dan (8) koruptor dipidana penjara seumur hidup. Tahun 2013 merupakan tahun prestasi penanganan perkara. Kemajuan secara kuantitas penyelesaian perkara ini patut dispresiasi. Ketua Mahkamah Agung
1
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia, No. 2 Februari 2014, hlm. 2-3.
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
RI (TUAMARI) Dr. H.M. Hatta Ali, S.H., M.H. pada saat membuka Rapat Pleno Mahkamah Agung RI, tanggal 9-11 Oktober 2014 di Bandung, mengingatkan bahwa “penyelesaian perkara yang telah berhasil dilakukan secara cepat hendaknya dapat pula dilakukan dengan penciptaan putusan yang berkualtas (baik)”; maksudnya penyelesaian perkara secara kuantatitas dan kualitas harus berjalan secara paralel. Penilaian TUAMARI ini hendaknya menjadi perhatian kita semua kalangan penyelenggara peradilan (hakim dan panitera) sehingga pencapaian terwujudnya lembaga peradilan yang agung dapat dicapai lebih cepat dari target yang ditentukan. Berkenaan dengan kualitas putusan dimaksud, sangat banyak variabel yang patut didiskusikan untuk menjadikan suatu putusan menjadi semakin baik. Agar suatu putusan hakim dapat diangkat derajatnya sebagai yurisprudensi yang berkualitas baik dapat diperhatikan hal-hal sebagai berikut:2 Pertama, putusan tersebut mengandung “ratio decidendi”3, yakni: (a) putusan menjelaskan “dasar-dasar hukum” yang aktual sebagai landasan pertimbangan; atau (b) putusan menjelaskan “alasan-alasan” hukum yang “aktual” dan “rasional”, dan dari alasan-alasan itulah diambil kesimpulan dan aturan hukum yang ditetapkan hakim dalam putusan yang dijatuhkan; dan (c) semua “fakta” yang ditemukan hakim dalam proses persidangan, harus dipertimbangkan dengan saksama. Kedua, putusan juga harus mengandung “obiter dicta”4 yakni memuat: (a) hal-hal yang tidak pokok tetapi yang dapat menjelaskan lebih terang “ratio decidendi” harus tertuang dalam putusan; (b) dengan demikian kandungan “obiter dicta” dalam putusan merupakan pelengkap “ratio decidendi”, meskipun “obiter dicta” bukan hal yang pokok dalam putusan.
2
3
4
100
Francs Rusels, (hlm. 49) vide Harahap, M. Jahya, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 195. Black’s Law Dictionary, St. Paul Minn. West Pablishing Co., 1979, hlm. 1135, bahwa Ratio decidendi adalah: the ground or reason of decision. The point in a case which determines the judgment. Martin Basiang, Law Dictionary, Obiter dicta (dictum) merupakan suatu pendapat sampingan (sambil lalu) dari hakim, namun bukan bagian dari keputusan atau vonis hakim dan tidak mengikat, namun dapat dipertimbangkan sebagai sesuatu yang mendidik; Red & White Publishing, First Edition, 2009; Lihat juga Black’s Law Dictionary, Ibid., hlm. 967, bahwa Obiter dicta; dictum; adalah words of an opinion entirely unnecessary for the decision of the case …
Bab 9: Penyelesaian Perkara secara Cepat dan Berkualitas Baik
Penyusunan putusan merupakan pewajahan dari substansi hukum yang diterapkan terhadap fakta yang relevan. Aspek kebahasaan dan pengorganisasian fakta, substansi, dan penemuan hukum oleh hakim yang ditampilkan akan mewajahi suatu putusan yang berkualitas baik.
B. PERMASALAHAN Berbagai faktor yang akan berpengaruh terhadap penciptaan putusan yang berkualitas baik yang perlu dipertimbangkan. Pada Rapat Pleno Mahkamah Agung kali ini peserta telah disuguhi materi permasalahan hukum masing-masing kamar, di samping kompilasi putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan hukum acara pidana, hukum pidana, dan hukum perdata. Materi rapat ini adalah substansi yang mendukung terciptanya putusan pengadilan yang komprehensif menuju visi MA peradilan yang agung itu. Berdasarkan uaraian di atas artikel ini hendak mendiskusikan permasalahan: 1.
Bagaimanakah sinkronisasi putusan Mahkamah Konstitusi dalam penerapan hukum terhadap perkara in concreto.
2.
Bagaimanakah ragam permasalahan hukum yang diangkat dalam rapat pleno MA tersebut.
C. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Sinkronisasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam penyelenggaraan peradilan berkaitan erat dengan jucial review (pengujian undang-undang) adalah suatu kenicayaan. Putusan MK ini merupakan sumber hukum yang menjadi dasar suatu putusan hakim atau pengaturan lainnya. Substansi perundang-undangan sebagai premis mayor suatu putusan adalah unsur pertama yang harus dipertimbangkan. Putusan MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman adalah bersifat final, yakni langsung memperoleh kekuatan hukum tetap dan mengikat sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (final and binding). Berbagai putusan tentang pengujian undang-undang telah dilakukan oleh MK, dan pada kesempatan ini dibatasi pada pilihan-pilihan yang relevan dengan topik di atas sebagai berikut:
101
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
1. Perbuatan Melawan Hukum Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 tentang Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Perkara Pidana terkait dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK), MK memutuskan bahwa pengertian melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUPTPK, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kaidah hukum dari putusan MK ini bahwa unsur melawan hukum dalam UUPTPK diartikan melawan hukum secara formal yakni perbuatan subjek hukum secara jelas tercantum dalam ketentuan perundang-undangan sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege scripta. Penerapan putusan MK di atas dalam perkara in concreto setelah keluarnya putusan MK, diperlukan kreasi hakim untuk mempertimbangkan bahwa sifat melawan hukum menurut Pasal 2 ayat (1) hendaknya dibaca melawan hukum dalam arti formal saja. Selanjutnya dijelaskan pengertian melawan hukum formal menurut doktrin atau pandangan ahli yang relevan. Misalnya dengan mengutip pandangan ahli, bahwa menurut ajaran melawan hukum formal, untuk dapat dipidana perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam wet (undang-undang).5 Bahwa dalam praktik masih banyak ditemukan putusan JF dalam mempertimbangkan unsur melawan hukum hanya mengutip kembali penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUPTPK tanpa mengaitkan dengan putusan MK a quo. Praktik tersebut hendaknya tidak dilakukan lagi oleh judex facti maupun judex juris agar sinkron dengan putusan MK di atas. Meski demikian setelah dikemukakan dasar hukum formal tersebut, hakim hendaknya memerhatikan pula ketentuan Pasal 5 (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Penjelasan undang-undang ini menyatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Bahwa dengan demikian, dengan memerhatikan Yurisprudensi Mahkamah
5
102
Simons, dalam Prof. Moeljatno, S.H., Asa-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 143.
Bab 9: Penyelesaian Perkara secara Cepat dan Berkualitas Baik
Agung serta hasil rapat pleno kamar pidana, 8-10 Maret 2012, hakim tetap memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat secara kasuistis. Hemat penulis, sesungguhnya tidak ada pertentangan yang prinsipiil dari dua landasan hukum (putusan Mahkamah) di atas oleh karena dalam ilmu hukum pidana, pemahaman ajaran melawan hukum meliputi melawan hukum dalam arti formal dan melawan hukum dalam arti materiil. Melawan hukum dalam arti formal (formeele wederrechtelijkheid), suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai melawan hukum bilamana perbuatan yang dilakukan atau pengabaian yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan (peraturan yang tertulis). Alasan pengecualian terhadap sifat melawan hukum yang demikian juga harus secara jelas diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Ajaran melawan hukum ini sesuai dengan ajaran legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pengertian lainnya yakni ajaran melawan hukum materiil (meteriele wederrechtelijkheid) adalah diartikan sebagai melawan hukum tertulis maupun yang tidak tertulis. Menurut paham ajaran ini, hukum itu bukan hanya yang tercantum dalam undang-undang akan tetapi hukum secara menyeluruh, bahkan termasuk asas-asas hukum yang ada dalam masyarakat. Ajaran melawan hukum yang disebut terakhir ini tentu tidak sejalan dengan KUHP Indonesia yang menganut ajaran legalitas. Meski demikian, oleh karena hukum dan perasaan hukum serta rasa keadilan masyarakat senantiasa berkembang, maka penerapan ajaran melawan hukum materiil ini digunakan dalam fungsinya yang negatif (bukan positif). Artinya perbuatan melawan hukum yang terjadi sesuai lukisan undang-undang tidak merupakan perbuatan pidana atau tidak melawan hukum berdasarkan penilaian hakim dalam perkara in concreto. Di sinilah peran hakim dalam menerapkan ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi negatif. Bertalian dengan fungsi negatif dari sifat melawan hukum yang materiil ini, sangat terkenal putusan Hooge Raad (HR) 20 Februari 1933 yang dikenal Arrest dokter hewan dari kota Huizen di Belanda. Hal yang sejalan dengan Arrest di atas adalah Putusan Mahkamah Agung No.42K/Kr/1965 tgl. 8 Januari 1966 dalam kasus Machrus Effendy yang juga sering dikutip oleh kalangan hukum yang pada pokoknya dapat disimpulkan bahwa putusan/ pertimbangan Pengadilan Tinggi Jakarta yang dikuatkan Mahkamah Agung, bahwa suatu perbuatan formal bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau melawan hukum formal akan tetapi sifat melawan hukum dari perbuatan itu menjadi
103
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
hilang dalam hal: (a) kepentingan umum terlayani; (b) terdakwa tidak mendapat untung; dan (c) negara tidak dirugikan.
2. Permohonan Peninjauan Kembali Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) dalam Perkara Pidana dalam amar putusannya menyatakan al.: “Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana … tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Kaidah hukum yang dapat ditarik dari putusan MK a quo, bahwa permohonan PK menurut ketentuan Pasal 268 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dapat dilakukan lebih dari satu kali atau berulangulang; dengan kata lain ketentuan ayat (3) pasal ini dianggap sudah dihapus. Kaidah hukumnya putusan MK ini adalah permohonan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali. MK dalam pertimbangannya antara lain dinyatakan pada angka (3.16.3) “… bahwa benar dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun menurut Mahkamah, hal itu berkait dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak secara rigit dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi menakala ditemukan adanya keadaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan (vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945) serta sebagai konsekuensi negara hukum”. Putusan MK ini adalah berkenaan dengan permohonan uji materiil yang dilakukan oleh Antasari Azhar, S.H., M.H., dkk. terhadap Pasal 268 ayat (3) KUHAP “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”. Putusan MK diatas merupakan putusan yang mengikat, meski kalangan hukum/lembaga peradilan terkait hendaknya memahaminya dengan baik terutama dalam penyelenggaraan permohonan PK dimaksud. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) sangat dinamis dalam penerapannya. Rapat Pleno kamar pidana yang dilakukan dua tahun beturut-turut, (2012 dan 2013) pokok bahasan PK sangat dominan. Rumusan dari kedua pertemuan ini telah dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung masing-masing Nomor 07 Tahun
104
Bab 9: Penyelesaian Perkara secara Cepat dan Berkualitas Baik
2012 dan Nomor 04 Tahun 2014. Untuk mendukung lahirnya putusan PK yang berkualitas, peran judex facti terutama PN pengaju sangat besar khususnya dalam pembuatan berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat. Hakim yang ditunjuk untuk memeriksa permohonan PK sebelum diajukan ke MA hendaknya memberikan pertimbangan dan pendapat berupa usul agar permintaan PK ditolak bilamana permohonan itu tidak memenuhi hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Sebaliknya, pertimbangan dan pendapat berupa usul agar MA menerima permohonan PK karena alasan yang dikemukakan pemohon dapat dibenarkan sesuai dengan ketentuan Pasal 263 aya (2) KUHAP. Dalam praktik, pertimbangan ini sangat beragam, ada yang benar-benar memberikan kajian yang mendalam dan memberikan pendapat yang akurat untuk dipetrtimbangkan MA. Praktik lainnya kadang sangat mengecewakan membaca pendapat hakim yang ditunjuk oleh karena hakim yang bersangkutan tidak memberikan kajian yang mendalam, bahkan sering hanya mengemukakann fakta dan meminta agar hakim agung dapat memberikan putusannya. Tentu pengadilan pengaju tidak diharapkan merupakan pipa aliran tanpa suatu pendapat yang berarti.
3. Kasasi terhadap Putusan Bebas Putusan MK Nomor 114/PUU-X/2012 tanggal 26 Maret 2013 tentang Pencabutan Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait frasa kecuali terhadap Putusan Bebas. Amar putusan a quo angka 1.2 “Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 … tidak mempunyai kekuatan mengikat”. Kaidah hukum yang dapat ditarik dari putusan MK a quo, bahwa permohonan kasasi menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP dapat dilakukan terhadap putusan bebas. MK dalam pertimbangannya antara lain dinyatakan pada angka (3.13.2) “… Di satu pihak pasal tersebut melarang upaya hukum kasasi, namun di lain pihak Mahkamah Agung dalam praktiknya menerima dan mengadili permohonan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan di bawahnya. Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, Mahkamah perlu menentukan konstitusionalitas Pasal 244 KUHAP khususnya
105
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
frasa “kecuali terhadap putusan bebas”. Benar adanya, seperti yang telah pernah dikemukakan pada artikel sebelumnya6 bahwa Mahkamah Agung dalam putusannya MA Reg. No. 1460 K/Pid/1991 dalam pertimbangannya menyatakan bahwa menurut Pasal 244 KUHAP terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa dan/atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas. Menurut Mahkamah Agung, bahwa sebagai badan peradilan tertinggi, MA mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undangundang di seluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil. Mahkamah Agung berpendapat wajib memeriksa apabila ada pihak yang mengajukan permohonan kasasi meskipun mengandung pembebasan kepada terdakwa, guna menentukan apakah sudah tepat dan adil putusan lembaga peradilan di bawahnya. MA selanjutnya mempertimbangkan bahwa sesuai yurisprudensi yang sudah ada apabila ternyata putusan pengadilan yang mengandung pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa pembebasan itu bukan pembebasan murni. Bahwa dengan lahirnya putusan MK a quo, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak lagi dibebani untuk membuktikan dalam memorinya bahwa putusan JF adalah pembebasan tidak murni (onzuivere vrijspraak). Dengan demikian dengan lahirnya putusan MK a quo, putusan JF apa pun bentuknya dapat dimohonkan kasasi tanpa membedakan jenis putusan yang berbunyi; (1) menghukum, (2) melepaskan dari segala tuntutan hukum, atau (3) membebaskan.
6
106
Mohammad Askin, Upaya Hukum Kasasi terhadap Putusan Bebas, Varia Peradilan, No. 314 Mei 2012, hlm. 23.
Bab 9: Penyelesaian Perkara secara Cepat dan Berkualitas Baik
Putusan MK ini tentu menimbulkan sejumlaah pertanyaan apakah putusan yang berbunyi bebas disyaratkan terlebih dahulu mengajukan banding sebelum kasasi. Mahkamah Agung berpendirian bahwa ketentuan Pasal 67 KUHAP yang menyatakan terdakwa atau penuntut umum berhak minta banding kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Dengan demikian permohonan kasasi yang diputus sebelum tanggal 26 Maret 2013 (tepatnya diajukan sebelum tanggal 26 Maret, Pen.) diputus “tidak dapat diterima”, sedangkan permohonan kasasi yang diajukan setelah keluarnya putusan MK a quo dinyatakan ditolak (bilamana pemohon dalam hal ini JPU tidak dapat membuktikan dalam memorinya itu, Pen.).
D. RAGAM PERMASALAHAN HUKUM Berbagai permasalahan hukum telah dikemukakan masing-masing kamar Mahkamah Agung pada rapat pleno MA kali ini. Inventarisasi permasalahan yang diusulkan para hakim agung dan hakim ad hoc cukup banyak namun keterbatasn waktu belum mampu dibicarakan secara tuntas secara keseluruhan. Pada artikel ini akan dikemukakan substansi pilihan yang telah dibahas pada kamar pidana untuk perhatian kalangan pengadilan.
1. Saksi Mahkota Substansi saksi mahkota (SM) masih mendapat perhatian pada pertemuan puncak MA kali ini. Pokok bahasan disepakati bahwa pengajuan SM adalah berkaitan dengan hak asasi terdakwa yang akan dijadikan saksi pada perkara lain (splitsing) sehingga terdakwa harus mengetahui hak dan kewajiban yang ada padanya dalam kedudukannya sebagai terdakwa di satu pihak dan sebagai saksi pada perkara lainnya yang sama tersebut. Hakim (judex facti) sangat berperan dengan kearifannya dalam mengendalikan jalannya persidangan mengingat pengajuan SM yang demikian dilakukan hanya dalam perkara yang sangat minim alat buktinya. Kajian SM ini penulis telah paparkan secara komprehensif dalam artikel yang dimuat dalam Varia Peradilan, per-September 2014 Nomor 346.
107
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
2. Narkotika Perkara penyalahgunaan narkotika yang diajukan ke pengadilan sebagai perkara pidana sangat dinamis dan beberapa kalangan memandang telah berada pada tingkat yang sangat membahayakan masyarakat. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mengatur atau menetapkan sejumlah perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyalahgunaan narkotika, di samping pengaturan tentang sanksi pidana. Beberapa substansi hukum telah didiskusikan antara lain teknik pembelian terselubung, penjatuhan pidana terhadap terdakwa atas perbuatan yang tidak didakwakan, dan fungsi rehabilitasi penyalah guna narkotika. Tentang pembelian terselubung (under cover buy) telah ada ketentuan perundangundangan yang mengaturnya, namun penerapannya hendaknya dilakukan secara kasuistis dan proporsional dengan mengacu kepada fakta konkret sesuai berita acara pemeriksaan persidangan. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI hakim dapat memidana terdakwa walapun tidak didakwakan oleh JPU, sepanjang pidana yang dijatuhkan masih serumpun dengan dakwaan yang diajukan dan ancaman pidananya lebih ringan (Putusan Mahkamah Agung RI No. 693K/Pid/1986 tgl. 10 Juli 1986).
3. Penerapan Hukum yang Dinyatakan Tidak Mengikat Bagaimanakah bunyi putusan terhadap dakwaan atau penuntutan dengan menggunakan peraturan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. Bunyi putusan atas perkara yang demikian terdapat dua kemungkinan, yakni: (a) dalam hal belum memeriksa pokok perkara maka bunyi putusan dinyatakan tidak dapat diterima, dan (b) dalam hal pemeriksaan telah dilakukan terhadap pokok perkara dan perbuatannya terbukti, maka putusan berbunyi dilepas dari segala tuntutan hukum (onstslag van alle rechsvervolging).
4. Teknik Pembuatan Putusan Substansi ini juga muncul dalam pembahasan, namun dianggap tidak relevan oleh karena tidak menyangkut substansi perkara. Meski demikian penulis ingin merespons
108
Bab 9: Penyelesaian Perkara secara Cepat dan Berkualitas Baik
permasalahn tersebut oleh karena penulis merasa urgen digunakan dalam pembuatan sebuah keputusan yang berkualitas baik. Untuk meningkatkan kualitas putusan di samping substansi hukum yang digunakan dan pertimbangan yang baik seperti telah dikemukakan di atas, aspek penulisan putusan termasuk penggunaan bahasa sangat urgen dilakukan. Format baku suatu putusan sudah ada namun aspek yang perlu semakin ditingkatkan adalah: (1) bagaimana menyusun kalimat berdasarkan tata bahasa yang baik dan benar sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, (2) bagaimana mengorganisasi pertimbangan hukum; dan (3) bagaimana teknik penulisan berdasarkan tata cara penulisan ilmiah yang baku dan/atau yang lazim digunakan sebagai dokumen autentik. Penggunaan bahasa lisan dan bahasa tulis kadang saling mengacaukan sehingga menggambarkan rendahnya kemampuan berbahasa tulis yang diharapkan. Sebuah pengalaman di DPR sekadar perbandingan, bahwa untuk setiap pembuatan atau finalisasi pembuatan undang-undang senantiasa melibatkan konsultan ahli bahasa Indonesia.
E. KESIMPULAN Penyelesaian perkara secara cepat dan pembuatan putusan yang berkualitas (baik) adalah sebuah keniscayaan. Kita patut menggarisbawahi pernyataan Ketua Mahkamah Agung di atas bahwa penyelesaian perkara secara kuantitas dan kualitas harus berjalan secara paralel. Putusan berkualitas baik akan senantiasa dikembalikan kepada putusan yang mengandung ratio decidendi yang komprehensif yakni alasan-alasan hukum yang aktual dan rasional dihubungkan dengan fakta yang relevan. Di samping itu pertimbangan obiter dicta patut pula dikemukakan sebagai pelengkap untuk penyempurnaan putusan. Melalui analisis silogisme secara objektif akan dihasilkan putusan yang berkualitas baik. Berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkenaan dengan judicial review tentang kekuatan mengikat suatu undang-undang sangat perlu dipertimbangkan. Beberapa di antaranya adalah: Pertama, perbuatan melawan hukum menurut Pasal 2 UUPTPK adalah hanya terbatas pada pengertian melawan hukum dalam arti formal. Pengertian melawan hukum dalam arti materiil (materiele wederrechtelijk) menurut
109
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
penjelesan undang-undang ini dinyatakan tidak mengikat. Kedua, permohonan peninjauan kembali (PK) memuat kaidah hukum bahwa permohonan PK menurut Pasal 268 ayat (1) KUHAP dapat dilakukan lebih dari satu kali. Ketiga, kasasi terhadap putusan bebas, kaidah hukumnya, bahwa ketentuan Pasal 244 KUHAP tidak mengikat sehingga permohonan kasasi dapat dilakukan terhadap putusan bebas tanpa syarat. Ragam permasalahan hukum yang diangkat dalam rapat pleno MA tahun ini, untuk kamar pidana di antaranya menyangkut saksi mahkota, narkotika, bunyi putusan atas dakwaan/penuntutan berdasarkann peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan mengikat. Teknik pembuatan putusan perkara sebagai pewajahan suatu putusan berkualitas baik juga sangat perlu diupayakan dengan memerhatikan format baku suatu putusan, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bagaimana mengorganisasi pertimbangan hukum, dan bagaimana teknik penulisan berdasarkan tata cara penulisan ilmiah yang baku dan/atau yang lazim digunakan sebagai dokumen autentik.
110
10 WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR1 Whistleblower (peniup peluit) dalam tulisan ini diartikan sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada publik tentang terjadinya tindak pidana tertentu atau korupsi. Pengertian whistleblower menurut PP No. 71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Istilah pengungkap fakta (whistleblower) dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UUPSK) tidak memberikan pengertian tentang “pengungkap fakta”, dan hanya memberikan pengertian tentang saksi. Pengertian saksi menurut UUPSK adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor No. 20
1
Editor: Sumber, Djoko Sarwoko, Hakim Agung RI, Reward bagi Whistleblower (Pelapor Tindak Pidana) dan Justice Collaborator (Saksi Pelaku yang Bekerja Sama) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (Makalah, September 2011); dan Anwar Usman dan AM. Mujahidin, Whistleblower dalam Perdebatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Varia Peradilan, No. 304, 2011; Mohammad Askin, Hukum Acara Pidana di Luar KUHAP, Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, 2011, serta berbagai ketentuan perundang-undangan.
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) diharapkan dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit. Tindak pidana korupsi menimbulkan akibat terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang dapat merusak lembaga lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilainilai etika, serta rasa keadilan. UUPTPK ini telah memberikan ruang serta kesempatan yang seluas luasnya kepada masyarakat (publik) untuk berperan serta secara aktif membantu upaya pencegahan dan pemberantasan, pengungkapan tindak pidana korupsi, dan bahkan juga terhadap beberapa tindak pidana serius lainnya seperti; pencucian uang, terorisme, narkotika, tindak pidana lingkungan hidup, dan tindak pidana yang terkait dengan organisasi kriminal. Anggota masyarakat yang berperan aktif membantu atau berkonstribusi secara substansial dalam upaya pencegahan dan pemberatasan dan pengungkapan tindak pidana tersebut diberikan insentif berupa “perlindungan hukum” dan/atau “penghargaan”.
A. PERAN SERTA MASYARAKAT Peran serta masyarakat dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut: 1.
112
Whistleblower berperan untuk memudahkan pengungkapan tindak pidana korupsi, karena whistleblower itu sendiri tidak lain adalah orang dalam di dalam institusi di mana ditengarai telah terjadi praktik korupsi. Sebagai orang dalam, seorang whistleblower merupakan orang yang memberikan informasi telah terjadi tindak pidana korupsi di mana ia bekerja. Seorang whistleblower ini bisa merupakan orang yang sama sekali tidak terlibat dalam perbuatan korupsi yang terjadi, akan tetapi juga seorang whistleblower dimungkinkan adalah juga terlibat dalam bagian korupsi yang terjadi. Pada saat ini tercermin fenomena sosial yaitu persepsi publik terhadap penegak hukum (Polri., Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan) kepercayaan publik (public trust) terhadap kelompok penegak hukum tersebut telah turun secara drastis sebagaimana dilansir oleh berbagai media pada waktu belakangan ini. Kritik dan kecaman publik “pada dasarnya merupakan
Bab 10: Whistleblower dan Justice Collaborator
refleksi dari wujud partisipasi publik” dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagaimana diamanahkan dalam UUPTPK. 2.
Dalam UUPTPK terdapat dua pasal yang mengatur tentang Peran Serta Masyarakat. Peran serta masyarakat dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 41 ayat (1) yang kemudian dirumuskan secara limitatif terdiri atas 5 (lima) butir sebagaimana digariskan dalam Pasal 41 ayat (2) sebagai berikut: a.
Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi.
b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tidak pidana korupsi. c.
Hak untuk menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari, dan e.
Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: 1) melaksanakan hak sebagaimana yang diatur di dalam butir; huruf. a, b, dan c; 2) diminta untuk hadir dalam proses penyelidikan dan penyidikan dan disidang pengadilan sebagai saksi; saksi pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3) Masyarakat sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya mencegah dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ayat (4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang pada asas-asas atau ketentuan yang diatur
113
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya. Ayat (5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, tetapi dengan berbagai konsekuensinya atas peran sertanya itu sangat rawan adanya pembalasan dari tersangka/terdakwa dengan mempergunakan kekuatan atau kekuasaannya untuk mengancam saksi-saksi maupun pelapor sehingga ia tidak bebas untuk berperan aktif membongkar peristiwa pidana yang dilaporkannya. Oleh karena itu Pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum wajib memberikan perlindungan terhadap para saksi atau korban sehingga para saksi kunci tersebut dapat memberikan kontribusi berupa keterangan atau menyerahkan bukti bukti yang dimilikinya secara aman sehingga kontribusinya terhadap pengungkapan kasus tersebut menjadi sangat optimal. Pemerintah memberikan penghargaan (reward) kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi; yang akan diatur lebih lanjut di dalam peraturan pemerintah (Pasal 42). Ketentuan tentang perlindungan saksi pelapor dimaksudkan agar dapat memberikan rasa aman bagi pelapor sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan seraya memberikan reward atau penghargaan kepada masyarakat yang berjasa dalam pengungkapan tindak pidana korupsi dengan disertai bukti bukti diberikan “penghargaan baik berupa piagam maupun premi”. Perlindungan saksi pelapor dimulai sejak tingkat penyidikan dan harus diberikan jaminan bahwa pada saat dan setelah memberikan keterangan tetap dalam keadaan bebas dari ancaman atau tekanan yang mengakibatkan berkurangnya saksi memberikan keterangan secara bebas sehingga keterangannya tidak memiliki
114
Bab 10: Whistleblower dan Justice Collaborator
nilai originalitas keterangan saksi yang dibutuhkan dalam pembuktian perkara yang sedang diperiksa. Peran serta masyarakat pada dasarnya bertujuan untuk lebih memberdayakan masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Oleh karena itu dalam konteks perlindungan saksi di masa mendatang perlu dikembangkan semacam “Witness protection scheme” atau seperti apa yang disebut “Whistleblower Protection Law” di Amerika Serikat, karena perlindungan hukum bagi saksi “informer” dari negara-negara maju disebut sebagai “key component” atau juga disebut sebagai “valuable instrument of good government”. Dengan demikian penghargaan berupa piagam maupun premi menjadi tidak memadai, kecuali tentang “jaminan keamanan bagi saksi tersebut”. Selanjutnya tentang penghargaan kepada; Setiap orang, Ormas, LSM yang telah berjasa dalam usaha membantu upaya pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat penghargaan, dan Penghargaan sebagaimana dimaksud dapat berupa “piagam atau premi” sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000. 3.
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 menyebutkan peran serta masyarakat untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan TPK dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan perlindungan. Peran serta masyarakat dalam terminologi whistleblower, masih perlu dielaborasi lebih dalam, jelas, dan rinci bagaimana pengaturannya di dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang Korupsi juga belum mengatur bagaimana perlindungan saksi dan atau korban yang sangat rawan terhadap ancaman kekerasan, intimidasi dari pelaku kejahatan (vulnerable wittness), sehingga tidak sedikit perkara perkara besar yang sulit pengungkapannya karena sulitnya bukti, keterangan saksi yang dapat secara bebas dan berani memberikan keterangan secara terbuka di persidangan karena adanya berbagai ancaman dan atau intimidasi dari pelaku. Sebagai contoh di awal era Reformasi, pada saat itu terjadi tindak pidana penculikan terhadap tokoh-tokoh demonstran, belum dapat diakomodasi dan menjadi bagian penting di dalam penyusunan berbagai perundang-undangan yang baru.
115
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
4.
Ketentuan tentang perlindungan saksi yang pertama kali dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi, dalam perkara “pelanggaran HAM berat” dalam upaya merespons kebutuhan instrumen hukum pada waktu itu saat beroperasinya Pengadilan khusus terhadap Pelanggaran HAM Berat menyusul disahkannya Undang-Undang Pengadilan HAM No. 26 Tahun 2000. Pasal 4 Peraturan Pemerintah tersebut mengatur secara limitatif tiga bentuk pemberian perlindungan, yaitu: a.
Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik maupun mental.
b. Perahasiaan identitas korban atau saksi, dan c.
Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka/terdakwa.
Adapun pengertian “pemeriksaan di sidang pengadilan” meliputi proses pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Bagaimana jika dalam proses penyidikan telah terjadi intimidasi atau teror dari tersangka atau kelompoknya, karena pada tahap penyidikan itu juga rawan terjadinya ancaman atau intimidasi, tampaknya tidak terakomodasi secara jelas dalam peraturan pemerintah itu. Akibatnya saksi kunci dalam perkara besar menghilang atau tidak berani memberikan keterangan di sidang pengadilan. Tentang bagaimana tata cara pemberian perlindungan ternyata tidak secara otomatis diberikan perlindungan, akan tetapi perlindungan baru diberikan jika sudah ada permintaan perlindungan dari korban atau saksi atau atas inisiatif salah satu aparat penegak hukum atau setelah adanya laporan dari masyarakat. 5.
Ketentuan selanjutnya adalah Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Perlindungan khusus bagi pelapor dan saksi dalam tindak pidana pencucian uang lebih maju jika dibandingkan dengan ketentuan perlindungan saksi dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002. Bentuk perlindungannya semakin jelas
116
Bab 10: Whistleblower dan Justice Collaborator
dan luas, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 yang meliputi bentuk bentuk perlindungan sebagai berikut: a.
Perlindungan atas keamanan pribadi dan/atau keluarga pelapor dan saksi dari ancaman fisik atau mental;
b. Perlindungan terhadap harta pelapor dan saksi; c.
6.
Perahasiaan dan penyamaran identitas pelapor dan saksi dan atau pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkatan pemeriksaan perkara.
Bertalian dengan berlakunya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yakni saksi dan pelapor memerlukan perlindungan khusus yang super ketat, mengingat terorisme tergolong kejahatan terorganisasi yang sangat berbahaya dan merupakan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) dan juga termasuk kategori exstraordinary crimes, karena bersifat sistimatic and wide spread sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme. Pasal 3 Peraturan Pemerintah tersebut memberikan perlindungan dalam bentuk; a.
Perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental;
b. Kerahasiaan identitas saksi; dan c.
Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka/terdakwa.
Perlindungan tersebut diberikan untuk menjamin kelancaran jalannya proses peradilan dan sekaligus agar di dalam memberikan kesaksian dan dalam melaksanakan tugas tugas penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan pengadilan, baik saksi maupun penuntut umum dan hakim merasa aman dan nyaman serta terhindar dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan harta maupun keluarganya. 7.
Whistleblower merupakan langkah alternatif yang penting dan esensial dalam membongkar kejahatan korupsi, namun keberadaannya terdapat kelemahan yakni
117
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
perlindungan status hukum tidak diberikan apabila dari hasil penyelidikan dan penyidikan terdapat bukti yang cukup yang dapat memperkuat keterlibatan si pengungkap fakta (pelapor). Dengan demikian, si pengungkap fakta (pelapor) telah menempuh risiko yang tinggi, bahkan mempertaruhkan kehidupannya, namun sebuah penghargaan dan apresiasi kurang diperhatikan, sehingga hal ini dapat menimbulkan suatu kondisi krisis kepercayaan perihal penjaminan terhadap diri si pengungkap fakta/pelapor. Perlindungan saksi, korban dan pelapor menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ditegaskan dalam Pasal 10 sebagai berikut: (1) Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya. (2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap saksi, korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan iktikad baik. Nilai filosofi dari ketentuan Pasal 10 tersebut adalah “agar dapat mendorong partisipasi publik untuk mengungkap tindak pidana perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara antara lain memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Dalam Peraturan Pemerintah juga memberikan definisi siapa yang dapat dikategorikan sebagai; “Pelapor”, adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu peristiwa pidana. Dalam pada itu juga ditegaskan bahwa saksi, korban atau pelapor yang tidak beriktikad baik, karena memberikan laporan yang palsu, sumpah palsu atau karena adanya konspirasi atau permufakatan jahat, maka hak kekebalan (imunitas) sebagai-
118
Bab 10: Whistleblower dan Justice Collaborator
mana disebut di dalam ayat (1) menjadi gugur dan tidak berlaku {Penjelasan Pasal 10 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2006}.
B. REWARD BAGI WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATORS 1.
Pada dasarnya adalah telah menjadi kewajiban bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan dan membantu melaporkan pengungkapan tindak pidana terorganisasi seperti; terorisme, korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana terorganisasi lainnya, sesuai kesadaran hukum telah dimiliki hampir setiap warga negara, akan tetapi hal ini tidak serta-merta menjadi suatu kenyataan karena kewajiban itu sulit dilaksanakan tanpa adanya jaminan keamanan keselamatan dan perlindungan dari negara atau aparat penegak hukum. Salah satu alat bukti yang sangat penting adalah “saksi dan korban” karena termasuk kategori partisipan dalam kaitannya dengan peristiwa pidana oleh karena itu memiliki peranan yang sangat penting dalam proses peradilan pidana tentunya alat bukti lainnya, juga memiliki nilai pembuktian serta peran yang sama. Dalam perspektif peran serta masyarakat untuk pencegahan kejahatan maka perlu jaminan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu pengungkapan tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Dengan uraian serta penjelasan di atas ketentuan tentang penghargaan terhadap saksi pelapor telah diatur setidaknya dalam UUPTPK, dan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000, dan kemudian dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban beserta perangkat kelembagaannya yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
2.
Mengapa saksi, korban, dan pelapor memiliki peran yang penting dalam proses peradilan pidana? Asas “kesamaan di depan hukum” (equality before the law) yang menjadi salah
119
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
satu ciri negara hukum. Oleh karena itu saksi, korban dan pelapor yang sama pentingnya dalam proses penegakan hukum perlu diberikan jaminan perlindungan hukum yang setara dengan tersangka/terdakwa. Pembuat KUHAP mengatur perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa agar terhindar dari berbagai kemungkinan terjadinya pelanggaran hak-hak asasinya telah diberikan dalam porsi yang sangat besar jika dibandingkan dengan aspek perlindungan terhadap saksi, korban, dan/atau pelapor. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 tanggal 15 Agustus 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor, Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborators) dalam Perkara Tindak Pidana tertentu memuat hal-hal sebagai berikut: 1.
Beberapa pertimbangan khusus yang mendorong perlunya diberikan perlakuan khusus terhadap; saksi, korban, dan pelapor di antaranya disebabkan karena untuk tindak pidana serius dan/atau tindak pidana terorganisasi seperti; Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Terorisme, Perdagangan Narkotika dan Psikotropika, Perdagangan Manusia, dan Tindak Pidana terorganisasi lainnya, sering kali amat sulit pengungkapannya. Mengapa demikian, karena para saksi, korban, dan pelapor tidak berani memberikan keterangan apa yang dia lihat dan alami karena ancaman tekanan dan intimidasi bahkan terancam keselamatan jiwanya, padahal tindak pidana serius tersebut menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi, perdagangan ancaman dan ketertiban masyarakat, sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.
2.
Pertimbangan berupa nilai universal sebagaimana diintrodusir dalam United Nations Convention Againts Coruption (Konvensi PBB Anti Korupsi 2003), yakni: a.
Keprihatinan atas tindak pidana korupsi dan bentuk-bentuk lain dari tindak pidana tertentu lainnya yang terorganisasi dan tindak pidana ekonomi lainnya termasuk tindak pidana pencucian uang.
b. Keprihatinan atas perkara-perkara korupsi yang melibatkan aset yang demikian
120
Bab 10: Whistleblower dan Justice Collaborator
besar berdampak sangat luas karena dapat menghabiskan sebagian besar dari sumber daya negara, yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan berkelanjutan. c.
Bahwa saat ini korupsi dan tindak pidana terorganisasi lainnya tidak lagi menjadi masalah lokal melainkan merupakan fenomena transnasional yang memengaruhi seluruh masyarakat ekonomi regional maupun global yang mendorong kerja sama masyarakat dan negara-negara di dunia menjadi sangat relevan dan strategis dalam konteks pencegahan dan penegakan hukumnya perkara-perkara tersebut.
d. Mengingat bahwa pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana terorganisasi lainnya merupakan tanggung jawab semua negara oleh karena itu mereka harus bekerja sama satu sama lain dengan dorongan dan keterlibatan “individu-individu dan kelompok-kelompok” di luar sektor publik seperti masyarakat madani, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan supaya dapat lebih optimal dan efektif. 3.
Tentang perlindungan bagi para pelapor dan pelaku yang bekerja sama, sebagai salah satu refleksi “penghargaan terhadap pihak-pihak yang memberikan kontribusi dalam upaya pengungkapan kejahatan yang complicated dan serius akibatnya sehingga memerlukan treatment khusus dan insentif untuk mereka yang berjasa”. Nilai-nilai itu di-introdusir untuk pertama kali di dalam draf resolusi PBB, pada sidang Majelis Umum PBB yang ke-59, yang kemudian disahkan dalam Resolusi No. 57/169, menjadi United Nations Convention Against Corruption, 2003 (UNCAC) (Konvensi PBB Melawan Korupsi, 2003). Dalam Pasal 33 Konvensi PBB tahun 2003, mengatur kewajiban setiap negara agar mempertimbangkan untuk memasukkan ke dalam sistem hukum Nasional mereka, tindakan-tindakan yang tepat terhadap perlakuan yang tidak adil, bagi setiap orang yang “dengan iktikad baik” dan dengan alasan-alasan rasional melaporkan kepada otoritas yang berwenang, setiap fakta mengenai kejahatankejahatan yang ditetapkan di dalam konvensi ini.
4.
Selanjutnya dalam Pasal 37 ayat (1) Konvensi CAC Tahun 2003 menegaskan;
121
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
a.
“Setiap negara peserta wajib mengambil tindakan-tindakan yang memadai untuk mendorong “orang-orang yang ikut serta atau telah turut serta melakukan perbuatan pidana sebagaimana ditetapkan menurut konvensi ini (justice collaborators), untuk memberikan informasi yang berguna kepada otoritas yang berwenang untuk tujuan “penyelidikan dan pembuktian”, dan untuk memberikan bantuan fakta-fakta spesifik kepada otoritas yang berwenang yang dapat membantu menghilangkan kesempatan bagi pelaku memperoleh hasil kejahatan dan dengan demikian dapat ditarik dan diperoleh kembali hasil kejahatan tersebut.
b. Setiap negara peserta “wajib mempertimbangkan guna memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman (pidana) dari seorang terdakwa yang memberikan kerja sama substansial dalam “penyelidikan atau penuntutan” suatu kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini (justice collaborators). c.
Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya “untuk memberikan kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan (whistleblower) yang ditetapkan di dalam konvensi ini.
d. Perlindungan terhadap orang-orang tersebut berlaku mutatis mutandis sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 32 konvensi ini. e.
Selanjutnya dalam butir berikutnya mengatur kemungkinan kerja sama antarnegara dengan rumusan sebagai berikut: “Dalam hal orang yang tersebut di dalam ayat (1) pasal, ini yang berada di suatu negara peserta dengan memberikan kerja sama yang substansial kepada otoritas yang berwenang dari negara peserta lainnya, maka negara-negara peserta yang terkait dapat mempertimbangkan untuk mengadakan perjanjianperjanjian atau pengaturan-pengaturan sesuai dengan hukum nasional mereka, mengenai ketentuan yang potensial oleh negara peserta yang lain tentang perlakuan sebagaimana disebut dalam ayat (2) dan (3) dari pasal ini.
122
Bab 10: Whistleblower dan Justice Collaborator
5.
Selain konvensi PBB “CAC”, Tahun 2003, yang diratifikasi dengan UndangUndang No. 7 Tahun 2006 yang memuat ketentuan serupa tentang (whistleblower dan justice collaborators), yaitu Pasal 26 Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi Tahun 2000 (United Nations Convention Against Transnational Organized Crimes, 2000) (UNCATOC) yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2009, tentang Pengesahan UNCATOC.
6.
Perlindungan terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) telah diatur di dalam Pasal 10 UndangUndang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatur sebagai berikut: a.
Saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
b. Seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, akan tetapi keterangan kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidananya. c.
Agar supaya hakim berhati-hati dalam menerapkan surat edaran ini khususnya terhadap orang-orang yang termasuk kategori (whistleblower) maka pedoman yang harus ditaati dalam penanganan kasus perkara yang melibatkan “pelapor tindak pidana”/whistleblower ditentukan sebagai berikut: 1) Saksi pelapor yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan ia melaporkannya tidak pidana tertentu sebagaimana dimaksud di dalam SEMA, dan tidak menjadi bagian dari pelaku tindak pidana yang dilaporkannya. 2) Apabila pelapor tindak pidana dilaporkan pula oleh terlapor karena pencemaran nama baik atau tidak pidana lainnya, maka penanganan perkara atas laporan dari pelapor didahulukan dibanding perkara yang dilaporkan oleh terlapor.
Untuk menentukan apakah seseorang itu masuk kategori pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) ditentukan pedoman sebagai berikut:
123
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
a.
Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, “telah mengakui perbuatan pidana yang dilakukannya, dan bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan”.
b.
Diharapkan jaksa/penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan fundamental sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif serta mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peranan lebih besar dan/atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana.
c.
Atas jasa-jasanya berkontribusi dalam proses perkara dan membantu pengungkapannya pelaku yang bekerja sama tersebut, maka hakim dalam menentukan pidana yang dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal yang memungkinkan untuk dijatuhkan pidana sebagai berikut: 1) Menjatuhkan pidana yang paling ringan di antara para terdakwa lainnya yang terbukti bersalah di dalam perkara a quo. 2) Bilamana mungkin menjatuhkan pidana percobaan dengan bersyarat khusus (Pasal 14 dan 14C KUHP) kecuali undang-undang menentukan lain.
Dalam memberikan perlakukan khusus terhadap Justice Collaborator dalam bentuk keringanan pidana para hakim wajib tetap mempertimbangkan dengan saksama rasa keadilan di dalam masyarakat. Meskipun saat ini telah ada Lembaga Hukum Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bertugas memberi perlindungan bagi saksi dan korban, namun lingkup LPSK belum menjangkau whistleblower. UUPSK hanya mengatur saksi dan korban dan tidak mengatur whistleblower sebagai pihak yang perlu diberikan perlindungan. Untuk itu, perlu dipertimbangkan ketentuan Pasal 33 UNCAC dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan melalui revisi UUPSK.
124
11 DINAMIKA PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA A. PENDAHULUAN Peninjauan Kembali (PK) adalah upaya hukum (rechtsmiddelen) untuk melawan suatu keputusan hakim. Upaya hukum ini merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk melawan keputusan hakim (tidak menerima putusan pengadilan). Dalam KUHAP dikenal upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Maksud dari upaya hukum ini adalah untuk memperbaiki kesalahan yang diperbuat oleh instansi (pengadilan) sebelumnya, dan juga untuk terciptanya kesatuan pendapat dalam peradilan. Dengan adanya upaya hukum ini ada jaminan bagi terdakwa, masyarakat, dan penuntut umum bahwa peradilan yang dilaksanakan itu adalah benar berdasarkan hukum yang berlaku. Pihak yang dapat mengajukan permohonan PK, Pasal 263 KUHAP secara tegas menyatakan bahwa terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali. Praktik atau pelaksanaan PK ini telah banyak melahirkan kaidah hukum baru khususnya pihak yang dapat melakukan pengajuan permohonan PK. Berbagai putusan Mahkamah Agung (MA) dapat disimak, misalnya pihak yang mengajukan permohonan dilakukan oleh jaksa penuntut umum, kuasa hukum terpidana, istri terpidana, pengajuan PK dilakukan meski pihak terpidana melarikan diri atau masuk
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
daftar pencarian orang (DPO). Putusan MA dimaksud tidak secara tegas diatur dalam KUHAP sehingga judex juris melakukan upaya penemuan hukum yang dikenal dengan rechtsvinding maupun rechtsschepping. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) telah banyak dikeluarkan sebagai jawaban atas permasalahan penegakan hukum termasuk pelaksanaan PK. SEMA ini memiliki arti penting sebagai instrumen MA dalam melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. SEMA Nomor 1 Tahun 2012 tanggal 28 Juni 2012 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang pada intinya menyatakan “permohonan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan oleh terpidana sendiri atau ahli warisnya; sedangkan permohonan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana harus dihadiri pula oleh terpidana”. Selain itu, SEMA No. 1 Tahun 2014 tanggal 29 Januari 2014 tentang Dokumen Elektronik sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali; SEMA No. 10 Tahun 2009 tentang PK menegaskan bahwa permohonan PK dalam perkara yang sama yang diajukan lebih dari satu kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana bertentangan dengan undang-undang. Selain praktik tersebut di atas muncul fenomena lain yakni lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PPU-XI/2013 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana. Amarnya al. berbunyi: “Pasal 268 ayat (3) KIUHAP … tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Kaidah hukum yang dapat ditarik dalam putusan MK a quo, bahwa permohonan PK menurut ketentuan Pasal 268 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dapat dilakukan lebih dari satu kali. Putusan MK ini merupakan sumber hukum yang menjadi dasar suatu putusan hakim atau pengaturan lainnya yang bersifat final, yakni langsung memperoleh kekuatan hukum tetap dan mengikat sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (final and binding). Putusan MK ini telah melahirkan berbagai tanggapan misalnya permohonan PK dapat dilakukan cukup dua kali atau dibatasi, dan yang lainnya menyatakan dapat dilakukan berkali-kali; atau pendapat yang menyatakan bahwa putusan MK ini menjadikan tidak adanya kepastian hukum. Rapat Kamar Pidana MA telah pula banyak mendiskusikan dan melahirkan pedoman pelaksanaan PK.
126
Bab 11: Dinamika Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana
Pada akhir tahun lalu, dikeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014 yang pada pokoknya (poin ketiga) menyatakan bahwa “permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali”. SEMA ini menegakkan berlakunya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan PK berkali-kali tidak mempunyai kekuatan mengikat dan non executable. Fenomena di atas telah melahirkan banyak tanggapan yang bersifat pro kontra.
B. PERMASALAHAN Tulisan ini hendak mendiskusikan aspek dinamika pengaturan dan pelaksanaan peninjauan kembali perkara pidana dimaksud dengan permasalahan: 1.
Siapakah yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali;
2.
Apakah terpidana yang in absentia dapat mengajukan permohonan PK; dan
3.
Berapa kali dapat diajukan permohonan peninjauan kembali.
C. PIHAK YANG BERHAK MENGAJUKAN PERMOHONAN PK Pihak yang berhak mengakukan PK berdasarkan Pasal 263 KUHAP ayat (1) adalah: (a) terpidana, dan (b) ahli warisnya. Dalam praktik, telah tampil selaku pihak yang mengajukan permohonan PK selain yang disebutkan secara limitatif dalam undangundang misalnya istri atau kuasa terpidana.
1. Kuasa Terpidana Pengajuan PK yang dilakukan oleh kuasa hukum terpidana/pemohon tidak diatur secara jelas meski dalam praktik sangat sering dilakukan. Kuasa hukum pada hakikatnya adalah pihak yang diberi kuasa oleh pemohon dan berhak melakukan tindakan hukum sesuai keinginan pemberi kuasa. Dalam praktik telah timbul permasalahan yakni kuasa mengajukan permohonan PK tanpa kehadiran terpidana. Berdasarkan SEMA Nomor 1 Tahun 2012 kuasa hukum tidak dapat mengajukan permohonan sendiri melainkan harus dihadiri atau bersama-sama dengan terpidana. Permohonan PK oleh kuasa tanpa dihadiri atau bersama dengan terpidana, permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima.
127
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
2. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Permohonan PK oleh JPU tidak diatur dalam KUHAP, demikian pula tidak ada larangan JPU memohon PK. Oleh karena JPU tidak dicantumkan sebagai pihak yang berhak mengajukan PK, telah menimbulkan banyak perdebatan di kalangan teoretisi maupun praktisi. Pihak yang menolak berpendapat secara legal formal bahwa PK hanya ditujukan kepada pihak terhukum atau ahli warisnya. Permohonan PK tidak diperkenankan terhadap putusan yang berbunyi bebas atau dilepas dari segala tuntutan hukum. Putusan PK juga tidak boleh menambah beratnya hukum bagi terpidana. Pihak yang pro pada prinsipnya berpendapat bahwa JPU adalah mewakili kepentingan umum atau negara sehingga dalam hal ada kekeliruan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap JPU dapat mengajukan permohonan PK untuk tegaknya hukum dan keadilan. Permohonan PK oleh JPU antara lain kasus Muchtar Pakpahan, Nomor 55PK/ Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996; dalam perkara Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), Putusan MA No. 3 PK/Pid/2001 tanggal 2 Agustus 2001; dan dalam perkara Soetyawati alias Ahua binti Kartaningsih Putusan MA No. 15 PK/ Pid/2006 tanggal 19 Juni 2006, dan dalam kasus Pollycarpus Budihari Priyanto, Putusan MA No. 109 PK/Pid/2007 tanggal 25 Januari 2008. Kasus pertama yang diterima MA atas permohonan PK yang diajukan oleh JPU adalah kasus Muchtar Pakpahan. MA mendasarkan pertimbangannya pada penerapan Pasal 244 KUHAP bahwa melalui penafsiran pasal tersebut berpendapat bahwa putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi. MA selanjutnya mempertimbangkan ketentuan Pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berlaku pada waktu itu, bahwa “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dapat dimintakan PK kepada MA dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan”. Ketentuan pasal ini termasuk penjelasannya tidak secara tegas menyebutkan JPU sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan PK, dan hanya disebutkan bahwa dalam perkara pidana permohonan dilakukan oleh terhukum atau ahli warisnya. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa pihak yang berkepentingan adalah terdakwa dan lainnya. Penafsiran hukum telah dilakukan bahwa JPU adalah juga pihak yang
128
Bab 11: Dinamika Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana
mewakili kepentingan umum; dengan demikian MA berpendapat bahwa pihak JPU dapat mengajukan permohonan PK. Kasus PK lainnya masing-masing Ram Gulumal, Soetiyawati, dan Pollycarpus Budihari Priyanto telah menjadikan pertimbangan yang terdapat dalam kasus Muchtar Pakpahan No. 55 PK/Pid/1996, yakni secara formal menerima atau mengakui hak/ wewenang JPU untuk mengajukan permohonan PK.
SEMA Nomor 4 Tahun 2014 Judex juris melalui beberapa putusannya yang membenarkan JPU mengajukan permohonan PK telah dibahas dalam Rapat Pleno Kamar Pidana per 19 s/d 20 Desember 2013 dengan kesepakatan bahwa “Jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK sebab yang berhak mengajukan PK sudah jelas diatur dalam Pasal 263 (1). Untuk itu tidak dapat ditafsirkan dan disimpangi serta sesuai dengan asas KUHAP bahwa hak-hak asasi terdakwa/terpidana lebih diutamakan”. SEMA No. 04 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, angka 1 antara lain menegaskan “menjadikan rumusan hukum hasil pleno kamar … diberlakukan sebagai pedoman dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung dan di pengadilan tingkat pertama dan banding sepanjang substansi rumusannya berkenaan dengan kewenangan peradilan tingkat pertama dan banding”.
3. Ahli Waris Terpidana Secara in Absentia Kasus Sudjiono Timan (ST) merupakan contoh kasus yang aktual untuk didiskusikan dalam artikel ini. Mahkamah Agung dalam Perkara Nomor 97 PK/ PIDSUS/2012 … tanggal 31 Juli 2013 atas diri pemohon ST berpendapat bahwa istri dalam kedudukannya sebagai ahli waris berhak mengajukan permintaan PK. Dalam Putusan Kasasi No. 434 K/Pid/2003 menyatakan ST bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan oleh karena itu dijatuhi pidana penjara selama 15 tahun. Putusan ini tidak dijalani oleh karena terpidana melarikan diri (in absentia). Pertimbangan JJ dalam putusan PK a quo antara lain mengambil dasar pendapat
129
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
M. Yahya Harahap1 (MYH) bahwa hak ahli waris untuk mengajukan PK bukan merupakan “hak substitusi” yang diperoleh setelah terpidana meninggal dunia. Hak tersebut adalah “hak orisinil” yang diberikan undang-undang kepada mereka demi untuk kepentingan terpidana. Berdasarkan pendapat MYH tersebut majelis hakim berpendapat bahwa baik terpidana maupun ahl waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan PK tanpa mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak, lagi pula undang-undang tidak menentukan kedudukan prioritas di antara terpidana dengan ahli waris. Istri ST selaku pemohon didampingi kuasa hukumnya telah hadir di sidang pengadilan. Majelis hakim MA dalam perkara a quo telah membatalkan Putusan MA No. 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel tgl. 25 November 2002 yang menghukum ST 15 tahun karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, dengan mengadili kembali (1) Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada Terpidana Sudjiono Timan tersebut terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana; (2) Melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum.
a. Berbagai Tanggapan Kasus ST ini telah menimbulkan berbagai tanggapan tentang frasa ahli waris apakah diartikan setelah meninggal atau juga sebelum meninggal. Terlepas dari tanggapan ini, sisi lainnya yang patutut dicatat bahwa putusan a quo sebagai putusan yudisial telah berlaku. Logika hukum telah banyak dikemukakan bahwa apakah pantas seorang buron yang menghindari eksekusi hukuman diterima permohonan PK-nya yang diajukan oleh istri dengan dalil sebagai ahli waris. Sekali lagi putusan yudisial (MA) sudah dijatuhkan. Dinamika praktik hukum setelah kasus ST ini banyak hal yang patut disimak. SEMA Nomor 1 Tahun 2012 maupun SEMA Nomor 6 Tahun 1988 menyatakan bahwa terpidana harus hadir dalam permohonan peninjauan kembali. Praktik penanganan permohonan PK di Mahkamah Agung dewasa ini sudah lebih cair bahwa dalam hal terpidana masih hidup maka ia harus hadir di persidangan atau
1
130
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta, Edisi Kedua, 2012, hlm. 617.
Bab 11: Dinamika Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana
hadir pada saat mengajukan permohonan di kepaniteraan pengadilan. Diakui bahwa kehadiran terpidana selaku pemohon PK di persidangan akan menimbulkan berbagai hambatan yang harus dipertimbangkan misalnya soal keamanan, transportasi, jarak antara pengadilan dan domisili pemohon berjauhan. Mengingat kesulitan yang dihadapi pemohon PK, MA dalam beberapa putusannya, kehadiran pemohon pada saat pengajuan permohonan adalah adalah suatu keharusan dan dalam persidangan selanjutnya dapat diwakili oleh kuasanya.
b. Pendirian MA Pasca Kasus ST Putusan PK a quo terhadap kedudukan istri selaku ahli waris mewakili terpidana secara in absentia telah memiliki kekuatan hukum yang pasti. Kasus ini merupakan bagian dari sejarah perjalanan penegakan hukum negara yang harus dihargai sebagai keputusan yudisial meski telah melahirkan berbagai diskusi pro kontra. Kasus permohonan PK yang dilakukan oleh ahli waris atau kuasa terhadap terpidana yang masih hidup secara in absentia telah diakhiri dengan pedoman kerja yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung melalui SEMA No. 1 Tahun 2012. Surat Edaran ini pada pokoknya menyatakan bahwa permohonan PK yang dilakukan oleh kuasa hukumnya atau ahli warisnya (kalau belum meninggal pen.) harus dihadiri atau bersamasama dengan terpidana. Dalam hal permohonan diajukan tanpa dihadiri oleh terpidana maka permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima. Rapat Kamar Pidana Mahkamah Agung per Desember 2013 yang diperkuat dengan SEMA No. 04 Tahun 2014 di atas juga kembali menegaskan bahwa “ahli waris dapat mengajukan peninjauan kembali apabila pewaris/terpidana telah meninggal dunia”.
D. WAKTU PENGAJUAN PK Waktu pengajuan PK dimaksud dalam artikel ini berkaitan dengan berapa kali PK dapat diajukan oleh terpidana. Ketentuan peninjauan kembali sebelum keluarnya Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 berlaku hanya satu kali. a.
Pasal 268 ayat (3) KUHAP berbunyi “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”.
131
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
b.
Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UUMA) jo. Perubahannya berbunyi “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”.
c.
Pasal 24 ayat (2) UU No. 49 Tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Perbedaan substansi yang diatur ketiga undang-undang di atas, pada huruf a mengatur secara khusus tentang Hukum Acara Pidana, sedangkan pada huruf b dan c merupakan ketentuan yang bersifat umum yang mengatur peninjauan kembali yang berlaku bagi kekuasan kehakiman yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi Badan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Berdasarkan Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013, telah membenarkan suatu permohonn PK dapat dilakukan lebih dari satu kali atau tanpa batas. Putusan MK ini telah menyatakan bahwa ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bahwa dengan lahirnya putusan MK ketentuan ini tidak berlaku lagi sehingga pengajuan permohonan PK menurut KUHAP dapat dilakukan lebih dari satu kali.
2. SEMA Nomor 7 Tahun 2014 Lahirnya putusan MK di atas telah melahirkan dualisme pengaturan satu kali atau lebih dari satu kali dapat mengajukan permohonan PK. Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014 kepada seluruh jajaran pengadilan dalam lingkungan di Indonesia menyatakan “Mahkamah Agung berpendapat bahwapermohonan PK dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali”. SEMA ini menafikan berlakunya putusan MK di atas yang memutuskan bahwa permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 268 ayat (2) KUHAP dinyatakan tidak mengikat secara hukum.
132
Bab 11: Dinamika Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana
Penegasan ini dilakukan oleh MA untuk mengakhiri dualisme pilihan waktu pengajuan permohon PK terhadap seluruh jajaran pengadilan di bawahnya. MA berpendapat bahwa SEMA No. 7 Tahun 2014 ini tidak melanggar putusan Mahkamah Konsitusi dengan alasan bahwa terdapat dua ketentuan undang-undang yang belum dinyatakan tidak berlaku oleh MK yakni Pasal 24 ayat (2) UUKK dan Pasal 66 ayat (1) UUMA. Lahirnya SEMA No. 7 Tahun 2014 ini sekaligus mengakhiri keraguan pada jajaran pengadilan di bawah MA dalam menafsirkan terjadinya dualisme pengaturan waktu pengajuan PK.
3. Pro Kontra Terlepas dari pendirian Mahkamah Agung yang sekaligus juga telah dijelaskan oleh Ketua MA Dr. M. Hatta Ali bahwa SEMA No. 7 Tahun 2014 tidak melanggar putusan MK, ternyata masih saja ada pendapat pro kontra. Hemat penulis, SEMA ini memang berpotensi besar untuk melahirkan perbedaan pendapat akibat pemahaman sistem hukum yang berlaku di negara kita adalah legalistik formal. Kita coba hadapi kasus ini dengan diskusi yang baik satu dan lain hal untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan dan untuk bangsa dan negara kita.
4. Dukung Langkah MA Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Tedjo Edhy Purdijatno, mendukung MA bahwa PK hanya boleh dilakukan sekali. SEMA itu telah merupakan bagian dari upaya tegaknya kepastian hukum, terutama bagi terpidana mati. Jaksa Agung H. Prasetyo berpendapat bahwa SEMA tersebut dapat memecah kebuntuan mengenai pelaksanan eksekusi mati bagi terpidana. Menurut Prasetyo, SEMA tersebut tidak menggugurkan keputusan MK yang memberikan kesempatan bagi tepidana untuk mengajukan PK lebih dari satu kali. Hal senada juga dikemukakan mantan Hakim MK Harjono, bahwa tidak adanya batas waktu pengajuan PK berpotensi dijadikan alasan oleh para terpidana mati untuk mengulur waktu eksekusi. Polemik ini telah melahirkan sebuah pertemuan antara Menkum dan HAM, Menko Polhukam, Jaksa Agung, dan Hakim Agung mewakili MA, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Wakil Ketua Komnas HAM, Direktur Penuntutan KPK, Kabareskrim Polri, dan para
133
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
pemangku hukum telah pula menyepakati bahwa pengajuan PK dibatasi hanya satu kali. Hemat penulis ini adalah sebuah langkah progresif, dengan meminjam istilah alm. Satjipto Rahardjo, bahwa karakteristik hukum progresif; (1) hukum adalah untuk manusia, manusia (penegak hukum) sebagai sentral dalam berhukum, (2) menolak status quo dari hukum yang legal-positivistik, (3) tidak menyerahkan sepenuhnya berhukum dalam teks formal undang-undang, tetapi membebaskan dari isolasi tersebut, (4) memberikan perhatian pada perilaku manusia (penegak hukum), tidak menyerah pada teks undang-undang saja, dan (5) membangun diri meningkatkan kualitas manusia untuk memberikan pelayanan berkualitas kepada masyarakat.2
5. Pendapat Lain Prof. Gayus Lumbuun, Hakim Agung MA menyatakan bahwa MA boleh saja mengisi kekosongan hukum demi kelancaran peradilan, tetapi tidak boleh bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Menurut Gayus, kejaksaan wajib mengacu pada putusan MK. Surat Edaran MA lebih merupakan petunjuk MA kepada jajaran di bawahnya. Karena itu, itu bukan regulasi yang harus ditaati pihak luar MA (MI tgl. 4 Januari 2015). Hal senada juga dikemukakan Supraidi Widodo Eddyono, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Antara, 4/1/2015) berpendapat bahwa pembatasan PK ini dinilai bertentangan dengan konstitusi. Pendapat ini juga hendaknya patut diapresiasi sebagai suatu peran serta dalam mengembangkan pemahaman hukum yang dalam civil law system sangat menghargai teks undang-undang.
6. Petunjuk Teknis Kiranya, SEMA No. 7 Tahun 20014 merupakan petunjuk teknis dalam menerapkan suatu peraturan perundang-undangan dan tidak mengatur secara substansial. Bahwa putusan MK adalah berkenaan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP … sedangkan SEMA No. 7 Tahun 2014 MA berpendapat
2
134
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, hlm. 61-69.
Bab 11: Dinamika Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana
bahwa putusan MK tersebut non executable berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUKK (No. 48 Thn 2009) dan Pasal 66 ayat (1) UUMA (No. 14 Th. 1985 jo. No. 5 Th. 2004 jo. No. 3 Th. 2009). Bahwa fungsi hukum acara sebagaimana diatur dalam UUKK maupun UUMA adalah bagaimana menjalankan ketentuan hukum materiil ex Pasal 263 ayat (3) KUHAP dengan baik untuk mencapai tujuan perundang-undangan yang telah ditetapkan agar para penegak hukum tidak bertindak liar dan semaunya (judicial tyrani). SEMA Nomor 7 Tahun 2014 kiranya bukan pembangkangan terhadap Putusan MK No. 34/2013 bahwa permohonan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali. Mahkamah Agung menurut hemat penulis sangat menyadari bahwa MA sebagai pelaksana hukum harus secara konsisten melaksanakan hukum atau undang-undang. Dalam hal ini terdapat tiga undang-undang yang mengatur bahwa PK hanya dilakukan satu kali masing-masing (a) KUHAP, (b) UUKK, dan (c) UUMA. KUHAP sudah diuji oleh MK dan menyatakan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali. Dua undang-undang lainnya belum dilakukan sehingga dapat diyakini bilamana dua undang-undang belakangan ini turut diuji oleh MK dengan keputusan yang sama, tentu tidak ada alasan MA untuk membuat ketentuan seperti disebut di atas.
7. Mengakhiri Perdebatan Penulis setuju usulan untuk membicarakan pelaksanaan putusan MK ini dengan baik dengan duduk bersama kalangan hukum yang kompeten untuk itu. Mengutip ucapan Ketua Terpilih MK Arief Hidayat, bagaimana caranya lembaga lain menerapkan putusan MK, bahwa “prinsip MK mendukung sepenuhnya pemberantasan narkoba, termasuk mengeksekusi mati gembong dan pengedarnya. Bagaimana caranya lembaga lain menerapkan putusan MK, itu bisa diselesaikan dengan duduk bersama; dialog dari awal lebih enak,..” (MI:13-1-15). Dialog atau musyawarah akan melahirkan kebersamaan dalam membangun bangsa dan negara ini menuju masa depan yang lebih hebat.
E. PENUTUP Mengakhiri tulisan ini beberapa hal dapat disimpulkan sebagai berikut:
135
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
1.
Dinamika pengajuan permohonan PK telah banyak terjadi di MA sebagaimana tercantum dalam SEMA dan Rapat Kamar MA.
2.
Kuasa hukum yang hendak mengajukan permohonan PK diharuskan hadir bersama terhukum (pemohon) minimal satu kali yakni pada saat pengajuan permohonan di kepaniteraan atau pada saat sidang di pengadilan.
3.
Jaksa selaku penuntut umum dalam beberapa putusan MA sebelumnya dapat mengajukan PK, namun perkembangan terakhir pendirian MA telah berubah yakni pihak pemohon hanya dibenarkan yang disebut secara limitatif dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
4.
Ahli waris hanya dapat mengajukan permohonan PK dalam hal terpidana telah meninggal dunia.
5.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PPU-XI/2013 menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian pemohonan PK dapat dilakukan secara berulang-ulang.
6.
Ketentuan dua undang-undang lainnya yakni UU tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dan ditambah dan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.
7.
Mengakhiri dualisme pengaturan berapa kali PK dapat diajukan, SEMA Nomor 7 Tahun 2014 menegaskan bahwa Mahkamah Agung berpendapat, permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 (satu) kali.
136
12 DUKUNGAN KELEMBAGAAN DALAM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN/ PERADILAN TIPIKOR A. PENDAHULUAN Dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, kini telah pula terbentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berada di lingkungan Peradilan Umum berdasarkan UU No. 46 Tahun 2009 (Pengadilan Tipikor) dan merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Lembaga ini dibentuk berbarengan dengan gerakan reformasi yang digelorakan sejak tahun 1998 yang pada awalnya dibentuk berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, dinyatakan bahwa Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan UUKPK adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Putusan MK ini sejalan dengan Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK), Pasal 27 ayat (1) bahwa “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. (2)
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang”. Pengadilan Tipikor dewasa ini telah dibentuk di setiap ibu kota provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) bahwa “Dengan undang-undang ini untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada setiap pengadilan negeri di ibu kota provinsi”. Pembentukan Pengadilan Tipikor di lingkungan Peradilan Umum ini sebagai pengadilan khusus adalah dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
B. KEKUASAAN KEHAKIMAN Dukungan kelembagaan untuk penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah sebuah keniscayaan sebagaimana diatur secara konstitusional dan perundang-undangan yang berlaku. Kelembagaan dimaksud adalah instansi yang bertugas melaksanakan fungsi penegakan hukum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni kepolisian, kejaksaan, KPK, Advokat, dan instansi lainnya. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diatur dalam UUD 1945 Bab IX. Pasal 24 ayat (1) berbunyi: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Ayat (2) berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Ayat (3) berbunyi: “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Lembaga atau instansi yang selama ini dikenal yang berhubungan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman atau penegakan hukum tercantum dalam Pasal 38 UUKK 2009. Badan-badan lain dimaksud yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman antara lain kepolisian, kejaksaan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan yang berkaitan dengan fungsi-fungsi (a) penyelidikan/penyidikan, (b) penuntutan, (c) pelaksanaan putusan, (d) pemberian jasa hukum, dan (e) penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
138
Bab 12: Dukungan Kelembagaan dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman …
Lahirnya sejumlah undang-undang hukum acara pidana di luar KUHAP telah menambah deretan instansi yang bertugas atau berkaitan dengan penegakan hukum antara lain: (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi (UUKPK) mengatur pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Tugas KPK tercantum dalam Pasal 6 UUKPK; (2) UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi; (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang mencabut berlakunya UndangUndang tentang Pencucian Uang yang berlaku sebelumnya yakni UU No. 15 Tahun 2002 dan UU No. 25 Tahun 2003. Pasal 68 sampai dengan Pasal 82 mengatur secara khusus tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dan mengatur dua lembaga yang sangat relevan yakni Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) dan Penyedia Jasa Keuangan (PJK); (4) UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan jo. UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan mengatur secara khusus ketentuan mengenai penyidikan. Penyidikan berkenaan dengan kepabeanan dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik. Kewenangan penyidikan dalam melaksanakan tugasnya hanya berkoordinasi dengan penuntut umum dan hasil penyidikannya disampaikan langsung ke penuntut umum tanpa melalui pintu penyidik kepolisian; (5) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang juga mengatur secara khusus tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan; (6) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur tentang penyidikan dan pembuktian; (7) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatur ketentuan khusus meliputi penahanan, penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, dan pengadilan. Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum yang majelis hakimnya terdiri atas dua hakim karier dan tiga hakim ad hoc; (8) UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, mengatur beberapa ketentuan khusus al. batas waktu setiap pemeriksaan perkara, perlakuan terhadap barang bukti, dan mekanisme koordinasi antarinstansi penyidik dalam
139
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
penyidikan tindak pidana perikanan. Undang-undang ini juga mengatur susunan majelis hakim terdiri atas seorang hakim karier dan dua hakim ad hoc; (9) UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pengesahan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, mengatur secara khusus berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan (Bab V). Selanjutnya, diundangkan lagi UU No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention Against Terrorist Bombing (Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris), merupakan ketentuan khusus yang memuat ketentuan baru tentang kerja sama internasional dalam pencegahan tindak pidana terorisme; dan (10) UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang meskipun substansinya tidak menyangkut teknis peradilan akan tetapi mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pengusulan pengangkatan hakim agung, dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan UUD 1945.
C. SISTEM PERADILAN TIPIKOR Sistem diartikan sebagai kombinasi atau rangkaian yang teratur, baik dari bagianbagian khusus atau bagian-bagian lain atau pun unsur-unsur ke dalam suatu keseluruhan, khususnya kombinasi yang sesuai dengan prinsip rasional tertentu.1 Sistem Peradilan Pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem yang oleh Remington dan Ohlin, dinyatakan sebagai hasil interaksi antara peraturan perundangundangan, praktik administrasi, dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang disiapkan secara rasional dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.2 Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) seperti dikemukakan Chamelin/Fox/
1 2
140
Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, hlm. 1300. Ramli Atmasasmita, vide Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Media Prima Aksara, Jakarta, 2012, hlm. 28.
Bab 12: Dukungan Kelembagaan dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman …
Whisenand, adalah sebagai suatu sistem dan masyarakat dalam proses menentukan konsep sistem merupakan aparatur peradilan pidana yang diikat bersama dalam hubungan antara subsistem polisi, pengadilan, dan penjara.3 Dengan demikian sistem penyelenggaraan peradilan pidana merupakan kerja sama yang terbentuk di antara komponen-komponen (subsistem) yang terdiri atas lembaga penyidikan (kepolisian), penuntutan (kejaksaan), peradilan, dan lembaga pemasyarakatan. Untuk mengefektifkan penyelenggaraan sistem peradilan pidana ini diperlukan adanya keterpaduan atau kerja sama yang disebut Integrated Criminal Justice System (ICJS). Untuk dapat dinilai keterpaduan dalam sistem peradilan pidana, maka harus benarbenar diinventarisasikan, komponen-komponen baik yang bersifat struktural, substansial maupun kultural apa saja yang terlibat di dalamnya. Secara Struktural pertama-tama harus dilihat lembaga kepolisian, kemudian kejaksaan, pengadilan, lembaga-lembaga koreksi baik yang bersifat institusional maupun noninstitusional. Dalam hal ini lembaga penasihat hukum harus ditambahkan.4 Bagaimana bentuk keterpaduan agar penyelenggaraan sistem peradilan menjadi efektif banyak ditentukan dukungan subsistem yang ada. Dukungan dimaksud terutama berkaitan dengan langkah penyamaan persepsi dan tindakan dalam menghadapi kasus-kasus yang dihadapi di pengadilan. Langkah utama yang dapat dilakukan adalah terwujudnya koordinasi sesuai urgensinya dan tahapannya masing-masing badan atau lembaga dalam melakukan tupoksinya masing-masing. Bagaimana pelaksanaan fungsi kelembagaan dimaksud dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman atau dalam mendukung penyelenggraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 khususnya dalam penyelenggaraan Peradilan Tipikor hendak didiskusikan dalam artikel ini. Ruang untuk membahas fungsi-fungi kelembagaan dimaksud relatif terbatas sehingga pada kesempatan ini akan dibatasi pada tupoksi yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Peran kejaksaan
3 4
Vide Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, Sistem Peradilan Pidana, PTIK, Jakarta, 2012, hlm. 6. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, hlm. 4.
141
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
dalam Peradilan Tipikor berjalan seperti pelaksanaan perkara pidana lainnya namun beberapa hal yang perlu didiskusikan agar tujuan pelaksanaan Peradilan Tipikor menjadi efektif untuk mencapai target atas tujuan yang ditetapkan, dan efisien dalam penggunaan sumber daya yang digunakan.
1. Pembuatan Surat Dakwaan Penyelenggaraan pemeriksaan tindak pidana korupsi di pengadilan terdapat beberapa permasalahan khusus yang sering menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan hakim. Mengantisipasi hal tersebut, Mahkamah Agung RI telah mengadakan Rapat Pleno Kamar Pidana (RPKP MA) pada tanggal 8 s/d 10 Maret 2012 yang dihadiri para Hakim Agung pada Kamar Pidana dan para Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi pada Mahkamah Agung. Rapat Pleno berhasil menginventarisasi berbagai permasalahan, dan satu dua di antaranya penulis angkat sebagai bahan analisis berkenaan dengan perlunya dukungan kelembagaan dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
Dakwaan Subsideritas dan Dakwaan Alternatif Apakah hakim dalam pertimbangan hukumnya dapat menafsirkan bahwa dakwaan Jaksa/Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaan Primer Pasal 2 (1) dan dakwaan Subsider Pasal 3 UUPTPK dibaca sebagai dakwaan alternatif? Penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UUPTPK dalam surat dakwaan oleh JPU sejalan subtopik di atas dapat dikatakan belum seragam. Pengajuan dakwaan secara subsideritas relatif lebih banyak dibandingkan dengan pengajuan dalam dakwaan alternatif. Pengalaman selama ini, pengajuan dakwaan yang demikian telah melahirkan Yurisprudensi Mahkamah Agung, bahwa dakwaan subsideritas dalam penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UUPTPK hendaknya dibaca sebagai dakwaan alternatif. Itu berarti hakim bebas memilih dakwaan mana yang sesuai untuk diterapkan. Yurisprudensi lainnya merujuk pada prinsip taat asas bahwa kalau dakwaannya bersifat subsideritas, hakim wajib terlebih dahulu memeriksa dakwaan primer dan kalau tidak terbukti barulah beralih memeriksa dakwaan subsider. RPKP MA yang lalu menjawab pertanyaan di atas bahwa: (a) Dakwaan subsideritas tidak dapat dibaca sebagai dakwaan alternatif; (b) Dalam dakwaan subsi-deritas harus
142
Bab 12: Dukungan Kelembagaan dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman …
dibuktikan dakwaan primer lebih dahulu; dan (c) Bahwa pada dakwaan berbentuk subsideritas walaupun dalam tuntutan JPU terbukti dakwaan subsider, akan tetapi hakim wajib membuktikan dakwaan primer terlebih dahulu. Dalam rangka penyelenggaraan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan (asas kontante justisi) tentu diharapkan JPU dapat memahami keadaan ini sehingga tercipta kesamaan persepsi dan tindakan yang serasi dalam penyusunan surat dakwaan. Artinya, dengan mengambil berbagai contoh perkara yang ada, misalnya jika kerugiannya tidak cukup Rp5.000,00 (lima ribu rupiah) tentu tidak perlu repot-repot menerapkan dakwaan primer melanggar Pasal 2 UUPTPK; dan contoh atau logika kasus hukum lainnya masih banyak.
2. Sanksi terhadap Korporasi Pertanggungjawaban pidana badan hukum atau korporasi dalam sistem KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) sebagai copy dari Wetboek van Strafrecht negeri Belanda sejak 1 Januari 1918, belum diatur. Bila menengok ke belakang pengaturan pertanggungjawaban pidana secara khusus di luar KUHP mulai diatur dalam Pasal 15 UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, ayat (1) “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum.. dst.”. Perkembangan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum selanjutnya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain: (1) UU No. 6 Tahun 1984 tentang Pos; UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan; UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Sehat; UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003 jo. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
143
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Ketentuan sanksi pidana terhadap korporasi adalah bukan pidana penjara (badan) melainkan pidana denda, tindakan tata tertib/tindakan administratif, atau pidana tambahan lainnya yang bersifat pemberatan hukuman. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) tuntutan pidana dapat dijatuhkan terhadap korporasi dan atau pengurusnya; sedangkan pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (sepertiga) (Pasal 20 ayat (7)). Kasus korupsi yang muncul pada hakikatnya adalah menyangkut pengelolaan proyek pembangunan/pemerintah dengan menggunakan perusahaan/badan hukum/ korporasi sebagai rekanan/pelaksana. Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam UUPTPK merupakan perkembangan baru yang sebelumnya belum diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1971. Hal ini tidak terlepas dari politik hukum yang dianut oleh pembuat undang-undang dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Pada kenyataannya kasus-kasus tindak pidana korupsi yang diajukan oleh JPU seingat penulis belum ada dan kalaupun ada tergolong sangat minim. Keadaan ini perlu didiskusikan lebih intens mengingat korupsi yang terjadi dalam pengelolaan proyek pemerintah adalah menggunakan korporasi atau badan hukum. Tindakan hukum apa sebaiknya dilakukan terhadap korporasi yang terlibat dalam tindak pidana korupsi? JPU hendaknya memahami keinginan pembentuk undang-undang dengan jalan mempertimbangkan dengan baik untuk melakukan penuntutan terhadap badan hukum atau korporasi sebagai wujud pelaksanaan total enforcement dalam pemberantasan korupsi. Hal ini adalah juga bentuk dukungan kelembagaan dalam pemberantasan korupsi melalui jalur penuntutan. Tim Pengkaji Bidang Hukum Pidana Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam laporannya, yang akhirnya tetap tertuang dalam Konsep Rancangan KUHP 2005, menyatakan dasar pertimbangan pemidanaan korporasi ialah “jika dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi, terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi, atau bahwa keuntungan yang didapat
144
Bab 12: Dukungan Kelembagaan dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman …
diterima korporasi karena delik itu cukup besar atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat atau saingan-saingannya sangat berarti”.5
3. Pengajuan Perkara Kasasi Secara Selektif Gambaran umum perkara kasasi seperti dikemukakan Ketua Mahkamah Agung (MA) Dr. H.M. Hatta Ali, S.H., M.H., hingga akhir November 2012 sebanyak 12.244 perkara termasuk sisa tahun 2011 sebanyak 7.695. Jumlah itu naik 3,67 persen dibanding dengan periode yang sama tahun lalu sebanyak 11.810 perkara. Dinyatakan bahwa terjadi penurunan jumlah perkara yang diputus tahun 2012 dikarenakan berkurangnya 10 hakim agung, delapan di antaranya pensiun, satu meninggal, dan satu orang diberhentikan dengan tidak hormat. Pengajuan pemohonan kasasi perkara Tipikor tergolong besar jumlahnya dibandingkan dengan perkara lainnya. Perkara Tipikor yang dimohonkan kasasi oleh terdakwa maupun JPU adalah berkaitan dengan kepentingan pemohon. Terdakwa menginginkan diputus bebas atau diringankan hukumannya sedangkan alasan JPU pada prinsipnya menginginkan agar hukuman yang dijatuhkan diperberat dalam rangka memenuhi tujuan pemidanaan. Meskipun tujuan permohonan kasasi antara terdakwa dengan JPU berbeda, namun dasar hukum yang digunakan adalah sama yakni berdasarkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Kajian pada subtopik ini hendak mendiskusikan alternatif guna meningkatkan kualitas perkara yang dimohonkan kasasi oleh JPU dengan pertimbangan di antaranya: Pertama, kasasi terhadap putusan bebas tidak disertai alasan mengapa putusan judex facti dianggap pembebasan yang tidak murni (niet zuivere vrispraak). Pintu masuk untuk memeriksa perkara kasasi terhadap putusan bebas terlebih dahulu dikemukakan alasan ini, oleh karena pemeriksaan yang dilakukan tanpa mengabaikan alasan dimaksud, adalah menyalahi ketentuan Pasal 244 KUHAP. Perkara kasasi bukanlah pemeriksaan perkara atau peradilan tingkat ketiga. Judex facti hendaknya memerhatikan sungguh-
5
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Pidana, Tahun 1980/1981, (Jakarta: BPHN, 1985), hlm. 36.
145
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
sungguh kapan putusan berbunyi bebas dan kapan berbunyi dilepas dari segala tuntutan hukum. Teori Herman Kantorowics yang diikuti banyak pakar hukum pidana nasional tentang ajaran dualistis sebagai syarat pemidanaan akan sangat membantu penerapan Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.6 Kedua, jumlah kerugian negara perkara yang dimohonkan kasasi relatif sangat minim. Meskipun jumlah kerugian negara yang sangat kecil sebagai alasan kasasi masih dapat diperdebatkan (oleh karena tidak ada kata yang tak terjawab?), perlu direnungkan kemanfaatan yang dapat diperoleh dengan mengingat tujuan pembentukan UUPTPK. Belum lama ini penulis menangani permohonan kasasi dari JPU yang jumlah kerugian negaranya tidak cukup dua juta rupiah yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum oleh JF.
4. Splitsen Perkara Secara Berlebihan? JPU memiliki kewenangan untuk menuntut secara terpisah (splitsing) dari berkas perkara yang memuat beberapa perbuatan pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka/terdakwa berdasarkan Pasal 142 KUHAP. Pemisahan perkara yang demikian secara praktis mempunyai keuntungan, yaitu masing-masing di antara mereka secara bergiliran dapat menjadi terdakwa atau saksi dalam perkara yang terpisah itu. Pemberkasan perkara Tipikor secara terpisah dewasa ini tidak lagi merupakan keadaan yang langkah melainkan sudah merupakan kebiasaan dan tidak lagi dipersoalkan sedekat mana splitsing perkara ini sejalan dengan ketentuan hukum yang berlaku baik secara nasional maupun internasional. Isu ini diangkat menyertai materi lainnya untuk didiskusikan dalam artikel ini. Dijadikannya terdakwa menjadi saksi dalam perkara yang dipisahkan itu (splitsing) dalam praktik disebut saksi mahkota; sesungguhnya telah bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah. Praktik pengajuan saksi mahkota oleh JPU dalam kasus Tipikor telah menyalahi prinsip hukum larangan self incrimination sebagai salah satu unsur
6
146
Vide Mohammad Askin, Varia Peradilan, No. 321/2012, “Putusan Bebas dan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum”, hlm. 37.
Bab 12: Dukungan Kelembagaan dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman …
praduga tidak bersalah. Dalam praktik pengadilan di negeri Belanda, saksi mahkota (Kroon Getuige; Crown Witness), diajukan yaitu salah seorang terdakwa yang paling ringan peranannya dalam pelaksanaan kejahatan itu, misalnya delik narkoba atau terorisme dikeluarkan dari daftar terdakwa dan dijadikan saksi. Dasar hukumnya ialah asas oportunitas yang ada di tangan jaksa untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang ke pengadilan baik dengan syarat maupun tanpa syarat.7 Bagaimana praktik atau pendapat yang berkembang di negara kita, sangat menarik untuk dikutip tulisan Muhammad Alim8, bahwa di Mahkamah Agung pada waktu itu, ada dua pendapat yang berbeda; pertama, seorang terdakwa tidak dapat menjadi saksi atas tindak pidana yang ia dan teman-teman pelakunya lakukan; kedua, boleh saja seorang terdakwa menjadi saksi dalam perkara yang dilakukan secara bersama-sama dengan terdakwa lainnya (dengan menggunakan logika tertentu pen.). Bagaimana kita bersikap atas fenomena ini; meskipun beberapa ketentuan sudah diatur dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP berkenaan dengan penerapan Pasal 142 KUHAP, namun dirasa masih banyak kekurangan terutama bilamana dikaitkan dengan self incrimination di atas. Ada juga pendapat yang berkembang saat dilangsungkannya Rakernas Mahkamah Agung pada 28 Oktober-1 November 2012 di Manado bahwa hakim diberi kewenangan untuk menawarkan kesediaan kepada terdakwa untuk menjadi saksi dengan memberi penjelasan hak terdakwa berkaitan dengan self incrimination tersebut. Pendapat ini masih sebatas wacana meskipun demikian substansi hukum ini perlu didiskusikan, minimal dengan dukungan JPU penuntutan perkara agar dipertimbangkan dengan sungguh-sunguh urgensi melakukan splitsing perkara.
D. PENUTUP Dukungan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan UUKK adalah sebuah keniscayaan. Lembaga-lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, KPK, lembaga pemasyarakatan, advokat, pejabat negara
7 8
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, 2008, hlm. 272. Muhammad Alim, Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Varia Peradilan, No. 324, 2012, “Saksi Mahkota dalam Perspektif Islam”. hlm. 58-60.
147
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
tertentu hendaknya memahami tupoksinya masing-masing bahwa sebagai instansi pendukung penyelenggaraan kekuasaan kehakiman bukanlah instansi yang berdiri sendiri dan terpisah (separate) serta mengabaikan prinsip-prinsip komunikasi dan koordinasi. Inti terselenggaranya Integrated Criminal Justice System (ICJS) adalah terciptanya hubungan kerja sama yang harmonis yang terbina secara berkelanjutan. Mahkamah Agung adalah leading sector untuk mengambil langkah progresif ke arah terwujudnya ICJS terhadap semua instansi terkait. Berbagai kalangan sepakat bahwa melalui komunikasi hukum dan sosialisasi hukum merupakan faktor yang sangat esensial bagi terselenggaranya efektivitas penegakan hukum.
148
13 KOMISI YUDISIAL SEBAGAI PENEGAK KEKUASAAN KEHAKIMAN A. PENDAHULUAN Komisi Yudisial (KY) di Indonesia merupakan lembaga negara baru yang bersifat mandiri yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasan kehakiman dengan kewenangan khusus yang diatur dalam UUD 1945 hasil amendemen ketiga tahun 2001. Kewenangan dimaksud tercantum dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa KY memiliki kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. KY bukanlah pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan pelaku kekuasaan kehakiman. Melalui KY ini diharapkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan dapat diwujudkan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya sesuai harapan rakyat. KY diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, untuk selanjutnya disebut UUKY. Demikian pula Undang-Undang tentang Mahkamah Agung dalam tulisan ini adalah seperti dimaksud dalam UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Undang No. 5 Tahun 2004, dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UUMA).
B. PERMASALAHAN Aspek penegakan hukum mendapat banyak sorotan sepanjang perjalanan republik ini. Sorotan publik berkaitan dengan kinerja hakim yang tidak sesuai dengan harapan yang dinilai mempermainkan hukum dan keadilan. Pada sisi lain hakim memiliki kewenangan yang tidak bisa dicampuri di bidang peradilan mulai dari tingkat pertama sampai ke tingkat Mahkamah Agung. Dalam rangka memperbaiki dan/atau meningkatkan peran hakim dalam penegakan hukum maka diundangkanlah undang-undang tentang Komisi Yudisial. KY memiliki kewenangan yang tercantum dalam Pasal 13 butir a UUKY yang berbunyi: “Komisi Yudisial mempunyai wewenang: (a) mengusulkan pengangkatan hakim agung dan Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; (b) menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Kewenangan KY berkenaan dengan pengangkatan hakim agung, juga tercantum dalam Pasal 8 ayat (2) UUPMA yang berbunyi: “Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial”. Sebelum keluarnya kedua undang-undang di atas, hakim agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari daftar nama calon yang diusulkan oleh DPR (Pasal 8 UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung). UUKY ini telah membawa perubahan terhadap seleksi hakim agung yakni dilakukan oleh KY yang mempunyai kewenangan khusus untuk itu. Pergeseran kewenangan ini menunjukkan upaya perbaikan pengangkatan hakim agung yang semula diusulkan oleh DPR sebagai lembaga politik kemudian dilakukan oleh lembaga yang mandiri dan profesional. Kewenangan lain dari KY adalah mengawasi perilaku hakim. Kewenangan KY ini tercantum dalam Pasal 13 butir b UUKY dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, perilaku hakim.
150
Bab 13: Komisi Yudisial sebagai Penegak Kekuasaan Kehakiman
Tulisan ini hendak mengkaji kewenangan KY yang disebut di atas dihubungkan dengan kewenangan MA dalam melakukan pengawasan terhadap keempat badan peradilan di bawahnya. UUMA juga mengatur kewenangan Mahkamah Agung tentang pengawasan perilaku hakim yang tercantum dalam Pasal 32 yang selengkapnya berbunyi: (1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. (2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan. (3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua badan peradilan yang berada di bawahnya. (4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya. (5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Berkenaan kewenangan pengawasan oleh KY maupun MA terhadap perilaku hakim ini timbul permasalahan sebagai berikut: 1.
Apakah tidak terjadi tumpang-tindih ketentuan yang tercantum dalam UUKY dan UUMA; dan
2.
Bagaimanakah hubungan antara kewenangan MA dan KY berkenaan dengan pengawasan perilaku hakim tersebut.
C. PEMBAHASAN 1. Pengawasan Perilaku Hakim oleh Komisi Yudisial Kewenangan KY untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim berimplikasi sangat luas sehingga perlu kejelasan batas dan
151
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
ruang lingkup kewenangan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar kinerja KY yang diemban berkenaan dengan Pasal 13 butir b UUKY dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUMA juga menetapkan salah satu kewenangan Mahkamah Agung adalah “mengawasi tingkah laku dan perbuatan hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya”. Batasan kewenangan antara kedua undang-undang ini berkenaan dengan perilaku hakim perlu dikaji agar tercipta kesamaan persepsi sehingga tidak terjadi tumpangtindih dalam pelaksanaannya. Pasal 22 UUKY mengatur bagaimana KY melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Pasal ini berbunyi sebagai berikut: (1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) diatur dengan peraturan Komisi Yudisial. KY dalam melaksanakan tugasnya diwajibkan menaati ketentan hukum dan perundang-undangan serta menjaga kerahasiaan keterangan yang diperoleh yang sifatnya merupakan rahasia KY (Pasal 20 ayat (1) UUKY). Kerahasiaan keterangan sangat perlu diindahkan oleh KY oleh karena hal ini akan berimplikasi kepada dukungan masyarakat untuk melaporkan tentang perilaku hakim. Anggota masyarakat hanya bersedia melapor bilamana terdorong motivasi untuk kepentingan publik maupun kepentingan individu. Kepentingan individu terutama berkaitan dengan faktor keamanan, kerugian, atau keuntungan. Aspek pelaporan sebagaimana dimaksud hendaknya diatur secara baik dalam peraturan pelaksanaan sebagai pedoman masyarakat. Hal yang perlu diperhatikan bahwa pelaksanaan tugas KY ini tidak boleh mencampuri kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Beberapa ketentuan yang mengatur hal tersebut adalah sebagai berikut: a.
152
Pasal 20 ayat (1) huruf d UUKY berbunyi: “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), Komisi Yudisial wajib menjaga kemandirian dan kebebasan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Bab 13: Komisi Yudisial sebagai Penegak Kekuasaan Kehakiman
b.
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 ayat (1) berbunyi: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
c.
Kebebasan hakim ini juga diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) berbunyi: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Pasal 3 ayat (2): “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”.
Kewenangan KY untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, KY berpedoman pada Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung (Pasal 19A UUKY). Peraturan dimaksud diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial Nomor
02/PB/MA/I X/2012 02/PB/P.KY /09/2012
tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim tanggal 27 September 2012. KY dalam melaksanakan tugas pengawasannya tercantum dalam Pasal 22 ayat (1) UUKY berkaitan dengan ketentuan perundang-undang, yakni: (1) Pasal 13D Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; (2) Pasal 12D UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1986 tentang Peradilan Agama; (3) Pasal 13D Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Komisi Yudisial dalam hal ini mempunyai tugas: a.
Menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
153
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
b.
Memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
c.
Dapat menghadiri persidangan di pengadilan;
d.
Menerima dan menindaklanjuti pengaduan Mahkamah Agung dan badan-badan pengadilan di bawah Mahkamah Agung atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
e.
Melakukan verifikasi terhadap pengaduan;
f.
Meminta keterangan atau data kepada Mahkamah Agung dan/atau pengadilan;
g.
Melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim untuk kepentingan pemeriksaan; dan/atau
h.
Menetapkan keputusan berdasarkan hasil pemeriksaan.
a. Laporan Masyarakat tentang Perilaku Hakim Perilaku hakim yang dapat dinilai KY menurut ayat (1) butir a adalah yang dilaporkan masyarakat. Undang-Undang tentang KY tidak menjelaskan kiteria perilaku hakim yang dapat dilaporkan oleh masyarakat. Apakah laporan masyarakat akan didasarkan pada ketentuan yang baku berdasarkan ketentuan yang ada (legal formal) atau masyarakat diberi kebebasan untuk menilai menurut kondisi masyarakat yang pada waktu dan tempat tertentu. Bilamana laporan masyarakat akan didasarkan pada ketentuan yang ada (legal formal) maka hendaknya harus segera dibuatkan peraturannya. UUKY tidak mengatur perintah pembuatan jenis perbuatan dimaksud pada butir b. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan atau perbedaan tafsir dalam pelaksanaannya. Keadaan menjadi cerah tatkala keluar Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Tahun 2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. KY dalam praktiknya telah memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengajukan laporan pengaduan secara tertulis atau lisan dalam bahasa Indonesia yang memuat: a.
154
Uraian mengenai hal yang menjadi dasar laporan, meliputi: alasan laporan yang diuraikan secara jelas dan terperinci, disertai alat bukti;
Bab 13: Komisi Yudisial sebagai Penegak Kekuasaan Kehakiman
b.
Hal-hal yang dimohonkan untuk diperiksa; dan
c.
Tanda tangan pelapor atau kuasanya disertai surat kuasa sah, jika laporan diajukan secara tertulis.
Laporan pengaduan dapat diantar langsung atau dikirim melalui pos/kurir ataupun melalui surat elektronik. KY telah menetapkan Alur Penanganan Laporan Masyarakat yang apabila laporan masyarakat terbukti akan diajukan ke sidang Majelis Kehormatan Hakim yang berujung pada penjatuhan sanksi dan apabila tidak terbukti akan diberikan rehabilitasi dan penyampaian surat pemeritahuan ke pelapor. Untuk keperluan pelaporan masyarakat dimaksud, KY telah menetapkan Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2012 tentang Penghubung Komisi Yudisial yang berisi Tujuan dan Tugas Penghubung, Susunan dan Persyaratan Umum Penghubung, dan Tata Kerja Penghubung.1 Laporan masyarakat berkenaan dengan perilaku hakim penilaiannya diserahkan kepada KY apakah perbuatan hakim tersebut akan mengurangi kehormatan dan keluhuran martabat hakim dengan berpedoman pada Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Pasal 22A UUKY mengatur pelaksanaan tugas KY berkenaan dengan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf c.
b. Laporan Badan Peradilan tentang Perilaku Hakim KY dalam melaksanakan tugas pengawasan terhadap perilaku hakim menurut Pasal 22 ayat (2) UUKY “Untuk melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial dapat meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan dan/atau Hakim”. Menurut pasal ini, keterangan atau data dari Badan Peradilan berkaitan dengan perilaku hakim kepada KY dilakukan atas permintaan KY. Berkenaan dengan itu beberapa hal perlu dicatat sebagai berikut: a.
1
Keterangan atau data dari badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim dilakukan berdasarkan permintaan KY. Undang-undang KY tidak menjelaskan apakah permintaan keterangan dimaksud hanya ditujukan kepada badan peradilan
Buku Profil Kelembagaan Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2014, hlm. 36-40.
155
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
tertentu untuk perilaku hakim tertentu pula, atau permintaan KY itu ditujukan kepada seluruh badan peradilan berkaitan dengan seluruh perilaku hakim; dan selanjutnya apakah keterangan itu hanya berlaku untuk satu periode tertentu atau berlaku seterusnya tanpa batas waktu (berkala). b.
Jenis perilaku hakim yang harus dilaporkan oleh badan peradilan kepada KY harus jelas kriterianya dan didasarkan pada peraturan yang berlaku sehingga tidak terjadi kesalahan penafsiran dan juga tercipta efisiensi kerja.
Ketentuan ini berbeda dengan laporan masyarakat yang pelaporannya disesuaikan dengan pedoman yakni anggota masyarakat bebas melaporkan baik secara lisan maupun secara tertulis dengan persyaratan tertentu yang secara terperinci dan disertai alat bukti dan untuk selanjutnya penilaiannya diserahkan kepada KY.
c. Pelanggaran Kode Etik Perilaku Hakim Ketentuan jenis perilaku hakim lainnya yang diawasai oleh KY adalah yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim seperti tercantum dalam Pasal 22 ayat (1) jo. Pasal 22B ayat (1) huruf a. Dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Tahun 2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim disingkat PBMAKY 2012, ditetapkan sepuluh kewajiban dan larangan bagi hakim, yaitu: (a) berperilaku adil; (b) berperilaku jujur; (c) berperilaku arif dan bijaksana; (d) bersikap mandiri; (e) berintegritas tinggi; (f) bertanggung jawab; (g) menjunjung tinggi harga diri; (h) berdisiplin tinggi; (i) berperilaku rendah hati; dan (j) bersikap profesional. Kesepuluh item kewajiban dan larangan hakim di atas telah dijabarkan secara lengkap dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 14. Adalah diharapkan para hakim dapat memedomani secara sungguh-sungguh Panduan Kode Etik dan Pedoman di atas sehingga visi yang dicanangkan Mahkamah Agung yakni Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung dapat segera terwujud lebih cepat. Mahkamah Konstitusi RI juga telah menetapkan Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi lebih awal yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 02/PMK/2003 tanggal 24 September 2003 (PMK No. 2 Tahun 2003). Dalam PMK No. 2 Tahun 2003 Pasal 1 dijelaskan pengertian Kode Etik
156
Bab 13: Komisi Yudisial sebagai Penegak Kekuasaan Kehakiman
Hakim Konstitusi dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi sebagai berikut: Kode Etik Hakim Konstitusi adalah norma moral yang harus dipedomani setiap Hakim Konstitusi. Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi adalah penjabaran dari Kode Etik Hakim Konstitusi yang menjadi pedoman bagi Hakim Konstitusi, baik dalam menjalankan tugasnya, maupun dalam pergaulannya di masyarakat. Pedoman tingkah laku bagi Hakim Konstitusi tercantum dalam Pasal 3 PMK yang mengatur: (1) dalam hal penyelesaian perkara; (2) terhadap teman sejawat; (3) terhadap masyarakat; (4) terhadap keluarga.
2. Pengawasan Tingkah Laku Hakim oleh Mahkamah Agung MA memiliki kewenangan mengawasi tingkah laku dan perbuatan hakim di semua tingkatan peradilan dalam menjalankan tugasnya. Pengawasan dimaksud tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Perbandingan redaksi antara UUMA dengan UUKY berkenaan dengan kewenangan mengawasi perilaku atau tingkah laku hakim dapat dikemukakan sebagai berikut: Pasal 32 UUMA berbunyi: (1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. (2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan. (3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua badan peradilan yang berada di bawahnya. (4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya. (5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
157
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Pasal 32A berbunyi: (1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh Mahkamah Agung. (2) Pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman kepada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. (4) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Pasal 20 UUKY: Ayat (1) huruf a: Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas: a. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim. Ayat (2): Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim. Pasal 20A huruf d UUKY berbunyi: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) Komisi Yudisial wajib “menjaga kemandirian dan kebebasan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara”. UUMA menyebutkan kewenangan MA mengawasi melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan dan terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan. Selain itu MA melakukan pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung, sedangkan pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial.
3. Perbandingan Antara Kewenangan MA dengan Kewenangan KY Berdasarkan uraian di atas dapat dianalisis bahwa pengertian perilaku hakim adalah sikap, ucapan, dan/atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang hakim dalam kapasitas
158
Bab 13: Komisi Yudisial sebagai Penegak Kekuasaan Kehakiman
pribadinya yang dapaat dilakukan kapan saja termasuk perbuatan yang dilakukan pada waktu melaksanakan tugas profesi (Pasal 1 angka 5 PBMAKY 2012). Dengan keluarnya UUKY pengawasan terhadap perilaku semakin ditingkatkan yakni di samping diawasi oleh MA sebagai pengawasan internal juga diawasi oleh KY sebagai pengawasan eksternal melalui mekanisme sebagai berikut: a.
Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman (Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUMA);
b.
KY meminta keterangan atau data kepada Badan Peradilan dan/atau Hakim berkaitan dengan perilaku hakim (Pasal 22 ayat (2) UUKY);
c.
KY memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar pedoman kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 22A ayat 1 huruf c UUKY);
d.
KY mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap hakim yang diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung (Pasal 22D ayat (1));
e.
MA menjatuhkan sanksi terhadap hakim yang melakukan pelanggaran kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang diusulkan oleh KY paling lama 60 hari terhitung tanggal penerimaan usulan dari KY (Pasal 22D ayat (3)).
Ketentuan atas mekanisme pengawasan perilaku hakim berdasarkan UUMA dan UUKY semakin kuat dengan adanya kewenangan KY meminta keterangan kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim. Permintaan laporan dimaksud dapat dilakukan KY kepada seluruh badan peradilan mulai dari tingkat tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Atas permintaan KY, Mahkamah Agung meminta kepada Badan Peradilan dan/atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diperlukan sesuai permintaan KY. KY dapat meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim. Permintaan keterangan ini didasarkan atas laporan masyarakat dan/ atau informasi tentang dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Kewenangan KY dan MA berkenaan dengan pengawasan tingkah laku hakim
159
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
tidak terjadi tumpang-tindih melainkan semakin kuat pelembagaannya oleh karena pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung secara internal dan pengawasan eksternal dilakukan oleh KY. Pada sisi lainnya, eksekusi pelaksanaan keputusan KY akan dilakukan oleh MA berdasarkan usulan KY. Hal yang perlu diupayakan lebih lanjut adalah koordinasi antara kedua lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman dimaksud sehingga dapat menyelesaikan kasuskasus yang di dalamnya terdapat perbedaan interpretasi tentang terjadinya pelanggaran kode etik atau pedoman perilaku hakim.
D. SIMPULAN DAN SARAN 1.
Ketentuan pengawasan terhadap tingkah laku atau perilaku hakim dalam rangka meningkatkan kehormatan dan martabat hakim semakin baik dan komprehensif dengan keluarnya UUKY.
2.
KY memenerima laporan masyarakat dan meminta keterangan kepada badan peradilan termasuk MA dalam melakukan pengawasan perilaku hakim.
3.
Kewenangan dan dukungan MA mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua tingkatan peradilan akan membantu memperlancar tugas pengawasan KY.
4.
Ketentuan pengawasan terhadap tingkah laku hakim di semua lingkungan peradilan tidak terjadi tumpang-tindih antara ketentuan dalam UUMA dengan UUKY. Meski demikian masih terdapat ruang kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat antara MA dengan KY terhadap penilaian berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh hakim. Hal lainnya adalah kemungkinan terdapat perbedaan penilaian pelanggaran yang termasuk kewenangan pengawasan internal oleh MA dan kewenangan pengawasan eksternal oleh KY.
5.
Disarankan, perlu diintensifkan koordinasi antara kedua lembaga negara penyelenggara kekuasaan kehakiman ini MA dan KY untuk mengupayakan kesamaan persepsi dalam menegakkan ketentuan Pedoman Perilaku Hakim dan Kode Etik Hakim.
6.
Perlu ditetapkan anggaran biaya untuk pelaksanaan koordinasi dimaksud agar pelaksanaannya menjadi lancar.
160
14 UPAYA HUKUM KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS A. PENDAHULUAN Ketua Mahkamah Agung RI, Dr. H. Harifin A. Tumpa, di depan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI (MA-RI) tahun ini menyatakan, dewasa ini terdapat tunggakan perkara di tingkat kasasi yang tidak sedikit jumlahnya sehingga perlu semakin meningkatkan upaya penyelesaiannya dengan tetap memerhatikan aspek kualitas dan kuantitas. Tahun 2010, Mahkamah Agung menerima perkara yang menjadi kewenangannya sebanyak 13.420 perkara, naik 7,50 persen dari penerimaan tahun 2009 sebanyak 12.540 perkara. Dengan demikian, jumlah perkara tahun 2010 yang menunggu penyelesaian MA-RI menjadi 22.315 perkara; ditangani oleh 50 Hakim Agung, 9 Hakim Ad Hoc Tipikor, dan 8 Hakim Ad Hoc PHI. Sejalan dengan pernyataan Ketua MA-RI di atas, akhir-akhir ini upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas menjadi topik diskusi yang hangat terutama dengan pemberitaan putusan bebas oleh pengadilan tingkat pertama/Pengadilan Tipikor. Permohonan kasasi dalam perkara pidana pada hakikatnya dilakukan oleh penuntut umum maupun terdakwa atau keduanya. Permohonan kasasi putusan bebas yang hanya dapat dilakukan oleh penuntut umum yang kecenderungannya semakin meningkat jumlahnya dari waktu ke waktu khususnya perkara tindak pidana korupsi. Dalam tahun 2010 MA-RI menerima perkara tindak pidana khusus sebanyak 3.072
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
perkara dan 1.053 di antaranya adalah perkara tindak pidana korupsi (Tipikor). Terjadi kenaikan 10,49 persen dari tahun sebelumnya. Sisanya berupa kasus tindak pidana (TP) perlindungan anak, narkotika dan psikotropika, kehutanan, perikanan, Migas, KDRT, kepabeanan, kesehatan, HaKI, perdagangan orang, dll. Pengajuan kasasi oleh penuntut umum pada hakekatnya didorong oleh perasaan yang kurang puas atas hukuman yang dijatuhkan hakim; dengan kata lain hukuman yang dijatuhkan oleh hakim itu menurut penilaian penuntut umum terlalu ringan dibandingkan dengan tuntutan hukum yang dimintakan. Sebaliknya, terdakwa mengajukan permohonan kasasi karena perasaan kurang puas atas hukuman yang dijatuhkan oleh hakim. Terdakwa menginginkan putusan bebas atau lebih ringan dari hukuman semula serta pengembalian barang bukti yang disita pada saat penyidikan perkara. Pasal 244 KUHAP berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi ke Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Artikel ini hendak mendiskusikan bahwa sesungguhnya permohonan kasasi berdasarkan ketentuan Pasal 244 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) sudah tidak dibenarkan, namun dalam praktiknya ketentuan ini sepertinya menjadi huruf mati. Permohonan kasasi semakin deras mengalir ke MA termasuk di antaranya permohonan kasasi terhadap putusan bebas. Lalu what went wrong, apa yang salah, atau apa penyebabnya.
Contra Legem? Seperti dikemukakan di atas bahwa permohonan kasasi menurut KUHAP tidak lagi dibolehkan terhadap putusan pengadilan yang berbunyi “bebas”. Dalam sejarahnya, undang-undang ini kemudian dikecualikan berlakunya oleh hasil Rakergab Makehja I seperti tertuang dalam surat pemberitahuan Ketua Muda Mahkamah Agung RI Bidang Hukum Pidana Umum tanggal 4 Agustus 1983 Nomor M.A./Pemb/2651/83 jo. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14 PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang berbunyi: (a) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan kasasi; (b) namun berdasarkan
162
Bab 14: Upaya Hukum Kasasi terhadap Putusan Bebas
situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, maka terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi. Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya Reg. No. 275K/Pid/1983, terhadap kasus tindak pidana korupsi Terdakwa RADEN SONSON NATALEGAWA, MA berpendapat bahwa selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil, Mahkamah Agung wajib memeriksa apabila ada pihak yang mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan bawahannya yang membebaskan terdakwa, yaitu guna menetapkan sudah tepat dan adilkah putusan pengadilan bawahannya itu. Putusan MA legendaris ini telah menampilkan kaidah hukum bahwa “apabila ternyata putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima”. Selanjutnya dalam hal pembebasan itu bukan merupakan pembebasan murni, MA harus menerima permohonan kasasi tersebut. Keputusan MA ini akhirnya menjadi land mark decision dan dijadikan acuan hampir setiap pengajuan kasasi dalam putusan bebas. Bunyi Pasal 244 KUHAP dan ketentuan Mahkamah Agung dan Keputusan Menteri Kehakiman yang disebut terakhir mengandung keadaan yang contradictio in terminis (pertentangan dalam kata, atau rumusan yang mengandung pertentangan di dalamnya). Ketentuan ini pun pada waktu itu telah menyalahi aturan yang tercantum dalam Tap MPR Nomor XX/MPRS/1966 jo. TAP MPR No.V/MPR/1973 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia menurut UUD 1945. Menurut ketentuan ini, peraturan pelaksanaan seperti halnya Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain harus dengan tegas berdasar dan bersumber pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini masih sejalan dengan ketentuan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dewasa ini yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
B. ACUAN DOKTRINAL DAN EMPIRIS Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sekarang ini menurut UndangUndang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
163
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
tercantum dalam Pasal 7 yang terdiri atas: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945); (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR); (3) Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); (4) Peraturan Pemerintah (PP); (5) Peraturan Presiden (Perpres); (6) Peraturan Daerah Provinsi (Perda); dan (7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan di atas tidak dapat diubah atau dipertukarkan tingkat kedudukannya, oleh karena tata urutan perundang-undangan disusun berdasarkan tinggi rendahnya tingkat kedudukan masing-masing peraturan tersebut. Tata urutan yang dimaksud peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi. Contoh, PP tidak boleh bertentangan isinya dengan undang-undang, perda kabupaten/kota tidak boleh bertentangan isinya dengan perda provinsi. Pengadilan adalah badan yang diserahi tugas untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tugas pokok badan-badan peradilan ini adalah memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Cara mengadili badan-badan peradilan ini pada hakikatnya adalah menentukan apakah isi suatu peraturan telah dilanggar (terutama hukum pidana). Keputusan hakim merupakan perwujudan perundang-undangan dalam keadaan in concreto. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi yang dapat melakukan kasasi terhadap keputusan, penetapan, ataupun perbuatan hakim yang bertentangan dengan hukum. Alasan yang bertentangan dengan hukum ini dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UUMA) sebagai berikut: Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: (a) tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
164
Bab 14: Upaya Hukum Kasasi terhadap Putusan Bebas
(b) salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; (c) lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya keputusan yang bersangkutan. Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan untuk menguji secara materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (Pasal 31 ayat (1)). Selanjutnya, Mahkamah Agung berwenang pula menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari pada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (Pasal 31 ayat (2)) UUMA. Dalam praktik, meskipun putusan pengadilan berbunyi bebas, masih sering penuntut umum memohon pemeriksaan kasasi dengan alasan putusan pembebasan yang dijatuhkan oleh hakim adalah pembebasan tidak murni. Kriteria untuk menentukan putusan bebas yang tidak murni adalah dikembalikan kepada ketentuan Pasal 191 KUHAP yang berbunyi: (1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan keyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. (2) Jika pengadilan berpendapat, bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Pemahaman terhadap ketentuan ini sangat diperlukan dalam hal apa putusan berbunyi bebas dan dalam hal apa putusan berbunyi dilepas dari segala tuntutan hukum. Sangat mungkin hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana yang bersangkutan kurang hati-hati dalam mempertimbangkan keadaan perkara in casu, sehingga penempatan kedua amar putusan menurut pasal ini menjadi terbalik. Di sinilah lahirnya alasan kasasi bahwa putusan bebas ternyata bukan bebas murni atau bebas terselubung (verkapte vrijspraak). Dengan kata lain putusan itu seharusnya berbunyi dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsverfolging) dibuat menjadi berbunyi bebas. Hal ini tentu diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai syaratsyarat pemidanaan yang terdiri atas unsur actus reus (perbuatan kriminal) sebagai syarat objektif pemidanaan yakni adanya perbuatan yang melawan hukum dan tidak ada alasan
165
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
pembenar, dan mens rea (pertanggungjawaban kriminal) sebagai syarat subjektif pemidanaan yakni adanya unsur kesengajaan atau kealpaan dan tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau pertanggungjawaban pidana pembuat. Dikaitkan dengan Pasal 191 KUHAP, bilamana unsur perbuatan terbukti akan tetapi dipandang tidak melawan hukum atau bukan merupakan tindak pidana maka amar putusan hakim berbunyi seperti pada ayat (2); dan sebaliknya jika unsur atau syarat subjektif tidak terpenuhi maka amar putusan berbunyi seperti pada ayat (1). Hakim Agung Yahya Harahap (1998, II, 1111) mengemukakan pula bahwa suatu putusan bebas dianggap pembebasan tidak murni: (a) apabila putusan pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan terhadap tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan. (b) apabila dalam menjatuhkan putusan bebas itu pengadilan melampaui wewenangnya, baik hal itu menyangkut melampaui wewenang kompetensi absolut atau kompetensi relatif atau dimasukkannya dalam pertimbangan hakim yang bersifat nonyuridis. Pedoman untuk menentukan putusan bebas yang tidak murni sebelum berlakunya KUHAP dapat dicermati putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Maret 1971 Nomor 19/K/K2/1969 yang menyatakan bahwa “putusan yang mengandung pembebasan tidak dapat dimintakan banding oleh jaksa kecuali dapat dibuktikan dalam memori bandingnya bahwa pembebasan tersebut sebenarnya adalah pembebasan tidak murni”. Untuk itu menurut Mahkamah Agung, agar supaya permohonan banding itu dapat diterima, maka dalam memori banding harus ditegaskan bahwa pembebasan yang terkandung dalam putusan itu sebenarnya adalah suatu putusan yang sesungguhnya harus berbunyi “dilepas dari segala tuntutan hukum” (ex Pasal 314 ayat (1) HIR) yang terselubung (verkapt) suatu diktum “pembebasan”. Hal tersebut berarti bilamana dalam memori banding tidak diuraikan alasan yang demikian, maka sudah dapat dinyatakan bahwa permohonan banding itu “tidak diterima” (Subekti, 1978).
166
Bab 14: Upaya Hukum Kasasi terhadap Putusan Bebas
C. PENDIRIAN MAHKAMAH AGUNG Putusan Mahkamah Agung (MA) berkenaan dengan permohonan kasasi dalam putusan bebas sudah cukup banyak. Contoh putusan MA Reg. No. 1460 K/Pid/1991 dalam pertimbangannya menyatakan bahwa menurut Pasal 244 KUHAP terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa dan/atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas. Menurut Mahkamah Agung, bahwa sebagai badan peradilan tertinggi, MA mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil. Mahkamah Agung berpendapat wajib memeriksa apabila ada pihak yang mengajukan permohonan kasasi meskipun mengandung pembebasan kepada terdakwa, guna menentukan apakah sudah tepat dan adil putusan lembaga peradilan di bawahnya. MA selanjutnya mempertimbangkan bahwa sesuai yurisprudensi yang sudah ada apabila ternyata putusan pengadilan yang mengandung pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa pembebasan itu bukan pembebasan murni. Berkenaan dengan alasan kasasi yang diajukan penuntut umum, MA berpendapat bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon kasasi/penuntut umum sematamata tentang penilaian hasil pembuktian yang sebenarnya bukan merupakan alasan untuk memohon kasasi terhadap putusan bebas. Berdasarkan itu, maka MA menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi jaksa/penuntut umum.
167
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa MA tetap konsisten mempertahankan secara formil berlakunya ketentuan Pasal 244 KUHAP. MA melakukan pengujian terhadap putusan hakim yang berbunyi bebas apakah merupakan pembebasan murni atau tidak murni. Pengertian bebas murni dan tidak murni ini tidak diatur dalam KUHAP dan muncul dalam kebutuhan praktik penegakan hukum. Di sinilah letak peran hakim terutama hakim agung dalam menemukan hukum yang tepat untuk diterapkan untuk mewujudkan keadilan yang hakiki yang dianut dalam hukum acara pidana. Urgensi penemuan hukum dan penciptaan hukum adalah sebuah keharusan, karena undangundang tidak akan mampu mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat atau mengikuti tingkah laku manusia yang sangat dinamis. Dalam keadaan demikian, kedudukan hakim terutama hakim agung memiliki kewenangan untuk membentuk hukum atau menemukan hukum terhadap perkara in concreto guna memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
D. MEMBENDUNG ARUS PERMOHONAN KASASI Putusan MA berkenaan dengan permohonan kasasi terhadap putusan bebas ternyata hasilnya sangat kurang yang dikabulkan. Penulias belum mendapatkan angka pasti namun rupanya perlu dipikirkan bagaimana membendung arus kasasi terhadap putusan bebas ini. Penuntut umum hendaknya mempertimbangkan kelayakan perkara yang dimohonkan kasasi tersebut disertai alasan yuridis yang inovatif. Sangat banyak kerugian yang ditimbulkan bilamana permohonan kasasi ini tidak dipertimbangkan secara cermat terutama dalam kaitannya dengan penerapan prinsip peradilan yang sederhana, murah, dan cepat. Bertumpuknya perkara yang dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, akan semakin menambah volume kerja para hakim agung yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Ketidakcermatan dalam pengajuan memori kasasi ini, indikasinya dapat dilihat pada putusan MA yang umumnya menyatakan permohonan kasasi penuntut umum tidak dapat diterima atau ditolak. Suatu putusan yang menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima mengandung arti bahwa permohonan itu tidak memenuhi syarat formal seperti yang dinyatakan dalam Yurisprudensi MA misalnya tidak menjelaskan dalam memori kasasi mengapa putusan dinilai “pembebasan tidak murni”.
168
Bab 14: Upaya Hukum Kasasi terhadap Putusan Bebas
Prof. Oemar Senoadji, S.H. mantan Ketua Mahkamah Agung pernah menyatakan, di Indonesia umumnya sekitar 95% permohonan kasasi ditolak; dan sebenarnya mereka yang mengajukan kasasi sudah tahu betul akan pasti kalah namun permohonan kasasi tetap diajukan hanya untuk mengulur waktu pelaksanaan putusan perkaranya saja (Riduan Syahrani, 1988). Bahan kajian sebagai upaya membendung arus permohonan kasasi yang semakin dahsyat ke Mahkamah Agung perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut: 1.
Pasal 244 KUHAP hendaknya tetap dipandang sebagai hukum positif dan dipertahankan secara konsekuen dan tidak dijadikan sebagai huruf mati belaka.
2.
Pengecualian (contra legem) berlakunya Pasal 244 KUHAP ini seperti yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung, hendaknya semakin ditingkatkan kualitasnya antara lain dengan memberdayakan pengadilan rendahan sebagai kawal depan Mahkamah Agung.
3.
Tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim yang memutus bebas dan kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung, hendaknya diberikan perhatian khusus melalui bidang pengawasan maupun pembinaan MA. Sanksi administratif berkenaan dengan kedudukannya baik sebagai hakim maupun sebagai pegawai negeri, bilamana dipandang pelu dapat dipertimbangkan.
4.
Koordinasi antarlembaga khususnya antara Mahkamah Agung-Kejaksaan Agung perlu diupayakan dalam rangka pengejawantahan integrated criminal justice system.
Catatan Khusus Keadaan paling mutakhir berkenaan dengan upaya hukum kasasi ini setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-X/2012 tanggal 26 Maret 2013 berkaitan dengan Pasal 244 KUHAP, norma hukumnya menjadi berubah. Amar putusan MK angka 1.2 “Menyatakan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP … tidak mempunyai kekuatan mengikat”. Kaidah hukum putusan MK a quo, dapat disimpulkan, bahwa permohonan kasasi menurut ketentuan
169
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Pasal 244 KUHAP dapat dilakukan terhadap putusan bebas tanpa membedakan jenis putusan yang (1) menghukum, (2) melepaskan dari segala tuntutan hukum, atau (3) membebaskan.
170
15 KETERPADUAN DALAM PENYIDIKAN PERKARA PIDANA A. PENDAHULUAN Adanya gesekan yang terjadi antara tugas penyidikan oleh pejabat polri dengan tugas penuntutan oleh pejabat kejaksaan masih sering jadi topik diskusi. Keadaan yang sudah lama dirasakan ini hendaknya tidak menjadi halangan dalam mempercepat proses penyelesaian perkara berdasarkan asas kontante justisi. Ketentuan payung penyelenggaraan Hukum Acara Pidana, diatur dalam KUHAP yang berlaku sejak tanggal 31 Desember 1981. Ketentuan dimaksud sejalan dengan ketentuan peralihan dalam Pasal 284 KUHAP bahwa: (1) Terhadap semua perkara yang ada sebelum undang-undang ini diundangkan, sejauh mungkin diberlakukan ketentuan undang-undang ini. (2) Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini (KUHAP) diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atas dinyatakan tidak berlaku lagi.
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Ketentuan ini kembali dipertanyakan apakah akan dipertahankan dan dilaksanakan secara konsekuen ataukah dipandang sebagai huruf mati belaka. Dalam perkembangan pengaturan hukum acara pidana selanjutnya, ternyata telah diundangkan sejumlah undang-undang yang mengatur kewenangan penyidik selain penyidik pejabat Polri. Untuk itu perlu didiskusikan bagaimana menciptakan keharmonisan dalam pelaksanaan tugas penyidikan dan penuntutan sebagai upaya mewujudkan integrated criminal justice system.
B. APARAT PENYIDIK Menurut KUHAP penyidikan dilakukan oleh pejabat polri dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNPS) tertentu. Pengangkatan pejabat penyidik PNS ini telah menimbulkan problematik berkenaan dengan adanya atau lahirnya undang-undang baru yang mengatur secara khusus kewenangan untuk melakukan penyidikan. Sebelum lahirnya KUHAP memang telah ada sekurang-kurangnya dua undangundang yang memberikan kewenangan kepada aparat kejaksaan untuk melakukan penyidikan masing-masing terhadap Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Ekonomi. Penyidikan dilakukan bukan oleh aparat polri atau pejabat PNPS seperti dimaksud dalam KUHAP. Kapan berakhirnya kewenangan penyidik selain pejabat polri seperti dimaksud dalam Pasal 284 KUHAP, praktik legislasi nasional menunjukkan kecenderungan untuk menafikan berlakunya ketentuan pasal ini.
C. PERKEMBANGAN KETENTUAN PENYIDIK Ketentuan mengenai penyidik PNPS dapat dilihat pada undang-undang tertentu. Penyidik di bidang kehutanan diatur dalam UU Pokok Kehutanan Tahun 1976 jo. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. Petugas kehutanan ditunjuk sebagai polisi khusus di bidang perlindungan hutan dengan tugas penyidikan (kepolisian) dalam rangka perlindungan hutan dan kehutanan. Ketentuan tugas penyidikan dalam peraturan ini, ternyata masih sinkron dengan KUHAP oleh karena polisi khusus (penyidik PNPS) berkewajiban dan berwenang meminta petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik polri. Implikasinya, penyidik PNPS kehutanan
172
Bab 15: Keterpaduan dalam Penyidikan Perkara Pidana
diwajibkan untuk menyerahkan berkas dan tersangka kepada penyidik polri untuk diteruskan kepada penuntut umum. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan jo. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (UUKPB) mengatur secara khusus ketentuan penyidikan terhadap tindak pidana menurut undang-undang ini. Bab XV (Pasal 112-113) mengatur ketentuan mengenai penyidikan. Penyidik menurut undang-undang ini dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan. Kepolisian tidak ditetapkan sebagai penyidik menurut undang-undang ini. Kewenangan penyidik PPNS dalam melaksanakan tugasnya hanya berkoordinasi dengan penuntut umum dan hasil penyidikannya disampaikan langsung ke penuntut umum tanpa melalui pintu penyidik pejabat kepabeanan. Kewenangan penyidik PPNS kepabeanan diatur dalam Pasal 112 ayat (2) meliputi: a.
menerima menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan;
b.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
c.
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
d.
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
e.
meminta keterangan dan bukti dari orang yang sangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
f.
memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan;
g.
memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut undang-undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait;
h.
mengambil sidik jari orang;
173
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
i.
menggeledah rumah tinggal, pakaian, atau badan;
j.
menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan;
k.
menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
l.
memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
m. mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang Kepabeanan; n.
menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
o.
menghentikan penyidikan;
p.
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan menurut hukum yang bertanggung jawab.
Penyidikan tindak pidana kepabeanan dapat dihentikan oleh jaksa agung atas permintaan Menteri Keuangan untuk kepentingan penerimaan negara (Pasal 113). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 telah pula mengatur tentang penyidik PPNS. Ketentuan penyidikan terhadap tindak pidana lingkungan tercantum dalam Pasal 94 dan 95 UUPPLH. Undang-undang ini mengatur pejabat penyidik tindak pidana lingkungan hidup, yakni di samping penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup. Ketentuan lainnya di bidang penyidikan tercantum dalam ayat (3) sampai dengan ayat (4).1
1
174
Lihat juga Mohammad Askin, Seluk Beluk Hukum Lingkungan, Nekamatra, 2010, hlm. 187-188.
Bab 15: Keterpaduan dalam Penyidikan Perkara Pidana
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) menurut undang-undang ini memiliki kewenangan sebagaimana disebut dalam Pasal 94 ayat (2) UUPPLH. Berdasarkan ketentuan di atas maka dalam tindak pidana lingkungan dikenal tiga jenis penyidik yakni: (1) Penyidik Pejabat Polri; (2) Penyidik PNS tertentu; dan (3) Penyidik TNI Angkatan laut dalam tindak pidana perikanan dan tindak pidana di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Penguatan kelembagaan penyidik PNS menurut ketentuan Pasal 94 ayat (2) UUPPLH, telah memberikan kewenangan yang lebih luas dalam penegakan hukum lingkungan. Fungsi serta wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Lingkungan Hidup (PPNSKLH) dalam melakukan tugasnya antara lain melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana. Selain itu diberi pula kewenangan untuk menangkap dan menahan pelaku tindak pidana lingkungan, dan kewenangan lainnya. Penguatan wewenang penyidik PNS-KLH adalah antisipasi yang tepat sebagai solusi terhadap munculnya kasus-kasus lingkungan yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Dengan kewenangan yang luas ini diharapkan penyidik PPNS dapat semakin efektif dalam menangani kasus tindak pidana lingkungan hidup. Selain ketentuan di atas, ternyata masih ada perkembangan baru berupa penambahan penyidik baru berupa penambahan penyidik setelah keluarnya KUHAP, yakni selain penyidik pejabat Polri dan PNS, Perwira TNI Angkatan Laut (AL) ditetapkan pula sebagai penyidik perkara pidana terhadap penyidik perkara pidana terhadap pelanggaran UU Perikanan dan UU Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tahun 1983. Di samping itu, pejabat PNPS tertentu menurut undang-undang ini juga dapat diberi kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran UU Perikanan. Ketentuan lainnya yang mengatur tentang penyidik antara lain tercantum dalam berbagai Undang-Undang: Pelanggaran HAM, Narkotika, Informasi dan Transaksi Elektronika, Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, Minyak dan Gas Bumi, Panas Bumi, Pertambangan dan Mineral, Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kenyataan-kenyataan di atas telah menimbulkan indikasi tumpang-tindih dalam pelaksanaan penyidikan; khususnya bilamana menyimak ketentuan Pasal 7 ayat (2)
175
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
KUHAP yang mengatur secara expressis verbis bahwa masing-masing penyidik dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik aparat polri sebagai central figure. Ketentuan ini tidak berfungsi sempurna berhubung lahirnya UU yang memberikan kewenangan kepada penyidik tertentu untuk menyampaikan hasil penyidikannya langsung kepada penuntut umum. Hal ini yang saya kira perlu didiskusikan agar pelaksanaan penyidikan dan penuntutan berjalan lacar dan tepat sasaran.
D. PRAPENUNTUTAN Sisi lain yang juga menarik disoroti berkenaan dengan penyidikan ini adalah lembaga prapenuntutan. Sesungguhnya hubungan antara tugas penyidikan dengan penuntutan adalah sangat erat bahkan merupakan rangkaian kegiatan yang tidak terpisahkan fakta berupa kenyataan sesungguhnya yang terjadi, sedangkan kejaksaan selaku penuntut umum (JPU) akan berusaha semaksimalnya untuk menyiapkan surat dakwaan (pertimbangan yuridis) guna keperluan persidangan di pengadilan. Itulah sebabnya maka lembaga prapenuntutan yang merupakan kewenangan JPU untuk meminta kepada penyidik guna melakukan pemeriksaan tambahan adalah hal yang sangat positif. Mengapa demikian; oleh karena vocal point berkenaan dengan law enfocement adalah prosecution (penuntutan) (Katzmann, 1991) yang basic material-nya disiapkan oleh penyidik. Menurut KUHAP, prapenuntutan ini dilakukan apabila ada kekurangan pada penyidikan dan untuk itu penyidik diminta agar segera melakukan penyidikan tambahan berdasarkan petunjuk dari penuntut umum. Dalam rangka ini, prinsip saling koordinasi antara instansi penegak hukum tentunya harus dijunjung tinggi. Upaya pemeriksaan tambahan untuk keperluan penuntutan ini sudah dikenal pada masa berlakunya HIR tempo doeloe. Maksudnya sangat jelas yakni untuk keperluan penuntutan perkara. JPU adalah pejabat yang berwenang untuk melakukan penyidikan lanjutan (nasporing). Bilamana ia berpendapat bahwa ada kekurangan dalam pemeriksaan, maka ia dapat mengembalikan berkasnya kepada penyidik untuk dilengkapi; bahkan JPU sendiri dapat melanjutkan pemeriksaan itu guna kelancaran tugasnya sebagai penuntut umum. Hal yang menarik dari penuturan beberapa pihak yang bertugas
176
Bab 15: Keterpaduan dalam Penyidikan Perkara Pidana
pada masanya bahwa pemeriksaan tambahan ini dilakukan dengan cukup lancar atas dasar semangat kebersamaan dan koordinasi yang baik.
E. JAKSA SEBAGAI PENYIDIK DAN PENUNTUT DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KHUSUS Dalam rangka pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia, telah berkembang diskusi apakah jaksa selaku pejabat penuntut umum juga akan kembali dijadikan sebagai penyidik dalam perkara pidana. Berikut ini dikemukakan beberapa analisis sebagai bahan diskusi untuk kepentingan pembangunan hukum di masa yang akan datang khususnya lembaga kejaksaan. 1.
Bahwa sejak diundangkannya KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, (UU No. 8 Tahun 1981) kewenangan kejaksaan adalah sebagai penuntut umum. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Wewenang dari penuntut umum tercantum dalam Pasal 14 KUHAP. Penyidik menurut KUHAP adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang (Pasal 6 ayat (1) KUHAP).
2.
Terdapat perkembangan selanjutnya yakni dalam UU Kejaksaan (UU No. 5 Tahun 1991 jo. UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan) kewenangan kejaksaan ini kemudian ditambahkan lagi untuk tetap melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu merupakan kewenangan yang diberikan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
177
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perubahan kewenangan dimaksud memerlukan perjuangan tersendiri karena menyangkut perubahan mind set (kebiasaan berpikir tetap) yang masih berlangsung sejak kemerdekaan. 3.
Ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP mengatur pengecualian yang bersifat sementara atas berlakunya ketentuan undang-undang tindak pidana khusus yang membenarkan jaksa sebagai penyidik. Dalam praktik sampai saat ini, ketentuan pasal a quo dinafikan berlakunya dengan menguatkan kembali jaksa sebagai penyidik dalam tindak pidana tertentu sebagaimana disebut dalam undang-undang di atas. Keadaan ini beberapa kalangan menilai telah menyalahi prinsip asas legalitas, kepastian hukum, dan sinkronisasi ketentuan perundang-undangan.
4.
Beberapa pertimbangan untuk mempertahankan ketentuan hukum KUHAP berkenaan dengan jaksa sebagai penuntut umum perkara pidana dapat dikemukakan pertimbangan: a.
Sejak kehadiran KUHAP, kewenangan penyidik ini telah diserahkan kepada penyidik Polri dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu.
b. Profesionalisme jaksa sebagai penuntut umum harus dipertahankan dan dikembangkan. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Jaksa agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. c.
178
Terdapat pengawasan horizontal antara penyidik dengan penuntut umum sebagaiamana diatur dalam Pasal 80 KUHAP yang berbunyi: “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan …”. Bilamana kewenangan penyidikan dan penuntutan ditangani atau dapat ditangani kejaksaan (dalam perkara tertentu), dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan kewenangan dan tidak terdapat pengawasan horizontal antara penyidik dengan penuntut umum. Pengawasan horizontal dimaksud lebih dikenal dengan praperadilan untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran sebagaimana diatur dalam Pasal 79, 80, 81, 95, 97 KUHAP.
Bab 15: Keterpaduan dalam Penyidikan Perkara Pidana
Hasil kajian KHN (Komisi Hukum Nasional, 2003) disimpulkan bahwa kode etik profesi hukum masih belum sepenuhnya ditegakkan. Dengan adanya penegakan kode etik profesi hukum diharapkan para pengemban profesi hukum berusaha meningkatkan tanggung jawab profesinya. Maksud dari penegakan kode etik adalah kontrol dan pengawasan terhadap pelaksanaan nilainilai yang tertuang dalam kode etik yang merupakan kesepakatan para pelaku profesi hukum itu sendiri dan sekaligus menerapkan sanksi terhadap setiap perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Pengawasan dimaksud terdiri atas pengawasan horizontal dan pengawasan vertikal. Pengawasan horizontal adalah pengawasan yang dilakukan oleh organisasi profesi yang bersangkutan. d. Undang-undang lain yang mengatur tindak pidana khusus misalnya Tindak Pidana Korupsi (TPK). Undang-undang ini telah mengatur secara khusus Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas secara khusus antara lain “melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi” (Pasal 6 huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). 5.
Komisi Kejaksaan (KK) dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 38 UUK (UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan) untuk meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi. Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan. Lembaga ini bertugas untuk melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja jaksa maupun pegawai kejaksaan baik di pusat maupun daerah atau di dalam maupun di luar tugas kedinasan. KHN (2010), bahwa penempatan komisi kejaksaan sebagai salah satu institusi pemangku kepentingan reformasi kejaksaan adalah tepat. KK menghadapi sejumlah kendala sehingga saran KHN tentang perlunya dibangun komunikasi yang intensif antara KK dan kejaksaan perlu dikembangkan lebih lanjut agar persamaan persepsi dapat mencakup permasalahan yang lebih luas dan komprehensif. Bahwa pengaturan KK dalam RUU Kejaksaan adalah upaya pemberdayaan (capasity building) atau penguatan dan penegasan kewenangan KK guna meningkatkan kinerja
179
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
kejaksaan. Penguatan pemberdayaan KK ini sangat urgen dalam upaya untuk memulihkan dan/atau mempertahankan nama baik kejaksaan yang selama ini tercoreng akibat perbuatan nakal oleh oknum jaksa tertentu atas pelanggaran kode etik profesi hukum berupa suap, pemerasan, penggelapan barang bukti, melanggar sumpah jabatan, diskriminasi pelayanan, mengancam, memaksa mengaku berbuat kejahatan, menghambat penyelesaian perkara, konspirasi dan penyalahgunaan jabatan, dll. Dasar hukum pembentukan KK adalah berdasarkan Pasal 38 UUK yang berbunyi “Untuk meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden”. Dengan demikian kedudukan KK ini berbeda dengan Komisi Yudisial yang diatur secara eksplisit dalam Pasal 28A ayat (3) jo. Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Oleh karena KK telah dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia sesuai ketentuan UUK Pasal 38 di atas, bukan berdasarkan UUD 1945, maka pengangkatan anggota KK tidak perlu melalui seleksi di DPR RI dan merupakan domein kewenangan Presiden dengan membentuk panitia seleksi yang bertanggung jawab kepada Presiden. Adalah tidak proporsional kalau jaksa agung dipilih dan diangkat oleh Presiden sedangkan KK akan dipilih/diseleksi oleh DPR. 6.
Perbandingan dengan Komisi Yudisial Kewenangan KK tidak relevan dibandingkan dengan Komisi Yudisial oleh karena Komisi Yudisial di samping diatur secara khusus dalam UUD 1945 dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, organisasi kejaksaan tidak disebut dalam UUD 1945. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia (Kejari) menurut UUK Pasal 2 ayat (1) adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kejari merupakan bagian eksekutif power di negeri ini untuk menuntut dan mengeksekusi putusan pengadilan sebagai wewenang absolut kejaksaan. Kedudukan yang demikian tentu bukanlah alasan pembenar bagi pemerintah untuk mengintervensi tugas penegakan hukum, namun keadaan ini tentu akan tetap menjadi
180
Bab 15: Keterpaduan dalam Penyidikan Perkara Pidana
pemikiran yang serius selama kejaksaan berada di bawah organisasi eksekutif dan bukan di bawah organisasi kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan konstitusi. 7.
Para komisioner KK hendaknya diatur pula larangan untuk merangkap menjadi atau bekerja berdasarkan syarat tertentu misalnya, pimpinan atau anggota lembaga negara, kepala daerah, advokat, notaris/pejabat pembuat akta tanah, pengusaha, jabatan lain yang dilarang dirangkap sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 21 Perpres 18, 2005).
8.
Para komisioner KK selain mengatur masa jabatan, harus pula diatur pemberhentian dengan hormat misalnya karena: permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani selama waktu tertentu yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, dan telah selesai melaksanakan masa tugasnya. Selain itu diatur pula pemberhentian tidak dengan hormat karena, misalnya: dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, melakukan perbuatan tercela, melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya sesuai ketentuan yang berlaku, melanggar sumpah atau janji jabatan, atau melanggar ketentuan tentang larangan-larangan bagi komisioner KK (Pasal 22 jo. Pasal 23 Perpres 18 Tahun 2005).
F. PERLU KOORDINASI Munculnya sejumlah ketentuan perudang-undangan yang mengatur kewenangan penyidik di atas, telah membuka peluang timbulnya kesulitan dan tumpang-tindih kewenangan yang pada akhirnya akan menghambat penyelesaian perkara pidana. Di samping itu juga sering ada keluhan berupa hambatan dalam pelaksanaan prapenuntutan. Berkenaan dengan itu, kiranya dapat dipertimbangkan alternatif penanganannya, yakni: Dalam huungan kepentingan antara penyidikan dengan penuntutan perkara pidana, pelaksanaan prapenuntutan secara bijaksana dan luwes kiranya akan membantu penyelesaian perkara secara cepat. Kesulitan mungkin akan lahir bilamana prapenuntutan ini diperlakukan secara kaku dan tanpa komunikasi verbal yang efektif.
181
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Selain cara prapenuntutan di atas, koordinasi antara penyidik dengan penutut umum perlu senantiasa ditingkatkan berupa forum konsultasi penyidikan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Alternatif lainnya seperti yang hangat dibicarakan dalam Seminar Hukum Nasional beberapa waktu yang lalu, agar dipertimbangkan sistem penyidikan terpadu atau mengaktifkan kembali forum Mahkejapol atau semacamnya. Rapat koordinasi secara berkala juga akan sangat membantu mempertemukan kepentingan penuntutan perkara pidana dengan upaya pengumpulan bukti (penyidikan). Hal ini mungkin belum banyak dilakukan namun kita berharap agar cara ini dapat membantu penyelesaian perkara pidana secara tuntas dan cepat.
Daftar Pustaka Harahap, M. Jahya. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid I dan Jilid II. Pustaka Kartini. Zaidan, M. Ali. 2007. Kontribusi Lembaga Kejaksaan dalam Mempercepat Reformasi Peradilan, dalam Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan. Komisi Yudisial. Amin. 2009. Penguatan dan Wewenang Komisi Kejaksaan dalam Meningkatkan Kinerja Jaksa, dalam Potret Penegakan Hukum di Indonesia. Komisi Yudisial. Effendy, Marwan. Peran Kejaksaan Agung dalam Membangun Sistem Peradilan dan Penegakan Hukum. Ibid. Santoso, Topo. Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim, dan Problem Penegakan Hukum di Indonesia. Ibid. KHN-Komisi Hukum Nasional. 2003. Kebijakan Reformasi Hukum (Suatu Rekomendasi). KHN. _____________. 2010. Problematika Penegakan Hukum. Kajian Reformasi Lembaga Penegak Hukum. KHN. Suhariyono AR. Rancangan KUHAP: Dalam Prospek Penegakan Hukum Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 7, No. 3, Oktober 2010.
182
16 HUKUM ACARA PIDANA TENTANG PEMBERATASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG1 A. UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TIPIKOR Keadaan-keadaan khusus yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) yang mengatur hukum acara pidana, dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Tinjauan Umum a.
1
Bab IV mengatur tentang Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan. Dalam bab ini terdapat 21 pasal yang mengatur secara khusus pelaksanaan pemeriksaan terhadap perkara tindak pidana korupsi.
Diangkat dari buku penulis (Prof. Dr. Mohammad Askin, S.H. dan Dr. Suhandi Cahaya, S.H., M.H., M.B.A.), Hukum Acara Pidana di Luar KUHAP, Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 29 s/d 76.
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
1) Perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. Pasal 25 UUTPK berbunyi “Ketentuan Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”. 2) Penyelesaian perkara tindak pidana korupsi pada hakikatnya dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, namun UUTPK juga mengatur hal-hal yang bersifat khusus (Pasal 26 UUTPK). 3) Pasal 26A menyatakan bahwa alat bukti petunjuk menurut UUTPK di samping dilakukan menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP, juga dapat diperoleh dari: a) alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b) dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. 4) Penanganan perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi jaksa agung—ex Pasal 27 UUTPK. Ketentuan ini kemudian dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 71 ayat (1) UUKPK.2 Kegiatan penyidikan menurut UUTPK berbeda halnya dengan penyidikan yang dilakukan menurut KUHAP yakni dilakukan oleh penyidik kepolisian; sedangkan jaksa mempunyai tugas untuk melakukan penuntutan perkara pidana dan bukan sebagai penyidik.
2
184
Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (UUKPK) antara lain menyatakan bahwa dengan berlakunya undangundang ini maka Pasal 27 UUTPK dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya, Pasal 6 huruf a UUKPK menyatakan “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi”. UUKPK mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 2002.
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
Dalam perkembangan perundang-undangan selanjutnya, selain penyidik polri dan penyidik PNS; jaksa juga kembali diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan untuk tindak pidana korupsi. Kewenangan jaksa untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi kembali dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 16 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UUJARI) yakni Pasal 30 ayat (1) butir d berbunyi: “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang”. Penjelasan Pasal 30 ayat (1) butir d secara limitatif menyebutkan kewenangan kejaksaan melakukan penyidikan dalam hubungan dengan UUPHAM, UUTPK jo. UUKPK. Selanjutnya, Pasal 39 berbunyi: “Jaksa agung mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer. b.
Pasal 43 ayat (2) menetapkan bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.
UUTPK ini secara khusus menetapkan perlindungan hukum terhadap masyarakat sebagai wujud peran serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebelum berlakunya UUTPK yang baru ini, UUTPK Nomor 3 Tahun 1971 telah pula mengatur perlindungan terhadap saksi pelapor seperti tercantum dalam Pasal 10 jo. Pasal 19 UUTPK Nomor 3 Tahun 1971. Dalam UUTPK yang baru, kembali mengatur perlindungan hukum kepada anggota masyarakat yang berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 41 dan Pasal 42. Ketentuan perlindungan terhadap saksi atau anggota masyarakat sebagai pelapor atau informan, tidak tercantum dalam KUHAP sehingga pelapor atau informan kurang terlindungi. Adanya ketentuan perlindungan terhadap saksi pelapor, hemat penulis perlu dilakukan penelitian tentang pengaruhnya terhadap
185
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
anggota masyarakat untuk melaporkan bilamana mengetahui terjadinya tindak pidana umum maupun tindak pidana korupsi. Menurut KUHAP, Jaksa mempunyai tugas untuk melakukan penuntutan perkara pidana dan tidak sebagai penyidik. Dalam UUTPK jaksa secara yuridis mempunyai fungsi sebagai penyidik di samping sebagai penuntut. Sistem ini masih mengikuti sistem HIR (Het Herziene Indlandsch Reglement) yakni jaksa memiliki fungsi ganda yakni melakukan penyidikan lanjutan (nasporing) dan sekaligus melakukan penuntutan. Kedudukan Jaksa sebagai penyidik tindak pidana korupsi dapat pula dilihat dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 yang berbunyi: “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Kewenangan jaksa dalam menangani perkara korupsi (penuntutan) secara yuridis diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebelum berlakunya KUHAP adalah seperti Undang-Undang Nomor 5/PNPS/1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Agung Tentara dan tentang Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan. Keppres No. 228 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi, telah menetapkan Jaksa Agung selaku Ketua Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Atas dasar itu, maka Jaksa Agung selaku Ketua Pemberantasan TPK telah mengeluarkan Surat Keputusan tanggal 31 Juli 1970 No. KEP-024/TPK/7/1970 tentang Pembentukan Sub-Tim Pemberantasan Korupsi di Daerah Tingkat I/ Provinsi atau Sub-TPK. Ketentuan yang demikian ini, pada masa yang akan datang hendaknya memerhatikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tertib perundang-undangan mulai dari peraturan perundang-undangan tertinggi sampai dengan peraturan pelaksanaan. Menurut hukum, jika suatu ketentuan undang-undang hendak dicabut atau ditambah maka hal itu hanya bisa dilakukan melalui undang-undang pula dan bukannya peraturan yang lebih rendah.
186
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
d.
Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi secara efisien dan menyeluruh, dalam UUTPK ini ditegaskan lagi bahwa: “untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan/atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka” (Pasal 28 jo. Pasal 37A ayat (1) UUTPK). Ketentuan Pasal 28 jo. 37A ternyata memiliki kekhususan dibandingkan dengan ketentuan Pasal 52 KUHAP yang tidak mewajibkan kepada tersangka atau terdakwa untuk memberikan keterangan kesaksian tentang harta bendanya.
e.
Pemeriksaan terhadap saksi, UUTPK juga meletakkan kewajiban terhadap saksi untuk memberikan keterangan dengan kekecualian terhadap keluarga terdekat dari tersangka atau terdakwa. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 35 yang berbunyi: (1) Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa. (2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa. (3) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberikan keterangan sebagai saksi tanpa disumpah. Kewajiban untuk memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia (Pasal 36 UUTPK).
f.
Pasal 37 (1) UUTPK mengatur tentang hak terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Penjelasan ayat ini menyatakan bahwa ketentuan ini sebagai konsekuensi berimbang atas penetapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa.
g.
Pasal 37A UUTPK mengatur tentang kewajiban kepada terdakwa untuk memberi-
187
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
kan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Beban pembuktian yang merupakan kewajiban bagi terdakwa, tidak tercantum dalam KUHAP. Keterangan terdakwa menurut KUHAP mempunyai kedudukan yang sama dengan alat bukti lainnya (saksi, keterangan ahli, dan surat). Dalam KUHAP terdakwa tidak diberi kesempatan khusus membuktikan keadaan yang secara limitatif disebutkan dalam undang-undang. Meskipun ada kewajiban terhadap terdakwa untuk membuktikan keadaan harta bendanya atau harta benda yang berhubungan dengan dakwaan penuntut umum terhadapnya, penuntut umum tetap harus membuktikan dakwaannya secara keseluruhan. Dengan demikian, dapat dikatakan sistem pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa menurut pasal ini, bukanlah sistem pembuktian terbalik oleh karena penuntut umum masih tetap dibebani kewajiban untuk membuktikan akan kebenaran dakwaannya. Pasal 38B UUTPK mengatur pembuktian terbalik kepada terdakwa. Menurut pasal ini terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa “Ketentuan dalam pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang dikhususkan pada perampasan harta benda yang diduga keras juga berasal dari tindak pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undang-undang ini sebagai tindak pidana pokok. Pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan perikemanusiaan dan jaminan hidup bagi terdakwa. Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ialah alasan logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa dari
188
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
segala tuntutan hukum dari perkara pokok, berarti terdakwa bukan pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut”.
2. Peradilan in Absentia Peradilan in absentia juga diatur dalam UUTPK. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 38 sebagai berikut: (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. (2) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. (3) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pemeriksaan secara in absentia ini tidak dikenal dalam KUHAP. Dalam KUHAP dinyatakan dalam Pasal 154 bahwa untuk pemeriksaan terdakwa hanya dapat dilakukan dengan kehadiran terdakwa di depan persidangan. Sebelum pemeriksaan dilakukan maka terlebih dahulu dilakukan pemanggilan terdakwa. Pemanggilan dialamatkan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir (Pasal 145 ayat (1) KUHAP). Bilamana terdakwa tidak ditemukan pada tempat tinggal terakhirnya maka panggilan disampaikan melalui kepala desa dalam wilayah hukum tempat tinggalnya atau tempat tinggal terakhirnya (Pasal 145 ayat (2) KUHAP). Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi terdakwa tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tidak dapat dilanjutkan dan hakim ketua sidang memerintahkan sekali lagi untuk memanggilnya. Bilamana terdakwa telah dipanggil kedua kalinya dan ternyata juga tidak hadir tanpa alasan yang sah maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan menghadirkan terdakwa secara paksa pada sidang berikutnya (Pasal 154 ayat (4) dan (6) KUHAP).
189
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Politik hukum yang termuat dalam UUTPK adalah upaya pengembalian kerugian negara selain penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidak pidana korupsi. Dengan adanya ketentuan peradilan in absentia terhadap perkara tindak pidana korupsi maka meskipun terdakwanya melarikan diri, penyelenggaraan pengadilan terhadap terdakwa dapat dilakukan dan kerugian negara dapat diselamatkan dengan penyitaan terhadap harta terdakwa yang diduga ada kaitannya dengan dakwaan penuntut umum. Michael Levi dari Universitas Cardiff Inggris (2004) menyatakan, bahwa upaya pengembalian kerugian negara akibat perbuatan korupsi memberikan justifikasi kepada negara dalam mengembalikan aset negara ada 4 alasan; pertama, alasan pencegahan (prophylactic) yakni mencegah pelaku tindak pidana memiliki kendali atas dana-dana untuk melakukan kejahatan; kedua, alasan kepatutan (propriety) yakni karena pelaku tindak pidana tidak memiliki hak yang pantas atas aset-aset tersebut; ketiga, alasan prioritas/mendahului (priority) yaitu karena tindak pidana memberikan hak mendahului/prioritas kepada negara untuk menuntut aset hasil tindak pidana daripada yang hak dimiliki oleh pelaku tindak pidana; dan keempat, alasan kepemilikan (proprietary) yaitu karena kenyataannya kekayaan diperoleh melalui tindak pidana, maka negara memiliki kepentingan selaku pemilik kekayaan tersebut.3
3. Pembuktian Ketentuan mengenai alat bukti yang digunakan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah mengikuti ketentuan KUHAP kecuali ditentukan lain dalam UUTPK. Beberapa pengecualian sebagai ketentuan khusus berkenaan dengan alat bukti dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Alat Bukti Petunjuk Alat bukti petunjuk ini merupakan ketentuan khusus yang diatur dalam 26A UUTPK. Alat bukti petunjuk selain dapat diperoleh hakim dari alat bukti lainnya dari saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga dapat diperoleh dari:
3
190
Michael Levi, Tracing and Recovering the Proceeds of Crime, Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia, June, 2004, p. 17, dalam Yuliaman Zendrato, 2008, hlm. 70-71.
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
1)
alat bukti lain yang berupa informasi yang daucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
2)
dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secam elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Penjelasan Pasal 26A huruf a berbunyi bahwa yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikrofilm, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM atau Write Once Read Many (WORM); sedangkan yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimile. Ketentuan Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa “penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya”. Penilaian atas kekuatan bukti petunjuk ini berbagai kalangan hukum pada prinsipnya menyatakan bahwa penilaian terhadap bukti petunjuk ini hanya dapat dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dilakukan dalam keadaan bukti lain yang dapat digunakan dalam pemeriksaan perkara pidana. Dalam hal ada bukti lain yang dapat digunakan maka hakim hendaknya tidak menggunakan alat bukti petunjuk.4
b. Keterangan Terdakwa Keterangan terdakwa sangat penting untuk didengar sebagai dasar pembuktian akan terjadinya tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Undang-undang menghargai hak ingkar terdakwa (Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48
4
Lihat juga M. Jahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, hlm. 838-844.
191
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) sehingga dalam pemeriksaan di persidangan terdakwa tidak disumpah. Pada pemeriksaan penyidikan, tersangka diwajibkan untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan/atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka (Pasal 28). Ketentuan ini dikuatkan kembali dalam pemeriksaan di sidang pengadilan bahwa terdakwa “Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan (Pasal 37A ayat (1)). Undang-undang menjamin hak terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (1)). Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37A ayat (2)). Tersangka yang tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 22. Dalam pasal ini terdapat empat kategori yang diancam pidana dalam hal tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar yakni ketentuan yang tercantum dalam Pasal 28, tersangka pada tingkat penyidikan, Pasal 29, bank pada setiap tingkat pemeriksaan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, Pasal 35, kewajiban setiap orang untuk memberikan kesaksian dalam perkara tindak pidana korupsi dengan pengecualian terhadap beberapa pihak berdasarkan hubungan kekeluargaan, dan Pasal 36 kewajiban memberikan kesaksian bagi mereka yang berhubungan dengan pekerjaan, harkat, dan martabat atau jabatannya yang diwajibkan menyimpan rahasia dengan pengecualian terhadap petugas agama katolik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang dipercayakan untuk menyimpan rahasia.
192
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
c. Pembuktian Terbalik Ketentuan pembuktian terbalik yang banyak diwacanakan oleh kalangan hukum dewasa ini barulah terbatas pada pemberian gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 12B. Dalam hal tertentu penuntut umum tidak diwajibkan untuk membuktikan dakwaannya melainkan dibebankan kepada terdakwa. Penjelasan umum undangundang ini berbunyi: “Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undang-undang ini”. Sistem pembuktian terbalik yang dianut dalam UUTPK hanya terbatas pada ketentuan Pasal 12B ayat (1) butir a; sedangkan ketentuan yang tercantum dalam 37A adalah kewajiban bagi terdakwa untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda keluarga terdekat seperti dimaksud dalam undang-undang ini. Kewajiban terdakwa menjelaskan harta bendanya dan harta benda keluarga dekatnya itu dapat digunakan oleh hakim dalam penilaiannya setelah membandingkan dengan alat bukti lainnya yang sudah ada, bahwa terdakwa benar telah melakukan tindak pidana korupsi. Penuntut umum pada sisi lain, tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Sistem pembuktian terbalik ini sangat diperlukan pengembangan dan pengaturannya lebih sempurna untuk memudahkan penanganan tindak pidana korupsi dan kasus-kasus lainnya yang sangat membahayakan masyarakat. Pembuktian terbalik tidak sama dengan strict liability yang beberapa kalangan mempersamakan pengertian kedua substansi ini. Pada sistem pertanggungjawaban strict liability adalah kebalikan dari prinsip liability based on fault (pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan). Strict liability diartikan sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Meskipun demikian, strict liability tidak berarti pertanggungjawaban yang absolut, melainkan harus dibuktikan adanya actus reus, perbuatan, ommission atau keadaankeadaan (condition) “on the part of the offender which is not due to circumstances entirely beyond his control. The fact that the offender’s conduct is involuntary negatives all liability,
193
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
with one exception” (Fortin, 1974).5 Strict liability dalam sistem hukum Anglo Saxon jarang ditetapkan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan melainkan penentuan pertanggungjawaban (strict liabitiiy) ini dilakukan oleh pengadilan (hakim). Bagaimana pengadilan (hakim) mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam strict liability tergantung pada kecenderungan hakim. Fortin mengemukakan ada lima faktor yang dijadikan dasar oleh hakim untuk menentukan suatu kejahatan sebagai strict liability yakni berdasarkan: (1) the words of the statute, (2) the severity of the sanction, (3) the subject matter of the offence , (4) the stigma involved, and (5) the test of utility.6
Ada tiga alasan diterimanya strict liability terhadap delik-delik tertentu, yaitu: 1.
Adalah esensial untuk menjamin, bahwa peraturan hukum yang penting tertentu demi kesejahteraan masyarakat harus ditaati. Dean Pound dalam menunjuk perkara Reynolds v. Aysin de Sons (1951) menyatakan antara lain: “Such statutes are not meant to punish the vicious will, but to put pressure upon the thoughtless and inefficient to do their whole duty in the interest of public health or safety or morals”.
2.
Pembuktian mens rea (sikap batin pembuat) terhadap delik-delik serupa sangat sulit.
3.
Suatu tingkat tinggi “bahaya sosial” dapat membenarkan penafsiran suatu delik yang menyangkut strict liability (perkara R.v. St. Margaret’s-Trust Ltd., (1958);7
4. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kehadiran Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk di Indonesia Tahun 2002 masih tergolong sangat baru jika dibandingkan dengan negara lain. Australia yang tergolong sukses memberantas korupsi di negaranya, memiliki Independent Commission Against Corruption (ICAC), sebuah lembaga independen untuk memberantas korupsi, khususnya di negara bagian New South Wales, yang ibu kotanya Sydney. ICAC didirikan berdasarkan Undang-Undang ICAC Tahun 1988 Nomor 35.
5 6 7
194
LRCC, 1974: 161, dalam Mohammad Askin, 1993, hlm. 144. Ibid. Andi Zainal Abidin, 1982, dalam Mohammad Askin, 1993, Ibid.
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
Singapura sebagai negara terkecil di ASEAN, namun paling makmur, sejahtera, tertib, dan aman serta sangat berhasil memberantas korupsi memiliki badan anti korupsi yang disebut Corrupt Practices Invesitigation Bureau, yang bekerja di bawah UndangUndang Anti Korupsi sejak tahun 1960. Malaysia memiliki Badan Pencegah Rasuah yang dibentuk berdasarkan Anti Corruption Agency Act Tahun 1982. Keberhasilan negara tetangga dengan mengadakan badan khusus untuk mencegah dan memberantas korupsi hendaknya menjadi bahan studi banding yang positif agar tidak terpikirkan lagi bagi kalangan hukum dan penegak hukum di negara kita ini untuk mengerdilkan atau bahkan menghapus Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang telah dibentuk meskipun agak terlambat dibandinghkan dengan negara lain. KPK berikut pengadilan khusus tindak pidana korupsi yang telah dibentuk berdasarkan UUKPK jo. UUPTPK hendaknya dibina dan dikembangkan secara maksimal untuk memberantas korupsi yang sangat masif di Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUKPK) mengatur tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi. Tugas Komisi tercantum dalam Pasal 6 yang berbunyi: a.
koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.
supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d.
melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.
melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUKPK, terdapat penambahan aparat baru yang bertugas menyelenggarakan hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP yakni Komisi. Kewenangan Komisi menurut Pasal 7 UUKPK adalah:
195
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
a.
mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b.
menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.
meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
d.
melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e.
meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Ketentuan khusus hukum acara pidana yang diatur dalam undang-undang ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Penahanan Ketentuan lamanya penahanan dalam tindak pidana korupsi menurut undangundang ini tidak diatur secara khusus. Oleh karena itu lama penahanan terhadap tersangka maupun terdakwa adalah mengikuti ketentuan KUHAP. Undang-undang ini hanya menetapkan batas waktu penyelesaian perkara korupsi yakni pada pengadilan tingkat pertama paling lama 120 hari, pada tingkat banding paling lama 90 hari, pada tingkat kasasi paling lama 120 hari, dan pada peninjauan kembali paling lama 90 hari. Penyelesaian perkara tindak pidana korupsi mulai dari penyidikan sampai ke Mahkamah Agung termasuk permohonan peninjauan kembali paling lama 320 hari. Ketentuan lamanya penyelesaian perkara ini berbeda dengan ketentuan yang tercantum dalam KUHAP. Untuk keperluan penahanan menurut KUHAP dimulai dari penyidik sampai ke Mahkamah Agung seseorang dapat ditahan paling lama 400 hari di luar permohonan peninjauan kembali terhadap keputusan hakim yang mempunyai kekuatan yang tetap. Waktu penyelesaian perkara menurut KUHAP tidak diatur secara jelas sebagaimana diatur dalam UTPK.
b. Penyelidikan Dalam UUKPK diatur secara khusus pejabat penyelidik yang diangkat dan
196
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
diberhentikan oleh komisi. Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini adalah untuk melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi dan hasil penyelidikan dimaksud dilaporkan kepada komisi (Pasal 43 dan Pasal 44). Ketentuan penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi tercantum dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 40 UUTPK jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUKPK). Dengan demikian, penyelidikan perkara korupsi dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Tndak Pidana Korupsi, penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan. Langkah pertama yang dilakukan untuk melakukan pemeriksaan perkara tindak pidana adalah penyidikan, sedangkan penyidikan didahului dengan penyelidikan. Rujukan yang digunakan adalah Pasal 26 UUTPK yang berbunyi: “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Tugas utama dilakukannya penyelidikan perkara pidana menurut Pasal 1 ayat (5) KUHAP adalah melakukan tindakan untuk keperluan pemeriksaan perkara selanjutnya sebelum dilakukan penyidikan. Sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan lebih dahulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup guna dapat dilakukan tindakan hukum selanjutnya berupa penyidikan. Menurut KUHAP, Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut dan yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 5). Pejabat yang berwenang melakukan penyelidikan dalam tindak pidana korupsi adalah pejabat Polri, Pejabat Kejaksaan, Penyidik PPNS, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
1) Pejabat Penyelidik Polri Penyelidik menurut Pasal 1 butir 4 KUHAP adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidik-
197
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
an. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya hanya instansi atau pejabat polri saja yang berwenang melakukan penyelidikan, dan tidak dibenarkan lagi adanya campur tangan dari instansi atau pejabat lain untuk melakukan tindakan penyelidikan terhadap dugaan dilakukannya tindak pidana. Fungsi dan wewenang penyelidik diatur secara rinci dalam Pasal 5 KUHAP yang meliputi (1) fungsi dan wewenang berdasarkan hukum, dan (2) kewenangan berdasarkan perintah penyidik. Dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UUPOLRI) mengatur secara khusus tentang kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai pejabat untuk melakukan penyelidikan terjadinya suatu tindak pidana. Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 butir 8 dan 9). Dalam melakukan tugas penegakan hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas a.l. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya (Pasal 14 butir g);
2) Pejabat Penyelidik Selain Pejabat Polri a)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Meskipun dalam KUHAP ditegaskan bahwa penyelidik untuk perkara pidana hanyalah pejabat polri, namun dalam perkembangan perundang-undangan selanjutnya, telah diatur kewenangan pejabat tertentu untuk melakukan penyelidikan perkara pidana. Dalam UUKPK (Pasal 38 sampai dengan Pasal 44) diatur tentang penyelidikan perkara korupsi. Menurut undang-undang ini Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dilakukan oleh pejabat polri dan dapat pula dilakukan oleh pejabat tertentu yang ditentukan dalam UUKPK.
198
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
Pasal 39 UUKPK berbunyi: (1) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. (2) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi. (3) Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian, pejabat penyelidik selain pejabat Polri adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tercantum dalam Pasal 43 dan 44 UUKPK yang dalam melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama komisi.
b)
Kejaksaan Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UUJARI) juga mengatur tentang kewenangan penyelidikan maupun penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi. UUJARI tidak menyebut secara khusus kewenangan kejaksaan sebagai penyelidik, namun kewenangan penyelidikan ini hendaknya dipahami sebagai satu rangkaian dengan penyidikan perkara pidana. Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Pasal 30 butir d UUJARI. Kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu yang dimaksud adalah ditujukan khusus terhadap tindak pidana pelanggaran HAM berat dan tindak pidana korupsi. Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk membentuk tim gabungan bilamana ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya (Pasal 27 UUTPK).
199
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Kewenangan jaksa agung dimaksud dapat dilakukan sejak dilakukannya penyidikan perkara. Penjelasan Pasal 27 berbunyi: “Yang dimaksud dengan “tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya”, antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang: a.
bersifat lintas sektoral;
b.
dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih; atau
c.
dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.”
Ketentuan Pasal 27 UUTPK ini kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 71 UUKPK.8
c.
Penyidikan
Penyidikan suatu perkara pidana pada prinsipnya adalah kelanjutan dari penyelidikan yang telah diakukan sebelumnya. Penyelidikan penekanannya diletakkan pada mencari serta mengumpulkan bukti agar tindak pidana yang ditemukan menjadi terang serta dapat menentukan dan menemukan pelakunya. Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti tersebut membuat perkara menjadi jelas atau terang yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Antara penyelidikan dan penyidikan merupakan satu rangkaian dari dua fase kegiatan yang antara keduanya saling berkaitan.
8
200
Pasal 71 UUKPK berbunyi: Dengan berlakunya undang-undang ini Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) dinyatakan tidak berlaku.
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
Kegunaan penyidikan dalam perkara pidana adalah untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang dapat memberikan keyakinan atau petunjuk kepada penuntut umum tentang tindak pidana yang telah terjadi (dilakukan) dan siapa tersangkanya. Pejabat penyidik yang dikenal menurut KUHAP ada dua macam, yakni: (a) penyidik pejabat polri, dan (b) penyidik pejabat pegawai negeri sipil (penyidik PPNS). Pasal 1 butir 1 KUHAP menyatakan penyidik adalah pejabat polri atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
1)
Pejabat Penyidik Polri
Polri yang diangkat menjadi penyidik penuh sesuai persyaratan yang berlaku. Selain pejabat penyidik penuh, juga dalam KUHAP masih dikenal penyidik pembantu yang diatur dalam Pasal 10 KUHAP yakni pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan tertentu sesuai ketentuan perundang-undangan. Syarat-syarat kepangkatan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 KUHAP tercantum dalam Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983. Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas pokoknya di bidang penegakan hukum yakni penyidikan perkara tercantum dalam Pasal 14 butir g “melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”. Kepolisian dalam menyelenggarakan tugas pokoknya di bidang proses pidana menurut Pasal 16 UUPOLRI; berwenang untuk: a.
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c.
membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e.
melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
201
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
f.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g.
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan; i.
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j.
mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l.
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut: a.
tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c.
harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan menghormati hak asasi manusia.
2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Menurut KUHAP bahwa di samping pejabat penyidik polri, undang-undang memberi wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu untuk melakukan penyidikan. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dimaksud diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP. Pejabat PPNS dalam melaksanakan tugas penyidikan adalah: (a) penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada di bawah:
202
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
-
koordinasi penyidik polri, dan
-
di bawah pengawasan penyidik polri;
(b) untuk kepentingan penyidikan, penyidik polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1)); (c) penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidiknya, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ada diketemukannya bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2)); (d) apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut dilakukan penyidik pegawai negeri sipil “melalui penyidik Polri” (Pasal 107 ayat (3)); dan (e) apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkannya pada penyidik polri maka penghentian penyidikan itu harus “diberitahukannya” kepada penyidik polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3)).
3) Kejaksaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UUJARI) mengatur pula secara khusus kewenangan jaksa sebagai penyidik terhadap perkara pidana tertentu. Sebelum berlakunya UUJARI ini, kejaksaan hanya berwenang melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
4) Komisi Pemberantasan Korupsi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) adalah sebuah lembaga penyidik baru yang khusus diadakan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang diatu dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Perlunya kehadiran KPK ini merupakan politik hukum nasional Indonesia atau kebijakan kriminal untuk meningkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan aparat penegak hukum, mengingat korupsi
203
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
yang banyak terjadi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Dalam UUKPK diatur secara khusus pejabat penyidik yang diangkat dan diberhentikan oleh komisi. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini adalah untuk melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi dan setelah penyidikan yang telah dianggap cukup disampaikan kepada KPK untuk ditindaklanjuti (Pasal 45 s/d Pasal 50). Kewenangan penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan perkara tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 11 UUKPK yakni terhadap perkara korupsi yang: a.
melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b.
mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c.
menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ketentuan ini merupakan pembatasan kewenangan sekaligus untuk mencegah tumpang-tindih kewenangan penyidik dalam menangani perkara tindak pidana korupsi. Penjelasan undang-undang ini menyatakan bahwa dengan pengaturan dalam undang-undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi: 1)
dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2)
tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
3)
berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism);
4)
berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penye-lidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
204
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
5. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi UUKPK mengatur secara khusus lembaga peradilan yang bertugas memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaga peradilan dimaksud berada di lingkungan Peradilan Umum. Lembaga ini pada awalnya dibentuk berdasarkan UUKPK Pasal 53 selanjutnya diatur secara khusus dalam UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK).9 Undang-Undang Nomor 46 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) dibentuk berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 53 UUKPTK bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia. Meskipun demikian, undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi yang dibentuk berdasarkan UUKPK adalah tetap sah untuk menyidangkan perkara tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 34 huruf b UUPTPK bahwa perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang sedang diperiksa dan diadili sampai perkara tindak pidana korupsi tersebut diputus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/ kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan (Pasal 3). Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum yang merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi (Pasal 5).
9
Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 (judicial review), bahwa dasar pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menurut Pasal 53 UUKPK dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga perlu diatur kembali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan undang-undang baru.
205
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Dengan keterbatasan sumber daya maka pembentukan Pengadilan TPK dilakukan secara bertahap dan untuk pertama kali Pengadilan TPK dibentuk pada setiap ibu kota provinsi paling lambat 2 (dua tahun) terhitung sejak undang-undang ini diundangkan yakni 29 Oktober 2011 (Pasal 35). Sebagai pengadilan khusus pemeriksaan di sidang pengadilan menurut undangundang ini tetap dilakukan menurut hukum acara yang berlaku khususnya KUHAP. Beberapa ketentuan yang diatur dalam UUPTPK merupakan ketentuan khusus yang menyimpang dari hukum acara pidana pada umumnya (KUHAP).
a. Hakim Pengadilan TPK Susunan majelis hakim terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc yang meliputi hakim pengadilan tindak pidana korupsi tingkat pertama, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Kehadiran hakim ad hoc merupakan perkembangan baru dalam sistem peradilan di Indonesia yang dimulai dari Pengadilan Hak Asasi Manusia. Hakim ad hoc dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, diatur pertama kali dalam UUKPK yang dilanjutkan dalam UUPTPK. Keberadan hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi. Majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi terdiri atas 3 (tiga) orang dengan komposisi 2 banding satu; dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang dengan komposisi 3 (tiga) banding 2 (dua). Dalam UU Perikanan juga ditegaskan susunan Majelis Hakim Pengadilan Perikanan terdiri atas dua hakim ad hoc dan satu hakim karier.10
10
206
Susunan majelis hakim dalam mengadili perkara tindak pidana korupsi pada pengadilan sebelumnya maupun dalam Pengadilan HAM, hakim ad hoc jumlahnya lebih banyak dari hakim karier; misalnya dalam perbandingan tiga hakim ad hoc dan dua hakim karier, atau dua hakim ad hoc dan satu hakim karier. Menurut UUPTPK, pengaturan demikian sudah tidak ada melainkan perbandingan antara hakim ad hoc dengan hakim karier ditentukan oleh masing-masing Ketua Pengadilan Tipikor/Ketua Pengadilan Tinggi/Ketua Mahkamah Agung.
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
b. Kedudukan Hakim Ad Hoc Kedudukan hakim ad hoc tidak diatur dalam KUHAP oleh karena hal ini baru diatur kemudian sesuai dengan perkembangan penyelenggaraan negara. Hakim ad hoc adalah hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi persyaratan profesional. Penjelasan umum UUPTPK menyatakan bahwa “Keberadaan hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi antara lain di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah”. Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Pengangkatan dan pemberhentian hakim ad hoc oleh Presiden bersifat meresmikan calon yang disulkan oleh Ketua Mahkamah Agung (Penjelasan Pasal 10 ayat (4)). Hakim ad hoc diangkat untuk masa jabatan selama lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc tercantum dalam Pasal 12 UUPTPK. Selain itu berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman kembali mempertegas bahwa “hakim ad hoc dapat diangkat pada pengadilan khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman di bidang tertentu dalam jangka waktu tertentu”. Hak keuangan dan administratif hakim ad hoc diberikan tanpa membedakan kedudukan hakim, ex Pasal 21 ayat (2) UUPTPK.
c. Proses Penyelesaian Perkara Lebih Cepat Penyelesaian perkara tindak pidana korupsi menurut UUPTPK, waktunya lebih cepat dibandingkan waktu penyelesaian perkara menurut KUHAP. Lama waktu penyelesaian perkara tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 UUPTPK. KUHAP tidak mengatur batas waktu penyelesaian perkara pidana mulai dari tingkat Pengadilan Negeri sampai ke Mahkamah Agung. Pemeriksaan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama dilakukan paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara dilim-
207
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
pahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi, pemeriksaan pada tingkat banding diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi, pemeriksaan pada tingkat kasasi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh hari) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung, dan terhadap peninjauan kembali perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
d. Proses Acara Perkara Korupsi Didahulukan Penyelesaiannya Penyelesaian perkara TPK didahulukan penyelesaiannya dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya (Pasal 25 UUPTPK). Penjelasan pasal ini berbunyi: “Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang oleh undang-undang ditentukan untuk didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan pada tiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan”. Ketentuan ini bersifat hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht) yang ditetapkan terhadap tindak pidana tertentu yang memuat ketentuan khusus dan asas-asas hukum yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan dan asas-asas hukum yang tercantum dalam hukum pidana umum. Beberapa ketentuan hukum pidana yang bersifat khusus di negara ini antara lain: a. hukum pidana militer; b. hukum pidana fiskal; c. hukum pidana ekonomi; dan d. hukum pidana politik. Contoh penerapan Pasal 81 KUHP dalam hal terjadinya kasus perdata yang mendahului perkara tindak pidana korupsi; apakah harus menunggu penyelesaian perkara lainnya. Menurut ketentuan Pasal 25 UUPTPK penyelesaian perkara korupsi harus didahulukan dari perkara yang lain guna penyelesaian secepatnya. Hukum acara pidana yang digunakan dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP), kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini. Kewenangan penyidik yang bersifat khusus menurut undang-undang ini, termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretaping), ex Pasal 26 UUTPK. Kewenangan penyidik melakukan penyadapan (wiretaping) yang diatur dalam
208
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
undang-undang ini, juga diatur dalam UUKPK Pasal 12 huruf a bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
e. Pembuktian Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, terdapat lima alat bukti yang dikenal dalam peradilan perkara pidana, yaitu: (a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) surat, (d) petunjuk, (e) keterangan terdakwa. Dalam UUPTPK, bukti petunjuk selain yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan kerangan terdakwa juga dapat diperoleh dari alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 26A UUTPK (lihat halaman …) Perkembangan pengaturan bukti petunjuk dalam undang-undang ini adalah berjalan sesuai dengan perkembangan teknologi informasi yang dapat dijadikan alat bukti tentang terjadinya tindak pidana korupsi. Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi hendaknya memerhatikan ketentuan KUHAP bahwa “penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya” ex Pasal 188 ayat (3) KUHAP. Alat bukti petunjuk ini dapat diperoleh hakim selama persidangan, sedangkan apa yang diketahui atau yang dialami hakim sebelumnya tidaklah dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan itu telah diketahui oleh umum. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dalam penanganan perkara oleh KPK, hasil penyadapan dapat pula digunakan sebagai petunjuk. Hakim memiliki peran penting dalam memutuskan relevansi alat bukti tertentu terhadap bukti petunjuk dalam perkara tindak pidana korupsi oleh karena belum ada aturan tentang ukuran dalam penilaian suatu bukti petunjuk. Apakah hasil penyadapan secara serta-merta dapat digunakan sebagai alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP. Penyadapan yang merupakan salah satu teknik audit untuk mendapatkan informasi dalam upaya mengungkap kasus “korupsi” merupakan dasar penyelidikan atau penyidikan perkara selanjutnya. Dengan demikian, hasil pe-
209
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
nyadapan atau rekaman tidaklah serta-merta menjadi alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, melainkan hanya merupakan bahan pertimbangan bagi hakim untuk mendapatkan bukti petunjuk atau keyakinan tentang kebenaran terjadinya tindak pidana, ex Pasal 188 KUHAP. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) juga mengatur bahwa penyadapan adalah kegiatan untuk men-dengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik. Berkenaan dengan aspek pembuktian dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh KPK, paling lambat tujuh hari hasil kerja penyelidik melaporkan hasil kerjanya kepada KPK, dan dalam hal penyelidik tidak menemukan bukti permulaan yang cukup KPK menghentikan penyelidikan. Rancangan KUHAP (2007) mengatur penyadapan dengan persyaratan yang sangat ketat yakni dilakukan apabila: (a) penyadapan dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan; dan/atau (b) penyadapan dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau berdasarkan bukti permulaan yang kuat diduga akan terjadi tindak pidana serius. Penyadapan dimaksud hanya dapat dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis kepala kepolisian setempat setelah mendapat surat izin dari hakim komisaris (Pasal 45). Tindak pidana serius tersebut meliputi: (a) terhadap keamanan negara; (b) perampasan kemerdekaan; (c) pencurian dengan kekerasan; (d) pemerasan; (e) pengancaman; (f) perdagangan orang; (g) penyelundupan; (h) korupsi; (i) pencucian uang; (j) pemalsuan uang; (k) keimigrasian; (l) mengenai bahan peledak dan senjata api; (m) terorisme; (n) pelanggaran berat HAM; (o) psikotropika dan narkotika; dan (p) pemorkosaan.11
11
210
Suhariyono AR, Rancangan KUHAP: Dalam Prospek Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7 No. 3 Oktober 2010, hlm. 375-376.
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
f.
Perlindungan Pelapor
Suatu perkembangan dalam pemberdayaan masyarakat dalam kebijakan kriminal pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dengan memberikan perlindungan terhadap pelapor. Perlindungan dimaksud terutama untuk melindungi keselamatan pelapor dari berbagai kemungkinan yang mengancam keselamatan dirinya. Hal ini tercantum dalam Pasal 31 UUTPK yang berbunyi: (1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. (2) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut. Yang dimaksud dengan “pelapor” dalam ketentuan ini adalah orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ketentuan ini berhubungan dengan peran serta masyarakat dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi; ex Pasal 41 dan Pasal 41 UUTPK. Pasal 41 UUTPK berbunyi: (1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk: a.
hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; c.
hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
211
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
penegak hukum yang menangani tindak pidana korupsi; d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; e.
hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: 1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c; 2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. (4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya. (5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 42 UUTPK berbunyi: Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Ketentuan dalam pasal-pasal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Perlindungan hukum terhadap pelapor dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi pelapor yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 41 ayat (2e)). Masyarakat yang dipandang berjasa dalam mengungkap tindak pidana korupsi disertai bukti-
212
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
bukti yang diperlukan diberikan penghargaan oleh pemerintah baik berupa piagam maupun premi (Pasal 42). Siapakah yang dapat menjadi pelapor? Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UUTPK hanya menyebutkan bahwa pelapor itu adalah orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi. Dihubungkan dengan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pelapor itu pada prinsipnya juga dapat dilakukan oleh mereka yang menjadi saksi atau yang menjadi korban dalam perkara tindak pidana korupsi. Penjelasan umum undang-undang ini menyatakan antara lain: “Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungann hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya …”
g. Transparansi dan Akuntabilitas Ketentuan perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi merupakan konsekuensi upaya penanganan korupsi secara luar biasa. Pasal 24 UUPTPK yang mengatur ketentuan transparansi dan akuntabilitas dalam penjelasan ayat (2) dinyatakan bahwa “ketentuan ini sebagai wujud akuntablitas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi melalui keterbukaan informasi mengenai penyelenggaraan pengadilan”. Transparansi merupakan bentuk informasi berkenaan dengan proses pengambilan keputusan dan hasil pelaksanaan kerja lembaga dapat diterima oleh mereka yang memerlukannya. Informasi tersebut dapat dipahami dan dapat dipantau serta dibangun atas dasar kebebasan informasi. Good governance tidak membenarkan cara kerja dengan manajemen tertutup.
213
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Akuntabilitas adalah bahagian dari prinsip good governance yang dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi para pengambil keputusan sejak penyidikan, penuntutan, maupun pengadilan hendaknya bertanggung jawab kepada publik sebagai kepentingan umum yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, keberhasilan, dan lainlainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UUKIP) sangat relevan untuk mendukung prinsip transparansi dan akuntabilitas untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Menurut undang-undang ini Badan Publik wajib mengumumkan Informasi Publik secara berkala yang meliputi: a.
Informasi yang berkaitan dengan Badan Publik;
b.
Informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait;
c.
Informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau
d.
Informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Informasi publik ini merupakan hak setiap orang yang dapat dimintakan kepada badan publik yang bersangkutan untuk melihat, menghadiri pertemuan publik yang bersifat umum, mendapatkan salinan informasi publik, dan menyebarluaskan informasi publik sesuai ketentuan perundang-undangan. (Pasal 4 dan Pasal 9 UUKIP). Badan publik yang sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan undang-undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan satu tahun dan/atau denda Rp5000.000,00 (lima juta rupiah); ex Pasal 52 UUKIP. Ketentuan pidana lainnya menurut undang-undang ini tercantum dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 57, dan tuntutan pidana hanya dapat dilakukan kepada pembuat bilamana ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan atau yang berkepentingan. Melalui undang-undang ini diharapkan dapat mempercepat perwujudan pemerintahan yang terbuka yang merupakan upaya strategis mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan terciptanya sistem kepemerintahan yang baik.
214
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
h. Rehabilitasi dan Kompensasi Rehabilitasi dan kompensasi sebagaimana diatur dalam Pasal 63 UUKPK tidak memberi penjelasan sehingga memerlukan kajian atau penemuan hukum (rechtsvinding) untuk penerapannya. Pengertian dalam undang-undang lain yang dapat dirujuk adalah UUPHAM yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “kompensasi” adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya (lihat halaman 74). Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa: a.
pengembalian harta milik;
b.
pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau
c.
penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, atau hak-hak lain. Kompensasi dan rehabilitasi merupakan ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang ini yang dalam penuntutannya pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (2) KUHAP.
B. UNDANG-UNDANG PENCUCIAN UANG Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU) mencabut Undang-Undang Pencucian Uang yang berlaku sebelumnya. Undang-undang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU). Undang-undang ini mengatur secara khusus beberapa ketentuan hukum acara pidana selain KUHAP. Tindak pidana menurut undang-undang ini diadili oleh pengadilan khusus tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf b Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 (UUPTPK). Dalam UUTPPPU dinyatakan bahwa ketentuan KUHAP merupakan acuan umum dalam pelaksanaan hukum acara
215
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
pidana kecuali ditentukan secara khusus dalam undang-undang ini. Ketentuan tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sebagai ketentuan khusus tercantum dalam Bab VIII, Pasal 68 sampai dengan Pasal 82 yang meliputi hal-hal sebagai berikut: a.
Dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan perkara pencucian uang, terdapat dua lembaga yang sangat relevan yakni PPATK dan Penyedia Jasa Keuangan. 1) PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Lembaga ini akan berhubungan dengan kegiatan penyidikan; dan dalam hal ada petunjuk atas dugaan atau indikasi terjadinya tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain, PPATK menyerahkan Hasil Pemeriksaan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan (Pasal 64 ayat (2)). Pada undang-undang sebelumnya dalam hal ditemukan transaksi mencurigakan, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditemukan petunjuk tersebut, PPATK wajib menyerahkan hasil analisis kepada penyidik untuk ditindaklanjuti. Ketentuan batas waktu 3 (tiga) hari ini sangat penting mengingat kejahatan pencucian uang ini dapat berlangsung sangat cepat dan bilamana terlambat akan mengalami kesulitan dalam penyidikannya. Batas 3 (tiga) hari ini bilamana tidak dipenuhi oleh pejabat PPATK tidak memiliki sanksi hukum dan semata-mata bersifat sanksi moral. Batas waktu pelaporan dalam UUPPTPPU tidak lagi ditemukan sehingga hal ini perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan pelaporan oleh PPATK agar pelaku kejahatan dapat diproses dengan tepat dan tidak mengalami kesulitan dalam pembuktian perkaranya. 2) Penyedia Jasa Keuangan (PJK) adalah adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos (undang-undang lama).
216
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
Dalam UUPPTPPU penyedia jasa keuangan terdiri atas: bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi, dana pensiun lembaga keuangan, perusahaan efek, manajer investasi, kustodian, wali amanat, perposan sebagai penyedia jasa giro, pedagang valuta asing, penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu, penyelenggara e-money dan/atau e-wallet, koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam, pegadaian, perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; atau penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang. (Pasal 17 ayat (1) huruf a). Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa termasuk dalam pengertian “penyedia jasa keuangan” adalah Setiap orang yang menyediakan jaa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan baik secara formal maupun nonformal. b.
Penyidik dalam tindak pidana pencucian uang di samping penyidik yang diatur dalam KUHAP (pejabat penyidik polri dan pejabat PPNS) terdapat penyidik baru yang dikaitkan dengan tindak pidana asalnya. Penyidik tindak pidana asal menurut undang-undang ini meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Pasal 74). Hal yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana pelaksanaan koordinasi dalam penyidikan tindak pidana pencucian uang dimaksud mengingat banyaknya pejabat penyidik yang terlibat dalam tindak pidana asal. Untuk itu perlu dilakukan pengaturan tentang tugas dan kewenangan masing-masing penyidik termasuk pelaksanaan koordinasi sehingga tercipta efisiensi dan efektivitas pelaksanaan penyidikan.
c.
Pemeriksaan secara in absentia (tanpa kehadiran terdakwa di persidangan) dapat dilakukan setelah dipanggil secara sah dan patut dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah (Pasal 79 ayat (1)). Pengertian dipanggil secara sah dan patut, tidak dijelaskan dalam undang-undang ini sehingga harus mengacu kepada ketentuan KUHAP bahwa pemanggilan secara sah dan patut adalah terdakwa telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan ternyata tidak hadir. Dalam ketentuan sebelumnya
217
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
dinyatakan bahwa majelis hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa. d.
Terhadap pelapor dan saksi diberikan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 83 sampai dengan Pasal 87. PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor (Pasal 83). Dalam hal PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang tidak merahasiakan identitas pelapor yang memungkinkan terungkapnya identitas pelapor adalah merupakan tindak pidana, dengan ancaman pidana paling paling lama 4 (empat) tahun, (Pasal 11 ayat (2) UUPPTPPU). Perlindungan terhadap pelapor dan saksi dalam undang-undang ini diberi perhatian khusus agar terhindar dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini akan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu wujud perlindungan yang sudah diatur dalam undang-undang ini yakni di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor (Pasal 85 ayat (1)). Sebelum berlakunya UUPPTPPU telah diatur beberapa ketentuan berkenaan dengan perlindungan pelapor dan saksi. Keputusan Kepala PPATK Nomor 21/ KEP.PPATK/2003 tanggal 9 Mei 2003 tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyedia Jasa Keuangan, Pedoman I BAB 7 Butir D menetapkan: Perlindungan bagi Pelapor dan Saksi, yakni: 1) Perlindungan bagi Pelapor: a) Pelaksanaan pelaporan oleh PJK yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Perbankan. b) Pelapor tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporannya.
218
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
c) PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor. d) Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya. e) Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor. 2) Perlindungan terhadap Pelapor dan Saksi. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tanggal 11 November 2003, Peraturan Kapolri No. 17 Tahun 2005 tanggal 31 Desember 2005. Suatu bentuk perlindungan yang diatur dalam undang-undang untuk memberikan jaminan rasa aman terhadap pelapor atau saksi dari kemungkinan yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya adalah: a) Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/hartanya termasuk keluarganya. b) Saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan. e.
Sistem pembuktian terbalik (tidak sempurna) tercantum dalam Pasal 77 UUPPTPPU yang berbunyi: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan bukan merupakan hasil tindak pidana”. Undangundang ini tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian kewajiban pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa.
219
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya yang terkait dengan perkara adalah tidak berasal dari tindak pidana. Dalam undang-undang ini terdapat 26 jenis tindak pidana yang dapat dipandang sebagai sumber terjadinya tindak pidana pencucian uang (Pasal 2 ayat (1)) Undang-undang sebelumnya (lama) memberi penjelasan bahwa “Pasal ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan harta kekayaan bukan berasal dari tindak pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik”. Ketentuan pembalikan beban pembuktian (the sifting of the burden of proof) ini sepintas menunjukkan bahwa akan sangat membantu penuntut umum dalam hal sulitnya membuktikan harta kekayaan terdakwa. Sistem pembuktian demikian ini, juga diatur dalam tindak pidana korupsi “gratifikasi”, ex Pasal 12B UUTPK. Dalam sistem hukum acara pidana (KUHAP) beban pembuktian berada pada penuntut umum yakni penuntut umum dalam mengemukakan dakwaannya harus disertai dengan bukti-bukti sesuai ketentuan perundang-undangan. Terdakwa wajib membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana (Pasal 77). Ketentuan pasal ini dalam penerapannya dapat menimbulkan perbedaan tafsir mengingat beberapa hal sebagai berikut: 1) Undang-undang ini tidak mengatur bagaimana halnya kalau terdakwa tidak dapat membuktikan tentang harta kekayaan bukan hasil tindak pidana. 2) Undang-undang ini tidak mengatur apakah penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Hal ini berbeda dengan UUTPK yang secara tegas mengatur bahwa dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan dari terdakwa digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Tidak dicantumkannya ketentuan di atas menurut hemat penulis adalah merupakan kewajiban penegak hukum terutama hakim untuk melakukan langkah luar biasa untuk memberantas pencucian uang ini sebagai kejahatan luar biasa dengan menerapkan pembuktian terbalik. Hakim harus memahami perannya
220
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
yang besar dan berani untuk mewujudkan politik hukum nasional dalam upaya memberantas korupsi termasuk pencucian uang dengan jalan menerapkan sistem pembalikan pembuktian dimaksud. Hal ini diperlukan langkah kreatif untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Hakim bukan lagi “mulut undangundang” (wetstoepassing) yang dikenal dua ratus tahun yang lalu melainkan ia harus berbuat untuk menegakkan keadilan yang diharapkan masyarakat. Meminjam istilah Satjipto Rahardjo (2007) bahwa orang sekarang sering mengatakan bahwa pengadilan bukan lagi semata-mata tempat untuk menerapkan undang-undang, melainkan sebuah pengadilan yang “memiliki hati nurani” (conscience of the court). Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang dapat menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga harus ada perubahan paradigma bagi penegak hukum khususnya hakim untuk melakukan penemuan hukum terutama dalam hal adanya ketentuan yang tidak jelas. f.
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan, hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pencucian uang dapat mengeluarkan penetapan bahwa harta kekayaan terdakwa yang telah disita, dirampas untuk negara. Dasar hakim untuk melakukan penetapan harus berdasarkan pertimbangan bahwa perbuatan terdakwa yang meninggal itu terdapat bukti yang cukup dan meyakinkan bahwa ia telah melakukan tindak pidana pencucian uang, ex Pasal 37 UUTPK.
g.
Alat bukti dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang menurut Pasal 73 UUPPTPPU meliputi: 1) Alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP, yakni: 1) Keterangan saksi; 2) Keterangan ahli; 3) Surat; 4) Petunjuk; dan 5) Keterangan terdakwa.
221
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
2) Alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan optik dan dokumen; dan 3) Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a.
Tulisan, suara, atau gambar;
b. Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c.
h.
Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya, ex Pasal 1 butir 16.
Pelaksanaan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan mengecualikan (terobosan) rahasia bank, ex Pasal 71. Perintah pemblokiran oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim, dikirimkan kepada penyedia jasa keuangan dilakukan terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari: 1) Setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik; 2) tersangka; atau 3) terdakwa. Surat permintaan pemblokiran ditandatangani oleh: (a) koordinator penyidik/ ketua tim penyidik untuk tingkat penyidikan, (b) Kepala Kejaksaan Negeri untuk tingkat penuntutan, dan (c) hakim ketua majelis untuk tingkat pemeriksaan pengadilan. Harta kekayaan dimaksud, adalah meliputi semua benda bergerak atau tidak bergerak, baik berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung (Pasal 1 butir 13).
222
Bab 16: Hukum Acara Pidana tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang
Daftar Pustaka Abdurrahman. 1983. Aspek-aspek Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: Cendana Press. Adji, H. Oemar Seno. Hukum Acara Pidana dalam Prospeksi. Jakarta: Erlangga. Anggraeni, Ricca. Penggunaan Hasil Penyadapan sebagai Alat Bukti Petunjuk dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Dalam Jurnal Judisial, Vol. III/No. 02/Agustus/2010. Askin, Moh. 2010. Seluk Beluk Hukum Lingkungan. Nekamatra. ____________. 2006. Berbagai Gagasan Strategi Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Genta Paperindo Press. ____________. 1993. Sanksi dan Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Projek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan (PP-PSL). Dirdjosisworo, Soedjono. 1984. Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum. Bandung: Armico. Edyono, Supriadi Widodo. Penegakan Hukum dan Peran Program Perlindungan Saksi. Dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7 No. 3 Oktober 2010. Hamzah, Andi. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. ____________. 1973. Hukum Pidana Ekonomi. Jakarta: Erlangga. Harahap, M. Yahya. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid I. Jakarta: Pustaka Kartini. ____________. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini. Hulsman, M.L.Hc. 1984. Sistem Peradilan Pidana. (Terjemahan) oleh Soedjono Dirdjosisworo. Jakarta: CV Radjawali. Husein, Yunus. April 2010. Rezim Anti Pencucian Uang dan Terobosannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia. Makalah. Pelatihan Hakim dalam Perkara Korupsi Angkatan IX. Mahkamah Agung. Lamintang, P.A.F. 1984. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurispudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana. Bandung: Sinar Baru.
223
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Hamid, A.T. 1982. Praktik Peradilan Perkara Pidana. Surabaya: Al Ikhsan. Mertukusumo, R.M. Sudikno. 1970. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya Di Indonesia. Disertasi. Gunung Agung. Nasution, A. Karim. Masalah Surat Tuduhan dalam Proses Pidana. Poernama, Bambang. Pokok-pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981. Yogyakarta: Liberty. Sarwoko, Djoko. April-Mei 2010. Alat Bukti Perkara Pidana Setelah Berlakunya UU No. 11 TH. 2008. Makalah. Jakarta: Pelatihan Hakim Tindak Pidana Korupsi, Mahkamah Agung. Sudirman, Antonius. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Suprapto. 1961. Hukum Pidana Ekonomi. Disertasi. Universitas Padjadjaran. Sjahputra. 2006. Money Laundring (Suatu Pengantar). Jakarta: Harvarindo. Utrecht, E. 1958. Hukum Pidana I. Penerbitan Universitas. Wignjosoebroto, Soetandyo. “Penelitian Hukum Sebuah Tipologi”. Majalah Masyarakat Indonesia, Thn. ke-4, No. 2, 1974. Yogis, John A. and Innis M. Christie. 1974. Legal Writing and Research Manual. Toronto: Butterworths. Zendrato, Yuliaman. 2008. Pemeriksaan In Absentia dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tesis. Unas.
224
17 PEMBERANTASAN KORUPSI: SEBUAH KEHARUSAN Pada saat terjadinya gerakan reformasi yang dilancarkan oleh para mahasiswa di awal tahun 1998, kemudian memasuki rezim baru pemerintahan Gus Dur, yang diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, harapan besar muncul untuk mengakhiri krisis multidimensi termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di berbagai lapisan pemerintahan; ternyata sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Mengamati upaya pemerintah untuk memberantas korupsi, hampir tidak ada kemajuan yang signifikan jika dibandingkan dengan keadaan tahun sebelumnya. Berdasarkan Coruption Perception Index (CPI) yang dikeluarkan Transparency International, menunjukkan Indonesia pada tahun 2002 berada pada peringkat 96 dari 102 negara yang disurvei. Data United Nation Devlopment Program (UNDP) juga menunjukkan indeks pembangunan manusia (HDI) Indonesia pada tahun 2002 berada di urutan 110 di antara 120 negara; dan keadaan ini sungguh memprihatinkan pada saat kita senantiasa membicarakan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Catatan: Keadaan pada saat tulisan ini diedit untuk diterbitkan (per April 2015) keadaan atau peringkat Indonesia berada mengalami kemajuan. Versi per 03 Desember 2014 dari Transparancy International, Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis yang memuat
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
susunan peringkat 175 negara, Indonesia berada di peringkat 107. Di kawasan Asia Pasifik, Taiwan masuk peringkat 35, Korea Selatan Nomor 43, Filipina, India, Jamaika, dan Peru di peringkat 85. Vietnam pada urutan 119 dan Laos pada peringkat 145. Korupsi dewasa ini bukan lagi suatu gejala melainkan sudah merupakan berita biasa kalau tidak dikatakan sudah merupakan “budaya korupsi”. Tentu saja yang dimaksud bukan pada hakikat keberadaan budaya atau semua aparat melakukan korupsi, tetapi telah munculnya anggapan bahwa korupsi, kolusi, pungli (pungutan liar), dan semacamnya adalah soal biasa dan tidak perlu dipersoalkan lagi; bahkan tidak malu hati lagi tampak sebagai orang kaya mendadak yang kesemuanya itu didapatnya dari hasil korupsi atau kolusi. Anggota masyarakat juga enggan melaporkan oknum pejabat negara, birokrat, konglomerat, dan oknum aparat hukum yang melakukan korupsi. Akibatnya, terjadilah penurunan investasi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan bertambahnya angka kemiskinan, menurunnya kualitas pendidikan, dan pada puncaknya terjadilah krisis multidimensional. Korupsi telah menjadikan rakyat menjadi sengsara karena terjadi kebocoran dalam penghasilan negara. Sebagai warga negara yang baik, keadaan ini hendaknya tidak dibiarkan berkembang dan berlarut-larut penyelesaiannya, melainkan kita harus mengambil posisi bagaimana semestinya korupsi di Indonesia diberantas. Pasa kesempatan yang baik ini saya ingin menyampaikan beberapa hal berkenaan dengan upaya penanggulangan korupsi yang telah “membudaya” di negara kita. Pertama, terlebih dahulu perlu dipahami pengertian korupsi yang dari berbagai sumber ditemukan sangat bervariasi. Istilah korupsi sudah digunakan dalam perundangundangan pemberantasan korupsi di Indonesia sejak tahun 1957 sedangkan kolusi adalah istilah yang baru muncul belakangan. Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, kemudian turun ke bahasa Inggris corruption, ke bahasa Belanda corruptie, dan akhirnya ke bahasa Indonesia korupsi. Di Malaysia disebut resuah (dalam bahasa Arab riswah). Pengertiannya sama yakni perbuatan kotor, tidak jujur, penyimpangan dari hukum, penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan lain-lain yang semacamnya. Kolusi berasal dari kata collusion yang berarti sekongkol alias TST (tahu sama tahu). Kolusi hanya dapat dilakukan bilamana ada dua orang atau lebih sedangkan korupsi dapat
226
Bab 17: Pemberantasan Korupsi: Sebuah Keharusan
dilakukan meskipun sendirian. Keduanya adalah perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara. Korupsi memiliki tiga fenomena yang meliputi: penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Korupsi biasanya melibatkan pihak-pihak lain, yang mengandung penipuan pada badan publik atau masyarakat umum, penghianatan kepercayaan, untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau badan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Rumusan yang tergolong sebagai tindak pidana korupsi dewasa ini dapat dilihat dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; juncto (jo) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nmor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Wirosardjono, (1995) mengidentifikasi bentuk-bentuk korupsi, yaitu, pertama, korupsi transaksional yang bertolak dari sikap bisnis pada bagian transaksi di masyarakat; kedua, korupsi ekstortif (pemerasan, penghisapan) berupa pemaksaan korban agar menyogok yang diikuti dengan berbagai ancaman; ketiga, korupsi defensif (membela diri) yaitu korupsi yang diwujudkan dengan tindakan menyuap/menyogok dengan alasan untuk pembelaan dirinya; keempat, korupsi investif, yaitu korupsi ini terjadi jika ada pengusaha atau pejabat dengan menjalin koneksi pejabat lain dan memenuhi semua keinginan dari pengusaha tersebut dengan harapan pada saat menghadapi permasalahan mendapat kemudahan; kelima, korupsi nepotis, yakni penunjukan secara tidak sah, penunjukan pada kroninya dengan menghalalkan segala cara; keenam, korupsi otogenik, yaitu korupsi karena jabatan dan wewenangnya seseorang membuat keputusan yang bermanfaat bagi kepentingan sendiri; ketujuh, korupsi supportif, yaitu tindakan melindungi suatu tindakan yang korup dengan harapan mendapat bagian dari tindakan pejabat yang melindungi tersebut. Kedua, perlu dipahami sebab-sebab terjadinya korupsi. Badan Pengawasan Pembangunan (BPKP) dalam Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (1999) telah mengidentifikasi sebab-sebab terjadinya korupsi yang meliputi empat aspek; pertama, aspek individu pelaku korupsi yang mencakup sikap tamak manusia, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan kurang mencukupi kebutuhan yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja
227
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
keras, dan ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar. Kedua, aspek organisasi yang meliputi kurang adanya teladan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, kelemahan sistem pengendalian manajemen, dan cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya. Ketiga, aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada yang meliputi: a) nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi; b) masyarakat kurang menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh setiap praktik korupsi adalah masyarakat sendiri; c) masyarakat kurang menyadari bahwa masyarakat sendiri terlibat dalam setiap praktik korupsi; d) masyarakat kurang menyadari bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil kalau masyarakat ikut aktif melakukannya; e) generasi muda Indonesia dihadapkan dengan praktik korupsi sejak dilahirkan; dan f) penyalahartian pengertian-pengertian dalam budaya bangsa Indonesia. Keempat, aspek peraturan perundang-undangan yang meliputi: a) adanya peraturan perundang-undangan monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan koncokonco presiden; b) kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai; c) tidak efektifnya judicial review oleh Mahkamah Agung; d) peraturan kurang disosialisasikan; e) sanksi terlalu ringan; f) penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu; dan g) lemahnya bidang evaluasi dan revisi undang-undang. Menurut hemat saya, faktor agama sangat berperan dalam membentuk ketahanan seseorang terhadap perbuatan korupsi. Selain itu, faktor globalisasi yang dibarengi dengan pola hidup hedonisme dan konsumerisme telah mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Kecendrungan hidup sekarang, dengan adanya kemajuan transformasi budaya yang begitu hebat, orang ingin selalu tampil sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang memang secara finansial mempunyi kemampuan. Akibatnya, banyak orang yang memaksakan kemauannya tanpa mengukur kemampuannya. Satu-satunya jalan, orang tersebut mencari jalan pintas yakni dengan korupsi. Perjalanan reformasi telah berjalan empat tahun lebih, korupsi yang telah ditetapkan sebagai “musuh” bersama, pada kenyataannya justru semakin “merajalela” dengan modus operandi yang lebih canggih. Korupsi terdesentralisasi dalam berbagai sektor kehidupan dan terdesentralisasi sampai pada tingkat kehidupan yang paling rendah. Pada era otonomi daerah ini, korupsi bisa terjadi di beberapa tempat seperti: (1)
228
Bab 17: Pemberantasan Korupsi: Sebuah Keharusan
lembaga-lembaga pemerintah daerah, terutama yang menangani proyek daerah, mulai dari perencanaan pembangunan, pengalokasian dana, sampai kepada pengawasannya; (2) money politic pada lembaga-lembaga politik, seperti DPRD dan partai-partai politik; (3) lembaga-lembaga penegakan hukum (kepolisian, pengacara, hakim, dan jaksa); (4) lembaga-lembaga pelayanan publik termasuk BUMD; dan (5) lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Pada tingkat ekonomi nasional, kebijakan pemerintahan dewasa ini yang paling mempunyai potensi untuk terjadi korupsi adalah terjadinya korupsi politik dengan menjarah kekayaan BUMN dan bermain pada kontrak-kontrak. Privatisasi yang dilaksanakan pemerintah selama ini sering kali tidak dilaksanakan secara transparan dan tidak ada pertanggungjawaban publik. Pola semacam ini berpotensi terjadi penyimpangan dan berpotensi untuk disalahgunakan untuk kepentingan partai tertentu atau demi mempertahankan sebuah rezim. Setelah menyimak fenomena korupsi di negara kita serta uraian sebab-sebab terjadinya korupsi dan dampaknya berupa penderitaan rakyat timbullah tekad bahwa korupsi harus diberantas. Sekali lagi, korupsi harus diberantas. Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya akan mendekatinya dari aspek hukum. Pertama, Aspek Perundang-undangan. Selama reformasi bergulir, upaya untuk menindak para pelaku korupsi telah ditunjukkan dengan merevisi berbagai peraturan perundang-undangan. Pada tahap awal, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah merumuskan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Upaya pemberantasan KKN terus berlanjut dengan penyusunan Undang-Undang (UU) No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, kemudian terbit UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Selanjutnya diundangkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai bentuk implementasi dari UUPTPK yang merekomendasikan pembentukan komisi tersebut. Kemudian untuk mengatur masalah pembuktian dan beberapa perubahan, saat ini telah diundangkan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK)
229
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
yang mengakomodasi tentang sistem pembuktian terbalik. Meskipun sistem pembuktian terbalik yang diatur dalam undang-undang ini belum sempurna, hal tersebut sudah merupakan langkah maju dalam pengaturan sistem pembuktian dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Adalah sangat diharapkan agar sistem pembuktian ini dapat dilaksanakan dengan baik oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara korupsi. Beberapa hal yang perlu dicatat berkenaan dengan pengaturan sistem pembuktian menurut UUPTPK ini, yakni: (a) alat bukti petunjuk dalam tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
alat bukti berupa informasi secara elektronik; serta
dokumen-dokumen yang dapat dibaca, dilihat, atau didengar berupa kertas, benda fisik lainnya, termasuk secara elektronik.
(b) terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi; (c) terdakwa wajib memberikan keterangan seluruh harta bendanya, harta benda istri atau suami, dan pihak lainnya yang diduga berhubungan dengan dakwaan; (d) dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan tidak seimbang dengan penghasilan akan memperkuat bukti lainnya bahwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (2)); (e) penuntut umum wajib membuktikan dakwaannya, Pasal 37A ayat (3); (f) terdakwa wajib pula membuktikan sebaliknya harta benda miliknya yang belum didakwakan tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi, Pasal 38B ayat (1). Berbarengan dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan tersebut, MPR menegaskan kembali dalam Ketetapan MPR-RI No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Arah kebijakan pemberantasan korupsi diatur dalam Pasal 2 yang berbunyi antara lain: 1.
230
mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktik
Bab 17: Pemberantasan Korupsi: Sebuah Keharusan
korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum. 2.
melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya.
3.
mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak yang berwenang berbagai dugaan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan anggota masyarakat.
Perangkat undang-undang yang sudah cukup komprehensif tersebut, pada kenyataannya belum juga mampu mempercepat proses penindakan korupsi. Menurut hemat saya, perundang-undangan pemberantasan korupsi ini harus disosialisasikan agar kalangan hukum dan masyarakat dapat memahaminya sebagai prasyarat akan tumbuhnya kesadaran hukum. Tidak efektifnya hukum dalam memberantas korupsi, salah satunya disebabkan karena peraturan perundang-undangan tersebut tidak pernah ada atau kurang sosialisasi. Jika peraturan mampu disosialisasikan dengan baik, kemungkinan besar akan menyebabkan deterrent effect yaitu berkurangnya korupsi karena calon koruptor takut akan hukuman yang berat, dan kalau dia melakukan semua orang akan segera tahu bahwa perbuatan itu adalah tindak pidana korupsi. Kedua, Aparat Penegak Hukum. Aspek penegak hukum yang lazimnya diartikan polisi, jaksa, hakim, pejabat dan penasihat hukum mempunyai arti yang sangat penting agar peraturan yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dapat dilaksanakan. Peningkatan kemampuan dan kewibaan, pembinaan sikap, perilaku dan keteladanan penegak hukum sebagai pengayom masyarakat yang jujur, bersih, tegas dan adil, perlu terus diupayakan. Dalam rangka ini faktor manusia hendaknya mendapat perhatian yang sungguh-sungguh oleh karena membicarakan penegakan hukum tanpa menyinggung aspek manusianya merupakan pembicaraan yang sia-sia. Pembinaan aparat penegak hukum ini harus diupayakan dengan meningkatkan moral serta ketersediaan sarana atau fasilitas. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup aspek manusianya yang berpendidikan dan terampil, kesejahteraan atau keuangan/gaji yang cukup, organisasi yang baik, peralatan yang baik, dan lain-lain.
231
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Dengan mengabaikan faktor ini mustahil penegakan hukum atau pemberantasan korupsi dapat dilakukan. Ketiga, Kesadaran Hukum Masyarakat. Faktor kesadaran hukum masyarakat di sini terutama berkaitan dengan peran untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta terutama diwujudkan untuk memberikan informasi adanya dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi. Anggota masyarakat hendaknya harus berani atau tidak ragu-ragu untuk memberikan informasi kepada penegak hukum berkenaan dengan dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi. Berkenaan dengan itu, ketentuan mengenai insentif bagi pelapor ex Pasal 42 UUPTPK segera disosialisasikan agar masyarakat merasa ada manfaatnya untuk berperan serta dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Peraturan Pemerintah berkenaan dengan insentif atau penghargaan kepada anggota masyarakat yang berjasa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi ini agar segera dibentuk atau diundangkan. Keempat, Dukungan Moral Keagamaan. Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya mengutip pernyataan, M. Amien Rais,1 bahwa “harapan yang masih tersisa dalam pencegahan dan penanggulangan KKN adalah kekuatan moral keagamaan. Begitu terang benderangnya ajaran agama di dalam membedakan perkara mana yang haq dan mana yang bathil”. Saya memandang pendekatan dari aspek keagamaan ini sangat tepat dalam memberantas korupsi. Agama akan menuntun setiap orang untuk berpenghidupan secara benar. Kita tidak dapat berharap banyak atas kepatuhan yang langgeng bilamana tidak berpegang kepada agama. Para tokoh agama harus mampu menerjemahkan bahwa korupsi adalah perbuatan yang haram, dan suatu perbuatan haram akan berakibat sangat jelek bagi diri sendiri, dan keluarga yang menikmati hasil korupsi itu. Kelima, Peran Parlemen. Dalam konteks pelaksanaan fungsi legislasi untuk memberantas korupsi, DPR relatif cukup berhasil dalam hal membuat peraturan perundangundangan. Beberapa undang-undang yang telah diselesaikan dalam rangka melengkapi ketentuan dalam pemberantasan korupsi, di antaranya: (1) Undang-Undang tentang
1
232
Dalam buku “Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia” (1999).
Bab 17: Pemberantasan Korupsi: Sebuah Keharusan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (2) Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi; dan (3) Undang-Undang tentang Profesi Advokat. Upaya-upaya ini semestinya juga ditindaklanjuti dengan pembuatan peraturan pelaksanaannya agar tidak menyulitkan dalam pelaksanaannya. Untuk fungsi pengawasan, upaya yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi adalah dengan melakukan rapat kerja dengan para pejabat terkait guna mempertanyakan beberapa kebijakan yang sedang dilaksanakan oleh eksekutif. Sejauh ini, upaya semacam ini kadang-kadang dimaknai dengan upaya untuk mengganggu kinerja pemerintah atau untuk menciptakan instabilitas politik. Semestinya, semua pihak mendukung upaya yang dilakukan badan legislatif untuk mengontrol pemerintah, dengan catatan mekanisme kontrol tersebut dilakukan dalam rangka check and balances, dijalankan secara transparan, bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, dan berada dalam jalur hukum atau mengacu pada ketentuan yang ada. Memang, harus diakui ada sebagian oknum perilaku anggota dewan yang kurang konstruktif dalam membangun good governance. Perilaku sebagian komunitas dewan ini, hendaknya tidak digeneralisir dan kemudian mengurangi hakikat check and balances. Demokrasi, good governance, dan clean government tidak mungkin akan tercipta jika tidak ada check and balances. Untuk itu, dewan harus konsisten mengontrol pemerintah; pers, mahasiswa, dan kaum cendekia harus mengingatkan dewan; dan lembaga swadaya masyarakat harus bisa menempatkan diri sebagai mitra masyarakat, mitra eksekutif, dan sekaligus mitra legislatif, bukan sebagai suatu institusi yang memosisikan diri secara konfrontatif dengan eksekutif dan legislatif dengan mengatasnamakan rakyat. Untuk fungsi anggaran, lembaga legislatif dapat memainkan peran agar pemerintah memberikan alokasi dana yang cukup untuk program-program pemberantasan korupsi. Dana tersebut bisa digunakan untuk melakukan pelatihan guna meningkatkan profesionalitas aparatur hukum dan sekaligus dapat digunakan untuk memodernisasi sarana dan prasarana hukum, maupun dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan berupa gaji. Keenam. Pemberdayaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi ini adalah lembaga baru yang dibentuk berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 yang diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002. Komisi Pemberantasan Korupsi ini
233
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
mempunyai tugas: (a) koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (c) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; (d) melakukan tindakantindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan (e) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Pembentukan komisi ini merupakan upaya yang luar biasa setelah selama ini upaya pemberantasan korupsi secara konvensional mengalami berbagai hambatan. Badan khusus ini dengan kewenangan yang luas sangat diharapkan sebagai ultimum remedium yang dapat melakukan pemberantasan korupsi secara optimal di negara ini. Ketujuh, Pembentukan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Sebuah harapan, kini telah muncul setelah sekian lama diusulkan perlunya pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Melalui UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur pembentukan pengadilan khusus yang bertugas dan berwenang memeriksa dan menuntaskan tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada kesempatan yang baik ini, saya sangat berharap agar pengadilan ini dapat diberdayakan maksimal. Para hadirin yang saya hormati, saya akhiri pidato saya ini dengan harapan kiranya Universitas Krisnadwipayana yang pada hari ini memperingati Dies Natalis ke-51 dapat mempelopori dan memberi keteladanan bersama dengan pemerintah untuk memberantas korupsi di negara kita yang tercinta ini. Terima kasih, Dirgahayu Universitas Krisnadwipayana dan Selamat Dies Natalis ke-51.
Daftar Pustaka Askin, Moh. 1998. Implikasi Reformasi terhadap Kinerja Pemerintah sebagai Wujud Good Governance. Makalah.
234
Bab 17: Pemberantasan Korupsi: Sebuah Keharusan
_____________. 1998. Korupsi dan Kolusi Harus Diberantas. Artikel. Fajar. _____________. 2002. Pola-pola Korupsi dan Penanggulangannya Ditinjau dari Aspek Hukum. Makalah. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 1999. Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional. Jakarta: BPKP. Hermien Hadiati Koeswadji. 1994. Korupsi di Indonesia, dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Indonesia Corruption Watch. 2000. Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi. Terjemahan. Jakarta: ICW. Mulyadi, Lilik. 2000. Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Nasution, Adnan Buyung dkk. 1999. Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Soedarso, R. 1969. Korupsi di Indonesia. Jakarta: Bhratara. Soekanto, Soerjono. 1986. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Cetakan Kedua. Jakarta: Rajawali. Soewartojo, Juniadi. 1995. Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran Pengawasan dalam Penanggulangannya. Jakarta: Restu Agung. Wiyono, R. 1975. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Bandung: Alumni.
235
18 STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA A. KEADAAN DI INDONESIA Gerakan reformasi sebagai langkah perbaikan kehidupan kenegaraan telah berlanjut hingga sekarang. Salah satu aspek yang masih memerlukan kerja keras adalah pemberantasan korupsi. Untuk itu sangat diperlukan penyamaan persepsi bagi seluruh masyarakat terutama generasi muda dan mahasiswa sebagai calon pemimpin hari esok dan pelanjut generasi bahwa korupsi harus diberantas. Generasi ini tidak boleh mentolerir adanya korupsi di sekitar kita agar tidak mengalami nasib buruk seperti yang dialami kejatuhan rezim Chiang Kai Shek di Tiongkok, Ngo Dim Diem di Vietnam. Raja Farouk di Mesir, Raja Idris di Libia, dan Marcos di Filipina.1 Sebaiknya, patut dipelajari keberhasilan pemberantasan korupsi di berbagai negara seperti Australia (New South Wales), Selandia Baru, Singapura, Hong Kong, dan negara lainnya di Eropa seperti Denmark, Finlandia, Swedia, Norwegia, dan Swiss. Kita juga patut bersyukur oleh karena gerakan melawan korupsi ini semakin giat dilakukan; suatu bukti pembenaran Hadis Rasulullah saw., bahwa “akan ada dan tetap
1
A. Rachman Zainuddin, Kata Pengantar buku Korupsi dan Ekonomi Dunia (terjemahan) vide Hamzah, Andi, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 2.
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
ada segolongan dari umatku yang menegakkan agama yang benar ini dan tidak merusak kepada mereka penghinaan-penghinaan yang dilancarkan musuh, sehingga datang pembelaan dari Allah”. Pemberantasan korupsi ini dapat dikaji dari aspek sosial-ekonomi, sosial-budaya, politik, ketahan nasional, aspek hukum, dan lain-lain. Hasil survei Global Corrupt Barometer, (2006) yang disiarkan Transparancy International Indonesia (TII), menunjukkan bahwa dari 160 negara yang disurvei, Indonesia di urutan ke-130 bersama-sama negara-negara Afrika yang juga amat ketinggalan dalam pemberantasan korupsi.2 Keadaan pada tahun 2007 ini mulai menunjukkan kemajuan dalam pemberantasan kerupsi. Hasil survei Lembaga Konsultan Political and Economic Risk (Risiko Politik dan Ekonomi = PERC) menyebutkan bahwa upaya Indonesia memberantas korupsi semakin meningkat. Hasil survei ini menunjukkan bahwa Filipina sekarang sebagai negara terkorup di Asia, sebaliknya Singapura dan Hong Kong adalah negara yang “bersih” dari korupsi. Kesimpulan hasil survei PERC ini didapat setelah menanyai sekitar 1.500 eksekutif bisnis asing di 13 negara di kawasan Asia Tenggara pada Januari Februari 2007. Dengan sistem penggolongan nilai 0 sebagai nilai terbaik dan 10 sebagai nilai terburuk, Filipina mendapat nilai 9,40. Setelah Filipina, urutan kedua diisi Thailand dan Indonesia yang sama-sama meraih nilai 8,03.3 Keadaan tahun 2014, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia naik 7 peringkat dari keadaan sebelumnya yakni berada di peringkat 107 dengan skor 34. Singapura adalah satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang masuk 10 besar, menempati urutan ke-7 sebagai negara yang paling bersih. Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Swedia, Norwegia, dan Swiss adalah urutan negara-negara yang memiliki penilaian negara yang paling bersih dari korupsi. Kualitas pelaku, persebaran, dan sumber korupsi, data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan kasus kasus korupsi yang melibatkan pemerintah daerah masih paling dominan, yaitu mencapai 40,71% dan DPRD mencapai 20,71%, berikutnya BUMN/BUMD sebesar 20,00% dari total 140 kasus yang dikaji. Bagian
2 3
238
Tajuk Rencana Kompas, 11-12-2006. Republika, 7 Maret, 2007.
Bab 18: Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
terbesar kasus korupsi tersebut menyangkut dana APBD mencapai 33,57% dari 140 kasus, disusul korupsi di sektor pertanahan dan perumahan (12,14%), pilkada/pemilu (7,14%), pendidikan (6,43%) dan sektor energi listrik (5%). Dalam temuan ini juga dikemukakan bahwa modus kasus korupsi masih kerap menggunakan cara-cara klasik. Kasus terbanyak umumnya adalah penggelembungan harga (mark up) sebesar 29,29%, penyimpangan anggaran 24,29%, penggelapan 17,86%, dan manipulasi 7,86%.4 Pada tahun 2008, TII melakukan lagi survei terhadap 15 instansi lembaga pelayanan publik dan diperoleh data penyalahgunaan kekuasaan dengan melakukan korupsi. Hasilnya mulai dari urutan tertinggi dengan persentase (%), Polisi (48, Bea Cukai 41, Kantor Imigrasi 34, DLLAJ 33, Pemerintah Kota 33, Pertahanan Nasional 32, Pelindo 30, Pengadilan 30, Dephuk dan HAM 21, dan Angkasa Pura 21).5 Keadaan tahun 2014 berdasarkan jenis perkara korupsi yang ditangani KPK, kasus penyuapan masih menempati urutan tertinggi, disusul kasus pengadaan barang dan jasa, pencucian uang, dan perizinan. Korupsi dewasa ini bukan lagi suatu gejala melainkan sebagian kalangan sudah menyebut merupakan “budaya korupsi”. Tentu saja yang dimaksud bukan pada hakikat keberadaan budaya atau semua aparat melakukan korupsi, tetapi telah munculnya anggapan bahwa korupsi, kolusi, pungli (pungutan liar), dan semacamnya adalah soal biasa dan merupakan berita keseharian; bahkan tidak malu hati lagi tampak sebagai orang kaya mendadak yang kesemuanya itu didapatnya dari hasil korupsi atau kolusi. Anggota masyarakat terkesan enggan melaporkan oknum pejabat negara, birokrat, konglomerat, dan oknum aparat hukum yang melakukan korupsi. Akibatnya, terjadilah penurunan investasi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan bertambahnya angka kemiskinan, menurunnya kualitas pendidikan, dan pada puncaknya terjadilah krisis multidimensional. Korupsi telah menjadikan rakyat menjadi sengsara karena terjadi kebocoran dalam penghasilan negara.
4 5
Kompas, 2 Agustus, 2006. Farouk Muhammad, dalam Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Komisi Yudisial, 2009, hlm. 297.
239
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
B. HUBUNGAN PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN PEMBANGUNAN Pelaksaanaan pembangunan nasional memerlukan biaya yang sangat besar sesuai dengan skala pembangunan yang dilakukan sedangkan korupsi merupakan tindakan yang menghilangkan atau merugikan keuangan negara/perekonomian negara. Meluasnya korupsi di negara ini yang berakibat pada kebocoran anggaran negara, jelas sangat menghambat pembangunan yang sedang dijalankan. Beragam kegiatan yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Rincian dan jenis kasus penyimpangan keuangan negara yang berindikasi tindak pidana korupsi dimaksud antara lain: menipulasi kredit, manipulasi penerbitan deposito dan penerbitan promes fiktif, manipulasi penerimaan negara/daerah, harga/nilai kontrak terlalu tinggi, pemenang lelang tidak sesuai ketentuan, pembayaran fiktif, pemalsuan surat/dokumen manipulasi penggunaan barang/dana, pemberian kredit menyimpang dari prosedur, ketekoran kas, manipulasi biaya pembebasan tanah, penggunaan uang negara tidak sesuai ketentuan, realisasi pekerjaan tidak sesuai kontrak, penggelapan uang negara, ketekoran barang/material, pemberian jaminan bank menyimpang dari prosedur, manipulasi gaji pegawai, pengutan liar, penyalahgunaan biaya perjalanan dinas, tidak melakukan pungutan uang negara/MPO.6 Konsekuensi atau dampak perbuatan korupsi terhadap pembangunan atau kehidupan bernegara dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut: Pertama, negara yang dianggap tingkat korupsinya tinggi berdampak negatip terhadap laju pembangunan ekonomi di negara tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negar-negara yang dianggap korup ternyata sangat sedikit dapat menarik investasi.7 Untuk Indonesia, peningkatan investasi dan ekspor nonmigas adalah salah satu sektor pembangunan yang diunggulkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Permasalahan yang dihadapi dalam sektor pembangunan ini antara lain dinyatakan bahwa prosedur perijinan investasi yang panjang dan mahal. Prosedur yang panjang dan berbelit tidak hanya mengakibatkan
6
240
BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Jakarta, 1999, hlm. 280-281.
Bab 18: Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan, baik untuk kepentingan perusahaan maupun untuk kepentingan nasional seperti dalam bentuk penciptaan lapangan kerja. Untuk dalam menetapkan arah kebijakan pembangunan dalam sektor ini antara lain dikemukakan “mengurangi biaya transaksi dan praktik ekonomi biaya tinggi, baik untuk tahapan memulai (start up) maupun tahapan operasi suatu bisnis.8 Kedua, dampak sosial-kriminalitas. Bilamana korupsi yang terjadi dibiarkan berlanjut atau tidak ditangani secara tuntas, hal tersebut akan menimbulkan dampak sosial yang signifikan yakni terciptanya persepsi “budaya korupsi”; yang akan mendorong lahirnya tindakan kriminalitas. Budaya korupsi ini akan melahirkan demoralisasi penduduk suatu negara. Pendapat bahwa korupsi telah menjadi suatu penyakit yang sangat parah banyak dikemukakan oleh para pakar/pengamat ekonomi dan politik serta para tokoh masyarakat. Pendapat lainnya menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi suatu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan dikatakan bahwa pemerintahan justru akan hancur apabila korupsi diberantas. Hal ini disebabkan karena daya tahan struktur pemerintahan sangat bergantung pada kelancaran penyaluran dana itu.9 Hasil pemeriksaan BPKP (1999) dalam beberapa periode terungkap adanya berbagai penyimpangan keuangan negara sebesar Rp12,28 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp7,89 triliun (64,30%) telah ditindaklanjuti oleh pimpinan instansi terkait.10 Ketiga, dampak stabilitas dan kelangsungan suatu negara. Korupsi adalah akar dari semua masalah (corruption is the root of the evil). Korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim, dan bahkan juga menyengsarakan suatu bangsa. Kejatuhan berbagai tokoh pemerintahan di berbagai negara adalah akibat langsung dari korupsi yang meluas.
7
8 9 10
Canadian International Development Agency (CIDA), Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, ICW, Jakarta, 2000, hlm. 19. RPJMN 2004-2009, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 172-173. CIDA, Op. Cit., hlm. 19, lihat pula Alatas, Sosiologi Korupsi, LP3ES, 1981, hlm. 3; dan BPKP, Op. Cit., hlm. 23-24. BPKP, Op. Cit., hlm. 279.
241
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Demikian pula halnya atas tindakan korup para pejabat VOC (Verenigde Oost Indische Company) yang dilakukan atas prinsip daripada menerima gaji yang sangat kecil, para pejabat VOC lebih memilih melaporkan “beban utang kantor” tahunan kepada perusahaan. Belakangan pada abad ke-18, penggelapan dan ketiadaan transparansi—yang dalam kacamata para investor di negeri Belanda dipandang sebagai praktik bisnis— menjadi salah satu faktor penyebab kebangkrutan dan pengambilalihan VOV oleh Kerajaan Belanda pada abad ke-19.11 Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pihak lain seperti dikemukakan di atas, dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya. Dampak korupsi terhadap pembangunan pada prinsipnya dipandang negatif. Dengan terjadinya korupsi akan mengakibatkan pemborosan atau kerugian negara atau perekonomian negara.
Pemberantasan Korupsi dan Pembangunan Keberhasilan memberantas korupsi dengan menggunakan strategi preventif, detektif, maupun represif, akan menimbulkan dampak positif terhadap pembangunan yang sedang giat-giatnya dilaksanakan. Dengan berpatokan pada adagium bahwa korupsi adalah akar permasalahan pembangunan suatu bangsa maka dengan keberhasilan memberantas korupsi ada beberapa hal yang dapat dicatat sebagai kebalikan dari dampak negatif sebagai berikut: Pertama, dengan keberhasilan pemberantasan korupsi berarti telah menyelamatkan keuangan negara atau perekonomian negara dari tindakan seseorang, kelompok, atau badan hukum yang bertentangan dengan hukum. Dengan demikian, rencana anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah dapat dilaksanakan sesuai peruntukannya dan pembangunan dapat dilksanakan secara efektif dan efisen. Kedua, keberhasilan memberantas korupsi akan melahirkan kepercayaan, baik dalam maupun luar negeri. Kalangan investor akan merasa aman menanamkan
11
242
Tanthowi, Membasmi Kanker Korupsi, PSAP, Jakarta, Cet. Kedua, 2005, hlm. 130-131.
Bab 18: Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
modalnya, dan selanjutnya akan berdampak positif memperlacar roda perekonomian. Kalangan dunia bisnis pun akan bergairah oleh karena telah terhindar dari biaya tinggi yang mendera mereka selama praktik KKN masih merajalela. Ketiga, keberhasilan memberantas korupsi juga akan mengubah sikap masyarakat dari rasa apatis menjadi optimis dan aktif berperan serta dalam pembangunan sebagai wujud kepercayaan kepada pemerintah. Keempat, menghilangkan rasa kecemburuan sosial akibat mudahnya seorang pejabat memperoleh kekayaan secara ilegal. Keadaan demikian akan berubah menjadi perlombaan pembenahan diri secara mandiri untuk bekerja secara profesional yang pada akhirnya akan mempercepat tercapainya sasaran dan tujuan pembangunan menuju masyarakat adil dan sejahtera di bawah lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
C. KERANGKA HUKUM DAN KEBIJAKAN NASIONAL Upaya Pemberantasan dan penanggulangan tidak pidana korupsi di Indonesia, secara yuridis telah diatur dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) sebagai ketentuan yang berlaku terhadap tindak pidana pada umumnya. Berhubung KUHP dipandang tidak dapat lagi menanggulangi meluasnya korupsi sebagai penyakit masyarakat yang menggorogoti keuangan negara dan menghambat pembangunan maka ditetapkan peraturan khusus pemberantasan tindak pidana korupsi.
1. Era Reformasi Selama reformasi bergulir, upaya untuk menindak para pelaku korupsi semakin ditingkatkan dengan merevisi berbagai peraturan perundang-undangan. Pada tahap awal, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menetapkan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Upaya pemberantasan KKN terus berlanjut dengan penyusunan Undang-Undang (UU) No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, kemudian terbit UU No. 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
243
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada tahun 2002, terbit Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai bentuk implementasi dari UUPTPK yang merekomendasikan pembentukan komisi tersebut. Undang-undang di atas sebagai ketentuan hukum positif dewasa ini menetapkan tiga puluh empat jenis tindak pidana korupsi yang menurut sumbernya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Pertama, rumusan delik yang berasal dari KUHP yang dijadikan delik korupsi sebagai delik tersendiri dengan penambahan ancaman pidana; kedua, rumusan delik baru yang diciptakan oleh pembuat undang-undang. Kemudian untuk mengatur masalah pembuktian telah diatur beberapa ketentuan sebagai pengembangan dari pengaturan sebelumnya. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) mengatur sistem pembuktian terbalik. Meskipun sistem pembuktian terbalik yang diatur dalam undang-undang ini belum sempurna, hal tersebut sudah merupakan langkah maju dalam pengaturan sistem pembuktian dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Adalah sangat diharapkan agar sistem pembuktian ini dapat dilaksanakan dengan baik oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara korupsi dan pada waktunya diciptakan ketentuan sistem pembuktian yang sempurna. Beberapa hal yang perlu dicatat berkenaan dengan pengaturan sistem pembuktian menurut UU No. 20 Tahun 2001, yakni: a.
alat bukti petunjuk dalam tindak pidana korupsi juga diperoleh dari: (1) alat bukti berupa informasi secara elektronik; serta (2) dokumen-dokumen yang dapat dibaca, dilihat, atau didengar berupa kertas, benda fisik lainnya, termasuk secara elektronik.
b.
terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi;
c.
terdakwa wajib memberikan keterangan seluruh harta bendanya, harta benda istri atau suami, dan pihak lainnya yang diduga berhubungan dengan dakwaan;
d.
dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan tidak seimbang
244
Bab 18: Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
dengan penghasilan akan memperkuat bukti lainnya bahwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (2)); e.
penuntut umum wajib membuktikan dakwaannya, Pasal 37A ayat (3);
f.
terdakwa wajib pula membuktikan sebaliknya harta benda miliknya yang belum didakwakan tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi, Pasal 38B ayat (1).
Berbarengan dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan tersebut, MPR menegaskan kembali dalam Ketetapan MPR-RI No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Arah kebijakan pemberantasan korupsi diatur dalam Pasal 2 yang berbunyi antara lain: 1.
mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum.
2.
melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya.
3.
mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak yang berwenang berbagai dugaan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan anggota masyarakat.
Penjabaran kebijakan di atas tercantum dalam RPJMN 2004-2009, sub Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Perangkat undang-undang yang sudah cukup komprehensif tersebut, pada kenyataannya belum juga mampu mempercepat proses penindakan korupsi.
2. Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut KPK adalah institusi baru yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUKPTPK).
245
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
KPK mempunyai tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 6: (a) koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (c) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; (d) melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan (e) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara. Alinea ketiga penjelasan umum undang-undang ini menyatakan bahwa pembentukan KPK sebagai badan yang bersifat khusus merupakan metode penegakan hukum luar biasa yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan mana pun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebelum adanya KPK, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan instansi penyelidik, penyidik polri dan penyidik pegawai negeri sipil berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana jo. Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, jaksa kembali diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan untuk tindak pidana korupsi. Dengan demikian berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, penyidikan terhadap perkara korupsi dilakukan oleh: KPK, pejabat kepolisian, penyidik PNS, dan kejaksaan. KPK dalam menjalankan tugasnya memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Dengan kewenangan yang begitu luas yang dimiliki oleh KPK, maka menurut undang-undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi: 1)
dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpart” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2)
tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, penuntutan;
3)
berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada pemberantasan korupsi (trigger mechanism);
4)
berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah dan
246
Bab 18: Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan. Lahirnya badan khusus KPK ini dengan tugas dan kewenangan yang luas sangat diharapkan dapat melakukan upaya pemberantasan korupsi secara optimal di negara ini.
D. STRATEGI DAN RENCANA AKSI KPK 1. Komitmen untuk Memberantas Korupsi Selain penetapan strategi dan rencana aksi dalam memberantas korupsi, langkah pertama yang harus diupayakan adalah terciptanya komitmen (keterikatan) untuk memberantas korupsi. Komitmen politik atau kemauan politik (political will) untuk memberantas korupsi secara berkelanjutan terutama ditujukan kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung dan jajaran lembaga peradilan di bawahnya, Badan Pemeriksa Keuangan, dan aparat penegak hukum lainnya yakni KPK, kepollisian, dan kejaksaan.
2. Strategi dan Rencana Aksi KPK Strategi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi pada prinsipnya dapat dilakukan dengan (1) strategi preventif, (2) strategi detektif, dan (3) strategi Represif.12 a.
Strategi Preventif, diarahkan kepada upaya untuk menghilangkan penyebab korupsi dan menghilangkan peluang melakukan korupsi. 1) Meneliti Sebab-sebab Korupsi Secara Berkelanjutan. Rencana aktivitasnya antara lain diadakan kajian atau penelitian secara langsung berkenaan dengan kasus-kasus korupsi yang terjadi, sebab-sebab yang mendorong untuk melakukan korupsi dan variabel lainnya.
12
Modifikasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, BPKP, Jakarta, 1999.
247
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
2) Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional. Rencana aksi antara lain pelaksaanaan advokasi untuk memberantas korupsi dan menciptakan nilai-nilai anti korupsi oleh segenap masyarakat. Pendekatan keagamaan sangat tepat diikutkan dalam program ini dalam memberantas korupsi. Agama akan menuntun setiap penganutnya untuk berperilaku yang benar sesuai tuntutan agama yang dianutnya. 3) Penyempurnaan Manajemen SDM dan Peningkatan Gaji PNS Rencana aksi antara lain memperjuangkan/mengusulkan pengaturan sistem penggajian PNS yang layak untuk hidup di tengah masyarakat. Evaluasi penilaian prestasi kerja harus dilakukan untuk menetapkan gaji yang sesuai dengan prestasi yang dihasilkan. 4) Upaya preventif lainnya. Rencana aksi dilakukan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan sesuai variabel yang dianggap signifikan sebagai penyebab lahirnya korupsi. b.
Strategi Detektif, diarahkan agar bilamana terjadi suatu tindak pidana korupsi, perbuatan tersebut dapat segera diketahui dengan cepat dan akurat sehingga dapat dengan segera ditindaklanjuti. 1) Sistem Pengaduan Masyarakat Rencana aksi antara lain KPK menginventarisasi, menganalisis, dan menindaklanjuti laporan masyarakat berkenaan terjadinya korupsi di berbagai instansi. 2) Pelaporan kekayaan pribadi pejabat tertentu Rencana aksinya, KPK dengan bekerja sama instansi tertentu hendaknya mengkaji pejabat tertentu yang wajib melaporkan harta kekayaan pribadi. Selanjutnya secara berkala dilakukan audit atas pertambahan kekayaan pejabat tersebut. 3) Pelaporan trasaksi keuangan tertentu Rencana aksinya adalah mewajibkan sejumlah lembaga keuangan tertentu (bank, asuransi, lembaga keuangan lainnya, dll.) untuk melaporkan ke
248
Bab 18: Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
instansi tertentu dalam hal terjadi transaksi keuangan yang melebihi batas tertentu/dicurigai terkait dengan kecurangan keuangan atau transaksi dari/ ke luar negeri. 4) Upaya Detektif lainnya Rencana aksinya diarahkan agar bangsa Indonesia dapat menfaatkan seluruh potensi secara optimal dan terintegrasi guna pemberantasan korupsi. c.
Strategi Represif, diarahkan agar setiap pelaku korupsi dapat diperiksa dan diproses menurut ketentuan hukum yang berlaku secara tuntas dan dapat dikenakan sanksi hukum yang berlaku. Beberapa hal yang perlu diprioritaskan: 1) Pemberdayaan KPK. Rencana aksinya terutama ditujukan untuk peningkatan kapasitas KPK dalam melaksanakan tugas KPK sesuai ketentuan perundang-undangan. 2) Penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, serta penghukuman terhadap koruptor besar. Rencana aksinya meliputi antara lain: a) identifikasi sejumlah orang/organisasi yang diperkirakan terlibat dalam perkara korupsi besar/mendapat perhatian masyarakat; b) analisis langkahlangkah yang tepat kemungkinan penanganan secara perdata atau secara pidana; c) penetapan perkara untuk dilakukan penanganan di pengadilan dengan probabilitas keberhasilan yang cukup tinggi; d) pelaksanaan penyidikan, penuntutan, dan penyidangan perkara yang diberi prioritas tinggi; dan e) pelaporan dan publikasi penanganan perkara korupsi. 3) Evaluasi Proses Penanganan perkara korupsi secara berkelanjutan. Rencana aksinya, kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan intitusi yang terkait misalnya kepolisian, kejaksaan, pengadilan, BPK, dan instansi lainnya di bawah koordinasi KPK. Evaluasi dilakukan terhadap hambatan-hambatan yang dihadapi dengan merekomendasikan antara lain merevisi ketentuan perundangundangan, memperjuangkan perlunya diterapkan sistem pembuktian terbalik yang sempurna, jaminan keamanan terhadap saksi pelapor, dan lain-lain.
249
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
4) Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi. Rencana aksinya antara lain penetapan kasus yang sangat menarik perhatian publik yang dianalisis termasuk modus operandinya. Penyajian informasi perkara yang ditangani KPK ini dimaksudkan agar masyarakat dengan mudah memahami langkah-langkah penanganan tindak pidana korupsi yang ditangani KPK. 5) Upaya Represif lainnya dan rencana aksi yang lebih detail. Upaya represif lainnya perlu diidentifikasi untuk memastikan bahwa seluruh potensi penanggulangan tindak pidana korupsi dapat dimanfaatkan secara maksimal.
E. KOMPETENSI DAN KOMITMEN UNTUK MEMBERANTAS KORUPSI Untuk melaksanakan tugas KPK sebagaimana dikemukakan di atas peran dari pimpinan KPK sangat menentukan keberhasilan lembaga khusus ini. Kompetensi KPK untuk menjadikan lembaga KPK ini efektif dalam melaksanakan tugasnya sangat dipengaruhi kemampuan berpikir secara rasional dan kritis dalam melaksanakan tugas KPK. Kompetensi diartikan sebagai kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Selain itu komitmen dalam arti perjanjian (keterikatan) untuk melakukan pemberantasan korupsi adalah suatu keharusan bagi KPK. Komitmen untuk memberantas korupsi melalui lembaga KPK ini harus dilaksanakan dengan baik.
F. SIMPULAN 1.
250
Korupsi adalah akar permasalahan pembangunan suatu bangsa sehingga korupsi harus diberantas. Keberhasilan memberantas korupsi berati: Pertama, telah menyelamatkan keuangan negara atau perekonomian negara. Rencana anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah dapat dilaksanakan sesuai peruntukannya dan pembangunan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisen. Kedua, akan melahirkan kepercayaan, baik dalam maupun luar negeri yang berimplikasi
Bab 18: Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
memperlancar pembangunan di segala bidang. Ketiga, merupakan sumber motivasi untuk mengubah sikap masyarakat dari apatis menjadi optimis dan aktif berperan serta dalam pembangunan. Keempat, menghilangkan rasa kecemburuan sosial akibat mudahnya seorang pejabat memperoleh kekayaan secara ilegal. 2.
KPK dengan tugas khusus dan kewenangan yang luas untuk memberantas korupsi, segera menetapkan langkah-langkah strategis dan rencana aksi yang akurat dan terukur dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu KPK agar senantiasa meningkatkan dan memelihara komitmen politik/kemauan politik (political will) para stakeholders untuk memberantas korupsi secara berkelanjutan. Strategi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi pada prinsipnya dapat dilakukan dengan (1) strategi preventif, (2) strategi detektif, dan (3) strategi represif.
3.
Pimpinan KPK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan luas dan khusus untuk melakukan upaya terakhir (ultimum remedium) guna memberantas korupsi, harus memiliki kepribadian: mencintai kebenaran dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, tangguh, tegas, ikhlas, jujur, berani menanggung risiko jabatan, dan menerapkan prinsip good governance, serta sehat jasmani dan rohani.
Daftar Pustaka Alatas, Syed Hussein. 1981. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES. Askin, Moh. 2003. Berbagai Gagasan Strategi Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Genta Paperindo Press. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 1999. Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional. Jakarta: BPKP. Indonesia Corruption Watch. 2000. Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi. Terjemahan. Jakarta: ICW. Kaligis, O.C. & Associates. 2003. The Birth of A Convention. Jakarta: Yarsif Watampone. Kompas (Tim). 2005. Jihad Melawan Korupsi. Kompas. Jakarta.
251
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Mulyadi, Lilik. 2000. Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Nasution, Adnan Buyung dkk. 1999. Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Soewartojo, Juniadi. 1995. Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan dalam Penanggulangannya. Jakarta: Restu Agung. Tanthowi, Pramono U., dkk. 2005 Membasmi Kanker Korupsi. Jakarta: PSAP. Hamzah Andi. 2005. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Jakarta, 1999.
252
Hasil studi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam “Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN)”, 1999, Bab II, merumuskan pendekatan perumusan Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional
Strategi Pemberantasan Korupsi
Lampiran I/18
Bab 18: Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
253
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Lampiran II/18 Upaya-upaya dalam Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional Hasil Studi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam “Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN)”, 1999, Bab II, merumuskan Pendekatan Perumusan Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional: Upaya-upaya Strategi Preventif: 1.
Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat.
2.
Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran Pengadilan di bawahnya.
3.
Meneliti sebab-sebab korupsi secara terus-menerus.
4.
Pembangunan kode etik di sektor publik.
5.
Pembangunan kode etik di sektor parpol, organisasi profesi asosiasi bisnis.
6.
Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional.
7.
Penyempurnaan manajemen SDM dan peningkatan gaji pegawai negeri.
8.
Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas bagi instansi pemerintah.
9.
Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen.
10. Penyempurnaan manajemen aktiva tetap milik negara. 11. Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. 12. Upaya-upaya preventif lainnya.
Upaya-upaya Strategi Detektif: 1.
254
Perbaikan sistem dan yindaklanjut atas pengaduan dari masyarakat.
Bab 18: Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
2.
Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu.
3.
Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik.Partisipasi Indonesia pada gerakan anti-korupsi dan anti-pencucian uang di masyarakat internasional.
4.
Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional.
5.
Peningkatan kemampuan APFP dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.
6.
Upaya-upaya detektif lainnya.
Upaya-upaya Strategi Represif: 1.
Pembentukan Badan Anti Korupsi
2.
Penyidikan, penuntutan, peradilan, penghukuman beberapa koruptor besar.
3.
Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas.
4.
Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik.
5.
Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus-menerus.
6.
Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu.
7.
Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya.
8.
Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas Penyidik Tindak Pidana Korupsi dengan Penyidik Umum, PPNS, dan Penuntut Umum.
9.
Upaya-upaya represif lainnya.
255
19 BERBAGAI GAGASAN STRATEGI PEMBERANTASAN KKN Beberapa gagasan strategi pemberantasan KKN telah berhasil diedit dari berbagai sumber, dikemukakan sebagai berikut:
1.
Amien Rais1 menyatakan:
Harapan yang masih tersisa dalam pencegahan dan penanggulangan KKN adalah kekuatan moral keagamaan. Begitu terang-benderangnya ajaran agama di dalam membedakan perkara mana yang haq dan mana bathil, mana yang benar mana yang salah, mana yang terpuji mana yang terkutuk. Sehingga dari wacana keagamaan dan dari sudut pandang agama, seseorang yang sampai memberikan toleransi pada perilaku KKN, maka tidak berlebihan jika dikatakan sseorang tersebut harus diragukan keimanannya. Maka dalam konteks ini kita dapat mengatakan bahwa para agamawan atau mereka yang memegang teguh ajaran-ajaran agama seharusnya memiliki keberanian yang jauh di atas rata-rata, karena memberantas KKN itu merupakan bagian dari keimanan seseorang.
1
Kata Pengantar dalam buku “Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesi”, Penyunting, Edy Suandi Hamid, Muhammad Sayuti, Editya Media, 1999, hlm. ix-xiv.
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Kita tidak boleh patah semangat oleh karena perjuangan untuk menegakkan reformasi insya Allah akan berakhir dengan kemenangan. Apa yang sekarang ini kita anggap mustahil sehingga kita seolah-olah mendapatkan mission impossible untuk menanggulangi KKN itu, namun dalam jangka panjang kalau ada kepemimpinan nasional yang jujur, yang menekankan pada kebenaran dan keadilan, tidak ewuh pekewuh untuk mulai memangkas KKN yang bersarang di tubuh berbagai departemen dan di berbagai sel-sel dalam dunia pengusaha, maka KKN tentu akan dapat ditanggulangi. Kita perlu meyakini pada saatnya bila pemerintahan baru telah terbentuk dengan visi yang jauh ke depan, dengan keberanian moral untuk membasmi KKN, dan dengan melandaskan program-program pada kebersamaan, keterbukaan, dan kejujuran, akhirnya KKN itu bukan sesuatu yang mustahil untuk ditanggulangi.
2. Kwik Kian Gie2, (Mantan Menko Ekuin) mengemukakan: KONSEP PENGHAPUSAN KORUPSI Isu utama yang dihadapi bangsa Indonesia adalah KKN yang menyebabkan sumber daya manusia mengalami dekadensi. Dekadensi karakter, sistem nilai dan moral di antara para elit pemerintahan Indonesia yang telah memporak-porandakan segala sesuatu, termasuk institusi pemerintah dan mekanisme kerja mereka. Konsep penghapusan korupsi sangat sederhana yaitu the carrtot and stick. Efektivitas pendekatan ini telah dibuktikan oleh banyak negara, di antaranya Singapura dan belakangan RRC. Carrot (wortel) berkenaan dengan penghasilan bersih pegawai sipil dan mereka yang ada di militer dan kepolisian, yang jelas cukup untuk memenuhi kebutuhan standar hidupnya yang sepadan dengan pendidikan, keahlian, kepemimpinan, tingkatan, dan posisinya. Jika perlu pendapatannya dibuat sangat tinggi sehingga tidak hanya mampu hidup secara layak, tapi juga cukup untuk hidup terhormat. Struktur penggajian sekarang tergolong kompleks. Di atas gaji pokok, terdapat berbagai macam tunjangan keuangan
2
258
Harian Republika, 17, 18 Februari, 2003.
Bab 19: Berbagai Gagasan Strategi Pemberantasan KKN
dan yang berkaitan dengan kedudukan. Tetapi, struktur gaji dan sistem promosi tidak tampak dikaitkan dengan jasa dan kemampuan; dan ini harus diubah. Semakin besar beban dan tanggung jawab, harus makin tinggi pendapatan bersihnya. Jadi kita perlu memulai dengan mereformasi struktur gaji pegawai negeri, agar adil dan berdasarkan jasa. Stick (tongkat) berkenaan dengan hukuman: ketika semua kebutuhannya dapat terpenuhi dan orang masih melakukan korupsi, maka harus diberikan hukuman yang keras. Dengan gaji yang cukup atau bahkan pendapatan pada tingkat nyaman, selanjutnya kita dapat dengan mudah memberikan hukuman paling keras bagi yang masih didapatui melakukan korupsi. Di masyarakat di mana korupsi telah mencapai tingkatan seperti yang terjadi di Indonesia, hukuman yang sifatnya setengah-setengah tak akan efektif. Tak ada lagi rasa malu. Memang, korupsi tak bisa dipisahkan dari kolusi karena tindaklan itu selalu dilakukan oleh lebih dari seorang. Nepotisme juga menjadi sebuah faktor penting mengingat hampir semua tindakan korupsi karena kuatnya dorongan dari anak-anak, istri, dan keluarga dengan mereka. Untuk Indonesia, hukuman yang paling tepat adalah hukuman mati atau sekurang-kurangnya penjara seumur hidup. Pembasmian KKN harus dimulai dari pimpinan tertinggi. Artinya, bukan hanya presiden, tetapi seluruh pejabat tinggi negara. Mereka harus komit untuk tidak melakukan KKN … Mereka harus diberi penjelasan dengan sejelas-jelasnya bahwa akan mendapatkan hukuman keras bila mereka masih melakukan KKN.
3.
Feisal Tamin3 (Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara) mengemukakan gagasan untuk: MEMBEBASKAN NEGARA DARI KKN
Kita dapat memahami bahwa KKN umumnya dilakukan pada tiga lini utama, yaitu: pertama, lini penerimaan, baik pajak maupun retribusi, kedua, lini pengeluaran baik pada belanja rutin maupun belanja pembangunan, dan ketiga kutipan tidak resmi
3
Harian Republika, 27-11-2003.
259
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
terhadap pelayanan publik.Selain itu, yang berkembang seperti praktik-praktik kolusi antara lain seperti petugas pajak dengan wajib pajak, juga dalam hal penerbitan berbagai izin. Kita sulit membantah bahwa akumulasi dari tradisi seluruh modus KKN telah memengaruhi citra dan wibawa pemerintah hampir di semua lini, yang pada akhirnya memicu kekecewaan publik. Dalam konteks Heksa Krida Kabinet Gotong Royong, aspek pengawasan dan komitmen terhadap pemberantasan KKN tidak lagi diperlakukan sebagai kebijakan yang terpisah, melainkan merupakan bagian dari keseluruhan program pendayagunaan aparatur negara. Struktur organisasi pemerintah yang tidak mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat, kualifikasi SDM aparatur pemerintah yang marjinal dan sistem pelayanan publik yang kurang transparan, telah menjadi lahan subur bagi tumbuh berkembangnya budaya KKN. Sekali lagi, seluruh aparatur negara membutuhkan bukan hanya komitmen politik dan moral, tetapi juga tekad yang dilandasi kecerdasan bersama untuk menjamin tidak terjadi lagi pembiasan. Kalau aparatur negara bersikap setengah hati dan membiarkan kebijakan mengalami penyimpangan, maka integritas, wibawa dan kepercayaan publik mejadi taruhannya.
4.
Darlis Darwis4, mengajukan konsep: UPAYA-UPAYA UNTUK MENGHAMBAT PRAKTIK KKN
a.
Mengupayakan agar bangsa ini senantiasa berpandangan secara realistis dalam menngarungi kehidupannya. Sebagai contoh adalah gaji PNS yang sangat rendah, setidak-tidaknya ada statement bahwa gaji pegawai negeri penting untuk dinaikkan dua atau tiga kali lipat sampai pada batas mencukupi layak, yang dilakukan secara bertahap dan secara simultan jumlah PNS harus dikurangi.
b.
Menegakkan hukum seadil-adilnya disertai dengan kemauan politik.
4
260
Edy Suandi Hamid, Muhammad Sayuti, Ibid., hlm. 62-63.
Bab 19: Berbagai Gagasan Strategi Pemberantasan KKN
c.
Membenahi biroklrasi pemerintahan dari pusat sampai daerah. Ada beberapa level yang harus diganti, dibenahi.
d.
Merubah sistem politik yang monolitik ke arah yang lebih demokratis.
e.
Melakukan efisiensi terhadap jumlah pegawai pemerintahan di semua lini dari pusat sampai daerah.
5.
Mar’ie Muhammad5 mengemukakan gagasan: UPAYA-UPAYA UNTUK MENEKAN PRAKTIK KKN
a.
Meningkatkan daya tahan dan daya saing bangsa dalam negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
b.
Mengembangkan ukuran-ukuran yang objektif agar segala jenis rekrutmen sumber daya manusia benar-benar didasarkan pada prestasi kerja, ini yang biasa disebut sebagai meritocracy.
c.
Mengembangkan daulat hukum (rule of law), keamanan dan ketertiban dalam masyarakat serta membebaskan masyarakat dari rasa takut.
d.
Menciptakan masyarakat dan pemerintah yang bersih, yang didasarkan pada pertanggungjawaban etika dan moral, atau dengan bahasa Islam: ahlakul karimah.
e.
Demokratisasi di semua bidang, dengan tetap memerhatikan keseimbangan antara hak dan tanggung jawab yang menuju suatu masyarakat yang egaliter.
6.
Th. Sumartana6 mengajukan gagasan: ETIKA DAN PENANGGULANGAN KKN DI ERA REFORMASI
a.
5 6
Perlu pemikiran yang segar tentang relasi tentang relasi antarmanusia di masyarakat, yang berstandar pada pemikiran etika yang jernih tentang harkat dan
Edy Suandi Hamid, Muhammad Sayuti, Ibid., hlm. 65-66. Edy Suandi Hamid, Muhammad Sayuti, Ibid., hlm. 101-102.
261
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
martabat manusia dalam relasi kemasyarakatan. Proses demokratisasi dan pembentukan “civil society” yang kuat merupakan jalan keluar dari sistem dominasi yang melahirkan rezim KKN. b.
Etika keagamaan harus dirumuskan seeksplisit mungkin dan dibarengi dengan komitmen moral agar bisa diterjemahkan dalam upaya bersama, warga masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap setiap susunan dan relasi kekuasaan yang tertutup dan mengancam harkat dan martabat manusia.
c.
Fragmentasi sosial yang berkembang selama 30 tahun terakhir ini telah melahirkan hubungan-hubungan negatif yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan perseteruan bagi berbagai komunitas agama. Dalam hubungan ini, rekonsiliasi sosial perlu dijadikan agenda utama bagi kelompok-kelompok agama, dengan jalan menggalang kepedulian etika sebagai basis baru sebagai kekuatan “pelangi” untuk membangun masyarakat yang bebas dari KKN.
7.
Djoko Susilo7 (Deputi MenPAN Bidang Akuntabilitas Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara) mengemukakan: UPAYA UNTUK MEMBERANTAS KKN
a.
Meninjau berbagai peraturan yang sudah usang karena berindikasi KKN, yang tidak sesuai lagi dengan asas transparansi dan akuntabilitas publik.
b.
Dimulai dari pempinan untuk meningkatkan komitmen moral dalam melaksanakan tugas pemerintah dan pembangunan.
c.
Menata organisasi dengan visi, misi dan tugas yang jelas.
d.
Menyempurnakan sistem ketatalaksanaan dan memperbaiki manajemen kepegawaian.
e.
Melaksanakan pengembangan budaya kerja aparatur negara.
7
262
Suara Karya, 2003.
Bab 19: Berbagai Gagasan Strategi Pemberantasan KKN
f.
Mengevaluasi laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) yang telah dibuat serta meningkatkan kinerja secara berkelanjutan.
g.
Melakukan tindakan efektivitas sistem manajemen, pengawasan fungsional, dan memberdayakan pengawasan masyarakat.
8.
20 Gagasan Pemberantasan KKN
Partnership for Government in Indonesia (Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia) telah melaksanakan serangkaian diskusi di berbagai kota di Indonesia dengan melibatkan lebih dari 800 orang dari berbagai daerah dan latar belakang untuk merumuskan solusi untuk memberantas korupsi. Berikut ini 20 Gagasan Pemberantasan KKN; dimuat dalam Surat Kabar Kemitraan, Edisi September-Oktober 2002:
A.
Reformasi Pelayanan Masyarakat dan Birokrasi
1.
Mereformasi atau membuat transparan proses dalam pelayanan masyarakat, seperti: pengeluaran izin, perpajakan, pengadaan barang/jasa, penganggaran.
2.
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam pelayanan masyarakat, seperti: rekrutmen pegawai pemerintah (pegawai negeri, polisi, staf BUMN, BUMD) serta evaluasi kinerja dan promosi jabatan.
3.
Memperluas fungsi dan tanggung jawab dari Lembaga Pengawasan Pemerintah, yaitu: BPKP, Irjen, Bawasda, Itwilpro, BPK, Ombudsman.
4.
Memastikan bahwa semua anggaran dan sumber dana bagi departemendepartemen pemerintah telah diumumkan kepada publik dan mendapat persetujuan DPR.
B.
Perubahan Sikap dan Perilaku
1.
Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan PNS mengenai praktik tata pemerintahan yang baik (good governance practices).
2.
Meningkatkan kesadaran warga negara akan hak-hak mereka.
3.
Menerapkan pendidikan kewarganegaraan di dalam dan di luar sekolah.
4.
Memperjelas dan menyebarluaskan hukum agama mengenai anti korupsi.
263
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
C.
Reformasi Sistem Peradilan dan Perundang-undangan yang Penting
1.
Menghentikan praktik suap dari pemerintah dan para pelaku bisnis kepada para legislator agar mengesahkan produk perundangan yang menguntungkan mereka.
2.
Disahkan dan dilaksanakannya UU perlindungan saksi.
3.
Meningkatkan kualitas para profesional hukum (polisi, jaksa, hakim, pengacara).
4.
Menghentikan praktik suap yang dilakukan oleh para bupati dan gubernur kepada para legislator untuk memilih mereka.
5.
Merevisi UU yang memberantas praktik korupsi dan mensosialisasikan RUU yang akan mengontrol korupsi.
D. Meningkatkan Tekanan dan Pengawasan Masyarakat terhadap Pemerintah 1.
Lembaga pemerintah harus memberikan peluang kepada masyarakat melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat.
2.
Menciptakan dan mendukung organisasi pengawasan dari rakyat.
3.
Menyelesaikan kasus KKN di daerah (provinsi, kabupaten, kota madya).
E.
Memberikan Pendidikan dan Informasi tentang Bagaimana Korupsi Berlangsung
1.
Meberikan lebih banyak informasi kepada msyarakat mengenai KKN dan dampaknya.
2.
Membangun pusat studi mengenai korupsi.
F.
Reformasi Sektor Bisnis dan Militer
1.
Membangun bisnis yang mematuhi hukum dan menegakkan UU Perdagangan/ Niaga.
2.
Militer berfungsi sebagai kekuatan militer yang profesional, tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang ilegal.
264
20 UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TIPIKOR DALAM SATU NASKAH Berikut ini dikemukakan upaya penggabungan dua Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi satu naskah. Pasal-pasal Lengkap Gabungan (Satu Naskah) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI*
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. c. bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebudayaan
Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-
*
266
Perubahan.
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk undangundang yang baru tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengingat : 1. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/ 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209). 3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Nomor 3851). 4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874).
267
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi Dengan persetujuan bersama
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
268
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2.
Pegawai negeri adalah meliputi: a.
pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c.
orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e. 3.
orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
269
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 4 Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pasal 5* (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a.
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dalam ayat (1).
*
270
Perubahan.
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
Pasal 6* (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a.
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau sebagaimana, dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7* (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): a.
pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c.
setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan per-
271
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
buatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8* Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 9* Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu bukubuku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
*
272
Perubahan.
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
Pasal 10* Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: a.
menggelapkan menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b.
membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c.
membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat ticlak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11* Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang membiarkan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12* Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
*
Perubahan.
273
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
a.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c.
hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d.
seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
274
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
h.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolaholah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merupakan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i.
pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Pasal 12A* (1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku lagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). (2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12B* (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a.
* *
yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
Perubahan/Pasal baru. Perubahan/Pasal baru.
275
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12C* (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. (3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik penerima atau milik negara. (4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan dimaksud sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 13 Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
*
276
Perubahan/Pasal baru.
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
Pasal 14 Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 15 Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 16 Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 17 Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 18 (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: a.
perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barangbarang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c.
penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
277
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut ditentukan dalam putusan pengadilan.
Pasal 19 (1) Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beriktikad baik akan dirugikan. (2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga barang pihak ketiga yang mempunyai iktikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum. (3) Pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. (4) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim meminta keterangan penuntut umum dan pihak yang berkepentingan. (5) Penetapan hakim atas surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh penuntut umum.
Pasal 20 (1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/ atau pengurusnya.
278
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
(2) Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. (4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain. (5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. (6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. (7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
BAB III TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 21 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 22 Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
279
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 23 Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undangundang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 24 Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
BAB IV PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Pasal 25 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
Pasal 26 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Pasal 26A* Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
*
280
Perubahan/Pasal baru.
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
a.
alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b.
dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas ketas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Pasal 27 Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi jaksa agung.
Pasal 28 Untuk kepentingan penyidakan, tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan/atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Pasal 29 (1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. (2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (3) Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap. (4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.
281
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran.
Pasal 30 Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicungai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.
Pasal 31 (1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. (2) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
Pasal 32 (1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. (2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
Pasal 33 Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
282
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
Pasal 34 Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 35 (1) Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa. (2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa. (3) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberikan keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
Pasal 36 Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.
Pasal 37* (1) Terdakwa mempunyai hak untuk meanbuktikan bahwa, ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
*
Perubahan/Pemecahan menjadi 2 (dua) pasal yakni Pasal 37 dan Pasal 37A dengan penyempurnaan substansi pada Pasal 37 ayat (2).
283
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Pasal 37A** (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Pasal 38 (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. (2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai digunakan dalam sidang yang sekarang. (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. (4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
**
284
Perubahan/Pemecahan Substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan penyempurnaan kata.
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita. (6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding. (7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 38A* Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 38B* (1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalmn Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. (3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
*
Perubahan/Pasal baru.
285
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
(4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. (5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4). (6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Pasal 38C* Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan/atau ahli warisnya.
Pasal 39 Jaksa agung mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
Pasal 40 Dalam hal terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di lingkungan Peradilan Militer, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak dapat diberlakukan.
BAB V PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 41 (1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
286
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk: a.
hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; c.
hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; e.
hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: 1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c; 2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. (4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya. (5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 42 Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa
287
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 43 (1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (2) Komisi sebagaimana. dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat. (4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan orgaisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dengan undang-undang.
BAB VIA* KETENTUAN PERALIHAN Pasal 43A* (1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana
*
288
Perubahan/Bab baru dan Pasal baru.
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasa1 8, Pasal 9, dan Pasal 10 undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum undang-undang ini diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi, tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (2) undang-undang ini.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 43B* Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana jis. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
*
Perubahan/Pasal baru.
289
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 44 Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Nomor 19 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Disahkan di Jakarta pada tanggal 21 Nopember 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.,
ttd.,
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
MEGAWATI SOEKARNOPOETRI
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
290
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 November 2001 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.,
ttd.,
MULADI
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 140
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 134
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
I.
UMUM
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Di tengah budaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
*
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI*
I.
UMUM
Sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan undangundang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini disebabkan Pasal 44 undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum yang memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999. Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan
Perubahan.
291
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyeratakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan
292
keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai “petunjuk” selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimile, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara eletronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Ketentuan mengenai “pembuktian terbalik” perlu ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat “premium remidium” dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara “melawan hukum” dalam pengertian formil dan mareriil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Dalam undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana. Perkembangan baru yang diatur dalam undang-undang ini adalah korporasi sebagai subjek tindak pidana pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu, undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara. Undang-undang ini juga memperluas pengertian pegawai negeri, yang antara lain adalah orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar,
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dar Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undangundang ini. Dalam undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap “harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan/atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara. Selanjutnya dalam undang-undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil. Di samping itu, dalam undang-undang ini dicantumkan Ketentuan Peralihan. Substansi dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai dengan asas umum hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
293
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal baru lainnya adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh jaksa agung, sedangkan proses penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari tersangka atau terdakwa. Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi, undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia. Di samping itu, undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan perlindungan hukum dan penghargaan. Selain memberikan peran serta masyarakat undang-undang ini juga mengamanatkan pem-
294
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah bentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan diatur dalam undang-undang tersendiri dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini diundangkan. Keanggotaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti dengan undangundang ini.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggu-
295
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
langan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.*
Pasal 3 Kata “dapat” dalam ketentuan ini diartikan sama dengan penjelasan Pasal 2.
Pasal 4 Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” dalam pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian “penyelenggara negara” tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam undang-undang ini.*
Pasal 6 Cukup jelas.
Pasal 7 Cukup jelas.*
* *
296
Perubahan. Perubahan.
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “advokat” adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.* Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. *
Perubahan.
297
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas.
Pasal 12A* Cukup jelas.
Pasal 12B Ayat (1) Yang dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cumacuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.* Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 12C* Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku dalam undang-undang ini” adalah baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil.
*
298
Perubahan.
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
Pasal 15 Ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya.
Pasal 16 Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang bersifat transnasional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antarnegara dapat dicegah secara optimal dan efektif. Yang dimaksud dengan “bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan” dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Ayat (1) huruf a Cukup jelas. huruf b Cukup jelas. huruf c Yang dimaksud dengan “penutupan seluruh atau sebagian perusahaan” adalah pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan. huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
299
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim setelah eksekusi maka negara berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang atas barang tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
300
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang oleh Undang-undang ditentukan untuk didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan pada tiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan.
Pasal 26 Kewenangan penyidik dalam pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretaping).
Pasal 26A Huruf a Yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikrofilm, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM).
301
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimile.* Huruf b Cukup jelas.*
Pasal 27 Yang dimaksud dengan “tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya”, antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang: a.
bersifat lintas sektoral;
b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih; atau c.
dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Ayat (1) Ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan, penuntutan, pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memerhatikan koordinasi lintas sektoral dengan instansi terkait. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. *
302
Perubahan.
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
Ayat (4) Yang dimaksud dengan “rekening simpanan” adalah data yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu, termasuk penitipan (custodian) dan penyimpanan barang atau surat berharga (safe deposit box). Rekening simpanan yang diblokir adalah termasuk bunga, deviden, bunga obligasi, atau keuntungan lain yang diperoleh dari simpanan tersebut. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 30 Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada penyidik dalam rangka mempercepat proses penyidikan yang pada dasamya di dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa atau menyita surat harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelapor” dalam ketentuan ini adalah orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya surau tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 32 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
303
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “putusan bebas” adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 33 Yang dimaksud dengan “ahli waris” dalam pasal ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36 Yang dimaksud dengan “petugas agama” dalam pasal ini adalah hanya petugas agama Katolik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang dipercayakan untuk menyimpan rahasia.
Pasal 37 Ayat (1) Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumptian of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination).* Ayat (2) Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk).*
* *
304
Perubahan. Perubahan.
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
Pasal 37A Cukup jelas.*
Pasal 38 Ayat (1) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim. Ayal (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “putusan” yang diumumkan atau diberitahukan adalah petikan surat putusan pengadilan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Ketentuan dalam ayat ini, dimaksudkan pula untuk menyelamatkan kekayaan negara. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga yang beriktikad baik. Batasan waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksudkan untuk menjamin dilaksanakannya eksekusi terhadap barang-barang yang memang berasal dari tindak pidana i.
Pasal 38A Cukup jelas.*
Pasal 38B Ketentuan dalam pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang dikhususkan
305
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
pada perampasan harta benda yang diduga keras juga berasal dari tindak pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pssal 4, Pasal 13, Pssal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 undang-undang ini sebagai tindak pidana pokok. Pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan peri kemanusiaan dan jaminan hidup bagi terdakwa. Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ialah alasan logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, berarti terdakwa bukan pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut.*
Pasal 38C Dasar pemikiran ketentuan dalam pasal ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Harta benda tersebut diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal tersebut, negara memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan/atau ahli warisnya terhadap harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan tetap, baik putusan tersebut didasarkan pada undang-undang sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau setelah berlakunya undang-undang tersebut. Untuk melakukan gugatan tersebut negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.*
*
306
Perubahan.
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
Pasal 39 Yang dimaksud dengan “mengoordinasikan” adalah kewenangan jaksa agung sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan.
Pasal 40 Cukup jelas.
Pasal 41 Ayat (1) Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Perlindungan hukum terhadap pelapor dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi pelapor yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
307
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 42 Ayat (1) Penghargaan kepada masyarakat yang berjasa dalam mengungkap tindak pidana korupsi dengan disertai bukti-bukti, diberikan penghargaan baik berupa piagam maupun premi. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 43A* Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 43B* Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas.
Pasal 45 Cukup jelas.
*
308
Perubahan.
INDEKS A
B
A. Karim Nasution, 48
Badan Pengawasan Pembangunan, 227, 235
AB = Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, 56
Bambang Sutiyoso, 28
Adi Andojo Soetjipto, 43
Bentuk-bentuk Surat Dakwaan, 48
agent of change, 3, 4, 5, 14, 16, 53
Bismar Siregar, 74
ahlakul karimah, 261
Bregstein, 8
akte van verwijzing, 47
bribery, 227
Alat bukti petunjuk, 190
budaya korupsi, 239, 241
amar makruf nahi mungkar, 79
bukan bebas murni, 165
Andi Zainal Abidin Farid, 82, 86
BUMD, 229, 238
Antonius Sudirman, 28, 75
Bundesgerichtshof, 23
Aparat Penegak Hukum, 203, 204, 230, 231, 247 Aparat Penyidik, 172 argumentum a contrario, 9, 11, 20 Arief Hidayat, 135 asas praduga tidak bersalah, 38, 42 asset recovery, 77
bebas terselubung (verkapte vrijspraak), 165
C Canadian International Development Agency (CIDA), 241 Carrot (wortel), 258 Ceteris paribus, 72
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Chamber system, 73, 74, 77
Djoko Sarwoko, 75, 111
Chamelin/Fox/Whisenand, 140
Djoko Susilo, 262
Charles, 70
doktrin per incuriam, 25
check and balances, 233
doktrin stare decisis, 17, 25, 28
civil law, 28
Hatta Ali, 145
civil society, 262 clean government, 233
E
collusion, 226
Edy Suandi Hamid, 257, 260, 261
common law, 10
equality before the law, 119
compliance, 69
Era Reformasi, 12, 243
Concurring Opinion, 66
ewuh pekewuh, 258
conscience of the court, 221
extortion, 227
contra legem, 87, 162, 169
extraordinary crime, 96
contradictio in terminis, 163 corruptie, 226 Corruption Perception Index, 70 counterpart, 246 crimes against humanity, 117 criminal justice system, 140
D
F faktor agama, 228 faktor globalisasi, 228 Feisal Tamin, 259 final and binding, 101, 126 formeele wederrechtelijkheid, 103 forum Mahkejapol, 182
dampak perbuatan korupsi, 240 Darlis Darwis, 260 Dean Pound, 194 decision making, 28 deelneming, 29, 35, 36, 41, 45, 76 detektif, 242, 247, 248, 249, 251, 254, 255 deterrent effect, 231 diktum, 79 dissenting opinion, 65, 83
310
G Global Corrupt Barometer, 238 good governance, 213, 214, 233, 251,
H H. Prasetyo, 133 Hadis Rasulullah saw., 237 hakim ad hoc, 206, 207
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
Hakim Pengadilan TPK, 58, 206
Kejaksaan, 182
Hakim sebagai penemu hukum, 9
kekayaan BUMN, 229
Herman Kantorowicz (1933), 81
Kekuasaan Kehakiman (UUKK), 55, 56
Hibnu Nugroho, 140 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement, 81
Kesadaran Hukum Masyarakat, 5, 14, 53, 232
Hoge Raad, 17, 23, 26, 27, 89
Keterangan Terdakwa, 191
hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht), 60, 208
Keterbukaan Informasi Publik, 63, 214
I
Kode Etik Perilaku Hakim, 156, 159 Komisi Pemberantasan Korupsi, 198, 203 Komisi Yudisial, 19
Indonesian Corruption Watch, 238
konstruksi hukum, 12
integrated criminal justice system, 141, 148, 169, 172
kontante justisi, 98, 143, 171
Interpretasi hukum, 10
korupsi defensif, 227
J
Koordinasi, 169 korupsi ekstortif, 227 korupsi investif, 227
Jaksa sebagai penyidik, 177, 178, 186, 203
korupsi nepotis, 227
Jenis dan hierarki peraturan perundangundangan, 163
korupsi otogenik, 227
Jimly Asshiddiqie, 133
korupsi transaksional, 227
Jonkers, 82
KUHAP, 162
judicial review, 57, 109, 205, 228
Kwik Kian Gie, 258
judicial tyrani, 98, 135 justice collaborator, 39, 44, 63, 111, 119, 120, 122-124 justitiabelen, 52
korupsi supportif, 227
L landmark decision, 23 Langemeyer, 82
K
law and legal reform, 3-5, 53
Kasasi terhadap putusan bebas, 105
legal problem solving, 28
Kedudukan Hakim Ad Hoc, 59, 207
liability based on fault, 193
legal problem identification, 28
311
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
Lindenbaum v Cohen (1919), 17, 26 litis finiri oportet, 104 Logemann, 9
O obiter dicta, 18, 27, 32, 100, 109 Onrechtmatige Daad, 17, 26
M M. Amien Rais, 232 Mar’ie Muhammad, 261 Martin Basiang, 27, 100
ontslag van rechtsvervolging, 81, 82 open system van het recht, 7
P
menerapkan hukumnya, 32
Parlemen, 232
meritocracy, 261
Partnership for Government in Indonesia, 263
meteriele wederrechtelijkheid, 103 Michael Levi, 190 Mochtar Kusumaatmadja, 15 modus operandi, 59, 112, 207, 250 Moeljatno, 81, 82, 102 money politic, 229 Moral Keagamaan, 232, 257 J.H. Scheers cs, 81 Muh. Busyro Muqoddas, 19 Muhammad Sayuti, 257, 260, 261 Muladi, 73, 141, 290
Paul Scholten, 7, 9 Pejabat Penyelidik Polri, 197 Pejabat penyelidik selain pejabat Polri, 198 Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, 174, 202 pembalikan beban pembuktian, 220 pembebasan tidak murni, 165, 166, 168 Pembuatan Surat Dakwaan, 142 Pembuktian, 190 Pembuktian Terbalik, 193 Pencucian Uang, 183, 210 penemuan hukum, 7, 25, 52
N
Penemuan hukum dan penciptaan hukum, 7
nasporing, 176, 186
pengadilan khusus, 57
Nederburgh, 48
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 205
networking, 204, 246
Pengajuan perkara kasasi secara selektif, 145
Nico Keijzer, 89, 90, 92, 97 novum, 104
penuntutan perkara pidana, 181, 182, 184, 186
nullum crimen sine lege scripta, 102
penyadapan (wiretaping), 60, 208, 301
non self incrimination, 40, 42, 43
312
Bab 20: Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Satu Naskah
Peradilan in absentia, 189
rechtsschepping, 9, 11, 19, 20, 30, 125, 126
Perbuatan Melawan Hukum, 27, 90, 102, 103, 109, 295
rechtsvacuum, 11, 20, 30, 65,
PERC, 238
Perkembangan Ketentuan Penyidik, 172
reformasi, 1, 2, 4, 5, 12, 13, 14, 19, 20, 55, 64, 65, 115, 137, 179, 182, 225, 228, 229, 234, 235, 237, 243, 258, 261, 263, 264,
Perlindungan Pelapor, 211
represif, 26, 242, 247, 249-251, 255
Perlindungan Saksi dan Korban, 40, 111, 118, 119, 123
retributif, 66, 72, 73, 75
Permohonan Peninjauan Kembali, 104
role expectation, 4, 64
Peter Mahmud Marzuki, 25
role occupant, 4, 64
perkara in concreto, 4, 14, 29, 44, 46, 53, 64, 65, 98, 101-103, 168
Plea Bargaining, 39, 44
rechtsvinding, 7, 9, 11, 19, 126, 215, 221
Roeslan Saleh, 81
Political and Economic Risk, 238
S
political will, 247, 251
saksi mahkota, 35
PPATK, 216 Prapenuntutan, 176
Sanksi terhadap Korporasi, 29, 65, 91, 94, 95, 96, 98, 143
premis mayor, 101
Satjipto Rahardjo, 15, 134, 221
preskriptif, 23
Scholten, 7, 9, 12
presumption of innocent, 38
schulduitsluitingsgronden, 84
prevention, 72
sebab-sebab terjadinya korupsi, 227, 229
procedure law, 5
self confidence, 70
Gayus Lumbuun, 134
self incrimination, 38, 42, 45, 146, 147
Subekti, 83
sistem kamar, 32
Oemar Senoadji, S.H., 169
sistem pembuktian terbalik, 230
R
splitsing, 35, 36, 107, 146, 147 stare decisis, 17, 25, 27, 28
Raden Sonson Natalegawa, 163
Stick (tongkat), 259
Ramli Atmasasmita, 140
Strafmaat, 70
ratio decidendi, 17, 18, 27, 32, 100, 109
Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, 227, 254
rechtsmiddelen, 125
313
Penerapan Hukum oleh Hakim dan Strategi Pemberantasan Korupsi
strategi preventif, 242, 247, 251, 254 strict liabitiiy, 194 substantive law, 5 Sudikno Mertokusumo, 7, 11 Sunaryati Hartono, 1, 13, 55, 69, 89, superbody, 204, 247 Supraidi Widodo, 134 Supreme Court, 23 syarat pemidanaan (strafvoraussetzungen), 81 Syarat pemidanaan objektif, 81 Syarat pemidanaan subjektif (mens rea), 83
T
United Nations Convention Against Corruption, 40, 121 United Nations Convention Againts Coruption, 120 Upaya-upaya Strategi Detektif, 254 Upaya-upaya Strategi Preventif, 254 Upaya-upaya Strategi Represif, 255 Utrecht, 8, 9 UUKY, 149, 150, 151, 154, 157, 159, 160 UUPPTPPU, 92, 215-218
V van Apeldoorn, 8 Vos, 82
Tap MPR, 163, 164
vrispraak, 80, 81
Tedjo Edhy Purdijatno, 134
vulnerable wittness, 115
Th. Sumartana, 261 the carrtot and stick, 258
W
tindakan (maatregel), 92, 93
wetsvacuum, 11, 20, 30, 65,
Tirtaamidjaja, 69
whistle blower, 39, 63
transformasi, 1
Whistle Blower, 39, 62
Transparency International, 225
Whistleblower, 111, 112, 117
trigger mechanism, 204, 246
Witness protection scheme, 115
U
Y
ultimum remedium, 70, 71, 234, 251
Yahya Harahap, 166
UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN T, 265, 267 United Nation Devlopment Program (UNDP), 225
314