KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SETELAH DIKELUARKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2012
Oleh : IVAN CHANDRA SYAHRUL 110120120100
Komisi Pembimbing : Dr. Tarsisius Muwadji, SH.,MH. Hj. Aam Suryamah, SH.,MH. TESIS Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis
PROGRAM MAGISTER (S2) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2015
KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SETELAH DIKELUARKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2012
Oleh : Ivan Chandra Syahrul 110120120100
TESIS Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis
Bandung,
Mei 2015
Menyetujui,
Dr. Tarsisius Muwadji, SH.,MH. Ketua Komisi Pembimbing
Hj. Aam Suryamah, SH.,MH. Anggota Komisi Pembimbing
Mengetahui/Mengesahkan Koordinator Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Dr. Tarsisius Muwadji, S.H., M.H . NIP. 19621011 1988030 1 002
LEMBAR PERSETUJUAN PERBAIKAN (REVISI) UJIAN TESIS Nama Mahasiswa
: Ivan Chandra Syahrul
Npm Mahasiswa
: 110120120100
Tanggal Ujian
: 07 Februari 2015
Program Studi
: Ilmu Hukum
Konsentrasi
: Hukum Bisnis
Judul Tesis
:
Kajian Tentang Kepastian Hukum Parate Ekeskusi Hak Tanggungan Setelah Dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 TELAH DIREVISI, DISETUJUI OLEH TIM PENGUJI / TIM PEMBIMBING DAN DIPERKENANKAN UNTUK DIPERBANYAK NO.
NAMA PENGUJI
1.
Dr. Tarsisius Murwadji, S.H., M.H.
2.
Hj. Aam Suryamah, S.H., M.H.
3.
Prof. Dr. Hj. Wiratni Ahmadi, S.H.
4.
Dr. Hj. Etty H. Djukardi, S.H., M.H., C.N
5.
Artaji, S.H., M.H
TANDA TANGAN
Bandung,….Mei 2015 Mengetahui :
Dr. Tarsisius Murwadji, S.H., M.H. Ketua Komisi Pembimbing
Hj. Aam Suryamah, S.H., M.H. Aggota Komisi Pembimbing
ABSTRAK Keberadaan lembaga perbankan diakui memiliki peranan yang sangat strategis dalam rangka mendorong lajunya roda perekonomian masyarakat. Perbankan melalui kegiatan utamanya, menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemberian kredit untuk kegiatan-kegiatan ekonomi. Pelunasan kredit macet oleh debitor tidak semudah seperti yang dibayangkan, karena proses untuk mengambil pelunasan melalui penjualan objek tanggungan cukup membingungkan. Ditambah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 7 Tahun 2012 membuat Parate eksekusi semakin tidak jelas dalam pelaksanaan prakteknya. Bank (Kreditor) maupun pihak ketiga pembeli objek lelang pada saat akan menguasai objek tidak dapat lagi secara langsung meminta penetapan ke Pengadilan Negeri, melainkan harus melalui gugatan dari awal. Dengan demikian parate eksekusi pada prinsipnya yang diatur dalam pasal 6 undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menjadi hilang fungsinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskriptif analisis, yaitu suatu metode penulisan yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistimatis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta. Penelitian ini menggambarkan fakta-fakta yang berupa data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian mengenai permasalahan pertama menunjukan kedudukan dari Surat Edaran Mahkamah Agung dijadikan sebagai dasar hukum untuk menolak eksekusi hak tanggungan dihubungkan dengan UUHT, bahwa Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 7 Tahun 2012 tidak dapat dijadikan alasan atau dasar hukum untuk menolak eksekusi hak tanggungan berdasarkan pada parate eksekusi dalam Undang - Undang Hak Tanggungan karena sesuai dengan tata urutan perundang-undangan nomor 12 Tahun 2011 sebuah Surat Edaran Mahkamah Agung tidak termasuk didalam tata urutan perundangan. Selanjutnya permasalahan yang kedua akibat hukum apabila Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 7 Tahun 2012 dijadikan dasar hukum melakukan parate eksekusi terhadap pihak terlelang, sebagaimana asas lex superiori derogate lex inferiori maka sebuah SEMA seharusnya melaksanakan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan bunyi undang-undang, jika bertentangan maka harus dinyatakan batal demi hukum.
Kata Kunci : Parate Eksekusi, Pelelangan.
iii
ABSTRACT
The existence of banking institution admittedly has a very strategic role in order to encourage her speed the society 's economy.Banking activities mainly through, raise public funds and transfer back to people in the form of credit provision of economic activities. The repayment of non performing loans by debitor not as easy as as imagined, because the process of taking over the object it is confusing. Coupled with supreme court issued circular letter no. 7 / 2012 make parate execution it is unclear in the practice. Bank (creditors) or third parties buyers object auction at the time will control an object could no longer directly asked for determination to the district court, but must go through a lawsuit from the beginning .This parate execution in principle stipulated in article 6 of the law number 4 years 1996 concerning the hak tanggungan become lost its function. Methods used in this research is a method of diskriptif of the analyses which is that a method of writing that aims to give a picture in sistimatis, factually and accurate about facts.Research this illustrates the facts are in the form of secondary law in the form of material primary, secondary and tertiary, then the data obtained analyzed by using the method of the qualitative analysis. The results of the first notification letter showed seat of the supreme court declined to be a legal basis for the rights and liabilities related to uuht the circulars supreme court no. 7 / 2012 could not be a reason or legal basis for the execution of the liabilities based on parate execution in the constitution as the burden because in accordance with the prevailing order no. 12 / 2011 a letter regarding the supreme court on the act of excluding. Then the problems that both due to the law if the supreme court circular 2012 be number 7 years of legal basis terlelang parate the execution of the parties do , as the principle of lex superiori derogate lex inferiori then a shema should implement the act shall not contravene with the sound of the act , if contrary and must be declared null and void by law.
Keywords : parate execution, auction / public sale
iv
KAJIAN TENTANG KEPASTIAN HUKUM PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SETELAH DIKELUARKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2012
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan lembaga perbankan diakui memiliki peranan yang sangat strategis dalam rangka mendorong lajunya roda perekonomian masyarakat. Perbankan melalui kegiatan utamanya, menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemberian kredit untuk kegiatan-kegiatan ekonomi. Peningkatan laju perekonomian akan menimbulkan tumbuh dan berkembangnya usaha yang dilakukan oleh masyarakat, sejalan dengan hal tersebut maka diperlukan penambahan modal dalam rangka peningkatan usahanya. Penambahan modal dimaksud dengan cara melakukan pinjaman atau kredit langsung kepada perbankan. Kredit yang banyak berkembang dalam masyarakat adalah kredit dengan Hak Tanggungan, meskipun di dalam hukum jaminan dikenal juga beberapa lembaga jaminan seperti fidusia dan gadai. Secara umum undang-undang telah memberikan jaminan atau perlindungan kepada perbankan sebagai kreditor yang meminjamkan uangnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yaitu : “Segala harta kekayaan Debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak , baik yang sekarang ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan/jaminan atas hutanghutangnya”.
Dalam praktek perbankan, jaminan yang bersifat umum ini belum memberikan perlindungan hukum (kurang menimbulkan rasa aman) untuk menjamin kredit yang telah diberikan. Bank memerlukan jaminan yang ditunjuk dan diikat secara khusus untuk menjamin hutang debitor dan hanya berlaku bagi bank tersebut. Jaminan ini dikenal dengan jaminan khusus yang timbul karena adanya perjanjian khusus antara kreditor dan debitor. Biasanya dengan jaminan berupa tanah yang kemudian dibebani dengan Hak Tanggungan sebagai jaminan kreditnya kepada bank. Jaminan ini untuk memberikan perlindungan bagi kreditor apabila terjadi wanprestasi atau cidera janji. Perjanjian utang piutang dengan bank, biasanya menggunakan lembaga Hak Tanggungan sebagai jaminan atas kredit dari debitor. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang, dimana hutang yang dijamin harus suatu hutang tertentu. Hak Tanggungan atas tanah merupakan bagian dari reformasi dibidang agraria, seperti yang ketentuan- ketentuan pokoknya diatur dalam UUPA, dimana dalam Pasal 51 disebutkan bahwa, Hak Tanggungan dapat dibebankan kepada Hak Milik, Hak
Guna
Usaha
dan
Hak
Guna
Bangunan, diatur dengan undang-undang. Berdasarkan amanat Pasal 51 UUPA tersebut maka kemudian lahirlah UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan d e n g a n tanah, Undang-undang ini selanjutnya disebut UUHT. Berlakuknya
Undang-undang
Nomor
4 Tahun 1996, maka
terpenuhilah apa yang diperintahkan dalam Pasal 51 UUPA, sehingga
tidak diperlukan lagi penggunaan ketentuan-ketentuan
hypotek dan
creditverband seperti disebutkan oleh Pasal 57 UUPA. Oleh karena itu ditegaskan dalam Pasal 29 UUHT, bahwa dengan berlakunya undangundang ini, ketentuan mengenai creditverband sebagaimana tersebut dalam staatsblad
1908-542
sebagai
yang telah
diubah dengan staatsblad
1937-190 dan ketentuan mengenai hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi1. Selanjutnya dalam penjelasan umum UUHT juga dinyatakan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor
pemegang
Hak
Tanggungan
berhak
menjual
melalui
pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuanketentuan hukum yang berlaku.2 Definisi Hak Tanggungan disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 UUHT, yang berbunyi : “Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana tersebut dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang 1
Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi revisi dengan UUHT, Fakultas Hukum Undip, Semarang, 2007, hlm 34-35. 2
Penjelasan umum UUHT angka 4.
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut dipertegas lagi oleh Pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996, bahwa obyek Hak Tanggungan harus berupa hak atas tanah yang dapat dialihkan oleh pemegang haknya yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, serta Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. Sesuai dengan penjelasan UU No. 4 T a h u n 1996 alenia ke 3 Hak Tanggungan sebagai salah satu lembaga hak jaminan atas tanah mempunyai ciri-ciri antara lain : 1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya. 2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada. 3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-Undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 Reglement dan Pasal 258 Reglement Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura). sertifikat Hak
Hak
Tanggungan,
Tanggungan,
BERDASARKAN
Sehubungan
dengan
itu
pada
yang berfungsi sebagai surat bukti adanya
dibubuhkan KETUHANAN
irah-irah YANG
”DEMI MAHA
KEADILAN ESA”,
untuk
memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu sertifikat Hak Tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti Grosse Acte Hypotheek, yang untuk eksekusi hipotik atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan pasal-pasal kedua Reglement diatas3.
Hak yang diberikan pada pemegang Hak Tanggungan untuk mengeksekusi obyek Hak Tanggungan diatur didalam UUHT Pasal 6 yang selengkapnya berbunyi : “Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Dalam penjelasan Pasal 6 UUHT tersebut dikatakan bahwa hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa
3
Penjelasan Umum angka 9 UUHT
apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu dari pada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan. Hak Tanggungan mempunyai sifat yang tidak dapat dibagi- bagi kecuali bila diperjanjikan di dalam Akta Pengikatan Hak Tanggungan (APHT). Dengan demikian sekalipun utang sudah dibayar sebagian, Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan. Namun bila Hak Tanggungan dibebankan kepada beberapa obyek, maka dapat diperjanjikan bahwa pelunasan angsuran utang yang besarnya sama dengan nilai masing-masing obyek akan membebaskan obyek tersebut dari Hak Tanggungan, sehingga Hak Tanggungan hanya membebani sisanya saja. Seperti telah disebutkan di atas, Hak Tanggungan memberi kedudukan kepada pemegang sebagai kreditor yang diutamakan atau diistimewakan (preferen). Dalam KUH Perdata, kreditor dibedakan antara kreditor konkuren dan kreditor preferen. Dengan ciri-ciri tersebut diatas diharapkan Hak Tanggungan atas tanah yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 menjadi kuat kedudukannya dalam hukum jaminan mengenai tanah. Kemudahan menagih pelunasan melalui parate eksekusi tersebut, dalam praktek pelaksanaannya dimandulkan oleh adanya Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 angka XIII dari Sub Kamar Perdata Umum, dinyatakankan bahwa : “Pelelangan Hak Tanggungan yang dilakukan oleh kreditor sendiri melalui Kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkan objek yang dilelang, tidak dapat dilakukan pengosongan berdasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR melainkan harus diajukan gugatan. Karena pelelangan tersebut diatas bukan lelang eksekusi melainkan lelang sukarela”.
Hal ini sejalan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 3021/K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1986 dinyatakan : berdasarkan Pasal 214 HIR pelaksanaan lelang akibat grosse akta hipotik yang memakai irahirah seharusnya dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. Parate eksekusi yang dilakukan didasarkan pada Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata adalah perbuatan melawan hukum dan mempunyai konsekuensi hukum batalnya hasil lelang yang telah dilakukan.4
Masalah yang paling sering terjadi adalah, pembeli lelang berdasarkan parate eksekusi selalu kesulitan ketika hendak menguasai tanah dan bangunan yang dibelinya melalui lelang, karena debitor (terlelang) tidak mau meninggalkan rumah dan tanahnya tersebut. Sehingga diperlukan tindakan hukum lain yaitu upaya paksa pengosongan, dan untuk itu diperlukan bantuan Pengadilan Negeri melalui eksekusi pengosongan rumah. Dengan munculnya SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tersebut, kemungkinan parate eksekusi akan mengalami hambatan, karena dalam praktek peradilan SEMA harus dipatuhi oleh para Hakim. 4
HP Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI Mengenai Perjanjian Kredit Perbankan (Berikut Tanggapan), Jilid I, Citra Adytia Bakti, Bandung, 1992, hlm. 233.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut maka permasalahan dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kedudukan dari Surat Edaran yang dijadikan sebagai dasar hukum untuk menolak eksekusi hak tanggungan dihubungkan dengan UUHT. 2. Apakah akibat hukum apabila Surat Edaran Mahkanah Agung Nomor 7 Tahun 2012 dijadikan dasar untuk melakukan parate eksekusi pihak terlelang.
C. Tujuan Penelitian Tujuan atau kegunaan penelitian ini adalah :
1.
Menentukan dan menganalisis apakah SEMA dapat dijadikan dasar hukum untuk menolak eksekusi hak tanggungan yang didasarkan pada parate eksekusi oleh pihak pembeli lelang.
2.
Untuk mengetahui apa akibat hukum SEMA khususnya SEMA Nomor 7 Tahun 2012 bertentangan dengan UUHT.
D. Kegunaan Penelitian Penulisan tesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kegunaan untuk pengembangan ilmu hukum khususnya tentang masalah parate eksekusi hak tanggungan, serta diharapkan pula dapat memberi manfaat bagai kalangan praktisi.
1. Kegunaan Teoritis Dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan wawasan terhadap perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan khususnya pada hukum parate eksekusi hak tanggungan, terutama mengenai eksistensi pelaksanaan upaya paksa pengosongan terhadap debitor (terlelang) yang tidak mau meninggalkan rumah dan tanahnya tersebut. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
kepada
penyempurnaan
legislator
peraturan
(pembuat
UUHT
yang
undang-undang) memenuhi
rasa
untuk keadilan
masyarakat, serta bagi praktisi hukum untuk meminimalisir perbedaan yang ada, sehingga tidak menghambat proses parate eksekusi hak tanggungan.
E. Kerangka Pemikiran Pelunasan kredit macet oleh kreditor tidak semudah seperti yang dibayangkan, karena proses untuk mengambil pelunasan melalui penjualan objek jaminan cukup berliku. Tidak menutup kemungkinan debitor menggunakan berbagai cara untuk menghambat pelunasan kredit macet dimaksud, maupun dengan cara-cara lain yang pada akhirnya dimaksudkan agar si kreditor gagal atau tidak berhasil mendapatkan pelunasan dengan objek jaminan miliknya5.
5
ketentuan Pasal 207 HIR dan Pasal 225 Rbg tentang perlawanan terhadap sita eksekusi (partij verzet) dan pasal 195 ayat (6) tentang perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terhadap
Menurut ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata bahwa setiap kebendaan milik debitor baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan atas hutang-hutangnya, dengan demikian sesungguhnya tidak ada kredit yang tidak mengandung jaminan. Namun demikian seperti ditulis diatas proses pelunasan dengan objek jaminan tidak selalu berjalan dengan lancar dan mudah, karena kreditor dihadapkan dengan segala macam problem dan masalah dalam upaya mengambil pelunasan piutangnya.
Hak
jaminan
kebendaan
berisi
hak
untuk
pelunasan
hutang
(vehaalsrecht) dan tidak mengandung hak untuk memiliki bendanya (verval beding), kreditor pemegang jaminan diberikan hak oleh undang-undang maupun hak untuk memperjanjikan kuasa untuk menjual sendiri objek jaminan tersebut ketika dikemudian hari debitor wanprestasi6.
Berdasarkan ketentuan undang-undang, kreditor pemegang jaminan kebendaan, dapat memilih beberapa alternatif pelunasan piutangnya melalui beberapa cara antara lain :
1. Dengan cara melakukan penjualan objek jaminan atas kekuasaanya sendiri atau yang kemudian disebut parate eksekusi bagi pemegang jaminan pertama ; 2. Dengan menggunakan titel eksekutorial melalui fiat ketua pengadilan negeri dengan menggunakan ketentuan Pasal 224 HIR/258 Rbg tentang eksekusi grosse akta; 3. Dengan cara penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak untuk mendapatkan harga penjualan yang lebih tinggi;
eksekusi; juga Buku Pedoman Pelaksanan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II Mahkamah Agung RI, hlm: 144-145. 6 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, cet ke-4, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 103.
Parate eksekusi adalah sebuah kemudahan yang diberikan undangundang sebagai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri (kreditor) terhadap benda jaminan milik debitor untuk melunasi hutangnya. Dengan demikian parate eksekusi pada prinsipnya merupakan suatu pelaksanaan eksekusi yang disederhanakan tanpa melibatkan pengadilan.
Parate eksekusi atau hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri dapat ditemukan dalam beberapa lembaga jaminan kebendaan antara lain, Gadai; Hipotik; Hak tanggungan; Fidusia.
Beberapa dasar hukum tentang parate eksekusi, yaitu : 1. Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata mengatur tentang hak parate eksekusi pada lembaga gadai : ”Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka siberpiutang adalah berhak, jika siberutang atau si pemberi gadai bercidera janji setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika telah tidak ditentukan suatu tenggang waktu setelah dilakukannya suatu peringatan, untuk membayar, menyuruh menjual barangnya gadai di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut” 2. Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata mengatur tentang hak parate eksekusi untuk lembaga hipotik : ”Namun diperkenankanlah kepada siberpiutang hipotik pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutang tidak bayar ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan dimuka umum untuk mengambil pelunasan uang pokok maupun bunga serta biaya dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebut dibukukan dalam register-register umum sedangkan penjualan lelang harus dilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam Pasal 1211” Pasal ini memberikan ”hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri” atau ”beding van eigenmactig verkoop”. Ketentuan tersebut diberikan oleh
undang-undang kepada pemegang hipotik pertama dalam bentuk sarana/cara pelunasan yang selalu siap ditangan pada waktu ia membutuhkannya, sehingga orang menyebutnya sebagai eksekusi yang selalu siap di tangan atau parate eksekusi7.
3. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan Hak Tanggungan menyebutkan : ”Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut” 4. Pasal 15 Ayat (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia menyebutkan : ”Apabila debitor cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri” Bila diperhatikan ketentuan Pasal 1155 Ayat (1) KUH Perdata diatas, maka pembentuk undang-undang telah menentukan bahwa setiap pemegang jaminan gadai demi hukum selalu akan memiliki kewenangan parate eksekusi, kecuali jika sejak awal para pihak telah memperjanjikan lain. Hal ini dapat difahami karena pada jaminan gadai, objek jaminannya dikuasai oleh si kreditor, sehingga dengan adanya peralihan penguasaan itu (atas objek benda bergerak) sepatutnya si pemegang jaminan memiliki hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaannya sendiri ketika si debitor wanprestasi.
7
J Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Hak Tanggungan, Buku I, Citra Aditya Bakti Bandung, 1997, hlm. 224. J. Satrio, Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bandung, 1993, hlm. 23.
Demikian juga jaminan fidusia memiliki karakteristik yang sama dengan jaminan gadai, dimana para pihak tidak perlu memperjanjikan akan ada hak parate eksekusi, undang-undang telah secara otomatis memberikan hak tersebut kepada si kreditor.
Berbeda dengan prinsip yang diberikan undang-undang terhadap lembaga hipotik, undang-undang mensyaratkan agar hak untuk dapat melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri itu dinyatakan secara tegas dalam perjanjiannya. Prinsip ini di ikuti oleh Jaminan Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
Kreditor pemegang hak kebendaan yang diberikan oleh jaminan hipotik, gadai, hak tanggungan dan fidusia adalah jaminan yang bersifat perbendaan (zakelijk zakerheidsrechten)8. Para pemegang jaminan kebendaan akan selalu didahulukan dari kreditor-kreditor kongkuren untuk dapat mengambil pelunasan dari objek jaminan milik debitor. Hak-hak istimewa itu antara lain : hak untuk melakukan penjualan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) dan hak untuk melakukan eksekusi secara grosse dengan menggunakan titel eksekutorial ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang tercantum dalam jaminanjaminan kebendaan melalui fiat ketua pengadilan negeri berdasarkan Pasal 244 HIR / 258 Rbg.
8
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, cet ke-5 Intermasa, Jakarta, 1986, hlm. 75.
Pandangan lembaga peradilan terutama Mahkamah Agung dalam memahami dua lembaga eksekusi yaitu antara parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, dan UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan Hak Tanggungan yang telah mencampuradukan antara pengertian parate eksekusi dengan eksekusi grosse akta, hal ini menimbulkan kebingungan pada banyak kalangan terutama para pemegang jaminan (kreditor) yang sebelumnya telah memperjanjikan hak untuk melakukan penjualan objek jaminan atas kekuasaannya sendiri, apalagi dengan dengan adanya pertimbangan Putusan MA-RI Nomor: 3201 K/Pdt/1984 yang menyatakan bahwa penjualan objek jaminan tanpa melalui pengadilan merupakan ”perbuatan melawan hukum”, hal tersebut telah menimbulkan ketakutan bagi para pelaksana lelang untuk menerima permohonan pelelalangan berdasarkan titel parate eksekusi dari para pemegang jaminan pertama. Sutardjo menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata telah dilumpuhkan oleh Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3201/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 19869.
Putusan Mahkamah Agung tersebut berawal dari masuknya gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung, dalam putusannya tertanggal 20 Mei 1980 No. 425/1979/G/Bdg, amar putusannya antara lain :
“Menyatakan bahwa tindakan perbuatan Tergugat I dan II dengan perantaraan Tergugat III melelang umum tanah dan bangunan setempat terkenal dengan nama ”shoping center kandaga” pada hari Senin
9
Sutarjo, Penyelesaian Kredit Macet Melalui Lelang, Makalah dalam Panel Diskusi UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pebankan, Tantangan dan Pelaksanaannya, 11 September 2001, hlm. 14.
Tanggal 10 Desember 1979, tanpa melalui Ketua Pengadilan Negeri Klas I Bandung adalah merupakan perbuatan yang melawan hukum10. Pada tingkat banding putusan tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dengan putusannya tanggal 17 November 1981 No. 76/1981/Perd/Pt.B yang amar putusannya dalam pokok perkara antara lain :
“Menyatakan bahwa pembelian lelang yang dilaksanakan Terbanding, semula Tergugat IV dalam konvensi, Penggugat IV dalam rekonvensi untuk sebagian dengan perantaraan Kantor Lelang Negara Bandung atas persil serta bangunan pertokoan sebagaimana terurai dalam risalah lelang tanggal 10 Desember 1979 No. 184 adalah sah menurut hukum”11. Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung memberikan pertimbangan pada intinya sebagai berikut :
1. Bahwa berdasarkan Pasal 224 HIR pelaksanaan pelelangan sebagai akibat adanya Groose Akta Hipotik dengan memakai kepala ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan hukum sama dengan suatu putusan pengadilan, seharusnya dilaksanakan atas perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri apabilan ternyata tidak terdapat perdamaian pelaksana. 2. Bahwa ternyata di dalam perkara ini, pelaksanaan pelelangan tidak atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Bandung, tetapi dilaksanakan sendiri oleh Kepala kantor Lelang Negara Bandung atas perintah Tergugat asal I (Bank Kreditor), oleh karenanya, maka lelang tersebut adalah bertentangan dengan Pasal 224 HIR sehingga pelelangan tersebut adalah tidak sah. 3. Bahwa dengan demikian, maka para Tergugat asal (Bank Kreditor-Kantor Lelang Negara dan pembeli lelang) telah melakukan perbuatan melawan hukum12. Apabila rasio pertimbangan MA dalam putusan tadi diikuti, maka fungsi dan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri (yang menyangkut hak tanggungan menurut Pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT) menjadi 10
Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Objek Hak Tanggungan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2007, hlm. 319. HP Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI mengenai Perjanjian Kredit Perbankan (berikut tanggapan) Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 233. 11 Ibid, hlm 319. 12 Ibid, hlm 321.
kehilangan makna. Ciri pokok dari parate eksekusi berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri adalah eksekusi dilakukan tanpa fiat Ketua Pengadilan. Kalau tetap harus ada fiat, parate eksekusi sama saja dengan eksekusi pada grosse hipotik dan surat utang yang mempunyai titel eksekutorial. Telah terjadi pergeseran pengertian parate eksekusi menurut doktrin.
Namun pelaksanaan eksekusi objek hak tanggungan yang masih memerlukan fiat Ketua Pengadilan bukanlah merujuk pada putusan MA tadi, melainkan tersirat dari Pasal 26 UUHT dan penjelasannya.
Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dengan demikian sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalu tata cara dan menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia. Eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf b jo Pasal 14 UUHT ini memerlukan campur tangan pengadilan. Hal ini disebabkan karena masih adanya pandangan bahwa pelaksanaan eksekusi berdasarkan Pasal 6 jo Pasal 11 ayat (3) huruf e tetap memerlukan izin / fiat eksekusi pengadilan.
Hal ini diperkuat lagi dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa pelelangan Hak Tanggungan yang dilakukan oleh kreditor sendiri melalui Kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkan objek yang dilelang, tidak dapat dilakukan
pengosongan berdasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR melainkan harus diajukan gugatan. Karena pelelangan tersebut diatas bukan lelang eksekusi melainkan lelang sukarela”.
Selain kendala dari badan peradilan tersebut diatas, pembuat UU telah mengalami kerancuan berfikir, karena telah memberikan pengertian yang tidak konsisten dan saling bersinggungan dengan apa yang dimaksud dalam Pasal 224 HIR/258 Rbg tentang eksekusi grosse akta. Hal itu dapat dilihat pada ketentuan penjelasan atas Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 pada bagian umum sub 9 dimana terdapat pernyataan yang berbunyi sebagai berikut: …”dipandang perlu untuk memasukan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini yaitu yang mengatur tentang lembaga parate eksekusi sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg. Beberapa kesimpangsiuran ini bukan hanya membuat para pemegang jaminan hak tanggungan menjadi kebingungan, namun juga telah membuat para petugas pelaksana lelang menjadi ragu untuk melaksanakan penjualan umum atas objek jaminan yang tidak melalui fiat ketua pengadilan negeri dan akibatnya para petugas kantor lelang selalu menolak pengajuan penjualan umum yang dimintakan tanpa adanya penetapan dari ketua pengadilan, dengan alasan khawatir jika dikemudian hari penjualan lelangnya dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, hal ini jelas akan
mempersulit kreditor pemegang jaminan pertama untuk melakukan pelunasannya secara secerhana dan mudah13. Sertifikat hak tanggungan memiliki titel eksekutorial karena berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, namun menurut J. Satrio kekuatan untuk melaksanakan parate eksekusi bukan didasarkan atas suatu titel eksekutorial melainkan didasarkan atas kuasa mutlak yang diberikan oleh si pemberi jaminan (debitor) kepada si pemegang jaminan (kreditor) dalam bentuk mandat14.
F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, metode ini merupakan pendekatan terhadap hukum positif atau peraturan perundang-undangan, yaitu merupakan mengevaluasi
pendekatan
dengan
memaparkan,
menganalisis
dan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
masalah parate eksekusi atas Hak Tanggungan. Demikian pula sebagai usaha mendekati masalah yang diteliti dengan pendekatan hukum, yaitu berusaha menelaah peraturan-peraturan yang
berlaku
disesuai dengan
kenyataan yang terjadi dalam masyarakat15.
2. Spesifikasi Penelitian 13
Yahya Harahap, Kedudukan Grosse Akta Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Media Notariat No : 8-9 Tahun III, Oktober, 1988, hlm. 113. 14 J. Satrio, Op Cit, hlm. 224. 15 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineke Cipta, Jakarta 2003, hlm. 3.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu suatu metoda penulisan yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistimatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta16. Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, suatu usaha untuk menggambarkan objek atau masalah yang sedang terjadi dalam penelitian, atau suatu penelitian yang tujuan utamanya menggambarkan realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat, khususnya penerapan parate eksekusi dalam praktek sehari-hari.
3. Tahap Penelitian a. Penelitian Kepustakaan Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari data-data sekunder yang terdiri dari : 1. Bahan hukum primer, merupakan bahan pustaka yang berisikan peraturan-peraturan yang terdiri dari, UUD 1945 amandemen ke-4, HIR/RBg, Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang No. 49 Prp 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, UndangUndang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, UndangUndang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Tahun
2004
tentang
No.
4
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman,
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,hlm. 52.
Permeneg Agraria/Kepala BPN Nomor 3 T a h u n 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan lebih lanjut tentang bahan hukum primer seperti : buku-buku ilmiah, majalah, media massa, dokumen yang diperoleh dari Penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang Eksekusi Hak Tanggungan Atas Tanah, jurnal-jurnal, makalah-makalah, artikel-artikel yang memuat tentang
eksekusi Hak Tanggungan sebagai jaminan kredit untuk
perlindungan hukum bagi kepentingan kreditor. 3. Bahan
hukum tersier,
yang
di
dapat
untuk
memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu, Kamus, Ensiklopedia.
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah studi kepustakaan
yaitu
penelitian
untuk
mencari
landasan
teori
dari
permasalahan penelitian dengan menggali buku-buku, jurnal-jurnal, surat kabar atau dokumen dan informasi dalam bentuk ketentuan formal. 5. Lokasi Penelitian
Untuk menyusun penulisan ini, penulis melakukan penelitian di Bandung dan Jakarta, diantaranya yaitu : a. Penelitian Kepustakaan 1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2) Perpustakaan Pusat Universitas Padjadjaran Bandung
3) Perpustakaan Universitas Islam Bandung b. Penelitian Lapangan 1. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandung 2. Hakim Kantor Pengadilan Negeri Bandung 3. Hakim Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
II. PEMBAHASAN PELAKSANAAN EKSEKUSI BERDASARKAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa parate eksekusi berkaitan dengan Hak Tanggungan (UUHT) merupakan pelaksanaan perintah dari Pasal 51 UUPA, bahwa Hak Tanggungan harus diatur dengan UU tersendiri.
Parate eksekusi seperti dipersyaratkan oleh Pasal 6 UUHT merupakan suatu kemudahan yang diberikan kepada kreditor untuk langsung menjual sendiri objek jaminan berupa jaminan Hak Tanggungan langsung ke Kantor Lelang tanpa melalui fiat Pengadilan Negeri. Kemudahan ini tentulah sangat menguntungkan kreditor terutama pihak bank, karena eksekusinya lebih cepat dan lebih mudah, serta tentunya lebih murah biayanya.
Kemudahan yang ditawarkan UU dalam kenyatannya tidak selalu mudah untuk ditempuh, terlebih didalam prakteknya proses pelaksanaan
parate eksekusi dengan kekuasaan sendiri tidak dapat lagi dipergunakan oleh para kreditor pertama dalam jaminan Hak Tanggungan dengan alasan bahwa setiap penjualan umum (lelang) terhadap objek jaminan harus melalui fiat ketua pengadilan17.
Pasal 29 UUHT menyatakan Hak Tanggungan ini dimaksudkan sebagai pengganti grosse akta sebagaimana diatur pada Pasal 224 HIR. Juga menghapuskan bentuk credietverband yang berlaku berdasarkan St. 1908542 Jo St. 1909-586, dan ketentuan tentang hipotek sebagaimana yang diatur pada Buku II, Bab XXI KUHPerdata, Pasal 1162-1232, sepanjang jaminannya mengenai hak atas tanah. Karena ketentuan mengenai hipotik dan credietverband dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia18. Semula parate eksekusi dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata, yang memberikan hak kepada pemegang hipotik pertama untuk memperjanjikan apa yang dalam bahasa Belanda disebut dengan “beding van eigenmachtige verkoop” (janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri). Dengan memperjanjikan kewenangan seperti itu, dalam hal debitor sudah wanprestasi, kreditor bisa langsung menjual obyek jaminan
17
M. Yahya Harahap, Kedudukan Grosse Akte Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Media Notariat No: 8-9, tahun III, Oktober 1988, hlm. 113. 18
Pasal 29 UUHT Pasal 29 selengkapnya berbunyi : Dengan berlakunya Undang-undang ini, ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo. Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.
di muka umum tanpa harus melibatkan pihak pengadilan19. Eksekusi terhadap objek jaminan pada UUHT bila debitor wanprestasi pada prinsipnya mengadopsi ketentuan mengenai hipotik tersebut. Namun pada UUHT terdapat inkonsistensi pada pasal yang mengatur parate eksekusi, Pasal 6 mengisaratkan bahwa parate eksekusi dapat dilakukan walau tanpa perjanjian karena hak itu melekat demi hukum, sedangkan pada penjelasan pasalnya menyebutkan hak tersebut baru ada manakala dilakukan perjanjian terlebih dahulu untuk menjual langsung objek jaminan. Namun dalam perkembangannya Mahkamah Agung RI telah mematikan “beding van eigenmachtige verkoop” (janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri), dengan melarang eksekusi langsung dilakukan kreditor ke Kantor Lelang, tetapi harus melaui fiat Ketua Pengadilan Negeri terlebih dahulu, melalui putuannya Nomor 3201 K/Pdt/1980 tanggal 20 Mei 198420.
A. Praktek Pelaksanaan Parate Eksekusi Sebelum Adanya Putusan Mahkamah Agung Melihat putusan Mahkamah Agung Nomor No. 3201 K/Pdt/1980 tanggal 20 Mei 1984 dapat disimpulkan bahwa, pelaksanaan parate eksekusi langsung ke Kantor Lelang Negara dalam praktek peradilan dibolehkan / dibenarkan.
Para
Ketua
19
Pengadilan
Negeri
bersedia
melakukan
Bunyi Pasal Pasal 1178 selengkapnya, “Segala perjanjian yang menentukan bahwa kreditor diberi kuasa untuk menjadikan barang-barang yang dihipotekkan itu sebagai miliknya adalah batal. Namun kreditor hipotek pertama,pada waktu penyerahan hipotek boleh mensyaratkan dengan tegas, bahwa jika utang pokok tidak dilunasi sebagaimana mestinya, atau bila bunga yang terutang tidak dibayar, maka ia akan diberi kuasa secara mutlak untuk menjual persil yang terikat itu di muka umum, agar dari hasilnya dilunasi, baik jumlah uang pokoknya maupun bunga dan biayanya. Perjanjian itu harus didaftarkan dalam daftar-daftar umum, dan pelelangan tersebut harus diselenggarakan dengan cara yang diperintahkan dalam Pasal 1211”. 20
Sutardjo, Op Cit, hlm. 14.
pengosongan atas objek lelang yang tidak ditinggalkan atau dikosongkan oleh debitor dengan melakukan eksekusi pengosongan21.
Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 3210 K/Pdt/1980 tanggal 20 Mei 1984tersebut menyatakan, penjualan lelang yang langsung dilakukan ke Kantor Lelang Negara tanpa minta fiat eksekusi Ketua Pengadilan Negeri dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Dengan demikian penjualan lelang tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah Agung dalam putusan tersebut telah memberikan ratio decidendi-nya yang menyatakan :
Mahkamah Agung telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung, karena dinilai salah menerapkan hukum, dengan dasar pertimbangan yang pada intinya sebagai berikut :
a. Bahwa berdasarkan Pasal 224 HIR, pelaksanaan pelelangan sebagai akibat adanya grosse akta hipotik dengan memakai kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai kekuatan hukum sama dengan sutau putusan Pengadilan, seharusnya dilaksanakan atas perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan, bilamana ternyata tidak terdapat perdamaian dalam pelaksanaannya. b. Bahwa ternyata, di dalam perkara ini, pelaksanaan pelelangan tidak atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Bandung, tetapi dilaksanakan sendiri oleh Kepala Kantor Lelang Negara Bandung atas perintah Tergugat asal I (Bank-Kreditor), oleh karenya, maka lelang umum tersebut adalah bertentangan dengan Pasal 224 HIR sehingga pelelangan tersebut adalah tidak sah. c. Bahwa dengan demikian maka para Tergugat asal (Bank-Kreditor-Kantor Lelang Negara dan pembeli lelang) telah melakukan perbuatan melawan hukum22.
21
Sesuai dengan pendapat Syahrul Machmud, Sutarjo dan Marulak Purba, para mantan Ketua Pengadilan Negeri. 22 HP. Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI Mengenai Perjanjian Kredit Perbankan (Berikut Tanggapan), jilid 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 231.
B. Praktek Pelaksanaan Mahkamah Agung
Parate
Eksekusi
Setelah
Adanya
Putusan
Walau telah ada putusan Mahkamah Agung Nomor No.320 K/Pdt/1980 tanggal 20 Mei 1984 tersebut, namun praktek Pengadilan Indonesia tidak sepenuhnya mengikuti putusan tersebut.
Dalam praktek peradilan terjadi dualisme pendapat, tidak sedikit Ketua Pengadilan yang tidak mengikuti Putusan Mahkamah Agung Nomor 3201 K/Pdt/1984 tersebut23.
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara dalam mensikapi keberadaan parate eksekusi Pasal 6 UUHT telah mengeluarkan Surat Edara Nomor : SE-21/PN/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pasal 6 UUHT dan Surat Edaran Nomor : SE-23/PN/2000. Dalam Surat Edara Nomor : SE-21/PN/1998 angka 1 menentukan bahwa : “……..Penjualan tersebut bukan secara paksa, tetapi merupakan tindakan pelaksanaan perjanjian oleh pihak-pihak. Oleh karena itu tidak perlu ragu-ragu lagi melayani permintaan lelang dari pihak perbankan atas objek hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT”. Pada angka 3 Surat Edaran tersebut menyebutkan : “…. Lelang objek hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT adalah tergolong pada lelang sukarela”.
Demikian pula dalam Surat Edaran Nomor : SE-23/PN/2000 butir 1a huruf e, yang menentukan bahwa : 23
Hasil wawancara dilakukan di rumahnya di Bandung pada 31 Oktober 2014, saat ini Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Januari 2013 sampai April 2013 Ketua Pengadilan Negeri Jember, pernah pula menjadi Ketua Pengadilan Negeri Sekayu 2005 sampai 2008.
“…….Pelaksanaan lelang hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT tidak diperlukan persetujuan debitor untuk pelaksanaan lelangnya”24. Surat Edaran tersebut diperkuat lagi dengan Surat Menteri Keuangan No. 304/KMK.01/2002 tertanggal 13 Juni 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, dalam Pasal 2 ayat (3) menyebutkan : “Kantor lelang tidak boleh menolak permohonan lelang yang diajukan kepadanya sepanjang persyaratan lelang sudah dipenuhi”.
Selanjutnya Surat Menteri Keuangan tersebut ditindak lanjuti dengan surat Direktur Jenderal Piutang Dan Lelang Negara telah mengeluarkan Keputusan Nomor 35/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang, Pasal 3 angka 8 menyebutkan bahwa syarat-syarat lelang eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT, adalah sebagai berikut : a. Salinan / foto copy perjanjian kredit. b. Salinan / foto copy Hak Tanggungan dan Akta Pemberian Hak Tanggungan. c. Salinan / foto copy bukti debitor telah wanprestasi yang dapat berupa peringatan atau pernyataan-pernyataan pihak kreditor. d. Surat pernyataan dari kreditor yang akan bertanggung jawab apabila terjadi gugatan perdat maupun tuntutan pidana. e. Asli / foto copy pemilikan hak25. Ketentuan dalam Surat Edaran maupun Keputusan Dirjen Piutang dan Lelang Negara tersebut, tidak mensyaratkan adanya fiat Ketua Pengadilan Negeri untuk pelaksanaan parate eksekusi.
Demikian pula dikatakan Syahrul Machmud sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jember pernah beberapa kali mengabulkan permohonan eksekusi pengosongan objek yang dimohonkan pemenang lelang, atas objek lelang 24 25
Dalam Herowati Poesoko, Op Cit, hlm. 244. Ibid, hlm. 245-246.
yang tidak bersedia ditinggalkan atau dikosongkan oleh debitor (termohon lelang).
Hal serupa disampaikan pula oleh Sutarjo bahwa beliau juga pernah melakukan
eksekusi
pengosongan
parate
eksekusi,
karena
beliau
berpendapat parate eksekusi atas Hak Tanggungan tersebut memiliki kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap26.
Marulak Purba berpendapat bahwa, pada dasarnya beliau berpendapat, jika ada permohonan eksekusi pengosongan oleh pemenang lelang atas objek lelang yang tetap dihuni oleh debitor, maka sebagai Ketua Pengadilan Negeri akan melaksanakan pengosongan dimaksud27.
Pendapat mereka tersebut didasarkan pada Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Nomor : 02/Wk.MA.Y/I/2010, perihal perbaikan perumusan hasil Rakernas Palembang Tahun 2009 tentang eksekusi grosse akta pengakuan hutang atau hak tanggungan, yang isinya sebagai berikut :
“Sehubugan dengan adanya kekeliruan perumusan hasil diskusi komisi I B bidang Perdata dan Perdata Khusus Rakernas Palembag tahun 2009 pada halaman 11 dan 12 tentang eksekusi grosse akta pengakuan hutang atau hak tanggungan, maka bersama ini diberitahukan kepada saudara bahwa perumusan tersebut seharusnya berbunyi sebagai berikut :
26
Wawancara melalui telpon pada 30 Oktober 2014 setelah direkomendasikan oleh Syahrul machmud, saat ini Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mantan Ketua Pengadilan Negeri Purwodadi 2012 sampai 2014, dan pernah menjadi Ketua di Bajawa 2011 sampai 2012. 27 Wawancara dilakukan dirumahnya di Bandung pada 1 November 2014, saat ini Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mantan Ketua Pengadilan Negeri Ende 2009 sampai 2010.
a. Bahwa dalam hal eksekusi hak tanggungan yang dilakukan oleh kantor lelang Negara apabila barang yang telah dilelang itu tidak dengan sukarela diserahkan pada pembeli lelang, maka pihak pembeli lelang dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar Pengadilan Negeri melakukan pengosongan terhadap objek yang telah dilelang tersebut tanpa perlu mengajukan gugatan biasa, sebab pada dasarnya Pasal 200 ayat (11) HIR / 208 ayat (2) RBg tidak semata-mata ditujukan untuk melaksanakan suatu putusan pengadilan tetapi juga terhadap pelelangan yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara. b. Bahwa eksekusi akta pengakuan hutang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 224 HIR / 258 RBg, apabila objek yang akan dieksekusi adalah, Hak Tanggungan, maka hal ini berlaku baik terhadap kreditornya yang merupakan perorangan. Tetapi apabila objek yang akan dieksekusi bukan merupakan Hak Tanggungan, maka untuk melakukan eksekusi tersebut harus dilakukan dengan gugatan biasa (Stbl. 1938.523), begitu pula apabila grosse akta pengakuan hutang yang jaminan lelang hutangnya tidak pasti. Pendapat berbeda disampaikan oleh H. Dwi Sugiarto, S.H.,M.H.28 beliau berpendapat bahwa, paratek eksekusi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) memiliki nilai eksekutorial, karena Akta Hak Jaminannya berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu tidak diperlukan mengajukan gugatan ke Pengadian Negeri untuk eksekusinya, dapat dimintakan langsung oleh kreditur ke Kantor Lelang. Jika debitur tidak bersedia meninggalkan objek lelang, maka pemenang lelang dapat langsung minta eksekusi ke Pengadilan Negeri tidak perlu mengajukan gugatan.
Tentang keberadaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012, beliau berpendapat SEMA tidak dapat dipedomani karena bertentangan dengan UUHT. Ketika memimpin Pengadian Negeri Depok
28
Saat ini Wakil Ketua Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Bandung, sebelumnya Ketua Pengadilan Negeri Klas IB Depok Jawa Barat, juga pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Klas II Menggala Lampung, wawancara dilakukan diruang kerjanya pada 7 Mei 2015.
beliau pernah melakukan eksekusi walau tanpa melalui gugatan seperti yang dipersyaratkan dalam SEMA tersebut.
C. Praktek Pelaksanaan Parate Eksekusi Setelah Munculnya SEMA Nomor 7 Tahun 2012 Setelah terbitnya SEMA Nomor 7 Tahun 2012 ketiga responden tersebut berpendapat lain, mereka tidak akan mengabulkan permohonan pengosongan objek lelang, karena pengosongan harus diajukan dalam gugatan biasa sebagaimana perintah SEMA.
SEMA ini mengisaratkan bahwa parate eksekusi tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung kecuali pelelangan ke Kantor Lelang harus melalui fiat Pengadilan. Apabila kreditor langsung melakukan pelelangan ke Kantor Lelang tanpa melalui Pengadilan, maka jika ternyata termohon eksekusi atau yang mengusasai objek lelang tidak bersedia mengosongkan, maka Pengadilan tidak boleh melakukan eksekusi pengosongan. Untuk melakukan pengosongan tersebut pemenang lelang harus melakukan gugatan biasa.
Syahrul Machmud melanjutkan, pernah menjadwalkan ekseksui pengosongan objek lelang, namun turun Surat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya yang memerintahkan agar pengosongan objek lelang harus dilakukan melalui gugatan biasa, hanya saja disebutkan jika eksekusi pengosongan telah dijadwalkan diperbolehkan dilaksanakan sepanjang tidak menimbukan gejolak.
Dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012, demikian pula perintah Ketua Pengadian Tinggi yang melarang
seluruh Ketua Pengadilan Negeri se-Jawa Timur untuk melakukan eksekusi pengosongan objek lelang, yang lelangnya dilakukan langsung ke Kantor lelang tanpa minta fiat ke Pengadilan Negeri terlebih dahulu. Akibat adanya SEMA dan perintah Ketua Pengadilan Tinggi tersebut sebagai Ketua Pengadilan Negeri sudah tidak berani lagi melaksanakan pengosongan atas lelang yang dilakukan langsung ke Kantor Lelang. SEMA menentukan jika pemenang lelang ingin mengosongkan objek lelang, maka harus dilakukan melalui gugatan biasa. Maka dapat dibayangkan berapa waktu yang diperlukan untuk mengosongkan objek lelang yang telah dibelinya.
Selanjutnya dikatakan, walaupun SEMA bukan hukum acara dan tidak dapat dijadikan dasar hukum, namun dalam praktek SEMA selalu dijadikan acuan dalam penanganan suatu perkara. Hal ini pernah ditekankan Bagir Manan (saat masih menjabat Ketua Mahkamah Agung) sewaktu mengajar di sebuah universitas swasta, ditegaskannya walaupun SEMA bukan dasar hukum, namun jika perkara sampai di Mahkamah Agung, maka yang akan dipedomani adalah tetap SEMA. Demikian juga bila ada Ketua Pengadilan Negeri yang berani melanggar SEMA dimaksud, dan atas keberaniannya itu diaporkan ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, maka dapat disimpulkan pasti Ketua tersebut akan disalahkan dan mendapat sanksi29.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya praktek eksekusi Hak Tanggungan berjalan melalui 2 (dua) cara, yaitu langsung ke Kantor Lelang
29
Ibid
tanpa minta fiat ke-Pengadilan Negeri, atau yang kedua melalui Pengadilan Negeri.
Melihat dualisme praktek peradilan terhadap Hak Tanggungan tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2012 dalam rangka memperkuat putusan Mahkamah Agung Nomor 3201 K/Pdt/1984 tersebut, karena dalam praktek masih terjadi eksekusi Hak Tanggungan tanpa melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri.
SEMA ini merupakan penguatan dari putusan Mahkamah Agung Nomor : 3201 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986, dalam pertimbangannya : bahwa penjualan objek jaminan tanpa melalui pengadilan merupakan ”perbuatan melawan hukum”.
Dalam perkara yang dikenal dengan kasus “Kandaga Shopping Center” Bandung. Secara ringkas kasusnya adalah sebagai berikut : PT. PAN Indonesia Bank Ltd Cabang Bandung sebagai pemegang Sertifikat Hipotik Nomor 130/1976 tanggal 10 Apri 1976, atas pinjaman dari PT. Golden City Textile Industri Ltd. Karena pinjaman macet akhirnya PT. PAN Indonesia Bank Ltd Cabang Bandung mengajukan permohonan lelang ke Kantor Lelang Negara Bandung atas jaminan yang diberikan PT. Golden City Textile Industri Ltd. Selanjutnya pada tanggal 10 Desember 1979 tanpa
melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri Bandung telah dilaksanakan pejualan lelang atas objek jaminan, dan pembelinya adalah Satro Proyogo 30.
PT. Golden City Textile Industri Ltd akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung atas penjualan objek jaminan yang dilakukan Kantor Lelang Negara Bandung. Akhirnya pada 20 Mei 1980 Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut : Bahwa tindakan Tergugat I (PT. PAN Indonesia Bank) dan Tergugat II (Kantor Lelang Negara Bandung) melelang umum tanah dan bangunan setempat terkenal dengan nama “Shoping Center Kandaga” pada hari Senin tanggal 10 Desember 1979 tanpa melalui Ketua Pengadilan Negeri Bandung adalah merupakan perbuatan melawan hukum31.
Ditingkat banding pada 17 November 1981 Pengadilan Tinggi Bandung telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri tersebut. Pada intinya amar putusannya berbunyi : bahwa penjualan lelang adalah sah menurut hukum32.
Ditingkat kasasi Putusan Nomor 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung karena dinilai telah salah menerapkan hukum. Dengan dasar pertimbangan sebagai berikut :
1. Bahwa berdasarkan Pasal 224 HIR pelaksanaan pelelangan sebagai akibat adanya grose acta hipotik dengan memakai kepala : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai kekuatan hukum sama dengan suatu putusan Pengadilan, seharusnya 30
HP Panggabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI Mengenai Perjanjian Kredit Perbankan (Berikut Tanggapan), Jilid I, Citra Adytia Bakti, Bandung, 1992, hlm. 233. 31 Ibid, hlm. 238. 32 Ibid, hal. 240..
dilaksanakan atas perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan, bilamana tidak terdapat perdamaian dalam pelaksanaannya. 2. Bahwa ternyata di dalam perkara ini, pelaksanan pelelangan tidak atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Bandung, tetapi diaksanaka sendiri oleh Kepala Kantor Lelang Negara Bandung atas perintah Bank Kreditor, oleh karenanya, maka lelang umum tersebut adalah bertentangan dengan Pasal 224 HIR, sehingga pelelangan tersebut adalah tidak sah. Bahwa dengan demikian maka para Tergugat Asal (Bank Kreditor – Kantor Lelang Negara dan pembeli lelang) telah melakukan perbuatan melawan hukum33.
Menindaklanjuti SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tersebut, Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya telah mengeluarkan Surat Edaran pada tanggal 16 Januari 2014 kepada jajaran dibawahnya, yaitu kepada Ketua Pengadilan Negeri se-Jawa Timur tentang parate eksekusi sebagai berikut :
“Sehubungan dengan banyaknya permohonan eksekusi pengosongan yang diajukan oleh pemenang lelang terhadap pelelangan Hak Tanggungan yang dilakukan oleh kreditor sendiri melalui Kantor Lelang (parate eksekusi) dan memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 Tahun 2012 tanggal 12 September 2012, maka untuk menindaklanjuti permohonan eksekusi pengosongan tersebut bersama ni kami beritahukan hal-hal sebagai berikut : Permohonan eksekusi pengosongan dari hasil lelang yang dilakukan kreditor melalui Kantor Lelang sebelum adanya SEMA RI Nomor 07 Tahun 2012 tanggal 12 September 2012 apabila terlelang tidak mau mengosongkan objek sengketa tetap dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR ;
1. Permohonan eksekusi pengosongan dari hasil lelang yang dilakukan kreditor melalui Kantor Lelang setelah adanya SEMA RI Nomor 07 33
Ibid, hlm. 231.
Tahun 2012 tanggal 12 September 2012, apabila terlelang tidak mau mengosongkan objek sengketa tidak dapat dilakukan pengosongan berdasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR melainkan harus diajukan melalui gugatan dengan permohonan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) ; 2. Apabila ternyata setelah adanya SEMA RI Nomor 07 Tahu 2012 tanggal 12 Setember 2012 terlanjur ada permohonan eksekusi pengosongan yang sudah ditindaklanjuti sampai tahap aanmaning dan tidak ada kendala serta tinggal pelaksanaan pengosongan saja, maka untu melindungi pembeli lelang yang beriktikad baik, kiranya eksekusi dapat dilanjutkan ; 3. Apabila kreditor mengajukan pengosongan lelang eksekusi terhadap Hak Tanggungan / Fidusia berdasarkan Pasal 224 HIR ke Pengadilan dapat diterima dan diaksanakan sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku34 ; Dari Surat Edaran Ketua Pengadian Tinggi terdapat 3 (tiga) kebijakan :
1. Sebelum keluarnya Surat Edaran Pengadilan Tinggi tersebut masih dimungkinkan atau dibolehkan Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengosongan terhadap objek lelang yang dilakukan secara parate eksekusi (langsung ke Kantor Lelang) ; 2. Namun setelah keluarnya Surat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi tersebut maka permohonan eksekusi secara parate eksekusi, dan akhirnya meminta bantuan Pengadilan Negeri sudah tidak dibolehkan lagi (hanya dimungkinkan mengajukan gugatan baisa). 3. Oleh karena itu eksekusi atas Hak Tanggugan harus melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri.
Demikian pula Ketua Pengadilan Negeri Jember dalam suratnya yang ditujukan 34
kepada
Kantor
Lelang
Jember
Nomor
:
W.14.U.300
Surat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi tersebut diterima Syahrul Machmud ketika menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jember.
B/Pdt.01.04/12/2013 tertanggal 2 Desember 2013 yang isinya adalah sebagai berikut :
“Merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 Tahun 2012 tanggal 2 September 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, dengan hormat kami beritahukan jika ada pelaksanaan lelang Hak Tanggungan yang dilakukan oleh kreditor sendiri melalui KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara), apabila dikemudian hari menemui hambatan karena termohon lelang tidak mau meninggalkan dan mengosongkan barang yang telah di lelang, maka pihak pemenang lelang tidak bisa meminta langsung pengosongan melalui Pengadilan Negeri bedasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR, melainkan harus mengajukan gugatan, karena pelelangan tersebut bukan lelang eksekusi melainkan lelang sukarela. “Dengan demikian untuk menghindarkan kesulitan bagi kreditor, maka disarankan agar permohonan eksekusi lelang oleh kreditor / parate eksekusi melalui Pengadilan Negeri setempat” Selengkapnya bunyi Pasal 200 ayat (11) HIR adalah sebagai berikut :
“Jika seseorang enggan meninggalkan barang tetapnya yang dijual, maka ketua pengadilan negeri akan membuat surat perintah kepada orang yang berwenang, untuk menjalankan surat juru sita dengan bantuan panitera pengadilan negeri atau seorang pegawai bangsa Eropa yang ditunjuk oleh ketua, dan jika perlu dengan bantuan polisi, supaya barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya serta oleh sanak saudaranya. (Rv. 526, 1033)”.
Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 320 K/Pdt/1980 serta SEMA Nomor 7 Tahun 2013 mengandung pengertian parate eksekusi dalam UUHT tetap harus melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri. Jika tidak melalui Pengadilan Negeri dan ternyata debitor tidak bersedia mengosongkan objek lelang, maka Ketua Pengadilan Negeri tidak dibenarkan untuk melakukan eksekusi pengosongan. Pengosongan hanya dimungkinkan melalui proses gugatan perdata biasa
III. ANALISA A. Kedudukan Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menolak eksekusi hak jaminan yang didasarkan pada parate eksekusi
1. Analisa Atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 3201 K/Pdt/1984
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 3201 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 sebagai dasar hukum munculnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2012, telah menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ahli hukum (ada yang sepedapat dengan Putusan MA tersebut, dan ada yang tidak sependapat).
Dikalangan perbankan juga mengakui sulitnya melaksanakan parate executie terhadap objek hak tanggungan jika debitor wanprestasi. Bank tidak pernah mengajukan permohonan pelelangan secara langsung kepada Kantor Lelang Negara (KLN) berdasarkan Pasal 6 UUHT. Permohonan tersebut akan ditolak oleh KLN dengan alasan karena adanya putusan MARI No. 3210.K/Pdt.G/1984. Bilamana parate executie objek hak tanggungan yang dalam pelaksanaannya terlebih dahulu harus mendapatkan fiat Ketua Pengadilan Negeri, karena mendasarkan pada Pasal 224 HIR, berarti ada perubahan makna yang terkandung dalam pengertian parate executie hak tanggungan atas atas tanah sejak adanya putusan MARI. Terlebih lagi adanya Buku II Pedoman Mahkamah Agung RI yang mengharuskan adanya fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri. Disamping itu kurangnya peminat yang ingin membeli karena akan timbul persoalan pada
saat pengosongan. Pengadilan menolak menerbitkan perintah pengosongan karena eksekusinya tidak melalui pengadilan35.
Praktek eksekusi atas hak tanggungan (parate eksekusi) para Hakim berbeda pendapat, ada yang mengikuti isi putusan Mahkamah Agung tersebut dengan menolak pengosongan objek lelang yang dilakukan langsung ke Kantor Lelang. Sebagian lagi tidak mengikuti putusan Mahkamah Agung tersebut dan bersedia mengosongkan objek lelang yang tidak ditinggalkan atau dikosongkan oleh debitor yang lalai atau wanprestasi36.
Perbedaan pendapat atas putusan MA tersebut terjadi juga di MA, hal ini terlihat dari Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Nomor : 02/Wk.MA.Y/I/2010, perihal perbaikan perumusan hasil Rakernas Palembang Tahun 2009 tentang eksekusi grosse akta pengakuan hutang atau hak tanggungan, isi surat sebagai berikut :
“Bahwa dalam hal eksekusi hak tanggungan yang dilakukan oleh kantor Lelang Negara apabila barang yang telah dilelang itu tidak dengan sukarela diserahkan pada pembeli lelang, maka pihak pembeli lelang dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar Pengadilan Negeri melakukan pengosongan terhadap objek yang telah dilelang tersebut tanpa perlu mengajukan gugatan biasa, sebab pada dasarnya Pasal 200 ayat (11) HIR / 208 ayat (2) RBg tidak semata-mata ditujukan untuk melaksanakan suatu putusan pengadilan tetapi juga terhadap pelelangan yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara37. Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial tersebut, menunjukkan bahwa di dalam tubuh Mahkamah Agung sendiri masih terjadi 35
Retnowulan Sutantio, Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Jakarta, 1999. 36 Syahrul Machmud, ibid 37 Hasil Rakernas MA tahun 2009 di Palembang.
baik Hakim di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun di Mahkamah Agung tidak mentaati putusan Mahkamah Agung tersebut.
Melihat praktek peradilan yang masih terjadi dualisme terhadap Hak Tanggungan tersebut, maka Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 07 Tahun 2012, bermaksud menyatukan pandangan para Hakim agar tidak menerima permohonan eksekusi pengosongan objek lelang yang tidak bersedia ditinggalkan oleh debitor.
Dualisme pendapat dikalangan Hakim atas eksekusi hak tanggungan tersebut menurut Syahrul Machmud dapat terjadi, karena peradilan Indonesia tidak menganut asas precedent (wajib mengikuti putusan Hakim sebelumnya), Hakim diberi kebebasan untuk memutus perkara berdasarkan keyakinannya, dan tidak selalu mengikuti putusan Hakim sebelumnya, sekalipun Putusan Mahkamah Agung merupakan peradilan tertinggi di Indonesia. Demikian juga dikatakannya, tidak semua Hakim atau Ketua Pengadilan Negeri pernah membaca putusan Mahkamah Agung tersebut. Karena buku kumpulan putusan pengadlan masih sangat terbatas jumlahnya, sehingga akses membaca putusan sangat terbatas sekali38.
2. SEMA Tidak Dapat Dijadikan Dasar Hukum Untuk Menolak Eksekusi Hak Tanggungan Yang Didasarkan Pada Parate Eksekusi
38
Syahrul Machmud, Ibid.
Dalam penjelasan umum angka 2 sampai 4 disebutkan, keberadaan UUHT pada dasarnya dimaksudkan untuk menggantikan ketentuan hipotik dan creditverband yang dibuat zaman Hindia Belanda, didasarkan pada hukum tanah sebelum adanya hukum tanah nasional, tentunya tidak sesuai lagi dengan asas-asas hukum tanah nasional, dan juga tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya ialah timbulnya perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbagai masalah dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah, misalnya mengenai pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya, sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian hukum dalam kegiatan perkreditan.
Atas dasar kenyataan tersebut, perlu
segera ditetapkan UU mengenai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat dengan ciri-ciri : a. memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya ; b. selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada ; c. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan; d. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya39. Dengan memperhatikan ciri-ciri di atas, maka pembentukan UUHT telah membangun suatu hukum tanah nasional, dengan menciptakan kesatuan dan kesederhanaan hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
39
Penjelasan Umum UUHT angka 2 sampai 4.
Dari beberapa definisi dan pendapat pakar yang telah diutarakan tentang parate eksekusi, bahwa yang dimasudkan dengan parate eksekusi adalah, eksekusi yang dilakukan kreditor karena debitor ingkar janji / wanprestasi atas hutangnya, kemudian kreditor melelang objek jaminan langsung ke Kantor Lelang tanpa melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri. Namun makna parate eksekusi ini dimentahkan oleh adanya SEMA Nomor 07 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa walaupun kreditor telah memegang Hak Tanggungan, yang berarti bernilai parate eksekusi, namun kreditor bila akan melakukan eksekusi, harus melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri, tidak boleh langsung ke Kantor Lelang. Apabila dilakukan langsung ke Kantor Lelang, maka apabila debitor tidak bersedia mengosongkan objek lelang, maka Ketua Pengadilan Negeri dilarang melakukan eksekusi pengosongan, kecuali dilakukan melalui gugatan biasa. Jika parate eksekusi harus dilakukan dengan persetujuan dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, maka tidak ada perbedaan antara parate eksekusi berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata untuk Hipotik atau pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT untuk hak tanggungan dengan eksekusi Grosse Akte Hipotik atau grosse Sertifikat hak tanggungan menurut Pasal 224 HIR / 258 RBg. Dengan munculnya SEMA Nomor 07 Tahun 2012 pada dasarnya memperkuat putusan Mahkamah Agung Nomor 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung karena dinilai telah salah menerapkan hukum, dan menyatakan parate eksekusi
yang langsung dilakukan ke Kantor Lelang tanpa melalui fiat Ketua Pengadilan Negeri merupakan perbuatan melawan hukum. Setelah mempelajari ketentuan Pasal 7 dan 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan, jenis dan khirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana telah diuraikan pada BAB II, maka Surat Edaran tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (SE hanya mengikat kedalam tidak keluar), dan hanya Peraturan Mahkamah Agung yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menolak eksekusi hak jaminan yang didasarkan pada parate eksekusi oleh pihak terlelang.
B. Akibat Hukum SEMA Nomor 7 Tahun 2012 Dijadikan Dasar Hukum Melaksanakan Parate Eksekusi
Sebagaimana telah diuraikan pada Bab II tentang khirarki perundang-undangan diatas, terutama pada Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan dinyatakan, jenis dan khirarki peraturan perundang-undangan terdiri dari :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Ketetapan Majelis Permusyawarata Rakyat. 3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. 4. Peraturan Pemerintah. 5. Peraturan Presiden.
6. Peraturan Daerah Provinsi, dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota. Menurut ketentuan Pasal 7 dan 8 serta penjelasannya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan termasuk pula katagori perundangan, yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisal (KY), Bank Indonesia (BI), Menteri, Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah UndangUndang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten / Kota, Bupati / Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan perundangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintah oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan40. Dengan demikian hanya Peraturan Mahkamah Agung yang memiliki kekuatan hukum mengikat, tidak termasuk Surat Edaran Mahkamah Agung (karena Surat Edaran Mahkamh Agung hanya mengikat kedalam tidak keluar). Sebagaimana telah diutarakan pada BAB II Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Undang-Undang Mahkamah Agung, memiliki beberapa kewenangan dan tugas :
40
Ketentuan Pasal 7 dan 8 serta penjelasannya dari UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
a. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Dasar jo Pasal 35 Undang-Undang Mahkamah Agung Jo TAP MPR Nomor VII/MPR/ 1973 Pasal 11 ayat (3) Mahkamah Agung berwenang memberikan
pertimbangan
hukum
kepada
Presiden
dalam
permohonan grasi dan rehabilitasi. b. Berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung Jo TAP MPR Nomor VI/MPR/1973 Pasal 11 ayat (2) Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga tinggi negara yang lain. c. Berdasarkan ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung berwenang memberikan petunjuk di semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan UndangUndang Kekuasaan Kehakiman. d. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung berwenang memberikan petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi mempunyai fungsi pengawasan terhadap perbuatan pengadilan lainnya, untuk meningkatkan citra peradilan.
e. Demikian pula berdasarkan ketentuan 79 Undang-Undang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang.
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan tertinggi mempunyai fungsi memimpin peradilan dalam pembinaan dan pengembangan hukum dan sekaligus mengembangkan hukum Indonesia melalui putusanputusan kearah kesatuan hukum dan peradilan.
Produk hukum Mahkamah Agung dapat berupa Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Fatwa Mahkamah Agung, dan Surat Keputusan Mahkamah Agung (SKKMA).
Sebagaimana telah diuraian pada BAB II sebelumnya, bahwa Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) pada dasarnya adalah bentuk peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum acara. Sedangkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) bentuk edaran pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi.
Kemudian yang dimaksudkan Fatwa Mahkamah Agung, berisi pendapat hukum Mahkamah Agung yang diberikan atas permintaan lembaga negara.
Sedangkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SKKMA) adalah surat keputusan (beschikking) yang dikeluarkan Ketua Mahkamah Agung mengenai satu hal tertentu.
Sebagaimana
telah
diuraikan
diatas
bahwa
Surat
Edaran
Mahkamah Agung berbentuk edaran pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Agung.
Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (4) UU Mahkamah Agung tersebut, SEMA hanya bersifat administrasi belaka tidak dapat mengatur hukum acara. Jimly mengkritik bentuk Surat Edaran Mahkamh Agung yang materinya bersifat pengaturan. Jika materinya berisi peraturan, sebaiknya bentuk produk hukumnya adalah peraturan.
Sebagaimana kewenangan Mahkamah Agung tersebut, salah satu kewenangan dan tugas Mahkamah Agung adalah : Mahkamah Agung berwenang memberikan petunjuk di semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Namun demikian segala produk hukum dari Mahkamah Agung harus tetap tunduk pada prinsip atau asas hirarkhi.
Sesuai dengan hirarkhi peraturan perundang-undangan, yaitu perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas lex superiori derogat lex inferiori bahwa aturan yang lebih tinggi mengabaikan atau mengesampingkan peraturan yang lebih rendah, bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Maka seharusnya
Surat Edaran Mahkamah Agung tunduk pada prinsip hirarkhi, justru Surat Edaran harus selaras dan serasi dengan Undang-Undang Hak Tanggungan.
Dengan demikian peraturan-peraturan dibawah Undang-Undang sebagai hukum organik atau aturan pelaksana dari Undang-Undang, tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya. Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2012 mengatur parate eksekusi harus dilakukan melalui Ketua Pengadilan Negeri, jelas Surat Edaran Mahkamah Agung ini bertentangan dengan bunyi Pasal 6 Jo Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu parate eksekusi dapat dilakukan langsung ke Kantor Lelang oleh kreditor pemegang Hak Jaminan, manakala debitor lalai atau wanprestasi. Oleh karena itu Surat Edaran Mahkamah Agung semacam ini harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan dan harus dinyatakan batal demi hukum, karena bertentangan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan.
Namun dalam praktek, sekalipun para Ketua Pengadilan Negeri mengetahui hal ini, tetap tidak berani melanggar Surat Edaran Mahkamah Agung yang seharusnya batal demi hukum. Karena alasan praktis, jika dilaporkan maka para Ketua Pengadilan Negeri yang melanggar Surat Edaran Mahkamah Agung akan dipersalahkan dan dapat dikenai sanksi.
Selain kendala dari peradilan Indonesia tersebut, hambatanhambatan dalam eksekusi Hak Tanggungan sebagai jaminan kredit untuk perlindungan hukum bagi kepentingan kreditor, terdapat 2 (dua) macam hambatan yaitu :
1. Hambatan Normatif
Dari beberapa pasal Undang-Undang Hak Tanggungan terdapat beberapa pasal yang tumpang tindih sehingga menjadi bermakna ganda, seperti misalnya : a. Ketentuan Pasal 6 Jo Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT dapat dimaknai bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual langsung objek jaminan (parate eksekusi) melalui Kantor Lelang tanpa fiat Ketua Pengadilan Negeri, hal ini merupakan perintah undang-undang (ex lege). b. Adanya penjelasan Pasal 6 Jo Pasal 11 ayat (2) UUHT yang menentukan bahwa, hak kreditor untuk menjual lelang atas jaminan debitor didasarkan pada perjanjian. Padahal Pasal 6 Jo Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT menyebutkan bahwa hak tersebut merupakan hak kreditor untuk menjual lelang atas jaminan debitor tersebut merupakan perintah Undang-Undang (ex lege). c. Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dimentahkan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUHT dan penjelasannya, maka yang bertindak selaku penjual lelang adalah Ketua Pengadilan Negeri untuk kepentingan kreditor, sehingga yang berhak menentukan syarat-syarat lelang adalah Ketua Pengadilan Negeri selaku pemohon lelang. d. Oleh karenanya menurut hemat kami karena Pasal 6 jo. Pasal 11 ayat (2) huruf e parate eksekusi sudah jelas-jelas memberi hak kepada pemegang hak tanggungan Pertama untuk melaksanakan hak
dan/atau janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan, maka dalam hal debitor cidera janji pemegang hak tanggungan pertama dapat melakukan parate eksekusi, yaitu menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa persetujuan dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. 2. Hambatan Non Yuridis a. Kendala utama dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan adalah keengganan debitor mengosongkan obyek jaminan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan dilaksanakan. b. Sering debitor dalam rangka mempertahankan objek jaminan yang telah
dilelang
mengerahkan
massa
untuk
membantunya
mempertahankan objek jaminan agar tidak beralih kepada pemenang lelang.
VI. KESIMPULAN A. Kesimpulan Dari uraian yang telah dipaparkan pada BAB II dan BAB III maka dapatlah ditarik satu kesimpulan sebagai berikut : 1. Sesuai dengan tata urutan perudang-undangan UU Nomor 12 Tahun 2011, maka sebuah Surat Edaran (Mahkamah Agung) tidak termasuk tata urutan perundangan, sehingga tidak dapat dijadikan alasan atau dasar hukum untuk
menolak eksekusi hak tanggungan berdasarkan pada parate eksekusi dalam UUHT. 2. Sebagaimana asas lex superiori derogat lex inferiori maka sebuah SEMA seharusnya melaksanakan UU tidak bertentangan dengan bunyi UU. Jika bertentangan maka harus dinyatakan batal demi hukum.
B. S A R A N Dari kesimpulan tersebut dapatlah diuraikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Keberadaan SEMA tentang parate eksekusi harus sejalan dan selaras dengan UUHT yang mengatur parate eksekusi pada Pasal 6 UUHT. 2. Pengaturan parate eksekusi dalam UUHT harus diatur secara tegas dan jelas tidak muti tafsir, sehingga tidak membingungkan para pihak terutama pihak kreditor perbankan.