Tinjauan Hukum Islam dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam Mengenai Pembagian Harta Bersama (Analisis Putusan Pengadilan Agama Bantul No.229/Pdt.G/2009/PA.BTL. jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta No.34/Pdt.G/2009/PTA.YK. jo. Putusan Mahkamah Agung No.266 K/AG/2010)
Oleh : Afridha Nur Fadhilla (0906558022)
ABSTRAK Skripsi ini membahas mengenai bagaimana harta bersama diatur baik dalam Hukum Islam maupun Kompilasi Hukum Islam. Menurut Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, pembagian harta bersama ditentukan setengah bagian untuk
masing-masing
suami
istri,
namun
dalam
Putusan
No.229/Pdt.G/2009/PA.Btl. jo. Putusan No.34/Pdt.G/2009/PTA.Yk. jo. Putusan No.266 K/AG/2010, hakim memutuskan bagian harta bersama yang berbeda dari apa yang ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam, yakni ¾ dan ¼ bagian. Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa bahan pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam, hakim dapat menetapkan pembagian harta bersama yang tidak sepenuhnya mengikuti ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, dengan memperhatikan keadilan dan kelayakan bagi masing-masing pihak. Terkait putusan yang dibahas dalam penelitian ini, istri dapat memperoleh bagian harta bersama lebih besar dari suami, yakni sebesar ¾ bagian, dikarenakan suami tidak menjalankan kewajiban sebagai suami di dalam rumah tangga sebagaimana mestinya.
Kata Kunci : Harta bersama, Perceraian, Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
ABSTRACT This research focuses on how joint assets are regulated, both in Islamic Law and Compilation of Islamic Law. According to the Article 97 of Compilation of Islamic Law, the division of joint assets are determined half portions for each husband and wife, but The Judgement No.229/Pdt.G/2009/PA.Btl. gave the different portion from what is determined in the Compilation of Islamic Law, ¾ and ¼ for each. The research method used in this research is a normative juridical method and data that used in this research derived from literature materials. The results of this research concludes that based on Article 229 Compilation of Islamic Law, Judge may determine the distribution of joint assets aside from what is regulated in Article 97 Compilation of Islamic Law, by considering the fairness and feasibility for each party. Related to the judgement discussed in this research, wife can get a larger portion of joint assets, which is ¾ part, because husband is not performing his duty as a husband properly.
Key words
:
Joint assets, Divorce, Islamic Law, Compilation of Islamic Law.
1.
PENDAHULUAN Pada
dasarnya
merupakan
suatu
kodrat
manusia
untuk
saling
membutuhkan satu sama lain. Begitu pula yang terjadi antara hubungan pria dan wanita dimana kedua
makhluk berbedajenis
kelamin
ini akan saling
membutuhkan terutama dalam hal membangun sebuah keluarga dalam ikatan perkawinan. Anjuran untuk membentuk keluarga melalui lembaga perkawinan ini diatur dalam agama Islam baik itu di dalam al-Qur‟an maupun hadits-hadits Rasulullah SAW. Berikut anjuran mengenai perkawinan di dalam al-Qur‟an :
a. Q.S. al-Furqan (25) : 74 “Dan orang-orang yang berkata : „Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
(kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”.1
b. Q.S. ar-Rum (30) : 21 “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir”.2
Di samping itu, ada pula hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk menikah, di antaranya : a. “Wahai kaum muda, barangsiapa di antara kalian mampu menyiapkan bekal, nikahlah, karena sesungguhnya nikah dapat menjaga penglihatan dan memelihara farji. Barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi benteng” (HR.Muttafaq„alaih dari Abdullah bin Mas‟ud).3 b. “Akan tetapi aku shalat, tidur, puasa, berbuka, dan aku menikahi perempuan. Maka barang siapa membenci sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku” (HR.Muttafaq„alaih).4
Tentunya anjuran untuk melaksanakan perkawinan dibuat karena memiliki faedah yang tersimpan di dalamnya dan diharapkan nantinya akan membawa manfaat tidak hanya untuk kelangsungan hidup di dunia tetapi juga di akhirat kelak. Setidaknya ada lima faedah (keuntungan) perkawinan menurut Al-Ghazali yakni : memperoleh anak, mematahkan (menyalurkan syahwat), menghibur diri,
1
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an dan Terjemahannya (Special for Women) Departemen Agama RI, (Bandung : Syaamil al-Qur‟an,2005), hal.366. 2
Ibid., hal.406.
3
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet.6, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal.70. 4
Ibid.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
menambah anggota keluarga dan berjuang melawan kecenderungan nafsu (dengan menangani dan mengatasi bermacam keadaan yang timbul karena semua itu).5 Suami istri sebagai suatu keluarga merupakan dasar pembentukan kelompok masyarakat yang nantinya menjadi cikal bakal pembentukan bangsa dan negara. Oleh karena itu sebetulnya sangat diharapkan hubungan suami istri berjalan harmonis, langgeng, penuh kebahagiaan lahir batin, kebahagiaan rohani dan jasmani maupun spiritual, dilandasi dengan ma‟ruf, sakinah, mawaddah dan rahmah.6 Namun harapan tak selamanya sesuai dengan kenyataan. Seiring kehidupan berjalan, aral melintang kerap kali menjadi cobaan dalam rumah tangga bagi setiap pasangan. Cobaan tersebut terkadang dapat disikapi dengan bijaksana dan dapat menambah kokoh perjalanan rumah tangga ke depannya, namun ada pula yang sepertinya tidak dapat lagi bertahan dalam situasi sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya memutuskan untuk berpisah. Pertengkaran yang terjadi di dalam rumah tangga ataupun konflik lainnya yang membuat suasana semakin memanas, tidak jarang menghasilkan suatu keputusan akhir yang dianggap bagi pasangan tersebut adalah keputusan yang paling bijak, namun merupakan keputusan yang paling dibenci oleh Allah SWT yakni putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri. Putusnya hubungan perkawinan tentu akan membawa akibat, salah satunya adalah mengenai harta bersama yang didapatkan sepanjang pasangan suami istri tersebut membina rumah tangga. Harta kekayaan di dalam suatu perkawinan, menurut hukum Islam merupakan harta yang terpisah, baik itu berupa harta bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh salah seorang suami istri atas usahanya sendiri-sendiri, juga harta yang diperoleh salah seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan.7 Walaupun pada dasarnya 5
Al-Ghazali, Menyingkap Hakikat Perkawinan Adab, Tata Cara dan Hikmahnya [Kitab Adab an Nikah], diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir, (Bandung : Penerbit Karisma, 1988), hal. 24. 6
Moh.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Penerbit Bumi Aksara, 1996), hal.25. 7
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam Disertai dengan Beberapa Pengertian Umum Hukum Perkawinan Undang-undang Perkawinan 1974, Cet.2007, (Jakarta : UI-Press,2007), hal. 83.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
harta tersebut terpisah, dibuka kemungkinan adanya syirkah atas harta kekayaan suami istri, yaitu percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami dan atau istri selama masa adanya perkawinan atas usaha suami atau istri sendiri-sendiri, atau atas usaha mereka bersama-sama.8 Jika ditinjau menurut Kompilasi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam mengenal harta bersama, namun juga tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami dan istri.9 Apabila terjadi perceraian di antara pasangan suami istri maka harta bersama yang didapat selama perkawinan umumnya dibagi di antara kedua pasangan yang bercerai, begitupun dengan apa yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 97, dimana untuk pasangan suami istri yang cerai hidup masing-masing mendapat setengah bagian. Namun ketentuan di dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam tersebut, tidak sepenuhnya diterapkan oleh hakim sebagai cara untuk menyelesaikan masalah pembagian harta bersama. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Agama Bantul No.229/Pdt.G/2009/PA.Btl jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta No.34/Pdt.G/2009/PTA.Yk. jo.Putusan Mahkamah Agung No.266 K/AG/2010 yang memutuskan untuk membagi harta bersama menjadi ¾ dan ¼ bagian. Hal inilah yang membuat Penulis tertarik untuk meninjau lebih lanjut putusan tersebut, dikarenakan pembagian harta bersama yang berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. 1.1 POKOK PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas di atas, maka permasalahan yang akan diangkat oleh Penulis adalah : 1. Bagaimanakah Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai harta bersama dan pembagiannya di antara pasangan suami istri yang bercerai? 2. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Bantul No.229/Pdt.G/2009/PA.Btl. jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta No.34/Pdt.G/2009/PTA.Yk. jo. Putusan 8
Ibid., hal.84
9
Indonesia, Instruksi Presiden tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Inpres No.1 Tahun 1991, Ps.85.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
Mahkamah Agung No.266 K/AG/2010 ditinjau dari Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam?
2.
PEMBAHASAN
2.1 HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI Apabila seorang pria dan wanita telah melakukan akad nikah secara sah, maka pada saat itu masing-masing telah terikat oleh tali perkawinan dan telah hidup sebagai suami istri. Dengan adanya ikatan perkawinan ini maka sudah tentu akan mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua belah pihak.10 Yang dimaksud dengan hak di sini adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang harus dilakukan seseorang terhadap orang lain.11 Suami memiliki kewajiban yang bersifat materi dan nonmateri. Untuk yang bersifat materi meliputi kewajiban memberi mahar (Q.S. an-Nisaa‟ (4) : 4) dan memberikan nafkah (Q.S. al-Baqarah (2) : 233 , Q.S. ath-Thalaq (65) : 7). Sementara itu kewajiban yang tidak bersifat materi meliputi12: menggauli istrinya secara baik dan patut, menjaga dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa suatu kesulitan dan mara bahaya, mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan Allah untuk terwujud yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah. Sementara itu, istri memiliki kewajiban antara lain sebagai berikut13 : a. Taat dan patuh. Istri hendaklah taat dan patuh kepada suaminya dalam melaksanakan urusan rumah tangga selama suaminya itu masih melaksanakan ketentuan Allah yang berkaitan dengan kehidupan suami istri (Q.S.anNisaa‟ (4) : 34). 10
Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Hecca Mitra Utama, 2005), hal.107. 11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet.2, (Jakarta : Prenada Media, 2007), hal.159. 12
Ibid., hal.160-161.
13
Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis dan Farida Prihatini, op. cit., hal.111.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
b. Mengurus dan mengatur rumah tangga dengan baik, termasuk memelihara dan mendidik anak (Q.S.an-Nisaa‟ (4) : 34). Pengurusan rumah tangga merupakan kewajiban istri. Demikian pula dalam pembelanjaan biaya rumah tangga yang diusahakan oleh suaminya harus dapat dipertanggungjawabkan. c. Menjaga diri dan harta suaminya ketika suami tidak ada (Q.S.an-Nisaa‟ (4) : 34). Mengenai hal ini, diatur pula di dalam hadits Rasul yang terjemahannya sebagai berikut : “Sebaik-baik istri ialah jika kamu memandangnya, maka kamu akan terhibur, jika kamu suruh ia akan patuh dan jika kamu bepergian dijaganya dirinya dan harta benda (suaminya)” (Hadits Nasa‟i dan lain-lain). Selain kewajiban dan hak sebagaimana disebutkan di atas, suami istri memiliki hak dan kewajiban bersama. Yang dimaksud dengan hak bersama suami istri adalah hak bersama secara timbal balik dari pasangan suami istri terhadap yang lain.14 Adapun hak bersama itu adalah sebagai berikut : a. Bolehnya
bergaul
dan
bersenang-senang
di
antara
keduanya. Dalam hal ini pasangan suami istri halal untuk saling bergaul dan mengadakan hubungan kenikmatan seksual.15 Perbuatan ini dihalalkan bagi suami istri secara timbal balik. Jadi bagi suami halal berbuat kepada istrinya sebagaimana
bagi
istri
kepada
suaminya.Haram
melakukan perkawinan, yaitu bahwa istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, datuknya, anaknya, dan cucu-
14
Syarifuddin, op. cit. , hal.163.
15
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 7, Cet.7, Alih Bahasa Oleh Moh.Thalib, (Bandung : Al-Ma‟arif, 1990), hal. 51.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
cucunya, begitu juga ibu istrinya, anak perempuannya dan seluruh cucu-cucunya haram dinikahi oleh suaminya.16 b. Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, yang disebut dengan hubungan mushaharah. c. Hubungan saling mewarisi di antara suami istri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain apabila terjadi kematian. Hak saling mendapat waris akibat dari ikatan perkawinannya meninggal
yang
dunia
sah,
bilamana
sesudah
salah
seorang
sempurnanya
ikatan
perkawinan, yang lain dapat mewarisi hartanya sekalipun belum pernah bersetubuh.17 d. Saling menjaga rahasia masing-masing. Artinya suami harus menjaga rahasia yang dimiliki oleh istrinya demikian pula istri wajib menjaga rahasia suaminya.18 e. Berlaku dengan baik Wajib bagi suami istri memperlakukan pasangannya dengan baik sehingga dapat melahirkan kemesraan dan kedamaian.19 Sementara itu yang menjadi kewajiban bersama bagi suami istri yakni sebagai berikut : a. Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut.20 b. Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.21 16
Ibid.
17
Ibid.
18
Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis dan Farida Prihatini, op. cit. , hal.109.
19
Sabiq, op. cit. , hal.52.
20
Syarifuddin, op. cit., hal.163
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
Kompilasi Hukum Islam juga mengatur mengenai hak dan kewajiban suami istri dengan cukup rinci. Pembahasan dimulai dari Pasal 77 sampai Pasal 78 mengenai hal umum, Pasal 79 menyangkut kedudukan suami istri, Pasal 80 berkenaan dengan kewajiban suami, Pasal 81 mengenai tempat kediaman, Pasal 82 kewajiban suami terhadap istri yang lebih dari seorang dan Pasal 83 berkenaan dengan kewajiban istri.22
2.1 TINJAUAN UMUM MENGENAI HARTA BERSAMA Di dalam Hukum Islam tidak secara jelas diatur mengenai adanya harta bersama dalam perkawinan, tetapi Hukum Islam memungkinkan adanya syirkah di dalam perkawinan. Menurut KH. Ma‟ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, bahwa harta gono-gini dapat disamakan atau digolongkan ke dalam harta syirkah. Harta gono-gini dapat di-qiyas23-kan dengan syirkah karena dipahami istri juga dapat dihitung sebagai pasangan (kongsi) yang bekerja, meskipun tidak ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Menurut Isma‟il Muhammad Syah dalam bukunya yang berjudul Pencaharian Harta Bersama (Adat Gono-Gini Ditinjau Dari Sudut Hukum Islam) bahwa harta bersama termasuk ke dalam syirkah abdan atau syirkah mufawadhah. Dikatakan syirkah abdan karena kenyataan bahwa sebagian besar dari suami istri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja membanting tulang berusaha untuk mendapatkan nafkah hidup sehari-hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka dan selanjutnya untuk sekedar peninggalan kepada anak-anak mereka sesudah mereka meninggal dunia.24 Dikatakan syirkah mufawadhah karena memang perkongsian suami istri dalam gono-gini itu tidak terbatas, apa saja yang 21
Ibid. , hal.164.
22
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal.189. 23
Yang dimaksud dengan Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam al-Qur‟an atau hadits dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam alQur‟an dan hadits karena persamaan illat (penyebab atau alasan ) nya. (Lihat H.Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2009), hal.120). 24
Ibid., hal.38.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
mereka hasilkan selama dalam perkawinan mereka termasuk harta gono-gini, selain dari warisan dan pemberian yang tegas-tegas dikhususkan untuk salah seorang dari kedua suami istri itu.25 Selain itu, mengenai kedudukan harta bersama dapat dilihat dari adanya kebiasaan yang menjadi adat di berbagai daerah di Indonesia. Adat istiadat atau dikenal dengan istilah „urf, selama tidak bertentangan dengan Hukum Islam dapat dikukuhkan untuk tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.26 Berdasarkan kaidah fiqih al-„Adatu Muhakkamah, maka adat kebiasaan dapat berlaku bagi umat Islam sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam agama Islam. Mengenai pembagian harta bersama, yang dalam hal ini termasuk ke dalam bidang muamalah, oleh karenanya persoalan ini dapat diserahkan kepada kaum muslimin itu sendiri. Selain itu, dapat pula dengan melihat ada adat kebiasaan yang
berlaku
mengenai
pembagian
harta
bersama,
dan
juga
dengan
mempertimbangkan nilai-nilai dalam ajaran Islam. Sementara itu, Kompilasi Hukum Islam dalam hal ini mengenal konsep harta bersama, terlihat dari adanya definisi mengenai harta bersama di dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam. Mengenai pembagian harta bersama di antara suami istri disebabkan putusnya perkawinan, Kompilasi Hukum Islam mengaturnya di dalam Pasal 96 dan Pasal 97. Pasal 96 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa apabila terjadi cerai mati maka separuh dari harta bersama akan menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Selain karena kematian, putusnya perkawinan karena perceraian juga membawa pengaruh bagi harta bersama di antara suami dan istri. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam juga mengatur mengenai hal itu, dimana pasal tersebut menentukan agar masingmasing janda atau duda cerai hidup untuk mendapatkan seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
25
Ibid.
26
Ali, op. cit., hal.123.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
2.2
DUDUK PERKARA Diketahui
di
dalam
Putusan
Pengadilan
Agama
No.229/Pdt.G/2009/PA.Btl. jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta No.34/Pdt.G/2009/PTA.Yk. jo. Putusan Mahkamah Agung No.266 K/AG/2010, istri (Penggugat) dan suami (Tergugat) telah melangsungkan perkawinan pada tanggal 8 April 1995 yang telah dicatatkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Ketandan, Kabupaten Klaten. Dari hasil perkawinan itu keduanya dikarunia dua orang anak. Pada tahun ke-3 perkawinan, percekcokan semakin sering terjadi. Diketahui bahwa berdasarkan keterangan Penggugat dan saksi bahwa Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami, yakni memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya sebagaimana mestinya. Apabila kewajiban mengenai nafkah itu ditanyakan kepada Penggugat, berdasarkan keterangan saksi, Tergugat hanya menjawabnya dengan kalimat „nguyahi banyu segoro‟, atau yang dapat juga diartikan sebagai pekerjaan yang sia-sia. Selain itu juga Tergugat dinilai tidak memberikan tuntunan agama yang baik kepada istri dan anakanaknya. Pada dasarnya Penggugat berusaha mempertahankan rumah tangganya dengan Tergugat, tetapi karena Tergugat dinilai tidak memiliki itikad baik untuk mempertahankan dan membina rumah tangga, maka pada tanggal 18 Maret 2009 Penggugat mengajukan gugatan cerai.
2.3 ANALISIS BERDASARKAN HUKUM ISLAM Dengan terbentuknya ikatan perkawinan di antara kedua pihak, maka berlakulah hak dan kewajiban sebagai suami dan istri. Kewajiban suami terhadap istri menjadikan istri memiliki hak untuk mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan oleh istri. Kewajiban suami salah satunya adalah wajib untuk memberikan nafkah, sebagaimana diatur dalam al-Qur‟an Q.S.al-Baqarah (2) : 233 yang terjemahannya sebagai berikut : “....Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut..... ”.27 Dikaitkan dengan perkara di atas, hakim mempertimbangkan adanya keterangan dari saksi serta
27
Departemen Agama Republik Indonesia, op. cit., hal. 37.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
bukti-bukti yang ada bahwa Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya yaitu memenuhi kebutuhan di dalam rumah tangga.28 Di dalam putusan tersebut, hakim memperhatikan kondisi terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam rumah tangga sebelum akhirnya memutuskan untuk membagi harta bersama menjadi ¾ dan ¼ bagian. Ketika hakim memperoleh keterangan selama persidangan mengenai kondisi rumah tangga Penggugat dan Tergugat dan diketahui bahwa Tergugat tidak menjalankan kewajiban memberikan nafkah untuk waktu yang lama, hal itu dapat menjadi suatu dasar bagi hakim untuk mempertimbangkan, apakah layak jika Tergugat yang tidak melaksanakan kewajibannya lalu kemudian menginginkan pembagian harta bersama setengah bagian. Hal inilah yang penting dan seharusnya dilihat oleh hakim, karena pada dasarnya kondisi rumah tangga setiap orang berbedabeda sehingga untuk memberikan putusan yang adil bagi keduanya, butuh pertimbangan atas kondisi-kondisi yang terjadi dalam rumah tangga tersebut. Tambahan lagi, hakim memberikan pertimbangan besar kecilnya andil dan usaha para pihak dalam upaya memperoleh harta-harta tersebut.29 Hal ini dapat diindikasikan bahwa kontribusi para pihak merupakan suatu hal yang patut untuk dipertimbangkan sebelum menentukan pembagian harta bersama tersebut. Pertimbangan mengenai usaha masing-masing pihak, yakni suami istri, sudah selayaknya diperlukan. Akan menjadi tidak adil bila istri yang bekerja sementara suaminya tidak bekerja, kontribusinya tidak diperhitungkan dalam hal pembagian harta bersama. Dengan hakim mempertimbangkan usaha-usaha yang dilakukan oleh istri selama perkawinan berlangsung, berarti hakim berupaya melihat adanya kondisi-kondisi tertentu yang dapat dijadikan pertimbangan untuk memberikan putusan yang adil bagi para pihak. Selanjutnya adalah mengenai kedudukan dan pembagian harta bersama ditinjau dari Hukum Islam dalam kasus ini. Pengaturan mengenai harta bersama tidak diatur di dalam al-Qur‟an, namun melalui sumber Hukum Islam seperti hadits dan ijtihad, dan sebagainya, kedudukan harta bersama menjadi
28
Putusan No.229/Pdt.G/2009/PA.Btl., hal.54.
29
Ibid., hal.53.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
dimungkinkan. Adanya harta bersama dimungkinkan sebagaimana konsep syirkah di dalam Hukum Islam. Menurut Hukum Islam dengan adanya perkawinan, sang istri menjadi syarikatur-rajuli filhayati (kongsi sekutu seorang suami dalam melayani bahtera hidup)30, maka antara suami istri terjadilah syarikah abdan (perkongsian tenaga) dan syarikah mufawadhah (perkongsian tidak terbatas). Selain dimungkinkan dengan melihat pada konsep syirkah, umat Islam dapat mendasarkannya pada salah satu kaidah fiqih, yakni kaidah al-„Adatu Muhakkamah, dimana suatu adat kebiasaan yang berlaku dan diterima oleh masyarakat dapat dijadikan suatu hukum selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Harta bersama merupakan suatu persoalan yang menyangkut hubungan di dalam kehidupan bermasyarakat sehingga dapat dikatakan harta bersama bukan termasuk ke dalam bidang ibadah yang ketentuannya jelas dan tertutup (tidak boleh ditambahi atau dikurangi).31 Oleh karena itu, mengenai harta bersama ini merupakan suatu hal yang diperbolehkan untuk diatur di antara kalangan masyarakat selama itu masih sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dalam kasus di atas, dengan terjadinya perkawinan antara Tergugat dan Penggugat, maka baik Penggugat maupun Tergugat satu sama lain saling berkongsi untuk kehidupan dalam rumah tangga (syarikatur-rajuli filhayati), termasuk munculnya harta bersama selama perkawinan berlangsung. Selama masa perkawinan, Penggugat dan Tergugat hidup bersama, yang mana dalam masa hidup bersama tersebut, diperoleh harta-harta baik berupa benda tetap maupun bergerak, seperti yang disebutkan di atas.32
Dengan kenyataan yang terjadi,
bahwa kedua pihak hidup bersama sebagai suami istri dan dengan dihasilkannya harta sepanjang perkawinan yang diakui keduanya merupakan harta bersama, maka dapat dikatakan telah terjadinya syirkah secara diam-diam di antara kedua
30
Hal ini dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddiqiy dalam bukunya yang berjudul Pedoman Rumah Tangga hal.9, sebagaimana dikutip oleh H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hal.83. 31
Hal ini dikenal dengan istilah mu‟amalah, dimana untuk ketetapan yang diberikan masih bersifat yang pokok-pokok saja, belum terperinci seperti halnya bidang ibadah, sehingga dalam hal ini sifat hal-hal yang termasuk ke dalam mu‟amalah lebih terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad. (Lihat Ali, op. cit., hal.55.). 32
Putusan Pengadilan Agama Bantul No.229/Pdt.G/2009/PA.Btl., op.cit., hal.8-10.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
pihak. Dari penjelasan demikian, maka diketahui bahwa ada harta bersama yang dihasilkan sepanjang perkawinan antara Penggugat dan Tergugat. Mengenai pembagian harta bersama, pihak Tergugat merasa putusan hakim tidak seharusnya demikian karena sewajarnya harta gono-gini atau harta bersama dibagi dua antara suami dan istri yang bercerai, oleh karenanya Tergugat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta. Di dalam pertimbangan
hakim
terkait
dengan
pembagian
harta
bersama,
hakim
mempertimbangkan mengapa sampai Tergugat tidak mendapatkan porsi setengah bagian sebagaimana umumnya. Salah satu keterangan saksi yaitu menyatakan bahwa Tergugat apabila Tergugat ditanyakan mengenai masalah uang nafkah, Tergugat “nguyahi banyu segoro”.33 Terkait dengan salah satu asas dalam hukum perdata Islam, dimana kewajiban harus didahulukan dari hak34, maka pihak Tergugat hendaknya tidak menuntut pembagian porsi harta bersama yang umumnya terjadi, yakni setengah bagian untuk masing-masing pihak. Tergugat sepatutnya
menyadari
bahwa
kewajibannya
sebagai
suami
seharusnya
dilaksanakan terlebih dahulu baru kemudian ia dapat menuntut apa yang menjadi haknya. Tergugat diketahui mengabaikan kewajibannya dan menganggap remeh (berdasarkan kalimat nguyahi banyu segoro) untuk memberikan nafkah pada istri dan anak-anaknya. Seharusnya, Tergugat tidak meremehkan kewajibannya untuk memberikan nafkah kepada Penggugat, karena walaupun Tergugat merasa Penggugat mampu jika harus membiayai keperluan dalam rumah tangga walau tanpa bantuan Tergugat, Tergugat tetap wajib untuk memberikan nafkah. Sikap Tergugat yang demikian tentu tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin dalam rumah tangga. Memberikan nafkah dan mencukupi kewajiban dalam rumah tangga memang menjadi kewajiban bagi suami, sehingga dengan melaksanakannya tercapailah bentuk tanggung jawab yang tidak hanya diperuntukkan bagi keluarga saja tetapi lebih jauh lagi kepada Allah SWT.
33
Ibid., hal.28.
34
Ali, op. cit., hal.135.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
Apabila dikaitkan dengan kaidah al-„Adatu Muhakkamah, maka untuk pembagian harta bersama dapat disesuaikan dengan apa yang berlaku di masyarakat, seperti misalnya adanya harta gono-gini di Jawa, harta Sihareukat di Aceh, harta Suarang di Minangkabau, Guna Kaya di Sunda, Druwe Gabro di Bali dan Barang Perpantangan di Kalimantan.35 Umumnya jika terjadi perceraian, di Aceh dan Jawa harta dibagi antara suami istri, hanya bedanya untuk Jawa ada yang pembagiannya setengah bagian untuk masing-masing (sakgendong dan sakpikul), sementara di Aceh pembagian harta bersama berdasarkan perbandingan 1 : 2 dimana satu bagian untuk istri dan 2 bagian untuk suami.36 Terkait dengan putusan tersebut, di sini Tergugat dan Penggugat samasama menyadari adanya harta bersama dari hasil perkawinannya dan mengharapkan agar harta bersama itu dibagi. Tergugat mengharapkan agar harta tersebut dapat dibagi dua seperti pada umumnya yang terjadi di masyarakat, namun hakim mempertimbangkan lain yakni didasarkan atas kontribusi Tergugat serta pelaksanaan kewajiban seorang suami, sehingga dinilai sebagai suatu hal yang adil dan layak jika Tergugat tidak mendapatkan bagian sebagaimana pada umumnya itu, yakni setengah bagian. Selain itu, dalam membagi harta bersama, hendaknya tidak memudaratkan salah satu pihak, sebagaimana konsep dalam kaidah fiqih adh-dhararu yuzalu. Oleh karena itu, jangan sampai pembagian harta bersama justru memberikan mudarat kepada salah satu pihak. Selain itu, hendaknya juga nilai-nilai keislaman diperhatikan, misalnya mengenai keadilan, yang merupakan salah satu asas umum hukum Islam yang sangat penting. 37 Berdasarkan hal-hal tersebut maka pembagian harta bersama menurut Hukum Islam dapat didasarkan pada apa yang berlaku di dalam masyarakat dengan memperhatikan nilai-nilai ajaran Islam seperti keadilan dan tidak memudaratkan masing-masing pihak. Di sini peran hakim sangat besar untuk menentukan pembagian harta bersama yang dianggap memenuhi rasa keadilan dari masing-masing pihak. Oleh karena itu, memang diperlukan suatu 35
Isma‟il Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri (Adat Gono Gini Ditinjau Dari Sudut Hukum Islam), (Jakarta : Bulan Bintang, 1965), hal.63. 36
Ibid., hal.18.
37
Ali, op. cit., hal.129.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
pertimbangan yang menyeluruh terhadap kondisi-kondisi yang terjadi di dalam rumah tangga sebelum memutuskan pembagian harta bersama untuk masingmasing pihak.
2.4 ANALISIS BERDASARKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM Jika ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam, mengenai hal ini hakim mempergunakan dasar hukum berupa beberapa pasal dalam Kompilasi Hukum Islam untuk menguatkan pertimbangannya. Hakim mempertimbangkan bahwa suami seharusnya wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan sesuai dengan kemampuannya (vide Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan jo. Pasal 80 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam). Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam pada dasarnya mengatur mengenai kewajiban suami secara umum. Pasal 80 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam digunakan oleh hakim sebagai dasar pertimbangan dalam memutus perkara yang diajukan oleh Penggugat, dimana dalam hal ini Tergugat tidak memenuhi kebutuhan rumah tangga yakni memberi nafkah keluarga. Mengenai kedudukan harta bersama, Kompilasi Hukum Islam secara jelas mengatur mengenai hal ini. Berbeda dengan apa yang diatur dalam Hukum Islam bahwa mengenai harta bersama pada dasarnya tidak ada peraturan yang spesifik terhadap hal tersebut, Kompilasi Hukum Islam memiliki pengaturan yang secara tersurat menunjukkan adanya harta bersama dalam perkawinan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 huruf f yang isinya sebagai berikut :
“Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.
Berdasarkan isi pasal tersebut maka dapat dikatakan harta yang didapatkan selama perkawinan berlangsung oleh suami-istri merupakan harta bersama dengan tidak mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Hal ini yang dijadikan dasar untuk menentukan yang manakah yang termasuk harta bersama dalam perkawinan bagi pasangan suami istri di dalam perkawinannya. Terkait dengan putusan di
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
atas, berdasarkan keterangan dari Penggugat bahwa dari hasil perkawinan para pihak, diperoleh harta bersama baik berupa benda tetap maupun benda bergerak.38 Tergugat mengakui bahwa harta-harta sebagaimana disebut oleh Penggugat merupakan harta bersama. Harta bersama tersebut dihasilkan sepanjang kedua belah pihak masih menjadi suami istri yang dibuktikan dengan sejumlah bukti kepemilikan yang diajukan oleh Penggugat. Dalam Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam bahwa harta bersama dibedakan menjadi dua yakni berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk benda berwujud meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak, dan surat berharga. Pada putusan di atas, diketahui bahwa harta bersama yang ada berupa benda berwujud, yang terdiri dari adanya benda bergerak serta benda tidak bergerak atau benda tetap. Yang termasuk dalam benda tetap dalam putusan tersebut berupa tanah pertanian, tanah hak milik, tanah pekarangan dan rumah di atasnya, sedangkan untuk benda bergerak berupa mobil, sepeda motor, dan isi rumah. Mengenai pembagian harta bersama, dalam putusan tersebut hakim memutuskan jumlah yang berbeda dari ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam, yakni ¾ dan ¼, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam besaran bagian masing-masing suami dan istri untuk harta bersama berdasarkan Pasal 97 adalah setengah bagian. Di sini hakim memberikan pertimbangan mengenai andil / usaha para pihak, yang mana hal ini dapat diartikan bahwa hakim tidak serta merta memukul rata bagian yang diberikan untuk para pihak, tetapi ia menilai dari bagaimana keadaan para pihak di dalam rumah tangganya serta usaha para pihak dalam rumah tangganya. Pada dasarnya konsep hubungan suami dan istri yang ideal menurut Islam adalah konsep kemitrasejajaran atau hubungannya setara sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur‟an Q.S.al-Baqarah (2) : 187 yang terjemahannya sebagai berikut39 : “...Mereka (perempuan) adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka (perempuan)”. 38
Putusan No.229/Pdt.G/2009/PA.Btl., hal.14-15.
39
Ratna Batara Munti, Perempuan sebagai Kepala Rumah Tangga, Cetakan Pertama, Jakarta (Lembaga Kajian Agama dan Jender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999), hal. 56.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
Pertimbangan bahwa suami atau isteri berhak atas setengah bagian dari harta bersama didasarkan pada peran yang dimainkan baik oleh suami atau isteri, yakni sebagai partner yang saling melengkapi dalam upaya membina keutuhan dan kelestarian keluarga. Ketika ada suatu kondisi dimana isteri bekerja sedangkan pihak suami tidak menjalankan peran yang semestinya sebagai partner yang baik dalam rumah tangga, pembagian harta bersama setengah bagian bagi isteri dan setengah lagi untuk suami akan menjadi tidak sesuai dengan rasa keadilan. Dalam kasus tersebut, dapat diberikan putusan mengenai pembagian harta bersama yang berbeda dengan pembagian harta bersama pada umumnya yakni setengah bagian. Walaupun keduanya merupakan partner dalam membangun rumah tangga, tetapi salah satu pihak tidak melakukan kewajiban sebagaimana mestinya sehingga akan menjadi tidak adil bila harta bersama dibagi dua antara kedua belah pihak. Menurut Suyadi40 apabila dengan peraturan hukum yang ada untuk menyelesaikan sengketa tidak memadai, dengan kata lain tidak menciptakan rasa keadilan bagi mereka yang bersengketa, maka di sinilah letak celah contra legem41. Menurut Suyadi, contra legem dijamin oleh Undang-Undang, sehingga hakim diperbolehkan untuk melakukannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 48 tahun 2009. Secara kasuistis dapat diterapkan tidak harus masing-masing mendapat setengah bagian, dengan catatan bahwa majelis hakim telah mempertimbangkan dengan matang dan demi keadilan untuk kedua pihak tersebut.42
40
Drs. Suyadi, S.H., M.H. merupakan salah seorang hakim Pengadilan Agama di Tulungagung. 41
Menurut Willem Zevenbergen, arti contra legem adalah tidak hanya bertentangan dengan hukum yang berlaku tetapi juga ratio legis yaitu makna nilai-nilai yang terkandung dalam hukum itu, bahkan juga yang berlawanan dengan nilai-nilai yang dianut oleh pimpinan masyarakat (Lihat Soejono K., Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum , (Semarang : UNDIP, 1979), hal.60.). 42
Suyadi, “Kemungkinan Kontra Legem dalam Pembagian Harta Bersama (Terhadap Pasal 97 KHI) ”, (disampaikan untuk artikel Badilag, dibuat di Tulungagung, 31 Juli 2012), hal.14.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
Hakim dapat menguatkan pertimbangannya dengan memasukkan Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam yang isinya menyatakan bahwa hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Jika Pasal 229 tersebut dimasukkan sebagai bahan pertimbangan, tentu akan lebih memperjelas bahwa hakim melihat kondisi-kondisi yang terjadi dalam rumah tangga pasangan tersebut sehingga memutuskan jumlah harta bersama di luar yang ditentukan oleh Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan dalam Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam ini juga sejalan dengan aturan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1), dimana dalam pasal itu dinyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.43 Penjelasan dari pasal ini pun menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.44 Berdasarkan pasal tersebut, maka hakim pada dasarnya dapat mempertimbangkan hal-hal lain untuk menghasilkan putusan yang adil bagi para pihak. Oleh karena itu, ketentuan yang tersedia mengenai pembagian harta bersama dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam dimungkinkan untuk tidak diterapkan, selama hakim tersebut mempertimbangkan hal-hal yang dirasa perlu untuk memberikan keadilan bagi para pihak. Tentunya jika terdapat pertimbangan dari kedua ketentuan tersebut yakni Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam serta Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka akan lebih jelas dan menguatkan pendapat hakim untuk menentukan besaran bagian harta bersama yang berbeda dari apa yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebelumnya. Kompilasi Hukum Islam memang merupakan suatu pedoman yang harus ditaati oleh hakim dan dijadikan pegangan dalam memutus, tetapi jika dilihat 43
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, No.48 Tahun 2009, LN No.157 Tahun 2009, TLN No.50706, Ps. 5 ayat (1). 44
Penjelasan Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman No. 48 tahun 2009.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
kembali bahwa pada dasarnya hakim dalam memutus hendaknya untuk tetap memperhatikan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat dan mendasarkannya pada keadilan, maka ketentuan setengah bagian dimungkinkan untuk tidak diberlakukan, lebih dari itu hakim harus mempertimbangkan nilai-nilai keadilan.
3. PENUTUP 3.1 KESIMPULAN 1. Pada dasarnya Hukum Islam tidak mengenal konsep harta bersama. Namun, adanya harta bersama dapat dimungkinkan jika dilihat melalui konsep syirkah maupun penggunaan kaidah fiqih al-„Adatu Muhakkamah. Sementara itu, Kompilasi Hukum Islam mengenal harta bersama. Mengenai pembagian harta bersama, Hukum Islam memang tidak mengaturnya tetapi pembagian harta bersama dapat didasarkan
pada
kaidah al-„Adatu Muhakkamah serta dengan memperhatikan nilai-nilai dalam ajaran Islam. Sementara itu, Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 97 mengatur mengenai pembagian harta bersama pasangan yang cerai hidup yaitu masing-masing mendapat setengah bagian dari harta bersama. 2. Ditinjau dari sudut Hukum Islam, jumlah pembagian ¾ dan ¼ bagian tersebut sesuai dengan salah satu asas dalam hukum perdata Islam yakni mendahulukan kewajiban daripada hak, dimana hakim mempertimbangkan pelaksanaan kewajiban suami terhadap istrinya dalam hal nafkah. Sementara itu, ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam, pertimbangan hakim membagi harta bersama menjadi ¾ dan ¼ bagian, dimungkinkan dengan mendasarkan pada Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam jo. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 3.2 SARAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Penulis memiliki saran sebagai berikut : 1. Hakim dalam memutus perkara hendaknya memberikan pertimbanganpertimbangan yang bersumber dari al-Qur‟an, hadits, hasil ijtihad, dan sebagainya, yang mampu menopang dan mendukung pendapatnya. Dalam hal ini hakim memang memberikan putusan yang menurutnya
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
sesuai dengan keadilan, tetapi hakim kurang menjelaskan lebih lanjut dasar apa yang diambilnya sehingga timbul putusan yang membagi ¾ dan ¼ bagian. Selain itu, untuk memperkuat pendapatnya dalam menentukan besaran bagian harta bersama tersebut, seharusnya hakim dapat mempergunakan dasar hukum Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam jo. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009, yang mengatur bahwa hakim wajib untuk memahami nilainilai dan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Ketentuan tersebut dapat menjadi dasar hukum bagi hakim untuk dapat menentukan di luar dari ketentuan Kompilasi Hukum Islam mengenai pembagian harta bersama. 2. Hakim diharapkan dapat lebih memberikan pertimbangan didasarkan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat sehingga dapat dihasilkan putusan yang adil bagi kedua belah pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam jo. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009. 3. Sebaiknya para legislator untuk ke depannya jika akan memperbaiki atau membentuk suatu peraturan baru terkait dengan masalah perkawinan, khususnya mengenai harta bersama, perlu meninjau kembali mengenai pembagian
harta
bersama
beserta
kondisi-kondisi
yang
dapat
mempengaruhi pembagian harta bersama di antara para pihak. 4. Pasangan suami istri sebaiknya sebelum perkawinan hendaknya dibekali dengan pengetahuan berumah tangga mengenai keberlakuan harta bersama di dalam perkawinan serta mengenai adanya pembuatan perjanjian perkawinan, apabila terdapat hal-hal tertentu yang ingin diatur lebih khusus bagi pasangan suami istri nantinya. 5. Agar tidak terjadi konflik di dalam keluarga di kemudian hari, sebaiknya masyarakat diharapkan dapat lebih memperhatikan masalah keluarga, khususnya di bidang harta bersama.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
4. DAFTAR PUSTAKA BUKU Al-Ghazali. Menyingkap Hakikat Perkawinan Adab, Tata Cara dan Hikmahnya [Kitab Adab an-Nikah]. Diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir, Bandung : Penerbit Karisma, 1988. Ali, H.Mohammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Ed.6. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2009. Departemen Agama Republik Indonesia. al-Qur‟an dan Terjemahannya (Special for Women) Departemen Agama RI. Bandung : Syaamil alQur‟an, 2005. Djubaedah, Neng, Sulaikin Lubis dan Farida Prihatini. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta : Hecca Mitra Utama, 2005. Latif, H.M.Djamil. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982. Munti, Ratna Batara. Perempuan sebagai Kepala Rumah Tangga. Cet.1. Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Jender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999. Moh.Idris Ramulyo. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undangundang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara, 1996. Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI. Jakarta : Prenada Media, 2004. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet.6. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003. Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah Jilid 7. Cet.7. Alih Bahasa Oleh Moh.Thalib. Bandung : Al-Ma‟arif, 1990. Soejono K., Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum , (Semarang : UNDIP, 1979). Syah, Isma‟il Muhammad. Pencaharian Bersama Suami Istri (Adat Gono Gini Ditinjau Dari Sudut Hukum Islam). Jakarta : Bulan Bintang, 1965. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Cet.2. Jakarta : Prenada Media, 2007.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013
Thalib,Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam Disertai dengan Beberapa Pengertian Umum Hukum Perkawinan Undang-undang Perkawinan 1974. Cet.2007. Jakarta : UI-Press,2007.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-undang Tentang Perkawinan. UU No 1 tahun 1974. LN. No.1 Tahun 1974. TLN No.3019. ________. Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman. No.48 Tahun 2009, LN No.157 Tahun 2009, TLN No.50706. ________. Undang-undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU No.50 Tahun 2009. LN. No.159 Tahun 2009. TLN. No.5078. ________. Instruksi Presiden tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Inpres No.1 Tahun 1991. MAKALAH Suyadi. “Kemungkinan Kontra Legem dalam Pembagian Harta Bersama (Terhadap Pasal 97 KHI)”. Makalah disampaikan untuk artikel Badilag, dibuat di Tulungagung, 31 Juli 2012.
Tinjauan hukum ..., Afridha Nur Fadhilla, FH UI, 2013